Ceritasilat Novel Online

If I Stay 1

If I Stay Karya Gayle Forman Bagian 1


If I Stay Gayle Forman SEMUA orang mengira penyebabnya salju. Dan di satu sisi, kurasa itu benar.
Aku terbangun pagi ini, melihat selimut putih tipis menyelubungi pekarangan depan kami. Tebalnya bahkan tidak sampai dua senti, tapi turun salju sedikit saja di bagian Oregon ini membuat segalanya berhenti bergerak sementara satu-satunya mesin pengeruk salju di county sibuk membersihkan jalan. Yang turun dari langit air basah-menetes-netes-bukan jenis yang beku.
Salju ini cukup untuk meliburkan sekolah. Adik laki-lakiku, Teddy, meneriakkan seruan perang ketika radio AM Mom mengumumkan penutupan sekolah. "Hari salju!" dia berteriak. "Dad, ayo kita buat orang-orangan salju."
Ayahku tersenyum dan mengetuk pipa. Akhir-akhir ini dia mulai mengisap pipa sebagai bagian kebiasaan barunya, meniru serial komedi Father Knows Best ala tahun lima puluhan. Dia juga mengenakan dasi kupu-kupu. Aku tidak tahu apakah semua ini karena dia ingin bergaya atau bersikap sinis-cara Dad mengatakan bahwa dulu dia suka mengerjai orang tapi sekarang menjadi guru bahasa Inggris SMP, atau menjadi guru benar-benar mengubah gaya ayahku ke masa lalu seperti ini. Tapi aku suka aroma tembakau dari pipanya. Baunya manis dan berasap, mengingatkanku pada musim dingin dan tungku kayu.
"Kau bisa berusaha mati-matian," Dad memberitahu Teddy. "Tapi saljunya hampir tidak menempel di jalan. Mungkin sebaiknya kau mencoba membuat ameba salju saja."
Aku tahu Dad sedang gembira. Salju tidak sampai dua senti artinya semua sekolah di county ini tutup, termasuk SMU-ku dan SMP tempat Dad bekerja, maka ini hari libur dadakan baginya juga. Ibuku, yang bekerja di agen perjalanan di kota, mematikan radio dan menuangkan cangkir kopi kedua untuk dirinya. "Yah, kalau kalian semua membolos hari ini, aku juga tidak mau berangkat kerja. Ini tidak adil." Dia mengangkat telepon untuk menghubungi kantornya. Ketika selesai, Mom menatap kami semua. "Apakah sebaiknya aku membuat sarapan""
Dad dan aku terbahak-bahak bersamaan. Mom cuma bisa membuat sereal dan roti panggang. Dad-lah koki di keluarga kami.
Mom pura-pura tidak mendengar kami, lalu meraih lemari dapur untuk mengambil sekotak Bisquick. "Ampun deh. Seberapa sulit sih membuat sarapan" Siapa yang mau kue dadar""
"Aku mau! Aku mau!" Teddy berteriak. "Boleh pakai potongan cokelat""
"Kurasa tidak ada salahnya," jawab Mom.
"Wuu huu!" Teddy memekik, melambai-lambaikan lengan.
"Kau terlalu banyak energi untuk sepagi ini," aku menggodanya. Aku menoleh pada Mom. "Mungkin Mom seharusnya tidak membiarkan Teddy minum kopi banyak-banyak."
"Aku sudah mengganti kopinya dengan yang non-kafein," balas Mom. "Dia memang kelebihan energi."
"Selama Mom tidak mengganti kopiku dengan yang non-kafein," kataku. "Itu namanya penganiayaan terhadap anak," Dad menimpali. Mom menyerahkan muk berasap dan surat kabar kepadaku. "Ada foto pacarmu yang bagus di situ," katanya. "O ya" Foto""
"Yap. Cuma dari foto kita bisa melihatnya sejak musim panas," ujar Mom, melirikku dengan alis terangkat, tatapan mengorek informasi ala Mom.
"Aku tahu," kataku, kemudian tanpa sengaja, mendesah. Grup musik Adam, Shooting Star, sedang naik daun, yang sungguh menyenangkan-kurang-lebih.
"Ah, ketenaran, perenggut masa muda," kata Dad, tapi sambil tersenyum. Aku tahu dia gembira untuk Adam. Bahkan bangga.
Aku membolak-balik surat kabar sampai ke bagian jadwal. Ada blurb kecil tentang Shooting Star, dengan foto mereka berempat yang bahkan lebih kecil, di sebelah artikel panjang tentang Bikini dan foto besar vokalis grup musik itu: sang diva punk-rock, Brooke Vega. Bagian tentang mereka pada dasarnya bercerita tentang grup musik lokal Shooting Star yang menjadi band pembuka untuk Bikini di Portland dalam rangkaian tur nasional Bikini. Artikel itu tidak menyebutkan kabar lebih penting bahwa tadi malam Shooting Star menjadi band utama di kelab di Seattle dan menurut SMS yang dikirimkan Adam kepadaku tengah malam, karcisnya terjual habis.
"Kau mau pergi malam ini"" tanya Dad.
"Rencananya begitu. Tergantung apakah mereka me
nutup seluruh negara bagian gara-gara salju."
"Tapi memang akan ada badai," kata Dad, menunjuk sebutir salju yang melayang turun ke tanah.
"Aku juga seharusnya latihan dengan pianis dari perguruan tinggi yang berhasil digaet Profesor Christie." Profesor Christie, pensiunan guru musik di universitas yang bekerjasama denganku beberapa tahun belakangan ini, selalu mencari korban untuk bermain bersamaku. "Demi menjaga kualitasmu agar kau bisa menunjukkan kepada semua orang congkak di Juilliard bagaimana seharusnya musik dimainkan," kata wanita itu.
Aku belum masuk Juilliard, tapi audisiku lumayan lancar. Bach suite dan Shostakovich mengalir keluar dari dalam diriku dengan sangat hebat, seakan jemariku hanya perpanjangan senar dan busur cello. Ketika aku selesai bermain, terengah-engah, kakiku gemetar karena merapat terlalu keras, seorang juri bertepuk tangan sedikit, yang kurasa tidak terlalu sering terjadi. Saat aku berkemas hendak pergi, juri yang sama berkata bahwa sudah lama sekali sekolah itu tidak "melihat gadis desa Oregon". Profesor Christie menganggap itu jaminan aku masuk Juilliard. Aku tidak terlalu yakin maksud si juri memang begitu. Dan aku tidak seratus persen yakin aku ingin si juri bermaksud begitu. Persis seperti ketenaran Shooting Star yang melesat bak meteor, penerimaanku di Juilliard-jika terjadi-akan mengarah ke beberapa keruwetan, atau, lebih tepatnya, akan menambah keruwetan yang beberapa bulan terakhir ini sudah kualami.
"Aku butuh kopi lagi. Siapa yang mau"" Mom bertanya, berdiri di atasku sambil membawa-bawa penyaring kopi antik kami.
Aku mengendus kopi, kopi Prancis yang kental, hitam, dan berminyak yang kami sukai. Baunya saja membuat semangatku meningkat. "Aku tadinya mau tidur lagi," kataku. "Cello-ku ada di sekolah, jadi aku tidak bisa latihan."
"Tidak latihan" Selama dua puluh empat jam" Oh, hancur hatiku," kata Mom. Meski mulai menyukai musik klasik sejak beberapa tahun ini-"rasanya seperti belajar menyukai keju bau"- sebenarnya Mom tidak selalu antusias mendengarkan aku berlatih maraton.
Aku mendengar suara cempreng dan dentuman di lantai atas. Teddy sedang menggebuk drum. Perangkat drum itu tadinya milik Dad. Dulu sekali, saat dia masih main drum di band yang ngetop di kota kami tapi tidak dikenal di tempat lain, waktu dia masih bekerja di toko musik.
Dad nyengir mendengar keributan yang dibuat Teddy, dan melihat itu, aku dilanda perasaan familier. Aku tahu ini konyol, tapi aku selalu bertanya-tanya apakah Dad kecewa aku tidak menjadi pemain musik rock. Tadinya niatku begitu. Kemudian, di kelas tiga, aku menghampiri cello di kelas musik-benda itu nyaris tampak bernyawa bagiku. Kelihatannya, jika kau memainkannya, benda itu akan membisikkan rahasia, jadi aku mulai memainkannya. Sudah hampir sepuluh tahun sekarang dan aku tidak pernah berhenti.
"Mana mungkin bisa tidur lagi!" Mom berteriak mengatasi keributan Teddy.
"Lihat, saljunya sudah mulai mencair," kata Dad, mengembuskan asap pipa. Aku pergi ke pintu belakang dan mengintip ke luar. Seberkas sinar matahari menyeruak dari sela-sela awan, dan aku bisa mendengar desisan es yang mencair. Aku menutup pintu dan kembali ke meja.
"Kurasa county bersikap berlebihan," kataku.
"Mungkin. Tapi mereka tidak bisa membatalkan libur sekolah. Nasi sudah jadi bubur, dan aku sudah menelepon untuk tidak masuk kerja," sahut Mom.
"Benar. Tapi kita bisa memanfaatkan anugerah dadakan ini dan pergi jalan-jalan," kata Dad. "Naik mobil. Mengunjungi Henry dan Willow." Henry dan Willow adalah teman band lama Mom dan Dad yang juga punya anak serta memutuskan untuk mulai bersikap dewasa. Mereka tinggal di rumah pertanian yang besar. Henry melakukan pekerjaan berbasis internet di lumbung yang mereka ubah jadi kantor dan Willow bekerja di rumah sakit dekat sana. Mereka punya bayi perempuan. Itulah alasan sesungguhnya Mom dan Dad ingin mengunjungi mereka. Teddy baru saja masuk usia delapan tahun dan aku sudah tujuh belas tahun, artinya kami berdua sudah lama tidak menguarkan bau susu basi yang membuat orang dewasa tergila-gila.
"K ita bisa mampir ke BookBarn saat pulang," usul Mom, seakan ingin merayuku. BookBarn toko buku bekas yang luas dan berdebu. Di bagian belakang, mereka menyimpan tumpukan pelat musik klasik seharga 25 sen yang tampaknya tidak pernah dibeli orang lain kecuali aku. Aku menyembunyikan tumpukan pelat itu di kolong tempat tidur. Koleksi musik klasik bukanlah sesuatu yang ingin kaupamerkan.
Aku pernah menunjukkannya pada Adam, tapi itu sesudah kami pacaran lima bulan. Aku menduga dia bakal menertawaiku. Dia jenis cowok cool dengan jins ketat dan sepatu kanvas pendek hitam, kaus punk-rock lusuh, dan tato-tato kecil. Dia bukan jenis cowok yang biasanya berpacaran dengan cewek seperti aku. Itulah sebabnya ketika pertama kali aku menyadari dia memperhatikanku di studio musik sekolah dua tahun yang lalu, aku yakin dia hanya menggodaku dan aku malah bersembunyi darinya. Omong-omong, dia tidak menertawaiku. Dia ternyata juga menyimpan koleksi pelat punk-rock berdebu di kolong tempat tidur.
"Kita juga bisa mampir ke Gran dan Gramps untuk makan sore," lanjut Dad, sudah meraih telepon. "Kau masih punya banyak waktu untuk pergi ke Oregon saat kita pulang nanti," tambahnya sambil menekan tombol telepon.
"Aku ikut," kataku. Bukan karena diiming-imingi bakal ke BookBarn, atau karena Adam sedang tur, atau karena sahabat baikku, Kim, sedang sibuk membuat buku tahunan sekolah. Bahkan bukan karena cello-ku ada di sekolah atau karena aku bisa tinggal di rumah menonton TV atau tidur. Aku memang lebih memilih pergi bersama keluargaku. Ini satu hal lagi yang tidak kuumbar tentang diriku, tapi Adam juga memahaminya.
"Teddy," Dad memanggil. "Ayo ganti pakaian. Kita mau bertualang."
Teddy menyelesaikan drum solonya dengan menghajar simbal. Sejenak kemudian dia melompat-lompat masuk dapur sudah berpakaian rapi, seolah dia berganti baju sambil menuruni tangga kayu curam rumah gaya Victoria kami yang berangin. "School's out for summer..." dia bernyanyi.
"Alice Cooper"" tanya Dad. "Memangnya kita tidak punya standar" Setidaknya nyanyikan lagu Ramones."
"School's out forever," Teddy menyanyi, tidak mengindahkan protes Dad. "Optimis sekali kau," komentarku.
Mom tertawa. Dia meletakkan sepotong kue dadar yang agak gosong ke meja dapur. "Makan, anak-anak."
08.17 KAMI naik ke mobil, Buick berkarat yang memang sudah tua ketika Gran memberikannya pada kami setelah kelahiran Teddy. Mom dan Dad menawariku menyetir, tapi aku bilang tidak. Dad masuk ke balik kemudi. Dia suka menyetir sekarang. Selama bertahun-tahun dengan keras kepala Dad tidak mau membuat SIM, ngotot naik sepeda ke mana pun. Dulu sewaktu dia masih main musik, rasa antinya terhadap menyetir menyebabkan teman-teman bandnya harus berada di belakang kemudi ketika mereka tur. Mereka suka mencemoohnya. Mom melakukan lebih daripada itu. Mom mendesak, membujuk, dan kadang-kadang meneriaki Dad supaya membuat SIM, tapi Dad berkeras tetap menggunakan tenaga pedal. "Yah, kalau begitu kau sebaiknya membuat sepeda yang mampu membawa keluarga yang terdiri atas tiga orang dan menjaga kami tetap kering saat hujan," Mom mendesak. Yang selalu ditanggapi Dad dengan tertawa dan berkata akan membuat sepeda seperti itu.
Tapi ketika hamil Teddy, Mom tidak mau berkompromi lagi. Cukup, katanya. Dad rupanya mengerti keadaan sudah berubah. Dia berhenti mendebat dan ikut ujian SIM. Dia juga kembali bersekolah untuk mendapatkan sertifikat mengajar. Kurasa bukan masalah kalau hidupmu tidak maju-maju saat kau baru memiliki satu anak. Tapi dengan dua anak, sudah waktunya kau jadi dewasa. Waktunya mengenakan dasi kupu-kupu.
Dad mengenakan dasi kupu-kupu pagi ini, beserta jaket sport berbintik-bintik dan sepatu kulit bertali model kuno. "Pakaian Dad siap untuk menghadapi salju ya," komentarku.
"Aku seperti kantor pos," kata Dad, membersihkan salju dari mobil dengan menggunakan salah satu dinosaurus plastik milik Teddy yang bertebaran di halaman. "Hujan es, badai, maupun salju setebal satu senti tidak akan bisa membuatku berpakaian sembarangan seperti tukang kayu."
"Hei, keluargaku tukang k
ayu," Mom memperingatkan. "Jangan mengolok-olok lelaki kulit putih tukang kayu ya."
"Aku takkan berani," kata Dad. "Aku hanya membandingkan selera berpakaian."
Dad harus memutar kunci kontak beberapa kali sebelum mobil terbatuk-batuk menyala. Seperti biasa, terjadi pertengkaran tentang siapa yang boleh memonopoli stereo mobil. Mom ingin menyetel radio NPR. Dad ingin Frank Sinatra. Teddy ingin SpongeBob SquarePants. Aku ingin mendengarkan stasiun radio musik klasik, tapi karena sadar aku satu-satunya yang menyukai musik klasik dalam keluarga, aku mau berkompromi dengan memilih Shooting Star.
Dad menengahi perselisihan. "Mengingat kita membolos hari ini, kita harus mendengarkan berita sebentar sehingga tidak menjadi katak dalam baskom-"
"Ungkapan yang benar adalah katak dalam tempurung," Mom mengoreksi.
Dad memutar bola mata dan menggenggam tangan Mom sambil berdeham dengan gaya khas guru. "Seperti yang tadi kubilang, NPR dulu, kemudian saat berita selesai, stasiun radio musik klasik. Teddy, kami tidak akan menyiksamu dengan itu. Kau boleh menggunakan Discman," kata Dad, mulai mencabut CD player portabel yang dipasangnya di radio mobil. "Tapi kau tidak boleh menyetel Alice Cooper di mobilku. Dilarang." Dad meraih laci dasbor untuk memeriksa apa yang ada di dalam sana. "Bagaimana kalau Jonathan Richman""
"Aku mau SpongeBob. Ada di dalam player-nya!" Teddy berteriak, melonjak-lonjak dan menunjuk Discman. Jelas sekali kue dadar cokelat yang disiram sirup hanya memperparah kecenderungan hiperaktifnya.
"Nak, kau membuat hatiku hancur," kata Dad bercanda. Aku dan Teddy dibesarkan dengan mendengar lagu-lagu norak Jonathan Richman, yang bagai santo musik pujaan Mom dan Dad.
Begitu seleksi musik beres, kami berangkat. Jalanan dihiasi tumpukan salju di sana-sini, tapi secara umum hanya basah. Tapi ini Oregon. Jalanan memang selalu basah. Mom biasanya bercanda bahwa saat jalanan kering, orang-orang akan mengalami masalah. "Mereka jadi sombong, tidak lagi berhati-hati, mengemudi seperti keledai. Polisi jadi sibuk membagikan surat tilang."
Aku menyandarkan kepala pada jendela mobil, mengamati pemandangan melesat, kilasan hijau gelap berupa pepohonan cemara bersaput salju, sulur-sulur tipis kabut putih, dan awan badai kelabu yang tebal di langit. Suhu begitu hangat di dalam mobil sehingga kaca jendela terus-menerus berembun, dan aku menggambar garis-garis kecil bergelombang di sana.
Ketika siaran berita selesai, kami memutar stasiun radio musik klasik. Aku mendengar beberapa bar pertama Cello Sonata no.3 Beethoven, yang seharusnya kulatih petang ini. Rasanya sempurna sekali. Aku berkonsentrasi pada not-notnya, membayangkan diriku memainkannya, bersyukur atas kesempatan berlatih di sini, gembira karena berada di dalam mobil yang hangat bersama keluargaku. Aku memejamkan mata.
Kau tidak akan menyangka radio masih menyala setelah itu. Tapi radionya menyala.
Mobil hancur berantakan. Hantaman truk pikap empat ton berkecepatan hampir seratus kilometer per jam pada sisi penumpang memiliki kekuatan seperti bom atom. Pintu-pintu terlepas, bangku penumpang depan terbang menembus jendela sisi pengemudi. Benturan itu mematahkan sasis, membuatnya terpental ke seberang jalan, dan merobek mesin seolah semudah merobek sarang laba-laba. Roda-roda dan kap depan terlempar jauh ke tengah hutan. Benturan tersebut memercikkan api pada serpihan-serpihan tangki bensin, sehingga sekarang api-api kecil menjilati jalanan yang basah.
Dan suaranya begitu keras. Simfoni derakan, paduan suara dentuman, aria ledakan, dan akhirnya, suara berdentang menyedihkan saat besi keras memotong batang-batang pohon yang lunak. Kemudian segalanya hening, kecuali ini: Cello Sonata no.3 Beethoven, masih mengalun. Entah bagaimana, radio mobil masih tersambung pada aki dan Beethoven pun tetap tersiar di tengah-tengah pagi bulan Februari yang kembali tenang.
Mula-mula aku menyangka segalanya baik-baik saja. Aku tetap bisa mendengar Beethoven. Tapi kemudian aku sadar bahwa aku berdiri di sini, di selokan di sisi jalan. Ketika aku menunduk, rok j
ins, sweter rajutan, dan sepatu bot hitam yang kukenakan tadi pagi masih tampak sama seperti ketika aku meninggalkan rumah.
Aku memanjat parit untuk melihat mobil lebih jelas. Bentuknya bahkan bukan seperti mobil lagi, sudah berupa kerangka besi, tanpa bangku, tanpa penumpang. Yang artinya keluargaku pasti terlempar keluar seperti aku. Aku menggosokkan telapak tangan pada rok dan melangkah ke jalan untuk mencari mereka.
Mula-mula aku melihat Dad. Bahkan dari jarak beberapa meter, aku bisa melihat tonjolan pipa cangklong pada saku jaketnya. "Dad," panggilku, tapi ketika aku melangkah menghampirinya, trotoar menjadi licin dan tampak potongan-potongan kelabu yang kelihatan seperti kembang kol. Aku segera tahu apa yang kulihat, tapi entah bagaimana tidak segera kuhubungkan dengan ayahku. Yang muncul di kepalaku adalah berita tentang tornado atau kebakaran, bagaimana bencana itu menghabiskan sebuah rumah sementara rumah sebelahnya tidak tersentuh. Potongan-potongan otak ayahku bertebaran di aspal. Tapi pipanya ada di saku kiri jaket.
Kemudian aku menemukan Mom. Hampir tidak ada darah di tubuhnya, tapi bibirnya membiru dan bagian putih matanya menjadi merah, seperti hantu di film monster murahan. Dia tampak tidak nyata. Dan penampilannya yang seperti zombi konyol itulah yang menyebabkan panik menyerangku.
Aku harus menemukan Teddy! Di mana dia" Aku memutar tubuh, tiba-tiba kalut, seperti ketika aku kehilangan adikku itu selama sepuluh menit di toko bahan pangan. Waktu itu aku yakin dia diculik. Tentu saja, ternyata dia hanya berkeliaran untuk mengamati lorong permen. Ketika menemukannya, aku tidak yakin apakah harus memeluk atau mengomelinya.
Aku berlari kembali ke parit tempatku datang tadi dan melihat ada tangan mencuat. "Teddy! Aku di sini!" aku berseru. "Raih ke atas. Aku akan menarikmu." Tapi ketika mendekat, aku melihat pantulan cahaya pada gelang perak berhias cello dan gitar mini. Adam menghadiahkannya kepadaku saat aku berulang tahun ketujuh belas. Itu gelangku. Aku mengenakannya pagi ini. Aku menunduk memandang pergelangan tanganku sendiri. Aku masih mengenakannya.
Aku beringsut mendekat dan tahu sekarang bahwa bukan Teddy yang berbaring di sana. Tapi aku. Darah dari dadaku merembes ke kaus, rok, sweter, dan sekarang menggenang seperti tumpahan cat pada salju baru. Salah satu kakiku terpuntir, dan kulit serta otot mengelupas sehingga aku bisa melihat putihnya tulang. Mataku terpejam, dan rambutku yang cokelat gelap basah serta berwarna seperti karat karena darah.
Aku berbalik cepat. Ini tidak benar. Ini tidak mungkin terjadi. Kami hanya keluarga biasa, bepergian dengan mobil. Ini tidak nyata. Aku pasti tertidur di mobil. Tidak! Stop. Kumohon, berhenti. Kumohon, bangunlah! aku menjerit pada udara dingin. Udara dingin. Seharusnya napasku berasap. Tapi tidak. Aku menatap pergelangan tanganku, yang tidak tampak terluka, tidak tersentuh darah, tidak robek, dan aku mencubitnya sekeras mungkin.
Aku tidak merasakan apa-apa.
Aku pernah bermimpi buruk-mimpi jatuh, mimpi bermain di resital cello tanpa tahu apa musiknya, mimpi putus dengan Adam-tapi aku selalu bisa memerintahkan diriku membuka mata, mengangkat kepala dari bantal, menghentikan film horor yang berlangsung di balik kelopak mataku yang terpejam. Aku mencoba lagi. Bangun! aku berteriak. Bangun! Bangunbangun-bangunbangun! Tapi aku tidak bisa. Aku tidak terbangun.
Kemudian aku mendengar sesuatu. Musik itu. Aku masih bisa mendengar musik. Maka aku
berkonsentrasi padanya. Aku menggerakkan jemari mengikuti not-not Cello Sonata no.3 Beethoven, seperti yang sering kulakukan saat berlatih. Adam menyebutnya "cello udara".
Dia selalu bertanya apakah suatu hari nanti kami bisa berduet, dia memainkan gitar udara, aku cello udara. "Kalau sudah selesai, kita bisa menghancurkan instrumen-instrumen udara kita,"
katanya bercanda. "Kau tahu kau ingin melakukannya."
Aku memainkan cello udara, hanya terfokus pada musik, sampai akhirnya aliran listrik pada aki mobil habis, dan musik pun lenyap bersamanya.
Tidak lama kemudian suara sirene terde
ngar. 09.23 APAKAH aku sudah mati"
Aku sungguh-sungguh perlu menanyakan itu pada diriku. Apakah aku sudah mati"
Mula-mula sepertinya jelas sekali aku memang sudah mati. Bahwa berdiri-menyaksikan-semuanya-di-sini hanyalah sementara, jeda sebelum cahaya terang dan kejadian-kejadian-masa-lalu-melesat-di-depan-mataku itu berlangsung, membawaku ke tempat apa pun yang menjadi tujuanku kemudian.
Tetapi para paramedis ada di sini sekarang, bersama polisi dan pemadam kebakaran. Ada yang menutupi tubuh ayahku dengan kain. Dan petugas pemadam kebakaran menarik ritsleting kantong mayat tempat Mom diletakkan. Aku mendengar lelaki itu berdiskusi tentang Mom dengan pemadam kebakaran lain, yang tampaknya berusia tidak lebih dari delapan belas tahun. Lelaki yang lebih tua menjelaskan kepada si petugas baru bahwa Mom mungkin yang pertama terkena benturan dan tewas seketika, itulah sebabnya tidak ada banyak darah. "Jantungnya berhenti berdetak seketika," katanya. "Ketika jantungmu tidak bisa memompa, darah tidak keluar. Darahmu hanya merembes."
Aku tidak bisa memikirkan itu, memikirkan darah Mom merembes. Maka aku berpikir betapa itu khas Mom, bahwa Mom terhantam lebih dulu, bahwa dialah yang menahan kami dari benturan. Jelas itu bukan pilihannya, tapi memang seperti itulah Mom.
Tapi apakah aku sudah mati" Aku yang tergeletak di tepi jalan, kakiku tergantung ke dalam parit, dikelilingi sekelompok lelaki dan perempuan yang melakukan berbagai tindakan kalut padaku dan menusuk-nusuk nadiku dengan entah apa. Aku setengah telanjang, anggota paramedis merobek bagian atas kausku. Sebelah payudaraku kelihatan. Karena malu, aku memalingkan wajah.
Polisi menyalakan suar darurat di sekeliling lokasi kecelakaan dan menginstruksikan mobil-mobil dari kedua arah untuk memutar balik, jalan ditutup. Dengan sopan polisi menawarkan rute alternatif, jalan kecil yang akan membawa orang-orang ke tujuan.
Mereka pasti memiliki tujuan masing-masing, orang-orang di mobil-mobil itu, tapi banyak di antara mereka tidak berputar balik. Mereka keluar dari mobil, memeluk diri sendiri melawan dingin. Mereka mengamati lokasi kejadian. Kemudian mereka membuang muka, beberapa di antaranya menangis, seorang wanita muntah ke semak-semak di pinggir jalan. Dan meski tidak mengenal kami atau tahu apa yang terjadi, mereka berdoa untuk kami. Aku bisa merasakan mereka berdoa.
Yang juga membuatku berpikir bahwa aku sudah mati. Itu, dan kenyataan bahwa sepertinya tubuhku mati rasa total, meski jika melihat keadaanku, kakiku yang terparut aspal dengan kecepatan seratus kilometer per jam sampai tulangku kelihatan, seharusnya aku sangat kesakitan. Dan aku juga tidak menangis, meski aku tahu sesuatu yang mengerikan terjadi pada keluargaku. Kami seperti Humpty Dumpty, dan semua kuda serta prajurit raja tidak akan mampu menyatukan tubuh kami lagi.
Aku sedang merenungkan ini ketika paramedis dengan wajah berbintik-bintik dan rambut merah yang mengurusi tubuhku menjawab pertanyaanku. "Glasgow Coma-nya delapan. Bawa dia sekarang!" perempuan itu berteriak.
Dia dan paramedis lelaki berdagu panjang memasukkan slang ke tenggorokanku, memasangkan kantong berpompa di sana, dan mulai memompa. "Berapa lama perkiraan waktu Life Flight sampai ke sini""
"Sepuluh menit," jawab si paramedis. "Butuh dua puluh menit untuk kembali ke kota."
"Kita akan membawanya ke sana dalam lima belas menit meski kau harus mengemudi seperti setan."
Aku bisa merasakan apa yang ada dalam pikiran si paramedis lelaki. Tidak ada gunanya bagiku jika mereka juga mengalami kecelakaan, dan aku setuju dengannya. Tapi dia tidak mengucapkan apa-apa. Hanya mengeraskan rahang. Mereka memasukkanku ke ambulans; si rambut merah naik ke belakang bersamaku. Dia memompa kantong dengan satu tangan, memasang infus dan monitor dengan tangan satunya. Kemudian dia menyibakkan sejumput rambut dari dahiku.
"Bertahanlah," katanya.
---oOo--- Aku melakukan resital pertamaku ketika berusia sepuluh tahun. Saat itu aku sudah bermain cello selama dua tahun. Mulanya hanya di sekolah, sebagai bagian pr
ogram musik. Rasanya ajaib bahwa mereka bahkan memiliki cello; instrumen itu sangat mahal dan rentan. Tapi profesor sastra yang sudah tua di universitas meninggal dunia dan mewariskan Hamburg-nya pada sekolah kami. Biasanya cello itu hanya menganggur di pojok ruangan. Sebagian besar murid ingin belajar main gitar atau saksofon.
Ketika aku memberitahu Mom dan Dad bahwa aku ingin menjadi pemain cello, mereka berdua tertawa terbahak-bahak. Mereka kemudian meminta maaf, beralasan bahwa lucu sekali membayangkan aku yang mungil ini memainkan instrumen raksasa di antara kedua kaki kurusku. Begitu sadar aku serius, mereka segera menelan tawa dan menunjukkan tampang mendukung.
Tapi reaksi mereka masih menyakiti hatiku-dengan cara yang tak pernah kuceritakan pada mereka, dan dalam cara yang aku tidak yakin akan mereka mengerti bahkan jika kuceritakan. Kadang-kadang Dad bercanda aku pasti tertukar di rumah sakit tempatku dilahirkan, karena aku sama sekali tidak mirip keluargaku. Mereka semua berambut pirang dan berkulit putih sementara aku kebalikannya, rambut cokelat dan mata gelap. Tapi ketika aku makin besar, kelakar Dad tentang rumah sakit itu berefek lebih serius daripada yang diniatkannya. Kadang-kadang aku memang merasa berasal dari suku lain. Aku tidak seperti Dad yang terbuka dan sedikit sinis, atau Mom yang wanita perkasa. Dan seakan tidak ingin tanggung-tanggung, bukannya belajar main gitar listrik aku malah memilih cello.
Tapi dalam keluargaku, main musik tetaplah masih lebih penting daripada tipe musik yang kaupilih, maka beberapa bulan kemudian, setelah terlihat jelas bahwa cintaku terhadap cello bukan hanya angin-anginan, orangtuaku menyewakanku cello sehingga aku bisa berlatih di rumah. Jalinan not dan paduan nada yang berantakan mengawali percobaan memainkan Twinkle Twinkle Little Star yang akhirnya meningkat menjadi etude dasar sampai aku mampu memainkan suite Bach. Program musik di SMP-ku tidak banyak, maka Mom mencari guru privat untukku, mahasiswa yang datang seminggu sekali. Selama bertahun-tahun kemudian aku diajar banyak mahasiswa, kemudian, ketika kemahiranku sudah melebihi mereka, guru-guruku bermain bersamaku.
Hal ini berlangsung sampai aku kelas sembilan, waktu Dad, yang mengenal Profesor Christie semasa Dad masih bekerja di toko musik, bertanya apakah wanita itu mau memberiku pelajaran privat. Profesor Christie setuju untuk mendengar aku bermain, tidak terlalu berharap, hanya ingin membantu Dad, belakangan wanita itu berkata kepadaku. Dia dan Dad mendengarkan dari lantai bawah sementara aku berada di kamarku di atas, berlatih sonata Vivaldi. Ketika aku turun untuk makan malam, Profesor Christie menawarkan diri untuk mengambil alih pelatihanku.
Tetapi resital pertamaku terjadi bertahun-tahun sebelum aku bertemu dengannya. Resital itu diadakan di aula kota, tempat biasanya diadakan pertunjukan band lokal, jadi akustiknya jelek sekali untuk musik klasik tanpa amplifier. Aku memainkan solo cello dari Dance of the Sugar Plum Fairy karya Tchaikovsky.
Saat berdiri di belakang panggung, mendengarkan anak-anak lain memainkan biola dengan mendecit dan piano dengan tersendat-sendat, aku ketakutan. Aku berlari keluar dari pintu panggung dan berjongkok di serambi luar, mengembuskan dan menarik napas dengan cepat ke tangkupan tanganku. Guru mahasiswaku menjadi agak panik dan menyuruh orang-orang mencariku.
Dad menemukanku. Dia baru saja mulai berubah dari hippie menjadi bergaya, jadi dia mengenakan setelan jas model lama, dengan sabuk berpaku dan sepatu bot hitam pendek.
"Kau tidak apa-apa, Mia Oh-My-Uh"" dia bertanya, duduk di undakan bersamaku.
Aku menggeleng, terlalu malu untuk bicara.
"Ada apa""
"Aku tidak bisa!" pekikku.
Dad mengangkat sebelah alisnya yang tebal dan menatapku dengan matanya yang biru kelabu. Aku merasa seperti spesimen asing misterius yang sedang dipelajari dan ingin dimengertinya. Dad main band seumur hidupnya. Jelas saja dia tidak pernah mengalami hal sememalukan demam panggung begini.
"Yah, sayang sekali," kata Dad. "Aku sudah menyiapkan hadiah keren unt
uk resitalmu. Lebih bagus daripada bunga."
"Berikan saja kepada orang lain. Aku tidak bisa naik ke panggung. Aku tidak seperti Dad atau Mom, atau bahkan Teddy." Saat itu Teddy baru berusia enam bulan, tapi sudah jelas terlihat anak itu memiliki karakter lebih kuat, dan semangat lebih besar, daripada aku. Dan tentu saja, dia berambut pirang dan bermata biru. Bahkan jika tidak pun, dia dilahirkan dengan bantuan bidan, bukan di rumah sakit, jadi tidak ada kemungkinan tertukar.
"Benar," Dad berkata setengah melamun. "Ketika Teddy pertama kali konser harpa, dia setenang mentimun. Anak ajaib."
Aku tertawa sambil menangis. Dad melingkarkan lengannya dengan lembut pada bahuku. "Kau tahu, dulu aku selalu ketakutan setengah mati sebelum pertunjukan."
Aku menatap Dad, yang tampaknya selalu yakin tentang segala hal di dunia. "Dad cuma berkata begitu untuk menghiburku."
Dad menggeleng. "Tidak, sungguh. Demam panggungku parah sekali. Padahal aku pemain drum, duduk jauh di belakang. Bahkan tidak ada yang memperhatikanku."
"Jadi apa yang Dad lakukan"" tanyaku.
"Dia mabuk," Mom menyela, melongokkan kepala dari pintu panggung. Mom mengenakan rok mini vinyl, atasan tanpa lengan berwarna merah, dan Teddy, berlumuran liur dengan gembira di gendongan Baby Bjorn. "Dua botol besar minuman beralkohol sebelum pertunjukan. Aku tidak merekomendasikan itu untukmu."
"Ibumu mungkin benar," kata Dad. "Dinas sosial tidak suka melihat anak sepuluh tahun yang mabuk. Lagi pula, kalau aku menjatuhkan stik drumku dan muntah di panggung, itu keren. Kalau kau menjatuhkan busur dan berbau pabrik bir, akan menjijikkan. Kalian penyuka musik klasik memang sok."
Sekarang aku tertawa. Aku masih takut, tapi entah mengapa rasanya menenangkan berpikir bahwa demam panggung hanyalah sesuatu yang kuwarisi dari Dad; ternyata aku bukan anak pungut.
"Bagaimana kalau aku mengacaukannya" Bagaimana kalau permainanku jelek sekali""
"Aku punya berita untukmu, Mia. Akan ada banyak sekali permainan jelek di sana, jadi kau takkan mencolok," kata Mom. Teddy memekik setuju.
"Tapi serius, bagaimana Dad mengatasi demam panggung""
Dad masih tersenyum tapi aku tahu dia berubah menjadi serius karena bicaranya dilambatkan. "Kau tidak mengatasinya. Kau hanya perlu melaluinya. Kau bertahan."
Maka aku melaluinya. Aku tidak memainkan musikku dengan gemilang. Aku tidak mendapatkan pujian setinggi langit atau sampai membuat penonton bertepuk tangan sambil berdiri, tapi aku juga tidak mengacau. Dan setelah resital, aku mendapatkan hadiahku. Benda itu duduk di bangku penumpang mobil, tampak sama bernyawanya seperti cello yang menarik perhatianku dua tahun sebelumnya. Tapi ini bukan sewaan. Cello ini milikku.
10.12 KETIKA ambulans tiba di rumah sakit terdekat-bukan di kotaku tapi rumah sakit lokal kecil yang tampak lebih mirip panti wreda daripada rumah sakit-paramedis bergegas mendorongku ke dalam. "Kurasa paru-parunya bocor. Masukkan tube ke dadanya dan bawa dia sekarang!" paramedis ramah berambut merah menjerit ketika menyerahkanku kepada sekelompok perawat dan dokter.
"Di mana yang lain"" tanya lelaki berjanggut yang mengenakan pakaian bedah.
"Pengemudi lain mengalami gegar otak ringan, ditangani di lokasi. Orangtua meninggal seketika. Anak laki-laki, tujuh tahun, persis di belakang kami."
Aku mengembuskan napas kuat-kuat, seolah sudah menahannya selama dua puluh menit terakhir. Setelah melihat diriku sendiri di parit tadi, aku tidak mampu mencari Teddy. Jika dia dalam kondisi seperti Mom dan Dad, atau seperti aku, aku tidak... aku bahkan tidak ingin membayangkannya. Tapi Teddy tidak seperti kami. Dia masih hidup.
Mereka membawaku ke ruangan kecil yang terang. Dokter mengoleskan cairan jingga ke sisi dadaku kemudian menusukkan tube plastik. Dokter lain menyorotkan senter ke mataku. "Tidak ada respons," dia memberitahu perawat. "Helikopter sudah datang. Bawa dia ke Ruang Trauma. Sekarang!"
Mereka bergegas mengeluarkanku dari UGD dan masuk elevator. Aku harus berlari untuk mengikuti mereka. Persis sebelum pintu tertutup, aku baru s
adar Willow ada di sini. Aneh. Kami bermaksud mengunjunginya dan Henry serta anak mereka di rumah. Apakah dia dipanggil karena hari ini bersalju" Apakah karena kami" Dia melangkah cepat-cepat di lorong rumah sakit, wajahnya penuh konsentrasi. Kurasa dia bahkan belum tahu kamilah yang mengalami kecelakaan. Mungkin dia bahkan berusaha menelepon, meninggalkan pesan di ponsel Mom, meminta maaf karena ada kejadian darurat dan dia takkan ada di rumah ketika kami berkunjung.
Elevator membuka ke atap rumah sakit. Helikopter, baling-balingnya menebas udara, berdiri di tengah lingkaran merah besar.
Aku belum pernah naik helikopter. Sahabat karibku, Kim, pernah. Dia pernah terbang di atas Gunung St. Helens bersama pamannya, juru foto terkenal yang bekerja untuk majalah National Geographic.
"Dia mengoceh tentang bunga-bunga yang tumbuh setelah letusan gunung, dan aku muntah ke pangkuannya," Kim bercerita padaku di kelas sehari sesudahnya. Dia masih tampak agak pucat setelah pengalaman itu.
Kim senang mengerjakan buku tahunan dan berharap suatu hari nanti bisa menjadi fotografer. Pamannya mengajaknya dalam perjalanan itu sebagai hadiah, untuk memupuk bakatnya. "Muntahanku bahkan mengenai beberapa kameranya," Kim meratap. "Aku takkan pernah menjadi fotografer sekarang."
"Ada banyak jenis fotografer," aku memberitahunya. "Kau tidak harus terbang ke mana-mana dengan helikopter."
Kim tertawa. "Baguslah. Karena aku tidak mau naik helikopter lagi-dan kau juga jangan!"
Aku ingin berkata pada Kim bahwa kadang-kadang kau tidak punya pilihan.
Pintu helikopter dibuka dan brankarku beserta semua tube dan slang dimasukkan ke sana. Paramedis melompat masuk di sebelahku, masih memompa tube plastik kecil yang rupanya bernapas untukku. Begitu kami mengudara, aku mengerti mengapa Kim mual. Helikopter tidak seperti pesawat, peluru kencang yang terbang mulus. Helikopter lebih mirip bola hoki yang dilontarkan ke udara. Naik-turun, goyang ke kiri dan kanan. Aku heran sekali orang-orang ini masih bisa menanganiku, mampu membaca printout komputer kecil, bisa mengemudikan benda ini sambil berkomunikasi di sekitarku melalui headset, bagaimana mereka bisa melakukan semua itu sementara helikopter melonjak-lonjak.
Helikopter menembus kantong udara dan seharusnya aku merasa mual. Tapi aku tidak merasakan apa-apa, setidaknya aku yang sebagai penonton. Dan aku yang berada di brankar rupanya juga tidak merasakan apa-apa. Sekali lagi aku harus bertanya-tanya apakah aku sudah mati, tapi kemudian berkata pada diri sendiri, belum. Mereka tidak akan mengangkutku menggunakan helikopter ini, tidak akan terbang ngebut di atas hamparan hutan jika aku sudah mati.
Juga, jika aku sudah mati, kurasa Mom dan Dad telah menjemputku sekarang.
Aku bisa melihat jam di panel kontrol. Pukul 10.37. Aku ingin tahu apa yang terjadi di daratan sekarang. Apakah Willow sudah tahu siapa pasien daruratnya" Apakah sudah ada yang menghubungi kakek-nenekku" Mereka tinggal dua kota jauhnya dari kami, dan aku senang makan malam bersama mereka. Gramps gemar memancing dan dia mengasapi sendiri salmon serta tiram, dan kami mungkin akan menyantapnya beserta roti bir cokelat tebal buatan Gran. Kemudian Gran membawa Teddy ke tempat pembuangan sampah daur ulang yang besar di kota dan membiarkan anak itu mengarungi barang bekas untuk mencari majalah. Akhir-akhir ini Teddy menggemari Reader's Digest. Dia suka menggunting kartunnya dan membuat kolase.
Aku bertanya-tanya tentang Kim. Hari ini sekolah libur. Aku mungkin tidak bersekolah besok. Dia mungkin menyangka aku membolos karena tidur larut malam setelah menonton Adam dan Shooting Star di Portland.
Portland. Aku cukup yakin dibawa ke sana sekarang. Pilot helikopter terus membicarakan Trauma Satu. Di luar jendela, aku bisa melihat puncak Mount Hood menjulang. Itu artinya Portland telah dekat.
Apakah Adam sudah ada di sana" Dia bermain di Seattle tadi malam tapi selalu merasa penuh adrenalin setelah pertunjukan, dan mengemudi membantunya menenangkan diri. Anggota band yang lain dengan senang hati membiarkannya menyo
pir sementara mereka beristirahat. Jika sudah ada di Portland, dia mungkin masih tidur. Ketika bangun, apakah dia akan minum kopi di Hawthorne" Mungkin membawa buku ke Japanese Garden" Itulah yang dilakukannya terakhir kali aku pergi ke Portland bersamanya, hanya saja saat itu udara jauh lebih hangat. Nantinya, siang ini, aku tahu band mereka akan cek suara. Kemudian Adam akan keluar untuk menunggu kedatanganku. Mulanya, dia akan berpikir aku terlambat. Bagaimana mungkin dia menduga aku sebenarnya datang lebih awal" Bahwa aku tiba di Portland pagi ini sementara salju masih mencair"
---oOo--- "Kau pernah dengar tentang si Yo-Yo Ma ini"" Adam bertanya. Ketika itu musim semi tahun keduaku di SMA, artinya Adam kelas tiga. Saat itu, Adam sudah menontonku berlatih di ruang musik selama beberapa bulan. Kami belajar di sekolah negeri, tapi salah satu sekolah yang bagus dan selalu diulas di majalah nasional karena menekankan pelajaran seni. Kami memang mendapatkan banyak waktu bebas untuk melukis di studio atau berlatih musik. Aku menghabiskan waktu di ruangan-ruangan kedap suara bagian musik. Adam juga sering ada di sana, main gitar. Bukan gitar listrik yang dimainkannya di band. Hanya gitar akustik.
Aku memutar bola mata. "Semua orang pernah mendengar tentang Yo-Yo Ma."
Adam nyengir. Aku menyadari untuk pertama kalinya bahwa senyumnya miring, mulutnya mencuat ke atas di satu sisi. Dengan ibu jari yang bercincin dia menunjuk ke luar kubikel. "Kurasa kau takkan menemukan lima orang di luar sana yang pernah dengar tentang Yo-Yo Ma. Dan omong-omong, nama apa sih itu" Bahasa gaul" Yo Mama""
"Itu nama Cina."
Adam menggeleng-geleng sambil tertawa. "Aku kenal banyak orang Cina. Mereka punya nama seperti Wei Chin. Atau Lee apalah. Bukan Yo-Yo Ma."
"Kau tidak boleh menghujat sang master," kataku. Tapi kemudian aku pun terbahak. Aku butuh beberapa bulan untuk meyakinkan diri bahwa Adam bukan hanya mengisengiku, dan setelah itu kami mulai sering mengobrol di koridor.
Tapi tetap saja, perhatiannya padaku membuatku bingung. Adam bukan cowok populer. Dia bukan olahragawan atau jenis yang kelihatan bakal sukses. Tapi dia keren. Keren karena bermain band dengan anak-anak kuliahan di kota kami. Keren karena dia punya gaya rock sendiri, diperolehnya dari toko murah dan obralan, bukan barang-barang tiruan bermerek Urban Outfitters. Keren karena dia tampak senang duduk di kantin sambil sibuk membaca buku, bukan hanya pura-pura membaca karena tak ada tempat duduk baginya atau teman untuk duduk bersama. Bukan itu alasannya. Dia memiliki sekelompok teman dan banyak pengagum.
Dan aku juga bukan anak culun. Aku punya banyak teman dan seorang sahabat karib yang duduk bersamaku saat makan siang. Aku punya teman-teman lain di konservatorium musik yang biasa kuikuti pada musim panas. Orang-orang lumayan menyukaiku, tapi mereka juga tidak terlalu mengenalku. Aku pendiam di kelas. Aku tidak sering mengangkat tangan atau membuat guru-guru jengkel. Dan aku sibuk, sebagian besar waktuku kugunakan untuk berlatih atau bermain dalam kuartet alat gesek atau ikut kelas teori di perguruan tinggi lokal. Anak-anak ramah padaku, tapi mereka memperlakukanku seolah aku orang dewasa. Seperti guru. Dan kau tidak main mata dengan gurumu.
"Kira-kira kau bakal bilang apa kalau kukatakan aku punya tiket untuk menonton sang master"" tanya Adam, matanya berkilat jenaka.
"Yang benar" Bohong," balasku, mendorongnya lebih keras daripada yang kumaksud.
Adam pura-pura terjengkang menabrak dinding kaca. Kemudian ia menepuk-nepuk dirinya. "Aku punya kok. Di tempat Schnitzle di Portland itu."
"Namanya Arlene Schnitzer Hall. Itu bagian Simfoni."
"Ya, itu tempatnya. Aku punya tiket. Dua lembar. Kau mau""
"Kau bercanda" Tentu saja! Aku ingin sekali menonton tapi tiketnya delapan puluh dolar selembar. Tunggu, bagaimana kau sampai punya tiket""
"Teman keluarga memberikannya kepada orangtuaku, tapi mereka tidak bisa pergi. Biasa saja kok," Adam berkata cepat-cepat. "Lagi pula, pertunjukannya malam Sabtu. Kalau kau mau, aku akan menjemputmu pukul s
etengah enam dan kita akan berkendara ke Portland bersama-sama."
"Oke," jawabku, seakan itu hal paling alamiah di dunia.
Tapi Jumat petang aku lebih berdebar-debar daripada ketika dengan gegabah meminum sepoci penuh kopi kental Dad saat belajar untuk ujian akhir musim dingin yang lalu.
Bukan Adam yang membuatku gugup. Aku sudah merasa nyaman berada di dekatnya sekarang. Aku gugup karena ketidakpastian. Apa ini sebenarnya" Kencan" Teman yang berbaik hati" Perbuatan amal" Aku tidak suka berada dalam situasi yang tidak pasti, sama seperti tidak suka tertatih-tatih memainkan musik baru. Itulah sebabnya aku sering berlatih, demi mempercepat diriku mengendalikan situasi kemudian mulai menguasai detailnya.
Aku berganti pakaian sekitar enam kali. Teddy, waktu itu sudah TK, duduk di kamarku, menurunkan buku-buku Calvin and Hobbes dari rak dan pura-pura membaca. Ia tertawa terbahak-bahak, meski aku tidak tahu apakah itu karena kelakuan Calvin atau karena sikapku.
Mom melongokkan kepala untuk memeriksa keadaanku. "Dia cuma cowok biasa, Mia," katanya ketika melihatku gelisah.
"Yeah, tapi dia cowok pertama yang mengajakku pergi dalam situasi mungkin-kencan ini," sahutku. "Jadi aku tidak tahu apakah harus mengenakan pakaian untuk kencan atau untuk simfoni-apakah orang-orang di sini berdandan untuk acara seperti itu" Atau aku harus pakai sesuatu yang santai saja, kalau-kalau ini bukan kencan""
"Kenakan saja pakaian yang membuatmu nyaman," usul Mom. "Dengan begitu, kau aman." Aku yakin Mom akan berdandan habis-habisan jika menjadi aku. Dalam foto-fotonya bersama Dad ketika mereka baru pacaran, Mom tampak seperti campuran cewek penakluk tahun 1930-an dan cewek biker, dengan rambut pendek mencuat, matanya yang biru dan besar dipoles eyeliner hitam, dan tubuhnya yang kurus selalu dibalut sesuatu yang seksi, seperti kamisol renda model kuno yang dipasangkan dengan celana kulit ketat.
Aku mendesah. Aku berharap bisa seberani itu. Akhirnya aku memilih rok hitam panjang dan sweter lengan pendek warna marun. Polos dan sederhana. Ciri khasku, kurasa.
Ketika Adam muncul mengenakan setelan jas sharkskin dan sepatu Creepers (paduan yang membuat Dad terkesan), aku sadar ini memang kencan. Tentu saja, Adam akan berdandan rapi untuk menonton simfoni dan mungkin saja menurutnya penampilan formal adalah setelan jas sharkskin tahun 1960-an, tapi aku tahu ada sesuatu yang lebih daripada itu. Dia kelihatan gugup ketika menjabat tangan Dad dan berkata bahwa dia menyimpan CD lama grup musik Dad. "Untuk digunakan sebagai tatakan gelas, pastinya," komentar Dad. Adam tampak terkejut, tidak terbiasa mendengar orangtua lebih sarkastis daripada anak, rupanya.
"Jangan terlalu gila-gilaan ya. Ada yang luka parah di mosh pit konser Yo-Yo Ma terakhir!" Mom berseru ketika kami melintasi pekarangan.
"Orangtuamu keren," komentar Adam, membukakan pintu mobil untukku. "Aku tahu," sahutku.
Kami berkendara ke Portland, sambil mengobrol ringan. Adam menyetel berbagai cuplikan lagu grup-grup musik yang disukainya, trio pop dari Swedia yang kedengaran monoton, tapi kemudian band artistik dari Islandia yang kedengaran indah sekali. Kami agak tersesat di tengah kota dan tiba di gedung konser hanya beberapa menit sebelum pertunjukan dimulai.
Tempat duduk kami ada di balkon. Jauh dari panggung. Tapi kau pergi ke konser Yo-Yo Ma bukan karena pemandangannya, dan musiknya luar biasa. Lelaki itu punya cara untuk membuat cello bersuara seperti wanita menangis pada satu saat, dan pada saat berikutnya menjadi seperti anak tertawa. Saat mendengarkannya, aku selalu diingatkan mengapa aku memutuskan bermain cello-ada sesuatu yang begitu manusiawi dan ekspresif tentang cello.
Ketika konser dimulai, aku mencuri-curi pandang ke arah Adam melalui sudut mata. Dia tampak cukup sabar menghadapi semua ini, tapi terus-menerus melihat program acara, mungkin menghitung waktu sampai saat jeda tiba. Aku khawatir dia bosan, tapi setelah beberapa saat aku terlalu terhanyut dalam musik sehingga tidak peduli padanya lagi.
Kemudian, waktu Yo-Yo Ma memainkan Le Gran
d Tango, Adam meraih dan menggenggam tanganku. Dalam situasi lain, ini akan menjadi tindakan norak yang kampungan. Tapi Adam tidak memandangku. Matanya terpejam dan tubuhnya bergoyang-goyang sedikit di kursi. Dia pun terhanyut dalam musik. Aku meremas tangannya dan kami duduk seperti itu selama sisa konser.
Setelahnya, kami membeli kopi dan donat lalu berjalan-jalan di sepanjang sungai. Udara berkabut dan dia membuka jaket untuk disampirkan ke bahuku.
"Kau tidak benar-benar mendapatkan tiket itu dari teman keluarga, kan"" aku bertanya.
Aku menduga dia bakal tertawa atau mengangkat tangan dengan gerakan menyerah seperti ketika aku mengalahkannya saat berargumen. Tapi dia menatapku lekat-lekat, sehingga aku bisa melihat warna hijau dan cokelat serta kelabu bermain-main pada selaput iris matanya. Dia menggeleng. "Itu tip setelah dua minggu mengantar piza," dia mengakui.
Aku berhenti melangkah. Bisa kudengar suara air di bawahku. "Kenapa"" tanyaku. "Kenapa aku""
"Aku belum pernah melihat orang yang bisa begitu terhanyut oleh musik seperti kau. Itulah sebabnya aku suka sekali menyaksikanmu berlatih. Ada kerutan lucu di dahimu, di sini," kata Adam, menyentuh bagian atas tulang hidungku. "Aku terobsesi pada musik dan aku sekalipun tidak terhanyut seperti kau."
"Jadi, apa" Aku eksperimen sosial untukmu"" Aku bermaksud bercanda, tapi kedengarannya pahit.
"Tidak, kau bukan eksperimen," kata Adam. Suaranya parau dan tersekat.
Leherku memanas dan aku bisa merasakan wajahku memerah. Aku memandang sepatuku. Aku tahu pasti Adam sekarang menatapku, seperti aku tahu pasti bahwa jika aku menengadah, dia akan menciumku. Dan aku terkejut mengetahui betapa aku ingin dicium olehnya, menyadari bahwa aku sering memikirkannya sehingga aku hafal betul bentuk bibirnya, bahwa aku membayangkan jemariku mengelus belahan dagunya.
Mataku mengarah ke atas. Adam menungguku.
Begitulah awal mulanya. 12.19 BANYAK yang salah pada diriku.
Rupanya paru-paruku bocor. Limpaku robek. Ada pendarahan dalam yang asalnya tidak diketahui. Dan yang paling serius, memar-memar pada otakku. Tulang rusukku juga patah. Lecet-lecet pada kakiku, yang akan membutuhkan transplantasi kulit; dan pada wajahku, yang akan butuh operasi plastik-tapi, seperti kata dokter, itu jika aku beruntung.
Sekarang, di ruang bedah, para dokter harus mengeluarkan limpaku, memasukkan tube baru untuk mengeringkan paru-paruku yang bocor, dan menyumbat apa pun yang menyebabkan pendarahan. Tidak banyak yang bisa mereka lakukan terhadap otakku.
"Kita hanya bisa menunggu," salah satu dokter bedah berkata, menatap CAT scan kepalaku. "Sementara itu, coba hubungi bank darah. Aku perlu dua unit darah O negatif dan dua unit cadangan."
O negatif. Golongan darahku. Aku sama sekali tidak tahu. Bukan sesuatu yang sebelum ini perlu kupikirkan. Aku belum pernah dirawat di rumah sakit, hanya kunjungan ke unit gawat darurat karena pergelangan kakiku luka terkena pecahan kaca. Aku bahkan tidak perlu jahitan, hanya suntikan tetanus.
Di ruang bedah, para dokter berdebat musik apa yang ingin mereka setel, persis seperti kami di mobil tadi pagi. Ada yang ingin jazz. Yang lain minta rock. Sang ahli anastesi, yang berdiri dekat kepalaku, meminta klasik. Aku mendukungnya, dan rupanya itu membantu karena ada yang memasang CD Wagner, meski aku tidak yakin menginginkan Ride of the Valkyries. Aku mengharapkan sesuatu yang lebih lembut. Four Seasons, mungkin.
Ruang bedah itu kecil dan padat, penuh cahaya terang menyilaukan, yang memperjelas betapa kumuhnya tempat ini. Sama sekali tidak seperti di TV, tempat ruang-ruang bedah tampak seperti teater steril yang bisa mengakomodasi penyanyi opera, dan penontonnya. Lantainya, meski disikat sampai mengilap, penuh goresan dan noda seperti karat, yang kuduga adalah noda darah lama.
Darah. Ada di mana-mana. Sama sekali tidak menggetarkan para dokter. Mereka mengiris, menjahit, dan menyedot di tengah banyak darah, seperti mencuci piring menggunakan air sabun. Sementara itu, mereka terus-menerus memompakan darah ke tubuhku.
Ahl i bedah yang ingin mendengarkan musik rock tadi banyak berkeringat. Salah satu perawat harus mengelap dahinya secara berkala menggunakan kapas pada penjepit. Suatu saat, dia berkeringat sampai ke masker sehingga harus menggantinya.
Ahli anastesi memiliki jemari yang lembut. Dia duduk dekat kepalaku, mengamati status semua organ vitalku, menyesuaikan jumlah cairan dan gas serta obat-obatan yang mereka berikan kepadaku. Dia pasti melakukan pekerjaannya dengan baik karena aku tampaknya tidak merasakan apa-apa, meski mereka menarik-narik tubuhku. Pekerjaan yang berat dan kotor, sama sekali tidak seperti permainan Operation yang biasa kami lakukan selagi kecil. Kami harus berhati-hati agar tidak menyentuh sisi-sisi tubuh ketika mengeluarkan tulang, kalau tidak alarmnya akan menyala.
Si ahli anastesi tanpa sadar mengusap-usap pelipisku dengan tangan bersarung karet. Inilah yang biasa dilakukan Mom jika aku sedang flu atau sakit kepala hebat sehingga aku membayangkan memotong nadi di pelipisku hanya agar tekanan rasa sakit di sana mereda.
CD Wagner telah berputar dua kali. Para dokter memutuskan sudah waktunya mengganti jenis musik. Jazz menang. Orang-orang selalu berasumsi karena aku suka musik klasik, aku suka jazz juga. Tapi tidak. Dad yang suka. Dia mencintai jazz, terutama karya-karya terakhir Coltrane yang liar. Dad berkata jazz adalah punk bagi orang tua. Kurasa itu menjelaskan segalanya, karena aku juga tidak suka punk.
Operasi berlangsung lama sekali. Aku capek menunggu. Aku tidak tahu dari mana para dokter mendapatkan stamina untuk melakukannya. Jika aku tidak mati-dan monitor jantung masih berbunyi, jadi kuduga aku belum mati-tapi aku juga tak berada dalam tubuhku, bisakah aku pergi ke tempat lain" Apakah aku hantu" Bisakah aku membawa diriku ke pantai Hawaii" Bisakah aku muncul di Carnegie Hall, New York" Bisakah aku mendatangi Teddy"
Hanya untuk percobaan, aku menggoyangkan hidung seperti Samantha di film seri Bewitched. Tidak ada yang terjadi. Aku menjentikkan jemari. Mengetukkan tumit. Aku masih di sini.
Aku memutuskan mencoba manuver yang lebih sederhana. Aku melangkah ke dinding, membayangkan akan menembusnya dan keluar di sisi lain. Tapi ternyata begitu melangkah ke dinding, aku menabrak dinding.
Perawat bergegas masuk membawa sekantong darah, dan sebelum pintu menutup di belakangnya, aku menyelinap keluar. Sekarang aku berada di koridor rumah sakit. Banyak sekali dokter dan perawat dalam balutan seragam operasi warna biru dan hijau berkeliaran di sana. Wanita di tempat tidur dorong, kepalanya dibalut penutup rambut plastik biru, jarum infus di lengannya, berseru, "William, William!" Aku melangkah lebih jauh. Ada barisan ruang bedah, semua penuh orang tidur. Jika pasien di ruangan-ruangan ini seperti diriku, mengapa aku tidak bisa melihat orang di luar tubuh mereka" Apakah semua orang itu berkeliaran di luar tubuh seperti diriku" Aku sungguh ingin bertemu seseorang yang kondisinya sama sepertiku. Aku punya beberapa pertanyaan, misalnya kondisi apa yang kualami sekarang ini dan bagaimana keluar dari kondisi ini" Bagaimana aku kembali ke tubuhku" Apakah aku harus menunggu dokter-dokter membangunkanku" Tapi tidak ada orang lain seperti aku di sini. Mungkin mereka berhasil mengetahui cara pergi ke Hawaii.
Aku mengikuti perawat melalui sepasang pintu otomatis. Aku berada di ruang tunggu kecil sekarang. Kakek-nenekku ada di sini.
Gran mengoceh pada Gramps, atau mungkin tidak pada siapa-siapa. Itulah caranya agar tidak terhanyut emosi. Aku pernah melihatnya melakukan itu, ketika Gramps kena serangan jantung. Gran mengenakan sepatu bot karet dan celemek berkebun, yang bernoda tanah. Pastilah dia sedang bekerja di taman ketika mendengar tentang kami. Rambut Gran pendek, keriting, dan beruban; dia mengeritingnya, kata Dad, sejak tahun 1970-an. "Ini praktis," kata Gran. "Tidak repot mengurusnya." Sangat khas dirinya. Tidak pakai basa-basi. Gran sangat praktis sehingga orang tidak bakal menyangka dia penggemar malaikat. Gran mengoleksi malaikat keramik, boneka kain malaikat, apa pun yang berbent
uk malaikat, di lemari pajangan khusus di ruang menjahit. Dan dia tidak hanya mengoleksi malaikat; dia percaya malaikat ada. Dia berpendapat mereka ada di mana-mana. Suatu kali, sepasang burung bersarang di kolam hutan kecil di belakang rumah mereka. Gran yakin kedua burung itu orangtuanya yang sudah lama meninggal, datang untuk menjaganya.
Kali lain, kami sedang duduk di berandanya ketika aku melihat seekor burung merah. "Apakah itu crossbill merah"" aku bertanya pada Gran.
Gran menggeleng. "Saudariku Gloria itu crossbill," kata Gran, maksudnya nenek-bibiku Glo yang baru meninggal, yang tidak pernah akur dengan Gran. "Dia tidak mungkin datang kemari."
Gramps menatap ampas di gelas styrofoam-nya, mengupas bagian atasnya sehingga bola-bola kecil putih berkumpul di pangkuannya. Aku bisa melihat cairan itu jenis yang paling jelek, seperti disuling pada tahun 1997 dan didiamkan di tungku sejak saat itu. Meski demikian, aku tidak keberatan diberi segelas.
Kau bisa menarik garis lurus dari Gramps ke Dad ke Teddy, meski rambut Gramps yang bergelombang sudah berubah dari pirang ke putih, dan dia lebih berisi daripada Teddy, yang kurus kering, dan Dad, yang langsing dan berotot berkat latihan angkat berat di pusat kebugaran. Tapi mereka bertiga sama-sama memiliki mata biru-kelabu berair, warna laut pada hari berawan.
Mungkin inilah sebabnya aku merasa tidak mampu menatap Gramps.
---oOo--- Juilliard merupakan ide Gran. Dia berasal dari Massachusetts, tapi pindah ke Oregon tahun 1955, sendirian. Zaman sekarang mungkin tindakan itu biasa saja, tapi kurasa 52 tahun yang lalu, tindakan itu merupakan skandal bagi gadis 22 tahun yang belum menikah. Gran mengaku tertarik pada alam liar terbuka, dan alam tidak bisa lebih liar lagi daripada hutan tak berujung dan pantai-pantai berbatu Oregon. Dia mendapatkan pekerjaan sebagai sekretaris di Forest Service. Gramps bekerja di sana sebagai ahli biologi.
Kadang-kadang kami kembali ke Massachusetts pada musim panas, tinggal di penginapan di bagian barat negara bagian itu selama seminggu, yang dipenuhi keluarga besar Gran. Itulah saat-saat aku berjumpa sepupu dari sepupu, nenek-bibi dan kakek-paman yang nama-namanya hampir tidak bisa kuingat. Aku punya banyak keluarga di Oregon, tapi mereka semua berasal dari sisi Gramps.
Musim panas yang lalu ketika berlibur ke Massachusetts, aku membawa cello agar bisa terus berlatih untuk konser musik kamarku yang akan datang. Penerbangan tidak penuh, maka pramugari membiarkan cello-ku duduk bersamaku di kabin, persis seperti pemain musik profesional. Teddy menganggap ini lucu sekali dan terus-menerus mencoba menyuapkan pretzel pada cello-ku.
Pada suatu malam di pondok penginapan aku mengadakan konser kecil, di ruang utama, dengan penonton para kerabat serta hewan-hewan mati di dinding. Setelah itulah seseorang menyebut tentang Juilliard, dan Gran sangat terobsesi dengan ide tersebut.
Mula-mula, itu rasanya tidak mungkin. Ada program musik yang bagus di universitas dekat tempat tinggal kami. Dan, jika aku ingin melebarkan sayap, ada konservatorium di Seattle, yang hanya berjarak beberapa jam mengemudi. Juilliard ada di seberang negeri. Dan mahal. Mom dan Dad tertarik pada ide itu, tapi aku tahu sebenarnya mereka berdua sama-sama tidak ingin melepaskanku ke New York atau terlibat utang sehingga aku mungkin bisa menjadi pemain cello di orkestra kelas dua kota kecil. Mereka tidak tahu apakah permainanku cukup bagus. Bahkan, aku pun tidak yakin. Profesor Christie berkata aku salah satu murid paling menjanjikan yang pernah dilatihnya, tapi dia tidak pernah menyebut-nyebut Juilliard padaku. Juilliard sekolah untuk musisi yang luar biasa berbakat, dan rasanya arogan sekali menganggap mereka bakal melirikku.
Tapi setelah liburan itu, ketika orang lain, seseorang yang objektif dan berasal dari Pantai Timur, menganggapku layak masuk Juilliard, ide itu mengakar dalam benak Gran. Dia menemui sendiri Profesor Christie untuk membicarakannya, dan guruku mencengkeram ide itu seperti anjing terrier menggigit tulang.
Maka, aku mengisi form ulir pendaftaran, mengumpulkan surat-surat rekomendasi, dan mengirimkan rekaman permainan cello-ku. Aku tidak memberitahu Adam tentang semua ini. Aku berkata pada diri sendiri bahwa tidak ada gunanya menyebarkan berita ini jika bahkan untuk mendapatkan kesempatan audisi saja hampir tidak mungkin. Tapi bahkan saat itu aku tahu aku berbohong. Bagian kecil diriku merasa mendaftar ke Juilliard akan menjadi semacam pengkhianatan. Juilliard ada di New York. Adam ada di sini.
Tapi Adam sudah tidak di SMA. Dia setahun lebih tua dariku, dan tahun terakhir ini, tahun seniorku, dia mulai belajar di universitas di kota. Dia hanya bersekolah paruh waktu karena Shooting Star mulai populer. Ada kontrak rekaman dengan label di Seattle, dan banyak tur. Maka setelah aku mendapatkan amplop krem berembos The Juilliard School dan surat yang mengundangku untuk audisi, barulah aku memberitahu Adam. Aku menjelaskan bahwa tidak banyak orang yang mendapatkan kesempatan sejauh itu. Mulanya dia tampak terperangah, seakan tidak percaya. Kemudian dia tersenyum sedih. "Yo Mama sebaiknya berjaga-jaga," katanya.
Audisi diadakan di San Francisco. Dad harus menghadiri konferensi besar di sekolah minggu itu jadi tidak bisa mengantarku, dan Mom baru saja memulai pekerjaan baru di agen perjalanan, maka Gran menawarkan diri untuk menemaniku. "Kita akan berakhir pekan khusus cewek. Minum teh berkelas di Fairmont. Window shopping di Union Square. Naik feri ke Alcatraz. Kita akan menjadi turis."
Tapi seminggu sebelum keberangkatan kami, Gran tersandung akar pohon dan pergelangan kakinya terkilir. Dia harus mengenakan sepatu bot tebal dan tidak boleh berjalan. Kepanikan kecil terjadi. Aku berkata bisa berangkat sendiri-mengemudi, atau naik kereta, dan langsung pulang lagi.
Gramps-lah yang berkeras mengantarku. Kami berkendara bersama-sama menggunakan truk pikapnya. Kami tidak banyak mengobrol, yang bukan masalah bagiku karena aku begitu gugup. Aku terus-menerus meraba jimat keberuntungan berupa gagang es lilin yang dihadiahkan Teddy untukku sebelum kami berangkat. "Semoga berhasil," katanya.
Gramps dan aku mendengarkan musik klasik dan siaran pedesaan di radio selama kami bisa mendapatkan gelombangnya. Selain itu, kami duduk dalam keheningan. Tapi keheningan yang sangat menenangkan; membuatku rileks serta merasa lebih dekat pada Gramps daripada jika kami bicara dari hati ke hati.
Gran sudah memesan wisma yang bertema sangat feminin, dan lucu sekali melihat Gramps yang memakai sepatu bot kerja dan kemeja flanel sederhana di antara taplak-taplak berenda dan pengharum potpourri. Tapi Gramps menyikapinya seperti lelaki sejati.
Audisinya mengerikan. Aku harus memainkan lima nomor: concerto Shostakovich, dua suite Bach, seluruh Pezzo capriccioso karya Tchaikovsky, yang nyaris mustahil dimainkan, dan bagian dari The Mission karya Ennio Morricone, pilihan menyenangkan tapi berisiko karena Yo-Yo Ma pernah memainkan ini dan semua orang bakal membandingkan. Aku melangkah keluar dengan kaki lemas dan ketiak berkeringat. Tapi endorfinku mengalir deras dan itu, dicampur dengan perasaan lega luar biasa, membuatku kegirangan.
"Bagaimana kalau kita melihat-lihat kota"" tanya Gramps, bibirnya berkedut membentuk senyum.
"Tentu saja!" Kami melakukan semua hal yang dijanjikan Gran. Gramps membawaku minum teh berkelas dan belanja, meski untuk makan malam kami membatalkan reservasi yang dibuat Gran di tempat mewah Fisherman's Wharf dan malah berkeliaran ke Chinatown, mencari restoran yang antrean di luarnya paling panjang, lalu makan di sana.
Ketika kembali ke rumah, Gramps mengantarku dan mendekapku. Biasanya dia lebih memilih berjabat tangan, atau menepuk punggung jika ada kejadian spesial. Pelukannya kuat dan erat, dan aku tahu itulah caranya berkata dia mengalami waktu yang menyenangkan.
"Aku juga, Gramps," bisikku.
15.47 MEREKA baru saja memindahkanku dari ruang pemulihan ke intensive care unit, atau ICU. Ruangannya berbentuk sepatu kuda berisi sekitar dua belas tempat tidur dan sepasukan perawat, yang terus-menerus berkeliaran dengan
sibuk, membaca printout komputer yang meluncur keluar dari kaki tempat tidur kami, merekam tanda-tanda vital kami. Di tengah ruangan terdapat lebih banyak komputer dan meja besar, tempat perawat lain duduk.
Aku ditangani dua perawat yang selalu memeriksa keadaanku, bersama dokter-dokter gilir yang tiada habisnya. Salah satunya lelaki pendiam yang gemuk dengan rambut dan kumis pirang, yang tidak kusukai. Dan satu lagi wanita dengan kulit begitu hitam sehingga tampak biru dan suaranya berirama jika berbicara. Dia menyebutku "sayang" dan terus-menerus membetulkan selimut di sekeliling tubuhku, meski aku tidak mungkin membuat selimut itu berantakan.
Begitu banyak slang terpasang di tubuhku sehingga aku tidak bisa menghitung jumlahnya: satu slang dimasukkan ke kerongkongan untuk membantuku bernapas; satu lagi di hidung, mengosongkan isi perutku; satu di nadi, membuatku selalu cukup cairan; satu di kantong kemih, untuk mengeluarkan air seni; beberapa di dadaku, merekam detak jantung; satu lagi di jari, merekam denyut nadi. Ventilator yang membantuku bernapas mengeluarkan ritme seperti metronom, masuk, keluar, masuk, keluar.


If I Stay Karya Gayle Forman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tidak ada siapa pun, selain dokter, perawat, dan seorang pekerja sosial, yang menjengukku. Si pekerja sosiallah yang bicara pada Gran dan Gramps dengan nada rendah dan simpatik. Wanita itu berkata aku dalam keadaan "menyedihkan". Aku tidak begitu yakin apa maksudnya- menyedihkan. Di TV, pasien selalu dalam keadaan kritis, atau stabil. Menyedihkan kedengarannya buruk. Menyedihkan adalah keadaan ketika kau tidak mampu mengatasi kehidupan.
"Kuharap ada yang bisa kulakukan," kata Gran. "Rasanya tidak berguna hanya berdiam diri."
"Aku akan berusaha membawa kalian menjenguknya sebentar lagi," kata si pekerja sosial. Wanita itu memiliki rambut kelabu kusut dan ada noda kopi di blusnya; wajahnya ramah. "Dia masih dalam keadaan terbius habis operasi dan memakai ventilator untuk membantunya bernapas sementara tubuhnya pulih dari trauma. Tapi akan bermanfaat bagi pasien yang koma sekalipun untuk mendengar suara orang-orang yang disayanginya."
Gramps mendengus sebagai jawaban.
"Ada orang lain yang bisa kalian hubungi"" tanya si pekerja sosial. "Kerabat yang mungkin ingin berada di sini bersama kalian" Aku mengerti kejadian ini pasti cobaan berat, tapi semakin kuat kalian menghadapinya, itu semakin membantu Mia."
Aku terlonjak ketika mendengar si petugas sosial menyebutkan namaku. Itu merupakan pengingat mengejutkan bahwa akulah yang mereka bicarakan. Gran memberitahunya tentang berbagai orang yang dalam perjalanan ke sini sekarang, para bibi, paman. Aku tidak mendengar nama Adam disebut.
Adam-lah yang sungguh-sungguh ingin kutemui. Aku berharap tahu di mana dirinya berada sehingga bisa berusaha menghampirinya. Aku tidak tahu bagaimana Adam bisa mengetahui keadaan diriku. Gran dan Gramps tidak memiliki nomor teleponnya. Mereka tidak membawa ponsel, jadi Adam tidak bisa menghubungi mereka. Dan aku tidak tahu bagaimana Adam bahkan bisa tahu dia perlu menghubungi mereka. Orang-orang yang biasanya mengabarkan informasi penting tentang apa yang terjadi pada diriku sekarang tidak mampu melakukannya.
Aku berdiri di samping sosok tidak sadarkan diri penuh slang yang adalah diriku. Kulitku kelabu. Mataku diselotip menutup. Aku berharap ada yang membuka selotipnya. Kelihatannya gatal. Perawat yang ramah menghampiri. Dia mengantongi lolipop di seragam bedahnya, meski ini bukan bagian perawatan anak. "Bagaimana keadaanmu, Sayang"" dia bertanya, seakan kami hanya bertemu di toko bahan pangan.
---oOo--- Hubungan Adam dan aku tidak dimulai dengan mulus. Kurasa aku memiliki keyakinan bahwa cinta akan mengalahkan segalanya. Dan saat dia mengantarku pulang setelah konser Yo-Yo Ma, kurasa kami berdua sadar bahwa kami jatuh cinta. Aku menduga tantangan dimulai ketika memasuki tahap ini. Di buku dan film, kisahnya selalu berakhir ketika sepasang kekasih akhirnya melakukan ciuman romantis. Bagian tentang hidup-bahagia-selamanya dianggap pasti terjadi.
Tidak seperti itu bagi kami berdua. Ternyata perbeda
an yang begitu besar di antara kami ada ruginya. Kami tetap bertemu di ruang musik sekolah, tapi interaksi ini tetap platonik, seakan kami berdua sama-sama tidak ingin merusak sesuatu yang sudah berjalan baik. Tapi setiap kali kami bertemu di tempat lain di sekolah-ketika kami duduk di kantin atau belajar bersama di pekarangan saat hari cerah-terjadi kecanggungan. Percakapan kami kaku. Salah satu dari kami mulai mengucapkan sesuatu dan yang lain mengucapkan sesuatu yang berbeda pada saat bersamaan.
"Kau duluan," aku berkata. "Tidak, kau duluan," balas Adam.
Sikap serbasopan seperti itu terasa menyakitkan. Aku ingin melanggar semuanya, kembali ke pendar cahaya malam saat konser waktu itu, tapi aku tidak yakin bagaimana kembali ke situasi tersebut.
Adam mengundangku menonton bandnya main. Ini bahkan lebih buruk daripada sekolah. Aku merasa seperti ikan terdampar di darat dalam keluargaku, tapi aku merasa seperti ikan di planet Mars dalam lingkungan pertemanan Adam. Dia selalu dikelilingi orang-orang yang funky dan penuh celoteh, gadis-gadis cantik dengan rambut dicat dan telinga ditindik, cowok-cowok keren yang bersemangat jika Adam bicara bahasa rock pada mereka. Aku tidak mampu bersikap seperti groupie begitu. Dan aku sama sekali tidak tahu bahasa rock. Seharusnya itu bahasa yang kumengerti, karena aku musisi dan anak Dad, tapi ternyata tidak. Ini seperti bagaimana orang-orang yang bicara Mandarin bisa mengerti bahasa Canton meski hanya kira-kira, dan orang-orang non-Cina berasumsi semua orang Cina bisa berkomunikasi, meski bahasa Mandarin dan Canton sebenarnya berbeda.
Aku takut jika harus pergi ke pertunjukan-pertunjukan Adam. Bukannya aku cemburu. Atau tidak menyukai musiknya. Aku suka sekali menonton dia manggung. Jika Adam berada di atas sana, gitar seakan-akan jadi lengan ketiganya, perpanjangan alamiah tubuhnya. Dan ketika turun dari panggung sesudah pertunjukan, dia berkeringat tapi keringatnya begitu bersih sehingga sebagian diriku tergoda untuk menjilat pipinya, seperti lolipop. Tapi aku tidak melakukannya.
Begitu para penggemar menghampirinya, aku menepi. Adam berusaha menarikku kembali, untuk melingkarkan lengan di pinggangku, tapi aku melepaskan diri dan kembali bersembunyi di balik bayangan.
"Kau tidak menyukaiku lagi, ya"" Adam menggodaku setelah suatu pertunjukan. Dia bercanda, tapi aku bisa mendengar kekecewaan dalam pertanyaannya yang santai itu.
"Mungkin sebaiknya aku tidak lagi datang ke pertunjukanmu," kataku.
"Kenapa"" dia bertanya. Kali ini dia tidak berusaha menyembunyikan rasa kecewanya.
"Aku merasa menjadi penghalang bagimu, kau jadi tidak bisa menikmati semua ini. Aku tidak ingin kau selalu mencemaskanku."
Adam bilang tidak keberatan mencemaskanku, tapi aku tahu sebagian kecil dirinya merasa terbebani.
Kami mungkin sudah putus pada minggu-minggu pertama itu jika bukan karena rumahku. Di rumahku, kami menemukan kesamaan. Setelah berpacaran sebulan, aku membawa Adam ke rumah untuk makan malam pertama dengan keluargaku. Dia duduk di dapur bersama Dad, bicara bahasa rock. Aku mengamati, dan masih tidak mengerti setengah perkataan mereka, tapi tidak seperti saat pertunjukan-pertunjukan, aku tidak merasa tersingkir.
"Kau main bola basket"" tanya Dad. Kalau soal mengamati olahraga, Dad fanatik bisbol, tapi kalau bermain, dia suka melemparkan bola ke keranjang.
"Tentu," kata Adam. "Maksudku, aku tidak begitu mahir."
"Kau tidak perlu mahir; kau hanya perlu berkomitmen. Mau main sebentar" Kau kan sudah pakai sepatu basket," kata Dad, menatap Converse tinggi yang dikenakan Adam. Kemudian Dad menoleh padaku. "Kau keberatan""
"Sama sekali tidak," kataku sambil tersenyum. "Aku bisa latihan selama kalian bermain."
Mereka pergi ke lapangan di belakang SD dekat rumah kami. Mereka kembali 45 menit kemudian. Adam bersimbah peluh sampai mengilap dan tampak agak linglung.
"Apa yang terjadi"" tanyaku. "Apakah pak tua itu mengerjaimu""
Adam menggeleng dan mengangguk pada saat yang bersamaan. "Yah, benar. Tapi bukan itu. Telapak tanganku disengat lebah ketika kami
bermain. Ayahmu menyambar tanganku dan menyedot racunnya keluar."
Aku mengangguk. Itu trik yang dipelajarinya dari Gran, dan tidak seperti bisa ular derik, tindakan itu berhasil untuk mengatasi sengatan lebah. Kaukeluarkan sengat dan racunnya, lalu hanya tersisa rasa gatal.
Adam nyengir malu. Dia mencondongkan tubuh ke depan dan berbisik di telingaku, "Kurasa aku agak shock karena punya pengalaman lebih intim dengan ayahmu daripada denganmu."
Aku tertawa mendengarnya. Tapi memang benar. Selama beberapa minggu pacaran, kami belum pernah melakukan lebih daripada sekadar ciuman. Bukannya aku pemalu. Aku memang masih perawan, tapi aku tidak berniat menjadi perawan terus. Dan Adam pastinya bukan perjaka lagi. Alasannya lebih karena ciuman kami sama sopannya dengan percakapan kami, sampai membuat frustrasi.
"Mungkin kita harus memperbaikinya," gumamku.
Adam mengangkat alis seakan bertanya. Sebagai jawaban, aku merona. Sepanjang makan malam, kami saling melempar cengiran sambil mendengarkan celoteh Teddy, yang bercerita tentang tulang-tulang dinosaurus yang ditemukannya di pekarangan belakang sore tadi. Dad menyajikan daging panggangnya yang terkenal, yang merupakan hidangan favoritku, tapi aku tidak berselera makan. Aku mendorong-dorong makanan di piringku, berharap tidak ada yang memperhatikan. Sepanjang waktu, ada semacam getaran kecil yang berdengung dalam diriku. Aku memikirkan garpu tala yang biasa kugunakan untuk menyesuaikan nada cello. Jika dibenturkan, garpu tala itu mendengungkan not A-getaran yang terus terdengar, sampai dentingan nyaring harmonis memenuhi ruangan. Itulah akibat yang ditimbulkan senyuman Adam padaku sepanjang makan malam.
Setelah makan, Adam pergi melihat penemuan fosil Teddy sebentar, kemudian naik ke kamarku dan menutup pintu. Kim tidak diizinkan berduaan di rumah bersama cowok-dan kesempatan memang belum pernah datang untuknya. Orangtuaku tidak pernah membuat peraturan tentang masalah ini, tapi aku punya dugaan mereka tahu apa yang berlangsung antara Adam dan aku, dan meski Dad suka bersikap seperti Father Knows Best, kenyataannya dia dan Mom lembek sekali kalau menyangkut urusan cinta.
Adam berbaring di tempat tidurku, merentangkan kedua tangan ke atas kepala. Seluruh wajahnya tersenyum-mata, hidung, bibir. "Mainkan aku," katanya.
"Apa"" "Aku ingin kau memainkan aku seperti cello."
Aku hendak memprotes bahwa ini tidak masuk akal, tapi kemudian tersadar bahwa ini sangat masuk akal. Aku pergi ke lemari untuk mengambil salah satu busur cadangan. "Buka kausmu," kataku, suaraku bergetar.
Adam melakukannya. Meski tubuhnya kurus, ternyata dia berotot. Aku bisa menghabiskan dua puluh menit hanya untuk menatap lekukan-lekukan lembah dan bukit pada dadanya. Tapi dia ingin aku mendekat. Aku ingin diriku mendekat.
Aku duduk di sampingnya di tempat tidur, tubuhnya yang jangkung terentang di hadapanku. Busur bergetar ketika aku meletakkannya di tempat tidur. Aku mengulurkan tangan kiri untuk mengelus-elus kepala Adam seakan kepalanya kepala celloku. Dia tersenyum lagi dan memejamkan mata. Aku agak rileks. Aku memainkan telinganya seakan itu baut senar, kemudian menggelitiknya sementara dia tergelak pelan. Aku meletakkan dua jari pada jakunnya. Kemudian, sambil menarik napas panjang untuk mendatangkan keberanian, aku meraba dadanya. Tanganku menelusuri bagian atas tubuhnya, naik-turun, fokus pada tonjolan otot-ototnya. Menganggapnya sebagai senar-A, G, C, D. Aku menelusuri semua, satu demi satu, dengan ujung jemari. Adam terdiam, seakan berkonsentrasi pada sesuatu.
Aku meraih busur cello dan menggesekkannya pada pinggulnya, tempat kubayangkan bridge cello berada. Mula-mula aku bermain dengan lembut, kemudian lebih kuat dan cepat ketika lagu yang terngiang dalam benakku mempercepat tempo. Adam berbaring diam sekali, erang-erangan pelan terdengar dari bibirnya. Aku menatap busur, menatap tanganku, menatap wajah Adam, dan merasakan semburan rasa cinta, gairah, dan perasaan berkuasa yang asing. Aku tidak pernah tahu bahwa aku bisa membuat seseorang merasa seperti ini.
Keti ka aku selesai, Adam bangkit lalu menciumku lama dan dalam. "Giliranku," katanya. Dia menarikku sampai berdiri dan mulai membuka sweterku melalui kepala dan menurunkan celana jinsku. Kemudian dia duduk di tempat tidur dan memangkuku. Mula-mula Adam tidak melakukan apa-apa selain memelukku. Aku memejamkan mata dan berusaha membayangkan matanya menelusuri tubuhku, menatapku, sesuatu yang belum pernah dilakukan orang lain.
Kemudian dia mulai bermain.
Dia memetik nada di atas dadaku, yang terasa menggelitik dan membuatku tertawa. Dengan lembut dia menyapukan tangan, bergerak semakin ke bawah. Aku berhenti mengikik. Garpu tala bersuara semakin nyaring-getarannya meningkat setiap kali Adam menyentuhku di tempat baru.
Setelah beberapa saat dia mengubah gaya menjadi permainan model Spanyol dengan petikan-petikan jari. Dia menggunakan bagian atas tubuhku sebagai gagang gitar, mengelus rambutku, wajah, leher. Dia memetik dada dan perutku, tapi aku bisa merasakannya di tempat-tempat yang sama sekali tidak disentuh tangannya. Ketika dia terus bermain, energinya meningkat; garpu tala sekarang bergetar tak terkendali, memancarkan gelombang ke segala arah, sampai seluruh tubuhku berdengung, sampai aku kehabisan napas. Dan ketika aku merasa takkan mampu menahannya lagi, pusaran sensasi berubah menjadi crescendo memabukkan, membuat getaran setiap saraf dalam diriku memuncak.
Aku membuka mata, menikmati kehangatan rasa nyaman yang mengalir di seluruh tubuhku. Aku mulai tertawa. Adam juga tertawa. Kami berciuman beberapa lama lagi sampai tiba waktu pulang bagi Adam.
Saat mengantarnya ke mobil, aku ingin berkata aku mencintainya. Tapi rasanya sungguh klise setelah apa yang kami lakukan tadi. Maka aku menunggu dan mengucapkannya keesokan harinya. "Leganya. Aku mengira kau hanya memanfaatkanku untuk seks," katanya bercanda, lalu tersenyum.
Setelah itu, kami tetap memiliki masalah, tapi bersikap terlalu sopan terhadap satu sama lain bukanlah salah satunya.
16.39 YANG menungguiku sekarang segerombolan orang. Gran dan Gramps. Paman Greg. Bibi Diane. Bibi Kate. Sepupu-sepupuku Heather, John, dan David. Dad punya empat saudara kandung, jadi masih banyak kerabat di luar sana. Tidak ada yang membicarakan Teddy, membuatku menduga anak itu tidak ada di sini. Dia mungkin masih di rumah sakit satu lagi, dirawat Willow.
Kerabatku berkumpul di ruang tunggu rumah sakit. Bukan di ruang tunggu kecil bagian bedah tempat Gran dan Gramps berada selama aku dioperasi, tapi ruangan lebih besar di lantai utama rumah sakit, dengan dekorasi berkelas dalam nuansa warna mauve dan memiliki bangku serta sofa nyaman, dan menyediakan majalah-majalah yang bisa dibilang baru. Semua orang masih bicara dengan nada rendah, seakan menghormati orang-orang lain yang juga sedang menunggu, meski hanya ada keluargaku di ruang tunggu. Suasana begitu serius, begitu suram. Aku kembali ke lorong untuk mengalihkan perhatian.
Aku gembira sekali ketika Kim datang; senang melihat sosoknya yang familier, rambut hitamnya yang panjang dikepang satu. Dia mengepang rambutnya setiap hari dan pada saat makan siang, ujung-ujung rambut tebalnya yang keriting dan melingkar-lingkar selalu berhasil meloloskan diri dari kepangan dalam bentuk sulur-sulur kecil. Tapi dia menolak menyerah pada rambutnya, dan setiap pagi, rambutnya kembali dikepang rapi.
Ibu Kim bersamanya. Dia tidak mengizinkan Kim mengemudi jauh, dan kurasa setelah apa yang terjadi, tidak mungkin ibunya memberikan perkecualian sekarang. Wajah Mrs. Schein merah bebercak-bercak, seolah ia habis menangis atau hendak menangis. Aku tahu karena sering melihatnya menangis. Dia sangat emosional. "Ratu Drama" adalah sebutan Kim untuknya. "Itu karena gen Yahudi-nya. Bukan salahnya. Kurasa suatu hari nanti aku juga bakal seperti dia," kata Kim pasrah.
Kim sangat bertolak belakang dengan ibunya, begitu jenaka dan konyol dalam cara yang halus sehingga dia selalu harus berkata "cuma bercanda" kepada orang-orang yang tidak memahami selera humornya yang sarkastis, jadi aku tidak bisa membayangkannya bakal menjadi se
perti ibunya. Tapi aku tidak punya dasar untuk membandingkan. Tidak banyak ibu Yahudi di kota kami dan tidak banyak anak Yahudi di sekolah. Dan anak-anak keturunan Yahudi biasanya cuma setengah Yahudi, dan itu hanya berarti mereka meletakkan menorah di sebelah pohon Natal.
Tapi Kim benar-benar Yahudi. Kadang aku diundang makan malam hari Jumat bersama keluarganya ketika mereka menyalakan lilin, makan roti kepang, dan minum anggur (satu-satunya kesempatan aku bisa membayangkan Mrs. Schein yang neurotik mengizinkan Kim minum alkohol). Kim diharapkan hanya berkencan dengan cowok Yahudi, yang artinya dia tidak berkencan dengan siapa pun. Dia bercanda bahwa inilah alasan keluarganya pindah ke sini, padahal kenyataannya ayahnya mendapat pekerjaan untuk mengelola pabrik chip komputer. Ketika berusia tiga belas, Kim mengadakan bat mitzvah di kuil Portland, dan saat upacara penyalaan lilin di resepsi, aku dipanggil untuk menyalakan sebatang. Setiap musim panas, Kim pergi ke perkemahan anak-anak Yahudi di New Jersey. Namanya Perkemahan Torah Habonim, tapi Kim menyebutnya Torah Pelacur, karena sepanjang musim panas kegiatan anak-anak di sana hanya berpacaran.
"Persis seperti perkemahan band," dia berkelakar, meski program konservatorium musim panasku sama sekali tidak mirip film American Pie.
Sekarang aku bisa melihat Kim sedang jengkel. Dia melangkah cepat-cepat, menjaga jarak tiga meter dari ibunya ketika mereka berderap melintasi lorong. Tiba-tiba bahu Kim menegak seperti kucing yang melihat anjing. Dia berbalik untuk menghadap ibunya.
"Hentikan!" semprot Kim. "Kalau aku tidak menangis, demi neraka, kau juga tidak boleh." Kim tidak pernah berkata kasar. Maka ini membuatku kaget sekali.
"Tapi," protes Mrs. Schein, "bagaimana kau bisa begitu..."-terisak-"begitu tenang saat-"
"Hentikan!" Kim memotong. "Mia masih di sini. Jadi aku tidak akan histeris. Dan jika aku tidak histeris, kau juga tidak boleh!"
Kim berderap ke arah ruang tunggu, ibunya mengikuti dengan lunglai. Ketika mereka tiba di ruang tunggu dan melihat keluargaku yang berkumpul, Mrs. Schein mulai tersedu.
Kali ini Kim tidak memaki. Tapi telinganya berubah merah jambu, yang menunjukkan dia masih marah. "Ibu. Aku akan meninggalkanmu di sini. Aku mau jalan-jalan. Aku kembali sebentar lagi."
Aku mengikutinya kembali ke koridor. Dia berkeliaran di lobi utama, mengitari toko cenderamata, mengunjungi kantin. Dia melihat-lihat denah rumah sakit. Kurasa aku tahu ke mana Kim hendak pergi bahkan sebelum dia melangkah.
Ada kapel kecil di bawah tanah. Suasana sangat hening di sana, sejenis dengan heningnya perpustakaan. Ada kursi-kursi empuk seperti di bioskop, dan lagu bervolume rendah yang menyenandungkan semacam musik New Age.
Kim duduk di salah satu kursi. Dia membuka mantel, terbuat dari beledu hitam yang sudah kudambakan sejak dia membelinya di mal New Jersey ketika mengunjungi kakek-neneknya di sana.
"Aku suka Oregon," dia berkata, sambil berusaha tertawa tapi gagal. Aku bisa tahu dari nada sarkastisnya bahwa dia bicara padaku, bukan pada Tuhan. "Inilah penafsiran rumah sakit tentang kesetaraan beragama." Dia melambaikan tangan ke seluruh kapel. Ada salib dipasang di dinding, bendera salib disampirkan di podium, serta beberapa lukisan Maria dan Yesus digantung di bagian belakang. "Kita punya Bintang David," katanya, menunjuk bintang enam sudut di dinding. "Tapi bagaimana dengan orang-orang Muslim" Tidak ada sajadah atau simbol untuk menunjukkan arah timur tempat Mekah berada" Dan bagaimana dengan orang-orang Buddha" Tidak bisakah mereka memukul gong" Maksudku, mungkin ada lebih banyak orang Buddha daripada Yahudi di Portland."
Aku duduk di kursi sebelahnya. Rasanya sungguh wajar mendengar Kim bicara padaku seperti biasanya. Selain paramedis yang berkata padaku agar bertahan dan perawat-perawat yang selalu bertanya bagaimana keadaanku, tidak ada yang pernah bicara padaku sejak kecelakaan terjadi. Mereka hanya bicara tentang diriku.
Aku belum pernah benar-benar melihat Kim berdoa. Maksudku, dia berdoa saat bat mitzvah dan mengucapkan sy
ukur saat makan malam Shabbat, tapi itu karena dia wajib melakukannya. Tapi dia lebih sering tidak terlalu memusingkan agamanya. Tapi setelah bicara padaku beberapa saat, Kim memejamkan mata dan menggumamkan sesuatu dalam bahasa yang tidak kumengerti.
Dia membuka mata dan menggosokkan telapak tangan, seolah berkata sudah cukup. Kemudian dia berubah pikiran dan menambahkan permohonan akhir. "Tolong jangan meninggal. Aku mengerti mengapa kau ingin meninggal, tapi pikirkan ini: Jika kau meninggal, akan ada memorial norak ala Putri Diana di sekolah, tempat semua orang meletakkan bunga, lilin, dan surat pendek di sebelah lokermu." Dia mengusap air mata yang lolos dengan punggung tangan. "Aku tahu kau benci hal-hal seperti itu."
---oOo--- Mungkin karena kami terlalu mirip. Begitu Kim muncul dalam kehidupanku, semua orang beranggapan kami akan bersahabat karib hanya karena kami sama-sama berkulit gelap, pendiam, pengamat, dan, setidaknya tampak dari luar, serius. Sebenarnya, kami berdua bukan murid teladan (rata-rata nilai B sepanjang tahun) atau seserius perkiraan orang. Kami serius tentang beberapa hal-musik untukku dan seni serta fotografi untuknya-dan dalam dunia sesederhana SMP, itu sudah cukup untuk membuat kami dianggap seperti kembar yang terpisah sejak lahir.
Segera saja kami dipasangkan dalam segala kegiatan. Pada hari ketiga Kim bersekolah, dia satu-satunya anak yang dengan sukarela menawarkan diri menjadi kapten tim untuk pertandingan sepak bola dalam pelajaran olahraga, yang kuanggap sangat menjilat. Ketika dia mengenakan kaus merahnya, pelatih mengamati seisi kelas untuk memilih kapten Tim B, dan tatapannya jatuh padaku, meskipun aku anak perempuan yang paling tidak atletis. Ketika berkutat mengenakan kaus, aku menyenggol Kim, bergumam menyindirnya, "Trims ya."
Minggu berikutnya, guru bahasa Inggris memasangkan kami untuk diskusi oral tentang buku To Kill a Mockingbird. Kami duduk berhadapan dalam keheningan total selama sekitar sepuluh menit. Akhirnya, aku berkata, "Kurasa kita harus membicarakan rasisme di Selatan Lama, atau sejenisnya."
Kim memutar bola mata sedikit, membuatku ingin melemparkan kamus ke wajahnya. Aku sama sekali tidak menyadari betapa aku begitu membencinya. "Aku membaca buku ini di sekolah lamaku," katanya. "Soal rasisme sih sudah jelas. Kurasa pesan yang lebih besar adalah kemurahan hati manusia. Apakah mereka pada dasarnya baik dan berubah jahat akibat rasisme atau pada dasarnya jahat dan berusaha keras untuk tidak jadi jahat""
"Terserah," kataku. "Ini buku yang tolol." Aku tidak tahu mengapa aku berkata begitu karena sebenarnya aku suka sekali buku itu dan pernah membahasnya bersama Dad; Dad menggunakan buku itu untuk mengajar. Aku jadi lebih membenci Kim karena membuatku berkhianat pada buku yang sangat kusukai.
"Baiklah. Kita pakai idemu saja," kata Kim, dan ketika kami mendapatkan B minus, dia tampak bangga karena nilai pas-pasan kami.
Setelah itu, kami tidak saling bicara. Tapi itu tidak menghentikan guru-guru untuk memasangkan kami, dan orang-orang di sekolah masih menganggap kami berteman. Semakin sering itu terjadi, semakin kami membencinya-dan membenci satu sama lain. Semakin dunia mendorong kami agar menyatu, semakin kami menjauh-dan saling memusuhi. Kami berusaha berpura-pura yang lain tidak ada, meski ada kutukan yang membuat kami berhubungan selama berjam-jam.
Aku merasa perlu membuat alasan mengapa membenci Kim: Dia sok rajin. Dia menyebalkan. Dia tukang pamer. Belakangan, aku mengetahui dirinya juga membuat daftar tentang aku, meski keluhan terbesarnya adalah dia menganggapku brengsek. Dan suatu hari, dia bahkan menuliskannya untukku. Di kelas bahasa Inggris, ada yang melemparkan kertas terlipat ke lantai dekat kaki kananku. Aku memungutnya dan membacanya. Tulisannya, Brengsek!
Tidak ada yang pernah menyebutku seperti itu, dan meski aku otomatis meradang, jauh dalam hati aku juga tersanjung karena berhasil membuat seseorang begitu emosional sampai aku layak dijuluki seperti itu. Orang-orang sering menyebut Mom brengsek, mungkin karena dia sulit
menjaga lidah dan bisa berkomentar sangat brutal jika tidak sepaham dengan orang lain. Mom bisa meledak seperti topan badai, kemudian biasa-biasa lagi. Lagi pula, dia tidak peduli kalau orang lain menyebutnya brengsek. "Itu hanya kata lain untuk feminis," Mom berkata padaku dengan bangga. Bahkan kadang-kadang Dad menyebutnya begitu, tapi selalu dalam suasana bercanda dan menyanjung. Tidak pernah selagi mereka bertengkar. Dad tahu batas.
Aku menengadah dari buku tatabahasa. Hanya ada satu orang yang bisa mengirimkan kertas ini kepadaku, tapi aku hampir tidak percaya. Aku melirik seluruh kelas. Semua orang sedang menatap buku. Kecuali Kim. Telinganya begitu merah sehingga helaian-helaian keriting rambut gelapnya yang seperti cambang juga kelihatan merona. Dia memelototiku. Aku mungkin baru sebelas tahun dan agak tidak bisa bergaul, tapi aku tahu yang namanya tantangan, dan aku tidak punya pilihan selain menanggapinya.
Setelah makin besar, kami sering bercanda bahwa untung saja kami mengalami perkelahian pertama itu. Kejadian itu bukan hanya mempererat persahabatan kami tapi juga merupakan kali pertama dan mungkin satu-satunya kesempatan untuk berkelahi. Kapan lagi dua anak perempuan seperti kami bisa berkelahi" Aku bergulat dengan Teddy, dan kadang-kadang aku mencubitnya. Tapi jotos-jotosan" Teddy masih kecil, dan bahkan jika sudah lebih besar, Teddy itu setengah adik, setengah anak bagiku. Aku mengasuhnya sejak dia berusia beberapa minggu. Aku tidak akan bisa menyakitinya seperti itu. Dan Kim, anak satu-satunya, tidak punya saudara kandung untuk dijadikan teman berkelahi. Mungkin di perkemahan dia bisa terlibat pertengkaran, tapi konsekuensinya berat: seminar-seminar tentang resolusi konflik yang berlangsung berjam-jam bersama beberapa konselor dan rabbi. "Kaumku tahu bagaimana cara bertengkar mati-matian, tapi dengan kata-kata, dengan banyak sekali kata," dia pernah memberitahuku.
Tapi hari di musim gugur itu, kami berkelahi menggunakan tinju. Setelah lonceng tanda pelajaran berakhir, tanpa bicara, kami mengikuti satu sama lain menuju lapangan bermain, menjatuhkan ransel-ransel kami ke tanah, yang masih basah karena seharian hujan rintik-rintik. Dia menyerangku seperti banteng, membuat seluruh napasku terhambur keluar. Aku menjotos sisi kepalanya, dengan tinju, seperti laki-laki. Sekerumun anak berkumpul di sekeliling kami untuk menyaksikan pertunjukan itu. Perkelahian adalah hal baru di sekolah kami. Perkelahian antar anak perempuan jelas ekstraspesial. Dan jika yang berkelahi anak-anak perempuan yang biasanya berkelakuan baik, itu sama seperti mendapatkan lotere.
Saat guru-guru memisahkan kami, setengah kelas enam menonton (sebenarnya, kerumunan anak itulah yang menyebabkan para pengawas di lapangan bermain sadar telah terjadi sesuatu). Hasil perkelahian itu seri, kurasa. Bibirku berdarah dan pergelangan tanganku memar, yang belakangan dikatakan akibat kesalahanku sendiri sewaktu pukulan ke arah bahu Kim meleset dan malah mendarat di tiang net voli. Sebelah mata Kim bengkak dan ada luka besar di pahanya karena tersandung ranselnya sendiri ketika berusaha menendangku.
Tidak ada perdamaian yang mengharukan, tidak ada penengahan resmi yang terjadi. Begitu guru-guru memisahkan kami, Kim dan aku saling menatap dan mulai tertawa. Setelah berhasil meloloskan diri dari keharusan ke kantor kepala sekolah, kami pulang terpincang-pincang. Kim memberitahuku bahwa satu-satunya alasan dia menawarkan diri menjadi kapten tim adalah karena jika kau melakukannya pada permulaan masa sekolah, para pelatih akan mengingatnya dan mereka takkan lagi memilihmu (trik berguna yang kuterapkan juga sejak saat itu). Aku menjelaskan bahwa sebenarnya aku setuju dengan sudut pandangnya dalam membahas To Kill a Mockingbird, salah satu buku favoritku. Dan begitulah. Kami berteman, persis seperti perkiraan orang selama ini bahwa kami akan berteman. Kami tidak pernah berkelahi lagi, dan bahkan meski kami sering berdebat, perselisihan biasanya berakhir persis seperti perkelahian kami waktu itu, dengan tertawa terbahak-bahak.
Tapi, setela h perkelahian itu, Mrs. Schein melarang Kim berkunjung ke rumahku, yakin putrinya bakal pulang menggunakan kruk. Mom menawarkan diri menemui ibu Kim dan meluruskan masalah, tapi kurasa Dad dan aku sama-sama tahu bahwa dengan sifatnya yang mudah tersulut, misi diplomatisnya mungkin bakal berakhir dengan surat perintah polisi untuk menjauh dari keluarga Kim. Akhirnya, Dad mengundang keluarga Schein untuk makan malam dengan hidangan ayam panggang, dan meski Mrs. Schein masih tampak terheran-heran melihat keluarga kami-"Jadi Anda bekerja di toko musik sambil belajar untuk menjadi guru" Dan Anda yang memasak di rumah" Aneh sekali," dia berkata pada Dad-Mr. Schein beranggapan orangtuaku sopan serta keluarga kami tidak penuh kekerasan dan berkata pada ibu Kim bahwa Kim seharusnya diizinkan datang dan pergi dengan bebas ke rumah kami.
Selama beberapa bulan di kelas enam, Kim dan aku mencampakkan reputasi kami sebagai anak baik-baik. Perbincangan tentang perkelahian kami menyebar ke mana-mana, detailnya semakin dibesar-besarkan-tulang rusuk yang patah, kuku yang copot, bekas-bekas gigitan. Tapi ketika kami kembali ke sekolah setelah liburan musim dingin, semua sudah melupakannya. Kami kembali menjadi si kembar berkulit gelap, pendiam, anak baik-baik.
Kami tidak mempermasalahkannya lagi. Bahkan, selama bertahun-tahun reputasi itu menguntungkan kami. Jika, misalnya, kami berdua absen sekolah pada hari yang sama, orang segera berasumsi kami tertular penyakit yang sama, bukannya membolos untuk menonton film seni yang diputar di kelas pengamatan-film di universitas. Ketika, sebagai lelucon, ada yang mengiklankan gedung sekolah untuk dijual, memasang papan tanda, dan mendaftarkannya ke eBay, tatapan curiga langsung mengarah pada Nelson Barker dan Jenna McLaughlin, bukan pada kami. Meski telah mengakui itu perbuatan kami-seperti yang kami sepakati jika ada orang lain yang dituduh-kami sulit sekali meyakinkan orang bahwa memang kami yang nakal.
Itu selalu membuat Kim tertawa. "Orang-orang memercayai apa yang ingin mereka percayai."
16.47 MOM pernah menyelundupkan aku ke dalam kasino. Kami hendak berlibur ke Carter Lake dan berhenti di resor di lokasi penampungan Indian untuk makan siang ala buffet. Mom memutuskan untuk berjudi sedikit, dan aku pergi bersamanya sementara Dad tinggal bersama Teddy, yang tidur di kereta dorong. Mom duduk di meja dollar blackjack. Lelaki yang membagi kartu menatapku, kemudian Mom, yang menanggapi lirikan curiganya dengan tatapan tajam yang seakan bisa memotong berlian, disusul senyuman lebih cemerlang daripada batu permata mana pun. Si pembagi kartu tersenyum malu dan tidak mengucapkan apa-apa. Aku menyaksikan Mom bermain, terpesona. Rasanya kami baru lima belas menit di sana ketika Dad dan Teddy masuk untuk mencari kami, keduanya dalam keadaan kesal. Rupanya kami sudah di sana lebih dari satu jam.
ICU juga seperti itu. Kau tidak bisa tahu jam berapa sekarang atau telah berapa lama waktu berlalu. Tidak ada cahaya alamiah di sana. Dan terus-menerus terdengar suara latar, tapi alih-alih bunyi mesin judi dan gemerincing koin yang menyenangkan, di sini terdengar dengungan dan desisan alat-alat kedokteran, panggilan-panggilan teredam yang tanpa henti di pengeras suara, dan perbincangan para perawat.
Aku tidak yakin sudah berapa lama ada di sini. Beberapa waktu lalu, perawat kesukaanku, yang bicaranya beraksen, berkata akan pulang. "Aku akan kembali besok, tapi aku ingin melihatmu di sini, Sayang," katanya. Mulanya aku menganggap itu aneh. Tidakkah seharusnya dia menginginkanku pulang ke rumah, atau dipindahkan ke bagian lain rumah sakit" Tapi kemudian aku sadar maksudnya adalah dia ingin melihatku di bangsal ini, alih-alih meninggal.
Pendekar Pemetik Harpa 3 Pendekar Pulau Neraka 44 Pendekar Tanah Seberang Pendekar Naga Mas 9

Cari Blog Ini