Ceritasilat Novel Online

Rumah Bercat Putih 3

Rumah Bercat Putih A Painted House Karya John Grisham Bagian 3


Mr. Spruill maju selangkah ke depan dan berkata pada Pappy, "Kalau dia pergi, kami pun pergi. Sekarang juga."
Pappy sudah siap menghadapi ini. Orang-orang pegunungan memang terkenal dengan kemampuan mereka membongkar perkemahan dan menghilang dengan cepat, dan kami tidak meragukan keseriusan ucapan Mr. Spruill. Mereka ikan menghilang dalam waktu satu jam. kembali ke Eureka Springs, kembali ke gunung dan minuman keras mereka. Mustahil untuk memanen delapan puluh ekar kapas hanya dengan mengandalkan orang-orang Meksiko itu untuk membantu kami. Setiap pon sangatlah penting. Setiap bantuan
"Sebentar. Stick," kata Pappy. "Coba kita bicarakan persoalan ini. Aku dan kau sama-sama tahu bahwa keluarga Sisco itu orang-orang tak berguna. Mereka String berkelahi, dan mereka berkelahi dengan cara kotor. Menurutku mereka membentur orang yang salah."
"Aku ada mayat di sana, Eli Kau mengerti""
"Dua lawan satu kedengarannya seperti bela diri bagiku. Sama sekali tidak adil berkelahi dua lawan satu."
"Tapi lihatlah betapa besarnya dia."
"Seperti kukatakan tadi. bocah-bocah Sisco itu memilih orang yang salah. Aku dan kau sama-sama tahu mereka yang memulai. Biarkan bocah ini menuturkan ceritanya."
"Aku bukan bocah!" Hank memotong.
"Ceritakan apa yang terjadi." Pappy berkata, mengulur-ulur waktu. Menyeretnya, dan mungkin Stick akan menemukan alasan untuk pergi dan kembali beberapa hari lagi.
"Lakukanlah," kata Stick. "Mari kita dengar ceritamu. Orang lain tidak ada yang mau bicara."
Hank mengangkat pundak dan berkata, "Aku berjalan ke tempat perkelahian itu, melihat dua bajingan busuk itu memukuli Doyle. maka aku melerainya."
"Siapa Doyle"" Stick bertanya.
"Dia dari Hardy."
"Kau kenal dia""
"Tidak." "Kalau begitu, bagaimana kau tahu dari mana asalnya""
"Pokoknya tahu."
"Kurang ajar!" kata Stick, lalu meludah ke dekat Hank. "Tak seorang pun tahu apa-apa. Tak seorang pun melihat apa-apa. Setengah penduduk kota ini ada di belakang Co-op. tapi tak seorang pun tahu apa-ap
a." "Kedengarannya memang dua lawan satu," Pappy berkata lagi. "Dan hati-hati dengan caramu berbicara. Kau berada di tempatku, dan ada wanita di sini."
"Maaf," Stick berkata sambil menyentuh topinya dan mengangguk ke arah ibuku dan Gran.
"Dia hanya melerai perkelahian," kata ayahku, membuka suara untuk pertama kalinya.
"Lebih dari itu, Jesse. Aku dengar bahwa sesudah perkelahian itu berakhir, dia mengambil sepotong kayu dan memukuli mereka. Kukira saat itulah tengkorak anak itu retak. Dua lawan satu memang tidak adil, dan aku tahu bocah-bocah Sisco itulah yang memulai, tapi aku tidak yakin bahwa salah satu dan mereka harus dibunuh."
"Aku tidak membunuh siapa pun," kata Hank. "Aku melerai perkelahian. Dan ada tiga di antara mereka, bukan cuma dua."
Sudah tiba saatnya bagi Hank untuk menjelaskan angka itu. Aku merasa aneh bahwa Stick tidak tahu ada tiga pemuda Sisco menerima hajaran. Ia toh tinggal menghitung muka-muka yang babak belur itu. tapi mereka mungkin sudah menyeret saudara mereka dan menyembunyikannya di belakang rumah.
"Tiga"" Stiek mengulangi dengan tercengang. Seluruh kerumunan itu seperti tertegun.
Pappy mengambil kesempatan itu "Tiga lawan satu, tidak mungkin kau menangkapnya dengan tuduhan melakukan pembunuhan. Tak ada juri di county ini yang akan menyalahkannya bila perkelahian itu benar liga lawan satu."
Sejenak Stiek tampak setuju, tapi ia tidak hendak menyerah. "Itu kalau dia menceritakan yang sebenarnya. Dia butuh saksi, dan saat ini hanya sedikit yang mau jadi saksi." Stick berbalik menghadapi Hank kembali dan berkata, "Siapa ketiga orang itu""
"Aku tidak menanyakan nama mereka. Sir." Hank berkata dengan nada menyindir. "Kami tidak punya kesempatan untuk bertukar sapa. Butuh banyak waktu untuk menghadapi tiga lawan, terutama bila kau yang harus menghadapinya."
Kalau kami tertawa, tentu Stiek akan marah, dan tak seorang pun ingin mengambil risiko itu. Jadi, kami hanya menundukkan kepala dan tersenyum
"Jangan sok pintar di depanku, boy!" Stiek berkala, mencoba mengembalikan wibawanya. "Kukira kau tidak punya saksi, bukan""
Suasana menggelikan itu lenyap dalam kesunyian yang berlangsung lama. Aku berharap mungkin Bo atau Dale akan maju ke depan dan menyatakan diri sebagai saksi. Karena kaum Spruill baru saja membuktikan bahwa mereka akan berbohong di bawah tekanan, rasanya masuk akal kalau salah satu di antara mereka cepat-cepat membenarkan versi Hank. Tapi tak seorang pun bergerak, tak seorang pun bicara. Aku bergeser beberapa inci, dan bersembunyi tepat di belakang ibuku.
Kemudian aku mendengar kata-kata yang akan mengubah hidupku. Dalam keheningan total itu. Hank berkata, "Chandler Kecil menyaksikannya."
Si Chandler Kecil nyaris mengompol di celana.
Ketika aku membuka mata. setiap orang sedang menatap ke arahku, tentu saja. Gran dan ibuku kelihatan ngeri luar biasa. Aku merasa bersalah dan tampak bersalah, dan seketika itu tahulah aku bahwa setiap orang di sana mempercayai Hank. Aku adalah seorang saksi! Aku telah menyaksikan perkelahian itu.
"Kemarilah, Luke," Pappy berkata, dan aku berjalan selamban mungkin menuju ke tengah. Aku melirik Hank, matanya menyala-nyala, ia menyunggingkan seringai mencemooh seperti biasa, dan wajahnya mengatakan padaku bahwa ia tahu aku tertangkap basah. Orang banyak itu beringsut, seakan-akan mengepungku.
"Apa kau melihat perkelahian itu"" Pappy bertanya.
Sejak hari pertama aku bisa berjalan, aku selalu diajari di sekolah Minggu bahwa berbohong akan langsung membuatku masuk neraka. Tidak ada jalan memutar. Tidak ada kesempatan kedua. Langsung ke dalam jurang berapi-api, tempat Setan sudah menunggu bersama orang-orang seperti Hitler, Yudas Iskariot. dan Jenderal Grant. Janganlah bersaksi dusta, memang kedengarannya bukan larangan ketat untuk tidak berbohong, tapi begitulah kaum Baptis menafsirkannya. Dan aku pernah beberapa kali dipukul karena kebohongan-kebohongan kecil. "Katakan saja yang sebenarnya, dan bereskan persoalan," adalah salah satu nasihat favorit Gran.
Aku berkata, "Ya, Sir."
"Apa yang kaukerjakan di sana""
"Aku mendengar ada perkelahia
n, jadi aku pergi ke sana dan menontonnya." Aku tidak hendak melibatkan Dewayne, setidaknya sampai aku terpaksa melakukannya.
Stick berlutut pada satu lutut, sehingga wajahnya yang gemuk sejajar dengan mataku. "Ceritakanlah apa yang kaulihat." katanya. "Dan katakan yang sebenarnya."
Aku melirik ke arah ayahku, yang berdiri di sampingku. Dan aku melihat Pappy, yang anehnya, sama sekali tidak kelihatan marah padaku.
Aku menghirup udara hingga paru-paruku penuh, dan aku memandang Tally yang sedang mengawasiku lekat-lekat. Kemudian aku memandang hidung Stiek yang pesek dan matanya yang hitam sembab, dan aku pun berkata, "Jerry Sisco sedang berkelahi dengan seseorang dari pegunungan. Lalu Billy Sisco ikut mengeroyoknya. Mereka sedang memukulinya hingga babak belur ketika Mr. Hank maju untuk membantu laki-laki dari pegunungan itu."
"Saat itu, apakah perkelahiannya berlangsung dua lawan satu, atau dua lawan dua"" Stick bertanya.
"Dua lawan satu."
"Apa yang terjadi pada pemuda gunung yang pertama""
"Entahlah. Dia pergi begitu saja. Kukira dia terluka cukup parah."
"Baiklah. Teruskan. Dan katakan yang sebenarnya."
"Dia mengatakan yang sebenarnya!" Pappy menyalak
"Teruskan." Aku melirik sekeliling sekali lagi, untuk memastikan Tally masih menyaksikan, ia tidak hanya meng-amatiku dengan cermat, tapi kini ia menyunggingkan senyum kecil yang menyenangkan. "Kemudian, tiba-tiba saja, Bobby Sisco menerjang dari kerumunan orang banyak dan menyerang Mr. Hank. Sekarang tiga lawan satu, seperti yang Mr Hank katakan."
Wajah Hank tidak mengendur santai. Kalaupun ada perubahan, ia memandangku dengan sorot mata lebih ganas. Ia berpikir ke depan, dan ia belum selesai denganku.
"Berarti persoalannya sudah selesai," kata Pappy. "Aku bukan ahli hukum, tapi aku bisa dengan gam pang membujuk dewan juri kalau kejadiannya adalah tiga lawan satu."
Stiek tak menghiraukannya dan mencondongkan badan lebih dekat lagi padaku. "Siapa yang memegang kayu"" ia bertanya, matanya disipilkan, seolah-olah ini adalah pertanyaan yang paling penting.
Hank tiba-tiba meledak. "Katakan yang sebenarnya, boy!" ia berteriak. "Salah satu di antara Sisco bersaudara itu mengambil potongan kayu, bukan""
Aku bisa merasakan tatapan mata Gran dan ibuku di belakangku. Dan aku tahu Pappy ingin meraih ke depan dan mengguncang-guncang leherku, dan dengan begitu keluarlah kata-kata yang tepat.
Di hadapanku, tidak terlalu jauh, Tally memohon dengan pandangan matanya. Bo dan Dale, dan bahkan Trot, memandangiku.
"Bukan begitu, boy!" Hank menyalak lagi.
Pandangan mataku bertemu dengan tatapan Stick, dan aku pun mulai mengangguk, perlahan pada mulanya, kebohongan kecil yang disampaikan dengan takut-takut, tanpa kata. Dan aku terus mengangguk, dan terus berbohong, dan dengan berbuat demikian, aku berbuat lebih banyak bagi panen kapas kami daripada enam bulan cuaca baik.
Aku sedang menyusuri tepian jurang berapi. Setan sedang menunggu, dan aku bisa merasakan hawa panasnya. Aku akan lari ke hutan dan memohon pengampunan secepat mungkin. Aku akan memohon pada Tuhan untuk bermurah hati padaku. Dia telah memberi kami kapas; terserah pada kami untuk melindungi dan mengumpulkan hasil panennya
Stick perlahan-lahan berdiri, tapi ia tenis menatapku, pandangan mata kami saling kunci, sebab kami berdua tahu bahwa aku berbohong. Stick tidak ingin menahan Hank Spruill, setidaknya tidak saat ini juga. Pertama, ia tentu harus memasangkan borgol pada Hank, dan tugas ini bisa berubah jadi kekacauan. Kedua, ia akan membuat marah semua petani itu.
Ayahku meraih pundakku dan mendorongku mundur ke arah para wanita. "Kau membuatnya ketakutan setengah mati. Stick," ia berkata dengan tawa canggung, mencoba mengendurkan ketegangan dan menyingkirkan aku dari sana, sebelum aku mengucapkan sesuatu yang salah.
"Apa dia anak yang baik"" Stick bertanya.
"Dia bicara jujur," kata ayahku.
"Tentu saja dia mengatakan yang sebenarnya," Pappy berkata dengan nada marah
Kebenaran masih perlu ditulis kembali.
"Aku masih harus terus menanyai orang-orang," Stick berkata dan mulai berjalan menuju mobilnya. "Ak
u mungkin akan kembali lagi nanti."
ia membanting pintu Plymouth hitamnya yang tua dan meninggalkan halaman kami. Kami mengawasinya berlalu, sampai hilang dari pandangan.
Sepuluh KARENA kami tidak bekerja pada hari Minggu, rumah jadi terasa lebih sempit sewaktu orangtua dan kakek-nenekku menyibukkan diri dengan pekerjaan-pekerjaan kecil yang diperkenankan. Tidur siang dicoba dilakukan, lalu ditinggalkan karena hawa yang begitu panas. Kadang-kadang, kalau suasana hati se dang muram, orangtuaku memasukkan aku ke belakang pickup, dan kami pun pergi berjalan-jalan. Tidak ada pemandangan menarik untuk dilihat - seluruh lahan di sana datar dan ditutupi kapas. Semua pemandangan sama seperti pemandangan dari teras depan kami. Tapi penting rasanya untuk bepergian meninggalkan rumah.
Tak lama sesudah Stick berlalu, aku dibawa ke kebun dan diperintahkan membawa makanan. Acara bepergian itu sedang direncanakan. Dua kardus diisi dengan sayur-mayur. Kardus-kardus itu begitu berat, sehingga ayahku harus menempatkannya di belakang pickup. Sewaktu kami meluncur pergi, keluarga Spruill sedang bertebaran di halaman depan dalam berbagai tahapan istirahat. Aku tidak ingin melihat mereka.
Aku duduk di belakang, di antara kardus sayuran, dan mengamati debu mendidih di belakang truk. membentuk awan kelabu yang naik dengan cepat dan bergelantungan di udara yang berat di atas jalan, sebelum- perlahan-lahan menipis karena tidak ada angin. Hujan dan lumpur dini hari tadi sudah lama terlupakan. Segalanya sudah panas kembali: papan-papan kayu di lantai truk, rangkanya yang berkarat dan tak bercat, bahkan jagung, kentang, dan tomat yang baru saja dicuci oleh ibuku. Di bagian tempat kami tinggal di Arkansas, salju turun dua kali setahun, dan aku merindukan selimut putih yang tebal dan dingin itu di ladang-ladang kami, gundul tanpa kapas.
Debu akhirnya berhenti membubung di tepi sungai, dan kami merayap menyeberangi jembatan itu. Aku berdiri untuk melihat air di bawah, aliran cokelat kental itu bergerak malas sepanjang tepiannya. Di belakang truk itu ada dua joran pancing, dan ayahku sudah menjanjikan bahwa kami akan memancing sebentar sesudah makanan disiapkan.
Keluarga Latcher adalah petani bagi hasil yang tinggal tak lebih satu mil dari rumah kami, tapi mereka rasanya seperti tinggal di county lain saja. Gubuk mereka yang reyot terletak di kelokan sungai, dengan pepohonan elm dan willow menyentuh atap, dan kapas tumbuh nyaris sampai ke teras depan. Tidak ada rumput di seputar rumah, hanya sepetak halaman tanah tempat anak-anak Latcher yang masih kecil bermain. Aku diam-diam merasa senang bahwa mereka tinggal di sisi lain sungai itu. Kalau tidak, aku mungkin diharapkan bermain dengan mereka.
Mereka bertani mengelola lahan tiga puluh ekar dan membagi hasilnya dengan pemilik tanah. Separo dari secuil tidak menyisakan apa-apa, dan keluarga Latcher amatlah miskin. Mereka tidak punya listrik, tidak punya mobil atau truk. Sekali-sekali, Mr. Latcher suka berjalan kaki ke rumah kami dan meminta Pappy memberi tumpangan dalam perjalanan berikutnya ke Black Oak.
Jalan menuju rumah mereka hampir tidak cukup lebar untuk truk kami. dan ketika truk kami menggelinding hingga berhenti, teras itu pun dipenuhi wajah-wajah kecil yang kotor. Aku pernah menghitung ada tujuh anak dalam keluarga Latcher. tapi mustahil untuk menghitung keseluruhannya dengan tepat. Sulit membedakan mana yang laki-laki dan mana yang perempuan; semuanya berambut acak-acakan, berwajah sempit dengan mata biru pucat yang sama, dan mereka semua memakai pakaian compang-camping.
Mrs. Latcher keluar dari teras tua itu, sambil menyeka tangan pada celemek. Ia tersenyum pada ibuku. "Halo. Mrs. Chandler," ia berkata dengan suara lembut. Ia bertelanjang kaki, dan kakinya sekurus ranting.
"Senang bertemu denganmu. Dada." ibuku berkat Ayahku menyibukkan diri di belakang truk. mengotak-atik kardus-kardus itu, membunuh waktu sementara dua wanita itu saling berbasa-basi. Kami tidak berharap akan bertemu dengan Mr. Latcher. Perasaan harga diri tentu mencegahnya maju ke depan dan menerima
makanan. Biar para wanita mengurus soal itu.
Sewaktu mereka mengobrol tentang panen dan cuaca panas, aku bergeser menjauhi truk. di bawah pandangan waspada semua anak-anak itu. Aku berjalan ke samping rumah, di mana bocah yang paling jangkung sedang bermalas-malasan dalam keteduhan, berusaha untuk tidak menghiraukan kami. Namanya Percy, dan ia mengatakan umurnya sudah dua belas tahun, namun aku meragukannya, ia tidak kelihatan cukup besar untuk umur dua belas tahun, tapi karena anak-anak keluarga Latcher tidak pergi ke sekolah, mustahil membandingkan mereka dengan anak-anak lain yang sebaya. Percy tidak memakai kemeja dan bertelanjang kaki, kulitnya berwarna seperti tembaga karena berjam-jam bekerja di bawah matahari.
"Hai, Percy," aku menyapa, tapi ia tidak menanggapi. Petani-petani bagi hasil memang aneh seperti itu. Kadang-kadang mereka mau berbicara, kadang hanya menatap dengan pandangan kosong, seakan-akan ingin dibiarkan sendiri.
Aku mengamati rumah mereka, sebuah kotak persegi kecil, dan sekali lagi aku bertanya-tanya dalam hati, bagaimana orang sebanyak itu bisa tinggal di tempat sesempit itu. Gudang perkakas kami hampir sama besarnya dengan rumah itu. Jendela-jendelanya terbuka, dan tirai yang compang-camping menggelantung tak bergerak. Tidak ada kawat kasa untuk mencegah lalat dan nyamuk masuk, dan sudah pasti tidak ada kipas angin untuk memutar udara.
Aku merasa sangat kasihan pada mereka. Gran suka mengutip ayat-ayat kitab suci, "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga" dan "Mereka yang miskin selalu bersamamu." Tapi rasanya kejam bagi siapa saja untuk hidup dalam kondisi seperti itu. Mereka tak punya sepatu. Pakaian mereka sudah begitu tua dan compang-camping, hingga mereka malu untuk pergi ke kota. Dan karena tidak punya listrik, mereka tidak bisa mendengarkan berita The Cardinals.
Percy tidak pernah memiliki bola, atau sarung tangan, atau tongkat pemukul, tidak pernah main lempar tangkap dengan ayahnya, tidak pernah bermimpi untuk mengalahkan The Yankees. Bahkan mungkin ia tidak pernah mimpi untuk meninggalkan ladang kapas tersebut. Pemikiran itu terasa menindih.
Ayahku mengeluarkan kardus pertama berisi sayur-mayur itu, sementara ibuku berbicara tentang isinya. Anak-anak Latcher itu bergeser ke tangga depan, dan melongok penuh perasaan ingin tahu. tapi tetap menjaga jarak. Percy tidak bergerak; ia menatap sesuatu di tengah ladang, sesuatu yang tak bisa terlihat olehnya maupun olehku.
Ada seorang gadis di rumah itu. Namanya Libby, umur lima belas tahun, si sulung dalam keluarga tersebut, dan menurut desas-desus terakhir di Black Oak, ia sedang hamil. Siapa ayah bayi itu masih belum diketahui; bahkan gosip yang beredar mengatakan bahwa ia menolak mengungkapkan pada siapa pun, termasuk orangtuanya sendiri, nama laki-laki yang membuatnya hamil.
Gosip semacam itu adalah sesuatu yang tak tertahankan di Black Oak. Berita tentang perang, perkelahian, kanker, kecelakaan mobil, bayi yang akan lahir untuk dua orang yang menikah secara sah -semua ini membuat percakapan bergulir. Kematian yang diikuti dengan upacara pemakaman yang baik, dan seluruh kota akan berdengung membicarakannya selama berhari-hari. Penangkapan seorang warga, bahkan yang berstatus paling rendah sekalipun, merupakan peristiwa yang akan dikupas selama berminggu-minggu. Tapi seorang gadis umur lima belas tahun, putri seorang petani bagi hasil sekalipun, mendapatkan anak di luar nikah... peristiwa ini begitu luar biasa, sehingga kota itu jadi bingung. Masalahnya, kehamilan itu belum bisa dipastikan kebenarannya. Dan karena kami tinggal paling dekat dengan mereka, sudah jelas ibukulah yang dijatuhi tugas untuk melakukan penyelidikan.
Ibu sudah mendaftarku untuk membantu penyelidikan tersebut. Ia menceritakan sebagian gosip itu padaku dan karena sepanjang hidupku aku sudah menyaksikan bagaimana hewan-hewan di pertanian berkembang biak, maka aku tahu dasar-dasarnya. Tapi aku tetap enggan terlibat. Lagi pula. aku tidak tahu pasti mengapa kami harus memastikan kehamilan tersebut. Hal itu
sudah begitu banyak dibicarakan sehingga seluruh kota sudah yakin bahwa gadis itu sedang hamil. Misteri terbesar adalah identitas ayahnya. "Mereka tentu tidak akan menuduhku." aku pernah dengar Pappy berkata di Co-op, dan semua pria tua itu tertawa bergemuruh.
"Bagaimana kapasnya"" tanyaku pada Percy. Layaknya dua orang petani sejali.
"Masih ada di luar sana," ia berkata, menganggukkan kepala ke arah ladang, yang terbentang hanya beberapa meter dari sana. Aku berpaling dan menatap kapas mereka yang tampak seperti milik kami. Aku dibayar $1.60 untuk setiap seratus pon yang kupetik Anak-anak petani bagi hasil tidak dibayar apa-apa.
Kemudian aku memandang rumah itu lagi, pada jendela-jendela dan tirainya, serta papan-papannya yang melengkung, lalu aku menatap ke halaman belakang, di mana cucian mereka bergelantungan pada tali jemuran. Aku mengamati jalan setapak tanah yang melewati kakus mereka, menuju sungai. Tidak ada tanda-tanda Libby Latcher di sana. Mereka mungkin menguncinya di sebuah ruangan, sementara Mr. Latcher menjaga pintunya dengan sepucuk senapan. Suatu hari ia akan melahirkan bayi, dan takkan ada seorang pun yang mengetahuinya. Hanya satu anak Latcher lain yang berlarian tanpa pakaian.
"Saudara perempuanku tidak ada di sini," ia berkata, masih menerawang di kejauhan. "Itulah yang kaucari."
Mulutku ternganga, dan pipiku jadi sangat panas Aku hanya bisa berkata. "Apa""
"Dia tidak ada di sini. Sekarang kembalilah ke trukmu."
Ayahku mengangkut sayur-mayur itu ke teras, dan aku melangkah meninggalkan Percy.
"Apa kau melihatnya"" ibuku berbisik ketika kami berlalu. Aku menggelengkan kepala.
Ketika kami berlalu, anak anak Latcher itu berkerumun di sekeliling dua kardus tersebut, seakan-akan sudah seminggu mereka tidak makan.
Kami akan kembali beberapa hari lagi, dengan membawa hasil kebun kami. dalam usaha kedua untuk membuktikan desas-desus itu. Selama mereka tetap menyembunyikan Libby, keluarga Latcher akan berkecukupan mendapat makanan.
Sungai St. Francis, menurut ayahku, dalamnya sekitar lima puluh kaki. dan di sekitar pangkal tiang jembatan ada ikan lele berbobot tiga puluh kilo yang makan apa saja dalam jangkauan. Ikan-ikan itu besar dan kotor pemakan bangkai yang bergerak hanya bila ada makanan di dekatnya. Beberapa di antaranya hidup sampai dua puluh tahun. Menurut legenda keluarga. Rieky pernah menangkap salah satu monster itu ketika ia berumur tiga belas tahun. Bobotnya dua puluh dua kilo. dan ketika ia membelah perut ikan itu dengan pisau pembersih, segala macam barang rongsokan tumpah di bak belakang truk Pappy: sebuah busi, sebutir kelereng, banyak ikan minnow dan ikan-ikan kecil lain yang baru setengah termakan, dua keping uang logam satu sen, dan benda-benda mencurigakan yang akhirnya dipastikan sebagai kotoran manusia.
Gran tidak pernah lagi menggoreng lele. Pappy berhenti menyantap makanan hasil sungai, sepenuhnya.
Dengan cacing merah sebagai umpan, aku memancing di perairan dangkal dekat tepian pasir untuk menangkap bream dan crappie, dua spesies ikan kecil vang banyak jumlahnya dan gampang ditangkap. Dengan bertelanjang kaki aku mengarungi air yang hangat berpusar-pusar itu, dan sekali-sekali kudengar ibuku berseru, "Itu sudah cukup jauh. Luke!" Tepi sungai itu ditumbuhi jajaran pohon ek dan willow. dan matahari ada di baliknya. Orangtuaku duduk di keteduhan, di salah satu tilam yang dibuat oleh para wanita di gereja selama musim dingin, dan mereka berbagi sebutir melon dari kebun kami.
Mereka bercakap-cakap lirih, nyaris berbisik, dan aku tidak mencoba mendengarkan, sebab saat-saat ini adalah salah satu kesempatan yang jarang di musim petik, saat mereka bisa sendirian. Di waktu malam, sesudah seharian bekerja di ladang, tidur datang dengan cepat dan pulas, dan aku jarang mendengar mereka bicara di ranjang. Mereka kadang-kadang duduk di teras, dalam kegelapan, menunggu hawa panas berlalu, tapi mereka tidak benar-benar sendiri.
Sungai itu cukup menakutkan bagiku, sehingga aku tidak berani terlalu dekat. Aku belum lagi belajar berenang -aku sedang menunggu Ricky pulang, ia sudah be
rjanji untuk mengajariku pada musim panas mendatang, saat aku berumur delapan tahun. Aku tetap dekat-dekat ke tepian. di mana airnya hanya menutupi kakiku
Orang tenggelam di sungai bukanlah sesuatu yang luar biasa, dan sepanjang hidupku aku mendengar beragam kisah tentang orang-orang dewasa terperangkap di gunduk pasir dan tersapu hanyut, sementara seluruh keluarganya menyaksikan dengan ngeri. Air yang tenang, entah bagaimana, dapat berubah jadi buas. meskipun aku tidak pernah menyaksikannya sendiri. Biang semua kecelakaan tenggelam itu katanya adalah Sungai St. Francis, meskipun lokasinya yang tepat selalu berbeda-beda menurut si penutur cerita. Seorang anak kecil sedang duduk-duduk di gundukan pasir, tanpa menyadari bahaya, ketika tiba-tiba pasir itu bergeser, si anak terkepung air dan tenggelam dengan cepat. Seorang kakaknya menyaksikan kejadian tersebut dan berlari ke air yang berpusar itu. tapi disambut oleh arus deras yang menyeretnya pula. Selanjutnya, satu kakak yang lebih besar lagi mendengar jeritan dua anak pertama, dan ia menerjang ke dalam sungai; ketika air sudah sampai ke pinggang, baru disadarinya bahwa ia tidak bisa berenang. Tanpa gentar, ia dengan gagah berani menerjang maju. berseru-seru pada kedua adiknya untuk bertahan, ia akan sampai ke sana, namun gundukan pasir itu runtuh sama sekali, seperti semacam gempa bumi, dan arus baru mendatangi dari segala penjuru.
Anak itu hanyut semakin jauh dan semakin jauh dan tepian. Sang ibu, yang mungkin sedang hamil atau tidak, dan mungkin bisa berenang atau tidak, sedang menyiapkan makan siang di bawah naungan pohon ketika ia mendengar jeritan anak-anaknya. Tanpa pikir panjang ia melemparkan diri ke dalam sungai, dan di sana ia pun langsung menghadapi kesulitan.
Sang ayah sedang memancing di sebuah jembatan ketika ia mendengar keributan tersebut, dan daripada menyia-nyiakan waktu berlari ke tepi sungai dan masuk ke sungai dari tempat keributan, ia langsung menukik terjun ke dalam Sungai St. Francis, dan lehernya pun patah.
Seluruh keluarga itu tewas Beberapa mayat mereka ditemukan. Yang lain tidak. Sebagian sudah dimakan oleh ikan-ikan lele, dan yang lain tersapu ke laut lepas, entah di mana laut tersebut. Ada saja teori mengenai apa yang akhirnya terjadi pada mayat keluarga malang ini, yang, anehnya, tetap tanpa nama selama beberapa dasa warsa.
Kisah ini diulangi, sehingga anak-anak seperti diriku tahu bahaya sungai tersebut Ricky suka menakut-nakutiku dengan cerita ini, tapi sering kali versinya kacau balau membingungkan. Ibuku mengatakan semua itu cuma fiksi.
Bahkan Pendeta Akers dapat meramu kisah itu melalui kotbahnya, untuk menggambarkan betapa Setan selalu bekerja menebarkan kesengsaraan dan kepedihan hati di seluruh penjuru dunia. Aku bangun dan mendengarkannya dengan amat cermat, dan ketika ia tidak menyinggung tentang leher yang patah, aku menyimpulkan ia pun banyak melebih-lebihkannya.
Namun demikian, aku bertekad agar jangan sampai tenggelam. Ikan menggondol umpan, seekor ikan bream kecil yang kukail dan kulemparkan ke belakang. Aku menemukan tempat duduk di tunggul kayu dekat sebuah laguna, dan menangkapi ikan satu demi satu. Rasanya hampir senikmat bermain bisbol. Siang beringsut perlahan, dan aku bersyukur atas kesempatan untuk menyendiri ini. Pertanian kami dijejali oleh orang-orang asing. Ladang-ladang sedang menunggu kerja keras yang mematahkan punggung. Aku telah menyaksikan seorang laki-laki tewas terbunuh, dan entah bagaimana aku terjerumus di tengah masalah itu.
Suara gemercik halus aliran air dangkal itu terasa menyejukkan hati. Mengapa aku tidak bisa memancing saja sepanjang hari" Duduk di tepi sungai, dalam keteduhan" Apa saja selain memetik kapas. Aku tidak akan menjadi petani. Aku tidak membutuhkan latihan itu.
"Luke." terdengar suara ayahku dari tepi sungai. Aku menarik kail dan cacingnya, dan berjalan ke tempat mereka duduk.
"Ya, Sir," sahutku.
"Duduklah." ia berkata. "Mari kita bicara."
Aku duduk di tepi tilam, .sejauh mungkin dari mereka. Mereka tidak kelihatan marah; bahkan wajah ibuku tampak menyenangkan.
Namun suara ayahku cukup tegas untuk membuatku khawatir. "Mengapa tidak kauceritakan pada kami tentang perkelahian itu"" ia bertanya.
Urusan perkelahian itu tidak mau menyingkir begitu saja rupanya.
Aku tidak begitu terkejut mendengar pertanyaan itu "Mungkin aku takut."
"Takut apa""
"Takut tertangkap menonton perkelahian di belakang Co-op."
"Sebab aku sudah melarangmu melakukannya, bukan"" tanya ibuku.
"Ya, Ma'am. Dan aku menyesal."
Menonton perkelahian bukanlah ketidakpatuhan serius, dan kami bertiga mengetahuinya. Apa yang harus dilakukan oleh anak laki-laki pada Sabtu sore, ketika kota itu penuh sesak dan penuh gairah" Ibuku tersenyum, sebab aku mengatakan aku menyesal. Aku berusaha sebisa mungkin kelihatan layak dikasihani.
"Aku tidak terlalu khawatir kau menonton perkelahian." ayahku berkata. "Tapi menyimpan rahasia bisa membuatmu terjerumus dalam kesulitan. Kau seharusnya menceritakan apa yang kaulihat."
"Aku melihat perkelahian. Aku tidak tahu Jerry Sisco akan mati."
Logikaku membuat ayahku terdiam sesaat. Kemudian ia berkata, "Apa kau mengatakan yang sebenarnya pada Stick Powers""
"Ya, Sir." "Apa salah satu dari anak-anak Sisco yang lebih dulu mengambil kayu" Ataukah itu Hank Spruill""
Kalau kukatakan yang sebenarnya, berarti aku mengakui bahwa aku telah berbohong dalam versi sebelumnya. Bicara sejujurnya atau berbohong, itulah pertanyaan yang selalu akan tinggal. Kuputuskan untuk mengaburkan persoalannya sedikit. "Sejujurnya, Dad, kejadiannya berlangsung begitu cepat. Tubuh berjatuhan dan berterbangan ke mana-mana. Hank melempar-lemparkan anak-anak itu seperti mainan kecil. Dan orang banyak bergerak dan berteriak-teriak. Kemudian aku melihat sebatang kayu."
Sungguh mengejutkan, ternyata hal ini memuaskannya. Lagi pula, aku baru berumur tujuh tahun, dan terperangkap di dalam gerombolan penonton, yang menonton pertarungan mengerikan itu terjadi di belakang Co-op. Siapa bisa menyalahkan aku kalau aku tidak yakin apa yang terjadi"
"Jangan bicara soal ini pada orang lain, ya" Tidak pada seorang pun."
"Ya, Sir." "Anak-anak kecil yang menyembunyikan rahasia dari orangtuanya akan mengalami kesulitan besar," kata ibuku. "Kau selalu bisa bercerita pada kami."
"Ya, Ma'am." "Sekarang pergilah memancing lagi," ia berkata, dan aku pun berlari kembali ke tempatku semula.
Sebelas MINGGU itu dimulai dalam keremangan pagi hari Senin. Kami bertemu di trailer untuk menempuh perjalanan ke ladang, perjalanan yang makin pendek setiap hari. bersama petikan yang perlahan-lahan bergeser menjauh dari tepi sungai, dan semakin dekat ke rumah.
Tak sepatah kata pun diucapkan. Di hadapan kami menghadang lima hari kerja berat dan hawa panas yang tak ada habisnya, disusul dengan hari Minggu, yang pada hari Senin serasa sama jauhnya dengan Natal.
Aku memandang dari tempatku bertengger di traktor, dan berdoa memohon supaya keluarga Spruill cepat pergi meninggalkan tanah pertanian kami. Mereka berkelompok jadi satu, lesu dan mengantuk seperti diriku. Trot tidak ada bersama mereka, dan ia tidak akan bergabung dengan kami di ladang. Minggu malam kemarin, Mr. Spruill bertanya pada Pappy apakah tidak apa-apa kalau Trot tinggal di halaman depan sepanjang hari. "Anak itu tidak kuat menahan panas," kata Mr. Spruill. Pappy tidak peduli apa yang terjadi pada Trot. Ia sama sekali tak ada nilainya di ladang.
Ketika traktor itu berhenti, kami mengambil karung kami dan menghilang ke dalam deretan tanaman kapas. Tak sepatah kata pun keluar dari siapa pun. Satu jam kemudian, matahari pun memanggang kami. Aku memikirkan Trot yang menghabiskan siang itu di bawah pohon rindang, tidur siang kapan saja ia inginkan, dan pasti senang karena tidak perlu bekerja, ia mungkin agak sinting, tapi saat ini dialah yang paling pintar di antara seluruh keluarga Spruill.
Waktu berhenti bergerak ketika kami memetik kapas. Hari demi hati beringsut, masing-masing menyerah begitu lamban pada hari berikutnya.
Sewaktu bersantap siang hari Kamis, Pappy mengumumkan, "Kita tidak akan pergi ke kota hari Sabtu ini."
Aku ingin menangis rasanya. Sudah cukup meny
iksa, bekerja di ladang sepanjang minggu, tapi bekerja keras seperti itu tanpa imbalan popcorn dan bioskop benar-benar keterlaluan. Bagaimana dengan jatah Coca-Cola mingguan untukku"
Keheningan panjang menyusul pengumuman itu. Ibuku mengamatiku dengan cermat, ia sepertinya tidak terkejut, dan aku mendapat kesan bahwa sebelumnya orang-orang dewasa itu sudah membicarakan persoalan ini. Sekarang mereka membicarakannya sekadar supaya aku tahu.
Kupikir, apa ruginya" Maka aku mengertakkan gigi dan berkata, "Mengapa tidak""
"Sebab aku bilang begitu," Pappy balas menyalak padaku, dan tahulah aku bahwa aku berada di daerah berbahaya.
Aku memandang ibuku. Ada senyum aneh pada wajahnya.
"Kalian tidak takut pada keluarga Sisco. bukan"" aku bertanya, dan aku setengah berjaga-jaga kalau-kalau salah satu laki-laki dewasa itu akan mencengkeramku.
Sesaat suasana sunyi senyap. Ayahku berdeham dan berkata, "Sementara ini sebaiknya keluarga Spruill tidak pergi dekat-dekat kota. Kami sudah membicarakan hal ini dengan Mr. Spruill, dan kami setuju bahwa kita akan tinggal di sini hari Sabtu. Bahkan orang-orang Meksiko itu juga."
"Aku tidak takut pada siapa pun. Nak," Pappy menggeram ke arah meja. Aku menolak memandangnya. "Dan jangan memanas-manasi aku," ia menambahkan dengan tegas.
Ibuku masih tetap tersenyum, matanya bersinar-sinar, ia bangga atas diriku.
"Aku mungkin perlu beberapa barang dari toko," Gran berkata. "Tepung dan gula."
"Aku akan pergi membelikannya." Pappy berkata. "Aku yakin orang-orang Meksiko pun akan butuh belanja."
Sesudahnya, mereka pindah ke teras depan untuk ritual duduk-duduk, tapi perasaanku terlalu terluka untuk ikut bergabung dengan mereka. Aku berbaring-baring di lantai kamar Ricky dalam kegelapan, sambil mendengarkan siaran pertandingan The Cardinals melalui jendela yang terbuka, dan mencoba mengabaikan perbincangan lirih dan lamban yang dilakukan orang-orang dewasa itu. Aku mencoba memikirkan cara-cara baru untuk membenci keluarga Spruill. tapi tak lama kemudian aku sudah terbenam oleh banyaknya perbuatan mereka yang menyebalkan. Sampai pada suatu titik di saat senja, aku diam tak bergerak, dan tertidur di lantai.
Makan siang hari Sabtu biasanya adalah saat yang menggembirakan. Hari-hari kerja sudah berakhir. Kami akan pergi ke kota Kalau aku sanggup menanggung mandi hari Sabtu di teras belakang, maka hidup jadi benar-benar indah, meskipun cuma beberapa jam.
Namun Sabtu ini tak ada kegairahan itu. "Kita akan bekerja sampai pukul empat," Pappy berkata, seakan-akan ia benar-benar membantu kami. Hebat. Kami akan selesai bekerja satu jam lebih awal. Aku ingin menanyakan apakah kami akan bekerja pula pada hari Minggu, tapi aku sudah cukup berbicara Kamis malam kemarin. Ia tidak menghiraukan aku dan aku tidak menghiraukannya. Saling cemberut seperti ini bisa berlanjut sampai berhari-hari.
Maka kami pun kembali ke ladang, bukannya pergi ke Black Oak. Bahkan orang-orang Meksiko itu tampak kesal oleh hal ini. Ketika trailer berhenti, kami mengambil karung dan perlahan-lahan menghilang ke dalam tanaman kapas. Aku memetik sedikit dan banyak mengulur waktu, dan ketika suasana aman, aku menemukan tempat yang enak dan tertidur nyenyak Mereka bisa mencegahku pergi ke kota, mereka bisa memaksaku ke ladang, tapi mereka tidak bisa memaksaku bekerja keras. Rasanya aku banyak tidur di Sabtu siang itu.
Ibuku menemukan aku, dan kami berjalan ke rumah, hanya kami berdua. Ia merasa kurang sehat, dan ia juga tahu ketidakadilan yang ditimpakan padaku. Kami mengumpulkan sayuran dari kebun, tapi hanya beberapa macam. Aku menabahkan diri saat dimandikan, dan ketika aku sudah bersih, aku pergi ke halaman depan, tempat Trot menghabiskan hari-harinya menjaga Perkemahan Spruill. Kami tidak tahu apa saja yang ia lakukan sepanjang hari; tak seorang pun menaruh peduli. Kami terlalu sibuk dan terlalu letih untuk mengkhawatirkan Trot. Aku menemukannya sedang duduk di belakang roda truk mereka, pura-pura sedang mengemudi, mengeluarkan suara aneh dari bibirnya, ia melirik padaku, lalu kembali mengemudi dan mengeluarkan suara.
Keti ka mendengar traktor mendatangi, aku masuk ke dalam rumah dan mendapati ibuku sedang berbaring di ranjang, sesuatu yang tak pernah ia lakukan di siang hari. Terdengar suara-suara di sekitar, suara-suara letih di depan, tempat keluarga Spruill melepaskan lelah, dan di belakang, tempat orang-orang Meksiko menyeret diri ke gudang. Beberapa lama aku bersembunyi di kamar Ricky, bola bisbol di satu tangan, dan sarung tangan di tangan satunya, dan aku memikirkan Dewayne. si kembar Montgomery, dan semua teman lainnya duduk-duduk di Dixie, menonton film hari Sabtu dan makan popcorn
Pintu membuka dan Pappy muncul. "Aku akan pergi ke Pop dan Pearl untuk belanja. Kau mau ikut""
Aku menggelengkan kepala, tanpa memandang ke arahnya
"Aku akan belikan kau Coca-Cola." katanya.
"Tidak, terima kasih," kataku, masih menatap lantai.
Eli Chandler tidak akan memohon minta dikasihani di depan regu tembak, dan ia tidak akan memohon pada seorang bocah umur tujuh tahun. Pintu ditutup, dan beberapa detik kemudian mesin truk itu dihidupkan.
Bosan dengan halaman depan, aku pergi ke belakang. Di dekat silo, tempat keluarga Spruill seharusnya tinggal, ada petak berumput yang bisa dipakai untuk main bisbol. Memang tidak sepanjang dan selebar lapanganku di depan, tapi tempat itu cukup terbuka dan terbentang sampai ke tepi tanaman kapas. Aku melambung-lambungkan bola setinggi mungkin, dan baru berhenti sesudah berhasil menangkapnya sepuluh kali berturut-turut.
Miguel muncul entah dari mana. ia mengamatiku selama satu menit, dan di bawah tekanan kehadiran penonton, aku gagal menangkap bola tiga kali berturut-turut. Kulemparkan bola itu padanya, dengan pelan, sebab ia tidak memakai sarung tangan. Ia menangkapnya tanpa kesulitan, dan melemparkannya kembali padaku. Dengan pontang-panting bola itu kutangkap, terlepas jatuh, tertendang, lalu kuterkam dan kulemparkan kembali padanya, kali ini sedikit lebih kerap.
Aku sudah belajar tahun sebelumnya bahwa banyak orang Meksiko main bisbol, dan jelaslah bahwa Miguel tahu
permainan ini. Tangannya cepat dan lembut, lemparannya lebih tajam dariku. Kami saling melempar bola selama beberapa menit, lalu Rico, Pepe. dan Luis bergabung dengan kami.
"Kau punya tongkat pemukul"" Miguel bertanya.
"Tentu," aku berkata, dan berlari ke rumah untuk mengambilnya.
Ketika aku kembali, Roberto dan Pablo sudah bergabung dengan yang lain. "Kau yang memukul," Miguel berkata, dan ia mengambil inisiatif. Ia meletakkan sepotong papan tua di tanah, sepuluh kaki di depan silo, dan berkata. "Home plate." Yang lain bertebaran di seluruh penjuru infield. Pablo mengambil posisi di shallow center, menempatkan diri di tepi tanaman kapas. Rieo berjongkok di belakangku, dan aku mengambil posisi di sisi kanan plate. Miguel memutar lengan dengan keras untuk mengambil ancang-ancang, membuatku merasa ketakutan sesaat, lalu melepaskan bola dengan lemparan lembut yang kupukul sekuat tenaga, tapi luput.
Aku juga tak berhasil memukul tiga lemparan berikutnya, lalu mulai kena satu-dua kali. Orang-orang Meksiko itu bersorak dan tertawa ketika aku berhasil memukul, tapi tidak mengatakan apa-apa bila aku tidak berhasil memukul. Sesudah beberapa menit latihan memukul bola, kuberikan tongkat pemukul pada Miguel, dan kami bertukar tempat. Aku memulai dengan lemparan fastball, dan ia tidak tampak terintimidasi. Ia mengayunkan pukulan line drive dan hot grounder, beberapa di antaranya ditangkap dengan mulus oleh orang-orang Meksiko itu, sementara lainnya terpaksa dipungut. Mereka kebanyakan sudah pernah bermain, tapi ada satu-dua orang yang bahkan belum pernah melemparkan bola bisbol.
Empat lainnya yang ada di gudang itu mendengar suara ramai, dan mereka pun datang menghampiri.
Si Koboi tak berkemeja, celananya digulung hingga ke lutut. Ia rasanya satu kaki lebih tinggi daripada yang lain.
Luis yang berikutnya memukul bola. ia tidak berpengalaman seperti Miguel, dan aku tidak kesulitan mengecohnya dengan lemparan change-up. Aku senang sekali ketika melihat Tally dan Trot duduk di bawah sebatang pohon elm, menyaksikan permainan.
Kemudian ayahku da tang menghampiri. Makin lama kami bermain, makin bergairah orang-orang Meksiko itu. Mereka berteriak-teriak dan tertawa-tawa mengolok satu sama lain bila pukulan mereka meleset.
"Ayo kita main," ayahku berkata. Bo dan Dale sudah tiba, juga tak berkemeja dan tak bersepatu. Miguel diajak bicara, dan sesudah beberapa menit mengatur rencana, diputuskan bahwa orang-orang Meksiko itu akan bermain melawan orang-orang Arkansas. Rico akan menangkap bola untuk kedua tim, dan sekali lagi aku dikirim ke rumah, kali ini untuk mengambil sarung tangan milik ayahku.
Ketika aku kembali untuk kedua kalinya. Hank sudah muncul di sana dan siap bermain. Aku tidak suka bermain dalam tim yang sama dengannya, tapi sudah tentu aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku pun tidak tahu pasti di mana posisi yang cocok untuk Trot. Dan Tally adalah seorang gadis. Sungguh memalukan, satu regu dengan anak perempuan. Meskipun demikian, pihak Meksiko tetap masih lebih besar jumlahnya daripada kami.
Perundingan berlangsung sekali lagi, dan diputuskan bahwa kami yang lebih dulu memukul bola.
"Kalian ada anak-anak kecil," Miguel berkata sambil menyungging senyum. Beberapa papan lagi ditempatkan di tanah sebagai base. Ayahku dan Miguel menentukan peraturan lapangan, yang ternyata cukup kreatif untuk lapangan asal jadi itu. Orang-orang Meksiko itu bertebaran pada tiap base, dan kami pun siap bermain.
Aku terkejut ketika ternyata si Koboi berjalan ke mound dan mulai melakukan pemanasan. Sosoknya ramping tapi kuat, dan ketika ia melempar bola. otot-otot di dada dan pundaknya menggelembung dan bergelombang. Keringat membuat kulitnya yang gelap mengilat berkilauan. "Dia bagus," ayahku berkata lirih. Putaran ancang-ancangnya mengalir halus, lemparannya mulus, caranya melepas bola hampir seperti tanpa upaya, tapi bola bisbol itu melesat dari jemarinya dan meletup dalam sarung tangan Rico. Ia melempar lebih keras dan lebih keras lagi. "Dia sangat bagus," kata ayahku sambil menggelengkan kepala. "Pemuda itu pasti sudah banyak main bisbol."
"Perempuan dulu." seseorang berkata. Tally mengambil tongkat pemukul dan berjalan ke plate. Ia tak bersepatu, dan memakai celana ketat yang digulung hingga ke lutut, serta kemeja longgar dengan ujung-ujungnya diikat membentuk simpul. Kau bisa melihat perutnya. Pada mulanya, ia tidak memandang pada si Koboi, tapi laki-laki itu sudah pasti menatapnya. Ia bergeser beberapa kaki mendekati plate, dan melakukan lemparan pertama dengan tangan di bawah. Tally mengayun tongkat dan meleset, tapi pukulannya hebat, setidaknya untuk seorang gadis.
Kemudian pandangan mata mereka bertemu sepintas Si Koboi menggosok-gosok bola bisbol itu. Tally mengayun-ayunkan tongkat, sembilan orang Meksiko berceloteh riuh seperti sekumpulan jangkrik.
Lemparan kedua lebih pelan lagi, dan Tally pun berhasil memukulnya. Bola itu bergulir di samping Pepe pada base ketiga, dan kami pun mendapatkan base runner pertama. "Giliranmu, Luke," ayahku berkata. Aku melangkah ke plate, mantap bagaikan Stan Musial. sambil berharap si Koboi tidak memberiku lemparan-lemparan keras. Ia membiarkan Tally berhasil memukul bola. sudah pasti ia akan berbuat sama kepadaku. Aku berdiri di kotak, mendengarkan ribuan penggemar fanatik The Cardinals bersorak-sorai menyerukan namaku. Penonton penuh sesak, Harry Caray berteriak-teriak ke mikrofon, kemudian aku memandang pada si Koboi, tiga puluh kaki dariku, dan jantungku pun berhenti berdetak Ia tidak tersenyum, sama sekali tidak. Ia memegang bola itu dengan dua tangan, dan memandang padaku seakan-akan ia bisa menggergaji putus kepalaku dengan lemparan keras.
Apa yang akan dilakukan Musial dalam keadaan seperti ini" Ayunkan tongkat keparat itu!
Lemparan pertama juga lemparan underhand, jadi aku mulai bernapas lagi. Bola itu tinggi, dan aku tidak mengayunkan tongkat; paduan suara orang-orang Meksiko itu kembali berbunyi mengomentarinya. Lemparan kedua tepat di tengah, dan aku memukulkan tongkat mengarah ke pagar, ke lapangan kiri 350 kaki dari sana. Aku memejamkan mata dan mengayunkan tongkat untuk tiga puluh ribu penonton yang beruntu
ng di Sportsman's Park. Aku juga memukul untuk Tally.
"Strike one!" ayahku berseru, sedikit terlalu keras, pikirku. "Kau mencoba menghancurkannya, Luke," ia berkata.
Memang. Aku juga mencoba menghancurkan lemparan ketiga, dan ketika Rico melemparkan kembali bola itu, aku dihadapkan pada kengerian bahwa aku sudah meleset dua kali. Strikeout sungguh tak terbayangkan. Tally baru saja memukul bola dengan baik. Ia ada di base pertama, tegang menunggu aku memukul bola itu. sehingga ia bisa berlari ke basi selanjutnya. Kami bermain di lapanganku, dengan bola dan tongkat pemukulku. Semua orang itu menyaksikan.
Aku melangkah menjauhi plate, dan terperangah oleh kengerian akan melakukan strike out, tiga kali luput memukul bola. Tongkat pemukul itu mendadak jadi lebih berat. Jantungku berdebar keras, mulutku kering. Aku memandang ayahku meminta bantuan, dan ia berkata, "Ayo, Luke. Pukul bola itu." Aku memandang si Koboi, senyumnya yang jahat itu jadi lebih jahat lagi. Aku tidak tahu apakah aku siap menghadapi lemparan yang akan ia lakukan.
Aku melangkah ragu kembali ke plate, mengertak-kan gigi, dan mencoba membayangkan Musial, namun satu-satunya pikiran dalam benakku hanyalah bayangan kekalahan, dan aku memukul bola yang melaju sangat lamban. Ketika aku gagal memukul untuk ketiga kalinya, suasana sunyi senyap. Tongkat pemukul terjatuh dari tanganku, aku mengambilnya dan tidak mendengar apa pun ketika aku berjalan kembali pada reguku, bibirku gemetar, menguatkan hati untuk tidak menangis. Aku tidak berani menatap Tally, dan sudah tentu tak mampu memandang ayahku, ia tidak mengatakan apa-apa, tapi banyak yang hendak ia tumpahkan.
Aku ingin lari ke dalam rumah dan mengunci pintu.
Trot mendapat giliran berikutnya, dan ia memegang tongkat pemukul dengan tangan kanan, tepat di bawah labelnya. Lengan kirinya terkulai lemas, seperti biasa nya, dan kami merasa sedikit jengah menyaksikan bocah malang ini mencoba memukul bola. Tapi ia tersenyum dan merasa gembira ikut bermain, dan itu lebih penting daripada apa pun saat ini. Dua bola pertama tak berhasil dipukulnya, dan aku mulai berpikir bahwa orang-orang Meksiko ini akan mengalah kan kami dengan dua puluh run. Namun, entah bagaimana, ia berhasil memukul bola ketiga, yang melambung pelan dan mendarat di belakang base kedua, di mana empat orang Meksiko sengaja tak berhasil menangkapnya. Tally berlari melewati base kedua dan berhasil mencapai base ketiga, sementara Trot berlari terseret-seret ke base pertama.
Perasaan malu yang sudah begitu besar, jadi lebih besar lagi. Trot di base pertama. Tally di base kedua, hanya satu yang tersisih.
Bo pada giliran berikutnya, dan karena ia seorang remaja bertubuh besar dan sehat, si Koboi melangkah mundur dan melempar dengan ancang-ancang penuh. Lemparan pertamanya tidak terlalu cepat, tapi Bo yang malang sudah gemetar ketika bola melintasi home plate Ia mengayunkan pukulan sesudah Rico menangkap bola itu, dan Hank tertawa terbahak-bahak. Bo menyuruhnya tutup mulut; Hank tidak menanggapi, dan kukira kami akan menyaksikan perkelahian antara sesama anggota keluarga Spruill pada inning pertama ini.
I emparan kedua sedikit lebih cepat. Pukulan Bo sedikit terlalu lamban. "Minta dia melemparkan un-derhand!" Bo berseru pada kami. mencoba tertawa menutupi kejengahannya.
"Banci," kata Hank. Mr. dan Mrs. Spruill sudah bergabung dengan para penonton, dan Bo melirik ke arah mereka.
Aku menduga lemparan ketiga ini akan lebih cepat lagi, demikian pula Bo. Tapi si Koboi melakukan lemparan change-up, dan Bo mengayunkan tongkat jauh sebelum bola itu datang.
"Dia luar biasa bagus," ayahku mengomentari si Koboi.
"Aku yang berikutnya," Hank mengumumkan, sambil melangkah ke depan Dale, yang tidak membantah. "Akan kuperlihatkan pada kalian, bagaimana caranya "
Tongkat bisbol itu tampak seperti tusuk gigi ketika Hank merenggut dan mengayunkannya untuk pemanasan, seolah-olah ia akan memukul bola itu ke seberang sungai. Lemparan pertama si Koboi adalah bola cepat melebar, dan Hank tidak memukulnya. Bola itu berdebam dalam sarung tangan Rico, dan orang-orang Meks
iko itu kembali ramai bersorak dalam bahasa Spanyol.
"Lempar bolanya di atas plate!" Hank berseru sambil memandang ke arah kami, minta dukungan. Aku berharap si Koboi akan memborkan bola cepat ke dalam kupingnya.
Lemparan kedua jauh lebih keras. Hank mengayunkan pukulan dan luput. Si Koboi menangkap bola dari Rico, dan melirik ke base ketiga, tempat Tally sedang menunggu dan mengawasi.
Kemudian si Koboi melakukan lemparan curve, lemparan yang melaju lurus ke kepala Hank, tapi ketika ia merunduk dan menurunkan tongkat pemukul, bola itu berubah lajunya dan dengan ajaib melintasi zona pukulan. Orang-orang Meksiko itu bergemuruh tertawa. "Striker Miguel berseru dari base kedua.
"Itu bukan strike!" Hank berteriak, wajahnya merah padam.
"Tidak ada wasit." ayahku berkata. "Bukan strike. kecuali dia mengayunkan tongkat untuk memukul."
Tidak ada masalah dengan si Koboi. Ia masih pirnya lemparan lengkung lain dalam gudang amunisinya. Pada awalnya, lemparan itu tampak tidak berbahaya, lemparan lambat tertuju ke tengah plate. Hank menarik tongkat ke belakang untuk melontarkan pukulan keras. Akan tetapi bola itu berbelok dan menjauh, dan memantul sebelum Rico menangkapnya. Hank tidak memukul apa-apa selain udara kosong. Ia kehilangan keseimbangan dan jatuh pada plate. dan ketika paduan suara orang-orang Spanyol itu meledak lagi, aku mengira ia akan menyerang mereka semua. Ia berdiri, menyipitkan mata ke arah si Koboi dan menggumamkan sesuatu, lalu kembali ke posisinya semula di plate.
Dua out, dua strike, dua tersisa. Si Koboi menghabisinya dengan lemparan bola cepat. Hank menghunjamkan tongkat ke tanah ketika ia gagal kembali memukul bola itu.
"Jangan lempar tongkat pemukulnya!" ayahku berkata keras. "Kalau kau tidak bisa sportif, tidak usah ikut bermain." Kami berjalan masuk ke lapangan, sementara orang-orang Meksiko itu bergegas meninggalkannya.
Hank melontarkan pandangan muak pada ayahku, tapi tak mengucapkan apa-apa. Entah karena alasan apa, ditentukanlah bahwa aku akan melakukan lemparan atau pitch. "Kau yang melempar untuk inning pertama, Luke," ayahku berkata. Aku tidak ingin melakukannya, aku sama sekali bukan tandingan si Koboi. Kami akan mempermalukan diri sendiri dalam permainan sendiri.
Hank di base pertama, Bo pada base kedua. Dale base ketiga. Tally mengambil posisi di left-center, tangannya bertumpu pada pinggang, dan Trot di right field sambil berdoa memohon keberuntungan. Sungguh pertahanan yang hebat! Dengan aku yang melempar, kami perlu menempatkan para penjaga kami sejauh mungkin dari home plate.
Miguel mengirim Roberto sebagai yang pertama menuju plate, dan aku yakin ini disengaja, sebab laki-laki malang ini belum pernah melihat bola bisbol. Ia berhasil memukul bola dengan lemah, yang langsung ditangkap oleh ayahku. Pepe memukul bola hingga melambung, yang ditangkap oleh ayahku di belakang base kedua. Dua up. dua out, aku jadi bersemangat, tapi keberuntunganku akan segera habis. Pemukul-pemukul serius sudah berjajar, satu di belakang yang lain, dan memukul bola itu ke segala penjuru tanah pertanian kami Aku mencoba fastball, curveball, change-up. tidak ada hasilnya. Mereka berbondong-bondong berlari mengelilingi lapangan, dan bersuka ria melakukannya. Aku merana, seoab lemparanku berhasil dipukul habis, tapi menggelikan juga menyaksikan orang-orang Meksiko itu menari dan merayakan kemenangan, sementara permainan berlangsung cepat.
Ibuku dan Gran duduk di bawah sebatang pohon, menonton permainan itu bersama Mr. dan Mrs. Spruill. Semua hadir di sana, kecuali Pappy yang masih ada di kota
Ketika mereka sudah mencetak sepuluh run, ayahku minta waktu dan berjalan ke mound. "Kau sudah cukup melempar"" ia bertanya.
Sungguh pertanyaan konyol. "Kurasa begitu," kataku.
"Beristirahatlah," katanya.
"Aku bisa melempar," Hank berteriak dari base pertama. Ayahku bersangsi sedetik, lalu melemparkan bola kepadanya. Aku ingin pergi ke right field, bersama Trot, di mana tak ada banyak kejadian, tapi coach-ku berkata, "Pergilah ke base pertama."
Aku tahu dari pengalaman bahwa Hank Spruill memiliki kecepatan luar b
iasa. Ia telah menghabisi tiga pemuda Sisco hanya dalam hitungan beberapa detik. Jadi, tidak begitu mengherankan menyaksikannya melempar bola seakan-akan ia sudah bertahun-tahun melakukannya. Ia tampak mantap sewaktu memutar tangan untuk ancang-ancang dan menangkap bola dari Rico. Ia berhasil melakukan tiga lemparan keras yang tak dapat dipukul oleh Luis, dan pembantaian pada inning pertama berakhir sudah. Miguel memberitahu ayahku bahwa mereka sudah mencetak sebelas run. Rasanya seperti lima puluh.
Si Koboi kembali ke mound tempat melempar bola, dan mengambil kembali posisi yang tadi ditinggalkannya. Dale memukul dan semuanya meleset, dan ayahku melangkah ke plate. Ia mengantisipasi bola cepat, mendapatkannya, dan memukulnya dengan keras, bola lambung yang melengkung keluar dan mendarat di ladang kapas. Pablo pergi mencarinya, sementara kami memakai bolaku yang lain. Tak mungkin kami meninggalkan permainan sampai dua bola itu ditemukan.
Lemparan kedua adalah bola lengkung yang keras, dan lutut ayahku tertekuk sebelum ia bisa membaca lemparan tersebut. "Itu tadi strike" ia berkata sambil menggelengkan kepala dengan kagum. "Itu juga lemparan curveball yang pantas untuk pemain liga utama," ia berkata sekadar cukup keras untuk bisa didengar orang.
Ia berlari ke shallow center, di mana Miguel sudah memegangi bola dengan dua tangan, dan tim Arkansas akan tergulung lagi. Tally melangkah ke plate. Si Koboi berhenti bersungut dan berjalan maju. ia melemparkan bola underhand, mencoba mengenai tongkat pemukul Tally, dan ia pun akhirnya berhasil memukulnya, hingga bola bergulir lemah ke base kedua, di mana dua orang Meksiko saling berebut cukup lama sampai si pelari aman mencapai base.
Aku yang mendapat giliran berikutnya. "Tenanglah sedikit," ayahku berkata, dan aku menurutinya. Aku akan menuruti saran apa saja. Si Koboi melemparkan bola lebih perlahan lagi, lemparan melambung malas yang kupukul ke lapangan tengah. Orang-orang Meksiko itu bersorak-sorai. Setiap orang bersorak memberi semangat. Aku merasa agak jengah dengan semua itu, tapi itu memang lebih baik daripada strike out. Perasaan tertekan menghilang; masa depanku sebagai pemain The Cardinals kembali pada jalurnya.
Trot mengayunkan tiga pukulan pertama dan semuanya luput, terpisah paling sedikit satu kaki dan bolanya. "Empat kali strike" Miguel berkata, dan peraturan pun berganti lagi. Bila kau memimpin sebelas run pada inning kedua, maka kau bisa dengan mudah berlaku murah hati. Trot memukul lemparan itu. dan bola tersebut bergulir kembali ke arah si Koboi, yang sekadar untuk main-main melemparkannya ke base ketiga dalam upaya sia-sia untuk menangkap Tally, ia sudah aman, semua base sudah terisi. Orang-orang Meksiko itu berusaha memberi kesempatan pada kami untuk mendapatkan run. Bo melangkah ke plate, tapi si Koboi tidak mundur ke mound. Ia memberikan lemparan underhand lamban, dan Bo berhasil memukul bola rendah ke bast terdekat, yang dihindari oleh Pablo. Tally mencetak angka, dan aku pindah ke base ketiga.
Hank mengambil tongkat pemukul dan mengayunkannya dengan pukulan percobaan. Dengan semua base terisi, hanya satu hal yang ia pikirkan -grand slam. Si Koboi punya rencana lain. ia mundur ke belakang dan berhenti tersenyum. Hank berdiri di plate menatap tajam pada sang pitcher, menantangnya untuk melemparkan sesuatu yang bisa ia pukul.
Suara-suara di tengah lapangan mereda sesaat; orang-orang Meksiko itu beringsut maju, berjinjit pada ujung jari, siaga untuk terlibat dalam pertarungan ini. Lemparan pertama adalah bola cepat menggeledek yang melintasi plate hanya sepersekian detik sesudah si Koboi melepaskannya. Hank tidak pernah berpikir untuk mengayunkan tongkatnya; ia tidak punya kesempatan, ia mundur dari plate, dan sepertinya mengakui bahwa ia kalah. Ia melirik pada ayahku, yang menggeleng-gelengkan kepala. Seberapa keraskah si Koboi bisa melempar bola"
Kemudian ia melemparkan bola lengkung yang tampak gampang menggoda, tapi melengkung keluar dari zona pukulan. Hank memukul keras, tapi sama sekali meleset. Lalu lemparan melengkung keras, yang meluncur
lurus ke arah kepala, dan pada detik terakhir, turun melintasi plate. Wajah Hank jadi merah padam.
Satu bola cepat lagi yang tak berhasil dipukul Hank. Dua kali strike, base penuh, dan dua tersisih. Tanpa senyum setitik pun, si Koboi memutuskan untuk bermain-main sedikit. Ia melemparkan bola lengkung lamban yang melebar ke luar, lalu berubah kencang, sehingga membuat Hank merunduk. Kemudian satu bola lamban lagi yang nyaris berhasil ia pukul. Aku mendapat kesan bahwa si Koboi bisa melemparkan bola melingkar ke belakang kepala Hank kalau ia mau. Para pemain bertahan kembali berceloteh, dengan suara keras.
Strike ketiga adalah lemparan knuckleball yang mengapung ke plate- dan tampak cukup lambat bagiku untuk dipukul. Tapi bola itu meliuk dan turun. Hank mengayunkan pukulan keras, meleset sejauh satu kaki, dan sekali lagi mendarat di tanah. Ia meneriakkan kata-kata umpatan dan melemparkan pemukul bola ke dekat ayahku.
"Hati-hati dengan caramu bicara." ayahku berkata sambil memungut tongkat tersebut.
Hank menggumamkan sesuatu dan menepuk-nepuk debu dari badannya. Paro pertama inning kami berakhir sudah.
Miguel berjalan ke plate di bawah base kedua. Lemparan Hank yang pertama meluncur lurus ke arah kepala, nyaris mengenainya. Bola itu terpental menumbuk sih dan bergulir hingga berhenti di dekat base ketiga. Orang-orang Meksiko itu terdiam. Lemparan kedua bahkan lebih keras lagi, dua kaki ke arah dalam plate. Sekali lagi Miguel menjatuhkan diri, dan rekan-rekan seregunya mulai bergumam.
"Hentikan ketololan ini!" ayahku berkata keras dari short stop. "Lakukan lemparan untuk dipukul."
Hank melontarkan pandangan mencemoohnya yang biasa, ia melemparkan bola itu pada plate, dan Miguel memukulnya ke lapangan kanan, di mana Trot menjadi pemain bertahan dengan punggung menghadap ke home base, menatap jauh ke deretan pohon sepanjang Sungai St. Francis. Tally berlari cepat mengejar bola, dan berhenti ketika ia mencapai tepi ladang kapas. Ground rule triple.
Pitch selanjutnya adalah yang terakhir. Si Koboi sebagai pemukul bola. Hank menarik tangan ke belakang, mengerahkan seluruh tenaganya, dan ia melontarkan bola cepat lurus ke arah si Koboi. Si Koboi berkelit, tapi tidak cukup cepat, dan bola itu menghantamnya tepat di rusuk, dengan bunyi menyesakkan seperti sebutir melon mendarat pada bata. Si Koboi melepaskan jeritan cepat, tapi dengan sama cepatnya ia melemparkan tongkat pemukul bagaikan tomahawk.
melesat cepat dengan sepenuh kekuatan yang dapat ia kerahkan. Tongkat itu tidak mendarat di tempat yang menjadi sasarannya-di antara dua mata Hank - melainkan memantul ke kaki dan menerjang tulang keringnya. Hank meneriakkan umpatan dan langsung menerjang seperti banteng gila.
Yang lain-lain menerjang maju juga. Ayahku dari shortstop. Mr. Spruill dari samping sih. Beberapa orang Meksiko. Aku... aku tidak bergerak. Aku tetap bertahan di tempatku di base pertama, terlalu ketakutan untuk mengambil langkah. Setiap orang sepertinya berteriak-teriak dan berlari ke arah home plate


Rumah Bercat Putih A Painted House Karya John Grisham di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si Koboi tidak mundur selangkah pun. Ia berdiri diam sesaat, kulitnya yang cokelat basah, lengannya yang panjang tampak tegang dan siaga, dan giginya dipamerkan. Ketika si banteng sudah terpisah beberapa kaki, tangan si Koboi bergerak cepat ke sakunya dan muncullah sebilah pisau. Ia mengentakkannya. dan keluarlah mata pisau yang sangat panjang-baja yang mengilat, berkilauan, tak disangsikan lagi pasti sangat tajam. Bilah itu berdetak ketika melejit terbuka, bunyi klik tajam yang masih terngiang di telingaku hingga bertahun-tahun mendatang.
Ia mengacungkannya tinggi-tinggi agar dilihat semua orang, dan Hank langsung menghentikan langkah.
"Letakkan!" ia berteriak dari jarak lima kaki.
Dengan tangan kirinya, si Koboi membuat gerakan kecil, mengundang maju, seolah-olah mengatakan. Ayolah, bocah besar. Datang dan cobalah.
Pisau itu mengejutkan semua orang, dan untuk beberapa detik suasana sunyi senyap. Tak seorang pun bergerak. Satu-satunya yang terdengar hanyalah suara napas terengah-engah berat. Hank menatap mata pisau itu, yang rasanya seperti berkemba
ng makin besar. Tak ada keraguan dalam benak siapa pun bahwa si Koboi sudah pernah memakainya sebelum ini, tahu betul bagaimana menggunakannya, dan dengan senang hati akan memenggal kepala Hank bila ia maju mendekat selangkah lagi.
Kemudian ayahku, masih memegangi tongkat pemukul bola, melangkah di antara mereka berdua, dan Miguel muncul di samping si Koboi.
"Letakkan," Hank berkata lagi. "Berkelahilah seperti laki-laki."
"Tutup mulut!" ayahku berkata, sambil menggerakkan tongkat pemukul ke arah mereka berdua. "Tidak ada seorang pun yang berkelahi."
Mr. Spruill mencengkeram lengan Hank dan berkata, "Ayo pergi. Hank."
Ayahku memandang Miguel dan berkata, "Bawa dia kembali ke gudang."
Perlahan-lahan orang-orang Meksiko lainnya berkumpul mengitari si Koboi dan mendorongnya menyingkir. Ia akhirnya berbalik dan mulai berjalan, belati itu masih terlihat jelas. Hank, tentu saja, tidak bergerak, ia berdiri mengawasi orang-orang Meksiko itu berlalu, seolah-olah dengan berbuat demikian ia menyatakan kemenangan.
"Akan kubunuh bocah itu," katanya.
"Kau sudah cukup membunuh," ayahku berkata. "Sekarang pergilah. Dan menjauhlah dari gudang."
"Ayo pergi," Mr. Spruill berkata lagi, dan yang lain -Trot, Tally, Bo, dan Dale-mulai berjalan menuju halaman depan. Ketika orang-orang Meksiko itu sudah tak terlihat, Hank pun melangkah pergi. "Akan kubunuh dia." ia menggumam, sekadar eukup keras untuk didengar oleh ayahku.
Aku mengumpulkan bola, sarung tangan, dan tongkat pemukul, dan bergegas menyusul orangtuaku serta Gran.
Dua Belas SORE itu Tally menemuiku di halaman belakang. Inilah pertama kali aku melihatnya berjalan di sekitar tanah pertanian, meskipun dengan lewatnya hari demi hari. keluarga Spruill menunjukkan minat lebih besar untuk menjelajahi tempat itu.
Ia menjinjing sebuah tas kecil. Ia bertelanjang kaki, tapi sudah berganti gaun ketat yang sama seperti yang dipakainya saat pertama kali aku melihatnya.
"Maukah kau membantuku, Luke"" ia bertanya begitu manisnya. Pipiku berubah merah. Aku tidak tahu pertolongan apa yang ia inginkan, tapi jelas ia akan mendapatkannya dariku.
"Apa"" aku bertanya, mencoba bersikap sulit.
"Nenekku mengatakan pada ibuku bahwa di dekat sini ada sungai kecil yang bisa dipakai untuk mandi. Kau tahu tempatnya""
"Yeah. Sungai Siler. Kira-kira setengah mil ke arah sana," aku berkata, sambil menunjuk ke utara.
"Apa ada ular di sana""
Aku tertawa, seakan-akan semua orang tidak perlu khawatir dengan ular. "Mungkin cuma satu atau dua ular air kecil. Tidak ada ular cottonmouth"
"Dan airnya jernih, tidak keruh berlumpur"" "Mestinya jernih. Sudah seminggu ini tidak turun hujan."
ia memandang sekelilingnya, untuk memastikan tak ada siapa pun yang mendengarkan, lalu ia berkata. "Maukah kau pergi denganku""
Jantungku berhenti berdetak dan mulutku mendadak jadi kering. "Mengapa"" aku berhasil berkata dengan susah payah.
Ia tersenyum kembali dan memutar mata ke arah lain.
"Fntahlah," ia berkata. "Untuk memastikan tidak ada orang melihatku."
Ia seharusnya bisa mengatakan. "Sebab aku tidak tahu di mana sungai itu," atau. "Untuk memastikan tidak ada ular di sana." Atau alasan lainnya, apa saja yang tidak ada kaitannya dengan melihat dirinya mandi.
Tapi ia tidak berkata begitu. "Kau takut"" aku bertanya "Mungkin sedikit."
Kami menempuh jalan ladang hingga rumah dan gudang itu tak terlihat lagi. lalu berbelok di jalan setapak sempit yang kami gunakan untuk menanam di musim semi. Begitu kami tinggal berdua, ia mulai berbicara. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan, dan aku merasa lega bahwa ia tahu bagaimana menangani situasi itu.
"Aku sungguh menyesal mengenai Hank." katanya. "Dia selalu menimbulkan masalah."
"Apa kau menyaksikan perkelahian itu"" aku bertanya.
"Yang mana""
"Yang terjadi di kota."
"Tidak. Apakah mengerikan""
"Yeah, lumayan hebat. Dia memukuli mereka habis-habisan. Dia tetap memukuli mereka, jauh sesudah perkelahian itu berakhir."
Ia berhenti, lalu aku pun berhenti. Ia berjalan mendekatiku, napas kami berdua terengah berat. "Katakan padaku yang sebenarnya, Luke. Apakah
dia yang lebih dulu mengambil kayu itu""
Memandang mata cokelatnya yang indah, aku hampir saja mengatakan, "Ya." Tapi dalam sekejap ada sesuatu menahanku Kupikir sebaiknya aku bermain aman. Lagi pula. Hank tetaplah saudaranya, dan di tengah pertengkaran antara sesama keluarga Spruill, ia mungkin akan mengadukan segala yang kukatakan. Darah lebih kental daripada air, demikian Ricky selalu berkata. Aku tidak mau Hank mengincarku.
"Kejadiannya cepat sekali," aku berkata, dan mulai berjalan lagi. Ia langsung menyusul dan tidak mengucapkan apa-apa selama beberapa menit.
"Apa menurutmu mereka " akan menangkapnya"" ia bertanya.
"Entahlah." "Bagaimana pendapat kakekmu""
"Persetan, mana aku tahu." Kupikir aku bisa membuatnya terkesan dengan memakai kata-kata yang biasa diucapkan Ricky.
"Luke, bahasamu!" ia berkata, sama sekali tidak terkesan.
"Maaf." Kami terus berjalan "Apa dia pernah membunuh orang sebelumnya"" aku bertanya.
"Tidak setahuku," sahutnya.
"Dia pernah satu kali pergi ke Utara," ia meneruskan ketika kami mendekati sungai. "Dan waktu itu ada masalah. Tapi kami tidak pernah tahu, apa yang terjadi."
Aku yakin pasti ada masalah ke mana pun Hank pergi.
Sungai Siler mengalir di sepanjang perbatasan utara lahan pertanian kami, berkelok-kelok menuju Sungai St. Prancis, pada suatu pertemuan yang hampir bisa terlihat dari jembatan. Pepohonan lebat berjajar di kedua sisinya, sehingga di musim panas tempat itu biasanya menjadi tempat yang nyaman untuk berenang dan mandi. Namun sungai kecil itu akan kering, dengan segera, dan lebih sering tidak banyak airnya.
Aku membawanya ke tepian sungai yang berpasir, ke tempat dengan air paling dalam. "Ini tempat yang paling baik," kataku.
"Seberapa dalamnya"" ia bertanya, sambil melihat sekeliling.
Air itu jernih. "Kurang-lebih segini," aku berkata sambil menyentuh bagian bawah dagu.
"Tidak ada orang di sekitar sini, bukan"" ia sepertinya agak gelisah.
"Tidak. Semua orang ada di pertanian."
"Kau pergilah kembali ke jalan setapak dan berjaga untukku, oke""
"Oke," aku berkata, tanpa bergeser.
"Ayo. Luke," kalanya sambil menaruh tasnya di tepian.
"Oke," kalaku, lalu mulai beranjak pergi. "Dan Luke, jangan mengintip, oke""
Aku merasa seperti baru saja tertangkap basah. Aku mengibaskan tangan, seolah-olah pikiran itu sama sekali tak pernah terlintas dalam benakku "Tentu saja tidak," kataku.
Aku merayap naik dari tepi sungai dan menemukan satu tempat beberapa meter di atas tanah, pada dahan pohon elm. Bertengger di sana. aku nyaris bisa melihat puncak gudang kami.
"Luke!" ia memanggil.
"Ya!" "Tidak ada siapa-siapa"" "yep!"
Aku mendengar air berkecipak, tapi mataku tetap terarah ke selatan. Sesudah satu-dua menit, aku perlahan-lahan berpaling dan memandang ke arah sungai. Aku tak dapat melihatnya, dan aku merasa agak lega. Tepian pasir itu terletak di kelokan, sementara pepohonan dan dahan-dahan tumbuh lebat.
Satu menit lagi berlalu, dan aku mulai merasa tak berguna. Tak seorang pun tahu kami ada di sini, jadi tikkan ada seorang pun yang mencoba menyelinap mengintipnya Berapa seringkah aku punya kesempatan melihat seorang gadis cantik mandi" Seingatku tak ada larangan spesifik dari gereja atau kitab suci, meskipun aku tahu itu keliru. Tapi mungkin itu tidaklah terlalu berdosa.
Karena urusan ini melibatkan kenakalan, pikiranku melayang pada Ricky. Apa yang akan ia lakukan dalam situasi seperti ini"
Aku merayap turun dari pohon elm itu. lalu menyelinap di antara rumput liar dan semak-semak, hingga sampai di atas tepian tersebut, lalu aku perlahan-lahan merangkak di antara semak.
Gaun dan pakaian dalam Tally tergantung pada sebatang dahan. Tally sedang berendam di dalam air, kepalanya tertutup busa putih sementara ia mencuci rambut dengan lembut. Aku berkeringat, tapi tidak bernapas. Sambil bertiarap di rumput, mengintip di antara dua batang pohon, aku tak bisa terlihat olehnya Pepohonan itu bergerak lebih banyak daripada diriku.
Ia bersenandung, cuma seorang gadis cantik mandi di sungai, menikmati air sejuk. Ia tidak melihat sekelilingnya dengan ketakutan; ia perca
ya padaku. ia membenamkan kepala ke dalam air, membilas rambutnya, menyingkirkan busa hingga terbawa arus. Kemudian ia berdiri dan meraih sabun. Punggungnya menghadap ke arahku, dan aku bisa melihat bagian belakang tubuhnya, seluruhnya. Ia tak mengenakan apa pun, tepat seperti aku saat mandi berendam setiap minggu. dan itu pulalah yang kuperkirakan. Tapi membuktikan hal itu membuat sekujur tubuhku tergetar Secara naluriah, aku mengangkat kepala untuk melihat lebih jelas, lalu aku merunduk lagi ketika tersadar kembali.
Kalau ia memergoki aku, ia tentu akan menceritakannya pada ayahnya, yang akhirnya akan memberi-tahu ayahku, yang akan memukuli aku sampai aku tak mampu berjalan. Ibuku akan memarahiku selama seminggu. Gran tidak akan berbicara padaku, hatinya pasti sangat terluka. Pappy akan menghardikku habis-habisan, tapi sekadar untuk dilihat yang lain Aku akan hancur.
Di dalam air setinggi pinggang, ia membasuh lengan dan dada, yang bisa kulihat dari samping. Aku belum pernah melihat buah dada wanita, dan aku sangsi apakah ada bocah laki-laki umur tujuh tahun di Craighead County pernah melihatnya. Mungkin beberapa anak secara kebetulan melihat ibu mereka, tapi aku yakin tak ada seorang pun anak seusiaku pernah menyaksikan pemandangan ini.
Entah karena alasan apa, aku memikirkan Ricky lagi, dan suatu gagasan nakal mendarat entah dari mana. Sehabis melihat sebagian besar bagian tubuh Tally yang paling pribadi, aku ingin melihat segalanya. Seandainya aku berteriak "Ular!" dengan sekeras-kerasnya, ia tentu akan berteriak ketakutan. Ia akan melupakan sabun dan kain penggosok badan dan ketelanjangan dan segalanya, dan akan tergopoh-gopoh lari ke tanah yang kering. Ia akan lari ke pakaiannya, tapi selama beberapa detik yang mendebarkan itu aku akan melihat semuanya.
Aku menelan ludah dengan berat, mencoba melegakan kerongkongan, tapi kusadari betapa kering mulutku. Dengan jantung berdebar-debar, aku bersangsi, dan dengan berbuat demikian, aku mendapat pelajaran berharga tentang kesabaran.
Untuk membersihkan kaki. Tally melangkah lebih dekat ke tepian. Ia berdiri hingga air sungai kecil itu hanya menutupi telapak kakinya. Perlahan-lahan, dengan sabun dan kain, ia membungkuk dan mengulurkan tangan, menggosok tungkai, pantat, dan perutnya. Jantungku memukul-mukul tanah
ia membilas dengan memercikkan air ke seluruh tubuh. Setelah selesai, dan masih berdiri di air setinggi mata kaki. telanjang bulat. Tally berpaling dan menatap lurus ke tempat aku kebetulan sedang bersembunyi.
Aku merundukkan kepala dan membenamkan diri lebih dalam lagi di antara rumput liar. Aku menunggunya meneriakkan sesuatu, tapi ia tidak melakukannya. Dosa ini tak termaafkan. aku kini yakin.
Aku beringsut mundur, sangat perlahan-lahan, tidak menimbulkan suara apa pun, hingga aku sampai di dekat tepian ladang kapas. Kemudian aku merayap secepat-cepatnya di sepanjang deretan pohon dan kembali pada posisiku semula di dekat jalan setapak, seolah-olah tidak terjadi apa pun. Aku mencoba berpura-pura bosan ketika kudengar ia mendatangi.
Rambutnya basah; ia sudah berganti gaun. "Terima kasih, Luke," katanya.
"Uh, sama-sama," aku berhasil bicara.
"Aku merasa jauh lebih enak."
Aku juga, pikirku. Kami berjalan lamban kembali ke arah rumah. Mulanya tidak sepatah kata pun diucapkan, tapi ketika kami sudah sampai di tengah jalan menuju rumah, ia bertanya, "Kau melihatku, bukan, Luke"" Suaranya ringan dan menggoda, dan aku tak ingin berbohong.
"Ya," kataku. "Tidak apa-apa. Aku tidak marah." "Tidak""
"Tidak. Kurasa memang normal kalau anak laki-laki melihat anak perempuan."
Memang rasanya sangat wajar. Aku tidak tahu mesti mengucapkan apa
Ia meneruskan, "Kalau lain kali kau mau mengantarku lagi ke sungai kecil itu, dan jadi penjagaku, maka kau boleh melakukannya lagi."
"Melakukan apa lagi""
"Melihatku." "Oke," kataku, sedikit terlalu cepat "Tapi kau-tidak boleh menceritakannya pada siapa pun." "Tidak."
Saat makan malam, aku mengaduk-aduk makananku dan mencoba bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Namun rasanya sungguh sulit menelan makana
n dengan perut masih bergolak. Aku bisa melihat Tally dengan jelas, seakan-akan kami masih ada di sungai kecil itu.
Aku telah melakukan sesuatu yang tercela. Dan aku tak sabar untuk melakukannya lagi.
"Apa yang kaupikirkan, Luke"" Gran bertanya
"Tidak apa-apa," aku berkata, tersentak kembali dalam kenyataan.
"Ayolah," Pappy berkata "Ada sesuatu dalam benakmu."
Inspirasi muncul dengan cepat. "Belati itu," kataku. Keempat orang dewasa itu menggelengkan kepala tak setuju.
"Pikirkanlah hal-hal yang menyenangkan," Gran berkata.
Jangan khawatir, pikirku dalam hati. Jangan khawatir.
Tiga Belas DALAM dua hari Minggu berturut-turut, kematian mendominasi ibadat kami. Mrs. Letha Haley Dockery adalah seorang wanita tinggi besar dengan suara keras, yang bertahun-tahun lalu ditinggal kabur oleh suaminya ke California. Tidaklah mengejutkan, ada banyak desas-desus tentang apa yang ia lakukan begitu tiba di sana, dan yang jadi favorit dan pernah kudengar berkali-kali adalah ia menjalin hubungan dengan seorang wanita muda dari ras lain - mungkin Cina- meskipun, seperti banyak gosip lain yang beredar di Black Oak. hal itu tak dapat dipastikan kebenarannya. Siapa yang pernah pergi ke California"
Mrs. Dockery membesarkan dua anak laki-laki, tak seorang pun di antaranya pernah menonjol, tapi mereka cukup punya nalar untuk meninggalkan ladang kapas. Yang seorang tinggal di Memphis; yang satunya jauh di wilayah Barat, entah di mana tepatnya.
Ia punya sanak lain yang bertebaran di Arkansas timur laut, dan terutama di antaranya adalah seorang sepupu jauh yang tinggal di Paragould, dua puluh mil dari sana. Sepupu yang sangat jauh, menurut Pappy yang sama sekali tidak menyukai Mrs. Dockery. Sepupu di Paragould ini punya seorang anak laki-laki yang juga bertempur di Korea.
Kalau Ricky disebut-sebut dalam doa di gereja kami, peristiwa tak menyenangkan yang selalu terjadi, Mrs. Dockery dengan cepat melompat maju dan mengingatkan seluruh jemaat bahwa ia juga punya keluarga dalam perang tersebut, ia akan menyudutkan Gran dan berbisik-bisik sedih tentang beban berat menunggu kabar dari garis depan. Pappy tidak bicara pada siapa pun mengenai perang itu. dan pernah ia memarahi Mrs. Dockery sesudah wanita itu berupaya menunjukkan simpati. Sebagai keluarga, kami mencoba mengabaikan apa yang terjadi di Korea, setidaknya di depan umum.
Beberapa bulan sebelumnya, dalam salah satu sandiwaranya untuk menarik simpati, seseorang menanyakan apakah ia punya foto kemenakannya itu. Sebagai satu jemaat gereja, kami sudah begitu banyak berdoa untuknya, dan seseorang ingin melihatnya. Mrs. Dockery merasa dipermalukan ketika ia tidak dapat memperlihatkan foto itu.
Ketika pertama kali kemenakan itu dikirim, namanya adalah Jimmy Nance, dan ia kemenakan dari sepupu Mrs. Dockery yang keempat - sepupunya yang "sangat dekat" Sesudah perang berlangsung beberapa waktu, ia menjadi Timmy Nance. dan ia bukan sekadar seorang kemenakan, tapi sepupu sejatinya, yang kedua atau entah ketiga. Kami tidak pernah tahu yang sebenarnya. Meskipun ia lebih suka nama Timmy, sekali-sekali Jimmy menyelinap juga dalam percakapan.
Entah siapa pun nama sejatinya, kemenakan ini telah tewas. Kami mendengar kabarnya di gereja pada hari Minggu itu, sebelum kami bisa keluar ke truk kami.
Mrs. Dockery ada di aula pertemuan, berkumpul dengan orang-orang, dikelilingi para wanita dari kelas sekolah Minggu-nya. semuanya meratap dan terus berlarut-larut. Aku menyaksikan dari kejauhan, sementara Gran dan ibuku menunggu dalam antrean untuk menghiburnya, dan aku benar-benar kasihan terhadap Mrs. Dockery. Entah dekat atau jauh hubungan kekerabatannya, perempuan itu amat berduka.
Rincian ceritanya dibicarakan dengan berbisik-bisik: kemenakan itu sedang mengemudikan Jeep untuk komandannya ketika mereka menabrak ranjau darat. Jenasahnya belum tentu pulang dalam dua bulan, atau bahkan mungkin tidak akan pernah, ia baru dua puluh tahun, dan punya seorang istri yang masih muda di rumah, di Kennett, Missouri.
Sewaktu semua percakapan ini berlanjut, Pendeta Akers memasuki ruangan dan duduk di sebe
lah Mrs. Dockery. ia memegang tangan wanita itu, dan mereka memanjatkan doa panjang, sungguh-sungguh, dan hening. Seluruh jemaat gereja ada di sana, memandanginya, menunggu untuk menyampaikan bela sungkawa.
Sesudah beberapa menit, aku melihat Pappy menyelinap keluar dari pintu.
Jadi, beginilah kejadiannya, pikirku, bila ketakutan-ketakutan kami yang paling hebat sampai terjadi: Dari belahan dunia lain, mereka akan mengirim kabar bahwa ia sudah tewas. Lalu teman-teman akan berkumpul di sekeliling kami, dan setiap orang akan menangis.
Kerongkonganku tiba-tiba terasa nyeri, dan mataku mulai berair. Aku berkata pada diri sendiri. Tni tak mungkin terjadi pada kami. Ricky tidak mengemudikan Jeep di sana. dan andai kata dia melakukannya, dia tentu cukup cerdik untuk tidak menerjang ranjau darat. Sudah pasti dia akan pulang."
Aku tidak mau dilihat orang sedang menangis, maka aku menyelinap keluar dari gedung itu, tepat pada waktunya untuk melihat Pappy naik ke dalam truknya, dan aku pun bergabung dengannya. Kami duduk dan menatap lama ke balik kaca depan, lalu tanpa sepatah kata pun ia menghidupkan mesin, dan kami berlalu.
Kami melewati pabrik pengolah kapas. Meskipun di pagi hari Minggu tempat itu sunyi senyap, setiap petani diam-diam menginginkannya menderu dengan kecepatan penuh. Pabrik pemisah biji kapas itu hanya beroperasi tiga bulan dalam setahun.
Kami meninggalkan kota, tanpa punya tujuan tertentu - setidaknya aku tak bisa menentukannya. Kami menyusuri jalan-jalan kecil berbatu dan berdebu, dengan deretan-deretan kapas terpisah beberapa kaki dari bahu jalan.
Ucapan Pappy yang pertama adalah, "Di situ tempat tinggal keluarga Sisco." Ia mengangguk ke arah kiri, tak mau melepaskan satu tangan pun dari roda kemudi. Di kejauhan, samar-samar di seberang ber-ekar-ekar batang kapas, terlihat sebuah rumah khas milik petani bagi hasil. Atap sengnya yang berkarat, melengkung ke bawah, terasnya miring, halamannya tanah kering, dan tanaman kapas tumbuh hampir sampai ke tali jemuran. Aku tidak melihat siapa pun di sana, dan itu sungguh melegakan. Tahu bagaimana watak Pappy, ia bisa tiba-tiba saja terdorong untuk berhenti di depan halaman itu dan mulai mencari gara-gara.
Kami terus melaju perlahan-lahan di tengah ladang-ladang kapas yang datar tak berkesudahan. Aku membolos dari Sekolah Minggu, kelonggaran yang nyaris tak dapat kupercaya. Ibuku pasti tidak suka, tapi ia tidak akan berdebat dengan Pappy. Ibukulah yang pernah mengatakan padaku bahwa Pappy dan Gran berpaling padaku saat mereka paling khawatir dengan Ricky
Ia melihat sesuatu, dan kami mengurangi kecepatan hingga hampir berhenti, "Itu tempat Embry," ia berkata, sambil mengangguk lagi. "Kaulihat orang-orang Meksiko itu"" Aku menjulurkan kepala dan menajamkan pandangan, dan akhirnya melihat mereka, empat atau lima topi jerami jauh di dalam lautan putih, membungkuk rendah, seolah-olah mereka mendengar kami dan menyembunyikan diri.
"Mereka memetik pada hari Minugu"" kataku.
"yep." Kami melaju lebih cepat, dan akhirnya mereka hilang dari pandangan. "Kita mesti bagaimana"" aku bertanya, seolah-olah ada undang-undang yang dilanggar.
"Tidak bagaimana-bagaimana. Itu urusan Embry."
Mr. Embry adalah salah satu anggota jemaat gereja kami. Aku tidak dapat membayangkan ia membiarkan ladangnya digarap pada hari Sabat. "Apa dia tahu tentang ini"" aku bertanya.
"Mungkin tidak. Kukira gampang buat orang-orang Meksiko itu untuk menyelinap keluar sesudah dia berangkat ke gereja." Pappy mengucapkan ini tanpa keyakinan.
"Tapi mereka tidak bisa menimbang sendiri kapas petikan mereka," aku berkata, dan Pappy tersenyum.
"Tidak, kurasa tidak," katanya. Jadi. dipastikan bahwa Mr. Embry mengizinkan para pekerja Meksikonya memetik pada hari Minggu. Ada desas-desus semacam ini setiap musim gugur, tapi aku tak bisa membayangkan seorang diakon yang baik seperti Mr. Embry ternyata ikut serta dalam dosa rendah seperti itu. Aku terguncang; Pappy tidak.
Orang-orang Meksiko yang malang itu. Diangkut pulang-pergi seperti ternak, dipekerjakan seperti kuda, dan satu hari istirahat mereka pun dir
ampas sementara si pemilik ladang bersembunyi di gereja.
"Kita sebaiknya diam saja tentang hal ini," Pappy berkata, puas bahwa ia sudah menegaskan kebenaran suatu desas-desus.
Lebih banyak rahasia lagi harus disimpan.
Kami mendengar jemaat sedang bernyanyi ketika kami berjalan kaki menuju gereja. Aku tidak pernah berada di luar pada saat yang tidak seharusnya., "Terlambat sepuluh menit," Pappy menggumam pada diri sendiri saat membuka pintu. Mereka sedang berdiri dan menyanyi, dan kami berhasil menyelinap ke tempat duduk kami tanpa menimbulkan banyak kehebohan. Aku melirik ke arah orangtuaku, tapi mereka tak menghiraukan. Ketika lagu itu selesai, kami duduk, dan aku mendapati diriku duduk dengan aman di antara kakek dan nenekku. Ricky mungkin saja dalam bahaya, tapi aku sudah pasti aman terlindung.
Pendeta Akers tahu berhati-hati untuk tidak menyinggung masalah perang dan kematian. Ia memulai dengan memberitakan kabar duka cita tentang Timmy Nance, berita yang sudah didengar semua orang. Mrs. Dockery sudah dibawa pulang untuk memulih-kan diri. Makanan diurus oleh kelas Sekolah Minggunya. Kata Pendeta Akers, inilah saatnya bagi gereja untuk mengubur perbedaan dan memberikan penghiburan kepada salah satu anggotanya.
Itu tentu merupakan detik-detik terindah bagi Mrs. Dockery. dan kami semua tahu itu.
Seandainya Pendeta Akers terus bicara tentang perang, ia tentu harus berurusan dengan Pappy saat kebaktian usai, maka ia tetap berpegang pada pesannya yang sudah dipersiapkan. Kami, kaum Baptis, berbangga hati karena mengirimkan misionaris ke seluruh penjuru dunia, dan seluruh denominasi ini sedang di tengah kampanye besar-besaran untuk mengumpulkan uang dan mendukung mereka. Itulah yang dibicarakan Pendeta Akers - sumbangkan uang lebih banyak lagi, sehingga kita bisa mengirim lebih banyak lagi orang-orang kita ke tempat-tempat seperti India, Korea. Afrika, dan Cina. Yesus mengajarkan bahwa kita harus mengasihi semua orang, tanpa memedulikan perbedaan-perbedaan mereka.
Aku memutuskan tidak akan memberi sepeser pun tambahan.
Aku diajar untuk menyumbangkan sepersepuluh pendapatanku, dan aku melakukan hal itu dengan berat hati. Namun itu tertulis di dalam Kitab Suci.
dan sulit untuk dibantah. Meskipun demikian. Pendeta Akers meminta lebih banyak lagi sumbangan suka rela, dan sejauh menyangkut diriku, ia tidak begitu berhasil. Tak sepeser pun uangku akan mengalir ke Korea. Aku yakin semua anggota keluarga Chandler merasakan hal yang sama. Mungkin seluruh gereja.
Ia agak sendu pagi itu. Ia berkotbah tentang kasih dan kemurahan hati, bukan tentang dosa dan kemati an. tapi kupikir hatinya tidak terfokus ke sana. Dengan suasana lebih hening dari biasa, aku mulai terkantuk-kantuk.
Sesudah kebaktian, kami sama sekali tidak berminat untuk bercakap-cakap. Orang-orang dewasa langsung pergi ke truk, dan kami cepat-cepat pergi. Di tepi kota. ayahku bertanya, "Ke mana kau dan Pappy tadi pergi""
"Cuma jalan-jalan dengan mobil." sahutku. "Ke mana""
Aku menunjuk ke timur dan berkata, "Ke sana. Tanpa tujuan tertentu. Kukira dia cuma ingin menyingkir dari gereja."
Ayahku mengangguk, seolah-olah menyesal kenapa ia tidak ikut pergi bersama kami.
Ketika kami sedang menyelesaikan makan malam hari Minggu, terdengar ketukan ringan di pintu belakang. Ayahku yang paling dekat ke sana, maka ia melangkah ke teras belakang dan mendapati Miguel bersama si Koboi.
"Ibu. ada yang memerlukan pertolonganmu." ia berkata, dan Gran bergegas keluar dari dapur. Kami semua mengikuti.
Si Koboi tak berkemeja; bagian kiri dadanya bengkak dan kelihatan parah, ia hampir tak bisa mengangkat lengan kirinya, dan ketika Gran menyuruhnya melakukan hal itu, ia meringis kesakitan. Aku merasa kasihan padanya. Ada sedikit luka gores di tempat bola bisbol itu membenturnya. "Aku bisa menghitung jahitannya." Gran berkata.
Ibuku membawa sebaskom air dan kain. Sesudah beberapa menit, Pappy dan ayahku jadi bosan dan berlalu. Aku yakin mereka resah bagaimana seorang Meksiko yang terluka akan mempengaruhi produksi kami.
Gran paling bahagia kalau bisa berperan sebagai dok
ter, dan si Koboi mendapatkan perawatan penuh. Sesudah membalut luka itu. Gran menyuluhnya berbaring di teras, kepalanya ditopang bantal dari sofa kami.
"Dia tidak boleh bergerak," kata Gran pada Miguel.
"Seberapa sakitnya"" Gran bertanya.
"Tidak terlalu," kata si Koboi sambil menggelengkan kepala. Bahasa Inggris-nya mengejutkan kami.
"Bagaimana kalau aku memberinya obat penahan sakit"" kata Gran sambil menoleh ke arah ibuku.
Obat penahan sakit Gran rasanya jauh lebih parah daripada tulang patah mana pun, dan aku melontarkan pandangan ngeri ke arah si Koboi. Ia membaca perasaanku dengan baik dan berkata, "Tidak, tidak perlu obat." Gran memasukkan es dari dapur ke dalam sebuah kantong guni, dan dengan lembut menempelkannya pada rusuk si Koboi yang bengkak. "Peganglah di sana," ia berkata, sambil menaruh lengan kiri si Koboi ke atas kantong. Ketika es itu menyentuhnya, seluruh tubuh si Koboi jadi kaku, tapi ia mengendur kembali begitu perasaan kebas timbul. Dalam beberapa detik, air sudah mengaliri kulitnya dan menetes ke teras. Ia memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam.
"Terima kasih," Miguel berkata
"Gracias" sambutku, dan Miguel tersenyum padaku.
Kami meninggalkan mereka di sana, dan berkumpul di teras depan untuk menikmati es teh.
"Rusuknya retak," Gran berkata pada Pappy yang sedang berada di ayunan, mencerna makanannya. Pappy benar-benar tak ingin mengucapkan apa pun. tapi sesudah beberapa detik berdiam diri, ia mendengus dan berkata, "Sayang sekali."
"Dia perlu ke dokter."
"Apa yang akan dilakukan dokter""
"Mungkin ada perdarahan di dalam."
"Mungkin tidak."
"Itu bisa berbahaya."
"Kalau dia mengalami perdarahan di dalam, dia tentu sudah mati sekarang, bukan begitu""
"Tentu saja," ayahku menambahkan.
Dua hal terjadi di sini. Yang pertama dan paling menonjol, para laki-laki itu merasa ngeri bahwa mereka harus membayar dokter. Kedua, dan hampir sama pentingnya, mereka berdua pernah bertempur di parit-parit perlindungan. Mereka sudah pernah menyaksikan potongan-potongan tubuh berserakan, mayat-mayat bergelimpangan, laki-laki kehilangan anggota badan, dan mereka tidak memiliki kesabaran dengan urusan kecil seperti itu. Terluka atau patah tulang adalah bahaya rutin kehidupan. Tangguhkanlah dirimu.
Gran tahu bahwa ia tidak akan berhasil. "Kalau dia mati, itu akan jadi kesalahan kita."
"Dia tidak akan mati, Ruth," Pappy berkata. "Dan seandainya hal itu benar terjadi, itu bukan kesalahan kita. Hank-lah yang mematahkan rusuknya."
Ibuku beranjak pergi dan masuk ke dalam, ia merasa tidak enak badan lagi, dan aku mulai khawatir dengannya. Percakapan bergeser pada masalah kapas, dan aku meninggalkan teras itu.
Aku berindap-indap memutar ke belakang, di mana Miguel sedang duduk tak jauh dari si Koboi. Mereka berdua tampak sedang tidur. Aku menyelinap ke dalam rumah dan pergi memeriksa ibuku, ia sedang berbaring di ranjangnya, matanya terbuka. "Mom tidak apa-apa"" aku bertanya.
"Ya, tentu saja, Luke. Jangan khawatir denganku."
Ia pasti akan mengatakan itu. tak peduli betapa parah keadaannya. Aku bersandar di tepi ranjangnya beberapa saat, dan ketika hendak pergi, aku berkata, "Mom yakin Mom tidak apa-apa""
Ia menepuk lenganku dan berkata, "Aku baik-baik saja. Luke."
Aku pergi ke kamar Ricky untuk mengambil sarung tangan dan bola bisbolku. Miguel sudah pergi ketika aku melangkah diam-diam dari dapur. Si Koboi sedang duduk di pinggir teras, kakinya bergelantungan di atas papan. Lengan kirinya menekankan es ke lukanya. Ia masih membuatku takut, tapi dalam keadaannya sekarang rasanya ia tidak berbahaya.
Aku menelan ludah dengan berat, berjalan ke pinggir teras, dan mengangsurkan bolaku -bola itu juga yang telah mematahkan rusuknya. "Bagaimana kau melemparkan bola lengkung itu"" tanyaku padanya. Wajahnya yang bengis mengendur, lalu ia nyaris tersenyum. "Sini." ia berkata, dan menunjuk ke rumput di samping teras. Aku melompat turun, dan berdiri di samping lututnya.
Si Koboi menggenggam bola itu dengan dua jari pertamanya tepat pada jahitan bola. "Seperti ini," ia berkata Itu sama seperti yang diajarkan
Pappy padaku. "Kemudian kausentakkan mendadak." ia berkata sambil memutar pergelangan. sehingga jari-jarinya ada di bawah bola ketika melepaskannya. Tidak ada sesuatu yang baru. Aku mengambil bola dan melakukannya tepat seperti yang ia tunjukkan.
Ia memandangiku tanpa bieara. Lalu senyum samarnya lenyap, dan kulihat ia sepertinya sangat kesakitan.
"Terima kasih," kataku, ia hanya mengangguk sedikit.
Kemudian mataku menangkap ujung belatinya menyembul dari lubang di saku kanan depan celana kerjanya. Di luar kehendakku, aku menatapnya. Aku memandangnya, kemudian kami berdua mengarahkan pandangan pada senjata itu. Perlahan-lahan ia mengambilnya. Gagangnya berwarna hijau tua dan halus, dihiasi ukiran, ia mengangsurkannya padaku untuk melihatnya, kemudian ia menekan tombolnya, dan mata pisau itu melejit keluar. Belati itu berdetak, dan aku tersentak mundur.
"Dari mana kau mendapatkan itu"" tanyaku. Suatu pertanyaan bodoh yang tidak ia jawab.
"Lakukanlah lagi." kataku.
Dalam sekejap ia menekankan mata belati pada kakinya, melipatnya kembali ke gagang, lalu meng-goyangkannya dekat wajahku ketika ia melejitkan kembali mata belati itu keluar.
"Boleh aku melakukannya"" aku bertanya.
Tidak, ia menggelengkan kepala dengan tegas.
"Kau pernah menusuk orang dengan belati itu""
Ia menarik belati itu lebih dekat ke diri sendiri dan melontarkan pandangan bengis. "Banyak," katanya.
Aku sudah cukup melihat. Aku mundur, lalu berjalan melewati sih. di mana aku bisa menyendiri. Aku melempar-lempar bola ke atas dan menangkapnya sendiri selama satu jam. berharap sia-sia bahwa Tally akan pergi ke sungai kecil itu lagi.
Empat Belas KAMI diam-diam berkumpul di traktor pada dini hari Senin. Aku sungguh ingin menyelinap kembali ke dalam rumah dan naik ke ranjang Ricky, tidur sampai berhari-hari. Tanpa kapas, tanpa Hank Spruill. tanpa apa pun yang membuat hidup jadi tidak menyenangkan. "Kita bisa istirahat di musim dingin," demikian Gran suka berkata, dan itu benar. Begitu kapas selesai dipetik dan ladang dibajak, tanah pertanian kecil kami akan tidur musim dingin melewati bulan-bulan yang dingin.
Tapi, di tengah bulan September, cuaca dingin masih merupakan impian samar. Pappy, Mr. Spruill, dan Miguel berkerumun di dekat traktor dan berbicara dengan sikap sungguh-sungguh, sementara kami semua mencoba mendengarkan. Orang-orang Meksiko itu menunggu dalam satu kelompok tak jauh dari sana. Digelar rencana bagi mereka untuk mulai dengan kapas di dekat gudang, sehingga mereka bisa langsung berjalan ke ladang. Kami, orang-orang Arkansas, akan bekerja sedikit lebih jauh, dan trailer kapas itu berfungsi sebagai garis pemisah di antara
dua kelompok tersebut. Perlu ada jarak antara Hank dan si Koboi; kalau tidak, tentu akan terjadi pembunuhan lagi.
"Aku tidak ingin ada masalah lagi," kudengar Pappy berkata. Setiap orang tahu bahwa belati itu tidak akan pernah meninggalkan saku si Koboi, dan kami sangsi bahwa Hank, betapapun tololnya, akan bertindak bodoh untuk menyerangnya lagi. Pada saat sarapan pagi hari itu, Pappy mengemukakan dugaan bahwa si Koboi bukanlah satu-satunya orang Meksiko yang bersenjata. Satu tindakan tanpa pikir oleh Hank. dan belati pun akan berterbangan di segala penjuru. Hal ini disampaikannya pada Mr. Spruill. yang meyakinkan Pappy bahwa tidak akan ada masalah lagi. Tapi saat itu tak seorang pun percaya bahwa Mr. Spruill, atau siapa pun lainnya, dapat mengendalikan Hank.
Tidak ada bekas-bekas hujan lebat kemarin; kapas itu kering, tanahnya hampir berdebu. Tapi hujan kemarin itu dilihat oleh Pappy dan ayahku sebagai peringatan akan ancaman datangnya banjir, dan kecemasan mereka tersebar menular.
Hasil panen kami nyaris sempurna, dan kami hanya punya beberapa minggu yang pendek untuk mengumpulkannya sebelum langit terbuka. Ketika traktor itu berhenti di dekat trailer kapas, kami cepat-cepat meraih karung kami dan menghilang di antara tanaman. Tidak ada suara tawa atau nyanyian dari keluarga Spruill, tidak ada suara apa pun dari orang-orang Meksiko di kejauhan. Dan tak ada tidur siang bagiku. Aku memetik secepat mu
ngkin. Matahari naik dengan cepat, memanggang embun dari kuntum-kuntum kapas. Udara pekat lekat pada kulitku dan overall-ku basah, keringat menetes-netes dari daguku. Satu keuntungan memiliki badan begitu kecil adalah banyak pohon kapas yang lebih tinggi daripada diriku; aku bisa sedikit terlindung.
Dua hari kerja keras memetik kapas, dan trailer itu pun penuhlah. Pappy membawanya ke kota; selalu Pappy yang melakukannya, tidak pernah ayahku Seperti ibuku dan kebunnya, itu termasuk salah satu pekerjaan yang sudah ditentukan jauh sebelum aku lahir. Aku diharapkan ikut dengannya, dan aku selalu menikmati ini, sebab itu berarti perjalanan ke kota, meskipun hanya ke pabrik pengolahan kapas.
Sesudah makan malam dengan cepat, kami membawa truk itu ke ladang dan menggandengkannya dengan trailer. Kemudian kami memanjat pinggirnya dan mengikatkan terpal, sehingga tidak ada kuntum kapas yang terbang tertiup angin. Rasanya seperti suatu tindak kejahatan, menyia-nyiakan satu ons sekalipun dari apa yang telah kami kumpulkan dengan susah payah.
Ketika kami melaju pulang ke rumah, aku melihat orang-orang Meksiko itu di belakang gudang, berkerumun rapat, menyantap tortilla mereka dengan perlahan-lahan. Ayahku ada di gudang perkakas, menambal ban dalam salah satu ban depan John Deere itu. Para wanita sedang mencuci piring. Pappy mendadak menghentikan truk. "Tinggal di sini," katanya padaku. "Aku akan segera kembali." ia terlupa sesuatu.
Ketika kembali dari rumah, ia membawa senapan ukuran dua belas mili, yang ia sisipkan di bawah jok tanpa sepatah kata pun
"Kita akan berburu"" aku bertanya tahu benar bahwa aku takkan mendapatkan jawaban.
Persoalan kematian Sisco sama sekali tidak dibicarakan saat makan malam atau di teras depan. Kukira orang-orang dewasa itu sudah sepakat untuk tidak membicarakan masalah tersebut, setidaknya bila aku hadir di situ. Tapi senapan itu menyiratkan berbagai kemungkinan.
Aku langsung membayangkan pertempuran baku tembak, gaya Gene Autry, di pabrik pemisah biji kapas. Orang-orang baik - para petani tentu saja - di satu pihak, melancarkan tembakan sambil merunduk di belakang dan di antara trailer kapas mereka; orang-orang jahatnya, keluarga Sisco dan teman-teman mereka, di sisi lain membalas tembakan. Kapas yang baru saja dipetik berterbangan di udara ketika trailer-trailer itu terkena tembakan silih berganti. Jendela-jendela remuk. Truk-truk meledak. Pada waktu kami menyeberangi jembatan, korban pun berjatuhan di pabrik kapas itu.
"Pappy mau menembak orang"" aku bertanya, dalam upaya memaksa Pappy untuk mengatakan sesuatu.
"Urus persoalanmu sendiri." ia berkata tegas sambil memindahkan gigi persneling.
Mungkin ada persoalan yang harus ia selesaikan dengan orang lain Pikiran ini mengingatkanku pada salah satu kisah favorit keluarga Chandler. Ketika Pappy masih jauh lebih muda, ia, seperti layaknya semua petani, bekerja di ladang dengan sekawanan keledai. Kejadian ini jauh sebelum ada traktor, dan pertanian dikerjakan oleh tenaga manusia dan binatang. Suatu hari, seorang tetangga yang tak pernah berhasil, bernama Woolbright, melihat Pappy di ladang, sedang mengalami masalah dengan keledai-keledainya. Menurut Woolbright, Pappy memukuli kepala binatang-binatang malang itu dengan sepotong kayu. Seperti kemudian diceritakan oleh Woolbright di Tea Shoppe, ia mengatakan, "Kalau saja aku punya karung guni basah, akan kuberi satu-dua pelajaran pada Eli Chandler." Kata-kata itu merembes kembali, dan Pappy mendengar apa yang diucapkan Woolbright. Beberapa hari kemudian, sesudah satu hari yang panas dan melelahkan di ladang, Pappy mengambil sebuah karung guni, memasukkannya ke dalam seember air, dan tanpa makan malam, berjalan tiga mil ke rumah Woolbright. Atau mungkin lima atau sepuluh mil, tergantung siapa yang menuturkan cerita itu.
Kutukan Patung Intan 2 Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Naga Pembunuh 11

Cari Blog Ini