Ceritasilat Novel Online

The Iron King 1

The Iron Fey 1 The Iron King Karya Julie Kagawa Bagian 1


The Iron Fey 1 : The Iron King
Julie Kagawa BAGIAN I BAB SATU Hantu dalam Komputer Sepuluh tahun lalu, di ulang tahunku yang keenam, ayahku menghilang.
Tidak, ayahku tidak pergi. Pergi berarti melibatkan koper dan lemari pakaian yang kosong, dan kartu ulang tahun yang disisipi lembaran sepuluh dolar. Pergi menandakan dia tidak bahagia dengan Mom dan aku, atau dia menemukan cinta baru di tempat lain. Tak satu pun dari hal itu terjadi. Dia juga tidak meninggal, sebab kami pasti diberitahu. Tak ada kecelakaan mobil, tak ada mayat, dan tak ada polisi yang yang menyidik TKP. Kepergiannya terjadi dengan sangat senyap.
Pada ulang tahunku yang keenam, ayah mengajakku ke taman, salah satu tempat favoritku saat itu. Hanya taman kecil yang sepi di tempat terpencil dengan jalur lari dan kolam hijau kotor yang dikelilingi pohon pinus. Di tepi kolam, saat memberi makan bebek, aku mendengar lagu dari mobil penjual es krim di tempat parkir di atas bukit. Ketika aku agar dibelikan sebatang Creamsicle, dia tertawa, ayah memberiku uang, lalu menyuruhku pergi ke sana.
Itulah kali terakhir aku melihatnya.
Ketika polisi menyelidiki daerah itu setelahnya, mereka hanya menemukan sepatunya di tepi kolam, tak ada yang lain. Mereka menugaskan penyelam ke dalam kolam yang dalamnya kurang dari tiga meter, tapi mereka tak menemukan apa pun di dalamnya selain ranting dan lumpur. Ayahku lenyap tanpa jejak.
Berbulan-bulan setelah kejadian itu, aku berulang kali bermimpi buruk sedang berdiri di puncak bukit, menatap ke bawah dan melihat ayahku melangkah ke dalam kolam. Ketika air menelan kepalanya, aku mendengar lagu dari mobil penjual es krim, lagu misterius dengan lirik yang hampir bisa kutangkap. Meskipun aku selalu terbangun ketika berusaha mendengarkannya.
Tak lama setelah menghilangnya ayahku, Mom membawa kami pindah ke tempat yang jauh, suatu kotakecil mungil di tengah rawa-rawa Louisiana. Mom bilang dia ingin memulai dari awal, tapi di dalam hati aku selalu tahu kalau dia melarikan diri dari sesuatu.
Sepuluh tahun berlalu sebelum aku mengetahui apa itu.
* * * NAMAKU Meghan Chase. Kurang dari dua puluh empat jam lagi aku akan berusia enam belas tahun.
Ulang tahun yang keenam belas. Ada nuansa magis di dalamnya. Enam belas tahun adalah usia ketika seorang gadis menjadi putri, jatuh cinta, pergi ke pesta dansa, prom dan sejenisnya. Tak terhitung kisah, lagu, dan puisi yang ditulis mengenai usia menakjubkan itu: ketika seorang gadis menemukan cinta sejati dan bintang meneranginya, lalu pangeran tampan yang membawanya menyaksikan matahari terbenam.
Kurasa hal itu takkan terjadi padaku.
Pagi hari sebelum ulang tahunku, aku bangun, mandi dan mengorek-ngorek laci mencari pakaian untuk dikenakan. Biasanya aku akan mengambil apa pun yang tampak bersih di lantai, tapi hari ini berbeda. Hari ini adalah hari dimana Scott Waldron akhirnya memandangku. Aku ingin tampil sempurna. Sayangnya koleksi pakaianku tidak mencakup model-model terbaru. Bila gadis lain menghabiskan waktu berjam-jam di depan lemari pakaian sambil mengeluh, Mau pakai baju apa" Laci pakaianku berisikan tiga jenis: pakaian yang dibeli dari badan amal Goodwill, pakaian bekas, dan overall.
Andai kami tak semiskin ini. Aku sadar beternak babi bukanlah pekerjaan paling glamor sedunia, tapi paling tidak Mom seharusnya mampu membelikan aku celana jins yang bagus. Aku memelototi laci pakaianku dengan jijik. Ya sudahlah, kurasa Scott harus dibuat kagum dengan pesona dan daya tarik alamiku, asalkan aku tak bertingkah seperti idiot di depannya.
Akhirnya aku memutuskan untuk mengenakan celana kargo, kaus hijau muda, dan sepatu kets bututku satu-satunya, sebelum menyisir rambut pirang platinaku. Rambutku lurus dan sangat halus, dan sekarang setiap helainya tegak, seperti orang yang baru saja kesetrum listrik. Setelah menariknya menjadi ekor kuda, aku pun turun.
Luke, ayah tiriku, duduk di atas meja sambil minum kopi dan membolak-balik koran lokal yang isinya lebih mirip kolom gosip sekolah kami daripada sumber berita sungguhan. Seekor anak sapi berkaki lima lahir di peternakan Patterson,
tertulis di halaman depan, seperti itulah. Ethan, adik laki-lakiku yang berusia empat tahun, duduk di pangkuan ayahnya sambil makan Pop-Tart dan menebarkan remah-remahnya di baju overall Luke. Dia menggenggam Floppy, boneka kelinci kesukaannya dengan satu tangan dan sesekali mencoba menyuapinya; wajah si kelinci penuh remah-remah dan isian buah.
Ethan bocah yang manis. Dia mewarisi rambut cokelat ikal dari ayahnya tapi memiliki mata biru Mom, seperti aku. Dia tipe anak yang membuat wanita tua berhenti untuk menyapanya, dan orang asing tersenyum serta melambai kepadanya dari seberang jalan. Mom dan Luke sangat menyayangi Ethan, tapi hal itu tidak membuatnya menjadi manja, syukurlah.
Mana Mom" tanyaku seraya masuk ke dapur. Membuka lemari makanan, aku mencari sereal kesukaanku di antara kotak-kotak sereal lainnya, ingin tahu apakah Mom ingat untuk membelinya. Tentu saja tidak. Tak ada apa-apa selain sereal berserat dan sereal marshmallow menjijikkan milik Ethan. Apa susahnya mengingat untuk membeli Cheerios"
Luke mengabaikanku dan menyesap kopi. Ethan mengunyah Pop-Tart dan bersin di lengan ayahnya. Aku membanting pintu lemari dengan bunyi benturan yang memuaskan.
Di mana Mom" tanyaku lebih nyaring kali ini. Luke mengangkat kepala dan akhirnya menatapku. Dari mata cokelat sendunya yang seperti mata sapi dia tampak agak kaget.
Oh, halo, Meg, katanya tenang. Aku tak mendengar kau masuk. Apa katamu tadi"
Aku mendesah dan mengulang pertanyaanku untuk ketiga kalinya.
Ibumu menghadiri pertemuan dengan beberapa wanita di gereja, gumam Luke, kembali ke korannya. Dia takkan kembali dalam waktu dekat, jadi kau harus naik bus.
Aku selalu naik bus. Aku hanya ingin mengingatkan Mom bahwa dia seharusnya mengantarku mengambil surat izin belajar mengemudi akhir minggu ini. Berurusan dengan Luke memang sulit. Aku bisa saja memberitahunya empat belas kali, dan dia langsung lupa begitu aku keluar ruangan. Bukan berarti dia jahat atau kejam, atau bahkan bodoh. Dia memuja Ethan, dan Mom tampak bahagia bersamanya. Tapi setiap kali aku bicara dengan ayah tiriku itu, dia menatapku kaget, seakan-akan lupa kalau aku juga tinggal di sini.
Aku meraih sepotong bagel dari atas kulkas dan mengunyahnya dengan muram sambil terus menatap jam. Beau, anjing gembala Jerman kami masuk ke dapur dan meletakkan kepala besarnya di lututku. Aku menggaruk belakang telinganya dan dia mengerang. Setidaknya anjing menghargaiku.
Luke berdiri dan dengan lembut meletakkan Ethan di kursi. Baiklah, anak besar, katanya mencium puncak kepala Ethan. Dad harus membetulkan wastafel di kamar mandi, jadi duduk manis di sini, ya. Setelah selesai, kita akan memberi makan babi, oke"
Ke, celoteh Ethan sambil mengayun-ayunkan kaki montoknya. Floppy mau lihat apa Miss Daisy sudah melahirkan.
Luke tersenyum bangga, aku merasa mual.
Hei, Luke, kataku ketika ia berbalik akan pergi, berani taruhan kau tak tahu besok ada apa.
Hmm. Dia bahkan tidak berpaling. Aku tidak tahu, Meg. Jika kau punya rencana besok, bilang pada ibumu. Dia menjentikkan jari, dan Beau langsung mengikutinya. Bunyi langkah mereka lenyap di tangga, dan aku sendirian bersama adik tiriku.
Ethan menatapku dengan gayanya yang serius. Aku tahu, ucapnya pelan, menaruh Pop-Tart di meja. Besok ulang tahunmu, kan" Floppy yang bilang, dan aku ingat.
Ya, gumamku, berbalik lalu melempar bagel ke tempat sampah. Benda itu membentur dinding dan jatuh ke tempat sampah, meninggalkan jejak berminyak di cat dinding. Aku menyeringai, memutuskan untuk membiarkannya.
Floppy mengucapkan selamat ulang tahun lebih awal padamu.
Bilang pada Floppy terima kasih. Aku mengacak-acak rambut Ethan sambil meninggalkan dapur, suasana hatiku sangat muram. Aku sudah tahu. Mom dan Luke akan melupakan ulang tahunku besok. Aku takkan mendapat kartu, kue tar, atau bahkan ucapan selamat ulang tahun dari siapa pun. Kecuali dari boneka kelinci milik adikku. Kurang menyedihkan apalagi"
Aku kembali ke kamar, mengambil buku, PR, pakaian olahraga dan iPod yang kubeli dengan uang tabunganku selama setahun, mengabaikan ketidaksuk
aan Luke pada perangkat tak berguna, pembuat otak-bebal itu. Setia dengan gaya hidup orang desanya, ayah tiriku membenci dan tak percaya pada apa pun yang membuat hidup lebih mudah. Ponsel" Tak perlu, kita sudah punya telepon rumah yang berfungsi baik. Video game" Itu alat setan, yang mengubah anak-anak menjadi badung dan pembunuh berantai. Aku merengek pada Mom agar dibelikan laptop, tapi Luke berkeras jika komputer antik dan berisik miliknya sudah cukup untuknya, maka pasti juga cukup bagi keluarganya. Belum lagi koneksi dial-up yang amat sangat lambat. Maksudku, siapa yang masih menggunakan dial-up"
Aku menatap jamku dan menyumpah. Bus akan segera tiba, dan aku masih punya waktu sepuluh menit untuk berjalan kaki ke jalan utama. Menatap keluar jendela, kulihat langit mendung yang siap menurunkan hujan, jadi kuraih jaket juga. Dan bukan untuk pertama kalinya aku berharap kami tinggal lebih dekat ke kota.
Aku bersumpah, jika sudah punya izin mengemudi dan mobil, aku tak akan kembali ke tempat ini.
Meggie, Ethan muncul di pintu, mengepit boneka kelinci di bawah dagunya. Mata birunya menatapku muram. Aku boleh ikut hari ini"
Apa" Sambil mengenakan jaket, aku mencari-cari ranselku. Tidak, Ethan. Aku ke sekolah. Itu sekolah anak besar, anak kecil tidak boleh masuk.
Aku berbalik tapi merasakan dua lengan kecil memeluk kakiku. Sambil berpegangan pada dinding agar tidak terjatuh, aku memelototi adik tiriku itu. Ethan tetap menggelayutiku, wajahnya menghadap ke arahku, rahangnya tegang. Kumohon, rengeknya. Aku akan jadi anak baik, aku janji. Bawa aku ya" Hari ini saja.
Sambil mendesah, aku membungkuk dan mengangkatnya.
Ada apa, anak manis" tanyaku, menyibakkan rambut dari matanya. Mom harus memotongnya, rambutnya sudah mirip sarang burung. Kau manja sekali pagi ini. Ada apa"
Takut, gumam Ethan, membenamkan wajahnya di leherku.
Kau takut" Dia menggeleng. Floppy takut.
Floppy takut apa" Laki-laki di dalam lemari.
Tulang punggungku terasa dingin. Kadang-kadang Ethan begitu tenang dan serius, susah untuk mengingat kalau dia baru empat tahun. Dia masih memiliki ketakutan anak-anak seperti monster di bawah tempat tidur dan bogeyman dalam lemarinya. Dalam dunia Ethan, boneka berbicara padanya, orang tak terlihat melambai ke arahnya dari balik semak-semak, dan makhluk aneh mengetuk-ngetukkan kuku di jendela kamarnya. Dia jarang mengadu pada Mom atau Luke tentang monster atau bogeyman, sejak bisa berjalan, dia selalu mengadu kepadaku.
Aku menghela napas, tahu kalau dia ingin agar aku naik dan memeriksa, meyakinkannya bahwa tidak ada apa pun yang bersembunyi dalam lemari atau di bawah tempat tidurnya. Aku menyimpan senter di lacinya untuk tujuan itu.
Kilat menyambar, dan petir menggelegar. Aku meringis. Perjalananku ke halte bus takkan menyenangkan.
Sial, aku tak punya waktu untuk ini.
Ethan menarik tubuhnya dan menatapku, matanya memohon. Aku menghela napas lagi. Baiklah, gumamku sambil menurunkannya. Ayo kita periksa apakah ada monster atau tidak.
Ethan mengikutiku menaiki tangga, mengawasi dengan cemas ketika aku mengambil senter dan berlutut, menyinari bawah ranjangnya. Tidak ada monster di sini, aku mengumumkan lalu berdiri. Aku melangkah ke lemari dan membukanya sementara Ethan mengintip dari balik kakiku. Di sini juga tidak ada monster. Kau baik-baik saja sekarang"
Ethan mengangguk dan tersenyum tipis. Aku baru akan menutup pintu ketika melihat topi abu-abu aneh di sudut. Bagian atasnya seperti kubah dengan pinggiran melingkar dan pita merah di sekelilingnya: sebuah topi bowler.
Aneh. Bagaimana bisa ada di sana"
Ketika aku menegakkan badan dan mulai berbalik, ada yang berkelebat di sudut mataku. Sekilas aku melihat sesosok tubuh bersembunyi di balik pintu kamar Ethan, mata pucatnya mengawasiku dari celah pintu. Aku memutar kepala dengan cepat, tapi tak ada apa-apa di sana.
Ya ampun, sekarang Ethan membuatku melihat monster imajiner juga. Aku harus berhenti nonton film horor.
Bunyi geledek yang menggelegar tepat di atas atap membuatku menjengit, dan butir-butir air hujan menghantam kaca jendela. M
elewati Ethan, aku keluar rumah dengan terburu-buru, berlari di sepanjang jalan masuk.
* * * AKU basah kuyup ketika tiba di halte bus. Hujan di akhir musim semi ini tidak membuat tubuh beku, tapi cukup dingin untuk membuatku tidak nyaman. Aku bersedekap dan berteduh di bawah pohon siprus berlumut, menunggu bus tiba.
Ke mana si Robbie" Aku membatin, menatap jalanan. Biasanya dia sudah berada di sini. Mungkin dia tidak ingin kebasahan dan memilih tinggal di rumah saja. Aku mendengus. Bolos lagi, huh" Dasar pemalas. Aku berharap bisa melakukannya.
Seandainya saja aku punya mobil. Aku kenal anak-anak yang orangtuanya memberi mereka mobil pada ulang tahun keenam belas. Sebagian besar teman sekelasku punya izin mengemudi dan bisa datang sendiri ke klub, pesta, dan ke mana pun mereka inginkan. Aku selalu ditinggal, gadis desa kampungan yang tak pernah diundang siapa pun.
Kecuali Robbie, ralatku dalam hati. Paling tidak Robbie akan ingat. Kira-kira hal aneh apa yang dia rencanakan untuk ulang tahunku besok" Aku hampir yakin rencana itu pasti aneh. Tahun lalu, dia menyelundupkan aku keluar rumah di tengah malam untuk piknik di hutan. Rasanya aneh; aku ingat ada lembah sempit dan kolam kecil dengan capung beterbangan di atasnya, namun aku tak pernah menemukan tempat itu lagi meskipun telah berulang kali menjelajahi hutan di belakang rumahku.
Terdengar bunyi gemeresik di semak-semak di belakangku. Mungkin seekor posum, rusa, atau rubah sedang mencari tempat berteduh. Hewan liar di sini luar biasa berani dan tidak begitu takut pada manusia. Jika tidak ada Beau, kebun sayur Mom pasti akan menjadi hidangan prasmanan bagi kelinci dan rusa, dan keluarga rakun akan menjamu diri mereka dengan apa pun yang ada di lemari kami.
Sebatang ranting patah di sela pepohonan, kali ini lebih dekat. Aku bergerak-gerak gelisah, bertekad untuk tidak menoleh hanya demi rakun atau tupai bodoh. Aku tidak seperti Angie dada-besar . Nona Pemandu Sorak Sempurna, yang langsung panik setiap melihat tikus gerbil di kandang atau setitik noda pada jins Hollisternya. Aku biasa menggaruk jerami, membunuh tikus dan menggiring babi melewati lumpur setinggi lutut. Hewan liar tidak membuatku takut.
Tetap saja aku memandangi jalan, berharap melihat bus muncul di tikungan. Mungkin karena hujan atau imajinasiku yang gila sehingga hutan ini terasa seperti dalam lokasi di film The Blair Witch Project.
Tak ada serigala atau pembunuh berantai di sini, kataku pada diri sendiri. Jangan terlalu paranoid.
Hutan mendadak sunyi. Aku bersandar di pohon dan gemetaran, mencoba memanggil bus datang dengan kekuatan mental. Rasa dingin merambat di tulang punggungku. Aku tidak sendirian. Dengan waspada, aku menengadah, mengintip dari balik dedaunan. Seekor burung hitam yang luar biasa besar bertengger di dahan, bulunya berdiri diterpa hujan, diam tak bergerak seperti patung. Ketika aku menatapnya, burung itu menggerakkan kepala dan menatap mataku, dengan mata sehijau kaca patri.
Kemudian, dari balik pohon, ada yang meraih dan mencengkeramku.
Aku memekik dan melompat menjauh, jantungku berdetak kencang. Aku membalikkan badan, bersiap kabur. Otakku dipenuhi pikiran tentang pemerkosa dan pembunuh di film The Texas Chainsaw Massacre.
Suara tawa meledak dari belakangku.
Robbie Goodfell, tetangga terdekatku artinya dia tinggal dua mil jauhnya bersandar di batang pohon, tersengal-sengal karena tertawa. Tinggi dan kurus, mengenakan jins lusuh dan kaus using, dia berhenti tertawa untuk menatap wajah piasku sebelum mulai terbahak lagi. Rambut spiky merahnya menempel di dahi dan baju menempel di kulitnya, menegaskan bentuk tubuhnya yang kurus kering, seakan proporsi tubuhnya yang tidak begitu pas. Basah kuyup serta dikotori ranting, daun dan lumpur tak membuatnya terganggu. Memang tak banyak yang membuatnya terganggu.
Sialan, Robbie! Aku mengamuk, mengangkat kaki untuk menendangnya. Dia menghindar dan terjatuh di jalanan, wajahnya merah karena tertawa. Itu tidak lucu, idiot. Kau hampir membuatku terkena serangan jantung.
Maaf, Putri, Robbie terengah-engah sambil memegangi dada, berusaha b
ernapas. Hanya saja situasinya begitu sempurna. Dia mengeluarkan kekehan terakhir lalu bangkit, memegangi tulang rusuknya. Ya ampun, mengesankan sekali. Kau melompat setinggi satu meter. Memangnya kau kira siapa aku tadi, Leatherface"
Tentu saja bukan, bodoh. Aku berbalik dengan marah untuk menyembunyikan wajahku yang merah. Dan sudah menyuruhmu berhenti memanggilku seperti itu! Aku bukan lagi anak umur sepuluh tahun.
Tentu saja, Putri. Aku memutar bola mata. Apa ada yang pernah bilang padamu bahwa level kedewasaanmu setara dengan anak umur empat tahun"
Robbie tertawa riang. Coba lihat siapa yang bicara. Bukan aku yang tak bisa tidur semalaman meskipun dengan lampu menyala setelah menonton The Texas Chainsaw Massacre. Aku hanya mencoba memperingatkanmu. Dia memasang ekspresi keji dan berjalan terhuyung-huyung ke arahku, lengan terulur ke depan. Oooh, awas, ada Leatherface.
Aku merengut dan mencipratkan air ke arahnya. Dia membalas sambil tertawa. Ketika bus tiba beberapa menit kemudian, kami berlumuran lumpur sehingga supir bus menyuruh kami duduk di belakang.
Apa yang akan kau lakukan sepulang sekolah" tanya Robbie ketika kami duduk berimpitan jauh di bangku belakang. Di sekitar kami, murid-murid berbincang, bercanda, tertawa, dan bisa dibilang mengabaikan kami. Mau minum kopi nanti" Atau kita bisa menyelinap masuk bioskop dan nonton film.
Tidak hari ini, Rob, jawabku sambil memeras air dari kaus. Aku menyesali perang lumpur kami tadi. Aku akan terlihat seperti makhluk dalam cerita Creature from the Black Lagoon di hadapan Scott. Kali ini kau harus menyelinap sendiri. Aku menjadi tutor seseorang seusai sekolah.
Mata hijau Robbie menyipit, Menjadi tutor" Siapa"
Perutku bergetar senang, aku mencoba menahan senyum lebar. Scott Waldron.
Apa" bibir Robbie membentuk seringai jijik. Si cowok-bercawat" Kenapa" Dia butuh kau untuk mengajarinya membaca"
Aku merengut. Hanya karena dia kapten tim football bukan berarti kau boleh mengejeknya. Atau kau cemburu"
Oh, tentu saja, itu dia, kata Robbie sinis. Aku selalu ingin punya IQ seperti batu. Tidak, tunggu. Itu penghinaan terhadap batu. Dia mendengus. Aku tak percaya kau naksir si cowok-bercawat. Kau bisa lebih baik dari itu, Putri.
Jangan panggil aku putri. Aku berpaling menyembunyikan wajahku yang memerah. Dan itu hanyalah tutorial. Dia takkan mengajakku ke pesta prom. Ya ampun.
Betul juga. Robbie terdengar tidak yakin. Dia memang tidak, tapi kau berharap dia mengajakmu. Akui saja. Kau meneteskan air liur saat melihatnya, sama seperti para pemandu sorak berkepala kosong di sekolah.
Memangnya kenapa kalau iya" bentakku, memandangnya. Bukan urusanmu, Rob. Kenapa juga kau peduli"
Dia terdiam, menggumamkan makian pelan. Aku memunggunginya, menatap keluar jendela. Aku tak peduli apa kata Robbie. Sore ini, selama satu jam yang menakjubkan, Scott Waldron akan menjadi milikku dan tak seorang pun bisa mengalihkan perhatianku dari itu.
* * * SEKOLAH terasa lama sekali. Semua guru bicara meracau, dan jarum jam sepertinya berjalan mundur. Sore hari merayap tanpa kusadari. Akhirnya &akhirnya, bel terakhir berbunyi, membebaskanku dari siksaan tanpa akhir dari soal X sama dengan Y.
Inilah saatnya, kataku pada diri sendiri sambil bermanuver di koridor yang padat, berusaha tetap berada di tepi kerumunan murid. Sepatu kets basah berdecit di ubin, dan bau keringat, asap, serta bau badan menguar di udara. Rasa gugup berkecamuk dalam diriku. Kau bisa melakukannya. Tak usah dipikirkan. Masuk dan selesaikan saja.
Menghindari murid lain, aku melangkah ke ujung koridor dan mengintip ke dalam ruang komputer.
Itu dia, duduk di salah satu kursi dengan kaki diletakkan di kursi lain. Scott Waldron, kapten tim football. Scott si Tampan. Scott sang Penguasa sekolah. Dia mengenakan jaket tim football merah-dan-putih yang memamerkan dada bidangnya, dan rambut pirang tebal yang menyentuh bagian atas kerahnya.
Jantungku berdebar kencang. Satu jam di ruangan yang sama dengan Scott Waldron, tanpa seorang pun menghalangi. Biasanya, aku bahkan tak bisa mendekati Sc
ott; dia selalu dikerubungi Angie dan gerombolan pemandu sorak, atau teman satu timnya. Memang ada murid lain di lab komputer, tapi mereka tipe kutu buku dan orang aneh, bukan lingkungan pergaulan Scott Waldron. Paraatlet dan pemandu sorak tidak sudi berada di sini jika bisa. Aku menghela napas dalam-dalam dan melangkah ke dalam ruangan.
Scott tak memandangku ketika aku berdiri di sebelahnya. Dia duduk santai di kursi dengan kaki terangkat dan kepala menyandar ke belakang, melempar bola imajiner ke seberang ruangan. Aku berdeham. Tak ada reaksi. Aku berdeham lebih keras. Tetap tak ada reaksi.
Mengumpulkan segenap keberanian, aku melangkah ke depannya dan melambai. Mata cokelat-kopinya akhirnya menatapku. Sesaat dia tampak kaget. Lalu sebelah alisnya terangkat, seakan-akan dia tak mengerti kenapa aku ingin bicara padanya.
Ah-oh. Ayo katakan sesuatu, Meg. Sesuatu yang pintar.
Emm & Aku terbata-bata. Hai. Aku Meghan. Aku duduk di belakangmu di kelas komputer. Dia masih menatapku kosong dan aku merasakan pipiku memanas. Ehm &aku sebenarnya jarang menonton olahraga, tapi menurutku kau pemain gelandang hebat, bukannya aku sudah sering melihat yang lain yah, hanya kau, sebenarnya. Tapi permainanmu bagus. Aku menonton semua pertandinganmu, kau tahu. Biasanya aku duduk paling belakang, jadi kau mungkin tidak melihatku. Oh, Tuhan. Tutup mulut, Meg. Tutup mulut sekarang. Aku menutup mulut rapat-rapat untuk menghentikan celotehanku yang tak keruan, ingin merangkak ke dalam lubang dan mati saja. Apa yang kupikirkan sampai mau melakukan ini" Lebih baik menjadi tak terlihat daripada menjadi idiot, terutama di depan Scott.
Dia mengerjapkan mata dengan malas, dan melepas earphone dari telinganya. Maaf, manis, katanya dengan suaranya yang merdu dan berat beraksen Selatan. Aku tidak dengar. Dia menatapku dari atas ke bawah lalu menyeringai. Apa kau yang akan menjadi tutor"
Umm. Ya. Aku menegakkan badan, berusaha mengumpulkan sisa-sisa harga diriku. Aku Meghan. Mr. Sanders memintaku untuk membantumu dalam tugas pemrograman.
Dia masih tetap menyeringai. Kau gadis kampung yang tinggal di rawa-rawa itu, kan" Memangnya kau tahu apa itu komputer"
Wajahku membara, dan perutku berkontraksi menjadi bola kecil padat. Oke, aku tidak punya komputer bagus di rumah. Itulah sebabnya aku menghabiskan sebagian besar waktuku seusai sekolah di sini, di lab, mengerjakan PR atau bermain internet. Malahan aku berniat masuk ITT Tech beberapa tahun lagi. Pemrograman dan desain web bukan hal sulit bagiku. Aku tahu cara memakai komputer, sialan.
Namun menghadapi keraguan Scott, aku hanya bisa terbata-bata. Ya, aku bisa. Maksudku, aku tahu banyak. Dia menatapku ragu, dan aku merasa harga diriku terluka. Aku harus buktikan kalau aku bukan gadis kampung terbelakang seperti anggapannya. Sini, kutunjukkan, aku menawarkan, meraih keyboard di atas meja.
Lalu sesuatu yang aneh terjadi.
Aku bahkan belum menyentuh keyboard ketika layar komputer berkedip menyala. Aku tak bergerak, jemariku masih mengambang di atas keyboard, ketika kata demi kata mulai bergulir di layar biru itu.
Meghan Chase. Kami melihatmu. Kami akan datang kepadamu.
Aku membeku. Kata-kata itu terus tertulis, tiga kalimat itu, berulang-ulang. Meghan Chase. Kami melihatmu. Kami akan datang kepadamu. Meghan Chase. Kami melihatmu. Kami akan datang kepadamu. Meghan Chase. Kami melihatmu. Kami akan datang kepadamu & terus dan terus sampai memenuhi layar.
Scott kembali bersandar di kursi, memelototiku, lalu menatap marah layar komputer. Apa ini" tanyanya murka. Apa yang kau lakukan, orang aneh" Mendorongnya minggir, aku menggoyang-goyangkan mouse, memencet tombol Escape, dan menekan Ctrl/Alt/Del untuk menghentikan rentetan kata-kata itu. Tidak ada yang berhasil.
Tiba-tiba saja, tanpa peringatan, kata-kata itu berhenti, dan layar pun kosong selama beberapa saat. Lalu, dalam huruf besar, pesan lain muncul di hadapan kami.
SCOTT WALDRON MENGINTIP MURID LAKI-LAKI DI KAMAR MANDI, HA HA HA HA.
Aku tersentak. Pesan itu mulai bergulir di semua layar komputer, tersebar di seantero ruangan, sementara
aku tak berdaya menghentikannya. Murid-murid di meja lain terdiam, terperanjat sejenak, lalu mulai menunjuk-nunjuk dan terbahak.
Aku merasakan tatapan Scott seperti pisau di punggungku. Takut-takut, aku berbalik dan melihatnya memelototiku, dadanya naik turun. Wajahnya merah padam, mungkin karena marah atau malu, dan dia menudingkan jari kepadaku.
Menurutmu itu lucu, gadis rawa" Begitu" Tunggu saja. Akan kutunjukkan apa itu lucu. Kau baru saja menggali kuburanmu, jalang.
Dia menghambur keluar ruangan diiringi suara tawa. Beberapa murid tersenyum padaku, bertepuk tangan, dan mengacungkan jempol, salah satunya bahkan mengedipkan mata.
Lututku gemetaran. Aku terduduk dan menatap hampa layar komputer, yang mendadak mati, membawa pesan hinaan itu bersamanya, tapi kerusakan sudah terjadi. Perutku melilit, ada rasa perih di mataku.
Aku membenamkan wajah dalam kedua tanganku. Mati aku. Benar-benar mati. Sampai di sini saja, permainan selesai, Meghan. Aku ingin tahu apakah Mom akan mengizinkan aku pindah ke sekolah asrama di Kanada"
Tawa sinis pelan menyela pikiran-pikiran muramku, dan aku mengangkat kepala.
Menunduk di atas monitor, ada sesuatu yang berbentuk kecil dan aneh, terlihat seperti siluet karena membelakangi jendela yang terbuka. Tubuhnya kurus kering, lengannya panjang dan kurus, dengan telinga besar seperti kelelawar. Mata hijaunya kecil seperti celah menatapku dari seberang meja, bersinar penuh kecerdasan. Makhluk itu membuka mulut, memamerkan gigi-gigi runcing yang berkilau di bawah lampu neon, sebelum lenyap, bagaikan sebuah citra di layar komputer.
Aku terpaku, menatap tempat di mana makhluk itu tadi berada, benakku berputar-putar ke selusin arah sekaligus. Oke. Bagus. Bukan hanya Scott membenciku, aku juga mulai berhalusinasi. Meghan Chase, penderita gangguan mental sehari sebelum ulang tahunnya yang keenam belas. Kirim saja aku ke rumah sakit jiwa, sebab aku tak akan bertahan di sekolah meskipun hanya satu hari lagi.
Memaksa diriku berdiri, aku beringsut, seperti mayat hidup, menuju koridor.
Robbie menungguku di depan loker, botol soda ada di kedua tangannya. Hei, Putri, sapanya ketika aku melewatinya dengan gontai. Kau keluar lebih cepat. Bagaimana sesi tutorialmu tadi"
Jangan panggil aku itu, gumamku, menghantamkan kepala ke loker. Dan sesi tutorial tadi berjalan lancar. Tolong bunuh aku sekarang.
Sebagus itu ya" dia melempar soda diet ke arahku, yang nyaris tak bisa kutangkap, lalu membuka root beer diiringi bunyi desisan busa dari dalam kaleng. Aku bisa mendengar ada tawa dalam suaranya. Nah, kurasa aku bisa mengatakan Apa kubilang
Aku memandangnya marah, menantangnya untuk melanjutkan ucapannya.
Senyum lenyap dari wajahnya. tapi &aku tidak melakukannya. Dia melipat bibir, berusaha tidak tertawa. Sebab &itu tidak baik.
Sebenarnya, apa yang kaulakukan di sini" tuntuku. Semua bus sudah berangkat. Apa kau bersembunyi di lab komputer, seperti laki-laki penguntit yang menyeramkan"
Rob tersedak, meneguk root beer banyak-banyak. Hei, aku hanya ingin tahu, lanjutnya ceria, apa yang kau lakukan di ulang tahunmu besok"
Bersembunyi di kamar dengan selimut menutupi kepala, kataku dalam hati, tapi aku mengedikkan bahu dan membuka lokerku yang berkarat. Aku tak tahu. Terserahlah. Aku tak punya rencana. Aku mengambil buku, menjejalkannya dalam tas, lalu membanting pintu loker. Kenapa"
Robbie memberiku senyuman yang selalu membuatku gugup, senyum lebar yang meregangkan seluruh wajahnya sehingga matanya menyipit menjadi celah hijau. Aku punya sebotol sampanye yang berhasil kuamankan dari lemari anggur, katanya dengan suara rendah, menaik-turunkan alisnya. Bagaimana kalau aku ke rumahmu besok" Kita bisa merayakannya dengan bergaya.
Aku tak pernah minum sampanye. Aku memang pernah minum bir milik Luke, dan aku ingin muntah. Terkadang Mom membawa pulang minuman anggur dalam kotak, dan rasanya tidak terlalu buruk, tapi aku bukanlah penikmat alkohol.
Terserahlah. Kau berusia enam belas tahun hanya terjadi sekali, kan" Baiklah, kataku sambil mengangkat bahu tanda menyerah. Kedengarannya asyik
. Sekalian saja tak usah tanggung-tanggung.
Dia menelengkan kepala ke arahku. Kau baik-baik saja, Putri"
Aku harus bilang apa" Kapten tim football yang aku taksir selama dua tahun akan membalasku, aku mulai melihat monster di mana-mana, dan komputer sekolah diretas atau dirasuki sesuatu" Yang benar saja. Aku takkan mendapat simpati dari orang paling usil di sekolah ini. Aku mengenal Robbie, dia mungkin menganggap itu lelucon hebat dan menyelamatiku. Bahkan jika tak mengenal dirinya, aku mungkin menganggap ini ulahnya.
Aku hanya tersenyum letih lalu mengangguk. Aku tidak apa-apa. Sampai ketemu besok, Robbie.
Sampai ketemu, Putri. Mom terlambat menjemputku, lagi. Sesi tutorial seharusnya berlangsung satu jam, tapi aku masih duduk di trotoar, di bawah gerimis, selama setengah jam setelahnya, merenungi hidupku yang menyedihkan dan mengawasi mobil keluar masuk lapangan parkir. Akhirnya, wagon biru Mom muncul di tikungan dan berhenti di depanku. Kursi depan penuh dengan tas belanjaan dan koran, jadi aku duduk di kursi belakang.
Meg, kau basah kuyup, pekik ibuku, mengamatiku dari kaca spion. Jangan duduk di jok mobil cari handuk atau yang lain. Kau tidak bawa payung"
Senang bertemu denganmu juga, Mom, ucapku dalam hati, merengut sambil mengambil koran dari lantai dan menaruhnya di jok. Tidak ada kata-kata bagaimana harimu" atau maaf, aku terlambat. Aku seharusnya mengabaikan sesi tutorial bodoh bersama Scott dan pulang naik bus.
Kami berkendara dalam hening. Orang bilang aku mirip Mom, itu sebelum Ethan lahir dan mengambil alih semua perhatian. Sampai hari ini, aku tidak tahu di mana kemiripan kami. Mom adalah tipe wanita yang tampak alami dalam setelan tiga-potong dan sepatu hak tinggi, sedangkan aku menyukai celana kargo longgar dan sepatu kets. Rambut Mom ikal tebal keemasan, milikku lurus dan lepek, nyaris keperakan jika terkena cahaya. Dia terlihat seperti bangsawan, anggun dan ramping, sementara aku hanya terlihat kurus.
Mom bisa saja menikahi siapa pun di dunia bintang film, pengusaha kaya raya tapi dia memilih Luke sang peternak babi di pertanian kecil yang kumuh dan jauh dari kota. Yang mengingatkanku &
Hei, Mom. Jangan lupa. Kau harus mengantarku mengambil izin belajar mengemudi akhir minggu ini.
Oh, Meg. Desah Mom. Aku belum tahu. Aku punya banyak pekerjaan minggu ini, dan ayahmu butuh bantuanku untuk membetulkan lumbung. Mungkin minggu depan.
Mom, kau sudah janji! Meghan, tolong. Hari ini melelahkan sekali. Mom mendesah lagi dan menatapku dari kaca. Matanya merah, maskaranya luntur. Aku bergerak gelisah. Apa Mom habis menangis"
Ada apa" tanyaku waspada.
Dia ragu-ragu. Tadi ada &kecelakaan di rumah, katanya memulai, dan suaranya membuatku gugup. Ayahmu membawa Ethan ke rumah sakit tadi sore. Dia berhenti lagi, mengerjap-ngerjapkan matanya, dan menarik napas pendek. Beau menyerangnya.
Apa" jeritku kaget. Anjing gembala Jerman kami" Menyerang Ethan" Apa Ethan baik-baik saja" tuntutku, merasa perutku bergejolak karena takut.
Ya. Mom tersenyum letih. Sangat terguncang, tapi tidak ada luka serius. Terima kasih Tuhan.
Aku menghela napas lega. Apa yang terjadi" tanyaku, masih tak percaya anjing kami menyerang anggota keluarga. Beau memuja Ethan, melihat Ethan dimarahi orang saja sudah membuatnya gusar. Aku pernah melihat Ethan menarik bulu Beau, kuping, dan ekor, dan respons anjing itu paling-paling dengan menjilatnya. Aku menyaksikan Beau menarik lengan baju Ethan dan dengan lembut membimbingnya ke jalan masuk kami. Anjing gembala kami mungkin menjadi teror bagi tupai dan rusa, tapi dia bahkan tak pernah menggeram pada siapa pun di rumah. Kenapa Beau bertingkah seperti itu"
Mom menggeleng. Aku tidak tahu. Luke melihat Beau berlari ke atas tangga, lalu mendengar Ethan menjerit. Ketika sampai di kamar Ethan, dia melihat anjing itu menyeret Ethan di lantai. Wajah Ethan penuh bekas cakaran, dan ada bekas gigitan di lengannya.
Darahku membeku. Aku membayangkan Ethan dianiaya, ketakutannya, ketika anjing pengawal yang setia menyerangnya. Hal itu sulit dipercaya, seperti kejadian di fi
lm horor. Aku tahu Mom sama terkejutnya denganku; dia sangat memercayai Beau.
Mom masih merahasiakan sesuatu, aku bisa tahu dari caranya merapatkan bibir. Ada sesuatu yang tak dia beritahu, dan aku khawatir aku tahu apa itu.
Apa yang akan terjadi pada Beau"
Mata Mom dipenuhi air mata, dan hatiku mencelus. Kita tak mungkin membiarkan anjing berbahaya di sekitar kita, Meg, katanya, ada nada permohonan dalam suaranya agar aku memahaminya. Jika Ethan bertanya, bilang padanya kita menemukan rumah lain untuk Beau. Dia menghela napas dalam dan mencengkeram erat setir mobil, tak menatapku. Ini demi keselamatan keluarga, Meghan. Jangan salahkan ayahmu. Tapi setelah Luke mengantar Ethan pulang, dia membawa Beau ke kolam.
BAB DUA Nada Dering Pertanda Kiamat
Makan malam berlangsung tegang. Aku murka pada kedua orangtuaku: Luke karena melakukan hal itu, dan Mom karena membiarkannya. Aku menolak bicara pada mereka. Mom dan Luke berbincang tentang hal yang remeh-temeh, sementara Ethan duduk diam memegangi Floppy. Rasanya aneh tidak ada Beau yang mondar-mandir mengelilingi meja seperti biasanya, mencari sisa-sisa makanan. Aku pamit lebih awal, masuk kamar, dan membanting pintu di belakangku.
Aku melompat ke tempat tidur, mengenang saat-saat Beau meringkuk di sini bersamaku, keberadaannya yang hangat dan kukuh. Dia tak pernah menuntut apa-apa, sudah puas bila bisa berdekatan, memastikan yang dijaganya aman. Kini dia telah pergi, dan rumah terasa lebih kosong karenanya.
Aku berharap bisa bicara pada seseorang. Aku ingin menelepon Robbie dan mengeluhkan ketidakadilan ini, tapi orangtuanya yang bahkan lebih terbelakang dari orangtuaku tidak punya telepon, atau bahkan komputer. Seperti hidup di zaman kegelapan saja. Rob dan aku membuat rencana di sekolah, atau terkadang dia langsung muncul di luar jendela, setelah berjalan dua mil ke rumahku. Semua itu sangat menyebalkan, sesuatu yang akan kuubah begitu aku punya mobil. Mom dan Luke tak bisa menahanku dalam gelembung keterasingan ini selamanya. Mungkin barang mahal yang aku beli berikutnya adalah ponsel bagi kami berdua, peduli amat dengan pendapat Luke. Pendapatnya bahwa teknologi adalah setan benar-benar sudah ketinggalan zaman.
Aku akan bicara pada Robbie besok. Aku tak bisa melakukannya malam ini. Selain itu, satu-satunya telepon di rumahku ada di dapur, dan aku tak mau mengeluhkan kebodohan orang dewasa di ruangan yang sama. Itu namanya nekat.
Terdengar ketukan pelan di pintu, dan kepala Ethan mengintip ke dalam.
Hei, anak manis. Aku duduk, menghapus air matanya. Plester bergambar dinosaurus menempel di dahinya, dan tangan kanannya terbalut perban. Ada apa"
Mommy dan Daddy membawa Beau pergi. Bibir bawahnya bergetar, dan dia sesenggukan, mengelap air matanya di bulu Floppy. Aku mendesah dan menepuk-nepuk kasur. Mereka harus melakukannya, aku menjelaskan selagi dia memanjat naik dan meringkuk di pangkuanku bersama boneka kelincinya. Mereka tidak ingin Beau menggigitmu lagi. Mereka khawatir kau terluka.
Beau tidak menggigitku. Ethan menatapku dengan mata melebar penuh air mata. Aku melihat ketakutan dan pemahaman yang jauh melebihi usianya di matanya. Beau tidak melukaiku, dia berkeras. Beau berusaha menyelamatkanku dari laki-laki di dalam lemari.
Monster lagi" Aku mendesah, ingin mengenyahkan topik itu, tapi sebagian dari diriku ragu. Bagaimana kalau Ethan benar" Akhir-akhir ini aku juga sering melihat hal-hal aneh. Bagaimana jika & bagaimana jika Beau benar-benar melindungi Ethan dari sesuatu yang menakutkan dan berbahaya &"
Jangan! Aku menggeleng. Ini konyol! Aku akan berusia enam belas tahun beberapa jam lagi, sudah terlalu tua untuk percaya pada monster. Dan sudah saatnya juga Ethan bersikap dewasa. Dia anak cerdas, dan aku sudah bosan mendengarnya menyalahkan bogeyman setiap kali ada sesuatu yang tidak beres.
Ethan. Aku mendesah lagi, berusaha agar tidak tampak kesal. Jika aku terlalu kasar, nanti dia menangis meraung-raung, dan aku juga tak ingin dia marah setelah apa yang dia alami hari ini. Tapi ini sudah berlarut-larut. Tidak ada monster di lemarim
u, Ethan. Monster itu tidak ada, oke"
Ada! Dia merengut dan menendang selimut. Aku melihatnya. Mereka bicara padaku. Mereka bilang raja ingin bertemu denganku. Dia mengulurkan tangan, memperlihatkan perbannya. Laki-laki di lemari menarikku di sini. Dia menyeretku ke bawah tempat tidur ketika Beau datang dan membuatnya takut.
Sudah jelas aku tidak bisa mengubah pikirannya. Dan aku tidak mau ada yang mengamuk di kamarku saat ini. Oke, baiklah, aku mengalah, memeluknya. Ayo bicara hal selain Beau menyelamatkanmu hari ini. Kenapa kau tak bilang pada Mom dan Luke"
Mereka orang dewasa, ujar Ethan seakan itu sudah jelas. Mereka takkan percaya. Mereka tidak bisa melihat monster. Dia mendesah dan menatapku dengan ekspresi paling serius yang pernah kulihat dari anak kecil. Tapi Floppy bilang kau bisa melihat mereka. Jika kau berusaha lebih keras. Kau bisa melihat menembus Kabut dan glamour, itu kata Floppy.
Apa dan apa" Ethan" suara Mom terdengar di luar pintu, lalu bayangannya muncul di ambang pintu. Kau di dalam" Melihat kami bersama, dia mengerjapkan mata dan tersenyum ragu-ragu. Aku menatapnya dingin.
Mom mengabaikanku. Ethan sayang, sekarang sudah waktunya tidur. Ini hari yang panjang. Dia mengulurkan tangan, dan Ethan melompat turun melangkah menyeberangi ruangan, menyeret boneka kelinci di belakangnya.
Boleh aku tidur bersama Mom dan Daddy" Aku mendengar Ethan bertanya, suaranya pelan dan ketakutan.
Kurasa boleh. Hanya malam ini, oke"
Ke. Suara mereka lenyap di koridor, dan aku menendang pintu sampai tertutup.
Malam itu aku bermimpi aneh. Dalam mimpi itu aku terbangun dan melihat Floppy, boneka kelinci Ethan, di ujung tempat tidurku. Dalam mimpiku, si kelinci bicara padaku, kata-kata yang serius dan menakutkan. Dia ingin memperingatkanku, atau dia ingin aku menolongnya. Aku mungkin telah menjanjikan sesuatu padanya. Meskipun demikian, keesokan paginya aku tidak begitu ingat mimpi itu.
* * * AKU terbangun oleh rintik hujan di atap. Ulang tahunku tampaknya ditakdirkan dingin, payah, dan basah. Rasanya ada beban berat di kepalaku, meskipun aku tak tahu kenapa aku merasa begitu tertekan. Lalu aku teringat kejadian kemarin, dan mengerang.
Selamat ulang tahun untukku, kataku dalam hati, membenamkan diri dalam selimut. Aku akan melewatkan sisa minggu ini di tempat tidur.
Meghan" suara Mom terdengar di luar pintu kamarku, diikuti ketukan pelan. Sudah siang. Kau sudah bangun"
Aku tak menghiraukannya dan tetap meringkuk dalam selimut. Rasa kesalku memuncak ketika aku mengingat Beau yang malang dibawa ke kolam. Mom tahu aku marah padanya, tapi dia harus berkubang dalam rasa bersalahnya selama beberapa waktu. Aku belum siap memaafkan dan berbaikan.
Meghan, bangun. Kau akan ketinggalan bus, kata Mom, melongok ke dalam kamar. Nada suaranya tegas, dan aku mendengus. Lupakan saja soal berbaikan.
Aku tidak mau sekolah, gumamku dari balik selimut. Aku tidak enak badan. Sepertinya aku flu.
Sakit" Di hari ulang tahunmu" Sial sekali. Mom masuk ke kamar, dan aku mengintip dari celah selimut. Dia ingat"
Menyedihkan sekali, lanjut Mom, tersenyum padaku dan bersedekap. Aku berencana mengantarmu mengambil izin belajar mengemudi sepulang sekolah nanti, tapi jika kau sakit &
Aku langsung bangun. Sungguh" Um &baiklah, rasanya tidak terlalu parah. Aku akan minum aspirin atau apa.
Sudah kuduga. Mom menggeleng ketika aku melompat berdiri. Aku membantu ayahmu memperbaiki lumbung sore ini, jadi aku tak bisa menjemputmu. Tapi begitu kau tiba di rumah, kita pergi ke kantor DMV. Itu kado ulang tahun yang cukup bagus, kan"
Aku nyaris tidak mendengarnya. Aku terlalu sibuk berlari keliling kamar mengambil pakaian dan mengumpulkan barang-barangku. Semakin cepat aku menjalani hari ini, semakin baik.
Aku sedang menjejalkan PR ke dalam ransel ketika pintu terbuka lagi. Ethan muncul di depan pintu, tangan di belakang tubuhnya, senyum malu-malu dan penuh harap di wajahnya.
Aku mengedipkan mata padanya dan menarik rambutku ke belakang. Kau sedang apa, anak manis"
Dengan senyuman yang lebar dia melangkah masuk da
n mengulurkan selembar kertas yang terlipat. Ada gambar menggunakan krayon berwarna cerah; matahari tersenyum di atas rumah kecil kami dengan asap mengepul dari cerobongnya.
Selamat ulang tahun, Meggie, serunya, tampak bangga dengan dirinya. Aku ingat, kan"
Tersenyum, aku mengambil kartu buatan sendiri itu dan membukanya. Di dalam ada gambar sederhana melukiskan keluarga kami balas tersenyum padaku: garis-garis membentuk tubuh Mom dan Luke, aku dan Ethan bergandengan tangan, dan seekor hewan berkaki empat yang tentunya Beau. Aku merasa tenggorokanku tersumbat, dan mataku sempat berkaca-kaca.
Kau suka" tanya Ethan, menatapku khawatir.
Aku suka sekali, jawabku sambil mengacak-acak rambutnya. Terima kasih. Bagaimana kalau kau tempel di kulkas, jadi semua orang bisa melihat kalau kau seniman hebat.
Dia tersenyum lebar dan berlari menggenggam kartu itu, dan aku merasa hatiku lebih ringan. Mungkin hari ini tidak terlalu buruk.
* * * JADI ibumu akan mengantarmu untuk mendapatkan izin belajar mengemudi hari ini" tanya Robbie ketika bus masuk ke lapangan parkir sekolah. Hebat sekali. Akhirnya kau bisa membawa kita ke kota dan bioskop. Kita tak perlu lagi tergantung pada bus, atau melewatkan malam demi malam menonton video VHS di televisi dua belas incimu.
Itu hanya izin belajar, Rob. Aku meraih ransel begitu bus berhenti. Aku belum akan memiliki izin mengemudi. Melihat ibuku, sepertinya butuh enam belas tahun lagi sebelum aku boleh menyetir sendiri. Ethan mungkin mendapat izinnya sebelum aku.
Memikirkan adik tiriku menyebabkan rasa dingin melandaku. Aku teringat ucapannya. Kau bisa melihat menembus Kabut dan glamour, itu kata Floppy.
Lupakan itu ucapan dari sebuah boneka, tapi aku sama sekali tak mengerti apa maksudnya.
Saat aku menuruni bus, satu sosok yang familiar memisahkan diri dari kerumunan orang dan langsung menghampiriku. Scott. Perutku melilit, aku melirik sekeliling, mencari rute untuk melarikan diri, tapi sebelum aku sempat berbaur dalam kerumunan, dia sudah di depanku.
Hei. Suaranya, berat dan beraksen, membuatku gemetar. Meskipun ketakutan, aku tetap melihat kalau dia tampan, rambut pirang lembapnya bergelombang acak-acakan dan mengikal di dahinya. Entah mengapa dia tampak gugup, menyisirkan jemari di poninya dan menatap sekeliling. Ehm & Dia ragu-ragu. Siapa namamu"
Meghan, bisikku. Oh, benar. Melangkah mendekat, dia menoleh ke arah teman-temannya dan memelankan suara. Dengar, aku merasa bersalah dengan caraku memperlakukanmu kemarin. Itu tidak disengaja. Aku minta maaf.
Sejenak aku bingung. Aku mengharapkan adanya ancaman, hinaan, atau tuduhan. Lalu kelegaan melembung dalam tubuhku ketika akhirnya mengerti maksud ucapannya. O-oh, aku terbata-bata, merasa wajahku memanas, tidak apa-apa. Lupakan saja.
Aku tak bisa, gumamnya. Aku terus memikirkan dirimu sejak kemarin. Aku benar-benar brengsek, dan aku ingin menebusnya. Apa & Scott berhenti, menggigit bibir, lalu bicara cepat. Apa kau mau makan siang bersamaku hari ini"
Jantungku berdebar. Kupu-kupu beterbangan di perutku, dan tubuhku serasa melayang. Aku nyaris tak bisa bersuara untuk mengucapkan Tentu. Scott tersenyum lebar, memperlihatkan gigi putih menyilaukan, dan mengedipkan mata.
Hei, teman-teman! Lihat ke sini! Salah satu teman setim Scott berdiri tak jauh dari kami, sebuah ponsel berkamera di tangannya mengarah pada kami. Ayo senyum.
Belum sempat aku menyadari apa yang terjadi, Scott merangkul bahuku dan menarikku mendekat. Aku menatapnya terpaku, sementara jantungku berdetak kencang. Dia menyunggingkan senyum menawan ke kamera, sementara aku hanya bisa menatap, terpana, seperti idiot.
Terima kasih, Meg, kata Scott, menjauh dariku. Sampai ketemu makan siang nanti. Dia tersenyum dan melangkah ke arah sekolah dengan satu kedipan terakhir. Si pemotret tergelak dan berlari mengejarnya, meninggalkan aku yang tercenung dan bingung di sudut lapangan parkir.
Sesaat aku hanya berdiri di sana, terpaku seperti orang idiot sementara teman sekelas berhamburan di sekitarku. Lalu cengiran lebar menyebar di wajahku dan aku
melompat kegirangan. Scott Waldron ingin bertemu denganku! Dia ingin makan siang denganku, hanya aku, di kafetaria. Mungkin akhirnya peruntunganku berubah. Ulang tahun terbaikku mungkin baru saja dimulai.
Ketika tirai hujan keperakan membasahi lapangan parkir, aku merasa ada yang menatapku. Membalikkan badan, aku mendapati Robbie beberapa langkah jauhnya, mengawasiku di antara kerumunan orang.
Karena terbias air hujan matanya tampak bersinar, terlalu hijau. Ketika air menyentuh permukaan tanah dan murid-murid berlarian ke arah sekolah, aku melihat bayangan sesuatu di wajahnya: moncong panjang, mata sipit seperti celah, lidah terjulur di antara taring tajam. Perutku melilit, tapi aku mengerjapkan mata dan Robbie kembali menjadi dirinya lagi normal, tersenyum lebar, tak peduli bahwa dia basah kuyup.
Begitu juga aku. Sambil memekik, aku berlari ke selasar sekolah dan berlindung di bawahnya. Robbie mengikuti, tergelak, menarik-narik helaian rambut basahku sampai aku memukulnya dan dia menghentikan perbuatannya.
Selama jam pertama, aku terus melirik Robbie, mencari jejak menakutkan mirip predator di wajahnya, bertanya-tanya apa aku sudah gila. Yang aku dapatkan hanyalah leher pegal dan teguran dari guru kelas Bahasa Inggris agar aku memperhatikan pelajaran dan berhenti menatap murid laki-laki.
* * * KETIKA bel makan siang berbunyi, aku melompat, jantungku berdetak 100 mil per menit. Scott sudah menunggu di kafetaria. Aku mengumpulkan buku, memasukkan ke dalam ransel, berbalik
Dan langsung berhadapan dengan Robbie yang berdiri di belakangku.
Aku memekik. Rob, aku akan memukulmu jika kau tak berhenti melakukan itu! Sekarang, minggir. Aku harus pergi.
Jangan pergi. Suaranya pelan, serius. Merasa heran, aku menatapnya. Cengiran usilnya lenyap, dan rahangnya kaku. Tatapan matanya nyaris menakutkan. Ini buruk, aku bisa merasakannya. Cowok-bercawat itu merencanakan sesuatu dia dan teman-temannya berkerumun lama sekali di departemen buku tahunan setelah bicara denganmu. Aku tidak suka itu. Berjanjilah kau takkan pergi.
Aku melangkah mundur. Kau menguping pembicaraan kami" tanyaku marah. Kau ini kenapa" Pernah dengar percakapan pribadi "
Waldron tak peduli padamu. Robbie bersedekap, menantangku untuk membantahnya. Dia akan mematahkan hatimu, Putri. Percayalah, aku sudah sering melihat orang sejenisnya untuk mengetahui hal ini.
Kemarahanku berkobar, kemarahan karena dia berani ikut campur dalam urusanku, kemarahan karena dia mungkin saja benar. Sekali lagi, ini bukan urusanmu, Rob! bentakku, membuat alisnya terangkat. Dan aku bisa menjaga diri, oke" Berhenti ikut campur kalau tidak diminta.
Ekspresi terluka melintas di wajahnya, tapi lenyap dengan cepat. Baiklah, Putri. Dia menyeringai, mengulurkan tangan. Jangan dipikirkan. Lupakan saja yang aku katakan tadi.
Tentu saja. Memalingkan kepala, aku melangkah riang keluar ruangan tanpa menoleh lagi.
Rasa bersalah menerpaku ketika aku menyusuri koridor menuju kafetaria. Aku menyesal telah membentak Robbie, tapi terkadang sikapnya yang Sok jadi Kakak terlalu berlebihan. Memang, Robbie selalu seperti itu cemburuan, terlalu melindungi, selalu menjagaku, seolah itu tugasnya. Aku tak ingat kapan pertama kali bertemu dengannya, tapi rasanya dia selalu ada.
Kafetaria berisik dan remang-remang. Aku berdiri di depan pintu, mencari Scott, melihatnya di meja di tengah ruangan. Dia dikelilingi para pemandu sorak dan anggota tim football. Aku ragu. Tak mungkin aku langsung ke meja itu dan duduk di sana. Angie Whitmond dan tim pemandu soraknya akan mencabik-cabikku.


The Iron Fey 1 The Iron King Karya Julie Kagawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Scott mengangkat kepala dan melihatku, senyum malas tersungging di wajahnya. Menganggapnya sebagai undangan, aku menghampiri, melewati meja-meja lain. Dia mengeluarkan iPhone, menekan sebuah tombol, dan menatapku dengan mata setengah terpejam, masih tersenyum lebar.
Sebuah telepon berdering di dekatku.
Aku agak kaget, tapi aku terus melangkah. Di belakangku, ada suara kaget, lalu disusul tawa histeris. Lalu percakapan bisik-bisik yang membuatmu berpikir kalau mereka sedang membicarakanmu. Aku merasakan banyak m
ata menatapku. Berusaha mengabaikannya, aku terus berjalan menyusuri koridor.
Sebuah telepon lain berdering.
Dan satu lagi. Dan sekarang, bisik-bisik dan tawa merambat dengan cepat. Entah kenapa aku merasa diamati, seakan ada lampu sorot tertuju padaku dan aku sedang dipamerkan. Tawa itu tak mungkin ditujukan padaku, kan" Aku melihat beberapa orang menunjuk ke arahku, berbisik-bisik dengan temannya, dan mencoba sebisaku untuk mengabaikan mereka. Meja Scott hanya tinggal beberapa langkah lagi.
Hei, pipi merah! Ada yang menampar bokongku dan aku menjerit. Membalikkan badan, aku menatap marah Dan Ottoman si pirang jerawatan, pemain klarinet di band sekolah. Dia mengerling dan mengedip ke arahku. Aku tak pernah menyangka kau ini seorang pemain , katanya berusaha memancarkan pesonanya alih-alih mengingatkanku pada Kermit si Kodok yang jorok. Sekali-sekali kunjungi band kami. Aku punya flute yang bisa kau mainkan.
Apa yang kau bicarakan" bentakku, tapi dia mencibir dan memperlihatkan ponselnya.
Awalnya layarnya kosong. Tapi kemudian satu pesan kuning terang muncul. Tertera kalimat Apa persamaan Meghan Chase dengan bir dingin" Aku tersentak, lalu kata-kata itu menghilang seiring dengan munculnya sebuah foto.
Aku. Aku dan Scott di lapangan parkir, tangannya merangkul bahuku, senyum lebar di wajahnya. Hanya saja mulutku ternganga aku telanjang bulat, menatapnya penuh kekaguman, mataku kosong dan bodoh. Jelas sekali dia menggunakan Photoshop, tubuhku luar biasa kurus, tak berlekuk, seperti boneka, dadaku sedatar anak umur dua belas tahun. Aku membeku, jantungku berhenti berdetak bersamaan dengan munculnya pesan di layar.
Mereka sama-sama menggiurkan dan memabukkan!
Perutku mencelus dan pipiku terbakar. Dengan ngeri, aku menatap Scott, mendapati semua orang di mejanya terbahak-bahak dan menunjuk ke arahku. Nada dering bersahutan di kafetaria, dan suara tawa menghantamku seperti gelombang pasang. Aku gemetar, dan mataku memanas.
Menutupi wajah, aku berbalik dan meninggalkan kafetaria sebelum mulai menangis meraung-raung seperti anak umur dua tahun. Tawa membahana terdengar di sekitarku, dan air mata menyengat mataku seperti racun. Aku melintasi ruangan tanpa tersandung kursi atau kakiku sendiri, memukul pintu hingga terbuka, kabur ke koridor.
Aku melewatkan hampir satu jam dalam bilik paling ujung di toilet perempuan, menangis tersedu-sedu sampai mataku bengkak. Aku ingin pindah ke Kanada atau Fiji pokoknya ke tempat yang jauh, jauh sekali. Aku tak berani memperlihatkan wajahku pada siapa pun di negara bagian ini lagi. Akhirnya ketika air mata mulai kering dan napas tak lagi tersengal-sengal, aku merenungkan betapa menyedihkan hidupku ini.
Seharusnya aku tersanjung, pikirku muram, tak berani bersuara ketika beberapa gadis masuk toilet. Scott turun tangan menghancurkan hidupku. Berani taruhan, dia pasti tidak pernah melakukan hal itu pada orang lain. Beruntungnya aku, si pecundang terbesar di dunia. Air mataku nyaris jatuh lagi, tapi aku sudah lelah menangis sehingga aku menahannya.
Semula aku berencana mengunci diri di toilet sampai sekolah berakhir. Tapi jika ada yang menyadari aku bolos, maka tempat inilah yang pertama-tama akan diperiksa. Akhirnya aku memberanikan diri untuk mengendap-endap ke ruang perawat dan berpura-pura sakit perut hebat agar bisa bersembunyi di sana.
Si perawat mengenakan loafer berhak setebal 12 sentimeter, tapi tatapan yang dia tujukan kepadaku ketika aku mengintip ke dalam mengisyaratkan dia tak akan menoleransi keisengan remaja. Kulitnya seperti walnut keriput, rambut putihnya disanggul rapi dan kacamata emas kecil bertengger di hidungnya.
Well, Ms. Chase, sapanya dengan suara nyaring dan parau, sambil meletakkan papan catatan. Apa yang kau lakukan di sini" Aku mengerjap, heran karena dia mengenalku. Aku hanya satu kali mengunjungi ruang perawat, ketika bola sepak nyasar menghantam hidungku. Waktu itu, perawatnya kurus tinggi, dengan gigi sedikit maju yang membuatnya terlihat seperti kuda. Wanita gemuk pendek keriput ini baru, dan caranya menatap membuatku agak menakutkan.
Aku sakit p erut, keluhku sambil memegangi perut seolah-olah akan meledak. Aku hanya ingin berbaring sebentar.
Tentu saja, Ms. Chase. Ada ranjang kecil di belakang. Aku akan membawakan sesuatu untuk membuatmu merasa lebih baik.
Aku mengangguk dan melangkah ke ruangan yang dipisahkan oleh beberapa lembar tirai. Selain aku dan si perawat, ruangan itu kosong. Sempurna. Aku memilih ranjang di sudut ruangan dan berbaring di kasur beralas seprai kertas.
Tak lama kemudian si perawat muncul. Dia membawa segelas kertas berisi sesuatu yang menggelegak dan berasap. Minum ini, kau akan merasa lebih baik, katanya sambil memberikan gelas itu ke tanganku.
Aku menatap gelas kertas itu. Cairan putih mendesis itu beraroma cokelat dan rempah-rempah, hanya lebih tajam, entah bagaimana campuran itu rasanya begitu menyengat sehingga membuat mataku berair. Apa ini" tanyaku.
Si perawat hanya tersenyum dan meninggalkan ruangan.
Dengan hati-hati aku meneguk cairan itu satu kali dan merasakan kehangatan menyebar dari tenggorokan sampai ke perutku. Rasanya luar biasa, seperti cokelat paling enak di dunia, dengan sedikit rasa pahit setelahnya. Aku menghabiskan sisanya dalam dua tegukan, membalikkan gelas agar tidak menyia-nyiakan satu tetes pun.
Hampir seketika, aku merasa mengantuk. Berbaring di kasur yang bergemeresik, aku menutup mata sejenak, dan semuanya lenyap.
* * * AKU terbangun oleh pembicaraan yang bernada rahasia di balik tirai. Aku berusaha bergerak, tapi tubuhku serasa terbalut perban, kepalaku berkabut. Aku berjuang agar mataku tetap terbuka. Di sisi lain tirai, aku melihat dua bayangan tubuh.
Jangan ceroboh, terdengar suara pelan memperingatkan. Si perawat, pikirku, dalam kondisi setengah mengigau bertanya-tanya apakah dia mau memberiku minuman itu lagi. Ingat, tugasmu menjaga gadis itu. Jangan melakukan hal-hal yang akan menarik perhatian.
Aku" tanya suara yang begitu familiar. Menarik perhatian" Buat apa aku melakukan itu"
Si perawat mendengus. Jika tim pemandu sorak berubah menjadi tikus, Robin, aku akan marah sekali kepadamu. Manusia remaja tidak tahu apa-apa dan kejam. Kau tahu itu. Kau tak boleh balas dendam, apa pun perasaanmu pada gadis itu. Apalagi sekarang. Ada hal-hal yang lebih mengkhawatirkan sedang terjadi.
Aku sedang bermimpi, putusku. Pasti karena itu. Sebenarnya itu minuman apa" Dalam cahaya remang-remang, siluet yang terbentuk di tirai terlihat membingungkan dan aneh. Si perawat tampak lebih kecil, nyaris tak sampai satu meter. Bayangan yang lain malah lebih aneh: ukurannya normal, tapi ada sesuatu yang mencuat di samping kepalanya yang mirip tanduk, atau telinga.
Bayangan yang lebih tinggi mendesah dan duduk di kursi, menyilangkan kaki panjangnya. Aku juga mendengar hal yang sama, gumamnya. Berita-berita mengerikan beredar. Istana sedang gelisah. Sepertinya ada sesuatu yang membuat mereka ketakutan.
Itulah sebabnya kau harus menjadi perisai dan pelindung gadis itu. Si perawat berbalik, berkacak pinggang, suaranya mencela. Aku heran kau belum memberinya anggur-kabut. Dia berusia enam belas tahun hari ini. Selubung sudah mulai tersibak.
Aku tahu, aku tahu. Aku akan melakukannya. Bayangan itu mendesah, membenamkan wajah di kedua tangannya. Aku akan membereskannya sore ini. Bagaimana keadaannya"
Beristirahat, kata si perawat. Anak malang, dia terpukul sekali. Aku memberinya ramuan tidur dosis rendah yang akan membuatnya terlelap sampai waktu pulang nanti.
Tawa kecil terdengar. Anak laki-laki terakhir yang minum ramuan tidur dosis rendahmu tidak bangun selama dua minggu. Padahal kau yang mengingatkan agar tidak menarik perhatian.
Jawaban si perawat kurang jelas, tapi aku hampir yakin dia mengatakan, Gadis itu anak ayahnya. Dia akan baik-baik saja. Atau mungkin hanya perasaanku saja. Dunia menjadi kabur, seperti kamera yang tidak fokus, dan kemudian aku tak sadar apa yang terjadi.
* * * MEGHAN! Seseorang mengguncang tubuhku sampai aku terbangun. Aku memaki dan menggeliat, kebingungan, dan akhirnya mengangkat kepala. Mataku seperti dibebani lima kilo pasir, dan kotoran bertumpuk d
i sudutnya sehingga sulit untuk melihat jelas. Mengerang, aku mengusap bibir dan menatap wajah Robbie dengan mengantuk. Alisnya berkerut penuh kekhawatiran selama sesaat. Lalu aku mengerjapkan mata dan dia kembali normal, ceria seperti biasanya.
Ayo bangun, Putri Tidur, godanya ketika aku berjuang untuk duduk. Kau beruntung, sekolah sudah usai. Saatnya pulang.
Apa" gumamku bingung, menghapus sisa-sisa kotoran dari mataku. Robbie mendengus dan menarikku berdiri.
Ini, katanya, menyerahkan ranselku yang berat berisi buku. Kau beruntung aku ini teman yang baik. Aku membawakan catatan dari semua pelajaran yang tak kau ikuti setelah makan siang. Oh, dan omong-omong, kau dimaafkan. Aku bahkan tak akan mengatakan Apa kubilang.
Robbie bicara terlalu cepat. Otakku masih mengantuk, pikiranku berkabut dan tidak bisa berpikir. Kau bicara apa" Aku menggumam, mengangkat ranselku.
Lalu aku teringat. Aku harus menelepon ibuku, kataku, terduduk kembali di ranjang. Robbie mengerutkan dahi, tampak bingung. Dia harus menjemputku, kataku menjelaskan. Tidak mungkin aku naik bus lagi, sampai kapan pun. Rasa putus asa melandaku, dan aku menyembunyikan wajah dalam kedua tanganku.
Sudahlah, Meghan, ujar Robbie. Aku tahu apa yang terjadi. Itu bukan masalah besar.
Kau mabuk ya" tanyaku, menatapnya marah dari sela-sela jariku. Seluruh sekolah membicarakan diriku. Mungkin akan masuk koran sekolah. Aku akan disalib jika berani menunjukkan wajah di muka umum. Dan kau bilang itu bukan masalah besar"
Aku menarik lutut ke dada, membenamkan wajah di dalamnya. Semua ini sangat tidak adil. Ini ulang tahunku, aku mengerang di celana jinsku. Hal seperti ini tidak seharusnya terjadi pada siapa pun yang berulang tahun.
Robbie mendesah. Menjatuhkan tasnya, dia duduk dan memelukku, menarikku ke dadanya. Aku terisak, meneteskan air mata di jaketnya, mendengarkan detak jantungnya dari balik kaus. Jantungnya berdenyut cepat, seolah-olah dia baru saja berlari beberapa mil.
Ayo, Robbie berdiri, menarikku. Kau bisa melalui ini. Dan aku janji, tak ada yang memedulikan kejadian hari ini. Besok, semua akan melupakannya. Dia tersenyum, meremas lenganku. Selain itu, bukankah kau harus mengambil izin belajar mengemudi"
Satu hal positif di tengah kesengsaraan hidup ini memberiku harapan. Aku mengangguk, menabahkan diri untuk menghadapi apa yang akan terjadi. Kami meninggalkan ruang perawat, tangan Robbie menggenggam tanganku.
Jangan jauh-jauh dariku, gumamnya saat kami mendekati koridor yang ramai. Angie dan tiga pengagumnya berdiri di depan loker, mengobrol sambil mengunyah permen karet. Perutku tegang dan jantungku mulai berdebar kencang. Robbie meremas tanganku. Tidak apa-apa. Jangan lepas tanganku, dan jangan bicara pada siapa pun. Mereka takkan sadar kita ada di sini.
Ketika kami mendekati gerombolan gadis-gadis itu, aku bersiap mendengar tawa dan cemoohan yang ditujukan padaku. Kami melewati mereka bahkan tanpa dilirik satu kali pun, meskipun Angie sedang menceritakan saat-saat memalukan ketika aku kabur dari kafetaria.
Dan kemudian dia mulai menangis meraung-raung, kata Angie, suara sengaunya terdengar di koridor. Dan aku bilang, oh Tuhan, dia memang pecundang. Tapi apa yang kau harapkan dari orang kampung hasil perkawinan sedarah" Suaranya berubah menjadi bisikan lalu dia mencondongkan badan. Kudengar ibunya punya obsesi yang tak normal dengan babi, kau tahu apa maksudku.
Gadis-gadis itu serempak tertawa kaget, dan aku hampir saja membentak mereka. Tapi Robbie mempererat cengkeramannya dan menarikku menjauh. Aku mendengarnya menggumamkan sesuatu dan merasakan semacam getaran merambat di udara, seperti guruh tanpa suara.
Di belakang kami, Angie mulai menjerit.
Aku berusaha menoleh, tapi Robbie memaksaku terus melangkah, melewati kerumunan murid yang menoleh ke arah suara jeritan berasal. Tapi aku sempat melihat Angie menutupi hidung dengan tangan, dan semakin lama jeritannya terdengar mirip babi.
BAB TIGA Changeling Perjalanan naik bus menuju rumah terasa hening, paling tidak bagi Robbie dan aku. Sebagian karena aku tak
ingin menarik perhatian, tapi sebagian besar karena aku sedang banyak pikiran. Kami duduk di sudut belakang bus, aku menempel di kaca jendela, menatap pepohonan yang terlewati. Aku mengeluarkan iPod dan suara dari headphone menghantam gendang telingaku, meskipun itu hanya alasan agar aku tak bicara dengan siapa pun.
Jeritan Angie yang mirip babi masih menggema di kepalaku. Mungkin itu suara paling mengerikan yang pernah kudengar. Meskipun dia benar-benar brengsek, tetap saja aku merasa bersalah. Aku yakin Robbie telah melakukan sesuatu padanya, meskipun aku tak bisa membuktikannya. Sebenarnya aku tak berani mengungkitnya. Robbie seperti orang yang berbeda saat ini, pendiam, merenung, mengamati murid-murid di dalam bus dengan intensitas bak predator. Tingkahnya yang aneh dan menakutkan membuatku bertanya-tanya apa yang salah dengannya.
Lalu ada mimpi aneh, yang kini menurutku sama sekali bukan mimpi. Semakin aku memikirkannya, semakin aku menyadari kalau suara familiar yang berbicara dengan di perawat itu adalah suara Robbie.
Ada sesuatu yang terjadi, sesuatu yang aneh, menyeramkan, mengerikan, dan yang paling menakutkan adalah sesuatu itu berupa wajah biasa dan familiar. Aku mencuri pandang ke arah Robbie. Seberapa baik aku mengenalnya, sungguh-sungguh mengenalnya" Dia telah menjadi sahabatku lebih lama dari yang bisa kuingat, dan selama itu pula aku belum pernah ke rumahnya, atau bertemu orangtuanya. Beberapa kali aku mengusulkan untuk bertemu di rumahnya, dia selalu punya alasan menolaknya: orangtuanya keluar kota, atau sedang merenovasi dapur, dapur yang tak pernah kulihat. Semua itu aneh, tapi yang lebih aneh lagi yaitu aku tak pernah merasa heran dan tak mempertanyakan semua itu, sampai saat ini. Robbie ada begitu saja, seolah muncul entah dari mana, tanpa latar belakang, tanpa rumah, dan tanpa masa lalu. Apa musik favoritnya" Apakah dia punya tujuan hidup" Apakah dia pernah jatuh cinta"
Sama sekali tidak tahu, bisik otakku, merasa terusik. Kau sama sekali tidak mengenalnya.
Aku bergidik dan memandang keluar jendela lagi.
Bus berhenti mendadak di rambu setopan-empat arah, dan aku melihat kami telah meninggalkan pinggiran kota dan kini memasuki pedalaman. Daerah tempat tinggalku. Hujan masih membasahi jendela, membuat rawa-rawa terlihat buram dan tak jelas, dan pepohonan menjadi bentuk-bentuk aneh membingungkan dari balik kaca.
Aku mengerjap dan menegakkan tubuh di bangku. Jauh di rawa-rawa, seekor kuda dan penunggangnya berdiri tegak di bawah pohon ek raksasa, mereka bergeming, sama diamnya dengan pohon itu. Kudanya hitam besar dengan surai dan ekor yang melambai meskipun telah basah kuyup. Penunggangnya tinggi dan ramping, berpakaian serba perak dan hitam. Jubah hitam berkibar-kibar di bahunya. Melalui tirai hujan, aku menangkap sekilas wajahnya: muda, pucat, sangat tampan &menatap tepat ke arahku. Perutku bergejolak dan napasku tercekat.
Rob, gumamku, melepaskan headphone, lihat it
Robbie menatap keluar, matanya menyipit menjadi celah hijau, keras dan berbahaya. Perutku melilit, aku menjauhkan diri darinya, tapi dia tak menyadarinya. Bibirnya bergerak, dan dia mengucapkan satu kata, begitu pelan sehingga aku nyaris tidak dengar, meskipun posisi kami begitu dekat.
Ash. Ash" ulangku. Siapa Ash"
Mesin bus terbatuk-batuk, lalu meluncur maju lagi. Robbie kembali menjauhkan diri, wajahnya seperti terbuat dari batu yang dipahat. Menelan ludah, aku menatap keluar jendela, tapi lokasi di bawah pohon ek sudah kosong. Kuda dan penunggangnya sudah pergi, seperti tidak pernah ada.
* * * KEANEHAN semakin menjadi-jadi.
Siapa Ash" ulangku, menatap Robbie, yang tampaknya berada di dunianya sendiri. Robbie" Hei! Aku menusuk bahunya. Dia menjengit, akhirnya memandangku. Siapa Ash"
Ash" Sesaat matanya berkilat mematikan, wajahnya seperti ekspresi anjing liar. Lalu dia mengerjap dan kembali normal. Oh, dia teman lamaku, dari masa lalu. Tak usah dipikirkan, Putri.
Ucapannya meluncur aneh ke arahku, seakan dia memerintahkan aku untuk melupakan semuanya hanya dengan menyuruhku. Aku jengkel karena dia menyembunyik
an sesuatu, tapi dengan cepat hal itu pudar, karena aku tak bisa mengingat apa yang kami bicarakan.
Begitu tiba di halte, Robbie melompat seakan bangku bus terbuat dari api dan buru-buru keluar. Kaget melihat kepergiannya yang tiba-tiba, aku masukkan iPod ke ransel sebelum meninggalkan bus. Hal terakhir yang kuinginkan adalah benda mahal itu terkena air.
Aku harus pergi, kata Robbie ketika aku bergabung dengannya di trotoar. Mata hijaunya menyapu pepohonan, seakan mengira akan ada sesuatu yang keluar dari hutan. Aku menatap sekeliling, tapi selain kicau burung, hutan sunyi senyap. Aku &um &melupakan sesuatu di rumah. Dia menatapku dengan pandangan meminta maaf. Sampai ketemu nanti malam, Putri. Aku akan bawa sampanye, oke"
Oh. Aku sudah melupakan hal itu. Baiklah.
Langsung pulang, oke" Robbie menyipitkan mata, wajahnya tegang. Jangan berhenti atau bicara dengan siapa pun yang kau temui di jalan, mengerti"
Aku tertawa gugup. Apa kau ibuku" Apa kau akan mengingatkan aku agar jangan menggunakan gunting dan menengok kiri kanan sebelum menyeberang jalan" Selain itu, aku melanjutkan sementara Robbie kembali tampak normal seperti biasa, siapa yang akan kutemui di luar sini jauh di pedalaman" Bayangan pemuda di atas kuda muncul di pikiranku, dan perutku jumpalitan lagi. Siapa dia" Dan kenapa aku tidak bisa berhenti memikirkannya, apakah dia benar ada" Semua ini begitu aneh. Jika bukan karena reaksi aneh Robbie di bus tadi, aku akan beranggapan pemuda itu hanyalah halusinasi gilaku lagi.
Baik. Robbie melambai, memamerkan cengiran nakalnya. Sampai nanti, Putri. Jangan sampai Leatherface menangkapmu dalam perjalanan pulang.
Aku menendangnya. Dia tertawa, melompat, dan berlari kencang menyusuri jalanan yang menurun. Sambil menyandang ransel, aku menyusuri jalanan masuk menuju rumahku.
* * * MOM" panggilku, membuka pintu depan. Mom, aku pulang.
Suasana sunyi menyambutku, menggema di dinding dan lantai, menggantung di udara. Keheningan seolah menjadi sesuatu yang hidup, meringkuk di tengah ruangan, mengawasiku dengan mata dingin. Jantungku mulai berdebar tak beraturan. Ada sesuatu yang salah.
Mom" Aku memanggil lagi sambil masuk rumah. Luke" Ada orang di rumah" Pintu berderit ketika aku sudah berada di dalam. Televisi menyala dan berkedip-kedip, memutar sitkom kuno hitam-putih, meskipun sofa di depannya kosong. Aku mematikan televisi dan menyusuri koridor, menuju dapur.
Sesaat semua tampak normal, kecuali pintu kulkas yang terayun pada engselnya. Benda kecil di lantai menarik perhatianku. Semula aku mengira itu lap kotor. Tapi ketika melihat lebih dekat, ternyata itu Floppy, boneka kelinci Ethan. Kepala boneka itu lepas, dan busa berhamburan dari lubang di lehernya.
Menegakkan badan, aku mendengar suara lirih dari sisi lain meja makan. Aku berjalan mengitar, dan perutku melilit hebat sampai-sampai tenggorokanku serasa pahit.
Mom terbaring di lantai keramik kotak-kotak, tangan dan kakinya tergeletak lemas, satu sisi wajahnya berlumuran darah. Dompetnya, yang isinya berhamburan, tergeletak di sebelah tangan pucat yang lunglai. Di dekat Mom, di ambang pintu, Ethan berdiri dengan posisi kepala miring ke satu sisi seperti kucing yang penasaran.
Dan dia tersenyum. * * * MOM! jeritku, berlutut di sebelahnya. Mom, kau tidak apa-apa" Aku memegang bahunya dan mengguncang tubuhnya, tapi rasanya seperti mengguncang ikan mati. Meskipun begitu kulitnya masih hangat, jadi tidak mungkin dia meninggal. Benar, kan"
Ke mana Luke" Aku mengguncang tubuhnya lagi, melihat kepalanya berayun lemah, membuat perutku mulas. Mom, bangun! Ini Meghan. Aku menatap sekeliling dengan panik, lalu mengambil kain lap dari bak cuci. Ketika membersihkan wajahnya yang berlumuran darah, aku menyadari Ethan berdiri di depan pintu, mata birunya melebar dan berkaca-kaca.
Mom terpeleset, bisiknya, dan aku melihat genangan hening, licin di lantai di depan kulkas. Dengan tangan gemetar aku mencelupkan jari ke dalamnya dan mengendus. Minyak sayur" Aku hapus lebih banyak darah dari wajahnya dan tampak luka kecil menganga di dahinya, nyar
is tak terlihat karena darah dan rambutnya.
Apa dia akan mati" tanya Ethan, dan aku menatapnya tajam. Meskipun matanya membelalak takut, dan air mata menggenang di sana, dia lebih terdengar penasaran daripada lainnya.
Aku melepaskan pandangan dari adik tiriku. Aku harus mencari bantuan. Luke tidak ada, jadi satu-satunya jalan adalah memanggil ambulans. Tapi ketika aku berdiri untuk mengambil telepon, Mom mengerang siuman dan membuka mata.
Hatiku melonjak. Mom, kataku ketika dia berjuang untuk duduk, dengan ekspresi bingung. Jangan bergerak. Aku akan menelepon 911.
Meghan" Mom melihat sekeliling, berkedip. Tangannya menyentuh pipi, dan dia menatap darah di jarinya. Apa yang terjadi" Aku &aku pasti jatuh &
Kepalamu terbentur, jawabku, bangkit dan mencari telepon. Kau mungkin gegar otak. Bertahanlah, aku akan menelepon ambulans.
Ambulans" Jangan, jangan. Mom duduk, tampak lebih sadar. Jangan lakukan itu, sayang. Aku tidak apa-apa. Aku akan membersihkan diri dan memasang plester. Tidak perlu repot-repot.
Tapi Mom Aku tidak apa-apa, Meg. Mom menyambar kain lap yang terlupakan dan mulai membersihkan darah dari wajahnya. Aku minta maaf telah membuatmu takut, tapi aku tidak apa-apa. Ini hanya darah, tidak ada yang serius. Lagi pula kita tidak mampu membayar tagihan dokter. Dia berdiri tiba-tiba dan mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Di mana adikmu"
Terperanjat, aku menatap ke pintu dapur, tapi Ethan sudah pergi.
* * * PROTES Mom tak berguna ketika Luke pulang. Dia hanya sekali memandang wajah Mom yang pucat dan diperban, mengamuk sebentar, lalu bersikeras membawanya ke rumah sakit. Luke bisa bersikap keras kepala jika perlu, dan Mom akhirnya menyerah. Dia masih sempat memberi perintah kepadaku jaga Ethan, jangan biarkan dia tidur larut, ada piza beku di kulkas sementara Luke membimbing Mom ke Ford bututnya dan melaju di jalan.
Saat truknya berbelok di tikungan dan lenyap dari pandangan, keheningan yang dingin kembali merayap di dalam rumah. Aku menggigil, menggosok-gosok lengan, merasakannya merayap ke kamar dan meniup-niup tengkukku. Rumah tempatku tinggal hampir sepanjang hidupku ini terasa tidak biasa dan menakutkan, seolah ada sesuatu bersembunyi dalam lemari dan di sudut-sudut ruangan, bersiap menyergap ketika aku lewat. Tatapanku tertuju pada sisa-sisa Floppy yang bertebaran di lantai, dan entah kenapa, hal itu membuatku sedih dan takut. Tak seorang pun di rumah ini yang akan merusak boneka kesayangan Ethan. Ada sesuatu yang tidak beres.
Langkah kaki terdengar di lantai. Aku berbalik dan mendapati Ethan di depan pintu menatapku. Dia tampak beda tanpa boneka kelinci di tangannya, dan aku heran kenapa dia tak gusar karenanya.
Aku lapar, katanya mengumumkan, membuatku berkedip. Masakkan sesuatu buatku, Meggie.
Aku merengut mendengar nada memerintahnya.
Ini belum waktu makan malam, anak manis, kataku. Kau harus tunggu beberapa jam lagi.
Matanya menyipit, dan bibirnya terbuka memperlihatkan giginya yang tajam dan tak beraturan. Aku lapar sekarang, dia menggeram, maju selangkah. Rasa takut menerpaku dan aku melangkah mundur.
Seketika wajahnya normal lagi, matanya membesar dan memohon. Tolonglah, Meggie" rengeknya. Aku mohon" Aku lapar sekali. Dia cemberut dan suaranya berubah mengancam. Mommy juga tidak masak.
Ya sudah, baiklah! Jika itu bisa membuatmu tutup mulut. Kemarahan itu muncul dari rasa takut, dan rasa malu karena aku merasa takut. Pada Ethan. Pada adik tiriku yang bodoh. Aku tak tahu dari mana perubahan suasana hatinya yang mengerikan itu berasal, tapi aku berharap itu tidak menjadi kebiasaan. Mungkin dia hanya takut karena kecelakaan Mom. Mungkin jika aku beri makan anak bandel itu, dia akan tidur dan tidak menggangguku malam ini. Aku melangkah ke kulkas, mengambil piza, dan memasukkannya ke oven.
Sementara piza dipanggang, aku bersihkan genangan minyak sayur di depan kulkas. Aku heran bagaimana cairan itu bisa berada di lantai, apalagi aku menemukan botolnya ada di tempat sampah. Aromaku seperti Crisco ketika selesai, dan lantai masih agak licin, tapi aku sudah
berbuat semampuku. Bunyi derit pintu oven mengagetkanku. Aku berbalik dan melihat Ethan memasukkan tangan ke dalam.
Ethan! Aku cengkeram pergelangan tangannya dan menariknya keluar, mengabaikan jeritan protesnya. Apa yang kau lakukan, bodoh" Kau mau memanggang dirimu"
Lapar! Duduk! bentakku, mengangkatnya ke kursi.
Dia mencoba memukulku, dasar tak tahu terima kasih. Aku menahan diri untuk tidak memukulnya. Astaga, kau nakal sekali hari ini. Duduk di situ dan diam. Aku akan ambilkan makanan.
Ketika aku sodorkan piza, dia menyerbunya seperti hewan liar, bahkan tanpa menunggu makanan itu dingin. Terpana, aku hanya bisa menatapnya ketika dia makan seiris demi seiris seperti anjing kelaparan, nyaris menelannya tanpa dikunyah. Segera saja wajah dan tangannya berlepotan saus dan keju, dan piza lenyap dengan cepat. Dan kurang dari dua menit dia telah menghabiskan semuanya, sampai ke remah terakhir.
Ethan menjilati jari, lalu menatapku dan mengerutkan dahi. Masih lapar.
Tidak boleh, kataku, tersadar dari lamunan. Kalau makan lagi, kau akan sakit. Sana bermain dalam kamarmu atau apa.
Dia menatapku dengan ekspresi sedih, kulitnya tampak lebih gelap, keriput, dan mengerut di bawah lemak bayinya. Tanpa peringatan, dia melompat dari kursi, berlari ke arahku dan membenamkan giginya di kakiku.
Aduh! Rasa sakit di betisku seperti sengatan listrik. Aku jambak rambutnya, berusaha melepaskan gigitannya, tapi dia menempel padaku seperti lintah dan menggigit lebih keras. Rasanya seperti ada pecahan gelas dihunjamkan di kakiku. Air mata mengaburkan pandanganku, dan lututku tertekuk saking sakitnya.
Meghan! Robbie berdiri di pintu depan, ransel tersandang di bahunya, mata hijaunya melebar kaget.
Ethan melepaskanku, memalingkan kepala ke arah Robbie. Darah membasahi bibirnya. Melihat Robbie, dia mendesis dan tak ada cara lain menyebutnya dia lari terbirit-birit menjauh dari kami, naik tangga dan lenyap dari pandangan.
Aku gemetaran hebat sehingga harus duduk di sofa. Kakiku berdenyut-denyut, dan napasku tidak beraturan. Darah yang berwarna terang dan cerah merembes di celana jinsku seperti bunga yang mekar. Aku menatapnya terpana, tubuhku mati rasa, beku karena terkejut.
Robbie melintasi ruangan dalam tiga langkah dan berlutut di sisiku. Dengan cekatan, seperti pernah melakukannya, dia mulai menggulung celanaku.
Robbie, bisikku ketika dia membungkuk di atas lukaku, jemarinya yang panjang tak disangka ternyata lembut juga. Apa yang terjadi" Semuanya kacau. Ethan menyerangku &seperti anjing liar.
Itu bukan adikmu, gumam Robbie seraya menggulung pipa celanaku, memperlihatkan luka berdarah di bawah lututku. Luka bergerigi berbentuk oval tercetak di kakiku, masih berdarah, kulit di sekitarnya mulai berubah ungu. Rob bersiul pelan. Parah. Tunggu di sini. Aku akan kembali.
Memangnya aku mau ke mana, balasku otomatis, lalu menyadari ucapannya tadi. Tunggu dulu. Apa maksudmu bahwa itu bukan Ethan" Siapa lagi kalau bukan dia"
Rob mengabaikanku. Menghampiri ranselnya, dia membuka dan mengeluarkan botol kaca hijau panjang dan gelas kristal kecil. Aku mengerutkan dahi. Kenapa dia menyuruh minum sampanye sekarang" Saat aku sedang terluka, kesakitan, dan adikku berubah menjadi monster. Sudah pasti aku tidak dalam suasana hati ingin bersenang-senang.
Dengan sangat hati-hati Robbie menuangkan sampanye ke gelas dan berjalan ke arahku, berusaha tidak menumpahkan setetes pun.
Ini, katanya sambil menyerahkan kepadaku. Gelas itu berkilau di tangannya. Minum ini. Di mana kau menaruh handuk"
Aku mengambil gelasnya dengan curiga. Di kamar mandi. Tapi jangan pakai handuk putih Mom yang bagus. Ketika Rob berlalu, aku mengintip isi gelap kecil itu. Isinya nyaris tak sampai satu teguk. Juga tak tampak seperti sampanye. Aku mengira akan melihat cairan soda putih atau merah muda, berbusa di dalam gelas. Cairan ini berwarna merah, gelap, warna darah. Kabut bergulung dan menari-nari di permukaannya.
Apa ini" Robbie kembali dari kamar mandi dengan membawa handuk putih. Apa kau harus mempertanyakan semua hal" Itu akan membantumu melupakan
rasa sakit. Sudah, minum saja.
Aku mengendusnya, berharap mencium bau buah beri atau aroma manis yang bercampur alkohol.
Cairan itu tak berbau. Sama sekali.
Oh, terserahlah. Aku angkat gelas itu, bersulang sendiri. Selamat ulang tahun untukku.
Anggur itu memenuhi mulutku, membanjiri indraku. Tidak terasa apa-apa, dan terasa segala-galanya. Rasanya seperti rembang petang dan kabut, cahaya bulan dan embun, kehampaan dan kerinduan. Ruangan berayun, dan aku terduduk lagi di sofa, rasa minuman tadi begitu kuat. Kenyataan mengabur di sudut pikiran, membungkusku dalam kabut yang memusingkan. Aku merasa mual dan sekaligus mengantuk.
Ketika indraku kembali jernih, Robbie sedang memasang perban di kakiku. Aku tidak ingat dia membersihkan atau mengobati lukaku. Aku mati rasa dan kebingungan, seperti ada selimut dihamparkan di atas pikiranku, membuatku sulit memusatkan perhatian.
Selesai, kata Robbie, berdiri. Beres. Setidaknya kakimu takkan copot. Matanya menatapku, ingin tahu dan menilai. Bagaimana perasaanmu, Putri"
Uh, ucapku bingung, berusaha melenyapkan sarang laba-laba dari otakku. Ada sesuatu yang aku lupakan, sesuatu yang penting. Kenapa Robbie membalut kakiku" Bagaimana aku terluka"
Aku terduduk tegak. Ethan menggigitku! aku berseru, merasa berang dan marah. Aku tatap Robbie. Dan kau &kau bilang itu bukan Ethan! Apa maksudmu" Apa yang terjadi"
Tenang, Putri. Robbie melemparkan handuk yang berlepotan darah ke lantai lalu duduk di bangku penyangga kaki. Dia mendesah. Aku berharap tidak sampai seperti ini. Salahku, kurasa. Aku seharusnya tidak meninggalkanmu sendirian hari ini.
Apa yang kau bicarakan"
Kau seharusnya tidak melihat ini, semua ini, Robbie melanjutkan, membuatku semakin bingung. Dia seperti bicara pada diri sendiri, bukan kepadaku. Kemampuan Memandangmu dari dulu memang kuat, itu bakat. Tetap saja, aku tidak mengira mereka mengincar keluargamu juga. Ini mengubah segalanya.
Rob, jika kau tak mengatakan apa yang terjadi
Robbie menatapku. Matanya bersinar, nakal juga liar. Mengatakannya" Apa kau yakin" Suaranya berubah pelan dan berbahaya, bulu kudukku merinding. Begitu melihatnya, kau takkan bisa menghentikannya. Orang bisa gila karena tahu terlalu banyak. Dia mendesah, tatapan berbahaya lenyap dari matanya. Aku tak mau itu terjadi padamu, Putri. Tak perlu seperti ini, kau tahu. Aku bisa membuatmu melupakan semua ini.
Melupakan" Dia mengangguk dan mengangkat botol anggur. Ini anggur-kabut. Kau hanya perlu meminumnya. Satu gelas akan membuat semuanya kembali normal. Dia menjepit botol itu dengan dua jari, membiarkannya berayun-ayun. Satu gelas, dan kau akan normal lagi. Tingkah adikmu tak lagi terlihat aneh, dan kau takkan ingat apa pun yang aneh dan menakutkan. Kau tahu, seperti kata orang ketidaktahuan adalah anugerah.
Meskipun gelisah, aku merasakan api kemarahan membakar dadaku. Jadi, kau ingin aku minum benda &itu, dan melupakan Ethan begitu saja. Melupakan adikku satu-satunya. Apa itu maksudmu"
Dia mengangkat alis. Yah, jika kau mengatakannya seperti itu &
Api di dadaku semakin panas dan membesar, mengenyahkan rasa takut. Aku mengepalkan tinju. Tentu saja aku tak mau melupakan Ethan! Dia adikku! Apa kau ini bukan manusia, atau memang bodoh"
Terheran-heran aku melihat cengiran lebar menyebar di wajahnya. Dia menjatuhkan botol, menangkapnya, dan menaruhnya di lantai. Yang pertama, katanya, sangat pelan.
Ucapannya mengagetkanku. Apa"
Bukan manusia. Dia masih tersenyum, senyum yang lebar sehingga giginya berkilau diterpa cahaya yang memudar. Aku ingatkan kau, Putri. Aku tidak sepertimu. Dan sekarang, begitu juga adikmu.
Meskipun rasa takut menusuk-nusuk perutku, aku mencondongkan badan ke depan. Ethan" Apa maksudmu" Apa yang salah dengannya"
Itu bukan Ethan. Robbie bersandar ke belakang, bersedekap. Makhluk yang menyerangmu tadi adalah changeling.
BAB EMPAT Puck Aku menatap Robbie, bertanya-tanya apa ini salah satu lelucon bodohnya. Dia duduk di sana, mengamatiku dengan tenang, menunggu reaksiku. Meskipun masih tersenyum, matanya keras dan serius. Dia ti
dak sedang bercanda. Ch-changeling" aku terbata-bata, menatapnya seakan dia sudah gila. Bukannya itu sejenis &
Faery, Robbie menyelesaikan ucapanku. Changeling adalah anak faery yang ditukarkan dengan anak manusia. Biasanya jenis troll atau goblin, meskipun sidhe bangsawan faery juga sering melakukan itu. Adikmu telah ditukar. Dia bukan lagi Ethan.
Kau gila, bisikku. Kalau tidak sedang duduk, aku akan melangkah mundur ke pintu. Kau sudah keterlaluan. Sudah waktunya kembali nonton anime, Rob. Tidak ada yang namanya faery.
Robbie mendesah. Sungguh" Itukah komentarmu" Mudah sekali ditebak. Dia bersandar kembali, menyilangkan lengan di dada. Aku mengira kau lebih dari itu, Putri.
Mengira aku lebih dari itu" jeritku, melompat dari sofa. Dengar! Kau berharap aku percaya kalau adikku sejenis pixie dengan serbuk berkilauan dan sayap kupu-kupu"
Jangan bodoh, ucap Robbie tenang. Kau tak tahu apa yang kau bicarakan. Kau memikirkan Tinker Bell, yang selalu merupakan respons manusia bila mendengar kata faery. Fey sungguhan tidak seperti itu. Dia berhenti sejenak. Well, kecuali pada piskie, tapi itu cerita lain.
Aku menggeleng, otakku berputar ke beberapa arah sekaligus. Aku tak bisa berurusan dengan hal ini sekarang, gumamku dan menjauh darinya. Aku harus memeriksa Ethan.
Robbie mengangkat bahu, kembali bersandar di dinding, meletakkan tangan di belakang kepala. Setelah memelototinya sekali lagi, aku berlari naik tangga dan membuka pintu kamar Ethan.
Kamarnya berantakan, penuh mainan rusak, buku, dan baju yang berserakan. Aku mencari-cari Ethan, tapi kamar itu kosong, sampai aku mendengar bunyi cakaran samar dari bawah tempat tidurnya.
Ethan" Sambil berlutut, menyingkirkan action figure yang pecah dan Tinkertoy yang patah, aku mengintip ke dalam relung antara kasur dan lantai. Dalam kegelapan, aku bisa melihat gundukan kecil meringkuk di sudut memunggungiku. Tubuhnya gemetaran.
Ethan, panggilku dengan lembut. Kau tidak apa-apa" Kenapa kau tidak keluar" Aku tidak marah padamu. Yah, itu bohong, tapi aku lebih terguncang daripada marah. Aku ingin menyeret Ethan ke bawah dan membuktikan kalau dia bukan troll atau changeling atau apa pun yang Robbie katakan tadi.
Gundukan itu bergerak sedikit, dan suara Ethan keluar dari celah itu. Apakah laki-laki menakutkan itu masih di sini" tanyanya dengan suara kecil, suara ketakutan. Aku mungkin akan iba jika betisku tak berdenyut-denyut sakit.
Tidak, aku berbohong. Dia sudah pergi. Kau bisa keluar. Ethan tak bergerak, dan kegusaranku bertambah. Ethan, ini konyol. Keluar dari sana, sekarang. Aku memasukkan kepala lebih dalam ke bawah kasur dan meraih tubuhnya.
Ethan berbalik menatapku sambil mendesis, matanya kuning menyala, dan menyambar tanganku. Aku menarik tangan tepat ketika giginya yang tajam tak beraturan, seperti gigi hiu, mengatup dengan bunyi mengerikan. Ethan menggeram, kulitnya biru seperti bayi yang tenggelam, giginya bersinar di kegelapan. Aku menjerit, buru-buru mundur. Mainan Lego dan Tinkertoy menyakiti telapak tanganku. Menabrak dinding, aku melompat berdiri, berbalik dan lari meninggalkan kamar Ethan.
Dan bertabrakan dengan Robbie yang berdiri di depan pintu kamar.
Dia memegangi bahuku ketika aku menjerit-jerit dan mulai memukulinya, hampir tak sadar apa yang kulakukan. Dia menerima seranganku tanpa bersuara, terus memegangiku agar tak bergerak, hingga aku roboh dalam pelukannya dan membenamkan kepala di dadanya. Dia memelukku sementara aku menangis untuk meluapkan semua rasa takut dan marahku.
Akhirnya air mata berhenti mengalir, energiku terkuras, lelah luar biasa. Aku menghela napas dan melangkah mundur, mengusap air mata, masih gemetar. Robbie masih berdiri di sana, kausnya basah karena air mataku. Pintu kamar Ethan tertutup, tapi aku bisa dengar ketukan samar dan gelak tawa di balik pintu.
Aku menggigil, menatap Robbie. Ethan benar-benar hilang" Bisikku. Dia tidak bersembunyi di suatu tempat" Dia benar-benar pergi"
Robbie mengangguk muram. Aku menatap pintu kamar Ethan dan menggigit bibir. Di mana dia sekarang"
Mungkin di Fa eryland. Ucapannya begitu lugas hingga aku hampir tertawa karena begitu konyol. Ethan diculik oleh faery dan digantikan oleh kembaran jahat. Faery menculik adikku. Aku tergoda untuk mencubit diriku demi membuktikan ini hanyalah mimpi atau halusinasi. Mungkin aku sedang teler di sofa. Secara refleks aku gigit bagian dalam pipiku, keras. Sakit yang menyengat dan rasa darah dalam mulut memberitahuku kalau semua ini sungguh terjadi.
Aku menatap Robbie, ekspresi muramnya mengenyahkan keraguanku yang tersisa. Perutku sakit, membuatku mual dan ketakutan.
Jadi & Aku menelan ludah dan memaksakan diri agar tetap tenang. Oke, Ethan diculik faery, aku bisa mengatakannya. Apa yang harus kita lakukan"
Robbie mengangkat satu bahu. Itu terserah kau, Putri. Ada manusia yang membesarkan changeling seperti anak sendiri, meskipun biasanya mereka tak menyadari siapa anak itu sebenarnya. Singkatnya, jika kau memberinya makan dan tidak mengganggunya, makhluk itu akan betah tanpa terlalu menyusahkan. Mulanya Changeling akan menyusahkan, tapi biasanya keluarga angkatnya akan terbiasa. Robbie tersenyum lebar, bukan karena lucu, hanya sekadar upaya agar suasana lebih ceria. Semoga saja orangtuamu menganggapnya hanya sedang melewati tahap amukan anak usia dua tahun yang terlambat.
Robbie, makhluk itu menggigitku, membuat Mom terpeleset dan jatuh di dapur. Itu bukan cuma menyusahkan, dia berbahaya. Aku memandang marah pintu kamar Ethan bergidik. Aku mau makhluk itu pergi. Aku ingin adikku kembali. Bagaimana cara menyingkirkannya"
Robbie serius lagi. Well, ada beberapa cara untuk menyingkirkan changeling, katanya, tampak tidak nyaman. Salah satu cara lama adalah merebus bir atau memasak stew dalam kulit telur, dan itu akan membuat changeling berkomentar karena keanehannya. Tapi cara itu untuk bayi yang ditukar karena bayi belum bisa bicara, orangtua akan tahu kalau si kembaran adalah changeling dan orangtua aslinya harus mengambilnya kembali. Kurasa hal itu tidak berlaku bagi anak yang lebih tua, seperti adikmu.
Bagus. Apa cara lainnya"
Er, cara lainnya dengan memukuli si changeling sampai hampir mati, sehingga jeritannya memaksa orangtua aslinya mengembalikan anak yang diambilnya. Atau kau bisa memasukkannya ke oven dan memanggangnya hidup-hidup
Hentikan. Aku merasa mual. Aku tak bisa melakukan hal seperti itu, Robbie. Aku takkan tega. Pasti ada cara lain.
Well & Robbie ragu, menggaruk-garuk tengkuk. Cara lainnya adalah pergi ke negeri faery dan mengambilnya. Mengembalikan anak yang asli ke rumahnya akan memaksa changeling pergi. Tapi & Dia berhenti seolah akan mengatakan sesuatu tapi kemudian berubah pikiran.
Tapi apa" Tapi kau tak tahu siapa yang mengambil adikmu. Tanpa pengetahuan itu, kau hanya akan berputar-putar. Dan, jika kau ingin tahu, tersesat di Faeryland sangatlah buruk.
Aku menyipitkan mata. Aku tidak tahu siapa yang menculiknya, aku sependapat, menatap Robbie tajam, tapi kau tahu.
Robbie bergerak gelisah. Aku punya dugaan.
Siapa" Ini hanya dugaan. Aku bisa saja salah. Jangan langsung mengambil kesimpulan.
Robbie! Dia mendesah. Istana Gelap.
Apa" Istana Gelap, ulang Robbie. Istana Mab, Ratu Udara dan Kegelapan. Musuh bebuyutan Raja Oberon dan Ratu Titania. Sangat berkuasa. Sangat jahat.
Tunggu, tunggu, tunggu. Aku mengangkat tangan. Oberon" Titania" Seperti cerita A Midsummer Night s Dream" Bukankah itu hanya mitos"
Kuno, ya, jawab Robbie. Mitos, bukan. Penguasa kaum faery hidup abadi. Siapa saja yang memiliki lagu, balada, dan kisah yang ditulis berarti mereka tak akan pernah mati. Keyakinan, pemujaan, imajinasi kami dilahirkan dari mimpi dan rasa takut para mortal, dan jika kami tetap diingat, meskipun hanya sekilas, kami akan selalu ada.
Kau terus mengatakan kami , kataku. Seakan kau salah satu faery. Memangnya kau salah satu dari mereka" Robbie tersenyum, senyum bangga, menggoda, dan aku menelan ludah. Kau itu siapa"
Ah, well. Robbie mengangkat bahu, berusaha tampak rendah hati tapi gagal total. Kalau kau sudah baca A Midsummer Night s Dream, kau mungkin ingat aku.
Ada insiden buruk, sama sekali tak disengaja, ketika aku memberi kepala keledai pada seseorang dan membuat Titania jatuh cinta padanya.
Aku mengingat-ingat cerita itu. Aku membacanya di kelas tujuh, tapi sudah lupa sebagian besar jalan ceritanya. Ada begitu banyak karakter, banyak nama untuk diingat, orang-orang jatuh cinta dan patah hati begitu seringnya sehingga terasa konyol. Aku masih ingat beberapa nama manusia: Hermia, Helena, Demetrius. Sementara nama-nama faery yaitu Oberon dan Titania dan &
Sialan, aku berbisik, menyandarkan tubuh di dinding. Aku menatap Robbie dengan pandangan berbeda. Robbie Goodfell. Robin &kau Robin Goodfellow.
Robbie tersenyum lebar. Panggil aku Puck.
* * * PUCK. Puck yang itu berdiri di koridorku.
Tidak mungkin, bisikku, menggeleng. Ini Robbie, sahabatku. Aku pasti tahu jika dia faery. Iya, kan"
Yang menakutkan, semakin aku memikirkannya, semakin benar rasanya. Aku tak pernah melihat rumah Robbie, atau orangtuanya. Para guru mencintainya, meskipun dia tak pernah mengerjakan PR dan selalu tidur di kelas. Dan berbagai kejadian aneh yang terjadi ketika dia ada: tikus dan katak di atas meja, atau nama tertukar di kertas ujian. Meskipun Robbie Goodfell menganggap semua itu luar biasa lucu, tak seorang pun yang mencurigainya.
Tidak, gumamku lagi, melangkah mundur ke kamarku. Itu mustahil. Puck itu tokoh legenda, mitos. Aku tidak percaya.
Senyum Robbie membuatku ngeri. Kalau begitu, Putri, aku akan meyakinkanmu.
Tangannya terentang di samping tubuhnya, seolah dia akan mengambang di udara. Di lantai bawah, aku mendengar pintu depan terbuka, aku berharap Mom dan Luke belum pulang. Ya, Mom, Ethan berubah jadi monster dan sahabatku menganggap dirinya faery. Bagaimana harimu"
Seekor burung hitam besar terbang melayang di koridor. Aku berteriak dan menunduk ketika raven, atau gagak atau apa pun itu, terbang menghampiri Robbie dan bertengger di lengannya. Dengan mata bersinar, mereka menatapku sambil tersenyum.
Angin berembus, lalu tiba-tiba udara dipenuhi burung hitam berkaok-kaok, masuk dari pintu yang terbuka. Aku terkesima dan menunduk ketika gerombolan raven memenuhi koridor, kicauannya nyaris membuatku tuli. Mereka berputar-putar mengelilingi Robbie, menciptakan tornado dari sayap-sayap yang mengepak dan cakar-cakar tajam, mencabik-cabik dirinya dengan kuku dan paruh runcing. Bulu-bulu berterbangan, dan Robbie lenyap dalam pusaran itu. Lalu, burung-burung itu berpencar, terbang keluar melalui pintu yang terbuka, sama seperti ketika mereka masuk. Ketika burung terakhir pergi, pintu menutup di belakangnya, dan keheningan kembali menyelimuti rumah. Aku menahan napas dan menatap Rob.
Tetapi Robbie telah lenyap. Hanya tumpukan bulu hitam dan debu tertinggal di tempatnya tadi berdiri.
Semua ini terlalu berlebihan. Aku merasa kewarasanku mulai terurai seperti kain yang compang-camping. Sambil memekik, aku berbalik, lari ke kamar, membanting pintu di belakangku. Dengan gemetaran aku menyelinap di bawah selimut, menutupi kepala dengan bantal, sambil berharap semuanya akan kembali normal ketika aku terbangun.
Pintu kamarku terbuka, dan bunyi kepakan sayap memasuki kamarku. Aku tak mau melihat, menarik selimut lebih tinggi lagi, menginginkan mimpi buruk ini berakhir. Aku mendengar suara mendesah, dan langkah kaki di lantai.
Aku telah berusaha memperingatkanmu, Putri.
Aku mengintip. Robbie berdiri di sana, menatapku di tempat tidur, senyum sedih di wajahnya. Melihatnya, aku merasa lega, marah dan ketakutan di saat yang sama. Aku melemparkan selimut dan duduk, menyipitkan mata saat memandangnya. Robbie menunggu, tangan di saku celana jins, seakan menantangku untuk memintanya memberi bukti lain.
Kau benar-benar Puck" kataku akhirnya. Puck yang itu" Puck yang ada dalam cerita"
Robbie/Puck membungkuk untuk memberi hormat. Satu-satunya.
Jantungku masih berdetak kencang. Aku menghela napas dalam-dalam untuk menenangkan diri lalu memelototi orang asing itu. Emosiku campur aduk: aku tak tahu harus merasa apa. Aku memilih untuk marah; Robbie menjadi sahabatku selama bertahun-tahun, dan dia ta
k pernah membagi rahasianya denganku. Kau seharusnya memberitahuku dari dulu, kataku mencoba terdengar tak sakit hati. Aku akan menyimpan rahasiamu. Dia hanya menyeringai dan mengangkat alis, membuatku makin berang. Baiklah. Pulang saja ke Faeryland, atau ke mana pun tempatmu berasal. Bukankah kau itu badutnya Oberon atau apalah. Buat apa kau bergaul denganku begitu lama"
Kau melukaiku, Putri. Robbie terdengar sama sekali tak sakit hati. Apalagi setelah aku memutuskan untuk membantu mendapatkan adikmu kembali.
Kemarahanku lenyap seketika, digantikan rasa takut. Percakapan tentang fey dan penguasa faery membuatku nyaris melupakan masalah Ethan.
Aku bergidik sementara perutku melilit menjadi bola kecil padat. Semua ini masih terasa seperti mimpi buruk. Tapi Ethan hilang, dan faery itu nyata. Aku harus menerima kenyataan ini. Robbie berdiri di sana, menatapku serius. Sehelai bulu jatuh dari rambutnya, melayang turun ke tempat tidur. Perlahan aku memungutnya, memilinnya di jemariku. Benda itu terasa solid dan nyata.
Kau akan menolongku" bisikku.
Dia memberiku tatapan sok pintar, satu sudut bibirnya terangkat. Memangnya kau tahu jalan ke Faeryland"
Tidak.

The Iron Fey 1 The Iron King Karya Julie Kagawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berarti kau membutuhkan bantuanku. Robbie tersenyum dan menggosok-gosokkan tangan. Selain itu sudah lama juga aku tidak pulang, dan di sini tidak ada apa-apa. Menyerbu Istana Gelap sepertinya menyenangkan.
Aku tidak merasa seantusias dirinya. Lebih cepat lebih baik. Apa ada yang ingin kau bawa, Putri" Kau mungkin tidak bisa pulang selama beberapa waktu.
Aku mengangguk, berusaha tetap tenang. Beri aku waktu sebentar.
Robbie mengangguk dan melangkah ke koridor. Aku meraih ransel oranye terangku dan melemparnya ke tempat tidur, berpikir harus membawa apa. Apa yang diperlukan dalam perjalanan malam hari ke Faeryland" Kuambil celana jins dan kaus cadangan, senter, dan sebotol aspirin, memasukkan semuanya ke dalam ransel. Dari dapur aku menjejalkan sekaleng Coke dan beberapa bungkus keripik, berharap Robbie tahu bagaimana mendapatkan makanan selama perjalanan nanti. Akhirnya, entah kenapa, kuambil iPod, meletakkannya di kantong samping ransel.
Mom seharusnya mengantarku ke DMV untuk mengambil izin belajar mengemudi hari ini. Aku bimbang, menggigit bibir. Apa kata Mom dan Luke ketika tahu aku pergi" Aku selalu mematuhi peraturan, tak pernah menyelinap keluar rumah kecuali satu kali bersama Robbie tidak pernah melanggar jam malam. Aku penasaran apa maksud Robbie ketika mengatakan kami akan pergi sementara . Luke mungkin saja tak menyadari kepergianku, tapi Mom pasti akan khawatir. Mengambil buku PR lama, aku berniat menulis pesan untuknya, tapi kemudian berhenti, pulpenku mengambang di atas kertas.
Apa yang akan kutulis" Dear Mom, Ethan diculik oleh faery. Aku pergi mencarinya. Oh, dan jangan percaya pada Ethan yang ada di sini dia sebenarnya changeling. Pesan itu terdengar gila, bahkan bagi diriku. Aku bimbang, berpikir lagi, lalu menulis pesan singkat:
Mom, ada sesuatu yang harus kukerjakan. Aku akan segera kembali, aku janji. Jangan khawatirkan aku. Meghan.
Aku menempelkan pesan itu di pintu kulkas, berusaha untuk tidak memikirkan kalau aku mungkin tak pernah kembali ke rumah. Menyandang ransel di bahu, merasakan organ dalamku menggeliat seperti sarang ular, aku menaiki tangga.
Robbie menanti di puncak tangga, lengannya menyilang di dada, tersenyum malas. Sudah siap"
Perasaan cemas menggelitik perutku. Apa ini akan sangat berbahaya"
Oh, luar biasa, jawab Robbie sambil melangkah ke kamar Ethan. Itulah yang membuatnya menyenangkan. Kau bisa mati dengan berbagai cara yang menarik tertusuk pedang kaca, diseret ke dalam air dan dimakan kelpie, berubah menjadi laba-laba atau semak-semak mawar kapan saja dia menatapku. Well, kau ikut atau tidak"
Aku menyadari tanganku gemetar. Kenapa kau mengatakan hal-hal seperti itu" bisikku. Kau ingin menakutiku"
Memang, jawab Robbie, blak-blakan. Dia berhenti di depan kamar Ethan, satu tangan memegang gagang pintu, memandangku. Hal seperti itulah yang akan kau hadapi, Putri. Aku memperingatkanmu sekarang.
Kau masih ingin pergi" Tawaranku tadi masih berlaku.
Aku masih ingat rasa anggur-kabut, keinginan untuk meminumnya lebih banyak lagi, dan bergidik. Tidak, jawabku cepat. Aku takkan biarkan Ethan bersama gerombolan monster. Aku sudah kehilangan ayah aku tak mau kehilangan adikku.
Menuntut Balas 4 Kemelut Kerajaan Mancu Seri Huang Ho Sianli 2 Karya Kho Ping Hoo Bila Pedang Berbunga Dendam 1

Cari Blog Ini