Ceritasilat Novel Online

The Iron King 5

The Iron Fey 1 The Iron King Karya Julie Kagawa Bagian 5


Sekarang, lanjut Ash, memberi isyarat mengusir dengan pedangnya, sudah saatnya kau pergi.
Narissa melotot, rambutnya berkibar-kibar. Lalu dia tersenyum. Baiklah, sayang. Aku akan senang melihat Rowan mencabik-cabikmu. Sampai jumpa. Tubuhnya berputar-putar, berubah menjadi salju dan angin, dan berembus ke arah pepohonan.Ash mendesah, menggelengkan kepala. Kita harus bergerak cepat, gumamnya, menghampiriku. Narissa akan memberi tahu Rowan di mana kita, dan dia akan segera datang untuk mengklaimmu bagi dirinya sendiri. Jangan bergerak.
Dia mengangkat gagang pedang lalu menghantamkannya ke es. Penjara beku itu retak dan pecah di beberapa bagian. Dia menghantam lagi, dan retakan membesar.
Ja-jangan khawatirkan a-aku, kataku dengan gigi gemeletuk. Tolong P-Puck. Dia tak bisa bernapas di da-dalam sana!
Perjanjianku bukan dengan Goodfellow, gumam Ash, tak menghentikan aksinya. Aku tak punya kebiasaan menolong musuh. Selain itu, dia baik-baik saja. Dia pernah selamat dalam kondisi yang jauh lebih buruk daripada dibekukan hidup-hidup. Sayang sekali.
Aku menatapnya marah. Apa kau benar-benar mau mem-membantu kami" tanyaku ketika lebih banyak lagi es yang pecah. Ucapanmu pada Narissa
Aku tidak mengatakan hal yang tidak benar padanya, sela Ash, balas menatapku. Aku takkan mengkhianati Ratuku. Jika semua ini selesai, aku akan antar putri Oberon kepadanya, seperti yang kujanjikan. Dia mengalihkan pandangan dan meletakkan tangan di es, yang retakannya paling panjang. Aku hanya melakukannya lebih lambat dari yang dia harapkan. Tutup matamu.
Aku melakukannya, merasakan balok es itu bergetar. Dengungan semakin kencang, diiringi bunyi pecahan kaca, es pecah menjadi jutaan keping, dan aku pun bebas.
Aku merosot di tanah, gemetaran tak terkendali. Mantelku dilapisi es, bulu yang berdenting kini senyap. Ash berlutut membantuku berdiri, tapi aku menepis.
Aku takkan ke mana-mana, geramku, sebelum kau membebaskan Puck.
Dia mendesah kesal tapi bangkit dan menghampiri balok es kedua, meletakkan tangan di atasnya. Kali ini es pecah berantakan, beterbangan ke segala arah seperti granat kristal. Beberapa kepingan bersarang di pohon terdekat, belati es berkilau menancap di kayu. Aku meringis melihat ledakan dahsyat itu. Jika dia lakukan itu padaku, aku pasti sudah tercabik-cabik.
Puck terhuyung-huyung ke depan, wajahnya berdarah, pakaiannya tercabik-cabik. Tubuhnya berayun, matanya nanar, dan terjatuh. Aku menjerit memanggil dan berlari menghampiri tepat ketika dia jatuh ke dalam pelukanku.
Dan menghilang. Tubuhnya lenyap ketika aku menangkapnya, dan aku menatap daun yang terkoyak-koyak melayang jatuh ke tanah. Di sebelahku, Ash mendengus dan menggeleng.
Apa kau sudah dengar semua yang kau inginkan, Goodfellow" katanya pada udara kosong.
Sudah, suara tanpa tubuh Puck terdengar dari atas pohon, tapi aku tak memercayai apa yang aku dengar.
Dia melompat dari dalam pinus, mendarat di atas salju. Ketika berdiri tegak lagi, mata hijaunya membara penuh kemarahan. Tidak kepada Ash, tapi kepadaku.
Jadi itu yang kau janjikan padanya, Putri" teriaknya, kedua tangannya teracung. Itu penawaranmu" Kau menawarkan dirimu kepada Istana Gelap" Dia berbalik dan meninju pohon, membuat ranting dan es beku berguguran ke tanah. Dari semua ide bodoh yang ada! Kau pilih itu, kenapa"
Aku mengerut takut. Inilah pertama kalinya aku melihatnya marah. Bukan hanya Puc
k, Robbie juga. Dia tak pernah marah, menganggap semua hal sebagai lelucon. Kini dia terlihat siap mencopot kepalaku.
Kita butuh bantuan, kataku, menatap ngeri matanya yang menyala dan rambutnya yang berkobar seperti nyala api. Kita harus keluar dari teritorial Istana Gelap dan masuk ke kerajaan Machina.
Aku akan membawamu ke sana! raung Puck. Aku! Kau tak membutuhkan bantuannya! Apa kau tak percaya kalau aku bisa menjagamu" Aku akan berikan segalanya untukmu. Kenapa kau pikir aku tidak cukup"
Aku tak bisa berkata-kata. Puck tampak terluka, menatapku tajam seakan aku baru saja menikamnya dari belakang. Aku tak tahu harus berkata apa. Aku tak berani menatap Ash, tapi aku merasa dia pasti geli melihat semua ini.
Saat kami saling melotot, Grimalkin keluar dari semak-semak, gumpalan berasap menggelinding di atas salju. Matanya setengah terpejam ketika melihat Puck yang berang, lalu ke arahku. Semakin menghibur, dia mendengkur, menyeringai geli.
Aku tak sedang ingin meladeni sarkasmenya. Apa kau tak punya sesuatu yang berguna untuk dikatakan, Grim" bentakku, matanya semakin menyipit.
Kucing itu menguap, duduk untuk menjilati tubuhnya. Sebenarnya ada, gumamnya, membungkuk ke arah ekornya. Aku punya sesuatu yang akan membuat kau tertarik. Dia terus membersihkan ekor, sementara aku berusaha menahan diri agar tidak mencengkeram ekor itu, memutar-mutarnya di udara lalu melemparnya. Akhirnya dia meregangkan badan dan menengadah, mengerjap-ngerjap malas.
Aku yakin, dengkurnya, meregangkan tubuh, aku telah menemukan trod yang kalian cari.
Kami mengikuti Grimalkin ke reruntuhan sebuah istana tua, tempat dimana pilar-pilar ambruk dan patung gargoyle yang pecah berantakan di halaman. Banyaknya tulang yang berserakan di sana, mencuat dari bawah salju, membuatku gugup. Puck melangkah di belakang, tak bicara pada siapa pun, menutup diri dalam kemarahan senyap. Aku berjanji akan berbaikan dengannya nanti, jika dia sudah tenang, tapi saat ini aku tak sabar ingin segera keluar dari teritorial Istana Gelap.
Di sana, kata Grimalkin, mengangguk ke arah pilar batu besar yang terbelah dua. Kedua pecahannya saling bertumpuk, membentuk gerbang melengkung di tengahnya.
Ada tubuh berbaring di depannya. Tubuh yang panjangnya paling tidak empat meter, dengan kulit biru-putih berbulu dan janggut putih kusut. Makhluk itu berbaring telentang, wajahnya berpaling, tangan gemuknya menggenggam pemukul dari batu.
Ash meringis. Benar juga, gumamnya, ketika kami menunduk di balik dinding batu yang rendah. Mab menaruh hewan raksasa peliharaannya untuk menjaga tempat ini. Cold Tom tidak menurut pada siapa pun selain kepada Ratu.
Aku memelototi si kucing yang terlihat tak peduli. Kau harusnya bilang, Grim. Apa kau lupa hal kecil tapi sangat penting ini" Atau kau tak melihat ada raksasa setinggi empat meter di tempat ini"
Puck, melupakan kemarahannya, atau menahannya, mengintip dari balik batu besar. Sepertinya sekarang waktu tidur Tom, katanya. Mungkin kita bisa menyelinap masuk.
Grimalkin menatap kami satu demi satu lalu mengerjapkan mata perlahan. Di saat-saat seperti ini, aku bersyukur menjadi kucing. Dia mendesah, dan berderap ke arah tubuh besar itu.
Grim! Stop! aku mendesis. Apa yang kau lakukan"
Kucing itu mengabaikanku. Jantungku sudah naik ke tenggorokan ketika dia melenggang santai menuju raksasa itu, terlihat seperti tikus di sebelah tubuh raksasa Tom. Menatap tubuh itu, dia mengibaskan ekor, menunduk, lalu melompat ke dada raksasa itu.
Napasku terhenti, tapi raksasa itu diam tak bergerak. Mungkin Grimalkin terlalu ringan sehingga dia tak menyadarinya. Kucing itu berbalik dan duduk, melingkarkan ekor di kakinya, dan melihat kami yang kebingungan.
Mati, serunya. Sudah lama. Kalian bisa berhenti meringis ngeri jika mau. Aku tak tahu bagaimana kalian bisa selamat dengan penciuman seperti itu. Aku bisa mencium baunya dari jarak satu mil.
Dia sudah mati" Ash melangkah maju, alisnya bertaut. Aneh. Cold Tom adalah salah satu yang terkuat dalam klannya. Kenapa dia bisa mati"
Grimalkin menguap. Mungkin dia makan sesua
tu yang tak cocok untuknya.
Aku menghampiri dengan ragu. Mungkin aku terlalu banyak menonton film horor, tapi aku takut raksasa mati itu membuka mata dan mengayunkan tongkatnya. Apa itu penting" tanyaku pada Ash, masih mewaspadai tubuh itu. Jika dia mati, maka kita bisa keluar dari sini tanpa melawannya.
Kau tidak tahu apa-apa, jawab Ash. Tatapannya menyapu mayat itu, matanya menyipit. Raksasa ini kuat, salah satu yang tertangguh. Ada yang membunuhnya, di teritorial kami. Aku ingin tahu apa yang bisa membuat Tom mati seperti ini.
Aku sudah dekat dengan kepala raksasa itu, cukup dekat untuk melihat mata menonjol dan kosong, lidah abu-abu terjulur dari mulutnya. Urat nadinya membiru menonjol di sekeliling rongga mata dan lehernya. Apa pun yang membunuhnya, kematiannya tidak berlangsung cepat.
Lalu laba-laba logam merayap keluar dari mulutnya.
Aku memekik, melompat ke belakang. Puck dan Ash bergegas menghampiriku ketika laba-laba besar itu merangkak pergi, melintasi wajah Tom dan menaiki dinding. Ash menghunus pedang, tapi Puck berteriak dan melemparkan batu ke arahnya. Batu itu tepat mengenai laba-laba; diiringi percikan api ketika kutu itu terjatuh ke tanah, mendarat berkelontang di atas ubin.
Kami menghampiri dengan hati-hati. Ash membawa pedang terhunus, Puck membawa batu sebesar kepalan. Serangga itu terkapar pecah dan tak bergerak di tanah, nyaris terbelah dua. Dari dekat dia terlihat tidak begitu mirip laba-laba, lebih mirip makhluk dari film Aliens, tapi terbuat dari logam. Aku memberanikan diri untuk mengangkat ekornya yang mirip cambuk.
Makhluk apa itu" gumam Ash. Kali ini, fey yang dingin itu terdengar hampir &ketakutan. Fey besi Machina lagi"
Aku tiba-tiba menyadarinya. Ini kutu, bisikku. Kedua pemuda itu menatapku bingung, aku melanjutkan. Ironhorse, gremlin, kutu aku mulai mengerti. Aku berbalik menatap Puck, yang mengerjap dan melangkah mundur. Puck, bukankah kau pernah bilang kalau fey lahir dari mimpi-mimpi para mortal"
Ya" kata Puck, tak mengerti.
Yah, bagaimana jika makhluk-makhluk ini aku mengayunkan serangga logam itu lahir dari impian yang berbeda" Mimpi tentang teknologi, dan kemajuan" Mimpi tentang ilmu pengetahuan" Bagaimana jika ide-ide yang dulunya tak mungkin pesawat, kereta api, internet melahirkan faery dari jenis yang jauh berbeda. Umat manusia melakukan loncatan besar dalam teknologi dalam seratus tahun ini. Satu keberhasilan membuat kami ingin meraih memimpikan keberhasilan lain. Fey besi ini mungkin berasal dari impian ini.
Puck memucat, dan Ash tampak sangat terganggu. Jika itu benar, gumamnya, mata abu-abunya menggelap seperti awan mendung, berarti seluruh fey terancam bahaya. Bukan hanya Istana Terang dan Gelap. Nevernever akan terpengaruh, seluruh dunia fey.
Puck mengangguk, terlihat lebih serius. Ini perang, katanya menatap Ash. Jika Raja Besi ini membunuh penjaga trod, dia pasti berencana melakukan invasi. Kita harus menemukan Machina dan menghancurkannya. Mungkin dialah jantung dari seluruh fey besi. Jika kita membunuhnya, pengikutnya akan hancur.
Aku sependapat. Ash menyarungkan pedang, menatap jijik kutu itu. Kita bawa Meghan ke Istana Besi, menyelamatkan adiknya dengan membunuh si pemimpin fey besi.
Bravo, kata Grimalkin, mengintip ke bawah dari dada Cold Tom. Pangeran Musim Dingin dan penghibur Oberon sepakat atas satu hal. Dunia pasti mau kiamat.
Kami semua memelototinya. Kucing itu bersin-tertawa dan melompat turun, menatap kutu yang ada di tanganku. Dia mengerutkan hidung.
Menarik, dia merenung. Benda itu berbau besi dan baja, tapi tidak membakarmu. Kurasa menjadi separuh-manusia ada keuntungannya juga.
Apa maksudmu" tanyaku.
Mmm. Lemparkan itu ke Ash.
Jangan! Ash melangkah mundur, tangan meraba pedang. Grimalkin tersenyum.
Kau lihat" Bahkan Pangeran Musim Dingin yang kuat pun tak tahan menyentuh besi. Sementara kau, bisa menyentuhnya tanpa mencelakai dirimu. Sekarang apa kau mengerti kenapa istana-istana berusaha keras mendapatkanmu" Pikirkan apa yang bisa dilakukan Mab jika kau di bawah kendalinya.
Aku menjatuhkan kutu itu, bergidik. Apa itu sebabnya Mab menginginkan aku" tanyaku pada Ash yang masih berdiri menjauh. Sebagai senjata"
Ironis, ya" dengkur Grimalkin. Gadis ini bahkan tak bisa memakai glamour. Dia akan jadi pembunuh yang payah.
Aku tak tahu kenapa Mab menginginkanmu, kata Ash pelan, menatapku. Aku tak pernah mempertanyakan perintah Ratu. Aku hanya mematuhi.
Itu bukan masalah saat ini, Puck menyela, menatap marah Pangeran Musim Dingin. Pertama, kita harus menemukan Machina dan membunuhnya. Lalu kita pikirkan masalah ini. Suaranya mengindikasikan bahwa masalah yang dia bicarakan akan diputuskan dengan perkelahian.
Ash terlihat seperti ingin mengucapkan sesuatu, tapi dia mengangguk. Grimalkin menguap ribut dan berderap menuju gerbang.
Manusia, jangan tinggalkan kutu itu di sini ketika kita pergi, katanya tanpa menoleh. Benda itu mungkin akan meracuni tanah di sekitarnya. Kau boleh buang itu di duniamu, tak ada pengaruhnya di sana.
Dia melangkah ke bawah pilar, ekornya bergoyang-goyang, lalu lenyap. Memungut kutu itu dengan jempol dan telunjuk lalu aku menjejalkannya dalam ransel. Bersama Ash dan Puck yang mendampingiku seperti anjing pengawal yang waspada, aku melangkah ke bawah pilar dan semuanya berubah putih.
* * * KETIKA cahaya terang memudar, aku menatap sekeliling, pertama dengan bingung, lalu ngeri. Aku berdiri di tengah mulut yang terbuka, dengan barisan gigi tajam dan lidah merah di bawah kakiku. Aku memekik ngeri dan melompat, tersandung di bibir bawahnya dan jatuh terjerembab.
Ketika memutar tubuh, aku melihat Ash dan Puck melangkah keluar dari rahang menganga patung paus biru. Duduk di atas patung paus itu, tersenyum dan menunjuk ke kejauhan, Pinokio, fitur tubuh kayunya dibekukan dalam gips dan serat kaca.
Misi, Nona! Seorang gadis kecil berpakaian overall merah muda melangkahiku dengan tergesa-gesa, diikuti dua temannya. Ash dan Puck menepi, tapi anak-anak itu tak memedulikan, terus menjerit dan melompat-lompat dalam rahang paus itu.
Tempat yang menarik, gumam Puck saat membantu aku berdiri. Aku tak menjawab, terlalu sibuk melihat sekeliling. Sepertinya kami berada di taman bermain. Sebuah sepatu raksasa merah muda tak jauh dari sini, dan ada istana biru cerah di kejauhan yang dipenuhi anak-anak. Di antaranya ada bangku-bangku taman dan pohon-pohon rindang, kapal perompak yang diisi miniatur gerombolan bajak laut, dan seekor naga hijau besar berdiri dengan dua kaki, mengembuskan api plastik. Api yang keluar dari mulut naga itu sebenarnya sebuah perosotan. Aku melihat seorang anak laki-laki naik dari punggung naga lalu meluncur turun dan berteriak-teriak kesenangan, dan tersenyum sedih.
Ethan pasti akan menyukai tempat ini, pikirku, mengamati anak itu melesat ke arah kereta labu. Mungkin, ketika semua ini berakhir aku akan mengajaknya ke sini.
Ayo kita pergi, kata Grimalkin, melompat ke atas jamur raksasa merah muda. Ekor kucing itu tegak, dan matanya nyalang. Peramal itu tidak jauh dari sini, tapi kita harus cepat.
Kenapa kau gugup begitu, Grim" gerutu Puck, memandangi taman. Menurutku kita harus tinggal sebentar, menikmati suasananya. Dia tersenyum lebar dan melambai pada gadis kecil yang mengintipnya dari balik pondok, anak itu langsung bersembunyi.
Terlalu banyak anak kecil di sini, kata Grimalkin, menoleh gugup ke balik punggungnya. Terlalu banyak imajinasi. Mereka bisa melihat kita, kau tahu. Sosok kita yang sesungguhnya. Dan tidak seperti hob di sana itu, aku tak suka diperhatikan.
Aku mengikuti tatapannya dan melihat faery kecil bermain di sepatu bersama anak-anak. Rambutnya cokelat ikal, mantelnya lusuh, dan telinga berbulu mencuat dari kedua sisi kepalanya. Dia tertawa dan mengejar anak-anak di sekitarnya, para orangtua yang duduk di bangku-bangku seperti tak melihatnya.
Anak laki-laki berusia sekitar tiga tahun melihat kami dan mendekat, matanya tertuju pada Grimalkin. Meong, meong, bujuknya dengan mengulurkan kedua tangan. Grimalkin merapatkan telinga dan mendesis dengan memamerkan gigi, anak itu mundur. Pergi sana, bocah, dia meludah, dan anak itu menangis,
berlari menuju pasangan di salah satu bangku. Mereka mengerutkan dahi mendengar anak itu mengadu tentang kucing jahat, dan menatap kami.
Benar, waktunya pergi, kata Puck melangkah pergi. Kami mengikutinya, Grimalkin memimpin. Kami meninggalkan Storyland, nama tempat itu terpasang di papan dekat pintu keluar, melewati gerbang yang dijaga oleh Humpty Dumpty dan Little Bo Peep, melintasi taman yang ditumbuhi pohon ek raksasa yang penuh lumut dan sulur-sulur. Aku melihat wajah-wajah menatap kami dari pohon itu, wanita bermata bulat hitam. Puck meniupkan cium jauh ke arah mereka, Ash menunduk hormat. Bahkan Grimalkin mengangguk ke arah mereka, membuatku bertanya-tanya kenapa mereka begitu penting.
Setelah nyaris satu jam berjalan, kami sampai di jalanan kota.
Aku berhenti dan memandang sekeliling, berharap punya banyak waktu untuk melihat-lihat. Sejak dulu aku ingin ke New Orleans, terutama saat parade Mardi Gras, meskipun aku tahu Mom takkan mengizinkan. Bahkan sekarang, New Orleans berdenyut oleh kehidupan dan aktivitas. Toko dan bangunan tua berjajar di sepanjang jalan, kebanyakan bertingkat dua atau tiga, dengan serambi dan pagar dari teralis yang menjorok ke trotoar. Irama musik jaz mengalun sampai ke jalan, dan aroma pedas makanan Cajun membuat perutku keroncongan.
Menganganya nanti saja, Grimalkin menusuk betisku dengan cakarnya. Kita ke sini bukan untuk jalan-jalan. Kita harus menuju French Quarter. Satu dari kalian, cari kendaraan buat kita.
Ke mana tujuan kita tepatnya" tanya Ash sementara Puck menghentikan sebuah kereta yang ditarik keledai merah bertampang mengantuk. Keledai itu mendengus dan merapatkan telinga ketika kami masuk ke dalam, tapi kusirnya tersenyum dan mengangguk. Grimalkin melompat ke kursi depan.
Museum Sejarah Voodoo, katanya pada kusir yang sama sekali tidak heran melihat kucing bicara. Dan cepat.
* * * MUSEUM voodoo" Aku tak tahu apa yang akan aku lihat ketika kereta itu berhenti di depan gedung tua di French Quarter. Sepasang pintu hitam berada di bawah selasar, dan papan nama kayu sederhana bertuliskan Museum Sejarah Voodoo New Orleans. Hari telah senja, dan di jendela kotor itu tertera tulisan Tutup. Grimalkin mengangguk ke arah Puck yang menggumamkan sesuatu dan mengetuk pintu. Benda itu berderit membuka, dan kami melangkah masuk.
Di dalam berbau apak dan hangat. Aku tersandung di hamparan karpet yang tak rata dan menabrak Ash yang memegangiku sambil mendesah. Puck menutup pintu di belakang kami, ruangan menjadi sangat gelap. Aku meraba-raba dinding, tapi Ash mengucapkan sesuatu dan bola api biru muncul di atas kepalanya, menerangi kegelapan.
Cahaya pucat itu menyinari koleksi benda-benda mengerikan. Sebuah kerangka bertopi tinggi dipajang di dinding seberang dan bersebelahan dengan manekin berkepala alligator. Tengkorak manusia dan hewan menghiasi ruangan, begitu juga topeng-topeng menyeringai dan boneka kayu yang amat banyak. Lemari kaca dipenuhi jejeran stoples berisi ular dan katak yang mengapung dalam cairan kemerahan, gigi, alu, tong, cangkang kura-kura, dan benda aneh lainnya.
Lewat sini, suara Grimalkin terdengar nyaring dalam keheningan. Kami membuntutinya menuju koridor gelap, di dinding tergantung lukisan lelaki dan wanita yang menatap kami. Aku merasa ada mata yang mengikuti gerak-gerik saat aku masuk ke ruangan yang berisi benda-benda yang lebih mengerikan dan sebuah meja bundar beralas kain hitam di tengahnya. Ada empat kursi di sekelilingnya, seakan sudah menanti kedatangan kami.
Ketika kami mendekati meja, salah satu tubuh yang diawetkan di sudut bergerak dan turun dari dinding. Aku menjerit, bersembunyi di belakang Puck ketika kerangka wanita berambut putih kusut itu berjalan terhuyung-huyung ke arah kami, matanya berupa rongga kosong di wajahnya yang keriput.
Halo, anak-anak, wanita buruk rupa itu berbisik, suaranya seperti pasir yang mengalir dalam pipa. Kalian datang menjenguk Anna" Ada Puck, dan Grimalkin juga. Sungguh menyenangkan. Dia menunjuk meja, dan kuku di tangan kurusnya berkilau seperti baja. Silakan duduk.
Kami duduk di sekeliling meja
ketika wanita itu berdiri di depan kami. Dia berbau seperti debu dan busuk, mirip aroma koran lama yang berada di loteng bertahun-tahun. Dia tersenyum padaku, memamerkan gigi kuning seperti jarum.
Aku mencium kebutuhan, suaranya serak, duduk di kursi. Kebutuhan dan keinginan. Kau, Nak. Dia menuding ke arahku. Kau mencari pengetahuan. Kau mencari sesuatu yang harus ditemukan, benar"
Benar, bisikku. Wanita itu menganggukkan kepala kisutnya. Bertanyalah, anak dua-dunia. Tapi ingat & Dia menatapku dengan matanya yang kosong. Semua pengetahuan harus dibayar. Aku akan memberi jawaban yang kau cari, tapi aku menginginkan sesuatu sebagai balasan. Apakah kau mau memberikannya"
Rasa putus asa melandaku. Satu lagi perjanjian dengan faery. Satu lagi harga yang harus dibayar. Aku sudah punya banyak utang, aku mungkin takkan sanggup membayarnya. Aku tak punya banyak untuk diberikan, kataku. Dia tertawa, suaranya berdesis.
Selalu ada sesuatu, anakku sayang. Sejauh ini hanya kebebasanmu yang telah diklaim pihak lain. Dia mengendus, seperti anjing yang mencium bau-bauan. Kau masih punya kebeliaanmu, bakatmu, suaramu. Calon anakmu. Aku tertarik pada semua itu.
Kau takkan mendapatkan calon anakku, kataku otomatis.
Sungguh" Peramal itu mengetukkan jari. Kau takkan berikan meskipun dia hanya akan membuatmu nelangsa"
Cukup. Suara tegas Ash menerobos kegelapan. Kami ke sini bukan untuk membahas bagaimana-jika di masa depan. Sebutkan hargamu, peramal, dan biarkan gadis itu yang memutuskan.
Peramal itu mengendus, bersandar di kursinya. Satu kenangan, katanya.
Satu apa" Satu kenangan, kata perempuan itu lagi. Yang selalu kau ingat dengan penuh sayang. Kenangan terindah di masa kanak-kanakmu. Aku juga punya sedikit kenangan berharga, kau tahu.
Sungguh" tanyaku. Hanya itu" Kau hanya ingin satu kenanganku, dan kita sepakat"
Meghan sela Puck jangan anggap remeh. Kenanganmu adalah bagian dari dirimu. Kehilangan satu ingatanmu seperti kehilangan sebagian jiwamu.
Itu terdengar tidak menyenangkan. Tetap saja, pikirku, satu kenangan jauh lebih murah daripada suaraku, atau anak pertamaku. Dan bukannya aku akan merasa kehilangan, terutama karena aku takkan bisa mengingatnya. Aku berpikir tentang masa-masa paling membahagiakan dalam hidupku: pesta ulang tahun, sepeda pertamaku, Beau kecil. Tak ada satu pun yang cukup penting untuk dipertahankan. Baiklah, kataku pada peramal, duduk di kursi di depannya. Kau boleh melakukannya. Kau mendapatkan satu kenanganku, dan kemudian kau memberitahuku apa yang ingin kuketahui. Setuju"
Perempuan itu memamerkan giginya, tersenyum. Yaaaa.
Dia berdiri, menangkup wajahku dengan cakarnya. Aku merinding dan menutup mata ketika kukunya menggores pelan pipiku.
Ini mungkin sedikit &tidak menyenangkan, desis si peramal, dan aku terkesiap ketika dia menancapkan cakarnya dalam benakku, merobeknya seperti lembaran kertas. Aku merasa dia menyelinap di kepalaku, memilah-milah kenangan seperti foto, mengamatinya sebelum menyingkirkannya. Citra-citra yang dibuang berserakan di sekitarku: kenangan, emosi, luka lama terbuka kembali. Aku ingin melawan, menghentikannya, tapi aku tak bisa bergerak. Akhirnya dia berhenti, meraih ke satu titik kebahagiaan yang bersinar terang, dan dengan ngeri aku melihat apa yang dia incar.
Jangan! Aku ingin menjerit. Jangan, jangan yang itu! Jangan sentuh itu, kumohon!
Yaaaa, peramal mendesis, menancapkan cakarnya ke dalam kenangan itu. Aku ambil yang ini. Sekarang ini milikku.
Terasa ada yang robek, dan rasa sakit menyengat di kepalaku. Tubuhku menegang, masih tersisa jeritan di mulutku, dan merosot di kursi, kepalaku seakan baru saja dibelah.
Aku duduk tegak, meringis kesakitan karena kepalaku berdenyut-denyut. Si peramal tersenyum puas. Puck menggumamkan sesuatu yang tak aku mengerti dan Ash menatapku iba. Aku merasa letih, terkuras, dan hampa, seperti ada lubang kosong dalam diriku.
Dengan ragu-ragu aku mencari-cari dalam ingatanku, ingin tahu apa yang diambil olehnya. Sesaat kemudian aku sadar betapa tidak masuk akalnya tindakanku.
Sudah selesai, g umam peramal. Dia meletakkan tangan di meja, telapak tangan menghadap ke atas. Dan sekarang aku akan memenuhi janjiku. Letakkan tanganmu di tanganku, Nak, dan bertanyalah.
Menahan rasa jijik, aku letakkan tangan di tangannya, bergidik ketika kuku panjangnya melingkari jariku. Perempuan itu menutup mata. Tiga pertanyaan, katanya, suaranya seakan berasal dari kejauhan. Itu perjanjian standar. Tiga pertanyaan akan aku jawab, dan urusan kita selesai. Pilihlah dengan bijaksana.
Aku menghela napas panjang, melirik Puck dan Ash, lalu berbisik: Di mana aku bisa menemukan adikku"
Hening sejenak. Mata perempuan itu terbuka, aku menjengit. Mata itu tidak lagi kosong, tapi dipenuhi kobaran api, sehitam kehampaan yang tak berdasar. Mulutnya terbuka, meregang luar biasa lebar, ketika dia mengucapkan:
Di dalam gunung besi menanti seorang anak yang hilang.
Raja yang tak bertakhta lagi
akan membimbingmu melewati gerbang.
Luar biasa, gumam Puck, bersandar di kursi, memutar bola mata. Aku suka teka-teki. Berima lagi. Tanya dia di mana kita bisa menemukan si Raja Besi.
Aku mengangguk. Di mana Machina, si Raja Besi"
Peramal itu mendesah, suara yang keluar dari tenggorokannya berupa bisikan:
Di jantung Blight sebuah menara bernyanyi di atas takhta seseorang duduk sang Raja Besi Blight. Puck mengangguk, mengangkat alis. Dan menara yang bernyanyi. Wow, makin bagus saja. Aku yakin kita bersyukur sudah ke sini. Pangeran, apa kau bisa memikirkan apa yang ingin ditanyakan pada peramal yang baik hati ini"
Ash, yang sedang berpikir keras dengan dagu di atas tangannya, mengangkat kepala. Matanya menyipit. Tanyakan bagaimana cara membunuhnya, katanya.
Aku menggeliat, tak nyaman memikirkan harus membunuh. Aku hanya ingin menyelamatkan Ethan. Aku tak tahu ini akan jadi perang suci. Ash
Lakukan saja. Aku menelan ludah, berpaling lagi pada si peramal. Bagaimana cara membunuh Raja Besi" bisikku enggan. Mulut peramal itu terbuka.
Sang Raja tak bisa binasa
oleh fey atau pun manusia fana.
Temukan para Penjaga pohon di sana.
Jantung mereka akan menunjukkan jalannya.
Begitu kata terakhir keluar dari mulutnya, si peramal ambruk di atas meja. Dia terbaring di sana sejenak, wanita tua yang diawetkan, lalu ia &terurai begitu saja. Debu beterbangan, menyengat mata dan tenggorokanku. Aku berpaling, terbatuk, mencari udara segar, ketika aku bisa bernapas lagi, peramal itu telah lenyap. Hanya debu beterbangan yang membuktikan dia pernah ada di sini.
Kurasa, kata Grimalkin, mengintip dari tepi meja, pertemuan kita sudah selesai.
* * * JADI ke mana kita sekarang" tanyaku setelah kami meninggalkan Museum Voodoo, melangkah di jalanan French Quarter yang remang-remang. Peramal itu tidak memberi kita banyak petunjuk.
Sebaliknya, kara Grimalkin menoleh ke arahku, dia memberi informasi yang berharga. Satu, kita tahu adikmu bersama Machina. Kita sudah tahu, tapi suatu kepastian selalu berguna. Kedua, kita tahu Machina tak terkalahkan, dan markasnya berada di tengah wilayah yang tercemar dan penuh polusi. Dan ketiga, yang paling penting, kita mengetahui seseorang yang tahu cara membunuhnya.
Ya, tapi siapa" Aku menggosok-gosok mata. Aku sangat letih letih mencari, letih berputar-putar tanpa ada jawaban. Aku ingin ini semua berakhir.
Manusia, apa kau tidak mendengar" Grimalkin mendesah jengkel, tapi aku tak peduli. Itu bahkan bukan teka-teki sungguhan. Bagaimana dengan kalian berdua" tanyanya kepada dua pemuda itu. Apa kedua pelindung kita yang kuat ini mengetahui maksudnya, atau hanya aku yang memperhatikan"
Ash tak menjawab, terlalu sibuk menatap jalan, matanya menyipit. Puck mengedikkan bahu. Temukan para Penjaga pohon, gumamnya. Itu cukup mudah. Jadi kita harus kembali ke taman.
Bagus sekali, Goodfellow.
Aku berusaha. Aku tak mengerti, aku mengerang, terduduk di pembatas jalan. Kenapa harus kembali ke taman" Kita baru dari sana. Ada banyak pohon di New Orleans.
Sebab, Putri Penjelasan belakangan. Ash muncul di sebelahku. Suaranya rendah dan kasar. Kita harus pergi. Sekarang
. Kenapa" tanyaku tepat ketika lampu jalan dan semua lampu di daerah itu berkedip-kedip dan padam.
Cahaya faery menyala di atas kepala setelah Ash dan Puck menyihirnya. Langkah kaki menggema di balik bayang-bayang, semakin dekat, dari segala arah. Grimalkin menggumamkan sesuatu, lalu lenyap. Puck dan Ash mundur ke sisiku, mata mereka mengamati kegelapan.
Dari balik lingkaran cahaya, sosok-sosok gelap mendekat ke arah kami. Api faery menerangi wajah-wajah kosong manusia laki-laki dan perempuan biasa yang berjalan terhuyung-huyung. Sebagian besar membawa senjata: pipa besi, tongkat bisbol logam dan pisau. Aku teringat film tentang zombie, mayat hidup yang pernah kutonton dan aku menempel ke tubuh Ash, merasakan ototnya menggeliat di balik kulitnya.
Manusia, gumam Ash, tangannya menggenggam pedang. Apa yang mereka lakukan" Seharusnya mereka tak bisa melihat kita.
Tawa jahat terdengar dari tengah barisan yang terhuyung menghampiri kami, dan gerombolan itu berhenti tiba-tiba. Mereka memberi jalan pada wanita yang melayang dari dalam kerumunan dengan tangan berkacak di pinggangnya yang ramping. Dia mengenakan setelan resmi berwarna hijau-racun, sepatu tumit tinggi delapan senti, dan lipstik hijau yang mengilap seperti zat radioaktif. Rambutnya terbuat dari kawat, kabel jaringan tipis warna-warni: hijau, hitam, dan merah.
Rupanya kalian di sini. Suaranya mendengung, seperti jutaan lebah bicara. Aku heran Ironhorse mendapat kesulitan denganmu, tapi dipikir-pikir, dia sudah terlalu tua. Sudah kedaluwarsa, menurutku. Kau takkan semudah itu berhadapan denganku.
Siapa kau" Ash menggeram. Puck melangkah ke sisinya, berdua mereka membentuk perisai hidup di depanku. Wanita itu terkikik, suaranya seperti nyamuk berdengung, dan mengulurkan tangan berkuku hijau.
Aku Virus, wakil letnan Raja Machina. Dia meniupkan cium jauh yang membuat kulitku merinding. Senang berkenalan denganmu, Meghan Chase.
Apa yang kaulakukan pada mereka" tanyaku.
Oh, jangan cemaskan mereka. Virus berputar di tempat, tersenyum. Mereka hanya terkena kutu kecil. Kutu kecil ini tepatnya. Dia mengulurkan tangan dan gerombolan serangga kecil keluar dari lengan bajunya terbang melayang di atas telapak tangannya, seperti debu perak berkilau. Makhluk mungil yang lucu, kan" Tidak berbahaya, tapi mereka memungkinkan aku menyusup ke dalam otak dan menulis ulang programnya. Izinkan aku menunjukkannya. Dia memberi isyarat pada manusia yang terdekat, dan laki-laki itu merangkak, mulai menggonggong. Virus tergelak, bertepuk tangan. Lihat" Dia mengira dirinya anjing.
Genius, kata Puck. Bisakah kau membuatnya berkokok seperti ayam"
Ash dan aku memelototinya. Dia mengerjap. Apa"
Aku maju, teringat sesuatu, menatap Virus. Kau &kau yang melepaskan chimera pada saat Elysium!
Oh, ya, itu ulahku. Virus tampak bangga, meskipun tak lama kemudian wajahnya berubah murung. Meskipun sebagai uji coba, itu tidak berjalan seperti yang kuharapkan. Fey normal tak bereaksi baik pada kutu ciptaanku. Karena alergi besi itu, kau tahu. Kutu membuat hewan buas itu gila, dan mungkin tetap akan mati seandainya tidak dibunuh. Tapi mortal! Dia berpiruet di udara, merentangkan tangan, seakan ingin merangkul semua orang. Mereka adalah lebah pekerja yang sempurna. Begitu setia pada komputer dan teknologi, mereka telah menjadi budaknya sebelum aku datang.
Lepaskan mereka, pintaku.
Virus menatapku dengan mata hijau gemerlap. Kurasa tidak, sayang. Dia menjentikkan jari, dan gerombolan itu bergerak maju lagi, tangan terulur ke depan. Bawa gadis itu kepadaku, perintahnya sementara lingkaran zombie itu kian merapat di sekeliling kami. Bunuh yang lainnya.
Ash menghunus pedang. Jangan! jeritku memegangi lengannya. Jangan lukai mereka. Mereka hanya manusia biasa. Mereka tak tahu apa yang mereka lakukan.
Ash menoleh ke belakang, menatapku marah. Jadi kau ingin aku berbuat apa"
Aku sarankan kita lari, saran Puck, mengambil sesuatu dari saku. Dia melemparnya ke arah gerombolan itu, berubah menjadi sebatang kayu, menjatuhkan dua orang, dan menciptakan celah dalam lingka
ran zombie yang mengepung kami.
Ayo! teriak Puck, dan kami tak perlu disuruh lagi. Kami melompati tubuh yang menggeliat-geliut, menghindari pipa-pipa yang diayunkan ke arah kami, dan melarikan diri.
BAB SEMBILAN BELAS Dryad di Taman Kota Deru langkah kaki menandakan bahwa kami dikejar. Sebuah pipa melayang di atas bahuku, memecahkan kaca jendela sebuah toko. Aku memekik, hampir terjatuh, tapi Ash meraih tanganku, menjagaku tetap berdiri.
Ini konyol, dia menggeram, seraya menarikku pergi. Kabur dari kejaran massa, massa manusia. Aku bisa menghancurkan mereka dengan satu lambaian tangan.
Mungkin kau tak lihat jumlah besi yang mereka bawa, kata Puck, meringis saat sebuah pisau melayang melewatinya lalu terhempas di jalan. Tentu saja, jika kau mau bunuh diri, aku takkan menghentikanmu. Meskipun aku akan kecewa karena tak bisa menghadapimu dalam duel terakhir kita.
Takut, Goodfellow" Dalam mimpimu, Pangeran muda.
Aku tak percaya mereka masih bertengkar saat kami berlari menyelamatkan diri. Aku ingin menyuruh mereka berhenti ketika sebatang pipa melayang, menghantam bahu Puck. Dia tersentak dan terhuyung, nyaris tersungkur, aku berteriak ngeri.
Dengungan tawa menggema di belakang kami. Aku berpaling, melihat Virus melayang di atas kerumunan zombie, kutu-kutu mengelilinginya seperti pusaran berlian. Kau bisa lari, cowok faery, tapi kau tak bisa sembunyi, serunya. Ada manusia di mana-mana. Jika kau serahkan gadis itu, aku akan mengizinkanmu memilih caramu mati.
Ash menggeram. Mendorongku mundur, dia berbalik dan meluncurkan serpihan es ke wanita yang melayang itu. Virus terkesiap, lalu satu zombie melompat ke udara menghalangi serangan itu dan serpihan es menancap di dadanya. Dia terjatuh, menggeliat-geliut. Virus mendesis seperti lebah yang murka.
Oh, bagus, Pangeran, kata Puck ketika kerumunan itu maju lagi dengan jeritan marah. Membuatnya semakin marah.
Kau membunuhnya! Aku menatap Ash dengan ketakutan. Kau baru saja membunuh seseorang, dan itu bahkan bukan salahnya!
Dalam setiap perang selalu ada korban, balas Ash dingin, menarikku ke tikungan. Dia akan membunuh kita jika bisa. Berkurang satu prajurit yang harus dikhawatirkan.
Ini bukan perang! Aku menjerit ke arahnya. Dan lain masalahnya ketika orang itu bahkan tidak tahu apa yang terjadi. Mereka mengejar kita karena ada faery gila yang mengacaukan kepala mereka!
Tetap saja, kita akan mati.
Tidak ada lagi pembunuhan, aku menggeram, berharap kami bisa berhenti berlari agar aku bisa menatap matanya. Kau dengar aku, Ash" Cari cara lain untuk menghentikan mereka. Tak perlu membunuh.
Dia melirikku tajam, lalu mendesah dengan sebal. Sesuai keinginanmu, Putri. Meskipun kau mungkin akan menyesalinya sebelum malam ini berakhir.
Kami tiba di persimpangan jalan yang terang benderang, ada air mancur di tengahnya. Orang berlalu lalang di trotoar, dan aku agak lega. Tentunya Virus takkan menyerang kami di sini, di hadapan begitu banyak saksi. Faery bisa membaur atau menghilang, tapi manusia, terutama kerumunan massa, tidak memiliki kekuatan itu.
Ash melambatkan langkah, meraih tanganku lalu menarikku ke sisinya. Jalan saja, gumamnya, menarikku agar melambat. Jangan lari, itu akan menarik perhatian.
Gerombolan zombie yang mengejar kami berpencar di ujung jalan, berjalan santai berlagak seakan memang berniat seperti itu. Jantungku berdebar kencang, tapi aku memaksakan diri untuk melangkah, menggenggam tangan Ash seolah kami sedang berjalan-jalan.
Virus melayang ke tengah persimpangan, serangganya beterbangan ke segala arah, kegugupanku meningkat. Aku melihat seorang polisi bersandar di samping mobilnya. Aku melepaskan diri dari Ash lalu berlari ke arah polisi itu.
Tawa Virus menggema di udara. Aku melihatmu, serunya, tepat ketika aku sampai di dekat polisi itu.
Permisi, Pak! Aku terengah-engah ketika polisi itu berbalik. Bisakah Anda menolongku" Ada sekelompok orang yang mengejar
Aku mundur dengan ngeri. Polisi itu menatapku tanpa ekspresi, mulutnya menganga, matanya kosong. Dia menerjang dan mencengkeram tanganku, aku memekik, menen
dang tulang keringnya. Tidak ada pengaruhnya, dia malah mencengkeram tanganku yang satu lagi.
Pejalan kaki di persimpangan itu menyerbu kami dengan semangat baru. Aku memaki dan menyerang polisi itu, menghantam selangkangannya dengan lutut. Dia menjengit dan memukul wajahku, membuat kepalaku berputar. Gerombolan semakin dekat, mencakar-cakar rambut dan pakaianku.
Dan Ash tiba, menghantamkan gagang pedangnya ke rahang si polisi hingga terjungkal. Puck menarikku, melompati mobil polisi, menyeretku melewati kap mobil. Kami melepaskan diri dari kepungan dan lari, tawa Virus mengikuti kami di sepanjang jalan.
Di sana! Grimalkin muncul di sisi kami, ekornya mengembang, matanya nyalang. Tepat di depan! Ada kereta. Pakai itu, cepat.
Aku menatap ke belakang jalan dan melihat seekor kuda tanpa penjaga menarik kereta tak beratap sedang menunggu penumpang di tepi jalan. Itu bukan kendaraan untuk melarikan diri, tapi lebih baik daripada tidak ada. Kami menyeberang jalan dan lari menuju kereta itu.
Terdengar tembakan di belakang kami.
Tubuh Puck tersentak dan jatuh, tersungkur di jalanan, meraung kesakitan. Aku menjerit, dan Ash dengan cepat mengangkatnya, memaksanya bergerak. Mereka tertatih-tatih menyeberang jalan, Ash menyeret Puck ketika satu tembakan lagi memecah malam. Kuda meringkik dan mengangkat kedua kakinya karena bunyi itu. Aku mencengkeram kendalinya sebelum hewan itu lari ketakutan. Di belakang, polisi itu berjalan terhuyung-huyung seperti zombie ke arah kami, satu tangannya terangkat untuk membidikkan pistol.
Ash memasukkan Puck ke dalam kereta, melompat ke kursi kusir, Grimalkin melompat naik ke sebelahnya. Aku menghambur masuk dan menunduk di sebelah Puck yang telentang di lantai, tersengal-sengal. Dengan ngeri aku melihat darah merembes di sekitar rusuknya, mengalir ke lantai kereta.
Pegangan! seru Ash, dan mengentakkan tali kekang ke pinggul kuda disertai teriakan lantang Hiya! Kuda itu meringkik, melompat ke depan. Kereta melaju menerobos lampu merah, nyaris tak sempat menghindari taksi yang mengklakson nyaring, orang yang berteriak dan memaki, dan suara-suara para pengejar kami makin samar di belakang.
Ash! jeritku beberapa menit kemudian. Puck tak bergerak!
Sibuk mengendalikan kereta, Ash hanya menoleh sedikit, tapi Grimalkin melompat ke lantai kereta dan menghampiri Puck. Wajah Puck sewarna kulit telur, kulitnya dingin dan lembap. Aku berusaha menghentikan pendarahan menggunakan lengan bajunya, tapi ada begitu banyak darah. Sahabatku sekarat, dan aku tak bisa berbuat apa-apa.
Dia butuh dokter, kataku pada Ash. Kita harus mencari rumah sakit
Tidak, sela Grimalkin. Berpikirlah, manusia! Tak ada faery yang bertahan di rumah sakit. Dengan banyaknya peralatan tajam dari logam di sana, dia akan mati sebelum malam berlalu.
Jadi apa yang harus kita lakukan" jeritku, nyaris histeris.
Grimalkin melompat ke sebelah Ash lagi. Taman, katanya tenang. Kita bawa dia ke taman. Para dryad seharusnya bisa menolongnya.
Seharusnya" Bagaimana jika tidak bisa"
Kalau itu terjadi, manusia. Aku akan mulai berdoa mengharapkan keajaiban.
* * * ASH tak berhenti di luar taman, tapi menaikkan kereta ke trotoar dan melintasi rerumputan di sela-sela pohon. Karena sangat mengkhawatirkan Puck, aku tak sadar kami sudah tiba sampai pangeran berlutut di sebelahku, memanggul Puck lalu turun. Mati rasa, aku mengikutinya.
Kami berhenti di bawah jalinan dahan dua pohon ek raksasa, cabangnya yang bengkok-bengkok menghalangi langit malam. Ash membawa Puck ke bawah pohon yang saling melilit itu dan meletakkannya di rumput.
Lalu kami menunggu. Dua sosok tubuh keluar dari dalam pohon, menjelma dalam pandangan. Keduanya wanita bertubuh langsing berambut hijau lumut dan memiliki kulit bak kayu mahoni yang dipoles. Mata-kumbang hitam mengamati kami ketika dryad itu menghampiri. Grimalkin dan Ash mengangguk hormat, tapi aku terlalu khawatir hingga tak mengikuti tindakan mereka.
Kami tahu tujuan kalian datang, kata salah satu dryad, suaranya seperti desiran angin di dedaunan. Angin berbisik pada kami, berita dari tempat-tempa
t yang jauh. Kami tahu konflikmu dengan Raja Besi. Kami telah menantimu, anak dua-dunia.
Kumohon, pintaku, melangkah maju, bisakah kau menolong Puck" Dia tertembak dalam perjalanan ke sini. Aku akan membuat perjanjian denganmu, memberikan apa pun yang kauinginkan jika kau bisa menyelamatkannya.
Dari sudut mata, aku melihat Ash menatapku gusar, tapi aku mengabaikannya.
Kami takkan tawar menawar denganmu, Nak, ujar dryad kedua, dan aku merasa putus asa. Itu bukan cara kami. Kami tak seperti sidhe atau cait sith yang melakukan berbagai cara untuk menguntungkan diri sendiri. Kami tidak begitu.
Suatu kemurahan hati, kalau begitu, aku memohon, menolak untuk menyerah. Kumohon, dia akan mati jika kalian tak menolongnya.
Kematian adalah bagian dari kehidupan. Sang dryad menatapku dengan mata hitam tanpa empati. Semua akan lenyap pada akhirnya, bahkan yang telah hidup-lama seperti Puck. Orang-orang akan melupakan kisahnya, melupakan dia pernah ada, dan dia akan sirna. Begitulah kehidupan.
Aku menahan keinginan untuk berteriak. Para dryad tak mau menolong, mereka akan membiarkan Puck mati. Aku menatap tajam wanita pohon itu, mengepalkan tangan, ingin mengguncang-guncang tubuh mereka, mencekiknya, sampai mereka bersedia menolong. Aku merasakan aliran &sesuatu &dan pohon di atasku mengerang dan bergoyang-goyang, menyirami kami dengan daun. Ash dan Grimalkin mundur selangkah, dan kedua dryad bertukar pandang.
Gadis itu kuat, bisik satu dryad.
Kekuatannya masih tertidur, balas yang satunya. Pohon mendengarnya, bumi menanggapi panggilannya.
Mungkin itu sudah cukup. Mereka mengangguk lagi, dan satu dari mereka merangkul pinggang Puck, memapahnya ke pohon. Mereka berdua melebur ke dalam pohon dan lenyap. Aku tersentak kaget.
Apa yang kalian lakukan"
Jangan cemas, jawab dryad yang masih menemaniku. Kami tak bisa menyembuhkannya, tapi kami bisa menghentikan cederanya. Puck akan tidur hingga dia cukup pulih untuk bergabung denganmu. Apakah butuh waktu satu malam atau bertahun-tahun, semua tergantung padanya.
Dia menelengkan kepala ke arahku, lumut berguguran. Kau dan teman-temanmu boleh tinggal di sini malam ini. Lebih aman. Selama dalam batas ini, fey besi takkan bisa masuk. Kekuasaan kami atas pohon dan tanah menahan mereka di luar. Istirahatlah, kami akan memanggilmu bila tiba waktunya.
Lalu dia melebur ke dalam pohon, meninggalkan kami bertiga, berkurang satu orang dari saat kami memulai perjalanan.
* * * AKU ingin tidur. Aku ingin berbaring, melupakan semuanya, dan terbangun di dunia di mana sahabatku tidak tertembak dan adikku tak diculik. Aku ingin semua ini berlalu dan kehidupanku kembali normal.
Tapi seletih apa pun, aku tak bisa tidur. Aku berjalan tanpa arah di taman, tak menyadari keadaan di sekelilingku. Ash pergi menemui fey penghuni taman dan Grimalkin lenyap entah ke mana, jadi aku sendirian. Di bawah cahaya bulan yang terpencar, para faery menari-nari, bernyanyi, dan tertawa, memanggil-manggilku dari kejauhan. Satyr meniup serulingnya, beberapa piskie melesat di udara dengan sayap transparannya, dan dryad berayun di sela pepohonan, tubuh langsing mereka seperti rumput bergoyang ditiup angin. Aku mengabaikan mereka semua.
Di sudut kolam di bawah dahan pohon ek raksasa lain aku duduk, menarik lututku ke dada, lalu terisak-isak.
Putri duyung muncul di permukaan kolam dan memandangiku, sekelompok piskie berkerumun, cahaya-cahaya kecil melayang keheranan. Aku nyaris tak melihat mereka. Kecemasanku akan nasib Ethan, ketakutanku akan kehilangan Puck, dan perjanjian sialku dengan Ash, semua itu terlalu berat untukku. Aku terisak hingga tersengal-sengal, sesenggukan begitu keras sampai paru-paruku sakit.
Tapi, tentu saja, para fey takkan membiarkan aku berduka dengan damai. Ketika air mataku mulai berhenti, aku menyadari kalau aku tak sendiri. Sekawanan satyr mengelilingiku, mata mereka bersinar dalam cahaya buram.
Bunga cantik, satu dari mereka berkata, berderap maju. Wajahnya gelap, berjanggut, tanduknya mencuat dari balik rambut hitam ikalnya. Suaranya pelan dan lembut, ada sedikit aksen Creole
-nya. Kenapa bersedih, cantik" Ikutlah denganku, kami akan membuatmu gembira lagi.
Aku bergidik, berdiri dengan goyah. Tidak, terima ka tidak. Aku tidak apa-apa. Aku hanya ingin sendiri.


The Iron Fey 1 The Iron King Karya Julie Kagawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sendirian itu tidak menyenangkan, katanya, bergerak mendekat. Dia tersenyum, menawan dan menarik. Pendaran glamour menyelubunginya, dan sekilas aku bisa melihat penyamaran mortal yang dipakainya: mahasiswa tampan. Ayo kita minum kopi, dan kau bisa ceritakan masalahmu.
Dia terdengar begitu tulus, aku nyaris memercayainya. Lalu aku melihat pendaran nafsu di matanya serta di mata teman-temannya, dan perutku bergejolak karena takut.
Aku benar-benar harus pergi, kataku, melangkah mundur. Mereka mengikutiku dengan tatapan lapar dan bergelora. Aku mencium aroma tajam di udara dan menyadari itu bau kesturi. Kumohon, jangan ganggu aku.
Kau akan berterima kasih pada kami nanti, janji satyr itu, lalu menerjang.
Aku berlari. Kawanan itu mengejarku sambil meneriakkan janji bahwa aku akan menikmatinya, bahwa aku harus lebih santai. Mereka jauh lebih cepat, dan pemimpinnya meraihku dari belakang, merangkul pinggangku. Aku menjerit ketika dia mengangkatku yang menendang dan memukul-mukul liar. Satyr lain mendekat, mencengkeram dan mengais-ngais, merobek-robek pakaianku.
Ada aliran kekuatan seperti yang kurasakan sebelumnya dan tiba-tiba pohon ek di atas kami bergerak. Dengan bunyi berderak nyaring, sebuah dahan sebesar pinggangku terayun ke bawah, menghantam kepala pemimpin satyr. Dia menjatuhkanku, terhuyung ke belakang, dan dahan itu berayun lagi menghantam perutnya, membuatnya terkapar. Satyr lainnya melangkah mundur.
Pemuda-kambing itu lalu berdiri, memelototiku. Rupanya kau suka main kasar, dia mendesah, membersihkan dirinya. Menggeleng, dia menjilat bibir dan melangkah maju. Baiklah, kita bisa melakukannya dengan kasar, benar, anak-anak"
Aku juga bisa. Sosok gelap meluncur dari balik pepohonan, seperti bayangan yang bernyawa. Kawanan satyr mengerjap kaget dan buru-buru mundur ketika Ash melangkah ke tengah mereka. Berdiri di belakangku, dia merangkul bahuku dan menarikku ke dadanya. Jantungku berdebar kencang, dan perutku jumpalitan. Yang ini, Ash menggeram, tidak boleh disentuh.
Pangeran Ash" Pemimpin satyr itu terperanjat, sementara kawanannya menunduk hormat. Wajahnya memucat, tangannya terangkat. Maaf, Yang Mulia. Aku tidak tahu dia milikmu. Maafkan aku. Tidak ada yang celaka, oke"
Tak ada yang boleh menyentuhnya, kata Ash, suaranya sangat dingin. Berani menyentuhnya, aku akan bekukan testikelmu dan memasukkannya dalam stoples. Mengerti"
Kawanan satyr itu menyeringai ketakutan. Setelah meminta maaf bertubi-tubi kepada Ash dan aku, mereka membungkuk dan buru-buru pergi. Ash memelototi dua piskie yang melayang-layang di situ, menonton kami. Mereka melesat ke balik pohon diiringi tawa melengking. Suasana pun hening, dan kami sendirian.
Kau tidak apa-apa" gumam Ash, melepaskanku. Apa mereka melukaimu"
Tubuhku gemetaran. Aliran kekuatan yang aku rasakan tadi sudah lenyap; kini aku lemas. Tidak, bisikku, menjauh. Aku tidak apa-apa. Aku ingin menangis, tapi tiada lagi air mata yang tersisa. Lututku goyah, aku terhuyung, berpegangan pada pohon untuk menenangkan diri.
Ash mendekat. Meraih pergelangan tanganku, dengan lembut dia menarikku ke arahnya, melingkarkan lengannya di tubuhku, memelukku erat. Aku terkesiap, tapi hanya sekejap. Terisak, aku menutup mata, membenamkan wajahku di dadanya, membiarkan semua rasa takut dan marah lenyap oleh sentuhannya. Aku mendengar jantungnya yang berdetak kencang, merasakan dingin yang menusuk-nusuk kulitku dari balik kemejanya. Anehnya, hal itu sama sekali bukan tidak nyaman.
Kami berdiri seperti itu selama beberapa saat. Ash tidak bicara, tidak bertanya, tidak melakukan apa pun selain memelukku. Aku mendesah, bersandar di tubuhnya, dan sejenak semuanya terasa baik-baik saja. Ethan dan Puck masih ada dalam pikiranku, tapi untuk saat ini aku merasa tenang. Ini sudah cukup.
Lalu aku membuat kesalahan, menengadah menatap wajahnya.
Tatapan matanya bertemu denganku, dan sesaat eks
presinya terlihat rapuh di bawah cahaya bulan. Aku melihat sekelebat kekaguman di sana ketika kami saling bertatapan. Perlahan dia menunduk. Aku terkesiap, napasku tersentak.
Tubuhnya menegang, kembali tanpa ekspresi.
Ketika dia mendorongku menjauh, hatiku mencelus. Ash memandang pepohonan, bayang-bayang, kolam, apa pun selain aku. Ingin mengembalikan momen yang hilang tadi, aku menghampiri, tapi dia menghindar.
Ini konyol, katanya dengan suara yang menyamai tatapannya. Dia menjauh, membuat jarak lebih besar di antara kami. Aku berada di sini bukan untuk menjadi pengasuh, Putri. Sebaiknya kau tidak berkeliaran sendirian. Aku tidak ingin kau celaka sebelum sampai di Istana Gelap.
Pipiku membara, aku mengepalkan tinju. Ingatan saat dipermalukan di kafetaria dulu sekali kembali di benakku. Hanya sebatas itu aku bagimu, kan" aku menggeram. Untuk mengambil hati Ratumu. Hanya itu yang kau pikirkan.
Ya, jawabnya tenang. Aku mengira sudah tak bisa menangis lagi, tapi aku salah. Bajingan, desisku. Ucapan Puck memang benar.
Dia tersenyum dingin. Mungkin kau harus tanya pada Puck kenapa aku bersumpah untuk membunuhnya, katanya, matanya menyala. Coba lihat apa dia berani menceritakan apa yang terjadi di antara kami. Dia menyeringai dan bersedekap. Itu juga jika dia bisa bangun lagi.
Aku membuka mulut untuk membalas, namun dedaunan bergemeresik dan dua dryad keluar dari pohon di dekat kami. Ash menyelinap dalam kegelapan ketika mereka mendekat, meninggalkanku dengan makian yang belum terucap. Aku mengepalkan tangan, ingin menghantam kesombongan dari wajahnya yang sempurna itu. Alih-alih aku berbalik dan menendang tunggul pohon.
Kedua dryad membungkuk padaku, tak peduli dengan ledakan amarahku.
Meghan Chase, Tetua ingin bertemu denganmu sekarang.
* * * AKU mengikuti mereka ke bawah pohon ek yang tumbuh sendirian, batangnya penuh lumut, seolah digelantungi tirai berjamur. Ash dan Grimalkin sudah berada di sana. Ash tidak menatapku saat aku datang. Aku menatapnya marah, tapi dia tetap mengabaikanku. Bersama seekor kucing di satu sisi dan Pangeran Musim Dingin di sisi lainnya, aku melangkah ke bawah dahan pohon ek raksasa itu, dan menunggu.
Batang pohon itu beriak, dan wanita renta keluar dari dalam. Kulitnya terkelupas, seperti kulit kayu yang keriput, dan rambut panjangnya hijau-kecokelatan seperti lumut yang sudah tua. Tubuhnya ringkih dan bungkuk, dibaluti jubah lumut yang dipenuhi ribuan serangga dan laba-laba. Wajahnya seperti walnut, bergaris-garis dan keriput. Ketika dia bergerak, sendi-sendinya berderak seperti dahan ditiup angin. Tapi mata bulatnya tajam dan jernih ketika menatapku dan memberi isyarat dengan tangannya yang kurus dan keriput.
Kemarilah, Nak, bisiknya, suara berdesir seperti daun kering. Aku menelan ludah dan melangkah maju sampai aku bisa melihat serangga-serangga yang bersarang di kulitnya, mencium aroma bumi di tubuhnya. Ya, kau anak Oberon yang diberitakan oleh angin. Aku tahu kenapa kau datang. Kau mencari Raja Besi, kan" Kau ingin menemukan jalan ke kerajaannya.
Ya, kataku pelan. Aku mencari adikku. Machina menculiknya, dan aku ingin membawanya pulang.
Seperti kau tahu, kau tak akan bisa menyelamatkannya, Tetua memberitahuku, dan perutku turun sampai ke kaki. Raja Besi menunggumu di istana bajanya. Dia sudah tahu kau datang, dan kau takkan bisa menghentikannya. Tak ada senjata buatan manusia atau fey yang bisa melukai Raja Besi. Dia tak takut pada apa pun.
Ash maju, menunduk hormat. Tetua, gumamnya, kami diberitahu Anda tahu rahasia untuk membunuh Raja Besi.
Dryad itu menatapnya serius. Benar, Pangeran muda, bisiknya. Berita itu benar. Ada cara membunuh Machina dan mengakhiri kekuasaannya. Kau membutuhkan senjata istimewa, senjata yang tak dibuat oleh alat apa pun, senjata yang berasal dari alam, sealami bunga yang tumbuh di bawah cahaya matahari.
Ash mencondongkan tubuhnya bersemangat. Di mana kami bisa menemukan senjata itu"
Tetua Dryad itu mendesah, tubuhnya seperti mengerut. Di sini, gumamnya, menatap pohon ek raksasa itu, suaranya penuh kesedihan. Senj
ata yang kau cari adalah Witchwood, berasal jantung pohon tertua, sangat mematikan bagi Machina seperti besi bagi fey normal. Kayu hidup mengandung roh alam semesta dan kekuatan alami bumi kutukan bagi faery kemajuan dan teknologi. Tanpa itu kau tak punya harapan untuk mengalahkannya dan menyelamatkan anak kecil itu.
Ash terdiam, wajahnya muram. Dengan bingung aku menatapnya, lalu kembali ke Tetua Dryad. Anda akan memberikan kepada kami, kan" tanyaku. Jika itu satu-satunya cara untuk menyelamatkan Ethan
Meghan, Grimalkin menggumam dari bawah, kau tak tahu apa yang kau pinta. Witchwood adalah jantung pohon Tetua. Tanpa itu, pohon ek akan mati, begitu juga dengan dryad yang terhubung dengannya.
Aku menatap ngeri Tetua dryad yang bibirnya membentuk senyuman samar. Itu benar, bisiknya. Tanpa jantungnya, pohon ini akan layu dan mati. Tetap saja, aku sudah tahu apa yang kau butuhkan, Meghan Chase. Aku sudah berniat memberikannya kepadamu.
Tidak, kataku otomatis. Aku tak menginginkannya. Tidak seperti ini. Pasti ada jalan lain.
Tak ada jalan lain, Nak. Tetua itu menggelengkan kepala. Jika kau tidak mengalahkan Raja Besi, kita semua pasti musnah. Pengaruhnya kian meluas. Makin besar kekuasaannya, makin cepat Nevernever lenyap. Pada akhirnya kita semua akan layu dan mati di tanah gersang logika dan ilmu pengetahuan.
Tapi aku tak bisa membunuhnya, protesku. Aku bukan kesatria. Aku hanya menginginkan Ethan kembali, hanya itu.
Jangan cemaskan itu. Tetua itu mengangguk ke arah Ash yang berdiri diam di dekatku. Kurasa Pangeran Musim Dingin bisa bertarung untukmu. Dia beraroma darah dan kepedihan. Dengan senang hati aku akan menyerahkan Witchwood kepadanya.
Kumohon. Aku menatapnya, berharap agar dia mengerti. Puck mungkin sudah mengorbankan nyawa demi misiku; aku tak ingin ada satu lagi kematian di tanganku. Aku tak mau Anda melakukan ini. Terlalu berlebihan. Anda tak seharusnya mati demi aku.
Aku mengorbankan diri demi seluruh fey, balas si Tetua serius. Kau hanyalah alat dalam misi penyelamatan ini. Selain itu, kita semua akan mati pada akhirnya. Aku telah hidup lama, jauh lebih lama dari kebanyakan makhluk di dunia ini. Aku tak punya penyesalan.
Dia tersenyum padaku senyum ramah seorang nenek yang sudah tua lalu dia masuk kembali ke pohonnya. Ash, Grim, dan dryad lainnya berdiri diam, ekspresi mereka muram dan sedih. Tak lama kemudian sang Tetua muncul lagi, memegang sesuatu di tangan keriputnya tongkat panjang lurus, begitu pucat sehingga nyaris berwarna putih, urat-urat kemerahan terlihat di sepanjang batangnya. Ketika dia melangkah maju dan mengulurkannya ke arahku, beberapa saat berlalu sebelum aku mengambilnya. Benda itu terasa hangat dan halus di tanganku, berdenyut-denyut seolah bernyawa, dan aku hampir melemparnya.
Tetua meletakkan tangan keriput dan berbonggol-bonggol di lenganku. Satu lagi, anakku, tambahnya ketika aku berjuang memegangi kayu bernyawa itu. Kau kuat, jauh lebih kuat dari yang kau sadari. Darah Oberon mengalir dalam nadimu, dan Nevernever merespons kehendakmu. Kekuatanmu masih terlelap dalam dirimu, tapi sudah mulai terjaga. Bagaimana kau menggunakannya akan menentukan masa depan Istana, para fey, takdirmu, segalanya.
Sekarang, lanjutnya, terdengar lebih lemah, pergilah, selamatkan adikmu. Trod ke kerajaan Machina ada di sebuah bekas pabrik di dekat dermaga. Penunjuk jalan akan membawamu ke sana besok. Bunuh Raja Besi dan wujudkan perdamaian di antara kedua dunia kita.
Bagaimana jika aku gagal" bisikku. Bagaimana jika Raja Besi benar-benar tak terkalahkan"
Berarti kita semua mati, kata Tetua Dryad, dan menghilang kembali ke dalam pohon ek-nya. Dryad lain juga pergi, meninggalkanku bersama seekor kucing, seorang pangeran, dan sebatang tongkat. Aku mendesah dan memandang tongkat kayu di tanganku.
Tak ada tekanan sama sekali, gumamku.
BAGIAN III BAB DUA PULUH Naga Besi dan Tikus-Pemulung
Kami berangkat saat fajar. Cukup bagiku untuk tidur hampir dua jam di tanah yang tak rata, dan mengucapkan selamat tinggal pada Puck. Dia masih tidur, lelap di dalam poh
on, ketika aku terbangun berjam-jam sebelum matahari terbit. Dryad yang menjaga pohonnya memberitahuku dia masih hidup, tapi tak tahu kapan dia akan terbangun.
Aku berdiri di samping pohonnya beberapa menit, tanganku menempel di batangnya, berusaha merasakan detak jantungnya dari balik kayunya. Aku merindukannya. Ash dan Grimalkin adalah sekutu, tapi mereka bukan teman. Mereka ingin memanfaatkanku demi kepentingan sendiri. Hanya Puck yang benar-benar peduli, dan sekarang dia pergi.
Meghan. Ash muncul di belakangku, yang mengherankan suaranya terdengar lembut. Kita harus pergi. Kita tidak bisa menunggunya, tidak jika bisa berbulan-bulan sebelum dia terbangun. Kita tidak punya waktu.
Aku tahu. Aku menempelkan telapak tanganku di pohon, merasakan kulitnya yang kasar menggores kulitku. Cepatlah bangun, kataku padanya, bertanya-tanya apakah dia bermimpi, apakah dia bisa merasakan sentuhanku dari balik pohon. Cepatlah bangun, dan cari aku. Aku menunggumu.
Aku berbalik menatap Ash yang berpakaian siap untuk bertarung, dengan pedang di pinggang dan busur tergantung di punggungnya. Menatapnya membuat kulitku menggelenyar.
Kau membawanya" tanyaku, menyembunyikan pipiku yang memerah.
Dia mengangguk, mengulurkan anak panah putih berkilauan dengan urat kayu kemerahan. Dia meminta Witchwood semalam, mengatakan bisa mengubahnya menjadi senjata yang cocok, dan aku menyerahkannya tanpa ragu. Aku menatap anak panah itu, merasakan kecemasanku yang kian memuncak. Bagaimana mungkin benda kecil dan rapuh ini bisa melumpuhkan Raja Fey Besi yang tak terkalahkan.
Boleh kupegang" pintaku, dan Ash langsung menaruh anak panah itu di tanganku, jemarinya menyentuhku. Kayu itu berdenyut ritmis di tanganku, seperti detak jantung; aku bergidik dan menyerahkannya kembali.
Kau pegang itu untukku, kata Ash lembut, pandangannya tak beralih dariku. Ini misimu. Kau yang memutuskan kapan aku harus menggunakannya.
Aku merona dan membuka ransel lalu memasukkan anak panah itu. Tangkai anak panah itu mencuat keluar, mengamankannya sebelum menyandang ransel itu di punggung. Tas itu kini lebih berat; semalam aku merampok air mancur taman dan mengambil koin di sana untuk membeli makanan dan air botolan sebagai bekal di jalan. Penjaga pompa bensin di dekat taman agak kesal karena pagi-pagi harus menghitung koin yang kuserahkan, tapi aku tak mau memulai bagian terakhir perjalananku dengan tangan kosong. Aku harap Ash dan Grim suka daging kering, camilan Trail Mix, dan permen Skittles.
Kau hanya punya satu bidikan, gumamku. Ash tersenyum dingin.
Berarti tidak boleh meleset.
Dia terdengar begitu percaya diri. Aku ingin tahu apakah dia pernah merasa takut, atau meragukan apa yang harus dia lakukan. Menaruh dendam padanya terasa konyol sekarang, terutama karena dia akan mengikutiku menyongsong bahaya. Hei, aku minta maaf tentang semalam, kataku. Aku tak bermaksud bertingkah gila. Aku hanya mencemaskan Ethan. Dan Puck tertembak, dan semuanya
Jangan dipikirkan lagi, Meghan.
Aku mengerjap, perutku mengepak-ngepak. Ini pertama kalinya dia memanggil namaku. Ash, aku
Aku sudah berpikir, kata Grimalkin, melompat ke atas batu. Aku memelototinya, ingin rasanya aku memaki pilihan waktunya muncul. Kucing itu melanjutkan omongannya, tak peduli, Mungkin kita harus memikirkan ulang strategi kita, katanya menatap kami satu persatu. Terpikir olehku bahwa menyerbu kerajaan Machina adalah ide yang sangat buruk.
Apa maksudmu" Begini. Kucing itu duduk, menjilat kaki belakang. Mengingat dia terus mengirim prajuritnya mengejar kita, aku menduga dia sudah tahu kita akan datang. Coba pikirkan kenapa dia menculik adikmu" Dia pasti tahu kau akan mengejarnya.
Terlalu percaya diri" dugaku. Grimalkin menggeleng.
Bukan. Ada sesuatu yang hilang. Mungkin kita yang tidak melihatnya. Anak kecil tak ada gunanya bagi Raja Besi. Kecuali & Kucing itu menengadah menatap kami, menyipitkan mata. Aku mau pergi.
Apa" Kenapa" Aku punya teori. Grimalkin bangkit, menggoyang-goyangkan ekor. Aku tahu jalan lain masuk ke kerajaan Machina. Kalian boleh bergabung denganku.
Suatu teori" Ash menyilangkan lengan di dada. Kau tak bisa membatalkan rencana gara-gara firasat, Cait Sith.
Meskipun jika jalan yang kau tempuh akan membawamu masuk perangkap"
Aku menggeleng. Kita harus ambil risiko ini. Kita sudah sangat dekat, Grim. Kita tak bisa berbalik sekarang. Aku berlutut menatap mata Grimalkin. Ikutlah dengan kami. Kami membutuhkanmu. Kau selalu menunjukkan arah yang benar pada kami.
Aku bukan kesatria, manusia. Grimalkin menggeleng dan mengerjap. Kau sudah punya pangeran untuk itu. Aku menemanimu untuk menunjukkan arah menuju adikmu, dan untuk menghibur diriku. Tapi aku tahu batas kemampuanku. Dia menatap Ash, merapatkan telinganya. Aku tak ada gunanya bagimu di sana. Tidak dengan caramu melakukannya. Jadi, sudah waktunya kita menyelesaikan utang piutang dan berpisah di sini.
Benar juga. Aku masih punya utang pada kucing itu. Aku gelisah. Kuharap dia takkan meminta suaraku, atau calon anakku. Aku masih tak mengerti apa yang ada di kepala kecil yang licik itu. Benar. Aku mendesah, berusaha agar suaraku tak bergetar. Ash berdiri di belakangku, keberadaan yang senyap, penuh percaya diri. Janji tetaplah janji. Apa yang kau inginkan, Grim"
Tatapan Grim terpaku padaku. Dia duduk tegak, mengibaskan ekor. Ini hargaku, katanya. Aku ingin bisa memanggilmu, sekali, aku yang menentukan kapan, tak ada pertanyaan. Itu bayaran yang kuminta.
Kelegaan membasuh tubuhku. Ini tak terdengar buruk. Tapi Ash terdengar berpikir, dan bersedekap.
Sebuah panggilan" Pangeran terdengar bingung. Tidak biasa bagimu, Cait Sith. Apa yang akan kau lakukan dengannya"
Grimalkin mengabaikannya. Ketika aku panggil, lanjutnya sambil menatapku, kau harus langsung datang. Dan kau harus membantuku semampumu. Itu ketentuan dalam perjanjian kita. Kau terikat denganku sampai kontrak itu dipenuhi.
Baiklah. Aku mengangguk. Aku bisa melakukannya. Tapi jika kau memanggil, bagaimana aku tahu di mana mencarimu"
Grimalkin bersin-tertawa. Jangan cemaskan itu, manusia. Kau akan tahu. Tapi untuk saat ini, aku harus pergi. Dia bangkit, mengangguk sekali ke arahku, lalu Ash. Sampai bertemu lagi.
Lalu dia menyelinap ke dalam rerumputan, ekor sikat botolnya terangkat tinggi, lalu lenyap.
Aku tersenyum sedih. Dan tinggal kita berdua.
Ash mendekat, menyentuh lenganku, sentuhan singkat dan ringan. Aku menatapnya dan dia tersenyum menawan, meminta maaf sekaligus memberi semangat, dan janji tak terucap bahwa dia takkan meninggalkanku. Aku tersenyum gugup dan menahan diri agar tidak mencondongkan tubuh ke arahnya, ingin merasakan lengannya melingkari tubuhku sekali lagi.
Sesosok piskie terbang turun dari dahan, melayang beberapa senti di depan wajahku. Berkulit-biru, berambut dandelion dan sayap transparan, dia menjulurkan lidah dan melesat menuju Ash, mendarat di bahunya. Piskie itu membisikkan sesuatu di telinga Ash. Satu sudut mulutnya terangkat; dia melirikku dan menggelengkan kepala. Piskie itu tergelak dan terbang lagi. Aku merengut, penasaran apa yang mereka bicarakan, tapi aku memutuskan untuk tak memedulikannya.
Ini Seedlit, kata Ash sementara si piskie terbang berputar-putar seperti burung kolibri mabuk. Dia akan membawa kita ke dermaga, lalu ke pabrik itu. Setelahnya kita sendirian.
Aku mengangguk, jantungku berdebar keras. Inilah saatnya, bagian terakhir dalam perjalananku. Di ujungnya ada Machina dan Ethan, atau kematian. Aku menyeringai berlagak berani dan mengangkat dagu. Baiklah, Tinker Bell, kataku pada si piskie yang mendengung marah. Tunjukkan jalannya.
* * * KAMI mengikuti cahaya yang naik turun itu menuju tepi sungai, di mana arus pelan dan dingin sungai Mississippi mengalir di bawah langit kelabu kebiruan. Kami tak banyak bicara. Ash berjalan di sampingku, bahu kami nyaris bersentuhan. Setelah hening beberapa saat, aku menyentuh pelan tangannya. Dia menggenggam jemariku, dan kami berjalan seperti itu hingga tiba di pabrik.
Bangunan dari baja-bergelombang berdiri di balik pagar kawat, seperti sebuah bercak gelap di langit. Seedlit mengatakan sesuatu pada Ash, sebelum melesat hilang
dari pandangan. Dia telah mengantar kami sejauh yang dia bisa; kini kami sendirian.
Ketika kami mendekati gerbang, Ash melambatkan langkahnya, ekspresinya menderita.
Ada apa" Dia meringis. Tidak ada. Hanya & Dia mengangguk ke arah pagar. Terlalu banyak besi. Aku bisa merasakannya.
Apa rasanya sakit" Tidak. Dia menggeleng. Aku harus menyentuhnya dulu untuk itu. Tapi besi menguras tenagaku. Dia terlihat tak nyaman untuk mengakuinya. Membuatku sulit memakai glamour.
Aku mencoba menggoyang pintu gerbang yang bergeming. Rantai besar dililitkan di pintunya dan digembok, kawat berduri terpasang di atas pagar.
Pinjami aku pedangmu, kataku pada Ash. Dia mengerjap kaget.
Apa" Pinjami aku pedangmu, ulangku. Kita harus masuk, dan kau tak suka menyentuh besi. Berikan itu padaku, aku akan bereskan ini.
Dia terlihat ragu tapi menarik keluar pedang dari sarung dan menyodorkannya padaku, gagangnya dulu. Kuambil senjata itu dengan hati-hati. Gagangnya sangat dingin, bilahnya memendarkan aura biru-beku. Aku mengangkatnya ke atas kepala dan mengayunkannya menghantam rantai yang melilit gerbang. Rantai itu putus seperti terbuat dari kaca, pecah berkeping-keping diiringi bunyi logam berdentang. Dengan puas kupegang rantai itu untuk melepaskannya, tapi logam itu panas seperti api dan aku menjatuhkannya sambil menjerit.
Ash menghampiri, mengambil kembali pedangnya ketika aku menggoyang-goyang jariku yang terbakar sambil melompat-lompat kesakitan. Setelah menyarungkannya, dia meraih tanganku dan membalik telapaknya. Garis merah bekas terbakar tercetak di jari-jariku, mati rasa dan tersengat karena sentuhannya.
Aku kira aku kebal pada besi. Aku mendengus. Ash mendesah.
Memang, dia menggumam, membawaku menjauh dari pagar. Ekspresinya terbelah antara geli dan jengkel. Meskipun demikian, memegang logam super dingin sangat tidak disarankan bagi fey Musim Panas, tak peduli siapa pun dirimu.
Oh. Ash memeriksa luka itu lagi. Ini bukan radang dingin, gumamnya. Ini hanya melepuh, kau akan baik-baik saja. Kau mungkin akan kehilangan beberapa jari.
Aku menatapnya ngeri, tapi dia menyeringai nakal. Sesaat aku tak mampu berkata-kata. Ya Tuhan, Pangeran Es ini bisa bergurau; dunia pasti akan kiamat. Tidak lucu, desisku, memukulnya dengan tanganku yang sehat. Dia mengelak dengan mudah, ekspresi geli masih ada di wajahnya.
Kau mirip dengannya, katanya pelan, begitu pelan hingga aku hampir tak mendengarnya. Sebelum aku bisa mengatakan sesuatu, dia berbalik, menghunus pedang, dan memakainya untuk melepaskan rantai dari pintu gerbang. Pintu berderit terbuka, dan Ash mengamati tempat itu dengan waspada.
Jangan jauh-jauh dariku, gumamnya, dan kami menyelinap masuk.
Tumpukan besar besi tua memenuhi halaman, ujung-ujungnya yang tajam berkilau diterpa cahaya redup dini hari. Ash meringis setiap kali melewatinya, menatap waspada, seakan tumpukan itu akan melompat dan menerjangnya. Makhluk aneh berkeliaran di sekitar onggokan logam itu, laki-laki kecil berwajah mirip tikus dan ekor tak berbulu. Ketika mereka menggigit sepotong logam, benda itu langsung berkarat. Mereka tak mengganggu kami, meskipun Ash bergidik saat melihatnya, dan tangannya tak lepas dari pedang.
Pintu besi bangunan itu dililit rantai yang lebih banyak, tapi pedang es memutuskannya dengan mudah. Melangkah masuk, aku mengedarkan pandangan dengan pelan, membiasakan mata dengan cahaya remang-remang. Ini mirip gudang biasa, kosong dan gelap, meskipun aku mendengar suara sesuatu berlari-lari di sudut ruangan. Lebih banyak tumpukan besi tua di dalam, beberapa bahkan lebih tinggi dariku.
Di mana trod-nya" Aku bertanya-tanya, masuk lebih dalam lagi. Lantainya dari pelat besi menekan sepatu ketsku. Ash ragu-ragu, berhenti di ambang pintu.
Uap bergulung-gulung di lantai, merayapi kakiku. Di dinding seberang tampak salah satu pelat besi terbuka yang memperlihatkan lubang persegi. Asap mengepul keluar dari lubang. Di sana!
Aku melangkah ke lubang itu. Dari depan pintu Ash menyuruhku berhenti. Sebelum sarafku sempat meneriakkan peringatan, satu tumpukan besi tua bergerak. La
lu diiringi bunyi deritan yang membuat gigiku ngilu, tumpukan itu beranjak, api memercik ketika dia beringsut di lantai. Dari rongsokan itu muncullah sebuah leher panjang, terbuat dari besi, kawat, dan pecahan kaca. Kepala reptilnya menatapku tajam, serpihan logam mencuat dari tengkoraknya. Lalu seluruh gundukan itu bangkit, berubah menjadi kadal besi raksasa, memiliki cakar bengkok dan ekor berduri dari logam.
Naga itu meraung, pekikan metalik nyaring yang membuat mataku hampir terlompat keluar. Dia menerjang, dan aku melesat ke balik tumpukan lain, berdoa yang ini bukan naga juga. Naga itu mendesis dan mengikuti, uap mengepul dari rahangnya yang menganga, cakar bajanya berkelontangan di lantai.
Panah-panah es meluncur di udara, mengenai kepala naga dan pecah berkeping-keping tanpa melukainya. Makhluk itu menggeram, mengangkat kepala dan menatap Ash yang berdiri di seberang ruangan dengan pedang terhunus. Mengibaskan ekor, naga itu menyerang, api memercik dari cakarnya ketika dia menghantam Ash. Jantungku sudah melompat sampai tenggorokan.
Ash menutup mata sejenak, lalu berlutut dan menghunjamkan ujung pedangnya ke lantai. Ada seberkas cahaya biru, lalu es menyebar dari ujungnya, menutupi lantai dan menyelubungi semua yang ada dalam kristal es. Embusan napasku mengambang di udara, dan es menggantung di langit-langit ruangan. Aku gemetar tak terkendali karena udara yang mendadak dingin setelah tumpukan besi membeku, memancarkan suhu yang sangat dingin.
Ash melompat ke samping ketika naga itu tiba di dekatnya, bergerak lincah di alas es. Tak bisa menghentikan terjangannya, naga itu menghantam dinding, potongan logam beterbangan ke mana-mana. Dia mendesis, berjuang untuk berdiri, namun dia tergelincir di lantai yang licin dengan ekor mengibas-ngibas. Ash melompat ke depan dan bersiul nyaring, menciptakan pusaran angin dingin di udara. Naga itu meraung ketika angin kencang itu mengelilinginya, melapisinya dengan es dan salju. Tubuh logamnya putih penuh bunga es beku, gerakannya melemah karena berat es yang membebaninya.
Ash berhenti bersiul, terengah-engah. Dia menjauh terhuyung-huyung dari naga yang membeku dan bersandar di tiang, menutup mata. Aku menghampirinya, setengah berlari, setengah tersandung, tergelincir di atas es.
Kau tidak apa-apa" Jangan pernah lagi, gumamnya, hampir pada dirinya sendiri. Matanya masih tertutup, dan aku tak yakin dia tahu aku ada di sana. Aku tak mau lagi melihat itu terjadi lagi. Aku tak mau &kehilangan lagi &seperti itu. Aku tak bisa &
Ash" bisikku sambil menyentuh lengannya.
Matanya terbuka, pandangannya terpaku padaku. Meghan, gumamnya, agak bingung melihatku masih di sana. Dia mengerjapkan mata dan menggeleng. Kenapa kau tidak lari" Aku sudah memberimu waktu. Kau seharusnya langsung pergi.
Apa kau gila" Aku takkan meninggalkanmu bersama makhluk itu. Sekarang, ayo pergi. Aku meraih tangannya, menariknya menjauh dari tiang seraya menatap waspada naga yang beku itu. Ayo pergi dari sini. Kurasa dia baru saja mengedip ke arah kita.
Jemarinya menggenggam erat tanganku, menarik tubuhku ke arahnya. Terkesiap dan kehilangan keseimbangan, aku menengadah, dan dia menciumku.
Aku beku karena terkejut, tapi hanya sekejap. Melingkarkan tangan di lehernya, aku berjingkat, balas menciumnya dengan rasa lapar yang mengagetkan kami berdua. Dia memelukku erat, dan aku menyelipkan jemariku di rambutnya yang halus. Bibirnya terasa dingin di bibirku, dan mulutku seakan tersengat. Dan sesaat, tak ada Ethan, tak ada Puck, tak ada Raja Besi. Hanya ini.
Dia menarik diri, agak kehabisan napas. Darahku mengalir deras, dan aku menyandarkan kepala di bahunya, merasakan otot punggungnya yang keras. Aku merasakan tubuhnya gemetar.
Ini tidak bagus, gumamnya, suaranya bergetar. Tapi dia masih tidak melepasku. Aku menutup mata, mendengarkan jantungnya yang berdenyut cepat.
Aku tahu, kataku balas berbisik.
Istana akan membunuh kita jika mereka tahu.
Ya. Mab akan menuduhku berkhianat. Oberon akan beranggapan aku membuatmu menentangnya. Mereka berdua punya alasan untuk mengusir atau menghukum mati kita.
Aku minta maaf. Dia mendesah, membenamkan wajahnya dalam rambutku. Napasnya terasa dingin di leherku, dan aku bergetar. Tak satu pun dari kami mengatakan sesuatu untuk waktu yang terasa sangat lama.
Kita akan pikirkan sesuatu, kataku nekat.
Dia mengangguk dan menarik diri, tapi terhuyung saat melangkah mundur. Kupegang lengannya lagi.
Kau tidak apa-apa" Aku baik-baik saja. Dia melepaskan tanganku. Terlalu banyak besi. Mantra tadi menguras banyak tenagaku.
Ash Bunyi nyaring sesuatu yang pecah menyela kami. Naga itu berhasil membebaskan cakar depannya dan menghantam lantai. Makin banyak retakan yang terjadi ketika dia berjuang untuk berdiri, es berjatuhan. Ash menarik tanganku dan lari.
Dengan lolongan marah, naga itu memecahkan penjara esnya, pecahan es beterbangan. Kami melejit ke seberang ruangan, mendengar naga itu mengejar, cakarnya menancap di lantai yang tertutup es. Lubang yang menganga menunggu di depan, kami menjatuhkan diri ke dalamnya, melompat di antara uap dan terhempas entah di mana. Raungan frustrasi naga terdengar ketika awan uap menyelimuti kami, dan semua berubah putih.
* * * AKU tak ingat pendaratan kami, meskipun aku tahu Ash menggenggam tanganku ketika uap lenyap di sekitar kami. Dengan mata terbeliak, kami berdua melihat sekeliling dengan ngeri.
Lanskap aneh membentang di hadapan kami, tandus dan gelap, langit kuning-kelabu memuakkan. Gunung-gunung rongsokan mendominasi pemandangan: komputer kuno, mobil karatan, televisi, pesawat telepon, radio, semuanya ditumpuk menjadi gundukan besar yang menjulang tinggi. Beberapa gundukan itu menyala, terbakar disertai asap tebal yang menyesakkan dada. Angin panas melolong di padang gersang ini, menerbangkan debu, memutar roda sepeda rusak yang tergeletak di atas tumpukan. Sampah aluminium, kaleng belas, dan gelas styrofoam berguling-guling di tanah, dan aroma tajam tembaga menguar di udara, membuat tenggorokanku tersumbat. Pepohonan di sini berbentuk aneh, bengkok-bengkok dan keriput. Beberapa bahkan memiliki bola lampu dan baterai bergelantungan seperti buah yang berpendar.
Ini Nevernever, gumam Ash dengan suram. Suatu tempat di Deep Tangle, kurasa. Tak heran wyldwood sekarat.
Ini Nevernever" tanyaku, mengedarkan pandangan terperanjat. Aku masih ingat keindahan murni dan beku di Tir Na Nog, warna-warni menyilaukan di Istana Musim Panas. Tidak mungkin. Kenapa bisa jadi seperti ini"
Machina, jawab Ash. Teritorial mengikuti aspek penguasanya. Aku menduga kerajaannya masih sangat kecil, tapi meluas, menelan wyldwood dan pada akhirnya memusnahkan Nevernever.
Aku mengira membenci Faeryland dan seluruh isinya, tapi itu sebelum bertemu Ash. Ini rumahnya. Jika Nevernever mati, dia juga akan mati. Begitu pula dengan Puck dan Grim, dan semua yang pernah kutemui selama perjalananku di sini. Kita harus hentikan ini, seruku, menatap lanskap tanpa nyawa ini. Asap menggelitik tenggorokanku, membuatku terbatuk. Kita tak bisa membiarkannya meluas.
Ash tersenyum, dingin dan menakutkan. Karena itulah kita berada di sini.
Perlahan kami berjalan melewati gunung-gunung sampah, tetap waspada terhadap apa pun yang mungkin mendadak hidup dan menyerang. Aku melihat ada gerakan di sudut mataku dan berputar ke arahnya, khawatir ada naga lain yang menyamar sebagai puing-puing tak berhahaya. Kali ini bukan naga, tapi beberapa makhluk kecil, bungkuk berjalan tertatih kian kemari di antara onggokan sampah. Mereka seperti kurcaci keriput, bungkuk karena tumpukan barang di punggungnya, seperti umang-umang raksasa. Ketika menemukan benda yang diminati mainan rusak, jeruji sepeda mereka menambahkannya ke tumpukan di punggung lalu beralih ke onggokan lain. Koleksi rongsokan mereka sangat banyak dan mengesankan, tetapi terasa menyedihkan.
Mereka melihat kami dan tertatih-tatih menghampiri, mata bulat mereka bersinar ingin tahu. Ash berniat mencabut pedang, tapi aku menahan tangannya. Aku merasa makhluk itu tak berbahaya, mungkin mereka bisa menunjukkan jalan.
Halo, sapaku lembut ketika mereka mengerumuni kami, mendengus-dengus seperti anjing yang bersemangat. Ka
mi tidak ingin membuat masalah. Kami hanya tersesat.
Mereka menelengkan kepala tapi tak berkata apa-apa. Beberapa dari mereka mendekat, jari-jari panjang menyentuh ranselku, menarik-narik benda berwarna terang itu. Tak berniat jahat, hanya penasaran. Seperti burung camar yang mematuk kancing. Dua dari mereka mendekati Ash, meraba-raba sarung pedangnya. Dia bergerak gelisah dan menjauh.
Aku mencari Raja Machina, kataku. Bisakah kalian memberi tahu di mana dia tinggal"
Tapi makhluk itu tak memperhatikan, terlalu sibuk memegang-megang ranselku, berceloteh sendiri. Salah satu dari mereka coba-coba menariknya dengan keras, hampir membuatku terjungkal.
Ash mencabut pedang, cahaya biru berkelebat. Makhluk-makhluk itu buru-buru mundur, mata terbelalak dan terpaku pada pedang yang bersinar itu. Jari-jari mereka tegang, seakan ingin menyentuhnya, tapi tahu lebih baik tak dekat-dekat Ash.
Ayo, gumam Ash, menudingkan ujung pedang pada kurcaci yang berani mendekat. Mereka tak akan membantu kita. Ayo pergi dari sini.
Tunggu. Aku menarik lengan bajunya ketika dia berbalik. Aku punya ide.
Menurunkan ransel, aku membuka kantung samping, meraih ke dalam, dan mengeluarkan iPod rusak dari masa laluku. Melangkah maju, aku mengangkatnya tinggi-tinggi, para kurcaci itu mengikuti gerakanku dengan mata terbelalak, tak berkedip.
Perjanjian, ucapku dalam keheningan. Mereka terus menatapku. Kalian lihat ini" tanyaku sambil melambaikan iPod itu. Tatapan mereka mengikutinya seperti anjing mengincar biskuitnya. Aku akan berikan ini bila kalian membawaku pada Raja Besi.
Para kurcaci itu berbalik, seperti berunding, kadang-kadang mencuri pandang memastikan aku masih di situ. Akhirnya satu dari mereka melangkah maju. Sepeda roda tiga bergoyang-goyang di atas tumpukan di punggungnya. Dia menatapku tak berkedip, memberi isyarat agar aku mengikutiriya.
Kami mengikuti makhluk kecil aneh itu diam-diam aku juluki tikus-pemulung melintasi dataran penuh sampah, mengundang tatapan ingin tahu dari penghuni lain di sini. Aku melihat lagi laki-laki seperti tikus yang giginya bisa membuat besi berkarat, beberapa anjing kurus berkeliaran, dan kutu besi merayap di mana-mana. Sesekali, di kejauhan aku melihat sekilas naga lain, menggeliat dari onggokan sampah. Syukurlah, rupanya dia hanya mencari posisi tidur yang lebih nyaman dan kembali meneruskan penyamaran sebagai setumpuk rongsokan.
Akhirnya gunung-gunung sampah terlewati, dan jari-jari panjang pemimpin tikus-pemulung itu menunjuk ke dataran tandus. Di seberang tanah kelabu dan retak-retak berpola sarang laba-laba karena aliran lava dan jutaan lampu bekerlip, sebuah rel kereta membentang hingga di kejauhan. Seperti kumbang besi raksasa, lokomotif-lokomotif yang teronggok di rel mengeluarkan asap. Dan sebuah siluet di langit, menara hitam bergerigi mencuat, seperti muncul dari dalam tanah diselubungi kabut dan asap mengepul.
Benteng Machina. Ash menarik napas terkesiap. Aku menatap menara menakjubkan itu, perutku melilit karena takut, sampai sebuah sentakan di ransel membuatku sadar. Tikus-pemulung itu berdiri di sana, tatapannya penuh harap, jarinya bergerak-gerak.
Oh, iya. Mengambil iPod dari ransel dan menyerahkan kepadanya dengan serius. Janji adalah janji. Kuharap kau menikmatinya.
Tikus-pemulung itu mencicit kegirangan. Sambil menggenggam benda itu di dada, dia bergegas pergi seperti kepiting raksasa, lenyap di balik gunungan rongsokan. Aku mendengar celotehan bersemangat, dan membayangkan dia memamerkan hadiahnya pada teman-temannya. Lalu suara itu lenyap dan kami pun sendirian.
Ash menatapku, dan aku terperanjat melihat kondisinya. Kulitnya abu-abu; ada bayangan hitam di bawah matanya, dan rambutnya lembap penuh keringat.
Apa kau akan baik-baik saja" bisikku. Satu sudut mulutnya terangkat.
Kita lihat nanti. Aku meraih tangannya, menggenggam dan meremas jemarinya. Dia membawa tanganku ke wajahnya dan menutup mata, seperti mengambil kekuatan dari sentuhanku. Bersama kami melangkah menuju jantung kerajaan Machina.
BAB DUA PULUH SATU Prajurit Kerajaan Besi Jangan menoleh, gumam As
h setelah berjam-jam berjalan, kita sedang diikuti.
Aku memanjangkan leher ke balik bahu. Kami menyusuri rel berjalan di sebelahnya bukan di atas rel besiya, dan selama itu belum bertemu satu pun makhluk lain. Lampu jalan mencuat dari dalam tanah, menerangi jalanan, dan lokomotif besi di sepanjang rel mengepulkan asap. Karena tebalnya asap, susah sekali melihat lebih jauh dari beberapa meter.
Tapi kemudian, sesosok makhluk familiar merangkak di seberang rel, lenyap di balik asap. Aku sempat melihat sekilas sepeda roda tiga di atas tumpukan sampah dan mengerutkan dahi. Kenapa tikus-pemulung itu mengikuti kita"
Tikus-pemulung" Ash menyeringai.
Yah, kau tahu, mereka mengumpulkan barang-barang berkilau, menumpuknya di sarang mereka" Tikus-pemulung" Oh, sudahlah. Aku memelototinya main-main, terlalu cemas untuk merasa kesal. Ash tak pernah mengeluh, tapi aku bisa melihat bahwa besi di mana-mana berakibat buruk padanya. Apa kau ingin beristirahat dulu"
Tidak. Dia menempelkan telapak tangan di satu mata, seperti berusaha meredakan sakit kepala. Tak akan ada bedanya.
Lanskap aneh itu terus berlanjut. Kami melewati kolam-kolam lava cair, menggelegak dan berpendar karena panas. Cerobong asap menjulang di depan, mengepulkan asap hitam polusi ke langit kuning-kelabu. Kilat menyambar dan berderak di menara logam yang berkedip-kedip, udara mendengung karena listrik. Pipa malang melintang di tanah, uap keluar dari sudut-sudut dan katup pipa yang bocor, kabel hitam melintang di atas kepala. Bau tajam besi, karat, dan asap menyumbat tenggorokan dan menyengat hidungku.
Ash tidak banyak bicara, berjalan goyah tapi penuh tekad. Kecemasanku terhadapnya membuat perutku serasa diremas. Aku yang lakukan ini padanya: kontrakku yang mengikatnya untuk menolongku meskipun itu membunuhnya secara perlahan. Tapi kami tak bisa kembali, dan aku hanya bisa menyaksikan tak berdaya ketika Ash berjuang untuk melangkah. Napasnya terdengar kasar, dan wajahnya makin pucat. Rasa takut menggerogotiku. Aku takut dia akan mati dan meninggalkanku sendiri di tempat yang gelap dan mengerikan ini.
Ketika hari berlalu, menara besi itu menjulang hitam dan mengancam di hadapan kami, meskipun masih berada di kejauhan. Langit kuning-kelabu memuakkan berubah gelap, dan samar-samar terlihat bulan bersinar di balik awan. Aku berhenti, menengadah ke langit. Tak ada bintang. Tak satu pun. Cahaya buatan dipantulkan oleh kabut, membuat malam nyaris seterang siang.
Ash terbatuk-batuk, berpegangan pada dinding yang hampir roboh agar tak terjatuh. Aku menyelipkan tangan di bawah lengannya, memeganginya sementara dia bersandar padaku. Serangan batuknya membuat hatiku terasa diremas-remas. Kita harus beristirahat, gumamku, melihat sekeliling mencari tempat untuk berlindung. Sebuah pipa besar dari semen tergeletak setengah terbenam tanah di dasar rel, penuh coretan, aku menunjuk ke sana. Ayo.
Kali ini dia tak membantah. Dia mengikutiku menuruni lereng dan memasuki tempat bernaung dari semen itu. Tempat itu tak terlalu besar dan pecahan kaca warna-warni berserakan di lantai, kami tak bisa berdiri di dalamnya. Bukan tempat beristirahat yang ideal, tapi setidaknya tak terbuat dari besi. Aku menendang sebuah botol pecah, duduk hati-hati lalu melepas ranselku.
Melepas pedang dari pinggangnya, Ash duduk di seberangku dengan erangan yang hampir tak ditahan-tahan. Anak panah berdenyut ketika aku membuka ransel, mengambil makanan dan air botolan.
Membuka bungkus daging kering, aku menawarkannya pada Ash. Dia menggeleng, matanya letih dan suram.
Kau harus makan sesuatu, omelku, menggigit daging kering itu. Aku terlalu lelah, panas, dan cemas untuk memiliki nafsu makan, tapi perutku harus diisi. Aku punya camilan Trail Mix atau permen jika kau mau yang lain. Ini. Aku menggoyangkan bungkus kacang-campur-buah kering di depannya. Dia memandangnya ragu, dan aku merengut. Aku minta maaf, tapi mereka tak menjual makanan faery di mini-mart. Makan.
Tanpa bicara dia menerima, menuangkan segenggam kacang dan kismis. Aku memandang ke kejauhan, ke arah menana hitam menjulang menembus
awan. Menurutmu berapa lama lagi kita akan sampai" gumanku, hanya agar dia bicara lagi.
Ash memasukkan makanan di mulut, mengunyah dan menelan tanpa selera. Menurutku satu hari paling lama, jawabnya, meletakkan bungkus trail mix. Lebih dari itu & Dia mendesah, matanya menggelap. Aku ragu apa bisa membantumu lagi.
Perutku kejang karena ketakutan. Aku tak bisa kehilangan dirinya sekarang. Aku sudah kehilangan banyak: kejam rasanya bila Ash tak berhasil sampai di akhir petualangan kami. Aku membutuhkannya seolah tak pernah membutuhkan orang lain sebelumnya. Aku akan melindungimu, kataku dalam hati, mengejutkan diriku sendiri. Kau akan melewati semua ini dengan selamat, aku berjanji. Jangan mati karena aku, Ash.
Ash menatap mataku, seperti tahu apa yang kupikirkan, mata abu-abunya terlihat serius. Aku penasaran apakah emosiku membocorkan apa yang aku pikirkan, jika Ash membaca aura glamour yang menyelimutiku. Sekejap dia tampak ragu, seakan ada pertarungan dalam dirinya. Mendesah kalah, dia tersenyum samar lalu mengulurkan tangan. Aku menyambut uluran tangannya, dan dia menarikku mendekat, membawaku ke depan tubuhnya, lalu melingkarkan lengannya di perutku. Aku bersandar di dadanya, mendengarkan debaran jantungnya. Setiap detak jantungnya memberitahuku bahwa semua ini nyata, bahwa Ash ada di sini, hidup, dan masih bersamaku.
Angin semakin kencang, berbau ozon dan zat kimia asing. Setetes air mengenai ujung pipa dan asap tipis melingkar naik ke udara. Selain bernapas, Ash tak bergerak, seolah dia khawatir suatu gerakan yang tiba-tiba akan membuatku ketakutan. Kuraih tangannya, mengelus-elus lengannya, mengagumi kulit dingin dan halus di bawah jariku, seperti es bernyawa. Aku merasakan tubuhnya bergetar, mendengar tarikan napasnya yang tak beraturan.
Ash" Hmm" Aku menjilat bibir. Kenapa kau bersumpah membunuh Puck"
Dia tersentak. Aku merasakan tatapannya di tengkukku. Aku menggigit bagian dalam pipiku, berharap bisa menarik ucapanku, heran kenapa aku menanyakannya. Abaikan saja, kataku, melambaikan tangan. Lupakan. Kau tak perlu memberitahu. Aku hanya ingin tahu
Siapa kau sebenarnya. Apa yang Puck lakukan sehingga membuatmu membencinya. Aku ingin memahami. Aku merasa tak mengenal kalian berdua.
Lebih banyak tetesan air menyentuh tanah, mendesis dalam keheningan. Aku mengunyah daging kering, menatap hujan. Aku mendengar dia mencari posisi duduk yang lebih nyaman dan mendesah.
Sudah lama sekali, gumamnya, suaranya nyaris tak terdengar di deru angin, bahkan sebelum kau lahir. Istana Musim Panas dan Musim Dingin sudah berdamai beberapa musim. Memang ada perselisihan kecil, tapi untuk waktu terlama kami saling mengabaikan satu sama lain.
Menjelang akhir musim panas, lanjutnya, kepedihan terdengar dalam suaranya, keadaan mulai berubah. Fey tidak suka suasana membosankan, dan beberapa yang tak begitu sabar mulai mencari masalah dengan Musim Panas lagi. Aku seharusnya tahu akan ada masalah, tapi musim itu aku tak memikirkan politik. Seluruh anggota istana bosan dan gelisah, tapi aku & Suaranya pecah, hanya sejenak, sebelum melanjutkan. Aku bersama kekasihku, Ariella Tularyn.
Napasku tersentak keluar dari paru-paruku. Kekasihnya. Ash pernah punya seseorang. Dan dari suaranya, dia sangat mencintainya. Tubuhku menegang. Ash tampak tak menyadarinya.
Kami sedang berburu di wyldwood, lanjutnya, menaruh dagunya di kepalaku. Mendengar desas-desus ada rubah emas terlihat di sana. Kami pergi bertiga, berburu bersama. Ariella, aku, dan &dan Robin Goodfellow.
Puck" Ash beringsut gelisah. Petir menggelegar di kejauhan, melepaskan sambaran kilat hijau di langit. Ya, gumamnya seakan susah mengatakannya. Puck. Puck adalah &dia dulu sahabatku. Aku tak malu menyebutnya itu. Dulu, kami bertiga sering bertemu di wyldwood, jauh dari permusuhan istana. Kami tak peduli dengan peraturan. Pada saat itu Puck dan Ariella adalah teman terdekatku. Aku percaya penuh pada mereka.
Apa yang terjadi" Suara Ash melembut penuh kenangan saat melanjutkan. Kami berburu, katanya lagi, mengikuti buruan kami sampai ke teritorial yang tak
pernah kami lihat. Wyldwood sangat luas, dan beberapa bagian sering berubah, jadi cukup berbahaya. Kami mengikuti jejak rubah emas selama tiga hari, melewati hutan yang asing, bertaruh anak panah siapa yang akan mengenainya. Puck sesumbar Istana Musim Dingin pasti kalah dari Istana Musim Panas, sedangkan Ariella dan aku mengatakan sebaliknya. Sementara itu hutan di sekitar kami makin gelap dan liar. Kuda kami adalah kuda fey yang kakinya tak menyentuh tanah, tapi mereka pun gelisah. Kami seharusnya mendengarkan mereka, tapi tidak, kami terlalu percaya diri sehingga bersikap bodoh.
Akhirnya, di hari keempat, kami tiba di tanjakan yang langsung menurun ke sebuah cekungan yang luas. Di seberangnya, rubah emas itu berderap di tepiannya. Cekungan yang memisahkan kami tidak dalam, tapi lebar, berbayang-bayang dan penuh semak, membuat kami sulit melihat apa yang ada di bawah sana.
Ariella ingin mengitarinya, meskipun memakan waktu lebih lama. Puck tak setuju, berkeras kami akan kehilangan buruan jika memutar. Kami bertengkar. Aku memihak Ariella meskipun aku tak mengerti kekhawatirannya, jika dia tak mau lewat sana, aku tak akan memaksanya.
Tetapi Puck berpikiran lain. Ketika aku memutar kuda dan berbalik, dia berteriak, menampar paha kuda Ariella, dan memacu kudanya sendiri maju. Mereka memasukinya, berpacu menuruni cekungan. Puck berseru padaku untuk mengejar mereka jika bisa. Aku tak punya pilihan selain mengikutinya.
Ash terdiam, matanya gelap dan penuh duka. Dia memandang ke kejauhan, sampai aku tak tahan lagi. Apa yang terjadi" bisikku.
Dia tertawa getir. Tentu saja Ariella benar. Puck membawa kami tepat ke sarang wyvern.
Aku merasa bodoh karena bertanya, tapi & wyvern itu apa"
Sepupunya naga, jawab Ash. Tidak sepintar naga, tapi tetap sangat berbahaya. Dan sangat posesif dengan wilayahnya. Makhluk itu muncul entah dari mana lalu menerjang kami dengan sengatnya yang beracun. Dia besar sekali, ganas dan kuat. Kami bertiga berjuang melepaskan diri. Kami sudah lama berteman sehingga sudah hafal gaya bertempur masing-masing, dan menggunakannya untuk melumpuhkan musuh. Ariella yang mendaratkan hantaman mematikan. Tapi makhluk yang sekarat itu masih sempat mengibaskan ekornya untuk terakhir kali, tepat ke dada Ariella. Racun wyvern sangat berbahaya, dan kami jauh sekali dari penyembuh. Kami berusaha menyelamatkannya, tapi &
Dia berhenti, menarik napas gemetar. Aku meremas lengannya untuk menghiburnya.
Dia tewas dalam pelukanku, Ash menyelesaikan ceritanya, berusaha keras menguasai diri. Dia tewas dengan namaku di bibirnya, memohon agar aku menyelamatkannya. Saat aku memeluknya, menyaksikan kehidupan sirna dari matanya, aku hanya memikirkan satu hal Puck yang menyebabkan semua ini. Jika bukan karena Puck, dia masih hidup.
Aku turut bersedih, Ash. Aku mengangguk sekali. Suaranya berubah dingin. Aku bersumpah, pada hari itu, akan membalaskan kematian Ariella dengan membunuh Robin Goodfellow atau mati saat melakukannya. Kami bertempur beberapa kali sejak kejadian itu, tapi Goodfellow selalu berhasil lolos, atau melancarkan beberapa trik untuk menghentikan duel kami. Aku tak bisa tenang selama dia masih hidup. Aku berjanji pada Ariella akan memburu Robin Goodfellow sampai salah satu dari kami mati.
Puck bilang padaku itu suatu kesalahan. Dia tak menyangka hal itu terjadi. Kata-kata itu terasa masam di bibirku. Rasanya tidak benar bila membela Puck. Ash kehilangan orang yang dicintainya karena tindakan Puck, suatu lelucon yang sudah keterlaluan.
Itu tidak jadi masalah. Ash beringsut menjauh, suaranya dingin. Sumpah itu mengikat. Aku takkan tenang sebelum menunaikan sumpahku.
Aku tak tahu harus bilang apa, jadi aku menatap hujan, Ash dan Puck, dua musuh terjebak dalam permusuhan yang hanya akan berakhir dengan satu dari mereka membunuh yang lain. Bagaimana kau bisa dekat dengan dua orang seperti itu, tahu kalau kelak satu dari mereka akan berhasil" Aku tahu sumpah faery mengikat, dan Ash punya alasan kuat untuk membenci Puck, tapi aku masih merasa terjebak. Aku tak bisa menghentikan ini, tapi aku juga tak in
gin salah satu dari mereka mati.
Ash mendesah, mencondongkan tubuh ke depan lagi, membelai tanganku, menyusuri kulitku dengan ujung jarinya. Maaf, gumamnya. Getaran menjalar naik di lenganku. Kuharap kau tak terlibat. Tak ada cara untuk membatalkan sumpah begitu diucapkan. Tapi ketahuilah seandainya aku tahu akan berjumpa denganmu, mungkin aku takkan terburu-buru bersumpah.
Tenggorokanku tercekat. Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi tepat pada saat itu angin meniup masuk tetes-tetes air hujan ke dalam pipa. Air mengenai celana jinsku, dan aku memekik karena sesuatu membakar kulitku.
Kami mengamati. Lubang kecil menghiasi jinsku yang tadi terkena tetesan air, kainnya terbakar, kulit di bawahnya merah melepuh. Rasanya menyengat seperti ditusuk-tusuk jarum.
Apa-apaan ini" gumamku, menatap badai di luar. Tampaknya seperti hujan biasa kelabu, lembap, sedikit membuat tertekan. Hampir otomatis, aku mengulurkan tangan keluar, ke arah yang menetes di tepi pipa.
Ash mencengkeram pergelangan tanganku, menariknya. Ya, tanganmu juga akan terbakar seperti kakimu, katanya dengan suara lembut. Dan aku menganggapmu sudah mendapat pelajaran dengan rantai itu.
Dengan malu aku menurunkan tangan dan beringsut lebih jauh ke dalam, menjauh tetesan hujan asam di sana. Sepertinya aku takkan tidur semalaman, gumamku, besedekap. Tak ingin tertidur dan mendapati separuh wajahku meleleh ketika bangun.
Ash menarikku lagi dalam pelukannya, menyibakkan rambut di leherku. Bibirnya menyapu ringan bahuku, naik ke leherku, membuat kupu-kupu beterbangan dalam perutku. Jika kau ingin istirahat, lakukan saja, gumamnya di kulitku. Hujan takkan menyentuhmu, aku janji.
Bagaimana denganmu" Aku tak berencana tidur. Dia melakukan satu gerakan santai ke arah air hujan yang mengalir ke dalam pipa, air itu membeku. Aku takut tak bisa terbangun.
Kecemasanku memuncak. Ash
Bibirnya menyapu telingaku. Tidurlah, Meghan Chase, bisiknya, dan tiba-tiba saja mataku tak mau membuka. Separuh kesadaranku masih berjuang saat kegelapan menarikku dan aku tenggelam dalam pelukannya yang menanti.
* * * SAAT aku bangun, hujan telah berhenti dan semuanya telah kering, meskipun tanah masih berair. Matahari tak terlihat karena tebalnya awan, namun udara tetap terasa panas. Aku meraih ransel dan merangkak keluar dari pipa, mencari-cari Ash. Dia duduk bersandar di luar pipa, kepala menunduk dengan pedang di pangkuan. Melihatnya membuatku marah dan takut. Dia memantraiku semalam, membuatku tertidur tanpa persetujuanku. Itu artinya dia mungkin menggunakan glamour, meskipun tubuhnya semakin lemah. Berang dan takut, aku mengentakkan kaki di depannya sambil berkacak pinggang. Mata abu-abunya terbuka dan menatapku nanar.
Jangan lakukan itu lagi. Aku berniat mengomeli, tapi kerapuhannya membuatku berhenti. Dia mengerjap, tapi masih punya kesopanan untuk tidak menanyakan apa yang kubicarakan.


The Iron Fey 1 The Iron King Karya Julie Kagawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maaf, gumamnya sambil menunduk. Menurutku setidaknya salah satu dari kita harus mendapat kesempatan tidur beberapa jam.
Ya Tuhan, dia terlihat payah. Pipinya cekung, lingkaran hitam di sekitar matanya, dan kulitnya hampir transparan. Aku harus menemukan Ethan dan keluar dari sini sebelurn Ash berubah menjadi tengkorak berjalan dan tersungkur tewas di kakiku.
Ash menatap menara itu, seolah mencari kekuatan darinya. Tidak begitu jauh sekarang, gumamnya, seperti mantra yang membuatnya bertahan. Aku mengulurkan tangan, dan dia membiarkan aku menariknya berdiri.
Kami mulai menyusuri rel itu lagi.
Cerobong asap dan menara logam perlahan tertinggal di belakang ketika kami melanjutkan perjalanan melintasi kerajaan Machina. Tanahnya menjadi datar dan tandus, uap mengepul dari retakan di tanah. Kendaraan besar dengan roda besi raksasa dan berlapis baja tergeletak di sebelah rel. Mereka terlihat seperti persilangan antara tank modern dengan kendaraan robot di anime. Benda-benda itu sudah tua, dan anehnya mengingatkanku pada lronhorse.
Ash mendengus tiba-tiba dan terjatuh, kakinya tertekuk di bawah tubuhnya. Aku cengkeram lengannya ketika dia berusaha bangkit dengan terengah-engah.
Dia terasa sangat kurus. Apa sebaiknya kita beristirahat" tanyaku.
Tidak, dia menggertakkan gigi. Terus jalan. Kita harus
Tubuhnya mendadak kaku, tangannya meraih pedang.
Uap sedikit tersingkap di depan kami, cukup untuk memperlihatkan sesosok canggung yang berdiri di rel. Tampak seekor kuda yang terbuat dari besi dan mendenguskan api, kaki bajanya mengais-ngais tanah. Matanya yang menyala menatap kami dengan ganas.
Ironhorse! Aku terkesiap, bertanya-tanya apakah ini nyata, apakah pikiranku sebelumya yang mengirimnya ke sini.
KAU MENGIRA TELAH MENYINGKIRKAN AKU, KAN" Suara Ironhorse mengelegar, menggema di antara kendaraan rusak di sekitar kami. BUTUH LEBIH DARI SEKADAR GUA RUNTUH UNTUK MEMBUNUHKU. AKU MEMBUAT KESALAHAN KARENA MENGANGGAP REMEH DIRIMU. ITU TAKKAN TERJADI LAGI.
Pedang Kunang Kunang 13 Jodoh Rajawali 15 Setan Dari Biara Pusaka Langit 1

Cari Blog Ini