Ceritasilat Novel Online

The Iron King 6

The Iron Fey 1 The Iron King Karya Julie Kagawa Bagian 6


Gerakan-gerakan terdengar di sekitar kami ketika ratusan gremlin muncul, merangkak, mendesis dan mengertak. Mereka menaiki mesin-mesin seperti laba-laba, tertawa dan berceloteh, dan merayap di tanah. Dalam hitungan detik mereka telah mengepung kami, karpet hitam bernyawa. Ash menghunus pedang, dan gremlin mendesis marah ke arahnya.
Dua sosok muncul dari balik uap di kedua sisi kami. Mereka melangkah serempak, para gremlin memberi jalan. Prajurit itu mengenakan perlengkapan perang lengkap, dengan helm dan topeng menutupi wajah. Setelan mirip-serangga mereka seperti berasal dari film fiksi-ilmiah, kuno sekaligus modern. Pada pelindung dadanya tercetak lambang mahkota kawat berduri. Sambil menghunus pedang mereka bergerak maju.
Meghan, mundur, gumam Ash, bersiap-siap menghadapi prajurit bersenjata yang menghampirinya.
Apa kau gila" Kau tak bisa bertempur seperti ini
Mundur! Aku mundur dengan enggan, tapi ditarik dari belakang. Aku memekik dan menendang ketika diseret ke tepi lingkaran di mana para gremlin mengoceh ke arahku. Aku menggeliat berbalik dan melihat penangkapku ternyata prajurit ketiga.
Meghan! Ash ingin menyusul, tapi dua prajurit pertama menghalangi jalannya, cahaya memuakkan berpendar dari pedang besi mereka. Ash menatap tajam keduanya, mengangkat pedang dan bersiap untuk bertempur.
Mereka menerjangnya, pedang berkelebat cepat, dari sisi bawah dan atas, Ash melompati serangan yang pertama dan menangkis yang kedua, menghantamnya disertai embusan salju dan percikan api. Dia mendarat, berputar ke kiri untuk menangkis serangan balik di punggungnya, dan menunduk ketika pedang kedua berkelebat di atas kepalanya. Sambil berbalik, pedangnya menyambar, menyabet salah satu pelindung dada lawannya diiringi bunyi gesekan nyaring. Prajurit itu terhuyung ke belakang, simbol mahkota kawat berduri terbelah, tertutup bunga es.
Mereka memisahkan diri sejenak, saling berhadapan, pedang dalam posisi siap menyerang. Ash terengah-engah, matanya menyipit penuh konsentrasi. Kondisi Ash tampak tak bagus, dan perutku kejang karena takut. Prajurit yang lain mengitarinya perlahan, mendekatinya dari arah berbeda seperti serigala yang sedang mengintai. Tapi sebelum mereka sempat mengatur posisi, Ash menggeram dan menerjang.
Sesaat prajurit yang dihadapinya bergerak mundur akibat ganasnya serangan itu. Ash menyerangnya bertubi-tubi, pedangnya menembus pertahanan musuh dan menghantam baju zirah lawannya. Api memercik, dan prajurit itu terhuyung, nyaris terjatuh. Pedang Ash terangkat dan menghantam keras sisi kepala musuhnya, helmnya terlempar.
Aku terkesiap. Wajah di balik helm adalah Ash, atau setidaknya saudaranya yang telah lama hilang. Mata abu-abu yang sama, rambut hitam yang sama, telinga lancip yang sama. Wajah itu agak lebih tua, dan ada bekas luka melintang di pipinya, tapi kemiripan mereka nyaris sempurna.
Ash yang asli ragu, sama kagetnya dengan aku, dan dia harus membayar mahal. Prajurit kedua menyerbu dari belakang, pedangnya terayun ke bawah, dan Ash berbalik terlambat. Pedangnya masih sempat menangkis serangan lawan, tapi benturan membuat pedangnya terlempar. Di saat bersamaan, rekannya menghantam Ash dengan sarung tangan logam, memukul bagian belakang telinganya. Ash jatuh tersungkur, ujung dua pedang besi menekan lehernya.
Tidak! Aku ingin menghampiri, tapi prajurit ketiga menahanku, memelintir lenganku ke belakang. Borgol dipasang di pergelanganku. Dua prajurit lainnya menendangi perut Ash, menarik tangannya ke belakang dan diborgol. Aku mendengarnya tersentak ketika logam menyentuh kulitnya dan kembarannya menariknya kasar hingga berdiri.
Mereka mendorong kami ke arah Ironhorse yang menunggu di tengah rel sambil mengibaskan ekor. Topeng besi tanpa ekspresi.
BAGUS, dengusnya. RAJA MACHINA AKAN SENANG. Mata merahnya tertuju pada Ash yang nyaris tak sanggup berdiri. LUCUTI SENJATA MEREKA, perintahnya penuh kuasa.
Wajah Ash mengerut kesakitan. Keringat mengalir menuruni alisnya, dan dia menggertakkan gigi. Dia menatap prajurit Besi memungut pedangnya di sudut rel dan dilempar ke dalam selokan. Bunyi ceburan pelan terdengar ketika benda itu masuk ke dalam air yang berminyak dan hilang dari pandangan. Prajurit kedua juga melakukan hal yang sama dengan busurnya. Aku menahan napas, berdoa mereka tak melihat senjata terpenting dari semuanya.
ANAK PANAHNYA JUGA. Hatiku mencelus, rasa putus asa melandaku. Kembaran Ash mendekat, menarik anak panah Witchwood dari ranselku, lalu mencampakkannya ke selokan bersama seluruh senjata lainnya. Hatiku tenggelam semakin dalam, sedikit harapan yang pernah ada mengerut menjadi bola dan mati. Inilah akhirnya. Permainan selesai. Kami gagal.
Ironhorse menatap kami, uap kelur dari hidungnya. KAU JANGAN MACAM-MACAM LAGI, PUTRI, dia memperingatkan, mengembuskan asap ke arahku. KALAU TIDAK PRAJURITKU AKAN MELILITKAN BESI Dl TUBUH PANGERAN MUSIM DINGIN SEHINGGA KULITNYA AKAN MENGELUPAS DARI TULANGNYA. Dia membatukkan api, membakar alisku, dan mengayunkan kepalanya ke arah benteng yang menunggu. AYO. RAJA MACHINA TELAH MENANTI.
BAB DUA PULUH DUA Aksi Terakhir Ash Perjalanan menuju menara Machina merupakan mimpi buruk dan menyiksa.
Seutas rantai dililitkan di pinggangku, dikaitkan pada Ironhorse yang berderap cepat menyusuri rel tanpa berhenti atau pun menoleh. Ash yang ada di sebelahku juga dirantai, dan aku tahu hal itu menyakitinya. Dia berulang kali tersandung, nyaris tak sanggup berdiri ketika kami mengikuti langkah Ironhorse di rel kereta api. Para gremlin melompat-lompat di sekeliling kami, menyodok dan mencubit dan menertawai penderitaan kami. Para prajurit berjalan di kedua sisi dan melarang Ash berjalan di luar rel, mendorongnya kembali setiap kali dia turun dari rel. Sekali dia terjatuh, dan terseret beberapa meter sebelum akhirnya bisa berdiri lagi. Ada bekas luka bakar di wajahnya di mana kulitnya menyentuh rel besi, aku turut merasakan penderitaannya.
Langit mendung, berubah dari kuning-kelabu menjadi merah-hitam mengancam dalam sekejap. Ironhorse berhenti, uap mengepul dari lubang hidungnya.
Sial, dia menggumam, mengentakkan satu kaki. HUJAN AKAN SEGERA TURUN.
Perutku melilit memikirkan hujan asam. Kilat menyambar, memenuhi udara dengan aroma tajam.
CEPAT, SEBELUM BADAI DATANG. Kuda itu keluar dari rel, berderap cepat ketika petir menggelegar. Kakiku terbakar karena harus berlari di belakangnya, setiap ototku menjerit protes, tapi kalau tidak ikut berlari rnaka aku akan terseret. Ash tersandung dan jatuh, dan kali ini dia tak bangkit lagi.
Setetes air hujan mengenai kakiku, rasa sakit menyengatku. Aku tersentak. Dan lebih banyak air menetes, mendesis ketika menyentuh tanah. Udara berbau zat kimia, dan aku mendengar beberapagremlin menjerit ketika terkena air hujan.
Tirai hujan keperakan merayap ke arah kami, sempat mengenai beberapa gremlin yang lamban. Mereka menjerit dan menggeliat, api memercik dari tubuh-tubuh itu hingga mereka mengejang untuk terakhir kalinya, lalu diam. Hujan telah turun.
Panik, aku melihat Ironhorse membawa kami masuk ke mulut tambang. Kami menunduk melewati atapnya tepat ketika badai tiba, memerangkap beberapa gremlin lagi, yang memekik dan melompat-lompat kesakitan, kulit mereka berlubang-lubang. Gremlin yang selamat bersorak dan tertawa. Aku berpaling sebelum merasa mual.
Ash berbaring tak bergerak di lantai, tertutup debu dan darah karena terseret-seret. Uap men
gepul dari tubuhnya yang terkena tetesan hujan. Dia mengerang, berusaha bangkit, tapi gagal. Beberapa gremlin mulai menyodok-nyodoknya, menaiki dadanya untuk menampar wajahnya. Dia tersentak dan berpaling, tapi hanya membuat mereka makin bersemangat.
Hentikan! Aku menerjang, menendang satu gremlin dengan sekuat tenaga, dia terlempar dari Ash seperti bola. Gremlin yang lain beralih ke arahku, dan aku menyerang mereka semua, menendang dan menginjak-injak. Mereka memanjati tubuhku, menarik-narik rambutku, mencakar tubuhku. Salah satu dari mereka menghunjamkan giginya yang setajam silet di bahuku, dan aku menjerit.
CUKUP! Bentakan Ironhorse membuat langit-langit bergetar. Tanah menghujani kami, dan para gremlin menjauh. Darah mengalir dari lusinan luka kecil di kulitku, bahuku berdenyut-denyut akibat gigitan tadi. Ironhorse menatapku tajam, mengibas-ngibaskan ekornya, lalu berpaling pada para prajurit.
BAWA MEREKA MASUK TEROWONCAN, perintahnya gusar. PASTIKAN MEREKA TAK BISA KABUR. JIKA BADAI TAK JUGA REDA, KITA MUNGKIN HARUS TINGGAL DI SINI UNTUK SEMENTARA.
Rantai yang menautkan kami pada Ironhorse dilepas. Dua prajurit menarik Ash berdiri, setengah menyeretnya memasuki terowongan. Prajurit terakhir, yang wajahnya mirip Ash, mencengkeram tanganku dan membawaku menyusul rekan-rekannya.
Kami berhenti di persimpangan tempat beberapa terowongan bersatu. Rel-rel dari kayu mengarah ke kegelapan, gerobak reyot separuh terisi bijih besi berada di dekatnya. Kayu-kayu besar penyangga langit-langit didirikan sepanjang terowongan setiap beberapa meter. Beberapa lentera dipakukan di tiang itu, meskipun sebagian besar sudah rusak dan tidak menyala. Di bawah cahaya senter yang berkelap-kelip, urat-urat bijih besi terlihat mengular di sepanjang dinding tambang.
Kami menyusuri terowongan yang berakhir di sebuah ruangan kecil, ada dua tiang kayu di tengahnya. Beberapa kotak kayu dan sebuah beliung menumpuk di satu sudut. Ash digiring menuju satu tiang, satu gelang borgolnya dilepas dan dipasang lagi melingkari tiang, membuatnya terpasung di sana. Kulit di balik borgol itu merah terbakar, dan dia menjengit ketika mereka kembali memasangkan di pergelangan tangannya. Aku menggigit bibir penuh simpati.
Prajurit yang tadi menangkapku lalu menegakkan tubuh dan menepuk pipi Ash. Dia tergelak ketika Ash bergerak menjauh dari sarung tangan logamnya. Menyenangkan bukan, cacing" katanya, aku tersentak kaget. Ini pertama kalinya aku dengar mereka bicara. Kalian para darah-tua memang lemah. Sudah waktunya kalian menyingkir. Kalian sudah kuno, usang. Waktu kalian sudah habis.
Ash mengangkat wajah menatap mata si faery. Kata-kata berani dari orang yang tak berbuat apa-apa dan meringkus seorang gadis sementara rekan-rekannya bertempur.
Prajurit itu memukul dengan punggung tangannya yang berlapiskan logam. Aku memekik marah dan bergerak maju, tapi prajurit di belakangku mencengkeram lenganku. Jangan ganggu dia, Quintus, katanya dengan tenang.
Quintus menyeringai. Merasa iba, Tertius" Mungkin karena rasa sayang pada saudara kembarmu ini"
Kita tak seharusnya bicara pada darah-tua, balas Tertius tetap dengan tenang. Kau tahu itu. Atau apa perlu aku beritahu Ironhorse"
Quintus meludah di tanah. Kau memang selalu lemah, Tertius, geramnya. Hatimu terlalu lembek untuk dijadikan besi. Kau mempermalukan persaudaraan kita. Dia memutar tumit dan kembali ke terowongan, prajurit ketiga mengikutinya. Bunyi sepatu bot mereka menggema nyaring di lantai batu, lalu senyap.
Brengsek, gumamku ketika prajurit yang tersisa membawaku ke tiang satunya lagi. Namamu Tertius, kan"
Dia melepaskan satu borgol dan melingkarkan rantainya di balik tiang, tak menatapku. Ya.
Tolong kami, aku memohon. Kau tak seperti mereka, aku bisa merasakannya. Kumohon, aku harus menyelamatkan adikku dan membawanya pergi dari sini. Aku akan membuat perjanjian denganmu, jika kau mau. Kumohon, tolong kami.
Sesaat matanya menatap mataku. Aku terkesiap lagi melihat betapa mirip dirinya dengan Ash. Matanya kelabu-logam, alih-alih perak, dan bekas luka membuatnya terlihat lebi
h tua, tapi dia memiliki wajah terhormat dan intens yang sama. Dia menghentikan gerakannya, dan sesaat aku merasa memiliki harapan. Tapi kemudian dia mengatupkan kembali borgol di pergelangan tanganku dan menjauh, matanya menggelap.
Aku Prajurit Istana Besi, katanya dengan suara sekeras baja. Aku takkan mengkhianati saudara-saudaraku, atau rajaku.
Dia membalikkan badan dan melangkah pergi tanpa menoleh.
* * * DALAM kegelapan yang bekerlip di terowongan, aku mendengar deru kasar napas Ash, bunyi batu yang bergeser saat dia merosot duduk di lantai. Ash" panggilku pelan, suaraku menggema. Kau tidak apa-apa"
Hening sejenak. Ketika akhirnya Ash bicara, suaranya begitu pelan sehingga aku nyaris tak dengar. Maaf, Putri, gumamnya, seperti pada diri sendiri. Sepertinya aku tak bisa memenuhi perjanjian kita.
Jangan menyerah, sergahku, merasa munafik karena aku pun merasa putus asa. Kita pasti lolos, entah bagaimana. Kita tidak boleh kehilangan akal. Sebuah ide muncul, dan aku berbisik. Bisakah kau bekukan rantai sampai putus, seperti di pabrik"
Gelak tawa pelan, tanpa humor. Saat ini butuh segenap kekuatan yang kumiliki agar tidak pingsan, gumam Ash menderita. Jika kau punya kekuatan seperti yang Tetua Dryad katakan, sekaranglah saatnya untuk menggunakannya.
Aku mengangguk. Apa ruginya mencoba" Menutup mata, aku berkonsentrasi merasakan glamour di sekitar kami, mengingat-ingat apa yang Grimalkin ajarkan.
Tidak ada. Kecuali kelipan tekad kuat dari Ash, tak ada emosi yang bisa ditarik, tak ada harapan atau mimpi atau apa pun. Semua yang ada di sini mati, tanpa kehidupan, tanpa gairah. Para fey besi terlalu mirip mesin dingin, penuh logika dan pertimbangan dan dunia mereka merefleksikan semua itu.
Tidak mau menyerah, aku mencari lebih dalam, berusaha menembus permukaan dangkal. Tempat ini dulunya Nevernever. Pasti ada sesuatu yang belum tersentuh pengaruh Machina.
Aku merasakan denyut kehidupan jauh di bawah sana. Sebatang pohon, teracuni dan sekarat, tapi masih berusaha tetap hidup. Dahan-dahannya mulai berubah menjadi logam, tapi akar dan jantung pohon itu masih belum terkontaminasi. Dia menggeliat merasakan kehadiranku, satu bagian kecil dari Nevernever di tengah kehampaan ini. Tapi sebelum aku bisa berbuat sesuatu, langkah kaki membuyarkan konsentrasiku, dan koneksi kami pun terputus.
Aku membuka mata. Lampu di terowongan padam, kami dalam kegelapan total. Aku mendengar ada yang bergerak menghampiri kami, mengelilingi kami, dan aku tak bisa melihat apa-apa. Benakku memikirkan hal-hal mengerikan: tikus gemuk, kecoak besar, laba-laba bawah tanah raksasa. Aku hampir pingsan ketika ada yang menyentuh lenganku, tapi kemudian aku mendengar suara celotehan pelan yang familiar.
Cahaya kuning menyala di tengah kegelapan: sebuah senter. Menerangi wajah keriput yang ingin tahu dari setengah lusin tikus-pemulung mengerjap-ngerjap karena silau. Beberapa mengelilingi Ash, menarik-narik lengan bajunya.
Apa yang kalian lakukan" bisikku. Mereka berceloteh tak karuan, menarik-narik bajuku seakan berusaha menarikku pergi. Apa kalian ingin menolong"
Tikus-pemulung yang membawa sepeda roda tiga maju. Dia menunjuk ke arahku, lalu ke belakang. Diterpa cahaya senter, aku melihat mulut terowongan lain, hampir tak terlihat dalam bayang-bayang. Terowongan itu baru terbentuk sebagian, seolah-olah para penambang baru mulai menggali, lalu meninggalkannya. Jalan keluar" Jantungku melompat. Tikus-pemulung berceloteh tak sabar dan menyuruhku bergerak.
Aku tak bisa, kataku, menggoyang rantai. Aku tak bisa bergerak.
Dia berunding dengan teman-temannya, mereka mendekat. Satu demi satu meraih ke belakang, ke tumpukan sampah di punggung mereka, dan mengeluarkan bermacam-macam barang.
Apa yang mereka lakukan" gumam Ash.
Aku tak bisa menjawab. Satu dari mereka mengeluarkan bor listrik, memperlihatkannya pada si pemimpin yang menggeleng. Satu lagi menarik pisau lipat, dia menolak, begitu pun dengan jam weker, pemantik api, dan palu. Lalu tikus-pemulung yang terkecil berceloteh penuh semangat lalu melangkah maju, memegang sesuatu yang
panjang dan terbuat dari logam.
Sebuah gunting besi. Si pemimpin mengatakan sesuatu dan menunjuk-nunjuk. Tapi di saat yang sama tedengar bunyi sepatu bot menyusuri terowongan dan ribuan cakar merayap di lantai batu. Perutku melilit. Prajurit-prajurit itu kembali, begitu juga para gremlin.
Cepat! desakku ketika tikus-pemulung menghampiri dan mulai memotong rantai. Cahaya terlihat di kejauhan, naik turun di atas lantai: gremlinyang membawa lentera atau senter. Gelak tawa terbawa angin ke dalam ruangan, dan perutku teraduk-aduk. Cepat! Kataku dalam hati, gusar melihat lambatnya pekerjaan tikus-pemulung. Kami takkan berhasil! Mereka akan datang sewaku-waktu!
Aku merasakan sentakan rantai yang putus, dan aku bebas.
Mencengkeram pemotong besi itu, aku hampiri Ash. Cahaya itu semakin dekat saja, desisan para gremlin sudah terdengar. Aku memasukkan satu cincin rantai ke dalam bilah gunting dan menekan gagangnya, tapi alat itu sudah berkarat dan susah dipakai. Sambil memaki, kugenggam kedua gagangnya dan menekannya kuat-kuat.
Tinggalkan aku, gumam Ash selagi aku berjuang mengatupkan gunting itu. Aku takkan bisa membantu, aku hanya memperlambatmu. Pergilah.
Aku takkan meninggalkanmu, kataku terengah-engah, menggertakkan gigi dan menekan sekuat tenagaku.
Meghan & Aku takkan meninggalkanmu! bentakku, menahan air mata marah. Rantai bodoh! Kenapa tak mau putus juga" Aku mengerahkan segenap tenaga, memotongnya dengan kemurkaan yang berasal dari rasa takut.
Ingatkah ketika aku memberitahu apa kelemahanmu" Ash menggumam, memanjangkan leher agar bisa menatapku. Meskipun tatapannya keras, namun suaranya tetap lembut. Kau harus membuat pilihan itu sekarang. Apa yang paling penting bagimu"
Tutup Mulut! Air mata membutakanku, dan aku mengerjapkan mata untuk menyingkirkannya. Kau tak bisa menyuruhku mengambil keputusan. Kau juga penting bagiku, sialan. Aku takkan meninggalkanmu, jadi tutup mulutmu.
Gelombang pertama gremlin memasuki terowongan dan berteriak memberi peringatan ketika melihatku. Sambil menggeram karena takut dan ngeri, aku menekan lagi gagang gunting itu dan rantai itu akhirnya terpotong. Ash langsung berdiri sementara gremlin berteriak-teriak marah dan menyerbu.
Kami berlari menuju terowongan tersembunyi, mengikuti para tikus-pemulung. Koridornya rendah dan sempit; aku harus menunduk agar tak terbentur langit-langitnya, dindingnya menggores lenganku ketika kami lewat. Di belakang kami, para gremlin menghambur masuk terowongan seperti semut, merayap di dinding dan langit-langit, mengejar seraya mendesis-desis.
Ash tiba-tiba berhenti. Berbalik menghadapi gerombolan itu, dia mengangkat beliung seperti pemukul bisbol, berdiri membelakangi dinding. Aku terperanjat; dia pasti mengambilnya dari kotak kayu sebelum kami melarikan diri. Rantai putus masih menggantung di pergelangannya, bergemerencing ketika tangannya bergerak. Para gremlin berhenti bergerak, mata mereka bersinar ketika melihat ada ancaman menunggu. Lalu serempak mereka merayap maju.
Ash! panggilku. Apa yang kaulakukan! Ayo!
Meghan. Suara Ash, meskipun sedang kesakitan, terdengar tenang. Kuharap kau menemukan adikmu. Jika bertemu Puck lagi, bilang padanya aku menyesal tidak bisa melanjutkan duel kami.
Ash, jangan! Jangan lakukan ini!
Aku merasakan senyumnya. Kau membuatku merasa hidup lagi, gumamnya. Berteriak melengking, gerombolangremlin menyerang.
Ash menghantam dua dari mereka dengan beliung, menunduk ketika ada satu melompat ke kepalanya. Mereka menyerbunya, bergelantungan di kaki dan lengannya, menggigit dan mencakar. Dia terhuyung-huyung, jatuh berlutut, dan mereka memanjat punggungnya hingga aku tak bisa melihatnya lagi di antara kerumunan gremlin. Tapi Ash terus melawan; sambil menggeram, dia berdiri lagi, beberapa gremlin melayang, tapi segera digantikan oleh yang lain.
Meghan, pergi! suaranya serak sementara dia melempar satu gremlin ke dinding. Sekarang!
Tersedak oleh air rnata, aku berbalik dan lari. Mengikuti tikus-pemulung hingga terowongan bercabang ke beberapa arah. Satu tikus-terowongan mengambil sesuatu dari punggung d
an menyodorkannya pada si pemimpin. Aku terkesiap ketika melihat benda itu ternyata sebatang dinamit. Si pemimpin mengatakan sesuatu, dan satu tikus-terowongan mengulurkan sebuah pemantik.
Aku tak bisa menahan diri dan menoleh ke belakang, tepat saat Ash ditarik ke dalam lautan gremlin dan hilang dari pandangan. Gerombolan gremlin itu berteriak penuh kemenangan dan menyerbu ke arah kami.
Sumbu dinamit menyala. Pemimpin tikus-pemulung mendesis ke arahku dan menunjuk terowongan yang baru saja dilewati teman-temannya. Dengan air mata mengalir di pipiku, aku melangkah. Tikus-pemulung melemparkan dinamit ke arah gremlin-gremlin yang mendekat.
Bunyi duarr mengguncang langit-langit. Tanah dan batu-batu kecil berjatuhan mengenaiku, memenuhi udara dengan debu. Aku terbatuk, merosot di dinding, menunggu kekacauan berhenti. Ketika semua hening, aku menengadah, menatap mulut terowongan yang runtuh. Para tikus-pemulung mengerang pelan. Satu dari mereka tak berhasil lewat tepat pada waktunya.
Meringkuk di dinding, aku menarik lutut ke dada dan turut berduka bersama mereka, merasa hatiku tertinggal di terowongan tempat Ash tewas.
BAB DUA PULUH TIGA Sang Raja Besi Selama beberapa menit aku duduk di sana, terlalu mati rasa untuk menangis. Aku tak percaya Ash telah mati. Aku terus menatap terowongan yang runtuh itu, setengah berharap dia melewati reruntuhan, memar-memar dan terluka, tapi masih hidup.
Berapa lama aku duduk di sana, aku tak tahu. Tapi akhirnya, pemimpin tikus-pemulung menarik pelan lengan bajuku. Dia menatap mataku, sebelum dia berbalik dan mengisyaratkan agar aku mengikuti. Menoleh untuk terakhir kalinya ke reruntuhan, aku mengikuti mereka memasuki terowongan.
Kami berjalan berjam-jam, dan perlahan terowongan berubah menjadi gua alami, meneteskan air dan memiliki stalaktit. Tikus-pemulung meminjamkan senter padaku ketika aku menyorotkannya ke sekeliling gua. Aku melihat lantainya dipenuhi barang-barang aneh, sebuah bumper di sini, mainan robot di sebelah sana. Sepertinya kami menuju sarang tikus-terowongan karena semakin jauh melangkah, semakin banyak barang berserakan.
Akhirnya kami memasuki gua yang mirip katedral, langit-langitnya menjulang tinggi di kegelapan, dan dindingnya penuh onggokan sampah, seperti miniatur padang rongsokan di luar sana.
Di tengah ruangan, di atas singgasana yang terbuat dari rongsokan, duduk seorang laki-laki tua renta. Kulitnya kelabu, bukan pucat pasi, tapi abu-abu metalik, abu-abu merkuri. Rambut putihnya terurai melewati kakinya dan hampir menyentuh lantai, seolah dia tak pernah bergerak dari kursinya sejak berabad-abad. Tikus-terowongan mengerumuninya, mengulurkan bermacam-macam barang, termasuk iPod-ku. Laki-Laki tua itu tersenyum ketika para tikus-terowongan berceloteh, berdesakan di sekitarnya seperti anjing-anjing yang penuh semangat, lalu mata hijau pucatnya melihatku.
Dia mengerjapkan mata beberapa kali seakan tak percaya apa yang dilihatnya. Aku menahan napas. Apakah dia Machina" Apakah tikus-tikus-pemulung ini membawaku langsung ke hadapan Raja Besi" Bagi makhluk yang sangat berkuasa, aku tak menyangka dia begitu &tua.
Wah, akhirnya dia bicara juga, selama ini rakyatku sering membawakan bermacam-macam barang aneh, tapi aku yakin ini yang paling luar biasa. Siapa kau, Nona" Kenapa kau ada di sini"
Aku &Namaku Meghan, Tuan. Meghan Chase. Aku mencari adikku.
Adikmu" Laki-laki tua itu menatap para tikus-pemulung dengan kaget. Aku tak ingat kalian membawa pulang seorang anak. Apa yang kalian pikirkan"
Tikus-pemulung berceloteh, menggeleng-gelengkan kepala. Laki-laki tua itu mengernyit ketika mereka mengoceh dan melompat-lompat, lalu menatapku. Rakyatku mengatakan tak bertemu siapa pun kecuali kau dan temanmu di luar sana. Kenapa kau mengira adikmu ada di sini"
Aku & Aku berhenti, menatap sekeliling, gua yang kotor, tikus-pemulung, laki-laki tua yang rapuh. Ini tak mungkin benar. Maaf, lanjutku, merasa bodoh dan bingung, tapi &apa Anda Machina, Raja Besi"
Ah. Laki-laki tua bersandar di takhtanya, menautkan tangan. Kini aku mengerti. Machina mengambil adikmu, ya" Dan k
au hendak menyelamatkannya.
Benar. Aku menarik napas lega. Kalau begitu aku menduga Anda bukan Raja Besi"
Oh, aku tidak bilang begitu. Laki-laki tua itu tersenyum, tembok pertahanan diriku tegak kembali. Dia tergelak. Jangan khawatir, Nak. Aku tak berniat mencelakaimu. Tapi sebaiknya kau batalkan saja rencana menyelamatkan adikmu. Machina terlalu tangguh. Tak ada senjata yang bisa melukainya. Kau hanya akan membuang-buang nyawa.
Aku teringat anak panah Witchwood yang tergeletak di dasar selokan, dan jantungku serasa diremas. Aku tahu, bisikku. Tapi aku harus mencoba. Aku sudah sampai sejauh ini. Aku takkan menyerah sekarang.
Jika Machina menculik adikmu, dia pasti sudah menunggumu, kata laki-laki tua itu, mencondongkan tubuh ke depan. Dia menginginkan sesuatu darimu. Aku bisa merasakan kekuatan dalam dirirnu, Nona, tapi itu tidak cukup. Dia akan memperalatmu, dan kau takkan bisa menolak. Pulanglah, Nona. Lupakan semua yang telah hilang dan pulanglah.
Lupakan" Aku memikirkan sahabat-sahabatku yang telah mengorbankan segalanya agar aku sampai di sini. Puck. Tetua Dryad. Ash. Tidak bisa, gumamku, tenggorokanku seakan tersumbat. Aku takkan bisa lupa. Meskipun tidak ada harapan, aku harus terus maju. Aku berutang sebanyak itu pada semua orang.
Gadis bodoh, geram laki-laki tua itu. Aku mengenal Machina lebih daripada yang lain keinginannya, kekuatannya, cara berpikirnya dan kau masih tidak mau mendengarkan. Baiklah. Songsonglah kematianmu. Kau akan sadar, seperti aku, setelah semua sudah terlambat. Machina tak bisa dikalahkan. Andai aku mendengarkan penasihatku ketika mereka memberitahukan semua ini.
Kau pernah berusaha mengalahkannya" tanyaku heran, membayangkan laki-laki tua rapuh ini melawan seseorang dan gagal. Kapan" Kenapa"
Sebab, Laki-laki tua itu menjelaskan dengan sabar, aku dulunya Raja Besi.
Namaku Ferrum, lanjut laki-laki tua itu ketika aku masih diam karena kaget. Seperti yang kau lihat, aku sudah tua. Lebih tua daripada bocah Machina itu, lebih tua dari semua fey besi. Akulah yang pertama, kau tahu, lahir dari bengkel tempa, ketika umat manusia mulai bereksperimen dengan besi. Aku tercipta dari imajinasi mereka, dari ambisi mereka untuk menaklukkan dunia dengan logam yang bisa mengiris tembaga seperti kertas. Aku datang ketika dunia mulai beralih, ketika manusia memulai langkah pertama keluar dari Zaman Kegelapan dan memasuki peradaban.
Selama bertahun-tahun aku mengira hanya sendirian. Tapi umat manusia tak pernah puas selalu berusaha, mencoba menciptakan sesuatu yang lebih baik. Yang lain pun muncul, yang sepertiku, lahir dari impian akan suatu dunia baru. Mereka menerimaku sebagai raja mereka, dan selama berabad-abad kami menyembunyikan diri dari fey lainnya. Aku menyadari, tanpa ragu, bahwa jika Istana mengetahui keberadaan kami, mereka akan bersatu untuk mengalahkan kami.
Lalu dengan ditemukannya komputer, muncullah para gremlin, dan kutu. Hidup karena ketakutan akan monster yang mengintai di dalam mesin-mesin itu, mereka lebih kacau daripada fey lain, ganas dan suka menghancurkan. Mereka tersebar di seluruh penjuru. Seiring dengan teknologi menjadi penggerak di setiap negara, fey baru yang lebih kuat pun muncul. Virus. Glitch. Dan yang terkuat, Machina. Dia tak puas hanya duduk dan bersembunyi. Rencananya adalah menaklukkan dan menyebar ke seluruh Nevernever seperti virus, menghancurkan semua yang menentangnya. Dia adalah orang Pertama-ku letnanku yang paling kuat dan kami sering berbeda pendapat. Penasihat menyarankan agar aku mengusirnya, memenjarakannya, atau bahkan membunuhnya. Mereka takut padanya, dan mereka punya alasan kuat untuk merasa seperti itu, tapi aku tak menyadari adanya bahaya.
Tentu saja hanya masalah waktu sebelum Machina melawanku. Setelah mengumpulkan pasukan fey yang sependapat dengannya, dia menyerang benteng dari dalam, membantai semua yang setia padaku. Pasukanku melawan, tapi kami sudah tua dan usang, bukan tandingan pasukan Machina yang kejam.
Pada akhirnya aku duduk di singgasanaku, melihatnya datang, tahu aku akan mati. Tapi, ketika Mach
ina melemparku ke lantai, dia tertawa dan mengatakan takkan membunuhku. Dia akan membiarkanku lenyap secara perlahan seiring waktu, semakin samar dan terlupakan, sampai tak seorang pun mengingat namaku atau siapa aku. Ketika dia duduk di singgasanaku, aku merasakan kekuatanku menyelinap keluar dan berpindah ke Machina, mengukuhkannya sebagai Raja Besi yang baru.
Jadi di sinilah aku hidup sekarang. Ferrum memberi isyarat ke arah gua dan tikus-pemulung yang mengelilinginya. Dalam sebuah gua terlupakan, duduk di singgasana terbuat dari rongsokan, raja dari para pengumpul sampah. Gelar terhormat, kan" Bibirnya menyungging senyum getir. Makhluk-makhluk ini sangat loyal, mempersembahkan barang-barang yang tak bisa kugunakan, membuatku menjadi penguasa di tumpukan sampah. Mereka menerimaku sebagai raja mereka, tapi apa guna semua itu" Mereka tak bisa mengembalikan takhtaku, tetapi merekalah yang membuatku tak lenyap begitu saja. Aku tak bisa mati, tapi aku nyaris tak tahan hidup, mengingat apa yang telah hilang. Apa yang telah dicuri dariku. Dan Machina-lah yang merencanakan semua ini!
Dia merosot di takhtanya, membenamkan wajah di tangan. Para tikus-pemulung mendekatinya, menepuk-nepuknya, mengeluarkan celotehan khawatir. Melihatnya seperti itu, aku merasa simpati sekaligus jijik.
Aku juga mengalami banyak kehilangan, kataku di sela-sela isakan pelannya. Machina telah mencuri banyak hal dariku. Tapi aku tidak akan berdiam diri dan menunggunya. Aku akan menghadapinya, bisa dikalahkan atau tidak, dan entah bagaimana aku akan mengambil kembali milikku. Atau aku akan mati saat mencobanya. Yang penting aku takkan menyerah.
Ferrum menatapku dari sela-sela jemarinya, tubuh rapuhnya bergetar karena tangis. Dia mendengus dan menurunkan tangan, wajahnya murung dan gelap.
Pergilah, kalau begitu, kata Ferrum pelan, mengusirku. Aku tak bisa mengubah pikiranmu. Mungkin seorang gadis tak bersenjata bisa melakukan hal yang gagal dicapai oleh seluruh pasukan. Dia tertawa pahit, aku merasakan ada kilasan kejengkelan. Semoga berhasil, anak bodoh. Jika tak mau mendengar nasihatku, kau tak lagi diterima di sini. Rakyatku akan membawamu ke bentengnya melalui terowongan rahasia di bawah tanah. Itu jalan tercepat menuju kematianmu. Sekarang, pergi. Aku sudah selesai denganmu.
Aku tak memberi hormat. Aku tak berterima kasih atas pertolongannya. Aku hanya berbalik dan mengikuti tikus-pemulung keluar gua, merasakan tatapan benci dari raja yang terbuang itu di punggungku.
* * * TEROWONGAN lagi. Jeda singkat bersama mantan Raja Besi tak cukup untuk mengusir ketetihanku. Kami jarang beristirahat, dan aku tidur kapan pun aku bisa. Tikus-terowongan memberiku semacam jamur aneh untuk dikunyah, benda putih kecil yang bersinar dalam gelap dan rasanya seperti jamur, tapi membuatku bisa melihat dalam kegelapan seperti hari masih senja. Itu hal yang baik, karena senterku akhirnya berkedip-kedip dan mati, dan tak ada yang menawarkan baterai pengganti.
Aku tak menyadari berlalunya waktu. Gua-gua dan terowongan sepertinya melebur menjadi labirin raksasa yang membingungkan. Aku sadar, meskipun berhasil masuk ke benteng Machina dan menyelamatkan Ethan, aku tak akan pulang menggunakan jalan yang sama.
Terowongan berakhir, dan tiba-tiba aku berdiri di jembatan batu yang melintang di atas jurang yang dalam, batu-batu runcing terlihat di dasarnya. Dinding dan langit-langitnya begitu rendah, sangat dekat dengan jembatan. Roda gigi raksasa berputar dan berderit, membuat tanah bergetar. Roda gigi terdekat denganku besarnya lebih dari tiga kali tinggi tubuhku; beberapa bahkan lebih dari itu. Aku seperti berada dalam jam raksasa, dan bunyinya membuat telinga sakit.
* * * KAMI pasti berada di bawah benteng Machina, kataku dalam hati, menatap sekeliling dengan kagum. Kira-kira apa fungsi roda gigi sebesar itu"
Ada yang menarik tanganku, aku menoleh dan melihat pemimpin tikus-pemulung menunjuk ke seberang jembatan. Celotehannya tak terdengar saking berisiknya bunyi roda gigi yang berputar. Aku mengerti. Mereka telah mengantarku sejauh yang mereka bisa. Dan
bagian terakhir perjalanan ini harus aku lakukan sendiri.
Aku mengangguk untuk menunjukkan kalau aku mengerti, dan melangkah maju, tapi dia menarik tanganku. Sambil memegangi pergelanganku, dia memberi isyarat pada yang lain, berbicara pada mereka. Dua tikus-pemulung maju, mengambil sesuatu dari tumpukan di belakang punggungnya.
Tidak perlu, kataku. Aku tidak memerlukan apa
Ucapanku terhenti. Tikus-pemulung yang pertama menarik keluar sarung pedang dengan gagang yang familiar, berpendar biru-hitam di kegelapan. Aku tercekat. Apakah itu &"
Dia menyerahkannya kepadaku dengan serius. Mencengkeram gagangnya, kucabut pedang itu, menerangi ruangan dengan cahaya biru pucat. Uap bergelung di ujung pedang Ash, dan tenggorokanku seperti tersumbat.
Oh, Ash. Aku menyarungkan pedang itu, dan mengikatnya di pinggang, dengan muram mengencangkan sabuknya. Aku menghargai ini, kataku, tak yakin apakah mereka mengerti. Mereka berceloteh kepadaku dan masih tak bergerak, si pemimpin memberi isyarat kepada tikus-pemulung kedua yang tubuhnya lebih kecil. Dia mengerjap meraih ke belakang, mengeluarkan busur yang agak usang dan
Untuk kedua kalinya jantungku berhenti berdetak. Dia mengulurkan anak panah Witchwood, licin berlumuran minyak, tapi masih utuh. Aku menerimanya dengan penuh hormat, benakku berpikir keras. Mereka bisa memberikannya pada Ferrum, tapi tidak melakukannya, malah menyimpannya untukku. Anak panah itu berdenyut di tanganku, masih hidup dan mematikan.
Aku tak berpikir. Aku berlutut dan memeluk mereka, si pemimpin dan yang bertubuh kecil. Mereka memekik kaget. Gundukan di punggung mereka menusuk kulitku, membuatku tak bisa merangkul mereka sepenuhnya. Ketika berdiri, aku melihat si pemimpin tersipu-sipu, meskipun sulit memastikan karena gelap, dan yang kecil tersenyum lebar sekali.
Terima kasih, kataku, berusaha terdengar setulus mungkin. Sungguh, terima kasih pun tidak cukup, tapi hanya itu yang kupunya. Kalian luar biasa.
Mereka berceloteh dan menepuk-nepuk tanganku. Aku berharap dapat mengerti ucapan mereka. Lalu, si pemimpin menggerarn tajam, mereka pun berbalik dan menghilang dalam terowongan. Tikus-pemulung yang paling kecil menoleh, matanya bersinar di kegelapan, lalu mereka pun lenyap.
Aku menegakkan tubuh, menyelipkan anak panah ke sabukku seperti yang biasa Ash lakukan. Sambil mencengkeram busur, dan pedang Ash menggantung di pinggang, aku melangkah ke dalam menara Machina.
* * * AKU menyusuri jalan setapak yang berubah dari beralaskan batu menjadi pelat besi, melalui labirin bagian dalam jam raksasa, menggertakkan gigi karena bunyi gesekan logam yang nyaring. Aku menemukan tangga pilin besi dan menaikinya hingga menemukan pintu di langit-langit, yang terbuka dengan bunyi nyaring. Aku menjengit dan mengintip ke dalam dengan hati-hati.
Tak ada apa-apa. Ruangan yang kuintai itu kosong, kecuali ketel-ketel uap yang memerah dan memenuhi udara dengan uap yang mendesis.
Baiklah, gumamku, memanjat keluar dari lantai. Wajah dan pakaianku sudah basah karena keringat dan panasnya uap. Aku sudah di dalam. Sekarang ke mana ya"
Naik. Pikiran itu datang tiba-tiba, tapi aku tahu itu benar. Machina dan Ethan pasti ada di puncak menara.
Jejak kaki berdentang menanik perhatianku, aku menunduk di balik sebuah ketel, mengabaikan panas yang menguar dari logam itu. Beberapa sosok tubuh memasuki ruangan, pendek dan gemuk, mengenakan setelan kanvas tebal seperti pemadam kebakaran. Mereka mengenakan alat bantu pernapasan yang menutupi seluruh wajah, sepasang selang keluar dari bagian mulut menuju sejenis tangki di punggung mereka. Mereka berderap di antara ketel, memutar-mutar baut dengan kunci inggris, memeriksa bermacam-macam pipa dan katup. Serenceng kunci menggantung di pinggang mereka, bergemerencing ketika mereka bergerak. Ketika menunduk di sudut yang gelap, sebuah ide muncul di benakku.
Aku membuntuti mereka, tetap bersembunyi di balik uap dan bayang-bayang, mengamati apa yang mereka kerjakan. Pekerja itu tak berbicara satu sama lain, terlalu berkonsentrasi dengan pekerjaan masing-masing. Salah satu dari mereka mem
isahkan diri, dan melangkah di antara uap. Aku mengikutinya sampai ke koridor yang terbuat dari pipa-pipa, mengamatinya membungkuk untuk memeriksa retakan logam yang mendesis, dan menyelinap di belakangnya.
Menghunus pedang Ash, aku menunggu hingga dia berbalik sebelum keluar dan menempelkan ujung pedang di dadanya. Pekerja itu terlompat, bergerak mundur, tapi jalinan pipa-pipa memerangkapnya di antara aku dan pintu keluar. Aku maju dan menodongkan pedang itu di lehernya.
Jangan bergerak, aku menggeram sekejam mungkin. Dia mengangguk dan mengangkat tangannya yang bersarung. Jantungku berdebar, tapi aku terus melanjutkan, menodongnya dengan pedang. Lakukan apa yang kuperintahkan dan aku takkan membunuhmu, oke" Lepaskan bajumu.
Dia mematuhinya, melepaskan pakaian luar dan maskernya, menampakkan laki-laki kecil berkeringat dengan janggut hitam lebat. Seorang kurcaci, yang normal; tidak berkulit baja, tidak ada kabel yang keluar dari kepalanya, tak ada tanda-tanda yang menunjukkan kalau diafey besi. Dia menatapku tajam dengan mata sehitam batu bara, lengannya berotot, lalu tersenyum sinis.
Akhirnya kau datang juga. Dia meludah ke tanah, dekat pipa yang langsung mendesis ribut. Kami semua bertanya-tanya rute mana yang kau ambil. Nah, jika kau akan membunuhku, Nona, cepat lakukan.
Aku datang tidak untuk membunuh, kataku waspada, memastikan ujung pedang tetap mengarah padanya seperti yang Ash lakukan. Aku datang hanya untuk adikku.
Kurcaci itu mendengus. Dia di balairung bersama Machina. Menara barat paling atas. Semoga beruntung mendapatkannya.
Aku menyipitkan mata. Kau sangat membantu. Kenapa aku harus percaya padamu.
Bah, kami tak peduli pada Machina atau adikmu yang cengeng, Nona. Kurcaci itu berdeham dan meludah di pipa, yang menggelembung seperti asam. Tugas kami hanya memastikan tempat ini berjalan baik, bukan bermain politik dengan segerombolan aristokrat arogan. Urusan Machina adalah masalahnya sendiri, dan aku memintamu agar tak melibatkanku.
Jadi kau takkan mencegahku"
Apa telingamu tidak ada lubangnya" Aku tak peduli apa yang kau lakukan, Nona! Jadi bunuh aku atau jangan ganggu aku lagi. Aku takkan menghalangimu, jika kau tak menghalangi jalanku.
Baiklah. Aku menurunkan pedang. Tapi aku membutuhkan bajumu.
Baik, ambil saja. Kurcaci itu menendangnya ke arahku dengan sepatu botnya yang bertumit baja. Kami punya banyak. Sekarang, apa aku bisa kembali bekerja, atau apa kau punya permintaan konyol lain untuk mengganggu pekerjaanku"
Aku ragu. Aku tak mau melukainya, tapi aku tak bisa membiarkannya bebas berkeliaran. Tak peduli apa yang dia ucapkan, dia bisa memberitahu pekerja lainnya, dan aku cukup yakin tak bisa melawan mereka semua. Aku melihat sekeliling dan melihat satu lagi pintu di lantai, mirip dengan yang aku lewati tadi.
Aku menuding ke arah pintu dengan pedang. Buka pintu itu dan turun ke sana.
Masuk ke ruangan roda gigi"
Tingalkan sepatumu. Dan kuncimu.
Dia menatap marah, dan aku mengangkat pedang, siap menebas jika dia menerjangku. Tapi kurcaci itu menggumamkan makian, melangkah ke pintu besi itu, memasukkan kunci ke lubangnya. Setelah membantingnya hingga terbuka, dia melepas sepatu bot dan mengentakkan kaki menuruni tangga pilin, sehingga berdentang setiap kali dia melangkah. Diiringi tatapan marah si kurcaci, kututup pintu dan menguncinya, mengabaikan rasa bersalah yang melandaku.
Aku memakai seragam yang panas, berat, dan berbau keringat si kurcaci. Aku susah payah mengenakannya, seragam itu terlalu pendek, tapi karena longgar maka aku berhasil memakainya. Pergelangan kakiku tersangkut di pipa celana, tapi aku menjejalkan sepatu ketsku ke dalam sepatu bot si kurcaci dan sepertinya tak terlalu kentara. Setidaknya kuharap begitu. Aku mengangkat tangki yang ternyata ringan itu ke punggung, memasang masker. Udara manis dan dingin menerpa wajahku, aku mendesah lega.
Sekarang masalahku tinggal pedang dan busur. Aku rasa pekerja di menara ini tidak berkeliaran membawa senjata, namun untungnya aku menemukan selembar kain kanvas dan membungkus keduanya, mengepitnya di bawah le
nganku. Anak panah Witchwoodmasih terselip di ikat pinggangku di balik seragam.
Dengan jantung berdebar, aku kembali ke ruang ketel, kurcaci lain melangkah dalam barisan tak beraturan. Menghela napas dalam-dalam untuk menenangkan perut yang melilit, aku lalu bergabung dengan mereka, menundukkan kepala dan tak melakukan kontak mata. Tak satu pun yang memperhatikanku, dan aku mengikuti mereka menaiki tangga hingga menara utama.
* * * BENTENG Machina sangat besar dan dipenuhi logam. Sulur-sulur berduri merambat pada dinding atas benteng, kawat berdurinya terbuat dari logam. Pecahan kaca tajam mencuat dari dinding tanpa alasan yang jelas. Semuanya bergaris tegas dan tajam, termasuk fey yang tinggal di sana. Selain gremlin yang ada di mana-mana, aku melihat ada banyak prajurit bersenjata: anjing pemburu terbuat dari roda-roda gigi, dan makhluk yang mirip belalang sembah dari logam, lengannya yang tajam dan antenanya yang keperakan bersinar dalam cahaya remang-remang.
Para kurcaci berpencar ketika tiba di puncak tangga, menjadi beberapa kelompok kecil yang terdiri dari dua atau tiga orang. Aku memisahkan diri dari kerumunan yang menyebar dengan cepat, lalu menyusuri dinding, berlagak seakan ada yang harus kukerjakan. Para gremlinmerayap di dinding, saling berkejaran dan menyiksa fey lain. Tikus komputer bertelinga dan berkaki kecil, mata merah yang berkedip-kedip berderap menjauh ketika aku mendekat. Sekali satu gremlin mendarat di atasnya, membuatnya menjerit melengking sebelum menjejalkan makhluk kecil itu ke mulut dan mengunyahnya. Dia menyeringai ke arahku, buntut tikus tergantung di antara giginya, lalu merayap pergi. Mengerutkan hidung, aku terus melangkah.
Akhirnya aku menemukan tangga, berpilin naik berpuluh-puluh meter sepanjang dinding menara. Mengamati anak tangga yang tak terhitung itu, aku merasakan sentakan di perutku. Ini tempatnya. Ethan ada di atas sana. Bersama Machina.
Hatiku merasa sakit, seakan ada sesuatu &sesuatu yang lain yang seharusnya kuingat. Tapi ingatan itu lenyap, tak terjangkau. Dengan jantung mengepak-ngepak dalam rusukku seperti kelelawar gila, aku memulai tahap akhir dalam perjalananku.
Ada jendela sempit dan kecil setiap di dua puluh anak tangga. Sekali aku mengintip keluar dan melihat langit lepas, burung aneh beterbangan. Di puncak tangga ada pintu besi, ada simbol mahkota kawat berduri di daun pintunya. Aku melepas seragam kurcaci, lega bisa keluar dari pakaian yang tebal dan bau itu. Mengeluarkan busur, dengan hati-hati aku pasang anak panah di talinya. Ketika sudah terpasang di tempatnya, dia berdenyut lebih kencang, seperti jantung yang berdebar-debar tak sabar.
Ketika berdiri di depan pintu terakhir di menara Raja Besi, aku merasa ragu. Bisakah aku melakukan ini, membunuh makhluk hidup" Aku bukan kesatria seperti Ash atau penipu ulung seperti Puck. Aku tak secerdik Grim, dan sudah pasti aku tak memiliki kekuatan seperti ayahku, Oberon. Aku hanyalah Meghan Chase, seorang pelajar SMA biasa. Tak ada yang istimewa.
Tidak. Suara di kepalaku adalah milikku, tapi juga bukan. Kau lebih dari itu. Kau putri Oberon dan Melissa Chase. Kau adalah tokoh kunci untuk mencegah perang antar faery. Sahabat Puck; kekasih Ash; kau jauh lebih dari yang kau pikirkan. Kau sudah punya semua yang kau butuhkan. Yang harus kau lakukan hanyalah melangkah maju.
Melangkah maju. Aku bisa lakukan itu. Menghela napas dalam-dalam, aku mendorong pintu hingga terbuka.
Aku berdiri di pintu masuk taman yang luas, pintu berderit ketika mengayun di belakangku. Dinding licin dari besi mengelilingiku, bagian atasnya bergerigi tajam, bagaikan siluet hitam di langit. Pepohonan berbaris rapi di tepi jalan setapak dan batu, semuanya terbuat dari logam, dahannya bengkok-bengkok dan tajam. Burung-burung bersayap baja mengawasiku. Ketika mereka mengepakkan sayap, bunyinya seperti pisau yang saling bergesekan.
Di tengah taman, di mana semua jalan setapak bersatu, ada sebuah air mancur. Bukan terbuat dari marmer atau semen, tapi dari roda-roda gigi berbagai ukuran, berputar pelan bersamaan dengan aliran air. Aku menyipitkan mata dan
menatap lebih seksama. Di roda gigi terbawah, telentang di sana sementara roda gigi itu memutarnya, ada sesosok tubuh.
Itu Ash. Aku tak menjerit memanggil namanya. Aku tak berlari ke arahnya, meskipun setiap serat di tubuhku memerintahkan aku melakukan itu. Aku mengedarkan pandangan, waspada terhadap jebakan dan sergapan tiba-tiba. Tapi tak banyak tempat bagi penyerang untuk bersembunyi; kecuali pohon-pohon logam dan beberapa sulur berduri, taman itu kosong.
Ketika sudah memastikan aku sendirian barulah aku berlari kencang menyeberangi tanah berbatu ke air mancur.
Jangan mati. Kumohon, jangan mati. Jantungku mencelus ketika menatapnya. Dia dirantai di roda gigi itu, dililit dengan rantai logam yang berputar tanpa henti. Salah satu kakinya terjuntai dari tepi roda; satu lagi terlipat di bawah tubuhnya. Kemejanya tercabik-cabik, tubuhnya memamerkan kulit yang pucat, kontras dengan bekas-bekas merah cakaran di sana. Kulit yang terkena rantai merah terbakar. Dia seperti tak bernapas.
Dengan tangan gemetar aku mencabut pedang. Tebasan pertama menghancurkan sebagian besar rantai, yang kedua nyaris membelah roda gigi itu menjadi dua. Rantai menggelincir putus, dan roda giginya berderit ketika berhenti berputar. Aku menjatuhkan pedang dan menarik Ash menjauh dari air mancur, tubuhnya lunglai dan dingin dalam pelukanku.
Ash. Aku memeluknya di pangkuanku, tak ada air mata, tak ada apa pun selain rasa hampa yang mengerikan. Ash, sadarlah. Kuguncang tubuhnya pelan. Jangan lakukan ini padaku. Buka matamu. Bangun. Kumohon &
Tubuhnya lemas, tak beraksi. Aku menggigit bibir sampai berdarah, membenamkan wajah di lehernya. Maafkan aku, bisikku, dan kini aku mulai menangis. Air mata mengalir deras dari balik mataku yang terpejam dan menetes di kulitnya yang lembap. Maafkan aku. Kuharap kau tidak ikut. Aku harap tak pernah menyepakati kontrak bodoh itu. Semua ini salahku, semuanya. Puck, dryad, Grim, dan sekarang kau Berbicara sudah semakin sulit, suaraku tercekik oleh air mata. Maafkan aku, gumamku lagi, karena tak tahu harus bilang apa. Maaf, maafkan
Ada yang bergetar di bawah pipiku. Mengerjapkan mata, sesenggukan, aku menarik diri dan menatap wajahnya. Kulitnya masih pucat, tapi aku melihat gerakan di balik kelopak matanya. Dengan jantung berdebar kencang, aku menunduk dan menyapukan bibirku di mulutnya. Bibirnya membuka dan dia mendesah.
Aku menggumamkan namanya dengan lega. Matanya terbuka, tertuju padaku, ragu-ragu, seakan bingung apakah dia sedang bermimpi atau tidak. Dia menggerakkan bibir, tapi butuh beberapa kali mencoba sebelum suaranya keluar.
Meghan" Ya, jawabku cepat. Aku di sini.
Tangannya terulur, jemarinya menyentuh pipiku, menyusur turun di kulitku. Aku &bermimpi kau &akan datang, gumamnya sebelum tatapannya mulai jernih dan wajahnya menggelap. Kau seharusnya &tidak datang, dia tersentak, mencengkeram lenganku. Ini &jebakan.
Dan kemudian, aku mendengarnya tawa gelap, mengerikan, muncul dari dinding di belakang kami. Roda gigi di air mancur bergetar, lalu berputar ke arah berlawanan. Dengan bunyi berdentang dan bergemuruh, dinding di belakang kami masuk ke dalam tanah, dan memperlihatkan bagian lain taman itu. Pohon logam berderet mengarah ke singgasana besi raksasa yang menjulang ke langit. Sepasukan prajurit bersenjata berdiri di kaki singgasana dengan senjata terhunus yang mengarah padaku. Sepasukan lain masuk dari pintu dan menutupnya, menjebak kami di tengah-tengah.
Berdiri di puncak takhtanya, mengamati kami dengan tatapan puas, adalah Machina, sang Raja Besi.
BAB DUA PULUH EMPAT Machina Sosok di singgasana menyunggingkan senyuman setajam silet ke arahku. Meghan Chase, gumamnya, suaranya yang penuh semangat menggema di seluruh taman. Selamat datang. Aku sudah menantimu.
Tanpa menghiraukan protesnya, kuletakkan Ash di tanah dengan lembut. Aku melangkah maju, melindunginya di belakang tubuhku. Jantungku berdebar kencang. Aku tak tahu seperti apa tampang Raja Besi, tapi tak pernah membayangkannya seperti ini. Sosok yang berada di singgasana itu tinggi dan anggun, rambut peraknya terurai da
n memiliki telinga lancip bangsawan fey. Sekilas dia mirip Oberon, luwes dan anggun, tapi tak seperti busana warna-warni di Istana Musim Panas, sang Raja Besi mengenakan mantel sangat hitam yang berkibar-kibar tertiup angin. Energi berderak di sekelilingnya, seperti petir tanpa suara, dan aku melihat kilat menyambar di matanya yang hitam. Sebuah anting logam berkilau di satu telinga, dan ponsel Bluetooth di telinga lainnya. Wajahnya tampan dan arogan, bergaris tajam; sampai-sampai aku merasa bisa terluka bila terlalu dekat dengan pipinya. Tapi ketika dia tersenyum, ruangan serasa diterangi cahaya. Jubah perak tersarnpir di bahunya, menggeliat pelan seakan hidup.
Aku meraih busur dan anak panah dari tanah, mengarahkannya pada si Raja Besi. Mungkin inilah satu-satunya kesempatan yang kumiliki. Witchwood berdenyut di tanganku ketika aku menarik tali busur, membidik dada Machina. Para prajurit berteriak kaget dan menyerbu, tapi sudah terlambat. Kulepaskan anak panah diiringi teriakan kemenangan, melihatnya meluncur tepat ke sasaran, jantung sang Raja Besi.
Dan jubah Machina mendadak bergerak.
Dawai-dawai perak terburai secepat kilat, bermunculan dari bahu dan punggungnya. Mereka menyelubingi Machina seperti lingkaran cahaya dari sayap-sayap logam, berduri di salah satu ujungnya, tajam seperti jarum bersinar diterpa cahaya. Mereka melecut ke depan untuk melindungi Raja Besi, menepis anak panah Witchwood, membuatnya melenceng ke arah lain. Aku melihat anak panah itu mengenai pohon logam dan patah menjadi dua, terhempas di tanah. Seseorang menjerit penuh kemarahan dan ketakutan, dan kusadari ternyata itu aku.
Para pengawal menyerbu kami dengan pedang terhunus. Aku tahu Ash berusaha berdiri untuk melindungiku, dan aku tahu semua sudah terlambat. Anak panah itu sudah gagal, dan kami akan mati.
Hentikan. Suara Machina tidak keras. Dia tak berseru atau meneriakkan perintah, tapi setiap prajurit berhenti bergerak seolah ditarik oleh tali yang tak terlihat. Raja Besi melayang turun dari singgasana, dawai-dawai bergelung pelan di belakangnya seperti ular yang lapar. Kakinya menyentuh tanah, dan dia tersenyum padaku, seperti tak peduli aku baru saja mencoba membunuhnya.
Pergi, perintahnya pada para prajurit tanpa mengalihkan tatapannya dariku. Beberapa dari mereka tersentak kaget.
Rajaku" kata seseorang terbata-bata, aku mengenali suaranya. Quintus, salah satu prajurit yang bersama Ironhorse di tambang. Aku penasaran apakah Tertius juga ada di sini.
Putri tak nyaman dengan kehadiran kalian, lanjut Machina, tetap tak mengalihkan pandangan. Aku tak ingin dia merasa tak nyaman. Pergi. Aku akan menjaganya, dan Pangeran Musim Dingin.
Tapi, Tuan Machina tak bergerak. Satu dawainya melecut, nyaris tak terlihat karena cepatnya, menembus baju zirah si prajurit. Dawai itu mengangkat Quintus tinggi di udara dan melemparkan tubuhnya ke dinding. Quintus berdentang nyaring menghantam dinding logam dan merosot tak bergerak di tanah, ada lubang bergerigi di pelindung dadanya. Darah gelap, berminyak menggenang di bawahnya.
Pergi, ulang Machina pelan, dan para prajurit berdesak-desakan keluar pintu dan menutupnya, dan kami pun ditinggal sendirian bersama sang Raja Besi.
Machina menatapku dengan mata hitam yang seolah tak berdasar. Kau secantik yang kubayangkan, katanya menghampiri, dawai-dawainya menggulung di belakangnya. Cantik, bersemangat, penuh tekad. Dia berhenti beberapa meter jauhnya, dawai-dawainya kembali menjadi jubah hidup. Sempurna.
Setelah melirik Ash yang masih terbaring di dekat air mancur untuk terakhir kalinya, aku melangkah maju. Aku datang untuk adikku, kataku, lega karena suaraku tak bergetar. Kumohon, biarkan dia pergi. Biarkan aku membawanya pulang.
Machina tak menjawab, lalu menunjuk ke balik tubuhnya. Bunyi nyaring berdentang terdengar, dan ada sesuatu muncul dari lantai, di sebelah singgasananya, seperti sebuah elevator. Kandang besar dari besi tempa muncul. Di dalamnya &
Ethan! Aku berlari mendekat, tapi dawai-dawai Machina melecut, menghalangi jalanku. Ethan mencengkeram jeruji penjara dengan ketakut
an. Suaranya yang nyaring melengking memenuhi taman.
Meggie! Di belakangku, Ash memaki, berusaha berdiri. Aku menatap Machina dengan berang. Lepaskan dia! Dia hanya anak kecil! Memangnya apa yang ingin kau lakukan padanya"
Sayangku, kau salah mengerti. Dawai-dawai Machina melambai-lambai mengancam, memaksaku mundur. Aku tak menculik adikmu karena aku menginginkannya. Aku melakukannya karena aku tahu kau akan datang untuknya.
Kenapa" tuntutku, memutar tubuh ke arahnya. Kenapa menculik Ethan" Kenapa tidak mengambilku saja" Kenapa melibatkannya dalam semua ini"
Machina tersenyum. Kau terlindungi dengan baik, Meghan Chase. Robin Goodfellow adalah pengawal yang hebat, dan aku tak bisa menculikmu tanpa berisiko membongkar keberadaanku dan kerajaanku. Untungnya adikmu tak memiliki perlindungan seperti itu. Lebih baik memancingmu datang ke sini, atas kehendakmu sendiri, daripada berisiko menghadapi kemurkaan Oberon dan Istana Terang. Selain itu & Mata Machina menyipit menjadi celah hitam, meskipun dia masih tersenyum padaku. Aku harus mengujimu, memastikan bahwa kaulah orangnya. Jika kau tak bisa mendatangi menaraku dengan kekuatanmu sendiri, maka kau tak pantas.
Pantas untuk apa" Mendadak aku merasa sangat letih. Letih dan putus asa untuk menyelamatkan adikku, ingin membawanya pergi sebelum kegilaan ini memengaruhi Ethan. Aku tak bisa menang; Machina telah memojokkan kami, tapi setidaknya aku bisa membawa Ethan pulang. Apa yang kau inginkan, Machina" tanyaku letih, merasakan Raja Besi itu mendekat. Apa pun itu, izinkan aku membawa Ethan pulang ke dunia kami. Kau bilang kau menginginkanku. Ini aku. Tapi izinkan aku bawa adikku pulang.
Tentu saja, Machina menenangkan. Tapi pertama-tama, mari kita membuat perjanjian.
Aku terpana, seluruh tubuhku membeku. Satu perjanjian dengan Raja Besi sebagai ganti nyawa adikku, aku ingin tahu apa yang diinginkannya. Entah bagaimana aku tahu harus membayarnya mahal.
Meghan, jangan, geram Ash, berpegangan dengan air mancur agar bisa berdiri, mengabaikan tangannya yang terbakar. Machina tak memedulikannya.
Perjanjian macam apa" tanyaku pelan.
Raja Besi mendekat. Dawai-dawainya membelai wajah dan lenganku, membuatku bergidik. Aku telah mengawasimu selama enam belas tahun, gumamnya, menunggu hari kau membuka mata dan melihat kami. Menunggu hari kau datang kepadaku. Ayahmu mungkin membuatmu tak bisa melihat dunia ini selamanya. Dia mencemaskan kekuatanmu, mencemaskan potensimu makhluk separuh fey yang kebal terhadap besi, tapi memiliki darah Raja Musim Panas. Begitu penuh potensi. Dia melirik Ash yang akhirnya berdiri tegak, dan mengabaikannya begitu saja. Mab menyadari kekuatanmu, karena itulah dia sangat menginginkan dirimu. Karena itulah dia mengutus orang-orang terbaiknya untuk menangkapmu. Tapi bahkan dia pun tak bisa menawarkan apa yang aku bisa.
Machina menutup jarak beberapa langkah di antara kami dan meraih tanganku. Sentuhannya dingin, dan aku merasakan kekuatannya mendengung di tubuhnya, seperti arus listrik. Aku ingin kau menjadi ratuku, Meghan Chase. Aku menawarkan padamu kerajaanku, rakyatku, diriku. Aku ingin kau memerintah di sisiku. Darah-tua sudah kedaluwarsa. Waktu mereka sudah habis. Sudah saatnya kekuatan baru bangkit, lebih kuat dan lebih baik dari sebelumnya. Cukup katakan ya, dan kau akan hidup selamanya, Ratu Para Fey. Adikmu boleh pulang, aku bahkan mengizinkan kau mempertahankan pangeranmu, meskipun aku khawatir dia mungkin tak bisa menyesuaikan diri di kerajaan kita. Bagaimanapun di sinilah tempatmu, di sisiku. Bukankah itu yang selalu kau inginkan" Merasa berada di tempatmu"
Aku ragu. Memerintah bersama Machina, menjadi ratu. Tak seorang pun yang akan menghina dan mengejekku lagi, aku akan memiliki makhluk-makhluk yang bersedia melakukan apa pun perintahku, dan akhirnya aku akan berada di puncak. Akhirnya aku menjadi yang paling dicintai. Tapi kemudian aku melihat pohon-pohon yang berwujud aneh dan berubah menjadi logam, lalu teringat akan zona kematian di wyldwood. Machina akan merusak seluruh Nevernever. Semua tumbuhan akan mati, ata
u berubah aneh. Oberon, Grimalkin, Puck: mereka semua akan lenyap bersama seluruh isi Nevernever, dan yang tertinggal hanyalah gremlin, kutu, dan fey besi.
Aku menelan ludah. Dan meskipun sudah tahu jawabannya, aku masih bertanya. Bagaimana jika aku menolak"
Ekspresi Machina tak berubah. Berarti pangeranmu akan mati. Dan adikmu akan mati. Atau, mungkin aku akan menjadikannya salah satu mainanku, separuh manusia, separuh mesin. Pemusnahan para darah-tua akan dimulai dengan atau tanpamu, sayangku. Aku memberimu pilihan untuk memimpinnya atau tertelan olehnya.
Rasa putus asaku memuncak. Machina mengulurkan tangan, membelai wajahku, jemarinya menyusuri pipiku. Apakah begitu buruk memerintah, cintaku" tanyanya mengangkat daguku agar aku menatapnya. Beribu-ribu tahun, baik manusia maupun fey telah melakukannya. Menyingkirkan yang lemah untuk memberi tempat bagi yang lebih kuat. Para darah-tua danfey besi tidak bisa hidup berdampingan, kau tahu itu. Oberon dan Mab akan menghancurkan kami jika mereka mengetahui keberadaan kami. Jadi apa bedanya" Dia menyapukan bibirnya di atas bibirku, seringan bulu tapi bergetar penuh energi. Ayolah. Satu kata, hanya itu yang perlu kau ucapkan. Satu kata untuk mengirim adikmu pulang, menyelamatkan pangeran yang kau cintai. Lihat. Dia melambaikan tangan dan sebuah gerbang besi melengkung besar muncul dari lantai. Dari sisi seberang aku bisa melihat rumahku sebelum lenyap dari pandangan. Aku terkesiap, dan Machina tersenyum. Aku akan mengirimnya pulang sekarang, jika kau bilang iya. Satu kata saja, dan kau akan menjadi ratuku, selamanya.
Aku menarik napas. Aku Ash tiba-tiba muncul. Bagaimana dia bisa berdiri, apalagi bergerak, masih menjadi misteri bagiku. Tapi dia mendorongku menjauh, wajahnya buas sementara alis Machina terangkat karena kaget. Dawai-dawai berkelebat ketika sang pangeran menerjang dan menghunjamkan pedang ke dada Machina.
Machina tersentak mundur, wajahnya berkerut kesakitan. Kilat berderak di sekitar pedang yang menghunjam dadanya. Dawai-dawainya bergulung-gulung liar, menyerang Ash, mencampakkannya hingga menghantam pohon metal dengan bunyi hantaman mengerikan. Ash tersungkur di bawah pohon ketika Machina berdiri, menatapnya murka.
Raja Besi menggenggam gagang pedang lalu menariknya, mengeluarkan senjata itu dari dadanya. Kilat berdesis, melelehkan es di lubang bekas tikaman, dan kawat-kawat halus teranyam di sekitar lukanya, menutupnya. Machina melemparkan pedang itu dan menatapku, mata hitamnya penuh kemarahan.


The Iron Fey 1 The Iron King Karya Julie Kagawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kesabaranku sudah habis, sayang. Salah satu dawainya melecut ke depan, melilit leher Ash lalu mengangkatnya. Ash tercekik, menggeliat lemah ketika Machina menggantungnya beberapa meter di atas lantai. Ethan menangis tersedu-sedu di kandangnya. Memerintahlah bersamaku, atau mereka mati. Putuskan!
Aku tersungkur berlutut karena kakiku gemetar. Lantai batu terasa dingin di tanganku. Apa yang bisa kulakukan" Pikirku putus asa. Bagaimana aku bisa memiih" Apa pun pilihanku, akan ada yang mati. Aku tak bisa membiarkan itu terjadi. Aku tak mau.
Tanah bergetar di bawah telapak tanganku. Aku menutup mata, membiarkan kesadaranku mengalir ke dalam bumi, mencari percikan kehidupan. Aku merasakan pohon yang ada di istana Machina, dahan-dahannya tak memiliki kehidupan dan mati, tapi akarnya dan jantungnya belum terkontaminasi. Seperti waktu itu. Aku menyentuh dan merasakan respons balasan dari mereka, menggeliat-geliut menghampiriku, menembus tanah, seperti yang pohon-pohon di Istana Musim Panas lakukan untuk Oberon ketika bertarung melawanchimera.
Buah jatuh takkan jauh dari pohonnya.
Aku menghela napas panjang, dan menariknya.
Tanah bergemuruh dan tiba-tiba akar pohon yang masih hidup muncul di permukaan, menembus lantai batu, memecahkan dan melilitnya. Machina berseru kaget, dan akar-akar itu menghampirinya, membelit tubuhnya, mencerai-beraikan dawai-dawai besinya. Dia meraung dan menyerang dengan dawai-dawainya, kilat menyambar-nyambar dari tangannya, meledakkan akar-akar di sekitarnya. Akar-akar dan dawai-dawai besi saling melilit seperti ular mengamuk, berpu
tar-putar dalam tarian kemarahan yang membius.
Ash terlepas dari lilitan, terjatuh ke lantai di sebelah pohon logam, kehabisan napas. Dia berupaya bangkit, dan dengan tertatih-tatih menghampiri pedangnya. Melihat sebatang kayu pucat di bawah pohon separuh bagian anak panah Witchwood yang patah aku meluncur untuk mengambilnya.
Seutas dawai melilit kakiku, membuatku terjungkal. Aku menoleh dan melihat Machina menatapku tajam, tangannya terulur melawan serangan dari akar-akar itu. Lilitan dawai besi di kakiku makin erat, menarikku ke arahnya. Aku menjerit, mencakar-cakar lantai, mematahkan kuku dan melukai jari-jariku, tapi aku tak bisa berhenti. Wajah murka sang Raja Besi semakin dekat.
Pedang Ash berkelebat sekali lagi, memutuskan dawai-dawai. Lebih banyak lagi dawai melecut ke arahnya, tapi Pangeran Musim Dingin itu bertahan, pedangnya terus terayun sementara tentakel-tentakel besi menggeliat di sekeliling kami.
Pergi, teriaknya, memutuskan sebuah dawai yang menyerangnya. Aku akan menahan mereka. Cepat!
Aku melompat berdiri, berlari ke pohon dan anak panah di bawahnya. Tanganku menggenggam kayu itu dan aku berbalik. Pada saat itu aku melihat seutas dawai menembus pertahanan Ash dan menghantam bahunya, memakunya di lantai. Ash melolong, mengayunkan pedangnya lemah, tapi dawai lain menghantam senjata itu lepas dari genggamannya.
Aku menerjang Raja Besi, menghindari dawai-dawai dan akar-akar yang saling melilit. Sesaat perhatiannya tertuju pada Ash, tapi kemudian dia melihatku, petir menyambar-nyambar di dalam matanya. Memekikkan teriakan perang, aku menerjang.
Tapi begitu aku tiba di dekatnya, sesuatu menghantam punggungku, membuat napas tersentak keluar dari tubuhku. Aku tak bisa bergerak, menyadari salah satu dawai menusukku dari belakang. Anehnya, tak ada rasa sakit.
Machina menghelaku ke arahnya sementara akar dan dawai bertarung di atas. Semua terasa memudar, hanya ada kami berdua.
Aku akan menjadikanmu ratu, dia menggumam, mengulurkan tangan ke arahku. Akar-akar melingkari dadanya, melilit satu tangannya, membelitnya semakin erat, tapi dia seperti tidak menyadarinya. Aku akan memberimu segalanya. Kenapa kau menolak tawaran seperti itu"
Tanganku menggenggam Witchwood erat-erat, merasakan denyut samar kehidupan di dalamnya. Sebab, aku berbisik, mengangkat tangan, aku sudah memiliki semua yang kuinginkan.
Aku mengarahkan tanganku ke depan, menghunjamkan patahan anak panah itu ke dadanya.
Bibir Machina ternganga menjerit tanpa suara. Dia melengkungkan punggung, masih berteriak, dan tunas-tunas tanaman keluar dari dalam mulutnya, menyebar turun ke lehernya. Denyutan energi yang aneh, seperti sengatan listrik, mengaliri tubuhku, membuat otot-ototku mengejang. Dawai besi melemparkan tubuhku; aku menghantam lantai dan menahan sakit di punggung. Merangkak berdiri, aku melihat sekeliling, meraih pedang, dan bergegas menuju kandang Ethan. Satu hantaman pedang es membuat pintu terbuka, dan aku memeluk adikku erat-erat, merasakan dia tersedu-sedu di rambutku.
Meghan! Ash terhuyung-huyung menghampiriku sambil memegangi bahu, darah gelap mengalir di kulitnya. Pintu di belakangnya menjeblak terbuka, dan lusinan prajurit menyerbu masuk. Sesaat mereka membeku karena kaget, menatap raja mereka di tengah taman.
Machina masih menggeliat-geliut di penjaranya, tapi sudah melemah. Cabang-cabang pohon keluar dari dadanya, dawai-dawainya berubah menjadi sulur-sulur yang berbunga putih. Ketika kami menatapnya, dia terbelah karena sebatang pohon ek muda menerobos keluar dari dadanya, menjulang ke udara. Ponsel Bluetooth jatuh dari sela-sela dahan dan tergeletak, berkedip-kedip di antara akar-akar pohon.
Wow, aku berbisik dalam keheningan.
Para prajurit meraung, mengalihkan perhatiannya kepada kami. Mereka menyerbu, tapi mendadak lantai bergetar. Puing-puing memenuhi udara ketika singgasana besi mulai runtuh, melepaskan serpihan-serpihan kecil tajam bergerigi. Satu getaran lagi mengguncang lantai, membuat semua orang terhuyung.
Kemudian sebongkah besar taman retak dan terjatuh dari atas menara, membawa serta beberapa prajurit. Se
makin banyak retakan yang muncul ketika taman mulai hancur. Para prajurit melolong dan berlari kocar-kacir, jeritan membahana di udara.
Seluruh menara akan runtuh! seru Ash, menghindar dari sebuah balok yang jatuh. Kita harus keluar dan sini, sekarang!
Aku berlari ke arah gerbang besi, tersandung-sandung karena semakin banyak retakan yang muncul di lantai, dan menunduk melewatinya, hanya untuk muncul di sisi sebelahnya. Tidak ada yang terjadi. Dengan rasa putus asa yang memuncak, aku menatap sekeliling panik.
Manusia, kata suara yang familiar, dan Grimalkin muncul dengan menggoyang-goyangkan ekornya. Aku ternganga melihatnya, hampir tak memercayai mataku. Lewat sini. Cepat.
Aku kira kau takkan datang, aku terengah-engah, mengikutinya menyeberangi taman menuju dua pohon logam yang tumbuh berjejer, kedua batangnya membentuk sebuah gerbang melengkung. Grimalkin menoleh ke belakang dan mendengus.
Kau memang suka memilih rute yang paling sulit, katanya. Kalau saja kau mau mendengar kata-kataku, aku akan tunjukkan jalan yang lebih mudah. Sekarang, cepat. Udara di sini membuatku pusing.
Raungan yang memekakkan telinga mengguncang permukaan, dan taman hancur berantakan. Memeluk Ethan erat-erat, aku menukik ke dalam celah antara dua batang pohon itu, Ash tepat di belakangku. Aku merasakan getaran sihir ketika kami menyeberangi perbatasan, dan menyadari aku terjatuh, sebelum semuanya berubah gelap.
BAB DUA PULUH LIMA Pulang Aku terbangun perlahan, pipiku berada di ubin keras yang dingin. Aku berusaha duduk, meringis, memeriksa tubuhku di mana yang terasa sakit. Samar-samar aku menyadari bahwa harusnya ada beberapa cedera; aku ingat Machina menikam punggungku dengan dawai besinya, merasakan ledakan rasa sakit ketika dia mencabutnya dari tubuhku tapi kini tak ada rasa sakit. Bahkan aku merasa lebih segar daripada yang pernah kurasakan sebelumnya, indraku berdengung penuh energi ketika aku melihat sekeliling. Aku berada di sebuah ruangan panjang, remang-remang penuh meja dan komputer. Lab komputer sekolah!
Aku terduduk dan mencari-cari adikku, sempat bertanya-tanya apakah semua ini hanyalah mimpi yang mengerikan. Sesaat kemudian aku kembali tenang. Ethan berbaring di bawah meja di dekatku, wajahnya damai, napasnya perlahan dan dalam. Aku menyibakkan rambut ikal dari dahinya, lalu bangkit.
Ash tak terlihat di mana pun, tapi Grimalkin berbaring di atas meja di bawah jendela yang kotor, mendengkur di bawah cahaya matahari yang masuk dari balik kaca. Berhati-hati agar tidak membangunkan Ethan, aku menghampirinya.
Akhirnya. Kucing itu menguap, membuka satu mata emasnya. Aku mulai berpikir bahwa kau akan tidur selamanya. Kau mengorok, kau tahu.
Aku mengabaikan komentarnya, melompat duduk di atas meja di sebelahnya. Di mana Ash"
Sudah pergi. Grimalkin duduk, meregangkan tubuh, melilitkan ekor di sekelilingnya. Dia pergi sebelum kau bangun. Dia bilang ada yang harus dilakukan. Menyuruhku bilang padamu untuk tidak menunggunya.
Oh. Aku membiarkan kata-katanya meresap, tak tahu harus merasakan apa. Aku seharusnya gusar, marah, sebal karena dia pergi begitu saja, tapi yang kurasakan hanyalah letih. Dan agak sedih. Dia terluka cukup parah, Grim. Apa dia baik-baik saja"
Grimalkin menguap, jelas-jelas tak ambil pusing. Aku tak begitu optimis, tapi Ash kuat, cukup kuat untuk masuk ke jantung Kerajaan Besi dan kembali lagi. Faery yang lebih lemah pasti sudah mati. Dia sudah hampir tewas. Apakah dia mendapatkan glamour dariku, di tempat yang nyaris tak ada kehidupan itu" Ataukah ada sesuatu yang lain yang membuatnya bisa bertahan" Aku ingin tahu apa aku punya kesempatan untuk bertanya padanya.
Aku melihat sekeliling ruangan, terheran-heran karena trod ke Kerajaan Besi ternyata begitu dekat. Apakah salah satu komputer ini menyembunyikan pintu ke kerajaan Machina" Apakah kami tadi meluncur keluar dari dalam monitor, ataukah kami bekerlip muncul, seperti paragremlin"
Jadi. Aku berpaling ke kucing itu. Kau menemukan pintu ke rumah. Selamat. Aku berutang apa kali ini" Satu permintaan atau utang nyawa" Anak pertamaku"
Tid ak. Mata Grimalkin menyipit geli. Kita tak hitung yang satu ini. Kali ini saja.
Kami duduk dalam hening, menikmati sinar matahari, merasa bahagia karena masih hidup. Tetap saja, ketika aku mengawasi Ethan, masih terlelap di bawah meja, ada perasaan sedih yang aneh, seolah-olah aku kehilangan sesuatu. Seakan aku melupakan sesuatu yang sangat penting, di Faeryland.
Jadi, Grimalkin merenung, menjilati kaki depannya, apa yang akan kaulakukan sekarang.
Aku mengedikkan bahu. Aku tak tahu. Membawa Ethan pulang, kurasa. Kembali sekolah. Berusaha melanjutkan hidupku. Aku memikirkan Puck, tenggorokanku serasa tersumbat. Sekolah tak akan sama tanpa dirinya. Kuharap dia baik-baik saja, dan aku bisa bertemu dengannya lagi. Aku memikirkan Ash, bertanya-tanya apakah Pangeran Istana Gelap bersedia diajak makan malam dan nonton film.
Harapan selalu ada, gumam si kucing.
Yeah. Aku mendesah, dan kami terdiam lagi.
Aku masih bertanya-tanya, lanjut Grimalkin, bagaimana Machina bisa menculik adikmu. Dia menggunakan changeling, memang betul, tapi changeling bukan faery besi. Bagaimana dia bisa melakukan pertukaran, jika faery itu bukan rakyatnya"
Aku memikirkannya, mengerutkan dahi. Pasti ada yang membantunya, tebakku.
Grimalkin mengangguk. Aku juga berpikir begitu. Yang artinya Machina juga memiliki faerybiasa yang bekerja untuknya, dan setelah dia mati, mereka pasti takkan senang denganmu.
Aku bergidik, merasakan harapanku untuk hidup normal berlalu begitu saja. Aku membayangkan pisau di lantai, rambutku terikat di tiang tempat tidur, barang-barang hilang, dan faery marah bersembunyi di lemari atau di bawah tempat tidur, siap menerkam. Aku takkan pernah bisa tidur lagi, itu sudah pasti. Aku bertanya-tanya bagaimana aku bisa melindungi keluargaku.
Suara erangan terdengar dari tubuh yang terbaring di sudut. Ethan terbangun.
Pergilah, Grimalkin mendengkur ketika aku bangkit. Bawa dia pulang.
Aku ingin mengucapkan terima kasih, tapi aku tak mau berutang lebih banyak lagi pada kucing itu. Alih-alih, aku menghampiri Ethan, dan kami melintasi ruangan, melewati deretan meja dan komputer yang gelap. Ketika tiba di pintu yang untungnya tak terkunci aku menoleh ke belakang, menatap jendela yang bermandikan sinar matahari, tapi Grimalkin sudah tak di sana lagi.
Koridor sekolah kosong dan gelap. Sedikit bingung, aku menyusuri koridor yang suram, menggenggam tangan Ethan dan bertanya-tanya di mana semua orang. Mungkin sekarang akhir minggu, tapi itu tidak menjelaskan lantai dan loker yang berdebu, kekosongan yang kami rasakan ketika melewati kelas demi kelas. Bahkan di hari Sabtu pun setidaknya ada satu kegiatan ekstrakurikuler yang berlangsung. Sekolah terasa sudah kosong selama berminggu-minggu.
Pintu depan tertutup dan terkunci, jadi aku harus membuka jendela. Setelah mengangkat Ethan, aku menyusulnya, melompat ke aspal, dan mengedarkan pandangan. Tak ada mobil di lapangan parkir, meskipun ini siang bolong. Tempat ini seperti terbengkalai.
Ethan melihat sekeliling tidak bicara, mata birunya yang bulat menyerap segalanya. Ada kehati-hatian pada dirinya yang tak pada tempatnya, seolah dia menjadi lebih tua meskipun tubuhnya tetap sama. Aku mengkhawatirkan itu, dan meremas tangannya dengan lembut.
Kita akan segera pulang, oke" aku berbisik ketika kami menyeberangi lapangan parkir. Hanya satu kali naik bus, dan kau akan bertemu Mom lagi, dan Luke. Apa kau senang"
Dia menatapku serius dan mengangguk sekali. Dia tak tersenyum.
* * * KAMI meninggalkan gedung sekolah, menyusuri trotoar hingga sampai di halte bus terdekat. Di sekitar kami mobil-mobil melaju di kepadatan lalu lintas sore, dan orang-orang berlalu-lalang. Beberapa wanita tua tersenyum dan menyapa Ethan, tapi dia mengabaikan mereka. Kecemasanku terhadapnya membuat perutku melilit. Aku berusaha menghibur, menanyakan sesuatu padanya, menceritakan sedikit tentang petualanganku, tapi dia hanya menatapku dengan mata birunya yang murung tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Jadi kami berdiri di tikungan, menunggu bus, menyaksikan orang-orang di sekitar kami. Aku melihat beb
erapa faery menyelinap di tengah kerumunan, memasuki deretan toko kecil di jalan, mengikuti manusia seperti serigala yang sedang mengintai. Satu pemuda fey bersayap hitam tersenyum lebar dan melambai pada Ethan dari sebuah gang di seberang jalan. Ethan gemetar, tangannya menggenggam tanganku sangat erat.
Meghan" Aku berpaling ketika mendengar namaku dipanggil. Seorang gadis keluar dari kedai kopi di belakang kami, dan memandangku takjub dan tak percaya. Aku mengernyit gelisah. Dia terlihat familiar, dengan rambut hitam panjang dan pinggang seramping pemandu sorak, tapi aku tak ingat di mana aku pernah mengenalnya. Apakah dia teman sekelas" Jika ya, seharusnya aku mengenalnya. Dia gadis yang sangat cantik seandainya hidung yang besar dan aneh itu tak merusak wajahnya yang sempurna.
Lalu aku teringat. Angie, bisikku merasakan perutku tertonjok saking kagetnya. Aku ingat semuanya: tawa mengejek, para pemandu sorak, Puck menggumamkan sesuatu, jerit ketakutan Angie. Hidungnya menjadi pesek dan mengilap, ada dua lubang hidung yang mirip hidung babi. Apa ini pembalasan dan faery" Rasa bersalah menggerogotiku, aku mengalihkan pandangan dari wajahnya. Kau mau apa"
Oh Tuhan, ini memang kau! Angie ternganga, hidungnya mengembang. Aku melihat Ethan menatap hidung Angie. Semua orang mengira kau sudah mati! Banyak polisi dan detektif mencari keberadaanmu. Mereka bilang kau kabur. Ke mana saja kau"
Aku mengerjap. Ini hal baru. Angie tak pernah bicara padaku sebelumnya, kecuali untuk mengejekku di depan temannya. Aku &berapa lama aku pergi" ucapku terbata-bata, tak tahu harus bilang apa lagi.
Sudah lebih dari tiga bulan, jawabnya, dan aku menatapnya terpaku. Tiga bulan"Perjalananku ke Nevernever tak memakan waktu selama itu, kan" Satu atau dua minggu, paling lama. Tapi aku ingat jam tanganku mati ketika berada di Wyldwood, dan perutku terasa mual. Jalannya waktu di Faeryland ternyata berbeda. Tak heran sekolah kosong dan terkunci; kini sedang libur musim panas. Aku benar-benar telah pergi selama tiga bulan.
Angie masih menatapku penasaran, dan aku berusaha mencari jawaban yang tak terdengar gila. Sebelum aku sempat berpikir, tiga gadis pirang menuju ke kedai kopi dan terperanjat melihat kami.
Oh Tuhan! pekik salah satunya. Itu si jalang dari rawa-rawa! Dia kembali! Tawa melengking menggema di trotoar, menyebabkan beberapa orang berhenti dan menoleh. Hei, kami dengar kau hamil dan orangtuamu mengirimmu ke sekolah militer. Apa itu benar"
Oh Tuhan! satu dari temannya menjerit, menunjuk Ethan. Lihat itu! Dia sudah melahirkan! Mereka tertawa histeris, melirikku sembunyi-sembunyi, ingin tahu reaksiku. Aku menatap mereka dengan tenang dan tersenyum. Maaf telah mengecewakan kalian, kataku dalam hati, melihat alis mereka bertaut karena heran. Setelah menghadapi goblin pembunuh, redcap, gremlin, prajurit dan faery jahat, kalian tak begitu menakutkan lagi.
Tapi yang membuatku kaget, Angie merengut dan melangkah maju. Hentikan! bentaknya, ketika aku mengenali trio gadis pirang itu dulunya anggota tim pemandu soraknya. Dia baru saja kembali. Jangan ganggu dia.
Mereka menatapnya tak suka. Maaf, muka-babi, apa kau bicara pada kami" tanya satu dari mereka dengan manis. Aku tidak percaya telah berbicara denganmu. Kenapa kau tidak pulang saja bersama jalang kecil dari rawa-rawa ini" Aku yakin dia bisa mencarikanmu tempat di peternakannya.
Dia tak mengerti ucapanmu, tambah yang lain. Kau harus bicara dengan bahasanya. Seperti ini. Dia menguik-nguik dan mendengus seperti babi, dan dua temannya terbahak hingga mata mereka berair. Dengusan melengking menggema di jalan, dan wajah Angie merah padam.
Aku hanya berdiri terpaku. Sungguh aneh melihat gadis paling populer di sekolah akhirnya mengalami hal seperti itu. Tapi naluri berkata bahwa perlakuan ini bukan hal yang baru. Hal ini dimulai di hari Puck menciptakan leluconnya yang kejam, dan yang aku rasakan hanyalah empati. Jika Puck ada di sini, aku akan memelintir tangannya sampai dia mengubah Angie kembali.
Jika dia ada di sini &
Dengan cepat kuusir pikiran itu jauh-jauh. Ji
ka aku memikirkan dirinya, aku akan mulai menangis, dan itu adalah hal terakhir yang ingin kulakukan di depan para pemandu sorak. Aku mengira Angie akan terisak-isak dan pergi. Tapi setelah beberapa saat, dia menghela napas dan berpaling padaku, memutar bola matanya.
Ayo pergi dan sini, bisiknya, menggerakkan kepalanya ke arah tempat parkir yang tak jauh dari kami. Kau sudah pulang ke rumah" Aku bisa mengantarmu jika kau mau.
Um & Terkesiap lagi, aku menatap Ethan. Dia juga menatapku, wajahnya pucat dan lelah. Meskipun enggan, aku ingin membawanya pulang secepat mungkin. Angie terlihat berbeda sekarang, meski aku masih ragu. Aku sempat bertanya-tanya, apakah kemalangan membuat orang menjadi lebih tegar. Baiklah.
* * * DIA banyak bertanya dalam perjalanan pulang: ke mana saja aku selama ini, apa yang membuatku pergi, apa benar aku pergi gara-gara hamil. Aku menjawab sebisaku, tak menyebut tentang faery pembunuh tentu saja. Ethan meringkuk di sebelahku, terlelap, dan setelahnya hanya dengkuran pelannya yang terdengar selain deru mesin mobil.
Akhirnya Angie berbelok menyusur jalan berbatu yang familiar, dan perutku melilit karena gugup ketika membuka pintu, membawa Ethan keluar. Matahari sudah terbenam, kicau seekor burung hantu terdengar di atas. Di kejauhan, lampu beranda bersinar seperti mercusuar di senja hari.
Aku senang sudah diantar pulang. kataku pada Angie, menutup pintu mobilnya. Dia mengangguk, aku mengucapkan dua kata lagi. Terima kasih. Rasa bersalah melanda lagi ketika aku menatap wajahnya. Aku ikut prihatin tentang &kau tahu.
Dia mengedikkan bahu. Tak usah dipikirkan. Aku akan menjalani operasi plastik beberapa minggu lagi. Dokter akan membereskannya. Dia memasukkan gigi, lalu berhenti, menoleh padaku. Kau tahu, ujarnya mengerutkan dahi, aku bahkan tak ingat kenapa bisa begini. Terkadang aku mengira dari dulu sudah seperti ini, kau tahu" Tapi orang-orang menatapku dengan aneh, seolah mereka tidak mengerti. Seakan mereka takut karena aku sangat berbeda. Dia mengerjapkan mata, ada bayangan hitam di bawah matanya. Hidungnya seperti akan lepas dari wajahnya. Tapi kau tahu seperti apa rasanya, kan"
Aku mengangguk, tidak dapat bernapas. Angie mengerjap lagi, seperti baru pertama kali melihatku. Yah, kalau begitu & Sedikit tersipu, dia melambai pada Ethan dan mengangguk cepat ke arahku. Sampai ketemu lagi.
Bye. Aku memandanginya meluncur pergi, lampu belakang mobilnya semakin mengecil hingga sampai di tikungan dan lenyap di baliknya. Malam terasa tiba-tiba gelap dan hening.
Ethan meraih tanganku, aku menunduk menatapnya cemas. Dia masih tak bicara. Adikku ini memang pendiam, tapi aksi tutup mulutnya sedari tadi sangat meresahkan. Kuharap dia tak terlalu trauma dengan apa yang telah dialaminya.
Sudah sampai, sayang. Aku menatap jalan masuk yang terasa jauh. Kau bisa berjalan sendiri"
Meggie" Dengan lega aku menatapnya. Ya"
Apa kau salah satu dari Mereka sekarang"
Aku terkesiap, merasa seolah ditonjok. Apa"
Kau tampak berbeda. Ethan meraba telinganya, menatap telingaku. Dia terisak. Apa kau akan tinggal bersama Mereka"
Tentu tidak. Tempatku bukan bersama Mereka. Aku meremas jemarinya. Aku akan tinggal bersamamu dan Mom dan Luke, seperti dulu.
Orang jahat itu bilang padaku. Dia bilang aku akan melupakan Mereka satu atau dua tahun lagi, aku tak akan bisa melihat Mereka lagi. Apa itu berarti aku akan melupakanmu juga"
Aku berlutut, menatap matanya. Aku tak tahu, Ethan. Tapi kau tahu" Itu tak masalah. Apa pun yang terjadi, kita tetap keluarga, kan"
Dia mengangguk serius, terlalu tua bagi umurnya. Bersama-sama, kami melangkah.
* * * RUMAH semakin besar ketika kami mendekat. Tampak familiar sekaligus asing. Aku melihat truk butut Luke diparkir di depan, dan tirai bunga-bunga Mom melambai-lambai di jendela. Kamarku gelap dan sepi, tapi lampu menyala di kamar Ethan, berkedip-kedip oranye. Perutku bergejolak, memikirkan apa yang tidur di sana. Ada satu lampu menyala di jendela bawah, dan aku mempercepat langkah.
Mom sedang tidur di sofa ketika aku membuka pintu. Televisi
menyala, dan ada satu kotak tisu di pangkuannya, ada satu helai dalam genggamannya. Dia menggeliat ketika aku menutup pintu, tapi sebelum aku sempat mengatakan apa-apa, Ethan merintih, Mommy! dan melompat ke pangkuannya.
Apa" Mom terbangun, kaget mendapati anak kecil gemetaran dalam pelukannya. Ethan" Apa yang kau lakukan di sini" Apa kau bermimpi buruk"
Barulah dia menengadah melihatku, wajahnya memucat. Aku berusaha tersenyum, tapi bibirku tak mau bergerak, dan gumpalan di tenggorokan membuatku tak bisa bicara. Mom bangkit, masih menggendong Ethan, dan kami berpelukan. Aku terisak-isak di lehernya, dia memelukku erat, air matanya membasahi pipiku.
Meghan. Akhirnya dia menarik diri dan menatapku, selain kelegaan, juga ada kemarahan di matanya. Kau ke mana saja" tanyanya seraya mengguncang tubuhku. Kami menyuruh polisi mencarimu, detektif, seluruh penduduk kota. Tak seorang pun menemukan jejakmu, aku sangat khawatir. Ke mana saja kau pergi selama tiga bulan"
Di mana Luke" tanyaku entah kenapa. Mungkin aku merasa dia tak perlu mendengar semua ini, bahwa ini hanya antara aku dan Mom saja. Aku ingin tahu apakah Luke menyadari kepergianku. Mom mengerutkan dahi, seakan tahu apa yang kupikirkan.
Dia di atas, sudah tidur, jawabnya, melangkah mundur. Aku akan membangunkannya, memberitahukan kepulanganmu. Setiap malam selama tiga bulan ini dia membawa truknya menyusuri jalan-jalan kecil terpencil mencarimu. Kadang-kadang dia tak pulang sampai pagi.
Tertegun, aku mengerjap-ngerjap menghalau air mata. Mom menatapku galak, tatapan yang biasanya kudapatkan sebelum dihukum. Tunggu di sini sampai aku memanggilnya, dan setelah itu, Nona muda, kau ceritakan ke mana saja kau selama ini sementara kami hampir gila mencemaskanmu. Ethan, sayang, ayo kembali ke kamar.
Tunggu, seruku ketika dia berbalik, Ethan masih memegangi jubah tidurnya. Aku ikut denganmu. Ethan, juga. Kurasa semua harus mendengar ini.
Mom ragu, menatap Ethan, tapi akhirnya mengangguk. Kami melangkah bersama ketika suara di atas tangga mengagetkan kami.
Changeling itu berdiri di sana, matanya menyipit, bibirnya melipat, menggeram. Dia mengenakan piyama kelinci milik Ethan, tangan kecilnya mengepal marah. Ethan yang asli gemetar ketakutan, menempel di tubuh Mom, menyembunyikan wajahnya. Mom terkesiap, tangan menutup mulutnya, ketika changeling mendesis marah padaku.
Sialan kau! dia berteriak, mengentakkan kaki di lantai. Bodoh, gadis bodoh! Kenapa kau membawanya kembali" Aku benci kau! Aku benci kau! Aku
Asap mengepul di kakinya, dan changeling itu meraung. Tubuhnya meliuk-liuk, lalu lenyap ke balik asap, makiannya semakin pelan, dan akhirnya lenyap sama sekali.
Aku mengizinkan diriku tersenyum penuh kemenangan.
Mom menurunkan tangan. Saat berpaling padaku lagi, aku melihat pemahaman di matanya, dan ketakutan yang amat sangat. Aku mengerti, dia berbisik, melirik Ethan. Dia gemetaran, wajahnya pucat. Mom tahu. Dia tahu tentang Mereka.
Aku terpaku menatapnya. Berbagai pertanyaan muncul, bercampur aduk, terlalu kacau untuk diucapkan. Mom terlihat berbeda sekarang, rapuh dan ketakutan, sama sekali bukan Mom yang kukenal selama ini. Kenapa kau tak memberitahuku"
Mom duduk di sofa, menarik Ethan bersamanya yang langsung merapat di pinggangnya seakan tak mau melepaskan Mom lagi. Meghan, aku &Kejadiannya bertahun-tahun lalu, ketika aku bertemu &dia &ayahmu. Aku hampir tak mengingatnya lebih mirip mimpi daripada kenyataan. Dia tak menatapku selagi bicara, hanyut dalam dunianya. Aku bertengger di lengan kursi sementara dia terus bercerita dengan suara pelan.
Selama berbulan-bulan aku meyakinkan diriku bahwa itu tak terjadi. Semua itu tak tampak nyata, apa yang kami lakukan, hal-hal yang dia perlihatkan kepadaku. Hanya sekali itu, dan aku tak pernah melihatnya lagi. Ketika aku hamil, aku gugup, tapi Paul sangat bahagia. Dokter pernah mengatakan bahwa kami tak bisa memiliki anak.
Paul. Benakku bereaksi aneh mendengar nama itu. Seolah aku harusnya mengenalinya. Lalu ucapan Mom menyadarkanku dan membuatku terpukul: Paul adalah ayahku, atau setidaknya sua
mi ibuku. Aku tak mengingatnya sama sekali. Aku tak tahu siapa dirinya, seperti apa dia. Dia pasti meninggal ketika aku masih kecil.
Pikiran itu membuatku sedih, dan marah. Ada satu ayah lagi yang Mom coba sembunyikan dariku.
Lalu kau lahir, lanjut Mom, masih dengan suara menerawang, dan hal-hal aneh mulai terjadi. Aku sering mendapatimu berada di luar boksmu, di lantai, bahkan di luar, meskipun kau belum bisa berjalan. Pintu terbuka dan tertutup sendiri. Barang-barang hilang, dan muncul lagi di tempat yang tak disangka-sangka. Paul menganggap rumah kita ada hantunya, tapi aku tahu Mereka mengintai kita. Aku bisa merasakan kehadiran Mereka meskipun tak bisa melihatnya. Aku ketakutan. Aku khawatir Mereka mengejarmu, dan aku tak bisa memberitahu suamiku apa yang sebenarnya terjadi.
Kami memutuskan pindah, dan untuk sementara semua berjalan normal. Kau tumbuh menjadi anak normal dan bahagia, dan aku mengira semua sudah berlalu. Lalu & suara Mom bergetar, matanya berair. Lalu ada terjadi insiden di taman itu, dan aku tahu Mereka telah menemukan kita lagi. Setelah itu, setelah semuanya mereda, kita pindah ke sini, dan aku bertemu Luke. Kau sudah tahu kelanjutannya.
Aku mengerutkan dahi. Aku ingat taman itu, pohon-pohonnya yang tinggi dan kolam hijau kecilnya, tapi aku tak ingat insiden di taman yang Mom bicarakan. Sebelum aku bisa bertanya, Mom mencondongkan badan dan menggenggam tanganku.
Aku ingin sekali memberitahumu sejak dulu, bisiknya, matanya melebar dan berair. Tapi aku takut. Bukan takut kau tak percaya, tapi takut kau memercayainya. Aku ingin kau memiliki kehidupan normal, tidak hidup dalam ketakutan akan Mereka, setiap hari terbangun khawatir Mereka akan menemukanmu.
Semua itu tak berguna, kan" Suaranya terdengar serak dan parau. Kemarahanku memuncak, aku menatapnya berang. Tidak hanya Mereka menemukanku, tapi Ethan juga ikut terkena akibatnya. Apa yang akan kita lakukan sekarang, Mom" Melarikan diri, seperti sebelumnya" Kau lihat sendiri seperti apa hasilnya.
Mom bersandar kembali, memeluk Ethan dengan protektif. Aku &aku tak tahu, katanya terbata-bata, mengusap matanya, dan aku merasa bersalah. Mom telah mengalami hal yang sama denganku. Kita akan memikirkannya nanti. Sekarang ini aku senang sekali kau selamat. Kalian berdua.
Mom tersenyum ragu padaku, aku membalasnya, meskipun aku sadar semua ini belum berakhir. Kami tak bisa mengubur kepala di dalam tanah dan berpura-pura tak ada fey di luar sana. Machina mungkin sudah mati, tapi Kerajaan Besi akan terus tumbuh, meracuni Nevernever, sedikit demi sedikit. Tidak mungkin menghentikan kemajuan teknologi. Entah bagaimana aku tahu kami takkan bisa meloloskan diri dari mereka. Melarikan diri tak ada gunanya mereka terlalu keras kepala dan gigih. Mereka bisa menyimpan dendam selamanya. Cepat atau lambat, kami harus berhadapan dengan fey sekali lagi.
Tentu saja, hal itu ternyata lebih cepat daripada yang kuperkirakan.
* * * ETHAN, kata mom setelahnya, ketika adrenalinnya mereda dan rumah kembali hening, maukah kau naik ke atas dan membangunkan Daddy" Dia pasti ingin tahu kalau Meghan sudah pulang. Setelah itu kau bisa tidur di kamar kami jika kau mau.
Ethan mengangguk, tapi saat itu juga pintu depan berderit terbuka, dan angin dingin berembus ke dalam rumah. Cahaya bulan di balik pintu berpendar dan menjelma menjadi sesuatu yang solid dan nyata.
Ash melewati ambang pintu.
Mom tak mengangkat wajah, tapi Ethan dan aku terlompat sementara jantungku berdebar kencang. Ash terlihat berbeda, luka dan bekas terbakarnya sudah sembuh, rambutnya tergerai halus membingkai wajahnya. Dia mengenakan celana sederhana berwarna gelap dan kemeja putih, pedang ada di pinggangnya. Tetap berbahaya. Tetap tidak manusiawi dan mematikan. Tetap makhluk paling rupawan yang pernah kulihat. Mata merkurinya menatap mataku, dan dia menelengkan kepala.
Sudah waktunya, dia menggumam.
Aku menatapnya, tak langsung mengerti ucapannya. Lalu aku tersadar. Oh, Tuhan. Kontrak itu. Dia datang untuk membawaku ke Istana Musim Dingin.
Meghan" Mom menatapku lalu pintu, tak melihat sa
ng pangeran. Tapi wajahnya tegang; dia tahu ada sesuatu di sana. Apa yang terjadi" Siapa di sana"
Aku tak bisa pergi sekarang, pikirku marah. Aku baru saja pulang! Aku ingin menjadi normal; aku ingin pergi ke sekolah, belajar menyetir dan pergi ke pesta prom tahun depan. Aku ingin melupakan kalau faery itu ada.
Tapi aku telah berjanji. Dan Ash sudah memenuhi kontraknya, meskipun dia nyaris mati karenanya.
Ash menunggu dengan tenang, matanya tak beralih dariku. Aku mengangguk dan berpaling pada keluargaku.
Mom, aku berbisik, duduk di sofa, aku &aku harus pergi. Aku telah berjanji pada seseorang bahwa aku akan tinggal bersama Mereka untuk sementara waktu. Kumohon jangan cemas atau sedih. Aku akan kembali, aku janji. Tapi ini sesuatu yang harus aku lakukan, kalau tidak Mereka akan datang mencarimu atau Ethan lagi.
Meghan, jangan. Mom mencengkeram tanganku, meremasnya dengan keras. Kita bisa melakukan sesuatu. Pasti ada jalan untuk &membuat Mereka pergi. Kita bisa pindah, kita semua. Kita
Mom. Aku membiarkan glamour-ku lenyap, memperlihatkan rupaku yang sebenarnya padanya. Kali ini tidak sulit untuk memanipulasi glamour yang mengitariku. Seperti akar-akar di kerajaan Machina, hal ini terasa begitu alami hingga aku pun heran kenapa pernah kesulitan melakukannya. Mata Mom membelalak, dia menarik tangan, memeluk Ethan erat-erat. Aku salah satu dari Mereka sekarang, aku berbisik. Aku tak bisa lari dari semua ini. Mom seharusnya tahu itu. Aku harus pergi.
Mom tak menjawab. Dia terus memandangku dengan tatapan yang merupakan perpaduan antara rasa sedih, bersalah, dan ngeri. Aku mendesah dan bangkit, membiarkan glamourmenyelubungiku lagi. Rasanya seperti menanggung beban seluruh dunia di pundakku.
Siap" Ash menggumam, aku berhenti, mendongak ke arah kamarku. Apa aku ingin membawa sesuatu" Aku punya pakaian, musik, barang pribadi yang aku kumpulkan selama enam belas tahun kehidupanku.
Tidak. Aku tidak membutuhkannya. Meghan yang itu tidak ada lagi, itu pun jika dia pernah ada. Aku harus mencari tahu siapa sebenarnya diriku. Jika aku bisa kembali. Melirik Mom yang masih membeku di sofa, aku bertanya-tanya apakah tempat ini akan menjadi rumahku lagi.
Meggie" Ethan meluncur turun dari sofa, berderap ke arahku. Aku berlutut, dan dia memeluk leherku sekuat yang bisa dilakukan anak berusia empat tahun.
Aku takkan lupa, dia berbisik, dan aku tercekat. Sambil berdiri, aku mengacak-acak rambutnya dan berpaling pada Ash yang masih berdiri diam di dekat pintu.
Kau sudah membawa semua" dia bertanya ketika aku menghampiri. Aku mengangguk.
Semua yang kubutuhkan, aku menggumam. Ayo pergi.
Ash membungkuk hormat, bukan padaku, tapi pada Mom dan Ethan lalu melangkah keluar. Ethan terisak keras dan melambai, berusaha menahan tangis. Dan aku tersenyum, melihat emosi mereka sama jelasnya dengan lukisan yang rendah: biru sedih, hijau zamrud harapan, merah menyala cinta. Kami semua terhubung, semuanya. Tak satu pun, baik fey, dewa, maupun makhluk abadi lainnya yang bisa memutuskan ikatan itu.
Aku melambai ke Ethan, mengangguk memaafkan ke Mom, lalu menutup pintu, mengikuti Ash memasuki cahaya bulan yang keperakan.
====SELESAI==== Thanks to. Kumpulan Novel Online Bahasa Indonesia at facebook.
Pembuat ebook: Desy Rachmaindah (Echi) https://desyrindah.blogspot.com
!@#$%^&*() Sumpah Palapa 3 Jelihim Sang Pembebas Karya Syam Asinar Radjam Raja Pedang 9

Cari Blog Ini