The Name Of The Rose Karya Umberta Eco Bagian 13
Sepanjang satu sisi dinding aku menemukan sebuah rak buku, secara ajaib masih tegak, entah bagaimana bisa lolos dari api; sudah hancur oleh air dan dimakan rayap. Di dalamnya masih ada beberapa halaman. Sisa-sisa lainnya kutemukan dengan mengorek puing di bawah. Panenanku sedikit, tetapi aku menghabiskan seluruh hari untuk menuainya, seakan ada pesan yang mungkin sampai kepadaku dari disiecta membra.[Anggota perpustakaan yang tercincang-cincang itu- penerj.] Beberapa potongan perkamen sudah memudar, lainnya masih tampak gambar bayangannya, atau hantu dari satu kata atau lebih. Berkali-kali aku menemukan halaman di mana seluruh kalimat bisa dibaca; lebih sering lagi, buku utuh, dilindungi oleh apa yang dulunya paku paku metal ....
Hantu-hantu buku, bagian luarnya jelas utuh, tetapi dalamnya hancur; kadang ada separuh halaman yang selamat, sepotong kalimat pembuka, sebuah judul, masih bisa dibaca.
Aku mengumpulkan setiap relikui yang bisa kutemukan, memenuhi dua tas perjalananku dengan itu semua, benda-benda terbuang yang berguna bagiku dengan tujuan menyelamatkan harta menyedihkan itu.
Sepanjang perjalanan dan di Melk kelak, aku menghabiskan banyak waktu untuk mencoba memecahkan isi sisa-sisa itu. Dari satu kata atau gambar yang masih ada, aku bisa mengenali dulunya itu buku apa. Setelah kutemukan, tanpa ragu, salinan lainnya dari buku-buku tersebut, aku mempelajarinya dengan penuh cinta, seakan nasib telah mewariskan pusaka ini kepadaku, seakan keberhasilan mengidentifikasi salinan rusak itu adalah tanda jelas dari surga yang mengatakan
kepadaku: Tolle et lege.[Ambil dan bacalah- penerj.] Pada akhir rekonstruksiku yang sabar itu, di depanku tertata semacam perpustakaan yang lebih kecil, suatu simbol dari perpustakaan lebih besar, yang sudah musnah: suatu perpustakaan yang terdiri atas potongan-potongan, kutipan, kalimat-kalimat tak selesai, tumpukan buku yang tidak lengkap.
Semakin kubaca lagi daftar ini, aku semakin yakin ini adalah hasil dari suatu kebetulan dan tidak berisi pesan apa-apa. Tetapi halaman-halaman tidak lengkap ini telah menemaniku sepanjang hidup yang masih bisa kujalani sejak itu; aku sudah sering mencari keterangan dari situ bagaikan suatu orakel, dan aku hampir punya kesan bahwa apa yang sudah kutulis dalam buku ini, yang sekarang sedang Anda baca, pembaca tak dikenal, hanya suatu cento, suatu himne bergambar, suatu akrostik luas sekali
yang tidak mengatakan dan mengulangi apa-apa kecuali kesan yang diberikan oleh potongan-potongan itu kepadaku, aku juga tidak tahu apakah sejauh ini aku telah berbicara tentang mereka atau mereka telah bicara lewat mulutku. Tetapi yang mana saja dari kedua kemungkinan itu boleh jadi betul, semakin banyak aku mengulangi dalam hati kisah yang muncul dari itu semua, semakin sedikit aku berhasil memahami apakah di dalamnya ada suatu rancangan yang terjadi di luar urutan alami
kejadian-kejadian dan waktu yang menghubungkan semua itu. Dan adalah hal yang berat bagi rahib tua ini, di ambang kematian, karena tidak tahu apakah karya yang telah ia tulis berisi satu makna tersembunyi, atau lebih dari satu, atau sama sekali tidak ada.
Tetapi ketidakmampuanku untuk melihatnya mungkin merupakan efek dari bayangan yang oleh kegelapan hebat itu, saat mendekat, mulai diselu-bungkan pada dunia yang sudah tua ini.
Est ubi gloria nunc Babyloniae"[Di manakah sekarang kemuliaan Babylonia"- penerj.] Di mana salju dari tahun lalu" Bumi mulai menarikan dansa Macabre; berkali-kali aku melihat seakan Danube dipenuhi kapal-kapal yang sarat dengan orang-orang tolol yang mau pergi ke suatu tempat gelap.
Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah diam. O, quam salubre, quam iucundum et suave est sedere in solitudine et tacere et loqui cum Deo![Oh, betapa membahagiakan, betapa nyaman, dan betapa manis duduk dalam kesunyian dan diam dan bicara dengan Tuhan- penerj.] Tidak lama lagi aku akan digabungkan dengan asal mulaku, dan aku tidak peduli lagi apakah yang dibicarakan Abbas dari ordoku itu Tuhan kemuliaan, atau Tuhan kegembiraan, seperti keyakinan rahib Minorit pada masa itu, mungkin bahkan bukan Tuhan kesalehan. Gott ist ein lauter Nichts, ihn ruhrt kein Nun noch Hier ....[Tuhan adalah suatu ketiadaan belaka, tidak berada di Sana dan tidak di Sini .... -penerj.] Tidak lama lagi aku akan memasuki padang gurun luas ini, benar-benar datar dan tak berbatas, ketika hati yang sungguh saleh akan bermandi kesucian. Aku akan tenggelam
ke dalam bayangan suci, dalam suatu keheningan bisu dan suatu persatuan yang tak terelakkan, dan pada waktu tenggelam ini, semua ketidaksetaraan dan semua kesetaraan akan lenyap, dan dalam jurang itu, jiwaku akan lepas sendiri, dan tidak akan tahu mana yang setara atau mana yang tidak setara, atau apa saja lainnya: dan semua perbedaan akan dilupakan. Aku akan berada dalam suatu dasar sederhana, dalam padang gurun sunyi di mana tidak pernah tampak perbedaan, dalam keleluasaan pribadi di mana tak seorang pun menemukan dirinya dalam tempatnya yang layak. Aku akan jatuh ke dalam ketuhanan yang sunyi dan tak berpenghuni di mana tidak ada karya dan tidak ada gambar.
Hawanya dingin dalam skriptorium itu, ibu jariku sakit. Aku meninggalkan naskah ini, aku tidak tahu untuk siapa; aku tidak tahu lagi apa isinya: stat rosa pristina nomine, nomina nuda tenemus.[Ada mawar dengan sebutan yang terdahulu, kami memegang nama-nama telanjang- penerj.] []
Catatan Terakhir Rosa que al prado, encarnada te os ten tas presuntuosa de qrana y carmin banada: campa lozana y qustosa: pero no, que siendo hermosa tambien seras desdichada.
Mawar merah yang tumbuh di padang rumput,
kausombongkan diri dengan berani,
bermandi warna merah padam dan merah tua:
suatu peragaan yang elok nan wangi.
Tetapi, astaga: karena cantik,
tak lama lagi kau akan tidak bahagia.
Juana Ines de la Cruz [Penyair lirik Meksiko (1651-1695).]
Judul dan Artinya Sejak The Name of the Rose terbit, saya sudah menerima sejumlah surat dari pembaca yang ingin mengetahui arti dari tujuh anak kalimat terakhir itu
dan apa tujuh anak kalimat tersebut mengilhami judul buku ini. Saya menjawab bahwa puisi itu diambil dari De contemptu mundi karya Bernard dari Morley, seorang rahib Benediktin abad kedua belas, yang puisinya merupakan satu variasi tentang tema ubi sunt (paling dikenal baik dalam karya Villon Mais ou sont les neiges d'antan yang lebih baru). Tetapi topo yang biasa (yang hebat dari abad lalu, kota-kota yang pernah terkenal, putri-putri cantik:
segala sesuatunya lenyap ke dalam alam hampa), Bernard menambahkan bahwa semua ini benda-benda sudah-lenyap yang meninggalkan (hanya, paling banter) nama-nama belaka. Saya ingat bahwa Abelard menggunakan contoh dari kalimat Nulla rosa est untuk menunjukkan bagaimana bahasa bisa bicara tentang yang tidak-ada sekaligus tentang yang-telah-musnah.
Dengan mengatakan ini, saya persilakan pembaca menarik kesimpulan sendiri.
Seorang narator tidak seharusnya memberikan interpretasi atas karyanya; kalau tidak, ia tidak mungkin menulis sebuah novel, yang merupakan suatu alat untuk merangsang interpretasi. Tetapi salah satu halangan utama untuk mempertahankan prinsip saleh ini adalah kenyataan bahwa sebuah novel harus punya judul.
Sebuah judul, sayangnya, dengan sendirinya sebuah kunci untuk menafsirkan. Kita tidak bisa menghindari pandangan yang dirangsang oleh novel The Red and the Black karya Stendhal atau War and Peace karya Leo Tolstoy. Yang menunjukkan
gambaran paling jelas bagi pembaca adalah judul-judul yang membatasi dirinya pada nama tokoh utamanya, misalnya saja David Copperfield atau Robinson Crusoe; tetapi acuan kepada tokoh yang kemudian menjadi judul ini justru dapat mewakili suatu campur tangan tidak seharusnya dari pengarang. Pere Goriot membuat pembaca memusatkan perhatiannya kepada figur ayah tua itu, meskipun novel tersebut juga menceritakan kisah Rastinac; atau kisah Vautrin, alias Collin. Mungkin cara yang terbaik adalah bertindak tidak jujur secara jujur, sebagaimana halnya Dumas: jelas bahwa The Three Musketeers adalah, nyatanya, kisah tentang empat tokoh. Tetapi novel dengan tokoh sebanyak itu langka, dan mungkin pengarang itu justru membiarkan dirinya menikmatinya hanya karena judulnya tidak cocok dengan isinya.
Novel saya punya judul lain yang lebih jelas, yaitu The Abbey of the Crime. Saya tidak menyukainya karena ini membuat perhatian pembaca sepenuhnya memusat kepada kisah misteri dan mungkin salah memikat dan pembeli yang salah mengerti akan mencari sebuah buku penuh aksi. Saya berangan-angan untuk menyebut buku itu Adso of Melk sebuah judul yang sungguh netral, karena Adso, bagaimanapun juga, adalah suara yang bercerita. Tetapi di negeri saya, penerbit tidak menyukai judul dengan nama-nama orang, dan bahkan Fermo and Lucia[Judul asli dari versi pertama novel Manzoni adalah I promessi sposi (Sang Tunangan).], pada zamannya, ditulis kembali dalam bentuk yang lain. Di lain pihak, fiksi
Italia memberikan beberapa contoh judul semacam ini Lemmonia Boreo, Rube, Metello cuma sedikit dibandingkan dengan literatur yang memakai nama orang sebagai judul seperti Cousin Bettes, Barry Lyndons, Armances, dan Tom Jones.
Gagasan untuk menyebut buku ini The Name of the Rose pada dasarnya saya peroleh secara kebetulan, dan saya menyukainya karena rose (mawar) merupakan suatu figur simbolik yang begitu kaya arti sehingga sekarang orang hampir tidak dapat menambah arti lagi: mawar mistik Dante dan go lovely rose, the Wars of the Roses, rose thou art sick, too many rings around Rosie, a rose by any other name,[Anehnya di Amerika dan Kerajaan Inggris, puisi Latin itu mengingatkan banyak pengulas akan Romeo and Juliet. Aneh, karena saya rasa kata-kata Juliet itu seakan berlawanan dengan kata-kata Bernard. Shakespeare memberi kesan bahwa nama tidak ada artinya dan tidak memengaruhi substansi benda itu sendiri. Bernard mungkin telah sepakat dengan Shakespeare bahwa nama hanya label embelembel, tetapi bagi rahib Benediktin itu apa masih ada dari mawar (andaikan ada) sebenarnya (") yang tepatnya adalah nama magis, menakjubkan, kuat, cepat memudar ini,] a rose is a rose is a rose is a rose, the Rosicrucians. Judul itu tentu saja membingungkan pembaca, yang tidak bisa memilih satu interpretasi saja; dan bahkan jika bisa menangkap yang semu dari puisi penutup buku ini, maka ia baru akan sampai kepada tafsiran pada akhir buku ini, karena sebelumnya merasa bahwa hanya Tuhan yang tahu pilihan yang lainnya.
Sebuah judul harus menjungkirbalikkan pikiran pembaca, tidak membuat mereka berpikir lurus-lurus. Bagi penulis novel, tid
ak ada yang lebih melegakan daripada penemuan pembacaan yang belum ia
ketahui tetapi yang kemudian dianjurkan oleh pembacanya. Waktu saya menulis buku-buku teori, saya bersikap menghakimi pengulas: Apa mereka sudah atau belum memahami maksudku" Dengan sebuah novel, situasinya betul-betul berbeda.
Bukannya saya mengatakan bahwa pengarang tidak mungkin menemukan pembacaan yang ternyata buruk; tetapi bahkan jika terjadi begitu, ia harus tetap diam saja, dan membiarkan orang lain menantangnya, langsung dari teks. Untuk itu, mayoritas besar pembacaan mengungkapkan efek rasa yang belum pernah ia pikirkan. Tetapi apa arti dari belum pernah memikirkan itu" Seorang ilmuwan Prancis, Mireille Calle Gruber, telah menemukan paragram atau perubahan huruf secara halus yang mengaitkan kata simple (dalam artian orang biasa/miskin) dengan simples (dalam artian tanaman obat); dan kemudian ternyata saya bicara tentang "intisari" tindakan bidah. Saya dapat menjawab bahwa istilah "simple", dalam kedua pemakaian, berulang kali dipakai dalam khazanah sastra periode itu, seperti halnya "mala pianta" intisari, atau jamu beracun, dari tindakan bidah itu. Lebih jauh lagi, saya betul-betul memahami contoh dari Greimas tentang kemungkinan pembacaan ganda (pakar semiotik menyebutnya "isotopi ganda") yang terjadi kalau herbalis itu diacu sebagai seorang "teman orang biasa". Apa saya tahu bahwa saya main-main dengan paragram" Ini tidak penting untuk dijawab sekarang: teks itu sudah jadi dan menghasilkan efek pengertiannya sendiri. Ketika membaca
ulasan-ulasan novel itu, saya merasakan suatu getar kepuasan sewaktu menemukan seorang kritisi (yang pertama adalah Ginevra Bompiani dan Lars Gustaffson) yang mengutip komentar yang dikemu-kakan William pada akhir pengadilan itu (lih. him. 449). "Dalam hal kesucian, apa yang paling Anda takuti"" tanyaku. Dan William menjawab, "Keterge-saan." Saya sangat menyukai dan tetap menyukai kedua baris itu. Tetapi kemudian seorang pembaca menunjukkan kepadaku bahwa pada halaman berikutnya, Bernard Gui, sambil mengancam akan menyiksa Kepala Gudang itu, berkata, "Keadilan tidak diilhami oleh ketergesaan, seperti pendapat para Rasul Palsu itu, dan keadilan Tuhan sudah dibagikan selama berabadabad." Dan pembaca berhak menanyakan kepada saya hubungan apa yang ingin saya buat di antara kegopohan yang ditakuti oleh William, dan tidak adanya ketergesaan yang dipuji oleh Bernard. Pada titik ini saya menyadari bahwa telah terjadi sesuatu yang mengganggu. Percakapan antara Adso dan William tidak ada dalam naskah itu. Saya menambahkan dialog pendek ini dalam pruf lepas, karena alasan memperindah: saya perlu menyelipkan sedikit waktu luang sebelum menyerahkan acara itu kepada Bernard lagi. Dan tentu saja, waktu aku membuat William enggan menerima ketergesaan (dan dengan keyakinan besar, yang merupakan alasan mengapa saya lalu amat menyukai komentar itu), saya benar-benar lupa bahwa, tidak lama kemudian, Bernard bicara tentang ketergesaan. Jika Anda
membaca pidato Bernard tanpa kata-kata William, ini sekadar menjadi ungkapan yang stereotip, macam kata yang kita harapkan dari seorang hakim, suatu hal umum tentang perintah yang berbunyi : "Semua setara di depan hukum." Astaga, ketika dijajarkan dengan ketergesaan yang disebutkan oleh William, ketergesaan yang disebutkan Bernard secara harfiah menciptakan suatu efek pengertian; dan tidak salah kalau pembaca membayangkan apakah kedua orang itu mengucapkan hal yang sama, atau apakah keseganan akan ketergesaan yang diungkapkan oleh William itu secara tak sengaja berbeda dari keseganan akan ketergesaan yang diungkapkan oleh Bernard. Teks itu sudah jadi, dan menghasilkan efeknya sendiri. Apakah saya menginginkan seperti ini atau tidak, sekarang kita dihadapkan dengan suatu pertanyaan, suatu provokasi membingungkan; dan saya sendiri merasa malu menafsirkan konflik ini, meskipun saya menyadari bahwa ada suatu arti yang melekat di sana (mungkin juga banyak arti yang seperti itu).
Pengarang seharusnya mati begitu selesai menulis. Dengan begitu ia tidak akan merusak jalannya naskah.
Pen ceritaan Prosesnya Pengarang tidak boleh membuat interpretasi. Tetapi ia boleh menceritakan mengapa dan bagaimana ia menulis bukunya. Yang disebut naskah puitika tidak selalu berguna untuk memahami karya yang mengilhami naskah-naskah itu, tetapi membantu
kita untuk memahami caranya mengatasi masalah teknis yang muncul dari suatu karya.
Poe, dalam karyanya "Philosophy of Composition", menceritakan bagaimana ia menulis "The Raven". Ia tidak memberi tahu kita cara membaca itu, tetapi masalah apa yang ia taruh sendiri dalam rangka mencapai suatu efek puitika. Dan menurut saya, efek puitika dapat dijelaskan sebagai kapasitas yang ditunjukkan oleh suatu naskah agar bisa terus-menerus merangsang pembacaan yang berbedabeda, tanpa pernah sepenuhnya habis.
Penulis (atau pelukis, atau pemahat, atau komponis) selalu tahu apa yang tengah ia kerjakan dan berapa besar upayanya. Ia tahu bahwa ia harus menyelesaikan suatu masalah. Mungkin data aslinya tidak jelas, menegangkan, obsesif, tidak lebih dari sekadar kerinduan atau suatu memori. Tetapi kemudian masalah itu diselesaikan di atas meja tulis penulis itu sementara ia bergulat dengan bahan yang sedang ia kerjakan bahan yang mengungkapkan hukumnya sendiri, tetapi bersamaan dengan itu berisi renungan kebudayaan yang mengisinya (gema dari intertekstualitas).
Kalau pengarang menceritakan kepada kita bahwa ia bekerja dalam kegairahan inspirasi, ia bohong. Genius adalah satu persen inspirasi dan sembilan puluh sembilan persen perspirasi (peluh).
Waktu membicarakan tentang sepotong puisinya, saya lupa yang mana, Lamartine mengatakan bahwa puisi itu muncul dalam benaknya dalam sekilas saja, pada suatu malam penuh badai, di
sebuah hutan. Waktu ia meninggal, naskah-naskah itu ditemukan, dengan revisi dan berbagai variasi; dan puisi itu terbukti menjadi yang paling "berhasil" dalam khazanah sastra Prancis.
Kalau penulis (atau seniman pada umumnya) mengatakan bahwa ia telah bekerja tanpa memikirkan aturan prosesnya, ia sekadar bermaksud mengatakan bahwa pada saat bekerja ia tidak menyadari bahwa ia tahu aturan itu. Seorang anak kecil bicara dalam bahasa ibunya dengan lancar, meskipun ia tidak pernah bisa menuliskan tata bahasanya. Tetapi pakar tata bahasa bukan satu-satunya yang tahu aturan bahasa itu; aturan itu sudah dikenal baik, meskipun secara tidak disadari, juga bagi anak itu. Pakar tata bahasa adalah sekadar seseorang yang tahu cara dan mengapa anak itu menguasai bahasa tersebut.
Dengan menceritakan caranya menulis sesuatu tidak berarti Anda mau membuktikan bahwa itu ditulis "dengan baik". Poe mengatakan bahwa di satu pihak ada efek karya itu, dan di lain pihak ada pengetahuan tentang proses itu. Waktu Kandinsky dan Klee menceritakan bagaimana mereka melukis, tidak seorang pun mengatakan bahwa ia lebih baik daripada yang lain Waktu Michelangelo mengatakan bahwa memahat sama dengan membebaskan bentuk yang sudah digambarkan di dalamnya dari balok batu itu, ia tidak mengatakan bahwa Pieta Vatikan lebih bagus daripada karya Rondanini. Buku-buku tentang proses artistik yang paling banyak dihiasi gambar kadang-kadang sudah ditulis
oleh seniman minor selama ini, yang memperoleh
efek sedang-sedang saja, tetapi tahu caranya
merenungkan proses mereka sendiri: Vasari, Horatio Greenough, Aaron Copland.
Asli, Abad Pertengahan Saya menulis sebuah novel karena punya hasrat besar untuk melakukannya. Saya yakin ini alasan yang cukup untuk mulai menceritakan suatu kisah. Pada dasarnya manusia adalah seekor binatang yang suka bercerita. Saya mulai menulis pada Maret 1978, terdorong oleh suatu ide yang punya kemungkinan untuk berkembang. Saya merasa ingin meracuni seorang rahib. Saya percaya bahwa sebuah novel selalu lahir dari suatu ide semacam ini: selebihnya isinya ditambah-tambah sepanjang jalan. Ide itu tentunya justru datang lebih awal lagi. Kelak, saya menemukan sebuah buku catatan bertahun 1975 yang di dalamnya saya sudah menuliskan suatu daftar rahib dalam suatu biara entah apa. Cuma itu. Mulanya saya membaca buku Orfila, Traite des poisons yang sudah saya beli dua puluh
tahun sebelumnya di toko buku dekat Seine, murni karena loyalitas kepada Huysmans (La-bas.). Karena tidak satu pun racun itu yang memuaskan diriku, saya minta seorang teman yang pakar biologi untuk menyarankan suatu racun yang memiliki unsur-unsur tertentu (kemungkinan meresap pada kulit kalau disentuh). Saya langsung merobek surat jawabannya, karena menjawab bahwa ia tidak tahu racun yang akan memenuhi kebutuhanku: itu suatu
dokumen yang, kalau dibaca dalam konteks lain, akan membawa ke tiang gantungan.
Awalnya rahib-rahib saya akan tinggal dalam suatu biara kontemporer (dalam pikiran saya terbayang seorang rahib penyelidik yang membaca halaman surat kabar sayap-kiri II Manifesto di Italia bahkan kiri punya kebidahan sendiri). Tetapi, dalam setiap biara atau abbey, masih ada kenangan tentang Abad Pertengahan yang tak terhitung jumlahnya, sehingga saya mulai mengobrak-abrik semua arsip saya. Bagaimanapun juga, saya seorang pakar zaman pertengahan yang sedang bertapa (saya telah menerbitkan sebuah buku tentang estetika zaman pertengahan pada 1956, buku seratus halaman lain tentang hal itu pada 1969, kemudian beberapa esai di mana-mana, dan kembali menekuni tradisi zaman pertengahan pada 1962 untuk buku saya tentang Joyce; pada 1972 muncul suatu studi lama tentang Kitab Wahyu dan ilustrasi komentar oleh Beatus dari Liebana[Sebagian dari naskah ini telah diterbitkan dalam terbitan kedua majalah FMR edisi Amerika.] sehingga Abad Pertengahan tetap ada dalam benak saya). Saya membongkar banyak sekali bahan (kartu arsip, fotokopi, catatan), yang saya kumpulkan sejak 1952 dan aslinya dimaksudkan untuk tujuan lain yang masih samar-samar: suatu sejarah tentang monster, atau suatu analisis tentang ensiklopedi zaman pertengahan, atau suatu teori tentang daftar ....[Alamat dari Fakultas Seni pada zaman pertengahan Paris, Rue du Fouarre, seperti disebutkan oleh Dante, Paradise, X, 137 ("Straw Street" dalam terjemahan Sayers-Reynolds).] Pada suatu saat tertentu
saya berkata dalam hati bahwa, karena Abad Pertengahan adalah angan-angan saya dari hari-kehari, saya juga bisa menulis sebuah novel yang benar-benar disusun dalam periode tersebut. Seperti sudah saya katakan dalam wawancara, saya hanya mengenal masa kini lewat layar televisi, sementara saya punya pengetahuan langsung tentang Abad Pertengahan. Waktu kami biasa membuat api unggun di atas rumput di desa, istri saya menuduh bahwa saya tidak pernah mau memerhatikan percikan api yang beterbangan di antara pepohonan dan meluncur sepanjang kawat listrik. Lalu ketika membaca bab tentang kebakaran, ia berkata, "Jadi, kau memang memerhatikan percikan api itu!" Dan saya menjawab, "Tidak, tetapi aku tahu bagaimana cara seorang rahib Abad Pertengahan menyaksikan."
Sepuluh tahun lalu, dalam sepucuk surat dari pengarang kepada penerbit yang mengiringi komentar saya tentang komentar terhadap Apocalypse oleh Beatus dari Liebana, saya mengaku (kepada Franco Maria Ricci): Apa pun cara yang kauambil untuk memerhatikannya, aku sampai pada ilmu pengetahuan dengan menyeberangi hutan-hutan simbolis yang didiami unicorn dan grifon, dan dengan membandingkan konstruksi katedral yang segiempat dan berpuncak-puncak sementara dengan tajam mengejek kejahatan tafsir yang tersembunyi dalam formula tetragonal dari Summulae, sambil berjalan-jalan di antara "Vico de le Strami" dan jalan-tengah gereja Cisterian, melakukan perdebatan dengan
rahib-rahib Cluny yang pandai dan cerdas, di bawah pengawasan seorang Aquinas yang rasionalistik dan gemuk, tergoda oleh Honorius Augustoduniensis, oleh geografinya yang fantastis, yang secara bersamaan menjelaskan quare in pueritia coitus non contingat dan caranya mencapai Lost Island (Pulau yang Hilang) atau bagaimana menangkap seekor kadal kalau kau hanya punya senjata cermin kecil dalam iman yang tak tergoyahkan oleh Iblis.
Selera ini dan hasrat ini tetap saja ada padaku, bahkan jika kelak, karena alasan moral dan juga alasan material (menjadi seorang pakar zaman pertengahan biasanya secara tidak langsung kaya raya dan punya peluang untuk berkelana di antara perpustaka
an-perpustakaan yang jauh, membuat mikrofilm naskahlangka), aku mengejar hal-hal lain. Dan dengan begitu Abad Pertengahan tetaplah, jika bukan pekerjaanku, hobiku dan suatu godaan yang terus menerus: aku menyaksikan periode itu di mana-mana, secara transparan membayangi urus-anku sehari-hari, yang tidak terlihat seperti zaman pertengahan, meskipun memang begitu.
Saat mencuri-curi berlibur di bawah kubah Au-tun, di mana Abbe Grivot sekarang menulis manual tentang iblis, kehadiran mereka disertai bau belerang; ekstase gopoh di Moissac dan Conques, dibuat silau oleh Para Penatua dari Apocalypse atau oleh iblis-iblis yang melemparkan jiwa-jiwa terkutuk ke dalam panci mendidih; dan, bersamaan dengan itu, studi menyegarkan dari rahib Bede yang mendapat pencerahan, hiburan rasional yang
diperoleh di Ockham, untuk memahami misteri Salib di mana Saussure masih samar-samar. Dan seterusnya dan seterusnya, dengan rindu pulang tak ada habisnya untuk Peregrinatio Sancti Brandani, verifikasi pikiran kita yang dilakukan melalui Buku Kells, munculnya kembali Borges dalam kenningars (metafora) orang Keltik, hubungan antara kekuasaan dan massa yang selama ini dibujuk untuk dihentikan terhadap buku harian Uskup Suger ....
Topeng Terus terang, waktu itu saya memutuskan untuk tidak hanya bercerita tentang Abad Pertengahan. Saya memutuskan untuk bercerita dalam Abad Pertengahan, dan melalui mulut seorang penulis kronik zaman itu. Saya bertindak sebagai seorang narator novis, dan di masa lalu saya sudah memandang para narator dari sisi sebaliknya barikade itu. Saya malu bercerita. Saya merasa seperti seorang kritisi drama yang tiba-tiba menunjukkan diri di balik lampu-lampu bawah dan ternyata dirinya diamati oleh mereka yang, sampai saat itu, menjadi anteknya di kursi paling depan.
Mungkinkah untuk mengatakan, "Waktu itu pagi yang indah di akhir November" tanpa merasa seperti Snoopy" Tetapi bagaimana kalau saya menyuruh Snoopy mengatakannya" Jika, yaitu, "Waktu itu pagi yang indah ..." diucapkan oleh seseorang yang mampu mengatakannya, karena pada zamannya masih mungkin, masih bukan barang simpanan lama" Sebuah topeng: itu yang saya
butuhkan. Saya mulai membaca dan membaca lagi kronik-kronik zaman pertengahan, untuk memahami ritme mereka dan kemurnian mereka. Mereka akan bicara atas nama saya, saya akan bebas dari kecurigaan. Bebas dari kecurigaan, tetapi tidak bebas dari gema-gema intertekstualitas.
Jadi, saya menemukan kembali apa yang selalu diketahui oleh penulis (dan sudah berulang kali mengatakan kepada kita): buku selalu bicara tentang buku lainnya, dan setiap kisah menceritakan suatu kisah yang sudah diceritakan. Homer tahu ini, dan Ariosto tahu ini, apalagi Rabelais dan Cervantes. Kisah saya, karenanya, hanya bisa dimulai dengan naskah yang ditemukan itu, dan bahkan ini akan berupa (tentu saja) suatu kutipan. Maka saya langsung menulis pengantar itu, sambil menempatkan narasi saya pada rak keempat suatu almari, di dalam tiga narasi lainnya: Saya akan mengatakan apa yang dikatakan oleh Valet bahwa Mabillon bilang bahwa Adso mengatakan ....
Sekarang saya bebas dari ketakutan apa saja. Dan pada titik ini saya berhenti menulis selama dua belas bulan. Saya berhenti karena menemukan sesuatu yang lain yang sudah saya ketahui (dan setiap orang tahu), tetapi bahwa jadi saya pahami secara lebih jelas sementara bekerja.
Saya menemukan, misalnya, bahwa yang pertama-tama, sebuah novel tidak ada hubungannya dengan kata-kata. Menulis sebuah novel adalah suatu masalah kosmologis, seperti
kisah yang diceritakan oleh Kitab Kejadian (kita semua harus memilih model-model peran kita, begitu kata Woody Allen).
Novel sebagai Peristiwa Kosmologis
Yang saya maksudkan adalah: untuk menceritakan sebuah kisah pertama-tama kau harus membangun sebuah dunia, melengkapinya sebanyak mungkin, sampai ke benda-benda paling kecil. Andai saya harus membangun sebuah sungai, saya akan memerlukan dua tepi sungai; dan andaikan di tepi kiri saya menaruh seorang pemancing ikan, dan andaikan saya harus memberi pemancing itu suatu sifat pemarah dan pernah be
rurusan dengan polisi, maka saya bisa mulai menulis, sambil menerjemahkan ke dalam kata-kata segala sesuatu yang tak pelak lagi bisa terjadi. Apa yang dilakukan orang itu"
Ia memancing ikan (dan mulai dari situ seluruh urutan aksi, sedikit banyak yang merupakan keharusan). Dan kemudian apa yang terjadi" Baik ikan itu tertangkap atau tidak. Jika tertangkap, orang itu menangkapnya dan kemudian pulang ke rumah dengan gembira.
Ceritanya selesai. Jika tidak ada ikan, karena pemarah maka mungkin ia jadi marah. Mungkin ia akan mematahkan pancingnya. Ini tidak banyak; toh ini sudah berupa suatu sketsa. Tetapi ada pepatah Indian yang mengatakan, "Duduklah di tepi sungai dan tunggulah: mayat musuhmu sebentar lagi akan mengapung lewat." Dan bagaimana
seandainya ada mayat terbawa arus karena kemungkinan ini sudah tercakup dalam suatu kawasan intertekstual seperti sebuah sungai" Kita juga harus ingat bahwa orang tadi pernah berurusan dengan polisi. Apa ia mau menanggung risiko mendapat kesulitan"
Apa yang akan ia lakukan" Apa ia akan lari dan pura-pura tidak melihat mayat itu" Apa ia akan merasa rentan, karena ini, bagaimanapun juga, mayat orang yang ia benci" Karena ia pemarah, apa ia akan marah besar karena tidak mampu melampiaskan keinginan besarnya sendiri untuk membalas dendam" Seperti Anda lihat, begitu dunia bentukan seseorang itu dilengkapi sedikit saja, sudah ada awal sebuah cerita. Juga sudah ada awal suatu gaya, karena penantian seseorang yang sedang memancing ikan harus membuatnya mengambil langkah yang berirama, lembut dan pelan, yang seharusnya sabar tetapi juga ditandai oleh kemarahan tidak sabar yang tiba-tiba muncul. Masalahnya adalah membangun dunia itu: kata-kata praktis akan keluar sendiri. Rem tene, verba sequentur: pahami kata-katanya, dan subjeknya akan mengikuti.
Tahun pertama dalam menggarap novel itu sepenuhnya saya kerahkan untuk membangun dunia tersebut. Daftar panjang semua buku yang bisa diperoleh dalam kepustakaan zaman pertengahan. Daftar nama dan data pribadi untuk banyak tokoh, sejumlah dari mereka kelak tidak akan dipakai dalam cerita itu. Dengan kata lain, saya harus tahu siapa
saja rahib yang masih ada, yang tidak muncul dalam buku itu. Pembaca tidak perlu mengenal mereka, tetapi saya harus kenal mereka. Siapa yang pernah bilang bahwa fiksi harus bersaing dengan buku pedoman kota" Mungkin harus bersaing dengan dewan perencana. Oleh karena itu, saya mengadakan penelitian arsitektural yang lama, dengan mempelajari foto-foto dan rancangbangun dalam ensiklopedi arsitektur, untuk menetapkan tata bangunan biara itu, jarak-jaraknya, bahkan jumlah anak tangga dalam suatu tangga melingkar. Sutradara film Marco Ferreri pernah mengatakan kepada saya bahwa dialog saya seperti sebuah film karena panjangnya pas dengan waktu yang dibutuhkan. Ini harus.
Ketika dua tokoh saya berbicara sambil berjalan dari ruang makan ke kloster, saya menulis sambil memandangi rancang-bangun itu hingga saat mereka sampai ke tempat mereka berhenti bicara.
Pengendalian diri perlu diciptakan, dengan tujuan mencipta secara bebas. Dalam puisi, pengendalian diri itu bisa ditetapkan oleh sanjak, suku kata, rima, oleh apa yang selama ini disebut "sanjak yang enak didengar" itu (lihat Charles Olson, "Projective Verse", Poetry New York 3 [1950]). Dalam fiksi, dunia sekitar telah menyediakan kendali itu. Ini tidak ada hubungannya dengan realisme (meskipun menjelaskan realisme juga). Suatu dunia yang sepenuhnya tidak nyata bisa dibangun, yang di dalamnya debu beterbangan dan putri-putri raja dihidupkan kembali oleh suatu ciuman; tetapi dunia
itu, benar-benar dimungkinkan dan tidak realistis, harus ada menurut struktur yang ditetapkan sejak awal (kita harus tahu apakah itu suatu dunia di mana seorang putri raja bisa dihidupkan kembali hanya oleh ciuman seorang pangeran, atau juga oleh ciuman seorang tukang sihir, dan apakah ciuman putri raja hanya mengubah katak menjadi pangeran atau juga, misalnya saja armadilo).
Satu unsur dari dunia saya adalah sejarah, dan itulah sebabnya saya membaca dan membaca lagi begitu banyak kronik Abad Pe
rtengahan; dan ketika membacanya, saya menyadari bahwa novel itu harus meliputi hal-hal yang, pada mulanya, belum pernah terlintas dalam benak saya, misalnya saja perdebatan tentang kemiskinan dan kekejaman Inkuisitor terhadap Fraticelli itu.
Sebagai contoh: mengapa ada Fraticelli pada abad keempat belas dalam buku saya" Jika saya harus menulis cerita zaman pertengahan, seharusnya saya menempatkan cerita itu dalam abad kedua belas atau tiga belas, karena kedua abad itu saya kenal lebih baik daripada abad keempat belas. Tetapi saya memerlukan seorang penyelidik, jika mungkin orang Inggris (kutipan intertekstual), yang amat berbakat mengadakan observasi dan punya kepekaan luar biasa dalam menafsirkan bukti. Kualitas ini hanya dapat ditemukan di kalangan imam Fransiskan, dan hanya setelah Roger Bacon; lebih jauh lagi, suatu teori yang sudah maju tentang tanda yang hanya ditemukan di kalangan pengikut aliran Ockham.
Atau, dapat dikatakan, juga ada sebelumnya, tetapi interpretasi tanda waktu itu hanya bersifat simbolis, dan juga cenderung untuk membaca ide dan pandangan dalam tanda. Hanya di antara Bacon dan Ockham maka tanda itu dipakai untuk mendapatkan pengetahuan dari individu-individu. Jadi, saya harus menempatkan cerita itu dalam abad keempat belas ini amat menjengkelkan karena saya tidak bisa bergerak dengan leluasa dalam masa itu. Saya membaca lebih banyak, dan menemukan bahwa seorang Fransiskan abad keempat belas, bahkan seorang Inggris, tidak bisa mengabaikan perdebatan tentang kemiskinan, terutama jika seorang teman, pengikut, atau kenalan Ockham. (Saya bisa menambah bahwa mula-mula penyelidik itu adalah Ockham sendiri, tetapi gagasan itu saya singkirkan, karena sebagai seorang manusia, Pemula Suci itu tidak terlalu menarik.)
Tetapi mengapa segala sesuatunya terjadi pada akhir November 1327" Karena pada bulan Desember, Michael dari Cesena sudah berada di Avignon. (Ini yang saya maksud memperlengkapi suatu dunia dalam suatu novel historis: beberapa unsur, misalnya saja jumlah anak tangga, bisa ditentukan oleh pengarang, tetapi yang lainnya, misalnya saja gerakan Michael, tergantung pada dunia nyata, yang, dalam macam novel ini, kebetulan cocok dengan dunia yang mungkin dari cerita itu.)
Namun, November terlalu awal. Saya juga butuh babi-babi disembelih. Mengapa" Jawabannya sederhana: untuk memberikan alasan agar mayat itu bisa dibenamkan, dengan kepala di bawah, ke dalam belanga besar berisi darah babi itu. Dan mengapa saya memerlukannya"
Karena sangkakala kedua dari Kitab Wahyu mengatakan .... Bagaimanapun juga, saya tidak bisa mengubah Kitab Wahyu; itu bagian dari dunia ini. Sekarang, ternyata (saya menanyai orang-orang) babi baru disembelih setelah musim dingin tiba, dan November mungkin terlalu awal kecuali saya meletakkan biara itu di pegunungan, sehingga di sana sudah mulai ada salju. Kalau tidak, ceritaku mungkin harus terjadi di dataran rendah, di Pomposa, atau di Conques.
Dunia yang sudah dibangun itu kemudian akan memberi petunjuk kepada kita bagaimana cerita itu harus berlangsung. Setiap orang menanyakan mengapa tokoh saya yang bernama Jorge, namanya memberi kesan Borges, dan mengapa Borges begitu mengerikan. Tetapi saya tidak bisa menjawab. Saya menginginkan seorang lelaki buta yang menjaga sebuah perpustakaan (kelihatannya suatu ide naratif yang bagus buat saya), dan perpustakaan plus orang buta hanya bisa setara dengan Borges, juga karena utang harus dibayar. Dan, lebih jauh lagi, lewat komentar dan gambar yang menerangkan itulah maka Kitab Wahyu memengaruhi seluruh Abad Pertengahan. Namun, ketika saya menaruh Jorge dalam perpustakaan itu, saya belum lagi tahu bahwa dia pembunuhnya. Boleh dikata, dia
bertindak sendiri. Dan tidak boleh dibayangkan bahwa ini suatu posisi yang "idealistik", seakan saya mau mengatakan bahwa tokoh-tokoh itu punya kehidupan swatantra dan pengarang, dalam semacam keadaan kesurupan, menyuruh mereka bertindak seakan mereka sendiri yang mengarahkannya.
Omong kosong semacam itu hanya ada dalam paper semesteran.
Nyatanya, tokoh-tokoh tersebut harus bertindak menurut hu
kum-hukum dunia di mana mereka hidup. Dengan kata lain, narator adalah tawanan dari pikiran dasarnya sendiri.
Yang juga bagus adalah cerita tentang labirin itu. Semua labirin yang pernah saya dengar dan saya sudah punya hasil studi bagus sekali tentang labirin oleh Santarcangeli biasanya di tempat terbuka. Labirin itu bisa teramat rumit dan penuh lorong menyesatkan. Tetapi saya membutuhkan suatu labirin di dalam gedung (apa ada perpustakaan di udara terbuka"), dan jika akan terlalu rumit, dengan terlalu banyak gang dan ruang bagian dalam, maka sirkulasi udaranya tidak akan mencukupi, padahal sirkulasi udara perlu untuk menghidupkan api. (Ini, fakta bahwa akhirnya Aedificium itu harus terbakar, amat jelas bagi saya, tetapi juga untuk alasan-alasan historis-kosmologis: dalam Abad Pertengahan, katedral dan biara terbakar seperti kawul: membayangkan suatu kisah zaman pertengahan tanpa api sama seperti membayangkan suatu film Perang Dunia II di Pasifik tanpa sebuah pesawat tempur menukik dalam
kondisi terbakar.) Jadi, setelah bekerja selama dua atau tiga bulan untuk membangun suatu labirin yang cocok, saya memutuskan untuk menambah beberapa celah untuk benar-benar memastikan tempat itu mendapat cukup udara.
Siapa Bicara" Saya mendapat banyak kesulitan. Saya menginginkan suatu tempat tertutup, suatu jagat utuh yang terkonsentrasi. Dan agar lebih tertutup, saya memperkenalkan, di samping suatu kesatuan tempat, juga kesatuan waktu (karena kesatuan tindakan meragukan) agaknya suatu ide yang bagus. Oleh karena itu, suatu biara Benediktin, yang kehidupannya ditandai oleh jam-jam kanonik (mungkin Ulysses secara tidak sengaja bisa dijadikan contoh, karena strukturnya dengan ketat diikat oleh jam-jam hari itu; tetapi yang lain adalah The Magic Mountain, dengan situasinya yang bergununggunung dan tenang, di tempat bisa diadakan begitu banyak percakapan.
Percakapan itu menimbulkan banyak masalah bagi saya, tetapi saya menyelesaikan ini semua sementara menulis. Ada suatu tema yang selama ini jarang didiskusikan dalam teori-teori naratif: teori tentang turn ancillaries sarana, yakni, melalui itu narator memberikan kesempatan bicara kepada berbagai tokoh. Perhatikan perbedaan di antara lima percakapan di bawah ini:
1. "Apa kabar""
"Tidak buruk. Dan kau""
2. "Apa kabar"" kata John.
"Tidak buruk. Dan kau"" kata Peter.
3. "Bagaimana," kata John, "kabarmu"" Dan Peter langsung menjawab: "Tidak buruk. Dan kau""
4. "Apa kabar"" tanya John ingin tahu. "Tidak buruk. Dan kau"" Peter langsung mencerocos.
5. John berkata: "Apa kabar""
"Tidak buruk," jawab Peter dengan suara enggan.
Lalu, dengan senyum penuh teka-teki, ia menambahkan, "Dan kau""
Dalam semua kasus kecuali dua yang pertama, kita melihat bahwa penulis menyela cerita itu, dengan memasukkan sudut pandangannya sendiri. Ia menyela dengan komentar pribadi, untuk memberi kesan bagaimana kata-kata kedua pembicara itu harus diinterpretasi dengan perasaan. Tetapi apakah keinginan pengarang ini memang tidak ada pada kedua kalimat pertama, yang jelas merupakan contoh yang "steril"" Dan apakah pembaca lebih "bebas" dalam kedua kasus yang "steril" ini, di mana ia bisa melakukan suatu pemaksaan emosional tanpa menyadarinya (ingat netralitas yang tampak dalam dialog Hemingway), atau apa ia lebih bebas dalam kasus lainnya, yang paling sedikit ia tahu permainan yang sedang dilakukan oleh pengarang"
Ini adalah masalah gaya, suatu masalah ideologis, suatu masalah "puisi", seperti pilihan suatu rima bagian dalam atau suatu asonansi, atau pembukaan satu paragram. Suatu hubungan tertentu harus ditemukan. Dalam kasus saya, hubungan itu mungkin jadi lebih mudah karena semua dialog dilaporkan oleh Adso, dan jelas sekali bahwa Adso memaksakan pandangan matanya sendiri atas seluruh narasi itu.
Namun dialog itu menciptakan masalah lain bagi saya: seberapa mungkin itu bisa menjadi gaya zaman pertengahan" Dengan kata lain, sementara menulis buku itu, saya menyadari bahwa buku itu mulai mengambil struktur satu opera-buffa, dengan resitasi panjang dan aria yang berlebihan. Aria itu (penjelasan
tentang pintu yang besar tersebut, misalnya) meniru retorika khidmat dari Abad Pertengahan, dan model untuk ini tidak sedikit. Tetapi dialognya" Pada titik tertentu saya khawatir itu akan terdengar seperti Agatha Christie, sementara aria-aria itu seperti Suger atau Santo Bernard. Saya membaca lagi romansa zaman pertengahan, karya-karya dan abad kesatria, dan saya menyadari bahwa, meskipun baru punya sedikit lisensi, saya masih menghargai suatu narasi dan pemakaian puitika yang bukannya tidak dikenal oleh zaman pertengahan.
Tetapi masalah itu lama sekali mendera batin saya dan saya tidak yakin apa saya bakal pernah mengatasi perubahanperubahan register di antara aria dan resitasi ini.
Masalah lain: ekasemen suara-suara itu, atau, tepatnya, dari sudut pandangan naratif itu. Saya tahu bahwa saya tengah menceritakan sebuah kisah dengan kata-kata orang lain, karena dalam pendahuluan saya sudah menyatakan bahwa kata-kata orang ini sudah diserang melalui paling sedikit dua sudut pandangan naratif lainnya, yaitu dari Mabillon dan dari Abbe Vallet, bahkan jika mereka dianggap hanya bekerja sebagai filolog (tetapi siapa yang percaya"). Toh timbul masalah lagi di dalam narasi orang-pertama Adso. Adso, pada usia delapan puluh tahun, akan menceritakan tentang apa yang ia lihat pada usia delapan belas. Siapa yang bicara, Adso yang umur delapan belas atau yang delapan puluh"
Keduanya, itu jelas; dan ini disengaja. Muslihatnya adalah membuat Adso tua itu terus hadir sementara merenungkan apa yang ia ingat telah ia saksikan dan rasakan sebagai Adso muda. Model semacam itu (saya tidak membaca kembali buku tersebut: memori jauh yang mencukupi) adalah Serenus Zeitblom dalam Doctor Faustus. Ucapan mendua ini amat memesona dan menyenangkan saya.
Juga karena kembali kepada apa yang saya katakan tentang topeng itu dalam mendobel Adso, sekali lagi saya mendobel rangkaian celah, rangkaian tabir, yang dipasang di antara saya sebagai seorang pribadi yang biografis, saya sebagai pengarang yang bercerita, narator orang pertama, dan tokoh-tokoh yang diceritakan,
termasuk suara naratif. Saya merasa makin lama makin terselubung, dan seluruh pengalaman itu mengingatkan saya (maksud saya secara fisik, akan jernihnya madeleine yang dicelupkan ke dalam teh lemon-bunga) akan permainan masa kecil yang di dalamnya saya pura-pura berada dalam sebuah kapal selam di bawah selimut dan dari situ mengirim pesan kepada saudara perempuan saya, di bawah selimut di ranjang sebelah, kami berdua terputus dari dunia luar dan sepenuhnya bebas melakukan perjalanan bagaikan sepasang kuku gerigis tersaruk-saruk melintasi lantai-lantai dari laut-laut yang diam.
Adso amat penting bagi saya. Dari awal saya ingin menceritakan seluruh cerita itu (dengan misteri-misterinya, kejadian-kejadian teologis dan politisnya, ambiguitasnya) melalui suara seseorang yang mengalami peristiwa-peristiwa itu, mencatat semuanya dengan ketelitian dan kemurnian fotografik seorang remaja, tetapi tidak memahami semua itu (dan tidak akan sepenuhnya memahami semua itu bahkan setelah menjadi orang tua, karena kemudian ia memilih melarikan diri ke dalam alam hampa suci, yang bukan seperti yang diajarkan gurunya) untuk membuat segala sesuatunya dipahami melalui kata-kata seseorang yang tidak memahami apa-apa.
Waktu membaca ulasan-ulasan, saya menyadari bahwa inilah salah satu aspek novel yang paling tidak mengesankan bagi pembaca yang tekun; atau, toh boleh saya katakan bahwa hanya
sedikit yang akan memperhatikan. Tetapi sekarang saya ingin tahu apakah ini bukan salah satu segi yang membuat novel itu mudah dibaca bagi pembaca yang tidak canggih. Perasaan tidak bersalah mereka sama dengan ketidaktahuan narator itu, dan merasa tidak bersalah bahkan kalau tidak memahami segala sesuatunya. Saya mengembalikan ketakutan dan kegemetaran mereka dalam bentuk seks, bahasa tak dikenal, kesulitan pikiran, misteri kehidupan politik. Ini semua hal-hal yang sekarang saya pahami, apres coup; tetapi mungkin waktu itu saya mau memindahkan banyak ketakutan masa remaja saya kepada Adso, sudah tentu dalam degup asmarany
a (tetapi selalu dengan jaminan bahwa saya bisa bertindak melalui orang lain; nyatanya, Adso mengalami penderitaan cintanya hanya melalui kata kata yang dipakai para doktor Gereja untuk mendiskusikan cinta). Seni adalah suatu khayalan dari emosi pribadi, seperti yang diajarkan Joyce sekaligus Eliot kepada saya.
Perjuangan melawan emosi itu berat. Saya menulis sebuah doa indah, mencontoh Plaint of Nature dari Alanus de Insulis, yang akan diucapkan William dalam suatu momen gawat. Lalu saya menyadari bahwa kami berdua bisa dikuasai oleh emosi. Saya sebagai pengarang dan dia sebagai tokoh. Saya sebagai pengarang tidak boleh menyerah, untuk alasan puitika. Ia sebagai tokoh tidak bisa, karena terbuat dari bahan yang berbeda, dan emosinya semua mental, atau ditekan. Jadi, halaman itu saya gunting. Setelah seorang teman
saya membaca buku itu, ia berkata, "Satusatunya keberatanku adalah bahwa William tidak pernah punya greget rasa kasihan." Saya mengutip ini kepada teman lain, dan katanya, "Betul, itu gaya belas kasihannya." Mungkin begitu. Dan biarkan saja.
Preterition Adso juga amat berguna bagi saya dalam mengurus masalah lain. Seharusnya kisah itu dapat saya ungkap dalam suatu Abad Pertengahan di mana setiap orang tahu apa yang sedang dibicarakan, seperti dalam suatu kisah kontemporer, yang di dalamnya, jika seorang tokoh mengatakan bahwa Gereja tidak akan menyetujui perceraiannya, tidak perlu dijelaskan itu Gereja apa dan mengapa tidak menyetujui perceraian tersebut. Tetapi dalam novel historis ini tidak bisa dilakukan, karena tujuan narasi itu juga untuk lebih menjelaskan bagi kita, orang kontemporer tentang apa yang terjadi waktu itu dan bagaimana yang terjadi pada waktu itu juga menggelisahkan kita.
Yang dimaksud adalah risiko dari apa yang akan saya sebut Salgarime.[Emilio Salgari adalah seorang pengarang Italia populer yang terkenal dari akhir abad kesembilan belas yang menulis banyak sekali buku tentang pengalaman eksotis.]
Ketika para tokoh dalam petualangan Emilio Salgari melarikan diri lewat hutan, dikejar musuh, dan tersandung akar baobab, narator menunda aksi itu dengan tujuan memberi kita suatu pelajaran botani tentang baobab. Sekarang ini sudah menjadi
topos, menarik, seperti cacat-cacat dari mereka yang sudah kita cintai; tetapi seharusnya tidak boleh dilakukan.
Saya menulis kembali ratusan halaman untuk menghindari jarak waktu semacam itu, tetapi saya tidak ingat apa saya pernah menyadari tentang cara saya mengatasi masalah itu. Saya baru menyadari hal itu dua tahun kemudian, sewaktu saya sedang berusaha membayangkan mengapa buku itu dibaca oleh orang-orang yang jelas tidak mungkin menyukai buku-buku "pedas" semacam ini.
Gaya narasi Adso berdasarkan pada apa yang oleh sarana retorika disebut pretention atau paralepsis, atau "sudah lewat". Ada satu contoh dari zaman Tudor: "I doe not say that thou receaved brybes of thy fellowes, I busie myself not in this thing ("I do not say that you received bribes of your fellows, I busy myself not in this thing ....").["Aku tidak bilang bahwa kau menerima uang suap dari teman-temanmu, aku tidak peduli akan hal itu ..." - penerj.] Pembicara itu, dengan kata lain, menyatakan bahwa ia tidak akan bicara tentang sesuatu yang setiap orang sudah tahu betul, dan sementara mengatakan ini, ia justru membicarakan hal tersebut. Ini sedikit banyak cara Adso menyebut orang dan kejadian yang sudah diketahui umum tetapi masih membicarakannya. Akan halnya orang-orang atau kejadian yang tidak bisa diketahui oleh pembaca Adso, seorang Jerman pada akhir abad itu, karena terjadi di Italia pada awal abad itu, Adso mendiskusikan itu semua tanpa ragu, dan
dalam nada didaktik, karena inilah gaya penulis kronik zaman pertengahan, setiap kali ada sesuatu disebutkan, ia ingin sekali memperkenalkan pandangan ensiklopedik. Setelah seorang teman (bukan teman yang sama seperti sebelumnya) membaca naskah itu, dia menceritakan bahwa ia tersentak oleh nada jurnalistik cerita itu, yang bukan nada sebuah novel tetapi nada artikel surat kabar. Mula-mula saya tersinggung; lalu menyadari bah
wa ia telah menerima secara tidak sengaja. Beginilah caranya penulis kronik abad-abad itu menceritakan apa saja. Dan jika orang Italia masih mengunakan kata cronaca untuk menyebut halaman berita-lokal di koran, ini karena para penulis kronik melanjutkan apa yang telah tertulis selama berabad-abad.
Kecepatan Langkah Namun, ada alasan lain untuk memasukkan tulisan-tulisan didaktik yang panjang itu. Setelah membaca naskah itu, teman-teman dan editor menyarankan agar saya meringkas seratus halaman pertama.
Tanpa berpikir dua kali, saya menolak, karena, seperti yang saya katakan dengan tegas, jika seseorang ingin memasuki biara itu dan tinggal di sana selama tujuh hari, ia harus menerima kecepatan langkah biara itu sendiri. Jika tidak bisa, ia tidak akan pernah berhasil membaca seluruh buku itu. Oleh karena itu, seratus halaman pertama tersebut seperti suatu masa tobat atau inisiasi, dan
jika seseorang tidak menyukai itu semua, keadaannya akan jauh lebih buruk lagi. Lebih baik ia tinggal saja di kaki bukit itu.
Memasuki sebuah novel seperti melakukan pendakian di pegunungan : Anda harus mempelajari ritme pernapasan, mempelajari kecepatan langkah; kalau tidak Anda akan langsung berhenti. Ini juga terjadi dengan puisi. Coba ingat saja, betapa puisi menjadi begitu membosankan kalau dideklamasikan oleh aktor, yang, karena ingin "menginterpretasi", mengabaikan sanjak puisi itu, membuat enjambe-ment (membaca dengan melanjutkan satu baris ke baris lainnya) seperti sedang membacakan prosa, memusatkan pikiran pada isi dan bukan pada ritme. Untuk membaca suatu puisi klasik yang punya rima, Anda harus menerima nyanyian ritme itu seperti yang diinginkan penyairnya. Lebih baik mendeklamasikan Dante seakan ia telah menulis lagu kanak-kanak daripada hanya mencari artinya sampai membuang segala sesuatu yang lain.
Dalam narasi, tarikan napas tidak diambil dari kalimat kalimat itu tetapi dari unit-unit yang lebih luas, dari scansion (analisis syair ke dalam pola sanjak) kejadian kejadian. Beberapa novel bernapas seperti kijang, lainnya seperti ikan paus atau gajah. Harmoni tidak terletak dalam panjangnya napas tetapi dalam keteraturannya. Dan jika, pada suatu titik tertentu (namun ini tidak terlalu sering terjadi), tarikan napas berhenti dan satu bab (atau satu urutan) berhenti sebelum napas itu ditarik habis, ketidakteraturan ini bisa memainkan suatu peran
penting dalam ekonomi cerita itu; ini bisa menandai suatu titik balik, suatu perkembangan mengejutkan. Paling sedikit inilah yang kita temukan dalam karya-karya penulis hebat. Sebuah novel yang hebat adalah novel yang di dalamnya pengarang selalu tahu persis kapan mau ngebut, kapan menginjak rem, dan caranya menangani kopling, dalam lingkup satu ritme dasar yang tetap ajek. Dalam musik ada rubato, tetapi jika dipakai terlalu banyak, Anda berakhir seperti para pemain jelek yang percaya bahwa yang dibutuhkan untuk memainkan Chopin hanyalah rubato yang berlebihan. Saya tidak akan membicarakan bagaimana saya mengatasi masalah saya, tetapi tentang bagaimana saya menghadapinya. Dan jika mau mengatakan bahwa saya menghadapinya dengan sadar, mungkin saya bohong. Ada satu pendapat kompositif agar justru berpikir dalam ritme jari-jari yang mengetuk kunci mesin tulis.
Saya ingin memberi satu contoh tentang betapa bercerita berarti berpikir dengan jari-jari Anda. Jelaslah, adegan bercinta dalam dapur itu sepenuhnya disusun atas dasar kutipan dari teks religius, dari Kidung Salomon sampai Saint Bernard dan Jean de Fecamp, atau Saint Hildegard of Bingen. Bahkan pembaca yang tidak kenal baik dengan mistik zaman pertengahan menyadari ini, jika mereka mau mendengar. Tetapi sekarang, jika seseorang menanyakan kepada saya sumber dari kutipan atau di mana satu berakhir dan lainnya mulai, saya tidak bisa menjawab.
Terus terang saya punya berlusin-lusin kartu arsip yang mencatat segala macam naskah, dan terkadang halaman buku-buku, fotokopi tak terhitung banyaknya, jauh lebih banyak daripada yang saya gunakan. Tetapi waktu menulis adegan itu, saya menulisnya semua dalam sekali duduk (kelak say
a besut, seakan untuk menutupinya dengan suatu penyelesaian yang seragam, sehingga tambalannya akan tidak terlalu tampak). Jadi, sementara menulis, semua naskah itu morat-marit, dilempar seenaknya; dan mata saya mula-mula akan menangkap yang ini dan kemudian yang itu, waktu menyalin satu bagian, langsung menghubungkannya dengan bagian lain. Dalam draf pertama, saya menulis bab ini lebih cepat daripada bab lainnya mana saja. Kelak saya menyadari bahwa saya sedang berusaha mengikuti ritme permainan cinta Adso dengan jarijemari saya, dan karenanya saya tidak bisa berhenti sebentar untuk menyeleksi kutipan yang paling kuat. Pada titik ini, apa yang membuat kutipan itu paling kuat adalah kecepatan langkah saat saya menyelipkannya. Dengan mata saya, saya menolak kutipankutipan yang bakal menahan ritme jari-jemari saya. Saya tidak bisa mengatakan bahwa penulisan aksi itu berlangsung selama aksi itu terjadi (karena permainan cinta kadang berlangsung cukup lama), tetapi saya berusaha sebisa mungkin memperpendek perbedaan antara durasi adegan itu dan durasi penulisannya. Dan saya tidak mengatakan "penulisan" dalam artian gaya Barth, tetapi dalam
artian mesin ketik: maksud saya menulis sebagai tindakan jasmaniah, material, dan saya mau membicarakan tentang ritme tubuh, bukan ritme emosi. Emosi, pada titik ini tersaring, semua sudah muncul sebelumnya, dengan keputusan untuk menyamakan ekstase mistik dengan ekstase erotis; emosi itu sudah muncul waktu saya membaca untuk pertama kalinya dan memilih teks yang akan dipakai. Sesudah itu, tidak ada emosi lagi: Adso yang bermain cinta, bukan saya. Saya hanya menerjemahkan emosi-nya ke dalam gerakan mata dan jari, seakan saya sudah memutuskan untuk menceritakan suatu kisah cinta dengan memainkan drum.
Mengonstruksi Pembaca Ritme, kecepatan langkah, masa tobat .... Buat siapa" Buat saya sendiri" Tidak, jelas tidak. Buat pembaca. Sementara menulis, kita mulai memikirkan tentang seorang pembaca, seperti pelukis, sementara melukis, mulai memikirkan seorang pengamat yang akan memandang lukisan itu. Setelah membuat satu coretan kuas, ia mundur dua atau tiga langkah dan mempelajari efeknya: ia memandangi gambar itu, maksudnya, dengan cara pengamat akan mengagumi gambar itu, dalam cahaya yang pas, ketika digantung pada dinding. Kalau satu karya selesai, terjadi dialog antara naskah itu dan pembacanya (pengarang tidak ikut). Sementara suatu karya dalam progres, dialognya dobel: ada dialog antara naskah dan semua naskah
lain yang sudah ditulis sebelumnya (buku-buku ditulis hanya dari buku lainnya dan di seputar buku lainnya).
Saya sudah membuat teori tentang ini dalam buku lain, misalnya The Role of the Reader dan, sebelum itu, dalam Opera aperta: namun saya bukan penemu ide itu.
Mungkin saja terjadi bahwa ketika menulis, pengarang punya semacam hadirin empirik dalam benaknya; beginilah cara perintis novel modern menulis Richardson, Fielding, Defoe yang waktu itu menulis untuk para saudagar dan istri mereka. Namun Joyce, pula, waktu itu menulis bagi seorang hadirin, membayangkan seorang pembaca ideal yang terkena suatu insomnia ideal. Dalam kedua kasus itu, entah penulis percaya bahwa ia sedang menulis untuk suatu publik yang sedang berdiri di sana, sambil membawa uang, persis di luar pintu, atau entah ia bermaksud menulis bagi seorang pembaca yang bakal datang, menulis berarti mengonstruksi, melalui naskah itu, model pembacanya sendiri.
Apa maksudnya, membayangkan seorang pembaca yang mampu mengatasi rintangan potensial dari seratus halaman pertama" Maksudnya, persisnya, menulis seratus halaman dengan tujuan membangun seorang pembaca yang cocok untuk apa yang kelak diceritakan.
Apa ada seorang pengarang yang menulis hanya untuk anak-cucu"
Tidak, bahkan jika pengarang itu bilang sendiri
begitu, sebab, karena bukan Nostradamus, ia bisa menerima anak-cucu hanya menurut model apa yang ia ketahui dari teman sezamannya. Apa ada seorang pengarang yang menulis hanya untuk segelintir pembaca"
Ya, jika ini yang dimaksud adalah membayangkan model pembaca yang kemungkinan kecil hanya terdir
i atas manusia yang jumlahnya berapa saja. Namun, pengarang ini menulis bahkan dengan harapan, sama sekali bukan rahasia, bahwa bukunya itu sendiri akan menciptakan, dan dalam jumlah besar sekali, banyak contoh baru dari pembaca ini, yang diinginkan dan diupayakan dengan semacam ketepatan seperti perajin, yang mau menerimanya sebagai dalil, terhibur, oleh naskahnya.
Jika ada suatu perbedaan, perbedaan itu terletak di antara naskah yang berusaha menghasilkan seorang pembaca buku dan teks yang berusaha memenuhi keinginan pembaca yang sudah siap membeli.
Dalam kasus kedua, buku itu sudah ditulis, dikonstruksi, menurut suatu formula produksi-massa yang efektif; pengarang mengerjakan semacam analisis pasar dan menyesuaikan karyanya dengan hasil analisis itu. Bahkan dari kejauhan, jelaslah bahwa ia sedang bekerja dengan suatu formula: kita tinggal menganalisis berbagai novel yang sudah ditulisnya dan akan melihat bahwa dalam semua novel itu, setelah mengganti nama, tempat, segi-segi mencolok, ia telah menceritakan kisah
yang sama kisah yang sudah diharapkan publik dari dia.
Tetapi kalau seorang pengarang merencanakan sesuatu yang baru, dan menerima jenis pembaca yang berbeda, ia ingin menjadi, bukan seorang analis pasar, yang mengatalog tuntutan yang dinyatakan, namun, justru, seorang filsuf, yang merasakan pola-pola Zeitgeist (jiwa zaman) itu. Ia ingin mengungkapkan kepada publiknya apa yang seharusnya diinginkan publik, bahkan jika publik tidak mengetahuinya. Ia ingin mengungkap pembaca kepada dirinya sendiri.
Andaikan Manzoni selama itu memikirkan keinginan publik, tentu ia sudah punya formula yang siap-pakai: novel historis dengan suatu latar zaman pertengahan, dengan tokoh-tokoh terkenal seperti dalam tragedi Yunani, raja dan putri raja (dan bukankah ini yang ia kerjakan dalam Adelchi"), gairah yang agung dan hebat, peperangan heroik, dan suatu perayaan kejayaan Italia dari suatu periode ketika Italia adalah suatu negeri orang kuat.
Bukankah ini yang dilakukan oleh begitu banyak novelis historis, sekarang paling sedikit sudah dilupakan, pada zamannya atau sebelum dia: pengarang seperti d'Azeglio si pengrajin itu, Guerrazzi yang bergairah dan pedas itu, Cantu yang tidak bisa dibaca itu"
Tetapi apa yang justru dikerjakan oleh Manzoni" Ia memilih abad ketujuh belas, suatu periode perbudakan, dan tokoh-tokoh golongan rendah, dan satu-satunya kesatria adalah seorang bajingan.
Manzoni tidak bercerita tentang peperangan, dan berani menurunkan bobot ceritanya dengan dokumen dan proklamasi .... Dan orang menyukainya, setiap orang menyukainya, orang pandai dan orang bodoh, tua dan muda, saleh dan antigereja, karena ia merasakan bahwa pembaca dari zamannya tentu punya itu, bahkan jika tidak mengetahuinya, bahkan jika mereka tidak menuntut itu, bahkan jika mereka tidak percaya itu cocok untuk dikonsumsi. Dan ia harus bekerja amat keras, dengan godam dan gergaji dan pesawat, dan kamus, agar produknya bisa dibaca. Untuk memaksa pembaca sungguhan menjadi model pembaca yang ia dambakan.
Mazoni tidak menulis untuk menyenangkan publik seperti kenyataannya, tetapi menciptakan suatu publik yang tidak mungkin tidak akan menyukai novelnya. Dan malanglah mereka jika belum menyukainya.
Dengan amat hipokrit dan saleh ia mengacu kepada "dua puluh lima pembaca"-nya; padahal yang ia inginkan adalah dua puluh lima juta.
Model pembaca apa yang saya inginkan waktu menulis" Seorang antek, tentu saja, seseorang adil dan jujur. Saya ingin benarbenar menjadi orang zaman pertengahan dan hidup di Abad Pertengahan seakan itu zaman saya sendiri (dan vice versa).
Tetapi pada saat yang sama, dengan segala kemampuan, saya ingin menciptakan seorang tipe pembaca yang, setelah melewati inisiasi itu, bersedia menjadi korban saya atau tepatnya, korban naskah itu dan akan berpikir bahwa ia tidak
menginginkan apa saja kecuali yang ditawarkan naskah itu kepadanya. Suatu naskah yang bertujuan menjadi suatu pengalaman transformasi bagi pembacanya.
Anda yakin bahwa Anda menginginkan seks dan suatu persekongkolan kriminal di mana pihak yang bersalah akhirnya di
temukan, dan semua dengan banyak aksi, tetapi pada saat yang sama Anda akan merasa malu menerima rongsokan gaya-kuno yang terdiri atas orang mati yang gentayangan, biara-biara penuh mimpi-buruk, dan penitensi kotor. Baiklah kalau begitu, saya akan memberi Anda bahasa Latin, praktis tidak ada tokoh perempuan, banyak teologi, bergalon-galon darah dalam gaya Grand Guignol, sampai Anda harus mengatakan, "Tetapi semua ini bohong; aku tidak mau menerimanya!"
Dan pada titik ini Anda akan harus menjadi milik saya, dan merasakan kengerian dari kemahakuasaan Tuhan yang tak terbatas, yang membuat aturan bumi ini sia-sia. Dan kemudian, jika Anda orang baik, Anda akan menyadari betapa saya menggiring Anda masuk jebakan ini, karena saya sungguh-sungguh menceritakan tentang ini pada setiap langkah. Dengan hati-hati saya memperingatkan bahwa saya sedang menyeret Anda menuju kutukan Anda; tetapi hal yang baik tentang kesepakatan dengan iblis adalah bahwa ketika Anda menandatanganinya, Anda benar-benar menyadari persyaratannya.
Kalau tidak, mengapa Anda mau berkompensasi
lagi dengan neraka" Dan karena saya ingin Anda juga merasa menikmati satu hal yang menakutkan kita misalnya, getaran metafisik itu saya hanya tinggal memilih (dari antara rancangan model) yang paling metafisik dan filosofis: novel detektif.
Metafisik Detektif Bukannya kebetulan bahwa buku itu dimulai sebagai suatu misteri (dan terus memperdaya pembaca yang rajin menyelesaikannya sampai akhir, sehingga pembaca yang tekun mungkin bahkan tidak menyadari bahwa ini suatu misteri yang di dalamnya hanya sedikit sekali yang diketemukan dan detektifnya kalah). Saya percaya bahwa orang menyukai cerita ngeri bukan karena ada mayat-mayat atau karena akhirnya ada kemenangan besar dari keteraturan (intelektual, sosial, hukum, dan moral) atas kekacauan iblis. Nyatanya, novel kriminal mewakili semacam sulapan, murni dan biasa saja. Tetapi diagnosis medis, riset ilmiah, penyelidikan metafisik, juga contoh dari sulapan. Bagaimanapun juga, masalah mendasar dari filsafat (seperti masalah psikoanalisis) sama seperti masalah novel detektif: siapa yang bersalah" Untuk mengetahui ini (karena mengira Anda mengetahui ini), Anda harus menerka bahwa semua kejadian itu punya satu logika, logika bahwa pihak yang bersalah telah dipaksakan kepada mereka. Setiap cerita investigasi dan sulapan menceritakan kepada kita sesuatu yang selama ini selalu hampir kita ketahui (acuan pseudo-Heideggerian). Pada titik ini
jelaslah mengapa kisah dasar saya (siapa yang melakukan") bercabang-cabang ke dalam begitu banyak cerita lainnya, semua cerita dari terkaan lainnya, semua berkait dengan struktur terkaan semacam itu.
Suatu model abstrak yang bersifat sulapan adalah labirin itu.
Tetapi ada tiga macam labirin. Pertama adalah labirin Yunani, labirin Theseus. Labirin macam ini tidak memungkinkan orang tersesat: Anda masuk, sampai ke tengah, dan kemudian dari tengah Anda mencapai pintu keluar. Itulah sebabnya di tengahnya ada Minotaurus; jika tidak ada, maka cerita itu tidak akan ramai, hanya sekadar menggelinding. Teror itu muncul, andaikan memang muncul, dari kenyataan bahwa Anda tidak tahu bakal sampai ke mana atau apa yang akan dilakukan Minotaurus itu. Namun, jika labirin klasik itu dibongkar, Anda akan menemukan bahwa ternyata tangan Anda memegang seutas benang, benang Ariadne. Labirin klasik adalah benang-milik Ariadne itu sendiri.
Kemudian ada kesimpangsiuran perangai: jika dibongkar, Anda akan mendapatkan bahwa ternyata tangan Anda memegang sebuah pohon, suatu struktur dengan akar-akar, dengan banyak lorong buntu.
Hanya ada satu pintu keluar, tetapi Anda bisa salah duga. Anda memerlukan benang-milik Ariadne agar tidak tersesat. Labirin ini adalah suatu model proses mencoba coba.
Dan akhirnya ada jaring itu, atau, lebih tepatnya, yang oleh Deleuze dan Guattari disebut "rhizoma (umbi)". Rizoma itu begitu abstrak sehingga setiap jalur bisa berhubungan dengan setiap jalur lainnya. Tidak ada pusatnya, tidak ada tepiannya, tidak ada jalan keluarnya, karena pada dasarnya tak terbatas. Ruang terkaa
n itu adalah suatu ruang rizoma. Labirin perpustakaan saya tetap suatu labirin bersifat perilaku, tetapi dunia yang di dalamnya William menyadari bahwa ia tinggal di sana, sudah mempunyai suatu struktur rizoma: yakni, bisa distruktur, tetapi tidak pernah distruktur secara tegas.
Seorang pemuda berusia tujuh belas mengatakan kepada saya bahwa ia sama sekali tidak memahami argumentasi teologis, tetapi argumentasi-argumentasi itu bertindak sebagai cabang-cabang dari labirin luas (seakan mereka berada dalam musik "suspens" dalam film Hitchcock). Saya percaya bahwa sesuatu seperti ini bisa terjadi: bahkan pembaca yang tekun merasakan bahwa ia sedang membaca sebuah kisah tentang labirin, dan tidak hanya tentang labirin luas. Boleh kita katakan bahwa, anehnya, pembacaan paling suntuk adalah yang paling "struktural": pembaca yang tekun itu masuk ke dalam kontak langsung, tanpa apa saja yang menengahi isinya, dengan kenyataan bahwa di sana, ketidakmungkinan (fiksi) adalah satu cerita.
Penikmatan Saya ingin pembaca menikmati sendiri, paling sedikit seperti yang saya nikmati sendiri. Ini hal yang amat penting, yang seakan berbenturan dengan ide-ide lebih matang yang kita yakin kita miliki tentang novel itu.
Pembaca harus dialihkan, tetapi tidak diselewengkan, dicabut dari masalah-masalah. Robinson Crusoe bertujuan mengalihkan model pembacanya sendiri, dengan menceritakan kepada pembaca itu tentang kalkulasi dan kehidupan sehari-hari seorang homo oeconomicus yang berakal sehat, hampir seperti dirinya sendiri. Tetapi kemampuan kemiripan Robinson, setelah menikmati membaca tentang dirinya sendiri dalam novel itu, entah bagaimana kita tentu akan memahami sesuatu lagi, menjadi orang lain. Dalam menghibur diri, entah kenapa, ia sudah belajar. Seharusnya pembaca juga mempelajari sesuatu tentang dunia atau tentang bahasa: perbedaan ini membedakan berbagai puitika naratif, tetapi intinya tetap sama. Pembaca ideal dari Finnegans Wake harus, akhirnya, menikmati dirinya seperti halnya pembaca dari Erie Stanley Gardner. Persis sama banyak, tetapi dalam suatu cara yang berbeda.
Sekarang, konsep hiburan itu bersifat historis. Ada berbagai cara menghibur dan terhibur yang berbeda untuk setiap musim dalam sejarah novel. Tak perlu dipersoalkan lagi, novel modern telah berusaha menghilangkan hiburan yang dihasilkan dari plot dengan tujuan mendorong jenis hiburan
lainnya. Sebagai pengagum Poetics karya Aristoteles, saya selalu berpikir bahwa, apa pun yang terjadi, sebuah novel juga harus terutama menghibur lewat plotnya.
Tidak diragukan lagi bahwa jika memukau, sebuah novel akan mendapat sambutan meriah dari publik. Nah, untuk suatu periode tertentu, sambutan meriah ini dianggap satu tanda buruk: jika sebuah novel jadi populer, ini karena novel itu tidak bicara tentang sesuatu yang baru dan hanya memberikan apa yang sudah diharapkan oleh publik.
Bagaimanapun juga, saya percaya bahwa mengatakan, "Jika sebuah novel memberi pembaca apa yang tengah ia harapkan, novel itu jadi populer," lain dengan mengatakan, "Jika sebuah novel populer, ini karena novel itu memberi pembaca apa yang ia harapkan dari itu."
Pernyataan kedua itu tidak selalu betul. Cukup kalau kita ingat Defoe atau Balzac atau, yang lebih mutakhir, The Tin Drum dan One Hundred Years of Solitude. Boleh dikatakan bahwa persamaan "popularitas = kurang bermutu" itu didukung oleh sikap polemik dari sebagian penulis, termasuk saya sendiri, yang membentuk Gruppo 63 di Italia. Dan bahkan sebelum 1963, buku yang sukses dibuktikan sebagai novel khayalan, dan novel khayalan bersama novel plot; meskipun bersifat eksperimental, novel-novel yang menimbulkan skandal dan ditolak oleh banyak pembaca, mendapat pujian. Ini semua kata orang, dan tidak ada alasan untuk menyebutkannya. Ada pernyataan-pernyataan
yang paling mengejutkan pembaca yang terhormat, dan para reporter tidak pernah melupakannya dan betul, karena hal-hal ini dikatakan persisnya untuk mencapai efek semacam itu. Yang sedang kita bicarakan ini adalah novel tradisional dengan struktur yang pada dasarnya khayalan, tanpa inov
asi menarik berkaitan dengan masalah yang dibicarakan dalam novel abad kesembilan belas. Dan tak pelak lagi terbentuk golongan-golongan, dan baik dan buruk sering menumpuk bersama, kadang-kadang dengan alasan pertikaian antargolongan. Saya ingat bahwa musuh waktu itu adalah Lampedusa, Bassani, dan Cassola. Sekarang ini, secara pribadi, saya bisa memperhalus perbedaan di antara ketiganya. Lampedusa telah menulis satu novel anakronistik yang bagus, dan pertikaian kami adalah dengan mereka yang mencanangkannya sebagai pembukaan satu jalur baru untuk khazanah sastra Italia, sementara itu, sebaliknya, merupakan akhir gemilang dari suatu jalan lama.
Pendapat saya tentang Cassola tetap tidak berubah. Dengan Bassani, sebaliknya, sekarang saya akan bersikap jauh lebih berhatihati; dan jika kami berada pada 1963 lagi, saya akan menyapanya sebagai teman seperjalanan. Tetapi masalah yang akan saya diskusikan ini sesuatu yang lain.
Tak seorang pun ingat apa yang terjadi pada 1965, ketika Gruppo mengadakan pertemuan untuk kedua kalinya, di Palermo, untuk mendiskusikan novel eksperimental (dan jalannya diskusi itu sudah
dibukukan, berjudul II romanzo sperimentale, diterbitkan oleh Feltrinelli, bertahun 1965 pada sampul dan 1966 dalam kolofon). Nah, selama perdebatan itu muncul banyak hal menarik.
Yang pertama, dalam makalah pembukaannya, Renato Barilli, pakar teori semua eksperimentalisme dari Nouveau Roman, harus berusaha mengalahkan Robbe-Grillet, Grass, Pynchon (jangan lupa bahwa meskipun sekarang Pynchon dianggap sebagai salah seorang penemu posmodernisme, waktu itu istilah tersebut belum muncul setidaknya di Italia dan John Barth baru saja mulai di Amerika). Barilli menyebutkan penemuan kembali Roussel, yang menyukai Verne, tetapi tidak menyebutkan Borges, karena penemuan-nya-kembali belum muncul.
Dan apa yang dikatakan oleh Barilli" Bahwa sampai saat itu plot dan aksi didorong untuk dihilangkan, demi epifani (pengejawantahan) murni dalam bentuk ekstremnya dari "materialistik ekstase" (kita boleh mengatakan, "Akan kutunjukkan kau surga dalam segenggam debu," seperti dalam lukisan Pollock atau Dubuffet atau Fautrier). Tetapi sekarang, satu fase naratif baru sudah dimulai: aksi mulai diberi sanksi lagi, meskipun berupa suatu aksi autre (jasmaniah).
Keesokan harinya saya mulai menganalisis kesan yang kami peroleh, sambil menonton satu film kolase aneh karya Baruchello dan Grifi yang berjudul Verifica incerta, suatu cerita yang terdiri atas potongan-potongan cerita, atau, lebih tepatnya, merupakan situasi-situasi, topo standar, dari film
komersial. Dan saya menunjukkan bahwa tempat-tempat yang di dalamnya para pengamat telah bereaksi dengan kenikmatan paling besar adalah yang, baru beberapa tahun silam, mereka tentu akan bereaksi dengan kaget dan marah misalnya, di mana konsekuensi temporal dan logikal dari aksi tradisional dihilangkan dan harapan publik mungkin seakan telah dibuat amat jengkel. Avant-garde mulai menjadi tradisi: apa yang beberapa tahun sebelumnya bernada sumbang mulai berubah menjadi balsem bagi telinga (atau bagi mata). Dan dari observasi ini hanya satu kesimpulan yang bisa ditarik: ketidakterimaan pesan itu bukan lagi kriteria utama untuk suatu fiksi (atau seni lain apa saja) eksperimental, karena ketidakterimaan sekarang sudah dikodifikasi sebagai sesuatu yang menghibur. Dan saya menegaskan bahwa sementara pada masa program futuris, hadirin sangat diperlukan untuk mengejek, "steril, pada masa kini, dan polemik dari mereka yang menganggap suatu eksperimen itu gagal adalah tolol, karena nyatanya ini diterima sebagai sesuatu yang lazim: ini berarti kembali mundur ke Utopia usang dari avant-garde awal. Kami bersikeras bahwa ketidakmampuan menerima pesan di pihak penerima adalah suatu jaminan nilai hanya dalam suatu momen historik khusus .... Saya duga kita mungkin akan harus melepaskan arrierepensee itu, yang secara ajek mendominasi diskusi kita, yang dengan itu setiap skandal eksternal akibat suatu karya bisa dianggap suatu jaminan dari nilainya. Dikotomi antara keteraturan
dan kekacauan itu sendiri, antara s
uatu karya untuk konsumsi populer dan suatu karya untuk provokasi, meskipun tetap sahih, mungkin seharusnya diperiksa-kembali dari sudut pandang lain.
Dengan kata lain, saya percaya akan mungkin menemukan unsur-unsur revolusi dan perjuangan dalam karya-karya yang jelas memberi kemungkinan untuk mudah dikonsumsi, dan juga akan mungkin untuk menyadari, di lain pihak, bahwa karya-karya tertentu, yang tampaknya provokatif dan masih membuat publik berang, sebenarnya tidak memperjuangkan apa-apa .... Belum lama ini saya bertemu dengan seseorang yang, karena teramat menyukai suatu produk tertentu, telah menurunkannya ke satu zona kecurigaan ..." dan seterusnya.
Sembilan belas enam lima. Waktu itulah Seni Pop dimulai, dan perbedaan tradisional antara seni nonfiguratif, eksperimental, mulai hilang. Waktu inilah ketika Pousseur, sambil mengacu kepada the Beatles, mengatakan kepada saya, "Mereka bekerja untuk kita" namun tanpa menyadari, bahwa dia juga bekerja untuk the Beatles (dan dibutuhkan inisiatif dari Cathy Berberian untuk menunjukkan kepada kami bahwa the Beatles, berkait dengan Purcell, dan satusatunya yang berhak atas lagunya, juga bisa memainkan resital Monteverdi dan Satie).
Posmodernisme, Ironi, yang Bisa
Dinikmati Antara 1965 dan hari ini, ada dua ide yang sudah diklarifikasi secara jelas: bahwa plot juga bisa
ditemukan dalam bentuk kutipan dari plot lainnya, dan bahwa kutipan bisa tidak terlalu khayal dibandingkan plot yang dikutip. Pada 1972 saya menyunting Almanacco Bompiani, yang mencanangkan "Kembali ke Plot", meskipun kembalinya via suatu pemeriksaan-kembali yang ironis (bukannya tanpa kekaguman) terhadap Ponson du Terrail dan Eugene Sue, dan kekaguman (dengan sedikit sekali ironi) terhadap beberapa buku tebal Dumas. Masalah sebenarnya yang dipertaruhkan waktu itu adalah, apa mungkin ada satu novel yang bukan khayalan, dan, toh, tetap menyenangkan dibaca"
Hubungan ini, dan bukan hanya penemuan-kembali plot tetapi juga kemampuan dinikmati, harus disadari oleh para teoretisi posmodernisme Amerika.
Sayangnya, "posmodern" adalah suatu istilah bon a tout faire.
Saya mendapat kesan bahwa pada zaman sekarang istilah ini diterapkan kepada apa saja yang kebetulan disukai oleh pemakai istilah itu. Lebih-lebih lagi, agaknya ada suatu upaya untuk membuatnya makin banyak menyangkut masa lalu; pertama ini jelas diterapkan kepada penulis atau seniman tertentu yang aktif selama dua puluh tahun terakhir, kemudian lambat laun mencapai awal abad ini, lalu masih mundur lebih jauh lagi. Dan prosedur pembalikan ini berkelanjutan; tidak lama lagi Homer bisa masuk kategori posmodern.
Terus terang, saya percaya bahwa posmodernisme bukan suatu tren untuk dijelaskan secara kronologis, tetapi, justru, suatu kategori yang ideal
atau, lebih baik lagi, suatu Kunstwollen, suatu cara kerja. Dapat kita katakan bahwa setiap periode punya posmodernisme sendiri, sama seperti setiap periode tentunya punya manerismenya sendiri (dan, nyatanya, saya membayangkan apakah posmodernisrne bukan nama baru dari manerisme sebagai kategori metahistoris). Saya percaya bahwa dalam setiap periode ada momenmomen krisis seperti yang dijelaskan oleh Nietzsche dalam bukunya, Thoughts Out of Season, yang di dalamnya ia menulis tentang kesalahan akibat studi historis. Masa lalu mengondisi kita, merusak kita, memfitnah kita. Avant-garde historik itu (tetapi di sini saya juga harus mempertimbangkan avant-garde sebagai satu kategori metahistoris) berusaha membalas dendam atas kesalahan masa lalu. "Peduli amat dengan sinar rembulan" suatu slogan futuris merupakan suatu podium khas dari setiap avant-garde; Anda tinggal mengganti "sinar rembulan" dengan kata benda apa saja yang cocok. Avant-garde menghancurkan, membalik wajah masa lalu: Les Demoiselles d'Avignon adalah lakon avant-garde yang khas. Kemudian avant-garde itu bergerak lebih jauh lagi, menghancurkan bentuk-bentuk itu, menundanya, sampai pada kanvas putih, informal, abstrak, kanvas yang dicoret-coret, kanvas yang dihitamkan.
Dalam arsitektur dan seni visual, akan ada dinding korden, bangunan seb
agai seni minimal, murni berpipa paralel, bagai baja; dalam literatur, dirusaknya alur cerita, kolase bak Burroughs, sunyi, halaman kosong; dalam musik, perjalanan dari tidak
adanya tone sampai bunyi sampai sunyi senyap (dalam artian ini, karya awal Cage boleh disebut modern).
Namun tiba saatnya ketika avant-garde (yang modern) tidak bisa maju lagi, karena sudah menghasilkan suatu bahasa-meta yang bicara tentang teksnya yang mustahil (seni konseptual). Posmodern menjawab kepada yang modern dengan sikap mengakui bahwa masa lalu, karena tidak bisa benar-benar dihancurkan, karena penghancurannya membawa kepada sikap diam, harus dikunjungi kembali: tetapi dengan ironi, tanpa sikap tidak bersalah. Saya memikirkan sikap posmodern sebagai sikap seorang laki-laki yang mencintai seorang perempuan yang amat terpelajar dan tahu bahwa ia tidak bisa mengatakan kepada perempuan itu, "I love you madly," karena tahu bahwa perempuan itu tahu (dan bahwa perempuan itu tahu bahwa laki-laki itu tahu) bahwa kata-kata ini sudah ditulis oleh Barbara Cartland. Toh masih ada solusinya. Laki-laki itu bisa mengatakan, "Seperti yang dikatakan oleh Barbara Cartland, I love you madly." Pada titik ini, karena telah menghindari rasa tidak bersalah palsu, karena sudah mengatakan dengan jelas bahwa tidak mungkin lagi bicara tanpa rasa bersalah, ia seharusnya mau mengatakan bahwa ia ingin mengatakan kepada perempuan itu: bahwa ia mencintainya, tetapi mencintainya dalam suatu masa tanpa rasa bersalah. Jika perempuan itu setuju, tentunya ini sama dengan ia menerima pernyataan cinta. Tak seorang pun dari kedua
orang itu yang akan merasa tidak bersalah, keduanya sudah tentu akan menerima tantangan dari masa lalu, dari apa yang sudah diucapkan, yang tidak bisa dihapuskan; keduanya akan dengan sadar dan dengan gembira memainkan permainan ironi .... Tetapi keduanya sudah tentu akan berhasil, sekali lagi, bicara tentang cinta.
Ironi, lakon metalinguistik, ucapan disesuaikan. Jadi, dengan yang modern, siapa saja yang tidak memahami permainan itu bisa sekadar menolaknya, tetapi dengan yang posmodern, ada kemungkinan untuk tidak memahami permainan itu dan toh menerimanya dengan serius. Yang adalah, bagaimanapun juga, kualitas (risiko) ironi.
Selalu ada seseorang yang menerima wahana ironik dengan serius.
Saya mengira bahwa kolase Picasso, Juan Gris, dan Braque adalah modern: ini sebabnya orang normal tidak bakal menerima mereka. Di lain pihak, kolase dari Max Ernst, yang berupa tempelan potongan kecil-kecil ukiran abad kesembilan belas, adalah posmodern: karya-karya itu bisa dibaca sebagai cerita fantastik, bagaikan penceritaan mimpi, tanpa kesadaran apa saja sehingga masuk ke dalam suatu diskusi tentang sifat ukiran itu, dan mungkin bahkan kolase tersebut. Jika "posmodern" berarti ini, jelaslah mengapa Sterne dan Rabelais adalah posmodern, mengapa Borges jelas ya, dan mengapa momen modern dan momen posmodern bisa hidup bersama dalam diri seniman yang sama, atau bergantian, atau saling mengikuti dari dekat.
Lihat saja Joyce. Portrait adalah cerita tentang suatu upaya pada momen modern. Dubliners, meskipun muncul lebih dulu, lebih modern daripada Portrait of a Lady. Ulysses berada di garis batas. Finnegans Wake sudah posmodern, atau setidaknya memulai wahana posmodern itu: ini menuntut, agar bisa dipahami, bukan negasi dari yang sudah dikatakan, tetapi pemikiran kembali ironiknya.
Tentang masalah posmodern, hampir segala sesuatunya sudah dikatakan, dari yang paling awal (misalnya, dalam esai-esai seperti "The Literature of Exhaustion" oleh John Barth, yang bertahun 1967). Bukan karena saya sepenuhnya sepakat dengan jenjangjenjang yang diberikan oleh teoretisi posmodernisme (termasuk Barth) kepada penulis dan pelukis, dengan menetapkan siapa yang posmodern dan siapa yang belum menjadi posmodern. Namun, saya tertarik dalam teorem yang diambil oleh teoretisi tren itu dari dasar pikiran mereka: "Penulis posmodernisku yang ideal bukan yang sekadar mengakui atau sekadar meniru baik orangtua modernisnya abad kedua puluh maupun kakek modernisnya abad kesembilan belas.
Ia membawa setengah dari abad kita di bawah sabuknya, tetapi tidak menggendongnya di atas punggung ....
Mungkin ia tidak akan berharap untuk mencapai dan menarik penggemar James Michener dan Irving Wallace apalagi untuk menyebut media massa tuna aksara yang lobotomized (lob = bola yang dipukul tinggi ke arah sebelah lawan). Tetapi ia
seharusnya berharap untuk mencapai dan bergembira, paling sedikit sebagian waktu, di luar lingkaran yang oleh Mann disebut Early Christians: penggemar profesional dari seni agung .... Novel posmodernis yang ideal akan sedikit banyak naik di atas pertengkaran antara realisme dan irealisme, formalisme dan 'contentisme', khazanah sastra murni dan peran serta, fiksi untuk kalangan tertentu dan fiksi murahan .... Saya sendiri akan menganaloginya dengan jazz bagus atau musik klasik: orang menemukan banyak dengan mendengarkan terus-menerus atau meneliti dengan cermat skor yang tidak bisa ditangkap orang itu pada saat pertama kali mengikuti; tetapi saat pertama mengikuti itu seharusnya begitu menggetarkan dan tidak hanya bagi spesialis sehingga orang senang waktu dimainkan kembali."
Ini yang ditulis oleh Barth pada 1980, sebagai ringkasan diskusi tersebut, namun kali ini dengan judul "The Literature of Replenishment: Posmoder-nist Fiction"[Kedua esai itu dicetak kembali dalam The Literature of Exhaustion (Northridge, California: Lord John Press, 1982).] Tentu saja, subjeknya bisa didiskusikan lebih lanjut, dengan suatu selera lebih besar untuk paradoks; dan ini yang dikerjakan oleh Leslie Fiedler. Pada 1980, Salmagundi (no. 50-51) memuat satu perdebatan antara Fiedler dan penulis Amerika lainnya. Fiedler, nyata-nyata, tidak bisa dibujuk. Ia memuji The Last of the Mohicans, kisah petualangan, novel Gothik, yang oleh para kritisi dicela sebagai murahan, yang bagaimanapun juga mampu
menciptakan mitos dan menawan imajinasi selama lebih dari satu generasi. Ia ingin tahu apakah sebuah novel seperti Uncle Tom's Cabin bakal pernah muncul lagi, suatu buku yang bisa dibaca dengan hasrat yang sama di dapur, di ruang tamu, dan di kamar anak-anak. Ia memasukkan Shakespeare di antara mereka yang tahu caranya menghibur, bersama dengan Gone with the Wind. Kita semua tahu bahwa ia seorang kritisi yang terlalu tajam untuk memercayai hal-hal ini. Ia sekadar ingin menghancurkan halangan yang selama ini telah didirikan di antara seni dan kemampuan menikmati. Ia merasa bahwa masa kini mulai mencapai publik luas dan mulai menawan mimpi-mimpinya mungkin berarti akting sebagai avant-garde, dan ia masih membiarkan kita dengan bebas mengatakan bahwa menawan mimpi-mimpi pembaca tidak perlu berarti mendorong khayalan: ini juga bisa berarti menghantui mereka.
Novel Historis Selama dua tahun saya menolak untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang buang waktu mengenai aturan tentang "Apakah novel Anda suatu karya terbuka atau tidak"" Bagaimana saya tahu" Itu urusan kalian, bukan urusanku. Atau "Dengan apa Anda mengidentifikasi tokoh-tokoh Anda"" Demi Tuhan, dengan siapa seorang pengarang mengidentifikasi" Jelas dengan kata keterangan.
Dari semua pertanyaan omong kosong, yang paling berengsek adalah pertanyaan yang diajukan
oleh mereka yang menyarankan bahwa menulis tentang masa lalu adalah suatu cara untuk menghindari masa kini. "Apa itu betul"" tanya mereka kepada saya. Kira-kira begitu, jawab saya: jika Manzoni menulis tentang abad ketujuh belas, itu berarti abad kesembilan belas tidak menarik baginya.
Shakespeare menuliskan kembali orang-orang zaman pertengahan dan tidak tertarik pada zamannya sendiri, sedangkan Love Story dengan tegas menceritakan masanya sendiri, namun La Chartreuse de Parme hanya menceritakan kejadian-kejadian yang telah terjadi lebih dari dua puluh lima tahun sebelumnya ....Tidak ada gunanya mengatakan bahwa semua persoalan Eropa modern mengambil bentuk yang di dalamnya kita masih merasakannya selama Abad Pertengahan: demokrasi komunal dan perekonomian perbankan, monarki nasional dan kehidupan kota, teknologi baru dan pemberontakan kaum miskin.
Abad Pertengahan adalah masa kanak-kanak kita
, ke sana kita harus selalu kembali, untuk anamnesis. Tetapi juga ada Abad Pertengahan gaya-Excalibur. Dan dengan begitu masalahnya jadi lain dan tidak bisa disusuri. Apa arti menulis satu novel historis" Saya percaya ada tiga cara untuk menceritakan masa lalu. Pertama adalah roman, dan contohnya berkisar dari siklus Breton sampai Tolkien, juga termasuk novel Gothik, yang bukan sebuah novel tetapi sebuah roman. Masa lalu adalah pemandangan, preteks, konstruksi dongengperi, agar imajinasi bisa melayang dengan bebas. Dalam artian ini, sebuah roman tidak perlu harus terjadi pada masa lalu; ini hanya harus terjadi sekarang dan di sini, dan sekarang dan di sini ini tidak boleh disebutkan, bahkan tidak sebagai alegori.
Banyak fiksi sains merupakan roman murni. Roman adalah cerita dari suatu tempat lain.
Lalu muncul novel jagoan, cerita mantol dan-belati, seperti karya Dumas. Jenis novel ini memilih suatu masa lalu yang bisa dikenali dan "nyata", dan agar bisa dikenali, novelis itu mengisinya dengan tokoh-tokoh yang sudah ditemukan dalam ensiklopedi (Richelieu, Mazarin), sementara membuat mereka melakukan aksi yang tidak dicatat dalam ensiklopedi (dengan menemui Milady, bergaul dengan seseorang yang bernama Bonacieux) tetapi yang tidak berlawanan dengan ensiklopedi itu. Dengan sendirinya, untuk memperkuat ilusi realitas itu, tokoh-tokoh historis itu juga harus melakukan apa (seperti disepakati historiografi) yang benar-benar mereka lakukan (mengepung La Rochelle, punya hubungan erat dengan Anne dari Austria, berurusan dengan Fronde). Para tokoh imajiner tersebut diperkenalkan ke dalam gambar ("nyata") ini, meskipun mereka memperagakan perasaan yang juga bisa dikaitkan dengan tokoh dari periode lainnya. Apa yang dilakukan oleh d'Artagnan, dalam menemukan kembali perhiasan Ratu di London, mungkin juga bisa ia lakukan dalam abad kelima belas atau kedelapan belas. Tidak perlu hidup dalam abad
ketujuh belas untuk memiliki psikologi dari d'Artagnan.
Dalam novel historis, sebaliknya, tokoh tidak perlu dapat dikenali dalam ensiklopedia biasa untuk muncul. Contohnya, The Betrothed: tokoh nyata yang paling terkenal adalah Kardinal Federigo, yang, sebelum Manzoni muncul, merupakan sebuah nama yang hanya dikenal oleh beberapa orang (Imam Borromeus lain, Santo Charles, adalah seorang yang terkenal). Tetapi segala sesuatu yang dilakukan oleh Renzo, Lucia, atau Fra Cristoforo hanya dapat dikerjakan di Lombardia pada abad ketujuh belas. Apa yang dilakukan tokoh-tokoh itu membantu membuat sejarah, apa yang telah terjadi, lebih mudah dipahami. Kejadian dan tokoh itu membentuk, namun mereka menceritakan kepada kita hal-hal tentang Italia pada periode yang tidak pernah diceritakan secara begitu jelas oleh buku-buku sejarah itu.
Dalam artian ini, tentu saja, saya ingin menulis satu novel historis, dan bukan karena Ubertino atau Michael benar-benar ada dan sudah mengatakan kurang lebih apa yang mereka katakan, tetapi karena segala sesuatu yang dikatakan oleh tokoh-tokoh fiksi seperti William seharusnya dikatakan pada masa itu.
Saya tidak tahu sampai di mana kesetiaan saya kepada tujuan ini. Saya tidak percaya bahwa saya mulai melupakannya waktu saya menyamarkan kutipan dari para pengarang (misalnya saja Wittgenstein), dengan menyampaikannya sebagai
The Name Of The Rose Karya Umberta Eco di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kutipan masa itu. Dalam contoh-contoh tersebut saya tahu betul bahwa itu bukan karena tokoh Abad Pertengahan saya yang menjadi modern; andaikan ya, justru orang modern yang berpikir dalam kerangka pikir Abad Pertengahan. Lebih-lebih lagi, saya bertanya kepada diri sendiri apakah berkali-kali saya tidak memperkaya tokoh-tokoh fiksi dengan suatu kapasitas untuk mengumpulkan menjadi satu, dari disiecta membra pikiran-pikiran yang sepenuhnya zaman pertengahan itu, semacam hircocervuses konseptual yang, dalam bentuk ini, Abad Pertengahan tidak bakal mengakui itu sebagai miliknya.
Tetapi saya percaya bahwa suatu novel historis seharusnya melakukan ini, pula: tidak hanya mengenali masa lalu masalah dari apa yang datang kemudian, tetapi juga melacak proses yang melaluinya masalah-masalah ini pelan-pel
an mulai menghasilkan efek mereka.
Jika, dengan membandingkan dua ide zaman pertengahan, menghasilkan ide ketiga, yang lebih modern, seorang tokoh saya melakukan persis apa yang dilakukan kebudayaan; dan jika tak seorang pun pernah menulis apa yang ia katakan, seseorang, meskipun dengan bingung, sudah tentu telah mulai memikirkannya (mungkin tanpa mengucapkannya, karena terhalang oleh banyak sekali rasa takut dan rasa malu).
Bagaimanapun juga, adalah satu masalah yang amat menyenangkan saya: sekali tempo ada
seorang kritisi atau seorang pembaca yang menulis untuk mengatakan bahwa seorang tokoh saya menyatakan halhal yang terlalu modern, dan dalam setiap contoh ini, dan hanya dalam contoh-contoh ini, saya sungguh-sungguh mengutip teks abad keempat belas.
Dan ada halaman lainnya yang di dalamnya pembaca menghargai kualitas zaman pertengahan yang amat indah, sementara saya merasa halaman-halaman itu secara tidak sah modern. Dalam kenyataan, setiap orang punya ide sendiri tentang Abad Pertengahan, yang biasanya kacau. Hanya para rahib masa itu yang tahu kebenarannya, tetapi mengatakannya kadang bisa membawa pertaruhan.
Penutup Saya menemukan lagi dua tahun setelah menulis novel ini catatan yang saya buat pada 1953, waktu saya masih mahasiswa.
Horatio da temannya mengundang Count dari P. untuk menyelesaikan misteri hantu itu. Count dari P., seorang laki-laki terhormat yang eksentrik dan tenang. Di hadapannya, seorang kapten muda dari pengawal Denmark, dengan metode FBI. Perkembangan normal dari aksi itu mengikuti garis-garis tragedi tersebut. Pada babak terakhir, Count dari P. itu, setelah mengumpulkan seluruh keluarga, menjelaskan misteri tersebut: pembunuhnya adalah Hamlet. Sudah terlambat, Hamlet mati.
Bertahun-tahun kemudian saya menemukan bahwa Chesterton pernah menyarankan suatu
gagasan semacam itu, saya lupa di mana. Agaknya kelompok Parisian Oulipo[Ouuroir de Litterature Potentielle, diorganisasi oleh Queneau, Le Lyonnais, Perec, dan lain-lainnya untuk menghasilkan khazanah sastra dengan cara kombinasi matematikal,] belum lama ini menyusun satu matrik dari semua kemungkinan situasi cerita-pembunuhan dan telah menemukan bahwa masih harus ditulis satu buku yang di dalamnya, pembunuhnya adalah si pembaca.
Moral: ada ide-ide obsesif, ide-ide itu tidak pernah pribadi; buku saling bercakap-cakap di antara mereka sendiri, dan deteksi saya yang betul akan membuktikan bahwa kita adalah pihak yang bersalah. []
-END- Pendekar Buta 7 Rajawali Emas 13 Rahasia Pesan Serigala Kampung Setan 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama