Fear Street Jeritan Terkeras Loudest Scream Fearpark 2 Bagian 2
lamanya mengganggu. Pacar lamanya. Meghan terisak sambil berlari keluar dari pintu gerbang taman
hiburan. Dia membuatku hidup abadi agar kami bisa bersama-sama
selamanya. Tapi dia mengkhianatiku! Dia pacaran lagi, berciuman
dengan gadis lain, dan aku terperangkap di dalam rumah batu besar
yang dingin itu! Hantu, itulah aku. Dan bagaimana dengan kutukan itu" Apakah benar-benar ada"
Atau hanya karangan Robin"
Robin sama sekali tidak mengkhawatirkan kutukan malam ini.
Silakan saja kalau seluruh taman hiburan mau meledak sewaktu dia
sedang mencium gadis itu. Dia tidak akan peduli!
Apakah Robin juga telah membohonginya mengenai kutukan
itu" Mengenai melindungi taman hiburan dan keluarga Bradley"
Apakah Robin telah berbohong mengenai segalanya"
Kalau benar, aku akan beri dia pelajaran, Meghan bersumpah.
Dia telah membuat hidupku menjadi hidup yang tanpa kehidupan
sama sekali. Akan kucari jalan untuk membalasnya!
************* "Kau cantik sekali malam ini, Dierdre," bisik Robin. Bibirnya
menyentuh telinga Dierdre waktu ia mengatakan itu. "Aku harap kita
bisa seperti ini selamanya."
"Aku juga." Dierdre mengangkat kepala menatap Robin. Gaun
pendeknya yang berwarna hijau sangat serasi dengan warna matanya
yang kehijauan. "Kalau kau menciumku, aku lupa semua kejadian
yang tidak menyenangkan itu." Dierdre tertawa. "Mungkin harusnya
kau menciumku terus sepanjang malam."
"Ide bagus juga." Robin menyeringai dan mencium Dierdre
lagi. Lalu ia menyandarkan dagunya ke puncak kepala Dierdre dan
menebarkan pandang ke taman hiburan yang dipenuhi pengunjung. Ke
pasangan-pasangan yang sedang tertawa-tawa. Ke anak-anak yang
berlompatan kegirangan. Ke badut-badut dengan senyum lebar yang
dicatkan di wajah mereka.
Semua itu membuat perut Robin mual.
Taman hiburan ini harusnya sama sekali tidak dibangun. Dan
sekarang benar-benar terjadi, taman ini dibuka!
Ia ingin bisa membunuh semua orang ini!
Rasa marah membanjiri diri Robin. Tapi Dierdre sama sekali
tidak menyadarinya. "Kau tahu?" kata Dierdre. "Beberapa hari ini aku
tidak enak makan, tapi sekarang aku benar-benar lapar! Pasti karena
aroma berbagai makanan itu. Ayo kita cari hot dog. Dan es krim!"
"Setuju!" sahut Robin, walaupun sebetulnya memikirkan makan
di dalam taman hiburan ini saja sudah membuatnya mau muntah.
Sambil meraih tangan Dierdre ia melihat jamnya. "Oh-oh."
"Kenapa?" tanya Dierdre. "Masa waktu istirahatmu sudah
habis?" Robin mengangguk. "Hampir. Dan aku harus menyelesaikan
giliranku menjalankan Kincir Bianglala. Orang yang sekarang
menjalankannya itu masih baru. Kalau ada yang rusak, dia tidak akan
tahu bagaimana memperbaikinya."
Dierdre memandang ke atas, ke roda besar penuh gemerlap
lampu yang sedang berputar di angkasa. "Jangan bicara tentang Kincir
Bianglala yang rusak," katanya. "Itu mengingatkanku akan Paul."
"Hei." Robin meremas tangan Dierdre. "Tidak ada hal buruk
yang akan terjadi pada kincir raksasa ini."
Tapi sesuatu yang sangat buruk akan terjadi padamu, pikirnya
saat sebuah ide terbentuk di kepalanya.
Dan aku tahu persis apa yang akan terjadi!
Aku sudah memutuskan apa "kecelakaan" berikutnya.
Robin menarik tangan Dierdre. "Aku punya ide hebat," katanya.
"Waktu istirahatku masih ada beberapa menit. Bagaimana kalau kita
naik gratis?" "Naik Kincir Bianglala?" tanya Dierdre saat Robin menariknya
melewati kerumunan manusia. "Oh, Rob, entahlah. Aku masih
berpikir..." Ia tidak menyelesaikan kata-katanya.
"Begini," kata Robin. "Kau pernah dengar, kan, bahwa kalau
kau jatuh dari kuda, kau harus langsung naik lagi, kalau tidak, kau tak
akan pernah berani melakukannya lagi."
"Ya, tapi..." "Anggap saja kincir raksasa itu sebagai kudamu," kata Robin.
"Aku tahu kau takut pada kincir raksasa itu. Dan aku tahu sebabnya.
Tapi sekali kau naik, dan ternyata tidak apa-apa, semua kenangan
burukmu akan hilang."
"Menurutmu begitu?" tanya Dierdre.
"Aku yakin sekali," kata Robin.
Namun kau tidak akan selamat, pikir Robin. Kau akan naiki
"kuda" itu, tapi kau akan langsung jatuh lagi.
Aku akan pastikan itu. Karena aku akan naik Kincir Bianglala bersamamu, Dierdre.
Jauh di atas, di kabin kecil yang bergoyang-goyang itu.
Dan akan kukirim kau terjun ke bawah dari puncak yang paling
tinggi. Kau akan membuat genangan indah waktu kau mendarat nanti,
Dierdre. Genangan indah persis di depan pintu kantor ayahmu!
Roda besar itu sudah berhenti, untuk mengambil penumpang.
Sambil melempar senyum mantap, Robin menarik Dierdre ke arah
kabin penumpang yang sudah menunggu.
"Bagaimana?" tanyanya pada Dierdre sambil memegangi
tempat duduk. Dierdre memandang kabin itu sebentar sambil menggigit bibir.
Lalu ia menarik napas panjang. "Baik!" katanya. "Aku siap
membuang semua kenangan buruk itu!"
Bagus, pikir Robin. Karena aku siap membuangmu!
Bab 13 ROBIN memiringkan sedikit kabin penumpang itu agar
memudahkan Dierdre naik ke dalamnya. Tangannya yang satu
diulurkannya membantu gadis itu naik. "Ini akan sangat
menyenangkan," katanya pada Dierdre penuh semangat. "Kau tidak
tahu betapa cantiknya taman hiburan ini dilihat dari atas. Semua
lampu itu terhampar di bawah, dan orang-orang kelihatan kecil. Dan
kita ada di sana, di puncak dunia. Berdua!"
Dierdre tersenyum menyeringai. "Kedengarannya menarik."
"Sangat," kata Robin.
Tapi tidak untukmu, Dierdre.
Setidaknya, tidak untuk waktu lama.
Oh, kau boleh berputar beberapa kali. Beberapa kali
memandang karya jelek ayahmu ini. Tapi begitu kabin kita berhenti di
puncak paling tinggi, kau akan terjun ke dasar paling dalam!
Saat Dierdre memegangi tangannya, Robin merasa jantungnya
berdetak lebih kencang membayangkan apa yang akan terjadi. Inilah
saatnya, pikirnya. Inilah awal tamatnya riwayat Fear Park!
Ledakan yang memekakkan telinga mengguncang udara.
Dierdre melepaskan tangan Robin dan meloncat mundur,
wajahnya ketakutan. "Apa itu?" bisiknya.
Terdengar ledakan lagi, diikuti suara-suara jeritan panik.
"Rob, apa itu?" seru Dierdre. "Apa yang terjadi?"
"Itu cuma Kobar-Kobar. Lihat." Robin menunjuk.
Kobar-Kobar adalah roller-coaster, wahana Fear Park yang
paling mendebarkan. Wahana itu melingkar dengan kecepatan tinggi,
membawa. penumpangnya dengan kepala di bawah sampai enam kali.
Dan berakhir dengan ledakan rel dan kereta di tengah kobaran api.
Api dan rel yang hancur berantakan itu hanya ilusi. Hanya efek
khusus. Tapi ilusi yang sangat mirip kenyataan.
Api tiruan itu masih berkobar-kobar saat iring-iringan gerbang
roller-coaster melambat dan berhenti. Tapi para penumpangnya sudah
berhenti menjerit-jerit, berganti dengan tawa dan ocehan kagum.
"Lihat orang-orang itu. Mereka senang sekali," Robin
meyakinkan Dierdre. "Ya." Dierdre menarik napas gemetar. "Rasanya aku masih
gugup. Padahal seharusnya aku sudah terbiasa mendengar suara
ledakan Kobar-Kobar."
"Itu karena kau terkejut, itu saja." Seperti nanti aku akan
mengejutkanmu, pikir Robin. "Ayo, kita naik Kincir Bianglala.
Orang-orang di belakang kita sudah antre."
Robin mengulurkan tangannya lagi, tapi Dierdre menarik
tangannya. "Aku belum bisa, Rob." Dierdre melangkah minggir, memberi
jalan pada orang yang antre di belakangnya. "Mungkin aku memang
tolol, tapi aku masih terlalu gugup untuk naik Kincir Bianglala
sekarang." Sudah dekat sekali, pikir Robin. Sudah hampir!
"Oh, Rob, maafkan aku! Aku mengecewakanmu." Dierdre
berdiri berjinjit dan mencium pipi Robin. "Lain kali saja kita naik
sama-sama, ya?" "Betul?" tanya Robin. "Aku tidak ingin memaksamu..."
"Tidak, aku sungguh-sungguh. Aku betul-betul mau," kata
Dierdre. "Kauselesaikan giliran jagamu, aku jalan-jalan dulu. Aku
janji akan kembali ke sini, lalu kita naik ke puncak dunia sama-sama."
Dan akan kutagih janjimu itu, pikir Robin. "Bagus," katanya.
"Dan tidak usah khawatir, Dierdre."
"Tidak, aku tidak khawatir." Dierdre mencium Robin lagi. "Aku
tahu semuanya akan beres."
Tidak, kau tidak tahu, pikir Robin sambil memperhatikan gadis
itu berjalan pergi. Kau sama sekali tidak tahu akan ada kejadian yang
sangat mengerikan. *********** "Jangan ke mana-mana dulu, karena setelah ini akan kami
siarkan tragedi di Fear Park," kata pembawa acara. "Tentunya setelah
yang berikut ini." Ketika televisi menayangkan siaran iklan, Jared menyambar
remote control dari meja kecil di samping tempat tidurnya.
Dipindahnya channel televisi ke stasiun lain. Tapi yang ia dapat siaran
iklan juga. Jared kembali ke channel empat dan menunggu lanjutan siaran
berita. Ia tidak ingin menontonnya, tapi ia harus tahu.
Bagaimana kalau ia dan teman-temannya meninggalkan sesuatu
yang bisa dijadikan bukti" Mungkin ada sesuatu yang jatuh dari saku
tanpa mereka sadari. Dan bagaimana kalau kedua petugas keamanan
itu mendapati bahwa ia dan teman-temannya tidak bekerja di stand
makanan" Mereka akan mencocokkan hal-hal itu. Kami berada dalam
masalah besar, pikir Jared. Masalah serius.
"Hei, Jared, matikan televisinya!" Kevin meminta untuk
keseratus kalinya. "Kalau polisi menduga kita terlibat dalam kematian
Gunther, mereka sudah menggedor-gedor pintu kita sekarang!"
"Dia betul," Steve setuju, sambil menggulung-gulung
rambutnya yang diikat seperti buntut kuda dengan gelisah. "Kita
aman." "Dan kita memang tidak berbuat apa-apa," Joey mengingatkan
mereka. "Kita tidak mendorong si brengsek itu, ingat?"
"Memang tidak, tapi..."
"Diam!" tukas Jared. "Dengar beritanya."
Wajah si pembaca berita tampak suram. "Tubuh Stephen
Gunther, pria berusia 45 tahun, ditemukan tadi malam di dasar tebing
di Cagar Satwa Liar Fear Park. Tubuh manajer cagar tersebut rusak
dikoyak-koyak singa, walaupun pemeriksaan memastikan bahwa
kematian pria itu disebabkan oleh jatuhnya, bukan oleh singa-singa
tersebut." Adegan berganti ke wawancara dengan Jason Bradley. "Mr.
Gunther karyawan yang baik," kata Jason dengan suara sedih.
"Kematiannya adalah kecelakaan tragis, dan kami semua akan sangat
kehilangan dia." Pembaca berita muncul lagi. "Ramalan cuaca"setelah pesanpesan berikut."
"Ya, kan" Mereka bilang itu kecelakaan," kata Kevin saat Jared
mematikan televisi. "Tidak ada yang menyalahkan kita."
"Bagaimana mereka akan bisa menyalahkan kita?" tanya Joey.
"Tidak ada yang tahu kita ada di atas sana."
"Rob Fear tahu," Jared mengingatkannya.
"Oh." Wajah Joey berubah cemas. "Betul juga."
"Ya! Aku sampai lupa tentang dia!" Kevin meninju bantal sofa.
"Menurut kalian, dia mengira kita yang melakukannya?"
"Entahlah, aku tidak tahu. Tapi kalau dia mengira begitu, dia
harus kita urus." Jared berdiri dan menyambar kunci mobilnya. "Ayo.
Kita harus ke Fear Park, bicara dengan dia."
Robin Fear harus memercayai kami, pikir Jared saat ia dan
teman-temannya berangkat ke taman hiburan. Robin satu-satunya
yang tahu kami ada di atas sana waktu itu. Dia satu-satunya yang
mungkin mencurigai kami sebagai penyebab kematian Gunther.
Tapi kami tidak melakukannya!
Dia harus percaya pada kami!
Deretan mobil yang parkir di kiri-kanan jalan memenuhi semua
jalan sampai beberapa blok. Tempat parkir umum penuh sesak. Jared
terpaksa parkir dua belas blok jauhnya. Saat ia dan teman-temannya
bergegas menuju Fear Park, jantungnya berdebar begitu keras sampai
rasanya mau meledak. Terengah-engah, Jared berlari ke loket masuk. Seorang lelaki
tua berkacamata tebal duduk di dalam loket. "Berapa orang?" tanya
lelaki tua itu dengan suara gemetar.
Jared menggelengkan kepalanya. "Kami tidak mau naik apaapa," katanya pada orang tua itu. "Kami hanya mau bertemu teman
kami"Rob Fear. Dia bekerja menjalankan Kincir Bianglala."
"Maaf?" Lelaki tua itu menatap Jared melalui lensa
kacamatanya yang tebal. "Berapa lembar karcis katamu?"
"Kami tidak perlu karcis. Kami cuma perlu bicara dengan
seseorang," ulang Jared.
Orang tua itu menggelengkan kepalanya. "Maaf, Nak. Kalian
tidak bisa masuk tanpa karcis."
"Berapa kali harus kukatakan padamu" Kami tidak ingin
menggunakan apa pun di taman jelek ini," kata Jared sambil
mengertakkan gigi. "Kami cuma mau bicara dengan Rob Fear."
"Aku tidak bisa memercayai kata-katamu begitu saja, kan?"
kata orang tua itu. "Kalau kubolehkan kau dan teman-temanmu
masuk, siapa yang bisa memastikan kau tidak akan mencoba semua
wahana dengan gratis?"
"Aku yang memastikan!" Jared memaksa. Di belakangnya, ia
mendengar gemerincing uang logam ketika teman-temannya merogoh
saku mereka masing-masing. Ia berbalik dan memelototi mereka.
"Kita tidak akan bayar!" bentaknya. "Simpan uang kalian. Kita tidak
akan naik apa-apa, jadi kita tidak akan bayar!"
"Kalau begitu kalian tidak bisa masuk," kata lelaki tua itu
padanya. "Kami harus!" teriak Jared. "Kami harus bicara dengan Rob
Fear!" Dibakar rasa marahnya, ia mengulurkan tangan, mencengkeram
baju lelaki tua itu dan mengentakkannya hingga berdiri.
"Kami harus bicara dengan dia! Kami tidak ingin naik apaapa!" teriak Jared. Ia mengguncang-guncang lelaki tua itu. "Kau
dengar kata-kataku sekarang" Kami harus bicara dengan Rob Fear!"
Lepas kendali, Jared terus mengguncang-guncang lelaki tua itu.
Fear Street Jeritan Terkeras Loudest Scream Fearpark 2 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia mendengar teman-temannya berteriak padanya, tapi ia tidak peduli.
Ia terus saja berteriak-teriak sambil mengguncang-guncang orang itu.
"Kau mau membiarkan kami masuk sekarang, hah?" jerit Jared.
"Hah" Kaubiarkan kami masuk?"
Kepala orang itu beruncang-guncang ke kiri dan ke kanan.
Kacamatanya terbang entah ke mana. Jared masih terus
mengguncang-guncangnya. Semakin keras. Makin lama makin keras.
Dan kepala orang tua itu terkulai lemah.
Jared menatapnya. Terengah-engah.
"Kau membunuhnya!" seru Joey. "Kau membunuhnya, Jared!"
Bab 14 JARED membeku. Tidak mungkin aku membunuhnya. Aku
tidak terlalu keras mengguncangnya!
Tapi orang itu sudah tidak muda lagi. Dan lehernya kurus
sekali. Leher sekurus itu pasti gampang patah.
Apakah aku telah membunuhnya" pikir Jared. Apakah aku
benar-benar telah membunuhnya"
"Hei!" sebuah suara berseru tidak jauh dari sana. "Ada apa ini?"
Jared menoleh ke jalan yang mengarah keluar dari Fear Park.
Dua orang petugas keamanan taman hiburan itu bergegas
menuju loket masuk. "Oh, gawat!" erang Steve. "Celakalah kita!"
Aku tidak bermaksud membunuh orang itu! pikir Jared. Dia saja
yang tidak mau mendengarkanku!
Terlambat untuk lari. Terlambat.
"Apa yang terjadi?" salah seorang petugas keamanan
mengulangi pertanyaannya saat dia dan temannya berlari mendekat.
"Ada apa dengan Mr. Jenkins?"
"Aku..." Jared tersendat. "Aku rasa dia..."
"Oooh," terdengar erangan lemah. "Oh, kepalaku, leherku."
Jared memutar tubuh. Orang tua itu masih hidup!
"Leherku!" erang Jenkins lagi. Sambil memutar-mutar
kepalanya ke kiri dan ke kanan, tangannya meraba-raba mencari-cari
kacamatanya dan memakainya. Matanya mengedip- ngedip beberapa
kali, lalu matanya yang biru terfokus ke Jared.
"Kau!" teriaknya.
"Kenapa dia?" salah seorang petugas keamanan bertanya.
"Dia tidak mau beli karris!" lapor Jenkins. "Dia mau
mematahkan leherku!"
"Tidak!" bantah Jared. "Aku tidak pernah bermaksud menyakiti
dia!" Petugas keamanan mencengkeram pundak Jared. "Pergi dari
sini," geramnya. Jared mencoba berontak, tapi si petugas keamanan
memperkeras cengkeramannya. "Kalian tidak bisa mengusir kami,"
Jared mencoba bersilat lidah, "kalau kami bayar karcis."
Petugas kedua tertawa. "Harusnya dari tadi kaubayar, sekarang
tidak ada gunanya. Ayo, pergi."
Kedua petugas keamanan berbadan besar itu mengusir Jared
dan teman-temannya dari loket dan mengawasi sampai mereka hilang
dari pandangan. Sambil memasukkan kedua tangannya ke saku, Jared berjalan di
depan teman-temannya. Fear Park! pikirnya kesal. Tempat busuk!
Ingin rasanya kujungkirbalikkan!
Jared tersandung batu dan hampir kehilangan keseimbangan.
Dengan marah ia menendang batu itu keras-keras. Batu itu terpental,
menggelinding, dan berhenti di dekat sebuah lubang di pagar yang
mengelilingi Fear Park. Sebuah lubang di pagar. Jared berhenti dan memeriksanya
sebentar. Perlahan-lahan, senyuman mengembang di wajahnya. Ia
mendapat ide. Cepat-cepat ia menyuruh teman-temannya masuk ke mobil, lalu
mereka segera pulang ke rumahnya. Di kamarnya, ia mengaduk-aduk
isi lemari sampai menemukan yang dicarinya, sebuah kotak logam
berwarna hijau. "Kau akan memberitahu kami apa yang kaulakukan, atau kami
harus menebak-nebak?" tanya Kevin tak sabar.
"Ya," Joey menyambung. "Kenapa kau senyum-senyum seperti
itu" Apa yang lucu?"
"Tidak ada yang lucu"belum," kata Jared. "Tapi aku punya
cara untuk masuk ke Fear Park. Dan begitu kita ada di dalam, kita
akan melakukan banyak hal yang menyenangkan!"
Sambil tersenyum menyeringai lagi, Jared membuka kotak itu.
************* Masih banyak waktu, pikir Robin setelah menyelesaikan giliran
tugasnya. Masih dua jam lagi Fear Park baru akan ditutup. Yang perlu
kulakukan sekarang adalah mencari Dierdre dan mengajaknya naik
Kincir Bianglala. Ia berjalan di sela-sela orang banyak. Tapi ia berhenti ketika
melihat Jared Malone dan teman-temannya di dekat Rumah Kaca.
Hei, mereka tidak ikut antrean orang-orang yang mau masuk,
Robin menyadari. Keempat anak itu menyelinap masuk melalui pintu keluar
darurat. Mau apa mereka" Robin menunggu sampai yang terakhir dari keempat anak itu
lenyap. Lalu cepat-cepat ia menyusul mereka masuk.
Suara tawa dan jeritan bersahut-sahutan dari gang-gang
berdinding cermin. Robin menunggu sampai Jared dan temantemannya berbelok di sudut. Lalu ia bergegas mengejar.
Setelah berbelok di sudut, ia melihat keempat anak itu di
belakang barisan orang. Tapi mereka tidak memandang dan tertawa ke
bayangan mereka yang lucu-lucu dan aneh-aneh di cermin seperti
orang lain. Dari jarak agak jauh Robin melihat Jared mengeluarkan sesuatu
dari sakunya. Lalu Jared berlutut dan menaruh benda itu di kaki
sebuah cermin. Teman-temannya mendengus.
Robin tersenyum. Petasan. Jared baru saja menaruh petasan.
Sambil masih terus bersembunyi di belakang, Robin
memperhatikan saat Jared menaruh selusin petasan. Merasa cukup
yang dilihatnya, Robin berbalik untuk pergi, tapi ia tersandung dan
jatuh menabrak sebuah cermin.
Cermin itu tidak pecah, tapi suaranya keras sekali sehingga
Jared menoleh. Begitu Jared melihat Robin, ia mengajak teman-temannya
berbelok di sudut dan hilang dari pandangan.
Takut kalau aku laporkan, pikir Robin.
Tapi aku punya rencana yang jauh lebih menarik.
Melewati barisan orang yang asyik becermin, Robin keluar dari
gedung dan memandang berkeliling, mencari Dierdre.
Itu dia, di dekat stand hot dog!
"Dierdre!" teriaknya memanggil sambil melambaikan tangan.
Dierdre tersenyum melihatnya saat Robin bergegas mendekati.
Robin mencium Dierdre sekilas. "Hei, pernah masuk ke Rumah
Kaca?" tanyanya bersemangat. "Aku baru saja dari sana, hebat!
"Dengar," ia meneruskan. "Jaketku ketinggalan di Kincir
Bianglala. Kau masuk saja dulu, melihat-lihat Rumah Kaca sementara
aku mengambil jaketku. Oke" Aku tunggu kau waktu kau keluar nanti.
Kau pasti suka melihat Rumah Kaca!"
Sambil bicara Robin mengarahkan Dierdre ke Rumah Kaca. Ia
sudah tak sabar, ingin Dierdre cepat-cepat masuk.
Melihat Jared dan teman-temannya menaruh petasan-petasan
tadi, menimbulkan ide di benak Robin.
Ide cemerlang. EBUKULAWAS.BLOGSPOT.COM
Cara sempurna memanfaatkan kenakalan remaja Jared menjadi
sesuatu yang jauh lebih menarik.
Sebuah tragedi besar. Bab 15 "KAU pasti suka, Dierdre!" Robin mendorong Dierdre ke pintu
masuk. Tapi Dierdre berhenti melangkah. "Aku tidak bisa ke sana,"
katanya. "Aku sedang disuruh Dad. Saluran Lima ingin
mewawancarainya. Mereka membawa kru kamera ke sini. Dad
menyuruhku mengambil dasinya di kantor."
Dierdre berjinjit dan mencium pipi Robin. "Aku pergi dulu
sebentar, habis itu kita bisa bersenang-senang."
Salah, Dierdre, pikir Robin sambil memandang gadis itu berlari
ke kantor ayahnya. Kau sama sekali takkan bisa bersenang-senang.
Aku yang akan bersenang-senang.
Robin kembali menuju Rumah Kaca.
Ia bisa mendengar suara orang-orang di dalam sedang menjeritjerit kegirangan.
Sayang sekali Dierdre tidak bersama mereka, pikirnya. Tapi aku
tidak bisa menunggu Dierdre. Aku tidak bisa melewatkan kesempatan
bagus ini. Robin memejamkan mata. Ditutupnya telinganya dari suarasuara bising taman hiburan. Dari orang-orang yang hilir-mudik di
sekitarnya. Dari suara musik organ Komidi Putar.
"Jadot kalisto," bisiknya perlahan. "Jadot exto kalisto."
Sambil membaca mantra dari salah satu buku kuno, Robin bisa
merasakan kekuatan yang terhimpun makin lama makin besar.
Berhasil! pikirnya. "Exto denota." Kekuatan sihir itu semakin besar, sampai Robin bisa
merasakannya menyelimuti dirinya. Sekarang kalimat terakhir,
pikirnya. "Denota jadot kalisto!"
Robin membuka matanya. Selama sepersekian detik tidak ada perubahan, masih sama
seperti tadi. Robin menunggu dengan tegang.
Udara bergetar. Tanah bergoyang. Bumi bagaikan terangkat. Dan ledakan memekakkan telinga mengguncang tanah ketika
Rumah Kaca meledak. Robin memandang hasil kerjanya.
Pecahan-pecahan kaca, tajam dan mematikan, beterbangan di
udara, menikam dan mengiris orang-orang yang berlarian panik
ketakutan. Kalian tidak bisa menghindar! Robin memberitahu mereka
dalam hati. Jeritan ketakutan dan kesakitan bergema ke seluruh taman
hiburan. Bagaikan musik di telingaku, pikir Robin.
Sesosok tubuh tanpa kepala mendarat dengan suara gedebuk di
depan kaki Robin. Darah memancar dari lubang terbuka di leher tubuh
itu, menghitami tanah. Robin melangkah ke samping agar bisa tetap
melihat seluruh pemandangan mengerikan yang terasa nikmat baginya
itu. Sebuah lengan. Sebuah tungkai. Sebuah tangan. Potonganpotongan tubuh. Tungkai-tungkai kaki terpotong di lutut. Tubuh-tubuh
manusia dengan potongan-potongan kaca tertancap di tubuh,
mengalirkan darah. Tangisan dan erangan. Jeritan minta tolong.
Orang-orang berlarian panik, berteriak meminta ambulans.
Minta dipanggilkan dokter. Minta tolong.
Robin tahu sebagian dari mereka akan selamat. Tapi lebih
banyak yang mati. Atau akan mati sebentar lagi.
Sebuah teriakan menarik perhatiannya. Robin menoleh dan
melihat Jason Bradley berlari mendatangi tempat kejadian, sebuah
dasi bergaris-garis biru melambai-lambai dari lehernya. Dierdre
berlari beberapa langkah di belakangnya, wajahnya pucat ketakutan.
Bradley pasti sedang bersiap-siap untuk wawancara TV ketika
bencana itu terjadi, pikir Robin. Ia menahan senyum. Apa yang akan
dikatakan Bradley di depan kamera sekarang" Apakah ia akan berjanji
mengembalikan semua uang karcis pengunjung"
Ketika melihat keadaan para korban, mata Bradley terbelalak.
Wajahnya pucat pasi. Ia terhuyung-huyung seakan baru saja menerima
pukulan keras di perut. Robin ingin tertawa melihatnya. Kelihatannya malam
pembukaanmu jadi kacau-balau, Bradley!
Tidak ada yang bisa kaukatakan.
Dan hanya satu yang bisa kaulakukan" menutup Fear Park.
Ini kesempatan terakhirmu, selagi anak perempuanmu masih
hidup. Robin memperhatikan Dierdre sejenak. Seluruh tubuh Dierdre
gemetar ketakutan. Kau mujur, Dierdre, kata Robin dalam hati.
Tanpa bicara, Robin menebar pandang memperhatikan banyak
orang yang terluka, berdarah, menangis. Terlihat olehnya beberapa
orang berkumpul di dekat pintu keluar. Pandangannya menebar
melewati mereka, lalu segera kembali ke beberapa orang itu.
Benar. Itu Jared dan teman-temannya.
Mereka kelihatan bingung, pikir Robin senang. Mereka tahu
petasan-petasan kecil mereka tidak akan bisa mengakibatkan bencana
sebesar ini. Tapi mereka tidak tahu apa penyebabnya.
Robin hampir tertawa ketika Jared dan teman-temannya
mendadak berlari keluar lewat pintu gerbang.
Mereka takut, pikir Robin. Mereka tahu bukan mereka yang
melakukan ini, tapi mereka tetap saja takut.
Jadi manfaatkanlah rasa takut itu! kata Robin dalam hati. Ayo,
lakukan sekarang selagi ada kesempatan.
Dengan memasang wajah ngeri dan kening berkerut, Robin
berlari mendekati Jason Bradley. "Mr. Bradley!" serunya. Ia pura-pura
terengah-engah, seperti baru saja mengejar seseorang. "Rasanya... aku
melihat..." Robin menahan napas, lalu mengembuskannya lagi.
Bradley merenggut lengannya. "Aku tahu apa yang kaulihat,"
gumamnya dengan suara bergetar. "Kita semua melihatnya. Ini
mengerikan... sangat mengerikan."
"Tidak, bukan itu!" Robin masih pura-pura terengah-engah.
"Dengarkan aku! Aku melihat orang yang melakukannya! Mereka
berempat." Robin berhenti sebentar, menikmati suasana dramatis yang
diciptakannya. "Dan aku bisa menjelaskan ciri-ciri mereka kepada
polisi!" Bab 16 DUA petugas medis berlari melewati Dierdre, membawa tubuh
bertutupkan kain putih di atas tandu.
Dierdre memejamkan mata. Tapi telanjur melihat noda merah
yang merembes semakin lebar di kain tersebut.
Begitu banyak darah di mana-mana, pikirnya.
Begitu banyak kematian. Tidak ada gunanya memejamkan mata untuk mengusir semua
itu. Ia menghela napas panjang dengan tubuh gemetar, lalu
membuka mata. Ayahnya sedang berjalan ke arahnya sambil menggelenggelengkan kepala.
Fear Street Jeritan Terkeras Loudest Scream Fearpark 2 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di belakangnya, Dierdre melihat Rob. Tiga orang polisi
mengelilinginya. Semua berwajah murung seperti ayahnya.
"Ada apa, Dad?" tanya Dierdre ketika ayahnya sampai. "Kenapa
polisi mengelilingi Rob?"
"Rob melihat orang yang melakukan ini!" kata Jason Bradley.
"Yang meledakkan Rumah Kaca?" seru Dierdre. "Siapa, Dad"
Siapa?" Ayahnya menggeleng. "Dia tidak kenal mereka. Tapi dia
melihat jelas wajah mereka. Polisi punya ahli sketsa. Rob akan pergi
ke kantor polisi sekarang juga untuk menjelaskan ciri-ciri mereka!"
Dierdre mengulurkan lehernya dan melihat ketiga orang polisi
itu membawa Rob ke sebuah mobil yang sudah menunggu.
"Ini petunjuk penting!" kata Mr. Bradley. "Akan kita tangkap
mereka, Dierdre. Akan kita tangkap siapa pun pelakunya!"
"Bagus, Dad." Memang bagus, tapi Dierdre tidak bisa merasa
senang atau antusias. Kerusakan dan kematian sudah terjadi.
Menangkap pelakunya tak akan bisa menghilangkan kenyataan itu.
Air mata mengaburkan pandangannya. Kilatan cahaya biru dan
merah dari mobil polisi bergantian menyapu tubuh-tubuh yang
terpotong dan berlumuran darah. Sebuah tungkai kaki yang terpotong
dari tubuhnya. Potongan-potongan daging. Mata yang sudah tidak bisa
melihat lagi menatap ke langit.
Pecahan kaca berderak pecah terinjak kaki petugas medis yang
hilir-mudik membawa tandu. Para dokter dan perawat meneriakkan
perintah dengan suara serak terguncang. Erangan dan isakan masih
terdengar di sana-sini. Dierdre menggigil. Ayahnya merangkulnya. "Pulanglah dulu, Sayang," kata
ayahnya. "Tak ada yang bisa kaulakukan di sini."
"Dad yakin?" tanya Dierdre.
Ayahnya mengangguk. "Seluruh kota sudah berdatangan untuk
membantu. Kau pulang saja," desak ayahnya. "Tidurlah."
Tak mungkin bisa tidur, pikir Dierdre sambil berjalan keluar
dari Fear Park. Bagaimana bisa tidur setelah kejadian itu"
Bayangan-bayangan mengerikan itu berulang-ulang muncul di
benaknya. Ia tidak bisa mengusir bayangan-bayangan itu. Ia takkan
mungkin bisa melupakannya.
Kalau saja aku bisa bersama Rob, pikirnya ketika melewati
rumah Rob di Fear Street. Ia ingin Rob merangkulnya. Ia ingin Rob
menenangkannya, membisikkan bahwa semuanya baik-baik saja.
Tapi rumah Rob gelap gulita. Dia pasti masih lama di kantor
polisi, bisa berjam-jam. Lagi pula, Rob tak akan bisa mengatakan padanya bahwa semua
baik-baik saja. Tidak ada lagi yang akan baik-baik saja setelah kejadian ini.
Malam itu hangat, tapi Dierdre kedinginan dan menggigil.
Waktu ia berbelok ke rumahnya, ia memutuskan untuk berbaring di
tempat tidur berselimut lima lapis. Ia tak akan bisa tidur, tapi
setidaknya ia akan hangat.
Ia membuka pintu rumah. Ada sebuah amplop di lantai di depan kakinya. Ada orang
menyelipkannya dari bawah pintu. Mungkin brosur penawaran
barang, pikirnya. Dierdre mengambil amplop itu dan membawanya masuk, terus
ke dapur. Ia melemparkan amplop itu, lalu membuka lemari dan
mengambil cokelat bubuk. Ia mau minum cokelat dulu sebelum pergi
tidur. Beberapa menit kemudian, Dierdre sudah duduk di meja dapur
dengan secangkir cokelat panas. Ia menyesapnya sedikit dan langsung
merasakan lidahnya bagaikan terbakar.
Air mata menggenangi matanya. Didorongnya cangkirnya
menjauh, lalu ditelungkupkannya wajahnya di atas lengannya. Tapi
begitu ia memejamkan mata, ia melihat lagi adegan-adegan orangorang yang menjerit-jerit dan terluka.
Dierdre menegakkan badannya dan mengusap matanya. Takkan
pernah bisakah ia mengusir bayangan-bayangan itu dari matanya"
Jangan berpikir, katanya pada diri sendiri. Lakukan sesuatu.
Apa pun yang bisa kaulakukan agar tidak memikirkan hal itu.
Ia mengambil amplop tadi dan membukanya. Brosur penawaran
akan bisa mengalihkan perhatiannya, setidaknya untuk beberapa
menit. Tapi amplop itu tidak berisi brosur penawaran.
Yang ada di amplop itu adalah secarik kliping. Sudah tua sekali
kelihatannya. Kertasnya sudah menguning, tulisan yang tadinya hitam
sudah jadi kelabu. Penuh rasa ingin tahu, dengan hati-hati Dierdre membuka
lipatan kliping itu di atas meja.
BANJIR DARAH! judul beritanya. PARA REMAJA
SHADYSIDE SALING MEMBACOK SAMPAI MATI!
Tahun terbit artikel itu adalah 1935.
Sama sekali bukan ini yang kuperlukan untuk mengalihkan
perhatian dari kejadian mengerikan tadi, pikir Dierdre. Aku sudah
tahu apa yang terjadi pada tahun 1935. Aku sudah tahu para remaja itu
rencananya akan membacoki tunggul-tunggul kayu dan membersihkan
lahan untuk Fear Park. Tapi entah kenapa mereka jadi beringas dan
saling membacok. Ketika Dierdre akan meremas kliping itu, selembar foto
menarik perhatiannya. Tulisan di bawah foto itu berbunyi
BEBERAPA SAAT SEBELUM TRAGEDI, ANAK-ANAK YANG
MALANG ITU MASIH TERSENYUM DI DEPAN KAMERA.
Kira-kira dua puluh remaja berwajah ceria menatap Dierdre dari
foto itu. Satu orang anak mengacungkan golok ke sebuah pohon,
sambil menyeringai lucu. Seorang lagi memanggul goloknya di
pundak. Beberapa yang lain melambaikan golok mereka ke kamera.
Sebagian besar wajah mereka tidak tampak jelas, hampir
menyatu dengan latar belakang pepohonan dan semak-semak.
Tapi wajah seorang anak laki-laki di latar depan tampak jelas
sekali. Dierdre menggigil ketika ia menatap wajah anak itu, wajah dari
enam puluh tahun yang lalu. Rambutnya lurus berwarna cokelat.
Matanya berwarna gelap. Mata serius berwarna gelap milik Rob Fear.
Bab 17 MOBIL polisi itu berhenti di depan rumah batu besar di Fear
Street. Sang polisi menoleh ke Robin yang duduk di belakang. "Terima
kasih sudah menghabiskan banyak waktu untuk urusan ini."
"Tidak masalah," sahut Robin. "Aku harap itu bisa membantu
Anda menangkap pelakunya."
"Penjelasanmu bagus sekali, sangat rinci," kata polisi itu lagi.
"Besok akan kami pasang gambarnya di seluruh pelosok kota. Korankoran juga akan memasangnya, TV akan menayangkannya juga.
Seseorang akan mengenali mereka."
"Mudah-mudahan." Robin membuka pintu mobil dan
melangkah keluar. "Terima kasih sudah mengantarku pulang."
"Terima kasih juga atas bantuanmu," polisi itu mengulangi
ucapan terima kasihnya. Lalu ia menjalankan mobilnya sambil
melambaikan tangan pada Robin.
Robin tersenyum dan membalas lambaian si polisi. Tolol!
pikirnya. Begitu mobil polisi itu menghilang di kelokan, Robin
menengadah dan tertawa terbahak-bahak.
Berhasil! Ia berhasil menutup Fear Park!
Bradley tak akan berani membukanya lagi setelah kejadian
malam ini. Terutama dengan banyaknya orang yang tewas dan lukaluka.
Orang-orang akan marah. Protes orang banyak sudah terngiang-ngiang di telinga Robin.
Fear Park dihuni roh jahat, kata mereka. Mereka akan menjerit bahwa
tidak ada taman hiburan yang cukup besar nilainya dibandingkan
dengan begitu banyak kematian dan darah.
Mau tidak mau Jason Bradley akan terpaksa mendengarkan
mereka. Sambil bersiul-siul kecil, Robin berlari-lari kecil masuk ke
rumah melalui pintu depan.
Kenapa gelap sekali di ruang depan" Biasanya Meghan selalu
meninggalkan sebuah lampu menyala untuknya.
Ketika meraba-raba mencari sakelar lampu, baru Robin
menyadari bahwa seluruh rumah gelap gulita. Tak ada secercah
cahaya pun mengalir ke luar dari ruang mana pun.
"Meghan?" panggilnya. "Kenapa semua lampu dimatikan?"
Tidak ada jawaban. "Meghan?" Yang menyahut hanya gema suaranya sendiri.
Ia menghidupkan lampu ruang depan. Bagian rumah yang lain
seakan-akan jadi lebih gelap lagi sekarang.
"Meghan, di mana kau?" serunya.
Tidak ada jawaban. Rumah ini sunyi sekali, pikirnya. Seperti rumah yang
ditinggalkan penghuninya. Di mana Meghan" Kenapa dia tidak
menungguku pulang seperti biasa"
Robin berdiri diam beberapa saat, menahan napas.
Mendengarkan baik-baik. Selama beberapa detik yang didengarnya hanya suara angin
menggerakkan pohon-pohon di luar.
Lalu, suara sayup-sayup. Langkah kaki" Rasa dingin merambati tulang punggung Robin. Ada orang lain
di rumah" Orang asing"
Robin mengembuskan napasnya perlahan-lahan dan melangkah
berjingkat-jingkat. Pintu pertama sebelah kiri"ruang makan. Cahaya
rembulan menyelinap melalui celah-celah tirai. Kursi-kursi
bersandaran tinggi membentuk bayang-bayang aneh di lantai. Robin
menghidupkan lampu, dan ruangan itu berubah terang benderang.
Kosong. "Meghan?" panggil Robin. "Meghan!"
Tetap tidak ada jawaban. Di mana dia" Robin melewati pintu di bagian belakang ruang makan menuju
pantri. Setelah pantri terletak dapur.
Kedua ruangan itu kosong.
Pintu samping yang menghubungkan dapur dengan halaman
terkunci. Dan diselot dari dalam.
Tapi ada yang tidak semestinya, pikir Robin. Aku bisa
merasakannya. Sambil berdiri diam, Robin memiringkan kepala dan
mendengarkan lagi. Yang terdengar hanya detak jantungnya.
Ia melangkah perlahan-lahan lagi keluar dari dapur dan
menengok ke bagian depan rumah. Cahaya yang terlihat hanya datang
dari ruang-ruang yang telah diperiksanya.
Bergerak dengan hati-hati, berusaha tidak menimbulkan suara
sedikit pun, Robin membuka pintu ruang perpustakaan dan
mengulurkan tangannya ke tombol lampu.
Ruangan itu tampak normal. Buku-buku berjajar di rak.
Jambangan. Kursi-kursi berlapis kulit di depan perapian. Semua pada
tempatnya. Tapi rumah gelap gulita waktu aku datang tadi, pikir Robin.
Dan Meghan tidak ada. Kenapa" Di mana dia"
Jeritan nyaring menusuk telinga memecahkan kesunyian.
Robin terlonjak. Jantungnya berdebar-debar kaget.
Jeritan itu bergema di gang di dalam rumah. Robin berlari
keluar dari ruang perpustakaan.
"Oh, tidak! Aku tidak percaya!" terdengar suara nyaring
seorang wanita. "Aku sama sekali tidak percaya!"
Wanita itu menjerit lagi.
Lalu tertawa. Berdiri sendiri di tengah gang, Robin mendengar suara-suara
lain bergabung, tertawa, bertepuk tangan, dan berseru-seru. Musik
meninggi mengatasi suara mereka.
Musik riang dari acara game show di televisi.
Televisi! Robin lari ke ruang duduk. Tak ada orang duduk di kursi. Tak
ada orang berdiri di depan jendela. Ruangan itu kosong.
Wajah tersenyum seorang wanita mengintai dari layar TV di
dinding. Wanita itu sedang merangkul leher si pembawa acara sambil
melompat-lompat kegirangan sementara penonton di studio bersoraksorai.
Robin berlari menyeberangi ruangan dan mematikan televisi.
Sunyi. "Aaaah!" sebuah jeritan lain merobek kesunyian. Jeritan marah
dan benci Jeritan maut. Robin memutar tubuh. "Meghan!"
Meghan berdiri di ambang pintu, wajahnya penuh rasa benci.
Tangannya menggenggam sebuah pisau dapur berkilauan.
"Meghan! Jangan!" Robin berseru lagi ketika gadis itu berlari
menerjangnya. Sambil menjerit nyaring, Meghan mengangkat pisau di
tangannya tinggi-tinggi dan mengayunkannya bagaikan sebuah palu.
Robin menarik napas tertahan ketika merasa mata pisau itu
menancap dalam-dalam ke dadanya.
Bab 18 PISAU itu menancap dengan mulus ke dada Robin. Meghan
menusukkannya sampai ke gagangnya.
Robin menarik napas tertahan sekali lagi dalam kekagetannya.
"Aku tak akan memaafkanmu!" jerit Meghan. Ia memutarmutar pisau yang sudah menghunjam di dada Robin. "Pembohong!
Pembohong! Aku tak akan memaafkanmu!"
Diiringi teriakan marah, Robin mendorong Meghan. Gadis itu
terhuyung-huyung ke belakang, kakinya tersandung kaki meja dan ia
jatuh di hadapan Robin. Dengan kedua belah tangan, Robin menggenggam gagang pisau
yang masih tertancap di dadanya.
Lalu dicabutnya. Sedikit demi sedikit pisau itu tercabut dari dadanya.
Robin tersenyum dingin pada Meghan. "Lihat, tidak ada darah,"
katanya. Ia menarik terus sampai mata pisau itu tercabut seluruhnya.
"Tidak ada darah dan tidak sakit."
Ia maju selangkah mendekati Meghan. "Apakah kau lupa bahwa
aku tidak bisa mati" Bahwa kita berdua tidak bisa mati" Ada apa
sebetulnya" Kenapa kau harus menyerangku seperti ini?"
Meghan berdiri dan memelototi Robin dengan pandangan
marah. "Kau membuat kita tidak bisa mati!" jeritnya. "Aku sudah
menyerahkan hidupku padamu"tapi kau bohong padaku! Kau
mengkhianatiku! Aku tidak akan memaafkanmu!"
"Apa maksudmu?" tanya Robin.
"Gadis itu!" jerit Meghan.
"Gadis yang mana?"
"Yang cantik itu, yang rambutnya hitam," kata Meghan. "Kau
menciumnya di Fear Park tadi. Aku lihat sendiri!"
Fear Street Jeritan Terkeras Loudest Scream Fearpark 2 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dierdre. Otak Robin berputar cepat, mencari alasan yang masuk
akal. "Aku tidak bisa tinggal diam saja di sini malam ini," Meghan
berkata. "Aku harus menemanimu. Aku mengkhawatirkanmu,
bertarung melawan kutukan itu. Sendirian saja." Ia tertawa getir. "Tapi
ternyata aku tertipu!"
"Meghan," Robin sudah berhasil menciptakan alasan sekarang.
"Dengarkan aku."
"Untuk apa?" sergah Meghan.
"Supaya kau mengerti," kata Robin. "Nama gadis itu Dierdre
Bradley. Bradley." "Maksudmu, dia..."
Robin mengangguk. "Dia putri Jason Bradley. Aku
mendekatinya agar bisa melindungi keluarganya." Robin menghela
napas. "Jason Bradley sangat menyayangi anak gadisnya. Dan dia mau
mendengar kata-kata anaknya itu. Itu yang penting."
Meghan menatap Robin, wajahnya bingung.
"Jadi kupikir kalau aku bisa dekat dengan Dierdre, aku bisa
mempengaruhi ayahnya agar menutup taman hiburan itu," Robin
melanjutkan. "Itu rencanaku, Meghan. Menutup taman hiburan
sebelum lebih banyak lagi orang tak berdosa menjadi korban. Tahu,
kan?" Meghan masih menatapnya tanpa berkedip.
"Aku tak akan mengkhianatimu," nada suara Robin lembut tapi
tegas. "Aku bahkan tak akan melirik Dierdre sedikit pun kalau bukan
karena begitu banyak nyawa yang dipertaruhkan. Kau satu-satunya
bagiku. Satu-satunya yang kusayangi. Kau percaya, kan?"
Meghan menarik napas dengan badan masih gemetar.
Pundaknya lemas. Wajahnya tertunduk menatap lantai.
Robin melangkah mendekatinya, tangannya mengangkat dagu
Meghan dan menatap mata gadis itu. "Iya, kan?" ulangnya sambil
berbisik. Meghan mengangguk. Robin memeluk Meghan erat-erat.
Apakah dia percaya pada ceritaku" pikir Robin.
Apakah Meghan percaya padanya"
Robin tidak tahu. Meghan memang telah mengangguk, tapi
matanya masih ragu-ragu dan tidak yakin.
Robin tidak mengira Meghan akan menyerangnya dengan pisau
seperti itu! Tentu saja Meghan tak akan bisa membunuhnya. Tapi
Meghan bisa merusak rencananya.
Aku tidak butuh ini, pikir Robin. Aku tidak butuh ini sama
sekali. Sebenarnya, aku juga tidak yakin aku masih mencintai Meghan.
Dulu memang. Itulah kenapa aku membuatnya tidak bisa mati juga.
Tapi itu sudah lama sekali. Setelah puluhan tahun, dia sudah
jadi membosankan. Dia tidak pernah berubah. Dia hanya melekat
padaku bagaikan lintah. Dan barusan dia mencoba membunuhku!
Mungkin aku harus melenyapkannya.
Robin meletakkan dagunya ke pundak Meghan dan memandang
ke bawah, ke tangannya yang memeluk rapat di belakang punggung
Meghan. Ia masih memegang pisau itu.
Pisau itu tidak akan bisa melukai Meghan seperti juga tadi tidak
bisa melukaiku. Kami sama-sama tidak bisa mati.
Tapi mungkin ada cara untuk membunuhnya. Harus kucari.
Makin cepat makin baik. Bab 19 JARED mengintai dari jendela rumah Cameron yang antik dan
besar. Lampu-lampu jalan baru saja mulai menyala. Tak seorang pun
di sana. "Di mana Steve?" tanyanya tak sabar. "Harusnya dia sudah
ada di sini sekarang."
"Mungkin mampir mengisi bensin," kata Kevin.
"Dia tak akan setolol itu." Dengan gelisah Joey menekuk-nekuk
buku-buku jarinya hingga berbunyi. "Maksudku, dia tahu ada
kemungkinan orang mengenalinya. Tadi aku menyuruhnya supaya
jalan kaki lewat gang-gang kecil. Dan dia bilang iya."
"Lalu di mana dia?" ulang Jared. Anak itu mulai berjalan
mondar-mandir di ruangan. "Kita harus buat rencana! Kita harus
menemukan tempat yang lebih baik untuk bersembunyi. Tidak ada
lagi tempat yang aman bagi kita di Shadyside."
Kevin dan Joey bertukar pandang. Mereka belum menyadari
besarnya bahaya yang sedang kami hadapi, pikir Jared. Begitu juga
Steve. Kami semua terlalu takut sehingga tak bisa berpikir jernih.
Ia berjalan mondar-mandir selama beberapa menit, lalu
menghidupkan TV yang dibawa oleh Kevin.
"Dan sekarang, Cindy dengan perkembangan terbaru mengenai
pemboman di Fear Park," terdengar suara penyiar.
Kevin mengerang. "Oh, aku tidak ingin mendengar itu lagi!"
"Katanya perkembangan terbaru," kata Jared. "Kita harus
mengikuti kalau-kalau ada sesuatu yang baru!"
Seorang reporter berwajah serius muncul di layar televisi. Di
belakangnya, Jared bisa melihat reruntuhan Rumah Kaca. Petugaspetugas taman hiburan sibuk membersihkan puing-puing.
"Hampir satu minggu sejak sebuah bom meledak di Fear Park,
menewaskan dua belas orang dan melukai lebih dari dua puluh orang,"
si reporter melaporkan. Sebuah bom! Jared menggigil mendengar kata-kata itu.
"Di belakang saya, para pekerja masih terus membersihkan
puing-puing," sang reporter meneruskan. "Sementara itu seluruh
Shadyside sangat marah atas tindak perusakan yang tidak bertanggung
jawab ini. Dan polisi sudah melancarkan operasi pencarian di seluruh
negara bagian untuk mencari empat anak muda yang disangka sebagai
pelakunya." Perasaan takut membuat kepala Jared terasa pusing saat empat
sketsa wajah muncul di layar televisi. Ia sudah melihat itu
sebelumnya, tapi setiap kali ia melihatnya lagi, ia masih merasa
terguncang. Sketsa wajah di layar televisi itu adalah wajah Jared dan temantemannya. Memang tidak persis sama. Tapi sangat mirip.
Benar-benar mengherankan, pikirnya, sementara perutnya
terasa melilit. Semua orang di kota mengira kami pelaku pemboman.
Pembunuh. Seluruh kota mencari kami!
"Tidak lama setelah ledakan terjadi, seorang saksi mata
menceritakan ciri-ciri keempat anak muda itu pada polisi," si reporter
meneruskan. "Mereka kini telah teridentifikasi. Ada yang melihat
mereka bergegas meninggalkan taman hiburan hanya beberapa menit
setelah terjadinya ledakan. Polisi mengharapkan siapa pun yang
memiliki informasi mengenai keempat anak muda itu agar menelepon
nomor 555-2662. Sekali lagi, nomor 555- BOMB."
Tapi kami bukan pengebom! pikir Jared panik. Kami bukan
pembunuh. Kami hanya menaruh beberapa petasan kecil!
Jared ingin berlari ke jalan dan meneriakkan bahwa mereka
tidak bersalah. Tapi ia telalu takut. Sejak sketsa wajah itu muncul dua
hari yang lalu, ia dan teman-temannya selalu bersembunyi.
Seluruh kota ingin membalas dendam, pikir Jared, jantungnya
berdegup kencang. Kalau mereka menemukan kami, bisa-bisa kami
dikuliti hidup-hidup! Di belakangnya, Kevin mengerang lagi. "Oh, kita punya
masalah besar, sangat besar! Apa yang harus kita lakukan?"
"Pamanku punya pondok di luar kota," kata Joey. "Jauh dari
mana-mana. Kita bisa sembunyi di sana."
"Bagaimana caranya kita keluar dari kota?" Kevin menunjuk
televisi, yang sekarang memperlihatkan patroli jalan raya sedang
menghentikan setiap mobil yang akan keluar ke jalan tol dan
menanyai pengendaranya. "Mereka menjaga semua jalan. Bandara dan
stasiun kereta api penuh polisi." Suaranya meninggi karena panik.
"Apa yang bisa kita lakukan"terbang dari sini?"
"Oke, oke. Tidak usah marah-marah," kata Joey. "Aku cuma
mengusulkan ide." "Ya, ya, ide bodoh," Kevin masih mengomel.
Sementara kedua temannya bertengkar, Jared tetap menatap
televisi. Ia mengharapkan ada berita baik dari perkembangan terakhir,
tapi ternyata tidak ada. Tidak ada yang berubah, pikirnya. Kami masih diburu.
Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku dan mulai
berjalan hilir-mudik lagi.
Haruskah kami menyerahkan diri" pikirnya. Memberitahu polisi
apa yang terjadi"bahwa kami hanya menaruh petasan" Bahwa kami
tidak meledakkan bom" Bahwa kami lari karena takut"
Itulah yang sebenarnya. Mereka harus percaya!
Ya, tentu saja, Jared! katanya pada diri sendiri dengan sebal.
Mereka mungkin saja memercayaimu. Tapi pada saat itu akan sudah
sangat terlambat. Karena mereka akan menembak dulu, baru
mengajukan pertanyaan. Layar televisi kembali menayangkan wajah sang reporter, yang
kini mewawancarai Jason Bradley. Bradley bercerita tentang para
pekerja yang bekerja siang-malam untuk membersihkan puing-puing.
Dan tentang rencana membuka lagi Fear Park sesegera mungkin.
Kamera meliput para pekerja.
Mendekat menjadi close-up.
Untuk pertama kalinya sejak beberapa hari, Jared melihat setitik
harapan. Kamera terfokus pada seorang petugas taman hiburan yang
dikenal Jared"Rob Fear.
Rob bisa membantu kami, pikir Jared.
Dia melihat kami di Rumah Kaca.
Dia tahu kami hanya memasang petasan.
Dia tahu kami tidak memasang bom.
Aku harus bicara dengan dia, pikir Jared. Dia satu-satunya yang
mengetahui kejadian sebenarnya! Dia satu-satunya orang di Shadyside
yang bisa menyelamatkan kami!
Jared mematikan televisi dan menoleh ke teman-temannya.
"Rasanya kita punya sedikit berita bagus!" katanya. "Ingat tidak waktu
kita?" Gedoran keras di pintu kamar tidur memotong perkataan Jared.
"Buka pintu!" Terdengar suara menghardik keras dari balik
pintu. "Polisi!"
Bab 20 JANTUNG Jared berdegup cepat. Butiran-butiran keringat
memenuhi wajahnya. Terlambat! pikirnya. Polisi sudah menemukan kami!
Ia menoleh ke Kevin dan Joey. Mereka meringkuk di pojok,
dengan mulut ternganga ketakutan.
"Buka pintu!" suara dari balik pintu memerintahkan lagi.
Mata Jared memandang ke jendela. Tidak. Tidak bisa. Kau
tidak bisa meloloskan diri, ia memperingatkan dirinya sendiri. Mereka
pasti telah mengepung tempat ini. Mau tidak mau kau harus membuka
pintu. Jared menarik napas panjang dan melangkah ke pintu.
Tangannya gemetar ketika me-megang kenop pintu.
Perlahan-lahan ia membuka pintu sedikit.
"Kena kau!" seru Steve sambil melompat masuk ke kamar. Ia
agak membungkuk dan menodongkan jari bagaikan sebuah pistol.
"Bersandar ke pintu, ayam-ayam sayur!"
Jared membanting pintu begitu keras sehingga dinding-dinding
kamar bergetar. "Kau brengsek!" jeritnya. Ia mencengkeram kerah
baju Steve dan mendorongnya ke kursi. "Kau bangsat tolol!"
"Hei, aku cuma bercanda!" protes Steve yang terguling ke
lantai. "Ya, pada saat yang paling tidak tepat," Kevin menggeram.
"Kaukira urusan ini lucu?" hardik Jared. "Dua belas orang tewas
dan semua orang mengira kita yang melakukannya!"
"Oke, maaf," gumam Steve. Ia berdiri dan meluruskan bajunya.
"Kau masih mujur," kata Jared. "Jadi jangan bercanda lagi!"
Jared menarik napas panjag lagi untuk menenangkan diri. "Oke,
dengar. Rasanya aku punya jalan untuk membuktikan bahwa kita tidak
bersalah. Ingat waktu kita menaruh petasan?"
Teman-temannya mengangguk.
"Rob Fear melihat kita," kata Jared.
"Ya, dia melihat kita menaruh petasan," kata Kevin. "Itu bukan
berita bagus." "Kau tidak mengerti?" sahut Jared. "Kalau dia melihat kita
menaruh petasan, artinya dia tahu kita tidak menaruh bom. Dia bisa
bilang kepada polisi bahwa bukan kita yang harusnya mereka kejar."
"Kenapa dia belum juga bilang kepada polisi?" tanya Steve.
Jared mengangkat bahu. "Mungkin dia belum sempat melihat
sketsa polisi. Siaran berita tadi mengatakan bahwa mereka bekerja
siang-malam membersihkan reruntuhan. Dan Rob ikut bekerja. Jadi
ini yang harus kita lakukan"kita tunggu sampai hari gelap, lalu kita
menyelinap masuk lagi ke Fear Park."
"Oh, aku tidak ingin lagi masuk ke sana!" kata Joey.
"Aku juga," kata Jared. "Tapi kita harus melakukannya. Karena
Rob Fear satu-satunya orang yang bisa membantu kita."
************** Robin menyapu pecahan-pecahan kaca dan puing-puing
menjadi tumpukan besar, lalu bersandar ke gagang sapu dan menyapu
keningnya. Ia capek, tapi ia menikmati pekerjaan ini, karena memberi
kesempatan baginya untuk mengagumi hasil karyanya dari dekat.
Jason Bradley menepuk bahu Robin sambil lewat. "Aku
menghargai semua yang kaulakukan, Rob," katanya dengan nada letih.
"Kau banyak membantu."
"Hanya ini yang bisa kulakukan, Mr. Bradley." Robin
menggelengkan kepala dan memasang wajah frustrasi saat Bradley
meneruskan perjalanannya. Orang itu masih kelihatan terguncang,
pilkir Robin. Tapi belum juga menyerah.
Dia masih belum menyatakan akan menutup taman hiburan.
Biar saja. Aku akan tetap menghantamnya dengan bencana
demi bencana. Sebuah ledakan di sini, suatu "kecelakaan" di sana.
Beberapa kematian lagi. Sambil tersenyum, Robin mengangkat sapunya dan mulai
menyapu lagi. "Rob?" Ia menoleh dan melihat Dierdre berjalan ke arahnya dengan
membawa selembar kertas. "Sudah beberapa hari ini aku tidak melihatmu, Rob," kata
Dierdre. "Kau bahkan tidak menelepon."
"Aku tahu. Maaf." Robin menggerakkan tangan ke operasi
pembersihan reruntuhan. "Aku ingin, tapi aku sangat sibuk. Aku cuma
sempat pulang ke rumah satu kali, dan langsung tertidur begitu aku
duduk di kursi. Aku bahkan tidak sempat naik ke tempat tidur."
Dierdre menatap Robin dengan tatapan curiga.
Apa sih yang dia inginkan" pikir Robin. Sejauh Dierdre tahu,
aku bekerja keras membantu ayahnya. Harusnya dia berterima kasih.
"Aku juga sibuk, Rob," kata Dierdre. Ia mengangkat kertas
yang dibawanya. "Sibuk memikirkan ini!"
Mulut Robin terasa kering ketika ia melihat wajahnya di
Fear Street Jeritan Terkeras Loudest Scream Fearpark 2 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
guntingan koran lama. "Ada yang menyelipkan ini di bawah pintuku," kata Dierdre.
Jarinya menunjuk foto di koran. "Lihat ini. Ini kau, Rob! Bisa
kaujelaskan padaku?"
Otak Robin berputar cepat dalam keadaan panik. Siapa yang
mengirim foto tua itu ke Dierdre" Siapa yang sedang berusaha
membongkar rahasianya" Siapa yang tahu bahwa ada hubungan antara
Rob Fear sekarang dan Robin Fear tahun 1935" Tidak ada!
Tak seorang pun kecuali Meghan.
Darah Robin terasa dingin. Meghan yang melakukan ini! Dia
tidak memercayai ceritaku tentang Dierdre.
Dan sekarang dia mengincarku!
Dierdre mengetuk-ngetukkan kakinya. "Bagaimana" Mau
menjelaskan?" ulangnya. "Maksudku, ini fotomu, kan?"
"Itu..." Robin tersendat, mencari-cari penjelasan. Akhirnya ia
menemukan satu alasan. Ia memendam perasaan marahnya pada
Meghan dan pura-pura tertawa. "Memang sangat mirip. Luar biasa,
ya?" "Sangat luar biasa," Dierdre mengiyakan.
"Ya," Robin tertawa lagi. "Aku hampir tidak percaya betapa
miripnya aku dengan kakekku!"
"Kakekmu?" Dierdre cepat-cepat meneliti foto itu.
"Siapa lagi?" Dierdre mengangguk. "Mestinya aku tahu bahwa ini tidak
mungkin kau," gumamnya. "Waktu aku mendapatkan foto ini, aku
sangat bingung dan takut, sampai tidak terpikir olehku bahwa itu
kakekmu." "Hei, aku sendiri juga kaget," kata Robin. "Maksudku, kami
berdua seperti anak kembar. Tapi yang jelas pakaianku lebih keren,"
guraunya. "Lihat, overall yang mereka pakai itu, menggantung, tidak
sampai ke mata kaki!"
Dierdre nyengir. Tapi kemudian wajahnya berubah serius lagi.
"Heran. Kenapa ada orang yang mengirimkan ini padaku?"
Robin mengangkat bahu. "Mungkin maksudnya mau bercanda,"
katanya. "Atau barangkali ada yang mau membuat masalah di antara
kita berdua." Ia tersenyum pada Dierdre. "Mudah-mudahan tidak
berhasil." "Hampir," sahut Dierdre sambil berpikir. Ia memasukkan
guntingan koran itu ke saku celana pendek denimnya, lalu merangkul
leher Robin dan menciumnya. "Maaf, Rob." Ia mencium Rob lagi.
"Kau mau memaafkan aku?"
"Tak perlu kautanyakan," kata Robin, balas mencium gadis itu.
"Aku harus pergi," kata Dierdre, lalu menciumnya lagi sebelum
pergi. "Aku tahu be-tapa keras kau bekerja. Tapi telepon aku kalau
kau sempat." "Pasti." Robin menunggu sampai Dierdre tak terlihat lagi. Lalu
ia menjatuhkan sapunya dan melangkah marah ke telepon di samping
gudang. Tangannya bergetar menahan marah saat memasukkan uang
logam dan menekan nomor telepon rumahnya.
"Ini aku," geramnya ketika Meghan menjawab telepon.
"Robin, hai. Ada apa?" tanyanya. "Suaramu terdengar aneh."
"Aku tidak merasa aneh," sahut Robin sambil mengertakkan
gigi. "Aku merasa dikhianati, Meghan!"
"Apa maksudmu" Siapa yang mengkhianatimu?"
"Kau! Kau mengirim foto itu ke Dierdre!" teriak Robin. "Bisabisanya kau melakukan itu padaku?"
"Robin, aku tidak melakukan apa pun padamu!" protes Meghan.
"Foto apa sih?"
"Jangan pura-pura bodoh!" jerit Robin. "Kau tahu foto apa"
foto tahun 1935. Foto aku berdiri di hutan bersama kau dan temantemanmu."
"Ini sinting!" Meghan ganti menjerit. "Aku tidak mengirim apa
pun ke Dierdre! Aku bahkan tidak punya foto apa pun untuk dikirim!"
Bisakah aku percaya pada Meghan" pikir Robin.
"Robin, aku tidak melakukan itu!" tegas Meghan.
Robin membanting gagang telepon.
Aku harus melenyapkan Meghan sesegera mungkin, ia
memutuskan. Dia harus disingkirkan.
Tapi kata-kata Meghan sangat meyakinkan. Dan Meghan bukan
orang yang pintar berbohong, ia mengingatkan dirinya.
Tapi kalau bukan Meghan yang mengirim foto itu ke Dierdre,
lalu siapa" Orang lain yang juga tahu, pikirnya. Orang lain yang juga hidup
di tahun itu. Apakah ada orang yang mengikutiku sejak tahun 1935"
Jantung Robin berdebar-debar ketakutan.
Ketika ia melangkah pergi dari telepon, didengarnya suara
gemeresik dari gudang. Ia mulai berlari. Terlambat. Sebuah tangan terjulur dan merenggutnya dari belakang.
Sebuah lengan mengunci lehernya bagaikan sebatang besi.
"Jangan bersuara sedikit pun," sebuah suara mendesis ke
telinganya. Bab 21 ROBIN mencoba berontak, tapi tidak ada gunanya. Lengan itu
mengunci lehernya kuat-kuat, membuat kerongkongannya tercekik
saat ia diseret dengan kasar ke dalam kegelapan gudang.
Ketika mereka sampai di bagian belakang gudang,
penyerangnya akhirnya melepaskannya.
Robin jatuh menabrak bangku. Mulutnya megap-megap
menghirup udara. Seseorang bergerak di belakangnya. Robin mengepalkan tinju
dan memutar tubuhnya. Jared dan ketiga temannya berdiri di depannya.
"Apa yang kaulakukan"mau membuatku mati tercekik?" kata
Robin sambil mengusap-usap lehernya.
"Jangan keras-keras bicaranya!" Jared menengok khawatir ke
pintu gudang, lalu kembali ke Robin. "Maaf, sobat," bisiknya. "Aku
sudah memberitahu Kevin untuk tidak menyakitimu. Tapi aku harus
membawamu ke sini sebelum orang memergoki kami!"
"Lain kali, coba dulu minta baik-baik," tukas Robin marah. Ia
mengusap-usap lehernya lagi dan mengerutkan kening. "Oke. Ada
apa?" Jared mengeluarkan pamflet polisi dari sakunya dan
memberikannya pada Robin.
Robin meneliti keempat gambar itu. Sangat mirip, pikirnya.
Kenapa anak-anak tolol ini belum juga tertangkap"
"Polisi mengira kami yang meledakkan bom!" bisik Jared
dengan suara serak. "Ya, padahal kami tidak melakukannya," yang rambutnya diikat
buntut kuda menyambung. "Dan kata Jared kau tahu kami tidak
melakukannya." "Betul," Robin mengiyakan. "Aku lihat kalian memasang
petasan, bukan bom. Ini konyol. Aku baru melihat gambar ini. Kalau
aku sudah melihat sebelumnya, pasti sudah kukatakan kepada polisi."
"Jadi kau mau mengatakannya pada polisi sekarang?" Jared
memohon. "Kau harus! Hanya kau yang tahu apa yang sebenarnya!"
"Tenang," kata Robin. "Aku pasti membantu kalian. Aku ke
polisi sekarang juga."
Jared menarik napas lega. "Bagus. Bagus sekali! Kau tidak tahu
bagaimana takutnya kami selama ini!"
Tapi aku bisa membayangkannya, pikir Robin dengan hati
senang. "Oke, kalian tunggu di sini," katanya pada mereka. "Akan
kugembok dari luar agar tak ada orang yang bisa masuk ke sini. Dan
aku akan langsung kembali ke sini setelah bicara dengan polisi."
Jared merenggut tangan Robin dan menyalaminya erat-erat
sambil mengguncang-guncangnya. "Terima kasih, Rob. Terima kasih
banyak. Kami sangat berutang budi padamu!"
Kalau saja kau tahu, pikir Robin.
Senyum licik menghiasi wajahnya ketika ia melangkah keluar
dan menggembok pintu gudang.
Ia baru mendapat ide bagi Jared dan teman-temannya untuk
membalas budi. ************** Masih dengan perasaan malu, Dierdre merobek-robek potongan
kertas koran yang sudah menguning itu dan membuangnya ke tempat
sampah di kantor ayahnya.
Seharusnya aku tidak boleh meragukan Rob, pikirnya. Sudah
pasti foto di koran itu adalah kakek Rob! Aku memang tolol, bisa
mengira macam-macam! Dierdre duduk dan memiringkan kursinya ke belakang,
memandang berkeliling. Tempat ini berantakan sekali. Cangkircangkir berisi kopi dingin setengah penuh. Remah-remah sandwich
yang sudah mengering. Kertas berserakan di mana-mana.
Daddy terlalu keras bekerja, pikirnya. Aku harus memaksanya
untuk istirahat. Begitu dia datang, akan kuseret dia pulang.
Telepon berdering. Dierdre mengangkatnya, mengira dari
seorang wartawan. Atau mungkin polisi. "Halo?"
"Jauhi Robin Fear," sebuah suara serak berbisik.
Tangan Dierdre menggenggam pesawat telepon erat-erat.
"Siapa ini?" tanyanya.
"Tidak penting siapa aku," suara itu menjawab. "Jauhi saja
Robin Fear. Dia bukan temanmu!"
"Siapa ini?" Dierdre mengulangi pertanyaannya. Jantungnya
berdebar keras dan kencang. "Kaukah yang mengirimkan foto tua itu"
Siapa kau?" "Kita harus bicara," suara itu berbisik tidak sabar. "Kau dengar
aku" Kita harus bicara"sebelum terlambat!"
"Siapa...?" Dierdre terkesiap.
Telepon sudah diputus. ************* Robin membuka gembok. Ketika membuka pintu gudang, ia
memasang wajah panik dan pura-pura terengah-engah.
"Bagaimana?" tanya Jared penuh harap ketika Robin
menghambur masuk ke gudang. "Kau sudah bilang kepada polisi
bahwa pelakunya bukan kami?"
Robin mengangguk. "Ya," ia menarik napas. "Aku sudah
memberitahu mereka." Ia berhenti sebentar, menarik napas, menikmati
ketegangan mereka. "Lalu?" Jared tidak sabar.
Ini asyik, pikir Robin sambil menyapu rambut dari dahinya
dengan gerakan dramatis. Sebetulnya ia ingin memperlama suasana
ini beberapa menit lagi. Tapi masih banyak yang harus dikerjakannya.
"Ayo, Robin, ceritakan apa yang terjadi!" seru Jared. "Apa kata
mereka" Kita sudah bebas dari tuduhan, kan?"
"Aku ceritakan berkali-kali kepada mereka. Tapi mereka tidak
percaya!" kata Robin. "Me?reka tetap menyangka kalian pelakunya.
Mereka akan memburu kalian dan tidak akan memberi kalian
kesempatan." "Hah" Apa maksudmu?" tanya Jared.
"Mereka dapat perintah tembak di tempat," kata Robin.
"Mereka akan menembak mati kalian semua!"
Bab 22 WAJAH Jared pucat pasi. Ketiga temannya juga tampak seperti mau pingsan.
"Kau bergurau, kan?" kata Jared. "Ayo, Robin, ini pasti lelucon
konyolmu!" Robin menggeleng. "Memangnya aku kelihatan seperti sedang
bercanda?" "Kenapa polisi tidak percaya?" tanya Kevin.
"Apa pun sebabnya, siapa peduli?" suara Joey serak ketakutan.
"Kita tidak punya waktu untuk bertanya ini-itu! Kalian sudah dengar
sendiri"polisi akan menembak di tempat!"
Jared memandang Robin. "Mereka mengikutimu?" tanyanya
dengan nada tegang. "Mereka tahu kami sembunyi di sini?"
"Rasanya tidak," kata Robin. "Tapi aku tidak tahu persis."
"Kita jadi sasaran empuk di sini. Kita harus pergi"sekarang
juga!" "Jangan keras-keras!" perintah Robin. "Dan gunakan otak
kalian. Lari adalah pilihan terburuk kalian!"
Steve mengepalkan tinju. "Kau punya ide yang lebih baik,
Fear?" Robin mengangguk. "Ya."
Jared memasukkan kedua tangannya ke saku. "Oke. Apa?"
"Polisi tidak ingin mendengarkan kalian, betul?" kata Robin.
"Jadi, bagaimana kalau mereka tidak punya pilihan" Bagaimana kalau
kalian membuat mereka terpaksa mendengarkan kalian?"
"Bagaimana caranya?" tanya Steve ragu.
"Mudah," kata Robin. "Kalian harus menyandera seseorang."
"Kau bercanda?" jerit Steve. "Kalau kami menyandera orang,
polisi sudah pasti akan membunuh kami."
"Tidak, tidak akan," kata Robin. "Kalian sering melihat kisah
penyanderaan di TV, kan" Polisi akan melakukan apa pun untuk
memastikan bahwa sanderanya tidak disakiti. Lagi pula, kalian hanya
menuntut agar mereka mau mendengarkan kisah kalian."
Jared mengerutkan kening. "Dan menurutmu, begitu mereka
mendengarkan cerita kami, mereka akan melepaskan kami?"
"Pasti. Karena aku akan mendukung cerita kalian," Robin
berbohong. "Reporter TV dan koran juga akan menyelidiki semuanya.
Kalian akan terbukti tidak bersalah."
Ayo, desak Robin dalam hati. Gigit umpan ini.
Tapi wajah Jared masih menampakkan keraguan. "Bagaimana
dengan penyanderaannya" Maksudku, tidakkah kami akan mendapat
kesulitan karena itu?"
"Kalian tidak menyakiti siapa pun," Robin menjelaskan. "Dan
polisi juga manusia. Mereka tahu kalian melakukan itu karena
terpaksa, karena tidak ada jalan lain untuk membersihkan nama
kalian. Lagi pula mereka masih harus menangkap pelaku pemboman
yang sesungguhnya. Mereka tidak punya waktu untuk berurusan lagi
dengan kalian." Robin berhenti dan memperhatikan keempat orang itu bertukar
pandang. Mereka tidak terlalu panik lagi sekarang. Wajah mereka
bahkan memperlihatkan secercah harapan.
"Yang penting adalah," Robin melanjutkan, "menentukan siapa
sandera yang akan kalian tangkap."
"Ya. Siapa, ya?" tanya Kevin. "Seorang anak kecil?"
"Itu akan membuat semua orang sangat marah," kata Robin.
"Aku punya calon yang lebih bagus. Dierdre Bradley."
"Hei, ya!" Joey setuju. "Ayahnya pasti akan memastikan bahwa
polisi mau mendengarkan kita!"
"Aku bisa memancing Dierdre ke sini," kata Robin. "Begitu aku
dan dia masuk ke sini, kalian pura-pura memukulku sampai pingsan.
Aku tidak mau dia tahu aku bekerja sama dengan kalian. Lalu kalian
tangkap dia dan jadikan sandera. Bagaimana?"
"Kau yakin ini akan berhasil?" tanya Jared gugup.
"Jauh lebih baik daripada bersembunyi atau lari seumur hidup,"
sahut Robin. "Percayalah. Dalam beberapa jam kalian akan bebas
sepenuhnya." Jared menarik napas dalam-dalam. "Oke. Tidak ada salahnya
dicoba."
Fear Street Jeritan Terkeras Loudest Scream Fearpark 2 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagus. Kalian tunggu di sini sementara aku mencari Dierdre.
Dan jangan khawatir," Robin menambahkan. "Semua akan berjalan
baik." Robin membuka pintu gudang sedikit dan mengintai ke luar.
Tidak ada seorang pun. Ia menengok ke belakang, mengacungkan
jempol kepada mereka berempat, lalu menyelinap keluar.
Semua akan berjalan baik, ia mengulangi dalam hati dengan
riang. Tapi untukku. Bradley akan mengalami bencana lagi.
Lalu yang perlu kupikirkan hanyalah bagaimana membunuh
Meghan, setelah itu hidup ini akan sempurna!
Tapi satu-satu dulu. Ajak Dierdre ke gudang itu dan biarkan
situasi penyanderaan itu "meledak".
Robin memandang ke kiri dan ke kanan.
Trailer yang menjadi kantor Jason Bradley berada beberapa
meter dari situ. Saat Robin memperhatikannya, Jason Bradley
melangkah cepat menuruni tangga. Di belakangnya berdiri Dierdre.
Bradley berjalan pergi. Dierdre melambaikan tangan pada
ayahnya, lalu masuk kembali.
Tepat sekali waktunya, pikir Robin. Dierdre sedang sendirian.
Dan tadi dia mengeluh karena jarang bertemu denganku. Aku ajak
saja dia jalan-jalan di bawah cahaya bulan.
Robin melihat lagi ke kantor. Dia bisa melihat bayang-bayang
Dierdre di jendela. Jalan-jalan di bawah sinar bulan akan menyenangkan, memang.
Sebenarnya ia sendiri juga suka pada Dierdre. Dekat dengan gadis itu,
berpegangan tangan. Menciumnya. Kalau ia menyingkirkan Meghan dan Dierdre, ia sendiri akan
jadi kesepian. Tak ada yang diajak bicara. Tak ada ciuman. Tidak ada yang
memeluknya dan mengatakan betapa hebatnya dia.
Haruskah kubunuh Dierdre" pikirnya.
Mungkin. Mungkin juga tidak. Keputusan yang sulit. Pilih, katanya pada diri sendiri.
Biarkan dia hidup" Atau membunuhnya" Bab 23 "IH, seram!" kata Dierdre ketika ia dan Robin meninggalkan
kantor ayah Dierdre. "Bayangkan, suaranya serak, bisik-bisik,
bicaranya ngaco, memperingatkan aku tentang kau!"
Robin merangkulkan lengannya ke pundak Dierdre. "Dan kau
tidak tahu siapa orang itu?" tanyanya.
"Tidak. Dan itu yang paling parah," sahut Dierdre. "Suaranya
tidak mirip siapa pun yang kukenal."
Dierdre bersandar ke Robin dan menggigil. Ia terus berusaha
menghapus suara itu dari benaknya, tapi suara itu tetap terngiangngiang, berulang-ulang memberi peringatan agar ia menjauhkan diri
dari Robin Fear. Ia menatap Rob. Cowok itu sedang memandang lurus ke depan,
wajahnya prihatin. Prihatin pada diriku, pikir Dierdre.
Dia temanku, tidak peduli apa yang dikatakan suara di telepon
tadi. Lebih dari sekadar teman. Lebih.
Dan akan selalu. "Aku senang kau datang," kata Dierdre pada Robin. "Aku tidak
bisa menceritakan pada Daddy tentang telepon itu. Sudah cukup
banyak yang mengganggu pikirannya. Tapi aku harus bicara dengan
seseorang!" "Mmm." Robin meremas bahu Dierdre. "Mungkin itu cuma
telepon konyol, semacam lelucon. Bagaimanapun, jalan-jalan santai
bisa menenangkan pikiranmu. Hanya masalahnya, hujan mulai turun."
"Hanya gerimis kecil." Dierdre tersenyum dan merangkulkan
lengannya ke pinggang Robin. "Malah makin sejuk dan nyaman."
Robin mencium kepala Dierdre. "Rambutmu sudah basah,"
gumamnya. "Biar saja. Aku ingin bersamamu." Dierdre menengadahkan
wajahnya dan memberi ciuman panjang pada Robin.
Hujan semakin deras. Dierdre tertawa. "Kelihatannya kita memang harus kembali ke
kantor." "Kenapa tidak menunggu di situ saja?" Robin menunjuk gudang
alat-alat beberapa meter di depan mereka. "Hangat dan nyaman." Ia
mencium Dierdre lagi. "Dan romantis."
Dierdre menarik tangan Robin. "Ayo."
Dengan terengah-engah dan hampir basah kuyup, Dierdre
meluncur masuk ke gudang mendahului Robin. "Gelap betul di sini!"
serunya. "Pasti ada lampu senter disimpan di sini."
Pintu berdebam menutup. Dierdre mendengar suara-suara di
belakangnya. Lalu suara teriakan tertahan.
Ia berbalik. "Rob!" jeritnya.
Robin terbaring di lantai, matanya terpejam.
"Rob" Rob?" jerit Dierdre. Rob tidak bergerak.
Perlahan-lahan Dierdre menengadahkan mukanya dari wajah
Rob. Jared Malone dan ketiga temannya berdiri di dekat dinding
depan gudang. Jantung Dierdre berdebar-debar. Wajah mereka! Wajah mereka
sama dengan gambar wajah pelaku pemboman yang dibuat polisi! Ia
telah melihat gambar wajah-wajah itu berkali-kali dalam beberapa hari
ini, tapi baru sekarang, setelah bertemu dengan orangnya, ia
menyadari wajah-wajah siapa yang ada di gambar itu.
Jared. Adik Paul. Seorang pembunuh.
"Ternyata kalian!" teriaknya. "Kalian yang membunuh orangorang itu! Kalian yang meledakkan bom!"
Dierdre menatap Rob lagi. Rob masih belum bergerak,
wajahnya pucat. "Kalian membunuh Rob juga!"
"Diam!" geram Jared. "Rob tidak apa-apa! Semuanya akan
beres"kalau kau bisa diam dan mendengarkan kami!"
"Tidak!" jerit Dierdre. Ia menghambur ke pintu.
"Tangkap dia!" teriak Joey. "Jangan sampai dia lari dari sini!"
Tangan-tangan kuat menangkap Dierdre dari belakang dan
menyeretnya menjauhi pintu.
"Tidaaak!" raungnya. Ia menyepak-nyepakkan kakinya, tapi
hanya menendang udara. Sebuah tangan membekap mulutnya. Dierdre menggigit jari
tangan itu. Si pemilik jari menjerit.
Dierdre menyikut ke belakang sekuat tenaga dengan kedua
belah sikunya dan mendengar penyerangnya yang lain memekik.
Dengan berontak memutar-mutar tubuh, akhirnya ia berhasil lepas.
Aku harus keluar! pikirnya. Disapunya rambutnya yang kusut
dari depan matanya dan ia berlari menuju pintu lagi. Aku harus keluar
dari tempat ini! Mereka pembunuh. Pembunuh!
Tangannya terulur untuk memegang kenop pintu.
Dan rasa sakit membuat kepalanya serasa meledak.
Rasa sakit yang membuat pandangannya menjadi gelap.
Perutnya bagaikan diaduk-aduk.
Lututnya tertekuk lemas. Kenop pintu bagaikan berada jauh di ujung terowongan hitam
legam. Terowongan menyempit dan semakin sempit saat kegelapan
menyelubunginya. Mereka telah membunuhku juga, Dierdre menyadari, sebelum
semuanya menjadi gelap gulita.
Bab 24 PERLAHAN-LAHAN Dierdre menggerakkan kepalanya.
Rasa sakit menerpanya bagaikan dihantam palu godam.
Ia ingin menjerit, tapi tidak bisa membuka mulut. Ia
menggerakkan bibirnya. Merasakan sesuatu yang tebal. Kasar. Erat.
Sumpal! Mulutku disumpal! Ia mencoba meraih sumpal mulutnya. Sesuatu menghalanginya.
Tangannya di belakang punggung. Tidak bisa digerakkan.
Kedua tangannya terikat! Mata Dierdre tersentak membuka. Rasa sakit membanjiri
tubuhnya. Ia cepat-cepat memejamkan mata lagi, bernapas keras-keras
melalui hidung. Perlahan-lahan, rasa sakit di kepalanya melarut, meredup
menjadi denyutan. Suara berisik datang dari atas.
Suara hujan, pikir Dierdre. Hujan masih turun. Awalnya
sewaktu Rob dan aku... Rob! Dierdre membuka matanya lagi dan memandang berkeliling.
Ia masih di dalam gudang peralatan. Bersandar ke dinding, di
bawah bayangan gelap sebuah lemari tinggi.
Rob terbaring di lantai di sampingnya. Tangan dan kakinya juga
terikat. Matanya masih terpejam. Dia mati! pikir Dierdre. Jared telah membunuhnya!
Dierdre mulai terisak dan hampir tersedak karena mulutnya
tersumpal. Jangan sampai muntah! Jangan sampai muntah!
Menelan keras-keras, Dierdre membiarkan matanya terpejam
kembali. Hujan mulai reda, suaranya lebih perlahan sekarang.
Bukan. Itu bukan lagi suara hujan. Itu suara orang berbisikbisik!
Ia membuka matanya sedikit dan mengintai melalui sela-sela
bulu matanya. Empat sosok manusia berkumpul di dekat pintu, bicara
berbisik-bisik. Jared. Kevin. Steve dan Joey.
Bisikan mereka terdengar sengit dan gugup.
Akhirnya Dierdre menangkap beberapa kata: "...singkirkan
dia!" Jantungnya berhenti sejenak lalu berpacu cepat.
Mereka membicarakan aku! Mereka akan membunuhku juga!
Jeritan panik naik ke tenggorokannya. Ditekannya turun
kembali. Jangan mengerang atau mengeluh! Jangan sampai mereka tahu
kau sudah sadar! Dengan hanya menggerakkan bola matanya, Dierdre
memandang ke sekelilingnya. Beberapa langkah di sebelah kirinya,
dilihatnya jendela penuh debu. Di sebelah kanannya, lemari
penyimpan perkakas. Pintunya terbuka, membuatnya separuh
terlindung dari pandangan para pembunuh itu.
Perkakas memenuhi rak-rak lemari dan bergantungan di kaitan
di pintu lemari. Ada beberapa tang. Sebuah sekop. Segulung slang.
Dan sebuah gunting tanaman. Tajam berkilau.
Sangat cocok untuk menggunting.
Dierdre mengalihkan pandangannya ke arah lain. Dilihatnya
Jared dan teman-temannya masih berdiskusi dengan suara berbisikbisik.
Ia menahan napas, lalu bergeser beberapa senti ke kanan.
Berhenti sebentar. Bergeser lagi beberapa senti.
Suara bisik-bisik masih berlanjut.
Mereka tidak melihatku, pikir Dierdre. Terus maju!
Sedikit demi sedikit Dierdre menggeser tubuhnya. Bintik-bintik
keringat muncul di keningnya dan mengalir turun ke matanya. Maju
terus! Akhirnya ia merasakan sentuhan dingin mata gunting di jarijarinya. Tanpa mengeluarkan bunyi, ia mengambil gunting itu dari
gantungannya. Ia meraba-raba kunci penutup gunting dan
mendorongnya ke atas. Dengan suara "klik" yang terdengar keras di telinga, mata
gunting terbuka lebar. Dierdre membeku. Untungnya, tak ada yang terjadi. Tak ada
suara teriakan marah. Tak ada suara langkah-langkah kaki berlari
menghampiri. Ia menjepitkan gunting tanaman itu di bagian bawah lemari.
Lalu mulai menggosok-gosokkan ikatan pergelangan tangannya ke
mata gunting. Maju-mundur. Maju-mundur. Dierdre terus menggosokgosokkan tali ke mata pisau.
Seutas serat tali putus. Lalu seutas lagi dan seutas lagi.
Dierdre memelintir pergelangan tangannya, meregangkan tali.
Beberapa utas serat putus lagi. Ikatannya mengendur.
Cukup kendur sehingga Dierdre bisa melepaskan tangannya.
Ia meremas-remas tangannya mengembalikan aliran darahnya.
Lalu bangkit berdiri perlahan-lahan dan melepas sumpal mulutnya. Ia
me- nyapu rambutnya dari depan mata dan memandang dengan
perasaan khawatir ke arah Rob.
Kepala Rob sudah bergerak sedikit. Dadanya naik-turun
perlahan-lahan. Dierdre hampir berseru karena kegirangan. Rob belum mati!
Mereka tidak membunuhnya!
Kami berdua bisa keluar dari sini!
Sambil mengawasi Jared dan teman-temannya, Dierdre
bergerak tanpa bersuara ke samping Rob dan mulai melepaskan ikatan
tangan Rob. Rob mengerang. Dierdre membekap mulut Rob.
Mata Rob terbuka. Dierdre menaruh jari telunjuk di depan bibir.
Rob menatap bingung sejenak. Tapi akhirnya ia mengangguk
mengerti. Secepat mungkin, Dierdre meneruskan membuka semua ikatan
Rob dan membantunya duduk. Lalu ia menunjuk ke arah jendela.
Rob mengangguk lagi. "Ayo!" mulutnya bergerak tanpa
bersuara. Dierdre mengumpulkan seluruh keberaniannya. Menoleh cepat
untuk terakhir kalinya ke arah Jared dan teman-temannya.
Ia keluar dari bawah bayang-bayang lemari perkakas.
Dan menerjang ke arah jendela.
Bisakah ia sampai ke Sana sebelum mereka melihatnya"
Bisakah ia meloloskan diri"
"Hei!" teriak Jared.
Bab 25 DIERDRE menyambar pegangan jendela.
Langkah-langkah kaki terdengar menapaki lantai semen.
Dierdre menarik jendela, terengah-engah ketakutan.
Ia menoleh dan melihat Rob di sampingnya, membantunya.
Jendela bertahan sedetik, lalu terbuka dengan lancar seakan
diminyaki. Udara dingin dan lembap mengalir ke wajah Dierdre.
Lalu Rob lenyap dari sampingnya.
Tangan-tangan kasar merenggut tangan Dierdre dan menariknya
ke belakang. "Tidak!" jeritnya. "Tidak!" ia meronta-ronta dan menyepaknyepak, berhasil menendang kaki seseorang dan menjerit lagi.
"Tidak!" "Berhenti!" geram Jared di telinganya. Jared membekap mulut
Fear Street Jeritan Terkeras Loudest Scream Fearpark 2 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dierdre dengan telapak tangan dan menggunakan tangannya yang lain
untuk menariknya menjauhi jendela terbuka.
Steve maju dan menutup jendela.
Jared mendorong Dierdre hingga terlempar ke seberang. Jendela
itu satu-satunya kesempatan kami, pikir Dierdre saat ia terhuyunghuyung dan jatuh ke lantai di samping Rob.
Kesempatan terakhir kami!
Di sampingnya, Rob menggumamkan sesuatu. Pasti kepalanya
dihantam lagi, pikir Dierdre.
"Kita harus pergi dari sini!" seru Jared kepada teman-temannya.
"Sekarang juga!"
Dierdre membantu Rob berdiri. Mereka berdiri berdampingan,
bersandar ke dinding. Keempat anak itu berbalik dan memandang mereka.
Sekarang mereka akan membunuh kami, pikir Dierdre.
Ia menarik napas. Keempat orang itu masih menatapnya.
Tidak. Bukan menatapku, Dierdre menyadari.
Mereka menatap ke segumpal asap.
Asap ungu, berpusar-pusar dan berombak-ombak di atas lantai
gudang. Bergerak naik dan mengambang.
"Rob!" jerit Dierdre. "Apa itu" Apa yang terjadi?"
Mata Rob terbelalak melihat asap itu. "Seperti di cerita lama
dulu," gumamnya dengan nada ketakutan. "Ingat" Tahun 1935, ketika
para remaja itu akan membersihkan lahan untuk taman hiburan. Saat
itu juga muncul asap ungu seperti ini." Ia menelan ludah dan
memejamkan mata. Dierdre menatap ngeri saat asap itu terus meninggi dan
bergulung-gulung bagaikan ombak di laut.
"Dan tak lama setelah asap itu muncul, anak-anak mulai saling
membacok!" Rob meneruskan.
Dierdre menggigil. EBUKULAWAS.BLOGSPOT.COM
"Sesuatu yang mengerikan akan terjadi, Dierdre!" Robin
memperingatkan. "Sesuatu yang tidak bisa kita kendalikan!"
Dierdre gemetar saat gelombang rasa takut sedingin es
menerpanya. Ia memperhatikan dengan perasaan ngeri saat asap ungu
tebal itu berputar-putar mengelilingi gudang.
Menyelimuti Jared. Dan teman-temannya. Merayapi lengan dan
kaki mereka. Mengambang mengalungi leher mereka.
"Tidaaak!" Jared mengerang dengan suara ketakutan. "Pergi
dariku! Tidaaak!" Teman-temannya mulai mengerang juga. Mereka semua
memegangi wajah mereka sambil mengerang dan menangis.
Dierdre ternganga. Kulit mereka meregang! Semakin kencang dan semakin kencang, kulit wajah mereka
merentang! Pasti akan sobek!
Diiringi suara bagaikan tepukan tangan, kulit dahi Jared robek,
memperlihatkan tulang putih bersinar.
"Apa yang terjadi?" jerit Dierdre. "Apa yang terjadi?"
"Mereka tersobek-sobek!" seru Rob. "Asap itu merobek-robek
mereka!" Tulang pipi Joey menyembul keluar bagaikan batu karang.
Lengan Kevin mulai tertarik mulur ke samping. Ia memekikmekik ketakutan dan kesakitan"saat kedua lengannya itu copot dan
jatuh ke lantai. Leher Jared tertarik ke atas semakin lama semakin panjang"
sampai akhirnya kepalanya terpisah dari tubuhnya.
Dierdre menjerit. Asap ungu semakin tebal. Berpusar-pusar. Berputar-putar
mengelilingi kepala, lengan, kaki, dan tungkai keempat anak muda itu.
Plok. Seorang anak lagi hancur.
Rongga dadanya meletus, lengan serta tungkainya jatuh ke
lantai. Asap berputar dan bergerak.
Berubah arah. Mulai mengambang ke arah Dierdre dan Rob.
"Sekarang asap itu mendatangi kita!" teriak Rob. "Kita akan
dirobek-robek!" Dierdre menjerit ketika asap itu menyentuhnya. Ia merasakan
kehangatan asap itu. Merasakan asap itu melingkari pergelangan
kakinya dan merayap menaiki tungkainya. Semakin tinggi. Semakin
tebal. Mencubiti kulit tungkai dan lengannya. Meregangnya.
Menariknya. Merayap semakin tinggi. Menyelimuti seluruh tubuhnya.
Dierdre tidak bisa melihat apa pun, matanya tidak bisa
menembus asap tebal itu. Asap itu sudah menangkap Rob juga! Dia sudah mati!
Dan aku berikutnya! Dierdre memejamkan mata dan menyandarkan tubuhnya ke
dinding gudang. Tidak ada jalan untuk meloloskan diri!
Aku akan mati seperti yang lain-lain. Aku akan ditarik
meregang, semakin lama semakin tipis, dan akhirnya tersobek-sobek
menjadi beberapa potong. Ia menunggu kulitnya merentang.
Sobek memperlihatkan tulang-tulangnya.
Tidak mungkin menyelamatkan diri.
Asap itu menyapu bibirnya. Menyentuh kelopak matanya.
Menekan wajahnya, lengannya, tangannya, ujung-ujung jarinya.
Aku tidak merasakannya lagi, pikir Dierdre. Aku tidak
merasakan apa-apa! Sudah matikah aku" Apakah asap itu sudah membunuhku"
Perlahan-lahan ia membuka mata. Dan mengejap-ngejap heran.
Asap itu sudah lenyap. Dierdre melonjak ketika sebuah erangan lemah terdengar.
Ia mengarahkan pandangannya ke lantai.
"Rob!" Dierdre bergegas mendekati Robin. "Rob" kau tidak apa-apa?"
Robin bangkit berlutut dan memandang berkeliling. "Aku baikbaik saja, rasanya," ia mengerang. "Tapi asap itu"aku kira pasti..."
"Asap itu hampir membunuh kita!" Dierdre membantu Rob
berdiri, lalu memeluknya. "Tapi kemudian hilang begitu saja."
Dalam kesunyian yang mencekam, Dierdre menebarkan
pandangnya ke seluruh gudang.
Potongan-potongan tubuh manusia berserakan di lantai semen.
Potongan-potongan kulit. Tungkai dan lengan yang terlepas dari sendinya.
Sebuah tengkorak kepala pecah menjadi belasan keping.
Sebuah bola mata, biru berkilat bagaikan marmer, bertengger di
atas salah satu tengkorak.
Mata Jared. Dierdre menggigil dan memegangi Rob erat-erat. "Dad harus
menutup taman hiburan ini!" serunya. "Harus, Robin! Dia harus!"
"Tapi, Dierdre?" Robin akan memprotes.
"Aku sungguh-sungguh!" Dierdre mengangkat wajahnya dan
menatap Rob. "Ada kutukan di tempat ini! Tadinya aku tidak percaya,
tapi aku percaya sekarang! Aku harus meyakinkan ayahku untuk
menutup taman hiburan ini selamanya!"
"Tenang, Dierdre," kata Robin. "Aku akan membantumu
meyakinkan dia." "Benar?" "Tentu saja." Robin menarik Dierdre lebih rapat. "Kita lakukan
sama-sama. Dia akan mendengarkan kita."
Dierdre menyandarkan pipinya ke baju Robin. "Tapi bagaimana
kalau dia tidak mau juga?" tanyanya. "Bagaimana kalau kita tidak bisa
meyakinkan dia" A-aku sangat khawatir, Rob."
Dierdre merasakan pelukan Robin bertambah erat.
"Aku akan membantumu, Dierdre," kata Robin perlahan. "Lalu
aku akan menjagamu. Menjagamu dengan sangat baik."
BERSAMBUNG... Misteri Cakar Perunggu 1 Pendekar Slebor 10 Pengadilan Perut Bumi Manusia Srigala 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama