Ceritasilat Novel Online

Kembaranku Yang Jahat 1

Goosebumps Kembaranku Yang Jahat Itu I Am Your Evil Twin Bagian 1


I "SAMPAI juga kita akhirnya," kata Paman Leo. Mobil
meluncur memasuki pekarangan sebuah rumah bata yang besar, dan
Paman Leo mematikan mesin.
"Tempat ini sama sekali tidak berubah sejak kita masih kecil,
Leo," kata Mom sambil mengangkat alis. "Cuma rumputnya yang
semakin tinggi, dan sulur-sulur pohonnya semakin tebal."
"Aku tidak punya banyak waktu untuk mengurus pekarangan,
sebab aku selalu ada di lab," kata Paman Leo. Ia mengamatiku dari
balik kacamatanya yang tebal. "Mudah-mudahan kau senang di sini,
Montgomery." Wah, rupanya aku bakal lama tinggal di sini.
Namaku Montgomery Adams. Menurut ibuku, Montgomery
adalah nama yang bagus. "Itu nama pemberian ayahmu," katanya
selalu. Ayahku meninggal sebulan sebelum aku lahir. "Lagi pula nama
itu keren." Aku tidak ingin keren-kerenan. Aku ingin yang normal-normal
saja. Sudah cukup menjengkelkan menjadi anak dua belas tahun yang
jangkung, kurus, berambut merah, dan berhidung besar.
Ditambah dengan nama Montgomery, habislah aku.
Terakhir kali aku bertemu Paman Leo adalah ketika aku berusia
enam tahun. Waktu itu, ketika menjemput aku dan Mom di bandara
Philadelphia, yang pertama diucapkan Paman Leo padaku adalah,
"Kau pasti Montgomery." Suaranya berat dan agak bergema.
"Yeah, tapi aku biasa dipanggil Monty," kataku.
Tapi Paman tetap saja memanggilku Montgomery.
Paman Leo turun dari mobil dan melangkah menuju rumah,
diikuti oleh Mom dan aku yang membawa tas-tas kami.
"Lihat, Monty, itu pohon tempat kami biasa main ayunan."
Mom menunjuk sebatang pohon mapel di samping rumah. "Pamanmu
pasti punya tali kalau kau mau membuat ayunan lagi. Oh, kau pasti
senang di sini." Aku memandangi pohon mapel itu dengan was-was. "Pohon itu
seperti sudah mati," gerutuku. "Rumah ini juga kelihatannya tidak
terlalu ramai." "Jangan terlalu rewel, Monty." Mom mengernyit. "Anggap saja
ini petualangan." Petualangan" Yeah! Mom adalah ahli zoologi yang bekerja di universitas. Dua bulan
lagi ia mesti berangkat ke hutan di Kalimantan dan tinggal di sana
selama setahun untuk mempelajari orang utan. Pihak universitas
memberikan dana besar untuk proyeknya dan Mom senang sekali.
Mom suka petualangan. Aku benci petualangan. Aku ingin bisa hidup normal.
Mom tak bisa mengajakku, sebab di hutan Kalimantan tidak ada
sekolah yang bagus. Jadi, ia menitipkan aku pada Paman Leo.
Sebenarnya sih tidak apa-apa, hanya sayangnya Paman Leo
agak aneh. Ia seorang profesor, tapi ia tidak mengajar. Ia melakukan
penelitian dan bekerja di lab-nya sepanjang hari. Ia tinggal di rumah
besar ini, di kota kecil Mortonville yang sunyi, di luar Philadelphia.
Dan ia memanggilku Montgomery.
"Sayang Nan tidak ada di sini akhir minggu ini," kata Mom saat
kami masuk ke dalam. "Yeah, sayang sekali," gerutuku. Kalau ada Nan, rumah ini
mungkin akan lebih menyenangkan.
Nan adalah sepupuku, anak Paman Leo. Ia menyenangkan,
sama sekali berbeda dengan ayahnya. Ia sering menghabiskan musim
panas bersama kami di California, sementara Paman Leo bepergian ke
seluruh dunia, melakukan berbagai proyek ilmiah yang aneh.
Nan dan aku banyak memiliki persamaan. Kami sebaya, samasama memiliki orangtua tunggal"ibu Nan meninggal ketika ia baru
berumur dua tahun" dan kami sama-sama bisa main piano.
Nan hebat dalam olahraga"lebih hebat daripada aku"tapi ia
tidak sombong, dan ia juga lucu. Kami punya selera yang sama dalam
bercanda. "Nan sedang ikut kamp musik sampai Agustus," kata Paman
Leo. Ia menatapku. "Kata ibumu, kau mahir bermain piano,
Montgomery." Kami masuk ke ruang tamu yang luas, lusuh, dan berperabot
cokelat yang warnanya sudah pudar. Aku mengendus-endus. Bau
ruangan ini aneh" campuran antara bau lapuk, asam, dan bau bahan
kimia. Iiih! "Kau sedang membuat proyek apa, Leo?" tanya Mom sambil
duduk di salah satu kursi cokelat. "Sesuatu yang menggemparkan?"
Paman Leo tersipu-sipu. ''Oh, hanya mencoba ini-itu,"
gumamnya. Mom tertawa. "Kau sangat tertutup tentang pekerjaanmu,"
godanya. "Seperti tokoh ilmuwan edan di film saja."
Aku mengamati Paman Leo. Ia memang kelihatan seperti
ilmuwan edan, dengan kacamatanya yang tebal, wajahnya yang kurus,
dan rambut merahnya yang acak-acakan. Ia jangkung dan bungkuk,
dan suka memakai kemeja biru lengan pendek.
Ya, bisa kubayangkan ia bekerja di lab, di antara tabung-tabung
dan cairan hijau menggelegak.
GRRRRK! Sesuatu berkeriut di atas kepalaku.
Aku terlompat kaget. "Suara apa itu?"
"Cuma suara rumah tua," sahut Paman Leo. "Rumah tua sering
menimbulkan suara begitu."
"Atau mungkin itu suara 'mereka'," kata Mom.
"Ingat, tidak, Leo, dulu kita percaya bahwa ada keluarga lain
yang diam-diam tinggal di loteng?"
"Kau yang percaya, aku tidak," gumam Paman Leo.
Aku mendesah dan duduk di sofa yang lapuk. Tinggal bersama
seorang ilmuwan eksentrik di rumah tua ini" Hhh! Tahun ini akan
terasa lamaaa sekali. ************* Malam itu aku tak bisa tidur. Rumah ini terus membuat suarasuara. Malah ada yang kedengarannya seperti suara manusia.
Menggeram. Mendesah. Tapi akhirnya aku tertidur juga. Sebentar.
Aku terbangun karena mendengar pekikan nyaring. Aku
melayangkan pandang di kamarku. Cahaya apa yang menyorot terang
di mataku ini" Hei, aku tidak berada di ranjangku lagi.
Sepertinya aku ada di ruang operasi rumah sakit.
Aku mulai berdebar-debar. Apa yang terjadi"
Sebuah sosok jangkung dan kurus berdiri di atasku. Seorang
laki-laki, tapi wajahnya tidak terlihat, akibat cahaya membutakan yang
menyorotku. Aku hanya bisa melihat bentuk kepalanya. Ia
mengenakan topi dan penutup wajah untuk operasi.
Ketika ia mengangkat salah satu tangannya yang bersarung
tangan, tampak sepotong logam berkilat dalam genggamannya.
Aku terbelalak ngeri. Pisau bedah! Kucoba duduk tegak. Tapi aku tak bisa bergerak.
"Tolong!" teriakku.
Tapi tak ada suara yang keluar.
"Tenang," kata laki-laki itu. Suaranya yang berat bergema di
telingaku, seperti suara kaset yang sudah rusak.
Jantungku berdebar kencang sekali. Aku ingin melompat, lalu
lari, tapi aku tidak bisa menguasai tubuhku.
Ini mimpi buruk! Mimpi buruk yang mengerikan!
Saat itulah aku baru tersadar.
Ini memang mimpi buruk. Yeah, pikirku. Aku cuma bermimpi. Ini tidak nyata.
Itu sebabnya aku tidak bisa bergerak atau berbicara.
Ini cuma mimpi. Aku jadi lebih tenang. Lalu laki-laki yang mengenakan tutup wajah itu mendekatkan
pisau bedahnya ke telingaku... dan mulai menggoreskannya di kulitku.
2 "TIDAK!" Aku berteriak sekuat tenaga. "Tidaaak!"
Dan mendadak aku bisa bergerak. Aku duduk tegak di tempat
tidur, terengah-engah. Keringat membasahi pipiku.
Dengan ngeri aku menoleh ke sekelilingku.
Aku sudah kembali berada di kamarku yang gelap, di rumah
Paman Leo. Laki-laki berpisau bedah itu sudah tidak ada.
Pintu terbuka. "Monty?" panggil Mom. "Kau kenapa" Rasanya
tadi kau berteriak-teriak."ebukulawas.blogspot.com
"Kurasa aku bermimpi," kataku. "Maaf, Mom jadi terbangun."
"Sudahlah, tidurlah lagi," kata Mom.
Aku berbaring kembali, memandangi langit-langit sambil
menenangkan debar jantungku.
Kupejamkan mata, tapi lama kemudian barulah aku tertidur.
************** Pada musim panas aku pulang. Mom berangkat ke Kalimantan
pada bulan Oktober. Paman Leo menjemputku di bandara. Lagi-lagi ia
mengenakan kemeja biru lengan pendek. Mungkin kemeja yang dulu
juga. Entahlah. Hari itu hari musim gugur yang sejuk dan cerah. Daun-daun di
pepohonan baru mulai berubah warna.
Mortonville tampak cantik, tapi aku tetap merasa tidak tenang.
Ketika mobil memasuki pekarangan, pintu depan rumah Paman
Leo terbuka, dan sepupuku Nan keluar ke beranda.
"Hai!" serunya sambil lari ke mobil. "Sampai juga kau
akhirnya! Bibi Rebecca sudah pergi" Kau ingin ikut ke Kalimantan ya
sebenarnya?" Nan juga jangkung dan kurus seperti aku. Ia mengenakan jeans
longgar dan sweatshirt biru bertudung. Rambutnya juga merah seperti
rambutku, tapi warnanya lebih muda. Sepasang mata hijaunya
bersinar-sinar di bawah poninya yang tebal.
"Hai!" sapaku, tapi Nan sudah langsung berceloteh.
"Ayo masuk!" ajaknya sambil menarik tanganku. "Apa kau
sudah diajak Dad melihat-lihat rumah ini waktu itu" Pasti belum. Dad
selalu lupa. Nah, biar aku saja yang menunjukkan padamu. Rumah ini
asyik lho. Kau pasti suka." Ia memutar-mutar bola matanya. "Tapi di
sini keran air panasnya tidak selalu berfungsi."
Di ruang tamu Paman Leo berkata, "Montgomery, aku punya
hadiah kecil untukmu. Sekadar untuk menyambut kedatanganmu ke
rumah kami." Aku terheran-heran mendengarnya. Hadiah penyambutan"
Biasanya Paman Leo tidak seperti ini.
Ia mengeluarkan sesuatu yang kecil dan keperakan dari saku
jaketnya, lalu menunjukkannya padaku.
Aku mengamati benda itu. Sebuah bros berbentuk bintang
bersudut delapan. Ketika Paman Leo menggerakkan tangannya,
permukaan bintang itu bersinar-sinar oleh berbagai warna pelangi.
"Wow, dari mana asal cahaya itu?" tanyaku.
"Dad yang menciptakannya," Nan menjelaskan dengan bangga.
"Itu jenis bahan baru yang bisa bersinar dalam gelap. Bros itu bisa
dipakai di sepeda, pakaian joging, dan sebagainya. Aku juga
dibuatkan sepasang anting berbentuk bulan dari bahan itu. Bagus,
kan?" "Bagus sekali," kataku sambil mengamati bros itu.
"Aku sedang mengerjakan banyak proyek menarik,
Montgomery," kata Paman Leo. Ia menatapku dari balik kacamatanya.
"Sebenarnya aku ingin menceritakan semuanya padamu."
Ia masih berdiri memandangiku dengan kepala dimiringkan.
Rasanya telingaku mulai memerah.
Apa sih yang dipandanginya" pikirku.
Lalu Paman Leo seperti tersadar. "Sini, kupakaikan bros ini di
bajumu," katanya. Ia mendekatiku dan hendak meraih kausku.
Aku cepat-cepat mengangkat tanganku. "Aku bisa... aduh!"
Jari telunjukku sakit sekali.
Tertusuk bros Paman Leo. Kupandangi tanganku. Setetes darah menitik dari bagian yang
luka. "Astaga! Maaf, Montgomery!" Paman Leo mengeluarkan sapu
tangan dan menghapus darah di jariku. "Kau tidak apa-apa, kan"
Aduh, maaf ya. Pasti sakit sekali."
"Tidak apa," gumamku. Jariku berdenyut-denyut. Kenapa sih
Paman Leo repot sekali" "Tidak apa-apa kok. Terima kasih untuk
brosnya. Aku suka." "Dia tidak apa-apa, Dad," kata Nan. "Ayo ke dapur. Aku
melihat sekantong donat di sana."
"O ya, mari." Paman Leo memberikan bros itu padaku. Lalu ia
memasukkan saputangannya ke saku dan melangkah ke dapur. Nan
dan aku mengikutinya. "Ada toko roti yang baru buka di kota minggu lalu. Mereka
membuat donat tiga kali sehari," kata Nan. "Donatnya masih hangat
waktu kami beli tadi."
Nan beranjak ke meja dan mengeluarkan sebuah kotak dari
kantong kertas berwarna putih. Ketika tutup kotak dibuka, aroma
cinnamon yang lezat memenuhi udara. Aku benar-benar tergiur.
Sarapan di pesawat tadi rasanya sudah lewat lama sekali.
"Bagaimana kalau ditambah dengan limun?" Paman Leo
membuka kulkas dan mengeluarkan botol limun.
"Boleh," kataku sambil duduk di depan meja sarapan yang
terbuat dari kayu. Paman Leo memang kadang aneh, tapi setidaknya ia
bukan fanatik kesehatan seperti Mom. Mom tidak pernah beli donat.
Nan meletakkan kotak itu di meja. Aku mengambil sebuah
donat dan menggigitnya. Mmm! Masih hangat. Rasa manisnya serasa
meleleh di gigiku. Kuhabiskan donat itu dalam tiga gigitan, lalu aku minum limun
banyak-banyak. Kulayangkan pandang ke sekeliling dapur. Dapur ini besar dan
ceria, dengan lantai kotak-kotak hijau-putih dan tirai-tirai hijau di
jendela. Lumayan kalau Nan ada di sini, pikirku senang. Aku hendak
mengambil donat lagi. Saat itulah aku mulai merasa aneh. Sangat tidak enak.
Perutku mengejang seperti habis dipukul. Gelombang panasdingin menyebar ke seluruh tubuh.
Tenggorokanku mengatup. Aku tak bisa bernapas.
Perutku mengejang lagi. Telingaku berdengung. Kenapa" Apa yang salah"
Apa yang terjadi padaku"
3 AKU duduk di depan meja dengan telinga berdengung.
"Monty, kau tidak apa-apa?" tanya Nan. "Kau agak pucat."
"Aku... aku merasa tidak..."
Aku merunduk ke depan. Perutku bergolak.
Dan aku pun muntah di lantai dapur.
Nan melompat dari kursinya. "Iiih!" serunya.
"Montgomery! Ada apa...!" seru Paman Leo.
Aku menegakkan tubuh di kursiku. Sekarang perutku lebih
enak. Tapi lantai itu... "M-maafkan aku," kataku terbata-bata.


Goosebumps Kembaranku Yang Jahat Itu I Am Your Evil Twin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku malu sekali. Wajahku merah padam. Rasanya aku ingin
merangkak ke kolong meja dan tetap di situ selamanya.
Paman Leo mengambil pel dan ember dan mulai membersihkan
lantai. "Kau sakit?"
"Mungkin kau mesti ke dokter," kata Nan.
"Tidak, aku tidak apa-apa," gumamku. "Sungguh."
Malah aku merasa jauh lebih baik. Aku bahkan bisa menduga,
apa yang membuatku mual. Kuambil kantong donat itu dan kubaca tulisan di situ. Di bawah
nama toko roti ada daftar bahan donat. Aku langsung menemukan apa
yang kucari. "Donat ini penyebabnya," kataku. "Digoreng memakai minyak
kacang." Nan menepuk dahinya. "Aduh! Kau kan alergi kacang. Kenapa
tidak terpikir olehku" Kasihan kau, Monty."
"Ya," kata Paman Leo cepat-cepat. "Maaf, Montgomery. Adaada saja yang menimpamu di sini. Mula-mula jarimu tertusuk, lalu kau
keracunan. Benar-benar sial."
"Bukan salah Paman," kataku sungkan. "Paman kan tidak tahu.
Eh... aku mau gosok gigi dulu."
"Kau ingat di mana kamar mandinya" Pintu kedua sebelah kiri,
di atas," kata Nan. "Kalau kau turun nanti, kita buat sandwich untuk
makan siang. Dijamin tanpa selai kacang," tambahnya sambil nyengir.
Aku naik dan mencuci muka, lalu menggosok gigi. Sekarang
badanku sudah nyaman, tapi aku menyesali juga, kenapa tadi aku
mual segala. Keluar dari kamar mandi, aku berjalan di lorong yang panjang.
Bahkan pada siang hari pun lorong ini gelap dan berbayang-bayang.
Papan-papan lantainya berkeriat-keriut di bawah kakiku. Di lorong ini
banyak pintu, setidaknya ada lima di setiap sisi, dan semuanya
dikunci. Kenapa Paman Leo tinggal di rumah sebesar ini" Kan ia hanya
berdua dengan Nan di sini, dan sekarang bertiga denganku. Untuk apa
tiga orang tinggal di tempat luas begini"
Dan ada apa di balik pintu-pintu yang tertutup itu"
Di ujung lorong ada ambang pintu yang melengkung. Aku
melongok dan melihat di baliknya ada tangga belakang. Ke mana
tangga itu menuju" Aku mulai menuruni tangga sempit dan curam itu. KRAK!
KRAAK! Papan-papan lapuk ini seakan hendak roboh di bawah
pijakanku. Mudah-mudahan saja tangga ini tidak ambruk, pikirku cemas.
Bisa-bisa Paman Leo marah.
Tak lama kemudian aku sampai di bawah tangga. Kelihatannya
sekarang aku berada di bagian belakang rumah. Dari sebuah pintu di
sebelah kiri kulihat ruang kerja Paman Leo. Ruang di sebelahnya
berisi piano dan sepasang kursi berlengan.
Di depanku, di seberang lorong, ada pintu lagi. Pintu ini terbuat
dari logam, dicat warna putih cemerlang.
Dan pintu ini terbuka sedikit.
Ada apa di dalam sana" pikirku. Aku hendak memegang tombol
pintu. "Jangan!" kata sebuah suara berat di telingaku. "Jangan masuk
ke situ!" 4 DEG! Jantungku berdebar keras. Aku memutar tubuh... dan
berhadapan dengan Paman Leo.
"Aku... eh..." Aku tidak tahu mesti berkata apa. Apa ia mengira
aku sedang mengendap-endap atau apalah" "Aku... rasanya aku
tersesat." "Aku mengerti. Rumah ini terlalu besar," kata Paman Leo. "Aku
tidak bermaksud kasar padamu. Hanya saja pintu ini menuju
laboratoriumku. Banyak eksperimen penting di sana, dan beberapa
sangat berbahaya. Aku tidak ingin kau celaka, Montgomery."
"Emmm... ya." Aku ingin cepat-cepat pergi. Paman Leo
membuatku ngeri. "Dapurnya ke arah sana." Paman Leo menunjuk ke ujung
lorong, lalu ia membuka pintu lab dan masuk.
Rasanya aku mendengar kunci diputar di dalam sana.
Aneh, pikirku sambil bergegas ke ujung lorong. Benar-benar
aneh. ************* Sore itu Nan mengajakku ke tempat parkir yang biasa
digunakan anak-anak untuk bermain rollerblade. Aku suka pada
teman-teman Nan, terutama pada yang bernama Ashley. Ia cantik,
dengan rambut gelap dan lurus sebatas bahu serta mata cokelat besar.
Ia tertawa kalau aku menceritakan lelucon, dan ia adalah pemain
rollerblade terbaik di sana.
Hari Minggu hujan turun. Nan dan aku tinggal di rumah, main
game di komputer di kamar Nan. Lalu kami turun untuk melihat acara
TV. Kami menyusuri lorong di lantai dua, melewati deretan pintu.
Rumah ini berderit dan berkeriut di sekeliling kami. Bayang-bayang
gelap bergerak-gerak dan menggantung dalam cahaya remangremang.
"Ada apa sih di balik pintu-pintu itu?" tanyaku.
Nan angkat bahu. "Sebagian besar hanya kamar tidur. Di rumah
ini ada sepuluh kamar tidur. Kurasa dulunya rumah ini penginapan."
"Suasananya seram," keluhku. "Aku sering nyasar dan lupa
yang mana kamarku. Selain itu, rumah ini memperdengarkan suarasuara aneh. Seperti ada orang yang mengendap-endap di belakangku."
"Jadi, Dad belum bilang padamu?" Nan terbelalak menatapku.
"Bilang apa?" "Tentang..." Ia tidak melanjutkan kalimatnya.
"Tentang apa?" Nan menarik napas panjang. "Tentang... tentang para mutan itu.
Mereka tinggal di rumah ini bersama kami," ia menjelaskan. Lalu
dengan suara pelan ia berkata, "Mereka hanya keluar pada malam hari,
sebab mereka tidak tahan cahaya."
Bulu kudukku meremang. "Jangan bercanda ah!"
"Aku serius!" kata Nan. "Kaupikir buat apa ada kamar sebanyak
ini?" "Tapi... tapi... dari mana asal mereka?" tanyaku terbata-bata.
"Kenapa ayahmu membiarkan mereka tinggal di sini?"
"Mereka itu hasil eksperimen yang gagal," bisik Nan. "Kurasa
Dad merasa bertanggung jawab."
Aku berhenti berjalan dengan mata terbelalak. "Hah!"
Lalu kulihat Nan nyengir lebar.
"Kau percaya ya" Kau percaya?" serunya.
Aku cemberut. "Lucu sekali. Aku tidak percaya kok."
"Bohong! Kau percaya!" katanya dengan nada menang.
"Tidak. Siapa yang bakal percaya cerita begitu?" gerutuku.
"Ceritaku cukup meyakinkan. Jangan cemberut begitu, Monty.
Aku tidak akan cerita-cerita kok."
Mudah-mudahan memang tidak. Terutama pada Ashley.
Nan mengajakku turun tangga belakang, melewati lab Paman
Leo, masuk ke ruangan yang ada pianonya. Di situ juga ada TV.
Dari balik dinding lab terdengar suara-suara pelan tertahan. Apa
yang sedang dilakukan Paman Leo di ruang sebelah"
"Kau pernah masuk ke lab ayahmu?" tanyaku pelan-pelan pada
Nan, setelah kami duduk. "Cuma satu kali. Dad sangat keras tentang hal satu itu," sahut
Nan. "Aku tahu," kataku pelan. "Apa yang terjadi?"
"Waktu itu aku baru umur tujuh tahun," kata Nan. "Suatu hari
aku masuk diam-diam ke lab, waktu Dad sedang tidur siang. Aku
yakin akan melihat macam-macam eksperimen aneh. Kelinci
berkepala dua dan semacamnya."
"Lalu ternyata memang ada, tidak?"
Nan menggeleng. "Hanya ada tabung-tabung ujicoba dan
grafik-grafik. Membosankan. Tapi sebelum aku sempat keluar, Dad
sudah bangun. Aku pasti akan dapat masalah besar kalau sampai
dipergoki ada di dalam, jadi aku sembunyi di lemari. Sekitar dua jam.
Padahal aku tidak tahan ingin ke kamar mandi. Akhirnya Dad pergi
juga, dan aku menyelinap ke luar."
Ia tertawa. "Sejak itu aku tidak pernah masuk ke sana lagi."
Aku mengambil remote dan menyalakan TV "Kenapa ayahmu
selalu menyebutku Montgomery?" tanyaku sambil ganti-ganti saluran.
Nan angkat bahu. "Entahlah. Dad memang suka aneh," katanya.
"Sok formal." Ia mengambil remote di tanganku. "Sini! Aku sebal
melihatmu ganti-ganti saluran terus. Terlalu cepat, aku sampai tidak
tahu acara apa yang ada di TV."
"Aku ingin dia memanggilku Monty, seperti yang lainnya,"
gerutuku. "Hei, lihat!" Nan menyikut rusukku dengan remote itu. "Film
Twilight Zone. Aku suka film ini. Aku sudah nonton empat kali."
Aku tidak begitu suka film seram, tapi aku tidak mau
mengatakannya pada Nan. Bisa-bisa aku dianggap penakut.
Aku bersandar di sofa dan memikirkan nama-nama yang lebih
sesuai untuk diriku. "Ini bagian yang paling seru," bisik Nan. "Kau nonton, tidak?"
"Dave," kataku.
"Apa?" Nan melongo menatapku. "Kau ngomong apa sih?"
"Dave," ulangku. "Bagaimana menurutmu" Dave Adams"
Kedengarannya bagus, kan?"
Nan mendengus. "Jangan konyol."
"Kalau Paul bagaimana?" tanyaku. "Aku cocok, tidak, punya
nama Paul" Rasanya cocok deh."
"Menurutku kau cocok jadi anak konyol," sahut Nan. Ia
kembali menonton TV yang sedang menayangkan iklan. "Aku jadi
tidak lihat bagian film yang seru deh!" katanya.
"Lalu kenapa" Kan kau sudah nonton empat kali!" kataku. "Hei,
kalau Alan bagaimana?"
"Diam, Monty!" Nan menyodokku dengan remote. "Bikin
popcorn saja! Sana!"
Aku menolak. "Kau saja yang bikin!"
"Aku tidak mau ketinggalan filmnya," kata Nan.
Jadi, aku pergi ke dapur, mengambil sekantong popcorn, dan
memasukkannya ke microwave.
"Cepat, Monty!" teriak Nan dari ruang TV. "Filmnya sudah
mulai." "Iya! Iya!" gerutuku.
Setelah popcorn-nya siap, aku memasukkannya ke mangkuk
dan membawanya ke ruang TV.
Ketika melewati ruang lab, kudengar Paman Leo bicara di
dalam. "Tidak!" serunya. "Tidak! Itu tak mungkin!"
Sejenak hening, lalu terdengar suara lagi, tapi terlalu pelan,
sehingga ucapannya tidak bisa kudengar.
Aku berhenti di depan pintu itu. Siapa yang diajak bicara
Paman Leo" Aku tersentak ketika suara Paman Leo terdengar lagi.
"Tidak!" teriaknya. "Tidak! Kau sudah sinting! Kaudengar itu"
Sinting!" 5 AKU merinding. Pada siapa Paman Leo berteriak-teriak" Siapa
yang sinting" Aku tidak melihat siapa-siapa di rumah ini, padahal aku berada
di sini sepanjang hari. Apa yang terjadi di lab"
"Monty! Kemari!" teriak Nan.
Aku masuk ke ruang TV dan menutup pintu.
Aku berdeham. "Nan... ayahmu berteriak-teriak di labnya,"
kataku. Nan angkat bahu. "Dad memang suka emosional kalau
menyangkut pekerjaannya," katanya tanpa mengalihkan mata dari TV.
"Tapi dia bicara dengan siapa?" desakku. "Siapa yang ada di
situ bersamanya?" Nan menoleh padaku, lalu tertawa terbahak-bahak.
"Aduuh, kau ini hidup di abad berapa sih, Monty" Belum
pernah dengar alat yang namanya telepon, ya?" tanya Nan.
"Oh." Wajahku merah padam karena malu.
Iya ya, Paman Leo pasti sedang bicara di telepon.
Rasanya aku mendengar dua suara, tapi itu mustahil.
Aku duduk di samping Nan. "Ini," kataku, menyerahkan
mangkuk popcorn padanya. Lalu aku bersandar untuk nonton kelanjutan film tadi.
Tapi aku sulit berkonsentrasi. Aku terus memikirkan suara
Paman Leo yang kudengar. Terutama ketika ia berteriak, "Kau
sinting!" Aku tidak peduli apa kata Nan, pikirku. Aku tidak peduli Paman
Leo cuma bicara di telepon.
Yang jelas, Paman Leo benar-benar aneh.
************* "Ini dia, Sekolah Taft," kata Nan.
Aku menatap bangunan batu bata yang panjang itu. Tampak
luarnya mirip dengan sekolahku di California, hanya saja lebih besar.
Jendela-jendelanya juga terbuat dari besi berkerangka, dengan kerai
putih kotor, lapangan rumputnya juga sama.
Meski hari itu mendung, anak-anak bergerombol di rerumputan,
mengobrol atau saling lempar Frissbee sebelum sekolah dimulai.
"Kau masuk ke kelas Ms. Eckstat," kata Nan setelah memeriksa
jadwal pelajaranku. "Sayang sekali kau tidak masuk kelas Mr. Pratt
bersamaku. Ms. Eckstat cukup oke, tapi agak keras."
"Tidak apa, toh aku bukan pembuat onar," kataku.
Aku merasa gugup. Sudah cukup tidak enak masuk ke sekolah
baru, apalagi kalau terlambat masuk satu bulan.
Bel berbunyi. Kami bergegas masuk kelas. Nan menunjukkan
ruang kelasku di lantai pertama. "Kita ketemu di ruang makan nanti,"
katanya. "Sampai ketemu."
"Trims." Aku menatap sepupuku itu sementara ia menjauh.
Kucoba tampak biasa-biasa saja ketika berjalan masuk ke
kelasku. Ms. Eckstat mengangguk dan tersenyum. Ia berusia sekitar
lima puluhan, rambutnya keriting kelabu, dipotong pendek, dan
kacamatanya dikalungkan ke leher dengan rantai.
Ashley, teman Nan, sekelas denganku. Rambutnya diekor kuda,
dan ia mengenakan sweatshirt bertuliskan PENN STATE. Kucoba
menarik perhatiannya, tapi ia sedang asyik mengobrol dengan
temannya. Aku melayangkan pandang sekeliling kelas. Ada beberapa
bangku kosong. "Di mana tempat dudukku, Ms. Eckstat?" tanyaku.
Ms. Eckstat mengernyit. "Kau kan sudah tahu mesti duduk di
mana, Montgomery," katanya. "Minggu lalu aku sudah
memberitahumu, waktu kau datang menemuiku."
Sesaat aku terpaku memandanginya. Bertemu dengannya
minggu lalu" "Emm... maaf, Ms. Eckstat," kataku, "tapi minggu lalu aku tidak
kemari. Ini hari pertamaku di sini."
Ms. Eckstat bertolak pinggang dan mendesah. "Jangan mainmain, Montgomery. Duduklah di bangkumu.
Aku memandangi bangku-bangku itu. Ashley menunjuk ke
sebuah bangku di dekat jendela.
"Jangan membantah," bisiknya, "duduk saja."
Aku berjalan ke arah baris tengah dan duduk di bangku yang
ditunjuk Ashley. Seorang anak gendut di belakang mengejekku.


Goosebumps Kembaranku Yang Jahat Itu I Am Your Evil Twin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ms. Eckstat mulai menulis di papan tulis. Kucoba
memperhatikan, tapi sulit sekali.
Apa sih maksud Ms. Eckstat tadi" Aku belum pernah datang ke
sekolah ini. Aku belum pernah bertemu dengan guru-gurunya.
Minggu lalu aku masih di California.
Jadi, kenapa ia mengatakan pernah bicara denganku"
6 SORE itu aku les piano dengan guru Nan, Mr. Schneider. Ia
juga guru musik di sekolah.
Aku cukup mahir main piano, tapi hari ini aku mesti mulai dari
awal lagi. Aku sudah mulai karatan.
Tapi aku terus memikirkan Ms. Eckstat yang keliru mengira aku
adalah anak lain. Tak ada yang mirip denganku di kelas. Hanya aku
yang berambut merah. Mr. Schneider membungkuk di atas piano dan mengernyit. Ia
botak, rambutnya hanya tumbuh di tepi-tepi kepalanya yang bulat
telur. Ia mengenakan sweater garis-garis dan dasi polkadot.
"Coba lagi," katanya ketika aku gagal main untuk kedua
kalinya. "Kalau begini terus, aku tidak yakin kau bisa tampil untuk
acara di sekolah minggu depan."
"Acara apa?" Aku menatapnya terkejut.
"Nan tidak bilang" Hari Jumat depan akan ada pertunjukan
musik untuk anak-anak," kata Mr. Schneider. "Kata Nan permainan
pianomu sama bagusnya dengan dia. Kurasa kalian bisa bermain
duet." Boleh juga, pikirku. Mungkin Ashley akan terkesan kalau aku
bisa tampil bagus. Mungkin kehidupanku di Mortonville akan lebih
menyenangkan. Sejauh ini semuanya serba aneh.
Mula-mula Paman Leo hampir membuatku sakit dengan donatdonat yang dibelinya itu. Lalu guruku mengira aku pernah datang
menemuinya. Dan suara-suara yang kudengar di lab itu...
Aku memerlukan sesuatu yang normal dalam hidupku, dan apa
lagi yang lebih normal selain resital piano"
"Ayo mulai," kataku, lalu berlatih lagi.
Pelajaran hari itu berlangsung dengan baik. Mr. Schneider
tersenyum senang dan puas. "Bagus, bagus sekali," katanya.
Akhirnya ia memberiku setumpuk kertas musik dan
menyuruhku pulang. "Bagus, tapi teruslah berlatih, Monty," katanya
dari ambang pintu. Aku bergegas pulang, melangkahi dua anak tangga beranda
sekaligus. "Nan" Paman Leo?" seruku sambil masuk ke dapur yang
kosong. "Halo?"
Tak ada sahutan. Lalu aku baru ingat. Nan sedang menjaga anak
tetangga di dekat-dekat sini.
Paman Leo pasti ada di lab-nya, pikirku. Mungkin dia tidak bisa
mendengarku dari sana. Aku bergegas ke ruang lab, dan membuka pintu.
"Tutup pintu itu!" Seseorang berteriak dari dalam lab.
Aku sangat terkejut, hingga kulepaskan pintu itu. Pintu
langsung menutup. Itu bukan suara Paman Leo, malah bukan suara orang dewasa.
Nadanya terlalu tinggi. Ada orang lain di dalam lab.
Tapi siapa" 7 TAK lama kemudian pintu membuka dan Paman Leo keluar.
Wajahnya lebih pucat daripada biasa. Di bawah matanya ada
lingkaran-lingkaran gelap.
"Kau perlu sesuatu, Montgomery?" tanyanya.
"Aku... aku..." Aku merasa canggung. "Aku tidak bermaksud
mengganggu Paman." "Tidak apa-apa." Paman Leo tersenyum lebar. Tampaknya
aneh. "Maaf aku membentakmu. Lain kali ketuk pintu dulu."
"Paman membentakku?" kataku. "Tapi yang tadi itu kan bukan
suara Paman." "Itu suaraku," bantah Paman Leo. Ia berdeham. "Mungkin aku
kedengarannya agak... tegang. Aku sedang melakukan eksperimen
yang sangat sensitif."
"Tapi..." Aku tidak meneruskan kalimatku. Aku sangat bingung.
Aku membalikkan badan. "Maaf mengganggu Paman,"
gumamku. "Tidak apa," kata Paman Leo lagi. "Sebaiknya kau membuat
PR." "Baik." Paman Leo masuk kembali ke lab-nya. Aku menuju dapur. Aku
perlu makanan kecil, dan aku mesti berpikir.
Aku hampir yakin bahwa suara yang tadi membentakku bukan
suara Paman Leo. Apa Paman Leo berbohong padaku"
Kalau ya, kenapa" Apa yang ingin ia sembunyikan dariku"
************* Keesokan harinya di sekolah juga menyenangkan. Aku
membuat anak-anak yang makan semeja denganku terbahak-bahak
ketika aku menirukan cara berjalan Mr. Mason, guru olahraga kami.
Mr. Mason bertubuh pendek dan cara berjalannya seperti bebek.
Bebek yang berotot. Ashley tertawa paling keras.
Jam keenam ada pelajaran seni rupa. Ketika aku masuk ke kelas
seni, yang pertama kulihat adalah Ashley. Ia nyengir dan menunjuk
bangku di sebelahnya. Bagus, pikirku sambil menuju meja Ashley. Segalanya mulai
membaik. Aku mengenali dua anak lain di kelas ini. Vinny Arnold, teman
Nan juga, duduk dekat pintu. Dan Seth Block, anak bertubuh besar
yang menertawakanku di kelas Ms. Eckstat, duduk di meja sebelah
kami. "Selamat siang," kata Ms. Braun, guru kami yang berambut
cokelat panjang. "Hari ini kita meneruskan mempelajari bentuk dan
warna dalam tiga dimensi. Aku sudah menyiapkan kotak bubur kertas
dan cat di setiap meja. Silakan berkreasi."
Aku melihat ke meja Seth. Ia dan dua anak lain sedang
membuat sesuatu yang sangat besar dan berbonggol-bonggol dari
bubur kertas. "Hei, bagaimana proyek kalian?" tanya Ms. Braun.
"Punya kami pasti paling bagus," Seth menyombong. "Kami
membuat gunung berapi. Kami akan mengecatnya, sehingga
tampaknya seperti dialiri lava sungguhan. Kami juga akan membuat
orang-orangan yang terperangkap dalam aliran lava. Ahh, aku
terbakar!" Seth mencengkeram lehernya dan pura-pura kesakitan.
Ashley melotot. "Dia menyebalkan sekali." Lalu ia mengambil
kuas dan mulai menyapukan warna biru di topeng yang sedang
dibuatnya. "Mereka bikin apa sih?" bisikku pada Ashley. "Kepala Seth?"
Ashley tertawa. "Kurang benjol-benjol untuk jadi kepala Seth,"
sahutnya. Aku mengambil sejumput bubur kertas dari kotak dan mulai
membentuknya di tanganku. "Aku mau bikin sosok diriku.
Menurutmu ini bagaimana?"
"Belum cukup tembam," kata Ashley sambil nyengir. Ia
memasukkan tangannya ke kotak bubur kertas dan mengambil
sejumput, lalu menjatuhkannya di tanganku. "Nih, itu baru cocok."
"Hei!" protesku. Kuambil kuas dan kupoleskan lingkaran merah
besar di pipi topeng yang dibuat Ashley. "Nah, tuh, pipinya jadi
merah, kan?" "Kau suka pipi merah" Nih, kuberi!" Ashley memasukkan
kuasnya ke cat merah, dan tahu-tahu ia memoleskannya ke pipiku.
"Wah, nantang ya!" Aku meraih botol cat hijau.
"Tidak!" seru Ashley ketika melihat apa yang kulakukan. Ia
menyambar lenganku, tapi aku menyentakkannya.
Rupanya sentakanku terlalu keras.
BUK! Lenganku menghantam deretan botol cat. Semua
melayang dari meja... dan jatuh ke lantai.
Kecuali botol cat kuning. Catnya tumpah ke meja Seth,
membasahi gunung berapi buatannya.
Ruang kelas langsung hening.
Ashley dan aku saling pandang dengan ngeri.
Lalu semua anak mulai berbicara serentak.
"Awas kau!" geram Seth. Ia mengepalkan tinjunya dan melotot
padaku. "Bagus sekali, Monty!" seru seorang anak.
Ms. Braun bergegas menghampiri kami. Ia melotot sambil
bertolak pinggang. "Lihat semua tumpahan ini," omelnya. "Catnya terbuang
percuma!" "Maaf," gumamku. "Aku... aku tidak sengaja."
"Yah, mudah-mudahan saja kau memang tidak sengaja!" bentak
Ms. Braun. Ia mendesah. "Sebaiknya aku memanggil petugas
pembersih untuk menyingkirkan pecahan botol ini. Hati-hati kalau
berjalan, anak-anak."
Ia menoleh dan melotot lagi pada Ashley dan aku. "Kalian tidak
boleh langsung pulang nanti. Kalian mesti membersihkan seluruh
ruang kelas ini. Dengan begitu, mungkin kalian baru bisa menghargai
peralatan." Aku menunduk. "Ya, Bu."
"Aduuuh! Aku mesti latihan soccer sepulang sekolah," keluh
Ashley setelah Ms. Braun pergi. Ia cemberut padaku. "Kenapa sih kau
membuat kacau begini?"
Aku" Kalau dia tidak menyambar lenganku, tentunya aku tidak
akan menjatuhkan botol-botol cat itu, kan"
Tapi aku malu untuk mendebat.
Baru hari kedua di sekolah, aku sudah dua kali mendapat
masalah. "Sori," kataku lagi.
Selama sisa pelajaran, aku dan Ashley bekerja dalam diam.
Ashley mengambil cat-cat baru dan mengecat topeng buatannya. Aku
mencoba membuat buaya-buayaan dari bubur kertas, tapi hasil
akhirnya malah seperti sosis berkaki empat.
Sesudah pelajaran terakhir, aku kembali ke kelas seni untuk
menemui Ashley. Aku membuka pintu... dan terbelalak kaget.
Ruang kelas itu berantakan sekali.
Cat warna-warni memenuhi lantai, dinding, jendela, dan
perabotan. Sekotak bubur kertas ditumpahkan di meja guru. Kertas
gambar diambil dari rak-rak dan dibuat menjadi konfeti.
Kelihatannya seperti ada yang mengamuk di ruang kelas ini.
Kulihat gunung berapi Seth sudah hancur lebur. Begitu pula buayaku.
Dan yang lain- lainnya. Ashley berdiri di tengah segala kekacauan itu, ternganga
memandanginya. Aku masuk ke dalam.
"Apa yang terjadi?" gumamku.
Ashley menoleh. Ia menangis.
"Jangan dekat-dekat aku!" teriaknya. "Kau sinting!"
"Apa maksudmu?" tanyaku bingung.
"Aku melihatmu!" jerit Ashley. "Aku melihatmu, Monty.
Kenapa kaulakukan ini?"
8 "AKU?" Dengan bingung aku menatap Ashley. "Apa
maksudmu?" "Kau yang menghancurkan seluruh isi kelas ini!" teriak Ashley.
"Kenapa kau berbuat bodoh begini?"
"Tapi... tapi aku tidak berbuat apa-apa," protesku. "Bukan aku
yang melakukan. Aku malah tidak ada di sini tadi."
"Kau berani bilang begitu?" Ashley menudingkan satu jarinya
padaku. "Aku melihatmu! Aku melihatmu menghancurkan semua ini!
Lalu kau keluar lewat jendela."
"Tidak!" teriakku. "Sumpah, Ashley, kau salah. Bukan aku yang
melakukan! Aku baru keluar dari kelas IPA. Bukan aku yang
melakukan." Ashley menghapus matanya dengan tisu. "Kau ingin
menyalahkan aku atas semua ini?"
"Tidak. Aku tahu bukan kau yang melakukan. Tapi aku juga
bukan. Sungguh!" "Tapi aku melihatmu."
Aku memegangi dahiku dengan satu tangan. "Ini aneh sekali."
Ashley melihat ke pintu. "Ms. Braun!" ia terkesiap. "Aku..."
Aku membalikkan tubuh. "Ada apa ini?" tanya Ms. Braun.
Aku terpaku dan ternganga. Ashley menunduk memandangi
kakinya. "Bagaimana?" tanya Ms. Braun. "Ashley, kau yang melakukan
ini?" "Bukan," sahut Ashley.
"Monty?" tanya Ms. Braun.
"Bukan!" kataku, agak keras.
Ashley menarik napas. "Aku melihat Monty melakukannya,"
gumamnya. Ms. Braun menghampiriku sambil menggeleng-geleng.
"Ashley, kau boleh pergi. Monty, ikut aku ke kantor Kepala
Sekolah," katanya. "Sekarang juga."
*************** "Mrs. Williams menunggumu di kantornya," kata sekretaris
padaku. Aku tercekat. Aku belum pernah disuruh ke kantor Kepala
Sekolah. Apalagi untuk kesalahan yang tidak kulakukan.
Ms. Braun meletakkan satu tangan di bahuku dan mendorongku
ke kantor Mrs. Williams. "Kami mendapat masalah," katanya.
Mrs. Williams adalah wanita jangkung dan tegap. Rambut
hitamnya dipotong pendek sekali. Ketika ia menatapku, matanya yang
berwarna gelap tampak keras.
"Kau lagi?" katanya. "Aku tidak heran. Sudah kukatakan
padamu tadi pagi, kau pasti akan mendapat masalah akibat mulut
besarmu itu." Ia beralih kepada Ms. Braun. "Apa lagi ulahnya kali ini?"
Aku ternganga dan menatap Mrs. Williams dengan terkejut.
Tadi pagi" Aku tidak ada di kantor ini tadi pagi.
Aku bahkan belum pernah melihat Kepala Sekolah.
Apa yang terjadi" 9 DENGAN marah Ms. Braun menceritakan pada Mrs. Williams
tentang kekacauan di kelas seni. Aku mendengarkan dengan kaget.
Apa aku sudah sinting"
Apa benar aku yang memorak-porandakan kelas seni tanpa
menyadarinya" Benarkah aku disuruh menghadap Kepala Sekolah tadi pagi"
Kalau ya, kenapa aku tidak ingat"
Tak mungkin! Mustahil! Dengan merinding aku ingat apa yang terjadi kemarin, ketika
Ms. Eckstat mengatakan ia pernah menemuiku minggu lalu.
Ada yang benar-benar aneh di sini.


Goosebumps Kembaranku Yang Jahat Itu I Am Your Evil Twin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Itu bukan aku!" sanggahku. "Sungguh, bukan aku yang
melakukan. Bukan!" Kedua wanita itu melotot padaku. Mrs. Williams menggelenggelengkan kepala.
"Kami tahu kaulah yang melakukannya, Monty," kata Mrs.
Williams. "Ada anak lain yang melihatmu. Kecuali kalau Ashley
berbohong." "Tidak!" teriakku. "Pokoknya bukan aku pelakunya. Aku
bahkan belum pernah masuk ke kantor Anda, Mrs. Williams. Aku
belum pernah bertemu dengan Anda."
Mrs. Williams memandangi wajahku, seolah tak percaya
dengan apa yang didengarnya.
"Aku tahu, memang sulit menyesuaikan diri dengan sekolah
baru dan rumah baru, Monty," katanya pelan.
Aku menggigit bibir. Rasanya aku ingin menjerit-jerit. Apa pun
yang kukatakan, ia tidak akan percaya padaku.
"Tapi kelakuanmu tidak pada tempatnya," Mrs. William
melanjutkan. "Dan dengan berbohong, posisimu malah semakin
buruk." "Aku mengatakan yang sebenarnya," kataku bersikeras.
Mrs. Williams menggeleng. "Aku akan memberimu satu
kesempatan lagi. Tapi kau mesti berhenti berbohong. Kembalilah ke
kelas seni dan bersihkan semua kekacauan itu. Dan aku tidak ingin
kau sampai dipanggil kemari lagi."
Aku kembali ke kelas seni dengan lesu.
Ini benar-benar mimpi buruk, pikirku. Ada apa denganku"
Aku mengambil peralatan pembersih di lemari dan mulai
bekerja. Bisa makan waktu berjam-jam. Sungguh tidak adil!
Kukumpulkan sampah di lantai dan kubuang. Sambil mendesah
aku mulai menggosok cat di salah satu tembok.
Kemudian dari sudut mataku aku menangkap gerakan di
jendela. Aku menoleh ke kanan.
Seraut wajah menatapku. Rambut merah, hidung besar.
Wajahku sendiri. Jantungku serasa berhenti berdetak sesaat.
Lalu kusadari bahwa yang kulihat itu ternyata bayanganku
sendiri di kaca jendela. Yang benar saja, Monty, kataku. Aku memalingkan muka dan
mulai menggosok lagi. Ada gerakan lagi di jendela. Aku menoleh cepat. Apakah ada
orang di luar sana" Lagi-lagi kudapati diriku memandang bayanganku sendiri.
Kelihatannya sangat jelas dan terang. Mungkin karena hari ini
gelap sekali, pikirku sambil mengernyit.
Bayanganku ikut mengernyit.
Aneh. Rasanya sorot mataku agak jahat. Licik. Apa benar aku
tampak seperti itu" Aku menjulurkan lidah. Bayanganku ikut menjulurkan lidah.
Kuangkat tangan kiriku dan kugoyang-goyangkan jemariku.
Bayanganku tidak bergerak.
10 AKU ternganga. Kujatuhkan sikatku dan aku menghampiri
jendela. Sebuah suara keras membuatku terlompat.
Ruangan itu mendadak gelap gulita.
Dengan panik aku melayangkan pandang.
Ms. Braun berdiri di dekat jendela, memegangi tali penutup
kerai di tangannya. Sekarang kerai itu diturunkan, menutupi jendela.
Menyembunyikan bayanganku.
Ms. Braun memandangiku dengan heran.
"Kenapa kau melongo ke luar jendela?" tanyanya. "Mestinya
kau bekerja. Ruangan ini sama sekali belum bersih."
"Aku... aku... bayanganku..."
Aku terdiam. Mana mungkin aku menjelaskannya"
"Jangan main-main, Monty," bentak Ms. Braun. "Kembalilah
bekerja." Ia melotot marah padaku, lalu beranjak ke pintu.
"Satu jam lagi aku kembali," katanya.
Aku tidak mengacuhkannya. Aku masih teringat bayanganku...
yang tidak ikut bergerak tadi.
Satu jam kemudian, aku membuang seember air kotor di
wastafel, dan melayangkan pandang ke ruang kelas ini.
Sudah lebih bersih, meski aku tidak berhasil menghapus semua
cat dari tembok. Masih ada noda-noda merah dan biru samar di sana.
Tapi aku sudah berusaha sebaik mungkin. Kuambil bukubukuku dari loker dan aku berjalan pulang. Kuharap Nan ada di
rumah. Aku perlu bicara dengannya.
Rasanya aku seperti mau sinting.
Bayang-bayang panjang terentang di trotoar. Angin dingin
mengembus dedaunan di atas kepalaku. Kupercepat langkahku ketika
melewati sebuah lapangan kosong. Nan dan Paman Leo mungkin
heran, kenapa aku belum pulang.
TAK! Sebatang ranting patah di belakangku.
Aku menoleh. Ada siapa di belakang sana"
Tampaknya trotoar ini kosong.
Aku terus berjalan. Tinggal beberapa blok dari rumah. Tapi,
ketika melewati sebatang pohon mapel besar, aku mendengar suara di
belakangku. Aku menoleh dan menajamkan mata ke arah bayang-bayang.
Itu dia! Sebuah sosok gelap melesat ke belakang sebatang
pohon besar. Jantungku berdebar kencang.
Seseorang mengikutiku. Mungkin dia orang yang mengacau di ruang kelas seni.
Mungkin sekarang aku akan tahu apa yang terjadi.
Kubetulkan letak tali ranselku dan kuturunkan topi bisbol yang
kukenakan. "Aku tahu kau ada di situ!" teriakku. Debar jantungku semakin
cepat. "Bagaimana kalau kau keluar saja, supaya aku bisa
melihatmu?" Sejenak tidak ada apa-apa, lalu seseorang melangkah keluar
dari balik pohon. Seth. Tak lama kemudian muncul Vinny dan Rob, kedua temannya di
kelas seni. Baru kali ini kusadari betapa besar mereka berdua.
Setidaknya sama besar dengan Seth.
Dua kali lebih besar daripada aku sendiri.
Dan mereka bertiga. Bayangkan saja sendiri.
Mereka menghampiriku, mengepung.
Seth mengepalkan tinju dan menggosok-gosokkannya ke
telapak tangan satunya. Aduh! "Eh... ada apa?" tanyaku. Maksudku ingin pura-pura tenang,
tapi suaraku gemetar. "Kau tahu ada apa," geram Seth.
"Kau menghancurkan gunung berapi kami," kata salah satu
temannya. "Ashley yang bilang pada kami."
"Padahal kami perlu waktu tiga minggu membuatnya," kata
anak satunya. "Jadi, sekarang kami ingin membalasmu," geram Seth.
Wah! Kucoba tersenyum. "Teman-teman, kalian salah besar. Aku
tidak..." Hanya itu yang sempat kuucapkan, lalu mereka semua
menyerbuku. 11 "JANGAAAN!" Aku mengangkat lengan untuk menutupi
kepalaku. "Pegangi dia!" perintah Seth pada kedua temannya.
Aku meronta-ronta dengan liar, tapi percuma. Akhirnya kausku
sobek-sobek dan hidungku berhasil ditonjok.
Darah mengalir di pipiku dan rasanya hidungku membengkak.
Hebat! Sekarang hidungku jadi lebih besar lagi daripada biasanya.
Seth dan teman-temannya saling ber-high-five, lalu kabur.
Sepuluh menit kemudian aku terpincang-pincang masuk ke
rumah. Di bibir atasku ada kumis darah kering. Hidungku berdenyutdenyut dan rusukku sakit.
Aku membanting pintu. Kudengar Nan sedang latihan piano di
bagian belakang rumah. "Kau pulang, Monty?" serunya ketika aku naik tangga.
"Yeah," gumamku.
"Kemarilah. Kita mesti melatih duet kita."
Aku tidak menjawab, juga tidak memelankan langkah.
Aku tidak ingin bertemu siapa-siapa. Tidak juga Nan. Aku
segan menjelaskan, kenapa aku dipukuli untuk kesalahan yang tidak
kulakukan. Aku ingin sembunyi saja di kamarku.
Lebih dari itu, aku ingin langsung naik pesawat, pergi dari
Mortonville. Rasanya ikut ibuku ke Kalimantan lebih menyenangkan.
************** Hari Senin pagi ada pelajaran bahasa Inggris. Gurunya Ms.
Eckstat juga. Aku masuk agak terlambat. Ms. Eckstat menatap kesal ketika
aku bergegas ke bangkuku di dekat jendela.
Setelah duduk, aku mengeluarkan buku-bukuku.
"Siapa yang bisa menjelaskan tentang kata benda?" tanya Ms.
Eckstat. "Monty?"
"Hah?" Kenapa aku yang ditanya" Aku sebal belajar tata
bahasa. Apalagi pagi-pagi begini. Aku berpikir keras.
"Ehh... kata benda berarti manusia, tempat, atau benda...?"
jawabku. Ms. Eckstat melipat kedua lengannya. "Ya, tapi yang mana?"
Wah! Aku mulai berkeringat. Dengan gugup aku menoleh kirikanan.
Pandanganku terhenti di jendela.... Di situ tampak wajahku
sendiri tersenyum lebar padaku.
Sesaat aku mengira sedang memandang bayanganku sendiri di
kaca. Lalu kusadari, tak mungkin aku melihat bayanganku.
Jendela itu terbuka lebar.
Ada seorang anak di luar sana, menatapku.
Dan wajahnya persis wajahku!
12 AKU melompat dari kursiku. "Hei!" teriakku.
"Ada apa, Monty?" tanya Ms. Eckstat.
Aku tidak menjawab. Aku masih terus menatap anak di luar
jendela itu. Kembaranku. Ia tersenyum mengejek padaku. "Ada apa, Monty?" bisiknya.
Lalu ia berbalik dan lari.
"Hei!" teriakku lagi, tanpa berpikir.
Lalu aku melompat ke luar jendela... dan mengejarnya.
Ia lari ke arah segerumbulan pohon. "Stop!" teriakku sambil lari
melintasi halaman rumput. "Kembali!"
Siapa dia" Ke mana dia pergi"
"Monty!" Kudengar Ms. Eckstat berseru di belakangku.
"Monty... kembali sekarang juga!"
Aku tidak mengacuhkannya dan terus lari mendaki sebuah bukit
kecil. Tapi ketika aku tiba di puncak, kembaranku tidak tampak lagi.
"Tidak!" teriakku. Bagaimana mungkin dia sampai lolos dari
kejaranku" Dengan marah aku memeriksa halaman rumput dan
gerumbulan pohon itu. Tidak ada siapa-siapa. Ia benar-benar sudah menghilang.
Aku bertumpu pada lutut, berusaha mengatur napas.
Mungkinkah dia masuk kembali ke sekolah" pikirku.
Aku menoleh ke arah gedung sekolah dan melihat jendela ruang
kelasku yang terbuka. "Wah!" Ms. Eckstat berdiri di jendela, bersama separuh isi kelasku.
Mereka semua memandangiku dan menunjuk-nunjuk.
Apa yang telah kulakukan" Bagaimana aku mesti
menjelaskannya" Mungkin ada anak lain yang melihat kembaranku itu. Mungkin
ada yang bisa mendukung ceritaku.
Aku berlari kecil melintasi halaman rumput. Kali ini aku
memutar dan masuk dari pintu depan. Ms. Eckstat tentu tidak mau
melihatku masuk kembali lewat jendela.
Sambil bergegas masuk kelas, aku tetap mengawasi kalau-kalau
kembaranku itu muncul lagi. Tapi tidak ada siapa-siapa di sekitar situ.
Langkah kakiku bergema di lorong-lorong yang sepi.
Ms. Eckstat menghadangku di pintu kelas dengan lengan
terlipat. "Apa maksudmu berulah begitu?" tanyanya. Kurasa ia sudah
muak padaku. "Maaf, Ms. Eckstat, tapi aku melihat sesuatu yang..."
Tapi ia memotong ucapanku. "Aku tidak tahu bagaimana
peraturan sekolahmu dulu di California," bentaknya, "tapi di sini tidak
biasa ada anak melompat ke luar jendela dan berlari pergi sesukanya."
"Aku tahu, tapi..."
"Kau tahu?" sela Ms. Eckstat. "Kalau sudah tahu, kenapa
dilakukan juga" Atau kau berusaha melucu?"
"Tidak!" seruku kaget. "Aku..."
"Sebab kalau kau berusaha melucu, sebaiknya kau kuingatkan
bahwa kau tidak akan ditolerir di kelasku," kata Ms. Eckstat dengan
tegas. "Tapi, Ms. Eckstat..."
Ms. Eckstat mengerutkan dahi. "Cukup, Monty. Kembali ke
bangkumu. Dan ingat, aku akan selalu mengawasimu."
Sudah cukup katanya" Ia bahkan belum mendengar alasanku
sedikit pun. Semua anak memandangiku sementara aku berjalan tertunduk
menuju mejaku. Bisik-bisik dan suara mengejek mengikuti langkahku.
Dan aku tetap belum mendapat petunjuk apa pun tentang
kembaranku itu. Kembaran" Bagaimana mungkin ada anak yang sangat mirip
denganku" Siapa dia" Ke mana dia pergi"
Dan kenapa dia berusaha mengacau hidupku"
************* "Nah, apa yang terjadi?" bisik Nan saat kami antre mengambil
makan siang. "Semua anak membicarakanmu. Kata mereka kau bikin
kacau pada jam pelajaran bahasa Inggris tadi pagi."
Aku mengambil sepiring lasagna dan menaruhnya di nampanku.
"Kau pernah melihat anak yang mirip aku, tidak, di sekitar sini?"
tanyaku. Nan mengernyit. "Rasanya tidak," katanya. "Memang ada Gus
Halloran. Dia juga berambut merah, model crew cut, dan dia agak
gemuk." "Tidak, maksudku sangat mirip aku." Aku melayangkan
pandang di ruang makan siang itu. "Persis aku. Seperti kembaranku
atau apalah." Kernyitan Nan semakin dalam. "Tidak. Tidak ada anak yang
semirip itu denganmu di sini."
Aku menarik napas panjang. "Tadi pagi, pada jam pelajaran
bahasa Inggris, ada anak yang sangat mirip denganku melongok dari


Goosebumps Kembaranku Yang Jahat Itu I Am Your Evil Twin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jendela. Jadi, kukejar dia untuk mencari tahu siapa dia. Tapi dia
menghilang." Aku mengambil susu dari kulkas. "Dan tidak ada anak lain,
yang melihatnya. Hanya aku."
"Tak mungkin!" Nan tertawa. "Yang benar saja!"
"Aku serius. Sangat serius," kataku. "Dengar, ini sungguhsungguh terjadi."
"Ah!" sanggah Nan. Ia berjalan ke salah satu meja. "Mungkin
anak itu cuma kebetulan mirip kau. Atau itu cuma bayanganmu."
"Tidak!" bantahku. "Dia bicara padaku. Dia benar-benar ada.
Dan kau tahu" Kurasa dialah yang memorak-porandakan kelas seni
dan bermulut besar pada Mrs. Williams. Itu sebabnya orang-orang
mengira dia itu aku... sebab dia persis aku."
Mata hijau Nan melebar. "Monty, kau sadar tidak sih,
ucapanmu itu benar-benar konyol" Masa ada anak yang persis kau
berusaha menjebakmu dalam kesulitan?"
Nan menggeleng-geleng. Aku tahu ia menganggap aku
mengada-ada. Tapi aku yakin akan apa yang kulihat.
Dan aku juga tahu, siapa yang bisa kutanyai tentang hal itu.
Paman Leo. Hanya ada satu jawaban, pikirku.
Aku pasti punya kembaran. Kembaran yang tak pernah
diceritakan Mom padaku. Paman Leo pasti tahu. Ia kakak Mom, bukan"
Ia mesti memberitahukan padaku.
Aku bergegas pulang setelah usai kelas piano sore itu. Aku
langsung menuju dapur. Paman Leo sedang menuang secangkir kopi untuk dirinya
sendiri. Kulihat tangannya agak gemetar.
Ketika melihatku, ia tampak kaget. Kopi di cangkirnya tumpah
sedikit ke meja. "Montgomery?" Ia mengernyit. "Apa sudah bubaran sekolah?"
"Paman Leo..." Aku duduk di hadapannya. "Aku mesti tahu.
Katakan yang sebenarnya. Apa aku punya saudara kembar?"
Paman Leo terkesiap. Perlahan-lahan wajahnya memerah.
"Dari mana kau tahu?" bisiknya.
13 AKU terkesiap. Rasanya seperti akan pingsan.
"Jadi, benar" Aku memang punya saudara kembar?"
Paman Leo memandang termenung padaku, lalu perlahan-lahan
ia duduk di kursi dapur. "Ya, memang. Ceritanya sedih," katanya pelan.
"Bagaimana ceritanya?" Aku duduk di dekatnya. "Tolong
ceritakan padaku, Paman Leo."
Paman Leo berdeham. "Kau harus mengerti, Montgomery, bahwa dua belas tahun
yang lalu ibumu masih sangat muda... dan sangat miskin," ia memulai.
"Ayahmu baru saja meninggal, dan ibumu masih kuliah. Dia tidak
punya pekerjaan, tidak punya uang... tidak punya apa-apa. Dia bahkan
tidak punya rumah untuk tinggal. Hanya ada apartemen yang sangat
kecil di kampus universitasnya."
"Oke, oke, bisa kubayangkan," kataku tak sabar. "Lanjutkan."
"Ketika kau dan saudara kembarmu lahir, ibumu sangat
bahagia," Paman Leo melanjutkan. "Tapi juga sangat sedih. Sebab dia
tahu, tak mungkin dia bisa merawat dua anak sekaligus seorang diri."
Paman Leo menghirup kopinya dan memandangi cangkirnya.
"Ibumu menimbang-nimbang. Akhirnya dia mesti menerima
kenyataan. Yang terbaik bagi kalian adalah kalau salah satu dari
kalian diberikan pada orang yang bisa merawatnya dengan baik."
Ia angkat bahu sedikit. "Kau yang lebih dulu lahir,
Montgomery. Sepuluh menit lebih dulu. Ibumu mempertahankanmu
dan merelakan saudara kembarmu."
Aku duduk memandangi meja, tidak tahu mesti berpikir apa.
Seluruh duniaku rasanya terjungkir balik.
"Wow!" gumamku akhirnya. "Ini sulit dipercaya."
"Aku menyesal kau akhirnya tahu melalui cara ini. Ibumu
sebenarnya hendak menceritakannya sendiri padamu. Pada hari ulang
tahunmu yang ketiga belas," Paman Leo menjelaskan. Ia diam
sebentar. Lalu katanya, "Bagaimana kau bisa tahu?"
Aku mengangkat wajah. "Aku melihat anak lelaki itu. Dia
tinggal di kota ini juga. Mengherankan, bukan?"
"Anak lelaki?" kata Paman Leo, wajahnya kebingungan.
"Tidak, tidak, kembaranmu bukan anak lelaki, Montgomery." Ia
mencondongkan tubuh padaku. "Kembaranmu adalah Nan!"
14 "NAN?" seruku ternganga. "Nan saudara kembarku?"
"Ya!" Paman Leo mengangguk. "Kukira kau sudah tahu. Ibumu
tidak ingin anak perempuannya diberikan pada orang asing. Kebetulan
aku dan Bibi Susanmu sangat ingin punya anak. Selama bertahuntahun ini Nan sudah kuanggap anakku sendiri. Tapi sebenarnya dia
saudara kembarmu." "Tapi... tapi..." Aku tergeragap. Kupegangi kepalaku. Aku
sangat bingung. "Apa dia sudah tahu?" tanyaku kemudian.
"Tidak, belum," sahut Paman Leo. Ia berdeham. "Aku hendak
memberitahunya pada ulang tahunnya yang ketiga belas juga. Tapi
kurasa sekarang dia mesti tahu. Aku ingin mengatakan sendiri
padanya, kalau kau tidak keberatan. Dia pasti sangat... yah, terkejut."
"Baiklah." Aku mengangguk. Kabar ini cukup mengejutkan
bagiku. Entah bagaimana reaksi Nan. Orang yang selama ini dikira
ayahnya ternyata pamannya.
Dan ia punya saudara kembar... yaitu aku.
Pasti ia sangat terkejut.
Sesaat aku merasa bahagia. Aku punya saudara kembar. Nan!
Asyik juga! Tapi juga aneh. Selama ini aku tidak tahu bahwa
aku punya saudara kembar.
Apa lagi yang tidak kuketahui"
Aku mulai merasa tak bisa mempercayai siapa pun. Bagaimana
aku bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak"
Yang paling aneh, Paman Leo belum menjawab pertanyaanku
tadi. "Bagaimana dengan anak lelaki yang persis aku itu?" tanyaku
pada Paman Leo. "Siapa dia?"
Paman Leo mengernyit. "Aku tidak tahu tentang itu,"
gerutunya. "Itu pasti cuma kebetulan." Sejenak ia memandang kosong
ke depan. "Paman Leo?" panggilku.
Ia tersadar. "Ya, itu cuma kebetulan."
"Tapi..." Kami sama-sama terlompat ketika pintu depan dibanting.
"Halo?" seru Nan. "Ada orang di rumah?"
Paman Leo dan aku bertukar pandang. Aku berdiri.
"Aku mau keluar," bisikku.
Aku lari ke tangga belakang. Biar Paman Leo memberitahukan
kabar mengejutkan ini pada Nan. Aku punya urusan lain.
Hidupku semakin lama semakin aneh rasanya.
************* "Aku masih sulit percaya," gumam Nan. "Kau ternyata bukan
sepupuku, melainkan saudara kembarku. Dan Dad ternyata Paman
Leo. Sementara itu, Bibi Rebecca adalah ibuku." Ia menggelenggeleng.
Saat itu sudah lewat tengah malam. Kami duduk mengobrol di
tempat tidur Nan. Sudah berjam-jam kami mengobrol.
"Tapi itu bisa menjelaskan banyak hal," kata Nan. "Misalnya,
kenapa kita sama-sama mahir main piano."
"Mungkin. Tapi kita tidak terlalu mirip secara fisik," bantahku.
"Maksudku, memang kita sama-sama berambut merah, jangkung, dan
kurus, tapi..." "Tapi aku jauh lebih cakep daripada kau," sela Nan. Ia nyengir
padaku. "Kita kembar biasa, bukan kembar identik. Kembar laki-laki
dan perempuan tidak pernah merupakan kembar identik, bodoh."
"Hei, sopan sedikit!" Kutonjok bahu Nan. "Ingat, aku ini
kakakmu." "Cuma lebih tua sepuluh menit. Huh!" ejek Nan.
"Hei, tahu tidak, mestinya kita sudah menduga," kataku.
"Karena tanggal ulang tahun kita sama?" goda Nan.
"Ya, tapi masih ada lagi. Ingat, tidak, waktu kita masih umur
tujuh tahun, kita datang ke pesta ultah si Evan Seymour?"
"Anak manja yang giginya ompong itu?" tanya Nan.
"Yeah. Dan kau ingat, tidak, dia mendapat hadiah kereta api
mainan?" aku melanjutkan. "Pada akhir pesta, ternyata lokomotif dan
gerbong ujungnya hilang dan tak bisa ditemukan."
"Yeah." Nan mengawasiku. "Lalu?"
Aku mendekatkan diri padanya. "Aku yang mengambil
lokomotif itu," kataku pelan. "Menurutku benda itu bagus sekali, dan
aku mesti memilikinya. Kemudian, waktu aku masuk ke kamarmu
untuk, mengambil sesuatu, aku menemukan gerbong itu di laci
mejamu." Pipi Nan bersemu merah. "Apa" Jadi, kau tahu aku yang
mengambil gerbong itu, dan kau tidak pernah bilang apa-apa?"
"Aku mesti bilang apa?" tanyaku. "Aku juga mengambil
sesuatu. Aku tidak mungkin buka mulut. Bisa-bisa aku sendiri
ketahuan." Aku angkat bahu. "Lagi pula aku tidak begitu suka pada si
Evan." "Yeah, dia menyebalkan," kata Nan.
Kami sama-sama tertawa. "Aku tak percaya rasanya," kata Nan. "Kita punya rahasia yang
sama selama bertahun-tahun ini!"
"Kau... kau marah, tidak, pada Mom?" tanyaku akhirnya.
"Maksudku, karena dia tidak mempertahankanmu."
Nan mengernyit, lalu menunduk sambil memainkan ujung
kepang merahnya yang panjang.
"Entahlah," katanya kemudian. "Maksudku, rasanya aneh sekali
kalau kupikirkan. Selama ini Mom tahu aku anaknya, tapi dia tidak
pernah mengatakan apa-apa."
Aku menggeleng. "Aku masih sulit percaya. Tapi kau perlu
tahu, aku tahu Mom sayang padamu. Dia sering mengatakan kau
hebat." Nan angkat bahu. "Aku tahu. Bibi Rebecca"maksudku Mom"
" Nan terdiam. "Rasanya aneh sekali. Mom! Tapi selama ini Mom
selalu baik sekali padaku. Hampir setiap musim panas aku tinggal
bersama kalian.. Dia sering menelepon dan menulis surat padaku.
Kurasa dia benar-benar sayang padaku, meskipun dia terpaksa
menyerahkanku pada orang lain."
Nan diam sejenak. "Aku mesti bilang apa padanya, ya, kalau
kami bertemu lagi nanti" Kalau Mom datang untuk menjemputmu?"
Aku memikirkan ini. "Entah ya. Tapi kita punya banyak waktu
untuk berpikir." Kutendangkan tumit sepatuku ke lantai. Kepalaku penuh
dengan pertanyaan, hingga rasanya akan meledak.
"Bagaimana dengan Paman Leo?" tanyaku. "Apa kau marah
padanya karena dia lama tidak memberitahumu?"
Nan menggeleng. "Mulanya ya, tapi sekarang... Dia tetap
ayahku dan aku sayang padanya. Dalam pikiranku dia tetap ayahku.
Perasaanku padanya tidak akan berubah, meski sekarang aku tahu dia
ternyata pamanku. Lagi pula dia toh berniat memberitahuku kalau aku
sudah tiga belas tahun."
Aku menguap. "Aku mau tidur, ah." Aku berdiri dan beranjak
ke pintu. "Sampai besok pagi, Dik."
"Iiih!" Nan pura-pura kesal. "Masa bodoh kau ini kakakku,
pokoknya jangan panggil aku 'Dik' segala. Norak!"
Aku tertawa dan menutup pintu.
Ketika aku melewati lorong, telepon berdering. Aneh. Siapa
yang menelepon pada jam begini" Kuangkat telepon itu. "Halo?"
"Kau akan tahu rasa sekarang." Suara anak laki- laki.
"Hah?" Aku mengerutkan kening. "Siapa ini?"
"Awas kau," kata suara itu lagi. "Masalahmu akan semakin
berat, Monty. Sangat berat. Mulai saat ini."
15 "SIAPA ini?" bisikku ke telepon. "Apa maksud ucapanmu itu?"
KLIK! "Halo" Halo?"
Tidak ada jawaban. Tidak ada. Aku berdiri terpaku dalam piamaku, masih memegang telepon.
Tubuhku merinding. Siapa yang menelepon tadi"
Apa maksudnya, mengatakan bahwa masalahku akan semakin
berat" Apa yang akan dilakukannya padaku"
************ "Kau gugup?" bisik Nan.
"Agak. Kau bagaimana?" aku balas berbisik.
"Seratus persen gugup," kata Nan.
Hari itu hari Jumat. Nan dan aku menunggu di belakang
panggung auditorium sekolah. Kami akan menampilkan duet piano.
Kuperiksa kemeja dan celana panjangku. Tampaknya bersih.
Tidak ada noda bekas makanan atau yang lainnya.
Empat hari sudah berlalu sejak aku mendapat telepon aneh itu,
tapi tidak ada kejadian apa pun. Setidaknya belum.
Mungkin penelepon itu Seth, pikirku. Ingin coba-coba
mengancam dan menakut-nakutiku karena aku membuat gunung
berapinya rusak. Tapi kalau bukan Seth bagaimana"
Ada orang yang mulai coba-coba mengganggu ketenanganku.
Pura-pura menjadi diriku. Menjebakku agar akulah yang disalahkan
untuk perbuatan-perbuatan yang tidak pernah kulakukan.
Bagaimana kalau ini ulah kembaranku itu"
Kepala Sekolah selesai bicara di podium. Nan dan aku akan
segera tampil. Sebaiknya kuperiksa, apakah kertas musikku tidak
ketinggalan, pikirku. Kubuka map hitamku yang terbuat dari plastik.
Dan aku terkesiap kaget. Map itu kosong. Benar-benar kosong.
"Aduh! Kertasku... tidak ada di sini!"
"Apa?" Nan mencengkeram lenganku. "Konyol kau! Kautinggal
di rumah, ya?" "Tidak! Aku sudah memeriksa map itu tiga kali sebelum
berangkat tadi," kataku. Mendadak aku teringat. "Pasti ada di lokerku.
Mungkin kertas itu jatuh dari map. Aku mesti mengambilnya."
"Tapi sebentar lagi kita mesti tampil," bisik Nan dengan panik.
"Aku mesti bagaimana?"
"Ulur waktu. Main solo saja. Terserahlah."
Aku lari melewati sayap gedung dan lorong. Lokerku ada di
ujung akhir gedung. Pantas saja.
Aku lari ke lokerku dan memutar tombol nomornya dengan
gugup. "Dua belas... tujuh... sebelas," gumamku pelan.
Kutekan tombol itu dan pintu loker terbuka. Aku memeriksa
isinya. Jaketku tergantung di dalam. Buku-bukuku tersusun di rak.
Tapi tak ada kertas musik.
Kukeluarkan buku-bukuku dari loker dan aku mencari-cari
dengan panik. Apa kertas musik itu ada di dalam buku catatanku"


Goosebumps Kembaranku Yang Jahat Itu I Am Your Evil Twin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tidak. Tidak ada. Aku sama sekali tak punya bayangan, di mana kertas itu berada.
Mungkin jatuh di lorong, pikirku. Atau ketinggalan di kamar
mandi. Aku menyusuri semua lorong sambil memandang ke lantai.
Tidak ada kertas apa pun.
Aku berbelok dan melihat sebuah pintu yang terbuka. Aku
berhenti sejenak dan mengintip ke dalamnya.
Hanya ruang penyimpanan. Tapi sebelum aku sempat berbalik, seseorang mendorongku
dengan keras. UPS! Aku jatuh telungkup di lantai. Pintu dibanting menutup
dan ruangan itu gelap. "Hei!" teriakku.
KLIK! Bunyi kunci diputar di lubangnya. Aku melompat
berdiri dan mengguncang-guncang pintu itu.
Seseorang mengunciku di dalam sini.
"Buka!" teriakku. Kugedor-gedor pintu itu dengan tinjuku.
Tak ada jawaban. "Buka!" teriakku. "Aku mau keluar! Sekarang!"
Kutempelkan telingaku ke pintu untuk mendengarkan. Tidak
ada suara. Mendadak aku tercekat. Seseorang dengan sengaja mengunciku di sini, pikirku. Tapi
kenapa" Kucoba lagi menarik-narik pintu. Tidak bergerak.
Apa yang mesti kulakukan"
Aku mendengus-dengus, lalu terbatuk. Ada aroma tajam dan
pahit di udara. Dan di dalam sini rasanya agak berasap.
Tak lama kemudian kusadari bahwa bau dan asap ini berasal
dari sebuah genangan cairan berminyak yang keluar dari jerigen
plastik yang tergeletak miring di lantai.
"Ohh!" erangku.
Lalu aku mulai batuk-batuk.
Aku terbungkuk-bungkuk dan terus terbatuk.
Gumpalan awan kelabu pekat menguap dari mulut jerigen di
lantai. "Tidak!" teriakku pelan.
Asap dari jerigen itu menyumbat pernapasanku.
Aku tak bisa bernapas. Tak bisa bernapas! 16 KUPEGANGI perutku sambil terus terbatuk-batuk dan
tersedak-sedak. Kucoba berseru, "Tolong!" Tapi kata-kata itu tak mau keluar.
Kugedor pintu, tapi tak ada yang datang untuk mengeluarkanku.
Asap beracun itu masih terus keluar dari jerigen di lantai.
Ini berbahaya! Kalau aku tidak segera keluar dari sini, aku akan
pingsan. Atau bahkan mati. Kuperiksa ruangan kecil ini dengan panik, berusaha keras untuk
melihat, sebab asap ini membuat mataku berair dan serasa terbakar.
Tapi aku bisa melihat secercah cahaya yang memancar dari
sebuah jendela kecil di dekat langit-langit. Jenis jendela yang untuk
membukanya harus ditarik ke bawah.
Jendela itu lebih tinggi dari kepalaku. Bisakah aku keluar lewat
sana" pikirku. Mesti bisa! Sebab tak ada pilihan lain.
Aku terhuyung-huyung ke arah jendela itu. Di sudut ada
tumpukan tong sampah dari logam. Kuseret satu tong ke bawah
jendela dan kubalikkan, lalu aku naik ke atasnya.
Asap ini lebih tebal di atas. Kutarik kemejaku untuk menutupi
mulut dan hidungku. Kusambar pegangan jendela kecil itu dan kutarik ke bawah
sekuat tenaga. "Ayolah," kataku terengah-engah. "Ayo buka, buka!"
POP! Akhirnya terbuka juga. Jendela itu meluncur turun dan
menghantam tembok beton. Salah satu kacanya retak, tapi aku tidak
sempat mengkhawatirkan hal ini.
Dengan terbatuk-batuk kupegang tepi-tepi jendela dan kuangkat
naik tubuhku. Lenganku gemetar.
Aku tidak akan berhasil, pikirku.
Aku tidak punya tenaga untuk menarik diriku ke luar.
Tapi tahu-tahu kepalaku sudah ada di luar dan aku bisa
menghirup udara segar. Aku bergantung sejenak di sana, untuk menghirup udara lebih
banyak. Lalu kuseret tubuhku keluar dari jendela kecil itu. Sempit
sekali. "Ow!" aku berseru ketika celanaku tersangkut paku. Aku terus
menyentak-nyentak sampai celanaku lepas.
Akhirnya aku berada di luar, telentang di rumput dengan napas
memburu. Asap kelabu keluar dari jendela kecil itu dan mengambang
pergi tertiup angin. Tak lama kemudian aku sudah merasa cukup kuat untuk berdiri.
Terpincang-pincang aku berjalan ke pintu depan sekolah.
Aku yakin sudah kehilangan kesempatan tampil duet dengan
Nan. Biarlah. Yang penting aku masih hidup.
Aku berjalan ke auditorium dengan perut mual. Aku terbatukbatuk lagi. Paru-paruku serasa baru digosok dengan ampelas.
Aku menyelinap ke belakang panggung. Kudengar nada-nada
piano dimainkan, lalu tepuk tangan meriah.
Nan sudah memulai tanpa diriku.
Aku melangkah ke bagian sayap untuk menonton. Nan berdiri
di depan piano, sedang membungkuk memberi hormat.
Tapi ada seorang anak laki-laki di situ. Aku juga ada di
panggung. Aku terkesiap kaget melihat anak yang persis denganku itu.
Rambutnya, hidungnya, wajahnya yang kurus panjang....
Ia bahkan mengenakan kemeja dan celana panjang yang sama
denganku. Ia dan Nan membungkuk bersama-sama di depan penonton.
Aku terpaku kaget melihatnya.
Nan mengira anak itu aku. Sepupuku sendiri... maksudku adik
kembarku... mengira yang ada di panggung itu bersamanya adalah
aku. Dan anak lelaki itu pura-pura menjadi diriku.
Siapa dia" Kenapa dia melakukan ini"
Aku mesti tahu. Sekaranglah kesempatanku.
Auditorium ini penuh dengan penonton. Mereka akan melihat
bahwa aku mempunyai kembaran. Setidaknya mereka pasti akan
percaya. "Hei!" Aku berteriak dari bagian sayap.
Kembaranku berbalik dan mata kami bertemu.
Aku hendak beranjak ke panggung, tapi kembaranku melesat ke
arah piano dan mendorong benda itu sekuat mungkin. Piano itu
meluncur di panggung, seperti truk yang sedang ngebut.
Meluncur ke arahku. Sesaat aku berdiri terpaku dengan mulut ternganga.
Dia mencoba membunuhku... dengan piano itu.
Piano itu meluncur ke arahku. Benda itu akan menghantamku.
Aku terpojok. Pada detik-detik terakhir aku menepi.
Piano itu melewatiku. Anginnya terasa menerpaku.
Lalu piano itu menghantam tembok belakang dengan suara
keras. Aku bersandar di tembok dengan terengah-engah.
Dari auditorium terdengar suara-suara kaget, lalu teriakan.
Sempat kulihat wajah terkejut Nan ketika ia memandang ke arah
sayap. Mulutnya ternganga lebar.
Kembaranku lari melewatiku.
Ia tertawa. "Hei!" teriakku. Aku lari mengejarnya. "Kembali! Kembali!"
Kembaranku melesat di lorong yang kosong. Aku mengejarnya.
"Stop!" jeritku. "Apa maumu" Siapa kau?"
Kembaranku berbelok, mengarah ke pintu depan. Ia hampir
berhasil lolos. Aku mengertakkan gigi dan ikut berbelok.
Dan mendadak aku sudah berhadapan dengannya.
Aku hampir jatuh saat berhenti. Dadaku turun-naik.
"Siapa... kau?" kataku terengah-engah. "Siapa?"
Anak itu tersenyum mengejek padaku.
"Kau ingin tahu yang sebenarnya tentang aku?" tanyanya.
"Ya!" seruku. Suaraku bergema di lorong itu.
"Kaupikir kau hebat?" katanya, dekat di wajahku. "Kau salah.
Aku lebih hebat daripadamu. Dan aku akan membuktikannya."
Kembaranku maju satu langkah ke arahku.
Lalu ia mengayunkan tinjunya dan menghantam perutku. Keras
sekali. Lebih keras daripada pukulan yang pernah kurasakan.
Aku terbungkuk, berusaha menghirup udara. Titik-titik merah
menari-nari di depan mataku.
Aku mengangkat wajah, menatapnya lewat mataku yang terasa
kabur. "Aku akan mengambil alih hidupmu, Monty," kata anak itu
perlahan. "Dan kau tidak akan bisa menghentikanku. Itu saja yang
perlu kauketahui." 17 ANAK itu berbalik dan lari ke pintu depan. Kucoba
mengejarnya dengan terpincang-pincang, tapi kakiku tidak bertenaga
lagi. Aku rasanya tak sanggup menarik napas panjang lagi.
Akhirnya lututku menekuk dan aku terpuruk di lantai.
Kepalaku serasa berputar.
Dan semuanya mulai gelap.
Aku bakal pingsan, pikirku samar-samar.
"Tidak!" erangku.
Tidak! Aku mesti mengikuti anak itu. Mencari tahu di mana ia tinggal
dan siapa dia. Aku mesti menghentikannya sebelum ia menghancurkan
hidupku sepenuhnya. Dengan terengah-engah kupaksakan diriku bangkit. Aku
terhuyung-huyung keluar. Di luar aku bersandar di samping gedung sekolah dan
menghirup udara. Sekarang aku sudah lebih mudah bernapas.
Kuamati jalanan dua arah itu. Ke mana dia pergi"
Itu dia! Aku melihat kilatan rambut merah yang berbelok di
sudut. Kukejar dia. Ia berada sekitar setengah blok di depanku.
Aku akan terus membuntuti anak itu, tak peduli risikonya,
pikirku. Bagaimana mungkin ada anak yang begitu mirip denganku"
Dan kenapa ia mengatakan akan mengambil alih hidupku"
Kembaranku tampaknya tidak terburu-buru. Ia tidak menyadari
sedang kuikuti. Ia mengambil sebatang kayu dan menggeretkannya
sepanjang pagar besi. KLANG! KLANG! KLANG!
Lalu ia melemparkan kayu itu dan mengambil sesuatu dari
sakunya. Entah apa. Ia mengguncang-guncang benda itu, lalu mengarahkannya pada
sebuah mobil. Segumpal awan gelap mendesis keluar.
Cat semprot! Aku tercekat. Kembaranku itu menyemprotkan cat
ke samping mobil tersebut.
Wah, anak ini benar-benar gawat!
Kalau tidak kuhentikan, tak lama lagi ia akan membuatku
dikeluarkan dari sekolah. Aku bisa dimasukkan ke penjara.
Aku bergegas maju dan tanpa sengaja menendang botol yang
tergeletak di trotoar. Botol itu bergulir berisik ke dalam selokan.
Kembaranku menoleh dengan cepat.
"Wah!" gerutuku. Aku bersembunyi di balik sebatang pohon.
Apa dia melihatku" Aku menghitung sampai sepuluh, lalu mengintip dari balik
batang pohon. Tidak, ia tidak melihatku. Ia meneruskan menyemprotkan cat,
lalu ia memasukkan kaleng cat itu kembali ke sakunya dan berjalan
pergi. Kuikuti dia, tapi ketika sudah dekat dengan mobil yang dicatnya
tadi, aku berhenti dengan kaget.
Ia membuat lukisan hati yang besar dan merah di pintu mobil
berwarna putih itu. Di dalam hati itu ada tulisan MONTY SAYANG
ASHLEY SELAMANYA. "Aduh!" erangku.
Kukeluarkan kemejaku dan kucoba menghapus cat itu dengan
ujung kemeja. Percuma. Catnya sudah mengering.
Aku tahu Ashley selalu pulang lewat jalan ini. Begitu pula
sebagian besar anak lainnya.
Mereka akan melihat tulisan ini.
Dan mereka akan menganggap akulah yang membuatnya.
Aku takkan bisa membantah.
"Aaah!" Kuhantamkan tinjuku ke kap mobil dengan marah, lalu
aku kembali mengejar kembaranku itu.
Aku mesti menghentikannya.
Kuikuti dia tiga blok lagi.
Ketika ia belok kiri di Chester, aku mulai heran.
Ia mengambil arah yang sama dengan yang biasa kulalui kalau
pulang. Di mana dia tinggal"
Ia menyeberangi Chester di persimpangan lampu merah dan
menuju blok ke rumah Paman Leo.
Aneh sekali, pikirku. Tak mungkin dia tinggal di blok yang
sama denganku. Nan atau Paman Leo pasti melihat.
Setengah blok berjalan, kembaranku belok kanan.
Masuk ke pekarangan Paman Leo.
"Hah?" Aku terkesiap.
Aku tak mau buang-buang waktu lagi. Cepat-cepat aku lari,
melintasi halaman rumput, dan berhenti mendadak. Aku ternganga
ngeri. Kembaranku memanjat masuk lewat jendela dapur Paman Leo.
18 "TAK mungkin!" teriakku. Kenapa ia masuk ke rumah Paman
Leo" Apa ia sudah berhasil meyakinkan Paman Leo bahwa ia adalah
aku" Nan sudah tertipu. Bisa saja Paman Leo juga terkecoh, bukan"
Bagaimana kalau Paman Leo mengira akulah si kembaran" Lalu
aku diusir" Anak itu akan menjalani hidupku.
Aku lari ke anak tangga beranda dan mencari-cari kunci di
sakuku. Kumasukkan kunci itu ke lubang pintu dan kubuka pintu.
"Paman Leo?" panggilku. Aku bergegas menuju dapur. "Paman
Leo! Hati-hati dengan anak itu. Dia bukan aku. Dia bukan Monty."
Hening. Lalu aku teringat. Paman Leo ada di sekolah hari ini. Ia datang
untuk menonton pertunjukan Nan dan aku.
Aku menghambur ke dapur dan memandang sekelilingku.
Kosong. Dapur kosong melompong. Tirai-tirai di jendela yang
terbuka melambai-lambai tertiup angin.
Ke mana anak itu pergi" Apa yang ia lakukan di sini"
Aku memeriksa seisi rumah, mengecek semua ruangan.


Goosebumps Kembaranku Yang Jahat Itu I Am Your Evil Twin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia tidak ada di ruang tamu, ruang makan, atau ruang TV.
Aku melongok ke ruang kerja Paman Leo. Tidak ada siapasiapa di sana. Di layar komputernya tampak Screensaver berupa
tampilan formula-formula kimia.
Aku lari ke lantai dua, membuka semua pintu yang berderet di
lorong. Tidak ada siapa-siapa. Aku tak bisa menemukan anak itu di mana-mana. Padahal aku
sudah memeriksa sampai ke loteng.
Akhirnya dengan terengah-engah aku menuruni tangga depan.
Ke mana dia pergi" Apa dia keluar dari rumah ketika aku
sedang memeriksa lantai dua"
Apa yang hendak dilakukannya"
Pintu terbuka persis saat aku mencapai anak tangga paling
bawah. Nan lari masuk. "Monty!" serunya ketika melihatku. "Kau ini kenapa sih" Apa
kau sudah sinting" Kenapa kau merusak piano itu" Kenapa?"
Kusambar lengan Nan. "Nan, dengar, kau mesti percaya
padaku!" seruku. "Anak itu bukan aku! Sungguh! Itu bukan aku! Aku
ada di belakang panggung, dan aku melihat semuanya. Ada anak yang
sangat mirip denganku. Dialah yang merusak piano itu. Dia jahat!"
"Hentikan!" bentak Nan. "Ini tidak lucu."
"Aku tidak bercanda. Kenapa kau tidak mau percaya padaku?"
pintaku. "Katamu ada anak yang mirip denganmu, dan pakaiannya juga
sama denganmu?" Nan melipat lengannya. "Apa kaupikir aku ini
tolol?" "Dia kembaranku! Sungguh! Ini bukannya tidak mungkin. Coba
pikirkan. Aku kan kembaranmu, dan kau baru tahu ini seminggu yang
lalu." Mata Nan melebar. "Maksudmu... oh!"
Aku mengangguk. "Nan, bagaimana kalau kita bukan kembar
dua, tapi kembar tiga?"
Nan meletakkan satu tangannya di dahi. "Ini aneh sekali,"
gumamnya. "Ayo, kita tanya pada Dad."
"Pada Paman Leo" Kan dia ada di sekolah, nonton pertunjukan
kita?" Tapi Nan sudah lari ke ujung lorong. "Dad tidak muncul,"
katanya sambil menoleh. "Tadi pagi dia sedang menulis artikel untuk
sebuah majalah ilmiah.. Kurasa dia terlalu asyik dan lupa datang."
Ia membuka pintu ruang kerja Paman Leo dan masuk. "Dad?"
"Dia tidak ada di sini," kataku, mengikutinya masuk. "Aku
sudah melihat ke sini tadi."
"Mungkin dia ada di lab." Nan menggigit bibir. "Kita mesti
masuk ke sana mencarinya. Kita mesti mencari tahu kebenarannya."
Aku hendak meninggalkan ruangan itu.
Saat itulah aku melihat kertas yang tergeletak di atas printer
Paman Leo. Judul di kertas itu seperti meloncat ke depan mataku.
MASA DEPAN KLONING oleh Dr. Leo E. Matz.
Aku terkesiap. Sesaat ruangan ini bagai berputar di hadapanku.
Kucengkeram tepi meja. "Nan," kataku serak, "lihat ini."
Nan melihat kertas itu. "Lalu kenapa?"
"Kau belum mengerti juga?" teriakku. "Kembaranku itu adalah
hasil kloning. Paman Leo telah meng-klon aku!"
19 "MENG-KLONMU" Wow! Sekarang aku yakin kau memang
sinting," seru Nan: "Kalaupun Dad bisa melakukan itu"meski
nyatanya tidak bisa"dia tidak akan pernah membuat klon dirimu."
"Bagaimana kau bisa tahu?" balasku marah.
Nan melotot padaku. "Pokoknya aku tahu. Dad tidak akan
melakukan hal sinting seperti itu." ebukulawas.blogspot.com
"Tapi semua faktanya cocok," bantahku.
Segalanya mulai masuk akal dalam benakku. "Ingat, tidak,
waktu Paman Leo memberikan bros padaku dan dia membuat jariku
tertusuk" Lalu dia mengeluarkan saputangan dan menyeka darahku.
Kurasa dia sengaja, untuk mendapatkan contoh sel atau semacamnya."
"Tidak!" Mata hijau Nan menyala-nyala. "Aku tidak percaya,
Monty. Dia cuma ingin ramah padamu."
"Tapi kembaranku itu muncul beberapa hari kemudian," kataku.
"Beberapa hari setelah Paman Leo menyeka darahku dengan
saputangannya, seorang anak lelaki yang persis aku muncul. Dan
ketika aku mengikutinya, dia ternyata kembali ke rumah ini.
Bagaimana penjelasanmu atas hal ini, coba?"
Nan cemberut. "Aku tidak tahu, tapi aku yakin ayahku tidak
membuat klon dirimu," katanya. "Kau salah, Monty. Dan aku akan
membuktikannya padamu."
Aku melipat kedua lenganku. "Bagaimana caranya?"
"Aku akan bertanya pada Dad. Sekarang juga," kata Nan. "Ayo,
dia pasti ada di labnya. Mari kita datangi."
Nan berbalik dan melangkah cepat ke pintu putih itu.
Aku mengikutinya perlahan-lahan. Aku takut berhadapan
dengan Paman Leo. Tapi aku mesti tahu yang sebenarnya terjadi.
Benarkah Paman Leo meng-klon diriku"
Nan membuka pintu lab dan melangkah masuk. Aku
mengikutinya. Tapi mendadak ia berhenti, hingga aku terbentur tubuhnya.
Kudengar ia terkesiap. Lalu aku melihat apa yang membuatnya terkejut. Dan aku pun
ikut ternganga. Paman Leo berdiri menghadap ke arah kami, dalam mantel labnya.
Di sampingnya berdiri anak lelaki kembaranku itu.
Di samping si anak lelaki berdiri kembaran lainnya.
Dan lainnya. Dan lainnya.
Ada empat anak yang persis aku di dalam lab Paman Leo.
20 KEEMPAT klon itu tersenyum padaku. "Hai, Monty," kata
mereka serentak. "Ini... mustahil!" kataku tersentak.
Aku merasa seperti akan sinting.
Paman Leo melotot pada kami. "Kau sudah kuingatkan untuk
tidak masuk kemari," bentaknya.
Nan maju selangkah. "Tapi... tapi, Dad... kenapa?" serunya.
"Kenapa Dad melakukan ini pada Monty?"
Paman Leo berdiri tegak. "Aku ini ilmuwan," katanya. "Aku tidak bisa memikirkan
persoalan satu anak saja. Dengan proyek kloning ini aku akan
mengubah dunia. Selamanya."
"Tidak!" teriakku. "Tidak bisa! Aku..."
Paman Leo mengerutkan kening. "Maaf, aku menyesal jadi
begini, tapi aku tak bisa membiarkan kalian merusak semuanya."
Ia berpaling pada klon-klon itu. "Tangkap mereka!" perintahnya
sambil menunjuk Nan dan aku. "Jangan sampai mereka lolos!"
"Dad! Jangan!" ratap Nan.
Aku tercekat. Kami akan diapakan" Kenapa Paman Leo jadi
jahat begini pada kami"
Klon-klon itu semakin mendekat.
Kami mesti keluar dari sini. Kucengkeram lengan Nan dan
kutarik mundur. "Mau ke mana, Monty?" tanya salah satu klon. Ia melompat ke
pintu di belakang kami dan menguncinya.
Kami terkurung di sini! Mereka mengepung kami. Nan dan aku berdiri berdekatan.
Cepat berpikir! perintahku pada diri sendiri. Cari jalan keluar!
Keempat klon itu mengelilingi kami, makin lama makin rapat.
"Pergi!" kata Nan. "Jangan ganggu kami!"
Dua klon hendak menyambarku. Aku mengelak dan melesat ke
salah satu rak. Kusambar sebuah tabung berisi cairan jernih.
Para klon itu mengepung Nan dan menghalangi jalan ke pintu.
"Mundur!" kataku. "Menjauhlah dari pintu, atau kulemparkan
ini ke wajah kalian."
Klon-klon itu tertawa. "Lempar saja," kata salah satunya. "Itu
cuma air keran." Air keran" Dalam tabung reaksi"
Mungkin dia bohong. Dengan nekat kulemparkan tabung itu ke arah mereka. "Nan,
awas!" teriakku. Keempat klon itu merunduk. Nan juga. Tabung tadi membentur
pintu. "Hentikan!" teriak Paman Leo. "Kau menghancurkan peralatan
mahal!" Salah satu klon mencengkeram lengan Nan. Nan meronta-ronta.
"Lepaskan aku! Lepaskan!"
Aku maju menghampirinya. "Lepaskan dia!"
Seorang klon lain melangkah ke arahku dan memegangi kedua
lenganku. "Kau tak mungkin menang. Jangan coba-coba melawan
kami," ejeknya. "Tidak!" kataku. Kusentakkan satu lenganku dan aku lepas.
"Hiya!" Kuhantam pergelangan tangan klon itu dengan pukulan karate
dan kusentakkan lenganku yang satunya. Sambil merunduk aku lari ke
bawah sebuah meja. Tapi sialnya aku kurang rendah membungkuk.
DUK! Kepalaku terbentur ujung meja.
Aku terjengkang. "Aduuuh!" erangku.
"Monty!" Nan terkejut.
Habislah aku. Dua orang klon menarikku dari lantai, lalu
mereka menyeret Nan dan aku ke lemari penyimpanan.
Mereka mengunci kami di dalam lemari itu.
Aku menatap kosong ke dalam kegelapan. Seberkas cahaya
samar masuk dari jendela tinggi di atas. Kuhantamkan tinjuku di pintu
lemari kayu itu. "Keluarkan kami!" teriakku.
"Monty!" kata Nan berbisik. "Ke sini! Cepat!"
Aku menoleh. Nan sedang membungkuk dan melihat sesuatu di
sudut. Dalam cahaya remang-remang, yang kulihat itu sepertinya
hanya setumpuk kain rombeng.
Lalu benda itu bergerak. Mengerang. Dan duduk tegak.
Cahaya suram jatuh di wajahnya yang pucat.
Dan aku terpekik kaget. "Paman Leo!" 21 "DAD!" seru Nan. Ia mengulurkan tangan pada Paman Leo,
tapi lalu menariknya kembali.
"Dad, benarkah ini Dad?" bisiknya ketakutan.
"Ini aku. Sungguh!" sahut Paman Leo dengan lemah. Ia
menatap Nan dan aku bergantian. "Mereka berhasil menangkap kalian,
ya" Aku sudah khawatir. Maaf, anak-anak."
Nan memandanginya dengan curiga. "Kalau kau benar-benar
ayahku, lalu siapa yang di luar sana itu?"
Paman Leo mengusap-usap wajahnya dengan letih. "Dia hanya
klon. Mereka semua klon," ia menjelaskan. "Klon manusia yang
kuciptakan di laboratoriumku."
Aku merinding. Meski aku sudah menduga hal ini,
mendengarnya langsung dari Paman Leo membuatku semakin ngeri.
"Kenapa?" tanyaku. "Kenapa Paman membuat klon diriku?"
Paman Leo menggeleng. "Bukan aku yang meng-klonmu,"
katanya. "Aku tidak akan pernah mengklon manusia lain. Percayalah,
Montgomery." "Lalu bagaimana...?" Nan menatap ayahnya dengan bingung.
"Aku tidak mengerti, Dad."
"Aku tidak akan pernah melakukan eksperimen atas manusia
lain. Tapi aku melakukan eksperimen pada diriku sendiri," kata Paman
Leo. "Beberapa bulan yang lalu aku berhasil membuat klon diriku. Itu
merupakan terobosan yang luar biasa."
"Beberapa bulan yang lalu?" Nan terkesiap. "Jadi, selama
beberapa bulan belakangan ini ada dua diri Dad berkeliaran di dalam
rumah ini?" "Dia tidak berkeliaran," kata Paman Leo. "Aku sudah
menjelaskan pada klonku itu bahwa dia perlu tetap bersembunyi di
lab, sampai dia siap ditampilkan pada dunia. Kupikir dia mengerti dan
bersedia mematuhi." Paman Leo menarik napas panjang. "Tapi aku tidak menyadari
bahwa klonku itu ternyata sinting. Sinting dan jahat."
"Jahat?" tanyaku. Perutku langsung bagai tertusuk rasanya.
"Entah apa istilah lain yang cocok untuk menggambarkan sifat
jahatnya itu," kata Paman Leo. "Dialah yang membuat klon dirimu,
Montgomery. Kurasa dia mengambil contoh DNA-mu pada musim
panas yang lalu, ketika kau dan ibumu datang kemari. Dia menyelinap
keluar dari lab dan masuk ke kamarmu pada tengah malam. Aku
memergokinya di lorong, tapi dia mengatakan sedang jalan-jalan saja,
karena tidak bisa tidur."
Aku terkesiap dan mendadak aku teringat mimpi seramku pada
malam itu. Tentang seorang laki-laki yang mendekatiku dengan
membawa pisau bedah. Rupanya itu sama sekali bukan mimpi. Kalau cerita Paman Leo
benar, berarti itu benar-benar terjadi.
"Jadi, waktu jari Monty tertusuk bros oleh Dad, itu bukan
karena Dad ingin mengambil contoh DNA-nya?" tanya Nan.
"Tentu saja tidak!" Paman Leo kedengarannya kaget. "Astaga,
itu benar-benar tidak disengaja. Aku tidak bermaksud menusuknya
dengan bros itu." "Benar, kan?" kata Nan padaku.
"Yeah...," gumamku. Tapi tidak salah, kan, kalau aku sempat
curiga" Paman Leo menyentuh bahuku. "Maaf, aku tentu akan
menghentikan perbuatan klonku itu, kalau saja aku tahu. Tapi tak
kusangka dia berbohong padaku. Tak ada alasan untuk itu. Rasanya
seperti akulah yang berbohong pada diriku sendiri." Ia mendesah lagi.
"Atau begitulah yang kukira pada mulanya.
"Pokoknya, sementara melanjutkan percobaan pada klonku, aku
semakin cemas. Aku mulai curiga ada yang tidak beres dengan
otaknya. Dia seperti agak sinting."
Aku melompat tak sabar dan mulai mondar-mandir. Aku ingin
cepat-cepat mendengar bagian yang penting.
"Tapi bagaimana dengan klon-klon diriku itu?" tanyaku.
"Leo Kedua-lah yang membuatnya, dengan diam-diam," kata
Paman Leo. "Dia bekerja pada malam hari, saat aku tidur. Dan dia
menyembunyikan klon-klon Montgomery di kamar-kamar kosong itu,
supaya tidak ketahuan olehku."
"Tak mungkin!" seru Nan. "Jadi, selama ini kamarku
bersebelahan dengan kamar-kamar klon itu?"
Aku merinding. Mengerikan sekali. Sementara Nan, aku, dan
Paman Leo menjalani hidup seperti biasa, klon-klon itu mengawasi
kami... mengintai... "Baru dua hari yang lalu aku tahu tentang klon-klon
Montgomery," kata Paman Leo. Ia menoleh padaku. "Ketika kau
mengatakan ada anak lelaki yang persis denganmu, aku mulai curiga.
Mungkinkah Leo Kedua diam-diam meneruskan eksperimenku"
"Aku pergi ke lab malam itu untuk menanyainya. Aku kaget
sekali melihat ada beberapa klon Montgomery di sana. Ketika aku
mengancam akan menghentikan mereka, mereka menyerangku dan


Goosebumps Kembaranku Yang Jahat Itu I Am Your Evil Twin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku dikurung di sini."
Paman Leo menggeleng-geleng. "Aku masih bisa hidup karena
mereka masih membutuhkan pengetahuanku."
Ia terdiam. Sejenak kami duduk saja di dalam lemari yang gelap
itu. Aku tidak tahu mesti berkata apa.
"Dad, adakah cara untuk membedakan antara klon-klon itu
dengan orang aslinya?" tanya Nan akhirnya. "Maksudku, bagaimana
aku bisa yakin bahwa Dad bukan klon juga" Atau Monty?"
"Hei!" protesku. "Aku ini asli, bukan klon!"
"Bagaimana aku bisa yakin?" tantang Nan.
Paman Leo menyandarkan kepalanya di tembok. "Pertanyaan
bagus," katanya pelan. "Ya, aku sendiri perlu cara untuk membedakan
klon-klon itu dengan manusia aslinya. Jadi, aku sengaja memberikan
tanda kecil pada mereka."
Ia mengangkat tangan kanannya. "Masing-masing klon
memiliki tanda titik biru kecil di ujung ibu jari kanannya," katanya.
"Kelihatannya seperti tato, padahal bukan. Tanda itu seperti tanda
lahir, dan tak bisa dihilangkan."
Paman Leo menggelengkan kepala. "Ada lagi perbedaan lain
antara klon dan manusia asli," katanya. "Entah kenapa, semua klon itu
jahat. Mereka senang mencelakakan orang lain."
"Tapi apa yang mereka inginkan" Kenapa Leo Kedua membuat
banyak sekali klon diriku?" tanyaku. "Apa rencana mereka
sebenarnya?" "Leo Kedua menggunakan klon-klon itu sebagai pelayan
pribadinya," kata Paman Leo. "Semakin banyak semakin baik. Dia
tidak akan bisa menangkapku tanpa bantuan mereka.
"Tapi aku tidak tahu, apa rencana mereka," kata Paman Leo.
"Apa pun yang mereka rencanakan, pasti bukan sesuatu yang baik."
Paman Leo bangkit berdiri dengan kaku. "Anak-anak, kita mesti
mencari cara untuk keluar dari sini. Kita mesti bisa menghentikan
mereka." KLIK! Terdengar suara kunci diputar di pintu di belakangku.
Dengan berdebar-debar aku berbalik. Pintu terbuka dan aku
mengerjap-ngerjapkan mata karena silau.
Dua klon diriku berdiri di depan pintu.
"Kemarilah, Monty, kami membutuhkanmu," kata salah satu
dari mereka. Ia mencengkeram lenganku.
"Tidak!" teriakku. Kupelintirkan lenganku, berusaha
membebaskan diri. Tapi cengkeraman anak itu kuat sekali, dan
sepertinya ia tidak perlu mengerahkan tenaga.
Dari luar ia memang persis aku, tapi tenaganya jauh lebih besar.
Ia menyeretku keluar dari lemari. Aku meronta-ronta, tapi tak
ada gunanya. "Kau mau apa?" teriakku gemetar. "Apa yang akan kaulakukan
padaku?" 22 "LEPASKAN aku!" teriakku. "Kau mau apa?"
Klon itu mencengkeramku lebih erat. "Nanti kau akan tahu,"
katanya. "Tidaaak!" Kulemparkan diriku ke belakang dan kutendang
mata kaki klon itu. Kucoba juga menggigit tangannya.
"Terus saja," katanya geram. "Monty, bantu aku
memeganginya." Ketiga klon yang lain serta-merta maju mendekat.
Oh, mereka semua memakai namaku!
Keempat klon itu menyeretku ke sebuah meja lab yang dialasi
kertas putih, seperti yang biasa digunakan para dokter untuk
melindungi meja periksa mereka. Di keempat sudut meja ada tali kulit
untuk pengikat. Mereka akan mengikatku supaya aku tidak bisa meronta-ronta,
sementara mereka melakukan sesuatu yang mengerikan atas diriku.
"Stop! Kumohon!" pintaku. Tapi mereka menaikkanku ke meja.
Leo Kedua mengamatiku sementara aku terbaring tak berdaya
di meja itu. Ia mengangkat sesuatu yang kelihatannya seperti pena,
tapi di ujungnya ada jarum panjang yang berkilat-kilat.
Tiga klon Monty mundur, dan yang satunya memegangi
tanganku, lalu membuka jemariku.
Leo Kedua menekan sebuah tombol kecil di sisi pena itu. Benda
itu mulai mendengung, jarumnya bergetar.
Ia mendekatkannya ke tangan kananku.
"Tidak!" teriakku. "Tidaaaak!"
Dengan ngeri kupandangi jarum yang menyentuh ujung ibu
jariku itu. Rasa sakit yang amat sangat menerpa tanganku.
Leo Kedua mengangkat jarum itu.
Aku memandangi tanganku. Menatap titik biru kecil yang ditato
di ibu jari kananku. Lalu aku terkulai lemah, mataku menatap mata klon Monty
yang memegangiku. "Nah," katanya pelan. "Sekarang kau persis seperti kami,
Monty." 23 KUPEJAMKAN mataku dengan gemetar.
Dengan adanya titik biru kecil itu di ibu jariku, aku tak ada
bedanya lagi dengan para klon ini.
Bagaimana aku bisa keluar dari sini" pikirku putus asa.
"Lepaskan ikatannya," perintah Leo Kedua. "Biarkan dia duduk.
Dia tidak akan melawan lagi sekarang."
Para klon Monty mulai melepaskan tali pengikat yang menahan
lengan dan kakiku. Dari sudut mataku kulihat pintu lemari penyimpanan terbuka
sedikit. Mereka pasti lupa menguncinya lagi.
Nan mengintip dari tepi pintu dan menatapku.
Aku tahu apa yang mesti kulakukan. Aku mesti mengalihkan
perhatian mereka dari Nan.
Begitu kakiku bebas, kutendang dua di antara para klon. Aku
menjerit-jerit seperti orang gila dan mengamuk di meja.
"Pegangi dia!" perintah Leo Kedua dengan tegas.
"Kaubilang dia tidak akan melawan lagi!" teriak salah satu klon
Monty. Ia mencoba memegangi bahuku, tapi aku menggigit tangannya.
Sementara itu, Nan sudah merangkak ke arah pintu lab, dan
hampir mencapainya. Aku meronta lebih keras. "Lepaskan aku!"
"Dia memang tolol. Dia tidak sadar bahwa dia tidak akan bisa
kabur. Manusia-manusia asli ini memang tolol semuanya," kata Leo
Kedua dengan marah. "Aku tidak tolol!" teriakku. "Kaulah yang tolol. Kau cuma klon
tolol." "Jaga mulutmu, Monty!" salah satu klon memperingatkan.
"Jaga ucapanmu!"
Aku tidak menjawab. Aku menoleh ke pintu lab. Nan sudah
membukanya dan sedang menyelinap keluar.
Salah satu klon Monty menoleh ke pintu.
Terlambat! Ia sempat melihat rambut merah Nan yang
menghilang di balik pintu.
"Anak perempuan itu!" teriaknya marah. "Dia keluar!"
"Lari, Nan!" teriakku sekuat tenaga. "Lari!"
Tiga klon Monty lari mengejar Nan.
Klon keempat menatapku. "Bodoh sekali tindakannya, Monty,"
katanya. "Dia tidak akan bisa kabur. Kami akan menangkapnya.
Kalian berdua tidak ingin membuat Paman Leo marah, bukan" Paman
Leo bisa jahat sekali kalau marah."
Aku merinding, tapi kucoba pura-pura tenang.
"Dia pasti bisa kabur," kataku. "Dan kalian akan tinggal nama."
"Kami?" Klon itu tertawa. "Kau sendiri bagaimana" Jangan
lupa, kau sekarang sama seperti kami, Monty."
"Tidak!" teriakku. "Tidak!"
Aku duduk tak berdaya di sana.
Bagaimana aku bisa lolos dari sini"
Menit-menit berlalu. Para klon itu tidak kembali bersama Nan.
Harapanku mulai bangkit. Apa Nan berhasil melarikan diri" Apa ia akan kembali
membawa bala bantuan"
Aku hanya bisa menunggu. Setelah sekitar satu jam, terdengar ketukan di pintu lab.
"Siapa?" bentak Leo Kedua.
"Monty," kata suara itu.
Aku merinding lagi. Aku tidak suka mendengar ia memakai
namaku. Klon Monty yang keempat membukakan pintu. Tiga yang
lainnya masuk ke dalam. Tanpa Nan. "Mana anak perempuan itu?" tanya Leo Kedua.
"Dia berhasil kabur," sahut salah satu klonku.
"Kami tidak bisa menemukannya," kata klon satunya. "Dia
menghilang." "Bagus!" seruku.
Leo Kedua tampak marah. "Gawat!" gerutunya. Ia menggigiti
ibu jarinya. "Gawat."
"Biar saja," kata salah satu klon Monty. "Apa yang bisa dia
lakukan terhadap kita" Dia cuma manusia asli yang tolol."
"Lagi pula, siapa yang akan percaya pada ceritanya?" kata klon
lainnya. Aku merasa takut. Para klon ini benar. Bagaimana mungkin
Nan bisa membuat orang lain percaya bahwa apa yang diceritakannya
itu benar" Leo Kedua meregangkan badan dan menguap. "Sepanjang
malam aku bekerja, dan sepanjang siang aku mesti mengurus kalian,
anak-anak bandel. Sekarang aku mau tidur sebentar."
Ia menuju sebuah dipan sempit di sudut lab, lalu berbaring dan
memejamkan mata. Tak lama kemudian ia sudah mendengkur pelan.
Aku bersin. Keempat klon itu serentak menoleh ke arahku.
Lalu perlahan-lahan mereka menghampiriku.
Aku tercekat. Apa yang hendak mereka lakukan"
Aku melompat dari meja lab dan terus mundur, sampai aku
terpojok di tembok. Para klon itu maju semakin dekat.
"Ada apa?" tanya salah satunya. "Kau tidak takut, bukan,
Monty?" "Yeah, benar begitu, Monty?" tanya yang lainnya.
Aku sebal mendengar mereka menyebutkan namaku. Ada yang
menyeramkan dalam nada suara mereka.
"Jangan ganggu aku!" teriakku nyaring. "Pergi!"
Mereka tertawa. Suaranya persis suara tawaku.
"Tak lama lagi kau akan terbiasa menjadi bagian dari kelompok
kami," kata salah satu klon.
"Tapi aku bukan kalian!" kataku. Jantungku berdebar keras.
"Aku adalah aku!"
"Tidak! Aku adalah kau," salah satu klon mengoreksi ucapanku.
"Tidak! Aku yang kau!" kata yang lainnya.
"Tidak! Aku adalah kau!"
"Aku yang kau!"
Kutatap wajah-wajah yang sama persis itu. Telingaku mulai
berdengung. Ini sinting, pikirku. Sinting!
Lalu salah satu klon mengangkat tangannya.
"Saatnya upacara dimulai," katanya.
24 "UPACARA?" tanyaku lemah.
"Hanya percobaan kecil," kata salah satu klon.
Dua di antara mereka menyeretku ke rak yang penuh dengan
peralatan listrik Paman Leo.
"Tidak!" jeritku. "Stop! Jangan!"
Salah satu klon mengambil sekotak korek api dari laci. Ia
menyalakan sebatang, lalu menyulut sebuah pembakar Bunsen. Api
biru menari-nari di hadapanku.
"Siap, Monty?" tanyanya.
"Siap, Monty?" ketiga klon lainnya membeo.
"Tidak!" teriakku.
Dua orang klon memegangiku, sehingga aku tak bisa merontaronta.
Klon ketiga mendekatkan tanganku dengan paksa ke api.
"Yaaaiii!" jeritku keras.
Api itu menghanguskan telapak tanganku.
Kutarik tanganku dan kuperiksa.
Kulit telapak tanganku terbakar dan memerah.
"Mau apa kalian" Membunuhku?" seruku. "Kalian mau apa?"
"Perhatikan!" kata salah satu klon.
Ia mengangkat satu tangannya di depan wajahku, lalu sambil
tersenyum ia memasukkannya ke dalam api.
Dan menahannya di situ. "Apa yang kaulakukan?" kataku kaget. "Apa kau sudah
sinting?" Klon itu menarik kembali tangannya. "Lihat?" katanya. "Aku
tidak kesakitan." "Aku juga," kata klon lainnya. Ia pun memasukkan tangannya
ke dalam api. "Aku juga tidak sakit," kata klon ketiga.
"Aku juga tidak," kata klon keempat.
"Kau belum mengerti juga" Kami tidak bisa merasa sakit. Kami
lebih hebat daripada kau, Monty!" kata klon pertama. "Lebih cerdas,
lebih kuat. Kami produk yang lebih bagus."
Aku terpekik ngeri. Aku mesti menjauhkan diri dari klon-klon yang menakutkan ini.
Kusentakkan lenganku dan aku melesat ke pintu lab.
Kubenturkan tubuhku ke pintu dan kuguncang-guncang tombolnya.
Keempat klon itu menarikku. "Sudah!" kata salah satunya. "Kau
mesti tinggal dengan kami!"
"Kalau begitu, kurung aku!" teriakku. "Kurung aku bersama
Paman Leo, kalau memang aku tawanan kalian!"
"Kau belum mengerti, ya?" Klon itu melipat lengannya.
"Sekarang kau masuk kelompok kami, Monty. Malah kau mesti
memanggilku Monty, sebab aku adalah kau. Aku akan mengambil alih
hidupmu. Dan kau tahu sebutan yang akan kuberikan untukmu?"
Aku tak bisa bicara. Hanya bisa menggeleng.
Klon itu mendekatkan wajahnya padaku. "Kau bukan apa-apa,"
bisiknya. "Kau hanya klon."
Hanya klon. Kata-kata itu bergema di kepalaku.
Hanya klon. *************** "Kau sudah tidur, Monty?" salah satu klon berbisik dalam
kegelapan. Aku masih terjaga, tapi aku berbaring diam di dipanku dan
tidak menjawab. Lagi pula, siapa tahu bukan aku yang diajak bicara.
Selain itu, aku ingin mereka mengira aku sudah tidur. Lalu,
setelah mereka tidur, aku ingin kabur dari sini.
Tidak ada jendela di ruang lab ini, tapi aku yakin di luar sana


Goosebumps Kembaranku Yang Jahat Itu I Am Your Evil Twin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah gelap. Nan sudah beberapa jam pergi.
Di mana dia" pikirku. Mungkin tidak ada orang yang mau
membantunya. Atau mereka tidak percaya padanya.
Aku tahu Nan pasti masih berusaha mencari pertolongan. Tapi
bagaimana kalau ia gagal"
Berarti aku mesti berusaha sendiri. Aku mesti membantu Nan
dan membebaskan Paman Leo.
Aku memasang telinga dalam kegelapan. Apa mereka masih
terjaga" Yang kudengar hanyalah bunyi napas teratur.
Mereka tidur. Pasti! Sekaranglah saatnya, Monty.
Tanpa menimbulkan suara aku duduk, lalu mengayunkan kaki
ke lantai dan menopang tubuhku dengan tangan agar bisa bangkit
berdiri. Aduuh! Kugigit bibirku supaya aku tidak berteriak kesakitan.
Telapak tanganku yang terbakar berdenyut-denyut.
Sesaat aku berdiri diam, mengatur napas, menunggu rasa sakit
itu mereda. Jangan membuang-buang waktu, pikirku. Aku berjingkat ke
pintu lab. Kupegang tombolnya dan kuputar perlahan-lahan.
Jantungku berdebar kencang. Akan terbangunkah mereka"
Tombol itu berputar dalam peganganku.
Ini dia! Aku ingin bersorak.
Aku hampir berhasil keluar.
Hampir bebas! Satu detik lagi... satu detik lagi aku keluar dari sini.
Mendadak lampu menyala. Aku terpaku tegang. Perlahan-lahan aku berbalik.
25 KEEMPAT klon itu berdiri melingkariku. Leo Kedua berdiri di
belakang mereka dan melotot padaku.
"Mau ke mana?" tanyanya.
"A... aku...," aku terbata-bata.
"Kami sangat mudah terbangun," kata salah satu klon. "Sudah
kukatakan, Monty, kami lebih hebat daripada kau. Jangan kira kau
bisa..." DOK! DOK! DOK! Ketukan itu terdengar keras sekali. Di pintu lab! Aku melompat
menjauh. Pintu terbanting terbuka. Nan menyerbu masuk... bersama tiga
orang pria. Mereka sebaya dengan Paman Leo. Semua mengenakan setelan
kusut. Dua di antaranya agak gemuk dan mulai botak. Pria ketiga
jangkung dan berbahu lebar, tapi kacamatanya lebih tebal daripada
kacamata Paman Leo. "Ini bala bantuan yang kaubawa?" tanyaku kecewa.
Tapi tak ada yang mengacuhkanku. Semua orang itu ternganga
memandangi klon-klon tersebut.
Lalu si pria jangkung berkata pada Leo Kedua.
"Leo!" serunya. "Apa yang terjadi?"
"Siapa kau?" tanya Leo Kedua dengan marah. "Apa hakmu
menyerbu masuk ke laboratoriumku seperti ini?"
"Dia bukan ayahku!" seru Nan. "Dia malah tidak mengenali
mantan rekan-rekan sekamarnya dulu. Dia hanya klon! Tangkap dia!"
Ketiga pria itu saling pandang.
Lalu kedua pria yang agak gemuk maju ke muka dan
mencengkeram lengan Leo Kedua.
"Bagus!" aku bersorak.
"Ayo kita bawa dia ke truk," kata si pria jangkung. Mereka
menarik Leo Kedua keluar dari ruangan itu.
Wajah Leo Kedua merah padam. "Ini keterlaluan!" serunya.
"Keterlaluan sekali!"
Aku menatap keempat klonku, menunggu mereka bertindak
membantu Leo Kedua. Tapi mereka diam saja, mengawasi tanpa berbuat apa-apa.
Kenapa" pikirku gelisah.
Apa rencana mereka" Nan lari ke lemari penyimpanan dan membukanya. "Dad!"
panggilnya. Paman Leo keluar tertatih-tatih sambil mengerjap-ngerjap silau.
"Nan!" serunya sambil memeluk putrinya. "Kau tidak apa-apa?"
"Aku baik-baik saja," kata Nan. "Aku membawa teman-teman
lama Dad." "Aku senang sekali kalian ada di sini!" seru Paman Leo. "Aku
menulis surat padamu minggu lalu, sebab aku takut eksperimenku
mulai lepas kendali."
"Aku mencoba mencari bantuan, tapi tak ada yang mau percaya
padaku," Nan menjelaskan. "Bahkan polisi pun tidak percaya. Jadi,
aku sembunyi di garasi dan menunggu teman-teman Dad datang."
"Tapi apa yang akan dilakukan orang-orang ini?" tanyaku.
"Mereka akan mengurus klon-klon itu," sahut Nan. "Mereka
sedang membuat lab khusus di Amerika Selatan. Tak lama lagi klonklon itu akan dibawa pergi jauh dari sini."
"Aku tak sabar lagi," kataku. "Nan, aku senang kau kembali.
Kukira kau mendapat musibah."
Aku begitu lega, hingga aku mengulurkan tangan untuk
memeluk Nan. Tapi Nan mengelak. "Jangan sentuh aku!"
Aku terpaku kaget. "Tapi..."
"Aku tidak tahu kau siapa," kata Nan ketus. "Bisa saja kau salah
satu dari mereka!" "Nan!" Aku serasa tak percaya mendengarnya. "Apa kau tidak
mengenaliku" Kau tidak bisa membedakan?"
"Jangan dengarkan dia!" kata salah satu klon itu. "Dia mencoba
menipumu. Akulah Monty yang sebenarnya."
"Mereka berdua bohong!" kata klon lainnya. "Akulah yang
asli." Mata Nan menyipit. "Coba kulihat ibu jari kananmu."
Tato itu...! Nan akan melihat tato itu.
Aku tercekam rasa takut. Pelan-pelan kuulurkan tangan
kananku. Begitu pula semua klon lainnya.
"Kau tidak mengerti," kataku dengan sedih. "Mereka membuat
tato ini di jariku. Sekarang kami semua sama."
Mata Nan melebar ketika menatap semua ibu jari kami.
Paman Leo mengernyit. "Ini baru masalah besar."
Ketiga pria tadi masuk kembali ke lab. "Leo!" panggil si pria
jangkung. "Kaukah itu?"
"Fred!" Paman Leo meraih tangan pria itu dan menjabatnya
hangat. "Syukurlah kalian bertiga datang tepat pada waktunya."
"Nyaris saja," kata salah satu pria pendek itu. Ia menyapukan
lengan ke arahku dan klon-klon lainnya. "Yang mana keponakanmu?"
"Itulah masalahnya," gumam Paman Leo. "Kami tidak bisa
memastikan." "Itu bukan masalah," kata salah satu klon.
Aku menatapnya heran. "Apa maksudmu" Ini masalah besar."
"Sama sekali tidak," kata klon itu. "Aku bisa membuktikan,
akulah Monty yang asli."
"Bagaimana caranya?" tanya teman-teman Paman Leo.
"Aku tahu hal-hal yang tak mungkin diketahui oleh Monty yang
palsu," katanya. Ia menoleh pada Nan. "Ingat tidak, ceritaku padamu malam itu"
Tentang ketika kita mencuri bagian-bagian kereta api Ivan Seymour
waktu kita berumur tujuh tahun?"
"Kita tidak pernah menceritakan itu pada siapa pun," kata Nan
pelan. Aku terperangah. Malam itu, ketika Nan dan aku sedang
mengobrol, klon ini pasti menguping pembicaraan kami.
"Hei!" teriakku. "Itu ceritaku! Aku yang menyampaikan itu
padamu, Nan! Bukan dia! Jangan percaya padanya!"
"Bohong! Aku yang asli!" kata salah satu klon lainnya."
"Salah! Akulah yang asli!"
"Tidak! Aku!" Kututupi telingaku dengan tangan untuk meredam suara-suara
itu. "Aku yang asli!" teriakku. "Aku yang menceritakan itu padamu!
Aku! Akulah Monty!" Nan maju selangkah. "Aku percaya padamu," katanya pelan. "Kau memang Monty."
Dan ia mengulurkan tangannya... pada klon itu.
26 "TIIDAAAAK!" aku melolong. "Tidak! Nan! Kau salah!"
"Nan!" Ketiga klon lainnya berseru. "Apa kau tidak mengenali
aku?" Nan menggeleng. "Ayo pergi, Dad," katanya pada Paman Leo.
Paman Leo mengangguk. "Kau dan Montgomery pergilah. Aku
dan teman-temanku akan memasukkan klon-klon ini ke truk. Lebih
cepat kita keluarkan mereka dari rumah, lebih baik."
Nan dan klon itu bergegas keluar dari lab, lalu Paman Leo dan
ketiga temannya menangkap kami dan membawa kami keluar, ke
sebuah van putih yang menunggu di pekarangan.
Kami dimasukkan ke bagian belakang mobil. Para klon meronta
dan menjerit-jerit. Aku diam saja. Aku terlalu kaget untuk bereaksi.
Adik kembarku sendiri tidak mengenali aku! Ia mengira aku
salah satu klon. Apa yang mesti kulakukan sekarang"
Bagaimana aku bisa lolos dari masalah ini"
Bagian belakang mobil dilengkapi dengan dua baris kursi
plastik yang menempel di lantai mobil.
Leo Kedua meringkuk di kursi sudut sambil bergumam sendiri.
Kudengar gumam suara di luar ketika Paman Leo dan ketiga
temannya berunding. Aku menangkap potongan kalimat mereka. "...
kapal berangkat besok pagi" dan "gudang di tepi sungai."
Fred, yang bertubuh jangkung, melongok ke belakang mobil.
"Kencangkan sabuk pengaman," katanya. "Kita akan berangkat."
Lalu ia menutup pintu belakang. Kami terkurung di dalam.
Aku duduk dan memasang sabuk pengaman. Para klon juga.
Mobil mulai bergerak. Tidak ada yang bicara.
Pikir! Pikir! Pikir! perintahku pada diri sendiri. Aku mesti
mencari jalan... sebelum aku dimasukkan ke sebuah laboratorium di
Amerika Selatan. Sekitar seperempat jam kemudian, mobil berhenti. Di luar
terdengar suara mesin-mesin besar dan klakson mobil yang sedang
bergerak. Di mana kami" pikirku.
"Kedengarannya seperti di dermaga bongkar-muat," kata salah
satu klon. "Kita ada di dekat sungai," kata klon lainnya.
"Mereka akan memuat kita ke kapal yang menuju Amerika
Selatan besok pagi," kata klon ketiga.
Jendela kecil di mobil terbuka dan Fred mengintip pada kami.
"Kita agak lama di sini," katanya. "Sebaiknya cari posisi yang
nyaman. Dan kalau kalian berniat melarikan diri, pikir-pikirlah dulu,
sebab kami sudah menempatkan penjaga di luar."
Penjaga! Aku langsung lemas mendengarnya.
Aku tahu, inilah kesempatan terakhirku untuk kabur. Begitu
masuk ke kapal, habislah aku. Tak mungkin aku bisa kembali.
Selama sisa hidupku aku akan menjadi bahan eksperimen.
Tapi bagaimana aku bisa melarikan diri"
Aku memandang sekelilingku. Jendela mobil terlalu kecil untuk
menyelinap keluar, dan pintu-pintunya terlalu kokoh, apalagi di luar
ada penjaga. Aku mengangkat wajah. Dan melihat celah itu. Celah geser kecil di langit-langit mobil.
Bisakah aku lolos lewat celah itu"
Celah itu tinggi sekali. Bagaimana aku bisa mencapainya"
Mungkin dengan menumpuk kursi plastik dan memanjatnya"
Tak mungkin! Kursi-kursi ini menempel di lantai mobil.
Aku tercekat. Hanya satu hal yang bisa dilakukan.
Aku mesti minta bantuan pada klon-klon ini.
"Hei," kataku; suaraku terlalu pelan.
Aku berdeham dan mencoba lagi. "Hei, kita bisa lolos dari sini,
kalau kita bekerja sama. Bagaimana... Monty" Kau mau
membantuku?" Ketiga klon itu menatapku.
"Buat apa aku membantumu?" tanya salah satunya. "Akulah
Monty. Kau yang mestinya membantuku."
"Tidak, aku Monty," kata klon kedua.
"Tidak! Aku!" kata klon ketiga. "Kalian semua mestinya
membantuku." Leo Kedua melotot pada kami dari kursinya. "Diam!"
bentaknya. "Aku muak mendengar pertengkaran kalian. Kalian
semuanya Monty." Saat itulah aku mendapat gagasan cemerlang.
"Dengar!" kataku keras-keras. "Paman Leo benar. Kita semua
sama." Para klon itu berhenti bertengkar dan menatapku lagi.
"Sudahlah, kita semua klon dan kita tahu itu," kataku. "Kenapa
kita saling membodohi" Manusia yang asli itu ada di rumah sana,
hidup senang, sementara kita dikapalkan ke laboratorium. Adilkah
itu?" "Tidak!" teriak para klon.
"Dia cuma manusia biasa," kata salah satu dari mereka. "Kita
lebih hebat daripada dia."
"Benar!" teriakku. "Maka mari kita bekerja sama. Mari kita
keluar dari truk ini, lalu kembali ke rumah itu untuk menyingkirkan
lawan kita. Semua ini kan kesalahannya."
"Yeah." "Ayo!" Bagus! Aku berusaha keras menahan senyum.
Rupanya manusia asli tidak sebodoh yang mereka kira, pikirku.
"Baik, begini rencananya," kataku. Kutarik salah satu klon ke
tengah mobil, di bawah celah. "Berdiri di sini, Monty?"
Berikutnya aku menunjuk klon kedua. "Kau memanjat ke bahu
Monty. Lalu Monty ketiga akan membantuku naik ke bahu Monty
kedua. Aku akan memanjat ke luar celah itu dan mencari tali untuk
kalian naik juga. Mengerti?"
"Mengerti, Monty," kata mereka serentak.
Tentu saja aku tidak akan benar-benar menurunkan tali untuk
mereka. Begitu berada di luar, aku akan langsung kabur. Malah aku
hendak menutup celah itu dari luar begitu aku bebas. Untuk
memastikan mereka tidak bisa kabur.
Kedua klon itu memberi jalan bagiku untuk naik. Klon ketiga
membantuku memanjat bahu klon kedua. Sementara itu, Leo Kedua
hanya duduk mengawasi. Dengan hati-hati aku menjangkau tepi celah itu.
"Terus, Monty!" kata salah satu klon. "Kau pasti bisa."
"Berhasil!" kataku. Kugeser celah itu hingga terbuka, lalu aku
meraba tepi-tepinya, mencari pegangan.
Mendadak jari telunjukku terasa sakit sekali. "Aduh!" teriakku


Goosebumps Kembaranku Yang Jahat Itu I Am Your Evil Twin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambil menarik kembali tanganku. Pasti jariku tertusuk paku atau
sesuatu. Di bawahku semuanya mendadak terdiam.
Lalu Leo Kedua berseru, "Dialah yang asli! Tangkap dia!"
Tidak usah ya! Aku baru ingat bahwa klon tidak bisa merasa sakit. Kedokku
terbuka sudah! Sebelum aku sempat bereaksi, mereka sudah mencengkeram
mata kakiku. Aku ditarik ke lantai mobil.
"Tidaaak!" Aku menghantam lantai dan berguling. BUK!
Kepalaku terbentur salah satu kursi plastik.
"Ohhh!" erangku. Aku meringkuk di lantai sambil memegangi
kepalaku. Kupejamkan mataku, kesakitan.
Ketika aku membuka mata lagi, mereka semua menatapku. Leo
Kedua menjulang di atasku.
"Kau berbohong pada kami, Monty," salah satu klon itu berkata
pelan. "Dan kami tidak senang."
"Kami tidak suka padamu, Monty," kata klon lainnya. "Kami
tidak suka segala yang ada padamu."
Leherku bagai tersumbat oleh rasa takut.
"A... apa yang akan kalian lakukan padaku?" tanyaku terbatabata.
"Kami mengikuti saranmu saja, Monty," katanya. "Kami akan
menyingkirkanmu." Tiga pasang tangan terulur ke arahku.
27 "TUNGGU!" pintaku. "Bisakah kita bicarakan dulu hal ini?"
"Apa lagi yang perlu dibicarakan, Monty?" tanya salah satu
klon. "Yeah, Monty, apa yang ingin kaukatakan pada kami?" tanya
yang lainnya. "Kau sudah kalah, Monty," ejek klon ketiga.
Kenapa mereka terus saja menyebut namaku" pikirku heran.
Lalu aku mendapat gagasan lagi.
Memang belum tentu ampuh, tapi setidaknya bisa mengalihkan
perhatian mereka sejenak, sementara aku memikirkan rencana yang
lebih bagus. "Kau tidak suka nama Monty, bukan?" tanyaku.
Para klon itu membisu. "Yah, sudah jelas," kataku lagi. "Nama itu memang jelek. Itulah
yang paling kalian benci pada diriku."
"Jadi?" tanya salah satu klon.
"Setidaknya izinkan aku memilih nama lain sebelum aku mati,"
pintaku. "Misalnya Pete. Sejak dulu aku ingin punya nama Pete."
"Pete?" kata klon pertama.
"Yeah. Pete Adams. Kedengarannya bagus, kan?" Aku
memaksakan senyum. Klon kedua tampak lebih tenang. "Yeah, Pete," katanya.
"Kedengarannya memang bagus. Aku suka."
"Tidak!" protes klon lainnya. "Pete nama yang membosankan.
Kalau Ferris bagaimana?"
Ferris" Kucoba untuk tidak memasang tampang muak. "Yeah,
itu juga bagus," kataku.
"Ferris" Itu malah lebih jelek daripada Monty," ejek klon
pertama. "Kau sudah sinting, ya?"
Klon ketiga bangkit berdiri. "Siapa yang kausebut sinting,
Monty?" "Jangan panggil aku Monty," teriak klon pertama. "Aku benci
nama itu. Aku Pete."
"Tidak! Aku yang Pete!" teriak klon kedua.
"Bukan! Aku!" sanggah klon pertama.
"Sudah! Sudah!" bentak Paman Leo. "Tidak usah bertengkar
soal nama!" "Jangan panggil aku Monty!" teriak klon ketiga. "Namaku
Ferris!" "Kau tolol!" balas klon lainnya dengan ketus.
"Aaaah!" jerit klon lainnya lagi, lalu ia menyerbu kedua
rekannya dengan marah. Dalam sekejap mereka sudah berkelahi, saling tendak, tinju,
sambil berteriak-teriak. "Huh, bagus sekali!" gerutu Leo Kedua. Ia kembali ke tempat
duduknya dan memandangi lantai dengan kesal.
Sekaranglah kesempatanku.
"Tolong!" aku menjerit. "Tolong!"
"Hei!" Sebuah suara berseru dari luar mobil. "Ada apa di dalam
sana?" Si penjaga! Ia mendengarku!
Semua klon itu tidak peduli. Mereka terlalu asyik berkelahi.
Pintu belakang mobil terbuka. Seorang pria jangkung dan kekar
berdiri di luar. "Ribut-ribut apa itu?" tanyanya.
Ia terbelalak ketika melihat ketiga klon itu. Lalu tatapannya
beralih padaku. "Apa ini?" tanyanya heran. "Kembar empat" Pertunjukan
sirkus?" Aku langsung berpikir cepat.
"Anda mesti menghentikan mereka!" teriakku. "Saudarasaudaraku akan saling bunuh!"
"Ayo, anak-anak, berhenti berkelahi! Berhenti!" teriak penjaga
itu. Sekaranglah saatnya. Dengan berdebar-debar aku menerobos melewatinya dan
melompat keluar dari belakang mobil.
Aku memandang sekelilingku. Kami berada di semacam
dermaga bongkar-muat di tepi sungai. Saat ini sudah larut malam, tapi
lampu-lampu besar di sini membuat tempat ini terang benderang bagai
siang. Derek-derek raksasa beroperasi di sekitarku, mengangkat dan
menurunkan kontainer-kontainer dari dan ke dalam kapal.
"Hei!" kudengar penjaga itu berseru. "Kembali! Hei, hentikan
anak itu!" ebukulawas.blogspot.com
Aku lari secepat mungkin, tanpa menoleh lagi.
Aku tidak tahu hendak ke mana. Pokoknya aku mesti pergi dari
sini. Terdengar derap langkah berat mengejarku. Aku bersembunyi
di balik tumpukan kontainer raksasa.
"Ke mana dia?" seseorang berseru.
Aku berganti arah sepelan mungkin.
Aku menjauhi tepi sungai, berjalan dalam bayang-bayang, dan
langsung berhenti setiap kali mendengar suara atau langkah kaki.
Kalau berada di tempat terbuka, aku lari secepat mungkin.
Akhirnya aku tiba di gerbang dermaga. Sebuah pagar tinggi
menjulang di atasku. Truk-truk besar keluar-masuk.
Ada tanda hijau bertuliskan PHILADELPHIA 28.
MORTONVILLE 8. Panah menuju Mortonville menunjuk ke kiri.
Aku berada delapan mil dari rumah Paman Leo.
Aku menoleh. Kelihatannya tidak ada yang mengikuti aku.
Masih tetap berjalan dalam bayang-bayang, aku melangkah ke
jalan. Delapan mil. Kalau beruntung, aku akan tiba di rumah pada saat
sarapan. Aku jalan kaki sepanjang malam. Ketika aku tiba di rumah
Paman Leo, matahari merah baru saja muncul di atas atap-atap rumah.
Pakaianku kusut dan penuh keringat. Celanaku juga berbekas
lumpur. Dengan tubuh gemetar aku mengintip dari jendela dapur.
Kulihat Nan, Paman Leo, dan klon itu. Klon itu duduk di depan meja
sarapan, seolah-olah memang di situlah rumahnya.
Aku merunduk dan beranjak ke beranda depan. Tak lama lagi
aku akan berhadapan dengannya. Dengan anak lelaki yang dikira Nan
adalah aku. Anak lelaki yang telah mencuri hidupku.
Aku mesti merebut kehidupanku kembali. Aku mesti
membuktikan pada Nan dan Paman Leo bahwa akulah Monty yang
asli. Tapi bagaimana caranya"
Bagaimana" Dengan berdebar-debar aku memencet bel pintu.
28 "BEL pintu berbunyi, ya?" tanyaku.
"Aku tidak dengar apa-apa, Nan," sahut Monty. Ia mengetukngetukkan sendok di mangkuk serealnya yang sudah kosong.
"Ambilkan serealnya, dong."
Aku memandang ke luar jendela dapur. Sinar matahari pagi
memancar masuk ke dalam ruangan.
Aku tidak bisa tidur nyenyak semalam. Aku masih saja
memikirkan segala peristiwa mengerikan kemarin. Klon-klon jahat
itu.... Syukurlah semuanya sudah berakhir, pikirku. Aku mendesah
lega. Mudah-mudahan para klon itu sudah dalam perjalanan ke
Amerika Selatan. Dad, Monty, dan aku belum bisa merasa aman kalau
mereka belum pergi jauh. "Nan... serealnya, dong," kata Monty lagi.
"Oh, maaf," gumamku. "Aku sedang berpikir..."
"Tak usah dipikirkan lagi, Nan," kata Dad. "Peristiwa itu
memang menakutkan, tapi sekarang kita mesti melanjutkan hidup kita
seperti biasa." Kuberikan sereal yang diminta Monty, lalu kuambil sebuah
donat gula dari kantong di meja. "Mmm. Lembut dan segar."
Bel pintu berbunyi lagi. "Belnya memang berbunyi!" seruku.
"Biar kubukakan." Monty bangkit dan bergegas keluar dari
dapur. Kudengar ia membuka pintu depan, lalu terdengar suara
teriakan. "Mau apa kau kemari?" teriak Monty. "Pergi dari sini!"
"Ada apa itu?" Dad bangkit dari kursinya.
Terdengar suara langkah kaki bergegas, lalu Monty muncul
terengah-engah di dapur. Diikuti oleh... Monty juga.
Aku terlonjak. Jantungku serasa berhenti berdetak. Kupandangi
kedua anak itu bergantian.
Monty Pertama mengenakan kemeja garis-garis biru-putih dan
jeans lusuh. Monty Kedua mengenakan celana berbekas lumpur dan
kemeja biru yang kusut dan berkeringat.
"Dia lari dari mobil!" seru Monty Pertama. "Dia adalah klon
itu!" "Dengar!" kata Monty Kedua terengah-engah. "Dialah klon itu!
Aku Monty yang asli. Kalian keliru kemarin. Nan, kau mesti percaya
padaku." Aduh! pikirku. Kepalaku mulai berputar lagi. Aku jatuh
terduduk di kursiku. Mimpi buruk itu dimulai lagi.
"Aku tidak akan membiarkanmu mengacau lagi," Monty
Pertama berseru. "Kau mesti pergi ke Amerika Selatan bersama yang
lainnya. Kau tidak boleh mencuri hidupku!"
"Hidupmu?" teriak Monty Kedua. "Hidupkulah yang kaucuri!"
Dengan teriakan keras ia menyerang Monty Pertama. Kedua
anak itu berkelahi di lantai dapur, saling tonjok dan berguling-guling.
Kupandangi mereka dengan bingung. "Dad, bagaimana ini?"
tanyaku. "Aku tidak tahu bagaimana mencari penyelesaiannya," desah
ayahku. "Aku tidak bisa membedakan mereka."
Mendadak aku mendapat gagasan.
"Aku tahu caranya," kataku sambil menjentikkan jari.
29 KUAMBIL kantong donat dari meja sarapan dan kukeluarkan
dua buah donat. "Berhenti berkelahi!" teriakku. "Berhenti sekarang
juga! Aku sudah mendapatkan penyelesaiannya."
Herannya mereka langsung berhenti berkelahi. Mereka
memisahkan diri dengan terengah-engah.
Aku berdebar-debar. Mudah-mudahan berhasil, pikirku.
Kuberikan pada mereka masing-masing sebuah donat. "Ini.
Makanlah," perintahku. "Ingat apa yang terjadi waktu itu" Tak lama
lagi kita akan tahu, siapa Monty yang asli."
Kedua Monty tampak ragu. "Ayo, makanlah," desakku.
Salah satu Monty angkat bahu, lalu menggigit donat itu.
Monty Kedua masih ragu-ragu. "Apa tidak ada cara lain?"
gerutunya. Tapi lalu ia menggigit donatnya juga.
Aku menunggu sambil melipat lengan. Dad memandangi
mereka dari atas kacamatanya.
Aku melihat jam dapur. Setiap detik rasanya seperti satu jam.
Lalu... "Uuuek!"
Monty Pertama terbungkuk dan muntah di lantai dapur.
"Monty!" seruku. Kupeluk dia. Aku tak peduli dia masih
muntah. "Aku memang sudah yakin, kaulah yang asli!" seruku.
"Pintar sekali, Nan," kata Dad sambil tersenyum. "Tapi caramu
tadi berisiko. Pengaruh alergi tidak bisa diduga. Mungkin saja klon itu
juga alergi minyak kacang."
Aku mendecak, masih sambil memeluk kakakku. "Untungnya
aku tidak tahu apa-apa tentang alergi."
Monty Kedua menggeram marah. "Itu tipuan!" katanya berapiapi.
"Cukup!" bentak Dad. Ia mencengkeram kerah kemeja klon itu.
"Kau mesti kembali ke dermaga. Kau bisa menunggu di
laboratoriumku sampai Fred dan rekan-rekanku yang lain
menjemputmu." "Kalian salah!" jerit klon itu. "Dialah yang klon. Aku yang
asli!" "Kau belum menyerah juga ya?" kataku.
Dad menyeret klon itu pergi. Monty dan aku bergegas
membersihkan lantai dapur.
Malam itu Monty dan aku berbaring di karpet, di depan TV.
Kami makan popcorn sambil nonton Police Academy.
"Kapal yang membawa klon-klon itu pasti sudah dalam
perjalanan ke Amerika Selatan sekarang," kata Monty.
Aku merinding. "Aku senang mereka sudah tidak mengganggu
kita lagi. Untungnya aku ingat soal donat itu."
Monty berguling miring. "Tapi aku lebih pintar darimu,"
katanya pelan. "Hah?" Aku ternganga memandanginya.
"Aku menukar donat-donat itu sebelum kau bangun," katanya.
"Aku membeli donat panggang, bukan donat goreng, jadi tidak ada
kandungan minyak kacang di dalamnya."
"Tapi... tapi... aku tidak mengerti," kataku gugup. "Kau kan
muntah, Monty." Ia angkat bahu. "Aku cuma pura-pura. Aku sudah latihan
melakukannya berminggu-minggu."
Aku tersentak, lalu berlutut di karpet. "Maksudmu, kaulah
sebenarnya klon itu?" Seluruh tubuhku gemetar. "Dan Monty yang
asli sudah dikirim ke Amerika Selatan?"
"Kau agak lamban berpikir," ejeknya, "tapi kau mengerti
sekarang." "Tapi bagaimana kau bisa tahu tentang donat itu... dan lainlainnya?" tanyaku.
"Aku menguping banyak pembicaraan," sahutnya. "Misalnya


Goosebumps Kembaranku Yang Jahat Itu I Am Your Evil Twin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cerita konyol tentang bagaimana kalian mencuri hadiah ulang tahun
anak lain. Dan aku sedang sembunyi di luar jendela dapur waktu
Monty makan donat itu dan muntah."
Tubuhku mendadak terasa dingin. "Keterlaluan kau!" ratapku.
"Kenapa kaulakukan itu pada Monty" Kasihan dia!"
Klon itu tersenyum lebar padaku. Senyum senang dan jahat.
"Nan," bisiknya di telingaku, "aku saudara kembarmu yang
jahat."END Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 16 Menggapai Impian Tertinggi Karya Ono Musfilar Sang Godfather 4

Cari Blog Ini