Ceritasilat Novel Online

Kamar Rahasia 1

Harry Potter Dan Kamar Rahasia Karya J.k. Rowling Bagian 1


Harry Potter dan Kamar Rahasia
J.K. Rowling Untuk Sean P.F. Harris, tukang kebut dan sahabat di kala duka.
1 Ulang Tahun Paling Buruk BUKAN untuk pertama kalinya pertengkaran meledak di meja makan rumah Privet Drive nomor empat. Sebelumnya Mr Vernon Dursley telah terbangun pagi-pagi buta oleh bunyi uhu-uhu keras dari kamar ke-ponakannya, Harry "Untuk ketiga kalinya minggu ini!" raungnya. "Kalau kau tidak bisa mengontrol burung hantu itu, dia harus pergi!" Harry mencoba, sekali lagi, untuk menjelaskan. "Dia bosan," katanya. "Dia biasa beterbangan di luar. Kalau aku boleh melepasnya di malam hari..." "Apa aku kelihatan bbdoh"" kata Paman Vernon geram, seserpih telur goreng bergantung pada kumis-nya yang lebat. "Aku tahu apa yang akan terjadi kalau burung hantu itu dibiarkan lepas."
Dia bertukar pandang geram dengan istrinya, Petunia. Harry mencoba berargumentasi, tetapi kata-katanya tenggelam oleh sendawa Dudley yang keras dan panjang. Dudley adalah anak Mr dan Mrs Dursley. "Aku mau tambah daging asap." "Masih banyak di wajan, Manis," jawab Bibi Petunia, matanya terharu menatap anak laki-lakinya yang supergemuk. "Kami harus memberimu makan banyak-banyak selagi ada kesempatan... aku tak senang men-dengar tentang makanan di sekolahmu..."
"Omong kosong, Petunia, aku tak pernah kelaparan waktu
aku di Smeltings," kata Paman Vernon mem-protes. "Dudley
mendapat cukup makanan. Ya kan, Nak""
Dudley, yang luar biasa gemuknya sampai pantatnya
melimpah di kiri-kanan kursi dapur, menyeringai dan menoleh
kepada Harry. "Ambilkan wajannya."
"Kau lupa kata sihirnya," kata Harry jengkel.
Dampak kalimat sederhana pada keluarga itu sung-guh luar
biasa. Dudley tersedak dan terjatuh dari kursinya keras sekali
sampai menggetarkan seluruh dapur. Mrs Dursley menjerit
dan menutup mulutnya. Mr Dursley melompat bangun, uraturat
berdenyutan di pelipisnya.
"Maksudku kata 'tolong'!" kata Harry cepat-cepat. "Aku tidak bermaksud..."
"BUKANKAH SUDAH KULARANG," gelegar pamannya dari seberang meja, "MENGUCAPKAN KATA 'S' ITU DI DALAM RUMAH KITA"" "Tapi aku..."
"BERANI-BERANINYA KAU MENGANCAM DUDLEY!" raung Paman Vernon, menggebrak meja dengan tinjunya. "Aku cuma..."
"KUPERINGATKAN KAU! AKU TAK MENGIZIN-KAN KEABNORMALANMU DISEBUT-SEBUT DI BA-WAH ATAP RUMAH INI!"
Harry bergantian memandang wajah keunguan pamannya dan wajah pucat bibinya, yang sedang berusaha membantu Dudley bangun.
"Baiklah," kata Harry, "baiklah..."
Paman Vernon duduk kembali, tersengal seperti ba-dak
bercula satu yang kehabisan napas. Dia memandang Harry
lewat sudut matanya yang kecil tajam.
Sejak Harry pulang untuk liburan musim panas, Paman
Vernon memperlakukannya seperti bom yang bisa meledak
setiap waktu, karena Harry bukan anak biasa. Sebetulnya, dia
memang sama sekali bukan anak biasa.
Harry Potter adalah penyihir-penyihir yang baru
melewatkan tahun pertamanya di Sekolah Sihir Hogwarts. Dan jika keluarga Dursley tidak senang menerimanya selama liburan, itu bukan apa-apa di-banding perasaan Harry. Harry merasa sangat rindu pada Hogwarts sehingga rasanya dia sakit perut terus-menerus. Dia merindukan kastilnya, dengan lorong-lorong rahasia dan hantu-hantunya, pelajaran-pelajarannya (walaupun mungkin tidak merindukan Snape, guru pelajaran Ramuan-nya), surat-surat yang dibawa oleh burung-burung hantu, makan bersama di Aula Besar, tidur di tempat tidurnya di menara asrama, mengunjungi si pengawas binatang liar, Hagrid, di pondoknya di dekat Hutan Terlarang, dan terutama Quidditch, olahraga paling populer di dunia sihir (enam tiang gawang tinggi, empat bola terbang, dan empat belas pemain di atas sapu terbang). Semua buku pelajaran Harry tongkat, jubah, kuali, dan sapu top Nimbus Dua Ribu-nya dikunci di dalam lemari di bawah tangga oleh Paman Vernon begitu Harry tiba di rumah. Apa pedulinya keluarga Dursley kalau Harry kehilangan tempat di tim Quidditch asramanya karena dia tidak berlatih selama musim panas" Apa urusannya bagi keluarga Dursley jika Harry kembali ke sekolah tanpa mengerjakan PR-PR-nya" Keluarga Dursley termasuk yang oleh para penyihir disebut Muggle (tak memiliki setetes pun
darah penyihir di nadi mereka) dan bagi mereka memiliki penyihir dalam keluarga adalah aib yang sangat memalukan. Paman Vernon bahkan telah meng-gembok burung hantu Harry, Heig, di dalam sangkarnya, untuk mencegahnya membawa surat-surat kepada siapa pun di dunia sihir.
Tampilan Harry sama sekali lain dari keluarganya. Paman Vernon gemuk dan tanpa leher, dengan kumis hitam besar. Bibi Petunia kurus berwajah kuda. Dudley berambut pirang, kulitnya agak merah jambu, jadi kesannya seperti babi. Harry, sebaliknya, kecil dan kurus, dengan mata hijau cemerlang dan rambut hitam pekat yang selalu berantakan. Dia memakai kacamata bundar, dan di dahinya ada bekas luka berbentuk sambaran kilat.
Bekas luka inilah yang membuat Harry istimewa, bahkan sebagai penyihir. Bekas luka ini satu-satunya petunjuk akan masa lalu Harry yang misterius, alasan kenapa dia ditinggalkan di depart pintu rumah keluarga Dursley sebelas tahun yang lalu.
Pada usia satu tahun, Harry, entah bagaimana ber-hasil selamat dari serangan penyihir hitam jahat ter-hebat sepanjang zaman, Lord Voldemort, yang nama-nya pun tak berani disebutkan oleh banyak penyihir. Orangtua Harry tewas dalam serangan Voldemort, tetapi Harry selamat dengan bekas luka sambaran kilatnya, dan-tak seorang pun tahu kenapa-ke-kuatan Voldemort punah pada saat dia gagal mem-bunuh Harry.
Maka Harry dibesarkan oleh kakak almarhum ibu-nya dan suaminya. Dia melewatkan sepuluh tahun bersama keluarga Dursley, tak pernah memahami kenapa dia tak putus-putus membuat hal-hal aneh terjadi walaupun dia tak bermaksud melakukannya. Dia mempercayai cerita keluarga Dursley bahwa bekas lukanya didapatnya dalam kecelakaan lalu lintas yang menewaskan orangtuanya. Dan kemudian," tepatnya setahun yang lalu, Hogwarts menulis surat kepada Harry, dan kisah yang sebenarnya pun terungkap. Harry bersekolah di sekolah sihir. Di situ dia dan bekas lukanya terkenal... tetapi sekarang tahun ajaran telah usai, dan dia kem-bali bersama keluarga Dursley selama musim panas, kembali diperlakukan seperti anjing yang habis berguling-guling di sampah bau.
Keluarga Dursley bahkan tidak ingat bahwa hari ini adalah hari ulang tahun Harry yang kedua belas. Tentu saja,
harapannya tidak rnuluk-muluk, mereka belum pernah memberinya hadiah yang layak, apalagi kue ulang tahun-tapi kalau sama sekali melupa-kannya...
Saat itu Paman Vernon berdeham dengan lagak sok penting dan berkata, "Nah, seperti kita semua tahu, hari ihi hari yang sangat penting."
Harry mendongak, nyaris tak berani mempercayai-nya.
"Hari ini aku mungkin akan membuat transaksi terbesar dalam
karierku," kata Paman Vernon.
Harry kembali memakan roti panggangnya. Tentu saja, pikirnya getir, yang sedang dibicarakan Paman Vernon adalah acara makan malam konyol itu. Sudah dua minggu ini tak ada hal lain yang dibicarakannya. Ada pemborong kaya dan istrinya yang akan datang untuk makan malam dan Paman Vernon berharap mendapat pesanan besar darinya (perusahaan Paman Vernon memproduksi bor). "Kurasa kita harus mengulang susunan acara kita sekali lagi," kata Paman Vernon. "Kita semua harus siap di posisi masing-masing pukul delapan nanti. Petunia, kau di..."" "Di kamar tamu," kata Bibi Petunia segera, "siap menyambut kedatangan mereka di rumah kita dengan anggun."
"Bagus, bagus. Dan Dudley""
"Aku siap membuka pintu." Dudley memasang se-nyum tolol. "Boleh kusimpan mantel Anda, Mr dan Mrs Mason"" "Mereka akan menyukai Dudley!" seru Bibi Petunia terpesona. "Hebat, Dudley," kata Paman Vernon. Kemudian dia berpaling kepada Harry. "Dan kau"" "Aku akan berada di kamarku, tidak membuat suara, dan pura-pura tidak ada di sana," kata Harry datar.
"Tepat," kata Paman Vernon menyebalkan. "Aku akan membawa mereka masuk, memperkenalkan kau, Petunia, dan menuang minuman untuk mereka. Pukul delapan seperempat..."
"Akan kuumumkan makan malam telah siap," kata Bibi Petunia.
"Dan Dudley, kau akan bilang..."
"Boleh kuantar Anda ke ruang makan, Mrs Mason"" kata Dudley, menawarkan lengannya yang gemuk pada wanita yang tak kelihatan. "Gentleman kecilku yang sempurna," kata Bibi Petunia terharu.
"Dan kau"" ka
ta Paman Vernon kejam kepada Harry. "Aku akan berada di kamarku, tidak membuat suara, dan pura-pura tidak ada di sana," kata Harry bosan. "Persis. Sekarang, kita harus berusaha memberikan beberapa pujian selama makan malam. Petunia, ada ide"" "Vernon bercerita Anda pemain golf yang hebat, Mr Mason... Gaun Anda indah sekali, di mana Anda membelinya, Mrs Mason..."" "Sempurna... Dudley""
"Bagaimana kalau: 'Kami harus menulis karangan tentang pahlawan yang kami kagumi di sekolah, Mr Mason, dan saya menulis tentang Anda.'"
Ini sudah kelewatan, baik bagi Bibi Petunia maupun Harry, walaupun dengan alasan berbeda. Bibi Petunia menangis saking terharunya dan memeluk anaknya, sedangkan Harry membungkuk ke bawah meja, supaya mereka tidak melihatnya tertawa.
"Dan kau"" Harry berusaha membuat wajahnya serius ketika muncul dari bawah meja. "Aku akan berada di kamarku, tidak membuat suara, dan pura-pura tidak ada di sana," katanya.
"Betul sekali, kau harus begitu," kata Paman Vernon keras. "Suami-istri Mason sama sekali tak tahu-menahu tentang kau dan harus tetap begitu. Setelah makan malam selesai,
kaubawa Mrs Mason kembali ke ruang tamu untuk minum kopi, Petunia, dan aku akan meng-arahkan pembicaraan ke bor. Kalau beruntung, transaksi bisa kuselesaikan dan kontrak sudah ditanda-tangani sebelum Berita Pukul Sepuluh Malam. Kita akan membeli rumah berlibur di Majorca pada jam sekian besok malam."
Harry tidak bisa ikut senang mendengar kabar ini. Menurut perasaannya, di Majorca pun keluarga Dursley tidak akan lebih menyukainya daripada di rumah ini.
"Baik-aku berangkat ke kota untuk mengambil jas malam untukku dan Dudley. Dan kau," gertaknya pada Harry, "jangan mengganggu bibimu sementara dia membersihkan rumah." Harry keluar lewat pintu belakang. Cuaca amat cerah. Dia menyeberangi halaman, mengenyakkan diri di bangku kebun dan bernyanyi pelan, "Happy birthday to me... happy birthday to me..."
Tak ada kartu, tak ada hadiah, dan dia akan me-lewatkan malam ini dengan berpura-pura bahwa dia tak ada. Dia memandang sedih ke pagar tanaman. Belum pernah dia merasa kesepian seperti itu. Lebih dari segalanya di Hogwarts, bahkan lebih daripada bermain Quidditch, dia merindukan sahabat-sahabat-nya. Ron Weasley dan Hermione Granger. Meskipun demikian, mereka rupanya sama sekali tidak merindu-kannya. Tak seorang pun dari mereka berdua menulis surat kepadanya musim panas ini, meskipun Ron sudah mengatakan akan meminta Harry datang menginap di rumahnya.
Sudah puluhan kali, Harry hampir membuka kan-dang Heig dengan sihir dan mengirimnya kepada Ron dan Hermione dengan membawa surat, tetapi terlalu besar risikonya. Penyihir yang masih di bawah umur tidak diperkenankan menggunakan sihir di luar sekolah. Harry tidak memberitahukan aturan ini kepada keluarga Dursley. Mereka takut Harry akan mengubah mereka menjadi kumbang pupuk. Dan Harry tahu, rasa takut itulah yang mencegah mereka mengunci dirinya di dalam lemari di bawah tangga, bersama tongkat dan sapunya.
Selama dua minggu pertama, Harry menikmati menggumamkan kata-kata omong kosong dan melihat Dudley kabur dari ruangan secepat kaki gemuknya bisa membawanya. Tetapi lama tak ada kabar dari Ron dan Hermione membuat Harry merasa terkucil dari dunia sihir, sehingga bahkan mempermainkan Dudley pun sudah tak menarik lagi-dan sekarang Ron dan Hermione telah melupakan hari ulang tahunnya.
Dia rela memberikan apa pun untuk mendapatkan kabar dari Hogwarts. Bahkan kabar dari penyihir mana pun" Dia bahkan akan senang kalau bisa melihat musuh besarnya, Draco Malfoy, sekadar meyakinkan bahwa segalanya bukan hanya mimpi....
Bukan berarti dia senang terus sepanjang waktu di Hogwarts. Di pengujung semester terakhir mereka, Harry telah berhadapan dengan, tak lain dan tak bukan, Lord Voldemort sendiri. Voldemort mungkin sudah bukan apa-apa dibanding ketika berkuasa dulu, tetapi dia masih tetap mengerikan dan licik, masih bertekad ingin berkuasa kembali. Harry berhasil lolos dari cengkeraman Voldemort untuk kedua kalinya, tetapi nyaris saja. Bahkan sekarang, setelah lewat be-berapa minggu, Harry masih terbangun di malam ha
ri, mandi keringat dingin, bertanya-tanya dalam hati di mana Voldemort sekarang, teringat wajahnya yang pucat kelabu, matanya yang liar....
Harry mendadak duduk tegak di bangku kebun. Sejak tadi, sambil melamun, dia memandang pagar tanaman-dan pagar itu balas memandangnya. Dua mata hijau besar muncul di
antara dedaunan. Harry melompat bangun tepat ketika terdengar suara
ejekan dari seberang kebun. "Aku tahu hari apa hari ini,"
Dudley menyanyi, berjalan berat ke arahnya.
Mata besar itu berkedip lalu lenyap.
"Apa"" tanya Harry, tanpa melepas pandangan dari tempat
mata itu tadi berada. "Aku tahu hari apa hari ini," ulang
Dudley, tiba di belakang Harry.
"Bagus sekali," kata Harry. "Jadi akhirnya kauhafal namanama hari."
"Hari ini hari ulang tahunmu," cemooh Dudley. "Kenapa kau tidak menerima satu kartu pun" Apa kau tidak punya teman di tempat sinting itu""
"Jangan sampai ibumu dengar kau menyebut-nyebut sekolahku," kata Harry dingin. Dudley menarik celananya yang melorot ke pantat-nya yang gemuk. "Kenapa kau terus memandang pagar"" tanyanya curiga. "Aku sedang mencoba memutuskan mantra apa yang paling baik untuk membakarnya," kata Harry. Dudley langsung terhuyung mundur, wajahnya yang gemuk kelihatan panik. "Tidak b-boleh-Dad bilang kau tidak boleh me-menyihir- dia bilang dia akan mengusirmu-dan kau tak punya tempat lain-kau tak punya teman yang bisa menerimamu..." "Jiggery pokery!" kata Harry tegas. "Hocus pocus... squiggly wiggly..."
"MUUUUUUM!" raung Dudley, yang tersandung kakinya" sendiri dalam ketergesaannya berlari kembali ke rumah. "MUUUUM! Dia melakukan yang tak boleh itu!" Harry harus membayar mahal untuk kesenangan sesaat itu. Karena baik Dudley maupun pagarnya sama sekali tak bercacat, Bibi Petunia tahu dia tidak betul-betul menyihir. Tetapi Harry tetap harus me-nunduk menghindar ketika Bibi Petunia mengayunkan wajan bersabun ke kepalanya. Kemudian Bibi Petunia menyuruhnya bekerja, dengan ancaman dia tidak akan diberi makan sampai pekerjaannya selesai.
Sementara Dudley bermalas-malasan menontonnya sambil makan es krim, Harry membersihkan jendela, mencuci mobil, memotong rumput, merapikan petak-petak bunga, menggunting dan menyirami mawar, dan mengecat ulang bangku kebun. Matahari bersinar terik sekali, membakar tengkuknya. Harry tahu dia seharusnya tidak terpancing ledekan Dudley, tetapi Dudley mengatakan hal yang persis sedang Harry pikirkan... mungkin dia tak punya teman di Hogwarts....
Sayang sekali mereka tak bisa melihat Harry Potter sekarang, pikirnya jengkel, sementara dia menebarkan pupuk kandang di kebun bunga. Punggungnya sakit, keringat bercucuran di wajahnya.
Sudah pukul setengah delapan malam ketika akhir-nya, kelelahan, dia mendengar Bibi Petunia me-manggilnya. "Masuk! Dan berjalan di atas koran!" Harry masuk dengan senang ke dapur yang mengilap. Di atas lemari es sudah siap puding untuk malam ini, dihiasi seonggok krim dan violet berlapis gula. Daging panggang sedang berdesis di dalam oven.
"Makan cepat! Mr dan Mrs Mason sebentar lagi datang!" kata Bibi Petunia galak, seraya menunjuk dua iris roti dan segumpal kecil keju di atas meja dapur. Bibi Petunia sudah memakai gaun malam ber-warna merah jambu salem. Harry mencuci tangan dan segera menghabiskan makan malamnya yang rrtengenaskan. Begitu dia se-lesai, Bibi Petunia langsung menyingkirkan piringnya. "Naik! Cepat!" Ketika melewati pintu ruang duduk, sekilas Harry melihat Paman Vernon dan Dudley memakai jas dan dasi kupu-kupu.
Baru saja dia tiba di atas tangga, bel pintu berdering dan wajah marah Paman Vernon muncul di kaki tangga. "Ingat-suara sekecil apa pun...."
Harry berjingkat menuju kamarnya, menyelinap ma-suk, menutup pintu, dan berbalik untuk mengempas-kan diri ke atas tempat tidurnya.
Celakanya, sudah ada yang duduk di atas tempat tidurnya.
2 Peringatan Dobby HARRY berhasil tidak menjerit, tetapi nyaris saja. Makhluk kecil di tempat tidur itu bertelinga lebar seperti kelelawar dan bermata hijau menonjol sebesar bola tenis. Harry langsung tahu bahwa dialah yang pagi tadi mengawasinya dari pagar tanaman.
Ketika mereka saling pandang, Harry
mendengar suara Dudley dari ruang depan. "Boleh kusimpan mantel Anda, Mr dan Mrs Mason""
Makhluk itu meluncur turun dari tempat tidur dan membungkuk rendah sekali sehingga ujung hidungnya yang panjang dan kurus menyentuh karpet. Harry memperhatikan makhluk itu memakai sesuatu yang kelihatannya seperti sarung bantal usang, dengan robekan untuk lubang lengan dan kaki.
"Eh-halo," kata Harry gugup.
"Harry Potter!" kata makhluk itu, dengan suara melengking yang Harry yakin pasti terdengar sampai ke bawah tangga. "Sudah lama Dobby ingin bertemu Anda, Sir... Sungguh kehormatan besar..."
"Te-terima kasih," kata Harry merayap sepanjang dinding dan terenyak di kursinya, di sebelah Heig, yang sedang tidur di dalam sangkarnya yang besar. Dia ingin bertanya, "Kau ini apa"" tetapi rasanya tidak sopan, maka sebagai gantinya dia bertanya, "Kau siapa"" "Dobby, Sir. Cukup Dobby saja. Dobby si peri-rumah," jawab makhluk itu.
"Oh-begitu"" kata Harry. "Eh-bukannya aku mengusir atau apa, tapi-ini bukan saat yang baik bagiku untuk menerima peri-rumah di kamarku."
Tawa Bibi Petunia yang melengking dibuat-buat ter-dengar dari ruang tamu. Peri itu menunduk lesu. "Bukannya aku tidak senang bertemu kau," kata Harry cepat-cepat, "tetapi, eh, apakah ada alasan khu-sus kenapa kau di sini""
"Oh ya, Sir," kata Dobby bersemangat. "Dobby da-tang untuk memberitahu Anda, Sir... susah, Sir... enaknya Dobby mulai dari mana, ya..."
"Silakan duduk," kata Harry sopan, menunjuk tem-pat tidurnya.
Betapa kagetnya dia, air mata si peri langsung bercucuran-dia tersedu-sedu.
"S-silakan duduk!" dia meraung. "Belum pernah... sekali pun belum pernah..."
Harry mendengar suara-suara di bawah terhenti. "Maaf," dia berbisik. "Aku tak bermaksud menghina-mu." "Menghina Dobby!" si peri tersedak. "Belum pernah Dobby dipersilakan duduk oleh seorang penyihir- seakan kita sederajat..."
Harry, berusaha berkata "Shh!" dan sekaligus kelihatan
lega, mengantar Dobby kembali ke tempat tidurnya. Dobby
duduk di situ, cegukan, tampak seperti boneka besar yang
jelek sekali. Akhirnya dia berhasil menguasai diri. Mata
besarnya yang masih berair menatap Harry penuh pemujaan.
"Pasti kau belum banyak bertemu penyihir yang sopan,"
kata Harry, berusaha menghiburnya.
Dobby menggeleng. Kemudian, mendadak saja, dia
melompat dan mulai membentur-benturkan kepalanya keraskeras
ke jendela, seraya berteriak-teriak, "Dobbyjelek! Dobby
jelek!" "Jangan-kau kenapa"" desis Harry, melompat bangun dan menarik Dobby kembali ke tempat tidur.
Heig terbangun sambil memekik luar biasa keras dan mengepak-ngepakkan sayapnya dengan liar ke jeruji sangkarnya.
"Dobby harus menghukum diri sendiri, Sir," kata si -peri
yang matanya jadi agak juling. "Dobby hampir saja menjelekjelekkan
keluarga Dobby, Sir...."
"Keluargamu""
"Keluarga penyihir tempat Dobby mengabdi, Sir... Dobby kan peri-rumah-terikat untuk mengabdi dan melayani satu rumah dan satu keluarga selamanya...." "Apa mereka tahu kau di sini"" tanya Harry ingin tahu. Dobby bergidik.
"Oh, tidak, Sir, tidak... Dobby nantinya harus meng-hukum
diri dengan sangat menyedihkan karena da-tang menemui
Anda, Sir. Dobby harus menjepit telinganya di pintu oven.
Kalau sampai mereka tahu, Sir..."
"Tapi apa mereka tidak akan melihat kalau kau menjepit
telingamu di pintu oven""
"Dobby meragukannya, Sir. Dobby selalu harus
menghukum diri karena sesuatu, Sir. Mereka membiar-kan
saja Dobby begitu, Sir. Kadang-kadang mereka malah
mengingatkan Dobby untuk melakukan hu-kuman
tambahan..." "Tetapi kenapa kau tidak pergi saja" Maksudku, kabur"" "Peri-rumah harus dibebaskan, Sir. Dan keluarga itu tidak akan pernah membebaskan Dobby... Dobby akan melayani keluarga itu sampai mati, Sir..." Harry terbelalak.
"Dan kukira keadaanku sudah parah sekali karena harus tinggal di sini sebulan lagi," katanya. "Ceritamu membuat keluarga Dursley nyaris manusiawi. Apakah ada yang bisa membantumu" Bisakah aku membantumu"" Langsung saja Harry menyesal bicara begitu. Dobby tersedu-sedu lagi saking berterima kasihnya. "Diamlah," bisik Harry panik, "diamlah. Kalau ke-luarga Dursley sampai dengar, kalau mereka tah
u kau di sini..." "Harry Potter bertanya apakah dia bisa membantu Dobby... Dobby sudah mendengar kehebatan Anda, Sir, tapi tentang kebaikan Anda, Dobby tak pernah tahu..." Harry, yang wajahnya terasa panas, berkata, "Apa pun yang kaudengar tentang kehebatanku adalah omong kosong besar. Aku bahkan bukan juara di antara teman-teman seangkatanku. Juaranya Hermione, dia..." Tetapi Harry mendadak berhenti, karena memikirkan Hermione terasa menyakitkan.
"Harry Potter rendah hati dan sederhana," kata Dobby penuh kekaguman, matanya yang seperti bola berbinar-binar. "Harry Potter tidak menyebut-nyebut kemenangannya atas Dia yang Namanya Tak Boleh Disebut." "Voldemort"" kata Harry.
Dobby menutup telinga kelelawarnya dan menge-rang. "Ah, jangan sebut namanya, Sir! Jangan sebut namanya!" "Sori," kata Harry cepat-cepat. "Aku tahu banyak orang tidak menyukainya. Temanku Ron..." Dia berhenti lagi. Memikirkan Ron juga menyakit-kan. Dobby membungkuk ke arah Harry, matanya se-besar lampu sorot. "Dobby mendengar cerita," katanya serak, "bahwa Harry Potter bertemu si Pangeran Kegelapan itu untuk kedua kalinya, baru beberapa minggu lalu... bahwa Harry Potter sekali lagi berhasil lolos."
Harry mengangguk dan mata Dobby mendadak berkilau oleh air mata.
"Ah, Sir," isaknya, mengusap wajahnya dengan salah satu ujung sarung bantal butut yang dipakainya. "Harry Potter sungguh gagah berani! Dia sudah meng-hadapi banyak
bahaya! Tetapi Dobby datang untuk melindungi Harry Potter, untuk memperingatkannya, meskipun karena itu Dobby harus menjepit telinganya di pintu oven nanti... Harry Potter tidak boleh kembali ke Hogwarts."
Kesunyian yang menyusul hanya dipecahkan oleh dentangdenting garpu dan pisau dari bawah dan sayup-sayUp suara Paman Vernon di keja'uhan.
"A-apa"" Harry tergagap. "Tapi aku harus kembali- sekolah mulai tanggal satu September. Itu saja yang membuatku masih di sini. Kau tak tahu bagaimana rasanya di sini. Aku tidak, termasuk salah satu dari mereka. Aku lebih cocok di duniamu-di Hogwarts." "Tidak, tidak, tidak," lengking Dobby, menggeleng-gelengkan kepalanya keras-keras sampai telinganya menampar-nampar. "Harry Potter harus tinggal di tem-pat di mana dia aman. Dia terlalu hebat, terlalu baik, sayang kalau kami sampai kehilangan dia. Kalau Harry Potter kembali ke Hogwarts, nyawanya dalam bahaya." "Kenapa"" tanya Harry kaget. "Ada rencana rahasia, Harry Potter. Rencana untuk membuat hal-hal yang paling mengerikan terjadi di Sekolah Sihir Hogwarts tahun ini," bisik Dobby, menda-dak seluruh tubuhnya gemetaran. "Dobby sudah tahu selama berbulanbulan, Sir. Harry Potter tidak boleh membahayakan dirinya. Dia terlalu penting, Sir!"
"Hal mengerikan apa"" tanya Harry segera. "Siapa yang merencanakannya""
Dobby membuat suara tersedak aneh dan kemudian membentur-benturkan kepalanya dengan liar ke din-ding. "Baiklah!" seru Harry, menyambar lengan si peri untuk menghentikan perbuatannya. "Kau tak bisa me-ngatakannya, aku mengerti. Tetapi kenapa kau mem-peringatkan aku"" Pikiran tak enak mendadak melintas di benaknya. "Tunggu- ini tidak ada hubungannya dengan Vol-sori-dengan Kau-Tahu-Siapa, kan" Kau tinggal menggeleng atau mengangguk," cepat-cepat Harry menambahkan ketika, dengan mengkha-watirkan, kepala Dobby sudah mengarah lagi ke dinding.
Perlahan-lahan, Dobby menggelengkan kepala. "Bukan- bukan Dia yang Namanya Tak Boleh Disebut, Sir." Tetapi mata Dobby melebar dan dia kelihatannya mencoba memberi Harry petunjuk. Meskipun demi-kian, Harry sama sekali tidak paham.
"Dia tidak punya adik laki-laki, kan"" Dobby menggeleng, matanya menjadi lebih lebar dari sebelumnya. "Yah, kalau begitu, aku tak bisa memikirkan siapa lagi yang punya kesempatan untuk melakukan hal-hal mengerikan di Hogwarts," kata Harry. "Maksudku, paling tidak di sana ada Dumbledore-kau tahu siapa Dumbledore, kan"" Dobby menundukkan kepala.
"Albus Dumbledore adalah kepala sekolah terhebat yang pernah dimiliki Hogwarts. Dobby tahu itu, Sir. Dobby sudah mendengar kehebatan Dumbledore me-nyaingi kehebatan Dia yang Namanya Tak Boleh Di-sebut pada puncak kekuasaannya. Tetapi, Sir," suara Dob
by merendah menjadi bisikan mendesak, "ada kekuasaan-kekuasaan yang Dumbledore tidak... ke-kuasaan yang penyihir baik tidak..." Dan sebelum Harry bisa mencegahnya, Dobby me-lompat turun dari tempat tidur, menyambar lampu meja Harry dan mulai memukuli kepalanya dengan jeritan-jeritan memekakkan telinga.
Di bawah mendadak sunyi. Dua menit kemudian, dengan jantung berdegup liar, Harry mendengar Paman Vernon masuk, seraya berkata, "Dudley pasti lupa mematikan televisinya. Dasar ceroboh anak itu!"
"Cepat! Masuk lemari pakaian!" desis Harry, men-dorong Dobby masuk, menutup pintu lemari, dan melempar dirinya ke atas tempat tidur tepat ketika pegangan pintu bergerak. "Setan! Kau-ini-ngapain-sih"" kata Paman Vernon dengan gigi mengertak, wajahnya sangat dekat ke wajah Harry. "Kau baru saja membuat berantakan leluconku tentang pemain golf Jepang... kalau bikin suara sekali lagi, kau akan menyesal telah dilahir-kan!"
Paman Vernon meninggalkan kamar dengan mengentakkan kakinya. Gemetaran, Harry mengeluarkan Dobby dari lemari pakaian.
"Tahu, kan, bagaimana di sini"" katanya. "Paham, kan, kenapa aku harus kembali ke Hogwarts" Hogwarts satusatunya tempat di mana aku punya- yah, kupikir aku punya teman."
"Teman yang bahkan menulis surat pun tidak kepada Harry Potter"" kata Dobby licik.
"Kurasa mereka-tunggu," kata Harry, keningnya berkerut. "Bagaimana kau tahu teman-temanku tidak menulis kepadaku""
Dobby menggerak-gerakkan kakinya dengan gelisah.
"Harry Potter tidak boleh marah kepada Dobby- Dobby
melakukannya demi kebaikan..."
"Apakah kau yang mengambil surat-suratku""
"Dobby membawanya, Sir," kata si peri. Dengan gesit ia
menjauh dari jangkauan Harry, lalu menarik keluar setumpuk
tebal amplop dari dalam sarung bantal yang dipakainya. Harry
bisa mengenali tulisan Hermione yang rapi, tulisan cakar ayam
Ron yang berantakan, dan bahkan coretan yang kelihatannya
dikirim oleh si pengawas binatang liar Hogwarts, Hagrid.
Dobby menatap Harry dengan cemas.
"Harry Potter tidak boleh marah... Dobby ber-harap... kalau
Harry Potter mengira teman-temannya melupakannya... Harry
Potter mungkin tidak ingin kembali ke sekolah, Sir..."
Harry tidak mendengarkan. Dia berusaha merebut suratsurat
itu, tetapi Dobby melompat menjauh.
"Ini akan diberikan kepada Harry Potter, Sir, kalau dia
berjanji kepada Dobby bahwa dia tidak akan kembali ke
Hogwarts. Ah, Sir, ini bahaya yang tak boleh Anda hadapi!
Katakan Anda tidak akan kembali, Sir!"
"Tidak," kata Harry marah. "Kembalikan surat temantemanku!" "Kalau begitu Harry Potter tidak memberikan pilihan lain kepada Dobby," kata si peri sedih. Sebelum Harry bisa bergerak, Dobby sudah melesat ke pintu kamar, membukanya-dan melompat turun. Dengan mulut kering, jantung berdegup kencang, Harry melompat mengejarnya, berusaha tidak mem-buat suara. Dia melompati enam anak tangga terakhir, mendarat seperti kucing di atas karpet, celinguk.in mencari Dobby. Dari ruang makan didengarnya Paman Vernon berkata, "...ceritakan kepada Petunia cerita lucu tentang tukang ledeng Amerika itu, Mr Mason, dia sudah ingin sekali dengar..." Harry berlari ke dapur dan hatinya mencelos. Puding mahakarya Bibi Petunia, gundukan krim dan gula itu, sekarang melayang dekat langit-langit. Di atas lemari di sudut, Dobby meringkuk.
"Jangan," kata Harry serak. "Tolong, jangan... me-reka akan membunuhku..." "Harry Potter harus bilang dia tidak akan kembali ke sekolah..." "Dobby... tolong..." "Katakan, Sir..." "Tidak bisa!"
Dobby memandangnya sedih.
"Kalau begitu Dobby terpaksa melakukannya, Sir, untuk kebaikan Harry Potter sendiri."
Puding itu terjatuh ke lantai dengan bunyi me-mekakkan. Krim memercik ke jendela dan dinding, sementara piringnya pecah. Diiringi bunyi seperti lecutan cemeti, Dobby menghilang.
Terdengar jeritan dari ruang makan dan Paman Vernon berlari ke dapur, menemukan Harry, berdiri kaku saking kagetnya-dari kepala sampai kaki belumur puding Bibi Petunia.
Awalnya, kelihatannya Paman Vernon akan bisa me-nutupi kejadian itn ("cuma keponakan kami-sangat bingung- bertemu orang asing membuatnya cemas, maka kami minta dia tinggal saja di atas.
.."). Paman Vernon meminta suami-istri Mason yang shock kembali ke ruang makan. Lalu ia mengancam akan menghajar Harry sampai nyawanya tinggal seujung rambut se-telah tamunya pulang nanti. Diberinya Harry alat pel. Bibi Petunia mengambil es krim dari lemari es dan Harry, masih gemetaran, mulai membersihkan dapur. Paman Vernon mungkin masih akan bisa me-nyelesaikan transaksinya-kalau bukan gara-gara si burung hantu. Bibi Petunia sedang mengedarkan kotak permen pedas untuk sehabis makan .ketika seekor burung hantu serak melesat masuk lewat jendela ruang ma-kan, menjatuhkan sepucuk surat ke atas kepala Mrs Mason, dan melesat keluar lagi. Mrs Mason menjerit seakan melihat hantu dan berlari keluar rumah, ber-teriak-teriak menuduh mereka gila. Sebelum bergegas menyusul istrinya, Mr Mason masih sempat memberi-tahu keluarga Dursley bahwa istrinya takut setengah mati pada segala macam burung dan bertanya apakah begini cara mereka bergurau.
Harry berdiri di dapur, mencengkeram gagang pel untuk menopangnya ketika Paman Vernon men-dekatinya, matanya yang kecil berkilat licik.
"Baca ini!" desisnya galak, seraya mengacung-acung-kan surat yang dibawa burung hantu tadi. "Ayo- baca!" Harry mengambilnya. Surat itu tidak berisi ucapan selamat ulang tahun.
Mr Potter yang terhormat,
Kami baru saja menerima laporan mata-mata bahwa Mantra Melayang baru saja digunakan di tempat tinggal Anda malam ini pada pukul sembilan lewat dua belas menit. Seperti Anda ketahui, penyihir di bawah-umur tidak diperkenankan menggunakan sihir di luar sekolah, dan jika Anda menggunakan sihir lagi, Anda bisa dikeluar-kan dari sekolah (Dekrit Pembatasan Masuk Akal bagi Penyihir di Bawah-Umur, 1875, Paragraf C).
Kami juga meminta Anda mengingat bahwa kegiatan sihir apa pun yang berisiko menarik perhatian anggota komunitas non-sihir (Muggle) adalah pelanggaran serius, sesuai peraturan ke-13 Konfederasi Internasional Undang-undang Kerahasiaan Sihir. Selamat menikmati liburan!
Hormat kami, Mafalda Hopkirk Departemen Penggunaan Sihir yang Tidak Pada Tempatnya Kementerian Sihir
Harry mendongak dari suratnya dan menelan ludah. "Kau tidak memberitahu kami kau tidak diizinkan menggunakan sihir di luar sekolah," kata Paman Vernon, kilatan liar menari-nari di matanya. "Lupa... tidak ingat sama sekali, pasti begitu alasanmu..."
Dia menghadapi Harry seperti anjing buldog besar, dengan mulut menyeringai. "Yah, aku punya kabar untukmu... aku akan mengurungmu... kau tak akan pernah kembali ke sekolah itu... tak pernah... dan kalau kau mencoba menyihir dirimu lepas dari ku-rungan-mereka akan mengeluarkanmu!" Dan sambil tertawa seperti orang gila, dia menyeret Harry
kembali ke atas. Paman Vernon membuktikan kekejaman icata-kata-nya. Esok paginya, dia membayar orang untuk me-masang jeruji pada jendela Harry. Dia sendiri me-masang pintu-kucing di pintu kamar, supaya sedikit makanan bisa didorong masuk tiga kali sehari. Mereka mengeluarkan Harry untuk ke kamar mandi sehari dua kali, pagi dan sore. Selain waktu itu, dia dikurung di kamarnya sepanjang waktu.
Tiga hari kemudian, keluarga Dursley belum me-nampakkan tanda-tanda berbelas kasihan dan Harry tidak melihat jalan keluar dari keadaannya itu. Dia berbaring di tempat tidurnya, memandang matahari terbenam di balik jeruji jendelanya, dan sedih sekali memikirkan apa yang akan terjadi padanya.
Apa gunanya menyihir dirinya keluar dari kamarnya kalau, gara-gara itu, Hogwarts akan mengeluarkannya" Tapi hidup di Privet Drive tak tertahankan lagi. Seka-rang setelah keluarga Dursley tahu mereka tidak akan terbangun sebagai kelelawar pemakan buah, dia telah kehilangan satu-satunya senjata. Dobby mungkin telah menyelamatkan Harry dari bencana mengerikan di Hogwarts, tetapi melihat keadaannya ini, dia toh mungkin akan mati kelaparan juga. Pintu-kucing berderik dan tangan Bibi Petunia mun-cul, mendorong semangkuk sup kaleng ke dalam ka-mar. Harry, yang perutnya melilit kelaparan, melompat dari tempat tidurnya dan menyambarnya. Sup itu dingin, tetapi dia meminum separonya sekali teguk. Kemudian dia menyeberang kamar menuju sangkar Heig, dan menua
ng sayur yang sudah lembek di dasar mangkuk itu ke piring kosong Heig. Heig menyisiri bulunya dan melempar pandangan jijik ke arah Harry
"Tak ada gunanya menolak makan, cuma ini yang kita punya," kata Harry muram.
Ditaruhnya mangkuk kosong itu di lantai di sebelah pintukucing, lalu dia kembali berbaring di tempat tidurnya, malah merasa lebih lapar daripada sebelum makan sup tadi. Seandainya dia masih hidup sebulan lagi, apa yang akan terjadi jika dia tidak muncul di Hogwarts" Akan-kah seseorang dikirim untuk mencari tahu kenapa dia tidak kembali" Apakah mereka akan berhasil mem-buat keluarga Dursley mengizinkannya pergi"
Ruangan mulai gelap. Kelelahan, perutnya keron-congan, otaknya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan sama yang tak bisa dijawab, Harry tertidur. Tidurnya gelisah. Dia bermimpi dijadikan tontonan di kebun binatang, dengan kartu bertulisan "Penyihir di Bawah Umur" menempel di kandangnya. Orang-orang memandang ingin tahu kepadanya lewat jeruji, sementara dia ter-baring, kelaparan dan lemah, di atas tempal tidur jerami. Dilihatnya wajah Dobby di tengah kerumunan dan dia berteriak, minta bantuan, tetapi Dobby ber-seru, "Harry Potter aman di situ, Sir!" lalu lenyap. Kemudian keluarga Dursley muncul dan Dudley men-derakderakkan jeruji kandang, menertawakannya.
"Hentikan!" gumam Harry, ketika derak jeruji itu membuat kepalanya berdenyut sakit. "Jangan gauggu aku... hentikan... aku sedang mencoba tidur...."
Harry membuka matanya. Cahaya bulan menerobos masuk lewat jeruji jendela. Dan memang ada orang yang memandang ingin tahu lewat jeruji jendela: anak yang wajahnya berbintik-bintik, berambut merah, dan berhidung panjang. Ron Weasley ada di luar jendela Harry.
3 The Burrow "RON!" desah Harry, merayap ke jendela dan men-dorongnya ke atas, agar mereka bisa bicara lewat jeruji. "Ron, bagaimana kau-apa i..."" Harry ternganga ketika sadar sepenuhnya apa yang dilihatnya. Ron menjulurkan tubuhnya dari jendela belakang mobil tua berwarna hijau toska, yang di-parkir di tengah udara. Fred dan George, kakak kembar-nya, nyengir kepada Harry dari tempat duduk depan. "Baik-baik saja, Harry""
"Apa yang terjadi"" tanya Ron. "Kenapa kau tidak membalas surat-suratku" Sudah dua belas kali kuminta kau datang, kemudian Dad pulang dan bilang kau mendapat peringatan resmi gara-gara menggunakan sihir di depan Muggle..."
"Bukan aku-dan bagaimana dia tahu""
"Dia kerja di Kementerian Sihir," kata Ron. "Kau kan tahu
kita dilarang menggunakan sihir di luar sekolah..."
"Aneh juga kau ngomong begitu,", kata Harry,
me-mandang mobil yang melayang itu.
"Oh, ini tidak masuk hitungan," kata Ron. "Kami cuma
pinjam. Ini punya Dad, bukan kami yang me-nyihirnya. Tetapi
menyihir di depan Muggle, di tempat kau tinggal..."
"Sudah kubilang itu bukan aku-tapi perlu waktu lama
untuk menjelaskannya sekarang. Bisakah kau-katakan kepada
mereka di Hogwarts bahwa keluarga Dursley mengurungku
dan tidak mengizinkanku kem-bali, dan jelas aku tidak bisa
menyihir diriku keluar kamar, karena Kementerian Sihir nanti
mengira itu kedua kalinya aku menyihir dalam waktu tiga hari,
jadi..." "Berhenti ngoceh," kata Ron. "Kami datang untuk membawamu pulang bersama kami." "Tapi kalian juga tidak bisa menyihirku bebas..." "Tidak perlu," kata Ron, mengedikkan kepalanya ke arah tempat duduk depan sambil menyeringai. "Kau lupa siapa yang bersamaku." "Ikat ini di sekeliling j eruji-jeruj i itu," kata Fred, melempar ujung seuntai tambang kepada Harry. "Kalau keluarga Dursley bangun, mati aku," kata Harry, ketika dia mengikatkan tambang erat-erat ke satu jeruji sementara Fred menekan pedal gas kuat-kuat. "Jangan khawatir," kata Fred. "Sekarang kau mundur." Harry mundur ke tempat remang-remang di sebelah Heig. Heig rupanya menyadari betapa penting-nya kejadian ini sehingga dia diam tak bersuara. Derum mobil semakin keras, dan mendadak, dengan bunyi berkelontangan, jeruji-jeruji itu berhasil dicabut dari jendela sewaktu Fred meluncurkan mobil ke atas-Harry berlari kembali ke jendela dan melihat jeruji itu bergelantungan kira-kira semeter dari tanah. Terengah-engah, Ron menariknya ke dalam mo
bil. Harry mendengarkan dengan cemas, tetapi tak ter-dengar suara dari kamar tidur keluarga Dursley. Ketika jeruji sudah aman di tempat duduk belakang bersama Ron, Fred memundurkan mobil sedekat mungkin ke jendela Harry. "Masuk," kata Ron.
"Tetapi semua keperluan Hogwarts-ku... tongkat-ku... sapuku..." "Di mana"" "Dikunci di lemari di bawah tangga, dan aku tidak
bisa keluar dari kamar ini..." "Tak jadi soal," kata George dari tempat duduk depan. "Minggir, Harry." Fred dan George memanjat hati-hati lewat jendela, masuk ke kamar Harry. Harry kagum sekali melihat George mengeluarkan jepit rambut biasa dari sakunya dan mulai mengotak-atik kunci pintu.
"Banyak penyihir menganggap mempelajari trik Muggle semacam ini buang-buang waktu," kata Fred, "tapi menurut kami ini kecakapan yang layak di-pelajari, walaupun agak lambat."
Terdengar bunyi klik pelan dan pintu terbuka.
"Nah-kami akan mengambil kopermu. Ambil apa saja yang
kauperlukan dari kamarmu dan ulurkan pada Ron," bisik
George. "Awas, anak tangga yang paling bawah berderit,"
Harry balik berbisik, ketika si kembar menghilang di puncak
tangga yang gelap. Harry bergerak gesit di kamarnya, mengumpulkan barangbarangnya
dan menyerahkannya kepada Ron.
Kemudian dia membantu Fred dan George meng-gotong
kopernya ke atas. Harry mendengar Paman
Vernon terbatuk. Akhirnya, terengah-engah, mereka tiba di puncak tangga, lalu membawa koper itu ke jendela kamar. Fred memanjat kembali ke dalam mobil untuk menarik koper bersama Ron, sementara Harry dan George mendorong dari kamar. Senti demi senti koper itu bergerak melewati jendela. Paman Vernon terbatuk lagi. "Sedikit lagi," sengal Fred, yang menarik dari dalam mobil. "Dorong keras-keras...." Harry dan George mendorong koper itu dengan bahu dan koper itu pun meluncur dari jendela ke .tempat duduk belakang mobil.
"Oke, kita berangkat," bisik George.
Tetapi ketika Harry memanjat ambang jendela, ter-dengar
jerit nyaring di belakangnya, diikuti gelegar suara Paman
Vernon. "BURUNG HANTU SIALAN!" "Aku lupa Heig!"
Harry berlari kembali ke seberang kamar ketika lampu di atas tangga loteng menyala. Dia menyambar sangkar Heig, berlari ke jendela, dan menyerahkan-nya kepada Ron. Dia sedang memanjat lemari lacinya ketika Paman Vernon menggedor pintu yang sudah tak terkunci-dan pintu berdebam terbuka.
Sedetik Paman Vernon berdiri terpaku di depan pintu, kemudian dia melenguh seperti banteng terluka dan melesat mengejar Harry, menyambar pergelangan kakinya. Ron, Fred, dan George meraih lengan Harry dan menarik sekuat tenaga. "Petunia!" raung Paman Vernon. "Dia kabur! DIA KABUR!"
Weasley bersaudara menyentak keras sekali dan kaki Harry terlepas dari cengkeraman Paman Vernon. Begitu Harry sudah di dalam mobil dan membanting pintunya menutup, Ron berteriak, "Tancap, Fred!" dan mobil itu tiba-tiba saja meluncur menuju bulan.
Harry tak bisa mempercayainya-dia bebas. Dia menurunkan kaca jendela mobil, angin malam me-ngibarkan rambutnya. Dia memandang atap rumah-rumah di Privet Drive yang semakin menjauh. Paman Vernon, Bibi Petunia, dan Dudley, ketiganya menatap terpana dari jendela kamar Harry. "Sampai musim panas tahun depan!" seru Harry. Weasley bersaudara terbahak dan Harry bersandar kembali ke tempat duduknya, nyengir lebar sekali. "Keluarkan Heig," katanya kepada Ron. "Dia bisa terbang mengikuti kita. Sudah lama sekali dia tak punya kesempatan merentangkan sayapnya." George menyerahkan jepit rambut kepada Ron dan sesaat kemudian Heig sudah meluncur riang gem-bira dari jendela mobil, lalu melayang-layang meng-ikuti mereka seperti hantu. "Jadi-bagaimana ceritanya, Harry"" kata Ron tak sabar. "Apa yang terjadi""
Harry menceritakan kepada mereka semua tentang Dobby, peringatan yang diberikannya kepada Harry, dan musibah puding violet. Terjadi kesunyian yang panjang setelah Harry mengakhiri ceritanya. Mereka kaget. "Sangat mencurigakan," kata Fred akhirnya. "Jelas mengada-ada," George menyetujui. "Jadi dia bahkan tidak mau memberitahu siapa yang me-rencanakan semua ini""
"Kurasa dia tak bisa," kata Harry. "Sudah kukatakan, setiap kali nyaris buka rahasia, di


Harry Potter Dan Kamar Rahasia Karya J.k. Rowling di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

a langsung mem-bentur-benturkan kepalanya ke dinding."
Harry melihat Fred dan George berpandangan. "Kalian mengira dia bohong kepadaku"" kata Harry. "Yah," kata Fred, "coba pikirkan-peri-rumah punya kekuatan gaib sendiri, tetapi mereka biasanya tidak bisa menggunakannya tanpa izin tuan mereka. Kurasa si Dobby itu sengaja dikirim untuk mencegahmu kem-bali ke Hogwarts. Ada yang mau mempermainkanmu. Apa di sekolah ada yang dendam padamu""
"Ada," Harry dan Ron langsung menjawab ber-samaan.
"Draco Malfoy," Harry menjelaskan.
"Dia membenci-ku."
"Draco Malfoy"" kata George, menoleh.
"Bukan anak Lucius Malfoy, kan""
"Mestinya. Itu bukan nama yang sangat umum, kan"" kata
Harry. "Kenapa"" "Aku dengar Dad bicara tentang dia," kata George. "Dia pendukung besar Kau-Tahu-Siapa." "Dan waktu Kau-Tahu-Siapa menghilang," kata Fred, menoleh memandang Harry, "Lucius Malfoy kembali, katanya dia tidak bermaksud melakukan semua itu. Omong kosong- Dad berpendapat dia orang dekat Kau-Tahu-Siapa." Harry tak pernah mendengar desas-desus tentang keluarga Malfoy sebelumnya, dan ini sama sekali tidak mengejutkannya. Kalau dibandingkan dengan Malfoy, Dudley Dursley tampak seperti anak yang baik, bijak-sana, dan penuh perasaan.
"Aku tak tahu apakah keluarga Malfoy punya peri-rumah...," kata Harry. "Siapa pun pemiliknya, tentulah keluarga penyihir yang sudah turun-temurun dan kaya raya," kata Fred.
"Yeah, Mum ingin sekali kami punya peri-rumah untuk menyetrika," kata George. "Tapi yang kami punya hanyalah hantu konyol di loteng dan jembalang yang berkeliaran di kebun. Peri-rumah adanya di rumah-rumah besar, kastil, dan tempat-tempat seperti itu. Kau tak akan menemukannya di rumah kami...."
Harry diam. Melihat fakta bahwa Draco Malfoy biasanya memiliki segala sesuatu yang paling baik, keluarganya pastilah bergelimang uang sihir. Dia bisa membayangkan Malfoy berkeliaran di rumah besar. Mengirim pelayan rumah untuk mencegah Harry kem-bali ke Hogwarts kelihatannya juga jenis hal yang akan dilakukan Malfoy. Bodohkah Harry menanggapi Dobby secara serius"
"Tapi aku senang kami datang mengambilmu," kata Ron. "Aku cemas sekali ketika kau tidak membalas satu pun suratku. Mulanya kukira Errol yang salah..." "Siapa Errol""
"Burung hantu kami. Dia sudah tua sekali. Bukan untuk pertama kalinya dia pingsan waktu mengantar surat. Jadi kemudian kucoba meminjam Hermes..." "Siapa""
"Burung hantu yang Mum dan Dad belikan untuk Percy ketika dia diangkat jadi Prefek," kata Fred dari tempat duduk
depan. "Tapi Percy tak mau meminjamkannya padaku," kata Ron. "Katanya dia sendiri memerlukannya." "Tingkah Percy aneh sekali sepanjang musim panas ini," kata George, dahinya berkerut. "Dia mengirim banyak surat dan melewatkan banyak waktu mengu-rung diri dalam kamarnya... Maksudku, berapa kali sih kita perlu menggosok lencana Prefek" Kau menyetir terlalu ke barat, Fred," katanya menambahkan, me-nunjuk kompas di dasbor. Fred memutar roda kemudi.
"Apakah ayah kalian tahu kalian membawa mobil ini"" tanya Harry, sudah menduga jawabannya.
"Eh, tidak," kata Ron, "dia harus bekerja malam ini. Mudahmudahan
kita bisa mengembalikannya ke garasi sebelum Mum
menyadari kita menerbang-kannya."
"Apa sih pekerjaan ayah kalian di Kementerian Sihir""
"Dia bekerja di departemen paling membosankan," kata
Ron. "Kantor Penyalahgunaan Barang-barang Muggle."
"Apa"" "Segala sesuatu yang ada hubungannya dengan menyihir barang-barang buatan Muggle. Soalnya siapa tahu barang itu nantinya kembali ke toko atau rumah Muggle. Seperti tahun lalu, ada penyihir tua wanita meninggal dan peralatan minum tehnya dijual ke toko barang antik. Ada Muggle perempuan yang mem-belinya, membawanya pulang, dan menjamu teman-nya dengan peralatan ini. Benar-benar kacau-balau- selama berminggu-minggu Dad harus kerja lembur." "Apa yang terjadi""
"Teko tehnya ngamuk dan menyemburkan teh men-didih ke seluruh ruangan, dan seorang laki-laki harus dibawa ke rumah sakit dengan penjepit gula menjepit hidungnya. Dad panik. Cuma ada dia dan satu pe-nyihir tua bernama Perkins di kantor. Mereka harus menggunakan Jimat Memori dan segala macam man
-tra lainnya untuk menutupi peristiwa ini..." "Tetapi ayahmu... mobil ini..."
Fred tertawa. "Yeah, Dad tergila-gila pada segala sesuatu yang ada hubungannya dengan Muggle. Gu-dang kami penuh dengan barang-barang Muggle. Dia membongkarnya, memantrainya, dan merakitnya kem-bali. Kalau dia merazia rumah kami sendiri, dia pasti harus langsung menangkap dirinya sendiri. Mum sam-pai kesal." "Itu jalan utamanya," kata George menyipitkan mata, memandang ke bawah melalui kaca depan. "Sepuluh menit lagi kita sampai... untunglah, sudah mulai terang...." Semburat pucat kemerahan sudah mulai tampak di ufuk timur.
Fred menurunkan mobilnya dan Harry melihat petak-petak ladang dan gerumbul-gerumbul pohon yang gelap. "Kita sudah hampir sampai di tepi desa," kata George. "Ottery St Catchpole..."
Mobil terbang itu semakin lama semakin rendah. Tepi lingkaran matahari yang merah Jingga sekarang berkilau di antara pepohonan.
"Pendaratan!" kata Fred, ketika dengan entakan kecil mereka menyentuh tanah. Mereka mendarat di sebelah garasi yang hampir roboh di halaman kecil itu, dan Harry untuk pertama kalinya melihat rumah Ron. Tampaknya dulunya rumah ini kandang babi besar, tetapi kamar-kamar ekstra sudah ditambahkan di sana-sini sampai rumah ini menjadi beberapa tingkat dan miring sekali, sehingga seolah rumah ini masih ber-tahan berdiri karena disihir (yang, Harry mengingat-kan dirinya, mungkin memang benar). Empat atau lima cerobong asap bertengger di atas atap merahnya. Papan miring yang ditancapkan di tanah dekat pintu masuk bertulisan "The Burrow"-Liang. Di sekeliling
pintu depan bertebaran sepatu bot dan kuali yang sudah
sangat berkarat. Beberapa ayam cokelat gemuk sedang
mematuk-matuk di halaman.
"Tidak seberapa," kata Ron.
"Ini hebat," kata Harry riang, teringat Privet Drive.
Mereka turun dari mobil. "Nah, kita ke atas diam-diam," kata Fred, "dan tunggu sampai Mum memanggil kita untuk sarapan. Kemudian, Ron, kau turun sambil bilang, 'Mum, coba lihat siapa yang muncul semalam!' Mum akan senang sekali melihat Harry, dan tak seorang pun perlu tahu kita menerbangkan mobil." "Betul," kata Ron. "Ayo, Harry, aku tidur di..." Wajah Ron berubah pucat, matanya terpaku ke rumah. Yang lain segera berbalik.
Mrs Weasley berjalan tegap menyeberangi halaman, membuat ayam-ayam menyebar. Untuk wanita pen-dek, gemuk, berwajah ramah, mengherankan sekali betapa miripnya dia dengan harimau bergigi pedang sekarang. "Ah," kata Fred. "Oh," kata George.
Mrs Weasley berhenti di depan mereka, tangannya di pinggul, memandang bergantian wajah-wajah ber-salah itu. Dia memakai celemek berbunga-bunga de-ngan tongkat mencuat keluar dari sakunya.
"Jadi," katanya. "Pagi, Mum," kata George, dengan suara
yang di-anggapnya riang membujuk. "Tahukah kalian betapa
cemasnya aku"" kata Mrs Weasley dalam bisikan maut.
"Maaf, Mum, tapi soalnya, kami harus..."
Ketiga anak Mrs Weasley lebih tinggi daripadanya, tetapi
mereka mengerut ketika kemarahannya meledak.
"Tempat tidur kosong! Tak ada pesan! Mobil lenyap... bisa
tabrakan... gila rasanya aku saking cemasnya... apa kalian
pedulil... belum pernah, seumur hidupku... tunggu sampai
ayah kalian pulang, kami tak pernah dapat kesulitan begini
dari Bill atau Charlie atau Percy..."
"Prefek Percy yang sempurna," gumam Fred.
"KAU SEHARUSNYA MENCONTOH PERCY!" teriak Mrs
Weasley, menusukkan jari ke dada Fred. "Kau bisa mati, kau
bisa kelihatan, kau bisa membuat ayahmu kehilangan
pekerjaannya..." Kemarahan Mrs Weasley rasanya berlangsung ber-jam-jam.
Dia berteriak-teriak sampai serak, sebelum menoleh pada
Harry, yang mundur menjauh.
"Aku senang sekali bertemu kau, Nak," katanya.
"Mari masuk dan sarapan."
Mrs Weasley berbalik dan berjalan kembali ke dalam rumah, sedangkan Harry-setelah dengan gugup me-lirik Ron, yang mengangguk membesarkan hatinya- mengikutinya. Dapurnya kecil dan agak penuh sesak. Ada meja kayu dan kursi-kursi di tengahnya dan Harry duduk di tepi tempat duduknya, memandang berkeliling. Dia belum pernah berada dalam rumah penyihir.
Jam di dinding di depannya cuma punya satu jarum dan sama sekali tak ada angkanya. Mengitari tepin
ya ada tulisantulisan seperti "Waktu membuat teh", "Waktu memberi makan ayam-ayam", dan "Kau terlambat". Buku-buku ditumpuk tigatiga di atas rak perapian, buku-buku dengan judul seperti Sihir Sendiri Kejumu, Jampi-jampi dalam Memanggang, dan Sajian dalam Semenit-Sungguh Ajaib! Dan kecuali telinga Harry mengelabuinya, radio tua di sebelah tempat cuci piring baru saja mengumumkan bahwa acara berikutnya adalah "Jam Sihir, dengan penyanyi pe-nyihir wanita terkenal, Celestina Warbeck."
Mrs Weasley mondar-mandir dengan berisik, me-nyiapkan sarapan dengan agak serampangan, meman-dang sebal anakanaknya
sementara dia melemparkan sosis ke dalam wajan. Sekali-sekali dia menggumam-kan kalimat seperti, "Tak tahu apa yang ada di pikiran kalian," dan "Tak akan pernah mempercayainya."
"Aku tidak menyalahkanmu, Nak," katanya meyakin-kan Harry, menuang delapan atau sembilan sosis ke dalam piringnya. "Arthur dan aku mencemaskanmu juga. Baru semalam kami katakan kami sendiri akan da tang menjemputmu kalau sampai hari Jumat kau tidak membalas surat Ron. Tapi sungguh kelewatan," (sekarang dia menambahkan tiga telur goreng ke piling Harry), "menerbangkan mobil ilegal, menye-berang separo negeri- bisa kelihatan siapa saja...."
Dia menjentikkan tongkatnya sambil lalu ke perabot di tempat cuci piring yang langsung mulai mencuci sendiri, berdentang-denting lembut di latar belakang. "Langit mendung, Mum!" kata Fred. "Jangan bicara waktu makan!" bentak Mrs Weasley. "Mereka membuatnya kelaparan, Mum!" kata George. "Dan kau juga!" kata Mrs Weasley, tetapi ekspresi wajahnya lebih lembut ketika dia mulai mengiris roti untuk Harry dan mengolesinya dengan mentega. Pada saat itu sesosok tubuh kecil berambut merah- memakai gaun tidur panjang-muncul di pintu, meng-alihkan perhatian semua orang. Sosok itu menjerit kecil, dan berlari keluar lagi.
"Ginny," kata Ron pelan kepada Harry. "Adikku. Dia ngomong tentang kau terus sepanjang musim panas." "Yeah, dia mau minta tanda tanganmu, Harry," Fred nyengir, tetapi dia menangkap pandangan ibunya dan segera menundukkan wajah di atas piringnya, tanpa berkata apa-apa lagi. Tak ada lagi yang di-bicarakan sampai keempat piring bersih, dalam waktu yang singkat sekali. "Ya ampun, aku capek," Fred menguap, akhirnya meletakkan pisau dan garpunya. "Aku mau tidur dan..." "Tidak boleh," potong Mrs Weasley. "Salahmu sendiri kau tidak tidur semalaman. Kau akan membersihkan jembalang di kebun untukku, mereka sudah tak ter-kontrol lagi." "Oh, Mum..."
"Dan kalian berdua juga," katanya mendelik pada Ron dan Fred. "Kau boleh tidur, Nak," katanya me-nambahkan kepada Harry. "Kau tidak meminta meteka menerbangkan mobil brengsek itu."
Tetapi Harry yang sama sekali tidak mengantuk, buru-buru berkata, "Saya akan membantu Ron. Saya belum pernah melihat pembersihan j embalang..."
"Kau baik sekali, Nak, tapi itu pekerjaan mem-bosankan," kata Mrs Weasley. "Coba kita lihat dulu apa kata Lockhart tentang masalah ini."
Dan dia menarik sebuah buku berat dari tumpukan di atas rak perapian. George mengerang. "Mum, kami sudah tahu bagaimana membersihkan kebun dari jembalang." Harry memandang sampul buku Mrs Weasley. Judulnya ditulis dengan huruf-huruf emas indah:
Penuntun Penanganan Hama Rumah Gilderoy Lockhart. Di sampul itu terpampang foto besar penyihir yang amat tampan, dengan rambut pirang berombak dan mata biru cerah. Seperti biasanya di dunia sihir, foto itu bergerak-gerak. Si penyihir, yang Harry duga ada-lah Gilderoy Lockhart, tak henti-hentinya mengedip nakal kepada mereka semua. Mrs Weasley menunduk tersenyum kepadanya. "Oh, dia hebat sekali," katanya, "dia tahu betul ten-tang hama-hama rumah. Ini buku yang bagus sekali...." "Mum naksir dia," kata Fred dalam bisikan yang sangat jelas. "Jangan ngaco, Fred," kata Mrs Weasley, pipinya merona
merah jambu. "Baiklah, kalau kalian merasa lebih tahu dari Lockhart, kalian boleh keluar dan langsung mulai. Awas, kalau sampai masih ada satu saja jembalang di kebun waktu aku memeriksanya nanti."
Menguap dan menggerutu, Ron dan kedua kakak-nya
berjalan ogah-ogahan keluar, diikuti Harry. Kebun mereka
lua s, dan dalam pandangan Harry, begitulah seharusnya
kebun. Keluarga Dursley tidak akan me-nyukainya-ada
banyak ilalang, rumputnya perlu di-potong-tetapi ada pohonpohon
yang batangnya ber-bonggol-bonggol di sekeliling
tembok, tanaman-tanaman yang belum pernah dilihat Harry
melimpah dengan lebatnya dari setiap petak bunga, dan ada
kolam besar penuh kodok. "Muggle juga punya jembalang kebun lho," Harry memberitahu Ron ketika mereka menyeberang ke kebun. "Yeah, aku sudah melihat apa yang mereka sebut jembalang," kata Ron, membungkuk dengan kepala tenggelam di semak bunga peoni. "Seperti Santa Claus gemuk membawa tangkai pancing...."
Terdengar bunyi baku hantam seru, semak peoni bergetar, dan Ron menegakkan diri. "Ini jembalang," katanya suram. "Lepaskan aku! Lepaskan aku!" jerit si jembalang. Makhluk itu sama sekali tidak seperti Santa Claus, melainkan bertubuh kecil, kulitnya kasar, dengan kepala besar botak menonjol persis kentang. Ron me-megangnya agak jauh, sementara si jembalang me-nendang-nendangnya dengan kakinya yang kecil ber-tanduk. Ron mencengkeram pergelangan kakinya dan menjungkirkannya. "Ini yang harus kaulakukan," katanya. Ron mengangkat si jembalang ke atas kepalanya ("Lepas-kan aku!") lalu mulai memutar-mutarnya dalam ling-karan besar seperti laso. Melihat kekagetan di wajah Harry, Ron menambahkan, "Ini tidak melukai mereka- kau cuma harus membuatnya benarbenar pusing, supaya mereka tidak bisa menemukan jalan pulang ke lubang j embalangnya."
Dilepasnya kaki si jembalang dan jembalang itu melayang enam meter ke atas dan jatuh di padang di seberang pagar. "Payah," kata Fred. "Aku pasti bisa melempar j em-balangku sampai melewati tunggul itu."
Harry belajar dengan cepat untuk tidak merasa terlalu kasihan kepada si jembalang. Dia memutuskan untuk menjatuhkan saja jembalang pertama yang di-tangkapnya ke balik pagar. Tetapi si jembalang, yang bisa merasakan kelemahan, menancapkan gigi-giginya yang setajam silet ke jari Harry dan Harry dengan susah payah mengibaskannya sampai...
"Wow, Harry-pasti ada lima belas meter tuh..."
Segera saja udara dipenuhi jembalang yang beterbangan.
"Lihat, kan, mereka tidak terlalu pintar," kata George,
menyambar lima atau enam jembalang se-kaligus. "Begitu
mereka tahu pembersihan jembalang dimulai, mereka malah
keluar untuk melihat. Mestinya kan malah ngumpet."
Tak lama kemudian gerombolan jembalang di pa-dang
mulai melangkah lesu, menjauh.
"Mereka akan kemibali," kata Ron, ketika mereka
mengawasi para jembalang menghilang ke balik pagar di sisi
lain padang. "Mereka senang di sini... Dad terlalu lunak
terhadap mereka, dia menganggap me-reka lucu..."
Saat itu terdengar pintu depan terbanting.
"Dia pulang!" kata George. "Dad pulang!"
Mereka bergegas menyeberangi kebun, kembali ke rumah.
Mr Weasley duduk lesu di kursi dapur dengan kacamata
dilepas. Dia kurus, hampir botak, tetapi sisa rambut yang
masih ada sama merahnya dengan rambut anak-anaknya. Dia
memakai jubah hijau panjang yang berdebu dan kelihatan
habis dipakai bepergian. "Bukan main semalam," gumamnya, meraih teko teh sementara mereka duduk mengelilinginya. "Sem-bilan penyerbuan. Sembilan! Dan si Mundungus Fletcher mencoba menyihirku ketika aku berbalik..." Mr Weasley meneguk tehnya dan menghela napas. "Ada yang ditemukan, Dad"" tanya Fred ber-semangat. "Yang kudapat hanyalah beberapa kunci pintu yang mengerut dan ceret yang menggigit," kata Mr Weasley menguap. "Tapi ada barang-barang kotor yang bukan bagian departemenku. Mortlake dibawa pergi gara-gara mempertanyakan beberapa binatang sejenis mu-sang yang sudah tua sekali, tapi itu tugas Komite Jimat Eksperimental, untungnya..."
"Untuk apa orang membuat kunci mengerut"" tanya George.
"Cuma untuk memancing Muggle," keluh Mr Weasley. "Jual kepada mereka kunci yang terus menge-rut sampai akhirnya menghilang, sehingga mereka tidak bisa menemukannya sewaktu memerlukannya... Tentu saja, susah sekali meyakinkan orang, karena tak ada Muggle yang mau mengakui kunci mereka mengerut makin lama makin kecil- mereka akan ngo-tot mengatakan mereka lagi-lagi kehilangan kunci. Untung saja, para
Muggle ini akan berusaha dengan segala macam cara untuk mengabaikan kejadian gaib, bahkan kalau itu terjadi di depari mereka... tapi barang-barang yang telah diambil bangsa kita untuk disihir, kalian tidak akan percaya..."
"SEPERTI MOBIL, MISALNYA""
Mrs Weasley telah muncul, membawa penyodok panjang
seperti memegang pedang. Mata Mr Weasley langsung
terbuka lebar. Dia memandang istrinya de-ngan perasaan
bersalah. "Mo-mobil, Molly sayang""
"Ya, Arthur, mobil," kata Mrs Weasley, matanya berkilat. "Bayangkan, penyihir yang membeli mobil tua karatan dan memberitahu istrinya yang ingin dilakukannya dengan mobil itu hanyalah mem-bongkarnya untuk mengetahui bagaimana cara kerja-nya, padahal ternyata dia menyihir mobil itu agar bisa terbang."
Mr Weasley mengejapkan mata.
"Yah, Sayang, kurasa dia tidak melanggar hukum karena melakukan itu, bahkan jika, eh, dia mungkin seharusnya, lebih baik, uhm, memberitahu istrinyn yang sebenarnya... Selalu ada peluang untuk lolos dalam peraturan, kau akan tahu... sejauh dia tidak bermaksud menerbangkan mobil itu. Fakta bahwa mobil itu bisa terbang tidak akan..." "Arthur Weasley, kau mengatur agar ada peluang lolos ketika kau menulis peraturan itu!" teriak Mrs Weasley. "Hanya supaya kau bisa terus bermain-main dengan semua rongsokan Muggle di garasimu itu! Dan supaya kau tahu, Harry tiba pagi ini dengan mobil yang tidak akan kauterbangkan itu!" "Harry"" ujar Mr Weasley bingung. "Harry siapa"" Dia memandang berkeliling, melihat Harry, dan ter-lonjak. "Astaga, Harry Pptter-kah" Senang sekali bertemu kau, Ron sudah cerita banyak tentang..."
"Anak-anakmu menerbangkan mobil itu ke rumah Harry dan kembali lagi ke sini tadi pagi!" teriak Mrs Weasley. "Apa komentarmu tentang itu, eh""
"Betulkah kalian menerbangkannya"" tanya Mr Weasley bersemangat. "Apakah bisa terbang lancar" Mak-maksudku," dia terbata-bata, ketika kilat ke-marahan terpancar dari mata Mrs Weasley, "kalian lancang, anak-anak-lancang sekali..." "Kita tinggalkan mereka," gumam Ron kepada Harry, ketika Mrs Weasley siap meledak. "Ayo, ku-tunjukkan kamarku."
Mereka menyelinap keluar dari dapur dan menuruni lorong sempit sampai ke tangga yang tidak rata, yang berzig-zag sampai ke atas. Pada bordes ketiga, ada pintu yang sedikit terbuka. Harry sempat melihat sepasang mata cokelat cemerlang sebelum pintu itu menutup dengan keras. "Itu Ginny," kata Ron. "Kau tak tahu, betapa aneh-nya bagi dia menjadi pemalu begini. Biasanya mulut-nya tak pernah berhenti mengoceh..."
Mereka menaiki dua tangga lagi sampai tiba di pintu yang catnya mengelupas dan ada papan kecil bertulisan "Kamar Ronald".
Harry masuk, kepalanya nyaris menyentuh atap yang miring. Dia mengejap. Rasanya seperti masuk perapian: segala sesuatu dalam kamar Ron bernuafisa Jingga terang: seprai, dinding, bahkan langit-langitnya. Kemudian Harry menyadari bahwa Ron telah me-nutup hampir setiap senti dinding kamarnya yang kusam dengan poster tujuh penyihir pria dan wanita yang sama, semuanya memakai jubah Jingga cemer-lang, membawa sapu, dan melambai-lambai dengan bersemangat.
"Tim Quidditch-mu"" tanya Harry.
"Chudley Cannons," kata Ron, menunjuk seprai Jingganya, yang dihiasi dua huruf C raksasa berwarna hitam dan peluru meriam yang sedang meluncur. "Peringkat kesembilan-di liga." Buku-buku sihir Ron ditumpuk sembarangan di satu sudut, di sebelah setumpuk komik yang semua-nya tampaknya mengisahkan Petualangan Martin Miggs, si Muggle Gila. Tongkat sihir Ron tergeletak di atas tangki ikan penuh telur kodok di ambang jendela, di sebelah tikus gemuknya, Scabbers, yang sedang tiduran di sepetak sinar matahari. Harry melangkahi satu pak kartu Mengocok-Sendiri di lantai dan melongok ke luar dari jendela yang kecil mungil. Di padang jauh di bawah, dia bisa melihat serombongan jembalang menyelinap lewat pagar tanaman, satu demi satu kembali ke kebun keluarga Weasley. Kemudian dia menoleh memandang Ron, yang menatapnya dengan gelisah, seakan me-nunggu komentarnya.
"Kamarnya agak kecil," kata Ron cepat-cepat. "Tidak seperti kamarmu di rumah Muggle. Dan persis di bawah tempat si hantu loteng. Dia selal
u memukul-mukul pipa dan mengerang-erang..."
Tetapi Harry nyengir lebar sambil berkata, "Ini ru-mah paling hebat yang pernah kudatangi." Telinga Ron langsung merah.
4 Di Flourish And Blotts HIDUP di The Burrow sama sekali berbeda dengan hidup di Privet Drive. Keluarga Dursley menghendaki segalanya rapi dan teratur; rumah keluarga Weasley penuh dengan hal-hal aneh dan tak terduga. Harry kaget sekali ketika pertama kali dia melihat ke dalam cermin di atas tungku di dapur dan cermin itu ber-teriak, "Masukkan kemejamu, yang rapi!" Hantu di loteng melolong dan menjatuhkan pipa setiap kali dia merasa suasana terlalu sepi, dan ledakan-ledakan kecil dari kamar Fred dan George dianggap normal. Meskipun demikian, yang bagi Harry luar biasa tentang hidup di rumah keluarga Ron bukanlah cermin yang bisa bicara ataupun si hantu bising, melainkan kenyataan bahwa semua orang di rumah itu tampaknya me-nyukainya.
Mrs Weasley meributkan kaus kaki Harry dan ber-usaha memaksanya tambah tiga kali setiap makan. Mr Weasley ingin Harry duduk di sebelahnya di meja makan, supaya dia bisa membombardirnya dengan pertanyaan-pertanyaan tentang hidup bersama Muggle, memintanya menjelaskan bagaimana bekerjanya hal-hal seperti steker listrik atau sistem pos. "Mengagumkan!" katanya setelah Harry menjelaskan bagaimana menggunakan telepon. "Cerdik betul, berapa banyak cara yang telah ditemukan Muggle untuk bisa hidup tanpa sihir."
Harry mendapat berita dari Hogwarts pada suatu pagi yang cerah kira-kira seminggu setelah dia tiba di The Burrow. Ketika dia dan Ron turun untuk sarapan, Mr dan Mrs Weasley serta Ginny sudah duduk di meja dapur. Begitu melihat Harry, Ginny tak sengaja menjatuhkan mangkuk buburnya ke lantai, menimbul-kan bunyi berkelontang yang keras. Ginny kelihatan-nya jadi sangat mudah menjatuhkan barang-barang setiap kali Harry memasuki ruangan. Dia menyusup ke bawah meja untuk mengambil mangkuknya dan muncul lagi dengan wajah berpendar merah seperti matahari yang sedang terbenam. Berpura-pura tidak melihat semua ini, Harry duduk dan mengambil roti panggang yang ditawarkan Mrs Weasley. "Surat dari sekolah," kata Mr Weasley, menyerahkan amplop perkamen kekuningan yang sama kepada Harry dan Ron, yang alamatnya ditulis dengan tinta hijau. "Dumbledore sudah tahu kau di sini, Harry- orang itu tahu segalanya. Kalian berdua dapat surat juga," katanya menambahkan, ketika Fred dan George muncul, masih memakai piama. Selama beberapa menit suasana sunyi ketika mereka semua membaca surat mereka. Surat Harry memberi-tahunya agar naik Hogwarts Express seperti biasanya dari Stasiun King's Cross pada tanggal 1 September. Juga ada daftar bukubuku baru yang diperlukannya untuk tahun ajaran berikutnya. Murid kelas dua membutuhkan: Kitab Mantra Standar, Tingkat 2 oleh Miranda Goshawk
Duel dengan Dracula oleh Gilderoy Lockhart Gaul dengan Goblin oleh Gilderoy Lockhart Heboh dengan Hantu oleh Gilderoy Lockhart Tamasya dengan Troll oleh Gilderoy Lockhart Vakansi dengan Vampir oleh Gilderoy Lockhart Mengembara dengan Manusia Serigala oleh Gilderoy Lockhart Yakin dengan Yeti oleh Gilderoy Lockhart
Fred, yang sudah selesai membaca daftarnya sendiri, melongok daftar Harry.
"Kau disuruh beli semua buku Lockhart juga!" kata-nya. "Guru baru Pertahanan terhadap Ilmu Hitam pastilah fansnya-taruhan, pasti penyihir wanita."
Setelah berkata begitu, tertatap olehnya mata ibunya dan Fred cepat-cepat menyibukkan diri dengan selai. "Buku-buku itu tidak murah," kata George, sekilas memandang orangtuanya. "Buku-buku Lockhart benar-benar mahal...."
"Bisa kita beli," kata Mrs Weasley, tetapi dia kelihatan cemas, "Kurasa kita bisa membeli banyak keperluan Ginny dari yang bekas-pakai."
"Oh, kau sudah masuk Hogwarts tahun ini"" Harry bertanya kepada Ginny.
Ginny mengangguk, rona merah menjalar sampai ke akar rambutnya yang merah manyala, dan sikunya masuk ke mangkuk mentega. Untunglah tak seorang pun melihat kecuali Harry, karena tepat saat itu, kakak Ron yang nomor tiga, Percy, masuk. Dia sudah berpakaian, lencana Prefek Hogwarts-nya disematkan ke baju rajutannya. "Selamat pagi, semua!"
kata Percy cepat. "Hari yang indah."
Dia duduk di satu-satunya kursi yang tersisa, tetapi langsung melompat berdiri lagi, menarik dari bawah-nya kemoceng yang bulu abu-abunya sudah lusuh- paling tidak semula Harry menyangka itu kemoceng, sampai dilihatnya kemoceng itu bernapas.
"Errol!" kata Ron, mengambil burung hantu yang lemas itu dari tangan Percy dan menarik keluar se-pucuk surat dari balik sayapnya. "Akhirnya-dia mem-bawa balasan Hermione. Aku menulis padanya, mem-beritahu kami akan mencoba membebaskanmu dari keluarga Dursley." Ron membawa Errol ke tempat hinggap di dekat pintu belakang dan mencoba menenggerkannya di situ, tetapi Errol langsung terpuruk lagi. Akhirnya Ron membaringkannya di atas papan pengering, se-raya bergumam, "Kasihan." Kemudian dirobeknya sampul surat Hermione dan dibacanya suratnya keras-keras: Halo Ron, dan Harry kalau kau ada,
Kuharap segalanya berjalan lancar dan Harry baik-baik saja dan kau tidak melakukan sesuatu yang me-langgar hukum untuk membebaskannya, Ron, karena itu akan menyulitkan Harry juga. Aku cemas 'sekali dan kalau Harry tak apa-apa, tolong segera beritahu aku, tapi mungkin lebih baik kaugunakan burung hantu yang lain, karena kalau sekali lagi disuruh mengirim surat, kurasa burung hantu yang ini lewat deh.
Aku sibuk sekali belajar, tentu saja-"Bagaimana mungkin"" kata Ron ngeri. "Kita kan sedang libur!"-dan kami akan ke London Rabu depan untuk membeli buku-buku baruku. Bagaimana kalau kita ber-temu di Diagon Alley" Beritahu aku apa yang terjadi begitu kau sempat. Salam hangat dari Hermione. "Wah, kita bisa sekalian pergi dan membeli semua kebutuhan kalian kalau begitu," kata Mrs Weasley, mulai membereskan meja. "Apa yang akan kalian lakukan hari ini"" Harry, Ron, Fred, dan George sudah merencanakan akan ke lapangan terbuka kecil milik keluarga Weasley. Tempat itu dikelilingi pepohonan sehingga tidak ke-lihatan dari desa di bawah. Itu berarti mereka bisa berlatih Quidditch di sana, asal mereka tidak terbang terlalu tinggi. Mereka tidak bisa memakai bola Quidditch yang sesungguhnya, karena akan sulit men-jelaskannya kalau bola itu lolos dan terbang di atas desa. Sebagai gantinya mereka saling melempar apel untuk ditangkap. Mereka bergiliran menaiki Nimbus Dua Ribu Harry, sapu yang sangat hebat. Sapu tua Ron, Bintang Jatuh, sering sekali didului kupu-kupu yang lewat. Lima menit kemudian mereka mendaki bukit, de-ngan sapu di atas bahu. Mereka sudah menanyai Percy kalau-kalau dia
mau ikut, tetapi Percy mengata-kan dia sibuk. Sejauh ini Harry cuma bertemu Percy pada waktu makan. Dia berkurung terus di kamar-nya.
"Pingin tahu deh dia sebetulnya ngapain," kata Fred sambil mengerutkan kening. "Tidak biasanya dia begitu. Hasil ujiannya keluar sehari sebelum hasil kalian diumumkan. Dua belas OWL dan dia nyaris tidak kelihatan senang." "Ordinary Wizarding Levels-Level Sihir Umum," George menjelaskan, melihat wajah kebingungan Harry. "Bill dapat dua belas juga. Kalau tidak hati-hati, kita akan punya Ketua Murid satu lagi dalam keluarga. Malu betul kita." Bill adalah putra sulung keluarga Weasley. Dia dan adiknya, Charlie, sudah lulus dari Hogwarts. Harry belum pernah bertemu mereka berdua, tetapi dia tahu Charlie ada di Rumania, mempelajari naga, dan Bill di Mesir bekerja untuk bank penyihir, Gringotts.
"Entah bagaimana Mum dan Dad akan bisa mem-belikan semua keperluan sekolah kita tahun ini," kata George setelah diam sesaat. "Lima set buku-buku Lockhart! Dan Ginny perlu jubah dan tongkat dan macam-macam lagi...." Harry diam saja Dia merasa agak tidak enak. Tersimpan di dalam ruangan besi bawah tanah di Gringotts di London, ada sejumlah harta peninggalan orangtuanya. Tentu saja, hanya di dunia sihir dia punya uang. Kau tidak bisa menggunakan Galleon, Sickle, dan Knut di toko Muggle. Dia tak pernah menyebut-nyebut simpanannya di Gringotts kepada keluarga Dursley. Dia memperkirakan penolakan mereka terhadap segala sesuatu yang ada hubungan-nya dengan sihir tidak mencakup setumpuk besar emas.
Mrs Weasley membangunkan mereka semua pagi-pagi Rabu berikutnya. Setelah dengan cepat melahap sa
rapan berupa enam sanich daging asap untuk masing-masing, mereka memakai mantel dan Mrs Weasley mengambil vas bunga dari rak di atas tungku dapur, lalu mengintip ke dalamnya.
"Sudah hampir habis, Arthur," katanya menghela napas. "Kita harus beli lagi hari ini... ah, tamu lebih dulu! Kau duluan, Harry!"
Dan dia menyodorkan vas itu kepada Harry.
Harry bingung memandang mereka semua meng-awasinya.
"A-apa yang harus kulakukan"" katanya tergagap.
"Dia belum pernah bepergian dengan bubuk Floo," kata
Ron tiba-tiba. "Sori, Harry, aku lupa."
"Belum pernah"" kata Mr Weasley. "Jadi bagaimana kau
sampai di Diagon Alley untuk membeli keperluan sekolahmu
tahun lalu"" "Aku naik kereta bawah tanah..."
"Oh ya"" kata Mr Weasley ingin tahu. "Apa ada eskapator" Bagaimana caranya..."
"Tidak sekarang, Arthur," kata Mrs Weasley. "Bubuk Floo jauh lebih cepat, Nak, tapi entahlah, kalau kau belum pernah..."
"Tidak apa-apa, Mum," kata Fred. "Harry, lihat kami dulu." Fred mengambil sejumput bubuk berkilau dari vas bunga, melangkah ke perapian dan menaburkan bu-buk itu ke nyala api.
Dengan deru keras api berubah menjadi hijau zamrud dan menjulang lebih tinggi dari Fred, yang melangkah ke dalamnya sambil berteriak, "Diagon Alley!" dan langsung menghilang. "Ngomongnya harus jelas, Nak," Mrs Weasley mem-beritahu Harry, ketika George memasukkan tangan ke dalam vas. "Dan keluarnya harus di perapian yang benar..." "Di mana"" tanya Harry gugup, ketika api menderu dan melenyapkan George dari pandangan juga. "Yah, ada banyak
perapian penyihir yang bisa di-pilih, kan, tapi asal kau ngomongnya j elas..."
"Dia akan baik-baik saja Molly, jangan terlalu cemas," kata
Mr Weasley, sambil menjumput bubuk Floo juga.
"Tapi, kalau dia tersesat, bagaimana kita harus
men-jelaskan kepada bibi dan pamannya""
"Mereka tidak akan keberatan," Harry menenang-kannya.
"Dudley akan menganggapnya lucu sekali kalau aku tersesat di
cerobong asap. Jangan khawatir."
"Baiklah... kalau begitu... kau berangkat sesudah Arthur," kata Mrs Weasley "Setelah masuk perapian, katakan ke mana tujuanmu..."
"Dan rapatkan sikumu," Ron menasihati. "Dan pejamkan matamu," kata Mrs Weasley. "Angus-nya..." "Jangan gelisah dan bergerak-gerak," kata Ron. "Nanti kau bisa jatuh ke perapian yang salah..." "Tapi jangan panik dan buru-buru keluar juga. Tung-gu sampai kau melihat Fred dan George." Sambil berusaha keras mengingat semua ini, Harry mengambil sejumput bubuk Floo dan berjalan ke per-apian. Dia menarik napas dalam-dalam, menaburkan bubuk ke nyala api dan melangkah masuk. Apinya terasa bagai angin hangat. Harry membuka mulut dan langsung tertelan olehnya banyak abu panas.
"D-dia-gon Alley," katanya terbatuk. Rasanya seakan Harry tersedot lubang yang besar sekali. Dia seperti berpusar sangat cepat... deru keras memekakkan telinganya... dia berusaha agar matanya tetap terbuka, tetapi pusaran api hijau membuatnya pusing... sesuatu yang keras menyodok sikunya dan Harry segera merapatkannya ke tubuhnva, masih terus berpusar, terus... sekarang rasanya ada tangan-tangan dingin menampar mukanya... mengintip lewat kaca-matanya, dilihatnya samar-samar serangkaian perapian dan sekilas-sekilas tampak ruangan di baliknya... sanich daging asapnya bergolak di dalam perutnya... Dia memejamkan lagi matanya, berharap pusaran ini segera berhenti, dan kemudian-Harry jatuh ter-jerembap di lantai batu yang dingin dan kacamatanya pecah. Pusing dan memar, berlumur angus, Harry dengan amat hati-hati bangun, memegangi kacamata ke depan matanya. Dia sendirian, tetapi di mana dia, dia sama sekali tak tahu. Yang dia tahu hanyalah dia berdiri di perapian baru, di tempat yang kelihatannya toko sihir besar dengan penerangan remang-remang-tetapi tak satu pun barang-barang yang dijual di sini akan masuk dalam daftar sekolah Hogwarts. Sebuah kotak kaca di dekat Harry berisi tangan keriput di atas bantal, satu pak kartu bernoda darah, dan sebuah mata kaca mendelik. Topeng-topeng me-nyeramkan menyeringai dari dinding, tulang-tulang manusia berbagai bentuk dan ukuran bertebaran di meja pajang, dan peralatan berpaku tajam berkarat bergantunga
n dari langit-langit. Yang lebih parah lagi, jalan sempit yang bisa dilihat Harry lewat kaca toko yang berdebu jelas bukan Diagon Alley. Lebih cepat dia meninggalkan tempat ini lebih baik. Dengan hidung masih perih gara-gara jatuh meng-hantam lantai perapian tadi, Harry berjalan cepat tanpa suara menuju pintu. Tetapi belum lagi separo jalan, dua orang muncul di balik kaca-dan salah satunya orang terakhir yang ingin ditemui Harry saat dia sedang tersesat, berlumur angus, dan kacamatanya pecah: Draco Malfoy. Harry cepat-cepat memandang berkeliling dan me-lihat lemari besar hitam di sebelah kirinya. Dia melesat masuk dan menarik pintunya, sampai tinggal celah sedikit untuk mengintip. Beberapa detik kemudian bel berdentang dan Malfoy masuk ke dalam toko.
Laki-laki yang masuk di belakangnya pastilah ayah-nya.
Wajahnya sama, pucat dan runcing, dan matanya pun sama, abu-abu dingin. Mr Malfoy menyeberangi ruangan, melihat barang-barang yang dipamerkan, dan membunyikan bel di meja pajangan, sebelum menoleh kepada anaknya dan berkata, "Jangan sentuh apa-apa, Draco." Malfoy, yang sudah tiba di mata kaca, berkata, "Katanya aku akan dibelikan hadiah."
"Aku bilang aku akan membelikanmu sapu balap," kata ayahnya, mengetuk-ngetukkan jari di atas meja pajangan. "Apa gunanya sapu kalau aku tidak masuk tim asrama"" kata Malfoy, tampangnya cemberut dan marah. "Harry Potter dapat Nimbus Dua Ribu tahun lalu. Izin khusus dari Dumbledore supaya dia bisa main untuk Gryffindor. Padahal sih dia tidak hebat-hebat amat, cuma karena dia terkenal saja... terkenal gara-gara punya bekas luka konyol di dahinya..."
Malfoy membungkuk, mengamati rak penuh teng-korak. "...semua menganggapnya pintar, Potter yang hebat, dengan bekas luka dan sapunya..."
"Kau sudah menceritakannya padaku paling tidak dua belas kali," kata Mr Malfoy, dengan pandangan yang menyuruhnya diam. "Dan kuingatkan kau bahwa tidaklah-bijaksana- memperlihatkan bahwa kau ku-rang menyukai Harry Potter, mengingat sebagian besar bangsa kita menganggapnya sebagai pahlawan yang membuat Pangeran Kegelapan menghilang... ah, Mr Borgin."
Seorang laki-laki tua bungkuk muncul di belakang meja, menyeka rambutnya yang berminyak dari wajahnya. "Mr Malfoy, senang sekali bertemu Anda lagi," kata Mr Borgin dengan suara selicin rambutnya. "Gem-bira-dan Tuan Muda Malfoy, juga-sungguh me-nyenangkan. Apa yang bisa saya bantu" Harus saya tunjukkan kepada Anda, baru datang hari ini, dan harganya pun sangat bersaing..." "Aku tidak mau beli hari ini, Mr Borgin, tapi jual," kata Mr Malfoy. "Jual"" Senyum agak memudar dari wajah Mr Borgin. "Kau sudah dengar, tentunya, bahwa Kementerian melakukan razia lagi," kata Mr Malfoy, mengeluarkan gulungan perkamen dari saku dalamnya dan mem-bukanya untuk dibaca Mr Borgin. "Aku punya be-berapa-ah-barang di rumah yang bisa bikin aku malu, kalau Kementerian datang..." Mr Borgin menjepitkan kacamata tanpa gagang ke hidungnya dan membacanya. "Kementerian tidak akan menyusahkan Anda, Sir, tentunya"" Mr Malfoy mencibir.
"Aku belum didatangi. Nama Malfoy masih di-hormati, tapi Kementerian semakin suka mencampuri urusan orang lain. Ada desas-desus tentang adanya Undang-undang Perlindungan Muggle baru-tak di-ragukan lagi si kutu busuk goblok pecinta Muggle Arthur Weasley berada di belakang semua itu..."
Harry berang sekali, "...dan seperti yang kaulihat, beberapa racun ini bisa kelihatan..." "Saya mengerti, Sir, tentu saja," kata Mr Borgin. "Coba saya lihat..." "Boleh aku beli itu"" sela Draco, menunjuk tangan keriput di bantal. "Ah, Tangan Kemuliaan!" kata Mr Borgin, meninggal-kan daftar Mr Malfoy dan bergegas mendatangi Draco. "Taruh lilin, dan lilin ini hanya akan memberikan cahaya kepada pemegangnya! Sahabat terbaik para pencuri dan penjarah! Selera anak Anda hebat, Sir."
"Kuharap anakku akan jadi lebih dari sekadar pen-curi atau penjarah, Borgin," kata Mr Malfoy dingin dan Mr Borgin buruburu berkata, "Tidak menyindir, Sir, tidak bermaksud menyindir..."
"Meskipun kalau angka-angkanya tidak bertambah baik," kata Mr Malfoy lebih dingin lagi, "mungkin dia hanya pantas
jadi pencuri dan penjarah." "Bukan salahku," bantah Draco. "Semua guru punya anak emas, si Hermione Granger..."
"Kukira kau akan malu bahwa anak perempuan yang bukan berasal dari keluarga sihir mengalah-kanmu dalam semua ujian," tukas Mr Malfoy.
"Ha!" kata Harry dalam hati, senang melihat Draco kelihatan malu dan marah.
"Di semua tempat sama," kata Mr Borgin dengan suaranya
yang licin. "Darah penyihir nilainya sudah berkurang di manamana..."
"Bagiku tidak," kata Mr Malfoy, cuping hidung panjangnya
mekar. "Tidak, Sir, bagi saya juga tidak, Sir," kata Mr Borgin, membungkuk rendah.
"Kalau begitu, mungkin kita bisa kembali ke daftar-ku," kata Mr Malfoy pendek. "Aku agak terburu-buru, Borgin, aku ada urusan penting di tempat lain hari ini." Mereka mulai tawar-menawar. Harry mengawasi de-ngan cemas ketika Draco semakin lama semakin dekat ke tempat persembunyiannya, melihat-lihat barang-barang yang dijual. Dia berhenti untuk mengamati gulungan tali panjang untuk menggantung orang dan membaca sambil menyeringai kartu yang disandarkan pada kalung opal yang bagus sekali; Hatihati: Jangan Sentuh. Dikutuk-Sampai Hari Ini Sudah Minta Korban Sembilan Belas Muggle Pemiliknya. Draco berbalik dan melihat lemari persis di depan-nya. Dia mendekat... mengulurkan tangannya ke pegangan pintu... "Baik," kata Mr Malfoy di meja pajangan. "Ayo, Draco!" Harry menyeka dahinya ke lengan bajunya ketika Draco berbalik.
"Selamat siang, Mr Borgin, kutunggu kau di rumah besok untuk mengambil barang-barang itu." Begitu pintu tertutup, Mr Borgin menanggalkan sopan santunnya. "Selamat siang sendiri saja, Mister Malfoy, dan jika cerita yang beredar benar, kau belum menjual setengah dari yang kausembunyikan di istanamu..."
Sambil menggerutu sebal Mr Borgin menghilang ke ruang belakang. Harry menunggu selama semenit, siapa tahu dia muncul lagi. Kemudian, sepelan mung-kin, dia menyelinap keluar dari lemari, melewati kotak-kotak kaca, dan keluar lewat pintu toko.
Sambil menempelkan kacamatanya yang pecah ke wajahnya, Harry memandang berkeliling. Dia berada dijalan kecil kumuh berisi toko-toko yang semuanya menjual barangbarang untuk ilmu hitam. Toko yang baru saja
ditinggalkannya, Borgin and Burkes, kelihatan-nya yang paling besar, tetapi di seberangnya ada etalase yang memajang kepala-kepala yang sudah me-ngerut mengerikan, dan di dua toko sesudahnya ada-kandang besar berisi banyak labah-labah raksasa yang berjalan ke sana kemari. Dua penyihir laki-laki kumal mengawasinya dari bayang-bayang pintu, seraya saling bergumam. Dengan gelisah Harry berjalan, memegangi kacamatanya selurus mungkin dan berharap bisa me-nemukan jalan keluar dari tempat ini.
Papan nama kusam yang tergantung di atas toko yang menjual lilin beracun memberitahunya bahwa dia berada di Knockturn Alley. Ini tidak membantu, karena Harry belum pernah mendengar nama tempat ini. Rupanya dia tidak bicara cukup jelas gara-gara mulutnya penuh abu sewaktu berada di perapian keluarga Weasley. Harry berusaha tetap tenang dan memikirkan apa yang akan dilakukannya. "Tidak tersesat, kan, Nak"" kata suara di telinganya, membuatnya terlonjak.
Seorang nenek sihir berdiri di depannya, membawa
nampan yang kelihatannya berisi kuku-kuku utuh manusia. Dia
menyeringai kepada Harry, memamerkan gigi-giginya yang berlumut. Harry mundur.
"Aku tak apa-apa, terima kasih," katanya, "aku cuma..."
"HARRY! Sedang apa kau di sini""
Jantung Harry melompat. Si nenek sihir juga me-lompat.
Kuku-kuku dari nampannya berjatuhan ke atas kakinya, dan
dia mengutuk ketika sosok tinggi besar Hagrid, pengawas
binatang liar di Hogwarts, berjalan mendekati mereka, matakumbangnya
yang hitam berkilat-kilat di atas jenggot dan
berewoknya yang lebat. "Hagrid!" Harry berseru parau dengan lega. "Aku tersesat... bubuk Floo..."
Hagrid menyambar kerah baju Harry dan menarik-nya jauhjauh dari si nenek sihir, menyenggol nampan-nya sampai jatuh. Teriakan si nenek mengikuti mereka sepanjang jalan kecil yang berkelok-kelok sampai mereka tiba di tempat terang. Harry melihat gedung pualam seputih salju yang dikenalnya di kejauhan: Bank Gringotts. Hagrid telah membawanya ke D
iagon Alley. "Kau berantakan!" kata Hagrid pedas, mengibas abu dari tubuh Harry begitu kerasnya sampai Harry nyaris tercebur ke dalam tong berisi kotoran naga di luar toko obat. "Berkeliaran di Knockturn Alley, ke-lewatan-tempat yang harus dihindari, Harry-jangan sampai ada yang lihat kau di sana..." "Aku sadar itu," kata Harry, menunduk ketika Hagrid mau mengibasnya lagi. "Sudah kubilang, aku tersesat-kau sendiri ngapain di sana""
"Aku sedang cari Pembasmi Siput Pemakan-Daging," kata Hagrid geram. "Mereka hancurkan kol sekolah. Kau tidak sendirian""
"Aku menginap di rumah keluarga Weasley, tapi kami terpisah," Harry menjelaskan. "Aku harus men-can mereka..." Mereka berjalan berdua.
"Kenapa kau tidak pernah balas suratku"" tanya Hagrid, sementara Harry berlari-lari kecil di sebelahnya (dia harus melangkah tiga kali untuk mengimbangi setiap langkah bot besar Hagrid). Harry menjelaskan tentang Dobby dan keluarga Dursley.
"Muggle brengsek," gerutu Hagrid. "Kalau aku tahu..." "Harry! Harry! Di sini!"
Harry mendongak dan melihat Hermione Granger berdiri di undakan putih paling atas Gringotts. Dia berlari turun menyongsong mereka, rambutnya yang lebat berkibar di belakangnya.
"Kenapa kacamatamu" Halo, Hagrid... Oh, senang sekali bertemu kalian berdua lagi... Kau mau ke Gringotts, Harry"" "Kalau keluarga Weasley sudah kutemukan," kata Harry. "Kau tak perlu tunggu lama," Hagrid nyengir. Harry dan Hermione memandang berkeliling. Tam-pak Ron, Fred, George, Percy, dan Mr Weasley berlari-lari ke arah mereka dijalan yang padat itu.
"Harry," Mr Weasley tersengal. "Kami berharap kau cuma kejauhan satu perapian..." Dia menyeka kepala botaknya yang berkilauan. "Molly sudah panik-itu dia datang." "Kau keluar di mana"" tanya Ron. "Knockturn Alley," jawab Harry muram. "Luar biasa!" komentar Fred dan George bersamaan. "Kami belum pernah diizinkan ke sana," kata Ron iri. "Mestinya memang tidak," gerutu Hagrid. Mrs Weasley kini sudah kelihatan, berlari dengan tas tangannya berayun liar di satu tangan, sementara Ginny bergantung di tangan lainnya. "Oh, Harry-oh, Nak-kau bisa tersesat entah di mana..." Terengah kehabisan napas, dia menarik keluar sikat pakaian dari dalam tasnya dan mulai menyikat abu yang tidak berhasil dibersihkan Hagrid. Mr Weasley mengambil kacamata
Harry, mengetuknya dengan tongkatnya, dan mengembalikannya pada Harry, sudah baru lagi. "Aku harus pergi," kata Hagrid, yang tangannya dijabat erat-erat oleh Mrs Weasley ("Knockturn Alley! Coba kalau kau tidak menemukannya, Hagrid!"). "Sampai ketemu di Hogwarts!" Dan dia pergi, lebih tinggi sebahu daripada siapa pun juga dijalan yang padat itu.
"Coba tebak siapa yang kulihat di Borgin and Burkes"" kata
Harry kepada Ron dan Hermione ketika mereka menaiki
undakan Gringotts. "Malfoy dan ayahnya."
"Apa Lucius Malfoy membeli sesuatu"" tanya Mr Weasley
tajam di belakang mereka.
"Tidak, dia jual."
"Ah, jadi dia cemas," kata Mr Weasley puas. "Oh, ingin rasanya menangkap Lucius Malfoy karena se-suatu...." "Hati-hati, Arthur," kata Mrs Weasley tajam, semen-tara mereka dipersilakan masuk ke bank oleh goblin yang membungkuk di pintu. "Keluarga itu bikin ma-salah, jangan menyuap lebih daripada yang bisa kau-kunyah." "Jadi menurutmu aku bukan tandingan Lucius Malfoy"" kata Mr Weasley jengkel, tetapi perhatiannya langsung beralih ke orangtua Hermione, yang sedang berdiri gelisah di depan meja panjang di dalam aula pualam besar itu, menunggu Hermione memperkenal-kan mereka.
"Wah, kalian Muggle!" kata Mr Weasley senang. "Kita harus minum! Apa yang kalian pegang itu" Oh, kalian menukar uang Muggle. Molly, lihat!" Dengan bersemangat ditunjuknya selembar uang sepuluh pound di tangan Mr Granger. "Sampai ketemu di dalam," kata Ron kepada Hermione, ketika keluarga Weasley dan Harry diantar ke ruangan besi bawah tanah mereka oleh goblin Gringotts yang lain. Ruangan besi itu dicapai dengan kereta kecil, di-kendarai goblin, yang meluncur kencang di atas rel kereta kecil melewati lorong-lorong bawah tanah bank. Harry menikmati perjalanannya yang berkecepatan supertinggi menuju ke ruangan besi keluarga Weasl
ey. Ketika ruangan itu dibuka, dia merasa sangat tidak enak, jauh lebih tidak enak daripada sewaktu dia berada di Knockturn Alley. Hanya ada seonggok kecil Sickle perak di dalamnya, dan hanya ada sekeping Galleon emas. Mrs Weasley meraba-raba sudut-sudutnya sebelum meraup semuanya ke dalam tasnya. Harry merasa lebih tidak enak lagi ketika mereka tiba di ruangan besinya. Dia berusaha menutupi isinya dari pandangan selagi dia buruburu memasukkan bergenggam-genggam koin ke dalam tas kulit.
Kembali di undakan pualam di luar, mereka ber-pisah. Percy bergumam tak jelas bahwa dia perlu pena baru. Fred dan George sudah melihat teman mereka dari Hogwarts, Lee Jordan. Mrs Weasley dan Ginny akan ke toko jubah bekas. Mr Weasley men-desak suami-istri Granger ke Leaky Cauldron untuk minum.
"Kita semua bertemu di Flourish and Blotts sejam lagi untuk membeli buku-buku sekolahmu," kata Mrs Weasley, mengajak Ginny pergi. "Dan jangan berani-berani ke Knockturn Alley selangkah pun jangan!" dia berteriak kepada punggung si kembar yang men-jauh.
Harry, Ron, dan Hermione berjalan menyusuri jalan batu berkelok. Uang emas, perak, dan perunggu yang bergemerincing di saku Harry menuntut dibelanjakan, maka dia membeli tiga es krim stroberi-kacang besar yang mereka nikmati dengan gembira sambil berjalan, melihat-lihat isi etalase yang menarik. Ron memandang penuh ingin satu set lengkap jubah Chudley Cannons di etalase Peralatan Quidditch Berkualitas sampai Hermione menariknya untuk membeli tinta dan per-kamen di toko sebelahnya. Di toko Lelucon Sihir
Gambol and Japes, mereka bertemu Fred, George, dan Lee Jordan, yang sedang membeli "Kembang Api Awal-Basah, Tanpa-Panas Dr Filibuster", dan di toko kecil barang-barang rongsokan yang penuh tongkat patah, timbangan kuningan yang sudah butut, dan jubah-jubah tua bernoda bercak-bercak ramuan, mereka me-nemukan Percy, sedang asyik membaca buku kecil sangat membosankan berjudul Prefek yang Meraih Kekuasaan.
"Telaah tentang para Prefek Hogwarts dan karier yang mereka rintis," Ron membaca keras-keras dari sampul belakangnya. "Kedengarannya menarik sekali...." "Pergi," Percy membentak.
"Tentu saja, si Percy itu sangat ambisius, dia sudah merencanakan segalanya... cita-citanya menjadi Men-teri Sihir...," Ron memberitahu Harry dan Hermione pelan, ketika mereka meninggalkan Percy bersama bukunya. Satu jam kemudian, mereka menuju Flourish and Blotts. Bukan hanya mereka yang menuju toko buku itu. Ketika sudah dekat, mereka heran sekali melihat gerombolan orang yang berdesakan di depan pintu, mau masuk. Alasan untuk ini dinyatakan oleh spanduk besar yang digelar di antara dua jendela atas:
GILDEROY LOCKHART akan menandatangani autobiografinya
AKU YANG AJAIB

Harry Potter Dan Kamar Rahasia Karya J.k. Rowling di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hari ini pukul 12.30 - 16.30
"Kita bisa bertemu dia!" pekik Hermione. "Maksudku, hampir seluruh buku yang ada di daftar kita karangannya!" Gerombolan orang itu kelihatannya sebagian besar terdiri atas para penyihir wanita seusia Mrs Weasley. Seorang penyihir pria bertampang bingung berdiri di depan pintu, berkata, "Tenang, Ibu-ibu... jangan dorong-dorongan... awas bukunya ketabrak..."
Harry Ron, dan Hermione ikut berdesakan masuk. Antrean panjang memanjang sampai ke bagian bela-kang toko, tempat Gilderoy Lockhart menandatangani bukunya. Mereka masingmasing menyambar buku Heboh dengan Hantu, dan menyelinap di antara orang-orang yang antre sampai tiba di tempat keluarga Weasley berdiri bersama Mr dan Mrs Granger. "Oh, kalian sudah datang, bagus," kata Mrs Weasley Dia bicara seakan kehabisan napas dan tak henti-hentinya merapikan rambutnya. "Sebentar lagi kita bisa bertemu dia...." Gilderoy Lockhart akhirnya tampak, duduk di bela-kang meja dikelilingi foto-foto besar wajahnya sendiri, semua mengedipkan mata dan memamerkan gigi yang putih berkilau kepada para pengunjung. Lockhart yang sesungguhnya memakai jubah biru bunga for-get-me-not yang persis warna matanya, topi sihirnya yang berbentuk kerucut terpasang gaya di atas ram-butnya yang berombak.
Seorang laki-laki pendek bertampang menyebalkan melesat
ke sana kemari, memotret dengan kamera besar hitam yang
setiap kal i mengeluarkan asap ungu bersamaan dengan
menyalanya lampu blitz yang me-nyilaukan.
"Minggir kau," dia menggertak Ron, sambil mundur agar
bisa mengambil gambar dengan lebih baik. "Ini untuk Daily
Prophet." "Uh, dasar sok," gerutu Ron, menggosok kakinya yang tadi diinjak si fotografer.
Gilderoy Lockhart mendengarnya. Dia mendongak. Dia melihat Ron-dan kemudian dia melihat Harry. Dia terbelalak. Kemudian dia melompat bangun dan berteriak keras, "Tak mungkin itu Harry Potter""
Kerumunan orang menyibak, berbisik-bisik seru. Lockhart bergegas maju, meraih lengan Harry dan menariknya ke depan. Orang-orang bertepuk tangan. Wajah Harry serasa
terbakar ketika Lockhart menjabat tangannya, berpose untuk si fotografer, yang memotret gila-gilaan, menyebar asap tebal di atas keluarga Weasley.
"Senyum yang lebar, Harry," kata Lockhart sambil memamerkan giginya yang berkilau. "Berdua, kau dan aku layak menghiasi halaman depan."
Ketika dia akhirnya melepas tangan Harry, jari-jari Harry nyaris kebas. Dia mencoba menyelinap kembali kepada keluarga Weasley, tetapi Lockhart melingkarkan lengannya ke bahu Harry dan menariknya rapat-rapat ke sisinya. "Ibu-ibu dan Bapak-bapak," katanya keras, me-lambaikan tangan agar pengunjung diam. "Sungguh saat yang luar biasa. Saat yang paling tepat bagiku untuk mengumumkan sesuatu yang sudah kusimpan selama beberapa waktu ini! "Ketika Harry masuk ke Flourish and Blotts hari ini, dia hanya ingin membeli autobiografi saya, yang de-ngan senang hati akan saya hadiahkan kepadanya sekarang, gratis..." orang-orang bertepuk tangan lagi, "...dia sama sekali tak tahu," Lockhart melanjutkan, mengguncang tubuh Harry, membuat kacamatanya melorot ke ujung hidungnya, "bahwa dalam waktu dekat dia sendiri akan mendapatkan jauh lebih banyak daripada buku saya, Aku yang Ajaib. Dia dan teman-teman sekolahnya, sebenarnya, akan mendapat aku yang ajaib yang sesungguhnya. Ya, Ibu-ibu dan Bapak-bapak, dengan senang dan bangga saya umumkan bahwa bulan September ini saya akan mengisi jabatan guru Pertahanan terhadap Ilmu Hitam di Sekolah Sihir Hogwarts!" Orang-orang bersorak dan bertepuk tangan dan Harry tahu-tahu dihadiahi seluruh karya Gilderoy Lockhart. Sedikit terhuyung karena keberatan, dia ber-hasil menyingkir dari pusat perhatian ke tepi ruangan, tempat Ginny berdiri di sebelah kuali barunya.
"Ini untukmu," Harry bergumam kepadanya, me-nuang buku-bukunya ke dalam kuali Ginny. "Aku akan beli sendiri..." "Taruhan kau pasti senang, ya, Potter"" kata suara yang langsung dikenali Harry. Dia menegakkan tubuh-nya dan berhadapan dengan Draco Malfoy, yang se-perti biasa mencibir.
"Harry Potter yang terkenal," kata Malfoy. "Bahkan, tak bisa masuk toko buku tanpa muncul di halaman pertama koran." "Jangan ganggu dia, dia tidak menginginkan semua itu!" kata Ginny. Ini pertama kalinya dia bicara di depan Harry. Dia membelalak kepada Malfoy.
"Potter, kau punya pacar nih," ejek Malfoy. Wajah Ginny jadi merah padam. Sementara itu Ron dan Hermione bersusah payah berusaha mendekati me-reka, keduanya memeluk setumpuk buku Lockhart.
"Oh, kau," kata Ron, memandang Malfoy seakan dia sesuatu yang tidak menyenangkan di sol sepatu-nya. "Pasti kau kaget ketemu Harry di sini, eh""
"Tidak sekaget melihatmu di toko, Weasley," balas Malfoy. "Kurasa orangtuamu akan kelaparan sebulan demi membayar buku-buku itu."
Wajah Ron jadi semerah Ginny. Dia menjatuhkan bukubukunya ke dalam kuali juga dan maju men-dekati Malfoy, tetapi Harry dan Hermione menyambar bagian belakang jaketnya.
"Ron!" kata Mr Weasley, berdesakan mendekat ber-sama Fred dan George. "Sedang apa kau" Gila sekali di sini, ayo kita keluar."
"Wah, wah, wah-Arthur Weasley."
Ternyata Mr Malfoy. Dia berdiri dengan tangan di bahu
Draco, mencibir dengan cara yang sama.
"Lucius," kata Mr Weasley, mengangguk dingin.
"Sibuk di Kementerian, kudengar," kata Mr Malfoy. "Razia
terus-terusan... kuharap mereka membayar uang lembur"" Dia meraih ke dalam kuali Ginny dan mengeluar-kan, dari antara buku-buku Lockhart yang licin ber-kilat, buku Pengantar Transfigurasi bagi Pemula yang sudah sangat usang dan kumal.
"J elas tidak," katanya. "Astaga, buat apa mendapat nama buruk di kalangan para penyihir kalau mereka bahkan tidak membayarmu dengan baik""
Mr Weasley lebih merah padam daripada Ron dan Ginny. "Kami punya penilaian yang sangat berbeda tentang apa yang mendatangkan nama buruk bagi penyihir, Malfoy," katanya.
"Itu jelas," kata Mr Malfoy, matanya yang pucat ganti menatap Mr dan Mrs Granger, yang mengawasi dengan khawatir. "Melihat teman-teman yang kaupilih, Weasley... kupikir keluargamu sudah tidak bisa ter-puruk lebih dalam lagi..."
Terdengar dentang logam ketika kuali Ginny ter-bang. Mr Weasley telah menerjang Mr Malfoy, mem-buatnya jatuh ke belakang menabrak rak buku. Ber-puluh-puluh buku mantra berat berjatuhan mengenai kepala mereka semua. Terdengar teriakan, "Hajar dia, Dad!" dari Fred dan George. Mrs Weasley berteriak-teriak, "Jangan, Arthur, jangan!" Orang banyak ber-gerak mundur, menabrak lebih banyak rak buku. "Bapakbapak, jangan berkelahi-tolong j angan ber-kelahi!" seru pegawai toko. Dan kemudian, lebih keras dari semuanya, "Berhenti, hei, berhenti..."
Hagrid berjalan ke arah mereka di tengah lautan buku. Sekejap saja dia sudah memisahkan Mr Weasley dan Mr Malfoy. Bibir Mr Weasley robek dan mata Mr Malfoy bengkak tertimpa Ensiklopedi Jamur Payung. Dia masih memegangi buku transfigurasi usang Ginny. Diulurkannya buku itu kepada Ginny, matanya ber-kilau jahat. "Nih, ambil bukumu-ini yang paling baik yang bisa dibelikan ayahmu..."
Melepaskan diri dari pegangan Hagrid, dia memberi isyarat kepada Draco dan meninggalkan toko. "Kau seharusnya jangan acuhkan dia, Arthur," kata Hagrid, nyaris mengangkat" Mr Weasley yang sedang merapikan jubahnya. "Jahat sekali, seluruh keluarga, semua orang tahu. Malfoy tak layak didengarkan. Darah jelek, itu penyebabnya. Ayo-kita keluar dari sini."
Si pegawai toko kelihatannya ingin mencegah mereka pergi, tetapi tingginya tak sampai seping-gang Hagrid. Jadi, dia memutuskan lebih baik diam saja. Mereka bergegas ke jalan, suami-istri Granger gemetar ketakutan dan Mrs Weasley bukan main marahnya.
"Contoh bagus untuk anak-anakmu... berkelahi di depan umum... entah apa pendapat Gilderoy Lockhart...." "Dia senang," kata Fred. "Apa Mum tidak men-dengarnya ketika kita keluar" Dia bertanya kepada wartawan Daily Prophet, apakah bisa memasukkan perkelahian itu dalam tulisannya-katanya untuk publisitas." Tetapi rombongan yang kembali ke perapian di Leaky Cauldron adalah rombongan yang lesu. Dari tempat itu Harry, keluarga Weasley, dan semua belanjaan mereka akan pulang ke The Burrow meng-gunakan bubuk Floo. Mereka mengucapkan selamat tinggal kepada keluarga Granger, yang akan me-ninggalkan rumah minum itu untuk menuju ke jalan Muggle di sisi lain. Mr Weasley sudah mulai bertanya kepada mereka bagaimana cara halte bus beroperasi, tetapi cepatcepat berhenti ketika melihat tampang Mrs Weasley. Harry membuka kacamatanya dan menyimpannya dengan aman di dalam sakunya sebelum menjumput bubuk Floo. Ini jelas bukan cara bepergian favoritnya.
5 Dedalu Perkasa AKHIR liburan musim panas datang terlalu cepat bagi Harry. Dia memang senang kembali ke Hogwarts, tetapi sebulan bersama keluarga Weasley merupakan saat paling menyenangkan dalam hidupnya. Susah untuk tidak iri kepada Ron kalau dia teringat keluarga Dursley dan macam sambutan yang bisa diharapkannya kalau dia muncul kembali di Privet Drive kali berikutnya.
Pada malam terakhir mereka, Mrs Weasley menyihir makan malam mewah yang mencakup semua ma-kanan favorit Harry ditutup dengan puding karamel yang menimbulkan air liur. Fred dan George meng-akhiri malam itu dengan memasang kembang api Filibuster. Kembang api itu memenuhi dapur dengan bintang-bintang merah dan biru yang memantul dari langit-langit ke dinding selama sedikitnya setengah jam. Kemudian tiba saatnya untuk minum secangkir cokelat panas sebelum tidur.
Perlu waktu lama untuk siap berangkat keesokan harinya. Mereka sudah bangun bersamaan dengan kokok ayam pagipagi sekali, tetapi rasanya banyak sekali yang harus dilakukan. Mrs Weasley berkelebat ke sana kemari sambil ngomel, mencari kaus kaki dan p
ena cadangan. Orang-orang tak hentinya bertabrakan di tangga, berpakaian setengah-lengkap, dengan se-potong roti di tangan, dan Mr Weasley nyaris patah leher karena terantuk ayam tersesat ketika dia me-nyeberangi halaman dengan membawa koper Ginny ke mobil. Harry tidak mengerti bagaimana nanti delapan orang, enam koper besar, dua burung hantu, dan seekor tikus bisa muat dalam Ford Anglia kecil. Dia tidak memperhitungkan, tentu saja, keistimewaan khu-sus yang telah ditambahkan Mr Weasley.
"Jangan bilang apa-apa kepada Molly," bisiknya ke-pada Harry ketika dia membuka -bagasi dan menunjukkan bagaimana bagasi itu sudah dibesarkan dengan sihir sehingga bisa memuat koper-koper.
Ketika akhirnya mereka semua sudah masuk mobil, Mrs Weasley melirik ke tempat duduk belakang, di mana Harry, Ron, Fred, George, dan Percy duduk nyaman bersebelahan, dan berkata, "Muggle benar-benar mampu melakukan lebih banyak daripada yang kita kira. Kita suka meremehkan mereka." Dia dan Ginny masuk dan duduk di tempat duduk depan, yang sudah dipanjangkan sehingga mirip bangku taman. "Maksudku, dari luar kita tidak menyangka selega ini, kan""
Mr Weasley menyalakan mesin dan mobil meluncur meninggalkan halaman. Harry menoleh untuk meman-dang rumah terakhir kali. Belum sempat dia bertanya kapan dia akan bisa melihatnya kembali, mereka sudah berputar balik. Kembang api Filibuster George ke-tinggalan. Lima menit sesudah itu, mereka menyentak berhenti di halaman supaya Fred bisa berlari mengam-bil sapunya. Mereka sudah hampir tiba dijalan tol ketika Ginny memekik buku hariannya ketinggalan. Saat dia naik kembali ke mobil, mereka sudah sangat terlambat, dan semua orang sudah jengkel dan maunya marah.
Mr Weasley melirik arlojinya dan kemudian istrinya. "Molly sayang..." "Tidak, Arthur."
"Tak akan ada yang lihat. Tombol kecil ini-Buster Tidak Tampak-pendorong yang akan membuat mobil tidak kelihatan-yang sekaligus akan membuatnya ter-angkat ke atas. Kemudian kita akan terbang di atas awan. Kita akan tiba di sana dalam waktu sepuluh menit dan tak akan ada orang yang tahu..."
"Kubilang tidak, Arthur, tidak di siang bolong." Mereka tiba di King's Cross pukul sebelas kurang seperempat. Mr Weasley melesat menyeberang jalan, mengambil troli untuk koper-koper mereka, dan me-reka semua bergegas masuk stasiun. Harry sudah pernah naik Hogwarts Express tahun sebelumnya. Bagian yang sulit adalah menuju ke peron sembilan tiga perempat, yang tidak tampak bagi mata Muggle. Yang harus kaulakukan hanyalah berjalan menembus palang rintangan yang memisah-kan peron sembilan dan sepuluh. Tidak sakit, tetapi harus dilakukan hati-hati supaya tak ada Muggle yang melihat kau tiba-tiba menghilang. "Percy duluan," kata Mrs Weasley, gugup me-mandang jam di atas yang menunjukkan mereka ting-gal punya waktu lima menit untuk menghilang de-ngan santai melewati palang rintangan.
Percy melangkah cepat dan menghilang. Mr Weasley berikutnya, disusul Fred dan George. "Aku akan membawa Ginny dan kalian berdua langsung menyusul," Mrs Weasley berkata kepada Harry dan Ron, menggandeng tangan Ginny dan berangkat. Dalam sekejap mereka sudah menghilang.
"Ayo masuk bareng, kita cuma punya waktu se-menit," kata Ron kepada Harry.
Setelah memastikan sangkar Heig sudah ter-pasang aman di atas kopernya, Harrry mendorong trolinya untuk menembus palang. Dia merasa sangat percaya diri. Ini lebih nyaman dibanding meng-gunakan bubuk Floo. Mereka berdua membungkuk rendah di atas pegangan troli dan berjalan man tap ke arah palang rintangan, makin lama makin cepat. Kira-kira semeter dari palang mereka berlari dan... GUBRAK.
Kedua troli menabrak palang rintangan dan me-mantul balik. Koper Ron jatuh dengan suara keras. Harry terjatuh dan sangkar Heig terguling ke lantai yang licin lalu menggelinding. Heig menjerit-jerit marah. Orang-orang menonton dan seorang penjaga di dekat palang berteriak marah, "Kalian ini ngapain""
"Kehilangan kendali troli," kata Harry tersengal, memegangi tulang rusuknya sambil berdiri. Ron berlari untuk mengambil Heig, yang ribut sekali, membuat banyak orang dalam kerumunan bergumam tentang ke
kejaman terhadap binatang. "Kenapa kita tidak bisa tembus"" desis Harry kepada Ron. "Entahlah..."
Ron memandang berkeliling dengan cemas. Kira-kira selusin orang masih memandang mereka dengan ingin tahu. "Kita akan ketinggalan kereta," bisik Ron. "Aku tak mengerti kenapa gerbang masuk ini terkunci..." Harry memandang jam raksasa dengan hati men-celos. Sepuluh detik... sembilan detik...
Dia mendorong trolinya ke depan dengan hati-hati sampai
menempel ke palang dan mendorong sekuat tenaga. Logam
palang tetap kokoh. Tiga detik... dua detik... satu detik...
"Keretanya berangkat," kata Ron panik. "Keretanya sudah
berangkat. Bagaimana kalau Mum dan Dad tidak bisa
menembus gerbang kembali ke kita" Kau punya uang
Muggle"" Harry tertawa hambar. "Sudah kira-kira enam tahun ini keluarga Dursley tidak memberiku uang saku." Ron menempelkan telinganya ke palang yang dingin. "Tidak kedengaran apa-apa," ka.tanya tegang. "Apa yang akan kita lakukan" Aku tak tahu berapa lama lagi Mum dan Dad bisa kembali ke kita."
Mereka memandang berkeliling. Orang-orang masih
mengawasi mereka, terutama gara-gara teriakan-teriakan Heig yang tak kunjung berhenti.
"Kurasa lebih baik kita menunggu di mobil," kata Harry. "Kita menarik terlalu banyak perhat..." "Harry!" seru Ron, matanya berbinar. "Mobil." "Kenapa mobilnya""
"Kita bisa menerbangkannya ke Hogwarts!" "Tapi bukankah..."
"Kita ketinggalan kereta, betul" Dan kita harus ke sekolah, kan" Dan bahkan penyihir di bawah umur diizinkan menggunakan sihir, kalau keadaan benar-benar darurat, pasal sembilan belas atau entah berapa dalam Pembatasan Halhal..." Kepanikan Harry mendadak berubah menjadi ke-gairahan. "Kau bisa menerbangkannya""
"Tidak masalah," kata Ron, memutar trolinya meng-hadap pintu keluar. "Ayo, cepat, kalau bergegas kita masih akan bisa mengikuti Hogwarts Express."
Mereka melewati kerumunan Muggle-muggle yang ingin tahu, keluar dari stasiun dan kembali ke tepi jalan tempat Ford Anglia tua diparkir.
Ron membuka bagasinya yang luas dengan sederet ketukan tongkatnya. Dengan susah payah mereka memasukkan kembali koper-koper mereka, meletakkan Heig di tempat duduk belakang, dan duduk di tempat duduk depan.
"Periksa apa ada yang melihat," kata Ron, meng-hidupkan mesin dengan ketukan tongkatnya juga. Harry menjulurkan kepala ke luar jendela. Jalan raya di depan cukup ramai, tetapi jalan tempat mereka berada kosong. "Oke," katanya.
Ron menekan tombol perak kecil di dasbor. Mobil-mobil di sekitar mereka lenyap-begitu juga mereka. Harry bisa merasakan tempat duduknya bergetar, men-dengar derum mesinnya, merasakan tangannya di lututnya dan kacamata yang bertengger di hidungnya, tetapi rasanya dia sudah berubah menjadi sepasang bola mata saja, melayang kira-kira semeter di atas tanah dijalan kumuh yang dipenuhi mobilmobil yang parkir.
"Kita berangkat," terdengar suara Ron dari sebelah kanannya.
Tanah dan bangunan-bangunan kotor di kanan-kiri mereka terjatuh dan menghilang dari pandangan ketika mobil mengangkasa. Dalam beberapa detik saja seluruh London terhampar berkabut dan berkilau di bawah mereka. Kemudian terdengar bunyi pop dan mobil, Harry, serta Ron kelihatan lagi. "Uh, oh," kata Ron, menekan-nekan Buster Tidak Tampak. "Rusak rupanya..." Keduanya memukul-mukul tombol itu. Mobil kem-bali menghilang. Kemudian muncul lagi. "Pegangan!" teriak Ron, dan dia menekankan kaki-nya ke pijakan gas. Mereka langsung melesat ke dalam awan-awan rendah seperti wol dan segalanya berubah menjadi suram dan berkabut.
"Sekarang bagaimana"" tanya Harry, menatap dinding awan tebal yang menekan mereka dari segala penjuru. "Kita perlu melihat kereta apinya agar bisa melihat ke arah mana kita harus pergi," kata Ron. "Turun lagi-cepat..."
Mereka turun lagi ke bawah awan-awan dan me-nyipitkan mata memandang ke bawah... "Aku bisa melihatnya!" Harry berteriak. "Itu dia- itu, di sana!" Hogwarts Express meluncur di bawah mereka se-perti ular merah. "Ke utara," kata Ron, mengecek kompas di dasbor. "Oke, kita tinggal mengeceknya setengah jam sekali. Pegangan..." Dan mereka melesat menembus awan. Semenit kemudian, mereka muncul da
lam cahaya te-rang matahari.
Sungguh dunia yang berbeda. Roda-roda mobil me-luncur
di atas lautan awan-awan putih lembut. Langit terhampar biru
di bawah sinar matahari yang me-nyilaukan.
"Yang tinggal kita cemaskan hanyalah pesawat," kata Ron.
Mereka saling pandang dan mulai tertawa, lama sekali tak bisa
berhenti. Rasanya mereka dijatuhkan ke dalam mimpi yang luar biasa indah. Ini, pikir Harry, jelas satu-satunya cara bepergian; melewati pusaran dan gundukan awan-awan seputih salju, di dalam mobil yang disiram cahaya matahari, dengan bungkusan besar permen di dalam kompartemen, dan harapan melihat wajah iri Fred dan George ketika mereka mendarat dengan mulus dan spektakuler di lapangan rumput di depan kastil Hogwarts.
Secara teratur mereka mengecek kereta api semen-tara mereka terbang makin lama makin jauh ke utara. Setiap kali menukik ke bawah awan, pemandangan yang mereka lihat berbeda. London segera saja sudah jauh tertinggal di belakang, digantikan ladang-ladang hijau yang kemudian disusul tanah-tanah luas ke-unguan, desa-desa dengan rumah dan gereja yang tampak kecil-kecil seperti mainan, dan sebuah kota besar yang hidup dengan mobil-mobil berseliweran seperti semut-semut multi-warna. Meskipun demikian, setelah beberapa jam tanpa kejadian apa-apa, Harry harus mengakui bahwa se-bagian keasyikannya sudah pudar. Permennya telah membuat mereka haus sekali dan mereka tak punya apa-apa untuk diminum. Dia dan Ron sudah melepas rompi mereka, tetapi T-shirt Harry sudah menempel ke tempat duduknya dan kacamatanya bolak-balik merosot dari hidungnya yang berkeringat. Dia sudah berhenti mengamati bentuk-bentuk awan yang fan-tastis sekarang, dan memikirkan kereta api yang ber-kilokilo meter di bawah mereka. Di dalam kereta mereka bisa membeli jus labu kuning dingin dari troli yang didorong penyihir wanita gemuk. Kenapa mereka tidak bisa menembus palang menuju peron sembilan tiga perempat" "Pasti tidak jauh lagi, kan"" kata Ron serak, berjam-jam kemudian, ketika matahari sudah mulai terbenam dalam landasan awannya, membuatnya berwarna merah jingga. "Siap mengecek kereta api lagi""
Pedang Kiri Pedang Kanan 4 Gento Guyon 12 Ki Anjeng Laknat Pembalasan Iblis Sesat 2

Cari Blog Ini