Ceritasilat Novel Online

Kamar Rahasia 5

Harry Potter Dan Kamar Rahasia Karya J.k. Rowling Bagian 5


Harry jatuh ke tanah dalam posisi merangkak ketika si labah-labah melepaskannya. Ron dan Fang jatuh berdebam di sebelahnya. Fang tak lagi melolong, melainkan meringkuk diam di tempat. Ron kelihatan persis seperti yang dirasakan Harry. Mulutnya terpentang lebar dalam jeritan tanpa suara dan matanya terbeliak.
Harry tiba-tiba sadar bahwa labah-labah yang
menjatuhkannya mengatakan sesuatu. Susah ditangkap,
karena dia mengatupkan capitnya bersamaan dengan setiap
kata yang diucapkannya. "Aragog!" dia memanggil. "Aragog!"
Dan dari tengah jaring kubah berkabut, seekor labah-labah
seukuran gajah kecil muncul, sangat perlahan. Ada warna biru
di tengah hitamnya tubuh dan kakinya, dan pada kepalanya
yang jelek bercapit, semua matanya putih seperti susu. Dia
buta. "Ada apa"" dia berkata, mengatup-ngatupkan capitnya dengan cepat.
"Manusia," jawab si labah-labah yang menangkap Harry. "Hagrid-kah"" tanya Aragog, bergerak mendekat, kedelapan matanya yang seputih susu bergerak-gerak ke segala arah,
"Orang asing," kata labah-labah yang membawa Ron. "Bunuh mereka," perintah Aragog mengatupkan capit dengan jengkel. "Aku sedang tidur..." "Kami teman Hagrid," Harry berteriak. Jantungnya serasa meninggalkan dadanya dan berdenyut di tenggorokannya. Klik, klik, klik, bunyi capit para labah-labah di sekeliling lubang besar.
"Hagrid belum pernah mengirim orang ke lubang kami," katanya lambat-lambat.
"Hagrid dalam kesulitan," kata Harry, bernapas cepat
sekali. "Itulah sebabnya kami datang."
"Kesulitan"" tanya si labah-labah tua, dan Harry merasa
mendengar nada cemas dalam suaranya. "Tetapi kenapa dia
mengirimmu"" Harry berpikir akan berdiri, tetapi membatalkannya. Dia
menduga kakinya tak akan sanggup menopangnya. Jadi dia
bicara dari tanah, setenang mungkin.
"Mereka mengira, di sekolah, bahwa Hagrid telah
melepas-se-sesuatu-untuk menyerang anak-anak. Mereka
membawanya ke Azkaban."
Aragog mengatup-ngatupkan capitnya dengan murka dan
di sekeliling lubang, bunyi itu dipantulkan oleh rombongan labah-labah yang ikut mengatupkan capit mereka. Semacam tepuk tangan, hanya saja tepuk tangan biasanya tidak membuat Harry ketakutan.
"Tetapi itu sudah lama sekali," kata Aragog marah. "Bertahun-tahun yang lalu, aku masih ingat betul. Itulah sebabnya mereka menyuruhnya meninggalkan sekolah. Mereka yakin akulah monster yang tinggal di dalam apa yang mereka sebut Kamar Rahasia. Mereka mengira Hagrid telah membuka kamar itu dan me le
pasku." "Dan kau... kau tidak berasal dari Kamar Rahasia"" tanya Harry, yang bisa merasakan dahinya bersimbah keringat dingin.
"Aku!" kata Aragog, mengatupkan capitnya dengan gusar. "Aku tidak dilahirkan di kastil. Aku berasal dari negeri yang jauh. Seorang pengelana memberikan aku kepada Hagrid waktu aku masih berupa telur. Hagrid masih anak-anak, tetapi dia merawatku, menyembunyikan aku dalam lemari di kastil, memberi makan aku sisa-sisa makanan dari meja. Hagrid teman baikku, dan dia orang baik. Ketika aku ditemukan dan dituduh telah menyebabkan kematian seorang anak perempuan, dia melindungiku. Aku hidup di hutan ini sejak saat itu. Hagrid masih mengunjungiku. Dia bahkan mencarikan istri untukku, Mosag, dan kalian lihat bagaimana keluarga kami telah berkembang, semua berkat kebaikan Hagrid." Harry mengeluarkan sisa keberaniannya. "Jadi, kau tak pernah-tak pernah menyerang siapa ... "Tak pernah," kata si labah-labah tua serak. "Sebetulnya itu naluriku, tetapi karena menghormati Hagrid, aku tak pernah melukai orang. Mayat anak perempuan yang dibunuh itu ditemukan di dalam toilet. Aku tak pernah melihat bagian lain kastil kecuali lemari tempat aku tumbuh. Bangsa kami menyukai kegelapan dan keheningan..." "Tetapi kalau begitu... Tahukah kau apa yang membunuh anak perempuan itu"" tanya Harry. "Karena entah apa pun dia, dia sudah muncul kembali dan menyerang orang-orang lagi..."
Kata-katanya ditenggelamkan oleh suara klak-klik yang keras sekali dan keresekan banyak kaki panjang yang bergerak dengan marah. Sosok-sosok besar hitam bergerakgerak di sekelilingnya.
"Makhlukyang tinggal di kastil itu," kata Aragog, "adalah makhluk kuno yang sangat ditakuti oleh kami, labah-labah, lebih daripada makhluk-makhluk lain. Aku masih ingat betul, bagaimana aku memohon-mohon pada Hagrid untuk melepaskan aku, ketika aku merasa binatang itu berkeliaran di sekolah."
"Binatang apa"" desak Harry.
Lebih banyak klak-klik keras, lebih banyak keresekan, para labah-labah kelihatannya semakin mendekat, mengepung mereka.
"Kami tidak bicara tentang itu!" kata Aragog galak. "Kami tidak menyebut namanya. Aku bahkan tidak memberitahu Hagrid nama makhluk mengerikan itu, meskipun dia menanyakannya padaku, berulang kali." Harry tidak ingin memaksakan soal itu, apalagi semua labah-labah menddkat dari segala jurusan. Aragog kelihatannya sudah lelah bicara. Dia perlahan berjalan mundur ke jaring kubahnya, tetapi teman-teman labah Tabahnya terus
merayap mendekati Harry dan Ron.
"Kalau begitu kami pergi dulu," teriak Harry putus asa
kepada Aragog, mendengar daun-daun ber-gemeresik di
belakangnya. "Pergi"" kata Aragog lambat-lambat. "Kurasa tidak..." "Tapi-tapi..."
"Anak-anakku tidak mencelakai Hagrid karena kularang. Tetapi aku tak bisa menghilangkan kesempatan mereka untuk mendapatkan daging segar, ketika daging itu datang sendiri dengan sukarela ke tengah-tengah kami. Selamat tinggal, teman Hagrid."
Harry berbalik. Hanya satu meter lebih dari mereka, menjulang tinggi dinding kokoh labah-labah. Mereka mengatup-ngatupkan capit, mata mereka yang banyak berkilat-kilat di kepala hitam jelek mereka. Bahkan saat mencabut tongkatnya, Harry sadar tongkat itu tak ada gunanya. Ada terlalu banyak labah-labah. Tetapi ketika dia berusaha berdiri, siap mati dalam pertempuran, terdengar bunyi keras. Kilatan cahaya terang benderang menyinari lubang.
Mobil Mr Weasley menerjang turun, lampu depannya
menyala terang, klaksonnya menjerit-jerit, menabrak para
labah-labah hingga menepi. Beberapa labah-labah terlempar
dan mendarat terbalik, kaki mereka yang banyak menendangnendang
ke udara. Mobil berdecit berhenti di depan Harry dan
Ron, dan pintu-pintunya berdebam terbuka.
"Ambil Fang!" jerit Harry, meluncur ke tempat duduk
depan. Ron menyambar pinggang Fang, dan melemparnya.
Fang mendengking, terlempar ke tempat duduk belakang.
Pintu-pintu menutup keras. Ron tidak menyentuh gas, tetapi
mobil itu tidak memerlukannya. Mesinnya menderu dan
mereka melesat, menabrak lebih banyak lagi labah-labah.
Mereka meluncur mendaki lereng, keluar dari lubang, dan
segera saja menerobos hutan, dahandahan pepohonan melecut jendela-jendelanya ketika mobil itu dengan cerdik
berzig-zag melewati celah-celah yang cukup lebar, mengikuti
jalan setapak yang rupanya sudah dikenalnya.
Harry mengerling Ron. Mulutnya masih terbuka dalam jerit
tanpa suara, tetapi matanya tak lagi terbeliak.,
"Kau tak apa-apa""
Ron memandang lurus ke depan, tak bisa bicara. Mereka menerobos belukar, Fang melolong keras di tempat duduk belakang, dan Harry melihat kaca spion melipat menutup ketika mereka melewati pohon ek besar. Setelah sepuluh menit perjalanan yang bising dan penuh guncangan, pohon-pohon mulai jarang, dan Harry bisa melihat petak-petak langit lagi.
Mobil berhenti begitu mendadak, sehingga mereka nyaris terlempar ke kaca depan. Mereka sudah tiba di tepi hutan. Fang melemparkan diri ke jendela saking cemasnya ingin segera keluar, dan ketika Harry membuka pintu dia melesat melewati pepohonan, kembali ke pondok Hagrid, ekornya di antara dua kaki belakangnya. Harry juga keluar dan setelah kira-kira satu menit, Ron kelihatannya sudah bisa merasakan kaki-_ nya, dan dia ikut keluar. Leher Ron masih kaku, dan dia masih terus memandang ke depan. Harry mengelus mobil dengan penuh terima kasih ketika mobil itu berbalik ke dalam hutan dan menghilang dari pandangan. Harry kembali ke pondok Hagrid untuk mengambil Jubah
Gaib-nya. Fang gemetar di bawah selimut di dalam
keranjangnya. Ketika Harry keluar lagi, Ron sedang muntahmuntah
di kebun labu. "Ikuti labah-labah/' kata Ron lemas, menyeka mulutnya dengan lengan jubahnya. "Aku tak akan pernah memaafkan Hagrid. Kita beruntung masih hidup."
"Pasti dia mengira Aragog tidak akan melukai temantemannya," kata Harry.
"Itulah masalah Hagrid!" kata Ron, memukul-mukul dinding pondok. "Dia selalu beranggapan monster tidak seburuk penampilannya, dan lihat saja akibatnya, sekarang dia di mana! Di sel di Azkaban!" Ron gemetar tak terkendali sekarang. "Apa gunanya mengirim kita ke hutan" Apa yang kita temukan, aku mau tahu"" *
"Bahwa Hagrid tidak pernah membuka Kamar Rahasia," kata Harry, menyelubungkan Jubah Gaib ke tubuh Ron dan memapahnya agar dia bisa jalan. "Dia tak bersalah." Ron mendengus keras. Jelas, menurut pendapatnya, menetaskan Aragog di dalam lemari tidak termasuk kategori tak bersalah.
Ketika kastil sudah semakin dekat, Harry menarik jubahnya untuk memastikan kaki mereka tersembunyi, kemudian mendorong pintu depan yang berderit. Hati-hati mereka menyeberangi Aula Depan, menaiki tangga pualam, menahan napas ketika melewati koridor-koridor yang dipatroli penjagapenjaga yang waspada. Akhirnya mereka tiba di ruang rekreasi Gryffindor yang aman. Api di perapian telah berubah menjadi abu berpendar. Mereka melepas jubah dan menaiki tangga melingkar menuju ke kamar.
Ron menjatuhkan diri ke tempat tidur tanpa bersusahsusah berganti pakaian. Tetapi Harry tidak begitu mengantuk. Dia duduk di pinggir tempat tidurnya, berpikir keras tentang semua yang dikatakan Aragog.
Makhluk yang bersembunyi di suatu tempat di kastil, pikirnya, kedengarannya sejenis monster Voldemort-bahkan monster-monster lain tidak mau menyebut namanya. Tetapi dia dan Ron tidak lebih tahu makhluk apa itu, atau bagaimana dia membuat korban-korbannya Membatu. Bahkan Hagrid pun tidak tahu apa yang ada di dalam Kamar Rahasia. Harry melempar kakinya ke atas tempat tidur dan bersandar ke bantalnya, menatap bulan yang mengintipnya lewat jendela menara.
Dia tak tahu apa lagi yang bisa mereka lakukan. Mereka telah terbentur jalan buntu di mana-mana. Riddle telah menangkap orang yang salah, pewaris Slytherin berhasil lolos, dan tak seorang pun tahu apakah orang yang sama, atau orang lain, yang telah membuka Kamar Rahasia kali ini. Tak ada lagi orang lain yang bisa ditanyai. Harry berbaring, masih memikirkan apa yang dikatakan Aragog. Dia sudah mulai mengantuk, ketika apa yang tampaknya merupakan harapan terakhir mereka terlintas di benaknya dan dia mendadak duduk tegak. "Ron," desisnya dalam gelap. "Ron!" Ron terbangun sambil mendengking seperti Fang, memandang liar ke sekelilingnya, dan menatap Harry. "Ron-anak perempuan yang mati itu. Aragog bila
ng dia ditemukan di toilet," kata Harry, mengabaikan dengkur Neville dari sudut. "Bagaimana kalau dia tidak pernah meninggalkan toilet" Bagaimana kalau dia masih di sana""
Ron menggosok matanya, mengernyit dalam cahaya bulan.
Dan kemudian dia paham. "Maksudmu kan bukan-oh, Myrtle Merana""
16 Kamar Rahasia SUDAH puluhan kali kita berada di dalam toilet itu, dan jaraknya cuma tiga bilik dari kita," kata Ron getir waktu sarapan keesokan harinya, "dan kita mestinya bisa menanyainya, dan sekarang..."
Mencari labah-labah sudah susah. Menghilang cukup lama dari pengawasan guru supaya bisa masuk ke toilet anak perempuan, toilet anak perempuan yang letaknya persis di sebelah tempat serangan pertama terjadi, akan nyaris tak mungkin.
Tetapi sesuatu terjadi dalam jam pelajaran pertama mereka, Transfigurasi, yang membuat Kamar Rahasia terlupakan untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir ini. Sepuluh menit setelah pelajaran dimulai, Profesor McGonagall memberitahu mereka ujian akan dimulai pada tanggal satu Juni, seminggu lagi.
"Ujian"" lolong Seamus Finnigan. "Kami masih akan ujian"" Terdengar ledakan keras di belakang Harry ketika tongkat Neville Longbottom tergelincir, melenyapkan salah satu kaki mejanya. Profesor McGonagall mengembalikan keadaan meja itu dengan lambaian tongkatnya sendiri, lalu berpaling, mengernyit, kepada Seamus.
"Tujuan utama sekolah ini tetap dibuka pada saat seperti ini adalah agar kalian bisa menerima pendidikan," katanya tegas. "Ujian, karena itu, akan berlangsung seperti biasa, dan aku percaya kalian semua sudah belajar dengan tekun." Belajar dengan tekun! Tak pernah terpikir oleh Harry akan ada ujian pada saat suasana kastil seperti ini. Terdengar banyak gumam memberontak di seluruh ruangan, yang membuat Profesor McGonagall mengernyit semakin galak. "Instruksi Profesor Dumbledore adalah menjaga agar sekolah berlangsung senormal mungkin," katanya. "Dan itu, tak perlu kutunjukkan, berarti mencari tahu berapa banyak yang sudah kalian pelajari tahun ini." Harry menunduk memandang sepasang kelinci putih yang seharusnya diubah menjadi sandal. Apa yang sudah dipelajarinya tahun ini" Rasanya dia tak bisa memikirkan sesuatu yang bisa berguna dalam ujian. Tampang Ron seolah dia baru saja diberitahu dirinya harus tinggal seumur hidup di Hutan Terlarang. "Bisakah kaubayangkan aku ujian dengan ini"" dia bertanya kepada Harry, mengangkat tongkatnya, yang baru saja mulai bersuit keras.
Tiga hari sebelum ujian hari pertama, Profesor McGonagall menyampaikan pengumuman lain sewaktu sarapan. "Ada berita baik," katanya, dan Aula Besar, alih-alih menjadi sunyi, malah meledak ribut sekali. "Dumbledore akan kembali!" beberapa anak berteriak senang.
"Pewaris Slytherin sudah berhasil ditangkap!" pekik seorang anak perempuan di meja Ravenclaw.
"Pertandingan Quidditch akan diadakan lagi!" teriak Wood penuh semangat.
Ketika hiruk-pikuk sudah reda, Profesor McGonagall berkata, "Profesor Sprout telah memberitahuku bahwa Mandrake-mandrake sudah siap dipotong, akhirnya. Malam ini, kita akan bisa menghidupkan kembali anak-anak yang sudah
dibuat Membatu. Tak perlu kuingatkan kepada kalian bahwa salah satu dari mereka mungkin bisa memberitahu kita siapa, atau apa, yang menyerang mereka. Aku berharap tahun mengerikan ini akan berakhir dengan kita menangkap si pelaku."
Anak-anak bersorak riuh-rendah. Harry memandang ke meja Slytherin dan sama sekali tidak heran melihat Draco Malfoy tidak ikut bersorak. Tetapi Ron kelihatan lebih riang daripada beberapa hari belakangan ini.
"Kalau begitu, kita tak perlu lagi meria nyai MyrlM" katanya kepada Harry. "Hermione mungkin punya semua jawabannya kalau mereka membangunkannya! Hati-hati saja, dia akan sewot sekali kalau tahu tiga hari lagi kita ujian. Dia belum belajar. Mungkin baginya lebih baik jika dia dibiarkan Membatu sampai ujian selesai."
Saat itu Ginny Weasley datang dan duduk di sebelah Ron. Dia kelihatan tegang dan gugup, dan Harry memperhatikan tangannya saling remas di atas pangkuannya. "Ada apa"" tanya Ron, mengambil bubur lagi. Ginny tidak mengatakan apa-apa, tetapi memanda
ng ke sekeliling meja Gryffindor. Wajahnya menampakkan ketakutan yang mengingatkan Harry akan seseorang, meskipun dia tak bisa ingat siapa.
"Bilang saja," kata Ron, memandang adiknya.
Harry mendadak sadar Ginny seperti siapa. Dia mengayunayun
ke depan dan ke belakang sedikit di kursinya, persis
seperti Dobby ketika akan menyampaikan informasi terlarang.
"Aku harus memberitahu kalian sesuatu," Ginny komatkamit,
berhati-hati agar tidak memandang Harry.
"Apa itu"" tanya Harry.
Ginny kelihatan seakan tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat. "Apa"" - tanya Ron.
Ginny membuka mulutnya, tapi tak ada suara yang keluar.
Harry mencondongkan tubuh ke depan dan berkata pelan,
sehingga hanya Ginny dan Ron yang bisa mendengarnya.
"Apakah sesuatu tentang Kamar Rahasia" Apakah kau
melihat sesuatu" Orang yang bersikap aneh""
Ginny menarik napas dalam-dalam dan tepat saat itu, Percy
Weasley muncul, kelihatan lelah dan pucat.
"Kalau kau sudah selesai sarapan, aku akan duduk di situ,
Ginny. Aku lapar sekali. Aku baru saja bebas tugas patroli."
Ginny melompat seakan kursinya disetrum listrik, sekilas
melempar pandang ketakutan kepada Percy, lalu lari pergi.
Percy duduk dan menyambar cangkir dari tengah meja.
"Percy!" tegur Ron marah. "Dia baru saja mau
memberitahu kami sesuatu yang penting!"
Baru setengah jalan meneguk tehnya, Percy tersedak.
"Soal apa"" tanyanya, batuk-batuk.
"Aku bertanya kalau-kalau dia melihat sesuatu yang aneh,
dan dia baru akan berkata..."
" Oh-itu-itu tak ada hubungannya dengan Kamar Rahasia," kata Percy segera.
"Bagaimana kau tahu"" tanya Ron, alisnya terangkat. "Yah, eh, kalau kau mau tahu, Ginny, eh, berpapasan denganku kemarin dulu waktu aku-yah, tak usah kukatakan deh. Yang jelas, dia melihatku melakukan sesuatu dan aku, um, aku memintanya agar tidak menceritakannya kepada orang lain. Kukira dia akan menepati janjinya. Bukan apa-apa sebetulnya, hanya saja aku lebih suka..."
Belum pernah Harry melihat Percy salah tingkah seperti itu. "Apa yang kaulakukan, Percy"" tanya Ron, nyengir. "Ayo, beritahu kami, kami tidak akan tertawa." Percy tidak ikut tersenyum.
"Tolong ambilkan roti kadet, Harry. Aku lapar sekali."
Harry tahu seluruh misteri mungkin bisa dipecahkan besok tanpa bantuan mereka, tetapi dia tak akan melewatkan kesempatan berbicara dengan Myrtle- dan betapa senangnya dia ketika ternyata kesempatan itu datang, menjelang tengah hari, ketika mereka sedang diantar ke kelas Sejarah Sihir oleh Gilderoy Lockhart.
Lockhart yang sudah sering meyakinkan mereka bahwa semua bahaya telah lewat, tapi ternyata dia keliru, sekarang yakin sepenuhnya bahwa tak ada gunanya mengantar mereka melewati koridor-koridor. Rambutnya tidak selicin biasanya. Rupanya dia berjaga hampir semalaman, berpatroli di lantai empat.
"Catat kata-kataku," katanya, mengantar mereka membelok di sudut, "kata-kata pertama yang akan keluar dari mulut anak-anak yang Membatu itu pastilah, 'Hagrid-lah pelakunya.' Terus terang saja, aku heran Profesor McGonagall menganggap semua tindakan pengamanan ini perlu." "Saya setuju, Sir," kata Harry, membuat Ron menjatuhkan buku-bukunya saking kagetnya.
"Terima kasih, Harry," kata Lockhart anggun, sementara mereka menunggu deretan panjang anak-anak Hufflepuff lewat. "Maksudku, kami para guru sudah punya cukup banyak tugas. Dan sekarang kami masih harus mengantar murid-murid dari kelas ke kelas, dan berjaga sepanjang malam..."
"Betul," kata Ron, yang sudah paham. "Kenapa Anda tidak meninggalkan kami di sini saja, Sir, kan cuma tinggal lewat satu koridor lagi."
"Kau tahu, Weasley, kurasa sebaiknya begitu," kata Lockhart. "Aku benar-benar harus pergi dan menyiapkan pelajaran untuk kelasku yang berikut." Dan Lockhart bergegas pergi.
"Menyiapkan pelajaran," Ron mencemooh di belakangnya. "Paling-paling pergi untuk menggulung rambutnya." Mereka membiarkan anak-anak Gryffindor lain ber-jalan mendahului mereka, lalu menyelinap ke lorong samping dan bergegas ke toilet Myrtle Merana. Tetapi ketika mereka sedang saling memberi selamat untuk rencana brilian mereka...
"Potter! Weasley! Sedang apa kalian""
Profesor McGonagall -lah yang menegur mereka, dan
bibirnya membentuk garis yang supertipis.
"Kami mau-kami mau...," Ron tergagap, "kami mau pergi
melihat..." "Hermione," sambung Harry. Baik Ron maupun Profesor McGonagall menatapnya.
"Kami sudah lama tidak melihatnya, Profesor," Harry melanjutkan buru-buru, menginjak kaki Ron, "dan kami pikir kami akan menyelinap ke rumah sakit, dan memberitahu dia Mandrake-nya sudah hampir siap dan, eh, supaya dia tak usah cemas."
Profesor McGonagall masih menatapnya, dan sejenak Harry mengira dia akan meledak marah, tetapi ketika dia berbicara,
suaranya parau aneh. "Tentu saja," katanya, dan Harry, terheran-heran, melihat air mata berkilauan menggenangi matanya yang menyerupai manik-manik. "Tentu saja, aku sadar semua ini paling berat untuk teman-teman mereka yang sudah... aku mengerti. Ya, Potter, tentu saja kalian boleh menengok Miss Granger. Aku akan memberi tahu Profesor Binns ke mana kalian pergi. Katakan kepada Madam Pomfrey aku sudah memberikan izinku."
Harry dan Ron pergi, nyaris tak mempercayai bahwa
mereka lolos dari detensi. Ketika berbelok di sudut, sayupsayup
mereka mendengar Profesor McGonagall membuang
ingus. "Itu," kata Ron sungguh-sungguh, "adalah cerita paling bagus yang pernah kaubuat."
Mereka tak punya pilihan sekarang selain pergi ke rumah sakit, dan memberitahu Madam Pomfrey bahwa mereka sudah mendapat izin Profesor McGonagall untuk menengok Hermione.
Madam Pomfrey mengizinkan mereka masuk, tetapi dengan enggan.
"Tak ada gunanya bicara dengan orang yang Membatu," katanya, dan mereka harus mengakui dia benar, ketika mereka sudah duduk di sebelah tempat tidur Hermione. Jelas Hermione sama sekali tidak sadar dia kedatangan tamu, dan memberitahunya agar jangan cemas sama saja dengan bicara pada lemari di sebelah tempat tidurnya. "Kira-kira dia melihat penyerangnya tidak, ya"" kata Ron, memandang sedih wajah Hermione yang kaku. "Karena kalau dia mengendap-endap dari belakang mereka, tak seorang pun akan tahu..."
Tetapi Harry tidak memandang wajah Hermione. Dia lebih tertarik pada tangannya. Tangan itu terkepal, tergeletak di atas selimutnya, dan ketika membungkuk mendekat, Harry melihat secarik kertas teremas dalam genggamannya. Setelah yakin Madam Pomfrey tak ada di dekat-dekat situ, dia menunjukkan kertas itu kepada Ron. "Coba keluarkan," bisik Ron, menggeser kursinya supaya Harry terhalang dari pandangan Madam Pomfrey. Bukan pekerjaan gampang. Tangan Hermione mencengkeram kertas itu erat sekali, sehingga Harry yakin kertas itu akan robek. Sementara Ron berjaga, dia menarik dan memilin, dan akhirnya, setelah sepuluh menit yang tegang, kertasnya lepas.
Ternyata itu halaman yang dirobek dari buku perpustakaan yang sudah sangat tua. Harry meratakannya dengan bergairah dan Ron membungkuk lebih dekat untuk ikut membacanya. Dari banyak binatang dan monster menyeramkan yang menjelajahi negeri kita, tak ada yang lebih menakjubkan ataupun lebih mematikan daripada Basilisk, yang juga dikenal sebagai Raja Ular. Ular ini, yang bisa mencapai ukuran raksasa, dan hidup sampai ratusan tahun, ditetaskan dari telur ayam, yang dierami oleh katak. Cara Basilisk membunuh sangat luar biasa, karena selam taringnya yang mematikan dan berbisa, Basilisk mempunyai pandangan maut, dan semua yang terkena sorot matanya akan langsung mati. Labah-labah melarikan diri dari Basilisk, karena Basilisk adalah musuhnya yang paling ganas, dan Basilisk sendiri hanya menghindari kokok ayam jantan, yang bisa berakibat fatal untuknya.
Dan di bawahnya tertulis satu kata, dalam tulisan tangan yang dikenali Harry sebagai tulisan Hermione. Pipa. Harry merasa seakan ada orang yang menyalakan lampu dalam otaknya.
"Ron," katanya menahan napas, "ini dia. Ini jawabannya. Monster di dalam Kamar Rahasia itu Basilisk-ular raksasa! Itulah sebabnya aku selama ini mendengar suara itu di manamana sementara tak ada satu orang lain pun yang mendengarnya. Itu karena aku mengerti Parseltongue..." Harry memandang tempat-tempat tidur di sekitarnya. "Basilisk membunuh orang dengan cara memandangnya. Tetapi tak seorang pun meninggal-karena tak seorang p
un langsung menatap matanya. Colin melihatnya lewat kameranya. Si Basilisk membakar seluruh filmnya, tetapi Colin hanya Membatu. Justin... Justin pastilah melihat Basilisk itu menembus Nick si Kepala-Nyaris-Putus! Nick yang menerima sorot matanya sepenuhnya, tetapi dia tidak bisa mati lagi... dan Hermione dan Prefek Ravenclaw itu ditemukan dengan sebuah cermin di sebelah mereka. Hermione baru saja menyadari monsternya adalah Basilisk. Aku berani taruhan apa saja, dia memperingatkan orang pertama yang dijumpainya agar melihat-lihat semua sudut dengan cermin dulu! Dan gadis itu mengeluarkan cerminnya-dan..." Mulut Ron ternganga. "Dan Mrs Norris"" tanyanya tak sabar. Harry berpikir keras, membayangkan pemandangan pada malam Hallowe'en.
"Air...," katanya lambat-lambat, "air yang meluap dari toilet Myrtle Merana. Mrs Norris pastilah cuma melihat -bayangannya..."
Harry membaca lagi kertas di tangannya dengan bersemangat. Semakin dibaca, tulisan itu semakin masuk akal. "Kokok ayam jantan bisa berakibat fatal untuknya!" dia membaca keras-keras. "Ayam-ayamjantan Hagrid dibunuhi! Si pewaris Slytherin tidak menginginkan ada ayam jantan di sekitar kastil begitu Kamar Rahasia sudah dibuka! Labah-labah melarikan diri darinya! Semuanya cocok!" "Tetapi bagaimana caranya si Basilisk berkeliaran di kastil"" tanya Ron. "Ular besar menakutkan... Pasti ada yang melihat..."
Harry menunjuk kata yang telah ditulis Hermione di bagian bawah halaman itu.
"Pipa," katanya. "Pipa... Ron, ular itu menggunakan pipa air. Aku selama ini mendengar suara-suara itu di dalam dinding..."
Ron mendadak mencengkeram lengan Harry. "Jalan masuk ke Kamar Rahasia!" katanya serak. "Bagaimana kalau jalan masuknya toilet" Bagaimana kalau jalan masuknya dalam..." "...toilet Myrtle Merana," kata Harry. Mereka dipenuhi ketegangan, nyaris tak percaya. "Ini berarti," kata Harry, "aku bukan satu-satunya Parselmouth di sekolah. Pewaris Slytherin juga. Begitulah cara mereka mengontrol si Basilisk."
"Apa yang akan kita lakukan"" kata Ron, yang matanya berkilat-kilat. "Kita langsung ke McGonagall"" "Kita ke ruang guru saja," kata Harry, melompat bangun. "Dia akan ke sana sepuluh menit lagi, sudah hampir istirahat." Mereka berlari turun. Tak ingin ditemukan berlama-lama di
koridor yang lain, mereka langsung ke ruang guru yang
kosong. Ruang itu besar, berdinding papan, penuh dengan
kursi-kursi kayu gelap. Harry dan Ron berjalan mondarmandir,
terlalu tegang untuk duduk.
Tetapi bel istirahat tak pernah berdering.
Sebagai gantinya, menggema di seluruh koridor, terdengar
suara McGonagall, dikeraskan secara sihir.
"Semua murid diminta kembali ke asrama masing-masing.
Semua guru diminta kembali ke ruang guru. Segera."
Harry berpaling, memandang Ron. "Bukan karena ada
serangan lagi, kan" Tidak seka-rang"
"Apa yang akan kita lakukan"" kata Ron, ketakutan.
Kembali ke asrama""
"Tidak," kata Harry, memandang berkeliling. Ada lemari pakaian jelek di sebelah kirinya, penuh berisi mantel-mantel para guru. "Di dalam sini. Kita dengar ada apa. Kemudian kita bisa memberitahu mereka apa yang telah kita ketahui." Mereka bersembunyi di dalam lemari, mendengar gemuruh ratusan orang bergerak di lantai atas, dan pintu ruang guru berdebam terbuka. Dari antara lipatan-lipatan mantel yang berbau lembap, mereka melihat guru-guru memasuki ruangan. Beberapa di antara mereka tampak bingung, yang lain sangat ketakutan. Kemudian Profesor McGonagall tiba. "Sudah terjadi," katanya kepada ruang guru yang sunyi. "Ada anak yang dibawa oleh si monster. Ke dalam Kamar Rahasia."
Profesor Flitwick memekik. Profesor Sprout menekap
mulutnya. Snape mencengkeram punggung kursi erat-erat,
dan bertanya, "Bagaimana kau bisa yakin""
"Pewaris Slytherin," kata Profesor McGonagall, yang pucat
pasi, "meninggalkan pesan lain. Tepat di bawah pesan
pertama. Kerangkanya akan tergeletak di Kamar Rahasia
selamanya." Air mata Profesor Flitwick bercucuran.
"Siapa"" tanya Madam Hooch, yang karena lututnya lemas,
sudah terenyak ke kursi. "Murid yang mana""
"Ginny Weasley," kata Profesor McGonagall.
Harry merasakan Ron merosot tanpa suara ke d
asar lemari. "Kita terpaksa harus memulangkan semua murid besok
pagi," kata Profesor McGonagall.. "Habislah riwayat Hogwarts.
Dumbledore selalu berkata..."
Pintu ruang guru terbuka lagi. Sesaat, Harry yakin
Dumbledore yang datang. Tetapi ternyata Lockhart, dan
wajahnya berseri-seri. "Maaf, maaf-ketiduran-aku sudah ketinggalan apa nih"" Tampaknya dia tidak menyadari bahwa guru-guru yang lain memandangnya dengan tatapan yang mirip sekali kebencian. Snape melangkah maju.
"Orang yang tepat," katanya. "Orang yang sangat tepat. Ada anak perempuan yang baru saja ditangkap monster, Lockhart. Dibawa ke Kamar Rahasia, lagi. Saatmu telah tiba akhirnya." Lockhart memucat.
"Betul, Gilderoy," Profesor Sprout ikut bicara. "Bukankah kau baru bilang semalam bahwa kau sudah lama tahu di mana jalan masuk ke Kamar Rahasia"" "Aku-yah, aku..., " ujar Lockhart gelagapan. "Ya, bukankah kau bilang padaku kau yakin kau tahu apa yang ada dalam kamar itu"" ujar Profesor Flitwick.
"M-masa" Aku tidak ingat..."
"Aku jelas ingat betul kau bilang kau menyesal tidak menangani si monster sebelum Hagrid ditangkap," kata Snape. "Bukankah kau bilang semua kejadian ini ditangani dengan ceroboh dan bahwa kau seharusnya diberi kebebasan penuh dari awal""
Lockhart memandang bergantian kolega-koleganya yang berwajah membatu.
"Aku... aku benar-benar belum pernah... Kalian mungkin salah paham..."
"Kami menyerahkannya kepadamu, kalau begitu, Gilderoy," kata Profesor McGonagall. "Malam ini waktu yang ideal sekali untuk bertindak. Kami akan memastikan semua orang tidak mengganggumu. Kau akan bisa menangani si monster sendirian. Kebebasan penuh akhirnya kaudapatkan." Lockhart memandang putus asa ke sekeliling ruangan, tetapi tak seorang pun menolongnya. Dia sama sekali tak kelihatan tampan lagi. Bibirnya gemetar, dan dengan absennya senyum pamer-giginya yang biasa, dagunya kelihatan lemah dan ditumbuhi jenggot serabutan. "B-baiklah," katanya. "A-aku-aku akan ke kantorku, bbersiap-siap."
Dan dia meninggalkan ruangan.
"Baik," kata Profesor McGonagall, yang lubang hidungnya mekar, "kita bebas dari gangguannya. Kepala-kepala asrama harus memberitahu murid-murid mereka apa yang telah terjadi. Sampaikan kepada mereka Hogwarts Express akan membawa mereka pulang besok pagi-pagi. Guru-guru yang lain, tolong cek dan pastikan tak ada anak yang masih tertinggal di luar asrama mereka." Para guru bangkit, dan keluar satu demi satu.
Hari itu mungkin hari terburuk dalam kehidupan Harry. Dia, Ron, Fred, dan George duduk bersama di sudut di ruang rekreasi Gryffindor, tak sanggup berkata apa-apa. Percy tidak ada di sana. Dia pergi mengirim burung hantu kepada Mr dan Mrs Weasley, kemudian mengurung diri di kamarnya. Belum pernah sore hari berjalan selambat itu, juga belum pernah Menara Gryffindor sepenuh itu, tetapi begitu sunyi. Menjelang terbenamnya matahari, Fred dan George pergi tidur, tak sanggup lagi terus duduk di sana. "Ginny tahu sesuatu, Harry," kata Ron, bicara untuk pertama kalinya sejak mereka memasuki lemari pakaian di ruang guru. "Itulah sebabnya dia ditangkap. Sama sekali bukan soal sepele tentang Percy. Dia tahu sesuatu tentang Kamar Rahasia. Itulah sebabnya dia di...," Ron mengusap matanya dengan kalut. "Maksudku, dia berdarah-murni. Tak mungkin ada alasan lain." ,
Harry bisa melihat matahari yang sedang terbenam, merah darah, di bawah batas cakrawala. Belum pernah dia merasa sesedih dan seputus asa ini. Kalau saja ada sesuatu* yang bisa dilakukannya. Apa saja.
"Harry," kata Ron, "menurutmu apakah ada sedikit saja
kemungkinan dia belum-kau tahu..."
Harry tak tahu harus mengatakan apa. Dia tak bisa
membayangkan kemungkinan Ginny masih hidup.
"Tahu tidak"" kata Ron. "Kurasa kita harus menemui
Lockhart. Beritahu dia apa yang kita ketahui. Dia akan
mencoba memasuki Kamar Rahasia. Kita bisa memberitahu dia
di mana kamar itu menurut dugaan kita, dan memberitahu dia Basilisk-lah yang ada di dalamnya." Karena Harry tak bisa memikirkan hal lain yang bisa dilakukan, dan karena dia ingin melakukan sesuatu, dia setuju. Anak-anak Gryffindor di sekeliling mereka begitu sedih dan kas
ihan kepada Weasley bersaudara, sehingga tak seorang pun dari mereka berusaha mencegah ketika mereka bangkit, menyeberangi ruangan, dan keluar lewat lubang lukisan. Kegelapan sedang turun ketika mereka berjalan menuju kantor Lockhart. Kedengarannya sedang banyak kesibukan berlangsung di dalam. Mereka bisa mendengar bunyi bergeser, gedebak-gedebuk, dan langkah-langkah kaki bergegas.
Harry mengetuk pintu dan mendadak di dalam sunyi. Kemudian pintu terkuak sedikit sekali dan mereka melihat sebelah mata Lockhart mengintip.
"Oh... Mr Potter... Mr Weasley..." katanya, menguak pintu sedikit lebih lebar. "Aku sedang agak sibuk, kalau kalian bisa cepat..."
"Profesor, kami punya informasi untuk Anda," kata Harry.
"Kami rasa ini akan membantu Anda."
"Eh-yah-ini tidak terlalu...," Sisi wajah Lockhart yang
tampak oleh mereka kelihatan sangat salah tingkah.
" Maksudku-yah-baiklah."
Dia membuka pintu dan mereka masuk.
Kantornya sudah hampir kosong. Dua koper besar terbuka
di lantai. Jubah-jubah-hijau kumala, ungu, biru tua-dilipat
buru-buru dan ditumpuk dalam salah satu koper. Buku-buku
campur aduk berantakan di koper satunya. Foto-foto yang
sebelumnya memenuhi dinding kini dijejalkan dalam kardus di
atas meja. "Anda mau pergi"" tanya Harry.
"Eh, yah, ya," kata Lockhart sambil menarik lepas poster
dirinya yang sebesar badannya dari balik pintu, dan mulai
menggulungnya. "Panggilan penting... tak bisa dihindari...
harus pergi..." "Bagaimana dengan adik saya"" tanya Ron tegun. "Yah, soal itu-sayang sekali," kata Lockhart, menghindari tatapan mereka ketika dia menarik laci dan mulai memindahkan isinya ke dalam tas. "Tak ada yang lebih menyesal dariku..."
"Anda guru Pertahanan terhadap Ilmu Hitam!" kata Harry. "Anda tak bisa pergi sekarang! Tidak sementara Ilmu Hitam sedang berlangsung seru di sini!"
"Yah, aku harus bilang... waktu aku menerima pekerjaan ini...," Lockhart bergumam, sekarang menumpuk kaus kaki di atas jubah-jubahnya, "tak disebut-sebut di rincian tugasku... tak kukira..."
"Maksud Anda, Anda melarikan diril" tanya Harry tak percaya. "Setelah semua yang Anda tulis dalam buku Anda"" "Buku bisa menyesatkan!" kata Lockhart mengelak. "Anda yang menulis semua buku itu!" teriak Harry. "Nak," kata Lockhart, menegakkan diri dan mengernyit kepada Harry. "Gunakan akal sehatmu. Buku-bukuku tidak akan selaris itu kalau orang tidak beranggapan aku telah mengalami peristiwa-peristiwa itu. Tak ada yang mau membaca tentang penyihir pria buruk dan tua dari Armenia, meskipun dia memang menyelamatkan sebuah desa dari ancaman manusia serigala. Tampang jeleknya tidak akan menarik dipajang di sampul depan. Cara berpakaiannya sama
sekali tak berselera. Dan penyihir wanita yang mengusir Banshee Bandon berbibir sumbing. Maksudku, mana menarik sih..."
"Jadi Anda yang menerima pujian untuk begitu banyak hal yang dilakukan orang-orang lain"" kata Harry tak percaya. "Harry, Harry," kata Lockhart, menggelengkan kepala tak sabar, "tidak sesederhana itu. Perlu kerja keras. Aku harus melacak orang-orang ini. Menanyai mereka, bagaimana tepatnya mereka berhasil melakukan apa yang mereka lakukan. Kemudian aku harus memantrai mereka dengan Jampi Memori, supaya mereka tak ingat lagi pernah melakukan itu. Kalau ada satu hal yang kubanggakan, Jampi Memori-ku itulah. Tidak gampang, Harry, perlu banyak kerja keras. Tidak sekadar menandatangani buku dan ber-foto untuk publisitas, tahu. Kalau ingin terkenal, kau harus siap kerja keras lama."
Dia menutup keras kedua kopernya dan menguncinya. "Coba kulihat," katanya. "Kurasa sudah semuanya. Ya. Hanya tinggal satu hal."
Dia menarik keluar tongkatnya dan berbalik menghadapi mereka.
"Maaf sekali, anak-anak, tetapi aku harus memantrai kalian dengan Jampi Memori sekarang. Tak bisa kubiarkan kalian menyebarkan rahasiaku ke mana-mana. Nanti aku tak bisa jual buku lagi..."
Harry mencabut tongkatnya tepat waktu. Lockhart baru mengangkat tongkatnya, ketika Harry berseru, "Expelliarmusl" Lockhart terpental ke belakang, jatuh di atas kopernya. Tongkatnya terbang tinggi ke udara. Ron menangkapnya dan melemparnya ke luar jendela.
"Mest inya Profesor Snape jangan diizinkan mengajari kami mantra itu/7 kata Harry berang, menendang koper Lockhart ke pinggir. Lockhart memandangnya, sekali lagi lemas. Harry masih mengacungkan tongkatnya kepadanya. "Apa yang kalian inginkan"" tanya Lockhart lemah. "Aku tak tahu di mana Kamar Rahasia itu. Tak ada yang bisa kulakukan."
"Anda beruntung," kata Harry, memaksa Lockhart berdiri dengan todongan tongkat. "Kami rasa kami tahu di mana kamar itu. Dan apa yang ada di dalamnya. Ayo berangkat." Mereka menggiring Lockhart keluar dari kantornya dan turun melewati tangga terdekat, menyusuri koridor gelap yang di dindingnya terpampang pesan-pesan berkilat, menuju pintu toilet Myrtle Merana.


Harry Potter Dan Kamar Rahasia Karya J.k. Rowling di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka menyuruh Lockhart masuk lebih dulu. Harry senang melihatnya gemetar.
Myrtle Merana sedang duduk di tangki air di bilik paling ujung.
"Oh, kau," katanya ketika melihat Harry. "Kau mau apa kali ini""
"Mau tanya padamu bagaimana kau meninggal," kata Harry.
Seluruh penampilan Myrtle langsung berubah. Seakan dia amat tersanjung ditanyai seperti itu. "Ooooh> sungguh mengerikan," katanya senang. "Terjadinya di sini ini. Aku meninggal dalam bilik ini. Aku masih ingat benar. Aku sedang bersembunyi karena Olive Hornby mengolok-olok kacamataku. Pintunya terkunci dan aku sedang menangis. Dan kemudian kudengar ada yang masuk.
Dia mengatakan sesuatu yang aneh. Bahasa lain, kupikir begitu. Tetapi yang membuatku kaget, yang bicara anak lakilaki. Jadi kubuka pintu, untuk menyuruhnya pergi dan menggunakan toiletnya sendiri, dan kemudian...'7 Myrtle seakan menggelembung penting, wajahnya bercahaya, "aku mati."
"Bagaimana"" tanya Harry.
"Entahlah," kata Myrtle dengan suara rendah. "Aku cuma
ingat melihat sepasang mata kuning besar. Seluruh tubuhku
mendadak macet dan tiba-tiba saja aku sudah melayanglayang..."
Dia memandang Harry dengan pandangan
menerawang. "Dan kemudian aku kembali ke sini. Soalnya aku
bertekad akan menghantui Olive Hornby. Oh, dia menyesal
sekali menertawakan kacamataku."
"Di mana tepatnya kau melihat mata itu"" tanya Harry.
"Di sekitar situ," kata Myrtle, menunjuk ke arah wastafel di
depan biliknya. Harry dan Ron bergegas ke wastafel itu. Lockhart berdiri jauh-jauh dari mereka, wajahnya diliputi kengerian. Kelihatannya seperti wastafel biasa. Mereka memeriksanya senti demi senti, luar-dalam, termasuk pipa di bawahnya. Dan kemudian Harry melihatnya: ada gambar ular kecil mungil digoreskan pada sisi salah satu keran tembaga. "Keran itu tak pernah bisa dipakai," kata Myrtle ceria/ ketika Harry berusaha memutarnya.
"Harry," kata Ron, "katakan sesuatu. Dalam Parseltongue." "Tapi...' Harry berpikir keras. Dia baru dua kali bicara Parseltongue, dan saat itu dia berhadapan dengan ular yang sebenarnya. Dia berkonsentrasi menatap ukiran kecil mungil itu, berusaha membayangkan itu ular yang sebenarnya. "Buka," katanya.
Dia memandang Ron, yang menggeleng.
"Bukan Parseltongue," katanya.
Dia kembali menatap ular itu, memaksa dirinya
mempercayai ular itu hidup. Jika Harry menggerakkan
kepalanya, cahaya lilin membuat ular itu seakan bergerak.
"Buka," katanya.
Hanya saja bukan kata itu yang didengarnya. Desis aneh meluncur dari mulutnya dan segera saja keran itu berkilaukilau mengeluarkan cahaya putih menyilaukan dan mulai berputar. Detik berikutnya, wastafelnya mulai bergerak. Malah wastafel itu menghilang, meninggalkan pipa besar yang menganga terbuka, cukup besar bagi orang dewasa untuk meluncur ke dalamnya.
Harry mendengar Ron terpekik tertahan dan dia
mendongak lagi. Harry sudah membulatkan tekad.
"Aku akan turun ke sana," katanya.
Dia tak bisa tidak pergi, tidak sekarang setelah mereka
menemukan jalan masuk ke Kamar Rahasia. Tidak ketika ada
kemungkinan, bahkan yang paling kecil, paling samar, paling
liar sekalipun, bahwa Ginny masih hidup.
"Akujuga," kata Ron.
Hening sejenak. "Yah, kelihatannya kalian tidak memerlukan aku' kata Lockhart, senyumnya yang biasa membayang. "Aku akan..." Tangannya menjangkau pegangan pintu, tetapi baik Ron maupun Harry mengacungkan tongkat mereka ke arahnya. "Anda boleh masuk duluan," gertak Ron. Dengan wajah pucat
dan tanpa tongkat, Lockhart
mendekati lubang. "Anak-anak," katanya, suaranya lemah, "anak-anak, apa gunanya""
Harry menyodok punggung Lockhart dengan tongkatnya. Lockhart memasukkan kaki ke dalam lubang. "Kurasa tidak...," dia baru mau berkata, tetapi Ron mendorongnya, dan dia meluncur lenyap dari pandangan. Harry segera mengikuti. Dia turun ke dalam pipa, kemudian melepas pegangannya.
Rasanya seperti meluncur di luncuran gelap, licin, tak berujung. Dia bisa melihat pipa-pipa yang bercabang ke segala arah, tetapi tak satu pun yang sebesar pipa yang diluncurinya. Pipa itu berbelit dan berbelok, melandai curam ke bawah, dan Harry tahu dia sedang terjatuh ke bawah sekolah jauh lebih dalam dari ruang bawah tanah. Di belakangnya, dia bisa mendengar Ron, berdebum pelan di belokan-belokan. Dan kemudian, tepat ketika Harry mulai mencemaskan apa yang akan terjadi kalau dia menghantam tanah, pipanya menjadi datar dan dia meluncur dari ujungnya. Dengan bunyi gedebuk basah ia mendarat di lantai lembap terowongan batu gelap. Terowongan itu cukup besar untuk berdiri di dalamnya. Lockhart berdiri agak jauh di depannya, berlumur lendir dan sepucat hantu. Harry minggir ketika Ron berdesing turun dari dalam pipa itu.
"Pasti kita berkilo-kilo meter di bawah sekolah," kata Harry,
suaranya bergaung di terowongan gelap itu.
"Di bawah danau, mungkin," kata Ron, menyipitkan mata,
memandang ke dinding gelap berlendir.
Ketiganya berbalik untuk memandang kegelapan di depan
mereka. "Lumos!" gumam Harry kepada tongkatnya, dan tongkat itu menyala lagi. "Ayo," dia mengajak Ron dan Lockhart, dan mereka pun berangkat, langkah-langkah mereka berkecipak keras di lantai yang basah.
Terowongan itu amat gelap, sehingga mereka hanya bisa melihat jarak sangat pendek di depan mereka. Bayang-bayang mereka di tembok yang basah tampak mengerikan dalam cahaya tongkat.
"Ingat," Harry berkata pelan, ketika mereka berjalan maju hati-hati, "begitu ada gerakan, langsung tutup mata rapatrapat...." Tetapi lorong itu sesunyi kuburan, dan bunyi mengejutkan yang pertama kali mereka dengar adalah derak keras ketika Ron menginjak sesuatu yang ternyata tengkorak tikus. Harry merendahkan tongkatnya untuk memeriksa lantai dan melihat lantai itu dipenuhi tulang binatang-binatang kecil. Berusaha keras tidak membayangkan bagaimana keadaan Ginny jika mereka menemukannya, Harry memimpin, menikung di belokan gelap di terowongan itu. "Harry, ada sesuatu di depan sana..." kata Ron serak, mencengkeram bahu Harry.
Mereka terpaku, memandang. Harry cuma bisa melihat garis sesuatu yang sangat besar dan melengkung, tergeletak tepat di depan terowongan. Benda itu tidak bergerak. "Mungkin dia tidur," Harry mendesah, menoleh kepada dua rekannya. Tangan Lockhart menutupi matanya rapat-rapat. Harry berpaling kembali untuk memandang benda itu, jantungnya berdegup begitu kencang sampai sakit rasanya. Sangat perlahan, matanya menyipit serapat mungkin asal masih bisa melihat, Harry mengendap-endap maju,
tongkatnya terangkat tinggi.
Cahaya tongkat menimpa kulit ular raksasa, hijau terang, beracun, tergeletak melingkar dalam keadaan kosong di lantai di depan terowongan. Makhluk yang melepas kulit itu paling sedikit panjangnya enam meter. "Astaga!" kata Ron lemas.
Mendadak ada gerakan di belakang mereka. Lutut Gilderoy Lockhart tak kuat lagi menyangganya. "Bangun," kata Ron tajam, mengacungkan tongkatnya ke arah Lockhart.
Lockhart bangkit-kemudian dia menerjang Ron, membuatnya jatuh terjengkang.
Harry melompat maju, tetapi terlambat. Lockhart sudah
menegakkan diri, tongkat Ron di tangannya dan senyum gigiberkilau
kembali terpampang di wajahnya.
"Petualangan berakhir di sini, anak-anak!" katanya.
"Aku akan membawa sepotong kulit ini ke sekolah,
memberitahu mereka aku sudah tertambal menye tamatkan
anak perempuan itu, dan kalian berdua secara tragis menjadi
gila melihat tubuh anak perempuan yang tercabik-cabik itu.
Ucapkan selamat tinggal pada ingatan kalian."
Dia mengangkat tongkat Ron yang ber-Spellotape tinggi di
atas kepalanya dan berteriak, "Obliviatel"
Tongkat meledak dengan kekuatan bom kecil. Harry
melindungi kepala dengan kedua lengannya dan berlari,
tergelincir gulungan kulit ular, menghindar dari potonganpotongan
besar langit-langit terowongan yang bergemuruh
runtuh. Saat berikutnya, dia berdiri sendirian, menatap dinding
kokoh karang yang rusak. "Ron!" dia berteriak. "Kau tak apa-apa" Ron!"
"Aku di sini!" terdengar suara samar Ron dari balik dinding
runtuhan karang. "Aku baik-baik saja. Tapi si sinting ini tidakdia kena ledakan tongkat."
Terdengar bunyi "duk" dan jeritan keras "ow!"
Kedengarannya Ron baru saja menendang tulang kering
Lockhart. "Bagaimana sekarang"" suara Ron terdengar putus asa. "Kita tidak bisa menembusnya. Perlu waktu lama sekali..." Harry mendongak memandang langit-langit terowongan. Retakan-retakan besar telah bermunculan. Dia belum pernah mencoba memecahkan sesuatu sebesar karang-karang ini dengan sihir, dan sekarang tampaknya bukan saat yang baik untuk mencobanya- bagaimana kalau seluruh terowongan malah runtuh"
Terdengar lagi bunyi "duk" dan "ow!" dari balik dinding karang. Mereka membuang-buang waktu. Ginny sudah berjam-jam berada di Kamar Rahasia. Harry tahu hanya ada satu hal yang bisa dilakukan.
"Tunggu di situ' teriaknya kepada Ron. "Jaga Lockhart. Aku akan jalan terus. Kalau aku tidak kembali dalam waktu satu jam..."
Kesunyian yang menyusul begitu sarat arti. "Akan kucoba menggeser beberapa karang ini/' kata Ron, yang kedengarannya berusaha memantapkan suaranya. "Supaya kau bisa-bisa lewat nanti. Dan, Harry..." "Sampai nanti," kata Harry, berusaha menyuntikkan rasa percaya diri ke dalam suaranya yang bergetar. Dan dia berjalan maju sendirian, melewati kulit ular raksasa.
Segera saja bunyi samar-samar Ron yang berusaha keras menggeser karang tak kedengaran lagi. Terowongan itu berbelok dan menikung berkali-kali. Seluruh saraf di tubuh Harry menggelenyar tak nyaman. Dia ingin terowongan berakhir, tetapi takut apa yang akan ditemukannya. Dan kemudian, akhirnya, ketika dia merayap membelok di tikungan berikutnya, dia melihat dinding kokoh di depannya. Di dinding itu terpahat dua ekor ular yang saling berbelit, mata mereka dari zamrud besar berkilau.
Harry mendekat, kerongkongannya terasa sangat kering.
Tak perlu membayangkan ular batu ini hidup, karena mata
mereka, aneh sekali, sudah tampak hidup.
Harry bisa menebak apa yang harus dilakukannya. Dia
berdeham, dan mata zamrud itu kelihatannya berkedip.
"Buka," kata Harry, dalam desisan rendah.
Kedua ular itu memisahkan diri. Ketika dinding membelah
terbuka, masing-masing bagian menggeser licin lalu lenyap,
dan Harry, gemetar dari kepala sampai ke kaki, berjalan
masuk. 17 Pewaris Slytherin HARRY berdiri di ujung kamar sangat panjang berpenerangan remang-remang. Pilar-pilar batu berbelit dengan lebih banyak ular pahatan menjulang tinggi, menyangga langit-langit yang lenyap dalam kegelapan, memantulkan bayang-bayang gelap panjang menembus cahaya suram kehijauan yang memenuhi tempat itu. Dengan jantung berdegup sangat keras, Harry berdiri mendengarkan keheningan yang menusuk. Mungkinkah si Basilisk bersembunyi di sudut remang-remang, di balik pilar" Dan di manakah Ginny"
Dia mengeluarkan tongkatnya dan bergerak maju di antara pilar-pilar ular. Setiap langkah hati-hatinya dipantulkan menjadi gema keras oleh dinding-dinding yang suram. Matanya dijaganya agar tetap menyipit, siap dipejamkan kalau ada gerakan sekecil apa pun. Lubang-lubang mata ular batu yang kosong rasanya mengikutinya. Lebih dari sekali, dengan hati mencelos, Harry mengira salah satu di antaranya bergerak.
Kemudian, ketika dia berhadapan dengan pasangan pilar terakhir, tampak patung setinggi kamar itu menjulang, tegak berlatarkan dinding belakang.
Harry harus menjulurkan leher untuk mendongak ke wajah raksasa di atas. Kesannya antik dan seperti monyet, dengan jenggot panjang tipis yang terjulur hampir sampai ke ujung jubah batunya. Di bawah jubah itu dua kaki abu-abu yang luar biasa besar berdiri kokoh di lantai kamar yang licin. Dan di antara dua kaki itu, terbaring menelungkup sosok kecil berjubah hitam dengan rambut merah manyala. "Ginny!" Harry bergumam, melompat mende
katinya dan berlutut. "Ginny! Jangan mati! Jangan mati dong!" Dilemparnya tongkatnya ke pinggir, diraihnya bahu Ginny dan dibaliknya tubuhnya. Wajahnya seputih pualam, dan sama dinginnya. Tetapi matanya terpejam, jadi dia tidak Membatu. Tetapi, kalau begitu, tentunya dia... "Ginny, bangunlah," Harry bergumam putus asa, mengguncang-guncangnya. Kepala Ginny terkulai lunglai dari kanan ke kiri.
"Dia tak akan bangun," terdengar suara pelan. Harry terlonjak kaget dan berputar pada lututnya. Seorang anak laki-laki jangkung berambut hitam sedang bersandar ke pilar yang paling dekat, mengawasi. Tepi-tepi tubuhnya mengabur aneh, seakan Harry memandangnya lewat jendela berkabut. Namun jelas sekali siapa dia. "Tom-Tom Riddle""
Riddle mengangguk, tanpa melepas pandangannya dari wajah Harry.
"Apa maksudmu, dia tak akan bangun"" kata Harry putus asa. "Dia tidak-dia tidak.,.""
"Dia masih hidup," kata Riddle. "Tapi hanya sekadarnya." Harry terpaku memandang anak laki-laki itu. Tom Riddle bersekolah di Hogwarts lima puluh tahun lalu, tetapi sekarang dia berdiri di situ, cahaya berkabut bersinar di sekelilingnya, tak sehari pun lebih tua dari usianya waktu itu, yakni enam belas tahun.
"Apakah kau hantu"" tanya Harry ragu-ragu.
"Memori," kata Riddle pelan. "Diawetkan dalam buku harian
selama lima puluh tahun."
Riddle menunjuk ke lantai dekat jari-jari kaki raksasa si patung. Di situ menggeletak terbuka buku harian kecil hitam yang ditemukan Harry di toilet Myrtle Merana. Sejenak dia heran, bagaimana buku itu bisa sampai di situ-tetapi ada halhal lebih mendesak yang harus ditangani. "Kau harus membantuku, Tom," kata Harry, mengangkat kepala Ginny lagi. "Kita harus keluar dari sini. Ada Basilisk... aku tak tahu dia ada di mana, tetapi dia bisa datang setiap saat. Tolonglah aku..."
Riddle tidak bergerak. Harry, bersimbah keringat, berhasil setengah mengangkat Ginny dari lantai, dan membungkuk untuk memungut tongkatnya lagi. Tetapi tongkatnya sudah tak ada. "Apakah kau melihat...""
Dia menengadah. Riddle masih mengawasinya- memilin tongkat Harry dengan jari-jarinya.
"Terima kasih/7 kata Harry, mengulurkan tangan meminta tongkatnya.
Senyum merekah di sudut-sudut bibir Riddle. Dia terus menatap Harry dengan santai memilin-milin tongkatnya. "Dengar/' kata Harry mendesak, lututnya merosot terbebani berat Ginny, "kita harus pergi! Kalau Basilisk datang..." "Dia tidak akan datang kalau tidak dipanggil," kata Riddle tenang.
Harry menurunkan kembali Ginny ke lantai, tak kuat lagi menggendongnya.
"Apa maksudmu"" katanya. "Sini, kembalikan tongkatku,
siapa tahu aku nanti memerlukannya."
Senyum Riddle melebar. "Kau tidak akan memerlukannya," katanya.
Harry memandangnya heran.
"Apa maksudmu, aku tidak akan...""
"Aku sudah lama sekali menunggu kesempatan ini, Harry
Potter," kata Riddle. "Menunggu kesempatan melihatmu.
Bicara denganmu." "Dengar," kata Harry, kehabisan kesabaran, "kurasa kau tidak paham. Kita berada di Kamar Rahasia. Kita bisa bicara nanti."
"Kita akan bicara sekarang," kata Riddle, masih tersenyum lebar, dan mengantongi tongkat Harry. Harry terbelalak menatapnya. Ada hal sangat ganjil terjadi di sini.
"Bagaimana Ginny bisa jadi seperti ini"" tanyanya lambatlambat. "Nah, itu baru pertanyaan menarik," kata Riddle ramah. "Dan ceritanya panjang. Kurasa alasan sebenarnya Ginny Weasley seperti ini adalah karena dia membuka hatinya dan menumpahkan semua rahasianya kepada orang asing yang tidak kelihatan."
"Apa yang kaubicarakan"" tanya Harry. "Buku harian," kata Riddle. "Buku harian/cw. Si kecil Ginny sudah berbulan-bulan menulis dalam buku itu, mencurahkan kepadaku segala kecemasan dan ketakutannya: bagaimana kakak-kakaknya menggodanya, bagaimana dia masuk ke sekolah ini dengan jubah dan buku bekas. Dan betapa...," mata Riddle berkilat-kilat, "...menurut perasaannya si Harry Potter yang terkenal, hebat, dan baik hati itu tidak akan pernah menyukainya..."
Selama berbicara, mata Riddle tidak pernah meninggalkan wajah Harry. Di dalam matanya tampak rasa lapar.
' "Membosankan sekali harus mendengarkan masala lima salah konyol anak perempuan sebelas t
ahun," dia meneruskan. "Tetapi aku sabar. Aku membalas tulisannya. Aku penuh simpati, aku baik hati. Ginny jadi sangat menyayangiku. Tak seorang pun pernah mengerti aku seperti kau, Tom... Aku senang sekali mendapat buku harian ini untuk curhat... Rasanya seperti punya teman yang bisa kubawabawa di sakuku..."
Riddle tertawa, melengking, dingin, tawa yang tidak cocok untuknya. Tawanya membuat bulu kuduk Harry berdiri. "Walaupun aku sendiri yang bilang, Harry, aku selalu bisa memikat orang-orang yang kuperlukan. Jadi Ginny mencurahkan jiwanya kepadaku, dan kebetulan memang jiwanyalah yang kuinginkan. Aku semakin lama menjadi semakin kuat dengan melahap ketakutannya yang paling dalam, rahasianya yang paling gelap. Aku menjadi berkuasa, jauh lebih berkuasa daripada Miss Weasley kecil. Cukup berkuasa untuk mulai "memberi makan Miss Weasley dengan beberapa rahasiai, mulai menuangkan sedikit jiwaku ke dalam dirinya..."
"Apa maksudmu"" kata Harry, yang mulutnya sudah menjadi amat kering.
"Apakah kau belum menebaknya, Harry Potter"" kata Riddle pelan. "Ginny Weasley membuka Kamar Rahasia. Dia mencekik ayam-ayam jantan sekolah dan menulis pesanpesan ancaman di dinding. Dia melepas Ular Slytherin kepada empat anak Darah-lumpur, dan kucing si Squib." "Tidak," bisik Harry.
"Ya," kata Riddle kalem. "Tentu saja, awalnya dia tidak tahu apa yang dilakukannya. Menggelikan sekali. Sayang kau tidak bisa melihat tulisan-tulisan baru di buku hariannya... Jauh lebih menarik daripada sebelumnya... Dear Tom" dia menirukan, mengawasi wajah Harry yang ngeri, "kurasa aku kehilangan ingatanku. Ada bulu-bulu ayam jantan menempel di jubah-jubahku dan aku tak tahu bagaimana bulu-bulu itu bisa ada di situ. Dear Tom, aku tak bisa ingat apa yang kulakukan pada malam Hallowe'en, tetapi ada kucing yang diserang, dan bagian depan jubahku kena cipratan cat. Dear Tom, Percy berkali-kali berkata aku pucat dan tidak seperti biasanya. Kurasa dia mencurigaiku... Hari ini ada serangan lagi dan aku tidak tahu di mana aku saat itu. Tom, apa yang harus kulakukan" Kurasa aku akan jadi gila... Kurasa akulah yang menyerang orang-orang itu, Tom!"
Tangan Harry mengepal, kuku-kukunya menancap dalam ke telapak tangannya. "Butuh waktu lama sekali bagi si kecil Ginny yang bodoh untuk berhenti mempercayai buku hariannya/' kata Riddle. "Tetapi akhirnya dia menjadi curiga dan mencoba membuangnya. Dan saat itulah kau masuk, Harry. Kau menemukan buku harian itu, dan aku tak bisa lebih senang lagi. Dari begitu banyak orang yang bisa memungut buku harian itu, kaulah orangnya, orang yang paling ingin kutemui..."
"Dan kenapa kau ingin menemuiku"" kata Harry. Kemarahan menjalari seluruh tubuhnya dan perlu usaha keras untuk membuat suaranya mantap. "Yah, begini, Ginny menceritakan padaku segalanya tentangmu, Harry," kata Riddle. "Seluruh sejarahmu yang menakjubkan." Matanya menatap bekas luka di dahi Harry,
dan ekspresinya menjadi semakin lapar. "Aku sadar aku harus tahu lebih banyak tentangmu, bertemu kau kalau bisa. Maka aku memutuskan untuk menunjukkan padamu prestasiku yang terkenal, penangkapan Hagrid si tolol berbadan besar, untuk mendapatkan kepercayaanmu."
"Hagrid temanku," kata Harry, suaranya sekarang bergetar. "Dan kau menjebaknya, kan" Kukira kau membuat kekeliruan, tetapi..."
Riddle memperdengarkan lagi tawanya yang melengking. "Persoalannya adalah memilih mempercayai katakataku atau kata-kata Hagrid, Harry. Nah, bisa kaubayangkan, bagaimana tampaknya kejadian itu bagi si tua Armando Dippet. Di satu pihak, Tom Riddle, anak miskin tetapi cemerlang, yatim-piatu tetapi begitu pemberani, Prefek sekolah, pelajar teladan; di pihak lain Hagrid yang canggung bertubuh besar, setiap dua minggu sekali bikin onar, mencoba membesarkan anak serigala di bawah tempat tidurnya, menyelinap ke dalam Hutan Terlarang untuk bergulat dengan troll. Tetapi kuakui, bahkan aku sendiri heran betapa mulusnya rencanaku berjalan. Kukira pasti ada orang yang menyadari bahwa Hagrid tak mungkin pewaris Slytherin. Aku perlu waktu lima tahun penuh untuk mengetahui segala sesuatu tentang Kamar Rahasia dan men
emukan jalan masuknya... mana mungkin Hagrid punya otak untuk itu, atau untuk kekuasaan!
"Hanya guru Transfigurasi, Dumbledore", yang tampaknya beranggapan Hagrid tidak bersalah. Dia membujuk Dippet untuk mempertahankan Hagrid dan melatihnya menjadi pengawas binatang liar. Ya, kurasa Dumbledore mungkin sudah menebak. Dumbledore tak pernah menyukaiku, tidak seperti guru-guru lainnya..."
"Pasti Dumbledore tahu betul orang seperti apa kau," kata Harry, giginya mengertak.
"Yah, dia memang mengawasiku dengan ketat sekali setelah Hagrid dikeluarkan, sungguh menjengkelkan," kata Riddle seenaknya. "Aku tahu tak akan aman membuka Kamar Rahasia lagi selama aku masih di sekolah. Tetapi aku tak mau menyia-nyiakan tahuntahun panjang yang telah kuhabiskan untuk mencari keterangan tentangnya. Kuputuskan untuk meninggalkan buku harian, mengawetkan diriku yang berusia enam belas tahun di dalam halaman-halamannya, sehingga pada suatu hari nanti, kalau mujur, aku akan bisa membimbing orang lain mengikuti langkahku dan menyelesaikan pekerjaan mulia Slytherin." "Kau belum menyelesaikannya," kata Harry penuh kemenangan. "Tak ada yang meninggal kali ini, bahkan si kucing pun tidak. Beberapa jam lagi Cairan Mandrake akan siap dan semua yang Membatu akan sembuh lagi." "Bukankah sudah kukatakan kepadamu," kata Riddle tenang, "bahwa membunuh Darah-lumpur tak berarti lagi bagiku" Sudah beberapa bulan ini, target baruku adalah- kau."
Harry terbeliak menatapnya.
"Bayangkan betapa jengkelnya aku ketika kali berikutnya buku harianku dibuka, Ginny-lah yang menulis kepadaku, bukan kau. Rupanya dia melihatmu membawa buku harian itu, dan dia panik. Bagaimana kalau kau sampai tahu cara kerjanya, dan aku membocorkan semua rahasianya kepadamu" Bagaimana kalau, lebih buruk lagi, kuberitahu kau
siapa yang mencekiki ayam-ayam jantan itu" Jadi, anak bodoh itu menunggu sampai kamarmu kosong dan mencurinya. Tetapi aku tahu apa yang harus kulakukan. Jelas bagiku kau sedang mengikuti jejak pewaris Slytherin. Dari semua yang telah diceritakan Ginny kepadaku, aku tahu kau bersedia melakukan apa saja untuk memecahkan misteri ini-apalagi kalau salah sal u korbannya adalah sahabatmu. Dan Ginny memberitahuku bahwa seluruh sekolah geger karena kau bisa bicara Parseltongue...
"Jadi kusuruh Ginny menulis pesan terakhirnya di dinding dan kubawa ke bawah sini untuk menunggu. Dia memberontak dan menangis dan menjadi sangat membosankan. Tetapi tak banyak lagi kehidupan di dalam dirinya. Dia sudah menuangkan terlalu banyak ke dalam buku harian, ke dalam diriku. Cukup untuk membuatku meninggalkan halaman-halaman buku harian itu akhirnya. Aku sudah menunggu kemunculanmu sejak kami tiba di sini. Aku tahu kau akan datang. Aku punya banyak pertanyaan untukmu, Harry Potter."
"Apa misalnya"" sembur Harry, tangannya tetap terkepal. "Yah," kata Riddle, tersenyum menyenangkan, "bagaimana bayi tanpa bakat sihir istimewa bisa berhasil mengalahkan penyihir terhebat sepanjang zaman" Bagaimana kau bisa selamat hanya dengan bekas luka, sementara kekuatan Lord Voldemort hancur""
Ada kilat merah aneh di mata Riddle yang kelaparan.
"Apa pedulimu bagaimana aku bisa selamat"" kata Harry
lambat-lambat. "Voldemort muncul sesudah zamanmu."
"Voldemort," kata Riddle pelan, "adalah masa lalu, masa
kini, dan masa depanku, Harry Potter..."
Dia menarik keluar tongkat Harry dari dalam sakunya dan
mulai mencoretkannya di udara, menulis tiga kata yang
berpendar-pendar: TOM MARVOLLO RIDDLE Kemudian dilambaikannya tongkat itu sekali, dan hurufhuruf namanya berubah susunan:
I AM LORD VOLDEMORT Aku Lord Voldemort "Kaulihat"" bisik Riddle. "Itu nama yang sudah kupakai waktu aku di Hogwarts, yang hanya kuberitahukan kepada teman-temanku yang paling akrab, tentu. Kaupikir aku akan menggunakan nama Muggle ayahku yang kotor selamanya" Di dalam tubuhku mengalir darah Salazar Slytherin sendiri, dari pihak ibuku. Kaupikir aku mau mempertahankan nama Muggle biasa yang jahat, yang meninggalkanku bahkan sebelum aku lahir hanya karena dia tahu istrinya penyihir" Tidak, Harry, kuciptakan nama baru untukku, nama yang aku tahu semu
a penyihir di mana pun suatu hari nanti tak akan berani menyebutnya, kalau aku sudah menjadi penyihir paling hebat di dunia!"
Otak Harry kelihatannya macet. Dia menatap tercengang
pada Riddle, si anak yatim-piatu yang setelah dewasa
membunuh orangtua Harry, dan begitu banyak orang lain...
Akhirnya dia memaksa diri bicara.
"Kau bukan," katanya, suaranya yang tenang penuh
kebencian. "Bukan apa"" bentak Riddle.
"Bukan penyihir paling hebat di dunia," kata Harry, bernapas cepat. "Maaf mengecewakanmu, tetapi penyihir paling hebat di dunia adalah Albus Dumbledore. Semua bilang
begitu. Bahkan ketika kau masih kuat, kau tidak berani mencoba mengambil alih Hogwarts. Dumbledore tahu betul orang seperti apa kau sewaktu kau masih di sekolah, dan dia masih membuatmu takut sekarang, di mana pun kau bersembunyi hari-hari ini."
Senyum telah lenyap dari wajah Riddle, digantikan oleh tampang yang sangat jelek.
"Dumbledore telah terusir dari kastil ini hanya karena
kenangan akan diriku!" dia mendesis.
"Dia tidak sepenuhnya pergi seperti yang kaukira!" balas
Harry. Dia ngomong asal saja, ingin menakut-nakuti Riddle.
Dia sendiri berharap apa yang dikatakannya benar-benar
terjadi. Riddle membuka mulut, tetapi lalu terpaku. Terdengar suara musik entah dari mana. Riddle berpaling untuk memandang kamar yang kosong. Musik terdengar semakin keras, menimbulkan perasaan ngeri, seram, tak wajar. Musik itu membuat rambut di kepala Harry berdiri dan menyebabkan hatinya membengkak dua kali lipat besarnya. Kemudian, ketika musik itu mencapai ketinggian tertentu sehingga Harry bisa merasakannya bergetar di dalam tulangtulang rusuknya, tiba-tiba berkobar nyala api di puncak salah satu pilar.
Seekor burung merah sebesar angsa muncul, menyerukan musiknya yang aneh ke langit-langit yang berbentuk kubah. Burung itu memiliki ekor keemasan bercahaya di ekornya yang sepanjang ekor burung merak. Dan cakarnya yang keemasan berkilat-kilat, mencengkeram gumpalan kain kumal. Sedetik kemudian, burung itu terbang lurus ke arah Harry. Dia menjatuhkan kain kumal dalam cengkeramannya ke kaki Harry, kemudian mendarat di bahunya. Ketika dia melipat sayapnya yang besar, Harry mendongak dan melihat paruhnya yang panjang, tajam keemasan, dan matanya yang seperti manik-manik.
Burung itu berhenti bernyanyi. Dia berdiri diam dan hangat
di sisi pipi Harry, menatap tajam Riddle.
"Itu phoenix..." kata Riddle, balas memandangnya dengan
galak. "Fawkes"" desah Harry, dan dia merasa cakar keemasan si
burung meremas bahunya dengan lembut.
"Dan itu...," kata Riddle, sekarang mengawasi kain kumal
yang dijatuhkan Fawkes, "itu Topi Seleksi tua milik sekolah."
Memang betul. Bertambal, berjumbai, dan kotor, topi itu
tergeletak tak bergerak di kaki Harry.
Riddle mulai tertawa lagi. Dia terbahak-bahak begitu keras
sehingga seluruh kamar dipenuhi suara tawanya, seakan
sepuluh Riddle terbahak bersamaan.
"Inilah yang dikirimkan Dumbledore kepada pembelanya!
Burung penyanyi dan topi tua! Kau merasa berani, Harry
Potter" Kau merasa aman sekarang""
Harry tidak menjawab. Dia mungkin tidak tahu apa
gunanya Fawkes ataupun si Topi Seleksi, tetapi dia tak lagi
sendirian, dan dia menunggu Riddle berhenti tertawa dengan
keberanian yang semakin meningkat.
"Kembali ke persoalan kita, Harry," kata Riddle, masih
tersenyum lebar. "Dua kali-di masa lalumu, di masa
depanku-kita sudah bertemu. Dan dua kali aku gagal
membunuhmu. Bagaimana kau bisa selamat" Ceritakan
padaku semuanya. Makin lama kau bicara," dia menambahkan
pelan, "makin lama kau hidup." Harry berpikir cepat, menimbang-nimbang kemungkinannya. Riddle memiliki tongkatnya. Dia, Harry, memiliki Fawkes dan si Topi Seleksi. Tak satu pun dari keduanya bisa banyak membantu dalam duel. Kelihatannya memang buruk. Tetapi semakin lama Riddle berdiri di sana, semakin berkurang kehidupan di dalam tubuh Ginny... dan sementara itu, Harry tiba-tiba menyadari, garis bentuk Riddle menjadi semakin nyata, semakin tegas. Kalau memang dia dan Riddle harus berduel, lebih cepat lebih baik. "Tak ada yang tahu kenapa kau kehilangan kekuatanmu ketika kau menyerangku," Harry berkat
a mendadak. "Aku sendiri juga tak tahu. Tetapi aku tahu kenapa kau tak bisa membunuhku. Karena ibuku meninggal demi menyelamatkanku. Ibuku yang kelahiran-Muggle biasa," dia menambahkan, gemetar menahan marah. "Dia mencegahmu membunuhku. Dan aku sudah melihat dirimu yang sebenarnya. Aku melihatmu tahun lalu. Kau hancur-hancuran. Kau nyaris tidak hidup. Itulah hasilnya semua kekuasaanmu. Kau menyembunyikan diri. Kau jelek, kau busuk!" Wajah Riddle berkeriut. Kemudian dia memaksakan senyum mengerikan.
"Jadi, ibumu meninggal karena menyelamatkanmu. Ya, itu
mantra-penangkal yang manjur. Aku bisa melihatnya
sekarang-tak ada yang istimewa pada dirimu, ternyata.
Selama ini aku bertanya-tanya sendiri. Karena ada kemiripankemiripan
aneh di antara kita berdua, Harry Potter. Bahkan
kau sendiri pun tentunya telah menyadarinya. Kita berdua
berdarah-campuran, yatim-piatu, dibesarkan oleh Muggle.
Mungkin hanya kita berdualah Parselmouth yang pernah
bersekolah di Hogwarts sejak Slytherin yang Agung sendiri.
Bahkan tampang kita berdua pun mirip... Tetapi, ternyata,
cuma keberuntungan sajalah yang menyelamatkanmu dariku.
Cuma itu saja yang ingin kuketahui."
Harry berdiri tegang, menunggu Riddle mengangkat
tongkatnya. Tetapi senyum seram Riddle mengembang lagi.
"Nah, Harry, aku akan memberi sedikit pelajaran bagimu.
Ayo, kita adu kekuatan. Lord Voldemort, pewaris Salazar
Slytherin, dengan Harry Potter yang terkenal ditambah
senjata-senjata terbaik yang diberikan Dumbledore
kepadanya." Riddle melempar pandang geli ke arah Fawkes dan Topi Seleksi, kemudian berjalan menjauh. Harry, ketakutan merayapi kakinya yang kebas, melihat Riddle berhenti di antara pilar-pilar tinggi dan mendongak menatap wajah batu Slytherin, jauh tinggi di atasnya dalam keremangan. Riddle membuka mulutnya lebar-lebar dan mendesis-tetapi Harry mengerti apa yang dikatakannya.m "Bicaralah padaku, Slytherin, yang terhebat dari Empat Sekawan Hogwarts."
Harry berpalingA untuk memandang patung itu. Fawkes berayun di bahunya.
Wajah batu raksasa Slytherin bergerak. Lumpuh ketakutan, Harry melihat mulutnya membuka, makin lama makin lebar, membentuk lubang hitam yang besar sekali. Dan ada sesuatu yang bergerak di dalam mulut patung itu. Sesuatu sedang merayap naik dari dalam tubuhnya. Harry mundur sampai membentur dinding kamar yang dingin, dan ketika memejamkan mata rapat-rapat, dia
merasakan sayap Fawkes menyapu pipinya waktu burung itu melesat kabur. Harry ingin berteriak, "Jangan tinggalkan aku!" Tapi kesempatan apa yang dimiliki phoenix jika berhadapan dengan raja ular"
Sesuatu yang luar biasa besar jatuh menimpa lantai batu kamar. Harry merasakan lantai bergetar. Dia tahu apa yang sedang terjadi, dia bisa merasakannya, nyaris bisa melihat si ular raksasa melepas gulungannya dari mulut Slytherin. Kemudian dia mendengar suara desis Riddle, "Bunuh dia." Si Basilisk bergerak ke arah Harry, dia bisa mendengar tubuhnya yang berat menggeleser berat dan lambat di lantai berdebu. Dengan mata masih terpejam rapat-rapat, Harry mulai berlari menyamping, tangannya terulur, mencari jalan. Riddle tertawa....
Harry terantuk sesuatu. Dia jatuh keras menimpa lantai batu dan mulutnya berdarah. Si ular paling-paling tinggal satu meter darinya, dia bisa mendengarnya datang. Terdengar bunyi ledakan kerasA persis di atasnya dan kemudian sesuatu yang berat menghantam Harry keras sekali sampai dia terempas menabrak dinding. Menunggu taringtaring menghunjam tubuhnya, dia mendengar desisan menggila, dan ada yang membabi-buta memukul-mukul pilar. Harry tak tahan lagi. Dia membuka matanya sedikit, sekadar cukup untuk mengintip apa yang sedang terjadi. Si ular raksasa, berwarna hijau terang, berbisa, sebesar batang pohon ek, telah mengangkat tubuhnya tinggi ke atas dan kepalanya yang tumpul meliak-liuk bagai orang mabuk di antara pilar-pilar. Ketika Harry gemetar, siap memejamkan mata kalau kepala itu menoleh, dia melihat apa yang telah mengalihkan perhatian si ular.
Fawkes beterbangan mengelilingi kepala si ular, dan si Basilisk mengatup-ngatupkan moncongnya yang bertaring panjang dan pipih seperti peda
ng, mau melahapnya. Fawkes menukik. Paruhnya yang panjang keemasan tenggelam menghilang dari pandangan dan mendadak semburan darah hitam mengguyur lantai. Ekor si ular membanting-banting, nyaris mengenai Harry, dan sebelum Harry sempat memejamkan mata, dia menoleh. Harry memandang tepat ke wajahnya dan melihat bahwa matanya, kedua matanya yang besar, kuning, bulat menonjol, telah dilubangi si phoenix. Darah membanjir ke lantai, dan si ular menyembur-nyembur kesakitan.
"Jangan!" Harry mendengar Riddle menjerit. "Tinggalkan burung itu! Tinggalkan burung itu! Anak itu di belakangmu! Kau masih bisa membaurnya! Bunuh dia!" Si ular yang sudah buta berayun, bingung, tapi masih membawa maut. Fawkes mengitari kepalanya, menyerukan lagunya yang menyeramkan, mematuk-matuk hidung si Basilisk yang bersisik, sementara darah mengucur terus dari matanya yang hancur.
"Tolong aku, tolong aku," Harry bergumam panik, "siapa saja, entah siapa!"
Ekor si ular melecut lantai lagi. Harry menghindar. Sesuatu yang lunak mengenai wajahnya.
Si Basilisk telah menyapu Topi Seleksi ke tangan Harry. Harry menyambarnya. Tinggal itu yang dia punya, satusatunya kesempatannya. Dipakainya topi itu di kepalanya dan dilemparnya tubuhnya tiarap ke lantai ketika ekor si Basilisk mengayun di atasnya lagi.
Tolong aku... tolong aku... Harry membatin, matanya
terpejam rapat di bawah topinya. Tolonglah aku!
Tak ada suara yang menjawab. Alih-alih menjawab si topi
mengerut, seakan ada tangan tak kelihatan yang meremasnya
kuat-kuat. Sesuatu yang sangat keras dan berat jatuh berdebum di atas kepala Harry, nyaris membuatnya pingsan. Bintangbintang berkelap-kelip di depan matanya. Harry mencengkeram ujung topi untuk menariknya lepas dan merasa ada sesuatu yang panjang dan keras di bawahnya. Sebatang pedang perak berkilat telah muncul di dalam topi, pegangannya bertabur batu-batu mirah berkilauan sebesar telur.
"Bunuh anak itu. Jangan pedulikan burung itu! Anak itu di
belakangmu! Kau bisa membaui dia!"
Harry sudah berdiri, siap. Kepala si Basilisk mulai
merendah, tubuhnya bergulung, menghantam pilar-pilar ketika
dia berputar untuk menghadapinya. Harry bisa melihat rongga
matanya yang besar berdarah, melihat mulutnya yang
menganga lebar, cukup lebar untuk menelannya sekali lahap,


Harry Potter Dan Kamar Rahasia Karya J.k. Rowling di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dikitari taring sepanjang pedangnya, pipih, berkilat-kilat,
beracun.... Si ular menerjang membabi-buta. Harry menghindar dan menabrak dinding kamar. Ular itu menerjang lagi, dan lidahnya yang bercabang mengibas mengenai sisi tubuh Harry. Harry mengangkat pedang dengan kedua tangannya. Si Basilisk menerjang lagi, dan kali ini sasarannya tepat. Harry melempar seluruh berat tubuhnya ke pedangnya dan menghunjamkannya ke langit-langit mulut si ular sampai ke pangkalnya.
Tetapi ketika darah mengguyur lengan Harry, dia merasakan kesakitan luar biasa di atas sikunya. Sebuah taring panjang beracun terbenam makin lama makin dalam di lengannya dan patah ketika si Basilisk terjungkal menyamping, lalu jatuh menggeliat-geliat ke lantai. Harry menggelosor jatuh dari dinding. Dia mencengkeram taring yang menyebarkan racun ke seluruh tubuhnya dan merenggutnya lepas dari lengannya. Tetapi dia tahu sudah terlambat. Rasa sakit yang luar biasa menyebar luas, pelan dan pasti, dari lukanya. Bahkan ketika dia menjatuhkan taring itu dan menatap darahnya sendiri yang membasahi jubahnya, pandangannya menjadi berkabut. Kamar itu mengabur dalam pusaran warna samar.
Sekelebat warna merah melayang melewatinya dan Harry mendengar bunyi cakar yang mendarat pelan di sebelahnya. "Fawkes" kata Harry susah payah. "Kau luar biasa, Fawkes..." Dia merasa si burung meletakkan kepalanya yang indah tepat di tempat taring si ular menusuknya. Dia bisa mendengar langkah-langkah kaki yang bergaung mendekat, dan kemudian bayang-bayang gelap bergerak di depannya.
"Mati kau, Harry Potter," terdengar suara Riddle di atasnya.
"Mati. Bahkan burung Dumbledore pun tahu. Kaulihat apa
yang dilakukannya, Potter" Dia menangis."
Harry mengejapkan mata. Kepala Fawkes hilang-timbul. Air
mata besar-besar bagai mutiara bergulir di bulunya yang
berkilauan. "Aku a kan duduk di sini dan menontonmu mati, Harry Potter. Tenang-tenang saja, aku tidak buru-buru kok."
Harry merasa mengantuk. Segala sesuatu di sekitarnya rasanya berpusing.
"Jadi beginilah akhir si Harry Potter yang terkenal," terdengar suara Riddle yang rasanya dari kejauhan. "Sendirian di dalam Kamar Rahasia, ditinggalkan oleh teman-temannya, dikalahkan akhirnya oleh Pangeran Kegelapan yang dengan bodoh ditantangnya. Kau akan segera berkumpul dengan ibu Darah-lumpurmu tersayang, Harry... Dia memberimu dua belas tahun pinjaman... tetapi Lord Voldemort berhasil mengalah-kanmu akhirnya, seperti yang kauketahui pasti akan terjadi'
Kalau ini kematian, pikir Harry, tidak terlalu buruk. Bahkan rasa sakitnya pun meninggalkannya.... Tetapi apakah ini kematian" Alih-alih semuanya menjadi gelap, Kamar Rahasia rasanya kembali jelas. Harry menggeleng pelan dan dilihatnya Fawkes, masih membaringkan kepalanya di lengan Harry. Genangan air mata berkilau bagai mutiara mengelilingi lukanya- hanya saja tak ada luka.
"Pergi, burung," kata Riddle tiba-tiba. "Jauh-jauh dari anak itu. Pergi, kataku!"
Harry mengangkat kepalanya. Riddle mengacungkan tongkat Harry kepada Fawkes. Terdengar letusan seperti senapan dan Fawkes melesat terbang lagi dalam pusaran emas dan merah tua.
"Air mata phoenix..." kata Riddle perlahan, memandang lengan Harry. "Tentu saja... berkhasiat menyembuhkan... aku lupa...."
Dia memandang wajah Harry. "Tetapi tak ada bedanya. Malah, aku lebih suka begini. Hanya kau dan aku, Harry Potter... kau dan aku...." Dia mengangkat tongkatnya.
Kemudian, dengan kepak keras sayapnya, Fawkes kembali melayang di atas dan ada yang terjatuh ke pangkuan Harry- buku harian.
Sesaat, baik Harry maupun Riddle, dengan tongkat masih terangkat, memandang buku harian itu. Kemudian, tanpa berpikir, tanpa pertimbangan, seakan sudah sejak semula dia berniat melakukannya, Harry menyambar taring Basilisk dari lantai di sebelahnya dan menghunjamkannya tepat ke jantung buku.
Terdengar jeritan panjang, mengerikan, tajam menusuk. Tinta menyembur dari buku harian itu, deras sekali, mengguyur tangan Harry, membanjiri lantai. Riddle menggeliat dan meliuk, menjerit dan menggapai-gapai, dan kemudian...
Dia telah pergi. Tongkat Harry terjatuh berdentang ke lantai dan kemudian sunyi. Sunyi kecuali bunyi tes, tes, tes tinta yang masih terus mengalir dari buku harian. Racun si Basilisk telah membakar dan meninggalkan lubang berdesis di tengahnya.
Gemetar sekujur tubuhnya, Harry bangkit dengan limbung. Kepalanya serasa berputar, seakan dia baru saja bepergian berkilo-kilometer dengan bubuk Floo. Perlahan, dipungutnya tongkat dan Topi Seleksi dan, dengan sentakan keras, dicabutnya pedang yang berkilat-kilat dari langit-langit mulut si Basilisk.
Kemudian terdengar rintihan pelan dari ujung kamar. Ginny bergerak. Sementara Harry bergegas mendekatinya, Ginny
duduk. Matanya yang tercengang bergerak dari sosok raksasa Basilisk yang telah mati, ke arah Harry dengan jubahnya yang basah kuyup oleh darah, dan kemudian ke buku harian di tangannya. Ginny bergidik, menghela napas dalam-dalam, dan air mata mulai membanjiri wajahnya.
"Harry-oh, Harry-aku berusaha memberitahumu waktu ssarapan,
tapi aku t-tak bisa mengatakannya di depan Percy.
Akulah pelakunya, Harry-tetapi aku- aku b-bersumpah itu bbukan
mauku-R-Riddle memaksaku, dia m-membawaku ke
sini-dan-bagaimana kau membunuh makhluk i-itu" D-di
mana Riddle" Yang terakhir kuingat adalah dia keluar dari
dalam buku hariannya..."
"Tak apa-apa," kata Harry, mengangkat buku harian itu, dan menunjukkan lubang taring kepada Ginny. "Riddle sudah tamat riwayatnya. Lihat! Dia dan si Basilisk. Ayo, Ginny, kita keluar dari sini..."
"Aku akan dikeluarkan!" Ginny tersedu, ketika Harry membantunya berdiri dengan kikuk. "Aku sudah menunggununggu kesempatan masuk Hogwarts sejak B-Bill datang dan s-sekarang aku harus pergi dan-a-apa yang akan dikatakan Mum dan Dad""
Fawkes menunggu mereka, melayang-layang di pintu masuk kamar. Harry mendorong Ginny maju, mereka melangkahi gulungan bangkai Basilisk yang tak bergerak, menembus keremangan, dan kemba
li ke terowongan. Harry mendengar pintu-pintu batu menutup di belakang mereka dengan bunyi desis pelan.
Setelah beberapa menit menelusuri terowongan gelap, telinga Harry menangkap bunyi karang digeser pelan di kejauhan.
"Ron!" teriak Harry, mempercepat langkahnya. "Ginny selamat! Dia bersamaku!"
Didengarnya Ron bersorak tersekat. Mereka menikung di belokan berikutnya dan melihat wajah Ron yang bersemangat melongok dari lubang cukup besar yang telah berhasil dibuatnya di reruntuhan karang.
"Ginny!" Ron menjulurkan tangan ke dalam lubang untuk menarik Ginny lebih dulu. "Kau masih hidup! Aku tak percaya! Apa yang terjadi""
Dia berusaha memeluk Ginny, tetapi Ginny mendorongnya, terisak-isak.
'Tetapi kau tak apa-apa, Ginny," kata Ron, tersenyum kepadanya. "Semuanya sudah berakhir, sudah-dari mana datangnya burung itu""
Fawkes sudah menukik turun dan melewati lubang.
"Dia milik Dumbledore," kata Harry, menjejalkan diri untuk
melewati lubang sempit itu.
"Dan bagaimana kau bisa punya pedang"" tanya Ron, tercengang melihat senjata berkilat-kilat di tangan Harry. "Akan kujelaskan kalau kita sudah keluar dari sini," kata Harry, mengerling pada Ginny. "Tapi..." "Nanti saja," Harry berkata buru-buru. Menurutnya bukan ide bagus memberitahu Ron sekarang siapa yang membuka Kamar Rahasia. Tidak di depan Ginny, paling tidak. "Di mana Lockhart""
"Di belakang situ," kata Ron, nyengir dan mengedik-kan kepala ke ujung lorong, ke arah pipa air. "Dia parah banget. Ayo, kita lihat."
Dipimpin Fawkes, yang sayap merah lebarnya
mengeluarkan cahaya lembut keemasan di dalam kegelapan, mereka berjalan kembali ke mulut pipa. Gilderoy Lockhart sedang duduk di sana, bersenandung tenang sendiri. "Ingatannya hilang," kata Ron. "Jampi Memori-nya berbalik menyerangnya sendiri, dan bukan menyerang kita. Sama sekali tak ingat siapa dirinya, atau di mana dia, atau siapa kita. Kusuruh dia ke sini dan menunggu di sini. Dia berbahaya bagi dirinya sendiri."
Lockhart menatap mereka semua dengan ramah.
"Halo' katanya. "Tempat yang aneh, ya" Kalian tinggal di
sini"" "Tidak," kata Ron, mengangkat alis ke arah Harry. Harry membungkuk lalu menengadah, memandang pipa panjang gelap itu.
"Sudahkah kaupikirkan bagaimana kita bisa kembali ke atas lewat pipa ini"" tanyanya kepada Ron. Ron menggelengkan kepala, tetapi Fawkes si phoenix telah menukik turun dan sekarang melayang-layang di depan Harry, mata manik-maniknya cemerlang di dalam kegelapan. Dia menggoyang-goyangkan bulu-bulu ekornya yang panjang keemasan. Harry menatapnya ragu-ragu. "Kelihatannya dia ingin kau memegang...," kata Ron, kelihatan bingung. "Tetapi kau terlalu berat bagi seekor burung untuk ditarik ke atas."
"Fawkes," ujar Harry, "bukan burung biasa." Dia cepatcepat berbalik, menghadapi teman-temannya. "Kita harus saling berpegangan. Ginny, pegang tangan Ron. Profesor Lockhart..."
"Maksudnya Anda," kata Ron tajam kepada Lockhart. "Anda memegang tangan Ginny yang satunya." Harry menyelipkan pedang dan Topi Seleksi ke ikat pinggangnya, Ron memegang bagian belakang jubahnya, dan Harry mengulurkan tangan memegang bulu ekor Fawkes yang anehnya terasa panas.
Rasa ringan luar biasa terasa mengaliri sekujur tubuhnya
dan saat berikutnya, dengan bunyi berdesing, mereka terbang
ke atas menembus pipa. Harry bisa mendengar Lockhart yang
bergantung di bawahnya berkata, "Luar biasa! Luar biasa! Ini
seperti sihir!" Udara dingin menerpa wajah dan rambut Harry,
dan belum puas dia menikmatinya, perjalanan itu sudah
berakhir-mereka berempat mendarat di lantai basah toilet
Myrtle Merana. Dan saat Lockhart meluruskan topinya,
wastafel yang menyembunyikan pipa air itu terpasang kembali
ke tempatnya semula. Myrtle terbelalak menatap mereka.
"Kau masih hidup," katanya bingung kepada Harry.
"Janganlah sebegitu kecewa," kata Harry suram sambil
melap bercak darah dan lendir dari kacamatanya.
"Oh, bukan begitu... aku sudah berpikir, kalau kau mati,
dengan senang hati kupersilakan kalau mau berbagi toilet
denganku," kata Myrtle, wajahnya merona perak.
"Urgh!" kata Ron, ketika mereka meninggalkan toilet
menuju koridor gelap dan kosong di
depannya. "Harry! Kurasa
Myrtle naksir kau! Kau punya saingan, Ginny!"
Tetapi air mata tetap bercucuran tanpa suara membanjiri
wajah Ginny. "Ke mana sekarang"" tanya Ron, cemas memandang Ginny. Harry menunjuk.
Fawkes memimpin di depan, menebarkan cahaya
keemasan di sepanjang koridor. Mereka berjalan mengikutinya, dan beberapa saat kemudian, ternyata mereka tiba di depan kantor Profesor McGonagall. Harry mengetuk dan mendorong pintunya terbuka.
18 Pahala Untuk Dobby SEJENAK hening ketika Harry, Ron, Ginny, dan Lockhart berdiri di depan pintu, berlumur kotoran dan lendir, dan (khusus Harry) darah. Kemudian terdengar jeritan. "Ginny!"
Jeritan Mrs Weasley, yang semula duduk menangis di depan perapian. Dia melompat bangun, diikuti oleh Mr Weasley, dan keduanya berlari memeluk anak perempuan mereka.
Tetapi Harry memandang melampaui mereka. Profesor Dumbledore berdiri di sebelah perapian, wajahnya berseri-seri. Di sebelahnya, Profesor McGonagall menghela napas dalamdalam untuk menenangkan diri, tangannya mencengkeram dadanya. Fawkes menderu melewati telinga Harry dan mendarat di bahu Dumbledore, tepat ketika Harry dan Ron ditarik ke dalam pelukan erat Mrs Weasley. "Kau menyelamatkannya! Kau menyelamatkannya! Bagaimana caranya""
"Kurasa kita semua ingin tahu," kata Profesor McGonagall lemas.
Mrs Weasley melepaskan Harry. Harry ragu-ragu sejenak, kemudian dia berjalan ke meja dan meletakkan Topi Seleksi, pedang bertatahkan batu mirah, dan apa yang tersisa dari buku harian Riddle di atasnya. Kemudian dia mulai menceritakan segalanya kepada mereka. Selama hampir seperempat jam dia bicara kepada pendengar yang hening, asyik menyimak. Harry bercerita bahwa dia mendengar suara tanpa tubuh; bagaimana Hermione akhirnya menyadari bahwa suara Basilisk di dalam pipalah yang didengar Harry; bagaimana dia dan Ron mengikuti labah-labah ke dalam hutan, bahwa Aragog memberitahu mereka di mana korban terakhir Basilisk meninggal; bagaimana dia menerka bahwa Myrtle Merana-lah korbannya, dan bahwa jalan masuk ke Kamar Rahasia mungkin berada di toiletnya....
"Bagus sekali," Profesor McGonagall mendorongnya untuk melanjutkan, ketika Harry berhenti, "jadi, kau menemukan di mana jalan masuknya-melanggar seratus peraturan sekolah untuk sampai ke situ, kalau boleh kutambahkan-tetapi bagaimana caranya kau bisa keluar dari sana hidup-hidup, Potter""
Maka Harry, suaranya sekarang sudah serak karena kebanyakan bicara, menceritakan tentang kedatangan Fawkes yang tepat waktu dan tentang Topi Seleksi yang memberinya pedang. Tetapi kemudian dia bimbang dan berhenti. Sejauh ini dia berhasil menghindar menyebutkan buku harian Riddle- ataupun Ginny. Ginny berdiri dengan kepala tersandar di bahu Mrs Weasley, dan air mata masih terus bergulir tanpa suara di pipinya. Bagaimana kalau dia dikeluarkan" pikir Harry panik. Buku harian Riddle sudah tidak berfungsi... Bagaimana mereka bisa membuktikan Riddle-lah yang memaksa Ginny melakukan semua itu"
Mengikuti nalurinya, Harry memandang Dumbledore, yang tersenyum samar, nyala api memantul dari kacamata bulanseparonya. "Yang paling menarik bagiku' kata Dumbledore lembut, "adalah bagaimana Lord Voldemort berhasil memikat Ginny, sementara sumber-sumberku mengatakan dia sedang bersembunyi di hutan-hutan Albania."
Lega-kelegaan yang hangat, menyenangkan-menjalari sekujur tubuh Harry.
"A-apa tadi"" kata Mr Weasley kaget. "Kau-Tahu-Siapa" Me-memikat Ginny" Tapi Ginny tidak... Ginny belum... kan"" "Gara-gara buku harian ini," kata Harry buru-buru, mengangkatnya dan menunjukkannya kepada Dumbledore. "Riddle menulis di dalamnya waktu berusia enam belas tahun."
Dumbledore mengambil buku harian dari tangan Harry dan memandang ingin tahu melewati hidungnya yang panjang bengkok ke halaman-halamannya yang terbakar dan basah. "Brilian," katanya lirih. "Tentu saja, dia mungkin murid paling brilian yang pernah dipunyai Hogwarts." Dia berpaling, menghadapi suami-istri Weasley, yang tampak amat bingung.
"Cuma sedikit sekali yang tahu bahwa Lord Voldemort dulu bernama Tom Riddle. Aku sendiri mengajarnya, lima puluh tahun yang lalu, di Hogwart
s. Dia menghilang setelah meninggalkan sekolah... berkelana ke tempat-tempat jauh... terbenam begitu dalam di dunia Sihir Hitam, bergaul dengan yang terburuk dari bangsa kita, .menjalani berbagai transformasi sihir yang membahayakan, sehingga ketika dia muncul kembali sebagai Lord Voldemort, dia nyaris tak dikenali lagi. Hampir tak ada yang menghubungkan Lord Voldemort dengan anak pandai dan tampan yang dulu pernah menjadi Ketua Murid di sini."
"Tetapi Ginny," kata Mrs Weasley, "apa hubungan Ginny kami dengan-dengan-dia""
"B-buku hariannya!" Ginny tersedu. "A-aku menulis di dalamnya dan dia membalas sepanjang tahun..." "Ginny!" kata Mr Weasley kaget. "Apa tak ada yang kaupelajari dariku" Apa yang selalu kukatakan kepadamu" Jangan pernah mempercayai apa saja yang bisa berpikir sendiri kalau kau tidak bisa melihat di mana otaknya disimpan. Kenapa buku harian itu tidak kautunjukkan kepadaku atau ibumu" Barang mencurigakan seperti itu, kan sudah jelas penuh sihir hitam!"
"A-aku tidak tahu," isak Ginny. "Aku menemukannya di dalam salah satu buku yang dibelikan Mum. K-kupikir ada orang yang meninggalkannya di situ dan kemudian lupa..." "Miss Weasley harus segera dibawa ke rumah sakit," Dumbledore menyela dengan tegas. "Peristiwa ini merupakan cobaan berat baginya. Tak akan ada hukuman. Penyihir-penyihir yang lebih tua dan bijaksana darinya telah diperdayakan oleh Lord Voldemort." Dia melangkah ke pintu dan membukanya. "Istirahat di tempat tidur dan mungkin minum secangkir besar cokelat panas mengepul. Cokelat selalu membuatku gembira," dia menambahkan, mengedip ramah kepada Ginny. "Temui Madam Pomfrey. Dia belum tidur. Dia baru saja membagikan jus Mandrake-kukira korban-korban Basilisk bisa segera bangun kapan saja." "Jadi Hermione sembuh!" kata Ron senang. "Tak ada kerusakan yang permanen," kata Dumbledore. Mrs Weasley membawa Ginny keluar, dan Mr Weasley mengikuti, masih tampak sangat terguncang. "Kau tahu, Minerva," kata Profesor Dumbledore sambil berpikir-pikir kepada Profesor McGonagall, "kurasa semua ini layak dirayakan dengan pesta meriah. Boleh aku minta tolong kau untuk memberitahu dapur""
"Baiklah," kata Profesor McGonagall singkat, ikut bergerak ke pintu. "Kupasrahkan penanganan Potter dan Weasley kepadamu, ya"" "Tentu," kata Dumbledore.
Profesor McGonagall pergi, dan Harry dan Ron menatap Dumbledore dengan bimbang. Apa persisnya maksud Profesor McGonagall, penanganan mereka" Tentunya-tentunya- mereka tidak akan dihukum, kan"
"Aku masih ingat telah memberitahu kalian berdua bahwa aku terpaksa akan mengeluarkan kalian kalau kalian melanggar peraturan sekolah lagi," kata Dumbledore. Ron membuka mulut, ngeri.
"Itu menunjukkan bahwa yang terbaik dari kita pun kadang-kadang harus menarik kembali kata-katanya," Dumbledore meneruskan, tersenyum. "Kalian berdua akan menerima Penghargaan Istimewa untuk Pengabdian kepada Sekolah dan-coba kupikir-ya, kurasa masing-masing dua ratus angka untuk Gryffindor." Ron menjadi merah jambu secemerlang bunga-bunga Valentine Lockhart dan menutup mulutnya lagi. "Tetapi salah satu dari kita rupanya menyembunyikan perannya dalam petualangan berbahaya ini," Dumbledore menambahkan. "Kenapa begitu rendah hati, Gilderoy"" Harry tersentak kaget. Dia sama sekali lupa tentang Lockhart. Dia menoleh dan melihat Lockhart berdiri di sudut ruangan, masih tersenyum tak jelas Ketika Dumbledore menyapanya, Lockhart menoleh ke belakang untuk melihat siapa yang diajak bicara Dumbledore. "Profesor Dumbledore," kata Ron buru-buru, "terjadi kecelakaan di Kamar Rahasia. Profesor Lockhart "Aku profesor"" tanya Lockhart tercengang "Ya ampun, aku pelupa benar, ya""
"Dia mau menyihir kami dengan Jampi Memori, tetapi
tongkatnya malah berbalik menyerang dia sendiri," Ron
menjelaskan kepada Dumbledore,
"Astaga," kata Dumbledore, geleng-geleng, jenggot
peraknya yang panjang bergetar. "Tertebas pedang sendiri,
Gilderoy!" "Pedang"" kata Lockhart tolol.
"Tak punya pedang. Anak itu yang punya." Dia menunjuk Harry. "Kau bisa pinjam dia."
"Maukah kau membawa Profesor Lockhart ke rumah sakit juga"" Dumbledore berkata kepada Ron
. "Aku masih akan bicara beberapa patah kata dengan Harry...." Lockhart berjalan santai keluar. Ron melempar pandang ingin tahu ke arah Dumbledore dan Harry sebelum dia menutup pintu.
Dumbledore menuju salah satu kursi di dekat perapian. "Duduklah, Harry," katanya, dan Harry duduk, merasa gugup sekali.
"Pertama-tama, Harry, aku ingin berterima kasih kepadamu," kata Dumbledore, matanya berbinar-binar lagi. "Kau pastilah menunjukkan kesetiaan yang sungguh-sungguh kepadaku di dalam Kamar Rahasia. Tak ada hal lain kecuali itu yang bisa memanggil Fawkes kepadamu." Dia membelai si phoenix, yang sudah terbang turun dan hinggap di lututnya. Harry nyengir salah tingkah ketika Dumbledore menatapnya.
"Jadi, kau bertemu Tom Riddle," kata Dumbledore
merenung. "Kubayangkan dia pasti sangat tertarik padamu..." Mendadak sesuatu yang selama ini mengganggu pikiran Harry tercetus dari mulutnya.
"Profesor Dumbledore... Riddle mengatakan saya mirip dia. Kemiripan yang aneh, katanya..." "Ah, begitu, ya"" kata Dumbledore, memandang tajam Harry dari bawah alisnya yang tebal. "Don bagaimana menurutmu, Harry""
"Saya rasa saya tidak mirip dia!" kata Harry, lebih keras daripada yang dimaksudkannya. "Maksud saya, saya-saya di Gryffindor, saya..."
Tetapi dia terdiam, keraguan yang selama ini menghantuinya, kini muncul kembali di benaknya. "Profesor," katanya lagi setelah diam beberapa saat, "Topi Seleksi memberitahu saya bahwa-bahwa saya akan berhasil dengan gemilang di Slytherin. Selama beberapa waktu semua orang mengira saya pewaris Slytherin... karena saya bisa bicara Parseltongue..."
"Kau bisa bicara Parseltongue, Harry," kata Dumbledore tenang, "karena Lord Voldemort-yang adalah keturunan terakhir Salazar Slytherin yang tersisa-bisa bicara Parseltongue. Kecuali aku keliru, dia mentransfer sebagian kekuasaannya kepadamu pada malam dia memberimu bekas luka itu. Bukan sesuatu yang sebetulnya ingin dilakukannya, aku yakin..."
"Voldemort memasukkan sedikit dirinya ke dalam diri saya"" tanya Harry, tercengang. "Kelihatannya begitu." "Jadi, saya seharusnya di Slytherin," kata Harry, memandang Dumbledore dengan tatapan putus asa. "Topi Seleksi bisa melihat kekuatan Slytherin di dalam diri saya, dan dia..."
"Memasukkanmu ke Gryffindor' kata Mimbledore tenang. "Dengarkan aku, Harry. Kau kebetulan punya banyak kemampuan yang sang.il dihargai Slytherin dalam murid-murid yang dipilihnya sendiri. Kemampuannya sendiri yang sangat langka, Parseltongue... panjang akal... ketetapan hati... kecenderungan mengabaikan peraturan," dia menambahkan, kumisnya bergetar lagi. "Tetapi Topi Seleksi toh menempatkanmu di Gryffindor. Kau tahu kenapa. Coba pikir." "Topi itu menempatkan saya di Gryffindor," kata Harry pasrah, "hanya karena saya tak mau ditempatkan di Slytherin...."
"Tepat," kata Dumbledore, wajahnya berseri-seri lagi. "Itu yang membuatmu sangat berbeda dengan Tom Riddle. Pilihan kitalah, Harry, yang menunjukkan orang seperti apa sebenarnya kita, lebih dari kemampuan kita." Harry duduk terpaku di kursinya, terpesona. "Kalau kau ingin bukti, Harry, bahwa kau cocok untuk Gryffindor, kusarankan kau memeriksa ini dengan teliti."
Dumbledore menjangkau pedang perak berlumur darah di atas meja Profesor McGonagall dan menyerahkannya kepada Harry. Dengan bingung Harry membaliknya, batu-batu mirahnya menyala tertimpa cahaya api. Dan kemudian dia melihat nama yang terukir tepat di bawah pangkalnya. Godric Gryffindor.
"Hanya Gryffindor sejati yang bisa menarik keluar pedang itu dari dalam topi, Harry," kata Dumbledore sungguhsungguh. Selama beberapa saat tak ada yang bicara. Kemudian Dumbledore menarik salah satu laci meja Profesor
McGonagall, dan mengeluarkan pena bulu dan sebotol tinta. "Yang kauperlukan, Harry, adalah makanan dan tidur. Kusarankan kau turun dan ikut pesta, sementara aku menulis ke Azkaban-kita memerlukan pengawas binatang liar kita kembali ke sini. Dan aku harus menulis iklan untuk Daily Prophet juga," dia menambahkan seraya berpikir-pikir. "Kita memerlukan guru baru untuk Pertahanan terhadap Ilmu Hitam, Astaga, kelihatannya kita menghabiskan para guru it
u, ya"" Harry bangkit dan menyeberangi ruangan menuju pintu. Baru saja dia mau meraih pegangannya, pintu terbuka keras sekali, sehingga memantul balik dari dinding. Lucius Malfoy berdiri di depan pintu, wajahnya murka. Gemetar ketakutan di bawah lengannya, tampak Dobby yang terbungkus perban tebal.
"Selamat malam, Lucius," kata Dumbledore ramah. Mr Malfoy nyaris menabrak jatuh Harry ketika dia menerobos masuk. Dobby bergegas menyusulnya. Dia mendekam di tepi jubah Mr Malfoy wajahnya ketakutan dan terhina.
"Jadi!" kata Lucius Malfoy, mata dinginnya terpancang pada Dumbledore "Kau kembali Dewan sekolah menskorsmu, tetapi kau masih merasa pantas kembali ke Hogwarts." "Ah, begini, Lucius," kala Dumbledore tersenyum tulus, "kesebelas anggota dewan yang lain mengontak ku hari ini. Rasanya seperti terperangkap dalam hujan salju burung hantu, jujur saja mereka mendengar bahwa putri Arthur Weasley telah terbunuh dan menginginkan aku segera kembali kesini mereka kelihatannya berpendapat aku orang yang paling baik untuk posisi ini, ternyata. Mereka juga menyampaikan cerita-cerita aneh kepadaku. Beberapa di antara mereka kelihatannya mengira kau telah mengancam akan mengutuk keluarga mereka jika mereka tidak setuju menskorsku."
Mr Malfoy menjadi lebih pucat dari biasanya, tetapi
matanya masih tetap berupa goresan kemarahan.
"Jadi-apakah kau sudah berhasil menghentikan seranganserangan
itu"" cemoohnya. "Sudahkah kau tangkap
pelakunya"" "Sudah," kata Dumbledore, tersenyum. "Nah"" kata Mr Malfoy tajam. "Siapa"" "Orang yang sama seperti sebelumnya, Lucius," kata Dumbledore. "Tetapi kali ini Lord Voldemort bertindak lewat orang lain. Dengan perantaraan buku harian ini." Dumbledore mengangkat buku hitam kecil dengan lubang besar di tengahnya, mengawasi Mr Malfoy dengan tajam. Tetapi Harry mengawasi Dobby.
Peri-rumah itu bersikap sangat aneh. Matanya yang besar menatap Harry penuh arti, tak henti-hentinya dia menunjuknunjuk buku harian, kemudian Mr Malfoy, dan kemudian memukul kepalanya keras-keras dengan tinjunya sendiri. "Begitu...," kata Mr Malfoy lambat-lambat kepada Dumbledore.
"Rencana yang hebat," kata Dumbledore dengan suara datar, masih menatap lurus-lurus mata Mr Malfoy. "Karena jika Harry ini...," Mr Malfoy sekilas melempar pandang tajam ke arah Harry, "dan temannya, Ron, tidak menemukan buku ini, wah... Ginny Weasley mungkin saja yang harus menanggung semua kesalahannya. Tak seorang pun akan bisa
membuktikan dia tidak bertindak atas kemauannya sendiri..." Mr Malfoy tidak berkata apa-apa. Wajahnya mendadak kaku seperti topeng.
"Dan bayangkan," Dumbledore melanjutkan, "apa yang akan terjadi kemudian... Keluarga Weasley adalah salah satu dari keluarga berdarah-murni yang paling terkemuka. Bayangkan dampaknya pada Arthur Weasley dan Undang-Undang Perlindungan Muggle-nya, jika anak perempuannya sendiri ditemukan menyerang dan membunuhi anak-anak kelahiran-Muggle. Untung sekali buku harian ini ditemukan, dan kenangan Riddle dihapus darinya. Siapa yang tahu apa konsekuensinya kalau tidak..." Mr Malfoy memaksa diri bicara. "Untung sekali," katanya kaku
Dan masih saja, di belakang punggung Mr Malfoy, Dobby menunjuk-nunjuk, mula-mula ke buku Harian kemudian ke Lucius Malfoy, dan setelah itu meninju kepalanya sendiri. Dan Harry mendadak paham. Dia mengangguk kepada Dobby, dan Dobby mundur ke sudut, sekarang memelintir telinganya sebagai hukuman.
"Tidakkah Anda ingin tahu bagaimana Ginny memperoleh buku harian itu, Mr Malfoy"" kata Harry. Lucius Malfoy berpaling menghadapinya. "Bagaimana aku bisa tahu bagaimana anak bodoh itu memperolehnya"" timpalnya.
"Karena Anda yang memberikannya kepadanya," kata
Harry. "Di Flourish and Blotts. Anda mengambil buku
Transfigurasi-nya yang sudah bekas-pakai, dan menyelipkan
buku harian itu ke dalamnya, kan""
Harry melihat tangan putih Mr Malfoy mengepal dan
membuka. "Buktikan," dia mendesis. "Oh, tak ada yang bisa membuktikannya," kata Dumbledore, tersenyum kepada Harry. "Tidak sekarang, setelah Riddle lenyap dari buku itu. Sebaliknya, kusarankan kepadamu, Lucius, jangan lagi membagi-bagikan barangbarang
sekolah tua milik Voldemort. Kalau ada lagi barangnya yang jatuh ke tangan tak bersalah, kurasa Arthur Weasley, salah satunya, akan memastikan barang-barang itu dilacak sampai kepadamu...."
Sesaat Lucius Malfoy berdiri diam, dan Harry dengan jelas
melihat tangan kanannya berkedut, seakan dia ingin sekali
meraih tongkatnya. Tetapi akhirnya dia menoleh kepada perirumahnya.
"Kita pulang, Dobby!"
Dia membuka pintu dengan kasar dan si peri bergegas mendekatinya. Mr Malfoy menendangnya keluar pintu. Mereka bisa mendengar Dobby menjerit-jerit kesakitan sepanjang koridor. Sejenak Harry berdiri, berpikir keras. Kemudian dia mendapat ide.
"Profesor Dumbledore," katanya buru-buru, "bolehkah saya mengembalikan buku harian itu kepada Mr Malfoy"" "Tentu, Harry," kata Dumbledore tenang. "Tetapi bergegaslah. Pesta, ingat."
Harry menyambar buku harian itu dan berlari meninggalkan kantor. Dia bisa mendengar jerit kesakitan Dobby yang samarsamar ketika berbelok di sudut Cepat-cepat, seraya dalam hati bertanya-tanya apakah rencananya bisa berhasil, Harry melepas salah satu sepatunya, menarik kaus kakinya yang kotor, berlendir, dan menjejalkan buku harian itu ke dalamnya. Kemudian dia berlari sepanjang koridor yang gelap.
Dia berhasil mengejar mereka di puncak tangga.
"Mr Malfoy," katanya terengah, mengerem larinya dan
berhenti di depan mereka, "saya membawa sesuatu untuk
Anda." Dan dijejalkannya kaus kaki bau itu ke tangan Lucius
Malfoy. "Apa ...""
Mr Malfoy menarik lepas kaus kaki itu dari buku hariannya, melemparnya, memandang marah buku rusak itu sebelum menatap Harry.
"Kau akan berakhir tragis seperti orangtuamu suatu hari nanti, Harry Potter," katanya pelan "Mereka juga orang yang suka ikut campur' Dia berbalik mau pergi. "Ayo, Dobby. Ayo!"
Tetapi Dobby tak bergerak dia memegangi kaus kaki Harry yang berlendir menjijikkan dan memandangnya seakan kaus kaki harta tak ternilai.
"Tuan telah memberi Dobby kaus kaki " kata si peri takjub.
"Tuan memberikannya kepada Dobby""
"Apa"" gertak Mr Malfoy "Apa katamu""
"Dobby mendapat kaus kaki," kata Dobby tak percaya.
"Tuan melemparnya dan Dobby menangkapnya, dan DobbyDobby bebas." Lucius Malfoy berdiri terpaku, terbelalak menatap si peri.
Kemudian dia menerjang Harry.
"Kau membuatku kehilangan pelayan, Nak!"
Tetapi Dobby berteriak, "Kau tak boleh melukai Harry
Potter!" Terdengar letusan keras, dan Mr Malfoy terlempar ke belakang. Dia berguling-guling, dan jatuh terpuruk di dasar tangga. Dia bangkit, wajahnya penuh kemurkaan. Dia menarik keluar tongkatnya, tetapi Dobby mengangkat jari panjangnya, mengancam.
"Kau harus pergi sekarang," katanya galak, menunjuk ke bawah ke arah Mr Malfoy. "Kau tak boleh menyentuh Harry Potter. Kau harus pergi sekarang."
Lucius Malfoy tak punya pilihan lain. Dengan pandangan membara ke arah mereka berdua, dia menyampirkan mantelnya ke tubuhnya dan bergegas lenyap dari pandangan. "Harry Potter membebaskan Dobby!" kata si peri nyaring, menatap Harry. Bulan yang bersinar dan tampak dari jendela terdekat, terpantul dari matanya yang menonjol. "Harry Potter membebaskan Dobby!"
"Cuma itulah yang bisa kulakukan, Dobby," kata Harry, nyengir. "Berjanjilah, jangan mencoba menyelamatkan hidupku lagi."
Wajah buruk si peri mendadak dihiasi senyum lebar yang memamerkan gigi-giginya.
"Aku cuma mau tanya satu hal, Dobby," kata Harry, ketika Dobby memakai kaus kaki Harry dengan tangan gemetar. "Kau memberitahuku bahwa semua ini tak ada hubungannya dengan Dia yang Namanya Tak Boleh Disebut, ingat" Nah..." "Itu petunjuk, Sir," kata Dobby, matanya melebar seakan ini sudah jelas. "Dobby memberi Harry Potter petunjuk. Pangeran Kegelapan, sebelum dia mengubah namanya, namanya boleh disebut dengan bebas, kan"" "Betul," kata Harry lemas. "Yah, aku lebih baik pergi sekarang. Ada pesta, dan sahabatku, Hermione, mestinya
sudah bangun sekarang..."
Dobby melingkarkan lengannya ke sekeliling pinggang Harry dan memeluknya.
"Harry Potter jauh lebih hebat daripada yang Dobby tahu!" dia terisak. "Selamat tinggal, Harry Potter!" Dan dengan bunyi lecutan keras, Dobby menghilang.
Harry sudah beberapa k ali ikut pesta di Hogwarts, tetapi belum pernah ada yang seperti ini. Semua orang memakai piama dan perayaan berlangsung semalam suntuk. Harry tak tahu apakah bagian paling menyenangkan adalah ketika Hermione berlari ke arahnya, berteriak-teriak, "Kau memecahkannya! Kau memecahkannya!" atau Justin bergegas datang dari meja Hufflepuff untuk menjabat tangannya dan tak henti-hentinya meminta maaf karena telah mencurigainya. Atau ketika Hagrid muncul pada pukul setengah empat pagi, meremas bahu Harry dan Ron begitu keras sehingga mereka terjungkal ke piring kue mereka, atau empat ratus angka yang diperolehnya bersama Ron untuk Gryffindor yang menjamin Piala Asrama tetap menjadi milik mereka selama dua tahun berturut-turut. Atau saat Profesor McGonagall berdiri untuk menyampaikan kepada mereka bahwa semua ujian dibatalkan sebagai hadiah dari sekolah ("Oh, tidak!" jerit Hermione), atau Dumbledore yang mengumumkan bahwa, sayang sekali, Profesor Lockhart tak akan bisa kembali pada tahun ajaran berikutnya, karena dia perlu pergi untuk memperoleh kembali ingatannya. Cukup banyak guru yang ikut bersorak bersama anak-anak menyambut pengumuman ini. "Sayang," kata Ron sambil mengambil donat selai. "Aku mulai suka padanya."
Sisa semester musim panas itu berlalu dalam kekaburan teriknya cahaya matahari. Hogwarts sudah kembali normal, dengan hanya sedikit perbedaan. Semua pelajaran Pertahanan terhadap Ilmu Hitam dibatalkan ("tapi kita kan sudah banyak latihan," kata Ron kepada Hermione yang menggerutu) dan Lucius Malfoy dipecat dari dewan sekolah. Draco tak lagi gagah-gagahan berkeliaran ke sana kemari di sekolah seakan dia pemilik tempat itu. Dia sekarang malah kelihatan marah dan mendongkol. Sebaliknya, Ginny Weasley sudah gembira lagi.
Terlalu cepat, tiba saatnya untuk pulang naik Hogwarts Express. Harry, Ron, Hermione, Fred, George, dan Ginny mendapat satu kompartemen untuk mereka. Mereka memanfaatkan betul jam-jam terakhir ketika mereka masih diizinkan melakukan sihir sebelum liburan. Mereka bermain Jentikan Meletup, menghabiskan sisa kembang api Filibuster milik Fred dan George, dan berlatih melucuti senjata masingmasing dengan sihir. Harry sudah mahir sekali melakukan trik ini.
Mereka sudah hampir tiba di King's Cross ketika Harry ingat sesuatu.
"Ginny-apa yang kaulihat dilakukan Percy, dan Percy
melarangmu bilang pada siapa-siapa""
"Oh, itu," kata Ginny terkikik geli. "Percy punya pacar."
Fred menjatuhkan setumpuk buku ke kepala George.
"Apa"" "Anak Ravenclaw yang Prefek itu, Penelope Clearwater," kata Ginny. "Kepada dialah Percy menulis sepanjang musim
panas yang lalu. Dia kencan dengan anak itu sembunyisembunyi di berbagai tempat di sekolah. Aku tak sengaja masuk ke kelas tempat mereka sedang berciuman suatu hari. Percy cemas sekali waktu Penelope-kalian tahu-diserang. Kalian tidak akan meledeknya, kan"" Ginny menambahkan dengan cemas.
"Mimpi pun tidak," kata Fred, yang tampak gembira sekali,
seakan ulang tahunnya dimajukan.
"Jelas tidak," kata George, terkekeh-kekeh.
Hogwarts Express memperlambat kecepatan dan. akhirnya
berhenti. Harry mengeluarkan pena bulu dan secarik per-kamen dan menoleh kepada Ron dan Hermione. "Ini namanya nomor telepon," dia memberitahu Ron, menuliskan nomor dua kali, merobek perkamen-nya menjadi dua, dan memberikannya kepada mereka. "Aku memberitahu ayahmu bagaimana caranya menggunakan telepon musim panas yang lalu, dia akan tahu. Teleponlah aku di rumah keluarga Dursley, oke" Aku tak akan tahan melewatkan dua bulan hanya bicara dengan Dudley..." "Tapi bibi dan pamanmu akan bangga, kan"" kata Hermione, sementara mereka turun dari kereta api dan bergabung dengan kerumunan yang berdesakan menuju palang rintangan yang tersihir. "Kalau mereka mendengar apa yang kaulakukan tahun ini"" "Bangga"" kata Harry. "Kau gila" Dalam semua petualangan itu aku bisa mati, tapi aku tidak mati juga" Mereka akan marah besar...."
Dan bersama-sama mereka melewati gerbang menuju ke dunia Muggle.
TAMAT Sumber Pdf: DewiKZ www.kangzusi.com Convert Jar: inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
tamat Ciuman Selamat Malam 2 Asmara Berdarah karya Kho Ping Hoo Pendekar Pedang Pelangi 2

Cari Blog Ini