Ceritasilat Novel Online

Tawanan Azkaban 3

Harry Potter Dan Tawanan Azkaban Karya J.k Rowling Bagian 3


"Yeah, betul," kata Harry asal saja.
Bibir tipis Malfoy melengkung dalam senyum sadis.
"Tentu saja, kalau aku," katanya sok, "aku pasti sudah melakukan sesuatu sebelum ini. Aku tak akan tinggal di sekolah jadi anak baik-baik, aku akan di luar sana mencarinya."
"Kau bicara apa, Malfoy"" tanya Ron kasar.
"Apa kau tidak tahu, Potter"" desah Malfoy, mata-nya yang pucat menyipit. "Tahu apa"
M Malfoy tertawa menghina. "Mungkin kau tak berani mempertaruhkan lehermu," katanya. "Kau lebih suka menyerahkannya ke-pada para Dementor saja, kan" Tapi kalau aku, aku akan balas dendam. Akan kuburu sendiri."
"Apa yang kaubicarakan"" tanya Harry marah.
Tetapi saat itu Snape berkata, "Kalian mestinya sudah selesai memasukkan semua bahan ramuan seka-rang. Ramuan ini harus mendidih dulu sebelum bisa diminum.
Menyingkirlah dulu sementara ramuan mendidih dan kemudian kita akan mengetes katak Longbottom...
Crabbe dan Goyle tertawa terang-terangan, meman-dang Neville yang berkeringat dan mengaduk ramu-annya dengan terburu-buru. Hermione menggumam-kan petunjuk-petunjuk kepadanya dari sudut mulut-nya, supaya Snape tidak melihatnya. Harry dan Ron mengemas kembali bahan-bahan mereka yang tidak terpakai, lalu mencuci tangan dan sendok pengaduk mereka di wastafel batu di sudut.
"Apa maksud Malfoy"" gumam Harry kepada Ron, sambil sekali lagi mengulurkan tangannya ke bawah semburan air sedingin es yang memancar dari mulut gargoyle. "Kenapa aku harus balas dendam kepada Black" Dia tidak melakukan apa-apa terhadapku- setidaknya belum."
"Dia cuma mengada-ada," kata Ron sewot, "dia mencoba membuatmu melakukan sesuatu yang bodoh..." Menjelang akhir pelajaran, Snape mendatangi Neville, yang gemetar ketakutan di sebelah kualinya. "Semua berkumpul," kata Snape, mata hitamnya berkilat,
"dan saksikan apa yang terjadi pada katak Longbottom. Kalau dia berhasil membuat Cairan Penyusut, kataknya akan menyusut menjadi kecebong. Kalau, seperti yang tak kuragukan lagi, dia salah membuat ramuannya, kataknya akan keracunan."
Anak-anak Gryffindor mengawasi dengan ketakutan. Anak-anak Slytherin tampak bergairah. Snape me-mungut Trevor dengan tangan kirinya, dan memasuk-kan sendok kecil ke dalam ramuan Neville, yang sekarang berwarna hijau. Dia meneteskan beberapa tetes ke kerongkongan Trevor.
Suasana sunyi senyap. Trevor menelan, kemudian terdengar bunyi plop pelan, dan Trevor si kecebong menggeliat-geliat di atas telapak tangan Snape.
Anak-anak Gryffindor bertepuk riuh. Snape, dengan wajah masam, mengeluarkan botol kecil dari dalam saku jubahnya,
menuangkan beberapa tetes ke atas Trevor, dan dalam sekejap saja Trev
or muncul lagi, sudah menjadi katak dewasa. "Potong lima angka dari Gryffindor," kata Snape, membuat senyum menghilang dari wajah semua anak. "Sudah kularang kau membantunya, Miss Granger. Kelas bubar." Harry, Ron, dan Hermione mendaki tangga ke Aula Depan.
Harry masih memikirkan apa yang dikatakan Malfoy, sementara Ron masih berang terhadap Snape.
"Lima angka dipotong dari Gryffindor karena ramu-annya benar! Kenapa kau tidak bohong, Hermione" Mestinya kau bilang Neville membuatnya sendiri!"
Hermione tidak menjawab. Ron menoleh.
"Di mana dia""
Harry ikut menoleh. Mereka sudah tiba di puncak tangga sekarang, mengawasi anak-anak yang lain melewati mereka, menuju Aula Besar untuk makan siang. "Tadi dia persis di belakang kita," kata Ron me-ngernyit. Malfoy melewati mereka, diapit Crabbe dan Goyle. Dia mencibir kepada Harry dan menghilang.
"Itu dia," kata Harry.
Hermione agak terengah, bergegas menaiki tangga, satu tangannya memegangi tasnya, satunya lagi ke-lihatannya menyisipkan sesuatu di bagian depan ju-bahnya.
"Bagaimana kau melakukannya"" tanya Ron.
"Apa"" tanya Hermione, bergabung dengan mereka.
"Mulanya kau di belakang kami, dan saat berikut-nya, kau sudah berada di kaki tangga lagi."
"Apa"" Hermione kelihatannya agak bingung. "Oh-aku harus balik karena ada yang ketinggalan. Oh, tidak..."
Tas Hermione sobek. Harry tidak heran. Tas itu dijejali paling tidak selusin buku-buku besar dan tebal.
"Kenapa sih semua ini kaubawa-bawa"" Ron me-nanyainya.
"Kau kan tahu berapa banyak pelajaran yang ku-ambil,"
kata Hermione tersengal. "Tolong pegangkan ini dong."
"Tapi...," Ron membalik buku-buku yang diserah-kan Hermione kepadanya, memandang sampul depan-nya. "Kan tidak ada pelajaran ini hari ini. Tinggal Pertahanan terhadap Ilmu Hitam sore ini."
"Oh ya," kata Hermione tak jelas, tetapi dia tetap saja memasukkan semua bukunya ke dalam tasnya lagi. "Mudah-mudahan makan siangnya enak. Aku lapar sekali," dia menambahkan dan berjalan menuju Aula Besar.
"Apa kau punya perasaan Hermione menyembunyi-kan sesuatu dari kita"" Ron menanyai Harry.
Profesor Lupin belum ada ketika mereka tiba untuk mengikuti pelajaran pertama Pertahanan terhadap Ilmu Hitam bersamanya. Mereka semua duduk, me-ngeluarkan buku, pena bulu, dan perkamen mereka, dan sedang mengobrol ketika akhirnya Profesor Lu-pin masuk. Lupin tersenyum samar dan menaruh tasnya yang butut di atas meja guru. Diamasih sama lusuhnya seperti sebelumnya, tetapi sudah tampak jauh lebih sehat daripada waktu di kereta api seakan dia sudah makan cukup banyak.
"Selamat sore," katanya. "Silakan masukkan kembali semua buku kalian ke dalam tas. Hari ini kita praktek. Kalian hanya akan perlu tongkat."
Anak-anak menyimpan kembali buku-buku mereka sambil bertukar pandang ingin tahu. Mereka belum pernah praktek dalam pelajaran Pertahanan terhadap Ilmu Hitam, kecuali kalau pengalaman tak terlupakan tahun lalu bisa dianggap
praktek. Waktu itu guru mereka yang lama membawa sangkar berisi pixie-pixie ke dalam kelas dan melepaskannya.
"Baiklah," kata Profesor Lupin, ketika semua sudah siap,
"ayo, ikut aku."
Bingung, tapi tertarik, anak-anak berdiri dan meng-ikuti Profesor Lupin meninggalkan kelas. Dia mem-bawa mereka menyusuri koridor yang kosong dan membelok di sudut. Yang pertama mereka lihat adalah Peeves si hantu jail, yang sedang melayang terbalik dengan kepala di bawah dan menjejalkan permen karet ke lubang kunci terdekat.
Peeves tidak mendongak sampai Profesor Lupin sudah setengah meter dari tempatnya, kemudian dia menggerak-gerakkan jari-jari kakinya yang me-lengkung dan bernyanyi.
"Loony, loopy Lupin," Peeves bernyanyi. "Loony, loopy Lupin, loony, loopy Lupin..."
Ini sudah keterlaluan sekali, karena loony artinya gila, dan loopy juga berarti agak gila atau sinting. Walaupun memang hampir selalu kurang ajar dan tak bisa diatur, Peeves biasanya masih hormat ter-hadap para guru. Semua anak cepat-cepat memandang Profesor Lupin, ingin tahu bagaimana reaksinya men-dengar ejekan ini. Betapa herannya mereka, Lupin masih tetap tersenyum.
"Akan kukeluarkan permen karet itu dari lubang kunci, kalau aku jad
i kau, Peeves," katanya ramah. "Mr Filch tak akan bisa masuk untuk mengambil sapunya."
Filch adalah penjaga sekolah Hogwarts, penyihir gagal yang gampang marah dan menyatakan perang terus-menerus dengan murid-murid dan, tentu saja, dengan Peeves.
Meskipun demikian, Peeves tidak me-medulikan omongan Profesor Lupin. Dia malah meniup permen karet stroberi dengan bunyi keras.
Profesor Lupin menghela napas dan mengeluarkan tongkatnya. "Ini mantra kecil yang berguna," katanya seraya menoleh kepada murid-muridnya. "Lihat baik-baik." Dia mengangkat tongkatnya setinggi bahu, berseru "Waddiwasi!"
dan mengacungkannya kepada Peeves.
Dengan kekuatan luncuran peluru, gumpalan per-men karet melesat dari lubang kunci, masuk ke lubang hidung kiri Peeves. Peeves langsung berjungkir-balik tegak lagi dan meluncur pergi, memaki-maki.
"Cool, Sir!" kata Dean Thomas, takjub.
"Terima kasih, Dean," kata Profesor Lupin, menyimpan kembali tongkatnya. "Kita terus""
Mereka berjalan lagi, anak-anak memandang Profesor Lupin yang lusuh dengan rasa hormat yang semakin besar. Dia membawa mereka menyusuri koridor kedua dan berhenti, tepat di depan pintu ruang guru. "Silakan masuk," kata Profesor Lupin, membuka pintu lalu minggir.
Ruang guru, ruangan panjang berpanel penuh kursi-kursi tua yang berlainan, nyaris kosong. Hanya ada satu guru. Profesor Snape sedang duduk di kursi rendah berlengan, dan dia menoleh ketika anak-anak masuk. Matanya berkilat-kilat dan ada senyum sinis di bibirnya. Ketika Profesor Lupin masuk dan akan menutup pintu, Snape berkata, "Biarkan saja, Lupin.
Aku lebih suka tidak menyaksikan ini." Dia berdiri dan berjalan melewati anak-anak, jubah hitamnya me-lambai di belakangnya. Di depan pintu dia berputar dan berkata,
"Mungkin sudah ada yang memper-ingatkanmu, Lupin, tetapi di kelas ini ada Neville Longbottom. Kusarankan kau jangan memberinya tugas yang sulit. Kecuali kalau Miss Granger men-desiskan petunjuk di telinganya."
Muka Neville merah padam. Harry mengerling Snape.
Melecehkan Neville di depan teman-temannya saja sudah jahat, apalagi di depan guru lain. Profesor Lupin menaikkan alisnya.
"Aku malah berharap Neville membantuku pada langkah awal praktek ini," katanya, "dan aku yakin dia akan bisa melakukannya dengan mengagumkan."
Muka Neville yang sudah merah menjadi semakin merah.
Snape mencibir, tapi dia pergi dengan mem-banting pintu.
"Nah," kata Profesor Lupin, memberi isyarat agar anak-anak ke ujung ruangan. Di situ tak ada apa-apa, kecuali lemari tua tempat para guru menyimpan jubah ganti mereka. Ketika Profesor Lupin berdiri di sebelahnya, lemari pakaian itu mendadak berguncang, membentur dinding.
"Jangan khawatir," kata Profesor Lupin tenang, ketika beberapa anak melompat mundur ketakutan. "Ada Boggart di dalamnya."
Sebagian besar anak menganggap ini sesuatu yang layak dicemaskan. Neville memandang Profesor Lu-pin penuh kengerian, dan Seamus Finnigan meng-awasi pegangan pintu lemari, yang sekarang bergetar, dengan gelisah.
"Boggart menyukai tempat-tempat tertutup yang gelap,"
kata Profesor Lupin. "Lemari pakaian, kolong tempat tidur, lemari perabot di bawah tempat cuci piring-aku pernah bertemu Boggart yang tinggal di jam besar yang berdiri. Yang ini pindah ke sini ke-marin sore, dan aku minta persetujuan Kepala Sekolah agar para guru meninggalkan ruang guru ini, supaya aku bisa mengajar murid-murid kelas tigaku praktek.
"Jadi, pertanyaan pertama yang harus kita ajukan kepada diri kita sendiri adalah, apakah Boggart itu"" Hermione mengangkat tangan.
"Boggart adalah pengubah-bentuk," katanya. "Dia bisa berubah menjadi bentuk apa saja yang dia pikir paling menakutkan bagi kita."
"Aku tak bisa memberikan definisi yang lebih baik dari itu,"
kata Profesor Lupin dan Hermione berseri-seri. "Jadi si Boggart yang duduk dalam kegelapan lemari ini belum berbentuk. Dia belum tahu apa yang membuat takut orang di balik pintu lemari. Tak ada yang tahu, seperti apa bentuk Boggart kalau dia sedang sendirian, tapi kalau kukeluarkan dia, dia akan langsung menjadi apa pun yang kita masing-masing takutkan.
"Ini berarti," kata Profesor Lupin, men
gabaikan erang ketakutan Neville, "keadaan kita sekarang ini menguntungkan sekali. Tahukah kau kenapa, Harry""
Mencoba menjawab pertanyaan dengan Hermione di sebelahnya-berjingkat-jingkat dengan tangan ter-acung penuh semangat-sungguh membuat kecil nyali. Tetapi Harry nekat.
"Eh-karena ada banyak orang di sini, dia tidak akan tahu sebaiknya memilih bentuk apa""
"Persis," kata Profesor Lupin, dan Hermione me-nurunkan tangannya, kelihatan agak kecewa. "Paling baik kita punya teman kalau
menghadapi Boggart. Dia jadi bingung. Mau jadi apa enaknya, mayat tanpa kepala atau siput pemakan daging"
Aku pernah me-lihat Boggart melakukan kesalahan seperti itu-men-coba menakut-nakuti dua orang sekaligus dan meng-ubah diri menjadi setengah-siput. Sama sekali tidak menakutkan.
"Mantra yang menaklukkan Boggart sederhana, te-tapi memerlukan tekad yang kuat. Soalnya, hal yang benar-benar bisa menghabisi Boggart adalah tawa. Yang harus kalian lakukan hanyalah memaksanya berubah bentuk menjadi sesuatu yang kalian anggap lucu.
"Kita akan berlatih mantra ini tanpa tongkat dulu. Timkan aku... riddikulusl" "Riddikulus!" seluruh kelas mengulangi.
"Bagus," kata Profesor Lupin. "Bagus sekali. Tapi itu bagian yang mudah. Soalnya, kata itu saja tidak cukup. Dan di sinilah kau masuk, Neville."
Lemari itu berguncang lagi, tetapi guncangannya kalah dibanding guncangan Neville, yang maju seakan menuju tiang gantungan.
"Baiklah, Neville," kata Profesor Lupin. "Kita mulai dari yang paling penting. Apa yang paling membuat-mu takut di dunia ini""
Bibir Neville bergerak, tetapi tak ada suara yang keluar. "Tidak dengar, Neville, sori," kata Profesor Lupin ceria.
Neville memandang berkeliling dengan panik, se-akan memohon bantuan, kemudian berkata, dalam bisikan pelan, "Profesor Snape."
Hampir semua temannya tertawa. Bahkan Neville sendiri nyengir minta maaf. Meskipun demikian, Profesor Lupin kelihatan berpikir serius.
"Profesor Snape... hmmm... Neville, kau tinggal bersama nenekmu, kan""
"Eh-ya," kata Neville gugup. "Tetapi-saya juga tak mau Boggart itu berubah menjadi Nenek."
"Tidak, tidak, kau salah paham," kata Profesor Lu-pin, yang sekarang tersenyum. "Bisakah kau mem-beritahu kami pakaian seperti apa yang biasa dipakai nenekmu""
Neville kelihatan heran, tetapi berkata, "Yah... selalu topi yang sama. Topi tinggi dengan burung-burungan nasar di atasnya. Dan gaun panjang... hijau, biasa-nya... dan kadang-kadang syal bulu rubah." "Dan tas tangan"" pancing Profesor Lupin. "Merah besar," kata Neville.
"Baiklah," kata Profesor Lupin. "Bisakah kau membayangkan dandanan itu dengan jelas, Neville" Bisa-kah kau melihatnya dalam pikiranmu""
"Ya," kata Neville bingung. Jelas sekali dia ingin tahu apa yang akan terjadi berikutnya.
"Ketika Boggart itu keluar dari lemari ini, Neville, dan melihatmu, dia akan mengambil bentuk Profesor Snape," kata Lupin. "Dan kau akan mengangkat tong-katmu-begini-dan berseru 'Riddikulus'-dan berkon-sentrasi penuh pada
dandanan nenekmu. Jika semua berjalan lancar, Profesor Boggart Snape akan dipaksa memakai topi burung nasar, gaun hijau, tas tangan merah besar."
Anak-anak tertawa gelak-gelak. Lemari berguncang semakin keras.
"Kalau Neville berhasil, si Boggart kemungkinan akan mengalihkan perhatiannya kepada kita berganti-an," kata Profesor Lu
pin. "Kuminta kalian semua memikirkan sebentar, apa yang paling menakutkan kalian, dan bayangkan bagaimana kalian bisa me-maksanya berubah menjadi konyol..."
Kelas hening. Harry berpikir... Apa yang paling menakutkannya di dunia ini" Yang pertama terpikir olehnya adalah Lord VoldemortVoldemort yang kekuatannya pulih se-penuhnya. Tetapi bahkan sebelum dia merencanakan kontra-serangan kepada si Boggart-Voldemort, ada bayangan mengerikan muncul di benaknya...
Tangan busuk yang mengilap, menyusup kembali ke dalam jubah hitam... napas panjang berkeretakan dari mulut yang tak kelihatan... kemudian hawa di-ngin yang begitu menusuk dan membuatnya seakan tenggelam...
Harry bergidik, kemudian memandang berkeliling, berharap tak ada yang memperhatikannya. Banyak anak yang memejamkan mata rapat-rapat.
Ron ber -gumam sendiri, "Potong kaki-kakinya."
Harry yakin dia tahu apa yang diinginkan Ron. Ron paling takut pada labah-labah. "Semua siap"" tanya Profesor Lupin.
Harry dilanda ketakutan. Dia belum siap. Bagai-mana kau bisa membuat Dementor tidak menakutkan" Tetapi dia tak mau minta tambahan waktu. Teman-temannya semua mengangguk dan menggulung lengan jubah mereka.
"Neville, kami akan mundur," kata Profesor Lupin. "Supaya kau sendirian dan tampak jelas, oke" Aku akan memanggil anak berikutnya maju nanti... semua mundur sekarang, supaya Neville bisa menyerang dengan leluasa..."
Mereka mundur sampai ke dinding, meninggalkan Neville sendirian di
sebelah lemari. Dia kelihatan pucat dan ketakutan, tetapi dia sudah menggulung lengan jubahnya dan tongkatnya terangkat siap me-nyerang.
"Pada hitungan ketiga, Neville," kata Profesor Lu-pin, yang mengacungkan tongkatnya sendiri ke pegangan pintu lemari.
"Satu-dua-tiga-sekarang!"
Semburan bunga api meluncur dari ujung tongkat Profesor Lupin dan mengenai pegangan pintu. Pintu lemari terbuka dengan keras. Profesor Snape yang berhidung bengkok melangkah keluar, matanya ber-kilat memandang Neville penuh ancaman.
Neville mundur, tongkatnya terangkat, mulutnya mengucap tanpa kata. Snape mendekatinya, merogoh sakunya. "R-r-riddikulus!" Neville mencicit.
Terdengar bunyi seperti lecutan cemeti. Snape ter-huyung.
Tiba-tiba saja dia sudah memakai gaun pan-jang berenda, topi tinggi yang di atasnya ada burung nasar yang sudah dimakan ngengat, dan melambai-lambaikan tas tangan besar merah.
Tawa meledak. Si Boggart berhenti, kebingungan, dan Profesor Lupin berteriak, "Parvati! Maju!"
Parvati ke depan, wajahnya penuh tekad. Snape berbalik mendekatinya. Terdengar bunyi lecutan lagi, dan di tempat Snape berdiri sekarang tampak mumi yang bebatannya berdarah-darah, wajahnya yang ter-bebat menoleh memandang Parvati, lalu dia berjalan ke arahnya, pelan-pelan sekali, menyeret kakinya, tangannya yang kaku teracung ke depan...
"Riddikulus!" teriak Parvati.
Bebatan di kaki mumi terurai, si mumi terbelit kain bebatannya sendiri, jatuh terjerembap mencium lantai dan kepalanya berguling lepas.
"Seamus!" seru Profesor Lupin.
Seamus berlari melewati Parvati.
Tar! Si mumi berubah menjadi perempuan kurus-kering dengan rambut sepanjang lantai, wajahnya yang menyerupai kerangka pucat kehijauan-banshee, hantu perempuan yang memberitahukan kematian anggota keluarga dengan menampakkan diri atau menangis melolong di bawah jendela semalam atau dua malam sebelum hari kematian tiba. Si banshee membuka mulutnya lebar-lebar, dan lolong panjang mengerikan memenuhi ruangan, membuat rambut di kepala Harry tegak berdiri...
"Riddikulus!" teriak Seamus.
Si banshee mengeluarkan bunyi parau, dia men-cengkeram lehernya. Suaranya lenyap.
Tar! Si banshee berubah menjadi tikus besar yang berputar-putar mengejar ekornya sendiri, kemudian- tar!menjadi ular berbisa, yang melata dan meng-geliat sebelumtar!-menjadi bola mata berlumur da-rah.
"Dia bingung!" teriak Lupin. "Kita hampir berhasil! Dean!"
Dean bergegas maju. Tar! Bola mata berubah menjadi potongan tangan mengerikan, yang langsung membalik, dan mulai me-rangkak di lantai seperti kepiting.
"Riddikulus!" teriak Dean.
Terdengar bunyi lecutan, dan tangan itu terjepit perangkap tikus. "Bagus sekali! Ron, giliranmu!" Ron melompat maju. "Tar!"
Cukup banyak anak yang menjerit. Seekor labah-labah raksasa, setinggi dua meter dan dipenuhi bulu, merayap ke arah Ron, mengatup-ngatupkan capitnya dengan mengancam.
Sekejap Harry mengira Ron membeku ketakutan. Kemudian...
"Riddikulus!" raung Ron, dan kedelapan kaki si labah-labah lenyap. Dia berguling-guling. Lavender Brown menjerit dan berlari menyingkir dan labah-labah itu berhenti di depan kaki Harry. Harry meng-angkat tongkatnya, siap menyerang, tetapi...
"Sini!" teriak Profesor Lupin yang bergegas men-dekat. Tar!
Labah-labah tak berkaki itu lenyap. Sedetik anak-anak memandang berkeliling mencarinya. Kemudian mereka melihat
bola putih keperakan melayang di udara, di depan Lupin yang berkata, "Riddikulus!" nyaris ogah-ogahan.
Tar! "Maju, Neville, da n habisi dia!" kata Lupin, ketika si Boggart terjatuh ke lantai sebagai kecoak. Tar! Snape muncul lagi. Kali ini Neville menyerbu ke depan dengan mantap.
"Riddikulus!" dia berteriak, dan. selama sepersekian detik mereka melihat sekilas Snape bergaun berenda sebelum Neville terbahak keras "Ha-ha-ha!" dan si Boggart meletus menjadi seribu gumpalan kecil asap lalu lenyap.
"Hebat sekali!" seru Profesor Lupin, ketika anak-anak bertepuk riuh. "Luar biasa, Neville. Bagus, anak-anak. Coba kupikirkan... lima angka untuk Gryffindor bagi setiap anak yang menangani si Boggart, sepuluh untuk Neville karena dia menghadapinya dua kali- dan masing-masing lima untuk Hermione dan Harry."
"Tetapi saya tidak melakukan apa-apa," kata Harry.
"Kau dan Hermione menjawab pertanyaanku de-ngan betul pada awal pelajaran, Harry," kata Lupin enteng. "Baik, anak-anak, pelajaran yang bagus sekali. PR, kalian baca bab tentang Boggart dan buat ring-kasannya untukku...
dikumpulka n hari Senin. Cukup sampai di sini dulu."
Berceloteh penuh semangat, anak-anak meninggal-kan ruang guru. Meskipun demikian Harry tidak gembira. Profesor Lupin dengan sengaja menghalangi-nya menangani Boggart.
Kenapa" Apakah karena dia pernah melihat Harry pingsan di kereta api, dan mengira Harry tidak berani" Apakah dia mengira Harry akan pingsan lagi"
Tetapi anak-anak lain tampaknya tidak memper-hatikan hal ini. "Kalian melihatku menyerang banshee"" teriak Seamus.
"Dan tangan mengerikan!" kata Dean, melambaikan tangannya sendiri. "Dan Snape memakai topi konyol itu!" "Dan mumi-ku!"
"Aku heran kenapa Profesor Lupin takut pada bola kristal"" tanya Lavender merenung.
"Tadi itu pelajaran Pertahanan terhadap Ilmu Hitam paling asyik yang pernah kita terima, ya"" kata Ron bergairah, ketika mereka kembali ke kelas untuk mengambil tas.
"Kelihatannya dia guru yang baik sekali," kata Hermione memuji. "Tapi sayang sekali aku tidak men-dapat kesempatan menangani si Boggart..."
"Apa kira-kira yang membuatmu takut"" ledek Ron. "PR
yang cuma dapat nilai sembilan, dan bukannya sepuluh""
8 Kaburnya Si Nyonya Gemuk DALAM waktu singkat Pertahanan terhadap Ilmu Hitam menjadi pelajaran favorit bagi semua anak. Hanya Draco Malfoy dan geng Slytherin-nya yang bicara buruk tentang Profesor Lupin.
"Lihat jubahnya," bisik Malfoy keras-keras kalau Profesor Lupin lewat. "Caranya berpakaian seperti peri-rumah kami."
Tetapi anak-anak lain tak peduli dan tak keberatan jubah Profesor Lu
pin lusuh dan bertambal. Pelajaran-pelajarannya yang berikut sama menariknya dengan yang pertama. Setelah Boggart, mereka belajar tentang Red Cap-Topi Merah, makhluk jahat seperti goblin yang bersembunyi di tempat-tempat pertumpahan darah, di ruang-ruang bawah tanah kastil dan lubang-lubang di medan perang, menunggu kesempatan memukul orang-orang yang tersesat dengan gada. Dari Red Cap mereka maju ke Kappa, penghuni-air mengerikan yang tampangnya seperti monyet ber-sisik, dengan tangan berselaput seperti kaki bebek, gatal ingin mencekik siapa saja yang tanpa sengaja mengarungi kolamnya.
Harry hanya berharap, dia bisa sesenang itu dalam pelajaran-pelajarannya yang lain. Yang paling parah pelajaran Ramuan. Suasana hati Snape belakangan ini maunya membalas dendam, dan semua tahu pasti sebabnya. Kisah tentang si Boggart yang tampil dalam sosok Snape, dan cara Neville mendandaninya dengan gaun neneknya, menyebar cepat sekali di sekolah. Snape tidak menganggapnya lucu.
Matanya berkilat berbahaya setiap kali nama Profesor Lupin disebut, dan dia mendera Neville lebih berat dari sebelumnya.
Harry juga takut melewatkan jam-jam pelajaran di ruang menara Profesor Trelawney yang sumpek, me-nafsirkan bentuk-bentuk dan simbol-simbol miring. Harry berusaha mengabaikan bagaimana mata besar Profesor Trelawney digenangi air mata setiap kali memandangnya. Harry tak bisa menyukai Profesor Trelawney, meskipun sebagian besar anak bersikap hormat nyaris memuja guru Ramalan ini. Parvati Patil dan Lavender Brown punya kebiasaan baru menyambangi ruang menara Profesor Trelawney saat makan siang dan selalu kembali dengan tampang superior menyebalkan, seakan
mereka tahu hal-hal yang tidak diketahui anak-anak lain.
Mereka juga mulai merendahkan suara setiap kali bicara dengan Harry, seakan Harry sudah akan meninggal. Tak seorang pun benar-benar menyukai Pemelihara-an Satwa Gaib, yang, setelah pelajaran pertama yang superseru, berubah menjadi sangat membosankan. Hagrid kelihatannya sudah kehilangan percaya diri. Sekarang setiap kali pelajaran, mereka menghabiskan waktu mempelajari bagaimana memelihara Cacing Flobber, makhluk hidup yang paling membosankan.
"Buat apa kita peduli bagaimana memelihara cacing itu""
kata Ron, setelah melewatkan satu jam men-jejalkan cacahan selada ke dalam tenggorokan licin Cacing Flobber.
Meskipun demikian, pada awal Oktober, Harry pu-nya kesibukan lain. Kesibukan yang sangat menyenangkan
sehingga bisa mengimbangi pelajaran-pelajaran lain yang kurang memuaskan. Musim pertandingan Quidditch sudah dekat, dan Oliver Wood, kapten tim Gryffindor, mengadakan rapat pada suatu Kamis malam untuk mendiskusikan taktik meng-hadapi musim pertandingan baru ini.
Ada tujuh orang di dalam satu tim Quidditch: tiga Chaser, yang bertugas mencetak gol dengan memasuk-kan Quaffle (bola merah seukuran bola sepak) ke dalam salah satu dari ketiga lingkaran di atas setiap tiang setinggi lima belas meter di ujung lapangan; dua Beater, yang dipersenjatai dengan pemukul berat untuk menangkis Bludger (dua bola berat hitam yang berdesing ke segala jurusan menyerang para pemain); Keeper, yang menjaga ketiga tiang gawang, dan Seeker, yang tugasnya paling berat, yaitu menangkap Golden Snitch, bola kecil mungil bersayap seukuran buah kenari yang jika berhasil ditangkap akan mengakhiri pertandingan dan tim si Seeker yang menangkapnya memperoleh angka tambahan seratus lima puluh.
Oliver Wood adalah pemuda gagah berusia tujuh belas tahun, sekarang berada di kelas tujuh, tahun terakhirnya di Hogwarts. Suaranya mengandung nada putus asa ketika dia bicara kepada enam anggota timnya di kamar ganti yang dingin, di uj
ung lapangan Quidditch yang sudah mulai gelap.
"Ini kesempatan terakhir kita-kesempatan terakhir-kuuntuk memenangkan Piala Quidditch," katanya, sambil berjalan mondar-mandir di depan mereka. Aku akan meninggalkan Hogwarts pada akhir tahun ini. Aku tak akan pernah punya kesempatan lain.
"Gryffindor sudah tujuh tahun tak pernah menang. Oke, memang kita selama ini sial terus-ada yang luka-kemudian turnamen dibatalkan tahun lalu..." Wood menelan ludah, seakan kenangan itu masih membuat tenggorokannya serasa terganjal tangis. "Tetapi kita juga tahu tim kita adalah tim-yang-paling-baik-dan-paling-kuat-di-sekolah, "katanya, meninju
telapak tangan kirinya dengan kepalan tangan kanannya, matanya kembali berkilat menggila. "Kita punya tiga Chaser hebat."
Wood menunjuk Alicia Spinnet, Angelina Johnson, dan Katie Bell. "Kita punya dua Beater yang tak terkalahkan."
"Jangan begitu, Oliver, kau membuat kami malu," kata Fred dan George Weasley bersamaan, berpura-pura malu.
"Dan kita punya Seeker yang belum pernah gagal memenangkan pertandingan buat kita!" Wood menerus-kan, menatap Harry antara geram dan bangga. "Dan aku," dia menambahkan, seakan baru terpikirkan.
"Kami juga berpikir kau hebat, Oliver," kata George.
"Keeper super," kata Fred.
"Yang kumaksudkan adalah," Wood meneruskan, kembali mondar-mandir, "nama kitalah yang seharus-nya tertera di piala Quidditch itu selama dua tahun terakhir ini. Sejak Harry bergabung dengan tim kita, kupikir piala itu pasti jadi milik kita. Tetapi sampai sekarang belum, dan tahun ini kesempatan terakhir kita untuk akhirnya melihat nama kita di piala itu..."
Wood bicara dengan begitu sedih, sehingga bahkan Fred dan George kelihatan bersimpati. "Oliver, tahun ini tahun kita," kata Fred. "Kita akan berhasil, Oliver!" kata Angelina. "Pasti," kata Harry.
Penuh tekad, tim Gryffindor mulai berlatih, tiga kali seminggu. Udara semakin dingin dan sering hujan, malam-malam menjadi lebih gelap. Tetapi lumpur, angin, ataupun hujan sebanyak apa pun tak bisa memudarkan bayangan
menyenangkan dalam benak Harry, saat akhirnya mereka berhasil meme-nangkan piala Quidditch pe
rak yang besar itu. Suatu malam, ketika Harry kembali ke ruang rekre-asi Gryffindor sehabis latihan, kedinginan dan kaku, tapi senang dengan jalannya latihan, anak-anak sedang bicara dengan seru.
"Ada apa"" dia menanyai Ron dan Hermione, yang duduk di dua kursi terbaik di sebelah perapian dan menyelesaikan beberapa peta bintang untuk Astro-nomi.
"Akhir minggu Hogsmeade pertama," kata Ron, menunjuk pengumuman yang tertempel di papan pengumuman tua yang sudah bocel-bocel. "Akhir Oktober. Hallowe'en."
"Bagus," kata Fred, yang menyusul Harry masuk lewat lubang lukisan. "Aku perlu ke Zonko. Peluru Bau-ku hampir habis."
Harry mengenyakkan diri di kursi di sebelah Ron, semangatnya yang tinggi langsung surut. Hermione tampaknya bisa membaca pikiran Harry.
"Harry, aku yakin lain kali kau bisa pergi," katanya. "Mereka pasti bisa menangkap Black tak lama lagi, sudah ada orang yang melihatnya sekali."
"Black tak akan begitu bodoh mencoba melakukan sesuatu di Hogsmeade," kata Ron. "Coba tanya McGonagall apakah kau boleh pergi kali ini, Harry. Kesempatan berikutnya mungkin masih lama sekali..."
"Ron!" tegur Hermione. "Harry kan harus tinggal di sekolah..."
"Mana bisa diajadi satu-satunya anak kelas tiga yang tidak pergi," kata Ron. "Tanya McGonagall dulu, Harry..." "Yeah, aku akan tanya," kata Harry, mengambil keputusan.
Hermione membuka mulut untuk menentang, tetapi saat itu Crookshanks melompat ringan ke atas pangkuannya. Bangkai labah-labah besar terjuntai dari mulutnya.
"Apa dia harus memakannya di depan kita"" cibir Ron.
"Crookshanks pintar, apa kau menangkap labah-labah itu sendiri"" tanya Hermione.
Crookshanks dengan santai mengunyah labah-labah itu, mata kuningnya menatap Ron dengan kurang ajar.
"Jaga agar dia tetap di situ," kata Ron jengkel, kembali menghadapi peta bintangnya. "Scabbers tidur di dalam tasku."
Harry menguap. Dia sudah ingin tidur, tetapi masih harus menyelesaikan peta bintangnya. Dia menarik tasnya, mengeluarkan perkamen, tinta, dan pena bulu, lalu mulai bekerja.
"Kau boleh menyalin punyaku, kalau mau," kata Ron, menamai bintang terakhirnya dengan banyak hiasan dan mendorong petanya ke arah Harry.
Hermione, yang tidak setuju contoh-mencontoh, me-ngerutkan bibir, tapi tidak mengatakan apa-apa.
Crookshanks masih memandang Ron tanpa kedip, mengibaskan ujung ekornya yang berbulu lebat. Kemudian, tanpa terduga, dia menyerang.
"OYYY!" Ron berteriak, menyambar tasnya, ketika Crookshanks membenamkan empat set cakar tajam ke tas itu, dan mulai mencakar-cakar dengan liar. "PERGI, KUCING
GOBLOK!" Ron mencoba menarik tasnya dari Crookshanks, tetapi kucing itu bertahan, mendesis-desis dan men-cakar-cakar. "Ron, jangan lukai dia!" jerit Hermione. Semua anak sekarang menonton. Ron mengayunkan tasnya berputar-putar, Crookshanks masih bertahan me-nempel, dan Scabbers melayang, terlontar keluar...
"TANGKAP KUCING ITU!" teriak Ron, ketika Crookshanks melepaskan diri dari tas, melompat ke atas meja, dan mengejar Scabbers yang ketakutan.
George Weasley menyergap Crookshanks tetapi luput.
Scabbers melesat menerobos dua puluh pasang kaki dan meluncur ke bawah lemari laci tua. Crookshanks berhenti, mendekam dengan kakinya yang bengkok dan mulai meraih-raih marah dengan kaki depannya.
Ron dan Hermione bergegas mendatangi. Hermione menyambar Crookshanks pada perutnya dan meng-gendongnya pergi. Ron menelungkup dan dengan susah payah menarik keluar Scabbers pada ekornya.
"Lihat nih!" katanya berang kepada Hermione, menggoyangkan Scabbers di depannya. "Dia cuma tinggal kulit dan tulang! Jauhkan kucingmu dari dia!"
"Crookshanks tidak mengerti perbuatannya itu salah!" kata Hermione, suaranya bergetar. "Semua kucing mengejar tikus, Ron!"
"Ada yang aneh dengan kucing itu!" kata Ron, yang berusaha me
mbujuk Scabbers yang memberontak panik agar mau masuk ke dalam sakunya. "Dia mendengar aku bilang Scabbers ada di dalam tasku!"
"Oh, omong kosong," kata Hermione tidak sabar.
"Crookshanks bisa mengendusnya, Ron, kalau tidak mana mungkin dia..."
"Kucing itu benci sekali pada Scabbers!" kata Ron, tidak memedulikan kerumunan anak-anak yang mulai ter
kikik geli. "Scabbers yang lebih dulu ada di sini, dan dia sakit!"
Ron meninggalkan ruang rekreasi dan lenyap me-naiki tangga menuju kamar anak laki-laki.
Ron masih marah pada Hermione esok harinya. Dia nyaris tak bicara kepada Hermione sepanjang pelajaran Herbologi, meskipun dia, Harry, dan Hermione me-nangani Puffapodsejenis kacang polong-yang sama.
"Bagaimana Scabbers"" Hermione bertanya takut-takut, sementara mereka memetik kacang polong ge-muk merah jambu dari tanaman-tanaman itu, me-ngupasnya, dan memasukkan kacang-kacang polong-nya yang berkilauan ke dalam ember kayu.
"Dia sembunyi di kaki tempat tidurku, gemetaran," kata Ron berang, lemparannya ke ember luput dan kacangnya bertebaran di lantai rumah kaca.
"Hati-hati, Weasley, hati-hati!" teriak Profesor Sprout, ketika kacang-kacang itu mekar menjadi bunga di depan mata mereka.
Berikutnya pelajaran Transfigurasi. Harry, yang sudah bertekad akan bertanya kepada Profesor McGonagall seusai pelajaran, apakah dia boleh pergi ke Hogsmeade bersama teman-temannya, bergabung dengan antrean di depan kelasnya, mencoba memutus-kan bagaimana sebaiknya dia mendesak Profesor McGonagall nanti.
Lavender Brown sedang menangis. Parvati meme-luknya dan menjelaskan sesuatu kepada Seamus Finnigan dan Dean Thomas, yang mendengarkan de-ngan amat serius.
"Ada apa, Lavender"" tanya Hermione cemas, ke-tika dia, Harry, dan Ron mendekat. "Dia mendapat surat dari rumah pagi ini," Parvati berbisik. "Kelincinya, Binky. Mati dibunuh rubah." "Oh," kata Hermione. "Aku ikut berduka cita, Lav-ender."
"Mestinya aku sudah tahu!" kata Lavender tragis. "Kau tahu tanggal berapa hari ini"" "Eh..."
"Enam belas Oktober! 'Hal yang sangat kautakut-kan, akan terjadi tanggal enam belas Oktober!' Ingat" Dia betul, dia betul!"
Seluruh kelas mengerumuni Lavender sekarang. Seamus menggelengkan kepala dengan serius. Hermione ragu-ragu, kemudian berkata, "Kau-kau takut Binky akan dibunuh rubah""
"Tidak harus rubah," kata Lavender, mendongak menatap Hermione dengan air mata berlinang, "tapi jelas aku takut dia mati, kan""
"Oh," kata Hermione. Dia berhenti lagi. Lalu...
"Apakah Binky sudah tua""
"T-tidak!" isak Lavender. "D-dia masih bayi!"
Parvati mengeratkan pelukannya di bahu Laven-der. "Tapi, kalau begitu, kenapa kau takut dia mati"" tanya Hermione. Parvati mendelik memandangnya.
"Kita pikir secara logis saja deh," kata Hermione, berbalik menghadapi anak-anak. "Maksudku, Binky tidak mati hari ini, kan. Lavender baru menerima kabarnya hari ini...," Lavender melolong keras "...dan dia tak mungkin sudah takut Binky mati, karena
kabar ini merupakan kejutan baginya..." "Jangan pedulikan Hermione, Lavender," kata Ron keras, "baginya binatang piaraan orang lain tidak banyak artinya." Profesor McGonagall membuka pintu kelas pada saat itu.
Untunglah, karena Ron dan Hermione sudah saling membelalak, siap tempur. Dan ketika memasuki kelas, mereka duduk di kanan-kiri Harry dan tidak saling bicara-sampai pelajaran usai.
Harry masih belum memutuskan apa yang akan dikatakannya kepada Profesor McGonagall ketika bel berbunyi pada akhir pelajaran, tetapi ternyata Profesor McGonagall sendiri yang mengangkat topik Hogsmeade.
"Tunggu sebentar!" panggilnya, ketika anak-anak sudah akan keluar. "Karena kalian semua di asramaku, kalian harus menyerahkan formulir perizinan untuk mengunjungi Hogsmeade kepadaku sebelum Hallowe'en. Tak ada formulir, tak boleh ke desa itu, jadi jangan lupa!"
Neville mengangkat tangan. "Maaf, Profesor, saya-saya rasa formulir saya hi-lang..."
"Nenekmu mengirimkan formulirmu langsung kepadaku, Longbottom," kata Profesor McGonagall. "Rupanya dia berpikir lebih aman begitu. Nah, hanya itu, kalian boleh pergi."


Harry Potter Dan Tawanan Azkaban Karya J.k Rowling di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tanya dia sekarang," desis Ron kepada Harry.
"Oh, tapi...," Hermione mau melarang, namun...
"Ayo, Harry," kata Ron keras kepala.
Harry menunggu sampai semua anak lain sudah pergi, kemudian mendatangi meja Profesor McGonagall dengan gugup.
"Ya, Potter""
Harry menarik napas dalam-dalam.
"Profesor, bibi dan paman saya-eh, lupa menanda-tangani formulir saya," katanya.
Profesor McGonagall memandangnya lewat atas
kacamata perseginya, tetapi tidak berkata apa-apa. "Jadi-eh, apakah tidak apa-apa-maksud saya, apa-kah boleh saya-saya pergi ke Hogsmeade"" Profesor McGonagall menunduk dan mulai mem-bereskan kertas-kertas di atas mejanya.
"Sayang sekali tidak, Potter," katanya. "Kau sudah dengar apa yang kukatakan tadi. Tak ada formulir, tak boleh ke desa.
Begitu peraturannya."
"Tapi-Profesor, bibi dan paman saya-Anda tahu, mereka Muggle, mereka tidak paham tentang-tentang Hogwarts dan macam-macam hal lain," kata Harry, sementara Ron menyemangatinya dengan mengangguk-angguk keras. "Kalau Anda mengizinkan saya pergi..."
"Tapi aku tidak mengizinkan," kata Profesor McGonagall, berdiri dan memasukkan tumpukan kertas-nya dengan rapi ke dalam laci. "Formulir itu jelas menyebutkan bahwa orangtua atau wali-lah yang harus memberi izin." Dia menoleh memandang Harry, dengan ekspresi aneh di wajahnya. Rasa kasihankah itu" "Maaf, Potter, tapi itu keputusan terakhirku.
Sebaiknya kau bergegas, kalau tak mau terlambat pelajaran berikut-nya."
Tak ada yang bisa dilakukan. Ron mengatai-ngatai Profesor McGonagall, membuat Hermione sangat sebal. Hermione menampakkan ekspresi "lebih-baik-begini" yang membuat Ron semakin marah, dan Harry terpaksa menahan perasaan mendengar semua anak di kelasnya menggebu-gebu membicarakan apa yang mula-mula akan mereka lakukan begitu mereka tiba di Hogsmeade.
"Masih ada pesta," kata Ron, berusaha menyenangkan Harry. "Ingat, kan, pesta Hallowe'en, malamnya." "Yeah," kata Harry, muram, "bagus."
Pesta Hallowe'en selalu asyik, tetapi akan lebih asyik lagi kalau dia datang ke pesta itu setelah seharian di Hogsmeade bersama semua temannya. Apa pun yang diucapkan teman-temannya tak ada yang membuatnya merasa senang karena akan ditinggalkan sendirian. Dean Thomas, yang lihai menggunakan pena bulu, menawarkan diri untuk memalsu tanda tangan Paman Vernon di formulir, namun karena Harry telah mengata-kan kepada Profesor McGonagall bahwa formulirnya belum ditandatangani, tawaran ini tak ada gunanya. Ron setengah-hati menyarankan Jubah Gaib, tapi Hermione langsung memprotes usul ini, dengan
mengingatkan Ron bahwa Dumbledore telah memberitahu mereka bahwa Dementor bisa melihat menembus Jubah Gaib.
Percy-lah yang mengucapkan kata-kata yang mungkin paling sedikit bisa membantu.
"Mereka membesar-besarkan tentang Hogsmeade. Percaya deh, Harry, Hogsmeade tidak sehebat itu," katanya serius.
"Memang sih toko permennya oke juga, tapi Zonko's Joke Shop-yang menjual barang-barang lelucon-sebetulnya berbahaya, dan ya, Shriek-ing Shack-Gubuk Jerit-layak dikunjungi, tapi, Harry, selain itu, kau tidak rugi apa-apa."
Pada pagi hari Hallowe'en, Harry bangun bersama yang lain dan turun untuk sarapan dengan perasaan amat tertekan, meskipun dia berusaha bersikap wajar.
"Nanti kami bawakan banyak permen dari Honeydukes,"
kata Hermione, yang kasihan sekali pada Harry.
"Yeah, banyak sekali," kata Ron. Dia dan Hermione akhirnya melupakan perseteruan mereka tentang Crookshanks ketika sama-sama menghadapi kekecewa-an Harry.
"Jangan mengkhawatirkan aku," kata Harry dengan suara yang diharapkannya tak peduli. "Sampai ketemu di pesta. Selamat bersenang-senang."
Harry mengantar mereka sampai ke Aula Depan. Filch, si penjaga sekolah, berjaga di belakang pintu, mencocokkan nama-nama pada daftar panjang, meng-awasi setiap wajah dengan curiga, dan memastikan tak ada yang menyelundupkan anak yang seharusnya tak boleh pergi.
"Tinggal di rumah, Potter"" teriak Malfoy, yang berdiri dalam antrean bersama Crabbe dan Goyle. "Takut melewati Dementor""
Harry tidak mengacuhkannya dan sendirian menaiki tangga pualam, menyusuri koridor-koridor sepi, dan kembali ke Menara Gryffindor.
"Kata kunci"" kata si Nyonya Gemuk, yang ter-sentak dari tidur-ayamnya. "Fortuna Major," kata Harry tanpa gairah.
Lukisan mengayun terbuka dan Harry memanjat lubangnya memasuki ruang rekreasi. Ruang itu di-penuhi anak-anak kelas satu dan dua yang ramai mengobrol dan beberapa anak dari kelas lebih tinggi yang rupanya sudah terlalu sering mengunjungi Hogsmeade, sehingga daya tariknya telah berkurang.
"Harr y! Harry! Hai, Harry!"
Colin Creevey-lah yang memanggilnya, anak kelas dua yang sangat mengagumi Harry dan tak pernah melewatkan kesempatan bicara dengannya.
"Kau tidak ke Hogsmeade, Harry" Kenapa tidak" Hei...,"
Colin memandang teman-temannya dengan bergairah, "kau boleh ke sini dan duduk bersama kami, kalau kau mau, Harry!"
"Eh-tidak, terima kasih, Colin," kata Harry, yang sedang tak ingin dikelilingi banyak orang yang me-mandang bekas luka di dahinya dengan penasaran. "Aku-aku harus ke perpustakaan, ada tugas yang harus kuselesaikan."
Setelah itu, tak ada pilihan lain baginya kecuali berbalik dan keluar lewat lubang lukisan lagi.
"Buat apa membangunkanku kalau begitu"" si Nyonya Gemuk meneriaki Harry yang berjalan menjauh.
Harry berjalan lesu ke perpustakaan, tetapi setengah jalan dia berubah pikiran. Dia sedang malas bekerja. Dia berbalik dan langsung berhadapan dengan Filch, yang rupanya baru melepas rombongan terakhir yang akan mengunjungi Hogsmeade.
"Sedang apa kau"" gertak Filch curiga. "Tidak sedang apa-apa," kata Harry jujur.
"Tidak sedang apa-apa!" sembur Filch, rahangnya bergetar tidak menyenangkan. "Bohong! Mengendap-endap sendirian!
Kenapa kau tidak di Hogsmeade membeli Peluru Bau dan Bubuk Sendawa dan Cacing Desing seperti teman-temanmu lainnya yang menye-balkan""
Harry mengangkat bahu. "Kembali ke ruang rekreasi! Kau seharusnya ada di sana!"
bentak Filch, dan dia melotot sampai Harry sudah lenyap dari pandangan.
Tetapi Harry tidak kembali ke ruang rekreasi, dia menaiki tangga sambil berpikir-pikir akan ke kandang burung hantu untuk menengok Hedwig. Dia sedang berjalan menyusuri koridor ketika terdengar suara dari salah satu ruangan,
"Harry"" Harry berbalik untuk melihat siapa yang bicara dan melihat Profesor Lupin, yang melongok dari pintu kantornya. "Sedang apa kau"" tanya Lupin, dengan nada yang sangat berbeda dari Filch. "Di mana Ron dan Hermione"" "Hogsmeade," kata Harry, dengan suara yang di-usahakannya sebiasa mungkin. "Ah," kata
Lupin. Dia merenung menatap Harry sesaat.
"Bagaimana kalau kau mampir dulu ke kan-torku" Aku baru saja menerima kiriman Grindylow untuk pelajaran kita berikutnya."
"Kiriman apa"" tanya Harry.
Dia mengikuti Lupin memasuki kantornya. Di sudut berdiri tangki air besar. Tampak makhluk hijau pucat dengan tanduk runcing menempelkan wajah ke kaca tangki sambil mengerut-ngerutkan wajahnya itu dan melemaskan jari-jarinya yang panjang dan kurus.
"Setan air," kata Lupin, seraya menatap si Grindylow. "Kita tak akan mendapat banyak kesulitan dengan dia, dibanding dengan Kappa. Triknya adalah melepas cengkeramannya.
Kaulihat, kan, jari-jarinya yang luar biasa panjang" Kuat, tapi rapuh, gampang patah."
Si Grindylow menyeringai memamerkan giginya yang hijau, lalu membenamkan diri dalam libatan ganggang di sudut.
"Mau teh"" Lupin menawari, memandang berke-liling mencari teko tehnya. "Aku baru mau membuat teh."
"Baiklah," kata Harry canggung. Lupin mengetuk teko dengan tongkatnya dan kepul-an asap mendadak muncul dari ceratnya.
"Duduklah," kata Lupin, seraya membuka tutup kaleng berdebu. "Aku cuma punya teh celup-tapi kurasa kau sudah muak dengan daun-daun teh""
Harry menatapnya. Mata Lupin bersinar. "Bagaimana Anda bisa tahu tentang itu"" tanya Harry.
"Profesor McGonagall yang memberitahuku," kata Lupin, mengangsurkan cangkir teh yang sudah gompal kepada Harry.
"Kau tidak cemas, kan"" "Tidak," jaw ab Harry.
Sesaat dia berpikir akan memberitahu Lupin tentang anjing yang dilihatnya di Magnolia Crescent, tetapi akhirnya membatalkannya. Dia tak ingin Lupin meng-anggapnya pengecut, apalagi karena Lupin sudah ber-anggapan dia tak bisa menghadapi Boggart.
Pikiran Harry rupanya tercermin di wajahnya, ka-rena Lupin bertanya, "Ada yang membuatmu cemas, Harry""
"Tidak," Harry berbohong. Dia menghirup tehnya sedikit dan mengawasi si Grindylow yang mengacung-acungkan tinju kepadanya. "Ya," katanya tiba-tiba sambil menaruh cangkir
tehnya di atas meja Lupin. "Anda ingat hari kita melawan Boggart""
"Ya," kata Lupin lambat-lambat.
"Kenapa Anda tidak memberi saya kesempatan me-lawannya"" Harry mendadak berta
nya. Lupin mengangkat alisnya. "Menurutku sudah jelas, kan, Harry" jawabnya, kedengarannya heran.
Harry yang mengira Lupin akan membantah tuduh-annya, tercengang. "Kenapa"" tanyanya lagi.
"Yah," kata Lupin, mengernyit sedikit, "aku men-dugajika si Boggart berhadapan denganmu, dia akan berubah bentuk menjadi Lord Voldemort."
Harry terbelalak. Bukan hanya dia sama sekali tak mengira jawabannya begini, tetapi juga karena Lupin telah menyebut nama Voldemort. Satu-satunya orang yang pernah didengar Harry mengucapkan nama ini (kecuali dia sendiri) adalah Profesor Dumbledore.
"Rupanya aku keliru," kata Lupin, masih menger-nyit memandang Harry. "Waktu itu aku beranggapan tidak baik jika Voldemort menjelma di ruang guru. Kubayangkan anak-anak akan
panik." "Memang awalnya yang terpikir oleh saya adalah Voldemort," kata Harry jujur. "Tetapi kemudian saya- saya teringat Dementor."
"Begitu," kata Lupin, berpikir-pikir. "Wah, wah... aku terkesan." Dia tersenyum kecil melihat keheranan di wajah Harry "Itu menandakan bahwa yang paling kautakuti adalahketakutan itu sendiri. Sangat bijak-sana, Harry." Harry tak tahu harus mengatakan apa atas komentar ini, maka dia menghirup tehnya lagi.
"Jadi selama ini kau berpikir aku menganggapmu tidak cukup mampu melawan Boggart"" tanya Lupin tajam.
"Yah... begitulah," kata Harry. Mendadak dia me-rasa jauh lebih berbahagia. "Profesor Lupin, Anda tahu Dementor itu..."
Perkataannya terpotong oleh ketukan di pintu. "Masuk," seru Lupin.
Pintu terbuka, dan Snape masuk. Dia membawa piala yang masih mengepulkan asap, dan langsung berhenti ketika melihat Harry mata hitamnya me-nyipit.
"Ah, Severus," kata Lupin, tersenyum.
"Terima kasih banyak. Bisakah kautinggalkan di meja ini""
Snape meletakkan piala berasap itu di meja, mata-nya menatap Harry dan Lupin bergantian. "Aku baru menunjukkan Grindylow-ku kepada Harry," kata Lupin ramah, sambil menunjuk tangki. "Menarik sekali," kata Snape, tanpa memandang tanki. "Ini harus langsung diminum, Lupin." "Ya, ya, sebentar lagi," kata Lupin.
"Aku membuat sepanci penuh," Snape melanjutkan. "Kalau kau perlu ia gi-"
"Besok mungkin aku harus minum lagi. Terima kasih banyak, Severus."
"Sama-sama," kata Snape, tetapi tatapannya tak disukai Harry. Snape mundur meninggalkan ruangan, tanpa senyum dan waspada. Harry memandang piala itu dengan penasaran.
Lupin tersenyum. "Profesor Snape telah berbaik hati membuatkan ramuan untukku," katanya. "Aku tak begitu pandai merebus ramuan dan ramuan yang ini rumit sekali." Dia mengangkat piala dan
mengendusnya. "Sayang, gula membuatnya tak berguna," dia menambahkan, meminumnya seteguk dan bergidik. "Kenapa..."" Harry bertanya. Lupin menatapnya dan menjawab pertanyaannya yang tak selesai. "Belakangan ini aku merasa kurang sehat," katanya.
"Ramuan ini satu-satunya yang bisa membantu. Aku beruntung sekali bekerja di sini dan berkawan dengan Snape. Tak banyak penyihir yang mampu membuat ramuan ini."
Profesor Lupin minum seteguk lagi dan Harry ingin sekali menepis piala itu dari tangannya. "Profesor Snape sangat tertarik pada Ilmu Hitam," celetuk Harry. "Oh ya"" kata Lupin, tampaknya cuma tertarik sedi-kit, sementara dia meminum ramuannya seteguk lagi.
"Ada yang bilang...," Harry ragu-ragu, kemudian meneruskan dengan nekat, "ada yang bilang dia akan melakukan apa saja untuk bisa menjadi guru Pertahan-an terhadap Ilmu Hitam."
Lupin menghabiskan isi pialanya dan mengerutkan wajahnya.
"Menjijikkan," komentarnya. "Nah, Harry aku harus kembali bekerja. Kita ketemu lagi di pesta nanti."
'Baiklah, kata Harry, menaruh cangkir tehnya yang kosong. Piala kosong itu masih berasap. "Nah, ini semuanya," kata Ron. "Kami bawa sebanyak kami bisa."
Permen berwarna-warni cemerlang dituang ke pangkuan Harry. Saat itu senja hari, dan Ron serta Hermione baru saja muncul di ruang rekreasi. Wajah mereka kemerahan diterpa angin dingin dan kelihatan-nya bahagia sekali.
"Trims," kata Harry, memungut sebungkus kecil permen Merica Setan yang berwarna hitam. "Seperti apa Hogsmeade"
Ke mana saja kalian""
Kalau dari ceritanya, rupanya mereka ke mana-mana.
Dervish and Banges, toko peralatan sihir, Zonko's joke Shop, dan ke tempat minum Three Broomsticks- Tiga Sapu- untuk minum secangkir Butterbeer panas berbuih, dan masih ke banyak tempat lagi.
"Kantor posnya, Harry! Kira-kira dua ratus burung hantu, semua duduk di rak-rak, semuanya memakai kode warna, tergantung maumu, berapa lama suratmu harus tiba di tempat tujuan!"
"Honeydukes jual permen baru. Mereka membagi-kan gratis untuk icip-icip, ini masih ada sedikit, lihat..."
"Kami mengira kami melihat gergasi, betul, ada segala macam makhluk di Three Broomsticks..." "Sayang kami tak bisa membawakan Butterbeer, betul-betul menghangatkan badan..."
"Kau tadi ngapain"" tanya Hermione ingin tahu. "Bikin PR""
"Tidak," jawab Harry. "Lupin mengajakku minum teh di kantornya, dan kemudian Snape datang..." Dia menceritakan segalanya tentang piala berasap.
Mulut Ron ternganga. "Lupin meminumnya"" tanyanya terperangah. "Apa dia gila"" Hermione melihat arlojinya.
"Lebih baik kita turun sekarang, lima menit lagi pesta mulai..." Mereka bergegas keluar melewati lubang lukisan, masih membicarakan Snape.
"Tapi kalau dia-kau tahu-kalau dia mencoba- meracuni Lupin-dia tak akan melakukannya di depan Harry."
"Yeah, mungkin," kata Harry, ketika mereka tiba di Aula Depan, lalu menyeberang ke Aula Besar. Aula itu didekorasi dengan ratusan labu kuning berisi lilin-lilin menyala, awan-awan yang terdiri atas kelelawar-kelelawar hidup yang beterbangan dan pita-pita Jingga manyala, yang melayang-layang melintang di langit-langit mendung seperti ular air berwarna cemerlang.
Makanannya enak sekali. Bahkan Hermione dan Ron, yang sudah kekenyangan makan permen Honey-dukes, tak cukup hanya sekali mengambil semua jenis makanan yang tersaji.
Harry berulang-ulang me-ngerling meja guru. Profesor Lupin tampak ceria dan sehat. Dia sedang bicara menggebu-gebu kepada Profesor Flitwick, guru Jimat dan Guna-guna yang bertubuh mungil. Harry mengalihkan pandangannya ke tempat Snape duduk. Apakah dia cuma mem-bayangkannya atau benarkah mata Snape terarah kepada Lupin lebih sering dari sewajarnya"
Pesta diakhiri dengan hiburan yang ditampilkan oleh para hantu Hogwarts. Mereka bermunculan dari dinding dan meja-meja, lalu melakukan formasi mela-yang. Nick si Kepala-Nyaris-Putus, si hantu Gryffindor, mendapat sambutan meriah ketika mem-peragakan pemenggalan kepalanya sendiri yang gagal.
Malam itu sangat menyenangkan, sehingga keriang-an Harry bahkan tidak tercemar oleh Malfoy, yang berteriak dari seberang ruangan ketika mereka semua meninggalkan aula,
"Para Dementor kirim salam hangat, Potter!"
Harry, Ron, dan Hermione bersama anak-anak Gryffindor lain menyusuri jalan yang sama menuju ke Menara Gryffindor.
Tetapi ketika mereka tiba di koridor yang di ujungnya ada lukisan si Nyonya Gemuk, tempat itu sudah penuh sesak dengan anak-anak.
"Kenapa tak ada yang masuk"" tanya Ron penasar-an.
Harry menyipitkan mata, memandang melewati kepala anak-anak. Lukisan itu kelihatannya tertutup. "Minggir, minggir, beri aku jalan," terdengar suara Percy, dan dia menerobos kerumunan dengan lagak penting. "Kenapa macet" Masa tak ada yang ingat kata kuncinya- maaf, aku Ketua Murid..."
Kemudian, keheningan melanda, merambat dari anak-anak yang di depan, sehingga seluruh koridor sunyi menegangkan.
Mereka mendengar Percy berkata, dengan suara yang mendadak tajam, "Panggil Profesor Dumbledore. Cepat!" Semua kepala menoleh. Mereka yang berdiri di belakang berjingkat. "Ada apa"" tanya Ginny, yang baru saja tiba.
Saat berikutnya, Profesor Dumbledore tiba, bergegas menuju lukisan. Anak-anak Gryffindor berimpitan untuk memberinya jalan, dan Harry, Ron, dan Hermione bergerak mendekat untuk melihat ada apa.
"Ya ampun...!" seru Hermione, mencengkeram le-ngan Harry.
Si Nyonya Gemuk sudah menghilang dari lukisan-nya, yang telah disayat-sayat begitu kejam, sehingga irisan kanvasnya bertebaran di lantai; robekan-robekan besar telah direnggutkan sampai lepas dari piguranya.
Dumbledore memandang lukisan yang telah dirusak itu, dan ketika berbalik dengan muram, dia melihat Profesor McGonagall, Lupin, dan Snape bergegas men-datanginya.
"Kita harus mencarinya," kata Dumbledore. "Profesor McGonagall, tolong cepat temui Mr Filch dan minta dia memeriksa semua lukisan di kastil untuk mencari si Nyonya Gemuk."
"Kalian beruntung kalau bisa menemukannya!" kata suara terkekeh.
Peeves si hantu jail melayang naik-turun di atas ke-rumunan dan tampak riang gembira seperti biasanya jika ada musibah atau ketakutan.
"Apa maksudmu, Peeves"" tanya Dumbledore tenang, dan cengiran Peeves berkurang sedikit. Dia tak berani mempermainkan Dumbledore. Maka dia ganti berkata dengan suara licin, yang tak lebih baik dari kekehnya.
"Malu, Yang Mulia. Dia tak mau dilihat orang.
Berantakan sekali. Aku melihatnya berlari menyebe-rangi pemandangan alam di lantai empat, Sir, me-nyelinap-nyelinap di balik pepohonan. Menangis ter-sedu-sedu," kata Peeves riang. "Kasihan," dia me-nambahkan, tapi tak meyakinkan.
"Apakah dia bilang siapa yang melakukannya"" tanya Dumbledore pelan.
"Oh ya, Profesor-Kepala," kata Peeves, dengan gaya seakan memeluk sebuah bom besar. "Dia marah sekali ketika si Nyonya Gemuk tidak mengizinkannya ma-suk." Peeves jungkir-balik dan nyengir kepada Dumbledore dari antara kakinya sendiri. "Galak benar si Sirius Black itu."
9 Kekalahan Yang Menyedihkan
PROFESOR DUMBLEDORE menyuruh semua anak Gryffindor kembali ke Aula Besar. Sepuluh menit kemudian mereka disusul anak-anak Hufflepuff, Ravenclaw, dan Slytherin, yang semuanya tampak amat kebingungan.
"Para guru dan aku perlu mengadakan pemeriksaan menyeluruh di kastil," Profesor Dumbledore menjelas-kan kepada mere
ka sementara Profesor McGonagall dan Flitwick menutup semua pintu masuk ke Aula Besar. "Demi keselamatan kalian sendiri, kalian ter-paksa harus menginap di sini. Aku ingin para Prefek menjaga semua pintu masuk ke aula ini dan aku menunjuk Ketua Murid Laki-laki dan Perempuan un-tuk menjadi penanggung jawab. Gangguan dalam bentuk apa pun harus segera dilaporkan kepadaku," dia menambahkan kepada Percy yang kelihatan amat bangga dan berlagak penting. "Kirim kabar lewat salah satu hantu." Saat akan meninggalkan aula, Profesor Dumbledore berhenti sejenak, dan berkata,
"Oh, ya, kalian akan memerlukan..."
Satu lambaian santai tangannya membuat meja-meja panjang beterbangan merapat ke dinding. Satu lambaian lagi dan di lantai langsung bertebaran ratusan kantong tidur ungu yang empuk.
"Selamat tidur," kata Profesor Dumbledore, lalu menutup pintu di belakangnya.
Aula Besar langsung berdengung ramai. Anak-anak Gryffindor menceritakan kepada teman-teman dari asrama lainnya apa yang terjadi.
"Semua masuk kantong tidur!" teriak Percy. "Ayo, ayo, jangan bicara terus! Lampu padam sepuluh menit lagi!"
"Yuk," Ron mengajak Harry dan Hermione. Mereka meraih tiga kantong tidur dan menyeretnya ke sudut. "Apakah menurutmu Black masih di dalam kastil"" Hermione berbisik tegang.
"Dumbledore jelas beranggapan begitu," kata Ron.
"Untung benar dia memilih malam ini," kata Hermione, ketika mereka masuk ke dalam kantong tidur masih berpakaian lengkap dan bertumpu pada lengan mereka untuk mengobrol. "Pas kita tidak sedang di dalam menara..."
"Kurasa dia tidak tahu hari ini tanggal berapa, karena dalam pelarian," kata Ron. "Tidak sadar hari ini Hallowe'en. Kalau sadar, pasti dia langsung me-nerobos ke sini."
Hermione bergidik. Di sekeliling mereka, anak-anak melontarkan per-tanyaan yang sama, "Bagaimana dia bisa masuk""
"Mungkin dia tahu bagaimana caranya ber-Apparate," kata seorang anak Ravenclaw sekitar semeter dari mereka. "Muncul begitu saja dari udara kosong, tahu, kan""
"Menyamar, barangkali," kata anak Hufflepuff kelas lima.
"Bisa saja dia terbang masuk," Dean Thomas me-nebak.
"Astaga, apakah aku satu-satunya anak yang mau membaca Sejarah Hogwarts"" tanya Hermione kesal kepada Harry dan Ron.
"Mungkin," kata Ron. "Kenapa""
"Karena kastil ini dilindungi tidak hanya oleh tem-bok, tahu," kata Hermione. "Ada bermacam sihir yang digunakan, untuk mencegah orang masuk secara diam-diam. Kau tak bisa begitu saja ber-Apparate masuk ke sini. Dan aku mau tahu penyamaran apa yang bisa mengelabui para Dementor itu.
Mereka menjaga semua pintu masuk ke
halaman kastil. Me-reka pasti melihatnya kalau Black terbang masuk. Dan Filch tahu semua lorong rahasia, jadi pasti Dementor menjaganya juga..."
"Lampu akan dipadamkan sekarang!" Percy ber-teriak. "Semua masuk kantong tidur dan j angan bicara lagi!"
Lilin-lilin serentak padam. Satu-satunya penerangan sekarang berasal dari hantu-hantu keperakan-yang beterbangan sambil bicara serius dengan para Prefek- dan dari langit-langit sihiran yang, seperti halnya langit di luar, bertabur bintang. Semua itu, ditambah bisik-bisik yang masih memenuhi Aula, membuat Harry merasa seakan dia tidur di luar, diembus angin sepoi.
Satu jam sekali, seorang guru akan muncul di Aula untuk mengecek apakah semuanya baik-baik saja. Kira-kira pukul tiga pagi, ketika banyak anak akhirnya sudah tertidur, Profesor Dumbledore masuk. Harry melihatnya memandang berkeliling mencari Percy, yang berpatroli di antara kantong-kantong tidur, menegur anak yang masih mengobrol. Percy berada tak jauh dari Harry, Ron, dan Hermione, yang buru-buru berpura-pura tidur ketika langkah-langkah Dumbledore mendekat.
"Ada tanda-tanda tentang dia, Profesor"" tanya Percy dalam bisikan. "Tidak. Semua oke di sini"" "Semua terkendali, Sir."
"Bagus. Tak perlu memindahkan mereka sekarang. Aku sudah mendapatkan penjaga sementara untuk lubang lukisan Gryffindor. Kalian sudah bisa pindah lagi ke sana besok."
"Dan si Nyonya Gemuk, Sir""
"Bersembunyi di peta Argyllshire di lantai dua. Rupanya dia menolak mengizinkan Black masuk tanpa kata kunci, maka Black menyerangnya. Si Nyonya Gemuk masih sangat terpukul, tetapi begitu dia sudah tenang, aku akan meminta Mr Filch memperbaikinya."
Harry mendengar pintu berderit terbuka lagi, lalu langkah-langkah kaki.
"Kepala Sekolah"" Ternyata Snape yang datang.
Harry tak bergerak, memasang telinga tajam-tajam.
"Seluruh lantai tiga sudah diperiksa. Dia tidak ada di sana.
Dan Filch sudah memeriksa ruang bawah tanah, di sana juga tak ada."
"Bagaimana dengan Menara Astronomi" Ruang Profesor Trelawney" Kandang burung hantu"" "Semua sudah diperiksa..."
"Baiklah, Severus. Aku sudah memperkirakan Black tidak berlama-lama di sini." "Apakah Anda punya teori bagaimana caranya dia masuk, Profesor"" tanya Snape.
Harry mengangkat kepalanya sedikit sekali dari lengannya, agar telinganya yang satu lagi bisa ikut mendengar. "Banyak, Severus, semuanya sama tak mungkin-nya."
Harry membuka matanya sedikit dan memandang ke tempat mereka berdiri. Dumbledore memunggungi-nya, tetapi dia bisa melihat wajah Percy yang penuh perhatian, dan profil Snape, yang tampak sangat ma-rah.
"Anda ingat pembicaraan kita, Kepala Sekolah, se-belumah-awal tahun ajaran baru"" kata Snape, yang nyaris tak menggerakkan bibirnya, seakan tak mau mengikutkan Percy dalarn percakapan ini.
"Ingat, Severus," kata Dumbledore, dan ada nada memperingatkan dalam suaranya.
"Rasanya-nyaris tak mungkin-kalau Black berhasil memasuki sekolah ini tanpa bantuan orang dalam. Aku mengemukakan kecemasanku ketika Anda mem-pekerjakan..."
"Aku tak percaya ada orang di dalam kastil ini yang membantu Black masuk," kata Dumbledore, dan nadanya jelas menyatakan bahwa topik ini ditutup, sehingga Snape tidak bicara lagi. "Aku harus menemui para Dementor," kata Dumbledore. "Aku sudah ber-janji akan memberitahu mereka jika pemeriksaan kita sudah selesai."
"Apakah mereka tidak mau membantu, Sir"" tanya Percy.
"Oh, mereka mau," kata Dumbledore dingin. "Tetapi tak ada Dementor yang akan melangkahi ambang pintu kastil ini selama aku masih kepala sekolah."
Percy tampak agak malu. Dumbledore meninggal-kan Aula, berjalan cepat tanpa suara. Snape masih berdiri sejenak, memandang
si kepala sekolah dengan kesal, kemudian dia juga pergi.
Harry melirik ke arah Ron dan Hermione. Mata mereka berdua juga terbuka, memantulkan langit-langit yang bertabur bintang.
"Mereka bicara apa"" tanya Ron tanpa suara.
Selama beberapa hari berikutnya tak ada hal lain yang dibicarakan seluruh sekolah kecuali Sirius Black. Dugaan-dugaan tentang bagaimana dia memasuki kastil semakin lama semakin liar. Hannah Abbot, anak Hufflepuff, melewatkan banyak waktu d
alam pelajaran Herbologi dengan memberitahu
siapa saja yang mau mendengarkan bahwa Black bisa berubah menjadi semak bunga.
Kanvas lukisan si Nyonya Gemuk yang compang-camping sudah diturunkan dari dinding dan diganti-kan oleh lukisan Sir Cadogan dan kuda poninya yang gemuk abu-abu. Tak ada yang senang dengan perubahan ini. Sir Cadogan melewatkan separo waktu-nya menantang duel anak-anak, dan separonya lagi memikirkan kata-kata kunci yang konyol dan rumit. Dia mengganti kata kunci paling sedikit dua kali sehari.
"Dia gila," kata Seamus Finnigan jengkel kepada Percy.
"Tak bisakah diganti orang lain saja""
"Tak ada lukisan lain yang mau," kata Percy. "Se-mua ketakutan oleh kejadian yang dialami si Nyonya Gemuk. Sir Cadogan satu-satunya yang cukup berani untuk menjadi sukarelawan."
Tetapi bagi Harry, Sir Cadogan ini cuma masalah kecil.
Sekarang dia diawasi dengan ketat. Guru-guru mencari alasan untuk menemaninya berjalan di koridor dan Percy Weasley (yang menurut dugaan Harry melaksanakan perintah ibunya) membuntutinya ke mana pun dia pergi, seperti anjing penjaga besar yang angkuh. Sebagai puncaknya, Profesor McGonagall memanggil Harry ke dalam kantornya, dengan wajah begitu
muram sehingga Harry mengira pasti ada yang baru meninggal.
"Tak ada gunanya menyembunyikannya darimu lebih lama lagi, Potter," katanya sangat serius. "Aku tahu ini akan mengejutkanmu, tapi Sirius Black..."
"Saya tahu dia mencari saya," kata Harry letih. "Saya mendengar ayah Ron memberitahu ibunya. Mr Weasley bekerja di Kementerian Sihir."
Profesor McGonagall terperanjat sekali. Dia meman-dang Harry selama beberapa saat, kemudian berkata, "Ah! Nah, kalau begitu, Potter, kau akan mengerti kenapa menurutku
berbahaya jika kau berlatih Quidditch di malam hari. Di lapangan hanya bersama anggota timmu, sangat riskan, Potter..."
"Hari Sabtu sudah pertandingan pertama kita!" kata Harry berang. "Saya harus berlatih, Profesor." Profesor McGonagall menimbang-nimbang dengan serius.
Harry tahu dia sangat berkepentingan dengan prospek kemenangan tim Gryffindor. Bahkan dia sendirilah dulu yang menyarankan Harry menjadi Seeker. Harry menunggu, menahan napas.
"Hmmm..." Profesor McGonagall berdiri dan me-mandang ke luar jendela ke lapangan Quidditch, yang tampak samar-samar di balik tirai hujan. "Yah... aku ingin sekali kita memenangkan piala akhirnya... tetapi bagaimanapun juga, Potter... aku akan lebih tenang kalau ada guru yang hadir. Aku akan meminta Madam Hooch mengawasi latihan kalian."
Semakin dekat pertandingan pertama Quidditch, cuaca semakin buruk. Tanpa gentar, tim Gryffindor berlatih lebih keras dari sebelumnya di bawah pengawasan Madam Hooch.
Kemudian, pada latihan terakhir me-reka sebelum pertandingan hari Sabtu, Oliver Wood menyampaikan berita tidak menyenangkan kepada timnya.
"Kita tidak akan bermain melawan Slytherin!" kata-nya, tampak sangat berang. "Flint baru saja menemui-ku. Sebagai gantinya, kita melawan Hufflepuff."
"Kenapa"" seru seluruh anggota timnya bersamaan.
"Alasan Flint adalah karena lengan Seeker mereka belum sembuh," kata Wood, mengertakkan gigi de-ngan marah.
"Tetapi jelas sekali kenapa mereka mun-dur. Mereka tak mau bermain dalam cuaca buruk begini. Mengira kesempatan mereka akan berkurang..."
Sepanjang hari itu angin bertiup amat kencang dan turun hujan lebat, dan saat Wood berbicara, mereka mendengar gelegar guruh di kejauhan.
"Tangan Malfoy tidak apa-apa!" kata Harry berang. "Dia cuma pura-pura!"
"Aku tahu, tapi kita tidak dapat membuktikannya," kata Wood getir. "Dan selama ini kita melatih langkah-langkah itu untuk menghadapi Slytherin. Sekarang ternyata kita melawan Hufflepuff, dan gaya mereka sangat berbeda. Mereka punya kapten baru merangkap Seeker, Cedric Diggory..."
Angelina, Alicia, dan Katie tiba-tiba terkikik. "Apa"" tanya Wood, mengernyit melihat mereka malah senang. "Cowok jangkung yang cakep itu, kan"" kata Angelina. "Gagah dan pendiam," kata Katie, dan mereka mulai terkikik lagi.
"Dia pendiam karena merangkai dua kata saja tak bisa,"
kata Fred habis sabar. "Heran, kenapa kau cemas, Oliver.
Hufflepuff kan lawan yang enten
g. Terakhir kali kita berhadapan dengan mereka, baru lima menit main, Harry sudah berhasil menangkap Snitch. Ingat""
"Waktu itu kita main dalam kondisi yang lain sama sekali!"
teriak Wood, matanya agak mendelik. "Diggory membuat tim mereka kuat! Dia Seeker yang hebat! Aku sudah khawatir kalian akan menanggapi dengan enteng begini! Kita tak boleh lengah! Kita harus berkonsentrasi ke tujuan kita! Slytherin mencoba menjegal kita! Kita harus menang!"
"Oliver, tenang!" kata Fred, agak cemas. "Kita tidak memandang enteng Hufflepuff. Sama sekali tidak."
Hari sebelum pertandingan, angin menderu-deru dan hujan turun semakin lebat. Koridor dan ruang-ruang kelas gelap sekali, sehingga obor-obor dan lentera-lentera tambahan dinyalakan. Tim Slytherin kelihatan sangat puas, apalagi Malfoy.
"Ah, kalau saja tanganku sudah lebih baik!" dia menghela napas, sementara badai menerjang jendela.
Harry tak punya tempat lagi dalam kepalanya un-tuk mencemaskan hal lain kecuali pertandingan hari berikutnya.
Oliver Wood bolak-balik bergegas men-datanginya pada waktu pergantian pelajaran dan memberinya saran-saran. Ketiga kalinya ini terjadi, Wood bicara sangat lama, sehingga mendadak Harry sadar dia sudah terlambat sepuluh menit untuk pela-jaran Pertahanan terhadap Ilmu Hitam. Dia langsung berlari ke kelasnya, dengan Oliver berteriak-teriak di belakangnya, "Diggory bisa berkelit gesit sekali, Harry, jadi cobalah memutarinya..."
Harry berhenti di depan kelas Pertahanan terhadap Ilmu Hitam, membuka pintunya, dan bergegas masuk.
"Maaf, saya terlambat, Profesor Lupin, saya..."
Tetapi ternyata bukan Profesor Lupin yang men-dongak memandangnya dari balik meja guru, melain-kan Snape. "Pelajaran mulai sepuluh menit yang lalu, Potter, jadi kurasa angka Gryffindor dikurangi sepuluh. Du-duk." Tetapi Harry tidak bergerak. "Di mana
Profesor Lupin"" tanyanya.
"Dia bilang dia sakit, jadi tak bisa mengajar hari ini," kata Snape dengan senyum sangar. "Bukankah kau sudah kusuruh duduk""
Tetapi Harry tetap berdiri di tempatnya.
"Sakit apa dia""
Mata hitam Snape berkilat.
"Tidak membahayakan hidup," kata Snape, seperti-nya menyesal penyakit Lupin tidak parah. "Potong lima angka lagi
dari Gryffindor, dan kalau aku harus menyuruhmu duduk sekali lagi, lima puluh angka." Harry berjalan pelan ke kursinya dan duduk. Snape memandang berkeliling kelas.
"Seperti yang tadi kukatakan sebelum disela Potter, Profesor Lupin tidak meninggalkan catatan tentang topik apa saja yang sudah kalian pelajari sejauh ini..."
"Maaf, Sir, kami sudah mempelajari Boggart, Red Cap, Kappa, dan Grindylow," kata Hermione lancar, "dan kami baru akan..."
"Diam," kata Snape dingin. "Aku tidak minta infor-masi. Aku cuma mengomentari cara Profesor Lupin yang tidak pandai mengatur."
"Dia guru Pertahanan terhadap Ilmu Hitam terbaik yang pernah kami punyai," kata Dean Thomas berani, dan seluruh kelas bergumam menyetujui. Snape ke-lihatan lebih galak lagi.
"Kalian ini gampang puas. Lupin memberi beban kalian terlalu ringan-Red Cap dan Grindylow ha-rusnya sudah dikuasai anak-anak kelas satu. Hari ini kita akan membahas..."
Harry mengawasinya membuka-buka bukunya, sam-pai ke bab terakhir, yang dia tahu pasti belum dipelajari.
"...manusia serigala," kata Snape.
"Tapi, Sir," kata Hermione yang rupanya tak bisa menahan diri, "kami seharusnya belum membahas manusia serigala, kami baru akan mulai mempelajari Hinkypunk..."
"Miss Granger," kata Snape, dengan suara tenang membahayakan. "Kukira aku yang mengajar kelas ini, bukan kau. Dan aku menyuruh kalian semua membuka halaman tiga ratus sembilan puluh empat." Dia memandang berkeliling lagi.
"Semuanya! Sekarang!"
Dengan saling lirik jengkel dan menggerutu sebal, anak-anak membuka buku mereka.
"Siapa di antara kalian yang tahu bagaimana mem-bedakan manusia serigala dari serigala asli"" tanya Snape.
Semua duduk bergeming, kecuali Hermione, yang tangannya, seperti yang sering terjadi, mengacung ke atas.


Harry Potter Dan Tawanan Azkaban Karya J.k Rowling di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ada yang tahu"" kata Snape, tidak mengacuhkan Hermione. Senyum sangarnya terpampang lagi. "Apa Profesor Lupin belum mengajari kalian perbedaan dasar antara..."
"Kami sud ah memberitahu Anda," kata Parvati mendadak,
"kami belum sampai ke manusia serigala, kami masih..."
"Diam!" bentak Snape. "Wah, wah, wah, tak kukira aku akan bertemu anak-anak kelas tiga yang bahkan tak bisa mengenali manusia serigala kalau mereka melihatnya. Aku akan memberitahu Profesor Dumbledore, kalian semua ini sangat ketinggalan..."
"Maaf, Sir," kata Hermione, yang tangannya masih mengacung, "manusia serigala berbeda dari serigala asli dalam beberapa hal kecil. Moncong manusia serigala..."
"Ini kedua kalinya kau bicara saat bukan giliranmu, Miss Granger," kata Snape dingin. "Potong lima angka lagi dari Gryffindor karena kau sok tahu dan menye-balkan."
Wajah Hermione merah padam. Dia menurunkan tangannya dan memandang lantai dengan air mata berlinang.
Semua anak memandang Snape dengan marah. Jelas seluruh kelas sangat membenci Snape, karena mereka semua pernah mengatai Hermione sok tahu paling tidak satu kali, dan Ron, yang me-nyebut Hermione sok tahu paling tidak dua kali seminggu, berkata keras, "Anda mengajukan pertanya-an dan dia tahu jawabnya! Buat apa bertanya kalau Anda tak mau dijawab""
Seluruh kelas langsung tahu, Ron sudah kelewatan. Snape perlahan mendekatinya, dan seluruh kelas menahan napas.
"Detensi, Weasley," kata Snape licin, wajahnya sa-ngat dekat dengan wajah Ron. "Dan kalau aku sekali lagi mendengarmu mengkritik cara mengajarku, kau akan sangat menyesal."
Tak seorang pun bersuara sepanjang sisa pelajaran.
Mereka cuma duduk dan membuat catatan tentang manusia serigala dari buku pelajaran, sementara Snape berjalan hilir-mudik di antara kursi-kursi, memeriksa pekerjaan yang telah mereka lakukan bersama Profesor Lupin.
"Penjelasannya sangat parah... itu keliru, Kappa lebih umum ditemukan di Mongolia... Profesor Lupin memberi nilai delapan untuk ini" Kalau aku cuma akan memberi nilai tiga..."
Ketika akhirnya bel berdering, Snape menahan me-reka.
"Kalian harus menulis karangan untuk diserahkan kepadaku, tentang cara-cara mengenali dan membunuh manusia serigala. Minimal dua gulungan perkamen dan diserahkan paling lambat Senin pagi. Sudah waktu-nya ada orang yang mengawasi kelas ini. Weasley kau tinggal, kita harus mengatur detensimu."
Harry dan Hermione meninggalkan kelas bersama teman-teman lainnya. Anak-anak menunggu sampai di luar jangkauan pendengaran, lalu menggerutu jengkel.
"Snape belum pernah bersikap begini terhadap guru Pertahanan terhadap Ilmu Hitam yang lain, meskipun dia memang menginginkan jabatan ini," Harry berkata kepada Hermione. "Kenapa dia benci betul pada Lu-pin" Apa menurutmu ini gara-gara Boggart""
"Aku tak tahu," kata Hermione termenung-menung. "Tetapi aku sungguh berharap Profesor Lupin cepat sembuh..." Ron bergabung dengan mereka lima menit kemudi-an, dalam keadaan murka.
"Kalian tahu tidak aku disuruh apa oleh si..." (dia menyebut Snape sesuatu yang membuat Hermione berkata, "Ron!")
"...itu" Aku harus menggosok pispot di rumah sakit. Tanpa sihir!" Ron bernapas berat, tangannya terkepal. "Kenapa Black tidak bersembunyi di kantor Snape saja, eh" Dia bisa menghabisinya untuk kita!"
Harry terbangun pagi sekali esok harinya. Hari masih gelap.
Sesaat dia mengira deru angin telah mem-bangunkannya, kemudian dirasakannya angin dingin di tengkuknya dan dia duduk tegak-Peeves si hantu jail melayang-layang di sebelahnya, meniup-niup telinganya keras-keras.
"Ngapain sih kau"" tanya Harry marah.
Peeves menggembungkan pipinya, meniup keras-keras, dan meluncur mundur keluar kamar, terkekeh-kekeh.
Harry geragapan mengambil bekernya. Baru se-tengah lima. Seraya mengutuk Peeves, Harry berguling dan berusaha tidur lagi. Tetapi sesudah bangun, susah sekali mengabaikan gelegar guruh, empasan badai ke tembok kastil, dan derak pepohonan di kejauhan di Hutan Terlarang. Beberapa jam lagi dia akan be
rada di lapangan Quidditch, berjuang melawan badai itu. Akhirnya Harry menyerah. Dia bangun, berpakaian, mengambil Nimbus Dua Ribu-nya, dan berjalan diam-diam meninggalkan kamar.
Ketika Harry membuka pintu, ada yang melewati kakinya.
Dia membungkuk dan berhasil menangkap ujung ekor Crookshanks yang berbulu
lebat, dan me-nariknya keluar.
"Tahu tidak, kurasa pendapat Ron tentangmu be-nar," kata Harry kepada Crookshanks dengan curiga. "Ada banyak tikus di sekitar tempat ini, sana buru mereka. Ayo," dia menambahkan, mendorong Crookshanks dengan kakinya
supaya kucing itu me-nuruni tangga spiral. "Jangan ganggu Scabbers."
Badai terdengar lebih keras dari ruang rekreasi. Tapi Harry tahu pertandingan tak akan dibatalkan. Pertandingan Quidditch tidak dibatalkan hanya karena soal kecil semacam hujan badai disertai guruh dan petir. Meskipun demikian, Harry sudah mulai merasa sangat khawatir. Wood telah menunjukkan anak yang bernama Cedric Diggory di koridor.
Diggory anak kelas lima dan tubuhnya jauh lebih besar daripada Harry. Seeker biasanya ringan dan gesit, tetapi berat badan Diggory akan menguntungkan dalam cuaca seperti ini, karena dengan demikian sedikit kemung-kinannya dia akan diterbangkan ke luar jalur.
Harry melewatkan waktu menunggu datangnya subuh di depan perapian, sekali-sekali bangkit untuk menghalangi Crookshanks menyelinap naik ke kamar anak laki-laki lagi.
Akhirnya Harry memperhitungkan, sudah waktunya sarapan, maka dia keluar lewat lubang lukisan sendirian. "Bangkit dan berperanglah, anjing kampung kudis-an!" teriak Sir Cadogan.
"Oh, tutup mulut," Harry menguap. Kantukny
a sedikit berkurang setelah dia makan semangkuk besar bubur, dan pada saat dia makan roti panggang, sisa anggota tim lainnya telah ber-munculan.
"Pertandingan hari ini akan berat," kata Wood, yang tidak makan apa-apa. "Berhentilah cemas, Oliver," kata Alicia menghibur, "kami tak keberatan sedikit kehujanan."
Tetapi jelas tidak hanya sedikit kehujanan. Begitu populernya Quidditch, sehingga seluruh sekolah mun-cul untuk menontonnya, seperti biasa. Tetapi mereka berlarian menyeberang padang rumput menuju ke lapangan Quidditch, kepala-kepala tertunduk menahan terpaan angin kencang, payung-payung terlepas di-terbangkan angin dari tangan
mereka. Tepat sebelum masuk ke kamar ganti, Harry melihat Malfoy, Crabbe, dan Goyle yang sedang berjalan menuju lapangan Quidditch, tertawa-tawa dan menunjuk-nunjuknya dari bawah payung raksasa.
Tim Gryffindor memakai jubah merah tua seragam mereka dan menunggu pidato sebelum-pertandingan Wood yang biasa, tetapi ternyata tak ada. Wood mencoba bicara beberapa kali, menghasilkan bunyi seperti berdeguk, kemudian menggeleng putus asa dan memberi isyarat agar anggota timnya mengikuti-nya.
Angin begitu kencang sehingga mereka terhuyung miring saat berjalan ke lapangan. Jika penonton ber-sorak, mereka tak bisa mendengarnya karena tertelan gelegar guruh. Hujan membasahi kacamata Harry. Bagaimana dia bisa melihat Snitch dalam keadaan begini"
Tim Hufflepuff menyongsong dari sisi yang ber-lawanan, memakai jubah kuning-kenari. Kedua kapten saling mendekat dan berjabat tangan. Diggory ter-senyum kepada Wood, tetapi rahang Wood seakan terkunci, dan dia cuma mengangguk.
Harry melihat Madam Hooch mengucapkan perintahnya, "Naik ke sapu kalian." Harry menarik kaki kanannya dari lumpur dengan bunyi berkecipak karena becek dan mengayunkannya ke atas Ni
mbus Dua Ribu-nya. Madam Hooch mendekatkan peluit ke mulutnya dan meniupnya. Bunyinya nyaring seakan dari kejauhan- pertandingan dimulai.
Harry meluncur naik dengan cepat, tetapi Nimbus-nya sedikit terombang-ambing tertiup angin. Sebisa mungkin dia memeganginya agar mantap, lalu me-nyipitkan mata, mencari-cari Snitch.
Dalam waktu lima menit Harry sudah basah kuyup kedinginan, nyaris tak bisa melihat teman-teman se-timnya, apalagi Snitch yang kecil mungil. Dia terbang bolak-balik di atas lapangan, melewati sosok-sosok samar merah dan kuning, sama sekali tak tahu apa yang sedang terjadi. Dia tak
bisa mendengar komentar karena kalah oleh deru angin. Para penonton ter-sembunyi di bawah samudra mantel dan payung-payung. Dua kali Harry nyaris dijungkirkan oleh Bludger. Pandangannya sangat dikaburkan oleh hujan yang menimpa kacamatanya, sehingga dia tidak melihat Bludger itu datang.
Dia juga tak bisa memperkirakan waktu. Makin lama makin susah menjaga sapunya agar tetap lurus. Langit semakin gelap,
seakan malam telah memutus-kan untuk tiba lebih awal. Dua kali Harry nyaris menabrak pemain lain, tanpa mengetahui apakah dia teman atau lawan. Semuanya sekarang sudah basah kuyup, dan hujan luar biasa lebat, dia tak bisa me-ngenali teman-temannya...
Ketika petir menyambar untuk pertama kalinya, terdengar peluit Madam Hooch. Harry cuma bisa melihat sosok Wood dalam hujan lebat, memberi isyarat agar dia mendarat.
Seluruh anggota tim men-darat berkecipak di lumpur.
"Aku minta time out!" Wood berseru kepada timnya. "Ayo, ke bawah sini..."
Mereka berkerumun rapat di tepi lapangan di ba-wah payung besar. Harry mencopot kacamatanya dan cepat-cepat menggosokkannya ke jubahnya.
"Berapa skornya""
"Kita unggul lima puluh angka," kata Wood, "tapi kalau kita tidak segera mendapatkan Snitch, kita akan main sampai malam."
"Aku tak punya kesempatan karena pakai ini," kata Harry putus asa seraya melambaikan kacamatanya.
Tepat saat itu Hermione muncul di balik bahunya. Dia berkerudung mantelnya dan, herannya, wajahnya berseri-seri.
"Aku punya ide, Harry! Berikan padaku kacamatamu, cepat!"
Harry menyerahkan kacamatanya kepada Hermione, dan seluruh tim memandang takjub. Hermione me-nyentuh kacamata itu dengan tongkatnya dan berkata,
"Impervius!" "Nah!" katanya, menyerahkan kembali kacamata itu kepada Harry. "Kacamatamu sekarang akan me-nolak air!" Wood sangat berterima kasih, sampai tampaknya mau mencium Hermione.
"Brilian!" katanya serak kepada Hermione yang berbalik dan menghilang di antara para penonton. "Oke, tim, ayo kita berjuang!"
Mantra Hermione berhasil. Harry masih kaku ke-dinginan, tak pernah sebasah kuyup itu seumur hidupnya, tetapi dia bisa melihat. Penuh tekad baru, dia mendesak sapunya menerobos cuaca buruk, me-mandang ke segala arah mencari-cari Snitch, meng-hindari Bludger, melesat membungkuk di bawah Diggory yang terbang ke arah berlawanan...
Terdengar gelegar guruh lagi, diikuti oleh sambaran petir.
Keadaan makin lama makin berbahaya. Harry perlu segera mendapatkan Snitch... Dia berbal
ik, bermaksud terbang ke tengah lapang-an, tetapi saat itu sambaran petir menerangi tribun dan Harry melihat sesuatu yang langsung mengacau-kan pikirannya: siluet anjing besar berbulu, yang jelas terpeta berlatarbelakangkan langit, duduk tak bergerak di deretan tempat duduk paling atas yang kosong.
Tangan Harry yang kebas tergelincir pada gagang sapu dan Nimbus-nya merosot lebih dari satu meter. Menggeleng mengibaskan poni yang basah dari mata-nya, dia menyipitkan mata memandang tribun lagi. Anjing itu sudah lenyap.
"Harry!" terdengar teriakan merana Wood dari gawang Gryffindor. "Harry, di belakangmu!" Harry memandang
berkeliling dengan liar. Cedric Diggory sedang meluncur ke arahnya dan setitik emas mungil berkilau di udara berguyur hujan di antara mereka... Tersentak panik, Harry membungkuk sampai datar di atas sapunya dan melesat menuju Snitch itu. "Ayo!" dia berseru kepada Nimbus-nya, sementara hujan melecut wajahnya. "Lebih cepat lagi!"
Tetapi aneh sekali. Kesunyian mengerikan menyebar di seluruh stadion. Angin, walau masih sekencang sebelumnya, lupa menderu. Seakan ada yang memutar tombol mematikan suara, seakan Harry mendadak tuli. Apa yang terjadi"
Dan kemudian gelombang rasa dingin mengerikan yang sudah dikenalnya menyapunya, merasukinya, tepat saat dia menyadari ada yang bergerak di lapangan di bawah...
Sebelum sempat berpikir, Harry mengalihkan pandangan dari Snitch dan menunduk ke bawah.
Paling sedikit seratus Dementor berdiri di bawah, wajah mereka yang tersembunyi terarah kepadanya. Rasanya seakan air beku naik memenuhi dadanya, mengiris organ-organ dalam tubuhnya. Dan kemudian Harry mendengarnya lagi... ada yang berteriak, men-jerit di dalam kepalanya... seorang perempuan...
"Jangan Har ry, jangan Harry, tolong jangan Harry!" "Minggir kau, perempuan bodoh... minggir..."
"Jangan Harry, tolong jangan, ambil saja aku, bunuh aku sebagai gantinya..."
Kabut putih berpusar yang membekukan memenuhi otak Harry... Sedang apa dia" Kenapa dia terbang" Dia harus membantu wanita itu... wanita itu akan mati... dia akan dibunuh...
Harry ter jatuh, menembus kabut sedingin es.
"Jangan Harry! Tolong... kasihani dia... kasihani dia..."
Terdengar tawa nyaring, perempuan itu menjerit, dan Harry tak ingat apa-apa lagi. "Untung tanahnya lembek." "Kukira dia mati."
"Tapi bahkan kacamatanya pun tidak pecah."
Harry bisa mendengar suara-suara itu berbisik-bisik, tetapi dia tak bisa memahaminya. Dia tak tahu di mana dia, atau bagaimana dia bisa sampai di sini, atau apa yang dilakukannya sebelum tiba di sini. Yang dia tahu hanyalah sekujur tubuhnya sakit semua, seakan dia habis dihajar.
"Itu hal paling mengerikan yang pernah kulihat sepanjang hidupku." Paling mengerikan... paling mengerikan... sosok hitam berkerudung... dingin... jeritan...
Mata Harry membuka. Dia terbaring di rumah sakit di sayap kastil. Tim Cjuidditch Gryffindor, berlumur lumpur dari kepala sampai ke kaki, mengerumuni tempat tidurnya. Ron dan Hermione juga ada, basah kuyup seakan baru naik dari dalam kolam renang.
"Harry!" kata Fred, yang pucat pasi di balik lum-purnya. "Bagaimana perasaanmu"" Rasanya memori Harry seperti kaset yang
dicepat-kan. Petir... Grim... Snitch... dan para Dementor... "Apa yang terjadi"" tanyanya sambil duduk begitu mendadak sampai mereka semua terperangah. "Kau terjatuh,"
kata Fred. "Pasti ada-berapa ya- lima belas meter""
"Kami mengira kau meninggal," kata Alicia, geme-tar.
Hermione mengeluarkan suara seperti mendecit. Matanya merah sekali. "Tapi pertandingannya," kata Harry. "Apa yang terjadi" Apa akan diulang"" Tak ada yang menjawab. Harry mendadak me-nyadari hal mengerikan yang pastilah sudah terjadi.
"Kita tidak-kalah""
"Diggory mendapatkan Snitch-nya," kata George. "Tepat sesudah kaujatuh. Dia tidak menyadari apa yang terjadi.
Ketika dia menoleh dan melihatmu ter-geletak di tanah, dia berusaha membatalkannya. Dia juga menginginkan pertandingan ulang. Tetapi mereka menang dengan fair...
bahkan Wood pun mengakui-nya."
"Di mana Wood"" tanya Harry yang tiba-tiba sadar Wood tak ada. "Masih mandi," kata Fred. "Kami rasa dia mencoba menenggelamkan diri."
Harry membenamkan wajah di lututnya, tangannya mencengkeram rambutnya. Fred memegang bahunya dan mengguncangnya kasar.
"Sudahlah, Harry, tak apa-apa. Kau kan selalu ber-hasil menangkap Snitch sebelumnya." "Pasti ada satu saat kau tidak berhasil menangkap-nya," kata George.
"Pertandingan belum usai," kata Fred. "Kita kalah seratus angka, betul" Jadi kalau Hufflepuff kalah dari Ravenclaw dan kita mengalahkan Ravenclaw dan Slytherin..."
"Hufflepuff harus kalah paling tidak dua ratus angka," kata George.
"Tetapi kalau mereka mengalahkan Ravenclaw..."
"Tak mungk in, Ravenclaw terlalu kuat. Tapi kalau Slytherin kalah dari Hufflepuff..." "Semua tergantung dari angkanya- dengan batas seratus entah untuk siapa pun..." Harry berbaring diam, tidak berkata sepatah kata pun.
Mereka telah kalah... untuk pertama kalinya, pertandingan Quidditch yang dimainkannya kalah.
Kira-kira sepuluh menit kemudian, Madam Pomfrey datang untuk menyuruh mereka meninggalkan Harry agar bisa beristirahat.
"Kami akan datang menengokmu lagi nanti," kata Fred.
"Jangan menghukum diri sendiri, Harry, kau masih Seeker terbaik yang pernah kami punyai."
Teman-teman setimnya beriringan keluar, meninggal-kan lumpur. Madam Pomfrey menutup pintu di bela-kang mereka, dengan pandangan mencela. Ron dan Hermione mendekat ke tempat tidur Harry.
"Dumbledore marah sekali," kata Hermione nyaring. "Belum pernah aku melihatnya semurka itu. Dia berlari ke lapangan saat kau terjatuh, melambaikan tongkatnya, dan kau seperti melambat sebelum meng-hantam tanah.
Kemudian dia memutar tongkatnya ke arah para Dementor. Meluncurkan sinar perak kepada mereka. Mereka langsung meninggalkan stadion... Dumbledore gusar sekali mereka datang ke lapangan, kami mendengarnya..."
"Kemudian secara sihir dia mengangkatmu ke atas tandu,"
kata Ron. "Dan berjalan balik ke sekolah dengan kau melayang di atas tandu. Semua mengira kau sudah..." Suaranya menghilang, tapi Harry nyaris tak menya-darinya.
Dia sedang memikirkan pengaruh Dementor terhadap dirinya... tentang suara yang menjerit. Dia mendongak dan melih
at Ron dan Hermione meman-dangnya dengan amat cemas, sehi
ngga dia cepat-cepat mencari sesuatu yang biasa untuk diucapkan.
"Apa ada yang menyimpan Nimbus-ku""
Ron dan Hermione langsung saling pandang.
"Eh..." "Kenapa"" tanya Harry, memandang mereka bergantian.
"Yah... waktu kaujatuh, sapumu diterbangkan angin," kata Hermione ragu-ragu. "Dan""
"Dan sapu itu menabrak-menabrak-oh, Harry- dia menabrak Dedalu Perkasa."
Hati Harry mencelos. Dedalu Perkasa adalah pohon sangat galak yang berdiri sendirian di tengah halaman. "Dan"" tanyanya, takut mendengar jawabannya. "Kau tahu bagaimana si Dedalu Perkasa," kata Ron. "Pohon itu-tidak suka ditabrak."
"Profesor Flitwick mengambilnya sebelum kau sadar," kata Hermione dengan suara sangat pelan.
Perlahan Hermione meraih tas di kakinya, men-jungkirnya dan mengeluarkan kira-kira selusin serpih-an kayu dan ranting ke atas tempat tidur. Hanya itulah yang tersisa dari sapu Harry yang setia, yang akhirnya terkalahkan.
10 Peta Perampok MADAM POMFREY bersikeras Harry tinggal di rumah sakit selama akhir minggu itu. Harry tidak membantah maupun mengeluh, tetapi dia tidak meng-izinkan Madam Pomfrey membuang serpihan sisa Nimbus Dua Ribu-nya. Harry tahu sikapnya itu bo-doh, tahu bahwa Nimbus-nya tak mungkin direparasi, tetapi dia tak tega. Dia merasa seakan kehilangan seorang teman baiknya.
Pengunjung tak henti-hentinya datang, semua ingin menghiburnya. Hagrid mengiriminya seikat bunga earwiggy yang berben
tuk seperti kol kuning dan Ginny Weasley, dengan wajah merah padam, datang mem-bawa kartu ucapan semoga lekas sembuh buatannya sendiri. Kartu itu bernyanyi nyaring, kalau tidak di-tindih Harry dengan mangkuk buah-buahannya.
Tim Gryffindor menengoknya lagi pada hari Minggu pagi, kali ini disertai Wood, yang memberitahu Harry de-ngan suara hampa tak bersemangat, bahwa dia sama sekali tidak menyalahkannya. Ron dan Hermione ha-nya meninggalkan sisi tempat tidur Harry di malam hari. Tetapi apa pun yang dikatakan atau dilakukan teman-temannya tak bisa membuat Harry merasa lebih baik, karena mereka hanya tahu separo dari apa yang menyusahkannya.
Dia belum memberitahu siapa pun tentang Grim, bahkan Hermione dan Ron pun tidak, karena dia tahu Ron akan panik dan Hermione akan mencemooh. Kenyataannya Grim itu telah menampakkan diri dua kali, dan kemunculannya dua-duanya diikuti oleh kecelakaan-nyaris-fatal. Yang pertama, dia nyaris ter-gilas oleh Bus Ksatria. Yang kedua, dia terjatuh dari sapunya dari ketinggian lima belas meter. Apakah si Grim akan terus menghantuinya sampai dia betul-betul mati" Apakah dia akan menghabiskan sisa hidupnya menoleh-noleh terus, melihat kalau-kalau ada binatang itu"
Lalu masih ada lagi Dementor. Harry merasa mual dan dipermalukan setiap kali teringat pada Dementor. Semua orang mengatakan Dementor mengerikan, te-tapi tak ada yang pingsan setiap kali mereka berada di dekatnya... tak ada yang mendengar gaung suara orangtua mereka yang akan meninggal di dalam ke-pala mereka.
Karena sekarang Harry tahu suara siapa yang ber-teriak itu.
Dia sudah mendengar kata-katanya, men-dengarnya lagi berkali-kali di rumah sakit di malam hari, saat dia berbaring terjaga, memandang cahaya bulan di langit-langit. Ketika para Dementor men-dekatinya, dia mendengar saat-saat terakhir ibunya, usahanya untuk melindunginya dari Lord Voldemort,
dan tawa Voldemort sebelum dia membunuh ibunya... Harry tertidur. Tidurnya gelisah, disela mimpi-mimpi penuh tangan basah membusuk dan ratapan penuh ketakutan. Harry tersentak terbangun dan kembali memikirkan suara ibunya.
Sungguh melegakan kembali pada kebisingan dan hiruk-pikuk sekolah pada hari Senin-nya. Harry mau tak mau memikirkan hal-hal lain, walaupun dia ter-paksa menerima ejekan Draco Malfoy. Malfoy senang sekali Gryffindor kalah.
Dia akhirnya membuka per-bannya dan merayakan kesembuhannya dengan me-nirukan cara Harry terjatuh dari sapunya dengan amat bersemangat. Malfoy melewatkan banyak waktu dalam pelajaran Ramuan berikutnya dengan
berpura-pura jadi Dementor dari seberang ruangan. Ron akhir-nya tak tahan lagi. Dia melemparkan hati buaya yang besa
r dan licin ke arah Malfoy, tepat mengenai mukanya, menyebabkan Snape mengurangi lima puluh angka dari Gryffindor.
"Kalau Snape mengajar Pertahanan terhadap Ilmu Hitam lagi, aku tidak masuk karena sakit," kata Ron, ketika mereka menuju kelas Lupin sesudah makan siang. "Cek dulu siapa yang di dalam, Hermione."
Hermione mengintip dari pintu.
"Oke!" Profesor Lupin sudah mengajar lagi. Kelihatannya memang dia baru sakit. Jubah usangnya tampak ge-dombrongan dan ada lingkaran-lingkaran hitam di bawah matanya. Meskipun demikian, dia tersenyum kepada murid-muridnya ketika mereka duduk dan langsung ramai berkeluh kesah tentang sikap Snape selama Lupin sakit.
"Sungguh tidak adil, dia kan cuma guru pengganti, kenapa dia memberi PR"" "Kami sama sekali tidak tahu-menahu tentang manu-sia serigala..." "...dua gulu ng perkamen!"
"Apakah kalian memberitahu Profesor Snape kita belum mempelajarinya"" Lupin bertanya, dahinya me-ngernyit.
Celoteh ramai terdengar lagi.
"Ya, tapi dia bilang kami ketinggalan..."
"...dia tak mau dengar..."
"...dua gulung perkamen!"
Profesor Lupin tersenyum melihat kemarahan di wajah semua muridnya. "Jangan khawatir. Aku akan bicara dengan Profesor Snape. Kalian tidak perlu membuat karangan itu."
"Yaaah..." kata Hermione kecewa. "Aku sudah se-lesai mengerjakannya!"
Pelajaran berlangsung amat menyenangkan. Profesor Lupin membawa kotak kaca berisi Hinkypunk, makh-luk berkaki satu yang kelihatannya terbuat dari kepul-an asap, tampaknya rapuh dan tak berbahaya.
"Memikat pengelana ke tanah berlumpur," kata Profesor Lupin sementara mereka mencatat. "Kalian perhatikan lentera yang tergantung di tangannya" Berayun naik-turun di depanorang-orang akan meng-ikuti cahayanya-kemudian..."
Si Hinkypunk mengeluarkan bunyi decap mengeri-kan pada dinding kacanya.
Ketika bel berdering anak-anak mengumpulkan barang-barang mereka dan berjalan ke pintu, termasuk Harry, tetapi...
"Tunggu, Harry," panggil Lupin. "Aku mau bicara denganmu." Harry masuk dan mengawasi Profesor Lupin menyelubungi kotak kacanya dengan kain.
"Aku sudah dengar tentang pertandingan itu," kata Lupin, berbalik ke mejanya dan memasukkan buku-buku ke dalam tasnya, "dan aku ikut sedih mendengar tentang sapumu. Ada kemungkinan dibetulkan""
"Tidak," kata Harry. "Pohon itu menghajarnya sam-pai hancur berkeping-keping."
Lupin menghela napas. "Mereka menanam Dedalu Perkasa itu pada tahun yang sama dengan kedatanganku di Hogwarts. Anak-anak dulu membuat permainan, mencoba mendekat sampai bisa menyentuh batangnya. Pada akhirnya, seorang anak laki-laki
bernama Davey Gudgeon nyaris kehilangan sebelah matanya dan kami dilarang dekat-dekat pohon itu. Tak ada sapu yang bisa bertahan melawannya."
"Apakah Anda mendengar tentang Dementor juga"" tanya Harry susah payah. Lupin segera memandangnya.
"Ya, aku dengar. Kurasa tak ada seorang pun di antara kita yang pernah melihat Profesor Dumbledore semarah itu. Para Dementor itu sudah beberapa waktu resah... marah karena Dumbledore tidak mengizinkan mereka masuk ke halaman kastil... kurasa karena merekalah kau sampai terjatuh""
"Ya," kata Harry. Dia ragu-ragu, dan kemudian pertanyaan yang ingin ditanyakannya terlontar begitu saja sebelum dia bisa menahan diri. "Kenapa" Kenapa mereka mempengaruhi saya seperti itu" Apakah saya...""
"Tidak ada hubungannya dengan kelemahan," kata Profesor Lupin tajam, seakan dia bisa membaca pikir-an Harry.
"Dementor mempengaruhimu lebih hebat daripada orang lain karena ada horor di masa lalumu yang tidak dialami orang lain."
Secercah sinar matahari menerobos masuk kelas, menyinari rambut kela bu Lupin dan kerut-kerut di wajahnya yang masih muda.
"Dementor termasuk makhluk paling jahat yang ada di muka bumi ini. Mereka menduduki tempat-tempat yang paling gelap dan kotor, mereka senang pada kehancuran dan keputusasaan, mereka menyedot kedamaian, harapan, dan kebahagiaan dari udara di sekitar mereka. Bahkan Muggle merasakan kehadiran mereka, walaupun tak bisa melihatnya.
Kalau kita berada terlalu dekat dengan Dementor, semua perasa-an senang, semua kenangan membahagiakan, akan tersedot dari dalam diri kita.
Kalau bisa, Dementor akan hidup darimu cukup lama sampai kau menjadi sesuatu seperti
mereka-tak berjiwa dan jahat. Yang tersisa dalam dirimu hanyalah pengalaman-pengalam-an terburuk dalam hidupmu.
Dan pengalaman ter-buruk dalam hidupmu, Harry, cukup untuk membuat siapa saja terjatuh dari sapunya. Kau tak perlu malu."
"Kalau mereka mendekati saya...," Harry meman-dang ke meja Lupin, lehernya sakit seperti tersumbat, "saya bisa mendengar Voldemort membunuh ibu saya."
Lupin membuat gerakan dengan tangannya seakan dia akan memegang bahu Harry, tetapi tak jadi. Se-jenak hening, kemudian...
"Kenapa mereka harus datang ke pertandingan"" tanya Harry getir.
"Mereka lapar," kata Lupin dingin, menutup tasnya dengan keras. "Dumbledore tidak mengizinkan mereka masuk ke halaman sekolah, maka mereka kehabisan suplai manusia sebagai mangsa... kurasa mereka tak bisa menahan diri melihat begitu banyak orang di lapangan Quidditch. Semua kegairahan itu... emosi yang tinggi... bagi mereka itu berarti pesta pora."
"Azkaban pastilah mengerikan sekali," gumam Harry. Lupin menganggu k suram.
"Benteng itu berada di sebuah pulau kecil, jauh di tengah samudra, tetapi mereka tidak memerlukan tembok dan air untuk menahan para tawanannya. Mereka semua sudah terpenjara dalam kepala mereka sendiri, tak sanggup memikirkan satu hal pun yang menyenangkan. Sebagian besar dari mereka menjadi gila hanya dalam waktu beberapa minggu."
"Tetapi Sirius Black berhasil lolos dari mereka," kata Harry pelan. "Dia berhasil kabur..." Tas Lupin merosot dari meja. Dia harus mem-bungkuk cepat-cepat untuk menangkapnya.
"Ya," katanya, seraya tegak kembali. "Black pastilah menemukan cara untuk melawan mereka. Walaupun menurutku itu tak mungkin... Dementor kabarnya menyedot kekuatan penyihir sampai habis jika pe-nyihir itu ditinggalkan terlalu lama bersama mereka..."
"Anda membuat Dementor di kereta api itu mundur," kata Harry tiba-tiba.
"Ada-beberapa pertahanan yang bisa digunakan," kata Lupin. "Tetapi hanya ada satu Dementor di kereta api.
Semakin banyak mereka, semakin susah kita lawan."
"Pertahanan apa saja"" kata Harry segera. "Bisakah Anda mengajari saya""
"Aku tidak berpura-pura menjadi ahli melawan Dementor, Harry... sebaliknya malah..."
"Tapi kalau Dementor-dementor itu datang ke pertandingan Quidditch lagi, saya perlu pertahanan untuk bisa melawannya..."
Lupin memandang wajah Harry yang penuh tekad, ragu-ragu sejenak, kemudian berkata, "Yah... baiklah. Aku akan mencoba membantumu. Tetapi harus tunggu sampai semester yang akan datang, kurasa. Banyak yang harus kuselesaikan
sebelum liburan. Aku memilih waktu yang sangat tidak menguntungkan untuk sakit."
Adanya janji pelajaran Anti-Dementor dari Lupin, pemikiran bahwa dia mungkin tak perlu lagi men-dengar saat-saat kematian ibunya, dan kenyataan bah-wa Ravenclaw menggilas Hufflepuff dalam per-tandingan Quidditch pada akhir November, membuat perasaan Harry jauh lebih senang.
Gryffindor akhir-nya tidak tersisih dari ajang pertandingan, walaupun mereka tak boleh kalah lagi dalam pertandingan.
Wood kembali dikuasai energi gilanya, dan melatih timnya dengan sama keras dan ketatnya di bawah siraman hujan yang dingin menusuk tulang yang berlangsung sampai
Desember. Harry tak melihat tanda-tanda adanya Dementor di sekolah. Kemarahan Dumbledore tampaknya membuat mereka tetap berada di tempat jaga mereka di jalan-jalan masuk ke halaman sekolah.
Dua minggu sebelum semester berakhir, langit men-dadak terang menyilaukan dan tanah berlumpur pada suatu pagi sudan berselimut salju berkilau. Di dalam kastil, suasana Natal sudah terasa. Profesor Flitwick, guru Jimat dan Guna-guna, sudah mendekorasi ruang kelasnya dengan lampu kelap-kelip yang ternyata peri-peri betulan yang beterbangan. Anak-anak semua senang merencanakan liburan mereka. Baik Ron mau-pun Hermione sudah memutuskan untuk tinggal di Hogwarts. Meskipun Ron mengatakan dia tinggal, karena tak tahan melewatkan dua minggu bersama Percy, dan Hermione bersikeras dia perlu mengguna-kan perpustakaan, Harry tak bisa dibohongi. Mereka tinggal untuk menemaninya dan Harry sangat ber-ter
ima kasih. Betapa senangnya semua anak, kecuali Harry, ketika ternyata akan ada kunjungan ke Hogsmeade lagi pada akhir pekan terakhir semester.
Pedang Golok Yang Menggetarkan 15 Pendekar Rajawali Sakti 56 Pembunuh Misterius Pulau Setan 1

Cari Blog Ini