Harry Potter Dan Pangeran Berdarah Campuran Karya J.k. Rowling Bagian 11
"Petrificus Totalus!"
Harry merasa Greyback ambruk di atasnya; dengan susah payah didorongnya manusia serigala itu dari tubuhnya ke lantai, ketika pancaran sinar hijau meluncur ke arahnya. Dia membungkuk menghindar dan berlari, dengan kepala lebih dulu, memasuki pertempuran. Kakinya tersandung sesuatu yang basah dan licin di lantai dan dia terhuyung. Ada dua sosok tubuh tergeletak di sana, tengkurap dalam genangan darah, namun tak ada waktu untuk memeriksanya. Harry sekarang melihat rambut merah berkibar seperti lidah api di depannya. Ginny sedang bertempur melawan si Pelahap Maut gendut, Amycus, yang melancarkan kutukan demi kutukan sementara Ginny menghindarinya. Amycus terkekeh, menikmati permainan ini: "Crucio-Crucio-kau tak bisa menari-nari selamanya, cantik-"
"Impedimenta!" teriak Harry.
Kutukannya menghantam Amycus di dada. Dia mendengking seperti babi kesakitan, terangkat dari lantai dan menghantam dinding di seberang, merosot turun dan
menghilang di balik Ron, Profesor McGonagall, dan Lupin, yang masing-masing melawari Pelahap Maut berbeda. Di belakang mereka, Harry melihat Tonks melawan penyihir laki-laki superbesar berambut pirang yang meluncurkan kutukan ke segala jurusan, sehingga kutukan-kutukannya terpantul dari dinding di sekitar mereka, meretakkan batu, menghancurkan jendela terdekat-"Harry, kau muncul dari mana"" Ginny berseru, namun tak ada waktu. untuk menjawabnya. Harry menundukkan kepala dan berlari maju, nyaris saja terkena ledakan yang meledak di atas kepalanya, menghujani mereka semua dengan serpihan dinding, Snape tak boleh kabur, dia harus mengejar Snape-"Rasakan ini!" teriak Profesor McGonagall, dan Harry sekilas melihat si Pelahap Maut perempuan, Alecto, berlari sepanjang koridor dengan tangan di atas kepalanya, kakaknya tepat di belakangnya. Harry berlari mengejar mereka, namun kakinya terantuk sesuatu dan detik berikutnya dia terkapar di atas kaki seseorang. Ketika dia menoleh, dilihatnya wajah Neville yang bundar, pucat, rata mencium lantai.
"Neville, apakah kau""
"Ku baik-baik saja," gumam Neville, yang mencengkeram perutnya. "Harry ... Snape dan Malfoy ... lari lewat ..."
"Aku tahu, aku sedang mengejar mereka!" kata Harry, mengarahkan kutukan dari lantai kepada si Pelahap Maut pirang superbesar yang menyebabkan sebagian besar kekacauan: orang itu melolong kesakitan ketika kutukan menghantam mukanya. Dia berputar, terhuyung, dan kemudian berlari mengejar si kakak-beradik.
Harry terhuyung bangun dari lantai dan mulai berlari sepanjang koridor, tak menghiraukan ledakan-ledakan yang muncul dari arah belakangnya, teriakan-teriakan yang lain yang menyuruhnya kembali, dan panggilan diam sosok-sosok di lantai, yang nasibnya belum diketahuinya ...
Dia terpeleset di tikungan, sepatunya licin kena darah. Snape sudah lama mendahuluinya mungkinkah dia sudah memasuki Lemari di Kamar Kebutuhan, atau apakah Orde sudah mengambil langkah-langkah untuk mengamankannya, untuk mencegah para Pelahap Maut kabur lewat jalan itu" Harry tak bisa mendengar apa-apa kecuali derap langkahnya dan debar jantungnya selagi dia berlari sepanjang koridor kosong berikutnya, namun kemudian dilihatnya jejak kaki berdarah yang menunjukkan paling tidak salah satu Pelahap Maut yang kabur menuju ke pintu depan barangkali Kamar Kebutuhan benar-benar sudah di blokir.
Dia terpeleset lagi di tikungan yang lain dan ada kutukan
yang terbang melewatinya, dia melesat ke belakang baju zirah, yang meledak. Dilihatnya kakak beradik Pelahap Maut berlari menuruni tangga pualam di depan dan dia mengarahkan serangan kepada mereka, namun serangannya hanya mengenai beberapa penyihir perempuan memakai wig dalam lukisan di bordes, yang berlarian menjerit-jerit ke dalam lukisanlukisan di dekat situ. Ketika melompati kepingan-kepingan baju zirah, Harry mendengar lebih banyak teriakan dan jeritan. Rupanya orang-orang lain di dalam kastil sudah terbangun ...
Dia melesat ke jalan pintas, berharap mendahului kakak-beradik dan mendekati Snape dan Malfoy, yang pastilah sudah sampai di halaman sekarang. Teringat melompati anak tangga yang lenyap di tengah tangga tersembunyi, dia muncul lewat permadani hias di dasar tangga dan keluar ke koridor tempat sejumlah anak-anak Hufflepuff yang berpiama berdiri bingung.
"Harry! Kami mendengar keributan dan ada yang berteriak tentang Tanda Kegelapan" kata Ernie Macmillan.
"Minggir!" teriak Harry, menabrak minggir dua anak laki-laki ketika dia berlari menuju bordes dan menuruni sisa anak tangga pualam. Pintu depan ek sudah diledakkan terbuka dan ada noda-noda darah di ubin dan beberapa anak yang
Ada yang menghantam bagian belakang pinggang Harry dan dia terjerembap, wajahnya menghantam tanah, darah mengucur dari kedua lubang hidungnya. Dia tahu, bahkan selagi berguling membalik, tongkat sihirnya siap, bahwa kakak-beradik yang telah disalipnya melewati jalan pintas sekarang sudah dekat di belakangnya ...
"Impedimenta!" teriaknya, seraya berguling lagi, berjongkok rendah di tanah yang gelap, dan secara ajaib serangannya mengenai salah satu dari mereka. Orang itu
ketakutan berdiri berkerumun di dekat dinding, satu-dua anak masih gemetar ketakutan dengan tangan menutupi wajah. Jam-pasir raksasa Gryffindor pecah terkena serangan dan batubatu rubi di dalamnya masih berjatuhan dengan berkeretekan ke lantai ubin di bawahnya.
Harry berlari menyeberangi Aula Depan dan keluar ke halaman yang gelap. Dia bisa melihat tiga sosok berlari di padang rumput, menuju gerbang; di luar gerbang itu mereka bisa ber-Disapparate. Kalau dilihat dari sosoknya, mereka adalah si Pelahap Maut pirang yang besar, dan agak jauh di depannya, Snape dan Malfoy.
Udara malam yang dingin mencabik paru-paru Harry ketika dia berlari mengejar mereka. Dilihatnya kilatan sinar di kejauhan yang sekejap menerangi buruannya. Dia tak tahu apa itu, namun terus berlari, belum cukup dekat untuk menyerang dengan kutukan-Kilatan lain, teriakan-teriakan, pancaran-pancaran sinar balasan, dan Harry mengerti. Hagrid telah muncul dari dalam pondoknya dan sedang berusaha mencegah para Pelahap Maut kabur, dan meskipun setiap tarikan napas serasa merobek paru-parunya dan dadanya sakit seperti terbakar, Harry berlari lebih cepat ketika suara yang tak diundang muncul dalam kepalanya: jangan Hagrid ... jangan Hagrid juga
terhuyung dan jatuh, yang lain tersandung tubuhnyanya. Harry melompat bangun dan berlari lagi, mengejar Snape ...
Dan sekarang dia melihat sosok besar Hagrid, diterangi cahaya bulan sabit yang muncul tiba-tiba dari balik awan. Si Pelahap Maut pirang meluncurkan kutukan demi kutukan ke arah si pengawas binatang liar, namun kekuatan Hagrid yang luar biasa, dan kulit keras yang diwarisinya dari ibunya yang raksasa, rupanya melindunginya. Meskipun demikian Snape dan Malfoy masih terus berlari. Sebentar lagi mereka akan melewati gerbang, bisa ber-Disapparate-Harry berlari melewati Hagrid dan lawannya, mengarahkan tongkat sihirnya ke punggung Snape dan berteriak, "Stupefyl"
Serangannya luput, pancaran sinar merah meluncur melewati kepala Snape. Snape berteriak, "Lari, Draco!" dan berbalik. Dalam jarak dua puluh meter dia dan Harry saling pandang sebelum mengangkat tongkat sihir mereka bersamaan.
"Cru-" Namun Snape menangkis kutukan itu, membuat Harry terlempar ke belakang sebelum dia menyelesaikannya. Harry berguling dan terhuyung bangun lagi ketika si Pelahap Maut besar di belakangnya berteriak, "Incendio!" Harry mendengar ledakan dan cahaya jingga yang menari-nari menerangi
mereka semua. Pondok Hagrid terbakar.
"Fang di dalam sana, iblis kau!" raung Hagrid.
"Cruc-" teriak Harry untuk kedua kalinya, menyasar sosok di depan yang diterangi nyala api yang menari-nari, namun Snape memblokir kutukannya lagi. Harry bisa melihatnya menyeringai mencemooh.
"Kutukan Tak Termaafkan tak cocok untukmu, Potter!" dia berteriak, mengatasi derak lidah api, teriakan-teriakan Hagrid,
dan dengking liar Fang yang terperangkap. "Kau tak memiliki keberanian ataupun kemampuan"
"Incarc-" Harry meraung, namun Snape mematahkan kutukan itu dengan lambaian tangan yang nyaris malas.
"Balas serang!" Harry berteriak kepadanya. "Balas serang, kau pengecut "
"Pengecut, kau menyebutku, Potter"" teriak Snape. "Ayahmu tidak akan menyerangku kalau tidak empat lawan satu, akan kausebut apa dia, aku ingin tahu""
"Stupe-" "Diblokir lagi, dan lagi, dan lagi sampai kau belajar menutup mulutmu dan menyembunyikan pikiranmu, Potter!" ejek Snape, sekali lagi menangkis kutukan Harry. "Sekarang ayo pergi!" dia berteriak kepada si Pelahap Maut superbesar di belakang Harry. "Sudah waktunya pergi, sebelum orang-orang Kementerian muncul"
"Impedi-" Namun sebelum dia bisa menyelesaikan kutukan ini, kesakitan yang sangat menyiksa melanda Harry.
Dia terjungkal di atas rerumputan, ada yang berteriak, dia pasti mati karena siksaan ini. Snape akan menyiksanya sampai mati atau gila-"Jangan!" raung Snape dan kesakitannya berhenti sama mendadaknya dengan mulainya. Harry berbaring meringkuk di rerumputan gelap, mencengkeram tongkat sihirnya dan tersengal-sengal. Di suatu tempat di atasnya Snape berteriak, "Kau sudah lupa perintah yang diberikan kepada kita" Potter milik Pangeran Kegelapan kita harus meninggalkannya! Pergi!
Pergi!" Dan Harry merasa bumi bergetar di bawah wajahnya ketika Pelahap Maut kakak-beradik dan si superbesar mematuhi
Snape, berlari ke arah gerbang. Harry mengeluarkan teriakan kemarahan yang tidak jelas. Pada saat itu dia tidak peduli apakah dia hidup atau mati. Memaksa diri bangun lagi, dia terhuyung membabi-buta mengejar Snape, orang yang sekarang dibencinya sama seperti dia membenci Voldemort sendiri
"Sectum-" Snape menjentik tongkat sihirnya dan kutukan itu ditangkis lagi, namun Harry hanya berjarak beberapa meter sekarang dan dia bisa melihat wajah Snape dengan jelas akhirnya: dia tak lagi menyeringai atau mencemooh; kobaran api memperlihatkan wajah yang penuh kemurkaan. Mengerahkan seluruh kemampuannya untuk berkonsentrasi, Harry membatin, Levi-"Tidak, Potter!" teriak Snape. Terdengar ledakan keras DUAR dan Harry melayang ke belakang lagi, menghantam tanah dengan keras lagi, dan kali ini tongkat sihirnya terlempar dari tangannya. Dia bisa mendengar Hagrid berteriak dan Fang melolong ketika Snape mendekat dan menunduk memandangnya tergeletak, tanpa tongkat dan tak berdaya seperti halnya Dumbledore. Wajah pucat Snape, diterangi pondok yang berkobar, diliputi kebencian persis seperti sebelum dia mengutuk Dumbledore.
"Berani-beraninya kau menggunakan kutukanku untuk menyerangku, Potter" Akulah yang menciptakan kutukan itu -aku, si Half-Blood Prince! Pangeran Berdarah-Campuran! Dan kau mau menggunakan ciptaanku untuk menyerangku, seperti ayahmu yang licik, ya" Tak akan kubiarkan ... tidak!"
Harry berusaha menyambar tongkat sihirnya. Snape meluncurkan kutukan dan tongkat itu terbang beberapa meter jauhnya ke dalam kegelapan dan menghilang dari pandangan.
"Bunuh aku, kalau begitu," sengal Harry, yang sama sekali tidak merasa takut, hanya marah dan jijik. "Bunuh aku seperti kau membunuhnya, pengecut!"
"JANGAN" jerit Snape, dan wajahnya mendadak liar dan bengis, seolah dia sedang merasakan kesakitan yang sama seperti anjing yang mendengking dan melolong terperangkap dalam pondok yang terbakar di belakang mereka, "-SEBUT AKU PENGECUT!"
Dan dia menebas udara: Harry merasa lecutan panas-putih menghantam wajahnya dan dia terpelanting ke belakang ke tanah. Bintik-bintik cahaya menyembur di depan matanya dan sejenak seluruh napas telah meninggalkan tubuhnya, kemudian dia mendengar deru sayap di atasnya dan sesuatu yang luar biasa besar m
enutupi bintang-bintang. Buckbeak terbang menyerang Snape, yang terhuyung ke belakang ketika cakar yang setajam silet menyambarnya. Selagi Harry berusaha duduk, kepalanya masih berputar gara-gara kontak terakhirnya dengan tanah, dilihatnya Snape berlari secepat kilat, hewan raksasa itu mengepak-ngepakkan sayap di belakangnya dan memekik, belum pernah Harry mendengarnya memekik seperti itu-Harry terhuyung bangun, mencari-cari tongkatnya dengan grogi, berharap masih bisa mengejar lagi; namun bahkan ketika jari-jarinya meraba-raba di rumput, melempar ranting-ranting, dia tahu sudah terlambat, dan betul saja, saat berhasil menemukan tongkatnya dia berpaling dan hanya melihat si Hippogriff berputar-putar mengitari gerbang. Snape telah berhasil ber-Disapparate di luar batas sekolah.
"Hagrid," gumam Harry, masih pusing, memandang
berkeliling. "HAGRID!"
Dia sedang terhuyung-huyung ke arah pondok yang terbakar ketika sosok raksasa muncul dari dalam kobaran api, menggendong Fang di punggungnya. Dengan teriakan syukur Harry jatuh berlutut; tangan dan kakinya gemetar, seluruh
tubuhnya sakit dan setiap tarikan napas rasanya seperti tusukan menyakitkan.
"Kau tak apa-apa, Harry" Kau tak apa-apa" Bicaralah padaku, Harry ... "
Wajah Hagrid yang besar berenang-renang di atas Harry, memblokir bintang-bintang. Harry bisa mencium bau kayu dan bulu anjing yang terbakar. Dijulurkannya tangannya dan lega sekali dia bisa merasakan tubuh Fang yang hangat dan hidup menggigil di sampingnya.
"Aku baik-baik saja," sengal Harry. "Kau""
"Tentu aku baik ... perlu lebih dari itu untuk habisi aku."
Hagrid meletakkan tangannya di bawah lengan Harry dan mengangkatnya sedemikan kuatnya sehingga kaki Harry selama beberapa saat tidak memijak tanah sebelum Hagrid menurunkannya lagi. Dia bisa melihat darah mengalir di pipi Hagrid dari luka dalam di bawah sebelah matanya, yang membengkak dengan cepat.
"Kita harus memadamkan rumahmu," kata Harry.
"Mantranya adalah Aguamenti ... "
"Aku tahu bunyinya seperti itu," gumam Hagrid, dan dia mengangkat payung merah jambu berbunga yang berasap dan berkata, "Aguamenti... "
Air memancar dari puncak payung itu. Harry mengangkat tangannya, yang berat seperti timah, dan menggumamkan "Aguamenti" juga. Berdua, dia dan Hagrid menyemprot rumah itu dengan air sampai lidah api yang terakhir padam.
"Tidak terlalu buruk," kata Hagrid penuh harap, beberapa menit kemudian, sambil memandang reruntuhan pondoknya yang masih berasap. "Dumbledore pasti bisa betulkan itu ... "
Ulu hati Harry terasa sakit sekali seperti terbakar ketika dia mendengar nama itu disebut. Dalam keheningan dan kesunyian, horor memenuhi dirinya.
"Hagrid ... " "Aku sedang bebat kaki beberapa Bowtruckle waktu dengar mereka datang," kata Hagrid sedih, masih memandang pondoknya yang hancur. "Mereka pasti sudah terbakar, kasihan ... "
"Hagrid ... " "Tapi apa yang terjadi, Harry" Aku cuma lihat Pelahap hap Maut lari dari dalam kastil, tapi apa yang dilakukan Snape dengan mereka" Ke mana dia pergi apakah apakah dia kejar mereka""
"Dia ..." Harry berdeham. Kerongkongannya kering gara-gara panik dan asap. "Hagrid, dia membunuh ... "
"Membunuh"" kata Hagrid keras, menunduk memandang Harry. "Snape bunuh" Apa maksudmu, Harry""
"Dumbledore," kata Harry. "Snape membunuh ... Dumbledore."
Hagrid hanya memandangnya, sedikit wajahnya yang masih kelihatan, tampak bengong, tidak mengerti.
"Dumbledore apa, Harry""
"Dia meninggal. Snape membunuhnya ... "
"Jangan bilang begitu," kata Hagrid kasar. "Snape bunuh Dumbledore jangan bodoh, Harry. Apa yang buat kau bilang
begitu"" "Aku melihat kejadiannya."
"Tak mungkin." "Aku melihatnya, Hagrid."
Harry menggelengkan kepala. Ekspresinya tidak percaya namun bersimpati dan Harry tahu Hagrid mengira dia kena pukul di kepala, bahwa dia bingung, barangkali akibat tadi kena kutukan ...
"Yang terjadi pastilah, Dumbledore suruh Snape ikut Pelahap Maut," kata Hagrid yakin. "Kurasa dia harus tetap menyamar. Ayo, kuantar kau ke sekolah. Ayo, Harry ... "
Harry tidak berusaha membantah ataupun menjelaskan. Dia masih gemetar tak terkendali. Hagrid akan se
gera tahu, sebentar lagi ... Ketika mereka mengarahkan langkah kembali ke arah kastil, Harry melihat banyak jendelanya sudah terang sekarang. Dia bisa membayangkan, jelas sekali, pemandangan di dalam ketika anak-anak berpindah dari ruangan ke ruangan, saling memberitahu bahwa Pelahap Maut telah masuk, bahwa Tanda menyala di atas Hogwarts, bahwa pasti ada yang terbunuh ...
Pintu depan ek terbuka di depan mereka, sinar lampu menerangi jalan dan lapangan rumput di depannya. Perlahan, ragu-ragu, orang-orang yang memakai baju rumah menuruni undakan, memandang berkeliling dengan gugup, mencari Pelahap Maut yang telah kabur ke dalam kegelapan malam. Meskipun demikian, mata Harry tertuju ke tanah di kaki-menara yang paling tinggi. Dia membayangkan bisa melihat gundukan hitam tergeletak di rerumputan di sana, meskipun kenyataannya dia terlalu jauh untuk bisa melihat hal seperti itu. Bahkan ketika dia melangkah tanpa bicara ke tempat yang diduganya tubuh Dumbledore berada, dilihatnya orang-orang sudah bergerak ke arah itu.
"Apa yang dilihat mereka semua itu"" kata Hagrid, ketika dia dan Harry mendekati bagian depan kastil, dengan Fang berjalan sedekat mungkin ke mata kaki mereka. "Apa yang tergeletak di rumput itu"" Hagrid menambahkan tajam, sekarang melangkah menuju kaki Menara Astronomi, tempat sekelompok kecil orang berkerumun. "Kau lihat, Harry" Tepat
di kaki Menara" Di bawah Tanda ... astaga ... mungkinkah ada yang dilempar""
Hagrid terdiam, rupanya yang dipikirkannya terlalu mengerikan untuk diucapkan keras-keras. Harry berjalan di sebelahnya, merasakan sakit dan ngilu-ngilu di wajah dan kakinya, yang dalam setengah jam terakhir terkena berbagai serangan, namun rasanya aneh, sepertinya ada orang lain di sebelahnya yang menderita. Yang nyata dan tak bisa dihindari adalah perasaan tertekan menyakitkan di dadanya ...
Dia dan Hagrid bergerak, seperti dalam mimpi, menerobos kerumunan yang bergumam sampai ke depan, tempat anak-anak dan para guru yang kaget sampai tak bisa bicara telah meninggalkan celah.
Harry mendengar erang sedih dan shock Hagrid, namun dia tidak berhenti. Dia berjalan-perlahan sampai tiba di tempat Dumbledore terbaring, dan berlutut di sebelahnya.
Harry sudah tahu tak ada harapan lagi begitu Kutukan Ikat-Tubuh yang dikenakan Dumbledore kepadanya terangkat, tahu bahwa itu hanya bisa terjadi karena si pengirim mantra itu meninggal; namun tetap saja dia tak siap melihatnya di sini, terkapar dengan kaki tangan terentang, hancur: penyihir terbesar yang pernah, atau akan pernah, dijumpai Harry.
Mata Dumbledore terpejam; kalau bukan karena posisi aneh lengan dan kakinya, dia bisa disangka sedang tidur. Harry menjulurkan tangan, meluruskan kacamata bulan-separo di atas hidung-bengkoknya dan menyapu setetes darah dari mulutnya dengan lengan bajunya sendiri. Kemudian ditatapnya wajah tua yang bijaksana itu dan dia berusaha menyerap kenyataan hebat dan tak bisa dipahami ini: bahwa tak akan pernah lagi Dumbledore bicara kepadanya; tak akan pernah lagi dia bisa menolong ...
Kerumunan orang bergumam di belakang Harry. Setelah waktu yang rasanya berlangsung lama, dia menyadari bahwa dia berlutut di atas sesuatu yang keras, dan dia menunduk.
Kalung yang berhasil mereka curi berjam-jam yang lalu telah terjatuh dari dalam saku Dumbledore. Liontinnya terbuka, barangkali karena terbanting keras ketika terjatuh ke tanah. Dan meskipun Harry tak bisa merasa lebih shock, atau ngeri, atau sedih daripada yang sudah dirasakannya, dia tahu, ketika memungut kalung itu, bahwa ada yang tidak beres ...
Dia membalikkan liontin kalung itu di tangannya. Ini tidak sebesar kalung yang pernah dilihatnya dalam Pensieve, dan juga tak ada pahatannya, tak ada huruf S berhiasan yang dianggap sebagai tanda Slytherin. Lagi pula, tak ada apa-apa di dalam liontin itu, kecuali secarik perkamen yang dilipat dan dijejalkan ke tempat yang seharusnya berisi potret.
Secara otomatis, tanpa berpikir apa yang dilakukannya, Harry mencabut carikan perkamen itu, membukanya dan membacanya dalam penerangan banyak tongkat sihir yang sekarang telah dinyalakan di belakang
nya. Kepada Pangeran Kegelapan
Aku tahu aku sudah lama mati ketika kau membaca ini, tetapi aku ingin kau tahu bahwa akulah yang menemukan rahasiamu, aku telah mencuri Horcrux yang sebenarnya dan bermaksud menghancurkannya secepat aku bisa. Kuhadapi kematian dengan harapan bahwa ketika kau bertemu lawanmu, kau sudah jadi orang biasa lagi, yang bisa mati.
R.A.B Harry tidak tahu dan tidak peduli apa arti pesan itu. Hanya satu hal yang berarti: ini bukan Horcrux. Sia-sia saja Dumbledore telah membuat dirinya lemah dengan meminum racun mengerikan itu. Harry meremas perkamen di tangannya dan matanya memanas dipenuhi air mata sementara di belakangnya Fang mulai melolong.
29. RATAPAN PHOENIX "Ayo Harry ... " "Tidak."
"Kau tak bisa di sini terus, Harry ... ayolah ... "
"Tidak." Harry tidak ingin meninggalkan sisi Dumbledore, dia tak ingin pindah ke mana pun. Tangan Hagrid di bahunya gemetar. Kemudian ada suara lain berkata, "Yuk, Harry."
Tangan yang jauh lebih kecil dan lebih hangat telah menggenggam tangannya dan menariknya berdiri. Dia mematuhi desakan tangan itu tanpa benar-benar memikirkannya. Baru ketika berjalan begitu saja menembus kerumunan dia menyadari, dari aroma bunga-bunga di udara, bahwa Ginny-lah yang membawanya kembali ke kastil. Suara-suara yang tak dipahaminya menderanya, isakan dan teriakan dan ratapan membelah malam, namun Harry dan Ginny berjalan terus, menaiki undakan masuk ke Aula Depan: wajah-wajah berenang-renang di tepian penglihatan Harry, orang-orang memandangnya, berbisik-bisik, bertanya-tanya, dan batu-batu rubi Gryffindor berkilauan di lantai seperti tetesan darah ketika mereka melewatinya menuju ke tangga pualam.
"Kita ke rumah sakit," kata Ginny.
"Aku tidak luka," kata Harry.
"Ini perintah McGonagall," kata Ginny. "Yang lain semua di sana, Ron dan Hermione dan Lupin dan semuanya deh"
Ketakutan bergolak lagi di dada Harry: dia telah melupakan tubuh-tubuh tak bergerak yang tadi ditinggalkannya.
"Ginny, siapa lagi yang meninggal""
"Jangan kuatir, tak seorang pun dari kita."
"Tapi Tanda Kegelapan-Malfoy berkata dia melangkahi
tubuh" "Dia melangkahi Bill, tapi tak apa, dia hidup."
Meskipun demikian, ada sesuatu dalam suara Ginny, yang Harry tahu menyiratkan hal buruk.
"Kau yakin""
"Tentu saja aku yakin ... dia agak berantakan, cuma itu. Greyback menyerangnya. Madam Pomfrey bilang dia-penampilannya tak akan sama lagi ... " Suara Ginny agak bergetar. "Kami tidak benar-benar tahu apa akibatnya nanti maksudku, Greyback kan manusia serigala, tapi tidak sedang bertransformasi tadi."
"Tapi yang lain ... ada tubuh-tubuh lain di lantai ... "
"Neville ada di rumah sakit, tapi menurut Madam Pomfrey dia akan sembuh total,, dan Profesor Flitwick tadi pingsan, tapi dia tak apa-apa, hanya sedikit terguncang. Dia berkeras akan mengurus anak-anak Ravencladw. Dan seorang Pelahap Maut mati, dia terkena Kutukan Maut yang dilancarkan si pirang ke segala jurusan Harry, kalau kami tidak minum ramuan Felix-mu, kurasa kami semua pasti sudah terbunuh, tapi segalanya luput dari kami"
Mereka telah tiba di rumah sakit. Mendorong pintunya, Harry melihat Neville terbaring, tampaknya sedang tidur, di tempat tidur dekat pintu. Ron, Hermione, Luna, Tonks, dan Lupin mengerumuni tempat tidur lain di ujung ruangan. Mendengar bunyi pintu terbuka, mereka semua mengangkat
muka. Hermione berlari menyongsong Harry dan memeluknya. Lupin juga mendekat, tampak cemas.
"Kau tak apa-apa, Harry""
"Aku baik-baik saja ... bagaimana Bill""
Tak ada yang menjawab. Harry melongok melewati bahu Hermione dan melihat wajah yang tak bisa dikenali terbaring di atas bantal Bill, tersayat dan tercabik-cabik parah sekali sehingga bentuknya sangat aneh. Madam Pomfrey sedang mengolesi luka-lukanya dengan salep hijau berbau tajam. Harry teringat bagaimana Snape menyembuhkan luka Sectumsempra Malfoy secara mudah sekali menggunakan tongkat sihirnya.
"Tak bisakah Anda menyembuhkannya dengan mantra atau apa"" tanyanya kepada si matron. N
"Tak ada mantra yang manjur untuk luka-luka ini" kata Madam Pomfrey. "Aku sudah mencoba segala yang aku tahu, tapi tak ada obat unt
uk luka-luka gigitan manusia serigala."
"Tapi dia tidak digigit pada waktu bulan purnama," kata Ron, yang menatap wajah kakaknya seakan dengan memandang begitu dia entah bagaimana bisa memaksa luka-luka itu sembuh. "Greyback tidak bertransformasi, jadi mestinya Bill tidak akan jadi-jadi""
Dia memandang Lupin dengan bimbang.
"Tidak, kurasa Bill tidak akan betul-betul menjadi manusia serigala," kata Lupin, "tapi itu tidak berarti tak akan ada kontaminasi. Itu luka-luka kutukan. Tak mungkin bisa sembuh sepenuhnya, dan--dan Bill mungkin akan punya beberapa karakter serigala sejak saat ini."
"Dumbledore mungkin tahu sesuatu yang bisa manjur," kata Ron. "Di mana dia" Bill melawan maniak-maniak itu atas perintah Dumbledore. Dumbledore berutang padanya, dia tak bisa membiarkan Bill dalam keadaan begini"
"Ron-Dumbledore sudah meninggal," kata Ginny.
"Tidak!" Lupin memandang liar dari Ginny ke Harry, seolah berharap yang disebut belakangan akan mengkontradiksi ucapan ini, namun ketika ternyata tidak, Lupin terenyak di kursi di sebelah tempat tidur Bill, tangannya menekap wajahnya. Harry tak pernah melihat Lupin kehilangan kontrol diri sebelumnya. Dia merasa seakan mencampuri urusan yang pribadi, yang tak pantas dilihat orang lain. Dia berpaling dan bertatap mata dengan Ron, dalam diam bertukar pandang yang mengonfirmasikan apa yang telah dikatakan Ginny.
"Bagaimana dia meninggal"" bisik Tonks. "Bagaimana terjadinya""
"Snape membunuhnya," kata Harry. "Aku di sana, aku melihatnya. Kami tiba kembali di Menara Astronomi karena di situlah Tanda-nya ... Dumbledore sedang sakit, dia lemah, tapi kurasa dia menyadari itu jebakan ketika kami mendengar langkah-langkah berlarian menaiki tangga. Dia membuatku tidak bisa bergerak, aku tak bisa melakukan apa-apa, aku di bawah Jubah Gaib-ku dan kemudian Malfoy keluar dari pintu dan melucuti tongkat sihirnya dengan Mantra Pelepas Senjata"
Hermione menekapkan tangan ke mulutnya, dan Ron mengerang. Bibir Luna gemetar.
"-lebih banyak Pelahap Maut muncul dan kemudian Snape dan Snape melakukannya. Kutukan Avada Kedavra." Harry tak bisa melanjutkan.
Madam Pomfrey menangis. Tak ada yang peduli kecuali Ginny, yang berbisik, "Shh! Dengarkan!" Menahan sedu, Madam Pomfrey menekankan jari-jari tangan ke mulutnya, matanya terbeliak. Di suatu tempat dalam kegelapan, burung phoenix bernyanyi dengan cara yang tak pernah didengar Harry sebelumnya: ratapan pilu yang indah mengerikan. Dan Harry merasa, seperti yang pernah dirasakannya terhadap nyanyian phoenix, bahwa musik itu ada dalam dirinya, bukan
di luarnya: itu kesedihannya sendiri yang diubah secara gaib menjadi nyanyian yang bergaung di seluruh halaman dan masuk melalui jendela-jendela kastil.
Berapa lama mereka semua berdiri di sana, mendengarkan, dia tak tahu, demikian juga dia tak tahu kenapa kesedihannya sedikit mereda dengan mendengarkan ratapan nestapa ini, namun rasanya sudah lama sekali berlalu ketika pintu rumah sakit terbuka lagi dan Profesor McGonagall memasuki ruangan. Seperti yang lain, ada bekas-bekas pertempuran pada tubuhnya: ada goresan-goresan luka di wajahnya dan jubahnya robek.
"Molly dan Arthur sedang dalam perjalanan kemari," katanya, dan pesona sihir musik itu buyar. Semua orang seperti baru tersadar dari trans, menoleh lagi memandang Bill, atau menggosok mata mereka sendiri, menggelengkan kepala. "Harry, apa yang terjadi" Menurut Hagrid kau sedang bersama Profesor Dumbledore ketika dia-ketika itu terjadi. Dia bilang Profesor Snape terlibat dalam"
"Snape membunuh Dumbledore," kata Harry.
Profesor McGonagall menatapnya sesaat, kemudian terhuyung nyaris jatuh. Madam Pomfrey, yang rupanya sudah menguasai diri, berlari mendekat, menyihir kursi dari udara kosong, yang disorongkannya ke bawah McGonagall.
"Snape," ulang McGonagall pelan, terjatuh di kursi. "Kami semua selama ini bertanya-tanya ... tapi dia memercayainya ... selalu ... Snape ... aku tak bisa percaya ... "
"Snape Odumens yang sangat hebat," kata Lupin, suaranya kasar, tak seperti biasanya. "Kita dari dulu tahu itu."
"Tapi Dumbledore bersumpah dia di pihak kita!" bisik Tonks. "
Dari dulu aku menyangka Dumbledore tahu sesuatu tentang Snape yang tak kita ketahui ... "
"Dia selalu memberi indikasi bahwa dia punya alasan kuat untuk memercayai Snape," gumam Profesor McGonagall, sekarang menekan-nekan kedua ujung matanya yang berair dengan saputangan berpelipit kotak-kotak. "Maksudku ... dengan masa lalu Snape ... tentu saja orang-orang jadi bertanya-tanya ... tapi Dumbledore memberitahuku dengan jelas bahwa penyesalan Snape betul-betul tulus ... tak mau mendengar satu celaan pun terhadap Snape!"
"Aku ingin tahu apa yang dikatakan Snape yang membuat Dumbledore seyakin itu," kata Tonks.
"Aku tahu," kata Harry, dan mereka semua berpaling menatapnya. "Snape menyampaikan informasi kepada Voldemort yang membuat Voldemort memburu ibu dan ayahku. Kemudian Snape memberitahu Dumbledore dia tidak menyadari apa yang dilakukannya, dia betul-betul menyesal telah melakukannya, menyesal mereka meninggal."
"Dan Dumbledore memercayai itu"" tanya Lupin tak percaya. "Dumbledore percaya Snape menyesal James meninggal" Snape membenci James ... "
"Dan dia juga menganggap ibuku tak berharga," kata Harry, "karena dia kelahiran-Muggle ... 'Darahlumpur', begitu dia memanggilnya ... "
Tak seorang pun bertanya bagaimana Harry bisa tahu semua ini. Semuanya tampaknya kena shock hebat, berusaha mencerna kenyataan mengerikan yang telah terjadi.
"Ini semua kesalahanku," kata Profesor McGonagall tiba-tiba. Dia tampak bingung, memilin-milin saputangan basah di tangannya. "Kesalahanku. Aku mengirim Filius untuk menjemput Snape malam ini. Aku yang menyuruhnya datang dan membantu kita! Kalau aku tidak memberitahu Snape apa yang sedang terjadi, dia barangkali tidak akan pernah bergabung dengan para Pelahap Maut. Kukira dia tidak tahu
mereka ada di sini sebelum Filius memberitahunya, kukira dia tidak tahu mereka akan datang."
"Itu bukan salahmu, Minerva," kata Lupin tegas. "Kita semua menginginkan lebih banyak bantuan, kita senang menyangka Snape akan datang membantu kita ... "
"Jadi, waktu tiba di tempat pertempuran dia bergabung ke pihak para Pelahap Maut"" tanya Harry, yang menginginkan semua detail sikap bermuka-dua dan keburukan Snape, bergesa-gesa mengumpulkan lebih banyak alasan untuk membencinya, untuk membalas dendam.
"Aku tak tahu bagaimana persisnya terjadinya," kata Profesor McGonagall bingung. "Semuanya serba membingungkan ... Dumbledore telah memberitahu kami bahwa dia akan meninggalkan sekolah selama beberapa jam dan kami diminta berpatroli di koridor untuk berjaga-jaga ... Remus, Bill, dan Nymphadora diminta bergabung dengan kami ... maka kami pun berpatroli. Semua tampak sunyi. Semua lorong rahasia yang menuju ke luar sekolah dijaga. Kami tahu tak seorang pun bisa masuk. Ada sihir perlindungan yang kuat sekali di semua jalan masuk ke kastil. Aku masih tak tahu bagaimana mungkin para Pelahap Maut bisa masuk ... "
"Saya tahu," kata Harry, dan dia menjelaskan, dengan ringkas, tentang sepasang Lemari Pelenyap dan jalan gaib yang dibentuk oleh dua lemari itu. "Jadi, mereka masuk lewat Kamar Kebutuhan."
Hampir di luar kemauannya dia mengerling dari Ron ke Hermione. Keduanya tampak sangat terpukul.
"Aku bikin kacau, Harry" kata Ron muram. "Kami melakukan seperti yang kausuruh: kami mengecek Peta Perampok dan kami tak bisa melihat Malfoy di peta itu, jadi kami pikir dia pastilah ada dalam Kamar Kebutuhan, maka aku, Ginny, dan Neville berjaga di sana ... tapi Malfoy berhasil melewati kami."
"Dia muncul dari Kamar kira-kira satu jam setelah kami mulai berjaga," kata Ginny. "Dia sendirian, memegangi tangan berkerut yang mengerikan itu"
"Tangan Kemuliaan-nya" kata Ron. "Hanya memberi penerangan kepada pemegangnya, ingat""
"Bagaimanapun juga," Ginny melanjutkan, "dia pastilah mengecek apakah keadaan cukup aman untuk mengeluarkan para Pelahap Maut, karena begitu melihat kami dia melemparkan sesuatu ke udara dan suasana langsung gelap gulita"
"Bubuk Kegelapan Instan dari Peru," kata Ron getir. "Jualan Fred dan George. Aku harus bicara dengan mereka soal siapa saja yang sebaiknya mereka izinkan membeli produk mereka."
"Kami mencoba seg alanya -- Lumos, Incendio," kata Ginny. "Tak ada yang berhasil menembus kegelapan itu; yang bisa kami lakukan hanyalah meraba-raba untuk keluar dari koridor itu, dan sementara itu kami bisa mendengar orang berlarian melewati kami. Jelas Malfoy bisa melihat karena Tangan tu dan memandu mereka, tapi kami tidak berani menggunakan kutukan atau apa pun, karena takut mengenai teman sendiri, dan ketika kami tiba di koridor yang terang, mereka sudah pergi."
"Untungnya," kata Lupin parau, "Ron, Ginny, dan Neville segera bertemu kami dan memberitahu kami apa yang terjadi. Kami menemukan para Pelahap Maut itu beberapa menit kemudian, menuju ke arah Menara Astronomi. Malfoy jelas tak mengira ada lebih banyak orang yang berjaga; tampaknya dia sudah kehabisan Bubuk Kegelapan-nya, bagaimanapun juga. Pertempuran langsung terjadi, mereka menyebar dan kami mengejar. Salah satu dari mereka, Gibbon, memisahkan diri dan menuju tangga Menara"
"Untuk memasang Tanda"" tanya Harry.
"Mestinya begitu, ya, mereka pasti sudah mengatur begitu sebelum meninggalkan Kamar Kebutuhan," kata Lupin. "Tapi kurasa Gibbon tidak suka disuruh menunggu Dumbledore sendirian di sana, karena dia berlari menuruni tangga lagi untuk ikut bertempur dan tersambar Kutukan Maut yang luput mengenaiku."
"Jadi, kalau Ron mengawasi Kamar Kebutuhan dengan Ginny dan Neville," kata Harry, berpaling kepada Hermione, "apakah kau""
"Di luar kantor Snape, ya," bisik Hermione, matanya berkilauan digenangi air mata, "dengan Luna. Kami di luar kantor itu lama sekali dan tak ada yang terjadi ... kami tidak tahu apa yang terjadi di atas. Peta Perampok-nya dibawa Ron ... sudah hampir tengah malam ketika Profesor Flitwick datang berlari ke ruang bawah tanah. Dia berteriak ada Pelahap Maut di dalam kastil. Kurasa waktu itu dia tidak benar-benar menyadari ada Luna dan aku di sana, dia hanya menerjang masuk kantor Snape dan kami mendengarnya mengatakan bahwa Snape harus ikut bersamanya dan membantu, dan kemudian kami mendengar bunyi debam keras dan Snape berlari keluar dari ruangannya dan dia melihat kami dan -dan"
"Apa"" Harry mendorongnya.
"Aku bodoh sekali, Harry!" kata Hermione dalam bisikan nyaring. "Dia bilang Profesor Flitwick pingsan dan kami harus mengurusnya sementara dia -- sementara dia pergi membantu melawan para Pelahap Maut"
Hermione menutupi wajahnya dengan malu dan melanjutkan bicara melalui jari-jarinya, sehingga suaranya teredam.
"Kami masuk ke kantornya untuk melihat kalau-kalau kami bisa menolong Profesor Flitwick dan menemukannya pingsan di lantai ... dan, oh, sekarang jelas sekali, Snape pastilah
memingsankan Flitwick, tapi kami tidak menyadarinya, Harry, kami tidak menyadarinya, kami membiarkan Snape pergi begitu saja!"
"Itu bukan salah kalian," kata Lupin tegas. "Hermione, seandainya kalian tidak mematuhi Snape dan menghalanginya, dia barangkali telah membunuhmu dan Luna."
"Jadi, kemudian dia ke atas," kata Harry, yang dalam benaknya mengawasi Snape berlari menaiki tangga pualam; jubah hitamnya melambai di belakangnya seperti biasa, mencabut tongkat sihirnya dari balik jubahnya sembari naik, "dan dia menemukan tempat kalian semua sedang bertempur
ll "Kami sedang dalam kesulitan, kami mulai kalah," kata Tonks dengan suara rendah. "Gibbon sudah ambruk, tapi sisa Pelahap Maut yang lain tampaknya siap bertarung sampai mati. Neville sudah terluka, Bill sudah diserang dengan biadab oleh Greyback ... tempat itu gelap gulita ... kutukan berseliweran ke mana-mana ... si Malfoy sudah menghilang, dia pastilah menyelinap, menaiki tangga ke Menara ... kemudian lebih banyak Pelahap Maut yang berlari mengikutinya, namun salah satu dari mereka memblokir tangga di belakang mereka dengan semacam kutukan ... Neville berlari menabrak kutukan itu dan terlempar ke udara"
"Tak seorang pun dari kami berhasil menembusnya," kata Ron, "dan si Pelahap Maut gede itu masih terus meluncurkan kutukan ke mana-mana, kutukan-kutukannya memantul dari dinding dan nyaris saja mengenai kami ... "
"Dan kemudian Snape muncul," kata Tonks, "dan kemudian menghilang"
"Aku melihatnya berlari ke arah kami, tapi
kutukan si Pelahap Maut gede nyaris mengenaiku, aku membungkuk dan tak tahu apa yang terjadi," kata Ginny.
"Aku melihatnya berlari menembus rintangan-kutukan seolah tidak ada apa-apa," kata Lupin. "Aku mencoba menyusulnya, tapi terlempar seperti Neville ..."
"Pastilah dia tahu mantra yang tidak kita ketahui," bisik McGonagall. "Bagaimanapun juga-dia guru Pertahanan terhadap Ilmu Hitam ... aku mengira dia mengejar para Pelahap Maut yang kabur ke Menara ... "
"Memang," kata Harry liar, "namun untuk membantu mereka, bukan melawan mereka ... dan saya berani bertaruh kalian harus punya Tanda Kegelapan untuk bisa melewati rintangan itu-jadi apa yang terjadi ketika dia turun lagi""
"Nah, si Pelahap Maut besar baru saja meluncurkan kutukan yang menyebabkan separo langit-langit runtuh, dan juga membuyarkan kutukan yang memblokir tangga," kata Lupin. "Kami semua berlari ke tangga kami -- kami yang masih bisa berdiri, paling tidak dan kemudian Snape dan anak itu muncul dari dalam kepulan debu jelas, tak seorang pun dari kami menyerang mereka"
"Kami membiarkan mereka lewat begitu saja," kata Tonks dengan suara hampa, "kami sangka mereka dikejar para Pelahap Maut dan berikutnya, Pelahap Maut yang lain dan Greyback kembali dan kami bertempur lagi kupikir aku mendengar Snape meneriakkan sesuatu, tapi aku tak tahu
apa" "Dia berteriak, 'Sudah selesa'" kata Harry. "Dia sudah melakukan apa yang diperintahkan kepadanya."
Mereka semua terdiam. Ratapan Fawkes masih bergema di halaman di luar. Ketika musik ini berkumandang di udara, pikiran tak diundang muncul begitu saja di benak Harry ... sudahkah mereka membawa pergi jenazah Dumbledore dari kaki Menara" Apa yang akan terjadi berikutnya" Di mana jenazah akan disemayamkan" Harry mengepalkan tangan
kuat-kuat di dalam sakunya. Buku-buku jari tangan kanannya menyentuh gumpalan kecil Horcrux palsu.
Pintu rumah sakit menjeblak terbuka lagi, membuat mereka semua terlonjak. Mr dan Mrs Weasley memasuki bangsal, Fleur di belakang mereka, wajahnya yang cantik ketakutan.
"Molly-Arthur!" kata Profesor McGonagall, melompat bangun dan bergegas menyongsong mereka. "Aku ikut sangat prihatin"
"Bill," bisik Mrs Weasley, berlari melewati Profesor McGonagall ketika dia melihat wajah Bill yang tercabik-cabik. "Oh, Bill!"
Lupin dan Tonks buru-buru berdiri dan mundur supaya Mr dan Mrs Weasley bisa lebih dekat ke tempat tidur. Mrs Weasley membungkuk di atas anaknya dan mengecup dahinya yang berdarah.
"Katamu Greyback menyerangnya"" Mr Weasley bertanya kepada Profesor McGonagall dengan pikiran kacau. "Tapi dia tidak sedang bertransformasi" Jadi, apa artinya itu" Apa yang akan terjadi pada Bill""
"Kami belum tahu," kata Profesor McGonagall, memandang Lupin dengan tak berdaya.
"Mungkin akan ada kontaminasi, Arthur," kata Lupin. "Ini kasus aneh, barangkali malah unik ... kami tidak tahu bagaimana tingkah lakunya kalau dia sadar nanti ... "
Mrs Weasley mengambil salep berbau-tak-enak dari Madam Pomfrey dan mulai mengolesi luka-luka Bill. "Dan Dumbledore ... " kata Mr Weasley. "Minerva, betulkah ... apakah dia benar-benar ...""
Ketika Profesor McGonagall mengangguk, Harry merasa Ginny bergerak di sampingnya dan Harry menoleh memandangnya. Mata Ginny agak menyipit memandang tajam
Fleur, yang sedang menunduk menatap Bill dengan ekspresi beku pada wajahnya.
"Dumbledore telah pergi," bisik Mr Weasley, namun perhatian Mrs Weasley sepenuhnya tercurah kepada putra sulungnya. Dia mulai terisak, air matanya jatuh ke wajah Bill yang rusak.
"Tentu saja tak jadi soal bagaimana wajahnya ... itu tidak b-begitu penting ... tapi waktu kecil dia ttampan sekali ... selalu sangat tampan ... dan dia tadinya sudah akan menikah!"
"Dan apa maksud Anda berkata begitu"" tanya Fleur tiba-tiba dan keras. "Apa maksud Anda, dia tadinya sudah akan menikah""
Mrs Weasley mengangkat mukanya yang bersimbah air mata, tampak tercengang.
"Yah hanya bahwa-"
"Anda pikir Bill tidak lagi ingin menikahi saya"" tuntut Fleur. "Anda pikir, gara-gara luka-luka itu, dia tidak akan mencintai
saya"" "Tidak, bukan itu yang ku-"
"Karena dia akan tetap mencintai saya!"
kata Fleur, berdiri tegak dan melempar rambut panjangnya yang keperakan ke belakang. "Perlu lebih dari manusia serigala untuk menghentikan Bill mencintai saya!"
"Oh, ya, aku yakin," kata Mrs Weasley, "tapi kupikir barangkali mengingat bagaimana-bagaimana dia-"
"Anda mengira saya tak ingin menikah dengannya" Atau barangkali, Anda berharap begitu"" kata Fleur, cuping hidungnya mengembang. "Apa peduli saya bagaimana tampangnya" Saya cukup cantik untuk kami berdua, menurut saya! Semua luka ini hanya menunjukkan bahwa suami saya
pemberani! Dan saya yang akan melakukan itu!" dia menambahkan dengan sengit, mendorong minggir Mrs Weasley dan menyambar salep darinya.
Mrs Weasley terdorong mundur menabrak suaminya dan mengawasi Fleur menyeka luka-luka Bill dengan ekspresi yang sangat aneh pada wajahnya. Tak ada yang membuka suara. Harry tak berani bergerak. Seperti yang lain, dia menunggu terjadinya ledakan.
"Bibi-buyut kami Muriel," kata Mrs Weasley setelah lama hening, "punya tiara yang sangat bagus buatan goblin aku yakin bisa membujuknya untuk meminjamkannya kepadamu untuk perkawinan nanti. Dia sangat menyayangi Bill, kau tahu, dan tiara itu akan tampak cantik dengan rambutmu."
"Terima kasih," kata Fleur kaku. "Pasti akan cantik."
Dan kemudian Harry tak paham bagaimana terjadinya kedua wanita itu sama-sama menangis dan saling berpelukan. Bingung bukan kepalang, bertanya-tanya dalam hati apakah dunia sudah gila, Harry berpaling. Ron tampak sama terperangahnya seperti yang dirasakan Harry, dan Ginny dan Hermione saling bertukar pandang keheranan.
"Kau lihat!" kata suara tegang. Tonks memandang tajam Lupin. "Dia masih ingin menikahinya, meskipun dia sudah digigit. Dia tidak peduli!"
"Ini berbeda," kata Lupin, hampir tidak menggerakkan bibirnya dan mendadak tampak tegang. "Bill tidak akan menjadi manusia serigala sepenuhnya. Kasusnya sama sekali"
"Tapi aku juga tak peduli, aku tak peduli!" kata Tonks, menyambar bagian depan jubah Lupin dan mengguncangnya. "Sudah kukatakan kepadamu sejuta kali ... "
Dan makna Patronus Tonks dan rambutnya yang berwarna bulu-tikus, dan alasan kenapa dia langsung berlari datang mencari Dumbledore ketika dia mendengar desas-desus ada
orang yang diserang Greyback, semuanya tiba-tiba menjadi jelas bagi Harry. Ternyata Tonks bukan jatuh cinta kepada Sirius ...
"Dan sudah kukatakan kepadamu sejuta kali," kata Lupin, menolak menatap mata Tonks, melainkan memandang lantai, "bahwa aku terlalu tua untukmu ... terlalu miskin ... terlalu berbahaya .... "
"Aku sudah bilang alasanmu itu konyol, Remus," kata Mrs Weasley dari atas bahu Fleur, seraya membelai-belai punggung gadis itu.
"Aku tidak konyol," kata Lupin mantap. "Tonks layak mendapat orang yang muda dan utuh."
"Tapi dia menginginkanmu," kata Mr Weasley, tersenyum kecil. "Dan, lagi pula, Remus, orang muda dan utuh tidak selamanya tetap begitu." Dengan sedih dia menunjuk anaknya yang terbaring di antara mereka.
"Ini ... bukan saat yang tepat untuk mendiskusikannya," kata Lupin, menghindari mata semua orang ketika dia memandang berkeliling dengan bingung. "Dumbledore meninggal ... "
"Dumbledore akan lebih berbahagia daripada siapapun, mengetahui bahwa ada sedikit tambahan cinta di dunia," kata Profesor McGonagall pendek, tepat ketika pintu rumah sakit terbuka lagi dan Hagrid masuk.
Sebagian kecil wajahnya yang tidak tertutup rambut atau berewoknya basah dan bengkak. Hagrid gemetar menangis, tangannya memegang saputangan besar bermotif polkadot.
"Su-sudah kulakukan, Profesor," isaknya. "P-pindahkan dia. Profesor Sprout sudah suruh anak-anak kembali ke tempat tidur. Profesor Flitwick sedang istirahat, tapi katanya sebentar lagi dia baik, dan Profesor Slughorn bilang Kementerian sudah diberitahu."
"Terima kasih, Hagrid," kata Profesor McGonagall, langsung berdiri dan berbalik memandang grup yang mengelilingi tempat tidur Bill. "Aku akan menemui orang-orang Kementerian kalau mereka sudah tiba di sini. Hagrid, tolong beritahu para Kepala Asrama Slughorn bisa mewakili Slytherin bahwa aku ingin bertemu mereka di kantorku segera. Aku ingin kau hadir juga."
Sementar a Hagrid mengangguk, berbalik dan berjalan dengan kaki terseret meninggalkan bangsal lagi, Profesor McGonagall menunduk memandang Harry.
"Sebelum bertemu mereka aku ingin bicara sebentar denganmu, Harry. Ikut aku ... "
Harry bangkit, bergumam, "Sebentar ya," kepada Ron, Hermione, dan Ginny, dan menyusul Profesor McGonagall ke pintu. Koridor-koridor di luar kosong dan satu-satunya suara yang terdengar hanyalah nyanyian phoenix di kejauhan. Beberapa menit kemudian baru Harry sadar bahwa mereka tidak menuju ke kantor Profesor McGonagall, melainkan ke kantor Dumbledore, dan masih perlu beberapa detik lagi untuk menyadari bahwa, tentu saja, tadinya Profesor McGonagall adalah wakil kepala sekolah ... tentunya sekarang dia kepala sekolah ... jadi, ruang di belakang gargoyle itu sekarang kantornya ...
Dalam diam mereka menaiki tangga spiral yang berputar dan masuk ke ruang bundar itu. Harry tak tahu apa yang diharapkannya: ruangan ditutup kain hitam, barangkali, atau bahkan jenazah Dumbledore mungkin disemayamkan di sana. Ternyata kantor itu hampir persis sama seperti ketika dia dan Dumbledore meninggalkannya hanya beberapa jam yang lalu: peralatan perak berputar dan mengeluarkan asap di atas meja-meja yang berkaki panjang-kurus, pedang Gryffindor dalam lemari kaca berkilauan dalam cahaya bulan, Topi Seleksi di rak di belakang meja. Namun tempat hinggap Fawkes kosong, dia masih melantunkan ratapannya di
halaman. Dan sebuah lukisan baru telah bergabung dengan jajaran lukisan para kepala sekolah Hogwarts yang sudah meninggal. Dumbledore sedang tidur dalam pigura keemasan di atas mejanya, kacamata bulan-separonya bertengger di atas hidung-bengkoknya, tampak damai dan tak terganggu.
Setelah memandang lukisan ini sekali, Profesor McGonagall membuat gerakan aneh seolah menguatkan diri, kemudian berjalan mengitari meja untuk menghadapi Harry, wajahnya tegang dan berkerut.
"Harry," katanya, "aku ingin tahu apa yang dilakukan kau dan Profesor Dumbledore malam ini ketika kalian meninggalkan sekolah."
"Saya tidak bisa memberitahu Anda, Profesor," kata Harry. Dia sudah menyangka akan mendapat pertanyaan ini dan sudah menyiapkan jawabannya. Disinilah, di dalam ruangan ini, Dumbledore memberitahunya bahwa dia tak boleh menyampaikan isi pelajaran mereka kepada siapa pun, kecuali Ron dan Hermione.
Harry Potter Dan Pangeran Berdarah Campuran Karya J.k. Rowling di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Harry, itu mungkin penting," kata Profesor McGonagall.
"Memang penting," kata Harry, "sangat, tapi beliau tidak ingin saya memberitahu siapa pun."
Profesor McGonagall mendelik kepadanya.
"Potter" (Harry menyadari nama keluarganya kini digunakan lagi) "sehubungan dengan meninggalnya Profesor Dumbledore, kurasa kau harus tahu Situasinya telah berubah"
"Menurut saya tidak," kata Harry, mengangkat bahu. "Profesor Dumbledore tidak pernah memberitahu saya untuk berhenti menaati perintahnya kalau beliau meninggal."
"Tapi-" "Meskipun demikian, ada satu hal yang perlu Anda ketahui sebelum orang-orang Kementerian tiba di sini. Madam
Rosmerta berada di bawah Kutukan Imperius, dialah yang membantu Malfoy dan para Pelahap Maut, begitulah caranya kalung dan mead beracun"
"Rosmerta"" kata Profesor McGonagall tercengang, tapi sebelum dia bisa melanjutkan, terdengar ketukan di pintu di belakang mereka dan Profesor Sprout, Flitwick, dan Slughorn masuk, diikuti Hagrid, yang masih tersedu-sedu, sosoknya yang besar gemetar saking sedihnya.
"Snape!" seru Slughorn, yang tampak paling terguncang, pucat dan berkeringat. "Snape! Aku mengajarnya! Kupikir aku mengenalnya!"
Namun sebelum salah satu dari mereka bisa menanggapi, ada suara tajam berbicara dari tempat tinggi di dinding: penyihir laki-laki bermuka pucat dengan poni pendek hitam baru saja berjalan memasuki kanvasnya yang kosong.
"Minerva, Menteri akan datang sebentar lagi, dia baru saja ber-Disapparate dari Kementerian."
"Terima kasih, Everard," kata Profesor McGonagall, dan dia cepat-cepat berpaling kepada guru-gurunya.
"Aku ingin membicarakan tentang apa yang terjadi pada Hogwarts sebelum mereka tiba di sini," katanya cepat. "Aku pribadi tak yakin sekolah harus dibuka lagi tahun depan. Kematian Kepala Sekolah di t
angan salah satu rekan kerja kita sungguh noda buruk bagi sejarah Hogwarts. Mengerikan."
"Aku yakin Dumbledore akan menginginkan sekolah tetap buka," kata Profesor Sprout. "Menurutku kalau ada satu murid saja yang ingin datang, maka sekolah harus buka untuk murid
itu." "Tapi apakah akan ada murid setelah ini"" kata Slughorn, sekarang mengusap keningnya yang berkeringat dengan saputangan sutra. "Para orangtua akan menginginkan anak-anak mereka tetap di rumah dan tak bisa kubilang aku
"Profesor Dumbledore selalu menghargai pandanganmu," kata Profesor McGonagall dengan baik hati, "dan begitu juga
aku." "Yah, aku akan bertahan di sini," kata Hagrid, air mata besar-besar masih mengalir dari sudut-sudut matanya dan menetes ke berewoknya yang kusut. "Ini rumahku, ini sudah
menyalahkan mereka. Aku pribadi tidak berpendapat kita lebih berbahaya di Hogwarts daripada di tempat lain, tapi kalian tak bisa mengharap para ibu berpikir seperti itu. Mereka ingin keluarga mereka tetap berkumpul, ini wajar."
"Aku setuju," kata Profesor McGonagall. "Lagi pula, tidak benar mengatakan bahwa Dumbledore tidak pernah menghadapi situasi yang membuat Hogwarts mungkin ditutup. Ketika Kamar Rahasia terbuka lagi dia mempertimbangkan penutupan sekolah dan harus kukatakan bahwa pembunuhan Profesor Dumbledore lebih mengerikan bagiku daripada adanya monster Slytherin yang hidup tak terdeteksi di perut
kastil ... " "Kita harus berkonsultasi dengan pemerintah," kata Profesor Flitwick dengan suaranya yang nyaring melengking; ada memar besar di dahinya, namun selain itu tampaknya tak ada luka lain yang diakibatkan oleh pingsannya di kantor Snape. "Kita harus mengikuti prosedur yang sudah ditetapkan. Jangan membuat keputusan yang terburu-buru."
"Hagrid, kau belum mengatakan apa-apa," kata Profesor McGonagall. "Bagaimana pandanganmu, haruskah Hogwarts
tetap buka"" Hagrid, yang sepanjang pembicaraan ini menangis diam-diam ke dalam saputangan polkadotnya, sekarang mengangkat matanya yang merah dan bengkak dan berkata parau, "Aku tak tahu, Profesor ... terserah keputusan para Kepala Asrama dan Kepala Sekolah saja ... "
jadi rumahku sejak aku berumur tiga belas tahun. Dan kalau ada anak-anak yang ingin aku mengajar mereka, akan kulakukan. Tapi ... entahlah ... Hogwarts tanpa Dumbledore
" Dia tersedu dan menghilang di balik saputangannya lagi, dan suasana hening.
"Baiklah" kata Profesor McGonagall, mengerling ke luar jendela ke halaman, mengecek apakah Menteri sudah mendekat, "kalau begitu aku harus setuju dengan Filius bahwa hal paling tepat untuk dilakukan adalah berkonsultasi dengan pemerintah, yang akan mengambil keputusan final.
"Nah, sedangkan soal memulangkan anak-anak ... ada pendapat dilakukan lebih cepat lebih baik. Kita bisa mengatur supaya Hogwarts Express datang besok pagi kalau perlu"
"Bagaimana dengan pemakaman Dumbledore"" tanya Harry, akhirnya berbicara.
"Yah ..." kata Profesor McGonagall, ketegarannya berkurang sedikit ketika suaranya bergetar, "aku-aku tahu bahwa keinginan Dumbledore-lah untuk diistirahatkan di sini, di Hogwarts"
"Kalau begitu itu yang akan terjadi, kan"" kata Harry tegas.
"Kalau Kementerian menganggapnya tepat," kata Profesor McGonagall. "Belum pernah ada kepala sekolah yang-"
"Belum pernah ada kepala sekolah lain yang memberi lebih banyak kepada sekolah ini" geram Hagrid.
"Hogwarts harus jadi tempat peristirahatan terakhir Dumbledore," kata Profesor Flitwick.
"Betul," kata Profesor Sprout.
"Dan dalam hal ini" kata Harry, "Anda tak boleh mengirim murid-murid pulang sebelum pemakaman usai. Mereka pasti ingin mengucapkan"
Kata terakhir tersekat di tenggorokannya, namun Profesor Sprout menyelesaikan kalimat itu untuknya.
"Selamat tinggal."
"Dikatakan dengan bagus sekali," lengking Profesor Flitwick. "Sungguh dikatakan dengan bagus! Murid-murid kita harus memberikan penghormatan terakhir, pantasnya begitu. Kita bisa mengatur transportasi untuk pulang sesudahnya."
"Setuju," kata Profesor Sprout.
"Kurasa ... ya," kata Slughorn dengan suara agak gelisah, sementara Hagrid menyatakan persetujuannya dengan isakan tertahan.
"Dia datang, " kata Profesor McGonagall tiba-tiba, memandang ke halaman. "Menteri ... dan kelihatannya, dia membawa delegasi ... "
"Boleh saya pergi, Profesor"" tanya Harry segera.
Dia sama sekali tak ingin bertemu, atau diinterogasi oleh, Rufus Scrimgeour malam ini.
"Boleh," kata Profesor McGonagall, "dan cepat."
Dia berjalan ke pintu dan membukanya untuk Harry. Harry buru-buru menuruni tangga spiral dan berjalan sepanjang koridor kosong. Jubah Gaib-nya tertinggal di atas Menara Astronomi, tapi tak apa, tak ada orang di koridor yang melihatnya lewat, bahkan tidak Filch, Mrs Norris, ataupun Peeves. Dia tidak bertemu orang lain sampai dia berbelok ke lorong yang menuju ke ruang rekreasi Gryffindor.
"Betulkah"" bisik si Nyonya Gemuk ketika Harry mendekat. "Betulkah" Dumbledore-meninggal""
"Ya," kata Harry.
Si Nyonya Gemuk meratap, dan tanpa menunggu kata kunci; dia mengayun ke depan agar Harry bisa masuk.
Seperti yang telah diperkirakan Harry, ruang rekreasi , penuh sesak. Ruangan langsung sunyi begitu dia me- ! manjat masuk lewat lubang lukisan. Dia melihat Dean dan Seamus duduk dalam grup di dekat lubang masuk: ini berarti kamar mereka pastilah kosong, atau nyaris begitu. Tanpa berbicara kepada seorang pun, tanpa berkontak-mata sama sekali, Harry berjalan lurus menyeberangi ruangan dan memasuki pintu yang menuju kamar anak laki-laki. Seperti yang diharapkannya, Ron sedang menunggunya, masih berpakaian lengkap, duduk di tempat tidurnya. Harry duduk di tempat tidurnya sendiri, dan selama beberapa saat, mereka hanya saling pandang.
"Mereka membicarakan soal penutupan sekolah," kata Harry.
"Lupin memperkirakan begitu," kata Ron. Hening sejenak.
"Jadi"" kata Ron dengan suara sangat rendah, seolah dia berpendapat perabot-perabot ingin ikut mendengarkan. "Apakah kalian menemukannya" Kalian mendapatkannya" Hor-Horcrux""
Harry menggeleng. Segala yang telah terjadi di sekitar danau gelap tadi rasanya seperti mimpi buruk sekarang; apakah itu benar-benar terjadi, dan hanya beberapa jam yang
lalu"" "Kalian tidak mendapatkannya"" tanya Ron, tampak sangat kecewa. "Horcrux-nya tidak ada di sana""
"Tidak," kata Harry. "Ada yang sudah mengambilnya dan meninggalkan Horcrux palsu, sebagai gantinya."
"Sudah diambil""
Tanpa kata Harry mengeluarkan kalung palsu dari dalam sakunya dan mengulurkannya kepada Ron. Cerita yang lengkap bisa menunggu ... tak jadi soal malam ini ... tak ada
yang berarti kecuali akhirnya, akhir petualangan mereka yang sia-sia, akhir hidup Dumbledore ...
"R.A.B.," bisik Ron, "tapi siapa dia""
"Entahlah," kata Harry, berbaring di tempat tidurnya dengan pakaian lengkap dan menatap kosong ke atas. Dia sama sekali tak ingin tahu tentang R.A.B.: dia meragukan apa masih akan bisa ingin tahu lagi. Selagi berbaring begitu, dia mendadak sadar bahwa halaman sudah sunyi. Fawkes sudah berhenti bernyanyi.
Dan Harry tahu, tanpa mengetahui bagaimana dia bisa tahu, bahwa burung phoenix itu telah pergi, telah meninggalkan Hogwarts untuk selamanya, sama seperti Dumbledore telah meninggalkan sekolah, telah meninggalkan dunia ... telah meninggalkan Harry.
30. PUSARA PUTIH (TAMAT) Semua pelajaran ditiadakan, semua ujian ditangguhkan. Beberapa anak bergegas dibawa pergi dari Hogwarts oleh orangtua mereka selama beberapa hari berikutnya -- si kembar Patil sudah pulang sebelum sarapan pada pagi setelah meninggalnya Dumbledore dan Zacharias Smith dikawal meninggalkan kastil oleh ayahnya yang bertampang congkak. Seamus Finnigan, sebaliknya, menolak mentah-mentah ikut pulang bersama ibunya. Mereka beradu-teriak seru sekali di Aula Depan, yang baru berhasil diselesaikan ketika ibunya sepakat dia boleh tinggal sampai pemakaman. Ibunya sulit sekali mendapatkan tempat menginap di Hogsmeade, Seamus memberitahu Harry dan Ron, karena para penyihir membanjiri tempat itu, siap memberikan penghormatan terakhir kepada Dumbledore.
Anak-anak kelas awal yang belum pernah melihatnya, menjadi heboh ketika sebuah kereta biru-muda seukuran rumah, ditarik selusin kuda-putih-raksasa bersayap, meluncur dari langit pada petang hari sebelum hari pemakaman dan mendarat di tepi
Hutan. Harry mengawasi dari jendela ketika seorang wanita rupawan bertubuh besar, berkulit warna buah zaitun dan berambut hitam turun dari undakan kereta dan melempar dirinya ke dalam pelukan Hagrid yang telah menantinya. Sementara itu, bagi delegasi pejabat Kementerian, termasuk Menteri Sihir sendiri, disediakan akomodasi di dalam kastil. Harry dengan tekun menghindari kontak dengan mereka, dia yakin bahwa, cepat atau lambat, dia akan diminta lagi untuk menceritakan perjalanan terakhir Dumbledore dari Hogwarts.
Harry, Ron, Hermione, dan Ginny melewatkan semua waktu mereka bersama-sama. Cuaca yang cerah sepertinya mengejek mereka. Harry bisa membayangkan bagaimana jadinya jika Dumbledore tidak meninggal, dan mereka melewatkan waktu bersama-sama seperti ini, menjelang akhir tahun ajaran, ujian Ginny sudah usai, tekanan PR juga sudah terangkat ... dan jam demi jam dia menunda mengatakan hal yang dia tahu harus dikatakannya, melakukan yang dia tahu benar untuk dilakukan, karena terlalu berat baginya melepaskan sumber penghiburannya yang paling baik.
Mereka mengunjungi rumah sakit dua kali sehari. Neville sudah diizinkan pulang, namun Bill masih di bawah perawatan Madam Pomfrey. Luka-lukanya masih sama parahnya seperti sebelumnya. Sejujurnya, dia sekarang mirip sekali dengan Mad-Eye kendatipun, syukur, dengan dua mata dan dua kaki utuh. Namun sifatnya tampaknya masih sama seperti sebelumnya. Satu-satuxlya yang berubah adalah sekarang dia suka sekali makan steak yang dimasak setengah matang.
"... jadi beruntung dia akan menikah denganku," kata Fleur riang, seraya mengempukkan bantal Bill, "karena orang
Inggris memasak daging mereka terlalu matang, dari dulu sudah kubilang begitu."
"Kurasa aku harus menerima bahwa Bill benarbenar akan menikahinya," desah Ginny petangnya, ketika dia, Harry, Ron, dan Hermione duduk di sebelah jendela ruang rekreasi Gryffindor yang terbuka, memandang halaman temaram.
"Dia tak seburuk itu," kata Harry. "Tapi jelek," dia menambahkan buru-buru, ketika Ginny mengangkat alisnya, dan Ginny terpaksa terkikik.
"Yah, kurasa kalau Mum tahan, aku juga tahan."
"Ada orang lain yang kita kenal yang mati"" Ron menanyai Hermione, yang sedang membaca Evening Prophet.
Hermione berjengit mendengar ketegaran yang dipaksakan dalam suaranya.
"Tidak," katanya mencela, melipat korannya. "Mereka masih mencari Snape, tapi tak ada jejak ..."
"Tentu saja tak ada," kata Harry, yang menjadi marah setiap kali topik ini muncul. "Mereka tak akan menemukan Snape sampai mereka menemukan Voldemort, dan mengingat mereka tak pernah berhasil selama ini ... "
"Aku mau tidur dulu ah," Ginny menguap. "Aku tak pernah tidur nyenyak sejak ... yah ... aku perlu tidur."
Dia mencium Harry (Ron sengaja memalingkan muka), melambai kepada dua yang lain, dan pergi ke kamar anak perempuan. Begitu pintu menutup di belakang Ginny, Hermione mencondongkan diri ke arah Harry dengan ekspresi yang sangat khas Hermione di wajahnya.
"Harry, aku menemukan sesuatu pagi ini, di perpus ... "
"R.A.B."" kata Harry, duduk tegak.
Dia tidak merasa seperti yang sering dirasakannya sebelumnya, bergairah, ingin tahu, menggebu-gebu ingin mengupas tuntas misteri; dia hanya tahu bahwa tugas menemukan kebenaran tentang Horcrux yang asli harus diselesaikannya sebelum dia bisa bergerak sedikit lebih jauh di sepanjang jalan panjang berliku yang terbentang di hadapannya, jalan yang telah mulai ditapakinya bersama Dumbledore, clan yang sekarang dia tahu harus dilaluinya sendiri. Barangkali masih ada empat Horcrux di suatu tempat di luar sana dan masing-masing harus ditemukan dan disingkirkan bahkan sebelum ada kemungkinan Voldemort bisa dibunuh. Harry tak hentinya mengulang-ulang sendiri nama-nama itu, seolah dengan mendaftarnya dia bisa membuat mereka berada dalam jangkauan: "kalung ... piala ... ular ... sesuatu milik Gryffindor atau Ravencladw ... kalung ... piala ... ular ... sesuatu milik Gryffindor atau Ravenclaw ... "
Mantra ini rasanya berdenyut di benak Harry ketika dia tertidur di malam hari, dan mimpi-mimpinya di penuhi piala, kalung, dan benda-benda misterius yang
tak bisa diraihnya, meskipun Dumbledore membantunya dengan memberinya tangga tali yang berubah menjadi ular begitu dia mulai memanjatnya ...
Dia telah memperlihatkan surat pendek dalam kalung itu kepada Hermione pada pagi hari setelah wafatnya Dumbledore, dan meskipun Hermione tidak langsung mengenali inisial itu sebagai inisial penyihir tak dikenal yang riwayatnya pernah dia baca, sejak saat itu dia ke perpustakaan lebih sering daripada yang diperlukan orang yang tak punya PR untuk dikerjakan.
"Tidak," kata Hermione sedih. "Aku sudah berusaha, Harry, tapi aku belum menemukan apa-apa ... ada dua penyihir cukup terkenal dengan inisial itu Rosalind Antigone Bungs ... Rupert 'Axebanger' Brookstanton ... tapi mereka tampaknya tidak cocok. Dinilai dari bunyi surat itu, orang yang mencuri
Horcrux itu kenal Voldemort, dan aku tak bisa menemukan bukti sedikit pun bahwa Bungs atau Axebanger pernah berhubungan dengannya ... tidak, sebetulnya, ini tentang ... yah, Snape."
Hermione tampak gugup bahkan hanya menyebut namanya lagi.
"Kenapa dia"" tanya Harry berat, mengenyakkan diri di kursinya lagi.
"Yah, aku boleh dikatakan benar tentang urusan Pangeran Berdarah-Campuran," katanya hati-hati.
"Apakah masih perlu diulang-ulang lagi, Hermione" Bagaimana menurutmu perasaanku tentang itu sekarang""
"Tidak-tidak-Harry, bukan itu yang kumaksud!" kata Hermione buru-buru, memandang ke sekitarnya untuk memastikan tidak ada orang lain yang mendengar mereka. "Hanya saja aku benar tentang Eileen Prince dulu pemilik buku itu. Soalnya ... dia ibu Snape!"
"Pantas dia tidak cantik," kata Ron. Hermione tidak menghiraukannya.
"Aku membaca sisa arsip Prophet lama dan ada pengumuman kecil tentang Eileen Prince menikah dengan orang bernama Tobias Snape, dan kemudian pengumuman yang bunyinya dia telah melahirkan"
"pembunuh" sembur Harry.
"Ya ... benar," kata Hermione. "Jadi ... aku bisa dikatakan benar. Soalnya, Snape pastilah bangga menjadi 'separo Prince', menjadi Prince yang berdarah-campuran. Tobias Snape seorang Muggle dari apa yang dikatakan Prophet."
"Yeah, cocok sekali," kata Harry. "Dia berpura-pura menjadi darah-murni supaya bisa bergaul dengan Lucius Malfoy dan yang lain ... dia sama seperti Voldemort. Ibu berdarah-murni,
ayah Muggle ... malu akan asal-usulnya, berusaha membuat dirinya ditakuti dengan menggunakan Ilmu Hitam, memberi dirinya nama baru yang impresif Lord Voldemort Half-Blood Prince bagaimana mungkin Dumbledore bisa tidak menyadarinya""
Harry berhenti, memandang ke luar jendela. Dia tak bisa mencegah dirinya memikirkan kepercayaan Dumbledore terhadap Snape yang tak termaafkan ... tetapi seperti yang secara tak sengaja baru diingatkan Hermione, dia sendiri, Harry, juga teperdaya ... kendati catatan mantra-mantra itu semakin mengerikan, dia menolak berpikir buruk tentang anak yang begitu pintar, yang telah begitu banyak menolongnya ...
Menolongnya ... pikiran yang nyaris tak tertahankan sekarang.
"Aku masih tidak mengerti kenapa dia tidak melaporkanmu menggunakan buku itu," kata Ron. "Dia pasti tahu dari mana kau mendapatkan semua itu."
"Dia tahu," kata Harry getir. "Dia tahu waktu aku menggunakan Sectumsempra. Dia malah tidak memerlukan Legilimency ... dia bahkan mungkin sudah tahu sebelumnya, dengan Slughorn memuji-muji betapa hebatnya aku dalam pelajaran Ramuan ... mestinya dia jangan meninggalkan bukunya di dasar lemari itu, kan""
"Tapi kenapa dia tidak menyerahkanmu""
"Kurasa dia tak ingin mengasosiasikan dirinya dengan buku itu," kata Hermione. "Kurasa Dumbledore tidak akan suka kalau dia tahu. Dan bahkan seandainya Snape berpura-pura itu bukan bukunya, Slughorn toh akan langsung mengenali tulisannya. Bagaimanapun juga, buku itu tertinggal di kelas lama Snape dan aku yakin Dumbledore tahu ibunya bernama 'Prince'."
"Harusnya buku itu kuperlihatkan kepada Dumbledore," kata Harry. "Sepanjang waktu itu dia memperlihatkan
kepadaku bagaimana jahatnya Voldemort, bahkan ketika dia masih di sekolah, dan aku punya bukti bahwa Snape juga
jahat" "Jahat kata yang keras," kata Hermione pelan.
"Kau sendiri yang terus-menerus memberitahuku
buku itu berbahaya!"
"Aku berusaha mengatakan, Harry, bahwa kau terlalu menyalahkan dirimu sendiri. Aku memang berpikir si Pangeran memiliki selera humor yang buruk, tapi aku tak pernah menyangka dia berpotensi menjadi pembunuh ..."
"Tak seorang pun dari kita bisa menduga Snape akan ... kalian tahu sendiri," kata Ron.
Keheningan meliputi mereka, masing-masing terbenam dalam pikiran mereka sendiri, namun Harry yakin bahwa mereka, seperti dia, memikirkan tentang pagi esoknya, ketika jenazah Dumbledore akan dimakamkan. Harry belum pernah menghadiri pemakaman; tak ada jenazah untuk dikuburkan ketika Sirius meninggal. Dia tak tahu apa yang akan terjadi dan sedikit cemas akan apa yang akan dilihatnya, tentang bagaimana perasaannya nanti. Dia bertanya dalam hati apakah kematian Dumbledore akan menjadi lebih riil baginya setelah pemakaman usai. Walaupun ada saat-saat ketika kenyataan mengerikan ini mengancam akan menenggelamkannya dalam kesedihan, ada juga rentangan-rentangan kosong mati rasa. Dalam saat-saat seperti itu, kendati tak ada orang yang bicara tentang hal lain di kastil, sulit sekali bagi Harry untuk memercayai bahwa Dumbledore betul-betul sudah pergi. Harus diakui, tidak seperti ketika Sirius meninggal, Harry tidak dengan putus asa mencari semacam jalan keluar, mencari cara supaya Dumbledore bisa kembali ... dia meraba rantai dingin Horcrux palsu, yang sekarang dibawanya ke mana-mana, bukan sebagai jimat, melainkan sebagai pengingat, betapa mahal harga yang harus dibayar dan apa yang masih harus dilakukan.
Harry bangun pagi-pagi untuk berkemas keesokan harinya. Hogwarts Express akan berangkat satu jam setelah pemakaman. Di bawah, suasana dalam Aula Besar muram. Semua orang memakai jubah resmi mereka dan tampaknya tak ada yang sangat lapar. Profesor McGonagall membiarkan kursi seperti singgasana di tengah meja guru kosong. Kursi Hagrid juga tak berpenghuni; Harry menduga barangkali Hagrid tak sanggup menghadapi sarapan; namun tempat Snape diambil alih begitu saja oleh Rufus Scrimgeour. Harry menghindarinya, ketika mata Scrimgeour yang kekuningan mengamati Aula. Harry punya perasaan tak enak Scrimgeour sedang mencarinya.
Di antara rombongan Scrimgeour, Harry melihat rambut merah dan kacamata berbingkai-tanduk Percy Weasley. Ron tidak menunjukkan tanda-tanda dia tahu ada Percy, selain menusuk-nusuk potongan-potongan ikannya dengan kesengitan luar biasa.
Di meja Slytherin, Crabbe dan Goyle saling berbisik. Kendati bertubuh tinggi besar, mereka tampak janggal, kesepian tanpa kehadiran sosok Malfoy yang jangkung pucat di antara mereka, meraja terhadap mereka. Harry tidak begitu banyak memikirkan Malfoy. Seluruh dendam dan kebenciannya tertumpah kepada Snape, namun dia tidak melupakan ketakutan dalam suara Malfoy di puncak Menara, ataupun fakta bahwa Malfoy telah menurunkan tongkat sihirnya sebelum Pelahap Maut yang lain datang. Harry tak percaya Malfoy akan membunuh Dumbledore. Dia masih memandang rendah Malfoy karena tergila-gila terhadap Ilmu Hitam, namun sekarang setitik rasa kasihan bercampur dengan ketidaksukaannya. Di manakah, Harry bertanya dalam hati, Malfoy sekarang" Dan Voldemort memaksanya melakukan apa di bawah ancaman akan membunuhnya dan orangtuanya"
Pikiran Harry terputus oleh sentuhan di rusuknya dari Ginny. Profesor McGonagall sudah berdiri dan dengung sedih di Aula langsung mereda.
"Waktunya sudah hampir tiba," katanya. "Silakan mengikuti Kepala Asrama kalian ke halaman. Gryffindor, ikut aku."
Mereka berbaris keluar dari belakang bangku mereka hampir tanpa bicara. Harry sekilas melihat Slughorn di kepala barisan Slytherin, memakai jubah panjang keren berwarna hijau-zamrud, bersulam benang perak. Dia belum pernah melihat Profesor Sprout, Kepala Asrama Hufflepuff, sebersih ini; tak ada sepotong tambalan pun di topinya, dan ketika mereka tiba di Aula Depan, ternyata Madam Pince mendampingi Filch. Madam Pince memakai kerudung hitam tebal yang menjuntai sampai ke lututnya, Filch memakai jas hitam kuno dan dasi yang menguarkan bau kapur barus.
Mereka menuju, seperti dilihat Harry ketika dia melangkah menuru
ni undakan dari pintu depan, ke danau. Kehangatan sinar matahari membelai wajahnya ketika mereka mengikuti Profesor McGonagall dalam diam ke tempat di mana ratusan kursi sudah disiapkan dan ditata berderet-deret. Ada jalan di tengah deretan kursi-kursi ini: di depan ada meja pualam, semua kursi menghadap ke meja itu. Hari itu hari musim panas yang paling indah.
Campuran luar biasa bermacam orang sudah menempati separo kursi-kursi yang tersedia, lusuh dan keren, tua dan muda. Sebagian besar tidak dikenali Harry, namun ada beberapa yang dikenalnya, termasuk para anggota Orde Phoenix, Kingsley Shacklebolt, Mad-Eye Moody, Tonks, rambutnya ajaib sekali sudah kembali berwarna merah muda cemerlang, bergandengan tangan dengan Lupin, Mr dan Mrs Weasley, Bill yang dipapah Fleur, dan diikuti oleh Fred dan George, yang memakai jaket kulit naga hitam. Kemudian ada Madame Maxime, yang menempati dua setengah kursi sendiri, Tom, si pemilik Leaky Cauldron, Arabella Figg, tetangga Squib
Harry, pemain bas yang banyak bulunya dari grup band Weird Sisters, Ernie Prang, pengemudi Bus Ksatria, Madam Malkin, pemilik toko jubah di Diagon Alley, dan beberapa orang yang Harry tahu karena pernah melihatnya, seperti pelayan bar di Hog's Head dan penyihir perempuan yang mendorong troli di Hogwarts Express. Hantu-hantu kastil juga ada, nyaris tak tampak dalam cerahnya cahaya matahari, hanya dapat dilihat bila mereka bergerak, gemerlap di udara.
Harry, Ron, Hermione, dan Ginny beriringan masuk ke tempat duduk di ujung deretan di sebelah danau. Orang-orang berbisik-bisik; kedengarannya seperti angin sepoi yang meniup rerumputan, namun kicau burung jauh lebih keras. Semakin banyak orang datang. Dengan luapan perasaan sayang kepada keduanya, Harry melihat Neville dibantu duduk oleh Luna.
Hanya mereka berdua dari semua anggota LD yang menanggapi panggilan Hermione pada malam meninggalnya Dumbledore, dan Harry tahu kenapa: mereka berdualah yang paling kehilangan LD ... barangkali hanya mereka berdua yang secara tetap mengecek koin mereka dengan harapan akan ada pertemuan lagi ...
Cornelius Fudge berjalan melewati mereka menuju ke deretan depan, ekspresinya merana, memutar-mutar topi bowler hijaunya seperti biasanya; berikutnya Harry mengenali Rita Skeeter. Dia marah melihat Rita memegang notes di tangannya yang berkuku-merah seperti cakar. Dan kemudian, dengan sentakan kemarahan yang jauh lebih besar, dia melihat Dolores Umbridge, dengan ekspresi sedih yang tidak meyakinkan pada wajahnya yang mirip kodok, pita beludru hitam terpasang di rambut keritingnya yang berwarna-besi. Melihat si centaurus Firenze, yang berdiri seperti prajurit penjaga di tepi air, Umbridge kaget dan tergopoh-gopoh menuju ke tempat duduk yang cukup jauh.
Para guru akhirnya duduk. Harry bisa melihat Scrimgeour yang tampak sedih dan berwibawa di baris depan, bersama Profesor McGonagall. Dalam hati dia bertanya-tanya, apakah Scrimgeour atau orang-orang penting lainnya ini benar-benar sedih Dumbledore meninggal. Namun kemudian dia mendengar musik, ganjil, seperti dari dunia lain, dan dia melupakan ketidaksukaannya terhadap orang-orang Kementerian ketika menoleh mencari-cari sumber musik itu. Dia bukan satu-satunya yang begitu banyak kepala berpaling, mencari-cari, agak cemas.
"Di dalam situ," bisik Ginny di telinga Harry.
Dan Harry melihatnya dalam air jernih kehijauan yang tertimpa cahaya matahari, beberapa senti di bawah permukaan air, mengingatkannya akan Inferi yang mengerikan: paduan suara duyung bernyanyi dalam bahasa asing yang tidak dipahaminya, wajah mereka yang pucat beriak, rambut mereka yang keunguan bertebaran di sekitar mereka. Musik itu membuat bulu kuduk Harry meremang, namun bukannya tidak menyenangkan. Musik itu dengan jelas menyuarakan tentang kehilangan dan keputusasaan. Ketika Harry menunduk menatap wajah-wajah liar penyanyinya, dia mendapat kesan bahwa mereka, paling tidak, merasa sedih atas kepergian Dumbledore. Kemudian Ginny menyenggolnya lagi dan dia berpaling.
Hagrid sedang berjalan perlahan di jalan di antara deretan kursi. Dia menangis tanpa suara, wajahnya
kemilau bersimbah air mata, dan di tangannya, terbungkus dalam beludru ungu berkelap-kelip dengan bintang-bintang keemasan, Harry tahu adalah jenazah Dumbledore. Kerongkongan Harry sakit sekali seperti tertusuk melihat pemandangan ini: sesaat, musik yang aneh dan fakta bahwa jenazah Dumbledore begitu dekat, rasanya menyedot semua kehangatan hari itu. Ron tampak pucat dan shock. Air mata deras bercucuran ke pangkuan Ginny dan Hermione.
Mereka tidak bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi di depan. Hagrid tampaknya meletakkan jenazah itu dengan hati-hati di atas meja. Sekarang dia berbalik dan berjalan kembali sepanjang lorong, membuang ingus dengan bunyi keras seperti bunyi terompet yang mengundang pandangan mencela dari beberapa orang, termasuk, Harry melihatnya, Dolores Umbridge ... namun Harry tahu Dumbledore tidak akan peduli. Dia berusaha memberi isyarat ramah ketika Hagrid lewat, tetapi mata Hagrid bengkak besar sekali, sungguh mengherankan dia bisa melihat ke mana dia akan pergi. Harry melihat ke deretan belakang yang dituju Hagrid dan menyadari apa yang memandu Hagrid, karena di sana, memakai jas dan celana yang masing-masing seukuran tenda besar, duduklah Grawp, kepalanya yang seperti batu besar dan jelek menunduk, jinak, hampir seperti manusia. Hagrid duduk di sebelah adik lain ayahnya dan Grawp membelai Hagrid keras-keras pada kepalanya, sehingga kaki kursinya melesak ke dalam tanah. Sejenak Harry ingin tertawa, namun kemudian musik berhenti dan dia berpaling melihat ke depan lagi.
Seorang laki-laki kecil berambut sejumput memakai jubah hitam sederhana telah bangkit dari kursinya dan sekarang berdiri di depan jenazah Dumbledore. Harry tidak bisa mendengar apa yang dikatakannya. Kata-kata aneh terbawa angin kepada mereka melewati ratusan kepala. "Jiwa yang mulia" ... "kontribusi intelektual "... "hati yang lapang" ... tidak banyak artinya. Tidak banyak menggambarkan Dumbledore seperti yang dikenalnya. Harry mendadak ingat kata-kata yang diucapkan Dumbledore sendiri ketika Harry baru masuk Hogwarts: "dungu", "aneh", "gendut", dan "jewer", dan sekali lagi, harus menekan keinginan untuk nyengir ... kenapa sih dia ini"
Terdengar bunyi kecipak lembut di sebelah kirinya dan dilihatnya para duyung telah muncul ke permukaan untuk ikut mendengarkan. Dia ingat Dumbledore berjongkok di tepi air
dua tahun yang lalu, sangat dekat dengan tempat Harry duduk sekarang, dan berbicara dalam Mermish, bahasa duyung, dengan kepala para duyung. Harry bertanya dalam hati di mana Dumbledore belajar Mermish. Ada begitu banyak yang tak pernah ditanyakannya kepada Dumbledore, begitu banyak yang seharusnya dikatakannya ...
Dan kemudian, tanpa peringatan, kenyataan mengerikan ini melandanya, lebih komplet dan tak terbantah lagi dibanding sebelumnya. Dumbledore sudah meninggal, pergi ... Harry mencengkeram kalung dingin dalam tangannya sangat kuat, sampai tangannya sakit, namun dia tak bisa mencegah air mata yang panas mengalir dari matanya: dia memalingkan wajah dari Ginny dan yang lain dan memandang di atas danau, ke arah Hutan, sementara si laki-laki kecil berjubah hitam masih bicara terus ... ada gerakan di antara pepohonan. Para centaurus telah datang untuk memberikan penghormatan mereka juga. Mereka tidak ke tempat terbuka, namun Harry melihat mereka berdiri diam, setengah-tersembunyi dalam bayangan pepohonan, mengamati para penyihir, busur mereka tergantung di sisi tubuh. Dan Harry teringat perjalanan pertamanya yang mengerikan ke dalam Hutan, pertama kalinya dia bertemu makhluk yang merupakan sosok Voldemort saat itu dan bagaimana dia menghadapinya, dan bagaimana dia dan Dumbledore telah membicarakan soal berperang kendati tahu pasti kalah tak lama sesudah itu. Penting, kata Dumbledore, untuk melawan, dan melawan lagi, dan terus melawan, karena hanya dengan begitulah kejahatan bisa dijauhkan, meskipun tak pernah bisa dibasmi ...
Dan Harry melihat dengan jelas sekali ketika dia duduk di bawah matahari yang panas, bagaimana orang-orang yang menyayanginya telah berdiri di depannya satu demi satu, ibunya, ayahnya, walinya, dan akhirn
ya Dumbledore, semua bertekad untuk melindunginya; namun sekarang semua itu telah berakhir. Harry tak bisa lagi membiarkan orang lain berdiri di antara dia dan Voldemort; dia harus meninggalkan
selamanya ilusi yang seharusnya telah hilang darinya sejak dia berusia satu tahun: bahwa perlindungan pelukan orangtua berarti tak ada yang bisa menyakitinya. Dia tak bisa lagi terbangun dari mimpi buruk ini, tak ada bisikan menghibur dalam gelap bahwa dia betul-betul aman, bahwa itu semua hanya ada dalam imajinasinya; pelindungnya yang paling akhir dan paling hebat telah meninggal dan dia lebih sendirian daripada yang pernah dialaminya sebelumnya.
Laki-laki berjubah hitam akhirnya telah berhenti bicara dan duduk lagi. Harry menunggu ada orang lain yang bangkit dari tempat duduknya. Dia mengira akan ada pidato-pidato, barangkali dari Menteri, namun tak seorang pun bergerak.
Kemudian beberapa orang berteriak. Lidah-lidah api putih cemerlang bermunculan di sekeliling jenazah Dumbledore dan meja tempatnya berbaring. Api ini membubung semakin lama semakin tinggi, menutupi jenazah. Asap putih bergulung-gulung ke angkasa dan membuat bentuk-bentuk aneh. Sejenak jantung Harry serasa berhenti berdetak, rasanya dia melihat seekor burung phoenix terbang riang ke langit biru, namun detik berikutnya api telah lenyap. Sebagai gantinya tampak pusara pualam putih, menyelubungi jenazah Dumbledore dan meja tempatnya dibaringkan.
Terdengar lagi jeritan-jeritan shock ketika hujan panah melesat di udara, namun panah-panah itu terjatuh sebelum mengenai hadirin. Harry tahu, itu penghormatan dari para centaurus. Dilihatnya mereka berbalik dan menghilang kembali ke dalam pepohonan yang sejuk. Demikian juga para duyung perlahan membenam kembali ke dalam air kehijauan dan hilang dari pandangan.
Harry memandang Ginny, Ron, dan Hermione. Wajah Ron mengerut seakan sinar matahari membuatnya silau. Wajah Hermione berkilau bersimbah air mata, namun Ginny sudah tidak menangis lagi. Dia membalas tatapan Harry dengan pandangan yang keras, berkobar, seperti yang pernah
dilihatnya ketika Ginny memeluknya setelah memenangkan Piala Quidditch tanpa kehadirannya, dan Harry tahu pada saat itu mereka saling mengerti dengan sempurna, dan kalau dia memberitahunya apa yang akan dilakukannya sekarang, Ginny tidak akan berkata "Hati-hati", atau "Jangan lakukan itu", melainkan menerima keputusannya, karena dia tidak akan mengharapkan kurang dari itu dari Harry. Maka Harry menguatkan hati untuk mengatakan apa yang dia sudah tahu harus dikatakannya sejak Dumbledore meninggal.
"Ginny, dengar ..." katanya sangat pelan, sementara dengung percakapan semakin keras di sekitar mereka dan orang-orang mulai beranjak bangun dari kursi mereka. "Aku tak bisa lagi berhubungan denganmu. Kita harus berhenti kencan. Kita tak bisa besama-sama."
Ginny berkata, dengan senyum janggal, "Untuk alasan mulia yang bodoh, kan""
"Rasanya seperti ... seperti kehidupan orang lain, selama beberapa minggu terakhir bersamamu ini" kata Harry. "Tapi aku tak bisa ... kita tak bisa ... ada hal-hal yang harus kulakukan sendirian sekarang."
Ginny tidak menangis, dia hanya menatapnya.
"Voldemort menggunakan orang-orang yang dekat dengan musuhnya. Dia sudah pernah menggunakanmu sebagai umpan, dan itu hanya karena kau adik sahabatku. Pikirkan betapa kau dalam bahaya yang jauh lebih besar kalau kita meneruskan ini. Dia akan tahu, dia akan mencari tahu. Dia akan berusaha menangkapku lewat kau."
"Bagaimana kalau aku tidak peduli"" tanya Ginny tegar.
"Aku peduli," kata Harry. "Bagaimana menurutmu perasaanku jika ini pemakamanmu ... dan itu gara-gara kesalahanku ... "
Ginny memalingkan wajah, memandang ke atas danau.
"Aku tak pernah benar-benar menyerah mengharapkanmu," katanya. "Tak pernah. Aku selalu berharap ... Hermione memberitahuku untuk meneruskan hidupku, barangkali kencan dengan beberapa orang lain, sedikit rileks di dekatmu, karena aku dulu tak pernah bisa bicara kalau kau ada dalam ruangan, ingat" Dan dia memperkirakan kau mungkin akan sedikit lebih memperhatikan kalau aku sedikit lebih menjadi-diriku."
"Anak pin tar, si Hermione itu," kata Harry, berusaha tersenyum. "Aku cuma menyesal tidak memintamu lebih awal. Kita bisa punya banyak waktu ... berbulan-bulan ... bertahun-tahun mungkin ... "
"Tapi kau selama ini terlalu sibuk menyelamatkan dunia sihir," kata Ginny, setengah-tertawa. "Yah ... aku tak bisa bilang aku terkejut. Aku tahu ini akan terjadi pada akhirnya. Aku tahu kau tak akan bahagia kalau tidak memburu Voldemort. Mungkin itulah sebabnya aku sangat menyukaimu."
Harry tak tahan mendengar ini, dia pun tak yakin ketetapan hatinya tidak akan goyah jika dia terus duduk di samping Ginny. Ron, dilihatnya, sekarang merangkul Hermione dan membelai-belai rambutnya, sementara Hermione mengisak ke dalam bahunya, air mata menetes dari ujung hidung Ron yang panjang. Dengan merana Harry bangkit, berbalik memunggungi Ginny dan pusara Dumbledore dan berjalan menjauh menyusuri tepi danau. Bergerak rasanya jauh lebih tertahankan daripada duduk diam: sama seperti bertindak sesegera mungkin untuk melacak Horcrux-Horcrux dan membunuh Voldemort akan terasa lebih baik daripada menunggu melakukannya ...
"Harry!" Dia menoleh. Rufus Scrimgeour berjalan terpincang-pincang dengan cepat mendatanginya di pantai, bertumpu pada tongkatnya.
"Aku sudah dari tadi berharap bisa bicara denganmu ... kau keberatan kalau aku berjalan sebentar bersamamu""
"Tidak," kata Harry tak peduli, dan berjalan lagi.
"Harry, ini tragedi mengerikan," kata Scrimgeour pelan. "Tak bisa kukatakan betapa kagetnya aku mendengarnya. Dumbledore penyihir yang sangat hebat. Kami memang kadang berselisih paham, tapi tak ada yang lebih tahu dari
aku" "Apa yang Anda inginkan"" tanya Harry tegas.
Scrimgeour tampak tersinggung tetapi, seperti sebelumnya, buru-buru mengubah ekspresinya menjadi cemberut memahami.
"Kau, tentu saja, terpukul," katanya. "Aku tahu kau sangat dekat dengan Dumbledore. Kurasa kau barangkali malah murid yang paling disayanginya. Ikatan di antara kalian berdua-"
"Apa yang Anda inginkan"" Harry mengulangi, berhenti berjalan.
Scrimgeour ikut berhenti, bertumpu pada tongkatnya dan memandang Harry, ekspresinya licik sekarang.
"Ada yang bilang kau bersamanya ketika dia meninggalkan sekolah pada malam dia meninggal."
"Siapa yang bilang"" kata Harry.
"Ada yang memingsankan seorang Pelahap Maut dengan Mantra Bius di atas Menara setelah Dumbledore meninggal. Juga ada dua sapu di atas sana. Kementerian bisa menghitung dua tambah dua, Harry."
"Senang mendengarnya," kata Harry. "Nah, ke mana saya pergi bersama Dumbledore dan apa yang kami lakukan adalah urusan saya. Beliau tak ingin orang lain tahu."
"Kesetiaan semacam itu sungguh mengagumkan, tentu saja," kata Scrimgeour, yang tampaknya susah payah menahan kejengkelannya, "tapi Dumbledore sudah pergi, Harry. Dia sudah pergi."
"Dia hanya akan benar-benar meninggalkan sekolah ini kalau sudah tak ada lagi yang setia kepadanya di sini," kata Harry, tersenyum di luar kemauannya.
"Nak ... bahkan Dumbledore tidak bisa bangkit dari-"
"Saya tidak mengatakan dia bisa. Anda tidak akan mengerti. Tapi tak ada yang bisa saya sampaikan kepada
Anda." Scrimgeour ragu-ragu, kemudian berkata, dengan nada yang dimaksudkan sebagai nada halus. "Kementerian bisa menawarkan berbagai perlindungan kepadamu, kau tahu, Harry. Aku dengan senang hati akan mengirim beberapa Auror untuk membantumu"
Harry tertawa. "Voldemort ingin membunuh saya sendiri dan Auror tidak akan menghentikannya. Jadi, terima kasih atas tawarannya, tetapi tidak saya terima."
"Jadi," kata Scrimgeour, suaranya dingin sekarang, "permohonan yang kuajukan kepadamu Natal yang lalu"
"Permohonan apa" Oh yeah ... yang saya harus memberitahu dunia betapa hebatnya pekerjaan yang Anda lakukan dengan imbalan"
"untuk meningkatkan moril semua orang!" tukas Scrimgeour.
Harry menatapnya beberapa saat.
"Sudah membebaskan Stan Shunpike""
Wajah Scrimgeour berubah menjadi ungu jelek, sangat mirip Paman Vernon.
"Rupanya kau-" "Orang Dumbledore luar-dalam," kata Harry. "Betul."
Scrimgeour mendelik kepadanya sesaat, kemudian berbalik dan berjalan pergi terpincang-pincang tanpa sepatah kata pun lagi. H
arry bisa melihat Percy dan anggota delegasi Kementerian lainnya menunggunya, berkali-kali melempar pandang gugup ke arah Hagrid dan Grawp, yang masih di tempat duduk mereka. Ron dan Hermione bergegas mendatangi Harry, berpapasan dengan Scrimgeour yang berjalan ke arah berlawanan. Harry berbalik dan berjalan lagi pelan-pelan, menunggu disusul mereka. Mereka akhirnya menyusulnya di bawah naungan kerindangan pohon beech, tempat mereka biasa duduk-duduk di masa-masa yang lebih membahagiakan.
"Apa yang diinginkan Scrimgeour"" Hermione berbisik.
"Sama seperti yang diinginkannya Natal lalu," Harry mengangkat bahu. "Ingin aku memberinya informasi orang-dalam tentang Dumbledore dan menjadi cowokposter baru Kementerian."
Ron tampak berjuang menguasai diri sejenak, kemudian berkata keras kepada Hermione, "Biarkan aku balik dan menonjok Percy!"
"Tidak!" kata Hermione tegas, menyambar lengan Ron.
"Itu akan membuatku merasa lebih baik!"
Harry tertawa. Bahkan Hermione nyengir sedikit, meskipun senyumnya memudar ketika dia memandang kastil.
"Aku tak tahan memikirkan kita mungkin tak akan pernah kembali," dia berkata lembut. "Bagaimana bisa Hogwarts
ditutup"" "Mungkin Hogwarts tak akan tutup," kata Ron. "Kita tidak dalam bahaya lebih besar di sini daripada kalau di rumah, kan" Di mana-mana sama saja sekarang. Aku bahkan bisa bilang Hogwarts lebih aman, ada lebih banyak penyihir di dalam untuk mempertahankan tempat ini. Bagaimana menurutmu, Harry""
"Aku tak akan kembali sekalipun Hogwarts dibuka lagi," kata Harry.
Ron ternganga menatapnya, namun Hermione berkata sedih, "Aku tahu kau akan berkata begitu. Tapi apa yang akan kau lakukan""
"Aku akan pulang ke rumah Dursley sekali lagi, karena Dumbledore menginginkan itu," kata Harry. "Tapi itu cuma kunjungan singkat, dan kemudian aku akan pergi selamanya."
"Tapi ke mana kau mau pergi kalau tidak kembali ke
sekolah"" "Kupikir aku mungkin akan kembali ke Godric's Hollow," gumam Harry. Ide ini sudah ada dalam kepalanya sejak malam meninggalnya Dumbledore. "Bagiku, segalanya berawal dari sana. Aku punya perasaan aku perlu ke sana. Dan aku bisa mengunjungi makam orangtuaku, aku kepingin ke sana."
"Dan kemudian apa"" tanya Ron.
"Kemudian aku harus melacak sisa Horcrux, kan"" kata Harry, matanya menatap pusara putih Dumbledore, yang dipantulkan di air di sisi lain danau. "Itulah yang dia ingin kulakukan, itulah sebabnya dia memberitahuku tentang Horcrux-Horcrux itu. Kalau Dumbledore benar dan aku yakin dia benar masih ada empat Horcrux di luar sana. Aku harus menemukannya dan menghancurkan keempat-empatnya dan kemudian aku harus mencari bagian ketujuh jiwa Voldemort, bagian yang masih tinggal dalam tubuhnya, dan akulah yang akan membunuhnya. Dan kalau aku bertemu Severus Snape
dalam perjalanan ini" dia menambahkan, "jauh lebih baik bagiku, jauh lebih buruk baginya."
Hening lama. Kerumunan orang sudah hampir bubar sekarang. Orang-orang yang mengeluyur pergi memberi keleluasaan kepada sosok Grawp yang luar biasa besar ketika dia mendekap Hagrid, yang lolongan sedihnya masih bergaung ke seberang danau.
"Kami akan ada di sana, Harry," kata Ron.
"Apa"" "Di rumah bibi dan pamanmu," kata Ron. "Dan kemudian kami akan pergi bersamamu, ke mana pun kau pergi."
"Tidak" kilah Harry cepat-cepat, ini di luar perkiraannya, dia bermaksud membuat mereka memahami bahwa dia akan melakukan perjalanan yang paling berbahaya ini seorang diri.
"Kau sudah pernah bilang kepada kami," kata Hermione pelan, "bahwa ada waktu untuk berbalik kalau kami mau. Kami sudah punya waktu untuk mempertimbangkannya, kan""
"Kami bersamamu apa pun yang terjadi," kata Ron. "Tapi, sobat, kau harus datang ke rumah ibu dan ayahku sebelum kita melakukan yang lain, bahkan Godric's Hollow sekalipun."
"Kenapa"" "Pernikahan Bill dan Fleur, ingat""
Harry menatap Ron, tercengang; bahwa masih ada sesuatu senormal pernikahan rasanya sulit dipercaya, namun sangat bagus.
"Yeah, jangan sampai kita tidak hadir," katanya akhirnya.
Tangannya otomatis menggenggam Horcrux palsu, namun, walaupun telah mengalami segala kejadian ini, walaupun dia melihat jalan gel
ap berliku terbentang di depannya, walaupun dia tahu pertemuan final dengan Voldemort akan terjadi,
TAMAT entah sebulan lagi, setahun lagi, atau sepuluh tahun lagi, dia merasa semangatnya bangkit memikirkan bahwa masih ada satu hari menyenangkan penuh kedamaian untuk dinikmati bersama Ron dan Hermione.
Sumber Pdf: DewiKZ www.kangzusi.com Convert Jar: inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
tamat Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari 8 Pertikaian Tokoh Tokoh Persilatan Hoa San Lun Kiam Karya Chin Yung Pendekar Riang 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama