Ceritasilat Novel Online

Rahasia Kapak Merah 1

Sapta Siaga 03 Memecahkan Rahasia Kapak Merah Bagian 1


Sapta Siaga - Memecahkan Rahasia Kapak Merah
Download Ebook Jar Lainnya Di
http://mobiku.tk http://inzomnia.wapka.mobi
1 Rapat Sapta Siaga ""LENCANAKU di mana" Ke mana lagi barang itu"" ujar Janet kesal. "Aku yakin, kusimpan dalam laci ini." Diaduk-aduknya isi laci. Saputangan, kaus kaki, pita rambut - semuanya berhamburan ke lantai.
"Janet!" seru ibunya marah. "Apa lagi yang kaukerjakan itu" Padahal Mom baru membereskannya tadi pagi. Apa yang kaucari" Lencana anggota Sapta Siaga""
"Ya, Mom! Pagi ini ada rapat, dan aku tak bisa hadir tanpa lencanaku itu," jawab Janet.
"Peter pasti takkan mengizinkan aku masuk ke gudang. Dia itu keras sekali memegang peraturan." Setumpuk saputangan menghambur ke udara, menyusul setumpuk lagi yang sudah ada di lantai.
"Sekarang pasti tak mungkin lagi kautemu- kan dalam laci," gumam ibunya, sambil membungkuk. Dipungutnya sebuah lencana bundar, dengan dua huruf S.S. tersulam rapi di atasnya.
""Ini dia! Tadi kaucampakkan bersama-sama dengan tumpukan saputangan. Anak bodoh!"
"Sini, Mom! Berikan padaku!" seru Janet girang. Tapi ibunya tidak memberikan.
"Tidak. Mula-mula harus kaubereskan dulu semuanya. Masukkan kembali ke laci, dan atur rapi," kata ibunya.
"Tapi lima menit lagi Sapta Siaga akan memulai rapat," ujar Janet kebingungan. "Peter sudah menunggu di gudang."
"Apa boleh buat, kau terpaksa datang terlambat," kata ibunya tanpa merasa kasihan.
Janet keluar sambil membawa lencana yang dicarinya. Ia mengembuskan napas kesal. Buru-buru dibereskannya barang yang berhamburan, dan dimasukkannya kembali ke dalam laci serapi mungkin. Kemudian ia bergegas lari ke lantai bawah.
"Sudah kubereskan, Mom. Aku berjanji, nanti sehabis rapat akan kurapikan lagi." Ibunya tertawa. Lencana yang dipegangnya diserahkan pada Janet. "Ini, ambil! Kau ini ada-ada saja - kau dan rapat Sapta Siaga kalian. Bisa-bisanya kalian tahan berkumpul dalam gudang kecil pengap begitu, apalagi dalam cuaca panas seperti sekarang! Haruskah pintu dan jendela terus-terusan ditutup rapat""
"Itu harus, Mom," jawab Janet sambil menyematkan lencananya. "Sapta Siaga adalah serikat yang sangat rahasia. Jadi tak boleh sampai ada orang yang mendengarkan perundingan kami, walaupun akhir-akhir ini tak banyak kejadian seru. Kami benar-benar perlu mengalami sesuatu, supaya bersemangat. Misalnya saja, petualangan terakhir kami."
"Ini! Bawalah kaleng biskuit ini ke rapat kalian," ujar ibunya. "Dan bawa pula sebotol air jeruk. Nah - Skippy sudah datang menjemput!"
Anjing spaniel mereka berlari-lari masuk, lalu menggonggong pelan.
"Ya, ya-aku juga sudah tahu, aku terlambat datang," kata Janet sambil menepuk-nepuk kepala Skippy. "Tentunya Peter menyuruhmu menjemputku. Ayo, kita pergi sekarang! Terima kasih, Mom, untuk biskuit dan air jeruknya."
Ibunya tersenyum. Janet bergegas melewati kebun, menuju ke gudang yang terletak di belakang. Kedua
tangannya memeluk kaleng biskuit dan botol berisi air jeruk. Ketika sudah hampir sampai ke gudang, didengarnya suara-suara menggumam. Kedengarannya keenam anggota lain sudah hadir semua!
Janet menggedor pintu, dibantu oleh Skippy yang menabrakkan badan.
"Kata sandi!" teriak enam suara dari dalam.
"Petualangan!" Janet memekikkan kata sandi "mereka untuk minggu itu. Kata sandi itu harus disebutkan. Jika tidak, ia dilarang masuk untuk menghadiri rapat rahasia.
Pintu terbuka cepat. Peter, kakak Janet, berdiri di ambang pintu dengan wajah cemberut.
"Untuk apa kauteriakkan kata sandi kita"" tukas Peter.
"Maaf," kata Janet menyesal. "Tapi tadi kalian yang mulai berteriak, meminta kata itu. Jadi aku juga ikut berteriak. Tapi tak ada orang lain yang bisa mendengarnya. Ini, lihatlah! Kubawakan biskuit dan air jeruk!"
Peter memeriksa apakah adik perempuannya itu menyematkan lencana di bajunya. Hal itu dilakukannya, karena sepuluh menit yang lalu ia melihat adiknya bingung mencari-cari tanda keanggotaan itu. Peter sudah menetapkan dalam hati, kalau Janet tak berhasil menemukannya, ia takkan diperbolehkan masuk. Tapi ternyata lencana sudah disematkan di gaun Janet.
Janet masuk ke gudang. Peter m
enutup pintu kembali, lalu menutup gerendelnya. Daun jendela sudah tertutup. Sinar matahari musim panas yang terik masuk lewat jendela satunya. Janet menarik napas panjang.
"Aduh-panas sekali dalam gudang ini! Rasanya badanku hampir meleleh."
"Kita semua juga begitu," jawab Pam. "Menurut pendapatku, gudang ini sama sekali tak cocok untuk dijadikan tempat rapat pada waktu panas. Tidak bisakah kita bertemu di tempat yang lebih teduh" Misalnya saja dalam hutan, di bawah bayangan pohon""
"Tidak mungkin!" jawab Jack dengan segera. "Adikku Susie pasti akan berkeliaran di dekat tempat rapat. Akibatnya Sapta Siaga tidak lagi merupakan perkumpulan rahasia!"
"Bagaimana kalau kita pikirkan tempat lain, suatu tempat yang sejuk! Dan letaknya harus tersembunyi, supaya tak ada yang bisa menemukan," sambung Colin. "Misalnya saja, aku punya tempat persembunyian dalam kebun kami. Kalau aku di situ tak ada yang bisa menemukan aku. Tempatnya sejuk, lagi pula sangat tersembunyi."
"Di mana tempat itu"" tanya Jack.
"Di atas pohon," sahut Colin. "Dalam kebun kami ada sebuah pohon besar. Dahan-dahannya juga besar dan lebar, sehingga bisa dipakai sebagai landasan. Di atasnya kutaruh beberapa bantal, serta sebuah peti tempat meletakkan barang. Tempatnya enak dan sejuk. Dahan-dahannya bergoyang kian kemari. Aku bisa memandang berkeliling dengan leluasa. Jadi aku selalu bisa melihat jika ada orang datang!"
Anak-anak mendengarkan keterangan Colin sambil berdiam diri. Kemudian mereka berpandangan, dengan mata bersinar-sinar.
""Bagus juga gagasanmu itu, Colin!" ujar Peter bersemangat. "Kita juga akan melakukannya! Wah, hebat! Rumah di atas pohon, tempat rapat yang tak diketahui orang lain!"
" 2 Gagasan Bagus "PARA anggota Sapta Siaga membicarakan ide baru itu. Semuanya setuju. Colin sangat bangga, karena dialah yang mencetuskan gagasan yang menggembirakan teman-temannya.
"Bila kita berhasil menemukan pohon yang cukup besar, dengan dahan-dahan yang cukup lebar, kita bisa membuat tempat pertemuan yang bagus di atasnya," ujar Peter. "Kita angkut papan, peti, dan sejumlah bantal ke situ. Kita juga akan membuat tempat penyimpanan kue, minuman, buku-buku, serta barang-barang lain."
"Pasti asyik sekali tempat itu," sambut Janet girang. "Tidak ada orang yang menyangka kita berada di situ. Juga tak mungkin ada yang bisa mendengar percakapan kita."
"Ayolah! Kita keluar saja dari gudang pengap ini. Kita cari tempat yang cocok sekarang juga," usul Colin. "Sekarang aku tahu, bagaimana rasanya es krim saat mulai meleleh.
"Coba lihat Skippy! Kasihan, napasnya terengah-engah, lidahnya terjulur ke luar, seperti habis balap lari saja!"
Memang, Skippy sedang kepanasan. Lidahnya yang merah terjulur panjang, napasnya terdengar kembang-kempis. Peter bangkit dari duduknya.
"Ayo, Skip! Kita berangkat. Nanti kau bisa minum di sungai saat kita lewat situ."
Kaleng berisi biskuit mereka bawa serta. Tapi sebelum berangkat, ketujuh anak itu masing-masing minum air jeruk dulu. Sedangkan Skippy cepat-cepat berlari menuju sungai, ketika anjing itu tahu bahwa mereka menuju ke sana.
"Hei, pelan-pelan, Skip! Jangan kauhabiskan airnya," seru Peter, Tapi Skippy tak peduli. Berulang kali lidahnya dijulurkan panjang-panjang ke permukaan sungai, untuk menghirup airnya yang sejuk. Anak-anak terus berjalan, meninggalkan Skippy yang masih terus minum.
"Kita pergi ke Hutan Berangin," saran Colin. Di sana ada beberapa batang pohon yang besar-besar dan mudah dipanjat." Yang lainnya setuju.
Dan mereka pun sampai di Hutan Berangin. Di situ teduh dan sejuk.
"Sekarang kita harus mencari dengan seksama. Barangkali saja kita berhasil menemukan pohon yang cocok," kata Jack. "Pohonnya harus cukup besar untuk ditempati ketujuh anggota Sapta Siaga!"
"Bagaimana dengan Skippy"" tanya Janet tiba-tiba. "Anjing itu tak bisa memanjat pohon. Jadi dia tidak bisa ikut rapat."
"Kita buatkan saja semacam ja1a untuk mengikat tubuhnya! Kemudian kita tarik ke atas," usul George.
"Pasti Skippy tidak mau," kata Peter. "Lagi pula, dia kan bukan benar-benar anggota Sapta Siaga. Dia tak perlu menghadi
ri rapat. Tapi dia bisa disuruh menjaga di bawah pohon."
"Oh ya, bagus! Kalau ada orang mendekat, dia bisa menggonggong untuk memberi tahu," sambung Barbara. "Skippy memang pantas di- jadikan penjaga pintu."
"Bukan penjaga pintu, tapi penjaga pohon," ujar Pam. "Hei-bagaimana kalau kita pilih pohon ini saja" Kan besar sekali!"
"Tidak cocok," kata Peter menolak, sambil menengadah ke atas. "Tidak ada dahan-dahan yang rendah. Kita tidak bisa memanjat ke atas. Kita harus menemukan pohon yang mudah dipanjat. Kalau tidak, waktu kita akan habis percuma untuk naik-turun pohon saja."
Anak-anak berpencar. Mereka menajamkan mata, melihat ke sana kemari untuk mencari pohon yang cocok. Ternyata jumlahnya tidak begitu banyak. George menemukan sebatang pohon yang menurut perasaannya sangat cocok. Tapi ketika dipanjatnya, ternyata mustahil bisa dibuat rumah di atasnya.
"Payah!" serunya dari atas. "Terlalu banyak dahan yang menyilang, lagi pula terlalu besar!" Ia meluncur lagi ke bawah.
Kemudian Jack berseru, "Hei-kemari semua! Bagaimana dengan pohon ini""
Mereka semua lari menghampiri Jack, lalu menengadah untuk memperhatikan pohon yang ditemukannya,
"Ya," ujar Colin, "kelihatannya pohon ini cocok. Dahan yang setinggi pinggang itu bisa kita pergunakan untuk tempat berpijak. Dan dahannya cukup banyak, bisa untuk tempat menyelipkan kaki - dan di sana ada lagi dahan untuk pegangan. Lalu di tempat yang cukup tinggi kelihatannya terdapat banyak dahan yang mendatar. Kelihatannya boleh juga! Sebaiknya aku naik saja untuk memeriksa dari dekat."
"Tidak, aku yang memanjat," bantah Jack. "Aku yang menemukan pohon ini. Kau boleh menyusul sesudah aku."
Dengan segera Jack mulai memanjat pohon yang ditemukannya. Ia naik dengan mudah, sampai ke tempat banyak dahan yang menjulur datar ke segala arah.
"Betul kataku tadi!" serunya dari atas. "Di sini ada kira-kira enam batang yang sama tingginya. Dan ada lubang di dalam batangnya. Bisa kita pakai sebagai tempat penyimpanan barang-barang. Ayo, naik saja! Tempatnya cukup lapang untuk kita semua."
Anak-anak menyusul naik dengan bersemangat. Peter yang memanjat paling akhir. Maksudnya untuk menolong anak-anak perempuan yang tersangkut dan memerlukan bantuan. Tapi ia tak perlu memberikan pertolongan, karena pohon itu memang mudah dipanjat.
"Menurutku, pohon ini yang paling besar dalam hutan," ujar Peter, ketika mereka semua sudah duduk di dahan. "Kita beruntung sekali. Banyak dahan lebar yang sama tingginya. Datar-datar lagi! Mana lubang yang kaukatakan tadi, Jack""
"Ini dia," sahut Jack, lalu bergeser dari bagian batang tempatnya bersandar. Keenam anggota lainnya melihat sebuah lubang yang sangat besar. Jack merogohkan tangannya ke dalam, sambil meraba-raba.
"Dalamnya kurang-lebih setengah meter," ujarnya menaksir, "Lubang ini cocok untuk tempat menyimpan barang-barang, jadi kita tak perlu membuat lagi. Nah, bagaimana" Apakah akan kita jadikan Pohon Sapta Siaga, tempat pertemuan kita yang baru""
"Yaaa!" seru seluruh anggota Sapta Siaga serempak. Mereka ribut mengajukan usul, bagaimana hendak membuat tempat itu menjadi rumah pohon yang bagus. Peter mengacungkan tangan, meminta anak-anak berhenti bicara. Sesudah itu dikeluarkannya sebuah buku catatan.
"Nah," ujarnya, dengan tangan memegang pensil, siap untuk menulis, "ajukanlah usul-usul kalian. Tapi satu per satu, jangan berebutan seperti tadi. Semua akan kucatat."
" 3 Pohon Besar "SEMUA mengajukan gagasan bertubi-tubi.
"Kita bisa mengangkut beberapa lembar papan kemari. Kita letakkan menyilang pada dahan-dahan ini, sehingga terbentuk sebuah panggung," ujar Colin mengajukan sarannya. "Dalam gudang di rumah kami ada beberapa lembar papan yang tak terpakai."
"Dan aku punya tali untuk mengikatnya," sambung Jack.
"Ya, kita juga memerlukan bantal untuk tempat duduk," kata Pam. "Tapi bantal-bantal itu harus kita masukkan ke dalam lubang di pohon ini bila kita pergi dari sini. Jadi kalau hujan, bantal-bantal itu tidak basah."
"Wah, tak mungkin. Lubangnya terlalu sempit," bantah Jack.
"Aku bisa membawa sehelai alas karet kedap air. Dengan alas
karet itu, barang-barang bisa kita tutupi apabila kita pergi," kata Barbara, "Kujamin takkan basah."
"Idemu bagus juga," gumam Peter sambil mencatatnya dengan cepat. "Masih ada lagi""
"Perabot untuk disimpan dalam lubang," ujar Janet. "Cangkir tahan pecah dan benda-benda lainnya. Aku yang akan membawanya. Mom selalu mengizinkan aku membawanya jika kita memerlukannya. Pokoknya kita kembalikan lagi kapan-kapan,"
"Itu juga ide bagus," kata Peter. Ia mencatat lagi. "Papan untuk membuat panggung. Kau yang membawanya, Colin."
"Lalu tali pengikat," sambung Jack. "Aku yang membawanya."
"Aku menyediakan bantal-bantal!" seru Pam.
"Dan aku membawa alas karet," ujar Barbara.
"Cangkir-cangkir urusanku," kata Janet. Bagaimana denganmu, George""
"Aku akan membawa persediaan makanan," Jawabnya.
"Asyiiik!" seru Peter, "dan aku menyediakan minuman. Wah, pasti seru di atas sini. Kita akan memiliki tempat pertemuan yang hebat. Tapi jangan ceritakan pada adikmu yang bandel itu, Jack."
"Untuk apa aku bercerita pada Susie"" tukas Jack tersinggung. "Kapan kita mulai membangun rumah pohon kita""
"Kenapa tidak besok saja"" usul Peter. ""Sekarang kan belum ada yang berangkat untuk berlibur ke pantai. Lagi pula tak banyak waktu yang diperlukan untuk membereskan tempat ini. Ditambah lagi, tempat ini memang cocok sekali untuk dijadikan rumah pohon!"
Ketika mereka sedang berbincang dengan asyik, tiba-tiba terdengar lolongan sedih dan bawah, disertai bunyi mencakar.
"Ah, betul juga! Kasihan si Skippy," ujar Janet. "Rupanya dari tadi dia sudah menunggu di bawah. Pasti dia kepingin pintar memanjat, seperti kucing - supaya bisa ikut naik kemari!"
""Kami datang, Skip!" seru Peter sambil turun dari pohon. Ia melayangkan pandangan terakhir ke tempat pertemuan baru mereka. "Benar-benar sangat cocok! Sekarang tinggal satu lagi yang harus kita harapkan."
"Apa maksudmu"" tanya Jack yang sudah mulai turun.
"Kita harapkan, semoga ada sesuatu yang bisa dilakukan Sapta Siaga," kata Peter menerangkan. "Sudah lama sekali kita tidak mengalami hal yang penuh rahasia, atau menghadapi petualangan."
"Untung hal itu kaukatakan," ujar Pam. "Karena biasanya, jika kaukatakan tak pernah terjadi sesuatu - tak lama kemudian kita pasti sudah terlibat dalam suatu petualangan!"
"Mudah-mudahan kata-katamu itu benar," kata Peter mengharapkan. "Kita bisa melihat jauh sekali dari sini," katanya. "Pemandangan luas melewati batas hutan, sampai ke bukit. Aku bisa melihat jalan yang berkelok-kelok mendaki bukit. Ada beberapa mobil sedang lewat di situ."
"Ayo!" seru Jack. Ia sudah hampir sampai ke bawah. "Hari sudah siang. Pasti aku dimarahi lagi nanti. Kata ibuku, rapat kita selalu satu jam lebih lama dari batas waktu yang sudah ditetapkan!"
"Tapi kali ini rapat kita asyik," ujar Colin.
"Ia turun dengan cara meluncur. Tapi meluncurnya terlalu cepat. Tiba-tiba terdengar bunyi kain robek. "Aduh, mati aku! Celanaku robek!"
"Tentu saja, kalau menuruni pohon kau seperti sedang melaju di atas papan luncur saja!" kecam Barbara.
Sesampainya di bawah, mereka disambut Skippy dengan gembira. Anjing itu melonjak ke sana kemari, sambil menggonggong dengan ribut. Peter tertawa.
"Kasihan, si Skippy. Kau pasti tidak menyukai tempat pertemuan kita yang baru ini! Hei, aku ada akal! Bagaimana kalau Skippy kita buatkan kandang dalam lubang di sana itu, selama kita berada di atas pohon""
Sambil bicara, Peter menunjuk ke sebuah lubang yang terdapat di kaki sebatang pohon yang berdekatan letaknya, Lubang itu besar sekali, hampir-hampir menyerupai gua. Skippy pasti pas masuk di dalamnya.
"Kita bisa memasukkan salah satu tikar alas tidurnya ke dalam rongga itu, Kita tambah dengan sebongkah tulang, supaya dia tahu itu tempatnya," kata Peter. "Dari atas kita teriakkan, , Ayo, Skip, jaga!' -pasti dia akan menunggu di situ, sampai kita turun lagi."
"Bagus! Dia menjadi pengawal kita!" ujar George. "Skippy cocok jika menjadi pengawal. "Kalau ada orang lain datang, dia akan menggonggong untuk memberi tahu."
Anak-anak senang karena persoalan Skippy sudah beres. Memang, anjing itu tak bisa ikut
naik pohon untuk menghadiri rapat seperti yang biasa dilakukannya dalam gudang. Tapi setidak-tidaknya Skippy akan melakukan tugas untuk mereka. Jadi dia bisa merasa penting, karena harus menjaga.
Skippy menyalak dengan nyaring, seakan-akan memahami seluruh pembicaraan dan menyetujuinya. Ia mengibas-ngibaskan ekornya, sambi] berlari-lari di depan ketujuh anak yang berjalan beriringan. Anjing itu tahu, waktu makan sudah tiba!
" 4 Membuat Rumah Pohon "KEESOKAN harinya mereka sibuk sekali. Kalau saat itu kebetulan ada orang dalam Hutan Berangin, pasti orang itu akan tercengang melihat tujuh anak berjalan beriringan, masing-masing membawa sesuatu di tangan.
Mereka berkumpul di rumah Peter, dengan membawa perbekalan yang sudah ditentukan, Janet, adik Peter, mengangkut seperangkat cangkir serta piring dan sendok. Colin membawa sepotong papan, dibantu oleh Jack. Jack sendiri membelitkan tali bermeter-meter ke pinggangnya. Kelihatannya aneh sekali!
Barbara membawa selembar alas karet lebar yang terlipat rapi, la membantu Pam membawa setumpuk bantal tua.
"Bantal-bantalnya agak kotor dan sudah kempis," ujar Pam, "tapi rasanya itu tak menjadi soal. Aku mengambilnya dari dalam gudang di kebun, Sudah lama tersimpan, tak pernah dipakai lagi. Aku hanya berhasil menemukan enam bantal. Jadi kita harus mencari satu lagi."
Janet berlari ke gudang di belakang kebun untuk mengambil satu bantal lagi. Selama musim panas gudang tak terpakai, jadi bantal yang biasa mereka pakai untuk tempat duduk sewaktu rapat bisa mereka bawa ke tempat rapat yang baru.
George membawa beberapa batang cokelat, ditambah sekaleng biskuit. "Ibuku yang memberi," kata George, "dia bilang ibu kalian selalu menyediakan makan dan minum untuk Sapta Siaga, Jadi sekarang gilirannya untuk melayani kita."
Baik benar ibumu," ujar Peter gembira. Bagus sekali kaleng ini." la sendiri mengambil sejumlah uang dari simpanannya dalam kotak tabungan, Dengan uang itu ia membeli sebotol limun dan sebotol air jeruk. Ia juga membawa dua botol berisi air untuk dicampurkan.
Skippy juga ikut mengangkut sesuatu, yakni gulungan tikar yang diikat erat dengan tali. Tikar itu digondolnya dengan moncongnya. Anjing itu berjalan dengan sikap gagah, karena merasa dirinya penting. Skippy senang sekali jika diajak anak-anak ikut serta dalam kegiatan mereka.
Ketujuh anggota Sapta Siaga berjalan memasuki Hutan Berangin, dan langsung menuju ke pohon pilihan mereka.
"Sebaiknya pada kulit batangnya kita gores- kan huruf S.S. dengan pisau, sebagai tanda untuk Sapta Siaga," usul Pam.
"Jangan!" larang Peter. "Ayahku mengatakan, orang yang gemar mencoret-coret dinding dan lantai serta menggoresi pohon dengan pisau adalah orang dungu. Jika ada anggota Sapta Siaga yang ingin bertindak dungu, silakan keluar dari perkumpulan kita."
"Aku tadi cuma berkata, sebaiknya kita menggoreskan huruf S,S,," balas Pam dengan suara tersinggung. "Aku tidak bermaksud kita harus melakukannya. Kau tahu sendiri, aku tidak dungu,"
"Ya, aku tahu," ujar Peter. "Aku tadi juga hanya mengulangi kata ayahku. Sudahlah- kita buatkan dulu tempat penjagaan untuk Skippy, sebelum naik ke atas pohon."
Mereka pun asyik mengatur tempat untuk anjing spaniel itu. Skippy mengendus-endus ke sana kemari. Kemudian anjing itu duduk di tempat masuk, seolah-olah sedang menyeringai.
"Nah, rupanya Skippy puas, Lihatlah-dia tersenyum," ujar Janet. "Keluarlah sebentar, Skip! Kami masukkan tikar ini, supaya kau tahu bahwa di sini tempatmu. Di sinilah kau menjaga rapat kami. Menjaga, Skip! Mengerti""
"Skippy menggonggong, lalu berlari keluar. Peter memasukkan tikar ke dalam lubang pohon. la meletakkan sepotong tulang untuk Skippy, kemudian topinya yang sudah tak terpakai lagi,
"Ayo jaga, "skip!" ujar Peter sambil mengacungkan jari Kau menjaga, kataku. Ini penting sekah! Jaga topiku sampai aku kembali. Skippy, jaga!"
Skippy masuk kembali ke dalam lubang pohon, lalu mengendus. Mula-mula mencium topi itu, lalu berpindah ke tulang. Anjing itu berputar, lalu duduk tegak. Kelihatannya serius sekali! Sekarang ia takkan meninggalkan tempat itu, se
belum mendapat izin dari Peter. Skippy pintar sekali menjaga, jika ia tahu itu tugasnya.
Sekarang kita bisa melanjutkan pekerjaan tanpa diganggu oleh Skippy yang melon cat ke sana kemari, kata Peter puas. "Ayo, kita ikat selembar papan dan alas karet dengan tali. Sesudah itu salah seorang J dari kita naik ke atas dengan membawa ujung tali kemudian menarik semuanya ke tempat kita.
Ide itu kedengarannya baik. Tapi kenyataannya berlainan. Tali yang diikatkan oleh Peter pada papan yang hendak ditarik ke atas ternyata tidak cukup kencang. Ketika Jack sedang menarik barang-barang itu, tiba-tiba ikatannya terlepas, Lembaran-lembaran papan dan alas karet jatuh kembali ke tanah.
Selembar papan menimpa bahu Colin, dan alas karet menutupi kepala Pam. Yang lain- tertawa terpingkal-pingkal melihat Pam menjerit dan meronta-ronta, karena tak tahu apa yang terjadi.
"Ya Tuhan-maaf deh," ujar Peter sambil menarik lembaran karet yang menutupi kepala temannya itu. "Sekarang kita ikat lebih kencang!"
"Biar aku saja yang mengikatnya," kata Colin yang masih mengusap-usap pundaknya. "Aku tak mau tertimpa papan lagi seperti tadi!"
"Wah, ini lucu sekali," ujar George girang. "Benar-benar lucu! Aku berani bertaruh, belum pernah orang lain seasyik kita saat membuat rumah pohon!"
" 5 Penjaga yang Baik "KETUJUH anak itu sibuk sepanjang pagi, membangun rumah di atas pohon. Menaruh papan-papan kemudian mengikatkannya erat-erat sampai kokoh, ternyata sama sekali tidak semudah yang mereka perkirakan semula. Papan-papan itu selalu terlepas dari ikatan. Ada lagi yang lebih menjengkelkan, papan-papan itu berulang-ulang jatuh. Terpaksa salah seorang anak turun untuk mengambilnya. Dan setiap kali ada papan yang terbanting ke tanah, Skippy ribut menyalak untuk memberitahukan,
"Rupanya anjing itu mengira, kita tak tahu kalau ada papan jatuh," ujar Janet sambil tertawa cekikikan. Nah, jatuh lagi! Giliran siapa yang mengambilnya""
"Rasanya pekerjaan ini terlalu banyak tangan," kata Jack menyatakan pendapatnya.
"Semuanya duduk di dahan, sehingga menghalangi saat papan hendak dipasang, Sebaiknya anak-anak perempuan turun saja ke dahan yang agak rendah. Kami berempat sudah cukup untuk mengikat papan."
Ketiga anak perempuan yang dikatakan mengganggu, turun ke bawah sedikit. Mereka memilih dahan di sisi lain, supaya tidak tertimpa kalau ada papan jatuh.
"Sialan! Sekarang bantal yang jatuh," kata Pam. "Biar menggeletak dulu di tanah. Sebentar lagi pasti ada lagi papan yang lepas dan jatuh. Yang turun mengambil papan itu sekaligus juga bisa memungut bantal."
Keempat anak laki-laki sibuk memasangkan papan-papan ke tempatnya. Akhirnya selesai juga panggung terpasang.
"Sekarang sudah aman," ujar Jack. la berjalan bolak-balik dengan hati-hati, untuk menguji kekokohan panggung hasil buatan mereka itu. "Tidak akan ada yang mungkin terpeleset di celah-celah papan, dan tak ada papan yang masih bisa terlepas. Kuakui, pekerjaan kita memang rapi,"
Anak-anak perempuan naik kembali, dan mengagumi panggung yang sudah selesai. Bantal diambil dari tanah. Tak lama kemudian panggung papan itu sudah kelihatan menyenangkan, dilengkapi tujuh buah bantal tipis dan tak bisa dikatakan bersih.
Perbekalan mereka yang lainnya dimasukkan ke dalam lubang dalam batang kayu, Sedangkan alas karet mereka ikatkan dengan rapi pada sebatang ranting yang berdekatan, siap untuk ditutupkan di atas bantal-bantal dan panggung, apabila Sapta Siaga meninggalkan tempat itu.
"Nah, beres!" ujar Peter dengan wajah berseri-seri, "Inilah markas besar kita yang baru. Wisma Sapta Siaga. Lengkap dengan pengawal yang menjaga di bawah. Semua sudah siap menantikan petualangan selanjutnya. Tinggal tunggu saja!"
"Aku takkan keberatan, jika tak ada peristiwa baru," kata Pam. "Ini saja sudah merupakan pengalaman asyik bagiku. Asyik kan, punya rumah di atas pohon. Ah-sekarang angin datang! "
Angin berembus kencang. Dahan-dahan pohon besar itu terguncang-guncang. Panggung mereka bergoyang.
"Asyiiik!" seru Janet, ketika merasakan panggung bergoyang-goyang. "Rasanya seperti di atas kapal yang sedang olen
g!" "Sekarang sudah pukul setengah satu," ujar Peter. "Sekarang kita makan biskuit dan minum dulu, Sesudah itu kita pulang. Nanti sore kita kembali lagi ke sini. Kita bawa buku-buku serta salah satu permainan. Kita bermain di sini, "
""Aku heran, kenapa orang-orang dewasa tak senang bila kita jajan sebelum waktu makan," kata Janet sambil mengunyah-ngunyah biskuitnya. "Kalau aku, walaupun enam buah biskuit raksasa ini kumakan habis, aku masih cukup lapar untuk makan siang."
"Tapi kita hanya akan makan masing-masing satu," sahut Peter. Cepat-cepat ditutupnya kaleng biskuit, "'Jika kita sekaligus memakannya enam buah, sebentar lagi takkan ada yang tersisa. Biskuit sepenuh kaleng besar ini pasti tahan untuk waktu lama!" Mereka pun turun dari rumah pohon mereka, lalu pulang ke rumah masing-masing.
Sorenya mereka datang lagi. Skippy menempati pos penjagaannya di kaki pohon yang berongga. Kelihatan anjing itu memahami tugasnya, karena ekornya mengibas kian kemari dengan riang, sewaktu para anggota Sapta Siaga memanjat pohon satu per satu.
Sore itu angin bertiup lebih keras. Nikmat sekali rasanya, berada di atas panggung yang bergoyang-goyang.
"Tinggal bunyi deburan air saja yang kurang," ujar Janet. "Rasanya seperti di kapal. Asyiiik!"
Ketujuh anak itu ada yang duduk, dan ada pula yang berbaring di atas bantal masing-masing . Mereka membaca dan mengobrol, sambil memakan cokelat yang disumbangkan ibu George. Senang sekali mendengarkan bunyi angin bertiup, menyebabkan daun-daun di sekitar mereka berdesir, dan mengibarkan rambut mereka.
Tiba-tiba terdengar Skippy menggonggong di bawah.
"Kenapa Skippy"" tanya Peter, Ia mengintip ke bawah. Didengarnya suara orang lain,
"Hei! Mau apa kau" Jangan ganggu aku dan kucingku!"
"Ada anak laki-laki di bawah," bisik Peter pada teman-temannya, "Kelihatannya kotor sekali. Dia menggendong kucing di bahunya. Skippy meloncat-loncat mengelilinginya."
"Skippy bukan hendak menggigitnya," bisik George yang ikut mengintip, "Rupanya Skippy hanya mau merintangi anak itu, supaya jangan memanjat kemari! Mungkin dikiranya anak itu hendak memanjat. Mana kucingnya" Geser sedikit dong, aku juga ingin melihat!"
Tapi Peter tak mau bergeser. Karena itu ia didorong oleh George. Peter berpegangan pada seutas tali pengikat salah satu papan panggung, sehingga papan itu terungkit. Hampir saja Peter terjatuh, kalau tidak sempat menyelamatkan diri dengan berpegangan pada sebatang cabang. Pam menjerit ketakutan. Peter menyenggolnya, sambil mendelik.
""Diam!" desisnya. "Kau ingin tempat persembunyian ini diketahui orang lain di hari pertama kita""
Anak yang berdiri di tanah memandang ke sana ke mari. Ia terkejut mendengar jeritan Pam. Tapi ia tak tahu, dari arah mana suara itu datang. Kemudian ia menengadah, memandang ke atas pohon.
"He!" seru anak itu. "Ada orang di atas" Siapa di atas""
Tentu saja tak ada yang menjawab. Pam menahan napas, sampai dadanya sesak. Peter masih tetap melotot.
"Ada siapa di atas"" seru anak itu sekali 'lagi. "Kalau tak mau menjawab, aku naik sekarang!"
Peter mengerang, Itulah yang dikhawatirkannya sejak tadi!
Tapi Skippy punya ide lain. Apa! Ada anak asing mau naik ke atas pohon yang dijaganya" Itu harus dicegah!
Skippy meloncat-loncat di depan anak itu sambil menggeram. Ia tak bermaksud menggigit, melainkan hanya menakut-nakuti. Tapi anak itu tak tahu. Ketika Skippy menerpanya, ia baru saja meletakkan tangan ke dahan yang paling rendah. Dengan cepat dahan dilepaskannya kembali, lalu berdiri menghadapi Skippy.
""Kenapa kau begitu" Ayo duduk! Duduk, kataku. Kenapa kau ribut" Awas, kalau mau mengganggu kucingku. Duduk!" Anak itu bicara dengan gelisah.
Tapi Skippy baru berhenti meloncat-loncat sambil menggonggong, ketika anak itu pergi menjauhi pohon. Begitu kelihatan anak itu tak berniat lagi memanjat, perangai Skippy yang ramah timbul kembali. Anjing itu duduk di antara pohon dan anak tak dikenal itu, lalu mengibas-ngibaskan ekor.
Aku tak tahu, kenapa kau tak mengizinkan aku naik ke atas pohon itu," ujar anak yang menggendong kucing, "tapi kalau kau tak mau, aku takkan
memanjat. Kalau mau, aku bisa saja datang kembali kemari, jika kau tak ada! Sekarang aku pergi. Kucingku ketakutan setengah mati karena perbuatanmu!"
Ketujuh anggota Sapta Siaga mendengar bunyi ranting-ranting patah dan daun gemeresik dipijak anak yang pergi itu. Skippy masih menggonggong singkat sebagai peringatan. Kemudian dia kembali ke "pos penjagaan", ekornya mengibas dengan gagah. Aha! Skippy memang penjaga cekatan. Tak ada yang bisa memanjat pohon kalau tak diizinkan olehnya.
Ketujuh anak di atas pohon tetap tak berkata "patah pun, sampai tidak terdengar lagi bunyi di tanah. Kemudian Pam yang mula-mula "membuka mulut. Kelihatannya ia hampir-hampir menangis.
"Aku menyesal! Jangan marahi aku dong! Kukira kau akan jatuh, Peter. Karena itulah aku menjerit!"
"Kalau kau menjerit lagi lain kali, kami keluarkan kau dari perkumpulan kita," ujar Peter galak. "Masa rumah pohon baru saja selesai sudah nyaris ketahuan anak lain. Dasar anak perempuan!"
Ucapan itu menimbulkan kejengkelan Janet dan Barbara.
"Kami tidak menjerit tadi," kata Janet ketus. "Kami tak berkutik sama sekali! Pam yang suka menjerit. Di sekolah pun ia begitu."
Muka Pam merah padam mendengarnya.
"Aku berjanji takkan menjerit lagi," katanya dengan suara lirih. "Lagi pula anak itu sudah pergi. Jadi kita tak sampai ketahuan."
"Berkat Skippy," ujar Peter yang masih te- tap kesal. "Dan bagaimana kau tahu kalau anak itu takkan datang lagi kalau kita sudah pergi""
"Dia takkan ingat lagi letak pohon kita ini," jawab Pam, "Sudahlah, jangan mengomel lagi, Peter. Aku sudah cukup merasa bersalah."
"Ini, kita makan cokelat saja," ujar George. Ia ingin cepat-cepat mengalihkan pembicaraan. Ia tak ingin ada yang teringat kembali bahwa karena dialah Peter hampir terjatuh dari pohon, yang menyebabkan Pam menjerit.
"Terima kasih," kata Peter, sambil mengambil sepotong cokelat. Yang lain-lain ikut mengambil. Tak lama kemudian suasana sudah tenang kembali. Mereka makan cokelat sambil membicarakan kesigapan Skippy sebagai penjaga.
"Aku yakin dia sudah kembali ke pos penjagaannya sekarang," kata Jack. "Aku ingin punya anjing seperti Skippy, Dia memang benar-benar hebat!"
"Rasanya anak tadi takkan kembali lagi," ujar Colin sesudah beberapa saat. "Barangkali dia cuma berjalan-jalan dalam hutan-dengan kucingnya! Aneh! Ada orang yang berjalan-jalan dengan kucing."
"Ayo, kita main kartu saja sekarang," kata Pam. "Aku membawa satu set. Dan bagaimana kalau kita minum lagi" Aku haus sekali!"
Ketujuh anak itu asyik bermain di rumah pohon. Mereka minum air jeruk, dan makan biskuit sambil main' kartu. Tapi permainan kartu agak menjengkelkan, karena kartu-kartunya selalu terbang ditiup angin dan berhamburan ke tanah.
"Kurasa lebih baik kita main domino," ujar George pada akhirnya. "Kartu domino tidak bisa diterbangkan angin. Sialan! Selembar kartuku terbang lagi. Besok aku membawa kartu domino saja."
Pukul lima sore, mereka bersiap-siap pulang ke rumah. Bantal-bantal ditumpuk dengan rapi. Lalu di atasnya diselubungkan alas karet, dan diikat erat-erat. Barang-barang lainnya dimasukkan ke dalam lubang dalam batang pohon.
Tiba-tiba terlihat seekor bajing kecil berlari pada sebuah dahan. Binatang itu memandang mereka dengan tercengang-cengang.
"Hei!" ujar Peter. "Apa kabar" Awas-jangan berani-berani merampok tempat penyimpanan kami!"
Bajing itu berceloteh sebentar, lalu menghilang dengan lompatan indah. Anak-anak tertawa melihatnya. Suara mereka terdengar oleh Skippy yang masih menjaga di bawah. Anjing itu menggonggong.
"Baiklah, Skip! Kami datang!" seru Peter dari atas. "Kami bawakan sebuah biskuit untukmu. Sebagai hadiah, karena kau sudah bekerja dengan baik!"
" "6 Keesokan Harinya "KEESOKAN harinya mereka berkumpul lagi di rumah Peter. Kemudian mereka bersama-sama berangkat menuju Hutan Berangin. Beberapa anak membawa makanan, sedangkan Peter membawa minuman. Janet mengepit sebuah buku besar, Ia berjanji akan meminjamkannya pada Colin.
"Inilah buku ayahku yang kuceritakan padamu," ujar Janet. "Isinya tentang semua jenis kapal. Aku sudah minta izin untuk menunjukkanny
a padamu. Tapi kata Dad, aku harus mengembalikannya dalam waktu dua atau tiga hari. Jadi, jangan lama-lama meminjamnya."
"Wah - terima kasih banyak," ujar Colin menerima buku itu dengan senyum senang. Ia sangat menyukai kapal. Dan buku ayah Janet sangat indah. Ia pun tahu, ia harus sangat berhati-hati terhadap buku itu.
Seperti biasa, Skippy ikut berlari di samping mereka. Ketujuh anak itu sampai di Hutan "Berangin, dan langsung menuju ke rumah pohon mereka. Skippy segera duduk di depan pos penjagaannya dengan sikap serius. Janet menepuk-nepuk kepalanya.
"Ya, kami tahu-kau akan menjaga dengan baik," katanya. "Anjing manis!"
Mereka memanjat pohon. Peter membuka ikatan alas karet, lalu menebarkan bantal-bantal di lantai panggung papan. Baru saja ia siap dengan pekerjaannya, anak-anak perempuan menjerit pelan karena terkejut.
"Lihat! Tutup kaleng biskuit terbuka, dan biskuitnya hampir habis! Padahal kemarin masih banyak. Dan cokelatnya juga hilang berapa batang. Botol limun kosong, padahal kemarin masih berisi setengah!"
Ketujuh anak itu menjulurkan kepala, memandang ke dalam lubang dalam batang pohon mereka. Benar "biskuit hampir habis. Para anggota Sapta Siaga berpandang-pandangan. Janet yang berbicara duluan.
"Kalian tahu, siapa yang kucurigai" Bajing bandel kemarin! Kurasa, begitu kita pergi, binatang itu masuk ke lubang ini untuk mengambil barang-barang kita. Bajing memang binatang pintar!"
"Tapi bagaimana caranya dia minum limun"" tanya Peter agak ragu.
"Bajing bisa menggunakan kaki depannya, "seperti monyet," kata Janet menerangkan. "Kita kan sudah sering melihat bajing menggenggam kacang, sambil memakannya. Aku yakin, bajing itu cukup pintar untuk mencabut gabus dari botol ini. Tapi isinya dibuang keluar, karena bajing tak mungkin suka limun."
"Aku bisa membayangkan, ada bajing yang pandai membuka gabus botol, lalu menuangkan isinya keluar," ujar Peter. "Tapi sukar dipercaya, binatang itu pandai memasangkan gabus kembali ke lubang botol. Dugaanku, anak yang kemarinlah yang melakukannya!"
"Perkiraanku juga begitu," sahut George. Tapi anak -anak lain tak sependapat. Mereka semua mengira, bajinglah yang menghabiskan perbekalan.
"Sudahlah, tak usah kita ributkan lagi persoalan ini," ujar Jack. "Hari ini perbekalan kita cukup banyak Jika bajing itu ingin makan biskuit dan cokelat sedikit, biarkan sajalah!"
Kini mereka membawa kartu domino. Padahal kalau yang dibawa kartu biasa juga tidak apa-apa, karena angin tak bertiup pagi itu. Matahari tertutup awan rendah.
"Mudah-mudahan saja tidak hujan," kata Colin sambil memandang ke langit. "Kelihatannya mendung."
"Biar saja hujan turun. Kita tak mungkin basah, karena terlindung dalam pohon besar berdaun lebat," ujar Pam. "Aku yakin, tak setetes pun air hujan akan jatuh ke rumah pohon kita ini."
Ketika akhirnya hujan turun dan tetesannya memercik menimpa daun, hanya satu-dua tetes yang menciprat ke panggung. Tapi Colin kelihatan cemas.
"Sebaiknya buku tentang kapal-kapalmu ini kumasukkan saja ke dalam tempat penyimpanan kita," katanya. "Bagaimana pendapatmu, Janet" Ayahmu mungkin akan marah, jika bukunya jadi basah."
"Tentu saja," ujar Janet. "Dad sangat menyayangi buku itu. Masukkan saja ke dalam lubang pohon, supaya tidak ketetesan air."
Permainan domino terhenti. Colin menyimpan buku pinjamannya dengan hati-hati ke dalam lubang di batang pohon, di belakang tumpukan makanan. Hujan semakin deras. Asyik rasanya duduk di panggung, mendengarkan suara hujan jatuh menimpa daun. Tapi tempat mereka tetap kering. Pada saat makan siang, hujan berhenti.
"Kita lari saja pulang ke rumah sekarang," ujar Peter sambil mengintip di sela-sela daun, untuk melihat apakah langit sudah cerah. "Tapi bagaimana dengan barang-barang kita" Aman atau tidak jika kita tinggalkan di sini"" Ia khawatir karena mereka telah kecurian makanan.
"Ah, pasti aman," ujar Pam. Anak itu enggan mengangkut semuanya ke rumah. "Jika bajing - atau siapa pun yang mengambil kemarin - tidak mengangkut bantal, cangkir, dan barang-barang lainnya, kecil kemungkinan hal itu dilakukannya lagi hari ini. Lagi pul
a yang tersisa cuma beberapa potong biskuit!"
"Baiklah," kata Peter lega. "Bantal-bantal kita masukkan saja ke dalam alas karet. Kemudian kita pergi. Skippy! Kami datang!"
Terdengar suara Skippy menyalak sambil melonjak-lonjak ke batang pohon. Anjing itu merasa bosan, karena harus menjaga sendirian.
Anak-anak turun dari pohon dengan hati-hati, karena batangnya agak licin kena air hujan. Skippy menyambut mereka dengan ribut. Mereka pulang semua ke rumah. Sayangnya, tak ada yang melihat bahwa Colin tidak membawa buku yang dipinjamnya dari Janet. Colin lupa! Buku itu masih terselip dalam lubang di batang pohon, di belakang tumpukan makanan.
" 7 Malam di Hutan Berangin
"COLIN sedang berganti pakaian, siap untuk tidur. Tiba-tiba diingatnya kembali buku tentang kapal yang dipinjamnya dari Janet. Di mana buku itu"
Ya Tuhan! Buku itu tertinggal dalam lubang di rumah pohon Sapta Siaga. Wah, gawat! Bagaimana kalau bajing bandel yang mengambil kue sekarang menemukan buku itu. Pasti buku itu dirobek-robek, atau paling tidak digigit-gigitnya. Dan jangan-jangan hujan turun dengan lebat, diiringi angin kencang. Air hujan akan masuk ke lubang, dan membasahi buku. Ayah Janet pasti akan sangat marah!
Dengan bergegas Colin mengenakan pakaiannya kembali. Ia harus pergi, mengambil buku itu, Tapi sial, keluarganya masih sibuk terus, Mereka kedengarannya seolah-olah mondar-mandir terns dalam rumah malam itu. Naik tangga, turun tangga, berdiri di ruang depan, keluar-masuk kebun. Entah apa saja yang mereka lakukan sesibuk itu. Colin sudah tak tahan lagi menunggu.
Ia duduk di depan jendela kamar tidurnya, sampai pukul setengah sebelas. Tidak tidurkah keluarganya malam ini" Nah, itu kedengarannya seperti Nenek, naik ke lantai atas.
Setelah pukul sebelas malam, barulah Colin merasa aman untuk menyelinap keluar. Ia tiba di kebun tanpa menemukan rintangan sama sekali. Tiba-tiba ia terkejut. Didengarnya bunyi aneh. "Huuu!" Ya ampun, rupanya seekor burung hantu. Colin tertegun.
Apakah Colin tahu jatan ke pohon mereka pada waktu malam hari" Di musim panas, matahari bersinar sampai larut malam, Tapi pukul sebelas sudah terlalu larut. Jalanan sudah ge1ap. Apalagi dalam hutan - pasti gelap gulita.
Colin merasa agak takut. Pada malam hari, Hutan Berangin agak menyeramkan juga. Bagaimana kalau ia salah jalan, tak menemukan pohon yang dicari, lalu tersasar" Ia pasti akan bingung, sedangkan ibunya pasti cemas bercampur marah.
Dalam perjalanan ke Hutan Berangin, Colin harus melewati tempat pertanian orangtua Peter. Colin ingin tahu, apakah Peter sudah tidur atau belum. Jika belum, mestinya dia mau diajak ke hutan. Colin menetapkan hati. Ia memasuki pekarangan rumah Peter, lalu berjalan pelan-pelan menuju ke rumah temannya itu. Ia tahu letak kamar tidur Peter.
Rumah pertanian orangtua Peter sudah gelap. Rupanya mereka semua sudah tidur. Colin memungut beberapa batu kerikil, lalu melemparkan sebutir ke arah jendela kamar Peter.
Sayang tak sampai, dan jatuh kembali ke tanah. Colin melemparkan sebutir lagi, kali ini lebih keras. Ditunggunya bunyi batu mengenai kaca jendela.
Tapi ternyata jendela kamar Peter terbuka. Kerikil yang dilemparkan oleh Colin masuk ke dalam, dan mengenai pipi Peter yang sudah terle1ap di tempat tidur.


Sapta Siaga 03 Memecahkan Rahasia Kapak Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Peter terloncat bangun, lalu memandang ke sekeliling kamarnya yang gelap. Ia menggosok- gosok pipinya, sambil bertanya-tanya pada diri sendiri. Apakah yang mengenai pipinya tadi" Sebuah kerikil berikutnya melayang masuk kamarnya lewat jendela, dan mengenai dinding.
"Hei! Ada orang melempar-lempar batu!" ujar Peter dalam hati. Ia menye1inap ke jendela. Di bawah tampak samar sosok seseorang sedang berdiri.
"Siapa itu"" panggil Peter dengan berbisik.
Ia tak mau keluarganya terbangun.
"Aku! Colin," terdengar jawaban berbisik dari bawah, "Peter, aku tadi lupa-buku ayahmu yang kupinjam dari Janet tertinggal di rumah pohon kita. Kumasukkan dalam lubang pohon. Jadi aku sekarang harus mengambilnya, karena kalau tidak, mungkin akan rusak. Kau mau ikut""
"Tentu saja!" jawab Peter. Hatinya bergetar gembira, membayangkan akan pergi k
e Hutan Berangin di tengah malam, dan naik ke rumah pohon mereka. Ini baru petualangan yang mengasyikkan!
Peter segera memakai kaus dan celana pendek, lalu meluncur turun dari pohon yang tumbuh di depan jendelanya. Dalam sekejap mata, ia sudah menyelinap ke luar bersama Colin.
Begitu Peter menemani, Colin merasa tenang kembali.
"Aku tadi takut, jangan-jangan tak berhasil menemukan pohon kita," bisiknya sambil berjalan. "Kau pintar mencari jalan, dan kurasa kau masih bisa menemukannya di malam gelap seperti sekarang."
"Ya, aku bisa," ujar Peter. "Tapi aku juga membawa lampu senter. Enak juga bertualang malam-malam!"
Mereka sampai di Hutan Berangin. Pada malam hari, tempat itu sunyi senyap. Angin hampir-hampir tak bertiup, sehingga pohon-pohon hampir tak bergerak sama sekali. Tiba-tiba terdengar burung hantu, dan kedua anak itu pun terlompat.
"Untung saja aku bukan tikus," ujar Peter. "Kalau aku tikus aku pasti akan ketakutan setengah mati mendengar suara burung hantu seperti tadi!"
Mereka sampai ke pohon yang dicari. Peter naik terlebih dulu. Sekali-sekali cahaya lampu senter disorotkan ke bawah, untuk membantu Colin. Anak itu merasa sedikit kesulitan untuk memanjat dalam gelap. Akhirnya mereka sampai ke rumah pohon. Suasananya aneh dan sepi.
"Sekarang ayo kita ambil buku itu," ujar Colin. Disorotkannya cahaya senter ke lubang. Tiba-tiba ia berseru kaget, "He! Ada lagi yang datang kemari, sesudah kita pergi. Semuanya berantakan, seperti ada yang dicari. Barangkali makanan!"
"Tidak banyak yang kita sisakan tadi," ujar Peter. "Sial! Tak mungkin bajing yang melakukannya. Jadi ada orang lain yang menemukan rumah pohon kita ini. Buku yang kaucari ada""
"Ya, syukurlah," jawab Colin. "Peter, siapa orang yang datang kemari" Aku jengkel memikirkannya! "
"Aku juga tak tahu," kata Peter. Tiba-tiba ia mendengar sesuatu yang membuatnya heran.
"Bunyinya sangat lirih, dan datangnya dari suatu tempat di pohon itu.
"Kaudengar juga tadi"" bisik Peter. "Kedengarannya seperti suara mengeong. Tapi tak mungkin ada kucing di sini!"
Lampu senter disorotkan ke sana kemari, untuk mencari kalau ada kucing bersembunyi. Tiba-tiba ia memegang tangan Colin, sambil menunjukkan jarinya pada sesuatu. Cahaya lampu senternya menyinari sepasang kaki tak bersepatu! Temyata ada orang duduk bersembunyi pada dahan di atas mereka. Tapi persembunyiannya kurang sempurna. Kedua kakinya masih kelihatan. Siapakah orang itu"
" 8 Ada Orang di Rumah Pohon
"PETER menangkap kedua kaki yang tak bersepatu itu, lalu menariknya. Terdengar suara teriakan, disusul dengan kaki yang menendang-nendang. Tapi Peter memegangnya kuat-kuat.
"Ayo, turun!" ujarnya marah. "Siapa kau" Berani-beraninya datang ke rumah pohon kami, lalu mengobrak-abrik barang-barang kami. Ayo turun!"
"Lepaskan aku!" terdengar suara seorang anak laki-laki. Kemudian menyusul suara mengeong. Peter dan Colin tercengang, ketika seekor kucing kecil meloncat ke sebuah dahan terdekat, lalu menatap mereka dengan matanya yang hijau.
"Anak kucing!" seru Colin. "Rupanya dia ini anak yang lewat di bawah sini kemarin, dengan kucingnya. Ternyata dia benar-benar datang kembali."
"Aduh, jangan tarik kakiku!" jerit anak itu dari atas dahan atas. "Nanti aku jatuh!"
"Peter melepaskan pegangannya. "Kalau kau tak mau ditarik, ayo turun! Dan jangan main-main, karena kita dua lawan satu," ujarnya.
Mula-mula kedua kaki yang meluncur ke bawah, disusul oleh tubuh seorang anak yang kurus. Kemudian muncul wajah seorang anak laki-laki. Wajahnya tampak pucat ketakutan.
"Ayo duduk!" kata Peter memerintahkan. "Jangan bergerak. Sekarang ceritakan, apa yang kaukerjakan di pohon kami."
Anak itu duduk, sambil menatap mereka dengan pandangan merajuk. Wajahnya kurus pucat, sedangkan rambutnya sudah terlalu panjang.
"Aku hanya ingin bersembunyi di sini," katanya. "Aku tak berbuat salah, kecuali mengambil beberapa potong biskuit kemarin malam. Kalau kalian selapar aku, pasti kalian juga akan mengambilnya."
"Kenapa kau bersembunyi"" tanya Colin. "Apakah kau lari dari rumah""
"Aku takkan mengatakan apa-apa," jawab anak itu.
Nanti kalian laporkan pada polisi."
"Tidak, kami takkan melapor pada polisi," janji Colin, "Kecuali kalau keadaan mendesak. Kenapa kau menyangka kami akan melaporkannya""
Sementara itu anak kucing tadi sudah merayap kembali dan menempelkan tubuh ke mantel yang dikenakan anak itu. Colin dan Peter melihat bahwa kaki anak kucing itu berdarah. Anak yang tak dikenal itu mengeluselus kucingnya, menenangkannya.
Peter dan Colin merasa yakin, anak ini tak mungkin berniat jahat. Karena dia kelihatan sayang sekali pada kucingnya-dan anak kucing itu pun demikian. Mereka berdua memandang anak yang masih tetap berwajah cemberut itu.
"Ayo, ceritakan," ujar Peter. Sinar lampu senter masih tetap diarahkan ke wajah anak itu. "Barangkali saja kami bisa menolong."
"Maukah kalian mengizinkan aku tidur di sini malam ini"" tanya anak itu, "Supaya aku sembunyi jika mereka mencariku. Mereka tahu, aku berada dalam Hutan Berangin."
"Mereka" Siapa mereka"" tanya Peter. "Ceritakanlah semuanya. Pertama-tama-siapa namamu""
"Namaku Jeff," jawab anak itu. Tangannya masih mengelus-e1us kepala anak kucingnya. "Awalnya ketika ibuku masuk rumah sakit. Dad sudah meninggal, jadi kami hanya hidup berdua. Ketika Mom jatuh sakit dan terpaksa masuk rumah sakit, aku dititipkan pada Paman Harry dan Bibi Lizzy."
"Kenapa kau minggat"" tanya Peter.
"Aku masih tahan seminggu di rumah mereka," ujar Jeff. "Tapi ibuku tak keluar juga dari rumah sakit. Mereka tak mau mengatakan apa-apa padaku. Bagaimana kalau Mom tetap berbaring di sana" Apa yang harus kulakukan" Temanku hanya kucingku ini."
"Bukankah paman dan bibimu bisa mengurusmu"" tanya Peter.
"Aku tak mau," jawab Jeff. "Mereka itu jahat. Kata Mom mereka jahat. Mom tahu pasti. Mereka bergaul dengan teman-teman yang jahat, dan mereka melakukan tindakan-tindakan yang buruk."
"Apa yang mereka lakukan"" tanya Peter.
"Yah, macam-macam. Mencuri, dan hal-hal yang lebih buruk lagi," kata Jeff, "Aku diurus oleh mereka - maksudku aku diberi makan, pakaianku yang robek dijahitkan oleh bibiku. Tapi mereka kejam terhadap kucingku."
Colin dan Peter memandang Jeff dengan rasa kasihan. Peter bisa membayangkan, bagaimana perasaannya jika ada orang yang mengganggu Skippy.
"Apakah mereka menyakiti kucingmu. sampai kakinya terluka begitu"" tanya Peter.
Jeff mengangguk. "Ya, pamanku yang menendangnya. Lukanya sekarang sudah agak sembuh. Tapi waktu itu parah sekali. Karena itulah aku melarikan diri dengan membawa kucingku. Mula-mula aku bersembunyi di se"buah rumah yang tak didiami lagi. Tapi Paman dan Bibi datang mencari. Kemudian aku bersembunyi dalam hutan ini. Waktu anjing kalian menggonggong, aku menduga kalian ada di atas pohon. Karena itu, ketika kalian sudah pergi aku memanjat kemari."
"Lalu memakan biskuit dan cokelat kami," sambut Peter. "Tetapi kenapa paman dan bibimu repot-repot mencari" Bukankah mereka tahu, kau bisa kembali jika mau""
"Yang mencari bukan bibiku," kata Jeff. "Pamanku dan seorang temannya, Mr. Tizer, yang mengejarku. Mereka khawatir aku sudah terlalu banyak tahu."
"Terlalu banyak tahu tentang apa"" tanya Colin.
"Biasanya aku tidur di ruang duduk," ujar Jeff mulai menceritakan masalahnya. "Pada suatu malam, aku kebetulan mendengar pembicaraan tentang salah satu rencana mereka yang sudah dipersiapkan. Sebetulnya aku hanya menangkap beberapa patah kata. Dan kata-kata itu sama sekali tak dapat kupahami artinya. Ketika aku memutar badan supaya lebih enak berbaring, Paman meloncat bangkit dari tempat duduknya. Aku dibentak-bentak. Dia menuduhku mendengarkan pembicaraan mereka."
"Aku mengerti sekarang. Karena kau ming"gat, mereka lantas khawatir kau akan menceritakan hal-hal yang kaudengar itu pada orang lain," ujar Colin. "Banyakkah yang kau- dengar malam itu""
"Tidak, dan 'yang kudengar pun tak kumengerti," kata Jeff. "Tapi pasti mereka takkan mau percaya. Sekarang aku diburu mereka. Hari ini kulihat Mr. Tizer berkeliaran dalam hutan bersama anjingnya. Aku takut tertangkap. Karena itulah aku bersembunyi di rumah pohon kalian. Bolehkah aku tinggal di sini""
"Tentu saja boleh! Tidur saja di si
ni malam ini," kata Peter. "Keluarkan bantal-bantal, dan aturlah tempat berbaring yang empuk. Besok kami akan datang untuk merundingkan langkah-langkah selanjutnya untukmu. Sudah, jangan khawatir! Sapta Siaga akan menolongmu!"
" 9 Perundingan "PETER dan Colin membantu Jeff mengeluarkan bantal-bantal dari alas karet pembungkusnya. Kucing kecil Jeff duduk di atas dahan yang berdekatan, sambil memperhatikan kesibukan ketiga anak itu.
"Jika kau mau, makan saja sisa biskuit kami. Begitu juga dengan minumannya," ujar Colin.
"Oh ya-hampir saja aku lupa lagi! Buku tentang kapal-kapal yang kupinjam dari Janet, harus kuambil dari lubang batang."
Buku itu diambilnya. Kemudian ia dan Peter turun dari pohon dengan hati-hati, karena melakukannya di malam hari tidaklah semudah di siang hari!
"Sampai besok," seru Jeff. "Terima kasih atas bantuan kalian. Besok kalian datang, ya" Kalau bisa, tolong bawakan juga susu untuk kucingku!"
"Ya, tentu saja. Dan kalau mungkin, kami juga akan membawa ikan untuknya!" jawab Peter sambil berseru pula. "Hati-hati kalau tidur nanti-jangan sampai terjatuh!"
"Aku akan berhati-hati," kata Jeff. Suaranya sekarang sudah kedengaran lebih riang.
Colin dan Peter berjalan pulang, sambil berbicara dengan suara pelan. Mereka membicarakan persoalan Jeff dan kisahnya yang aneh.
"Menurut pendapatmu, apakah yang sedang direncanakan paman Jeff dan temannya, Mr. Tizer itu" Kenapa mereka khawatir Jeff mendengar pembicaraan itu"" tanya Peter. "Jika mereka merencanakan perampokan atau perbuatan jahat lainnya, kita harus turun tangan dan berusaha menghalanginya."
"Menurut pendapatku, jika kita berhasil mengorek keterangan dari Jeff, sebaiknya sesudah itu kita laporkan saja," ujar Colin. "Misalnya saja pada orangtuamu."
"BetuI! Tapi tak ada salahnya, apabila Sapta Siaga mencoba kemampuannya terlebih dulu," usul Peter. "Besok kita mengadakan rapat di atas pohon. Kita minta Jeff ikut menghadiri. Kita lihat saja dulu, apa yang akan berhasil kita korek dari anak itu. Ia pasti mendengar sesuatu dari pembicaraan antara pamannya dan Mr. Tizer!"
"Betul," jawab Colin. Ia mulai bersemangat. "Kita memang beruntung. Setiap kali kita mulai putus asa karena tak terjadi suatu pun - selalu saja ada kejadian yang timbul. Bagaimana pendapatmu - apakah sebaiknya aku mendatangi para anggota, untuk mengatakan bahwa besok ada rapat" Kukatakan pada mereka, telah terjadi sesuatu, karena itu kita harus mengadakan pertemuan di markas rahasia kita!"
"Ya," ujar Peter, "dan jangan lupa katakan pada mereka untuk menyebutkan kata sandi serta memakai lencana. Aku akan menunggu di bawah pohon, Kata sandi tak boleh diteriakkan. Kita harus membisikkannya!"
"Setuju," kata Colin dengan gembira. "Nah, kita berpisah di sini saja, karena kau sudah sampai di rumah" Untung saja aku teringat pada buku yang ketinggalan, dan mengambilnya malam ini juga. Kalau tidak, pasti kita takkan berjumpa dengan Jeff."
Kedua anak itu berpisah di pintu pagar. Peter masuk ke rumah, dan langsung ke kamarnya. Mula-mula ia ragu, apakah sebaiknya membangunkan Janet untuk menceritakan perjumpaannya dengan Jeff di rumah pohon. Tapi akhirnya ia memutuskan untuk mengurungkan hal itu sampai besok saja,
Keesokan harinya semua anggota Sapta Siaga gempar, ketika mendengar akan diadakan rapat untuk merundingkan persoalan yang menyangkut diri Jeff.
"Bagaimana, apakah kita juga bisa mengajak Skippy"" tanya Pam. "Dan apakah kucing Jeff tidak akan takut padanya""
"Tidak. Skippy ramah terhadap kucing," kata Peter. "Lagi pula, tugasnya kan menjaga di bawah pohon. Sedang kucing itu di atas, bersama Jeff Oh ya, aku tak boleh lupa membawa sebotol susu, sebuah piring, dan beberapa potong ikan."
"Kebetulan sekali, tadi kami sarapan dengan ikan," kata Janet. "Kubawakan beberapa potong, dan kubungkus dalam kertas. Kasihan kucing itu. Parah sekalikah lukanya" Keterlaluan benar, ada orang yang sampai hati menyiksa anak kucing!"
Tepat pukul sepuluh pagi, anggota-anggota Sapta Siaga berkumpul di bawah pohon mereka. Dengan berbisik, mereka menyebutkan kata sandi mereka pada Peter,
"Petualanga n! " "Petualangan! "
"Petualangan! He - masih adakah anak itu di atas""
"Ya. Kau memakai lencanamu" Bagus! Sudah lengkapkah kita semua" Nah, sekarang kita memanjat ke atas. Skippy, jaga baik-baik ya!"
S"kippy memandang tuannya sambil mengibas-ngibaskan ekor. Sesudah itu dia berlari ke pos penjagaannya di depan lubang pohon yang tak "jauh dari tempat perundingan rahasia. Anjing spaniel itu duduk di atas tikar, dengan mimik yang seakan-akan hendak mengatakan, "Awas! Aku sedang menjaga. Jangan main-main! Guk!"
Peter yang memanjat duluan. Botol susu diselipkannya dalam saku celana, sedangkan piring kecil digigitnya. Yang lain-lain menyusul. Peter melihat Jeff di sela-sela daun-daun. Anak itu mengintip ke bawah dengan cemas, ketika mendengar suara orang memanjat pohon tempatnya bersembunyi.
"Halo, Jeffl" panggil Peter, ketika sampai di panggung yang merupakan lantai rumah pohon mereka. "Enak tidurmu tadi malam" Bagaimana keadaan anak kucingmu""
"Kakinya sudah tidak begitu parah lagi," jawab Jeff. "Aku pun tidur nyenyak. Hanya kalau angin bertiup terlalu kencang, aku terbangun. Berapa orang teman-temanmu yang datang" Apakah mereka nanti tidak akan membuka rahasia tempat persembunyianku ini""
"Kami datang bertujuh," jawab Peter. "Ayo, Jeff, bergeserlah sedikit, supaya kita bisa duduk semua. Kami ini anggota-anggota suatu perkumpulan rahasia, namanya Sapta Siaga. Kami biasa mengadakan pertemuan-pertemuan rahasia. Pada saat itu, setiap anggota harus menyematkan lencana keanggotaan, dan menyebutkan kata sandi. Kalau ada persoalan "yang dapat kami lakukan, kami pun mulai beraksi. "
Jeff duduk di ujung panggung, sambil memperhatikan satu per satu anak yang naik ke atas. Colin sudah dikenalnya kemarin malam. Kemudian menyusul Barbara, Janet, Pam, George, dan Jack. Semuanya naik, lalu tersenyum ramah padanya. Kucing Jeff pun menyapa ramah dengan mengeong.
"Ini, kami bawakan susu. Kucing yang malang!" kata Peter sambil menuangkan sedikit susu ke piring. "Janet, mana ikan yang kaubawa""
Untuk sesaat para anggota Sapta Siaga melupakan rapat mereka. Ketujuh anak itu berkerumun di atas panggung sempit, memperhatikan kucing yang lapar itu menghirup susu dan kemudian melahap ikan. Jeff ikut memperhatikan. Dilemparkannya senyuman pada ketujuh teman barunya.
"Terima kasih," ujarnya, "terima kasih banyak atas kebaikan hati kalian!"
" 10 Jeff Berusaha Mengingat Kembali
"PETER juga membawa bekal daging yang diawetkan serta sepotong kue tar untuk Jeff. Sedangkan Colin membawa roti tawar, sekaligus menteganya. Jeff kelaparan sekali! Roti dimakannya begitu saja, tanpa diiris lagi.
Teman-temannya memandang dengan mulut ternganga, menatap anak itu merobek-robek roti dengan giginya, lantas langsung menelan tanpa mengunyah.
Dengan lembut Janet mengambil roti dari tangannya. Roti itu diirisnya, lalu dioles dengan mentega dan diberi daging, Sesudah itu irisan tadi diserahkan pada Jeff.
"Sekarang makanlah. Pasti lebih enak daripada roti tanpa apa-apa!"
Jeff menyikat habis semua bekal makanan yang dibawa anak-anak. Hanya biskuit yang tak dijamahnya, karena memang disimpan untuk dimakan kalau hari sudah agak siang. Sehabis makan, Jeff mengusap mulutnya dengan lengan kemeja. Ia mengembuskan napas puas.
"Ah, bukan main nikmatnya," ujar anak itu. "Tak dapat kalian bayangkan, betapa sedapnya makanan tadi!"
Anak kucing si Jeff juga sudah menghabiskan makanan yang dibawakan untuknya. Sekarang dia duduk di samping Jeff, sambil menggosok-gosok muka dengan kaki depannya.
Makhluk Mungil Pembawa 1 Pendekar Pulau Neraka 05 Pengantin Dewa Rimba The Proposal 4

Cari Blog Ini