Ceritasilat Novel Online

The Proposal 4

The Proposal The Proposition 2 Karya Katie Ashley Bagian 4


sendiri. Suara frustasi datang dari belakang tenggorokan Pesh. Pesh
melepaskan pelukannya dari Emma, ia bergeser ke tempat duduk
yang lain dan mengetuk pintu pengemudinya. "Ed, aku pikir ini
waktunya kau berputar dan membawa kami kembali. Ini sedikit
terlalu dingin bagi Emma untuk keluar selama ini."
"Baik, Tuan." Selama sisa perjalanan mereka, Pesh duduk berhadapan dengan
Emma, dan mereka mengobrol tentang Atlanta, bukan tentang apa
yang terjadi atau yang tidak terjadi diantara mereka. Emma merasa
membeku saat mereka kembali ke mobil. Ia mendekatkan tangannya
ke depan pemanas sambil bergerak-gerak menikmati tempat duduk
yang hangat. "Aku minta maaf kau jadi kedinginan. Seharusnya aku menyadari
cuacanya tidak bersahabat untuk naik kereta kuda."
Sambil menggosokkan kedua tangannya, Emma menoleh dan
tersenyum padanya. "Tidak, aku menikmatinya. Semua yang terjadi
malam sangatlah indah."
"Hmm, haruskah aku menerima itu sebagai pujian yang nyata
mengingat kau sudah terkurung selama dua minggu?"
Emma tertawa. "Ya, kau harus menerimanya. Meskipun kau
mungkin saja membawaku ke suatu acara yang aku benci seperti
acara olah raga, dan aku mungkin akan menikmatinya."
"Tidak suka olah raga, huh?"
Sambil mengerutkan hidungnya, Emma berkata, "Hatiku selalu
bersama dengan teater dan seni."
Pesh tersenyum. "Aku akan selalu mengingatnya."
Mereka baru saja memasuki jalan tol saat kelelahan mulai terasa.
Kehangatan dalam mobil dan kenyataan bahwa Emma tidak
melakukan apapun dalam seminggu membuatnya berusaha untuk
menjaga matanya tetap terbuka. Tidak butuh waktu lama sebelum
akhirnya ia pun tertidur.
Sentakan mobil berhenti membuat Emma terbangun. Matanya
terbuka mengamati jalan rumah Aidan. Menguap, Emma menoleh
pada Pesh. "Aku teman yang cukup kasar, ya?"
Pesh menggelengkan kepalanya. "Aku terkejut kau berhasil
melakukannya sejauh ini. Ini adalah hari yang besar."
"Ya, benar." "Mari, biarkan aku mengantarmu sampai ke depan pintu."
Saat Pesh mulai memutari mobilnya, Emma mengambil tasnya.
Rumahnya tampak gelap saat mereka berjalan di jalan depan rumah.
Aidan tidak menyalakan lampu teras untuknya. Emma menarik
napas dengan gemetar saat berpikir akan menghadapi Aidan lagi.
Saat mereka ada di teras, Emma menoleh pada Pesh. "Aku ingin
berterima kasih padamu lagi atas sore yang menyenangkan ini."
Pesh tersenyum. "Itu adalah kesenanganku. Aku berharap kita bisa
melakukannya lagi." Emma mengangguk. "Aku juga." Emma mencodongkan tubuhnya ke
depan untuk mencium pipi Pesh. Saat Emma akan menarik dirinya
sendiri, dengan cepat Pesh menoleh dan memagut bibir Emma. Dan
sebelum Emma menyadarinya, bibir Pesh sudah berada di bibir
Emma. Dalam sedetik mereka saling berciuman, lidah Pesh masuk
ke mulut Emma, dan Emma tahu ini adalah segalanya.
Pesh memeluk Emma, menenggelamkan Emma dalam pelukannya.
Emma meletakkan tangannya di dada Pesh, tapi bukan
mendorongnya menjauh, Emma meluncurkan tangannya ke leher
Pesh dan memainkan jari-jarinya di rambut Pesh.
Dengan tindakan Emma, sebuah geraman menggema di dada Pesh.
Tanpa peringatan, Pesh mendorong Emma sampai punggungnya
menyentuh dinding bata. Saat Pesh menekan dirinya pada Emma,
Emma bisa merasakan kain gaunnya naik sampai ke pahanya,
tersangkut di dinding yang kasar. Tapi ia tidak peduli. Emma merasa
tidak cukup dekat dengan Pesh. Aroma Pesh, cara tubuhnya menyatu
dengan tubuh Emma, cara lidah Pesh membakar lidah Emma saat
melesat keluar masuk di mulut Emma.
Semua pikiran kesopanan terbang keluar dari kepala Emma.
Kenyatan Emma bermesraan dengan pria lain di teras depan rumah
Aidan seharusnya bisa langsung memadamkan semua hasrat yang
dirasakannya. Tapi sebaliknya, napas cepat Emma membuat dadanya
naik dan turun dalam tempo yang cepat.
Pesh melepaskan bibirnya dari bibir Emma dan mulai mencium
lehernya. Emma melemparkan kepalanya ke belakang untuk
memberikan akses kepada Pesh, Emma bergumam, "Mmm, oh
Aidan." Mata Emma terbuka saat bibir Pesh membeku. Sebuah teriakan
tercekik keluar dari tenggorokkan Emma saat ia mendorong tubuh
Pesh menjauh. Ya Tuhan, Emma menyebutkan namanya. Saat gairah
yang murni dan menggebu-gebu dengan Pesh, Emma memanggil
nama Aidan. Air mata penuh rasa malu mengancam tumpah saat
Emma berbalik untuk berlari ke dalam rumah.
Pesh menarik tangan Emma. "Emma, tunggu."
"Ya Tuhan, maafkan aku! Aku benar-benar minta maaf!" Emma
berteriak, saat air mata membasahi pipinya. Ia menarik dirinya dari
Pesh untuk melarikan diri karena ia tidak berani menatap wajah
Pesh. "Hentikan itu, dan lihat aku!" perintah Pesh.
Emma mengalihkan pandangannya dari ubin teras ke wajah Pesh.
"Kumohon, biarkan aku pergi. Tidak ada yang bisa kau ucapkan
yang bisa membuatku semakin membenci diriku sendiri lebih dari
yang sudah aku lakukan."
Keterkejutan membanjiri Emma saat Pesh menariknya dalam
pelukan yang erat. "Aku tidak membencimu, jadi kau seharusnya
tidak membenci dirimu sendiri."
Ia menyentakkan kepalanya dan menatap Pesh dengan tidak yakin.
"Aku baru saja menyebut nama laki-laki yang mematahkan hatiku
saat aku menciummu!"
Ekspresi Pesh berubah sedih. "Dan saat aku mendorongmu ke
belakang sampai ke tembok itu, semua yang aku lihat di pikiranku
adalah Jade, dan semua yang ingin aku rasakan adalah dia."
Bukannya menjadi marah, hati Emma malah terasa sakit untuk Pesh.
"Aku sangat, sangat menyesal."
"Aku pikir ia ingin menegaskan apa yang selama ini aku takutkan.
Kita hanya dua orang yang patah hati yang tidak siap dengan orang
lain, tidak peduli bagaimana kita mencoba untuk memaksanya."
Pesh menyampirkan sehelai rambut di wajah Emma ke telinganya.
"Kita berdua masih sangat mencintai orang lain itu."
"Aku ingin mencintai Aidan...maksudku, aku memang mencintainya,
mencintainya setengah mati, tapi aku takut membiarkan diriku
sendiri merasakannya. Istrimu selalu setia padamu. Dia tidak akan
pernah meninggalkanmu."
"Aku akui, Aidan masih membuatku marah sampai aku ingin
menyakiti tubuhnya. Tapi dia mencintaimu, Emma. Ia telah
meninggalkan pekerjaan dua minggu terakhir untuk mencoba
mendapatkan perhatianmu."
"Tapi ia bahkan tak pernah mengucapkan kata-kata itu. Setiap kali ia
mencobanya, ia selalu mendapat gangguan dan kemudian ia tak
pernah berusaha lagi!"
Pesh menyentuh dagu Emma dengan jarinya dan memaksanya untuk
menatap matanya. "Aku ingin kau berpikir tentang ini sebentar"
Mana yang lebih baik" Kata-kata yang diucapkan lalu ditarik
kembali dengan ringan dan mudahnya, atau kau lebih memilih
tindakan?" Sebuah gambaran perilaku Aidan selama seminggu terakhir terlintas
di benaknya. Aidan telah mempertaruhkan pekerjaannya untuk
merawatnya. Belum lagi, ia telah memasak semua yang diinginkan
Emma, keluar tengah malam hanya untuk membeli bacon dan ice
cream, memijat kaki Emma sambil menonton film-film cewek yang
dibencinya dan memeluknya saat ia merasa putus asa.
Pesh tersenyum. "Aku tak tahu kenapa ia tidak bisa mengucapkan
kata-kata itu, tapi aku tahu pasti ia mencintaimu. Sepanjang
hidupnya, mungkin Aidan hanya mencintai dirinya sendiri melebihi
orang lain di dunia ini. Dan sekarang ia lebih mencintaimu." Tangan
Pesh menyentuh dengan lembut perut Emma. "Dan ia mencintai
anaknya." Sebuah isakan menembus dada Emma, dan ia tidak bisa menahan air
matanya. Ia memeluk Pesh dengan erat. "Mengapa kau harus
bersikap begitu luar biasa" Seharusnya kau marah besar dan
melempar kursi atau meja, menyebutku wanita penggoda atau
sesuatu seperti itu!"
Pesh tertawa. "Dan yang terakhir adalah aku seorang yang munafik.
Aku tahu persis bagaimana perasaanmu."
"Kau pasti akan menjadi suami yang luar biasa." Emma menarik
dirinya untuk menangkup wajah Pesh dengan tangannya. "Aku ingin
seorang istri dan keluarga untukmu melebihi apa yang bisa kau
bayangkan." "Ini memang belum waktunya, Emma."
Emma mencium pipinya dengan lembut. "Aku akan berdoa agar
hatimu terbuka untuk seseorang. Jade pasti ingin kau bahagia."
Pesh mengatupkan rahangnya, dan Emma tahu ia berusaha menahan
emosinya. "Aku tahu," bisik Pesh.
"Lalu buatlah dua wanita yang memujamu bangga dan temukan
seorang istri untukmu."
Mulut Pesh menganga saat menatap Emma. Emma tersenyum dan
mengangguk. "Aku benar-benar peduli padamu, Pesh. Aku sadar
sekarang, perasaanku padamu tidak sepenuhnya romantis, terlepas
dari perilakuku di kereta kuda dan di teras ini. Dan terlepas dari
kenyataan aku mencintai Aidan, aku tidak bisa menahan diri untuk
sangat peduli padamu."
"Aku juga peduli padamu, Emma. Dan aku ingin kau bahagia
melebihi apapun di dunia ini." Pesh membungkuk dan berbisik di
telinganya, "Dan aku pikir kebahagiaan itu tepat ada di balik pintu di
dalam sana." Air mata menyengat mata Emma. Tak dapat berbicara, Emma
menganggukan kepalanya atas pernyataan itu. Saat Pesh menarik
dirinya, ia mengedipkan mata pada Emma. "Cepatlah masuk dan
buatlah Aidan bahagia."
Emma memberikan ciuman terakhir di pipinya sebelum ia mencari
kunci di saku mantelnya. "Terima kasih untuk semuanya."
"Terima kasih kembali." Pesh melambaikan tangan sebelum
bergegas menuruni tangga teras dan menuju ke mobilnya.
Jari-jari Emma bergetar saat ia membuka pintu. Ragu-ragu, ia
melangkah memasuki rumah. Kegelapan menyelimutinya saat ia
melewati ruang tamu. Ia terkejut tidak menemukan Aidan terbangun.
Hidungnya mengkerut saat ia melihat kaleng-kaleng bir mengotori
meja kopi. Saat ia melepaskan mantelnya, sesuatu yang hangat dan berbulu
menyentuh kakinya. "Aw, boy, apa kau menungguku pulang?"
Beau merengek dan menyentuh perut Emma. "Kami sudah di rumah
sekarang. Kau tak perlu khawatir lagi." Ia mengulurkan tangannya
untuk menggaruk belakang telinga Beau. "Dimana Daddy, boy?"
Ia menggonggong dan kemudian melangkah ke tangga. Dengan
kejadian terakhir yang telah terjadi tadi, ia tidak terlalu terkejut
bahwa Aidan tidak ingin berpisah dengan Emma jadi Aidan tidak
tidur di kamarnya sendiri. Menaiki tangga satu per satu, ia lalu
mengendap-endap menyusuri lorong ke kamar tamu. Cakar Beau
bergemeletak di belakangnya. Saat ia sampai di pintu, Emma
menoleh pada Beau. "Tetap di sini, boy."
Beau dengan enggan membaringkan dirinya untuk tetap berada di
luar kamar. Emma tersenyum padanya. "Bagus, Beau."
Tangannya bergetar membuatnya sulit untuk membuka pintu.
Dengkuran pelan Aidan terdengar olehnya saat ia melangkah ke
dalam kamar yang lebih gelap. Sejak Aidan benci tidur di kamar
yang gelap, lampu tidur yang ada di sebelah tempat tidur menerangi
langkah Emma melintasi kamar. Emma duduk di sebelahnya. Aidan
tidur terlentang, selimut teronggok di pinggangnya sementara satu
tangan ada diatas kepalanya.
Saat Emma menatapnya, ia bertanya dalam hati bagaimana ia bisa
berpikir menginginkan pria lain. Rasa malu membuatnya bergidik
saat ia membayangkan bagaimana ia mencium Pesh ketika semua
yang ia inginkan hanyalah bibir Aidan dan sentuhan tangan Aidan.
Sama seperti Aidan yang berusaha mengingkari perasaannya pada
Emma dengan membawa ke rumah wanita asing, Emma juga telah
mencoba hal yang sama dengan Pesh. Dan seperti Aidan, tidak ada
satupun yang ia lakukan dengan Pesh dapat menghilangkan perasaan
Emma yang sebenarnya untuk Aidan.
Akhirnya, hanya ada dua cinta di kehidupannya - Travis dan Aidan.
Ia mengusap pipi Aidan dengan punggung tangannya. Membuat
Emma tersenyum karena menyadari bagaimana Aidan selalu
bercukur karena ia tahu Emma menyukainya.
Ketika Aidan tidak terbangun karena sentuhannya, ia membungkuk
dan mencium bibir Aidan. Emma bangun dan menatap wajah
tidurnya. "Aku mencintaimu, Aidan Fitzgerald. Aku selalu
mencintaimu, dan selalu akan mencintaimu. Aku minta maaf karena
menyakitimu," bisik Emma.
Aidan merengut dalam tidurnya, tangannya mengepal selimut.
"Em...Em kumohon...Aku...Aku mencintaimu."
Jantung Emma tersentak dan kemudian berdetak lagi. Tangannya
menyentuh dada dan mengusapnya dengan pelan, rasa sakit
membakarnya. Aidan menyebut namanya. Entah bagaimana, entah
dimana di alam bawah sadarnya ia benar-benar menginginkan
Emma, dan ia mengatakan kata-kata yang sudah lama ingin Emma
dengar. Saat itu, yang Emma inginkan tidak lebih dari bercinta
dengannya dan benar-benar memantapkan perasaan mereka satu
sama lain. Dengan ciuman yang lain dari Emma, Aidan masih tetap tertidur
nyenyak. Menggigit bibirnya, Emma tahu satu cara yang harus ia
lakukan untuk membangunkannya untuk memastikan Aidan siap dan
bersedia. Dengan membungkuk Emma mulai mencium jejak lembab
di dada telanjang Aidan. Ketika ia sampai di pinggang celana
dalamnya, Aidan tetap tertidur. Emma menarik celananya ke bawah,
ia mengambil kemaluannya dengan tangan. Jari-jarinya bekerja di
atasnya dan kemaluannya mulai membesar. Aidan bergeser di tempat
tidur, tapi napasnya tidak berubah.
Saat Emma menyelipkannya masuk ke mulutnya, pinggulnya
menarik mundur. Lalu sebuah erangan rendah bergemuruh di dada
Aidan. "Emma," gumamnya dan Emma berhenti. Jantung Emma
terasa berhenti saat ia menyadari Aidan masih tertidur dan menyebut
namanya. *** Bab 14 Aidan berusaha mengguncang dirinya sendiri untuk keluar dari
mimpinya. Sekali lagi, malam-malamnya dipenuhi dengan Emma.
Hari-harinya dipenuhi dengan berkembangnya perasaannya yang
sakit dan sekarang ia bahkan tersiksa dalam mimpinya. Secara fisik
malam ini terasa menyakitkan saat ia benar-benar bisa merasakan
bibir Emma di bibirnya, menggerakan batangnya keluar dan masuk
dari mulut Emma yang hangat.
Aidan menggeram. "Emma," gumamnya. Tuhan, ia menginginkan
Emma. Ia ingin memeluknya dan menenggelamkan dirinya ke dalam
diri Emma. Ia ingin mendengarkan Emma berteriak menyebut


The Proposal The Proposition 2 Karya Katie Ashley di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

namanya lagi seperti sebelumnya. "Emma, aku membutuhkanmu."
"Aku ada di sini, sayang, dan aku tidak ingin apapun selain bercinta
denganmu." Mata Aidan tersentak terbuka. Ia menyadari ia tidak sendirian di atas
tempat tidur. Ini bukan mimpi tentang Emma. Ia benar-benar ada dan
mengangkangi dirinya sementara mulut dan lidahnya ada di atas
bagian ereksinya. "Tidak, tunggu," kata Aidan parau. Ketika Emma
menjilat lalu menghisap satu bolanya ke dalam mulutnya, Aidan
menjatuhkan kepalanya ke bantal. Sial, ini sudah begitu lama.
Pinggul Aidan bergerak tanpa sadar, menyodokkan kemaluannya
lebih dalam ke mulutnya. Tidak, Tidak, Tidak. Ia tidak bisa melakukan ini. Hubungan mereka
dimulai karena sex, dan ia tidak ingin memulainya kembali dengan
cara yang seperti itu. Sekarang adalah waktu tentang cinta - cinta
yang murni dan indah. Aidan mendorong dirinya sendiri ke posisi
duduk. "Tidak, Emma, jangan," katanya.
Mata Emma melirik dari kemaluan Aidan ke matanya dengan
terkejut. Aidan menggelengkan kepalanya. "Aku tidak ingin kau
melakukan ini." Emma menarik dirinya dengan sangat kasar, hingga Aidan
mengernyit saat gigi Emma menggores batang kemaluannya. Aidan
mencoba meraih bahu Emma, tapi ia berdiri darinya dengan cepat
sehingga Aidan tak bisa meraihnya. Ia lari masuk ke kamar mandi
dan membanting pintu. Aidan memutar matanya ke langit-langit. Mengapa ia tampak seperti
memiliki bakat untuk benar-benar mengacaukan segala sesuatunya
di setiap saat ia berada bersama Emma" Ia membuang selimut dan
bergegas ke kamar mandi. Ia bisa mendengar Emma menangis. Saat
ia meraih gagang pintu, ia mendapati pintu itu terkunci. "Em,
maafkan aku. Kau salah paham, aku bersumpah."
Saat Aidan berkata seperti itu, Emma menangis semakin kencang.
Aidan mengetuk pintu kayu dengan kepalan tangannya dengan
sangat keras hingga tangannya terasa sakit. "Sialan, Emma,
kumohon bisakah kau membuka pintunya dan biarkan aku
menjelaskan semuanya?"
"Bagaimana mungkin aku bisa salah paham padamu" Kau berkata
kau tidak ingin tidur denganku!" jeritnya diantara isakan tangis
seperti paku yang terdorong masuk ke hati Aidan.
Aidan semakin frustasi, dan ia pun menendang pintunya. "Em, apa
pernah aku tidak menginginkanmu setiap waktu dalam hubungan
kita" Kau selalu membuatku terangsang hanya dengan bersamamu di
dalam ruangan yang sama."
Tangisan Emma bertambah kencang, dan Aidan bisa mendengar
Emma mengorek-ngorek bawah meja yang ia asumsikan seperti
Emma mencari tisu toilet. Asumsinya benar saat ia mendengar
Emma mengeluarkan ingus dari hidungnya dengan sangat keras.
Aidan menggaruk-garuk rambutnya yang acak-acakan dengan
tangannya, ia menggeleng-gelangkan kepalanya dengan keras. Ia
tahu ia harus melakukan sesuatu dan melakukannya dengan cepat. Ia
mulai kehilangan Emma dan mengarahkannya pada Pesh, dalam
kondisi Emma yang rapuh fisik dan mental seperti ini sudah cukup
membuatnya mencapai batas. Aidan menghela napas. "Jadi kau
benar-benar ingin membuatku melakukannya dengan cara seperti ini
- mengenakan celana pendek dengan kemaluanku yang mengeras
hasil dari mulutmu yang nikmat sementara kau menangis di dalam
kamar mandi?" "Kumohon... Tinggalkan aku sendiri."
"Tidak, aku TIDAK akan meninggalkanmu sendiri. Aku ingin
bersamamu, Em. Aku ingin bersamamu di SETIAP saat di SETIAP
hari!" Saat jantung Aidan berdetak lebih cepat, ia menarik napas
dengan sedikit tak beraturan. Ini saatnya. Sekarang atau tidak
selamanya. "Dan tahukah kau mengapa" Karena aku mencintaimu! Kau
mendengarnya" Aku mencintaimu, Emma Harrison! Aku
mencintaimu sepenuh hatiku. Jika aku jujur dengan diriku sendiri,
mungkin aku telah mencintaimu sejak malam pertama di O'Malley.
Aku hanya tidak bisa mengatakannya hingga saat ini."
Keheningan bergema kembali di diri Aidan. "Percayalah padaku. Ini
terjadi bukan karena aku tidak menginginkanmu tetap menghisap
milikku. Ini terjadi karena aku tidak ingin kita bercinta sampai aku
mengatakan padamu bagaimana perasaanku padamu. Meskipun
dokter berkata kita bisa melakukannya, aku tidak ingin berhubungan
sex denganmu. Aku ingin bercinta denganmu, Em." Aidan menatap
pintu tertutup itu. Mengapa Emma tidak mengatakan sesuatu"
Mengapa Emma tidak membuka pintu dan berlari ke pelukannya"
Bukankah ia sudah mengatakan apa yang ingin Emma dengar"
Aidan tidak tahu apa lagi yang bisa ia lakukan, jadi ia tetap berbicara
terus dari dalam hatinya. "Semuanya telah menjadi gila karena Pop
dan kau dan juga si brengsek Alpesh yang mencoba mencurimu
dariku dan membuatku gila karena cemburu. Aku sangat, sangat
menyesal aku tidak mengatakan padamu bahwa aku mencintaimu di
hari itu di dermaga. Bahkan sebelum kau mengatakannya padaku,
aku tahu bagaimana perasaanku, dan itu benar-benar membuatku
ketakutan. Aku merasa perasaanku padamu terlalu cepat
dibandingkan dengan Amy di empat tahun kebersamaan kami."
Ketika Emma tetap tidak berkata apapun, tenggorokan Aidan terasa
terbakar saat air mata memenuhi matanya. Sial, Aidan tak pernah
ingin menangis di depan Emma. Aidan menempelkan dahinya di
pintu. "Kumohon, Em. Aku sangat mencintaimu sampai terasa sakit.
Aku merasakanmu di jiwaku. Kumohon... Aku tidak bisa hidup
tanpamu. Aku ingin bersamamu di setiap menit hari-hariku. Aku
ingin menikah denganmu dan hidup bersamamu. Aku ingin
membesarkan Noah dan menjadi keluarga bersama. Kumohon...
Kumohon katakan padaku kau ingin bersamaku selamanya."
Ketika pintu mulai terbuka, Aidan harus menahan tangannya di
kusen pintu agar tak terjatuh ke depan. Emma berdiri di depannya,
dengan mata melebar, mulut menganga, dan air mata dengan
maskara hitam mengalir di pipinya. Emma berjalan perlahan ke
arahnya. "Katakanlah lagi," akhirnya Emma berbisik.
Sebuah isakan tersedak di tenggorokan Aidan. "Aku mencintaimu."
"Oh, Aidan," jawab Emma. Emma menangkup wajah Aidan dengan
tangannya, menghapus air mata yang mengalir di pipi Aidan dengan
ibu jarinya. Emma mencium bibirnya dan memberinya ciuman yang
lembut. Saat Emma menarik dirinya, ekspresinya adalah campuran
dari kebahagiaan dan penyesalan. "Aku minta maaf untuk malam ini
dan menyakitimu karena Pesh. Jauh di lubuk hatiku, aku tak akan
pernah berhenti mencintaimu, dan kau benar saat kau berkata
perasaan kita telah tumbuh dalam waktu dua minggu terakhir. Itu
hanya... Aku marah dan benci dan juga patah hati atas apa yang kau
telah lakukan. Tapi meskipun aku ingin membencimu, aku tak
pernah bisa melakukannya. Dan sekali lagi kau benar karena aku
pikir aku bisa menghilangkan perasaanku padamu dengan cara
memulai suatu hubungan dengan Pesh, tapi aku tak bias." Emma
menyentuh pipi Aidan dengan tangannya. "Aku bersumpah padamu
bahwa hatiku akan selalu menjadi milikmu."
Aidan menggelengkan kepalanya dengan keras. "Kau tidak
seharusnya menunggu, Em. Sebagian dari diriku ingin kau dan Pesh
berakhir dengan bersama-sama. Aku tahu ia bisa memberimu semua
yang seharusnya aku bisa berikan tanpa ada pertanyaan, dan
cintanya tidak akan pernah ternoda oleh kecurangan."
Emma menyentuhkan jarinya di mulut Aidan untuk membuatnya
diam. "Berhentilah menghukum dirimu sendiri. Kau telah
melakukan kesalahan, dan sekarang itu sudah dimaafkan."
Aidan menarik napasnya. "Benarkah?"
"Oh ya." Emma memberikannya sebuah ciuman yang lama sebelum
ia menarik dirinya. "Dan seharusnya aku tidak pernah pergi keluar
dengan Pesh malam ini. Itu tak hanya tidak sopan dan menyakitimu,
itu adalah kebodohanku yang mencoba mempertaruhkan nasibku
sendiri. Disamping itu, Pesh tidak pernah memberiku seperti yang
telah kau berikan. Kau membuat mimpiku menjadi kenyataan
dengan memberiku Noah. Kenyataannya adalah aku jatuh cinta
padamu melebihi semua yang bisa aku bayangkan. Dan sekarang
aku tahu kau mencintaiku lagi - " Isakan tangisnya memotong suara
Emma. Aidan dengan lembut menghapus air mata Emma dari pipinya.
Aidan tidak tahan melihatnya menangis, terutama sejak segalanya
pada akhirnya menjadi benar diantara mereka. "Aku serius ingin
menikah denganmu, Em. Tapi aku ingin melamarmu dengan cara
yang benar - bukan dengan setengah telanjang dan kemaluan yang
sekeras kayu. Aku ingin meminta ijin pada Earl, dan aku ingin
berlutut dengan satu kaki dan meletakkan cincin di jarimu. Kau
layak mendapatkan itu, dan aku ingin kau mengalaminya."
Mata hijau Emma melebar. "Benarkah?"
Aidan menganggukan kepalanya. "Aku berjanji."
"Oh Tuhan, kau membuatku sangat, sangat bahagia!" Emma
menangis, memeluk leher Aidan. Aidan mengayunkan badan Emma,
memeluknya dengan erat. "Aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku
mencintaimu," gumam Emma di telinga Aidan.
"Aku juga mencintaimu," jawab Aidan.
Emma menggeliat melawannya, dan saat Aidan melonggarkan
pelukannya, Emma menatapnya dengan pencampuran agresif antara
cinta dan gairah di matanya. "Bercintalah denganku Aidan," pinta
Emma. "Apa itu yang kau inginkan" Karena tidak ada yang lain di dunia ini
yang lebih ingin aku lakukan."
Emma menggesekkan pinggulnya pada Aidan, Emma berkata, "Aku
menginginkanmu lebih dari apapun di dunia ini."
Tangan Aidan memegang resleting di punggung Emma. Ia
membukanya dengan sangat perlahan. Emma menggoyangkan
badannya, mencoba dengan cepat melepaskan gaunnya. "Mengapa
kau begitu lama?" Aidan terkekeh. "Aku tidak menyadari kau begtu ingin cepat
telanjang." Mata hijau Emma tampak menyala padanya. "Aku ingin dekat
denganmu sedekat yang aku bisa. Aku perlu merasakan kulitmu di
kulitku. Lalu aku tahu semua ini nyata... Kita akan benar-benar
menyatu di tempat dimana kita memulainya."
Dengan sebuah erangan, Aidan menyentakkan tali gaunnya terbuka,
membiarkannya bergelung di lantai. Aidan membuka kaitan branya
dan melemparkannya. Saat tatapan kelaparan Aidan memandang
payudara Emma, ia menjilat bibirnya sendiri sebagai antisipasi. "Ini
hanya aku atau - " Emma memutar matanya. "Cara untuk meruntuhkan sebuah
momen." Aidan terkekeh. "Maaf, tapi aku tak bisa tidak memperhatikannya
bahwa mereka... tampak lebih besar."
"Ya, dan mungkin mereka bisa bertambah besar lagi. Apa kau tidak
ingat aku pernah mengatakannya padamu?"
"Itu pasti terlewatkan dalam pikiranku." Dengan seringainya, Aidan
berkata, "Percayalah padaku, aku bukannya komplain."
Emma nyengir. "Aku tidak berpikir kau akan complain."
Aidan mencium sepanjang pipinya dan menggigit lehernya
sementara tangannya menangkup dan meremas payudaranya yang
membesar. Bibir Aidan mencium bibir Emma sambil membelai
tubuhnya sampai napas Emma menjadi terengah-engah di bibir
Aidan. Aidan melepaskan ciuman mereka untuk menghisap salah
satu puting Emma. Emma menarik helaian rambut Aidan saat Aidan
memutar-mutar lidahnya di puting sensitif Emma. Kemudian Aidan
menggigit lembut putingnya dengan gigi, Emma berteriak, sambil
mendorong payudaranya ke arah mulut Aidan.
Setelah Aidan membuat salah satu putingnya mengeras, ia mulai
menghisap dan menggigit putingnya yang lain. Sementara itu, Emma
mulai menggesekan dirinya pada ereksi Aidan. "Aku ingin dirimu
sekarang, Aidan. Kumohon," kata Emma terengah-engah.
"Ini sudah terlalu lama, bukan?" gumam Aidan di payudaranya.
"Oh, ya," seru Emma, menyodorkan pinggulnya melawan tangan
Aidan saat tangannya terbenam di bawah pinggangnya.
Ibu jari Aidan menyelip masuk ke karet pinggang celana dalam
Emma lalu menariknya turun ke pahanya. Saat celana dalamnya
menggantung di lutut Emma, Emma menendangnya lepas. Jari-jari
Emma kemudian berjalan ke boxer pendek Aidan untuk
melepaskannya dari pinggulnya.
Berdiri telanjang bersama, mereka saling menatap mata satu sama
lain. "Aku pikir kita bisa melewatkan sebagian besar tahapan
foreplay-nya, kan?" "Mmm, hmm", gumam Emma sambil menjalankan tangannya ke
dada telanjang Aidan. Aidan menjatuhkan dirinya sendiri ke atas tempat tidur. Dengan
memegang tangan Emma, Aidan menarik Emma ke badannya.
Emma mengunci matanya pada mata Aidan pada saat Emma bangkit
untuk mengangkanginya. Saat kehangatan diantara kakinya
menutupi batang kemaluan Aidan, Aidan mengerang. "Lilitkan
kakimu di sekitarku dengan erat, Babe."
Emma mematuhinya dengan cepat, dan kemudian Aidan mendorong
dirinya bersama ke tengah tempat tidur. Kemudian tangan Aidan
mulai menggali diantara kaki Emma, membuat Emma merintih. Saat
Aidan menyodorkan jarinya ke inti Emma, ia merasakan
cengkraman dinding-dinding vagina Emma. "Aku hanya ingin
memastikan kau siap untukku."
"Aku selalu siap untukmu, cintaku," bisik Emma.
Aidan menaruh kedua tangannya di pinggang Emma dan dengan
lembut mengangkat Emma. Aidan lalu mengarahkan ereksinya
diantara lipatan basah Emma. Saat Emma dengan perlahan meluncur
ke bawah di milik Aidan, Aidan memberikannya ciuman lembut di
sepanjang tulang selangkanya. Setelah semua milik Aidan tenggelam
di inti Emma, Aidan gemetar dengan kenikmatan. "Oh Tuhan, aku
rindu rasanya berada di dalammu."
Ketika Aidan mengangkat kepalanya, Emma tersenyum padanya.
"Aku merindukan setiap inci keindahan dirimu, juga."
Aidan tertawa. "Kau telah menyentuh egoku."
"Aku pikir kita pasangan yang cocok dan pas." Emma menatap
perutnya yang membesar. "Yah, kecuali untuk perut ini yang sedikit
menghalangi." Aidan menyingkirkan helaian rambut panjang pirang Emma dari
wajahnya. "Jangan pernah berpikir Noah sebagai penghalang. Ia
akan selalu menjadi tali yang mengikat kita bersama. Ia adalah cinta
kita yang tumbuh di dalam dirimu. Ia mungkin bukanlah alasan
mengapa aku jatuh cinta padamu, tapi ia adalah alasan mengapa aku
mendapatkan kesempatan lainnya di kehidupanku." Aidan
memberikannya ciuman yang mendalam dan lama. "Kau telah
menyelamatkanku, Emma."
Air mata menggenang di mata Emma yang hijau, dan dadanya naik
dan turun karena napas yang berat seperti ia sedang mencoba
menjaga emosinya yang bergulung-gulung di luar kendali. "Oh
Aidan." Emma menangkup wajah Aidan dengan tangannya. "Aku
sangat mencintaimu," gumam Emma di bibir Aidan.
Dengan menindih dari dada ke dada, Emma mulai mengangkat
pinggulnya saat Aidan menyodok pinggulnya. Emma terengah-engah
perlahan di telinga Aidan, mengguncangnya pelan membuatnya
semakin dalam dan semakin dalam. Saling membungkus bersama,


The Proposal The Proposition 2 Karya Katie Ashley di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka tetap saling menatap mata satu sama lain. Mereka adalah
jalinan sepasang tangan dan sepasang kaki - tapi mereka adalah satu.
*** Bab 15 Dua Minggu Berikutnya Bunyi dering ponselnya membangunkan Emma dari tidur lelapnya.
Meraba-raba di meja samping tempat tidurnya, Emma akhirnya
berhasil mendapatkan ponselnya. Hampir otomatis ibu jarinya
menekan tombol penjawab dan menempelkan di telinganya.
"Halo?" Emma menjawab parau.
"Em!" Casey menjerit sebelum menghilang dalam isak tangis.
Emma langsung terbangun seakan ia telah minum beberapa cangkir
kopi. "Case, ada apa?"
Di antara isak tangis, Emma hanya dapat mengira-ngira beberapa
kata. "Jason. Pendamping pria. Keracunan alkohol setelah pesta
lajang. Masuk rumah sakit. Perubahan mendadak untuk semua
pendamping mempelai. Acara pernikahan kacau."
Emma menarik dirinya ke posisi duduk. "Casey, tarik napas dalamdalam dan tenang,
oke" Pernikahanmu tak akan kacau hanya karena
seorang pendamping laki-laki dengan bodohnya membuat dirinya
mabuk berat sampai masuk rumah sakit."
"Tapi kami telah berlatih segala sesuatunya dengan tujuh
pendamping pria. Pengaturan pemotretan semuanya akan kacau!"
"Tak adakah teman Nate yang lain atau kerabat yang dapat
menggantikan Jason dan mengenakan tuksedo-nya?"
"Aku tak tahu! Lagipula siapa yang dapat mengenakan dengan pas
tuksedo seorang binaragawan sebesar 6'4 (193 cm)"!!?"
Emma menoleh di balik bahunya ke arah Aidan yang tertidur
nyenyak, dan sebuah ide muncul di kepalanya. "Um, yah, Aidan
punya tuksedo." Ada jeda yang lama. "Kau masih di sana?"
"Kenapa aku tak terkejut James Bond punya tuksedo sendiri?" jawab
Casey pedas. "Itu untuk tujuan pekerjaan, Case." Emma menghela nafas. "Dengar,
aku mengerti kalau dia masih bukan salah satu orang favoritmu, tapi
-" "Tidak, tidak, kau benar. Kita tak punya banyak pilihan, dan Nate
sebenarnya menyukai dia."
"Well, aku senang setidaknya salah satu dari kalian menyukai ayah
dari anakku." Casey mengerang. "Kau tahu aku menyukainya...aku hanya tidak
mencintainya kembali sepertimu."
"Jadi kau mau aku memberitahunya untuk berpakaian dan bersiap
untuk bergabung dengan pendamping mempelai pria yang lain siang
ini?" "Ya, aku akan sangat senang dan terhormat bila dia bersedia berada
di sana." Emma tertawa. "Yeah, kau terdengar sangat meyakinkan tentang
yang satu itu." Casey terkikik. "Aku akan berusaha saat aku menemuinya, oke?"
"Baiklah kalau begitu. Sampai ketemu nanti."
"Bye." Setelah Emma menutup telepon, ia menyusup kembali ke dalam
selimut. Merapat ke tubuh hangat Aidan ia membungkuk dan
mencium bibir Aidan. "Bangun, sayang."
Aidan meringis walaupun matanya masih tertutup. Emma
menciumnya lagi. "Em?" Aidan mendesah di sela-sela bibir Emma.
Emma menyundulkan keningnya ke leher Aidan, pahanya dikaitkan
ke paha Aidan. Mengira itu sebagai sebuah undangan, Aidan
mengalungkan lengannya di pinggang Emma dan menariknya ke
atas untuk menunggangi Aidan. Emma menggelengkan kepalanya.
"Whoa, cowboy, apa yang kau pikir kau lakukan?"
Aidan nyengir ke arahnya. "Kupikir kau lebih ke cowgirl dengan
posisi itu." Emma tertawa. "Yeah, kau tahu, cowgirl ini tidak siap untuk
menunggang hari ini." Saat Aidan merengut, Emma menambahkan,
"Setidaknya tidak saat ini. Aku mau memintamu sesuatu."
Aidan menaikkan alisnya pada Emma. "Apa itu?"
Emma lalu menceritakan semua yang ia bicarakan dengan Casey.
Saat ia selesai, Aidan menghela nafas dengan keras. "Maksudmu dia
benar-benar menginginkanku di pernikahannya?"
"Tentu saja." Aidan memberikan pandangan ragu. "Kau yakin?" saat Emma
menganggukkan kepalanya dengan antusias, Aidan menyeringai
padanya. "Emma Katherine Harrison, kau benar-benar pembohong
terburuk di dunia." "Dengar, Nate benar-benar menyukaimu, dan Casey juga selalu
menyukaimu. Dia hanya masih sulit untuk memaafkanmu." Jawaban
Emma menimbulkan erangan dari Aidan. "Apakah itu artinya kau
akan melakukannya?" "Tentu saja aku akan melakukannya."
"Makasih, makasih, makasih," jawab Emma sambil menciumi pipi
dan bibir Aidan. "Kau akan membuat Casey sangat bahagia dengan
melakukan ini. Dia berpikir hari bahagianya telah kacau. Tak ada
seorangpun wanita yang mau ada sesuatu sekecil apapun yang salah
di hari pernikahannya. Maksudku, itu seharusnya menjadi hari yang
paling membahagiakan di hidupmu, kan?"
Pandangan Aidan menerawang jauh. "Mungkin aku harus
menghubungi Casey dan mengatakan padanya aku akan
melakukannya. Kau tahu, aku ingin berusaha memperbaiki
semuanya." "Itu akan sangat bagus."
Aidan mencium bibir Emma dengan lembut, sambil mengelus
punggung Emma. "Kau pergilah dulu ke mandi. Aku akan bergabung
sebentar lagi." "Kenapa aku merasa cowboy ini akan berharap untuk ditunggangi
sampai matahari terbenam selama kita mandi?"
Aidan menjatuhkan kepalanya ke bantal dan tertawa terbahak-bahak.
"Pergilah dan biarkan aku bicara pada Casey."
"Baik, baik," Emma menggerutu dan memanjat turun dari Aidan.
Apapun yang Aidan katakan pada Casey, itu membutuhkan beberapa
saat untuk melakukannya. Emma baru saja keluar dari pancuran saat
Aidan masuk ke kamar mandi. "Semua baik-baik saja?" Emma
bertanya, sambil membungkus rambutnya dengan handuk. Saat
Aidan tidak menjawab, ia menangkap refleksi Aidan di cermin
kamar mandi. Aidan sedang menyikat giginya, tetapi bibirnya
membentuk senyum lebar. "Aidan, kau mendengarku?"
Aidan meludahkan pasta gigi dalam mulutnya. "Hah?"
"Aku menanyakanmu bagaimana hasil percakapannya?"
Sekali lagi, sebuah senyum lebar tersungging di bibirnya. "Berjalan
dengan amat sangat baik."
Emma menatap Aidan dengan curiga saat ia mengeringkan
tubuhnya. "Baiklah, bagus. Aku senang mendengarnya. Kau dan
Casey kembali berteman adalah jawaban dari doaku."
Aidan mematikan air. "Em, bukan aku yang belum bisa berteman
kembali dengannya. Maksudku, aku mendapat serangan di
kejantananku, Demi Tuhan!"
"Aku tahu bukan kau yang tak bisa menerimanya kembali. Emma
mencium bahu telanjang Aidan. "Itu sebabnya aku sangat bangga
padamu karena sudah berbesar hati untuk memperbaiki segalanya."
Aidan mengangkat alisnya. "Kau bangga padaku?"
"Mmm, hmm." Melihat Aidan menyeringai, Emma memukul pantat
Aidan. "Sekarang cepatlah bersiap, Tuan. Emosi Casey hari ini
seperti menginjak di lapisan es yang tipis. Terlambat datang adalah
hal terakhir yang kita butuhkan."
"Kupikir kau akan berdandan bersama dengannya?"
"Memang." Emma melirik teleponnya di meja rias. "Sial. Sebaiknya
aku bersiap. Aku seharusnya sudah ada di spa dalam tiga puluh
menit. Maukah kau menjadi seorang kekasih sejati dan
membawakan gaunku ke gereja?"
"Tentu saja." Saat ia bersandar untuk mencium Emma, mulut Aidan
beraroma mint. "Terima kasih," Emma bergumam di sela-sela bibir Aidan.
"Aku mencintaimu," kata Aidan saat ia menarik diri.
"Aku lebih mencintaimu," jawab Emma sambil tersenyum.
*** Setelah pagi hari yang mewah di spa mendapatkan facial dan pijatan,
rambut dan wajah seluruh pendamping pengantin telah selesai dirias.
Emma tak dapat menahan tawa pada penampilan lucu Casey
menggunakan pakaian ketat ditambah riasan wajah yang lengkap
dengan kerudung dan tiara yang berkilau.
Casey menatap ke bawah ke dirinya sendiri. "Apa" Kau tak berpikir
ada yang salah dengan penampilan ini, kan" Aku berani bertaruh aku
dapat berjalan ke Wal-Mart seperti ini, dan tak ada satu orang pun
yang akan berkata apa-apa."
Emma meraih dompetnya. "Hmm, pujian yang tinggi memang dari
para pembeli Wal-Mart."
Casey tertawa. "Ayo. Kita harus membawa bokong kita ke gereja."
Sambil memutar matanya, Emma berkata, "Hanya kau yang bisa
mengucapkan kata bokong dan gereja dalam kalimat yang sama."
"Kau tahu kau mencintai mulut kotorku."
"Aku mencintai apapun tentangmu, bestie."
Casey mengangkat tangannya. "Jangan ada komentar sentimentil
seperti itu lagi, Em. Aku tak mau riasanku rusak."
Emma tertawa. "Baik. Aku akan menjadi orang dingin dan keras
sepagian ini. Senang?"
"Sangat. Sekarang ayo."
Emma dan Casey, bersama dengan seluruh pendamping mempelai,
menuju ke Gereja Katedral Christ the King. Itu merupakan gereja
Nate sejak masih kanak-kanak, dan Emma berpikir itu
menjadikannya tempat yang indah untuk acara pernikahan.
Setelah masuk ke dalam ruang persiapan, mereka sibuk membantu
Casey mengenakan gaunnya yang berukuran 1mammoth. Emma
mundur dan memperhatikan Casey. Janji yang semula terucap
terlupakan saat air mata memenuhi mata Emma. "Kau terlihat
menakjubkan!" Casey menuding Emma, "Em, kau berjanji!"
"Aku tak dapat menahannya. Hormon kehamilan ini yang membuat
emosiku semakin gila!"
"Ugh, kau benar-benar harus menghentikan produksi air matamu
atau kau akan membuatku menangis, dan semua make-up tahan air
ini tidak akan bekerja selama itu,"
"Baik, aku akan mengenakan gaunku."
"Bagus. Dan sementara kau sibuk dengan gaunmu, pikirkan tentang
hal-hal menjijikkan, orang-orang yang membuatmu kesal - apapun
selain yang membuatmu menangis."
Emma meletakkan tangannya pada pinggangnya. "Tidakkah kau
berpikir orang-orang akan bertanya-tanya kenapa pendamping
wanitamu yang perutnya sudah sangat buncit memasang tampang
"persetan denganmu" di wajahnya?"
Casey tertawa. "Selama kau tidak menangis, kita baik-baik saja."
"Kau benar-benar tak dapat dipercaya," Emma menggerutu seraya
memasuki ruang ganti. Gaun merah marun tergantung di dalam tas
di cantelan dimana Aidan mengantarkannya beberapa saat
sebelumnya. Emma mengenakannya, dan setelah berusaha bergelut
dengan reslitingnya, Emma kembali ke kamar utama untuk mencari
bantuan. Carlee, adik perempuan Casey yang berumur enam belas
tahun, dengan senang hati membantu.
Emma sedang memperhatikan bayangannya di cermin saat sebuah
ketukan terdengar. "Ini Aidan," sebuah suara memanggil. Carlee
terkikik saat ia berlari untuk membukakan pintu.
Saat Aidan memasuki ruangan, pandangan Aidan menyapu ruangan
untuk mencari Emma. Saat Aidan melihatnya, ia berbinar, "Kau
terlihat cantik!" Emma tersenyum lebar. "Terima kasih." Menatap ke arah gaunnya,
Emma menggelengkan kepalanya."Sebenarnya, saat ini aku merasa
seperti 2Oompa Loompa!"
"Percayalah padaku, babe, kau sama sekali tak terlihat seperti salah
satunya." Saat Emma memberikannya pandangan ragu, Aidan
mengedipkan matanya. "Dan aku pasti memiliki fetish 2Willy Wonka
karena aku ingin melahapmu saat ini juga."
Emma memukul lengan Aidan dengan main-main saat Casey
bertanya, "Dan bagaimana denganku" Tidak ada pujian untuk sang
mempelai wanita?" Tanpa perlu menarik napas, Aidan berkata, "Kau adalah gambaran
kesempurnaan yang luar biasa dalam balutan warna putih yang akan
membuat nafas Nate berhenti di saat dia melihatmu."
Casey tersenyum lebar. "Pandai Big Papa, sangat pandai."
Aidan bersandar dan mencium pipi Casey. "Itu kebenarannya."
"Aku akan menerima sanjungan itu kalau begitu." Casey menjawab.
"Aku sangat senang dapat menjadi bagian dari hari bahagiamu."
"Aku juga," jawab Casey sambil mengedipkan mata.
Mulut Emma melongo melihat keduanya berbincang, terlebih lagi
saat Casey juga balas mencium pipi Aidan. Apa yang terjadi dengan
Casey membenci Aidan" Apakah fakta Aidan bersedia membantu
dan menyelamatkan hari besarnya cukup untuk membuat Casey
memaafkan Aidan untuk semua kesalahan yang telah ia lakukan"
"Apakah kau membutuhkan sesuatu?" Tanya Emma.
"Aku hanya ingin memeriksamu, melihat bagaimana perasaanmu,
tapi lebih dari semuanya, aku ingin menikmati kecantikanmu yang
mempesona." "Ya Tuhan, itu manis sekali!" Carlee menjerit sementara pendamping
mempelai yang lain menganggukkan kepalanya.
Bibir Aidan membentuk seringai sombong pada apresiasi mereka
terhadap sentimen Aidan saat Emma memutar matanya. "Yang
benar?" Aidan tertawa. "Sebenarnya, ini saatnya para pendamping mempelai
difoto," "Kukira juga begitu."
Aidan menempatkan tangannya di pundak Emma, ekspresinya
berubah serius. "Aku mungkin tadi hanya bercanda, tapi aku
memang benar ingin memeriksamu."
Hati Emma menghangat pada keseriusan Aidan. "Aku baik-baik
saja." Bibir Aidan membentuk garis keras. "Cobalah untuk tidak terlalu
banyak melangkah hari ini."
"Aidan," protes Emma.
"Aku serius." "Aku sudah diizinkan untuk kembali bekerja dan semua kegiatan
normal lainnya sejak dua minggu lalu, ingat?"
"Itu tak berarti kau harus bergerak sepanjang waktu. Kembali
bekerja suatu hal, tapi antara makan malam gladi bersih dan pesta
lajang minggu ini, kau memaksakan dirimu."
Sebenci apapun Emma untuk mengakuinya, dia memang kelelahan.
"Okay, okay, Mr. Bossy. Begitu kita selesai ambil gambar, aku akan
duduk dan menaikkan kakiku sampai upacara dimulai."
Senyum puas memenuhi bibir Aidan. "Bagus." Aidan menyapukan
satu dari anak rambut ikal dari wajah Emma. "Tapi simpan
setidaknya satu dansa di resepsi untukku."
Perut Emma menegang saat Aidan menyebutkan kata resepsi. Tidak


The Proposal The Proposition 2 Karya Katie Ashley di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hanya ia akan bernyanyi di upacara, tetapi Casey telah memintanya
untuk bernyanyi selama dansa pertama Casey dan Nate setelah
menjadi suami istri. Aidan pasti telah memperhatikan kekhawatiran
Emma sebab ia menariknya kedalam pelukannya. "Demam
panggung?" Emma menelan ludah pahit di tenggorokannya. "Sedikit."
"Kau akan terdengar menakjubkan. Kau selalu menakjubkan."
"Kuharap begitu," jawabnya parau.
Aidan menjauh untuk menangkup wajah Emma di genggamannya.
"Well, aku tahu begitu." Aidan membawa bibirnya ke bibir Emma.
Baik getaran yang menenangkan maupun menyenangkan menyebar
mulai dari ujung kepala Emma turun sampai ke ujung kakinya.
"Tidak, tidak, tidak! Kalian berdua jangan mulai! Kau akan merusak
dandanan Emma sebelum pengambilan gambar!" Casey protes.
Aidan mengerang di bibir Emma sebelum Emma memisahkan diri
darinya. "Kau benar-benar 3bridezilla," candanya.
Casey tertawa. "Hati-hati, Big Papa. Aku mungkin menemukan tas
yang lain untuk memukulmu."
Sambil menggelengkan kepala, Aidan hanya terkekeh mendengar
candaan Casey. "Jangan berpikir aku tak akan mengingatkan Nate
untuk tetap waspada saat kau kesal dan mengayunkan sebuah tas. Itu
senjata yang berbahaya!"
Emma tidak berhenti terkejut oleh senda gurau keduanya sehingga
dia hanya mengikuti di belakang mereka saat mereka berjalan ke
tempat upacara. Setelah mengambil ratusan foto, pertama dengan
Casey, dan lalu setelah ia menghilang, dengan Nate, Emma mula
merasakan wajahnya mulai membentuk senyuman yang membeku,
dan ia dapat menjadi buta dari semua lampu blitz.
Semua berlangsung dengan cepat hingga tiba saatnya upacara
dimulai. Emma mengambil tempatnya di depan Carlee dan melihat
ke arah keramaian tamu yang datang. Melihat melalui bahunya,
Emma melihat Casey mengambil lengan ayahnya. Ayah Casey
membungkuk dan mencium pipi Casey. "Kau akan selalu menjadi
gadis kecilku," ujarnya.
Kilatan kesedihan memenuhi diri Emma karena ayahnya sendiri
tidak akan pernah mengantarnya berjalan di altar. Di saat yang sama,
Emma tahu jika ia dan Aidan menikah, Granddaddy akan lebih dari
bahagia untuk melakukan kehormatan tersebut. Emma mengalihkan
diri dari perasaan sedih dan penyesalannya. Sebaliknya, ia
menyambut satu dari kebahagiaan yang lengkap dan murni di masa
depan untuknya dan Casey.
Emma tak harus memaksakan senyum yang berbinar di wajahnya
saat ia bertemu Aidan di pintu altar. Saat ia menyelipkan lengannya
di lengan Aidan untuk berjalan di lorong altar, Noah memberikan
sebuah tendangan lembut. Ia tak dapat menahan perasaan seperti
seorang wanita yang paling diberkati di bumi.
*** 1Mammoth: gajah yang hidup pada jaman es, berukuran sangat besar dan memiliki bulu yang
amat sangat tebal 2Oompa loompa & Willy Wonka: Salah satu karakter dalam film Charlie and the
Chocolate Factory 3Bridezilla: Monster pengantin wanita
Bab 16 Emma duduk dengan para tamu pesta pengantin di meja utama di
bawah lampu-lampu gantung yang bercahaya. Dia tidak bisa percaya
betapa indah semuanya mulai dari pengaturan bunga hingga patungpatung es.
Keluarga Casey dan Nate benar-benar total untuk acara
resepsi ini. Setelah mengosongkan piringnya, Aidan memperhatikan Emma
yang bermain dengan makanannya. "Noah akan kelaparan jika kau
tidak makan," kata Aidan sambil mengelap mulutnya dengan serbet.
"Aku akan makan setelah selesai bernyanyi. Hal terakhir yang ku
inginkan adalah muntah karena gugup di hari penting Casey dan
Nate." Melihat pandangan skeptis Aidan, dia menambahkan, "aku
janji segera setelah selesai, aku akan makan semua, termasuk
beberapa potong kue pengantin!"
Aidan menyesap sampanyenya sebelum menganggukkan
persetujuannya. "Kapan kau tampil?"
"Setelah pidato."
"Itu tidak terlalu lama."
"Sepertinya lebih cepat dari perkiraanku." Balasnya, menunjuk ke
arah kakak Nate dan Best Man yang berdiri dengan memegang mic
di tangannya. Sementara Anthony berbicara, Emma memperhatikan kalau Aidan,
bukan dirinya, yang bergerak-gerak gelisah di kursinya. Beberapa
kali tangannya bergerak dari paha ke arah saku jasnya. Saat Emma
memandangnya dengan bertanya-tanya, Aidan berkata, "Maaf."
Setelah Anthony selesai berpidato diiringi tepuk tangan yang meriah,
Carlee mengambil mic dengan tangan gemetar. Dengan mata yang
berkaca-kaca, dia mulai berbicara tentang kakaknya. Tidak butuh
waktu lama sebelum semua orang mulai menangis, termasuk Emma.
Setelah pembawa acara mengambil mic dari Carlee, Emma merasa
kupu-kupu di perutnya mulai berubah menjadi bebatuan. Sekali lagi,
Aidan menjadi gelisah dikursinya. "Jangan bilang kalau kau gugup
karena aku?" Bisik Emma di telinganya.
"Oh, um...ya, aku rasa aku tertular rasa gugupmu atau semacamnya,"
gumamnya. "Dan sekarang waktunya dansa pertama bagi pengantin wanita dan
penganting pria sebagai suami istri."
Emma mengernyit. "Itu sinyal untukku."
Aidan menyeringai. "Tunjukkan pada mereka, babe."
"Terima kasih banyak." Gumamnya.
Tanpa dilihat orang lain, Aidan mengulurkan tangan dan memukul
pantat Emma. Tindakan main-mainnya membuat rasa gugup Emma
berkurang. Pertama kalinya Casey mendengar Emma bernyanyi di kedai kopi
favorit mereka, dia bersumpah kalau suara Emma mirip dengan
penyanyi favoritnya, Patty Griffin. Jadi sudah bisa di tebak kalau
Casey ingin Emma menyanyikan Heavenly Day untuk dansa
pertamanya dengan Nate. Itu juga salah satu lagu favorit Emma.
Dengan percaya diri Emma memegang mic dan menatap ke arah
para tamu. "Tujuh tahun yang lalu mantan tunanganku berkata, 'Hei,
aku rasa kau akan menyukai pacar teman sekamarku. Dia benarbenar manis, tapi
lebih dari itu, dia juga benar-benar gila dan lucu!"
Emma tersenyum sementara para tamu tertawa. "Aku tahu pertama
kali bertemu dengan Casey kalau ucapan Travis benar, dan kami
akan menjadi sahabat. Aku juga menyayangi Nate. Aku benar-benar
beruntung bisa memanggilnya sahabatku selama bertahun-tahun ini,
dan dia dan Nate sudah menjadi bagian hidupku dalam saat senang
dan susah." Emma melihat mata Casey yang berkaca-kaca. "Tidak
ada kata-kata yang bisa mewakili betapa bahagianya aku untuk
mereka saat mereka memulai kehidupan baru sebagai suami istri.
Aku berharap dan berdoa agar Tuhan memberkati dan selalu
menghujani mereka dengan hari-hari yang menyenangkan."
Band mulai memainkan nada-nada pertama dari lagu dan Emma
mulai bernyanyi. Dia mencurahkan hati dan jiwanya ke dalam lagu
tersebut, dan ketika dia menyelesaikan nada terakhir, dia tahu kalau
dia berhasil. Gemuruh tepuk tangan terdengar di sekeliling Emma, menariknya
keluar dari penghayatannya dan kembali ke panggung. Dia
tersenyum terhadap reaksi yang diterimanya. "Terima kasih banyak."
Saat dia menyerahkan mic pada pembawa acara, pria itu memuji,
"Bukankah itu menakjubkan?"
Tepuk tangan kembali terdengar, membuat pipi Emma semakin
merona. Dia segera beranjak menuju kursinya di sebelah Aidan.
"Berapa banyak dari kalian yang ingin mendengarkan Emma
menyanyikan lagu yang lain?"
Siulan dan teriakan mengiringi pertanyaan tersebut. "Sepertinya
mereka ingin pengulangan, babe," kata Aidan dengan menyeringai.
Emma menggelengkan kepalanya. "Aku sudah bernyanyi dua kali.
Mereka akan berpikir kalau aku pencari perhatian atau
semacamnya," protes Emma.
"Tidak kalau mereka yang memintamu."
Suara pembawa acara memotong mereka. "Aidan, kenapa kau tidak
naik kesini dan kita lihat apakah kau bisa meyakinkan Emma agar
mau bernyanyi untuk kita?"
Saat Aidan mulai berdiri, Emma memegang lengan bajunya.
"Tidak!" jeritnya.
Aidan tersenyum meyakinkan ke arahnya. "Aku tidak akan pernah
mengerti bagaimana bisa kau menjadi penyanyi profesional dalam
waktu semenit, dan kemudian menjadi takut untuk tampil."
"Itu hanya sisi dari sifat neurotikku yang manis," balasnya.
"Begini saja, ambil nafas yang dalam. Aku akan membuat alasan
kalau kau terlalu lelah untuk bernyanyi dengan kondisimu yang
sekarang." "Terima kasih banyak," gerutunya.
Aidan melangkah naik ke panggung dan mengambil mic dari
pembawa acara. Dia menatap ke arah penonton. "Well, aku
seharusnya berada disini entah untuk memohon pada Emma agar
mau bernyanyi untuk kalian atau untuk meminta maaf atas
namanya." Dia melirik ke arah Emma. "Tapi harus kuakui kalau
alasan sebenarnya aku berada disini tidak ada kaitannya dengan itu
semua." Bisikan terdengar dari arah penonton. "Aku berdiri disini sebagai
seorang pria yang berbahagia. Aku memiliki cinta dari seorang
wanita cantik dan calon bayi yang sehat. Tapi bahkan itupun tidak
cukup. Menyaksikan komitmen pada upacara hari ini, membuatku
menginginkan juga apa yang Casey dan Nate miliki." Ucapan "aw"
terdengar di sekeliling ruangan. "Jadi, hanya ada satu pertanyaan
yang ingin kutanyakan pada Emma saat ini."
Saat Aidan melangkah ke arahnya, Emma merasa tidak percaya.
Aidan menaruh mic di atas meja. Meraih saku jasnya, dia
mengeluarkan kotak beludru hitam. Mata Emma membesar saat
melihat kotak itu terbuka memperlihat sebuah cincin berlian
bersinar. Saat Aidan memegang cincin tersebut di jarinya, dia berlutut dengan
satu kaki di depan Emma. "Emma Katherine Harrison, malaikat
pemaaf, cinta dalam hidupku dan ibu dari anakku, maukah kau
membuatku menjadi pria yang paling berbahagia di muka bumi dan
berkata kalau kau akan menikahiku?"
"Oh, Ya Tuhan," gumam Emma. Air mata mengalir dari mata
hijaunya saat tangannya membekap mulutnya. "Oh, Ya Tuhan,"
ulangnya. "Itu bukanlah respon yang kuharapkan," goda Aidan.
Air matanya semakin deras saat dia mengalungkan tangannya di
leher Aidan. "YA! YA, aku akan menikahimu!"
Ruangan kembali meledak dengan tepuk tangan. Emma
mendekatkan bibirnya ke Aidan. Saat Aidan mencoba memperdalam
ciuman mereka, Emma menarik diri untuk menghujani ciuman di
pipi, hidung dan kening Aidan. Akhirnya, dia kembali mencium bibir
Aidan. Aidan melepaskan pelukan mereka dan memegang tangan kiri
Emma. Jemarinya mengusap lembut tangan Emma, sebelum
menyelipkan cincin di jarinya. "Selesai. Sekarang kita resmi
bertunangan." Emma terkikik sebelum menarik kemeja Aidan dan menariknya
kembali ke arahnya. Saat dia mencium Aidan dengan penuh hasrat,
Aidan tertawa di bibirnya. "Em, kau tentu ingat kalau kita berada di
ruangan yang penuh orang, bukan?"
Emma memekik lalu menarik diri. Tawa terdengar di sekitar mereka.
"Itu adalah jawaban sempurna, kalian setuju, bukan?" Teriak Aidan.
"Hell, ya!" Teriak Connor dari mejanya.
Emma menutupi wajahnya karena malu. Untungnya, pembawa acara
menghampiri mereka dan mengambil kembali mic-nya. "Bagaimana
dengan sebuah lagu untuk pasangan baru menikah dan pasangan
yang baru bertunangan?" Tanyanya.
"Tidak! Aku tidak ingin mengambil semua perhatian di hari bahagia
Casey," protes Emma.
"Babe, dia dan Nate sudah tahu tentang hal ini. Itulah alasan kenapa
aku menelponnya." "Benarkah?" Emma melirik ke arah Casey yang berdiri dengan
senyuman lebar di lantai dansa. Ketika Emma menaikkan alisnya
penuh tanya, Casey mengangguk dan meniupkan sebuah ciuman
padanya. Melihat ke arah Nate, yang tersenyum dan mengacungkan
jempolnya sebagai tanda persetujuan.
"Oke kalau begitu. Ayo berdansa."
Aidan lalu menariknya ke lantai dansa. Saat tangannya melingkari
leher Aidan, dia melirik ke arah cincinnya. Dari waktu ke waktu saat
mereka berdansa, dia lupa akan cincinnya sampai cincinnya
berpendar terkena cahaya. Dia merasakan desakan untuk mencubit
diri sendiri guna meyakinkan kalau semua ini bukan mimpi.
"Kau suka?" "Ini sangat indah."
Aidan berseri-seri. "Aku tidak yakin apa yang kau suka, jadi Connor
membantuku memilihnya."
"Benarkah?" Aidan mengangguk. "Dia punya selera yang bagus." Senyum lebar
terukir di wajahnya. "Tentu saja, setiap kali aku mengambil cincin
yang murah, dia akan mengingatkanku tentang masa lalu kita."
Emma tertawa. "Aku tidak yakin kalau aku ingin tahu apa yang dia
lakukan untuk membuatmu mau membeli cincin berlian yang besar
ini." "Dia seharusnya memikirkan untuk berkarir sampingan di CIA.
Kekuatan membujuknya benar-benar intens."
Lagupun berakhir. "Baiklah semuanya. Sekarang waktunya untuk
memotong kue. Apakah ada yang mau bertaruh kalau Nate akan
berlumuran krim dalam waktu dua detik?" Tawa mengikuti
pertanyaan dari pembawa acara.
Setelah kue di potong dan semua orang kenyang, Emma kembali lagi
ke lantai dansa dengan Aidan. Saat mereka bergerak mengikuti
musik, Aidan tersenyum ke arahnya. "Jadi calon Ny. Fitzgerald,
kapan kita akan menikah?"
Emma memiringkan kepalanya ke kanan, berpikir. "Meskipun aku
tidak mau memakai gaun pengantin dalam keadaan hamil, tapi aku
ingin kita menikah sebelum Noah lahir."
"Oh, pengesahan Pria Kecil kita dan lainnya, huh?"
Emma terkikik. "Tepat sekali."
"Apa kau mau seperti ini?" Tanyanya, menunjuk ke sekeliling
ruangan pesta yang mewah.
Emma mengernyitkan hidungnya. "Aku sudah merencanakan yang
seperti ini bertahun-tahun yang lalu," Aidan menegang saat Emma
mengenang tentang pernikahannya dengan Travis. "Aku mau sesuatu
yang sederhana dengan keluarga dan teman terdekat." Dia melirik ke
arah Aidan. "Kita bisa menikah di gerejaku dan mengadakan resepsi
di lumbung." Aidan menarik nafas. "Pop akan marah kalau aku tidak menikah di
gereja katholik." "Kalau begitu kita bisa memikirkan cara yang lain."


The Proposal The Proposition 2 Karya Katie Ashley di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagaimana kalau di padang rumput yang menghadap ke arah
kolam?" "Apa kau tidak berpikir kalau itu akan terlalu dingin?"
"Kita akan mengatur upacaranya singkat dan khidmat," canda Aidan.
Emma menyeringai. "Oke, kedengarannya bagus. Lalu kita bisa
mengadakan resepsi di lumbung. Apakah kau setuju?"
"Yang aku pedulikan hanya bagian dimana kau berkata 'saya
bersedia' dan menjadi istriku." Aidan mengecup bibirnya. Ketika
lidah Emma menyentuh bibirnya dan menempelkan tubuhnya pada
Aidan, Aidan menarik diri. "Apa kau mencoba memulai sesuatu
denganku, Ms. Harrison?"
Tanpa mengalihkan perhatiannya dari Aidan, Emma menganggukkan
kepalanya. "Bawa aku ke atas."
"Kau bercanda?"
"Apa kau mau aku memohon?"
"Emma," geram Aidan.
"Aidan," mulainya dengan manis, "Apakah kau mau membawaku ke
kamar kita dan bercinta denganku sampai aku pingsan karena
kelelahan?" Matanya membesar memandang Emma seakan Emma sudah gila.
"Aku tidak percaya kau baru saja berkata seperti itu."
"Apa kau lebih ingin aku berbicara kotor dan berkata tolong bawa
aku ke atas dan setubuhiku sampai aku pingsan karena kelelahan?"
Godanya. "Kau membunuhku, Em. Benar-benar membunuhku."
"Maka lakukan sesuatu tentang itu."
"Bukankah kita harus tetap disini sampai Casey dan Nate pergi?"
"Keluarga Nate adalah orang Italia. Mereka akan minum-minum dan
berpesta sampai jam dua pagi."
Alis Aidan berkerut. "Seperti mafia Italia?"
Emma terkikik. "Aku rasa tidak." Emma menyikutnya dengan mainmain. "Pergi kesana
dan bilang kau ingin membawa tunanganmu ke
atas untuk merayakan pertunanganmu."
Dia cemberut ke arah Emma. "Kau seharusnya merayakan
pernikahan, bukan pertunangan."
"Baiklah. Biar aku yang lakukan." Emma membimbingnya keluar
dari lantai dansa. "Setidaknya kerumunan sudah mulai berkurang," kata Aidan.
"Apa yang kau khawatirkan?"
"Aku hanya tidak ingin membuat Casey dan Nate marah. Mereka
sudah mau memafkan dan berbaik hati untuk membiarkanku
melamarmu di hari penting mereka."
Saat mereka berjalan mendekat, Casey sedang menjilati krim di pipi
Nate yang dia lempar sebelumnya. Emma mendekat dan berbisik
padanya. Casey tersenyum lebar dan menganggukkan kepalanya.
Aidan memandang Nate dengan tatapan putus asa yang di balas
dengan kedipan oleh Nate. "Aku mengerti kawan," ucapnya.
Emma menarik tangan Aidan. "Baiklah, Big Daddy, kau bisa
membawaku ke atas dan menikmatiku sekarang."
Aidan tertawa. "Kalau saja aku tahu dengan meletakkan cincin di
jarimu akan membuatmu senakal ini, aku sudah melakukannya dari
dulu." *** Bab 17 Saat mereka melangkah memasuki lift kosong, Emma mendorong
Aidan yang sedang lengah ke dinding. "Em, apa - "
Emma memotong kata-katanya dengan melumat bibir Aidan dengan
bibirnya. Tangannya mencengkeram tangan Aidan, lalu Emma
menyentakkan tangan mereka ke atas di samping kepala Aidan dan
menempelkannya ke dinding. Lidahnya mendorong masuk ke dalam
mulut Aidan, dengan serakah mencari lidahnya lalu menggosok dan
menggoda di atasnya. Suara erangan rendah meledak jauh dari
dalam tenggorokan Aidan. Sambil menggenggam tangan Aidan
dengan salah satu tangannya, Emma menjalankan tangannya yang
lain menuruni dada Aidan terus ke bawah pinggang lalu ke
menangkup ereksinya yang sudah mengembang.
Aidan melepaskan bibirnya menjauh dari bibir Emma. Dengan
terengah-engah, ia menatap mata hijau emerald Emma yang terbakar
oleh gairah. "Emma Harrison, apakah kau mencoba memperkosa aku
di dalam lift ini?" Sambil meremas kemaluan Aidan, Emma mengangkat alisnya ke
arahnya. "Aku tidak berpikir kalau kau mau untuk diperkosa?"
Aidan tertawa kecil. "Benar juga." Saat Emma meraba-raba
sepanjang kejantanannya di atas celananya, bibirnya menciumi leher
Aidan sampai meninggalkan jejak panas disana. Aidan menggigil
saat Emma menjilat di sepanjang garis rahangnya. "Coba kutebak.
Momen horny yang ekstrim ini mungkinkah karena hormon
kehamilan?" Tawa Emma bergetar di pipi Aidan. "Ya, benar. Ugh, mereka sangat
gila." Emma melepaskan diri dari tubuh Aidan dan menjauh darinya.
"Kurasa aku mulai mengerti bagaimana rasanya menjadi dirimu."
Sambil mendongakkan kepalanya ke belakang, Aidan tertawa keras.
"Maksudmu bagaimana rasanya menjadi horndog*?"
Dengan mata terbelalak, Emma menjawab, "Uh-huh."
"Lalu kenapa kau menarik diri?"
"Well, karena - "
"Itu bukannya aku mengeluh, sayang."
Emma tersenyum saat ia menjalankan tangannya ke atas ke bagian
depan tuksedonya. "Jadi kau tidak keberatan dianiaya di dalam lift
umum?" "Tidak. Bahkan, aku sangat menikmatinya."
Lift berbunyi, dan pintu terbuka di lantai mereka. "Kurasa kita harus
melanjutkan ini di suite kita," kata Emma.
Aidan melepas jas tuksedonya dan menempatkannya di depan
pinggangnya untuk menyembunyikan kondisinya. Meskipun ia
menikmati gairahnya yang memanas karena Emma menjadi begitu
agresif di dalam lift, tapi sebenarnya hal itu agak merusak
rencananya untuk malam ini. Tidak akan ada adegan rayuan pelanpelan sebagai
pasangan yang sudah bertunangan mengingat dia
setengah keras. Emma mengambil keycard dari Aidan dan membuka pintu. Aidan
menahan napasnya saat Emma melangkah masuk. "Oh Tuhan,"
gumamnya. Aidan menjulurkan lehernya untuk menontonnya ketika sepatu hak
Emma berbunyi saat melintasi kelopak mawar yang tersebar di
lantai. Di atas meja, ada wadah sampanye dan strawberry. Meskipun
ia tidak bisa melihat wajah Emma, Aidan tahu tatapannya tertuju di
dalam kamar tidur dimana lilin menunggu untuk dinyalakan, dan
paket dibungkus warna pink diletakkan di atas di tempat tidur.
Dia berbalik lalu menatap Aidan yang sedang berdiri di ambang
pintu." Ini seperti ..."
Aidan tersenyum. "Waktu pertama kita."
Air mata berkilau di matanya saat mendekat untuk menutup
kesenjangan jarak diantara mereka. Kali ini ketika Emma
menciumnya itu dengan cinta, bukan nafsu. "Aku mencintaimu,
sangat mencintaimu, Aidan," gumamnya saat menempel di bibir
Aidan. "Aku juga mencintaimu."
Menarik diri, Emma memiringkan kepalanya ke arahnya. "Aku
bahkan tidak akan bertanya apa yang ada di dalam kotak itu karena
aku tidak percaya kau bisa menemukan lingerie yang pas untukku."
Aidan memutar matanya. "Kau bertindak seolah tubuhmu semakin
melebar. Semua yang terlihat pada kehamilanmu hanyalah perutmu
yang menonjol." Aidan mengulurkan tangannya ke perut Emma.
"Kau adalah wanita hamil paling seksi, paling cantik yang pernah
aku lihat." "Aw, sayang, kau begitu manis." Emma mendongak ke atas untuk
merenggut bibir bawah Aidan dengan giginya. "Tapi kau tidak harus
selalu memujiku karena kau akan mendapatkan seks malam ini."
Aidan mendengus. "Kau dan mulut itu."
Emma menyeringai. "Well, kau akan terjebak dengan hal itu, jadi
lebih baik kau nikmati saja."
"Oh, aku akan menikmatinya, dan begitu juga dengan semua bagian
tubuhku." "Nakal, anak nakal," gumamnya sebelum mencium Aidan lagi.
Aidan menendang sampai pintu tertutup sementara Emma
mendorongnya menuju kamar tidur. Ketika mereka melewati meja
dengan stroberi dan gelas sampanye, Aidan menghentikannya.
Dengan putus asa ingin menikmati momen ini, Aidan berkata,
"Tunggu, sebentar sayang."
"Apa itu?" "Bagaimana kalau aku membuka minuman bergelembung ini dan
merayakan pertunangan kita?" Tanyanya.
Alis cokelat kemerahan Emma berkerut. "Tapi aku tidak bisa - "
Aidan memutar botol untuk menunjukkan bahwa itu hanya minuman
soda sari apel, yang memunculkan sebuah senyum berseri-seri di
wajah Emma. "Oh, aku menyukainya. Kau sudah memikirkan
segalanya." Aidan mulai membuka botol, tapi Emma mengambil botol itu dari
dia. "Ayo kita simpan itu untuk nanti." Jari-jarinya lalu menuju
kancing kemeja Aidan. "Kau tidak ingin minum sari apel dulu?" Dia bertanya, suaranya
bergetar dan geli. Emma menatapnya - campuran cinta dan nafsu terpancar di
matanya. "Tidak. Aku hanya ingin bercinta dengan tunanganku."
"Aku suka mendengar sebutan itu," jawabnya saat Emma
mendorong baju Aidan di bahu dan lengannya. "Aku akan
menyukainya bahkan lebih ketika kamu menjadi Mrs. Aidan
Fitzgerald." "Hmm ... sensibility feminin-ku seharusnya menjadi gusar
mendengar sindiran itu, tapi aku juga suka mendengar sebutan itu."
Saat Aidan melepas celananya, ia bertanya, "Kau tidak ingin
melakukan sesuatu yang gila seperti Emma Harrison-Fitzgerald,
kan?" "Tidak, Mr Neanderthal*, aku tidak mau." Emma tersenyum ke
arahnya. "Aku hanya ingin menjadi istrimu."
"Dan secepat mungkin, kan?"
"Tentu saja." "Pikirkan kita bisa melakukan itu secepatnya dalam beberapa
minggu." Emma menarik napas. "Wow, aku tidak tahu kau seperti diburuburu."
Buku-buku jarinya dengan lembut menyentuh perut Emma. "Kita
tidak punya banyak waktu sebelum kedatangan Little Man ini."
"Memang benar, tetapi perencanaan pernikahan tidak mudah bahkan untuk pesta kecil seperti yang kita pertimbangkan."
Aidan menjulurkan bibirnya keluar. "Aku hanya ingin menjadi
suamimu." Emma tertawa. "Dan Kau akan menjadi, Mr Impatient*. Aku tidak
akan kemana-mana, dan jika kau mencoba untuk melarikan diri, aku
akan menjeratmu dengan laso dan mengikatmu."
"Mmm, cowgirl-ku* yang nakal."
"Perilakumu sangat tidak masuk akal." Sambil menggarukkan jarijarinya di antara
rambutnya, Emma menggelengkan kepalanya. "
Mungkin kita tidak terikat bersama dalam ikatan perkawinan yang
suci, tapi hubungan kita sudah merekat saat aku mengandung Noah."
Saat bibir Aidan bertemu bibirnya, jari-jari Aidan menuju ke
ritsleting di gaunnya. Dengan satu kibasan pergelangan tangannya,
gaun itu langsung terbuka, dan ia mendorong itu dari bahu Emma.
Alisnya mengernyit sebelum bibirnya mulai tersenyum saat melihat
granny panties-nya. "Ooh, Em, bisakah kau mendapatkan beberapa
pasang lagi yang seperti ini?"
Wajah Emma berubah warna ketika gaun fuchsia-nya mengumpul di
kakinya. "Aku harus memakai ini, terima kasih banyak." Dia
menyilangkan tangan di atas payudaranya yang telanjang dengan
marah. Ketika Aidan tertawa, Emma melotot ke Aidan dengan
tatapan kematian. "Ini bukan bahan tertawaan, Aidan. Maksudku,
aku selalu menjadi gadis berlekuk, tetapi kau lebih baik
mempersiapkan diri lebih banyak dari aku untuk mencintai ini."
"Aku sudah mengatakan bahwa kau masih sama kecuali
perutmu...dan beberapa lemak itu yang ingin mendirikan bisnis
disini," Aidan berhenti sejenak di cup payudaranya sementara tangan
yang lain menangkup pantatnya, "Atau disini, tidak apa-apa buatku!"
Emma memutar matanya. "Sekali lagi, kau benar-benar dan sangat
tidak masuk akal." "Dan kau begitu seksi ketika kau sedang marah." Aidan mencium
sebelum Emma kembali berbicara padanya. Mulutnya diketatkan
karena penolakannya, jadi Aidan menyelipkan lidahnya ke bibirnya.
Ketika Emma menolak untuk mengalah, geraman rendah berasal dari
bagian belakang tenggorokan Aidan. "Berhentilah menjadi begitu
sialan keras kepala, Em," gumamnya di bibir Emma.
Tangan Aidan merayap di antara tubuh mereka sampai bisa
menangkup diantara paha Emma. Dia mengusap dan membelai di
atasnya yang dia duga granny panties, menyebabkan Emma
menegang. Ketika ia menyelipkan jarinya diantara bahan elastis
celana dalam Emma dan masuk ke dalam kehangatannya, Emma
tersentak. Aidan mengambil kesempatan untuk mendorong lidahnya
masuk ke mulut Emma. Tangan Emma yang menggantung lemas di
sisinya langsung menuju ke rambut Aidan, dan saat Emma
menyelipkan jari-jarinya di sela-sela helai rambutnya, Aidan tahu
Emma sudah menyerah. "Inilah gadisku," katanya sambil menciumi
dengan ringan melintasi pipinya. Ketika ia sampai ke telinga Emma,
Aidan memasukkan jari lainnya ke dalam diri Emma sambil
berbisik, "Gadis cantik seksiku yang telah mengambil napasku pergi,
aku tidak peduli berapa ukuran dia atau pakaian dalam apa yang dia
kenakan." Desah erangan berubah menjadi tertawa. "Sangat halus, Big Papa.
Sangat, sangat halus," jawabnya, mengulangi kata-kata Casey tadi
pagi. Dengan jari-jarinya yang masih bergerak dengan penuh keajaiban,
Aidan pelan pelan menurunkan Emma ke tempat tidur. Aidan
meringkuk di sampingnya. Mata Emma tertutup rapat saat ia
menggeliat melawan tangan Aidan, mengangkat tinggi-tinggi
pinggulnya mendekati sentuhannya saat Aidan mempercepat
dorongannya. "Mmm, kumohon," gumamnya, napas Emma terasa
panas di pipi Aidan. "Kumohon apa, sayang?"
"Buat aku datang, Aidan." Saat ibu jari Aidan menggosok
klitorisnya, jari-jari Emma mencengkeram tepi selimut sambil
berteriak. Tidak membuang-buang waktu, Aidan menarik jari-jarinya keluar
dari diri Emma yang dindingnya masih mengepal lalu membuang
celana dalam Emma. Aidan berkutat melepaskan boxernya dan
bangkit sambil berlutut. Dengan perut Emma yang membuncit, hal
itu selalu menarik untuk menemukan posisi yang tepat. Melebarkan
kaki Emma, ia mendorong dirinya ke dalam diri Emma.
Emma melingkarkan kakinya dengan ketat di pinggangnya, dan
Aidan mencengkeram di belakang lutut Emma. Saat Aidan
menghujam ke dalam dirinya, Emma mengangkat kedua tangannya
ke atas kepalanya dan mengepal seprai. Ketika Emma menggigit
bibirnya untuk menahan teriakannya yang membara agar tenang,


The Proposal The Proposition 2 Karya Katie Ashley di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aidan meredakan gerakannya. "Jangan malu-malu, Em. Biarkan aku
mendengarmu," tegasnya.
Pipinya semburat pink. "Bagaimana jika orang lain mendengar?"
"Siapa yang peduli" Aku ingin mendengarmu. Aku ingin tahu apa
yang kulakukan untukmu."
Emma gemetar mendengar kata-katanya. "Oke," gumamnya.
Aidan menyeringai ke arahnya. "Bagus." Ketika ia mendorong
kembali ke dalam dirinya, ia dibalas dengan suara erangan rendah
dari Emma. Aidan menyelipkan tangannya di antara tubuh mereka
lalu mengusapnya sambil bergerak keluar masuk yang membuat
Emma menjerit kemudian berteriak. Aidan memejamkan matanya
dan melemparkan kepalanya ke belakang saat teriakan Emma
terdengar di telinganya. Hal itu tidak lama sebelum Emma klimaks,
meneriakkan nama Aidan berulang-ulang. Aidan terus
menghujamnya keluar masuk ke dalam dirinya saat dindingnya
mengejang di sekelilingnya. Aidan belum siap. Dia ingin
memperpanjang kenikmatan selama mungkin. Tapi ketika ia merasa
Emma mengetatkan dirinya sendiri di sekeliling kemaluannya, mata
Aidan tersentak terbuka. Emma tersenyum dengan penuh
kemenangan padanya saat Aidan mulai membiarkan dirinya sendiri
klimaks. Sekarang gilirannya untuk mengeluarkan semuanya ke
dalam diri Emma, sambil berteriak dengan serak dan mengerang.
Setelah ia selesai mengeluarkan semua itu ke dalam diri Emma,
Aidan berguling telentang, ambruk di samping Emma di tempat
tidur. Dadanya kembang kempis, dan ia berjuang untuk bernapas.
Emma meringkuk pada dirinya dan mencium pipinya. "Aku
mencintaimu, Aidan."
"Aku tahu," dia masih terengah-engah. Emma menamparkan
tangannya dengan keras turun di paha Aidan yang bergema di
seluruh kamar bersama dengan suara tawa Aidan yang mendalam.
Dia berbalik lalu menangkap ekspresi marah Emma." Dan aku
sangat..sangat mencintaimu juga, Emma."
*** horndog: Seorang pria dengan hasrat seksual yang kuat.
Neanderthal: Manusia purba di zaman es.
Impatient: Tidak sabaran.
granny panties: celana dalam model nenek-nenek yang berpotongan tinggi sampai
pinggang. Bab 18 3 Minggu Kemudian Emma memandangi bayangannya ke cermin satu badan milik
Grammy. Berbalik ke kiri dan ke kanan, dia membiarkan lapisan
berombak dari gaun pengantinnya berputar di badannya. Dalam
benaknya, gaun itu merupakan hal yang paling indah yang pernah
dilihatnya dengan potongan tegas di pinggang yang menjuntai
hingga ke lantai serasi dengan korset yang bertatahkan payet mutiara
dan manik-manik yang rumit. Dia tak pernah bermimpi menemukan
gaun yang indah untuk pengantin yang hamil, terutama dengan
waktu yang singkat ini. Tapi kini kala hari besar itu telah tiba, dia tidak terlalu yakin. "Ugh,
aku rasa ini tepat untuk mengatakan aku mirip dengan 1Stay Puff
Marshmallow Man," keluhnya.
"Oh tidak, kau tidak mirip!" bantah Casey, menyesuaikan mahkota
berkilauan di atas kepala Emma.
Sepupu Emma, Stacy, mengangguk kala dia membantu menata
kerudung panjang dari bulu-bulu halus. "Jangan konyol, Em. Kau
sangat menawan." "Jika aku normal, aku sepenuhnya menginginkan calon mempelai
wanitaku terlihat seperti dirimu," ucap Connor, dengan senyuman
nakal. "Oh Tuhan, kau mulai terdengar mirip seperti Aidan," balas Emma.
"Sekarang kau dengar mereka, manis. Kau tampak mempesona!"
tangis Grammy di belakang Emma. Dia bahkan tidak berpaling
untuk mengambil kotak perhiasannya untuk benda yang 'dipinjam'
untuk Emma. Renda biru yang terjalin dengan pengaitnya bernilai
"klasik" untuknya sementara gaun dan kerudung kepalanya
sepenuhnya "baru". Terbungkus dengan hati-hati di dalam lapisan
kain adalah benda "usang" dalam bentuk sepasang sepatu bot
cowboy. Hari ini dia perlu merasakan kenyamanan sebagaimana
sepatu itu pas di kaki bengkaknya dan tidak akan membuatnya
terpeleset dan jatuh. Emma mendesah. "Aku menghargai kalian mencoba membuatku
nyaman, tapi serius, ini adalah paduan antara pria Stay Puff dan pria
dalam logo ban 2The Michelin."
Casey mendengus. "Berhenti memancing pujian." Meremas bahu
Emma, Casey memutar tubuh Emma. "Kau adalah pengantin
tercantik yang pernah aku lihat di sepanjang hidupku, dan aku
termasuk seseorang di bayangan itu! Itu tidak masalah kau sedang
hamil 7 bulan. Saat kau mulai menuju ke altar, kau akan membuat
Aidan takjub." Air mata menggenang di mata Emma karena pujian Casey. "Oh
sialan, jangan menangis dulu dan merusak riasanmu!" Casey
melambaikan tangannya spontan di depan wajah Emma.
Emma mendorongnya menjauh. "Okay, okay, aku takkan menangis."
"Bagus." Dengan menggenggam kalung mutiara di tangannya, Grammy
melangkah mendekati mereka. "Dapatkah kalian meninggalkan kami
sebentar?" Casey tersenyum. "Tentu saja. Kami akan mengambil buket bunga
dari kulkas." "Jangan pernah berpikir aku membiarkan kau memasangkan
boutonniereku (korsase)."
"Dan kenapa tidak?"
"Karena pada akhirnya kau selalu menusukku!" jerit Connor. Mereka
terus saja berdebat saat keluar dari pintu.
Ketika mereka telah sendiri, Emma menaikkan alisnya berharap.
Ekspresi wajah Grammy sangat serius sehingga membuat Emma
gelisah. Mencoba untuk mencairkan suasana, Emma bercanda, " Kau
tahu kau tak perlu berbicara tentang seks padaku lagi, bukan?"
Grammy melambaikan tangan kosongnya dengan acuh. "Aku tentu
berharap tidak. Tentu saja, aku mengganggap pembicaraan itu telah
terjadi saat dengan Travis."
Wajah Emma memerah sembari dia mengangguk. Tanpa banyak
bicara, Grammy pindah untuk berdiri di belakang Emma. Dia
mengangkat tangannya melewati kepala Emma dan kemudian
menyelipkan untaian kalung mutiara di leher Emma. Kalung itu
menempel sedikit di bawah tulang kerah Emma.
Setelah Grammy mengetatkan kaitannya, Grammy meremas bahu
Emma dan kemudian menatap Emma di cermin. "Selama hidupku,
aku menginginkan untaian kalung mutiara asli. Untuk ulang tahun
perkawinan kami yang ke tiga, Granddaddymu bekerja dua kerja
tambahan untuk membeli mutiara ini untukku setelah dia melakukan
sesuatu seperti yang Aidan lakukan."
Emma terkesiap ngeri. "Oh Grammy, aku tak percaya Granddaddy
pernah melakukan hal seperti itu!"
"Dia pikir dia bisa lari dari pernikahan dan komitmen, tapi ketika dia
melakukannya, dia menyadari kesalahannya. Ini sesuatu yang tak
pernah aku ceritakan pada orang lain, bahkan Ibumu." Grammy
tersenyum. "Tentu saja, proses rujukan kami setelah
perselingkuhannya merupakan alasan sepenuhnya mengapa dia lahir.
Aku rasa aku mendapatkan mutiara ini dan mamamu diluar
kesepakatan." "Jadi kau memaafkannya?"
"Aku masih bersamanya, bukan?"
Emma meraba mutiara itu sembari berpikir semua tahun-tahun
bahagia yang di alami Grandparentsnya bersama. Tak pernah
sedikitpun dia melihat celah pertengkaran. Merekalah inspirasinya
ketika itu berkenaan dengan pasangan yang menikah.
Grammy menepuk pundak Emma. "Aku ingin memberitahumu hari
ini agar kau tahu bahwa tak ada pernikahan yang sempurna. Akan
ada waktu yang baik dan buruk dan sakit hati dan kegembiraan.
Jangan pernah memikirkannya karena apa yang telah terjadi
sebelumnya bahwa cintamu tak sekuat atau tak seindah orang lain.
Cinta yang melalui rintangan terberat dan bertahanlah yang berharga
untuk dimiliki. "Terima kasih, Grammy." Emma bersandar padanya dan mencium
pipi keriputnya. "Apakah menurutmu Aidan dan aku akan bahagia
seperti dirimu dan Granddaddy?"
Grammy tersenyum. "Aku rasa iya."
"Aku juga berharap begitu."
"Waktu berputar begitu cepat kala kau bahagia dan jatuh cinta. Satu
menit kau akan merasa muda, dan menit berikutnya kau akan berdiri
di depan cucu perempuanmu, yang terlihat sama seperti mamanya di
hari pernikahannya."
Saat nama Ibunya disebut, mata Emma berkabut lagi. Dia akan
memberikan apa saja agar Ibunya bisa berdiri di sampingnya,
mengatur kerudungnya, dan mengatakan padanya dia telah
melahirkan pengantin wanita tercantik di dunia.
Ketika matanya bertatapan kembali dengan mata Grammy, Grammy
menggelengkan kepalanya. "Hal terakhir di bumi ini yang Mamamu
inginkan adalah melihatmu menangis hari ini. Yang dia inginkan
juga adalah melihatmu bahagia dan menyongsong masa depanmu
yang indah bersama Aidan dan Noah."
"Aku tahu itu. Hanya saja ini terasa berat."
Grammy maju selangkah untuk menyentuh pipi Emma. "Aku tahu,
baby girl. Dia adalah putri tunggalku, dan aku akan memberikan apa
saja agar dia bisa berada disini. Namun dia tak pernah terasa jauh.
Dia akan selalu berada disini." Grammy menempatkan tangannya
diatas dada Emma. "Dia akan berada disini denganmu hari ini, dan
ketika sang bayi laki-laki manis itu lahir ke dunia dan diletakkan
dilenganmu untuk pertama kalinya, dia akan berada disana juga."
Emma menggigit bibir bawahnya untuk menenangkan emosinya
sebelum memeluk Grammy. "Terima kasih karena telah menemaniku
disini hari ini." "Dengan senang hati, sayang."
Granddaddy berdehem di pintu masuk. "Oke, nona dari Wedding
Planer berkata untuk memberitahu kalian bahwa inilah saatnya."
Emma menarik diri dari pelukan Grammy. Untuk sekejap, Emma
memandang Granddaddy dalam cahaya yang berbeda dari kesalahan
di masa lalunya, tapi kemudian dia berpikir tentang Aidan dan
pengampunan, dan sebuah senyum terbentuk dibibirnya.
Emma melangkah menuju ke arah Granddaddy dan mencium
pipinya. Ketika dia melepaskan diri, dia meraih kerah setelan jas dari
Granddaddy dan tersenyum. "Kau terlihat tampan."
Granddaddy terlihat berseri-seri. "Ini setelan jas terbaikku. Ku harap
ini terlihat bagus."
"Aku akan merasa terhormat berjalan di sampingmu."
Saat mereka berjalan keluar pintu, Granddaddy menghentikannya.
"Virginia memberitahumu tentang mutiara itu, bukan?"
Emma ternganga. "Bagaimana kau bisa tahu?"
"Raut wajahmu kala aku berjalan masuk."
"Aku minta maaf."
"Jangan, Emmie Lou. Aku hanya terkejut Aidan tak
memberitahumu." Matanya melebar tak percaya. "Kau cerita padanya" Kapan?"
"Saat dia datang kesini untuk mengambil makanan sementara kau
sedang bed-rest." "Tapi mengapa?"
Granddaddy meringis. "Aku ingin dia untuk paham bahwa aku tahu
dimana posisinya, tapi di waktu yang sama, Aku juga menginginkan
dia untuk berjuang sekuat tenaga untuk mendapatkanmu kembali."
"Kau sungguh menyukainya?"
"Tentu saja." Granddaddy tertawa. "Aku pikir aku mungkin
mencintainya." Emma mendongakkan kepalanya terkejut untuk menatap
Granddaddy. "Serius?"
"Aku bahagia untukmu, Emmie Lou. Kurasa Aidan akan menjadi
suami tangguh yang baik."
"Oh, Granddaddy," lirih Emma, matanya berkaca-kaca.
"Jangan menangis sekarang."
"Ini tangisan bahagia, aku janji."
"Yeah, tapi kau akan membuatku dalam masalah besar dengan para
wanita disini jika kau merusak riasanmu."
Emma terkiki. "Baiklah. Aku pun tak ingin kau kena masalah."
"Bagus kalau begitu." Memandang ke gaun Emma, Granddaddy
menggaruk kepalanya. "Mari kita mencari cara untuk
mengeluarkanmu dari sini dengan benda ini."
Emma tertawa saat dia berbalik ke samping dan melangkah keluar
dari pintu kamar tidur. Saat dia berjalan menuju ruang tamu, dia
menemukan orang dari wedding planner sedang mengatur pesta
pernikahan. "Bagaimana penampilanku, Bibi Emma?" tanya
Georgie, berputar-putar dalam balutan tuxedo kecilnya.
Georgie mengulurkan bantalnya. "Aku pikir aku akan mendapat
cincin yang nyata hari ini."
"Aku minta maaf, sayang, tapi Casey dan Papa Patrickmu yang
bertugas untuk cincin."
Georgie menelengkan kepalanya. "Lalu kenapa aku sialan yang
menjadi pembawa cincin?"
Mata Emma melebar sementara Casey mencoba menyembunyikan
tawanya di balik buket bunga. "George Byron Parker! Jangan berani
kau menyebut kata nakal seperti itu!" Emma memarahinya.
"Apakah sialan kata nakal?"
"Ya." Georgie mengangkat bahu. "Oh, aku baru mendengar John dan
Paman Aidan mengucapkannya."
"Well, biarkan mereka dalam bahaya, jangan dirimu." Emma
menepuk pundaknya. "Kau mempunyai tugas yang penting sebagai
pembawa cincin, walau tanpa cincin yang nyata. Kau merupakan
bagian dari pesta pernikahan, dan hal itu yang membuatmu sangat
istimewa." "Sungguh?" "Ya." Georgie tampak terlihat senang sejenak. Kemudian wajahnya tampak
murung lagi. "Apakah aku harus berjalan bersamanya?" dia
merengutkan dagunya ke arah sepupu Emma, Sarah, sang pembawa
bunga. "Apa yang salah dengan Sarah?"
Georgie memutar matanya dengan putus asa. "Dia seorang gadis!"
Emma menggigit bibirnya untuk menahannya tertawa. "Aku berjanji
dia gadis yang sangat baik, dan kau tak perlu memegang tangannya
atau apapun juga." "Bagus." Marie, sang wedding planner, bertepuk tangan. "Baiklah. Sudah
waktunya. Georgie, Sarah, kalian keluar duluan. Kemudian aku
butuh Connor, Stacy, dan Casey.. ya ampun, itu berirama," kikik
Marie. Casey memutar matanya ketika menyerahkan buket bunga yang
besar itu ke Emma. "Gadis ini perlu segera keluar dari sini."
Emma menyambut tawa yang berusaha keluar dari bibirnya. Itu
membantu meringankan rasa gugup yang dirasakannya. Menarik


The Proposal The Proposition 2 Karya Katie Ashley di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beberapa napas yang panjang, dia mencoba menenangkan dirinya.
Setelah sekian tahun lamanya, akhirnya ini terjadi. Dia menikah.
Saat dia merasa tendangan Noah di balik kain gaunnya, dia
menggelengkan kepalanya dan tersenyum. Tuhan telah merestui
jalan rusak dari patah hati dan kehilangan untuk mencapai titik
kegembiraan yang tak terhingga.
Kala mereka melangkah di teras depan, Emma mendongak menatap
langit. Ini seperti Tuhan sedang tersenyum pada hari spesial mereka
dengan merestui mereka bukan hanya dengan langit indah yang
cerah, namun juga salah satu hari dari musim hangatnya Georgia di
akhir Januari. Dia bersandar pada lengan Granddaddy ketika mereka
melangkah mengelilingi rumah. Kenangan terlintas di pikirannya
saat mengambil jalur yang sama dengan Aidan ketika mereka
menyelinap keluar untuk petualangan berenang bugil di tengah
malam. Lorong berumput mengarah ke arah altar yang diselubungi dengan
tebaran kelopak mawar merah, merah muda dan kuning. Hati Emma
menghangat seakan itu adalah sentuhan khusus, bukan hanya
menghidupkan rumput musim dingin, tapi itu juga pengingat akan
waktu bahagia dengan kelopak mawar di kamar hotel saat
pengalaman pertama pembuatan bayi mereka demikian juga dengan
pertunangan mereka. Itu membuatnya tersenyum berseri-seri.
Namun senyumnya makin melebar saat melihat Aidan berdiri di
ujung altar. Aidan melirik ke arah lorong, mencoba setengah mati
untuk melihat sekilas bayangan Emma.
Kuartet pemain string selesai memainkan Canon In D dan kemudian
menggantinya dengan nada pertama dari Bridal March. "Inilah
saatnya, Emmie Lou," ujar Granddaddy, suaranya terdengar antara
gembira dan getar penyesalan.
Emma menarik napas panjang dan melangkah masuk ke lorong. Saat
semua orang bangkit dari kursinya saat kehadirannya, tatapannya
tertuju pada Aidan ketika dia akhirnya dia menatapnya.
Mulutnya ternganga sementara mata birunya melebar. Emma terpaku
akan reaksinya. Dibanding dengan cengiran sombong yang dia
harapkan saat kemunculannya, kejutan memenuhinya ketika dia
melihat mata Aidan yang berkaca-kaca dengan airmata. Hatinya
bergetar dan berdetak kembali. Disaat itu, semua hal yang dia
inginkan berjalan cepat ke altar hingga dia bisa mencapainya dan
memeluknya. Dia tak pernah bisa membayangkan mencintainya
lebih dari yang dilakukannya saat ini.
Keabadian sepertinya terlewati sebelum dia mencapai sisi Aidan.
Aidan menyapu airmata dari matanya degan punggung tangannya.
Walaupun senyum kikuk terpasang diwajahnya, emosi membara
terpancar di mata birunya. Tanpa berpikir, Emma melepaskan lengan
Granddaddy dan membungkus lengannya di sekitar Aidan. "Oh,
Aidan," gumamnya, memeluknya erat.
"Emma, aku hampir tak bisa berkata apa-apa. Maksudku, kau tidak
seperti yang bisa kubayangkan." dia menghela napas berat dan
gemetar dilengannya. "Kau seperti impian yang memabukkan."
Sekali lagi, kilasan masa lalu mengisi pikirannya di malam pertama
dia bertemu Aidan untuk sesi pembuatan bayi pertama mereka. Dia
melintasi kerumunan lobi hotel, menciumnya, dan kemudian
mengucapkan kalimat itu padanya. "Tuhan, Em, aku sungguh
mencintaimu hingga membuatku terluka," terdengar bisikan
sendunya di telinga Emma.
"Aku tahu. Aku juga sangat mencintaimu."
Pendeta berdehem. "Aku rasa kita belum tiba pada bagian itu."
Teringat dimana dia berada dan bagaimana dia benar-benar
menghancurkan seluruh susunan acara, dia tersentak. "Oops,"
balasnya, pipinya bersemu merah.
Terdengar gelak tawa dari para tamu undangan. Melangkah mundur,
dia menyelipkan kembali lengannya di lengan Granddaddy. "Aku
seharusnya menyerahkanmu, Emmie Lou, bukan melepaskanmu
begitu cepat semaumu," candanya.
Dia tersenyum di balik airmatanya. "Kau tak pernah
menyerahkanku, dan kau mengetahuinya."
"Aku tak akan punya cara yang lain, Baby Girl. Terutama tidak
dengan kau membawa cicitku yang baik dan tegap. Dia akan butuh
seorang pria untuk mengajarinya sedikit hal."
"Granddaddy!" Emma mendesis saat Earl mengedipkan matanya
pada Aidan. Pendeta sekali lagi berdehem. "Para tamu yang tercinta kita
berkumpul disini hari ini di hadapan Tuhan untuk bergabung
bersama Aidan Patrick Fitzgerald dan Emma Katherine Harrison
dalam ikatan pernikahan yang suci." Emma mulai memperhatikan
pendeta dengan seksama dan tenggelam dalam imajinasinya akan
senyum Aidan didepannya. Dia tidak terlalu memperhatikan ketika Granddaddy resmi
menyerahkannya dan meninggalkannya untuk duduk di samping
Grammy. Dia bahkan merasa sulit untuk fokus pada sepupunya,
Dave, saat dia menyanyikan lagu balad sengau milik John Lennon
Grow Old Along With Me. Tidak ada seorang pun untuknya saat ini
selain Aidan - pria yang membuat segala mimpinya menjadi
kenyataan. Emma tersentak kembali ke kenyataan ketika pendeta memanggil
namanya, dan dia mengulangi kembali sumpahnya saat pendeta
membacakannya. "Aku, Emma Katherine Harrison, menerimamu,
Aidan Patrick Fitzgerald, untuk menjadi suamiku. Saling memberi
dan saling menerima, mulai saat ini hingga kedepannya, dalam
senang maupun susah, sakit maupun sehat, kaya maupun miskin
hingga maut memisahkan kita."
Dengan suara menggelegar, Aidan pun mengulangi sumpahnya
dengan percaya diri yang penuh, yang membuat hati Emma
berdebar. Dia kemudian mengambil cincin kawin dari Patrick,
pendamping prianya, dan menyelipkannya di jari manis Emma.
"Dengan cincin ini, aku berjanji."
Saat Emma menatapnya, dia berkedip padanya, dan kemudian
Emma tertawa akan kilasan sifat sombongnya yang muncul. Dia
mengambil cincin kawinnya dari Casey dan menyelipkannya di jari
Aidan dan mengulangi kalimat tersebut.
Mereka kemudian berpaling pada pendeta yang tersenyum. "Dengan
kekuasaan yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa dan negara bagian
Georgia, aku nyatakan kalian suami dan istri." Dia menatap Aidan
tajam. "Kau bisa mencium pengantinmu sekarang."
"Sudah waktunya," jawab Aidan sebelum membawa tangannya
menangkup wajah Emma. Bibirnya bertemu bibir Emma dalam
ciuman suci, juga bergairah. Gemuruh tepuk tangan bergema di
sekitar mereka kala Aidan menarik diri.
Dengan bergandengan tangan, mereka mulai menuruni altar dan
berjalan menuruni bukit ke lumbung untuk merayakannya.
*** Saat Dave dan band sepupunya menyelaraskan dengan sempurna
lirik lagu dansa pertamanya, Emma terayun di lengan Aidan.
Menatap ke arah kanopi lampu yang berkerlap-kerlip, dia tak bisa
percaya bagaimana Marie dan timnya mengubah lumbung menjadi
negeri ajaib musim dingin. Ini sangat menakjubkan, dan dia tak bisa
berhenti mendesah dalam kepuasan betapa semuanya menjadi sangat
sempurna. Bekerja dengan jadwal mereka yang ketat bukanlah hal yang mudah,
namun Grammy, beserta tante dan sepupunya, telah menyediakan
makanan yang lebih baik daripada perusahaan katering yang ada.
Hanya dengan pikiran akan lezatnya BBQ yang baru disantapnya
mengirim sendawa kecil keluar dari bibirnya.
Dengan mata birunya yang berkedip geli, Aidan menunduk ke
arahnya. "Maaf?" intipnya.
"Makan sedikit terlalu banyak?"
"Mungkin." "Sialan, itu bagus."
"Benar, bukan?"
"Ya. Semuanya bagus. Well, lagu ini mungkin akan sedikit lebih
baik." Aidan mengerutkan hidungnya. "Bagaimana mungkin aku
membiarkanmu membujukku menjadi John Denver untuk dansa
pertama kita sebagai suami-istri?"
"For You lagu yang indah. Apakah kau tak pernah sekalipun
mendengarkan liriknya" Itu tentang bagaimana sisa hidupku
hanyalah untukmu dan untukmu seorang!"
Aidan nyengir akan kekesalan Emma. "Kau benar. Ini adalah lagu
yang indah. Dan Davelah berhasil memainkannya. Tapi tetap saja..."
"Dan apa yang akan kau pilihkan?" Emma bertanya bersamaan
dengan nada terakhir lagu selesai dimainkan.
Sebelum Emma bisa mendesaknya lagi, Dave menginterupsi
pikirannya. "Lagu berikut dari kami merupakan pilihan khusus dari
Aidan. Dia ingin Emma tahu betapa besar lirik lagu ini berarti
untuknya dan hubungan mereka. Jadi Em, ini dia You Save Me."
Emma tersentak saat dia berpaling dari Dave ke Aidan. Seringai
sombong andalannya terpasang di bibirnya. "Kau benar-benar
melakukannya?" tanyanya saat Dave mulai menyanyikan lagu klasik
Kenny Chesney. "Ya, aku melakukannya."
Saat Emma masih terpaku di pelukannya, dia meresapi lirik akrab
yang bergema di benaknya. Dia merasakan napas Aidan
menghangatkan pipinya. "Dan kenyataannya adalah, Em. Kaulah
penyelamatku. Aku masih akan hilang jika kau tak datang di
hidupku, dan aku bersyukur pada Tuhan karena kau memberikan aku
satu kesempatan lagi untuk membuktikan betapa rindunya jiwaku
akan dirimu. Takkan ada yang lain untukku lagi di dunia ini."
Airmata menggenang dimatanya saat dia mengangkat dagunya
untuk menatapnya. Rahangnya mengetat penuh tekad. "Aku serius,
Em." "Kau menyelamatkanku juga," bisiknya.
Dia menciumnya lembut sebelum menekan wajahnya ke pipinya.
"Jika kau mengatakan padaku tahun kemarin aku akan menjadi
seorang pria yang sudah menikah dengan seorang anak yang akan
lahir, aku akan tertawa terbahak-bahak dan mengatakan kau gila,"
lirihnya. Ketika Emma menegang, Aidan menarik diri dan
tersenyum. "Boy, akulah si orang gila itu."
Emma membalas senyumnya. "Aku juga akan melakukan hal yang
sama jika seseorang menyebutku aku tidak hanya akan menikah tapi
juga hamil anak dari pria yang menabrakku saat Pesta Natal."
Aidan tertawa. "Takdir mempunyai cara yang lucu untuk
menyelesaikan hal ini, bukan?"
"Ya, itu benar."
Dia mengetatkan pelukan di badan Emma saat lagu menjelang habis.
"Jadi, mengapa kita tidak bergegas menyelesaikan hal ini dan
memotong kuenya, lalu kita bisa pergi dari sini dan memulai bulan
madu kita?" Emma memutar bola matanya. "Apakah kau sudah tidak sabar?"
Dia mendengus. "Kau menolakku sepuluh hari yang lalu. Aku akan
meledak." "Aku ingin malam pertama kita sebagai suami dan istri menjadi
istimewa," dia membalasnya.
Seringai terlihat di bibirnya. "Kalau begitu mari kita membuatnya
istimewa lebih cepat."
"Kesabaran adalah kebaikan, Mr. Fitzgerald. Aku tak ingin
kehilangan momen untuk berdansa sepanjang malam denganmu
hanya karena gairahmu. Disamping itu, aku ingin berdansa dengan
Granddaddy dan Ayahmu, dan aku ingin kau berdansa dengan
Grammy. Kita hanya mengalami satu kali resepsi pesta pernikahan."
"Okay, okay," gerutunya.
Bersandar padanya, dia berbisik di telinganya, "Aku berjanji aku
akan membuat ini layak untuk ditunda."
Aidan terkekeh. "Kau tak harus menjanjikan sesuatu padaku, babe.
Aku sungguh tergila-gila padamu aku akan melakukan apapun yang
kau pinta - termasuk menunggu untuk bercinta."
Mengaitkan lengannya di leher Aidan, dia berkata, "Oh, siapa yang
membutuhkan penyair saat aku punya dirimu untuk mengatakan hal
yang romantis seperti itu?"
Dia tertawa. "Kau tahu aku adalah salah satu di antara mereka,
babe!" *** 1Stay Puff Marshmallow Man: Salah satu karakter fiksi dari film Ghostbusters, dimana
seringkali muncul seperti monster kayu raksasa.
2The Michellin: Pabrik ban mobil terbesar, sejajar dengan Bridgestone yang
bermarkas di Clermont, Ferrand di wilayah Auvergue, Perancis.
Bab 19 Laksana kembang api yang menyinari kegelapan, Emma dan Aidan
berlari menuju mobil pengantin mereka dengan dilempari remahremah padi. Emma
hanya menatap sekilas pada krim cukur dan
kondom yang melapisi dan menghiasi mobil mereka sebelum
membanting pintu yang terbuka dan menghempaskan diri di kursi
penumpang. Dia mengibaskan remah-remah padi yang menyangkut
di rambut dan gaunnya. Aidan menyeringai saat dia mulai menyalakan mobil. "Beruntung
kita tidak diserang gerombolan burung militan dengan segala
kotoran ini di kita."
Emma tertawa. "Jadi, berapa jauh sih ke kabin temanmu ini?"
"Sekitar dua puluh menit dari sini di Blue Ridge."
Dengan Emma di trimester terakhirnya, Aidan telah mengalah
tentang mereka bepergian dengan pesawat kemana saja untuk bulan
madu mereka. Dia telah berhasil mendapatkan cuti seminggu di
kabin terpencil yang dimiliki oleh teman sekantornya.
"Aku minta maaf ini bukanlah sesuatu yang eksotis seperti di
Karibia atau romantis seperti di Venice," ucap Aidan saat mereka
mencapai jalan raya. "Setelah Noah lahir, aku akan menagihmu untuk membawaku ke
Italia seperti yang kujanjikan."
"Aku berjanji. Dan semenjak aku tahu kau tak mau bepergian
tanpanya, kita akan membuat Little Man menjadi seorang wisatawan
internasional sebelum dia berumur satu tahun."
"Aw, aku menyukainya." Meraihnya, Emma meletakkan tangan
Aidan di tangannya. "Tidak masalah kemana pun kita pergi asalkan
aku bersamamu." Dia membawa tangan Emma ke bibirnya dan mencium punggung
tangannya. "Aku juga merasakan hal yang sama, babe."
Setelah mengambil belokan terakhir di jalan raya antar negara
bagian, mereka mengemudi sepanjang jalan gelap dan berliku.
Menatap arah di ponselnya, Aidan membuat satu belokan terakhir.
"Greg telah menyuruh orang datang siang tadi dan menyiapkan
segala sesuatunya untuk kita."
"Seperti membuat menyiapkan tempat bercinta?" Emma bertanya
dengan seringai lebar. Aidan meringis. "Mungkin. Mereka juga telah membawakan bahan
makanan. Kita bisa pergi makan diluar sesekali jika kau ingin."
"Dengan kita berada di daerah antah berantah, bagaimana mungkin
aku tahu kau takkan menyanderaku sebagai budak seksmu?"
Aidan melemparkan kepalanya ke belakang dan tertawa terbahakbahak. "Tidak babe,


The Proposal The Proposition 2 Karya Katie Ashley di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau istriku, bukan budak seksku."
"Sayang sekali," gumam Emma. Saat Aidan menoleh dari jalan
untuk menatap Emma, ia cekikikan. "Hanya bercanda."
Dia menghela napas berat kala mereka berbelok kembali ke jalan
masuk. Lampu sorot sesaat membutakan Emma. Ketika Emma
melangkah keluar dari mobil, dia berjuang untuk menjaga mulutnya
supaya tidak jatuh ke tanah karena ketidakpercayaan. Dia menatap
Aidan dan menggelengkan kepalanya. "Ada apa?" tanya Aidan.
"Katamu temanmu mengizinkan kita memakai kabinnya. Itu," dia
menunjuk ke mansion megah, "bukan sebuah kabin. Paling tidak itu
adalah sebuah 1lodge. Aku bertaruh itu memiliki delapan atau
sepuluh kamar tidur."
"Dan kita bisa memakai semua ruangannya untuk bercinta selama
kita disini," terang Aidan.
Emma tertawa. "Yeah, kita harus melihat tentang hal itu."
"Ayo. Jika menurutmu ini menakjubkan, tunggu hingga kau melihat
yang di dalamnya." Menggenggam tangannya, Aidan
membimbingnya di jalan depan dan naik ke tangga teras. Setelah
Aidan membuka kunci pintu, dia berbalik menatapnya dengan
kerlingan nakal di matanya.
"Apapun yang kau pikirkan, aku dengan yakin mengatakan
jawabannya adalah tidak!"
Aidan terkekeh. "Ayolah. Aku hanya ingin menggendong
pengantinku melewati ambang pintu."
Emma tak dapat menahan untuk tidak memutar matanya.
"Pengantinmu sedang hamil tujuh bulan. Disamping itu, kau
seharusnya melakukannya di rumahmu, bukan di tempat tujuan
bulan madumu." Mengacuhkannya, Aidan menyelipkan lengannya di balik lututnya
sementara yang satunya diletakkan dipunggung. Emma menjerit
ketika Aidan mengangkatnya sebelum menendang pintu depan.
"Oomph," Aidan merengut saat dia terhuyung-huyung melewati
ambang pintu. Emma meledak dalam tawa di antara ekspresi tekad dan kesakitan
Aidan. "Jangan memaksakan dirimu sebelum kita dapat memulai
bulan madunya, babe," goda Emma.
"Yeah, yeah," balasnya saat dia dengan lembutnya mendirikan
Emma di serambi. "Aw, pahlawanku," ucapnya, condong ke depan untuk menciumnya.
Dia menyeringai ke arahnya. "Pergilah dan jelajahilah ka - "
"Lodge," koreksi Emma.
"Terserah. Aku akan mengambil bagasi kita."
"Berhati-hatilah. Aku tak ingin bocah kota sepertimu diculik oleh
beruang atau coyote."
Aidan menggelengkan kepalanya. "Selalu saja mulutmu itu."
Ketika Aidan melangkah keluar pintu, Emma mengalihkan
perhatiannya pada ruang tamu. Ruangan itu dilengkapi dengan sofasofa dan kursikursi besar dan tebal. Perapian dari batu yang
langsung menuju langit-langit ditempatkan di tengah ruangan, dan
setelah mengambil remote dari salah satu meja, menekan satu
tombol membuatnya itu menderu menyala. Memiringkan kepalanya,
Emma melihat ke langit-langit tinggi dengan balok kayu yang saling
menyilang. Begitu dia mengelilingi ruangan, dia melihat tangga
bundar yang menuju ke lantai berikutnya.
Aidan masuk dengan terengah dengan tiga dari barang mereka.
"Butuh bantuan?" tanyanya.
"Tidak, aku bisa menanganinya," terdengar redaman suaranya dari
belakang barang. Saat dia mulai berjalan di lorong, Emma mengikutinya. Di ujung
lorong adalah kamar tidur utama. Matanya melebar ketika Aidan
menyalakan saklar lampu. Bukan hanya ini muat dengan tempat
tidur besar bertiang empat, ruang duduk dengan sofa, 2loveseat dan
kursi, namun itu juga punya tempat perapian sendiri dengan
permadani lembut di depannya.
"Apakah itu..?" Tanya Emma, menunjuk ke arah lantai.
Aidan nyengir. "Tidak, itu kulit tiruan beruang atau sejenisnya yang
bisa dibuat menjadi permadani tiruan."
"Senang mendengarnya."
"Aku yakin itu terasa lembut di kulitmu," gumamnya, nafasnya
terasa di pipinya. "Aku yakin iya." Dia bersandar padanya dan memberinya ciuman
singkat. Ketika Emma menarik diri, tatapannya jatuh pada barangbarang di kaki
mereka. "Tunggu, itu belum semuanya."
Aidan merengut. "Apakah ini belum cukup untuk kita memulainya?"
Dia menggelengkan kepalanya. "Kau tidak membawa 3treat case-ku.
Alisnya terangkat naik. "Apamu?"
Senyum konyol terpasang dibibirnya. "Kau dengar aku. Itu suatu
kotak dimana aku menyimpan segala hal untuk menyenangkanmu
yang ku dapatkan di lingerie shower ku. Borgol, minyak urut,
beberapa pakaian dalam - "
Aidan mengangkat tangannya. "Tak perlu menjelaskan lebih lama.
Kau sudah mendapatkanku dengan kata borgol," dia membalasnya
sebelum melesat keluar kamar tidur dan melewati lorong.
Menggelengkan kepalanya, Emma kemudian mengalihkan
perhatiannya pada dinding terjauh di kamar tidur. Itu adalah pintu
geser penuh dari lantai ke langit-langit yang terbuat dari kaca yang
tembus ke balkon. Emma terkejut saat dia melihat keluar jendela ke
pemandangan indah. Walau hanya dengan pijaran dari cahaya dari
perapian, dia bisa melihat gunung-gunung hingga jauh adanya. Dia
tak bisa membayangkan betapa itu akan mempesona ketika matahari
terbit. Suara dari banyaknya barang yang jatuh menandai keberadaan
Aidan lagi. Lengannya melingkar di sekitar pinggang Emma
menarik punggungnya menempel padanya, sementara yang lainnya
menyelip naik untuk membelai payudaranya. "Bukankah itu sangat
indah?" "Ya, benar," Aidan bergumam di lehernya kala ereksinya menempel
ke belakangnya. "Bisakah kau berhenti menjadi seorang 4horndog untuk sesaat dan
Pena Wasiat 27 Lima Sekawan 12 Dalam Lorong Pencoleng Kisah Bangsa Petualang 8

Cari Blog Ini