The Heroes Of Olympus 5 Darah Olympus Blood Of Olympus Bagian 1
The Heroes of Olympus 5: The Blood of Olympus
(Darah Olympus) -Rick Riordan BAB SATU JASON JASON BENCI MENJADI TUA. Sendi-sendinya ngilu. Kakinya gemetaran. Selagi kepayahan mendaki bukit, paru-parunya menderu dan dadanya sesak seperti diimpit kotak berisi batu. Dia tidak bisa melihat wajahnya, puji syukur kepada dewa-dewi, tapi jemarinya kurus dan berbonggol-bonggol. Jejaring pembuluh darah biru menonjol di punggung tangannya. Aroma tubuhnya bahkan seperti lelaki tua bau kamper dan sup ayam. Bagaimana bisa" Dia berubah dari anak umur enam belas menjadi pria tujuh puluh lima tahun dalam hitungan detik, tapi bau lelaki tua muncul seketika. Abrakadabra! Selamat! Kau bau! "Hampir sampai." Piper tersenyum kepada Jason. "Kerjamu bagus." Mudah baginya untuk berkata begitu. Piper dan Annabeth menyamar sebagai gadis pelayan Yunani nan molek. Sekalipun mengenakan gaun putih tak berlengan dan sandal berenda, mereka tidak kesulitan meniti jalan setapak berbatu.
Kepangan rambut cokelat Piper yang sewarna mahoni disanggul ke atas, membentuk spiral. Gelang perak menghiasi lengannya. Piper mirip patung ibunya, Aphrodite, alhasil terkesan agak galak di mata Jason. Pacaran dengan cewek cantik saja sudah menggentarkan. Pacaran dengan anak perempuan yang beribukan Dewi Cinta pokoknya, Jason selalu takut kalau-kalau dia bertindak tidak romantis, karena bisa-bisa ibu Piper memelototinya dari Gunung Olympus dan mengubahnya menjadi babi hutan. Jason melirik ke atas bukit. Jarak ke puncak kira-kira masih seratus meter lagi. "Ide terjelek sepanjang masa." Jason bertopang ke pohon cedar dan menyeka keningnya. "Sihir Hazel terlalu mumpuni. Kalau perlu bertarung, aku bakalan tidak berdaya." "Takkan perlu," Annabeth berjanji. Dia kelihatan tidak nyaman dalam busana gadis pelayan. Annabeth terus-menerus membungkukkan bahu supaya gaunnya tidak melorot. Rambut pirangnya yang semula disanggul telah terurai ke punggung, helai-helainya menyerupai kaki laba-laba panjang. Tahu bahwa Annabeth benci laba-laba, Jason memutuskan tidak menyinggung hal itu. "Kita infiltrasi istana," ujar Annabeth. "Kita cari informasi yang kita butuhkan, lalu kita keluar." Piper meletakkan amfora guci tinggi dari keramik untuk menyimpan minuman keras, tempatnya menyembunyikan pedang yang dia bawa. "Kita bisa istirahat sebentar. Stabilkan napasmu, Jason." Dari tali pengikat di pinggang Piper, terjuntailah sebuah kornukopia tanduk kelimpahan ajaib miliknya. Di suatu tempat di balik lipatan-lipatan gaun gadis itu, tersimpan pisaunya, Katoptris. Piper kelihatan tidak berbahaya, tapi jika perlu, dia bisa
menghunuskan dua bilah senjata tajam dari perunggu langit atau menembaki wajah musuhnya dengan mangga matang. Annabeth juga menurunkan amfora yang tersampir di pundaknya. Gadis itu pun menyembunyikan sebilah pedang. Tapi, sekalipun tampak tidak bersenjata, Annabeth kelihatan ganas. Mata kelabunya yang mendung mengamat-amati sekeliling mereka, awas akan ancaman. Kalau ada cowok yang berani-berani minta minum kepada Annabeth, Jason menduga gadis itu bakal menendang bifurcum-nya. Jason mencoba untuk menstabilkan napasnya. Di bawah mereka, Teluk Males berkilauan, airnya demikian biru sampai-sampai terkesan diwenter dengan pewarna makanan. Beberapa meter di lepas pantai, Argo II dijangkarkan. Layar putihnya tampak sebesar prangko, kesembilan puluh dayungnya seperti tusuk gigi. Jason membayangkan bahwa teman-temannya di geladak sedang memantau kemajuannya, bergiliran menggunakan teropong Leo, berusaha untuk tidak menertawakan Kakek Jason yang tertatih-tatih menaiki bukit. "Ithaka bodoh," gerutu Jason. Pulau itu sendiri lumayan asri, menurut Jason. Perbukitan berhutan meliuk-liuk di tengah pulau, seakan membelahnya jadi dua. Lereng-lereng kapur putih menghunjam ke laut. Teluk membentuk pesisir berbatu serta pelabuhan tempat berdirinya rumah-rumah beratap merah dan gereja stuko putih yang berjajar-jajar di garis pantai. Perbukitan semarak dengan bunga apiun, krokus, dan pohon ceri liar. Angin beraroma jambu-jambuan yang sedang mekar. Pemandangan tersebut memang indah, tapi masalahnya suhu
saat itu sekitar empat puluh derajat. Belum lagi udaranya lembap, seperti dalam pemandian Romawi.
Jason bisa saja mengendalikan angin dan terbang ke puncak bukit dengan mudah, tapi tidak boleh. Demi kerahasiaan, Jason harus terseok-seok sebagai pria tua berlutut encok dan berbau sup ayam. Jason memikirkan kali terakhir dia mendaki, dua minggu lalu, saat Hazel dan dirinya menghadapi Sciron, si bandit, di tebing Kroasia. Setidaknya ketika itu Jason berkekuatan penuh. Yang hendak mereka hadapi saat ini jauh lebih buruk daripada seorang bandit belaka. "Kau yakin ini bukit yang benar"" tanya Jason. "Kok sepertinya bagaimana ya sepi"!" Piper menelaah punggung bukit. Di rambutnya, terjalin sehelai bulu harpy biru kenang-kenangan dari serangan kemarin malam. Bulu tersebut tidak cocok dengan samarannya, tapi Piper layak menyandangnya, sesudah mengalahkan sekawanan wanita iblis berbadan ayam sewaktu bertugas jaga. Bulu itu merupakan pengingat bahwa Piper bukan lagi gadis yang sama seperti musim dingin lalu, ketika mereka kali pertama masuk ke Perkemahan Blasteran. "Reruntuhannya di atas sana," Piper menegaskan. "Aku melihatnya di bilah Katoptris. Selain itu, kau dengar apa kata Hazel. 'Kumpulan roh jahat ''' "'Kumpulan roh jahat terbanyak yang pernah kurasakan keberadaannya,"' Jason mengingat. "Iya, kedengarannya hebat." Selepas pertempuran di kuil bawah tanah Hades, Jason tidak ingin lagi berurusan dengan roh jahat. Tapi, nasib misi mereka tengah dipertaruhkan. Awak Argo II mesti membuat keputusan besar. Apabila mereka salah pilih, mereka akan gagal dan seluruh dunia bakal binasa.
Pisau Piper, indra magis Hazel, dan insting Annabeth sama-s.t ma sepakat jawabannya terletak di ithaka sini, di istana kuno odysseus, tempat sekawanan roh jahat berkumpul untuk menanti perintah Gaea. Rencananya, mereka bakal menyelinap ke tengah-tengah kawanan roh jahat, mencari tahu apa yang terjadi, dan memutuskan langkah terbaik. Kemudian keluar dari sana, kalau bisa hidup-hidup. Annabeth membetulkan sabuknya yang keemasan. "Kuharap samaran kita meyakinkan. Para peminang sudah beringas bahkan ketika mereka masih hidup. Jika mereka tahu kita ini demigod " "Sihir Hazel pasti ampuh," kata Piper. Jason berusaha memercayai kata-kata itu. Para peminang: seratus bedebah paling serakah, paling jahat yang pernah hidup. Ketika Odysseus, raja Yunani dari Ithaka, hilang sesudah Perang Troya, sejumlah besar pangeran kelas teri merangsek istananya dan menolak pergi, masing-masing berhasrat menikahi Ratu Penelope dan mengambil alih kerajaan. Odysseus berhasil kembali ke sana diam-diam dan menghabisi mereka semua kisah kepulangan bahagia yang biasa. Tapi, jika visi Piper benar, para peminang kini kembali, menghantui tempat mereka mati dahulu. Jason sulit memercayai bahwa dia hendak mengunjungi istana Odysseus sungguhan. Odysseus salah seorang pahlawan Yunani tersohor sepanjang masa. Tapi tentu saja, keseluruhan misi memang diisi oleh kejadian mencengangkan yang datang silih berganti. Annabeth sendiri baru kembali dari lubang kekal Tartarus. Dibandingkan itu, menjadi pria tua mungkin tidak ada apa-apanya. Jason memutuskan sebaiknya dia tidak mengeluh. "Wah ..." Jason menyeimbangkan diri dengan tongkat berjalannya. "Aku merasa tua. Kalaupenampilanku setua itu juga, samaranku pasti sempurna. Ayo terus."
Selagi mereka mendaki, peluh bercucuran di leher Jason. Betisnya nyeri. Walaupun hawa sedang panas, Jason mulai menggigil. Dan meski berusaha sekuat tenaga, dia tak bisa melupakan mimpinya baru-baru ini. Sejak dari Gerha Hades, mimpinya malah serasa kian nyata. Kadang-kadang Jason berdiri di kuil bawah tanah Epirus, Clytius si raksasa menjulang tinggi di hadapannya, berucap dengan suara-suara tak bertubuh: Untuk mengalahkan aku saja, kalian semua mesti bersatu padu. Apa yang akan kalian lakukan ketika Ibu Bumi membuka matanya" Kali lain Jason mendapati dirinya di bubungan Bukit Blasteran. Gaea sang Ibu Bumi bangkit dari tanah sosoknya terbentuk dari pusaran lempung, daun, dan batu. Anak malang. Suara Gaea berkumandang di bentang alam tersebut, mengguncangkan batu
cadas di bawah kaki Jason. Ayahmu adalah yang pertama di antara dewa-dewi, tapi kau selalu menjadi yang nomor dua bagi rekan-rekanmu bangsa Romawi, bagi teman-teman Yunani-mu, bahkan bagi keluargamu sendiri. Bagaimana kau hendak membuktikan diri" Mimpi Jason yang paling buruk bermula di pekarangan Rumah Serigala Sonoma. Di depan Jason, berdirilah Dewi Juno yang memancarkan kemilau perak cair. Hidupmu adalah milikku, suara Juno menggelegar. Upeti damai dari Zeus. Jason tabu dia seharusnya tidak melihat, tapi dia tidak bisa memejamkan mata saat Juno menampakkan wujud dewatanya yang sejati. Transformasi sang dewi laksana ledakan supernova. Rasa sakit menusuk benak Jason. Tubuhnya terbakar selapis demi selapis bagaikan bawang. Lalu, adegan itu berubah. Jason masih di Rumah Serigala, tapi sekarang dia sudah menjadi bocah kecil tidak lebih dari dua tahun. Seorang wanita berlutut di sampingnya, aroma tubuh wanita itu yang seharum lemon teramat tidak asing. Sosoknya kabur dan samar-samar, tapi Jason mengenal suara wanita tersebut: riang dan rapuh, seperti selapis tipis es di atas sungai yang mengalir deras. Aku akan kembali untukmu, Sayang, kata wanita itu. Aku akan menjumpaimu tidak lama lagi. Tiap kali Jason terbangun dari mimpi buruk itu, wajahnya bersimbah keringat. Matanya pedih karena tangis. Nico di Angelo sudah mewanti-wanti mereka: Gerha Hades akan menguak kenangan terburuk mereka, membuat mereka melihat dan mendengar hal-hal dari masa lalu. Beban masa lalu akan menghantui mereka, menggelisahkan mereka. Jason sebetulnya berharap beban masa lalu yang satu itu menyingkir jauh-jauh, tapi tiap malam mimpinya justru bertambah buruk. Sekarang dia malah mendaki ke reruntuhan istana tempat berhimpunnya sepasukan hantu. Bukan berarti wanita itu berada di sini juga, kata Jason kepada diri sendiri. Tapi, tangannya tidak mau berhenti gemetaran. Tiap langkah serasa lebih berat daripada langkah sebelumnya. "Hampir sampai," kata Annabeth. "Ayo " BUM' Lereng bukit menggemuruh. Di suatu tempat di balik bukit, khalayak ramai menggerung kesenangan, seperti penonton di koloseum. Suara tersebut menyebabkan Jason bergidik. Belum lama ini, dia sempat bertarung demi mempertahankan nyawa di Koloseum Romawi, di hadapan hantu-hantu hadirin yang bersorak-sorai. Jason tidak antusias untuk mengulang kembali pengalaman itu. "Itu bunyi ledakan apa"" Jason bertanya-tanya. "Tidak tahu," ujar Piper. "Tapi, kedengarannya mereka sedang bersenang-senang. Ayo kita cari teman baru yang sudah mati."[]
BAB DUA JASON WAjAR BAHWA SITUASI TERNYATA LEBIH parah daripada yang Jason perkirakan. Kalau tidak, tidak asyik. Selagi mengintip dari balik semak-semak zaitun di puncak bukit, Jason melihat adegan mirip pesta klub zombie yang lepas kendali. Reruntuhan itu sendiri tidak terlalu mengesankan: segelintir tembok batu, pekarangan sentral penuh ilalang, tangga buntu yang terpahat di batu. Beberapa lembar papan menutupi sebuah lubang dan kuda-kuda logam menopang pelengkung yang retak-retak. Namun demikian, reruntuhan itu melatarbelakangi realitas lain citra siluman istana tersebut di masa jayanya. Dinding stuko berlabur putih dengan balkon yang berderet-deret menjulang setinggi tiga lantai. Portik berpilar menghadap ke atrium sentral, yang memuat air mancur besar dan tungku perunggu. Pada selusin meja perjamuan, berkumpullah mambang yang tertawa-tawa, makan-makan, dan saling dorong.
Jason menduga bakal melihat seratus roh, tapi arwah yang bergentayangan berjumlah dua kali lipat, sibuk mengejar-ngejar gadis pelayan siluman, memecahkan piring serta cawan, dan pada dasarnya bertindak-tanduk menyebalkan. Sebagian besar mirip para Lar di Perkemahan Jupiter arwah ungu transparan yang mengenakan tunik dan sandal. Segelintir penggembira mempunyai tubuh busuk berdaging abu-abu, rambut gimbal jarang-jarang, dan luka-luka parah. Yang lain menyerupai manusia biasa yang masih hidup sebagian bertoga, sebagian lain mengenakan setelan jas atau seragam tentara. Jason malah melihat seorang cowok yang mengenakan kaus ungu Perkemahan Jupiter dan baju tempur legiunari Romawi. Di tengah-t
engah atrium, seorang mambang berkulit kelabu yang mengenakan tunik Yunani compang-camping berparade di antara kerumunan sambil memegangi sebuah patung dada marmer di atas kepalanya seperti piala juara olahraga. Hantu-hantu lain menepuk-nepuk punggungnya. Saat mambang itu kian dekat, Jason memperhatikan bahwa sebuluh anak panah menancap ke lehernya, ekor panah yang dipasangi bulu mencuat dari jakun si hantu. Yang malah lebih mencekam: patung dada yang dia pegang apa itu Zeus" Susah memastikannya. Patung dewa Yunani mirip-mirip. Tapi, wajah berjanggut bertampang garang itu sangat mengingatkan Jason pada Zeus, Hippie raksasa dalam Pondok Satu di Perkemahan Blasteran. "Sesaji kita yang berikut!" Si mambang berteriak, suaranya bergetar di panah di lehernya. "Mari kita beri makan Ibu Pertiwi!" Para penggembira berteriak dan meninju cawan mereka. Si mambang beranjak ke air mancur sentral. Kerumunan hantu tersibak dan sadarlah Jason bahwa yang terpancar dari sana bukan air. Dari landasan setinggi sembilan puluh sentimeter, pasir
muncrat ke atas laksana tabir kabut, partikel-partikel putih seolah membentuk payung sebelum tumpah ke kolam bundar di bawah. Si mambang menolakkan patung dada marmer ke pancuran. Begitu kepala Zeus melewati pancuran pasir, marmer hancur lebur seperti baru masuk ke pencacah kayu. Pasir berkilau keemasan, sewarna ichor darah dewata. Kemudian seisi gunung digemuruhkan bunyi BUM teredam, seperti beserdawa sehabis makan. Mayat-mayat penggembira meraung kesenangan. "Ada patung lagi"" teriak si mambang ke kerumunan. "Tidak ada" Kalau begitu, kurasa kita harus menunggu dewa sungguhan untuk dikurbankan!" Rekan-rekannya tertawa dan bertepuk tangan sementara si mambang bersantai di balik meja perjamuan terdekat. Jason mencengkeram tongkat berjalannya. "Makhluk itu baru saja mencacah ayahku. Memang dia pikir dia siapa"" "Kutebak dia itu Antinous," ujar Annabeth, "salah satu pimpinan para peminang. Kalau ingatanku benar, Odysseus-lah yang memanah lehernya." Piper berjengit. "Meski sudah dipanah, ternyata dia tetap cari-cari masalah. Yang lain bagaimana" Kenapa jumlah mereka banyak sekali"" "Entahlah," kata Annabeth. "Rekrut baru untuk Gaea, kuduga. Sebagian pasti hidup kembali sebelum kita menutup Pintu Ajal. Sebagian cuma roh halus." "Sebagian lagi mambang," kata Jason. "Yang memiliki luka terbuka dan kulit kelabu, seperti Antinous aku pernah bertarung melawan kaum mereka sebelumnya." Piper menarik bulu harpy biru di rambutnya. "Bisakah mereka dibunuh"
Jason mengingat-ingat mini yang dia emban untuk Perkemahan Itipi ter bertahun-tahun silam di San Bernardino. "Tidak mudah mereka kuat, gesit, dan pandai. Selain itu, mereka memakan mayat anusia." "Fantastis," Annabeth menggerutu. "Aku tidak melihat pilihan lain kecuali meneruskan rencana semula. Berpencar, infiltrasi mereka, cari tahu apa sebabnya mereka di sini. Kalau ada yang i idak beres " "Kita jalankan rencana cadangan," tukas Piper. Jason benci rencana cadangan itu. Sebelum mereka meninggalkan kapal, Leo memberi mereka masing-masing lampu suar darurat seukuran lilin ulang tahun. Jadi, jika mereka melemparkan suar ke udara, benda itu semestinya melesat ke atas sambil mengepulkan fosfor putih, alhasil memperingatkan Argo II bahwa tim sedang dirundung masalah. Pada saat itu, mereka bertiga punya waktu beberapa detik untuk berlindung sebelum katapel tempur kapal menembaki lokasi mereka, menghujani istana dengan api Yunani dan serpihan perunggu langit. Bukan rencana yang paling aman, tapi setidaknya Jason puas karena mengetahui bahwa dia bisa menyerukan serangan udara bagi gerombolan mayat hidup berisik ini apabila situasi menjadi gawat. Dengan asumsi bahwa dia dan teman-temannya bisa kabur terlebih dahulu, tentu saja. Juga dengan asumsi bahwa lilM kiamat Leo takkan meledak secara tidak sengaja barang ciptaan Leo terkadang korslet sendiri karena bilamana demikian, suhu udara akan bertambah panas, sedangkan peluang terjadinya badai api melonjak menjadi sembilan puluh persen. "Hati-hati di bawah sana," kata Jason kepada Piper dan Annabeth.
Piper mengendap-endap dari kiri bubungan. Annabeth bergerak ke kanan. Jason menegakkan din dengan tongkat berjalan dan tertatih-tatih ke reruntuhan.
Jason terkenang kali terakhir dia terjun ke tengah-tengah gerombolan roh jahat, di Gerha Hades. Kalau tanpa Frank Zhang dan Nico di Angelo ... Demi dewa-dewi Nico. Beberapa hari terakhir ini, tiap kali Jason mengurbankan sebagian makanan untuk Jupiter, dia berdoa agar ayahnya menolong Nico. Anak itu sudah melalui banyak sekali cobaan, tapi dia rela mengajukan did untuk pekerjaan yang paling berat: mengantarkan patung Athena Parthenos ke Perkemahan Blasteran. Jika Nico tidak berhasil, demigod Romawi dan Yunani bakal saling bantai. Apabila begitu, apa pun yang terjadi di Yunani takkan menjadi soal, sebab Argo II takkan punya rumah tempat kembali. Jason melalui gerbang istana siluman. Dia menyadari tepat pada waktunya bahwa sebagian lantai mozaik di depannya hanyalah ilusi yang menutupi lubang ekskavasi sedalam tiga meter. Jason menghindari lubang dan melanjutkan berjalan ke pekarangan. Dua lapis realitas mengingatkan Jason akan markas Titan di Gunung Othrys barisan dinding marmer hitam yang semembingungkan labirin, yang secara acak melebur ke dalam bayang-bayang dan lantas memadat kembali. Setidaknya dalam pertempuran itu Jason didampingi oleh seratus legiunari. Sekarang dia hanya berbekal tubuh lelaki tua, sebatang tongkat, dan didampingi dua teman bergaun seksi. Dua belas meter di depan Jason, Piper bergerak di tengah-tengah kerumunan, tersenyum dan mengisikan cawan para hantu penggembira dengan anggur. Jika Piper takut, dia tidak
menunjukkannya. Sejauh ini, para hantu tidak memberi Piper perhatian khusus. Berard sihir Hazel ampuh. Di sebelah kanan, Annabel mengumpulkan piring dan gelas piala kosong. Dia tidak tersenyum. Jason teringat percakapannya dengan Percy sebelum eninggalkan kapal. Percy diam di kapal untuk mengawasi ancaman dari laut, tapi I is tidak suka membayangkan bahwa Annabeth harus menjalani ckspedisi ini tanpa dirinya terutama karena inilah kali pertama keduanya berjauhan sekembalinya dari Tartarus. Percy mengajak Jason menepi. "Begini, Sobat Annabeth bakal membunuhku kalau aku menyiratkan bahwa dia butuh dilindungi." Jason tertawa. "Iya, pasti." "Tapi, tolong jaga dia, ya"" Jason meremas pundak kawannya. "Akan kupastikan Annabeth kembali padamu dengan selamat." Sekarang Jason bertanya-tanya apakah bisa dia menepati janji
itu. Sampailah Jason di tepi kerumunan. Suara serak memekik, "IROS!" Antinous, si mambang dengan panah menancap di leher, menatap tepat ke arah Jason. "Apo itu kau, Pengemis Tua"" Sihir Hazel ternyata ampuh. Udara dingin beriak di wajah Jason saat Kabut mengubah penampilannya secara subtil, menunjuki para peminang apa yang mereka ingin lihat. "Ini aku!" Jason berkata. "Iros!" Selusin hantu lain menoleh ke arah Jason. Sebagian merengut dan mencengkeram gagang pedang ungu mereka yang berpendar. Terlambat Jason membatin, jangan-jangan Iros adalah
musuh mereka. Namun begitu, dia sudah berkomitmen untuk mengemban peran tersebut. Jason maju tertatih-tatih sembari menampakkan ekspresi lelaki tua pemarah semeyakinkan mungkin. "Sepertinya aku telat datang ke pesta. Kuharap kalian menyisakan makanan untukku." Salah satu hantu mendengus jijik. "Dasar peminta-minta tua yang tidak tahu terima kasih. Perlu kubunuh dia, Antinous"" Otot leher Jason menegang. Antinous memandangi Jason selama tiga detik, lalu terkekeh-kekeh. "Suasana hatiku sedang bagus hari ini. Sini, Iros, bergabunglah denganku di mejaku." Jason tidak punya pilihan. Dia duduk di seberang Antinous sementara hantu yang berkerumun di dekat mereka semakin banyak saja, cengengesan seperti mengharap bakal menyaksikan adu panco sengit. Dari dekat, mata Antinous tampak kuning padat. Bibir meregang tipis di depan giginya yang setajam taring serigala. Mulanya, Jason mengira rambut hitam keriting mambang itu terbuyarkan. Kemudian dia menyadari bahwa tanah mengucur konstan dari kulit kepala Antinous, tertumpah ke bahunya. Gumpalan lumpur mengisi luka-luka memanjang bekas tebasan pedang di kulit kelabu si mambang. Tan
ah mengucur pula dari pangkal luka panah di lehernya. Kekuatan Gaea, pikir Jason. Bumilah yang menjaga keutuhan makhluk ini. Antinous menggeser gelas piala keemasan dan senampan makanan ke seberang meja. "Aku tidak menyangka akan melihatmu di sini, Iros. Tapi, kurasa pengemis sekalipun boleh menuntut pembalasan. Silakan. Minumlah. Makanlah."
Cairan merah pekat memercik dari gelas piala. Di piring terdapat sebongkah daging cokelat misterius yang mengepulkan asap. Perut Jason memberontak. Kalaupun makanan mambang tidak menewaskannya, pacar Jason yang vegetarian takkan mau menciumnya selama sebulan. Dia mengingat perkataan Notus sang Angin Selatan: Angin yang bertiup tak tentu arah tidak berguna bagi siapa pun. Masa pengabdian Jason di Perkemahan Jupiter seluruhnya I ibangun di atas pilihan=pilihan saksama. Dia menengahi para demigod, menyimak argumen-argumen yang berlainan, merumuskan kompromi. Sekalipun isi hatinya memberontak rerhadap tradisi Romawi, Jason senantiasa berpikir sebelum bertindak. Dia tidak impulsif. Notus telah memperingatkan Jason bahwa keragu-raguan inacam itu bakal merenggut nyawanya. Jason harus berhenti menimbang-nimbang dan mengambil saja apa yang dia mau. Kalau dia adalah pengemis yang tidak tahu terima kasih, dia hams bersikap seperti itu. Jason mencuil daging dengan jarinya dan menjejalkan makanan itu ke mulut. Dia mereguk cairan merah, yang untungnya terasa seperti anggur encer alih-alih darah atau racun. Jason harus menahan keinginan untuk muntah, tapi dia tidak meledak atau terbungkuk-bungkuk karena sakit perut. "Lezat!" Jason mengelap mulutnya. "Nah, sekarang ceritakan padaku tentang apa istilahmu tadi" Pembalasan" Ke mana aku mesti mendaftar"" Hantu-hantu tertawa. Salah satu mendorong bahunya dan Jason pun waswas karena dia bisa merasakan sentuhan tersebut. Di Perkemahan Jupiter, Lar tidak memiliki substansi ragawi, sedangkan roh-roh ini punya. Dengan kata lain, di samping para
mambang, makin banyak musuh yang bisa menghajar, menikam, atau memenggal Jason. Antinous mencondongkan badan ke depan. "Katakan padaku, Iros, apa yang bisa kau tawarkan" Kami tidak membutuhkanmu untuk mengantarkan pesan seperti dulu. Kau jelas-jelas bukan seorang petarung. Seingatku, Odysseus meremukkan rahangmu dan membuangmu ke kandang babi." Neuron Jason serta-merta tersetrum. Iros pria tua yang mengantarkan pesan bagi peminang dengan imbalan makanan. Iros adalah semacam gelandangan piaraan mereka. Ketika Odysseus pulang, menyamar sebagai pengemis, Iros mengira laki-laki anyar itu hendak merebut teritorinya. Mereka berdua lantas adu mulut "Kau menyuruh Iros " Jason bimbang sejenak. "Kau menyuruh aku bertarung dengan Odysseus. Kalian memasang taruhan. Bahkan ketika Odysseus melepas pakaiannya dan kalian melihat betapa kekar dirinya kau tetap saja memaksaku bertarung dengannya. Kau tidak peduli aku hidup atau mati!" Antinous memamerkan gigi-giginya yang tajam. "Tentu saja aku tak peduli. Sampai sekarang aku masih tak peduli! Tapi karena kau di sini, Gaea pasti punya alasan sehingga mengizinkanmu kembali ke dunia fana. Beni tahu aku, kenapa kau layak mendapatkan sebagian dari pampasan kami"" "Pampasan apa"" Antinous merentangkan tangan. "Seisi dunia ini, Kawanku. Kali pertama kita bertemu di sini, kami hanya mengincar tanah Odysseus, uangnya, dan istrinya." "Terutama istrinya!" Seorang hantu botak berpakaian compang-camping menyikut iga Jason. "Si Penelope itu manis seperti kue madu!" Jason sekilas melihat Piper yang sedang melayani minum di meja sebelah. Gadis itu diam-diam menyodokkan jari ke mulut,
herlagak ingin muntah, lalu kembali main mata dengan cowok-cowok mati. Antinous mencemooh. "Eurymachus, dasar kau pengecut tukang merengek. Kau mustahil memikat Penelope. Aku ingat kau menangis dan memohon-mohon kepada Odysseus supaya mengampuni nyawamu, menyalahkan aku atas segalanya!" "Lihat akibatnya bagiku." Eurymachus menyibakkan bajunya yang compang-camping, alhasil menampakkan lubang transparan selebar satu inci di tengah-tengah dadanya. "Odysseus memanah Iantungku, cuma karena aku ingin menikahi istrinya!" "Po
koknya ..." Antinous menoleh kepada Jason. "Kami karang berkumpul demi hadiah yang lebih besar. Setelah Gaea nembinasakan dewa-dewi, kami akan membagi-bagi dunia fana yang masih tersisa!" "Gasak London!" teriak seorang mambang di meja sebelah. "Montreal!" pekik yang lain. "Duluth!" teriak yang ketiga, alhasil menyebabkan percakapan terhenti sementara karena hantu-hantu lain melempar pandang bingung ke arahnya. Daging dan anggur serasa berat dalam perut Jason, seolah-olah berubah menjadi timah. "Bagaimana dengan tamu-tamu yang lain" Kuhitung jumlah kalian setidaknya dua ratus. Setengah di antaranya orang baru bagiku." Mata kuning Antinous menyala-nyala. "Mereka semua meminang restu Gaea. Semua memiliki keluhan dan dendam terhadap dewa-dewi atau pahlawan kesayangan mereka. Bedebah yang di sana itu bernama Hippias, mantan tiran Athena. Dia diturunkan dari takhta dan bersekutu dengan bangsa Persia untuk menyerang rekan-rekan senegerinya sendiri. Sama sekali tidak bermoral. Dia rela melakukan apa saja demi kekuasaan."
"Terima kasih!" seru Hippias. "Si jahanam yang mulutnya mengemut kaki kalkun," lanjut Antinous, "itu Hasdrubal dari Kartago. Dia ingin membalaskan dendam kepada Roma." "Mhhmm," kata si orang Kartago. "Yang itu Michael Varus " Jason tercekik. "Siapa"" Di dekat pancuran pasir, cowok berambut gelap yang berbaju ungu dan berpakaian tempur legiunari berpaling ke arah mereka. Karena tubuhnya kabur setipis asap, Jason menebak bahwa dia adalah semacam roh gentayangan, tapi tato legiun di lengan bawahnya cukup jelas: SPQR, kepala Dewa Janus yang bermuka dua, dan enam garis yang menandakan tahun pengabdian. Pada tameng dadanya tersemat pin praetor dan emblem Kohort V. Jason tidak pernah bertemu Michael Varus. Praetor bereputasi jelek itu meninggal pada 1980-an. Kendati demikian, Jason merinding saat bertemu pandang dengan Varus. Matanya yang cekung seolah menusuk ke balik samaran Jason. Antinous melambai dengan cuek. "Dia demigod Romawi. Kehilangan elang legiunnya di ... Alaska, ya" Tidak jadi soal. Gaea memperbolehkannya luntang-lantung di sini. Dia bersikeras punya informasi mengenai cara mengalahkan Perkemahan Jupiter. Tapi, kau, Iros kau masih belum menjawab pertanyaanku. Untuk apa kami mesti menerimamu di antara kami"" Mata dingin Varus sempat menggentarkan Jason. Dia bisa merasakan bahwa Kabut menipis di sekelilingnya, bereaksi akan kebimbangannya. Mendadak Annabeth muncul di samping Antinous. "Mau anggur lagi, Tuan" Ups!" Annabeth menumpahkan isi Tabu perak ke tengkuk Antinous.
"Bahh!" Si mambang melengkungkan punggungnya. "Gadis hodoh! Siapa yang membiarkanmu kembali dari Tartarus"" "Seorang Titan, Tuan." Annabeth menundukkan kepala untuk minta maal "Perlu saya bawakan lap basah" Panah Tuan menetes-neteskan anggur." "Pergi sana!" Annabeth menangkap pandangan mata Jason sebentuk pesan nonverbal untuk menyemangatinya lalu menghilang di tengah-tengah kerumunan. Si mambang mengelap diri, memberi Jason waktu untuk menenangkan pikiran. Dia Iros mantan pembawa pesan bagi para peminang. Apa sebabnya dia berada di sini" Kenapa mereka mesti menerima dirinya" Jason mengambil pisau makan yang paling dekat dan menghunjamkan benda tajam itu ke meja, menyebabkan hantu-hantu di sekitarnya terlompat. "Untuk apa kalian mesti menerimaku"" Jason menggeram. "Karena aku masih berperan sebagai pembawa pesan, dasar orang-orang bodoh terkutuk! Aku baru saja datang dari Gerha Hades untuk menilik apa yang kalian rencanakan!" Pernyataan terakhir memang benar dan sepertinya membuat Antinous tercekat. Si mambang memelototinya, anggur masih menetes-netes dari buluh panah di lehernya. "Kau ingin aku percaya bahwa Gaea mengutusmu seorang pengemis untuk mengawasi kami"" Jason tertawa. "Aku termasuk yang terakhir meninggalkan Epirus sebelum Pintu Ajal ditutup! Aku melihat ruangan tempat Clytius berjaga di bawah kubah berlangit-langit nisan. Aku sempat menjejakkan kaki dalam Necromanteion beralaskan permata dan tulang!"
Itu benar juga. Di seputar meja, para hantu bergerak-gerak dan berkomat-kamit. "Jadi, Antinous ..." Jason menunjuk si mambang.
"Mungkin kau harus menjelaskan padaku kenapa kau layak menerima restu Gaea. Yang kulihat di sini cuma sekelompok orang mati pemalas yang keenakan bersantai-santai dan tidak membantu persiapan perang. Apa yang mesti kusampaikan pada Ibu Bumi"" Dari sudut matanya, Jason melihat Piper menyunggingkan senyum tanda dukungan. Kemudian gadis itu kembali mencurahkan perhatian kepada cowok Yunani berpendar ungu yang tengah merayu Piper agar duduk di pangkuannya. Antinous menggenggam pisau makan yang telah Jason tusukkan di meja. Si mambang mencabut pisau itu dan mengamat-amati bilahnya. "Jika kau datang atas perintah Gaea, kau seharusnya tahu bahwa kami ke sini sesuai instruksi. Porphyrion yang menitahkannya." Antinous menelusurkan pisau ke telapak tangannya. Alih-alih darah, tanah kering mengucur dari irisan di tangannya. "Kau tentu mengenal Porphyrion "" Jason berjuang untuk mengendalikan rasa mualnya. Dia masih amat mengingat Porphyrion semenjak pertarungan mereka di Rumah Serigala. "Raja raksasa berkulit hijau, tinggi dua belas meter, bermata putih, senjata terjalin di rambutnya. Tentu saja aku kenal dia. Dia jauh lebih mengesankan ketimbang kau." Dia memutuskan untuk tidak menyinggung-nyinggung bahwa kali terakhir bertemu sang raja raksasa, Jason telah menyambar kepala Porphyrion dengan Sekali ini, Antinous kelihatan tak mampu berkata-kata, tapi temannya Eurymachus si hantu botak merangkul bahu Jason. "Tenang, Kawan!" Eurymachus berbau seperti minuman anggur basi dan kabel listrik gosong. Sentuhan hantu itu membuat sangkar iga Jason tergelitik. "Aku tegaskan kami tidak bermaksud
mempertanyakan keabsahanmu! Hanya saja, kalau kau sempat .1ra dengan Porphyrion di Athena, kau pasti tahu apa sebabnya di sini. Kuyakinkan kau, kami bertindak persis seperti yang perintahkan!" Jason berusaha menyembunyikan rasa kagetnya. Porphyrion di Athena. Gaea berjanji akan mencerabut dewa-dewi dari akarnya. :hiron, mentor Jason di Perkemahan Blasteran, menduga bahwa I ara raksasa akan berusaha membangunkan sang Dewi Bumi di unung Olympus yang asli. Tapi sekarang "Akropolis," ujar Jason. "Kuil tertua yang dipersembahkan hagi dewa-dewi, di tengah kota Athena. Di sanalah Gaea akan bangun." "Tentu saja!" Eurymachus tertawa. Luka di dadanya mcngeluarkan bunyipop, seperti sumbat botol yang dibuka. "Dan untuk mencapai Athena, para demigod yang suka ikut campur harus mengarungi laut, bukan begitu" Mereka tahu bahwa terbang di atas daratan terlalu berbahaya." "Artinya, mereka harus melewati pulau ini," ujar Jason. Eurymachus mengangguk-angguk penuh semangat. Dia melepaskan tangan dari pundak Jason dan mencelupkan jari ke dalam gelas anggur. "Pada saat itu, mereka harus membuat pilihan, bukan begitu"" Di atas meja, Eurymachus menerakan garis pantai, anggur inerah berpendar tak alami di permukaan kayu. Dia menggambar Yunani serampangan, seperti jam pasir: bandul besar yang menjuntai mewakili daratan utama di sebelah utara, sedangkan satu bandul lagi di sebelah bawah berukuran hampir sebesar yang pertama mewakili Semenanjung Peloponnese. Keduanya dipisahkan oleh selarik laut sempit Selat Corinthia.
Jason tidak butuh gambar. Dia dan awak yang lain sudah menelaah peta seharian ini di laut. "Rute yang paling dekat," kata Eurymachus, "adalah ke timur dari sini, menyeberangi Selat Corinthia. Tapi kalau mereka mencoba melewati jalur itu " "Cukup," bentak Antinous. "Kau ini kebanyakan omong, Eurymachus." Si hantu kelihatan tersinggung. "Aku takkan memberitahukan semua kepadanya! Cuma mengenai pasukan Cyclops yang berkumpul di tiap sisi pantai. Juga mengenai roh angin yang menggila di udara. Juga monster laut buas yang Keto kirimkan supaya berkeliaran di perairan. Dan tentu raja jika kapal itu sampai ke Delphi " "Idiot!" Antinous menerjang ke seberang meja dan mencengkeram pergelangan si hantu. Selapis tipis kerak tanah sontak menyebar dari tangan si mambang hingga ke lengan atas Eurymachus yang transparan. "Jangan!" pekik Eurymachus. "Kumohon! Aku aku hanya bermaksud--" Si hantu menjerit sementara tanah menyelimuti badannya seperti cangkang, kemudian pecah bera
ntakan, tidak menyisakan apa pun terkecuali gundukan debu. Eurymachus lenyap sudah. Antinous duduk kembali dan membersihkan tangannya. Para peminang lain di meja itu memperhatikannya dengan khawatir sambil membisu. "Mohon maaf, Iros." Si mambang tersenyum dingin. "Hanya ini yang perlu kau ketahui rute-rute menuju Athena dijaga dengan ketat, sebagaimana yang kami janjikan. Para demigod harus memberanikan diri mengarungi selat, yang mustahil dilewati, atau mengitari Peloponnese, yang juga tidak kalah riskan. Singkat kata, kecil kemungkinannya mereka berkesempatan memilih di antara
keduanya. Sebelum itu, mereka barangkali sudah keburu mati. Setibanya mereka di Ithaka, kita akan tahu. Akan kita hentikan mereka di sini dan Gaea niscaya akan tahu betapa berharganya kita. Kau boleh membawa kembali pesan itu ke Athena." Jantung Jason berdegup-degup kencang di dadanya. Dia tidak pernah melihat cangkang bumi seperti yang barusan Antinous munculkan untuk memusnahkan Eurymachus. Dia tidak ingin mencari tahu apakah kekuatan itu dapat membinasakan demigod j uga. Selain itu, Antinous kedengarannya yakin bisa mendeteksi Argo II. Sihir Hazel sepertinya menyembunyikan kapal tersebut sejauh ini, tapi entah sampai kapan. Jason sudah memperoleh informasi yang mereka incar. Tujuan mereka adalah Athena. Rute yang lebih aman, atau setidaknya rute yang tidak mustahil, adalah mengitari pesisir selatan. Hari ini tanggal 20 Juli. Mereka hanya punya dua puluh hari sebelum Gaea berencana untuk bangun, yaitu 1 Agustus, Hari Raya Harapan. Jason dan teman-temannya harus pergi mumpung masih punya kesempatan. Tapi, ada hal lain yang mengusik Jason firasat bahwa masih ada kabar yang lebih buruk. Eurymachus tadi menyinggung-nyinggung Delphi. Jason diam-diam menyimpan harapan untuk menyambangi situs kuil kuno Oracle Apollo, mungkin sekalian minta pencerahan mengenai masa depan pribadinya, tapi jika tempat itu ternyata diramaikan monster ... Jason mendorong piring berisi makanan dingin ke samping. "Kedengarannya semua sudah terkendali. Demi dirimu sendiri, Antinous, aku harap begitu. Para demigod tersebut panjang akal. Mereka menutup Pintu Ajal. Jangan sampai mereka melewati
pulau ini diam-diam tanpa sepengetahuan kalian, apalagi minta pertolongan dari Delphi." Antinous terkekeh-kekeh. "Tidak mungkin. Delphi tidak lagi berada di bawah kendali Apollo." "Aduh oh, begitu. Kalau para demigod itu berlayar mengitari Peloponnese, bagaimana"" "Kau kelewat cemas. Perjalanan mengitari Peloponnese tidak pernah aman bagi demigod dan jarak tempuhnya terlalu jauh. Lagi pula, Kemenangan sedang menggila di Olympia. Asalkan tetap begitu, tidak mungkin para demigod bisa memenangi perang ini." Jason tidak memahami yang itu juga, tapi dia mengangguk. "Baiklah. Akan kulaporkan kepada Raja Porphyrion. Terima kasih atas, anu, makanannya." Dari pancuran pasir, Michael Varus berseru, "Tunggu." Jason menahan diri supaya tidak menyumpah. Dia sudah berusaha mengabaikan si praetor mati sedari tadi, tapi sekarang Varus berjalan menghampiri, tubuhnya dikelilingi aura putih buram, mata cekungnya menyerupai lubang isap. Gladius dari emas Imperial menggelayut di pinggang sampingnya. "Kau harus diam di sini," kata Varus. Antinous melemparkan ekspresi jengkel ke arah hantu itu. "Ada masalah apa, Legiunari" Jika Iros ingin pergi, biarkan saja. Bau badannya tidak sedap!" Hantu-hantu lain tertawa gugup. Di seberang pekarangan, Piper melirik Jason dengan cemas. Lebih jauh lagi, Annabeth mengelus-elus pilau pemotong daging di piring terdekat sambil lalu. Varus menempelkan tangan ke pangkal pedangnya. Walaupun hawa sedang panas, tameng dadanya berlapis es. "Aku kehilangan kohort-ku dua kali di Alaska sekali semasa hidup, sekali lagi semasa ajal gara-gara seorang Graecus bernama Percy Jackson.
Kcndati begitu, aku tetap datang ke sini untuk menjawab panggilan Ica. Tahukah kau apa sebabnya"" Jason menelan ludah. "Watakmu yang keras kepala"" "Ini tempat bagi mereka yang mendamba," kata Varus. "Kami semua tertarik ke sini, bukan hanya ditopang oleh kekuatan Gaea tapi juga oleh hasrat kami yang terkua
t. Keserakahan Eurymachus. Kekejaman Antinous." "Kau memujiku," gerutu si mambang. "Kebencian Hasdrubal," Varus melanjutkan. "Kegetiran Hippias. Ambisiku. Dan kau, Iros. Apa yang menarikmu ke sini" Apakah yang paling diinginkan seorang pengemis" Rumah, barangkali"" Gelitik tak nyaman muncul di dasar batok kepala Jason perasaan yang sama yang dia tangkap sewaktu badai petir hebat hendak melanda. "Aku sebaiknya pergi," kata Jason. "Hams mengantarkan pesan." Michael Varus mencabut pedangnya. "Ayahku adalah Janus, dewa bermuka dua. Aku sudah terbiasa melihat wajah sejati di balik topeng dan tipu daya. Tahukah kau, Iros, mengapa kami crnua yakin sekali para demigod takkan melewati pulau kami tanpa terdeteksi"" Dalam hati, Jason merunut berbagai kata umpatan dalam bahasa Latin. Dia mencoba memperhitungkan berapa lama yang dia butuhkan untuk mengeluarkan suar darurat dan menyalakannya. Mudah-mudahan dia bisa mengulur waktu cukup lama, supaya kedua anak perempuan sempat berlindung sebelum gerombolan mayat hidup ini menghabisinya. Jason berpaling kepada Antinous. "Dengar ya, yang ber-tanggung jawab di sini kau atau bukan" Mungkin sebaiknya kau bungkam si orang Romawi ini."
Si mambang menarik napas dalam-dalam. Panah berderak di lehernya. "Ah, tapi siapa tahu ini menghibur. Lanjutkan, Varus." Si praetor mati mengangkat pedangnya. "Hasrat kita mengungkapkan siapa diri kita. Hasrat kita menampakkan diri kita yang sejati. Seseorang telah datang untukmu, Jason Grace." Di belakang Varus, kerumunan hantu membukakan jalan. Hantu seorang wanita yang berdenyar melayang ke depan, membuat tulang-tulang Jason serasa remuk menjadi debu. "Sayang," kata hantu ibu Jason. "Kau sudah pulang."[]
BAB TIGA JASON ENTAH BAGAIMANA, JASON MENGENALI WANITA itu. Dia inengenali gaun itu rok terusan berbunga-bunga hijau-merah, wperti pohon Natal. Dia mengenali gelang plastik di lengan wanita itu, gelang yang mendesak punggung Jason ketika wanita memeluknya dalam perpisahan di Rumah Serigala. Jason mengenali rambut wanita itu, korona ikal berwarna pirang semiran yang kelewat megar, juga aroma tubuhnya yang seharum lemon (Ian aerosol. Matanya biru seperti mata Jason, tapi kilaunya redup, seakan-Akan wanita itu baru keluar dari bunker sesudah perang nuklir dengan lapar mencari-cari detail tak asing di dunia yang sudah berubah. "Sayang." Wanita itu merentangkan tangan. Sudut pandang Jason menyempit. Para hantu dan mambang tidak lagi menjadi soal. Kabut yang menyamarkannya terbakar habis. Posturnya menegak. Sendi-sendinya tidak lagi ngilu. Tongkat berjalannya berubah kembali menjadi gladius emas Imperial.
Sensasi seperti dibakar tidak kunjung hilang. Jason merasa seolah lapis demi lapis hidupnya tengah dilalap api bulan-bulan di Perkemahan Blasteran, tahun-tahun di Perkemahan Jupiter, masa latihan di bawah bimbingan Lupa, sang Dewi Serigala. Dia kembali menjadi anak dua tahun yang ketakutan dan rapuh. Bahkan bekas luka di bibirnya, yang Jason dapat sewaktu bayi gara-gara mencoba memakan staples, berdenyut-denyut seperti luka baru. "Ibu"" Jason berhasil berucap. "Ya, Sayang." Citra wanita itu timbul-menghilang. "Sine, peluk Ibu." "Ibu Ibu tidak nyata." "Tentu saja dia nyata." Suara Michael Varus kedengarannya jauh sekali. "Apa menurutmu Gaea akan membiarkan roh sepenting itu mendekam di Dunia Bawah" Dia ibumu, Beryl Grace, bintang televisi, kekasih hati raja Olympus, yang mencampakkannya bukan sekali melainkan dua kali, baik dalam wujud Yunani maupun Romawi. Ibumu layak menerima keadilan, sama seperti kami semua." Hati Jason terasa perih. Para peminang berkerumun di sekelilingnya, memperhatikan. Aku ini sumber hiburan mereka, Jason tersadar. Para hantu, barangkali menganggap ini lebih menarik ketimbang aksi dua pengemis yang bertarung sampai mati. Suara Piper menerobos pikiran Jason yang ruwet. "Jason, lihat aku." Gadis itu berdiri enam meter jauhnya sambil memegangi amfora keramik. Senyum Piper pupus sudah. Tatapannya tajam dan tegas mustahil untuk diabaikan, sebagaimana bulu harpy biru di rambutnya. "Itu bukan ibumu. Suaranya menyihirmu
seperti charmspeak, tapi lebih berbahaya. Tidak bisakah kau merasakannya"" "Piper benar." Annabeth memanjat naik ke meja terdekat. Dia menendang sebuah nampan, mengejutkan selusin peminang. "Jason, itu hanya ampas ibumu, seperti ara, barangkali, atau " "Ampas!" Hantu ibu Jason terisak-isak. "Ya, lihatlah keadaanku sekarang. Tinggal begini. Gara-gara Jupiter. Dia menelantarkan kita. Dia tidak mau membantuku! Aku tidak ingin meninggal-kanmu di Sonoma, Sayangku, tapi Juno dan Jupiter tidak mem-beriku pilihan lain. Mereka tidak memperkenankan kita untuk tetap bersama. Untuk apa bertempur demi mereka sekarang" Bergabunglah dengan para peminang ini. Pimpin mereka. Kita bisa menjadi satu keluarga lagi!" Jason merasakan ratusan mata terpaku padanya. Hidupku memang selalu begini, pikir Jason getir. Semua orang senantiasa memperhatikannya, mengharapkan agar dia memandu jalan. Semenjak dia tiba di Perkemahan Jupiter, para demigod Romawi memperlakukan Jason bagai pangeran yang sudah dinanti-nantikan. Kendati Jason sudah berusaha mengubah takdirnya bergabung dengan kohort paling payah, coba-coba mengubah tradisi perkemahan, menjalani misi yang paling tidak menonjol, dan berteman dengan anak-anak yang paling tak populer ujung-ujungnya dia tetap ditunjuk sebagai praetor. Sebagai putra Jupiter, masa depannya telah ditentukan. Jason teringat ucapan Hercules di Selat Gibraltar: Tidak mudah menjadi putra Zeus. Banyak tekanan. Sekeras apa pun kita berusaha, selalu saja kurang. Lama-lama orang bisa gila karenanya. Kondisi Jason sekarang seperti itu. Kepalanya serasa mau pecah.
"Ibu meninggalkan aku," kata Jason. "Itu bukan gara-gara Jupiter atau Juno. Ibu sendiri yang memutuskan untuk meninggalkan aku." Beryl Grace melangkah maju. Keriput pertanda kecemasan di seputar matanya, mulutnya yang tegang karena menahan kepedihan, ciri-ciri tersebut mengingatkan Jason pada kakak perempuannya, Thalia. "Sayang, sudah kukatakan aku akan kembali. Itulah kata-kata terakhir yang kuucapkan kepadamu. Tidakkah kau ingat"" Jason bergidik. Di reruntuhan Rumah Serigala, sang ibu memeluk Jason untuk terakhir kalinya. Ibunya tersenyum, tapi matanya digenangi tangis. Tidak apa-apa, ibunya berjanji. Tapi, sekalipun masih kecil, Jason tahu bahwa ibunya berdusta. Tunggulah di sini. Aku akan kembali untukmu, Sayang. Aku akan menjumpaimu tidak lama lagi. Ibunya tidak kembali. Jason akhirnya keluyuran di reruntuhan, menangis seorang diri, memanggil-manggil ibunya dan Thalia sampai serigala-serigala datang menjemputnya. Hidup Jason dibangun di atas janji yang ibunya ingkari. Luka hati yang digoreskan kata-kata sang ibu menjadi intisari diri Jason, seperti sebutir pasir di inti mutiara. Manusia memang pembohong. Orang niscaya ingkar janji. Itulah sebabnya, sekalipun gatal diatur-atur, Jason selalu taat aturan. Dia menepati janji. Dia tidak mau menelantarkan siapa pun sebagaimana dirinya ditelantarkan dan dibohongi. Kini ibunya justru kembali, menghapus satu keyakinan Jason mengenai dirinya bahwa dia telah meninggalkan Jason selamanya. Di seberang meja, Antinous mengangkat gelas piala. "Senang sekali bertemu denganmu, Putra Jupiter. Dengarkanlah ibumu. Kau sudah banyak dizalimi oleh dewa-dewi. Kenapa tidak
bergabung saja dengan kami" Kutebak dua gadis pelayan ini adalah temanmu" Akan kami ampuni mereka. Kau ingin ibumu tetap berada di dunia ini" Kami bisa mewujudkan keinginan itu. Kau ingin menjadi raja " "Tidak." Kepala Jason berputar-putar. "Tidak, tempatku bukan di antara kalian." Michael Varus mengamat-amatinya dengan mata dingin. "Apa kau yakin benar, Kawan Praetor" Bahkan jika kau mengalahkan para raksasa dan Gaea, akankah kau pulang ke rumah seperti Odysseus" Di mana rumahmu sekarang" Di tengah-tengah bangsa Yunani" Di antara bangsa Romawi" Takkan ada yang mau menerimamu. Dan jika kau pulang, siapa yang bisa menjamin bukan reruntuhan seperti ini yang akan kau dapati"" Jason menelaah pekarangan istana. Tanpa ilusi berupa balkon dan pilar-pilar, tiada apa-apa selain puing-puing di puncak bukit gersang. Cuma pancuran yang kelihatannya nyata, menyemburkan pasir seolah-olah untuk mengin
gatkan betapa tidak berbatasnya kekuatan Gaea. "Kau perwira legiun," kata Jason kepada Varus. "Pemimpin Romawi." "Kau juga," ujar Varus. "Kesetiaan bisa berubah." "Kau kira aku cocok di tengah-tengah gerombolan ini"" tanya Jason. "Sekelompok pecundang mampus yang menanti pemberian gratis dari Gaea, mengeluhkan betapa dunia berutang kepada mereka"" Di sepenjuru pekarangan, para hantu dan mambang berdiri dan mencabut senjata. "Waspadalah!" teriak Piper ke kerumunan. "Semua di istana ini adalah musuh kalian. Tiap orang akan menikam kalian dari belakang jika ada kesempatan!"
Beberapa pekan terakhir ini, charmspeak Piper bertambah kuat. Dia bicara jujur dan para pendengarnya percaya. Mereka saling lirik kanan-kiri, tangan mencengkeram gagang pedang. Ibu Jason melangkah ke arahnya. "Sayang, bersikaplah bijak. Tinggalkan misimu. Argo II takkan mungkin mencapai Athena. Kalaupun bisa, masih ada perkara Athena Parthenos." Sekujur tubuh Jason gemetaran. "Apa maksud Ibu"" "Jangan pura-pura tidak tahu, Sayang. Gaea tahu tentang temanmu Reyna, Nico putra Hades, dan Hedge si satir. Untuk membunuh mereka, Ibu Pertiwi telah mengutus putranya yang paling berbahaya sang pemburu yang tak pernah beristirahat. Tapi, kau tidak perlu mati." Para mambang dan hantu mengepung semakin rapat dua ratus makhluk tersebut menghadap Jason penuh harap, seakan menunggu dirinya memimpin paduan suara lagu kebangsaan. Sang pemburu yang tak pernah beristirahat. Jason tidak tahu siapa itu, tapi dia harus memperingatkan Reyna dan Nico. Artinya, dia harus menyingkir dari sini hidup-hidup. Dipandangnya Annabeth dan Piper. Mereka berdua berdiri siaga, menunggu aba-aba Jason. Dia memaksa diri untuk bertemu pandang dengan ibunya. Beryl Grace kelihatan sama seperti wanita yang menelantarkannya di hutan Sonoma empat belas tahun lalu. Tapi, Jason bukan lagi seorang balita. Dia adalah petarung veteran, demigod yang sudah berkali-kali menghadapi maut. Sementara itu, yang dia lihat di depannya bukan ibunya paling tidak, bukan seorang ibu yang seharusnya mengayomi, penyayang, protektif, tidak egois. Ampas, begitu Annabeth menyebutnya.
Michael Varus mengatakan bahwa roh-roh di sini ditopang oleh hasrat mereka yang terkuat. Roh Beryl Grace secara harfiah berpendar karena mendamba. Matanya mendambakan perhatian Jason. Lengannya terulur, setengah mati ingin memiliki Jason. "Apa yang Ibu inginkan"" tanya Jason. "Apa yang membawa Ibu ke sini"" "Aku menginginkan kehidupan!" seru wanita itu. "Kemudaan! Kecantikan! Ayahmu bisa saja menjadikanku kekal. Dia bisa saja membawaku ke Olympus, tapi dia meninggalkanku. Kau bisa memperbaiki keadaan, Jason. Kau pendekarku yang gagah!'' Bau tubuh Beryl Grace yang sewangi lemon berubah menjadi masam, seakan-akan dia mulai terbakar. Jason teringat sesuatu yang pernah Thalia beritahukan kepadanya. Kejiwaan ibu mereka kian lama kian tidak stabil, sampai-sampai keputusasaan menjadikannya hilang akal. Dia meninggal karena kecelakaan lalu lintas, saat menyetir mobil sambil mabuk. Anggur encer dalam perut Jason teraduk-aduk. Dia putuskan jika dirinya masih hidup sampai pengujung hari ini, dia takkan pernah minum alkohol lagi. "Ibu seorang mania," Jason menyimpulkan, kata itu tercetus berkat pelajaran yang dia terima di Perkemahan Jupiter dulu sekali. "Roh kegilaan. Cuma kegilaan yang tersisa dari diri Ibu." "Hanya aku yang tersisa," Beryl Grace sepakat. Citranya berkedip-kedip, berubah-ubah warna. "Peluk aku, Nak. Hanya aku seorang yang kau miliki." Kenangan akan Angin Selatan berbicara dalam pikiran Jason: Kau tidak bisa memilih orangtua, tapi kau bisa memilih warisan apa yang hendak kau tinggalkan.
Jason merasa dirinya tengah ditata ulang, selapis demi selapis. Detak jantungnya menjadi teratur. Tulang-tulangnya tidak lagi menggigil. Kulitnya menghangat di bawah sinar matahari sore. "Tidak," kata Jason parau. Diliriknya Annabeth dan Piper. "Kesetiaanku belum berubah. Keluargaku semata-mata bertambah. Aku anak Yunani dan Romawi." Dia kembali memandang ibunya untuk kali terakhir. "Aku bukan anakmu." Dia membuat isyarat penolak bala tiga jari membe
ntuk cakar yang digerakkan dari jantung ke udara dan lenyaplah hantu Beryl Grace disertai delis lembut, seperti desahan lega. Antinous si mambang melempar gelas pialanya ke samping. Diamat-amatinya Jason dengan ekspresi jijik nan malas. "Ya sudah," katanya. "Kalau begitu, kami bunuh raja kau." Di sekeliling Jason, musuh mengepungnya semakin rapat.[]
BAB EMPAT JASON PERTARUNGAN BERLANGSUNG MULUS SAMPAI DIA KENA tikam. Jason menebaskan gladius-nya lebar-lebar dengan gerakan melingkar, membuyarkan para peminang terdekat; lalu dia bersalto ke atas meja dan melompati kepala Antinous. Di tengah-tengah udara, Jason memerintahkan pedangnya agar berubah menjadi lembing trik yang tidak pernah dia praktikkan dengan pedang ini tapi dia tahu, entah bagaimana, pasti berhasil. Jason mendarat sambil berdiri dan memegangipi/um sepanjang hampir dua meter. Saat Antinous berbalik untuk menghadapnya, Jason menghunjamkan mata lembing dari emas Imperial ke dada mambang itu. Antinous menengok ke bawah dengan mimik tak percaya. Kau " "Selamat menikmati Padang Hukuman." Jason mencabut pilum-nya dan remuklah Antinous menjadi debu. Jason terus bertarung, memutar-mutar lembingnya menyayat para hantu, menjatuhkan mambang hingga terjengkang.
Di seberang pekarangan, Annabeth juga bertarung seperti kesetanan. Pedangnya yang terbuat dari tulang naga menyabit peminang mana saja yang dengan bodohnya menantang Annabeth. Di dekat pancuran pasir, Piper juga telah mencabut pedangnya bilah perunggu bergerigi yang dia ambil dari Zethes si Boread. Piper menikam dan menangkis dengan tangan kanan, sesekali menembakkan tomat dari kornukopia di tangan kirinya, sembari meneriaki para peminang, "Selamatkan diri kalian! Aku terlalu berbahaya!" Pasti itulah tepatnya yang ingin mereka dengar, sebab lawan-lawan Piper malah berlari kabur, tapi mematung tiba-tiba karena kebingungan beberapa meter di bawah puncak bukit, kemudian kembali menerjang ke tengah-tengah pertempuran. Hippias, sang tiran Yunani, menyerang Piper, belatinya terhunus, tapi Piper menembak dadanya dengan misil semur sedap. Hippias terhuyung-huyung ke belakang hingga menabrak pancuran dan menjerit selagi terbuyarkan. Anak panah mendesing menuju wajah Jason. Dia meniup panah itu ke samping dengan embusan angin, lantas menebas barisan mambang pembawa pedang dan menyadari bahwa selusin peminang tengah berkonsolidasi di dekat pancuran untuk menyerang Annabeth. Jason mengangkat lembingnya ke angkasa. Petir menyambar dari ujung lembing dan meledakkan hantu-hantu menjadi ion, menyisakan kawah berasap di tempat pancuran tanah semula berdiri. Beberapa bulan terakhir ini, Jason sudah melalui banyak pertempuran, tapi dia lupa rasanya bertarung dengan lihai. Tentu saja dia masih takut, tapi beban berat telah terangkat dari pundaknya. Untuk kali pertama sejak dirinya terbangun di Arizona dengan memori yang terhapus, Jason merasa utuh. Dia tahu siapa dirinya. Dia telah memilih keluarganya dan pilihan Jason tidak
tersangkut paut dengan Beryl Grace atau bahkan dengan Jupiter. Keluarganya terdiri dari semua demigod yang berjuang di sisinya, bangsa Romawi dan Yunani, teman baru maupun lama. Jason takkan lagi membiarkan siapa pun menceraiberaikan keluarganya. Jason memanggil angin dan melemparkan tiga mambang ke sisi bukit bagaikan boneka kain perca. Dia menyate mambang keempat, lalu menyerukan lembingnya agar kembali menciut menjadi pedang dan lantas membacok sekelompok roh lainnya. Tidal( lama berselang, tiada lagi musuh yang menghadapi Jason. 1-lantu-hantu yang tertinggal mulai menghilang atas kehendak sendiri. Annabeth menjatuhkan Hasdrubal si orang Kartago, sedangkan Jason melakukan kekeliruan, yaitu menyarungkan pedangnya. Rasa sakit menusuk punggung bawahnya teramat menjadi dan dingin sampai-sampai dia kira Khione, sang Dewi Salju, baru menyentuhnya. Di samping telinga Jason, Michael Varus menggeram, "Terlahir sebagai orang Romawi, mati sebagai orang Romawi." Ujung pedang keemasan menembus bagian depan baju Jason, tepat di bawah sangkar iganya. Jason jatuh berlutut. Jeritan Piper terdengar jauh, seperti dari jarak
bermil-mil. Jason merasa bak berendam dalam air asin tubuhnya tanpa bobot, kepalanya terayun-ayun. Piper menerjang ke arahnya. Jason menyaksikan tanpa emosi saat pedang Piper menebas ke atas kepalanya dan mengiris baju tempur Michael Varus disertai dentang logam. Semburan hawa dingin menyibakkan rambut Jason dari belakang. Debu mendarat di sekujur tubuhnya, sedangkan helm kosong legiunari menggelinding di bebatuan. Si demigod jahat sudah binasa tapi dia telah meninggalkan kesan mendalam.
"Jason!" Piper memegangi bahu Jason saat dirinya mulai terguling ke samping. Jason terkesiap sementara Piper mencabut pedang dari punggungnya. Kemudian Piper menurunkan Jason ke tanah, menopangkan kepalanya ke batu. Annabeth lari ke sisi mereka. Ada sayatan panjang di samping lehernya. "Demi dewa-dewi." Annabeth menatap luka di perut Jason. "Aduh, demi dewa-dewi." "Makasih," erang Jason. "Aku sudah khawatir kalau-kalau lukaku parch." Lengan dan tungkai Jason mulai kesemutan sementara tubuhnya bereaksi terhadap krisis, menggelontorkan seluruh darah ke dadanya. Rasa sakitnya hanya cenut-cenut, alhasil mengejutkan Jason, tapi bajunya merah basah. Lukanya berasap. Dia lumayan yakin bahwa luka terkena pedang seharusnya tidak berasap. "Kau bakalan baik-baik saja." Piper mengucapkan kata-kata itu laiknya perintah. Nada suara Piper menstabilkan pernapasan Jason yang sempat tersendat. "Annabeth, ambrosia!" Annabeth tersentak. "Iya. Iya, aku bawa." Gadis itu merogoh kantong bekalnya dan mengeluarkan sebungkus makanan dewata. "Kita harus menghentikan pendarahan." Piper menggunakan belatinya untuk memotong kain dari bawah gaunnya. Dia merobek-robek carikan kain untuk dijadikan perban. Jason samar-samar mempertanyakan bagaimana ceritanya sampai Piper tahu banyak tentang pertolongan pertama pada kecelakaan. Sang pacar membalut luka di punggung dan perut Jason, sedangkan Annabeth menyuapkan cuilan ambrosia ke mulutnya. Jemari Annabeth gemetaran. Setelah semua yang dilaluinya, Jason heran bahwa Annabeth sekarang panik sementara Piper bersikap demikian tenang. Lalu tersadarlah Jason---Annabeth masih
bisa takut karena mencemaskan Jason. Piper tidak sempat takut, sebab seluruh perhatiannya difokuskan untuk menyelamatkan Jason. Annabeth menyuapi Jason secuil ambrosia lagi. "Jason, aku ku turut prihatin. Soal ibumu. Tapi, caramu mengatasinya kau & berani sekali." Jason berusaha untuk tidak menutup mata. Tiap kali memejamkan mata, dia melihat roh ibunya terbuyarkan. "Itu bukan ibuku," ujar Jason. "Setidaknya, tiada bagian dari dirinya yang bisa kuselamatkan. Tiada pilihan lain." Annabeth bernapas putus-putus. "Tiada pilihan yang tepat, barangkali, tapi seorang temanku, Luke. Ibunya punya masalah serupa. Luke tidak mampu mengatasi masalah itu dengan kepala dingin seperti dirimu." Suaranya pecah. Jason tidak tahu banyak tentang masa lalu Annabeth, tapi Piper melirik gadis itu dengan khawatir. "Aku sudah memerban lukamu sebisaku," kata Piper. "Darah masih merembes. Juga berasap. Aku tidak tahu sebabnya. "Emas Imperial," kata Annabeth, suaranya bergetar. "Bahan itu bisa mematikan demigod. Hanya perkara waktu sebelum " "Jason bakal baik-baik saja," Piper bersikeras. "Kita harus nengantarnya kembali ke kapal." "Aku tidak merasa sepayah itu," ujar Jason. Memang benar. Ambrosia telah menjernihkan kepalanya. Tangan dan kakinya ',udah terasa hangat kembali. "Mungkin aku bisa terbang ...." Jason duduk tegak. Penglihatannya sontak menjadi hijau pucat. "Atau mungkin tidak ." Piper menangkap pundak Jason saat dia menggelepar ke 'amping. "Waduh, kalem, Bocah Terang. Kita mesti menghubungi Argo II, minta bantuan." "Kau sudah lama tidak memanggilku Bocah Terang."
"Betah-betahlah bersamaku. Nanti akan kuhina kau sesukamu." Annabeth menelaah reruntuhan. Vernis magis telah memudar hanya menyisakan dinding-dinding roboh dan lubang ekskavasr. "Kita bisa menggunakan suar darurat, tapi " "Jangan," kata Jason. "Bisa-bisa Leo menembakkan api Yunan ke puncak bukit. Mungkin kalau kalian membantuku, aku bis berjalan " "Tidak boleh," Piper keberatan. "Terlalu lama." Dia mengaduk-aduk
saku sabuknya dan mengeluarkan cermin lipat. "Annabeth, kau hafal kode Morse"" "Tentu saja." "Leo juga." Piper menyerahkan cermin kepadanya. "Dia bakalan memperhatikan dari kapal. Naiklah ke punggung bukit " "Dan pancing perhatian Leo dengan pantulan cermin!" Wajah Annabeth memerah. "Kedengarannya janggal, ya"! Bukan itu maksudku. Tapi iya, ide bagus." Annabeth berlari ke tepi puing-puing. Piper mengeluarkan wadah minuman berisi nektar dan meminumkan sesesap kepada Jason. "Bertahanlah. Kau tidak akan mati cuma gara-gara tindikan bodoh di badanrnu." Jason tersenyum lemah. "Setidaknya kali ini bukan cedera kepala. Aku sadar terus sepanjang jalannya pertarungan." "Kau mengalahkan kira-kira dua ratus musuh," ujar Piper. "Kau keren sekali, sampai-sampai kesannya seram." "Kalian membantu, Ian." "Mungkin, tapi Hei, jangan pingsan." Kepala Jason terkulai ke depan. Dia buru-buru membuka mata lebar-lebar. Retakan pada batu kini tampak lebih fokus. "Agak pusing," gumam Jason.
"Minum nektar lagi," Piper memerintahkan. "Nih. Rasanya asih enak"" "Iya. Iya, enak." Sesungguhnya nektar tersebut terasa seperti serbuk gergaji cair, tapi Jason tidak bilang-bilang. Sejak kejadian di Gerha Hades, ketika dia mengundurkan diri dari jabatan praetor, rasa ambrosia dan nektar tidak lagi seperti makanan kesukaannya dari Perkemahan Jupiter. Kesannya seolah-olah kenangan akan rumah lama Jason tidak lagi memiliki kekuatan untuk menyembuhkannya. Terlahir sebagai orang Romawi, mati sebagai orang Romawi, Michael Varus tadi berkata. Jason memandangi asap yang mengepul dari perbannya. Ada masalah yang lebih pelik untuk dikhawatirkan ketimbang kehilangan darah belaka. Annabeth benar soal emas Imperial. Bahan tersebut fatal bagi monster sekaligus demigod. Luka tusukan pedang Varus akan berupaya maksimal untuk mengikis daya hidup Jason. Dia pernah melihat seorang demigod yang meninggal seperti itu. Prosesnya tidak cepat maupun mulus. Aku tidak boleh mati, kata Jason kepada din sendiri. Teman-temanku bergantung padaku. Perkataan Antinous terngiang-ngiang di telinga Jason soal raksasa di Athena, perjalanan nan mustahil yang akan Argo II hadapi, pemburu misterius yang Gaea utus untuk mencegat Athena Parthenos. "Reyna, Nico, dan Pak Pelatih Hedge," ujar Jason. "Mereka dalam bahaya. Kita harus memperingatkan mereka." "Akan kita urus itu sekembalinya kita ke kapal," Piper berjanji. "Tugasmu sekarang adalah bersantai saja." Nada bicaranya tenang dan penuh percaya diri, tapi mata Piper berkaca-kaca. "Lagi pula, mereka bertiga itu regu yang tangguh. Mereka pasti baik-baik saja."
Jason berharap semoga Piper benar. Reyna sudah mem-pertaruhkan macam-macam terlalu banyak, malah demi menolong mereka. Pak Pelatih Hedge terkadang menyebalkan, tapi dia setia berperan sebagai pelindung bagi seluruh awak. Sedangkan Nico ... Jason terutama mengkhawatirkan dirinya. Piper mengelus bekas luka di bibir Jason dengan jempolnya. "Begitu perang ini usai segalanya akan berjalan lancar bagi Nico. Kau sudah melakukan yang kau bisa, berperan sebagai temannya." Jason tidak tahu harus berkata apa. Dia belum memberitahukan apa-apa kepada Piper mengenai percakapannya dengan Nico. Dia masih menjaga rahasia di Angelo. Walau begitu ... Piper tampaknya merasakan apa tepatnya yang tidak beres. Sebagai putri Aphrodite, mungkin dia tahu ketika seseorang sedang patah hati. Tapi, dia tidak mendesak Jason untuk membicarakan persoalan Nico. Jason menghargai pengertian Piper. Gelombang nyeri lagi-lagi menyebabkan Jason berjengit. "Berkonsentrasilah untuk mendengar suaraku." Piper mengecup kening Jason. "Pikirkan yang bagus-bagus. Kue ulang tahun di taman di Roma " "Itu memang menyenangkan." "Musim dingin lalu," usul Piper. "Perang-perangan snore di api unggun." "Aku mengalahkanmu dengan telak." "Rambutmu ketempelan marshmallow berhari-hari!" "Tidak, ah." Pikiran Jason terhanyut kembali ke masa-masa yang lebih baik. Jason hanya ingin diam di sini mengobrol dengan Piper, menggandeng tangan pacarnya tidak khawatir soal raksasa atau Gaea ataupun kegilaan ibunya.
Dia tahu mereka seharusnya kembali ke kapal
. Kondisi sedang payah. Mereka sudah memperoleh informasi yang meicka incar. Tapi selagi berbaring di bebatuan sejuk, Jason merasa gemang. Kisah para peminang dan Ratu Penelope ... pemikiran mengenai keluarganya mimpi-mimpinya dewasa ini. Semua itu berputar-putar dalam kepalanya. Ada sesuatu yang lain di tempat ini sesuatu yang Jason lewatkan. Annabeth kembali dari tepi bukit sambil terpincang-pincang. "Apa kau terluka"" Jason menanyainya. Annabeth melirik pergelangan kakinya. "Tidak apa-apa. ;ulna pernah patah sewaktu di gua Roma dulu. Kadang ketika aku stres Tidak penting. Aku sudah memberi Leo sinyal. Frank akan berubah wujud, terbang ke sini, dan membawamu kembali ke apal. Aku harus membuatkan tandu supaya kau tidak terguncang-guncang.), Jason membayangkan adegan mengerikan mengenai dirinya sang diangkut di usungan, terayun-ayun di antara cakar-, akar Frank sang elang raksasa, tapi dia memutuskan mending icrombang-ambing di udara daripada mati. Annabeth mulai bekerja. Dia mengumpulkan barang-barang bekas yang ditinggalkan para peminang sabuk kulit, tunik robek, pengikat sandal, selimut merah, dan sejumlah tombak patah. langan Annabeth bergerak secepat kilat untuk merakit bahan-bahan tersebut merobek, memilin, mengikat, menganyam. "Bagaimana kau bisa melakukan itu"" tanya Jason takjub. "Belajar saat menjalani misi di bawah tanah Roma." Mata Annabeth terpaku ke prakaryanya. "Aku tidak pernah punya alasan untuk coba-coba menganyam sebelumnya, tapi ternyata keterampilan itu praktis juga untuk macam-macam, misalnya untuk kabur dari laba-laba ...."
Annabeth mengikat tali kulit yang terakhir dan sim salabim tandu yang cukup besar untuk memuat Jason, dilengkapi tomb sebagai pegangan dan tali pengaman yang melintang di tengah. Piper bersiul penuh apresiasi. "Kalau kapan-kapan aku butu merombak gaunku, akan kudatangi kau." "Tutup mulut, McLean," Annabeth berkata, tapi matanya berkilat-kilat puas. "Sekarang, ayo kita naikkan " "Tunggu," kata Jason. Jantungnya berdebar-debar kencang. Saat menyaksikan Annabeth menganyam brankar darurat, Jason teringat kisah Penelope bagaimana ceritanya wanita itu bertahan selama dua puluh tahun, menanti kepulangan suaminya, Odysseus. "Ranjang," ujar Jason. "Ada ranjang istimewa di istana ini." Piper kelihatan cemas. "Jason, kau sudah kehilangan banyak darah." "Aku tidak berhalusinasi," Jason bersikeras. "Ranjang pengantin keramat. Kalau ada tempat yang memungkinkan kita untuk bicara kepada Juno ..." Dia menarik napas dalam-dalam dan memanggil, "Juno!" Sunyi senyap. Mungkin Piper benar. Pikiran Jason barangkali sedang tidak jernih. Kemudian, kira-kira delapan belas meter dari sana, lantai batu retak-retak. Dahan-dahan meliuk keluar dari bumi, bertumbuh dengan cepat hingga sebatang pohon zaitun utuh meneduhi pekarangan. Di bawah kanopi dedaunan hijau-kelabu, berdirilah seorang wanita berambut gelap dan bergaun putih dengan jubah kulit macan tutul tersampir ke bahunya. Tongkatnya dipuncaki bunga seroja putih. Ekspresinya dingin dan berwibawa. "Pahlawan-pahlawanku," kata sang Dewi. "Hera," kata Piper.
"Juno," koreksi Jason. "Terserahlah," gerutu Annabeth. "Sedang apa Anda di sini, ahai Paduka Penguasa Sapi"" Mata Juno yang berwarna gelap berkilat-kilat garang. "Annabeth Chase. Memesona seperti biasanya." "Iya, mau bagaimana lagi"!" tukas Annabeth. "Aku Baru kembali dari Tartarus, jadi aku agak lupa caranya bersopan santun, terutama terhadap dewi yang sudah menghapus ingatan pacarku, ienghilangkannya selama berbulan-bulan, dan kemudian " "Sudahlah, Nak. Apakah kita akan membahas persoalan ini igi" "Bukankah Anda sedang linglung gara-gara gangguan epribadian ganda"" tanya Annabeth. "Maksudku lebih linglung daripada biasanya"" "Wah, sabar dulu." Jason menengahi. Dia punya banyak alasan ntuk membenci Juno, tapi mereka harus mengatasi masalah lain yang lebih mendesak. "Dewi Juno, kami membutuhkan pertolongan Dewi. Kami " Jason mencoba duduk tegak dan seerta-merta menyesalinya. Perut Jason serasa sedang dipuntir I engan garpu spageti raksasa. Piper menahan Jason sehingga tidak terjatuh. "Kita dahulukan
saja yang lebih penting," katanya. "Jason terluka. Tolong sembuhkan dial" Sang Dewi mengerutkan alisnya. Sosoknya berdenyar tak stabil. "Ada sebagian hal yang bahkan tidak dapat disembuhkan oleh dewa-dewi," ujar Juno. "Luka ini menyentuh jiwamu sekaligus ragamu. Kau harus melawan luka itu, Jason Grace ... kau harus bertahan hidup." "Iya, makasih," kata Jason, mulutnya kering. "Saya sedang berusaha."
"Apa maksud Dewi, luka itu menyentuh jiwanya"" Piper menuntut penjelasan. "Kenapa Dewi tidak bisa " "Pahlawan-pahlawanku, waktu kebersamaan kita singkat saja," kata Juno. "Aku bersyukur kalian memanggilku. Sudah berminggu-minggu aku didera rasa sakit dan bingung karena kepribadian Yunani dan Romawiku yang berbentrokan. Celakanya lagi, aku terpaksa bersembunyi dari Jupiter, yang mencari-cariku karena amarah salah alamat. Jupiter mengira aku yang menyebabkan pecahnya perang dengan Gaea." "Aduh, kasihan," kata Annabeth sarkastis. "Menurut Anda kenapa dia berpikir begitu"" Juno melemparkan ekspresi kesal ke arah Annabeth. "Untungnya ini adalah tempat keramatku. Dengan mengusir hantu-hantu itu dari sini, kalian telah menyucikan tempat ini dan memberiku kejernihan pikiran sejenak. Oleh sebab itulah aku bisa bicara dengan kalian kendati hanya sebentar." "Kenapa tempat ini keramat ..."" Mata Piper membelalak. "Oh. Ranjang pengantin!" "Ranjang pengantin"" tanya Annabeth. "Aku tidak melihat " "Ranjang Penelope dan Odysseus." Piper menerangkan. "Salah satu tiangnya adalah pohon zaitun hidup, alhasil ranjang itu takkan pernah bisa dipindahkan." "Betul." Juno menelusurkan tangan ke batang pohon zaitun. "Ranjang pengantin yang ajek. Sungguh suatu simbol yang indah! Seperti Penelope, istri yang paling setia, senantiasa teguh, mengusir seratus peminang sombong selama bertahun-tahun karena dia tahu suaminya kelak akan kembali. Odysseus dan Penelope pasangan yang melambangkan pernikahan sempurna!" Sekalipun sedang pening, Jason lumayan yakin bahwa menurut cerita-cerita, Odysseus sempat jatuh hati pada wanita-wanita lain
panjang perjalanannya, tapi Jason memutuskan untuk tidak i(tigungkit hal itu. "Paling tidak, bisakah Dewi memberi kami nasihat"" tanya jason. "Memberi tahu kami harus berbuat apa"" "Berlayarlah mengelilingi Semenanjung Peloponnese," kata . sang Dewi. "Seperti yang sudah kalian perkirakan, hanya itulah rute yang mungkin ditempuh. Dalam perjalanan, carilah Dewi Hinenangan di Olympia. Dia tengah hilang kendali. Terkecuali kalian mampu mengekang Dewi Kemenangan, jurang pemisah bangsa Yunani dan Romawi takkan bisa dijembatani." "Maksud Anda Nike"" tanya Annabeth. "Hilang kendali,bagaimana"" Guntur menggelegar di angkasa, mengguncangkan bukit. "Terlalu lama jika harus menjelaskan," kata Juno. "Aku mesti meniyingkir sebelum Jupiter menemukanku. Selepas kepergianku, takkan bisa lagi menolong kalian." Jason menahan diri supaya tidak melabrak Juno dengan Lalu, napa Dewi tidak menolong saya dari awal" Apa lagi yang perlu kami ketahui"" tanya Jason. "Sebagaimana yang kalian dengar, para raksasa telah berkumpul di Athena. Beberapa dewa sanggup membantu kalian dalam perjalanan, tapi bukan aku satu-satunya dewi Olympia yang kehilangan restu Jupiter. Si kembar juga telah menuai murkanya." "Artemis dan Apollo"" tanya Piper. "Kenapa"" Citra Juno mulai memudar. "Jika kalian mencapai Pulau delos, mereka mungkin berkenan menolong kalian. Karena ,.sedang terjepit, mereka barangkali rela mencoba apa saja untuk mcmperbaiki keadaan. Pergilah sekarang. Siapa tahu kita akan berjumpa lagi di Athena, andai kalian berhasil. Jika tidak ..."
Sang dewi menghilang, atau mungkin penglihatan Jason yang semata-mata mengabur. Rasa sakit menjalari tubuhnya. Kepalanya terkulai ke belakang. Dia melihat seekor elang raksasa berputar-putar jauh di atas. Kemudian langit menjadi gelap dan Jason tidak melihat apa-apa lagi.[]
BAB LIMA REYNA TERJUN BEBAS KE GUNUNG BERAPI tidak termasuk dalam tar cita-cita Reyna sebelum mati. Dia pertama kali menyaksikan panorama Italia Selatan dari jarak lima ribu kaki di udara. Di barat, di sepanjang pesisir Teluk Napoli yang membent
uk bulan sabit, lampu-lampu kota yang sedang tidur berkelap-kelip di kegelapan menjelang fajar. Seribu kaki di bawah Reyna, kaldera selebar hampir satu kilometer menganga di puncak sebuah gunung, uap putih mengepul dari tengahnya. Perlu waktu bagi Reyna untuk mengusir rasa terdisorientasi. Perjalanan bayangan menyebabkannya pusing dan mual, seperti habis diseret dari air dinginfrigidarium ke dalam sauna pemandian Romawi. Lalu, dia menyadari bahwa dia melayang di tengah udara. Gravitasi mengambil alih dan Reyna pun mulai jatuh. "Nico!" teriak Reyna. "Demi seruling Pan!" umpat Gleeson Hedge.
"Aaaaaah!" Nico meronta, hampir terlepas dari pegangai Reyna. Gadis itu mencengkeram kuat-kuat dan menyambar keral baju Pak Pelatih Hedge saat sang satir mulai menggelincir lepas. Jika terpisahkan sekarang, mereka bakal mati. Mereka menukik menuju gunung berapi sementara bawaai mereka yang terbesar Athena Parthenos setinggi dua bela meter mengekor di belakang, terikat ke tali-temali di punggunl Nico bagaikan parasut yang sangat tidak efektif. "Yang di bawah kita itu Vesuvius!" Reyna berteriak meningkah angin. "Nico, teleportasikan kita dari sini!" Mata Nico nanar dan tidak fokus. Rambut hitamnya yang halus melecut-lecut di seputar wajahnya seperti gagak di langit yang jatuh tertembak. "Aku aku tidak bisa! Tidak ada tenaga!" Pak Pelatih Hedge mengembik. "Ini ada kabar hangat, Bocah! Kambing tidak bisa terbang! Bawa kita pergi dari sini! Kalau tidak, bisa-bisa kita jadi omelet karena tergencet Athena Parthenos!" Reyna memutar otak. Dia bisa menerima ajal jika harus, tapi apabila Athena Parthenos hancur lebur, gagallah misi mereka. Reyna tidak bisa menerima kegagalan. "Nico, perjalanan bayangan," perintahnya. "Akan kupinjami kau kekuatan." Nico menatap Reyna sambil bengong. "Bagaimana " "Lakukan saja!" Reyna semakin erat mencengkeram tangan Nico. Simbol obor dan pedang Bellona di lengan bawahnya bertambah panas sampai-sampai menyakitkan, seperti ketika dirajahkan ke kulitnya untuk kali pertama. Nico terkesiap. Wajahnya yang pucat kembali merona. Tepat sebelum menabrak kepulan uap gunung berapi, mereka melebur ke dalam bayang-bayang.
Udara menjadi dingin menggigilkan. Bunyi angin digantikan .oleh-oleh ingar-bingar suara yang membisikkan ribuan bahasa. Jeroan reyna serasa bagaikan piragua raksasa es serut yang diguyur sirup kudapan favoritnya semasa kanak-kanak di Viejo San Juan. Dia bertanya-tanya kenapa memori itu justru mengemuka Larang, saat dirinya di ambang maut. Lalu, penglihatannya menjadi jernih. Kakinya menapaki tanah padat. Langit timur mulai bertambah terang. Sekejap Reyna mengira dia kembali ke Roma Baru. Pilar-pilar Doria berjajar di sekeliling ium seukuran lapangan basket. Di hadapannya, seekor faun berperunggu berdiri di tengah-tengah kolam air mancur melesak yang berhiaskan tegel mozaik. Bungur dan semak-semak mawar bermekaran di taman dekat ...sana. Pohon-pohon palem dan pinus menggapai langit. Jalan ,,setapak berubin dari pekarangan mengarah ke berbagai jurusan iilur-jalur lurus rata, hasil konstruksi Romawi yang mumpuni nicrnbatasi muka rumah-rumah batu rendah dengan beranda berpilar. Reyna membalikkan badan. Di belakangnya, Athena Parthenos berdiri tegak dalam keadaan utuh, mendominasi pekarangan bak patung penghias taman yang kebesaran. Faun perunggu mungil di kolsm air mancur kebetulan menghadap Athena, kedua lengannya terangkat, alhasil dia seolah-olah tunduk ketakutan di hadapan ng pendatang baru. Di cakrawala, Gunung Vesuvius menjulang tinggi wujud gelap bungkuk itu kini berjarak beberapa mil jauhnya. Kepulan tap tebal membubung dari puncaknya. "Kita di Pompeii." Reyna tersadar. "Aduh, gawat." Nico berkata, lalu serta-merta ambruk. "Walah!" Pak Pelatih Hedge menangkap Nico sebelum .inak laki-laki itu menumbuk tanah. Sang satir menyandarkan
badan Nico ke kaki Athena dan melonggarkan tali-temali yang menghubungkan Nico dengan patung. Lutut Reyna sendiri gemetaran. Dia sudah memperkirakan timbulnya akibat negatif, sesuatu yang niscaya tiap kali Reyna membagi kekuatannya. Akan tetapi, dia tidak menyangka bakal mer
asakan kepedihan teramat memilukan dari Nico di Angelo. Reyna terduduk lemas, mesti bersusah payah agar tetap sadar. Demi dewa-dewi Romawi. Jika ihi hanya sebagian dari kepedihan Nico bagaimana bisa anak laki-laki itu menanggungnya" Reyna berusaha mengatur pernapasannya sementara Pak Pelatih Hedge mengaduk-aduk perlengkapan berkemahnya. Di seputar sepatu bot Nico, batu retak-retak. Hawa gelap memancar ke luar laksana semburan tinta, seolah-olah tubuh Nico tengah mencoba mengusir seluruh bayangan gelap yang baru dia lalui. Kemarin malah lebih parah: seisi padang meranggas, tulang belulang bangkit dari dalam bumi. Reyna tidak menginginkan yang demikian terjadi lagi. "Ini, minumlah." Reyna menawari Nico botol berisi jamu unicorn larutan serbuk tanduk unicorn dalam air Sungai Tiberis Kecil yang disucikan. Mereka mendapati bahwa ramuan itu lebih mujarab untuk memulihkan kondisi Nico ketimbang nektar, membantu mengusir keletihan dan kegelapan dari dirinya, tanpa risiko membakar tubuh secara spontan bilamana dikonsumsi terlalu banyak. Nico mereguk minuman itu. Dia masih kelihatan tirus. Kulitnya kebiruan. Pipinya cekung. Di pinggang sampingnya, menggelayutlah tongkat Diocletian yang berpendar ungu seram, seperti memar radioaktif. Nico mengamat-amati Reyna. "Bagaimana caramu melakukan itu ... doping energi tadi""
Reyna memutar lengan bawahnya. Tato masih membara seperti panas: simbol Bellona, SPQR, beserta empat garis pertanda lun pengabdiannya. "Aku tidak suka membicarakannya," ujar reyna, "tapi itu kesaktian warisan ibuku. Aku bisa memperkuat Ing lain." Pak Pelatih Hedge mendongak dari ranselnya. "Serius" Kenapa kau tidak memberiku doping juga, Gadis Romawi" Aku ingin otot super!" Reyna mengerutkan dahi. "Cara kerjanya bukan seperti itu, Pak Pelatih. Aku hanya bisa melakukannya dalam keadaan I iidup-mati. Selain itu, kesaktiannya lebih ampuh dalam kelompok be,sar. Sewaktu mengomandoi pasukan, kemampuan apa saja yang kumiliki kekuatan, keberanian, ketahanan bisa kubagi karena ikan berkali lipat sesuai jumlah bala tentaraku." Nico mengangkat alis. "Bermanfaat untuk seorang praetor romawi." Reyna tidak menjawab. Inilah sebabnya dia lebih memilih In tuk tidak membicarakan kesaktiannya. Reyna tidak ingin para lcmigod di bawah komandonya mengira dia mengontrol mereka, au bahwa dia menjadi pemimpin karena memiliki kemampuan istimewa. Dia hanya bisa membagi sifat-sifat yang memang lidah dia punyai. Selain itu, Reyna tidak dapat membantu siapa pun yang tak pantas menjadi pahlawan. Pak Pelatih Hedge mendengus. "Sayang. Pasti asyik punya otot super." Sang satir kembali menggali tasnya, yang tampaknya berisi perbekalan berupa peralatan masak, perlengkapan bertahan hidup, dan sembarang alat olahraga yang tiada habis-habisnya. Nico kembali meminum jamu unicorn. Matanya berat karena kelelahan, tapi Reyna tahu anak laki-laki itu sedang berjuang untuk tetap terjaga.
"Kau barusan sempoyongan," Nico berkomentar. "Keta a menggunakan kesaktianmu apa kau mendapat semacam, am umpan balik dariku"" "Aku tidak bisa membaca pikiranmu," ujar Reyna. "E antara kita juga tidak terjalin sambungan empati. Aku cuma . menangkap gelombang kelelahan darimu untuk sementara. Emosi paling mendasar. Rasa sakitmu melanda diriku. Aku menanggung
sebagian bebanmu." Mimik muka Nico menjadi waspada. Anak laki-laki itu memutar-mutar cincin tengkorak pera di jarinya, sama seperti kebiasaan Reyna dengan cincin peralcny ketika sedang berpikir. Punya kebiasaan yang serupa dengan putr Hades meresahkan Reyna. Kepedihan yang Reyna rasakan dari Nico dalam kurui singkat saat mereka tersambung jauh lebih besar ketimbang yang dia rasakan dari seluruh legiun selama pertempuran melawai Polybotes si raksasa. Keterhubungan dengan Nico lebih mengura tenaga Reyna daripada kali terakhir dia menggunakan kesaktian yaitu untuk menyokong pegasusnya, Scipio, dalam perjalanai mereka menyeberangi Samudra Atlantik. Dicobanya menepis kenangan itu. Kawan bersayap yang pemberani, sekarat karena racun, moncongnya di pangkuai Reyna, menatap gadis itu penuh percaya saat Reyna mengangka belati untuk me
ngakhiri penderitaan si pegasus ... demi dewa dewi, tidak. Reyna tidak boleh menekuri kejadian itu karena bisa bisa dirinya luluh lantak. Tapi, rasa sakit yang Reyna dapat dari Nico jauh lebil menusuk. "Kau sebaiknya beristirahat," kata Reyna kepada Nico. "Setelal melompat dua kali berturut-turut, sekalipun dibantu kau muju masih hidup. Kau harus sudah kembali siap senja nanti."
Reyna merasa tidak enak hati karena meminta sesuatu yang a hil dari Nico. Sayangnya, Reyna sudah kelewat sering mendesak para demigod untuk melampaui batas kemampuan mereka. Nico mengertakkan rahang dan mengangguk. "Kita sekarang , lebak di sini." Dia menelaah puing-puing. "Tapi kalau bisa memilih, Pompeii adalah tempat terakhir yang akan kudatangi. , tempat ini dipenuhi lemures." "Lemur"" Pak Pelatih Hedge tampaknya tengah membuat macam jebakan dari benang layangan, raket tenis, dan pisau berburu. "Maksudmu hewan-hewan imut berbulu " "Bukan." Nico kedengarannya kesal, seperti keseringan mendapat pertanyaan itu. " Lemures. Hantu yang talc ramah. Semua Iota Romawi dihuni lemures, tapi di Pompeii " "Seisi kota ini tersapu bersih," kenang Reyna. "Tahun 79 Masehi, Vesuvius meletus dan menyelimuti kota ini dengan abu." Nico mengangguk. "Tragedi macam itu melahirkan banyak .11 wah gentayangan yang marah." Pak Pelatih Hedge menerawang ke gunung berapi di kejauhan. ; unung itu mengepulkan asap. Apa itu pertanda jelek"" "Aku aku tidak tahu." Nico mencubit-cubit lubang di lutut elana jinn hitamnya. "Dewa-dewa gunung, ourae, bisa merasakan I,chadiran anak-anak Hades. Mungkin itulah sebabnya kita ditarik I,e luar jalur. Roh Vesuvius barangkali sengaja, ingin coba-coba nembunuh kita. Tapi, aku ragu gunung itu bisa menyakiti kita Mari ari jarak sejauh ini. Mengerahkan tenaga untuk meletus dengan Lekuatan penuh makan waktu terlalu lama. Ancaman yang lebih irgen adalah dari sekeliling kita." Bulu kuduk Reyna merinding. Dia sudah terbiasa dengan kaum Lar, roh-roh bersahabat di Perkemahan Jupiter, tapi mereka sekalipun meresahkan dirinya.
Roh-roh itu tidak memahami pentingnya ranah pribadi. Kadang kadang mereka berjalan menembus badannya, membuat Reyn. vertigo. Berada di Pompeii memunculkan perasaan yang sama, seakan-akan seisi kota adalah hantu mahabesar yang telah menelar Reyna bulat-bulat. Dia tidak bisa memberi tahu teman-temannya betapa takut hantu, atau penyebab di balik rasa takutnya pada hantu Alasan yang mendasari kaburnya Reyna dan kakaknya dari Sar Juan bertahun-tahun silam rahasia yang harus tetap terkubur. "Bisa kau halau mereka"" tanya Reyna. Nico menghadapkan telapak tangannya ke atas. "Aku sudal mengirimkan pesan: Menjauhlah. Tapi begitu aku tertidur, tidal ada gunanya." Pak Pelatih Hedge menepuk-nepuk kreasinya dari rake tenis dan pisau. "Jangan khawatir, Bocah. Aku akan memasang perimeter lokasi kita dengan alarm dan tali jebakan. Selain itu aku akan menjagaimu dengan tongkat bisbol." Pernyataan itu sepertinya tidak menenangkan hati Nico, tap matanya sudah setengah terpejam. "Oke. Tapi santai saja. Kits tidak mau insiden di Albania terjadi lagi." "Jangan sampai." Reyna sepakat. Perjalanan bayangan mereka yang pertama bersama-sama dua hari lalu, betul-betul kacau, mungkin merupakan pengalamar paling memalukan selama karier Reyna yang panjang. Barangkali suatu hari nanti, jika selamat, mereka akan mengenang kejadiar itu sambil tertawa-tawa, tapi tidak sekarang. Mereka bertiga setuju untuk takkan pernah membicarakan hal tersebut. Biarlah yang terjadi di Albania tetap di Albania. Pak Pelatih Hedge kelihatan terluka. "Ya sudah, terserah. Pokoknya, beristirahatlah, Bocah. Akan kami lindungi kau."
"Baiklah." Nico mengalah. "Mungkin sebentar saja ...." Dia sempat melepas dan membuntal jaket penerbangnya menjadi bantal sebelum berguling ke samping serta mulai mendengkur. Reyna takjub akan betapa damainya ekspresi Nico. Kerut-kerut. khawatir di wajahnya menghilang. Mimik Nico anehnya menjadi semanis malaikat seperti nama belakangnya, di Angelo. Reyna hampir bisa memercayai bahwa Nico adalah anak lelaki em pat belas tahun biasa, bukan putra Hades yang b
erasal dari tahun 1940-an dan terpaksa menghadapi tragedi, serta bahaya melampaui yang pernah dialami kebanyakan demigod seumur Ketika Nico datang ke Perkemahan Jupiter, Reyna tidak caya padanya. Reyna merasakan bahwa Nico bukan sekadar duta ayahnya, Pluto. Kini, tentu saja, Reyna tahu yang sebenarnya. Nico adalah demigod Yunani orang pertama sepanjang sejarah . kontemporer, mungkin malah satu-satunya sepanjang sejarah, yang pernah bolak-balik ke kubu Romawi dan Yunani tanpa memberi tahun tiap kelompok akan eksistensi kubu satunya lagi. Yang ganjil adalah, sikap itu membuat Reyna semakin cmercayai Nico. Betul, Nico memang bukan orang Romawi. Dia tidak pernah herburu dengan Lupa atau mencicipi latihan legiun yang berat. tapi, Nico telah membuktikan nilai dirinya dengan cara-cara lain. dia menyimpan rahasia kedua kubu karena alasan bagus, yaitu takut kalau-kalau pecah perang. Dia pernah menjerumuskan diri ke Tartarus seorang diri, secara sukarela, untuk mencari Pintu Ajal. Dia sempat ditangkap dan ditawan oleh raksasa. Dia telah membimbing awak Argo II ke Gerha Hades ... dan sekarang dia kembali menerima misi mencekam: mempertaruhkan nyawa untuk membawa pulang Athena Parthenos ke Perkemahan Blasteran.
Laju perjalanan tersebut lambat sekali. Mereka hanya bis menempuh perjalanan bayangan beberapa mil tiap ma'am beristirahat siang harinya supaya Nico sempat memulihkan diri tapi metode itu pun menguras stamina Nico melebihi yang Reyn sangka-sangka. Nico menanggung rasa sedih dan sepi yang demikian menjadi kepedihan hati yang demikian memilukan. Namun, Nico tetal mendahulukan misinya. Dia ulet. Reyna menghargai sikaj tersebut. Dia memahami sikap itu. Reyna bukan orang yang perasa dan demonstratif dalan menunjukkan emosinya, tapi anehnya dia ingin menyampirkai jubah ke bahu Nico dan menghibur anak laki-laki itu supayi beristirahat dengan tenang. Reyna mengomeli dirinya dalam hati Nico seorang rekan, bukan adiknya. Nico takkan mengapresias gestur semacam itu. "Hei." Pak Pelatih Hedge mengusik kemenungan Reyna "Kau juga butuh tidur. Aku akan berjaga pertama dan memasal makanan. Hantu-hantu itu semestinya sekarang tidak terlali berbahaya, selagi matahari sudah terbit." Reyna tidak memperhatikan betapa hari sudah mulai terang Awan-awan merah muda dan biru pirus mewarnai cakrawali timur. Faun perunggu mungil memancarkan bayangan ke kolarr air mancur kering. "Aku pernah membaca tentang tempat ini." Reyna tersadar "Ini salah satu vila yang paling terpelihara di Pompeii. Namany Rumah Faun." Gleeson melirik patung itu dengan jijik. "Aral tahu saja ya hari ini namanya jadi Rumah Satir." Reyna mengulum senyum. Dia pelan-pelan mafhum akar perbedaan antara satir dengan faun. Andai dia jatuh tertidui sementara seekor faun berjaga, ketika terbangun dia akan
mendapati bahwa perbekalannya telah dicuri, wajahnya digambari ktt mis-kumisan, dan si faun sudah lama angkat kaki. Sedangkan k Pelatih Hedge berbeda dalam arti positif. Meskipun, dia memang memiliki kegandrungan tak sehat terhadap seni bela diri dan tongkat bisbol. "Baiklah." Reyna mengiyakan. "Bapak jaga duluan. Akan tugasi Aurum dan Argentum agar berjaga dengan Bapak." Hedge kelihatannya ingin memprotes, tapi Reyna keburu bersiul nyaring. Kedua anjing greyhound metalik mewujud di tengah-tengah reruntuhan, lantas berderap menghampiri Reyna dari arah berlainan. Bahkan sesudah bertahun-tahun ini, Reyna tasih tidak tahu dari mana mereka datang atau ke mana mereka wrgi sesudah dia membebastugaskan mereka. Tapi, melihat kedua lijing logam tersebut, semangatnya kontan terbangkitkan. Hedge berdeham. "Kau yakin mereka bukan anjing Dalmatian" Mereka seperti anjing Dalmatian." "Mereka anjing greyhound, Pak Pelatih." Reyna sama sekali tidak tahu apa sebabnya Hedge takut pada anjing Dalmatian, tapi dia tidak bertanya karena sudah terlalu capek. "Aurum, Argentum, jagalah kami selagi aku tidur. Patuhi kata-kata Gleeson Hedge." Kedua anjing itu mengitari pekarangan, menjaga jarak dengan athena Parthenos, yang memancarkan permusuhan terhadap segala elemen Romawi. Reyna sendiri baru sekarang terbiasa a
kan Athena Parthenos. Dia lumayan yakin bahwa patung itu takkan senang ditempatkan di tengah-tengah kota Romawi kuno. Dia berbaring dan menyelimuti diri dengan jubah ungunya. Jemarinya mencengkeram kantong serut di sabuknya, tempat Reyna menyimpan koin perak pemberian Annabeth sebelum mereka berpisah jalan di Epirus.
Ini perlambang bahwa situasi bisa berubah, Annabeth berkata kepada Reyna ketika itu. Iiinda Athena sekarang milikmu. Semoga koin ini mendatangkan keberuntungan untukmu. Apakah peruntungan itu bagus atau jelek, Reyna tidak tahu pasti. Dia menengok faun perunggu yang tunduk ketakutan di bawah sorot matahari terbit dan Athena Parthenos sekali lagi. Kemudian Reyna memejamkan mata dan larut dalam mimpi.[]
BAB ENAM REYNA BIASANYA, REYNA BISA MENGENDALIKAN MIMPI buruknya. Dia telah melatih pikiran untuk mengawali semua mimpi di tempat kesukaannya Taman Bacchus di bukit tertinggi Roma Baru. Dia merasa aman dan tenteram di sana. Ketika neka visi merangsek masuk dalam tidurnya yang lazim terjadi bagi demigod Reyna bisa mengontrol visi-visi tersebut dengan mcmbayangkan bahwa semuanya adalah pantulan di kolam air mancur taman belaka. Dengan demikian, Reyna dapat tidur lelap dan tidak terbangun pagi harinya sambil bersimbah keringat dingin. Akan tetapi, malam ini dia tidak semujur itu. Mimpi tersebut awalnya baik-baik saja. Reyna berdiri di laman pada siang hari nan hangat, aroma honeysuckle mekar wmerbak di pergola. Di air mancur sentral, patung kecil Bacchus mcmuncratkan air ke kolam. Kubah-kubah keemasan dan atap-atap genting merah Roma Baru terhampar di bawah. Satu kilometer kurang sedikit di sebelah barat, menjulanglah benteng Perkemahan Jupiter. Di balik tembok
benteng, Sungai Tiberis Kecil meliuk-liuk lembut di lembah, merunut tepian Perbukitan Berkeley, buram keemasan di bawah terangnya sinar musim panas. Reyna memegangi secangkir cokelat panas, minuman favoritnya. Dia mengembuskan napas lega. Tempat ini layak dilindungi demi dirinya sendiri, demi teman-temannya, demi semua demigod. Empat tahun yang dia lalui di Perkemahan Jupiter tidaklah mudah, tapi itulah masa-masa terbaik dalam hidup Reyna. Tiba-tiba kaki langit menjadi gelap. Reyna mengira akan ada badai. Kemudian Reyna menyadari longsor kelam yang bergulung-gulung di perbukitan seperti gelombang pasang, mengeruk isi perut bumi ke permukaan tanah hingga tidak menyisakan apa pun. Reyna menonton dengan ngeri saat gelombang tanah longsor mencapai tepi lembah. Dewa Terminus menopang pembatas magic di sekeliling perkemahan, tapi hanya mampu menahan penghancuran sekejap saja. Cahaya ungu menciprat ke atas seperti kaca pecah, kemudian tanah longsor tumpah ruah ke depan, mencabik-cabik pohon, merusak jalanan, menghapus Sungai Tiberis Kecil dari peta. Ini cuma visi, pikir Reyna. Aku bisa mengendalikan ini. Dia mencoba mengubah mimpi itu. Dibayangkannya bahwa kehancuran tersebut adalah pantulan di kolam air mancur belaka, citra video yang tidak mengancam, tapi mimpi buruk itu terus berlanjut, demikian gamblang dan nyata. Bumi menelan Lapangan Mars, memusnahkan kubu pertahanan dan park helms perang-perangan. Akuaduk kota roboh bagaikan balok mainan anak-anak. Perkernahan Jupiter sendiri tumbang menara pengawas runtuh, tembok-tembok serta barak luluh lantak. Jeritan demigod dibungkam dan longsoran bumi terus melaju.
Tenggorokan Reyna tercekat karena menahan tangis. Kuil dan ionumen cemerlang di Bukit Kuil remuk redam. Koloseum dan hippodrome tersapu bersih. Gelombang longsor mencapai garis pomerian dan menggemuruh ke dalam kota. Keluarga-keluarga hctlarian di forum. Anak-anak menangis ketakutan. Gedung Senat hancur berkeping-keping. Vila dan taman-t.Iman menghilang seperti hasil panen yang masuk mesin giling. .clombang longsor bergulung-gulung ke atas bukit, menuju taman Bacchus yang terakhir yang tertinggal dari dunia Reyna. Kau meninggalkan mereka dalam keadaan tanpa daya, Reyna Ramirez-Arellano. Suara seorang wanita berkumandang dari dalam tanah hitam. Perkemahanmu akan dimusnahkan. Misimu niscaya gagal. Pemburuku akan datang mencarimu. Reyna beranjak dari lan
gkan taman. Dia lari ke air mancur Bacchus dan mencengkeram pinggiran kolam sambil memicingkan mata dengan putus asa ke dalam air. Dengan kekuatan tekad, dia meminta supaya mimpi buruk itu berubah menjadi pantulan yang tak berbahaya. BRUK Kolam terbelah dua gara-gara panah seukuran garu. Sambil bengong karena terguncang, Reyna menatap ekor panah dari bulu gagak, buluh yang bercat merah-kuning-hitam seperti ular koral, mata besi Stygian menancap ke perutnya. Dengan pandangan buram karena kesakitan, Reyna mendongak. Di tepi taman, mendekatlah sosok nan gelap siluet seorang pria yang matanya bercahaya seperti lampu sorot miniatur, menyilaukan Reyna. Dia mendengar gesekan besi yang menggaruk kulit saat pria itu mengambil sebatang anak panah lagi dari wadahnya. Kemudian mimpi Reyna berubah.
Taman dan sang pemburu lenyap, begitu pula dengan panah di perut Reyna. Dia mendapati dirinya di ladang anggur terbengkalai. Di hadapannya, terbentanglah berhektare-hektare tanaman anggur mati yang berderet di kisi-kisi kayu, menyerupai kerangka mini bengkok-bengkok. Di ujung jauh ladang, berdirilah rumah pertanian dari papan kayu cedar dengan beranda berpagar. Di belakang rumah, lahan menghunjam ke laut. Reyna mengenali tempat ini: Kilang Pengolahan Anggur Goldsmith di pesisir utara Long Island. Regu pengintainya telah mengamankan lokasi tersebut sebagai markas legiun menjelang penyerangan ke Perkemahan Blasteran. Dia sudah memerintahkan sebagian besar anggota legiun untuk tetap berada di Manhattan sampai dia memberi perintah lain, tapi Octavian jelas sudah membangkang titah Reyna. Keseluruhan Legiun 12 berkemah di ladang paling utara. Mereka melindungi diri dengan presisi militer sebagaimana biasa menggali parit sedalam tiga meter dan mendirikan tembok lempung berpasak-pasak di perimeter, menempatkan menara pengawas yang diperlengkapi pelontar misil di tiap sudut. Di dalam, tenda-tenda merah dan putih berbaris rapi. Panji-panji kelima kohort mengepak-ngepak ditiup angin. Semangat Reyna semestinya terbangkitkan karena melihat legiun. Pasukan tersebut kecil, beranggotakan tak lebih dari dua ratus demigod, tapi mereka terlatih dan terorganisasi. Andaikata Julius Caesar bangkit dari kematian, dia takkan kesulitan mengenali pasukan Reyna sebagai prajurit kebanggaan Romawi. Tapi, mereka seharusnya tidak dekat-dekat dengan Perkemahan Blasteran. Insubordinasi Octavian membuat Reyna mengepalkan tinju. Pemuda itu sengaja memprovokasi bangsa Yunani, mengharapkan pertempuran.
Visi dalam mimpi Reyna menyorot beranda rumah pertanian. di sana, Octavian sedang menduduki kursi bersepuh emas v ng sangat mirip singgasana. Selain mengenakan toga senator het pinggiran ungu, pin centurion, dan pilau augur, pemuda sebut mengadopsi lambang kehormatan baru: kain putih yang ditudungkan ke kepala, yang menandainya sebagai pontifex waximus, pendeta agung yang mengabdi kepada dewa-dewi. Reyna ingin mencekik pemuda itu. Sepanjang zaman modern tak seorang demigod pun pernah mengemban gelar pontifex maximus. Lewat tindakannya, Octavian telah mengangkat dirinya hampir setara kaisar. Di kanan Octavian, laporan dan peta bertebaran di meja endah. Di kirinya, altar marmer menampung tumpukan buah dan sesaji emas, tak diragukan lagi untuk dewa-dewi. Tapi di mata Reyna, kesannya seperti altar untuk Octavian sendiri. Di samping Octavian, Jacob si pembawa elang legiun tengah berdiri siaga, berkeringat dalam balutan jubah kulit siaga sambil memegangi tongkat dengan elang emas yang adalah panji-panji Iegiun XII. Octavian tengah mengadakan audiensi. Di kaki tangga herlututlah seorang anak laki-laki yang mengenakan celana jins dan sweter kusut bertudung. Rekan Octavian, centurion dari Kohort 1, Mike Kahale, berdiri di sisi sambil bersedekap dan melotot tidak senang. "Jadi, begini." Octavian memindai selembar perkamen. " Kulihat di sini bahwa kau seorang peranakan, keturunan Orkus." Anak laki-laki bersweter menengadah dan Reyna pun terkesiap. Bryce Lawrence. Reyna mengenali rambut cokelat gondrong itu, Iiidungnya yang patah, mata hijau kejam, dan senyum sombongnya yang edan. "Ya,
Paduka," kata Bryce.
"Wah, aku bukan paduka." Mata Octavian berbinar-binar. "Cuma seorang centurion, augur, dan pendeta bersahaja yang berusaha semaksimal mungkin untuk melayani dewa-dewi. Sepengetahuanku, kau diberhentikan dari legiun karena ah, persoalan disipliner." Reyna mencoba berteriak, tapi dia tidak bisa bersuara. Octavian tahu persis sebabnya Bryce dikeluarkan. Sama seperti kakek moyang dewatanya, Orkus, Dewa Penghukum di Dunia Bawah, Bryce sama sekali tidak kenal ampun. Si bocah psikopat lulus dari masa latihan di bawah bimbingan Lupa, tapi setibanya di Perkemahan Jupiter, Bryce ternyata terbukti tidak dapat dibimbing. Dia mencoba membakar kucing untuk senang-senang saja. Dia pernah menikam seekor kuda dan melepas hewan itu hingga bertemperasan ke Forum. Dia malah sempat dicurigai menyabotase mesin artileri dan menyebabkan centurionnya sendiri tewas dalam perang-perangan. Andai Reyna bisa membuktikannya, Bryce niscaya dihukum mati. Tapi karena hanya ada bukti tak langsung, juga karena keluarga Bryce kaya, berkuasa, dan punya banyak pengaruh di Roma Baru, pemuda itu mendapat vonis yang lebih ringan, yakni diasingkan. "Ya, Pontifex," kata Bryce lambat-lambat. "Tapi, jika boleh saya katakan, tuduhan itu tidak terbukti. Saya tetap seorang warga Roma yang setia." Mike Kahale kelihatannya sedang berusaha sekuat tenaga supaya tidak muntah. Octavian tersenyum. "Aku percaya bahwa siapa saja berhak diberi kesempatan kedua. Kau sudah menjawab seruanku untuk rekrut baru. Kau memiliki latar belakang dan surat rekomendasi yang sesuai. Apa kau bersumpah akan mengikuti perintahku dan mengabdi kepada legiun""
"Tentu saja," kata Bryce. "Kalau begitu, kau diterima kembali in probatio," ujar octavian, "sampai kau membuktikan diri dalam pertempuran." Octavian memberi isyarat kepada Mike, yang merogoh 11 tong serutnya dan mengeluarkan tali kulit yang diganduli kepingan timah. Octavian mengalungkan tali ke leher Bryce. "Melaporlah ke Kohort 5," ujar Octavian. "Mereka pasti butuh tenaga anyar, sudut pandang baru. Kalau centurion-mu, dakota, berkeberatan, suruh dia bicara padaku." Bryce tersenyum seperti baru diberi pisau tajam. "Dengan hati." "Satu lagi, Bryce." Wajah Octavian tampak nyaris setirus mayat hawah tudung putihnya pandangan matanya terlalu menusuk, dipipinya terlalu cekung, bibirnya terlalu tipis serta pucat. "Sebanyak .apa pun uang, kekuasaan, dan prestise yang keluarga Lawrence imemiliki di legiun, ingatlah bahwa keluargaku lebih berpengaruh. Aku secara pribadi mensponsorimu, sebagaimana aku mensponsori rekrut baru yang lain. Asalkan kau mematuhi perintahku, kau pasti cepat naik pangkat. Sebentar lagi mungkin ada pekerjaan untukmu kesempatan untuk membuktikan nilai dirimu. kalau kau berani-berani menentangku, aku takkan selunak Apa kaupaham"" Senyurn Bryce pupus. Dia kelihatannya ingin mengatakan suatu, tapi dia mengurungkan niat. Anak laki-laki itu meng-.mengangguk. "Bagus," kata Octavian. "Selain itu, potonglah rambutmu. I:au mirip Graecus terkutuk. Pergi sana." Setelah Bryce pergi, Mike Kahale geleng-geleng kepala. umlahnya sekarang dua lusin." "Itu kabar bagus, Kawanku," Octavian meyakinkannya. "Kita butch tenaga ekstra."
"Pembunuh. Pencuri. Pengkhianat." "Demigod-demigod loyal," kata Octavian, "yang berutan jabatan kepada aku." Mike merengut. Sebelum bertemu Mike, Reyna tidak mengert apa sebabnya biseps diistilahkan sebagai senjata, tapi lengan Milo memang setebal moncong bazoka. Pemuda itu bertubuh bidang berkulit secokelat buah badam yang dipanggang, berambut dal bermata hitam, ekspresinya penuh kebanggaan bak raja Hawai dahulu kala. Reyna sebenarnya heran, bisa-bisanya pemain futbo. SMA dari Hilo beribukan Venus, tapi tak satu pun anggot2 legiun mengolok-olok Mike karena itu apalagi begitu mereL melihatnya meremukkan batu dengan tangan kosong. Reyna menyukai Mike Kahale sedari dulu. Sayangnya Mike sangat loyal terhadap sponsornya, yaitu Octavian. Sang pontifex berdiri dan meregangkan tubuh. "Jangan khawatir, Kawan Lama. Tim pengepungan kita sudah mengelilingi perkemahan Yunani. Elang-elang telah mengukuhkan
superioritas kita di udara. Bangsa Yunani takkan ke mana-mana sampai kita siap menyerang. Sebelas hari lagi, seluruh pasukanku pasti sudah berada di tempat masing-masing. Kejutan kecilku akan siap dihadiahkan. Pada 1 Agustus, Hari Raya Spes, kubu Yunani akan tumbang." "Tapi, kata Reyna " "Kita sudah membahas ini." Octavian melepas belati besinya dari sabuk dan melemparkan senjata itu ke meja hingga menghunjam peta Perkemahan Blasteran. "Reyna telah melepaskan kedudukannya. Dia mendatangi negeri kuno, tindakan yang melanggar hukum." "Tapi, Ibu Bumi " " tengah bergejolak karena perang antara kubu Yunani dan Romawi, bukan begitu" Dewa-dewi sedang lumpuh, bukan
begitu" Dan, bagaimana caranya mengatasi masalah itu, Mike" kita hilangkan perpecahan. Kita sapu bersih bangsa Yunani. Kita pulihkan dewa-dewi sebagaimana seharusnya, ke wujud Romawi Begitu dewa-dewi memperoleh kekuatan penuh kembali, takkan berani bangkit. Dia akan tidur kembali. Kita, kaum demigod, akan kuat dan bersatu padu, seperti di zaman kekaisaran mig lampau. Selain itu, 1 Agustus adalah hari amat baik bulan yg dinamai dari nama leluhurku, Augustus. Tahukah kau bagaimana dia mempersatukan bangsa Romawi"" "Dia merebut kekuasaan dan menjadi kaisar," gerutu Mike. Octavian menepis komentar itu. "Omong kosong. Dia menyelamatkan Romawi dengan menjadi Warp Negara Nomor Dia menginginkan kedamaian dan kesejahteraan, bukan kekuasaan Percayalah padaku, Mike, aku berniat mengikuti teladannya. Aku akan menyelamatkan Roma Baru dan begitu aku berhasil, akan kuingat teman-temanku." Mike memindahkan tumpuan kakinya yang gempal. "Kau cdengarannya yakin. Apakah bakatmu dalam meramal " Octavian mengangkat tangan untuk memperingatkan. Dia melirik Jacob si pembawa elang, yang masih berdiri siaga di helakangnya. "Jacob, kau dibebastugaskan. Bagaimana kalau kau poles elang itu atau apalah"" Bahu Jacob merosot lega. "Siap, Augur. Maksud saya Centurion! Maksud saya Pontifix! Maksud saya " "Sana." "Saya permisi." Begitu Jacob pergi tertatih-tatih, wajah Octavian sontak tampak mendung. "Mike, sudah kukatakan jangan sebut-sebut soal, anu, masalahku. Tapi, untuk menjawab pertanyaanmu: belum, sepertinya anugerah Apollo untukku masih terganggu." Dengan mimik sebal, diliriknya gundukan boneka kapuk yang
termutilasi di pojok beranda. "Aku tidak bisa melihat masa depan Barangkali si Oracle palsu di Perkemahan Blasteran mengirimkai semacam teluh. Tapi, seperti yang sudah kukatakan padamu di antara kita berdua saja, Apollo jelas-jelas berbicara padakt tahun lalu di Perkemahan Jupiter! Dia secara pribadi merestu langkahku. Dia berjanji aku akan dikenang sebagai penyelama bangsa Romawi." Octavian merentangkan tangan, alhasil menampakkan tat( harpanya, simbol dari kakek moyang dewatanya. Tujuh rajah menandakan tahun pengabdiannya melebihi masa pengabdian perwira lain yang masih aktif, termasuk Reyna. "Jangan cemas, Mike. Akan kita lumatkan bangsa Yunani. Kita akan menghentikan Gaea dan anak buahnya. Lalu akan kita ambil si harpy yang disembunyikan orang-orang Yunani itu harpy yang hafal isi Kitab Sibylline dan akan kita paksa dia menyerahkan pengetahuan milik leluhur kita. Sesudah itu, aku yakin Apollo akan memulihkan bakatku meramal. Perkemahan Jupiter akan lebih perkasa daripada sebelumnya. Kita akan menguasai masa depan." Mike masih merengut, tapi dia mengangkat kepalan pertanda hormat. "Terserah. 'Kan kau bosnya." "Ya, memang." Octavian mencabut belatinya dari meja. "Sekarang, pergi dan ceklah kedua kurcaci yang kau tangkap itu. Aku ingin mereka ditakuti habis-habisan sebelum aku meng-interogasi mereka lagi dan mengirim mereka ke Tartarus." Mimpi itu lantas terbuyarkan. "Hei, bangun." Mata Reyna terbuka pelan-pelan. Gleeson Hedge mencondongkan badan ke atas Reyna sambil meng-guncangkan bahunya. "Kita kedatangan masalah." Nada bicara Gleeson yang serius membuatnya awas seketika. "Ada apa"" Reyna berusaha duduk tegak. "Hantu" Monster"" Hedge merengut. "Lebih parah. Turis."[]
BAB TUJUH REYNA ROMBOLAN ITU TIBA BERBONDONG-BONDONG. Berkelompok dengan anggota sekitar dua puluh hingga tiga it uh o
rang, para wisatawan menghambur ke antara reruntuhan, herkeliaran ke vila-vila, mengeluyur di jalan setapak berubin, niengagumi fresko serta mozaik warna-warni. Reyna khawatir akan seperti apa reaksi para turis terhadap patung Athena setinggi dua belas meter di tengah-tengah pekarangan, tapi Kabut pasti sudah bekerja lembur untuk inengelabui penglihatan manusia biasa. Tiap kali salah satu kelompok mendekat, mereka berhenti di tepi pekarangan dan menatap patung itu dengan kecewa. tieorang pemandu wisata Britania mengumumkan, "Ah, kuda-kuda. Tampaknya area ini sedang menjalani restorasi. Sayang. Mari kita lanjut." Dan pergilah mereka. Setidaknya patung itu tidak menggelegarkan, "MATI, ORANG-ORANG KAFIR!" dan menyetrum para manusia biasa hingga menjadi debu. Reyna pernah mesti menghadapi
patung dewi Diana yang seperti itu. Bukan pengalaman yang menenangkan. Dia teringat kata-kata Annabeth mengenai Athena Parthenos: aura magis patung tersebut memikat monster-monster sekaligus menghalau mereka. Benar saja, sebab sesekali, dari ekor matanya, Reyna menangkap pendar putih roh-roh berbusana Romawi yang berkelebat di antara puing-puing seraya memandangi patung tersebut dengan waswas. "Lemures ada di mana-mana," gerutu Gleeson. "Untuk saat ini, mereka menjaga jarak tapi saat gelap nanti, kita sebaiknya sudah siap bergerak. Hantu-hantu selalu paling bengis di malam hart." Reyna tidak perlu diingatkan akan hal itu. Dia memperhatikan saat suami-istri sepuh yang mengenakan pakaian seragam berupa baju pastel dan celana pendek Bermuda tertatih-tatih ke taman dekat sana. Dia bersyukur mereka tidak maju terus. Di sekeliling perkemahan mereka, Pak Pelatih Hedge telah memasang segala jenis kawat jebakan, jerat, dan perangkap tikus kebesaran yang mustahil menghalau monster mana pun yang punya harga dirt, tapi mungkin saja bisa menjatuhkan manula. Walaupun pagi itu hangat, Reyna bergidik gara-gara mimpinya. Dia tidak bisa memutuskan mana yang lebih seram kehancuran Roma Baru atau cara Octavian meracuni legiun dari dalam. Misimu niscaya gagal. Perkemahan Jupiter membutuhkan dirinya. Legiun XII membutuhkannya. Tapi, Reyna malah berada di belahan dunia lain, menyaksikan seekor satir memasak wafel instan rasa blueberry yang dia cocok dengan ranting di atas api terbuka. Reyna ingin membicarakan mimpi buruknya, tapi dia putuskan untuk menunggu sampai Nico bangun. Dia tidak yakin punya keberanian untuk menjabarkan mimpi buruknya dua kali.
Darah Para Tumbal 3 Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H Kemelut Di Cakrabuana 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama