The Heroes Of Olympus 4 House Of Hades Bagian 9
setuju. "Lagi pula," ujar Bob, "takdir kalian adalah kembali ke dunia. Akhiri kegilaan Gaea ini." Cyclops
yang menjerit, badannya mendesis terkena semprotan racun, melayang melampaui kepala mereka. Lima
puluh meter kurang dari sana, si drakon Maeonian menggilas kerumunan monster, kakinya
menghasilkan bunyi benyek menjijikkan seperti sedang menginjak-injak anggur. Di punggungnya, Damasen meneriakkan
penghinaan dan menghunjamkan senjata ke arah sang dewa lubang, memancing Tartarus kian jauh dari
Pintu Ajal. Tartarus tertatih-tatih mengejar Damasen, sepatu bot besinya menciptakan kawah di tanah.
Kau tidak bisa membunuhku! gerung sang dewa. Aku adalah lubang ini sendiri. Ini sama sia-sianya
seperti berusaha membunuh bumi. Gaea dan aku"kami abadi. Kami adalah pemilik jiwa dan raga
kalian! Dia menggebrakkan kepalannya yang mahabesar, tetapi Damasen mengelak ke samping,
menikamkan tombaknya ke sebelah samping leher Tartarus. Tartarus menggeram, rupanya jengkel alihalih kesakitan. Dia memalingkan wajah vakumnya ke arah sang raksasa, tetapi Damasen masih sempat
menghindar. Selusin monster tersedot ke dalam vorteks dan menghilang. "Bob, jangan!" kata Percy,
ekspresi memohon di matanya. "Dia akan membinasakanmu secara permanen. Kau takkan kembali lagi.
Takkan terlahir kembali." Bob mengangkat bahu. "Siapa tahu apa yang akan terjadi" Kalian harus pergi
sekarang. Tartarus benar tentang satu hal. Kita tidak bisa mengalahkannya. Kami hanya bisa mengulurulur waktu untuk kalian." Pintu Ajal hendak tertutup dan menjepit kaki Annabeth. "Dua belas menit,"
ujar sang Titan. "Aku bisa memberi kalian waktu selama itu." "Percy ... tahan Pintu ini." Annabeth
melompat, kemudian memeluk leher sang Titan. Dia mengecup pipi Bob, air mata yang menggenang
membuatnya tidak bisa melihat dengan jelas. Wajah Bob yang berjanggut pendek kasar menguarkan
aroma cairan pembersih"cairan pemoles furnitur wangi lemon dan minyak pengilap kayu. "Monster itu kekal," kata
Annabeth kepada Bob, berusaha untuk tidak terisak. 'Akan kami kenang kau dan Damasen sebagai
pahlawan, sebagai Titan terbaik dan raksasa terbaik. Akan kami ceritakan kisah kalian kepada anak-anak
kami. Akan kami lestarikan riwayat kalian. Suatu hari kelak, kalian akan beregenerasi." Bob mengacakacak rambut Annabeth. Keriput nan ramah terbentuk di seputar matanya saat dia tersenyum. "Begitu
bagus. Sampai saat itu, Teman-Teman, sampaikan salamku kepada matahari dan bintang-bintang. Dan
bersikaplah tegar. In i mungkin bukan pengorbanan terakhir yang mesti kalian buat demi menghentikan
Gaea." Sang Titan mendorong Annabeth menjauh dengan lembut. "Tidak ada waktu lagi. Sana."
Annabeth menggapai tangan Percy. Dia menyeret Percy ke dalam kompartemen lift. Untuk kali terakhir,
sekilas saja, Annabeth melihat drakon Maeonian menggoyang-goyangkan monster nan jelek seperti
boneka kaus kaki dan Damasen menikam tungkai Tartarus. Sang dewa lubang menunjuk Pintu Ajal dan
berteriak: Monster-monster, hentikan mereka! Bob Kecil bergigi pedang berjongkok dan menggeram,
siap beraksi. Bob berkedip kepada Annabeth. "Tahan Pintu agar terus tertutup dari dalam," katanya.
"Pintu Ajal akan menghalang-halangi perjalanan kalian. Tahan?" Kedua panel bergeser hingga
tertutup.[] BAB TUJUH PULUH DUA ANNABETH "PERCY, BANTU AKU!" PEKIK ANNABETH. Dia menyorongkan seluruh bobot tubuhnya ke pintu kiri,
menekan panel tersebut ke tengah-tengah. Percy berbuat serupa di kanan. Tiada gagang atau apa pun
untuk berpegangan. Sementara kompartemen lift naik, Pintu Ajal berguncang dan berusaha untuk
terbuka, mengancarn untuk menumpahkan mereka ke entah tempat apa antara hidup dan mati. Bahu
Annabeth ngilu. Lantunan musik mendayu-dayu dalam lift juga tidak membantu. Jika semua monster
harus mendengar lagu tentang kehujanan dan kegemaran pada koktail, pantas mereka ingin membantai
setibanya di dunia fana. "Kita meninggalkan Bob dan Damasen," kata Percy serak. "Mereka akan mati
demi kita, sedangkan kita cuma?" "Aku tahu," gumam Annabeth. "Demi dewa-dewi Olympus, Percy,
aku tahu." Annabeth hampir mensyukuri kesibukan menahan Pintu Ajal supaya tetap tertutup. Rasa
ngeri yang membuat jantungnya berdegup kencang paling tidak mengalihkan perhatiannya sehingga
tidak terpuruk dalam duka. Meninggalkan Damasen dan Bob adalah hal terberat yang pernah Annabeth
lakukan. Selama bertahun-tahun di Perkemahan Blasteran, Annabeth gusar tiap kali para pekemah lain
pergi menjalankan misi sementara dirinya ditinggal. Dia menyaksikan yang lain meraih kejayaan atau
gagal sehingga tidak kembali lagi. Sejak usianya tujuh tahun, Annabeth berpikir: Kenapa aku tidak
berkesempatan membuktikan keahlianku" Kenapa aku tidak diperbolehkan memimpin misi" Kini, dia
menyadari bahwa ujian terberat bagi anak Athena bukanlah memimpin misi atau menghadapi maut
dalam pertempuran. Ujian terberat adalah membuat keputusan strategis untuk mundur, untuk
membiarkan orang lain menanggung bahaya"terutama ketika orang itu adalah teman kita. Annabeth
harus menerima bahwa dia tidak bisa melindungi semua orang yang dia sayangi. Dia tidak bisa
menyelesaikan semua persoalan. Annabeth membenci keputusan yang baru dibuatnya, tetapi dia tidak
punya waktu untuk mengasihani diri sendiri. Dia mengejapkan mata untuk mengusir tangis. "Percy,
pintunya." Annabeth memperingatkan. Kedua panel telah mulai bergeser terbuka, menyebabkan
masuknya bau ozon" Belerang" Percy mendorong panel kanan sekuat tenaga dan tertutuplah celah.
Matanya menyala-nyala gusar. Annabeth berharap semoga Percy tidak marah kepadanya sebab kalau
memang begitu, dia tidak bisa menyalahkan Percy. Andai amarah memicu Percy sehingga terus maju,
pikir Annabeth, biar saja dia marah. "Akan kubunuh Gaea," gerutu Percy. "Akan kucabik-cabik dia
dengan tangan kosong." Annabeth mengangguk, tetapi dia memikirkan pernyataan pongah Tartarus.
Tartarus tidak bisa dibunuh. Begitu pula Gaea.
Melawan kekuatan sedahsyat itu, Titan dan raksasa sekalipun tidak berdaya, apalagi demigod. Annabeth
juga teringat pada peringatan Bob: Ini mungkin bukan pengorbanan terakhir yang mesti kalian bunt
demi menghentikan Gaea. Dalam lubuk hatinya yang terdalam, Annabeth tahu ucapan Bob benar. "Dua
belas menit," gumamnya. "Cuma dua belas menit." Dia berdoa kepada Athena semoga Bob bisa
memencet tombol NAIK selama itu. Dia berdoa untuk memohon kekuatan dan kebijaksanaan. Dia
bertanya-tanya apa yang bakal mereka jumpai setibanya di tingkat teratas lift ini. Jika kawan-kawan
mereka tidak berada di sana, mengendalikan sisi sebelah luar "Kita bisa melakukan ini," ujar Percy. "Kita
harus bisa." "Iya," kata Annabeth. "Iya, harus bisa." Mereka menahan Pintu Ajal agar terus tertutup
selagi lift tersebut bergoyang-goyang dan musik mengalun, sementara di suatu tempat jauh di bawah,
seorang Titan dan seorang raksasa mengorbankan nyawa supaya mereka bisa melarikan diri.[]
BAB TUJUH PULUH TIGA HAZEL HAZEL TIDAK BANGGA KARENA SUDAH menangis. Selepas runtuhnya terowongan, Hazel tersedu-sedu
dan menjerit-jerit seperti anak dua tahun yang sedang rewel. Dia tidak bisa menggerakkan puing-puing
yang memisahkan dirinya dan Leo dengan yang lain. Jika bumi berguncang lagi, seisi kompleks tersebut
bisa saja ambruk ke kepala mereka. Namun demikian, Hazel tetap saja meninju bebatuan dan
meneriakkan sumpah serapah yang niscaya akan membuat mulutnya dicuci dengan soda di Akademi St.
Agnes. Leo menatap Hazel sambil membelalak dan membisu. Sikap Hazel kepadanya tidak adil. Kali
terakhir mereka berduaan saja, Hazel membawa Leo kembali ke masa lalu dan menunjukinya Sammy,
kakek buyutnya"pacar pertama Hazel. Hazel menimpakan beban emosional yang tidak Leo butuhkan
dan membuat pemuda itu terperanjat begitu rupa sampai-sampai dia lengah, menyebabkan mereka
hampir dibunuh oleh monster udang raksasa.
Kini mereka berduaan lagi, sementara teman-teman mereka mungkin sedang sekarat di tangan bala
tentara monster, sedangkan Hazel malah meraung-raung tanpa guna. "Maaf." Hazel mengusap
wajahnya. "Hei, tidak usah minta maaf ...." Leo mengangkat bahu. "Aku sendiri pernah menyerang
batu." Hazel menelan ludah dengan susah payah. "Frank ... dia?" "Dengar, ya," kata Leo. "Frank Zhang
sakti. Dia mungkin bakal berubah menjadi kanguru dan menghajar wajah jelek mereka dengan
tendangan jujitsu ala hewan marsupial." Leo membantu Hazel berdiri. Meskipun rasa panik mulai
menggelegak dalam dirinya, Hazel tahu Leo benar. Frank dan yang lain tidak tanpa daya. Mereka bakal
menggagas cara untuk bertahan hidup. Hal terbaik yang bisa Hazel dan Leo perbuat adalah meneruskan
perjalanan. Hazel mengamat-amati Leo. Rambutnya sudah semakin gondrong, sedangkan wajahnya
lebih kurus, alhasil dia tidak lagi mirip kurcaci dan lebih menyerupai peri ramping dalam kisah dongeng.
Perbedaan terbesar adalah ekspresi di matanya. Mata Leo menerawang terus, seolah dia tengah
berusaha mengidentifikasi sesuatu di kejauhan. "Leo, aku minta maaf," kata Hazel. Pemuda itu
mengangkat alis. "Oke. Untuk apa?" "Untuk ...." Hazel melambai tanpa daya ke sekelilingnya. "Untuk
segalanya. Karena mengira kau adalah Sammy, karena memberimu sinyal yang keliru. Maksudku, aku
tidak berniat untuk itu, tapi kalau ternyata demikian?" "Hei." Leo meremas tangannya, walau Hazel
tidak merasakan isyarat romantis sama sekali dalam gesturnya. "Mesin dirancang supaya berfungsi
dengan baik." "Eh, apa?"
"Menurutku alam semesta ini pada dasarnya seperti mesin. Aku tidak tahu siapa yang membuatnya,
entah itu Moirae, dewa-dewi, Tuhan yang Maha Esa, atau siapalah. Tapi biasanya, alam semesta
semata-mata berjalan seperti seharusnya. Memang, terkadang komponen-komponen kecil mengalami
kerusakan atau ada yang korsleting, tapi lazimnya segala sesuatu terjadi karena suatu sebab. Seperti
perjumpaan antara kau dan aku." "Leo Valdez," kata Hazel kagum, "kau ini seorang filsuf." "Bukan ah,"
tukas Leo. "Aku cuma mekanik. Tapi menurutku, bisabuelo-ku Sammy juga berpendapat sama. Dia
mengikhlaskan kepergianmu, Hazel. Tugasku adalah memberitahumu supaya jangan merasa bersalah.
Kau dan Frank"kalian cocok bersama-sama. Kita semua pasti bisa melalui cobaan ini. Kuharap kalian
mendapat kesempatan untuk berbahagia. Lagi pula, Zhang tidak bisa mengikat tali sepatunya tanpa
bantuanmu." "Jahatnya." Hazel menegur, tetapi dia merasa seolah ada yang mengendur dalam dirinya--ketegangan yang sudah dia bawa-bawa selama berminggu-minggu. Leo betul-betul sudah berubah.
Hazel mulai berpikir bahwa dia telah memperoleh teman baik yang baru. "Apa yang kau alami, sewaktu
kau sendirian?" tanya Hazel. "Kau bertemu siapa?" Mata Leo berkedut. "Ceritanya panjang. Akan kuberi
tahu kau kapan-kapan, tapi aku mau lihat-lihat dulu perkembangannya nand." "Alam semesta adalah
sebuah mesin," timpal Hazel, "jadi semuanya pasti akan baik-baik saja." "Moga-moga." "Asalkan bukan
mesin buatanmu saja," imbuh Hazel. "Soalnya mesinmu tidak pernah berfungi sebagaimana
seharusnya." "Iya deh, ha-ha-ha." Leo mendatangkan api di tangannya. "Nah, sekarang ke mana, Nona Bawah
Tanah?" Hazel menelaah jalan setapak di depan mereka. Kira-kira sembilan meter dari sana, terowongan
bercabang empat, semuanya identik, tetapi yang terletak di kid memancarkan hawa dingin. "Ke sana,"
Hazel memutuskan. "Rasanya yang itulah yang paling herb ahaya." "Wah, aku tertarik. Kita ke sana,
yuk." Mereka pun mulai menapak turun.
Setibanya di pelengkung pertama, Gale si cerpelai menemukan mereka. Hewan itu memanjati sisi tubuh
Hazel dan bergelung di seputar lehernya sambil mencicit-cicit jengkel, seolah hendak berkata: Ke mana
saja kau" Kau terlambat. "Jangan si cerpelai tukang kentut lagi," keluh Leo. "Kalau dia buang gas di
tempat tertutup seperti ini sementara apiku masih menyala, bisa-bisa ada ledakan." Gale menciapciapkan umpatan cerpelai kepada Leo. Hazel mendesis untuk menyuruh keduanya diam. Dia bisa
mengindrai terowongan di depan, menurun dengan landai sepanjang kira-kira sembilan puluh meter,
kemudian terbuka ke sebuah ruangan luas. Ruangan itu berpenghuni entitas yang dingin, berat, dan
perkasa. Hazel tidak pernah merasakan yang seperti itu sejak dia memasuki gua di Alaska, tempat Gaea
memaksanya membangkitkan Porphyrion si raja raksasa. Hazel telah mematahkan rencana Gaea kala itu,
tetapi dia harus meruntuhkan seisi gua, mengorbankan nyawanya serta nyawa ibunya. Hazel tidak
antusias menikmati pengalaman serupa untuk kali kedua. "Leo, bersiaplah," bisik Hazel. "Kita semakin
dekat." "Dekat dengan apa?" Suara seorang wanita bergema dari koridor: "Dekat dengan aku." Gelombang rasa
mual menghantam Hazel keras sekali sampai-sampai lututnya melemas. Dunia berputar. Instingnya
dalam menentukan arah, yang biasanya tidak bercela di bawah tanah, mendadak tersendat. Hazel dan
Leo sepertinya belum bergerak lebih jauh, tapi mereka tiba-tiba sudah berada sembilan puluh meter
dari tempat semula di koridor, di pintu masuk ruangan besar. "Selamat datang," kata suara perempuan.
"Aku sudah menanti-nantikan ini." Mata Hazel menelaah gua tersebut. Dia tidak melihat si pembicara.
Ruangan tersebut mengingatkan Hazel akan Pantheon di Roma, hanya saja tempat ini berhiaskan mural
Hades Modern. Dinding obsidian berukirkan adegan-adegan kematian: korban wabah penyakit, mayat di
medan tempur, ruang penyiksaan yang memuat kerangka manusia dalam kurungan besi"semuanya
dihiasi taburan batu berharga di sana-sini yang, entah bagaimana, menjadikan gambar-gambar tersebut
semakin mengerikan. Sama seperti di Pantheon, atap kubah ruangan tersebut menyerupai wafel, terdiri
dari panel-panel segiempat yang timbul-tenggelam, tetapi di sini tiap panel berupa stela"yaitu nisan
bertuliskan bahasa Yunani Kuno. Hazel bertanya-tanya apakah di balik tiap stela benar-benar terdapat
jenazah yang dikuburkan. Karena indra bawah tanahnya sedang macet, Hazel tidak tahu pasti. Dia tidak
melihat jalan keluar lain. Di titik tertinggi langit-langit, yang di Pantheon berupa jendela kaca, terdapat
batu bundar hitam kelam, seolah menggarisbawahi ketiadaan jalan keluar dari tempat ini"tiada langit di atas sana,
hanya kegelapan. Mata Hazel menumbuk ke tengah-tengah ruangan. "Iya," gumam Leo. "Di situ
pintunya." Lima belas meter kurang dari sana, terdapat pintu lift yang tidak berpenopang, kedua
panelnya terbuat dari ukiran perak dan besi. Rantai menjulur di kedua sisi pintu, membelenggu kusen ke
kait besar di lantai. Di area seputar Pintu tersebut, berserakanlah puing-puing hitam. Hazel sesak karena
marah, tersadar bahwa altar kuno untuk Hades dahulu berdiri di sana. Altar tersebut telah dihancurkan
untuk memberi ruang bagi Pintu Ajal. "Di mana kau?" teriak Hazel. "Tidakkah kau lihat kami?" Suara
perempuan itu mem"provokasi. "Kukira Hecate memilihmu karena keahlianmu." Perut Hazel lagi-lagi
terasa mulas. Di bahunya, Gale si cerpelai menyalak dan kentut, sama sekali tidak membantu. Titik-titik
gelap memburamkan mata Hazel. Dia berkedip-kedip untuk mencoba mengusir bintik-bintik tersebut,
tetapi tindakan tersebut semata-mata menjadikan matanya semakin gelap. Titik-titik tersebut
mengumpul menjadi sosok kelam setinggi enam meter yang menjulang di camping Pintu Ajal. Clytius si
raksasa berselubung asap hitam, persis seperti yang Hazel lihat dalam visinya di persimpangan, tetapi
sekarang Hazel bisa merunut sosoknya samar-samar"tungkai naga bersisik sewarna jelaga; tubuh
bagian atas humanoid yang dilindungi baju tempur besi Stygian; rambut panjang berkepang yang seolah
terbuat dari asap. Mukanya segelap Maut (Hazel tahu, sebab dia pernah bertemu Maut secara langsung).
Matanya berkilat-kilat dingin seperti berlian. Dia tidak membawa senjata, tetapi ketiadaan senjata tidak
membuatnya kurang menakutkan.
Leo bersiul. "Kau tahu, Clytius untuk ukuran raksa sebesar kau, suaramu merdu." "idiot," delis sang
wanita. Di antara Hazel dan si raksasa, udara berdenyar. Munculh sang penyihir. Dia mengenakan gaun
emas sulaman tak berlengan, rambutnya digelung tinggi dikelilingi hiasan berupa berlian dan zamrud. Di
lehernya terdapat kalung bertatahkan rubi"mirip tetesan darah beku, menurut Hazel"yang diganduli
bandul berbentuk labirin miniatur. Wanita itu anggun dan memiliki kecantikan tak lekang waktu"
seperti patung yang mungkin bakal kita kagumi, tetapi mustahil kita cintai. Matanya berbinar-binar
kejam. "Pasiphae," kata Hazel. Wanita itu menelengkan kepala. "Hazel Levesque sayangku Leo terbatukbatuk. "Kahan berdua saling kenal" Sobat di
Dunia Bawah atau?" "Diam, Tolol." Suara Pasiphae lembut tapi menusuk. "Aku tidak punya waktu
untuk pemuda demigod"selalu besar kepala, selalu angkuh, dan destruktif." "Hei, Nyonya," protes Leo.
"Aku jarang menghancurkan ini-itu. Aku ini putra Hephaestus." "Cuma tukang," bentak Pasiphae. "Malah
lebih hina. Aku kenal Daedalus. Ciptaannya merepotkanku saja." Leo mengerjapkan mata. "Daedalus
maksudnya Daedalus yang itu" Wah, kalau begitu, kau semestinya tahu banyak tentang kami, para
tukang. Kami suka memperbaiki dan merakit barang-barang, terkadang menyumpalkan perlak ke mulut
ibu-ibu kasar?" "Leo." Hazel melintangkan lengan ke depan dada pemuda itu. Hazel punya firasat
bahwa si penyihir bakal mengubah Leo
menjadi sesuatu yang tidak bagus kalau dia tidak tutup mulut. "Biar kutangani, oke?" "Turuti temanmu,"
kata Pasiphae. "Jadilah anak baik dan biarkan perempuan yang bicara." Pasiphae mondar-mandir di
depan mereka sambil mengamati Hazel, matanya demikian sarat kebencian sehingga Hazel jadi
merinding. Kesaktian yang memancar dari diri sang penyihir bagaikan panas yang menguar dari tanur.
Ekspresinya seram dan samar-samar terkesan tidak acing Namun, entah bagaimana, justru Clytius si
raksasa yang menyebabkan Hazel lebih resah. Raksasa itu berdiri di belakang, membisu dan bergeming
terkecuali kepulan asap hitam yang tumpah ruah dari tubuhnya, menggenang di seputar kakinya. Dialah
penunggu gelap yang kehadirannya Hazel rasakan tadi"seperti deposit obsidian nan melimpah,
demikian berat sehingga mustahil Hazel pindahkan, kuat dan tanpa emosi serta tidak mungkin
dihancurkan. "Dia"temanmu tidak banyak bicara," komentar Hazel. Pasiphae menengok ke si raksasa di
belakangnya dan mendengus muak. "Berdoalah semoga dia terus membisu, Sayang. Gaea sudah
bermurah hati mempersilakanku membereskanmu; tapi Clytius adalah polis asuransiku, bisa dibilang.
Antara kita saja, Saudariku sesama penyihir, menurutku dia berada di sini juga untuk mengawasiku kala
menggunakan kekuatan, kalau-kalau aku lupa akan perintah majikan baruku. Gaea memang senantiasa
berhati-hati." Hazel tergoda untuk memprotes bahwa dirinya bukan penyihir. Dia tidak ingin mengetahui
bagaimana kiranya Pasiphae berencana untuk "membereskan" mereka, atau dengan cara apa raksasa
itu bakal mengawasi si penyihir. Tetapi, dia tegakkan saja punggungnya dan berusaha tampak percaya
diri. "Apa pun yang kau rencanakan tidak akan berhasil," kata "Kami sudah menebas seluruh monster yang
Gaea sorongkan hadapan kami. Jika kau pintar, kau tidak akan menghalangi kami." Gale si cerpelai
mengertakkan gigi tanda setuju, tetapi Pasipha sepertinya tidak terkesan. "Kau kelihatannya tidak jagojago amat," tukas sang penyihir, "Tapi, demigod biasanya memang begitu. Suamiku, Minos, Raja Kreta"
Dia putra Zeus. Kita tidak akan tahu jika melihatnya saja. Dia hampir seceking bocah itu." Pasiphae
menjentikkan tangan ke arah Leo. "Wow," gerutu Leo. "Minos pasti sudah berbuat jahat sekali sampaisampai mendapat istri seperti kau." Lubang hidung Pasiphae kembang-kempis. "Oh membayangkannya
saja kalian pasti tidak bisa. Dia terlalu besar kepala sehingga tidak bersedia memberi sesaji yang
memadai bagi Poseidon, alhasil dewa-dewi menghukumku karena kesombongannya." "Minotaurus."
Hazel mendadak teringat. Kisah itu teramat mengerikan dan menjijikkan sehingga Hazel selalu menutupi
telinga kapan pun cerita tersebut dipaparkan di Perkemahan Jupiter. Pasiphae dikutuk sehingga jatuh
cinta pada banteng unggulan milik suaminya. Pasiphae kemudian melahirkan Minotaurus"setengah
manusia, setengah banteng. Kini, sementara Pasiphae memelototinya, Hazel menyadari apa sebabnya
ekspresi wanita itu terkesan tidak asing. Ekspresi di mata wanita itu penuh kegetiran dan kebencian,
persis seperti yang terkadang ditampakkan oleh ibu Hazel. Di saat-saat terburuk, Marie Levesque
bahkan memandangi Hazel seolah Hazel adalah anak monster, kutukan dari dewa-dewi, sumber dari
seluruh kesulitan Marie. Itulah sebabnya kisah Minotaurus mengusik Hazel"bukan semata-mata karena
hubungan menjijikkan antara Pasiphae dengan banteng, melainkan juga karena memilukan bahwa seorang anak, anak
many saja, dianggap sebagai monster, hukuman bagi orangtuanya, sehingga dikurung dan dibenci. Hazel
senantiasa berpendapat bahwa korban dalam cerita itu adalah Minotaurus. "Ya," kata Pasiphae pada
akhirnya. "Aibku tidak terperi. Setelah putraku lahir dan dikurung dalam Labirin, Minos menolak
berurusan denganku. Dia bilang aku telah menghancurkan reputasinya! Tahukah kau apa yang kemudian
menimpa Minos, Hazel Levesque" Setelah sekian banyak kejahatan dan keangkuhannya" Dia dihadiahi.
Dia dijadikan hakim orang mati di Dunia Bawah, seakan dia punya hak untuk menghakimi orang lain!
Malahan, Hades-lah yang memberinya jabatan itu. Ayahmu." "Ayahku sebenarnya Pluto." Pasiphae
mencemooh. "Tidak penting. Demikianlah sebabnya aku amat membenci demigod sebagaimana aku
amat membenci dewa-dewi. Apabila masih ada kaummu yang selamat seusai perang, Gaea sudah
berjanji aku boleh menyaksikan mereka mati pelan-pelan di wilayah kekuasaanku yang Baru. Aku
semata-mata berharap kalau saja aku memiliki lebih banyak waktu untuk menyiksa kalian berdua
sepuasnya. Sayang sekali?" Di tengah-tengah ruangan, Pintu Ajal mengeluarkan bunyi berdenting nan
merdu. Tombol NAIK berwarna hijau di sebelah kanan kusen mulai berpendar. Rantai berguncangguncang. "Nah, kau lihat sendiri?" Pasiphae mengangkat bahu, seolah hendak meminta Hazel agar
maklum. "Pintu sedang digunakan. Dua belas menit lagi Pintu tersebut akan terbuka." Perut Hazel serasa
berguncang sekeras rantai pengikat Pintu. "Raksasa akan keluar lagi?" "Untungnya tidak," kata sang
penyihir. "Mereka semua sudah di tempat masing-masing"telah kembali ke dunia fana dan siap
untuk melancarkan serbuan akhir." Pasiphae menyunggingkan senyum nan dingin. "Tidak, kuperkirakan
Pintu ini sedang dipergunakan oleh yang lain ... orang yang tidak berhak." Leo beringsut ke depan. Asap
mengepul dari kepalannya. "Percy dan Annabeth." Hazel tidak sanggup bicara. Dia tidak tahu apakah
tenggorokannya tercekat karena gembira atau frustrasi. Jika teman-temannya berhasil masuk ke Pintu
Ajal, jika mereka benar-benar akan keluar ke sini dua belas menit lagi "Oh, jangan khawatir." Pasiphae
melambaikan tangan dengan cuek. "Clytius akan mengurus mereka. Jadi, ketika bel berdenting lagi,
seseorang di sebelah sini harus menekan tombol NAIK karena jika tidak, Pintu takkan terbuka,
sedangkan siapa pun yang berada di dalamnya akan lenyap. Atau barangkali Clytius akan membiarkan
mereka keluar dan membereskan mereka secara
pribadi. Itu bergantung pada kalian berdua." Mulut
Hazel terasa kelat. Dia tidak ingin bertanya, tetapi harus. "Bergantung pada kami bagaimana?" "Yang
jelas, kami hanya membutuhkan sepasang demigod hidup-hidup," kata Pasiphae. "Dua orang yang
beruntung akan dibawa ke Athena dan dikorbankan untuk Gaea pada Hari Raya Harapan." "Tentu saja,"
gerutu Leo. "Jadi, pilih yang mana" Kalian berdua atau teman-teman kalian dalam lift?" Sang penyihir
merentangkan tangan. "Mari kita lihat siapa yang masih hidup dua belas ralat, sebelas menit lagi."
Tersamarlah gua dalam kegelapan.[]
The Heroes Of Olympus 4 House Of Hades di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
BAB TUJUH PULUH EMPAT HAZEL JARUM KOMPAS INTERNAL HAZEL BERPUTAR-PUTAR liar. Dia teringat ketika dia masih sangat kecil, di
New Orleans pada akhir 1930-an, ibunya mengajaknya ke dokter untuk mencabut gigi yang berlubang.
Baru kali itu dan hanya kali itulah Hazel dibius menggunakan eter. Dokter gigi berjanji eter akan
membuatnya mengantuk dan santai, tetapi Hazel merasa seperti melayang dari tubuhnya sendiri, panik
dan kehilangan kendali. Ketika efek eter habis, dia tidak enak badan selama tiga hari. Pengalaman kali ini
mirip seperti dibius eter dengan dosis berkali-kali lipat. Sebagian dari diri Hazel tahu dia masih di dalam
gua. Pasiphae berdiri hanya beberapa kaki di depan mereka. Clytius menunggu sambil membisu di dekat
Pintu Ajal. Namun demikian, berlapis-lapis Kabut menyelubungi Hazel, menumpulkan ketajaman
indranya untuk mencerap realita sesungguhnya. Dia maju satu langkah dan menabrak dinding yang
semestinya tidak berada di sana.
Leo menempelkan tangan ke batu. "Ada apa ini" Di mana kita?" Sebuah koridor terentang di kiri dan
kanan mereka. Obor bekerlap-kerlip dalam wadah-wadah besi. Udara berbau jamur, seperti dalam
bangunan makam lama. Di pundak Hazel, Gale menyalak gusar sambil menancapkan cakarnya dengan
marah ke tulang belikat Hazel. "Ya, aku tahu," gumam Hazel kepada si cerpelai. "Ini hanya Leo memukuli
dinding. "Ilusi yang solid." Pasiphae tertawa. Suaranya sayup-sayup, seperti berasal dari jauh. "Benarkah
ini ilusi, Hazel Levesque, atau lebih dari itu" Tidakkah kau lihat apa yang telah kuciptakan?" Hazel
merasa kehilangan keseimbangan sehingga kesulitan berdiri tegak, apalagi berpikir jernih. Dia mencoba
menajamkan indra, melihat menembus Kabut dan menemukan kembali gua itu, tetapi dia semata-mata
merasakan terowongan yang bercabang ke selusin arah, terbentang ke mana-mana kecuali ke depan.
Sembarang pikiran berkelebat dalam benaknya, seperti bijih emas yang menyembul ke permukaan:
Daedalus. Minotaurus yang dikurung. Mati pelan-pelan dalam wilayah kekuasaanku yang baru. "Labirin,"
ujar Hazel. "Dia membangun ulang Labirin." "Apa kau bilang?" Leo semula mengetuk-ngetuk dinding
dengan palu, tetapi dia lantas menoleh dan memandang Hazel sambil mengerutkan dahi. "Kukira Labirin
sudah runtuh sewaktu pertempuran di Perkemahan Blasteran"karena Labirin itu terkait dengan daya
hidup Daedalus atau apalah, sedangkan dia sudah meninggal." Suara Pasiphae mendecak-decak tidak
setuju. "Ah, tapi aku masih hidup. Apa menurut kalian hanya Daedalus seorang yang memegang rahasia
penyusun labirin"Akulah yang mengembuskan
daya sihir ke dalam Labirin buatannya. Daedalus bukan apa-apa dibandingkan denganku"penyihir kekal,
putri Helios, saudari Circe! Sekarang Labirin akan menjadi wilayah kekuasaanku." "Ini ilusi," Hazel
bersikeras. "Kita hanya perlu membobolnya." Bahkan saat dia berkata begitu, dinding seakan semakin
padat, bau jamur semakin menusuk. "Terlambat, terlambat," kata Pasiphae mendayu. "Labirin ini sudah
terbangun dan akan menyebar di bawah permukaan bumi sekali lagi, sementara dunia fana menjadi rata
dengan tanah. Kahan para demigod ... parapah/awan akan keluyuran dalam lorong-lorongnya, mati
perlahan-lahan karena kehausan dan ketakutan serta sengsara. Atau barangkali, jika aku sedang murah
hati, kalian akan mati dengan cepat sambil menahan sakit nan dahsyat!" Lubang-lubang terbuka di tanah
di bawah kaki Hazel. Dia menyambar Leo dan mendorong pemuda itu ke samping saat sederet lembing
bermata tajam mencuat ke atas, menyula langit-langit. "Lari!" teriak Hazel. Tawa Pasiphae bergema di
koridor. "Hendak ke mana kau, Penyihir Belia" Lan dari ilusi?" Hazel tidak menjawab. Dia terlalu sibuk
berusaha mempertahankan nyawa. Di belakang mereka, deret demi deret lembing bermata tajam
menyembul hingga langit-langit disertai bunyi jleb, jleb, jleb tanpa henti. Hazel menarik Leo ke koridor
samping, melompati kawat jebakan, kemudian berhenti mendadak di depan lubang selebar enam meter.
"Berapa dalam tuh?" Leo tersengal-sengal. Celananya robek tergores mata lembing. Indra Hazel
memberitahunya bahwa lubang tersebut paling tidak berkedalaman lima belas meter, sedangkan di
dasarnya terdapat kolam racun. Bisakah dia memercayai indranya" Terlepa dari apakah Pasiphae telah
menciptakan Labirin baru atau tidak Hazel yakin mereka masih berada dalam gua yang sama, dipanci it
untuk lari bolak-balik tanpa arah sementara Pasiphae dan Clyti t is menonton dengan geli. Ilusi atau
bukan: kalau Hazel tidak bisa mencari cara untuk keluar dari labirin ini, jebakan niscaya aka n
menewaskan mereka. "Delapan menit lagi," kata suara Pasiphae. "Aku ingin seka I i melihat kalian
selamat, sungguh. Itu akan membuktikan bahwa kalian layak menjadi korban untuk Gaea di Athena. Tapi
kalau, begiru, tentu saja kami takkan membutuhkan teman-temanmu dalam lift." fanning Hazel
berdebar kencang. Dia menghadap dinding di kirinya. Meskipun indranya berkata lain, Pintu semestinya
berada di sebelah situ. Pasiphae seharusnya berada tepat di depan Hazel. Hazel ingin mendobrak
dinding dan mencekik si penyihir. Delapan menit lagi, dia dan Leo harus sudah berada di depan Pintu
Ajal untuk mengeluarkan kedua teman mereka. Tapi, Pasiphae adalah penyihir abadi yang
berpengalaman beribu-ribu tahun dalam merajut mantra. Hazel tidak bisa mengalahkan Pasiphae hanya
dengan kekuatan tekad. Dia berhasi I mengelabui Sciron si bandit dengan cara menunjukkan hal yang
ingin pria itu lihat. Hazel harus mencari tahu apa yang paling Pasiphae dambakan. "Tujuh menit lagi."
Pasiphae menyayangkan. "Jika saja kita punya lebih banyak waktu! Demikian banyak aib yang ingin
kutimpakan pada kalian." Itu dia, Hazel tersadar. Dia harus menyusahkan diri sendiri. Dia harus
membuat Labirin terkesan lebih berbahaya, lebih spektakuler"membuat Pasiphae memusatkan
perhatian pada jebakan alih-alih pada arah yang dituju Labirin tersebut.
"Leo, kita akan melompat," kata Hazel. "Tapi?" "Jaraknya tidak sejauh kelihatannya. Lompat!" Hazel
menggapai tangan Leo dan mereka pun melontarkan diri ke seberang lubang. Ketika mereka mendarat,
Hazel menengok ke belakang dan tidak melihat lubang sama sekali"cuma retakan sepanjang kurang
dari sepuluh sentimeter di lantai. "Ayo!" desaknya. Mereka lari sementara suara Pasiphae terus meracau.
"Waduh, gawat. Kalian mustahil selamat dengan cara seperti itu. Enam menit." Langit-langit di atas
terbelah. Gale si cerpelai mencicit waswas, tetapi Hazel membayangkan munculnya terowongan baru
yang ke kiri"terowongan yang malah lebih berbahaya, ke arah yang menjauhi Pintu Ajal. Kabut melunak
di bawah tekadnya. Muncullah terowongan itu, dan melesatlah mereka ke samping. Pasiphae mendesah
kecewa. "Kau benar-benar tidak ahli dalam permainan ini, Sayang." Tetapi, Hazel merasakan secercah
harapan. Dia telah menciptakan sebuah terowongan. Dia berhasil menghasilkan robekan kecil di jejalin
magis Labirin. Lantai ambruk di bawah mereka. Hazel melompat ke samping sambil menarik serta Leo.
Dia membayangkan satu terowongan lagi, menikung ke arah yang tadi mereka lalui, tetapi sarat dengan
gas beracun. Labirin pun menurut. "Leo, tahan napasmu." Hazel memperingatkan. Mereka menembus
kabut beracun. Mata Hazel serasa disiram sari cabai, tetapi dia terus berlari. "Lima menit," kata Pasiphae.
"Aduh! Andai aku bisa me-nyaksikan kalian menderita lebih lama."
Mereka merangsek masuk ke koridor berudara segar. L. terbatuk-batuk. "Kalau saja dia mau tutup
mulut." Mereka menunduk ke bawah kawat perunggu tajam yang bi menggorok leher. Hazel
membayangkan terowongan menikui sedikit saja ke arah Pasiphae. Kabut tunduk di bawah kehendakny
Dinding kanan-kiri terowongan mulai merapat. Hazel tic!: berusaha menghentikan hal itu. Dia membuat
dinding terowong. merapat semakin cepat, mengguncangkan lantai dan meretakk. langit-langit. Dia dan
Leo berlari demi menyelamatkan nyaw mengikuti kelokan sementara terowongan tersebut membav
mereka semakin dekat dengan lokasi yang Hazel harap adal. bagian tengah ruangan. "Sayangnya," kata
Pasiphae. "Kuharap aku bisa membunu kalian sekaligus teman-teman kalian dalam lift, tapi Gaea
bersiker bahwa dua di antara kalian harus ditahan hidup-hidup sampai Ha Raya Harapan. Baru saat
itulah darah kalian akan dimanfaatkai Ya sudah, mau bagaimana lagi"! Aku harus mencari korban bat
untuk Labirinku. Kahan berdua ternyata payah." Hazel dan Leo berhenti tiba-tiba. Di depan mereka to
bentanglah jurang yang begitu lebar sampai-sampai sisi seberangn) tidak tampak oleh Hazel. Dari suatu
tempat di bawah, dalai kegelapan, terdengarlah bunyi mendesis---beribu-ribu ular. Hazel tergoda untuk
mundur, tetapi terowongan menyemp di belakang mereka, hanya menyisakan tubir kecil yang merel
pijak. Gale si cerpelai mondar-mandir di pundak Hazel dan kenn karena gugup. "Oke, oke," gumam Leo.
"Dinding adalah kompone bergerak. Pasti ada mesinnya. Beni aku waktu sebentar." "Tidak, Leo," kata
Hazel. "Di belakang tidak ada jalan." "Tapi?" "Pegang tanganku," kata Hazel. "Pada hitungan ketiga."
"Tapi?" "Tiga!" "Ape Hazel melompat ke dalam lubang sambil menarik Leo bersamanya. Dia berusaha
mengabaikan teriakan Leo dan si cerpelai tukang kentut yang mencekik lehernya. Hazel mengerahkan
seluruh tekad untuk menempa sihir Labirin sesuai keinginannya. Pasiphae tertawa kesenangan,
mengetahui bahwa tidak lama lagi mereka bakal mati remuk atau dipatok sampai mampus dalam lubang
berisi ular. Namun demikian, Hazel justru membayangkan saluran udara dalam kegelapan, tepat di kiri
mereka. Dia berpuntir di tengah udara dan menjatuhkan diri ke arah itu. Dia dan Leo menumbuk saluran
tersebut dan meluncur ke dalam gua, mendarat tepat di atas kepala Pasiphae. "Aaah!" Kepala si penyihir
membentur lantai sementara Leo duduk menindih dadanya kuat-kuat. Selama beberapa saat, mereka
bertiga dan si cerpelai tergolek tumpang tindih. Hazel mencoba mencabut pedangnya, tetapi Pasiphae
berhasil membebaskan diri paling dulu. Sang penyihir bergerak mundur, gelung rambutnya miring
seperti kue ambruk. Gaunnya bernoda oli karena terkena sabuk perkakas Leo. "Dasar orang-orang
terkutuk kurang ajar!" raungnya. Labirin telah lenyap. Beberapa kaki dari sana, Clytius berdiri
memunggungi mereka sambil memperhatikan Pintu Ajal. Berdasarkan perhitungan Hazel, mereka punya
waktu sekitar tiga puluh detik sebelum teman-teman mereka tiba. Hazel merasa kelelahan sesudah
berlari-lari di Labirin sembari mengontrol Kabut, tetapi dia harus melakukan satu trik lagi.
Dia telah sukses membuat Pasiphae melihat hal yang paling dia dambakan. Sekarang Hazel harus
membuat sang penyihir melihat hal yang paling dia takuti. "Kau pasti sangat membenci demigod," kata
Hazel, berusaha menirukan senyum keji Pasiphae. "Kami selalu mengunggulimu, bukan begitu,
Pasiphae?" "Omong kosong!" jerit Pasiphae. "Akan kucabik-cabik kau! Akan ku?" "Kami selalu
mendatangkan kesialan bagimu.", Hazel ber simpati. "Suamimu mengkhianatimu. 'Theseus membunuh
Mino taurus dan merampas putrimu, Ariadne. Sekarang dua demigod payah telah menjadikan Labirinmu
sebagai senjata makan tuan. Tapi, kau sudah tahu akan begini jadinya. Iya, Ian" Kau selalu gagal pada
akhirnya." "Aku ini kekal!" Pasiphae melolong. Dia melangkah mundur sambil memain-mainkan
kalungnya. "Kalian tidak bisa menjatuhkanku!" "Kau hendak jatuh," tangkis Hazel. "Lihat." Dia menunjuk
ke kaki sang penyihir. Pintu jebakan terbuka di bawah Pasiphae. Dia pun terjeblos ke dalam lubang
tanpa dasar yang sesungguhnya tidak ada, sambil menjerit-jerit. Lantai memadat. Si penyihir hilang
sudah. Leo menatap Hazel dengan takjub. "Bagaiman a caramu?" Tepat scat itu, lift berdenting.
menekan tombol NAIK, Clytius melangkah mundur clari panel kendali, membiarkan teman-teman
mereka terperangkap di dalam. "Leo!" teriak Hazel. Jarak mereka sekitar sembilan meter dari Pintu
Ajal"terlalu jauh sehingga takkan sempat mencapai lift itu"tetapi Leo mencabut sebuah obeng dan
melontarkannya seperti pisau lempar.
Bidikan yang mustahil. Obeng yang berputar-putar melayang melampaui Clytius dan menumbuk tombol
NAIK. Pintu Ajal terbuka disertai bunyi berdesis. Asap hitam membubung keluar, dan tersungkurlah dua
tubuh ke lantai--Percy dan Annabeth, selunglai mayat. Hazel terisak. "Demi dewa-dewi ...." Dia dan Leo
beranjak ke depan, tetapi Clytius mengangkat tangannya untuk memberi isyarat yang tidak mungkin
salah dikenali"stop. Dia mengangkat kaki reptilnya yang mahabesar ke atas kepala Percy. Selubung
asap si raksasa tumpah ruah ke lantai, menyelimuti Annabeth dan Percy dengan gumpalan kabut gelap.
"Clytius, kau sudah kalah," geram Hazel. "Biarkan mereka pergi kalau tidak mau nasibmu seperti
Pasiphae." Si raksasa menelengkan kepala. Mata berliannya berkilauan. Di kakinya, Annabeth tersentak
seperti kena setrum. Dia berguling hingga telentang, selarik asap hitam mengepul keluar dari mulutnya.
"Aku bukan Pasiphae." Annabeth berbicara bukan dengan suaranya"nada ucapannya sedalam petikan
gitar bas. "Kalian belum menang." "Hentikan!" Bahkan dari jarak sembilan meter, Hazel bisa merasakan
meredupnya daya hidup Annabeth, denyut nadinya melemah. Apa pun yang Clytius perbuat, meminjam
mulut Annabeth untuk bicara"menyebabkannya sekarat. Clytius menyenggol kepala Percy dengan
kakinya. Wajah Percy terkulai ke samping. "Belum mati." Kata-kata sang raksasa menggelegar keluar dari
mulut Percy. "Kepulangan dari Tartarus menimbulkan guncangan hebat bagi tubuh fang, kubayangkan
demikian. Mereka akan pingsan beberapa lama."
Dia kembali mengalihkan perhatian kepada Annabeth. Kepulan asap lagi-lagi keluar dari antara bibir
Annabeth. "Akan kuikat mereka dan kuantarkan mereka kepada Porphyrion di Athena. Korban yang
tepat, persis seperti yang kami butuhkan. Sayangnya, itu berarti kami tidak lagi memerlukan kalian
berdua. "Oh, ya?" Leo menggeram. "Kau mungkin punya asap, Bung, tapi aku punya api." Tangannya
membara. Leo menolakkan aliran api putih panas ke arah si raksasa, tetapi aura Clytius yang berasap
menyerap kobaran api saat menyentuhnya. Sulur-sulur kabut hitam menelusuri lintasan api,
memadamkan cahaya serta panas, dan menyelubungi Leo dalam kegelapan. Leo jatuh berlutut sambil
memegangi lehernya. "Tidak!" Hazel lari menghampirinya, tetapi Gale mencicit-cicit dengan nada
mendesak di bahu Hazel"memberikan peringatan tegas. "Aku takkan coba-coba kalau jadi kau." Suara
Clytius membahana dari mulut Leo. "Kau tidak paham, Hazel Levesque. Aku melahap sihir. Aku
menghancurkan suara dan jiwa. Kau tidak kuasa melawanku." Kabut hitam menyebar di sepenjuru
ruangan, menyelimuti Percy dan Annabeth, bergulung-gulung ke arah Hazel. Telinga Hazel terasa panas.
Dia harus bertindak"tapi bagaimana" Jika asap hitam tersebut bisa melumpuhkan Leo secepat itu,
mungkinkah Hazel punya peluang" "A-api." Hazel terbata-bata dengan suara pelan. "Kau semestinya
rentan terhadap api." Si raksasa terkekeh, kali ini menggunakan pita suara Annabeth. "Kau
mengandalkan kelemahanku yang itu, ya" Benar bahwa aku tidak menyukai api. Tapi, api Leo Valdez
kurang kuat untuk menyulitkanku."
Di suatu tempat di belakang Hazel, sebuah suara lembut nan merdu berkata, "Bagaimana dengan apiku,
Kawan Lama?" Gale memekik antusias dan melompat dari pundak Hazel, bergegas-gegas ke pintu masuk
gua. Di sana, berdirilah seorang wanita pirang bergaun hitam, Kabut berputar-putar mengelilinginya.
Sang raksasa terhuyung-huyung ke belakang hingga menabrak Pintu Aj al. "Kau," katanya dari mulut
Percy. "Aku." Hecate mengiakan. Dia merentangkan tangan. Obor yang berkobar-kobar muncul di
tangannya. "Sudah bermilenium-milenium sejak aku bertarung di sisi seorang demigod, tetapi Hazel
Levesque telah membuktikan bahwa dia pantas. Apa pendapatmu, Clytius" Bagaimana kalau kita
bermain api"'[] BAB TUJUH PULUH LIMA HAZEL JIKA SI RAKSASA KABUR SAMBIL menjerit-jerit, Hazel pasti akan bersyukur. Mereka semua lantas bisa
beristirahat. Clytius mengecewakan Hazel. Ketika melihat obor sang dewi yang berkobar-kobar, raksasa
itu bereaksi dengan sigap. Dia menjejakkan kaki, mengguncangkan lantai dan hampir menginjak lengan
Annabeth. Asap gelap membubung di sekelilingnya hingga Annabeth dan Percy tidak kelihatan sama
sekali. Hazel hanya bisa melihat mata si raksasa yang berkilat-kilat. "Kata-kata yang berani." Clytius
berbicara dari mulut Leo. "Kau lupa, Dewi. Terakhir kali kita berjumpa, kau dibantu oleh Hercules dan
Dionysus"dua pahlawan paling perkasa di dunia, kedua-duanya ditakdirkan untuk menjadi dewa.
Sekarang kau membawa serta mereka ini"' Tubuh Leo yang tak sadarkan diri menegang kesakitan.
"Hentikan!" jerit Hazel. Dia tidak merencanakan yang terjadi selanjutnya. Hazel semata-mata tahu dia
harus melindungi teman-temannya.
Dia membayangkan mereka di belakangnya, sebagairnana dia membayangkan munculnya terowongan
baru dalam Labirin Pasiphae. Tubuh Leo tersamar. Dia muncul kembali di kaki Hazel, beserta Percy dan
Annabeth. Kabut berputar-putar di sekitar Hazel, tertumpah ke batu dan membalut kawan-kawannya. Di
tempat Kabut putih bersinggungan dengan asap gelap Clytius, muncullah desisan dan kepulan uap,
seperti lava yang mengalir ke laut. Leo membuka mata dan terkesiap. "A-ada apa ?" Annabeth dan Percy
tetap tak bergerak, tetapi Hazel bisa merasakan bahwa detak jantung mereka bertambah kuat, napas
mereka lebih teratur. Di bahu Hecate, Gale si cerpelai menyalak kagum. Sang dewi melangkah ke depan,
mata gelapnya berkilat-kilat diterpa cahaya obor. "Kau benar, Clytius. Hazel Levesque bukan Hercules
atau Dionysus, tapi menurutku kau akan melihat bahwa dia tidak kalah tangguh." Dari balik selubung
asap, Hazel menyaksikan si raksasa membuka mulut. Tiada kata yang keluar. Clytius merengut frustrasi.
Leo berusaha duduk tegak. "Apa yang terjadi" Apa yang bisa aku"'' "Awasi Percy dan Annabeth." Hazel
menghunus spatha-nya. "Temp di belakangku. Diamlah di dalam Kabut." "Tapi?" Ekspresi yang Hazel
lemparkan ke arah Leo pasti lebih galak daripada yang dia sadari. Leo menelan ludah. "Iya, oke. Kabut
Putih baik. Asap hitam jahat." Hazel pun maju. Sang raksasa merentangkan tangannya. Kubah langitlangit berguncang, sedangkan suara raksasa itu bergema di sepenjuru ruangan, diperkeras ratusan kali.
Tangguh" Si raksasa mempertanyakan. Kedengarannya dia memanfaatkan paduan suara orang mati
untuk berbicara, mem-peralat jiwa-jiwa nan malang yang terkubur di balik stela di langit-langit. Karena
gadis itu sudah mempelajari tipuan sihirmu, Hecate" Karena kau memperkenankan orang-orang lemah
ini untuk bersembunyi dalam Kabutmu" Sebilah pedang muncul di tangan si raksasa"pedang besi
Stygian yang mirip kepunyaan Nico, hanya saja lima kali lebih besar. Aku tidak mengerti apa sebabnya
Gaea menganggap para demigod ini layak menjadi korban. Akan kuremukkan mereka seperti cangkang
kacang kosong. Rasa takut Hazel berubah menjadi kemurkaan. Dia menjerit. Dinding ruangan
menghasilkan bunyi berderak-derak seperti es dalam air hangat, lalu melesatlah lusinan batu berharga
ke arah sang raksasa, menumbuki baju tempurnya hingga tembus seperti peluru. Clytius terhuyunghuyung ke belakang. Suaranya yang tak bertubuh meraung kesakitan. Tameng dada besi yang dia
kenakan berlubang-lubang. Ichor keemasan menetes-netes dari luka di lengan kanannya. Tabir
kegelapannya menipis. Hazel bisa melihat ekspresi ingin membunuh di wajahnya. Kau, geram Clytius.
Dasar makhluk payah?"Payah?" tanya Hecate kalem. "Menurutku Hazel Levesque mahir
mempraktikkan sejumlah trik yang bahkan tidak bisa aku ajarkan kepadanya." Hazel berdiri di depan
teman-temannya, bertekad untuk melindungi mereka, tetapi energinya sudah terkuras. Pedang terasa
berat di tangannya, padahal dia belum lagi mengayunkan senjata tersebut. Hazel berharap Arion berada
di sini. Dia bisa memanfaatkan kecepatan dan kekuatan kuda itu. Sayangnya,
temannya si kuda takkan bisa membantu Hazel kali ini. Arion adalah makhluk penghuni lahan terbuka
luas, bukan dunia bawah tanah. Si raksasa menyodokkan jemari ke dalam luka di bisepsnya. Clytius
mencabut sebutir berlian dan menepiskannya ke samping. Luka pun menutup. Jadi, putri Pluto, gerung
Clytius, sungguhkah kau meyakini bahwa Hecate tulus memedulikan kepentinganmu" Circe sempat
menjadi kesayangannya. Begitu pula Medea. Pasiphae juga. Lihat nasib mereka pada akhirnya! Di
belakangnya, Hazel mendengar Annabeth bergerak sambil mengerang kesakitan. Percy menggumamkan
sesuatu yang kedengarannya seperti, "Bob-bob-bob?" Clytius melangkah maju sambil memegangi
pedangnya dengan santai di samping, seolah mereka adalah rekan alih-alih musuh. Hecate takkan
memberitahumu yang sebenarnya. Dia mengutus para pengikut seperti kau untuk melakukan
perintahnya dan menanggung seluruh risiko. Jika kau secara ajaib berhasil melumpuhkanku, baru saat
itulah dia akan mampu membakarku. Kemudian dia akan mengklaim bahwa dirinyalah yang telah
berjasa karena sudah membunuhku. Kau tentu mendengar cara Bacchus membereskan si kembar Alodai
di Koloseum. Hecate lebih parah. Dia adalah Titan yang mengkhianati bangsa Titan. Lalu dia
mengkhianati dewa-dewi. Apa kau benar-benar mengira bahwa dia akan teguh mendukungmu" Mimik
muka Hecate tak terbaca. "Aku tidak bisa menjawab tuduhannya, Hazel," kata sang dewi. "Ini adalah
persimpanganmu. Kau harus memilih." Ya, persimpangan. Tawa sang raksasa menggema. Luka-luka yang
dia derita sepertinya telah sembuh total. Hecate menawarimu ketidakjelasan, pilihan, janji-janji tak pasti
tentang sihir. Aku ini anti-Hecate. Aku akan memberimu kebenaran. Akan kuhapuskan
pilihan dan sihir. Akan kukelupas Kabut, sekali dan selamanya, dan akan kutunjukkan dunia beserta
seluruh kengeriannya kepadamu. Leo berdiri dengan susah payah sambil batuk-batuk seperti penderita
asma. "Alm suka sekali cowok ini," sengalnya. "Serius nih, kita harus merekrutnya untuk pembicara
seminar motivasi." Tangan Leo berkobar seperti mesin las. "Atau aku bisa menyulutnya saga.
"Leo, jangan," kata Hazel. "Kuil ayahku. Tanggung jawabku." "Iya, oke. Tapi?" "Hazel ...." Annabeth
tersengal. Hazel gembira sekali mendengar suara temannya sehingga dia hampir membalikkan badan,
tetapi dia tahu tidak boleh berpaling dari Clytius. "Rantai itu ...." kata Annabeth lirih. Hazel terkesiap.
Bodohnya dia! Pintu Ajal masih terbuka, berguncang-guncang tertahan rantai pengikatnya. Hazel harus
memotong rantai tersebut supaya Pintu Ajal menghilang"dan lepas dari jangkauan Gaea. Satu-satunya
persoalan: raksasa besar berasap yang berdiri menghalanginya. Kau tidak mungkin meyakini bahwa
dirimu memiliki kekuatan, cemooh Clytius. Apa yang akan kau perbuat, Hazel Levesque"menimpukku
dengan rubi lagi" Menghujaniku dengan safer" Hazel memberi raksasa itu jawaban. Dia mengangkat
spatha dan menyerang. Rupanya, Clytius tidak menduga Hazel bakal senekat itu. Dia lambat mengangkat
pedangnya. Pada saat dia menebas, Hazel sudah menunduk ke antara kedua tungkainya dan
menghunjamkan bilah emas Imperial ke gluteus maximus--alias otot pantat"sang raksasa. Bukan
gerakan yang pantas dilakukan oleh perempuan
baik-baik. Para biarawati di St. Agnes pasti tidak setuju. Tapi, manuver tersebut ampuh. Clytius meraung
dan melengkungkan punggungnya sambil terpincang-pincang menjauhi Hazel. Kabut masih berputarputar di sekeliling Hazel, mendesis tiap kali bersentuhan dengan asap hitam si raksasa. Hazel menyadari
bahwa Hecate memang membantunya"meminjami kekuatan untuk mempertahankan selubung
pelindung. Hazel juga tahu bahwa begitu konsentrasinya buyar dan kegelapan tersebut menyentuhnya,
dia bakal ambruk. jika itu terjadi, dia tidak yakin bahwa Hecate sanggup"atau bersedia--n-tencegah si
The Heroes Of Olympus 4 House Of Hades di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
raksasa menginjak-injak Hazel dan teman-temannya. Hazel berlari ke Pintu Ajal. Bilah pedangnya
menghancurkan rantai di sebelah kiri hingga berkeping-keping, seolah terbuat dari es. Dia menerjang ke
kanan, tetapi Clytius berteriak, TIDAK! Mujur bahwa Hazel tidak terbelah dua. Permukaan bilah pedang
si raksasa menghantam dada Hazel dan mengempaskannya hingga melayang. Hazel menabrak dinding
dan merasakan tulang-tulangnya retak. Di seberang ruangan, Leo menjeritkan nama Hazel. Lewat
penglihatannya yang samar, Hazel melihat sekelebatan api. Hecate berdiri di dekat sana, sosoknya
berdenyar seperti hendak terbuyarkan. Obor sang dewi tampaknya meredup, tetapi barangkali
penyebabnya cuma Hazel yang mulai kehilangan kesadaran. Dia tidak boleh menyerah sekarang. Dia
memaksa dire untuk bangun. Sisi tubuhnya serasa ditusuk-tusuk silet. Pedangnya tergolek di tanah
sekitar satu setengah meter dari sana. Hazel terseok-seok menghampiri pedangnya. "Clytius!" teriaknya.
Hazel bermaksud agar suaranya terdengar bagai tantangan nan berani, tetapi yang keluar hanyalah
suara parau belaka. Paling tidak, serum Hazel menarik perhatian Clytius. Raksasa itu berpaling dari Leo
dan yang lain. Ketika dia melihat Hazel maju sambil terpincang-pincang, dia tertawa. Percobaan yang
bagus, Hazel Levesque. Clytius mengakui. Kerjamu lebih bagus daripada yang kuperkirakan. Tapi sihir
semata tidak cukup untuk mengalahkanku, sedangkan kau tidak memiliki kekuatan memadai. Hecate
telah mengecewakanmu, sebagaimana dia mengecewakan semua pengikutnya pada akhirnya. Kabut di
sekeliling Hazel menipis. Di ujung lain ruangan, Leo berusaha menyuapkan ambrosia dengan paksa
kepada Percy, walaupun Percy masih tidak sadarkan diri. Annabeth telah terbangun tetapi tak berdaya,
nyaris tidak sanggup mengangkat kepalanya. Hecate masih berdiri sambil membawa obor,
memperhatikan dan menunggu"alhasil menyebabkan energi Hazel berkobar-kobar karena marah luar
biasa kepada dewi itu. Dia melemparkan pedangnya"bukan kepada sang raksasa, tapi ke Pintu Ajal.
Remuklah rantai di sebelah kanan. Hazel ambruk kesakitan, nisi tubuhnya nyeri, sementara Pintu
berguncang dan menghilang disertai kilatan cahaya ungu. Clytius meraung demikian keras sehingga
setengah lusin stela jatuh dari langit-langit dan pecah berantakan. "Itu untuk adikku, Nico," engah Hazel.
"Dan karena sudah menghancurkan altar ayahku." Kau telah membuang hakmu untuk mati dengan
cepat, geram si raksasa. Aku akan mencekikmu dalam kegelapan, pelan-pelan, secara menyakitkan.
Hecate tidak bisa menolongmu. TAK ADA yang bisa menolongmu!
Sang dewi mengangkat obornya. "Aku takkan seyakin itu, Clytius. Teman-teman Hazel hanya
membutuhkan sedikit waktu untuk menyusulnya"waktu yang kau berikan kepada mereka sementara
kau sibuk menyombong dan membanggakan diri." Clytius mendengus. Teman-teman apa" Orang-orang
lemah ini" Mereka bukan tantangan. Di depan Hazel, udara berdenyar. Kabut menebal, menciptakan
sebuah ambang pintu, dan keempat orang pun melangkah keluar. Hazel menangis lega. Lengan Frank
berdarah dan diperban, tetapi dia masih hidup. Di sebelahnya, berdirilah Nico, Piper, dan Jason"semua
menghunus pedang. "Maaf kami telat," kata Jason. "Apa ini raksasa yang perlu dibunuh?"[]
BAB TUJUH PULUH ENAM HAZEL HAZEL HAMPIR MERASA KASIHAN PADA Clytius. Mereka menyerangnya dari segala arah"Leo
menembakkan api ke tungkainya, Frank dan Piper menikam dadanya, Jason terbang ke udara dan
menendangi wajahnya. Hazel bangga melihat betapa Piper mengingat pelajaran berpedangnya dengan
baik. Tiap kali tabir asap sang raksasa terjulur untuk membalut salah satu dari mereka, Nico siap sedia,
menebas-nebas asap, menggasak kegelapan dengan pedang Stygian. Percy dan Annabeth sudah berdiri,
tampak lemah dan linglung, tetapi pedang mereka terhunus. Kapan Annabeth memperoleh pedang"
Satu lagi, pedang itu terbuat dari apa"gading" Mereka kelihatannya ingin membantu, tetapi tidak perlu.
Si raksasa sudah terkepung. Clytius menggeram, berputar bolak-balik seolah tidak bisa memutuskan
hendak membunuh siapa terlebih dahulu. Tunggu! Diam! TidakI Aduk Kegelapan di sekelilingnya telah
terbuyarkan, sang raksasa pun kini tidak terlindung apa-apa terkecuali baju tempur penyoknya.
Ichor mengucur dari selusin luka. Cedera yang dia alami langsung sembuh, hampir secepat timbulnya
luka baru, tetapi Hazel bisa melihat bahwa raksasa itu mulai kelelahan. Jason terbang lagi ke arah Clytius,
menendang dadanya, dan hancurlah tameng dada raksasa itu. Clytius terhuyung-huyung ke belakang.
Pedangnya terlepas ke lantai. Dia jatuh berlutut, dikelilingi para demigod. Baru saat itulah Hecate
melangkah ke depan, obornya terangkat. Kabut membelit si raksasa, mendesis dan menggelegak saat
menyentuh kulitnya. "Demikianlah akhirnya," kata Hecate. Ini belum berakhir. Suara Clytius bergema
dari atas, kabur dan teredam. Saudara-saudaraku telah bangkit. Gaea tinggal menunggu darah dari
Olympus. Untuk mengalahkan aku saja, kalian semua mesti bersatu padu. Apa yang akan kalian lakukan
ketika Ibu Bumi membuka matanya" Hecate membalikkan obornya ke bawah. Dia menghunjamkan obor
seperti belati ke kepala Clytius. Rambut sang raksasa terbakar lebih cepat daripada kayu kering, api
menjalar dari kepala ke sekujur tubuhnya hingga hawa panas api unggun menyebabkan Hazel berjengit.
Clytius tumbang tanpa bersuara, wajahnya tersungkur ke puing-puing altar Hades. Tubuhnya lamas
remuk menjadi debu. Selama beberapa saat, tiada yang bicara. Hazel mendengar suara tersengal-sengal
nyeri dan tersadar bahwa itu adalah napasnya sendiri. Sisi tubuhnya serasa baru dihajar balok
penggempur benteng. Dewi Hecate menghadap Hazel. "Kau sebaiknya pergi sekarang, Hazel Levesque.
Bimbing teman-temanmu keluar dari tempat ini."
Hazel mengertakkan gigi, berusaha menahan amarah. "Cuma begitu" Tidak ada `terima kasih'" Tidak ada
lerja bagus'?" Sang dewi menelengkan kepada. Gale si cerpelai mencicit"mungkin mengucap selamat
tinggal, mungkin mewanti-wanti"dan menghilang dalam lipatan rok majikannya. "Kau mencari ucapan
terima kasih di tempat yang salah," kata Hecate. "Mengenai lerja bagus', kita lihat saja nanti.
Bergegaslah ke Athena. Clytius tidak keliru. Para raksasa telah bangkit"mereka semua lebih kuat
daripada sebelumnya. Gaea sudah hampir terbangun. Hari Raya Harapan takkan mendatangkan harapan
apabila kalian gagal mencegah kebangkitan Gaea." Ruangan tersebut bergemuruh. Stela lagi-lagi jatuh
dan pecah berantakan di lantai. "Gerha Hades tidak stabil," ujar Hecate. "Pergilah sekarang. Kita akan
bertemu lagi." Lenyaplah sang dewi. Kabut menguap. "Dia ramah, ya," gerutu Percy. Yang lain menoleh
kepada Percy dan Annabeth, seakan baru menyadari bahwa mereka berada di sana. "Sobat." Jason
memeluk Percy erat-erat. "Pulang dari Tartarus!" sorak Leo. "Kahan memang keren!" Piper mendekap
Annabeth sambil menangis. Frank lari menghampiri Hazel. Dipeluknya Hazel dengan lembut. "Kau
terluka," katanya. "Igaku barangkali patah." Hazel mengakui. "Tapi Frank"lenganmu kenapa?" Frank
tersenyum kecil. "Ceritanya panjang. Kita masih hidup. Itu yang penting." Saking girangnya Hazel karena
merasa lega, baru beberapa saat berselang dia menyadari kehadiran Nico, yang berdiri sendirian dengan
ekspresi pedih dan bimbang.
"Hei." Hazel memanggil Nico, melambai dengan lengannya yang tidak sakit. Nico ragu-ragu, kemudian
mendekat dan mengecup kening Hazel. "Aku bersyukur kau baik-baik saja," katanya. "Hantu-hantu itu
benar. Hanya satu dari kita yang sampai ke hadapan Pintu Ajal. Kau ... kau pasti akan membuat Ayah
bangga." Hazel tersenyum sambil memegangi wajah Nico. "Kita takkan bisa mengalahkan Clytius
tanpamu." Dia mengusapkan jempol ke bawah mata Nico dan bertanya-tanya apakah saudaranya itu
baru menangis. Hazel ingin sekali memahami apa yang dialami Nico"apa yang telah menimpanya
selama beberapa minggu terakhir. Setelah semua yang sudah mereka lalui, Hazel amat bersyukur karena
memiliki seorang saudara. Sebelum Hazel sempat mengatakan itu, langit-langit berguncang. Retakan
muncul di genting yang tersisa. Kepulan debu jatuh. "Kita harus keluar dari sini," ujar Jason. "Ehmm,
Frank ... ?" Frank menggeleng. "Menurutku, aku hanya sanggup minta tolong satu kali dari orang-orang
mati hari ini." "Tunggu, apa?" tanya Hazel. Piper mengangkat alis. "Pacarmu yang mencengangkan ini
minta bantuan sebagai anak Mars. Dia memanggil roh-roh pendekar yang sudah mati, menyuruh
mereka membimbing kami ke sini melalui ehmm, aku tidak tahu melalui apa tepatnya. Jalan orang mati"
Aku cuma tahu bahwa tempat itu amat sangat gelap." Di kiri mereka, sebagian dinding runtuh. Dua mata
rubi copot dari kerangka batu dan menggelinding di lantai. "Kita harus menempuh perjalanan
bayangan," kata Hazel.
Nico berjengit. menempuh perjalanan seorang diri saja sudah sukar. Kalau harus membawa tujuh orang
lagi?" "Akan kubantu kau." Hazel berusaha supaya terkesan percaya diri. Dia tidak pernah menempuh
perjalanan bayangan sebelumnya, tidak tahu apakah dia bisa; tetapi setelah mampu memanipulasi
Kabut, mengubah Labirin"Hazel harus yakin bahwa dia juga bisa menempuh perjalanan bayangan.
Sekumpulan genting terancam lepas dari langit-langit. "Semuanya, bergandengan!" teriak Nico. Mereka
buru-buru berdiri melingkar. Hazel membayangkar pedesaan di atas mereka. Gua pun runtuh dan Hazel
merasakar dirinya tersamar menjadi bayang-bayang.
Mereka muncul di lereng yang menghadap Sungai Acheron. Matahari baru terbit, membuat air
gemerlapan dan awan berpendai jingga. Udara pagi nan sejuk beraroma bunga. Hazel bergandengan
dengan Frank di kirinya, Nico di kanannya. Mereka semua masih hidup dan secara umum masa', utuh.
Sinar mentari yang menerpa pepohonan adalah hal terindah yang pernah Hazel saksikan. Dia ingin
menikmati momen tersebut"bebas dari monster dan dewa-dewi serta roh jahat. Kemudian temantemannya mulai bergerak. Nico menyadari bahwa dia menggandeng Percy dan cepat-cepat melepaskan
genggaman. Leo terhuyung-huyung ke belakang. "Kahan tahu aku ingin duduk dulu." Dia pun
menggelepar. Yang lain ikut serta. Argo II masih terapung di atas sungai, beberapa ratus meter dari sana.
Hazel tahu mereka harus memberi isyarat kepada Pak Pelatih Hedge dan memberitahunya bahwa
mereka masih hidup. Apakah mereka sudah di kuil semalaman" Atau beberapa malam" Tetapi pada
saat itu, kelompok tersebut terlalu letih sehingga tidak sanggup melakukan apa-apa terkecuali duduk
dan beristirahat serta bersyukur bahwa mereka baik-baik saja. Mereka lantas bertukar cerita. Frank
menjabarkan pertempuran mereka dengan pasukan monster, yang dibantu legiun hantu"aksi Nico
dalam menggunakan tongkat Diocletian serta betapa Jason dan Piper telah bertarung dengan berani.
"Frank merendah," kata Jason. "Dia mengontrol legiun secara keseluruhan. Kahan seharusnya
melihatnya. Oh iya, omong-omong ...." Jason melirik Percy. "Aku mengundurkan diri dari jabatanku dan
mempromosikan Frank sebagai praetor. Kecuali kau ingin menyatakan keberatan atas keputusan itu."
Percy menyeringai. "Aku tidak akan protes." "Praetor?" Hazel menatap Frank. Frank mengangkat bahu,
kelihatannya tidak nyaman. "Iya begitulah. Aku tahu kesannya aneh." Hazel hendak memeluk Frank,
kemudian berjengit saat teringat bahwa iganya patah. Dia akhirnya mengecup Frank saja. "Kesannya pas
sekali." Leo menepuk bahu Frank. "Selamat, Zhang. Sekarang kau bisa memerintahkan Octavian untuk
menikam dirinya sendiri dengan pedang." "Usulan yang menggoda." Frank sepakat. Dia menoleh ke arah
Percy dengan segan. "Tapi, kalian berdua sudah mengarungi Tartarus ... itu baru namanya cerita
sungguhan. Apa yang terjadi di bawah sana" Bagaimana sampai kalian ...?" Percy menggapai jernari
Annabeth. Hazel kebetulan melirik Nico dan melihat kepedihan di matanya. Hazel tidak yakin benar,
tetapi mungkin Nico sedang
berpikir betapa beruntungnya Percy dan Annabeth karena memiliki satu sama lain. Nico harus
mengarungi Tartarus seorang diri. "Akan kami ceritakan, kapan-kapan," janji Percy. "Tapi jangan
sekarang, ya" Aku tidak siap untuk mengingat-ingat tempat itu." "Betul." Annabeth setuju. "Saat ini ...."
Dia menerawang ke sungai dan terbata. "Eh, sepertinya kendaraan kita datang." Hazel menoleh. Argo II
menikung ke kiri, dayung udaranya bergerak, layarnya menangkap angin. Kepala Festus berkilau diterpa
cahaya matahari. Dari kejauhan sekalipun, Hazel bisa mendengarnya berderak dan berdentang-dentang
kegirangan. "Anak pintar!" teriak Leo. Saat kapal tersebut semakin dekat, Hazel melihat Pak Pelatih
Hedge berdiri di haluan. "Sudah waktunyar bentak sang pelatih. Dia berusaha sebisanya untuk merengut,
tetapi matanya berbinar-binar, seakan"cuma seakan-akan"dia gembira melihat mereka. "Kenapa
kalian lama sekali, Bocah-Bocah Lembek" Tamu kalian sudah menunggu." "Tamu?" gumam Hazel. Di
balik pagar, di samping Pak Pelatih Hedge, muncullah seorang gadis berambut gelap yang mengenakan
jubah ungu, wajahnya berlumur jelaga dan luka gores berdarah sehingga Hazel nyaris tidak
mengenalinya. Reyna telah tiba.[]
BAB TUJUH PULUH TUJUH PERCY PERCY MENATAP ATHENA PARTHENOS, MENUNGGU patung itu menebasnya. Sistem katrol baru buatan
Leo telah menurunkan patung tersebut ke sisi bukit dengan teramat mudah. Kini patung dewi setinggi
dua belas meter dengan kalem memandangi Sungai Acheron, gaun emasnya yang disorot cahaya
matahari mirip logam cair.
"Luar biasa." Reyna mengakui. Matanya masih merah sehabis menangis. Segera setelah dia mendarat di
Argo II, pegasusnya, Scipio, ambruk, takluk karena cakaran beracun selepas diserang gryphon semalam
sebelumnya. Reyna membebaskan kuda itu dari derita dengan pisau keemasannya, mengubah pegasus
menjadi debu yang berhamburan ke udara Yunani nan harum. Mungkin bukan akhir riwayat yang jelek
bagi seekor kuda terbang, tetapi Reyna telah kehilangan kawan setia. Percy menduga Reyna sudah
terlalu sering berkorban dalam hidupnya.
Sang praetor mengitari Athena Parthenos dengan waswas. "Kelihatannya seperti baru dibuat." "Iya,"
tukas Leo. "Kami singkirkan sarang laba-laba yang melapisinya, menggunakan sedikit cairan pembersih.
Tidak sulit kok." Argo II melayang di udara, tidak jauh dari permukaan tanah. Sementara Festus
menjalankan radar untuk mengawasi kalau-kalau muncul ancaman, seluruh awak memutuskan untuk
makan siang di bukit sambil membahas hendak melakukan apa. Setelah kejadian yang mereka lalui
beberapa pekan terakhir, Percy merasa mereka berhak makan enak bersama-sama"pokoknya apa saja
yang bukan air api atau sup daging drakon "Hei, Reyna," panggil Annabeth. "Sini. Makanlah bersama
kami." Sang praetor melirik, alisnya yang berwana gelap dikerutkan, seakan makanlah bersama kami
tidak masuk akal. Percy tidak pernah melihat Reyna tanpa baju tempur sebelumnya. Baju tempur Reyna
ditinggal di kapal, sedang diperbaiki oleh Buford si Meja Ajaib. Gadis itu mengenakan celana jin serta
kaus ungu Perkemahan Jupiter dan hampir menyerupai remaja biasa"hanya saja menyandang pilau di
sabuk dan menampakkan ekspresi waspada, seolah siap menghadang serangan dari arah mana saja.
"Baiklah." Reyna akhirnya berkata. Mereka beringsut supaya Reyna mendapat ruang untuk duduk di
lingkaran. Dia bersila di samping Annabeth, mengambil roti isi keju, kemudian menggigiti pinggiran roti
tersebut. kata Reyna. "Frank Zhang ... praetor." Frank menggeliut sambil membersihkan remah-remah
dari dagunya. "Iya. Kenaikan pangkat darurat." "Untuk memimpin legiun yang lain," komentar Reyna.
"Legiun hantu."
Hazel merangkul Frank dengan protektif. Sesudah sejam di ruang kesehatan, mereka berdua kelihatan
jauh lebih balk; tetapi Percy bisa melihat bahwa mereka tidak tahu harus seperti apa menyikapi
kedatangan bos lama mereka dari Perkemahan Jupiter untuk makan siang. "Reyna," kata Jason, "coba
kau melihatnya." "Frank luar biasa." Piper sepakat. "Frank seorang pemimpin." Hazel bersikeras. "Dia
mampu menjadi praetor yang hebat." Mata Reyna terpaku pada Frank, seperti sedang mencoba
menimbang-nimbang kekuatannya. "Aku percaya kepada kalian," ujarnya. "Aku setuju." Frank
mengerjapkan mata. "Sungguh?" Reyna tersenyum macam. "Putra Mars, pahlawan yang membantu
mengembalikan elang legiun aku bisa bekerja sama dengan demigod macam itu. Aku cuma sedang
memikirkan bagaimana caranya meyakinkan Legiun XII Fulminata." Frank merengut. "Iya. Aku juga
memikirkan hal yang sama." Percy masih tidak bisa mencerna drastisnya perubahan Frank. "Percepatan
pertumbuhan" bukanlah istilah yang pas. Dia setidaknya tujuh setengah sentimeter lebih tinggi, kurang
montok, dan lebih berotot, seperti pemain futbol. Wajahnya tampak lebih gagah, tulang rahangnya lebih
menonjol. Kesannya seolah Frank sempat berubah menjadi banteng, kemudian kembali lagi menjadi
manusia, tetapi masih mempertahankan sejumlah ciri banteng. "Legiun pasti mau mendengarkanmu,
Reyna," ujar Frank. "Kau berhasil sampai di sini, seorang diri, menyeberangi Negeri Kuno." Reyna
mengunyah roti isi dengan susah payah, seperti mengunyah kardus. "Perbuatanku itu justru melanggar
hukum legiun." "Caesar melanggar hukum sewaktu menyeberangi Sungai Rubicon," kata Frank. "Pemimpin hebat
terkadang harus berpikir di luar kelaziman." Reyna menggelengkan kepala. "Aku bukan Caesar. Setelah
menemukan surat Jason di Istana Diocletian, melacak kalian mudah saja. Aku melakukan itu sematamata karena kupikir memang perlu." Percy mau tak mau tersenyum. "Reyna, kau terlalu rendah hati.
Terbang ke belahan dunia lain seorang diri untuk menanggapi permohonan Annabeth karena kau tahu
dengan cara itulah kedamaian bisa dicapai" Itu heroik namanya." Reyna mengangkat bahu. "Kata
demigod yang terperosok ke dalam Tartarus dan keluar dari sana dengan selamat." "Dia dibantu," tukas
Annabeth. "Oh, jelas," ujar Reyna. "Tanpa kau, aku ragu Percy bisa keluar dengan selamat dari dalam
kantong kertas." "Benar." Annabeth sepakat. "Heir protes Percy. Yang lain mulai tertawa, tetapi Percy
tidak keberatan. Rasanya menyenangkan melihat mereka tersenyum. Bahkan kembali ke dunia fana saja
sudah menyenangkan, begitu pula menghirup udara yang tidak beracun, menikmati sinar matahari di
punggungnya. Tiba-tiba Percy teringat pada Bob. Sampaikan salamku kepada matahari dan bintangbintang. Pupuslah senyum Percy. Bob dan Damasen telah mengorbankan nyawa supaya Percy dan
Annabeth bisa duduk di sini sekarang, menikmati sinar matahari dan tertawa-tawa bersama temanteman. Ini tidak adil. Leo mengambil sebuah obeng dari sabuk perkakasnya. Dia menikam sebutir
stroberi berlumur cokelat dan mengoperkan buah tersebut kepada Pak Pelatih Hedge. Kemudian dia
mengambil sebuah obeng lagi dan menyula stroberi kedua untuk dia makan sendiri. "Jadi, pertanyaannya adalah,"
tukas Leo, "akan kita apakan patung Athena bekas setinggi dua belas meter itu?" Reyna memicingkan
mata ke arah Athena Parthenos. "Meskipun patung itu kelihatan bagus di atas bukit, aku tidak datang
jauh-jauh ke sini untuk mengaguminya. Menurut Annabeth, patung itu harus dikembalikan ke
Perkemahan Blasteran oleh pemimpin Romawi. Benarkah yang kupahami?" Annabeth mengangguk.
"Aku bermimpi di ... ehmm, di Tartarus. Aku berada di Bukit Blasteran, kemudian suara Athena berkata,
Aku harus berdiri di sini. Si orang Romawi harus membawakanku." Percy mengamat-amati patung
tersebut dengan resah. Hubungannya dengan ibu Annabeth tidak terlalu harmonic. Dia membayangkan
Patung Mama Besar bakal menjadi hidup dan mencerca Percy karena sudah menjerumuskan putrinya
dalam banyak sekali masalah"atau mungkin menginjak Percy tanpa babibu. "Masuk akal juga," kata
Nico. Percy berjengit. Kesannya Nico baru membaca pikiran Percy dan setuju bahwa Athena harus
menginjaknya. Putra Hades duduk di seberang lingkaran dari Percy, tidak makan apa-apa kecuali
setengah delima, buah Dunia Bawah. Percy bertanya-tanya apakah Nico bermaksud melucu. "Patung itu
adalah simbol yang berarti penting," kata Nico. "Apabila seorang Romawi mengembalikannya kepada
bangsa Yunani tindakan itu bisa menyembuhkan perpecahan historis, mungkin bahkan menyembuhkan
pecahnya kepribadian dewa-dewi."
Pak Pelatih Hedge menelan stroberi berikut setengah obeng. "Sebentar, tunggu dulu. Aku menyukai
perdamaian sama seperti satir-satir lain?" "Bapak benci perdamaian," timpal Leo. "Intinya adalah,
Valdez, jarak kita tinggal"berapa, beberapa hari perjalanan dari Athena" Sepasukan raksasa sudah
menanti kita di sang. Kita sudah bersusah payah menyelamatkan patung ini?" "Aku yang paling
bersusah payah." Annabeth mengingatkannya. ?"karena ramalan itu menyebutnyape/aknat raksasa,"
lanjut sang pelatih. "Jadi, kenapa kita tidak membawa serta patung itu ke Athena" Patung tersebut jelas
merupakan senjata rahasia kita." Dipandanginya Athena Parthenos. "Di mataku kelihatannya seperti
peluru kendali balistik. Mungkin kalau Valdez memasanginya mesin?" Piper berdeham. "Wah, ide bagus,
Pak Pelatih, tapi banyak dari kita yang bermimpi dan mendapat visi kebangkitan Gaea di Perkemahan
Blasteran ...." Piper mencabut belati Katoptris-nya dan meletakkannya di piring. Pada saat itu, belati
tersebut tidak menampakkan apa-apa selain langit, tetapi melihatnya tetap saja membuat Percy tidak
nyaman. "Sejak kita kembali ke kapal," kata Piper, "aku melihat hal-hal buruk di pisau ini. Legiun Romawi
sudah dekat dengan Perkemahan Blasteran, hampir mencapai jarak yang memungkinkan mereka untuk
melancarkan serangan. Mereka sedang mengerahkan bala bantuan: roh-roh, elang, serigala."
"Octavian," geram Reyna. "Aku menyuruh dia menunggu." "Ketika kita mengambil alih komando," usul
Frank, "prioritas pertama adalah memasangkan Octavian ke katapel terdekat dan melemparkannya
sejauh mungkin." "Setuju," ujar Reyna. "Tapi untuk saat ini?"
"Dia berniat menyulut perang," timpal Annabeth. "Dia akan mendapatkan perang, kecuali kita
menghentikannya." Piper membalikkan bilah pisau. "Sayangnya, itu bukan yang terburuk. Aku melihat
citra masa depan yang mungkin terjadi"perkemahan yang terbakar, demigod Romawi dan Yunani yang
tergolek mati. Dan Gaea ...." Suaranya menghilang. Percy teringat Dewa Tartarus dalam bentuk fisiknya,
menjulang tinggi di hadapan Percy. Dia tidak pernah merasa begitu ngeri dan tanpa daya. Dia masih
malu saat mengingat betapa pedangnya tergelincir lepas dari tangannya. Ini sama sia-sianya seperti
berusaha membunuh bumi. Jika Gaea seperkasa itu dan didampingi oleh bala bantuan berupa
sepasukan raksasa, Percy merasa tidak mungkin tujuh demigod mampu menghentikan sang dewi,
terutama saat sebagian besar dewa tengah terpuruk. Mereka harus menghentikan para raksasa sebelum
Gaea terbangun karena jika tidak, sekian sudah. Andai Athena Parthenos adalah senjata rahasia,
membawanya ke Athena adalah opsi yang cukup menggoda. Percy malah menyukai ide sang pelatih
untuk menggunakan patung tersebut sebagai peluru kendali guna menghancurkan Gaea dalam ledakan
awan jamur nuklir dewata. Sayangnya, insting Percy mengatakan bahwa Annabeth benar. Patung
tersebut semestinya dikembalikan ke Long Island, tempatnya berpeluang menghentikan pecahnya
peperangan antara kedua kubu. "Jadi, Reyna akan membawa patung itu," kata Percy. "Sedangkan kita
melanjutkan perjalanan ke Athena." Leo mengangkat bahu. "Aku setuju-setuju saja. Tapi, eh, ada
beberapa persoalan logistik. Waktu kita tinggal berapa"dua minggu sebelum hari raya Romawi ketika
Gaea ceritanya bakal bangkit?"
The Heroes Of Olympus 4 House Of Hades di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hari Raya Spes," kata Jason. "Jatuhnya tanggal 1 Agust Sekarang tanggal?" "18 Juli," jawab Frank. "Iya,
betul, tepat empat belas dihitung dari besok."
Hazel meringis. "Kita butuh waktu delapan belas hari untuk menempuh perjalanan dari Roma ke sini"
perjalanan yang semestinya hanya memakan waktu maksimal dua atau tiga hat "Jadi, memperhitungkan
bahwa kita biasanya sial," kata Leo, "mungkin kita punya cukup waktu untuk melayarkan Argo II ke
Athena, menemukan para raksasa, dan mencegah mereka membangunkan Gaea. Mungkin. Tapi,
bagaimana caranya Reyna membawa patung mahabesar ini ke Perkemahan Blasteran sebek m bangsa
Yunani dan Romawi sating bunuh" Dia bahkan tidak punya pegasus lagi. Eh, maaf?" "Tidak apa-apa,"
bentak Reyna. Dia barangkali memang memperlakukan mereka sebagai sekutu alih-alih musuh, ten' pi
Percy bisa melihat bahwa Reyna masih jengkel kepada Leo, mungkin karena dia telah meledakkan
setengah Forum di Roma Baru hingga berkeping-keping. Reyna menarik napas dalam-dalam. "Sayangnya,
Leo benar. Aku tidak tahu caranya mengangkut sesuatu sebesar itu. Aku berasumsi"maksudku
berharap, semoga kalian semua punya jawabannya." "Labirin," ujar Hazel. "Aku"maksudku, jika
Pasiphae sungguh telah membuka Labirin, dan menurutku memang sudah ...." Dia memandangi Percy
dengan waswas. "Kau pernah mengatakan bahwa Labirin bisa mengantar kita ke mana raja. Jadi,
barangkali?" "Tidak." Percy dan Annabeth berbicara berbarengan. "Aku tidak ingin mematahkan
semangatmu, Hazel," kata Percy. "Masalahnya ...."
Dia berjuang mencari-cari kata yang tepat. Bagaimana caranya menjabarkan Labirin kepada seseorang
yang belum pernah menjelajahi tempat itu" Daedalus menciptakan Labirin untuk menjadi jejaring hidup
yang terus berkembang. Sepanjang berabad-abad, Labirin telah bercabang-cabang bagaikan akar pohon
di bawah seluruh permukaan bumi. Memang, Labirin bisa membawa kita ke mana saja. Jarak tidaklah
berarti di dalamnya. Kita bisa saja memasuki labirin dari New York di Pesisir Timur Amerika Serikat,
berjalan tiga meter, lantas keluar dari labirin di Los Angeles di Pesisir Barat"tetapi hanya jika kita
memiliki metode andal untuk menentukan arah di dalamnya. Jika tidak, Labirin akan mengelabui dan
berusaha membunuh kita di setiap kelokannya. Ketika jejaring terowongan ambruk sesudah Daedalus
meninggal, Percy merasa lega. Membayangkan bahwa labirin tersebut beregenerasi sendiri, lagi-lagi
menyebar luas di dalam bumi dan menyediakan ruang lapang baru untuk tempat tanggal para monster ...
Percy tidak gembira dibuatnya. Sudah cukup banyak masalah yang mesti dia hadapi. "Salah satunya,"
kata Percy, "lorong-lorong dalam Labirin terlalu kecil untuk dilewati Athena Parthenos. Tidak mungkin
patung itu muat di bawah sana?" "Dan kalaupun labirin memang terbuka kembali," lanjut Annabeth,
"kita tidak tahu keadaannya sekarang. Dahulu saja Labirin sudah berbahaya, ketika masih dikendalikan
oleh Daedalus, padahal dia tidak jahat. Jika Pasiphae membuat ulang Labirin sesuai keinginannya ...."
Annabeth menggeleng. "Hazel, mungkin indra bawah tanahmu bisa memandu Reyna melewati Labirin,
tapi orang lain mustahil bisa melewatinya dengan selamat. Selain itu, kami membutuhkanmu di sini. Lagi
pula, jika kau tersesat di bawah sana?" "Kau benar," kata Hazel murung. "Lupakan saja."
Reyna melempar pandang berkeliling ke seluruh anggota rombongan. 'Ada ide lain?" "Aku bisa pergi."
Frank mengajukan diri, kedengarannya tidak terlalu senang. "Kalau benar aku sudah menjadi praetor,
aku harus pergi. Mungkin kita bisa membuat semacam kereta luncur atau?" "Tidak, Frank Zhang."
Reyna tersenyum lesu kepada pemuda itu. "Kuharap kita bisa bekerja berdampingan di masa mendatang,
tapi untuk saat ini, tempatmu adalah bersama kru kapal. Kau termasuk satu dari tujuh orang yang
disebut-sebut dalam ramalan." "Aku tidak termasuk," ujar Nico. Semua orang berhenti makan. Percy
menatap Nico di seberang lingkaran, berusaha menerka apakah dia bercanda atau serius. Hazel
meletakkan garpunya. "Nico?" "Aku akan ikut dengan Reyna," katanya. "Aku bisa mengantar patung
dengan perjalanan bayangan." "Ehmm ...." Percy angkat tangan. "Maksudku, aku tahu kau baru
mengantarkan kita berdelapan ke permukaan tanah dan itu memang keren. Tapi, setahun lalu, kau
bilang menempuh perjalanan bayangan sendiri sekalipun sudah berbahaya dan sukar diprediksi. Kau
bahkan sempat terdampar di China beberapa kali. Mengantar patung setinggi dua belas meter dan dua
orang lain menyeberangi muka bumi?" "Aku sudah berubah sejak kembali dari Tartarus." Mata Nico
berkilat-kilat marah"lebih menggebu daripada yang Percy pahami. Dia bertanya-tanya apakah ada
perbuatannya yang telah menyebabkan temannya itu tersinggung. "Nico." Jason mengintervensi, "kami
bukannya mempertanya-kan kesaktianmu. Kami semata-mata tidak ingin kau mati karena memaksakan
did." "Aku pasti bisa." Nico bersikeras. "Aku akan melompat pendek-pendek saja"beberapa mil sekali
waktu. Memang benar, tiap kali melompat, sesudahnya staminaku bakal terkuras sehingga mustahil menghalau monster. Aku
akan membutuhkan Reyna untuk melindungiku dan patung itu." Reyna pandai mengatur ekspresinya
sehingga tetap datar. Dia mengamati rombongan tersebut, menelaah wajah mereka satu-satu, tetapi
tidak menunjukkan pemikirannya sendiri. 'Ada yang keberatan?" Tak seorang pun angkat bicara.
"Baiklah," ujar Reyna tugas seperti hakim. Jika Reyna punya palu, Percy curiga gadis itu bakal
mengetuknya. "Menurutku tidak ada opsi lain yang lebih bagus. Tapi, serangan monster pasti bakalan
sering. Aku akan merasa lebih tenang jika kami berangkat bertiga. Tiga adalah jumlah anggota optimal
untuk suatu misi." "Pak Pelatih Hedge," sembur Frank. Percy menatapnya sambil bengong, tidak yakin
dirinya tak salah dengar. "Eh, apa, Frank?" "Pak Pelatih adalah pilihan terbaik," kata Frank. "Satusatunya pilihan. Dia petarung yang baik. Dia pelindung berkompetensi resmi. Dia pasti bisa menuntaskan
tugas tersebut." "Seekor faun," tukas Reyna. "Satin!" sergah sang pelatih. "Benar, biar aku saja yang
pergi. Lagi pula, sesampainya kalian di Perkemahan Blasteran, kalian butuh orang yang punya koneksi
dan kemampuan diplomatic untuk mencegah bangsa Yunani menyerang kalian. Asalkan kalian izinkan
saja aku menghubungi"eh, maksudku, mengambil tongkat bisbolku dulu." Dia bangun dan
melemparkan ekspresi penuh arti kepada Frank yang tidak bisa Percy tangkap maknanya. Meskipun satir
itu baru saja mengajukan did untuk ikut serta dalam misi bunuh did, sang pelatih kelihatannya bersyukur.
Dia berlari-lari menuju tangga kapal, berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil kesenangan.
Nico berdiri. "Aku sebaiknya pamit juga, sekalian beristirahat sebelum berangkat. Sampai ketemu di
dekat patung saat matal ari terbenam." Begitu Nico pergi, Hazel mengerutkan kening. "Sikapn a aneh.
Aku tidak yakin dia sudah berpikir masak-masak." "Dia pasti akan baik-baik saja," ujar Jason. "Aku
berharap kau benar." Hazel menyapukan tangan ke atas tanah. Berlian pun menyembul keluar"
bebatuan keruh yang gemerlapan. "Kita lagi-lagi menemui persimpangan. Athena Parthenos ke barat.
Argo II ke timur. Kuharap pilihan kita benar. Percy berharap dia bisa mengatakan sesuatu yang memk
bangkitkan semangat, tetapi dia merasa gelisah. Meskipun mer, telah berhasil melalui banyak cobaan
dan memenangi demik banyak pertempuran, mereka tidak kunjung mengalahkan ea, Memang, mereka
sudah membebaskan Thanatos. Mereka sudah' menutup Pintu Ajal. Paling tidak, sekarang monstermonster mereka bunuh akan tetap mengeram di Tartarus untuk sement ra. Tetapi, para raksasa sudah
kembali"semuanya. "Satu hal yang menggangguku," katanya. "Kalau Hari Raya Spes tinggal dua minggu
lagi, sedangkan Gaea membutuhl an darah dua demigod untuk membangunkannya"apa kata Clytius"
Darah Olympus?"bukankah dengan ke Athena, yang kita lakukan justru persis seperti yang Gaea
inginkan" Kalau kita tidak ke sana, sedangkan dia tidak bisa menjadikan seorang pun dari kita sebagai
korban, bukankah artinya Gaea takkan bisa terbang un sepenuhnya?" Annabeth menggamit tangan
Percy. Dia menikmati penampilan Annabeth sekarang, setelah mereka kembali ke dunia fana, tanpa
Kabut Ajal. Rambut pirang Annabeth tampak inc ah berkilauan, diterpa sinar matahari"sekalipun dia
masih kurus dan lesu, sama seperti Percy, sedangkan mata kelabu gadis itu keruh karena galau. "Percy,
kita tidak bisa lari dari masa depan," kata Annabeth. "Jika kita tidak ke Athena, kita mungkin akan
kehilangan kesempatan untuk menghentikan Gaea. Athena adalah medan pertempuran kita. Kita tidak
bisa menghindarinya. Lagi pula, sia-sia saja berusaha mematahkan ramalan. Gaea bisa menangkap kita
di tempat lain atau menumpahkan darah demigod lain." "Iya, kau benar," ujar Percy. "Aku tidak
menyukai perkataanmu, tapi kau benar." Suasana hati kelompok tersebut mendadak menjadi kelam
seperti udara Tartarus, sampai Piper memecahkan ketegangan. "Nah!" Dia menyarungkan pisau dan
menepuk-nepuk kornukopianya. "Piknik yang menyenangkan. Siapa yang mau makanan penutup?"[]
BAB TUJUH PULUH DELAPAN PERCY SAAT MATAHARI TERBENAM, PERCY MENDAPATI Nico sedang mengikat tali-temali mengelilingi
landasan Athena Parthenos. "Terima kasih," kata Percy. Nico mengerutkan kening. "Untuk apa?" "Kau
berjanji memandu yang lain ke Gerha Hades," ujar Percy. "Kau menepati janjimu." Nico menyatukan
ujung-ujung tali untuk membentuk penyangga. "Kau mengeluarkanku dari jambangan perunggu di Roma.
Lagi-lagi menyelamatkan nyawaku. Minimal itu yang mesti kulakukan." Suaranya tegas dan berhati-hati.
Percy berharap dia bisa membaca pikiran cowok ini, tapi sayangnya tidak. Nico bukan lagi anak culun
dari Westhover Hall yang suka mengoleksi kartu Mythomagic. Dia juga bukan lagi si penyendiri nan
pemarah yang membuntuti hantu Minos menyusuri Labirin. Tapi, siapakah Nico" "Selain itu," kata Percy,
"kau menengok Bob ...." Dia menceritakan perjalanan mereka di Tartarus kepada Nico. Dia menduga jika
ada yang bisa memahami pengalaman
tersebut, Nico-lah orangnya. "Kau meyakinkan Bob bahwa aku bisa dipercaya, walaupun aku tidak
pernah menengoknya. Aku bahkan tidak pernah mengingat-ingatnya. Kau barangkali telah
menyelamatkan nyawa kami berkat kebaikanmu padanya." "Benar juga," ujar Nico, "tidak mengingatingat orang lain ... itu bisa berbahaya." "Sobat, aku sedang berusaha berterima kasih padamu." Nico
tertawa sinis. "Aku sedang berusaha menyampaikan bahwa kau tidak perlu mengucapkan terima kasih.
Sekarang, aku harus menyelesaikan ini. Bisa beri aku ruang, tidak?" "Iya. Iya, oke." Percy mundur
sementara Nico mengencangkan tali-temalinya. Dia menyangkutkan tali ke bahu, seolah Athena
Parthenos adalah ransel raksasa. Percy mau tak mau merasa agak terluka karena diusir oleh Nico. Tetapi,
tentu saja, Nico sendiri sudah melalui banyak cobaan. Cowok itu berhasil mengarungi Tartarus dengan
selamat seorang diri. Percy memahami dari pengalaman pribadinya bahwa yang demikian pastilah
menguras kekuatan teramat besar. Annabeth mendaki bukit untuk bergabung dengan mereka. Dia
menggandeng tangan Percy, membuat Percy merasa lebih baik. "Semoga berhasil," kata Annabeth
kepada Nico. "Iya." Dia menolak bertemu pandang dengan gadis itu. "Kau j uga." Semenit berselang,
Reyna dan Pak Pelatih Hedge tiba dengan pakaian tempur lengkap dan menyandang tas di bahu. Reyna
kelihatan serius dan siap bertempur. Pak Pelatih Hedge cengar-cengir seperti sedang mengharapkan
pesta kejutan. Reyna memeluk Annabeth. "Kami pasti berhasil." Dia berjanji. "Aku tahu kalian pasti
bisa," ujar Annabeth. Pak Pelatih Hedge menyandarkan tongkat bisbolnya ke pundak. "Iya, jangan
khawatir. Aku akan sampai ke perkemahan
dan bertemu sayangku! Eh, maksudku, akan kuantarkan patung tersayang ini sampai ke perkemahan!"
Dia menepuk-nepuk tungkai Athena Parthenos. "Baildah," kata Nico. "Tolong pegang talinya. Ayo
berangkat." Reyna dan Hedge berpegangan. Udara menggelap. Athena Parthenos melesak ke dalam
bayangannya sendiri dan menghilang, beserta ketiga pengawalnya.
Argo II berlayar selepas senja. Mereka menikung ke barat daya sampai tiba di pesisir, kemudian
menyebur ke Laut Ionia. Percy lega karena kembali merasakan ombak di bawahnya. Perjalanan ke
Athena lewat darat akan memakan waktu lebih singkat, tetapi setelah pengalaman awak kapal
menghadapi roh-roh pegunungan di Italia, mereka memutuskan untuk tidak terbang melintasi wilayah
Gaea apabila tidak terpaksa. Mereka akan berlayar mengitari daratan utama Yunani, mengikuti rute
yang pernah dilewati para pahlawan Yunani pada zaman dahulu kala. Percy senang-senang saja. Dia
senang sekali karena kembali ke daerah kekuasaan ayahnya"sambil menghirup udara segar ke dalam
paru-paru dan menikmati cipratan air garam di lengannya. Dia berdiri di balik pagar sebelah kanan dan
memejamkan mata, merasakan arus laut di bawahnya. Tetapi, citra Tartarus telah terpatri dalam
benaknya"Sungai Phlegethon, tanah kering kerontang yang merekah saat para monster lahir kembali,
hutan gelap tempat arai terbang berputar-putar di tengah awan kabut darah. Terutama, dia memikirkan
gubuk di rawa-rawa yang dihangatkan api unggun dan berisi rak tempat dikeringkannya tumbuhan obat
serta dendeng drakon. Dia bertanya-tanya apakah kini gubuk itu kosong.
Annabeth merapat ke sebelah Percy di balik pagar, kehangatan-nya terasa menenangkan. "Aku tahu,"
gumam Annabeth, membaca ekspresi Percy. "Aku juga tidak bisa mengenyahkan tempat itu dari
kepalaku." "Damasen," kata Percy. "Dan Bob ...." "Aku tahu." Suara Annabeth lirih. "Kita tidak boleh
menyia-nyiakan pengorbanan mereka. Kita hams mengalahkan Gaea." Percy menatap langit malam. Dia
berharap mereka me-mandangi angkasa di Long Island alih-alih di belahan dunia lain, dalam pelayaran
menyongsong maut yang hampir pasti. Dia bertanya-tanya di manakah Nico, Reyna, dan Hedge berada
sekarang, dan berapa lama sampai mereka tiba"dengan asumsi bahwa mereka selamat. Dia
membayangkan bangsa Romawi sedang menata barisan, mengepung Perkemahan Blasteran. Empat
belas hari untuk mencapai Athena. Kemudian, akan pecah perang, entah berujung kemenangan atau
kekalahan. Di haluan, Leo bersiul gembira sambil mengutak-atik otak mesin Festus, menggumamkan
sesuatu tentang kristal dan astrolab. Di bagian tengah kapal, Piper dan Hazel berlatih pedang, bilah emas
dan perunggu yang beradu berdentang di udara malam. Jason dan Frank berdiri di balik kemudi sambil
berbincang pelan"mungkin mengobrolkan cerita tentang legiun, atau berbagi pikiran tentang jabatan
praetor. "Kita punya kru yang baik," kata Percy. "Kalau aku harus berlayar menyongsong maut?" "Kau
tidak boleh mati, Otak Ganggang," ujar Annabeth. "Ingat" Tidak pernah terpisahkan lagi. Kemudian,
sesampai kita di rumah ...." "Apa?" tanya Percy. Annabeth mengecup Percy. "Tanya aku lagi, sesudah
kita mengalahkan Gaea."
Pery tersenyum , bahagia karna bias menanti " nantikan sesuatu " terserah kau saja "
Sementara mereka berlayar semakin jauh dari pesisir , langit menggelap dan muncullah semakin banyak
bintang, Percy mengamati rasi rasi bintang " yang di ajarkan annabeth kepadanya bertahun-tahun lalu.
"bob titip salam " katanya pada bintang bintang argo 2 pun terus verlayar menembus malam.[]
=======SELESAI======= Baca kelanjutannya di: The Heroes of Olympus 5: The Blood of Olympus
==================== Thanks to. Kumpulan novel online bahasa Indonesia on facebook.
Edited by. Echi. Ebook maker by. Echi. Follow and Visit: https://desyrindah.blogspot.com
http://desyrindah.wordpress.com
echi.potterhead@facebook.com
http://twitter.com/driechi
============== Ebook ini tidak untuk diperjual belikan. Saya hanya berniat untuk berbagi. Beli koleksi aslinya yaa ;)))
Kalau ingin copas, harap cantumkan sumber ;))
============= Dendam Sembilan Iblis Tua 2 Pendekar Naga Putih 49 Tumbal Perkawinan Kisah Pedang Di Sungai Es 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama