The Chronicles Of Narnia 4 Kuda Dan Anak Manusia The Horse And His Boy Bagian 1
The Chronicles Of Narnia : The Horse and His Boy
(Kuda dan Anak Manusia) -C.S. Lewis BAB SATU Bagaimana Shasta Memulai Perjalanannya
Ini kisah petualangan yang terjadi di Narnia, Calormen, dan tanah yang berada di antara keduanya, pada zaman keemasan ketika Peter merupakan Raja Agung Narnia dan adik laki-laki juga dua adik perempuannya menjadi raja dan ratu di bawah pimpinannya.
Di masa-masa itu, jauh ke arah selatan di Calormen, di pantai kecil lautnya, hiduplah nelayan bernama Arsheesh. Dan tinggal bersamanya di sana, anak laki-laki yang memanggilnya Ayah. Nama anak itu Shasta. Pada sebagian besar hari, Arsheesh pergi di pagi hari dengan kapalnya untuk menangkap ikan, dan pada siang hari dia mengikat keledainya pada gerobak dan mengisi gerobak itu dengan ikan, lalu pergi sekitar satu mil atau lebih kearah selatan menuju desa untuk menjualnya. Kalau penjualannya bagus dia akan pulang dengan suasana hati yang cukup baik dan tidak mengatakan apa-apa pada Shasta. Tapi kalau penjualannya buruk, dia akan mencari-cari kesalahan anak itu dan bahkan memukulnya. Selalu ada kesalahan yang bisa ditemukan karena Shasta punya banyak pekerjaan: memperbaiki dan mencuci jaring, memasak makan malam, dan membersihkan rumah kecil tempat mereka berdua hidup.
Shasta sama sekali tidak tertarik pada apa pun yang ada di bagian selatan rumahnya karena sudah pernah sekali atau dua kali pergi ke desa bersama Arsheesh, dan tahu tidak ada yang terlalu menarik di sana. Di desa dia hanya bertemu para pria lain yang persis ayahnya--pria-pria dengan jubah panjang dan kotor, sepatu yang bagian ibu jarinya melengkung ke atas, juga turban di kepala mereka, kemudian wajah mereka yang ditumbuhi janggut. Mereka akan berbicara satu sama lain dengan suara yang perlahan sekali tentang hal-hal yang terdengar membosankan. Tapi dia sangat tertarik pada segala hal yang terdapat di utara karena tidak ada yang pernah pergi ke arah sana, dan dia sendiri juga tidak pernah diizinkan pergi ke sana. Saat dia duduk di luar sambil memperbaiki jaring, sendirian, dia sering kali menatap penuh minat ke arah utara. Tidak seorang pun yang bisa melihat apa-apa di sana kecuali lereng penuh rumput yang menurun hingga dataran tinggi yang datar, dan di balik itu tampak langit dengan mungkin beberapa burung yang sedang terbang di sana.
Terkadang bila Arsheesh ada di situ Shasta akan berkata, "O ayahku, ada apakah di sana di balik bukit"" Kemudian kalau suasana hati sang nelayan sedang buruk dia akan menjewer telinga Shasta dan menyuruhnya melanjutkan pekerjaan. Atau kalau suasana hatinya sedang damai dia akan berkata, "O putraku, jangan biarkan benakmu dialihkan pertanyaan-pertanyaan tak berguna. Karena ada pujangga yang pernah berkata, 'Penerapan bisnis merupakan akar kemakmuran, tapi mereka yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya bukanlah urusan mereka, sama saja dengan menakhodai kapal kebodohan menuju karang kemiskinan'."
Shasta menduga di balik bukit itu pasti ada rahasia menakjubkan yang ingin disembunyikan ayahnya dari dirinya. Namun kenyataannya, si nelayan berbicara seperti ini karena dia sendiri sebenarnya tidak tahu apa yang terdapat di utara. Ataupun peduli soal ini. Cara berpikirnya praktis sekali.
Suatu hari datanglah dari selatan seorang asing yang sama sekali tidak seperti pria mana pun yang pernah Shasta lihat sebelumnya. Dia mengendarai kuda kuat yang tubuhnya berbintik-bintik, surai juga ekornya menjuntai indah, dan sanggurdi serta tali kekangnya dilapisi perak. Tanduk topi bajanya mencuat keluar dari dalam turban sutranya dan pria itu mengenakan kemeja yang terbuat dari rangkaian rantai besi. Di bagian samping tubuhnya bergantung pedang melengkung, dan tergantung di punggungnya, perisai bulat yang dipenuhi relief kuningan. Tangan kanannya mencengkeram tombak. Wajahnya gelap, tapi ini tidak mengejutkan Shasta karena semua orang dari Calormen memang berpenampilan seperti itu, tapi yang membuatnya terperangah adalah janggut pria itu yang diwarnai merah tua, melengkung clan mengilap karena minyak wewangian. Tapi Arsheesh tahu dari perhiasan emas di
lengan telanjang orang asing itu bahwa dia Tarkaan atau bangsawan besar, sehingga si nelayan pun berlutut di depan pria tersebut hingga janggutnya menyentuh bumi, dan memberi sinyal ke Shasta untuk ikut berlutut. Sang orang asing menuntut kesediaan Arsheesh membiarkannya bermalam dan tentu saja si nelayan tidak berani berkata tidak. Segala makanan terbaik yang mereka miliki langsung disajikan di hadapan sang Tarkaan untuk makan malam (dan dia tidak tampak terlalu terkesan dengan sajian itu). Lalu Shasta, seperti biasa yang terjadi bila si nelayan kedatangan tamu, diberi sepotong roti dan disuruh pergi ke luar pondok. Di saat-saat seperti ini biasanya dia akan tidur dengan keledai di istal kecil beratap rumbianya. Tapi saat itu masih terlalu sore untuk tidur, dan Shasta, yang belum pernah diajari bahwa tidak baik mendengarkan pembicaraan dari balik pintu, duduk dengan telinga ditempelkan ke celah dinding kayu pondok untuk mendengarkan apa yang dibicarakan para pria dewasa itu. Dan inilah yang dia dengar :
"Dan kini, O tuan rumahku," kata si Tarkaan, "aku berminat membeli anak lelakimu itu."
"O tuanku," jawab si nelayan (dan Shasta tahu dari nada membujuk saat Arsheesh mengatakan ini, bahwa wajah pria itu pasti kini mulai dihiasi tampang tamak), "seberapa besar harga yang bisa menundukkan hambamu, walau semiskin apa pun dia, untuk menjual anak satu-satunya dan darah dagingnya sendiri menjadi budak" Bukankah pernah ada pujangga yang berkata, 'Rasa kasih sayang alami lebih kental daripada sop dan anak lebih berharga daripada arang'""
"Mungkin memang begitu," jawab sang tamu datar. "Tapi pujangga lain juga pernah berkata, 'Dia yang berusaha mengelabui seorang bijak sama saja membuka lebar punggungnya untuk cambukan'. Janganlah penuhi mulut rentamu dengan kebohongan. Anak itu jelas-jelas bukanlah anak kandungmu, karena pipimu sehitam milikku sementara pipi anak itu sebersih dan seputih orang-orang barbar yang terkutuk namun cantik yang mendiami daerah Utara yang terpencil."
"Betapa benarnya kalau begitu," jawab si nelayan, "bahwa pedang bisa dihalangi perisai, namun mata kebijakan menusuk dalam, menembus segala pertahanan! Ketahuilah kalau begitu, O tamuku yang terhormat, karena kemiskinanku yang teramat sangat aku tidak pernah menikah dan tidak memiliki anak. Tapi di tahun yang sama saat Tisroc (semoga dia selamanya kekal) memulai kekuasaannya yang agung dan dermawan, pada malam bulan purnama, para dewa bersenang-senang dengan mengusik tidurku. Karena itulah aku bangkit dari tempat tidur dan keluar dari gubuk ini, berjalan menuju pantai untuk menyegarkan diri dengan menatap permukaan air dan bulan, menghirup dalam-dalam udara yang sejuk. Tak lama kemudian aku mendengar suara seolah ada orang mendayung mendekatiku menyeberangi air lalu, di sana, terdengar tangisan pelan. Beberapa saat kemudian, air pasang membawa perahu kecil ke daratan yang di dalamnya tidak apa pun kecuali seorang pria, tergeletak tak berdaya karena dikuasai kelaparan dan kehausan yang luar biasa. Tampaknya dia baru saja mati beberapa detik lalu (karena tubuhnya masih hangat). Lalu ada penyimpan air dari kulit yang kosong juga seorang bocah, masih bernapas. 'Tak diragukan lagi,' kataku, 'makhluk-makhluk malang ini telah menyelamatkan diri dari kapal besar yang karam, tapi sesuai rencana besar para dewa, manusia yang dewasa telah membiarkan dirinya kelaparan demi mempertahankan nyawa sang anak, lalu tak mampu bertahan walau telah melihat daratan.' Tentu saja sepantasnya, mengingat bagaimana para dewa tidak pernah luput memberi pahala kepada mereka yang menolong orang-orang yang tertimpa kemalangan, dan karena tergerak rasa belas kasihan (karena hambamu ini pria berhati lembut)-"
"Hilangkan kata-kata kosong yang memuji dirimu sendiri itu," potong sang Tarkaan. "Sudah cukup bagiku untuk tahu kau telah mengambil anak itu--dan mendapatkan keuntungan sebesar sepuluh kali lipat jatah santapan roti sehari-hari milik anak itu karena jerih payahnya, seperti yang bisa dilihat semua orang. Dan sekarang segeralah katakan padaku berapa kau memasang harga untuk dirin
ya, karena aku sudah lelah dengan kecerewetanmu."
"Anda sendiri yang dengan bijaksananya telah berkata," jawab Arsheesh, "bahwa jerih payah anak itu memiliki harga yang tak ternilai bagi diriku. Kenyataan ini harus ikut dipertimbangkan saat menentukan harga. Karena jika aku menjual anak itu, sudah pasti aku harus membeli atau menyewa orang lain untuk melakukan pekerjaannya."
"Aku akan memberimu lima belas crescent untuk anak itu," kata sang Tarkaan.
"Lima belas!" teriak Arshessh dengan suara yang terdengar seperti erangan dan jeritan. "Lima belas! Untuk tiang penyangga masa tuaku dan cahaya mataku! Janganlah kau mengejek janggut berubanku, walau kau seorang Tarkaan. Hargaku adalah tujuh puluh."
Pada saat ini Shasta bangkit dan berjalan berjingkat menjauh. Dia telah mendengar semua yang ingin didengarnya, karena dia telah sering kali mendengar orang-orang tawar-menawar di desa dan tahu bagaimana prosesnya. Dia cukup yakin Arshessh akhirnya akan menjualnya untuk sejumlah uang yang lebih daripada lima belas rescent tapi kurang daripada tujuh puluh, namun Arsheesh dan sang Tarkaan bakal membutuhkan waktu berjam-jam untuk mencapai kesepakatan.
Kau tidak boleh membayangkan Shasta sama sekali merasakan perasaan yang akan kau dan aku rasakan bila kita baru saja mendengar orangtua kita berniat menjual diri kita sebagai budak. Di satu pihak, hidupnya tidak jauh lebih baik daripada hidup budak, malah sejauh yang dia tahu bisa saja orang asing yang anggun itu bakal bersikap lebih baik kepadanya daripada Arsheesh. Di lain pihak, kisah penemuan dirinya di perahu telah memenuhi dirinya dengan semangat dan kelegaan. Hingga kini dia sering kali merasa tidak tenang karena, walaupun berusaha sekeras mungkin, dia tidak mampu menyayangi si nelayan, padahal dia tahu seorang anak seharusnya menyayangi ayahnya. Dan kini, ternyata, dia tidak punya hubungan apa pun dengan Arsheesh. Pengetahuan ini mengangkat beban berat dari benaknya. Wah, aku bisa jadi siapa saja! pikirnya. Malah bisa jadi aku anak seorang Tarkaanatau anak Tisroc (semoga dia selamanya kekal)-atau anak dewa!
Shasta berdiri di daerah yang ditumbuhi rerumputan di depan pondok sementara memikirkan semua ini. Berkas sinar matahari mulai menghilang dengan cepat dan satu atau dua bintang telah muncul, tapi sisa matahari terbenam masih dapat dilihat di ufuk barat. Tidak jauh dari tempatnya berdiri, kuda sang orang asing, yang diikat longgar pada cincin besi yang terpaku di dinding istal keledai, sedang menyantap rumput. Shasta berjalan menghampirinya dan menepuk lehernya. Hewan tersebut terus mencabik rumput tanpa memerhatikan anak itu.
Kemudian pikiran lain muncul di pikiran Shasta. "Kira-kira pria macam apa si Tarkaan itu ya"" tanyanya keras-keras. "Pasti bagus sekali kalau dia baik hati. Beberapa budak di rumah penguasa besar nyaris tidak memiliki tugas yang harus dikerjakan. Mereka mengenakan pakaian indah dan memakan daging setiap hari. Mungkin dia akan mengikutsertakan aku ke dalam perang, lalu aku akan menyelamatkan nyawanya dalam suatu pertempuran, kemudian dia akan membebaskanku dan mengangkatku menjadi anaknya, memberiku istana, kereta kuda, dan baju zirah. Tapi bisa juga dia pria kejam yang mengerikan. Dia mungkin bakal menyuruhku bekerja di ladang dengan ikatan terantai. Kalau saja aku bisa tahu. Tapi bagaimana caranya" Aku berani bertaruh kuda ini tahu, kalau saja dia bisa memberitahuku."
Sang kuda mengangkat kepalanya. Shasta mengelus hidungnya yang selembut satin dan berkata, "Kalau saja kau bisa berbicara, teman tua."
Kemudian sesaat dia mengira dia sedang bermimpi karena dengan cukup jelas, walaupun dengan suara pelan, sang kuda berkata, "Tapi aku memang bisa."
Shasta memandang mata besar hewan itu dan matanya pun melebar hingga nyaris sebesar, mata sang kuda, terpukau.
"Bagaimana kau bisa belajar bicara""
"Sstt! Jangan keras-keras," jawab sang kuda.' "Di tempat asalku, nyaris semua hewan bisa berbicara."
"Di mana itu"" tanya Shasta.
"Narnia," jawab sang kuda. "Tanah penuh kebahagiaan Narnia--Narnia yang dihiasi pegunungan dengan hutan heather dan daratan
rendah dengan sesemakan thyme. Narnia tempat banyak sungai, lembah-lembah sempit bermata air, gua-gua berlumut, dan hutan-hutan lebat yang berdenting karena ayunan palu para dwarf. Oh, udara segarnya Narnia! Satu jam hidup di sana lebih baik daripada seribu tahun di Calormen." Kisah ini berakhir dengan ringkikan yang terdengar begitu mirip dengan kesahan napas.
"Bagaimana kau bisa sampai di sini"" tanya Shasta.
"Diculik," jawab si kuda. "Atau dicuri, atau ditangkap--terserah kau mau menyebutnya apa. Saat itu aku masih kanak-kanak. Ibuku memperingatkanku untuk tidak pergi ke daerah lereng selatan, menuju Archenland dan lebih jauh lagi, tapi aku tidak mendengarkannya. Dan demi surai sang singa, aku telah membayar kebodohanku. Bertahun-tahun ini aku telah menjadi budak bagi para manusia, menyembunyikan kemampuanku yang sebenarnya, dan berpura-pura menjadi bodoh dan tak berakal seperti kuda-kuda mereka."
"Kenapa kau tidak memberitahu mereka siapa dirimu sebenarnya""
"Aku tidak sebodoh itu, itulah sebabnya. Sekali mereka tahu aku bisa berbicara, mereka akan menjadikanku bahan pertunjukan di karnaval dan semakin ketat menjagaku. Kesempatan terakhirku untuk melarikan diri akan lenyap sama sekali."
"Dan kenapa--" Shasta memulai, tapi si kuda memotongnya.
"Sekarang begini," katanya, "kita tidak boleh membuang-buang waktu untuk pertanyaan-pertanyaan tak berguna. Kau ingin tahu tentang majikanku Tarkaan Anradin. Nah, dia jahat. Tidak terlalu jahat kepadaku, karena harga yang harus dibayar akan terlalu mahal bila kau memperlakukan kuda perangmu dengan buruk. Tapi lebih baik kau terbujur mati malam ini daripada menjadi budak manusia di rumahnya besok."
"Kalau begitu sebaiknya aku melarikan diri," kata Shasta, wajahnya memucat.
"Ya, sebaiknya begitu," kata si kuda. "Tapi kenapa tidak melarikan diri bersamaku""
"Apakah kau berniat kabur juga"" Tanya Shasta.
"Ya, kalau kau mau pergi bersamaku," jawab si kuda. "Ini kesempatan untuk kita berdua. Begini, kalau aku kabur tanpa penunggang, semua orang yang melihatku akan mengatakan 'Kuda yang tersesat' dan akan mengejarku secepat yang mereka bisa. Dengan penunggang, aku bakal punya kesempatan untuk lolos. Kau bisa membantuku dalam hal itu. Di lain pihak, kau tidak bisa pergi jauh dengan dua kaki konyolmu (kaki manusia benar-benar lemah!) tanpa berhasil dikejar. Tapi bersamaku kau akan bisa pergi lebih jauh daripada dengan kuda lain di negeri ini. Di situ aku bisa membantumu. Omong-omong, kau tahu cara mengendarai kuda, kan""
"Oh ya, tentu saja," jawab Shasta. "Setidaknya aku pernah mengendarai keledai."
"Mengendarai apa"" ulang si kuda dengan rasa muak luar biasa. (Setidaknya, dia berniat menyuarakan itu. Tapi kenyataanya yang terdengar hanya semacam ringkikan tinggi--"Mengendarai aph-pha-pha-pha-pha"" Kuda-kuda yang bisa berbicara selalu menjadi sangat kekudaan cara bicaranya ketika mereka marah.)
"Dengan kata lain," dia melanjutkan, "kau tidak bisa berkuda. Ini kemunduran. Aku harus mengajarimu sambil jalan nanti. Kalau kau tidak bisa berkuda, apakah kau mampu jatuh""
"Kurasa semua orang bisa jatuh," jawab Shasta.
"Maksudku apakah kau bisa jatuh tapi lalu , bangkit lagi tanpa menangis, dan naik lagi, jatuh lagi, namun tidak menjadi takut jatuh""
"Ak-aku akan berusaha," kata Shasta.
"Makhluk kecil yang malang," kata si kuda dengan nada yang lebih lembut. "Aku lupa'' kau barulah kanak-kanak. Sejalan dengan waktu kita akan menjadikanmu pengendara kuda' yang hebat. Dan sekarang--kita harus menunggu sampai dua manusia di pondok itu tertidur. Sementara itu kita bisa membuat rencana. Tarkaan-ku sedang dalam perjalanan ke Utara menuju kota besar, kota Tashbaan yang terkenal dan istana Tisroc--"
"Astaga," potong Shasta dengan suara yang agak tercengang, "bukankah seharusnya kau mengatakan 'Semoga dia selamanya kekal'"" '
"Kenapa harus"" tanya si kuda. "Aku warga Narnia yang bebas. Dan kenapa aku harus berbicara seperti para budak dan orang bodoh" Aku tidak menginginkannya hidup selama-lamanya, dan aku tahu dia tidak akan hidup selamanya tak peduli aku berharap begitu atau tidak.
Dan aku bisa melihat kau juga berasal dari tanah Utara yang bebas juga. Jangan pernah ungkit ucapan-ucapan khas Selatan ini di antara kita! Dan sekarang, kembali kepada rencana kita. Seperti yang kukatakan tadi, manusiaku sedang dalam perjalanan ke utara menuju Tashbaan."
"Apakah itu berarti kita sebaiknya pergi ke selatan""
"Kurasa tidak," kata si kuda. "Begini, dia pikir aku bodoh dan tak berakal seperti kuda-kuda lain. Nah, kalau aku memang benar-benar begitu, di saat aku terlepas, aku akan kembali ke istal dan kandangku, kembali ke istananya yang terletak dua hari perjalanan ke arah selatan. Dia akan mencariku di sana. Dia tidak akan pernah membayangkan aku pergi ke utara sendirian. Lagi pula dia mungkin akan mengira ada seseorang di desa terakhir yang melihatnya berkuda melewati mereka telah mengikuti kami ke sini dan mencuriku."
"Oh, hore!" ucap Shasta. "Kalau begitu kita akan pergi ke arah utara. Sepanjang hidupku aku selalu ingin pergi ke Utara."
"Tentu saja begitu," kata si kuda. "Itu karena darah yang mengalir dalam tubuhmu. Aku yakin kau orang Utara tulen. Tapi jangan keras-keras. Menurutku mereka tak lama lagi akan terlelap."
"Mungkin sebaiknya aku berjingkat ke sana dan memeriksa," saran Shasta.
"Itu ide yang bagus," kata si kuda. "Tapi berhati-hatilah supaya tidak tertangkap."
Saat ini suasana sudah lebih gelap dan sunyi kecuali karena suara ombak di pantai, yang tidak terlalu diperhatikan Shasta berhubung dia sudah mendengarnya siang dan malam sepanjang yang bisa dia ingat. Pondok itu, saat dia mendekat ke sana, tampak gelap gulita. Ketika menajamkan telinga di bagian depan pondok, dia tidak mendengar apa-apa. Ketika dia berputar untuk mendekati satu-satunya jendela di sana, dia bisa mendengar, setelah satu atau dua detik, suara dengkuran nyaring si nelayan tua yang familier. Lucu juga memikirkan bila segala rencana berjalan lancar, dia tidak akan pernah mendengar suara itu lagi. Sambil menahan napas dan merasa sedikit sedih, tapi tidak terlalu sedih bila dibandingkan rasa lega, Shasta berjalan pelan melewati rerumputan dan pergi ke istal keledai, lalu merogoh-rogoh tempat yang setahunya biasa dijadikan tempat menyembunyikan kunci, membuka pintu ,dan menemukan sadel dan tali kekang si kuda yang dikunci di sana malam ini. Dia membungkuk dan mencium hidung si keledai. "Maaf ya kami tidak bisa mengajakmu," katanya.
"Akhirnya kau datang juga," kata si kuda
ketika Shasta kembali ke dekatnya. "Aku mulai bertanya-tanya apa yang telah terjadi padamu."
"Aku mengambil barang-barangmu di istal dulu," ucap Shasta. "Nah sekarang, bisakah kau memberitahuku cara memasang semua ini""
Selama beberapa menit kemudian Shasta pun sibuk, sangat berhati-hati untuk tidak menimbulkan suara berdenting, sementara si kuda mengatakan hal-hal seperti, "Pasang pengaman itu lebih tinggi lagi" atau "Kau akan menemukan sabuk pengaitnya di bagian bawah" atau "Kau harus memendekkan pijakan kakinya sedikit." Ketika semua persiapan selesai, si kuda berkata:
"Sekarang, kita harus memasang tali kekang supaya penampilan kita meyakinkan, tapi kau tidak akan menggunakannya. Ikat saja di bagian depan sadel: sangat longgar supaya aku bisa menggerakkan kepalaku dengan bebas. Dan ingat--kau tidak boleh menyentuhnya."
"Kalau begitu apa gunanya"" tanya Shasta.
"Biasanya tali itu untuk mengarahkanku," jawab si kuda. "Tapi karena aku berniat melakukan seluruh pengarahan dalam perjalanan ini, tolong simpan tanganmu untuk dirimu sendiri. Lalu ada satu hal lagi. Kau tidak boleh mencengkeram suraiku."
"Tapi," Shasta memohon. "Kalau aku tidak boleh berpegangan pada tali kekang ataupun suraimu, aku harus berpegangan pada apa""
"Berpeganganlah pada lututmu," kata si kuda. "Itu rahasianya mengendarai kuda dengan baik. Jepit tubuhku dengan kedua lututmu sekeras yang kau mau, duduklah dengan tegak, setegak tongkat, masukkan siku lenganmu. Omong-omong, kauapakan tajinya""
"Mengenakannya di mata kakiku tentu saja," jawab Shasta. "Kalau hanya itu aku sudah " tahu."
"Kalau begitu, lepaskan dan masukkan kekantong sadel. Kita mungkin akan bisa menjualn
ya sesampainya kita di Tashbaan. Siap"' Dan sekarang kurasa kau bisa naik."
"Ooh! Kau tinggi sekali," Shasta terperangah setelah usaha pertamanya gagal.
"Aku hanya kuda, itu saja," adalah jawaban yang diterimanya. "Siapa pun akan mengira aku ini gundukan jerami dari cara kau berusaha menaikiku! Nah, begitu lebih baik. Sekarang duduklah baik-baik dan ingat ucapanku soal lututmu. Aneh juga memikirkan aku yang telah memimpin serangan-serangan kaveleri dan memenangkan berbagai perlombaan kini harus bersabar dengan karung kentang sepertimu di atas sadelku! Bagaimanapun, kita berangkat." Si kuda terkekeh, tidak dengan nada melecehkan.
Dan si kuda benar-benar memulai perjalanan malam mereka dengan sangat berhati-hati. Awalnya dia bergerak ke arah selatan pondok si nelayan menuju sungai kecil yang mengarah ke laut, lalu dengan sengaja meninggalkan jejak kaki yang sangat jelas yang mengarah ke selatan. Tapi segera setelah mereka berada di tengah sungai yang dangkal, dia berbalik berderap menentang aliran sungai dan terus berjalan di dalam sungai sampai mereka berada sekitar seratus meter lebih jauh ke arah daratan daripada pondok si nelayan. Kemudian dia memilih bagian sungai yang berbatu-batu supaya tidak meninggalkan jejak dan keluar di bagian utara. Lalu, masih dengan derapan biasa, dia mengarah ke utara sehingga pondok itu, sebatang pohon yang tumbuh di sana, istal keledai, dan sungai kecil--bahkan segala yang pernah dikenal Shasta--lenyap dari pandangan dalam kegelapan kelabu malam musim panas. Mereka terus mendaki bukit dan kini berada di puncaknya-puncak bukit yang selalu menjadi batas dunia yang diketahui Shasta. Dia tidak bisa melihat apa yang ada di baliknya kecuali tahu daerah itu terbuka dan berumput. Daerah itu tampak tak berujung: liar, sunyi, dan bebas.
"Wah!" si kuda melemparkan pandangan. "Benar-benar tempat yang cocok untuk berpacu, ya kan""
"Oh, jangan," kata Shasta. "Jangan dulu. Aku tidak tahu cara--kumohon, Kuda. Aku belum tahu namamu."
"Breehy-hinny-brinny-hoohy-hah," kata si kuda.
"Aku tidak akan pernah bisa melafalkan itu," kata Shasta. "Bolehkah aku memanggilmu Bree""
"Yah, kalau memang hanya segitu yang kau bisa, kurasa boleh juga," kata si kuda.
"Dan dengan nama apa aku bisa memanggilmu" "
"Namaku Shasta."
"Hm," kata Bree. "Nah, ini baru nama yang benar-benar sulit diucapkan. Tapi sekarang soal berpacu ini. Sebenarnya, kalau saja kau tahu, itu jauh lebih mudah daripada berlari kecil, karena tubuhmu tidak perlu naik dan turun. Jepit tubuhku dengan lututmu dan pasang matamu supaya tetap lurus ke depan diantara telingaku. Jangan lihat ke bawah. Kalau kau merasa bakal jatuh, jepitlah lebih keras dan duduklah lebih tegak. Siap" Sekarang: menuju Narnia dan negeri Utara."
BAB DUA Petualangan Selama Perjalanan
SAAT itu nyaris tengah hari di hari berikutnya ketika Shasta terbangun karena sesuatu yang hangat dan lembut menyentuh wajahnya. Dia membuka mata dan mendapati dirinya menatap lekat wajah panjang seekor kuda, hidung dan bibirnya nyaris menyentuh wajahnya. Dia pun teringat pada berbagai kejadian menarik di malam sebelumnya dan duduk tegak. Tapi saat melakukan itu, dia pun mengerang.
"Auw, Bree," katanya sambil terengah. "Tubuhku sakit sekali. Seluruhnya. Aku nyaris tidak bisa bergerak."
"Selamat pagi, makhluk kecil," kata Bree. "Aku sempat khawatir kau mungkin akan merasa agak kaku. Tapi pastinya itu bukan karena jatuhmu. Kau kan tidak terjatuh lebih dari sekitar selusin kali, lagi pula kau terjatuh pada tanah berumput yang indah, lembut, dan membal sehingga nyaris menyenangkan bila bisa terjatuh di sana. Dan satu kali jatuh yang bisa saja jadi terburuk malah terbantu dengan semak gorse. Tidak: justru kegiatan berkuda itulah yang awalnya terasa berat. Bagaimana dengan sarapan" Aku sudah makan."
"Oh, siapa yang peduli pada sarapan. Siapa yang peduli pada apa pun," kata Shasta. "Kukatakan padamu aku tidak bisa bergerak." Tapi si kuda mendorong-dorong tubuh Shasta dengan hidungnya dan menyepaknya lembut dengan salah satu kakinya sampai anak itu harus bangun. Kemudian Shasta memandang ke seke
lilingnya dan melihat di mana mereka sekarang berada. Di belakang mereka tumbuh semak kecil. Di depan mereka semak lebat, di sana-sini tampak bunga putih di dalamnya, menukik turun hingga ke ujung tebing. Jauh di bawah mereka, sehingga suara ombak yang memecah terdengar begitu samar, terbentang laut. Shasta belum pernah melihat laut dari ketinggian seperti itu dan tidak pernah melihatnya begitu luas sebelumnya, ataupun membayangkan betapa banyak warna yang dimilikinya. Ke segala arah pantai terbentang luas, tanjung demi tanjung, dan pada ujung-ujungnya, kau bisa melihat buih putih menari di bebatuan tapi tak menimbulkan sedikit pun suara karena semua itu terjadi begitu jauh. Tampak camar-camar terbang di langit dan panas menyusup hingga ke tanah. Hari itu cerah sekali. Tapi yang paling diperhatikan Shasta adalah udaranya. Dia tidak bisa menebak apa yang tidak ada, sampai akhirnya dia menyadari tidak ada bau ikan di dalamnya. Karena tentu saja, baik di dalam pondok maupun di antara jala ikan, dia tidak pernah bisa melepaskan diri dari bau itu sepanjang hidupnya. Dan udara baru ini begitu nikmat, dan seluruh hidup terdahulunya seakan begitu jauh, sehingga sesaat dia lupa pada memar-memar serta otot-ototnya yang nyeri dan berkata:
"Oh ya, Bree, kau mengatakan sesuatu tentang sarapan""
"Ya, memang," jawab Bree. "Kurasa kau akan menemukan sesuatu dalam kantong sadel. Sadelnya ada di sana, di pohon tempat kau menggantungnya kemarin malam--atau mungkin lebih tepatnya, dini hari tadi."
Mereka memeriksa kantong sadel dan hasilnya menggembirakan--pai daging, hanya sedikit basi, sepotong buah sejenis pir kering, dan sebongkah keju hijau, sewadah kecil anggur, dan sejumlah uang: sekitar empat puluh crescent secara keseluruhan, jumlah yang lebih banyak daripada yang biasa Shasta lihat.
Sementara Shasta duduk--penuh rasa sakit dan berhati-hati--dengan punggung bersandar ke pohon dan mulai menyantap painya, Bree melahap beberapa suap rumput lagi untuk menemani anak itu makan.
"Apakah menggunakan uang ini tidak akan sama saja dengan mencuri"" tanya Shasta.
"Oh," kata si kuda, mendongak dengan mulut penuh rumput, "aku tidak pernah memikirkan itu. Kuda yang bebas dan bisa berbicara seharusnya tidak boleh mencuri, tentu saja. Tapi kurasa tidak apa-apa. Kita kan tawanan dan pelarian di negeri musuh. Uang itu pampasan perang, uang kotor. Lagi pula, bagaimana kita akan bisa mendapatkan makanan untukmu tanpanya" Kurasa, seperti semua manusia, kau tidak akan mau makan makanan alami seperti rumput dan gandum."
"Aku tidak bisa."
"Pernah mencoba""
"Ya, pernah. Aku sama sekali tidak bisa menelannya. Kau juga tidak bakal bisa kalau jadi diriku."
"Kalian makhluk-makhluk kecil yang aneh, kalian para manusia," komentar Bree.
Ketika Shasta telah menyelesaikan sarapannya (yang tentu saja sarapan terlezat yang pernah dimakannya), Bree berkata, "Kurasa aku akan berguling-guling dulu sebentar sebelum kita memasang sadel itu lagi." Lalu dia pun melakukan itu. "Enak sekali. Nah, sangat nikmat," katanya sambil menggosok-gosokkan punggungnya ke semak lebat dan menjulurkan keempat kakinya ke udara. "Kau harus mencobanya juga, Shasta," dia mendengus. "Ini menyegarkan sekali."
Tapi Shasta malah tertawa terbahak-bahak dan berkata, "Kau kelihatan aneh sekali kalau telentang begitu!"
"Tidak mungkin aku kelihatan aneh," kata Bree. Tapi kemudian mendadak dia berguling ke samping tubuhnya, mengangkat kepala, dan menatap lekat Shasta. Napasnya sedikit terengah-engah.
"Benarkah aku tampak aneh"" tanyanya dengan suara gelisah.
"Ya, begitulah," jawab Shasta. "Tapi memangnya kenapa""
"Apakah menurutmu," kata Bree, "tindakan tadi adalah sesuatu yang tidak pernah dilakukan kuda yang bisa bicara--melainkan kebiasaan konyol dan bodoh yang kupelajari dari kuda-kuda lain" Akan memalukan bila aku mendapati, saat kembali ke Narnia, bahwa aku telah mengambil banyak kebiasaan rendah dan buruk. Bagaimana menurutmu, Shasta" Jujurlah. Tidak perlu merasa perlu menjaga perasaanku. Apakah menurutmu kuda-kuda bebas sungguhan--jenis yang bisa bicara--berguling""
"Mana aku tah u" Lagi pula menurutku aku tidak akan terlalu memusingkannya kalau aku jadi dirimu. Yang penting adalah sampai ke sana dulu. Kau tahu jalannya""
"Aku tahu jalan menuju Tashbaan. Setelah itu akan ada padang pasir. Oh, kita pasti akan bisa mengatasi padang pasir itu, jangan khawatir. Dan setelah itu kita akan bisa melihat pegunungan di negeri Utara. Bayangkan! Menuju Narnia dan negeri Utara! Pada saat itu tidak akan ada yang bisa menghentikan kita. Tapi aku akan merasa lebih tenang bila kita sudah melewati Tashbaan. Kau dan aku akan lebih aman bila jauh dari kota-kota."
"Tidak bisakah kita menghindarinya""
"Tidak tanpa melalui jalan darat yang lebih jauh, dan itu akan membawa kita ke ladang-ladang yang telah ditanami dan jalan-jalani utama, lagi pula aku tidak akan tahu jalan. Tidak, kita hanya harus berjalan di sepanjang pantai. Di atas sini, di perbukitan, kita hanya akan menemui domba, kelinci, camar, dan beberapa penggembala. Omong-omong, bagaimana kalau kita memulai perjalanan lagi"
Kaki-kaki Shasta terasa nyeri saat dia memasang sadel Bree dan memanjat untuk menaiki sadel tersebut, tapi si kuda bersikap baik padanya dan berjalan pelan sepanjang siang ini. Saat temaram malam datang mereka keluar , dari jalan setapak yang curam memasuki lembah dan menemukan sebuah desa. Sebelum mereka melanjutkan perjalanan ke dalam desa, Shasta turun dan masuk sambil berjalan kaki untuk membeli sebatang roti, beberapa bawang bombai, dan lobak. Si kuda berlari kecil memutari ladang dan masuk ke daerah remang, lalu bertemu Shasta di sisi jauh ladang tersebut. Ini menjadi siasat rutin mereka setiap dua hari sekali.
Hari-hari itu merupakan saat-saat yang menggembirakan bagi Shasta, dan setiap hari terasa lebih baik daripada sebelumnya ketika otot-ototnya mengeras dan dia lebih jarang terjatuh. Namun bahkan di akhir masa latihannya, Bree masih berkata anak itu duduk seperti karung terigu di atas sadel. "Dan bahkan kalaupun aman bagimu, anak muda, aku tetap akan malu terlihat bersamamu di jalan utama." Tapi walau sering mengucapkan kata-kata kasar, Bree guru yang sabar. Tidak ada yang bisa mengajar cara berkuda sebaik seekor kuda. Shasta belajar menunggang saat Bree berlari kecil, berpacu, melompat, dan tetap berada di tempat duduknya bahkan di saat Bree berhenti mendadak, atau tanpa terduga mengayunkan tubuh ke kiri atau ke kanan--yang menurut Bree adalah gerakan yang mungkin harus kaulakukan di saat seperti apa pun dalam pertempuran. Kemudian tentu saja Shasta akan memohon diceritakan tentang berbagai pertempuran dan perang yang pernah dialami Bree sambil membawa si Tarkaan. Dan Bree akan mengisahkan dirinya yang dipaksa berbaris maju bersama pasukan, menyeberangi sungai-sungai deras, tentang gempuran-gempuran dan pertempuran dahsyat antara kavaleri dengan kavaleri, ketika kuda-kuda perang bertempur sekeras manusia. Semua kuda jantan tangguh dilatih untuk menggigit dan menendang, juga untuk mengangkat kedua kaki depan di saat yang tepat sehingga berat tubuh si kuda maupun penunggangnya akan menghantam topi baja musuh waktu pedang atau kapak perang diayunkan. Tapi Bree tidak ingin membicarakan perang sesering Shasta ingin mendengarkan. "Jangan ungkit-ungkit itu lagi, anak muda," Bree akan berkata. "Semua itu cuma perang Tisroc dan aku berperang di dalamnya hanya sebagai budak dan makhluk bodoh. Berikan padaku perang demi Narnia dan aku akan bertarung sebagai kuda bebas di antara kaumku sendiri! Perang seperti itulah yang pantas dibicarakan. Narnia dan negeri Utara! Bra-ha-ha! Broo hoo!"
Tak lama kemudian Shasta belajar, ketika dia mendengar Bree berbicara seperti itu, untuk bersiap-siap berpacu.
Setelah mereka berjalan selama berminggu-minggu, melewati lebih banyak teluk, tanjung, sungai, dan desa daripada yang bisa diingat Shasta, datanglah malam yang diterangi sinar rembulan ketika mereka memulai perjalanan di malam hari dan tidur di siang hari. Mereka telah melewati perbukitan di belakang mereka dan sedang menyeberangi daratan luas dengan hutan sekitar setengah mil jauhnya di sebelah kiri mereka. Mereka telah berlari sekitar seja
m, terkadang berlari kecil dan terkadang sekadar berjalan, ketika Bree tiba-tiba berhenti.
"Ada apa"" tanya Shasta.
"S-s-sst!" kata Bree, menjulurkan lehernya tinggi-tinggi, menoleh ke kiri dan kanan, dan mengedutkan telinganya. "Kau tidak mendengar sesuatu" Dengar."
"Kedengarannya seperti kuda lain--di antara kita dan hutan itu," kata Shasta setelah menajamkan pendengarannya sesaat.
"Memang kuda lain," kata Bree. "Dan itulah yang tidak kusuka."
"Mungkin hanya petani yang pulang sedikit terlambat"" kata Shasta sambil menguap.
"Jangan meremehkanku!" kata Bree. "Itu bukan suara kereta petani. Ataupun kuda petani. Tidak bisakah kau membedakan dari suaranya" Itu suara kualitas tinggi, kudanya pasti keturunan baik. Dan kuda itu dikendarai penunggang kuda sungguhan. Aku akan memberitahumu siapa itu, Shasta. Ada seorang Tarkaan di balik ujung hutan itu. Tidak dengan kuda perangnya--suaranya terlalu ringan untuk kuda perang. Aku berani bilang, kudanya kuda betina dari ras yang baik."
"Yah, siapa pun itu, kini mereka berdua sudah berhenti," kata Shasta.
"Kau benar," kata Bree. "Dan kenapa dia berhenti tepat pada saat kita berhenti" Shasta, anakku, kurasa akhirnya ada juga yang menguntit kita."
"Apa yang harus kita lakukan"" tanya Shasta dalam bisikan yang lebih pelan daripada sebelumnya. "Apakah menurutmu dia bisa melihat dan mendengar kita""
"Tidak dalam pencahayaan seperti ini selama kita tetap bergeming," jawab Bree. "Tapi lihat! Bakal ada awan datang. Aku akan menunggu hingga awan itu menutupi bulan. Kemudian kita akan pergi ke arah kanan, sebisa mungkin tanpa suara, menuju pantai. Kita bisa bersembunyi di antara bukit-bukit pasir kalau keadaan terburuk sampai terjadi."
Mereka menunggu hingga awan menyelimuti bulan, kemudian, awalnya dengan berjalan pelan lalu menjadi sedikit berlari kecil, mereka bergerak ke pantai.
Awan yang datang ternyata lebih besar dan tebal daripada tampilan awalnya dan tak lama kemudian malam pun menjadi sangat kelam. Tepat ketika Shasta berkata pada dirinya sendiri, saat ini kami pasti sudah dekat dengan bukit-bukit pasir itu, jantungnya melompat seperti hendak keluar karena mendadak terdengar suara mengerikan dari kegelapan di depan: auman panjang mengerikan, melankolis, dan sama sekali liar. Bree langsung berputar dan mulai berlari kencang menuju daratan secepat yang dia bisa.
"Apa itu"" Shasta terperangah.
"Singa!" jawab Bree tanpa mengurangi kecepatan lari maupun menolehkan kepala.
Setelah itu tidak ada yang lain kecuali derap langkah cepat untuk waktu yang cukup lama. Akhirnya mereka tercebur ke dalam aliran sungai yang luas dan dangkal, Bree pun berhenti di bagian pinggir seberangnya. Shasta menyadari tubuh kuda itu gemetaran dan seluruhnya dibanjiri peluh.
"Air itu mungkin bisa menghapus bau kita dari penciuman makhluk-makhluk buas itu," kata Bree sambil terengah ketika akhirnya dia agak bisa mengejar napas. "Kita bisa berjalan sedikit sekarang."
Saat mereka berjalan Bree berkata, "Shasta, aku malu pada diriku sendiri. Aku merasa setakut kuda Calormen yang biasa dan bodoh. Sungguh. Aku sama sekali tidak merasa sebagai Kuda yang Bisa Berbicara. Aku tidak keberatan menghadapi pedang, tombak, dan panah, tapi aku tidak tahan pada--makhluk-makhluk itu. Kurasa sebaiknya aku sedikit berlari kecil."
Namun beberapa menit kemudian, dia kembali berlari kencang, tidak aneh sebenarnya. Karena auman itu terdengar lagi, kali ini dari sebelah kiri mereka dari arah hutan.
"Ada dua ekor," erang Bree.
Ketika mereka telah berpacu selama beberapa menit tanpa mendengar suara singa-singa lagi, Shasta berkata, "Astaga! Kuda lain itu kini, berlari di samping kita. Hanya sejauh lemparan batu."
"Lebih b-baik begitu," Bree terengah. "Tarkaan di atasnya--akan membawa pedang--dia akan melindungi kita."
"Tapi, Bree!" kata Shasta. "Kalau tertangkap, nasib kita akan sama saja dengan bila dibunuh singa. Atau setidaknya aku yang akan bernasib sama. Mereka akan menggantungku karena mencuri kuda." Anak itu tidaklah setakut Bree pada singa-singa karena belum pernah bertemu singa, lain halnya dengan Bree.
B ree hanya mendengus untuk menjawab perkataan Shasta tapi dia bergerak menjauh ke sebelah kanan. Anehnya kuda lain tampaknya juga menjauh ke kiri, sehingga selama beberapa detik jarak di antara keduanya melebar cukup jauh. Tapi segera setelah ini terjadi, terdengar kembali dua auman singa, yang satu segera menyusul yang lain. Satu suara dari sebelah kanan, dan yang lain dari sebelah kiri sehingga kedua kuda itu pun mulai saling mendekat lagi. Tapi tampaknya singa-singa itu pun melakukan hal serupa. Auman dari kedua hewan buas di masing-masing sisi benar-benar dekat dan mereka tampaknya dapat dengan mudah menyamakan kecepatan dengan kuda-kuda itu. Kemudian awan bergulung pergi. Sinar rembulan, terang luar biasa, memperlihatkan segalanya hampir seperti di siang hari. Kedua kuda dan kedua penunggangnya berpacu begitu dekat hampir seolah mereka sedang dalam perlombaan. Bree bahkan berkata (setelahnya) belum pernah ada pertandingan yang semenakjubkan itu di Calormen.
Shasta kini sudah pasrah dan mulai mengira-ngira apakah singa biasanya membunuhmu dengan cepat atau mempermainkan mangsanya dulu seperti kucing terhadap tikus, dan seberapa besar rasa sakit yang mungkin dideritanya.
Di saat yang sama (seseorang biasa melakukan ini pada saat-saat merasa sangat ketakutan) dia memerhatikan segalanya. Dia melihat penunggang di sebelahnya bertubuh sangat kecil, kurus, mengenakan baju besi (bulan menyinari baju besinya), dan menunggangi kuda dengan sangat mahir. Penunggang itu tidak berjanggut.
Sesuatu yang datar dan mengilap terbentang di depan mereka. Sebelum Shasta bahkan sempat menebak apa benda itu, dia merasakan ceburan besar dan mendapati mulutnya penuh air asin. Benda mengilap itu ternyata permukaan air sungai yang menuju laut. Kedua kuda tersebut berenang hingga air mencapai, lutut Shasta. Terdengar auman marah di belakang mereka, dan saat Shasta menoleh ke belakang, Shasta melihat sosok besar, berbulu,, dan mengerikan berjongkok di tepi pantai, tapi hanya satu sosok. Mungkin kami telah membuat singa yang satu lagi ketinggalan, pikirnya.
Si singa sepertinya tidak menganggap mangsanya seberharga itu sampai harus merelakan tubuhnya basah, yang pasti dia tidak melakukan usaha apa pun untuk terjun ke air dan mengejar. Kedua kuda itu, berdampingan, kini berada cukup di tengah sungai dan mereka bisa melihat jelas tepi seberang sungai. Sang Tarkaan belum juga mengatakan apa pun. Tapi dia akan berbicara, pikir Shasta. Segera setelah kami berada di daratan. Apa yang harus kukatakan" Aku harus memikirkan sebuah cerita.
Kemudian, mendadak, dua suara berbicara di sampingnya.
"Oh, aku capek sekali," kata satu suara.
"Tahan lidahmu, Hwin, dan jangan bersikap bodoh," kata yang satunya lagi.
Aku pasti bermimpi, pikir Shasta. Aku berani bersumpah aku mendengar kuda orang itu bicara.
Tak lama kemudian kedua kuda itu tidak lagi berenang tapi berjalan, dan tak lama setelah itu, bersamaan dengan suara air yang keras mengalir di samping tubuh dan pada kibasan ekor mereka serta entakan batu-batu kecil yang diinjak delapan kaki, mereka keluar, lebih jauh menuju daratan di tepi sungai itu. Sang Tarkaan, ini membuat Shasta terkejut, tidak menunjukkan keinginan bertanya. Dia bahkan tidak memandang Shasta dan tampak tak sabar untuk segera memacu kudanya pergi Namun Bree segera menghalangi jalan kuda lain tersebut.
"Broo-hoo-hah!" dia mendengus. "Tenang dulu! Aku mendengarmu, ya jelas sekali. Tidak ada gunanya berpura-pura, Ma'am. Aku medengarmu. Kau Kuda yang Bisa Berbicara, kuda Narnia seperti diriku."
"Apa hubungannya denganmu kalau dia memang seperti yang kautuduhkan"" tanya si penunggang asing ketus, meletakkan tangannya pada gagang pedangnya. Tapi suara yang menyuarakan kata-kata itu telah memberitahu Shasta sesuatu.
"Astaga, dia hanya anak perempuan!" serunya.
"Dan apa urusannya denganmu kalau hanya anak perempuan"" bentak si orang asing "Kau juga hanya anak laki-laki, anak laki-laki kecil biasa yang tak tahu sopan santun--budak mungkin, yang mencuri kuda majikannya."
"Itu kan menurutmu," kata Shasta.
"Dia bukan pencuri, Tarkheena," k
ata Bree "Setidaknya kalaupun ada pencurian, kau bisa berkata akulah yang menculik dirinya. Lalu soal apa urusannya denganku, kau tidak berpikir aku akan membiarkan lady dari rasku sendiri di negeri asing lewat begitu saja tanpa berbincang dengannya, kan" Rasanya lazim bila aku melakukan itu."
"Kurasa juga begitu," kata si kuda betina.
"Aku minta kau menjaga lidahmu, Hwin," kata si anak perempuan. "Lihatlah masalah yang kautimpakan pada kita sekarang."
"Aku tidak tahu soal masalah," kata Shasta. "Kau boleh pergi kapan pun kau mau. Kami tidak akan menahanmu."
"Tidak, kau tidak akan melakukan itu," kata si anak perempuan.
"Manusia memang makhluk yang gemar bertengkar," kata Bree kepada si kuda betina. "Mereka seburuk keledai. Marilah kita coba bicara dengan akal jernih. Kalau aku boleh menebak, Ma'am, kisahmu sama seperti kisahku" Ditangkap di usia muda--bertahun-tahun menjadi budak di antara penduduk Calormen""
"Betul sekali, Sir," kata si kuda betina, dengan ringkikan sedih.
"Dan sekarang, mungkin--melarikan diri""
"Beritahu padanya untuk mengurusi urusannya sendiri, Hwin," kata si anak perempuan.
"Tidak, aku tidak akan mengatakannya, Aravis," kata si kuda betina, menarik telinganya ke belakang. "Ini pelarianku juga, bukan hanya pelarianmu. Dan aku yakin kuda perang yang agung sepertinya tidak akan mengkhianati kita: Kami berusaha melarikan diri, menuju Narnia."!
"Dan begitu juga, tentu saja, kami," kata Bree. "Tentunya kau bisa langsung menebak itu. Anak laki-laki dengan baju compang-camping mengendarai (atau berusaha mengendarai) kuda perang di tengah malam tidak bisa berarti lain kecuali usaha pelarian atau semacamnya. Dan, kalau aku boleh menambahkan, seorang Tarkheena berdarah bangsawan berkuda sendiri di malam hari--mengenakan baju zirah saudara laki-lakinya--dan sangat bersikeras supaya orang lain mengurus urusannya sendiri dan tidak bertanya macam-macam padanya--yah, kalau itu tidak mencurigakan, sebut saja aku kuda!"
"Baiklah," kata Aravis. "Kau sudah menebaknya. Hwin dan aku melarikan diri. Kami berusaha mencapai Narnia. Dan sekarang, apa yang kauinginkan""
"Yah, kalau begitu, apa lagi yang mencegah kita untuk tidak pergi bersama"" kata Bree "Aku percaya, Madam Hwin, kau akan menerima bantuan dan perlindungan yang mungkin bisa kuberikan kepadamu selama perjalanan."
"Kenapa kau terus-menerus bicara pada kudaku dan bukannya padaku"" tanya si anak perempuan.
"Maaf, Tarkheena," kata Bree (sambil sedikit menggerakkan kedua telinganya ke belakang,) "tapi itu kebiasaan Calormen. Kami warga Narnia yang bebas, Hwin dan aku, dan kurasa, kalau kau hendak melarikan diri ke Narnia, kau juga mau dianggap begitu. Dilihat dari sudut mana pun, Hwin bukanlah kudamu lagi. Seseorang bisa saja malah berkata kau manusianya."
Si anak perempuan membuka mulutnya untuk berkata-kata namun berhenti. Jelas sekali dia belum pernah melihatnya dari cara pandang itu.
"Tetap saja," katanya setelah terdiam sesaat, "aku tidak melihat banyak keuntungan bila kita pergi bersama. Bukankah dengan begitu kita akan lebih kentara""
"Justru tidak," kata Bree, dan si kuda betina berkata, "Oh, ayolah. Aku akan merasa lebih nyaman. Kita bahkan tidak terlalu yakin dengan arah jalannya. Aku yakin kuda perang bijak seperti dirinya tahu jauh lebih banyak daripada kita."
"Oh, sudahlah, Bree," kata Shasta, "biarkan mereka melanjutkan perjalanan sendiri. Kaukan bisa melihat mereka tidak menginginkan kita."
"Tapi kami menginginkan kalian," kata Hwin.
"Tunggu dulu," kata si anak perempuan "Aku tidak keberatan pergi bersamamu, Pak Kuda Perang, tapi bagaimana dengan anak laki-laki itu" Bagaimana aku bisa yakin dia bukanlah mata-mata""
"Kenapa kau tidak langsung saja bilang bah wa menurutmu aku tidak cukup layak bagi mu"" tanya Shasta.
"Diamlah, Shasta," kata Bree. "Pertanyaan Tarkheena ini cukup masuk di akal. Aku akan menjamin anak laki-laki ini, Tarkheena. Dia selalu jujur padaku dan merupakan teman baik. Dan dia jelas-jelas warga Narnia atau orang Archenland."
"Baiklah kalau begitu. Kita pergi bersama. Tapi dia tidak mengatakan apa-apa pada
Shasta dan jelas sekali dia menginginkan Bree, bukan anak itu.
"Bagus!" kata Bree. "Dan sekarang karena ada air di antara diri kita dan hewan-hewan mengerikan itu, bagaimana kalau kalian manusia melepas sadel kami, supaya kita bisa beristirahat dan bertukar cerita"" .
Kedua anak itu membuka sadel kuda-kuda mereka. Kedua kuda itu melahap sedikit rumput dan Aravis mengeluarkan santapan-santapan lezat dari kantong sadelnya. Tapi Shasta merajuk dan berkata, tidak, terima kasih, dan bahwa dia tidak lapar. Dan Shasta berusaha memasang sikap yang dipikirnya anggun dan kaku, tapi karena pondok nelayan bukanlah tempat yang tepat untuk belajar sopan santun, hasilnya buruk sekali. Dan dia separo menyadari usahanya ini gagal sehingga menjadi lebih merajuk lagi dan makin canggung daripada sebelumnya. Sementara itu kedua kuda bergaul akrab sekali. Mereka mengingat tempat-tempat yang sama di Narnia--"daratan berumput di atas bendungan berang-berang"--dan mendapati bahwa ternyata kemungkinan orangtua mereka bersepupu jauh. Ini membuat suasana semakin dan semakin tidak nyaman untuk kedua manusia sampai akhirnya Bree berkata, "Dan sekarang, Tarkheena, ceritakan kepada kami kisahmu. Dan tidak perlu terburu-buru--aku merasa nyaman saat ini."
Aravis segera memulai, duduk nyaris tak bergerak dan menggunakan nada suara dan gaya bicara yang agak berbeda daripada sebelumnya. Karena di Calormen, bercerita (apakah ceritanya kisah nyata maupun buatan) adalah keterampilan yang diajarkan, seperti anak-anak di Inggris diajarkan menulis esai. Bedanya orang-orang mau mendengar cerita-cerita itu, sementara aku tidak pernah mendengar ada orang yang mau membaca esai.
BAB TIGA Di Gerbang Tashbaan NAMAKU," kata si anak perempuan segera, "adalah Aravis Tarkheena dan aku putri tunggal Kidrash Tarkaan, bin Rishti Tarkaan, bin Kidrash Tarkaan, bin Ilsombreh Tisroc, bin Ardeeb Tisroc yang merupakan keturunan langsung Dewa Tash. Ayahku penguasa provinsi Calavar dan orang yang memiliki hak berdiri di atas kedua kakinya di hadapan Tisroc sendiri (semoga dia selamanya kekal). Ibuku (semoga dia dalam damai beserta para dewa) sudah meninggal dan ayahku telah menikah lagi. Salah satu saudara laki-lakiku gugur dalam pertempuran melawan pemberontak di Barat Jauh sedang saudara laki-lakiku yang satu lagi masih kanak-kanak. Sudah lama istri ayahku, ibu tiriku, membenciku, dan matahari yang tampak gelap biasa muncul di matanya selama aku hidup di rumah ayahku. Jadi dia membujuk Ayah untuk menjanjikan diriku menikah dengan Ahoshta Tarkaan, Ahoshta ini berasal dari keturunan tidak murni, walau dalam tahun-tahun terakhir ini dia telah membuat Tisroc (semoga dia selamanya kekal) menyukainya lewat bujuk rayu dan saran-saran keji. Kini dia telah diangkat menjadi Tarkaan dan penguasa banyak kota, dan kemungkinan besar akan ditunjuk menjadi Penasihat Tinggi ketika Penasihat Tinggi yang sekarang meninggaL Terlebih lagi dia setidaknya berusia enam puluh tahun dan punggungnya berpunuk, dan wajahnya mirip kera. Namun tetap saja ayahku, karena kekayaan dan kekuasaan Ahoshta ini dan bujukan istrinya, mengutus pengirim-pengirim pesan untuk menawarkan diriku menjadi istrinya. Tawaran itu disambut gembira dan Ahoshta mengirim kabar dia akan menikahiku tahun ini pada pertengahan musim panas.
"Ketika kabar ini disampaikan kepadaku matahari tampak gelap di mataku dan aku berbaring di tempat tidur dan menangis sehari penuh. Tapi pada hari kedua aku bangkkit mencuci muka, dan memasang sadel pada Hwin kuda betinaku, membawa pisau pendek tajam yang dibawa saudara laki-lakiku ke perang-perang di daerah Barat, lalu berkuda sendirian. Dan ketika rumah ayahku hilang dari pandangan dan aku sampai di dataran hijau terbuka di suatu hutan yang tidak ditinggali manusia, aku turun dari Hwin kuda betinaku dan menghunuskan pedang. Kemudian aku membuka pakaian di bagian yang kupikir paling mudah bagiku untuk melukai jantungku dan berdoa kepada semua dewa agar segera setelah aku mati, aku akan langsung bertemu saudara laki-lakiku. Setelah itu aku memejamkan mata dan mengatupkan geligi, bersiap-siap mengh
unjamkan pedang pendek ke jantungku. Tapi sebelum aku melakukan itu, kuda betina ini berbicara dengan suara putri manusia dan berkata, "O nonaku, jangan melakukan apa pun yang bisa melukai dirimu, karena bila kau hidup kau mungkin masih bisa mendapatkan nasib baik, sementara yang mati hanya bisa mati."
"Aku tidak mengatakannya sebagus itu, bahkan tidak separuhnya," gumam si kuda betina.
"Sstt, Ma'am, sstt," kata Bree yang sangat menikmati kisah ini. "Dia sedang bercerita dengan cara Calormen yang menakjubkan dan tidak ada pendongeng di seluruh kerajaan Tisroc yang bisa menandinginya. Kumohon lanjutkan, Tarkheena."
"Ketika aku mendengar bahasa manusia diutarakan kuda betinaku," Aravis melanjutkan, "aku berkata pada diriku sendiri, rasa takut akan kematian telah mengacaukan akal sehatku dan membuatku berkhayal. Dan rasa malu langsung memenuhiku karena seharusnya tidak seorang pun anggota keluargaku takut pada kematian, rasa takut pada kematian seharusnya tidak lebih seperti rasa takut pada gigitan serangga. Karena itulah aku kembali mempersiapkan diri untuk menghunjamkan pedang, tapi Hwin menghampiriku dan meletakkan kepalanya di antara tubuhku dan pedangku lalu memaparkan padaku logika-logika mengagumkan dan menasihatiku seperti seorang ibu menasihati anak perempuannya. Dan di saat itu, rasa takjubku sudah begitu luar biasa sehingga aku lupa tentang bunuh diri dan tentang Ahosta lalu berkata, 'O kuda betinaku bagaimana kau belajar cara berbicara seperti putri para manusia"' Dan Hwin memberitahu sesuatu yang diketahui semua bangsanya, bahwa di Narnia ada hewan-hewan yang bisa berbicara, dan bagaimana dia sendiri telah diculik dari tempat itu sejak anak-anak. Dia juga memberitahuku tentang hutan-hutan dan sungai-sungai Narnia, begitu juga kastil-kastil dan kapal-kapal besar, sampai aku berkata, 'Demi Tash, Azaroth, dan Zardeenah, Ratu Penguasa Malam, aku ingin sekali berada di negeri Narnia. 'O nonaku,' kuda betinaku menjawab, 'kalau kau berada di Narnia, kau akan bahagia, dan di tanah itu tidak ada anak gadis yang dipaksa menikah di luar kemauannya.'
"Dan ketika kami telah berbincang-bincang lama sekali, harapan pun kembali tumbuh dalam diriku dan aku bersyukur karena tidak jadi bunuh diri. Terlebih lagi telah terjadi kesepakatan antara Hwin dan aku bahwa kami harus melarikan diri bersama-sama dan menyusun rencana pelarian itu. Kami pun kembali ke rumah ayahku dan aku mengenakan pakaian terindahku, menyanyi, menari di hadapan ayahku, berpura-pura bahagia akan pernikahan yang telah diaturnya untukku. Aku juga berkata padanya, 'O ayahku dan O pemandangan indah bagi penglihatanku, berikan aku izin dan restumu untuk pergi bersama dayang-dayangku selama tiga hari ke hutan-hutan demi mempersembahkan kurban suci untuk Zardeenah, Ratu Penguasa Malam dan Para Gadis, karena itu sudah selayaknya dilakukan dan menjadi tradisi bagi anak gadis ketika mereka harus mengucapkan selamat tinggal kepada berkah Zardcenah dan mempersiapkan diri mereka untuk pernikahan.' Dia pun menjawab, 'O putriku dan O pemandangan indah bagi penglihatanku, lakukanlah kehendakmu.'
"Tapi ketika aku telah lepas dari pengawasan ayahku, aku langsung pergi menemui budak tertuanya, sekretarisnya, yang telah menimang-nimangku di pangkuannya saat aku masih bayi dan menyayangiku lebih daripada udara dan cahaya. Dan aku menyuruhnya bersumpah menjaga rahasia dan memohonnya menulis sepucuk surat untukku. Dia pun menangis dan membujukku untuk mengubah keputusan tapi akhirnya dia berkata, 'Hamba dengar dan akan mematuhi,' dan memenuhi semua keinginanku. Kemudian aku menyegel surat itu dan menyembunyikannya di dadaku."
"Tapi apa isi surat itu"" tanya Shasta.
"Diamlah, anak muda," kata Bree. "Kau akan merusak ceritanya. Dia akan memberitahu kita apa isi surat itu bila saatnya tiba. Lanjutkan, Tarkheena."
"Kemudian aku memanggil dayang yang ditugaskan menemaniku pergi menuju hutan untuk melakukan upacara demi Zardeenah dan memberitahunya untuk membangunkanku pagi-pagi sekali. Aku juga bercakap-cakap, bercanda dengannya, dan memberinya anggur untuk diminum, tapi aku ju
ga telah mencampurkan sesuatu dalam cangkirnya supaya dia tertidur selama satu malam dan satu siang. Segera setelah seluruh anggota rumah ayahku terlelap, aku bangkit dan mengenakan baju zirah saudara laki-lakiku yang selalu kusimpan di kamarku demi mengenangnya. Aku memasukkan semua uang yang aku punya dan beberapa perhiasan ke sabuk baju dalamku, lalu melengkapi diriku dengan makanan, memasang sadel kuda betinaku dengan tanganku sendiri, dan berkuda pergi pada giliran jaga malam kedua. Aku menjauhi hutan yang ayahku kira akan kudatangi, dan malah mengarah ke utara dan timur menuju Tashbaan.
"Tiga hari lebih berlalu dan aku tahu ayahku tidak akan mencariku karena telah dikelabui kata-kata yang kuucapkan sendiri kepadanya. Dan di hari keempat kami tiba di kota Azim Balda. Kini Azim Balda terletak di pertemuan banyak jalan dan melaluinyalah para petugas Pos Tisroc (semoga dia selamanya kekal) mengendarai kuda-kuda cepat ke seluruh penjuru kerajaan: dan adalah salah satu hak juga pelayanan istimewa yang dimiliki Tarkaan berposisi tinggi untuk mengirim pesan lewat mereka. Aku pun pergi menemui Kepala Pengirim Pesan di Kantor Pos Kerjaan di Azim Balda dan berkata, 'O penyampai pesan, ini surat dari pamanku Ahoshta Tarkaan untuk Kidrash Tarkaan, penguasa Calavar. Ambillah lima crescent ini dan pastikan pesan ini terkirim kepadanya. Lalu Kepala Pengirim Pesan berkata, 'Hamba dengar dan akan mematuhi.'
"Surat itu telah ditulis sedemikian rupa sehingga seolah dibuat Ahoshta dan beginilah inti pesan yang tertulis di dalamnya: 'Ahoshta Tarkaan kepada Kidrash Tarkaan, salam dan damai besertamu. Atas nama Tash yang tak terhentikan dan tergoyahkan. Izinkan aku memberitahumu bahwa ketika aku mengadakan perjalanan menuju rumahmu untuk membuat kontrak pernikahan antara diriku dan putrimu Aravis Tarkheena, karena keberuntungan dan kehendak para dewa, aku bertemu dengannya di hutan ketika dia selesai melaksanakan ritual dan pengorbanan untuk Zardeenah sesuai tradisi para gadis. Dan ketika aku mengetahui siapa dirinya, bahagia karena kecantikan dan kecerdasannya, diriku begitu terbakar cinta dan tampaknya matahari akan menjadi gelap bagiku jika aku tidak segera menikahinya. Maka sudah sepantasnya aku menyiapkan pengorbanan-pengorbanan yang dibutuhkan, menikahi putrimu di jam yang sama dengan saat aku bertemu dengannya, dan telah kembali ke rumahku bersamanya. Dan kami berdua juga ingin mengundangmu untuk datang kemari secepat yang kau bisa, sehingga kebahagiaan kami bisa bertambah lengkap dengan melihat wajahmu dan mendengar suaramu. Di saat yang sama kau bisa membawa emas kawin istriku, yang amat kubutuhkan dengan segera karena alasan biaya perang-perang besarku dan pengeluaran-pengeluaran lain. Dan karena kau dan aku bersaudara, aku meyakinkan diri bahwa kau tidak akan marah karena pernikahanku yang tergesa-gesa ini, yang hanya dikarenakan cinta luar biasa yang kurasakan kepada putrimu. Aku berdoa semoga para dewa selalu melindungimu.'
"Segera setelah melakukan ini, aku memacu kuda dari Azim Balda tanpa mengkhawatirkan pengejaran lagi dan berharap ayahku, setelah menerima surat itu akan mengirim pesan ke Ahoshta atau langsung pergi ke sana sendiri dan bahwa sebelum semua masalah terpecahkan, aku akan sudah berada jauh dari Tashbaan. Dan itulah inti singkat ceritaku hingga malam ini ketika aku dikejar singa-singa dan bertemu kalian saat berenang di air bergaram."
"Lalu apa yang terjadi pada gadis itu--dayang yang kauberi obat bius"" tanya Shasta.
"Tidak perlu diragukan dia akan dipukuli karena tertidur terlalu lama," kata Aravis tenang. "Tapi toh dia hanya alat dan mata-mata ibu tiriku. Aku sangat lega mereka memukulnya."
"Ya ampun, itu tidak bisa dibilang adil," kata Shasta.
"Aku tidak melakukan semua itu demi bisa menyenangkan hatimu," kata Aravis.
"Lalu ada hal lain yang tidak kumengerti dalam ceritamu," kata Shasta. "Kau kan belum dewasa, kurasa kau tidak lebih tua daripada aku. Aku bahkan tidak yakin kau seumur denganku. Bagaimana bisa kau menikah diusia semuda ini""
Aravis tidak mengatakan apa-apa, tapi Bree langsung berkat
a, "Shasta, jangan terlalu menunjukkan kebodohanmu. Dalam keluarga bangsawan Tarkaan, adalah biasa bagi mereka untuk menikah pada usia semuda itu."
Wajah Shasta langsung bersemu merah sekali (walaupun tidak mungkin yang lain bisa melihat ini karena suasana begitu gelap) dan anak itu merasa sebal. Aravis meminta Bree menceritakan kisahnya. Bree mengabulkan permintaan itu dan Shasta merasa kuda itu terlalu melebih-lebihkan bagian dirinya terjatuh dan tidak bisa berkuda dengan baik. Tampak jelas Bree merasa bagian itu sangat lucu, tapi Aravis tidak tertawa. Ketika Bree selesai berkisah mereka semua pergi tidur.
Hari berikutnya keempat makhluk itu, dua kuda dan dua manusia, melanjutkan perjalanan mereka bersama-sama. Shasta merasa perjalanan jauh lebih menyenangkan ketika hanya ada dirinya dan Bree. Karena kini hampir semua percakapan dikuasai Bree dan Aravis. Bree telah hidup lama di Calormen dan selalu berada di antara bangsa Tarkaan dan kuda-kuda Tarkaan, sehingga tentu saja dia tahu banyak orang dan tempat yang sama dengan Aravi. Aravis akan selalu mengatakan hal-hal seperti, "Tapi kalau kau ikut serta dalam peran Zulindreh kau akan bertemu sepupuk Alimash," dan Bree akan menjawab, "Oh, y, Alimash, tapi dia kan hanya kapten pasuka kereta perang. Aku tidak terlalu sering mengadakan kontak dengan pasukan kereta perang atau kuda-kuda yang menarik kereta-kereta itu. Mereka bukan kavaleri yang sesungguhnya. Tapi dia bangsawan terhormat. Dia memenuhi kantong makananku dengan gula setelah penaklukan Teebeth." Atau di lain kesempatan Bree akan berkata, "Aku sedang berada di Danau Mezreel musim panas itu," dan Aravis akan berkata, "Oh, Mezreel! Aku punya teman di sana, Lasaraleen Tarkheena. Tempat itu menyenangkan sekali. Taman-tamannya dan lembah Ribuan Wangi!" Bree sebenarnya tidak berusaha tidak melibatkan Shasta dalam pembicaraan, walaupun Shasta nyaris berpikir itulah yang sengaja dilakukannya. Orang-orang yang tahu berbagai hal yang sama nyaris tidak bisa menahan diri untuk tidak berbincang tentang hal-hal itu, dan kalau kau berada di tengah-tengahnya kau tidak bisa menahan diri untuk tidak merasa terkucil.
Hwin si kuda betina agak malu berada di dekat kuda pejuang besar seperti Bree sehingga tidak berkata banyak. Dan Aravis nyaris tidak pernah bicara pada Shasta selama dia bisa mencegahnya.
Namun tak lama kemudian ada hal-hal penting yang harus dipikirkan. Mereka semakin dekat dengan Tashbaan. Akan ada lebih banyak desa yang juga lebih besar, serta lebih banyak orang di jalan. Mereka kini melakukan nyaris semua perjalanan di malam hari dan bersembunyi sebisa mungkin di siang hari. Dan pada setiap pemberhentian, mereka akan berdebat dan berdebat tentang apa yang harus mereka lakukan saat mereka mencapai Tashbaan. Keempat makhluk itu telah menunda membicarakan masalah ini, tapi kini tidak bisa ditunda lagi. Selama diskusi-diskusi ini, Aravis menjadi sedikit, sangat sedikit, ramah kepada Shasta. Seseorang biasanya bergaul lebih baik dengan orang lain ketika dia sedang membuat rencana, daripada ketika dia berbicara tanpa tujuan yang terlalu jelas.
Bree berkata hal pertama yang harus dilakukan sekarang adalah menentukan tempat mereka semua bisa berjanji bertemu kembali di sisi lain Tashbaan bahkan, bila nasib buruk datang, mereka terpisah saat menyeberangi kota itu. Dia berkata tempat terbaik adalah Makam Raja-raja Masa Lampau di ujung padang pasir, "Makam itu bentuknya seperti sarang lebah batu besar," katanya. "Kalian tidak akan kesulitan mencarinya. Dan yang terpenting, tidak ada penduduk Calormen yang berani dekat-dekat daerah itu karena mereka berpikir tempat itu berhantu." Aravis bertanya apakah tempat itu memang benar-benar berhantu. Tapi Bree menjawab dia kuda Narnia yang bebas dan tidak percaya pada cerita-cerita Calormen. Kemudian Shasta berkata dia juga bukan penduduk Calormen sehingga tidak setitik pasir pun peduli pada cerita-cerita kuno tentang hantu itu. Ini tidak sepenuhnya benar. Tapi pernyataan ini agak membuat Aravis kagum (walau sekaligus cukup mengganggunya juga) dan tentu saja berkata dia juga tidak
peduli pada hantu. Jadi telah diputuskan makam itu akan menjadi tempat pertemuan mereka di luar Tashbaan, dan semuanya merasa rencana mereka tersusun baik ketika Hwin dengan rendah hati mengingatkan masalah utama adalah bukan tempat yang bisa mereka tuju ketika mereka telah melewati Tashbaan, tapi justru bagaimana mereka bisa melalui kota itu.
"Kita akan membereskan masalah itu besok, Ma'am," kata Bree. "Sekarang saatnya untuk tidur."
Tapi ternyata masalah ini tidak terlalu mudah dipecahkan. Usulan pertama Aravis adalah mereka harus berenang menyeberangi sungai yang terletak di bawah kota di malam hari dan tidak menginjakkan kaki ke kota Tashbaan sama sekali. Tapi Bree punya dua alasan untuk menentang usulan ini. Salah satunya adalah mulut sungai begitu luas dan jaraknya terlalu jauh bagi Hwin untuk menyeberanginya, terutama dengan beban di punggungnya. (Bree juga berpikir jarak ini terlalu jauh untuknya, tapi tidak terlalu banyak mengungkit soal itu. ) Alasan lain adalah sungai tersebut akan ramai dengan kapal dan tentu saja bagi siapa pun yang sedang berada di dek, pemandangan dua kuda berenang melewati mereka akan sangatmencurigakan.
Shasta mengajukan mereka pergi ke sungai yang mengalir di atas Tashbaan dan menyeberanginya di bagian sungai yang lebih sempit, Tapi Bree menjelaskan ada taman-taman dan, rumah-rumah peristirahatan di kedua sisi sungai itu sepanjang bermil-mil, juga akan ada Tarkaan serta Tarkheena yang tinggal di sana, berkuda di jalan-jalan dekat sungai, dan mengadakan pesta air di sungai. Bahkan di dunia ini, tempat itu merupakan tempat yang paling memungkinkan mereka bertemu seseorang yang bisa mengenali Aravis dan dirinya sendiri.
"Kita harus punya penyamaran," kata Shasta.
Hwin berkata menurutnya pilihan teraman adalah pergi langsung melewati gerbang ke gerbang karena orang paling tidak menarik perhatian saat melewati kerumunan. Tapi dia juga menyetujui ide penyamaran. Dia berkata, "Kedua manusia harus mengenakan baju compang-camping dan tampak seperti petani atau budak. Dan semua baju zirah Aravis, sadel kami, dan berbagai benda harus dijadikan buntel dan diletakkan di punggung kami para kuda. Kedua anak bisa berpura-pura menuntun kami dan orang-orang akan berpikir kami hanya kuda pengangkut beban."
"Hwin sayangku!" kata Aravis agak menghina. "Siapa pun bisa mengenali Bree sebagai kuda perang bagaimanapun kita menyamarkannya.
"Aku pun sependapat," kata Bree, mendengus dan membiarkan kedua telinganya sedikit menghadap ke belakang.
"Aku tahu ini bukan ide yang terbaik," kata Hwin. "Tapi kurasa hanya ini kesempatan kita. Lagi pula sudah lama sekali kami tidak dibersihkan sehingga toh kami tidak tampak seperti diri kami biasanya (setidaknya, aku yakin aku tidak). Aku benar-benar berpendapat kalau kami melumuri baik-baik tubuh kami dengan lumpur dan berjalan sambil menunduk seolah lelah dan malas--dan menyeret kaki kami--kita mungkin tidak akan diperhatikan. Dan ekor kami harus dipotong lebih pendek: tidak dengan rapi, kau tahu kan, tapi asal-asalan."
"Madam terhormat," kata Bree. "Apakah kau sudah membayangkan di benakmu sendiri betapa tidak layaknya tiba di Narnia dalam kondisi seperti itu"
"Yah," kata Hwin rendah hati (dia kuda betina yang berakal jernih), "yang terpenting adalah bisa sampai ke sana."
Walaupun tidak ada yang terlalu menyukainya, justru rencana Hwin-lah yang akhirnya dilaksanakan. Rencana itu cukup merepotkan dan melibatkan banyak kegiatan yang disebut Shasta mencuri, tapi Bree menyebutnya "menyerbu". Satu peternakan kehilangan beberapa karung malam itu dan peternakan lain kehilangan seikat tali, tapi beberapa pakaian usang anak laki-laki untuk dipakai Aravis harus dibeli secara adil dan dibayar di desa. Shasta kembali bergabung dengan sukses tepat ketika malam nyaris berakhir. Yang lain menunggunya di antara pepohonan di dataran rendah di kaki bukit berhutan yang terletak tepat di seberang jalan mereka. Semua orang merasa antusias karena ini bukit terakhir yang harus dilalui, ketika mereka mencapai ujung puncaknya, mereka akan menatap ke bawah ke Tashbaan.
"Aku benar-bena r berharap kita bisa lewat dengan selamat," gumam Shasta ke Hwin.
"Oh, aku juga, aku juga," kata Hwin penuh semangat.
Malam itu mereka mencicil perjalanan melewati hutan menuju puncak bukit melalui jalan setapak penebang pohon. Dan ketika mereka keluar dari pepohonan, di puncak sana mereka bisa melihat ribuan cahaya di lembah di bawah mereka. Shasta sama sekali tidak punya bayangan seperti apakah kota besar itu dan hal ini membuatnya takut. Mereka makan malam dan kedua anak itu tidur. Tapi dua kuda membangunkan mereka pagi-pagi sekali.
Bintang-bintang masih bertengger di langit dan rerumputan sangat dingin dan basah, tapi fajar baru saja akan datang, jauh di sebelah kanan mereka di seberang lautan. Aravis pergi beberapa langkah ke hutan dan kembali berpenampilan aneh dalam pakaian usang barunya dan membawa baju aslinya dalam buntel. Baju-baju itu, baju besi, perisai, pedang, dua sadel, dan peralatan kuda yang indah lainnya dimasukkan ke karung. Bree dan Hwin sudah membuat diri mereka sekotor dan seberlumpur mungkin, kemudian tibalah saatnya untuk memendekkan ekor mereka. Karena satu-satunya alat yang bisa dipakai untuk melakukan ini adalah pedang Aravis, salah satu karung harus dibongkar lagi untuk mengeluarkannya. Pemotongan ekor itu ternyata membutuhkan waktu lama dan agak menyakiti kedua kuda.
"Astaga!" kata Bree. "Kalau aku bukan Kuda yang Bisa Berbicara, aku akan memberimu tendangan yang indah! Kukira kau akan memotongnya, bukan menariknya. Itulah yang aku rasakan."
Tapi setelah melalui suasana yang agak muram dan jemari yang tidak terampil, akhirnya semua berakhir: karung-karung besar terikat ke punggung kedua kuda, kekang dari tali goni (yang kini dipasangkan ke mereka untuk menggantikan tali sais dan kekang dari kulit) dipegang kedua anak, dan perjalanan dimulai.
"Ingat," kata Bree. "Sebisa mungkin kita tetap harus bersama. Kalau tidak, kita bertemu di Makam Raja-raja Masa Lampau, dan siapa pun yang sampai di sana duluan harus menunggu yang lain."
"Dan ingat," kata Shasta. "Jangan sampai kalian para kuda lupa diri dan mulai berbicara, apa pun yang terjadi."
BAB EMPAT Shasta Berjumpa Warga Narnia
AWALNYA Shasta tidak bisa melihat apa pun di lembah di bawah dirinya kecuali lautan kabut dengan beberapa kubah dan pucuk bangunan yang menembusnya, tapi begitu cahaya menyebar dan kabut mulai menghilang, semakin banyak yang dia lihat. Sungai luas terbagi menjadi dua aliran air dan pada pulau di antaranya berdirilah kota Tashbaan, salah satu kejaiban dunia. Di sekeliling tepi pulau, tempat air mengelilingi batu, berdirilah dinding tinggi yang dipermegah dengan begitu banyak menara sehingga Shasta pun menyerah berusaha menghitungnya. Di dalam dinding-dinding pulau itu, berdiri di bukit dan pada setiap bagian bukit itu, mulai dari istana Tisroc dan kuil besar Tash di puncak, bangunan-bangunan tersebar menutupi semua permukaan--dari teras ke teras, jalan ke jalan, jalan raya yang berzig-zag atau tangga-tangga besar dan tinggi yang dipagari pohon jeruk dan lemon, taman-taman di atap, balkon, ceruk memanah yang dalam, atap berpilar, puncak piramida bangunan, ceruk benteng, menara sempit, batu lancip hiasan puncak atap. Dan ketika akhirnya matahari keluar dari dalam lautan dan kubah berlapis perak kuil membiaskan kembali sinarnya, mata Shasta nyaris buta.
"Ayo jalan, Shasta," Bree terus-menerus berkata.
Tepi sungai di setiap sisi lembah ditanami kebun yang begitu rimbun sehingga nyaris terlihat seperi hutan, sampai kau mendekat dan melihat dinding putih yang terdiri atas begitu banyak rumah mengintip dari balik pohon-pohon. Tak lama setelah itu, Shasta menyadari wangi luar biasa bunga dan buah. Sekitar lima belas menit kemudian mereka berada di antara bunga-bunga dan bebuahan itu, berjalan pelan di jalan rata dengan dinding-dinding putih di setiap sisi dan pepohonan membungkuk di atas dinding-dinding itu.
"Astaga," kata Shasta dengan suara penuh kekaguman. "Tempat ini menakjubkan!"
"Aku sependapat," kata Bree. "Tapi aku berharap kita bisa melewatinya dengan selamat dan sampai ke seberang. Menuju Narnia dan negeri
Utara!" Pada saat itu suara rendah yang berdenyut mulai terdengar, dan akhirnya secara berkala mulai mengeras sampai seluruh lembah itu rasanya ikut berayun bersamanya. Suara itu bernada seperti musik, tapi begitu kuat dan agung sehingga terasa agak menakutkan.
"Itu suara terompet tanduk yang dibunyikan agar gerbang-gerbang kota dibuka," kata Bree. "Kita akan sampai di sana dalam beberapa menit. Sekarang, Aravis, bungkukkan bahumu sedikit, langkahkan kakimu dengan berat, dan berusahalah tidak terlalu terlihat seperti putri. Coba bayangkan kau telah ditendang, dirantai, dan dihina sepanjang hidupmu."
"Kalau aku harus melakukan itu," kata Aravis, "mungkin sebaiknya kau juga menurunkan kepala sedikit, merendahkan leher, dan berusaha tidak terlalu terlihat seperti kuda perang""
"Sstt," kata Bree. "Kita sudah sampai."
Dan memang benar. Mereka telah tiba di ujung sungai, dan jalanan di depan mereka terbentang di atas jembatan yang disangga banyak tiang berlengkung. Permukaan air berkilauan bagai permata tertimpa sinar matahari pagi. Jauh di sebelah kanan mereka, lebih dekat dengan mulut sungai, mereka melihat sekilas tiang-tiang kapal. Beberapa pengelana lain berada di depan mereka di jembatan itu, sebagian besar petani mengendarai keledai dan kerbau yang mengangkut banyak beban, atau membawa keranjang di kepala mereka. Kedua anak dan kedua kuda itu menggabungkan diri ke dalam kerumunan.
"Ada yang salah"" bisik Shasta ke Aravis, yang sejak tadi menampilkan ekspresi aneh.
"Oh, semua ini tidak ada yang salah bagimu," bisik Aravis agak sengit. "Memangnya apa pedulimu terhadap Tashbaan" Tapi aku seharusnya masuk ke kota ini dengan mengendarai tandu dengan prajurit-prajurit di depanku dan budak-budak di belakang, dan mungkin menuju istana Tisroc (semoga dia selamanya kekal) untuk berpesta--bukannya menyelundup seperti ini. Keadaan tidak sama buatmu."
Shasta merasa semua itu sangat konyol.
The Chronicles Of Narnia 4 Kuda Dan Anak Manusia The Horse And His Boy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di ujung dalam jembatan, dinding-dinding kota menjulang tinggi di depan mereka dan gerbang-gerbang kuningan berdiri terbuka di pintu masuk yang sebenarnya sangat lebar tapi tampak sempit karena tinggi sekali. Setengah lusin prajurit, bersandar pada tombak-tombak mereka, berdiri di setiap sisi. Aravis tidak bisa mencegah dirinya berpikir, mereka semua akan melompat untuk bersiap dan menghormat padaku kalau mereka tahu aku ini anak siapa. Tapi anggota rombongan yang lain hanya memikirkan cara masuk ke kota dan berharap para prajurit itu tidak bertanya macam-macam. Untungnya mereka tidak melakukan itu. Tapi salah satu prajurit mengambil wortel dari keranjang seorang petani dan melemparkannya ke Shasta sambil tertawa kasar dan berkata:
"Hei! Bujang! Kau akan dapat kesulitan kalau majikanmu tahu kau menggunakan kuda tunggangannya untuk pekerjaan kuli."
Kejadian ini benar-benar membuatnya takut karena tentu saja ini menunjukkan siapa pun yang tahu tentang kuda tidak akan salah mengenali Bree sebagai kuda perang.
"Tapi ini memang perintah tuanku!" kata Shasta. Tapi seharusnya dia menahan lidah karena kini si prajurit meninju sisi mukanya sehingga anak itu nyaris jatuh dan berkata, "Terima itu, sampah kecil, supaya kau tahu sopan santun saat berbicara pada orang bebas." Tapi mereka semua masuk ke kota tanpa diberhentikan. Shasta hanya menangis sedikit--dia sudah terbiasa menerima pukulan keras.
Dari dalam, gerbang Tashbaan tidaklah tampak semenakjubkan seperti tampak dari kejauhan. Jalanan pertama yang mereka temui begitu sempit dan nyaris tidak ada jendela pada dinding-dinding di kedua sisi mereka. Kota itu lebih penuh sesak daripada bayangan Shasta: sesak sebagian karena para petani (dalam perjalanan mereka menuju pasar) yang datang bersama mereka, tapi juga para penjual air, pedagang daging manis, kusir kereta, prajurit, pengemis, anak-anak berpakaian compang-camping, ayam, anjing liar, dan budak bertelanjang kaki. Sesuatu yang akan paling kausadari bila kau berada di sana adalah bau-bauannya, semua bau itu berasal dari orang-orang yang tidak mandi, anjing-anjing yang tidak mandi, wewangian bakar, bawang putih, bawang bombai, dan tumpukan
sampah yang tergeletak di mana-mana.
Shasta berpura-pura memimpin jalan walau sebenarnya Bree-lah yang melakukan itu, kuda itulah yang tahu jalan dan terus membimbingnya lewat serudukan-serudukan kecil dengan hidungnya. Tak lama kemudian mereka berbelok ke kiri dan mulai berjalan menaiki bukit curam. Daerah di sana lebih segar dan menyenangkan karena jalanannya dipagari pepohonan dan rumah-rumah hanya berdiri di sebelah kanan. Di sisi lain mereka bisa melihat dari atas atap rumah-rumah yang berada di bagian kota yang lebih rendah dan bisa melihat bagian atas sungai. Kemudian mereka berputar di belokan berbentuk U ke sebelah kanan dan melanjutkan perjalanan mendaki. Mereka berzig-zag naik ke pusat Tashbaan. Tak lama kemudian mereka sampai di jalanan yang lebih bagus. Patung-patung besar para dewa dan pahlawan Calormen--yang sebagian besar lebih menakjubkan daripada enak dilihat--berdiri di atas alas batu berkilauan. Pohon-pohon palem dan gerbang-gerbang masuk dengan bagian atasnya yang melengkung menjatuhkan bayangan pada trotoar yang terbakar sinar matahari. Dan melalui gerbang-gerbang melengkung itu, Shasta menangkap pemandangan cabang-cabang pohon yang hijau, air mancur yang dingin, dan lapangan rumput yang terawat. Pasti nyaman di dalam, pikirnya.
Pada setiap belokan, Shasta berharap mereka akan keluar dari kerumunan, tapi harapan itu tak pernah tercapai. Ini membuat pergerakan mereka lamban sekali, sesekali mereka bahkan harus benar-benar berhenti. Ini biasanya terjadi karena suara keras berteriak, "Minggir, minggir, minggir, untuk Tarkaan" atau "untuk Tarkheena" atau "untuk Penasihat Kelima Belas" atau "untuk Duta Besar", dan semua orang dalam kerumunan akan memepetkan diri ke tembok, dan dari atas kepala-kepala mereka Shasta terkadang akan melihat lord atau lady besar yang menyebabkan segala kehebohan itu, berlalu di atas tandu yang dipanggul empat atau bahkan enam budak raksasa di bahu telanjang mereka. Di Tashbaan hanya ada satu peraturan lalu lintas, yaitu siapa pun yang tidak lebih penting harus menyingkir untuk siapa pun yang lebih penting, kecuali kau mau mendapatkan luka pecut atau tusukan ujung tumpul tombak.
Jalanan di dekat puncak kota luar biasa sekali (istana Tisroc adalah satu-satunya bangunan di atasnya) ketika penghentian yang paling mengacaukan terjadi.
"Minggir! Minggir! Minggir!" terdengar suara itu. "Minggir untuk Raja Barbar Putih, tamu Tisroc (semoga dia selamanya kekal)! Minggir untuk para penguasa Narnia."
Shasta berusaha menyingkir dan memaksa Bree berbalik. Tapi tidak ada kuda yang bisa berbalik dengan mudah, bahkan kuda yang bisa berbicara dari Narnia. Dan seorang wanita dengan keranjang yang ujung-ujungnya sangat tajam, yang berdiri tepat di belakang Shasta, mendorong keranjang itu keras-keras ke bahunya dan berkata, "Heh! Jangan dorong-dorong!" Kemudian seseorang di sampingnya mendesak Shasta dan dalam kekacauan itu dia kehilangan Bree. Lalu seluruh orang dalam kerumunan di belakangnya menjadi begitu kaku dan sangat penuh sesak sehingga dia tidak bisa bergerak sama sekali. Jadi Shasta mendapati dirinya sendiri, tanpa sengaja berdiri di barisan paling depan dan melihat dengan jelas rombongan yang datang melewati jalan itu.
Rombongan yang ini tidak seperti rombongan lain yang telah mereka lihat hari itu. Sang pemberi pengumuman yang berjalan di depan dan berteriak, "Minggir! Minggir!" merupakan satu-satunya orang Calormen di dalamnya. Dan tidak ada tandu, semua anggota rombongan berjalan kaki. Ada sekitar enam orang dan Shasta belum pernah melihat orang-orang seperti mereka. Dalam satu hal, mereka semua berkulit putih seperti dirinya, dan sebagian besar dari mereka berambut pirang. Mereka juga tidak berpakaian seperti orang Calormen. Sebagian besar dari mereka membiarkan tungkai kaki mereka telanjang hingga ke lutut. Tunik mereka berwarna bagus, terang, dan tegas--hijau hutan, kuning cerah, atau biru segar. Bukannya turban, mereka mengenakan topi-topi besi atau perak, beberapa di antaranya berhiaskan batu mulia, dan salah satu topi itu bersayap kecil di kedua sisinya. Beberapa tidak
mengenakan apa-apa di kepala. Pedang-pedang di sisi tubuh mereka panjang dan lurus, tidak berlekuk seperti pedang orang Calormen. Dan bukannya berjalan dengan muram dan misterius seperti sebagian besar orang Calormen, mereka berjalan dengan langkah terayun ringan dan membiarkan lengan serta bahu mereka bergerak bebas, mereka juga bercakap-cakap dan tertawa-tawa. Salah satu dari mereka bersiul. Kau bisa melihat mereka siap berteman dengan siapa pun yang ramah dan tidak akan peduli dengan siapa pun yang tidak bersikap demikian. Shasta berpikir dia belum pernah melihat apa pun yang semenyenangkan ini selama hidupnya.
Tapi dia tidak sempat lama menikmati pemandangan ini karena segera setelah itu, sesuatu yang sangat mengerikan terjadi. Pemimpin para pria berambut pirang itu mendadak menunjuk Shasta, berteriak, "Itu dia! Itu dia buronan kita!" lalu mencengkeram bahu anak itu. Detik berikutnya dia menampar Shasta--bukan tamparan kejam yang bisa membuatmu menangis tapi cukup keras untuk memberitahumu kau telah melakukan kesalahan dan menambahkan, dengan suara bergetar:
"Kau seharusnya malu, tuanku! Sungguh memalukan! Mata Ratu Susan merah akibat menangis karena dirimu. Luar biasa! Kabur semalaman! Ke mana saja kau""
Shasta bakal berlari ke bawah tubuh Bree dan berusaha bersembunyi di antara kerumunan kalau saja dia punya kesempatan, tapi para pria berambut pirang itu kini telah mengelilinginya dan tubuhnya dipegangi erat.
Tentu saja dorongan pertama yang dirasakannya adalah untuk berkata dia hanya anak Arsheesh nelayan miskin dan bangsawan asing itu telah salah mengenalinya. Tapi kemudian, hal terakhir yang ingin dilakukannya di tempat seramai itu adalah mulai menjelaskan siapa dirinya sebenarnya dan apa yang sedang dilakukannya. Kalau dia memulai itu, tak lama kemudian dia akan mulai ditanya soal dari mana dia mendapatkan kudanya, siapa Aravis--kemudian, dia harus mengucapkan selamat tinggal pada semua kesempatan menembus Tashbaan. Dorongan berikutnya adalah mencari Bree untuk mendapatkan pertolongan. Tapi Bree sama sekali tidak punya keinginan membiarkan semua orang di sana tahu dia bisa berbicara, sehingga kuda itu hanya berdiri dengan tampang sebodoh mungkin. Sedangkan Aravis, Shasta bahkan tidak berani melihat ke arahnya karena takut menarik perhatian. Dan tidak ada kesempatan berpikir, karena pemimpin bangsa Narnia itu langsung berkata:
"Pegang salah satu tangan lord kecil ini, Peridan, kalau kau bersedia, dan aku akan memegang yang satunya. Dan sekarang, ayo kita kembali berjalan. Benak saudari kita sang ratu akan terlepas dari rasa cemas begitu dia melihat pelarian muda kita selamat dan telah berada di penginapan."
Dan demikianlah, sebelum mereka melewati separuh Tashbaan, seluruh rencana mereka berantakan, dan bahkan tanpa mendapat kesempatan mengucapkan selamat tinggal pada yang lain, Shasta mendapati dirinya berjalan di antara orang-orang asing dan tidak mampu menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Sang raja Narnia--Shasta mulai melihat dari cara anggota rombongan yang lain berbicara pada pria itu bahwa dia pastinya raja--terus-menerus bertanya kepadanya: dari mana saja dia, bagaimana dia bisa keluar, apa yang telah dia lakukan pada pakaiannya, dan tidak tahukah dirinya bahwa dia telah bersikap sangat nakal. Hanya saja sang raja menyebutnya "tidak pantas" bukannya nakal.
Dan Shasta tidak mengucapkan apa-apa untuk menjawab, karena dia tidak bisa memikirkan apa pun yang bisa dikatakan yang tidak akan membahayakan posisinya dan teman-temannya.
"Apa ini" Mau terus membisu"" tanya sang raja. "Aku harus jujur memberitahumu, Pangeran, bahwa kebisuan bagai batu ini lebih tidak seperti dirimu ketimbang usaha pelarian itu sendiri. Melarikan diri mungkin bisa dimaklumi sebagai kebandelan anak laki-laki yang kelebihan semangat. Tapi sebagai putra Raja Archenland seharusnya kau berani menghadapi konsekuensi tindakanmu, bukannya menundukkan kepala seperti budak bangsa Calormen."
Komentar ini sangat tidak diharapkan, karena sepanjang waktu itu Shasta merasa raja muda ini tipe orang dewasa yang paling menyenangkan dan d
ia ingin memberi kesan yang baik kepadanya.
Para orang asing itu membawanya--dengan kedua tangan dipegangi erat-erat--melewati jalanan sempit dan menuruni tangga yang rendah kemudian memasuki pintu masuk yang luas di dinding putih dengan dua pohon cypress yang tinggi dan rimbun, masing-masing di salah satu sisi. Sekali melewati gerbang melengkung, Shasta mendapati dirinya berada di lapangan yang juga taman. Mangkuk marmer yang berisi air jernih di tengah taman terus-menerus berbuih karena air mancur yang terjatuh ke dalamnya. Pohon-pohon jeruk tumbuh mengelilinginya di tanah berumput lembut, dan empat dinding putih yang memagari halaman itu ditutupi mawar yang merambat. Kebisingan, debu, dan keramaian jalan-jalan besar mendadak seolah berada begitu jauh dari sana. Shasta diajak berjalan cepat menyeberangi taman itu lalu masuk melewati pintu yang gelap. Sang pemberi pengumuman tetap berada di luar. Setelah itu mereka mengajaknya melewati koridor panjang, di mana lantai batunya terasa begitu menyejukkan bagi kakinya yang kepanasan, dan menaiki beberapa anak tangga.
Sedetik kemudian Shasta mendapati dirinya mengedip-ngedipkan mata karena silau dalam ruangan yang besar dan luas dengan jendela-jendela terbuka lebar, semuanya menghadap ke utara sehingga sinar matahari tidak bisa langsung masuk. Karpet di lantainya terdiri atas warna-warna yang lebih indah daripada apa pun yang pernah dilihatnya dan kakinya langsung tenggelam ke dalamnya seolah dia sedang berjalan melewati lumut tebal. Di sekeliling dinding ada sofa-sofa rendah dengan bantal-bantal mewah di atasnya, dan ruangan itu tampaknya penuh dengan orang, beberapa di antaranya tampak aneh, pikir Shasta. Tapi dia tidak punya kesempatan untuk memikirkan ini karena seorang wanita yang paling cantik yang pernah dilihatnya berdiri dari tempat duduknya, lalu memeluk dan menciumnya, sambil berkata:
"Oh, Corin, Corin, teganya dirimu. Padahal kau dan aku adalah teman dekat sejak ibumu meninggal. Lagi pula apa yang harus kukatakan kepada ayahmu yang agung kalau aku pulang tanpamu" Bisa-bisa akan pecah perang antara Archenland dan Narnia, padahal kedua negeri itu sudah bersahabat entah sejak kapan. Kau nakal sekali, teman mainku, tindakanmu itu sangat tidak pantas."
Sepertinya, pikir Shasta, aku dikira Pangeran Archenland, di mana pun negeri itu berada. Dan ini pasti orang-orang Narnia. Kira-kira Corin yang sesungguhnya ada di mana sekarang ya" Tapi pikiran-pikiran ini tidaklah membantunya mengucapkan apa pun keras-keras.
"Kau ke mana saja, Corin"" tanya si wanita, kedua tangannya masih diletakkan di bahu Shasta.
"Aku--aku tidak tahu," Shasta tergagap. "Kau lihat sendiri, Susan," kata sang raja.
"Aku juga tidak bisa membuatnya bercerita, jujur ataupun bohong."
"Yang Mulia! Ratu Susan! Raja Edmund!" kata sebuah suara, dan ketika Shasta menoleh untuk melihat siapa yang telah bicara, dia nyaris terlompat ke langit-langit karena kagetnya. Suara itu berasal dari salah satu orang aneh yang telah dia sadari kehadirannya dari ujung matanya ketika dia pertama masuk ke ruangan tersebut. Orang itu nyaris setinggi Shasta. Dari pinggang ke atas dia seperti manusia, tapi kakinya berbulu seperti kaki kambing, juga berbentuk seperti kaki kambing, dia juga memiliki tapal berkuku dan ekor kambing. Kulit orang itu agak merah dan rambutnya keriting, dia punya janggut pendek lancip dan dua tanduk kecil. Orang ini sebenarnya faun, makhluk yang belum pernah Shasta lihat gambarnya atau bahkan pernah mendengar cerita tentangnya. Dan kalau kau sudah membaca buku berjudul Sang Singa, sang Penyihir, dan Lemari, kau mungkin akan senang mengetahui bahwa orang itu faun yang sama, yang bernama Tumnus, yang pernah ditemui adik Ratu Susan, Lucy, di hari pertama dia menemukan jalan masuk menuju Narnia. Tapi kini Tumnus lebih tua karena pada saat ini Peter, Susan, Edmund, dan Lucy telah menjadi Raja dan Ratu Narnia selama beberapa tahun.
"Yang Mulia," dia berkata, "pangeran kecil ini mungkin terlalu lama terbakar matahari. Lihatlah dia! Dia seperti menerawang jauh. Dia bahkan tidak tahu ada di mana dirinya se
karang." Kemudian tentu saja semua orang berhenti membentak Shasta dan bertanya kepadanya. Shasta dimanjakan dan dibaringkan di sofa. Bantal-bantal diletakkan di bawah kepalanya dan dia diberi es serbat di cangkir emas untuk minum, kemudian disuruh diam dan tak banyak bergerak.
Hal seperti ini tidak pernah terjadi dalam hidup Shasta sebelumnya. Dia tidak pernah membayangkan dirinya berbaring di atas sesuatu yang senyaman sofa itu atau meminum apa pun yang selezat serbat itu. Dia masih bertanya-tanya apa yang terjadi pada anggota rombongannya yang lain dan bagaimana dia akan bisa melarikan diri untuk kemudian bertemu mereka lagi di Makam, lalu apa yang akan terjadi ketika Corin asli muncul. Tapi tidak satu pun kecemasan ini yang terasa begitu mendesak karena dia merasa nyaman. Dan mungkin, nanti, akan ada berbagai santapan lezat yang bisa dimakan!
Sementara itu orang-orang yang berada di ruangan sejuk nan luas ini begitu menarik. Selain si faun, ada dua dwarf (sejenis makhluk yang belum pernah dilihatnya) dan gagak yang sangat besar. Sisanya semua manusia, orang dewasa, tapi muda. Dan semua manusia itu, baik pria maupun wanita, memiliki wajah dan suara yang lebih ramah daripada orang Calormen. Dan tak lama kemudian Shasta mendapati dirinya tertarik pada pembicaraan mereka.
"Sekarang, Madam," sang raja berkata pada Ratu Susan (wanita yang telah mencium Shasta). "Bagaimana menurutmu" Kita telah berada di kota ini selama tiga minggu penuh. Apakah kau sudah memutuskan untuk menerima lamaran bangsawan berkulit gelapmu itu, Pangeran Rabadash-mu itu, atau tidak""
Wanita itu menggeleng. "Tidak, adikku," katanya, "tidak, walaupun seluruh batu mulia yang ada di Tashbaan akan menjadi milikku." (Wah! pikir Shasta. Walaupun mereka raja dan ratu, mereka bersaudara, bukannya suami-istri.)
"Sejujurnya, Kakak," kata sang raja, "rasa sayangku kepadamu mungkin akan berkurang jika kau setuju menerimanya. Dan aku bisa berkata padamu pada kali pertama Duta Tisroc datang ke Narnia untuk mengajukan pernikahan ini, kemudian ketika sang pangeran menjadi tamu kita di Cair Paravel, aku benar-benar heran kenapa kau mampu memberinya begitu banyak harapan."
"Itulah kebodohanku, Edmund," kata Ratu Susan, "sesuatu yang aku mohon bisa kaumaafkan. Namun ketika dia bersama kita di Narnia, sang pangeran benar-benar menunjukkan pembawaan diri yang begitu berbeda dengan ketika kini dia berada di Tashbaan. Karena aku yakin kalian semua menyaksikan sendiri betapa dia menunjukkan kemahiran yang luar biasa dalam turnamen besar dan festival yang diadakan saudara kita Raja Agung untuknya, dan betapa lembut dan anggunnya sikap yang ditampilkan di hadapan kita selama tujuh hari tersebut. Tapi di sini, di kotanya sendiri, dia telah menunjukkan wajah lain."
"Ah!" kaok si gagak. "Ada perumpamaan tua: lihat sang beruang di guanya sendiri sebelum kau memutuskan bagaimana keadaannya."
"Itu benar sekali, Sallowpad," kata salah satu dwarf. "Juga ada perkataan lain, ayo, hiduplah bersamaku dan kau akan tahu siapa aku."
"Ya," kata sang raja. "Kita semua kini telah melihat dirinya yang sebenarnya: yaitu tiran yang paling angkuh, haus darah, bergaya kelewat mewah, kejam, dan hanya peduli pada kepuasan diri sendiri."
"Kalau begitu demi nama Aslan," kata Susan, "biarlah kita tinggalkan Tashbaan hari ini juga."
"Di situlah masalahnya, kakakku," kata Edmund. "Kini aku harus membuka semua kepadamu segala yang telah meresahkan benakku dalam dua hari terakhir ini dan lebih banyak hal lagi. Peridan, jika kau bersedia, lihatlah ke pintu dan periksa apakah ada mata-mata yang mengawasi kita. Keadaan aman" Bagus. Semua pembicaraan yang akan kita lakukan sekarang harus tetap jadi rahasia."
Semua orang mulai menampilkan wajah serius. Ratu Susan melompat dari tempat duduknya dan berlari menghampiri adiknya. "Oh, Edmund," teriaknya. "Ada apa" Dari ekspresi wajahmu, sepertinya ada sesuatu yang mengerikan."
BAB LIMA Pangeran Corin KAKAKKU tersayang dan lady yang mulia," kata Raja Edmund, "saat ini kau harus menunjukkan keberanianmu. Karena sejujurnya aku harus memberitahumu yang sed
ang kita hadapi saat ini bukanlah bahaya kecil."
"Ada apa, Edmund"" tanya sang ratu.
"Begini," kata Edmund. "Kurasa akan sulit bagi kita untuk meninggalkan Tashbaan. Sementara Pangeran berharap kau akan menerima lamarannya, kita adalah tamunya yang terhormat. Tapi demi surai singa, kurasa segera setelah dia mendengar tentang penolakan tegasmu, kita akan mendapat perlakuan yang sama dengan tawanan."
Salah satu dari dwarf bersiul rendah.
"Aku sudah memperingatkan Yang Mulia, sudah aku peringatkan," kata Sallowpad si gagak. "Mudah masuk tapi tidak mudah keluar seperti yang dikatakan lobster di dalam panci lobster!"
"Aku bertemu sang pangeran pagi ini," Edmund melanjutkan. "Dia tidak terlalu terbiasa (parahnya) ditolak keinginannya. Dan dia sangat terganggu dengan penundaan yang berkepanjangan dan jawaban tak pastimu. Pagi ini dia terus memaksa untuk mengetahui apa keputusanmu. Aku berusaha mengalihkan pembicaraan--dalam arti di saat yang sama untuk menurunkan harapannya--dengan beberapa lelucon ringan tentang gaya berbusana wanita, dan mengungkit bahwa setelannya sudah pasti takkan populer di kalangan mereka. Dia menjadi marah dan berbahaya. Dalam setiap kata yang diucapkannya ada semacam ancaman, walaupun masih ditutupi pertunjukan sopan santun."
"Benar," kata Tumnus. "Dan ketika aku bersantap malam bersama Penasihat Agung tadi malam, keadaannya tidak berbeda. Dia bertanya padaku bagaimana menurutku kota Tashbaan ini. Dan aku (karena aku tidak bisa berterus terang kepadanya betapa aku membenci setiap batunya, tapi juga tidak bisa berbohong) memberitahunya bahwa saat ini, ketika pertengahan musim panas segera datang, hatiku akan terpanggil ke hutan yang sejuk dan lereng berembun tanah Narnia. Dia menampilkan senyum yang tidak bisa berarti baik dan berkata, 'Tidak ada yang menghalangimu berdansa di sana lagi, kaki kambing kecil, selama itu berarti kalian rneninggalkan mempelai wanita bagi pangeran kamii."
"Maksudmu dia akan tetap berniat menjadikanku istri walaupun secara paksa"" seru Susan.
"Itulah kekhawatiranku, Susan," kata Edmund. "Istri, atau budak, dan itu yang lebih buruk."
"Tapi apakah dia akan mampu melakukan itu" Apakah Tisroc pikir kakak kita Raja Agung akan bersedia menerima begitu saja tindakan keterlaluan itu""
"Sire," kata Peridan kepada sang raja. "Mereka tidak akan segila itu. Apakah mereka pikir tidak ada pedang dan tombak di Narnia""
"Tetap saja," kata Edmund. "Tebakanku adalah Tisroc hanya punya sedikit kekhawatiran akan Narnia. Kita hanyalah tanah yang kecil, Dan tanah yang kecil di perbatasan kerajaan besar selalu dibenci para penguasa kerajaan besar. Dia ingin sekali memusnahkan tanah-tanah itu, menelan mereka. Ketika pertama dia dengan terpaksa menyuruh sang pangeran datang ke Cair Paravel untuk melamarmu, Kak, itu mungkin hanya karena dia sedang mencari cara untuk menentang kita. Lebih besar lagi kemungkinan dia berharap bisa menguasai Narnia dan Archenland sekaligus."
"Biarkan dia berusaha," kata dwarf kedua. "Di lautan, kita sebesar dirinya. Dan kalau dia menyerang kita lewat daratan, dia harus menyeberangi padang pasir dahulu."
"Benar, Teman," kata Edmund. "Tapi apakah padang pasir pertahanan yang kuat" Bagaimana pendapatmu, Sallowpad""
"Aku kenal betul padang pasir itu," kata si gagak. "Karena aku telah terbang di atasnya dari ujung ke ujung di masa mudaku," (kau bisa yakin Shasta menajamkan telinganya pada saat ini). "Dan ini yang pasti, bahwa jika bangsa Tisroc pergi menuju oase besar, dia tidak akan pernah memimpin pasukan besar menyeberanginya menuju Archenland. Karena walaupun mereka bisa mencapai oase tersebut pada pengujung hari pertama penyerbuan, mata air di sana akan terlalu sedikit untuk memuaskan rasa haus seluruh pasukan dan tunggangan mereka. Melainkan ada jalan lain."
Shasta bergeming dan mendengarkan dengan lebih saksama.
"Orang yang berniat menemukan jalan itu," kata si gagak, "harus memulai perjalanan dari Makam Raja-raja Masa Lampau dan berjalan ke arah barat laut sehingga puncak ganda Gunung Pire selalu berada lurus dl depannya. Bila terus ditanjutkan, dalam s
ehari berkuda atau sedikit lebih lama, dia akan sampai di ujung lembah berbatu, yang begitu sempit sehingga walau dia berada hanya sejauh dua ratus meter dari sana dan melewatinya seribu kali, dia tidak pernah tahu celah itu ada. Lalu menatap ke bawah dari lembah ini dia tidak akan melihat rerumputan, air, atau apa pun yang menyenangkan. Tapi kalau dia terus berkuda melewatinya, dia akan sampai di sungai dan bisa menyusuri aliran sungai terus hingga Archenland."
"Dan apakah bangsa Calormen tahu tentang jalan Barat ini"" tanya sang ratu.
"Teman, teman," kata Edmund, "apalah gunanya semua diskusi ini" Kita tidak sedang mencari jawaban apakah Narnia ataukah Calormen yang akan menang bila perang terjadi di antara dua negeri itu. Kita sedang mencari cara menyelamatkan kehormatan ratu kita dan nyawa kita sendiri supaya bisa keluar dari kota jahanam ini. Karena walaupun kakakku, Raja Agung Peter, telah mengalahkan Tisroc belasan kali, lama sebelum hari itu tiba, tenggorokan kita akan sudah digorok dan sang ratu akan menjadi istri, atau lebih besar kemungkinannya, budak pangeran itu."
"Kita punya senjata kita, Raja," kata dwarf yang pertama. "Dan rumah ini punya pertahanan yang cukup."
"Kalau soal itu," kata sang raja, "aku sama sekali tidak meragukan seorang pun di antara kita akan ragu mengorbankan nyawa dan rela menyerahkan sang ratu selama kita masih hidup. Namun kita harus mengakui posisi kita seperti tikus yang berontak dalam perangkap."
"Benar sekali," kaok si gagak. "Perlawanan di rumah selalu jadi cerita yang menarik, tapi tidak ada yang pernah berakhir baik. Setelah beberapa serangan awal, pihak musuh akhirnya selalu membakar rumah."
"Akulah penyebab semua ini," kata Susan, air matanya tertumpah. "Oh, kalau saja aku tidak pernah meninggalkan Cair Paravel. Hari bahagia terakhir kita adalah sebelum para duta itu datang dari Calormen. Para mata-mata telah menanam jebakan bagi kita... oh... oh." Lalu dia membenamkan wajah ke kedua telapak tangannya dan terisak.
"Tegarlah, Su, tegarlah," kata Edmund, "Ingatlah--tapi kenapa kau, Master Tumnus"" Karena si faun tampak memegangi kedua tanduknya dengan kedua tangan seolah sedang berusaha menahan kepalanya supaya tetap melekat di tubuhnya. Dia juga meremas-remas perutnya seolah sedang sakit luar biasa.
"Jangan bicara padaku, jangan bicara dulu," kata Tumnus. "Aku sedang berpikir. Aku sedang berpikir keras sampai aku tidak bisa bernapas. Tunggu, tunggu, tunggulah sebentar."
Keheningan yang penuh rasa ingin tahu merebak, sesaat kemudian si faun mendongak, menarik napas panjang, mengusap dahinya, dan berkata:
"Satu-satunya masalah adalah bagaimana caranya kita bisa sampai di kapal kita sendiri dengan persediaan makanan pula--tanpa terlihat dan dihentikan."
"Benar," kata salah satu dwarf datar. "Seperti satu-satunya kesulitan pencuri dalam melarikan diri adalah dia tidak punya kuda."
"Tunggu, tunggu," kata Mr Tumnus tidak sabar. "Yang kita butuhkan hanyalah alas an untuk naik ke kapal kita hari ini dan mengangkut barang-barang ke dalamnya."
"Benar," kata Raja Edmund ragu.
"Nah, kalau begitu," kata si faun, "bagaimana kalau Yang Mulia berdua mengundang sang pangeran ke perjamuan besar yang akan diadakan di atas kapal kita, Splendour Hyaline, besok malam" Dan suarakan undangan itu seanggun mungkin yang bisa disuarakan sang ratu tanpa mempertaruhkan kehormatannya, seolah memberi harapan kepada sang pangeran bahwa Ratu mulai melemah."
"Ini usul yang sangat baik, Sire," kaok si gagak.
"Kemudian," Tumnus melanjutkan penuh semangat, "semua orang akan maklum bila kita mondar-mandir ke kapal sepanjang hari, melakukan persiapan untuk tamu-tamu kita. Dan utus beberapa dari kita untuk pergi ke pasar dan menghabiskan setiap uang yang kita miliki di tukang buah, tukang daging, dan pedagang anggur, seperti yang akan kita lakukan bila kita benar-benar akan mengadakan pesta. Dan marilah memesan para tukang sulap, badut akrobat, gadis penari, dan pemain flute, semua diundang naik ke kapal besok malam."
"Bagus, bagus," kata Raja Edmund, menggosok-gosok tangannya.
"Kemudian," kata Tumn
us, "kita semua akan berada di atas kapal malam ini. Dan segera setelah hari cukup gelap--"
"Naikkan layar dan ayunkan dayung--!" kata sang raja.
"Lalu berlayar ke lautan," teriak Tumnus, melompat dan mulai menari.
"Menuju utara," kata dwarf pertama.
"Lari menuju rumah! Hore untuk Narnia dan Utara!" kata yang lain.
"Dan sang pangeran akan terbangun pagi berikutnya dan mendapati burung-burungnya telah terbang!" kata Peridan, bertepuk tangan.
"Oh, Master Tumnus, Master Tumnus tersayang," kata sang ratu. Dia menangkap tangan si faun dan berayun bersamanya ketika faun itu menari. "Kau telah menyelamatkan kita semua."
"Sang pangeran akan mengejar kita," kata bangsawan lain, yang namanya belum Shasta dengar.
"Itu kekhawatiranku yang paling kecil," kata Edmund. "Aku telah melihat semua kapal di sungainya dan tidak ada kapal perang tinggi ataupun kapal cepat di sana. Aku berharap dia memang akan mengejar kita! Karena Splendour Hyaline bisa menenggelamkan apa pun yang akan dikirim sang pangeran untuk mengejarnya--kalau kita memang akan tersusul."
"Sire," kata si gagak. "Anda tidak akan mendengar rencana yang lebih baik daripada usulan si faun walaupun kita duduk dalam rapat selama tujuh hari. Dan sekarang, seperti yang biasa diucapkan kami kaum burung, sarang sebelum telur. Yang dengan kata lain, biarlah kita semua mengisi perut dahulu untuk kemudian langsung mulai membereskan segala urusan."
Semua orang berdiri setelah mendengar ini dan pintu-pintu segera terbuka, para bangsawan dan makhluk lain berdiri menepi agar sang raja dan ratu pergi terlebih dahulu. Shasta bertanya-tanya apa yang seharusnya dia lakukan, tapi kemudian Mr Tumnus berkata, "Berbaringlah di sana, Yang Mulia, dan aku akan membawakanmu jamuan kecil untukmu sendiri sebentar lagi. Tidak perlu bergerak sampai kita semua siap mengangkat sauh." Shasta merebahkan kembali kepalanya ke bantal-bantal dan tak lama kemudian dia sendirian di ruangan itu.
Ini buruk sekali, pikir Shasta. Tidak pernah sekali pun muncul di benaknya untuk memberitahu orang-orang Narnia ini seluruh kebenarannya dan meminta bantuan mereka. Karena dibesarkan oleh pria kasar dan ringan tangan seperti Arsheesh, Shasta memiliki kebiasaan tidak pernah memberitahu orang dewasa apa pun kalau dia bisa mencegahnya: dia berpikir mereka akan selalu mengacaukan atau menghentikan apa pun yang akan kaulakukan. Dan dia berpikir bahkan walaupun Raja Narnia mungkin bisa bersikap ramah kepada dua kuda temannya, karena mereka kan hewan yang bisa berbicara dari Narnia, sang raja akan membenci Aravis, karena dia orang Calormen, dan bila tidak menjual anak itu sebagai budak, dia akan mengembalikannya ke ayahnya. Sedangkan untuk diriku, aku semakin tidak berani memberitahunya aku bukan Pangeran Corin sekarang, pikir Shasta. Aku telah mendengar semua rencana mereka. Kalau tahu aku bukan bangsa mereka, mereka tidak akan membiarkanku keluar dari rumah ini hidup-hidup. Mereka akan takut aku mengkhianati mereka dan memberitahu Tisroc. Mereka akan membunuhku. Tapi kalau Corin yang asli muncul, semuanya akan terbongkar, dan mereka akan benar-benar membunuhku! Kau harus mengerti, Shasta tidak tahu betapa mulia dan beradabnya tingkah laku orang-orang itu.
Apa yang harus kulakukan" Apa yang harus kulakukan" Dia terus-menerus menanyakan itu pada dirinya sendiri. Apa--ah, ini dia si makhluk kecil yang seperti kambing itu datang kembali.
Si faun berlari masuk, setengah berdansa, dengan baki yang nyaris sebesar dirinya sendiri di tangannya. Baki itu diletakkannya di meja berukiran di samping sofa Shasta, lalu dia duduk di lantai berkarpet dengan menyilang kedua kaki kambingnya.
"Sekarang, Pangeran," katanya. "Silakan nikmati makan malammu. Ini akan jadi makanan terakhirmu di Tashbaan."
Santapan yang dibawakan mewah ala Calormen. Aku tidak tahu apakah kau akan menyukainya atau tidak, tapi yang jelas Shasta menikmatinya. Ada lobster, salad, dan burung snipe isi kacang almond dan jamur truffle, dan hidangan rumit yang terbuat dari hati ayam, nasi, kismis, dan kacang, lalu ada melon dingin dan pencuci mulut campuran gooseb
erry dan mulberry dengan krim, dan segala hidangan lezat yang bisa dibuat dengan es. Ada juga flagon kecil, sejenis anggur yang disebut "putih" walaupun sebenarnya kuning.
Sementara Shasta makan, faun kecil yang baik itu, yang berpikir anak itu masih tidak sepenuhnya sadar karena terbakar matahari, terus berbicara padanya tentang masa-masa bahagia yang akan mereka alami ketika mereka semua sampai di rumah, tentang ayah tuanya yang baik hati Raja Lune penguasa Archenland dan istana kecil tempat mereka tinggal di lereng selatan jalan perbukitan. "Dan jangan lupa," kata Mr Tumnus, "kau dijanjikan baju zirah dan kuda perang pertamamu pada ulang tahunmu berikutnya. Kemudian Yang Mulia akan mulai belajar cara menusuk dan bermain pedang di atas kuda. Dan dalam beberapa tahun, kalau segalanya berjalan lancar, Raja Peter telah berjanji pada ayahmu yang agung bahwa dia sendirilah yang akan memberimu gelar Kesatria Cair Paravel. Dan sementara waktu itu akan sering ada perjalanan dan kunjungan antara Narnia dan Archenland melewati leher gunung-gunung. Dan tentu saja kau ingat kau telah berjanji akan berkunjung selama seminggu penuh dan tinggal bersamaku untuk festival musim panas, dan akan ada api unggun dan tarian para faun dan dryad sepanjang malam di tengah hutan dan, siapa tahu"--kita mungkin akan bisa melihat Aslan sendiri!"
Simbol Yang Hilang 10 Dewa Arak 90 Iblis Berkabung Rahasia Sebelas Jari 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama