The Heroes Of Olympus 1 Pahlawan Yang Hilang Lost Of Hero Bagian 1
The Heroes of Olympus : The Lost Hero
(Pahlawan yang Hilang) -Rick Riordan- BAB SATU JASON SEBELUM DIA KESETRUM SEKALIPUN, BUAT Jason hari itu sudah payah.
Dia terbangun di kursi belakang sebuah bus sekolah, tidak yakin di mana dia berada, berpegangan
tangan dengan cewek yang tidak dikenalnya. Bukan bagian itu yang payah. Cewek ini manis, tapi Jason
tidak tahu siapa cewek itu dan apa yang dirinya lakukan di sana. Jason duduk tegak dan menggosokgosok matanya, mencoba berpikir.
Beberapa lusin anak sedang berleha-leha di kursi-kursi di depannya, mendengarkan iPod, mengobrol,
atau tidur. Mereka semua kelihatannya seumuran dengan Jason ... lima belas" Enam belas" Oke, itu
baru seram, Jason bahkan tidak ingat umurnya sendiri.
Bus tersebut bergemuruh, menyusuri jalanan yang renjul. Di luar jendela, gurun melesat di bawah langit
biru cerah. Jason cukup yakin dia tidak tinggal di gurun. Dia berusaha berpikir ke belakang ... ke hal
terakhir yang dia ingat ...
Cewek itu meremas tangannya. "Jason, kau baik-baik saja?"
Cewek itu mengenakan jins belel, sepatu bot hiking, dan jaket snowboarding dari bulu domba. Rambut
cokelatnya dipotong pendek dan tidak rata, dihiasi kepangan kecil-kecil di samping. Dia tidak
menggunakan rias wajah, seolah sedang berusaha untuk tidak menarik perhatian, tapi itu tidak berhasil.
Dia sangat cantik. Warna matanya berubah-ubah bagai kaleidoskop"cokelat, biru, dan hijau.
Jason melepaskan tangan cewek itu. "Mmm, aku tak?"
Di bagian depan bus, seorang guru berteriak, "Baiklah, Bocah-bocah Lembek, dengarkan!"
Laki-laki tersebut jelas seorang pelatih. Topi bisbolnya ditarik sampai ke bawah, menutupi rambutnya,
jadi kita hanya bisa melihat mata kecilnya yang mirip manik-manik. Dia memiliki janggut kambing tipis
serta muka masam, seperti baru saja memakan sesuatu yang bulukan. Lengan dan dada gempalnya
menonjol di balik kaus polo warna jingga cerah. Celana olahraga dan sepatu Nike yang dikenakannya
putih tak bernoda. Sebuah peluit dikalungkan di lehernya, sedangkan sebuah megafon dijepit ke
sabuknya. Laki-laki itu pasti tampak cukup mengerikan andaikan tingginya tak cuma 150 senti. Ketika dia
berdiri di lorong, salah seorang murid berseru, "Berdiri dong, Pak Pelatih Hedge!"
"Aku dengar itu!" Sang pelatih menelaah bus untuk mencari si pelaku. Lalu matanya melekat pada Jason,
dan kerutan di mulutnya pun semakin dalam.
Bulu kuduk Jason merinding. Jason yakin sang pelatih tahu dia tak seharusnya berada di sana. Sang
pelatih pasti akan memanggil Jason lalu menuntut penjelasan tentang apa yang dilakukan Jason di bus"
dan Jason tak tahu harus berkata apa.
Tapi Pak Pelatih Hedge berpaling dan berdeham. "Kita akan sampai lima belas menit lagi! Tetaplah
bersama pasangan kalian. Jangan hilangkan lembar kerja kalian. Dan jika ada salah satu di antara kalian,
Bocah-Bocah Lembek, yang membuat masalah dalam karyawisata ini, aku sendiri yang akan
mengembalikan kalian ke kampus dengan cara yang kasar."
Sang pelatih memungut tongkat bisbol dan berlagak seperti sedang memukul homerun.
Jason memandang cewek di sebelahnya. "Memangnya boleh dia berbicara pada kita seperti itu?"
Cewek itu mengangkat bahu. "Dia selalu bicara seperti itu. Ini Sekolah Alam Liar. "Di mana anak-anak
adalah hewan.?" Cewek tersebut mengucapkannya seolah itu adalah lelucon yang pernah mereka bagi sebelumnya.
"Ini semacam kekeliruan," kata Jason. "Aku tak seharusnya berada di sini."
Anak laki-laki di depannya berputar dan tertawa. "Iya, betul, Jason. Kita semua telah dijebak! Aku tidak
kabur enam kali. Piper tidak mencuri BMW."
Cewek itu merona. "Aku tidak mencuri mobil itu, Leo!"
"Oh, aku lupa, Piper. Apa ya, ceritamu" Kau "membujuk" si dealer sampai dia meminjamkan mobil itu
padamu?" Si anak laki-laki mengangkat alis ke arah Jason seakan berkata, bisakah kau
mempercayainya" Leo bertampang seperti kurcaci pembantu Sinterklas versi Latin, dengan rambut hitam kering, kuping
lancip, wajah kekanak-kanakan yang ceria, serta senyum jail yang langsung memberi tahu kita bahwa
cowok ini tidak boleh berada di dekat-dekat korek atau benda tajam. Jari-jarinya yang panjang dan
cekatan tidak mau berheti bergerak"mengetuk-ngetuk kursi, menyibakkan rambut ke belakang telinga,
memain-mainkan kancing pada jaket tentara longgar yang dia pakai. Entah anak itu memang aslinya
hiperaktif atau dia telah mengkonsumsi gula serta kafein yang cukup untuk membuat seekor kerbau
kena serangan jantung. "Ngomong-ngomong," kata Leo, "kuharap kau menyimpan lembar kerjamu, soalnya punyaku sudah
kupakai buat lap ludah berhari-hari lalu. Kenapa kau melihatku seperti itu" Apa ada yang menggambari
wajahku lagi?" "Aku tidak kenal kau," kata Jason.
Leo memberinya senyuman lebar. "Oke deh. Aku memang bukan sahabatmu. Aku kembaran jahatnya."
"Leo Valdez!" Pak Pelatih Hedge berteriak dari depan. "Ada masalah di belakang sana?"
Leo berkedip kepada Jason. "Perhatikan ini." Dia berputar ke depan. "Maaf, Pak Pelatih! Saya tidak
mendengar suara Bapak. Bisa tolong Bapak menggunakan megafon Bapak."
Pak Pelatih Hedge menggeram, seolah dia senang karena mendapat alasan untuk menggunakan
megafonnya. Dia melepaskan megafon itu dari sabuknya dan melanjutkan memberi arahan, namun
suaranya kedengaran seperti Dart Vader. Anak-anak tertawa terbahak-bahak. Sang pelatih mencoba lagi,
tapi kali ini megafon itu mengumandangkan: "Sapi bilang moo!"
Anak-anak terpingkal-pingkal, dan sang pelatih membanting megafon itu. "Valdez!"
Piper menahan tawa. "Ya Tuhan, Leo. Bagaimana caramu melakukan itu?"
Leo mengeluarkan obeng kembang mungil dari lengan bajunya. "Aku ini bocah istimewa."
"Serius nih," pinta Jason. " Apa yang kulakukan di sini" Kita mau ke mana?"
Piper mengerutkan alus. "Jason, apa kau bercanda?"
"Tidak! Aku sama sekali tidak tahu?"
"Ya iyalah, dia memang bercanda," ujar Leo. "Dia berusaha membalasku gara-gara krim cukur di agaragar waktu itu, iya kan?"
Jason menatapnya sambil bengong.
"Tidak, menurutku dia serius." Piper berusaha menggamit tangan Jason lagi, tapi Jason menarik
tangannya menjauh. "Maafkan aku," kata Jason. "Aku tak"aku tidak bisa?"
"Sudah cukup!" teriak Pak Pelatih Hedge dari depan. "Barisan belakang baru saja mengajukan diri untuk
bersih-bersih sesudah makan siang!"
Anak-anak yang lain bersorak.
"Wow, kejutan," gerutu Leo.
Tapi Piper terus memandangi Jason lekat-lekat, seolah dia tidak bisa memutuskan harus merasa terluka
atau khawatir. "Apa kepalamu terbentur atau semacamnya" Kau benar-benar tidak tahu siapa kami?"
Jason mengangkat bahu tanpa daya. "Lebih parah daripada itu. Aku sendiri tidak tahu siapa aku."
*** Bus menurunkan mereka di depan sebuah kompleks bangunan berplester merah mirip museum yang
bertengger begitu saja di tengah-tengah negeri antah berantah. Mungkin itu memang Museum Nasional
Negeri Antah Berantah, pikir Jason. Angin dingin bertiup di gurun. Jason tadinya tak terlalu
memerhatikan apa yang dia kenakan, tapi pakaiannya kurang hangat: jins serta sepatu olahraga, kaus
ungu, dan jaket penahan angin tipis berwarna hitam.
"Jadi, kuliah singkat buat yang kena amnesia," kata Leo dengan nada sok ingin menolong yang membuat
Jason berpikir bahwa ceramahnya takkan menolong sama sekali. "Kita ini murid "Sekolah Alam Liar?""
Leo membuat tanda kutip di udara dengan jari-jarinya. "Artinya, kita ini "anak nakal." Keluargamu, atau
pengadilan, atau entah siapa, memutuskan bahwa kau terlalu merepotkan, jadi mereka mengirimmu ke
penjara indah"sori, "sekolah berasrama?"di sini di "Ketiak Amerika", Battle Mountain, Nevada. Di sini
kau mempelajari keterampilan yang bermanfaat di alam liar, misalnya lari lima belas kilo di antara
kaktus atau menganyam bunga aster untuk dijadikan topi! Dan sebagai hadiah istimewa, kita pergi kie
karyawisata "edukasional" bersama Pak Pelatih Hedge, yang menjaga ketertiban dengan tongkat bisbol.
Apa sekarang kau sudah ingat semuanya?"
"Belum." Jason melirik anak-anak lain dengan was-was: mungkin dua puluh cowok, kira-kira sepuluh
cewek. Tak seorang pun dari mereka bertampang seperti pelaku kriminal kambuhan, tapi Jason
bertanya-tanya apa yang telah mereka lakukan sehingga dijebloskan ke sekolah untuk berandalan ini,
dan dia bertanya-tanya apa sebabnya dia ditempatkan bersama mereka.
Leo memutar bola matanya. "Kau benar-benar serius mau bercanda, ya" Oke, jadi kita bertiga mulai
masuk sini semester ini. Kita benar-benar akrab. Kau melakukan semua yang kusuruh, memberiku
hidangan pencuci mulutmu, dan mengerjakan tugas-tugasku?"
"Leo!" bentak Piper.
"Oke. Abaikan bagian terakhir tadi. Tapi kita memang berteman. Yah, Piper lebih dari sekadar temanmu,
beberapa minggu terakhir?"
"Leo, hentikan!" wajah Piper memerah. Jason bisa merasakan bahwa wajahnya memanas juga. Menurut
Jason dia pasti ingat jika dia pacaran dengan cewek seperti Piper.
"Dia kena amnesia atau semacamnya," kata Piper. "Kita harus memberi tahu seseorang."
Leo mendengus. "Siapa, Pak Pelatih Hedge" Dia pasti akan berusaha menyembuhkan Jason dengan cara
menggetok kepalanya."
Sang pelatih berada di depan kelompok tersebut, membentakkan perintah serta meniup peluitnya untuk
mengatur anak-anak; tapi sesekali dia melirik ke belakang, ke arah Jason, dan memberengut.
"Leo, Jason butuh bantuan," Piper bersikeras. "Dia gegar otak atau?"
"Yo, Piper." Salah seorang cowok lain mundur untuk bergabung dengan mereka selagi kelompok itu
menuju museum. Si cowok baru menyempilkan dirinya ke antara Jason serta Piper dan menabrak Leo
hingga terjatuh. "Jangan bicara kepada para pecundang ini. Kau pasanganku, ingat?"
Si cowok baru memiliki rambut gelap bergaya Superman, kulit cokelat terbakar matahari, dan gigi yang
begitu putih sehingga seharusnya ditempeli label peringatan: JANGAN LIHAT GIGI SECARA LANGSUNG.
DAPAT TERJADI KEBUTAAN PERMANEN. Dia mengenakan seragam Dallas Cowboys, jins Western, serta
sepatu bot, dan dia tersenyum seakan dia adalah anugerah Tuhan bagi cewek-cewek berandalan di
mana saja. Jason membencinya seketika juga.
"Pergilah, Dylan," gerutu Piper. "Aku tidak minta sekelompok denganmu."
"Ah, tidak boleh begitu. Ini hari keberuntunganmu!" Dylan mengaitkan lengannya ke lengan Piper dan
menyeret cewek itu melewati pintu masuk museum. Piper melemparkan tatapan terakhir dari balik
bahunya seakan untuk mengatakan, Tolong aku!
Leo berdiri dan membersihkan badannya. "Aku benci cowok itu." Dia mengulurkan tangan kepada Jason,
seolah mengajaknya berjalan bersama-sama ke dalam. "Aku Dylan. Aku keren banget, aku ingin pacaran
dengan diriku sendiri, tapi aku tidak tahu caranya! Bagaimana kalau kau saja yang pacaran denganku"
Mau" Kau sangat beruntung!"
"Leo," kata Jason, "kau aneh."
"Iya, kau sering bilang begitu padaku." Leo nyengir. "Tapi kalau kau tidak ingat padaku, itu artinya aku
bisa mengulang semua lelucon lamaku. Ayo!"
Jason merasa jika sahabatnya adalah anak ini, kehidupannya pasti lumayan kacau; tapi dia mengikuti Leo
ke dalam museum. *** Mereka berjalan menyusuri museum itu, berhenti di sana-sini agar Pak Pelatih Hedge berkesempatan
menguliahi mereka dengan megafonnya. Megafon tersebt silih berganti membuat sang pelatih
terdengar seperti Sith Lord atau mengumandangkan komentar-komentar aneh seperti: "Babi bilang
nguik." Leo terus mengeluarkan mur, baut, dan tali kapas dari saku jaket tentaranya serta merakit benda-benda
itu jadi satu, seolah dia harus menyibukkan tangannya sepanjang waktu.
Jason terlalu resah sehingga tidak terlalu memperhatikan benda-benda yang dipamerkan, namun
temanya tentang Grand Canyon dan suku Hualapai, pemilik museum itu.
Sebagian cewek terus saja memandangi Piper serta Dylan dan mencemooh. Jason menduga cewekcewek ini adalah geng populer. Mereka memakai jins yang serasi dan atasan merah muda serta rias
wajah tebal yang cocok untuk pesta Halloween.
Salah seorang dari mereka berkata, "Hei, Piper, apa sukumu yang mengelola tempat ini" Apa kau boleh
masuk secara gratis kalau kau melakukan tarian hujan?"
Cewek-cewek lain tertawa. Bahkan Dylan yang katanya "pasangan" Piper juga menahan senyum. Jaket
snowboarding Piper yang berbulu-bulu menyembunyikan tangannya, tapi Jason punya firasat bahwa
cewek itu sedang mengepalkan tinjunya.
"Ayahku orang cherokee," kata Piper. "Bukan Hualapai. Tentu saja, kau butuh sedikit sel otak supaya
memahami bedanya, Isabel."
Isabel membelalakan mata, pura-pura kaget. Tetapi dia justru kelihatan seperti burung hantu yang
kecanduan make-up. "Aduh, maaf! Apa ibu-mu yang anggota suku ini" Oh, iya ya. Kau tak pernah kenal
ibumu." Piper menerjang Isabel, tapi sebelum perkelahian sempat dimulai, Pak Pelatih Hedge membentak, "Yang
di belakang sana, cukup! Tunjukan teladan yang baik atau kukeluarkan tongkat bisbolku!"
Kelompok tersebut beranjak ke ruang pajang berikutnya, namun para cewek terus saja menyerukan
komentar-komentar pedas pada Piper.
"Pasti senang ya, balik ke penampungan?" tanya salah seorang dengan suara manis.
"Ayahnya mungkin terlalu mabuk, jadi tidak bisa kerja," kata yang lain dengan simpati palsu. "Itu
sebabnya dia jadi klepto."
Leo menangkap lengan Jason. "Tenang. Piper tidak suka kita ikut campur dalam pertengkarannya. Lagi
pula, kalau cewek-cewek itu tahu siapa ayah Piper yang sebenarnya, mereka semua bakal menyembahnyembahnya dan berteriak, "kami tak pantas!?"
"Kenapa" Memang ada apa dengan ayahnya?"
Leo tertawa tak percaya. "Kau tidak bercanda" Kau tidak ingat bahwa ayah pacarmu?"
"Dengar, aku harap aku ingat, tapi aku bahkan tidak ingat siapa Piper, apalagi ayahnya."
Leo bersiul. "Terserah deh. Kita harus bicara ketika kita kembali ke asrama."
Mereka sampai di ujung ruang pajang. Di sana terdapat sebuah pintu kaca besar yang mengarah ke teras
di luar. "Baiklah, Bocah-Bocah Lembek," Pak Pelatih Hedge mengumumkan. "Kalian akan menyaksikan Grand
Canyon. Cobalah untuk tidak berulah. Titian itu bisa menahan bobot tujuh puluh pesawat jet jumbo, jadi
manusia kelas bulu macam kalian semestinya aman di atasnya. Jika mungkin, cobalah jangan saling
dorong hingga jatuh dari tepi, sebab itu akan membuatku tambah repot saja."
Sang pelatih membuka pintu, dan mereka semua melangkah ke luar. Grand Canyon terbentang di
hadapan mereka, secara langsung. Di tubirnya, terjulurlah sebuah titian berbentuk tapal kuda yang
terbuat dari kaca, jadi kita bisa melihat ke bawah.
"Wow," ujar Leo. "Keren juga."
Jason harus sepakat. Walaupun dia lupa ingatan dan merasa tidak seharusnya berada di sana, Jason mau
tak mau terkesan. Ngarai tersebut lebih besar dan lebih lebar daripada yang dapat kita apresiasi melalui foto. Posisi
mereka tinggi sekali sampai-sampai di bawah kaki mereka ada burung yang berputar-putar. Seratus lima
puluh meter di bawah, sebuah sungai mengular di dasar ngarai. Kumpulan awan badai telah bergerak ke
atas mereka selagi mereka berada di dalam, memancarkan bayang-bayang yang bagaikan wajah-wajah
marah ke tebing. Sejauh yang bisa dilihat Jason, tersebar di seluruh padang, terdapat jurang merah serta
kelabu, seolah dipahat dengan pisau oleh dewa-dewa sinting.
Jason merasakan nyeri yang menusuk di belakang matanya. Dewa sinting .... Dari mana dia memperoleh
gambaran seperti itu" Jason merasa seakan dia telah mendekati sesuatu yang penting"sesuatu yang
seharusnya dia ketahui. Jason juga merasakan firasat tak terbantahkan bahwa dia tengah berada dalam
bahaya. "Kau baik-baik saja?" tanya Leo. "Kau tidak akan muntah di pinggir, kan" Soalnya aku seharusnya bawa
kameraku." Jason mencengkeram pagar. Dia gemetaran dan berkeringat, namun itu tak ada hubungannya dengan
ketinggian. Jason berkedip, dan rasa nyeri di balik matanya pun mereda.
"Aku tak apa-apa," Jason berhasil menjawab. "Cuma sakit kepala."
Guntur menggelegar di langit. Angin dingin hampir menggulingkan Jason ke samping.
"Ini tak mungkin aman." Leo menyipitkan mata ke arah awan. "Ada awan badai tepat di atas kita, tapi di
sekeliling kita cuacanya cerah. Aneh, ya?"
Jason mendongkak dan melihat bahwa Leo benar. Lingkaran awan gelap telah parkir di atas titian, tapi
langit di segala arah tampak luar biasa jernih. Jason punya firasat yang tidak enak soal ini.
"Baiklah, Anak-Anak Lembek!" teriak Pak Pelatih Hedge. Dia mengerutkan kening ke arah awan badai,
seakan awan-awan itu mengganggunya juga. "Kita mungkin harus mempersingkat karyawisata kita ini,
jadi mulailah bekerja! Ingat, kalimat lengkap!"
Badai menggemuruh, dan kepala Jason mulai sakit lagi. Tidak tahu apa sebabnya dia berbuat begitu,
Jason merogoh saku jinsnya dan mengeluarkan sekeping koin"lingkaran emas seukuran uang setengah
dolar, tapi lebih tebal dan lebih tak rata. Pada satu sisi tercetaklah gambar kapak tempur. Pada sisi
lainnya ada wajah laki-laki bermahkota daun dafnah. Tulisan pada koin itu seperti berbunyi IVLIVS.
"Walah, apa itu emas?" tanya Leo. "Kau ternyata merahasiakan sesuatu dariku."
Jason menyimpan koin itu lagi, bertanya-tanya bagaimana bisa dia memiliki koin tersebut, dan apa
sebabnya dia merasa akan segera membutuhkan koin itu.
"Bukan apa-apa kok," kata Jason. "Cuma koin biasa."
Leo mengangkat bahu. Mungkin pikirannya harus bergerak secepat tangannya. "Ayo," katanya.
"Kutantang kau meludah ke tepi."
*** Mereka tidak berusaha terlalu keras untuk mengisi lembar kerja. Salah satu sebabnya, perhatian Jason
terlalu tertuju ke badai dan perasaannya sendiri yang campur aduk. Sebab lainnya, dia sama sekali tak
punya gambaran bagaimana cara mengisi soal seperti "sebutkan tiga lapisan sedimen yang kau amati"
atau "jelaskan dulu contoh erosi."
Leo tidak membantu. Dia terlalu sibuk merakit helikopternya dari tali-tali kapas.
"Lihat nih." Leo meluncurkan helikopter tersebut. Jason menduga Helikopter itu akan jatuh, namun
baling-baling dan tali kapas itu betul-betul bisa berputar. Helikopter kecil tersebut berhasil
menyeberang sampai ke tengah-tengah ngarai sebelum kehilangan momentum dan terpuntir ke jurang.
"Bagaiamana caramu melakukan itu?" tanya Jason.
Leo mengangkat bahu. "Bakalan lebih keren kalau aku punya karet gelang."
"Serius nih," kata Jason, "apa kita benar-benar berteman?"
"Terakhir kali yang kuingat sih begitu."
"Kau yakin" Kapan hari pertama kita bertemu" Apa yang biasanya kita obrolkan?"
"Kejadiannya ..." Leo mengerutkan kening. "Aku tak ingat persisnya. Aku ini penderita GPPH, Bung.
Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas. Mana bisa aku ingat semua detail?"
"Tapi aku tak bisa mengingatmu sama sekali. Aku tak ingat siapa pun yang ada di sini. Bagaimana
kalau?" "Kau benar dan yang lain salah semua?" tanya Leo. "Kaukira kau baru muncul di sini pagi ini, dan kami
semua punya ingatan palsu tentangmu?"
Suara kecil dalam kepala Jason berujar, Memang itu yang sedang kupikirkan.
Tapi asumsi itu kedengarannya gila. Semua orang di sini cuek saja padanya. Semua orang bersikap
seolah Jason merupakan bagian normal dari kelas itu"kecuali Pak Pelatih Hedge.
"Bawakan lembar kerja ini." Jason menyerahkan lembar kerja itu kepada Leo. "Aku akan segera kembali."
Sebelum Leo sempat protes, Jason berjalan menyeberangi tititian.
Hanya ada kelompok sekolah mereka di tempat itu. Mungkin masih terlalu pagi untuk kedatangan turis,
atau mungkin cuaca ganjil ini telah menakut-nakuti para wisatawan. Anak-anak Sekolah Alam Liar telah
menyebar berpasang-pasangan di titian. Sebagian besar sedang berkelakar atau mengobrol. Sebagian
cowok menjatuhkan koin satu sen dari tepi pagar. Kira-kira lima belas meter dari posisi Jason, Piper
The Heroes Of Olympus 1 Pahlawan Yang Hilang Lost Of Hero di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sedang berusaha mengisi lembar kerjanya, namun Dylan, pasangannya yang bodoh, malah merayunya,
merangkulkan lengan ke bahu Piper dan memberinya senyuman putih menyilaukan itu. piper terus saja
mendorong Dylan agar menjauh, dan ketika cewek itu melihat Jason diberinya cowok itu tatapan yang
seolah menyiratkan, Cekik cowok ini demi aku.
Jason memberi isyarat agar Piper menunggu. Dia mengampiri Pak Pelatih Hedge, yang sedang
menumpukan badai ke tongkat bisbol sambil mengamati awan badai.
"Apa kau yang melakukan ini?" sang Pelatih menanyai Jason.
Jason melangkah mundur. "Melakukan apa?" kedengarannya sang pelatih baru saja bertanya apakah
Jason telah menciptakan badai guntur.
Pak Pelatih Hedge memelototi Jason, matanya yang bagai manik-manik berkilat di bawah pinggiran
topinya. "Jangan main-main denganku, Bocah. Apa yang kaulakukan di sini, dan kenapa kau
mengacaukan pekerjaanku?"
"Maksud Bapak ... Bapak tidak mengenal saya?" ujar Jason. "Saya bukan salah satu murid Bapak?"
Hedge mendengus. "Tak pernah melihatmu sebelum hari ini."
Jason lega sekali sampai-sampai dia ingin menangis. setidaknya dia tidak gila. Dia memang berada di
tempat yang salah. "Begini, Pak, saya tidak tahu bagaimana ceritanya sampai saya berada di sini. Ketika
saya terbangun, saya sudah berada di bus sekolah ini. Saya cuma tahu saya tak seharusnya berada di
sini." "Memang benar." Suara galak Hedge memelan hingga menjadi gumaman, seakan dia tengah berbagi
rahasia. "Kau punya kekutan yang hebat untuk mempengaruhi Kabut, Bocah, jika kau bisa membuat
semua orang ini mengira mereka mengenalmu; tapi kau tak bisa mengelabuiku. Sudah berhari-hari aku
mencium bau monster. Aku tahu kami kedatangan penyusup, tapi baumu tak seperti monster. Baumu
seperti blasteran. Jadi"kau ini siapa, dan dari mana kau berasal?"
Sebagian besar perkataan sang pelatih tidak masuk akal, namun Jason memutuskan untuk menjawab
dengan jujur. "Saya tidak tahu siapa saya. Saya tidak ingat apa-apa. Bapak harus membantu saya."
Pak Pelatih Hedge mengamati wajah Jason seakan sedang berusaha membaca pikirannya.
"Hebat," gerutu Hedge. "Kau jujur."
"Tentu saja saya jujur! Dan apa maksudnya dengan monster dan blasteran" Apa itu kata-kata bersandi
atau semacamnya?" Hedge menyipitkan mata. Sebagian diri Jason bertanya-tanya apakah laki-laki itu sinting. Tapi sebagian
lainnya tahu laki-laki itu tidak sinting.
"Dengar, Bocah," kata Hedge, "aku tak tahu siapa kau. Aku Cuma tahu kau ini apa, dan itu artinya
masalah. Sekarang aku harus melindungi kalian bertiga alih-alih hanya dua. Kaulah paket khusus itu"
Begitukah?" "Apa yang Bapak bicarakan?"
Hedge memandangi awan badai. Awan-awan tersebut menjadi kian tebal dan kian gelap, melayanglayang tepat di atas titian.
"Pagi ini," kata Hedge, "aku mendapat pesan dari perkemahan. Mereka bilang tim penjemput sedang
dalam perjalanan. Mereka akan datang untuk mengambil paket khusus, tapi mereka tidak mau
memberiku rinciannya. Kukatakan kepada diriku sendiri, Ya Sudah. Dua orang yang sedang kuawasi
lumayan kuat, lebih tua daripada sebagian anak yang pernah kulindungi. Aku tahu mereka sedang
dibuntuti. Aku bisa membaui monster dalam kelompok ini. Kukira itulah sebabnya perkemahan tiba-tiba
panik, ingin segera menjemput mereka. Tapi kemudian kau muncul entah dari mana. Jadi, kaukah paket
khusus itu?" Rasa nyeri di belakang kepala Jason jadi lebih parah daripada sebelumnya. Blasteran. Perkemahan.
Monster. Dia masih tak paham apa yang dibicarakan Hedge, namun kata-kata itu serasa membekukan
otaknya"seakan benaknya tengah mencoba mengakses informasi yang seharusnya ada di sana namun
tak ada. Jason terhuyung-huyung, dan Pak Pelatih Hedge menangkapnya. Untuk ukuran laki-laki pendek, sang
pelatih memiliki cengkraman sekuat baja. "Waduh, hati-hati, Bocah Lembek. Kaubilang kau tak ingat
apa-apa, ya" Ya sudah. Sepertinya aku harus mengawasimu juga, sampai tim penjemput tiba di sini. Kita
biarkan saja sang direktur yang mencari tahu ada apa sebenarnya."
"Direktur apa?" ujar Jason. "Perkemahan apa?"
"Diam saja di sini. Bala bantuan seharusnya tiba di sini sebentar lagi. Mudah-mudahan tak ada yang
terjadi sebelum?" Petir meretih di angkasa. Angin kencang kian menjadi. Lembar kerja beterbangan ke Grand Canyon, dan
seluruh jembatan berguncang-guncang. Anak-anak menjerit, terjerembap, dan mencengkeram pagar.
"Aku harus mengatakan sesuatu," gerutu Hedge. Dia meraung ke megafonnya: "Semuanya masuk! Sapi
bilang moo! Menyingkir dari titian!"
"Kata Bapak benda ini stabil!" teriak Jason melampaui angin.
"Pada kondisi normal," Hedge sepakat, "sedangkan ini bukan kondisi normal. Ayo!"
BAB DUA JASON AWAN BADAI TERPUNTIR MENJADI ANGIN topan mini. Angin puting beliung mengular ke arahtitian
bagaikan tentakel monster ubur-ubur.
Anak-anak menjerit dan lari ke dalam museum. Angin merampas buku catatan, jaket, topi, dan ransel
mereka. Jason meluncur menyeberangi lantai titian yang licin.
Leo kehilangan keseimbangan dan hampir terjungkal dari pagar, namun Jason menyambar jaketnya dan
menariknya ke belakang. "Makasih, Bung!" teriak Leo.
"Ayo, ayo, ayo!" kata Pak Pelatih Hedge.
Piper dan Dylan memegangi pintu agar tetap terbuka, menggiring anak-anak lain ke dalam. Jaket
snowboarding Piper mengepak-ngepak liar, rambut gelapnya berantakan menutupi wajahnya. Jason
menduga Piper kedinginan, namun gads itu terlihat tenang dan percaya diri"memberi tahu yang lain
bahwa semuanya akan baik-baik saja, menyemangati mereka agar terus bergerak.
Jason, Leo, dan Pak Pelatih Hedge lari ke arah mereka, tapi rasanya seperti berlari di pasir asap. Angin
seolah menghadang mereka, mendorong mereka ke belakang.
Dylan dan Piper mendorong seorang anak lagi ke dalam, lalu kehilangan pegangan mereka pada pintu.
Pintu terbanting hingga tertutup, menjebak mereka ke titian.
Piper menarik-narik gagang pintu. Di dalam, anak-anak menggedor-gedor kaca, tapi pintu sepertinya
tersangkut. "Dylan, tolong!" teriak Piper.
Dylan cuma berdiri di sana sambil nyengir bodoh, seragam Cowboy-nya bergelombang ditiup angin,
seakan dia mendadak menikmati badai tersebut.
"Maaf, Piper," kata Dylan. "Sampai di sini saja aku menolong."
Dylan menyentakkan pergelangan tangan, dan Piper pun terbang ke belakang, menghantam pintu dan
meluncur di titian. "Piper!" Jason berusaha menerjang maju, tapi angin menghalanginya. Pak Pelatih Hedge mendorong
Jason ke belakang. "Pak Pelatih," kata Jason. "Lepaskan saya!"
"Jason, Leo, tetaplah di belakangku," perintah sang Pelatih. "Ini pertarungan. Aku seharusnya tahu itulah
monster kita." "Apa?" tuntut Leo. Lembar kerja yang nyasar menampar wajahnya, namun Leo menarik kertas itu
dengan telapak tangannya. "Monster apa?"
Topi sang pelatih tertiup, dan di atas rambut keritingnya mencuatlah dua benjolan"seperti tonjolan
yang didapat tokoh kartun ketika kepala mereka terbentur. Pak Pelatih Hedge mengangkat tongkat
bisbolnya"tapi benda itu bukan lagi tongkat biasa. Entah bagaimana tongkat tersebut telah berubah
menjadi pentungan kasar dari dahan pohon yang masih ada ranting serta daunnya.
Dylan memberi senyum psikopat girang. "Oh, ayolah, Pak Pelatih. Biarkan bocah itu menyerangku!
Bagaimanapun, kau sudah terlalu tua untuk ini. Bukankah itu sebabnya mereka memensiunkanmu ke
sekolah tolol ini" Aku sudah berada dalam timmu sepanjang musim ini, dan kau bahkan tidak tahu. Kau
sudah kehilangan kecermatanmu, Kakek."
Sang pelatih mengeluarkan suara marah yang menyerupai embikan hewan. "Sudah cukup, Bocah
Lembek. Kau bakalan takluk."
"Menurutmu kau bisa melindungi tiga blasteran sekaligus, Pria Tua?" tawa Dylan. "Semoga beruntung."
Dylan menunjuk Leo, dan angin puting beliung pun mewujud di sekelilingnya. Leo terbang ke titian
seperti dilempar. Entah bagaimana, Leo berhasil meliukkan tubuh di udara, dan menghantam dinding
ngarai secara menyamping. Dia meluncur, mencakar habis-habisan untuk mencari pegangan. Akhirnya
dia mencengkeram tubir sempit yang terletak kira-kira lima belas meter di bawah titian dan bergantung
di sana dengan ujung-ujung jarinya.
"Tolong!" Leo berteriak kepada Jason dan Pak Pelatih Hedge. "Tolong lemparkan tali tambang! Tali
bungee! Apa saja!" Pak Pelatih Hedge mengumpat dan melemparkan pentungnya kepada Jason. "Aku tidak tahu siapa kau,
Bocah, tapi kuharap kau jago. Sibukkan mahluk itu?"dia menghunjamkan jempol ke arah Dylan?"selagi
aku menyelamatkan Leo."
"Menyelamatkan dia bagaimana?" tuntut Jason. "Bapak mau terbang?"
"Bukan terbang. Panjat." Hedge menendang sepatunya hingga lepas, dan Jason hampir saja kena
serangan jantung koroner. Sang pelatih tak memiliki telapak kaki manusia. Dia memiliki kuku belah"
kuku belah layaknya kambing. Artinya, yang di kepalanya itu, Jason menyadari, bukanlah benjolan. Itu
tanduk. "Bapak seorang faun," kata Jason.
"Satir!" bentak Hedge. "Faun itu mahluk Romawi. Tapi akan kita bicarakan itu nanti."
Hedge meloncati pagar. Dia melompat ke arah dinding ngarai dan mendarat dengan kuku belah terlebih
dahulu. Disusurinya tebing dengan kelincahan yang mencengangkan, menemukan pijakan yang tak lebih
besar dari prangko, menghindari angin ribut yang berusaha menyerangnya selagi dia berjuang untuk
menghampiri Leo. "Manisnya!" Dylan menoleh untuk menghadap Jason. "Sekarang giliranmu, Bocah."
Jason melemparkan pentungan. Sepertinya ini tindakan sia-sia karena angin kencang sekali, namun
pentungan itu terbang tepat ke arah Dylan, bahkan menukik ketika dia berusaha mengelak dan
menghajar kepalanya sedemikian keras sampai-sampai dia jatuh berlutut.
Piper juga tidak selinglung kelihatannya. Jemarinya dikatupkan ke pentungan ketika benda tersebut
menggelincir ke sampingnya, tapi sebelum cewek itu sempat menggunakan pentungan itu, Dylan berdiri.
Darah"darah keemasan"mengucur dari dahinya.
"Usaha yang bagus, Bocah." Dia memelototi Jason. "Tapi kau harus berusaha lebih keras."
Titian berguncang. Retakan halus muncul di lantainya yang terbuat dari kaca. Di dalam museum, anakanak berhenti menggedor pintu. Mereka mundur, memperhatikan dengan ngeri.
Tubuh Dylan terurai menjadi asap, seolah-olah molekul-molekulnya tengah tercerai berai. Wajahnya
masih sama, senyum putih cemerlangnya masih sama, namun seluruh sosoknya mendadak tersusun
oleh uap hitam yang berputar-putar, matanya bagaikan percikan listrik ditengah-tengah awan badai
hidup. Dia mencuatkan sayap hitam setipis asap dan menjulang di atas titian. Seandainya ada malaikat
yang jahat, Jason memutuskan,wajahnya pasti persis seperti ini.
"Kau adalah ventus," kata Jason, kendati dia sama sekali tak tahu bagaimana dia bisa mengetahui kata
itu. "Roh badai."
Suara tawa Dylan bagaikan tornado yang memorak-porandakan atap. "Aku senang karena sudah
menunggu, Blasteran. Leo dan Piper sudah kukenal berminggu-minggu. Aku bisa saja membunuh
mereka kapan saja. Tapi nyonyaku bilang yang ketiga akan datang"seseorang yang istimewa. Beliau
akan memberiku hadiah besar apabila kau mati!"
Dua angin puting beliung mendarat di kiri-kanan Dylan dan berubah menjadi ventus"cowok-cowok
yang mirip hantu dengan sayap setipis asap serta mata yang berkilat laksana petir.
Piper tetap terkulai, pura-pura linglung, tangannya masih menggenggam pentungan. Wajahnya pucat,
namun cewekitu memberi Jason ekspresi penuh tekad, dan Jason memahami pesannya: Terus alihkan
perhatian mereka. Akan kuhajar mereka dari belakang.
Manis, pandai, dan garang. Jason berharap dia ingat dia punya pacar seperti Piper.
Jason mengepalkan tinju dan bersiap menyerang, tapi dia tidak memperoleh kesempatan itu.
Dylan mengangkat tangan, lengkungan listrik mengalir di antara jari-jarinya, dan menyetrum Jason di
bagian dada. Gedubrak! Jason mendapati dirinya telentang. Mulutnya terasa seperti kertas alumunium yang terbakar.
Dia mengangkat kepala dan melihat bahwa pakaiannya berasap. Sambaran petir itu menjalari tubuhnya
dan menghantam sepatu kirinya hingga copot. Jari-jari kakinya hitam terkena jelaga.
Para roh badai tertawa. Angin mengamuk. Piper berteriak mengancam, tapi teriakannya terdengar
mendenging dan jauh sekali.
Dari ekor matanya, Jason melihat Pak Pelatih Hedge memanjat tebing bersama Leo di punggungnya.
Piper sedang berdiri dengan putus asa mengayun-ayunkan pentungan untuk menghalau dua roh badai
lainnya, namun mereka kelihatannya cuma mempermainkan cewek itu. Pentungan Piper menembus
tubuh mereka seolah mereka tak ada di sana. Dan Dylan, tornado gelap bersayap yang memiliki mata
petir, menjulang di atas Jason.
"Stop," kata Jason parau. Dia bangun sambil terhuyung-huyung, dan dia yakin siapa yang lebih kaget:
dirinya sendiri atau para roh badai.
"Bagaimana mungkin kau masih hidup?" sosok Dylan berkedip-kedip. "Petir tadi seharusnya cukup
untuk membunuh dua puluh orang!"
"Giliranku," ujar Jason.
Dia merogoh saku dan mengeluarkan koin emasnya. Jason membiarkan instingnya mengambil alih,
melemparkan koin ke udara seakan dia telah melakukan itu ribuan kali. Dia menangkap koin dalam
telapak tangannya, dan tiba-tiba saja dia memegang sebilah pedang"pedang tajam bermata ganda
yang tampak seram. Gagangnya yang bergerigi pas sekali dengan jari-jari Jason, dan seluruh benda itu
terbuat dari emas"gagangnya, bilahnya.
Dylan menggeram dan mundur. Dia memandang dua rekannya dan berteriak, "Tunggu apa lagi" Bunuh
dia!" Roh-roh badai lainnya tidak tampak senang dengan perintah itu, namun mereka terbang ke arah Jason,
jemari mereka berderak dialiri listrik.
Jason menebas roh pertama. Pedangnya melewati tubuh roh badai tersebut, dan sosok berasap
makhluk itu pun terbuyarkan. Roh kedua melepaskan sambaran petir, namun bilah pedang Jason
menyerap aliran listrik tersebut. Jason mendekat"satu hunjaman cepat, dan roh badai kedua pun
tercerai berai menjadi serbuk emas.
Dylan melolong murka. Dia memandang ke bawah, seolah-olah berharap rekannya akan mewujud
kembali, tapi mereka tetap menjadi serbuk emas dan tersebar ditiup angin. "Mustahil. Kau ini siapa,
Blasteran?" Piper begitu terperanjat sampai-sampai dia menjatuhkan pentungannya. "Jason, bagaimana ... ?"
Lalu, Pak Pelatih Hedge meloncat kembali ke atas titian dan menjatuhkan Leo seperti sekarung
tepung. "Wahai para roh, takutlah padaku!" raung Hedge sambil meregangkan lengan pendeknya. Kemudian dia
menengok kesana-kemari dan menyadari bahwa hanya ada Dylan.
"Sialan, Bocah!" dia marah-marah pada Jason. "Tidakkah kau sisakan sebagian untukku" Aku suka
tantangan!" Leo berdiri, bernafas tersenggal-senggal. Dia terlihat malu bukan kepalang, tangannya berdarah karena
mencakar-cakar batu. "Hei, Pak Pelatih Kambing Super, siapapun kau"aku baru saja jatuh dari Grand
Canyon yang terkutuk! Jangan minta-minta tantangan!"
Dylan mendesis kepada mereka, tapi Jason dapat melihat kilatan rasa takut di matanya. "Kalian sama
sekali tak menyadari berapa banyak musuh yang telah kalian bangunkan, Blasteran. Nyonyaku akan
menghancurkan semua demigod. Perang ini takkan bisa kalian menangi."
Di atas mereka, badai menggila menjadi topan ganas. Retakan menyebar di titian. Hujan deras tumpah
ruah, dan Jason harus berjongkok untukmenjaga keseimbangan.
Sebuah lubang terbuka di antara awan-awan"sebuah pusaran hitam dan perak.
"Nyonya memanggilku kembali!" teriak Dylan girang. "Dan kau, Demigod, akan ikut denganku!"
Dia menyerang Jason, tapi Piper menjegal monster itu dari belakang. Walaupun Dylan terbuat dari asap,
Piper entah bagaimana berhasil menyentuhnya. Mereka berdua jatuh terjengkang. Leo, Jason, dan sang
Pelatih buru-buru maju untuk membantu, namun roh tersebut menjerit murka. Dia melepaskan angin
kencang yang menjatuhkan mereka semua ke belakang. Jason dan Pak Pelatih Hedge mendarat dengan
bokong lebih dulu. Pedang Jason meluncur di kaca. Bagian belakang kepala Leo terbentur dan dia pun
terkapar menyamping sambil bergelung, setengah sadar dan mengerang-erang. Piper yang paling sial.
Dia terlempar dari punggung Dylan dan menabrak pagar, terguling ke samping hingga dia bergantung
dengan satu tangan di atas jurang.
Jason hendak menghampiri Piper, tapi Dylan berteriak, "Akan kubawa saja yang satu ini!"
Dylan mencengkram lengan Leo dan mulai naik, menyeret Leo di bawahnya. Badai berputar-putar kian
cepat, menarik mereka ke atas bagaikan penyedot debu.
"Tolong!" teriak Piper. "Siapa saja!"
Lalu dia tergelincir, menjerit saat dia jatuh.
"Jason, sana!" teriak Hedge. "Selamatkan Piper."
Sang Pelatih meluncurkan tendangan kambing ganas ke arah Dylan"menghajarnya dengan kuku
belahnya, membebaskan Leo dari cengkraman roh tersebut. Leo jatuh dengan selamat ke lantai, namun
Dylan ganti mencengkram lengan sang Pelatih. Pak Pelatih Hedge berusaha menyundulnya, lalu
menendangnya dan menyebutnya bocah lembek. Mereka membubung ke udara, semakin cepat.
Pak Pelatih Hedge berteriak ke bawah sekali lagi. "Selamatkan Piper! Biar kuatasi yang satu ini!"
Kemudian sang satir dan roh badai berpusing ke dalam awan dan menghilang.
Selamatkan Piper" Pikir Jason. Piper sudah tiada!
Tapi lagi-lagi insting Jason menang. Dia lari ke pagar sambil berpikir, aku ini edan, dan melompat dari
tepinya. *** Jason tak takut terhadap ketinggian. Dia cuma takut tubuhnya remuk saat menghantam dasar ngarai
seratus lima puluh meter di bawah. Jason menduga dia takkan bisa berbuat apa-apa selain mati bersama
Piper, tapi dia merapatkan lengan ke badan dan menukik dengan kepala lebih dulu. Sisi ngarai
berkelebat seperti film yang dipercepat. Wajahnya serasa terkelupas.
Dalam sekejap, Jason sudah menyusul Piper, yang mengepakkan lengannya dengan liar. Jason
merengkuh pinggang Piper dan memejamkan mata, menanti ajal. Piper menjerit. Angin mendesing di
telinga Jason. Dia bertanya-tanya bagaimana rasanya mati. Dia berpikir, barangkali tidak enak. Dia
berharap entah bagaimana mereka takkan pernah tiba di dasar.
Mendadak angin berhenti. Jeritan Piper berubah menjadi suara terkesiap. Jason mengira mereka pasti
sudah mati, tapi dia tak merasakan tumbukan apa pun.
"J-J-Jason," Piper berhasil mengeluarkan kata-kata.
Jason membuka mata. Mereka tidakjatuh. Mereka melayang di udara, sekitar tiga puluh meter di atas
sungai. Jason memeluk Piper erat-erat, dan cewek itu memperbaiki posisinya sehingga dia memeluk
Jason juga. Hidung mereka berdekatan. Jantung Piper berdebar kencang sekali, Jason bisa merasakannya
melalui pakaian cewek itu.
Napas Piper beraroma seperti kayu manis. Dia berkata, "Bagaimana caramu?"
"Aku tak melakukan apa-apa," kata Jason. "Kukira aku bakal tahu seandainya aku bisa terbang ... "
Tapi, kemudian Jason berpikir: aku bahkan tak tahu siapa aku.
Jason membayangkan tubuhnya melayang ke atas. Piper memekik saat mereka melesat beberapa kaki
lebih tinggi. Mereka sebetulnya tidak melayang, Jason memutuskan. Dia bisa merasakan tekanan di
bawah kakinya seolah mereka sedang menyeimbangkan diri di atas semburan air panas.
"Udara menopang kita," kata Jason.
"Yah, suruh udara agar lebih menopang kita! Membawa kita pergi dari sini!"
The Heroes Of Olympus 1 Pahlawan Yang Hilang Lost Of Hero di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jason menengok ke bawah. Hal yang paling mudah adalah turun pelan-pelan ke dasar ngarai. Kemudian
dia mendongkak. Hujan telah berhenti. Awan badai tidak kelihatan seseram tadi tapi masih
menggemuruh dan berkilat-kilat. Tak ada jaminan bahwa para roh badai betul-betul sudah pergi. Jason
sama sekali tak tahu apa yang telah menimpa Pak Pelatih Hedge. Dan Jason meninggalkan Leo di atas
sana, nyaris tak sadarkan diri.
"Kita harus menolong mereka," kata Piper, seakan membaca pikiran Jason. "Bisakah kau?"
"Mari kita lihat." Jason berpikir naik, dan mereka pun langsung melesat ke angkasa.
Fakta bahwa Jason tengah menunggangi angin mungkin saja keren dalam kondisi yang berbeda, namun
dia terlalu terguncang. Begitu mereka mendarat di titian, mereka lari menghampiri Leo.
Piper membalikan badan Leo ke samping, dan dia mengerang. Jaket tentaranya basah kuyup kehujanan.
Rambut keritingnya mengilap keemasan karena berguling-guling di atas debu monster. Tapi paling tidak
dia tidak mati. "Kambing ... jelek ... bego," gumam Leo.
"Ke mana dia pergi?" tanya Piper.
Leo menunjuk lurus ke atas. "Tidak turun-turun. Tolong katakan padaku dia tak menyelamatkan
nyawaku." "Dua kali," kata Jason.
Leo mengerang semakin keras. "Apa yang terjadi" Si cowok tornado, pedang emas ... kepalaku terbentur.
Begitu, kan" Aku berhalusinasi?"
Jason sudah lupa soal pedang. Dia berjalan menghampiri pedang itu dan memungutnya. Bilah pedang
tersebut terasa pas di tangannya. Berdasarkan insting, Jason pun melemparkan pedang tersebut. Di
tengah putaran, pedang itu menciut kembali menjadi koin dan mendarat di telapak tangan Jason.
"Yup," kata Leo. "Benar-benar halusinasi."
Piper menggigil dalam balutan pakaiannya yang basah kuyup karena kehujanan. "Jason, makhlukmakhluk itu?"
"Ventus," kata Jason. "Roh badai."
"Oke. Kau bersikap seolah ... seolah kau pernah bertemu dengan mereka sebelumnya. Kau ini siapa?"
Jason menggelengkan kepala. "Itulah yang telah kucoba bilang pada kalian. Aku tak tahu."
Badai telah mereda. Anak-anak lain dari Sekolah Alam Liar menatap ke luar pintu kaca dengan ngeri.
Penjaga keamanan sedang mengutak-atik kunci sekarang, tapi sepertinya mereka tidak berhasil.
"Pak Pelatih Hedge bilang dia harus melindungi tiga orang," Jason teringat. "Kurasa maksudnya kita."
"Dan si Dylan itu berubah jadi ..." Piper bergidik. "Ya ampun, aku tak percaya dia merayuku. Dia
menyebut kiya ... apa, demigod?"
Leo berbaring terlentang, menatap langit. Dia tampaknya tidak ingin cepat-cepat bangun. "Tak tahu apa
artinya demi itu," katanya. "Tapi god"dewa"aku tidak merasa seperti dewa. Kalian merasa seperti
dewa?" Terdengar bunyi krak seperti ranting kering yang patah, dan retakan di titian melebar.
"Kita harus turun dari sini," kata Jason. "Mungkin jika kita?"
"Ooo-keee," potong Leo. "Lihat ke atas sana dan beri tahu aku apakah itu memang kuda terbang."
Pada mulanya Jason mengira Leo memang terbentur terlalu keras. Kemudian dia melihat sosok gelap
mendekat dari timur"terlalu lambat sehingga tidak mungkin pesawat, terlalu besar sehingga tidak
mungkin burung. Saat benda tersebut semakin dekat, Jason dapat melihat sepasang hewan bersayap"
abu-abu, berkaki empat, persis seperti kuda"hanya saja masing-masing memiliki lebar kira-kira enam
meter ketika kedua sayapnya direntangkan. Dan mereka menghela sebuah kotak bercat cerah yang
memiliki dua buah roda: sebuah kereta perang.
"Bala bantuan," kata Jason. "Hedge bilang tim penjemput akan datang untuk menjemput kita."
"Tim penjemput?" Leo berjuang untuk berdiri. "Kedengarannya menyeramkan."
"Dan mereka hendak menjemput kita untuk dibawa ke mana?" tanya Piper.
Jason memperhatikan saat kereta perang tersebut berhenti di ujung titian. Kuda-kuda terbang melipat
sayap mereka dan perlahan menyeberangi kaca dengan gugup, seolah bisa merasakan bahwa titian kaca
tersebut hampir pecah. Dua remaja berdiri di kereta perang tersebut"seorang cewek pirang tinggi yang
mungkin sedikit lebih tua daripada Jason, dan seorang cowok gagah dengan kepala plontos dan wajah
seperti tumpukan bata. Mereka berdua mengenakan jins dan kaus jingga, dengan tameng yang
disandangkan ke belakang puggung mereka. Si cewek melompat turun bahkan sebelum kereta perang
berhenti. Dia mengeluarkan sebilah pisau dan lari menghampiri kelompok Jason, sedangkan si cowok
gagah menarik tali kekang kuda.
"Di mana dia?" tuntut si cewek pirang. Matanya yang kelabu bersinar tajam dan sedikit mencengangkan.
"Siapa yang di mana?" tanya Jason.
Cewek itu mengerutkan kening seakan jawaban mereka tak dapat diterima. Lalu dia menoleh kepada
Leo dan Piper. "Bagaimana dengan Gleeson" Bagaimana dengan pelindung kalian, Gleeson Hedge?"
Nama depan Pak Pelatih adalah Gleeson" Jason mungkin akan tertawa jika pagi itu tidak begitu ganjil
dan menyeramkan. Gleeson Hedge pelatih futbol, manusia kambing, pelindung demigod. Tentu saja.
Kenapa tidak" Leo berdeham. "Dia dibawa pergi oleh... semacam tornado?"
"Para Ventus," kata Jason. "Roh badai."
Si cewek pirang mengangkat alis. "Maksudmu anemoi thuellai" Itu istilahnya dalam bahasa Yunani. Kau
ini siapa, dan apa yang terjadi."
Jason berusaha sebaik mungkin utuk menjelaskan, meskipun sulit untuk bertatapan dengan mata kelabu
intens itu. Kira-kira pertengahan cerita, cowok gagah itu meninggalkan kereta perang dan menghampiri
mereka. Dia berdiri di sana sambil melotot dan bersedekap. Dia punya tato pelangi di bisepnya, yang
kelihatannya agak janggal.
Ketika Jason menyelesaikan ceritanya, si cewek pirang terlihat tidak puas. "Tidak, tidak, tidak! Katanya
dia pasti berada di sini. Wanita itu bilang jika aku datang ke sini, aku akan menemukan jawaban."
"Annabeth," geram si cowok plontos."Coba lihat." Dia menunjuk kaki Jason.
Jason tidak terlalu memikirkannya, tapi dia masih kehilangan sepatu kirinya, yang telah disambar petir
sampai copot. Kaki telanjangnya terasa baik-baik saja, tapi kaki itu terlihat seperti sebongkah batu bara.
"Cowok dengan satu sepatu," kata si cowok botak. "Dialah jawabannya."
"Bukan, Butch," si cewek itu berkeras. "Tak mungkin. Aku tertipu." Cewek itu memelototi angkasa,
seolah langit telah berbuat salah. "Apa yang kauinginkan dariku?" jeritnya. "Sudah kauapakan dia?"
Titian berguncang, dan kuda-kuda meringkik memperingatkan.
"Annabeth," kata si cowok plontos, Butch, "kita harus pergi. Ayo kita bawa tiga anak ini ke perkemahan
dan cari tahu di sana. Roh-roh badai itu mungkin saja kembali."
Annabeth bersungut-sungut sesaat. "Baiklah." Dia melemparkan tatapan sebal pada Jason. "Akan kita
selesaikan ini nanti."
Annabeth berputar dan berderap ke arah kereta perang.
Piper menggeleng-gelengkan kepala. "Apa sih masalah cewek itu" Apa yang terjadi?"
"He-eh," Leo sepakat.
"Kami harus membawa kalian pergi dari sini," kata Butch. "Akan kujelaskan dalam perjalanan."
"Aku tidak mau pergi ke mana-mana dengan dia." Jason memberi isyarat kepada Annabeth.
"Kelihatannya dia ingin membunuhku."
Butch ragu-ragu. "Annabeth baik kok. Kalian harus memakluminya. Dia mendapat visi yang
memberitahunya agar datang ke sini, untuk mencari cowok dengan satu sepatu. Seharusnya itu akan
menjadi jawaban atas persoalannya."
"Persoalan apa?" tanya Piper.
"Dia mencari salah satu pekemah kami, yang sudah tiga hari menghilang," ujar Butch. "Annabeth
menggalau karena khawatir. Annabeth tadinya berharap dia di sini."
"Siapa?" tanya Jason.
"Pacarnya," kata Butch. "Cowok bernama Percy Jackson."
BAB TIGA PIPER SESUDAH MENJALANI PAGI YANG PENUH dengan roh badai, manusia kambing, dan pacar terbang, Piper
semestinya hilang akal. Alih-alih, yang dia rasakan hanyalah ngeri.
Sudah dimulai, pikirnya. Seperti kata mimpi itu.
Piper berdiri di bagian belakang kereta perang bersama Leo dan Jason, sementara si cowok plontos,
Butch, memegang tali kekang, sedangkan si cewek pirang, Annabeth, menyesuaikan alat navigasi
perunggu. Mereka membubung di atas Grand Canyon dan menuju timur, angin sedingin es menamparnampar jaket Piper. Di belakang mereka, awan badai yang mengumpul kian banyak saja.
Kereta perang itu menukik dan terguncang-guncang. Kereta perang tersebut tidak memiliki sabuk
keselamatan dan bagian belakangnya terbuka lebar, alhasil Piper bertanya-tanya akankah Jason
menangkapnya lagi jika dia jatuh. Itu adalah hal yang paling menggelisahkan sepagian itu"bukan karena
Jason bisa terbang, melainkan karena Jason mau memeluk Piper meskipun dia tidak kenal cewek itu.
Sepanjang semester ini Piper berupaya menjalin hubungan, mengusahakan supaya Jason
menganggapnya lebih dari sekadar teman. Akhirnya Piper berhasil membuat si besar bego itu
menciumnya. Beberapa minggu terakhir ini merupakan saat-saat terbaik seumur hidup Piper. Kemudian,
tiga malam lalu, mimpi tersebut menghancurkan segalanya"suara mengerikan itu memberi Piper kabar
mengerikan. Piper belum memberitahukannya kepada siapa-siapa, bahkan Jason pun tidak.
Kini bahkan Piper tak memiliki Jason. Rasanya seolah seseorang telah menghapus ingatan cowok itu, dan
Piper terjebak dalam situasi "ulangi dari awal" yang terburuk sepanjang masa. Dia ingin menjerit. Jason
berdiri di tepat di sebelahnya: mata biru langit itu, rambut pirang cepak, bekas luka yang
menggemaskan di atas bibirnya. Dan Jason terus saja menatap cakrawala, bahkan tidak memperhatikan
Piper. Sementara itu, Leo bersikap menyebalkan, seperti biasa. "Ini keren banget!" Dia meludahkan baju
pegasus dari mulutnya. "Kita mau ke mana?"
"Tempat yang aman," ujar Annabeth. "Satu-satunya tempat yang aman untuk anak-anak seperti kita.
Perkemahan Blasteran."
"Blasteran?" Piper seketika jadi waspada. Dia benci kata ini. Dia sudah terlalu sering dipanggil
Blasteran"setengah Cherokee, setengah kulit putih"dan panggilan itu tak pernah merupakan pujian.
"Apa itu semacam lelucon payah?"
"Maksudnya kita ini demigod," kata Jason. "Setengah dewa, setengah manusia fana."
Annabeth menoleh ke belakang. "Kau sepertinya tahu banyak, Jason. Tapi, ya, kita ini demigod. Ibuku
Athena, Dewi kebijaksanaan. Kalau Butch, dia putra Iris, Dewi pelangi."
Leo tersedak. "Ibumu Dewi Pelangi?"
"Ada masalah?" ujar Butch.
"Tidak, tidak," kata Leo. "Pelangi. Sangat macho."
"Butch penunggang kuda kami yang terbaik," kata Annabeth. "Dia pandai bergaul dengan pegasus."
"Pelangi, poni," gumam Leo.
"Kulempar kau dari kereta ini," Butch memperingatkan.
"Demigod," kata Piper. "Maksudnya, kalian kira kalian ... kalian kira kami ini?"
Petir menyambar. Kereta perang bergoyang-goyang, dan Jason berteriak, "Roda kiri terbakar!"
Piper melangkah mundur. Memang benar, roda tersebut terbakar, bunga api putih melalap bagian
samping kereta perang. Angin menderu. Piper melirik ke belakang mereka dan melihat sosok-sosok gelap terbentuk di awan,
para roh badai lagi-lagi berputar-putar menuju kereta perang"hanya saja, kali ini mereka lebih mirip
kuda daripada malaikat. Piper mulai berkata, "Kenapa mereka?"
"Bentuk anemoi bermacam-macam," kata Annabeth. "Terkadang manusia, terkadang kuda, tergantung
seberapa kacau mereka. Pegangan. Ini bakalan kasar."
Butch menyentakkan tali kekang. Kedua pegasus mempercepat laju mereka hingga secepat kilat, dan
kereta perang itu pun melejit. Perut Piper serasa merangkak ke kerongkongan. Penglihatannya jadi
hitam kelam, dan ketika penglihatannya kembali normal, mereka sudah berada di tempat yang betulbetul berbeda.
Samudra kelabu dingin terbentang di sebelah kiri. Ladang, jalanan, dan hutan berselimut salju
terhampar di kanan. Tepat di bawah mereka terdapat lembah hijau, bagaikan pulau terpencil saat
musim semi, dikelililngi oleh perbukitan bersalju di ketika sisinya serta perairan di utara. Piper melilat
sekumpulan bangunan yang mirip seperti kuil Yunani kuno, griya besar, lapangan bola, danau dan
tembok panjat yang sepertinya sedang terbakar. Tapi sebelum dia dapat mencerna semua yang
dilihatnya, roda kereta mereka copot dan kereta perang itu pun jatuh dari langit.
Annabeth dan Butch berusaha mempertahankan kendali. Kedua pegasus susah payah menahan kereta
perang agar tetap melayang, namun mereka tampaknya kelelahan setelah melaju secepat kilat; dan
menanggung beban kereta perang serta bobot lima orang, tampaknya terlalu berat buat mereka.
"Danau!" teriak Annabeth. "Arahkan ke danau!"
Piper teringat sesuatu yang pernah diberitahukan ayanya kepadanya, bahwa menabrak air sesudah
jatuh dari lokasi yang tinggi sama menyakitkannya seperti menabrak semen.
Lalu"BUM. Kejutan terbesar adalah rasa dinginnya. Piper berada di bawah air, benar-benar kehilangan arah
sehingga dia tidak tahu di mana permukaan airnya.
Dia hanya punya waktu untuk berpikir: ini bakalan jadi cara mati yang bodoh. Kemudian muncullah
wajah-wajah di antara air keruh hijau tersebut"cewek-cewek berambut hitam panjang dan bermata
kuning menyala. Mereka tersenyum kepada Piper, mencengkeram pundaknya, dan mengangkatnya ke
atas. Mereka melemparkan Piper, megap-megap dan menggigil ke tepi danau. Di dekat sana, Butch berdiri di
dana, memotong kekang kuda yang rusak dari tubuh pegasus. Untungnya, kedua kuda itu keliatannya
baik-baik saja, namun mereka mengepakkan sayap dan memercikkan air ke mana-mana. Jason, Leo, dan
Annabeth suda berada di tepi, dikelilingi oleh anak-anak yang memberi mereka selimut sambil
mengajukan beberapa pertanyaan. Seseorang memegangi tangan Piper dan membantunya berdiri.
Rupanya anak-anak sering sekali jatuh ke danau, sebab sepasukan pekemah liar sambil membawa
blower besar dari perunggu dan menyembur Piper dengan udara panas; dalam waktu kira-kira dua detik
pakaiannya pun kering. Terdapat setidaknya dua puluh pekemah yang berkeliaran"yang termuda barangkali sembilan tahun,
yang tertua sepertinya sudah kuliah, berusia delapan belas atau sembilan belas"dan mereka semua
mengenakan kaus jingga seperti yang dipakai Annabeth. Piper menengok air di belakangnya dan melihat
cewek-cewek aneh itu tepat di bawah permukaan air, rambut mereka terapung-apung mengikuti arus.
Mereka melambaikan ujung-ujung jari, kemudian menghilang ke dalam air. Sedetik kemudian puingpuing kereta perang dilemparkan dari danau dan mendarat disertai bunyi berdencang.
"Annabeth!" seorang cowok yang menyandang wadah panah dan busur di punggungnya menerobos
maju melewati kerumuman orang. "Kubilang kau boleh meminjam kereta perang itu, bukan
menghancurkannya!" "Will, maafkan aku," desah Annabeth. "Akan kuperbaiki, aku janji."
Will memandangi kereta perangnya yang rusak sambil merengut. Kemudian dia mengamati Piper, Leo,
dan Jason. "Ini anak-anaknya" Umur mereka pasti sudah lebih dari tiga belas tahun. Kenapa mereka
belum diklaim?" "Diklaim?" tanya Leo.
Sebelum Annabeth menjelaskan, Will berkata, "Ada tanda-tanda keberadaan Percy?"
"Tidak," Annabeth mengakui.
Para pekemah berbisik-bisik. Piper tidak tahu siapa si Percy ini, namun hilangnya cowok itu tampaknya
merupakan perkara besar. Seorang cewek lain melangkah maju"tinggi, orang Asia, berambut gelap keriting kecil-kecil, memakai
banyak perhiasan, dan rias wajah sempurna. Entah bagaimana dia mampu membuat jins dan kaus jingga
tampak glamor. Dia melirik Leo, menatap Jason lekat-lekat seakan cowok itu layak diberinya perhatian,
lantas mengerutkan bibirnya saat melihat Piper, seolah-olah cewek itu adalah burrito basi yang baru saja
dipungut dari tong sampah. Piper mengenali cewek seperti ini. Piper sering berurusan dengan cewek
seperti ini di Sekolah Alam Liar dan semua sekolah tolol lainnya yang telah dia masuki atas perintah
ayahnya. Piper serta-merta tahu mereka bakal bermusuhan.
"Yah," kata cewek itu. "Kuharap mereka pantas diselamatkan. Merepotkan saja."
Leo mendengus. "Wah, makasih. Memangnya kami ini apa, piaraan barumu?"
"Betul," kata Jason. "Bagaimana kalau kalian jawab dulu pertanyaan kami sebelm kalian mulai menilai
kami"misalnya, ini tempat apa, kenapa kami dibawa ke sini, berapa lama kami harus tinggal?"
Piper memiliki pertanyaan yang sama, namun gelombang kecemasan melandanya. Pantas diselamatkan.
Seandainya saja mereka tahu tentang mimpi Piper. Mereka sama sekai tidak tahu ...
"Jason," kata Annabeth, "aku janji kami akan menjawab pertanyaan kalian. Dan Drew?"dia
mengerutkan kening kepada si cewek glamor?"semua demigod pantas diselamatkan. Tapi kuakui,
perjalanan tadi memang tidak membuahkan pencapaian yang kuharapkan."
"Hei," kata Piper. "Kami tidak minta dibawa ke sini."
Drew mengendus-endus. "Dan tak ada yang menginginkanmu, Say. Apa rambutmu memang selalu
tampak seperti musang mati?"
Piper melangkah maju, siap menghajar cewek itu, namun Annabeth berkata, "Piper, stop."
Piper menurut. Dia sama sekali tak takut pada Drew, tapi Annabeth sepertinya bukan orang yang ingin
dia jadikan musuh. "Kita harus membuat para pendatang baru merasa diterima," kata Annabeth, lagi-lagi memandang Drew
dengan galak. "Akan kita beri pemandu untuk masing-masing dari mereka, beri mereka tur keliling
perkemahan. Moga-moga pada acara api unggun malam ini mereka sudah diklaim."
"Adakah yang mau memberitahuku apa maksudnya diklaim?" tanya Piper.
Tiba-tiba saja semua anak serempak terkesiap. Para pekemah melangkah mundur. Pada mulanya Piper
mengira dia telah melakukan kesalahan. Lalu dia menyadari bahwa wajah mereka diselimuti cahaya
merah aneh, seolah-olah seseorang telah menyalakan obor di belakang Piper. Dia berbalik dan hampir
lupa caranya bernapas. Di atas kepala Leo melayanglah hologram yang menyala-nyala"palu yang membara.
"Itu," kata Annabeth, "yang namanya diklaim."
"Apa yang kulakukan?" Leo mundur ke arah danau. Kemudian dia melirik ke atas dan memekik. "Apa
rambutku terbakar?" Dia menunduk, namun simbol tersebut mengikutinya, naik-turun dan berbelokbelok sehingga Leo seakan sedang mencoba menulis sesuatu dari nyala api dengan kepalanya.
"Ini tidak bagus," gumam Butch. "Kutukan itu?"
"Butch, tutup mulut," kata Annabeth. "Leo, kau baru saja diakui?"
"Oleh dewa," potong Jason. "Itu simbol Vulcan, kan?"
Semua mata memandang kepadanya.
"Jason," kata Annabeth hati-hati, "bagaimana kautahu itu?"
"Entahlah." "Vulcan?" tuntut Leo. "Aku bahkan tidak SUKA star trek. Kalian ngomong apa sih?"
"Vulcan adalan nama Romawi untuk Hephaestus," kata Annabeth. "Dewa Api dan Pandai Besi."
Hologram palu itu membara itu memudar, tapi Leo terus saja menepuk-nepuk udara seakan dia takut
hologram tersebut mengikutinya. "Dewa apa" Siapa?"
Annabeth berpaling kepada cowok pembawa busur. "Will, maukah kauantar Leo berkeliling-keliling"
Perkenalkan dia kepada teman-teman sekamarnya di Pondok Sembilan."
"Tentu saja, Annabeth."
"Apa itu Pondok Sembilan?" tanya Leo. "Dan aku bukan orang Vulcan!"
"Ayo. Mr. Spock, akan kujelaskan semuanya." Will merangkulkan lengannya ke bahu Leo dan
menggiringnya ke arah pondok-pondok."
Annabeth kembali mengalihkan perhatiannya kepada Jason. Biasanya Piper ridak suka ketika cewekcewek lain memperhatika pacarnya, tapi Annabeth sepertinya bahkan tak peduli bahwa Jason adalah
cowok tampan. Annabeth mengamati Jason seperti mengamati sebuah cetak biru yang rumit. Akhirnya
cewek itu berkata, "Ulurkan lenganmu."
Piper melihat apa yang dilihat Annabeth, dan matanya pun membelalak.
Jason telah melepas jaketnya setelah tercebur di danau, menampakkan lengannya yang telanjang, dan
pada lengan bawahnya yang sebelah dalam ada sebuah tato. Kok bisa-bisanya Piper tidak menyadari
keberadaan tato itu sebelumnya" Dia sudah jutaan kali melihat lengan Jason. Tato itu tak mungkin
muncul begitu saja, tapi tato tersebut terukir dengan warna gelap, mustahil dilewatkan: selusin garis
The Heroes Of Olympus 1 Pahlawan Yang Hilang Lost Of Hero di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lurus seperti barcode, dan diatasnya terdapat seekor elang dengan huruf-huruf SPQR.
"Aku tak pernah melihat rajah seperti ini," kata Annabeth. "Dari mana kau mendapatkannya?"
Jason menggelengkan kepala. "Aku benar-benar sudah bosan mengucapkan ini, tapi aku tidak tahu."
Para pekemah lain merengsek maju, berusaha melihat tato Jason. Rajah tersebut sepertinya sangat
mengusik mereka"hampir seperti pernyataan perang.
"Kelihatannya rajah ini dicap ke kulitmu," komentar Annabeth.
"Memang," kata Jason. Lalu dia berjengit seolah-olah kepalanya nyeri. "Maksudku ... kurasa begitu. Aku
tak ingat." Tak ada yang mengucapkan apa-apa. Jelas bahwa para pekemah memandang Annabeth sebagai
pemimpin. Mereka tengah menanti vonisnya.
"Dia harus menemui Pak Chiron sekarang juga," Annabeth memutuskan. "Drew, maukah kau?"
"Pasti." Drew mengaitkan lengannya ke lengan Jason. "Ke arah sini, Manis. Akan kuperkenalkan kau
dengan direktur kami. Dia laki-lai yang ... menarik." Cewek itu melemparkan ekspresi pongah pada Piper
dan menuntun Jason ke arah rumah biru besar di bukit.
Kerumunan mulai bubar, hingga hanya Annabeth dan Piper yang tertinggal.
"Siapa itu Pak Chiron?" tanya Piper. "Apa Jason dalam kesulitan?"
Annabeth bimbang. "Pertanyaan bagus, Piper. Ayo, akan kuantarkan kau berkeliling. Kita harus bicara."
BAB EMPAT PIPER PIPER LANGSUNG MENYADARI BAHWA HATI Annabeth tak dicurahkan sepenuhnya ke acara tur itu.
Annabeth menceritakan segala macam hal menakjubkan yang ada di perkemahan itu"panahan magis,
menunggang pegasus, tembok lava, pertarungan melawan monster"tapi dia tidak menunjukkan
antusiasme, seolah pikirannya sedang tertuju ke tempat lain. Dia menunjukan paviliun terbuka yang
berfungsi sebagai aula makan, menghadap ke Selat Long Island. (Benar, Long Island, New York; mereka
berpergian sejauh itu) Annabeth menjelaskan bahwa Perkemahan Blasteran hampir sama dengan
perkemahan musim panas lain, namun sebagian anak di sini tinggal setahun penuh, dan pekemah sudah
bertambah sedemikian banyak sehingga tempat tersebut kini selalu penuh pada musim dingin sekalipun.
Piper bertanya-tanya siapa yang mengelola perkemahan itu, dan bagaimana mereka tahu bahwa Piper
dan kawan-kawannya sudah seharusnya berada di sini. Dia bertanya-tanya apakah dia harus tinggal di
sana purnawaktu, atau akankah dirinya mahir menjalani berbagai aktivitas tersebut. Adakah monster
yang namanya "tidak lulus" dalam pertarungan melawan monster" Jutaan pertanyaan menggelegak
dalam kepalanya, namun mengingat suasa hati Annabeth, Piper memutuskan untuk diam saja.
Saat mereka naik ke bukit di tepi perkemahan, Piper menoleh dan menyaksikan pemandangan lembah
yang mengagumkan"bentangan besar hutan di barat laut, pantai indah, sungai kecil, danau kano,
ladang hijau subur, serta kompleks yang tediri dari pondok-pondok"kumpulan bangunan ganjil yang
ditata membentuk huruf omega Yunani, "; terdapat pondok-pondok yang meliuk di sekeliling halaman
sentral serta dua sayap bangunan yang mencuat di ujung kiri serta kanan halaman tersebut. Piper
menghitung totalnya ada dua puluh pondok. Satu berkilau keemasan, satu lagi perak. Satu berumput di
atas atap. Ada yang berwarna merah terang dengan parit yang dikelilingi kawat berduri. Satu pondok
berwarna hitam dengan obor-obor berapi hijau di depannya.
Semua itu berbeda sekali dengan perbukitan dan ladang bersalju di luar, seolah perkemahan itu terletak
di dunia lain. "Lembah ini terlindung dari mata manusia fana," kata Annabeth. "Seperti yang bisa kaulihat, cuacanya
dikendalikan juga. Tiap pondok mewakili satu dewa Yunani"tempat untuk ditinggali anak-anak dewa
itu." Annabeth memandang Piper seakan sedang berusaha menilai bagaimana Piper menyikapai berita
tersebut. "Maksudmu ibuku dewi."
Annabeth mengangguk. "Kau menanggapi ini dengan sangat tenang."
Piper tidak bisa memberitahu Annabeth apa sebabnya. Dia tak bisa mengakui bahwa ini semata-mata
mengonfirmasi firasat aneh yang telah dirasakannya selama bertahun-tahun, pertengkarannya dengan
ayahnya mengenai apa sebabnya tak ada foto ibu di rumah, dan apa sebabnya Ayah tak pernah
memberitahu Piper mengapa ibunya meninggalkan mereka. Tapi terutama, mimpi tersebut telah
mengingatkan Piper akan kejadian ini. Mereka akan segera menemukanmu, Demigod, begitulah
gemuruh suara itu. Ketika mereka sudah menemukanmu, ikuti petunjuk kami. Bekerjasamalah dan
ayahmu mungkin akan hidup.
Piper menarik napas lemah. "Kurasa setelah peristiwa pagi ini, agak lebih mudah untuk mempercayai
semua ini. Jadi, siapa ibuku?"
"Kita seharusnya akan segera tahu," kata Annabeth. "Umurmu berapa"lima belas" Dewa-dewi
seharusnya sudah mengakui kita ketika umur kita menginjak tiga belas tahun. Begitu kesepakatannya."
"Kesepakatan?" "Mereka berjanji musim panas lalu ... yah, ceritanya panjang ... tapi mereka berjanji takkan
mengabaikan anak demigod mereka lagi, akan mengakui anak-anak itu ketika mereka menginjak tiga
belas. Kadang-kadang butuh waktu agak lama, tapi kaulihat betapa cepatnya Leo diklaim begitu dia tiba
di sini. Semestinya itu segera terjadi juga padamu. Malam ini waktu acara api unggun, aku bertaruh kita
bakal memperoleh pertanda."
Piper bertanya-tanya apakah bakal ada palu besar membara di atas kepalanya ataukah, mengingat
nasibnya yang sial, sesuatu yang bahkan lebih memalukan. Wombat membara, barangkali. Siapa pun
ibunya, Piper tak punya alasan untuk berpikir bahwa ibunya akan bangga mengakui anak perempuan
kleptomaniak yang punya masalah besar. "Kenapa tiga belas tahun?"
"Semakin kita besar," kata Annabeth, "semakin banyak monster yang menyadari keberadaan kita dan
berusaha untuk membunuh kita. Upaya pembunuhan tersebut biasanya bermula saat usia kita kira-kira
tiga belas. Itulah sebabnya kami mengutus pelindung ke sekolah-sekolah untuk menemukan kalian,
untuk memasukkan kalian ke perkemahan sebelum terlambat."
"Seperti Pak Pelatih Hedge?"
Annabeth mengangguk. "Dia"dia seorang satir: setengah manusia setangah kambing. Satir bekerja
untuk perkemahan, mencari para demigod, melindungi mereka, membawa mereka ke sini ketika
waktunya tepat." Piper tidak kesullitan memercayai bahwa Pak Pelatih Hedge ternyata separuh kambing. Dia pernah
melihat laki-laki itu makan. Piper tak pernah terlalu menyukai sang pelatih, namun dia tak percaya satir
tersebut telah mengorbankan diri demi menyelamatkan mereka.
"Apa yang terjadi padanya?" tanya Piper. "Waktu kita naik ke awan-awan, apakah dia ... apakah dia
benar-benar sudah tiada?"
"Entahlah." Ekspresi Annabeth tampak pedih. "Roh-roh badai ... sulit dilawan. Senjata terbaik kami
sekali pun, Perunggu Langit, akan menembus tubuh mereka kecuali kita bisa mengejutkan mereka."
"Pedang Jason bisa mengubah mereka jadi debu," Piper mengingat.
"Dia beruntung, kalau begitu. Jika kita berhasil menebas monster, kita bisa membuyarkan jasad mereka,
mengirim intisari mereka kembali ke Tartarus."
"Tartarus?" "Palung besar di Dunia Bawah, tempat asal monster. Seperti lubang kejahatan tak berdasar. Pokoknya,
begitu para monster terbuyarkan, biasanya perlu waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun
sebelum mereka dapat mewujud lagi. Tapi karena Dylan si roh badai ini lolos"yah, aku tak tahu apa dia
punya alasan untuk menculik Hedge hidup-hidup. Tapi, Hedge seorang pelindung. Dia tahu resikonya.
Satir tidak memilik jiwa yang fana. Dia akan bereinkarnasi sebagai pohon atau bunga atau semacamnya.
Piper mencoba membayangkan Pak Pelatih Hedge sebagai setangkai bunga pansy yang sangat pemarah.
Itu membuat perasaannya semakin buruk.
Piper menatap pondok-pomdok di bawah, dan hatinya mencelus. Hedge telah meninggal supaya Piper
bisa tiba di sini dengan selamat. Pondok ibunya ada di bawah sana, yang berarti Piper punya saudarasaudara lelaki dan perempuan, semakin banyak lagi yang harus dikhianatinya. Lakukankah yang kami
perintahku kepadamu, kata suara itu. Jika tidak, konsekuensinya akan menyakitkan. Piper bersedekap,
supaya tangannya tidak gemetaran.
"Semuanya akan baik-baik saja," Annabeth berjanji. "Kau punya teman di sini. Kami semua sudah
melewati banyak kejadian aneh. Kami tahu apa yang kaualami."
Aku meragukannya, pikir Piper.
"Aku sudah dikeluarkan dari lima sekolah berbeda selama lima tahun terakhir," kata Piper. "Ayahku
sudah kehabisan tenaga untuk menyekolahkanku."
"Cuma lima?" Annabeth kedengarannya tidak bemaksud berolok-olok. "Piper, kami semua pernah
dilabeli sebagai tukang bikin onar. Aku kabur dari rumah waktu umurku tujuh."
"Serius?" "Oh, iya. Sebagian besar dari kita didiagnosis menderita gangguan pemusat perhatian atau disleksia,
atau dua-duanya." "Leo menderita GPPH," ujar Piper.
"Benar. Itu karena kita diprogram untuk bertarung. Tidak bisa diam, impulsif"kita tidak cocok dengan
anak-anak biasa. Kau seharusnya mendengar betapa seringnya Percy terjerumus?" wajah Annabeth
jadi muram. "Intinya, demigod punya reputas jelek. Kau kena masalah karena apa?"
Biasanya, ketika seseorang mengajukan pertanyaan tersebut, Piper mengajak orang itu berkelahi, atau
mengubah topik, atau memunculkan semacam pengalih perhatian. Tapi entah karena alasan apa, Piper
mendapati dirinya menceritakan yang sesunguhnya.
"Aku mencuri," kata Piper. "Yah, sebenarnya sih bukan mencuri ..."
"Apa keluargamu miskin?"
Piper tertawa getir. "Sama sekali tidak. Aku melakukannya ... aku tak tahu sebabnya. Untuk cari
perhatian, kurasa. Ayahku tak pernah punya waktu untukku kecuali jika aku terlibat masalah."
Annabeth mengangguk. "Aku bisa mengerti. Tapi kaubilang kau sebenarnya tidak mencuri" Apa
maksudmu?" "Yah ... tak pernah ada yang percaya padaku. Polisi, guru"bahkan orang-orang yang barangnya kuambil:
mereka malu sekali, karenanya mereka menyangkal apa yang terjadi. Tapi sebenarnya, aku tidak
mencuri apa-apa. Aku Cuma meminta barang-barang tersebut dari mereka. Dan mereka memberiku
barang-barang yang kuminta. BMW konvertibel sekali pun. Aku minta saja. Dan si dealer bilang, "Tentu.
Bawa saja." Belakangan, mungkin dia baru menyadari perbuatannya. Kemudian polisi datang
mengejarku." Piper menunggu. Dia terbisa dipanggil pembohong, tapi ketika mendongak, Annabeth hanya
mengangguk. "Menarik. Seandainya ayahmulah yang dewa, akan kutebak bahwa kau adalah anak Hermes, Dewa
Pencuri. Hermes bisa bersikap cukup meyakinkan. Tapi ayahmu manusia fana ..."
"Seratus persen," Piper sepakat.
Annabeth menggeleng-gelengkan kepala, tampaknya kebingungan. "Kalau begitu, aku tak tahu. Mudahmudahan ibumu mengakuimu malam ini."
Piper hampir berharap itu takkan terjadi. Jika ibu Piper memang dewi, akankah dia tahu mimpi itu"
Akankah dia tahu Piper disuruh melakukan apa" Piper bertanya-tanya apakah dewa-dewi Olympia
pernah menyambar anak-anak mereka dengan petir karena bertindak jahat, atau menghukum mereka di
Dunia Bawah. Annabeth memperhatikannya. Piper memutuskan dia harus berhati-hati dengan perkataannya mulai
saat ini. Annabeth jelas-jelas pintar. Kalau sampai ada yang mengetahui rahasia Piper ...
"Ayo," Annabeth akhirnya berkata. "Ada hal lain yang harus kuperiksa."
Mereka mendaki lebih jauh lahi hingga mereka sampai di sebuah gua dekat puncak bukit. Tulang dan
pedang tua bertebaran di tanah. Obor mengapit jalan masuknya, yang ditutupi beledu ungu dengan
bordiran ular di tengahnya. Gua tersebut menyerupai set panggung untuk pertunjukan boneka sinting.
"Ada apa di dalam sana?" tanya Piper.
Annabeth menyembulkan kepalanya ke dalam, lalu mendesak dan menutup tirai. "Saat ini, tidak ada
apa-apa. Tempat tinggal seorang teman. Aku sudah beberapa hari menunggu-nunggu dia, tapi sejauh ini,
belum ada kabar." "Temanmu tinggal di dalam gua?"
Annabeth hampir tersenyum. "Sebenarnya, keluarganya punnya kondominium mewah di Queens, dan
dia belajar di sekolah berasrama khusus perempuan di Connecticut. Tapi waktu dia ada di perkemahan
sini, iya, dia tinggal dalam gua. Dia Oracle kami, menerawang masa depan. Kuharap dia bisa
membantuku?" "Menemukan Percy," tebak Piper.
Semua energi terkuras habis dari diri Annabeth, seolah selama ini dia telah menahannya selama yang dia
sanggup. Annabeth duduk di batu, dan ekspresinya begitu pedih sampai-sampai Piper merasa bagaikan
tukang intip. Piper memaksa dirinya berpaling. Matanya melayang ke punggung bukit, di mana sebatang pohon pinus
mendominasi pemandangan di sana. Sesuatu berkilau di dahannya yang paling rendah"seperti keset
kamar mandi keemasan yang berbulu.
Tidak ... bukan keset kamar mandi. Itu bulu domba.
Oke, pikir Piper. Perkemahan Yunani. Mereka punya replika Bulu Domba Emas.
Lalu Piper memperhatikan pangkal pohon.
Pada mulanya dia mengira pangkal pohon tersebut dibalut
kumparan kabel ungu besar. Namun kabel itu memiliki sisik seperti reptil, kaki-kaki bercakar, dan kepala
mirip ular dengan mata kuning serta lubang hidung berasap.
"Itu"naga," Piper terbata. "Itu Bulu Domba Emas asli?"
Annabeth mengangguk, namun jelas bahwa dia tak sungguh-sungguh mendengarkan. Bahunya merosot.
Dia menggosok wajah dan menarik napas lemah. "Sori. Aku agak capek."
"Kau kelihatannya hampir teler," kata Piper. "Sudah berapa lama kau mencari pacarmu?"
"Tiga hari, enam jam, dan kira-kira dua belas menit."
"Dan kau sama sekali tidak punya dugaan apa yang terjadi padanya?"
Annabeth menggelengkan kepala dengan merana. "Kami begitu antusias karena liburan musim musim
dingin kami berdua dimulai lebih awal. Kami bertemu di perkemahan hari Selasa, mengira bahwa kami
punya tiga minggu untuk bersama-sama. Liburan ini bakalan luar biasa. Lalu sesudah api unggun, dia"
dia menciumku untuk mengucapkan selamat malam, kembali ke pondoknya, dan keesokan paginya dia
lenyap. Kami mencari-cari ke seluruh perkemahan. Kami mengontak ibunya. Kami mencoba
menghubunginya dengan segala macam cara yang kami tahu. Hasilnya nihil. Dia menghilang begitu saja."
Piper berpikir: Tiga hari yang lalu. Malam yang sama ketika dia bermimpi. "Sudah berapa lama kalian
jadian?" "Sejak Agustus," kata Annabeth. "Delapan belas Agustus."
"Hampir bersamaan dengan pertama kalinya aku bertemu Jason," kata Piper. "Tapi kami baru jadian
beberapa bulan." Annabeth berjengit. "Piper ... soal itu. mungkin kau sebaiknya duduk."
Piper tahu percakapan ini akan mengarah ke mana. Rasa panik mulai membuncah di dalam dirinya,
seakan paru-parunya dipenuhi air. "Dengar, aku tahu Jason mengira"dia mengira dia baru saja muncul
di sekolah kami hari ini. Tapi itu tidak benar. Aku sudah mengenalnya berbulan-bulan."
"Piper," kata Annabeth. "Itu karena kabut."
"Kabut ... apa?"
"K-a-b-u-t. Itu semacam tabir yang memisahkan dunia manusia fana dengan dunia magis. Pikiran
manusia fana tidak bisa memproses hal-hal aneh seperti dewa-dewi dan monster, jadi Kabut
membengkokkan realitas. Kabut membuat manusia fana melihat semua itu dengan cara yang bisa
mereka pahami misalnya mata mereka mungkin luput melihat keseluruhan lembah ini, atau mereka
mungkin saja memandang naga itu dan justru melihat gulungan kabel."
Piper menelan ludah. "Tidak. Kaubilang sendiri aku bukan manusia fana. Aku demigod."
"Demigod sekalipun bisa terpengaruh. Aku sudah menyaksikannya berkali-kali. Monster menginfiltrasi
tempat-tempat seperti sekolah, menyamar sebagai manusia, dan semua orang mengira mereka ingat
orang itu. Mereka percaya dia sudah berada di sana sejak awal. Kabut bisa mengubah ingatan, bahkan
menciptakan ingatan mengenai hal-hal yang tak pernah terjadi?"
"Tapi Jason bukan monster!" Piper berkeras. "Dia manusia, atau demigod, atau terserah kau mau
menyebutnya apa. Ingatanku tidak palsu. Ingatanku benar-benar nyata. Kejadian waktu kami
menyulutkan api ke celana Pak Pelati Hedge. Kejadian waktu Jason dan aku menonton hujan meteor di
atap asrama dan aku akhirnya berhasil membuat cowok bodoh itu menciumku ..."
Piper mendapati dirinya mengoceh, menceritakan pengalamannya satu semester penuh di Sekolah Alam
Liar kepada Annabeth, Piper menyukai Jason sejak pekan pertama mereka berjumpa. Jason begitu baik
pada Piper, dan begitu sabar, sampai-sampai dia sanggup menghadapi Leo yang hiperaktif dan semua
lelucon-leluconnya yang bodoh. Jason menerima Piper apa adanya dan tidak menghakiminya karena
perbuatan-perbuatan bodoh yang pernah dilakukannya. Mereka menghabiskan berjam-jam untuk
mengobrol, memandangi bintang, dan belakangan"akhirnya"bergandengan tangan. Tak mungkin
semua itu palsu. Annabeth merapatkan bibir. "Piper, ingatanmu lebih tajam daripada sebagian besar orang. Akan kuakui
itu, dan aku tak tahu apa sebabnya. Tapi jika kau mengenal Jason sebaik itu?"
"Memang!" "Kalau begitu, dari mana asalnya?"
Piper merasa seperti ditinju. "Dia pasti pernah memberitahuku, tapi?"
"Apakah kau pernah menyadari bahwa dia punya tato sebelum hari ini" Apa dia pernah bercerita
padamu tentang orangtuanya, atau temannya, atau sekolahnya yang terakhir?"
"Aku"aku tidak tahu, tapi?"
"Piper, apa nama belakang Jason?"
Pikiran Piper kosong melompong. Dia tidak tahu nama belakang Jason. Bagaimana mungkin"
Piper mulai menangis. Dia merasa seperti orang bodoh, tapi dia duduk saja di batu di sebelah Annabeth
dan tersedu sejadi-jadinya. Ini keterlaluan. Apakah semua yang indah dalam kehidupannya yang payah
dan menyedihkan harus direnggut"
Ya, kata mimpi itu padanya. Ya, kecuali kau menuruti perintah kami.
"Hei," kata Annabeth. "Semuanya pasti akan baik-baik saja. Jason di sini sekarang. Siapa tahu" Mungkin
kalian berdua bakal pacaran betulan."
Kemungkinan besar tidak, pikir Piper. Tidak jika mimpi itu menyampaikan yang sesungguhnya kepada
Piper. Tapi dia tidak bisa mengatakan itu.
Piper menghapus air mata dari pipinya. "Kau membawaku ke atas sini supaya tak seorang pun bakal
melihatku mewek, ya?"
Annabeth mengangkat bahu. "Kurasa pasti bakal sulit buatmu. Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan
pacar." "Tapi aku masih tak percaya ... aku tahu kami punya hubungan. Dan kini hubungan tersebut lenyap
begitu saja. Jason bahkan tak mengenalku. Jika dia benar-benar baru muncul hari ini, kok bisa" Apa
sebabnya" Kenapa dia tak ingat apa-apa?"
"Pertanyaan bagus," kata Annabeth. "Mudah-mudahan Pak Chiron dapat menemukan jawabannya. Tapi
untuk saai itu, kau harus istirahat. Kau sudah siap turun?"
Piper menatap kumpulan pondok janggal di dasar lembah. Rumah barunya, keluarga yang semestinya
memahami dirinya"tapi sebentar lagi mereka hanya akan jadi sekelompok orang yang Piper kecewakan,
satu tempat lagi yang akan mengusir Piper. Kau akan mengkhianati mereka untuk kami, suara tersebut
telah memperingatkan. Jika tidak, kau akan kehilangan segalanya.
Piper tidak punya pilihan.
"Ya," dia berbohong. "Aku sudah siap."
*** Di halaman tengah, sekelompok pekemah sedang bermain basket. Mereka jago sekali menembak. Tak
ada yang terpantul dari tepi keranjang. Tembakan tiga angka langsung masuk.
"Pondok Apollo," Annabeth menjelaskan. "Sekumpulan tukang pamer yang memakai apa pun yang bisa
ditembakkan sebagai senjata"panah, bola basket."
Mereka berjalan melewati perapian sentral. Di sanadua cowok saling menebas dengan pedang.
The Heroes Of Olympus 1 Pahlawan Yang Hilang Lost Of Hero di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Senjata tajam sungguhan?" komentar Piper. "Bukankah itu berbahaya?"
"Memang begitulah intinya," ujar Annabeth. "Uh, sori. Tidak lucu, ya"! Di sana pondokku. Nomor enam."
Dia mengangguk ke arah bangunan abu-abu dengan ukiran burung hantu di atas pintu. Lewat ambang
pintu yang terbuka, Piper dapat melihat rak-rak buku, senjata-senjata yang dipajang, dan papan tulis
interaktif yang biasanya terdapat di ruang kelas. Dua cewek sedang menggambar peta yang
kelihatannya merupakan diagram pertempuran.
"Omong-omong soal senjata tajam," kata Annabeth, "sini."
Dia menuntun Piper mengitari pondok hingga ke samping, ke sebuah gudang logam besar yang
kelihatannya digunakan untuk menyimpan peralatan berkebun. Annabeth membuka kunci gudang
tersebut, dan yang berada di dalamnya ternyata bukan peralatan berkebun, kecuali kita ingin berperang
melawan tanaman tomat. Di dalam gudang itu, berjajar segala jenis senjata"mulai dari pedang hingga
tombak sampai pentungan seperti yang dipakai Pak Pelatih Hedge.
"Tiap demigod butuh senjata," kata Annabeth. "Hephaestus membuat senjata terbaik, tapi kami punya
koleksi yang lumayan bagus juga. Yang paling penting bagi Athena adalah strategi"mencocokkan
senjata dengan penggunanya. Mari kita lihat ..."
Piper sedang tidak bersemangat untuk melihat benda-benada mematikan itu, tapi dia tahu Annabeth
sedang berusaha bersikap ramah padanya.
Annabeth menyerahkan sebilah pedang besar, yang nyaris tak sanggup diangkat Piper.
"Bukan," kata mereka berdua serempak.
Annabeth mencari-cari lebih jauh lagi ke dalam gudang dan mengeluarkan senjata lain.
"Senapan?" tanya Piper.
"Mossberg 500." Annabeth memeriksa kokangnya seolah itu bukan masalah besar. "Jangan cemas.
Senjata ini tidak melukai manusia. Senapan ini sudah dimodifikasi untuk menembakkan perunggu langit,
jadi hanya monster yang bisa dibunuhnya."
"Anu, menurutku itu tak sesuai dengan gayaku," ujar Piper.
"Mmm, iya ya," Annabeth setuju. "Terlalu mencolok."
Annabeth mengembalikan senapan tersebut dan mulai mengacak-acak rak berisi busur pendek ketika
mata Piper menangkap sesuatu di pojok gudang.
"Apa itu?" katanya. "Pisau?"
Anabeth mengambilnya dan meniup debu dari sarung pisau tersebut. Kelihatannya pisau tersebut sudah
berabad-abad tidak terkena sinar matahari.
"Entahlah, Piper." Annabeth terdengar resah. "Menurutku kau takkan menginginkan yang satu ini,
pedang biasanya lebih baik."
"Kau sendiri memakai pisau." Piper menunjuk pisau yang diikat ke sabuk Annabeth.
"Iya, tapi ..." Annabeth mengangkat bahu. "Yah, periksalah kalau kau mau."
Sarung pisau terbuat dari kulit yang sudah usang, dianyam dengan perunggu. Tidak keren, tidak mewah.
Gagangnya, yang terbuat dari kayu yang diampelas halus, pas sekali di tangan Piper. Ketika Piper
mencabut senjata tersebut, dia mendapati bilah segitiga panjang delapan belas inci"terbuat dari
perunggu mengilap seolah baru dipoles kemarin. Ujungnya amat tajam. Pantulan dirinya di bilah belati
tersebut membuat Piper kaget. Dia terlihat lebih tua, lebih serius, tidak setakut yang dia rasakan.
"Cocok untukmu," Annabeth mengakui. "Senjata tajam seperti itu disebut parazonium. Biasanya
digunakan dalam upacara resmi, disandang oleh perwira berpangkat tinggi di ketentaraan Yunani.
Senjata tersebut menunjukkan bahwa kita adalah orang kaya dan berkuasa, tapi dalam pertarungan,
senjata tersebut dapat dipakai untuk melindungi diri kita."
"Aku menyukainya," kata Piper. "Kenapa tadi menurutmu tidak bagus."
Annabeth menghembuskan napas. "Senjata itu punya sejarah panjang, sebagian besar orang takut untuk
memilikinya. Pemilik pertamanya ... yah, keadaan tak berjalan lancar baginya. Namanya Helen."
Piper membiarkan informasi tersebut terserap oleh otaknya. "Tunggu, maksudmu Helen yang itu" Helen
dari Troya?" Annabeth mengangguk. Mendadak Piper merasa dia semestinya memegang belati tersebut dengan sarung tangan operasi. "Dan
senjata ini cuma kebetulan saja nagkring di gudang perkakas kalian?"
"Banyak barang peninggalan Yunani Kuno di sini," kata Annabeth. "Ini bukan museum. Senjata seperti
itu"dibuat untuk dipergunakan. Itulah warisan kita sebagai demigod. Itu adalah hadiah pernikahan dari
Menelaus, suami pertama Helen. Helen menamai belati itu Katoptris."
"Artinya?" "Kaca," ujar Annabeth. "Cermin. Barangkali karena Helen hanya bisa menggunakan senjata itu sebagai
cermin. Kurasa senjata tersebut bahkan tak pernah dibawa ke pertempuran."
Piper melihat belati itu lagi. Selama sesaat, bayangannya sendiri menatapnya, namun kemudian
pantulan tersebut berubah. Dia menyaksikan nyala api, dan wajah mengerikan yang terukir di dinding
tebing. Dia mendengar tawa yang sama seperti di mimpinya. Dia melihat ayahnya dirantai, diikat ke
sebuah pasak di depan api unggun yang menjilat-jilat.
Piper menjatuhkan senjata tersebut.
"Piper?" Annabeth berteriak kepada anak-anak Apollo di lapangan, "P3K! Aku butuh pertolongan!"
"Tidak, aku"aku tak apa-apa," Piper berhasil mengeluarkan suara.
"Kau yakin?" "Iya. Aku cuma ..." Dia harus mengendalikan diri. Dengan jemari gemetaran, Piper memungut belati
tersebut. "Mungkin aku kelewat lelah. Begitu banyak yang terjadi hari ini. Tapi ... aku ingin menyimpan
belati ini, kalau boleh."
Annabeth ragu-ragu. Lalu dia melambai kepada anak-anak Apollo. "Oke, kalau kau yakin. Wajahmu
pucat sekali tadi. Kukira kau akan kejang-kejang atau semacamnya."
"Aku baik-baik saja." Piper bersumpah, meskipun jantungnya masih berdebar-debar. "Apa ada ... mmm,
telepon di perkemahan" Bolehkah kutelepon ayahku?"
Mata kelabu Annabeth berkilat hampir sama tajamnya dengan bilah belati Piper. Dia sepertinya sedang
memperhitungkan jutaan kemungkinan, berusaha membaca pikiran Piper.
"Kita tak diperbolehkan menggunakan telepon," kata Annabeth. "Sebagian besar demigod, jika mereka
menggunakan ponsel, itu sama artinya dengan mengirim sinyal, memberi tahu monster di mana kita
berada. Tapi ... aku punya ponsel." Dia mengeluarkan telepon dari sakunya. "Sebenarnya sih melanggar
aturan, tapi kalau kita bisa merahasiakannya ... "
Piper menerima ponsel itu dengan penuh rasa syukur, berusaha tak membiarkan tangannya gemetaran.
Dia melangkah menjauhi Annabeth dan berbalik untuk menghadap ke halaman utama.
Dia menelepon nomor pribadi ayahnya, walaupun dia tahu apa yang akan terjadi. Pesan suara. Piper
sudah mencoba menelepon ayahnya selama tiga hari, sejak dia mendapat mimpi itu. Sekolah Alam Liar
hanya mengizinkan murid-murid menelepon sekali sehari, tapi Piper menelepon setiap malam, dan
tidak tersambung. Dengan enggan dia menghubungi nomor yang satu lagi. Asisten pribadi ayahnya seketika menjawab.
"Kantor Mr. McLean."
"Jane," kata Piper sambil mengertakkan gigi. "Mana ayahku?"
Jane membisu selama sesaat, barangkali bertanya-tanya apakah dia takkan diomeli meskipun menutup
telepon. "Piper, kukira kau tidah boleh menelepon dari sekolah."
"Mungkin aku sedang tidak di sekolah," kata Piper. "Mungkin aku kabur untuk hidup bersama mahklukmahkluk hutan."
"Mmm." Jane tidak terdengar khawatir. "Yah, akan kuberi tahu beliau kau menelepon."
"Di mana dia?" "Sedang keluar."
"Kau tidak tahu, kan?" Piper merendahkan suaranya, berharap semoga Annabeth bersikap sopan dan
tidak menguping. "Kapan kau akan menelepon polisi, Jane" Siapa tahu ayahku sedang berada dalam
kesulitan." "Piper, kita takkan menjadikan ini sebagai buah bibir media. Aku yakin beliau baik-baik saja. Beliau
kadang-kadang memang suka menghilang. Tapi beliau selalu kembali."
"Jadi benar. Kau tidak tahu?"
"Aku harus pergi, Piper," sergah Jane. "Nikmati sekolahmu."
Sambungan teleponnya putus. Piper mengumpat. Dia berjalan kembali ke Annabeth dan menyerahkan
ponselnya. "Belum beruntung?" tanya Annabeth.
Piper tak menjawab. Dia tidak yakin dirinya takkan mulai menangis lagi.
Annabeth melirik layar telepon dan ragu-ragu. "Nama belakangmu McLean" Sori, bukan urusanku. Tapi
nama itu kedengarannya tak asing."
"Banyak yang punya nama itu."
"Iya, kurasa begitu. Apa pekerjaan ayahmu?"
"Dia punya gelar di bidang seni," kata Piper otomatis. "Dia seorang seniman Cherokee."
Jawaban standarnya. Bukan dusta, juga bukan kebenaran seutuhnya. Sebagian besar orang, ketika
mereka mendengar itu, menduga bahwa ayah Piper menjual cendera mata Indian di kios kaki lima
penampungan. Boneka Sitting Berpegas, kalung manik-manik, sabak Kepala Suku"benda semacam itu.
"Oh." Annabeth tidak terlihat yakin, tapi dia menyimpan teleponnya. "Kau baik-baik saja" Mau
meneruskan?" Piper mengikat belati barunya ke sabuk dan berjanji kepada dirinya sendiri bahwa nanti, ketika dia
sendirian, dia akan mencari tahu cara kerja belati tersebut. "Tentu saja," katanya. "Aku ingin melihat
semuanya." *** Semua pondok memang keren, tapi tak satu pun yang Piper rasa pas dengan rumahnya. Tak ada
pertanda membara"wombat atau yang lainnya"yang muncul di atas kepalanya.
Pondok delapan terbuat dari perak seluruhnya dan gemerlap laksana sinar bulan.
"Artemis?" tebak Piper.
"Kau menguasai mitologi Yunani," kata Annabeth.
"Aku pernah membacanya di suatu tempat waktu ayahku mengerjakan proyeknya tahun lalu."
"Kukira ayahmu membuat karya seni Cheeroke."
Piper menahan diri agar tidak menyumpah. "Memang benar. Tapi"kautahu, ayahku punya kerjaan lain
juga." Piper mengira dia sudah membongkar rahasianya: McLean, mitologi Yunani. Untungnya, Annabeth tidak
menghubungkan fakta-fakta tersebut dengan apapun.
"Omong-omong," lanjut Annabeth, "Artemis adalah dewi bulan, Dewi Perburuan. Tapi tak ada pekemah.
Artemis adalah perawan abadi, jadi dia tidak memiliki anak."
"Oh." Informasi itu membuat Piper agak kecewa. Dia selalu menyukai kisah Artemis, dan berpendapat
bahwa ibu tersebut bakal menjadi ibu yang asyik.
"Yah, kalau pemburu Artemis sih ada," koreksi Annabeth. "Mereka berkunjung kadang-kadang. Mereka
bukan anak-anak Artemis, tapi mereka adalah pelayannya"sekawanan cewek remaja abadi yang
berpetualang bersama-sama serta memburu monster dan sebagainya.
Piper jadi semangat. "Kedengarannya keren. Mereka abadi?"
"Kecuali mereka meninggal dalam pertempuran, atau melanggar sumpah. Sudahkah kusinggung bahwa
mereka harus bersinggung cowok" Dilarang pacaran. Selama-lamanya."
"Oh," kata Piper. "Tidak jadi deh."
Annabeth tertawa. Sesaat dia terlihat hampir gembira, dan Piper berpikir Annabeth pasti bakal jadi
teman yang asyik untuk diajak nongkrong di saat-saat yang lebih baik.
Lupakan, Piper mengingatkan dirinya sendiri. Kau di sini bukan untuk berteman. Tidak, begitu mereka
tahu. Mereka melewati pondok berikutnya, Nomor Sepuluh, yang didekorasi layaknya rumah Barbie dengan
tirai berenda, pintu merah muda, dan anyelir dalam pot di jendela. Mereka berjalan melintasi ambang
pintu, dan aroma parfum hampir saja membuat Piper muntah.
"Huek, apakah ini neraka buat supermodel?"
Annabeth nyengir. "Pondok Aphrodite. Dewi Cinta. Drewlah konselor kepalanya."
"Pantas," gerutu Piper.
"Mereka tak semuanya payah," kata Annabeth. "Konselor kepala yang terakhir benar-benar hebat."
"Apa yang terjadi padanya?"
Ekspresi Annabeth jadi suram. "Sebaiknya kita terus bergerak."
Mereka melihat pondok-pondok lain, tapi Piper malah semakin depresi. Piper bertanya-tanya apakah
mungkin dia anak perempuan Demeter, Dewi Pertanian. Tapi kalau dipikir-pikir, Piper membunuh semua
tumbuhan yang pernah dia sentuh. Athena keren. Atau barangkali Hecate, Dewi Sihir. Tapi itu tidak jadi
soal. Di sini sekalipun, di mana semua orang semestinya menemukan orangtua yang hilang, Piper tahu
ujung-ujungnya dia akan tetap menjadi anak yang tak diinginkan. Dia tidak berharap-harap cemas
menantikan acara api unggun malam ini.
"Awalnya di sini hanya ada dua belas pondok dewa-dewi Olympia," Annabeth menjelaskan. "Dewa di kiri,
Dewi di kanan. Kemudian tahun lalu, kami menambahkan pondok-pondok baru untuk dewa-dewi lain
yang tidak memiliki takhta di Olympus"Hecate, Hades, Iris?"
"Dua pondok besar yang di ujung itu apa?" tanya Piper.
Annabeth mengerutkan kening. "Zeus dan Hera. Raja dan ratu para dewa."
Piper menuju arah situ, sedangkan Annabeth mengikuti, kendati sikapnya tidak terlalu antusias. Pondok
Zeus mengingatkan Piper pada sebuah bank. Bangunannya terbuat dari marmer putih berpilar besar di
depan serta pintu perunggu mengilap berhias sambaran petir.
Pondok Hera lebih kecil tapi gayanya sama, hanya saja pintunya berukirkan motif bulu merak, berpendar
dengan warna-warni yang berubah-ubah.
Tak seperti pondok-pondok lain, yang semuanya ribut dan terbuka serta penuh aktivitas, pondok Zeus
dan Hera kelihatan tertutup dan sepi.
"Apakah keduanya kosong?" tanya Piper.
Annabeth mengangguk. "Zeus lama sekali tidak punya anak. Yah, harusnya sih begitu. Zeus, Poseidon,
dan Hades, saudara-saudara tertua di antara dewa-dewi"mereka disebut Tiga Besar. Anak-anak mereka
amat kuat, amat berbahaya. Selama kira-kira tujuh puluh tahun terakhir, mereka berusaha tak memiliki
anak demigod." "Berusaha tak memiliki?"
"Kadang-kadang mereka ... mmm, curang. Aku punya teman, Thalia Grace, dia adalah anak perempuan
Zeus. Tapi dia meninggalkan perkemahan dan menjadi Pemburu Artemis. Pacarku, Percy, dia putra
Poseidon. Dan ada seorang anak yang kadang-kadang muncul, Nico"putra Hades. Selain mereka, Tiga
Besar tidak memiliki anak demigod. Setidaknya, setahu kami tidak."
"Dan, Hera?" Piper memandangi pondok Hera yang berhiaskan merak. Pondok tersebut mengusiknya,
meskipun dia tak tahu mengapa.
"Dewi Pelindung Pernikahan." Nada suara Annabeth terkendali sekali, seolah dia sedang berusaha agar
tidak mengumpat. "Dia tidak punya anak kecuali dengan Zeus. Jadi, iya, tidak ada demigod. Itu cuma
pondok kehormatan." "Kau tidak menyukainya," komentar Piper.
"Kami punya sejarah yang panjang," Annabeth mengakui. "Kukira kami sudah berdamai, tapi ketika
Percy menghilang ... aku memperoleh visi aneh dari Hera."
"Memerintahkanmu agar menjemput kami," kata Piper. "Tapi kau mengira Percy juga bakalan ada di
sana." "Barangkali lebih baik aku tidak membicarakannya," kata Annabeth. "Tak ada hal bagus yang bisa
kukatakan tentang Hera saat ini."
Piper melihat dasar pintu. "Jadi, siapa yang ada di dalam sana?"
"Tidak ada siapa-siapa. Itu cuma pondok kehormatan, seperti yang kubilang. Tak ada yang tinggal di
sana." "Ada." Piper menunjuk jejak kaki di ambang pintu berdebu. Berdasarkan insting, dia mendorong
pintunya dan pintu itu berayun terbuka dengan mudah.
Annabeth melangkah mundur. "Mmm, Piper, menurutku kita sebaiknya tidak?"
"Kita ditakdirkan untuk melakukan hal-hal berbahaya, kan?" Dan Piper pun berjalan masuk.
*** Pondok Hera bukanlah tempat yang ingin dihuni Piper. Tempat tersebut sedingin lemari es, dengan
pilar-pilar putih yang mengelilingi patung seorang Dewi di tengah-tengah, tingginya tiga puluh meter, dia
duduk di singgasana dalam balutan gaun keemasan menjuntai-juntai. Piper selalu mengira bahwa
patung Yunani biasanya berwarna putih dengan mata kosong, tapi yang ini dicat dengan warna-warni
cerah sehingga terlihat menyerupai manusia"hanya saja bentuknya sangat besar. Mata Hera yang
menusuk seakan mengikuti Piper.
Di kaki sang dewi, api menyala di tungku perunggu. Piper bertanya-tanya siapakah yang menyalakan api
itu apabila pondok tersebut selalu kosong. Seekor rajawali batu bertengger di pundak Hera, dan di
tangan sang dewi terdapat tongkat yang dipuncaki bunga teratai. Rambut sang dewi yang hitam
dikepang. Wajahnya tersenyum, namun matanya dingin serta penuh perhitungan, seakan sedang
mengatakan: Ibu tahu yang terbaik. Nah, jangan membangkang atau kuinjak kau.
Tak ada apa-apa lagi di pondok"tiada tempat tidur, tiada perabot, tiada kamar mandi, tiada jendela,
tidak ada apa-apa yang bisa digunakan seseorang untuk tinggal di sana. Untuk ukuran dewi rumah dan
pelindung pernikahan, pondok Hera mengingatkan Piper pada kuburan.
Bukan, ini bukan ibunya. Setidaknya Piper yakin akan hal itu. piper bukannya masuk ke sini karena dia
merasakan keterikatan yang positif, melainkan karena rasa ngerinya justru lebih kuat di sini. Mimpi
Piper"ultimatum mengerikan yang dititahkan padanya"ada hubungannya dengan pondok ini.
Piper mematung. Mereka tak sendirian. Di belakang patung, pada altar kecil di belakang, berdirilah
sosok berselendang hitam. Hanya tangannya yang kelihatan, telapak tangannya menghadap ke atas. Dia
sepertinya sedang merapalkan mantra atau doa.
Annabeth terkesiap. "Rachel?"
Cewek yang satu lagi berpaling. Dia menjatuhkan selendangnya, menampakkan rambut lebat keriting
berwarna merah dan wajah berbintik-bintik yang sama sekali tidak serasi dengan atmosfer serius di
pondok ataupun selendang hitam itu. Dia kira-kira berumur tujuh belas tahun, remaja yang seratus
persen normal dalam balutan blus hijau serta jins robek-robek yang digambari menggunakan spidol.
Walaupun lantai pondok dingin, dia bertelanjang kaki.
"Hai!" Cewek itu berlari untuk memeluk Annabeth. "Aku sungguh prihatin! Aku datang secepat yang
kubisa." Mereka mengobrol selama beberapa menit mengenai pacar Annabeth dan lenyapnya cowok itu, dan
sebagainya, sampai akhirnya Annabeth ingat pada Piper, yang berdiri di sana dengan perasaan tak
nyaman. "Sikapku tidak sopan," Annabeth minta maaf. "Rachel, itu Piper, salah satu blasteran yang kami
selamatkan hari ini. Piper, ini Rachel Elizabeth Dare, Oracle kami."
"Teman yang tinggal di gua," Piper menebak.
Rachel nyengir. "Akulah orangnya."
"Jadi, kau seorang Oracle?" tanya Piper. "Kau bisa menerang masa depan?"
"Yang lebih tepat adalah masa depan menyergapku dari waktu ke waktu," kata Rachel. "Aku
mengucapkan ramalan. Roh Oracle merasuki sesekali dan mengucapkan hal-hal penting yang tak masuk
akal bagi siapa pun. Tapi iya, ramalan tersebut menginformasikan tentang masa depan."
"Oh." Piper salah tingkah. "Keren."
Rachel tertawa."Jangan khawatir. Semua orang menganggapnya agak seram. Bahkan aku. Tapi aku
biasanya tak berbahaya."
"Kau demigod?" "Bukan," kata Rachel. "Cuma manusia fana."
"Kalau begitu, apa yang kau ..." Piper melambaikan tangan ke sekeliling ruangan.
Senyum Rachel memudar. Dia melirik Annabeth, kemudian kembali memandang Piper. "Cuma firasat.
Ada sesuatu tentang pondok ini dan hilangnya Percy. Keduanya berhubungan. Aku sudah belajar untuk
mengikuti firasatku, terutama bulan lalu, sejak para dewa membisu."
The Heroes Of Olympus 1 Pahlawan Yang Hilang Lost Of Hero di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Membisu?" tanya Piper.
Rachel memandang Annabeth sambil mengerutkan kening. "Kau belum memberitahunya?"
"Aku akan segera sampai pada bagian itu," kata Annabeth. "Piper, selama sebulan terakhir ... yah,
memang dewa-dewi lazimnya jarang bicara kepada anak-anak mereka, tapi biasanya kami mendapatkan
pesan sesekali. Sebagian dari kami bahkan bisa berkunjung ke Olympus. Aku praktis menghabiskan satu
semester di Empire State Building."
"Maaf?" "Pintu masuk ke Gunung Olympus belakangan ini."
"Oh," kata Piper. "Tentu saja, kenapa tidak?"
"Annabeth sedang mendesain ulang Olympus sesudah tempat itu rusak gara-gara Perang Titan," Rachel
menjelaskan. "Annabeth seorang arsitek yang luar biasa. Kau harus melihat bar salad?"
"Intinya," potong Annabeth, "Kira-kira sejak sebulan lalu, Olympus membisu. Pintu masuk tertutup, dan
tak seorang pun bisa masuk. Tak ada yang tahu sebabnya. Dewa-dewi seolah mengurung diri. Ibuku
sekalipun tak mau menjawab doa-doaku, dan direktur perkemahan kami, Dionysius, dipanggil ke sana."
"Direktur perkemahan kalian adalah Dewa ... Anggur?"
"Iya, itu?" "Panjang ceritanya," tebak Piper. "Baiklah. Teruskan."
"Begitulah intinya," kata Annabeth. "Para demigod masih diklaim, tapi hanya itu. Tak ada pesan. Tak ada
kunjungan. Tak ada tanda bahwa dewa-dewi mendengarkan. Seolah sesuatu telah terjadi"sesuatu yang
teramat buruk. Lalu Percy menghilang."
"Dan Jason muncul dalam karyawisata kami," ungkit Piper. "Tanpa ingatan."
"Siapa Jason?" tanya Rachel.
"Pa?" Piper menghentikan dirinya sebelum dia sempat mengucapkan "pacar," namun usaha tersebut
membuat hatinya sakit. "Temanku. Tapi Annabeth, kaubilang Hera mengirimmu visi lewat mimpi."
"Benar," kata Annabeth. "Komunikasi pertama dari dewa dalam sebulan ini, dan si pengirim pesan
adalah Hera, dewi yang paling enggan menolong, dan dia menghubungiku, demigod yang paling tidak
suka ditanya. Hera bilang aku akan mengetahui apa yang terjadi pada Percy jika aku datang ke titian
Grand Canyon dan mencari cowok yang memakai satu sepatu. Alih-alih, aku justru menemukan
kalian, dan cowok bersepatu satu itu ternyata Jason. Sama sekali tak masuk akal."
"Sesuatu yang buruk memang tengah terjadi," Rachel setuju. Dia memandang Piper, dan Piper
merasakan hasrat tak terbendung untuk menceritakan mimpinya pada mereka, mengakui bahwa dirinya
tahu apa yang terjadi"setidaknya sebagian. Dan peristiwa buruk ini baru awalnya.
"Teman-teman," katanya. "Aku"aku harus?"
Sebelum Piper sempat melanjutkan, badan Rachel jadi kaku. Matanya mulai memancarkan pendar
kehijauan, dan dia mencengkram pundak Piper. Piper berusaha mundur, namun tangan Rachel
sekencang tang besi. Bebaskan aku, katanya. Tapi itu bukan suara Rachel. Kedengarannya seperti wanita tua, berbicara dari
tempat yang jauh, suaranya seakan sudah dilewatkan sebuah pipa panjang, suara itu
menggema.Bebaskan aku sebelum titik balik matahari musim dingin, Piper McLean, atau bumi akan
menelan kita. Ruangan tersebut mulai berputar-putar. Annabeth mencoba melepaskan Piper dari Rachel, namun siasia. Asap hijau menyelimuti mereka, dan Piper tak lagi yakin apakah dia sedang terjaga atau sedang
bermimpi. Patung raksasa sang dewi seolah bangkit dari singgasananya. Ia mencondongkan badan ke
atas Piper, pandangan matanya menusuk mata Piper. Mulut patung terbuka, napasnya bagaikan parfum
pekat yang memuakkan. Ia berbicara dengan suara menggema yang sama: Musuh kita tengah bergerak.
Ia-yang-Membara hanyalah yang pertama. Tunduk kepada kehendaknya, dan raja mereka akan bangkit,
mencelakakan kita semua. BEBASKAN AKU!
Lutut Piper melemas, dan semuanya jadi gelap gulita.
BAB LIMA LEO TUR LEO BERJALAN LUAR BIASA menyenangkan sampai dia tahu tentang sang naga.
Si cowok pemanah, Will Solace, sepertinya lumayan asyik. Semua yang dia tunjukan kepada Leo amat
menakjubkan. Saking menakjubkannya, semua itu seharusnya ilegal. Kapal perang Yunani sungguhan
yang ditambatkan ke pantai dan terkadang dipakai untuk latihan bertemour dengan panah api dan
bahan peledak" Keren! Pelajaran seni dan kerajinan yang memungkinkan kita membuat patung dengan
gergaji mesin dan las" Leo ingin bilang, Aku daftar dong! Hutan yang dipenuhi monster berbahaya dan
tidak boleh dimasuki siapa pun sendirian" Hebat! dan di perkemahan tersebut banyak cewek cantiknya.
Leo tidak terlalu memahami perkara berkerabat-dengan-dewa ini, tapi mudah-mudahan saja itu bukan
berarti dia bersepupu dengan semua cewek tersebut. Kalau iya, payah dong. Setidaknya Leo ingin
menjumpai cewek-cewek bawah air di danau itu lagi. Tenggelam demi mereka pun Leo rela.
Will menunjukkan padanya pondok-pondok, paviliun makan, dan arena pedang.
"Apa aku bakal dapat pedang?" tanya Leo.
Will melirik Leo seakan dia berpendapat bahwa pemikiran itu meresahkan. "Kau mungkin akan
membuat pedangmu sendiri, karena kau di Pondok Sembilan."
"Iya, maksudnya apa sih" Vulcan?"
"Biasanya kami tidak memanggil dewa-dewi dengan nama Romawi mereka," kata Will. "Nama asli
mereka berasal dari bahasa Yunani. Ayahmu Hephaestus."
"Festus?" Leo pernah mendengar seseorang mengucapkan itu sebelumnya, tapi dia tetap saja kecewa.
"Kedengarannya seperti dewa koboi."
"He-phaestus," Will mengoreksi. "Dewa Api dan Pandai Besi."
Leo pernah mendengar itu juga, tapi dia berusaha tak memikirkannya. Dewa Api ... serius tuh"
Mengingat peristiwa yang menimpa ibunya, itu kedengarannya seperti lelucon sinting.
"Jadi, palu membara di atas kepalaku," kata Leo. "Itu bagus, atau jelek?"
Will diam sejenak sebelum menjawab. "Kau diakui hampir seketika. Itu biasanya pertanda bagus."
"Tapi si cowok Poni Pelangi itu. Butch"dia menyinggung-nyinggung soal kutukan."
"Ah ... dengar ya, itu bukan apa-apa. Sejak konselor kepala Pondok Sembilan yang terdahulu
meninggal?" "Meninggal" Secara menyakitkan?"
"Biar teman-teman sepondokmu saja yang cerita."
"Iya deh. Ngomong-ngomong, di mana sobat-sobat seasramaku" Bukankah konselor mereka semestinya
memberiku tur VIP?" "Dia, anu, tidak bisa. Akan kaulihat sebabnya." Will maju terus sebelum Leo sempat menanyakan apaapa lagi."
"Kutukan dan kematian," kata Leo kepada diri sendiri. "Makin lama makin bagus saja."
*** Leo sudah setengah jalan menyeberangi halaman ketika dia melihat pengasuhnya yang dulu. Dan wanita
itu bukanlah tipe orang yang Leo harapkan berada di perkemahan demigod.
Leo kontan mematung. "Ada apa?" tanya Will.
Tia Callida"Bibi Callida. Begitulah wanita itu menyebut dirinya sendiri, namun Leo belum pernah
melihat sang pengasuh lagi sejak usianya lima tahun. Wanita itu berdiri saja di sana, di keteduhan
pondok besar putih di ujung halaman, memperhatikan Leo. Wanita tersebut mengenakan gaun
berkabung hitam dan linen, dengan selendang hitam yang dikerudungkan ke rambutnya. Wajahnya tak
berubah"kulit kering keriput, mata hitam tajam. Tangan yang keriput bagaikan cakar. Dia terlihat uzur,
namun tak berbeda dengan yang diingat Leo.
"Wanita tua itu ... " kata Leo. "Apa yang dilakukannya di sini?"
Will mencoba mengikuti arah tatapan Leo. "Wanita tua apa?"
"Wanita tua itu, Bung. Yang berbaju hitam. Berapa banyak wanita tua yang kaulihat di sana?"
Will mengerutkan kening. "Menurutku kau sudah menjalani hari yang panjang, Leo. Mungkin kabut
masih mempermainkan pikiranmu. Bagaimana kalau kita langsung saja ke pondokmu sekarang?"
Leo ingin memprotes, tapi ketika dia menengok kembali ke pondok putih besar, Tia Callida sudah lenyap.
Leo yakin bibi Callida tadi ada di sana, seakan dipanggil dari masa lalu karena Leo memikirkan ibunya.
Dan itu tidak bagus, soalnya Tia Callida pernah mencoba membunuh Leo.
"Cuma bercanda, Bung." Leo mengambil gir serta obeng dari sakunya dan mulai memain-mainkan
barang-barang tersebut untuk menenangkan pikirannya. Dia tidak ingin semua orang di perkemahan
mengira dia gila. Setidaknya, tak lebih gila daripada yang sesungguhnya.
"Ayo kita ke Pondok Sembilan," kata Leo. "Aku sedang ingin melihat kutukan yang bagus."
*** Dari luar, pondok Hephaestus terlihat seperti rumah mobil yang terlalu besar dengan dinding logam
berkilau dan jendela berkerai logam. Pintu masuknya seperti pintu brankas bank, berbentuk bundar dan
tebalnya beberapa kaki. Pintu itu terbuka disertai putaran gir perunggu dan seburan asap dari piston
hidrolik. Leo bersiul. "Tempat ini temanya serba-mesin uap, ya?"
Di dalam, pondok tersebut tampak lengang. Tempat tidur baja yang kelihatannya canggih dilipat
merapat ke dinding. Masing-masing memiliki panel kendali digital, lampu LED yang berkedip-kedip,
batu-batu kuarsa yang berkilauan, dan gir-gir yang berkaitan. Leo menebak masing-masing pekemah
punya nomor kombinasi sendiri untuk membuka tempat tidurnya, dan barangkali relung yang digunakan
untuk lemari penyimpanan di belakang ranjang, dilengkapi jebakan untuk menghalau tamu tak diundang.
Setidaknya, Leo bak merancangnya seperti itu. Tiang perosotan"seperti yang ada di markas pemadam
kebakaran"terjulur dari lantai dua, messkipun dari luar kelihatannya pondok itu tidak punya lantai dua.
Tangga spiral mengarah ke semacam ruang bawah tanah. Di dinding, berjajar segala macam perkakas
mekanis yang bisa dibayangkan Leo, ditambah aneka ragam pedang dipenuhi benda logam kecil"paku,
sekrup, baut, ring, paku keling, dan jutaan komponen mesin lainnya. Leo merasakan hasrat menggebu
untuk menjejalkan semuanya ke saku jaketnya. Dia suka sekali barang-barang semacam itu. Tapi dia
bakal butuh ratusan jaket lagi supaya semuanya muat.
Melihat suasana di sekeliling, Leo hampir bisa membayangkan dirinya kembali ke bengkel mesin ibunya.
Senjatanya mungkin tidak"tapi perkakas, beragam benda logam kecil, bau oli dan logam serta mesin
panas. Ibunya pasti menyukai tempat ini.
Leo mengenyahkan pikiran itu. Dia tidak suka kenangan menyakitkan. Terus bergerak"itulah motonya.
Jangan sesalkan yang sudah berlalu. Jangan berdiam diri terlalu lama di satu tempat. Itulah satu-satunya
cara untuk menghindari kesedihan.
Leo mengambil sebuat alat panjang dari dinding. "Gunting rumput" Memangnya Dewa Api memakai
gunting rumput untuk apa?"
Di bagian belakang ruangan, salah satu tempat tidur lipat ternyata diisi. Tirai kamuflase dari bahan
berwarna gelap tersibak dan Leo dapat melihat cowok yang sedetik sebelumnya tak kasat mata. Susah
mengamati cowok itu dengan jelas, sebab seluruh tubuhnya digips. Kepalanya dibalut perban kecuali di
bagian muka, yang bengkak dan memar-memar. Dia kelihatannya seperti orang-orang salju yang habis
digebuki. "Aku Jake Mason," kata cowok itu. "Aku ingin menjabat tanganmu, tapi ... "
"Ya," kata Leo. "Jangan bangun."
Cowok itu menyunggingkan senyum lalu berjengit, seakan menggerakkan wajahnya saja sudah
meyakitkan. Leo bertanya-tanya apa yang terjadi padanya, tapi dia takut untuk bertanya.
"Selamat datang di Pondok Sembilan," kata Jake. "Sudah hampir setahun sejak kami kedatangan anak
baru. Aku konselor kepala untuk saat ini."
"Untuk saat ini?" tanya Leo.
Will Solace berdeham. "Yang lain di mana, Jake?"
"Di tempat penempaan," kata Jake sendu. "Mereka sedang bersaha menangani ... kautahu, masalah itu."
"Oh." Will mengubah topik. "Jadi, kau punya tempat tidur kosong untuk Leo?"
Jake mengamati Leo, menilainya. "Kau percaya pada kutukan, Leo" Atau hantu?"
Aku baru saja melihat pengasuhku yang jahat, Tia Callida, pikir Leo. Dia seharusnya sudah mati setelah
bertahun-tahun. Dan aku tak bisa melewati satu hari pun tanpa teringat ibuku yang terbakar saat terjadi
kebakaran di bengkel mesin. Jangan bicarakan tentang hantu padaku, Orang-orangan Salju.
Tapi dia justru berkata, "Hantu" Yang benar" Tidak. Aku tidak takut sama yang begituan. Roh badai
melemparkanku ke bawah Grand Canyon pagi ini, tapi kalian tahu, tak ada yang istimewa, bukan begitu?"
Jake mengangguk. "Bagus. Karena aku akan memberimu tempat tidur terbaik di pondok ini"punya
Beckendorf." "Waduh, Jake," kata Will. "Kau yakin?"
Jake berseru: "Tempat tidur I-A, tolong."
Seisi pondok berguncang. Petak berbentuk lingkaran di lantai berpusing hingga terbuka layaknya lensa
kamera, dan menyembullah sebuah tempat tidur berukuran normal. Rangka perunggu tempat tidur
dilengkapi konsol game di sandaran kakinya, stereo di sandaran kepalanya, kulkas berpintu kaca yang
merapat ke dasarnya, dan segala macam panel kendali di samping.
Leo langsung melompat naik dan berbaring sambil menyilangkan tangan ke belakang kepala. "Boleh
deh." "Tempat tidur itu masuk ke kamar pribadi di bawah," kata Jake.
"Asyik!" kata Leo. "Sampai nanti. Aku mau masuk dulu ke gua Leo. Tombol mana yang harus kupencet?"
Sang Cobra 1 Pedang Siluman Darah 21 Ratu Maksiat Telaga Warna Kampung Setan 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama