Ceritasilat Novel Online

Matahari Esok Pagi 10

Matahari Esok Pagi Karya S H Mintardja Bagian 10


sedu ia berkata "Apakah Ki De mang benar-benar tidak mengerti maksudku?" "Aku tidak mengerti. Kenapa kau jadi begini. Aku tidak mengerti. Jangan me mbuat aku menjadi gila" "Ki De mang" Sindangasari yang kini berlutut di muka Ki Demang itu menengadahkan wajahnya "sela ma ini Ki De mang tidak pernah berbuat sesuatu atasku sebagai seorang sua mi terhadap seorang isteri. Dan kini Ki De mang dapat me lihat, bahwa aku adalah seorang pere mpuan yang penuh dosa. Karena saat ini, aku sebenarnya sama sekali tida k sakit. Yang terjadi atasku adalah perubahan di dalam diriku, di dala m tubuhku" suara Sindangsari menjadi se makin ge metar "Aku mengandung Ki De mang" Kata-kata pengakuan Sindangsari itu di dala m pendengaran Ki De mang bagaikan petir yang menya mbar kepalanya. Justru karena itu, maka sejenak ia me mbeku di tempatnya. Jantungnya serasa berhenti berdetak dan hatinya berhenti menanggapi keadaan di sekitarnya. Dala m pada itu Sindangsari kini menangis sejadi-jadinya di kaki Ki De mang yang duduk me mbeku itu. Kata-kata yang telah terlontai dari mulutnya itu bagaikan bendungan yang telah pecah. Kini air yang sela ma ini tertahan-tahan tiba-tiba saja meluap dengan dahsyatnya. Sesaat ruangan itu menjadi sepi dan tegang. Namun tangis Sindangsari telah bergejolak me menuhi seluruh bilik. Tubuhnya yang dengan lemahnya bersimpuh di lantai itu telah berguncang-guncang oleh isa knya yang meledak-ledak. Ki De mang masih juga me mbe ku di te mpatnya. Ia sama sekali tida k menyangka bahwa pada suatu saat ia akan dihadapkan pada suatu kenyataan yang tidak pernah diduganya.
Namun sejenak ke mudian jantungnya serasa telah disentuh oleh nyala api yang dahsyat. Maka tiba-tiba saja dadanya serasa meledak. Bersa maan dengan itu, meledak pulalah sifatnya yang selama ini tertahan-tahan pula. Dengan serta-merta disa mbarnya ra mbut Sindangsari yang ikal dan yang telah terurai di bawah kakinya. Sambil menarik rambut itu ia menggera m seperti seekor harimau lapar "Pengkhianat" Tetapi hanya itulah yang dapat diucapkan. Kalimat yang berjejal-jejal di dadanya sama sekali tidak dapat dikatakannya. Namun se muanya itu tersalur lewat tangannya yang gemetar. Oleh tarikan tangan Ki De mang itu, maka kepala Sindangsari menjadi terangkat. Sejenak ia mencoba me mandang wajah Ki De mang, namun ke mudian matanya dipeja mkannya. Mulut di De mangpun menjadi ge metar pula karenanya. Kemarahan yang menghentak-hentak dadanya tidak dapat diredakannya, sehingga perlahan-lahan namun sepenuh tenaga ia meraba leher Sindangsari. Sindangsari sa ma sekali tidak mengela k. Diserahkannya dirinya bulat-bulat kepada sua minya. Hukuman apapun yang akan diterimanya, tidak dihiraukannya lagi. Bagi Sindangsari ke matian yang demikian adalah jauh lebih ba ik daripada apabila ia harus me mbunuh dirinya. Ki De mang seakan-akan telah benar-benar kehilangan keseimbangannya. Wajahnya menjadi merah pada m dan matanya seakan-akan menyala. Dengan kasarnya ia menghentak-hentakkan leher isterinya. Bahkan ketika ia ke mudian me loncat berdiri, leher itu tidak dilepaskannya. Sindangsari yang benar-benar telah tercekik tida k dapat bertahan duduk bersimpuh, sehingga iapun terpaksa berusaha untuk berdiri dengan susah payah, betapapun ia sudah pasrah.
Tidak ada seorangpun di dala m rumah itu, selain Ki Demang sua mi isteri yang sedang bertengkar itu. Dengan demikian ma ka tidak ada orang lain yang akan dapat me lerainya seandainya Ki De mang benar-benar telah mata gelap dan berhasrat tanpa sesadarnya me mbunuh isterinya. Dengan ke marahan yang tidak terkatakan Ki Demang mengguncang-guncang tubuh isterinya. Dise la-sela giginya yang gemeretak, dipaksakannya berkata dengan sendat "Pengkhianat. Aku bunuh kau. Aku bunuh kau" Sindangsari masih ingin menjawab. Tetapi suaranya sudah tidak lagi dapat menyusup lewat kerongkongannya. Namun tiba-tiba saja, di dala m keadaan yang seakan-akan sudah tidak akan dapat dicegah lagi, keadaan yang akan mengakhiri hidup Sindangsari itu, me mercik sesuatu di hati Ki Demang. Seperti me merciknya api di dala m gelapnya mala m. Ketika ia me mandang wajah Sindangsari yang pucat dan pasrah itu, terbayanglah kembali wajah gadis itu yang duduk dengan kepala tertunduk di belakang ibunya, pada saat pertama-tama ia melihatnya. Wajah itu kini menjadi sede mikian pucatnya. Wajah itu seakan-akan sudah tidak berdarah lagi. Na mun de mikian Sindangsari sa ma seka li t idak berusaha untuk me mbebaskan dirinya dari cekikan Ki De mang yang semakin la ma menjadi semakin keras. Ternyata Ki De mang bukanlah orang yang berhati batu. Kenangan dan penglihatannya itu telah menyentuh perasaannya. Sebenarnyalah bahwa ia bukanlah seorang yang kasar dan liar. Hanya karena kekurangan yang ada di dalam dirinya yang seakan-akan telah me mbunuh harapan di masa depannya itulah yang telah melonjak mewarnai hidupnya yang gersang. Di dala m-da la m saat yang paling mendebarkan jantung Ki demang telah mene mukan getaran yang paling dala m di
dalam dirinya, yang selama ini telah tertimbun kekecewaan, kecemasan dan oleh keputus-asaan.
oleh Tanpa sesadarnya, maka perlahan-lahan tangan Ki De mang itu menjadi se makin kendor. Degup jantungnya yang serasa menjadi se makin keras. Lambat na mun pasti, akhirnya tangan Ki De mang itupun terlepas dari leher Sindangsari. Tetapi Sindangsari telah menjadi begitu le mahnya. Ketika tangan Ki De mang terlepas sa ma sekali, pere mpuan itu sudah tidak ma mpu lagi untuk berdiri sendiri. Karena itu, maka iapun segera terhuyung-huyung. Untunglah bahwa Ki De mang cepat meraihnya dan dengan hati-hati diletakkannya Sindangsari di pembaringannya. Ternyata Sindangsari itu telah pingsan. "Sari, Sari" desis Ki De mang sa mbil menggerakkan kepala isterinya. Sindangsari t idak menyabut. Matanya separo terpejam dan nafasnya sudah tidak teratur lagi. Ki De mang tiba-tiba saja menjadi bingung. Di guncangguncangnya tubuh yang tergolek di pe mbaringan itu sambil berdesis "Sari, Sari. Apakah kau mati?" Sindangsari t idak me njawab. Baru saat itulah terasa di dada Ki Demang, bahwa me mang telah sekian lamanya ia mencoba menyembunyikan kekurangan diri. Menyembunyikan kegersangan hidupnya dengan sikap yang kasar dan keras, ia mencoba mele mparkan kesalahan dan kekurangan yang ada di dalam dirinya kepada orang-orang lain. Kepada isteri-isterinya yang berganti-ganti. Sejenak Ki De mang me mandang Sindangsari yang masih terbaring dia m. Gejolak hatinya menjadi se makin dahsyat mengguncang-guncang dadanya.
Karena itu maka iapun segera berlari-lari ke belakang me manggil beberapa orang pelayannya. "He, Sindangsari pingsan" katanya kebingungan" panggillah siapa saja yang dapat mengobatinya" Para pelayan itupun menjadi bingung pula. Beberapa orang berlari-larian merebus a ir, mencari jeruk pecel dan ada yang me metik dadap srep dan tingkah laku yang bermaca mmaca m. Ada diantara mereka yang atas kehendak sendiri telah pergi me manggil pere mpuan tua di rumah sebelah. Perempuan yang dianggapnya mengerti lebih banyak tentang orang-orang yang me merlukan perawatan, sedang yang lain berlari ke rumah yang lain, memanggil tetangga-tetangga yang lain pula. Sejenak kemudian rumah Ki de mang menjadi ribut. Beberapa orang tetangga telah bersamaan datang dengan tergesa-gesa. Ketika mereka melihat Sindangsari tergolek di pe mbaringan maka merekapun segera berbuat apa saja yang menurut pendapat mereka dapat me mbuatnya sadar. Namun tidak seorangpun dari mere ka yang mengetahui apakah sebab yang sebenarnya yang telah me mbuat perempuan itu menjadi pingsan. Beberapa orang segera memijit-mijit tengkuknya. Ada yang me mbasahi lehernya dengan air jeruk. Ada yang menggosokgosok kakinya dengan minyak kelapa dan berambang merah. Dan masih banyak lagi yang mereka lakukan atas Nyai Demang yang masih muda itu. Tetapi ketika seseorang me mijit perutnya, perempuan tua di rumah sebelah, yang hadir juga di tempat itu segera mencegahnya sambil berkata "Jangan. Jangan kau pijit perutnya"
"Mungkin dapat me mperingan tampaknya begitu sesak"
pernafasannya yang "Jangan" perempuan tua itu menjawab "Nyai demang sedang mengandung muda" "He" perempuan-perempuan yang mendengarnya seakanakan tersentak. Sejenak mereka saling berpandangan. Na mun sejenak ke mudian mereka me ngangguk-anggukkan kepa la. "Darimana kau tahu?" bertanya seseorang. Perempuan tua itu tersenyum "Siang tadi aku disini ha mpir sehari-harian. Aku pasti bahwa ia sedang mengandung muda. Tanda-tandanya telah cukup" Sekali lagi pere mpuan-pere mpuan itu mengangguk-angguk. Ki De mang yang ada di dala m bilik itupun me njadi berdebar-debar. Ternyata perempuan tua itu telah mengetahui bahwa isterinya mengandung. Na mun Ki De mang yakin, bahwa perempuan tua itu t idak mengerti, dari siapa Sindangsari me ndapatkan benih kandungannya. Sejenak ke mudian, maka perlahan-lahan Sindangsari mulai bergerak, setiap hatipun menjadi lega dan berpengharapan lagi me lihat perempuan yang pucat pasi terbaring dia m itu. Perempuan tua di ruma h sebelah itupun segera duduk di sampingnya. Sambil menggosok-gosok keningnya ia berbisik "Nyai De mang, Nyai De mang?" Perlahan-lahan Sindangsari me mbuka matanya. Pandangan matanya yang masih kabur menangkap bayangan yang kehita m-hita man bergerak-gerak di hadapannya. "He, dimanakah aku ini "pertanyaan itulah yang pertamatama meloncat di hatinya "apakah aku seuang dibayangi oleh hantu-hantu neraka?" Namun tatapan matanyapun kemudian menjadi se makin la ma sema kin terang. Sehingga perlahan-lahan ia dapat
me lihat satu demi mengerumuninya.
satu perempuan-pere mpuan yang "Nyai De mang, sadarlah" desis pere mpuan tua di rumah sebelah. Nyai De mang itupun mengerut kan keningnya. Kini ia sadar bahwa ia sedang dikerumuni oleh tetangga-tetangganya. "Kau tidak apa-apa Sari" Sindangsari terkejut mendengar suara yang berat itu. Perlahan-lahan ia berpaling. Dilihatnya Ki De mang berdiri termangu-mangu di bela kang pere mpuan-pere mpuan yang mengerumuninya itu. Sindangsari mencoba me ngingat-ingat sejenak, apa yang telah terjadiatas dirinya. Terbayang wajah Ki De mang yang merah pada m dan matanya yang menyala, menerka mnya dan mecekiknya. "Kenapa aku tidak mati?" ia bertanya kepada diri sendiri. Perlahan-lahan Ki de mang me langkah maju, sehingga perempuan-pere mpuan itupun menyibak. "Kau tidak apa bukan, Sari?" bertanya Ki De mang pula. Sari masih dia m saja me mandang wajah itu. Namun kini Sindangsari melihat sorot mata yang jauh berbeda dari sorot mata yang dilihatnya sesaat sebelum Ki De mang itu menerka m lehernya. Bahkan perlahan-lahan Ki Demang itu menyentuh dahinya sambil bertanya pula "Kau tida k apa-apa?" Sindangsari me nggelengkan kepalanya. Larrbat sekali ia menjawab "Tidak Ki De mang. Aku tidak apa-apa" "Sokurlah. Sokurlah" Ki De mang mengangguk-angguk. Perempuan-pere mpuan yang mengerumuninya pun ke mudian meninggalkan bilik itu satu demi satu. Beberapa orang saling berguma m "Ternyata Nyai Delmang itu sedang
mangandung muda. Nah, baru sekaranglah Ki De mang merasa berbahagia. Ia benar-benar telah mendapatkan seorang isteri yang baik" "Ya. Mudah-mudahan keadaan isterinya sehat-sehat saja" Dan yang lain lagi bertanya "He, sejak kapan isterinya itu mengandung?" Kawan-kawannya menggeleng-gelengkan kepalanya. Karena mereka menganggap bahwa keadaan Sindangsari sudah tidak berbahaya lagi, maka pere mpuan-pere mpuan itupun ke mudian minta diri untuk pulang ke rumah masingmasing. Bahkan ada diantara mereka sambil tersenyum berkata kepada Ki De mang "Sela mat Ki De mang. Ki De mang telah me maksa bibirnya untuk tersenyum pula. Jawabnya "Terima kasih, terima kasih" Yang berada di dala m bilik Sindangsari t inggallah beberapa orang perempuan saja. Diantaranya perempuan tua di rumah sebelah. Sambil me ngusap-usap lengan Sindangsari ia berkata "Kau benar-benar harus banyak beristirahat ngger. Kau dengar?" Sindangsari me nganggukkan kepalanya. "Agaknya kau terlampau letih" Sindangsari mengangguk sekali lagi. "Di waktu mengandung muda, kau harus berhati-hati. Sangat berhati-hati. apalagi anak ini adalah anak yang baru pertama ka linya akan didapat oleh Ki De mang di Kepandak" Dada Sindangsari berdesir me ndengarnya, mencoba untuk me nyembunyikannya. Bahkan sambil tersenyum ia menjawab "Ya bibi" tetapi ia ke mudian
"O ngger" berkata perempuan tua yang lain "kau adalah satu-satunya isteri Ki De mang yang pernah mengandung. Karena itu kau harus benar-benar menjaga dirimu"
Sindangsari me nganggukkan kepalanya. Meskipun tersenyum na mun hatinya serasa tertusuk duri.
ia Ketika keadaan Sindangsari sudah berangsur ba ik, maka perempuan-pere mpuan yang tinggal itupun segera minta diri pula. Perempuan tua di rumah sebelah mendekati Ki De mang sambil berbisik "Peliharalah isteri Ki De mang dengan sepenuh hati. Ia telah mengandung. Suatu kebahagiaan yang pasti tidak dapat terbayangkan sebelumnya bukan, Ki De mang?" Ki De mangpun mencoba tersenyum "Ya, bibi" Perempuan tua itu tersenyum pula. Katanya "Kalau Ki demang me merlukan sesuatu, panggillah aku. Aku akan me mbantu Nyai De mang sedapat-dapatnya" "Terima kasih" Perempuan tua itupun ke mudian meninggalkan rumah Ki Demang bersa ma beberapa orang yang lain. Di gardu ia bertemu dengan cucunya yang sedang bertugas ronda. "Antarkan aku pulang sebentar" Cucunya tidak menjawab apapun. Kepada kawan-kawannya ia minta ijin untuk mengantar neneknya dan perempuanperempuan yang lain itu. "Sebentar lagi Kade mangan ini pasti akan mengadakan perayaan lagi. Pasti jauh lebih meriah daripada saat Ki Demang kawin" berkata pere mpuan tua itu kepada cucunya. "Kenapa?" cucunya itu bertanya. Istri KiDe mang sedang mengandung. Kalau bayi itu lahir, maka berbahagialah seluruh Kade mangan" Cucunya itu mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi berita itu baginya bukan berita yang aneh. Nyai De mang kawin dengan Ki De mang. Bukankah wajar ka lau mereka akan me mpunyai keturunan.
Namun ketika ia me ngatakannya kepada kawannya ronda setelah ia ke mbali dari mengantarkan nene knya dan perempuan-pere mpuan yang lain, kawannya berkata "He, itu berarti suatu kurnia. Bukankah sudah lima kali Ki De mang kawin dan baru yang keenam kalinya ia akan mendapatkan keturunan?" Cucu perempuan tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun ia tida k menyahut. Namun dengan de mikian, berita tentang isteri Ki De mang yang mengandung itupun segera menjadi pe mbicaraan yang ramai. Perempuan-perempuan yang pulang ke ruma h masingmasingpun segera me mperbincangkannya dengan keluargakeluarga mereka yang lain. Sementara itu, sepeninggal tetangga-tetangganya yang mengere muninya, Sindangsari menjadi berdebar-debar ke mbali. Ia t idak me ngerti kenapa ia masih tetap hidup. "Mungkin selagi Ki De mang mencekik aku, seorang tetangga atau seorang peronda telah mencarinya" katannya di dalam hati "tetapi bagaimana setelah mere ka pergi?" Tiba-tiba saja dada Sindangsari telah dirayapi oleh ketakutan dan kece masan. Kalau se mula ia telah pasrah, maka kini ia merasa ngeri melihat ke mungkinan yang dapat datang. "Apakah Ki De mang me mbunuh a ku?" akan meneruskan maksudnya,
Bulu-bulu Sindangsari mere mang ketika terbayang tubuhnya tergolek di lantai dan sudah t idak bernyawa lagi. Hatinya menjadi terguncang dan darahnya serasa berhenti menga lir ketika ia melihat selangkah demi selangkah Ki Demang me masuki biliknya. Namun Sindangsari sa ma sekali tidak bergeser dari tempatnya. Ia mencoba untuk mene mukan ke mbali perasaannya yang pasrah. Namun ia kini tidak berhasil, karena kengerian yang mencengka m hati. Meskipun
demikian dipaksanya dirinya untuk tetap di te mpatnya dan tidak berusaha untuk me mbebaskan diri. Tetapi Ki De mang itu ternyata tidak segera menerka mnya dan mence kiknya. Bahkan dengan ragu-ragu ia menarik sebuah dingklik kayu dan duduk di sebelah pe mbaringannya. "Bagaimana keadaanmu Sari?" bertanya Ki Demang dengan suara yang parau. Sindangsari menahan nafasnya. Katanya perlahan-lahan "Aku tida k apa-apa Ki De mang" Dan tanpa diduga-duga Ki Demang itu berkata "Aku minta maaf Sari. Aku hampir saja kehilangan akal. Kehilangan sifat ke manusiaanku. Tetapi kini aku menyadari, bahwa dengan demikian aku tidak a kan mendapatkan keda maian di dala m hati sela ma hidupku" "Jadi" "Lupakan yang sudah terjadi" "Ki De mang" dengan serta merta Sindangsari bangkit, seolah-olah ia telah mendapatkan seluruh kekuatannya ke mbali. "Apakah maksud Ki De mang?" "Aku minta maaf atas kekhilafanku Sari. Marilah se muanya ini kita lupakan saja" "O" Sindangsari tidak dapat meneruskan kata-katanya. Namun tiba-tiba saja sekali lagi, ia berjongkok di bawah kaki Ki De mang sa mbil menangis. "Sari, kenapa kau menangis?" Tersendat-sendat Sindangsari berkata "Apakah Ki De mang me maafkan aku?" Ki De mang t idak segera menyahut.
"Katakan Ki De mang" desak Sindangsari sa mbil mengguncang-guncang kakinya "apakah Ki De mang me maafkan aku" Perlahan-lahan Ki De mang menganggukkan kepalanya "Marilah se muanya kita lupa kan. Kita akan mene mpuh hidup yang baru sama se kali" "Tetapi, tetapi..." Sindangsari tidak dapat mengatakannya. Namun tanpa sesadarnya ia meraba perutnya. "Ki De mang" suara Sindangsari terputus oleh tangisnya. Dipeluknya ka ki Ki De mang erat-erat, seperti tidak akan dilepaskannya lagi. "Berdirilah Sari. Duduklah yang baik. Kalau ada seseorang yang melihat mu berbuat demikian, maka kesannya akan berlainan" berkata Ki De mang ke mudian sambil mengangkat Sindangsari dan mendudukkannya di pe mbaringannya. Sindangsari masih menangis. Tetapi kini ia dicengka m oleh perasaan yang aneh. Ia tidak mengerti, kenapa sikap Ki Demang tiba-tiba saja berubah. Namun di samping itu, iapun merasa bahagia bahwa ia mendapat kesempatan untuk me me lihara bayi dala m perutnya meskipun bayi itu bukan anak Ki De mang sendiri. Ki De mang masih duduk me mbatu di sisi pe mbaringan Sindangsari, sedang Sindangsari masih juga menangis tersedu-sedu. Sejenak ke mudian Ki De mang itupun menarik nafas dalamdalam sa mbil berkata "Sudahlah, Seperti kata orang tua-tua beristirahatlah. Kau me merlukan banyak istirahat di dala m keadaanmu itu" Sindangsari me ngangguk kecil. Ki De mangpun ke mudian berdiri. Ditepuknya bahu isterinya perlahan-lahan sambil berkata selanjutnya "Tidurlah. Aku akan keluar sebentar"
Sekali lagi Sindangsari me nganggukkan kepalanya. Ki De mangpun ke mudian melangkah meningga lkan bilik itu. Di muka pintu ia berpaling. Tetapi ia tidak berhenti. Sepeninggal Ki De mang, Sindangsari me mbanting dirinya diatas pembaringannya. Ia tidak mengerti, perasaan apakah yang sebenarnya bergolak di dadanya. Kini ia me njadi benarbenar yakin bahwa ia me mang tidak mengerti perasaan, sirat dan tabiat Ki Demang. Meskipun telah beberapa lama ia berada di rumah itu, namun Ki De mang baginya adalah rahasia yang seolah-olah tida k terpecahkan. Betapa lelahnya Sindangsari lahir dan batin saat itu sehingga tanpa sesadarnya, iapun telah tertidur. Ia tidak menyadari berapa la manya ia tidur di dala m biliknya, namun ketika ia terbangun, cahaya pagi telah menyusup di sela-sela dinding. Seperti biasanya Sindangsari langsung pergi ke pakiwan setelah bangun dari tidurnya. Ia menjadi heran melihat wajah pembantunya yang berseri-seri. Seorang gadis me mberanikan diri mende katinya sambil berkata "Aku senang sekali Nyai Demang, bahwa pada suatu saat aku akan mendapat momongan" Sindangsari me ngerutkan keningnya "Dari mana kau tahu?" Semua orang tahu. Semala m pere mpuan-pere mpuan yang datang ke rumah ini tahu, bahwa Nyai De mang benar-benar telah mengandung" Sindangsari me ncoba tersenyum, betapa ha mbarnya. "Se mua pekerjaan di dapur sudah ka mi selesaikan" berkata gadis itu "Nyai De mang sejak sekarang tidak boleh be kerja terlampau banyak" "Terima kasih" sahut Sindangsari "tetapi aku sudah merasa sehat sekarang"
"O, jangan. Jangan. Silahkan Nyai De mang berada di dalam" Sindangsari menarik nafas dalam-dala m. Tetapi sambil tersenyum ia berkata "Terima kasih" Sindangsaripun ke mudian ke mbali ke dalam biliknya. Tetapi ia me mang t idak dapat duduk bertopang dagu. Karena itu dibersihkannya biliknya yang terla mpau kotor karena keadaannya semalam. Di lantai berha mburan kulit jeruk, beberapa empon-empon dan le mbaran-le mbaran dadap serep. Seonggok pasir dan air yang terpercik di sana-sini. Tetapi ketika seorang pelayannya me lihatnya, dengan tergopoh-gopoh sapu yang di tangannya itupun segera diminta sa mbil berkata "Biarlah ka mi yang me mbersihkannya" Sindangsaripun ke mudian duduk di pe mbaringannya. Ada suatu perasaan gembira me mbersit di hatinya, bahwa ia akan mendapatkan seorang ana k. Anak dari seseorang yang paling dicintainya. Tetapi apabila dibayangkannya nasib anaknya itu kelak, maka iapun menjadi bingung dan ce mas. Sekarang Ki De mang agaknya dapat me manfaatkannya. Tetapi bagaimana sikapnya terhadap anaknya itu kelak. Kalau anak itu akan disia-siakan, ma ka lebih baik anak itu tidak usah lahir. Sejenak Sindangsari duduk termangu-mangu. Na mun sejenak ke mudian iapun bangkit berdiri. Dibenahinya pakaiannya dan di sisirnya ra mbutnya yang masih kusut terurai. Setelah selesai semuanya, maka iapun me langkah keluar dari biliknya untuk me lihat, apakah persediaan minum dan makanan Ki De mang sudah disiapkan sebaik-baiknya. Tetapi langkah Sindangsari tertegun ketika di pendapa ia mendengar Ki De mang sedang bercakap-cakap. Agaknya Ki
Jagabaya dan seorang bebahu Kademangan yang lain telah datang. "Ah, agaknya aku bangun terlampau siang" desisnya. Tetapi ketika Sindangsari akan me langkah ke mbali ke dala m biliknya, ia menjadi tertegun sejenak. Sekilas ia mendengar pembicaraan Ki De mang dengan kedua pe mbantunya itu. Berkata Ki De mang "Nah Ki Jagabaya. Katakan sekarang bahwa akulah yang mandul" Ki Jaga baya tidak menjawab. "Aku dapat me mbuktikan sekarang, bahwa ke lima isteriisteriku yang terdahululah yang me mang pere mpuanperempuan ma ndul. Ayo, sebutkan sekarang, siapakah diantara mereka yang sudah beranak?" Ki Jagabaya masih berdia m diri sa mbil menganggukanggukkan kepalanya. "Sekarang" berkata Ki De mang "ka lian akan melihat, bahwa isteriku yang keena m telah mengandung" "Sela mat Ki De mang" berkata Ki Jagabaya kemudian "Aku ikut merasa ge mbira. Mudah-mudahan Nyai De mang dilindungi oleh Tuhan sa mpai ke lahiran bayinya ke lak" "Mudah-mudahan" jawab Ki De mang "ha l ini akan me njadi bukti bahwa aku tidak ma ndul seperti yang mereka sangka" Dada Sindangsari berdesir mendengar pe mbicaraan itu. Ia tidak mengerti, kenapa Ki De mang dengan bangga mengatakan bahwa isterinya sudah mengandung. Kenapa justru Ki De mang berbangga karenanya" Sindangsari tidak berhasrat mendengarkan pe mbicaraan itu lebih lanjut. Karena itu iapun segera kembali ke dala m biliknya yang telah selesai dibersihkan sa mbil berteka-teki.
Sedang di pendapa Ki De mang masih juga berceritera tentang isterinya. Setiap orang yang baru datang, segera diberitahukannya bahwa isterinya telah mengandung. "Se mala m suntuk aku ha mpir tidak t idur" berkata Ki Demang "Sindangsari muntah-muntah hampir se mala m suntuk. Bahkan tiba-tiba ia jatuh pingsan sehingga banyak tetangga yang berdatangan. Untunglah segera ia sadar. Kalau tidak hal itu pasti akan berbahaya bagi kandungannya" Orang yang mendengar keterangan Ki De mang mengangguk-anggukkan kepalanya. itu
"Sokurlah" berkata salah seorang dari mereka "Ki De mang akan mendapatkan seorang keturunan yang akan dapat me mperpanjang jabatan Ki De mang di Kepandak" "Tuhan agaknya me mang berbelas kasihan kepadaku" sahut Ki Demang. "Ha mpir setiap orang me mang menyangka bahwa Ki De mang t idak akan lagi dapat mendapat anak. Lima kali Ki De mang kawin. Se muanya tidak mendapatkan anak" "Aku me mang sudah merasakan ke lainan istriku yang sekarang dari kelima isteri-isteriku yang dahulu, Ternyata bahwa perasaanku itu cukup tajam menangkap isyarat itu" "Nah, kalau begitu Ki De mang pasti a kan mengadakan upacara sokur akan hal ini" berkata Ki Jagabaya sambil tertawa. "Tentu. Nanti, di bulan ketujuh dari keha milan isteriku, aku akan mengadakan peralatan lagi, sesuai dengan adat. Kemudian apabila kela k bayiku itu lahir, aku a kan mengadakan ma la m tirakatan selapan hari" Hampir bersa maan beberapa orang menyahut "Aku akan datang setiap ma la m" Demikianlah, keha milan Sindangsari itu tampa knya menjadikan suatu kebahagiaan bagi Ki De mang. Setiap orang yang dijumpa inya diberitahukannya. Bahkan orang-orang yang
hampir tidak berkepentingan sa ma sekali. Orang tua dan anak-anak muda. "Isteriku sudah hamil" katanya kepada seseorang yang ditemuinya di tengah jalan. Orang itu mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan kepalanya terangguk-angguk "Siapakah isterimu?" "He, gila kau. Apakah kau tidak tidak tahu isteriku" Orang itu semakin bingung. Namun ke mudian ia berkata "Aku bukan orang Kepandak. Aku belum mengenalmu" "He?" Ki De mang mengerutkan keningnya "Aku adalah Demang di Kepanda k" "O, maaf Ki De mang. Aku adalah orang Pliridan yang baru pulang dari seberang sunga i Praga. Aku hanya lewat saja di Kademangan ini" "O, jadi kau bukan orang Kepandak?" bertanya Ki De mang. Orang itu mengge lengkan kepalanya. "Rupanya aku keliru. Kau mirip benar dengan Supa TriniL Aku sangka kau adalah Supa Trinil atau adik ke mbarnya" Orang itu tersenyum "Me mang mungkin seka li beberapa orang berwajah hampir serupa di dunia ini. Na mun de mikian aku mengucapkan sela mat bahwa isteri Ki De mang di Kepandak ini sudah mengandung" "Terima kasih. Lima kali a ku kawin. Kali ini adalah yang keenam. Se mula ha mpir setiap orang mengejekku. Disangkanya aku tidak akan me ndapat keturunan lagi. Diantaranya menurut pendengaranku termasuk Supa Trinil" "O, dan sekarang, isteri yang keena m ini agaknya akan me mberikan kebahagiaan kepada Ki De mang" "Ya tentu. Tentu"
"Se moga" orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya "sekarang perkenankanlah aku me lanjutkan perjalanan" "Silahkan. Aku minta maaf, bahwa aku sudah ke liru" "Agaknya Ki De mang terla mpau ge mbira" "Tentu, tentu" Orang itupun ke mudian minta diri setelah berulang kali mengucapkan sela mat. Ki De mang mengangguk-angguk kepalanya sambil tersenyum-senyum. Tetapi ketika orang itu sudah hilang di ba lik tikungan, tibatiba Ki De mang mula i merenung. Ia sadar bahwa anak di dalam kandungan isterinya itu bukan anaknya. Anak itu adalah anak Pa mot. Anak gila itu. Tiba-tiba Ki De mang menghentakkan kakinya sambil me nggera m "Ka lau anak itu kelak pulang hidup-hidup, aku akan me mbunuhnya. Ia sudah menoda i kesucian keluargaku. Kalau anak itu kelak lahir, maka di dala m rumahku akan ada setitik noda yang me muakkan. Aku akan selalu tersiksa oleh anak itu. Apalagi kalau wajahnya mirip dengan wajah pa mot" Namun tiba-tiba kepa la Ki De mang tertunduk lesu. Di dalam hatinya ia berkata "Aku telah me mbanggakan anak yang ada di dala m kandungan itu kepada setiap orang. Aku selalu mengatakan bahwa akhirnya isteriku ha mil. Akhirnya aku dapat me mbuktikan bahwa aku a kan me mpunyai keturunan" Ki De mang menarik nafas dalam-dala m. Terbayang wajahwajah isterinya yang terdahulu. Apakah kata mereka tentang Sindangsari yang ternyata telah mengandung apabila mereka mengetahuinya" Perlahan-lahan Ki De mangpun ke mudian melangkahkan kakinya ke mba li ke rumahnya. Kadang-kadang ia me mang merasa, bahwa keha milan Sindangsari dapat dipa kainya sebagai alat kebanggaan. Tetapi ia tidak dapat lari dari
kenyataan bahwa anak itu sebenarnya memang bukan anaknya sendiri. Ki De mang itupun terperanjat ketika ia mendengar seseorang me manggilnya. Ketika ia berpaling dilihatnya Ki Jagabaya berjalan ke arahnya. "Agaknya Ki De mang sudah ada disini" desis Ki Jagabaya. "Berjalan-jalan saja Ki Jagabaya. Aku dengar jalur-jalur parit di padukuhan ini agak terganggu oleh beberapa orang yang tidak menghiraukan persetujuan penggunaan air, sehingga agak me ngganggu a liran a ir di bagian bawah" Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya "Akupun mendengar katanya "tetapi semala m se muanya telah aku selesaikan" "Sokurlah" sahut Ki De mang "akupun baru saja sa mpai. Aku belum berbuat apa-apa" "Pagi ini aku me mang akan me laporkannya kepada Ki Demang" "Baik. Marilah kita ke mbali. Kita dapat banyak berbicara di Kademangan" Keduanyapun kemudian berjalan ke mbali ke Kade mangan. Namun pikiran Ki De mang masih saja selalu dicengka m oleh kehamilan isterinya. Kadang-kadang terlintas dianganangannya seolah-olah Pamot datang kepadanya, menuntut agar anaknya kelak diserahkannya kepadanya. Karena itu, maka pe mbicaraan Ki Jagabaya kadang-kadang tidak di tanggapinya. Bahkan kadang-kadang ia salah menjawab dan sama sekali tidak berhubungan dengan persoalan yang dike muka kan oleh Ki Jagabaya. Tetapi Ki Jagabayapun cukup mengerti. Sebagai seseorang yang sudah bukan orang muda lagi ia mengerti, bahwa
kehamilan isterinya telah me mbuat Ki De mang beranganangan. "Sudah sekian la ma ia merindukan ana k" berkata Ki Jagabaya di dala m hatinya "se karang agaknya Tuhan telah me mperkenankan" Namun ternyata bahwa Ki Jagabaya yang mencoba untuk mengerti itu, telah tersesat dugaan. Seperti setiap orang selain Sindangsari dan Ki De mang sendiri, ia tida k tahu apakah yang sudah terjadi sebenarnya dengan Sindangsari. Tetapi sebenarnya selain keduanya, masih ada seseorang yang menduga, bahwa hal itulah yang telah terjadi. Orang itu adalah La mat. Ketika berita tentang kehamilan itu sa mpai kepadanya, maka dadanya telah berdesir taja m seka li. "Kau, kau dengar bahwa Sindangsari telah mengandung "pada saatu saat Manguri bertanya kepadanya. Lamat menganggukkan mendengar" kepa lanya "Ya, aku sudah
"Siapa yang mengatakan kepada mu?" "Setiap orang sudah mengetahuinya. Juru masakpun sudah mengetahuinya pula" "Gila kau. Se karang kerjaku menjadi bertambah sulit" Lamat tida k menjawab. Tetapi ia tidak dapat menghindari bayangan yarg selalu mengganggunya. tanpa disengajanya ia telah me lihat noda-noda itu terpetik pada hubungan yang tulus antara Pamot dan Sindangsari. Kalau orang-orang lain menjadi heran, kemudian bersokur bahwa setelah sekian lamanya Ki De mang mengharapkan anak dan kini isterinya yang keena m sedang mengandung, maka La mat me mpunyai dugaan yang lain. Anak itu pasti bukan anak Ki De mang di Kepandak. Anak itu adalah anak Pamot.
"La mat" tiba-tiba Mnguri me mbentak "kenapa kau dia m saja?" Lamat menarik napas dalam-dala m. Ke mudian dengan ragu-ragu ia berkata "Ya. Sindangsari kini sudah mengandung. Karena itu, sebaiknya perempuan itu kau lupakan saja. Kau adalah seorang anak muda yang memiliki segala-galanya, wajah yang tampan, uang dan muda. Apalagi?" "He, jadi ma ksudmu, agar a ku me lupakan Sindangsari dan mencari pere mpuan lain?" Lamat me nganggukkan kepalanya. "Sudah tentu aku dapat melakukannya La mat. Aku akan dapat kawin sekaligus dengan empat orang. Tetapi aku tidak dapat melupakan Sindangsari. Sema kin jauh ia daripadaku, aku se makin terkenang kepadanya" "Tetapi ia sekarang sudah menjadi isteri orang. Apalagi ia sudah mengandung. Bagi Ki De mang nilai Sindangsari sekarang pasti akan sama dengan nilai dirinya sendiri, sebab di dala m tubuh isterinya itu terkandung baka l anaknya yang akan dapat menyambung keturunannya" "Aku tidak peduli, tetapi aku mencintainya" bantah Manguri "sekarang kau harus dapat me mbedakan, nilai cinta yang sebenarnya dengan sekedar nafsu jasmaniah. Aku sendiri tidak mengerti, kenapa aku benar-benar telah terikat oleh suatu pengharapan untuk me mperisterinya kapanpun juga" "Cobalah kau me mpergunakan pertimbangan-pertimbangan yang wajar. Sudah tentu kau tidak akan menga mbil isteri orang yang pernah mengandung dan ke mudian melahirkan anak" Manguri mengerutkan keningnya "La mat" suaranya dala m "aku sudah mencoba, tetapi aku tidak berhasil menget rapkan pertimbangan itu. Aku me ncintainya. Inilah yang tidak adil" "Apa yang tidak adil"
"Orang dapat menghargai cinta Pa mot. tetapi aku yakin bahwa cintaku tidak kurang dari cinta Pamot kepada perempuan itu" "Me mang" tiba-tiba Manguri me mbentak "pandanglah dari sudut aku dan Pamot. Orang menghargai cinta. Bukan nafsu. Sekarang aku telah dibakar oleh cinta. Cinta sejati. Tetapi orang tidak menghargai aku. Aku bersedia berkorban apa saja demi cintaku. Aku tidak peduli apakah Sindangsari me ncintai aku atau tidak. Ini adalah cintaku kepadanya. Meskipun Sindangsari tidak mencintai aku, itu bukan suatu ukuran untuk mengurangi nila i cintaku itu" "Ya, ya" La mat mengangguk-anggukkan kepalanya "de mikianlah hendaknya "La mat berhenti sejenak. Lalu katanya seakan-akan di luar sadarnya "Tetapi cinta adalah pengorbanan. Pengorbanan bagi yang dicintainya" "Misa lnya" potong Manguri. Lamat menarik nafas dala m-dala m. Katanya "Contohnya dapat kita kete mukan di dala m ceritera wayang" "Siapa?" "Di dala m perang Barata Yuda, tidak seorangpun yang segan mengorbankan nyawanya untuk tanah yang mereka cintai" "Jangan bicara tentang dongeng" Lamat mengangguk-anggukkan kepalanya "Baiklah, aku mengenal orang se maca m itu dipa-dukuhan ini" "Siapa?" "Ayah Sindangsari" Manguri mengerutkan keningnya "Tetapi aku tidak bicara tentang perang. Aku bicara tentang cinta.
"Ya, mereka berperang karena cinta. Bukan karena kebencian. Mereka mencintai tanah ini" "Kau tahu darimana La mat" Kau dengar dari siapa" Sela ma ini kau hanya ma mpu me mbe lah kayu dan menga mbil air" Lamat menarik nafas dalam-dala m. Tetapi ia tida k dapat segera menjawab pertanyaan itu. "Kau dengar dari siapa he?" Akhirnya wayang" ia harus menjawab "Aku sering menonton
Manguri mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang Lamat sering minta ijin kepadanya untuk melihat wayang apabila di padukuhan ini ada pertunjukan wayang kulit atau beber. Ternyata anak yang dungu menurut penilaian Manguri itu, ma mpu menyerap beberapa persoalan yang tidak pernah mendapat perhatiannya. "Ternyata kau juga tida k terla mpau bodoh" berkata Manguri ke mudian "tetapi yang kau katakan adalah cinta kepada tanah kelahiran. Tidak kepada seorang perempuan. Di dalam ceritera selalu aku dengar, bahwa negara berperang me lawan negara lain karena cinta rajanya terhadap perempuan. Orang mengagumi cinta Bandung Bandawasa yang telah menciptakan candi Pra mbanan, meskipun Rara Jonggrang sebenarnya tidak mencintainya. Tetapi cinta yang tulus dan besar itu tidak berkurang nila inya. Onang tidak dapat menilai cintaku terhadap Sindangsari lebih rendah dari cinta Pamot. Soalnya, Sindangsari mencintai Pa mot. Tetapi seandainya tidak?" Lamat hanya dapat mengangguk-anggukkan kepa lanya. Cinta Manguri adalah cinta yang me mentingkan diri sendiri. "Jawab. Kenapa kau dia m saja. Kita sudah terlanjur berbicara tentang cinta. Apakah kau tidak mengerti arti cinta yang sebenarnya karena kau tidak pernah mengala minya?"
Manguri berhenti sejenak. Tetapi ia sa ma se kali tidak mengetahui atau tidak peduli bahwa kata-katanya telah menusuk jantung La mat sampa i ke pusatnya "kau hanya mendengar ceritera cerita wayang yang kau lihat. Di dalam ceritera wayangpun perempuan adalah lambang kejantanan. Kalau perin direbut dengan sayembara tanding" Lamat kini menundukkan kepa lanya dalam-dala m. Terkilas lagi bayangan Pa mot dan Sindangsari yang telah mela kukan perbuatan dosa. Apakah yang pantas dikatakan terhadap keduanya tentang hal itu dalam hubungannya dengan cinta yang tulus" "Nah, akhirnya kau diam. Kau tidak tahu arti sebenarnya dari cinta itu La mat. Karena itu jangan mencoba menasehati aku. Aku lebih berpengala man daripada mu, aku sudah me lupakannya sejak ia menghinaku, menge mbalikan pemberianku sesaat setelah ia ke mbali ke padukuhan ini" Lamat masih tetap berdia m diri. "La mat" ke mudian Manguri bersungguh-sungguh "ketahuilah, bahwa keinginanku untuk mendapatkan Sindangsari tida k akan pernah pada m. Sekarang, besok atau kapanpun. Meskipun Sindangsari kelak sudah melahirkan, atau anaknya sudah menjadi sepuluh seka lipun, setiap kese mpatan yang terbuka, aku akan menga mbilnya. Semakin cepat semakin ba ik. Dan aku akan berusaha terus" "Tetapi, tetapi ia adalah isteri Ki De mang" "Persetan. Aku dapat mencurinya. Membawanya ke tempat yang terpencil. Ke tempat yang asing, sehingga tidak seorangpun yang mengenal aku" "Tetapi apakah Sindangsari akan bersedia?" "Bersedia atau tidak bersedia. Kalau kami sudah berada di tempat yang jauh, ia pasti akan dihadapkan pada suatu keharusan. Kau mengerti?"
Lamat me narik menjawab lagi.
nafas dala m-dala m. Tetapi ia t idak Manguripun ke mudian pergi meninggalkannya. Sekali sekali ia me mang me mikirkan kata-kata La mat. apakah me mang tidak ada pere mpuan lain yang dapat mengisi hatinya" "Aku sudah mengisi kekosongan hidupku dengan perempuan maca m apapun. Tetapi aku belum pernah benarbenar jatuh cinta seperti kepada Sindangsari" katanya di dalam hati. Sepeninggal Manguri, La mat menjadi se makin mura m. Dengan susah payah ia me nekan perasaannya. Kebencian yang setiap kali akan tumbuh, selalu ditekannya kuat-kuat. Dan kini iapun berusaha untuk tetap setia kepada sikapnya. Seperti kata orang tua-tua. Hutang budi dibawa mati. Dan ia me mang sudah berhutang budi kepada ayah Manguri. Tetapi niat Manguri untuk menga mbil Sindangsari dengan paksa telah membuatnya semakin sedih. Kalau Manguri benarbenar mela kukan niatnya, maka hal itu akan dapat mence lakakannya. Bukan saja Manguri sendiri, tetapi juga seluruh ke luarganya. Dan yang paling sedih, ia sendiri pasti akan terlibat di dalamnya. Bukan sekedar terlibat, tetapi bagaimana kalau Manguri me merintahkan kepadanya untuk menculik Sindangsari" Terbayang di matanya laki-laki yang sering datang kepada ibu Manguri di saat-saat ayah Manguri tidak ada di rumah. Laki-laki yang akan dapat memberikan jalan dan ke mungkinan kepada Manguri. Laki-laki yang sebenarnya berbahaya juga bagi ketenangan keluarga Ki De mang di Kepandak. "Kenapa aku justru dilihat kan oleh persoalan ini?" tiba-tiba Lamat me nggeram "apapun yang akan terjadiatas Sindangsari, sama sekali bukan urusanku. Apapun yang akan dilakukan
oleh laki -la ki yang sering mene mui ibu Manguri itupun sama sekali bukan tanggung jawabku. Aku adalah seorang yang tidak lebih dari seorang budak. Buda k saja" Lamatpun ke mudian me langkahkan ka kinya dengan tergesa-gesa. disambarnya kapak pe mbe lah kayu dan disandangnya di pundaknya. Tanpa berpaling lagi ke mudian ia menuju ke kebun belakang. Dicobanya untuk melupakan persoalan Sindangsari dengan mengerjakan pekerjaannya. Me mbelah kayu. Namun de mikian setiap saat persoalan itu masih juga muncul di permukaan hatinya. Bahkan kadang-kadang tanpa disadarinya ia me letakkan kapaknya, dan mula i merenung. Lamat mengerutkan keningnya ketika terbayang pertunjukan wayang yang pernah ditontonnya. Betapa Prabu Dasamuka dengan segala cara berusaha mencuri Sinta. "Apakah Manguri mengagumi cinta Dasamuka yang tidak dapat padam sampai a khir hayatnya. Cinta yang mendalam sampai ketulang sungsum, namun didasari pada kepentingan diri sendiri?" La mat bertanya di dalam dirinya. Namun ke mudian "Tetapi bagaimana dengan Ki De mang di Kepandak. Ia tidak lebih ba ik dari Manguri di dala m persoalan Sindangsari. Dan kini Sindangsari sudah mengandung. Tetapi yang dikandung itu pasti bukan anak Ki De mang yang sudah lima kali kawin tetapi tidak pernah me mpunyai anak" Lamat tersentak ketika ia melihat seorang pe mbantu Manguri lewat di sampingnya sambil bertanya "Apa yang kau renungkan La mat?" Lamat menarik nafas dalam-da la m. Sa mbil mengge lengkan kepalanya ia menjawab "Tidak ada" Sejenak ke mudian ma ka La matpun telah mengayunkan kapaknya pula. Keringat yang seakan-akan terperas dari
tubuhnya sama seka li tidak dihiraukannya lagi. Suara yang berdentangan memercik diantara suara lenguh sapi di kandang dan kokok ayam jantan yang hinggap diatas pagar halaman. Namun ternyata bukan Manguri sajalah yang menjadi gelisah karena Sindangsari telah mengandung. Orang yang paling bersakit hati atas hal itu adalah Ki Reksatani, adik Ki Demang sendiri. Kece masan yang selalu menghantuinya di saat-saat Ki Demang kawin, kini benar-benar telah menerka mnya. Sindangsari telah mengandung. Apabila anak itu lahir, itu akan berarti bahwa Ki Demang akan me mpunyai keturunan yang dapat menggantikan kedudukannya. Apalagi kalau anak itu laki-laki. Sedangkan apabila anak itu perempuanpun, ma ka garis keturunan itu akan tetap berlaku, meskipun yang akan menja lankan tugasnya adalah menantunya. Di rumahnya Ki Reksatani seolah-olah sama sekali tidak tenang lagi. Setiap saat dadanya menjadi berdebar-debar. Cita-citanya untuk dapat memotong garis keturunan ka kaknya dan menga mbil a lih dengan tida k menimbulkan kesan yang kurang baik, kini menjadi pudar. "Perempuan itu benar-benar anak iblis" ia mengumpatumpat. Isterinya yang mengerti benar kegelisahan sua minya, tidak dapat berbuat apapun juga. Ia sudah berusaha antuk me mbantu apa yang dapat dilakukannya. Tetapi akhir dari semuanya itu ternyata sangat mengecewakan. "Kau kurang sering mengunjungi pere mpuan itu" berkata Ki Reksatani. Isterinya tidak menjawab. Ia tahu benar tabiat suaminya. Apabila hatinya sedang gelap, ia menjadi cepat sekali marah. "Nyai" kataya kepada isterinya "kau mulai sekarang harus sering datang berkunjung kepadanya. Kau harus berusaha
me mbuatnya tidak kerasan. Terserah kepadamu, asal kau dapat mengeruhkan suasana rumah tangga Kakang De mang. Kakang De mang bukan seorang yang sabar. Kalau isterinya dapat kau hasut, maka pasti akan sering timbul pertengkaran diantara mereka. Aku tidak peduli apakah isterinya nanti akan keguguran atau akibat-akibat yang lain. Tetapi a ku tida k mau me lihat kakang De mang me mpunyai seorang anak laki-la ki atau perempuan" Isterinya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia masih bertanya "Kakang. Aku akan mencoba sejauh-jauh dapat aku lakukan. Tetapi agaknya perempuan itu berhati batu. Di saat saat hari perkawinannya aku sudah mencobanya. Bahkan aku telah menyebutnya dengan berbagai maca m sebutan yang bagi orang lain, pasti sangat menyakitkan hati. Tetapi perempuan itu seperti tidak mendengarnya atau sama sekali t idak me nyentuh perasaannya" Ki Reksatani mencobanya" mengerutkan keningnya "kau harus
"Tentu. Aku akan berusaha. Tetapi kalau aku gagal" Ki Reksatani tidak segera menjawab. Tetapi keningnya menjadi se makin berkerut merut. "Apakah kakang akan me ncari ja lan lain?" "Ya. Kalau kau gagal, aku akan terpaksa mencari jalan lain" "Aku belum tahu. menyingkirkannya" Tetapi kalau perlu aku akan
Isterinya menjadi tegang. Terbata-bata ia bertanya "Apa maksudmu kakang" Bagaima na kau akan menyingkirkannya?" "Dengan caraku" Tiba-tiba isterinya menjadi pucat. Selangkah ia mendekati suaminya sambil bertanya "Tetapi, bukankah kau tidak akan..." isterinya tidak meneruskannya.
"Jangan ikut ca mpur dengari caraky. Aku lebih me mentingkan hari depan, anak-anakku daripada perempuan itu" "Tetapi, tetapi..." "Jangan turut campur. Aku sudah cukup dewasa untuk me mbuat perhitungan se masak-masaknya. Kalau aku berhasil kau akan ikut serta mengenyam hasil itu. Anak-anak kita kelak akan mendapat tempat yang pertama, di Kade mangan Kepandak" Tiba-tiba isterinya me mbanting dirinya di a mben ba mbu, Diusapnya matanya yang menjadi basah. "He Nyai. Kau berkeberatan?" mengge lengkan kepalanya. "Jadi bagaimana?" "Aku adalah seorang ibu kakang. Aku juga seorang perempuan seperti Sindangsari" ia berhenti sejenak, lalu "tetapi lebih dari itu, aku me mpunyai lebih dari seorang anak. Kalau anak-anakku terlibat dala m pertikaian seperti yang terjadiatas kakang Demang dan kakang sekarang ini, aku pasti akan menjadi sangat bersedih hati" Kata-kata isterinya itu ternyata mampu juga menyentuh hatinya. Sejenak Ki Reksatani merenung. Terbayang wajah anak-anaknya yang sedang tumbuh. Apakah kelak mereka akan bertengkar dan bahkan saling me mfitnah seperti yang dila kukan se karang terhadap Ki Demang, kakak kandungnya" Bayangan yang buram itu mencengka mnya untuk sesaat. Namun tiba-tiba ia menghentakkan kakinya sambil berkata "Nyai. Anakku t idak hanya dua orang. Kalau anakku hanya dua orang laki-la ki, me mang mungkiri mereka akan berebut kedudukan seperti Kakang De mang dan aku sekarang. Itupun tidak semata-mata berebut kedudukan. Aku hanya mencegah Nyai Reksatani
agar kakang Demang tidak me mpunyai wadah untuk menyalurkan ke kuasaan yang ada di tangannya. Aku sama sekali t idak merebutnya" Isterinya tidak menyahut. Tetapi wajahnya masih saja mura m. Bahkan dipeja mkannya matanya dan di tutupinya wajahnya dengan kedua telapak tangannya, ketika terbayang anak-anaknya sedang berkelahi me mperebutkan kedudukan ayahnya. Terbayang seolah-olah anak-anaknya sudah sebesar ayahnya. Mereka saling me nggenggarn keris di tangan. "O, tidak, tidak" "Apa, apa yang tidak?" Ki Reksatani bertanya. "Anak-anakku tidak akan berke lahi karena kedudukan" "Mereka tidak akan berkelahi. Akupun tida k akan berkelahi. Tetapi aku t idak re la. kalau kedudukan kakang De mang jatuh kepada anak Ge mulung itu" "Tetapi anak mereka berhak atas kedudukan itu" "Persetan. Karena itu aku mencegah agar mereka tidak me mpunyai anak. Karena hal itu agaknya sudah terlanjur, maka jalan satu-satunya adalah menyingkirkan Sindangsari" "Kakang" "Kau jangan me nca mpuri masalah ini Nyai. Ki De mang adalah kakak kandungku. Biarlah aku bertanggung jawab atas kejadian apapun nant i. Tetapi se muanya itu aku kerjakan dengan niat yang baik. Dengan niat yang luhur bagi anakanakku" "Kakang, apakah segala cara dapat dite mpuh untuk mencapai sesuatu betapapun luhurnya" "Bagiku de mikian. Segala cara dapat aku tempuh. "O, itu dapat me mbahayakan kau sendiri ka kang"
"Sudahlah Nyai. Kau harus me mbantu aku. Kalau kau t idak ingin se muanya ini terjadi, kau harus berhasil me mbujuk Ki Demang dan Sindangsari selalu diliputi oleh ketegangan. Kau tahu, apabila seorang perempuan mengandung, jiwa dan tubuhnya selalu diliputi oleh ketida k tenangan, maka kandungannya tidak akan berke mbang dengan ba ik" Nyai Reksatani tidak menjawab. Tugas itu adalah tugas yang terlampau berat baginya. Meskipun de mikian ia tidak dapat mengelak. Sebagai seorang isteri yang patuh, ia tidak dapat menolak keinginan sua minya. Apalagi keinginan itu sendiri adalah keinginan yang baik bagi masa depan anakanaknya. Meskipun de mikian, kadang-kadang ia merasa me mikirkan cara yang telah dipilih oleh sua minya. ngeri
Maka sejak saat itulah Nyai Reksatani sering berkunjung ke rumah Ki De mang. Mula-mula kedatangannya adalah kedatangan seorang saudara muda yang mendengar berita tentang kebahagiaan yang meliputi ke luarga Ki De mang. Dengan wajah yang manis dan kata-kata yang ramah, Nyai Reksatani mengucapkan sela mat bahwa Nyai De mang kini sudah mula i mengandung. "Berapa puluh tahun kakang De mang menunggu kesempatan serupa ini" berkata Nyai Reksatani "Akhirnya kurnia itu datang pula" Ki De mang tersenyum sa mbil mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya "Ya, permohonan yang bersungguhsungguh, akhirnya terkabul pula" "Kalau anak Ki De mang laki-la ki, maka akan se makin bahagia rasanya" berkata Nyai Reksatani "tetapi seandainya perempuan ia pasti seorang perempuan yang manis seperti ibunya" Ki De mang tertawa pendek "Kau me mang panda i me muji"
"Aku berkata sebenarnya kakang" sahut Nyai Reksatani "embok-ayu adalah isteri Kakang De mang yang paling cantik" "Sudahlah. Demang. Jangan kau sebut-sebut lagi" potong Ki
"Kakang De mang me mang suka merendahkan diri. mBokayu yang baru inipun suka sekali merendahkan dirinya pula" "Sudahlah" Nyai Reksatani tersenyum. Ditatapnya wajah Sindangsari yang menunduk. Sekilas terbayang sorot yang aneh me mancar dari mata pere mpuan itu. Demikianlah, maka Nyai Rekatani ke mudian mulai mencoba untuk melakukan tugasnya. Kedatangannya di hari-hari berikutnya, me mang menumbuhkan pertanyaan di hati Sindangsari. Nyai Reksatani datang ke rumahnya, di saat-saat suaminya sedang pergi. Nyai Reksatani ha mpir dapat me mperhitungkan, bahwa menje lang matahari sampai ke puncak langit, Ki De mang sudah selesai dengan pe mbicaraanpembicaraan di Kade mangan dengan bebahu Kade mangan yang lain. Apalagi bila tidak ada persoalan-persoalan yang penting. Sesudah itu biasannya Ki De mang pergi berjalan-jalan di sepanjang Kademangannya. Kadang-kadang bersama Ki Jagabaya, kadang-kadang bersama bebahu yang lain. Baru setelah matahari mela mpaui titik tengah, Ki Demang pulang ke Kade mangan untuk ma kan siang. Kebiasaan itu menjadi rusak sesaat setelah Ki De mang kawin dengan Sindangsari. Na mun la mbat laun, kebiasaan itu menjadi pulih ke mba li, justru setelah Ki De mang menyadari apa yang sedang dihadapinya, dan apa yang sebenarnya telah terjadi dengan isterinya Dengan sepenuh hati, ia mencoba untuk menerima kenyataanya betapapun pahitnya itu. Ia tidak lagi pergi sehari-harian dan kadang-kadang semala m suntuk. Dengan teratur Ki Demang mulai me mperbaiki cara hidupnya ke mbali. Di mala m hari, hampir ia tidak pernah
keluar lagi dari rumahnya, apabila tidak ada keperluan yang penting, meskipun di rumah ia sela lu merenung dan menyendiri. Ketenangan hidup yang perlahan-lahan mulai pulih ke mbali itulah, meskipun bagi Ki De mang dan Sindangsari sendiri hanyalah tampak pada permukaannya saja, yang hendak diguncang oleh nyai Reksatani. Berbagai cara telah dite mpuh oleh Nyai Reksatani. Kadang kadang dengan kata-kata tajam, namun kadang-kadang dengan kata-kata sindiran yang halus. "mBok ayu" berkata Nyai Reksatani "sebenarnya aku menjadi heran, kenapa mbok-ayu dapat mengandung, sedang isteri-isteri Ki De mang yang lain, bukan hanya satu dua orang, tetapi lima orang, tida k seorangpun yang me ngandung" Kata-kata itu tajamnya bagaikan ujung sembilu. Dengan sekuat tenaga Sindangsari mencoba untuk bertahan, agar ia tidak terguncang karenanya. "Se mula a ku meragukan, apakah kakang De mang masih me mpunyai kese mpatan untuk menimang seorang anak" Nyai Reksatani berhenti sejenak "he, bukankah kakang De mang itu saudara tua kakang Reksatani" Kakang De mang itu adalah kakak kakang Reksatani, yang sudah tentu umurnya lebih tua" Sindangsari t idak me nyahut. Namun hatinya menjadi pedih. "mBok-ayu" Nyai Reksatani berbisik sa mbil tersenyum "ternyata Ki Reksatanipun sudah sulit untuk mendapatkan anak lagi" Sindangsari menarik nafas dalam-dala m. Tetapi ia mencoba untuk menjawab "Bukankah putera Ki Reksatani yang terkecil masih belum di sapih?" "O, ya. Memang anak ka mi yang paling kecil masih terlampau kecil untuk me mpunyai seorang adik. Tetapi agaknya anak itu me mang tida k akan punya adik lagi"
Sindangsari tida k menyahut lagi. Kepalanya yang tunduk menjadi se makin tunduk. Di dala m hatinya ia bertanya "Apakah orang ini mengetahui apa yang telah terjadi sebenarnya?" Namun pertanyaan itu di jawabnya sendiri "Tentu tida k. Kalau ia tahu, ia pasti a kan berkata berterus-terang" Tetapi sindiran-sindiran yang setiap kali di dengar oleh Sindangsari itu benar-benar telah mengganggunya. Setiap ia me lihat Nyai Reksatani dadanya berdesir dan berdebar-debar. Tetapi ia tida k dapat mengela k. Ia harus mene muinya karena tidak ada orang lain yang dapat melakukannya. Ia adalah isteri Ki De mang. Karena itu, yang dapat dilakukannya adalah menabahkan hatinya. Seperti orang-orang tua menase-hatkan, agar katakata Nyai Reksatani itu sa ma sekali tida k dihiraukannya. Perempuan separo baya yang pada hari perkawinannya selalu mengawaninya itu, diberitahunya tentang sikap Nyai Reksatani itu. Sampai saat ini pere mpuan itu masih tetap menyakitkan hatinya. Menyindir dan kadang-kadang dengan kasar melukai perasaannya. "Bukankah sudah aku katakan" jawab pere mpuan setengah umur itu "Nyai Reksatani agaknya iri hati kepadamu. Kau adalah perempuan yang cantik, muda dan apalagi kini kau akan me mberikan keturunan kepada Ki De mang di Kepandak. Seandainya aku masih cukup muda, akupun pasti iri terhadap kebahagian keluarga ini" pere mpuan itu berhenti sejenak, lalu "karena itu, jangan hiraukan. Anggaplah seperti burung prenjak, yang me mang de mikianlah bunyinya. Burung prenjak tidak akan dapat bersiul dengan nada yang berbeda" Sindangsari mengangguk-anggukkan kepa lanya. Justru dosa yang sebenarnya telah me mbebani hatinyalah yang me mbuatnya bertahan dengan tabahnya menghadapi sindiran-sindiran dan kadang-kadang kata-kata kasar yang menusuk perasaannya.
Perasaan berdosa itu, telah mendasari hatinya, seakanakan sudah sewajarnyalah kalau ia sela lu mendengar ucapanucapan yang menyakitkan hati. Bahkan penghinaanpenghinaan sekalipun. Namun se makin dala m luka diliatinya, maka se makin dekatlah ia dengan orang-orang tua yang dianggapnya sebagai orang-orang yang baik, yang dapat menggantikan ibu, kakek dan neneknya. Kandungan Sindangsari itu se makin la ma menjadi semakin besar. Sejalan dengan kecemasan yang semakin mencengka m hati Ki Reksatani. "Kau tidak akan berhasil" katanya kepada isterinya pada suatu saat. "Belum tentu ka kang. Aku masih akan berusaha" "Aku tidak telaten. Aku akan menga mbil jalan yang paling singkat" "Jangan. Jangan kau lakukan. Aku sudah me ngorbankan diriku, apapun anggapan Sindangsari terhadapku. Bahkan mungkin juga Ki De mang sendiri apabila sindangsari menya mpaikannya kepadanya" "Tetapi aku tidak akan dapat menunggu lebih la ma " "Tetapi cara yang kau te mpuh itu terla mpau keji buat aku, seorang perempuan dan seorang ibu" Ki Reksatani terpaksa menyabarkan hatinya, la masih me mberi kesempatan kepada isterinya menga mbil cara lain. Namun, dalam usahanya untuk mencegah cara yang akan dia mbil oleh sua minya, yang disebutnya sangat keji itu, ternyata Nyai Reksatani menga mbil cara yang ha mpir serupa. Meskipun ujudnya jauh berbeda. Seperti biasanya, disaal-saat matahari menjelang sa mpai ke puncak langit, Nyai Reksatani datang berkunjung kepadanya.
Tetapi kedatangannya kali ini sangat mengejutkan Sindangsari. Nyai Reksatani tidak datang seorang diri. Dengan kaku Sindangsari me mpersilahkannya duduk di pringgitan. Seperti biasanya pembantunya menyuguhkan air panas dan beberapa potong makanan. "Panasnya bukan ma in" berkata Nyai Reksatani" Sebenarnya aku tidak ingin datang kemari. Tetapi ka mi sangat haus, sehingga kami me merlukan ma mpir sebentar untuk mendapatkan minum" "Ah" desah Sindangsari "hanya air" "Air inilah yang ka mi perlukan di saat-saat kami haus" sahut Nyai Reksatani "bukan yang lain" Sindangsari tersenyum sa mbil kepalanya "Marilah. Minumlah" mengangguk-anggukkan
Kedua la munyapun ke mudian minum air panas dari dala m mangkuk masing-masing. Se mentara itu, dengan sudut matanya Sindangsari me mandang wajah kawan Nyai Reksatani. Seorang anak muda yang tampan dan seakan-akan penuh dengan ga irah menghadapi kehidupan. "Segar sekali" berkata Nyai Reksatani. "Dari manakah kalian?" bertanya Sindangsari. "Entahlah "jawab Nyai Reksatani. Namun tiba-tiba ia tersenyum "Jangan kau katakan kepada kakang De mang, bahwa aku singgah ke mari bersa ma anak muda ini. Na manya Puranta" Sindangsari me ngerutkan keningnya. "Tetapi jangan salah sangka. Kami hanya sekedar berjalan bersama-sama " sa mbung Nyai Re ksatani. Sindangsari ke mudian mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Anak ini anak baik" katanya. Sedang anak muda yang disebutnya dengan nama Puranta itu tersenyum tersipu-sipu. Sedang Sindangsari me le mparkan tatapan matanya jauh ke halaman. "Anak muda ini sudah mengenal Pa mot" berkata Nyai Reksatani, sehingga dada Sindangsari berdesir karenanya. "Ya, Pamot adalah kawan baikku" tiba-tiba anak muda itu berkata "aku sudah mengetahui hubungan ka lian dengan Pamot. Kalian saling mencintai. Tetapi sayang, bahwa kau terpaksa sama sekali t idak berimbang lagi" "Kasihan umurmu yang masih terla mpau muda" berkata Nyai Reksatani "kau masih me merlukan banyak sekali dari kehidupan ini. Tetapi tiba-tiba kau terle mpar ke da la m tangan yang sudah mula i layu dan sebentar lagi akan terkulai" "Ah" desis Sindangsari. "Aku, yang barangkali lebih tua daripada mu, kadangkadang masih me merlukan kegairahan di da la m hidup ini. Ki Reksatanipun sebenarnya sudah terlampau tua buatku. Apalagi Ki De mang" Nyai Reksatani tersenyum sa mbil berpaling kepada anak muda yang bernama Puranta itu "Bukannya begitu?" Anak muda itu tersenyum, na mun ia t idak menjawab. Sikap itu tiba-tiba saja telah me numbuhkan perasaan yang aneh di dalam hati Sindangsari. Tanpa sesadarnya ia selalu me mperhatikan senyum yang asing di bibir Nyai Reksatani. Tetapi tiba-tiba Nyai Reksatani berkata "Ah, aku tidak akan tinggal terla lu la ma disini; Aku harus segera ke mba li sebelum kakang De mang pulang. Anak muda ini bukan anak Kepandak. la berasal dari Kade mangan yang lain" "Jadi?" Sindangsari tidak mengerti maksud pertanyaan sendiri. Na mun ia mendengarkan jawaban "Jadi, ka mi akan
pulang ke rumah masing-masing. Di saat lain, ka mi akan dapat bertemu lagi" Sindangsari t idak me ngerti maksudnya. Namun ia t idak bertanya. Keduanyapun ke mudia minta diri. Dia mbang pintu Nyai Reksatani berkata "Jangan bersedih, kau masih terla mpau muda " la lu bisiknya di telinganya Sindangsari "anak itu anak baik" Dada Sindangsari berdesir mendengar bisikan itu. Tetapi ia tidak menjawab sa ma sekali. "He, mBok-ayu, apakah para peronda di gardu itu selalu berada di sana siang dan ma la m?" "Yang pasti di mala m hari" jawab Sindangsari "tetapi hampir setiap hari, gardu itu selalu terisi" Nyai Reksatani mengerutkan keningnya, namun ke mudian ia tersenyum. Diantara senyumnya ia bertanya "He apakah kau seorang gadis pingitan?" "Kenapa?" "Kau ha mpir tida k pernah keluar rumah. Sebaiknya sekalisekali kau berkunjung ke rumahku" "Baiklah, la in kali" "Atau barangkali kau ingin melihat-lihat kali Praga di musim begini?" Sindangsari benar-benar menjadi heran. Ia tidak mengerti sama seka li, apa saja yang dimaksud oleh Nyai Reksatani. Kunjungannya kali ini seolah-olah me mbuat teka-teki yang selama ini tida k terpecahkan menjadi se makin sulit me mbelit hatinya. Tetapi bagaimanapun juga, Sindangsari tida k pernah mengatakannya kepada Ki De mang. Ia hanya mengatakan
bahwa Nyai Reksatani telah mengunjunginya. Selebihnya, disimpannya saja di dala m hati. Apa lagi kunjungan Nyai Reksatani kali ini bersa ma seorang anak muda yang tampan dan bernama Puranta. Belum lagi teka-teki yang membuat pening itu kabur di dalam ingatan, beberapa hari kemudian Nyai Reksatani telah datang pula. Kali ini sendiri. "Aku tidak mengajaknya singgah" katanya "para peronda itu akan dapat mengganggu hubungan ka mi" "Apa maksudmu?" bertanya Sindangsari. "Ah, kau" Nyai Reksatani tersenyum "Mbok-ayu anak itu adalah anak yang baik. Ia bersedia menolong kita apabila kita me merlukannya" "Pertolongan apakah yang dapat diberikannya?" "Kalau kita sedang kesepian" "Ah" desah Sindangsari. Nyai Reksatani tertawa. Katanya "Jangan kau sangka aku tidak tahu perasaan seorang perempuan muda. Aku yang sudah lebih tua inipun selalu merasa terganggu. Apalalgi akhir-akhir ini kakang Reksatani sibuk dengan bendungan yang sedang disiapkan. Siang dan ma la m ia berbicara tentang bendungan, siang dan mala m ia pergi mengurusi bendungannya. "Tetapi bukankah itu sudah menjadi kewajibannya" "Ya, tetapi aku bukan benda mati yang dapat ditinggalkannya begitu saja" suara Nyai Reksatani menurun "mBok-ayu, tiba-tiba aku jadi ce mburu. Anak itu selalu menyebut-nyebut nama mu. Kau dianggapnya perempuan yang paling cantik yang pernah dilihatnya" "Ah"
"Aku berani bersumpah" lalu perempuan itu berbisik "kau adalah seorang yang masih sangat muda" "Ah" Nyai Reksatani tertawa. Katanya "mBok-ayu. Aku dengar kakang De mang akhir-akhir ini terla mpau sering pergi?" "O. tidak. Kakang De mang sekarang justru tidak pernah pergi terlampau la ma. Di siang hari beginipun kadang ia tinggal di rumah. Tetapi karena sudah menjadi kebiasaannya, maka sa mbil berjalan-jalan ia dapat langsung melihat-lihat keadaan dan kehidupan Kade mangan ini" Nyai Reksatani mengangguk-anggukkan kepalanya "Ya, kakang De mang me mang seorang yang rajin, seorang Demang yang baik. Dahulu, ayahnyapun seorang Demang yang baik pula. Aku sudah mengenalnya. Sebagai menantunya aku terlalu dikasihinya. Tetapi sayang, baru beberapa bulan aku kawin, ayah mertua itu meninggal dunia, dan kakang Demang ini menggantikannya" Sindangsari me ngerutkan keningnya. "Tetapi kakang De mang baru kawin untuk perta ma ka linya" Sindangsari me ngangguk-anggukkan kepa lanya. "Ah. aku sudah terlalu lama duduk disini. Tetapi kapan mBok-ayu berkunjung ke rumahku?" "Lain kali. Aku me mang ingin datang ke rumah saudarasaudara Ki Demang. Apalagi yang terdekat seperti Ki Reksatani" "Marilah, pergi sekarang" "Ah, Tentu tidak mungkin" "Kita menunggu Ki De mang sejenak. La lu kau minta ijin pergi ke rumahku"
"Jangan sekarang. Dan bukankah sebaiknya aku pergi berdua dengan Ki De mang" "Seperti pengantin baru" tiba-tiba suaranya meninggi "kau me mang penganti baru. tetapi Ki Demang bukan. Ia pasti bersikap lain" "Ki De mang sudah pernah menyebut-nyebut rencana itu. Kami me ma ng akan berkunjung ke rumah saudara-saudara terdekat dan orang-orang tua" Nyai Reksatani tertawa. Katanya "Kau me mang masih terlampau hijau" lalu ia berbisik "laki-la ki itu ha mpir menjadi gila. sekali-sekali kau harus mene muinya" "Tida k. Aku tida k mau" "Tentu. Kau tentu tidak mau me layaninya. Tetapi temuilah dan katakanlah hal itu kepadanya. Supaya ia yakin dan me lupakan impiannya itu" "Tida k" "mBok-ayu, itu akan lebih baik bagimu sendiri dan baginya. Kalau kau tidak bersedia mene muinya dimanapun, ia akan datang kemari. Dan itu sangat berbahaya bagimu" "Ia tidak berhak berbuat begitu. Aku tidak mau" Nyai Reksatani mengerutkan keningnya. Na mun ke mudian ia tertawa "Jangan terlampau kasar. Ia anak muda yang baik. Aku senang kau menolaknya. Semala m aku sudah tidak dapat tidur karena ce mburu. Tetapi kau harus me makai cara yang sebaik-baiknya" "Apa yang harus aku lakukan?" "Pamitlah kepada Ki De mang bahwa kau akan pergi ke rumahku" Sindangsari merenung sejenak.
Dan Nyai Reksatani berbisik pula "mBok-ayu. Kau agaknya belum mengenal anak itu baik baik. Cobalah berbicara beberapa kalimat lagi. Kau a kan segera mengenal pribadinya. Ia sama sekali bukan anak muda yang sering berkeliaran tidak menentu. Ia juga bukan anak muda yang suka mengganggu isteri orang. Tetapi ia me mpunyai ke lebihan yang tidak dipunyai oleh orang la in. Karena itu terus-terang, aku suka kepadanya" "Ah" Sindangsari berdesah. "Marilah. Kita pergi sejenak. Beritahukan kepadanya bahwa kau adalah seorang isteri yang setia, meskipun sua mimu bukanlah laki-la ki yang sebenarnya kau harapkan" "Jangan berkata begitu" "He, kenapa" Bukankah aku tahu, bahwa laki-la ki yang kau harapkan adalah Pamot, yang umurnya sebaya dengan anak yang datang bersamaku itu" Tiba-tiba kepala Sindangsari menunduk. Tanpa sesadarnya telah mengenangkan Pa mot yang pergi ke medan perang. Dadanya tersirap ketika ia mendengar Nyai Reksatani berbisik "Ki De mang itu pasti tidak akan dapat me mberi apaapa lagi kepada mu sela in me ment ingkan dirinya sendiri" Sindangsari t idak me nyahut. "Marilah. Kalau kau me mang ingin menola k. Katakanlah" Sindangsari masih tetap dia m. "Atau, kalau kau berpendirian la in, kau akan mendapat kesempatan" Sindangsari tidak menyahut. Tetapi kepalanya menjadi semakin tunduk. "Marilah, pergi ke rumahku" Tiba-tiba Sindangsari mengusap matanya. Katanya "Aku tidak dapat pergi sekarang"
"O" Nyai Reksatani terdia m sejenak "jadi kapan?" "Aku tida k dapat mengatakan" "mBok-ayu. Besok aku datang lagi ke mari. Besok kita pergi bersama-sama untuk mene mui anak itu. Katakanlah apa yang akan kau katakan. Se mata-mata untuk kepentinganmu. Kalau kau tidak bersedia seka li lagi a ku peringatkan, ia akan datang ke mari. Ia sudah menjadi mata gelap. Dan itu berbahaya sekali bagimu. Bagi kebahagiaanmu, Apalagi kau sudah mengandung. Kecuali kalau kau berpendirian lain" Nyai Reksatanipun ke mudian minta diri. Sambil me nepuk bahu Sindangsari, di ha la man ia berdesis "Kau muda dan cantik. Sekuntum bunga yang indah dan lagi mekar, tidak akan banyak artinya, jika sekedar disembunyikan di dala m dapur, di bawah be langa atau di balik perapian" "Ah" Nyai Reksatani tertawa sambil me langkah me ningga lkan halaman rumah Ki De mang. Sekali lagi ia berpaling. Dilihatnya Sindangsari berdiri dengan gelisahnya. Kegelisahan dan kebingungan itulah me mang yang dimaksudkan. Apalagi apabila ia berhasil menjeratnya ke dalam perangkap yang langsung dapat menjerumuskan isteri Ki De mang yang masih muda itu ke da la m jurang kehinaan. Ternyata sepeninggal Nyai Reksatani, Sindangsari telah dicengka m oleh kegelisahan. Memang se kali-se kali terbayang wajah anak muda yang ta mpan dan sopan itu Sekilas senyumnya seolah-olah ditujukan kepadanya. Bahkan sekalisekali me nganggukkan kepalanya. Tanpa sesadarnya Sindangsari berdesah di dalam hati. Dengan perasaan yang aneh ia pergi ke dalam biliknya. Ketika ia meletakkan tubuhnya di pembaringan, maka mulailah ia berangan-angan.
Sindangsari me narik nafas dalam-da la m. Terkenang olehnya, masa-masa yang mesra di saat-saat Pamot masih selalu menjumpainya. Terlintas pula kenangan yang tida k akan terlupakan, betapa indah namun betapa pahitnya. Di saat-saat terakhir kalinya ia bertemu dengan anak muda yang dicintainya. Setelah itu, ia selalu dibakar oleh kesepian. Sebagai seorang isteri Sindangsari tidak pernah menemukan arti yang sebenarnya. Ki De mang bukanlah seorang sua mi yang baik baginya. "Anak muda itu me mang mirip dengan Pa mot" tanpa sesadarnya tumbuhlah perasaan yang asing di dala m hatinya. Namun ke mudian Sindangsari menghentakkan tangannya "Tida k, tidak. Aku tidak akan mengulangi genangan noda yang hampir saja menenggela mkan aku dan nama seluruh keluargaku. Untunglah Ki De mang seorang yang baik, yang bersedia menyimpan rahasia itu, meskipun rahasia itu telah me lukai hatinya sendiri" Namun ke mudian "Tetapi apakah artinya. Sebagai seorang isteri aku berhak menuntut" Lalu terngiang di telinganya katakata Nyai Reksatani "Sekuntum bunga yang indah dan lagi me kar, tidak akan banyak artinya jika sekedar disembunyikan di dala m dapur di bawah belanga atau di balik perapian" "Ah" Seka li lagi Sindangsari berdesah. Sela ma ini ia t idak pernah menilai dirinya sendiri. Ia tidak pernah menghiraukannya, apakah ia seorang gadis yang cantik atau bukan. Apakah ia seperti sekuntum bunga yang me kar atau sudah layu. Namun tiba-tiba kini ia mula i me mandang kepada dirinya, kepada bentuk tubuhnya. Perlahan-lahan Sindangsari bangkit dari pe mbaringannya. Ketika ia me langkah keluar biliknya, dilihatnya seorang pembantunya lewat.
"Maaf, aku tidak dapat membantu ka lian di dapur hari ini" berkata Sindangsari "kepala ku pening" "O" silahkan beristirahat Nyai" jawab pe mbantu rumahnya "ka mi sudah dapat menyelesaikannya seperti petunjukpetunjuk Nyai" Nyai De mang mengangguk-anggukkan kepa lanya. Ketika pembantunya sudah hilang di balik pintu, maka Sindangsaripun pergi ke pa kiwan di belakang rumah. Tiba-tiba saja Sindangsari ingin me lihat dirinya sendiri, ketika ia me lihat bayangan di wajah air jambangan. Sejenak ia berdiri me matung. Ditatapnya seraut wajah yang cantik meskipun agak pucat, di dala m air. Sekali tersenyum, ke mudian mengerling. Sindangsari terperanjat ketika sele mbar daun kering jatuh ke dala m ja mbangan itu. Wajah yang cantik dan pucat itu tiba-tiba telah lenyap ditelan oleh gejolak yang le mbut dipermukaan a ir. Sindangsari menjadi kecewa karenanya. Tetapi ia tidak menunggu air itu menjadi tenang ke mba li. Ditingga lkannya jambangan air itu dengan berbagai maca m persoalan di dala m hatinya. Seakan-akan baru saat itu ia mengerti, bahwa ia adalah seorang pere mpuan yang cantik. Sedang suaminya adalah seorang yang sudah jauh lebih tua daripadanya dan tidak dapat me mberinya kebahagiaan sebagai seorang isteri. "Bukan salahnya" Sindangsari menelungkup di pembaringannya ketika ia sudah berada di dala m biliknya ke mbali "Akulah yang telah bersalah. Aku sudah menodai kesucian perkawinan ini" Tanpa disadarinya, air mata Sindangsari mula i me mbasah di pelupuknya. Ia menyesal, kenapa ia jatuh ke tangan
Demang di Kepanda k ini. Ka lau ia dibiarkan kawin dengan Pamot, maka ia pasti a kan merasa bahagia. Sindangsari terperanjat ketika tiba-tiba pula hatinya telah diterka m oleh ge ma suara Nyai Reksatani di da la m hatinya "kau muda dan cant ik" Sekilas lewat di dala m angan-angannya anak muda yang datang bersama dengan Nyai Reksatani itu. "Tida k, tidak" Sindangsari menjadi gelisah. Sekali ia menelungkup, ke mudian menelentang. Sindangsari t idak menyadari berapa la ma ia berbaring dengan gelisah di pe mbaringannya. Tiba-tiba saja ia sudah mendengar desir langkah yang dikenalnya baik-baik. Langkah Ki De mang setelah terdengar pintu pringgitan berderit. Dengan tergesa-gesa Sindangsari bangkit. Dibenahinya pakaiannya dan diusapnya matanya yang basah. Tetapi sebelum ia keluar dari dala m biliknya, Ki Demang sudah menjengukkan kepalanya sambil bertanya "Apakah kau merasa tidak enak badan lagi?" "O, tidak Ki Demang" jawab Sindangsari terbata-bata "Aku hanya merasa sedikit pening" Ki De mang mengangguk-anggukkan kepalanya me mang harus banyak beristirahat. Tidurlah" "Kau
"Aku sudah lama berbaring Ki De mang" Ki De mang mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Sindangsari berkata seterusnya "Biarlah aku menyiapkan ma kan siang. Barangkali agak terla mbat karena aku tidak me mbantu di dapur" "Aku belum lapar. Biarlah orang-orang di dapur itu menyelesaikannya. Kalau kau mencium bau bera mbang kau akan muntah-muntah lagi" "Sekarang justru t idak Ki De mang"
Ki De mang tidak menyahut. Dibiarkannya Sindangsari me lakukan apa yang dikehendakinya. Sambil me mandang isterinya sampai hilang di ba lik pintu. Ki De mang berkata di dalam hatinya "Keluarga ini adalah keluarga yang aneh. Namun se makin la ma aku justru sema kin mencintainya, meskipun aku tida k dapat melupakan noda yang melekat pada dirinya. Anak itu merupakan duri di dala m hubungan kekeluargaan ini, tetapi sekaligus me mberi kebanggaan pula kepadaku" Sejenak ke mudian ma ka Sindangsaripun setelah menyiapkan makan siang buat Ki De mang. Ia mencoba untuk berbuat seperti kebiasaannya tanpa sentuhan apa-apa di dalam hatinya. Namun setiap kali dadanya terasa berdesir. Setiap kali terbayang wajah Nyai Reksatani yang tertawa berkepanjangan. Kemudian wajah seorang anak muda yang tampan yang sudah tentu lebih tampan dan jauh lebih muda dari Ki De mang di Kepandak. Bahkan kadang-kadang yang me lintas di da la m angan-angannya adalah wajah anak muda yang kini sedang pergi ke medan perang. Pa mot. Setiap kali Sindangsari me nggeleng-gelengkan kepa lanya. Dicobanya untuk mengusir segala maca m angan-angan yang mengganggunya. Namun setiap kali bayangan, gambaran dan anyaman perasaannya sendiri, selalu kemba li mengganggunya. Untunglah bahwa menurut tanggapanKi De mang, Sindangsari masih diganggu saja oleh keha milannya. Wajahnya yang pucat, dan sorot matanya yang suram, me mbuatnya menjadi beriba hati. Ketika Ki De mang sudah selesai dan ketika se mua a lat alat dan sisa-sisa ma kanan sudah dibersihkan, maka Ki Demangpun berkata "Sudahlah Sari. Tidurlah. Jangan terlampau banyak bekerja. Kau harus menjaga kesehatanmu sebaik-baiknya"
Sindangsari me ngangguk-anggukkan kepa lanya. "Akupun a kan beristirahat di gardu" "Ki De manglah yang sebenarnya terlampau beristirahat" berkata Sindangsari ke mudian. kurang
"Tetapi aku sehat. Aku tidak sedang dalam keadaan seperti kau. Adalah kelajiman seorang perempuan yang sedang hamil, bahwa ia harus banyak beristirahat" Sindangsari me nganggukkan kepalanya. "Nah, tidurlah" Sindangsaripun ke mudian ke mbali ke biliknya. Tetapi wajah Nyai Reksatani masih saja seolah-olah me lekat di rongga matanya. "Tida k. Tidak. Aku tidak akan pergi. Tetapi kata-kata itu dibantahnya sendiri, bagaimana ka lau justru anak muda itu yang datang kemari" Aku tentu akan mene mui kesulitan karenanya" Kebingungan yang bergolak di dadanya telah me mbuatnya menjadi sangat gelisah. Dan kegelisahan itu me mbayang di dalam sikap dan perbuatannya sehari-hari. Kadang kadang ia bermaksud untuk minta ijin kepada Ki De mang, untuk me menuhi ajakan Nyai Reksatani. Namun kadang-kadang ia menjadi ketakutan, apakah yang sebenarnya akan terjadi dengan dirinya" Sindangsari merasa bahwa dirinya bukanlah seorang yang tabah dan kuat. Ternyata ia sudah tergelincir bersama Pa mot. Meskipun pada mulanya ia berteguh hati terhadap anak muda inipun Sindangsari merasa ce mas. Ia sama sekali tidak ingin berkhianat lagi terhadap perkawinannya dan terhadap cintanya kepada Pamot, yang dianggapnya cinta yang paling luhur, namun di dala m keadaan di luar sadarnya, mungkin oleh tekanan keadaan yang tidak terhindarkan lagi, ia akan terjerumus untuk kedua kalinya.
Demikianlah dada Sindangsari bergola k sehari-harian. Ia sama seka li tidak menduga, bahwa perasaan yang de mikian itulah yang me mang dikehendaki oleh Nyai Reksatani. Bahkan lebih dari itu apabila ia dapat melakukannya. Kegelisahan itu menjadi se makin me muncak ketika di hari berikutnya. Nyai Reksatani datang pula kepadanya dan bertanya "Bagaimana" Apakah kau sudah minta diri kepada suamimu, kakang De mang, bahwa hari ini kau akan pergi ke rumahku?" Sindangsari me nggelengkan kepa lanya. "Ah kau. Aku sudah ikut cemas me mikirkan keadaanmu apabila anak itu datang ke mari" "Kenapa anak itu kau bawa singgah ke mari?" bertanya Sindangsari dengan kesal. "Aku tidak tahu, bahwa kedatangannya akan membawa akibat yang panjang" "Karena itu, hentikan persoalan ini. Katakan kepadanya, aku tidak me mpunyai kepentingan apa-apa" Nyai Reksatani mengerutkan keningnya, namun ke mudian ia tertawa "Jangan berkata begitu mBok-ayu. Pada suatu saat kaulah yang akan mencarinya" "Tida k, tentu tidak" sahut Sindangsari dengan serta-merta. Ia tidak senang sekali mendengar kata-kata Nyai Reksatani itu. Tetapi Nyai Reksatani hanya tersenyum saja. Katanya "mBok-ayu. Aku sendiri pernah mengumpat-umpatinya, mengusirnya seperti anjing. Tetapi ia me mang ana k yang baik. Ia tidak pernah mendenda m dan marah. Dengan sabar ia mencoba me luluhkan hatiku. Ah, begitulah kira-kira yang sudah terjadi"
Sindangsari ditundukkannya.
tidak menyahut. Kepalanya kini "Mbok-ayu, anak itu sekarang ada di luar padukuhan ini. Ia menunggu di bawah pohon preh" Nyai Reksatani berhenti sejenak" atau barangkali kau merasa rindu kepada ibu, kakek dan nenekmu?" "Se minggu yang la lu, kake k datang ke mari" "O. tetapi ibumu" "Aku akan mengunjunginya. Tetapi sudah tentu bersama dengan Ki De mang" Nyai Reksatani menarik nafas. Hampir saja ia menjadi putus-asa. Tetapi ia masih me ncoba "Terserahlah kepada mu mBok-ayu. Apakah kau menunggu anak itu datang ke rumah ini dan mene mui Ki De mang" "Gila" "Usahakan mene muinya dan mengatakan isi hatimu. Besok aku akan datang kemari lagi. Kau harus minta diri kepada Ki Demang bahwa kau akan mengunjungi aku" Nyai Reksatani tidak menunggu jawaban Sindangsari. Iapun segera berdiri dan minta diri sa mbil berkata "Jangan sia-siakan ke mudaan dan kecantikanmu. Kau sekarang sedang mengandung. Tida k akan ada a kibat yang dapat me mbahayakan hubunganmu dengan Ki De mang" "Ah, gila. Gila" Sindangsari ha mpir berteriak. Apalagi ketika ia melihat Nyai Reksatani tertawa. Wajahnya menjadi merah padam. "Terserahlah" berkata Nyi Reksatani ke mudian sa mbil meninggalkan ha la man rumah Ki De mang. Hari itu Sindangsari menjadi se makin bingung. Ha mpir saja ia kehilangan aka l dan berbuat di luar sadarnya, mencari
kesempatan untuk pergi. Tetapi untunglah bahwa ke mudian ia sadar, bahwa hal itu tidak akan mungkin dapat dilakukan. Akhirnya Sindangsari tidak dapat lari dari kejaran perasaannya. Betapapun beratnya, ia terpaksa mengatakan kepada Ki De mang, bahwa Nyai Reksatani mengharapkannya datang berkunjung kepadanya. "Aku akan segera mencari kese mpatan" berkata Ki De mang "Aku me mang ingin mengunjungi ke luarga itu. Sudah la ma sekali a ku tidak datang kesana" "Ki De mang" berkata Sindangsari "Aku tida k ingin mengganggu tugas Ki Demang. Kalau Ki De mang mengijinkan, besok Nyai Reksatani akan singgah ke mari" Ki De mang mengerutkan keningnya. "Dima na kau bertemu dengan Nyai Reksatani" "Siang tadi ia datang ke mari. Ia mengajak aku pergi hari ini. Tetapi aku berkeberatan, karena aku belum minta ijin Ki Demang lebih dahulu" Ki De mang mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya "Apakah kau ingin berkunjung kepada keluarga itu?" Sindangsari me nganggukkan kepalanya. Ki De mang merenung sejenak, lalu "Ba iklah kalau kau me mang ingin mengunjunginya. Tetapi kau me mpunyai persoalan yang lain dari Nyai Reksatani" Sindangsari me ngerutkan dahinya. "Sari, sebaiknya aku berterus terang. Sebenarnya aku tidak sampai hati me lepaskan kau pergi sendiri. Bukan karena aku tidak percaya lagi kepadamu karena peristiwa yang pernah terjadi. Tetapi aku cemas bahwa masih ada orang-orang yang berniat kurang ba ik terhadapmu"
Sindangsari masih tetap berdiam diri. Tetapi sorot matanya seolah-olah bertanya kepada Ki De mang, apakah maksudnya. "Sindangsari, di Kade mangan ini masih ada orang yang tergila-gila kepada mu. Bahkan mungkin tida k hanya satu atau dua, setelah Pamot dan aku. Tetapi yang paling banyak harus diperhatikan adalah Manguri" Dada Sindangsari berdesir mendengar nama itu. Karena itu, ia menjadi sema kin terbungka m. Kalau terjadi sesuatu, maka akibatnya pasti akan sangat menyakitkan hatinya. Sejenak ia telah dicengka m oleh kebimbangan yang dala m. Kalau ia pergi, peringatan Ki De mang itu me mang seharusnya mendapat perhatiannya. Tetapi kalau ia tidak juga pergi bagaimana kah jadinya kalau laki-la ki muda itu benar akan datang kepadanya, tanpa menghiraukan apakah suaminya ada atau tidak. Dengan demikian Sindangsari telah dicengka m oleh kebimbangan tentang bermaca m-maca m persoalan. Laki-la ki muda itu, Nyai Reksatani, suaminya dan bulu-bulunya mere mang ketika diingatnya seorang anak muda yang bernama Manguri itu. "Meskipun barangka li kece masanku itu berlebih-lebihan Sari" berkata Ki De mang pula "karena setiap orang kini sudah mengetahui bahwa kau adalah isteriku" Sindangsari me ngangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab. "Kalau kau me mang ingin pergi ke rumah Reksatani" Ki Demang meneruskan "tidak ada salahnya kalau kau me milih waktu yang tepat. Jangan terlampau siang. Di tengah hari, jalan-jalan menjadi sepi. Ka lau kau pulang terla mpau sore, suruhlah Reksatani me ngantarkanmu"
"Baik Ki De mang" jawab Sindangsari "besok aku akan berangkat begitu Nyai Reksatani datang. Ia mengharap seka li aku berkunjung ke rumahnya" Ki De mang me ngangguk-anggukkan kepalanya. Ia sama sekali t idak berprasangka apapun terhadap adik iparnya. Di keesokan harinya, Ki De mang sengaja tidak pergi berjalan jalan di sekitar padukuhannya. Ia ingin bertemu dengan Nyai Reksatani yang akan menje mput isterinya yang sedang mengandung itu. "Aku titipkan Sindangsari kepada mu" berkata Ki De mang. Nyai Reksatani menjadi berdebar-debar. Ia tidak mengira bahwa Ki De mang me merlukan menunggunya dan justru menyerahkan Sindangsari kepadanya. Karena itu, dengan ragu-ragu ia menganggukkan kepalanya sambil menjawab "Baiklah kakang De mang. Aku akan menjaganya baik-baik" Demikianlah tanpa kecurigaan apapun juga. Sindangsari telah dilepaskannya pergi bersama Nyai Reksatani. Setelah ia berpesan agar mereka mene mpuh jalan yang ramai sa mpai ke rumah Ki Reksatani. "Apakah kakang De mang takut kalau Nyai De mang hilang di jalan?" "Tentu tida k" "Atau anak-anak muda yang menggila inya masih akan mengganggunya?" Ki De mang tidak menjawab. Tetapi karena angan-angannya dapat ditebak oleh Nyai Rekksatani, maka iapun hanya tersenyum saja. "Jangan takut Ki Demang. Jalan ke rumahku tidak melewati Gemulung, kalau kakang De mang mence mburui anak muda yang bernama Manguri itu"
"Ah" Sindangsari berdesis. Sedang Nyai Reksatani tertawa pendek. "Tetapi hati-hatilah" Ki De mang masih berpesan. Dengan hati yang berdebar-debar, maka Sindangsaripun ke mudian berangkat mengikuti Nyai Reksatani. Ketika ia meninggalkan halaman ruma hnya ia menjadi ragu-ragu, sehingga langkahnyapun menjadi tertegun-tegun. Ketika ia berpaling, dan melihat Ki De mang berdiri di regol, terasa dada Sindangsari berdesir. Hampir saja ia lari kepadanya dan mengadukan persoalan itu dengan jujur. Namun dala m kebimbangan itu Nyai Reksatani berbisik "mBok-ayu, jangan ragu-ragu. Kau harus menemuinya dan berkata kepadanya, bahwa kau sama sekali tidak mengharapkan apa-apa daripadanya. Semuanya akan segera selesai, dan kau tidak akan selalu dibayangi oleh kece masan dan kegelisahan. Aku juga tidak lagi dibayangi oleh kecemburuan. Kecuali kalau kau me mang merasa terlampau kesepian. Aku tidak berha k untuk mencegahnya, karena aku dan anak muda itu t idak me mpunyai ikatan yang mutla k" "Tida k, tidak" sahut Sindangsari" "Jangan berteriak" desis Nyai Reksatani. Sindangsaripun terdia m. Dan Nyai Reksatani berkata selanjutnya "Katakan, apa yang tersimpan di hatimu. Dengan jujur. Kau tidak usah berpura-pura setia atau segala maca m kebiasaan. Hanya seakan-akan kebiasaan dan keharusan. Bukan me ma ncar dari sanubari" Ketika Sindangsari a kan menjawab, Nyai Reksatani mendahuluinya "Jangan kau jawab. Lihat sajalah ke dalam dirimu sendiri" Keduanyapun ke mudian terdia m. Langkah mereka se makin la ma menjadi se ma kin cepat. Apalagi ketika mereka telah berada di luar padukuhan.
Meskipun belum sa mpai ke puncak na mun terasa matahari menyengat kulit. Beberapa orang yang bekerja di sawah telah mulai menge masi alat-alat, sedang orang-orang yang berjalan di jalan-jalan tampa k menjadi sangat tergesa-gesa. Meskipun demikian Nyai Reksatani dan Sindangsari yang mene mpuh jalan seperti yang dinasehatkan oleh Ki De mang masih banyak berpapasan dengan orang-orang yang pulang dari pasar. Sementara itu, seseorang yang bertubuh raksasa dan berkepala botak, sedang duduk di pematang sambil me mbersihkan cangkulnya dengan air parit yang menga lir gemericik di bawah kakinya. Sekali-sekali orang yang bertubuh raksasa itu menengadahkan wajahnya. Namun ke mudian menarik nafas dala m-da la m. Ia berpaling ketika seseorang me manggilnya dari atas gubug "He, Lamat. Aku akan pulang dahulu. Tunggu air itu sampai sawah menjadi penuh" Lamat berdiri sejenak. Sambil menganggukkan kepalanya ia menjawab "Ba ik. Aku akan menunggui sawah ini" "Kalau kau mau makan, makanlah nasi ini. Aku akan makan di rumah saja" "Ya" sahut La mat pendek. Anak muda yang berada di dalam gubug ilupun ke mudian me loncat turun dan berjalan menyusuri pe matang pulang ke rumahnya. Lamat ke mudian t inggal sendiri di sawahnya. Ia kembali duduk di pe matang sa mbil me mandangi air yang mengaliri parit yang me mbujur di daerah persawahan itu. Sekali-seka li tangannya menyentuh percikan air yang jernih itu. Kemudian ke mbali ia mengangkat wajahnya me mandang kekejauhan. Semula ia tidak me mperhatikan sa ma sekali, ketika ia me lihat seorang anak muda yang berjalan dengan tergesagesa. Namun ketika anak muda itu menjadi sema kin dekat,
berjalan dijaian yang menyilang parit te mpat ia mencuci cangkulnya. Lamat menjadi berdebar-debar. Tanpa sesadarnya ia berjongkok dan bergeser surut, ke balik tanaman yang sedang menghijau. "Anak itu" desisnya "Kenapa ia berada di Kade mangan ini?" Dengan penuh pertanyaan Lamat me mperhatikannya, tanpa diketahui oleh orang yang sedang lewat itu. "Apa kerja Puranta itu disini?" pertanyaan itu telah me mburunya. Lamat menarik nafas dalam-dala m ketika Puranta itu telah menjadi se makin jauh. Perlahan-lahan La mat berdiri. Dipandanginya orang yang berjalan dengan tergesa-gesa itu sampai jauh di ba lik ndeg penga mun-a mun. Lamat yang ke mudian duduk ke mbali di pe matang, ditepi parit itu menjadi selalu bertanya-tanya tentang Puranta. Ia tidak dapat me mbiarkannya tanpa merenungkan, apakah kepentingannya berada di Kade mangan ini. "Untunglah Manguri sudah pergi" desisnya "kalau Manguri me lihatnya, maka perselisihan itu dapat saja terjadi setiap saat. Kalau aku tidak me misahnya, mereka pasti sudah berkelahi karena pere mpuan itu" Terbayang di dala m angan-angan La mat, bagaimana keduanya berbareng datang ke rumah seorang janda muda. Perselisihan t idak dapat dihindarkan. Untunglah Manguri masih mendengar nasehatnya saat itu "Jangan berkelahi. Persoalan ini akan me mbuat keluarga Manguri se makin dijauhi orang. Kenapa kau harus berkelahi karena janda yang hina itu" Ternyata ia menerima siapa saja datang ke rumahnya" Betapapun ke marahan menghentak-hentak di dada Manguri, namun agaknya ia masih cukup me mpunyai harga diri, sehingga ditinggalkannya perempuan itu.
Namun sesudah itu, tanpa dikehendakinya sendiri, La mat mendengar bahwa ayah Manguripun pernah bertengkar dengan anak itu. Bahkan anak itu hampir saja dibunuhnya. Persoalannya adalah persoalan yang serupa. Akhirnya dari Manguri ia mendengar bahwa anak muda yang bernama Puranta itu adalah anak yang selalu me mbuat onar ia tidak lagi, menghiraukan pagar ayu. Apalagi kini ia merasa kuat, karena ia me mpunyai beberapa orang kawan yang sejalan. "Kalau saja ia tingga l di Kade mangan ini" desis La mat "maka ia dan Manguri akan dapat menjadi kawan yang baik, atau menjadi musuh bebuyutan" Tetapi La matpun ke mudian me ncoba untuk t idak menghiraukannya lagi. Mungkin ia kebetulan saja berjalan me lalui Kade mangan ini untuk pergi ke te mpat kawankawannya atau saudara-saudaranya. "Apa peduliku" desis La mat Dan bahkan ia sama sekali tidak berniat untuk mengatakannya kepada Manguri. Karena itu, maka Lamatpun segera pergi ke gubug di tengah-tengah sawah. Di dalam gubug itu terdapat sebungkus nasi. Perlahan-lahan ia me mbuka bungkusan itu, dan mulai menyuapi mulutnya. Namun setiap kali ia terhenti apabila ia teringat anak muda yang berna ma Puranta itu. Dala m pada itu Puranta berjalan dengan tergesa-gesa ke rumah Ki Reksatani. Ia sudah mendapat kepastian bahwa hari ini Sindangsari akan datang ke rumah itu. Ia tahu benar bahwa segala sesuatunya pasti sudah diatur. Ki Reksatani pasti tidak ada di rumah karena Ki Reksatanipun tahu benar akan rencana yang telah disusun oleh isterinya itu. Ketika Puranta sampai ke rumah Ki Reksatani, ternyata Sindangsari telah ada di rumah itu pula. Sejenak ia tertegun di depan pintu. Ditatapnya wajah Sindangsari dengan sorot mata yang me mbara sehingga Sindangsari sa ma sekali tida k berani
mengangkat wajahnya. "Masuklah" berkata Nyai Reksatani "kakang Reksatani tidak ada di rumah hari ini" "Ya, aku tahu. Aku melihatnya ia pergi ke pasar ternak. Agaknya Ki Reksatani ingin me mbeli seekor atau dua ekor le mbu" "Mungkin" sahut Nyai Reksatani "marilah. Sindangsari sudah terlampau la ma menunggu" "Ah" Sindangsari berdesah. "Maaf Nyai Demang" berkata Puranta "Aku terlambat. Aku harus meyakinkan dahulu, apakah Ki Reksatani benar-benar tidak ada di rumah" Tiba-tiba saja dada Sindangsari terasa menghentak-hentak. Apalagi ketika anak muda itu ke mudian me langkahi tlundak pintu, masuk ke pringgitan dan tanpa di duga-duga telah duduk di sa mpingnya. "Apakah Nyai De mang sudah la ma?" bertanya Puranta. Sindangsari tidak segera dapat menyahut. Mulutnya serasa tersumbat dan dadanya menjadi terla mpau sesak. "Sudah" Nyai Reksatanilah yang menyahut "sudah terlalu la ma. Ke manakah kau sepanjang pagi ini?" "Sudah aku katakan, meyakinkan apakah Ki Reksatani tidak ada di rumah" Nyai Reksatani tersenyum. Namun tiba-tiba ia berkata "kau tentu haus. Aku ambilkan air sebentar" Nyai Reksatanipun ke mudian bangkit dari te mpatnya. Namun sebelum ia me langkah Sindangsari berkata "Duduklah Nyai, biarlah aku yang menga mbil minum untuk ta mumu" "Aneh sekali. Kau juga tamu disini" "Bukan, aku bukan ta mu. Aku adalah ke luarga sendiri. Duduklah mene mui ta mumu"
"Akulah yang me mpunyai rumah dan akulah yang me mpunyai tamu" Nyai Reksatani tertawa. Kemudian tanpa berkata apapun lagi ia me ningga lkan Sindangsari dan Puranta di pringgitan. Hati Sindangsari menjadi se makin berdebar-debar. Tanpa sesadarnya ia bergeser menjauhi Puranta yang duduk di sampingnya. "Panasnya bukan main" Puranta berdesis "tetapi ruangan ini terasa terlampau sejuk" Sindangsari t idak me nyahut. "Nyai De mang" bertanya Puranta kemudian "apakah Nyai Reksatani pernah berkata sesuatu tentang aku?" Denyut jantung Sindangsari serasa menjadi semakin cepat bergetar. Sejenak ia masih tetap berdiam diri, sedang keringat dinginnya me mbasahi segenap tubuhnya. "Maksudku" berkata Puranta selanjutnya "apakah Nyai Reksatani pernah menceritakan hubungannya dengan a ku?" Hampir tanpa disadarinya Sindangsari menggeleng "Tida k" jawabnya lirih. "Bagus" berkata Puranta ke mudian "hubungan ka mi tampaknya me mang terla mpau ba ik. Aku sering dimintanya datang kalau suaminya tidak ada di rumah. Akhir-akhir ini Ki Reksatani me mang sering pergi meningga lkannya. Tetapi itu sama sekali bukan maksudku. Aku tahu, bahwa berhubungan dengan seorang perempuan yang sudah bersuami adalah suatu dosa" Sindangsari me ngerutkan keningnya. Kata-kata anak muda itu terdengar mapan sekali. Ia menyadari bahwa hubungan yang demikian itu adalah suatu dosa.
Sindangsari me ngerutkan keningnya. Kata-kata anak muda itu terdengar mapan sekali. Ia menyadari bahwa hubungan yang demikian itu adalah suatu dosa. "Tetapi aku terla mpau kasihan kepadanya" berkata Puranta selanjutnya "itu adalah ke le mahanku. Aku tida k tahan melihat seseorang yang bersedih hati. Nyai Reksatani benar-benar merasa kesepian, sehingga aku telah terjebak ke dalam rumah ini. Bukan saja ke dala m rumah ini, tetapi aku sudah terseret masuk ke dala m biliknya" suaranya kemudian menurun "sebenarnya aku menyesal sekali. Setiap kali aku me mutuskan untuk pergi daripadanya. Tetapi setiap kali aku tidak sa mpai hati menyakiti perasaannya" Tanpa sesadarnya Sindangsari mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata anak ini bukan anak yang terla mpau jelek. Ia mengerti apa yang baik dan apa yang buruk. Tetapi ia tidak dapat menolak karena perasaannya yang terlampau halus" "Kini aku seolah-olah telah dibelenggunya. Aku seakan akan telah terhutang budi, karena aku sering menerima pemberiannya" Kegelisahan Sindangsari la mbat laun menjadi se makin berkurang. Ia menyangka bahwa anak itu akan berbuat kurang sopan. Tetapi ternyata ia mengerti apa yang sebaiknya dilakukannya. Puranta berhenti berbicara ketika Nyai Reksatani ke mudian me masuki ruangan itu sambil me mbawa beberapa mangkuk air panas. Katanya "Nah. minumlah. Bukankah kalian haus. Akupun haus pula. Tetapi, biarlah aku menga mbil beberapa potong makanan untuk kalian" Sindangsari kini tidak menahan lagi ketika Nyai Reksatani meninggalkannya. Bahkan sekilas dipandanginya wajah anak muda yang bernama Puranta itu. Tampaklah matanya menjadi redup dan wajahnya selalu menunduk. Wajah yang seakanakan telah berubah sa ma sekali dari wajahnya di saat ia datang dengan tatapan mata yang me mbara. Sepeninggal Nyai Reksatani anak muda itu berkata seterusnya "Sebenarnya hatiku telah tertutup bagi perempuan yang manapun juga sepeningga l baka l istriku beberapa tahun yang lalu" Puranta mengangkat wajahnya sejenak ketika ia mendengar Sindangsari t iba-tiba bertanya "Kemana kah bakal isterimu itu?" "Lari. Lari dengan seorang laki-laki lain" suaranya menjadi dalam "Aku tida k tahu kenapa ia begitu saja meninggalkan aku. Tanpa pesan dan tanpa penje lasan apapun" Sindangsari menarik nafas, seakan-akan ia ingin me lepaskan sesak nafasnya selama ia menahan diri dala m kegelisahan. "Berbeda dengan kau Nyai De mang" berkata Puranta ke mudian "kau sa ma sekali tidak lari. Kau terpaksa me menuhi nafsu Ki De mang yang tida k terkendalikan" Puranta berhenti sejenak, lalu "apakah kau ingin tahu, siapakah perempuan yang lari dengan laki-laki itu?" Seolah-olah tidak disengaja Sindangsari me ngangguk. "Mereka Perempuan itu adalah perempuan Demang" tidak lari jauh. Maksudku, lari daripada ku. itu adalah isteri Ki De mang yang kelima. Laki-la ki Ki De mang, suamimu. Berbeda dengan kau, itu dengan senang hati menanggapi la maran Ki
Sindangsari terperanjat mendengar keterangan itu. Sejenak ia seolah-olah me mbe ku. Ditatapnya wajah Puranta yang menjadi se makin sura m. "Perempuan itu melepaskan a ku, tidak seperti kau terlepas dari Pa mot" Sindangsari masih tetap terdiam diri. Tiba-tiba timbullah perasaan ibanya kepada laki-laki itu. saja
"Alangkah berbahagianya Pamot, apalagi jika ia berhasil mengawinimu. Laki-la ki yang me mpunyai seorang isteri seperti kau, tentu akan merasa bahwa ia telah berada di pintu gerbang sorga" "Ah" Sindangsari berdesah. "Sindangsari" tiba-tiba saja laki-la ki itu me manggil namanya, sehingga jantung Sindangsari berdentangan karenanya "Aku belum pernah melihat seorang perempuan secantik kau. Bukan saja bentuk lahiriah, tetapi juga hati dan jiwa mu. Itulah agaknya, meskipun kau sa ma sekali tidak berniat kawin dengan Ki De mang kau tetap setia pula kepadanya " Wajah Sindangsari menjadi merah pada m. "Maafkan aku. Aku hanya ingin se kedar menyebut nama mu. Hanya menyebut nama mu saja. Tidak dengan sebutan Nyai Demang. Tetapi namamu sendiri yang manis semanis orangnya. Sindangsari" "Ah" Sekali lagi Sindangsari berdesah. Tetapi ia merasa aneh, kenapa tiba-tiba saja ia merasa gemetar. Bukan lagi karena ketakutan karena anak muda itu duduk di sa mpingnya. Sejenak anak muda itu tidak berkata sesuatu. Sehingga dengan de mikian ruangan itupun menjadi sepi. Kesepian itupun ke mudian dipecahkan oleh suara Nyai Reksatani yang datang sambil me mbawa beberapa potong makanan. Katanya "Tidak ada apa-apa yang pantas aku suguhkan. Hanya ini. Jadah bakar. Tidak seperti di Kademangan" "Jangan terlampau sibuk Nyai" berkata Sindangsari. Tetapi ia tidak me mpersilahkan Nyai Reksatani itu duduk bersama mereka. Namun setelah me letakkan ma kanan itu, Nyai Reksatanipun duduk diantara mereka. Katanya "Apa saja yang sudah kalian
bicarakan. Aku tidak mendengar kalian tertawa atau berkelakar. Agaknya kalian berbicara bersungguh-sungguh. "Tida k Nyai" jawab Puranta "ka mi berbicara tentang diri kami masing-masing" "O, kau juga berbicara tentang aku?" "Tida k" "Bohong" "Tida k Nyai, sungguh. Aku tida k berbicara tentang Nyai" Nyai Reksatani me mandang Sindangsari sejenak, ke mudian berganti di pandanginya Puranta. Tiba-tiba saja Nyai Reksatani itu tersenyum "Ha, kenapa t idak kau katakan saja kepadanya langsung" Bahkan Sindangsari adalah pere mpuan yang paling cantik di muka bumi ini. Jauh lebih cantik daripadaku" "Ah Nyai" potong Puranta. "Itu lebih baik bagimu. Kau lebih senang menyebutnya dengan namanya, Sindangsari daripada Nyai De mang di Kepandak. Begitu?" "Jangan begitu Nyai" "Aku tidak apa-apa. Kalian adalah anak-anak muda. Seandainya kalian me mang sudah mene mukan sesuatu di dalam diri masing-masing, aku sa ma se kali tidak berkeberatan. Tetapi aku masih ingin mengajukan syarat, bahwa Puranta tidak boleh meninggalkan a ku sa ma seka li" "Ah, Nyai terlampau cepat menga mbil kesimpulan" sahut Puranta. "Kau sangka aku tidak tahu hati anak-anak muda?" berkata Nyai Reksatani "sejak perta ma ka li kau berte mu dengan perempuan itu, kau selalu mengigau. Sindangsari, Sindangsari adalah na ma yang manis sekali"
Sindangsari sendiri duduk sa mbil menunduk dala m-da la m. Wajahnya menjadi merah oleh perasaan yang tidak menentu. Setelah sekian la ma ia berada di rumah Kade mangan Kepandak, dan setelah sekian la ma ia seolah-olah hidup sendiri dala m kesepian, tiba-tiba seorang anak muda yang tampan telah me nyebut namanya. "He, jangan termenung mBok-ayu" berkata Nyai Reksatani sambil tersenyum "marilah, minum dan ma kanlah apa adanya" "Terima kasih" Sindangsari tergagap. "mBok-ayu tidak usah tergesa-gesa pulang. Nanti biarlah kakang Reksatani mengantarkan seperti pesan, Ki Demang. Ia akan pulang sebelum senja" Nyai Reksatani terdia m sejenak "Apabila kau le lah, biarlah mBok-ayu berbaring saja disini, di dalam bilikku" "Terima kasih" sahut Sindangsari "Aku tidak le lah" Sambil me mandang wajah Puranta, Nyai bertanya pula "apakah kau ingin beristirahat?" Reksatani
"Aku akan duduk disini mengawani Sindangsari" jawab Puranta. Sebuah desir yang halus telah menyentuh jantung Sindangsari sehingga iapun tunduk se ma kin dala m. "Baiklah, agaknya lebih baik kita berbicara saja., Nah, mulailah, tentang apa saja" Merekapun ke mudian berbicara, tentang berbagai macam hal. Dari persoalan yang mereka hadapi sehari-hari sa mpai masalah yang paling pelik di dala m hidup mereka. Namun Sindangsari sendiri, seakan-akan hanya sekedar menjadi pendengar. Tetapi akhirnya anak muda itupun menjadi lelah juga, sehingga iapun ke mudian terdia m, sambil menganggukangguk. Apalagi ketika kemudian mereka dija mu dengan makan. Maka ruangan itupun menjadi se makin sepi. Setelah beristirahat sejenak, maka anak muda itupun minta diri untuk pulang ke ruma hnya. "Sebentar lagi Ki Reksatani pasti akan pulang" katanya "Aku minta diri Nyai" "Belum. Ki Reksatani akan pulang nanti menjelang senja " "Siapa tahu. Tiba-tiba saja ia muncul di muka pintu" "Kenapa ce mas" Aku dapat mengatakan bahwa kau adalah kawan Sindangsari" "Ah" Sindangsari berdesis le mah "jangan" Nyai Reksatani tertawa "Kau masih sangat hijau" Sindangsari tida k menjawab. Tetapi kepalanya saja yang tertunduk dala m-dala m. "Baiklah" berkata Nyai Reksatani kemudian "kalau kau ingin pulang, pulanglah. Kau harus segera datang kembali. Ha mpir setiap hari Ki Reksatani tidak ada di rumah. Ia sedang sibuk dengan bendungannya" Puranta tertawa. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata "Aku akan berusaha" la lu kepada Sindangsari ia berkata "sudahlah Sari. Pertemuan kita berakhir sampai disini saja hari ini. Tetapi kau bagiku adalah seorang perempuan yang pa ling baik, lahir dan batin" "Ah" Sindangsari berdesah. Ia sama sekali tida k berani mengangkat wajahnya. Meskipun ke mudian anak muda itu berdiri diikuti oleh Nyai Re ksatani dan diantarkannya sampai keluar rumah, Sindangsari masih tetap duduk di te mpatnya. Ketika keduanya sampai ke regol Nyai Reksatani berpaling sejenak. Karena Sindangsari tida k dilihatnya, maka iapun ke mudian berkata "Bersabarlah. Kau akan me ndapat segala Api Di Bukit Menoreh 27 Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Rahasia Kampung Garuda 11

Cari Blog Ini