Ceritasilat Novel Online

Matahari Esok Pagi 11

Matahari Esok Pagi Karya S H Mintardja Bagian 11


galanya. Kau akan mendapat perempuan cantik itu dan sekaligus upah yang cukup banyak dari Ki Reksatani. Kalau pada suatu saat Ki Reksatani dapat me mbukt ikan bahwa isteri Ki De mang itu berbuat sedeng, maka ia pasti akan diceraikannya" "Tetapi, bagaimana kalau Ki De mang menjadi marah dan bahkan me mbunuh ka mi berdua bersama-sama. Bukankah Ki Demang seorang yang tidak terlawan" Bukan saja di Kademangan Kepandak, tetapi hampir di seluruh daerah Selatan ini mengenal siapakah De mang di Kepandak itu" "Tetapi kau tahu juga, bahwa Ki Reksatani adalah adiknya. Ia dapat mengusulkan, agar kalian berdua diusir saja dari Kepandak. Dan kalian dipa ksa untuk kawin. Terutama kau. Kau dipaksa untuk me mpertanggung jawabkan perbuatanmu. Apa kau mau?" Puranta tertawa. Jawabnya "Kalau Ki Reksatani bersedia me mberiku beka l untuk modal rumah tanggaku, aku tentu bersedia. Kalau aku sudah mempunyai isteri secantik Sindangsari mungkin aku akan berhenti bertualang. Seandainya Nyai Reksatani bukan isteri Ki Re ksatani, maka kata-kata Puranta terputus oleh suara tertawanya. "Ora nyebut" sekandang" "Aku yakin, ke mudian. sahut Nyai Reksatani "anakku sudah
Puranta masih saja tertawa akan berhasil" berkata Nyai Reksatani
"Dan Ki Reksatanipun berhasil pula" "Meskipun pere mpuan itu sudah mengandung, tetapi ia akan dapat menjadi isteri yang ba ik" "Tetapi hal itu akan merupa kan tanggung jawab yang berat bagiku Nyai. Aku pada suatu saat mungkin akan berhadapan dengan Manguri atau Pa mot ka lau ia ke mba li dari medan"
"Anak itu akan mati di medan perang. Jarang sekali orang berhasil ke mbali dengan se la mat" Puranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu iapun minta diri meningga lkan hala man rumah Ki Reksatani. Nyai reksatani yang kemudian masuk ke mbali dan duduk di sebelah Sindangsari bertanya "He, mBok-ayu. Kenapa kau dia m saja setelah kau bertemu sendiri dengan orangnya" Untunglah aku belum mengatakan kepadanya, bahwa kau tidak akan bersedia bertemu lagi dengan anak itu. Kalau demikian, maka akulah yang disangka iri atau ce mburu yang berlebih-lebihan" "O" Sindangsari mengangkat wajahnya sejenak, namun wajah itu lalu menunduk lagi ketika ia mendengar Nyai Reksatani berkata "Nah, bukankah kau berpendirian lain setelah kau bertemu dan berbicara agak panjang dengan anak itu?" "Tida k" sahut Sindangsari, tetapi suaranya seolah olah tersangkut di kerongkongan. "Tetapi kau tida k mengatakan apa-apa. Kau diam saja, bahkan asyik berbicara" "Aku lupa, benar-benar terlupa" jawab Sindangsari yang mencoba untuk me mbela diri "Kenapa kau tidak mengingatkan aku?" "Bagaimana mungkin a ku dapat mengingatkan kau di hadapan anak itu" sahut Nyai Reksatani "dan bagaimana mungkin kau dapat melupakan hal itu" Kau datang ke mari dengan satu-satunya keperluan untuk berkata kepada anak itu, bahwa kau t idak a kan mau mene muinya lagi. Kau tidak mau terganggu, karena kau adalah seorang perempuan yang sangat setia kepada suami. Tetapi, keperluan satu-satunya itu ternyata telah kau lupakan. Lalu apakah kerja mu datang ke mari" Bukan maksudku un tuk me ngatakan penyesalanku bahwa kau sudah berkunjung kemari. Aku dan Ki Reksatani
akan senang sekali menerima mBok-ayu disini. Tetapi bahwa kau lupa mengatakan keperluanmu itu ternyata menggelikan sekali" Sindangsari tidak segera dapat menjawab. Ia me mang merasa aneh terhadap dirinya sendiri. Kenapa tiba-tiba saja ia terlupa, bahwa ia ingin menghentikan se mua hubungan yang dapat menyeretnya ke dala m suatu keadaan yang sesat. Tetapi hal itu me mang sudah terjadi. Anak muda itu sudah pergi sehingga ia tidak akan me mpunyai kese mpatan lagi hari ini untuk me ngatakan bahwa hubungan mereka tida k akan berlangsung lebih la ma lagi. "mBok-ayu. Akibai daripada iui adaiah, bahwa anak itu pasti akan selalu mencari kese mpatan bertemu dengan kau" Tiba-tiba saja Sindangsari menjadi ragu-ragu. "Nah, pikirlah masak-masak" Nyai Reksatani tertawa. Wajah Sindangsari menjadi merah "Tida k. Tida k" Nyai Reksatani tidak menjawab. Tetapi ia tertawa saja berkepanjangan. Suara tertawa itu terputus ketika ia mendengar seseorang mendehe m di hala man. Dengan wajah yang tegang Nyai Reksatani berdesis "Ki Reksatani" "Untung seka li" dengan serta-merta Sindangsari menyahut. "Kenapa?" "Anak muda itu telah pergi" Nyai Reksatani tersenyum "Tidak akan ada persoalan apaapa" Sejenak ke mudian pintupun berderit. Ketika sebuah kepala tersembul di pintu pringgitan, maka Sindangsaripun berdiri sambil me nganggukkan kepalanya.
"O, mBok-ayu" Ki Reksatani menyapanya dengan suara yang jernih "mimpi apa aku se mala m" Itulah agaknya maka burung perenjak sehari penuh ke marin dan sejak fajar selalu berkicau di sebelah kiri pendapa. Agaknya hari ini seorang tamu agung telah berkunjung ke rumah yang kotor ini" "Ah, Ki Reksatani selalu merendahkan diri" "Aku senang sekali mendapat kunjungan Silahkan. Silahkan. Aku akan mencuci kaki" mBok-ayu.
Demikianlah, setelah me mbersihkan dirinya dan makan siang, Ki Reksatani mene mui Sindangsari seperti seorang adik yang baik mene mui kakak iparnya. "mBok-ayu akan bermala m disini" "Aku pulang nanti" "Kaulah yang harus mengantarkan menurut pesan kakang Demang" potong Nyai Reksatani "Aku?" "Ya" "Kakang De mang t idak ke mari?" "Kakang De mang baru sibuk" Ki Re ksatani menarik nafas dala m-dala m "Begitulah mBok-ayu. Sebaiknya mBok-ayu berusaha untuk menyesuaikan diri. Belajarlah dari pengala man isteri-isteri kakang De mang yang lalu. Mereka yang tidak tahan oleh kesepian, tidak akan dapat bertahan lebih satu atau dua tahun" Dada Sindangsari menjadi berdebar-debar. "mBok-ayu harus belajar mengatasi kesepian itu. Lakukanlah dengan apa saja. Belajar menenun. Apakah mBokayu sudah bisa" Kalau be lum belajarlah disini"
"Ya" Nyai Reksatani hampir berteriak, sehingga suaminya berdesis "Sst, kenapa kau berteriak-teriak" "Aku senang sekali me ndapat kawan di rumah. Kau sangka aku tidak selalu kesepian juga?" "Ah. Jangan merasa dirimu seperti pengantin baru" Nyai Reksatani tersenyum. Demikianlah, maka ketika matahari telah menjadi se makin rendah, Ki Reksatanipun bersiap-siap pula untuk mengantarkan Sindangsari pulang ke ruma hnya, rumah Ki Demang di Kepanda k. Sementara itu, tanpa disengaja, sekali lagi La mat melihat seseorang yang berjalan dengan langkah yang la mban me lintasi jalan persawahan. Wajahnya tampak cerah seperti cerahnya langit yang ke merah-merahan. "He m"La mat berguman "dari ma na sebenarnya anak itu" Tetapi La mat, sama sekali tidak berbuat apa-apa. Ia berjongkok saja di balik dedaunan yang hijau rimbun. Dala m pada itu, Ki Reksatani yang telah selesai bersiap-siap bertanya kepada isterinya "Apakah kau tidak ikut mengantarkan mBok-ayu pulang?" "Nanti anak-anak rewel. Silahkan. Aku sudah pergi ke Kademangan menje mputnya tadi pagi" Ki Reksatani mengangguk-angguk. Katanya "Baiklah. Hatihatilah di rumah" ia berhenti sebentar "tetapi bukankah kau me mbuat pondoh jagung gurih" Kakang De mang senang sekali ma kanan serupa itu" "Ah, di Kademangan ada lebih dari sepuluh maca m makanan yang jauh lebih enak dari pondoh jagung gurih" "Bungkuslah. Kau tida k percaya" Kakang De mang ge mar sekali. Bukankah begitu mBok-ayu"
Sindangsari mengangguk sa mbil tersenyum "Begitulah" sahutnya . Demikianlah, maka ketika matahari telah berada di pungung bukit. Ki Reksatani berjalan perlahan-lahan di belakang Sindangsari. Bayangan senja yang kemerahmerahan, me mbuat wajah Sindangsari menjadi se ma kin bercahaya. Dari belakang Ki Reksatani melihat betapa lehernya yang jenjang dan betapa langkahnya yang sudah mulai guntai oleh perutnya yang se makin besar. "Perempuan ini me mang cantik" ia berdesis di dalam hatinya "tetapi perempuan ini benar-benar telah me mbunuh masa depanku dan masa depan anak-anakku" Ki Reksatani mengerutkan keningnya. Dipandanginya saja punggung Sindangsari yang berjalan tanpa berpaling. "Kalau aku masih muda, semuda Puranta, ia berguma m terus di dala m hatinya. Tiba-tiba saja ia terkenang kepada sebuah permintaan yang aneh baginya. Tetapi ia tidak dapat mengabaikan saja permintaan itu, karena permintaan itu datang dari seorang perempuan. Seorang pere mpuan yang sela ma ini tersangkut di dalam perjalanan hidupnya, namun yang se mpat dirahasiakannya, sehingga hampir tidak seorangpun yang mengetahuinya, selain orang-orang yang paling de kat dengan perempuan itu, termasuk anak laki-la kinya. Ki Reksatani menarik nafas dalam-dala m, sehingga tanpa sesadarnya Sindangsari berpaling. "O" Ki Reksatani berprihatin" tergagap "kita me mang sedang
"Kenapa" bertanya Sindangsari" "Musim panas yang panjang. Sawah me njadi kering"
"Tetapi bukankah parit-parit selalu mengalirkan air seperti parit di sisi jalan ini?" "O, ya, ya. Kebetulan. Kebetulan sekali hari ini parit ini menga lir. Itulah sebabnya aku sedang sibuk dengan bendungan, agar bahaya kering tida k me landa persawahan terutama di daerah Kepandak" Sindangsari hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tida k bertanya apapun lagi. Ki Reksatanipun ke mudian hanyut kembali ke dalam anganangannya. "Tetapi itu berbahaya sekali" desisnya "Ki De mang akan segera mengetahuinnya dan bertindak atasnya dan mungkin keluarganya. Kalau kakang De mang menjadi gila dan me meras mereka dengan kekerasan, akan sampai pula akhirnya ia me nyebut nama ku" Ki Reksatani mengangguk-anggukkan kepalanya "Tetapi kalau anak ini, Puranta, setiap orang yang agak binal sedikit, dapat mengenal na manya. Mungkin kakang De mang akan me mbunuhnya, dan Sindangsari diceraikannya. Baru sesudah itu aku akan berpikir untuk pere mpuan yang ditangisi anaknya itu. Semuanya seakan-akan telah masak di kepala Ki Reksatani. Bahkan ke mudian "Kalau kakang De mang tidak me mbunuh Puranta karena ia sempat menahan hati, akulah yang akan me mbunuhnya dengan seribu alasan, agar mulutnya terbungkam. Setiap orang akan me mpercayai tindakanku sebagai tindakan sakit hati yang tidak pantas untuk diusut dan dihukum. Ki Reksatani tersenyum sendiri sa mbil menganggukanggukkan kepalanya. Seakan-akan semua itu sudah terjadi, dan jabatan tertinggi di Kade mangan Kepandak itu telah berada di tangannya.
"Kakang Sindangsari karenanya.
De mang tiba-tiba pasti sudah sehingga Ki menunggu" berkata Reksatani tergagap
"Tida k, tentu tidak" "Ia akan menjadi ce mas karenanya" "Bukankah kakang De mang sudah berpesan agar aku mengantarkanmu" Me mang itu lebih a man. Kalau ada laki-la ki yang karena sakit hati, atau karena sesuatu sebab, mendenda mmu, maka kau me mang me merlukan perlindungan disenja begini. Kalau di siang hari sebelum matahari naik ke puncak langit, aku kira tidak akan ada seorangpun yang berani berbuat gila di padukuhan yang tenteram ini, kalau ia tidak ingin menjadi merah biru dan bengka k-bengkak seluruh tubuhnya. Tetapi di mala m hari, hal itu me mang dapat saja terjadi, karena tidak ada seorangpun yang me ngetahuinya " Sindangsari mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat me ma klumi keterangan adik iparnya itu. "Aku hanya me mbuat repot saja" berkata Sindangsari ke mudian. "Tida k. Tidak. Bukan begitu. Itu adalah suatu sikap berhatihati" Merekapun ke mudian terdia m. Langkah-langkah mereka sajalah yang terdengar berdesir menyentuh rerumputan yang sudah mula i berwarna kekuning-kuningan. Ketika mereka sampa i di bulak yang panjang, maka hari sudah menjadi se makin sura m. Yang tampak ke mudian adalah ujung-ujung mega yang ke merah-merahan me mbentang di langit. Tiba-tiba terbersit pikiran di kepala Ki Reksatani "Aku dapat me mbunuhnya sekarang"
Dada Ki Reksatani menjadi berdebar-debar "Aku dapat menguburnya di tengah-tengah sawah. Kemudian aku akan berkata kepada kakang De mang, bahwa Sindangsari telah pulang lepas tengah hari. Ia tida k sabar menunggu aku" Sejenak Ki Reksatani menimbang-nimbang dengan dada yang tegang. Terasa jantungnya menjadi se makin cepat berdenyut. "Tetapi, apakah ka kang De mang me mpercayainya" Dan sudah barang tentu isterikulah yang dipersalahkannya" Akhirnya Ki Reksatani menggelengkan kepalanya "Lebih baik aku tida k tergesa-gesa" katanya "agaknya Puranta akan berhasil. Aku harus me mancing Nyai De mang ini untuk bermala m se mala m saja di rumahku. Ke mudian me manggil Puranta. Kalau anak itu sudah datang aku a kan menghubungi Ki De mang. Aku harus me mberitahukan kepadanya bahwa isterinya telah berbuat serong. Ternyata rumahku adalah sekedar tempat mereka me mbuat janji" Ki Reksatani mengangguk-anggukkan kepa lanya "Aku dapat mencari seribu alasan sehingga kakang De mang akan me mpercayainya" Demikianlah, keduanyapun sampa i ke rumah Kade mangan Kepandak setelah lampu-la mpu dinyalakan. Bahkan obor regolpun telah dipasang. Di depan regol Ki Reksatani tertegun sejenak ketika ia melihat seseorang berdiri bersilang tangan di dada. Di bela kangnya dua orang berdiri bersandar dinding. "He m" ia menarik nafas dalam-dala m "agaknya perempuan itu benar-benar telah mengikat hati Ki De mang. Benar juga dugaan Sindangsari. Ia sudah menjadi gelisah menunggunya. Hal yang tida k pernah terjadi dengan isteri-isterinya yang lain" "Ha mpir saja aku pergi menyusul" berkata Ki De mang, ketika Sindangsari sa mpai di depan regol. "Ki Reksatani sua mi isteri selalu menahan kalau aku minta diri" jawab Sindangsari.
"Ka mi mengharap mBok-ayu berma la m di rumah ka mi meskipun hanya se mala m. Anak-anak ka mi senang seka li mendapat kunjungan bibinya. Bibi yang kali ini lain dengan bibi-bibi yang pernah dikenalnya. O--oodwoo---O
Matahari Esok Pagi Karya : SH Mintardja Jilid 6 "Ah" Sindangsari berdesah. "Jangan aneh-aneh Reksatani" berkata Ki De mang. Ki Reksatani tertawa "Tetapi aku minta ijin, agar mBokayu pada suatu saat boleh menginap di rumahku. Ke manakannya pasti akan senang sekali. Lebih, daripada itu Sindangsari, eh, mBokayu, akan belajar me nenun" Ki De mang hanya tersenyum saja, Ia sama segelugutpun tidak menaruh prasangka apapun. sekali,
Ternyata Ki Reksatani benar-benar telah me matangkan rencananya. Ketika mala m itu ia pulang dari Kade mangan, maka bersa ma isterinya dibuatnya perangkap yang paling baik untuk menjebak Sindangsari dan Puranta. "Persetan, apakah keduanya Demang" desis Reksatani. akan dibunuh oleh Ki
"Tetapi jangan Sindangsari" minta Nyai Reksatani. Ki Reksatani menarik nafas dala m-dala m "Ya, Sindangsari tidak" Na mun dala m pada itu Ki Reksatani sedang me mikirkan permintaan perempuan yang ditangisi anaknya, yang tergilagila kepada Sindangsari. Katanya di dala m hati "Mudahmudahan aku mendapatkan kedua-duanya. Sindangsari terlepas dari ka kang De mang dan ana k itu mendapatkan janda itu" Tetapi masih ada satu persoalan yang dipikirkannya "Bagaimana anak di dala m kandungan itu" Anak itu adalah anak kakang De mang. Meskipun seandainya Sindangsari telah diceraikannya, namun anak itu a kan dapat menuntut ha knya. Sekali lagi terbersit cara yang paling keji "Bayi itu harus mati di saat lahirnya"
Dengan demikian, maka dengan segala cara, Nyai Reksatani telah me mbujuk agar Sindangsari mau bermala m semala m saja di rumahnya. "Kau harus mengatakannya. Setiap hari anak itu bertanya kepadaku. Ha mpir saja ja me ma ksa untuk datang ke mari" Tetapi Sindangsari selalu berusaha untuk mengela k. Demikian ia berada dekat dengan suaminya ia merasa, bahwa ia me mang harus menghentikan permainan yang dapat me mba kar dirinya. Namun kadang-kadang di mala m hari Sindangsari sa ma sekali tidak dapat me meja mkan matanya. Apabila ia berada di pembaringannya, seorang diri sejak hari perkawinannya, terasa betapa kesepian telah me mbakar jantungnya. Me mang kadang-kadang terbayang, betapapun suramnya, bayangan wajah anak muda yang bernama Puranta itu. Kadang-kadang merupakan sebuah bayangan rangkap, Pa mot dan samar-sa mar garis-garis wajah Puranta itu. "Tida k. Aku adalah seorang isteri. Bagaimanapun juga aku me mpunyai seorang sua mi" gera mnya. Tetapi Nyai Reksatani tidak berputus-asa. Ia berusaha terus. Membujuk, merajuk dan bahkan kadang-kadang menganca m. Sedang Ki Reksatani setiap kali berkata kepada Ki De mang "Kenapa mBokayu tidak ka kang perbolehkan bermala m di rumahku?" "Aku bukan tidak me mperbolehkan" jawab Ki De mang "tetapi mBokayumu agaknya masih belum berhasrat" "Ah, mBokayu sendiri pernah mengatakan, bahwa ia ingin bermala m meskipun hanya sema la m untuk me mpelajari cara menenun" "Kalau me mang diinginkannya, aku tidak berkeberatan"
Akhirnya usaha suami istri itupun tida k sia-sia. Lewat cara apapun juga, mereka berhasil me mbujuk Sindangsari untuk bermala m di rumah Ki Reksatani. "Ia akan mene muimu" berkata Nyai Reksatani kepada Sindangsari, Kemudian "Jangan lupa. Katakan apa yang ingin kau katakan. Kalau kau me mang tidak ingin bertemu lagi dengan orang itu, katakanlah berterus-terang. Tetapi kalau kau me merlukannya karena kau kesepian, aku tidak berkeberatan, katakanlah kepadanya. Aku yakin, ia dapat mengerti. Dada Sindangsari menjadi berdebar-debar. Ia tidak mengerti apakah sebenarnya yang telah bergolak di dala m dirinya. "Kau harus berbuat sebaik-baiknya Nyai" pesan Ki Reksatani "kalau datang saatnya, aku akan me manggil kakang Demang. Berkuda supaya cepat" "Aku akan me mbawanya ke rumah itu. Aku sudah menyediakan sebuah alat tenun yang ba ik" Ki Reksatani mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Ingat, keterangan yang akan kita berikan kepada Ki De mang harus sama. Jangan sampai terjadi kekeliruan, apalagi pertentangan, karena kakang Demang adalah seorang yang teliti dala m menghadapi persoalan yang pa ling rumit" "Ya. Tetapi belum tentu kakang De mang dapat menelit i hal yang menyangkut perasaan sendiri seperti persoalan orang lain" "Mungkin. Me mang mungkin" Mala m yang telah direncanakan itupun datang pula pada saatnya. Ki Demang melepaskan isterinya dengan sepenuh kepercayaan kepada adiknya. "Besok pagi a ku akan menje mputnya" berkata Ki De mang.
"Ya, ka mi menunggu ka kang" Bersama Ki Re ksatani sua mi isteri Sindangsari meninggalkan rumahnya, lepas tengah hari. Ia membawa beberapa helai paka ian karena ia berjanji akan bermala m. "Mudah-mudahan mBok ayu senang bermala m di rumah kami" "Tentu" jawabnya ragu-ragu. Di sepanjang jalan, jantung Sindangsari terasa semakin berdebar-debar. Bagaimanakah caranya untuk mengatakan maksudnya kepada Puranta, bahwa ia berkeberatan untuk bertemu dengannya. Bahwa hubungan apapun harus diputuskannya. Dada Sindangsari berdesir ketika mereka berhenti di sebuah halaman, beberapa patok sebelum mere ka sampa i di rumah Ki Reksatani. Dengan tertawa Ki Reksatani berkata "Bukankah mBok-ayu ingin be lajar menenun. Alat tenun ka mi yang paling baik berada di rumah ini. Apalagi disini tidak ada anak-anak kecil yang akan mengganggu. Biarlah isteriku mengawanimu disini" Sejenak Sindangsari berdiri termangu-mangu. Ditatapnya wajah suami isteri itu berganti-ganti, seolah-olah ingin mendapat penjelasan yang lebih banyak lagi dari mereka. "Silahkan" Ki Reksatani me mpersilahkan. Iapun kemudian mendahuluinya me masuki regol hala man yang tidak begitu lebar itu" "Ini juga rumahku" berkata Ki Reksatani "kalau aku je mu berada di rumah sebelah karena kericuhan anak-anak, aku pergi dan tidur di ruma h ini. Disinilah a lat-alat tenun ka mi yang baik ka mi simpan" Sindangsari masih be lum menjawab. Meskipun Ki Reksatani sudah berada di dalam regol, namun Sindangsari masih berdiri di te mpatnya.
Akhirnya ia terpaksa melangkah maju ketika tangan Nyai Reksatani me mbimbingnya. "Jangan takut" katanya "daerah ini adalah daerah yang paling a man. Apalagi setiap orang tahu bahwa rumah ini adalah rumah Ki Reksatani. Hanya orang yang ingin me mbunuh diri sajalah yang berani mengganggu rumah ini. Sindangasari tidak menyahut. Dengan penuh kebimbangan ia berjalan me lintasi hala man na ik ke pendapa rumah yang tidak begitu besar itu. Tetapi ketika ia menjengukkan kepalanya ke dalam, dilihatnya rumah itu cukup bersih, sebersih rumah Ki Reksatani yang pernah dikunjungnya. "Ada dua orang pelayan yang khusus mengurusi ruma h ini" berkata Ki Re ksatani "duduklah. Tetapi barangka li disini terdapat banyak kekurangan, karena pada dasarnya rumah ini kosong. Di siang hari dipergunakan oleh beberapa orang untuk menenun. Sesudah senja, rumah ini hanya ditunggui oleh dua orang pelayan, suami isteri" Kecurigaan Sindangsari atas rumah itupun se makin la ma menjadi se makin berkurang. Dipandanginya dinding-dinding kayu nangka yang kekuning-kuningan dihiasi oleh serat-serat yang berwarna coklat muda sa mpai kecoklat tua. Setelan mereka duduk sejenak di sebuah amben yang besar, maka pelayan yang menunggui rumah itu menyuguhkan air panas, gumpa lan-gumpalan gula ke lapa dan beberapa jenis makanan. "Berlakulah seperti di rumah sendiri mBokayu" berkata Ki Reksatani "jangan merasa dirimu asing disini" "Terima kasih" jawab Sindangsari ka ku. "Di dala m bilik itulah alat tenunku yang paling ba ik, yang khusus aku pergunakan sendiri aku simpan,. Nanti, kita coba bersama, apakah mBok-ayu tertarik pada pe kerjaan kasar itu"
Sindangsari mengangguk-anggukkan kepa lanya. Ketika ia berpaling dilihatnya lewat lubang pintu yang terbuka sebuah alat tenun yang terletak disebuah a mben yang besar pula. Demikianlah setelah berbicara sejenak, maka Ki Reksatanipun ke mudian berkata "Maaf mBok-ayu. Aku akan pergi ke rumah sebelah sejenak. Nanti aku akan datang lagi ke mari. Belajarlah menenun. Barangkali mBok-ayu tertarik pada pekerjaan itu untuk sekedar mengisi waktu selagi mBakayu kesepian" Sindangsari menganggukkan kepalanya "Baiklah. Aku akan belajar" Sepeninggal Ki Reksatani, Nyai Reksatani menarik nafas dalam-da la m. Katanya "Ha mpir saja aku lupa menyahut katakata kakang Reksatani, bahwa mBok-ayu a kan dapat mencari kesempatan untuk mengisi kesepian dengan cara yang jauh lebih baik dari menenun. Bukankah begitu?" "Ah" Sindangsari berdesah. "Jangan takut. Anak itu akan datang ke mari" "Tetapi aku tidak ingin mene muinya mala m ini" Nyai Reksatani tertawa "Semua sudah aku persiapkan ba ikbaik. Jangan takut. Kakang Reksatanipun tidak akan tahu" Dada Sindangsari menjadi se makin berdebar-debar. Dala m pada itu, Nyai Reksatani me mandang Sindangsari dengan tatapan mata yang aneh. Selagi Sindangsari menundukkan kepalanya, Nyai Reksatani menarik nafas dalam-da la m sa mbil berdesah di dala m hatinya "Bukan maksudku mBok-ayu. Tetapi kepentingan hari depan anakanakku telah menuntut agar aku berusaha me mbantu suamiku dalam pekerjaan ini" Terbayang di dalam angan-angannya apa yang akan terjadi ma la m itu.
"Kalau Puranta telah datang, kau harus secepatnya me mberitahu agar aku segera dapat mengundang kakang Demang" pesan Ki Reksatani itu selalu terngiang di telinganya. Dengan demikian, ma ka hati Nyai Reksatani yang tampaknya selalu tersenyum dan tertawa itu, sebenarnya telah dicengka m oleh kegelisahan yang semakin me muncak, Semakin rendah matahari, hati Nyai Demang menjadi sema kin berdebar-debar. Ketika senja turun, maka Nyai Reksatanipun me mpersilahkan Sindangsari mandi dipakiwan di belakang rumah. Ke mudian mereka berdua duduk bercakap-cakap sejenak. Nyai Reksatani berkata "Marilah, lihatlah, bagaimana aku menenun" Sindangsari me ngangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia bertanya "Lalu bagaimana dengan anak-anak, kalau kau berada disini?" "Aku me mpunyai pembantu-pe mbantu. Nanti sebentar aku me mang harus pulang. Aku akan menga mbil anakku yang terkecil. Di mala m hari ia masih sering menanyakan biyungnya" Sindangsari masih mengangguk-angguk ketika ke mudian Nyai Reksatani me mbawanya masuk ke dala m bilik tenunnya. Di sudut bilik itu la mpu minyak telah menyala. Cahayanya yang kemerah-merahan me mbuat ruangan itu serasa menjadi semakin panas. Bayangan yang bergerak-gerak me mantul dari benang-benang yang berwarna tajam yang telah tersusun pada alat tenun Nyai Reksatani. Sejenak kemudian pere mpuan itupun telah duduk pada alat tenunnya. Ketika semuanya telah siap, maka mulailah ia me le mparkan coba, alat untuk melontarkan gulungan benang yang akan menyilang benang-benang yang telah disusun me mbujur.
Dengan sungguh-sungguh Sindangsari me mperhatikan gerak tangan Nyai Reksatani. Dengan me mberikan beberapa petunjuk, tangannya bergerak terus, bahkan kakinya untuk menggerakkan suri dari benang yang me mbujur. Namun tiba-tiba Nyai Reksatani berkata "mBok-ayu, sebentar lagi ia akan datang. Kau akan dapat kese mpatan segala-galanya. Kalau kau me mang tida k mau bertemu lagi dengan anak itu, kau akan mendapat kesempatan untuk mengatakannya, sedangkan kalau kau me merlukan yang la in, aku tidak akan me ncegahnya" "Ah" Sindangsari selalu hanya dapat berdesah. Tetapi dengan demikian tiba-tiba perhatiannya terhadap gerak tangan dan kaki Nyai Reksatani menjadi kabur. Sejenak Sindangsari menjadi bingung. Ia sendiri tidak mengerti apakah sebenarnya yang diinginkannya. Apakah ia ingin me mutuskan semua hubungan, ataukah sebenarnya ia me mang mengharapkannya untuk mengisi kesepian. "Mala m ini aku tahu, kakang Reksatani akan berjaga-jaga di rumah tetangga yang sakit keras. Ia sudah mengatakan kepadaku pagi tadi" Sindangsari menjadi se makin berdebar-debar. Pikirannya menjadi sema kin kalut sehingga ia sama sekali tidak menjawab lagi. "Kita menunggu kedatangannya. Akulah yang me minta kepada kakang Reksatani, agar kami diperkenankan me mperguna kan rumah ini. Rumah yang biasanya hanya dipergukan untuk mengerjakan pekerjaan khusus dan menenun" Dada Sindangsari menjadi sesak. Ia merasa terjebak karenanya. Namun ada juga terbersit sesuatu yang memang diharapkannya.
Namun ke mudian ia mencoba mene mukan seluruh kekuatan yang ada di dala m dirinya. Meskipun tidak terucapkan ia mencoba berkata kepada diri sendiri "Aku adalah Nyai De mang di Kepanda k" Karena Sindangsari tidak menjawab, ma ka Nyai Reksatanipun terdiam pula. Hanya tangan dan kakinya sajalah yang masih bergerak-gerak me mpermainkan alat tenunnya. Sementara langit di luar me njadi se ma kin la ma se ma kin kela m. "Kalau anak itu datang, aku harus segera berlari me mberitahukannya kepada kakang Reksatani" desis Nyai Reksatani. Dan dala m pada itu Ki Reksatanipun telah menyusun rencananya dengan lengkap. Begitu isterinya me mberitahukan kedatangan anak muda itu, ia akan berpacu kepada kaka knya. "Kakang De mang pasti me mpercayai aku" desisnya. Sementara itu, ketika Kademangan Kepandak telah menjadi semakin gelap, seseorang berjalan dengan tergesa-gesa me lintasi jalan persawahan. Sekali-sekali ia tersenyum sendiri. Terngiang kata-kata Ki Reksatani "Jangan sampa i gagal. Bukankah kau tida k pernah gagal me nghadapi pere mpuan yang bagaimanapun juga keras hatinya" Kau harus tetap ada pada perempuan itu sa mpa i kakang De mang datang. Semuanya serahkan kepadaku. Kalian akan sela mat. Tetapi kakang De mang pasti akan me maksa mu kawin dengan perempuan itu" Anak muda yang bernama Puranta itu ke mudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya di dalam hati "Kali ini aku mendapat pekerjaan yang aneh. Biasanya aku me lakukannya sebagai suatu keharusan oleh dorongan dari dalam diriku sendiri. Tetapi ka li ini aku akan mendapatkan kedua-duanya"
Sekali lagi ia tersenyum seorang diri sa mbil me langkah terus. Namun sa ma sekali tida k terbersit suatu prasangka apapun kepada Ki Reksatani. Ia tidak berpikir terla mpau jauh, bahwa Ki Reksatanilah yang akan me mbinasakannya, karena Ki Reksatani sa ma sekali tidak ingin, bahwa rahasia ini pada suatu saat akan bocor dan anak di dalam kandungan Sindangsari itu apabila berkesempatan hidup akan menuntutnya kelak, atau orang-orang lain yang setia kepada Ki De mang. "Jagabaya yang bodoh itu pasti tidak akan dapat diajak berbicara dengan cara apapun. Kalau pada suatu ketika ia mengerti tentang rencana ini, maka tida k ada cara lain, ia harus dihadapi menurut cara yang dipilihnya. Ia pasti akan me mperguna kan ke kerasan" pertimbangan itupun agaknya telah me mpengaruhi keputusannya. Sementara itu Puranta berjalan semakin cepat. Menurut Ki dan Nyai Reksatani, ia harus datang setelah padukuhan menjadi sepi, tetapi jangan sampai lewat tengah mala m. Dala m pada itu, Lamat yang tidak me mpunyai pekerjaan lagi di ruma h, masih saja sela lu dikejar oleh pertanyaan, apakah yang dilakukan oleh Puranta di Kade mangan Kepandak ini. Bukan hanya satu kali ia me lihat anak itu lewat. Dengan demikian kecurigaannyapun menjadi se makin kuat, bahwa Puranta telah mela kukan perbuatan yang terkutuk itu pula, kali ini di Kade mangan Kepanda k. "Apakah peduliku" ia berguma m. Bahkan ke mudian "Kenapa aku me mpersoalkan anak itu, sedang di rumah inipun ada pula seorang anak muda yang melakukan perbuatan serupa?" Lamat mencoba menghilangkan pikiran itu sa mbil berbaring di pe mbaringannya. Tetapi setiap kali wajah anak muda yang bernama Puranta itu selalu saja terbayang.
Lamat terkejut ketika tiba-tiba saja pintu biliknya terdorong keras-keras. Ketika bilik itu terbuka, ia melihat Manguri berdiri di muka pintu dengan wajah yang tegang. "He, kau benar-benar seorang pemalas" tiba-tiba saja ia me mbentak. Lamatpun segera bangkit. Perlahan-lahan ia berdiri dan berjalan mendekati Manguri "Apakah ada sesuatu?" "Ikut a ku" Lamat tida k menyahut. Iapun kemudian berjalan me ngikuti Manguri keluar biliknya dan pergi ke regol ha la man. "La mat, ada kerja yang harus kita la kukan" "Apa?" "Kau pernah melihat anak muda yang bernama Puranta itu?" Hati La mat menjadi berdebar-debar. Sambil mengangguk ia menjawab "Ya. Aku pernah melihatnya" "Ia kini berkeliaran di Kademangan ini" berkata Manguri. Lamat menarik nafas dalam-dala m. Tetapi ia masih be lum menjawab. "Kau tahu apa yang ia lakukan di sini?" Lamat me nggelengkan kepalanya. "Bodoh kau. Kau pasti harus mengetahuinya" "Tetapi aku tidak tahu apa yang dilakukannya. "Kita sudah mengenalnya. Jadi kita dapat memastikan, bahwa ia sudah mula i meraba Kade mangan ini dengan tangannya yang kotor itu" Lamat mengangguk-anggukkan kepalanya "Ya, itu suatu dugaan" "Bukan sekedar dugaan. Aku dapat me mastikan"
"Sebaiknya, jangan pedulikan anak itu. Dengan de mikian kau hanya akan menambah lawan. Biar sajalah ia mela kukan apa saja yang dikehendakinya" "Aku tidak menolak cara apapun yang akan dilakukannya. Tetapi kalau laki-laki itu adalah anak muda yang bernama Puranta, aku sama seka li tidak akan dapat menerima " "O, jadi kita akan menutup mata" Dan kita akan me mbiarkan perbuatan terkutuk itu terjadi di Kade mangan ini?" Manguri berhenti sejenak sedang nafasnya tiba-tiba me mburu "a ku tida k rela. Atau barangkali kau ingin mengatakan, bahwa akupun sering me lakukan hal yang serupa seperti juga ayahku" Baiklah, jika de mikian apa yang dilakukan di Kepandak adalah suatu penghinaan bagiku, seolah-olah di Kepanda k tidak ada seorang laki-lakipun" Lamat mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun ia berdesah di dala m hati. "Marilah kita pergi ke sawah. Aku pernah melihatnya lewat di jalan itu, melintasi bulak di sebelah sawah kita" "Tetapi tentu di siang hari" "Tida k. Kadang-kadang di mala m hari" Lamat me nggeleng-gelengkan kepalanya "Ia lewat di saatsaat yang tidak kita mengerti" Manguri mengerut kan keningnya. Namun ke mudian ia berbisik "La mat, aku menghubungkan kehadirannya dengan ceritera ibu" Lamat mula i tertarik. "Menurut ibu, yang selalu aku desak, agar ibu dapat menga mbil langkah sesuatu untuk menga mbili Sindangsari dari sisi Ki De mang, usaha itu me mang sudah dilakukan. Lakilaki yang sering datang itu mengatakan, bahwa ia sedang berusaha me misahkan Sindangsari dari sua minya. Ia telah
berusaha dengan mengungkat perasaan cemburu. Seorang anak muda telah dipanggilnya untuk mengganggu ketenangan rumah tangga Ki De mang" Terasa dada Lamat berdesir taja m, meskipun wajahnya sama seka li tidak berkesan sesuatu. "Aku tidak menolak cara apapun yang akan dilakukannya. Tetapi kalau laki-laki itu adalah anak muda yang bernama Puranta, aku sama seka li tidak akan dapat menerima " Dada Lamat menjadi sema kin berdebar-debar. Dan Manguri berkata seterusnya "Mala m ini rencana itu akan dilakukan. Semuanya sudah teratur" "Apa yang akan terjadi ma la m ini?" "Aku tidak tahu pasti. Tetapi kalau benar kata ibu, bahwa anak itulah yang akan dijadikannya alat, maka untuk selamanya Sindangsari tida k akan terlepas dari tangannya. Aku tidak akan dapat mengharapkan apa-apa lagi selain kekecewaan yang me mbara" "Apakah itu bukan sekedar perasaan cemburu dan katakanlah semaca m persaingan yang mengendap di dala m dada dan tiba-tiba saja kini terangkat?" "Aku tidak tahu pasti. Mungkin juga de mikian. Tetapi aku menghubungkan ceritera ibu itu dengan kehadiran anak muda itu di Kade mangan ini. Aku sudah pernah me lihat seka li lewat di bulak. Untung aku masih se mpat mengendalikan diri. Hampir saja a ku menyergapnya" "Itu tidak menguntungkan sa ma sekali. Kalau ka lian berkelahi di tengah sawah, dan anak-anak muda Ge mulung me lihat perkelahian itu, na ma mu akan menjadi se ma kin dijauhi, karena pasti satu dua orang anak muda Ge mulung pernah juga mengenal Puranta"
Manguri mengangguk-anggukkan kepalanya "Kau benar. Tetapi sekarang, marilah kita lihat, apakah laki-la ki itu benarbenar akan lewat" Lamat menarik nafas dalam-da la m. Kalau anak itu lewat, maka persoalannya pasti akan berkepanjangan. Tetapi ia tidak dapat menolak ketika se kali Manguri berkata "Berpaka ianlah. Kita pergi" Keduanyapun ke mudian berjalan dengan tergesa-gesa meninggalkan padukuhan mereka, pergi ke persawahan. Mereka sa ma sekali tida k menghiraukan lagi air parit yang menjadi sema kin susut karena musim kering yang berkepanjangan. "Aku tida k dapat menerima keka lahan ini" desis Manguri. "Kenapa ini kau anggap sebagai ke kalahan?" "Apakah yang aku dapat adalah hasil usaha Puranta. Tetapi aku kira aku justru tidak akan mendapatkan apa-apa lagi. Karena itu, usaha dengan cara ini harus di hentikan" Lamat tidak menyahut. Dipandanginya jalur jalan yang me mbujur me mbe lah bulak yang menjadi se ma kin ke la m. Selagi keringat mereka masih me mbasah di punggung, darah mereka serasa semakin cepat mengalir ketika mereka me lihat seseorang yang berjalan semakin la ma se makin dekat. Sambil mengga mit Manguri, La matpun beringsut, dan berlindung di balik dedaunan. "Benar setan itu" desis Manguri. Hampir saja ia meloncat, tetapi Lamat telah menahannya. Sejenak mereka menahan nafas ketika Puranta berjalan cepat melintas di hadapan mereka. "Kenapa kau menahanku" bisik Manguri ketika Puranta telah me mbelakanginya.
"Jangan tergesa-gesa. Kita belum pasti, bahwa ada hubungan antara anak itu dengan rencana seperti yang dikatakan ibumu" "Aku yakin. Tidak ada orang lain. Apalagi kali ini ia mendapat bantuan dari orang dalam. Sedang tanpa orang lainpun ia sanggup mela kukannya. Ia mengetahui benar, bahwa Sindangsari tidak mencintai Ki De mang di Kepandak" "Tetapi itu belum merupakan kesimpulan. Kalau Sindangsari tidak mencintai Ki De mang, itu bukan berarti bahwa Sindangsari akan dengan mudahnya tergelincir. Kau tahu, betapa kuatnya hati gadis itu bahwa sebelum ia terikat oleh Pa mot" Manguri mengerutkan keningnya. Memang apa dikatakan oleh La mat itu dapat dimengertinya. yang
Meskipun demikian, ia masih tetap merasa curiga atas kehadiran Puranta itu di Kademangan Kepandak, apalagi setelah ia mendengar rencana laki-laki yang sering mengunjungi ibunya itu. Sebenarnya, Lamat sendiri telah dicengka m oleh kecurigaan pula. Jalan pikiran Manguri dapat di mengertinya pula. Tidak ada orang la in yang lebih baik untuk mela kukan pekerjaan itu selain Puranta, atau Manguri sendiri. Tetapi di dalam ha l ini, tentu Manguri tidak akan dapat melakukannya sendiri. "La mat" berkata Manguri "bagaimanapun juga aku tetap mencurigainya. Karena itu, aku akan menyusulnya, melihat apa yang dikerjakannya di Kepandak" "Jangan kau" berkata Lamat "kau sudah dikenalnya dengan baik" "Maksudmu?" "Biarlah aku yang pergi mengikutinya"
"Kau kira ana k itu tidak akan segera mengena lmu?" "Aku akan berusaha. Sedang masalah yang mungkin dapat timbul t idak a kan segera menodai na ma keluarga mu apabila seseorang melihatnya. Apalagi di dala m hal ini menyangkut nama Sindangsari" Manguri berpikir sejenak. Namun La mat mendesaknya "Mumpung anak itu masih be lum terla mpau jauh. Apakah aku diperbolehkan menyusul?" Manguri tida k se mpat berpikir terlampau la ma. Karena Lamat sudah mulai melangkahkan kakinya, iapun ke mudian berkata "Pergilah. Tetapi hati-hati. Jangan berbuat bodoh, karena kau hanya mampu me mpergunakan tenagamu, tidak otakmu" Lamat berpaling sambil mengangguk "Aku akan mencoba" jawabnya. Sejenak ke mudian La matpun telah hilang di gelapnya ma la m yang menjadi se makin kela m. dala m
Sementara itu Puranta berjalan semakin la ma se makin cepat. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa seseorang telah mengikutinya. Ia sudah tahu pasti, kemana ia harus pergi. Ia tidak perlu singgah lagi ke rumah Ki Reksatani. Tetapi ia akan langsung pergi ke rumah yang hanya berjarak beberapa patok saja dari rumah Ki Reksatani itu. Kecurigaan La matpun sema kin la ma menjadi se makin besar, ketika ia mulai menduga, bahwa Puranta telah pergi ke jurusan yang mendebarkan. Puranta telah pergi ke padukuhan tempat tinggal Ki Reksatani. "Apakah benar yang dikatakan oleh Manguri?" desisnya. Dengan demikian, semakin dekat mereka dengan padukuhan tempat tinggal Ki Reksatani. Lamatpun menjadi semakin yakin, bahwa orang yang dimaksud oleh ibu Manguri adalah Puranta itu.
Sekali La mat menarik nafas dala m-dala m. Ia me lihat suatu permainan yang keji. Sebenarnyalah bahwa Lamat bukanlah orang yang terlampau dungu. Berdasarkan atas beberapa kenyataan, iapun menarik suatu kesimpulan, bahwa Ki Reksatani me mang telah me mbuat suatu rencana yang sangat baik baginya. Ia akan dapat me menuhi keinginan ibu Manguri, na mun sekaligus menyingkirkan isteri Ki De mang yang sudah mulai mengandung itu, sehingga Ki Demang tidak akan mendapat keturunan yang akan dapat menerima pelimpahan jabatannya. "Tetapi apakah Ki De mang mengetahui hubungan yang sudah terlampau jauh antara isterinya itu dengan Pamot?" ia bertanya kepada diri sendiri. "Namun bagi Ki Reksatani, siapapun yang ada di dalam kandungan Sindangsari, pasti akan menjadi ha mbatan baginya dan keturunannya" desisnya ke mudian. Akhirnya Lamat tidak sangsi lagi, bahwa demikianlah yang terjadi. Puranta itu adalah laki-laki yang dikatakan, sebagai alat untuk mengungkat kece mburuan Ki De mang. "Pasti ada sesuatu yang akan terjadi mala m ini seperti yang dikatakan oleh Manguri" berkata Lamat di da la m hatinya "tetapi dala m bentuk apakah sesuatu yang terjadi itu?" Lamat sendiri tidak dapat me mbayangkan, apa yang akan terjadi. Tetapi dengan demikian maka niatnya untuk mengetahui ke mana anak itu pergi menjadi se makin besar. Dengan hati-hati La mat mengikutinya terus. Sekali-sekali ia terpaksa berjongkok me lekat gerumbul di pinggir-pinggir jalan, atau pagar-pagar pategalan, kalau tiba-tiba saja Puranta berhenti sejenak. Dada Lamat menjadi se ma kin berdebar-debar ketika merekapun ke mudian me masuki padukuhan tempat tinggal Ki Reksatani.
"Anak itu pasti akan menemui Ki Reksatani untuk menerima petunjuk-petunjuknya "ia berguma m kepada diri sendiri. Tetapi Lamat mengerutkan keningnya ketika Puranta itu berhenti di sebuah regol halaman rumah yang lain. Bukan rumah Ki Reksatani "He, apa yang akan dilakukan oleh anak itu?" La mat mende kat dengan tergesa-gesa ketika Puranta kemudian hilang di ba lik regol. Dengan hati-hati La mat mengint ip ke hala man. Ia masih me lihat Puranta mende kati pintu. "Aku harus me ndekat" desisnya. Tetapi La mat tidak berani me lintasi ha la man supaya Puranta tidak melihatnya. Karena itu, ketika Puranta lagi asyik mengetuk pintu, Lamat me loncat pagar batu samping dan dengan hati-hati mendekati rumah itu. Ia menahan nafasnya ketika dari da la m rumah itu ia mendengar seseorang berkata "O, kau akhirnya datang juga. Marilah, masuklah. Lamat berdiri me lekat dinding rumah itu ketika pintu ke mudian berderit. Ia berusaha mene mukan sebuah lubang yang dapat dipergunakannya untuk mengintip ke dala m. Tetapi ia t idak berhasil. "Siapakah perempuan itu?" Ia bertanya kepada diri sendiri. Namun debar jantungnya serasa menjadi se makin menghentak-hentak dadanya ketika ia mendengar Puranta itu berkata "O, kau sudah ada disini pula Sari" Sejenak tidak terdengar jawaban, sementara nafas La mat menjadi se makin sesak. "Sindangsari itu sudah ada disini. Apakah benar begitu mudahnya Sindangsari terperosok ke dala m keadaan ini" berbagai pertanyaan telah menghentak-hentak dada Lamat. Ia
mencoba untuk mengerti, betapa kekecewaan telah melanda hati perempuan muda itu pada saat ia ditinggalkan oleh Pamot, ke mudian kawin dengan Ki De mang di Kepandak yang umurnya jauh lebih tua dari padanya. Apalagi La mat sendiri menyangsikan ke mungkinan Ki De mang untuk masih mendapatkan anak lagi, karena sudah lima kali ia j kawin tidak seorang dari isteri-isterinya yang pernah mengandung. "Sindangsari mengandung oleh benih yang didapatkannya dari Pa mot" katanya di dala m hati. Dala m pada itu hatinya masih tetap bergejolak. Ia tidak dapat menerima kenyataan kehidupan Sindangsari itu sebagai alasan untuk berbuat de mikian tercela. Ia menahan nafas pula ketika ia mendengar seorang perempuan berkata "Ia sudah menunggumu sejak senja" "Tida k" sahut suara yang lain. Dan Lamat segera mengenal suara itu. Suara Sindangsari. "O, kenapa pertama. tidak" bertanya suara perempuan yang
"Aku datang untuk me menuhi undanganmu" sahut Sindangsari "bukan dengan ma ksud yang lain. Kalian Ki Reksatani dan kau tidak me maksa aku bermala m di rumah ini, aku tidak akan datang" Yang terdengar adalah suara tertawa perempuan yang lain yang menurut dugaan La mat orang itu pastilah Nyai Reksatani. Dan dugaan itu ternyata tidak keliru. "Tetapi kenapa di rumah ini" bertanya Lamat di dala m hatinya. Demikianlah keinginannya untuk dapat mengint ip isi rumah itu menjadi se ma kin besar, sehingga akhirnya ia bergeser mende kati pintu. Usahanya ternyata dapat berhasil. Dari daun pintu yang tidak tertutup rapat, ia me mang dapat me lihat, siapa saja yang berada di pringgitan.
Anak muda yang bernama Puranta, Nyai Reksatani dan Sindangsari yang telah ke luar dari dala m bilik tenun, dan duduk sa mbil menundukkan kepalanya. "Jangan begitu mBok-ayu" berkata Nyai Reksatani "ia sudah datang di mala m yang gelap ini. Kenapa tiba-tiba saja kau bersikap begitu?" "Ah" desis Sindangsari. Tetapi ia tidak dapat me lanjutkan kata-katanya. "Sari" berkata Puranta "kese mpatan untuk bertemu dengan kau selalu aku tunggu-tunggu. Ka li ini kesempatan itu aku peroleh. Jangan terlampau kaku. Bukankah aku tidak berbuat apa-apa di sini?" Sindangsari t idak me nyahut. "Aku datang sekedar untuk me mandang wajahmu. Hanya me mandang saja. Sorot matamu dan apalagi apabila sekalisekali kau tersenyum, me mberikan sesuatu yang terasa asing di dala m hatiku. Aku tidak dapat mengatakan Sari. Perasaan apakah itu sebenarnya" Sindangsari sa ma sekali tidak dapat menjawab. Nafasnya serasa menjadi sesak oleh perasaan yang tidak menentu. Sejak Pamot meningga lkannya, ia tidak pernah mendengar kata-kata serupa itu. Ketika tanpa sesadarnya ia mengangkat wajahnya dan menatap mata Puranta, dadanya berdesir tajam. Seakan-akan hatinya telah terbentur oleh sorot mata yang langsung mere mukkan perasaannya, sehingga dengan tergesa-gesa ia me le mparkan tatapan matanya keatas anyaman tikar alas duduknya. Puranta yang me mpunyai pengala man yang hampir lengkap tentang sifat-sifat perempuan segera mene mukan suatu kele mahan pada Sindangsari yang hidupnya terlampau gersang itu. Sambil tersenyum ia beringsut maju tanpa
menghiraukan lagi Nyai Reksatani yang masih juga duduk, disitu "Aku me lihat sesuatu yang la in pada mu Sari. Ka lau kau ini sebuah telaga yang berair sejernih batu permata, maka kau adalah telaga yang terbentang di padang yang kering dan gersang, tanpa sehelai daunpun yang melindungimu. Dengan demikian se makin la ma airmu akan menjadi se makin susut sebelum dinikmati oleh para perantau yang kehausan dan kepanasan" Tubuh Sindangsari seakan akan telah me mbeku. Ia sa ma sekali tidak kuasa berbuat apapun juga. Bahkan ia sudah tidak kuasa lagi untuk beringsut dari te mpatnya ketika Puranta duduk se ma kin dekat. Nyai Reksatani sama sekali tidak mengganggunya. Dibiarkannya saja semua itu terjadi di hadapan hidungnya. Apabila datang waktu yang tepat, dan ia yakin bahwa hal yang dihadapkannya itu dapat terjadi, ia harus berlari pulang dan me mberitahukannya kepada suaminya yang pasti sudah menyediakan seekor kuda. "Sindangsari" suara Puranta menurun "kenapa kau dia m saja?" Sindangsari yang seakan-akan telah kehilangan dirinya sendiri itu hanya dapat menundukkan kepalanya dalam-dala m. Bahkan ke mudian tumbuhlah pengakuan di dala m hatinya, bahwa hidupnya selama ini adalah gersang. Bagai telaga yang ada di padang yang kering. Semakin la ma akan menjadi semakin susut airnya tanpa arti. Sudah kira-kira setengah tahun ia berada di rumah Ki De mang. Bahkan kandungannya itu sudah ha mpir wa ktunya di sela mati pada bulan ke tujuh. Namun ia sa ma sekali belum pernah merasa bahwa ia adalah seorang isteri dari seorang sua mi. Yang sela ma ini terjadi di rumah Kade mangan, seakan-akan hanyalah sekedar hidup bersama-sama dengan Ki De mang di Kepandak. Bahkan mirip dengan seorang ke manakan yang
me layani pa mannya, minum.
sekedar menyediakan ma kan dan "Sindangsari" terdengar suara Puranta langsung menyentuh dinding hatinya "kenapa kau dia m saja?" Sindangsari benar-benar tida k kuasa untuk menolak cengka man perasaan yang semakin kuat. Bahkan ketika Puranta duduk se ma kin dekat. Terasa pakaian anak muda itu telah mulai menyentuh ujung ka in panjangnya yang berjuntai di bawah lututnya. Dan ternyata sentuhan itu seakan-akan mera mbat lewat saluran darahnya menggetarkan seluruh urat nadinya. Lamat yang berdiri di luar pintu mengintip dengan dada yang berdebar-debar. Apakah yang akan terjadi ke mudian" Hampir saja ia menghentakkan tangannya dan meninggalkan tempat itu ketika terbersit kata-kata di dalam hati "Persetan perempuan gila itu. Aku kira ia jatuh ke dala m noda yang paling kotor bersama dengan Pa mot karena ia terseret oleh cintanya yang tulus. Tetapi ka lau seka li lagi ia menyerahkan dirinya kepada setan itu, aku tidak perlu me mpedulikannya lagi. Ia tidak lebih dari seorang pere mpuan yang lemah. Terla mpau le mah dan bahkan mungkin ia me mang seorang perempuan yang berhati binal, meskipun secara lahiriah ia adalah seorang perempuan yang luruh. Disinilah letak teka-teki ala m yang tidak mudah terpecahkan. Orang-orang biasanya menilai seseorang dari bentuk dan ujud lahiriahnya" Tetapi sebelum hal itu terjadi, sebelum La mat meninggalkan te mpatnya, ia mendengar suara Nyai Reksatani "Ah, sebaiknya aku pergi. Aku tidak boleh mengganggu kalian. Aku akan menyiapkan makan dan minuma n kalian, sementara kalian dapat berbuat apa saja disini. Aku berkata sejujurjujurnya. Aku akan senang sekali kalau tamuku mendapatkan kesenangan dan kegembiraan yang setinggi-tingginya di rumah ini.
Sejenak Puranta dan Sindangsari terdia m. Mereka hanya me mandang saja wajah Nyai Reksatani yang ke merahmerahan. "Duduklah kalian berdua. Aku akan merebus air" Lalu kepada Sindangsari ia berkata "mBok-ayu, kalau kau ingin belajar menenun, belajarlah. Puranta pandai juga mengajarimu. Silahkan me mperguna kan alat tenunku di dalam bilik itu" Tanpa sesadarnya Sindangsari berpaling ke pintu bilik yang masih terbuka. Di pandanginya sebuah alat tenun yang ada diatas sebuah amben yang besar, terlalu besar untuk se kedar tempat alat tenun itu saja. "Marilah" desis Puranta "aku ajari kau menenun Jangan kau sangka bahwa aku kalah ce katan me mpermainkan coba dari Nyai Reksatani" "Silahkan mBok-ayu, silahkan" "Marilah Sindangsari" Suara itu rasa-rasanya berputaran di kepalanya sehingga sejenak ia me meja mkan matanya. Dicobanya untuk mencernakan apa yang sedang didengarnya. "Sari" suara Puranta tiba-tiba terlampau de kat di telinganya. "Silahkan mBok-ayu" Sindangsari mencoba sekali lagi. Dipusatkannya segenap perhatiannya kepada dirinya yang sedang diombangambingkan oleh ketida k tentuan yang tidak di mengertinya itu. Dengan sepenuh ke kuatannya ia mencoba melihat apa yang sebenarnya telah terjadi. "Kenapa kau dia m saja mBok-ayu. Marilah, berdirilah" Sindangsari merasa Nyai Reksatani menarik tangannya, dan ketika ia sudah berdiri perempuan itu telah me mbimbingnya. saja telah berdesing
Di sa mpingnya berdiri Puranta dengan nafas yang terengahengah. "Jangan ragu-ragu. Jangan ragu-ragu" berkata laki-la ki itu. Namun tiba-tiba Sindangsari mene mukan sesuatu di dala m dirinya. Ia tertegun ketika di kejauhan terdengar suara kentongan di gardu perondan. Suara kentongan dala m nada dara-muluk. Se makin la ma se ma kin t inggi, se makin tinggi. Rasa-rasanya suara itu telah menghentak-hentak dinding jantungnya. Sindangsari tida k tahu, apa yang sebenarnya telah me ma ksanya untuk melangkah maju setapak lagi. Kali ini bukan saja Nyai Reksatani yang membimbingnya, tetapi terasa tangan Puranta telah meraba punda knya. Ketika suara kentongan itu sampai ke puncak ira manya, terbayanglah beberapa orang anak-anak muda yang duduk terkantukkantuk di gardu perondan itu. Dan tiba-tiba saja Sindangsari menutup wajahnya yang menjadi ke merah-merahan. Sekilas terbayang wajah Pamot diantara para peronda yang berkerudung kain panjang di mala m yang dingin. "Sari" terdengar suara Puranta berdesis. Dekat sekali di sisi telinganya. Bahkan kemudian sekali lagi. Wajah anak muda itu telah menyentuh daun telinganya "Sari" Tiba-tiba saja Sindangsari menghentakkan dirinya. "Jangan, jangan" Puranta dan Nyai Reksatani terkejut. Mereka t idak menyangka bahwa tiba-tiba saja Sindangsari melangkah surut. Dengan mata yang merah dan wajah yang tegang ditatapnya wajah Nyai Reksatani dan Puranta berganti-ganti. Sejenak ke mudian terdengar suaranya gemetar "Apa yang akan kalian lakukan atasku?" Nyai Reksatanipun menjadi tegang sejenak. Wajahnya me mbayangkan kece masan yang luar biasa.
Seakan akan rahasianya telah dapat terbongkar pada saat itu juga. Namun tiba-tiba ia mendengar Puranta tertawa. Perlahanlahan sekali Katanya "Kenapa kau seperti orang yang ketakutan melihat hantu di sawah. Kami hanya mencoba menunjukkan kepada mu, bagaimana kah cara menenun yang paling ba ik. Kalau kau bersedia, marilah. Kalau tidak, silahkan duduk ke mba li. Karena itu, sebaiknya kau menjawab setiap pertanyaan kami, sehingga kami tahu, apakah yang sebenarnya kau kehendaki. Menilik tanggapan wajahmu kau benar-benar ingin me mpe lajari cara bagaimana kita dapat menghasilkan kain tenun yang sebaik-baiknya. Dan aku dapat menunjukkan cara itu" Sindangsari berdiri me mbeku di te mpatnya. Ia seolah-olah telah dilanda oleh kebingungan yang sangat, sehingga ia tidak mengerti lagi apa yang sebaiknya dila kukan. "Ah, mungkin kau tertidur mBok-ayu, sehingga kau bermimpi buruk. Duduklah. Aku a kan menyediakan air panas. Mungkin kau a kan segera sadar, apa yang sebenarnya kau hadapi" "Aku tidak akan pergi. Aku hanya akan merebus air di dapur" "Aku akan mela kukannya. Duduklah. Akulah yang akan merebus a ir" "Ah, kenapa kau selalu berkata begitu?" bertanya Nyai Reksatani. "Biarlah. Te muilah ta mumu" "Jangan menjadi bingung mBok-ayu. Agaknya kau benarbenar telah mengantuk. Karena itu, duduklah sebentar, aku akan merebus air. Atau, barangkali kau a kan tidur sejenak?" "Ya" bertanya Puranta pula. Sindangsari tida k menjawab.
"Baiklah, durlah sejenak. Kau akan menjadi segar ke mbali. Marilah, masuklah ke dala m bilik itu" "Atau aku harus menunjukkan te mpatnya" desis Puranta. Dada Lamat seakan-akan telah bergejolak dahsyat sekali, sehingga hampir saja ia tidak dapat menahan diri. kini ia sadar, bahwa Sindangsari sedang di dala m suatu perjuangan. Ia sedang berjuang untuk me mpertahankan dirinya sebagai seorang perempuan yang setia kepada keadaannya. Ia adalah seorang isteri. Apapun yang terjadi atasnya, Namun de mikian La mat sempat juga bertanya kepada diri sendiri "Apakah sebenarnya yang dikehendakinya" Kalau ia berjuang atas dasar kesetiaan yang seharusnya dilakukan oleh seorang isteri tanpa dorongan dari dalam dirinya, maka ia adalah seorang yang hanya pandai berpura-pura" Tetapi La mat terkejut ketika Sindangsari itu ke mudian mundur selangkah sa mbil berguma m "Nyai, jangan seret aku ke dala m keadaan yang akan menyiksa ku. Kalau Nyai dapat me lakukannya tanpa menumbuhkan beban apapun pada diri Nyai, lakukanlah. Aku tidak akan berkhianat. Tetapi aku tidak dapat Nyai. Bukan karena aku seorang perempuan yang bersih, atau berpura-pura bersih dan mencoba menekan nafsu di dala m diri. Tidak. Tetapi segala perbuatan yang hanya akan mena mbah beban siksaan batinku yang sela ma ini serasa telah mengoyak-menyayat hati, sebaiknya aku tidak me lakukannya" Nyai Reksatani menjadi sema kin tegang. Tetapi kini ia sadar, bahwa Sindangsari masih belum tahu benar peranan yang dilakukannya. Karena itu, iapun justru tertawa sambil berkata "Me mang mBok-ayu. Untuk pertama kali rasa-rasanya kita selalu disiksa oleh perasaan kita. Kita kadang-kadang merasa menyesal dan dikejar-kejar oleh kece masan. Tetapi, kalau kesepian itu mence kik kita kembali, maka terulanglah hal yang serupa. Semakin la ma hal itu akan terasa menjadi suatu kebiasaan"
Tubuh Sindangsari serasa menggigil seperti orang kedinginan. Dala m keadaan itu, justru bayangan Ki De mang seakan-akan muncul dia mbang pintu sambil menunjuk wajahnya. Namun bayangan itupun ke mudian lenyap tertutup oleh bayangan yang lain. Bayangan seorang anak muda yang dicintai dengan sepenuh hatinya. Perlahan-lahan ia mendengar suara dari dasar hatinya "Jangan kau khianati sua mimu. Ia a kan dapat me mbunuhmu. Dan jangan pula kau khianati cinta mu. inta yang kau anggap sebagai cinta yang tulus" Demikianlah ma ka di saat terakhir itu, Sindangsari justru mene mukan kekuatannya kembali, sebagai seorang isteri dan sebagai seorang perempuan yang menda mba kan cintanya kepada seorang laki-la ki. "mBok-ayu" terdengar kemudian suara Nyai Reksatani "apakah kau mengerti?" Sindangsari t idak me nyahut. "Kau salah sangka Sari" berkata Puranta ke mudian dala m nada yang dalam "se muanya terserah kepadamu sendiri. Tetapi sebaiknya kau jujur terhadapmu sendiri. Aku akan menolongmu. Bukan se kedar mengisi kekosongan seperti yang kau bayangkan. Tetapi juga dala m hal-ha l yang lain, belajar menenun misalnya" Bukankah begitu?" Sindangsari masih berdia m diri. Sebenarnya Lamat sendiri telah dicengka m oleh kecurigaan pula. Jalan pikiran Manguri dapat di mengertinya pula. Tidak ada orang lain yang lebih baik untuk me lakukan pekerjaan itu selain Puranta, atau Manguri sendiri. "Atau kau terlampau pening" Kenapa kau tidak menyuruhku me mijit keningmu, supaya perasaan sakitmu itu berkurang?" Sindangsari masih belum menjawab.
Puranta yang melihat ke le mahan telah mera mbati hati Sindangsari ke mbali, merasa mendapat kese mpatan baru. Karena itu ia berkata seperti kepada anak-anak yang sedang merengek "Marilah Sari. Kau agaknya sedang sakit. Biarlah aku mencoba mengobatinya" Lamat yang berdiri di luar pintu tidak dapat menahan hatinya lagi. Ia sadar, bahwa Puranta adalah iblis yang paling licik. Setelah ia mendengar pengakuan Sindangsari, bahwa sebenarnya ia sama sekali tida k menghendaki apapun terjadi sadarlah La mat, bahwa hampir saja ia sa lah menilai perempuan itu. Ternyata sikap Sindangsari adalah sikap yang matang, meskipun sebagai seorang gadis yang hidup di dala m ketidak tentuan, ia masih juga dilanda oleh kele mahankele mahan perasaan. Karena itu, maka ia berkata di dala m hatinya "Apapun yang akan terjadi, aku harus menyela matkannya" Demikianlah, ketika Puranta berusaha sekali lagi me mbujuk Sindangsari, bahwa kemudian me mbimbingnya melangkah, tiba-tiba seisi rumah itu telah dikejut kan oleh suara orang tertawa tertahan-tahan di balik dinding. Puranta dengan serta merta melepaskan Sindangsari. Sejenak ia berdiri tegak untuk mencoba menangkap suara yang seakan-akan telah me mbekukan darahnya itu. "Ki Reksatani" ia berdesis. "Tentu bukan" Nyai Reksatani menyahut. Selangkah demi selangkah Puranta maju mendekati pintu diikuti oleh Nyai Reksatani. Sedang Sindangsari berdiri dengan tubuh yang sema kin ge metar. "Bagaimana dengan Ki Reksatani" Puranta berbisik. "Ia menunggu aku. Begitu kau berhasil, aku akan me mberitahukan kepadanya. Ia pasti sudah siap dengan kudanya sekarang, dan bahkan pasti sudah menunggu aku"
"Siapa yang tertawa di luar?" Nyai Reksatani menggelengkan kepalanya. Dalam pada itu suara tertawa itupun terdengar lagi. Perlahan-lahan dan tertahan-tahan. Puranta yang berdarah muda itupun tida k sabar lagi menunggu. Segera ia menyingsingkan kain panjangnya, dan disangkutkannya pada ikat pinggangnya. Ia merasa bahwa sesuatu yang tidak wajar telah terjadi. Dengan hati-hati ia me mutar keris yang terselip dipunggungnya ke sa mping. Perlahan-lahan dengan penuh kewaspadaan. Ia melangkah ke pintu. Ia tertegun sejenak ketika ia mendengar suara tertawa itu ke mbali. Tidak terla mpau jauh. Di muka pintu Puranta berdiri dengan tegangnya. Kemudian perlahan-lahan ia menyapa "Siapa di luar?" Suara tertawa itupun terputus. Dan ma la mpun me njadi hening ke mbali. Hanya desah nafas Sindangsari yang menggigil terdengar berkejar-kejaran lewat lubang hidungnya. Puranta menunggu sejenak. Tetapi masih tidak terdengar jawaban. "Siapa di luar" ia mengulang. Tetapi masih juga tida k ada jawaban. Puranta benar-benar tidak sabar lagi. Dipusatkan pendengarannya untuk menangkap desah nafas seseorang di luar. Ternyata ia tidak mendengar sesuatu di belakang pintu. Karena itu, maka dengan hati-hati ia meraba daun pintu lereg. Sejenak ia dia m. Sekali lagi ia me ncoba menangkap setiap bunyi. Ketika ia yakin bahwa di luar pintu pringgitan itu tidak terdapat seseorang yang berdiri melekat daun pintunya, maka dengan serta-merta ia menyentakkan daun pintu lereg itu. Sejenak ke mudian ia sudah me loncat an berdiri di luar pintu.
Puranta berdiri dengan tegangnya. Tetapi matanya vang tajam masih menangkap bayangan seseorang yang menghilang di balik dedaunan di hala man. "He siapa kau?" bertanya Puranta, meskipun ia tidak berteriak terlalu keras, supaya tetangga-tetangga sebelah menyebelah tida k terbangun karenanya. Sejenak ia me nunggu. Tetapi sa ma sekali t idak ada jawaban. Puranta menjadi se makin berdebar-debar. Jelas bahwa orang itu pasti bukan Ki Reksatani ia pasti tidak akan me mbuat pertanda yang aneh-aneh dan menyingkir ketika ia keluar dari rumah itu. Apalagi usahanya untuk menerka m Sindangsari justru ha mpir berhasil. "Siapa kau" Puranta mengulangi. Meskipun ia menunggu lagi, tetapi ia sa ma seikali t idak mendengar jawaban apapun. Puranta menjadi sangat marah karenanya. Usaha yang hampir berhasil itu tiba-tiba telah gagal. Sudah tentu Sindangsari t idak a kan dapat lagi dibujuknya pada mala m ini. Kejutan suara tertawa itu membuat Sindangsari menjadi semakin jauh dari padanya. Dengan gigi ge meretak ia melangkah perlahan-lahan di halaman menuju ke te mpat bayangan itu menghilang. "Apakah justru Ki De mang sendiri?" tiba-tiba Puranta telah diganggu oleh pertanyaan itu. Karena itu maka langkah Purantapun segera terhenti ia berdiri sa mbil termangu-mangu. Kalau bayangan itu Ki Demang di Kepandak, maka itu suatu alamat, bahwa umurnya sudah akan sampai kebatas. Apalagi saat itu Ki Reksatani masih belum hadir.
"Tentu bukan" gera mnya ke mudian "kalau orang itu Ki Demang, maka ia tidak akan dapat menahan hati. Ia pasti akan langsung me mecah pintu dan mence kik aku atau Sindangsari. Atau ia menunggu sejenak, untuk me mbuktikan bahwa isterinya me mang bersalah" Akhirnya Puranta itu menghentakkan kakinya sambil berkata di dala m hati "Persetan. Siapapun orang itu, aku harus menangkapnya. Hidup atau mati" Dengan hati-hati Puranta melangkah maju. Tangannya telah meraba hulu kerisnya. "Siapa kau?" ia berdesis. Tidak ada jawaban. "Siapa kau?" Masih tidak ada jawaban. Selangkah Puranta maju lagi. Kini ia berdiri beberapa langkah saja dari gerumbul itu. Sejenak ia memusatkan perhatiannya, namun sejenak kemudian seakan-akan anak muda itu me lenting ke belakang gerumbul yang gelap itu. Sejenak Puranta berdiri tegak bagaikan patung batu yang beku. Ia melihat seseorang berdiri di dala m bayangan dedaunan yang gelap. Tetapi ia tidak segera dapat mengenalnya. "Siapa kau?" anak muda itu menggera m "dan apakah sebenarnya maksudmu?" Bayangan itu sa ma sekali t idak me njawab. "He, apakah kau bisu atau tuli, atau kau me mang sudah mati me mbeku?" Perlahan-lahan bayangan itu bergerak. Ketika bayangan itu maju selangkah, Purantapun surut melangkah pula. "Apakah maksudmu he" Sebaiknya kau berkata berterus terang. Aku tahu bahwa kau tidak akan lari. Ka lau kau ingin
me larikan diri atau bersembunyi, kau pasti tidak akan me mbuat suara yang sangat menyakit kan hati itu" "Ya" bayangan itu menjawab "aku me mang tidak akan lari" "Siapa kau?" "Apakah kau belum mengenal aku?" Puranta tidak segera menyahut. Dengan tajamnya di pandanginya bayangan itu. Tetapi ia masih juga belum mengenalnya. "Tida k ada gunanya kau mengena l aku, tetapi seandainya kau mengenal, pengaruhnyapun tidak ada sa ma sekali. Tetapi ketahuilah, bahwa aku adalah salah seorang penduduk Kademangan Kepandak" "Apa maksudmu?" "Aku sudah me ngenalmu Mengenal poka l dan kegemaranmu. Karena itu, aku terpaksa mengikuti kau ke mana kau pergi se la ma kau berada di Kade mangan ini" "Apa pedulimu?" "Kalau kau melakukannya di luar Kademangan ini, aku tidak akan menghiraukannya sama seka li. Tetapi kalau kau berbuat sedeng di Kademangan ini, ka mi, seluruh penduduk Kademangan ikut bertanggung jawab. Apalagi kedua perempuan yang ada di rumah in adalah Nyai Demang di Kepandak dan Nyai Reksatani adik Ki De mang di Kepanda k" "Persetan dengan mereka. Apakah salahnya kalau mereka yang me merlukan a ku?" "Aku mendengarkan percakapan mereka. Mungkin Nyai Reksatani tidak lagi menjadi persoalan bagimu, tetapi Nyai Demang di Kepandak, bukan orangnya yang dapat kau bujuk dengan rayuan iblismu itu" "Aku tida k me mbujuknya. Perempuan itu kesepian"
Bayangan di dalam gelap itu tertawa "Kau sangka aku tidak mendengar seluruhnya" Jangan menipu aku. Ki dan Nyai Reksatani yang agaknya sudah jatuh ke tanganmu itu sedang sibuk me mbujuk agar Sindangsaripun terjerumus ke dala m neraka jahanam ini. Mungkin Nyai Reksatani yang kecewa dan menyesal, mencoba mengurangi tekanan perasaannya dengan mengumpankan orang la in. Dengan kawan yang sema kin banyak di dalam neraka, maka panas api neraka akan serasa semakin berkurang. Tetapi itu t idak a kan mungkin. Nyai Demang adalah seorang perempuan yang kuat" "Bohong" "Me mang ta mpaknya kau ha mpir berhasil. Tetapi jangan mimpi. Dan ternyata kau memang tidak akan berhasil. Tanpa akupun kau tida k akan berhasil tanpa me mpergunakan kekerasan" "Omong kosong. Ia sudah menyerah" Bayangan itu tertawa lagi "Kau yang omong kosong. Apakah kita akan me mbuktikan, mene mui Nyai De mang dan bertanya kepadanya?" "Gila. Ia tentu akan ingkar. Betapapun liarnya seorang perempuan, tetapi ia tidak akan dengan begitu saja menga kui keliarannya" "Ternyata kau benar-benar me maha mi perasaan seorang perempuan. Tetapi kali ini kau jangan me mbohongi a ku, karena aku mendengar sendiri kau me mbujuknya" bayangan itu berhenti sejenak, lalu "Tetapi lebih daripada itu, jangan kau sangka bahwa aku tidak tahu latar belakang dari perbuatanmu kali ini. Kau akan mendapat keuntungan rangkap dengan segala perbuatanmu ini. Kau akan mendapatkan Nyai De mang yang masih terlalu muda itu, dan sekaligus kau pasti akan mendapat penghargaan apapun bentuknya dari Ki Reksatani" "Kenapa?"
"Sudahlah. Hal itu sebaiknya tidak usah kita persoalkan sekarang. Aku hanya minta kau me ningga lkan te mpat ini. Urungkan niat mu yang terkutuk itu, karena dengan demikian kau sudah merusak sendi-sendi kehidupan berumah tangga. Dan apalagi bagi Ki De mang di Kepandak. Ki De mang akan merasa kehilangan segala-galanya apabila kau berhasil" "Persetan dengan ocehanmu" "Aku berjanji untuk tetap berdiam diri, kalau kau bersedia mengurungkan niatmu. Tetapi ka lau kela k, pada suatu saat kau akan mengulanginya, maka aku tidak a kan segan-segan me mbuka rahasia ini" "Dia m kau" Puranta tiba-tiba me mbentak. "Sudahlah. Jangan berteriak-teriak supaya me mbangunkan banyak orang" kau tidak
Puranta terdiam sejenak. Ditatapnya bayangan hitam yang berdiri tegak itu. Semakin biasa matanya berada lidala m gelap, maka semakin jelaslah ujud orang yang berdiri di dalam kegelapan itu. "Kau" desis Puranta ke mudian. "Kau mengena l aku?" Puranta tidak segera menjawab. Tetapi ia menjadi sangat gelisah. Agaknya orang ini tahu benar bahwa ia sedang me lakukan tugas yang dibebankan oleh Ki Reksatani. "Orang ini terla mpau berbahaya" desis Puranta "meskipun ia berjanji untuk tetap berdiam diri, na mun pada suatu saat ia akan dapat berkata tentang aku" "Apakah kau setujui tawaranku?" "Apa?" "Kau mengurungkan niat mu dan meninggalkan ma ksudmu untuk menodai Sindangsari buat sela ma-la manya?"
Puranta tidak segera menjawab. Tetapi ia kini seolah-olah telah berdiri di hadapan ujung tombak yang mengarah ke jantungnya. Kalau ia lengah maka ujung tombak itu pasti akan mene mbus dadanya. "Kalau orang itu masih ada, aku tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi di saat-saat mendatang terhadap Nyai Demang di Kepandak. Bukan soal upah yang akan aku lerima. Soalnya Puranta tidak akan pernah gagal. Pertempuran itu sudah terlanjur mengungkat nafasku, yang pasti tidak akan terkendali lagi" Puranta mengerutkan keningnya, lalu "orang ini harus dilenyapkan. Ia akan dapat menjadi rintangan seumur hidupnya. "Aku tidak peduli darimana ia mendengar rahasia tentang maksud ini. Tetapi setiap orang yang mengetahui rahasia ini harus dilenyapkan. Termasuk orang ini" Dengan demikian, maka kini Puranta tidak dapat berbuat lain. Ia tidak saja menolak permintaan orang itu, tetapi orang itulah yang harus dilenyapkan. "Bagaimana?" bertanya bayangan itu "apakah kau sependapat" Aku berjanji, bahwa aku tidak akan me mbuka rahasiamu" Puranta menggeretakkan giginya. Dengan garangnya ia menggera m "Darimana kau tahu rahasia tentang hal ini, meskipun pertanyaan ini bukan berarti bahwa aku telah me mbenarkannya" "Kau tida k perlu tahu darimana aku mendengarnya. Tetapi yang penting, aku mendengar rahasia itu" Sejenak Puranta bergeser maju. Sambil menuding wajah bayangan itu, ia menggera m pula "Aku telah mengenal kau. Kau adalah kawan anak Ge mulung yang berna ma Manguri itu" "Ya. Kalau kau ingin tahu, na maku La mat"
"Ya. Nama mu La mat. Aku ingat sekarang. Kau yang mencegah perkelahian yang hampir saja terjadi antara aku dan Manguri. Sayang kau mencegahnya saat itu. Kalau tidak aku pasti sudah me mbunuhnya" "Bukan sekedar persoalan Manguri. Tetapi kau pernah bertengkar pula dengan ayahnya. "Ya. Ayah Manguri. Setan tua itu" Puranta maju semakin dekat "sekarang kau mau apa" Apakah mereka, Manguri dan ayahnya ada disini juga" Aku bukan Puranta yang dahulu. Aku sekarang pasti sanggup me nghadapi mere ka berdua dan bertiga dengan kau orang bodoh" "Jangan marah-marah. Tawaranku cukup ba ik" "Aku tida k peduli. Sekarang a ku tahu, bahwa sebenarnya kalian sedang dia muk oleh perasaan ce mburu" "Bukan Puranta. Kali ini bukan persoalan Manguri. Tetapi persoalan seluruh Kade mangan Kepandak, karena pere mpuan itu adalah Nyai De mang di Kepandak. Soalnya akan berbeda pula kalau Nyai De mang itu sendirilah yang me mang berniat mengundangmu datang kepadanya. Tetapi kali ini juga tida k" "La mat" suara Puranta tiba-tiba merendah "kini a ku tahu, bahwa kau dan mungkin juga Manguri telah mengetahui rahasia yang masih belum dapat kau buktikan kebenarannya itu. Karena itu, menyesal sekali. Aku tidak me mpunyai cara lain untuk menyela matkan diriku sendiri daripada me lenyapkan kau dan ke mudian Manguri. Adalah kebetulan sekali kalau Manguri itu berada disini pula saat ini" "Jangan berkata begitu. Kau dapat mengambil cara yang semudah-mudahnya tanpa me mbunuh seseorangpun" "Sudah aku katakan, menyesal sekali bahwa kau sudah mencoba untuk menca mpuri persoalanku" Lamat Puranta me narik nafasdalam-da la m. Ditatapnya wajah dalam-dala m, namun se makin la ma ia
me mandanginya, maka tanpa disadarinya, Lamatpun menjadi semakin muak. "Anak ini me ma ng anak iblis" desisnya di da la m hati. "Ayo" geram Puranta "panggil Manguri dan ayahnya sekali. Hadapi aku bersa ma-sama. Jangan seorang demi seorang. Kalian pasti akan menyesal sekali" "Jangan berkata begitu Puranta" berkata Lamat yang masih berusaha menahan diri "kau tida k tahu hubungan yang sebenarnya ada diantara kita. Hubungan yang sangat berbelitbelit. Hubungan antara kau dan Ki Reksatani, antara Ki Reksatani dengan Manguri dan antara kalian berdua dengan Sindangsari. Hubungan itu me mang merupakan hubungan yang kisruh. Karena itu, batalkan niatmu. Apakah itu untuk kepentingan nafsu kela ki-lakianmu yang tidak terkendali, atau nafsu ketamakanmu akan upah yang akan kau terima " "Cukup,cukup" "Masih ada sedikit yang aku katakan. Marilahkita me mbuat janji. Kau batalkan perbuatan ini, kau pulang saja ke rumahmu. Kita masing-masing akan menutup mulut. Aku tidak akan mengatakannya kepada siapapun, kepada Manguripun tidak. Tetapi kau juga t idak usah bercerita tentang aku" "Tida k. Tida k de mikian. Kau me mang a kan menutup untuk seterusnya. Tetapi aku tidak. Kau akan segera mati sedang aku akan segera mendapatkan Nyai Demang di Kepandak. Kalau usahaku dengan me mbujuk dan merayunya gagal oleh pokalmu itu, maka aku akan me mpergunakan kekerasan. Aku tidak peduli. Seandainya Ki De mang marah sekalipun, aku tidak akan takut. Pada dasarnya aku me mang bukan anak Kepandak" Bagaimanapun juga La mat menyabarkan diri, namun terasa jantungnya berdebaran semakin cepat, seperti juga darahnya menga lir se ma kin cepat pula
"Agaknya anak ini me mang tidak akan dapat diajak berbicara" berkata Lamat di dala m hatinya. Dengan demikian maka iapun segera manyiapkan dirinya menghadapi setiap ke mungkinan. Di da la m rumah itu, Sindangsari menjadi bingung. Ia menggigil se makin keras. Kali ini dita mbah lagi dengan ketakutan yang mencengka m. Tetapi bukan saja Sindangsari yang ketakutan, namun Nyai Reksatani menjadi kebingungan juga. Ia tidak tahu apa yang telah terjadi. Agaknya sesuatu yang sama sekali tida k dapat diperhitungkannya sebelumnya. Sehingga dengan demikian untuk sesaat ia kehilangan pegangan apakah yang sebaiknya dilakukannya. Dala m kebingungan itu, ke mudian diingatnya suaminya. Apapun yang akan terjadi, maka cara yang paling baik untuk menyelesaikan masalah ini, harus diserahkannya kepada suaminya. "mBok-ayu" katanya "agaknya sesuatu yang tidak kita kehendaki sudah terjadi. Seseorang dengan sengaja telah mengganggu ketenteraman kita disini" Sindangsari sa ma sekali tida k menyahut. "Karena itu, aku akan mencari Ki Reksatani sejenak. Aku akan mengajaknya ke mari" "Dima nakah Ki Reksatani sekarang?" bertanya Sindangsari. "Tentu di rumah" "Aku ikut" "mBok-ayu tinggal disini sebentar" "Aku takut" Keduanya menjadi ragu-ragu sejenak. "Kalau kau pergi aku ikut pergi bersa ma mu"
"Tetapi" Nyai Reksatani menjadi bimbang. Apa bila ia pergi bersama Sindangsari, ia tidak akan dapat mengatakan keadaan itu seluruhnya. Ia tidak akan dapat menyebut-nyebut nama Puranta. "Aku takut" tangannya. "Tida k" Nyai Reksatani berpikir sejenak. Katanya di dalam hati "Aku dapat berbicara dengan Ki Reksatani di te mpat yang terpisah. Itu akan lebih baik daripada aku tetap berada disini" Karena Sindangsari tidak mau melepaskannya, maka akhirnya Nyai Reksatani berkata "Ba iklah. Marilah, cepat" Keduanyapan kemudian berjalan tergesa-gesa meninggalkan ruangan itu. Tetapi mere ka tidak berani berjalan lewat halaman depan. Karena itu, maka me lalui pintu butulan mereka menerobos hala man be lakang dan keluar me lalui regol sa mping, turun ke sebelah jalan sempit. Dala m pada itu, baik La mat maupun Puranta sudah t idak dapat menahan diri lagi. Apalagi Puranta yang merasa usahanya yang sedang akan berhasil telah terganggu. Karena agaknya lawannya benar-benar menghadapinya tanpa gentar sama sekali, menyerang sepenuh tenaganya. telah siap mula ilah ia Sindangsari justru ma lah berpegangan
"Kau disini. Akulah yang akan pergi"
Tetapi La mat yang benar-benar telah muak melihat wajah Puranta, telah siap pula menghadapinya. Karena itu maka iapun dapat me mperhitungkan serangan yang datang dengan tiba-tiba itu, sehingga dengan tangkasnya, ia berhasil menge lakkan dirinya. Puranta benar-benar telah dibakar oleh nyala di dala m hatinya. Iapun segera menyerang dengan serangan-serangan
beruntun. Tetapi Lamat sama sekali tidak menjadi bingung. Justru serangan-serangan itu telah me mberinya petunjuk, betapa besarnya kekuatan lawannya itu Namun dala m pada itu Lamatpun menyadari, bahwa Puranta bukannya anak-anak yang dapat diabaikannya. Ia me miliki kecepatan bergerak yang mengagumkan, sehingga Lamat berguma m di dala m hatinya "Seandainya Manguri benar-benar berkelahi di tengah sawah, maka ia tidak akan dapat memenangkan perkelahian itu. Puranta benar-benar telah mendapat banyak pengetahuan tentang ilmu bela diri yang cukup rumit" Demikianlah, maka La matpun merasa harus berhati-hati menghadapinya, meskipun La mat sendiri me miliki cukup ke ma mpuan. Kali ini ia berkelahi bukan sekedar untuk kepentingan Manguri, tetapi lebih dari itu. Orang-orang seperti Puranta me mang harus dibuat jera. Namun de mikian se mpat juga terbersit pengakuan di hatinya "Aku benar-benar tidak jujur menghadapi persoalan ini. Aku mencoba untuk mencegah Puranta. Tetapi aku tidak berbuat apa-apa terhadap Manguri" Pikiran itulah yang ke mudian mengendorkannya. Kemarahannya yang semula telah menjalari se luruh darahnya, seakan-akan dengan perlahan-lahan telah menurun ke mbali. Meskipun de mikian ia sa ma seka li t idak ingin mengubah niatnya me mbatalkan perbuatan Puranta, tidak saja kali ini, tetapi untuk seterusnya. Ia harus mendapat jaminan, bahwa Puranta telah menjadi benar-benar menjadi jera. Dengan de mikian, maka La mat masih tetap berhasil menguasai dirinya. Kini ia menjadi se makin tenang dan penglihatannya atas lawannya menjadi se makin bening" Namun agaknya Puranta menjadi salah tangkap. Ia menyangka bahwa La mat me mang sudah mencapa i puncak ke ma mpuannya. Dengan demikian ma ka ia me njadi se ma kin
berbesar hati. Orang yang tinggi besar itu akan segera dapat ditundukkannya dan dibungka mnya untuk sela ma-la manya. "Tetapi ka lau orang ini mati ke mana mayatnya harus aku sembunyikan?" pertanyaan itulah yang tersirat di hatinya. Tetapi Puranta menjadi heran, bahwa serangannya sama sekali masih belum berhasil menyentuh tubuh lawannya. Setiap kali ia gagal. La mat masih saja dapat mengelak dan kadang-kadang menangkis. "Aku harus segera menga khirinya" katanya di dala m hati. Dengan de mikian mata Purantapun ke mudian melepaskan segenap kema mpuan yang ada padanya. Ia bergerak semakin cepat. Tangannya menyerang berpasangan. Bahkan ke mudian seakan-akan menjadi berpuluh-puluh pasang yang me matuk dari segala arah. Bahkan kakinyapun rasa-rasanya menya mbar-nyambar seperti seke lompok ular di dala m sarangnya. Lamat menarik nafas dala m-dala m. Bahkan katanya di dalam hati "Ternyata orang ini me miliki-llmu yang mantap juga" Dengan demikian maka perkelahian itu se makin la ma menjadi se makin sengit. Meskipun de mikian, karena kelincahan kedua belah pihak, maka langkah mereka ha mpirhampir tida k menimbulkan suara dan apa lagi keributan. Keduanya dapat tanpa me mbangunkan seorang tetanggapun. Yang gelisah menunggu pada saat itu adalah Ki Reksatani. Waktu yang ditentukan sudah jauh lewat. Namun isterinya masih belum datang juga me mberitahukan, bahwa Puranta telah berhasil me njerat Sindangsari. "Anak itu me mang agak sulit" katanya untuk menentera mkan hatinya sendiri "tetapi aku yakin, Puranta akan berhasil. Puranta adalah seorang laki-laki yang seolaholah me mpunyai daya mengikat yang tidak terlawan oleh perempuan yang manapun" Sejenak Ki Reksatani dapat menenangkan hatinya. Namun sejenak ke mudian kegelisahannyapun telah tumbuh ke mbali. Kadang-kadang ia tidak dapat menahan perasaannya, sehingga dengan ge lisahnya ia berjalan hilir mudik di ha la man. "Apakah geramnya. setan ini mengingkari kesanggupannya?"
Sementara Ki Reksatani berjalan hilir mudik di hala man maka Nyai Reksatani dan Sindangsari berjalan dengan tergesa-gesa menyusuri jalan-jalan sempit di dalam padukuhannya. Jarak kedua rumah itu sebenarnya tidak begitu jauh. Tetapi karena mereka me ne mpuh ja lan yang berbelit-belit, ma ka mereka me merlukan waktu juga untuk sampai ke rumah Nyai Reksatani itu. Ki Reksatani terkejut me lihat isterinya datang, tetapi tidak seorang diri. Sehingga sepercik pertanyaan melonjak di hatinya "Kenapa ia me mbawa Sindangsari?" Sebelum ia bertanya, Nyai Reksatani sudah mendahuluinya "Kakang. Rumah ka mi telah dira mpok orang" "He, apa katamu" Dira mpok orang?" "Aku tidak tahu pasti, tetapi, tetapi..." Nyai Reksatani menjadi ragu-ragu. Ke mudian katanya "Marilah kita masuk. Aku takut. Takut seka li" Ki Reksatani menjadi heran melihat sikap isterinya. Isterinya tahu benar, bahwa ia adalah seseorang yang pasti tidak akan takut terhadap ra mpok yang manapun juga. Karena itu, segera ia menangkap semaca m isyarat bahwa sesuatu yang kurang wajar telah terjadi. Karena itulah maka ia sama sekali tida k me mbantah ketika Nyai Reksatani ke mudian mengajaknya masuk.
Dengan tergesa-gesa ketiganyapun kemudian naik keatas pendapa dan langsung masuk ke pringgitan. Setelah mereka duduk, tiba-tiba Nyai Reksatani bangkit ke mbali berkata "Dima na barang itu kau simpan?" "Barang apa?" bertanya Ki Reksatani. Tetapi Nyai Reksatani tidak menghiraukannya. Iapun segera melangkah masuk ke dala m biliknya. Ki Reksatani yang kebingungan segera menyusulnya. Ia tidak mengerti, apakah sebenarnya yang dima ksud isterinya. Ketika Ki Reksatani sudah masuk ke dala m bilik pula, maka isterinya segera menangkap tangannya dan menariknya semakin da la m ke sudut bilik. "Ada apa" Ada apa?" Ki Reksatani bertanya "Ssst" isterinya menyentuh bibirnya dengan jari iri unjuk "ke marilah. Dengarlah" Ki Re ksatani menjadi se makin bercuriga sehingga dengan dada yang berdebar-debar ia maju sema kin de kat lagi kepada isterinya. "Celaka ka kang" desis isterinya. "Kenapa?" "Sesuatu yang tidak pernah kita perhitungkan le lah terjadi" "Apa?" "Campur tangan piha k ketiga" Wajah Ki Reksatani menegang "Siapa" Siapa yang telah berani menca mpuri persoalanku?" "Aku tida k tahu kakang " "Tetapi darima na kau mendapat keterangan, bahwa ada pihak lain yang menca mpuri urusan ini?"
Nyai Reksatani menelan ludahnya. Dicobanya untuk menenangkan hatinya sejenak. Ke mudian, mulailah ia menceriterakan apa yang sebenarnya telah terjadi. "Puranta sudah hampir berhasil" katanya "ketika tiba-tiba terdengar suara tertawa itu" Sorot mata Ki Reksatani seolah-olah menyala karenanya, me la mpaui nyala la mpu minyak yang tergantung di sudut ruangan. "Siapa orang itu?" "Aku tida k tahu" "Lalu, apakah yang dilakukan Puranta?" "Ia lari mengejar suara itu" "Apakah ia berhasil?" "Aku tidak tahu. Aku segera bermaksud me mberitahukan kepadamu kakang. Tetapi Sindangsari yang ketakutan selalu berpegangan tanganku Saja" "Lalu kau bawa ia ke mari?" "Ya. Aku tidak mau terla mbat" Ki Reksatani terdiam sejenak. Tetapi wajahnya tampak menjadi tegang. Tiba-tiba saja ia ke mudian menggera m "Aku a kan pergi dan me lihat apa yang telah terjadi" Tanpa menunggu jawaban Ki Re ksatani menyambar kerisnya yang tergantung di dinding. Diselipkannya kerisnya itu di la mbungnya. Kemudian dengan tergesa-gesa ia me langkah t lundak pintu dan me lintasi pringgitan. "Duduklah disini mBok-ayu. Jangan takut, aku akan melihat apa yang telah terjadi"
Sindangsari t idak se mpat menjawab karena Ki Reksatani ke mudian hilang di ba lik daun pintu pringgitan. Sepeninggal Ki Reksatani isterinyapun ke mudian duduk di hadapan Sindangsari. Wajahnya masih me mbayangkan kegelisahan hati. "Apakah Ki Reksatani akan pergi ke rumah itu?" bertanya Sindangsari. "Ya. Kakang Re ksatani akan me lihat apa yang telah terjadi" Wajah Sindangsari menjadi pucat. Dengan suara yang bergetar ia bertanya "Tetapi bagaimanakah akibatnya, kalau Ki Reksatani mene mukan Puranta di sana?" Pertanyaan itu me mbuat Nyai Reksatani agak gugup. Tetapi ke mudian ia menjawab "Mudah-mudahan ia sudah pergi" "Seandainya belum?" "Kakang Reksatani belum mengenalnya dengan baik. Apalagi ia t idak me ne mukan anak itu bersa ma kita" "Tetapi ia dapat bertanya kepadanya. Apabila anak itu berkata terus terang, apakah Ki Reksatani tida k akan marah kepada kita berdua?" "Ah" sahut Nyai Reksatani "jangan hiraukan anak itu. Biarlah Ki Reksatani menyelesaikannya. Mudah-mudahan anak itu dapat mene mpatkan dirinya, bagaimanapun caranya" Sindangsari menjadi terdia m karenanya. Meksipun masih banyak sekali masalah-masa lah yang mendesak di dala m dadanya, namun ia sudah t idak bertanya lagi. Yang terasa ke mudian adalah penyesalan yang tiada taranya" "Kalau aku tidak bermala m di rumah ini, aku tidak akan menga la mi persoalan serupa ini" ratapnya di dala m hati. Tetapi semuanya sudah terlanjur sehingga ia tida k akan cepat berbuat apa-apa lagi. Ia hanya dapat menunggu, apa yang
akan terjadi. Bahkan menunggu suatu ke mungkinan anak muda yang bernama Puranta itu telah menyeret namanya pula ke dala m kesulitan. Sementara itu, selagi Ki Reksatani berlari-lari kecil menuju ke rumah yang dipergunakannya untuk menjerat Sindangsari, di hala man rumah itu La mat masih juga berkelahi dengan sengitnya melawan Puranta yang menga muk seperti seekor serigala lapar. Namun ketenangan La mat selalu berhasil mengatasi, serangan yang betapapun dahsyatnya, Bahkan yang terjadi ada lah sebaliknya dari yang diduga oleh Puranta sendiri. Ternyata ia tidak segera dapat menundukkan La mat. Yang terjadi adalah, sekali-seka li serangan Lamat telah mengenainya. Kadang-kadang di tempat-tempat yang berbahaya, "Setan manakah yang telah me mberinya ke ma mpuan begitu besar sehingga mela mpaui ke ma mpuan Manguri dan barangkali juga ke ma mpuan ayahnya?" ia mengumpat di dalam hatinya. Bahkan kemudian betapa ia berusaha menye mbunyikan, na mun terbersit pula pengakuan, bahwa ia tidak akan segera dapat menundukkannya. Karena itu, karena Puranta merasa bahwa ia sudah terlalu la ma berkelahi, dan ia ingin segera menyelesaikannya, untuk ke mudian dengan cara apapun menerka m Sindangsari yang disangkanya masih ada di dala m rumah itu, segera me meras ke ma mpuannya. Bahkan kemudian dengan gemetar tangannya meraba hulu kerisnya "Apakah kau benar-benar ingin mati?" ia berdesis. "Akulah yang seharusnya bertanya" sahut Lamat "apakah kau benar-benar ingin me mbunuhku" "Ya"
"Adalah wajar apabila aku harus me mbela diri" berkata Lamat ke mudian "tetapi ka lau kau mau menerima tawaranku, maka persoalan kita akan segera selesai" Puranta tidak menyahut. Tetapi tiba-tiba saja di tangannya yang gemetar telah tergengga m sebilah keris. "Kau akan mati ma la m ini" ia menggeram. Lamat tidak se mpat menjawab, karena tiba-tiba saja. Puranta telah meloncat sambil menjulurkan kerisnya kela mbung La mat yang masih berdiri termangu-mangu. Lamat tidak menduga sama sekali bahwa Puranta akan dengan tiba-tiba saja menyerangnya begitu cepat. Karena itu, betapapun juga La mat terkejut karenanya, sehingga ia tidak me mpunyai banyak kesempatan untuk me mpertimbangkan tata geraknya kemudian. Itulah sebabnya maka ketika keris itu hampir saja me matuk la mbungnya, Lamatpun segera bergeser setengah langkah sa mbil me miringkan tubuhnya. Pada saat yang bersamaan, ketika keris Puranta terjulur dekat sekali di sisinya, dengan serta-merta La mat menangkap pergelangan tangan Puranta. Dengan sekuat tenaganya Lamat melontarkan tangan itu sa mbil me mutarnya, sehingga Puranta sama seka li tidak berdaya untuk me lawannya. Yang terjadi adalah di luar dugaan La mat sendiri. Ketika Lamat mendengar tulang Puranta berderak, hatinya telah berdesir tajam. Apalagi ketika ia me lihat lontarannya yang hampir di luar sadarnya. Puranta yang terpelanting itu terputar sekali di udara. Kemudian dengan kerasnya kepalanya membentur dinding batu halaman. Dalam pada itu, keris yang di tangannya tidak dapat dikuasainya dengan ba ik, sehingga di luar ke ma mpuannya untuk mencegah, ternyata keris itu telah menggores perutnya sendiri. Keris yang dipeliharanya baikbaik dengan warangan yang tajam, sehingga karena luka-luka di kepala dan racun dan kerisnya sendiri, Puranta tidak akan
dapat menghindarkan diri dari terka man maut. Ia hanya dapat mengge liat sekali. Ke mudian ia terdia m untuk sela manya. Lamat yang melihat akibat dari perkelahian itu berdiri me matung. Wajahnya menjadi pucat dan jantungnya serasa berhenti berdetak. Ia sama sekali tidak sengaja untuk me mbunuh lawannya. Me mbunuh sesa manya. Melawan penjahat yang paling jahatpun, tidak pernah terlintas suatu kesengajaan untuk me mbunuh, seperti jiwanya sendiri yang telah disela matkan oleh seseorang. "Alangkah mahalnya jiwa seseorang" ia berdesis "tetapi kini tanpa aku sengaja, aku telah me mbunuh. Tiba-tiba saja tubuh La mat menjadi ge metar. Perlahanlahan ia mendekati Puranta dan berjongkok di sa mpingnya. Tetapi Puranta itu telah mati. Mati. Dan tidak ada ke kuatan yang dapat menghidupkannya lagi, selain keajaiban dari Yang Maha Kuasa sendiri. Wajah Lamat yang pucat itupun tertunduk dala m-da la m. Dirabanya tubuh Puranta yang masih basah oleh keringat dan embun mala m yang menit ik dari dedaunan. Selagi La mat merenungi mayat itu, tiba-tiba telinganya yang tajam telah menangkap langkah seseorang yang dengan tergesa-gesa mendekati hala man rumah itu. Karena itu, maka iapun segera mencoba menyadari keadaannya. Dengan tergesa-gesa pula ia merangkak me lekat dinding di balik sebatang pohon perdu. Demikian seseorang me masuki regol, ma ka La matpun segera meloncati pagar batu, terlindung oleh rimbunnya daun perdu, sehingga orang yang me masuki ha la man itu sama sekali t idak me lihatnya, dan tidak mendengar langkahnya yang sudah dijaganya baik-baik. Meskipun demikian La mat masih mencoba menjengukkan kepalanya. Dan ia melihat bahwa orang yang me masuki halaman rumah itu adalah Ki Reksatani.
Tidak ada jalan la in baginya daripada menghindarkan diri. Meskipun La mat belum pernah melihat sendiri, betapa tinggi ilmunya, namun di dala m keadaan serupa ini, lebih ba ik baginya untuk menghindar. Karena itu, maka dengari hati-hati ia merayap surut menjauhi pagar batu itu. Kemudian setelah ia berada di te mpat yang terlindung, segera ia berjalan secepat-cepatnya meningga lkan te mpat itu. "Apakah yang akan aku katakan kepada Manguri nanti?" guma mnya di sepanjang jalan. Sedang jantungnya masih juga berdebaran apabila terbayang olehnya mayat Puranta yang terbujur di ha la man itu dibasahi oleh keringat, e mbun dan darahnya yang mengalir dari luka oleh senjatanya sendiri Dala m pada itu, Ki Reksatani me langkah dengan hati-hati me masuki ha la man. Tetapi hala man itu ta mpak sepi. Tidak ada seseorang yang dilihatnya, Puranta tidak dan apalagi orang lain. Sejenak ia berdiri me matung. Dicobanya untuk menangkap setiap bunyi. Tetapi bunyi nafas yang halus sekalipun tidak didengarnya sama sekali. Apalagi langkah-langkah orang yang sedang bertempur. Kalau Puranta mene mukannya, pasti terjadi sesuatu. Tiba-tiba dada Ki Re ksatani serasa berguncang. Sebuah pertanyaan telah terbersit pula di hatinya. "Kalau orang itu orang sewajarnya, maka Puranta pasti akan dapat menyelesaikan. Setidak-tida knya ia me mpunyai kesempatan yang cukup untuk me mpertahankan diri" nafas Ki Reksatani tiba-tiba menjadi tertahan-tahan "apakah justru kakang De mang di Kepandak?" Ingatan itu telah me mbuat tubuhnya menjadi ge metar. Tanpa disadarinya ia me langkah maju, se makin la ma se ma kin dalam me masuki hala man rumahnya. Tetapi ia masih tetap tidak mendengar sesuatu.
Namun tiba-tiba langkahnya tertegun ketika ia melihat sebatang pohon perdu yang ranting-rantingnya berpatahan. Dengan wajah yang tegang Ki Reksatani mendekatinya. Dia mat-amatinya pohon perdu itu dengan saksa ma. Sema kin la ma semakin nyata baginya, bahwa memang telah terjadi sesuatu di halaman ruma h ini. Apalagi ketika ta mpak olehnya, beberapa batang pohon yang lainpun agaknya telah menjadi rusak pula karenanya. "He m" ia berdesah "setan manakah yang telah mengganggu rencanaku" Na mun seka li lagi melintas ingatannya kepada Ki De mang di Kepandak sendiri. Ki Reksatani terperanjat bukan buatan ketika ia ke mudian me lihat sesosok tubuh yang tergolek di dekat pagar. Dengan tergesa-gesa ia mendekatinya. Darahnya serasa berhenti menga lir ketika ia ke mudian me ngenalinya. Puranta yang sudah menjadi mayat. Dengan tangan gemetar ia menyentuh tubuh itu. Masih belum menjadi dingin. Sedang darahnya masih Juga belum mengering. "Aku terla mbat sedikit" desisnya. Dengan tangan yang bergetar Ki Reksatani me mungut sebilah keris yang terletak di dekat jari-jari tangan Puranta yang menge mbang. Keris itu masih basah oleh darah. "Keris inilah agaknya yang telah me lukainya" desis Ki Reksatani. Maka dengan saksama ia menga mati keris itu, kalau-kalau ia sudah mengenalnya. Beberapa keris kakaknya ia sudah pernah melihat, karena Ki De mang sering menunjukkannya kepadanya. "Aku belum pernah me lihat keris ini. Agaknya bukan keris kakang De mang" desisnya.
Tetapi tatapan matanyapun kemudian menangkap wrangka keris yang masih terselip di la mbung Puranta. Wrangka yang sudah tidak lagi menyimpan wilahannya. Ketika wrangka itu dia mbilnya dan dicobanya untuk merangkum keris yang masih bernoda darah itu, dada Ki Reksatani menjadi se makin berdentangan. Ternyata keris itu adalah keris Puranta sendiri. "Setan alas" ia mengumpat "pasti bukan orang kebanyakan yang telah datang mengganggu. Mungkin kakang De mang. Mungkin orang la in" Ki Reksatanipun ke mudian me loncat berdiri sa mbil menggeretakkan giginya "Siapapun yang me lakukannya, Reksatani telah siap menghadapinya. Bahkan seandainya kakang De mang sendiripun a ku tidak akan gentar. Apaboleh buat. Aku sudah terlanjur basah di tengah-tengah bengawan. Aku tidak dapat ke mbali. Aku harus menyeberang terus" Dengan wajah yang tegang, sorot mata yang me mbara Ki Reksatani me mbelai hulu kerisnya. Nafasnya yang terengahengah serasa akan terputus di tenggorokan. Namun sejenak ke mudian Ki Reksatani itu menyadari keadaannya. Ia kini berdiri seorang diri di hadapan mayat Puranta. Ki Reksatani menarik nafas dalam-dala m. menundukkan kepa lanya ia mulai berpikir. Sambil
"Mungkin aku dapat berhadapan dengan Ki Demang seorang dengan seorang. Tetapi apakah alasan yang dapat aku ke mukakan kepada rakyat Kepandak" Kepada Ki Jagabaya yang dungu itu. Aku dapat membunuh kerbau yang bodoh itu. Tetapi ia tidak berdiri sendiri. Bersama-sa ma bebahu yang lain mereka akan menangkap a ku, atau me mbunuhku seperti rampokan macan di a lun-alun Matara m.
Ki Reksatani kini berdiri dengan tegangnya. Sejenak ia menjadi kebingungan. "Persetan" geramnya kemudian "sekarang aku harus berbuat sesuatu atas mayat ini supaya besok tidak menumbuhkan keonaran di padukuhan ini" Ki Reksatani tidak mau me mbiarkan rahasianya diketahui oleh seorangpun. Karena itu, ma ka iapun segera mencari cangkul di dapur rumah itu. Dengan dia m-dia m. ia mengga li lubang yang dala m untuk mengubur mayat Puranta di halaman rumah itu juga tanpa upacara apapun juga bersa ma dengan kerisnya sa ma sekali. "Mudah-mudahan tidak ada orang yang melihatnya. Hanya orang yang membunuhnya sajalah yang tahu bahwa disini telah terjadi raja pati. Dalam waktu yang singkat aku akan tahu siapakah yang telah me mbunuh anak ini. Sebentar kemudian, maka Ki Reksatani telah selesai mengubur mayat Puranta di sudut hala man itu. Dengan nafas terengah-engah maka disimpannya cangkulnya. Tetapi ia tidak segera kembali ke rumahnya. Ia sendiri menjadi bingung menanggapi peristiwa yang terjadi dengan tiba-tiba tanpa diduga-duganya sama sekali itu. "Besok aku akan tahu. Kalau yang me mbunuh Puranta itu kakang De mang sendiri, akupun akan segera mendapat penjelasan. Kakang Demang pasti akan me manggil aku dan minta pertanggungan jawab bahwa hal ini telah terjadi. Tetapi kalau yang me mbunuh orang lain, aku akan berusaha untuk mene mukannya diantara orang-orang yang berkepentingan dengan anak ini atau Sindangsari" Dala m pada itu, maka Nyai Reksatani dan Sindangsari telah menunggu dengan ge lisah karena Ki Reksatani tidak juga segera pulang. Berbagai angan-angan telah hilir mudik di kepala mereka. Apalagi Nyai Reksatani. Bahkan kemudian timbullah niatnya untuk menyusul sua minya.
"Kau tingga l disini saja mBok-ayu. Aku akan mengajak dua orang pembantu untuk mengantarku" "Tida k. Aku takut. Aku ikut ke mana kau pergi" "Jangan. Persoalannya nanti akan menjadi berlarut-larut karenanya" "Tida k. Aku tida k mau" Nyai Reksatani menjadi bingung dan ragu-ragu. Kadangkadang ia berusaha untuk menenangkan saja hatinya sambil menunggu. Tetapi kadang-kadang dadanya bergejolak terlampau cepat. Namun sebelum Nyai Re ksatani menga mbil keputusan, mereka terkejut mendengar pintu pringgitan bergerit. Serentak mereka berpaling, dan mere kapun me lihat Ki Reksatani melangkah masuk. "Bagaimana ka kang?" dengan serta-merta Nyai Reksatani bertanya. Ki Reksatani tersenyum "Bukan apa-apa" jawabnya "me mang mungkin kau benar Perampok yang belum mengenal bahwa rumah itu adalah rumah Ki Reksatani. Namun agaknya mereka tida k mene mukan sesuatu di rumah itu. Semua barang-barang masih utuh. Dan sudah barang tentu mereka tidak akan merasa perlu me mbawa alat-alat tenun yang besar itu. Nyai Reksatani mengangguk-anggukkan kepa lanya. Meskipun berbagai maca m pertanyaan berdesakan di dadanya, namun ia terpaksa menyimpannya. Demikian juga agaknya Sindangsari. Ia tidak berani bertanya apakah yang sudah terjadi dengan Puranta. Dan iapun tida k berani bertanya, apakah Puranta itu sela mat atau menga la mi apapun juga.
"Jangan hiraukan lagi" berkata Ki Reksatani "tetapi aku menyesal, bahwa hal itu pasti sudah mengganggu ketenangan mBok-ayu disini" Sindangsari sa ma sekali tidak dapat mengucapkan jawaban sepatahpun juga. "Sudahlah. Bawalah mBok-ayu tidur" berkata Ki Reksatani kepada isterinya "besok sajalah belajar menenun" Sindangsari hanya dapat menganggukkan kepalanya saja, sementara Ki Reksatani langsung pergi ke ruang dalam. Tetapi ia tidak berhenti di sana. Ia masih me mbuka pintu belakang dan pergi ke pakiwan untuk me mbersihkan dirinya. Nyai Reksatani segera menyusulnya setelah menyelarak pintu. Ia melihat pakaian Ki Reksatani yang kusut, bahkan kotor sekali. Karena itulah maka ia t idak dapat menahan perasaannya lagi. Ia ingin segera tahu, apa yang telah terjadi sebenarnya dengan Puranta dan orang yang tertawa di luar dengan nada yang mengerikan itu. "Kakang" desis Nyai Reksatani yang berdiri termangumangu dia mbang pintu bela kang. Ia agak ragu-ragu untuk langsung turun ke da la m ge lapnya mala m. "He" sahut sua minya. "Dima na kau?" "Pakiwan" Nyai Reksatani yang tidak dapat bersabar lagi segera menyusulnya. Dengan nada yang dala m terbata-bata ia bertanya "Apa yang telah terjadi kakang" Ki Reksatani segera keluar dari pakiwan. Sa mbil mengge leng-gelengkan kepalanya ia menggera m "Ada setan yang mengganggu usaha kita" "Bagaimana dengan Puranta?"
Ki Reksatani menjadi ragu-ragu sebentar. Namun kemudian ia menyahut "Jangan hiraukan lagi anak itu. Kita tidak dapat menggantungkan kepercayaan kita kepadanya" "Kenapa?" "Di da la m keadaan yang gawat ia tidak akan dapat menyelesaikan masalah ini. Ia adalah seorang laki-laki yang haus akan kehangatan perempuan. Itu saja. Di dalam masalah yang lebih jauh dari masalah pere mpuan, ia me mang tidak berarti apa-apa" "Tetapi bagaimana dengan anak itu sekarang" Apakah ia berhasil menangkap orang yang telah mengganggu usahanya" "Aku tida k dapat mengharap apa-apa lagi daripadanya. Katakanlah bahwa usaha kita dengan cara ini sudah gagal. Gagal sama sekali. Kalau ada satu orang saja yang mengetahui, ma ka se muanya tidak a kan berarti lagi" "Apakah ada orang yang mengetahui?" "Ada. Orang yang mengganggu itu dan Puranta. "Jadi, jadi bagaimana kalau mereka berkhianat mengadukan hal ini kepada ka kang De mang" dan
"Jangan takut. Aku dapat menganggap se mua ceritera yang tidak dapat dibuktikan sebagai fitnah" "Tetapi, bagaimana kalau Sindangsari juga berceritera tentang Puranta?" "Tida k. Ia tidak akan berani berceritera tentang hal itu kepada kakang De mang. Ia akan tetap menutup mulutnya" Nyai Reksatani menjadi termangu-mangu sejenak. "Kita me mbuat rencana yang lain. Rencana yang sudah pernah aku katakan" "Jadi, maksud kakang, kita tidak dapat mene mpuh jalan lain?"
Ki Reksatani menggelengkan kepalanya "Sayang, aku tidak me lihat jalan itu" "Jangan kakang. Jangan" "Aku tidak dapat mengurungkan niat ini. Se mua jalan sudah aku coba. Hanya jalan yang satu inilah yang belum aku lakukan" "Jangan. Aku tidak sependapat" "Kau jangan terikat oleh perasaanmu yang cengeng" mata Ki Reksatani me njadi merah "kese mpatan itu kini telah terbuka" "Sekarang?" "Aku sedang me mpertimbangkannya" "Tida k. Itu tidak mungkin. Ia pergi ke rumah ini bersama kita dan atas ijin Ki De mang. Kalau kau kehilangan akal dan me lakukannya sekarang, maka kau akan gagal lagi. Kegagalan yang mutla k dan yang akan menjerat seluruh ke luarga mu" suara Nyai Reksatani menjadi ge metar "aku masih mengharap kau mencari jalan la in kakang. Jalan lain yang dapat kita tempuh dengan a man" Ki Reksatani berdiri saja me matung. Seka li-sekali dilontarkannya pandangan matanya ke arah bintang-bintang yang bertaburan di langit. Kemudian ke mbali mendarat kewajah isterinya yang kece masan. "Apakah kau benar-benar kehilangan aka l kakang?" Ki Reksatani menggelengkan kepa lanya "Aku masih tetap sadar" "Karena itu pertimbangkan se mua perbuatan ini baik-baik. Jangan sekedar terburu nafsu. Kakanglah yang agaknya telah hanyut dalam arus perasaan yang tidak terkenda li. Bukan aku"
Ilmu Silat Kupu Kupu Hitam 2 Pendekar Rajawali Sakti 193 Dewa Sesat Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang 14

Cari Blog Ini