Ceritasilat Novel Online

Matahari Esok Pagi 12

Matahari Esok Pagi Karya S H Mintardja Bagian 12


Ki Reksatani menarik nafas dalam-dala m. Seolah-olah ia ingin mene mukan ketenangan di da la m hati. "Hilangkan niat itu sekarang. Kita masih me mpunyai waktu" "Aku tidak tahu, apa saja yang akan dilakukan oleh orang yang telah mengganggu usaha Puranta itu. Aku juga tidak tahu, siapakah orang itu. Dengan demikian, banyak ke mungkinan yang dapat terjadi atas kita" "Apakah kakang menduga orang itu kakang De mang sendiri?" "Mungkin. Tetapi mungkin juga bukan" Nyai Reksatani menjadi tegang. "Tetapi jangan ce mas. Apapun yang akan terjadi, sudah aku siapkan. Aku akan menghadapinya, seandainya orang itu Ki De mang se kalipun" "Apa yang akan ka kang la kukan" "Sudahlah. Serahkan se muanya kepadaku" "Tetapi jangan lakukan itu sekarang. Aku tida k mau. Aku tidak mau" Ki Re ksatani tidak menyahut. "Jangan kakang. Berjanjilah Aku akan me mbantu segala usaha kakang. Tetapi t idak untuk me lakukannya sekarang" Ki Reksatani masih termenung sejenak. Lalu katanya "Baiklah, Aku tidak akan me mbunuhnya sekarang. Tetapi aku tidak me mpunyai jalan dan cara lain. Sindangsari harus dibunuh. Akan lebih baik apabila hal itu dilakukan tanpa diketahui oleh kakang De mang, dan kita dapat menghilangkan jejak. Tetapi kalau tidak sekali lagi, apaboleh buat" "Kau sudah melakukan pe mberontakan ka kang"
"Aku akan mencari alasan yang paling baik. Aku akan menghubungi orang yang tidak puas. Mungkin ayah Manguri, mungkin orang-orang lain lagi. Orang-orang kaya dan orangorang yang me mpunyai kekuatan yang cukup" "Mengerikan sekali" desis Nyai Reksatani sa mbil menye mbunyikan wajahnya di balik kedua telapak tangannya. "Terpaksa" "Apakah hari depan kita dan anak-anak kita cukup bernilai untuk ditukar dengan korban-korban jiwa yang mungkin dapat jatuh?" Ki Reksatani tertawa pendek "Nyai, untuk kepentingan hari depan kita, apa salahnya kita mengorbankan jiwa orang-orang bodoh yang dapat kita peralat" Aku sudah sampa i pada suatu kesimpulan, bahwa cara apapun akan aku tempuh untuk mendapatkan kedudukan yang aku kehendaki. Aku tidak akan me mpedulikan lagi korban-korban yang bakal jatuh. Ita adalah akibat dari kebodohan mereka, dan justru juga keta makan. Kalau mereka dapat aku bujuk dengan upah, dengan uang dan kedudukan, maka orang itu adalah orang yang ta mak seperti kita. Kita sama sekali tida k akan merasa kehilangan apabila mereka akan binasa di dala m geseran keadaan itu. Akupun tidak akan menyesal apabila kelak aku akan berdiri pada kedudukanku beralaskan bangkai-bangkai orang-orang yang dungu, tamak dan bodoh itu" "O, mengerikan seka li. Mengerikan sekali" "Sayang Nyai. Aku tidak me mpunyai jalan lain. Pada suatu saat hal itu akan terjadi" Ki Reksatani berhenti sejenak, lalu "sekarang ke mbalilah kepada pere mpuan yang ketakutan itu. Biarlah ia menikmati hidupnya yang masih tersisa. Aku tidak dapat me maafkannya lagi. Se makin la ma kedudukannya akan menjadi se makin ba ik. Apalagi kalau ia sudah beranak" Nyai Reksatani tidak menyahut. Tetapi ia mengusap matanya yang basah. Sebenarnya ia tidak dapat
menyesuaikan dirinya dengan rencana suaminya. tidak dapat berbuat apapun juga. Ia hanya perempuan, yang hanya dapat menempatkan diri segala lingkaran sua minya Sorga atau neraka, mengikut.
Tetapi ia seorang di dala m sekedar
Setelah matanya yang basah itu kering, Nyai Reksatanipun ke mudian me langkah perlahan-lahan masuk ke ruang dala m, ke mudian me masuki pringgitan. Dilihatnya Sindangsari masih duduk di tempatnya, meskipun seakan-akan ia sudah dibakar oleh kege lisahan. "O, Kau la ma sekali meninggalkan aku ketakutan" katanya. "O, maaf mBok-ayu. Aku harus menyediakan minuman panas buat kakang Reksatani. Biasanya di mala m hari, apabila ia datang darimanapun juga, kakang me merlukan minuman panas" Sindangsari me ngangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab. "mBok-ayu, hari telah terlampau jauh mala m. Marilah aku persilahkan mBok-ayu tidur saja" Sindangsari me njadi ragu-ragu. "Silahkanlah" desak Nyai Reksatani. "Aku takut" desis Sindangsari. "Kenapa takut. Di rumah ini ada kakang Reksatani, mBokayu tidak usah takut" Sindangsari tidak menjawab, tetapi ia masih tetap raguragu. "Marilah" Nyai Reksatani mendesaknya pula "silahkanlah" Akhirnya Sindangsari bangkit pula dan berjalan ke bilik yang ditunjukkan oleh Nyai Reksatani untuknya. Betapa ia
dia muk oleh bimbang dan ragu-ragu, namun ia masuk pula ke dalam bilik itu. Ki Reksatani yang kemudian masuk pula ke ruang dalam menjenguk ke dala m bilik itu sa mbil berkata "Aku disini mBokayu. Kalau ada apa-apa, panggil aku" Sindangsari menganggukkan perlahan-lahan "Terima kasih" kepalanya. Jawabnya
"Sekarang, silahkanlah tidur. Tidak a kan ada apa-apa lagi di rumah ini" Sindangsari menganggukkan kepalanya sekali lagi. Tetapi hatinya terasa menjadi semakin berdebar-debar. Apalagi ketika ke mudian Ki Reksatani sua mi isteri meninggalkannya seorang diri di dalam bilik yang hanya diterangi oleh lampu minyak kelapa dengan cahayanya yang kekuning-kuningan. Namun sejenak ke mudian Sindangsari berhasil menenangkan hatinya sendiri. Agaknya rumah ini me mang tidak akan mendapat gangguan apapun juga. Meskipun demikian, sebuah penyesalan telah melonja k lagi di dadanya. "Kalau saja ada Ki De mang" desisnya perlahan-lahan seka li. Dala m keadaan yang de mikian terasa, betapa ia me merlukan Ki De mang di Kepandak. Bagaimanapun juga, laki-laki yang dingin itu dapat me mberinya ketenangan. Meskipun Ki De mang di Kepanda k tidak pernah berbuat apapun juga sebagai seorang sua mi, tetapi dala m keadaan yang berbahaya ia pasti tidak akan tetap tinggal dia m. Ia pasti akan berbuat sesuatu untuk me lindunginya, Ketika Sindangsari sudah berbaring, terlintas juga di dala m angan-angannya anak muda yang bernama Puranta. Kadangkadang terasa juga sentuhan-sentuhan pada perasaannya sebagai seorang perempuan muda. Tetapi ke mudian terasa betapa bulu-bulunya mere mang. Laki-laki itu me mbuatnya sangat gelisah.
Ketika ke mudian terbayang di angan-angannya wajah Pamot, Sindangsari menarik nafas dala m-dala m. Kenangan atas anak muda itulah yang sebenarnya telah membantu menahannya untuk tidak terjerumus ke da la m jurang yang lebih dala m lagi. Namun angan-angannya pecah ketika ia mendengar kokok ayam yang bersahut-sahutan. Agaknya semalam suntuk ia sama sekali tida k tertidur. Karena ketegangan dan kecemasannya, ia tidak merasa, bahwa sebenarnya malam telah berlangsung hampir seluruhnya. Dan kini agaknya fajar telah me mbayang pula di ujung Timur. Dala m pada itu, Ki Reksatani masih juga duduk di pinggir pembaringannya, selagi isterinya berbaring dengan gelisahnya. "Aku harus segera mula i" berkata Ki Reksatani "kalau t idak aku akan terla mbat" "Kakang" bisik isterinya "kenapa tidak kita lepaskan saja angan-angan itu?" "Tida k mungkin lagi. Tidak mungkin lagi" "Kakang tidak mau me mikirkan akibatnya" "Nyai" berkata Ki Reksatani "dengarlah. Aku masih akan mene mpuh jalan yang paling a man. Aku a kan menga mbil perempuan itu. Kalau kakang De mang tidak mengetahui bahwa aku yang mengambilnya, maka apa yang kau bayangkan itu tidak akan pernah terjadi. Ka kang De mang pasti justru akan me minta bantuanku untuk mencari isterinya" "Tetapi laki-laki yang datang mengganggu usaha Puranta itu?" Ki Re ksatani menarik nafas dala m-dala m. "Dan apakah Puranta sendiri untuk seterusnya akan diam" Agaknya ia benar-benar telah terjerat oleh Sindangsari.
Sebagai seorang laki-la ki ia akan mendapatkannya. Kau upah atau tidak"
berusaha untuk "Ia tidak akan dapat mengganggu Sindangsari lagi. Atas permintaan kita atau tidak" "Kakang" tiba-tiba Nyai Reksatani bangkit. "Kenapa dengan anak itu" ia bertanya. "Puranta sudah mati" jawab Ki Reksatani. "Kenapa?" "Aku tidak tahu. Agaknya orang yang mengganggu usaha Puranta itulah yang sudah me mbunuhnya" "Siapa" Siapakah orang itu?" "Aku tida k tahu" Ki Reksatani menggelengkan kepalanya. "O, apakah itu berarti bencana bagi kita" Bagi keluarga kita?" "Aku tidak tahu pasti. Itulah sebabnya aku berpendirian, bahwa aku tida k akan dapat melangkah surut lagi. Aku harus berjalan terus, apapun yang akan aku hadapi. Aku sudah terlanjur mula i dengan rencana ini" "Tetapi, aku menjadi takut kakang" "Jangan takut" Ki Reksatani mencoba menenteramkan hati isterinya. Namun terasa kata-katanya mengandung keraguraguan. "Rencanamu me mbuat sepanjang waktu" aku tidak akan dapat tidur
"Dengarlah Nyai" berkata Ki Reksatani "me mang hatiku masih selalu melonjak-lonjak. Kadang-kadang timbullah keinginanku untuk mencekik saja Sindangsari itu. Tetapi sudah tentu kau tidak akan sependapat. Karena itu, sudah aku katakan. Aku masih akan me ne mpuh ja lan yang paling a man.
Sementara aku berusaha mene mukan orang yang telah me mbunuh Puranta itu" Nyai Reksatani menarik nafas dalam-dala m. Tetapi ia masih tetap dicengkam oleh kegelisahan, sehingga iapun sama sekali tidak dapat memeja mkan matanya sampai cahaya fajar me mbayang pada lubang-lubang dinding biliknya. Nyai Reksatani tidak dapat berbaring terus di dala m biliknya. Iapun ke mudian bangkit untuk pergi ke dapur, selagi anak-anaknya masih tidur nyenyak ditunggui oleh pembantunya. Tetapi ia terkejut ketika ia melihat pintu belakang sudah terbuka, dan pembantunya sudah ada di dapur. "Siapakah yang me mbuka selarak pintu?" ia bertanya. "Aku Nyai" jawab pe mbantunya. "Sepagi ini?" "Nyai De mang me mbangunkan a ku" "Dima na ia se karang?" "Di pakiwan" Nyai Reksatanipun ke mudian me langkah keluar. Dilihatnya langit telah menjadi se makin cerah. Ayam-ayam telah turun ke halaman dan burung-burung liar sudah mulai berkicau bersahut-sahutan menyambut cahaya matahari yang telah mewarnai langit. "Kau sudah bangun mBok-ayu" Nyai Re ksatani bertanya. "Aku sama sekali tidak dapat tidur sekejappun" jawab Sindangsari dari da la m pakiwan. "O, apakah kau masih ketakutan?" "Ya"
"Di rumah ini mBok-ayu sebenarnya tidak usah takut. Di sini ada Ki Reksatani" "Tetapi ...." Sindangsari tidak melanjut kannya. "Tetapi apa?" Nyai Reksatani mende kati dinding pekiwan "apakah kau takut ka lau anak itu me nyusulmu ke mari?" "Ya" Nyai Reksatani tertawa. Tetapi ia tidak menjawab. Ditingga lkannya Sindangsari yang masih ada di dala m pakiwan untuk me mbersihkan dirinya. Namun, ketika suara tertawa Nyai Reksatani itu terhenti, terasa dadanya sendiri menjadi sakit. Bahkan timbul pula pertanyaan dalam hatinya "Kenapa aku tertawa?" Nyai Reksatani mengusap dadanya dengan telapak tangannya. Tanpa sesadarnya ia mengeluh perlahan-lahan. Seharusnya ia tidak akan dapat tertawa lagi. Sama sekali tidak. Nyai Reksatani terkejut ketika tiba-tiba saja Sindangsari yang sudah selesai me mbersihkan dirinya berdiri di belakangnya. Sambil mengga mit pundaknya ia berkata "Aku minta diantar pulang pagi ini" katanya. "He" Kenapa tergesa-gesa" bertanya Nyai Reksatani. "Aku takut. Aku takut se kali" "Bukankah hari sduah siang?" "Tetapi banyak sekali sebab yang membuat aku ketakutan di rumah ini" "Nantilah sebentar. Nanti aku antarkan" "Tida k. Jangan hanya kau sendiri. Aku minta kau antarkan berdua dengan Ki Reksatani"
"Ah, aku tidak tahu apakah kakang Reksatani me mpunyai waktu untuk mengantarkan mBok-ayu" "Aku minta. Aku minta dengan sangat. Aku tidak berani pulang sendiri" Nyai Reksatani tidak segera menjawab. kebimbangan yang tajam me mbayang di wajahnya. Tetapi
"Cobalah. Katakan kepada Ki Reksatani. Apakah ia dapat mengantar aku sekarang" Nyai Reksatani mengangguk-anggukkan kepa lanya. Akhirnya ia berkata "Ba iklah. Aku akan minta kepadanya. Tetapi bagaimana kalau kebetulan kakang Reksatani sedang sibuk" "Kalau Ki Reksatani sedang sibuk, biarlah ia berkuda sejenak ke Kademangan. Biarlah kakang De mang menje mputku" Nyai Reksatani mengangguk-anggukkan Katanya "Baiklah. Aku akan bertanya kepadanya" kepa lanya.
Sementara Nyai Reksatani mene mui sua minya, maka Sindangsaripun berpakaian di da la m biliknya. Ia sudah me mutuskan untuk segera ke mbali ke Kade mangan. Pagi ini juga. Ki Reksatani yang mendengar permintaan Sindangsari itupun menjadi berdebar-debar. Sekilas terbayang di dala m angan-angannya, bahwa semalam Ki De manglah yang telah datang menga mati isterinya, dan kemudian me mbunuh Puranta, karena ia tahu, bahwa Purantalah yang telah me mbujuk-bujuk isterinya, sedang isterinya tidak bersedia me lakukannya. "Kenapa harus aku?" ia berguma m. "Kalau ka kang berkeberatan maka ia minta kakang ke Kademangan sejenak, untuk me ma nggil Ki De mang"
"Itu sa ma saja" "Tida k. Kakang dapat berpacu diatas punggung kuda sejenak" Ki Reksatani me ngerutkan keningnya. Tiba-tiba ia berkata "Biarlah aku yang mengantarkannya" "Aku ikut bersa ma mu kakang" "Itu akan me mbuang waktu. Tanpa kau aku a kan dapat berjalan cepat, selagi aku pulang" "Tetapi aku ingin ikut" "Kau takut a ku me mbunuhnya di jalan" Nyai Reksatani tidak menyahut. Tetapi kepalanya tertunduk dalam-da la m. "Sudah aku katakan. Aku tidak akan me mbunuhnya karena kau tidak sependapat, bahwa aku melakukannya sekarang, meskipun aku sudah siap menghadapi setiap ke mungkinan. Apakah aku harus berbohong, me mbuat eeritera ceritera palsu, atau aku harus berke lahi" Isterinya tidak segera menyahut. "Bagaimana?" Namun isterinya menjawab "Aku ikut kakang" Ki Reksatani menarik nafas dalam-dala m. Katanya "Baiklah. Seharusnya kau menunggui anakmu. Setiap hari anakmu kau tinggal, dan kau percayakan saja kepada pembantupembantu" "Tetapi bukankah kepergianku juga dala m rangka rencana kakang" Bahkan aku harus menghina diri sendiri dengan berpura-pura me lakukan perbuatan sedeng dengan Puranta?" "Sudahlah, berkemas" sudahlah" potong Ki Reksatani "cepatlah
Nyai Reksatanipun ke mudian me ngenakan paka iannya setelah mandi. Ia tidak sampai hati me mbiarkan Ki Reksatani yang mendenda m itu me ngantarkan Sindangsari seorang diri. Setelah kedua perempuan itu selesai, maka Nyai Reksatanipun mengajak Sindangsari untuk makan lebih dahulu sebelum mereka berangkat. Tetapi leher Sindangsari itu serasa tersumbat, sehingga hampir tidak ma mpu untuk menelan butiran-butiran nasi hangat. Namun bukan saja Sindangsari yang menjadi gelisah. Ki Reksatanipun telah dicengka m oleh kegelisahan pula. Ia selalu dikejar-kejar oleh pertanyaan "Apakah yang akan dikatakannya, kalau semala m, orang yang membunuh Puranta itu Ki De mang sendiri?" Karena Ki Reksatani tida k ma mpu mengatasi kegelisahannya, ma ka ketika mereka siap untuk berangkat, diselipkannya keris pusakanya di la mbungnya, sambil berguma m "Aku tidak tahu, apakah aku akan menjumpai bahaya di sepanjang jalan" Ketiganyapun kemudian berangkat ke Kademangan, ketika matahari telah bertengger diatas punggung bukit. Cahayanya yang cerah memancar keseluruh permukaan bumi. Daun-daun yang hijau kekuning-kuningan tampa k menjadi se ma kin kuning. Sedang parit-parit yang kering seolah-olah menjadi bertambah kehausan. "Se makin siang, udara a kan menjadi se makin panas" desis Ki Reksatani "rasa-rasanya kita akan berjalan diatas perapian. Kalau dala m beberapa pekan mendatang hujan tidak turun, maka tanaman di sawah akan me njerit kekurangan a ir" Isterinya dan Sindangsari tidak menyahut. Mereka hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja, meskipun tanpa mereka sadari, merekapun menebarkan pandangan mata mereka menyapu tanah persawahan yang terbentang di hadapan mereka.
Ketika Ki Reksatani yang berjalan di belakang kedua perempuan itu, agak terpisah jauh, ma ka Nyai Reksatanipun ke mudian berbisik di telinga Sindangsari "mBok-ayu, apakah mBok-ayu nanti akan me ngatakan se muanya dengan berterusterang kepada Ki De mang?" Pertanyaan itu telah membingungkan hati Nyai De mang di Kepandak, sehingga untuk sesaat ia tidak ma mpu untuk menjawab. "mBok-ayu" berkata Nyai Reksatani "sekali-sekali kita me mang harus berbohong. Tidak semua kebohongan itu salah. Suatu ketika akupun berbohong kepada anak-anakku. Kadang-kadang aku tidak berkata terus terang, bahwa aku akan bepergian. Kadang-kadang aku berkata, bahwa aku akan berobat kedukun, agar anak-anak tidak ingin ikut serta" Nyai Reksatani berhenti sejenak, lalu "Akupun berbohong kepada Ki Reksatani, bahwa aku mengenal seorang laki-laki yang bernama Puranta. Kebohongan kepada sua mi, kadang-kadang dapat menimbulkan ketenteraman rumah tangga. Kau mengerti" Kalau sua mi kita tidak tahu bahwa sekali-sekali kita me milih jalan simpang, ma ka hal itu tidak akan menumbuhkan persoalan. Tetapi kalau kita berterus terang, dengan jujur, meskipun kita bersimpuh di bawah kakinya, belum tentu kalau rumah tangga kita dapat terpelihara baik" Sindangsari tidak menyahut. Tetapi bulu-bulu tengkuknya serasa meremang. Terbayang sejenak, bagaimana Ki De mang menjadi marah, dan hampir saja me mbunuhnya ketika ia berterus terang, apa yang sudah terjadiatasnya sebelum mereka kawin. "Dengan de mikian persoalan itu akan selesai. Ia tidak lagi dibebani oleh siksaan batin yang tidak ada henti-hentinya. Sepanjang saat, kecuali apabila ia sedang tertidur" "Kalau a ku mengatakan persoalan ini dengan berterus terang, tetapi kakang De mang menjadi salah paha m, apakah
ia akan dapat me maafkan a ku untuk kedua ka linya?" pertanyaan itu terlontar di dala m hati Sindangsari. Dala m pada ituNyai Reksatani mendesaknya "Apakah kau mengerti mBok-ayu" Kalau kita tidak berbuat jujur kita sebenarnya bermaksud ba ik" Sindangsari masih berdia m diri. Tetapi dadanya bergolak semakin cepat. Ia tidak mengerti sepenuhnya maksud Nyai Reksatani, meskipun terasa, betapa liciknya cara itu. "Tetapi terserahlah kepadamu" berkata Nyai Reksatani ke mudian "Aku hanya menasehatkan kepadamu, berdasarkan pengalamanku" Sindangsari masih tetap berdiam diri. Sementara kaki-kaki mereka melangkah se makin cepat. Ki Reksatani yang berjalan di belakang kedua pere mpuan itu tidak menghiraukan apa yang sedang mereka percakapkan. Kegelisahan yang se makin me muncak telah menceka m dadanya. "Apakah benar yang telah me mbunuh Puranta itu kakang Demang sendiri" Di padukuhan ini sukar agaknya untuk mene mukan orang yang dapat mengalahkan Puranta dengan mudah. Apalagi Puranta me mpergunakan keris. Dan bahkan agaknya kerisnya sendiri itulah yang sudah tergores di tubuhnya" ia selalu menimbang-nimbang di da la m hatinya. Tetapi akhirnya ia menggera m "Persetan. Aku tidak peduli. Dan aku bukan pengecut" Ki Reksatani mencoba menggeretakkan giginya untuk mengatasi kece masan di dadanya. Namun masih juga terasa debar jantungnya yang mengge lora. Semakin dekat mereka dengan rumah Kade mangan, hati Ki Reksatani menjadi se makin berdentangan. Bahkan tanpa sesadarnya tangannya telah menyentuh hulu kerisnya. Tetapi ternyata tangan itu ge metar.
Apalagi ketika mereka sudah berada diambang regol halaman. Ketika isterinya dan Sindangsari sudah melangkah me masuki ha la man. Sejenak ia termangu-ma ngu. Dilihatnya dua orang peronda masih ada di dala m gardu. Dan yang lebih mendebarkan dadanya, di pendapa dilihatnya Ki Jagabaya sudah duduk menghadapi se mangkuk air panas. Ketika Ki Jagabaya melihat kedatangan Nyai De mang dan Ki Reksatani berdua, iapun segera berdiri. Sambil mengerutkan keningnya, orang yang kekar itu me langkah menyongsongnya. "He, sepagi ini kalian sudah datang" ia menyapa ramah. Dala m pada itu Nyai Reksatani berbisik "Ingat mBokayu. Sebaiknya mBok-ayu tidak mengatakan apa-apa. mBok-ayu mengatakan ingin pulang tanpa sebab. Itu saja. Kalau mBokayu mengatakan sesuatu, maka kakang Demang akan bertanya lebih banyak lagi, sehingga pada suatu saat, mBokayu terpaksa mengatakan, bahwa mBok-ayu telah berjanji untuk mene mui seorang laki-laki berna ma Puranta" "He" Sindangsari terkejut. Tetapi sebelum ia berkata sesuatu. Nyai Reksatani sudah mendahului "Karena itu jangan mengatakan apa-apa" Mereka tidak dapat berbincang lebih banyak lagi, karena mereka telah berdiri di hadapan Ki Jagabaya, yang sekali lagi bertanya "Pagi pagi kalian sudah datang?" Nyai Reksatani tersenyum. Sejenak ia berpaling kepada suaminya yang tertawa. Tetapi sebelum sua minya menjawab, Nyai Reksatani berkata lirih "Ah seperti kau tidak tahu saja Ki Jagabaya. Bukankah mBok-ayu De mang ini masih termasuk pengantin baru?" Ki Jagabaya tertawa berkepanjangan seperti juga Ki Reksatani, sedang Sindangsari menundukkan kepalanya dalam-da la m. Agaknya suara tertawa mereka telah terdengar oleh Ki Demang, sehingga iapun ke mudian me njengukkan kepalanya.
Ketika dilihatnya isterinya diantar oleh Ki Reksatani sua mi isteri, ma ka iapun segera mendapatkannya. "Aku kira kau akan pulang siang nanti. Aku sudah berpikir apakah aku akan menjemput mu pagi ini. Tetapi akhirnya aku me mutuskan, bahwa aku akan pergi agak siang nanti, menje lang matahari sa mpa i ke puncak" "mBok-ayu tidak kerasan berada di rumah Semala man ia tidak dapat tidur" sahut Nyai Reksatani. "Kenapa?" "Kenapa kakang De mang masih bertanya" Di rumahku tidak ada kakang Demang. Itulah sebabnya begitu fajar menyingsing, mBok-ayu sudah mula i merengek, minta diantar pulang" "Ah" Ki De mang hanya dapat tersenyum.. "Sudah aku katakan kepada Ki Jagabaya, mBokayu masih termasuk penganten baru" "Ada-ada saja kau Nyai" desis Ki De mang "mari, marilah masuk" "Ki Re ksatani hanya tertawa-tawa saja. Tetapi sebenarnyalah bahwa dadanya telah terguncang-guncang. Ia masih juga dice maskan oleh dugaannya, bahwa ada ke mungkinan orang yang me mbunuh Puranta itu adalah Ki Demang sendiri. Tetapi menilik sikap dan kata-kata Ki Demang, agaknya dugaan itu tidak benar. Agaknya Ki De mang sa ma sekali tidak mengetahui, apa yang sudah terjadi di rumah adiknya. Ketika mereka ke mudian berbicara, bersama Ki Jagabaya, maka setiap kali Ki Reksatani menarik nafas dalam-dala m. Semakin la ma iapun menjadi sema kin yakin, bahwa bukan Ki Demanglah yang telah me lakukannya. Dengan demikian, maka ia menjadi malu sendiri, bahwa ia telah me mbawa ka mi.
kerisnya, seolah-olah ia sedang berhadapan dengan bahaya yang menganca m jiwanya. "Agaknya me mang de mikianlah seorang isteri yang sedang mengandung" berkata Nyai Reksatani kemudian "se mala m saja ia tidak bersama suaminya, rasa-rasanya sudah seperti bertahun-tahun" Ki De mang hanya dapat tersenyum saja. Sekali-sekali me mang dicobanya untuk me mandang wajah isterinya yang tunduk. Na mun ke mudian dile mparkannya tatapan matanya jauh-jauh. "Tetapi ka mi tidak dapat berlama-la ma disini ka kang" berkata Ki Reksatani "ka mi akan segera kemba li. Sebenarnya aku me mpunyai pekerjaan di rumah, mengawasi pe mbuatan bendungan itu. Tetapi mBok-ayu tidak dapat menunda sesaatpun, meskipun ka kang De mang sudah berjanji untuk menje mputnya. "He-he, kenapa tergesa-gesa. makan?" bertanya Ki De mang. Apakah kalian sudah
"Terima kasih. Setiap kali aku datang kemari, aku pasti dija mu ma kan" jawab Ki Reksatani. "Aku tahu, kau senang sekali ma kan" Ki Reksatani tertawa dan Ki Jagabayapun turut tertawa juga. "Tetapi, sebaiknya aku t inggal disini sebentar ka kang" potong Nyai Reksatani. Ki Reksatani mengerutkan keningnya. Dipandanginya isterinya sejenak. Namun ketika terpandang olehnya sorot matanya ia menarik nafas dalam-dala m sa mbil berdesah "Baiklah. Ka lau kau akan t inggal disini, tinggallah" "Aku masih lelah. Kalau ka kang ingin pergi ke bendungan pergilah. Di rumah akupun hanya seorang diri"
"Bagaimana dengan anak-anak?" bertanya Ki Reksatani. "Pe mbantu itu sudah tahu benar, bagaimana ia harus me layani anak-anak kita" Ki Reksatani mengangguk-anggukkan kepalanya "Baiklah kalau kakang De mang berdua t idak berkeberatan" "Tentu tidak" sahut Ki De mang "biarlah isterimu tinggal disini. Nanti sore kau dapat menje mputnya" "Nanti siang aku a kan datang kakang. Kasihan anak-anak yang terlalu la ma me nunggu ibunya" Ki Reksatanipun ke mudian minta diri dan me ningga lkan rumah Kade mangan. Di sepanjang jalan ia mencoba untuk mencari ke mungkinan, siapakah yang telah mela kukan pembunuhan itu. Ternyata Ki Demang sa ma sekali tidak tahu menahu. "Pasti bukan orang kebanyakan" desisnya. Memang ada juga pikiran di kepalanya, bahwa kemungkinan yang lain adalah Manguri atau ayahnya. "Tetapi Manguri seharusnya mendukung rencana ini. Rencana untuk me misahkan Sindangsari dari Ki De mang di Kepandak, karena dengan demikian ke mungkinannya untuk mendapatkan pere mpuan itu menjadi se makin besar" Ki Reksatani menarik nafas dalam-dala m. Teka-teki itu adalah teka-teki yang cukup rumit. Namun akhirnya ia jatuh ke dala m suatu kesimpulan "Aku harus menga mbil ja lan lain. Jalan yang pasti. Bukan sekedar mencoba-coba seperti yang dilakukan sela ma ini" "Aku akan menga mbilnya. Sebentar lagi kakang De mang akan me lakukan upacara Mitoni kalau kandungan genap tujuh bulan. Agaknya peralatan itu akan dilakukannya dalam waktu yang dekat. Dalam saat itu akan mendapat kesempatan" berkata Ki Reksatani di dala m hatinya "tetapi sebelum itu aku
harus sudah siap. Aku harus dapat menyusun bebahu tandingan buat Kade mangan ini. Apabila keadaan me maksa, maka aku a kan siap me nghadapinya. Sebagian terbesar dari rakyat Kepandak sendiri pasti tidak akan dapat bersikap. Aku dapat me mberikan alasan apa saja untuk menge labuhi mereka. Tetapi a kan lebih ba ik. ka lau ka kang De mang tidak tahu, bahwa akulah yang telah menga mbil isterinya. Dengan demikian tidak akan terjadi keributan apa-apa, sementara niatku untuk menghapus keturunan Kakang De mang dapat terlaksana" Dala m pada itu sekilas teringat pula olehnya keinginan Manguri untuk mendapatkan Sindangsari. Tetapi bagi Ki Reksatani melenyapkan Sindangsari adalah tujuan yang paling utama baginya, Kepentingannya pasti berada diatas kepentingan orang lain. Kecuali apabila ada pertimbanganpertimbangan yang saling menguntungkan. "Bagaimana ka lau Manguri itu minta lewat ibunya, supaya Sindangsari dihidupi, tetapi disembunyikan, untuk selanjutnya diperisterikannya?" pertanyaan itu me mang tumbuh juga di hatinya. "Tetapi itu seperti menyimpan bara di da la m seka m. Setiap kali asapnya pasti akan tampak juga. Kecuali kalau pada suatu saat kakang De mang sudah tida k ada" Ki Reksatani kemudian menghentakkan kakinya. "Yang harus aku lakukan adalah menyingkirkan Sindangsari dan anaknya dari Kade mangan. Kakang De mang harus kehilangan keturunannya" Ki Reksatanipun ke mudian me mpercepat langkahnya. Ia sadar bahwa ia harus mulai sejak hari itu. Ia tidak boleh menunda-nunda waktu lagi. Setiap saat kini akan sangat berharga baginya. Apalagi ia masih harus berhadapan dengan orang yang tidak diketahuinya. Orang yang telah me mbunuh Puranta. Bagaimanapun juga, orang itu harus
dipertimbangkannya. Setiap saat orang itu dapat dengan tibatiba saja muncul dengan pukulan maut atasnya. "Tetapi kalau a ku berhasil menyusun kekuatan, aku t idak akan gentar menghadapi siapapun juga" katanya di dalam hati. Dan bahkan tiba-tiba saja tumbuh suatu pikiran "Kenapa aku tidak terang-terangan saja mengusir kalang De mang?" "Ah" pikiran itu dibantahnya sendiri "itu terlampau kasar. Bukan saja rakyat Kepandak yang akan menila inya, tetapi juga para pemimpin dari Matara m. Kalau aku dapat menyiapkan alasan yang sebaik-baiknya barulah aku dapat mela kukannya" Ki Reksatani menjadi tegang. Ia telah dihadapkan pada suatu sikap yang me merlukan banyak sekali pertimbangan dan perhitungan. Tetapi niatnya sudah bulat, menyingkirkan Sindangsari untuk me motong garis keturunan Ki De mang di Kepandak. Apapun akibatnya, meskipun ia merasa perlu me mbuat perhitungan-perhitungan untuk menghadapinya. Sementara itu, di Kademangan Kepandak, Nyai Reksatani selalu berusaha untuk menuntun setiap pembicaraan sehingga sama sekali t idak menyinggung apa yang sudah terjadi di rumahnya, meskipun hanya sebagian kecil. Sindangsari seolah-olah me mang ingin pulang karena ia tidak dapat pergi terlampau la ma meninggalkan rumahnya. Ki De mang sama seka li me mang tidak menaruh kecurigaan apapun. Bahkan kemudian seperti biasanya, ia pergi me mutari beberapa padukuhan bersa ma Ki Jagabaya. Dala m kese mpatan itulah Nyai Reksatani dapat me mberikan banyak sekali petunjuk-petunjuk, bagaimana ia harus me mbohongi sua minya. Sejak hari itu, ma ka Ki Reksatani sudah mula i dengan usahanya mencari pengikut. Banyak sekali masalah yang dipergunakannya untuk mendapatkan dukungan. Terutama kele mahan Ki De mang sudah ena m kali kawin itu, terletak pada kesewenang-wenangannya mendapatkan isteri. Selain itu
Ki Reksatani dapat menceritakan apa saja yang dapat menumbuhkan ketidak senangan dan ketidak puasan rakyat kepada Ki De mang di Kepandak. Tetapi lebih daripada itu, ia masih selalu berusaha mene mukan orang yang telah me mbunuh Puranta dan mencari kese mpatan menyingkirkan Sindangsari. Tetapi pada suatu saat, Ki Reksatani tidak lagi dapat menghindarkan dirinya dari sebuah pe mbicaraan yang langsung menyangkut Sindangsari. Selama ini ternyata bukan saja Ki Reksatani yang selalu dirisaukan oleh Sindangsari. Setiap kali Manguripun selalu me mikirkannya. Ketika pada suatu saat La mat berkata kepadanya bahwa Puranta gagal melakukan peranannya untuk meruntuhkan keteguhan hati Sindangsari. Manguri selalu berusaha untuk mene mukan jalan, bagaimana ia mendapatkan pere mpuan itu. "Kenapa kau bunuh anak itu?" bertanya Manguri. "Aku sa ma seka li tidak sengaja" jawab La mat. "Kalau orang yang menyuruhnya mengetahui, maka kau akan dianca mnya" "Tida k seorangpun yang mengetahuinya kecuali kau" "Bagaimana kalau aku me ngatakan hal itu kepadanya. Kepada orang yang menyuruh Puranta datang ke rumah itu?" Lamat me mandang Manguri dengan wajah yang aneh. Tetapi sejenak ke mudian wajah itu sudah menjadi tenang ke mbali. "Bagaimana?" desak Manguri. "Aku mungkin akan dibunuhnya juga" "Tentu. Jadi bagaimana?" "Aku tida k berkeberatan"
"Gila kau. Kau me mang gila. Kau adalah seorang raksasa tetapi raksasa yang pengecut" Lamat t idak me nyahut. "Apakah kau tidak a kan me lawan?" Lamat tida k menyahut. Ia tidak mengerti apa yang harus dikatakannya, karena ia tidak mengerti ma ksud Manguri yang sebenarnya. Tetapi Manguri tida k bertanya lagi kepadanya. Bahkan dia sekedar berkata kepada diri sendiri "Aku harus berkata kepadanya, bahwa akulah yang akan memiliki Sindangsari. Bukan orang la in. Dan bukan untuk dimusnahkan" Lamat masih tetap berdiam diri. Ia tidak merasa wajib untuk menjawabnya. Demikianlah Manguri telah datang lagi kepada ibunya. Tetapi ia tidak mengatakan apa yang telah terjadi dengan lakilaki yang telah mencoba untuk me misahkan Sindangsari dengan Ki De mang di Kepandak. Meskipun usaha itu nampaknya paling aman dilakukan, tetapi perasaan cemburunya yang meluap-luap telah menolaknya, sehingga akibatnya justru lebih jauh dari yang diharapkannya, Puranta telah mati. Tetapi ke matian itu tetap dirahasiakannya. "Ibu" berkata Manguri kepada ibunya "dala m kese mpatan serupa ini, selagi ayah pergi untuk beberapa hari, biasanya laki-laki itu datang. Kalau ia t idak datang, ma ka ibulah yang me manggilnya" "Manguri, kau sela lu menyakiti hati ibu" "Kali ini aku sama sekali tidak bermaksud begitu ibu. Tetapi sebagai seorang anak, aku merengek di hadapan ibu" "Apalagi Manguri. Usaha itu sudah dilakukannya" "Tetapi ibu dapat menanyakannya kepadanya, apakah usahanya yang terakhir ini dapat berhasil"
"Aku yakin, bahwa ia a kan berhasil Manguri" "Bertanyalah kepadanya ibu,. Kalau berhasil, bersukurlah kita semua. Kalau tidak, apakah ibu tidak berkeberatan kalau aku berbicara kepadanya" "Manguri, itu sa ma seka li tidak bijaksana" "Aku tidak menghiraukan siapa laki-laki itu, dari apa. hubungannya dengan ibu. Tetapi laki-laki itu dapat "ku bawa berbicara tentang Sindangsari. Itulah yang penting. Ibu jangan me mpergunakannya sebagai alasan. Marilah kita jujur di dala m kegelapan ini. Kalau ibu ingin me lanjutkan, lanjutkanlah. Dan biarlah ayah juga me milih jalannya sendiri. Tetapi sebaiknya ibu juga me mberi kese mpatan aku mencari jalanku" Ibunya tidak tertunduk dala m. menjawab. Tetapi kepalanya menjadi
"Ibu, beri a ku kesempatan untuk me mpersoalkannya" Ibunya tidak segera menjawab. "Aku mengharap bahwa dengan de mikian persoalan ini akan segera selesai" Ibunya masih belum menjawab. Kepahitan yang dalam telah menerka m hatinya. Tetapi semuanya itu me mang sudah terjadi. Dan Manguri kini bukan lagi anak-anak yang setiap kali dapat dikelabuhinya. Manguri sudah mengetahui betapa kadang-kadang kesepian mencengka m, sehingga ia tidak lagi dapat mengatakan kepada anak itu seperti pertama ta ma ia me lakukannya. "Laki laki itu seorang yang baik Manguri. Aku me merlukannya di saat-saat tertentu, meskipun ayahmu tidak menghenda kinya. Karena itu, jangan kau katakan kepada ayah, supaya ayah tidak menjadi sangat marah"
"Bagiku. Aku tidak akan me mpersoalkan masalah-masalah lain yang tidak aku mengerti. Aku tidak akan meributkan lagi hubungannya dengan ibu yang sudah terjadi bertahun-tahun. Dan bukankah sela ma ini akupun tidak pernah me mpersoalkannya dan apalagi mengatakannya kepada ayah" Bahkan mungkin ayahpun sudah mengetahuinya. Tetapi karena kedudukan ayahpun lemah di dalam soal keluarga ini, maka ia t idak a kan menga mbil suatu sikap apapun" "Jangan berkata begitu Manguri. Kau me mbuat hatiku pedih. Sudah berapa kali aku katakan kepadamu, bahwa aku akan menghentikan permainan ini. Tetapi ketika aku ha mpir berhasil, datanglah persoalanmu dengan perempuan itu sehingga aku masih harus me mperpanjang hubungan itu" Manguri yang saat itu masih terla mpau muda me mang tidak mengatakannya kepada ayahnya karena ibunya memberi uang. Tetapi semakin dewasa anak itu, maka hati ibunyapun menjadi sema kin sakit dibuatnya. Tetapi iapun tidak pernah berhasil berusaha untuk me mutuskan hubungan itu. Ada sesuatu yang serasa telah mengikatnya erat-erat. Dan kini tuntutan Manguri me mang terasa terlampau berat. Bertemu langsung dengan orang itu. Bagaimanapun juga ibu Manguri merasa ce mas, bahwa keduanya tidak akan dapat menyesuaikan diri. Ada kepentingan yang sama dari keduanya atas dirinya. Keduanya merasa berhak menentukan suatu sikap atasnya. Manguri sebagai anaknya, dan laki-laki itu yang selama ini selalu mengisi kekosongan hatinya di saat-saat suaminya pergi untuk waktu yang la ma. "Percayalah ibu" berkata Manguri ke mudian "Aku sudah cukup dewasa menghadapi persoalan ini" "Manguri" berkata ibunya ke mudian "permintaanmu itu me mang terla mpau berat. Tetapi baiklah aku akan mengatakan kepadanya. Mungkin ia me mpunyai cara yang
lain yang lebih baik dari pe mbicaraan itu. Apalagi kalau usahanya memisahkan pere mpuan itu dari Ki De mang sudah berhasil, maka ja lan pasti a kan terbuka bagimu" "Terima kasih" berkata Manguri "Aku akan sangat berterima kasih ka lau usaha itu berhasil. Tetapi kalau tida k, sudah aku katakan, aku ingin bertemu langsung dan me mbicarakannya" Ibunya ke mbali terdia m sa mbil menundukkan kepa lanya. Manguripun ke mudian meninggalkan ibunya yang mura m, dengan rencananya sendiri di kepalanya. Dala m pada itu, meskipun Ki Reksatani sudah me mpersiapkan beberapa orang pengikut yang apabila diperlukan sudah siap me mbantunya, dengan me mberi harapan dan janji-janji kepada mereka, namun Ki Reksatani sendiri masih me mpunyai harapan untuk menga mbil Sindangsari dengan dia m-dia m, tanpa menumbuhkan keributan. Setelah ia yakin bahwa pembunuh Puranta itu bukan Ki De mang, maka jalan yang paling a man itu masih akan dicobanya. "Saat yang paling tepat adalah apabila kakang De mang, me mbuat peralatan di bulan ke tujuh dari kandungan perempuan itu" berkata Ki Reksatani di dala m hatinya "ia dapat menyiapkan beberapa orang yang harus membawa Sindangsari pergi. Ia sendiri dan isterinya akan mencari jalan untuk me mbawa Sindangsari menjauhi sua minya dan orangorang yang sedang sibuk dala m peralatan itu. Ki Reksatani mengangguk anggukkan kepalanya. Sudah terbayang di kepalanya, bagaimana isterinya membawa perempuan itu ke ha la man belakang yang sepi. Sebelum Sindangsari sadar, maka ia harus dipukul sa mpai pingsan. Sementara orang-orang yang sudah disiapkan, harus me mbawanya pergi dan me larikannya diatas punggung kuda yang harus siap agak jauh dari rumah itu.
"Tentu tidak seorangpun yang akan segera mengetahui bahwa Nyai Demang telah hilang, karena kesibukan di dala m rumah kakang De mang desis Ki Reksatani itu sa mbil mengangguk-anggukkan kepa lanya. Namun ke mudian ia mengumpat tidak habis habisnya, karena ia masih belum berhasil mene mukan pe mbunuh Puranta. "Persetan dengan pembunuh yang licik itu" gera m Ki Reksatani "Ki De mang akan menyadari keadaan isterinya setelah perempuan itu tidak bernyawa lagi dan dikubur di tempat yang tidak akan mungkin dite mukan orang" Dengan demikian se makin dekat bulan ke tujuh dari kandungan Sindangsari, maka Ki Reksatani menjadi se ma kin sibuk. Ia harus me mpersiapkan rencananya dengan cermat. Bahkan iapun harus me mperhitungkan apabila rencananya itu gagal. Ia harus siap dengan kekuatan yang akan dapat setidak-tidaknya menyama i ke kuatan bebahu di Kepandak. Sementara itu, Ki Reksatani sendiri me mang sudah menyiapkan dirinya untuk menghadapi Ki De mang di Kepandak. Keduanya adalah saudara sekandung dan saudara seperguruan. Ki De mang yang lebih tua me mpunyai pengalaman yang lebih banyak, tetapi Ki Reksatani yang lebih muda me miliki kekuatan badani yang lebih besar dari kakaknya. Umurnya yang masih lebih mudapun me mpengaruhi ke mauan mere ka dala m mendala mi ilmu masing-masing. Sehingga dengan de mikian Ki Reksatani merasa bahwa apabila ia dihadapkan pada suatu keharusan untuk bertempur melawan Ki De mang, ia masih me mpunyai harapan untuk dapat ke luar dari pertarungan itu hidup-hidup. Namun, sebelum se muanya itu terjadi, sebelum genap tujuh bulan kandungan Sindangsari, Kepandak telah digetarkan oleh berita yang datang dari Mataram bahwa pasukan Mataram yang pergi ke ujung Barat kota yang telah dija mah oleh orang-orang asing itu, terpaksa ditarik ke mbali.
Sinuhun Sultan Agung me mutuskan, bahwa kali ini niatnya untuk mengusir orang bule itu belum dapat dilanjut kannya, karena berbagai maca m sebab. Salah satu dari alasan penundaan serangan itu adalah karena penghianatan Lumbung-lumbung padi Persediaan makan bagi para prajurit Mataram telah terbakar. Agaknya ada beberapa orang yang sengaja menjual rahasia persiapan Sinuhun Sultan Agung itu kepada Belanda. Dengan demikian maka pasukan Mataram yang terdiri dari segenap kekuatan rakyat yang tinggal di daerah pedalaman dan daerah pantai, kali ini telah gagal lagi. Tetapi kegagalan ini sa ma sekali tidak me mada mkan api kebebasan yang menyala di setiap dada rakyat Mataram. Agaknya Sinuhun Sultan Agung telah membuat perhitungan yang sebaik-baiknya. Kalau serangan atas kota Betawi itu dilanjutkan, maka korban akan berjatuhan. Persediaan makan dan perlengkapan tidak me mada i, dan penyakit yang sudah mulai berjangkit dika langan prajurit Mataram. Terutama disebabkan karena kekurangan ma kan. Karena itu, maka untuk menyela matkan jiwa para prajuritnya, sedang hasil yang dicapai masih belum dapat dipastikan, Sinuhun Sultan Agung menga mbil kebijaksanaan, bahwa pasukannya ditarik dari medan. Berita penarikan pasukan Mataram itu telah menumbuhkan berbagai tanggapan. Bukan saja rakyat Kepandak, tetapi rakyat Mataram seluruhnya, terutama mereka yang me lepaskan ke luarganya pergi beberapa bulan yang la lu. "Penyakit yang ganas telah menyerang prajurit Mataram yang kekurangan makan karena penghianatan itu" berkata salah seorang yang mendengar dari kawan-kawannya yang datang dari kota untuk mendapatkan kebenaran berita itu. "Apakah dengan de mikian banyak korban yang jatuh karena penyakit itu?" bertanya yang lain.
"Ka mi belum tahu. Tetapi ka mi merasa ce mas bahwa hal itu telah terjadi" Dengan de mikian, maka orang Kepandak dan padukuhanpadukuhan lain, hanya dapat menunggu sa mpai pasukan itu datang. Apakah yang sebenarnya telah terjadi dengan mereka. Beberapa orang utusan yang mendahului serta para penghubung yang hilir mudik menghubungkan pasukan itu dengan pusat pemerintahan di Mataram, sama sekali tidak mau me mberikan keterangan kepada siapapun juga, sehingga gambaran yang sebenarnya dari pasukan yang ditarik ke mba li itu sangat gelap. Orang-orang Kepandak yang telah melepaskan anak-anak mereka, suami-sua mi muda mereka dan bahkan kekasih mereka, menanti dengan jantung yang berdebaran. Kapan pasukan itu datang dan kapan mereka mendengar nasib keluarga mereka masing-masing. Berbeda dengan kepentingan para keluarga yang dengan harap harap cemas menunggu pasukan itu, datang, ternyata Ki Reksatanipun menjadi ge lisah, Di dala m pasukan itu terdapat seorang anak muda yang berna ma Pa mot. Meskipun Pamot kini sa ma sekali tida k lagi bersangkut paut dengan Sindangsari, tetapi nama itu me mbuat hati Ki Reksatani menjadi semakin kisruh. Kadang kadang ia menjadi heran, kenapa ia harus me mpersoalkan Pa mot. Sindangsari adalah isteri Ki De mang. Sama sekali tidak ada masalah dengan Pamot. "Adalah suatu ke mungkinan, bahwa Pa mot telah mati di tengah perjalanan, diterkam oleh penyakit yang ganas itu" Ki Reksatani mencoba menenteramkan hatinya sendiri. Tetapi ia tidak berhasil. Setiap kali na ma Pa mot itu selalu mengganggunya. Selain Ki Reksatani, maka Pa mot me mang menimbulkan persoalan persoalan pula pada Ki De mang di Kepandak, pada Sindangsari yang sudah mendengar pula tentang pasukan
yang ditarik itu, dan bagi Manguri yang sedang berusaha untuk merebut Sindangsari dengan cara apapun juga. Karena itu, maka merekapun. tidak luput dari kegelisahan yang setiap hari menjadi semakin me muncak. Mereka sama sekali tidak digelisahkan oleh ke mungkinan yang kurang baik yang menimpa Pa mot, tetapi mereka justru digelisahkan oleh kehadiran anak itu ke mbali di Kade mangan Kepanda k. Dengan demikian, maka Ki Reksatanipun segera menga mbil sikap. Rencananya harus segera terlaksana sebelum ada persoalan baru apabila Pa mot sudah ada di Ge mulung. "Perempuan itu harus segera disingkirkan" gera m Ki Reksatani yang duduk bersama isterinya di rumahnya. "Apakah tidak ada kemungkinan lain kakang" berkata isterinya. "Ke mungkinan la in, rencana kita gagal mutlak. Dan aku tidak mau, Aku sudah terlanjur sampai disini. Karena itu aku harus berjalan terus" Nyai Reksatani merasa, bahwa ia tidak a kan dapat mencegah lagi. Ia tahu, seperti Ki De mang di Kepandak, suaminya adalah orang yang keras hati. Apabilaia sudah me mpunyai niat, maka niat itu akan dicapainya dengan cara apapun juga. Tetapi dala m pada itu. Manguripun sudah me mpunyai keputusan tersendiri. Kini ia datang kepada ibunya me mbawa keputusan itu. "Ibu, rencana yang semula itu pasti sudah gagal. Ternyata sampai saat ini tida k ada kelanjutannya apapun. Sindangsari sama sekali tidak dicerai oleh sua minya karena perbuatan sedengnya" Ibunya tidak menyahut. Ia hanya dapat menganggukkan kepalanya saja. "Nah, bukankah ibu sudah tahu?"
"Ya" "Sekarang, aku harus mene muinya. Kapan saja ia dapat menerima. Secepat-cepatnya" "Aku tida k dapat mengatakannya Manguri" "Aku masih me mpunyai kesempatan. Ayah baru akan ke mbali kira-kira tiga hari lagi. Tetapi seperti biasanya, kedatangan ayah pasti akan tertunda. Apalagi kalau disuatu tempat ayah menemukan perawan yang cantik" "Manguri" potong ibunya. "Sudahlah. Jangan dipersoalkan lagi kata-kataku itu ibu. Sekarang, aku harus menemuinya. Kalau tidak, aku akan menga mbil tindakan sendiri, sesuai dengan rencanaku. Aku tidak peduli apakah rencanaku itu bertentangan dengan rencananya" "Jangan tergesa-gesa Manguri. Kau tidak berhadapan dengan orang kebanyakan. Kalau kau terlibat dalam suatu tindak kekerasan,akibatnya tidak akan menguntungkan" "Karena orang itu terhingga?" me miliki ke ma mpuan yang tidak
"Sebagian karena itu, meskipun bukan tidak terhingga, tetapi ia adalah seseorang yang sukar dicari tandingnya di Kepandak" "Mungkin ibu, tetapi aku tida k akan gentar. Betapapun dungunya, tetapi Lamat adalah orang yang luar biasa. Alam telah me mbe kalinya dengan ke ma mpuan yang hampir tidak terbatas. Ia kuat seperti singa, tetapi bodoh seperti ke ledai. Justru karena itu, ia adalah orang yang sangat berbahaya bagi orang-orang yang tidak aku senangi" Wajah ibunya menjadi tegang mendengar kata-kata Manguri itu. Ia mengerti, bahwa Lamat me mang orang yang luar biasa seperti yang selalu dikatakan oleh ayah Manguri.
Tidak seorangpun yang mengetahui, kapan dan dari mana ia berguru. Tetapi agaknya ala m me mang telah me mbekalinya. "Nah, terserah kepada ibu" berkata Manguri ke mudian. "Apa yang kau ma ksudkan?" "Aku tidak yakin bahwa laki-la ki itu dapat menga lahkan Lamat" "O" ibunya menjadi se makin bingung. Dengan ge metar ia menjawab "Berilah aku kesempatan untuk me mpertimbangkannya Manguri" "Waktunya sudah terla mpau se mpit ibu. Sebentar lagi anak-anak yang mengikuti pasukan Matara m ke Betawi itu akan pulang. Pasti tidak se mua dari mereka terbunuh. Kalau diantara mereka terdapat Pamot yang masih hidup, maka persoalannya akan menjadi bertambah rumit. Mungkin Pa mot tidak akan berbuat apa-apa selagi Sindangsari masih tetap menjadi isteri Ki De mang. Tetapi kalau terjadi sesuatu perubahan keadaan, misalnya Sindangsari dicerai, atau keadaan yang lain, maka Pa mot pasti akan ikut berbuat sesuatu. Bahkan mungkin ia merasa orang yang paling berhak atas Sindangsari sesudah Ki De mang di Kepandak" Ibunya menarik nafas dala m-dala m. Desisnya "Kau me mang aneh Manguri. Kau dapat mencari gadis berapapun kau kehendaki. Kenapa kau begitu bernafsu atas seseorang yang sudah bersuami, dan bahkan sudah mengandung?" Jangan bertanya begitu ibu, nanti aku bertanya pula kepada ibu, kenapa ibu begitu gairah atas laki-laki itu. sedang ibu sudah bersuami dan laki-laki itupun sudah beristeri dan beranak beberapa orang" "Manguri" potong ibunya. "Baiklah aku tidak mengatakannya lebih panjang. Tetapi usahakan hubungan itu"
Ternyata ibu Manguri tidak dapat menolak lagi. Anaknya terlampau banyak mengetahui persoalannya, sehingga apabila ia menola k, mungkin akan terjadi sesuatu yang tidak dikehendakinya. Meskipun ayah Manguri me nyadari kekurangannya apabila ia harus berhadapan dengan laki-la ki itu, tetapi Lamat adalah orang yang berbahaya. Lamat adalah kekuatan yang ditabiri oleh suatu rahasia. Tidak seorangpun tahu pasti, betapa besar kema mpuannya. Demikianlah, ma ka ibu Manguri harus mengatakan kepada laki-laki itu, bahwa Manguri ingin mene muinya dan me mbicarakannya tentang Sindangsari. "Tida k ada yang dapat dibicarakan" jawab la ki-laki itu "aku sudah me mutuskan untuk me mbunuhnya" "Jangan begitu" jawab ibu Manguri "mungkin ada jalan dan cara yang dapat ditempuh" "Aku tidak me lihatnya lagi. Aku sudah kehabisan akal" lakilaki itu berhenti sejenak "sudahlah. Disini kita tidak usah me mbicarakan pere mpuan itu. Aku sudah jemu berbicara. Aku datang untuk mengendorkan ketegangan yang mencengka m hatiku sela ma ini. Bersikaplah seperti biasa. Jangan berwajah mura m seperti itu. Kita masing-masing sudah mene mpuh jalan ini. Sudah tentu kita tidak akan me libatkan diri dala m persoalan-persoalan yang mendala m seperti sepasang suami isteri. Kita sekedar berbicara tentang diri kita sendiri, tentang saat-saat yang hanya dapat kita hayati beberapa kejap, sebelum kita akan terjun ke mbali ke dala m kenyataan hidup kita masing-masing. Kita sudah me mbuat hubungan ini sebagai suatu pelarian dari keadaan kita yang sebenarnya. Karena itu, janganlah kita me mpersoalkan masalah-masalah yang dapat mengerutkan saat-saat yang pendek ini" Ibu Manguri menjadi termangu-ma ngu. Tetapi setiap kali terngiang kata-kata Manguri, bahkan sebuah ancaman, bahwa ia akan bertindak sendiri bersama La mat.
"Mungkin Manguri akan lari ke ayahnya" berkata ibunya itu di dala m hati "ka lau ayahnya dapat me mberinya peluang dan kesempatan lebih besar dari aku, maka ia pasti tidak akan me merlukan a ku lagi" Karena itu iapun berkata "Sebenarnyalah demikian. Saatsaat kita lari dari kehidupan kita sehari-hari, tidak sepantasnya kita kotori dengan kesulitan-kesulitan yang ingin kita lupakan sejenak. Tetapi kali ini aku tidak ma mpu me lepaskan diri dari kehidupan serupa itu. Kapanpun. Juga sekarang" Laki-laki itu mengerutkan keningnya. Katanya "Pertemuan kita akan kehilangan arti bagi kita. Aku lari dari ketegangan, disini aku bertemu dengan ketegangan-ketegangan baru" "Penuhi permintaannya. Untuk seterusnya, aku tidak akan mengganggumu lagi. Kita akan bersama-sama me mperguna kan setiap kesempatan sebagai suatu wadah pelarian kita sebaik-ba iknya. Tetapi apabila masalah ini masih belum dapat diselesaikan, maka hatiku akan tetap dipengaruhi olehnya. Oleh masalah ini" Laki-laki itu menjadi tegang sejenak. Katanya "Bukan kewajibanku untuk mengurusi anak itu. Ia mempunyai ayah yang lebih berha k mendengar pengaduannya" "Bukan soal berhak atau tidak berhak. Tetapi anak itu me lihat bahwa kau me mpunyai kese mpatan apabila kau menghenda kinya" Akhirnya laki-laki itu menganggukkan kepa lanya. Katanya "Baiklah. Aku me mberikan waktuku sekarang. Hanya sekarang.Besok, lusa dan seterusnya tidak. Aku datang untuk mene mui kau. Tida k untuk yang lain-la in" "Terima kasih" berkata ibu Manguri "Anak itu akan aku panggil saja ke dala m bilik ini. Kau tidak boleh keluar dari bilik khusus ini supaya tidak ada orang la in yang mengetahui, bahwa kau ada disini"
"Anakmu?" "Ia sudah mengetahui sejak lama. Bukankah sudah aku katakan?" Laki-laki itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Ternyata anakmu ba ik juga terhadapmu. Apakah ia tidak akan mengatakan kepada ayahnya pada suatu saat?" "Sa mpai saat ini tida k, asal ia tida k terlalu aku kecewakan. Karena itulah aku t idak dapat mengkesa mpingkan permintaannya kali ini" Laki-laki itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia berkata "Anak itu harus tahu, bahwa aku telah menga mbil keputusan. Aku hanya akan memberitahukan keputusan itu, tidak untuk me mbicarakannya. "Tentu untuk me mbicarakannya. Kalau di dala m pembicaraan itu dite mukan sesuatu kesimpulan yang dapat me menuhi kepentingan bersama, bukankah itu lebih ba ik?" Laki-laki itu mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun ia berdesis "Aku t idak me lihat ke mungkinan itu. Tetapi baiklah, Bawa anak itu ke mari" Ibu! Manguri itupun ke mudian keluar dari biliknya, untuk menuju ke ruang dala m mencari Manguri. Tetapi begitu ia me langkahi pintu tengah, ia terkejut. Ternyata Manguri sudah berdiri bersandar uger-uger. "Aku tahu, laki-la ki itu sudah datang" desis Manguri. Ibunya mengusap dadanya yang menjadi berdebar-debar. "Jantungku ha mpir berhenti berdetak. Kau mengejutkan aku Manguri" "Aku me mang sudah menunggu disini. Aku sudah berketetapan hati, kalau laki-laki itu menola k mene mui a ku, ia tidak akan dapat keluar dari rumah ini" "Manguri, apa yang akan kau lakukan?"
"La mat sudah siap untuk menangkapnya. Ia akan menjadi pangewan-ewan" "Gila. Apakah kau sudah gila" Apakah kau tidak menyadari, bahwa dengan de mikian ibumu akan dihinakan juga di hadapan orang-orang Ge mulung?" "Aku akan me ncoba me mfitnahnya. Aku dapat berkata, bahwa ia me masuki hala man rumah ka mi untuk keperluan apapun, yang barangkali tida k menyangkut na ma ibu" "Itu tidak mungkin. Orang itu bukan orang bisu" "La mat dapat me mbuatnya bisu" "O, kau benar-benar telah menyiksa hati ibumu" "Tida k. Bukan ibu" Manguri tersenyum. Tetapi senyumnya seperti senyum iblis yang melihat sesosok mayat baru "Sudahlah ibu. Jangan risau. Aku t idak a kan mence markan nama ibu" Ibunya termangu-mangu sejenak. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain kecuali me mbawa Manguri itu kepada laki-la ki yang sudah menunggunya di dala m biliknya. Beberapa langkah di depan pintu Manguri masih berdesis "La mat ada di luar dinding ini. Pintu rahasia ibu itu sudah diketahuinya" "Aku tidak me mbuat pintu rahasia Manguri. Pintu itu sudah ada sejak rumah ini dibuat. "Maksudku, pintu yang diperguna kan oleh la ki-laki itu" "Sudahlah. Sekarang temui laki-la ki itu. Tetapi kenapa kau me mbawa La mat pula. Ia akan mengetahui rahasia ini, dan itu berbahaya" "Ah, ibu. Lamat mengetahui sejak la ma. La ma sekali. Ia adalah seseorang yang memiliki ke ma mpuan di luar dugaan. Ia melihat apa yang tidak kita lihat, dan ia mendengar apa
yang tidak kita dengar. Sayang otaknya kurang baik untuk mencernakan apa yang dilihat dan didengarnya" Ibunya menjadi tegang. "Tetapi ada juga baiknya ia berotak tumpul, sehingga ia tidak dapat me mbedakan, mana yang ba ik dan yang buruk. Kalau ia ma mpu me mbedakannya, ma ka raksasa bodoh itu akan bersikap lain terhadap keluarga ini, karena ia akan ma mpu menila i, betapa kelamnya hati kami seisi rumah ini. Tetapi itu pula agaknya kelebihan kita. Meskipun kita mengetahui bahwa langkah kita sesat, kita tetap berjalan lurus" "Manguri" desis ibunya "bukankah kau ingin mene muinya" Jangan mengatakan tentang yang lain. Bicarakan apa yang akan kau bicarakan" "Baik ibu. Apakah aku harus juga masuk ke da la m bilik ibu?" Ibunya mengangguk. "Apakah kita tidak bicara saja di luar?" Ibunya mengge leng "Tidak Manguri" Manguri mengangguk-anggukkan kepa lanya. Katanya "Ya. aku tahu. Orang itu orang asing yang diliputi oleh kabut rahasia di ruma h ini" "Manguri" Manguri tidak menjawab. Tetapi ia hanya tersenyum saja. Sejenak ibunya me mandangi senyum aneh yang terbayang di bibir Manguri. Na mun ke mudian ia berkata "Manguri aku minta kepadamu sebagai seorang ibu. Jagalah pembicaraan ini baik-baik. Kalau terjadi sesuatu, aku, ibumu, akan ikut tercemar pula karenanya"
http://www.mardias.mywapblog.com
"Jangan takut. Aku akan menjaga nama baik ibu dan seluruh keluargaku. Aku sudah terlatih untuk mengelabui mata orang-orang di sekitar kita" "Mengelabui" Apa ma ksudmu Manguri?" "Maksudku, aku dapat menjaga bahwa na ma yang sebenarnya memang sudah tida k baik ini, akan tetap menjadi seolah-olah baik" "O, kata-katamu benar-benar telah menyayat hatiku" Ibunya menundukkan wajahnya. Sejenak ke mudian terdengar suara perempuan itu parau "Aku me mang harus menerima akibat yang pahit ini karena perbuatanku" "Jangan ibu salah tangkap. Bukan maksudku. Bukan maksudku "Manguri maju selangkah mendekati ibunya. Lalu "Sudahlah ibu, dimana la ki-laki itu" Ibunya mengusap matanya. Jawabnya "Di dala m bilik itu. Marilah kita masuk" Ibunya kemudian me langkah maju mendekati pintu. Hatinya terasa menjadi se ma kin berdebar-debar seperti juga hati Manguri. Tetapi ia sudah bertekad untuk mene muinya. Menemui laki-la ki itu. Ketika tangan ibunya perlahan-lahan mendorong daun pintu, terasa bahwa tangan itu menjadi gemetar. Sekali perempuan itu berpaling. Dilihatnya Manguri, anak laki-lakinya itu, berdiri tegak dengan tegangnya memandangi lubang pintu yang semakin la ma menjadi se makin luas. Ketika pintu itu sudah terbuka lebar, Manguri menarik nafas dalam-da la m, seolah-olah ia ingin mengendapkan perasaannya yang bergolak. Kini barulah disadari, bahwa hatinya terguncang juga melihat laki-laki yang duduk diatas pembaringan ibunya. Sudah lama ia mengetahui, seorang lakilaki yang sering me masuki bilik itu. Tetapi baru ka li inilah ia me lihatnya. Melihat seorang laki-laki la in yang duduk
dipe mbarihgan ayah ibunya. Tetapi kini, yang duduk disitu itu sama sekali bukan ayahnya, meskipun ia seorang laki-la ki juga. "Masuklah Manguri" desis ibunya. Darah Manguri serasa menjadi sema kin cepat menga lir ketika ia me masuki bilik itu. Di bawah cahaya lampu yang ke merah-merahan, tampak wajahnya menjadi se makin merah. Dengan tegangnya ditatapnya laki-laki yang berwajah keras itu. Laki-laki yang bertubuh tegap, bermata tajam. Dan la kilaki itu dikenalnya berna ma Ki Reksatani Ia sudah sering me lihat la ki-laki itu. Ia sering bertemu di simpang jalan, di bulak dan kadang-kadang di pasar ternak. Tetapi ketika ia melihat laki-laki itu duduk di a mben orang tuanya, dadanya masih juga terguncang-guncang. "Marilah Manguri. Duduklah" berkata Ki Reksatani itu. Manguri masih tetap berdiri di depan pintu. Ketika ibunya ke mudian menutup pintu itu, ia sama seka li tida k bergeser dari tempatnya. "Duduklah" berkata la ki-laki itu pula. "Akulah yang harus mempersilahkan kau. Bukan kau me mpersilahkan aku" gera m Manguri. "Rumah ini rumahku" berkata Manguri seterusnya "kaulah tamu di rumah ini, meskipun di dala m bilik ibuku sekalipun" "Manguri. Sudah aku katakan. Kau jangan berbuat gila. Bukankah kau bermaksud berbicara tentang Sindangsari?" potong ibunya. Manguri terdia m sejenak. Namun ke mudian ia mengangguk kecil. Jawabnya "Ya. Aku a kan berbicara tentang Sindangsari" Ternyata Ki Reksatani masih dapat mengendalikan dirinya. Ia masih tetap sareh. Katanya "Baiklah. Biarlah ibumu yang me mpersilahkan kau duduk"
Manguripun ke mudian menarik sebuah dingklik kayu di sudut ruangan. Sambil menyodorkan dingklik itu kepada Ki Reksatani ia berkata "Silahkan kau duduk disini. Biarlah aku yang duduk di pe mbaringan. Wajah Ki Reksatani menegang sejenak. Namun iapun ke mudian berdiri dan meletakkan dirinya diatas dingklik kayu itu sambil berkata "Baiklah, aku akan duduk disini. Agaknya kau masih belum rela me lihat seorang laki-laki yang bukan ayahmu duduk di pe mbaringan ibumu" "Ya" sahut Manguri. "Baiklah. Aku mengerti" Ki Reksatani dia m sejenak, lalu "supaya kita tidak terseret oleh arus perasaan kita masingmasing, marilah kita segera mulai dengan persoalan yang sebenarnya akan kita bicarakan" Manguri yang ke mudian duduk di pinggir pe mbaringan ibunya mengerutkan keningnya. Dan ia mendengar ibunya berkata "Itu agaknya yang paling baik kita lakukan sekarang. Nah, bagaimana dengan Sindangsari yang kini sudah mengandung, dan bahkan beberapa hari lagi akan dila kukan upacara genap tujuh bulan dari kandungannya itu" Manguri tidak segera menyahut. Ditatapnya saja wajah lakilaki yang masih juga berbicara apapun tentang Sindangsari itu. "Kenapa kalian berdia m diri" Bukankah ka lian akan me mbicarakan pere mpuan itu?" "Baiklah. Akulah yang akan berbicara. Aku sudah menga mbil keputusan untuk me nyingkirkan perempuan itu" "Apa yang akan kau la kukan atasnya, sesudah ia tersingkir dari Ki De mang di Kepandak?" bertanya Manguri. "Aku tidak menghendaki anak laki-la ki itu lahir. Juga aku tidak menghendaki ibunya hidup, agar ia tidak dapat mengatakan apapun juga tentang dirinya"
"Tida k. Perempuan itu harus tetap hidup" "Kau menghendakinya?" "Ya" "Tida k akan ada gunanya. Kalau ia masih hidup, ia akan tetap berada di Kade mangan" "Tentu tida k. Ia akan menjadi isteriku" "Aku sudah mencoba me misahkannya dengan suatu cara. Tetapi aku tida k berhasil. Karena itu, bagiku, tidak ada cara yang lain, kecuali me mbinasakannya" "Kepentinganmu bertentangan dengan kepentinganku. Kalau kau dapat mengerti, biarlah perempuan itu disingkirkan dari Ki De mang di Kepandak tetapi ia tidak perlu mati. Ia akan menjadi isteriku. Dan bukankah dengan demikian ia sudah tersingkir juga dari Kade mangan dan ia tida k akan me mberi keturunan lagi kepada Ki De mang?" "Apakah kau sangka, Ki De mang tida k akan menga mbilnya daripadamu dan me mbunuhmu?" "Bodoh sekali. Apakah aku begitu gila, datang kepada Ki Demang dan me nga mbil Sindangsari di siang hari di depan hidungnya pula?" "Maksudmu, kau akan menculiknya?" "Kalau kau sependapat, kita bersa ma-sa ma me lakukannya. Kau adalah orang yang dekat dengan Ki De mang sepengetahuan kami. Kau dapat me mbantu aku me mberi kesempatan untuk menga mbil Sindangsari tanpa diketahui oleh siapapun. Aku akan menyembunyikannya dan kalau perlu me mbawanya jauh se kali dari Kepandak" Ki Reksatani merenungi kata-kata Manguri itu. Sebenarnya, cara itu hampir bersamaan dengan cara yang sudah direncanakannya. Tetapi kalau Sindangsari itu masih tetap hidup, dan anak yang ada di dala m kandungan itu ke lak lahir,
apakah pada suatu saat tidak akan timbul lagi suatu persoalan diantara mereka. Karena Ki Reksatani tidak segera menjawab, maka Manguri berkata "Jadi, pokok dari persoalanku adalah, Sindangsari harus tetap hidup" Ki Re ksatani menarik nafas dala m-dala m. "Hal itu berbahaya bagiku. Kau tidak akan dapat menye mbunyikan pere mpuan itu untuk seumur hidupnya" "Kenapa tidak?" "Dan anak itu ke lak pasti akan mengetahui, bahwa Kademangan ini seharusnya berada di tangannya" "Aku tida k akan berbicara tentang anak itu. Terserah kepadamu, apa yang akan kau lakukan atas bayi yang kelak akan lahir. Bayi itu bagiku tidak akan ada gunanya. Ia hanya akan mengganggu ketenangan rumah tanggaku saja. Sebab aku yakin, bahwa pada suatu saat Sindangsari a kan dapat menerima kenyataan, seperti sekarang ia menjadi isteri Ki Demang. Ia tidak me mpersoalkan lagi, bagaimana cara Ki Demang mendapatkannya. Ternyata pula bahkan ia sudah mengandung" Ki Reksatani masih berpikir sejenak. Na mun tiba-tiba ia berkata "Terla mpau berbahaya bagiku, apabila pere mpuan itu masih tetap hidup. Kau akan dapat menunjuk gadis yang manapun yang kau kehendaki. Tetapi jangan perempuan itu" Manguri me nggelengkan kepa lanya "Aku menuntut perempuan itu. Aku me mang dapat mendapatkan lebih dari sepuluh gadis yang aku kehendaki tanpa diajari oleh orang lain bahkan aku akan dapat menceraikan sepuluh rumah tangga yang baru saja dibangun dengan caraku. Karena itu gadis-gadis itu tidak menjadi persoalan lagi bagiku. Aku akan mendapatkan kapan aku mau. Tetapi tidak de mikian dengan Sindangsari"
"Jadi, kepentingan kita berbeda" "Kau tidak dapat berbuat de mikian atasnya" "Kalau begitu, siapa saja yang pa ling dahulu me lakukannya. Kau dahulu yang menga mbilnya atau aku dahulu yang me mbunuhnya" "Tida k Ki Reksatani. Kau harus me mperhatikan kepentinganku. Kalau tidak, aku akan mengatakan kepada Ki Demang di Kepanda k" "Gila kau" potong Ki Reksatani. "Apa boleh buat" Wajah Ki Reksatani menjadi merah padam. Dipandanginya Manguri dengan sorot mata yang me mbara. Dala m pada itu, ibu Manguri yang melihat gelagat yang kurang baik segera mencoba menengahi "Kenapa kalian tidak dapat me mpertemukan pendapat kalian. Kalian sebenarnya me mpunyai kepentingan yang sama. Mengambil Sindangsari dari Ki De mang. Apa yang akan kalian lakukan, sebenarnya dapat dicari suatu cara yang sebaik-baiknya yang menguntungkan kalian berdua" "Perempuan itu sangat berbahaya bagiku. Pada suatu saat ia akan dapat berbicara tentang dirinya. Seandainya kakang Demang sudah matipun, ia akan dapat berkata kepada semua orang di Kepandak apa yang sudah terjadiatasnya" "Kau sebenarnya tidak usah ikut ca mpur. Biarkan aku menga mbil Sindangsari. Kau hanya menolong me mberikan kesempatan itu. Seterusnya kau akan ikut mengenyam hasilnya" "Kau tidak menanggapi kata-kataku. Perempuan itu berbahaya bagiku. Bagaimana aku harus menga mbilnya, sama sekali bukan suatu kesulitan. Tanpa orang lain a ku dapat me lakukannya, bukan sekedar ikut mengenya m hasilnya"
"Jadi, apakah kita a kan bersimpang jalan" Ingat, aku akan mengatakan kepada Ki De mang kalau perempuan itu benarbenar mati. Sindangsari sendiri barangkali me mang tidak akan dapat me mbuka rahasia itu. Tetapi akulah yang akan me lakukannya" Hampir saja Ki Reksatani kehilangan kesabaran. Seandainya ia tidak berada di rumah anak itu dan seandainya ibu anak itu tidak berdiri di da la m bilik itu pula. Namun de mikian ia menggera m "Manguri, jangan kau sangka bahwa aku tidak dapat me mbunuh siapa saja yang berbahaya bagiku. Dala m hal ini, aku tidak a kan me mandang siapa saja. Yang berbahaya bagiku, harus aku singkirkan" "Ki Reksatani. Me mang mudah Sindangsari. Tetapi lain dengan a ku" "Tida k ada kesulitan" "Mungkin a ku dapat terbunuh. Tetapi ada saksi yang lain. Ibuku. Apakah kau juga a kan me mbunuh ibuku" "Gila. Gila sekali" "Cukup. Cukup" potong ibu Manguri "Jika kalian berkeras hati, maka pembicaraan ini tidak akan selesai. Kenapa kalian tidak dapat saling me mberi dan menerima?" "Maksud ibu?" bertanya Manguri. "Yang penting pere mpuan itu meninggalkan Kade mangan. Kalau perempuan itu harus tetap hidup, maka kau menjadi jaminan, bahwa pere mpuan itu untuk seterusnya tidak akan me mbuka rahasia. Kau mengerti?" "Kalau hal itu sudah berlangsung bertahun-tahun, dan tidak akan ada harapan lagi bagi Sindangsari untuk ke mbali ke Kademangan, aku kira ia tidak akan me mbuka rahasia. Ia tidak akan mau kehilangan sua minya sampa i dua kali" "Tetapi anak itu" sahut Ki Reksatani. sekali me mbunuh
"Kalau kau kepadamu"
ingin bebas daripadanya, terserahlah Ki Reksatani menggigit bibirnya, Ia tidak dapat mengabaikan anak dari perempuan yang telah untuk sekian la manya bersama-sama mengisi kekosongan hati masingmasing. "Apakah kau sependapat?" bertanya Manguri "aku me mberikan ja minan, bahwa rahasia ini tidak akan terbuka. Sebenarnya memang tidak ada pilihan lain yang dapat kau lakukan. Ingat, di bela kangku ada laki-laki dungu yang bertubuh raksasa itu. Namanya Lamat. Bukankah kau pernah mengenalnya" Kau tida k dapat sekedar bermain-ma in dengan orang dungu itu. Ia dapat lunak seperti seekor kucing. Tetapi ia dapat buas seperti seekor harimau. Sangat tergantung kepadaku" "Aku me mang sedang berpikir. Tetapi jangan mencoba menakut-nakuti a ku. Aku bukan anak kecil lagi. Jangankan Lamat yang dapat sebuas harimau, sedangkan di tepi-tepi hutan aku tidak gentar menghadapi harimau yang sebenarnya" "Sudahlah" potong ibu Manguri "kalian akan berbelok lagi. Batasilah pe mbicaraan ka lian, supaya kalian tidak terjerumus ke dala m persoalan yang sebenarnya tidak ka lian kehendaki" Ki Reksatani menarik nafas dalam-dala m, seolah-olah ia ingin mengendapkan perasaan yang hampir melonjak. Sedangkan Manguripun ke mudian menundukkan kepalanya. Dicobanya untuk menila i pe mbicaraan yang baru saja dilakukannya dengan laki-la ki yang sebenarnya, sadar atau tidak sadar sangat dibencinya, karena ia begitu sering me masuki rumah ini, dan bahkan memasuki bilik ayahnya, selagi ayahnya tidak ada di rumah. Tetapi iapun sangat kecewa terhadap ibunya sendiri. Tanpa hasrat dari ibunya sendiri, maka ha l itu tida k akan dapat
terjadi. Apalagi untuk waktu yang lama dan bahkan setiap kali ayahnya pergi untuk waktu yang cukup me mberi peluang kepada mereka. Namun ayahnyapun bukan orang yang baik. Dan ia harus me mbenci pula berpuluh-puluh pere mpuan yang telah menggantikan tempat ibunya untuk waktu-waktu tertentu di sepanjang perjalanan ayahnya yang me mang sering dilakukannya. Dala m pada itu, terdengar ibunya berkata "Sudahlah. Agaknya kalian telah mene mukan suatu singgungan yang dapat kalian pergunakan sebagai landasan untuk berbuat. Nah, apakah kau dapat menyebutkan Manguri?" Manguri mengangkat wajahnya. Kemudian katanya "Menurut penilaianku, kita sudah mene mukannya. Perempuan itu kita sisihkan dari Kade mangan, kemudian kita ambil dan kita asingkan. Aku harus menjamin bahwa perempuan ini akan terpisah dari pergaulan dan rahasia ini tidak akan diketahui oleh sipapapun juga" "Dan kau akan melaksana kan dengan ba ik?" "Aku tidak gila ibu. Kalau rahasia itu diketahui orang, maka akulah yang pertama-tama harus berhadapan dengan Ki Demang, karena isterinya ada padaku" "Apakah Reksatani. begitu?" bertanya ibu Manguri kepada Ki
Ki Re ksatani termenung sejenak. Tetapi akhirnya iapun mengangguk "Baiklah. Untuk se mentara aku dapat menyetujuinya" "Kenapa untuk se mentara?" "Aku akan melihat perkembangan keadaan. Mudahmudahan pere mpuan itu tidak berbahaya bagiku dan bagi Manguri sendiri"
"Aku bertanggung jawab" sahut Manguri. Ki Reksatani mengangguk-angguk kepalanya "Ba iklah" katanya "kita tinggal merencanakan, bagaimana kita akan menga mbilnya dari rumah Ki De mang" "Tida k sulit. Kau bawa Sindangsari ke tempat yang sepi. Kemudian serahkan kepada La mat. Ia akan me mbawa Sindangsari ke tempat yang akan aku siapkan. Kalau kau tidak dapat me mpercayainya, kau dapat me mbantunya, menyiapkan beberapa orang yang akan mengawasi keadaan dan me lindungi La mat sebelum ia meninggalkan tempat itu" "Baiklah. Aku akan me mberitahukan te mpat-tempat yang paling baik baginya untuk menunggu Sebaiknya ia bersedia seekor kuda" "La mat tentu tidak akan berkeberatan" "Jadi, apakah pembicaraan ini sudah selesai?" bertanya Ki Reksatani ke mudian. Manguri mengerutkan keningnya. Ditatapnya wajah ibunya namun ibunya justru menundukkan kepalanya. Sekilas Manguri me lihat wajah yang tunduk itu menjadi ke merahmerahan. Dala m pada itu Manguri bahkan bertanya "Jadi, apakah aku harus segera meninggalkan bilik ini?" "Ah" Manguri mendengar ibunya berdesah sementara Ki Reksatani me ma lingkan wajahnya. Tiba-tiba saja ia berdiri dengan gelisahnya dan berjalan hilir mudik di dala m ruangan itu. "Baiklah" berkata Manguri ke mudian "aku a kan segera meninggalkan bilik ini. Tetapi pembicaraan kita tidak akan berubah. Perempuan itu tidak boleh mat i. Kita akan menentukan ke mudian, kapan kita akan mela kukannya"
Ki Reksatani t idak menyahut, sedang ibu Manguri masih saja menundukkan wajahnya. Sejenak ke mudian Manguripun berdiri. Na mun terasa betapa dadanya menjadi berdebar-debar. Masih ada sesuatu yang terasa bergejolak di dala m dadanya, ketika ia melihat langsung seorang laki-laki berada di da la m bilik itu. Tetapi Manguripun ke mudian me langkah ke pintu. Sekali ia berpaling, tepat pada saat ibunya mengangkat wajahnya. "Sela mat mala m ibu" desis Manguri. Sekali lagi ibunya menundukkan wajahnya. Ia tidak berani menatap sorot mata anaknya. Ki Reksatanipun masih tetap berdiri menghadap dinding seperti juga ibu Manguri, ia tida k mau me mandang mata Manguri yang me mancarkan sorot yang aneh. Sejenak ke mudian mereka mendengar daun pintu berderit, ke mudian dengan kerasnya terdengar daun pintu itu berdentang tertutup. Ki Reksatani berpaling. Terdengar giginya gemeretak. Tetapi ia mendengar suara ibu Manguri "Jangan salahkan anak itu. Marilah kita melihat kesalahan yang melekat pada diri kita sendiri" Ki Reksatani tidak menyahut. Namun ke mudian iapun menarik nafas dala m-da la m sa mbil mengusap dadanya. Manguri yang meningga lkan bilik ibunya langsung pergi ke halaman sa mping untuk mene mui La mat. Ketika ia keluar dari pintu depan, terasa udara malam yang sejuk menyentuh tubuhnya yang seakan-akan baru saja dipanggang diatas bara. Manguri menarik nafas dalam-dala m. Perlahan-lahan ia me langkahkan kakinya mencari La mat. Lamat masih duduk di te mpatnya. Tempat yang agak terlindung oleh bayangan serambi, sehingga tidak segara
dapat terlihat dari halaman, meskipun La mat dapat melihat ke halaman yang re mang-re mang. "Kau masih disitu?" bertanya Manguri. Lamat mengangguk sambil berdesis "Ya. Apakah kau sudah bertemu dengan lakilaki itu" "Ha mpir aku tidak dapat menahan hati. O, bagaimana iblis itu berada di bilik ayah seperti di biliknya sendiri" Lamat t idak me nyahut. "Aku sudah berbicara" berkata Manguri kemudian "ia tidak dapat me milih ja lan la in, kecuali me nerimanya" Lamat me ngangguk-anggukkan kepalanya. "Tetapi laki-laki itu benar-benar memua kkan. Aku hanya me merlukannya di saat-saat itu. Saat-saat kita menga mbil Sindangsari. Seterusnya, kita tidak akan me merlukannya lagi" Lamat mengerutkan bertanya "Maksudmu?" keningnya Tanpa sesadarnya ia
"Kepandak akan menjadi rusak kalau ia kela k benar-benar dapat menga mbil a lih ke kuasaan Ki De mang seperti yang diimpikannya" Lamat me ngangguk-anggukkan kepalanya. "Bagaimana mungkin Kepandak diperintah oleh orang serupa itu atau anak-anaknya yang pasti tidak akan jauh menyimpang dari tabiatnya, seperti aku juga tidak jauh menyimpang dari tabiat ayahku" Lamat masih tetap berdia m diri. "Tetapi aku tidak peduli. Apakah Kepandak akan menjadi rusak dan bahkan menjadi hutan ke mbali tanpa peradaban, aku tidak peduli. Yang penting, aku sudah mendapatkan Sindangsari. Aku tidak tahu, kenapa aku seakan-akan telah
menjadi gila. Sema kin sulit aku mendapatkannya semakin besar hasratku untuk me mperisterikannya" Lamat masih be lum berbicara apapun. "Tetapi" tiba-tiba saja Manguri berdesis "apabila Sindangsari itu hilang dari Kade mangan, apakah tidak mungkin Ki De mang menga mbil gadis la in untuk menjadi isterinya?" Karena Lamat masih berdia m diri, Manguri me mbentaknya "He, apakah kau sudah tertidur?" Lamat menarik nafas. Jawabnya "Tidak. Aku sedang mendengarkannya" "Apa pendapatmu?" Lamat ragu-ragu sejenak .Katanya kemudian "Aku tidak mengerti. Tetapi sebaiknya kau tanyakan saja kepada Ki Reksatani. Mungkin hal itu belum menjadi pertimbangannya" Manguri mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia menggera m "Aku segan untuk mene muinya kalau tidak terpaksa sekali" Namun di saat itu, di dalam bilik ibu Manguri ternyata sedang bertanya pula kepada Ki Reksatani "Apakah Ki De mang tidak akan kawin lagi dan me mpunyai ke mungkinan yang serupa bagi iuterinya yang baru itu?" "Aku sudah me mikirkannya. Tetapi dengan demikian aku akan dapat me mbiuskan ketida k puasan bagi rakyat Kepandak. Hal itu pasti akan me matangkan suasana, sehingga aku dapat bertindak dengan segala maca m dalih" "Apakah kau sudah me mbayangkan, bahwa dengan demikian dapat terjadi bentrokan bersenjata dan akibatnya dapat menggoncangkan sendi sendi kehidupan di Kepandak?"
Ki Reksatani tidak me nyahut. Isterinya di rumah berkata seperti itu pula. Kini, selagi ia ingin me lupakan keteganganketegangan itu, ia menjumpai masa lah yang sa ma. Karena itu, maka katanya "Jangan hiraukan hal itu Kau berjanji bahwa kau tidak akan me mpersoalkannya. Kita ingin me lupakan ketegangan yang mencengka m hati kita masingmasing" Ibu Manguri tida k menyahut, sedang Ki Reksatani berkata "Dan bukankah masa lah Sindangsari untuk se mentara sudah kita anggap selesai?" Perempuan itu tidak menyahut. Dipandanginya lampu minyak di dala m bilik itu yang rasa-rasanya semakin la ma menjadi se makin redup. Ketika Manguri sudah masuk ke dala m rumah itu pula tinggallah La mat yang duduk merenung seorang diri. Ia merasa bahwa beban yang selama ini dice maskannya, pada suatu saat akan jatuh pula di pundaknya. Mengambil perempuan yang bersama Sindangsari yang sekarang sudah menjadi Nyai De mang itu. Sekilas terbayang mayat Puranta yang terbujur di halaman. Ia tidak tahu pasti, apakah yang telah terjadi dengan mayat itu. "Kalau a ku me mbiarkannya, maka aku kira persoalan ini akan berakhir lain. Mungkin Sindangsari benar-benar akan dicerai dari Ki De mang, tetapi untuk seterusnya akan menjadi isteri Puranta. Atau kedua-duanya akan dicekik sa mpai mati oleh Ki De mang sendiri" Lamat me narik nafas dala m-dala m. Tetapi iapun ke mudian mengge lengkan kepalanya "Me mang ha l itu tidak akan dapat dibiarkan. Kasihan pere mpuan itu. Kegagalannya untuk mendapatkan seorang laki-la ki yang dida mbakannya telah, me mbuatnya kehilangan pegangan.
Tetapi tidak sepantasnya ia jatuh ke tangan laki-laki seperti Puranta, apalagi dalam rangka usaha Ki Reksatani yang terkutuk itu" Tetapi La mat hanyalah seorang budak. Ia tidak dapat berbuat apapun juga, ia hanya dapat menjalankan perintah, meskipun perintah itu akan menyakiti hatinya. Dan perintah yang bakal datang ke mudian adalah, menculik Sindangsari dan mengurungnya di suatu tempat. "Betapa bagusnya sebuah sangkar, namun apabila pintunya terbuka, maka burung yang ada di dalamnya pasti akan terbang keluar" desisnya. Dan ia sudah membayangkan, bahwa Sindangsari akan menga la mi nasib seperti seekor burung. Dikurung disuatu bilik yang ge lap tanpa mendapat kesempatan untuk keluar. Setiap ka li ia harus menerima kedatangan Manguri yang merasa dirinya sebagai sua minya. Meskipun seandainya Sindangsari mendapat makan yang paling baik dan pakaian dari keping-keping emas, tetapi hal itu pasti merupakan siksaan yang tida k terkira kan baginya. "Lalu apapula yang akan terjadi dengan anak di dalam kandungan itu. Anak yang sama sekali tida k berdosa?" "Me mang Pa motlah yang gila " tiba-tiba ia menggera m "Pamot telah me mbuat perempuan itu menga la mi siksaan tanpa batas. Kalau Pamot tida k gila di mala m itu, aku yakin Sindangsari tidak a kan mengandung seperti isteri-isteri Ki Demang yang lain. Dengan de mikian Sindangsari tidak perlu menga la mi bencana seperti yang direncanakan oleh Ki Reksatani sekarang" Padahal, kini Pa mot itu t idak ada di rumah, bahkan t idak ada di Kepandak. Tanpa sesadarnya Lamat mengangguk-anggukkan kepalanya ketika terlintas di dalam ingatannya, bahwa pasukan yang pergi menyerang Betawi itu sudah berada di perjalanan pulang.
"Tetapi apakah Pa mot masih ada di da la m pasukan itu" Sudah tentu ada sebagian dari anak-anak Gemulung yang gugur" La mat menarik nafas dalam-da la m "kalau saja Pa mot masih hidup" Tetapi La mat menjadi bingung apakah yang akan dapat dilakukan oleh Pa mot seandainya ia pulang ke mbali ke Gemulung da la m keadaan ini" Ia akan mene mukan sekelompok orang yang sudah siap me lakukan rencananya yang keji. Dan ia sendiri pasti ada di dala mnya, sebagai seorang budak yang tidak berharga. "Tenagaku tidak lebih dari tenaga seekor kerbau yang menarik bajak di sawah. Demikian juga harga diriku. Tetapi aku tidak dapat berbuat sesuatu, seperti kerbau tidak dapat me mutuskan tali yang mencocok hidungnya" Dengan de mikian maka La mat hanya dapat menunggu di dalam kegelisahan. Bahkan kadang-kadang timbullah niatnya akan lari dari keadaannya. Tetapi setiap kali ia selalu dikekang oleh perasaan terima kasihnya yang tidak terhingga, Ia benarbenar merasa berhutang budi kepada ayah Manguri, bahwa ia telah diselamatkan jiwanya. Kalau tidak, maka pasti sudah mati. "La mat tidak ada lagi kini di dunia. Karena itu La mat yang sekarang ini seolah-olah sudah bukan lagi La mat yang berpribadi seutuhnya. La mat yang sekarang adalah La mat yang telah dikuasai oleh kehendak orang lain, sebagai pembayaran atas hutangnya Hutang budi" Demikianlah, maka hari de mi hari menjadi se ma kin ma ju. Kandungan Sindangsaripun menjadi se makin besar. Dengan demikian ma ka hari peralatan bulan ke tujuh dari kandungan itu menjadi se makin dekat. Ki Reksatani menjadi berdebar-debar ketika pada suatu hari ia telah dipanggil oleh Ki De mang di Kepandak.
"Apakah kira-kira isterinya.
yang akan dipersoalkan?" bertanya
Ki Reksatani menggelengkan kepalanya. Katanya "Baru dua hari yang lalu aku singgah di rumah kakang De mang. Sekarang kakang De mang telah me manggil aku. Agaknya me mang ada sesuatu yang akan dibicarakannya" Nyai Reksatani tampak menjadi ge lisah. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut. Ketika Ki Reksatani meninggalkan rumahnya me menuhi panggilan kaka knya, ia berkata kepada isterinya "Jangan cemas Tidak ada apa-apa" Sebenarnyalah me mang tidak ada apa-apa dengan Ki Reksatani. Hampir tengah mala m ia pulang. Sa mbil menarik nafas dalam-dala m ia melangkahi pintu pendapa, setelah isterinya me mbukakan selarak dan mendorong daun pintunya. Dengan serta-merta isterinya dibicarakan oleh kakang De mang?" bertanya "Apa yang
Ki Reksatani tersenyum. Katanya "Kita me mang terla mpau berprasangka. Agaknya karena rencana kita yang telah masak itulah yang me mbuat kita sendiri kadang-kadang menjadi cemas" Nyai Reksatani mengerutkan keningnya. Ia berdiri saja me matung ketika sua minya ke mudian menutup dan menyelarak pintu. "Duduklah" berkata sua minya ke mudian. Nyai Reksatanipun ke mudian duduk di ruang tengah di hadapan suaminya. Meskipun de mikian hatinya masih juga berdebar-debar. "Apakah anak-anak sudah tidur se mua?" "Sudah kakang"
Ki Reksatani mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya ke mudian "Aku dipanggil kakang De mang untuk me mbicarakan hari peralatan yang akan dilakukan, pada bulan ke tujuh kandungan Sindangsari" "O" Nyai Reksatanipun menarik nafas dala m-dala m "sukurlah kalau persoalan itu yang dibicarakan oleh kakang Demang. Aku sudah kecemasan bahwa kakang De mang sudah mencium rencanamu ka kang. "Tentu tida k. Aku mela kukan dengan sangat hati-hati" "Tetapi semakin banyak orang yang kau hubungi, semakin berbahaya bagimu, bahwa rahasia itu a kan bocor karenanya" "Aku sudah me mperhitungkannya dengan cermat. Jangan takut. Mereka adalah orang-orang yang kecewa, orang-orang yang tamak dan dengki orang-orang yang terlampau dibayangi oleh nafsu kebendaan dan pangkat" Ki Reksatani berhenti sejenak, lalu "mereka a kan menyimpan rahasia ini baik-baik" "Tetapi ka lau kau me ngecewakan mereka, maka mereka pasti akan me mbuka rahasia ini" "Tentu tidak. Sementara aku tidak akan me mbuat mereka kecewa. Aku mendapat dukungan dari seorang ana k muda yang bernama Manguri Karena ia menginginkan Sindangsari untuk dijadikan isterinya. "Anak pedagang ternak yang kaya itu" "Ya" "Jadi pere mpuan itu tida k akan kau bunuh?" Ki Reksatani mengge lengkan kepalanya. Katanya "Ia akan disimpan di dala m satu sangkar. Tetapi sebenarnya ini sama sekali t idak termasuk rencanaku. Nyai Reksatani tidak segera menyahut.
"Rencanaku yang sebenarnya masih tetap" "Me mbunuh pere mpuan itu?" "Ya" "Tetapi ia sudah menjadi isteri Manguri" "Kalau perlu kedua-duanya. Aku tidak akan dapat hidup tenteram selagi perempuan itu masih hidup" "Kenapa tidak kau biarkan saja mereka hidup berdua. Merekapun pasti akan tetap menjaga rahasia itu. Lebih-lebih Manguri. Ia pasti berusaha agar Ki De mang tida k mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi. Sebab kalau Ki Demang mengetahuinya, maka setidak-tidaknya Sindangsari akan dia mbilnya ke mbali, atau tuntutan hukuman yang lebih berat" "Dan sudah tentu akan menyangkut namaku. Tetapi kalau mereka sudah mat i, ke mungkinan itu tidak a kan ada sama sekali. Sementara ini a ku hanya sekedar memenuhi permintaan laki-laki yang tergila-gila kepada Sindangsari itu karena kalau tidak, ia dapat berbuat sesuatu yang berbahaya bagiku" Isterinya tidak menyahut ia sama sekali tidak mengerti, bahkan tidak menyangka sa ma sekali, bahwa ada hubungan lain antara sua minya dan anak muda yang berna ma Manguri. Nyai Reksatani tidak menduga sa ma sekali bahwa pada setiap kali, sua minya pergi ke rumah pedagang kaya itu selagi pedagang itu sendiri t idak ada di rumah. Menurut dugaannya, suaminya dan ana k muda itu sekedar bersinggungan kepentingan tentang Sindangsari saja. Suaminya me merlukan dukungan uang dari anak muda itu untuk me mbeayai rencananya. Apalagi apabila suaminya me merlukan bantuan dari beberapa orang jika ia harus menghadapi Ki De mang dengan ke kerasan. Sejenak kedua orang itupun saling berdia m diri. Tetapi kengerian yang tajam telah mencengka m jantung Nyai
Reksatani. Ia sudah mulai me mbayangkan kekisruhan yang bakal terjadi di Kade mangan Kepandak. Nyai Reksatani menyesal, kenapa suaminya me mpunyai keinginan yang gila itu, untuk mewarisi kedudukan kakaknya. Seandainya pada perkawinan yang pertama Ki De mang sudah me mpunyai anak atau selambat-la mbatnya pada perkawinan yang kedua, maka pasti tidak akan tumbuh niat itu pada suaminya. Tetapi karena Ki Demang t idak me mpunyai anak sampai perkawinannya yang kelima ka li, maka timbullah harapannya, bahwa Ki De mang me mang tidak akan me mpunyai anak untuk seterusnya. Alangkah kecewa Ki Reksatani itu setelah pada perkawinan yang keena m, isteri Ki Demang benar-benar telah mengandung. Namun de mikian kadang-kadang terbersit juga anganangannya, betapa senangnya menjadi isteri seorang Demang yang berkuasa. Kalau bukan ia sendiri dapat mengalami, maka ia akan dapat me lihat, betapa senangnya salah seorang anaknya menjadi seorang De mang yang berkuasa. Di Kademangan ini, maka ke kuasan De mang seakan-akan tidak terbatas. Semua niatnya dapat terlaksana. Sampai kawin untuk keena m kalinya sekalipun. Nyai Reksatani terkejut ketika tiba-tiba saja suaminya berdiri sa mbil berkata "Aku akan tidur. Masih banyak yang harus aku kerjakan besok dan hari-hari berikutnya. Kaupun harus banyak beristirahat menjelang peralatan yang akan diselenggarakan di Kade mangan itu" Isterinya menganggukkan kepalanya. "Jangan cemas" berkata Ki Reksatani ke mudian "aku bukan anak-anak. Aku akan bekerja secermat-cermatnya. Aku masih me mpunyai waktu untuk me mperhitungkan setiap ke mungkinan. Juga kedatangan anak-anak muda yang ditarik dari Betawi. Kalau diantara mereka terdapat Pamot, akupun sudah me mpertimbangkannya"
Sekali lagi isterinya menganggukkan kepalanya, meskipun dadanya masih saja berdebar-debar. Nyai Reksatani itupun ke mudian berdiri pula dan me langkah masuk ke da la m bilik anak-anaknya. Dilihatnya mereka tidur dengan nyenyaknya. Sama sekali tidak terlintas di dala m angan-angan mereka, pergolakan yang terjadi di dalam dirinya. Mereka tidak tahu, apa yang direncanakan ayah mereka untuk kepentingan mereka ke lak, meskipun jalan yang ditempuh adalah jalan yang berbahaya. Semakin dekat dengan peralatan bulan ke tujuh kandungan Sindangsari, maka Ki Reksatani semakin sering pergi ke rumah kakaknya. Bahkan kadang-kadang bersa ma isterinya. Namun semakin sering pula ia berhubungan dengan Manguri, meskipun dengan dia m-dia m. Mereka selalu me mbicarakan perkembangan-perke mbangan baru yang terjadi. Mereka mulai me mbicarakan, dimana dan ke mana Sindangsari akan dia mbil dan dibawa. "Aku sudah menyiapkan sebuah rumah kecil di pinggir Kademangan ini" berkata Manguri. "Bodoh kau" jawab Ki reksatani "sela ma pere mpuan itu masih berada di Kademangan ini, maka ia pasti akan dikete mukan olah kakang De mang" "Tida k. Rumah itu adalah rumah yang kecil yang tidak banyak bedanya dengan gardu pengawas dari halaman yang luas. Ayah biasanya menyimpan dan mengumpulkan ternaknya di sana sebelum dibawa ke te mpat-tempat yang jauh" "Itu lebih bodoh lagi" berkata Ki Reksatani "di sana pasti ada beberapa orang. Mereka dapat melihat kehadiran Sindangsari di sana" "Mereka akan me megang rahasia itu" "Itu yang aku ragukan"
Manguri berpikir sejenak, lalu "Baiklah. Aku akan minta tempat itu dikosongkan. Ayah akan me mbeli tanah yang lain untuk kepentingannya. Tempat itu akan menjadi te mpat penyimpanan Sindangsari. Tidak akan ada orang lain di tempat itu, selain La mat dan sudah tentu aku" "Kau akan tingga l di te mpat itu juga?" "Ya" "Kau me mang bodoh sekali. Kalau kau hilang dari rumahmu, ma ka Ka kang De mang akan segera mengetahui, bahkan kaulah yang telah menga mbil pera mpuan itu" Tetapi aku bukan sebodoh itu. Sudah tentu aku tidak pergi dari rumahku. Aku akan tetap tinggal di rumah. Tetapi aku akan berada di tempat persembunyian itu setiap kali. Tidak akan ada orang yang mencuriga i aku. Aku me mang sering berada di tempat ibu. Dan aku tidak akan mengosongkan tempat itu sama sekali. Satu dua ekor ternak yang dapat dipelihara sendiri oleh La mat akan tetap berada di tempat itu. Bahkan seka li-seka li ayah akan tetap mena mpung ternaknya di sana. Se mentara Sindangsari akan tetap berada di dala m biliknya. Ia tidak boleh menjengukkan kepa lanya keluar bilik apabila ada orang lain di hala man rumah itu" Ki Reksatani tidak menyahut. Untuk sementara ia harus menyetujui rencana itu. Tetapi ia sadar bahwa hal itu sangat berbahaya baginya. Sindangsari bukan sekedar sebuah golek kayu yang tidak me mpunyai akal untuk me lepaskan diri apalagi anaknya akan segera lahir pula. "Kau setuju?" bertanya Manguri ke mudian. Ki Reksatani tidak dapat berbuat lain, menganggukkan kepa lanya. Meskipun begitu ia "Untuk se mentara" "Kenapa untuk se mentara" kecuali berkata
"Barangkali kau mene mukan te mpat yang jauh lebih ba ik dari yang kau rencana kan sekarang" Manguri tidak menyahut. Tetapi ia mengangguk kecil. Meskipun setiap kali mereka bertemu dan berbicara tentang rencana itu, namun meraka sadar, bahwa hubungan mereka adalah sekedar karena singgungan kepentingan. Na mun diantara keduanya masih tetap tergores jarak yang masih belum terloncati. Namun ternyata bahwa Manguri ma mpu me mbatasi dirinya untuk kepentingannya sendiri. Ia mengatakan Kencananya itu kepada ayahnya. Bahkan ia mengatakan pula, bahwa ia telah bekerja sama dengan Ki Reksatani, karena Ki Reksatani juga berkepentingan untuk menyingkirkan Sindangsari. "Apakah kau tidak me mpunyai pilihan la in Manguri?" bertanya ayahnya. Manguri menggelengkan kepalanya "Tida k ayah. Ini sudah menjadi keputusanku" Ayahnya mengangguk-anggukkan kepa lanya "Baiklah. Aku akan me mbantumu. Tetapi apakah kau yakin bahwa Ki Reksatani itu bersikap jujur terhadapmu?" Meskipun Manguri sendiri ragu-ragu. tetapi untuk me mantapkan perasaan ayahnya ia mengangguk "Aku yakin ayah. Ia jujur" Ayahnya mengangguk-angukkan kepalanya. Katanya "Kalau sampai pada suatu saat, keadaan menjadi lain, maka kita me mang harus bersiap-siap. "Apakah maksud ayah?" bertanya Manguri dengan curiga. Ayahnya menarik nafas dala m-dala m. "Apa maksud ayah"
"'Sudahlah. Lakukan rencana mu" berkata ayahnya "tetapi bawa Lamat besertamu Ia dapat dipercaya. Tetapi kau jangan terlampau kasar. Ia manusia juga seperti kita. Ia mempunyai perasaan yang lengkap. Kecewa, jengkel ,sedih,dan sebagainya. Hanya karena merasa berhutang budi, ia dapat kila perlakukan sekehendak kita. Tetapi jangan kau perlakukan ia seperti seekor kerbau bajak" Manguri mengangguk-anggukkan kepa lanya. Namun ia masih tetap bertanya-tanya di dala m hati, apakah sebenarnya ayahnya sudah tahu, apa yang terjadi di rumah ini". Terutama hubungan antara ibunya dengan la ki-laki yang bernama Reksatani itu". "Ki De mang yang sekarang me mang bukan orang yang paling ba ik untuk me merintah Kade mangan Kepandak" berkata ayahnya kemudian "tetapi tidak mudah untuk menyingkirkannya, karena ia me miliki ke ma mpuan yang luar biasa, ilmunya cukup t inggi dan pengikutnya cukup banyak" Manguri mengangguk-anggukkan kepa lanya. "Rencana Ki Reksatani adalah rencana yang paling baik sebenarnya apabila berhasil. Ia tidak menyingkirkan Ki Demang sendiri, tetapi me motong garis keturunannya" "Ya" sahut Manguri. "Tetapi kau harus me mpertimbangkan, anak di dalam kandungan Sindangsari adalah garis keturunan itu" "Tetapi kalau sejak lahir ia sudah terpisah, ia tidak akan tahu, siapakah ayahnya yang sebenarnya" "Kata-kata itu kau ucapkan sekarang" sahut ayahnya "dan seandainya kau bermaksud jujur dengan ucapanmu itu. Ki Reksatani pasti tidak akan percaya, pada suatu saat, kau dapat mempera lat anak itu. Sambil menunjukkan Sindangsari di hadapan umum beserta anaknya, kau akan dapat mewarisi kedudukan Ki De mang di Kepandak"
"Tida k ayah. Buat apa aku berusaha untuk merebut kedudukan ini" Dengan ke kayaan yang ada pada kita, kita sudah me miliki ke kuasaan yang tidak jauh berbeda dengan kekuasaan Ki De mang, meskipun t idak atas orang-orang di Kepandak. Tetapi dengan uang yang melimpah-limpah yang ada pada kita, kita ha mpir dapat berbuat apa saja" "Tetapi Ki Reksatani dapat berpikir lain. Uang dan kekuasaan merupakan suatu gabungan yang sangat menarik hati" Manguri mengangguk-anggukkan kepa lanya. "Jadi, ma ksud ayah?" "Kaupun harus me mpersiapkan dirimu menghadapi setiap ke mungkinan. Untuk kepentingannya, Ki Reksatani pasti sudah me mpersiapkan orang-orangnya, apabila pada suatu saat keadaan me maksa. Perlahan-lahan ia menghimpun kekuatan, sementara kau me mbeayainya. Tetapi di sa mping itu, kaupun harus me mbuat sekelompok orang yang dapat kau percaya benar-benar apabila Ki Reksatani ke lak me mpunyai pendirian lain terhadapmu" Manguri mengangguk-anggukkan kepa lanya pula. "Anak itu akan merupa kan persoalan tersendiri" berkata ayahnya pula. "Mungkin, mungkin bayi itu akan dia mbilnya pada saat ia lahir kelak" "Me mang mungkin seka li Sekarang bukankah kau me lihat, bahwa pamrih itu dapat merubah orang menjadi lebih buas dari seekor binatang?" Dada Manguri berdentangan mendengar kata-kata ayahnya itu. Wajahnya tiba-tiba menegang. "Tetapi ia agaknya sudah menjadi kebiasaan manusia ini pula. Ki Reksatani, kau dan juga aku"
Manguri sama sekali tida k menyahut. "Sudahlah. Tetapi kau harus me mpersiapkan dirimu. La mat dapat dipercaya sepanjang ia masih tetap seperti sekarang. Karena itu jangan terlampau sering kau sakiti hatinya. Dalam keadaan yang gawat di dalam perebutan pamrih ini, kau tidak akan dapat menggantungkan nasibmu kepada ibumu" Manguri terperanjat mendengar kata-kata ayahnya. Ditatapnya wajah ayahnya itu dengan sorot mata yang aneh. Tetapi ayahnya justru tersenyum sa mbil berkata "Jangan hiraukan kata-kataku" Manguri t idak se mpat menjawab karena ayahnya segera meninggalkannya. Namun di dala m hati ter-bersit pertanyaan "Apakah sebenarnya ayah me mang sudah mengetahui hubungan ibu dengan laki-la ki itu" Tetapi Manguri tidak mau me mikirkannya lagi. Bahkan ia berkata di dalam hatinya "Ka mi sudah terlibat dalam kepentingan ka mi masing-masing. Aku tidak peduli, apakah ayah sudah mengetahui atau tidak. Yang penting, baik ayah maupun ibu di dala m keadaannya, bersedia me mbantu aku dengan cara mereka sendiri-sendiri" Namun de mikian Manguri percaya bahwa ayahnya tidak akan sampai hati me mbiarkannya apabila ia mene mui kesulitan. Dan Manguripun mengetahui, bahwa sebenarnya ayahnya telah mempunyai orang-orangnya yang khusus. Orang-orang yang biasanya ikut me mbawa ternak kedaerahdaerah yang jauh. Mereka adalah orang-orang terpilih, yang di dalam keadaan tertentu bukan saja cakap mengatur ternak, tetapi orang-orang yang ma mpu berke lahi. "Tentu aku akan dapat me mperguna kan mereka di dala m keadaan yang terpaksa. Bersama dengan La mat, mereka akan merupakan kekuatan yang harus diperhitungkan df Kademangan ini" berkata Manguri di da la m hatinya.
Ketika ke mudian kepada Lamat, maka Betapa ia terpaksa buram penuh dengan
Manguri menyampa ikan se muanya itu hati raksasa itu menjadi semakin pedih. menyaksikan bayangan-bayangan yang noda-noda yang kotor.
"Apa katamu?" bertanya Manguri "kau akan menjadi seorang Senapati yang me mimpin sepasukan prajurit. Aku akan minta kepada ayah, orang-orangnya harus bersedia me mbantuku apabila pada suatu saat aku perlukan" "Kau tidak usah heran Ayah sudah menyadari, bahwa untuk kepentingan pa mrih pribadi manusia dapat menjadi labih buas dari binatang. Kau mengerti" Lamat mengangguk pula "Karena itu kita jangan me mbiarkan diri kita menjadi korban kebuasan itu. Kita harus bersiap menghadapinya" "Kita a kan menjadi buas pula?" tiba-tiba La mat bertanya "Tentu. Dalam keadaan tertentu kita akan menjadi buas. Akupun kini menyadarinya. Bahkan kita bersama-sama telah me lakukannya" Lamat me nundukkan kepalanya. Tetapi ia t idak menyahut. "He, kau tida k setuju?" Lamat t idak me nyahut. "He, apakah kau sudah tuli he" Atau bisu?" bentak Manguri. Lamat me narik nafas dala m-dala m. "Bagaimana dengan pendirianmu, dungu?" "Aku sependapat" desis La mat dengan suara yang ge metar. "Nah, kau me mang harus sependapat. Kau tidak dapat berbuat lain. Ayahkupun sudah menyetujuinya. Ayah pulalah yang menyerahkan se mua tanggung jawab penga manan rencana ini kepadamu. Mungkin ayah mengetahui, bahwa
tidak ada orang lain yang dapat menandingi Ki Reksatani, apalagi Ki De mang, selain kau" Lamat t idak segera menyahut, me mbentaknya pula "Apa katamu?" sehingga Manguri
Kepala La mat terangguk-angguk kecil "Aku menjadi sangat terharu atas kepercayaan itu. Tetapi aku tidak dapat mengatakan bahwa aku akan dapat mengimbangi Ki De mang atau Ki Reksatani apabila keadaan me maksa de mikian" "Kau takut?" "Bukan takut. Tetapi tidak ada ukuran yang pergunakan untuk menilai ke ma mpuan keduanya. pernah melihat mereka bertempur. Aku baru ke ma mpuan mereka yang tanpa tanding dari mulut dapat aku Aku belum mendengar ke mulut"
"Huh, hatimu agaknya sudah goyah. Seandainya mereka orang-orang yang mempunyai kelebihan tanpa batas, kau tidak perlu takut. Kau me mpunyai prajurit-prajurit yang akan bertempur bersa ma mu" Lamat tidak menyahut. Tetapi kepalanya menjadi se makin tertunduk. "He" berkata Manguri ke mudian "bukankah kau laki-laki?" Pertanyaan itu terdengar aneh di telinga La mat, sehingga karena itu, ia mengangkat mukanya. "Dengar" berkata Manguri ke mudian "kalau kita sudah berhasil, dan keadaan sudah menjadi tenang, aku tidak akan me lupakan. Selama ini kau selalu berbuat apa saja, berdasarkan perasaan berhutang budi. Meskipun de mikian, aku tidak akan me mbiarkan hal itu berlangsung terusmenerus. Kau adalah laki-laki seperti aku, seperti ayah, seperti Ki Reksatani dan seperti Ki De mang yang sudah ena m ka li kawin" Manguri berhenti sejenak. Sambil menepuk pundak Lamat ia berkata "Pada suatu saat kaupun harus kawin Aku
akan me mberimu hadiah seorang perempuan yang cantik untuk menjadi isterimu" Manguri me ngerutkan keningnya ketika ia me lihat wajah Lamat sa ma sekali tidak berubah. "Kau tidak suka?" Lamat merenung sejenak. Jawabnya "Tentu, tentu aku suka sekali" "Bagus. Berbuatlah sebaik-baiknya Waktunya sudah menjadi se makin dekat. Besok atau lusa Ki Reksatani akan me mberitahukan segala sesuatunya. Ia akan menunjukkan tempat-tempat yang baik untuk menunggu. Ingat, pekerjaan ini bukan se kedar main-ma in seperti menghadapi Pa mot. Tetapi kita harus bersungguh-sungguh. Kalau Ki De mang mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi, maka pasti akan terjadi perang diantara orang-orang Kepandak sendiri. Pengikut Ki Reksatani dan pengikut kita, me lawan para bebahu Kademangan dan para pengawal yang masih tersisa. Tetapi itupun bukan penyelesaian yang terakhir. Pada suatu saat aku dan Ki Reksatanipun akan berselisih jalan" Lamat mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang sudah terbayang di rongga matanya, apa yang mungkin dapat terjadi. "Sudahlah. Kau sejak sekarang boleh mengharap seorang isteri yang cantik, meskipun wajahmu menakutkan dan kepala mu botak" Lamat tidak menyahut, dan Manguripun me mang tidak menunggu jawabannya lagi. Sepeninggal Manguri, maka La mat masih duduk di tempatnya sambil merenung. Seperti kata ayah Manguri, seseorang memang dapat menjadi buas me la mpaui binatang. Dan ia me mang berada disarang manusia-manusia yang buas itu.
"Akupun harus menjadi buas pula untuk kepentingan pribadi. Bukankah berhutang budi itu semata-mata masalah pribadiku" Untuk me mbayar hutang yang tidak akan dapat terlunaskan itu, akupun harus mengorbankan orang la in. Bahkan mengorbankan diriku sendiri" Lamat menarik nafas dalam-da la m. Dala m sekali. Ia me mang tida k akan dapat ingkar lagi, bahwa ialah yang harus me lakukannya. Menga mbil Sindangsari. Manguri t idak akan percaya apabila orang lain yang melakukannya. Orang-orang Ki Re ksatani, misalnya. Ketika terlintas di dala m ingatannya seorang anak muda yang bernama Pamot, hatinya berdesir, Pamot kini sedang berada di dala m perjalanan pulang dari Betawi kalau ia masih ada diantara mereka yang sela mat. "Kalau Pa mot sudah ada di Kade mangan ini" desisnya. Tetapi ke mudian sebuah pertanyaan menyusul "Kalau ia ada apakah yang dapat dilakukan untuk menghadapi permainan yang mengerikan dari Ki Re ksatani dan Manguri ini?" Akhirnya La mat menggeleng-gelengkan kepa lanya. Dicobanya untuk me lupakan saja persoalan yang membuatnya pening. Perlahan-lahan ia kemudian melangkah dengan kepala tunduk. "Aku tidak usah me mikirkannya. Aku me mang tidak pernah mendapat kese mpatan untuk menyatakan pikiranku. Aku hanya tinggal me laksanakan apa yang sudah dipikirkan oleh orang lain" katanya di dala m hati. Sementara itu, Ki De mangpun sudah mulai me mpersiapkan segala sesuatu untuk merayakan genap tujuh bulan kandungan isterinya. Para bebahu Kademangan Kepandak selalu mendorongnya untuk merayakannya dengan peralatan yang besar, karena setelah kawin untuk keenam kalinya, barulah ia akan mendapatkan seorang anak.
Titisan Budak Iblis 2 Pendekar Gila 25 Sepasang Maling Budiman Berantem Gaya Baru 1

Cari Blog Ini