Ceritasilat Novel Online

Matahari Esok Pagi 2

Matahari Esok Pagi Karya S H Mintardja Bagian 2


"Sebaiknya kakek beristirahat seperti orang-orang lain. Di tengah hari kita beristirahat sebentar. Apabila matahari telah turun, barulah kita me mula inya lagi" Kakek tua itu tertawa. Jawabnya "Kerjaku hanya tinggal kurang sedikit. Ka lau aku pulang untuk ma kan, maka aku akan ma las ke mbali lagi ke sawah. Tetapi kalau aku lanjutkan kerja ini, sebentar lagi sudah selesai. Barulah aku dapat pulang dengan tenang, karena aku tidak perlu pergi lagi ke sawah hari ini" "Kenapa ka kek setiap tengah hari pulang?" "Makan. Aku tidak biasa makan pagi. Dan bukankah orangorang lain berhenti be kerja pula tengah hari" "Tetapi mereka tidak pulang. Mereka makan di gubug masing-masing. Laki-laki tua itu tertawa "Ada yang mengirimkan makanan mereka ke sawah" "Kenapa ka kek t idak minta dikirimi ma kanan" Kakek itu masih tertawa. Tetapi ia tida k menjawab. "Bukankah kakek me mpunyai seorang anak dan seorang cucu. Lihat, orang-orang lain juga dikirimi ma kanan di sawah oleh anak anak mereka, atau cucu-cucu mere ka. Juga gadisgadis pergi ke sawah me mbawa ma kanan dan gendi air. Kenapa cucu kakek itu tidak mau me lakukannya" Itu tidak baik. Anak-anak muda dan gadis-gadis harus belajar be kerja seperti kebiasaan kita para petani bekerja. Juga anak dan cucumu itu ke k" Kakek tua itu mengangguk-angguk. "Dengan de mikian kakek tidak kehilangan wa ktu mondarmandir ke sawah meskipun tidak terlalu jauh" "Perlahan-lahan Manguri. Aku harus mengajari anak dan cucuku itu menjadi petani. Tetapi tidak dengan tiba-tiba.
Sedikit de mi sedikit mereka me mang menyesuaikan diri dengan kehidupan petani" "Kakek terlalu sayang kepada cucumu"
sudah mulai "O, siapa yang tidak sayang kepada anak dan cucunya?" "Tetapi berlebih-lebihan" Kakek tua itu hanya tertawa saja. "Tetapi itupun wajar" tiba-tiba Manguri menya mbung "gadis itu adalah satu-satunya keturunan kakek yang dapat menya mbung na ma kakek di masa datang. Anak kakek hanya satu. Menantu kakek sudah mati dan cucu kake k hanya satu pula Kalau yang satu ini gagal, maka berakhirlah garis keturunan kake k. Bukankah begitu" "Ya, begitulah kira-kira" "Bukan kira-kira. Begitulah yang pasti" Laki-laki tua itu menganggukkan kepalanya. "Kalau begitu, Sindangsari harus mendapat te mpat yang sebaik-baiknya Bukankah begitu?" "De mikianlah yang aku harapkan Manguri. Aku memang ingin melihat Sindangsari bahagia" Manguri tersenyum. Ke mudian katanya "Gadis kakek itu me mang harus berbahagia. Mungkin ia tidak biasa mela kukan pekerjaan terlampau kasar seperti gadis-gadis Ge mulung" "Aku akan mengajarinya. Tetapi sudah tentu sedikit de mi sedikit" "Itu tidak perlu kake k" Kakek tua itu mengerutkan keningnya "Kenapa ?" ia bertanya.
"Kalau cucumu itu kelak kawin dengan seorang yang dapat me mberinya tempat yang baik, ma ka ia tidak perlu turun ke dalam lumpur seperti kakek ini" Kakek tua itu mengangkat wajahnya. Kemudian terdengar suara tertawanya. "Aku berkata sebenarnya kek" "Mudah-mudahan Manguri" jawab kakek tua itu "tetapi sebaiknya anak itu tidak me mbayangkan masa depan yang terlalu baik, supaya ia tidak menjadi kecewa" Manguri terdia m sejenak. Ia tahu, sawah kakek tua itu tidak begitu luas. Diseberang jalan adalah sawah Kyai Wratapa yang diterimanya dari Sultan Agung sebagai penghargaan atas jasa-jasa suaminya. Ki Wiratapa. "Kalau kake k me mpunyai sepasang lembu, aku kira kerja kakek me njadi lebih ringan. Bahkan mungkin le mbu itu dapat disewa oleh tetangga-tegangga kakek di musim mengerjakan sawah sebelum menana m padi" "O, tentu Manguri. Sepasang lembu akan dapat me mbantu sekali. Tetap darimana aku me ndapat sepasang le mbu" "Di rumah kakek ada sepasang le mbu yang tida k ka kek pergunakan. Bahkan sa ma se kali ka kek simpan di dala m bilik" "He" kakek itu terkejut "ma ksudmu?" "Jangankan sepasang lembu kek. Apa saja dapat kakek peroleh, kalau kakek dapat me manfaatkannya" "Aku tida k mengerti" "Sindangsari" "He, jadi kau anggap Sindangsari dan ibunya sebagai sepasang lembu?"
Manguri tertawa "Jangan salah sangka kek. Bukan maksudku berkata demikian. Tetapi Sindangsari dapat mendatangkan tidak hanya sekedar sepasang le mbu" Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tampaknya ia masih belum me maha mi benar-benar kata-kata Manguri. "Apakah kake k me mbutuhkan sepasang le mbu dan bajak?" Kakek tua itu menarik nafas dalam-dala m. "Kalau kake k me merlukan, besok di hala man rumah kakek akan terikat sepasang lembu dan sebuah bajak. Beberapa orang akan bekerja di sana me mbuat kandang. Sedang kakek sama sekali tida k perlu me nyediakan bahan apapun dan upah apapun" Kakek tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak segera menjawab. Bahkan ke mudian ia melangkah beberapa langkah menepi dan naik ke pematang di sebelah Manguri. Perlahan-lahan orang tua itu duduk sa mbil berguma m "Duduklah Manguri" Manguri termangu-mangu sejenak. Ia tidak tahu pasti, tanggapan orang tua itu atas tawarannya. Karena itu, maka dadanya justru menjadi berdebar-debar. Tetapi iapun ke mudian duduk di sa mping kakek tua itu. Dentang jantungnya serasa menjadi se makin keras me mukul di dadanya, oleh kedia man orang tua itu beberapa saat la manya. "Bagaimana kek" Manguri t idak sabar menunggu orang tua yang masih berdia m diri itu. "Manguri. Apakah ma ksudmu, kau akan me mberi aku sepasang lembu dan bajak, tetapi kemudian kau akan menga mbil Sindangsari?"
Manguri tergagap karenanya. Pertanyaan itu terlampau langsung pada persoalannya sehingga ia menjadi agak bingung. Namun ke mudian kepa lanya terangguk perlahan-lahan. Dan terdengar suaranya datar "Maksudku, aku ingin menga mbil Sindangsari ke k. Apapun maskawinnya, aku sanggup me mbayarnya" Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya "Sebenarnya aku senang sekali Manguri. Tetapi se mua keputusan berada di tangan Sindangsari sendiri. Aku akan bertanya kepadanya, kepada ibunya dan kepada neneknya" Manguri mengerutkan keningnya. Dengan serta-merta ia menjawab "Tetapi bukankah kepala rumah tangga itu adalah kakek sendiri" Ka kek dapat menentukan segala-galanya" "Benar Manguri. Tetapi persoalan ini adalah persoalan hari depan yang panjang" "Kakek dapat me maksa gadis itu. Kakek me mpunyai wewenang. Kemudian apa yang ka kek butuhkan, aku akan me menuhinya" Kakek tua itu mengge lengkan kepalanya "Jangan begitu Manguri. Bukankah kau sudah mengatakan bahwa gadis itu adalah penyambung garis keturunanku. Kalau aku me ma ksakan sesuatu yang tidak di senanginya, ke mudian gadis itu me mbunuh diri, nah, putuslah se mua riwayat yang pernah terbentang dari nenek moyangku hingga anakku dan cucuku itu saja" "Itu pikiran yang cengeng. Gadis itu tidak akan me mbunuh diri. Ia akan bahagia menjadi isteriku. Isteri seorang yang kaya raya. Paling kaya di seluruh padukuhan Ge mulung" "Apakah kebahagiaan itu tergantung pada me lulu" "Tetapi itu dapat menjadi unsur utama kek" kekayaan
"Kau ke liru anak muda" kakek itu menggeleng "tetapi biarlah Sindangsari yang menentukannya sendiri" Wajah Manguri menjadi merah pada m. Ternyata kakek tua ini seke luarga me mpunyai pandangan sendiri, tentang masalah duniawi. Anaknya perempuan, ibu Sindangsari pernah menolak pe mberiannya untuk gadis itu. Sindangsari sendiri pernah juga menyakiti hatinya, dan sekarang kakek tua itupun menolak pe mberiannya yang tidak terbatas. "Maaf Manguri. Tetapi aku tidak dapat memutuskan. Keputusan terakhir ada di tangan cucuku" Manguri sudah tidak mendengar kata-kata itu dengan jelas. Iapun kemudian meloncat berdiri sa mbil berkata "Pertimbangkan, ke k. Selagi a ku masih me mberi kesempatan. Sawahmu akan bertambah luas dan cucumu akan menjadi seorang yang kaya" Manguri tidak menunggu kake k itu menjawab. Dengan tergesa-gesa ia meningga lkan laki-la ki tua itu termangumangu. "He m" orang tua itu berdesah "anak ini me mang keras kepala. Tetapi aku justru menjadi kasihan kepada Sindangsari" Dan sejenak ia masih berdiri di pe matang sawahnya sambil me mandangi Manguri yang berjalan tergesa-gesa, seperti dikejar hantu. Namun di sepanjang jalan manguri mengumpat tidak habishabisnya. Agaknya ia tidak akan dapat pula mene mbus jalan lewat kakek-kakek tua itu. Se muanya akhirnya tergantung pada Sindangsari sendiri. Ibunya, kakeknya, semuanya menyerahkan persoalannya kepada Sindangsari. "Orang-orang bodoh" ia menggeram. Namun dengan de mikian keinginannya untuk me miliki Sindangsari apapun tanggapannya atas gadis itu menjadi
semakin menyala. Bahkan wajah gadis itu sa ma seka li tidak mau menghindar dari pelupuk matanya. "Aku akan menunggu kese mpatan" desisnya. Ketika matahari menjadi se makin condong ke barat, maka kakek Sindangsaripun meningga lkan sawahnya. Di sepanjang jalan angan-angannya selalu di ganggu oleh sikap Manguri. "Ibunya harus mengetahuinya" guma mnya. Dan hal itupun ke mudian dikatakannya kepada Nyai Wiratapa. Ketika mereka duduk bercakap-cakap setelah makan mala m, selagi Sindangsari mencuci mangkuk di belakang. "Anakmu harus berhati-hati. Mungkin Manguri akan me mperguna kan cara-cara yang lain. Mungkin ia akan me mbujuknya, me mberinya janji dan apapun juga, sehingga anakmu yang hijau itu pada suatu saat akan tergelincir" "Apakah aku dapat berterus terang?" bertanya Nyai Wiratapa. "Tida k seluruhnya. Kalau kau katakan se muanya itu sekaligus, mungkin anak itu justru tidak percaya" Nyai Wiratapa mengangguk-anggukkan kepa lanya. Namun dengan demikian Nyai Wiratapa menjadi se makin berhati-hati atas anak gadisnya. Setiap kali Sindangsari pergi keluar hala man, ia selalu berpesan kepadanya, agar ia dapat menjaga dirinya. Tetapi pesan yang terla mpau sering itu justru me njadi terlampau biasa di telinga Sindangsari. Sebagai seorang gadis, kadang-kadang ia ingin juga berma in-main dengan kawankawan sebayanya. Bahkan kadang-kadang tanpa setahu ibu, kakek dan neneknya, ia pergi ke sawah kawan-kawannya.
Namun de mikian, yang paling menarik perhatiannya adalah suara seruling Pamot. Apapun yang sedang dikerjakan, apabila ia mendengar suara seruling itu, ia se lalu tertegun sejenak. "He, kau terbius oleh suara seruling itu?" bertanya Kandi. "Aku senang seka li. Pa mot ternyata seorang peniup seruling yang ba ik" Tetapi kawan-kawannya sa ma sekali tida k tertarik kepada anak muda pendia m dan yang jarang seka li bergaul dengan mereka. Gadis-gadis Ge mulung. me mang lebih tertarik kepada Manguri yang sering me mberi mere ka beberapa keping uang. "Aku akan belajar meniup seruling" berkata Sindangsari kepada Kandi "bukankah kau dapat juga berlagu dengan seruling" "Tetapi aku tidak sepandai Windan. Be lajarlah kepadanya" Sindangsari mengerutkan keningnya. Katanya "Windan tidak me mberikan warna tersendiri. Ia bermain seperti orangorang lain" Kandi menjadi heran. Ke mudian "Akupun bermain seruling seperti orang lain. Apalagi aku tidak sepandai Windan" Sindangsari termenung sejenak. Ia mengangkat wajahnya ketika Kandi berkata "Maksudmu seperti Pamot yang tidak mengenal gending-gending itu" Perlahan-lahan kepa lanya terangguk "Ya " "Kalau begitu kau harus be lajar kepadanya" Sindangsari tidak me njawab. Sementara itu gadis-gadis yang lainpun berdatangan berteduh di pojok desa. "He. Manguri sudah meniti pe matang" berkata salah seorang gadis "sebentar lagi ia akan datang ke mari" "Benar?"
"Ya" Berdesak-desakan gadis-gadis itupun ke mudian duduk di atas seonggok padas di pinggir jalan sela in Sindangsari. Ia berdiri sa mbil tersenyum me lihat kelakuan kawan-kawannya. Hampir berbareng gadis-gadis itu ke mudian berdesis "Itu dia" Ketika mereka serentak berpaling, ma ka Manguri telah berjalan menuju ke arah mere ka. "Siapa yang akan menerimanya kali ini" desis salah seorang dari mereka. "Entahlah" sahut yang lain. Gadis-gadis yang duduk berdesak-desakan itu sama sekali tidak menghiraukan apapun sela in Manguri. Mereka tidak mendengar suara seruling yang mengalun di sela-sela desir angin yang le mbut. "Suara itu" ia berdesis. Seorang gadis berpaling kepadanya. Dengan ragu-ragu ia bertanya "Apa yang kau katakan Sari?" "Kau dengar suara seruling itu" "O" sahut kawannya "sempat juga kau mendengar suara seruling itu. Jangan hiraukan. Aku haus sekali. Di tikungan ada orang menjual rujak nanas" Tetapi Sindangsari tida k me mpedulikannya. Ia tidak berkepentingan sa ma sekali dengan Manguri. Kini pandangannya terhadap Manguri sudah menjadi agak berubah, sejak sikapnya yang kasar itu, meskipun ia tidak me mbencinya. Meskipun de mikian ia tetap berdiri di tempatnya. Sambil bersandar dinding batu ia memandang langkah Manguri yang menjadi se makin de kat.
Dan seperti biasanya, Manguri ke mudian berhenti di hadapan gadis-gadis itu sambil tersenyum. Sekilas ia me mandang wajah Sindangsari dan sejenak ke mudian ia menga mbil beberapa keping uang dari kantong ikat pingganghnya yang besar. "Kalian me merlukan ini?" "Ya, sahut gadis-gadis itu" Manguri tersenyum. Ia tahu benar bahwa Sindangsari tidak pernah ikut me mpergunakan uang pe mberiannya. Dengan polah yang dibuat-buat seorang mende katinya "Buat apakah uang-uang itu Manguri?" gadis
Manguri tertawa "Buat kalian" katanya "tetapi kalau kalian tidak me merlukan tidak apa. Aku dapat me mberikannya kepada orang lain. Kau tahu, bahwa di Gemulung ini ada lebih dari duapuluh lima gadis-gadis cantik, duapuluh lima gadisgadis sedang, dan puluhan gadis-gadis kebanyakan. Semua itu me merlukan keping-keping uang. Ka lau ada diantara kalian yang menola k pe mberianku itu hanya berarti bahwa orang itu akan tersisih dari pergaulan di padukuhan Ge mulung" Dada Sindangsari berdesir mendengar kata-kata Manguri itu. Wajahnya berkerut dan tiba-tiba jantungnya berdentang. Ia merasakan kata-kata sindiran itu. Na mun justru karena itu, ia sama sekali tida k dapat berbuat sesuatu. Seakan-akan darahnya jadi me mbeku. Sejenak ke mudian ia melihat Manguri mengacungkan keping-keping uang itu, dan seperti biasanya gadis-gadis itu berebutan untuk menerimanya. Tetapi karena seorang diantara mereka telah mendekatinya dengan solah yang dibuat-buat, maka ia adalah orang yang pertama-tama menangkap tangan Manguri. Tetapi tingkah laku Manguri ternyata telah semakin menyinggung perasaan Sindangsari. Ketika gadis-gadis itu
berebutan, justru tangannya tidak segera dibuka. Kepingankepingan uang itu digengga mnya sema kin erat. Terdengarlah gadis-gadis itu me mekik dan berteriak-teriak sambil mencoba me mbuka tangan Manguri. Mereka berdesakdesakan dan tarik-menarik. Bahkan ada diantara mereka yang justru menarik Manguri pada lengan dan tangannya. Akhirnya Manguri me mbuka tangannya sambil tertawa berkepanjangan. Katanya "Kalian berebutan untuk mendapatkan uang ini, atau kalian ingin sekedar mendesakdesak aku?" Gadis-gadis itu tertawa. Salah seorang menjawab "Keduaduanya" Sambil me mandang Sindangsari yang masih berdiri di tempatnya Manguri berkata "Kenapa kau tidak ikut?" Sindangsari terkejut menerima pertanyaan yang tidak disangka-sangkanya itu. Karena itu tergagap ia menjawab "Tida k. Aku tida k ikut" "Aku sudah tahu" sahut Manguri "tetapi kenapa?" "Aku tida k haus" Manguri mengerutkan keningnya. Tetapi gadis-gadis yang berebut uang itu menjadi se makin riuh karena uang Manguri bertebaran jatuh di tanah. Beberapa orang segera berjongkok me mungutnya dan yang lain bahkan begitu saja bersimpuh di ka ki Manguri. Manguri tersenyum. Seakan-akan ia berkata kepada Sindangsari "Lihat, gadis-gadis ini telah bersimpuh di bawah kakiku untuk sekedar mendpat uang sekeping" Namun Sindangsari telah menundukkan kepalanya untuk menghindari tatapan mata Manguri itu.
"Sindangsari" berkata Manguri ke mudian "kau tidak berbuat seperti kawan-kawanmu. Aku kira kau me mang tidak suka berkawan. Karena itu sebenarnya aku segan menyampaikan pesan kakekmu yang harus aku katakan kepada mu" Sindangsari mengerutkankeningnya. Dan tiba-tiba ia beranjak selangkah maju "Apakah kake k berpesan sesuatu kepadamu?" "Ya" "Apakah pesannya" Manguri mengerutkan keningnya. Kemudian ia berdesis "Biarlah kakekmu saja nanti menyampaikannya sendiri, atau biarlah ia berpesan kepada orang lain" "Kalau kakek sendiri dapat menyampa ikan kepadaku, kenapa ia harus berpesan?" bertanya Sindangsari. "Begitulah agaknya "Manguri berpikir sejenak, lalu "kau nampaknya seperti orang aing disini Sari" Gadis-gadis yang saling me mperebutkan uang itupun kini telah berdiri sa mbil mengibaskan pakaian mereka yang kotor oleh debu. Mereka masih saja berteriak-teriak. Apalagi mereka yang tidak mendapatkannya. "He" berkata Manguri "bagi adil. Semua harus mendapat bagian" "Nah dengar. Se mua harus mendapat bagian" "Ya, semua harus mendapat bagian" Manguri masih berdiri di tempatnya sambil tersenyum me mandangi gadis-gadis yang kini saling mengejar di sepanjang jalan, berputar-putar sambil tertawa. "Mereka adalah gadis-gadis periang" desis Manguri. Sindangsari tidak me mperhatikannya kata-kata itu, Bahkan ia bertanya "Apakah pesan kake k"
"O, sama seka li mengatakannya" "Kau di panggilnya"
tidak penting. Apakah aku harus "Penting atau tida k penting, aku ingin mendengar" Sindangsari me ngerutkan keningnya pula. "Ketika aku lewat di pe matang sawah yang berbatasan dengan sawah kakekmu ia berpesan kepadaku, agar kau datang ke sawah untuk mencoba mence lupkan kakimu ke dalam lumpur" "Aku sudah sering me lakukannya" jawab Sindangsari. "Jangan kau katakan kepadaku. Katakanlah kepada kakekmu. Atau barangkali kau tidak bersedia datang, terserah pula kepadamu. Aku sudah menyampa ikannya meskipun sikapmu tidak menyenangkan aku" Sindangsari menarik nafas dalam-da la m. Ia agak ragu-ragu untuk me mpercayainya. Tetapi ia ragu-ragu pula untuk tidak menghiraukannya seandainya kakeknya benar-benar berpesan kepada anak muda itu. Manguri yang acuh tak acuh terhadap Sindangsari itu kini me lihat gadis-gadis yang berebutan uangnya itu mengha mbur kebalik tikungan untuk me mbe li rujak nanas atau dawet cendol aren. Bahkan tanpa berpaling lagi Manguripun me langkah me ningga lkan te mpat itu. "Manguri" Sindangsari me manggilnya. Manguri berhenti sejenak. Di tatapnya wajah Sindangsari yang termangumangu. "Apa perlumu me manggil a ku?" "Apakah benar ka kek berpesan kepadamu?" "Terserahlah kepadamu. Percaya atau tidak percaya"
Sindangsari menggigit bibirnya. Sebelum ia berkata sesuatu manguri telah me langkah pergi, "Tunggu" panggil Sindangsari pula. Sekali lagi langkah Manguri tertegun. "Apalagi Sindangsari" "Maksudku, bagaimana pesan ka kek itu. Apakah aku harus datang sekarang" "Aku tidak tahu, kakekmu hanya berkata begitu. Apakah itu berarti kau harus datang sekarang atau besok atau kapanpun, aku tidak tahu" Sindangsari me njadi se ma kin ragu-ragu. Tetapi ia t idak mendapat penegasan apapun dari Manguri. Manguri telah me langkah pergi tanpa berpaling lagi. Sejanak Sindangsari me mandangi langkah Manguri. Anak muda itu berjalan menyusur tanggul parit, dan kemudian hilang di balik batang-batang jagung muda. "Ia ke mba li ke sawahnya" desis Sindangsari. Tetapi pesan yang disampaikannya itu benar-benar me mpengaruhinya. Kalau ia tidak pergi, sedang kakeknya itu benar-benar mengharapkannya datang, orang tua itu pasti akan menunggunya. "Ah, apa salahnya aku pergi ke sawah" desisnya. Maka tanpa berpikir lagi Sindangsaripun segera melangkahkan kakinya, pergi ke sawah kakeknya. Namun sepasang mata dengan penuh kecurigaan selalu mengawasinya. Sejak gadis-gadis kawan Sindangsari berebutan keping-keping uang, sepasang mata itu telah me mandangi mereka dengan kening yang berkerut-merut. Suara riuh, gelak dan tawa yang di dengarnya, serasa tusukan-tusukan duri yang runcing langsung mengenai jantungnya. Apalagi pesan yang disampaikan oleh Manguri kepada Sindangsari, yang ternyata dipercayainya.
Sementara itu Sindangsari berjalan tergesa-gesa menyusuri pematang ke sawahnya. Ia sama sekali tidak berprasangka apapun. Apalagi di siang hari. Karena itu, iapun berjalan tanpa menghiraukan apapun lagi. Seandainya Manguri me mbohonginya, kakeknya pasti tidak a kan marah kepadanya. "Biarlah kakek menegur Manguri nanti apabila ia tidak berkata sebenarnya, dan hanya sekedar mengganggu aku karena sikapku yang tida k disukainya" Dengan demikian, maka Sindangsaripun berjalan semakin cepat. Ia tidak dapat berlari-lari seperti kawan-kawannya yang sudah terlampau biasa. Ia kadang-kadang masih tergelincir pada bagian-bagian yang agak licin, sehingga ia masih harus berjalan berhati-hati seka li. Ketika Sindangsari menjadi se makin dala m terbenam ke dalam tana man-tanaman jagung muda itu, terasa panas matahari se makin menyengat kepalanya. Tanpa sesadarnya ia menengadahkan kepa lanya. Matahari berada tinggi di puncak langit. "Apakah kakek tidak pulang di saat begini" tiba-tiba saja pertanyaan itu timbul di hatinya. "Apakah kakek benar-benar berpesan" raguannyapun mulai mera mbat di dadanya. keraguNamun Sindangsari masih melangkahkan kakinya di atas pematang. Tiba-tiba Sindangsari menjadi berdebar-debar. Ketika ia me mandang berke liling, ia tidak me lihat seorangpun. Apalagi pandangan matanya dibatasi oleh batang-batang jagung yang ha mpir setinggi dirinya sendiri. "Mereka pasti sedang beristirahat di saat-saat begini. Dan kakekpun pasti sudah pulang" Sindangsari tertegun sejenak. Ha mpir saja ia me langkah ke mbali. Tetapi dala m keragu-raguan ia berdesis "Tetapi bagaimana kalau kake k justru menunggu aku se karang?"
Dengan demikian langkahnya. Namun dilakukannya.
maka Sindangsaripun me lanjutkan kini ia berjalan secepat dapat
Tiba-tiba saja langkah Sindangsari itu terhenti. Dilihatnya seseorang muncul dari ba lik jagung-jagung muda itu. Manguri. Terasa darah Sindangsari seakan-akan terhenti mengalir. Kakinya menjadi gemetar dan nafasnya terengah-engah. Ketika Manguri ke mudian melangkah mende katinya, Sindangsaripun beringsut beberapa langkah surut. "Jangan takut Sindangsari" berkata Manguri -aku tidak akan berbuat apa-apa. Aku bukan termasuk orang yang liar sama sekali meskipun aku bukan seorang yang terlalu baik. Sindangsari t idak me njawab. "Aku hanya akan berbicara kepadamu tanpa di dengar oleh orang lain" berkata Manguri selanjutnya. "Tetapi, tetapi" Sindangsari tergagap "apakah kakek benarbenar berpesan kepadamu?" Manguri menggelengkan kepa lanya "Tidak" "Jadi kau menipu aku?" "Bukan maksudku Sari. Tetapi aku hanya sekedar ingin berbicara kepada mu" "Tetapi kenapa kau a mbil cara itu Manguri" "Aku tidak me mpunyai cara lain Sari" Manguri berhenti sejenak, lalu "kalau kau tidak senang dengan caraku, aku minta maaf. Tetapi aku minta kau mendengarkan kata-kataku selanjutnya" Sindangsari t idak segera menjawab. "Sari" suara Manguri merendah "aku sudah mene mui kakekmu. Aku me mang berbicara tentang kau. Sebenarnyalah bahwa aku mengharap kau dapat mengerti perasaanku.
Kakekmu sa ma sekali tidak tergantung kepadamu sendiri"
berkeberatan. Semuanya Sindangsari menundukkan kepalanya dalam-da la m. Ia tidak bersiap sama sekali untuk menerima pertanyaan itu. Dan wajahnya menjadi se makin menunduk ketika anak muda itu me ndesaknya "jawablah Sari" Sindangsari menjadi se makin berdebar-debar. Terasa dadanya seakan-akan berguncang-guncang. Dan ia sadar, apapun jawab yang akan diucapkan, akan menyudutkannya dalam kesulitan. Tetapi yang terpenting baginya sekarang, adalah me lepaskan diri dari keadaan yang mendebarkan ini. Ia harus berusaha untuk menenangkan hati Manguri tanpa memberikan harapan kepadanya. Tetapi bagaimana ia dapat me mberi jawaban itu ka lau hatinya sendiri sedang bergejolak. "Sari, kenapa kau dia m saja?" Sindangsari me nggigit bibirnya. "Jawablah. Kau tahu banyak tentang diriku. Aku adalah anak tunggal seperti kau. Ayahku adalah seorang pedagang yang kaya raya. Bukankah ku dapat me mbayangkan, siapakah yang akan me miliki kekayaan itu kela k?" Sindangsari masih belum menyahut. "Kenapa kau dia m saja Sari?" Sindangsari menjadi sema kin ce mas. Karena itu, di usahakannya untuk mengatur perasaannya. Kemudian dengan suara yang patah-patah ia mencoba menjawab "Jangan kau minta jawaban itu sekarang manguri. Berilah aku kese mpatan untuk berpikir" "Kese mpatan itu sudah cukup la ma"
Sindangsari sekarang"
menggeleng "Aku baru mendengarnya "Tetapi kau pasti sudah mengerti ma ksudku sejak aku mengirimkan seseorang untuk me mberikan sepengadeg pakaian itu" Sindangsari terdia m sejenak. Namun ke mudian ia mengulangi jawaban satu-satunya yang dapat diucapkan "Aku tidak dapat menjawab sekarang. Berilah aku waktu" "Kau sudah me mpunyai waktu yang cukup. Aku yakin bahwa kau sudah dapat menga mbil sikap" Manguri brhenti sejenak "semuanya terserah kepadamu. Kakek, nenek dan ibumu tidak akan me maksa mu untuk berbuat lain dari keputusanmu sendiri" Tetapi Sindangsari menggeleng "Aku tidak dapat menjawab sekarang" "Sari" Manguri me njadi tida k sabar lagi "tidak pernah ada seorang gadispun yang pernah menolak aku. Kau lihat sendiri, apapun yang akan aku lakukan atas kawan-kawanmu bermain itu, aku tidak akan mendapatkan kesulitan sama sekali. Jangankan seorang dari mereka, tiga e mpat orang seka ligus aku akan me ndapatkannya. Sindangsari t idak me njawab. Dan Manguri berkata selanjutnya "Tetapi tida k seorangpun dari mereka yang menarik Sari. Mungkin untuk kawan bergurau sehari dua hari. Namun aku tahu, bahwa kau tidak dapat diperlakukan seperti itu. Karena itulah maka akupun me mperlakukan kau dengan cara yang lain. Agaknya benar kata ibuku, bahwa aku sudah dewasa, dan aku harus me mikirkan hidupku di masa mendatang" Sindangsari me njadi sema kin tunduk karenanya. "Karena itu Sari" berkata Manguri seterusnya me merlukan kau dengan kesungguhan hati" "aku
Tetapi Sindangsari masih juga menjawab dengan jawabannya yang itu-itu juga "Jangan kau tunggu jawabanku sekarang manguri. Berilah aku waktu dua t iga hari lagi" "Ah" Manguri melangkah maju "kau jangan me mpersulit dirimu sendiri. Berkatalah dengan jujur apa yang terbersit di hatimu sekarang" Karena Manguri maju selangkah, maka Sindangsaripun surut selangkah pula "Manguri" katanya dalam kece masan "jangan kau paksa aku menjawab" "Aku me merlukan, jawaban itu sekarang. Aku tidak dapat menunggu sampa i dadaku bengkah, atau sampai kau dilarikan orang" "Tida k Manguri. Aku tidak dapat menjawab sekarang" "Tida k ada seorangpun yang dapat menolak maksudku Sari. Ingat. Seluruh padukuhan Gemulung ini telah dikuasai oleh ayahku. Apa yang dikehendakinya pasti terjadi, dan apa yang aku kehendakipun harus terjadi pula. Sadari. Aku dapat mene mpuh jalan dan cara seribu maca m untuk mendapatkan apa yang aku kehendaki itu, termasuk kau" Sepercik warna merah mera mbat kewajah gadis itu. Kini kecemasan di dadanya menjadi se makin me muncak. "Jawablah Sari" suara Manguri t iba-tiba merendah. Sari yang menjadi ge metar masih juga mengge lengkan kepalanya dan menjawab "Maaf Manguri. Aku tidak tahu bagaimana aku a kan menjawab pertanyaanmu itu. Karena itu berilah aku waktu" "Sari" dan tiba-tiba saja nada suara Manguri melonjak naik. Ia telah benar-benar kehilangan kesabaran" jawab pertanyaanku sekarang. Tidak seorangpun dapat melawan kehendakku. Kaupun t idak. Aku menghendaki kau menjawab sekarang. Karena itu kau harus menjawab"
Serasa darah Sindangsari berhenti mengalir. Kakinya menjadi semakin ge metar dan mulutnya justru menjadi terkunci karenanya. Manguri yang me mang telah diketahuinya sebagai seorang anak muda yang kasar itu, ternyata jauh lebih kasar dari dugaannya. Meskipun ia adalah anak seorang prajurit yang harus mengutama kan ketra mpilan jasmaniah, tetapi ayahnya tidak sekasar Manguri. "Kau tidak akan dapat melepaskan dirimu Sari" geram Manguri sa mbil me langkah maju, sehingga Sindangsaripun mundur beberapa langkah "apa yang aku ingin darimu harus kau berikan. Sebenarnya aku sangat menghormatimu. Aku ingin kau menjadi seorang istri yang bahagia. Tetapi kau tidak mau menjawab pertanyaanku sekarang" Sindangsari benar-benar telah menjadi ketakutan sehingga ia tidak dapat menjawab sa ma seka li. "Aku me mang me milih saat ini Sari, sehingga t idak ada orang lain yang dapat mengganggu kita. Apalagi di tengahtengah tanaman jagung ini. Aku dapat berbuat apa saja. Bahkan me mbunuhmu sekali apabila aku kehendaki" Manguri terhenti sejenak, lalu dilanjut kannya "Sari. Aku tidak akan gila untuk minta sesuatu yang berlebih-lebihan dari pada mu sekarang. Tetapi aku hanya minta kau menjawab pertanyaanku. Itu saja" Tetapi mulut Sindangsari justru terkatub se makin rapat. "Sari, Sari" Manguri maju selangkah sa mbil menghentakkan tangannya "jawab. Ayo jawab" Sindangsari bahkan telah kehilangan ke ma mpuan sama sekali untuk me lakukan apapun juga. Kini ia berdiri saja dengan tubuh ge metar. "Apakah kau tetap akan me mbisu?" Suara Manguri me njadi semakin berat di sela-sela ge meretak giginya.
Sindangsari yang ketakutan itu tiba-tiba tidak lagi dapat menguasai dirinya. Ketika ia mencoba me langkah surut tibatiba saja ia tergelincir dan jatuh terbaring di pe matang. Dengan wajah yang pucat, Sindangsari mengge lepar di atas rerumputan. Namun oleh ketakutan yang sangat, ia justru mnjadi seakan-akan tidak berdaya untuk bangkit. TIBA-TIBA mata Manguri menjadi merah me lihat gadis yang seolah-olah berbaring di hadapannya. Kakinya yang mencoba me ncari alas untuk berpijak itu seakan-akan justru me manggilnya untuk mende kat. Sejenak Manguri terpaku di te mpatnya. Perlahan-lahan sifat-sifatnya mula i mera mbati dadanya. Sifat yang seakanakan diturunkan oleh ayahnya kepadanya. "Sari" terdengar ia berdesis. Suara itu seolah-olah sudah bukan suara Manguri lagi. Seperti harimau yang akan menerka m korbannya, Manguri me langkah setapak de mi setapak maju, sedang Sindangsari yang ketakutan telah ha mpir menjadi pingsan karenanya. Namun dala m keadaan yang de mikian itu, selagi Manguri masih berjarak selangkah dari Sindangsari yang tergolek di tanah, tiba-tiba terdengar gemerisik batang-batang jagung di sebelah. Sejenak ke mudian Manguri melihat seseorang me loncat ke pe matang di belakang Sindangsari sa mbil menggengga m sebatang seruling. Sejenak Manguri berdiri tegak di tempatnya. Namun sejenak kemudian terdengar suaranya gemetar "Kau Pamot. Apa maksudmu datang ke mari?" "He" Pa mot tersenyum "bukankah sawah di sebelah ini sawah pamanku?" Manguri terdia m sejenak. Na mun gejolak di dadanya menjadi se makin me nggelora.
"Aku disuruh oleh pa manku itu menengoknya" "Kenapa kau" Kau tidak biasa berada di sawah pa manmu ini" "He" Pa mot mengerutkan keningnya "kau selalu berkata begitu. Ketika kau melihat aku beristirahat di gardu itu, kau juga berkata bahwa aku tidak biasa berada di gardu itu. Kau juga berkata bahwa aku tidak biasa berjalan lewat jalan itu sejak kanak-kanak. Sekarang kau juga berkata bahwa aku tidak biasa berada di sawah pa manku" Pa mot berhenti sejenak, lalu "dengan de mikian ternyata bahwa kau tidak mengenal aku dengan ba ik" Manguri me motong dengan serta-merta "Tidak ada seorangpun dari padukuhan Ge mulung ini yang mengenal kau dengan baik. Meskipun aku tahu, kau dilahirkan di sini, tetapi kau seakan-akan menjadi orang asing di padukuhanmu sendiri" "He" Pa mot menyahut "benarkah begitu" Kau keliru Manguri. Aku me mang tidak banyak dikenal di Ge mulung ini. Tetapi oleh gadis-gadis. Bukan oleh anak-anak muda. Adalah sebaliknya dengan kau. Kau lebih banyak dikenal oleh gadisgadis daripada oleh anak-anak muda " "Bohong" teriak Manguri. "Apalagi aku me mang tidak me mpunyai terlampau banyak waktu seperti kau. Setiap hari aku harus bekerja di sawah dan pategalan. Mengusung kayu bakar, dan kadang-kadang me mbawanya kepada mereka yang me merlukannya. Sekalisekali juga aku mengantar seonggok kayu bakar ke rumahmu, karena ibumu me mbelinya" Pamot berhenti sejenak, lalu "ke mudian setiap sepekan dua ka li a ku harus berada di Kademangan Kepandak. Nah, apakah kau tahu bahwa anakanak muda mendapat kese mpatan untuk berkumpul di Kademangan sepekan dua kali?"
"Persetan dengan igauanmu itu. Sekarang aku tidak me mbutuhkan kau. Juga aku tidak ingin me mbeli kayu bakar. Aku baru berusaha untuk menolong Sindangsari yang terjatuh itu" Pamot tercenung sejenak. Dipandanginya Sindangsari yang masih terduduk di tanah. "Bangkitlah Sari" desis Pa mot. "Aku akan menolongnya" berkata Manguri. "Jangan sentuh gadis itu" potong Pa mot. "Kau adalah orang yang paling dungu, yang tidak mengenal sopan santun sama sekali. Adalah seharusnya seorang laki-laki menolong pere mpuan" "Tetapi laki-laki itu bukan kau" jawab Pamot "dan bukan pula aku sekarang" Wajah Manguri menjadi merah pada m. Di pandanginya Sindangsari dan Pa mot berganti-ganti. Na mun de mikian ia masih juga bergeser maju. "Gadis itu dapat bangkit sendiri" berkata Pa mot "nah, bangkitlah Sari" Kata-kata itu telah menjalar ke dala m jantung Sindangsari, sehingga seolah-olah ia mendapat kekuatan baru. Meskipun ia masih ge metar, tetapi perlahan-lahan ia mencoba untuk berdiri. "Nah, bukankah ia dapat berdiri sendiri" desis Pamot ke mudian kepada Sindangsari ia berkata "pulanglah Sari. Kau pasti sudah ditunggu oleh ibumu" Sindangsari tida k menjawab, dan juga tidak beranjak dari tempatnya. "Pulanglah Sari" Pa mot me ngulang kata-katanya. sekilas
Kata-kata itu terasa benar pengaruhnya di dada Sindangsari. Kini ia tida k lagi me mbeku karena ketakutan. Kehadiran Pamot yang tiba-tiba itu telah membuatnya sedikit tenteram. Karena itu, maka dengan ge metar ia me langkah meninggalkan te mpat itu dengan paka iannya yang kotor. "Sari" t iba-tiba Manguri me manggilnya "jangan hiraukan anak edan ini. Tinggallah di sini. Aku antarkan kau pulang ke rumah" Sindangsari tertegun sejenak. Namun sebelum ia berbalik, terdengar Pamot tertawa "Jangan kau sangka bahwa aku tidak tahu apa yang telah terjadi. Adalah kebetulan sekali bahwa aku mendengar pe mbicaraan ka lian" "Kau mengintip?" Manguri ha mpir berteriak. "Jangan berteriak Manguri. Kalau ada orang mendengarnya, ma ka mereka a kan berdatangan. yang
"Apa peduliku kepada mereka. Kau takut barangkali, karena mereka pasti akan berpihak kepadaku" "Kenapa aku takut" Aku justru kasihan kepada mu. Setiap orang akan mengetahui, apa yang telah kau lakukan di sini" Wajah Manguri yang merah menjadi se makin merah. Dan ia mendengar Pa mot berkata "Pulanglah Sari. Supaya tidak tumbuh persoalan apapun, katakan kepada mereka yang bertanya kepadamu, bahwa kau tergelincir di pematang. Tergelincir begitu saja, tanpa sebab" Sindangsari t idak menjawab, Bahkan berpalingpun t idak. Kakinya yang masih saja gemetar segera terayun di sepanjang pematang. Lambat-la mbat, karena ia benar-benar akan tergelincir beberapa kali. Bukan karena pe matang yang licin, tetapi justru karena kakinya yang gemetar. Manguri yang melihat Sindangsari berjalan terus, me manggilnya seka li lagi "Berhenti kau Sari. Aku akan mengantarkan kau dan mengatakan kepada ibumu, apa yang telah terjadi"
"Tida k perlu Manguri" jawab Pamot "gadis itu berani pulang sendiri" "Persetan" anak muda itu menggera m "jangan menca mpuri persoalanku" "Tida k, aku me mang tida k menca mpuri persoalanmu. Tetapi apabila kau terdorong untuk mela kukan tindakantindakan yang sesat, aku wajib me mperingatkan kau" "Apa yang akan aku lakukan" Apa?" "Kau setidak-t idaknya sudah mena kut-nakuti Sindangsari. Karena itu biarlah ia pulang" Manguri menjadi marah sekali. Ia sudah tidak dapat mengenda likan dirinya, sehingga ia berkata lantang "Pamot, minggir kau. Atau aku harus me maksa mu?" "Jangan terlampau kasar Manguri" "Aku tida k peduli. Pergi. Seharusnya kau tahu, siapa aku" "Tentu, aku mengerti bahwa kau adalah Manguri, anak seorang pedagang ternak yang kaya" "Bukan itu saja. Sebagai laki-laki yang berhadapan dengan laki-laki aku me mpunyai pegangan" Pamot mengerut kan keningnya. Dan tiba-tiba terdengar suaranya dalam nada yang rendah "Aku tahu. Kau murid Kiai Pencar Jati. Tetapi kau tinggalkan perguruanmu sebelum kau selesai" "Huh" jawab Manguri "aku sudah me miliki semua ilmunya. Apa gunanya lagi aku berada di padepokan terpencil itu" "Tetapi bagiku Manguri. Apakah kau putera seorang pedagang yang kaya, apakah kau bekas murid Kiai Pencar Jati, namun tindakanmu yang tidak sewajarnya itu memang harus dicegah.
Manguri t idak menjawab lagi. Tiba-tiba saja ia meloncat menyerang Pamot. Tetapi Pamotpun sudah bersedia. Ia sadar, bahwa Manguri pasti a kan sa mpai pada puncak tinda kannya. Karena itu, ma ka iapun segera menghindarkan dirinya betapa cepatnya serangan Manguri. Bahkan dengan me mutar tubuhnya, kakinya yang mendatar menyambar la mbung lawannya. Tetapi Manguri me mang tangkas. Dengan lincahnya ia berhasil meloncat selangkah mundur, ke mudian bersiap ke mbali untuk menyerang dengan sepasang tangannya. Ketika Sindangsari mendengar kegaduhan itu, ia berpaling sejenak. Ia masih melihat kedua anak muda itu berkelahi. Namun ke mudian ia justru me mpercepat langkahnya. Meskipun ia ana k seorang prajurit, tetapi jarang sekali ia menyaksikan perke lahian yang sebenarnya. Yang sering dilihatnya adalah latihan-latihan sodoran atau perangperangan di Alun-alun. Ternyata kedua anak-anak muda itu berkelahi dengan sengitnya. Masing-masing me mpunyai ke ma mpuan yang cukup. Manguri yang pernah berguru kepada seorang tua di pinggir kali Praga dan berna ma Kiai Pencar Jati itu, me miliki kelincahan yang mengagumkan. Tetapi lawannya adalah anak muda yang tangguh. Yang me mpunyai ke kuatan tubuh me la mpaui kawan-kawannya. Namun sema kin la ma menjadi sema kin jelas, bahwa Manguri tidak dapat mengimbangi kekuatan Pa mot, Meskipun setiap kali serangan Manguri mengena, na mun Pa mot seakanakan tidak merasakan apapun juga menyentuh tubuhnya yang me mpunyai daya ketahanan yang luar biasa. Selingkar batang-batang jagung muda menjadi berserakserakan. Tanah yang gembur itu seolah-olah baru saja selesai dicangkul. Bahkan beberapa batang lanjaran kacang panjang di pe matangpun menjadi roboh yang berbujur lintang tidak keruan.
Tetapi Manguri akhirnya harus menyadari keadaannya. Meskipun ia tidak segera dapat dikalahkan, namun la mbat laun, ia menjadi kehabisan nafas. Beberapa kali ia berhasil me mukul lawannya. Tangannya dapat mengenai di beberapa bagian tubuh Pamot. Lengannya, dan bahkan dadanya. Namun Pamot seolah-olah tidak terpengaruh sama sekali. Tetapi apabila terjadi sebaliknya, apabila tangan Pamot mengenai Manguri, terasa kesakitan yang sangat telah menyengat tubuhnya. Apalagi ketika pada suatu kali, kelengahan Manguri telah me mberi kese mpatan kepada Pamot sebaik-baiknya untuk me masukkan pukulannya tepat mengenai kening. Manguri terdorong beberapa langkah surut. Sebelum ia ma mpu me nguasai keseimbangannya, pukulan tangan Pa mot yang lain mengangkat dagunya, sehingga ia terle mpar jatuh terlentang. Kini Pa mot berdiri dengan kaki renggang di sa mping tubuh Manguri yang masih terbujur di tanah. Di pandanginya wajah yang biru pengab dan pakaiannya yang kotor oleh lumpur. Manguri yang dengan susah payah bangkit dan duduk di pematang menggeretakkan giginya. Dadanya serasa hampir me ledak karena marah. Dengan jari-jarinya yang bergetar ditudingnya hidung Pa mot sambil mengumpatinya "Setan kau Pamot. Kau t idak tahu siapa aku" "Aku sadar dengan siapa aku berhadapan" "Tunggulah, besok atau lusa, kau pasti a kan menyesal" "Aku tidak akan menyesal. Sudah lama aku menjadi muak me lihat tingkah lakumu" "Kau sudah berani me mbuat persoalan dengan Manguri, anak pedagang yang paling kaya di seluruh Ge mulung" "Aku bukan sejenis orang-orang yang dapat kau beli, Manguri"
"Mungkin kau tidak. Tetapi dengan uangku a ku dapat me mbe li berapa banyak tenaga yang aku kehendaki untuk me le mparkan kau ke kubangan yang paling kotor" Pamot tidak segera menjawab. Tetapi ia dapat mengerti, bahwa hal itu me mang dapat terjadi. Tanpa disadarinya ia menarik nafas dala m-da la m. Perselisihan dengan Manguri me mang dapat berarti kesulitan baginya. Orang tuanya mungkin akan ikut campur. Mungkin juga gurunya, meskipun ke mungkinan itu sangat kecil, karena gurunya sudah di kecewakannya. Ketika terlintas di dala m ingatannya, seorang yang bertubuh tinggi kekar yang tingga l bersa ma Manguri, dada Pa mot me mang berdesir. Orang dungu itu akan dapat berbahaya baginya. "Jangan menyesal" tiba-tiba Manguri yang tertatih-tatih berdiri berteriak "Jangan menyesal. Kau harus menge mbalikan hutangmu hari ini dengan bunga berlipat se mbilan" "Jangan banyak bicara" me mbunuhmu sekarang" bentak Pamot "aku dapat
"Dan kau akan di gantung di ha la man Kade mangan" Pamot terdia m. Dan Manguri berkata selanjutnya "Hatihatilah kau untuk seterusnya. Kau sudah menggali lubang untuk dirimu sendiri" "Aku tidak peduli" t iba-tiba Pa mot menjawab dengan lantang "tetapi satu perbuatan yang baik menurut pendapatku sudah aku lakukan. Aku berhasil mencegah kegilaanmu ka li ini, meskipun akibatnya terla mpau pahit. Jangan kau kira aku akan menyerah pada keadaan. Kalau terjadi sesuatu atasku, setiap orang akan mengetahui sebabnya" "Tida k seorangpun yang menyaksikan persoalan ini" "Sindangsari me mpunyai mulut juga"
"Persetan" geram Manguri sa mbil berjalan tertatih-tatih meninggalkan tempat itu. Tetapi langkahnya tertegun ketika tiba-tiba saja mereka me lihat seseorang dengan menyandang pacul di punda knya berjalan ke arah mereka. Ketika orang itu me lihat wajah Manguri dan paka iannya yang kotor ia menjadi heran. Di pandanginya anak muda itu dengan herannya. Kemudian ditatapnya wajah Pamot yang tegang dan sikapnya yang garang. "Kalian berke lahi?" bertanya orang itu. Kedua anak-anak muda itu tidak menjawab. "Kalian berke lahi he?" Keduanya masih tetap berdia m diri" "Sial. Sial sekali. Kalian harus menyadari bahwa perkelahian di antara kalian dapat me mbawa bencana bagi padukuhan ini. Perkelahian dapat me mbuat tanaman-tanaman padi dan jagung ini dima kan ha ma. Ayo, katakan, apa sebabnya kalian berkelahi?" Keduanya tidak menjawab. Namun orang itu tiba-tiba mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia berkata "Aku melihat seorang gadis muncul dari ujung pematang ini juga" ia berhenti sejenak. Matanya tiba-tiba terbelalak sa mbil berkata "Apakah kalian berke lahi karena gadis itu" Sial. Sial sekali. Panenan musim ini pasti akan morat-marit. Danyang-danyang akan marah oleh perbuatan yang hina itu" "Paman" tiba-tiba suara Manguri bergetar "jangan takut pagebluk yang betapapun dahsyatnya. Di rumahku masih tersimpan padi dan jagung berlumbung-lumbung. Aku akan me mberi kau secukupnya kalau kau me merlukan"
"He?" se kali lagi mata orang itu terbelalak. Orang itu kenal benar, bahwa ayah Manguri me mang kaya raya. Anak muda itu sa ma sekali pasti tidak sekedar me mbua l. "Datanglah ke rumahku apabila tana manmu benar-benar dimakan ha ma. Anak setan itu memang tidak menyadari apa yang dilakukannya" Orang itu mengerutkan keningnya. Kini dipandanginya wajah Pamot yang masih tegang "Kenapa kau Pa mot?" "Ka mi me mang berkelahi pa man. Sudah tentu, bahwa kami berselisih pendapat" "Tentang pere mpuan?" Pamot tida k segera menjawab. "Ya. Apaboleh buat" Mangurilah yang menyahut "anak itu mencoba mengha langi hubunganku dengan gadis yang barangkali pa man lihat" "Nah, apa kataku. Sawah dan ladang akan kering. Terutama tanah ini. Di mana ka lian berke lahi karena soal perempuan. Tanah ini akan menjadi sangar. Kau lihat, tanaman jagung itu sudah menjadi porak-poranda" "Ini sawah pa manku" jawab Pa mot. "Persetan, sawah setan belang sekalipun" potong orang itu. "Me mang tanah ini akan me ndapat kutuk dari danyangdanyang" desis Manguri "tetapi tidak sawah dan ladangku, karena aku dapat me mberi syarat apapun yang diperlukan" "Ya, kau tidak. Tetapi Pa motlah yang akan terkutuk karenanya" "Paman belum mendengar persoalan yang sebenarnya" "Apakah pa man perlu mendengar" potong Manguri.
Orang itu terdia m sejenak. Tetapi terngiang kata-kata Manguri "Kalau pa man me merlukan datang ke rumahku. Di rumahku masih tersimpan padi dan jagung berlumbunglumbung" Dan karena itulah maka tiba-tiba ia menjawab "Persetan dengan bualanmu. Tetapi perkelahian dapat mendatangkan bencana" Pamot menarik nafas dalam-dala m. Kini ia telah dihadapkan kepada suatu contoh kebenaran kata-kata Manguri. Ia dapat me mbe li berapa orang saja yang diperlukan. "Ayo pergi setan-setan kecil" teriak orang yang me mbawa pacul itu"kutuk danyang-danyang dan orang-orang sepedukuhan harus kalian tanggungkan" ke mudian suaranya menurun "kecuali bagi mereka yang dapat me mberikan sarana untuk menghindarkan diri dari kutukan kutukan itu" Manguri tersenyum di dala m hati. Dipandanginya wajah Pamot yang tegang. Tetapi ia tidak berkata sepatah katapun. Tertatih-tatih ia melangkahkan kakinya di pe matang. Meninggalkan tempat yang telah mengotori pakaian dan hatinya itu, "Kenapa kau masih berdiri disitu" bentak orang itu ketika ia me lihat Pa mot masih tegak di tempatnya. "Aku me mang sedang berada di sawah pa man ketika Manguri mencoba mengganggu Sindangsari" jawab Pa mot "dan sekarang aku akan menunggu pa man, mengatakan apa yang telah terjadi. Kerusakan sebagian tanamannya memang harus aku pertanggung jawabkan" "Anak bengal" gerutu orang itu "kau akan dipukuli pamanmu nanti" Pamot tidak menjawab. Ia sadar, bahwa orang itu pasti tidak akan me mpercayainya. Ia sudah dikuasai oleh Manguri, meskipun baru dengan janji. Tetapi janji yang demikian
me mang dapat me lumpuhkan daya pikir seseorang sehingga ia tidak akan dapat me lihat ja lan lurus dihadapkannya. "He m" Pa mot menarik nafas ketika ia melihat orang yang menyandang pacul dipundaknya itu meneruskan langkahnya. "Mudah-mudahan pa man dapat mengerti" desahnya ke mudian sa mbil me ncoba me mperbaiki tana man-tanaman yang rusak karena perke lahian itu Dengan berdebar-debar Pamot menunggu kedatangan pamannya. Biasanya meskipun hanya sebentar pamannya pasti datang ke sawah. Biasanya setelah matahari lewat puncak langit, sesudah beristirahat dari pekerjaan di sawahnya sebelah susukan yang mulai dibajak, sebelum ia mulai bekerja lagi. Sejenak ke mudian pa mannya itu benar-benar datang. Ia menjadi terkejut sekali melihat selingkar tanaman jagungnya menjadi rusak, sedang Pamot duduk sambil bertopang dagu di pematang. "Apa yang sudah terjadi Pamot?" pamannya bertanya dengan ce mas. Pamot menceritakan apa yang telah terjadi dari awal sampai akhir. Ia menceritakan pula ancaman-anca man yang diberikan oleh Manguri dan sikap seseorang yang dengan mudahnya terpengaruh oleh janji-janji seorang yang me mang me mpunyai bekal untuk me mberi janji-janji yang de mikian. Pamannya menarik nafas dalam-dala m. Katanya "Kau akan terlibat dalam kesulitan Pamot. Hati-hatilah. Sebaiknya kau menghindari benturan dengan Manguri itu" "Aku tidak me mpunyai pilihan lain pa man. Aku tidak sampai hati me mbiarkan hal itu terjadi tanpa berbuat apapun" Pamannya mengangguk-anggukkan akibatnya akan terasa berat bagimu" kepalanya, Tetapi
Pamot mengangguk-anggukkan kepa lanya. Ia menyadari sepenuhnya akan hal itu. Tetapi untuk me mbiarkan hal yang tidak sepatutnya itu terjadi, ia me mang t idak a kan sa mpai hati. Apalagi yang akan menga la mi hal itu adalah Sindangsari" "Kenapa Sindangsari" pertanyaan itu timbul di hatinya dengan tiba-tiba "Bagaimana kalau gadis yang lain" Pamot menarik nafas dalam-da la m. Dan ia mencoba me lihat perasaannya sendiri "Seandainya gadis lain sekalipun, aku tidak akan me mbiarkannya. Itu sudah menjadi kuwajibanku. Bahkan kuwajiban setiap orang" Pamotpun ke mudian minta diri kepada pa mannya setelah ia minta maaf, karena tanaman jagung yang rusak itu. "Tana man ini tidak seberapa nilainya dibanding dengan keselamatanmu sendiri Pa mot" "Aku akan selalu mengingat pesan pa man" Pamannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ke mudian Pa mot berjalan menjauh, pa mannya berguma m "Ia menghadapi masalah yang sulit. Ayah dan ibunya harus mengetahuinya" Sementara itu Sindangsari berjalan tergesa-gesa pulang ke rumahnya. Di tikungan ia terkejut, ketika hampir saja ia me langgar ka keknya yang akan berangkat lagi ke sawah. "He" kakeknya menghentikannya "darimana kau Sari" Sindangsari tida k segera menjawab. Kepalanya tertunduk dalam-da la m. "Sari" panggil kake knya. Tetapi Sindangsari tidak berani me mandang wajah kakeknya. "Ka mi di rumah menunggumu. Biasanya kau tidak pulang terlampau la mbat seperti hari ini" kakeknya berhenti sejenak. Ketika ia melihat pakaian Sindangsari yang kotor, maka
hatinya menjadi berdebar-debar "Kenapa pakaian sekotor itu Sari" Sindangsari masih tetap berdia m diri. "Kenapa pakaianmu kotor?" desak ka keknya. "Aku terjatuh kake k" jawab Sindangsari. "Dima na ?" "Aku meniti pe matang yang licin" "Darimana kau Sari" suara kake knya merendah. Sekali lagi Sindangsari terdia m. Ketika se kilas ia me mandang wajah kakeknya, dilihatnya wajah itu berkerut merut. Tetapi yang lebih terkejut lagi adalah kakeknya. Ia melihat setitik air dipe lupuk mata cucunya. "Pulanglah Sari. Ibumu menunggu. Tetapi kenapa kau sebenarnya?" Sindangsari justru tidak dapat berkata apapun lagi. Lehernya serasa tersumbat dan matanya menjadi panas. Namun ternyata kakeknya cukup bijaksana. Ia tahu benar bahwa Sindangsari sedang mengala mi kesulitan yang tidak dapat dikatakannya saat itu. Karena itu maka katanya ke mudian "Sudahlah. Pulanglah" Kakeknya pura-pura tidak menghiraukannya lagi. Dengan langkah satu-satu orang tua itu meneruskan perjalanannya, sedang Sindangsaripun dengan tergesa-gesa pulang ke rumahnya. Ibunya terkejut ketika tiba-tiba saja pintu yang terbuka sedikit itu berderak. Apalagi ketika ia melihat Sindangsari berlari-lari masuk. "Sari" sapa ibunya.
Sindangsari tertegun sejenak. Ditatapnya wajah ibunya yang termangu-mangu. Na mun gadis itupun ke mudian me loncat berlari me meluknya sa mbil menangis. "Sari. Apakah yang sudah terjadi?" ibunya menjadi sangat cemas. Apalagi ketika ia me lihat pakaian anaknya yang kotor itu" "Sari. Sari" diguncangnya lengan gadisnya sa mbil bertanya terbata-bata "Kenapa kau he" Kenapa ?" Sindangsari menangis se makin keras sambil me meluk ibunya. Tetapi ia tidak sempat menjawab pertanyaanpertanyaan yang mengalir seperti banjir. "Kenapa kau he" Apakah yang sudah terjadi" Neneknya yang berada di belakang mendengar suara Nyai Wiratapa dan tangis cucunya. Karena itu tergopoh-gopoh ia masuk. Yang dilihatnya adalah Sindangsari menangis sa mbil me me luk ibunya erat-erat. Tetapi perempuan tua itu ternyata lebih tenang dari anakanaknya. Dengan sareh ia me mbelai ra mbut cucunya sambil berkata lirih "Duduklah Sari. Tenanglah. Aku ingin berbicara" Tetapi Sindangsari masih berpegangan ibunya erat-erat. Air matanya telah me mbasahi baju ibunya dan bajunya sendiri yang kotor" "Sudahlah Sari. Duduklah. Kalau ada persoalan, marilah kita pecahkan. Dengan menangis kesulitanmu tidak akan terselesaikan" Nyai Wiratapa yang matanya menjadi basah juga menya mbung kata-kata ibunya "Duduklah Sari. Duduklah" Tetapi Sindangsari masih menangis terus. Ibunya yang sudah menjadi agak tenang kemudian me mbimbingnya perlahan-lahan. Didudukkannya anaknya di
atas bale-bale, dan ia sendiri duduk di sa mpingnya sebelah menyebelah dengan nenek gadis itu. "Tenanglah Sari" berkata neneknya "kenapa kau tiba-tiba menangis?" Sindangsari mencoba untuk menahan isak tangisnya. Dicobanya pula untuk mengatur perasaannya. Sejenak ia menjadi ragu-ragu , apakah ia akan mengatakan keadaan sebenarnya, atau seperti pesan Pamot, supaya ia sekedar mengatakan, bahwa ia telah tergelincir di pematang. Ibunya yang kecemasan mendesaknya "Sari. Apakah terjadi sesuatu atasmu ?" Sambil terisak Sindangsari menjawab "Aku tergelincir ibu" Ibunya mengerutkan mengulangi" "Ya ibu" "Hanya itu ?" "Ya ibu" Nyai Wiratapa terdiam sejenak. Menilik pakaian ana knya yang kotor itu, maka ia me mpercayainya. Tetapi apabila anaknya hanya sekedar tergelincir, kenapa ia menangis sampai terisak-isak. Sebagai gadis yang sudah dewasa, seandainya ia hanya sekedar terjatuh di pe matang, ma ka ia tidak akan menangis begitu pedih. Neneknya yang sudah tua itupun tida k dapat menganggap bahwa jawaban itu adalah jawaban yang sebenarnya. Karena itu, dengan hati-hati ia bertanya "Dima na kau jatuh Sari ?" "Di pe matang" "Ya, tetapi diarah mana ?" "Dekat sawah pa mannya Pa mot" keningnya "kau tergelincir" ia
Neneknya mengerutkan keningnya. Kemudian ia bertanya "Kau bermain-ma in sa mpai kesana Sari " Apakah tidak ada orang yang menolongmu ?" Sindangsari menjadi bingung. Wajahnya yang gelisah kini tidak dapat dise mbunyikannya lagi. "Sari, Sari" ibunya justru menjadi lebih gelisah lagi daripada Sindangsari sendiri "kenapa kau sa mpa i ke te mpat itu Sari ?" Sindangsari me ngusap air matanya "Tida k apa-apa ibu" "Kau sendiri" Sendiri saja ?" Sindangsari t idak dapat segera menjawab. "Katakan Sari. Apakah sudah terjadi sesuatu atasmu ?" Sindangsari me nundukkan kepalanya. "Sari" suara ibunya menjadi se makin meninggi" katakan yang sebenarnya " Apakah kau sudah me langgar pesan itu" Sindangsari terkejut. Tiba-tiba air matanya mengalir pula. Sambil me nelungkupkan kepalanya dipangkuan ibunya ia berkata "Aku tergelincir ibu" Tetapi ibunya menggelengkan kepalanya. Sebagai seorang ibu, seolah-olah ada ge ma getaran suara hati anaknya di dadanya sendiri. Karena itu terasa juga kepedihan perasaan gadis itu. "Katakan Sari. Katakan, apakah yang sudah terjadi" Sindangsari tidak segera menjawab. Namun neneknya ikut pula mendesaknya" katakan Sari" Mereka berpaling ketika mereka melihat seseorang me masuki rumah itu pula. Ternyata kakek Sindangsari tidak terus pergi ke sawahnya, tetapi menilik gelagat cucunya, iapun ke mudian berbalik lewat jalan yang lain pulang ke rumah.
"Ya Sari. Sebaiknya kau mengatakan apa yang telah terjadi sebenarnya" berkata kakek tua itu. Sindangsari tida k dapat ingkar lagi. Perlahan-lahan ia bangkit dan duduk dengan ge lisah. Kini ka keknya sudah duduk di atas sebuah dingklik ba mbu yang tinggi di hadapannya. "Katakanlah, supaya kami dapat me mbantu kesulitanmu Sari. Kau pasti tidak hanya sekedar tergelincir dan jatuh di pematang. Jika demikian, kau tidak akan menangis seperti kanak-kanak" Sindangsari menjadi se makin tersudut, sehingga akhirnya ia tidak dapat berdusta lagi. Ketika ibunya, kakek dan neneknya semakin mendesaknya, iapun terpaksa mengatakan apa yang telah terjadi atasnya. Belum lagi ceriteranya selesai seluruhnya, Sindangsari sudah tidak dapat menahan tangisnya. Sekali lagi ditelungkupkan wajahnya dipangkuan ibunya. "Kau harus mengucap sokur Sari, bahwa tidak terjadi bencana yang mengerikan atasmu" berkata ibunya sambil me mbe lai kepala anaknya. Tetapi air matanya sendiripun satu demi satu menitik di kepala anaknya. Bukan saja karena Sindangsari yang hampir saja mengala mi nasib yang jelek, tetapi perempuan itu me mandang kenasibnya sendiri. Lukaluka yang tergores di hatinya, pada saat suaminya meninggal seakan-akan telah ka mbuh ke mbali. "Kalau ayah anak ini masih ada, tidak akan ada seorangpun yang berani me mperlakukan de mikian" katanya di da la m hati Sementara itu ka keknya menarik nafas dalam-da la m. Desisnya "Ya, untunglah ada Pa mot. Untunglah. Setidaktidaknya anak yang bernama Manguri itu pasti akan me ma ksamu untuk menyetujui maksudnya. Ia memang sudah menghubungi aku untuk me mbelimu dengan apapun yang aku minta. Sepasang lembu dengan bajaknya. Lumbung, sawah
dan apa lagi. Tetapi sudah tentu aku tidak akan mele mparkan kau ke dala m neraka itu" Neneknya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Sementara kakek tua itu berkata lagi "Meskipun akibatnya akan menjadi sangat berat bagi Pa mot" Tiba-tiba Sindangsari mengangkat wajahnya. Butir-butir air matanya masih menga mbang di pe lupuk "Akibat apakah yang dapat terjadi atas Pamot ka kek?" "Ia berhadapan dengan seorang yang kaya raya, yang dapat me mpergunakan ke kayaannya untuk segala kepentingannya" Sindangsari menjadi berdebar-debar. Kini ia duduk dengan gelisah me mandangi wajah kakeknya. "Apakah Manguri akan mendenda m Pa mot ?" Tetapi orang tua itu mengge lengkan kepalanya "Entahlah. Mudah-mudahan tidak. Tetapi anak itu harus berhati-hati" Sementara itu, Manguri bergegas masuk ke regol halamannya. Beberapa orang pe mbantu rumahnya me mandanginya dengan penuh keheranan. Anak muda itu dilekati oleh lumpur dan kotoran tidak saja pada pakaiannya, tetapi juga pada tubuhnya. Ketika Manguri sa mpai di tangga pendapa rumahnya, tibatiba ia berteriak "La mat, Lamat. Dima na kau ?" Lamat yang sedang bekerja di sebelah rumah menengadahkan kepalanya. Sekali lagi ia mendengar Manguri me manggil pa manya. Diletakkannya kapal ditangannya , dan dengan tegesa-gesa pula ia pergi me menuhi panggilan itu. "Cepat kemari kau dungu" bentak Manguri. La matpun berjalan se makin cepat mendekati Manguri. "He, kau lihat pa kaianku ?"
Lamat tida k segera mengerti maksud Manguri. Meskipun ia me lihat paka ian yang kotor itu, tetapi ia masih tetap berdia m diri. "Apa kau tuli he " Kau lihat pa kaianku ?" Lamat me nganggukkan kepalanya sambil menjawab "Ya. Aku melihat" "Kenapa pakaianku ?" Lamat mengerut kan keningnya. Dengan suara yang raguragu ia menjawab "Kotor sekali" "Nah, kau ma mpu juga me lihat pakaian kotor meskipun kau sendiri se lalu kotor. Kenapa pakaianku kotor he ?" Lamat t idak dapat menjawab. "Bodoh, bodoh kau" Manguri mengumpat "dengar, aku telah berkelahi melawan Pa mot" Sekali lagi La mat mengerutkan keningnya. "Kenapa kau dia m saja he ?" "Apakah aku harus mene mui Pa mot ?" "Tentu. Aku tidak dapat mere mukkan tulang-tulang iganya. Sayang ada orang yang melihat. Kalau tidak, aku tidak me merlukan kau. Ketika aku hampir menyelesaikannya, seseorang telah melerai. Tetapi ingat, kau tidak boleh gagal. Buat anak itu cacat. Buat kakinya timpang atau tangannya lumpuh. Mengerti ?" Lamat me nganggukkan kepalanya. "Sekarang ?" "Bodoh, bodoh. Kau me mang terlalu bodoh. Sekarang ia berada di rumahnya" Manguri dia m sejenak, lalu "tunggu sampai ada kese mpatan. Awasi anak itu. Kalau ia terpisah dari orang lain, apalagi di mala m hari, kau dapat me lakukannya.
Jangan sampai dilihat orang. Jika demikian orang-orang itu akan melerai, dan bahkan mungkin mereka a kan menga mbil sikap terhadapmu" Lamat me ngangguk-anggukkan kepalanya "Baik" "Bagus. Kau akan me ndapat hadiah. Aku akan me mberimu sehelai ka in panjang" "Terima kasih" "Sekarang pergilah" Lamat menganggukkan kepalanya. Dengan wajah yang beku ia berjalan meninggalkan Manguri yang masih berdiri di tangga pendapa rumahnya. "Kalau La mat gagal, aku dapat membe li lima atau sepuluh orang untuk me nyelesaikan anak itu" Sambil menggeretakkan giginya, Manguripun segera masuk ke dala m rumahnya, langsung ke biliknya. Sambil mengumpatumpat ia menukar paka iannya yang kotor oleh lumpur. "Baik Pa mot maupun Sindangsari harus mengerti, bahwa Manguri tidak terlawan di seluruh padukuhan Ge mulung. Apapun yang aku ingini pasti akan terjadi" Lamat yang telah bekerja kembali, sekali-sekali tertegun. Diletakkannya kapaknya di tanah. Kemudian disekanya keringat di keningnya. Sambil menarik nafas dalam-da la m ia berdesis "Pa mot. Pamot. Nanti mala m aku akan mencarinya" Pamot sendiri me mang menyadari, seperti yang dikatakan oleh pa mannya, bahwa banyak ke mungkinan dapat terjadi. Manguri pasti tidak akan me mbiarkan dirinya terhina. Tetapi Pamot bukan seorang pengecut. Ia telah bersiap menghadapi apa saja yang dapat dilakukan oleh Manguri. Ia masih berprasangka baik terhadap orang-orang sepedukuhannya. Manguri tidak a kan mudah mendapatkan
orang-orang yang dapat disewanya untuk menyakiti orang sepedukuhannya. "Hanya orang-orang gila saja yang akan melakukan hal itu" desisnya. Tetapi ketika pa mannya datang ke rumahnya dan berbicara dengan orang tua Pamot, mereka berkata "Kaulah yang bodoh Pamot. Untuk mendapatkan orang-orang yang dikehendaki Manguri tidak a kan mendapat kesulitan apapun" Pamot tida k menjawab. "Kau me mang harus berhati-hati. Hindarilah bentrokanbentrokan yang akan terjadi kemudian. Hal itu tidak akan menguntungkan kau sa ma seka li" Pamot mengangguk-angggukkan kepalanya. Jawabnya "Baik. Aku akan selalu mencoba menghindarkan diri" Meskipun de mikian Pa mot tida k dapat berse mbunyi saja di dalam rumahnya. Ia harus melakukan pekerjaannya saja di dalam rumahnya. Ia harus me lakukan pekerjaannya seharihari. Meskipun ia dapat mengerti pesan paman dan orang tuanya, namun ia tidak berniat sama sekali untuk tetap tinggal di rumah sa mpai berhari-hari. "Kalau kau me lihat gelagat yang kurang baik Pamot" pesan pamannya "lebih baik kau segera masuk ke padukuhan atau bergabung dengan orang-orang la ih di sawah. Di mala m hari, kau dapat pergi ke gardu perondan, sehingga dengan demikian kau dapat menghindarkan dirimu dari bahaya" "Ya pa man" jawab Pa mot. Tetapi ke mudaannya tidak dapat diikat dengan bayanganbayangan yang meremangkan bulu-bulunya. Ia sama sekali tidak merubah kebiasaannya. Malam itu juga Pa mot pergi seperti biasa menyusuri parit untuk mendapatkan air.
"Banyak orang berada di sawah menunggui tanamannya" desisnya "bahkan mungkin anak-anak yang mengintai babi hutan itu masih sela lu berkumpul di perapatan". Dengan de mikian ma ka Pa mot tidak mence maskan dirinya. Ia percaya kepada dirinya sendiri. Meskipun kadang-kadang terbersit juga pikiran "Kalau aku tidak dapat me lawan orangorang yang disewa oleh Manguri, aku ada lah pelari yang baik" Sambil berangan-angan Pamot telah berada di tengahtengah sawah, meniti pe matang. Bintang-bintang di langit bertaburan dari ujung sampai ke ujung Ge merlapan seperti saling bersaing. Namun bagaimanapun juga, terasa debar di jantung Pa mot. Sekali-seka li ia berpa ling, kalau-ka lau ada seseorang yang mengikut inya. Dadanya berdesir ketika tiba-tiba saja ia melihat seorang yang bertubuh tinggi kekar meloncat dari balik batang-batang jagung muda beberapa langkah di belakangnya. Pamot segera mengenal, orang itu ada lah La mat. Pembantu Manguri yang paling setia. Pamot menarik nafas dalam-dala m. Orang itupun sudah diperhitungkannya pula, sebagai orang yang pertama-tama akan me lakukan tugas yang dibebankan oleh Manguri kepadanya. Tetapi Pamot tidak berhenti karenanya. Ia berjalan semakin cepat. Sekali-sekali terngiang ditelinganya pesan pamannya, tetapi kadang-kadang darah mudanyalah yang berbicara. "Apakah benar orang itu bertenaga raksasa seperti yang dikatakan orang" berkata Pa mot di dala m hatinya. Sebagai seorang anak muda Pa mot me mpunyai kebanggaan pula atas kekuatannya. Memang seperti apa yang pernah dikatakan oleh Sindangsari, Pa mot ma mpu me lakukan sesuatu yang me la mpaui ke ma mpuan kawan-kawannya. Tenaga Pamotpun jauh mela mpaui kekuatan tenaga orang-orang biasa.
"Meskipun tenaganya sembilan kali lipat tenaga manusia biasa tetapi tampa knya orang itu terla mpau dungu" Pa mot masih berkata kepada diri sendiri. Dengan de mikian, darah Pa mot yang muda itu justru telah mengge litiknya untuk mencoba ke ma mpuan La mat. Bahkan Pamot berkata di dala m hatinya "Kalau aku dapat menga lahkan orang ini, ma ka Manguri pasti akan menjadi segan" namun dibantahnya sendiri "atau ia menjadi se ma kin sakit hati, dan menyewa limapuluh orang seka ligus untuk me matahkan tanganku" Ketika Pa mot berpaling, ia masih me lihat Lamat berjalan mengikut inya pada jarak yang tetap. "Setan" tetapi tiba-tiba hatinya menjadi gelisah pula "Aku harus menga mbil tindakan lebih dahulu" Maka ketika Pa mot ke mudian berbe lok, iapun segera menyelinap di balik batang-batang jagung. Sambil menahan nafasnya ia menunggu La mat. Ia sudah bertekad untuk menyerang lebih dahulu. Seandainya Lamat benar-benar me mpunyai ke lebihan, maka ia tida k akan didahuluinya. Pada serangan yang pertama-tama dan tiba-tiba ia harus mengurangi ke mungkinan, bahwa lawannya akan dapat menga lahkannya. Sejenak ke mudian ia mendengar langkah La mat yang berat semakin la ma menjadi sema kin de kat. Namun agaknya langkah itupun telah me mbuatnya sema kin berdebar-debar. Tetapi Pamot telah bertekad bulat "Aku adalah seorang laki-laki. Aku tidak dapat selalu menghindarkan diri dari benturan serupa ini. Kalau sekarang kau menghindar, maka besok atau lusa akhirnya akan terjadi juga. Kalau aku bersembunyi, maka aku ada lah seorang pengecut" Karena itu, ketika Lamat menjadi sema kin dekat, Pamotpun segera mempersiapkan diri. Ditahankannya nafasnya, agar Lamat t idak me ngetahui, bahwa ia berada dala m bahaya.
Tetapi agaknya Lamatpun menjadi ragu-ragu. Ketika ia sampai di tikungan, langkahnya terhenti. Ia merasa kehilangan buruannya. Sejenak ia berdiri termangu-mangu. Di pandanginya pematang yang me mbujur me manjang di bawah kakinya, menghunja m kekege lapan. "Setan" desis Pamot di dala m hatinya, "kenapa ia tidak maju lagi?" Tetapi La mat masih berdiri di tempatnya. Sekali-sekali ia me miringkan kepa lanya, seolah-olah sedang mendengarkan sesuatu. Tubuhnya janjang tinggi tegap itu seakan-akan menjulang se makin tinggi me nurut tangkapan mata Pa mot yang sedang bersembunyi di balik tanaman jagung sa mbil mengintip. Darah Pamot berdesir ketika tiba-tiba ia mendengar suara raksasa itu datar "Pa mot, ke marilah" Pamot menggeretakkan giginya. "Jangan bersembunyi di situ" Pamot benar-benar merasa terhina. Meskipun jantungnya menjadi kian berdebar-debar. Ternyata raksasa itu bukanlah terlampau dungu seperti yang dikiranya. Ia dapat menangkap desah nafasnya, meskipun barangka li belum melihat orangnya. Kini Pamot tidak me mpunyai pilihan lain. Ia harus mendahuluinya. Langsung ke tempat yang berbahaya di bagian tubuh lawannya. Perlahan-lahan Pa mot bergeser maju. Hati-hati sekali. Meskipun ia sadar bahwa desir kakinya di atas tanah dan sentuhan tubuhnya dengan daun jagung itu pasti di dengarnya pula. Pamot melihat Lamat menggeser tubuhnya. Tetapi ia masih berdiri tegak di te mpatnya. Dala m kere mangan mala m Pa mot me lihat sesuatu mencuat dari ikat pinggang La mat. Sarung
sebuah golok yang besar. Pamot menjadi ragu-ragu sejenak. Ia tidak bersenjata. Yang dibawanya adalah sebilah sabit. "Tetapi apakah aku akan me lukainya dengan sabit ini?" ia bertanya kepada diri sendiri. Dala m keragu-raguan itu ia mendengar suara La mat yang berat "Pamot, ke marilah" Kini Pamot tidak dapat berlama-la ma lagi. Ia harus segera bertindak. Tetapi ia masih belum berhasrat melukai lawannya dengan sabitnya yang tajam. "Aku harus me mukulnya di pangkal lengannya atau di tengkuknya" katanya di dalam hati "itu akan mengurangi ke ma mpuannya melawan untuk seterusnya. Kalau ia mencabut goloknya, apaboleh buat. Aku harus mendahuluinya sekali lagi" Perlahan-lahan Pamot berkisar sema kin dekat. Kini dipegangnya sabitnya dengan tangan kirinya. Ia sudah bertekad untuk meloncat, dan sekaligus me mukul tengkuk orang itu dengan sisi telapak tangannya. Lamat masih tetap berdiri tegak di te mpatnya. Ia hanya berputar sedikit, ke mudian dia m lagi. Kini Pa mot berada tidak lebih dari tiga langkah. Dengan segala kema mpuannya ia me musatkan segenap perhatiannya kepada orang yang masih berdiri di pe matang itu. Sejenak ke mudian ma ka Pa mot menghentakkan dirinya. Dengan sigapnya ia meloncat berdiri beberapa langkah maju. Kemudian dengan sebuah tendangan mendatar anak muda itu seolah-olah terbang menghanta m tubuh La mat. Begitu cepatnya seperti lontaran anak panah yang kepas dari busurnya. Tangan kanannya telah siap untuk menghantam tengkuk lawannya apabila orang itu sedang berusaha me mperbaiki keseimbangan karena dorongan kakinya.
Lamat yang masih berdiri di pe matang itupun terkejut mendapat serangan yang tiba-tiba dan begitu cepatnya. Ia tidak mungkin lagi berbuat sesuatu. Serangan yang tidak disangka-sangka itu langsung mengenai la mbungnya, sehingga ia terdorong beberapa langkah ke samping masuk ke dalam gerumbul tana man jagung muda. Pamot yang telah siap itupun segera meloncat pula. Kali ini tangannyalah yang terayun ketengkuk La mat yang masih terhuyung-huyung. Tetapi adalah di luar dugaan Pa mot, bahwa La mat bukanlah seorang raksasa yang dungu. Meskipun ia belum menguasai keseimbangannya seluruhnya, namun ketika tangan Pamot terayun ke tengkuknya, Lamat justru menjatuhkan dirinya dan berguling beberapa kali. Tetapi Pamot tidak me lepaskannya. Dengan tangkasnya iapun me loncat maju tanpa menghiraukan batang-batang jagung yang berserakan. Ketika La mat me loncat berdiri, maka iapun menyerangnya dengan sekuat tenaganya. Tetapi kali ini Pa mot terperanjat bukan buatan. Ia merasa tangkapan yang kuat pada pergelangan tangannya, kemudian oleh kekuatannya sendiri, ditambah dengan sebuah hentakkan yang tidak terlawan ia terle mpar ke sa mping. Kini Pa motlah yang tidak dapat menguasai keseimbangannya sama sekali. Dengan derasnya ia jatuh terjerembab. Wajahnya me mbentur sebongkah batu yang mencuat di pe matang. Sekejap matanya menjadi berkunang-kunang. Bintang-bintang di langit seolah-olah berputaran seperti beras di pena mpian. Tetapi Pa mot tetap menyadari dirinya, bahwa ia sedang berkelahi me lawan La mat. Karena itu, maka iapun segera berusaha bangkit, Na mun ia menjadi kecewa, ketika ia sadar, bahwa sabitnya telah terlepas dari tangannya.
Ketika Pa mot tertatih-tatih berdiri, dilihatnya dalam kekaburan, Lamat sudah berdiri tegak di hadapannya. Sebelum ia dapat menguasai dirinya sepenuhnya, Lamat telah menyentuh dadanya, sehingga sekali lagi ia terdorong dan jatuh terlentang. Tetapi Pamot menggera m. Ia tidak menjadi berputus asa. Meskipun wajahnya yang me mbentur batu terasa sakit bukan buatan, ia masih berusaha untuk berguling menjauhi lawannya, kemudian berusaha pula bangkit berdiri. Namun seperti yang baru saja terjadi. Ketika ia tegak di atas kedua kakinya yang masih ge metar, La mat telah berdiri di hadapannya, seperti batu karang yang teguh dan tidak tergoyahkan oleh ombak dan badai. Pamot segera mempersiapkan dirinya. Meskipun ia sudah tidak bersenjata sama sekali, namun ia tidak mau menyerah. Ia akan me lawan sa mpai ke mungkinan terakhir yang dapat dilakukannya. Tetapi Pamot menjadi heran. Lamat yang mempunyai banyak kesempatan itu berdiri saja membeku di tempatnya. Pandangan mata Pamot yang menjadi se makin je las, melihat orang itu dia m me matung. Pamot menjadi ragu-ragu sejenak. Sekilas terbayang wajah raksasa yang beku itu. Agaknya ia dapat berbuat apa saja sekehendak hatinya tanpa mengerutkan keningnya. Kekeja man yang mengerikan me mancar dari mata Manguri tidak menjawab lagi. Tiba-tiba saja ia meloncat menyerang Pamot. Tetapi Pamotpun sudah bersedia. Ia sadar, bahwa Manguri pasti akan sampai pada puncak t indakannya. Lamat, justru karena wajahnya seakan-akan t idak terpengaruh sama sekali oleh keadaan lawannya. Kakinya yang renggang dan tangannya yang tergantung di kedua sisinya me mbuat Pamot se makin bertanya-tanya di dalam hati "Apakah yang akan dila kukannya?"
Tetapi La mat masih berdiri saja di te mpatnya. Dipandanginya Pamot yang gelisah itu seperti seekor kucing menatap seekor tikus yang putus-asa. Namun Pa mot sama seka li tidak berputus asa. Ia sengaja me mbiarkan La mat berdiri saja di tempatnya, sementara ia dapat mengatur dirinya. Nafasnya yang tersengal-sengal, dan pipinya yang serasa bengkak. "Mungkin ia me mbiarkan aku mat i ketakutan" katanya di dalam hati "atau sedang berpikir cara yang paling baik untuk me lumpuhkan aku. Agaknya Manguri berpesan sesuatu kepadanya" Karena itu maka sejenak mereka saling berdia m diri. Betapapun ketegangan mencengkam hati masing-masing, hamun masing-masing tidak segera berbuat sesuatu. Sejenak ke mudian, Pa mot terkejut mendengar suara La mat yang datar dan dalam "Kenapa kau menyerang aku Pa mot?" Pamot tida k menyangka, bahwa La mat akan bertanya demikian kepadanya, sehingga sesaat ia berdiri saja dengan mulut yang bergerak-gerak meskipun tida k sepatah katapun yang meluncur dari sela-sela bibirnya. "Kenapa?" terasa penyesalan mewarnai pertanyaan Lamat. Pamot tidak segera dapat menjawab pertanyaan itu. Dipandanginya saja wajah La mat yang beku. "Kenapa kau bersikap bermusuhan terhadapku?" La mat bertanya pula. Dan Pamot akhirnya merasa bahwa ia me mang harus menjawabnya "Kenapa kau bertanya Lamat" Pertanyaanmu itulah yang justru terdengar aneh di telingaku" Lamat mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya "Ya, karena aku adalah budak Manguri" "Nah, kau sudah tahu jawabnya"
"Ya. Aku me mang me ndapat perintahnya untuk me mbuat kau cacat" Terasa dada Pamot berdesir. "Persetan. Kalau aku tidak belas kasihan padamu, kau sudah mati pada seranganku yang pertama. Aku me mang tidak me mpergunakan sabit itu, karena aku memang tidak ingin me mbunuh" "Perintah itu juga tidak untuk me mbunuh" suara La mat masih mendatar. Debar di dada Pamot menjadi se makin keras. Ditatapnya raksasa itu dari ujung kaki sa mpai ke ujung kepalanya yang botak. Sejenak ke mudian, terdengar Pamot menggeram "Apakah yang akan kau lakukan" Kau sangka aku akan menyerahkan diri begitu saja?" Lamat me narik nafas dala m-dala m. "Pamot " berkata La mat masih dala m nada yang datar "kau me mang tidak keliru. Se mua orang akan menganggapku begitu. Mungkin karena bentuk tubuh dan wajahku yang kasar, sehingga mereka termasuk kau menganggap aku tidak lebih dari seekor serigala. Itulah penderitaan yang paling pahit yang harus aku telan" La mat berhenti sejenak, dan Pamotpun menjadi terheran-heran. Sejenak kemudian La mat me lanjutkan "Tetapi mungkin juga karena aku adalah pembantu, bahkan lebih dari itu, seorang budak dari keluarga pedagang yang kaya raya itu. Adalah wajar sekali ka lau kau berprasangka jelek terhadapku" Pamot kini dia m me matung. "Pamot " berkata La mat ke mudian "aku me mang me ndapat perintah dari Manguri untuk me mbuat kau cacat. Tetapi ketahuilah, bahwa perintah itu telah me mbuat aku menjadi
semakin berprihatin. Aku semakin merasa bahwa aku adalah manusia yang paling t idak berguna dan tida k berharga" Pamot menjadi se makin tidak me ngerti. "Apa yang harus aku kerjakan itu sebenarnya bertentangan dengan kata hatiku sendiri" berkata La mat itu selanjutnya. Kepalanya tiba-tiba tertunduk, dan suaranya menjadi se ma kin rendah "Tetapi aku sadar, bahwa tidak seorangpun yang me mpercayaiku. Wajahku yang jelek, tubuhku dan mungkin sorot mataku" Pamot masih tetap berdia m diri. "Itulah kenyataanku Pamot. Seharusnya aku tidak perlu heran karena kau telah menyerangku lebih dahulu. Tetapi kadang-kadang aku ingin meyakinkan diriku sendiri, apakah aku me mang tidak sewajarnya bergaul dengan orang-orang yang lain, yang tidak berwajah kasar dan barangkali berkesan kejam seperti wajahku" Suara La mat menjadi parau "Aku me mang se kali-se kali pernah bercermin di dala m air. Dan aku hanya dapat menerima semuanya yang ada padaku, seperti juga aku t idak dapat pergi dari rumah Manguri" "Kenapa?" tiba-tiba Pa mot bertanya "kalau apa yang kau lakukan itu sa ma sekali bertentangan dengan kata hatimu, kenapa kau tidak pergi saja dari rumah itu?" Lamat menggelengkan kepalanya "Aku me lakukannya Pa mot. Aku sudah berhutang keluarga itu. Sejak kecil aku mendapat makan kebutuhan hidup dan apapun yang perlu bagi hidupku" tidak dapat budi kepada dan pakaian, kelangsungan
"Tetapi kau sa ma sekali tidak berhutang budi La mat" sahut Pamot "se mua itu sudah kau bayar tunai. Tenagamu sudah kau serahkan. Karena itu, se muanya sudah lunas" Lamat me nggelengkan kepa lanya "Tidak Pa mot " orang yang botak itu terdiam. Ada sesuatu yang akan dikatakannya,
tetapi kalimat-ka limat yang sudah berada di rongga mulutnya itu seakan-akan ditelannya. Dengan de mikian maka sejenak mereka berdua saling berdiam diri. Lamat yang bertubuh tinggi tegap berkepala botak dan berwajah kasar itu menarik nafas beberapa kali, seakan-akan seluruh udara mala m di sawah itu akan dihirupnya. Dan tiba-tiba orang itu terperanjat ketika Pamot bertanya "Lalu sekarang, apa yang akan kau lakukan" Apakah kau akan me lakukannya perintah itu?" Lamat mengge lengkan kepa lanya "Tidak Pa mot. Aku tidak dapat. Aku yakin bahwa kau tidak bersalah" "Tetapi apakah dengan demikian Manguri tidak akan marah kepadamu?" "Kalau ia tahu aku tida k berbuat apa-apa, ia pasti akan marah" "Jadi bagaimana dengan kau?" Lamat termenung sejenak. Dan tiba-tiba saja ia bertanya "Kenapa kau selalu meraba-raba pipimu?" "Ketika aku kau kibaskan, kepalaku me mbentur batu" Lamat me mandang wajah Pamot sejenak. Kemudian katanya "Pamot. Sebaiknya kau tingga l saja di rumah untuk sepekan atau dua pekan" "Kenapa" Apakah pada wa ktu-waktu itu Manguri akan berbuat sesuatu lagi atasku?" "Tida k. Tetapi aku minta tolong kepadamu, supaya aku tidak dimarahinya. Aku akan berkata kepadanya, bahwa aku telah mencoba mela kukan perintahnya. Tetapi kau tidak sejinak seekor ka mbing yang bodoh. Aku akan me mberi kesan kepadanya, bahwa akibat dari perkelahian itu, kau tidak dapat
keluar dari rumahmu untuk waktu yang la ma, meskipun harus ada kesan pula, bahwa akupun me ngala mi cidera" Pamot mengerutkan keningnya. Namun ke mudian ia berkata "Lamat. Kenapa kau harus berbuat demikian" Kau me mbuat hidupmu menjadi se makin sulit. Sebaiknya kau berterus terang. Kau harus mencoba untuk me mbaca apa yang tergurat di dalam hatimu. Kau harus belajar menyatakannya kepada orang lain, meskipun orang la in itu Manguri atau ayah dan ibunya sekaligus" Lamat mengge lengkan kepalanya "Tida k Pa mot, aku tidak dapat" "Kau hidup dala m dunia yang aneh. Kau selalu dibayangi oleh sikap berpura-pura. Itu tidak jujur La mat" "Aku sadar Pa mot" "Kenapa kau biarkan dirimu di belenggu oleh keadaan itu?" "Jangan kau tanyakan sekarang. Sekarang pulanglah, dan jangan keluar hala man se la ma sepekan" Pamot mengerutkan keningnya. Semula darahnya me lonjak untuk menola k permintaan itu. Ia sama seka li tida k perlu bersembunyi. Seharipun tidak. Kalau ia ingin keluar rumah dan pergi ke manapun tidak ada orang yang dapat menghalangi. Tetapi ketika terpandang olehnya kepa la La mat yang menunduk, ma ka timbullah iba hatinya. Ia tidak harus bersembunyi, tetapi menurut La mat, ia harus menolongnya. "Hidupmu sulit sekali La mat" tanpa sesadarnya ia berdesis. "Kau benar Pamot" sahut Lamat "tetapi untuk sementara aku masih harus menja laninya" Pamot mengangguk-anggukkan kepalanya. Pipinya me mang terasa sakit sekali, seolah-oleh tulangnya menjadi retak. Namun ke mudian iapun berkata "Ba iklah La mat. Aku akan me menuhinya. Aku akan tinggal di rumah sepekan
meskipun itu tidak berarti bahwa aku tidak boleh keluar halaman" "Aku minta tolong Pa mot" "Baiklah" "Sekarang pulanglah" "Sabitku terle mpar, ketika kau menghentakkan tanganku" Lamatpun ke mudian me mbantu Pa mot mencari sabitnya dan mencoba me mperbaiki batang-batang jagung yang berserakan. Ketika Pamot telah mene mukan sabitnya, maka iapun segera pulang ke mbali ke rumahnya. Di sepanjang jalan tangannya tidak henti-hentinya meraba-raba pipinya yang me mbengkak. Namun di sepanjang jalan pula, tidak hentihentinya ia berpikir tentang La mat, raksasa yang terbelenggu oleh perasaan berhutang budi. "Aneh" desis Pamot di dala m hatinya "wajahnya yang kasar itu ternyata tidak tumus sa mpai ke dala m hatinya. Ternyata ia seorang perasa yang bahkan agak cengeng. Apalagi ilmunya sebenarnya termasuk ilmu yang tinggi dan sulit di mengerti, seperti keadaan hidupnya yang sulit pula di mengerti" Tetapi Pa motpun menga la mi kesulitan pula apabila ia akan mendapat pertanyaan dari orang tuanya atau kawankawannya. Apakah yang akan dikatakannya" La mat?" "He m" ia berdesah "aku tidak akan sa mpai hati menyebut namanya. Kalau orang tuaku dan kawan-kawannya mendenda mnya, ma ka hidupnya akan menjadi se makin pahit. Ia menjadi se ma kin jauh tersingkir dari pergaulan yang wajar. Kalau pada suatu saat ia menjadi putus-asa, dan merasa dirinya me mang tidak berharga, ia akan menjadi berbahaya. Mungkin ia akan benar-benar menjadi seorang yang kejam, justru paling keja m, karena ia merasa dunia telah berbuat terlalu keja m kepada dirinya"
Dala m keragu-raguan itu langkah Pa mot menjadi se makin mende kati pedukuhannya. Beberapa langkah lagi ia akan sampai ke pojok desa. Kalau kawan-kawannya berada di gardu, maka mereka pasti a kan bertanya kepadanya. Tiba-tiba Pa mot berhenti sejenak. Kemudian ia berbelok dan menyelinap menyusur pematang. Ia menghindari jalan yang disangkanya akan berjumpa dengan seseorang. Sehingga dengan de mikian, maka akhirnya Pa mot sa mpai juga ke halaman rumahnya tanpa sebuah pertanyaanpun. Ketika serombongan peronda lewat, Pamot sengaja berdiri di balik segerumbul perdu di ha la mannya sebelum ia ke mudian naik ke rumah. Ternyata bahwa wajah Pamot me mang mengejutkan orang tuanya. Meskipun Pa mot tidak mengatakan sesuatu, namun orang tuanya segera bertanya tentang pipinya yang memang me mbengkak itu. Sejenak Pamot berada dalam kesulitan. Ia masih belum mene mukan jawaban. Tetapi ketika orang tuanya mendesak lagi, maka iapun mencoba untuk me mbuat jawabnya "Aku berkelahi" "He, kau berkelahi lagi. Setelah kau berkelahi melawan Manguri, sekarang dengan siapa lagi kau berkelahi?" "Sebenarnya tidak dengan orang lain. Ini adalah kelanjutan dari yang pernah terjadi. Manguri telah menyewa seseorang untuk mencegatku di sawah" "He" orang tuanya terperanjat, kemudian "bukankah sudah aku katakan, seperti juga pa manmu telah mengatakannya" "Tetapi aku tidak ka lah" jawab Pa mot. Orang tuanya mengangguk-anggukkan kepa lanya. Tetapi terbayang di wajah-wajah mereka kecemasan yang menda la m. Bahkan kakeknyapun menjadi cemas pula melihat wajah cucunya yang menjadi biru pengab.
"Siapakah orang yang telah disewa Manguri itu?" Pamot menjadi ragu-ragu sejenak. Na mun ke mudian ia mengge lengkan kepalanya "Aku tidak tahu" "Apakah kau belum mengenalnya?" Sekali lagi ia menggeleng "Aku tidak tahu" Kecemasan yang me mbayangi keluarga itu kini sudah mulai menjadi kenyataan. Mungkin Manguri t idak akan puas dengan pembalasan denda mnya kali ini, karena menurut Pa mot, ia me lawan sekuat-kuat tenaganya sehingga lawannya tidak berhasil menga lahkannya. "Aku kira iapun mendapat cidera" berkata Pamot ke mudian. "Tetapi kau harus berhati-hati Pa mot, mungkin ia masih akan berbuat lebih banyak lagi" Pamot mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang untuk sepekan ia tida k akan pergi ke manapun, meskipun dengan demikian pekerjaannya akan terbengke lai. Sementara itu, La matpun telah ke mbali ke rumah Manguri. Ternyata Manguri masih menunggunya di pendapa. Ketika ia me lihat La mat berjalan tertatih-tatih me masuki regol, segera ia berjalan menyongsongnya. "La mat" Manguri me manggil. Dan La matpun kemudian mende katinya di tangga pendapa. "Apa yang sudah kau kerjakan?" "Aku mene muinya di tengah-tengah sawah" "Lalu?" Manguri tidak sabar. "Ka mi berkelahi" "Berkelahi" Apakah kau tida k dapat mere masnya begitu saja sehingga kau me mbuang-buang waktu untuk berkelahi?"
"Ternyata Pamot tidak sele mah yang aku bayangkan. Ia me mpunyai ke ma mpuan untuk melawan, sehingga ka mi harus berkelahi" "Persetan. Tetapi bagaimana akhirnya?" "Aku berhasil me luka inya. Wajahnya aku kira a kan menjad bengkak" "Cukup" bentak Manguri "apakah kau berhasil me matahkan kakinya, atau tangannya?" Lamat merenung sejenak. Namun ke mudian Jawabnya "Ia berhasil lari. Tetapi ia pasti a kan menda la mi cidera. "He" mata Manguri terbelalak. Dengan tangan ge metar ia menunjuk hidung La mat "jadi apa kerjamu he" Tubuhmu yang sebesar gajah itu tidak ma mpu menangkap dan mere mas tangannya?" Lamat tidak menjawab. Ia me mang sudah menduga kalau Manguri akan marah-marah kepadanya. Tetapi kalau Pa mot bersedia me menuhi permintaannya, maka ke marahan Manguri itu tidak akan berkepanjangan sa mpai berhari-hari. "Tida k ada gunanya aku dan ayah me manjakan kau" Kalau kau masih saja malas dan tidak mau berbuat apa-apa, aku bunuh kau. Nyawamu me mang seharusnya sudah tidak kau miliki lagi, kalau kau tidak disela matkan oleh ayahku. Kini kau sama sekali tidak tahu me mba las budi. Kau tidak pernah dapat me lakukan pekerjaan dengan baik, seperti yang aku perintahkan" Lamat tidak me njawab. Sudah terlampau biasa Manguri mengumpat-umpat, sehingga telinganya me mang sudah agak kebal., Namun setiap ka li masih juga terasa pedih tergores di dinding jantungnya. Lamat menggelengkan kepalanya seperti setiap kali ia menerima pertanyaan serupa itu "Tidak" jawabnya.
"Pergi. Pergi ke bilikmu" bentak Manguri. Perlahan-lahan La mat me langkah mengitari rumah itu pergi ke biliknya di belakang longkangan tengah, di sa mping dapur. Dengan tarikan nafas yang dala m ia me mbaringkan dirinya yang masih basah oleh keringat. Ketika ia menengadahkan wajahnya, dilihatnya anyaman bambu di langit-langit rumahnya, berjajar rapi, terikat oleh tali ijuk yang hitam. Setiap ka li langit langit itu dilihatnya, dan setiap kali masih seperti yang kemarin. Tidak ubahnya dengan dirinya sendiri. Sekarang dan ke marin masih juga serupa. Besok dan lusa. "Apakah untuk seterusnya?" desisnya "setiap orang ingin perkembangan di dala m hidupnya. Tetapi hidupku serasa mati" Perlahan-lahan La mat menarik golok dari pinggangnya. Kemudian diletakkannya di sisinya. Sebenarnya ia sama sekali tidak me merlukan senjata itu. Ia sama se kali tidak berkeinginan untuk me mpergunakan senjata, apalagi menumpahkan darah dan melenyapkan nyawa seseorang. "Ternyata nyawa itu sangat berharga" katanya di dala m hati "aku harus menebus nyawaku dengan seluruh umurku, tenagaku dan kehormatanku" Sejenak terbayang masa kanak-kanaknya yang buram. Ketika padukuhannya dia muk oleh segerombolan pera mpok yang tidak berperi-kemanusiaan. Ayahnya yang termasuk orang berada menjadi pusat sasaran para perampok itu. Maka terjadilah bencana itu. Rumahnya menjadi neraka oleh api yang berkobar, setelah isinya dirampok habis-habisan bersama beberapa rumah yang lain. La mat yang masih kecil waktu itu, tidak tahu apakah yang selanjutnya terjadi. Panas yang me mba kar tubuhnya telah me mbuatnya pingsan.
Ia sadar, ketika ia sudah berada diperjalanan, di dala m sebuah pedati. Ternyata seorang kawan ayahnya, juga seorang pedagang ternak telah menyela matkannya. Orang itu adalah ayah Manguri. Lamat sa ma sekali tida k pernah me mpersoalkan, kenapa ayah Manguri itu tiba-tiba saja ada di padukuhannya bahkan di rumahnya dan berhasil menyela matkannya. "Aku wajib berterima kasih kepadanya. Terima kasih tanpa batas, karena ia telah menyelamatkan nyawaku" desisnya "Apalagi ke mudian aku dipe liharanya sampai a ku menjadi orang" Namun La mat tidak berani me mandang dengan wajah tengadah, kenyataan yang dihadapinya. Ia selalu mencoba menekan setiap perasaan yang hendak me mberontak atas keadaan yang diala minya sela ma ini. "Aku harus berterima kasih. Aku harus mengenal budi orang terhadap diriku" Sehingga ternyata apa yang telah terjadi itu telah membuat bukan saja tubuh Lamat yang menjadi cacat oleh jilatan api, tetapi jiwanyapun menjadi cacat pula. Ia seolah-olah terbelenggu oleh kebaikan hati ayah Manguri. Lamat adalah seorang raksasa yang dikekang oleh seutas kendali yang sangat kuat. Perlahan-lahan La mat bangkit dari pe mbaringannya. Diraihnya gendi yang berisi air dingin diajuk-ajuk. Terasa betapa segarnya air yang mengusap kerongkongannya. Namun kesegaran air itu tidak dapat melepaskannya dari kegelisahan yang mencengka m. Seandainya Pa mot tida k mau me menuhi permintaannya, maka berhari-hari Manguri pasti masih saja mengumpatinya. Namun Pa mot me mang sudah menyatakan kesediaannya untuk menolongnya. Ketika matahari terbit, Pamot tidak
segera bangun dan mandi ke sungai seperti biasanya. Tetapi ia pergi kesumur dan mandi pula disitu. "Kau tidak pergi ke sungai?" bertanya kakeknya. Pamot mengge lengkan kepalanya. "Bagus, kau me mang harus berhati-hati menanggapi keadaanmu yang agaknya me mang t idak terla mpau menyenangkan" Dan di luar dugaannya kakeknya itu berkata "Tetapi kau tidak usah menyesal. Kau sudah berbuat suatu kebajikan, meskipun kau harus mendengarkan pendapat pamanmu" Pamot mengangguk-anggukkan kepalanya. Hari itu, Pamot me mang tidak meningga lkan hala man rumahnya. Betapapun hatinya mendesaknya untuk keluar, tetapi ia selalu bertahan. Bukan karena ia terla mpau hati-hati seperti disangka kakeknya, tetapi ia mencoba untuk me menuhi permintaan La mat. Adalah tanpa disangka-sangka sekali, bahwa tiba-tiba saja Manguri telah berdiri di muka regol rumahnya. Kali ini dengan wajah yang dibayangi oleh senyum mengejek ia me manggilnya "Pa mot ke marilah" Sejenak Pamot justru me matung. Dipandanginya Manguri yang berdiri di luar regol halamannya itu seperti memandang hantu. "Jangan takut Pa mot, ke marilah" Terasa darah Pamot seakan-akan menjadi se makin cepat menga lir. Ha mpir saja ia me lompat dan menerka m anak muda yang sombong itu. Tetapi untunglah bahwa ia segera menyadari dirinya, sehingga diurungkan niatnya itu. Agaknya Pamot me mang masih segan untuk melakukan pertentangan terbuka dengan anak pedagang ternak yang kaya itu.
"Kanapa kau dia m saja?" berkata Manguri ke mudian "ke marilah. Aku ingin berbicara sedikit" Dengan langkah yang berat Pamot berjalan mendekat pula. Setiap kali terngiang pesan pa mannya, agar ia berhati-hati menghadapi anak orang kaya raya itu. "Pamot " berkata Manguri ketika Pa mot sudah mendekat. Sambil me ngerutkan keningnya Manguri menunjuk pipi Pa mot me mbengkak "Kenapa pipimu itu Pa mot?" Pamot maju se makin dekat. Dipandanginya wajah Manguri dengan tajamnya. "Apa maksudmu datang ke mari Manguri?" bertanya Pamot. Manguri tersenyum, katanya "Aku tida k sengaja datang ke mari. Aku lewat jalan ini ketika aku melihat kau di hala man" "Kau tidak biasa lewat jalan ini?" "He" Manguri mengerutkan keningnya "kau selalu berkata begitu. Kau selalu menganggap aku tidak pernah lewat jalan yang manapun" Pamot menggera m ketika ia melihat senyum mengejek di bibir Manguri. "Baik" jawab Pa mot "kenapa kau me manggil aku?" "Aku ingin bertanya, kenapa pipimu me mbengkak?" "Orangmu pasti sudah melaporkannya kepadamu. Raksasa yang dungu pasti sudah melaporkannya kepada mu" "Raksasa yang Diapakannya kau?" dungu itu memang harus dibunuh.
"Bertanyalah kepada orangmu itu. Ternyata ia lebih bodoh dari kerbau"
"Ah, kasian kau Pa mot. Untunglah kau berhasil melarikan diri. Kalau tidak, orang sebodoh kerbau itu pasti akan mere mukkan tulang-tulangmu" "Itu tidak mungkin" jawab Pamot "kau kira aku terla mpau le mah untuk me lawannya. Ia memang lebih kuat daripadaku. Tetapi ia tidak akan banyak berhasil, karena aku me mpunyai otak, dan orang dungu itu hanya me mpunyai tenaga melulu" Manguri mengerutkan keningnya. Ia melihat kebenaran kata-kata Pamot. Lamat dipandangan matanya tidak lebih dari seekor kerbau "Itulah sebabnya La mat tidak berhasil" desis Manguri. Na mun ke mudian ia tersenyum di da la m hatinya "Aku tidak boleh mengulangi kesalahan ini. Ternyata aku tidak dapat me mpercayai orang dungu itu" "Pamot " berkata Manguri kemudian "ternyata kau masih ma mpu menolong dirimu sendiri kali ini. Tetapi bahwa kau sudah terperosok ke da la m persoalan yang rumit, jangan kau sesali" Pamot tida k menjawab. Betapa hatinya menjadi sangat mua k, tetapi ia masih sela lu menahan hati. Kemudian Manguripun pergi meningga lkan regol rumah Pamot. Suara tertawanya yang menyakitkan hati terdengar mengge litik hati. Na mun Pa mot masih tetap berdiri tegak di tempatnya. "Berapa hari kau akan tingga l di rumah Pa mot?" bertanya Manguri dari kejauhan. Pamot tidak me njawab. Bahkan iapun ke mudian berbalik dan masuk ke dala m regol hala man rumahnya. Baru saja ia masuk, maka dilihatnya kakeknya dengan tergesa-gesa datang menemuinya sambil bertanya "Apakah yang telah terjadi?" "Anak gila itu selalu me mancing persoalan"
"Kau sudah bertindak tepat Pamot. Jangan kau layani" Pamot mengangguk-angguk meskipun jantung mudanya tidak mau menerima nasehat itu, sehingga ia berkata di dalam hatinya "Kalau a ku mendapat kese mpatan, aku putar leher anak itu" Dala m pada itu, meskipun Manguri sudah melihat sendiri, bahwa wajah Pamot menjadi bengkak, tetapi ia tidak puas atas keadaan itu. Kalau Pa mot nanti se mbuh, maka ia pasti masih belum jera menca mpuri persoalannya. "Aku masih be lum berputus-asa., Aku harus mendapatkan Sindangsari dengan cara apapun juga" Tetapi yang terjadi ke mudian benar-benar telah menyakit kan hati Manguri. Sindangsari yang mendengar, bahwa Pamot ke mudian mendapat cidera di wajahnya, segera dapat menghubungkannya dengan apa yang terjadi atas dirinya. Dan ternyata peristiwa itu telah mendorong perasaannya semakin dekat dengan anak yang sering bermain seruling dengan caranya sendiri itu. Bersama kake knya Sindangsari me merlukan pergi ke rumah Pamot. Selain untuk menyatakan terima kasih mereka yang tidak terhingga, merekapun berhasrat menengok anak muda itu. Cidera apakah yang sudah dialaminya, akibat dari usahanya menolong Sindangsari. "Ka mi tidak dapat me mbayangkan, apakah yang terjadi atas cucu kami apabila Pa mot tida k melihat hal itu terjadi dan ke mudian menolongnya, meskipun ia sadar bahwa ia akan selalu dibayangi oleh anak pedagang yang kaya itu" berkata kakek Sindangsari. Orang tua Pamot dan kakeknya mengangguk-anggukkan kepalanya, sedang Pamot yang ikut mene mui tamu-ta mu itupun hanya menundukkan kepalanya saja. Sekali-sekali ia
mencuri pandang wajah Sindangsari. Tetapi wajah itupun tertunduk dala m-dala m. "Sekarang hal itu sudah ternyata" berkata Sindangsari se lanjutnya "Pa mot telah menga la minya" kakek
"Tida k seberapa kakek" sahut Pa mot dengan nada yang dalam. "Sokurlah, tetapi untuk selanjutnya kau harus berhati-hati" Pamot mengangguk-angguk. Semua orang menasehatinya untuk berhati-hati. "Se mentara ini Pamot me mang sela lu berada di rumah" berkata kakek Pamot "meskipun agaknya anak itu sendiri tidak menghenda ki" "Ada baiknya juga de mikian" sahut ka kek Sindangsari. "Tetapi dengan demikian ayah bekerja terlampau berat" berkata Pamot. "Sekedar untuk kebaikanmu" berkata ayah Pamot "mudahmudahan Manguri segera melupakannya, sehingga kau tidak dianca mnya lagi" Pamot tidak menyahut. Sekilas terngiang kata-kata Manguri di muka regol rumahnya "kau sudah terperosok ke dalam persoalan yang rumit. Jangan kau sesali" "Aku tida k menyesal" berkata Pamot di da la m hatinya. Justru ia sudah terlanjur melakukannya, maka ia tidak akan berhasrat mundur setapakpun. Kunjungan ka kek Sindangsari bersa ma gadis itu, seakanakan telah meyakinkan Pa mot, bahwa iapun harus berjalan terus. Perlahan-lahan namun pasti, wajah Sindangsari semakin dalam terpahat di dinding hatinya. Tetapi Pamot tida k dapat berlaku sekasar Manguri. Dengan hati-hati dan perlahan-lahan ia mencoba mendekatkan
hatinya. Ia tahu Sindangsari senang mendengarkan suara serulingnya, karena itu, maka setiap kali ia pergi ke rumah Sindangsari sebelum ia turun ke sawah karena pipinya yang masih biru, selalu dibawanya serulingnya. Ternyata hati Sindangsaripun telah terbuka pula untuknya. Kekasaran Manguri justru telah mendesaknya semakin de kat kepada Pamot yang jauh lebih sederhana dari Manguri sendiri. Betapapun hal itu dirahasiakan, namun la mbai laun peristiwa yang terjadi atas Sindangsari itupun telah mera mbat dari telinga ke telinga. Kawan-kawannya mulai me mbicarakannya pula. Bahkan satu dua diantara mereka mulai berhati-hati menghadapi Manguri. Mereka tidak mau menjadi sasaran kekecewaan anak muda itu, karena ia gagal mendapatkan Sindangsari. Hal itulah yang me mbuat Manguri se makin sakit hati. Hubungan antara Pamot dan Sindangsari yang se makin rapat, dan gadis-gadis yang mula i menjauhinya. "Pamot me mang tidak jera" ia menggera m "usahaku yang pertama untuk mendapatkan Sindangsari dengan cara apapun adalah menjauhkan Pa mot daripadanya" Tetapi Manguri tida k lagi ingin me mpergunakan La mat. Meskipun menurut penilaian Manguri, La mat tidak gagal sama sekali na mun Pa mot berhasil me lawannya dan melepaskan diri. Kini ia akan me mperguna kan tenaga yang meyakinkan. Pamot harus benar-benar jera. Dengan de mikian, maka Manguri telah me mpergunakan kekayaannya untuk me muaskan hatinya, seperti yang dikatakannya. Ia dapat menyewa berapa orang saja yang dikehendakinya. Untuk me mbuat Pa mot jera, Manguri telah me manggil lima orang yang dianggapnya akan dapat menyelesaikan masalahnya. Mereka harus menangkap Pa mot, dan me mbawanya kelumbung di belakang rumah. Manguri sendiri
yang akan me maksanya untuk berjanji, bahwa Pa mot tidak akan berhubungan lagi dengan Sindangsari. "Tetapi hati-hatilah menghadapi anak itu" berkata Manguri "aku sendiri t idak berhasil mengalahkannya. Bahwa ia dapat me lepaskan diri dari tangan La mat. Mungkin benar kata Pamot, bahwa La mat tidak berkelahi dengan otaknya, ia hanya berkelahi dengan tenaganya saja" Kelima orang yang telah disewa mengangguk-anggukkan kepalanya. oleh Manguri itu
"Sekarang bertanyalah kepada Lamat, apa yang perlu kalian ketahui tentang Pamot. Maka La matpun ke mudian dipanggil oleh Manguri. Ia harus menjawab berbagai macam pertanyaan tentang Pamot. Dan Lamatpun berusaha menjawabnya, meskipun ia harus berhatihati. Tetapi kesan kedunguan di wajahnya, sama sekali tidak menumbuhkan prasangka apapun apabila ia kadang-kadang mene mui kesulitan untuk menjawab pertanyaan salah seorang dari ke lima orang yang telah disewa oleh Manguri itu. "Nah" berkata Manguri ke mudian "ka lian sudah me ndapat gambaran tentang Pa mot. Kini Pa mot telah mela kukan kerjanya sehari-hari seperti sediakala. Di mala m hari ka lian akan mendapat kese mpatan sebaik-baiknya. Hampir setiap ma la m Pa mot pergi ke gubugnya di tengah sawah ayahnya. Kalian dapat mene muinya di tengah sawah ayahnya. Kalian dapat menemuinya di sana. Jangan menunggu terlampau la ma. Besok ma la m kalian sudah dapat me lakukan pekerjaana itu. Ingat, jangan gagal seperti La mat yang dungu ini. Mala m nanti akurkan melihatnya, apakah ia berada di gubugnya bersama La mat" Kelimanya mengangguk-anggukkan kepala. Pamot, betapapun kuatnya, bagi kelima orang itu sama sekali tidak akan menjadi beban yang terla mpau berat. Seorang demi seorang mereka tidak gentar melawan anak muda yang kuat
Rahasia Kampung Garuda 7 Sebelas Patriot Karya Andrea Hirata Kasih Diantara Remaja 14

Cari Blog Ini