Ceritasilat Novel Online

Matahari Esok Pagi 4

Matahari Esok Pagi Karya S H Mintardja Bagian 4


Anak-anak muda itupun ke mudian masuk ke pringgitan. Mereka dipersilahkan duduk di atas selembar tikar pandan yang kasar. Dengan kerut merut didahinya Ki Jagabaya bertanya "Apakah keperluan ka lian?" Maka Pamotpun mulailah berceritera, dari awal sampai akhir, apa yang sebenarnya pernah terjadi dengan dirinya. Tetapi seperti juga ayahnya, ia sa ma sekali t idak me nyinggung raksasa yang bernama La mat. Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ke mudian ia berkata "Kenapa kalian mencoba mengatasi persoalan itu sendiri" Kalau kalian mengerti, bahwa Manguri akan menyewa beberapa orang, kenapa kalian tidak me laporkannya kepadaku sebelum hal itu terjadi, he?" "Maaf Ki Jagabaya" berkata Pamot "a ku t idak yakin bahwa hal itu benar-benar akan terjadi" "Dari mana kau dengar, bahwa Manguri akan melakukan hal itu?" Sejenak Pamot menjadi ragu-ragu. Na mun ke mudian ia berkata "Dari salah seorang pe mbantu Manguri yang minta dilindungi na manya " "Siapa" Ya siapa orang itu?" Pamot masih juga tetap ragu-ragu. "Siapa?" Ki Jagabaya hampir berteriak. Pamot menjadi gelisah. Akhirnya ia menjawab "Orang dari pedukuhan Sapu Angin. Aku tidak begitu kenal na manya. Tetapi orang me manggilnya La mat" Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Dipandanginya anakanak muda itu satu persatu. Dan Ki Jagabayapun melihat keheranan me mancar di wajah mere ka. Ia "Bohong" tiba-tiba Ki Jagabaya berkata "aku kenal La mat. adalah salah seorang yang termasuk di dala m
pengamatanku. Justru karena sifat-sifatnya yang tidak banyak aku kena l" Pamot menelan ludahnya. Kemudian katanya "Tetapi Ki Jagabaya, seperti permintaannya sendiri, ia minta dilindungi namanya" Ke mudian kepada kawan-kawannya iapun berkata "Kepada kalianpun aku minta, agar kalian tidak mence lakakan anak itu" "Ia orang yang kasar dan bengis. Kau kira ia dapat berbuat sebaik itu kepada mu?" berkata Ki Jagabaya. "Sebenarnya Ki Jagabaya" "Itu pasti hanya sekedar suatu jebakan. Ia akan berbuat lebih jauh dan kasar. Mungkin ia me mang berusaha menggagalkan kerja kelima orang itu, agar ia mendapat kesempatan menangkap kau. Bukan orang lain, dan upah itu akan jatuh ke tangannya" Bahkan dengan berterus terang, seorang anak muda yang bertubuh kecil berkata "Mereka telah mendapat upah dari Manguri untuk menangkap Pa mot " Pamot mengerutkan keningnya. Kemungkinan itu me mang dapat terjadi. Tetapi jika demikian, maka La mat justru sudah mendapat kese mpatan lebih dahulu dari kelima orang itu. Meskipun demikian Pamot tidak me mbantah. Ia mengangguk-anggukkan kepalanya meskipun ia berpendapat lain. "Tetapi bagaimanapun juga kalian sudah terlibat dala m perkelahian itu. Dan itu sudah mengganggu ketenteraman" Anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. "Sudah tentu aku tidak a kan dapat me mpercayai kalian begitu saja. Aku akan mengusut persoalannya. Aku akan me manggil Manguri dan ayahnya. Tetapi apabila kalian berkata sebenarnya, Manguri me mang harus ditinda k. Ia menjadi sumber persoalan yang se makin berlarut-larut ini"
"Terima kasih Ki Jagabaya" berkata Pamot "tetapi bagaimanapun juga, aku minta, agar Ki Jagabaya tetap me lindungi na ma La mat apabila Manguri dan orang tuanya akan dipanggil ke mari" Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya "Sepanjang aku tidak me merlukan seka li, aku tidak akan menyebut na manya" "Terima kasih" Pa mot me ngangguk-anggukkan kepalanya. "Besok pagi aku akan mengurusnya" berkata Ki Jagabaya ke mudian, lalu "sekarang kalian boleh pulang. Aku akan tidur lagi" Anak-anak muda Ge mulung itu saling berpandangan sejenak. Namun merekapun ke mudian minta diri untuk meninggalkan rumah Ki Jagabaya. "Kalian tidak boleh meningga lkan padukuhan kalian" berkata Ki Jagabaya itu kemudian "setiap saat aku me merlukan kalian. Terutama Pa mot" Pamot mengangguk sambil menjawab "Ba ik Ki Jagabaya" "Besok a ku akan me manggil Manguri, kalau perlu orang tuanya" Maka sejenak ke mudian anak-anak muda Ge mulung itupun meninggalkan rumah Ki Jagabaya. Kini mere ka mengerti, bahwa persoalan mereka tidak terhenti sa mpai sekian. Persoalan mereka masih akan berkepanjangan. "Aku minta maaf" berkata Pa mot kepada kawan-kawannya. "Kenapa?" bertanya Punta. "Ternyata aku telah menyeret kalian ke dala m persoalan yang panjang" Punta tertawa pendek "Itu sudah merupakan kewajiban ka mi"
"Mudah-mudahan Ki Jagabaya dapat segera menyelesaikan masalah ini" "Ia harus dapat menyelesaikan. Itu adalah tugasnya" "Tetapi ayah Manguri adalah seorang yang kaya dan berpengaruh tidak saja di Ge mulung" "Aku parcaya kepada Ki Jagabaya" berkata Punta. Pamot terdia m. Sedang kawan-kawannyapun terdia m pula. Kini mereka berjalan se makin cepat. Mereka merasa, bahwa mereka telah mene mpuh ja lan yang sebaik-baiknya. Menyampaikan masalahnya kepada Ki Jagabaya. Ketika mereka melihat bayangan fajar di langit, maka merekapun me mpercepat langkah mereka ke mbali ke padukuhan Ge mulung. Mereka mengharap bahwa padukuhan mereka masih sepi agar mereka tidak dikerumuni oleh pertanyaan-pertanyaan yang me mbingungkan. "Masih sepi" desis sa lah seorang dari mereka. "Mudah-mudahan" sahut Pa mot. Tetapi mereka terkejut ketika mereka menjadi se makin dekat. Di sudut desa tampak samar-sa mar berjejal-jejal orangorang Ge mulung berkerumun di se kitar gardu. Agaknya mereka me mang menanti kedatangan anak-anak muda yang pergi ke rumah Ki Jagabaya. "Sst, mereka me nunggu kita agaknya" desis Punta. "Ya" "Menje mukan sekali. Pertanyaan mereka berkeputusan. Marilah kita menga mbil jalan la in. tidak akan
Semuanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian merekapun me nusup diantara batang-batang jagung, menyusur pe matang yang menyilang ja lan menuju kesudut desa.
"Kita me loncat pagar batu" desis anak yang tinggi itu. Tidak ada jawaban, tetapi merekapun menuju ke la mbung pedukuhan dan me loncati pagar batu. Dengan diam-dia m mereka berjalan tergesa-gesa ke rumah masing-masing. Orang-orang yang menunggu di pojok desa masih juga menunggu. Mereka menyangka bahwa anak anak itu akan segera kembali dan melewati jalan itu. Mereka ingin mendengar langsung keterangan dari mulut-mulut mereka dan tanggapan dari Ki Jagabaya atas paristiwa itu. Tetapi anak-anak itu tidak juga segera lawat. Dengan demikian maka orang-orang yang menunggu itu menjadi cemas. Salah seorang dari mereka berdesis "Apakah Ki Jagabaya menjadi marah dan menahan mereka di rumahnya?" "Ah tentu tidak. Anak-anak kita tida k bersalah" "Tetapi mungkin mere ka harus menunggu panyelesaian. Mungkin Ki Jagabaya memanggil orang-orang yang berkepentingan" "Apakah Ki Jagabaya akan me manggil gerombolan Sura Sapi ?" "Tentu tidak mungkin. Tetapi ia dapat memanggil Manguri dan La mat" Orang-orang yang lain me ngangguk-anggukkan kepa lanya. Bahkan ayah Pa mot yang ikut berkerumun di sudut desa itupun mengangguk-angguk pula. Tetapi ia me njadi se ma kin la ma se makin ce mas, sehingga ia berkata "Aku akan berganti pakaian. Lebih baik aku menyusul mereka daripada berdiri termangu-mangu disini" Tetangga-tetangganya yang berada di pojok desa itu mengerutkan kening mereka. Sejenak mereka tidak menyahut. Tetapi sejenak ke mudian sa lah seorang dari mere ka berkata "Kau akan disangkutkan pula pada masalah ini"
"Itu sudah sewajarnya. Aku adalah ayah Pamot. Mau t idak mau aku pasti akan tersangkut" Orang itu tidak menjawab lagi. Tidak seorangpun yang mencegahnya lagi ketika ayah Pamot itu ke mudian meninggalkan tetangga-tetangganya yang berkerumun di depan gardu di pojok desa. Dengan tergesagesa ia pulang untuk mengganti paka iannya, karena ia ingin datang sendiri ke rumah Ki Jagabaya menanyakan anaknya. Tetapi ia terkejut ketika ia memasuki pintu rumahnya. Dilihatnya Pamot sudah ada di dalam. Anak itu duduk sambil minum air hangat dan gula kelapa. Di sisinya duduk ibunya dan di hadapannya kakeknya. "Kau sudah pulang Pa mot?" bertanya ayahnya dengan serta-merta. "Belum la ma ayah" "Aku menunggumu di pojok desa. Apakah kau tidak menga mbil jalan itu?" Pamot menggeleng "Me mang tidak ayah. Kami bersepakat untuk menga mbil ja lan lain ketika ka mi ketahui, banyak sekali orang yang berkerumun di pojok desa" "He, kenapa ka mi t idak me lihat kalian?" "Ka mi berjalan beriringan. Tetapi agaknya orang-orang Gemulung sedang sibuk berbantah tentang peristiwa semala m, sehingga mereka sama sekali tidak menghiraukan apapun lagi" Ayah Pamot mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya "Orang-orang itu pasti akan kecewa. Aku akan me mberitahukan kepada mereka, bahwa yang mereka tunggu telah pulang" "Jangan ayah. Aku lelah sekali. Mereka pasti akan bertanya-tanya menurut kehendak mereka sendiri tanpa
menghiraukan orang yang mere ka tanya. Sedang aku benarbenar lelah dan kantuk" Ayahnya menarik nafas dalam-da la m. Sambil duduk di amben itu pula ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat mengerti keberatan Pamot itu. Tetapi apakah ia akan me mbiarkan orang-orang itu me nunggu". Isterinyapun kemudian me mberinya semangkuk air panas pula. Sambil meneguk ia berdesah. Lalu katanya "Tetapi orang-orang yang ada di pojok desa itu harus tahu, bahwa yang mereka tunggu sudah lewat" ia berhenti sebentar "kalau begitu, sebaiknya kau masuk saja ke dalam bilik. Aku akan mengatakan kepada mereka, bahwa anak-anak itu sudah pulang, tetapi mereka baru tidur. Mereka lelah sekali setelah semala m-ma la man tidak tidur dan apalagi berke lahi melawan gerombolan orang-orang yang liar itu" Pamot mengerut kan keningnya. "Terserahlah kepada ayah" Kemudian katanya
Ayah Pamotpun ke mudian berdiri sa mbil berkata "Akan pergi sekarang. Mereka sudah terla mpau la ma menunggu" Sepeninggal ayahnya, maka Pamotpun ke mudian masuk ke dalam biliknya. Ia mengharap bahwa ia benar-benar tidak akan diganggu oleh partanyaan-pertanyaan yang me mbingungkan dan me lingkar-lingkar tida k habis-habisnya. Badannya yang latih dan matanya yang sangat kantuk, me mbuatnya malas untuk berte mu dengan siapapun juga. Tetapi meskipun ke mudian ia berbaring, dan rasa-rasanya ia akan segera tertidur dengan nyenyaknya, namun ternyata matanya sama seka li t idak mau terpejam. Terbayang semua masalah dan peristiwa yang baru saja terjadi. Pertengkaran, perkelahian de mi perkelahian, sehingga akhirnya ia telah menyeret kawan-kawannya ke dala m persoalan ini. Dala m pada itu, maka Pa motpun sa mpai pada sumber persoalannya, Sindang Sari.
Dadanya menjadi berdebar-debar mengenangkan gadis itu. Gadis itu pasti akan segera mendengar pula apa yang sudah terjadi. "Kasian anak itu" Pamot terkejut ketika ibunya me mbuka pintu biliknya. Kemudian me masukinya sambil me mbawa te mpurung berisi air yang berwarna ke kuning-kuningan. "Apa itu ibu?" bertanya Pamot. "O, jadi kau belum tidur?" Pamot menggeleng sambil bangkit duduk di pinggir ambennya "Aku tidak dapat tidur, betapa letihnya" "Aku me mbawa cairan param untukmu Pa mot. Aku tahu, kau pasti terla mpau letih" Pamot menarik nafas dalam-da la m. "Berbaringlah" Pamot tidak me mbantah. lapun ke mudian berbaring lagi. Ibunya menggosok kakinya, tangannya, punggungnya dan seluruh tubuhnya dengan param yang hangat. "Mudah-mudahan segala perasaan sakit dan letih akan berkurang" berkata ibunya. "Terima kasih ibu" "Nah, cobalah untuk tidur" Ibunyapun ke mudian meninggalkan Pa mot di dala m biliknya. Terasa sekujur tubuhnya menjadi hangat. Perasaan letih dan sakit me mang berangsur berkurang. Tulangtulangnya tidak lagi serasa saling terlepas. Tetapi Pa mot tetap tidak dapat me meja mkan matanya. Setiap ia berusaha untuk tidur dan me lepaskan segala ingatan tentang apapun, maka bayangan Sindangsari justru menjadi semakin je las mengawang.
Pamot menarik nafas dalam-da la m. Dan tiba-tiba ia berdesah "Semuanya sudah terlanjut terjadi. Kawan-kawanku yang semula tidak tahu menahu, kini telah terseret ke dalam parsoalanku. Karena itu, apa-boleh buat. Aku t idak a kan surut" Dala m pada itu, Ki Jagabaya yang terlambat bangun, segera berkemas sambil bersungut-sungut "Anak-anak Gemulung itu sudah mulai gila. Mereka me mbuat persoalan saja. Kademangan ini sebenarnya sudah mulai baik dan perlahan-lahan meningkatkan diri. Tetapi tiba-tiba saja, anakanak muda itu terlibat dala m perbuatan-perbuatan yang me mua kkan" Sambil menyuapi mulutnya dengan ma kan pagi Ki Jagabaya berkata kepada isterinya "Aku akan pergi ke rumah Ki Demang" "Aku mendengar persoalan se mala m" berkata isterinya. "Manguri me mang perlu mendapat perhatian" Isterinya mengangguk-anggukkan kepalanya. ke mudian ia berkata "Ki De mang sedang ge lap hati" Ki Jagabaya mengerutkah keningnya "Kenapa?" "Bukankah ia baru saja bercerai?" Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya "Itulah kegilaannya. Sudah berapa kali ia bercerai dan kawin lagi?" "Seingatku lima kali. Seorang meningga l karena sakitsakitan. Yang lain bercerai setelah beberapa tahun kawin. Isterinya yang ketiga hanya betah tinggal di rumah Ki De mang selama setengah tahun" Ki Jagabaya menarik nafas dalam-da la m. Namun ke mudian ia berkata "Tetapi masalahnya harus dibedakan. Aku akan me mbicarakan masalah Kade mangan Kepandak dan padukuhan. Ki De mang harus menyediakan waktu. Ia harus Tetapi
me misahkan masa lah tanggung jawabnya sebagai seorang Demang, dan masalah-masalah pribadinya" Isterinya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti apa yang dikatakan suaminya, tetapi ia mengerti juga bahwa kadang Ki De mang kehilangan keseimbangan antara tugastugas jabatannya dan masalah-masalahnya sendiri. Setelah makan pagi, maka Ki Jagabayapun kemudian dengan tergesa-gesa pergi ke rumah Ki De mang di Kepandak untuk menya mpaikan masalah yang terjadi se mala m. Selain masalah anak-anak muda Ge mulung, ternyata bahwa gerombolan Sura Sapi telah mulai menyentuh kademangan ini pula, meskipun agaknya diundang oleh orangorang Ge mulung sendiri. "Dengan de mikian Manguri telah me lakukan kesalahan dua kali lipat" desis Ki Jagabaya di sepanjang ja lan. Dengan demikian langkah Ki Jagabaya menjadi semakin cepat. Tetapi sekali-sekali ia menguap, karena se mala m tidurnya agak terganggu oleh kehadiran anak-ana k Ge mulung itu. Beberapa puluh langkah dari regol Kademangan, Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Ia melihat seekor kuda tertambat di ha la man Kade mangan. "Sepagi ini sudah ada tamu?" ia bertanya kepada diri sendiri. Keinginannya untuk mengetahui, siapakah tamu yang datang dipagi-pagi benar itu telah mendorongnya untuk berjalan lebih cepat lagi. Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Tida k seorangpun duduk di pendapa. Ki De mang tidak dan apalagi tamunya. Tetapi ketika ia me lihat pintu pringgitan terbuka, maka iapun segera mengerti, bahwa tamunya kali ini diterima di dala m pringgitan.
Ki Jagabayapun ke mudian perlahan-lahan na ik ke pendapa agar kedatangannya tidak mengejutkan. Ke mudian iapun mengetuk pintu yang me mang sudah terbuka itu. "Siapa" bertanya Ki De mang. "Aku Ki De mang, Supa" "Supa Jagabaya?" "Ya" "O" terasa ada keragu-raguan sedikit pada nada suara Ki Demang. Na mun ke mudian "masuklah" Ki Jagabaya itu mengerutkan keningnya sejenaK. Tetapi iapun ke mudian mendorong pintu pringgitan dan menye mbulkan kepalanya. Tetapi Ki Jagabaya tidak segera melangkah masuk. Ia terperanjat melihat ta mu yang sudah duduk di dala m pringgitan, di atas sehelai tikar pandan yang putih dan bahkan di hadapannya sudah tersedia beberapa maca m hidangan. Orang itu adalah pedagang ternak yang kaya raya dari Gemulung. Ayah Manguri. "Masuklah" desis Ki De mang ke mudian. Kini Ki Jagabayalah yang menjadi termangu-mangu sejenak Dipandanginya saja wajah Ki De mang dan wajah pedagang ternak yang kaya raya itu. "Masuklah" berkata Ki De mang ke mudian. Ki Jabagaya mengerutkan keningnya. Hatinya menjadi berdebar-debar ketika ia masih saja melihat pedagang yang kaya itu seakan-akan acuh tidak acuh saja atas kehadirannya. Namun akhirnya Ki Jagabaya masuk juga ke dala m pringgitan dan duduk di atas tikar pandan itu pula.
"Kau datang terlampau pagi hari ini Ki Jagabaya?" berkata Ki De mang Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Kemudian ia bertanya pula "Apakah bebahu yang la in masih be lum datang?" Ki De mang tersenyum "Belum" "Aku merasa kesiangan" berkata Ki Jagabaya "sehingga aku menjadi terla mpau tergesa-gesa" Ki De mang me ngangguk-anggukkan kepa lanya. Disa mbarnya wajah tamunya yang pertama, kemudian wajah Ki Jagabaya. Keduanya sudah saling mengenal, tetapi keduanya masih belum saling menyapa. Meskipun Ki Jagabaya merasa duduknya kurang tenang, namun ia sengaja tidak mau menyapa pedagang kaya itu lebih dahulu. Ia tidak senang me lihat sikapnya yang angkuh "Kalau orang itu menyapa, baru aku akan menjawab" katanya di dalam hati. Tetapi pedagang kaya itupun masih saja acuh tidak acuh. Bahkan ke mudian ia menundukkan kepa lanya tanpa menghiraukan lagi kepada Ki Jagabaya. Tetapi di dala m hatinyapun ia berkata "Aku adalah tamu Ki De mang. Jagabaya ini me mang sombong benar. Apakah disangkanya jabatan Jagabaya itu merupakan jabatan tertinggi di seluruh dunia" Aku adalah seorang yang kaya raya, yang sudah menjelajahi hampir seluruh daerah Se latan" Ki De mang yang menjadi tuan rumah merasa aneh, bahwa keduanya tidak saling menyapa. Tetapi Ki De mang belum tahu, apakah sebenarnya yang telah membuat sikap mereka menjadi kaku. Tanpa mereka sadari, sebenarnya di dalam sudut hati Ki Jagabaya telah tersimpan perasaan tidak senang kepada Manguri, anak pedagang kaya itu, yang telah mengundang gerombolan Sura Sapi me masuki daerah Kade mangan
Kepandak. Hal itu pasti akan mengganggu keda ma ian dan ketenteraman Kade mangan ini. Dan ini adalah tugas yang akan dibebankan kepadanya. Dala m pada itu, pedagang kaya itupun merasa bahwa pasti tersimpan suatu prasangka di dalam hati Ki Jagabaya. Ia yakin bahwa anak-anak muda Ge mulung yang berpihak pada Pa mot pasti sudah menghadap Ki Jagabaya. Apalagi anak-anak yang termasuk dala m keanggautaan pengawal khusus Kade mangan Kepandak. Namun Ki De mang tida k me mbiarkan ta mu-ta munya untuk duduk me mbeku, sehingga dengan kaku pula ia berkata "He, bukankah ka lian akan saling me merlukan dala m masalah yang sedang kita hadapi?" Keduanya berpaling me mandang wajah Ki De mang. Dan sementara itu Ki De mang me lanjutkan "Ka mi bertiga me mang harus berunding. Adalah kebetulan sekali Ki Jagabaya datang pagi-pagi, sehingga masalahnya akan menjadi se makin cepat kita selesaikan" Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Tanpa sesadarnya ia me mandang wajah pedagang kaya itu, selagi pedagang itu me mandangi wajahnya pula. Dengan demikian, maka keduanyapun kemudian menganggukkan kepala mereka dengan kaku. Sejenak kemudian seorang pelayan Ki Demang telah me mbawa kan se mangkuk air panas untuk Ki Jabaya. Sambil mengerutkan keningnya Ki Jagabaya menerima mangkuk itu. Namun di dala m hati ia berkata "Tamu Ki De mang ka li ini pasti seorang tamu yang luar biasa. Suguhannyapun luar biasa pula. Tidak pernah seorang tamu di Kade mangan ini mendapat suguhan makanan sa mpai lima maca m. Apalagi sepagi ini. Darimana saja Ki De mang mendapatkannya?" "Minumlah Ki Jagabaya" berkata Ki De mang. "Terima kasih"
Namun belum lagi Ki Supa Jagabaya meneguk mangkuknya, Ki De mang sudah berkata "Ki Jagabaya. Kedatangan Ki Sukerta dari Gemulung ini ada sangkut pautnya dengan pergaulan puteranya" Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan me mang sudah menduga. kepalanya. Ia
"Ternyata anak-anak Gemulung sekarang sudah menjadi liar. Mereka sa ma se kali sudah tidak mengena l sopan santun" Dada Ki Jagabaya berdesir. Tetapi kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sadar bahwa ceritera ini adalah ceritera ayah Manguri. Sehingga apabila ada perbedaan warna dan nada, adalah wajar sekali. Sejenak kemudian Ki De mang me lanjutkan "Sejak beberapa saat yang lalu telah terjadi beberapa kali perkelahian. Na mun masalahnya masih belum terlampau parah. Orang-orang tua padukuhan Ge mulung sendiri berusaha untuk menyelesaikannya. Na mun ternyata anak-anak muda Gemulung yang tidak me mpunyai kesibukan tertentu itu hampir-ha mpir tidak dapat dikendalikan lagi" Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan terus. Ia ingin mendengarkan pengaduan ayah Manguri itu sa mpai habis. Dan Ki De mangpun berkata "Ki Sukerta, pedagang ternak ini datang kepadaku untuk mengadukan masalah itu. Sudah tentu Ki Sukerta mence maskan nasib puteranya " Ki Jagabaya masih belum menjawab. Sekilas ditatapnya wajah pedagang ternak itu. Ketika ia melihat wajah itu tersenyum-senyum, maka iapun me ngumpat di dala m hati. "Nah, itulah yang perlu kau ketahui Ki Jagabaya" "Hanya itu" tiba-tiba Ki Jagabaya menyahut sambil mencoba melihat tanggapan pada wajah Ki Sukerta, pedagang yang kaya dari Ge mulung itu.
Tanggapan itu me mang seperti yang disangkanya. Pedagang itu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba wajahnya menjadi tegang. Sambil me mandang wajah Ki Jagabaya ia bertanya dengan serta-merta "Kenapa hanya itu?" Ki Jagabayalah yang kini tersenyum. Jawabnya "Tidak ada pengaduan lain" Misalnya anak-anak muda Ge mulung sudah berhubungan dengan orang-orang dari lain padukuhan untuk me mbentuk suatu gerombolan atau bahkan dari lain Kademangan?" Ki De mangpun ke mudian mengerutkan keningnya. Di tatapnya wajah Ki Jagabaya yang tersenyum-senyum itu, ke mudian wajah Ki Sukerta yang tegang. "Apa maksudmu Ki Jagabaya?" bertanya pedagang itu. "Aku tidak bermaksud apa-apa" jawab Ki Jagabaya "tetapi aku bertanya. Kemungkinan yang demikian itu sekarang dapat saja terjadi, dimana anak-anak muda Ge mulung itu tidak me mpunyai kesibukan apapun" "Pasti ada latar be lakang dari pertanyaanmu itu" desis pedagang kaya itu "setidak-tidaknya kau menganggap laporanku itu sebagai dongeng ngaya-wara, sehingga tanggapanmu itu terla mpau me nyakitkan hati" "Kau mudah menjadi sakit hati Ki Sukerta" berkata Ki Jagabaya "sebaiknya kau agak bersabar sedikit. Biasanya seorang pedagang tidak lekas kehilangan kesabaran" Wajah pedagang itu menjadi merah padam. Tetapi ia masih mencoba untuk menahan diri. "Baiklah, baiklah aku me mberi penje lasan" berkata Ki Demang "perist iwanya terjadi semala m. Tetapi se ma la m itu adalah akibat dari peristiwa beberapa hari sebelumnya " Ki Jagabaya terdiam. Ia me mang ingin mendengarkan laporan ayah Manguri itu.
"Anak-anak Ge mulung telah mengganggu Manguri" berkata Ki De mang seterusnya "tetapi sudah tentu sebagai seorang anak muda. ma ka Manguripun me mpertahankan harga dirinya. Masalah ini se mula adalah masalahnya Manguri dengan seorang anak muda yang berna ma Pa mot. Tetapi agaknya Pamot me mbentuk suatu kelompok anak-ana k muda untuk melawan Manguri. Adalah kebetulan sekali bahwa kawan dan pe mbantu Manguri yang berna ma La mat ma mpu me lindunginya "Ki De mang berhenti sejenak, lalu "tetapi kelompok anak-anak muda itu menjadi sema kin banyak, sehingga akhirnya Manguri, terpaksa minta bantuan temantemannya pula. Karena anak-anak muda Ge mulung sebagian terbesar sudah dipengaruhi oleh Pamot. maka lebih aman bagi Manguri untuk minta perlindungan orang-orang yang bekerja pada ayahnya. Orang-orang yang setiap hari me melihara ternak yang belum terjual. Orang-orang yang kerjanya mencari dedaunan dan rerumputan. Namun sudah tentu bahwa mereka t idak a kan dapat me madai, karena diantara kawan-kawan Pa mot dan Pamot sendiri adalah anggautaanggauta pengawal khusus Kade mangan Kepandak" "Pengawal Kade mangan Kepandak, beserta pengawal khususnya adalah orang-orang yang ada di da la m tanggung jawabku" berkata Ki Jagabaya. "Ya. Itulah sebabnya, maka kita akan mencari penyelesaian yang sebaik-baiknya tanpa menyakit i hati kedua be lah pihak" Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepa lanya "Baik. Me mang baik seka li" "Nah, marilah sekarang kita berbicara dengan baik, agar kita dapat mene mukan cara yang kita kehendaki itu. Ki Jagabaya mengangguk anggukkan kepa lanya. Tetapi ia tidak segera menyahut. "Ki De mang" Ki Sukertalah yang kemudian berbicara "sebaiknya aku minta diri. Terserahlah kepada Ki Demang,
penyelesaian yang manakah yang baik harus dila kukan. Aku hanya ingin anakku tidak selalu dibayangi oleh kece masan tentang dirinya sendiri, karena anak-anak Gemulung yang selalu menganca mnya. Anakku kini sudah tentu tida k akan berani keluar rumah. Dan karenanya aku minta perlindungan kepada Ki De mang" "Tunggu" potong Ki Jagabaya "aku kira akan lebih baik kalau kita mendengar laporan dari kedua belah pihak. Aku condong untuk me manggil Manguri dan Pa mot bersamasama" "Buat apa?" bertanya pedagang ternak itu. "Aku ingin me mperte mukan. Aku ingin keduanya berbicara. Kemudian a ku akan menyarankan agar mereka berjanji untuk tidak bermusuhan lagi apapun sebabnya" Pedagang ternak itu menjadi se makin tegang. Dan tiba-tiba saja ia menggeram "Kau tidak dapat me manggil anakku, aku atau keluargaku yang lain. Aku datang hari ini atas kehendakku sendiri" "Kenapa " Aku adalah petugas yang mengurusi masalahmasalah yang dapat mengguncang ketenteraman. Aku dapat me manggil setiap orang yang a ku perlukan" "Kau dapat me manggil Pa mot, me manggil petani-petani kecil atau anak anak ge mbala. Tetapi tidak anakku. Anak seorang pedagang yang bukan saja bergerak di padukuhan Gemulung, tetapi aku sudah menjelajahi seluruh Mataram, bahkan sa mpai ke Madiun" "Lalu kenapa" Ka lau kau sudah sa mpai ke ujung bumi, lalu kau bebas untuk berbuat sekehendakmu di ka mpung halamanmu sendiri?" "Sudahlah" Ki De mang menengahinya "jangan ribut. Biarlah Ki Sukerta pulang. Kita akan berbicara untuk mencari penyelesaian itu"
Ki Jagabaya tidak menjawab. Ditatapnya Ki Demang dan pedagang ternak itu berganti-ganti. "Terima kasih Ki De mang" berkata Ki Sukerta, kemudian katanya "ingat aku tidak mau diganggu oleh urusan anakanak" Ki Jagabaya sama sekali sudah tidak mengacuhkannya lagi. Ketika Ki Sukerta ke mudian berdiri, Ki Jagabaya masih tetap saja duduk di te mpatnya. "Ki Jagabaya" berkata Ki De mang "Ki Sukerta akan meninggalkan kita. Apakah kau masih me mpunyai pertanyaan" Ki Jagabaya menggeleng "Tida k. Aku akan me manggil yang berkepentingan. Kalau ia t idak datang, aku dapat me makai kekerasan" "Persetan" desis pedagang ternak itu. "Aku akan menentukan segala-galanya" tiba-tiba Ki Demang me motong, sehingga Ki Jagabaya terkejut karenanya. Tetapi kemudian ia menarik nafas dalam-dala m. Ia tidak dapat me mbantah lagi, apabila hal itu me ma ng sudah dikehendaki oleh pe mimpin tertinggi Kade mangan Kepandak. Ki Sukertapun ke mudian meninggalkan Kade mangan itu. Ki Jagabaya yang akhirnya berdiri juga hanya mengantarkannya sampai ke pintu pringgitan. Ia berdiri sa mbil bersilang tangan di dada, bersandar uger-uger pintu, ketika Ki Demang mengikut i ta munya sa mpai ke kudanya. "Ki De mang" Ki Sukerta berbisik "aku akan me menuhi semua yang sudah aku katakan. Ki Demang kelak dapat me lihat sendiri, yang manakah yang Ki De mang kehendaki. Aku kira Ki De mang me mang harus segera kawin lagi. Sebagai seorang Demang, tidak sepantasnya hidup sendiri hanya dilayani oleh pembantu-pe mbantu yang barangkali tidak cukup cakap"
Ki De mang tersenyum "Kecuali itu, keperluan Ki De mang yang lain dapat pula aku penuhi" "Ya, ya. Aku percaya bahwa kau ma mpu me lakukannya. Tetapi aku tidak me merlukan yang la in" "Baiklah. Sekarang a ku minta diri" Ki Sukerta itupun ke mudian meloncat keatas punggung kudanya. Kemudian tanpa berpaling lagi, kudanya berderap meninggalkan ha la man Kade mangan itu. Ki De mang yang masih berdiri di bawah tangga pendapa mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian iapun me langkah naik untuk mene mui Ki Jagabaya yang masih berdiri di te mpatnya. Tetapi langkahnya tertegun ketika ia me lihat beberapa orang bebahu telah mulai berdatangan. "Duduklah" berkata Ki De mang "aku masih me mpunyai keperluan dengan Ki Jagabaya" Bebahu Kade mangan itupun menyahut "Silahkan" Ki De mangpun ke mudian masuk ke mbali ke pringgitan, diikuti oleh Ki Jagabaya. Setelah mereka duduk ke mba li di tempat semula maka Ki Jagabayapun bergumam "Pedagang dari Ge mulung itu terla mpau sombong. Ia merasa orang yang kaya raya, yang dapat mempergunakan uangnya untuk segala maca m kepentingan" Ki De mang me ngangguk-anggukkan kepalanya "Ya, Karena itu kita me mang harus berhati-hati menghadapinya. Kalau ia marah, ia me mang dapat berbuat terlampau banyak. Setidaktidaknya ia dapat mengganggu ketenangan pekerjaan kita sehari-hari" "Tetapi kita dapat bertindak tegas terhadapnya.
"Tida k se mudah itu Ki Jagabaya. Aku sudah mendengar banyak tentang pedagang kaya itu. Ia me mpunyai banyak sekali pe lindung yang dapat digerakkan setiap saat. Beberapa kepeng uang telah me mbuat seseorang kehilangan a kal dan mengorbankan dirinya untuk kepentingan pedagang itu" "Tetapi kita me mpunyai pasukan Ki De mang. Pasukan pengawal. Dan adalah kebetulan sekali bahwa Mataram telah me milih beberapa orang pengawal untuk mendapat latihan khusus, apabila setiap saat, Mataram akan mengirim pasukan lagi ke Betawi" "Tetapi aku tetap menganggap bahwa apabila mungkin setiap masalah t idak diselesaikan dengan kekerasan. Apakah kau mengerti ma ksudku?" Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya. "Juga masalah anak-anak muda itu" Sekali lagi Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepa lanya. Tetapi ia berdesah "Kalau kita selalu me manja kannya, maka ia tidak akan dapat mengerti, bahwa ia adalah salah seorang dari warga Kademangan ini yang terikat oleh berbagai maca m hubungan timbal balik. Ia tidak dapat berdiri sendiri disini dengan dalih apapun. Berbuat apapun. Aku kira lebih ba ik ia me mbawa orang-orangnya dan me mbuka hutan di lereng Gunung Sewu Ia akan dapat me mbuat tata pergaulan menurut seleranya. Kitapun ke mudian t idak a kan mengusik dan mengganggu gugat apa yang dila kukannya, karena mereka tidak merugikan kita, mengganggu kita dan melanggar tata pergaulan yang sudah kita sepakati bersama " "Aku tahu Ki Jagabaya. Memang kita harus berbuat sesuatu Yang kita pikirkan sekarang adalah, bagaimana cara yang sebaik-baiknya" "Ki De mang" berkata Ki Jagabaya "apakah Ki De mang ingin mendengarkan laporan dari pihak lain" Bukan dari pihak Manguri tetapi dari pihak Pa mot?"
Ki De mang mengerutkan keningnya. "Mungkin laporan itupun tida k benar seluruhnya. Tetapi setidak-tidaknya akan dapat menjadi pertimbangan Ki De mang sebelum menga mbil keputusan. Sebenarnya aku ingin mengatakan hal ini di hadapan pedagang yang sombong itu. Tetapi aku tidak mendapat kese mpatan" Mau tidak mau Ki De mang kepalanya "Baiklah. Katakanlah" harus menganggukkan
"Ki De mang" berkata Ki Jagabaya "yang terpenting adalah, bahwa Manguri telah mengundang gerombolan Sura Sapi untuk ikut ca mpur di dala m persoalannya" "He?" ternyata Ki De mang terkejut pula mendengarnya. "Gerombolan Sura Sapi itulah yang se mala m berke lahi me lawan anak-anak" Ki De mang termenung sejenak. Tetapi tanggapannya benar-benar di luar dugaan Ki Jagabaya "Nah, bukankah kau akhirnya harus percaya bahwa ia dapat berbuat terlampau banyak" Jauh lebih banyak dari dugaanku. Kini ia baru me manggil Sura Sapi, lain kali ia me manggil yang lain, yang lain lagi. Dengan de mikian maka Kade mangan ini akan menjadi se makin kacau balau" Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Memang bukan kege maranku untuk berkelahi. Aku tahu bahwa Ki Demangpun me mpunyai ke ma mpuan yang hampir tidak ada bandingnya. Jangankan gerombolan Sura Sapi, gerombolangerombolan yang me mpunyai agul-agul yang betapapun tangguhnya, aku kira tidak akan dapat mengatasi Ki Demang dari Kepandak. Na mun Ki De mang masih se lalu berpegangan, bahwa berkelahi adalah cara yang sa ma sekali tidak dikehendaki. Tetapi meskipun de mikian Ki De mang, seperti terhadap anak-anak kita yang nakal kita kadang-kadang harus menyelentiknya di kuping atau mencubitnya di paha"
"Tetapi terhadap pedagang itu la in lagi Ki Jagabaya. Kalau kita nyelentik di kuping, ia a kan me mukul kening kita, sedang kalau kita mencubit di paha, ia akan me matahkan tukang belakang kita" "Kalau begitu kita cekik saja orang itu" "Nah, kekakuanmu sudah tumbuh lagi" "Bukan begitu Ki De mang. Maksudku me mang pertamantama kita mencari jalan yang baik. Kita panggil kedua-duanya supaya mereka saling berjanji untuk tidak mengulangi masalahnya. Sedang gadis sumber persoalannya, sebaiknya harus segera menentukan sikap, supaya tidak menumbuhkan salah paham di pihak-pihak yang lain. Apabila kelak salah satu pihak melanggar persetujuan itu, kita akan bertindak lebih tegas lagi" Ki De mang mengangguk-anggukkan kepa lanya. Katanya "Aku dapat mengerti. Tetapi biarlah aku melihat persoalan itu dari dekat. Akulah yang nanti akan datang ke Ge mulung. Tentu bersama kau Ki Jagabaya" Ki Jagabaya terperanjat "Kenapa kita yang harus pergi kesana" Jalan yang paling mudah, kita panggil anak-anak itu. Kita adalah orang-orang tua yang me mpunyai wewenang dan tanggung jawab" "Jangan terlampau kaku. Apakah salahnya kita melihat masalah ini langsung. Kita dapat me lihat tempat-tempat kejadian dan kita dapat mendengar keterangan dari beberapa orang yang berdiri di luar masalah ini, sehingga lengkaplah keterangan-keterangan kita sebelum kita menentukan sikap" Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Sebenarnya ia tidak sependapat dengan Ki Demang, bahwa pimpinan Kade mangan harus terlampau mengalah dan merendahkan diri terhadap pedagang ternak yang walaupun kaya raya itu.
http://www.mardias.mywapblog.com
Tetapi Ki Jagabayapun tidak dapat me mbantah keputusan yang diambil oleh Ki De mang. Merekalah yang akan mengunjungi Ge mulung, melihat sendiri dari dekat, apa yang telah terjadi. "Aku sependapat sekali untuk melihat keadaan itu langsung, Ki De mang. Tetapi kalau hal ini didorong oleh keseganan kita me manggil Manguri, aku akan berpikir lagi" desis Ki Jagabaya. "Tida k. Sebenarnya kita sama sekali tidak boleh ragu-ragu untuk bertindak. Tetapi kali ini aku me mang ingin melihat sendiri, apa yang sudah terjadi di Ge mulung. Masalahnya bukan sekedar masalah yang dapat diselesaikan dengan sepintas lalu. Yang tersangkut kali ini adalah anak pedagang yang kaya raya itu, yang dapat banyak berbuat baik maupun buruk, beberapa orang pengawal, bahkan pengawal khusus dan menurut keteranganmu, Sura Sapi telah ikut pula di dala m perkelahian itu" "Bukan sekedar turut serta, me mang gerombolan itulah yang berkelahi melawan para pengawal" Ki Jagabaya berhenti sejenak, lalu "tetapi aku dapat berbangga. Ternyata pengawal itu ma mpu me nandingi gerombolan Sura Sapi. Itu saja baru anak-anak Gemulung. Belum ana k muda dari padukuhanpadukuhan lain. Bukankah dengan demikian kita dapat menilai kekuatan yang tersimpan di padukuhan-padukuhan di seluruh Kademangan" Ki De mang me ngangguk-anggukkan kepalanya "Ya. Akupun berbangga. Tetapi itu bukan berarti bahwa kita harus selalu me mperguna kan kekerasan" "Tida k Ki De mang. Aku sudah menegaskan. Bukan itu" Ki De mang mengerutkan keningnya. Kemudian katanya "Baiklah nanti kita pergi ke Ge mulung" Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Minumlah" Ki De mang ke mudian me mpersilahkan. "Terima kasih" berkata Ki Jagabaya "tetapi baiklah aku me lengkapi ceriteraku" "Tentang?" "Manguri dan Pa mot" Dengan segannya menunggu jawabannya, Ki Jagabaya langsung menceriterakan apa yang didengarnya dari Pa mot dan kawan-kawannya. Ki De mang mengangguk-angguk "Me mang ada beberapa perbedaan" katanya "tetapi banyak persamaan. Masalahnya berkisar dari Sindangsari. Keduanya mengaku, Sindangsari berada dipihaknya. Aku harus mendengar sendiri, bagaimana sikap gadis itu" Ki Jagabaya mengerutkan keningnya pula. Sesuatu tersirat disorot matanya. Sesuatu yang tidak terkatakan. Apalagi Ki Jagabaya mengerti, bahwa Ki De mang baru saja bercerai dari isterinya yang kelima. Isterinya yang masih terlalu muda. Meskipun Ki De mang masih be lum tua, dan belum beranak pula, tetapi Ki De mang sudah terlalu sering berganti isteri, sehingga agaknya ia bukan seorang sua mi yang baik. Sejenak ke mudian, maka keduanyapun keluar dari pringgitan dan mene mui beberapa orang bebahu yang lain, yang duduk-duduk di pendapa. Mereka setiap hari datang menjenguk Kade mangan meskipun hanya sebentar, apabila ada sesuatu yang harus mereka kerjakan. "Hari ini kita tidak me mpunyai persoalan apa-apa" berkata Ki De mang. Bebahu Kade mangan yang berada di pendapa itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Na mun tiba-tiba salah seorang dari mereka bertanya "Apakah Ki De mang dan Ki Jagabaya sudah mendapat laporan tentang anak-anak Gemulung yang saling berke lahi?"
"O" Ki De mang tersenyum "sudah. Aku sudah mendengar laporan. Tetapi itu sekedar persoalan anak-ana k Aku dan Ki Jagabaya akan segera menyelesaikannya" Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ke mudian ia berkata "Sokurlah. Tetapi menurut pendengaranku, perkelahian itu bukan sekedar masalah anakanak" "Apa yang kau dengar?" bertanya Ki Jagabaya. "Ternyata gerombolan Sura Sapi telah ikut ca mpur" Ki Jagabaya menarik nafas dala m-dala m. Ditatapnya wajah Ki De mang sejenak. Katanya kemudian "Ya. Begitulah menurut pendengaranku" "Bukankah dengan de mikian masalahnya bukan sekedar masalah anak-anak?" "Ya, begitulah me nurut pendapatku" "Ah" Ki De mang me motong "kita masih harus me mbukt ikan lebih dahulu. Sampa i seberapa jauh akibat yang timbul. Kadang-kadang kita me mbayangkan sesuatu persoalan jauh lebih dahsyat dari apa yang sebenarnya terjadi. Karena itu, yang paling baik adalah melihat sendiri perke mbangan dan peristiwa yang terjadi itu" Orang-orang yang berada di pendapat itu menganggukanggukkan kepalanya. Diantara mereka me mang sependapat dengan keterangan Ki Demang. "Apapun yang terjadi, sebaiknya langsung dapat dilihat dari dekat, supaya tidak salah menga mbil kesimpulan dan usaha penyelesaian" Tetapi mereka sa ma sekali tida k menyimpan kerisauan seperti Ki Jagabaya. Usaha Ki De mang untuk melihat persoalannya itu seakan-akan hanya karena ia tidak dapat me manggil anak-anak yang terlibat di dala m masalah itu.
Namun de mikian masih ada juga yang berkata "Tetapi Ki Demang, betapapun juga kecil masalahnya, tetapi keterlibatan Sura Sapi sebenarnya sudah memberikan kece masan yang tidak dapat diaba ikan" "Kenapa ka lian masih saja dihantui oleh na ma gerombolan itu" Kalian harus me lihat kenyataan" jawab Ki De mang "gerombolan Sura Sapi sa ma sekali tidak berdaya menghadapi anak-anak Ge mulung. Sebab sebagian dari mereka adalah pengawal-pengawal khusus Kade mangan Kepandak. Bukankah itu justru me mberikan kebangggaan kepada kita". "Ya, aku mendengar Ki De mang. Tetapi apakah kira-kira masalahnya akan berhenti sampai sekian" Apakah gerombolan Sura Sapi yang liar itu dengan senang hati menerima kekalahannya" Kalau se mua Sura Sapi hanya sekedar menerima upah untuk mela kukan sesuatu, maka dilain kali ia akan menuntut balas atas kekalahannya itu tanpa diundang oleh siapapun. Lebih ngeri lagi apabila Sura Sapi datang bersama kawan-kawan mereka yang merasa tersinggung pula atas kekalahan itu" "Kau menakut-nakuti dirimu sendiri" jawab Ki De mang "sudah aku katakan, bahwa aku akan menga mbil kesimpulan setelah aku melihat sendiri apa yang terjadi di Gemulung. Nanti aku akan pergi kepa-dukuhan itu bersa ma Ki Jagabaya. Seandainya Sura Sapi benar-benar mendenda m padukuhan Gemulung atau katakanlah Kade mangan Kepandak, apakah yang kita takutkan" Kita me mpunyai sepasukan pengawal. Kita me mpunyai Ki Jagabaya, Ki reksatani, adikku yang kalian mengetahui, dapat juga diketengahkan sebagai seorang yang dapat dihadapkan pada gerombolan-gerombolan seperti Sura Sapi atau bahkan gerombolan yang manapun, dan sudah tentu aku akan mempertanggung jawabkan se muanya itu" Ki Demang berhenti sejenak, lalu "Nah, apakah yang kalian cemaskan lagi?" Tidak seorangpun yang menjawab.
"Tetapi aku kira kita tidak akan terperosok demikian jauh. Kita-me mang sering berangan-angan" Orang-orang yang berada di pendapa itu menganggukanggukkan kepala mere ka. "Nah, sekarang, terserah kepada kalian. Yang masih ingin berada di tempat ini a ku persilahkan. Yang me mpunyai tugastugas lain di luar ha la man inipun aku persilahkan pula" Demikianlah ma ka beberapa orang diantara merekapun segera meninggalkan Kade mangan, termasuk Ki Jagabaya. Kepada Ki De mang, Ki Jagabaya berkata "Aku akan segera ke mbali. Lebih baik kita segera pergi ke Ge mulung. "Aku akan menga mbil kudaku, supaya perjalanan kita agak lebih cepat" Ki De mang me ngangguk-anggukkan kepalanya "Ya, bagus sekali. Kita akan pergi berkuda" Namun di sepanjang jalan, beberapa orang bebahu yang tidak puas mendengarkan pe mbicaraan di pendapa Kademangan, masih saja bertanya kepada Ki Jagabaya. Sedang Ki Jagabayapun sama sekali t idak merahasiakan sesuatu. Apa yang diketahuinya disampa ikannya kepada bebahu yang lain, meskipun ia berpesan "Jangan kalian sebar luaskan. Kalau masalah ini sudah menjadi pe mbicaraan setiap orang, maka usaha penyelesaian justru akan tertanggu karenanya. Kalian harus mencoba menyimpan serapat mungkin masalah-masalah yang terjadi. Apalagi antara dua ceritera yang berbeda itu. Apakah kalian dapat mengerti?" Orang-orang yang mendengarkan ceritera itupun mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi bagaimanapun juga mereka tidak dapat menganggap masalah itu sebagai masalah yang dapat diabaikan. Seandainya masalahnya itu terbatas antara Manguri dan Pamot beserta kawan masingmasing, maka usaha penyelesaian akan jauh lebih mudah dari yang dihadapi sekarang.
Tetapi mereka hanya dapat menunggu untuk se mentara. Menunggu dengan cemas. Kadang-kadang timbul juga ketenangan di hati mereka "Me mang kita kadang-kadang terlampau me mpertajam persoalan. Ki De mang dan Ki Jagabaya akan dapat segera menyelesaikan persoalannya. Kenapa kita me njadi ce mas?" Demikianlah ketika matahari telah menjadi se makin tinggi, Ki Jagabaya telah berada kembali di Kade mangan dengan menunggang seekor kuda. Mereka siap untuk pergi ke Gemulung, me lihat sendiri apa yang telah terjadi. Ki Jagabaya hanya berada sebentar di halaman Kademangan, karena Ki De mangpun telah siap pula untuk berangkat. "Kau tinggal disini sebentar" berkata Ki De mang kepada seorang yang bertubuh tegap dan kekar, agak lebih tinggi dari Ki De mang sendiri. Berkumis rata meskipun tidak begitu tebal, dan me mbiarkan bajunya terbuka, sehingga bulu-bulu di dadanya tampak kehita m-hita man. "Apakah kakang tidak la ma" orang itu bertanya. Ki Demang mengge leng. "Apakah kau tidak ikut bersama ka mi, Ki Reksatani?" bertanya Ki Jagabaya. Ki Reksatani, adik Ki De mang menggeleng sa mbil tersenyum "Aku menunggui ruma h ini. Sebenarnya aku hanya akan singgah ke ruma h ini sebentar. Tetapi terpaksa aku jadi penjaga" "Bukankah ada pengawa l di regol depan?" "Pengawal cukup lengkap" jawab adik Ki De mang "tetapi kakang De mang minta aku tetap disini" "Sudahlah" potong Ki De mang "kalau kau mau ma kan, makanlah. Di geledeg ada nasi seceting dan sepotong ayam goreng"
Adiknya tertawa. Ki Jagabayapun tertawa pula. Keduanya kemudian meningga lkan ha la man Kade mangan di atas punggung kuda. Langkah kaki kuda-kuda mereka tidak terlampau cepat. Sambil melihat-lihat daerah Kademangan Kepandak mereka berjalan ke Barat Menyusur jalan yang berbatu-batu di tengah daerah persawahan. Setiap kali mereka berdua harus menganggukkan kepala mereka apabila mereka berpapasan dengan orang-orang yang sedang pergi atau pulang dari sawah, dari pasar dan dari manapun juga. Setiap kali keduanya harus menjawab sapa yang ramah dari orang-orang Kade mangan Kepanda k. Sebelum mereka sa mpai disebuah tikungan, Ki De mang berkata "Kita a mbil jalan me mintas. Kita lewat jalan kecil ini" Ki Jagabaya mengerutkan keningnya "Kita tidak lewat Gunung Sepikul?" "Tida k" sahut Ki De mang, Ki Jagabaya tidak menyahut lagi. Kini mereka berbe lok mengikut i sebuah jalan kecil. Kuda-kuda merekapun berjalan semakin cepat, karena mataharipun menjadi sema kin tinggi, sehingga panasnya mula i terasa menyengat kulit. Perjalanan ke Gemulung sa ma sekali bukan perjalanan yang panjang. Karena itu, maka di tengah hari mereka berdua telah ada dia mbang padukuhan. Kedatangan Ki De mang dan Ki Jagabaya hanya berdua agaknya telah mengejutkan orang-orang Ge mulung. Na mun mereka langsung dapat menebak, apakah keperluan kedua bebahu Kade mangan itu, justru Ki De mang sendiri. Mereka langsung menghubungkan kedatangan Ki De mang itu dengan peristiwa anak-anak muda Ge mulung baru-baru ini. Perkelahian yang me mang telah menggoncangkan ketenteraman hidup ra kyat Gemulung. Di mulut lorong yang me masuki padukuhan Ge mulung, Ki
Demang berhenti sejenak. Ia melihat beberapa orang yang lewat mendekatinya. Salah seorang dari mereka menyapanya "Sela mat siang Ki De mang dan Ki Jagabaya" "Ya, ya terima kasih" jawab Ki De mang. "Ka mi sudah menduga, apakah keperluan Ki De mang dan Ki Jagabaya. Sudah tentu bukan soal parit yang rusak di sebelah padukuhan ini. Kalau masalahnya masalah parit itu, maka Ki ulu-ulunya yang akan datang hari ini" Ki De mang tersenyum. Katanya "Baiklah. Kalau kalian sudah tahu kepentingan kedatanganku, maka coba, sebaiknya aku harus datang kepada siapa?" Orang itu termenung sejenak. Jawabnya kemudian t idak disangka-sangka sama sekali oleh Ki De mang "Ka lau aku Ki Demang, sebaiknya Ki De mang datang saja ke rumah pedagang kaya itu. Ki Demang dapat minta agar anaknya diajar supaya tidak selalu mengganggu orang di padukuhan ini" Ki De mang mengerutkan keningnya. Ketika ia memandang wajah Ki Jagabaya dengan sudut matanya, dilihatnya Ki Jagabaya itu tersenyum sa mbil mengangguk-angguk. "Kalau tidak ke ruma h pedagang itu, ke mana aku sebaiknya pergi untuk mendapat keterangan lebih banyak" Orang itu mengerutkan keningnya. Kemudian Jawabnya "Tentu saja ke rumah Pa mot " Ki De mang mengerutkan keningnya. Ketika ia memandang wajah Ki Jagabaya dengan sudut matanya, dilihatnya Ki Jagabaya itu tersenyum sa mbil mengangguk-angguk. Ki De mang mengangguk-angguk. Desisnya "Aku akan pergi ke rumahnya sebelum ke rumah pedagang kaya itu. Aku ingin mendengar banyak keterangan"
Ki Jagabaya tidak me mbantah. Dibiarkannya Ki De mang me milih arah. "Terima kasih, terima kasih" berkata Ki De mang ke mudian kepada orang-orang yang menyongsongnya "aku akan pergi ke rumah Pa mot " Ki De mang dan Ki Jagabayapun kemudian me masuki lorong yang membelah padukuhan Ge mulung, langsung menuju ke rumah Pa mot. Kedatangan Ki De mang benar-benar mengejutkan keluarga itu. Ayah Pamot sendiri tidak ada di rumah, sehingga karena itu, ma ka dengan tergesa-gesa disuruhnya seorang anak tetangga untuk menje mputnya di sawah. Pamot dan kakeknyalah yang mene mui kedua tamunya sebelum ayahnya pulang dari sawah. Dengan dada berdebardebar mereka duduk di a mben panjang sambil menundukkan kepala mereka. "Ayahmu pergi?" bertanya Ki De mang. "Sebentar lagi ia datang Ki Demang" jawab kakek Pamot "seseorang sudah menyusulnya " Ki De mang mengangguk-anggukkan kepalanya. "Aku sudah mendengar ceritera tentang kau dari Ki Jagabaya" berkata Ki De mang "tetapi agaknya lebih puas mendengarnya dari kau sendiri" Pamot menarik nafas dalam-da la m. "Ceriterakan yang penting" Pamot mengerutkan keningnya "Kenapa aku harus menceriterakannya kembali ?" ia bertanya kepada dirinya sendiri. Tetapi akhirnya ia menyadari, bahwa apa yang akan diceriterakan harus tepat sama seperti yang dikatakannya
kepada Ki Jagabaya. Kalau ada perbedaan sedikit saja, maka seluruh ceriteranya pasti tidak a kan dipercaya lagi. Bahkan mungkin ia akan dianggap telah me mberikan keterangan dan pengaduan paslu. Karena itu, maka dengan hati-hati Pa mot mulai berceritera. Tetapi karena apa yang diceriterakan adalah keadaan yang sebenarnya, maka sa ma sekali t idak ada kesalahan apapun yang telah diucapkannya. Ki De mang mengangguk-anggukkan kepalanya, dan Ki Jagabaya menarik nafas dala m-dala m. "Jadi permusuhanmu sudah mula i beberapa lama sebelum perkelahian itu terjadi?" bertanya Ki De mang. "Sebenarnya aku tidak merasa permusuhan itu Ki De mang, tetapi sikap Manguri agak kurang menyenangkan" "Pamot " bertanya Ki De mang "cobalah berkata berterus terang. Apakah Sindangsari, gadis yang kau sebut-sebut itu benar-benar telah me milih kau sebagai bakal sua minya?" Wajah Pamot menjadi ke merah-merahan. Sejenak ia menunduk. Namun ke mudian ia menjawab "Aku belum dapat mengatakannya Ki De mang. Tetapi ka mi me mang telah terlibat dala m suatu hubungan yang agak lain dari sifat hubungan kawan biasa" "Aku ingin mendengar, apakah bukan kau yang terlalu perasa" aku belum yakin kalau Sindangsari menaruh hati juga kepadamu. Menurut penila ian lahiriah, seorang gadis pasti akan me milih Manguri daripada kau. Seandainya kau lebih tampan sedikit dari Manguri, sedang menurut penila ianku Manguri juga cukup ta mpan, maka seorang gadis pasti akan me milihnya, karena banyak sekali masalah yang tidak ada padamu, tetapi ada padanya" Pamot mengerutkan keningnya. Tetapi sebelum ia menjawab Ki Jagabaya telah mendahului "Pertanyaan itu
kurang mengenai sasarannya Ki De mang. Meskipun Pa mot pantas juga diminta untuk me mberikan keterangan tetapi pertanyaan ini lebih tepat diberikan kepada Sindangsari" Ki De mang mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia berkata "Maksudku apakah kita tidak keliru menangkap ceritera Pamot?" Ki Jagabaya tidak segera menangkap kata-kata Ki De mang itu. Sementara itu, maka ayah Pamotpun dengan tergesa-gesa me masuki rumahnya. Keringatnya yang membasahi seluruh tubuhnya menitik satu-satu dilantai ketika ia berdiri sambil me mbungkukkan kepalanya. "Maaf Ki De mang dan Ki Jagabaya, aku tidak tahu, bahwa aku akan me nerima ta mu hari ini" Pamot dan kakeknyalah yang mene mui kedua tamunya sebelum ayahnya pulang dari sawah. Dengan dada berdebardebar mereka duduk a mben panjang sa mbil menunduk kepala mereka. "Akupun tida k mimpi untuk datang ke Ge mulung kalau anakmu tidak berke lahi" jawab Ki De mang. Ayah Pamot menarik nafas dala m-dala m. Dipandanginya wajah Ki De mang dan Ki Jagabaya berganti-ganti, kemudian wajah anaknya, ayahnya dan yang terakhir ia menganggukanggukkan kepalanya. "Aku sedang bertanya tentang beberapa hal kepada anakmu" berkata Ki De mang. "O, silahkan Ki De mang" "Duduklah disini" berkata "pertanyaanku masih banyak" Ki De mang selanjutnya
Ayah Pamotpun ke mudian duduk pula di sa mping anaknya.
"Menurut anakmu, ia telah berkelahi dengan gerombolan Sura Sapi" "Ya Ki De mang, akupun melihat sendiri gerombolan itu" "He, apakah kau juga turut berkelahi?" "Tida k Ki De mang. Kebetulan seseorang melihat anak-anak itu berkelahi di sawah. Ka mi yang berada di gardupun berlarilarian ke sawah pula. Ka mi masih se mpat melihat perkelahian itu, tetapi kami tidak sempat ikut me mbantu, karena gerombolan Sura Sapi segera me larikan diri" Ki De mang mengerutkan keningnya, sedang Jagabayapun mengangguk-anggukkan kepalanya. Ki
"Tetapi aku masih belum puas dengan keterangan anakmu" berkata Ki De mang selanjutnya "ketika ia melihat Manguri berusaha mengganggu Sindangsari, ia mencoba untuk me lindungi gadis itu. Aku menyangka kalau Pa mot salah mengatakannya" Pamot, ayahnya, kakeknya dan bahkan Ki Jagabaya sendiri tidak segera mengerti ma ksud Ki De mang. "Menurut penilaianku, agaknya Pamotlah yang terlalu perasa. Ia melihat Manguri berjalan bersama Sindangsari. Kemudian karena ia merasa ce mburu, maka ia telah berbuat sesuatu yang mengejutkan keduanya. Sudah tentu Sindangsari menjadi ma lu sekali, dan segera berlari meninggalkan Manguri, Nah, ceritera inilah yang sengaja atau tidak sengaja telah kau ceriterakan setelah kau sesuaikan dengan seleramu" "Ah" tiba-tiba Pamot berdesah "tidak Ki De mang. Me mang sebaiknya Ki De mang bertanya kepada Sindangsari. Mungkin itu akan lebih baik, seperti kata Ki Jagabaya. Dengan demikian Ki De mang tida k akan tertipu olehku, atau barangkali oleh Manguri"
Ki De mang mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Ki Jagabayapun menyahut "Hanya Sindangsarilah yang mengetahui perasaannya sendiri, lebih baik dari siapapun" "Ya, ya" berkata Ki Demang "tetapi sudah tentu bahwa aku belum dapat me mpercayaimu Pamot. Ka mi masih me merlukan banyak sekali keterangan" Pamot tidak menjawab, tetapi kepalanya menunduk dala mdalam. Kepada ayah Pamot Ki De mang berkata "Jagalah anakmu baik-baik. Jangan kau ajari anakmu berbohong atau jangan kau dorong ia untuk setiap kali berke lahi" "Tentu tidak Ki De mang. Aku selalu mencoba mengawasinya agar ia dapat berbuat sebaik-ba iknya. "Kau terla mpau banyak me mpergunakan waktumu untuk mencari uang, mencukupi kebutuhan hidupmu sehari-hari, sehingga kau tidak me mpunyai wa ktu lagi untuk mengawasi anakmu" "Aku sudah mencoba Ki De mang" jawab ayah Pamot "aku me mbagi waktuku seba ik-baiknya sehingga anakkupun selalu dapat aku awasi" "Baik" jawab Ki De mang "tetapi ka lau akhirnya ternyata masalahnya tidak seperti yang kau katakan, maka aku akan menga mbil tindakan" "Silahkan Ki De mang. Agaknya anakku tidak berbohong" Ki Jagabaya yang mendengarkan percakapan itupun tibatiba menyahut "Kau jangan mencoba menghindari tanggung jawab atas perbuatan anakmu. Kalau ia bersalah, kau harus me lepaskannya untuk menerima hukumannya. Jangan mencoba me lindungi kesalahan anakmu dengan cara apapun juga"
"Tentu, tentu Ki Jagabaya. Kalau ternyata Pamot bersalah, aku serahkan anak itu dengan kedua tanganku, apapun yang akan terjadi atasnya" "Bagus" sahut Ki Jagabaya "sejak sekarang awasilah anakmu baik-baik. Bukankah kau tidak terla mpau sering pergi keluar Kademangan?" "Tentu tidak Ki Jagabaya. Bahkan keluar padukuhanpun jarang sekali" "Bukankah kau tida k selalu keluar rumah, mengurusi apapun ke mana-mana " Ke Madiun dan ke manapun sehingga kau tidak se mpat mengurusi anakmu?" Ayah Pamot mendengar pertanyaan Ki Jagabaya itu dengan mulut ternganga. Ia sama sekali tidak me ngerti pertanyaan itu. Dipandanginya wajah Ki Jagabaya dan Ki Demang berganti-ganti. Tetapi Ki De manglah yang menarik nafas dalam-dala m. Ia mengerti maksud pembantunya itu. Sejak semula agaknya Ki Jagabaya tidak sependapat dengan cara yang ditempuh oleh Ki De mang. Ki De mang tahu benar, bahwa yang dimaksud oleh Ki Jagabaya adalah justru ayah Manguri. Tetapi Ki Demang tidak kehilangan kesabaran. Bahkan ia berkata "Bagus, kalau begitu ba iklah. Aku kira kau tidak berbohong. Mudah-mudahan anakmupun tidak berbohong" Ki Jagabaya menarik nafas pula. Tetapi ia tidak berkata apapun lagi. Keduanyapun ke mudian segera minta diri. Mereka bersepakat untuk mene mui Sindangsari di rumahnya. Kepadanyalah sebagian dari penyelesaian masalah ini dapat dicari. Di sepanjang jalan Ki Jagabaya tidak terlampau banyak lagi berbicara. Kini ia menjadi se makin men-yakini pendapatnya bahwa Ki De mang agak tidak kurang wajar menanggapi
masalah ini. Sikapnya terhadap kedua orang tua dari anakanak yang bermusuhan itu ta mpak jauh berbeda. Ayah Manguri terla mpau mendapat penghormatan daripadanya, sedang ayah Pamot justru dianca m dan ditakut-takuti. "Apakah yang sebenarnya telah terjadi?" pertanyaan itu selalu mengganggu Ki Jagabaya "apakah me mang harus ada perbedaan, karena ayah Manguri seorang yang kaya raya, sedang ayah Pamot hanyalah seorang petani biasa" Apakah dengan demikian kebenaranpun terpengaruh pula oleh keadaan itu?" Tetapi Ki Jagabaya berjanji di dala m hatinya "Aku: akan mencoba me lihat kebenaran itu ditegakkan. Aku tidak peduli siapakah ayah Manguri dan siapakah ayah Pamot. Bahkan apapun yang dapat terjadi atasku seandainya ayah Manguri itu menganca m" Na mun nada suara hati itu menurun "Tetapi kalau Ki De mang menga mbil sikap lain, aku tidak akan banyak berdaya" Meskipun demikian sejauh mungkin Ki Jagabaya akan berusaha untuk berdiri tegak sebagai seorang petugas dan bebahu Kade mangan Kepandak. Semakin la ma merekapun menjadi se makin dekat rumah Sindangsari. Beberapa orang yang melihatnya, segera dapat menebak pula bahwa keduanya pasti akan pergi ke rumah Sindangsari. Bahkan beberapa orang anak-anak telah berlari-lari lebih dahulu dan berkata kepada Sindangsari "Ki De mang pasti akan ke mari" "Ki De mang?" Sindangsari terkejut. "Ya. Bersama Ki Jagabaya. Mereka berkuda ke arah ini" Sindangsaripun menjadi bingung. Ketika ia menya mpaikannya pula kepada ibunya, ibunyapun menjadi bingung pula.
"Jangan bingung" kake knya yang kebetulan ada di rumah mencoba menenangkan mereka "apa yang mesti di bingungkan" Ki De mang dan Ki Jagabaya pasti hanya sekedar mencari keterangan tentang keributan yang baru saja terjadi. Bukankah kau tidak bersalah?" kakeknya berhenti sebentar, lalu "tetapi kau harus menjawab se mua pertanyaannya sesuai dengan yang terjadi sebenarnya. Ingat, apa adanya. Itu adalah perbuatan yang sebaik-baiknya kau lakukan saat ini. Sindangsari me ngangguk-anggukkan kepa lanya. Sejenak ke mudian, sebenarnyalah Ki De mang dan Ki Jagabaya telah me masuki hala man rumah kakek Sindangsari. Dengan tergopoh-gopoh orang tua itu menyongsong mereka, dan me mpersilahkan mereka me masuki rumah mereka yang tidak terla mpau besar. Setelah mengikat kuda-kuda mereka, maka keduanyapun ke mudian mengikuti ka kek Sindangsari, masuk keruang tengah dan duduk di atas balai-bala i ba mbu yang besar. "Aku hanya sebentar" berkata Ki De mang "panggilan anakmu yang berna ma Sindangsari" "Maksud Ki De mang, cucuku?" "He, cucumu" Ya, cucumu" Maka dipanggilnyalah Sindangsari bersama ibunya untuk menghadap Ki De mang dan Ki Jagabaya. Sejenak Ki De mang me mandangi kedua ibu dan anaknya itu berganti-ganti. Sa mbil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berguma m "Jadi Sindangsari ini adalah anakmu?" "Ya Ki De mang" "Baik, baik" desis Ki De mang "duduklah disini. Marilah kita berbicara " Keduanyapun duduk pula sa mbil menundukkan kepalanya di a mben itu juga.
"Aku akan berbicara dengan Sindangsari" berkata Ki Demang. "Silahkan, silahkan" jawab kakeknya. "Majulah" Dengan kepala yang semakin menunduk Sindangsaripun beringsut sedikit. "Apakah kau sudah mendengar, apa yang telah terjadi antara Pamot dan Manguri?" bertanya Ki De mang. Dada Sindangsari berdesir. Tetapi ia selalu teringat akan pesan kakeknya, bahwa ia harus berkata sebenarnya. Sambil mengangguk ragu ia menjawab "Sudah Ki De mang" "Coba katakan, apakah yang sudah terjadi?" "Beberapa anak muda telah berkelahi melawan gerombolan Sura Sapi yang diundang oleh Manguri" "Ah" potong Ki De mang "begitulah berita itu" Sindangsari me ngangguk. "Dari siapa kau mendengar?" Sindangsari ragu-ragu sejenak. Tetapi sekali lagi ia teringat pesan kakeknya. Maka jawabnya "Dari kakek, Ki De mang" Ki De mang me ngangguk-anggukkan kepa lanya pula. Kemudian kepada kakek Sindangsari ia bertanya "Apakah benar demikian?" "Menurut pendengaranku Ki De mang" Ki De mang mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kini ia me mandang Sindangsari ha mpir tanpa berkedip lagi. "Sindangsari" ia berkata "kau akan menjadi sumber penyelesaian dari masalah ini. Coba katakan, apakah kau dapat me milih dengan tegas salah seorang dari kedunyanya?"
Ternyata pertanyaan itu telah menggetarkan dada Sindangsari. Sebagai seorang gadis, maka pertanyaan itu me mbuatnya tersipu-sipu. Pipinya menjadi merah, dan kepalanya justru menunduk da la m-dala m. Ki Jagabaya menarik nafas dalam-da la m. Pertanyaan Ki Demang itu dirasakannya terlampau langsung. Dengan demikian, ma ka Sindangsari pasti akan mene mui kesulitan untuk menjawabnya. Karena itu ma ka Ki Jagabayapun kemudian me ncoba untuk menolongnya "Sindangsari" katanya "maksud Ki De mang adalah, agar Manguri dan Pa mot tidak selalu bertengkar karena mungkin mereka salah paham. Sudah tentu se muanya itu bukan sa lahmu. Mungkin kau sa ma se kali tidak menghenda ki pertengkaran diantara kawan-kawan se padukuhan. Tetapi salah paha m itu me mang mungkin saja terjadi. Bahkan terlampau biasa terjadi. Nah, supaya hal itu hidak berlarut-larut, ma ka kau harus menegaskan sikapmu" Ki Jagabaya berhenti sejenak, lalu "Sindangsari, siapakah menurut anggapanmu yang bersalah dari keduanya" Apakah Manguri ataukah Pa mot?" Sindangsari masih menundukkan kepalanya. Tetapi pertanyaan Ki Jagabaya masih lebih mudah dijawab olehnya daripada pertanyaan Ki De mang. "Tentu salah seorang dari keduanya keliru" sambung Ki Demang "yang keliru sebaiknya mendapat peringatan. Supaya kami tidak salah me mberikan peringatan itu, nah, kaulah yang dapat menunjuk, siapakah yang wajib mendapat teguran itu" Sejenak Sindangsari terbungka m. Sambil me mpermainkan ujung bajunya ia menggigit bibirnya. "Jawablah Sari" bisik ibunya "se muanya ini untuk kebaikanmu dan kebaikan padukuhan Ge mulung. Apabila terjadi sesuatu, bukan kaulah yang akan dipersalahkan lagi"
Sindangsari bergeser sedikit. Perlahan-lahan terdengar suaranya "Yang salah adalah Manguri ibu"
sekali Ibunya menarik nafas dalam-da la m. Kemudian ia berkata "Begitulah Ki De mang. Menurut Sindangsari, Mangurilah yang bersalah" Ki De mang mengerutkan keningnya, sedang Ki Jagabaya berkata "Nah, Ki De mang, kita tinggal menga mbil kesimpulannya. Kalau Manguri yang bersalah, tentu Pa motlah yang benar. Begitu?" Ki De mang mengangguk-anggukkan kepalanya. "Keterangan ini langsung kita dengar dari Sindangsari sendiri" berkata Ki Jagabaya "sehingga keragu-raguan kita, apakah Pamot yang mencegat Manguri yang sedang berjalan bersama Sindangsari, ataukah ceriteranya lain lagi, atau ceritera-ceritera lain yang setiap orang dapat mengarangnya, kini sudah mendapat penjelasan langsung dari yang berkepentingan" Ki De mang me ngangguk-angguk dan mengangguk-angguk. Tetapi tampaklah sesuatu yang tersimpan di dala m hatinya. Namun de mikian ia tidak dapat me mbantah lagi kata-kata Ki Jagabaya itu, karena sebenarnyalah bahwa Sindangsari me mang sudah menyebut sendiri, Mangurilah yang bersalah. Akhirnya terdengar suara Ki De mang dala m nada yang datar "Baik, baik. Kita sudah mendengar keterangan Sindangsari" ia berhenti sejenak, la lu "aku kira keperluan kita sudah cukup hari ini" "Begitu tergesa-gesa Sindangsari. Ki Demang ?" bertanya kakek
"Aku hanya me merlukan penjelasan itu" jawab Ki De mang "Bukankah begitu Ki Jagabaya?" Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya "Ya Ki Demang. Aku kira keperluan kita me mang sudah selesai"
Maka keduanyapun ke mudian minta diri. Sa mbil mengerutkan keningnya Ki De mang meningga lkan hala man rumah Sindangsari. Sekali-se kali ia berpaling, na mun ke mudian kepalanya tertunduk da la m-dala m. "Apakah kita akan pergi ke rumah pedagang itu?" bertanya Ki Jagabaya. Ki De mang mengge lengkan kepalanya. Jawabnya "Tidak. Aku tidak me merlukan keterangannya lagi" "Jadi, apakah kita sudah dapat mengambil kesimpulan, ke mudian melakukan t indakan-tinda kan yang penting untuk mencegah terulangnya perstiwa ini?" Ki De mang hanya mengangguk-anggukkan kepa lanya saja, tetapi ia tidak menjawab. Ki Jagabaya menjadi heran. Apalagi yang dipikir oleh Ki Demang ini". Ki De mang ha mpir-ha mpir tida k menghiraukan lagi, bahwa ia berkuda bersama-sama dengan Ki Jagabaya. Sesuatu yang bara, yang sama sekali tidak terbayang di kepalanya sebelum ia berangkat, kini tiba-tiba saja telah tumbuh. Na mun dengan demikian, maka di padukuhan Ge mulung dan di Kademangan Kepandak telah timbul pula suatu persoalan yang baru sama sekali. Ki Jagabaya hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya ketika Ki De mang ke mudian berkata "Kita ke mbali ke Kademangan" Dan ternyata Ki Demang sa ma sekali tidak me merlukan pertimbangan lagi. Tiba-tiba saja kudanya dilarikannya semakin cepat. Sedang Ki Jagabaya mengikutinya saja di belakang. Hanya kadang-kadang ia mengkibas-kibaskan lengan bajunya karena debu yang diterbangkan oleh kaki-ka ki kuda Ki De mang me lekat dibajunya itu.
Sementara itu, Manguri yang merasa telah gagal untuk sekian kalinya, menjadi se makin marah bukan buatan. Apalagi ketika ia sadar, bahwa seluruh padukuhan kini mengetahuinya apa yang telah dila kukannya. Sambil menggeretakkan giginya ia berjalan hilir mudik di dala m biliknya. Ia tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Ia merasa seluruh padukuhan Gemulung kini mengarahkan pandangan mata mereka kepadanya. "Gila" ia menggera m "ternyata nama Sura Sapi itu sama sekali tidak berarti "na mun ke mudian "tetapi kenapa Pa mot dapat mengetahui bahwa gerombolan Sura Sapi itu akan mengeroyoknya, sehingga ia sempat me mpersiapkan dirinya bersama beberapa orang kawan?" Tetapi pertanyaan itu tidak dapat dijawabnya. Karena itu ia hanya dapat menghentakkan kakinya saja dilantai, atau me mukul tiang dengan telapak tangannya. Manguri terkejut ketika ia mendengar suara ayahnya me manggilnya. Dengan tergesa-gesa ia mendatanginya. "Duduklah" berkata ayahnya. Manguripun ke mudian duduk di hadapan ayahnya. "Kau sudah me mbuat aku pening" guma m ayahnya. Manguri tidak menyahut. "Tetapi agaknya aku dapat mengatasinya. Aku sudah bertemu dengan Ki De mang. Karena Ki De mang baru saja kehilangan isterinya, maka persoalannyapun berkisar kepada seorang calon isteri baru" Manguri tidak menjawab. "Tetapi Jagabaya yang bernama Supa itu agaknya memang besar kepala" Manguri me ngerutkan keningnya. Ke mudian ia bertanya "Apa katanya?"
"Tetapi sudah tentu ia berada di bawah pengaruh Ki Demang" Manguri mengangguk-anggukkan kepa lanya. "Untuk se mentara kau harus tetap berada di ruma h. Kalau kau keluar, mungkin akibatnya kurang baik sekarang, sebelum Ki De mang menga mbil langkah-langkah yang dapat menguntungkan kita. Aku sudah menemui Ki De mang sendiri pagi tadi, kemudian aku pergi ke tempat pere mpuran yang dapat aku jadikan calon isteri Ki De mang itu. aku sudah menjanjikannya" "Siapakah perempuan itu?" "Kenapa kau bertanya" Sudah tentu bukan Sindangsari" "ibunya?" "Hus" bentak ayahnya "apakah kau sangka Ki De mang itu sudah terlampau tua?" "Perempuan itupun belum terla mpau tua" "Aku me mpunyai beberapa orang gadis yang pantas untuknya" sahut ayahnya. Manguri mengangguk-anggukkan kepa lanya. Katanya ke mudian "Mudah-mudahan Ki De mang segera bertindak" Manguri berhenti sejenak "tetapi bagaimana aku dapat mendapatkan ana k itu ?" "Jangan tergesa-gesa. Kalau kau me mpergunakan cara mu yang bodoh itu, kau a kan terjerumus lagi ke da la m kesulitan. Dan aku lagi yang harus mengurusnya. Dengan de mikian aku akan kehilangan banyak waktu untuk mengurusi pekerjaanku" "Seharusnya ayah memang menyediakan wa ktu untuk mengurusi masa lahku. Sela ma ini ayah hanya mengurusi le mbu, kerbau dan ibu-ibu muda saja"
"Apa tahumu tentang hal itu" ayahnya me mbelala kkan matanya "aku dan ibumu menyediakan uang dan se mua kebutuhanmu secukupnya. Seumurmu itu, kau harus sudah dapat mengurus dirimu sendiri. Meskipun dala m masalahmasalah seperti kali ini aku masih harus ikut menjadi sibuk. Kalau Jagabaya yang gila itu berkeras kepala, pekerjaanku akan menjadi se makin panjang karenanya" Manguri t idak menjawab. Kepalanya terangguk-angguk kecil. "Selain urusanku dengan Ki De mang, jangan kau sangka bahwa orang dari gerombolan Sura Sapi itu akan berdia m diri. Kau juga yang bodoh, kenapa kau hubungi cucurut-cucurut itu. Akhirnya mereka tida k dapat menyelesaikan tugasnya, bahkan ke mudian rahasia mu diketahui oleh orang se padukuhan, bahkan se Kade mangan" "Itulah yang aneh ayah" berkata Manguri ke mudian "darimana Pa mot tahu, bahwa Sura Sapi telah menganca mnya" "Mungkin Sura Sapi sendiri. Mereka terlampau me mbangga kan diri. Tetapi akhirnya mereka hanya dapat me larikan dirinya saja" "Tida k mungkin ayah. Apakah mereka terla mpau bodoh untuk berbuat de mikian?" "Jika tida k de mikian, mereka pasti akan mendenda mmu. Mereka merasa kau menjerumuskan mereka ke dala m suatu kesulitan" Manguri mengerutkan keningnya. Hal itu me mang mungkin sekali terjadi. "Nah, sekarang kau lihat. Seharusnya besok aku pergi ke tlatah Menoreh mengantarkan beberapa ekor sapi. Tetapi aku harus menunda keberangkatanku karena masalahmu" Manguri tidak menjawab.
"Kalau kau juga mengingini gadis itu, maka masa lah ini me mang akan berkepanpangan. Dan aku akan menjadi semakin cepat tua" "Sedang ibu-ibu muda masih banyak menunggu" "Tutup mulut mu" ayahnya menggera m "Kalau kau masih ribut saja, aku tidak akan menyelesaikan urusanmu. Baik dengan Ki De mang, dengan anak-anak Ge mulung, dengan gerombolan Sura Sapi, maupun dengan Sindangsari" Manguri tidak me njawab lagi. Kalau ayahnya menjadi marah, ma ka ia akan benar-benar meninggalkannya pergi dan tidak mau lagi mengurus persoalannya itu. Dala m pada itu, seperti yang diperhitungkan oleh ayah Manguri, maka gerombolan Sura Sapi yang merasa terhina oleh kekalahan mere ka dari anak-anak Ge mulung, tidak juga dapat melupa kannya. Bagi mereka, kesalahan pertama dile mparkannya kepada Manguri. Manguri pasti tidak menyimpan rahasia penyergapan itu baik-baik, sehingga Pamot mengetahuinya, dan sempat me mpersiapkan beberapa orang kawannya. "Aku akan menuntut kerugian daripadanya" desis Sura Sapi sendiri kepada kawan-kawannya. Kawan-kawannya mendengarkannya dengan penuh keragu-raguan. Apakah Manguri akan me menuhinya" Bahkan menurut mereka, Manguri justru merasa telah dirugikan. "Manguri justru menyesali kegagalan kita" berkata salah seorang dari mereka. "Itu adalah karena salahnya" jawab Sura Sapi. "Gerombolan Sura Sapi tidak pernah gagal sebelumnya. Kami selalu be kerja dengan teliti. Tidak mungkin kedatangan kami telah mereka tunggu ka lau berita tentang usaha kami ini tidak dibocorkan oleh Manguri sendiri"
Kawan-kawannya kepalanya.
hanya mengangguk-anggukkan "Ka mi akan mendatangi ruma hnya. Kami akan menuntut upah yang sudah dijanjikan" "Kalau ia berkeberatan?" "Ka mi pergunakan kekerasan" Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepa lanya. "Kita tidak pernah terkalahkan. Bahwa kita gagal menangkap Pamot, adalah bagaikan arang yang tercoreng di kening kita "Nila i harga diri kita jauh lebih tinggi dari upah itu" Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Tetapi mereka masih juga ragu-ragu. Di rumah Manguri ada beberapa orang pekerja yang tinggal di rumah itu siang dan ma la m. Sura Sapi seakan-akan dapat me mbaca perasaan beberapa orang kawannya sehingga ia berdesis "Apakah kalian berpikir bahwa para pekerja itu ma mpu menahan kita" Mereka tidak lebih dari tukang-tukang rumput, tukang-tukang sapu dan gamel" Kawan-kawannya kepalanya. masih juga mengangguk-anggukkan
"Tetapi ka lau kalian masih juga ragu-ragu" berkata Sura Sapi "kita akan mengajak seorang kawan lagi dan dapat dipercaya" Kawan-kawannya mengerutkan keningnya. Hal serupa ini tidak pernah mereka lakukan sebelumnya. Mereka tidak pernah me mbawa orang lain di dala m gerombolan mereka. Tetapi kali ini pimpinan mereka menganggap perlu untuk me mbawa orang la in bersa ma mereka.
"Jangan cemas. Orang itu sebenarnya bukan orang asing bagi kita. Ia adalah kakak kandungku sendiri yang kebetulan pulang dari perantauan" "Pulang ke mana?" tiba-tiba sa lah seorang ang-gutanya bertanya. "Ke rumah. Rumah yang sudah sekian tahun aku tinggalkan. Tetapi di rumah itu ada pa man dan bibi. Seka lisekali aku lewat juga di rumah itu. Dan aku melihat kakang Temon ada di rumah" "Kau percaya kepada ka kak kandungmu?" Sura Sapi tertawa, jawabnya "Aku sudah ketemu dengan kakang Te mon. Ia akan ikut bersama ka mi. Ia me merlukan bekal untuk ke mbali ke tempatnya " "Dima na ia t inggal?" ' "Di ujung Gunung Kendeng" "Kalau kau sudah me mpercayainya, kami tidak akan berkeberatan" desis kawan-kawannya ke mudian. Maka merekapun ke mudian sepakat untuk pergi ke rumah Manguri. Anak itu harus me mbayar upah yang sudah dijanjikannya, karena kegagalan usaha mereka menangkap Pamot dipengaruhi oleh keadaan di luar perhitungan, yang menurut Sura Sapi, kesalahannya terletak justru pada Manguri. "Nanti ma la m kita datangi rumahnya" "Tetapi anak-anak muda Ge mulung pasti masih berjagajaga karena peristiwa itu" berkata salah seorang dari mereka. "Bodoh kau" bentak Sura Sapi "apakah kita tidak dapat mene mukan lubang sa ma seka li pada dinding padukuhan seluas itu" Mereka pasti hanya akan berkumpul di gardu-gardu atau sekali dua ka li berbondong-bondong me ngelilingi padukuhan lewat jalan diseputar padukuhan itu"
"Ya, ya" desis beberapa orang yang lain. "Nah, sekarang kalian tida k me mpunyai pekerjaan apapun. Kalau kalian mau tidur tidurlah. Aku akan mene mui kakang Temon" Demikianlah ma ka Sura Sapi ke mudian meningga lkan sarangnya. Wajahnya yang keras dan kasar, pakaiannya yang justru terlampau bagus dan mahal, me mbuatnya tidak mudah dikenal oleh orang-orang disekitar rumahnya. Sura Sapi rasarasanya sudah berganti wajah. Karena itu tidak seorangpun yang menaruh curiga ketika ia me masuki sebuah hala man rumah di pinggir desa. Rumah yang sudah lama ditinggalkannya. Kakak kandungnya, Te mon, ternyata telah melakukan pekerjaan serupa dengan adiknya, meskipun di te mpat yang agak jauh. Karena itu tawaran Sura Sapi sama sekali tidak ditolaknya. "Nanti ma la m kita pergi ke rumah pedagang kaya itu" berkata Sura Sapi. "Apakah di rumah itu aku dapat mene mukan sesuatu?" "Maksudku, aku akan menuntut upah yang sudah dijanjikan untuk pekerjaan yang sudah aku katakan tadi. Meskipun tugas itu gagal" Temon mengangguk-anggukkan kepalanya pedagang itu akan me mbayar tuntutan kalian?" "Apakah
"Ka mi akan me ma ksa. Aku kira ia tidak akan berani me lawan. Setidak-tidaknya ia akan segan bertengkar dengan kami, meskipun dala m keadaan terpaksa ia akan me lakukannya. Karena itu, tuntutan kitapun tidak akan terlampau berlebih-lebihan supaya kita tidak me ma ksa ia me lakukan perlawanan" Temon mengangguk-anggukkan kepalanya "Baik. Aku ikut bersama ka lian"
Demikianlah maka gerombolan Sura Sapi mendapat tambahan seorang lagi untuk sementara. Bagaimanapun juga Sura Sapi masih me mpertimbangkan ke mungkinanke mungkinan pahit yang dapat terjadi di halaman rumah pedagang kaya itu. Ketika mala m mula i menyentuh padukuhan Gemulung dan sekitarnya, di ujung hutan rindang, Sura Sapi dan kawankawannya sudah siap untuk pergi ke Gemulung dengan tuntutan yang melonjak-lonjak di da la m dada mereka. Kalau mereka tida k mau me mberikan upah seperti yang dijanjikan, maka harga diri mereka akan mereka tebus dengan kekerasan atas keluarga Manguri. Pada saat yang bersamaan Ki De mang Kepanda k duduk di pendapa rumahnya seorang diri menghadapi sebuah dlupak minyak kelapa, semangkuk air panas dan beberapa maca m makanan. Sa mbil me ngangguk-anggukkan kepalanya di lihatnya sebuah lentera yang menyala di e mper gardu di regol halaman. Beberapa orang peronda sudah ada di dalamnya sambil berbicara berkepanjangan. Biasanya Ki Demang sering turun juga kehala man dan berbicara dengan mereka. Tetapi kali ini Ki De mang lebih senang duduk seorang diri sambil merenungi nyala api dlupaknya yang bergerak-gerak, dibe lai angin yang le mbut. Sekali-seka li Ki De mang menarik nafas dala m-da la m. Namun ke mudian giginya gemeretak sa mbil menghentakkan tangannya ditelapak kakinya sendiri. "O, kenapa aku datang sendiri di Ge mulung" desisnya. Tetapi ia tidak dapat berbuat apapun. Hal itu sudai. terlanjur dila kukan. Dan ia sudah terlanjur me lihat sendiri gadis yang berna ma Sindangsari itu. "Aku bukan seorang suami yang baik" katanya kepada diri sendiri "lima kali aku kawin, dan lima ka li pula perkawinan itu
pecah. Apakah aku masih me mpunyai kese mpatan untuk kawin lagi?" Dada Ki De mang serasa menjadi sesak. Teringat olehnya janji pedagang ternak yang kaya dari Ge mulung, bahwa ia akan mencarikan seorang isteri buat Ki De mang. "Aku me mang masih ingin kawin" katanya kepada diri sendiri "tetapi tida k bersungguh-sungguh. Kawin se kedar sebagai kelajiman saja" Ki De mang ke mudian berdesah "tetapi Sindangsari sangat menarik bagiku. Ia seorang gadis yang cantik dan luruh. Agaknya ia' jujur pula. Pantaslah bahwa Sindangsari dapat menimbulkan masalah di antara anak-anak muda Ge mulung" Ki De mang mengangguk-anggukkan kepalanya perlahanlahan. Namun ke mudian ia mengerutkan keningnya sambil menggera m "0, aku harus mencegah benturan-benturan berikutnya. Kalau gadis itu ada disini, maka t idak seorangpun yang akan mendendam. Baik Pa mot maupun Manguri, tidak akan berani me mpersoalkannya lagi" Dan tiba-tiba saja Ki De mang itu bangkit. Dengari tergesagesa ia masuk ke pringgitan. Na mun ke mudian ia ke luar lagi. Sesaat kemudian terdengar suaranya menggeletar me manggil seorang peronda yang ada di dalam gerdu di regol halamannya. Dengan tergesa-gesa pula peronda itu mende katinya sambil bertanya "Apakah Ki De mang me manggil a ku?" "Ya, ya" sahut Ki De mang "ke marilah" Peronda itu se makin mende kat. "Panggil Ki Re ksatani. Cepat" teriak Ki De mang. "Bukankah siang tadi Ki Reksatani baru saja datang ke mari Ki De mang?" "Aku tahu, aku tahu. Tetapi panggil sekarang"
Peronda itu mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya "Baiklah. Aku a kan me manggilnya" Maka peronda itupun ke mudian dengan tergesa-gesa meninggalkan hala man Kade mangan setelah mengatakan keperluannya kepada kawan-kawannya. "Buat apa Ki Re ksatani dipanggil sekarang?" "Hus" desis peronda itu "lehermu dapat dipuntirnya sa mpai patah" Kawannya tidak menyahut. Tetapi ia tersenyum kecut. Dengan langkah yang panjang peronda itupun ke mudian pergi ke rumah Ki Reksatani. "He, apa keperluanmu?" bertanya Ki Reksatani ketika peronda itu sudah sa mpa i ke rumahnya. "Ki Reksatani dipanggil oleh Ki De mang" "Aku?" "Ya" "He, bukankah aku baru saja bertemu dengan kakang Demang" Kakang De mang tida k mengatakan apa-apa" "Tetapi mungkin berke mbang suatu persoalan sehingga Ki De mang me merlukan kawan berbincang" baru
Ki Reksatani mengerutkan keningnya. Namun ke mudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata "Baiklah. Aku akan pergi ke Kade mangan. Pergilah dahulu. Sebentar lagi a ku akan menyusul" "Baiklah. Aku akan mendahului, dan mengatakan kepada Ki Demang bahwa sebentar lagi Ki Reksatani akan menyusul" "Ya"
Peronda itupun kemudian meninggalkan rumah Ki Rekstani, sementara Ki Reksatani merenung sejenak me mandang kekegelapan. "Apa lagi keperluan kakang De mang ka li ini" desisnya. Reksatani itupun menarik nafas dala m-dala m. Ke mudian ia minta diri kepada isterinya setelah me mbenahi paka iannya. "Aku dipanggil kakang De mang" katanya. Isterinya yang mendengar peronda dari Kade mangan yang menya mpaikan pesan Ki De mang kepada Ki Reksatani itupun berkata "Tentu ada keperluan yang tiba-tiba. Bukankah kakang baru saja pergi ke Kademangan?" "Ya, malahan aku disuruhnya menunggui ruma h itu. Disedia kannya di da la m ge ledeg seceting nasi dan sepotong ayam goreng, meskipun tinggal sebe lah sayapnya " Isterinya tersenyum "Tentu ada kepentingan" Ki Reksatani mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Aku akan pergi sekarang" Tetapi sebelum sua minya melangka m tlundak pintu, Nyi Reksatani berkata lambat "Ka kang, bukankah ka kang De mang baru saja kehilangan isterinya" Ki Re ksatani mengerutkan keningnya. "Apakah Kakang De mang baru saja berke liling wilayah?" "Siang ini kakang De mang pergi ke Ge mulung" Isterinya menarik nafas dala m-dala m. "Kenapa?" "Apakah agaknya kakang De mang me lihat pere mpuan cantik di sepanjang ja lan?" Ki Reksatani tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah isterinya sejenak. Lalu terdengar ia berdesah Itulah yang tidak
aku sukai pada kakang De mang. Mungkin ia akan me mbicarakan soal itu pula. Sebenarnya aku sudah je mu. Isterinya mengangguk-anggukkan kepalanya. "Mudah-mudahan a ku dapat me mberikan pendapatku kepadanya. Sudahlah, aku akan pergi. Apakah anak-anak sudah tidur se muanya?" "Sudah kakang" Ki Reksatanipun ke mudian turun dari tangga rumahnya dan me lintasi hala man yang gelap. Di regol sebuah lentera yang redup, terguncang-guncang oleh angin yang le mah. Ki Reksatani masih se mpat menarik sumbu lenteranya, sehingga nyalanya menjadi agak terang. Kemudian me mbuka pintu regol dan hilang di balik dinding. Ki De mang yang menunggu kedatangannya dengan dada yang berdebar-debar, hampir tida k sabar lagi. Dengan gelisah ia duduk dipringgitan. Sekali-se kali ia berdiri dan berjalan mondar-mandir. Namun ke mudian ia duduk lagi menghirup air panas dimangkuk yang masih setengah isi. Setiap kali ia me ndengar langkah seseorang, disangkanya Ki Reksatani sudah datang. Ketika ia mendengar pintu pringgitan diketuk orang dengan tergesa-gesa ia meloncat berdiri. Ketika pintu dibukanya ia me lihat peronda yang disuruhnya me manggil adiknya. "Dima na Reksatani ?" Ki De mang bertanya dengan sertamerta. "Sebentar lagi ia akan menyusul Ki De mang" "He, apakah kau t idak me merlukannya sekarang?" "Ya De mang" "Kenapa ia tidak datang bersama mu?" mengatakan bahwa aku
"Aku disuruhnya dahulu, ke mudian ia akan menyusul" "Setan elek" Ki De mang sekarang he" Peronda itu tida k menjawab. "Kenapa kau berdiri saja disitu?" Peronda menjawab. itu terkejut. Tetapi ia tidak segera dapat mengumpat "kenapa tidak
"Ke mbali ke gardumu" Peronda itu menganggukkan kepalanya sambil menjawab "Baik Ki De mang" Namun ketika ia baru me manggilnya "He, kau" saja beranjak, Ki De mang
Orang itu menjadi se makin bingung. "Eh, maaf. Seharusnya aku mengucapkan terima kasih kepadamu "Ki De mang mengangguk-angguk "sebenarnya aku sangat berterimakasih. Mungkin kepala ku sedang pening, sehingga kadang-kadang aku kehilangan penga matan diri" Peronda itu menarik nafas dala m-dala m. Seolah-olah udara seisi pendapa itu mau dihirupnya. "Nah, ke mbalilah ke gardumu. Tetapi apakah kau haus?" "Di gardu sudah disediakan minum Ki De mang" "Lapar barangkali?" Peronda itu menggeleng "Terima kasih Ki De mang, aku sudah makan di ruma h" "Baik, baik. Terima kasih" Peronda itupun kemudian ke mbali ke gardunya. Ketika ia menuruni tangga pendapa Kademangan, ia menarik nafas sekali lagi sa mbil berdesah "Hem, Ki De mang sudah mulai lagi. Apabila ia ditingga lkan isterinya, entah mati entah cerai, maka
ia menjadi seperti orang yang kebingungan. Baru berapa pekan ia bercerai ka li ini. Ia sudah mulai lagi dijangkiti penyakitnya" Namun guma mnya itu terputus. Sekali ia berpaling. Tetapi ketika ia tidak me lihat Ki De mang di pendapa, ia tersenyum sendiri. Baru sejenak kemudian seseorang memasuki regol hala man Kademangan. Orang itu adalah Ki Reksatani. Adik Ki De mang. Peronda yang tadi menje mputnya menyongsongnya sambil berkata "Ki De mang sudah menunggu de mikian la ma. Ha mpirhampir ia tidak sabar lagi, dan aku dibentak-bentaknya, meskipun ke mudian ditawarkan kepadaku ma kan" Mau tidak mau Ki Reksatani tersenyum. Sa mbil mengangguk-anggukkan kepalanya ia menjawab "Sekarang kau sudah kenyang ya?" "Aku tida k mau, karena baru saja aku makan di ruma h" Adik Ki De mang itu tertawa "Biarlah a ku nant i yang makan" "Sekarang silahkan. Ki De mang sudah terla mpau ge lisah" Ki Re ksatani itupun ke mudian dengan tergesa-gesa pergi ke pringgitan. Desir langkahnya di pendapa telah didengar oleh Ki Demang sehingga sebelum ia mengetuk, pintu pringgitan sudah terbuka. "Anak demit kau" umpat Ki De mang "kenapa kau tidak datang bersama anak itu?" Ki Reksatani tersenyum. Katanya "Bukankah aku harus me lihat apakah semua palang-palang pintu di rumah sudah baik" Mungkin juga me mbenahi barang-barang. Tetapi bukankah a ku sudah pesan kepada peronda itu?" "Uh, ada saja alasanmu. Mari duduk disini. Apakah kau sudah makan?"
Ki Reksatani tertawa. Jawabnya "Sudah kakang. Aku sudah makan" "Baik. Baik" desis Ki De mang "sekarang, dengarkan. Aku me mpunyai kepentingan yang tidak dapat aku tunda-tunda lagi" Adiknya menganggukkan kepalanya. "Kepentingan Kade mangan Kepandak?" "Ya, ya. Kepentingan Kade mangan Kepanda k" Ki Reksatani mengangguk-angguk kepentingan itu ka kang?" pula "apakah Jawabnya
"Reksatani. Kau tahu, bahwa tidak ada daripadaku, selain kau. Sepeninggal ayah dan adalah satu-satunya keluargaku, sehingga pertama kali akan aku ajak berbicara tentang ini.
keluarga lain ibu, maka kau kaulah yang masalahku ka li
Ki Reksatani menarik nafas dala m-dala m. Sekilas terkenang olehnya, tidak lebih dari setahun yang lalu, kakaknya pernah berkata begitu pula kepadanya. Kata-kata itu rasa-rasanya masih terngiang sa mpai saat ini. Dan kini ka kaknya telah mengucapkannya lagi. Sudah tentu untuk kepentingan yang serupa. "Reksatani, kau tentu sudah tahu pula, bahwa isteriku yang mengguk itu baru saja pergi dari rumah ini" Ki Re ksatani mengangguk-angrukkan kepalanya. "Aku sekarang hidup sendiri. Tidak ada seorangpun yang dapat aku ajak berbicara dalam segala masalah. Sedang di Kademangan Kepandak se makin hari semakin banyak persoalan yang harus diselesaikan. Nah, kau dapat me mbayangkan. Aku sela lu kelelahan ha mpir setiap hari. Tetapi tidak ada orang yang dapat memijitku, atau mengusapkan pare m beras kencur di kakiku"
Ki Reksatani bergeser sejengka l maju. Sa mbil menarik nafas dalam-dala m ia berkata "Bukankah ma ksud kakang, kakang ingin aku me mberikan pertimbangan terhadap seseorang yang baru saja kakang lihat hari ini, mungkin diperjalanan ke Ge mulung, atau mungkin dima napun juga?" "Hus" Ki De mang berdesis "darimana kau tahu" "Hal ini sudah kakang lakukan berulang kali. Aku sudah menjadi terbiasa karenanya" "Baiklah. Aku tidak ingkar. Aku me mang ingin me ndapat pertimbanganmu. Bagaimana kalau a ku kawin saja lagi?" "Kakang" jawab Ki Reksatani ke mudian "sebenarnya aku menjadi sangat sulit untuk menjawab pertanyaan ini. Aku tahu, bahwa kakang ingin aku mengiakannya. Menyetujui dan bahkan mendukungnya" "Tentu, tentu" "Tetapi sebenarnya aku berpendirian lain kakang" Ki Reksatani berhenti sejenak "siapakah orang yang ka kang lihat itu?" Ki De mang tidak segera menjawab. Dipandanginya wajah adiknya dengan kening yang berkerut-kerut. "Tetapi" berkata Ki Reksatani "siapakah pere mpuan itu " Janda atau gadis atau siapa?" "Katakanlah, apakah kau setuju?" sahut Ki De mang "dan apakah yang kau ma ksud dengan pendirianmu yang lain itu ?" "Seharusnya kakang mengatakannya lebih dahulu, siapakah perempuan itu" Ki De mang menjadi ragu-ragu sejenak. Dan adiknya berkata seterusnya "Kenapa kakang ragu-ragu. Biasanya kakang tidak pernah ragu-ragu mengatakan. Apakah sekali ini kakang me mpunyai pertimbangan yang agak berbeda?"
"Ya. Aku me mang me mpunyai pertimbangan yang agak berbeda kali ini" jawab Ki De mang. "Sebaiknya ka kang mengatakan kepadaku. Baru kakang bertanya, bagaimana pertimbanganku itu" Ki De mang mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun ragu-ragu namun ia berkata "Baiklah Reksatani. Sebenarnya terlampau berat bagiku untuk menyebutnya. Tetapi apaboleh buat. Aku me mang perlu pertimbanganmu" Ki Re ksatani mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kali ini a ku tida k se mata-mata me mentingkan diriku sendiri" berkata Ki De mang, sedang Ki Reksatani mendengarkannya dengan saksama "Seperti kau ketahui, anak-anak Ge mulung baru saja terlibat da la m perkelahian. Adiknya mengangguk, tetapi ia bertanya "Apakah ada hubungannya dengan rencana ka kang untuk kawin?" "Dengar dulu, baru bertanya" "0, ya" "Persoalannya berkisar pada seorang gadis" Ki De mang berhenti pula me narik nafas "Kau dengar?" "Ya, ya" "Tentu saja hal itu tidak dapat dibiarkan saja. Jika demikian masalahnya pasti akan menjadi berlarut-larut. Keduanya pasti akan saling mendenda m dan berusaha untuk merebut sumber persoalan itu" Ki Re ksatani mengerutkan keningnya. Ki Reksatani mengerutkan keningnya. Namun ke mudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata "Baiklah, aku akan pergi ke Kademangan. Pergilah dahulu. Sebentar lagi aku akan me nyusul"
"Karena itu, maka sumber persoalannya itulah yang harus diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Keduanya harus mendapatkan atau kedua-duanya tidak. Tetapi bahwa keduaduanya harus mendapatkan adalah tidak mungkin sama sekali" "O" tiba-tiba Ki Reksatani me motong sa mbil menganggukangguk. Katanya "Sekarang aku tahu. Daripada hal itu akan tetap menjadi masalah, ma ka sebaiknya keduanya sama sekali tidak mendapatkannya. Tegas-tegas begitu. Dan jalan yang akan kakang te mpuh, menga mbil saja sumber persoalannya, dan dibawa ke rumah ini menjadi seorang isteri. Begitu?" Ki De mang menegang sejenak. Na mun ke mudian ia mengangguk "Ya, begitulah" "Jadi tegasnya, orang yang kakang inginkan itu seorang gadis yang berna ma Sindangsari?" "Bukan yang aku inginkan. Tetapi, sekedar mencegah masa lahnya menjadi berlarut-larut" untuk
"He m" Ki Reksatani menarik nafas dalam-dala m "suatu pengorbanan yang luar biasa. Itu adalah suatu tanggung jawab yang tidak kepalang tanggung" "Hus, jangan menyindir" "Aku tidak menyindir kakang. Tetapi bagaimana seandainya gadis yang bernama Sindangsari itu sama sekali tidak pantas untuk dijadikan isteri seorang Demang" Mungkin wajahnya terlampau je lek, atau katakan terla mpau bodoh" "Ah, tentu tidak" "Apakah kakang sudah me lihat?" "Bukankah aku dari Ge mulung?" Ki Reksatani mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum. Tetapi tampa klah bahwa senyumnya adalah senyum yang ha mbar. Dengan nada yang rendah ia bertanya
"Jadi kakang De mang sudah me lihat sendiri gadis yang bernama Sindangsari itu?" Ki De mang mengangguk-angguk "Cantik?" Ki De mang ragu-ragu sejenak, lalu menggeleng sa mbil menjawab "Tidak cantik. Tetapi itu t idak penting bagiku" "Tentu cantik. Kalau tidak, ia tidak akan menimbulkan persoalan antara anak-anak muda" Ki De mang menarik nafas dala m-dala m. Katanya kemudian "Tetapi katakanlah, apakah kau setuju atau tidak" Aku sudah me menuhi permintaanmu. Aku sudah menyebut namanya, dan kau sudah mendapat gambaran latar belakang dari tindakanku kali ini" "Ki Reksatani mengangguk-anggukkan Sejengkal ia bergeser maju. kepa lanya.
"Kakang" katanya ragu-ragu "apakah aku boleh mengatakan perasaanku yang sebenarnya, bukan sekedar untuk menyenangkan hati ka kang seperti biasanya?" Ki De mang me ngerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera menjawab. Ditatapnya saja wajah adiknya tajam-taja m. "Apa maksudmu?" desisnya ke mudian. "Kakang, sebenarnya pertanyaan kakang itu" "Jangan segan. Jawablah" Ki Reksatani mengangguk-angguk. Meskipun de mikian ia berkata "Tetapi aku minta maaf sebelumnya kakang. Kali ini aku terpaksa mengatakan isi hatiku yang sebenarnya" Reksatani berhenti sejenak, lalu "sebenarnya aku berkeberatan atas rencana kakang De mang itu. Sepengetahuanku Sindangsari itu pasti masih sangat muda. Lebih muda dari Pa mot yang sudah pernah aku kenal" aku segan untuk menjawab
Ki Reksatani berhenti sejenak, la lu "Kakang, aku harap kakang berusaha mencari cara lain untuk mengatasi persoalan itu. Meskipun seandainya dengan de mikian, persoalan itu dapat selesai, karena kedua belah pihak tidak dapat lagi berbuat apa-apa. namun kakang telah menga mbil korban yang terlampau besar" "Apakah kau menyindir aku lagi?" "Bukan. Bukan begitu. Maksduku, apakah Sindangsari akan dapat menerima cara penyelesaian yang akan kakang tempuh" Sindangsari adalah seorang gadis yang masih remaja. Ia masih menginginkan menikmati hari depan yang baik dan panjang. Ki De mang me njadi tegang me ndengar kata-kata adiknya itu, dan Ki Reksatani berkata seterusnya "Maaf kakang. Apakah aku dapat melanjutkannya?" Wajah Ki De mang menjadi merah. Tetapi ia menjawab dengan kasar "katakan. Katakan isi hatimu seluruhnya" "Kakang" berkata Reksatani "aku kira aku me mang lebih baik berkata sebenarnya menurut pertimbanganku, dari pada aku masih juga berpura-pura " "Ya katakan. Katakan bahwa kau tida k setuju. Katakan bahwa aku sudah tidak pantas lagi kawin dengan gadis kecil itu. Aku memang sudah tidak remaja lagi meskipun belum tua. Dan aku me mang sudah pernah kawin entah berapa kali. Bukankah begitu ?" Ki Re ksatani menundukkan kepalanya. "Kenapa kau dia m saja he?" "Aku takut, kakang akan menjadi se ma kin marah" Ki De mang me mbelala kkan matanya. Tetapi kemudian ia menarik nafas dalam-dala m "katakan. Aku tidak akan marah.
Kita sudah cukup pertimbangan" "Ya"
tua untuk me mbuat pertimbangan- "Apakah benar ka kang tida k akan marah?" Ki Reksatani mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya "Begitulah kira-kira kakang. Tetapi sekali lagi, kita berbicara sebagai seorang yang sudah ma mpu mengendalikan diri, sehingga tidak sepantasnya kita saling bertegang urat untuk me mpertahankan pendirian masing-masing. Kalau pendirian kita berbeda, kakang, maka demikianlah agaknya. Me mang pendirian kita berbeda. Tetapi bukankah aku tidak dapat mengikat kakang dala m suatu keharusan untuk mentaatinya" Tetapi aku mengharap dengan sangat, agar setidak-tidaknya kakang se mpat me mpertimbangkan pendapatku" Ki De mang t idak menyahut. "Kakang, seperti yang sudah kakang katakan sendiri. Kakang sudah beberapa kali kawin. Kalau aku tidak salah menghitung, kakang sudah kawin lima kali. Apakah pantas kalau ka kang kini menga mbil seorang gadis re maja untuk menjadi isteri ka kang" Dan apakah ka kang tidak menaruh belas kasihan kepadanya, kepada gadis itu?" "Bodoh kau. Kalau orang tuanya mengijinkan, persoalan gadis itu sudah selesai" Ki Reksatani menarik nafas dalam-da la m. Sejenak ia tidak menyahut. Diangguk-anggukannya kepalanya perlahan-lahan, namun tampa k benar bahwa ia sa ma sekali tida k dapat mengerti jalan pikiran kakaknya, Ki De mang di Kepandak. Ki De mangpun tidak segera menyambung kata-katanya, sehingga ruangan itu menjadi hening sejenak. Di luar, di gardu, masih terdengar para peronda bercakap-cakap. Kadang-kadang terdengar gelak me mecah sepinya mala m.
Namun sejenak ke mudian, seperti ada sesosok hantu yang lewat, gardu itu menjadi sepi. Tetapi tiba-tiba pe mbicaraan diantara mereka telah meledak lagi untuk mencegah kantuk yang mulai beraba-raba mata mereka. "Jadi bagaimana?" bertanya Ki De mang. Ki Re ksatani menarik nafas dala m-dala m "Aku sudah mengatakan pendapatku kakang" "Jadi kau tetap tidak setuju?" Ki Re ksatani tidak menjawab "Kau benar-benar tida k berperi-ke manusiaan" Ki Reksatani terkejut. Dengan serta-merta ia bertanya "Kenapa aku justru tida k berperi-ke manusiaan?" "Reksatani" berkata Ki De mang "kau tahu, bahwa sa mpai saat ini aku sa ma sekali tida k me mpunyai anak" Bukankah wajar sekali kalau a ku menginginkan seorang ana k atau lebih?" Wajah Ki Reksatani tiba-tiba menegang. Tetapi hanya sekejap, sehingga sama seka li t idak berkesan pada kakaknya. Jawabnya kemudian "Tentu kakang. Adalah wajar sekali kalau kakang menginginkan seorang anak. Tetapi, cobalah kakang ingat, kakang sudah kawin berkali-ka li. Dan kakang sama sekali be lum me mpunyai seorang ana kpun" "Tentu, tentu. Perempuan-perempuan mandul itu sama sekali tidak berarti apa-apa bagiku. Kalau a ku masih juga harus kawin dengan janda, dengan gadis sakit-sakitan atau dengan perawan tua yang liar dan t idak terkenda li sama sekali, sudah tentu aku akan tetap tidak me mpunyai seorang anakpun. Tetapi kalau suatu ketika aku kawin dengan seorang gadis, gadis yang baik dan sehat, mungkin aku akan me mpunyai seorang anak.
Ki Reksatani mengerutkan dahinya. Katanya Kalau kakang baru satu dua kali kawin, maka kakang dapat menyalahkan perempuan-pere mpuan itu. Tetapi untuk yang kesekian kalinya kakang tetap tidak me mpunyai seorang anakpun" "Jadi kau akan mengatakan, bahwa akulah yang tidak ma mpu berbuat sebagai seorang laki-la ki, begitu he" wajah Ki Demang menjadi merah pada m. "Tida k kakang. Tidak" Reksatani menundukkan kepalanya "sudah aku katakan, kalau kakang hanya akan marah saja, tidak ada gunanya aku me mberi pertimbangan Akibatnya akan tidak baik. Kakang adalah saudara tuaku. Ganti orang tua. Sudah tentu aku tidak akan berani menyanggah niat kakang, apabila kakang me mang berkeras, apaboleh buat. Sudah aku katakan, bahwa aku hanya sekedar memberikan pertimbangan-pertimbangan" Ki De mangpun ke mudian terdia m sejenak. Terdengar nafasnya yang memburu, seolah-olah baru saja ia melakukan pekerjaan yang me meras segenap tenaganya. "Reksatani" berkata Ki De mang itu ke mudian "sayang. Aku sudah berketetapan hati untuk mela mar gadis itu. Tentu saja tidak tergesa-gesa. Aku harus menyiapkan diri sebelum aku mengadakan peralatan perkawinan itu" Reksatani tidak menyahut. "Gadis itu me mang tida k terla mpau cantik. Tetapi aku ingin menga mbilnya sebagai seorang isteri yang baik. Gadis itu tidak boleh jatuh ketangan anak muda cengeng yang hanya ma mpu berke lahi. Manguri, meskipun anak seorang kaya, tetapi kelakuannya agaknya memang tidak terpuji. Lebih buruk lagi, agaknya ayahnya melindunginya. Dan aku sama sekali tidak gentar, apapun yang akan dilakukannya. Aku percaya kepada Ki Jagabaya, kepadamu dan kepada bebahu yang lain, kepada para pengawal dan apalagi para pengawal khusus yang mendapat latihan keprajuritan dari prajuritprajurit Mataram"
Ki Re ksatani hanya dapat menarik nafas dala m-dala m. "Seandainya Sindangsari itu ke mudian mendapat suami yang meskipun dicintainya, Pamot, ia akan tetap berada dalam bahaya. Manguri akan dapat berbuat terla mpau banyak untuk mengganggu ketenteraman ke luarganya. Bahkan mungkin ia akan menga mbil gadis itu dengan kekerasan, sekedar untuk me lepaskan nafsu dan sa kit hatinya, meskipun ke mudian gadis itu akan dilepaskannya ke mbali. Tetapi apakah ke luarga yang demikian akan dapat bahagia?" Ki De mang berhenti sejenak "Tida k Reksatani. Untuk kebaikan semuanya, Sindangsari akan aku a mbil saja" Ki Reksatani masih tetap tidak menyahut. Kepalanya menjadi se makin tunduk. "Bagaimana pendapat mu ?" Seperti biasa Ki Re ksatani kini di sudutkan pada suatu keharusan untuk menyetujuinya, seperti setiap kali mereka berbincang tentang perempuan-pere mpuan yang akan dia mbil oleh Ki De mang untuk menjadi isterinya. "Bagaimana?" desak Ki De mang "kenapa kau dia m saja?" Ki Reksatani mengangkat wajahnya. Sekali ia berdesah, ke mudian jawabnya "Sudah a ku katakan ka kang, kalau kakang me mang berkeras hati untuk menga mbil gadis itu apaboleh buat" "Kau setuju apa t idak?" Ki Reksatani menjadi se makin bingung. Tetapi akhirnya ia menganggukkan kepalanya "Ya, aku setuju kakang" "Nah, kau me mang adikku yang baik. Kau selalu dapat mengerti perasaanku. Me mang kadang-kadang kita berbeda pendirian, tetapi akhirnya kau dapat mengerti juga" Ki Reksatani mengangguk-anggukkana kepalanya. Tetapi ia menggerutu di dala m hatinya. Bagaimanapun juga ia tidak
dapat dengan ikhlas menyetujui pendapat kaka knya. Tetapi ia me mang tida k dapat berbuat lain, kecuali menganggukkan kepalanya sambil menyetujuinya. "Reksatani" berkata Ki De mang ke mudian "a ku tidak me mpunyai kepercayaan lain, kecuali kau. Kaulah yang pada saatnya harus datang kepada keluarga Sindangsari untuk me la mar gadis itu" "Tetapi ..." Ki Re ksatani akan me njawab, namun Ki De mang me motongnya "Jangan mengelak. Kau adalah satu-satunya keluargaku. Kau adalah adikku. Tidak ada orang lain yang dapat mengerti perasaanku sedalam-dala mnya selain dari pada kau. Kaulah yang akhirnya dapat menyetujui niatku ini. Orang lain mungkin tidak. Meskipun mereka menganggukanggukkan kepala mereka, tetapi belum tentu, bahwa hal itu akan meresap sa mpai ke hatinya" "Bukan main" desah Ki Reksatani di dala m hati. Tetapi iapun mengerti benar, bahwa kakaknya mencoba menyudutkannya agar ia tidak dapat berbuat lain sa ma sekali. "Lusa kau datang kepada keluarganya. Melamar gadis itu. Kemudian akan kita tentukan hari-hari perkawinan. Tidak usah tergesa-gesa. Tetapi dengan demikian, baik Manguri maupun Pamot tida k akan me mpertentangkannya lagi" Ki Reksatani tidak mendapat kese mpatan apapun lagi. Karena itu iapun hanya dapat menundukkan kepalanya saja sambil bersungut-sungut di dala m hati. "Nah, pembicaraan kita sudah selesai" berkata Ki De mang "apakah kau sudah ma kan?" "Sudah kakang" "O, ya. Aku sudah menanyakannya" "Baiklah kakang. Kalau pe mbicaraan me mang sudah selesai, aku minta diri. Aku akan mengatur diri dan
Kekaisaran Rajawali Emas 5 Soccer Love Karya Ida Farida Ketika Elang Mencintai Dara 2

Cari Blog Ini