Ceritasilat Novel Online

Matahari Esok Pagi 5

Matahari Esok Pagi Karya S H Mintardja Bagian 5


me mbenahi hati yang agak gelisah ini, karena tugas yang berat itu" "Bukankah kau juga yang me la mar isteri-isteriku yang terdahulu?" "Ya, tetapi kali ini aga k la in kakang" dan di dala m hati Reksatani menggeram "a ku sela lu ge lisah begini setiap kali" "Baiklah. Aku a kan menentukan hari itu, kapan kau pergi kepada keluarga gadis itu. Kau harus me mbawa tukon sama sekali. Setangkep pisang raja, kain, ke mben dan sebagainya" "Tetapi itu bukan suatu kebiasaan kakang. Kalau pembicaraan telah selesai, barulah kakang memberikan peningset itu" "Sekaligus. Bukankah dengan de mikian pekerjaan akan segera selesai" Ki Reksatani menggigit bibirnya.Kemudian ia menganggukangguk kecil "Terserahlah kepada ka kang. Tetapi sebaiknya kakang berbicara dengan orang tua-tua di kademangan ini" "Aku hanya akan me mberitahukan saja kepada mereka. Tidak minta pertimbangan lagi" Ki Reksatani tidak menjawab lagi. Ia menyadari, bahwa ia tidak akan dapat merubah lagi pendirian ka kaknya. Ki Demang benar-benar ingin kawin lagi dengan seorang gadis, yang bernama Sindangsari itu. Iapun menyadari, bahwa tida k akan ada seorangpun yang akan dapat mencegahnya lagi. Orang tua-tua, para bebahu pembantunya dan siapapun juga. Karena itu, maka sejenak ke mudian Iapun berkata "Baiklah kakang, semuanya terserah kepada kakang. Aku minta diri" "Tetapi bukankah kau me nyetujui rencana ini?" "Ya, ya. Aku menyetujui" "Bagus. Kau me ma ng adikku yang baik"
Ki Reksatanipun ke mudian berdiri. Sekali lagi ia minta diri, ke mudian meninggalkan hala man Kade mangan itu dengan hati yang bergelora. Sekali-sekali ia menghentakkan kakinya sambil menggera m "Gila kakang De mang. Sungguh-sungguh gila" Tetapi ia berjalan terus. Kadang-kadang giginya ge meretak oleh luapan perasaan dan dingin mala m yang mene mbus sampai ke tulang sungsum. Bersamaan waktunya, sekelompok orang sa mbil mengendap-endap berjalan mendekati padukuhan Ge mulung. Mereka sama sekali tidak menghiraukan lagi mala m yang dingin dan silirnya angin yang basah. Yang ada di dalam angan-angan mereka adalah upah yang harus mereka terima dari Manguri, meskipun usaha mereka menangkap Pa mot gagal. Enam orang dari gerombolan Sura Sapi yang dita mbah seorang lagi itu, sema kin la ma menjadi sema kin dekat. "Kita meloncati pagar batu itu" desis Sura Sapi. Tidak ada jawaban. Tetapi orang-orang yang lain mengikuti Sura Sapi di belakangnya. "Sepi" desis Sura Sapi "aku sangka Manguri kini justru terasing dari orang-orang di sekitarnya. Seandainya ada juga peronda yang nganglang, maka rumah Manguri pasti akan di la mpaui" Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepa lanya. Sejenak kemudian mereka telah melekat dinding padukuhan. Dengan hati-hati mereka menyelusur beberapa langkah. Setelah mereka yakin bahwa tidak seorangpun yang me lihat mereka, maka seorang de mi seorang mereka berloncatan me masuki padukuhan Ge mulung. Sekali lagi mereka me mbe ku di te mpat masing-masing, ketika mereka sudah berada di dalam pagar batu. Mereka
menunggu sejenak untuk me lihat suasana. Ternyata malam me mang terla mpau sepi. "Kita menyusur pagar ini" "Kita tida k akan sa mpa i ke rumah itu" sahut salah seorang dari mereka. "Bodoh. Kita berbelok setelah kita mendekati rumahnya. Kita lewati kebun salak di sebelah ruma hnya, langsung me loncat masuk ke ha la man bela kang, tanpa melalui regol" Kawan-kawannya tidak menjawab. Mereka mengikuti saja Sura Sapi yang semakin la ma menjadi se makin mendekati rumah Manguri. "Mereka harus me mbayar" desis Sura Sapi itu di dalam hatinya "kalau t idak, ka mi akan menga mbil sendiri" Dengan hati-hati mereka maju terus. Sema kin la ma menjadi sema kin dekat. Dengan hati-hati pula mereka kini me masuki kebun salak langsung menuju kebagian belakang rumah pedagang ternak yang kaya itu. "Bukankah dinding yang tinggi itu dinding rumah Manguri" desis Sura Sapi. "Ya "ha mpir bersamaan kawan-kawannya menjawab. "Apakah kita akan me loncati dinding itu?" bertanya Temon. "Ya" Temon mengerutkan keningnya. Ke mudian katanya "Kau yakin bahwa di ba lik dinding itu tidak ada peronda?" "Tida k ada peronda di dala m hala man orang. Para peronda biasanya hanya berkeliling padukuhan lewat jalan-ja lan yang agak besar. "Maksudku peronda yang dipasang dan diupah oleh pedagang itu sendiri" Sura Sapi mengerutkan keningnya. Katanya "Di rumah itu me mang terdapat beberapa orang. Ada juga di antara mereka
yang harus di perhitungkan. Para pengawal ternak apabila pedagang itu mengirimkan ternaknya keluar daerah. Tetapi mereka pada umumnya hanya bekerja kalau pedagang kaya itu me lakukan pengiriman. Kalau tidak, mereka biasanya pulang ke rumah masing-masing. "Tetapi satu dua pasti ada yang tingga l" "Mereka tida k banyak berarti" Temon mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Apalagi mereka kini berada tepat di belakang rumah Manguri. "Aku akan naik untuk me lihat keadaan" berkata Sura Sapi. Kawan-kawannya menganggukkan kepa lanya. Dan dengan lincahnya Sura Sapi meloncat keatas dinding. Sejenak ia berjongkok, dan sejenak ke mudian ia me mberikan isyarat, bahwa hala man be lakang itu ternyata sepi. Maka berloncatanlah kelima orang yang lain susul menyusul, sehingga sejenak ke mudian, mereka berenam telah berada di hala man belakang rumah Manguri. "Kita langsung mengetuk pintu sa mping" berkata Sura Sapi. Kawan-kawannya tidak menjawab. Mereka mengikuti saja langkah Sura Sapi dengan hati-hati. Sura Sapi yang me mang pernah datang ke rumah itupun ke mudian me ngetuk pintu sa mping rumah Manguri. Perlahanlahan, beberapa kali. Yang pertama-tama mendengar ketukan pintu itu justru ayah Manguri. Karena itu, ma ka iapun segera bangkit dari pembaringannya. Perlahan-lahan ia me langkah keluar biliknya Tetapi ia t idak segera me mbuka pintu. Ketukan di pintu sa mping itu masih terdengar.
Kecurigaan Ki Sukerta itu memang beralasan. Waktunya sudah terlampau ma la m untuk seorang ta mu. Namun ketukan itu masih juga terdengar terus. Sema kin la ma se ma kin keras. Ki Sukerta bukanlah seseorang yang tidak berperhitungan. Kecurigaannya pertama-tama me mang kepada gerombolan Sura Sapi. Ia merasa, bahwa gerombolan itu pasti masih menganca m ketenangan anaknya justru karena kegagalannya. Ternyata ketukan pintu itu telah me mbangunkan Manguri pula. Ketika ia keluar dari biliknya ia melihat ayahnya termangu-mangu. Tetapi ketika ia akan berbicara, ayahnya me mberinya isyarat dengan meletakkan telunjuk jarinya di mulutnya. Manguri mengerut kan keningnya. Ia berdiri saja di tempatnya ketika ia melihat ayahnya masuk ke mbali ke dala m biliknya yang sejenak kemudian telah berdiri di muka pintu bilik itu ke mbali. Tetapi kini ia me mbawa pedangnya di la mbung. Manguri mengerutkan keningnya. Namun ke mudian iapun berjingkat masuk ke dala m biliknya pula untuk menga mbil senjatanya. Ketika ketukan pintu itu terulang ke mba li, maka ayah Manguri itupun bertanya lantang "Siapa diluar he?" Pertanyaan yang demikian kerasnya sama sekali t idak diduga oleh Sura Sapi dan kawan-kawannya. Namun ke mudian mere ka sadar, bahwa dengan demikian Ki Sukerta telah berusaha me mbangunkan orang-oranng seisi rumah itu. "Setan alas" desis Sura Sapi "agaknya Ki Sukerta tidak mau diajak berbicara" "Aku mengharap demikian" bisik Te mon "dengan de mikian kita menjadi leluasa. Kita tidak hanya sekedar minta upah yang sudah dijanjikan" "Lalu ?"
"Kita menga mbil sendiri upah yang kita perlukan. Sura Sapi mengerutkan keningnya. Dan ia mendengar lagi suara Ki Sukerta "Siapa di luar he?" Sura Sapi ragu-ragu sejenak, na mun ke mudian ia menyahut "Ka mi Sura Sapi dan kawan-kawan " Ki Sukerta yang sudah me nduga, sama sekali tida k terkejut. Tetapi Manguri mengerutkan keningnya. "Apa maksud kalian datang di mala m hari begini?" "Tida k apa-apa Ki Sukerta. Kami hanya sekedar ingin me mberikan laporan. Ka mi tida k ingin disangka-sangka bahwa kami sengaja menggagalkan usaha ka mi. Ka mi ingin me mberikan penjelasan" "Kenapa ka lian datang di ma la m begini?" "Sudah tentu. Kami tida k ingin dibantai oleh anak-anak muda Ge mulung. Kalau mereka me lihat ka mi, maka mereka akan me mukul kentongan bera mai-ra ma i menangkap ka mi seperti rampokan macan di a lun-alun Mataram" Ki Sukerta mengerutkan keningnya. Alasan itu me mang masuk akal. Na mun de mikian. Ki Sukerta masih tetap bercuriga. "Apakah Manguri dapat menerima ka mi?" Ki Sukerta tidak segera menyahut, dipandarginya Manguri yang berdiri termangu-mangu sejenak, seolah-olah ia ingin mendapat pertimbangan daripadanya. Tetapi Manguri sama sekali t idak me mberikan tanggapan apa-apa. "Bagaimana Ki Sukerta" terdengar pertanyaan itu lagi. "Tunggu" jawab Ki Sukerta sambil mendekati anaknya. "Bagaimana" bertanya Ki Sukerta perlahan-lahan. "Terserahlah kepada ayah"
Ayahnya mengerutkan keningnya. Kemudian katanya "Sebaiknya kita terima saja mereka. Apa yang mereka kehendaki selagi ayah berada di rumah. Apapun yang akan terjadi, kau tidak seorang diri" "Tetapi bagaimanakah kalau mereka menuntut yang bukanbukan" "Aku ada sekarang" Manguri me ngangguk-anggukkan kepada ayah" kepalanya "Terserah
Ayahnya masih berpikir sejenak. Katanya kemudian "Lebih baik kita selesaikan sekarang daripada mereka akan selalu mengganggumu. Kalau ayah pergi, mereka akan lebih le luasa lagi sebelumnya kita mene mukan penyelesaian" Manguri tidak menjawab. "Biarlah, kita akan menerima mereka. Aku akan me mbuka pintu. Jangan terlampau dekat di belakang ayah. Kalau aku me merlukan jarak untuk menjaga diri. Tetapi kaupun harus bersiap pula apabila terjadi sesuatu. Aku tidak me mpercayai mereka sepenuhnya. Manguri menganggukkan kepa lanya. Tangannya kini telah me lekat di hulu pedangnya. Dengan dada yang berdebar ia me langkah beberapa langkah di belakang ayahnya. Dengan penuh kewaspadaan ayahnya mendekati pintu. Selangkah de mi se langkah. "Bagaimana Ki Sukerta?" terdengar suara Suara Sapi di luar. Ki Sukerta tidak menyahut. Tetapi maju lagi beberapa langkah mendekati pintu. Tepat di muka pintu, ayah Manguri itu masih juga raguragu. Tetapi kemudian ia menetapkan keputusannya. Sekarang semuanya harus selesai.
Perlahan-lahan tangannya meraba selarak pintu. Perlahanlahan dan sangat berhati-hati. Sejenak ke mudian ma ka selarak pintu itu sudah terlepas. Kini tangannya tiba-tiba menjadi ge metar ketika ia menarik daun pintunya dengan tangan kirinya, sementara tangan kananya telah melakat di hulu pedangnya. "Aku akan me mbukakan pintu" desisnya. Na mun t idak ada jawaban. Yang terdengar adalah desah nafas gerombolan Sura Sapi yang tegang di luar pintu. Akhirnya pintu sa mping itupun terbuka. Ki Sukerta menarik nafas dalam-dala m ketika ia melihat beberapa orang yang berdiri di luar pintu tanpa menggengga m senjata ditangan masing-masing. Apalagi ketika Sura Sapi sendiri menganggukkan kepalanya sambil berkata "Sela mat ma la m Ki Sukerta" "Sela mat mala m "tanpa sesadarnya Ki Sukerta menjawab. "Ka mi ingin bertemu dengan Manguri" Ki Sukerta tidak menyahut. Tetapi ia berpaling me mandang Manguri yang berdiri termangu-mangu. Namun Manguripun ke mudian me langkah maju. Dengan penuh kebimbangan ia bertanya "Apakah keperluan ka lian?" Sura Sapi termenung sejenak, kemudian "Aku ingin menya mpaikan laporan. Aku sudah menerima tawaranmu. Adalah kewajibanku untuk me laporkan apa yang sudah terjadi, supaya tidak hanya saling sangka-menyangka" Menguri mengangguk-anggukkan kepalanya "Baik. aku tidak berkeberatan" Sura Sapi mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia menunggu, tetapi baik Manguri maupun ayahnya masih juga berdiam diri sa mbil berdiri di pintu sa mping.
"Apakah ka mi tidak ka lian persilahkan masuk?" bertanya Sura Sapi ke mudian. Manguri menjadi ragu-ragu sejenak. Dipandanginya wajah ayahnya untuk mendapat pertimbangan. Tetapi ayahnya kemudian berkata "Sudah terlampau ma la m. Kau dapat berkata seperlunya. Marilah kita duduk saja di pendapa" "Sangat berbahaya bagi ka mi" desis Sura Sapi. "Pintu regol sudah tertutup. Apakah kalian dapat me mbuka dari luar?" "Ka mi tidak mela lui pintu regol" "Nah, kalau begitu, silahkan na ik ke pendapa" Kini gerombolan Sura Sapi itulah yang saling berpandangan. Namun akhirnya Sura Sapi juga lah yang harus menga mbil keputusan "Apakah kalian menja min bahwa kehadiran ka mi di pendapa tida k akan menumbuhkan kecurigaan seandainya ada peronda yang lewat?" "Sudah aku katakan, pintu regol rumah ka mi telah ka mi selarak" "Tetapi mungkin pula seseorang menjenguk lewat dinding batu disekitar ha la man" "Mereka tidak akan melihat ka mi. Pendapa itu gelap. Kami tidak menaruh la mpu di sana" Sura Sapi akhirnya mengangguk-anggukkan kepalanya "Baik, ka mi akan naik ke pendapa" Sura Sapi dan kawan-kawannya itupun ke mudian berjalan mengitari rumah Ki Sukerta menuju ke pendapa di bagian depan Setelah menutup pintu samping dan nenyelaraknya, maka Ki Sukertapun pergi pula ke pendapa lewat bagian dalam rumahnya. Namun sebelum ia keluar dari pringgitan ia
berbisik kepada Manguri "Manguri, aku tidak me mpercayai mereka sepenuhnya. Pergilah ke belakang sebentar" "Untuk apa ayah?" "Panggil La mat" Manguri mengagguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dengan tergesa-gesa ia pergi ke belakang sementara ayahnya me mbuka pintu dan keluar ke pendapa. Perlahan-lahan Manguri mengetuk pintu La mat. Ia tidak usah mengulangi, karena pintu itu segera terbuka. "Pe malas kau" desis Manguri "lihat, di pendapa ada enam orang dari gerombolan Sura Sapi" "Kenapa mereka datang ke mari?" bertanya La mat. "Aku juga bertanya begitu, kenapa mereka ke mari" sahut Manguri "tetapi itu t idak pent ing. Awasi mereka dari luar pendapa. Ayah dan aku akan mene muinya" Lamat mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tiba-tiba ia bertanya "Kenapa ena m orang?" ?" Ya, kenapa" Aku t idak tahu" "Maksudku, gerombolan Sura Sapi itu hanya terdiri dari lima orang. Bukankah begitu?" Manguri mengerutkan keningnya. Semula ia sama sekali tidak me mperhatikan jumlah itu. Tetapi ke mudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya "He, kau agaknya dapat juga menghitung jumlah itu. Aku t idak tahu siapa yang seorang lagi. Tetapi awasi mereka. Kau tidak boleh tidur saja seperti kerbau" Lamat menganggukkan kepalanya dengan tatapan mata yang kosong Manguripun ke mudian dengan tergesa-gesa meninggalkan bilik itu, dan masuk ke ruang dala m, langsung menuju ke pendapa.
Sepeninggal Manguri, La mat menarik nafas dalam-dala m Ia sudah mengira bahwa hal yarg serupa itu dapat terjadi. Masalahnya tidak akan sekedar berhenti sa mpa i kegagalan itu. Dengan tanpa sesadarnya Lamat mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebenarnya ia sudah mendengar meskipun tidak begitu jelas, Ki Sukerta berkata lantang. Ia sudah terbangun sebelum Manguri me ngetuk pintu biliknya. Karena itu, maka begitu Manguri mengetuk, pintunya sudah dibukanya. Lamat yang tinggi, besar dan berkepala botak itupun ke mudian mera ih senjatanya dari dinding biliknya. Tetapi golok itu disangkutkannya kemba li. Agaknya ia mempunyai perhitungan lain, karena ke mudian ia melangkah ke sudut biliknya untuk menga mbil sebatang tombak pendek. Tombak pendek yang sangat sederhana dan sama sekali tidak pantas disebut sebatang tombak. Lebih tepat disebut sebatang galah berujung besi. Tetapi galah itu adalah kayu berlian betapapun kasar buatannya. "Mudah-mudahan aku tida k me mbunuh" desis La mat. Dan sesuai dengan senjatanya, maka kemungkinan me matikan adalah me mang kecil sekali. Lamatpun ke mudian me langkah meninggalkan biliknya setelah ia menutup pintunya ke mbali. Ke mudian berjalan mengendap-endap ke bagian depan ha la man rumah itu. Lamatpun ke mudian me langkah meninggalkan biliknya setelah ia menutup pintunya ke mbali. Ke mudian berjalan mengendap-endap ke bagian depan hala man rumah itu. Ketika ia melewati kandang ternak, ia tahu benar bahwa ada seorang pengawal ternak yang tidur di dalamnya, yang adalah kebetulan sekali ia tidak pulang ke rumahnya yang agak jauh. Tetapi La mat tida k me mbangunkannya. Kalau keadaan berkembang se makin buruk, orang itu pasti akan terbangun dengan sendirinya.
Ketika ia sa mpai ke sa mping pendapa, maka La matpun segera bersembunyi di balik gerumbul perdu. Meskipun tidak begitu jelas, namun matanya yang tajam dapat melihat bayangan kehitam-hita man duduk dala m sebuah lingkaran di pendapa yang sama seka li tidak berla mpu. Bahkan meskipun la mbat, Lamat dapat menangkap pembicaraan orang orang di atas pendapa itu. Kadang-kadang ia mendengar jelas, tetapi kadang-kadang ia sama sekali tidak mendengar se lain ge meremang yang tidak diketahui artinya. "Ki Sukerta" berkata Sura Sapi kemudian "yang penting bagi ka mi se karang adalah me mberi tahukan kepada Manguri, kenapa ka mi telah gagal mala m itu" Ki Sukerta mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Baik, katakanlah" Sura Sapi beringsut sedikit, ke mudian "Manguri. Ternyata kami telah terjerumus ke dala m kesulitan mala m itu" Manguri mengerutkan keningnya. Pilihan kata-kata itu telah mendebarkan jantungnya. "Ternyata Pamot telah bersiap bersama beberapa orang kawan-kawannya menyambut kedatangan ka mi. Bahkan ke mudian para perondapun berama i-ra mai berlari-larian menonton perke lahian yang barangkali mereka anggap sangat menarik itu" "Ya, aku dengar Pamot telah bersiap" sahut Manguri "itu me mbuat aku sangat menyesal. Kegagalan kalian telah me mbuat na maku dan ke luargaku se ma kin sura m" "Dan me mbuat na ma gerombolan Sura Sapi me njadi bernoda" potong Sura Sapi "kami tidak pernah gagal. Rencana kami se lalu dapat ka mi selesaikan dengan ba ik. Tetapi agaknya kami telah terjerumus ka li ini" "Kenapa ka lian merasa terjerumus?" sela Ki Sukerta.
"Ka mi menjadi bertanya-tanya. Darimana Pamot dapat mengetahui bahwa ka mi a kan mendatanginya ke sawah ma la m itu ?" gera m Sura Sapi. Lamat yang kebetulan mendengar percakapan itu menjadi berdebar-debar pula. "Akulah yang seharusnya bertanya" berkata manguri "kenapa kalian sampai terbentur pada anak-anak Gemulung yang sudah terlatih itu. Agaknya kalian terlalu yakin akan kekuatan kalian, sehingga kalian menjadi kurang berhati-hati" Sura Sapi mengerutkan keningnya. Kemudian iapun berkata dengan nada yang dalam "Jangan me mutar balikkan keadaan. Aku dan kawan-kawanku tidak gila untuk berbuat demikian. Seandainya kami ma mpu me mbunuh orang sepedukuhan ini, namun ka mi pasti akan menga mbil jalan yang paling mudah. Apalagi upah yang kau janjikan itu sama se kali t idak me madai. Apakah ka mi berusaha untuk me mpersulit diri ka mi sendiri?" Sura Sapi berhenti sejenak, lalu "nah, coba lah kau lihat dirimu sendiri. Siapakah yang paling mungkin me mbocorkan rencana ini" "Akupun tida k gila" sahut Manguri "aku ingin Pa mot tertangkap hidup, supaya aku dapat me mberinya peringatan untuk menjauhi gadis itu" "Tetapi kau tidak terlampau biasa menyimpan rahasia seperti kami, sehingga mungkin tanpa kau sadari, kau sudah mengatakannya kepada siapapun" "Jangan mencari-cari" jawab Manguri. "Tida k. Kami tidak me ncari-cari. Tetapi baiklah kita tidak me mpersoalkan siapakah yang bersalah dan siapakah yang benar. Kedatanganku kemari me mang tidak untuk berbuat demikian" Sura Sapi berhenti sejenak, la lu "tetapi bagaimanapun juga ka mi sudah me lakukan tugas ka mi.
Karena itu ka mi ingin menerima upah ka mi yang sudah kau janjikan" "Gila kau" Manguri ha mpir berteriak "aku sudah mengatakan kepada kalian, kalau kalian gagal, maka sekepingpun aku t idak a kan me mbayar upah itu. -ooo000de000wi000oooMatahari Esok Pagi Karya : SH Mintardja Jilid 3 "MANGURI" berkata Sura Sapi ke mudian "jangan bersikap terlampau keras. Kegagalanku bukan karena kesalahanku dan kawan-kawanku. Kita tidak me mbicarakan ke mungkinan yang ternyata telah terjadi itu, Kita tidak membicarakan, bagaimana masalah upah itu kalau ternyata ada pihak lain yang campur tangan. Menurut pengertianku, kau tidak akan me mbayar kalau ka mi gagal menangkap Pa mot. Pa mot sendiri tanpa orang lain, seperti yang kau katakan, bahwa Pamot selalu seorang diri di gubugnya di mala m hari. Tetapi ternyata tidak. Ternyata ada orang lain. Bahkan enam atau tujuh orang. Nah, apa katamu ?" "Tida k. Aku tetap pada janjiku. Kalau kalian tidak berhasil me mbawa Pa mot ke mari, upah itu tidak a kan aku bayar" "Tetapi ka mi menuntut" suara Sura Sapipun me njadi semakin keras "kau jangan menganggap ka mi seperti anakanak yang takut kau gertak. Kami sudah bekerja. Kami sudah bertempur, dan ka mi ha mpir terjebak karenanya, yang menurut perhitunganku adalah karena kebodohanmu. Nah, sekarang kau masih akan ingkar" "Tutup mulut mu" bentak Manguri pula "a ku berpegang teguh pada janji. Kalau kalian laki-laki jantan, kalian juga tidak akan melanggar janji" "Ka mi tida k melanggar janji. Tetapi kemungkinan yang terjadi itu tidak kita bicarakan sebelumnya. Karena itu, karena kami sudah me lakukan tugas kami, dan kami me mang sudah benar-benar melakukan perke lahian sepenuh tenaga kami, maka kau harus mengerti. Ka mi tidak saja me meras tenaga untuk mencoba menangkap Pa mot seperti yang seharusnya kami la kukan, tetapi kami harus juga me mpertaruhkan nama kami"
"Aku tidak peduli" jawab Manguri "aku hanya mau me mbayar upah itu atas penyerahan Pamot. Selain itu, aku tidak mau tahu" "Manguri" Sura Sapi mulai me mbentak "kau jangan menutup mata atas kenyataan itu. Apakah kau sengaja menjerumuskan ka mi dengan janji itu?" Wajah Manguripun menjadi merah. Tetapi sebelum ia berbicara, ayahnya telah menengahinya "Sudahlah, jangan bertengkar lagi. Setelah aku mendengar perdebatan kalian, maka aku ingin mengusulkan jalan tengah yang barangka li dapat ditempuh. Kita me mang tidak dapat bersitegang atas janji yang sudah dibuat. Kenyataan yang pahit bagi kita di kedua belah pihak, me merlukan pengertian yang cukup" Ki Sukerta berhenti sejenak, lalu "aku berpendapat, bahwa sebaiknya kita masing-masing harus mau mengorbankan nilai perjanjian itu. Bagaimana kalau Manguri me mbayar separo dari upah yang dijanjikan?" Keduanya terdiam sejenak. Na mun ke mudian Sura Sapi mengge lengkan kepalanya "Tidak. Harga tenaga ka mi tidak separo-separo. Sepenuhnya itupun sebenarnya kami merasa berkeberatan karena ternyata kami telah terjebak. Jangan menawar-nawar lagi" "Bukan menawar, bukan pula merendahkan harga kalian" jawab ayah Manguri "tetapi kami dan ka lian masing-masing telah menga la mi hal-hal yang tidak kita duga-duga sebelumnya " "Harga tenaga ka mi bukan se maca m ketela pohung yang dapat ditawar-tawar" ternyata Temon yang selama ini menahan nafas, tidak lagi dapat mengendalikan diri "ka mi minta sepenuhnya dan ditambah lagi dengan harga kecuranganmu"
Ki Sukerta mengerutkan keningnya, Ditatapnya wajah Temon yang samar-sa mar di dala m kege lapan. Tetapi wajah itu tidak dapat dilihatnya dengan jelas. "Jangan mencoba menawar lagi" katanya "aku benar-benar tidak telaten berbicara seperti sedang berjual be li dagangan" Ki Sukerta tidak segera menjawab. Ia merasa tidak senang mendengar jawaban yang terlampau kasar itu. Tetapi ia masih berdiam diri. Yang tidak dapat mengendalikan dirinya adalah Manguri. Tiba-tiba saja ia berkata lantang "kalau kalian tidak mau, ka mi tidak akan me mbayar sama se kali" "Ka mi akan menga mbil sendiri" teriak Te mon. Suasana menjadi se makin la ma se makin tegang. Ayah Manguri masih ta mpak berpikir. Namun agaknya ia tidak mau bertengkar lebih jauh lagi. Ia masih me mpunyai terlampau banyak urusan dengan ternaknya yang tersebar di beberapa tempat. Karena itu, apabila ia terpancang dan terlibat dalam persoalan Sura Sapi, urusannya pasti akan terganggu pula. Karena itu, setelah berpikir sejenak ia berkata kepada Manguri "Manguri, biarlah kita penuhi saja permintaan itu. Bagi kita, uang itu tidak terlampau banyak artinya. Tetapi dengan demikian kita sudah tidak me mpunyai persoalan lagi dengan mereka" Manguri me ngerutkan keningnya "Tetapi, dengan de mikian kita secara tidak langsung mengakui bahwa kita telah bertindak salah" "Tentu tidak. Kita me mbayar upah yang sudah dijanjikan. Itu saja. Tanpa pengertian lain" Manguri t idak menyahut. Sejenak ia merenung. Na mun sejenak ke mudian kepa lanya terangguk kecil.
"Begitulah" berkata ayah Manguri kepada Sura Sapi "ka mi me mang tidak ingin bertengkar. Ka mi akan me menuhi permintaan kalian. Upah yang sudah dijanjikan itu akan dibayar oleh Manguri" Sura Sapi mengerutkan keningnya. Sedang Temon beringsut setapak maju. Perlahan-lahan ia mengga mit adiknya sebagai suatu isyarat. Tetapi Sura Sapi tidak segera mengerti maksud kakaknya, sehingga kaena itu ia masih tetap berdia m diri. Namun di setiap kepala keena m orang itu terasa getar ke menangan yang melonjak-lonjak. Mereka melihat seolaholah Ki Sukerta dan Manguri sa ma sekali tidak berdaya menolak tuntutan mereka. Ternyata tanpa kesulitan apapun mereka bersedia me menuhi tuntutan yang mereka ajukan. "Kenapa ka mi t idak me nuntut lebih dari itu" ha mpir bersamaan timbul pertanyaan itu di da la m hati mereka. Agaknya Temonlah yang paling t idak dapat mengekang dirinya. Perlahan-lahan ia berbisik "Hanya itu" Perkelahian yang terjadi dengan tujuh orang itu sa ma sekali tida k kau hitung?" Tetapi suara bisik itu terla mpau keras sehingga Manguri masih mendengarnya. "Apalagi yang akan kalian minta?" anak muda itu tiba-tiba me mbentak. Sura Sapi menarik nafas dalam-dala m. Pertanyaan kakaknya me mang telah ada di dala m otaknya. Tetapi ia tidak segera mengucapkannya, karena ia ragu-ragu, apakah di dalam hala man itu tidak ada orang-orang yang benar-benar harus dipertimbangkan. "Bagaimana?" Te mon se makin tidak sabar.
"Aku kira pe mbicaraan kita sudah selesai" berkata ayah Manguri "Tidak ada lagi persoalan-persoalan baru" "Tentu ada" jawab Temon "upah itu adalah hak yang harus kami terima. Tetapi ganti tenaga yang sudah kami curahkan di dalam perkelahian itu harus diperhitungkan. "Persetan" sahut Manguri "itu bukan urusan kami. Seandainya ada diantara kalian yang mati se kalipun ka mi sama sekali tidak peduli. Itu adalah tanggung jawab yang kalian. Apalagi setelah ka mi me mbayar upah kalian" Tiba-tiba terdengar suara Te mon tertawa "He, ka lian anggap ka mi ini ana k-anak ingusan. Manguri, kau jangan mencari perkara. Aku kira ayahmu juga tidak senang terjadi keributan di ha la man rumah ini. Bagi ayahmu dan bagimu, agaknya lebih baik kalau ka mi mengajukan permintaan itu daripada ka mi harus menga mbil sendiri. Dengan me menuhi permintaan ka mi itu masalahnya akan segera selesai. Ayahmu yang me mpunyai seribu maca m persoalan itu tidak akan terganggu lagi oleh masalah-masalah yang tidak berarti apaapa. Aku yakin bahwa kalian menyimpan uang sepuluh atau duapuluh kali lipat dari yang akan ka mi minta" "Tida k" Manguri ha mpir berteriak "ka mi tidak akan me mberi apa-apa lagi" "Jangan begitu" Sura Sapilah yang berbicara "sebaiknya kalian me mpertimbangkan. Ki Sukerta agaknya ma mpu berpikir lebih ba ik dari Manguri. Darah muda Manguri yang masih meluap-luap itu kadang-kadang dapat mence lakankannya. Bukankah begitu Ki Sukerta?" Kini Ki Sukerta menyadari keadaannya. Sikapnya yang lunak itu ternyata telah disalah artikan. Orang-orang itu menganggap bahwa ia me njadi ketakutan dan tida k berani menolak tuntutan mereka. Ternyata tuntutan gerombolan Sura Sapi itu se makin la ma menjadi se makin berke mbang.
Karena itu, kini Ki Sukertapun harus menga mbil sikap Kalau ia mau mundur ia harus bersedia menyerahkan isi rumahnya kepada gerombolan Sura Sapi itu. Tetapi ka lau tidak, ia harus bersikap tegas. "Bagaimana Ki Sukerta?" bertanya Sura Sapi "Aku kira lebih baik bagimu untuk me menuhi permintaan kami yang tidak berarti itu. Besok kau akan segera mendapatkan gantinya. Lima, sepuluh atau duapuluh ka li lipat. Ka mi t idak akan mengganggu ka lian lagi" Tetapi Sura Sapi, Te mon dan kawan-kawannya terkejut ketika ia ke mudian mendengar suara Ki Sukerta yang berubah "Tida k. Ka mi tida k akan me mberikan apa-apa kepada kalian. Yang sudah aku janjikan, me menuhi upah yang sudah di sanggupkan Manguri itupun aku cabut. Ternyata kalian menyalah artikan kelunakan sikapku. Kalian sangka bahwa kalian akan dapat me meras ka mi?" Wajah Sura Sapi menjadi merah pada m. Apalagi Te mon yang darahnya lebih cepat mendidih. Sejengkal ia beringsut sambil berkata "Ki Sukerta, apakah kau menyadari katakatamu itu?" "Tentu. Aku menyadarinya. Aku sadar bahwa apabila kalian berani, kalian akan menga mbil cara yang biasa kalian pergunakan. Kekerasan" "Nah, kau me ngerti. Aku minta kau pertimbangkan sekali lagi. Dengan siapa kau berhadapan?" "Aku tahu, aku berhadapan dengan Sura Sapi. Tetapi kalianpun harus tahu, siapa Ki Sukerta" Wajah Sura Sapi menjadi merah padam. De mikian juga Temon dan kawan-kawannya. Mereka merasa tersinggung oleh sikap Ki Sukerta, yang seolah-olah langsung menantangnya. Namun de mikian merekapun tidak dapat menghindari kenyataan, bahwa Ki Sukerta me mang tidak dapat diabaikan. Ki Sukerta yang sudah terlampau sering
me lakukan perjalanan tidak saja di daerah Mataram, tetapi juga sampai ke wilayahnya yang tersebar itu, pasti me mpunyai ke ma mpuan yang cukup untuk me mbe la dirinya. Meskipun demikian Sura Sapi me mang sudah me mperhitungkan ha l itu. Karena itu, ma ka dengan suara yang bergetar Sura Sapi berkata "Ki Sukerta. Jadi Ki Sukerta ingin me mbuat persoalan yang kecil ini menjadi perselisihan yang mungkin akan menimbulkan benturan diantara kita?" "Tida k. Aku tida k ingin" Sura Sapi mengerutkan keningnya "Jadi kenapa Ki Sukerta seakan-akan telah menantang ka mi?" "Siapa yang menantang?" Sura Sapi terdia m sejenak. Tetapi sebelum ia berkata selanjutnya, Temon telah mendahuluinya "Kau me mang terlampau banyak bicara. Berikan upah itu dan sekedar pengganti keringat kami yang telah terlanjur menitik. Lima ka li dari upah yang sudah ditentukan. Kalau tidak, ka mi akan menga mbil seratus kali lebih banyak dari itu" "Tida k" "Nah, kalau begitu kau benar-benar ingin ke kerasan" "Aku tidak ingin. Tetapi aku juga tidak mau me mberi apaapa kepada kalian. Kalau kalian sedikit me mpunyai otak, bertanyalah kepada diri sendiri. Siapakah yang menginginkan keributan. Kalau kau mengajukan permintaan yang tidak masuk akal, dan aku tidak mau me menuhinya, apakah sudah wajar, bahwa akulah yang menginginkan keributan" Kalau kau mau mera mpok ka mi dan ka mi me mpertahankan hak ka mi, kamikah yang me mbuat keonaran?" "Persetan" geram Sura Sapi "berikan yang ka mi minta" "Tida k. Aku tida k akan me mberikan apapun"
"Huh, apakah kalian akan me lawan Sura Sapi" Aku kira kaupun sudah dipencilkan dari pergaulan padukuhan ini. Aku kita tidak akan ada peronda yang datang membantumu seandainya kalian se mpat me mukul tanda bahaya" "Aku tidak me merlukan orang lain. Aku sudah cukup matang untuk bertinda k sendiri. Sadari ini, Di perjalanan, di hutan-hutan dan diara-ara yang panjang, aku tidak me merlukan bantuan orang lain apabila ada penyamunpenyamun yang mencegat perjalananku" "Setan alas" Sura Sapi hampir berteriak "aku me mang harus me mbunuh seisi rumah ini. Tidak seorangpun yang akan menyangka bahwa ka mi yang me lakukan. Biarlah besok Pa mot ditangkap oleh Jaga-baya Kepandak. Tuduhan pertama pasti jatuh kepadanya dan keluarganya termasuk anak-anak muda yang dipersiapkan me lawan ka mi itu" "Aku tidak a kan menghiraukan apa yang akan dikatakan orang. Tetapi seandainya kamilah yang berhasil me mbunuh kalian berena m dan me le mparkan kepojok desa, tidak seorangpun yang akan menyangka, bahwa kamilah yang telah menumpas gerombolan Sura Sapi yang terkenal itu. Ki Jagabaya pasti akan menyangka bahwa kalian telah dibunuh beramai-ra mai oleh orang-orang Ge mulung. Na mun seandainya ada orang yang melihat bahwa kamilah yang telah me mbunuh ka lian, maka mereka akan berterima kasih kepada kami. "Gila kau" teria k Sura Sapi "aku me mang harus me mbunuh kalian dan menga mbil se mua milik ka lian. Aku tidak peduli lagi, apakah itu merupakan upah kaliah atau bukan" "Langkahi mayat ka mi" geram ayah Manguri. Temonlah yang tidak dapat menahan hatinya. Tiba-tiba ia me loncat berdiri sa mbil me narik senjatanya, sebuah golok yang besar meskipun tidak begitu panjang.
"Aku dapat memotong paha kerbau dengan sekali gores" desisnya "bagaimana dengan leher kalian?" "Aku tidak sedungu kerbau" Manguripun sudah meloncat berdiri pula dengan senjata di tangan. Maka berloncatanlah orang-orang yang berada di pendapa itu. Tiba-tiba saja mereka sudah me nggengga m senjata masing-masing. "Kalian me mang terla mpau bodoh" gera m Sura Sapi, lalu "kalian lebih mencintai harta kalian daripada nyawa Kau masih akan dapat mencari harta dengan mudah, tetapi kau tidak akan dapat me mbeli nyawa dima napun dengan kekayaan yang betapapun banyaknya" Ki Sukerta tidak menjawab. Tetapi dengan garangnya ia berdiri tegak di atas kakinya yang renggang. Sambil menyilangkan pedangnya di dada ia merendah sedikit pada lututnya. Gerombolan Sura Sapi itu mulai bergerak me mencar untuk mengepung Ki Sukerta dan Manguri yang kini berdiri berlawanan arah. Namun Manguri masih mencoba menebarkan pandangan matanya, mencari di mana La mat bersembunyi. Dala m keadaan yang tegang itulah, maka muncul seseorang yang bertubuh raksasa dari balik dedaunan. Dengan tenangnya ia berjalan naik keatas pendapa sambil menjinjing tomba knya. Sejenak ia berdiri di bibir pendapa itu sambil me lihat suasana yang sudah mencapai puncak ketegangannya. Ternyata kehadirannya telah mendebarkan jantung Sura Sapi dan kawan-kawannya. Tetapi mereka me mang sudah me mperhitungkan, bahwa di hala man rumah itu ada seseorang raksasa yang dungu. Namun menurut Manguri sendiri, raksasa itu sa ma se kali tidak berhasil menangkap
Pamot, sehingga dengan demikian, maka raksasa itu adalah raksasa yang jinak. "Ikat raksasa itu" perintah Sura Sapi kepada orangorangnya "biarlah aku dan kakang Temon menangkap pedagang yang sombong ini beserta anaknya " Beberapa orang saling berpandangan. Namun ke mudian tiga dari anak buah Sura Sapi memisahkan diri menyongsong Lamat yang me langkah se makin dekat. Lamat masih tetap melangkah dengan tenang. Namun ke mudian ia berhenti ketika ia me lihat tiga orang menyongsongnya. Sambil menarik nafas dala m-dala m ia meraba-raba tangkai tomba knya yang kasar. Sejenak ia me lihat tiga orang yang lain berhadapan dengan Ki Sukerta dan anaknya Manguri. Sebelum mereka mulai menggerakkan senjata-senjata mereka, tiba-tiba mereka terkejut ketika mereka mendengar langkah seseorang berlari-lari. Serentak mereka berpaling, dan merekapun me lihat seseorang dengan tergesa-gesa meloncat naik ke pendapa. Sejenak ia berdiri me matung sa mbil menggosok-gosok matanya. Agaknya ia terkejut dari tidurnya dan dengan tergesa-gesa berlari ke luar. Orang itu adalah pengawal yang tidur di kandang ternak. "Apa yang telah terjadi ?" desisnya. "Hati-hatilah" sahut La mat. Orang itu maju selangkah mendekati La mat. "Lindungilah Manguri" bisik La mat lirih. Orang itu kini menyadari apa yang sedang dihadapinya. Karena itu maka iapun segera menarik pedangnya. Perlahanlahan ia ma ju mende kati Manguri yang berdiri di belakang ayahnya beradu punggung. Lamat menyadari bahwa untuk me lawan tiga orang seka ligus adalah pekerjaan yang sangat
berat baginya. Dan tiga orang ini adalah gerombolan Sura Sapi. Tetapi Sura Sapi sendiri agaknya berusaha untuk dapat berhadapan langsung dengan Ki Sukerta. "Aku harus bertahan. Hanya bertahan dan mengikat ketiganya dalam perkelahian supaya salah seorang dari mereka tidak dapat meninggalkan arena dan me mbantu Sura Sapi menghadapi Ki Sukerta" berkata La mat di dala m hatinya. Demikianlah, maka di pendapa itu terjadi dua lingkaran yang akan menjadi arena perkelahian. La mat yang menghadapi tiga orang gerombolan Sura Sapi dan di lingkaran yang lain, tiga orang berhadapan dengan tiga orang pula. Tetapi dua diantara yang tiga itu adalah Sura Sapi sendiri dan kakaknya Temon yang selama ini tinggal di kaki Gunung Kendeng. "Apakah ini keputusanmu Ki Sukerta?" "Sura Sapi masih bertanya. "Ya" jawab Ki Sukerta Apalagi kini di pendapa itu telah hadir La mat dan seorang pengawal upahannya. "Bagus" desis Te mon "aku tida k akan pernah me lupakan sambutan yang hangat ini sa mpai aku ke mbali ke Gunung Kendeng" Ki Sukerta tidak menjawab. Tetapi ia bersiaga sepenuhnya. Untunglah bahwa pengawal ternaknya itu berada di sampingnya. Ia akan dapat membantu melindungi Manguri apabila ia segera terdesak. Sejenak ke mudian Sura Sapi melangkah maju. Ia bergeser beberapa langkah ke samping, kemudian tiba-tiba saja ia me loncat menyerang Ki Sukerta dengan garangnya. Tetapi Ki Sukerta benar-benar telah bersiap menghadapi serangan itu. Dengan tangkasnya ia mengelak, dan bahkan pedangnyapun segera terjulur lurus mengarah ke la mbung Sura Sapi.
Sura Sapi menggeliat untuk menghindari ujung pedang itu, dengan selingkar gerakan yang cepat, ia menyerang mendatar. Ki Sukerta yang gagal menyentuh la mbung lawan terpaksa meloncat ke sa mping. ketika senjata lawannya menya mbarnya. Karena sura Sapi sudah mulai, maka yang lainpun segera berloncatan pula. Temon segera menyerang Manguri, tetapi pengawal ternak yang ada di sampingnya segera mene mpatkan dirinya untuk melawan. Sedang orang yang lain lagi, mau tidak mau harus berhadapan dengan Manguri. Di lingkaran perkelahian yang lain, ketiga orang gerombolan Sura Sapi itupun segera menyerang Lamat hampir berbareng. Tetapi La mat yang meskipun tenang-tenang saja itu, ma mpu menghindari mereka dengan cepat. Selangkah ia mundur, ke mudian me lingkar sebuah t iang pendapa sa mbil mengangkat tombaknya. Ketika sebuah ujung pedang terjulur kedadanya, maka tangkai tombaknya langsung me mukul punggung pedang itu Demikian kerasnya sehingga hampir saja pedang itu me loncat dari tangan. Orang yang hampir kehilangan pedang itu berdesis. Meskipun ia baru mulai, tetapi segera ia me ndapat gambaran kekuatan La mat yang me mang luar biasa itu. Ayunan tangkai tombak yang tampaknya belum dila mbari dengan sekuat tenaga itu saja, sudah cukup menggetarkan jari-jarinya. Tetapi orang itu sa ma sekali tidak mengeluh, dan bahkan sama sekali berusaha untuk tidak menumbuhkan kesan, bahwa kekuatan La mat me mang luar biasa. Ia tidak mau menumbuhkan kecemasan dan kebimbangan di hati kawankawannya. Demikianlah muka perkelahian di atas pendapa itupun segera menjadi sema kin seru. Lamat yang harus melawan tiga orang, selalu berusaha untuk me nghindari serangan-serangan
yang datang dari berbagai jurusan. Tiang-tiang di pendapa rumah itu agaknya dapat membantunya. Setiap kali ia berperisai tiang-tiang rendapa, kemudian me loncat maju sambil menjulurkan ujung tomba knya yang tidak begitu tajam itu. Sedang Sura Sapi sendiri berkelahi mati-matian untuk segera dapat menundukkan Ki Sukerta. Tetapi ternyata seperti katanya sendiri, Ki Sukerta yang selalu menjelajahi daerah yang luas itu benar-benar seorang yang me mang me mpunyai bekal untuk mela akan pekerjaannya yang berat. Ternyata ia sama isekali tidak dapat segera dikuasai oleh Sura Sapi. Bahkan Ki Sukerta masin mendapat kese mpatan untuk seka lisekali me lihat anaknya yang dengan susah payah me mpertahankan dirinya. Tetapi Ki Sukerta masih belum mence maskan Manguri, karena Manguri agaknya masih ma mpu bertahan. Seperti Lamat, Manguri dapat me manfaatkan tiang-tiang pendapa untuk me mperpanjang perlawanannya. Sehingga Ki Sukerta masih dapat me musatkan perlawanannya atas Sura Sapi sendiri. Temon tidak terla mpau banyak me mpunyai kelebihan dari pengawal ternak Ki Sukerta, meskipun segera tampa k, bahwa ia akan berhasil me menangkan berkelahian itu pada suatu saat apabila mereka dibiarkannya berkelahi seorang lawan seorang. Sementara itu La mat berusaha untuk tetap mengikat ketiga lawannya. Ia melihat bahwa hanya Ki Sukerta sajalah yang agaknya akan ma mpu mengimbangi lawannya untuk waktu yang lama. Tetapi melawan tiga orang gerombolan Sura Sapi, merupakan pekerjaan yang berat pula bagi La mat. Ia masih tetap sadar bahwa sebaiknya ia tidak mela kukan pembunuhan.
Karena itu maka La mat tida k me mpergunakan se luruh kekuatannya di dala m perlawanannya. Meskipun seka li-seka li ia menyerang, namun sebagian terbesar yang dilakukannya adalah menghindar dan menangkis. Apalagi kelincahan lawanlawannya kadang kadang memang agak me mbingungkannya, sehingga setiap kali ia selalu meloncat menga mbil jarak dari ketiga lawan-lawannya. Namun la mbat laun La mat tidak dapat berkelahi dengan caranya. Ketika ujung pedang salah seorang gerombolan Sura Sapi itu menyentuh kulit lengannya, sehingga darahnya menitik, sadarlah ia bahwa ia tidak sedang bermain-ma in. Ki Sukerta, Manguri dan pengawal yang seorang itupun sedang terancam bahaya ke matian apabila keadaannya tidak segera berubah. Karena itu, La mat yang ke mudian dilanda oleh kebimbangan dan keragu-raguan itu terpaksa mencari jalan untuk mengatasi perkelahian itu. "Akan lebih baik kalau a ku berkelahi di dala m kelompok itu pula" desisnya di dala m hati "setida k-tidaknya aku dapat mengawasi dan mencoba mengurangi tekanan atas Manguri" Dengan demikian maka La matpun berusaha dengan susah payah untuk mendekati lingkaran perkelahian yang lain. Ketika serangan-serangan lawannya me mbuatnya sema kin bingung, maka tiba-tiba ia menggera m. Diayunkannya tangkai tombaknya dengan sekuat tenaganya menyerang salah seorang daripadanya, supaya lawan-lawannya berloncatan surut, untuk me mberinya kesempatan mengatur diri. Tetapi agaknya ada diantara mereka yang tidak sempat berusaha untuk menghindar. Dengan senjatanya ia mencoba menangkis ayunan tangkai tombak La mat yang dibuatnya dari kayu berlian itu.
Terjadilah sebuah benturan yang dahsyat. Sesaat mereka mendengar keluhan tertahan, kemudian mereka mendengar gcmerincing pedang yang terjatuh di lantai. Orang itu tidak berhasil me mpertahankan senjatanya. Tenaga Lamat ternyata terlampau kuat, meskipun lawannya itu salah seorang dari gerombolan Sura Sapi yang terkenal. Bahkan tangkai tombak La mat masih juga menyentuh pahanya, sehingga iapun terpelanting jatuh. Dengan susah payah orang itu meloncat berdiri. Tetapi ke mudian ternyata bahwa ia menjadi timpang karenanya. Rasa-rasanya tulang pahanya menjadi retak. Kedua kawannya yang lain segera mencoba me lindunginya. Keduanya menyerang hampir bersa maan, sehingga La mat terdesak surut beberapa langkah. Kesempatan itu dipergunakan oleh salah seorang gerombalan yang kehilangan senjatanya itu. Tertatih-tatih ia berloncatan me mungut senjatanya. Kemudian dengan kaki timpang ia ke mba li me masuki arena perkelahian. Lingkaran perkelahian La matpun se makin la ma menjadi semakin dekat dengan arena perke lahian Manguri, ayahnya dan pengawal yang seorang itu. Namun agaknya lawanlawannyapun berusaha untuk me nahannya dan mendorongnya se makin jauh. Lamat masih saja berkelahi dengan tenangnya. Ia masih berusaha untuk tidak melakukan pe mbunuhan. Na mun setiap kali tumbuh pertanyaan "Bagaimana ka lau justru Manguri sendiri yang terbunuh" Betapapun bengalnya anak itu, tetapi ia masih agak lebih baik dari gerombolan Sura Sapi. Dala m pada itu, isteri Ki Sukerta yang mendengar hiruk pikuk di pendapa, mencoba untuk mengintipnya. Meskipun dalam kegelapan, namun ia dapat me lihat bayangan yang samar-sa mar berloncatan kian ke mari. Nafas yang berdesah dan dentang senjata beradu. Dengan demikian segera ia
mengetahui, bahwa di pendapa rumahnya agaknya telah terjadi perkelahian yang dahsyat. Nyai Sukerta itupun kemudian berlari-lari ke bagian belakang rumahnya. Didorongnya saja pintu bilik La mat. Tetapi ia sudah tidak melihat orang itu di dala m biliknya. "Agaknya ia sudah ikut berkelahi" desisinya. Dengan demikian ma ka iapun ke mudian berlari ke gubug-gubug di samping lumbung. Dibangunkannya para pekatik, para gembala dan juru sapu. "Cepat, pergi ke pendapa. Mereka sedang berke lahi" "Siapa?" bertanya salah seorang pekatik kuda. "Aku tida k tahu" Orang-orang itu menjadi bingung. Mereka tidak mengerti bagaimana mereka harus me mbantu. Ha mpir sepanjang umurnya mereka tidak pernah berke lahi. Tetapi ada juga dua orang yang segera berlari ke dalam biliknya untuk menga mbil parang dan kapa k. Dengan tergesagesa keduanya pergi melingkari rumah ke pendapa, di bagian depan dari rumah Ki Sukerta. Ketika mereka sampai ketangga pendapa mereka melihat bahwa perkelahian yang seru masih berlangsung di pendapa. Ternyata Manguri mene mui banyak kesulitan di dala m perkelahian itu. Anggauta gerombolan Sura Sapi yang berkelahi me lawannya, agaknya benar-benar akan berusaha menyelesaikan pekerjaannya tanpa tanggung-tanggung. Meskipun kedua orang pe mbantu Manguri itu bukan orang orang yang me mpunyai pengetahuan yang cukup di dala m olah senjata, tetapi agaknya mereka ma mpu me lihat, bahwa Manguri sudah hampir tidak ma mpu lagi untuk bertahan. Dengan de mikian, maka keduanyapun segera mendekatinya dan mencoba untuk me mbantunya.
Namun ternyata bahwa kedua orang itu tidak terla mpau banyak berpengaruh. Meskipun de mikian, mereka telah dapat me mecah perhatian lawan Manguri, sehingga Manguri me mpunyai sedikit kesempatan me mperbaiki keadaannya. Ayahnya, Ki Sukerta yang melihat keadaan anaknya, menjadi sangat ce mas. Itulah sebabnya, maka ia telah mengerahkan segenap ke ma mpuan dan ilmunya. Seluruh tenaga cadangan yang ada di dalam dirinya telah dibangunkannya, untuk me mpercepat penyelesaian. Ternyata bahwa Ki Sukerta tidak sekedar menyebut dirinya sebagai seorang pedagang keliling dan bahkan seorang petualang hampir di sega la bidang kehidupan. Telah dijelajahinya sudut-sudut yang paling berbahaya di dalam usahanya mencari kekayaan dan mengejar perempuan yang disukainya. Dengan demikian, maka menghadapi Sura Sapi itu sendiri Ki Sukerta akhirnya berhasil sedikit de mi sedikit menguasainya. "Aku harus lebih dahulu, sebelum Manguri kehabisan napas" katanya di dala m hati. Bagaimanapun juga Manguri adalah satu-satunya anak dari isterinya yang paling tua, isterinya yang sah. Sura Sapi menahan nafasnya untuk sejenak, ketika ha mpir saja pundaknya tergores pedang lawannya. Meskipun ia telah me mperhitungkan, bahwa Ki Sukerta bukannya sekedar seorang pedagang yang mempercayakan keselamatannya kepada para pengawalnya saja, namun ia sama sekali tidak menyangka bahwa Ki Sukerta itu ma mpu mengimbanginya, bahkan se makin la ma se makin terasa betapa beratnya menghadapi pedagang ternak itu. "Setan alas" Sura Sapi menggerutu. Sesaat terbayang kegagalan mereka di tengah-tengah sawah sawaktu mereka menghadapi Pamot dan kawan-kawannya Apakah kegagalan ini harus terulang?"
"Sura Sapi tidak pernah gagal" desisnya. Tetapi bagaimanapun juga, ternyata kemampuan Ki Sukerta tidak dapat diingkarinya. Meskipun Te mon sedikit de mi sedikit dapat mendesak lawannya, tetapi untuk mengalahkannya agaknya ia masih me merlukan waktu yang cukup la ma, sedang Sura Sapi semakin la ma sudah menjadi sema kin le mah. "Sura Sapi tidak pernah gagal" terdengar Sura Sapi itu menggera m. Di lingkaran perke lahian yang lain, yang sema kin la ma menjadi se makin dekat, La mat masih tetap bertahan. Meskipun ia tidak segera tampa k menguasai keadaan, tetapi agaknya keadaannya sama sekali tida k mence maskan. Demikianlah ma ka perkelahian itu menjadi se makin la ma semakin ribut. Desak mendesak tida k berketentuan. Yang seorang dapat mendorong lawannya, sedang yang lain hampir-ha mpir dapat dikuasai. Namun agaknya Sura Sapi sendiri berada di dala m kesulitan. Setiap kali ia terdesak mundur. Setiap kali ia menggera m karena ujung senjata Ki Sukerta menyentuh pakaiannya. Dan bahkan ketika punggungnya terantuk tiang pendapa, sebuah goresan telah menyobek lengannya. Terdengar Sura Sapi itu mengaduh tertahan. Kemudian mengumpat sejadi-jadinya. Goresan itu ternyata telah menitikkan darahnya, sehingga perasaan pedih seolah-olah menyengat di segenap lekuk tangannya. Untunglah bahwa Sura Sapi ma mpu me mpergunakan kedua tangannya dengan kekuatan seimbang, sehingga karena tangan kanannya terluka, maka senjatapun segera dipindahkannya ke tangan kiri" Na mun de mikian titik-titik darah itu telah me mbuatnya menjadi cemas, bahwa pada suatu saat ia akan menjadi semakin le mah.
Belum lagi ge ma desah Sura Sapi itu lenyap, maka seorang yang melawan La mat ternyata telah terpukul oleh tangkai tombak La mat, yang terbuat dari kayu berlian. Orang itu terpelanting me mbentur sebuah tiang pendapa. Untunglah, bahwa ia masih dapat melindungi kepalanya, sehingga dengan susah payah ia masih dapat segera bangkit. Namun de mikian, di bagian lain terdengar seseorang menjerit ngeri. Agaknya salah seorang dari kedua orang yang me mbantu Manguri tertusuk senjata lawannya di pahanya Tertatih-tatih ia berlari menepi, ke mudian tanpa dapat me mpertahankan keseimbangannya lagi ia terjatuh sambil mengaduh. Meskipun de mikian, Sura Sapi sendiri agaknya tidak akan ma mpu mengalahkan Ki Sukerta yang tampaknya sema kin la ma menjadi sema kin garang. Kali ini ia berkelahi sepenuh tenaganya untuk menyelamatkan anaknya, harta bendanya dan na manya. Dala m keadaan yang kalut de mikian itulah, akhirnya Sura Sapi tidak dapat mengingkari kenyataan yang dihadapinya. Lukanya menjadi kian pedih, sedang lawannya masih juga nampak segar. Raksasa yang dianggapnya dungu itu ternyata tidak segera dapat dikalahkan oleh ketiga orang-orangnya. Temon yang diharapkannya akan dapat me mbantunya, ternyata terikat oleh perkelahian yang masih me merlukan waktu yang la ma. Apalagi ketika ke mudian beberapa orang meskipun dengan ragu-ragu, berdatangan mengerumuni pendapa. Orang-orang itu adalah pe katik-pekatik, pelayan-pelayan dan tenaga-tenaga kasar di rumah itu. Dita-ngan masing-masing tergenggam berbagai maca m senjata. Linggis, kapak, parang, bahkan kayu selumbat kelapa dan pe mukul kentongan. Meskipun mereka tidak akan dapat banyak berbuat, namun kehadiran mereka benar-benar telah me mpengaruhi niat Sura Sapi untuk me maksa kan kehenda knya.
Demikianlah, maka sekali lagi Sura Sapi merasa, bahwa ia akan gagal. Gagal seluruhnya seperti pada saat gerombolannya akan menangkap Pa mot. Itulah sebabnya maka ia tida k me mpunyai pilihan lain, kecua li seperti pada kegagalan yang dahulu, meningga lkan arena. Sejenak ke mudian maka terdengar Sura Sapi me mberikan aba-aba itu. Aba-aba yang pernah diberikannya juga dalam perkelahiannya melawan anak-anak Ge mulung. Kawan-kawannya tidak menunggu keadaan berkembang semakin buruk. Dengan serta-merta merekapun segera berloncatan menjauh. Ke mudian berlari secepat-cepat dapat mereka lakukan, turun dari pendapa, melintasi hala man samping dan menghilang di kebun be lakang untuk seterusnya berlari lintang pukang me loncati dinding batu di belakang. Tetapi mereka tidak berhenti sampai di balik dinding batu. Mereka masih berlari terus masuk ke da la m rerungkudan. Demikian ce masnya, mereka ha mpir tidak sempat berpaling. Bahkan di dala m gelap ma la m, tiba-tiba saja ka ki Temon terantuk sesosok tubuh yang sedang berjongkok, sehingga keduanya terpelanting dan jatuh berguling-guling. "Setan alas, dimana mata mu he" bentak orang yang berjongkok itu, yang tidak lain adalah Sura Sapi. "Siapa kau?" bertanya Temon. "O" suara Sura Sapi merendah "kaukah itu kakang" "Ya aku. Kenapa kau berjongkok disitu?" Nafas Sura Sapi menjadi se makin terengah-engah "Tanganku dan pundakku terasa pedih seka li" "Kauterluka?" "Ya. Di lengan dan di beberapa te mpat lagi meskipun hanya goresan-goresan kecil"
Temon merangkak mende kati adiknya. Katanya kemudian "Marilah kita menjauhi te mpat terkutuk itu dahulu" Sura Sapipun ke mudian berdiri perlahan-lahan. Dengan hati-hati ia me ma ndang berke liling. "Tida k ada orang yang mengejar kita" berkata Te mon. "Ya. Agaknya merekapun tidak berani ke luar dari batas dinding rumahnya " "Kenapa?" "Agaknya mereka tidak ingin terlibat dala m Kesalah pahaman dengan anak-anak muda Ge mulung" Temon mengangguk-anggukkan kepalanya. "Tetapi kita harus cepat menyingkir" "Ya. Kita harus cepat menyingkir" Keduanyapun kemudian berlari-lari kecil sambil terbungkukbungkuk di sela-sela dedaunan yang rimbun di kebun-kebun yang tidak terpelihara. Namun Sura Sapi se makin la ma menjadi sema kin le mah. Darahnya masih saja menga lir meskipun t idak begitu deras, dari luka-lukanya, terutama luka dilengannya. "Marilah" aja k Te mon. "Napasku" desis Sura Sapi "badanku menjadi sangat lemah. Darahku masih saja menga lir" Temonpun ke mudian mendekati adiknya. Dibantunya Sura Sapi berjalan tertatih-tatih. Kemudian merekapun dengan hatihati mendekati dinding padukuhan dan setelah mere ka merasa aman, maka dengan susah payah Sura Sapipun segera me loncat dibantu oleh kakaknya. Mala m yang gelap masih juga. terasa gelap, meskipun bintang-bintang di langit bertebaran dari ujung sampai ke ujung.
Keenam orang dari gerombolan Sura Sapi termasuk Te mon, berjalan tersuruk-suruk menjauhi padukuhan Ge mulung. "Lain kali kita ba kar padukuhan terkutuk itu" gera m Sura Sapi. "Ya, kita jadikan nereka" desis yang lain. Merekapun ke mudian me neruskan langkah mereka menyusur pe matang. Beberapa orang dari mereka berjalan dengan t impang karena kaki-kaki mereka terkilir. Tetapi Sura Sapi sendiri menjadi semakin le mah, meskipun ia masih ma mpu berjalan dibantu oleh ka kaknya. "Dua kali kita gagal di neraka terkutuk itu" guma m Sura Sapi "tetapi lain kali kita pasti akan berhasil" "Apa yang akan kau lakukan lain kali?" "Me mbakar padukuhan itu menjadi karang abang. Kemudian mera mpok rumah pedagang yang kikir itu habishabisan dan me mbunuh seisi rumahnya" Temon tida k menjawab. Ia sadar, bahwa kata-kata itu terlontar oleh kekecewaan yang sangat mencengka m dada Sura Sapi. Sejenak kemudian merekapun terdiam. Mereka berjalan tertatih-tatih sema kin la ma se makin jauh dari Ge mulung, dengan luka-luka tidak saja pada tubuh mereka, tetapi juga di hati. Sementara itu Manguri yang hampir kehabisan nafas masih sempat me mbentak-bentak La mat yang berdiri termangumangu "Kenapa kau biarkan mereka lari, he" Kenapa kau tidak mengejar mereka dan menangkap meskipun hanya satu atau dua orang?" Lamat t idak menjawab. Sekilas dipandanginya Ki Sukerta, dan sekilas ke mudian pengawal ternak yang berdiri diam me mbe ku.
"Kaupun tidak berbuat apa-apa" bentak Manguri kepada pengawal itu. Pengawal itupun tidak segera menjawab. "Se mua orang di rumah ini sudah gila. Sekian banyak orang berkeliaran tida k menentu. Apa yang kalian kerjakan" Ka lian me mbiarkan de mit-de mit itu melarikan dirinya. Kalau ka lian berhasil menangkap atau me mbunuh mereka, aku akan menye mbelih tiga ekor sapi. Tida k, tidak hanya tiga ekor. Dua ekor untuk setiap orang yang tertangkap" Tidak seorangpun yang menjawab. Dan kemarahan Manguri menjadi sema kin me lonjak-lonjak, .Wadah ke marahannya terutama adalah Lamat. Katanya "Kau pemalas. Kau ingin segera tidur saja. Kau sa ma seka li tidak berusaha untuk me menangkan perkelahian. Kau yang sebesar gajah itu sa ma. sekali tida k berdaya menghadapi hanya tiga orang lawan. Dan yang tiga itu t idak termasuk pe mimpinnya " Lamat menundukkan kepalanya. Ia sudah terlalu biasa diumpat-umpat dengan kata-kata yang bagaimanapun menyakit kan, hati. Karena itu justru ia menjadi kebal. "Sudahlah Manguri" ayahnya mencoba menahannya "untung sekali kau masih dapat melihat matahari terbit esok pagi. Sekarang biarlah mereka beristirahat. Orang yang terluka itu harus segera mendapat pertolongan" "Tetapi itu terlalu sekali" geramnya "seharusnya Lamat dapat berbuat sesuatu. Dengan keadaan ini kita masih selalu harus berjaga-jaga. Mereka pasti masih akan menuntut penyelesaian yang me mberi kepuasan kepada mereka" "Tetapi kita sudah dapat menduga sebelumnya, sehingga kita akan dapat berjaga-jaga" sahut ayahnya. "Mereka, Sura Sapi dan gerombolannya itu., terlampai buas. Mereka dapat membawa kawan-kawan mereka
berdatangan ke rumah ini, sedangkan ka mi tidak akan dapat mengharapkan orang-orang Ge mulung yang gila itu" "Aku dapat me manggil para pengawal ternak yang biasa me mbantu aku da la m perjalanan. Merekapun orang-orang yang dapat dipercaya. Tidak kalah dari orang-orang gerombolan Sura Sapi" "Tetapi jumlah itu sangat terbatas" "Aku kira cukup banyak. Aku me mpunyai lima orang pengawal" "Hanya lima " "Disini ada kau, ada aku dan La mat serta seorang pengawal lagi" "Tetapi gerombolan Sura Sapi adalah gerombolan yang paling gila dan liar. Mereka dapat berbuat apa saja mela mpaui setan yang paling jahat" "Sudahlah, jangan ribut" ke mudian kepada La mat Ki Sukerta berkata "rawatlah orang yang terluka itu" Lamat tida k menjawab. Sambil me megang tombaknya di tangan kiri ia me mapah orang yang terluka itu dan dibawanya turun dari pendapa. "Ingat pemalas" teriak Manguri "kaulah sumber kegagalan kita menangkap orang-orang itu. Kalau sekali lagi kau ulangi, maka kau akan menyesal seumur hidupmu" "Manguri" potong ayahnya "jangan menjadi gila karena kegagalan kita kali ini. Sebenarnya kita sama se kali tidak gagal. Kita sudah berhasil me mpertahankan diri dan ha k milik kita" "Tetapi masalahnya belum selesai ayah"
"Katakan, siapakah yang telah membuka masalah ini. Siapakah yang dengan dungunya menghubungi Sura Sapi untuk keperluan yang gila itu pula. Siapa?" Manguri tidak menjawab. "Kau. Kaulah yang bersalah. Kaulah sumber dari kekalutan yang telah terjadi di rumah ini. Sekarang kau me mbentakbentak seperti orang mabuk tuak" Manguri mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab, karena ia sadar, bahwa ayahnya sudah mulai marah lagi kepadanya. "Masuklah" berkata ayahnya "jangan ribut lagi" Dengan kepala tunduk Manguripun ke mudian berjalan masuk ke pringgitan. Ketika ia masuk ke ruang dala m dilihatnya ibunya menggigil ketakutan. Begitu Manguri muncul di pintu, ma ka dengan serta merta dipeluknya anaknya yang sudah sebesar ayahnya itu sambil menangis "Kau tidak apaapa Manguri" Manguri menggelengkan kepalanya "Tidak ibu, aku t idak apa-apa" "Nah, jadilah pe lajaran bagimu, Manguri. Untuk seterusnya kau jangan berma in api" "Bukankah ha l itu sudah sewajarnya" Aku seorang anak laki-laki ibu. Aku me mang sudah seharusnya berusaha untuk mendapatkan seorang gadis yang aku cintai" "Tetapi kau dapat mencari gadis yang lain, yang tidak usah menumbuhkan banyak persoalan seperti gadis anak janda prajurit itu" "Aku mencintainya ibu" "Anakku. Kau harus dapat mempertimbangkan perasaanmu. Betapa besar cintamu kepadanya, tetapi hal itu
dapat membahayakan nyawamu, bahwa berbahaya bagi seluruh ke luarga" "Sudahlah bu" berkata Manguri sambil melepaskan pelukan ibunya "ibu tida k usah mence maskan a ku" "Tida k mungkin Manguri, karena kau adalah anakku" "Ibu akan menyakit i perasaan ibu sendiri. Aku sudah bertekad untuk mendapatkannya dengan segala cara" "Jangan Manguri. Berkatalah, gadis mana yang kau cintai, selain gadis yang sudah je las menolakmu itu. Aku akan me la marnya untukmu" "Aku tida k mencintai gadis lain lagi, kecuali gadis itu" "Tida k. Aku tidak menyetujui kau berhubungan lagi dengan Sindangsari" "Ibu" Manguri me mbelala kkan matanya "kenapa tiba-tiba ibu bersikap de mikian" "Ibu tidak senang melihat hubungan yang selalu mendebarkan jantung. Apakah kau akan merasa bahagia kelak, apabila kau sela lu diganggu oleh kege lisahan dan kecemasan. Apalagi isterimu itu t idak me ncintaimu" "Ibu, aku kadang-kadang merasa bahwa semakin sulit aku berusaha mendapatkan seorang gadis, aku merasa bahwa aku kelak a kan menjadi se makin berbahagia, apabila aku berhasil" "O, jalan pikiranmu sudah terbalik" "Bukankah cinta yang berliku-liku itu justru me mberikan kepuasan yang mendala m" "Tida k. Kau keliru" "Ibu" Manguri tiba-tiba berbisik "ibu jangan melarang aku. Sebenarnya aku tidak sejahat ini, karena aku harus me meras ibuku sendiri. Tidak. Tetapi aku hanya ingin me mbuktikan, bahwa kadang-kadang kita me mang ingin hidup di dala m
dunia yang lain dari kewajaran hidup ini. Coba katakan, apakah yang ibu dapat dari hubungan yang berbelit-belit antara ibu dengan laki-lki itu?" "Manguri" ibunya ha mpir berteriak "kau sudah gila " "Maaf ibu, aku hanya sekedar me mberikan contoh, betapa di dala m hidup ini kita me merlukan kelainan-kelainan yang kadang-kadang tidak masuk akal. Maaf bahwa contoh yang paling mudah aku dapat ka li ini adalah kehidupan ibu sendiri. Hubungan itu menurut pendapatku adalah terlampau mengerikan. Tetapi ibu me lakukannya juga. Apakah dapat dinikmati suatu kebahagiaan dala m ujud apapun, apabila setiap kali ibu sela lu diburu oleh kegelisahan kece masan dan ketakutan?" "Dia m, dia m kau Manguri" "Jangan berteriak ibu. Aku sudah berbisik-bisik supaya tidak ada orang lain yang mendengar. Tetapi ibu justru berteriakteriak seperti itu" "kau menghina ibumu sendiri Manguri. Kau menyakiti hatiku" "Bukan maksudku. Karena itu aku minta maaf. Tetapi dengan de mikian, maka ibu akan dapat mengerti, bahwa aku kali ini berbuat sesuatu yang aneh yang tidak patut atau katakanlah, sangat berbahaya menurut penila ian orang lain Tetapi aku justru ingin me lakukannya karena dorongan yang tidak aku mengerti" "O" tiba-tiba ibunya berlari ke biliknya. Dijatuhkannya tubuhnya di pe mbaringannya. Yang terdengar kemudian adalah isak tangisnya, sambil menelungkupkan wajahnya pada kedua tangannya yang bersilang.
Dengan dada yang berdebar-debar Manguri me lihat ibunya menangis. Perlahan-lahan ia mendekatinya dan duduk di bibir pembaringan itu. "Aku minta maaf bu" Ibunya tidak menyahut. "Aku minta maaf. Sudah aku katakan bahwa aku tidak ingin menyakit i hati ibu" Ibunya mengangkat wajahnya. Kemudian terdengar suaranya parau di sela-sela isak tangisnya "Inikah hukuman yang harus aku tanggungkan karena dosa itu?" "Tida k ibu. Bukan" "Aku me mang penuh dengan dosa Manguri. Tetapi ternyata kau me mang benar. Kadang-kadang kita menginginkan sesuatu yang tidak pantas, yang tidak patut. Bahkan yang berbahaya sekalipun. Tetapi aku tidak dapat menghentikannya. Setiap kali hal itu terjadi, aku merasa bahwa untuk seterusnya aku tidak akan mengulanginya lagi. Bahkan aku merasa sangat membencinya. Tetapi apabila aku merasa kesepian, dan laki-laki itu mena mpakkan dirinya, aku terdorong lagi ke dala m dosa itu" "Sudahlah ibu. Tidak pantas hal itu disesali. Ka lau hal itu me mang terjadi, marilah kita nikmat i sepuas-puas hati. Bukankah ha l itu me mang terjadi dan tida k dapat kita elakkan lagi" "O, inilah. Inilah kutukan itu, Aku me mang sudah me mberikan contoh kepada mu, untuk terjun ke dala m neraka yang paling jahanam. Dan kau agaknya me mang mengikuti jejak itu. Jejakku dan jejak ayahmu" Manguri menarik nafas dalam-dala m. Namun tiba-tiba saja ia tersenyum di dala m hatinya. Kini ia benar-benar merasa hidup di dala m kubangan yang pa ling kotor. Ia tidak akan dapat membersihkan dirinya selama ia masih tetap berada di
kubangan itu. Seribu kali ia mandi sehari, maka ia akan segera dilumuri oleh noda-noda yang paling kotor itu ke mbali. Tetapi Menguri t idak mengatakannya. Ia bangkit berdiri dan berkata kepada ibunya "Ayah berada di luar. Mungkin ayah sedang mengurusi orang-orang yang kebingungan di halaman. Atau barangkali ikut menolong orang yang terluka itu. Aku akan pergi keluar juga" Ibunya menganggukkan kepa lanya. Dengan ujung bajunya ia mengusap a ir mata yang masih me mbasahi matanya. "Hati-hatilah" "Ya ibu" Manguripun ke mudian melangkah keluar bilik. Ditutupnya pintu bilik itu. Sekilas ia masih melihat ibunya berbaring. Ibunya yang nampa knya masih sangat muda. Ketika ia melangkah untuk ke mbali ke pendapa, maka sekilas ia teringat kepada gadis-gadis yang pernah mengguratkan na manya pada dinding jantungnya. Manguri tersenyum di dala m hati, meskipun senyum yang pahit. "Dima nakah mereka sekarang" desisnya. Terbayanglah gadis-gadis itu seorang demi seorang bersimpuh di hadapan kakinya. Mula-mula mereka mengharapkan kehangatan cintanya. Namun beberapa bulan ke mudian, mereka bersimpuh sa mbil menangis seorang de mi seorang untuk minta belas kasihannya. "Aku mengandung" kalimat-kalimat itulah yang mereka ucapkan. Ha mpir bersamaan dala m nada dan susunan katakata. Hampir selalu pula gadis-gadis itu me mbasahi kakinya dengan air mata. "Hanya seorang itulah yang menjadi gila, dan hampir menika m aku" katanya.
Kini Manguri benar-benar tersenyum pada meskipun juga sebuah senyuman yang pahit.
bibirnya, Tetapi tidak seorangpun dari gadis-gadis itu yang akhirnya berhasil menjadi isterinya. Manguri ke mudian mencari dan me mbayar anak-anak muda yang dungu, untuk melarikan gadis-gadis itu. "Tida k" mula-mula gadis-gadis itu menolak "a ku tidak mencintai anak muda yang bodoh itu" "Kau tidak me mpunyai pilihan lain" jawab Manguri kepada mereka itu "ka lau kau menolak, maka kau akan menjadi sangat malu, karena kau mengandung di luar perkawinan. Aku tidak akan dapat kau paksa mengawinimu, karena aku me mpunyai seribu cara untuk menolaknya. Sekarang ada anak muda yang dengan hati yang bersih bersedia mengawinimu. Apakah itu bukan suatu anugerah?" "Tetapi anak di dala m kandungan ini adalah anakmu" Saat itu Manguri masih se mpat tertawa "Tida k seorangpun di atas bumi ini dapat membuktikan bahwa anak itu adalah anakku. Siapa tahu kau pernah berhubungan dengan laki-laki yang lain" "Aku bersumpah. Aku bersumpah" "Tida k akan ada gunanya" Manguri bahkan masih sempat menganca m "atau kau me milih aku untuk me mpergunakan jalan la in yang pasti t idak a kan kau senangi" "Jalan yang manakah itu ?" "Me mbungka m mulut mu untuk sela ma-la manya" "Jangan. Jangan. Jangan kau bunuh aku" Sekali lagi Manguri tertawa. Katanya waktu itu "Nah sambutlah sua mimu. Cintailah. Ia akan mencintai kau juga. Ia akan melupakan bahwa anak yang kau kandung itu bukan anaknya"
Me mang tidak ada pilihan la in bagi gadis-gadis ayng sudah terdorong ke dalam kegelapan itu. Mereka harus menerima keadaan mere ka dengan hati yang le mah. Kesenangan yang mereka kecap sebelumnya ternyata tidak berimbang sa ma sekali dengan penyesalan yang akan mereka bawa sampa i di hari-hari terakhir nanti. Meskipun sesaat-saat mereka dapat melupakan, na mun setiap kali luka itu telah menyengat jantung mereka ke mbali. Ternyata suami-sua mi upahan itupun tidak seba ik sua mi yang lain. Meskipun ada juga diantara mere ma yang akhirnya dapat saling menyesuaikan diri, namun ana k-anak yang lahir ke mudian adalah jurang yang telah me mbatasi mere ka. Tetapi ternyata Sindangsari tidak dapat diperlakukan serupa itu. Me mang ha mpir tida k masuk aka l, bahwa Sindangsari telah me milih Pa mot, seorang anak muda yang bagi Manguri, tidak ada artinya, yang hanya mempunyai sejengkal sawah dan pategalan, setapak kebun kelapa yang tidak begitu subur di pinggir desa. Tetapi Menguri t idak dapat menge lakkan kenyataan itu, Dan kini ia sedang berusaha untuk merebut gadis itu dengan cara apapun. Ketika Manguri me njengukkan kepa lanya, dilihatnya pendapat rumahnya sudah sepi. Agaknya ayahnya dan orangorang yang lain telah me mbawa orangnya yang terluka ke biliknya. Tetapi sejenak kemudian ia melihat beberapa orang dengan obor di tangan dan sebumbung air naik ke pendapa itu. "Apa yang akan ka lian kerjakan?" bertanya Manguri "Ki Sukerta me merintahkan kepada ka mi untuk me mbersihkan be kas-bekas perkelahian itu, termasuk tetestetes darah"
Manguri mengangguk anggukkan kepalanya. Di bawah sinar obor ia melihat darah yang tergenang. Sedang di beberapa tempat lagi darah berceceran menoda i lantai pendapa. Dengan air orang-orang itu me mbersihkan noda-noda darah itu. Bahkan ada yang melekat pada tiang. Manguri menarik nafas dalam-dala m. Kemudian ia ke mbali masuk ke pringgitan. Setelah menutup pintu rumahnya, ia langsung masuk ke dala m biliknya. Setelah me lepas senjatanya dan meletakkannya di pe mbaringannya, Manguripun merebahkan dirinya. Tetapi matanya tidak segera dapat terpejam. Ia mendengar ketika ayahnya masuk dan menyelarak pintu, ke mudian desir langkahnya ke biliknya. "Apakah ayah tidak akan melaporkannya kepada K i Demang?" bertanya Manguri di da la m hatinya. Tetapi ia tidak dapat mencari jawabnya sendiri. "Lebih baik bertanya kepada ayah besok" Meskipun keluarga Ki Sukerta berusaha untuk tidak mengatakannya kepada siapapun, namun satu dua diantara para pembantunya ada juga yang di luar sadarnya telah menceriterakan apa yang teiah terjadi itu, sehingga berita kedatangan gerombolan Sura Sapi ke rumah Ki Sukerta itupun segera tersebar. Berbagai tanggapan telah berke mbang diantara orangorang Ge mulung dan anak-anak mudanya. "Senjata itu ha mpir berbalik mengenai diri Manguri sendiri" desis Punta kepada kawan-kawannya. Yang lain mengangguk-anggukkan kepa lanya. Katanya "Mereka sa ma seka li tidak mau me mbunyikan tanda apapun" "Mereka menganggap bahwa kita tidak akan menolong mereka" "Apakah begitu?"
"Tida k" Punta mengeleng "kalau kita tahu, kita pasti akan me mbantu mereka. Seandainya kita tidak menolong Manguri, maka kitapun wajib berusaha menangkap gerombolan Sura Sapi itu" "Mungkin tanpa kita mereka merasa sudah cukup kuat" "Manguri merasa bahwa ia bersalah" jawab Punta. "Tentu raksasa itu yang telah menyela matkan mere ka. Punta mengangguk-anggukkan kepalanya "Tidak ada orang lain yang dapat dibanggakan, selain La mat" "Sukerta sendiri?" "Ya. Sukerta sendiri" Dala m pada itu. Pamot mendengar berita tentang Sura Sapi yang telah menyerang rumah Manguri itu dengan hati yang berdebar-debar. Ternyata persoalan itu masih akan berkepanjangan. Ia belum melihat langkah-langkah yang dia mbil oleh Ki De mang dan Ki Jagabaya. Namun agaknya masih akan berke mbang masalah-masalah sampingan yang tidak akan kalah kalutnya dengan masalahnya sendiri. Namun de mikian, semua peristiwa yang terjadi itu telah mendorongnya se makin de kat kepada Sindangsari. Meskipun orang tua kedua belah pihak menganjurkan agar mereka untuk se mentara me mbatasi perhubungan mereka, na mun hati yang sedang terbakar oleh perasaan remaja itu seakanakan tidak dapat ditahankannya lagi. Keduanya me mpergunakan setiap kese mpatan untuk bertemu. Kadang-kadang di ladang, kadang-kadang di pinggir kali, selagi Sindangsari mencuci paka iannya. Kawan-kawan Pa mot dan Sindangsari sa ma seka li t idak mengganggunya lagi. Bahkan mereka merasa kasihan, hubungan yang tulus itu agaknya masih harus menga la mi gangguan-gangguan yang tidak diharapkan.
Apalagi kedua anak muda itu sendiri. Kadang-kadang mereka merasa bahwa mereka seakan-akan berdiri di ujung duri. Manguri dengan kekayaannya, setiap saat akan dapat me lakukan banyak sekali ke mungkinan untuk me misahkan mereka. Belum lagi denda m Sura Sapi yang telah mereka kalahkan. "Jangan cemas" Punta yang sudah labih tua dari Pa mot kadang-kadang mencoba menenteramkan kege lisahan anak muda itu "kawan-kawan kita mengerti apa yang harus mereka lakukan. Ka mi sudah bersiaga apabila Sura Sapi datang untuk me lepaskan dendamnya. Kini mereka baru mencoba me mbuat perhitungan dengan Manguri, itupun gagal. Apalagi apabila mereka ingin me mbuat perhitungan dengan seluruh padukuhan ini" "Aku percaya kepadamu dan kepada kawan-kawan yang lain" desis Pa mot. Dan ia me lihat dengan mata kepala sendiri kesiagaan anak-anak muda Ge mulung di gardu-gardu perondan di setiap mala m. Tetapi kece masan yang sangat adalah pada Sindangsari Ia tidak melihat kesiagaan anak-anak muda Ge mulung. Berbeda dengan Pamot Sindangsari merasa bahwa dirinya terlampau le mah. Apabila Manguri ke mudian me mpergunakan kekerasan dan diarahkan kepadanya, maka ia tidak akan dapat berbuat apapun. Meskipun de mikian Sindangsari tidak ingin mundur Hatinya kini telah benar-benar dicengka m oleh perasaannya. Dan ia telah menyerahkan dirinya kepada perasaan itu Kakang berkata Sindangsari kepada Pamot ketika mereka bertemu di pinggir ka li "aku selalu dikejar oleh kege lisahan" "Jangan gelisah Sindangsari" jawab Pa mot "ha mpir setiap orang di Ge mulung berpihak kepada kita. Lebih-lebih anakanak mudanya. Aku tahu benar, bahwa mereka telah berjagajaga apabila ada sesuatu yang akan menimpa padukuhan ini
Me mang mungkin Sura Sapi mendenda m dan mungkin pula Manguri menga mbil sikap lain. tetapi percayalah, bahwa menghadapi sikap yang keras, kita tidak sendiri" Sindangsari menundukkan kepalanya. Tetapi apa yang dapat dilakukannya kalau tiba-tiba saja pada suatu malam seseorang atau segerombolan orang datang ke rumahnya dan me ma ksanya pergi bersa ma mereka. Namun de mikian Sindangsari tidak mengatakannya. Yang dikatakan kepada Pamot adalah "Kakang Pa mot. Kapankah kita dapat mengakhiri hubungan kita serupa ini?" "He" Pa mot terkejut "ma ksudmu?" "Maksudku, apakah kita tidak ingin meningkatkan hubungan kita, sehingga ke mungkinan-ke mungkinan yang lain dapat kita perkecil" Pa mot tidak segera menjawab. "Di ruma hku tida k ada laki-laki lain kecuali kake k yang sudah tua. Sudah tentu kakek tidak akan dapat me lindungi aku karena umurnya yang sudah lanjut. Apalagi di mala m hari. Tetapi kalau persoalan kita menjadi sudah pasti, maka ke mungkinan-ke mungkinan itu akan me njadi berkurang. Mungkin Manguri juga akan kehilangan nafsunya lagi untuk mengganggu kita. "Maksudmu, kita segera kawin?" Sindangsari t idak me njawab. "Sari" suara Pa mot menjadi dala m se kali "persoalan yang paling berat bagiku, aku sama sekali belum me mpersiapkan diri menghadapinya. Aku belum punya apa-apa" "Meskipun belum sejauh itu kakang, tetapi setidak-tidaknya seperti yang dima ksudkan oleh Ki De mang dan Ki Jagabaya. Persoalan ini menjadi tegas. Aku merasa bahwa aku telah dipersalahkan, karena sikapku dapat menumbuhkan salah paham pada beberapa orang kawanku. Diantaranya kau dan
Manguri. Tetapi kalau kau sudah bersikap tegas, maka ke mungkinan itu tida k akan ada lagi" "Jadi maksudmu?" "Kau dan orang tua mu datang ke rumahku" "Mela mar?" Sindangsari tida k menyahut. Tetapi kepalanya menunduk dalam-da la m. Ia tidak berani me mandang wajah Pa mot. Namun di dala m dadanya bergeloralah harapan agar Pamot dapat mengerti maksudnya, dan tidak menjadi salah paham karenanya. Sejenak ke mudian terdengar Pamot berkata perlahan-lahan "Sindangsari. Aku dapat mengerti kegelisahanmu. Kau pasti selalu berada dala m kege lisahan dan kece masan. Kalau dengan de mikian a kan sedikit dapat me mberimu ketenteraman, maka aku akan segera mela kukannya. Dengan serta-merta Sindangsari mengangkat wajahnya Sepercik harapan me mancar dari sorot matanya. Namun ketika tatapan mata mereka beradu. Sindangsari segera menundukkan kepalanya kembali. Namun terdengar ia berkata lirih "Aku akan sangat berterima kasih kepada mu kakang. Dengan demikian ikatan diantara kita menjadi resmi dan disaksikan oleh keluarga kita masing-masing dan beberapa orang tetua padukuhan ini" Pamot mengangguk-anggukkan kepalanya. "Baiklah Sari. Tetapi kelanjutan dari la maran itu harus diperhitungkan sebaik-baiknya. Bukan karena aku ragu-ragu, tetapi aku ingin me mpersiapkan diri lebih dahulu" "Tentu aku tidak berkeberatan kakang" "Permintaanmu itu akan segera aku penuhi. Aku akan segera menyampa ikannya kepada ayah dan ibuku"
Setitik air mata kegirangan me leleh di pipi Sindangsari Ia mengharap bahwa dengan de mikian, hubungannya dengan anak muda itu menjadi se makin kukuh. Ketika untuk sejenak mereka saling berdia m diri sa mbil menundukkan kepalanya, beberapa orang anak-anak muda yang baru saja naik dari ladangnya berjalan ketepian. Tetapi mereka terhenti sejenak. Yang paling depan diantara mereka berbisik "He, jangan ganggu anak anak itu" Yang lainpun ke mudian melangkah surut sambil tersenyumsenyum. Tetapi salah seorang dari mereka tergelincir. Meskipun ia tidak jatuh, tetapi beberapa buah kerikil yang tersentuh kakinya, terlempar masuk ke dala m air. Pamot dan Sindangsari terkejut karenanya. Ketika mereka berpaling, mereka melihat beberapa orang sedang berdri termangu-mangu di pinggir tanggul. Pamot segera berdiri sa mbil tersenyum. Seorang kawannya di atas tanggul berkata "Maaf Pamot. Kami sa ma sekali tidak ingin mengganggu. Tetapi anak ini tergelincir, sehingga me le mparkan beberapa butir batu yang ternyata telah mengejutkan kau" "Ah kau" jawab Pa mot "ke marilah, Bukankah kau akan me mbersihkan dirimu setelah kau berenda m di kubangan" Kawan-kawannya saling berpandangan sejenak. Namun ke mudian merekapun me langkah turun perlahan-lahan. "Aku akan pulang saja ka kang" desis Sindangsari ke mudian. "Apakah kau sudah selesai dengan cucianmu ?" "Aku tida k mencuci hari ini" "Kenapa?" bertanya Pamot. Sindangsari tidak menjawab. "Marilah, aku antarkan kau pulang"
Sindangsari me nggeleng "Tidak usah. Aku berani pulang sendiri" "Tetapi..." "Itu kawan-kawanmu datang" Sindangsari t idak menunggu jawaban Pa mot. Segera dia mbilnya bakul dan beberapa potong pakaiannya yang tidak jadi dicucinya. "He, apakah kami mengganggu?" bertanya salah seorang dari kawan-kawan Pa mot yang baru datang. "Tida k" jawab Pa mot. "Tetapi ke mana Singansari itu?" Pamot tida k menjawab. Dipandanginya saja Sindangsari yang sudah mulai me langkah "Ke mana kau Sari?" bertanya kawannya yang lain. "Aku akan pulang" "Kenapa" Apakah ka mi mengganggu?" "Tida k. Aku me mang akan pulang. Ternyata matahari sudah terlampai tinggi. Ka lian sudah na ik" "Belum begitu tinggi. Ka mi baru a kan makan pagi" Sindangsari tidak menjawab. Tetapi ia berjalan dengan tergesa-gesa meninggalkan tepian. "He, Sari. Ada yang ketinggalan" teriak salah seorang dari kawan-kawannya. Sindangsari tertegun. Ketika ia berpaling kawannya itu berkata "Telapak kakimu. "Uh" Sindangsari berdesah. "Yang lebih besar lagi adalah Pa mot " sahut yang la in.
Kawan-kawannya tertawa. Tetapi Sindagsari sudah tidak berpaling lagi. Meskipun de mikian terasa langkah Sindangsari menjadi ringan. Ia kini mulai berpengharapan, bahwa segala sesutau akan menjadi kian baik nanti apabila Pa mot telah datang ke rumahnya. "Tentu tidak nanti sore" Sindangsari berkata kepada diri sendiri "nanti sore Pamot baru mengatakannya kepada orang tuanya. Besok sore orang tuanya berunding, kemudian lusa orang tua Pamot mene mui beberapa orang tua untuk pergi me la mar" Sindangsari tersenyum sendiri "Sepekan lagi. Sepekan lagi orang tua Pa mot a kan me la mar dengan resmi" Sepercik kege mbiraan me lonjak di dala m hati Sindangsari. Meskipun Pa mot seorang anak muda yang sederhana, tetapi nampaknya ia me mpunyai tanggung jawab yang besar. Berbeda dengan Sindangsari, ma ka sehari-harian Pa mot labih banyak termenung sendiri. Ia sedang mereka-reka kalimat baga imana ia a kan menya mpaikan hal itu kepada yahanya. "Ayah sudah tahu hubungan ini, sehingga ayah pasti tidak akan terkejut. Tetapi bahwa begitu mendesak, mungkin masih akan menjadi pertimbanganya" katanya di dala m hati "tetapi aku harus berusaha me menuhi permintaan Sindangsari secepatnya, supaya ia tidak menjadi kian gelisah. Dengan de mikian betapapun beratnya, akhirnya Pamot mengatakannya pula kepada ayahnya, bahwa sebaiknya ayahnya segera mela mar Sindangsari. Pamot menjadi heran, bahwa ayahnya sama sekali t idak me mberikan kesan apapun. Bahkan sa mbil menganggukanggukkan kepalanya ia berkata "Ba iklah Pa mot. Aku akan segera me mbicarakannya dengan orang tua-tua" Sindangsarilah yang hampir tidak sabar lagi menunggu Setiap hari ia selalu menghitung waktu. Ia mengharap agar
waktu yang sepekan itu segera berlalu, dan orang-orang tua yang menjadi utusan orang tua Pamot segera datang ke rumah ini. Tetapi yang terjadi adalah sebuah prahara yang tidak disangka-sangka, justru datang dari jurusan yang sama seka li tidak diduga. Sebelum orang tua Pamot datang mela mar, maka datanglah dua orang utusan dari Kademangan, bahwa dalam waktu dua hari lagi, akan datang serombongan utusan yang lain dari Ki De mang Kepandak. "Apakah keperluan utusan-utusan itu?" bertanya Sindangsari. ibu
"Aku tidak diperkenankan mendahului utusan itu. Yang boleh aku beritahukan, bahwa utusan-utusan itu akan me mbicarakan ke mungkinan bagi puterimu yang barnama Sindangsari" Jawaban itu bagaikan petir yang meledak di atas kepala Sindangsari yang mendengar jawaban itu pula. Sejenak ia me mbe ku, na mun ke mudian terasa kepalanya menjadi pening. "Tetapi apakah maksudnya me mbicarakan tentang anakku itu ?" "Baiklah, barangkali ke luarga ini me mang perlu menyiapkan diri untuk me nerima utusan itu. Ki De mang ingin me mbicarakan ke mungkinan, menga mbil Sindangsari sebagai isterinya" Sindangsari t idak dapat menahan diri lagi. Tiba-tiba pandangan matanya menjadi ge lap. Dan tiba-tiba saja ia tidak mengerti, apa yang terjadi atas dirinya selanjutnya. Ketika seisi ra mah menjadi bingung, maka utusan itupun minta diri, katanya "Kami tidak mau mengganggu. Mudahmudahan ana k itu tidak apa-apa. Ia hanya sekedar terkejut.
Mungkin ia tidak menyangka sama sekali, bahwa nasibnya akan menjadi begitu ba ik" Orang tua Sindangsari tidak sempat menjawab. Mereka sibuk dengan gadis yang pingsan itu. Ketika Sindangsari ke mudian sadar, maka sehari-harian ia hanya dapat menangis saja. Ia sa ma sekali tida k menyangka, bahwa bencana yang paling dahsyat justru datang dari Ki Demang, bukan dari Manguri atau gerombolan Sura Sapi. "Sari" berkata kakeknya "sebaiknya kau jangan tergesagesa menjadi gelisah dan ce mas. Utusan yang sebenarnya itu belum datang. Kalau mereka nanti datang, aku akan dapat menje laskan, bahwa kau sudah berjanji untuk hidup bersamasama dengan seorang laki-la ki" Sindangsari tida k menjawab, semakin dala m. Apalagi ketika sayang, bahwa seandainya benar atau utusannya sampai saat ini menyatakah maksudnya". tetapi kepalanya tertunduk ka keknya berkata "Tetapi demikian, orang tua anak itu masih belum datang untuk
Sindangsari masih tetap berdia m diri. Sekilas me mercik penyesalannya, bahwa Pamot begitu la mban me menuhi permintaannya, sehingga orang-orang Kademangan itu telah datang mendahuluinya. "Tetapi masih ada waktu dua hari" berkata Sindangsari di dalam hatinya "kalau di dala m dua hari ini utusan itu datang, maka mereka telah mendahului Ki De mang" Sindangsari yang kebingungan itu, akhirnya berkata kepada kakeknya "Kake k, bagaimana ka lau mereka datang sebelum utusan Ki De mang itu datang dua hari lagi?" "Siapa?" Terasa sangat berat untuk mengucapkannya. Namun di paksanya juga ia berkata "Orang tua Pa mot.
Kakeknya menarik nafas dalam-da la m "A ku tidak tabu sari. Apakah hal itu dapat dimengerti oleh Ki De mang. Mungkin mereka akan menyangka, bahwa itu hanya dalih saja yang dibuat-buat untuk me nolak la marannya" "Kakek" bertanya Sindangsari "apakah keberatannya kalau kakek me ma ng menolaknya, meskipun tanpa dalih apapun" "Itulah Sari. Aku menjadi bingung" jawab kakeknya "tetapi aku akan berusaha. Berusaha sejauh-jauhnya. Aku tahu bahwa aku sama seka li tida k menghendaki untuk menjadi isteri Ki De mang. Akupun sebenarnya tidak" Titik-titik a ir mata telah mulai menga mbang di mata gadis itu. Bahkan ibunya seakan-akan sudah kehilangan nalar, sehingga sama sekali ia tidak dapat lagi menyatakan pendapatnya. Yang ada di dala m dirinya justru penyesalan yang dalam "Seandainya aku bukan seorang janda. Seandainya aku tidak kembali ke rumah ini. Seandainya Sindangsari bukan seorang gadis. Seandainya dan seandainya. Tetapi semuanya bagaikan duri-duri yang menghunja m ke pusat jantungnya. Meskipun ia tidak menangis, namun dari matanya yang kering itu me mancar kepahitan yang menggenangi dadanya. "Jangan menjadi bingung" berkata ka keknya "aku akan berusaha" Tetapi Sindangsari sama sekali tidak dapat menenangkan hatinya. Ketika dadanya seakan-akan menjadi retak, Sindangsari sudah t idak dapat menahan dirinya lagi. Dia mdia m ia meninggalkan hala man rumahnya, menyelusur jalan padukuhan pergi ke rumah Pa mot. Kedatangannya telah me mbuat orang tua Pa mot terkejut. Di saat senja mula i ke la m, gadis itu datang dengan wajah yang mura m. Tetapi orang tua Pa mot cukup bija ksana. Mereka tidak bertanya apapun kepada gadis itu. Dipersilahkannya ia masuk,
ke mudian orang tua Pamot me mbiarkan anaknya mene muinya. Agaknya memang ada sesuatu yang penting telah terjadi. "Kenapa kau datang kemari di saat-saat begini?" bertanya Pamot, yang baru saja selesai mandi, setelah bekerja di sawah sehari-harian. Pertanyaan itu telah membuat Sindangsari menyadari keadaannya. Sebagai seorang gadis, ia telah datang ke rumah Pamot diwaktu ma la m mula i turun. "Ibu tentu mencari a ku" desisnya di dala m hati. Karena itu, maka katanya tiba-tiba "Aku akan pulang" "Sari" sahut Pa mot "tetapi kau be lum me ngatakan sesuatu kepadaku" "Tida k. Kakek dan ibu pasti akan me ncari a ku" "Apakah kau tidak minta ijin kepada mere ka?" "Tida k. Aku pergi dengan dia m-dia m" "Tetapi kau belum mengatakan ma ksudmu" "Aku akan pulang" "Sari" Sindangsari tida k menunggu labih la ma lagi, iapun segera berdiri. Tetapi ketika ia meloncat dari tempatnya, tiba-tiba tangan Pamot telah menangkapnya. "Tunggu Sari" "Lepaskan, lepaskan. Aku a kan pulang" "Tetapi kau belum mengatakan apa-apa" Sindangsari meronta. Ketika ia menghentakkan tangannya tangan itu terlepas dari pegangan Pamot. Segera ia berlari menuju ke pintu. Namun tiba-tiba ia tertegun ketika ia
me langgar ayah Pamot yartg sudah berdiri di muka pintu ketika pintu itu didorongnya. "Angger Sindangsari" suara orang tua itu sareh "aku sadar, bahwa hati angger Sindangsari sedang diliputi oleh kegelapan" Sindangsari berdiri termangu-mangu. "Tenanglah. Me mang sebaiknya angger Sindangsari pulang. Marilah, aku antarkan, tidak baik kau berjalan sendiri dala m gelap. Mungkin tida k seorangpun yang melihat. Tetapi kalau kau bertemu dengan Manguri atau orang-orangnya, mungkin kau akan dibawanya" Terasa bulu-bulu kuduk Sindangsari mere mang. "Marilah aku antarkan" Sidangsari tidak menjawab. Tetapi ia berpaling. Dilihatnya Pamot berdiri di belakangnya. "Atau barangkali Pa mot dapat juga mengantarkan kau ngger" Sepercik warna merah menja lar di wajah Sindangsari, sehingga kepalanya tertunduk karenanya. "Nah, terserah kepadamu. Siapakah yang akan mengantarkan kau pulang ngger. Tetapi sudah tentu tidak sendiri" Sindangsari menjadi se makin tunduk. keberaniannya untuk menjawab pertanyaan itu. Tidak ada
Ayah Pamot menarik nafas dalam-dala m. Kemudian katanya "Biarlah Pa mot mengantarkan kau. Hati-hatilah di jalan" Sindangsari tidak menjawab. Tetapi ketika ayah Pamot menepi, gadis itu melangkahi pintu perlahan-lahan. "Aku minta diri" desisnya.
"Baiklah" ayah Pamot berhenti sejenak, lalu "tetapi sebaiknya kau berusaha untuk mengurangi beban yang agaknya terlampau berat bagimu. Kau datang ke mari, pasti dengan maksud tertentu, meskipun mungkin karena kegelapan hati" Sindangsari t idak me nyahut. "Cobalah mengatakan ngger" berkata ke mudian, la lu "tetapi baiklah kau pulang" ayah Pamot
Sindangsari melangkah perlahan-lahan, penuh keraguraguan. Kepalanya masih menunduk, sedang hatinya seakanakan menjadi pepat. Namun ia mendengar kata-kata ayah Pamot itu "Kau datang ke mari pasti dengan maksud tertentu, meskipun mungkin karena kegelapan hati" Dan Sindangsari mendengar orang tua itu berkata kepada Pamot "Antarkan angger Sindangsari sampa i ke rumahnya. Serahkanlah ia kepada orang tuanya " "Baik ayah" "Pergilah, mumpung belum terla mpau gelap" Sindangsari ke mudian me langkah meninggalkan rumah itu diikuti oleh Pa mot. Perlahan-lahan mereka me lintasi hala man, ke mudian me nyelusur jalan padukuhan setelah mereka keluar dari regol. Keduanya masih belum berbicara apapun juga. Mereka berjalan beriringan, seperti mereka sedang berjalan di atas pematang yang se mpit. Tetapi suasana yang kaku itu me mbuat dada Pamot menjadi tegang, sehingga akhirnya ia me mpercepat langkahnya dan berjalan di sisi Sindangsari. "Sari" ia berdesis perlahan-lahan "apa kah sebenarnya maksudmu datang ke rumah?"
Sindangsari masih berjelan sa mbil menundukkan kepalanya. Bahkan langkahnya semakin la ma menjadi sema kin cepat. "Sudah tentu kau me mbuat seisi rumahku bertanya-tanya. Sikapmu dan kesan di wajahnya menunjukkan bahwa kau sedang diliputi oleh kegelapan hati" Sindangsari masih belum menjawab. Pamot menarik nafas dalam-da la m. Dan tiba-tiba ia berkata "Apakah kau marah, karena aku masih belum me menuhi janjiku, minta kepada orang-orang tua untuk datang me la marmu?" Sindangsari masih berdia m diri. "Aku sudah me mbicarakan dengan ayah, ibu, kakek dan orang-orang tua. Mereka telah sepakat untuk datang besok ke rumahmu" Pemberitahuan itu me mbuat dada Sindangsari berdesir. Tetapi ia masih berjalan justru se ma kin cepat. Pamot menjadi bingung karenanya. Sekali-sekali ditatapnya jalan sempit yang me mbujur di keremangan ma la m. Di sebelah jalan itu terdapat sebuah kebun yang penuh dengan tanaman salak, ubi dan tana man-tanaman lain yang mera mbat. Di sebelah yang lain adalah semak-sema k liar yang tidak terpelihara sama sekali. Beberapa puluh langkah di hadapannya tampak sebuah lentera yang terpancang di regol halaman sebuah rumah yang sedang besarnya. Pamot yang tidak tahu apa yang harus dikatakan itu tibatiba berhenti, sehingga Sindangsari yang terkejut karenanya berhenti pula se langkah di depannya. Dengan penuh pertanyaan Sindangsari me mandang wajah Pamot yang tidak begitu jelas disaput oleh hita m ma la m yang menjadi se makin la ma se makin pe kat.
Tiba-tiba pula Pa mot melangkah setapak surut sambil me mandang lurus-lurus ke depan. Setapak lagi dan setapak lagi. "Kakang, ada apa?" Sindangsari mulai mere mang. Tetapi Pamot tidak menjawab. Ia masih menatap lurus ke depan, kebayangan yang kela m di dekat gerumbul liar di hadapannya. "Kakang, ka kang" Ketika Pa mot mundur se langkah lagi, Sindangsari me njadi ketakutan. Tiba-tiba saja ia berlari dan berpegangan tangan Pamot erat-erat. "Ada apa kakang, ada apa?" Pamot menarik nafas dalam-da la m. Jawabnya "Tidak ada apa-apa?" "Tetapi?" "Aku kebingungan, bagaimana me maksa mu berbicara. Kalau kau masih tetap dia m a ku akan meninggalkan kau berlari, atau aku akan berhenti disini sa mpai esok pagi" "O" tiba-tiba Sindangsari me ncubit tangan, lengan dan punggung Pa mot sejadi-jadinya "kau na kal seka li" "Sari, Sari" "Biar, biar kulit mu hangus. Kau menakut-nakuti aku" "Sari. Sari" Tetapi Sindangsari tidak mau berhenti, sehingga Pa mot terpaksa melangkah surut. Semakin la ma se makin menepi, sehingga akhirnya ia bersandar pada dinding batu di bawah rimbunnya dedaunan perdu yang tumbuh di pekarangan yang tidak terpelihara. "Sudahlah Sari, Sari"
"Biar saja. Kau terla mpau naka l" Karena Sindangsari tidak mau berhenti juga, maka tiba-tiba tangan Pamot menangkap kedua pergelangan tangan Sindangsari. Mula-mula Sindangsari meronta juga, na mun ke mudian ia tidak melawan ketika Pa mot menarik tangannya sehingga tubuhnya menjadi se makin de kat. "Sudahlah Sari" terdengar ke mudian suara Pa mot sareh "Sebenarnya aku hanya ingin tahu, apakah yang me mbuat kau menjadi bingung?" Sindangsari terdia m sejenak. Meskipun tidak tampa k jelas olehnya, tetapi Sindangsari merasa, bahwa Pamot sedang menatapnya. Sejenak, dada gadis itu bergelora. Kece masan, kebingungan dan segala maca m perasaannya tiba-tiba saja terungkat. Terbayang wajah Ki De mang yang sudah tidak muda lagi, meskipun belum tua juga. Kemudian sekilas lewat bayangan Manguri yang terseyum-senyum menghina. "Katakan Sari" desis Pa mot. Suara itu telah mendorong semua perasaannya yang telah tertahan di dadanya. Dan tiba-tiba pula Sindangsari menjatuhkan kepalanya di dada Pa mot sa mbil menangis. "Sari" desis Pa mot "jangan menangis disini. Kalau nanti ada orang yang lewat di jalan ini, ia akan menyangka la in" "Biar, biar a ku menangis" sahut Sindangsari "aku akan berteriak-teriak" "Jangan Sari" "Aku ingin melepaskan sakit di dadaku. "Katakan, katakan saja. Kau tidak perlu berteriak-teriak Kalau aku dapat me mbantumu Sari, aku akan mencoba me mbantumu"
Sindangsari t idak segera menjawab. "Katakan" desis Pa mot. Sindangsari mencoba menahan isaknya. Kemudian dengan terputus-putus diceriterakannya kedatangan kedua utusan Ki Demang, me mberitahukan bahwa dua hari lagi, akan datang serombongan utusan yang lain untuk me la marnya. Cerita. Sindangsari itu terdengar bagaikan ledakan guruh yang dahsyat di telinga Pamot Sejenak ia berdia m diri. Na mun terasa oleh Sindangsari, dada anak muda itu bagaikan akan me ledak. Betapa Pamot mencoba menahan nafasnya yang terengahengah. Sedang giginya menjadi terkatub rapat-rapat. Kedua anak-anak muda itu ke mbali sa ling berdia m diri. Mereka telah dicengka m oleh sebuah angan-angan yang mendebarkan jantung. Dala m ketegangan perasaan itu kemudian terdengar Pamot berkata "Besok orang tua-tua akan me la marmu" Sindangsari me ngangkat wajahnya. Diusapnya air matanya dengan ujung bajunya. Katanya "Apakah hal itu tidak dianggap sebagai suatu permainan, justru setelah kedua utusan Ki De mang itu datang" "Aku tida k peduli. Aku me ma ng sudah me mpersiapkannya. Apapun yang akan terjadi atasku, aku tidak akan menghiraukannya lagi" Nafas Pamot menjadi se makin cepat mengalir "Sari, katakan kepada orang tuamu, kepada kakekmu, bahwa besok kami a kan datang" Sindangsari me ngangguk perlahan-lahan. "Aku tida k menyangka bahwa masalahnya akan me njadi terlampau rumit. Ki De mang sa ma sekali tidak me mberikan
perlindungan kepada kita, tetapi justru ia sendiri telah me libatkan dirinya secara langsung" Sekali lagi Sindangsari mengangguk-anggukkan kepa lanya, "Itulah yang tadi akan kau katakan?" "Ya Kakang. Hatiku tida k dapat menampungnya. Aku menjadi bingung sekali, sehingga aku pergi begitu saja dari rumah" Pamot mengangguk-anggukkan pula "Jadi kau tadi t idak minta ijin?" Sindangsari me nggeleng. "Marilah aku antar kau mencarimu ke mana-mana" pulang, sebelum kake kmu
Sindangsari ke mudian mengusap air matanya pula sambil me langkah surut. Tiba-tiba ia telah kehilangan perasaan ma lunya. Ia merasa tenang berada di de kat anak muda itu, seakan-akan ia dapat berlindung padanya dari segala bahaya yang akan menerka mnya. Keduanyapun ke mudian meneruskan langkah mereka pulang ke rumah Sindangsari. Berbagai maca m perasaan telah berkecamuk di da la m dada kedua anak-anak muda itu. "Sari" berkata Pa mot ketika mereka menjadi sema kin de kat dengan rumah Sindangsari "aku sudah bertekad untuk me la marmu" Sindangsari menundukkan kepalanya. Tetapi kepala itu ke mudian mengangguk. "Bagiku, Sari, kini lebih terasa bahwa kau telah menjadi bagian dari hidupku" Sekali lagi Sindangsari mengangguk. Namun Pa mot ke mudian terdia m. Ia tidak dapat mengucapkan kata-kata yang lain lagi. Ingin aga knya ia mengucapkan seribu maca m janji, sumpah dan apalagi. Tetapi mulutnya serasa tidak lagi
dapat mengucapkannya. Bahkan merayupun ia sudah tidak ma mpu lagi selagi mereka dihantui oleh badai yang dapat menumbangkan cinta yang lagi bersemi di da la m hati masingmasing. Mala mpun menjadi kian sepi. Meskipun sudah dinyalakan di regol-regol, tetapi rasa-rasanya malam menjadi terla mpau gelap, seperti hati kedua ana k-anak muda itu. Ketika mereka berbelok di tikungan, maka mereka sudah me lihat obor minyak jarak di muka regol rumah Sindangsari Nyalanya yang terayun-ayun dibelai angin melontarkan warna yang kemerah-merahan. "Aku akan pulang sendiri" desis Sindangsari. "Tida k. Aku akan menyerahkan kau kepada orang tua mu" Sindangsari tida k menyahut. Tetapi ia tidak menolak ketika Pamotpun ke mudian berbelok me masuki regol rumahnya. Perlahan-lahan Sindangsari mengetuk pintu rumahnya. Dan dari dala mnya terdengar suara ibunya "Siapa?" "Aku bu" "Sindangsari?" "Ya" Yang terdengar kemudian adalah langkah tergesa-gesa ke pintu depan. Ke mudian terdengar pintu itu terdorong ke samping. "Sari, darima na kau?" Sindangsari tidak segera menjawab, tetapi ia berpaling kepada Pamot. "Kau tidak sendiri?" Sindangsari me nggelengkan kepa lanya. "Dengan siapa?"
Sindangsari tidak menyahut. Tetapi yang terdengar adalah jawaban Pamot "Aku bu. Pa mot" "O, marilah. Masuklah" "Terima kasih. Aku hanya mengantarkan Sindangsari. Kemudian aku minta diri" "Apakah anak ini pergi ke rumahmu?" Pamot menjadi ragu-ragu sejenak, namun kemudian ia menganggukkan kepalanya "Ya ibu" Ibunya me mandang Sindangsari dengan tajamnya. Namun ke mudian ia berdesis "Kakekmu mencari kau. Tetapi kakekmupun sudah menduga bahwa kau pergi ke rumah Pamot" Kedua anak-anak muda itu sa ma seka li t idak menyahut. Keduanya kini menunduk dala m-dala m. "Marilah, silahkan masuk. Apakah kau akan menunggu kakek Sari" Ternyata Pamot dapat menanggapi pertanyaan itu. Jawabnya "Terima kasih. Aku minta diri, hari sudah terlampau ma la m" "Baiklah. Terima kasih" Pamot me mbungkuk sa mbil berkata "Lain ka li aku akan berkunjung" Pamotpun ke mudian meninggalkan rumah itu. Sebelum sampai di regol ia berpaling. Ia masihme lihat ibu Sindangsari menarik gadis itu masuk ke rumahnya, dan pintupun segera tertutup. "Kau pergi di mala m hari begini Sari?" desis ibunya "Ingat, kau adalah seorang gadis" Sindangsari me njadi sema kin tunduk.
"Bagaimanapun juga, kau harus dapat menahan dirimu" Sindangsari masih tetap berdia m diri. "Kau dengar Sari. Tahankanlah perasaanmu sedikit. Jangan terlampau dicengka m oleh kebingungan, sehingga kau sudah berbuat di luar kesadaran seorang gadis. Bagaimana kalau ada seseorang yang melihat kau pergi ke rumah Pamot di mala m begini?" Sindangsari tetap me matung "Ingat, ingat Sari. Kau mengerti ?" Perlahan-lahan kepala gadis itu terangguk le mah. "Aku tahu bahwa hatimu sedang pepat. Tetapi kau tidak sebaiknya pergi ke rumah anak muda itu. Apalagi di mala m hari begini" "Belum terla mpau ma la m ibu" suara Sindangsari lirih "ketika aku pergi, aku masih me lihat cahaya matahari yang ke merah-merahan" "Tentu tida k. Aku masih menyapu hala man senja tadi" Sindangsari tidak menjawab lagi. Kepalanya yang tunduk menjadi se makin tunduk. Sedang di matanya mulai menga mbang air matanya yang jernih. Ketika ibunya masih akan me marahinya lagi, terdengar pintu bergerit. "Ha, kau sudah ke mba li Sari" kata kakeknya yang ke mudian muncul dari balik daun pintu "aku mencarimu ke rumah Pa mot Ayahnya mengatakan bahwa kau sudah pulang, diantar oleh Pamot sendiri" Kepala Sindangsari terangguk kecil. "Sudahlah, pergilah ke belakang. Tetapi ingat, jangan kau ulangi. Kau mengerti" Aku mendengar sedikit pesan ibumu" "Ya ka kek"
Kaki Tiga Menjangan 26 Golok Bintang Tudjuh It Kiam Tjeng Tjhim Karya Chung Sin Panggung Kematian 2

Cari Blog Ini