Ceritasilat Novel Online

Meraba Matahari 1

Meraba Matahari Karya S H. Mintarja Bagian 1


Meraba Matahari Karya : S.H. Mintarja ________________________________________
Bab 01 Ketika kabut mulai terkuak, maka cahaya fajarpun mulai mewarnai langit, namun titik-titik embun masih bergayutan diujung dedaunan.
Dinginnya malam masih terasa, meskipun perlahan-lahan pucuk-pucuk pepohonan bagaikan bermunculan dari kegelapan di lembah-lembah perbukitan.
Di lereng bukit berbatu padas, dua orang anak muda yang berloncatan, saling menyerang dan bertahan, kedua-duanya memiliki bekal ilmu yang tinggi. Kaki-kaki mereka dengan tangkasnya melenting dari bongkah-bongkah batu padas ke bongkah-bongkah yang lain, seakan-akan terbang berputaran diantara bebatuan.
Sekali-kali serangan merekapun mengena, sekali-kali berbenturan dengan keras sekali sehingga keduanya tergetar dan terodorong surut berberapa langkah.
Namun ketika cahaya langit menjadi semakin terang, maka keduanyapun menjadi semakin garang, tangan-tangan mereka yang luput dari sasaran dan menyentuh batu-batu padas di tebing, maka tebing itupun telah berguguran. Pepohonan bagaikan diguncang, cabang dan ranting yang tersentuh tangan kedua anak muda itupun berpatahan.
Bukit dibawah kaki mereka seakan-akan telah bergetar.
Seluruh tubuh anak muda itu sudah basah, bukan oleh embun saja, tetapi oleh keringat yang bagaikan diperas dari tubuh mereka. Untuk mengatasi rasa sakit dan nyeri, maka keringat merekapun menjadi semakin banyak mengalir.
Ketika seorang diantara mereka meloncat dengan cepatnya menyerang dengan kakinya dan tepat mengenai dada lawannya, maka lawannya telah terdorong surut beberapa langkah. Tubuhnya membentur sebongkah batu padas, sehingga kemudian terbanting jatuh.
Dengan tangkasnya yang seorang lagi telah memburunya. Pada saat lawannya akan bangkit, maka kakinyapun telah terayun bersamaan dengan tubuhnya yang berputar.
Tetapi ternyata serangannya itu tidak mengenai sasaran, karena lawannya dengan cepat bergesar dan bahkan menjatuhkan dirinya.
Kaki yang sudah terlanjur terayun dengan derasnya itu telah menghantam batu padas pada tebing bukit padas itu.
Batu pada itupun telah pecah berserakan, untunglah bahwa lawannya dengan cepat berguling, melenting dan sekali berputar diudara, kemudian bangkit berdiri beberapa langkah dari tebing yang runtuh itu.
Bahkan dengan cepat pula, anak muda itu telah meloncat dengan tangan terjulur lurus. Jari-jarinya yang lurus merapat telah berhasil menyusup pertahanan lawannya mengenai lambung.
Lawannya terdorong surut sambil menyeringai menahan sakit, namun pada saat anak muda itu siap memburu, terdengar suara tepuk tangan dari sela-sela bebatuan di bukit itu.
Kedua anak muda yang bertempur itupun berhenti dan berloncatan surut mengambil jarak.
Keduanyapun kemudian berdiri tegak menghadap kepada orang yang bertepuk tangan itu. Serentak keduanyapun mengangguk hormat.
Seseorang yang sudah melewati usia setengah abad berdiri tegak sambil tersenyum memandang kedua orang anak muda itu. Orang itu masih terlihat kokoh meskipun rambutnya yang selembar-selembar berderai di bawah ikat kepalanya sudah memutih.
"Sudah cukup ngger, kalian sudah berlatih hampir setengah malam, angger berdua tentu sudah letih, mungkin di beberapa bagian tubuh kalian terasa sakit, nyeri dan barangkali pedih, marilah, kita pulang untuk berisitirahat."
"Ya guru" jawab keduanya hampir berbarengan.
Keduanyapun kemudian berjalan bersama di belakang orang tua itu.
Bertiga mereka berjalan di jalan setapak, di lereng perbukitan yang membujur sejajar dengan pantai lautan yang berombak ganas.
"Lihatlah ngger" berkata orang tua itu "Gelombang itu bagaikan gejolak kehidupan, ia tidak pernah berhenti, susul menyusul dan silih berganti."
Sambil berjalan diatas jalan sempit di perbukitan, mereka menyaksikan debur ombak yang tidak pernah ada hentinya, jika angin berhembus semilir, maka gejolak ombak itu memang agak mereda, tetapi jika langit menjadi buram, angin mulai menderu, maka praharapun datang mendorong ombak yang semakin besar, sehingga seolah-olah beribu bukit berterbangan bertimbun di tepian. Namun kemudian kembali meluncur hanyut ke kedalaman lautan yang luas.
"Lihatlah gunung itu" berkata orang tua itu pula.
Anak-anak muda itupun kemudian memandang kekejauhan. Sebuah gunung yang tinggi menjulang menggapai langit, mega-mega putih yang mengalir dari selatan, bagaikan telah tersangkut di ujungnya yang menjadi kemerah-merahan oleh cahaya matahari pagi yang mulai terbit.
"Didalam gejolak kehidupan yang kadang-kadang bagaikan diguncang oleh prahara, hati kita harus tetap sekukuh dan seteguh gunung itu." Berkata orang tua itu pula.
Sambil berjalan kedua orang anak muda itu masih juga memandangi gunung yang berdiri tegak dan tidak tergoyahkan oleh prahara dan badai, tidak tergeser oleh angin pusaran dan tidak menggeliat oleh panasnya api.
Beberapa saat kemudian, ketiga orang itu sudah mulai menuruni tebing perbukitan yang curam. Tanah berbatu padas dibawah kaki mereka kadang-kadang terasa licin oleh embun, tajamnya bebatuan terasa menusuk telapak kaki mereka.
Tetapi mereka sudah terbiasa, jari-jari mereka bagaikan mampu mencengkeram jika tanah terasa licin oleh embun. Tajamnya bebatuan terasa menusuk telapak kaki mereka.
Sekali-sekali mereka harus meloncati celah-celah perbukitan, menelusuri relung-relung yang tajam.
Beberapa saat kemudian, mereka telah berada di ngarai yang datar. Dijalan bulak persawahan yang rata. Disekitarnya terdapat batang-batang padi yang hijau menebar sampai keujung pandang.
Ketiga orang itu berjalan dengan cepatnya melintasi bulak menuju kesebuah padepokan yang terpencil, sebuah padepokan kecil yang letaknya terpisah dari dari sebuah padukuhan yang terhitung besar.
Atas ijin Ki Bekel Panambangan, Ki Ajar Wihangga mendirikan sebuah padepokan kecil saja yang letaknya terpisah dari padukuhan Panambangan. Hubungan KI Ajar Wihangga dengan Ki Bekel Panambangan cukup akrab, bahkan keduanya sudah menjadi seperti saudara sendiri.
Apalagi umur merekapun sebaya. Jika mereka bertemu, pembicaraan diantara merekapun selalu sejalan.
Disamping beberapap orang murid yang jumlahnya banyak, Ki Ajar Wihangga mempunyai dua orang murid utama. Dua orang murid yang dibanggakan oleh Ki Ajar Wihangga karena keduanya memiliki banyak kelebihan dari anak-anak muda sebayanya.
Keduanya adalah Raden Madyasta dan Raden Wignyana, kakak beradik, petera Kangjeng Adipati di Paranganom.
Keduanya orang kakak beradik itu umurnya tidak bertaut banyak, ketika Madyasta belum dapat berjalan, ibunya sudah mengandung lagi, maka beberapa bulan kemudian lahirlah adiknya. Juga seorang laki-laki yang diberi nama Wignyana. Dengan demikian maka umur mereka hanya bertaut kurang dari dua tahun.
Keduanya tumbuh dengan baik sebagaimana putera seorang Adipati. Sejak mereka mulai mengenali lingkungannya, maka Kangjeng Adipati sudah menugaskan orang-orang pandai untuk mendidik mereka dalam berbagai macam ilmu. Namun kemudian, menginjak remaja, maka merekapun telah diserahkan kepada Ki Ajar Wihangga. Seorang yang memilih satu lingkungan kehidupan di sebuah padepkan yang sepi.
"Aku titipkan anak-anakku kepadamu, kakang" berkata Kangjeng Adipati Paranganom yang bergelar Adipati Prangkusuma.
Ki Ajar Wihangga yang sedikit lebih tua dari Kangjeng Adipati itu menarik nafas panjang, Ki Ajar adalah saudara tua seperguruan dari Kangjeng Adipati Prangkusuma.
"Terima kasih atas kepercayaan Kangjeng Adipati kepadaku, tetapi aku sendiri ragu, apakah aku akan dapat memikul kepercayaan itu. Sehingga hasilnya sesuai dengan keinginan kangjeng Adipati"
Kangjeng Adipati tersenyum, katanya "Aku mengenal kakang dengan baik, kakangpun mengenal aku dengan baik pula"
Ki Ajar Wihangga tertawa, katanya "Baiklah, aku akan membawa kedua putera Kangjeng itu ke padepokanku. Pada saat mereka menjadi dewasa penuh, aku akan membawa mereka kembali"
"Apakah selama itu mereka tidak boleh sekali-sekali pulang untuk menengok keluarganya", ibunya tentu akan sangat merindukannya"
"Tentu, Kangjeng, mereka berada di padepokanku tidak sebagai tawanan atau orang buangan, sehingga tidak boleh meninggalkan tempat. Tetapi mereka akan menjadi murid-murid utama padepokanku"
sejak saat itu, empat tahun lalu, dua orang remaja putera Kangjeng Adipati Prangkusuma itu berada di padepokan yang dipimpin oleh Ki Ajar Wihangga. Namun seperti yang dimaksudkan oleh Kangjeng Adipati, bahwa sekali-sekali merekapun pulang karena keluarganya merindukannya.
Namun bukan saja kerinduan seorang ayah dan ibu, tetapi setiap Raden Madyasa dan Wignyana pulang, Kangjeng Adipati selalu menilik kemajuan kedua orang puteranya yang diasuh oleh Ki Ajar Wihangga itu.
Setiap kali Kangjeng Adipati tersenyum, ia bangga dengan kemajuan yang pesat dari kedua orang puteranya itu, kepercayaannya kepada saudara perguruannya tidak sia-sia.
Ki Ajar Wihangga sendiripun merasa bangga terhadap kedua orang muridnya itu, pada saat-saat terakhir, Ki Ajar Wihangga telah sampai pada puncak ilmu yang dapat diajarkannya kepada kedua orang muridnya yang telah menjadi dewasa penuh itu.
Sebagaimana dijanjikan kepada Kangjeng Adipati, jika keduanya telah menjadi dewasa penuh, maka mereka akan dibawa kembali ke Kadipaten.
Dalam pada itu, beberapa saat kemudian, mereka bertiga telah memasuki sebuah padepokan yang tidak begitu besar. Dipagi hari, sebagian cantrik sibuk menimba air mengisi jambangan pakiwan, ada yang sibuk di dapur merebus air, yang lain berada di kandang ternak dan di kandang kuda.
Ketika para cantrik itu melihat Ki Ajar Wihangga bersama dengan Madyasta dan Wignyana memasuki padepokan, merekapun mengangguk hormat.
"Teruskan kerja kalian anak-anak" berkata Ki Ajar. "Kalian adalah anak-anak yang rajin dan terampil. Dengan demikian, maka padepokan kita akan selalu terpelihara kebersihannya. Jika Ki Bekel Panambangan datang kemari, maka ia akan tetap mengagumi kebersihan padepokan kita"
Ki Ajar Wihangga itupun langsung pergi ke pringgitan bangunan induk padepokan itu bersama Madyasta dan Wignyana.
"Duduklah ngger, ada sesuatu yang ingin aku katakan kepada kalian"
Madyasta dan Wignyana termangu-mangu sejenak, tidak biasanya Ki Ajar bersikap demikian bersungguh-sungguh seperti itu.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, Madyasta dan Wignyana telah duduk di pringgitan menghadap Ki Ajar.
Kedua anak muda itu masih belum mengeringkan keringatnya, bahkan di beberapa bagian tubuh mereka masih terasa nyeri dan pedih. Ada beberapa luka yang menggores pada saat-saat tubuh mereka membentur batu-batu padas, bahkan kening Wignyana masih nampak memar.
"Anak-anakku" berkata Ki Ajar, "Jika kalian ingat, maka hari ini adalah hari ulang tahun kelahiran angger Madyasta. Anger Madyasta pada hari ini genap berusia dua puluh lima tahun, sedangkan angger Wignyana dalam beberapa bulan lagi akan berusia genap dua puluh empat tahun, karena selisih usia kalian berdua tidak ada dua tahun"
"Ya guru" Madyasta mengangguk hormat "Aku ingat, bahwa hari ini adalah hari ulang tahunku, tetapi menurut pendapatku, aku tidak merasa perlu mengadakan peringatan khusus pada hari ulang tahun ini, guru. Agaknya cukuplah jika aku sempat mengingatnya saja"
Ki Ajar Wihangga tertawa, katanya "Aku mengerti ngger. Kau tentu tidak memerlukannya, yang ingin aku sampaikan adalah, bahwa kau sudah dewasa penuh, demikianlah pula dengan anger Wignyana"
"Ya, guru" "Dengarlah, ketika Kangjeng Adipati menitipkan kalian berdua di padepokan ini, aku mengatakan, bahwa pada saat kalian sudah dewasa penuh, maka aku akan membawa kalian kembali ke Kadipaten"
Madyasta dan Wignyana menundukkan kepalanya.
"Nah, sekarang kalian sudah dewasa sepenuhnya, meskipun umur angger Wignyana terpaut sekitar satu setengah tahun, tetapi menurut pendapatku, angger Wignyana juga sudah dapat danggap dewasa sepenuhnya. Sementara itu ilmu yang aku ajarkan kepada kalian berduapun sudah tuntas. Kalian berdua adalah murid-muridku yang terbaik"
Keduanya terdiam, mereka sadar, bahwa dengan demikian mereka harus meninggalkan padepokan yang telah mereka huni sekitar empat tahun.
Selama empat tahun mereka menghirup udara di padepokan itu. Selama empat tahun mereka teguk airnya. Mereka makan hasil buminya dan selain semuanya itu, mereka telah menyadap ilmu pula dari gurunya, Ki Ajar Wihangga"
"Anak-anakku" berkata Ki Ajar Wihangga ketika dilihatnya kedua anak muda itu menunduk dalam-dalam "Sebenarnyalah bahwa padepokan ini bukan tempat terbaik bagi kalian. Kalian adalah putera-putera Adipati. Disini kalian bekerja keras untuk menyadap ilmu, sekarang, ilmu itu telah ada di dalam diri kalian, tentu saja hanya sebatas kemampuanku untuk menurunkan ilmu itu kepada kalian" Ki Ajar
Wihangga berhenti sejenak, lalu katanya pula "Nah, karena itu, sudah saatnya kalian pulang kerumah kalian di Kadipaten Paranganom"
Madyasta dan Wignyana memang menyadari, bahwa pada suatu saat mereka memang harus meninggalkan padepokan ini, mereka harus kembali ke Kadipaten, apalagi ayah mereka, Adipati Pranganim akan menjadi semakin tua, sehingga kehadiran mereka di Kdipaten akan sangat diperlukan.
Pada tahun-tahun terakhir mereka berada di padepokan itu. Telah terjadi pergeseran kekuasaan di Kadipaten Kateguhan, Kangjeng Adipati Prawirayuda, saudara tua Kangjeng adipati Prangkusuma, telah mangkat. Madyasta dan Wignyana,
meskipun mereka masih berada di padepokan, namun mereka sempat pergi ke Kateguhan bersama ayah dan ibu mereka untuk menghadiri pemakaman Kangjeng Adipati Prawirayuda. Merekapun sempat menghadiri wisuda yang menetapkan putera Kangjeng Adipati Prawirayuda untuk menggantikan kedudukan ayahnya, bergelar Kangjeng Adipati Yudapati di Kateguhan.
"Anak-anakku" berkata Ki Ajar Wihangga "Besok aku akan mengantar kalian pulang, aku akan menyerahkan kembali kalian kepada ayah kalian, Kangjeng Adipati Prangkusuma. Sehingga apa yang aku ajarkan kepada kalian, sesuai dengan kehendaknya.
Madyasta menark nafas dalam-dalam, dengan nada rendah iapun kemudian berkata "Kami mengucapkan beribu-ribu terimakasih, guru. Disini kami sudah mendapatkan apa saja yang kami perlukan sebagai bekal hidup kami dikemudian hari"
"Sebenarnyalah bahwa kami sudah terlanjur merasa terikat dengan kehidupan di padepokan ini, guru" berkata Wignyana pula.
Ki Ajar Wihangga tersenyum, katanya "Jika aku menyerahkan kalian kepada ayah kalian, bukan berarti bahwa hubungan kita telah terputus. Kalian dapat datang kapan saja ke padepokan ini, kalian dapat bermalam disini atau bahkan tinggal disini beberapa hari asalkan ayah kalian mengijinkannya"
"Ya, guru" sahut Wignyana sambil mengangguk hormat
"Sejak dini hari tadi, aku sudah melihat kemampuan kalian berdua, apa yang dapat alu tuangkan kepada kalian, telah aku lakukan. Menurut pendapatku, pada suatu saat kalian menjadi dewasa seperti sekarang ini. Ilmu kalianpun telah menjadi matang pula. Karena itu, aku berkesimpulan, bahwa kalian memang sudah waktunya untuk kembali ke Kadipaten. Mungkin ayah kalian memerlukan bantuan kalian dalam menjalankan pemerintahannya karena ayah kalian sudah menjadi semakin tua"
"Nah, sekarang mandilah, aku sudah menyiapkan serbuk yang dapat meredakan rasa sakit pada tubuh dan dapat meneyembuhkan luka-luka kalian, terbarkanlah serbuk itu ke dalam jambangan"
"Ya, guru" "Marilah, kita ambil serbuk itu di senthongku"
Ki Ajar Wihanggapun kemudian telah memberikan masing-masing sebuah bumbung kecil yang berisi serbuk ramuan dari berbagi macam daun dan bunga yang terdapat di kebun belakang padepokannya, berdasarkan atas pengamatan dan penelitian dan pengalaman yang lama, maka Ki Ajar Wihangga telah dapat membuat ramuan yang akan sangat berarti bagi kedua orang anak muda itu.
Sebenarnyalah, setelah mandi dengan menaburkan serbuk didalam bumbung itu di jambangan yang telah penuh diisi air, maka terasa alangkah segarnya tubuh mereka. Perasaan sakit, nyeri dan pedihpun telah hilang, meskipun sejak dini hari mereka berlatih dengan mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan mereka diatas pebukitan yang berbatu padas.
Setelah mandi dan berbenah diri, maka merekapun duduk di ruang dalam bersama Ki Ajar, ada beberapa pesan yang disampakan oleh Ki Ajar kepada kedua orang anak muda itu, karena hari itu adalah hari terakhir mereka di padepokan.
"Nah, berbicaralah dengan para cantrik" berkata Ki Ajar Wihangga kemudian, bahwa besok kalian akan pergi meninggalkan padepokan ini"
"Baik, guru" jawab Madyasta dan Wignyana hapir berbarengan.
Sejenak kemudian, Madyasta dan Wignyana telah berada diantara para cantrik. Ada diantara mereka yang sudah bersiap memasuki sanggar, tetapi ada pula yang masih bertugas.
Para cantrik itu terkejut ketika mereka mendengar pernyataan Madyasta dan Wignyana, bahwa besok mereka akan meninggalkan padepokan.
"Raden berdua tidak akan kembali lagi kemari?" bertanya salah seorang cantrik.
"Tidak, maksudku, masa berguru kami sudah selesai, tetapi bukan berarti bahwa kami tidak akan pernah datang ke padepokan ini lagi, sekali-sekali kami tentu akan datang kemari" jawab Madyasta.
"Ada ikatan yang tidak dapat dengan serta-merta kami putuskan" sambung Wignyana.
Namun bagaimanapun juga, kepergian Madyasta dan Wignyana membuat para cantrik itu merasa kehilangan, setidak-tidaknya untuk sementara.
Esok harinya, pada dini hari, Madyasta dan Wignyana telah bangun. Mereka segera mempersiapkan diri, hari itu, mereka akan diantar oleh Ki Ajar Wihangga kembali ke Kadipaten.
Kedua putera Kangjeng Adipati itu menyadari, bahwa kehidupuan di Kadipaten menurut gelar lahiriah tentu jauh lebih baik dari mereka dapatkan dalam kehidupan di padepokan itu yang tidak mereka dapat di Kadipaten. Di padepokan mereka hidup dalam suasana tenang dan damai. Tidak ada masalah yang dapat menimbulkan pertengkaran. Bukan berarti bahwa di padepokan itu tidak akan ada perbedaan pendapat. Tetapi mereka menanggapi perbedaan pendapat itu dengan sikap yang mapan. Kadang-kadang ada perbedaan pendapat yang sulit dipertemukan meskipun dengan bantuan beberapa orang cantrik yang lain. Namun dalam keadaan demikian, mereka yang berbeda pendapat itu akhirnya sepakat untuk berbeda pendapat. Yang satu tidak memaksakan pendapatnya kepada yang lain. Apalagi dengan menyatakan kebenaran pendapatnya bagi semua orang.
Sebelum matahari terbit, maka kedua orang anak muda itupun sudah siap. Demikiian pula Ki Ajar Wihangga. Kuda-kuda yang akan mereka pergunakan telah disediakan pula di samping pendapa bangunan induk padepokan.
"Kita akan singgah sebentar di rumah Ki Bekel, ngger, sebaiknya kalian minta diri kepada Ki Bekel"
"Baik, guru" Ketika matahari terbit, maka merekapun meninggalkan padepokan setelah Ki Ajar memberikan beberapa pesan kepada cantriknya. Seorang cantrik yang tertua, bukan saja umurnya, tetapi juga masa bergurunya telah diserahi untuk memimpin adik-adik seperguruannya.
"Mungkin aku akan bermalam di Kadipaten" berkata Ki Ajar kepada para cantriknya.
Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, Ki Ajar, Madyasta dan Wignyanapun telah melarikan kuda mereka dibulak panjang yang memisahkan padepokan mereka dengan padukuhan Panambangan.
Kedatangan Ki Ajar bersama muridnya pagi-pagi sekali pada saat matahari baru terbit, telah mengejutkannya.
"Maaf, Ki Bekel" berkata Ki Ajar "Mungkin kami mengganggu atau bahkan mengejutkan Ki Bekel, sebenarnyalah kami hanya ingin minta diri. Hari ini Raden Madyasta dan Wignyana akan kembali ke Kadipaten"
"Maksud Ki Ajar, kembali pulang ke Kadipaten dan tidak datang lagi ke padepokan?"
"Waktu mereka tinggal di padepokan sudah habis. Seperti yang aku janjikan, aku akan mengembalikan mereka setelah mereka dewasa. Karena sekarang mereka sudah dewasa, dan tidak ada lagi yang dapat aku ajarkan kepada mereka, maka aku akan membawa mereka kembali ke kadipaten dan menyerahkannya kepada ayah mereka"
"Kami berdua mengucapkan terima kasih atas segala kebaikan hati Ki Bekel" berkata Madyasta kemudian.
"Apa yang telah aku lakukan", aku tidak berbuat aoa-apa bagi kalian berdua. Nah, aku hanya dapat mengucapkan selamat jalan bagi kalian berdua, ngger. Semoga apa yang kalian dapatkan dari padepokan Panambangan yang dipimpin oleh Ki Ajar Wihangga akan dapat berarti bagi angger berdua di masa datang. Baktiku kepada Kangjeng Adipati Prangkusuma"
"Terima kasih, Ki Bekel, mudah-mudahan kita masing-masing selalu dirahmati oleh ALLAH Subhanallahi Wataala disepanjang hidup kita"
Ki Bekel tersenyum, setiap kali ia melihat kedua orang anak muda putera Kangjeng Adipati itu hatinya selalu bergetar. Ki Bekel sendiri mempunyai lima orang anak, tetapi semuanya perempuan. Semuanyan telah bersuami pula. Tetapi Ki Bekel yang baru mempunyai tiga orang cucu itu, ternyata semuanya juga perempuan.
"Aku ingin mempunyai keturunan laki-laki, semoga ALLAH menganugerahkan aku dengan cucu laki-laki"
Meraba Matahari 02 Tetapi Ki Bekel masih berpengharapan, salah seorang anaknya sedang mengandung,
ia berharap anak yang akan lahir itu laki-laki. Jika anak itu perempuan, maka ia
masih akan tetap memohon seorang cucu laki-laki.
Demikian, maka sejenak kemudian, Ki Ajar Wihangga bersama dengan Madyasta dan
Wignyanapun telah melarikan kuda mereka menuju ke Kadipaten.
Ketika mereka meninggalkan padukuhan Panambahan, masih terdengar kicau
burung-burung liar yang hinggap di pepohonan. Sementara itu, mataharipun
memanjat semakin tinggi, daun padi yang hijau subur, yang bergetar disentuh
angin pagi, nampak berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari. Sementara embun
masih nampak bergayutan di ujungnya yang menunduk.
Ki Ajar Wihangga, Madyasta dan Wignyanapun memang tidak melarikan kuda mereka
terlalu kencang. Meskipun jarak yang akan mereka tempuh cukup panjang, namun
mereka merasa bahwa perjalanan mereka tidak akan mengalami hambatan.
Mungkin mereka akan berhenti sebentar untuk beristirahat. Mungkin ada kedai yang
memadai serta yang sekaligus dapat merawat dan memberikan makan kepada kuda-kuda
mereka. "Sebelum senja kita akan sampai" berkata Ki Ajar Wihangga.
"Jika kita berhenti beristirahat?"
"Ya, kita akan berhenti beristirahat sekali atau dua kali. Mungkin kita tidak
sangat memerlukan kesempatan untuk beristirahat. Tetapi agaknya kuda-kuda kita
memerlukannya." Sedikit lewat tengah hari, Ki Ajar Wihangga yang mengajak mengajak kedua orang
anak muda itu untuk beristirahat di sebuah kedai. Ki Ajar Wihangga, bahwa kedua
anak muda itu tentu tidak akan ada yang mengajaknya berhenti, sementara itu kuda
mereka sudah nampak agak letih dan haus.
Ternyata sebuah kedai yang terletak tidak jauh dari sebuah pasar, menyediakan
tenaga yang dapat merawat, memberi makan dan minum kuda yang kelelahan, karena
itu, maka mereka bertigapun telah berhenti di kedai itu sambil menyerahkan
kuda-kuda mereka kepada seorang yang memang ditugaskan untuk itu.
Kehadiran Madyasta dan Wignyana di kedai itu sama sekali tidak menarik
perhatian, karena keduanya mengenakan pakaian orang kebanyakan. Keduanya sama
sekali tidak menunjukkan ciri-ciri bahwa keduanya adalah putera seorang Adipati.
Namun didalam kedai itu Madyasta, Wignyana dan Ki Ajar Wihangga tertarik kepada
pembicaraan beberapa orang yang lebih dahulu berada di kedai itu, mereka
menceritakan bahwa keadaan kadipaten Paranganom mulai tidak aman. Sekali-sekali
terdengar berita tentang perampokan di jalan-jalan yang sepi. Bahkan ada
penyamun yang berani melakukannya disiang hari.
"Guru" desis Madyasta " Apa selama ini guru tidak pernah mendengar berita
seperti itu?" Ki Ajar Wihangga menggeleng, katanya perlahan-lahan "Yang aku ketahui selama ini
Kadipaten Paranganom adalah sebuah kadipaten yang tenteram. Tidak terdapat
gejolak kejahatan yang pernah mengusik ketenangan kehidupannya."
"Tetapi menurut orang itu..?"
Ki Ajar Wihangga mengangguk-angguk.
Sebenarnyalah mereka mendengar dengan jelas, bahwa Kadipaten Paranganom mulai
disentuh oleh perbuatan-perbuatan jahat.
"Tetapi semuanya itu baru kita dengar dari pembicaraan orang di sebuah kedai,
guru" berkata Madyasta.
"Ya, ngger. Mudah-mudahan yang terjadi sebenarnya tidak seperti yang kita dengar
itu" "Mungkin yang terjadi itu tidak terjadi di Kadipaten ini, guru" berkata Wignyana
"Atau jika terjadi di Kadipaten ini sekedar sentuhan peristiawa yang terjadi
diluarnya" "Ya, ngger, meskipun demikian, jika di dekat perbatasan telah terjadi kerusuhan,
maka yang tinggal selangkah itu tentu akan segera terjadi pula"
Wignyana mengangguk sambil menjawab "Ya, guru"
"Bagaimanapun juga apa yang kita dengar ini akan kita laporkan kepada Kangjeng
Adipati. Apa salahnya kita berjaga-jaga orang-orang itu tentu bukan sekedar
membual, meskipun mungkin yang terjadi tidak tepat seperti apa yang mereka
perbincangkan itu" "Guru" berkata Wignya "Kita juga akan melewati jalan di dekat perbatasan dengan
Kadipaten Kateguhan"
"Ya, tetapi mudah-mudahan kita tidak menemui hambatan"
Demikianlah, beberapa saat kemudian, setelah mereka minum dan makan serta
kuda-kuda merekapun sudah puas beristirahat serta sudah kenyang pula, maka
mereka bertigapun melanjutkan perjalanan mereka menuju pusat pemerintahan
Kadipaten Paranganom. Sejenak kemudian, kuda-kuda mereka telah berlari lagi menyusuri jalan-jalan
berbatu. Mereka bertiga memutuskan untuk mengambil jalan terdekat, meskipun
bukan jalan yang terbaik. Jalan yang mereka lalui justru akan melewati padang
perdu, bahkan lewat tidak jauh dari sebuah hutan yang membujur panjang di
perbatasan. Rasa-rasanya mereka justru ingin membuktikan, apakah yang dibicarakan oleh
orang-orang yang berada di kedai itu memang benar.
"Mungkin kita mendapatkan kesan-kesan tertentu yang dapat membenarkan atau
justru bertentangan dengan yang dibicarakan oleh orang di dalam kedai itu"
berkata Madyasta. Ki Ajar Wihangga tidak mencegahnya, sebagai putera seorang Adipati, keduanya
tentu ingin mengetahui keadaan sebenarnya dari wilayah kekuasaan ayahnya.
Kuda mereka masih berlari, sekali-sekali jalan menanjak naik, namun kemudian
jalanpun menurun dengan tajamnya. Sekali-sekali mereka menyeberangi sungai yang
tidak begitu besar sehingga airnyapun tidak begitu dalam.
Ketika matahari mulai beranjak turun, maka Wignyanapun berkata "Kita akan segera
sampai di jalan yang terdekat dengan perbatasan, kakangmas"
"Ya, dimas. Dekat perbatasan dengan Kadipapten Kateguhan yang sekarang
pemerintahannya dipegang oleh kakangmas Adipati Yudapati."
"Apakah keadaan di Kadipaten Kateguhan manjadi semakin memburuk sepeninggalnya
paman Adipati Prawirayuda, sehingga terjadi kerusuhan di beberapa tempat, bahkan
mengalir ke Kadipaten Paranganom?"
"Kita belum tahu pasti dimas"
"Bagaimana menurut pendapat guru", apakah kangmas Adipati Yudapati tidak mampu
mengendalikan Kadipaten Kateguhan setangkas paman Adipati Prawirayuda?"
"Aku kurang mengenal angger Adipati Yudapati, ngger. Tetapi Aku mengetahui bahwa
Adipati Yudapati berguru kepada seorang yang aku kenal dengan baik"
"Atau ada oprang yang tidak menyenanginya sehingga dengan sengaja menimbulkan
keresahan?" "Masih banyak yang perlu diketahui, ngger"
Ketiganyapun terdiam sejenak, kuda-kuda mereka masih berlari di jalan yang
semakin dekat dengan hutan yang panjang.
Namun tiba-tiba saja Wignyana itupun berkata "Kakangmas, jangan-jangan justru
kerusuhan itu terjadi di Kadipaten Paranganom, baru merembes ke Kateguhan"
"Jika demikian, kita harus dengan cepat bukan saja menumpasnya, tetapi juga
mencari sebabnya" "Ya" Wignyana mengangguk-angguk.
Ketika kemudian mereka mendekati sebuah tikungna, pada jarak terdekat dengan
hutan yang memanjang, Ki Ajar berkata "Berhati-hatilah, ngger"
Madyasta dan Wignyana yang patuh kepada gurunya itu memperlambat kudanya. Ketika
mereka sampai di kelok jalan, maka keduanya benar-benar berhati-hati"
Untunglah, bahwa Ki Ajar telah memberi peringatan kepada mereka. Sehingga mereka
menarik kendali kuda mereka. Bebera[a langkah dari tikungan terdapat tali ijuk
yang menyilang jalan. Tali ijuk yang sengaja diikat pada dua batang pohon yang
berseberangan setinggi dada orang yang berkuda.
Madyasta dan Wignyana yang berada di depan segera berhenti dan meloncat turun.
Mereka sadar, bahwa mereka berhadapan dengan bahaya yang dapat mencancam jiwa
mereka. Ki Ajar kemudian turun pula dari kudanya, jika saja mereka tidak berhati-hati,
maka tali ijuk akan dapat menjebak mereka, sehingga mereka akan terpelanting
dari kuda-kuda mereka. Dengan geram Madyasta berkata "Jika apa yang dikatakan orang di kedai itu bukan
sekedar dongeng. Sekarang kita hadapi kenyataan itu disini. Bukankah kita masih
tetap berada di Paranganom?"
"Ya, kakangmas. Kita masih berada di Paranganom. Jika memang benar, bahwa telah
terjadi kerusuhan di Paranganom, kejadian yang sebelumnya belum pernah mengotori
udara Kadipaten ini"
Ki Ajar berdiri termangu-mangu, dipandanginya hutan yang tinggi beberapa langkah
saja itu. Mereka memang berada diruas jalan yang terdekat dengan hutan di perbatasan itu.
Sejenak mereka bertiga berdiri termangu-mangu. Mereka sama sekali tidak berniat
dengan cepat menghindar dari kemingkinan buruk menghadapi orang-orang yang telah
dengan sengaja menyilangkan tali ijuk itu. Bahkan mereka bertiga seakan-akan
menunggu, apa yang akan terjadi kemudian memskipun mereka dapap saja merunduk,
menyusup dibawah tali ijuk itu dan melarikan kuda mereka.
Dalam pada itu, tiba-tiba saja mereka mendengar suara tertawa, empat orang
bertubuh tinggi, berbadan kekar dan berwajah garang muncul dari dalam hutan.
Seroang diantara mereka berkata "Luar biasa, jarang sekali orang yang sempat


Meraba Matahari Karya S H. Mintarja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghindari jebakan kami. Apalagi orang yang berkuda dari arah tikungan. Tetapi
kalian sempat menarik kendali, sehingga kuda kalian berhenti sebelum tali itu
melemparkan kalian dari kuda-kuda kalian."
Bab 02 - Kadipaten Paranganom
Wignyana yang menyahut "Kalian hanya menjebak orang-orang yang lewat dari satu
arah, kenapa justru orang-orang yang akan pergi kearah pusat kota pemerintahan
Paranganom?" Orang yang berwajah garang itu mengerutkan dahinya, katanya "Pertanyaanmu bagus
anak muda, tetapi aku tidak dapat menjawab. Kami sama sekali tidak pernah
memikirkannya, bahwa jebakan kami hanya berlaku bagi mereka yang berkuda dari
satu arah. Mungkin kami mempunyai firasat bahwa kalian akan lewat jalan ini
menuju pusat pemerintahan Kadipaten Paranganom"
"Lalu, apa maksud kalian dengan merentang tali ijuk ini menyilang jalan itu?"
"Kau sudah tentu tahu apa yang kami inginkan. Karena kalian tidak terlempar dari
kuda kalian, maka baiklah aku katakan saja bahwa aku ingin merampas semua harta
kalian, kami adalah sekawanan penyamun. Kami tidak perlu menyembunyikan
kenyataan diri atau berpura-pura. Berikan kudamu, uangmu, kerismu, timangmu.
Pokoknya tinggalkan semuanya dan kalian boleh pergi"
"Baik. Kamipun akan berterus terang" sahut Madyasta "Kami akan menangkap kalian
dan membawanya menghadap Kangjeng Adipati. Selama ini Paranganom selalu tenang,
tenteram dan tidak pernah terdapat gejolak apapun. Tiba-tiba muncul kalian,
kawanan penyamun yang bukan saja ingin merampas milik kami, tetapi kalian sudah
membuat Paranganom menjadi resah"
Para penyamun itu tertawa, seorang diantara mereka berkata "Itu memang kami
sengaja. Karena selama ini Paranganom tenang-tenang saja, maka, banyak orang
yang menjadi lengah dan tidak berhati-hati. Nah, karena itu, maka Paranganom
menjadi ladang yang sangat subur bagi kami. Di daerah yang tidak sedamai
Paranganom, tidak akan ada orang yang memilih jalan ini untuk memilih jalan yang
ramai meskipun agak jauh. Tetapi disini, didaerah yang aman dan tenteram, kalian
berani lewat jalan yang sepi ini. Karena itu, maka kalian telah menemui nasib
buruk sekrang ini" "Kami atau kalian yang menemui nasib buruk". Kami adalah perajurit Paranganom
dalam tugas sandi, justru karena pada saat-saat terakhir sering terjadi
perampokan. Semula kami tidak mempercayainya, karena selama ini Paranganom
selalu aman dan tenteram. Namun disini kami menemukan kenyataan itu. Di
Paranganom memang ada sekawanan perampok dan bahkan mungkin sekelompok perampok
yang justru memanfaatkan ketenangan masyarakat Paranganom yang kalian anggap
lengah. Memang mungkin rakyat menjadi lengah, tetapi tidak untuk perajurit"
"Persetan dengan celoteh kalian. Jika kalian prajurit dalam tugas sandi, kenapa
kalian membawa orang tua itu bersama kalian"
Madyasta dan Wignyana serentak berpaling kepada Ki Ajar Wihangga yang berdiri
saja seolah membeku. "Orang tua itu hanya kebetulan seperjalanan, agaknya orang tua itu sudah
mempunyai firasat buruk, bahwa Paranganom sekarang memang sudah tidak lagi aman
dan tenteram" "Sudahlah, jangan mengaku-aku prajurit, bahkan seandainya kalian prajurit.
Kalian harus tunduk kepada kami sekarang ini. Serahkan semua yang kalian punya,
juga orang tua itu. Kemudian karena kalian prajurit, maka perlakuan kami akan
bebrbeda" "Kenapa jika kami prajurit?" bertanya Wignyana.
"Karena kalian prajurit, maka kalian akan kami bunuh disini. Biarlah Paranganom
menyadari, betapa rapuhnya kekuatan Kadipaten Paranganom yang katanya aman dan
tenteram. Orang tua itu akan kami lepaskan untuk berceritera, bahwa dua orang
prajurit Paranganom telah mati dibunuh sekawanan perampok. Orang tua itu akan
berceritera, bahwa ternyata para prajurit Paranganom tidak mampu melindunginya,
sehingga ia harus menyerahkan semua miliknya kepada orang-orang yang merampoknya
di jalan ini" Tetapi Wignyana itupun menjawab, "Bersiaplah, kami akan menangkap kalian. Jika
kalian melawan, maka kami akan terpaksa membunuh kalian. Orang-orang Paranganom
akan merasakan betapa ketatnya perlindungan bagi ketenangan hidup mereka"
Keempat orang perampok itu bergeser merenggang. Tetapi sambil terttawa seorang
yang agaknya pemimpin mereka itu masih juga tertawa sambil berkata
"Prajurit-prajurit muda kebanyakan memang besar kepala, mereka merasa dirinya
mumpuni. Tetapi apa kalian pernah belajar olah kanuragan yang sebenarnya di
lingkungan keprajuritan" Lurah-lurah kalianpun tidak tahu ilmu kanuragan yang
sebenarnya, apalagi kalian"
Madyasta dan Wignyana tidak bertanya lagi, keduanyapun telah mengikat kuda-kuda
mereka pada pohon perdu di pinggir jalan. Kemudian keduanyapun telah mengambil
jarak. Mereka menyadari, bahwa mereka masing-masing akan menghadapi dua orang
lawan. Para perampok itu tentu tidak akan memperhitungkan kehadiran Ki Ajar
Wihangga, kecuali jika Ki Ajar itu sendiri yang akan turun ke medan.
Namun agaknya Ki Ajar tidak akan melibatkan diri, ia masih saja berdiri sambil
memegangi kendali kudanya, seakan-akan membeku.
Sebenarnyalah bahwa Ki Ajar memang tidak ingin langsung terjun ke arena, ia
justru ingin melihat, apa yang dapat dilakukan oleh kedua orang muridnya.
Hanya dalam keadaan yang memakska, maka Ki Ajar akan melibatkan diri.
Dalam pada itu, salah seorang dari keempat perampok itu masih berkata "Angkatlah
wajahmu, pandanglah langit diatas Kadipaten Paranganom untuk terakhir kalinya.
Pandanglah mega yang mengalir dan seakan-akan bersarang di puncak gunung itu.
Kemudian tundukkan kepalamu. Pandanglah bumi yang kau injak. Di bumi itu pula
kalian akan dikuburkan"
Madyasta dan Wignyana tidak menyahut, namun keduanya benar-benar telah bersiap
menghadapi segala kemungkinan.
Sejenak kemudian, para perampok itupun telah bertebar, seakan-akan memilih lawan
masing-masing, seperti yang diduga oleh Madyasta dan Wignyana, mereka
masing-masing akan berhadapan dengan dua orang yang bertubuh tinggi, berbadan
kekar, dan berwajah garang. Meskipun mereka sering tertawa, tetapi suara tertawa
mererka sama sekali jauh dari nafas keramah-tamahan.
"Suara iblis yang bersarang ditubuh mereka" berkata Madyasta di dalam hatinya.
Sebagai putera seorang Kangjeng Adipati yang memimpin pemerintahan, maka
Madyasta dan Wignyana benar-benar merasa tersinggung oleh perbuatan para
perampok itu. Ketenangan yang mereka anggap ketenangan itu, seolah-olah telah
menggelar lahan yang sangat subur bagi mereka.
"Kesan itu harus dihapuskan, setiap penjahat yang ada di Kadipaten ini harus
dihukum" Demikianlah, maka sejenak kemudian, para perampok itu sudah mulai menyerang dari
arah yang berbeda. Dua orang menghadapi Madyasta, yang dua orang lagi menghadapi
Wignyana. Dengan tangkasnya Madyasta dan Wignyana menghadapi para perampok yang garang
itu. Ketika beberapa serangan para penyamun itu tidak sempat menyentuh tubuh kedua
orang anak muda itu, maka para perampok itupun mulai menyadari, bahwa anak-anak
muda itu bukannya sekedar menggertak. Agaknya mereka memang mempunyai bekal yang
cukup dalam olah kanuragan.
Ki Ajar masih berdiri di tempatnya, kedua murid utamanya itu justru mendapat
tempat untuk menguji ilmu yang pernah mereka pelajari.
Namun pertempuran itu tidak berlangsung lama, Madyasta dan Wignyana ternyata
terlalu kuat bagi keempat perampok itu.
Dalam beberapa saat, keempat penyamun itu mulai terdesak. Serangan-serangan
mereka yang garang sama sekali tidak berarti bagi Madyasta dan Wignyana, bahkan
serangan-serangan Madyasta dan Wignyana yang kemudian justru sereing mengenai
tubuh mereka, serangan-serangan kedua orang anak muda itu mampu menembus
pertahanan lawan-lawan mereka.
Ketika serangan Madyasta yang deras mengenai dada seorang diantara
lawan-lawannya, orang itupun terlempar beberapa langkah surut, kakinya
terperosok kedalam parit, sehingga orang itu tidak lagi mampu mempertahankan
keseimbangannya. Dengan demikian maka iapun telah terbaring jatuh menimpa
tanggul parit, namun kemudian terguling masuk kedalam aliran air yang meskipun
tidak terlalu deras, tetapi telah membasahi pakaiannya.
Dengan cepat orang itu berusaha untuk bangkit. Ada beberapa teguk air yang masuk
ke mulutnya dan menghisap ke dalam tenggorokannya.
Tetapi begitu ia bangkit berdiri dan berusaha naik ke tanggul parit. Maka
kawannya yang seorang lagi telah terlempar pula menimpanya, sehingga
kedua-daunya justru terjebur lagi ke dalam parit.
Madyasta dengan cepat memburunya. Demikiam keduanya berusaha untuk bangkit, naka
kakinya telah menyambar kening seorang diantara mereka, sehingga terpelanting ke
dalam kotak sawah yang sedang digenangi air. Sementara itu, kawannyapun berusaha
pula untuk berdiri. Tetapi sekali lagi kaki Madyasta terayun menghantam lambung.
Dengan demikian, maka kedua lawan Madyasta itupun telah terperosok masuk kedalam
Lumpur sawah diseberang parit.
Dalam pada itu, Wignyana telah meloncat sambil memutar tubuhnya, kakinya
melayang menerpa kening seorang dari kedua lawannya, sehingga orang itu
terlempar beberapa langkah. Kepalanya menjadi pening, serta matanya
berkunang-kunang. Kawannya yang melihat seorangan itu berusaha mempergunakan kesempatan. Dengan
cepat orang itu meluncur menyerang Wignyana dengan kakinya mengarah ke punggung.
Tetapi dengan tangkasnya Wignyana merendah, dengan deras kakinya justru menyapu
kaki lawannya. Orang itupun terpelanting dengan kerasnya, tubuhnya yang jatuh, menimpa
batu-batu di jalanan. Terdengar orang itu mengeluh kesakitan. Punggungnya serasa
menjadi retak. Tetapi ada harapan lagi, bagi keempat perampok itu. Karena itu, maka tiba-tiba
saja seorang diantara mereka telah memberikan isyarat dengan siulan nyaring.
Dengan cepat keempat orang itu berusaha untuk segera bangkit berdiri dan
melarikan diri. Tidak ada kesulitan bagi Madyasta dan Wignyana untuk menangkap mereka. Ketika
keempat orang itu berlari ke hutan, maka Madyasta maupun Wignyana berusaha untuk
mengejar mereka. Tetapi terdengar Ki Ajar Wihangga bertepuk tangan memanggil mereka.
"Guru" berkata Madyasta "Kami harus dapat menangkap salah satu dari mereka.
Dengan demikian kita akan tahu, siapakah mereka itu dan siapa pula pemimpin
mereka" "Tidak akan banyak artinya, ngger" jawan Ki Ajar.
"Kenapa guru?" Meraba Matahari 03 "Yang mereka ketahui, mereka adalah sebagian dari sekelompok penjahat. Hanya
itu. Merekapun tidak akan dapat menunjukkan sarang kawan-kawannya karena mereka
tentu berpindah-pindah tempat. Menurut penglihatanku, mereka adalah sebagian
kecil dari sekawanan perampok yang besar dalam susunan keanggotaan yang
berlapis, sehingga orang-orang pada lapisan terbawah tidak akan tahu, siapakah
yang berada dilapisan tengah. Apalagi dilapisan atas"
"Tetapi setidak-tidaknya kami membawa bukti bahwa telah terjadi kerusuhan di
Kadepapten ini" "Jika kau kehilangan bukti, aku akan bersedia menjadi saksi"
Madyasta terdiam. "Angger berdua, kalian tidak tahu, apa yang ada dibelakang pepohonan hutan itu.
Sarang mereka tentu tidak ada di tempat itu. Tetapi kau harus mengingat
jebakan-jebakan yang mungkin mereka pasang. Bukan hanya sekedar tali yang
terikat menyilang di jalan. Mungkin di dalam hutan itu terdapat berbagai macam
jebakan, sementara beberapa orang telah menunggu"
Madyasta dan Wignyana saling berpandangan sejenak, namun merekapun mengerti
peringatan yang diberikan oleh gurunya. Mungkin para perampok itu telah membuat
jebakan yang memang mereka tujukan kepada para prajurit jika mereka mencoba
memburu untuk menangkap mereka.
"Ya, guru" desis Madyasta kemudian.
"Nah, sekarang marilah kita meneruskan perjalanan, singkirkan tali itu"
Madyasta dan Wignyanapun kemudian telah mengingkirkan tali yang merentang
menyilang jalan itu. Sejenak kemudian, maka mereka bertigapun melanjutkan perjalanan mereka, tetapi
yang berada di paling depan kemudian adalah Ki Ajar.
Ketika mereka kemudian telah sampai ke jalan yang lebih lebar, yang semakin jauh
dari hutan, ki Ajarpun berkata kepada Madyasta dan Wignyana "Majulah sedikit
ngger, ada yang akan aku katakan.
Madyasta dan Wignyana kemudian berkuda disebelah menyebelah Ki Ajar. Sementara
itu, kuda merekapun berlari tidak terlalu kencang.
`"Aku melihat kalian tadi marah sekali kepada para perempok itu"
Madyasta dan Wignyana termangu-mangu sejenak, namun kemudian Madyastapun
menjawab "Ya, guru. Aku memang marah sekali kepada mereka"
"Itu wajar, ngger. Tetapi betapapun kalian marah. Kalian tidak boleh terbakar
oleh rasa kemarahan kalian, maka penalaran kalianpun akan menjadi kacau"
Madyasta dan Wignyana terdiam.
"Angger berdua, aku melihat ungkapan kemarahan kalian adalah tatanan gerak
kanuragan kalian. Betapa kalian marah sekali sehingga serangan-serangan kalian
tidak lagi terkendali. Tidak ada pikiran lain di kepala kalian sekali
menghancurkan lawan kalian. Dan bahkan malah membunuh mereka. Seadainya kalian
mengejar mereka agar menangkap salah seorang dari mereka untuk dijadikan sumber
keterangan, maka yang akan kalian dapatkan atidak akan lebih dari sosok-sosok
mayat para perampok itu. Aku melihat bahwa kalian terlalu sulit untuk
mengendalikan kemarahan kalian"
Madyasta dan Wignyana tidak menjawab.
"Tetap itu wajar sekali terjadi pada anak-anak muda yang baru keluar dari sebuah
perguruan. Anak-anak muda yang merasa dirinya telah berbekal ilmu"
Jantung Madyasta dan Wignyanapun telah tersentuh pula, karena itu, maka keduanya
sama sekali tidak menjawab.
"Tetapi setelah kalian mengalami, ngger. Untuk seterusnya berhatil-hatilah.
Kalian harus menjaga agar kalian tidak terbenam kedalam arus kemarahan setiap
kali kalian menghadapi persoalan, betapapun kalian menjadi marah. Kalian harus
tetap menyadari, apa yang akan kalian lakukan"
"Ya, guru" jawab Madyasta dan Wignyana berbarengan.
"Tetapi apa yang terjadi bukan merupakan gejala buruk bagi kalian. Itu wajar.
Wajar sekali. Namun meskipun hal itu terjadi, namun sebaiknya kalian mampu tetap
berpegang teguh pada penalaran yang penting.
"Ya, guru" jawab kedua orang anak muda itu.
"Nah, marilah kita berpacu agak lebih cepat. Waktu kita sudah tersita beberapa
lama di pinggir hutan itu"
Madyasta dan Wignyana tidak menjawab, sementara itu, kuda Ki Ajar berlari
semakin cepat, sehingga kedua orang anak muda itupun mempercepat lari kuda
mereka pula. Namun dengan demikian, maka mereka tidak dapat mencapai Dalem Kadipaten sebelum
senja, ketika senja turun, mereka masih berada di jalan yang langsung menuju ke
pintu gerbang kota Paranganom.
Demikian mereka sampai ke pintu kota, maka lampu-lampu minyak disetiap rumah
sudah dinyalakan. Dua buah oncor telah terpaspang pula di pintu gerbang,
sedangkan di pinggir jalan induk yang langsung menuju ke alun-alun, di beberapa
regolpun telah terpasang oncor pula. Sebagian oncor jarak, sedangkan yang lain
oncor minyak kelapa. Dalam keremangan senja, tidak banyak lagi orang yang berada di jalan, bahkan
tidak ada orang yang memperhatikan tiga orang berkuda menyusuri jalan induk yang
langsung menuju alun-alun.
Namun penjaga pintu gerbang istana Kangjeng Adipatilah yang terkejut ketika
mereka melihat tiga orang berkuda berhenti di depan pintu gerbang halaman
istana. "Raden Madyasta dan Raden Wignyana" desis prajurit yang bertugas.
"Ya, kami datang bersama guru"
"Silahkan, silahkan, Raden, silahkan Kiai"
Ketiganyapun segera memasuki pintu gerbang halaman istana, mereka langsung
menyusuri halaman samping dan berhenti di pinta seketeng.
Prajurit yang bertugaspun segera menerima ketiga ekor kuda itu dan
mempersilahkan memreka memasuki longkangan samping.
Kedatangan Madyasta dan Wignyana bersama Ki Ajar Wihangga pada saat malam mulai
turun itu, memang agak mengejutkan Kangjeng Adipati.
Kangjeng Adipatipun kemudian menerima kehadiran Ki Ajar serta kedua orang
puteranya di serambi samping.
"Selamat datang kakang, nampaknya kakang bersama Madyasta dan Wignyana agak
kesiangan berangkat dari padepokan, sehingga lewat senja kalian baru sampai.
Bukankah biasanya kakang dan anak-anak sudah sampai sebelum senja turun?"
Ki Ajar tersenyum, katanya "Ada sedikit hambatan di perjalanan, Kangjeng"
Kangjeng Adipati mengerutkan keningnya, dengan nada tinggi iapaun bertanya
"Hambatan apa kakang?"
Ki Ajar memandang Madyasta dan Wignyana berganti-ganti. Sambil tersenyum iapun


Meraba Matahari Karya S H. Mintarja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkata "Kedua putera Kangjeng Adipati telah diuji di perjalanan"
"Ada apa?" nampak kecemasan di wajah Kangjeng Adipati.
Namun sebelum pembicaraan itu berlanjut, Raden Ayu Prangkusuma telah memasuki
serambi itu pula. Dengan nada penuh kerinduan dari seorang ibu, Raden Ayu itupun
berkata "Aku mendengar suara kalian Madyasta dan Wignyana. Marilah. Masuklah ke
ruang dalam, kalian tentu letih setelah menempuh perjalanan seharian"
"Kau belum mengucapkan selamat datang kepada kakang Ajar Wihangga, diajeng"
potong Kangjeng Adipati. Raden Ayu tertawa, katanya, "Maaf kakang, sudah sejak di dalam ucapan itu sudah
ada di bibir. Tetapi ketika aku melihat Madyasta dan Wignyana, aku lupa
mengucapkannya. Apalagi kektika aku melihat pakaian mereka yang kusut. Keringat
dan debu yang melekat diwajah mereka. Maaf, kakang. Biarlah mereka membenahi
diri" "Kakang Ajar Wihangga tentu juga akan segera berbenah diri"
"Senthong bagi kakang Ajar akan segera disiapkan. Bukankah kakang akan
bermalam?" "Tentu" Kangjeng Adipatilah yang menjajwab "Bukankah malam sudah turun?"
"Nah, masih banyak waktu untuk berbincang. Malam nanti, esok pagi dan barangkali
kakang Ajar tidak hanya akan bermalam semalam saja"
Ki Ajar hanya tertawa saja. Sementara itu, setelah Madyasta dan Wignyana mencium
tangan ibunya, merekapun dibimbing seperti kanak-kanak masuk ke ruang dalam.
"Maaf, kakang" berkata Kangjeng Adipati kemudian "Ibunya memang sangat rindu
kepada mereka" "Aku mengerti, Kangjeng"
"Aku juga minta maaf, kakang. Sebelum kakang sempat beristirahat, aku sudah
mendesak ingin mengetahui hambatan apa yang telah terjadi di perjalanan?"
Ki Ajar tersenyum, katanya "Tidak apa Kangjeng, bukankah itu sudah sewajarnya?"
"Ya, kakang" sahut Kangjeng Adipati
Ki Ajarpun kemudian menceritakan apa yang telah terjadi di perjalanan. Empat
orang kawanan perampok itupun telah mengganggu perjalanan mereka.
"Perampok?" "Ya, Kangjeng" Kangjeng Adipati termangu-mangu sejenak, namun sementara itu, seorang pelayan
telah menghidangkan minuman hangat dan beberapa potong makanan.
"Silahkan kakang. Nanti pembicaraan kita tentang para perampok itu kita
lanjutkan" "Terima kasih, Kangjeng"
"Kami akan mempersilahkan kakang untuk mandi dan beristirahat. Malam nanti kita
akan dapat berbicara panjang bersama Madyasta dan Wignyana"
malam ini setelah makan malam Kangjeng Adipati duduk di serambi pula bersama Ki
Ajar Wihangga, Madyasta dan Wignyana. Raden ayu Prangkusuma itu duduk mereka
sebentar. Namun kemudian minta diri untuk bersama-sama dengan pelayan
membersihkan ruangan dalam.
"Nah" berkata Kangjeng Adipati kemudian "Sekarang aku ingin mendengar ceritera
tentang perjalanan kakang bersama Madyasta dan Wignyana sepenuhnya"
Ki Ajarpun tersenyum, katanya "Baiklah, Kangjeng, tetapi sebaiknya biarlah anger
Madyasta dan Wignyana sajalah yang berceritera"
Kangjeng Adipati mengangguk-angguk, katanya "Baiklah, ceritakan apa yang telah
terjadi" Berganti-ganti Madyasta dan Wignyana menceritakan apa yang telah terjadi di
perjalanan mereka. Mereka saling melengkapi dan bahkan ceritera mereka memang
kadang-kadang menjadi tumpang tindih. Rasa-rasanya terlalu banyak yang ingin
mereka katakana, sehingga kalimatpun rasa-rasanya saling berdesakan lewat mulut
keduanya. Kangjeng Adipati mengangguk-angguk, akhirnya ceritera kedua orang putranya itu
jelas pula baginya. "Kakang" berkata Kangjeng Adipati "Sebenarnyalah bahwa Kadipaten Paranganom
tidak lagi aman dan tenteram seperti sebelumnya. Aku juga sudah menerima laporan
tentang kejahatan yang terjadi di beberapa padukuhan. Juga telah terjadi
perampokan di jalan-jalan"
"Jadi ayahanda sudah mengetahuinya?" bertanya Madyasta.
"Baru dalam pekan ini. Agaknya peristiwa kejahatan itu juga belum lama mulai
tumbuh di kadipaten ini"
"Kita tidak boleh terlambat ayahanda" berkata Wignyana kemudian.
"Ya" Kangjeng Adipati mengangguk-angguk "Tetapi kita juga tidak boleh
tergesa-gesa. Kita harus tahu, apa yang sebenarnya terjadi, sehingga kita tidak
salah mengambil langkah. Madyasta dan Wignyana mengangguk-angguk kecil.
"Nah, sikap Kangjeng Adipati itu harus kalian teladani, ngger. Kita jangan
tergesa-gesa mengambil sikap agar kita tidak salang langkah"
"Ya, guru" sahut Madyasta dan Wignyana bersama.
Sementara itu, Kangjeng Adipatipun berkata selanjutnya "Selain laporan tentang
tindakan kejahatan itu, kakang sejak hari ini kakang mbok Raden Ayu Prawirayuda
juga berada disini" "Maksud Kangjeng Adipati, Raden Ayu Prawirayuda berada di Kadipaten ini?"
"Ya" "Apakah sekedar menengok keadaan keluarga disini?"
"Tidak, kakang. Tetapi Kakang Mbok itu mengungsi ke Kadipaten Paranganom"
"Bibi mengungsi ke paranganom?" bertanya Madyasta
"Ya" "Kenapa Ayahanda?" bertanya Wignyana
"Ada masalah dengan kakangmasmu angger Adipati Yudapati"
"Persoalan apa?"
"Bibimu dipersilahkan meninggalkan Kadipaten Kateguhan.
"Alasannya?" "Aku masih belum sempat berbicara panjang. Baru besok hari aku akan berbicara
dengan bibimu. Tadi bibimu nampak sangat letih.
"Dengan siapa bibi datang kemari?"
"Dengan puterinya Rantamsari"
"Jadi bibi datang bersama dengan kakangmbok Rantamsari?"
"Ya" "Lalu bibi akan tinggal di Paranganom?"
"Nampaknya memang begitu. Tetapi aku masih belum tahu pasti, meskipun demikian,
aku telah memerintahkan menyiapkan sebuah tempat tinggal bagi bibimu. Jika benar
bibimu akan tinggal di Paranganom, maka biarlah bibimu tingal di tempat itu
dengan tenang dan tidak bersama Rantamsari. Biarlah ibundamu menugaskan dua atau
tiga orang pelayannya di rumah bibimu serta seorang juru taman"
"Kenapa kakangmas Adipati Yudapati sampai hati mengusir bibi dari Kateguhan?"
"Bagaimanapunn juga hubungan antara anak dan ibu tiri sering menimbulkan
persoalan" desis Ki Ajar "Meskipun tidak semuanya, ada seorang ibu tiri yang
bersikap kurang baik terhadap anak tirinya, tetapi sebaliknya ada anak tiri yang
bersikap tidak baik terhadap ibu tirinya"
"Besok tidak ada salahnya jika kakang juga ikut mendengarkan ceritera kakangmbok
Prawirayuda" "Baik Kangjeng, tetapi tentu saja aku hanya akan menjadi pendengar yang baik
tanpa dapat melibatkan diri"
"Mungkin kakang dapat memberikan petunjuk jalan manakah yang terbaik. Pada
dasarnya perselisihan antara ibu dan anak, meskipun anak tiri, dapat
dijernihkan" Dalam pada itu, ketika malam menjadi semakin larut, Kangjeng Adipatipun berkata
kepada kedua puteranya "Kalian tentu letih, beristirahatlah. Biarlah aku duduk
disini sebentar lagi dengan gurumu"
"Baik, ayah" Sahut Madyasta, namun kemudian Wignyanapun yang juga merasa letih,
telah bangkit pula berdiri sambil berkata "Aku juga mohon diri untuk
beristirahat" Keduanyapun kemudian telah meninggalkan Ki Ajar Wihangga dan Kangjeng Adipati di
serambi. "Kakang, meskipun tidak kakang katakana, tetapi ketika anak-anak menceritakan
hembatan yang mereka alami, terasa ada sesuatu yang ingin kakang sampaikan"
Ki Ajar tersenyum, katanya "Bukankah Kangjeng Adipati merasakan, betapa mereka
berdua demikian ingin menceritakan apa yang telah terjadi?"
"Ya, kakang" "Keduanya memang menjadi sangat merah kepada para penyamun itu, sehingga mereka
berdua telah hanyut kedalam arus perasaan mereka"
Kangjeng Adipati masih mengangguk-angguk.
"Nah, aku merasa perlu untuk sedikit mengekang gejolak darah muda mereka. Ketika
mereka mengejar para penyamun yang melarikan diri, aku memang mencegahnya,
maksud keduanya memang benar, mereka ingin menangkap setidak-tdiaknya seorang
dari mereka untuk menjadi sumber keterangan. Tetapi jika mereka dapat menangkap
salah seorang dari penyamun itu, maka penyamun itu tentu sudah mati sebelum
sempat berbicara juga"
"Aku mengerti kakang" desis Kangjeng Adipati "Darah muda mereka masih mudah
mendidih, sifat kemudaan mereka masih mereka kedepankan"
"Seorang yang baru saja keluar dari sebuah perguruan, memang terdorong untuk
menguji kemampuannya. Dibarengi dengan kemarahan yang menyala, maka keduanya
agak kurang dapat mengendalikan diri"
"Terima kasih atas pengamatan kakang yang lengkap terhadap anak-anak itu"
"Semoga untuk selanjutnya juga menjadi perhatian Kangjeng Adipati"
Kangjeng Adipatipun mengangguk-angguk pula.
Namun beberapa saat kemudian, Kangjeng Adipatipun telah mempersilahkan Ki Ajar
untuk beristirahat. Sebuah bilik yang sudah dibersihkan dan diatur dengan rapi
di ganduk telah disiapkan bagi Ki Ajar Wihangga.
Dipagi hari berikutnya, ketika langit masih remang-remang. Madyasta dan Wignyana
sudah sibuk di pakiwan, bergantian mereka menimba air untuk mengisi jambangan di
pakiwan. "Biarlah aku yang mengisinya, Raden" berkata salah seorang andi Kadipaten.
Tetapi mengisi jambangan di pagi hari adalah kewajiban yan harus mereka lakukan
di padepokan. Sehingga rasa-rasanya ada yang terhutang jika mereka tidak mengisi
jambangan. Karena itu, maka kepada pelayannya Madyasta berkata "Biarlah aku
mengisinya, pekerjaan ini selalu aku lakukan"
"Tetapi tentu tidak di Kadipaten ini, Raden"
"Disinipun aku tidak boleh melupakan kewajiban itu"
Pelayannya tidak dapat memaksanya meskipun ia masih saja berdebar-debar, jika
Kangjeng Adipati atau Raden Ayu melihatnya, maka mereka akan menjadi marah.
Tetapi ternyata tidak, ketika Kangjeng Adipati yang berdiri di pintu butulan
melihat Madyasta menimba air selagi Wignyana mandi, Kangjeng Adipati itu sama
sekali tidak marah, dan bahkan tidak mencegahnya. Dibiarkannya Madyasta terus
mengisi jambangan pakiwan.
Ketika matahari naik, Madyasta dan Wignyana sudah siap untuk hadir di pendapa
Kadipaten bersama para pemimpin Kadipaten Paranganom. KI Ajar dari Panambangan
juga akan ikut hadir. Meraba Matahari 04 Sebelum saatnya baik ke pendapa, maka Ki Ajarpun melihat Madyasta dan Wignyana
mengenakan pakaian baru. "Sudah sejak angger berdua berada di padepokan angger berdua belum pernah ikut
dalam pertemuan resmi seperti hari ini, ngger?"
"Belum. Guru, adalah kebetulan hari ini ayahanda memanggil para pemimpin
Kadipaten untuk mengyelenggarakan sebah pertemuan resmi di pendapa"
"Angger berdua nampak benar-benar seperti putera seorang Adipati"
"Ah, guru, ibu tadi mengatakan, bahwa kemarin adalah hari ulang tahunku. Karena
itu, maka ibundalah yang memberikan pakaian baru kepadaku, apalagi hari ini
ayahanda menyelenggarakan sebuah pertemuan besar"
"Kakangmu Madyasta yang kemarin berulang-tahun, aku ikut pula menerima hadiah
dari ibunda" "Besok, jika kau berulang-tahun, aku juga akan menuntut hadiah" sahut Madyasta.
Wignya tertawa, gurunya tertawa pula.
Bab 03 " Raden Ayu Prawirayuda
Ketika matahari sepenggalah, maka para pemimpin di Kadipaten Paranganom mulai
berdatangan. Beberapa orang di Kadipaten Paranganom mulai berdatangan, beberapa
orang Tumenggung dan beberapa orang Bupati.
Ketika para pemimpin Parangnom sudah hadir, maka Ki Ajar diikuti oleh Madyasta
dan Wignyana telah naik ke pendapa pula.
Orang-orang yang hadir segera mengenali kedua orang anak muda itu. Mereka adalah
putera Kangjeng Adipati yang sudah agak lama berada di sebuah padepokan.
Agaknya sekarang mereka sudah pulang" berkata salah seorang tumenggung kepada
Tumenggung yang lain, yang duduk di sebelahnya.
Sementara itu, dua orang Tumenggung Wreda telah hadir pula di pendapa, Ki
Tumenggung Wiradapa dan Tumenggung Sanggayuda"
Beberapa saat kemudian maka Kangjeng Adipatipun telah keluar dari ruang dalam
Dalem Kadipaten untuk hadir dalam pertemuan itu.
Demikian Kangjeng Adipati duduk, maka suasana di pendapa itu menjadi lengang.
Semuanya duduk diam sambil menundukkan kepala mereka.
Madyasta dan Wignyana sempat mencuri pandang melihat suasana di pendapa itu,
suasana yang jarang sekali mereka temui, suasana yang demikian terasa tegang dan
kaku. "Seberapa lama kami harus duduk mematung seperti ini" berkata Madyasta di dalam
hatinya. Tetapi ia merasa wajib untuk menyesuaikan diri. Apalagi ia adalah putera
Kangjeng Adipati itu sendiri yang harus dijunjung tinggi kewibawaannya. Beberapa
saat kemudian, maka Kangjeng Adipati telah membuka pertemuan itu.
Ki Ajar Wihangga justru agak terkejut ketika di akhir acara, Kangjeng Adipati
memberikan waktu kepadanya, karena kehadirannya di Kadipaten adalah dalam rangka
penyerahan kembali kedua orang putera yang pernah dititipkankan kepadanya.
Ki Ajar memang tidak menduga. bahwa Kangjeng Adipati merencanakan penyerahan itu
dilakukan dalam satu upacara, karena pada saat Kangjeng Adipati menyerahkan
kedua puteranya itu sama sekali tidak disertai dengan upacara apapun. Waktu itu,
Kangjeng Adipati secara langsung menyerahkan Raden Madyasta dan Raden Wignyana
dan langsung pula keduanya ikut bersamanya berkuda ke padepokan.
Pada waktu Kangjeng Adipati itu berkata kepadanya "Aku titipkan anak-anakku
kepadamu kakang" Tetapi tiba-tiba kini Ki Ajar itu harus menyerahkan keduanya dalam satu upacara
di pendapa kadipaten dihadapan para pemimpin Kadiparen Paranganom.
Ki Ajar memang tidak terbiasa dengan upacara-upacara resmi seperti itu. Namun Ki
Ajar tidak dapat mengelak. Dihadapan para Tumenggung Wreda, Tumenggung
Sanggayuda, para bupati dan para pemimpin yang lain. Ki Ajar itupun berkata :
"Ampun Kangjeng Adipati, junjungan rakyat Paranganom, pada saat ini, aku yang
rendah, Ajar Wihangga dari padepokan Panambangan, menyerahkan kembali kedua
putera Kangjeng Adipati yang selama empat tahun berada di padepokan. Aku yang
kurang pengetahuan dan tidak memahami ilmu, mohon ampun apabila yang kami
lakukan, jauh dari memenuhi harapan Kangjeng Adipati, namun yang penting yang
aku harapkan dapat selalu diingat oleh kedua anak muda, putera Kangjeng Adipati
adalah pesanku kepada mereka, hendaknya hidup mereka semata-mata mencari ke
Ridhoan Allah Swt. Yang menciptakan langit dan bumi serta seisinya. Dan apa yang
mereka lakukan, semata-mata karenaLillahi Ta"ala. Sebagai putera seorang
Adipati, mereka mempunyai kesempatan yang luas untuk memperhatikan sesamanya
yang kekurangan, kelaparan dan hidup dalam kegelapan. Bertindak dengan bijaksana
serta hatinya dipenuhi oleh kesabaran serta belas kasihan"
Madyasta dan Wignyana justru terkejut. Mereka memang sering mendengar nasehat
itu diucapkan hampir disetiap kesempatan, tetapi ketika nasehat gurunya itu
diucapkannya dihadapan para pemimpin Kadipapten Paranganom, maka mereka
seakan-akan dihadapan kepada para saksi yang akan menilai, apakah dalam
perjalanan hidupnya kemudian, mereka akan dapat memenuhi petunjuk gurunya itu.
Sehingga masa berguru yang dijalaninya itu benar-benar mempunyai arti.
Terasa jantung kedua anak muda itu tergetar. Namun justru itu, maka keduanyapun
telah berjanji untuk melakukan semua pejunjuk gurunya itu.
Sementara itu, Kangjeng Adipati telah menanggapi pula dengan pernyataan terima
kasih kepada Ki Ajar yang telah memberikan bimbingan kepada kedua puteranya,
tidak saja dalam olah kanuragan, tetapi juga arah serta pegangan hidup mereka di
masa mendatang. Baru kemudian, Kangjeng Adipati berbicara dengan para pemimpin di Kadipaten
Paranganom. Yang terpenting mereka bicarakan adalah tentang laporan adanya tindak kejahatan
yang tumbuh di Kadipaten.
"Bukan berarti bahwa selama ini tidak ada tindak kejahatan di Kadipaten
Paranganom. Tetapi tindak kejahatan itu segera dapat diredam. Namun akhir-akhir
ini tindak kejahatan itu rasa-rasanya tumbuh dengan cepat. Menurut laporan yang
diterima oleh para pemimpin di Paranganom, maka kejahatan itu mulai merambat
dari satu tempat ketempat yang lain.
Ternyata para pemimpin di Paranganom juga sudah mendengar laporan-laporan
tentang terganggunya keamanan dan ketenteraman hidup bagi rakyat Paranganom.


Meraba Matahari Karya S H. Mintarja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita harus segera mengambil tindakan untuk mencegah meluasnya tindak kejahatan
itu" berkata Kangjeng Adipati.
Para pemimpin yang hadir itupun sependapat bahwa mereka harus mengambil tindakan
yang cepat, jika mereka bertindak dengan lambat, maka kejahatan itu akan
menjalar kemana-mana. Ki Tumenggung Wiradapa berpendapat bahwa para Demang harus memantau keadaan
dengan seksama. "Setiap saat mereka harus memberikan laporan tentang perlembangan di kademangan
mereka masing-masing, Kangjeng"
"Aku tugaskan kepada para Bupati untuk mengamati lingkungan mereka
masing-masing, jika perlu, jika rakyat mengalami kesulitan untuk menghadapi
mereka, maka Paranganom akan memerintahkan para prajurit untuk mengatasinya.
Karena itu, kami memerlukan laporan itu setiap saat dan dalam waktu yang cepat
dari setiap peristiwa kejahatan"
Pertemuan itu telah menghasilkan kesepakatan bahwa para pemimpin di Paranganom
harus memantau keadaan, terutama dalam hubungannya dengan semakin berkembangnya
kejahatan. Ketika pembicaraan dianggap sudah cukup, maka Kangjeng Adipati telah menutup
pertemuan itu. Para pemimpin Kadipaten Paranganom diperkenankan meninggalkan
pendapa dalem kadipaten. "Aku minta kakang Tumenggung Wiradapa dan kakang Tumenggung Sanggayuda untuk
tinggal disamping kakang Ajar Wihangga serta kedua puteraku"
Demikian, sejenak kemudian pendapa kadipaten itupun menjadi lengang. Yang
tinggal hanyalah kedua orang Tumenggung Wreda dan Tumenggung Sanggayuda, kedua
orang putera Kangjeng Adipati serta Ki Ajar.
Namun kemudian Kangjeng Adipati itupun berkata kepada Wignyana "Wignyana,
persilahkan ibundamu seta bibimu Prawirayuda menghadap, aku ingin berbicara
tentang sikap angger Adipati Yudapati"
"Hamba, ayahnda" sahut Wignyana sambil beringsut.
Beberapa saat kemudian, Raden Ayu Prawirayuda, Rantamsari ditemani oleh Raden
Ayu Prangkusuma telah menghadap Kangjeng Adipati Paranganom.
"Kakangmbok" berkata Kangjeng Adipati "Maaf, bahwa baru sekarang kita akan
berbicara tentang keadaan kakangmbok, kemarin kakangmbok nampak begitu letih,
sehingga aku biarkan kakangmbok untuk beristirahat"
"Terima kasih, Dimas, bahwa aku diperkenankan untuk berada di Paranganom itupun
sudah merupakan satu kemurahan hati Dimas yang tidak terhingga artinya bagi aku
dan anakku Rantamsari"
"Kakangmbok" berkata Kangjeng Adipati kemudian "Apa yang sebenarnya terjadi di
Kadipaten Kateguhan sehingga kakangmbok harus meninggalkan Kadipaten?"
"Dimas, sebenarnyalah bahwa aku tidak tahu, apakah kesalahanku sebenarnya, tanpa
tuduhan apa-apa, tiba-tiba saja angger Adipati Yudapati telah mengusir aku, agar
aku dan Rantamsari meninggalkan Kadipaten Kateguhan"
"Tetapi bukankah kakangmbok dapat menduga, apakah sebabnya anakmas Adipati
Yudapati menjadi marah dan bahkan kemarahannya agak melampui batas kewajaran,
karena angger Adipati Yudapati sudah mengusir kakangmbok dari Kadipaten
Kateguhan, bagaimana juga, kakangmbok adalah isteri kakangmas Adipati
Prawirayuda almarhum. Sehingga kakangmbok berhak untuk tinggal di Kadipaten
berasama dengan Rantamsari"
"Tetapi sudahlah, Dimas. Kemurahan hati Dimas sudah dapat menyejukkan hatiku
serta anakku" "Mungkin kakangmbok yang merasa sudah mempunyai tempat tinggal selanjutnya,
sudah merasa cukup. Mungkin kakangmbok tidak merasa mendendam kepada angger
Adipati Yudapati, tetapi karena masih ada sangkut paut hubungan keluarga, maka
tidak ada salahnya mengetahui, apa yang sebenarnya yang telah terjadi di
Kateguhan. Dalam pertemuan ini aku masih menahan kedua orang Tumenggung agar
dapat ikut mendengarkan apa yang sebenarnya telah terjadi. Kateguhan bukan saja
sebuah Kadipaten yang semula diperintah oleh kakangmas Prawirayuda, saudara
tuaku sendiri dan yang sekarang diperintah oleh kemanakanku, angger Adipati
Yudapati. Tetapi Kateguhan juga sebuah Kadipaten yang merupakan tetangga
terdekat. Garis batas sebelah utara Paranganom adalah garis batas sebelah
selatan Kateguhan. Sehingga apa yang terjadi di Kateguhan akan dapat memercik ke
Paranganom. Apalagi sekarang kakangmbok Prawirayuda berada disini"
Raden Ayu Prawirayuda menundukkan kepalanya, diusapnya matanya yang basah dengan
jari-jarinya. Sementara itu Rantamsari yang duduk di sebelah ibunya hanya dapat
menundukkan kepalanya dalam-dalam.
"Adimas" suara Raden Ayu Prawirayuda itu tersendat-sendat "Sebenarnyalah bahwa
angger Adipati Yudapati tidak pernah menjatuhkan tuduhan apa-apa. Justru karena
itu, aku tidak dapat membela diri, tetapi menurut seorang abdi, justru diluar
dalem kadipaten telah tersebar kabar yang sangat memalukan Dimas"
"Kabar apakah itu kakangmbok" Nah, kabar yang tersebar itulah yang ingin aku
dengar. Tentu saja bukan merupakan pegangan atas kebenarannya"
"Dimas, sebenarnya aku sangat malu untuk mengutarakannya, tetapi apa boleh buat.
Aku dapat mengerti, bahwa Dimas memerlukan bahan untuk menempatkan masalah ini
pada tempat yang sewajarnya"
"Ya, kakangmbok"
"Adimas. Orang-orang di jalanan mengatakan bahwa angger Adipati Yudapati menjadi
sangat marah kepadaku dan kepada Rantamsari karena aku dan Rantamsari sering
menjual harta benda milik Kadipaten yang harganya sangat mahal. Nampan dari
emas, beberapa buah mangkuk yang diselut perak, berbagai macam perhiasan di
kaputren dan masah banyak lagi. Karena itu, maka aku telah diusir dari dalem
Kadipaten. Aku diberi waktu sepekan untuk berkemas dan menyiapkan benda-benda
berharga di kaputren yang ingin aku bawa. Angger Adipati akan memberikan apa
saja yang aku kehendaki untuk aku bawa meninggalkan kadipaten Kateguhan"
"Tetapi bukankah kakangmbok dapat membuktikan bahwa kakangmbok tidak
melakukannya" Bukankah benda-benda berharga di Kadipaten Kateguhan diketahui
dengan pasti jenis dan jumlahnya, sehingga jika ada yang hilang akan segera
diketahui?" "Aku tidak dapat mengatakannya kepada Angger Adipati, angger Adipati sendiri
tidak pernah melontarkan tuduhan apapun kepadaku. Dimas, yang aku tahu,
tiba-tiba saja angger Adipati meminta kepadaku untuk mengemaskan barang-barangku
dan meninggalkan Kadipaten dalam waktu sepekan"
"Tetapi kakangmbok justru dipersilahkan membawa apa saja yang ingin kakangmbok
bawa dari kaputren Kateguhan?"
"Ya, Dimas, tetapi aku tidak membawa sepotongpun benda berharga. Aku ingin
mengatakan kepada angger Adipati, bahwa aku tidak menginginkan semua itu. Ketika
aku akan berangkat, aku katakan kepadanya, angger Adipati menghitung semua benda
bukan saja yang berharga, tetapi apa saja yang ada di kaputren. Bahkan sepotong
bancik lampu dari perak yang sangat aku sukapun, tidak aku bawa"
"Apa kata angger Adipati ketika ia tahu bahwa kakangmbok tidak membawa apa-apa?"
"Angger Adipati tidak mengatakan apa-apa kepadaku"
Kangjeng Adipati Pranganom mengangguk-angguk, katanya "Sudahlah kakangmbok.
Biarlah kakangmbok tinggal disini. Aku sudah menyediakan sebuah rumah bagi
kakanmbok, mungkin terlalu sederhana dibandngkan dengan kaputren Kateguhan"
"Aku mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga, Dimas. Jika Dimas dan
Diajeng Adipati Paranganom tidak menaruh belas kasihan, lalu apakah jadinya kami
berdua, apakah kami harus berkeliaran di sepanjang jalan"
Suara Raden Ayu Prawirayuda itu terputus, jari-jarinya sibuk mengusap matanya
yang basah. "Sudahlah kakangmbok" berkata Raden Ayu Prangkusuma "Tinggallah di Paranganom.
Dua orang abdiku akan melayani kakangmbok. Selain mereka, juru taman kami akan
memelihara taman di rumah yang kami sediakan bagi kakangmbok. Jika kakangmbok
masih memerlukannya, aku dapat menambahnya dengan satu atau dua orang lagi"
"Tentu sudah cukup, Diajeng"
"Rantamsari" berkata Raden Ayu Prangkusuma.
"Ya, bibi" "Agaknya kau memang harus prihatin dimasa mudamu, tetapi dengan demikian, kau
telah mempersiapkan hari depanmu dengan baik. Terimalah apa yang telah terjadi
atas dirimu dengan hati yang tegar. Yakinlah akan kemurahan Allah Swt. Sehingga
pada suatu ketika akan terjadi perubahan pada jalan hidupmu"
"Ya, bibi" suara Rantamsari hampir tidak terdengar, wajahnya kemudian menunduk
dalam-dalam. Madyasta dan Wignyana tidak dapat ikut campur dalam pembicaraan itu, apalagi
gurunya. Sedangkan Ki Tumenggung Wreda Wiradapa dan Ki Tumenggung Wreda
Sanggayudapun hanya dapat mendengarkan pembicaraan itu sambil mengangguk kecil.
Dengan susah payah Rantamsari berusaha untuk menahan agar ia tidak menangis,
tetapi ternyata Rantamsari itupun kemudian terisak.
Raden Ayu Prangkusuma memeluknya sambil berbisik "Sudahlah Rantamsari, jangan
menangis, ngger. Peristiwa yang tidak kita inginkan memang dapat saja datang
setiap saat. Tetapi bukankah kau harus pasrah atas apa yang terjadi. Kita harus
mensyukuri bahwa kita masih menemukan jalan keluar. Tentu saja atas petunjuknya.
Rantamsari mengangguk. "Madyasta dan Wignyana" berkata Kangjeng Adipati kemudian "Antarkan bibimu dan
puterinya ke rumah yang telah dipersiapkan. Biarlah para abdi dan juru taman itu
menyertai kalian" "Baik Ayahanda" jawab Madyasta "Marilah bibi, marilah kakangmbok Rantamsari"
Sejenak kemudian, maka Raden Ayu Prangkusuma, Raden Ayu Prawirayuda dan
Rantamsari telah meninggalkan pendapa Kadipaten diiringi oleh Madyasta dan
Wignyana yang akan mengantar Raden Ayu Prangkusuma dan Rantamsari ke rumah yang
telah disediakan. Namun Kangjeng Adipati masih tetap memerintahkan Tumenggung Wiradapa dan
Tumenggung Sanggayuda untuk tinggal bersama Ki Ajar Wihangga.
"Kakang Ajar serta kakang Tumenggung Wreda berdua, bagaimana menurut pendapat
kakang atas apa yang terjadi. Apakah peristiwa itu murni sebagaimana yang kita
dengar. Bahwa angger Adipati Yudapati telah mengusir kakangmbok Prawirayuda dari
Kadipaten Kateguhan atau kakang melihat persoalan lain di balik apa yang kita
dengar. Apakah ada niat yang belum kita ketahui agara angger Adipati Yudapati
terhadap Kadipaten Paranganom atau sikap apapun, karena angger Yudapati tentu
memperhitungkan bahwa kakangmbok Prawirayuda tentu akan pergi ke Paranganom.
Ki Ajar menarik nafas panjang, katanya "Kangjeng Adipati memerlukan waktu untuk
mengetahuinya, memang tidak mustahil, bahwa dibalik peristiwa itu tersembunyi
masalah yang lebih tajam dalam dan rumit. Namun seperti apa yang pernah Kangjeng
katakan, kita tidak boleh tergesa-gesa"
Kangjeng Adipati mengangguk-angguk sambil menjawab "Ya, kakang. Kita memang
harus melihat dengan sangat hati-hati dan dari segala sudut pandang yang
berbeda" "Ampun Kangjeng Adipati" berkata Tumenggung Wiradapa "Apakah hamba diperkenankan
untuk menyampaikan pendapat hamba?"
"Katakan Kakang"
"Ada beberapa peristiwa yang terjadi bersama, memang mungkin satu kebetulan,
tetapi mungkin memang ada kaitannya"
"Apa yang kakang maksudkan?"
Ki Tumenggung termangu-mangu sejenak, namun kemudian katanya "Tiba-tiba saja
Raden Ayu Prawirayuda sudah berada di Paranganom, Raden Ayu diusir dari
Kadipaten Kateguhan dengan alasan yang tidak jelas. Sementara itu di kerusuhan
di Paranganom meningkat dengan cepat, nampaknya juga tanpa sebab. Selama ini
kesejahteraan rakyat Paranganom justru semakin meningkat. Tidak ada bencana alam
dan tidak ada permusuhan yang terjadi di lingkungan Kadipaten. Namun tiba-tiba
saja terjadi banyak kerusuhan itu terjadi di daerah yang lebih dekat perbatasan
dengan Kadipaten Kateguhan dari pada perbatasan yang lain"
Kangjeng Adipati menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Tumenggung Sanggayuda
berkata "Kangjeng, apa yang dikatakan oleh kakang Tumenggung Wiradapa itu memang
harus mendapat perhatian khusus. Meskipun secara umum, para Bupati dan para
pemimpin yang lain sudah mendapat perintah untuk memantau keadaan, tetapi daerah
perbatasan itu harus mendapat perhatian lebih"
"Bagaimana menurut pendapat kakang"
"Kangjeng, seperti yang kita ketahui, bahwa terdapat perbedaan tingkat
kesejahteraan bagi rakyat Kadipaten Paranganom dengan rakyat Kadipapten
Kateguhan. Keadaan alam, lingkungan serta kebijaksanaan yang berbeda antara
Kangjeng Adipati Prawirayuda dengan Kangjeng Adipati Prangkusuma. Meskipun para
Tumenggung sudah banyak membantu serta memberikan beberapa pendapat yang
memungkinkan adanya perubahan di Kadipaten Kateguhan, namun Kateguhan masih
belum dapat menyamai Paranganom"
"Perbedaan lantaran kesejahteraan itukah yang menurut kakang dapat menimbulkan
masalah?" "Baru satu dugaan, Kangjeng"
"Tetapi kenapa baru sekarang?"
"Kangjeng Adipati Yudapati adalah seorang yang masih muda. Sikapnya tentu
berbeda dengan Kangjeng Adipati Prawirayuda yang sudah banyak makan pahit
asamnya kehidupan. Mungkin kendati Kangjeng Adipati Yudapati tidak sekuat
kendali di tangan ayahandanya."
Kangjeng Adipati Prangkusuma mengangguk-angguk, sementara Ki Tumenggung Wiradapa
berkata dengan nada merendah "Kangjeng, sebaiknya kita memang tidak
ber-prasangka buruk, bahwa ada semacam kesengajaan dari beberapa orang pemimpin
di Kateguhan. Tetapi tidak mustahil bahwa ada pemimpin yang merasa iri terhadap
kemajuan yang kita capai selama ini"
Kangjeng Adipati termangu-mangu sejenak, namun kemudian iapun berkata "Ya, kita
jangan ber-prasangka buruk. Tetapi semua kemungkinan harus menjadi perhatian
kita" "Kami berdua akan berusaha Kangjeng"
"Aku percaya kepada kakang Tumenggung berdua. Mudah-mudahan langit akan segera
menjadi terang diatas Paranganom"
Sejenak kemudian, maka kedua orang Tumenggung itupun telah diperkenankan untuk
meninggalkan pendapa, sehingga yang tinggal kemudian adalah Ki Ajar sendiri. Dua
orang prajurit yang bertugas di depan pendapa itupun termangu-mangu. Tidak
biasanya Kangjeng Adipati duduk berlama-lama di pendapa. Apalagi setelah
pertemuan selesai. Meraba Matahari 05 Tetapi nampaknya Kangjeng Adipati masih berbincang-bincang dengan Ki Ajar
tentang kemungkinan baru dalam hubungannya dengan Kadipaten Kateguhan.
"Semoga tidak terjadi, Kangjeng" berkata Ki Ajar "Tetapi kecemasan kedua orang
Tumenggung itu sangat beralasan, mungkin diluar pengetahuan Kangjeng Adipati
Yudapati. Tetapi mungkin yang terjadi di Paranganom itu justru sepengetahuan
Kangjeng Adipati yang masih muda itu"
Tetapi menurut pengetahuanku, angger Adipati Yudapati adalah anak muda yang
menjunjung tinggi nilai-nilai kesatriaan"
"Seseorang dapat berganti sikap karena pengaruh orang lain. Jika seseorang
dengan cerdik dan licik, setiap hari meniupkan pengaruhnya ketelinga Kangjeng
Adipati Yudapati, maka mungkin saja sikap Kangjeng Adipati berubah atau merasa
tidak berubah, tetapi dengan penafsiran yang sengaja dikaburkan sehingga
seakan-akan Kangjeng Adipati masih tetap berpijak pasa nilai-nilai yang
dijunjungnya. Kangjeng Adipati mengangguk-angguk, katanya "Ya, kakang. Aku mengerti seseorang
memang dapat berbicara tentang sikapnya berdasarkan atas kepentingannya,
sedangkan kebenaranpun dapat diurai menurut sudut pandang seseorang"
"Ya, Kangjeng. Sehingga seseorang yang merasa dirinya menegakkan kebenaran akan
dapat berbenturan dengan orang lain yang juga bersumpah untuk menegakkan
kebenaran pula" Kangjeng Adipati menarik nafas dalam-dalam, namun kemudian katanya "Kakang, aku
persilahkan kakang untuk beristirahat, anak-anak tadi baru mengantar bibinya ke
tempat tinggalnya yang baru"
"Terima kasih, Kangjeng"
Ki Ajar berdiri pula ketika Kangjeng Adipati kemudian bangkit dan melangkah
masuk kke ruang dalam. Sementara itu, para prpajurit yang berjaga-jaga di depan
pendapapun telah meninggalkan tempatnya dan bergabung dengan kawan-kawannya yang
berada di gardu. Namun dua orang yang berjaga di pintu gerbang kadipaten masih
juga berada dalam tugasnya.
Ki Ajar kemudian tuurn dari pendapa. Sejenak ia berdiri termangu-mangu, namun
kemudian iapun melangkah ke biliknya di gandok dalem kadipaten.
Diruang dalam, Kangjeng Adipatipun kemudian duduk bersama dengan Raden Ayu
Prangkusuma yang masih nampak muram.
"Kasihan kakangmbok Prawirayuda" desis Raden Ayu Prangkusuma.
"Ya, tetapi apakah kepadamu kakangmbok mengatakan persoalan-persoalan lain yang
dapat melengkapi keterangannya?"
"Tidak, kakangmas, kakangmbok tidak mengatakan apa-apa kecuali sebagaimana
dikatakannya kepada kakangmas"
"Bukankah aneh, jika angger Adipati Yudapati menuduhkan demikian, sementara
barang-barang berharga di kaputren masih lengkap"
Tetapi yang dimaksud kakangmbok adalah berita yang tersiar di jalanan,
sebagaimana yang didengar oleh abdinya. Mungkin angger Adipati Yudapati
mempunyai alasan yang lain?"


Meraba Matahari Karya S H. Mintarja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tetapi kenapa alasan itu tidak dikatakan kepada kakangmbok Prawirayuda?"
"Sikap itulah yang sulit dimengerti"
Kangjeng Adipati menarik nafas dalam-dalam, sambil mengangguk-anggukan kepalanya
iapun berkata "Ya, jika saja Rantamsari mau mengatakan sesuatu kepada Madyasta
atau Wignyana" "Nampaknya Rantamsari juga tidak tahu apa-apa. Rantamsari memang cantik, tetapi
tatapan matanya tidak menunjukkan ketajaman penggraitannya serta kecerdasannya.
Mungkin ia bukan gadis yang bodoh, tetapi agaknya ia seorang gadis yang manja"
"Ya" Kangjeng Adipati mengangguk-angguk "Aku sependapat. Nampaknya gadis cantik
itu tidak mempunyai banyak kelebihan dari gadis-gadis yang lain. Rantamsari
tidak seperti angger Adipati Yudapati, dilihat dari pandangan matanya. Yudapati
sudah menunjukkan bahwa ia adalah seorang anak muda yang tangkas berpikir dan
bertindak" "Agaknya Rantamsari tidak pernah mendapat kesempatan mengasah ketajaman
penggraitannya dalam kemanjaannya, sehingga yang ada adalah seorang gadis catik
sebagaimana Rantamsari itu"
"Besok atau lusa, kita menengok di rumah kakangmbok yang kita sediakan, apakah
kakangmbok merasa kerasan atau tidak. Mungkin rumah itu kurang memadai dibandng
dengan kaputren di Kateghuan"
"Tetapi kakangmbok menyadari, bahwa ia sekakang tidak berada di kaputren
Kadipaten Kateguhan"
"Raden Ayu Prangkusuma menarik nafas panjang"
Dalam pada itu, Madyasta dan Wignyana telah berada di rumah Raden Ayu
Prawirayuda yang baru. Dua orang abdi perempuan telah diperintahkan oleh Raden
Ayu Prangkusuma untuk sementara berada di rumah itu. Sepasang suami isteri yang
akan memelihara taman serta membersihkan isi rumah dan prabot-prabotnya juga
akan berada di rumah itu.
"Kau senang dengan rumah ini, kakangmbok?" bertanya Wignyana kepada Rantamsari.
"Tentu, Dimas" "Jika paman Adipati Prangkusuma dan bibi tidak memberikan rumah
ini kepada kami, maka kami akan hidup disepanjang jalan"
"Tentu tidak, kakangmbok, tentu ada tempat yang dapat menerima kakangmbok dan
bibi" "Ya" Raden Ayu Prawirayuda yang menyahut "Ternyata memang ada tempat yang dapat
menerima kami. Tempat yang sangat menyenangkan, tetapi yang dihadiahkan oleh
Dimas Adipati Prangkusuma"
Wignyana mengangguk hormat sambil berkata "Hanya seandainya saja bibi.
Seharusnya ayahanda menyediakan tempat yang lebih baik bagi bibi. Maksudku bukan
baik ujud dan bentuknya. Tetapi rumah yang dapat lebih memberikan kenyamanan
bagi bibi dan kakangmbok Rantamsari"
"Rumah ini jauh lebih nyaman bagi kami berdua, daripada "Kaputren di Kadipaten
Kateguhan, angger. Apalagi dilihat dari sisi kebutuhan jiwani, jiwaku yang
bagaikan disayat dengan sembilu oleh anakku sendiri. Meskipun angger Adipati
Yudapati itu anak tiriku. Tetapi aku sudah menganggapnya sebagai anakku sendiri.
Tidak ada bedanya, bahkan bagiku bersikap baik, momong, merawat dan mencintai
angger Yudapati lebih banyak merupakan satu pengabdian. Aku merasa bahwa
siapapun aku ini. Tetapi angger Yudapatilah yang akan dan yang sekarang sudah
ternyata, mewarisi kedudukan ayahandanya, Adipati Kateguhan"
Wignyana mengangguk-angguk.
Namun tiba-tiba Raden Ayu itu bertanya "Dimana angger Madyasta?"
"Melihat-lihat keadaan rumah ini, bibi. Mungkin masih ada yang kurang pantas
atau bahkan mungkin ada cacat yang harus segera ditangani"
"Semuanya sudah terlalu cukup bagiku ngger, sebenarnyalah aku ingin
mempersilahkan angger Madyasta dan angger Wignyana duduk di pringgitan"
"Terima kasih, bibi. Aku akan mencari kakangmas Madyasta. Aku juga akan
melihat-lihat rumah ini dalam keseleruhan"
Demikianlah, maka Wignyanapun meninggalkan Rantamsari dan ibundanya mencari
Madyasta. Wignyana menemukan Madyasta sedang menunggui juru taman mengumpulkan
sampah, kemudian membuat lubang disudur halaman, memasukkan sampah itu dan
kemudian menimbunnya. "Kau pencarkan pohon soka bajang itu"
"Ya, Raden" "Jaga pagar hidup yang menyekat taman halaman samping itu agar tetap rapi:
"Ya, Raden" "Aku lihat sumur di samping itu airnya cukup baik. Sehingga di musim kemaraupun
kau tidak akan kekurangan air"
"Ya, Raden" Madyasta berpaling ketika Wignyana mendekatinya sambil berkata "Kakang dipanggil
oleh bibi, kakangmas"
"Ada apa", apakah ada yang tidak berkenan", kemarin sejak bibi datang dan
memberitahukan serba sedikit persoalan yang dialaminya, ayahanda dan ibunda
segera memerintahkan beberapa orang membersihkan dan mengatur tempat ini"
"Tidak, bukan soal itu, agaknya bibi hanya ingin mempersilahkan kita duduk-duduk
di pringgitan. Segala sesuatunya nampaknya sudah cukup memadai bagi bibi dan
kakangmbok Rantamsari"
"Baik, Wignyana, aku selesaikan dahulu gambaran tugas juru taman ini agar taman
di rumah inipun nampak asri seperti taman kaputren Kateguhan, tetapi tentu saja
tidak dapat dicipta dalam sehari. Diperlukan waktu sekitar sebulan"
"Aku kira tidak akan menjadi masalah, kakangmas"
Namun Wignyana masih harus menunggu beberapa saat, baru kemudian Madyasta
meninggalkan juru taman itu dan bersama-sama dengan Wignyana perti ke
pringgitan. Raden Ayu Prawirayuda dan Rantamsari ternyata sudah menunggu mereka di
pringgitan, dengan ramah Raden Ayu Prawirayuda ituopun berkata "Maaf, angger
berdua. Sekarang, biarlah aku yang mempersilahkan angger berdua duduk, karena
atas perkenan Adimas Adipati Prangkusuma, aku akan tinggal di rumah ini."
"Ya, bibi. Bibi memang akan tinggal di rumah ini. Rumah ini akan menjadi rumah
bibi, meskipun barangkali kurang memadai"
"Tidak, angger. Sama sekali tidak. Rumah ini sudah terlalu baik bagiku dan
Rantamsari. Bahkan terasa terlalu besar"
"Mudah-mudahan bibi dan kakangmbok Rantamsari kerasan tinggal di rumah ini.
Tetapi jika ada masalah, aku mohon bibi langsung saja menyampaikan kepada
ayahana atau kepada ibunda atau kepada kami berdua"
"Terima kasih angger"
"Nah, bibi. Kami kira kami sudah melaksanakan perintah ayahanda. Kami sudah
mengantar bibi sampai ke tempat ini, dan satu dua hari, mungkin rumah ini masih
perlu dibenahi." "Terima kasih, angger. Tetapi aku minta angger berdua tidak tergesa-gesa
meninggalkan rumah ini. Aku ingin menjamu angger berdua"
"Terima kasih, bibi. Bibi masih terlalu repot mengatur segala sesuatunya
disesuaikan dengan selera bibi sendiri. Kami berdua akan mohon diri"
"Jika kami tidak dapat menahan lebih lama lagi, baiklah. Silahkan angger. Tetapi
aku mohon, besok angger bedua berkunjung ke rumah ini, biarlah aku dan
Rantamsari tidak merasa kesepian. Jika angger berdua sering berkunjung kemari,
maka kami akan segera merasa menyatu dengan keluarga Adimas Adipati Prangkusuma.
Dengan demikian, maka kami akan segera menjadi tenang dari guncangan perasaan
karena sikap angger Adipati Yudapati itu"
"Baik, bibi. Kami akan sering-sering berkunjung kemari"
Demikianlah sejenak kemudian Madyasta dan Wignyana segera meninggalkan rumah
yang diperuntukkan bagi Raden Ayu Prawirayuda itu, mereka tidak terlalu banyak
bicara disepanjang jalan.
Bab 04 " Dirga Jagoan Kampung
Mereka rasa-rasanya terbenam ke dalam angan-angan mereka masing-masing, Madyasta
masih saja bingung memikirkan sikap Kangjeng Adipati Yudapati, sementara itu
Wignyana membayangkan kehidupan yang sepi dari Raden Ayu Prawirayuda dan anak
perempuannya, Rantamsari. Sehari-hari mereka hanya berdua saja, terpisah dari
keluarga mereka. Ketika keduanya sampai di istana, maka keduanyapun segera mencari guru mereka.
Berbincang-bincang sebentar, kemudian keduanyapun pergi menghadap ayahanda
mereka. Dalam pada itu, para Bupati telah memerintahkan para demang untuk bersiaga
sepenuhnya, mereka harus mengamati peristiwa-peristiwa yang ada hubungannya
dengan kejahatan yang nampaknya mulai menyebar di kadipaten Paranganom.
Sebenarnyalah para Demangpun telah memerintahkan seluruh penghuni kademangan
masing-masing untuk bersiaga sebaik-baiknya. Setiap orang laki-laki yang masih
nampak kuat harus mendapat giliran meronda. Terlebih-lebih anak-anak mudanya.
Namun, meskipun demikian, kesegiaan itu tidak dapat menghentikan kerusuhan di
kadipaten Paranganom, kerusuhan itu dapat terjadi di jalan-jalan sepi. Namun
juga di padukuhan-padukuhan. Yang terjadi bukan saja pencurian ayam atau itik,
bukan pula pencurian jemuran di halaman, tetapi yang telah terjadi adalah justru
perampokan-perampokan, kawanan penyamun bagaikan telah meleburkan di kadipaten
Paranganom terutama di perbatasan.
Di kademangan Karang Tengah, di setiap malam bukan saja mereka yang bertugas
meronda yang berada di gardu-gardu. Tetapi mereka yang tidak mendapat giliran
rondapun selalu berdatangan ke gardu-gardu.
Seorang anak muda yang bertubuh tinggi besar, yang selalu membawa golok di
pinggangnya berkata kepada kepada kawan-kawannya "Jika saja para perampok itu
berani datang kemari"
Anak muda itu memang seorang anak muda yang mempunyai kelebihan dari
kawan-kawannya. Tidak seorangpun yang berani melawannya, ia memiliki kekuatan
besar melampaui kekuatan anak-anak muda kebanyakan.
Sayang sekali, anak muda itu terlalu sombong, ia terlalu yakin akan
kemampuannya. Setiap malam hari, anak muda itu rajin berada di gardu. Meskipun bukan hari-hari
gilirannya meronda. Di gardu ia sempat menyombongkan diri, menantang para
perampok yang ditakuti di mana-mana.
Namun malam itu, rasa-rasanya agak lain dari malam-malam sebelumnya. Meskipun di
gardu terdapat banyak orang seperti biasanya, tetapi malam itu terasa sangat
sepi. Orang-orang yang berada di gardu itu tidak nampak tegar seperti biasanya.
Sebagian dari mereka mulai mengantuk sebelum wayah sepi uwong. Anak-anak mudanya
tidak berkelakar seperti biasanya, sehingga suara tertawa dan kelakar mereka
terdengar meledak-ledak. Seorang yang umurnya sudah mendekati pertengahan abad, namun masih tetap setia
datang ke gardu, berkata kepada seorang anak muda yang berada di sebelahnya
"Suasana malam ini agak lain dari malam-malam biasanya"
"Mungkin angin yang basah itu terasa terlalu dingin, Kang"
"Ya, nampaknya langit bersih tanpa selembar awan telah membuat malam terasa
sangat dingin" "Ya, apalagi sehari tadi, kita semuanya sibuk di sawah, musim menggarap sawah
ini membuat kita semuanya sudah mengantuk"
"Ya, benar begitu"
Orang yang separuh baya itu mengangguk-angguk, tetapi ia merasakan sesuatu yang
lain. Bukan sekedar letih karena kerja seharian. Ada yang asing, tetapi ia tidak
dapat mengatakannya. Malampun merayap semakin dalam, anak muda yang bertubuh tinggi besar dan selalu
membawa golok di pinggangnya itupun turun dari gardu dan berjalan-jalan hilir
mudik. "He, bukankan sudah hampir tengah malam. Marilah, siapa yang bertugas meronda
berkeliling sekarang?" anak muda itu hampir berteriak.
Tiga orang anak muda yang lain dengan malasnya bangkit berdiri, seorang
diantaranya menguap sambil berkata "Ngantuk sekali ya, rasa-rasanya mataku tidak
dapat terbuka sama sekali"
"Kau yang bertugas meronda berkeliling-kan?"
"Ya" "Marilah kita pergi, aku kawani kalian, jika ada sesuatu, biarlah aku
meyelesaikannya" Seorang yang lain, yang duduk sambil berkerudung kainnya berkata "Pergilah,
harus ada diantara kita yang meronda berkeliling. Dirga sudah bersedia mengantar
kalian, karena itu, jangan cemas lagi, Dirga akan mengatasi segala-galanya jika
terjadi sesuatu" "Bahkan seandainya ada sekelompok perampok sekalipun" sahut anak muda yang
bertubuh besar itu dan bernama Dirga.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, lima orang termasuk Dirga yang berada paling
depan, berjalan mengelilingi kampung.
Empat kawan Dirga membawa kentongan kecil yang dibunyikan sepanjang jalan dengan
irama kotekan. Tetapi Dirgapun kemudian berkata "Tidak ada gunanya kau membunyikan kotekan itu:
"Kenapa " orang-orang yang tidur terlalu nyenyak akan terbangun" jawab seorang
kawannya. "Apa yang dapat mereka lakukan, meskipun mereka terbangun"
"Mereka akan mengetahui jika ada orang jahat masuk ke dalam rumah mereka"
"Bagaimana jika mereka tahu?"
"Mereka akan menangkapnya, atau membunyikan kentongan untuk memberi isyarat
kepada kita yang berada di gardu"
"Mereka tidak akan dapat melakukannya"
"Kenapa ?" "Jika yang datang itu seorang pencuri yang kurus karena kelaparan, mencongkel
dinding rumah dan merangkak masuk, maka orang-orang yang terbangun karena bunyi
kocekmu itu akan dapat menangkap mereka, tetapi jika orang yang datang itu
sekelompok perampok?"
"He..!" anak-anak muda yang meronda berkeliling itu mulai saling merapat.
"Perampok, berandal atau kecu itu jika mendatangi rumah seseorang tidak dengan
sembunyi-sembunyi. Mereka mengetuk pintu, jika tidak dibuka, maka mereka akan
mendobraknya" Keempat orang anak muda itu mulai berdesakkan, tetapi tangan mereka masih saja
memukul kentongan kecil. "Tetapi kentongan ini harus dibunyikan, itu kewajiban kita. Jika kita tidak
membunyikan kentongan ini, maka orang-orang padukuhan mengira kira tidak
melakukan ronda malam ini"
Dirga tertawa, katanya "Tentu bukan karena itu. Kau akan merasa lebih tenang
jika lebih banyak orang terbangun di padukuhan ini"
"Ya" "Jika demikian, terserah saja kepada kalian"
Dalam pada itu, kawan-kawan Dirga itu justru memukul kentongan makin keras.
Semakin lama malam terasa menjadi semakin menakutkan. Rasa-rasanya jalan
padukuhan itu semakin menjadi gelap, beberapa buah oncor di regol rasa-rasanya
tidak membantu. Cahayanya menjadi redup. Bahkan bayangan yang timbul oleh cahaya
bergerak-gerak seperti hendak menerkam.
Anak-anak muda itu semakin cemas ketika mereka mendengar bunyi burung kulik di
kejauhan. Ketika burung itu terbang melintas sambil berbunyi, rasa-rasanya
burung itu telah menebarkan malapetaka di padukuhan itu.
Dirga tertawa, katanya "Kalian takut mendengar bunyi burung kulik itu ya" Kalian
terlalu percaya pada dongeng dan tahayul yang membuat kalian menjadi penakut"
"Tetapi semua orang-orang tua kita menceritakan hal seperti itu"
"Menceritakan apa?"
"Tentang burung itu"
"Burung apa namanya?"
Anak itu terdiam, sehingga Dirga tertawa semakin panjang, katanya "Menyebut
namanya saja kau tidak berani. Dengar, namanya burung kulik. Kau tentu tahu,
bahwa burung itu adalah betina, yang jantan namanya burung tuhu. Biasanya jika
terdengar suara burung kulik, akan segera terdengar burung tuhu"
"Sudahlah, kita berbicara tentang hal lain saja" potong seorang kawannya.
Dirga masih tertawa, namun sebelum ia menjawab, di kejauhan memang terdengar
suara burung tuhu, yaitu burung kulik yang jantan.
Anak-anak muda itu menjadi semakin berhimpitan, kulit mereka meremang, namun
demikian mereka justru memukul kentongan semakin keras.
Para peronda itu itu tiba-tiba saja terkejut ketika mereka melihat seseorang
berlari muncul dari tikungan, langsung menjumpai mereka.
Dirga yang berdiri paling depan, segera meloncat menghadang. Tiba-tiba goloknya
telah berada di tangannya.
Meraba Matahari 06 Ternyata Dirga memang tangkas.
Orang itu berhenti dan berkata dengan nafas yang memburu "Aku".., ini
aku"..Kriya"."
"Kakang Kriya?"
"Ya", aku"Kriya?"
"Ada apa kakang lari-lari kemari?""
"Ada, ada rampok".., ada rampok di rumah paman"."
"Rampok", paman siapa yang dirampok?"
"Paman kerti".. Pedagang sapi itu?"
"Darimana kakang tahu, kalau rumah paman Kerti dirampok?"


Meraba Matahari Karya S H. Mintarja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

?""Kebetulan aku sedang tidur di rumah paman Kerti, paman sedang mengadakan
pertemuan keluarga, karena ia akan menikahkan anaknya yang perempuan. Keluarga
yang lain pada pulang, sedangkan aku tetap tinggal. Aku tidur di bilik belakang
dekat dapur. Sewaktu para perampok beraksi, aku berhasil lolos dan menyelinap
keluar dan bersembunyi di kebun. Sewaktu kalian datang dan membunyikan
kentongan, maka aku langsung lari menuju kemari"
"Jangan cemas" berkata Dirga "Aku akan datang ke rumah paman Kerti"
"Tetapi perampoknya tidak hanya sendiri, tetapi banyak, Dirga"
Dirga termangu-mangu sejenak, kemudian iapun berkata kepada kawan-kawannya
"Bunyikan kentongan kalian dalam irama titir sambil mendekati rumah paman Kerti"
"Tetapi"Dirga".aku". takut"
"Jangan kuatir, dalam waktu dekat, orang-orang akan berdatangan mengepung rumah
itu" "Tetapi perampok itu kan kejam-kejam Dirga"
"Persetan, sekarang bunyikan kentonganmu dengan irama titir, cepat, sebelum
perampok itu sempat lari"
Anak muda itu tidak sempat berpikir, tiba-tiba saja suara kotekan itu berubah
iramanya menjadi irama titir.
Padukuhan itu memang menjadi gempar. Suara kentongan irama titir itu telah
membangunkan orang-orang yang sedang tidur nyenyak. Beberapa orang segera
menyambar senjata yang selalu mereka siapkan di dekat pembaringan mereka, sejak
Ki Demang Karangtengah memperingatkan rakyatnya untuk bersiap-siap menghadapi
kemungkinan buruk karena ulah para perampok.
Demikian pula orang-orang yang berada di gardu. Ada diantara mereka yang menjadi
ketakutan sehingga gemetar mendengar suara kentongan dalam irama titir. Tetapi
ada juga yang dengan sigapnya meloncat turun dan berlari-lari kearah suara
kentongan itu. Dirga telah mendahului pergi ke rumah paman Kerti bersama Kriya, karena Kriya
tidak bersenjata, maka iapun telah meminham sepotong besi yang dibawa oleh salah
seorang peronda itu. Keempat orang peronda itu memang mengikuti Dirga dan Kriya. Tetapi mereka tetap
mengambil jarak sambil menunggu orang-orang yang terbangun oleh suara kentongan.
Beberapa orang tetangga terdekat memang segera sampai di regol rimah Kerti,
namun pada saat itu, beberapa orang perampok dengan membawa hasil rampokannya
telah keluar dari regol dan turun ke jalan. Mereka nampaknya tidak banyak
terpengaruh oleh suara kentongan itu, tidak pula menjadi tergesa-gesa, meskipun
mereka mendengar beberapa orang mulai berteriak-teriak.
Beberapa orang perampok itu berjalan beriringan kearah pintu gerbang padukuhan
dengan tenangnya. Ketika beberapa orang menghentikan mereka, para perampok itu memang berhenti,
bahkan menunggu, apa kira-kira yang akan dilakukan oleh warga padukuhan kepada
mereka. "Menyerahlah" teriak Dirga "Kalian kami tangkap"
Tetapi yang terdengar adalah suara tertawa. Seorang perampok yang bertubuh
tinggi besar. Melangkah maju sambil berkata "Jangan main-main anak muda,
minggirlah" "Kami bersungguh-sungguh" berkata Dirga "Kami mendapat wewenang untuk menangkap
kalian" "Aku peringatkan sekali lagi, bahwa perampok seperti kami tidak dapat diajak
bermain-main. Apalagi pada saat-saat kami menjalankan pekerjaan kami seperti
sekarang ini. Karena itulah, minggirlah, jika kalian tidak minggir, maka tentu
akan jatuh korban di pihak kalian. Meskipun kalian berjumlah banyak, namun
kalian tidak bisa berkelahi. Berbeda dengan kami, berkelahi adalah pekerjaan
kami sehari-hari, menyakiti dan melukai orang. Bahkan kami adalah
pembunuh-pembunuh yang sebenarnya"
"Jangan membual" potong Dirga "Aku adalah pemimpin anak-anak muda padukuhan ini"
"Nampaknya kau memang keras kepala, ya"
"Persetan" geram Dirga sambil memutar goloknya.
Namun tiba-tiba saja perampok itu yang bertubuh tinggi besar itupun memutar
sebuah bindi di tangannya sambil berkata lantang "Minggir jika tidak ingin
celaka" Jantung Dirga menjadi berdebar-debar, apalagi orang yang berdiri di hadapannya
itu bertubuh lebih tinggi dan lebih besar darinya. Padahal Dirga sudah
menganggap bahwa tubuhnya adalah yang tertinggi dan terbesar di seluruh
padukuhan. Tetapi Dirga sudah terlanjur sesumbar di hadapan kawan-kawannya, bahwa ia akan
menantang dan menangkap para perampok itu. Bahkan tidak hanya seorang yang
ditangtangnya, tetapi sekelompok perampok.
Ketkka ia benar-benar berhadapan dengan sekelompok perampok, maka suasana
hatinya memang lain. "Minggir" bentak perampok itu.
Dirga tidak mau minggir, meskipun dengan sedikit gemetar Dirga memutar goloknya
sambil berkata "Kami semua akan menangkap kalian, kau lihat seluruh penghuni
pedukuhan ini sudah berada disini"
"Sayang sekali, semakin banyak yang datang akan semakin banyak pula yang akan
mati. Nah, sekarang aku akan pergi meninggalkan padukuhan ini.
Ketika perampok itu melangkah maju, maka Dirgapun meloncat menyerang. Goloknya
diayunkan dengan kerasnya mengarah ke bahu perampok itu.
Namun yang terdengar adalah dentangan senjata yang beradu, golok Dirga telah
membentur bindi perampok itu, sehingga bunga apipun berloncatan dari benturan
itu. Namun Dirga telah bergeser surut, telapak tangannya terasa pedih sekali. Hampir
saja goloknya terlepas. Namun Dirga tidak mempunyai banyak kesempatan, perampok itu meloncat memburunya.
Dengan sekali pukul, golok Dirga telah terlepas dari tangannya, terlempar
beberapa depa dari kakinya.
Yang terjadi kemudian telah menggetarkan jantung orang-orang yang mengepung para
perampok itu. Satu ayunan bindi itu telah mengenai paha Dirga.
Terdengar Dirga berteriak kesakitan, dengan serta merta iapun terjatuh dan tidak
dapat bangkit berdiri lagi.
Dengan serta merta perampok itupun berteriak "Siapa lagi yang akan mencoba
menahan kami?" Tidak terdengar satupun jawaban.
Perampok yang bertubuh tinggi besar itupun memberi isyarat kepada kawan-kawannya
untuk berjalan terus meninggalkan orang-orang padukuhan yang berkerumun, sambil
berkata "Jangan mencoba menghalangi kami, jika ada yang mencobanya juga, maka
aku akan membunuhnya, tidak sekedar melukainya lagi"
Orang-orang yang mengepung itupun menyibak, mereka tidak berani berbuat apa-apa
terhadap para perampok yang nampaknya garang dan bengis itu. Apalagi
senjata-senjata mereka yang mengerikan itu telah membut jantung mereka bergetar.
Selain bindi, ada diantara mereka yang membawa tombak dengan mata tombak yang
bercabang. Ada yang membawa semacam kapak bertangkai panjang. Ada yang membawa
golok besar dan panjang dan berbagai jenis senjata yang menyeramkan lainnya.
Orang-orang padukuhan itupun seakan-akan hanya sekedar menjadi penonton sebuah
barisan orang-orang yang berwajah garang yang berhasil membawa barang-barang
berharga milik Ki Kerti. Baru ketika mereka telah pergi, beberapa orang berusaha menolong Dirga yang
merintih kesakitan, agaknya tulang pahanya telah menjadi retak.
Dengan hati-hati Dirga diangkat dan dibawa pulang ke rumahnya yang tidak begitu
jauh dari tempat kejadian, namun sepanjang jalan Dirga selalu mengeluh
kesakitan. Beberapa orang yang lain telah berada di rumah Kang Kerti, mereka melihat Yu
Kerti menangis di ruang tengah, dengan memelas iapun merintih "Aku mengumpulkan
uang sekeping demi sekeping, tiba-tiba saja mereka datang dan merampas semuanya"
Ki Kerti duduk tepekur tidak jauh dari isterinya, pundaknya nampak berdarah,
agaknya para perampok itu telah melukainya meskipun tidak begitu parah.
Beberapa orang mencoba menghiburnya, namun Yu Kerti masih saja mengangis. Ia
merasa telah kehilangan segala-segala yang dimilikinya.
"Sudahlah Yu Kerti, yang penting Yu Kerti dan Kang Kerti selamat, harta benda
dapat dicari lagi Yu, tetapi nyawa", kemana kita akan mencarinya". Bersukurlah
bahwa Kang Kerti hanya luka dan tidak dibunuh oleh perampok-perampok yang keji
itu" Demikianlah, sejenak kemudian, Ki Bekel dan bebahu padukuhan telah datang hampir
berbareng dengan Ki Demang Karangtengah.
"Jadi". tidak ada orang yang berani berusaha menangkap mereka meskipun kalian
berjumlah sekian banyaknya?" bertanya Ki Demang.
"Dirga sudah mencoba, Ki Demang. Dirga yang menurut pendapat kami adalah orang
yang terkuat diantara kami, dalam sekejap telah dilukai. Lalu apa pula artinya
kami. Dan ara perampok itu mengancam bahwa orang berikutnya tidak hanya akan
disakiti seperti Dirga, tetapi mereka benar-benar akan membunuh"
"Berapa orang mereka semuanya?"
"Lebih dari lima belas orang"
Lima belas orang?" "Ya, Ki Demang"
Jumlah itupun mengejutkan Ki Demang, Ki Bekel dan bebahu padukuhan, adalah wajar
sekali jika orang-orang padukuhan itu merasa ragu untuk bertempur menghadapi
lima belas orang perampok yang garang dengan membawa berbagai macam senjata yang
mengerikan. Ki Demang Karangtengah itupun menarik nafas panjang, seandainya orang-orang di
sekitar Ki Kerti itu memberanikan diri untuk mencoba menangkap mereka, maka
korbanpun akan berjatuhan, jika setiap perampok membunuh satu orang warga, maka
akan ada lima belas mayat yang harus dikuburkan.
Karena itu, maka Ki Demang tidak lagi menyalahkan warganya, mereka bukan
penakut, tetapi mereka tahu, bahwa mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa untuk
menghadapi lima belas perampok.
"Besok, peristiwa ini akan aku laporkan. Kami rakyat kademangan tidak mampu lagi
mengatasi" berkata Ki Demang.
"Peristiwa di padukuhan Salam beberapa hari yang lalu, tidak segarang apa yang
terjadi disini. Perampok di Salam itu tidak diketahui oleh orang lain kecuali
pemilik rumahnya" berkata Ki Jagabaya.
Peristiwa perampokan itu akhirnya sampai kepada Kangjeng Adipati Paranganom.
Bahkan yang terakhir telah terjadi perampokan dengan mencoba membunuh korbannya
dengan kejam. Sebelumnya, sebuah rumah sudah dibakar habis oleh para perampok
yang marah, karena mereka tidak menemukan yang mereka cari di rumah itu. Setelah
menyakiti suami isteri pemilik rumah itu, maka mereka membakar rumahnya dan
membiarkan suami isteri itu berada di dalamnya.
Untunglah, bahwa suami isteri itu masih sempat merangkak sambil membantu
isterinya keluar dari kobaran api sambil berteriak-teriak minta tolong.
Pertolongan dari para tetanggapun datang tepat pada waktunya, sehingga keduanya
serta anaknya yang masih kecil dapat diselamatkan. Seorang pembantu di rumah itu
juga selamat, meskipun ia mengalami luka bakar.
Kangjeng Adipati menjadi sangat prihatin atas peristiwa beruntun di Kadipaten
Paranganom itu, sehingga secara khusus, Kangjeng Adipati telah memanggil kedua
orang Tumenggung Wreda yaitu Tumenggung Wiradapa dan Tumenggung Sanggayuda.
Sementara itu Kangjeng Adipati juga minta Ki Ajar Wihangga tidak tergesa-gesa
meninggalkan Kadipaten. Ketika kedua orang Tumenggung Wreda itu menghadap, maka Kangjeng Adipati juga
memanggil kedua puteranya untuk menghadap pula.
"Keadaan sudah semakin gawat, kakang" berkata Kangjeng Adipati.
"Sudah waktunya untuk bertindak, Kangjeng. Para Demang sudah memberikan laporan,
bahwa mereka tidak lagi mampu berbuat apa-apa. Para perampok itu mendatangi rumh
para korbannya dalam jumlah yang besar, dan merampok tiga rumah sekaligus dalam
satu malam. Berkata Ki Tumenggung Wiradapa.
"Memang perlu dicari pijakan dari kerusuhan yang terjadi itu, Kangjeng. Agaknya
memang bukan kerusuhan biasa, bukan dilakukan oleh orang-orang yang kelaparan
atau sekedar mencari harta benda untuk menimbun kekayaan" ujar Ki Ajar.
"Ya, kakang" "Kangjeng Adipati, kita harus berusaha untuk dapat menangkap paraperampok dari
tataran tertinggi, sehingga akan mendapat keterangan yang jelas, apakah
sebenarnya yang terjadi"
Kangjeng Adipati mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu tiba-tiba saja Madyasta
berkata, meskipun dengan ragu-ragu "Ayahanda, jika ayahanda berkenan, hamba akan
menyampaikan pendapat hamba. Apapun alasannya, siapapun yang dalangnya,
kerusuhan-kerusuhan ini harus dihentkan. Jika ayahanda berkenan, hamba mohon
mendapat perintah dari ayahanda untuk mengatasi kerusuhan ini"
"Maksudmu?" "Hamba akan mencoba untuk berhadapan dengan perampok itu, ayahanda"
Kangjeng Adipati mengerutkan keningnya, sementara itu Wignyanapun berkata pula
"Hamba sependapat denan kakangmas Madyasta, ayahanda. Jika ayahanda
memerintahkan kami untuk mengatasi kerusuhan itu, maka perintah itu akan hamba
junjung tinggi" Kangjeng Adipati termangu-mangu sejenak, namun Ki Ajar berkata "Kangjeng
Adipati, sebenarnya bahwa angger Madyasta dan angger Wignyana telah menimba ilmu
di padepokan Panambangan sampai tuntas. Agaknya memang sudah sampai saatnya,
bahwa mereka mendapatkan beban tugas yang sesuai bagi mereka, juga sebagai
putera seorang Adipati. Karena itu, jika Kangjeng Adipati berkenan, maka
Kangjeng Adipati dapat memerintahkan putera Kangjeng Adipati untuk mengatasi
kerusuhan ini. Aku mengusulkan salah satu dari mereka yang berangkat. Tugas
pertama ini dibebankan kepada angger Madyasta, sementara angger Wignyana tetap
Kesatria Berandalan 3 Dewi Sri Tanjung Mencari Ayah Kandung Furinkazan 3

Cari Blog Ini