Ceritasilat Novel Online

Pelangi Dilangit Singosari 2

01 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja Bagian 2


Mahisa Agni menarik nafas. Namun mulutnya tetap membisu, sehingga terdengar Wiraprana berkata, "Bukan salah Agni, Empu."
Empu Purwa menoleh. Dilihatnya Wiraprana yang wajahnya menjadi merah biru. Katanya, "Adakah itu perbuatan Agni?"
"Bukan, Empu," jawab Wiraprana cepat-cepat, "Agni tak akan berbuat demikian."
Orang tua itu kemudian merenungi Mahisa Agni, seakan-akan anak itu belum pernah dilihatnya. Kemudian matanya beredar dan sehingga di wajah Kuda Sempana. Dengan terbata-bata Empu Purwa itu bertanya, "Angger Kuda Sempana, kenapa Angger nganggar keris. Apakah Agni mengganggumu?"
Kuda Sempana pun tak dapat menjawab pertanyaan itu, sehingga tanpa disadarinya kembali pandangan matanya terkulai di atas pasir tepian.
"Empu," terdengar kemudian Buyut Panawijen berkata, "aku pun sedang berusaha mengerti, apakah yang sedang terjadi di sini."
Empu Purwa mengangguk-angguk. Katanya, "Ya, ya Ki Buyut. Aku menjadi gemetar ketika aku mendengar anak-anak berteriak-teriak di jalan, katanya Angger Kuda Sempana, Angger Wiraprana dan Mahisa Agni saling berkelahi. Aku jadi sedemikian bingung sehingga aku tidak sempat bertanya-tanya lagi."
"Aku pun mendengar dari anak-anak itu," sahut Ki Buyut Panawijen. Kemudian kepada Wiraprana ia bertanya, "Benarkah itu Prana?"
"Tidak seluruhnya," jawab anak muda itu, "Yang mula-mula berkelahi adalah aku dan Kuda Sempana."
"Kau?" ulang ayahnya.
"Ya," jawab Wiraprana, "tidakkah anak-anak itu berkata demikian?"
"Aku tak sempat mendengarnya," sahut ayahnya.
"Dan akhir dari perkelahian itu," Wiraprana meneruskan, "Aku kalah. Tidakkah Ayah lihat mukaku yang bengap?"
"Aku tidak bertanya akhir dari perkelahian itu," potong ayahnya, "tetapi kenapa perkelahian itu mulai?"
Wiraprana pun menjadi ragu-ragu. Ditatapnya wajah Kuda Sempana yang masih tunduk dalam-dalam. Kemudian ketika ia melayangkan pandangannya ke atas tanggul, dilihatnya beberapa kepala gadis-gadis tampak berderet-deret mengintip. Dan tiba-tiba dilihatnya Ken Dedes masih berdiri menggigil di tebing sungai.
Orang-orang yang berdiri memagari itu pun menjadi gelisah. Beberapa orang sebenarnya telah mendengar apa yang sebenarnya terjadi dari anak-anak mereka, namun ketika di tempat itu hadir pula Empu Purwa maka mereka pun menjadi ragu-ragu pula untuk mengatakannya.
Tetapi sesaat kemudian Ki Buyut itu pun mendesak pula, "Wiraprana, tidakkah kau bisa berkata?"
Wiraprana menarik nafas dalam-dalam dan ketika ia sudah tidak dapat mengelak lagi, maka katanya, "Ayah, bertanyalah kepada mereka yang menceritakan perkelahian itu. Itulah mereka, anak-anak yang tadi sedang mencuci pakaian di belumbang ini. Mereka kini sedang mengintip apa pula yang akan terjadi di sini."
Mendengar jawaban itu, maka semua mata tiba-tiba bergerak ke atas tanggul. Sehingga tampak pulalah oleh mereka itu, kepala-kepala gadis yang sedang mengintip dengan keinginan tahu, bagaimanakah akhir dari peristiwa itu.
Ken Dedes yang melihat, semua mata memandang ke arah tanggul di atasnya, merasa seolah-olah mata itu memandangnya dengan penuh hinaan dan penyesalan. ia merasa bahwa dirinya sebab dari keributan itu. Karena itu maka perasaan bersalah, malu, sesal dan segala macam bercampur baur di dalam dadanya. Alangkah rendah martabatnya, sehingga beberapa orang laki-laki terpaksa berkelahi karenanya. Karena itu maka tiba-tiba perasaan yang bergolak di dadanya itu tak dapat dibendungnya lagi, sehingga tiba-tiba gadis itu berlari menghambur sambil berteriak, "Ayah, akulah yang bersalah."
Empu Purwa terkejut mendengar teriakan itu. Ketika ia melihat anaknya berlari kepadanya, ia pun menyongsongnya.
Demikian Ken Dedes sampai kepada ayahnya itu, maka dengan serta-merta ia menjatuhkan dirinya sambil menangis sejadi-jadinya. Katanya di sela-sela tangis itu, "Ayah. Akulah sumber dari malapetaka yang menimpa padukuhan kita yang damai. Karena itu Ayah, betapa hinanya aku. Maka adalah lebih baik bagiku kalau Ayah sudi membunuhku. Biarlah aku mati di hadapan penduduk Panawijen yang tenteram ini untuk menebus kesalahan dan arang yang mencoreng di wajah keluarga."
"Ken Dedes," sahut ayahnya, "kenapakah kau ini?"
"Bunuh saja aku, Ayah," tangis gadis itu.
Empu Purwa kemudian tegak seperti patung. Ditatapnya rambut anaknya yang panjang berombak, terurai menutup punggungnya.
"Bangunlah anakku," bisiknya, "katakan apa yang sebenarnya terjadi. Aku adalah ayahmu."
"Tidak!" teriak Ken Dedes, "Bunuh aku, Ayah."
Ki Buyut Panawijen pun kemudian mendekatinya pula. Dengan lembut ia berkata, "Ken Dedes, jangan menyalahkan diri sendiri. Berkatalah apa yang terjadi."
Mula-mula gadis itu tidak juga mau berkata. Tetapi lambat laun, setelah beberapa orang membujuknya, maka Ken Dedes pun mengangkat wajahnya, memandang ayahnya dengan sayu. Katanya, "Apakah ada gunanya?"
"Berkatalah, supaya kami mendengar," sahut Ki Buyut Panawijen. Sebenarnya Ki Buyut itu pun telah dapat menduga, apa sebabnya maka tiba-tiba saja pedukuhannya yang tenteram itu diributkan oleh sebuah perkelahian yang mengerikan. Dan tiba-tiba pula ia pun menjadi malu. Satu di antara mereka yang berkelahi adalah anaknya.
"Hem," pikirnya. "adakah anakku berkelahi karena seorang gadis?"
Ken Dedes pun kemudian bercerita terbata-bata. Dikatakannya apa yang telah terjadi, sejak awal sampai orang-orang itu melihat apa yang terjadi di tepi sungai itu.
Kuda Sempana pun mendengar kisah itu pula. Setiap kata yang diucapkan oleh gadis itu, serasa sebuah pukulan yang menampar dadanya. Diamat-amatnya setiap wajah dari orang-orang Panawijen. Terbayanglah pada wajah-wajah itu, perasaan sesal dan marah. Kuda Sempana tahu pasti, bahwa orang-orang itu pasti akan menyalahkannya. Lalu apakah yang akan mereka lakukan" Nafas anak muda itu pun menjadi semakin cepat mengalir, dan karena itu maka digenggamnya hulu kerisnya semakin erat.
Tetapi kemudian Kuda Sempana itu pun sadar, bahwa di hadapannya berdiri Mahisa Agni. Ketika dipandangnya wajah anak muda itu, hati Kuda Sempana berdesir. Dilihatnya Mahisa Agni pun telah bersiap pula.
"Hem," geram Ki Buyut Panawijen setelah Ken Dedes selesai berbicara. Dipandanginya wajah Kuda Sempana yang kaku tegang. Kemudian terdengar Buyut Panawijen itu berkata, "Angger Kuda Sempana. Benarkah cerita putri Empu Purwa itu?"
Kuda Sempana mengerling ke setiap wajah laki-laki Panawijen yang berdiri melingkar di sekitarnya. Kemudian disambarnya pula wajah Mahisa Agni dan Wiraprana dengan sudut pandangannya. Kuda Sempana tak dapat mengelak lagi. Di hadapannya berdiri beberapa orang saksi. Selain Wiraprana dan Mahisa Agni, dilihatnya pula beberapa orang gadis berderet-deret di atas tanggul. Sehingga karena itu terpaksa ia mengangguk sambil berkata, "Ya, Ki Buyut. Tetapi aku terdesak oleh keadaan. Aku telah mencoba datang ke rumah Ken Dedes. Tetapi gadis itu tak ada di rumah,"
"Adakah demikian adat di pedukuhan kita?" desak Ki Buyut, "Kenapa angger Kuda Sempana tidak mencari ayahnya. Bahkan seharusnya dengan sebuah upacara?"
"Aku ingin mendapat kepastian, sedang waktuku terlalu pendek. Besok aku harus terus kembali ke Tumapel," jawab anak muda itu.
"Di pinggir sungai?" bertanya Ki Buyut.
Kuda Sempana tak dapat menjawab. Tetapi hatinya mengumpat. Hampir saja ia menyebut ada yang akan ditempuhnya. Melarikan Ken Dedes, dan menyembunyikannya sampai terdapat keturunan daripadanya. Tetapi niat itu urung. Akibat dari adat itu pun tak akan mau ditanggungkan. Sebab bila niat itu gagal, dan keluarga gadis yang dilarikan itu menuntutnya, ia akan dapat perlakuan yang mengerikan. Mati dirampok orang seperti seekor harimau yang masuk ke dalam padukuhan.
Karena Kuda Sempana tidak menjawab, maka sejenak suasana menjadi sepi. Yang terdengar hanyalah gemericik air yang mengalir dan jatuh berderai dari atas bendungan. Bulatan demi bulatan melingkar di wajah air yang jernih itu, semakin lama semakin besar. Dan kemudian pecah membentur tepian. Yang satu disusul dengan yang lain. Tak henti-hentinya sejak bendungan itu selesai dibuat beberapa tahun lampau.
Di dalam kepala Ki Buyut Panawijen itu pun melingkar-lingkar pula berbagai pertanyaan. Tanpa terucapkan, namun a tahu apa yang akan ditempuh oleh Kuda Sempana. Dikenalnya anak itu sebagai anak yang cenderung menuruti kemauan sendiri. Karena itu tiba-tiba ia berdesis, "Sayang. Sebenarnya kami, penduduk dari pedukuhan ini merasa bangga, bahwa seorang anaknya telah berhasil merebut hati sang Akuwu Tumapel, sehingga mendapat tempat yang baik di sisinya. Kepercayaan itu sebenarnya kami rasakan sebagai suatu kepercayaan pula buat kami, penduduk Panawijen yang sepi. Angger Kuda Sempana akan dapat menjadi tempat kami untuk berteduh jika hujan turun, dan bernaung jika terik matahari membakar tubuh. Tetapi sayang. Sayang"."
Penyesalan yang dalam membayang di wajah Buyut Panawijen itu.
Tak seorang pun menyambung kata-kata itu. Mereka tinggal menunggu apa yang akan dilakukan oleh pimpinan pedukuhan itu. Namun timbullah di dalam setiap kepala, keragu-raguan untuk berbuat sesuatu. Pikiran itu bertolak dari pendapat yang sama pula. Kuda Sempana adalah pengawal dalam Akuwu Tumapel. Sedang setiap orang tahu sifat dan tabiat yang aneh dari Tunggul Ametung itu. Tunggul Ametung dapat berbuat sebaik-baiknya sebagai seorang Akuwu, namun ia dapat pula berbuat se-kejam-kejamnya. Akuwu itu benar-benar orang yang keras hati, sekeras batu akik, namun pada suatu saat hati itu dapat selunak kapas.
Karena itu tak seorang pun dapat membayangkan, apa yang akan dilakukan oleh Tunggul Ametung, jika salah seorang pengawalnya mengalami perlakuan yang jelek di kampung halamannya. Meskipun demikian adat harus ditegakkan. Meskipun Kuda Sempana itu senapati sekali pun, maka seharusnya ia mendapat perlakuan yang sama, apabila telah dilakukan sesuatu kesalahan.
Dan semuanya itu tergantung kepada Empu Purwa, ayah dari gadis yang akan dilarikan itu.
Maka akhirnya semua mata pun tertuju kepadanya. Apakah yang akan dikatakan oleh orang tua itu. Apabila orang tua itu menganggap bahwa Kuda Sempana telah melarikan anak gadisnya, dan maksud itu dapat dicegah, maka ia dapat menuntut hukuman atas anak muda itu.
Kuda Sempana pun sadar akan hal itu. Namun telah bulat tekad di dalam hatinya, bahwa wanita, pusaka dan nyawanya tak berbeda nilainya. Karena itu maka ia pun telah bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan. Menghadapi Mahisa Agni sekali pun, meskipun akan berakibat maut baginya.
Empu Purwa menyadari keadaannya. Ditatapnya setiap wajah dari tetangga-tetangganya itu. Dilihatnya keragu-raguan dan kecemasan di wajah-wajah itu. Sekali dipandangnya wajah anaknya pula. Pucat dan gemetar. Hatinya masih saja dicengkam oleh perasaan malu dan hina. Ketika kemudian Empu Purwa memandang wajah Mahisa Agni, dilihatnya wajah itu merah membara. Dengan tajam anak muda itu tak melepaskan pandangannya atas Kuda Sempana.
"Angger Kuda Sempana," kemudian terdengar orang tua itu berkata, "adakah angger tadi benar-benar bermaksud melarikan Ken Dedes?"
Kuda Sempana menggigit bibirnya. Ketika terpandang olehnya wajah Wiraprana yang bengap merah biru, dilihatnya anak muda yang tinggi besar itu tersenyum sambil mengangguk kecil.
"Persetan!" umpatnya di dalam hati, namun mulutnya terpaksa menyahut, "Ya, Empu."
Empu Purwa menarik nafas, dan hampir setiap mulut kemudian mengucap berbagai kata-kata yang tidak jelas.
Ketika untuk sesaat kemudian Empu Purwa terdiam, maka keadaan menjadi tegang. Orang-orang Panawijen itu melihat wajah Empu Purwa seakan-akan tanggul yang sudah penuh dengan air. Apabila tanggul itu bobol, maka akan datanglah banjir. Dan orang-orang yang berdiri tegak memagari itu pun harus ikut serta. Dan Kuda Sempana adalah biduk yang akan digulung oleh kedahsyatan banjir itu.
Tiba-tiba ketegangan itu dipecahkan oleh pertanyaan Empu Purwa kepada Kuda Sempana, "Angger, adakah angger menyesal?"
Pertanyaan itu benar-benar tak terduga. Baik oleh Kuda Sempana sendiri maupun oleh orang-orang Panawijen. Karena itu Kuda Sempana tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah Empu Purwa dengan ragu. Sehingga Empu Purwa yang tua itu mengulangi pertanyaannya, "Angger, adakah Angger menyesal atas perbuatan itu?"
Pertanyaan itu jelas. Kata demi kata. Setiap orang tahu maksud pertanyaan itu. Karena itu setiap orang menarik nafasnya. Seakan-akan mereka melihat air yang memenuhi tanggul itu menjadi surut. Namun Kuda Sempana masih belum menjawab. Di dalam dadanya timbullah suatu pergolakan yang riuh. Sudah pasti sama sekali tak dihendakinya, apabila orang-orang sekampungnya akan beramai-ramai mengeroyoknya seperti seekor harimau yang tersesat masuk ke kampung. Tetapi untuk menarik diri terasa bahwa harga dirinya tersentuh. Ketika dilihatnya Mahisa Agni tegak seperti karang, sekali lagi ia mengumpat di dalam hatinya, "Kalau saja anak gila itu tidak ada di sini, maka orang-orang Panawijen. laki-laki perempuan, tua muda, akan dihadapinya. Tetapi kini Agni yang garang itu masih berdiri tegak di hadapannya. Maka sesaat Kuda Sempana pun membuat perhitungan-perhitungan. Ia tidak takut mati. Namun ia masih ingin menunda kematian itu. Meskipun demikian anak muda yang gagah itu pun tidak segera menjawab, sehingga kemudian kembali terdengar suara pendeta tua itu, "Angger, aku tahu, betapa berat untuk mengucapkan kata-kata yang tak pernah terucapkan. Apalagi oleh seorang satria seperti Angger Kuda Sempana. Karena itu, maka baiklah aku pakai cara seorang tua. Kalau Angger Kuda Sempana menyesal, sarungkanlah keris angger."
Kembali keadaan menjadi tegang. Semua mata terpaku pada tangan Kuda Sempana yang menggenggam kerisnya erat-erat. Kuda Sempana sendiri pun memandang tangannya itu. Dan tangan itu menjadi gemetar. Setiap orang yang memandang tangan itu pun kemudian menjadi ngeri. Keris itu benar-benar pusaka yang menakjubkan. Kalau Kuda Sempana tak mau menyarangkan keris itu, maka keris itu pun segera akan menari-nari. Setiap orang akan dapat mengalami nasib yang jelek karenanya.
Ketika tangan Kuda Sempana itu bergerak perlahan-lahan maka orang-orang yang terdekat pun bergeser. Namun semua orang menarik nafas lega ketika mereka melihat, ujung keris yang gemetar itu manjing ke dalam wrangkanya.
"Syukurlah berkata Empu Purwa kemudian sambil mengangguk-angguk kecil, "ternyata Angger berjiwa besar."
Kemudian pendeta tua itu pun berkata kepada Buyut Panawijen, "Ki Buyut marilah persoalan ini kita hadapi dengan jiwa besar pula. Marilah semuanya ini kita lupakan."
Ki Buyut Panawijen mengangguk-angguk pula. Di dalam hatinya pun tersimpan perasaan semacam itu. Meskipun di sudut hati itu yang paling dalam melengking pula pertanyaan, "Adakah Kuda Sempana itu akan dibiarkan membawa kesalahannya tanpa hukuman apapun?"
Namun terdengar pula jawaban dari sudut yang lain, "Ayah gadis itu tak menuntutnya. Dan, bukankah anak muda itu pengawai dalam istana Tumapel."
Ki Buyut Panawijen memandangi Kuda Sempana yang gagah itu. Pakaian kelengkapannya yang indah meskipun kotor dan kusut, sabuk bertimang emas dengan mata berlian.
Akhirnya Buyut Panawijen itu pun berkata, "Angger Kuda Sempana. Angger telah berbuat Kesalahan. Tetapi untunglah segala sesuatu masih belum terlanjur. Aku tak dapat menyalahkan Wiraprana dan Angger Mahisa Agni, bukan karena Wiraprana itu anakku. Berterima kasihlah Angger Sempana kepada anak-anak muda yang mencegah Angger, sebelum Angger sempat menyentuh gadis yang akan Angger larikan, sehingga kebebasan Angger dari setiap hukuman tidak terasa sebagai pelanggaran yang mutlak atas adat di kampung kita. Namun janganlah hal ini menjadi contoh. Kalau Empu Purwa menghendaki, hukuman itu mempunyai alasan yang cukup untuk dijatuhkan. Tetapi dengan demikian, peristiwa ini akan benar-benar mengganggu ketenteraman pedukuhan kita. Maka bijaksanalah Empu Purwa. Meskipun demikian, tak dapat angin lalu tanpa menggoyangkan daun-daun pepohonan. Karena itu, baiklah aku minta, sebagai orang yang diserahi tanggung jawab atas pedukuhan ini, agar Angger Kuda Sempana segera meninggalkan kampung kita. Jangan kembali sebelum sampai pada bilangan tahun."
Kuda Sempana yang gagah itu mengerutkan keningnya. Ia memandang hampir semua orang yang berdiri di sekelilingnya. Hukuman yang jauh lebih ringan dari yang diduganya itu tidak juga menyenangkan hatinya. Terasa bahwa sejak saat itu, ia akan dipisahkan dari tanah kelahirannya, sedikitnya untuk setahun.
"Persetan tanah kelahiran yang beku ini!" pikirnya, "Di Tumapel aku mempunyai lingkungan yang jauh lebih baik dari orang-orang yang bodoh dan keras kepala ini. Apakah artinya bagiku, bendungan, belumbang, rumpon, sawah, parit dan segala macam yang pasti akan menjemukan. Di Tumapel, aku dapat bermain-main dengan kuda, tombak, dan kemewahan."
Tetapi Kuda Sempana memandang Ken Dedes yang masih duduk di pasir tepian. Terasa hatinya berdesir. Dan tiba-tiba menyalalah dendam yang membakar hatinya atas kampung halamannya, atas orang-orang yang melingkungi hidupnya semasa kanak-kanaknya. Dan dendam itu harus ditumpahkan. Kalau ia tak dapat memetik Bunga dari lereng Gunung Kawi itu, maka biarlah bunga itu akan digugurkan saja dari tangkainya. Sama sekali ia tidak rela melihat orang lain, apalagi pemuda-pemuda desa seperti Agni atau Wiraprana kelak akan memetiknya.
Sekali lagi Kuda Sempana memandangi setiap wajah itu dengan muaknya. Kemudian dengan tergesa-gesa ia meloncat pergi meninggalkan mereka dengan dendam yang membara di dadanya.
Berpuluh-puluh pasang mata mengikuti langkah pemuda yang gagah itu. Sesaat kemudian Kuda Sempana telah meloncat ke atas punggung kudanya yang sedang asyik makan rerumputan segar. Namun ketika terasa sentuhan pada lambungnya, segera kuda yang tegar itu menengadah, dan meloncatlah ia dengan lajunya meninggalkan tepian sungai itu.
Beberapa orang menarik nafas lega. Mereka seakan merasa terlepas dari bencana. Ki Buyut Panawijen dan Empu Purwa pun mengangguk-anggukkan kepala mereka.
"Anak yang keras kepala," desis Ki Buyut.
Tak seorang pun yang menyahut.
"Marilah kita tinggalkan tempat ini," berkata Buyut Panawijen itu pula.
Beberapa orang yang lain pun segera bergerak mengikuti Buyut Panawijen itu. Tanpa berkata-kata sepatah pun mereka mendaki tebing dan hilang di belakang tanggul.
Yang tinggal kemudian adalah Empu Purwa, Ken Dedes, Mahisa Agni dan Wiraprana. Sedang gadis-gadis yang mengintip dari atas tanggul, satu demi satu menuruni tebing untuk mengambil cucian-cucian mereka yang tinggal di belumbang.
Untuk beberapa saat Empu Purwa, Mahisa Agni dan Wiraprana masih memandang ke arah Kuda Sempana menghilang. Empu yang tua dan bijaksana itu mengeluh di dalam hatinya Sebenarnya Empu Purwa yang telah cukup banyak mengenyam pahit manisnya kehidupan, segera dapat mengerti bahwa Kuda Sempana sama sekali tidak ikhlas atas keputusan yang diambilnya. Namun perasaan itu sama sekali tak diungkapnya. Tetapi betapa pendeta tua itu terkejut ketika terdengar suara Mahisa Agni lirih, "Bapa, adakah Kuda Sempana menerima keputusan ini dengan jujur?"
Empu Purwa memandang Agni dengan seksama. ia pun sadar, bahwa tidak mustahil orang-orang lain pun menyimpan pertanyaan yang demikian di dalam hatinya. Meskipun demikian ia menjawab, "Angger Kuda Sempana adalah seorang satria yang berjiwa besar. Seorang yang demikian akan melihat kenyataan dengan jujur."
Mahisa Agni kecewa mendengar jawaban itu. Tetapi ia sadar, bahwa di kampung halamannya, gurunya itu tidak lebih dari seorang pendeta yang meluluhkan diri dalam ketekunan beribadah. Dalam pedukuhan yang tenteram damai itu, tak seorang pun yang pernah melihat, bahwa Empu Purwa yang tua dan alim itu mampu menggenggam segala macam senjata di kedua sisi tangannya. Mampu menghantam hancur lawan yang betapa pun tangguhnya hanya dengan tangannya. Tetapi masa-masa yang demikian telah lampau bagi pendeta tua itu. Namun demikian, ia tidak menutup mata atas suatu kenyataan, bahwa kadang-kadang kebenaran harus dibela dengan kemampuan yang demikian. Kadang-kadang diperlukan kekuatan jasmaniah untuk menegakkan keadilan dan terutama untuk melawan segala bentuk kejahatan dan pengingkaran atas kebenaran dan keadilan itu. Kebenaran dan keadilan yang sebenar-benarnya. Kebenaran dan keadilan yang dibenarkan oleh Yang Maha Agung. Karena itulah maka ia menempa anak muda yang bernama Agni itu. Semoga anak itu dapat mengamalkan ilmunya. Mengamalkan, dan bukan sebaliknya.
Pendeta tua itu tersentak ketika kemudian Wiraprana berkata, "Empu, aku melihat sesuatu membayang di wajah Kuda Sempana."
"Apakah itu?" bertanya Empu Purwa.
"Dendam," jawab Wiraprana.
"Oh," sahut Empu Purwa, "Tidak. Jangan berprasangka, Ngger. Tak baik orang menyimpan dendam di dalam dirinya."
"Yang menyimpan dendam itu bukan aku Empu," jawab Wiraprana sambil tersenyum, "tetapi Kuda Sempana."
"Ya, ya," potong pendeta itu cepat-cepat, "maksudku bukan Angger. Tetapi siapa saja. semua orang."
Wiraprana mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun wajahnya masih merah biru, namun anak muda itu selalu tersenyum saja. Hanya kadang-kadang tampak ia menyeringai, kalau nyeri-nyeri di punggungnya terasa seperti menyengat-nyengat sampai ke ubun-ubun.
Sesaat kemudian Empu Purwa itu teringat kepada anaknya yang masih duduk lesu di atas pasir. Dengan lembut orang tua itu berkata sambil menarik lengan putrinya, "Ken Dedes, marilah kita pun pulang. Ambillah cucianmu."
Ken Dedes menatap wajah ayahnya. Wajah seorang yang paling dikasihi dari semua orang yang dikenalnya.
"Adakah kau sudah selesai dengan cucianmu?" bertanya ayahnya.
Ken Dedes menggeleng. "Apakah kau ingin menyelesaikannya," bertanya ayahnya pula.
Sekali lagi gadis itu menggeleng.
"Kalau demikian marilah kita pulang. Biarlah kau selesaikan di rumah," ajak Empu Purwa.
Perlahan-lahan Ken Dedes berdiri dan berjalan ke belumbang untuk mengambil cuciannya. Namun wajahnya yang pucat itu selalu ditundukkannya. Tak berani ia menatap wajah kawan-kawannya yang seakan-akan memandangnya dengan penuh persoalan.
Sesaat kemudian mereka itu pun pulang bersama-sama. Empu Purwa berjalan membimbing putrinya. Di belakang mereka berjalan Mahisa Agni dan Wiraprana, Namun kadang-kadang Wiraprana masih harus berpegangan pundak sahabatnya itu.
Di perjalanan itu pun mereka tak banyak bercakap-cakap. Mereka sedang asyik bermain-main dengan angan-angan. Di dalam kepala Mahisa Agni masih saja membayang wajah Kuda Sempana yang menyala-nyala liar. Karena itu, mau tidak mau Mahisa Agni harus berpikir, "Bagaimanakah kalau anak itu datang sebelum waktu yang ditentukan" Apalagi kalau anak itu datang tidak seorang diri, tetapi dengan beberapa kawannya dari Tumapel?"
Tetapi kemudian dihiburnya sendiri hatinya, "Empu Purwa pasti tidak akan membiarkan anaknya mengalami nasib sedemikian Kalau perlu, perlu sekali, maka orang tua itu pasti akan membela anaknya. Kalau terpaksa, pasti ia akan mempertahankan dengan kekerasan pula."
Demikianlah batin Mahisa Agni menjadi agak tenteram karenanya.
Setelah menghantarkan Wiraprana, Agni pun segera pulang ke rumah gurunya. Dan sehari itu sama sekali tak dijumpainya Ken Dedes, yang kemudian merendam diri di dalam biliknya.
Empu Purwa pun tidak dijumpainya di halaman atau di pendapa. Seorang cantrik berkata kepadanya, bahwa Empu Purwa sedang berada di sanggarnya.
Terasa sehari-hari rumah itu menjadi sepi. Mahisa Agni berjalan hilir mudik dengan gelisahnya. Sekali dipegangnya senggot timba untuk mengisi jambangan, tetapi belum lagi pekerjaan itu selesai Mahisa Agni telah berpindah pekerjaan. Diambilnya cangkul dan sabit. Dicobanya melupakan kegelisahannya dengan menyiangi pertamanan di belakang. Namun pekerjaan ini pun tak menyenangkannya. Burung-burung peliharaannya yang bernyanyi riuh itu pun tak menarik perhatiannya.
Akhirnya Mahisa Agni pun menyekap diri di bilik belakang. Bilik yang dipergunakannya untuk mesu diri, melatih tubuh wadagnya sejak ia mulai berguru kepada Empu Purwa itu. Dengan serta-merta dilepasnya ikat pinggangnya, diikatkan di pinggangnya. Dengan sebuah loncatan tinggi Mahisa Agni mulai dengan latihannya. Latihan yang lain daripada saat-saat berlatih. Ia hanya ingin melepaskan kesepian dan kegelisahan yang mencengkamnya. Dilakukannya berbagai gerakan, dari yang paling sederhana sampai yang paling sulit yang pernah dipelajarinya. Dengan tangkasnya ia meloncat-loncat seperti kijang. Melingkar, berputar dan melambung ke udara. Ketika ia telah menjadi jemu dengan segala gerakan itu, tiba-tiba di tangannya telah tergenggam sebilah pedang yang diraihnya dari dinding biliknya. Dengan lincahnya Mahisa Agni mempermainkan pedangnya. Kadang-kadang ia mencoba membuat gerakan-gerakan yang indah, namun tiba-tiba gerakannya menjadi cepat dan kaku.
Demikianlah Mahisa Agni melepaskan kejemuan dengan berbagai-bagai senjata. Pedang, tombak, cemeti dan jenis-jenis senjata lain. Sehingga akhirnya Mahisa Agni menjadi lelah. Satu demi satu senjata-senjata itu dikembalikannya pada tempatnya, dan yang terakhir Mahisa Agni meletakkan tubuhnya di sudut bilik itu. Demikian lelahnya setelah semalam ia harus bertempur melawan hantu Karautan, pagi itu dengan Kuda Sempana dan masa latihannya berlebih-lebihan, maka akhirnya Mahisa Agni pun tertidurlah dengan nyenyaknya.
Betapa mimpi yang aneh-aneh telah mengganggunya. Dilihatnya di dalam mimpi itu, Ken Dedes meloncat ke dalam perahu yang megah di sebuah danau yang tenang. Tetapi tiba-tiba air danau itu pun bergolaklah. Sebuah angin yang kencang telah mengguncang perahu yang megah itu sehingga perahu itu bergoyang dengan kerasnya. Ken Dedes yang berada di dalam perahu itu terlempar dan segera ditelan oleh gelombang yang ganas. Dan yang terakhir Mahisa Agni melihat perahu itu tenggelam. Bagaimana- pun ia mencoba untuk menolong Ken Dedes maupun perahunya, namun sia-sia. Bahkan akhirnya dirinya pun terguncang keras-keras.
Mahisa Agni terkejut. Perlahan-lahan ia membuka matanya. Dilihatnya bilik itu telah menjadi gelap. Seorang tua dengan lampu di tangan berdiri di sampingnya. Berkata orang itu, "Apakah kau sedang bermimpi?"
Perlahan-lahan Mahisa Agni bangkit. Dilihatnya keadaan di sekelilingnya. Ternyata ia masih berada di dalam biliknya.
Sekali ia menggeliat, kemudian jawabnya, "Ya Guru, sebuah mimpi yang jelek."
"Aku sudah menduga. Di dalam tidur kau menggeram," sahut gurunya.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Syukurlah bahwa semuanya itu hanya terjadi di dalam mimpi. Namun meskipun demikian mimpi itu sangat mengganggunya. Sehingga kemudian terluncur juga dari mulutnya, "Guru, mimpiku menggelisahkan sekali. Adakah setiap mimpi itu mempunyai arti?"
"Apakah mimpimu itu?" bertanya gurunya.
Mahisa Agni mencoba untuk menceritakan mimpinya. Sejak awal sampai betapa ia meronta-ronta melawan ombak yang menghempas-hempaskannya.
Empu Purwa mengerutkan keningnya. Tampaklah wajahnya menjadi tegang. Namun kemudian ia tersenyum, katanya, "Waktu mimpimu itu adalah waktu yang tak membawa arti. Mimpi yang mengandung makna adalah mimpi pada saat-saat antara ayam jantan berkokok untuk kedua dan ketiga kalinya. Mimpimu adalah mimpi seseorang yang terlalu banyak tidur, Agni."
Mahisa Agni pun tersenyum pula. Tetapi senyumnya itu pun sama sekali tidak meyakinkan. Mahisa Agni telah mengenal gurunya baik-baik, sehingga ia tahu benar tabiat orang tua itu. Meskipun orang tua itu mencoba menghapuskan kesannya atas mimpi Mahisa Agni, namun tertangkap juga oleh Mahisa Agni, kegelisahan yang membayang di wajah itu, meskipun hanya sesaat. Tetapi ia tidak berani bertanya lebih lanjut.
"Agni," berkata Empu Purwa kemudian, "bersihkanlah dirimu. Kami sudah makan malam. Makanlah dahulu, kemudian datanglah kepadaku. Ada yang akan aku bicarakan."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Gurunya memanggilnya. Pasti ada sesuatu yang penting.
Mahisa Agni pun kemudian berdiri dan perlahan-lahan berjalan keluar. Panggilan gurunya itu agak mengganggunya, di samping mimpi yang menggelisahkan itu.
"Mimpi seseorang yang terlalu banyak tidur," gumamnya, "Mudah-mudahan."
Namun meskipun demikian Mahisa Agni tak dapat melupakannya.
Setelah membersihkan diri, Mahisa Agni segera pergi ke dapur. Dilihatnya Ken Dedes duduk di atas bale-bale bambu. Ketika dilihatnya ia datang, segera gadis itu menyapanya, "Kau tertidur di bilik belakang Kakang?"
Mahisa Agni mengangguk. Ditatapnya wajah gadis itu. Pucat, dan tampak bendul di kedua pelupuk matanya. Agaknya gadis itu sehari-harian menangis di dalam biliknya.
Ken Dedes memalingkan wajahnya. Ia merasa Mahisa Agni memandang bendul di pelupuk matanya itu.
"Apa yang kau tatap itu Kakang" Apakah kau belum pernah melihat mataku?" katanya sambil mencoba tersenyum.
"Bukan apa-apa," jawab Agni. Dan tiba-tiba saja sikapnya menjadi canggung. Ia telah berkumpul dengan Ken Dedes dalam satu rumah bertahun-tahun lamanya. Namun kini terasa gadis itu menjadi asing baginya.
Jilid 2 KARENA MAHISA AGNI masih tegak di pintu, berkatalah Ken Dedes, "Apakah kau akan berdiri saja di situ?"
"Oh," dan Mahisa Agni pun berjalan memasuki ruangan itu. Dilihatnya beberapa endang sedang sibuk membersihkan piring-piring tanah dan mangkuk.
"Kau terlambat makan Kakang. Ayah, para cantrik dan endang, dan aku sudah makan. Ayah mencarimu tadi. Ternyata kau ditemukannya di bilik belakang," berkata Ken Dedes sambil mempersiapkan makan Agni.
"Aku lelah sekali," jawab Agni.
Ken Dedes menundukkan wajahnya. Jawaban Agni itu bagi Ken Dedes terdengar seolah-olah berkata "Aku sangat lelah Ken Dedes, setelah aku berkelahi mempertahankan kau".
Dan tiba-tiba terdengar Ken Dedes berdesis, "Terima kasih, Kakang."
Mahisa Agni terkejut mendengar kata-kata itu. Maka ia pun bertanya, "Kenapa terima kasih?"
Ken Dedes tersadar dari angan-angannya. Karena itu ia pun menjadi tersipu-sipu. Sahutnya, "Terima kasih, bahwa kau masih akan memberi aku pekerjaan dengan bekas-bekas makan itu."
"Oh," Mahisa Agni pun tersenyum, "maafkan aku."
Dan Mahisa Agni pun makanlah. Anak muda itu duduk bersila di atas bale-bale bambu, sedang Ken Dedes duduk pula di sampingnya. Dilayaninya Mahisa Agni dengan cermatnya. Tidak bedanya ia melayani ayahnya.
Bagi Mahisa Agni, hal yang demikian itu sudah sering benar dialami. Ken Dedes yang bersikap sebagai seorang adik itu, tahu benar apa yang harus dilakukan untuk ayah dan saudara tuanya. Namun, kali ini terasa sikap itu agak berbeda. Ken Dedes tidak banyak berbicara seperti biasanya. Bahkan kadang-kadang ia tunduk diam dan sekali-sekali dipandanginya titik-titik yang jauh di dalam kegelapan malam.
Dan tiba-tiba terdengar gadis itu bergumam tanpa melepaskan pandangannya yang menghunjam ke gelap malam, "Kakang, Ayah memanggil aku menghadap setelah Kakang selesai makan malam."
Jantung Mahisa Agni pun berdesir. Gadis itu pun dipanggil pula oleh ayahnya.
"Kalau demikian," pikir Mahisa Agni, "masalahnya pasti masalah gadis itu. Mungkin akibat sikap Kuda Sempana siang tadi. Agaknya gurunya pun melihat ketidak ikhlasan anak itu. Tetapi mungkin, meskipun terdorong oleh peristiwa pagi tadi, ada juga persoalan-persoalan lain."
Mahisa Agni menarik nafas panjang.
"Kenapa kau berdesah?" bertanya Ken Dedes.
Mahisa Agni terkejut. Dicobanya tersenyum. Jawabnya, "Aku lupa bahwa aku sudah terlalu kenyang."
"Bohong!" bantah Ken Dedes.
Sikap manjanya kadang-kadang masih tampak, meskipun ia mencoba bersikap sungguh-sungguh. Dan tiba-tiba saja Ken Dedes kini telah benar-benar menjadi gadis dewasa di dalam tangkapan Mahisa Agni.
Dan tiba-tiba gadis itu memberengut. Katanya, "Kau tidak mengacuhkan aku."
"Kenapa?" bertanya Agni, "bukankah aku memperhatikan setiap kata-katamu."
"Tidak," sahut gadis itu, "aku berbicara dengan sungguh-sungguh. Tetapi mendengar pun kau tidak.
"Aku mendengar," jawab Agni.
"Apa yang aku katakan?" ia bertanya.
"Bapa Pendeta memanggil kau menghadap," Agni mengulangi kata-kata Ken Dedes.
"Kau mendengarnya?" desis Ken Dedes, "kalau demikian kau benar-benar tidak menaruh perhatian."
"Aku memperhatikan dengan sungguh-sungguh pula," Agni mencoba membela diri.
"Kau tidak memberikan tanggapan apa-apa. Kau tidak terkejut dan kau tidak bertanya, kenapa aku dipanggil Ayah. Bahkan kau malahan berdesah karena kau makan terlalu kenyang. Mungkin kau baru merenungkan sesuatu sehingga perut kakang sendiri pun Kakang lupakan. Apakah Kakang Agni sedang merenungkan Witri atau Sita yang manis itu?" tuduh Ken Dedes.
"Ah," bantah Mahisa Agni, "jangan mengada-ada Ken Dedes. Aku mendengar kata-katamu dan aku merenungkannya. Aku sedang berpikir apakah kira-kira sebabnya."
"Bohong," Ken Dedes mencibirkan bibirnya.
Sekali lagi Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tersenyum melibat putri gurunya yang manja namun bersungguh-sungguh itu.
"Aku benar-benar terlalu kenyang," Mahisa Agni bergumam, "justru karena aku merenungkan kata-katamu."
"Bohong. Bohong," sekali lagi gadis itu mencibirkan bibirnya.
"Sudahlah Ken Dedes. Nanti Bapa Pendeta terlalu lama menunggu. Disangkanya aku terlalu lama makan," berkata Agni kemudian.
"Bukankah sebenarnya demikian. Kakang makan terlalu lama meskipun Kakang makan terlalu cepat," jawab Ken Dedes.
Mahisa Agni diam saya. Dipandangnya Ken Dedes itu, yang kemudian berdiri membenahi piring-piring dan mangkuk-mangkuk. Diambilnya kendi dari glodog dan disodorkannya kepada Mahisa Agni.
"Terima kasih Ken Dedes," sambut Mahisa Agni.
Ken Dedes yang hampir melangkah pergi berhenti memandangi Mahisa Agni, katanya, "Sejak kapan Kakang berterima kasih kepadaku?"
Agni menundukkan wajahnya. Ia tidak menjawab kata-kata itu. Sehingga Ken Dedes pun melangkah pergi. Dengan sudut matanya Mahisa Agni melihat gadis itu. Tidak terlalu tinggi, bulat dan langsing. Pekerjaannya sehari-hari telah membentuk tubuh gadis itu menjadi serasi. Kuat namun tidak terlalu kasar. Dan tiba-tiba Mahisa Agni bergumam di dalam hatinya, "Hem, benar juga kata anak-anak muda. Putri Bapa Pendeta itu bagaikan Bunga di lereng Gunung Kawi. Dan bunga itu kini mulai kembang."
Mahisa Agni menggeleng-gelengkan kepalanya. Dan kembali ia tunduk dalam-dalam ketika Ken Dedes datang kepadanya dan kembali duduk di sampingnya.
"Kakang," gadis itu berkata pula. Kali ini bersungguh-sungguh, "Ayah memanggil aku."
Mahisa Agni mengangkat wajahnya, katanya, "Kenapa kau dipanggil?"
Tetapi tiba-tiba gadis itu memberengut kembali. Katanya, "Kakang, kau menggodaku sejak tadi."
"He," Agni tidak mengerti, "kenapa?"
"Kau tidak bersungguh-sungguh. Kau bertanya karena aku tadi berkata demikian," Ken Dedes bersungut.
"Ah," desah Mahisa Agni, "lalu bagaimanakah aku harus bersikap. Ken Dedes, sebenarnyalah aku ingin mengetahui, apakah sebabnya kau dipanggil oleh Bapa Pendeta. Bukankah hal yang demikian itu bukan menjadi kebiasaan?"
Ken Dedes mengangguk. Dan kembali ia bersungguh-sungguh. Katanya, "Aku tak tahu. Mungkin Ayah marah kepadaku."
"Aku sangka tidak. Sebab kau tidak bersalah. Namun mungkin pula ada hubungannya dengan peristiwa pagi tadi."
Mahisa Agni diam sebentar, kemudian ia meneruskan perlahan-lahan, "Aku pun dipanggilnya."
"Oh," desis Ken Dedes. Tetapi tak ada sepatah kata pun lagi yang melontar dari sela-sela bibirnya yang tipis itu.
Untuk sesaat mereka berdua berdiam diri. Masing-masing sibuk dengan angan-angannya sendiri. Para endang telah hampir selesai dengan pekerjaan mereka. Sehingga kemudian Agni pun berkata, "Ken Dedes, pergilah kau dahulu. Bapa Pendeta sudah lama menunggu."
"Mungkin," sahut Ken Dedes, "Baiklah aku pergi dahulu. Kapankah Kakang akan menghadap Ayah?"
"Sebentar lagi aku datang," jawab Agni
Ken Dedes pun kemudian berdiri. Ketika ia berjalan keluar. Mahisa Agni mengikutnya dengan pandangan matanya. Tanpa sesadarnya ia mengangguk-angguk. Dan tiba-tiba ia terkejut ketika ia mendengar seorang cantrik batuk-batuk di sudut dapur.
"Apa kerjamu di situ?" pertanyaan itu demikian saja meluncur dari mulut Agni.
"Mengisi jambangan," jawabnya sambil tersenyum.
"Ah," Mahisa Agni kemudian tidak memedulikan lagi. Segera ia pun berdiri dan dengan langkah panjang-panjang ia pun pergi meninggalkan ruangan itu
Di pringgitan Empu Purwa duduk di sudut ruangan, di atas tikar pandan yang putih. Dilipatnya kedua tangannya di dadanya, sambil duduk bersandar dinding. Kadang-kadang dikecupnya mangkuk air sere hangat-hangat sambil menggigit gula kelapa. Sedap.
Dengan sabarnya ia menunggu putrinya dan Mahisa Agni datang kepadanya seperti permintaannya. Hal yang demikian hampir tak pernah dilakukan. Ia berbicara dengan kedua anak itu di mana saja mereka bertemu. Di pendapa, di pertamanan, di tepi kolam atau di perjalanan. Namun agaknya kali ini ada sesuatu yang dianggapnya sedemikian pentingnya sehingga ia harus berbicara bersungguh-sungguh.
Ketika kemudian putrinya muncul dari balik pintu, Empu Purwa mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Duduklah Ken Dedes, di mana Mahisa Agni" Hampir aku mengantuk menunggumu di sini."
Ken Dedes adalah gadis yang manja. Ayahnya itu pun suka pula bergurau. Namun kali ini tampaklah wajahnya bersungguh-sungguh. Hening. Namun sepi.
Karena itu Ken Dedes pun tidak berani bersikap manja seperti sikapnya sehari-hari. Dengan wajah tunduk ia pun segera duduk di muka ayahnya.
"Di mana Agni?" ayahnya bertanya.
"Di dapur Ayah," jawab Ken Dedes, "baru saya Kakang Agni selesai makan."
Empu Purwa mengangguk-angguk. "Biarlah kita tunggu," katanya.
Ken Dedes menjadi semakin berdebar-debar. Apakah persoalan itu penting sekali" Meskipun demikian ia sudah dapat meraba-raba. Pasti ayahnya akan bertanya kepadanya, hubungan apakah yang pernah dilakukan dengan Kuda Sempana. Dan Ayahnya itu akan menjadikan Mahisa Agni sebagai saksi.
Sesaat kemudian Agni pun datang pula. Langsung ia duduk di atas tikar pandan itu. Seperti Ken Dedes, dada anak muda itu pun berdebar-debar pula.
Setelah keduanya duduk beberapa saat, berkatalah Empu Purwa, "Mahisa Agni dan Ken Dedes. Aku sangka kalian menduga-duga di dalam hati, persoalan yang agak bersungguh-sungguh ini. Namun aku rasa kalian telah menemukan jawabannya"
Mahisa Agni menggeleng. Jawabnya, "Belum Bapa. Sewaktu Bapa minta aku datang sampai pada saat ini, tak ada yang dapat aku kira-kirakan.
Empu Purwa tersenyum. Dipandanginya anak gadisnya. Kemudian katanya, "Benarkah begitu Ken Dedes?"
Ken Dedes mengangguk. Empu Purwa menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Aku menyesal bahwa peristiwa pagi tadi harus terjadi. Dengan demikian keluarga kita akan menjadi buah percakapan."
Ken Dedes pun menjadi semakin tunduk. Perkataan ayahnya itu mengingatkannya kepada berbagai perasaannya yang bercampur baur. Malu, sedih, takut dan segala macam, Karena itu, tiba-tiba terasa air matanya mengambang di pelupuk matanya yang masih bendul.
Ketika Empu Purwa melihat anaknya bersedih, cepat-cepat ia meneruskan, "Tetapi itu bukan salahmu, Anakku. Banyak saksi-saksi yang berkata demikian. Dan aku pun tak menyalahkanmu."
Justru karena kata-kata itu, air mata Ken Dedes menjadi semakin banyak, dan kemudian setetes demi setetes membasahi pangkuannya,
"Jangan menangis," sambung ayahnya, "aku belum selesai. Bahkan aku belum sampai kepada persoalannya."
Ketika Empu Purwa diam sejenak maka pringgitan itu menjadi sepi. Di kejauhan terdengar bunyi jangkrik sahut-menyahut dengan siul angkup nangka dihembus angin. Ngelangut.
Nyala lampu di dapur pun telah padam. Tak terdengar lagi suara cantrik dan endang yang lagi bergurau, Padepokan Empu Purwa telah mulai lelap tertidur.
"Ken Dedes," suara Empu Purwa lirih, namun dalam malam yang sepi itu terdengar jelas kata demi kata, "kalau kau sekali-sekali becermin di belumbang di samping rumah kita ini, kau akan sempat memperhatikan dirimu. Telah hampir dua puluh tahun kau menikmati sinar matahari, Karena itu, sadari anakku, kau telah menginjak masa dewasa."
Wajah Ken Dedes yang tunduk itu menjadi semakin tunduk. Sebagai searang gadis remaja Ken Dedes sudah merasakan, betapa sesuatu selalu bergolak di dalam dadanya. Banyaklah keinginan- keinginan yang tak dimengertinya sendiri Kadang-kadang timbullah nafsunya untuk selalu menghias diri. Tiba-tiba gadis itu menjadi malu. Apakah ayahnya sering melihatnya becermin di wajah air kolam yang tenang diam itu"
Bahkan pernah gadis itu melempari angsa dengan batu ketika tiba-tiba saja angsa itu menggoyang-goyang permukaan air selagi ia becermin. Apalagi ketika terasa perubahan-perubahan yang terjadi pada wadagnya, ketika tubuhnya mekar seperti bunga yang sedang kembang. Dan sekarang jawaban atau persoalan-persoalan yang tak dimengertinya itu didengarnya dari ayahnya. Ken Dedes sudah dewasa.
"Karena itu, Anakku," terdengar ayahnya berkata pula, "banyaklah persoalan-persoalan yang akan timbul karenanya, karena kedewasaanmu itu."
Kembali Empu Purwa berhenti. Ditatapnya wajah anaknya yang tunduk. Orang tua itu ingin mengetahui. apakah yang terasa di hati anak gadisnya.
Ken Dedes diam seperti patung. Hanya sekali-kali terdengar isaknya. Dan sekali-kali pula ia mengusap hidungnya dengan ujung kainnya.
"Tetapi kau jangan cemas anakku," sambung ayahnya, "persoalan-persoalan yang timbul karena kedewasaanmu adalah persoalan-persoalan yang wajar, yang pasti akan timbul pula pada orang-orang lain. Sebab setiap orang pada dasarnya akan mengalami persoalan yang sama. Setelah ia menjadi dewasa maka akan dilampauinya suatu masa yang penting dalam hidup ini."
Mahisa Agni pun masih duduk tepekur. Namun terasa seakan-akan jantungnya berdentang-dentang. Orang tua itu berbicara terlalu lambat baginya. Ia ingin Empu Purwa berkata langsung sampai ke ujungnya, untuk mengurangi ketegangan di hatinya. Tetapi agaknya Empu Purwa ingin berhati-hati sehingga kata-katanya tidak akan menyinggung perasaan anaknya.
"Ken Dedes," berkata orang tua itu, "setelah kau menyadari keadaanmu, maka apa yang terjadi pagi tadi adalah persoalan yang wajar. Hanya bentuknyalah yang berbeda-beda bagi setiap gadis. Ada yang langsung mengalami masa baik, namun ada pula yang pernah melewati kesulitan-kesulitan yang panjang. Bahkan bagi mereka yang tak beruntung, masa ini dilampauinya dengan melangkah bencana. Karena itu anakku. Selagi bencana yang tak dikehendaki itu datang, aku ingin memberi tahukan kepadamu, bahwa sebenarnyalah hal ini pernah terjadi, namun aku belum pernah menyampaikan kepadamu. Sejak beberapa minggu yang lampau telah datang berturut-turut kepadaku beberapa orang dengan upacara yang tak kau mengerti maknanya. Yang pasti, hanya kau sangka upacara-upacara keagamaan biasa. Namun ketahuilah anakku, mereka adalah utusan-utusan yang datang untuk menanyakan, apakah Ken Dedes telah cukup waktunya untuk meninggalkan masa remajanya."
Ken Dedes berdesir mendengar kata-kata ayahnya itu. Ia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa hal itu pernah terjadi. Dan kini ia mengerti, bahwa beberapa anak muda pernah datang melamarnya.
Karena itu maka terasa jantungnya semakin berdebar-debar. Wajahnya tiba-tiba menjadi merah dan Ken Dedes menahan hatinya dengan menggigit bibirnya.
Mahisa Agni menarik nafas panjang-panjang. Belum pernah ia mendengar dari siapa pun bahwa hal itu pernah terjadi. Dan tiba-tiba saja ia ingin benar mengetahui, siapa sajakah yang pernah datang kepada gurunya untuk melamar gadis itu. Tetapi ia tak sampai hati untuk bertanya. Karena itu Mahisa Agni menjadi gelisah,
"Ken Dedes," berkata Empu Purwa seterusnya, "aku adalah ayahmu. Karena itu aku wenang untuk menolak atau menerima lamaran itu."
Mahisa Agni menjadi bertambah gelisah. Dan Ken Dedes pun menjadi gelisah pula, sehingga tak disengajanya ia menggeser duduknya.
Tetapi ayahnya meneruskan, "Anakku. Adalah suatu kesulitan bagiku untuk menentukan pilihan dari sekian lamaran-lamaran yang pernah aku terima. Seandainya, ya, seandainya kau dilahirkan sebagai putri seorang raja atau setidak-tidaknya putri seorang akuwu, maka aku dapat mendirikan sayembara untukmu. Sayembara tanding atau sayembara ketangkasan. Tetapi kau tidak lebih dari seorang anak pendeta yang hidup di pedukuhan yang terpencil. Kau tidak lebih dari anak seorang kecil yang miskin. Karena itu anakku, aku tak akan pantas untuk membuat sayembara apa pun."
Kembali orang tua itu berhenti. Dan kembali ruangan itu dicengkam kesepian. Hanya detak jantung Mahisa Agni dan Ken Dedeslah yang serasa terdengar berdentingan di dalam dada mereka.
Karena itu ketika Empu Purwa meneruskan kata-katanya maka perhatian kedua anak muda itu tercurah seluruhnya kepada setiap kata yang mereka dengar, "Meskipun demikian, Anakku. Masa depanmu adalah di tanganmu. Karena itu, meskipun aku tidak mengadakan sayembara terbuka, aku mengenal satu bentuk sayembara yang dapat aku selenggarakan. Tetapi sudah pasti, aku tidak akan mengumumkannya kepada siapa pun juga, sebab dengan demikian maka akan berteriaklah segenap tetangga kita dengan tawa mereka yang asam. Empu Purwa tidak berpijak di atas buminya, dan merasa dirinya terlalu besar. Karena itu anakku, akan aku selenggarakan sayembara ini dengan diam-diam"
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ia tidak mengerti kata-kata gurunya. Bagaimana mungkin sayembara dapat diselenggarakan dengan diam-diam. Bukankah sayembara itu diselenggarakan untuk diikuti oleh mereka yang mengetahui dan dengan penuh kesadaran akan tujuan sayembara itu. Karena itu maka Mahisa Agni menjadi semakin berminat kepada setiap kata yang akan didengarnya
"Adapun bentuk sayembara itu, Anakku," Empu Purwa berkata seterusnya, "adalah sayembara pilih."
"Sayembara pilih?" Mahisa Agni bergumam.
"Sayembara ini," kata orang tua itu, "sering terjadi pula untuk putri-putri luhur. Sayembara semacam ini biasanya diselenggarakan di tempat-tempat terbuka. Putri yang diperebutkan itu berada di menara, sedang para pengikut berjalan berturut-turut di bawah menara itu. Siapa yang menerima selendang putri itu, ialah yang terpilih dan memenangkan sayembara."
Malam yang sepi menjadi semakin sepi. Yang terdengar kini adalah angin malam yang lembut membelai daun-daun pepohonan yang sedang tertidur nyenyak. Gemeresik seperti suara orang berbisik-bisik.
Mahisa Agni menarik nafas panjang-panjang. "Adil," serunya di dalam hati.
Himpitan ketegangan di hati Ken Dedes pun tiba-tiba serasa berguguran. Sejak semula ia mendengarkan kata-kata ayahnya dengan penuh kecemasan. Mula-mula ia menyangka bahwa ayahnya akan menyebut untuknya sebuah nama dari nama-nama mereka yang datang melamarnya. Apabila demikian, Ken Dedes memejamkan matanya. Ia tak tahu, apakah yang terjadi dengan dirinya. Dan tiba-tiba disadarinya bahwa ia pasti akan keberatan seandainya ayahnya menerima baginya siapa pun dari mereka.
Ken Dedes menjadi malu sendiri. Seakan-akan ayahnya dapat membaca setiap perasaan yang bergolak di dalam dadanya. Apalagi ketika ayahnya meneruskan, "Tetapi Ken Dedes. Aku tidak akan dapat menyelenggarakan sayembara pilih yang demikian itu. Aku tidak akan membuat untukmu sebuah menara, dan di bawah menara itu beberapa orang satria berkuda dengan pakaian yang indah-indah lewat berturut-turut dengan penuh harapan untuk menerima kemurahan hatimu. Tidak, Anakku. Yang akan aku selenggarakan adalah sebuah sayembara pilih yang sederhana sekali. Dengarlah baik-baik Ken Dedes. Apabila diperkenankan oleh Yang Maha Agung, maka menilik tata lahir yang kasatmata, engkau masih akan menempuh suatu masa yang panjang. Karena itu masa-masa itu harus kau lewati dengan gairah dan ketenteraman. Maka adalah menjadi kewajibanmu untuk ikut serta menentukannya sendiri masa depan itu, meskipun aku tak akan melepaskan tanganku."
Empu Purwa berhenti sejenak. Dan Ken Dedes pun menjadi gelisah kembali. Yang terdengar kemudian adalah kata-kata Empu Purwa pula, "Anakku, supaya tak terulang peristiwa yang tidak aku ingini dan tentu saja kalian juga, maka sudah sampai saatnya kini, kau menentukan pilihan."
Wajah Ken Dedes yang kemerah-merahan menjadi panas. Terasa seluruh bulu-bulu tubuhnya meremang. Kata-kata itu sudah diduganya. Namun ketika diucapkan juga oleh ayahnya, perasaannya tersentuh pula. Untuk sesaat Ken Dedes menjadi bingung. Tak tahu apa yang akan dilakukan. Hanya tiba-tiba saja, tanpa sesadarnya ia mengerling kepada Mahisa Agni. Namun dilihatnya pemuda itu tunduk kaku. Tetapi wajah itu kemudian menengadah ketika terdengar Empu Purwa berkata, "Nah Ken Dedes, dapatkah kini sayembara pilih yang sederhana ini kita mulai?"
Ken Dedes tidak menjawab. Namun desir di jantungnya serasa semakin tajam menggores. Dan ia menjadi semakin gelisah. Nafasnya menjadi semakin cepat mengalir. Tetapi tak sepatah kata pun dapat diucapkan.
Karena Ken Dedes tidak menjawab, maka berkatalah Empu Purwa, "Biarlah kau berapa dalam keadaanmu, seorang gadis yang harus memilih satu di antara beberapa anak muda. Dan biarlah aku menyebut nama-nama itu. Kalau nama itu berkenan di hatimu, Anakku, maka aku harap kau menganggukkan kepalamu, supaya aku segera dapat menjawab kepada orang-orang tua mereka."
Ken Dedes menjadi bertambah bingung karenanya. Sekali lagi tanpa disadarinya, gadis menatap wajah Mahisa Agni. Namun Mahisa Agni itu telah menundukkan wajahnya kembali.
"Dengarlah nama itu baik-baik, Ken Dedes," berkata ayahnya, "kalau pada suatu saat kau menganggukkan kepala mu, biarlah Mahisa Agni menjadi saksi."
Tetapi mulut Ken Dedes terbungkam. Dan ayahnya pun tidak memaksanya untuk menjawab Gadis itu hanya dimintanya menganggukkan kepalanya, apabila telah jatuh pilihannya.
"Yang pertama," berkata Empu Purwa. Ken Dedes menjadi bertambah bingung. Bahkan Mahisa Agni pun menjadi sangat gelisah.
"Seorang anak muda yang kaya, putra Buyut Tatrampak, Namanya Jumna. Bukankah anak muda itu pernah kau kenal?"
Wajah Ken Dedes masih terpaku pada anyaman tikar pandan tempat duduknya. Dan ia sama sekali tidak menggerakkan kepalanya. Meskipun anak muda itu tampan dan gagah, namun sama sekali tak terlintas di kepala Ken Dedes, bahwa pada suatu saat ia akan hidup bersamanya.
Empu Purwa menarik nafas. Tampaklah kerut keningnya, "Baiklah. Kau tak menghendakinya," gumamnya, "Sekarang, dengarlah. Orang kedua. Kau pasti telah mengenalnya. Putra, pamanmu Paniat. Saudagar yang terkenal sampai ke daerah Tumapel. Bukankah anak itu kawan bermain Mahisa Agni" Namanya Pandaya.
Mahisa Agni mengangguk kosong. Setiap nama yang disebut gurunya, serasa sebuah goresan, di dadanya. Dua luka telah menganga. Jumna dan yang kedua, Pandaya. Dengan tegang, Mahisa Agni menatap wajah Ken Dedes yang tepekur. Sesaat ia menunggu, dan Ken Dedes tetap mematung.
Empu Purwalah yang kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan kemudian disebutnya anak muda yang ketiga, Mahendra, seorang anak muda dari Tumapel, putra sahabat Empu Purwa. Ken Dedes belum pernah mengenal anak muda itu, sehingga nama itu sama sekali tak menarik perhatiannya.
Nama-nama berikutnya adalah Lembu Santan, Jumerut dan Galung Paran. Namun seperti Mahendra, nama-nama itu baru didengarnya kali ini, sehingga dengan demikian, jangankan mengangguk, bahkan Ken Dedes menjadi jemu dan penat oleh ketegangan yang menekannya. Sedang Mahisa Agni pun tak kalah tegangnya. Setiap kali anak muda itu menarik nafas panjang, dan setiap Empu Purwa menyebut nama yang lain, keningnya tampak berkerut.
Empu Purwa tak dapat melepaskan tangkapan perasaan Mahisa Agni, namun ia masih akan menyebut satu nama lagi, katanya, "Ken Dedes, nama ini, adalah nama yang terakhir. Terserah kepada keputusanmu. Bukankah sudah aku katakan, bahwa kini sedang berlangsung sebuah sayembara" Akulah pengganti dari setiap pemuda yang datang berturut-turut di bawah menaramu. Nah, dengarlah nama ini. Putra sahabatku seorang empu yang bijaksana, ahli membuat senjata. Beberapa kali anak muda itu pernah berkunjung kemari bersama ayahnya. Nama anak itu Wajastra. Bukankah anak itu pernah kau kenali?"
"Wajastra?" nama itu diulang oleh Mahisa Agni di dalam hatinya. Nama yang baik dan anak muda itu pun baik pula kepadanya.
Wajastra adalah seorang pendiam. Seperti ayahnya, anak muda itu berminat benar pada pekerjaan ayahnya. Dengan tekun ia pun ikut pula membantu dan bahkan dengan pesatnya ia maju dalam bidangnya.
Ken Dedes telah mengenal anak muda itu dengan baik, seperti Mahisa Agni mengenalnya.
Mendengar nama itu Mahisa Agni menjadi tegang. Dan tiba-tiba kecemasan menjalar di dadanya. Ia sadar kini, bahwa ia mencemaskan Ken Dedes. Diam-diam ia berdoa, mudah-mudahan Ken Dedes kali ini pun tidak menganggukkan kepalanya.
Sesaat ruangan itu menjadi kaku dan tegang. Mahisa Agni memandang wajah Ken Dedes dengan tajamnya, seakan-akan kedua tangannya akan terjulur dan menahan kepala itu supaya tidak bergerak. Sedang Empu Purwa masih duduk sambil melipat tangannya. Orang tua itu pun memandangi putrinya dengan baik.
Tetapi kali ini pun nama itu tidak dapat menggerakkan hati Ken Dedes. Karena itulah maka kepalanya pun tidak bergerak pula. Meskipun Empu Purwa menunggunya beberapa saat. Namun Ken Dedes itu sama sekali tidak mengangguk.
Empu Purwa menarik nafas dalam-dalam. Dan terdengarlah ia berkata, "Anakku, sayembara pilih itu kini sudah selesai. Namun tak seorang pun yang dapat memenangkan sayembara ini. Karena itu, anakku, masalah ini, masalahmu, masih belum dapat dipecahkan. Aku tidak tahu, apa yang tersimpan di dalam dadamu. Namun demikian, adalah menjadi harapanku, apabila Ken Dedes segera menentukan pilihan. Nah, kalau demikian, biarlah aku menunggu beberapa lama lagi, tetapi tidak terlalu lama. Mudah-mudahan sepanjang waktu itu,aku akan mendengar, bahwa salah seorang anak muda akan dapat menggerakkan hatimu."


01 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ken Dedes menundukkan wajahnya dalam-dalam. Ia tahu benar, betapa ayahnya mencemaskan nasibnya. Apabila masalahnya itu akan berkepanjangan, maka orang tuanya pasti akan bersedih. Tetapi, di dalam hatinya Ken Dedes merasa, betapa besar kesempatan yang telah diberikan oleh ayahnya itu kepadanya, sehingga ia diberi kesempatan untuk mengemukakan pendiriannya. Tidak seperti beberapa orang ayah yang lain, yang dengan serta-merta menentukan jodoh anaknya tanpa setahu anak itu sendiri. Karena itu, betapa besar rasa terima kasih itu menggores di hatinya, sehingga tiba-tiba terasa bahwa memang sudah seharusnya ia membantu ayahnya segera. Tetapi sebagai seorang gadis, Ken Dedes tidak dapat berbuat banyak.
Sebenarnyalah, di dalam dada Ken Dedes telah terukir sebuah nama. Nama yang telah dikenalnya baik-baik, yang telah disebutnya beratus, bahkan beribu kali. Tetapi alangkah kecewanya, ketika ayahnya menyebutkan sekian nama yang telah melamarnya, namun nama itu tak tersebutkan. Karena itu,maka tak sebuah nama pun yang menarik minatnya. Ia menunggu nama yang telah tersimpan di hatinya. Namun ia menunggu sampai nama yang terakhir. Dan ia masih harus menunggu lagi.
"Sampai kapan?" desahnya di dalam hati. Ken Dedes pun kemudian menjadi cemas. Kalau anak muda itu tidak segera datang kepada ayahnya, maka jangan-jangan ayahnya akan kehabisan kesabaran. Dan dipaksanya ia memilih satu di antara mereka. Dan di antara mereka itu tak ada nama yang diharapkannya.
Sebagai seorang gadis, adalah tidak mungkin baginya, untuk meminta ayahnya justru datang kepada pemuda itu. Memintanya untuk menjadi menantunya. Dengan demikian tidak saja ayahnya akan mendapat aib, namun dirinya pun demikian.
Ken Dedes masih menundukkan wajahnya, Bahkan kini tubuhnya seakan-akan menjadi kejang. Tak berani ia menggerakkan, meskipun hanya ujung jarinya. Dan gadis itu tidak berani pula mengerling lagi kepada Mahisa Agni.
Mahisa Agni pun kemudian menekurkan kepalanya, Namun terasa kini dadanya telah menjadi lapang kembali. Kini ia tidak akan dapat mengingkari dirinya sendiri. Selama ini ia telah dicengkam oleh ketakutan. Sebagai seorang laki-laki, Agni tidak pernah merasa ngeri menghadapi setiap persoalan. Namun tiba-tiba ia merasa ngeri mendengar beberapa nama disebut oleh gurunya.
Akhirnya Mahisa Agni sampai pada suatu kesimpulan, meskipun selama ini ia telah mencoba untuk menyembunyikannya. Ken Dedes baginya, bukanlah sekedar putri gurunya, atau gadis yang menganggapnya seorang kakak saja. Lebih daripada itu.
Tetapi apakah yang dapat dilakukan" Kini ia sudah tidak berayah dan tidak beribu. Tak ada orang yang dapat dimintanya untuk datang kepada gurunya dengan upacara, sebagai lazimnya. Tak ada orang yang akan menempelkan namanya pada deretan nama-nama yang pada suatu saat akan disebut oleh gurunya, seperti nama-nama anak-anak muda yang lain. Jumna, Pandaya, Mahendra dan sebagainya. Dan tiba-tiba Mahisa Agni mengeluh di dalam hatinya. Tak pernah hal yang demikian itu dipikirkannya dahulu. Sepeninggal ayah dan ibunya, Agni telah mencoba melupakannya dan meletakkan dirinya dengan tawakal dalam asuhan Empu Purwa yang menerimanya sebagai seorang murid. Tetapi kini, tiba-tiba timbullah suatu persoalan. Persoalan yang rumit baginya.
Empu Purwa melihat kedua anak muda yang duduk, di hadapannya itu. Agaknya perasaan mereka selama ini menjadi tegang dan penat. Karena itu katanya, "Nah, Ken Dedes. Keperluanku hari ini telah selesai. Namun persoalannya yang belum selesai. Ingatlah bahwa banyak persoalan yang dapat terjadi. Susul menyusul. Karena itu jangan menunggu sehingga persoalan-persoalan itu menjadi bertambah banyak dan rumit. Sekarang kalian berdua, beristirahatlah."
Ken Dedes mengangguk. Izin itulah yang ditunggu-tunggunya setelah sekian lama ia harus menahan hati. Perlahan-lahan ia bangkit, dan kemudian ditinggalkannya ruangan yang serasa menyesakkan nafasnya itu.
Mahisa Agni pun kemudian mohon diri. Ingin ia duduk di halaman di belakang untuk melapangkan dadanya.
Empu Purwa melibat anak muda itu berjalan keluar pintu dengan langkah yang pasti dan tenang. Langkah seorang laki-laki yang menyimpan berbagai ilmu di dalam dirinya. Ilmu yang bermanfaat bagi tubuh dan jiwanya.
Sejak hari itu, para cantrik dan endang dari padepokan Empu Purwa melihat beberapa perubahan dalam tata pergaulan di dalam padepokan mereka. Meskipun Empu Purwa sendiri tidak pernah mengubah sikapnya kepada siapa pun juga. Namun Ken Dedes dan Mahisa Agni tidak demikian.
Tak seorang pun dari para cantrik dan endang yang mengetahui, apakah sebabnya. Namun yang mereka lihat, Ken Dedes tiba-tiba saja telah berganti sikap. Meskipun sifat kemanjaannya belum lagi dapat ditinggalkannya, tetapi ia tidak lagi bersifat terlalu kekanak-kanakan. Bahkan gadis itu menjadi lebih banyak tinggal di dalam biliknya dan mengurung diri. Yang aneh bagi para pemomongnya, putri Empu Purwa itu kadang-kadang menjadi bersedih tanpa sebab. Malahan gadis itu kadang-kadang menangis di tengah malam.
Empu Purwa pun melihat perubahan itu. Namun tak pernah ia bertanya. Sebab orang tua itu tahu pasti, mengapa anaknya menjadi demikian.
Sedang Mahisa Agni pun kemudian menjadi perenung. Anak muda yang rajin itu, kini, apabila pekerjaannya telah selesai, lebih senang duduk seorang diri di halaman belakang, atau di tepi kolam. Hanya kadang-kadang saja, Agni masih memerlukan pergi kepada sahabatnya, putra Buyut Panawijen, Wiraprana. Tetapi Wiraprana sendiri tak pernah memperhatikan perubahan itu. Karena itu, setelah tubuhnya kuat kembali, maka diulangnya kebiasaannya dahulu. Hampir setiap hari ia berkunjung ke rumah Empu Purwa. Bermain-main dengan Mahisa Agni. Maka apabila anak itu datang, Mahisa Agni terpaksa menerimanya seperti biasa. Bermain seperti biasa dan bekerja di sawah bersama seperti biasa. Ke bendungan dan mengairi sawah di malam hari. Tetapi apabila anak itu pergi, kembali Mahisa Agni menyepikan dirinya. Namun dengan demikian, anak muda itu menjadi semakin tekun dengan ilmunya. Lahir maupun batin.
Tetapi akhirnya Agni sadar, bahwa perasaan yang bergelut di dalam dirinya, bahwa keadaan yang dialaminya itu, tak akan dapat selesai dengan sendirinya. Kegelisahan dan keadaan yang tak menentu itu harus segera diakhiri. Namun bagaimana mengakhirinya.
Itulah sebabnya Mahisa Agni semakin bertambah murung. Terasa jarak yang menabiri antara dirinya dan Ken Dedes menjadi bertambah luas. Gadis itu kini jarang benar dapat ditemuinya. Hanya kadang-kadang ia melihat dari mata gadis itu sebuah ucapan yang tak dimengertinya. Namun benar-benar terasa di dalam hatinya, Ken Dedes ingin mengucapkan sesuatu kepadanya. Dan karena itu Mahisa Agni menjadi semakin gelisah.
Di saat-saat yang sepi, selalu datang kembali ingatan tentang ayah bundanya yang hampir tak dapat diingatnya lagi. Meskipun kepergian orang tuanya itu telah diikhlaskannya, namun dalam kesempitan keadaan seperti keadaannya kini, Mahisa Agni berulang kali menyebut namanya. Tetapi anak itu sadar, bahwa ayah dan bundanya itu, sudah tidak akan dapat berbuat sesuatu untuknya.
Ketika langit bersih, dan bulan mengapung di udara, Mahisa Agni mencoba mencari ketenangan di luar biliknya. Seperti biasa anak muda itu duduk di atas batu hitam di sudut pertamanan. Dalam malam yang sepi, di taburan warna cahaya bulan yang kekuning-kuningan, dipandangnya malam yang suram dengan hati yang suram. Bunga-bunga yang beraneka warna. Daun-daun dan batang-batang perdu yang ditanamnya berpetak-petak. Namun semuanya tak menyegarkan hatinya. Yang tampil di hatinya, adalah kegelisahan dan kecemasan.
Tetapi Agni itu tiba-tiba mengangkat wajahnya. Bulan yang kuning itu seakan-akan menjadi cerah seperti hatinya. Perlahan-lahan bibirnya tergerak. Agni tersenyum sendiri. Ia puas dengan penemuannya. Di dalam hatinya yang sepi itu, tiba-tiba saja tampil sebuah nama yang hampir dilupakannya. Pamannya. Bukankah pamannya itu dapat dimintanya untuk mengganti ayah bundanya?"
"Empu Gandring," desisnya, "kenapa aku melupakan paman itu?"
Sekali lagi Mahisa Agni tersenyum. Seakan-akan jalan yang terbentang di hadapannya adalah sebuah jalan yang lurus dan licin. Direka-rekanya di dalam angan-angannya, besok atau lusa ia akan mohon izin dari gurunya untuk menengok pamannya di Lulumbang. Dan dua hari kemudian ia akan kembali beserta pamannya. Tidak berdua saja, tetapi dengan beberapa orang membawa sebuah upacara. Pamannya akan melamar Ken Dedes untuknya.
Tetapi tiba-tiba pula, kecemasannya tumbuh kembali. Apakah gurunya akan mengizinkannya untuk berbuat demikian. Bukankah Empu Purwa telah menganggapnya sebagai anak sendiri, sebagai saudara tua Ken Dedes.
"Alangkah malangnya nasib ini, apabila terjadi demikian," gumamnya. Namun ia masih mencoba menghibur diri, "Bukankah aku berhak ikut serta dalam sayembara pilih itu," bisiknya kepada diri sendiri.
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba di matanya, bunga-bunga di pertamanannya itu menjadi bertambah asri. Bunga kaca piring di tengah-tengah pertamanan itu menebarkan bau yang harum tajam. Terasa di bahu Agni yang telanjang, angin menyapu kulitnya perlahan-lahan. Sejuk.
Dalam kesejukan angan-angan yang penuh harapan itu, Mahisa Agni kemudian berdiri dan berjalan perlahan-lahan mengambil serulingnya di amben bambu di teritisan. Dengan tenangnya anak muda itu duduk bersandar dinding dan kedua tangannya melekat pada lubang-lubang serulingnya. Dengan hati yang lapang, Mahisa Agni melekatkan seruling itu di bibirnya. Maka mengalunlah lagu yang sejuk merdu. Lagu yang menggambarkan gairah cinta manusia. Cinta yang luhur dan suci, seperti cinta Ratih dan Kama. Demikianlah nada kasih itu membakar jiwa Agni dan malam itu pun dihangatkannya dengan kesyahduan lagunya.
Beberapa orang cantrik menjadi terbangun karenanya. Mereka seakan-akan mendengar bunyi gamelan lokananta di atas langit yang dibunyikan oleh dewa-dewa. Sedang para endang yang mendengar lagu itu, tersenyum-senyum di antara kesadaran dan mimpinya. Didengarnya lagu yang syahdu itu lewat telinganya, namun dilihatnya di dalam mimpinya Arjuna sedang tersenyum kepadanya. Dan ketika mereka terbangun oleh gigitan nyamuk, maka mereka menjadi kecewa. Namun lagu yang merdu itu masih didengarnya.
"Siapa?" bisik salah seorang dari mereka.
"Mahisa Agni. Siapa lagi?" jawab yang lain. Namun serentak mereka memandang warana yang memagari ruangan itu dengan pintu bilik Ken Dedes.
Endang itu pun kemudian saling berpandangan. Terdengar salah seorang berbisik, "Alangkah bahagianya Ken Dedes mendengar lagu itu."
Para endang itu pun tertawa lirih.
Dan lagu itu masih menyusup lewat lubang-lubang dinding, membuaikan mereka yang terkantuk-kantuk. Para endang itu pun kemudian kembali menguap dan tertidur dengan senyum di bibir mereka. Dan kembali pula mereka bermimpi indah.
Di belakang pintu bilik di sebelah warana itu Ken Dedes mendengar pula lagu yang hening namun penuh gairah atas masa depan yang gemilang. Gadis itu pun segera mengetahuinya bahwa yang meniup seruling itu adalah Mahisa Agni. Dan karena lagu itu pula hatinya bergetaran.
"Kenapa lagu itu?" desahnya di dalam hati, "apakah Kakang Agni tahu, apa yang tersimpan di dalam dadaku?"
Gadis itu pun kemudian berangan-angan di antara oleh kesyahduan lagu Mahisa Agni. Sebagai seorang gadis, maka Ken Dedes pun merindukan kasih dan kebahagiaan di masa depan. Diangan-angankannya suatu masa yang mesra dalam perjalanan hidupnya.
Namun sebagai seorang gadis yang tahu akan harga dirinya, maka gairah yang membakar dadanya itu pun disimpannya di dalam hati. Tetapi sejak ayahnya memanggilnya bersama Agni, sejak ayahnya menyebut beberapa nama untuknya, maka api yang menyala di dalam dadanya itu menjadi semakin berkobar-kobar. Berbagai perasaan telah bergulat di dalam dirinya. Takut, cemas namun tak dapat ia berbuat banyak. Ingin ia berlari-lari kepada ayahnya, dan dengan manjanya memeluk pinggangnya sambil berkata, "Ayah, aku telah jatuh cinta kepada seorang anak muda. Tolong Ayah katakan kepadanya, supaya ia segera datang melamar."
"Tidak. Tidak," desisnya.
Ia dapat berbuat demikian, apabila gadis itu ingin sehelai kain tenun yang baru, atau subang bermata berlian. Dan ayahnya selalu akan berkata, "Jangan ribut Ken Dedes. Besok biarlah ayah belikan."
Dan kalau ayahnya tidak mampu untuk membelinya ayahnya selalu menghiburnya, "Mintalah yang lain anakku, mintalah yang ayah mampu mengadakannya."
Tetapi tidak demikian dengan seorang kekasih. Mungkin seorang pemuda dapat berbuat demikian. Tetapi tidak bagi seorang gadis.
Apabila kemudian para endang tertidur dengan nyamannya, maka sebaliknya dengan Ken Dedes. Lagu itu telah menggelitik hatinya, sehingga bahkan ia bertambah gelisah. Ketika di luar biliknya, telah menjadi sepi, maka Ken Dedes justru bangkit dari pembaringannya. Perlahan-lahan ia menjengukkan kepalanya dan memanggil lirih, "Endang."
Tak ada jawaban. Dicobanya sekali lagi, namun sepi
"Mereka telah tertidur," desis Ken Dedes.
Gadis yang gelisah itu, dengan hati-hati melangkah di antara para endang yang tertidur nyenyak. Perlahan-lahan sekali supaya mereka tidak terbangun. Ken Dedes sendiri tidak tahu, mengapa ia bangun dan ke mana ia akan pergi. Tetapi ketika telah dilangkahinya tlundak pintu terasa perasaannya makin gelisah.
Ken Dedes berjalan selangkah demi selangkah, menyusuri jalan- jalan sempit di halaman. Angin yang silir, mengalir lembut dan bermain-main dengan rambutnya yang terurai di punggungnya.
Tanpa sesadarnya, Ken Dedes berjalan ke arah suara lagu yang beralun di antara daun-daun perdu pertamanan. Dan tiba-tiba saja gadis itu terkejut ketika suara lagu itu terhenti.
Mahisa Agni melihat Ken Dedes datang ke arahnya. Karena itu pemuda itu menjadi berdebar-debar. Tak disangkanya, bahwa di malam yang telah lama lelap itu, Ken Dedes akan datang menghampirinya. Karena itu, maka anak muda itu menjadi gugup, dan hilanglah nada-nada lagunya dari kepalanya, sehingga akhirnya ia berhenti.
Langkah Ken Dedes pun terhenti pula. Gadis itu pun kemudian melihat Mahisa Agni duduk di teritisan. Sesaat ia menjadi bimbang. Tetapi gadis itu tidak melangkah kembali. Bahkan dihampirinya Mahisa Agni.
Mahisa Agni menjadi semakin berdebar-debar. Perasaan yang belum pernah terjadi padanya. Ken Dedes telah bertahun-tahun tinggal sehalaman dengan anak muda itu. Setiap hari mereka bertemu, bercakap, bergurau. Tak pernah Agni berdebar karenanya. Tetapi kali ini perasaannya menjadi lain.
Mahisa Agni masih berdiam diri ketika Ken Dedes kemudian duduk di sampingnya, di amben bambu itu.
Sesaat mereka saling membisu. Hanya nafas Mahisa Agnilah yang terdengar berkejaran. Sehingga ia tak dapat lagi menyapa putri gurunya.
Ken Dedeslah yang mula-mula berkata. Namun suaranya benar-benar telah mencerminkan kedewasaannya, "Lagumu indah, Kakang," katanya.
Agni berdesir mendengar pujian itu. Pujian yang jauh lebih merdu dari suara serulingnya. jawabnya terbata-bata, "Tidak Ken Dedes. Aku tidak pandai meniup seruling."
"Lagumu bercerita tentang kesyahduan cinta," berkata gadis itu pula.
"Aku tak tahu," jawab Agni, "demikian saja aku meniup seruling itu. Dan apakah yang terpancar daripadanya?"
"Cinta dan gairah bagi masa depan," sahut Ken Dedes.
Mahisa Agni tidak menjawab. Dan untuk sesaat Ken Dedes pun berdiam diri. Namun tiba-tiba di dalam dada gadis itu pun tumbuh sebuah persoalan. Persoalan yang lama terpendam di dalam dadanya. Beberapa waktu yang lalu, putri itu pun telah mengambil keputusan untuk mengatakan persoalannya kepada Mahisa Agni. Namun ia menjadi ragu-ragu. Apakah hal itu tidak akan menodai namanya. Tetapi ia tidak akan dapat membiarkan persoalan itu semakin berlarut-larut. Dan selalu terngiang kembali kata-kata ayahnya, "Jangan terlalu lama anakku".
Gadis itu pun kemudian menjadi gelisah. Terdorong oleh keinginannya untuk mengungkapkan perasaan yang menghimpit dadanya. Namun kemudian yang terloncat dari bibirnya, "Kakang, tiuplah serulingmu kembali."
"Tidak, Ken Dedes," jawab Mahisa Agni.
"Kenapa?" bertanya gadis itu.
Agni menggeleng. "Tak tahu," desisnya.
Kembali mereka membisu. Angin yang lembut membelai mahkota dan daun-daun bunga.
"Kakang"," terdengar kemudian suara Ken Dedes lirih tertahan.
Agni tidak menjawab, tetapi hatinya berdesir.
Ken Dedes tidak segera meneruskan kata-katanya. Matanya yang suram jauh memandang puncak-puncak pepohonan yang bergoyang-goyang disentuh angin. Dan malam pun bertambah malam.
Gelora yang melanda dada Ken Dedes menjadi semakin dahsyat. Akhirnya meledak juga kata-katanya, "Kakang, bukankah kau telah mendegar sendiri, apa yang dikatakan Ayah kepadaku?"
Mahisa Agni mengangguk. Dan terasa tangannya bergetar.
"Bagaimanakah menurut pertimbanganmu, Kakang?" bertanya gadis itu.
Mahisa Agni tidak segera dapat menjawab. Bahkan terasa keringat dinginnya mengalir dari segenap lubang-lubang kulitnya. Sehingga karena anak muda itu diam saja, Ken Dedes mendesaknya, "Apakah pertimbanganmu Kakang?"
Mahisa Agni menjadi gugup. Namun dicobanya juga untuk me-nenangkan detak jantungnya. Bahkan kemudian Agni dapat juga menjawab dengan suara bergetar, "Sebagian terbesar adalah tergantung padamu sendiri Ken Dedes."
Seandainya jawaban Mahisa Agni itu diucapkan beberapa hari yang lalu, serta dalam persoalan yang berbeda, Ken Dedes pasti akan mencubitnya dan berteriak dengan manjanya, "Buat apa aku bertanya kepadamu, kepada kakakku, apabila persoalannya akan diserahkan kembali kepadaku?"
Tetapi kali ini Ken Dedes bersikap lain. Dengan sayunya gadis itu menundukkan wajahnya.
"Ya," desisnya, "sebagian terbesar adalah tergantung kepadaku."
Tetapi gadis itu bergumam pula, "Tetapi tidakkah ada orang lain yang dapat menolongku?"
Mahisa Agni mendengar kata-kata itu. Ingin ia menjawab. Bahkan ingin ia berteriak sambil menepuk dada, "Aku Ken Dedes, aku yang akan menolongmu."
Namun kata-kata itu terhenti, tersangkut di kerongkongan. Dan yang terdengar oleh Ken Dedes adalah, "Adakah orang lain yang dapat menolongmu?"
Ken Dedes mengangkat wajahnya. Dipandangnya wajah Agni yang gelisah. Jawaban Agni sama sekali tak memberinya keyakinan. Dan sekali lagi wajah Ken Dedes terkulai lemah. Terasa matanya menjadi panas, dan tak disadarinya mata itu pun menjadi basah.
"Kau sama sekali tidak menjawab pertanyaanku Kakang," desah Ken Dedes perlahan-lahan, "Malahan kau menjadikan aku bertambah bingung."
Tetapi Mahisa Agnilah yang lebih dahulu bertambah bingung. Dalam kebingungannya itu, ia mencoba memperbaiki kesalahannya. Dan tanpa terkendali ia berkata, "Ya. Ya, Ken Dedes. Aku akan mencoba menolongmu."
Sekali lagi Ken Dedes memandang wajah Mahisa Agni. Dan tiba-tiba matanya yang redup menjadi sedikit menyala. Katanya, "Benarkah Kakang akan menolong aku?"
Mahisa Agni mengangguk, tetapi dadanya bergetar.
Ken Dedes menarik nafas dalam sekali, Katanya perlahan-lahan sekali, "Aku tidak tahu, apakah Kakang Agni dapat merasakan perbedaan perasaan antara seorang anak muda dan seorang gadis. Namun yang aku rasakan Kakang, alangkah rumitnya perjalanan hidup ini."
Ken Dedes berhenti sejenak, kemudian meneruskan, "Aku tidak mengeluh karena aku seorang gadis. Bahkan menurut Ayah aku harus berbangga, bahwa yang Maha Agung mempercayakan kepadaku jenisku untuk menurunkan, membesarkan dan mengasuh angkatan yang bakal datang Tetapi"."
Suara Ken Dedes terputus Dan kembali lehernya terasa tersekat.
Mahisa Agni menjadi semakin bingung. Ketika Ken Dedes kemudian terisak, maka dengan gelisahnya Mahisa Agni berdiri dan berjalan hilir mudik. Ingin ia menghibur gadis itu, namun ia tidak tahu bagaimana melakukannya. Sebab tiba-tiba saja gadis itu seakan-akan menjadi orang asing baginya.
"Kakang," desah Ken Dedes, "aku takut kalau peristiwa di belumbang itu akan terulang kembali, seperti Ayah pun takut pula. Apalagi kalau pada suatu ketika, tak seorang pun yang melihat peristiwa semacam itu. Apakah akan jadinya. Karena itu Kakang, aku tak akan dapat menghindari permintaan Ayah."
Mahisa Agni berhenti sesaat dan tegak seperti tonggak di hadapan Ken Dedes. Namun mulutnya masih terkunci.
"Tetapi Kakang," Ken Dedes masih berkata terus, "di hadapan Ayah, aku tak dapat berbuat sesuatu. Aku hanya dapat mendengarkan Ayah menyebut nama demi nama. Tetapi aku tak dapat mengucapkan sebuah nama pun. Tidak. Aku tidak dapat Kakang"."
Tangis Ken Dedes semakin menjadi-jadi. Dan Mahisa Agni pun menjadi semakin bingung. Sekali-kali ia memandang dengan gelisahnya di antara daun-daun pertamanannya. Ia takut kalau ada seseorang yang melihat mereka.
Akhirnya tangis Ken Dedes itu mereda sendiri. Patah-patah gadis itu meneruskan, "Kakang, sekarang aku mencoba datang kepadamu. Aku menyangka bahwa aku akan dapat mengatakan sesuatu."
Dada Mahisa Agni pun kemudian menjadi sesak, seperti terhimpit. Dengan sekuat tenaga ia mencoba menguasai perasaannya yang bergolak, sehingga setelah ia berjuang mati-matian, maka dapatlah ia mengucapkan kata-kata, "Berkatalah Ken Dedes."
Ken Dedeslah yang kemudian menjadi gelisah. Kalimat demi kalimat telah disusunnya. Namun kalimat-kalimat itu seakan-akan tersangkut di dalam dadanya. Sehingga tak sepatah kata pun yang dapat diucapkan.
Malam pun menjadi semakin tetap. Sehelai demi sehelai awan hanyut di wajah bulan yang kuning. Seperti buih di lautan yang biru bersih.
"Tetapi, "terdengar suara Ken Dedes di antara isaknya, "bukankah kau mau menolong aku, Kakang?"
Sekali lagi Ken Dedes ingin meyakinkan.
Dan sekali lagi Mahisa Agni mengangguk dan terloncat jawabannya singkat, "Tentu."
Tetapi Agni terkejut ketika tangis Ken Dedes kembali meledak. Dengan kedua telapak tangannya gadis itu menutup mulutnya seakan-akan takut apabila kata-katanya akan berloncatan keluar.
Karena itu kembali Mahisa Agni mematung. Tetapi dengan penuh harapan ia menanti. Namun tak sepatah kata pun yang didengarnya. Bahkan Agni menjadi sangat terkejut ketika tiba-tiba saja Ken Dedes berdiri, dan dengan tergesa-gesa ia berlari kembali ke biliknya.
Mahisa Agni masih berdiri tegak di tempatnya Hanya satu kali terdengar ia memanggil, "Ken Dedes."
Ketika Ken Dedes tidak berhenti, Mahisa Agni tidak mengulanginya. Ia takut kalau-kalau ada orang lain yang mendengar panggilannya. Karena itu dengan gelisah dan cemas dipandangnya gadis putri gurunya itu lenyap di sudut rumah.
Ketika Ken Dedes sudah tidak tampak lagi, Mahisa Agni mengusap dadanya. Dilepasnya sebuah tarikan nafas yang panjang sekali. Tetapi ia kecewa. Dari Ken Dedes, ia belum mendengar apapun tentang dirinya.
Sesaat kemudian, setelah gelora di dadanya mereda, Mahisa Agni duduk kembali di amben bambu di teritisan. Bahkan kemudian ia menyesal, kenapa bukan ia sendiri yang mengatakannya kepada gadis itu.
"Kenapa aku harus menunggu?" pikirnya. Mahisa Agni menggeleng. "Mulutku pun terkunci." desahnya.
Mahisa Agni kemudian menjadi gelisah sendiri. Ia menjadi iri hati, kepada pemuda yang terbuka hatinya. Dalam kesempitan yang demikian pasti tidak perlu lagi berteka-teki. Tetapi Mahisa Agni, bukanlah pemuda yang demikian. Sejak ayahnya meninggal, maka ia lebih banyak menyimpan perasaan daripada menyatakannya. Kepada siapa pun juga. Demikian pula dalam persoalan ini.
Anak muda itu mencoba menghibur hatinya dengan serulingnya. Tetapi ia tidak mampu lagi meniupnya. Karena itu, kembali serulingnya diletakkannya. Dan tanpa dikehendakinya, ia berdiri dan berjalan mondar-mandir di pertamanan itu.
Bulan di langit mengapung dengan tenangnya. Mahisa Agni me-ngerutkan keningnya ketika dilihatnya sebuah lingkaran putih di sekeliling bulan itu.
"Bulan berkalang," gumamnya. Dan dilihatnya sebuah bintang yang menyala dengan terangnya pada lingkaran itu. Tidak di dalam, tetapi tidak pula di luar. Namun hati Mahisa Agni sama sekali tidak tertarik pada bulan, lingkaran dan bintang yang menyala pada lingkaran itu. Karena itu ia berjalan terus sambil menunduk, menyusuri jalan-jalan kerikil di halaman rumah itu
Di dalam biliknya, Ken Dedes menjatuhkan dirinya di pembaringannya. Ditelungkupkannya wajahnya di antara kedua tangannya yang terlipat. Bagaimanapun juga ia bertahan, namun tangisnya meloncat juga. Ketika ia menahannya, maka terdengar isaknya menjadi semakin keras.
"Nini," didengarnya suara lirih di depan pintunya.
Cepat-cepat Ken Dedes mengusap matanya. Dan dicobanya menjawab perlahan-lahan, "Tinggalkan aku sendiri."
"Nini," terdengar kembali, "bolehkah aku masuk?"
"Pergi," jawabnya, "aku akan tidur."
"Tidak," katanya pula, "kau tidak akan tidur. Kenapa kau menangis?"
Ken Dedes tidak menjawab lagi. Dan dibiarkannya orang itu masuk. Ken Dedes mengenal orang itu seperti ia mengenal dirinya sendiri. Seorang perempuan tua yang mengasuhnya sejak kecil. Apalagi setelah ibunya meninggal .Perempuan itu mengasuhnya melampaui anak sendiri.
"Kenapa kau bersedih, Nini," terdengar suara perempuan tua itu sambil duduk bersimpuh di samping amben Ken Dedes.
Tangis Ken Dedes menjadi semakin deras betapapun ia me-nahannya. Dan terdengar di antara isaknya, "Tidak apa-apa, Bibi."
"Jangan berbohong," sahut orang tua itu, yang seakan-akan turut serta menghayati kepedihan hati gadis itu, "aku mengenalmu sejak kau kanak-kanak. Aku mengenal tabiatmu seperti aku melihat matahari. Karena itu, jangan bersembunyi di balik lidi sehelai. Anakku, aku dapat menduga sebagian besar dari kedudukanmu."
Sedikit demi sedikit tangis Ken Dedes mereda. Seakan-akan orang tua itu dapat menjadi kawan berbagi duka. Perlahan-lahan diangkatnya wajahnya. Dan di antara isaknya ia berkata, "Kau tahu bibi?"
"Ya," sahut pengasuhnya itu, "setiap gadis remaja akan mengalaminya. Aku sudah mendengar apa yang dikatakan Empu kepadamu dan Angger Mahisa Agni."
Ken Dedes terkejut. Dengan serta-merta ia bertanya, "Dari manakah kau mendengarnya?"
"Ayahmu berkata kepadaku, embanmu yang tua ini," sahut perempuan itu.
"Ayah?" bertanya Ken Dedes.
"Ya. Tetapi Ayahmu pun menjadi gelisah, karena tak seorang pun yang kau kehendaki," jawab pengasuh itu, "Tetapi jangan kau sangka, bahwa kami orang-orang tua ini tidak dapat meraba hati gadisnya."
"Oh," Ken Dedes menarik nafas, "apakah yang diketahuinya?"
Orang tua itu diam untuk sesaat. Ditatapnya gadis itu dengan pandangan lembut. Tangannya yang telah dipenuhi oleh garis-garis umur itu kemudian dengan mesranya membelai rambut momongannya. "Jangan menangis anakku," bisiknya.
Hati Ken Dedes menjadi berdebar-debar karenanya. Apakah yang diketahui tentang dirinya oleh pengasuh dan ayahnya. Dengan penuh pertanyaan ditatapnya wajah orang tua itu. Namun untuk sesaat mereka masih berdiam diri.
Di luar angin masih bermain-main dengan daun-daun talas dan kelopak-kelopak bunga. Dengan tak disengaja, Mahisa Agni, lewat melintas di samping bilik Ken Dedes. Ketika ia mendengar isak gadis itu, ia berhenti. Dan didengarnya kemudian Ken Dedes bercakap-cakap. Anak muda itu tak kuasa untuk mencegah keinginannya, mendengarkan percakapan dibalik dinding bilik itu Karena itu, dengan hati-hati sekali ia melekatkan kepalanya dan mencoba menangkap setiap kata-kata yang menggetarkan udara malam yang sepi.
"Nini," terdengar pengasuh tua itu berkata dengan hati-hati, "jangan berahasia kepadaku seperti aku juga tidak berahasia kepadamu. Ketahuilah Nini, bahwa Empu Purwa pernah bertanya kepadaku tentang dirimu. Disangkanya aku mengetahui seluruhnya, apa yang tersimpan di hatimu. Karena itu anakku, untuk kepentinganmu, berkatalah kepadaku."
Ken Dedes tidak segera menjawab pertanyaan pengasuhnya itu. Hanya isaknya sajalah yang terdengar memecah sepi malam. yang terdengar kemudian adalah suara pemomongnya, "Tak ada orang tua ingin melihat anaknya menderita di hari tuanya. Karena itu, orang tua yang baik, pasti akan mendengarkan tangis anaknya. Nah tangismu pasti akan didengarnya. Empu Purwa tidak akan marah apabila kau minta kepadanya apapun yang ia dapat memberinya. juga kesempatan untuk menentukan hari depanmu. Namun jangan dibiarkan kami, orang-orang tua ini meraba-raba. Berilah kami penjelasan. Apakah yang kau tunggu, dan siapakah anak muda itu?"
Dengan susah payah Mahisa Agni mencoba menguasai pernafasannya yang mendesak. Seperti orang yang tertarik oleh sebuah pesona yang tak dapat disingkiri, anak muda itu menjadi kaku tegang melekat dinding.
"Bibi," jawab Ken Dedes, "apakah Ayah tidak akan marah kepadaku?"
"Tidak Ngger, tidak," sahut orang tua itu, "Ayahmu telah mengatakan kepadaku, bahwa kau akan mendapat kesempatan untuk memilih sisihanmu itu. Meskipun kami dapat menduganya, namun kau sendirilah yang harus mengucapkannya. Dan Ayahmu pasti akan menunggu, pada saatnya orang-orang yang dianggapnya dapat mewakili anak muda itu, pasti akan datang kepada Ayahmu."
"Bibi, anak itu bukanlah anak yang terbuka hatinya. Tetapi sinar matanya serta tutur katanya apabila kami bercakap-cakap telah meyakinkan aku, bahwa pada suatu saat jalan hidup kami akan bertemu."
Ken Dedes berhenti sesaat, dan nafas Mahisa Agni serasa akan berhenti juga.
"Ya, ya Nini," sela pengasuhnya itu.
"Aku telah mencoba mengatakannya kepada Kakang Agni, namun mulutku seperti terkunci," Ken Dedes meneruskan.
Pengasuhnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian menarik nafas dalam-dalam.
"Bibi," berkata Ken Dedes pula, namun suaranya menjadi serak dan seakan-akan sedemikian pepat dadanya, sehingga kata-katanya itu menjadi terpotong-potong, "aku ingin berkata kepada anak itu, supaya segera dipenuhinya adat dan tata cara."
Ken Dedes berhenti sesaat untuk menelan ludahnya.
"Ya, Nini," potong emban tua itu, "namun kau belum menyebut namanya."
Ken Dedes menatap langsung ke dalam mata orang tua yang bening itu. Dan tiba-tiba ia yakin bahwa orang tua itu benar-benar akan menolongnya. Maka katanya, "Namanya Wiraprana."
"Oh," orang tua itu terkejut seperti disengat lebah biru. Tanpa disengaja kedua tangannya menutup mulutnya yang berteriak lirih itu, "Adakah kau menyebut nama Angger Wiraprana?"
Ken Dedes mengangguk. Dan orang tua itu pun kemudian tepekur.
Di luar dinding, Mahisa Agni mendengar percakapan itu. Pada saat Ken Dedes mengucapkan nama itu, terasa seakan-akan di malam yang terang itu, Mahisa Agni mendengar suara petir meledak di kepalanya. Betapa ia terkejut mendegarnya, Wiraprana. Wiraprana.
Tubuh Mahisa Agni menggigil seperti orang kedinginan. Dadanya terbakar oleh suatu perasaan yang aneh. Seperti belanga yang terbanting di atas batu, maka hatinya pecah re muk berkeping-keping. Hampir ia tidak percaya pada pendengarannya. Apakah yang didengarnya benar-benar nama Wiraprana"
Dari dalam bilik Ken Dedes itu kemudian masih terdengar Ken Dedes menyebut namanya. Namanya sendiri.
"Emban," berkata Ken Dedes, "tak ada orang lain yang dapat menyampaikannya kepada Kakang Wiraprana selain Kakang Mahisa Agni. Kakang Agni adalah sahabat yang paling dekat daripadanya. Kakang Agni akan dapat mendesaknya untuk segera melangsungkan tata cara adat itu. Sehingga kemudian nama Kakang Wiraprana pasti akan disebut oleh Ayah, apabila pada suatu kali aku dipanggilnya kembali."
"Oh," orang tua itu mengeluh. Tetapi ia menahan gejolak perasaannya. Nama itu benar-benar tak disangka-sangkanya.
Mahisa Agni pun menggigit bibirnya sehingga berdarah. Terdengar giginya kemudian gemeretak. Ia mencoba menguasai keseimbangan perasaannya. "Persetan!" umpatnya di dalam hati, "Terkutuk kau, Wiraprana!"
Mahisa Agni itu pun kemudian tidak tahan lagi untuk tetap berdiri di tempatnya. Dengan berjingkat ia berjalan tergesa-gesa ke biliknya sendiri. Dengan serta-merta dibantingnya tubuhnya di atas pembaringannya, sehingga terdengar amben itu berderak-derak. Tetapi Mahisa Agni tidak dapat terbaring tenang. Tubuhnya masih menggigil dan perasaannya menggigil pula. Tak disangkanya bahwa pada suatu saat Wiraprana akan memotong hari depan yang diidamkannya. Apakah ia akan berdiam diri"
"Kenapa aku turut campur pada saat Kuda Sempana sedang bertempur dengan anak itu?" gumamnya. "Biarlah ia mati, supaya tak ada orang yang melintang, di hadapanku," Ia melanjutkan. Bahkan kemudian timbul pula pikirannya, "Aku adalah Mahisa Agni. Apakah aku tak akan mampu bersaing dengan anak muda itu" Biarlah besok aku datang kepadanya. Kita adalah laki-laki jantan. Aku tantang ia bertempur buat menentukan masa depan."
"Tidak besok pagi. Sekarang!" geramnya dengan kemarahan yang meluap-luap.
Dan Mahisa Agni itu pun segera meloncat dari pembaringannya. Dengan gerakan yang cepat ia melambung di udara dan kemudian tegak di atas kedua kakinya. Cepat ia membenahi pakaiannya. Ikat pinggangnya dan kainnya ditariknya ke belakang. Mahisa Agni kini siap untuk bertempur. Dengan satu loncatan panjang anak muda itu meraih pusakanya. Bukan sekedar senjata untuk berlatih. Tetapi sebuah keris peninggalan ayahnya, buatan pamannya, seorang Empu yang sakti. Empu Gandring.
Dengan cepat anak muda itu meloncati tlundak pintunya, dan kemudian berlari menghambur di antara batang-batang perdu di pertamanannya.
"Kubunuh Wiraprana dan aku larikan Ken Dedes," Mahisa Agni menggeram di sepanjang jalan, "Kuda Sempana berani berbuat demikian. Mengapa aku tidak. Aku tak perlu perlindungan dari istana Tumapel. Akan aku bawa Ken Dedes ke Lulumbang. Apakah pamanku itu tidak dapat melindungi aku seandainya Empu Purwa marah. Pamanku adalah empu sakti pula."
Mahisa Agni berlari semakin kencang Ditelusurinya jalan desanya yang setiap hari selalu dilewatinya. Berpuluh bahkan beratus kali. Setiap kali ia mengunjungi Wiraprana dan pulang dari rumah anak itu, jalan ini pula yang selalu dilaluinya. Tetapi terasa jalan itu, kali ini bertambah panjang.
Mahisa Agni hampir tak sabar dengan langkahnya sendiri. Ia berlari dengan langkah yang panjang-panjang.
Waktu yang diperlukan untuk mencapai rumah Buyut Panawijen itu tidak selalu lama. Hanya beberapa saat ia telah berdiri di muka regol halaman Buyut Panawijen. Dilihatnya regol itu tertutup, meskipun ia tahu pasti bahwa regol itu tidak terkunci. Kalau ia mendorongnya sedikit, regol itu pasti terbuka.
Tetapi halaman itu begitu sepi.
Mahisa Agni ragu sejenak. Meskipun gelora di dadanya serasa tak dapat dihambatnya lagi namun ia masih sempat membuat perhitungan-perhitungan. Kalau ia masuk ke halaman, dan memaksa bertemu dengan Wiraprana, maka Buyut Panawijen itu pun akan terbangun. Dengan demikian, maka akibat yang akan timbul mempunyai banyak kemungkinan. Mungkin ia harus bertempur melawan mereka berdua, Wiraprana dan Buyut Panawijen. Meskipun kedua orang itu sama sekali tak berarti bagi Mahisa Agni, namun peristiwa itu pasti akan menimbulkan keonaran. Kalau Empu Purwa kelak mengetahuinya maka segala rencananya akan gagal. Orang tua itu pasti akan menjaga anaknya baik-baik. Dan apakah ia masih akan diperbolehkan tinggal di padepokan itu"
Dengan susah payah Mahisa Agni menyabarkan dirinya. Gumamnya, "Biarlah aku tunggu sampai besok. Aku ajak anak itu ke bendungan. Di sana dapat kita buat perhitungan."
Mahisa Agni menggeram penuh kemarahan. Sekali lagi ditatapnya rumah yang senyap itu. Dan sekali lagi ia mengancam, "Awas kau Wiraprana!"
Kemudian tanpa disadarinya Mahisa Agni berkata seperti yang pernah didengarnya dari Kuda Sempana, "Wanita sama harganya dengan curiga. Taruhannya adalah nyawa."
Kemudian Mahisa Agni itu pun melangkah pergi, dengan menyimpan bara di dalam dadanya. Betapapun juga, dada itu serasa akan meledak. Karena itu, Mahisa Agni berjalan dengan tanpa tujuan. Kakinya yang kokoh itu menyepak apa saja yang dijumpainya. Batu, kayu, bahkan pohon-pohon kayu pun tidak luput dari sasaran kemarahannya. Sekali-sekali diraihnya cabang kayu di tepi jalan. Kemudian dengan tenaganya yang luar biasa, cabang-cabang itu direnggutnya, sehingga patah berderak-derak.
Beberapa orang yang rumahnya dekat di pinggir jalan itu terkejut, namun mereka tak berprasangka apapun. Dan kembali mereka tetap di dalam pelukan malam.
Mahisa Agni masih, berjalan terus Tergesa-gesa seperti ada sesuatu yang mengejarnya. Bulan di langit serasa tersenyum mengejeknya. Dilihatnya sekali lagi lingkaran yang mengelilingi bulan itu, dan dilihatnya sebuah bintang menyala di dalam lingkaran.
"Bintang itu telah berada di dalam lingkaran," geramnya, "besok pagi satu jiwa akan melayang."
Dan Mahisa Agni masih berjalan menyusur jalan itu. Terus. Sehingga tak dirasanya, Mahisa Agni telah meninggalkan desa Panawijen dan berjalan di daerah persawahan. Dilihatnya kemudian batang-batang padi yang hijau kekuning-kuningan di dalam limpahan cahaya bulan.
Mahisa Agni adalah seorang pengagum keindahan. Ia dapat duduk seperempat malam menatap gunung- gunung yang berselimut mega, atau menunggui bendungan, mendengarkan gemericik air di antara batu-batu kali. Tetapi kali ini perasaan itu seakan-akan terbunuh mati. Yang tampak adalah malam yang suram sesuram hatinya.
Tiba-tiba Mahisa Agni tersentak ketika ia melihat takbir malam yang terentang di hadapannya. Kalau ia berjalan terus, maka ia akan sampai ke padang rumput Karautan.
"Ha," tiba-tiba Mahisa Agni berkata sendiri, "apakah demit padang rumput itu masih di sana?"
Mahisa Agni merasa, seakan-akan ia mendapat tempat untuk menumpahkan kemarahannya. Karena itu ia menggeram, "Besok aku baru dapat membunuh Wiraprana pengecut itu. Biarlah sekarang aku cari hantu Karautan. Setan itu pun harus mati. Empu Purwa mencegah aku dahulu. Sekarang biarlah aku ulangi tanpa orang tua itu. Biarlah aku tangkap atau bunuh sekali hantu Karautan yang sering mengganggu orang."
Dan tiba-tiba sekali lagi Mahisa Agni meloncat berlari. Seperti sedang dikejar hantu ia berlari semakin lama semakin cepat. Diloncatinya batu-batu besar yang berserak-serak di padang rumput itu, dan disasaknya gerumbul-gerumbul kecil yang berada di garis perjalanannya. Kelinci-kelinci dan binatang-binatang kecil lainnya terkejut, dan berloncatan menjauh. Namun Mahisa Agni tak sempat memperhatikannya. Matanya tertancap jauh-jauh ke tengah padang rumput itu. Di sana ia beberapa waktu yang lampau bertemu dengan orang yang ditakutinya, dan bernama Ken Arok. Dalam kemarahannya itu, ia tidak ingat apa-apa lagi, selain membunuh, menghancurkan dan apa saja yang dapat memberinya kepuasan.
Sekali-kali terlintas juga di kepalanya, menurut kata gurunya, ia tak akan mampu mengalahkan hantu itu. "Omong kosong!" geramnya dan diteruskannya kata-kata itu, "Aku dahulu dapat menyentuhnya dengan tanganku. Kalau sekarang tersentuh keris Pamanku, muka umur setan itu tak akan sampai esok pagi."
Padang rumput Karautan adalah padang rumput yang luas. Karena itu Mahisa Agni memerlukan waktu untuk sampai ke tengah padang itu. Ia langsung menuju ke tempat ia bertemu dengan Ken Arok di perjalanannya pulang bersama gurunya. Ia mengharap Ken Arok masih berada di sana, dan mencegatnya. Hantu itu harus sadar, bahwa di dunia ini ada orang yang tak takut kepadanya, dan tak dapat dikalahkannya.
Mahisa Agni yang berlari-lari itu akhirnya sampai juga ke tengah padang itu. Namun bulan telah jauh di sisi cakrawala. Sebentar lagi bola langit itu segera akan tenggelam dibalik punggung Gunung Kawi. Mahisa Agni kemudian berhenti. Nafasnya terasa berkejaran, secepat ia berlari. Sesaat ia tegak di tengah-tengah padang itu sambil mencoba menenangkan dirinya.
Beberapa kali Mahisa Agni menghisap nafasnya dalam-dalam dan dihirupnya udara padang yang segar. Perlahan-lahan nafasnya pun dapat diaturnya kembali.
Kini Mahisa Agni itu bertolak pinggang dengan kaki renggang. Dipandangnya keadaan di sekelilingnya. Namun sepi. Tak seorang pun dilihatnya. Tiba-tiba ia menjadi semakin marah. Maka seperti orang yang kehilangan kesadarannya ia berteriak, "He, hantu Karautan! Inilah Mahisa Agni! Jangan menunggu orang-orang lemah yang dapat kaujadikan umpan keganasanmu. Keluarlah dari persembunyianmu!"
Suara Mahisa Agni itu seperti membelah langit. Mengumandang dan melingkar-lingkar seluas padang Karautan. Namun setelah gema suaranya itu berhenti, kembali malam menjadi sepi.
Mahisa Agni mengumpat-umpat tak habis-habisnya, "Setan pengecut! Apakah kau sedang bersembunyi karena kau lihat Mahisa Agni lewat?"
"He, hantu Karautan! Inilah Mahisa Agni! Jangan menunggu orang-orang lemah yang dapat kau jadikan umpan keganasan. Keluarlah dari persembunyianmu!"
Sekali lagi suaranya disahut oleh sepinya malam. Dan sekali lagi Mahisa Agni memandang berkeliling dengan nanar.
Tetapi tiba-tiba Mahisa Agni terkejut ketika ia mendengar gemeresik daun-daun perdu di sisinya. Cepat ia memutar tubuhnya dan bersiaga.
"Nah, kaukah itu?" ia berteriak keras-keras, meskipun rumpun perdu itu tak jauh daripadanya.
Apa yang ditunggunya itu ternyata datang. Dari balik daun-daunan yang rimbun itu, muncullah sebuah kepala. Mahisa Agni segera mengenal orang itu. Sambil tertawa berderai ia berkata, "Keluarlah dari persembunyianmu, hei setan yang menakutkan orang seluruh wilayah Tumapel. Tetapi aku, Mahisa Agni, jangan kau sangka takut seperti mereka itu. Marilah sekali lagi kita membuat perhitungan. Dan kali ini biarlah salah satu dari kita membayar taruhan ini dengan nyawa."
Orang yang muncul dari balik gerumbul itu sebenarnyalah orang yang bernama Ken Arok. Untuk sesaat ditatapnya wajah Mahisa Agni yang menyalakan kemarahan hatinya. Tetapi hantu padang rumput Karautan itu tidak segera menanggapinya. Bahkan perlahan-lahan ia melangkahi ranting-ranting perdu dan dengan tenangnya ia berjalan selangkah demi selangkah maju.
"Ayo, bersiaplah!" tantang Mahisa Agni, "Meskipun kau bernyawa rangkap tujuh, kau tak akan mampu mempertahankan hidupmu apabila kau tersentuh kerisku."
Ken Arok menggigit bibirnya. Tampaklah wajahnya menjadi tegang, tetapi pandangannya tidak menjadi liar seperti pada saat Mahisa Agni bertemu untuk yang pertama kalinya.
"Apa yang kau tunggu?" bentak Mahisa Agni.
Mahisa Agni menjadi heran ketika dilihatnya hantu Karautan itu mengangguk-angguk. Kemudian terdengar ia berkata tenang, "Mahisa Agni. Adakah kau mendendam?"
Mahisa Agni terkejut mendengar pertanyaan itu. Sesaat ia terpaku diam. Ditatapnya mata Ken Arok. Dan seakan-akan dilihatnya wajah yang lain dari wajahnya dahulu. Meskipun demikian, Agni itu pun berkata, "Jangan mencoba merajuk! Cerita tentang hantu Karautan harus segera tamat."
"Ya," sahut Ken Arok, "cerita tentang hantu Karautan memang sudah tamat."
Kembali Mahisa Agni terkejut. Sekali lagi ditatapnya wajah Ken Arok, dan sekali lagi ia mendapat kesan lain pada wajah itu. Karena itu kemudian Mahisa Agni menjadi bingung.
"Mahisa Agni," berkata Ken Arok. Suaranya pun lain dari suara yang pernah didengarnya beberapa waktu yang lampau, "Aku memang sedang menunggumu di sini. Berhari-hari. Aku mengharap bahwa aku akan dapat bertemu dengan kau dan orang tua yang lewat bersamamu dahulu."
"Adakah kau tidak puas dengan pertemuan kita yang pertama itu," bertanya Mahisa Agni dengan penuh prasangka.
"Ya," jawab Ken Arok sambil mengangguk.
"Nah, sekarang aku telah datang. Apa maumu" Apakah kau masih ingin mencoba kesaktianmu?" bertanya Mahisa Agni.
Ken Arok menggeleng lemah. Rambutnya yang terurai lepas ke pundaknya itu bergerak-gerak ditiup angin malam. Tetapi rambut itu sudah tidak seliar seperti yang pernah dilihatnya. Perlahan-lahan terasa pada Mahisa Agni, bahwa ia melihat perubahan pada hantu Karautan itu. Apalagi ketika ia mendengar Ken Arok menjawab, "Tidak Mahisa Agni. Sudah kukatakan, cerita tentang hantu Karautan telah tamat."
"Lalu apa maumu menghadang aku?" bertanya Agni.
"Berhari-hari aku menunggumu. Setiap malam aku tidur di gerumbul ini. Tetapi aku tidak pernah lagi berniat untuk menghentikan orang-orang yang lewat di padang ini. Aku hanya menunggumu dan orang tua itu," berkata Ken Arok.
"Ya, sudah kau katakan," potong Mahisa Agni, "tetapi apa maksudmu?"
"Duduklah Agni," pinta Ken Arok.
Mahisa Agni menggeleng, "Kau akan membuat aku tidak bersiaga?"
Wajah Ken Arok itu menjadi suram. Katanya, "Aku sadar, bahwa kesan perkelahian itu tak akan terhapus di sepanjang umurmu. Tetapi duduklah Agni."
Agni menjadi semakin heran. Di mata anak muda itu memancar sesuatu yang tak dimengertinya. Dan tiba-tiba saja Mahisa Agni duduk di samping anak muda yang belum begitu dikenalnya.
"Mahisa Agni, apakah orang tua dahulu itu benar gurumu?" bertanya Ken Arok
"Ya," jawab Agni singkat.
"Aku iri kepadamu," gumam Ken Arok.
"Kenapa?" "Agni, kata-kata itu terdengar terlalu dalam. Aku melihat perubahan pada sikapmu. Apakah kau bersikap baik hanya apabila gurumu ada?"
Mahisa Agni menjadi semakin heran mendengar pertanyaan itu. Dan kembali ia bertanya, "Kenapa?"
"Sikapmu dahulu tidak segarang sekarang, meskipun aku melihat kejantananmu sejak saat itu."
Pertanyaan Ken Arok itu benar menembus dada sehingga langsung menyentuh hatinya. Dicobanya untuk melihat sikapnya sendiri. Kenapa orang yang hidupnya seliar Ken Arok berkata demikian kepadanya. Meskipun demikian Mahisa Agni bertanya, "Apakah yang berubah. Sejak dahulu guruku berkata kepadaku, bahwa setiap kejahatan harus ditumpas. Sekarang aku sedang berusaha menumpas kejahatan yang merajalela di padang rumput ini."
Ken Arok seakan-akan tidak mendengar jawaban itu. Bahkan ia berkata terus, "Aku melihat, pada waktu kau datang bersama gurumu. Betapa kagumnya aku melihat kejantananmu. Namun sikap itu wajar. Sekarang sikapmu benar-benar lain daripada sikapmu waktu itu. Adakah sesuatu yang terjadi" Atau karena gurumu kini tidak ada?"
"Jangan mengigau!" bentak Mahisa Agni, "Ayo berdirilah, kita bertempur. Aku tetap dalam perjuanganku."
"Mahisa Agni," berkata Ken Arok lirih, "Adakah kau sempat mendengar sebuah kisah yang pendek?"
Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi ia terpengaruh oleh permintaan Ken Arok itu. Karena itu ia berdiam diri di tempatnya.
"Mahisa Agni," Ken Arok mulai dengan kisahnya, "aku telah bertemu dengan seorang Brahmana di tempat perjudian. Brahmana itu bernama Danghyang Lohgawe."
Tiba-tiba Mahisa Agni memotong, "Apa peduliku dengan Danghyang Lohgawe. Apakah kau sedang menakut-nakuti aku dengan gurumu yang baru itu?"
Ken Arok menggeleng. "Tidak," jawabnya, "orang itu bukan guruku. Dimintanya aku menjadi anaknya."
"Nah. Suruhlah bapa angkatmu itu datang kemari!" sahut Agni.
"Hem," Ken Arok menarik nafas, "kau benar-benar tak seperti yang aku sangka."
Kembali kata-kata itu langsung menyentuh hatinya. Dan kembali Mahisa Agni berdiam diri. Sehingga Ken Arok sempat meneruskan, "Orang tua itu berkata kepadaku seperti yang pernah dikatakan gurumu kepadaku dahulu."
"Apa katanya?" bertanya Mahisa Agni tak sesadarnya.
"Bukankah gurumu pernah berkata, bahwa aku akan lebih berbahagia apabila aku dapat menempuh cara hidup yang lain dari cara hidupku yang liar itu?" sahut Ken Arok.
"Adakah sekarang kau sependapat dengan nasihat guru?" bertanya Mahisa Agni pula.
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, "Aku pernah bertanya kepada Brahmana itu. Apakah seorang yang telah berjalan jauh dan ditempuhnya jalan yang sesat, ia akan dapat menemukan jalan kembali?"
Ken Arok berhenti sejenak, kemudian dilanjutkannya, "Brahmana itu berkata, jalan kembali itu tak akan pernah tertutup selama-lamanya buat siapa pun juga."
Kembali Ken Arok berhenti sejenak. Kepalanya itu pun tertunduk lesu, dan seterusnya ia berkata, "Menurut Danghyang Lohgawe, jalan itu terbuka pula bagiku."
Mahisa Agni pun kemudian menundukkan wajahnya. Dan untuk sesaat mereka berdua tenggelam dalam sepi hati mereka berdua.
Sesaat kemudian terdengar kembali Ken Arok berkata, "Brahmana itu pernah berkata pula kepadaku, bahwa jalan yang benar itu terlalu sempit dan jelek, sedang jalan ke arah yang salah itu selalu lapang dan licin, sehingga karena itu maka banyak orang yang tersesat karenanya. Lebih banyak yang memilih jalan yang lapang dan licin daripada yang sempit dari jelek. Namun jalan itu akhirnya akan sampai ke daerah yang gelap, sedang yang jelek itu akan sampai ke daerah ketenteraman abadi."
Sumpah Palapa 28 Pendekar Mata Keranjang 2 Bara Di Jurang Guringring Pangeran Berdarah Campuran 10

Cari Blog Ini