Ceritasilat Novel Online

Pelangi Dilangit Singosari 7

01 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja Bagian 7


Kini kembali Mahisa Agni berjalan seorang diri. Ditempuhnya jalan yang hampir dua bulan yang lalu dilewatinya. Menyusur tepi rawa-rawa ke arah timur.
Dan Mahisa Agni itu pun tidak takut lagi bertemu dengan orang timpang yang menamakan dirinya Empu Pedek. Menggelikan sekali. Betapa ia tidak mengenal orang yang timpang itu.
Ia bergaul dengan gurunya hampir setiap saat. Namun dengan berjalan seakan-akan timpang ia telah menjadi pangling.
Kini Mahisa Agni dapat berjalan jauh lebih cepat daripada saat ia datang. Jalan-jalan yang dilampauinya seakan-akan telah dikenalnya baik-baik, sehingga ia tidak perlu lagi bertanya-tanya kepada diri dan memilih-milih supaya tidak tersesat. Karena itu, maka waktu yang diperlukannya pun jauh lebih pendek dari waktu yang dipergunakannya dahulu.
Maka karena itu pula, Mahisa Agni sebelum senja telah sampai ke padukuhan kecil yang dahulu dilewatinya pula. Padukuhan yang oleh penduduknya disebut padukuhan Kajar. Tetapi ketika Mahisa Agni sampai di ujung padukuhan, ia menjadi heran. Matahari masih tampak di langit, walaupun sudah amat rendahnya, seakan-akan hinggap di punggung gunung. Namun padukuhan itu tampaknya sudah terlalu sepi. Tak seorang pun yang dapat ditemui oleh Mahisa Agni sebagaimana ia melihatnya dahulu. Penduduk padukuhan kecil yang rajin itu kini seakan-akan telah lenyap ditelan hantu. Rumah-rumah yang kecil di padukuhan itu pun tampaknya tertutup rapat, seakan-akan menolak kedatangannya.
Tetapi karena itu justru sangat menarik perhatian Mahisa Agni. Dalam waktu hampir dua bulan ia tidak melihat perubahan apapun di padukuhan kecil itu, namun perubahan suasananya terasa sekali.
Mahisa Agni masih saja berjalan menyusuri jalan berbatu-batu di tengah-tengah padukuhan itu. Ia menjadi berdebar-debar ketika dilihatnya sebuah pondok kecil di tepi jalan itu. Di dekat pondok itu dahulu ia bertanya kepada seorang tua yarg ramah. Seorang tua yang berjanggut putih dan berambut putih.
"Apakah rumah itu rumah orang tua yang baik itu?" berpikir Mahisa Agni.
Sesaat ia menjadi ragu-ragu. Namun kemudian katanya di dalam hati, "Ah, aku sama sekali tak bermaksud jelek. Bukankah orang tua itu dahulu mengajak aku singgah ke rumahnya?"
Maka kemudian dengan ragu-ragu Mahisa Agni memasuki regol halaman itu dan perlahan-lahan berjalan melintasi beberapa pokok pohon samboja dan tempat-tempat sesaji, langsung menuju ke pintu rumah. Perlahan-lahan pula Mahisa Agni mengetuk pintu rumah itu. Sekali, dua kali bahkan sampai tiga kali, suara ketukannya tidak mendapat sambutan. Namun telinga Mahisa Agni yang tajam mendengar langkah orang di dalam rumah itu. Gemeresik dinding pintu dan nafas orang di balik pintu itu.
"Ah, seseorang telah mengintip dari balik pintu," katanya di dalam hati. Karena itu ia tidak mengetuk lagi. Ia menunggu, apakah kehadirannya akan diterima, atau tidak.
Sesaat kemudian ternyata pintu itu terbuka. Benarlah dugaannya, rumah itu adalah rumah orang tua yang dahulu pernah memberinya beberapa keterangan. Namun ia menjadi heran ketika dengan tergesa-gesa orang itu bertanya, "Ngger, siapakah Angger ini?"
"Aku Mahisa Agni, Bapak. Hampir dua bulan yang lalu aku pernah lewat di padukuhan ini. Bukankah Bapak pernah memberi aku beberapa petunjuk untuk mencapai rawa-rawa di sebelah selatan?"
Orang tua itu mengingat-ingat sebentar. Kemudian katanya, "Oh, ya. Aku ingat sekarang. Angger datang dari Gunung Kawi?"
Mahisa mengangguk sambil menjawab, "Ya, Bapak."
"Marilah, marilah masuk," ajak orang itu. Dan sebelum Mahisa Agni menjawab, dengan serta-merta orang tua itu menarik lengan Mahisa Agni. Mahisa Agni tidak menolak. Dan demikian ia melangkah pintu, demikian orang tua itu dengan tergesa-gesa menutup pintunya kembali.
Mahisa Agni pun menjadi semakin heran. Seolah-olah di luar rumah itu sedang berkeliaran hantu-hantu, sehingga orang tua itu menjadi ketakutan.
Dengan nafas yang terengah-engah seperti orang baru saja berlomba lari orang itu mempersilakan Mahisa Agni duduk di atas selembar tikar anyaman, "Silakan Ngger, silakan duduk."
Mahisa Agni itu pun duduk pula. Diletakkannya tongkat kayu serta bungkusannya. Dan dengan sebuah anggukan Mahisa Agni menjawab, "Terima kasih, Bapak."
"Ah," desah orang tua itu, "hampir aku melupakan Angger. Bukankah Angger pernah lewat di jalan di muka rumah ini" Ah, Angger ternyata sekarang menjadi kurus. Jauh lebih kurus dari saat Angger lewat dahulu."
Tanpa sesadarnya Mahisa Agni mengamat-amati tangannya. Memang ia menjadi bertambah kurus. Meskipun demikian ia menjawab, "Tidak Bapak. Aku tidak menjadi kurus."
Orang itu tertawa. Tetapi tampaklah kegelisahan membayang di wajahnya. Namun demikian Mahisa Agni masih belum menanyakan sesuatu kepadanya.
Orang tua itu pun kemudian pergi sesaat ke belakang. Ketika ia kembali dibawanya dua bumbung legen. Diserahkannya, "Marilah Ngger, barangkali Angger haus."
Mahisa Agni menerima bumbung itu. Alangkah segarnya setelah hampir tiga bulan tak pernah dihirupnya minuman, selain air. Air dingin. Kini legen yang manis.
Namun kegelisahan orang tua itu ternyata mempengaruhi perasaan Mahisa Agni. Ia pun menjadi gelisah pula. Apakah kehadirannya itu tidak berkenan di hati orang tua itu. Atau ada sesuatu yang lain. Karena, itu, akhirnya Mahisa Agni tidak dapat menahan diri lagi, sehingga kemudian katanya, "Bapak, alangkah sepi padukuhan ini. Masih jauh menjelang senja, rumah-rumah sudah tertutup rapat. Di jalan padukuhan ini, aku sudah tidak menjumpai seorang pun yang berjalan. Jangan berjalan, di halaman pun tak aku lihat seseorang."
Orang tua itu mengerutkan keningnya. Kemudian setelah berdiam diri beberapa saat ia menjawab, "Untunglah Angger tak bertemu seseorang?"
Mahisa Agni menjadi semakin heran. Karena itu ia menyahut, "Kenapa?"
Orang itu dengan gelisahnya memandangi pintu rumahnya. Setelah sesaat ia berdiam diri, maka jawabnya perlahan-lahan sekali seakan-akan ia sedang mengucapkan sebuah rahasia yang tak boleh didengar oleh orang lain, katanya, "Padukuhan ini sebenarnya tidak sesepi sekarang ini, Ngger."
Mahisa Agni mengangguk. Memang pada saat ia lewat dahulu, dilihatnya penduduknya yang rajin dan ramah. Rumah-rumah terbuka lebar dan anak-anak bermain-main di halaman. Maka didengarnya orang tua itu berkata selanjutnya, "Namun saat ini padukuhan yang kecil ini sedang mengalami ketakutan."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ia sudah menyangka bahwa sesuatu yang tidak wajar pasti sudah terjadi. Maka Mahisa Agni itu pun kemudian bertanya, "Apakah yang mencemaskan penduduk padukuhan ini?"
"Terkutuklah anak itu!" desis orang tua itu. Tetapi dengan cemasnya ia berkali-kali menatap daun pintu leregnya. Katanya selanjutnya, "bersedihlah ibunya yang telah melahirkannya dan menyesallah padukuhan ini, yang telah memberinya kesempatan untuk dibesarkan. Karena akhirnya, terkutuklah anak itu."
"Kenapa?" bertanya Mahisa Agni mendesak.
"Anak itu sebenarnya bukan anak yang jahat," sahut orang tua itu, "ia adalah salah satu dari anak-anak keluarga padukuhan ini. Seperti anak-anak yang lain, ia adalah anak yang rajin dan bekerja dengan tekun membantu orang tuanya. Tetapi ketika ia menginjak umur sebelas dua belas tahun, anak itu dibawa oleh pamannya ke rantau. Ternyata di sana bertemulah anak itu dengan seorang guru. Terkutuk pulalah guru itu. Itulah sebabnya maka anak itu menjadi jahat. Diajarinya oleh gurunya ilmu-ilmu yang kasar. Berkelahi dan bertempur. Oh, alangkah jahatnya ilmu itu. Kenapa seseorang mesti belajar berbuat hal-hal semacam itu. Kenapa seseorang mesti melatih diri untuk berbuat kekasaran antara sesama."
"Aku benar-benar tidak mengerti. Dan beberapa orang ternyata telah melakukannya. Di antaranya anak itu. Dan ia kemudian menjadi sakti pula karenanya. Dan kesaktiannya itulah yang menjadikan anak itu seperti anak yang gila."
Mahisa Agni mendengar kata demi kata itu dengan wajah yang tunduk. Inilah salah satu contoh dari seorang anak muda yang lepas kendali. Anak muda yang memiliki kesaktian, namun kesaktiannya itu akhirnya telah menakut-nakuti orang di sekitarnya. Tiba-tiba ia merasa bahwa ia telah dihadapkan pada satu cermin di mana ia dapat melihat dirinya sendiri.
Dalam pada itu orang itu berkata seterusnya, "Siang malam aku berdoa mudah-mudahan dilenyapkanlah ilmu-ilmu semacam itu dari dunia ini, sehingga kami, orang-orang lemah ini akan dapat menikmati hidup kami dengan tenteram."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun ia sadar bahwa kata-kata itu sama sekali tidak ditunjukkannya kepadanya, namun ia merasa perlu juga untuk menjawab. Katanya, "Bapak. Yang salah menurut hematku bukan ilmunya. Tetapi karena ilmu itu dimiliki oleh seseorang, maka segala sesuatu tergantung sekali kepada orang itu. Ia dapat memanfaatkan ilmunya untuk tujuan-tujuan yang sebaliknya. Mempergunakan ilmunya untuk tujuan-tujuan yang baik."
"Apakah tujuan yang baik itu" Dapatkah tujuan yang baik itu dilandasi oleh kekerasan dan kekasaran semacam itu?"
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sebelum ia sempat menjawab, ia pun menjadi terkejut. Seorang perempuan yang telah melampaui umur setengah abad, berlari terjingkat-jingkat dari ruang dalam. Kemudian dengan cemasnya ia berbisik, "Kiai, o Kiai, jangan sekali-kali menyebut-nyebut tentang anak itu. Lihatlah, ia lewat di jalan di muka rumah kita. Aku telah mengintipnya dari dapur."
Orang tua itu pun tiba-tiba menjadi pucat. Dengan gemetar ia merangkak ke dinding rumahnya. Setelah ditemukannya sebuah lubang di antara anyaman dindingnya, maka ia pun mengintip pula.
"Oh, apakah ia anak hantu?" desisnya.
"Jangan Kiai," potong perempuan tua, yang ternyata adalah istrinya, "ia tahu apa yang diucapkan oleh setiap orang tentang dirinya."
Orang itu masih mengintip dari lubang dinding. Dan tiba-tiba Mahisa Agni pun ingin mengintip pula. Ia ingin melihat orang yang telah menakut-nakuti seluruh padukuhan ini. Karena itu pun segera Mahisa Agni mencari lubang pula di antara anyaman.
Dan sebenarnyalah, dilihatnya seorang laki-laki lewat di jalan di muka rumah itu. Meskipun tidak begitu jelas, namun Mahisa Agni dapat melihatnya, seorang anak muda yang bertubuh tinggi tegap berdada bidang. Namun ia tidak dapat mengenal wajah anak muda itu dengan cermat.
"Oh, ampun," tiba-tiba orang tua itu berdesis. Mereka melihat orang yang mereka takuti itu berhenti di depan regol halaman. Sesaat diamat-amatinya regol itu, kemudian dilontarkannya pandangan matanya yang tajam itu ke pintu rumah. Mahisa Agni yang ikut serta mengintip itu pun ikut berdebar-debar pula. Didengarnya dengan jelas, nafas orang tua itu tersengal-sengal, bahkan perempuan tua di belakangnya itu pun telah menjadi semakin pucat.
Tetapi orang tua itu kemudian menarik nafas dalam-dalam. Ternyata anak muda yang mereka takuti itu tidak masuk ke halaman. Setelah ia berhenti dengan ragu-ragu, maka kemudian anak muda itu meneruskan langkahnya menyusuri jalan-jalan padukuhan tempat kelahirannya.
"Oh," desis orang tua itu pula, "diselamatkannya kita oleh dewa-dewa."
Meskipun demikian, seakan-akan ia masih belum percaya pada penglihatannya, sehingga untuk beberapa lama masih saja ia berjongkok mengintip. Baru setelah ia yakin, bahwa orang yang mereka takuti itu telah pergi, maka beringsutlah orang tua itu dari tempatnya, kembali duduk di atas tikar anyaman sambil mempersilakan Mahisa Agni, "Duduklah, Ngger."
Mahisa Agni pun kemudian duduk kembali di tempatnya. Dilihatnya laki-laki tua itu masih gelisah dan cemas. Namun ia mencoba tersenyum. Katanya, "Sudahlah Nyai, pergilah ke dapur. Anak itu telah pergi."
Perempuan itu menyahut, "Jangan membicarakannya. Ia akan mendengarnya. Dan ia akan datang kemari."
Laki-laki itu tidak menjawab. Dipandanginya istrinya sampai di balik dinding. Kemudian setelah istrinya itu tidak kelihatan lagi, maka katanya, "Semua orang menjadi sedemikian ketakutan sampai orang tidak berani menyebut namanya. Ternyata istriku juga dan aku agaknya akan menjadi takut pula."
"Siapakah namanya," tiba-tiba saja Mahisa Agni melontarkan pertanyaan itu.
Orang tua itu terkejut mendengar pertanyaan Mahisa Agni. Jawabnya, "Jangan bertanya namanya Angger."
Mahisa Agni tersenyum. Dan orang itu menjadi heran melihat senyum itu. Katanya, "Aku tidak sedang berolok-olok, Ngger. Aku berkata sebenarnya."
"Bapak tadi telah mengutuknya. Kalau ia mengetahui setiap orang yang memerkarakan dirinya, kenapa ia tidak singgah kemari dan mempersoalkannya?"
Laki-laki itu menganggukkan kepalanya. Jawabnya, "Mungkin Angger benar."
"Aku pasti Bapak," sahut Mahisa Agni, "ia tidak akan mendengar."
Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Hampir saja ia menyebut nama itu, namun diurungkannya ketika ia melihat istrinya datang untuk menyalakan, lampu minyak yang melekat di dinding. Namun kemudian dengan selembar daun, nyala lampu itu pun ditutupnya supaya tidak tampak terlalu terang dari luar.
Baru ketika perempuan itu telah pergi, berkatalah orang tua itu, "Aku mengenalnya pada masa kanak-kanaknya dengan nama Pasik. Tetapi kemudian nama itu diubahnya. Ketika ia datang untuk pertama kalinya mengunjungi padukuhan ini sesudah berguru, maka namanya berganti menjadi Waraha. Aku tidak tahu, mana yang lebih baik namun Waraha benar-benar mempunyai kesan yang menakutkan."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Kesan nama itu benar-benar menakutkan. Dan bukanlah tanpa maksud bagi Pasik untuk mengubah namanya. Perubahan nama itu telah menunjukkan, nafsu yang tersembunyi pada anak itu. Nafsu untuk menang dan nafsu untuk menguasai. Maka bertanyalah Mahisa Agni kemudian, "Apakah yang kemudian dilakukan di tempat kelahirannya ini, sehingga semua orang menjadi takut kepadanya?"
"Oh, benar-benar terkutuk anak itu!" jawab laki-laki tua itu, "Setiap kali ia kehabisan uang, harta dan benda, selalu ia datang ke rumahnya. Mula-mula ayahnyalah yang diperas habis-habisan. Namun setelah ayahnya tidak memiliki apapun lagi, maka menjalarlah kepada tetangga-tetangganya. Apa saja yang diinginnya, diambilnya tanpa menghiraukan orang yang memilikinya. Perhiasan dan kekayaan-kekayaan lain yang kami kumpulkan sedikit-sedikit dengan kerja keras. Bahkan kemudian apabila diinginnya, sampai juga akhirnya pada anak-anak gadis dan perempuan-perempuan yang telah bersuami sekali pun."
Mahisa Agni benar-benar tertarik pada cerita itu. Karena itu maka katanya pula, "Tidak adakah seorang pun yang dapat mencegah perbuatan itu?"
"Oh Ngger, Ngger. Ia adalah seorang yang sakti. Dan ia tidak selalu datang sendiri. Pernah ia datang bertiga dengan saudara-saudara seperguruannya. Dan bahkan kali ini ia datang bersama-sama dengan gurunya."
Orang tua itu berhenti sesaat. Sekali lagi ia menatap pintu rumahnya, kemudian katanya melanjutkan perlahan-lahan sekali, "Ayahnya sendiri hampir saja dibunuhnya, ketika ayahnya itu mengutuknya. Kata ayahnya itu, kalau Pasik itu mati saja, maka ayahnya akan menyembelih tiga ekor kambing sebagai ucapan terima kasihnya. Tetapi ayahnya itu dipukulnya sambil berteriak, "Biarlah kau mati dahulu tua bangka". Dan ibunya pun pernah juga dicekiknya hampir mati."
Orang tua itu berhenti sejenak. Sekali-kali ia berpaling ke arah pintu dengan cemasnya. Kemudian katanya, "Ah. Sudahlah. Marilah kita berbicara tentang hal-hal yang lain, yang dapat menggembirakan hati kita."
"Baiklah, Bapak," jawab Mahisa Agni, "namun aku masih ingin bertanya sedikit tentang anak muda itu. Apakah Pasik itu juga mengenal Bapak dengan baik?"
"Oh tentu, tentu," jawab orang tua itu, "ia mengenal aku seperti mengenal bapaknya sendiri pada masa kanak-kanaknya. Ia adalah kawan bermain anak gadisku. Dan ibumu di sini pun senang juga kepada anak itu dahulu. Apabila ia bermain-main kemari, diberinya anak itu makanan dan dibuatkannya permainan-permainan yang mengasihkan."
"Sudah barang tentu sekarang tidak bukan bapak?" sela Mahisa Agni.
"Terkutuklah anak itu!" umpat orang tua itu perlahan-lahan sekali, "Ibunya, ya ibunya sendiri pernah dicekiknya hampir mati. Tetapi baik ayahnya maupun ibunya itu masih juga hidup sampai sekarang."
"Apakah yang sudah dilakukannya sejak ia pulang kali terakhir ini, Bapak?" bertanya Mahisa Agni.
Orang tua itu menggeleng. "Belum ada," jawabnya, "dan karena kami selalu berdebar-debar. Ketika ia pulang yang terakhir sebelum kali ini, diambilnya gadis anak tetangga sebelah untuk seorang saudara seperguruannya. Ketika orang tuanya mencoba untuk mencegahnya, maka orang itu diancamnya. Dan akhirnya tak seorang pun yang mampu untuk mengurungkan niat itu."
Cerita itu pun terhenti pula ketika perempuan tua, istri laki-laki itu, masuk kembali sambil berbisik, "Sudahlah, Kiai. Sudahlah. Jangan sebut-sebut lagi anak muda itu. Akan celakalah nasib kita karenanya."
Laki-laki tua itu menganggukkan kepalanya. Katanya, "Baik, baiklah, Nyai. Aku memang sudah akan berhenti bercerita, namun Angger Agni ini masih bertanya pula."
Perempuan tua itu memandang wajah Mahisa Agni. Dari matanya memancar suatu permintaan, seakan-akan berkata, "Sudahlah Ngger, jangan bertanya tentang anak itu lagi."
Mahisa Agni pun memaklumi permintaan itu. Dan ia pun menjadi iba juga kepada perempuan yang ketakutan itu. Karena itu maka ia tidak bertanya-tanya lagi. Dan laki-laki tua itu pun tidak bercerita lagi tentang anak muda yang menakutkan itu.
Kini laki-laki itu mulai bercerita tentang anak perempuannya. Anak yang diperistri oleh tetangga sebelah. Oleh kakak dari gadis yang dilarikan Pasik.
"Mudah-mudahan anak itu menjadi bahagia," desahnya, "dan mudah-mudahan anak itu tidak diganggu oleh anak muda yang durhaka itu, atau oleh saudara-saudara seperguruannya."
"Sst!" desis istrinya, "Kiai sudah akan mulai lagi?"
"Oh, tidak, tidak," sahutnya cepat-cepat.
Dan sesaat orang itu berdiam diri. Istrinya pun tidak berkata-kata pula. Dengan demikian maka ruang itu menjadi sepi.
Namun betapa terkejutnya mereka itu bertiga, lebih-lebih lagi laki-laki tua beserta istrinya, ketika tiba-tiba didengarnya di muka pintu rumahnya suara tertawa perlahan-lahan, namun terasa getarannya memukul-mukul dada. Suara tertawa itu seolah-olah menyusup ke dalam rumah kecil itu dan melingkar-lingkar bergelombang.
"Mati aku!" desis laki-laki tua itu.
Sedang istrinya tiba-tiba saja menjadi gemetar seperti orang kedinginan. Terbata-bata ia berkata," Oh Kiai, Kiai, kau telah membunuh diri dan membunuh seluruh keluarga kita. Aku sudah bilang, jangan kau memperkatakannya."
Laki-laki itu pun menjadi gemetar. Mulutnya seakan-akan tersumbat.
Ketika didengarnya pintu rumah itu diketuk perlahan-lahan, perempuan tua itu dengan lemahnya terduduk d ilantai sambil gemetar.
"Selamat sore Kiai," terdengar sapa halus di belakang pintu rumah itu. Namun suami istri itu benar-benar seperti orang yang kehilangan tenaga.
"Kiai," sekali lagi terdengar suara di belakang pintu, "bukalah!"
Laki-laki tua itu masih terduduk di tempatnya. Mulutnya bergerak-gerak tetapi suaranya tak terdengar.
"Bukalah, Kiai!" suara di luar menjadi semakin keras. Dan orang tua itu pun terkejut. Jawabnya terbata-bata," Ya, ya Ngger. Ya. Ya aku buka."
Namun ia masih belum bergerak juga.
Tiba-tiba terdengarlah pintu rumah itu berderak. Dan sebelum orang tua itu membuka pintunya, maka pintu rumah itu pun telah terbuka. Ternyata orang yang berdiri di luar rumah itu sama sekali tidak sabar lagi menunggu laki-laki itu membuka pintunya,
Mahisa Agni pun menggeser duduknya pula menghadap pintu. Karena itu dilihatnya dalam cahaya lampu yang remang-remang seorang anak muda yang gagah masuk ke dalam rumah itu.
"Selamat sore, Kiai," sapanya sambil membungkukkan kepalanya.
Suami istri itu benar-benar telah menjadi gemetar. Meskipun demikian laki-laki itu menjawab dengan kata-kata yang parau dan bergetar, "Selamat malam Ngger, selamat sore."
Anak muda itu tersenyum. Diraihnya selembar daun yang menutup cahaya lampu minyak di dinding. Karena itu maka ruangan itu pun menjadi semakin terang.
Kini Mahisa Agni dapat melihat anak muda itu dengan jelas. Dilihatnya setiap garis di wajahnya. Wajah yang keras, namun tidak sedemikian bengis seperti yang disangkanya. Bahkan anak itu kelihatan tampan pula. Dengan tersenyum ia maju beberapa langkah dan kemudian ikut duduk pula di antara mereka.
Kemudian anak muda yang mengubah namanya sendiri menjadi Waraha itu tersenyum. Katanya, "Ah, sudah lama aku tidak berkunjung kemari Kiai."
Orang tua itu menjadi semakin gemetar. Namun ia menjawab pula, "Ya, ya Ngger."
Anak muda itu tertawa. Katanya, "Tetapi Kiai dan Nyai ternyata awet muda."
Laki-laki tua itu pun mencoba untuk tertawa. Namun tampaklah betapa masamnya. Dan wajah-wajah yang pucat itu menjadi semakin pucat ketika anak muda itu berkata, "Ah. Ternyata Kiai dan Nyai selama ini tidak pernah melupakan aku. Setiap pembicaraan Kiai selalu masih menyebut-nyebut namaku."
Kata-kata itu seolah-olah ledakan petir di atas rumah yang kecil itu. Laki-laki tua dan istrinya menjadi semakin menggigil karenanya, sehingga mereka tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun lagi.
Anak muda itu kemudian memandang berkeliling ruangan itu. Ketika matanya hinggap di wajah Mahisa Agni, maka anak muda itu tersenyum. Dengan ramah ia bertanya kepada laki-laki tua itu, "Kiai, siapakah tamu Kiai ini?"
Laki-laki itu terkejut. Sesat ia menjadi bingung, namun kemudian ia menjawab, "Mahisa Agni Ngger, namanya Mahisa Agni."
Pasik yang menamakan diri Waraha itu mengangkat alisnya. Katanya, "Nama yang baik. Mahisa Agni."
Kemudian kepada Mahisa Agni ia bertanya, "Ki Sanak. Dari manakah Ki Sanak datang?"
Mahisa Agni menjadi heran. Anak muda ini tampaknya cukup sopan. Karena itu ia menjawab dengan sopan pula.
"Aku datang dari Gunung Kawi, Ki Sanak."
Waraha mengernyitkan alisnya. Kemudian katanya, "Jauh sekali. Apakah keperluan Ki Sanak?"
"Aku adalah seorang perantau," sahut Mahisa Agni.
Anak muda itu tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ditatapnya bungkusan Mahisa Agni di samping tongkat kayunya. Katanya pula, "Ya. aku percaya kalau Ki Sanak seorang perantau. Apakah yang Ki sanak simpan di dalam bungkusan itu?"
"Oh," desah Agni, "bukan apa-apa. Hanya sekedar kain usang."
Laki-laki muda yang gagah itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dengan sopan pula ia berkata, "Apakah aku boleh melihatnya?"
Mahisa Agni menjadi terkejut dan heran. Anak muda itu mengucapkan kata-katanya dengan sopan, namun apa yang akan dilakukan benar-benar bukan suatu pekerjaan yang sopan. Kini tahulah Mahisa Agni, bahwa anak muda itu melakukan perbuatan-perbuatan yang menakutkan penduduk Kajar dengan tingkah laku yang sopan dibuat-buat. Karena itu Mahisa Agni menjawab, "Tak ada apa-apa di dalamnya, Ki Sanak."
Waraha tersenyum. Ia tidak berbicara lagi. Beberapa langkah ia berjalan sambil berjongkok, dan dengan sopannya ia berkata kepada laki-laki tua itu, "Maafkan aku Kiai."
Dan sebelum Mahisa Agni dapat mencegahnya, Waraha telah meraih bungkusannya.
Mahisa Agni hanya dapat menarik nafas. Namun ia harus memperhatikan setiap perbuatan Pasik. Karena itu, Mahisa Agni itu pun kemudian bergeser beberapa cengkang, mendekati Pasik yang asyik membuka bungkusannya itu.
Anak muda itu terkejut ketika di dalam bungkusan itu dilihatnya sebilah keris.
"Ah," katanya, "keris yang bagus."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Keris itu adalah keris pusaka peninggalan ayahnya dan dibuat oleh pamannya. Meskipun demikian masih dibiarkannya Pasik mengamat-amati keris itu.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Pasik itu bergumam, "Keris yang bagus. Bagus sekali. Dari manakah kau dapat keris ini Ki Sanak?"
Mahisa Agni mengangkat keningnya jawabnya, "Aku menerimanya dari Ayah, Ki Sanak."
"Apakah kau seorang yang ahli mempergunakan senjata, khususnya keris?"
Mahisa Agni cepat-cepat menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "Keris pusaka. Aku bawa ke mana saja aku pergi. Mudah-mudahan keris itu dapat memberi aku keselamatan."
Waraha itu tiba-tiba tertawa. Katanya, "Ah kau aneh Ki Sanak. Apakah kerismu ini juga dapat memberimu keselamatan" Kau agaknya kurang dapat memahami kata-kata itu. Keris ini akan dapat memberi keselamatan apabila kau mampu mempergunakannya. Apakah kau mampu bertempur dengan keris?"
Mahisa Agni menggeleng pula. Jawabnya, "Mudah-mudahan keris itu bermanfaat bagiku."
Pasik itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia berkata menyentak, "Hai perantau. Apakah kau seorang petualang yang sakti?"
Mahisa Agni terkejut ketika tiba-tiba ia melihat Waraha menarik kerisnya dari wrangkanya. Ujung keris itu tiba-tiba telah terayun ke dadanya.
Mahisa Agni itu pun kemudian bergeser surut. Ia tidak mau membuat perselisihan sejauh mungkin. Karena itu ia menjawab, "Jangan Ki Sanak, jangan."
Namun Waraha itu pun beringsut maju pula. Kerisnya masih terarah ke dada Mahisa Agni. Sambil membentak sekali lagi ia berkata, "Ayo, lawanlah!"
Mahisa Agni pun bergeser pula mundur. Katanya, "Jangan Ki Sanak. Jangan."
Tiba-tiba Waraha itu tertawa. Tertawa sepuas-puasnya. Katanya, "Hem. Sebaiknya kau tidak usah membawa senjata. Senjata ini akan berbahaya bagimu sendiri seandainya kau tidak mampu mempergunakannya."
Mahisa Agni itu pun menjadi heran. Apakah maksud Waraha dengan kata-katanya. Tetapi ia tidak boleh lengah. Ketika ia berpaling ke arah sepasang orang-orang tua itu, maka Mahisa Agni menjadi iba. Keduanya telah menggigil seperti orang kedinginan. Demikian takutnya sehingga perempuan tua itu berpegangan suaminya erat-erat.
Waraha itu pun kemudian menyarungkan keris itu ke dalam wrangkanya. Kemudian dengan rapi keris itu dikembalikan ke dalam bungkusannya pula. Dan kini kembali wajah Pasik itu menjadi jernih. Dengan sopan ia berkata, "Ki Sanak. Ternyata keris itu sedemikian bagusnya. Aku belum pernah melihat keris sebagus itu. Apakah Ki Sanak benar-benar memerlukannya?"
"Tentu, tentu," sahut Mahisa Agni cepat-cepat, "keris itu adalah pusaka peninggalan ayahku. Dan keris itu akan dapat memberi aku ketenangan."
Waraha itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dipandangnya wajah Mahisa Agni yang tunduk. Ketika Waraha itu berpaling ke arah laki-laki tua dan istrinya, ia tertawa. Katanya, "Maafkan aku Kiai dan Nyai. Aku tidak ingin menakut-nakuti kalian. Aku hanya bermain-main saja." Dan tiba-tiba kepada Mahisa Agni ia berkata, "Ki Sanak. Aku ingin kerismu itu."
Mahisa Agni sudah menyangka bahwa Pasik itu menginginkan kerisnya. Karena itu ia tidak terkejut. Meskipun demikian ia menjawab, "Jangan Ki Sanak. Keris itu keris pusaka."
Namun Waraha itu pun beringsut maju pula. Kerisnya masih terarah ke dada Mahisa Agni. Sambil membentak sekali lagi ia berkata, "Ayo, lawanlah!"
Mahisa Agni bergeser pula mundur Katanya, "Jangan Ki Sanak. Jangan."
Waraha tertawa. Sekali lagi ia memandang ke wajah laki-laki tua dan istrinya. Katanya, "Jangan takut, Kiai. Aku tidak akan berbuat apa-apa. Aku sebenarnya hanya ingin berkunjung saja. Bukankah Kiai dan Nyai telah banyak berbuat kebaikan kepadaku?"
Laki-laki tua itu mengangguk-angguk kosong. Dari mulutnya terloncat kata-kata, satu-satu, "Ya Ngger. Terima kasih, terima kasih."
"Kenapa terima kasih?" bertanya anak muda itu.
Orang tua itu menjadi bingung, sedemikian bingungnya sehingga ia menjawab, "Terima kasih Ngger, karena Angger tidak akan berbuat apa-apa."
"He?" jawab Pasik, "Apakah aku selalu mengganggu orang" Sehingga apabila aku tidak berbuat demikian, maka itu dapat dianggap suatu kebaikan?"
Orang tua itu menjadi semakin bingung. Terbata-bata ia menjawab, "Tidak, tidak. Maksudku tidak sedemikian."
Pasik itu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak sehingga tubuhnya berguncang-guncang. Semakin lama semakin tampaklah bahwa kesopanan yang berlebih-lebihan itu adalah dibuat-buatnya saja. Ternyata apa yang dilakukan semakin menjadi kasar dan memuakkan.
Kepada Mahisa Agni kemudian anak muda itu berkata, "Anak muda. Aku ingin kerismu itu. Besok kau harus menyerahkannya kepadaku di rumahku. Ingat besok. Aku tidak akan merampas keris itu di sini supaya aku tidak menakut-nakuti penghuni rumah yang baik ini, meskipun sekarang sudah menganggap aku sebagai anak durhaka, seperti orang seluruh padukuhan ini menganggap aku demikian pula. Tetapi tak apa. Aku dapat hidup tanpa orang-orang di padukuhan ini. Nah, ingat. Besok pagi. Jangan mencoba melarikan diri malam nanti. Sebab nyawamu pasti akan melayang."
Mahisa Agni itu pun mencoba bertanya, "Kenapa aku mesti menyerahkan keris ini kepada Ki Sanak."
Pasik mencibirkan bibirnya. "Jangan banyak bertanya," jawabnya, "Malanglah kau, karena kau telah bertemu dengan aku. Nah kini aku akan pergi."
Ketika Mahisa Agni akan berkata sesuatu, maka Pasik itu segera membentaknya, "Jangan bertanya dan berkata apapun! Kau hanya dapat melakukan. Datanglah besok ke rumahku. Serahkan keris itu kepadaku. Aku juga sedang menunggu beberapa orang yang akan memberi aku bekal perjalanan dua tiga hari yang akan datang. Mereka adalah sahabatku yang baik, yang dapat mengerti keadaanku."
Dan Mahisa Agni pun kemudian tidak berkata-kata pula. Dan bahkan timbullah keinginannya untuk melihat rumah Pasik besok dan melihat apa saja yang akan dilakukannya dan siapa sajakah yang besok harus datang pula ke rumahnya.
Pasik itu pun kemudian berdiri. Namun ia tidak segera pergi. Dilepaskannya ikat pinggangnya beserta timang perak murni yang berkilat-kilat kena sinar lampu minyak. Heranlah Mahisa Agni ketika Pasik itu memberikan timang itu kepada orang tua penghuni rumah itu. Katanya, "Ah, Barangkali aku perlu memberikan sesuatu kepada Kiai. Bukan apa-apa, hanya sekedar tanda mata, supaya untuk seterusnya Kiai tidak melupakan aku, anak nakal yang pernah menerima kebaikan hati dari Kiai berdua."
Orang tua itu pun menjadi tercengang. Karena itu untuk sesaat ia diam memasung. Dipandangnya Pasik dengan mata tak berkedip. Sehingga Pasik itu menyerahkannya sekali lagi, "Inilah Kiai, terimalah tanda mata yang tak berarti."
Seperti kena pukau, maka orang tua itu pun berdiri. Selangkah maju sambil menerima pemberian yang tak disangka-sangkanya.
"Terima kasih," katanya lirih, hampir tak terdengar.
"Jangan berterima kasih Kiai," jawab Pasik, "kenang-kenangan yang tak seberapa nilainya."
Orang tua itu pun menganggukkan kepalanya. Diamatinya timang perak itu dengan seksama. Baik juga buatannya. Meskipun orang tua itu sebenarnya tak memerlukan timang itu, namun tak habis juga herannya, kenapa pada suatu ketika orang yang bernama Pasik itu sedemikian baik hati kepadanya.
"Sudahlah, Kiai," Pasik itu minta diri.
"Ya, ya Ngger," sahut laki-laki tua itu.
"Selamat malam, Nyai," katanya pula sambil melangkah ke pintu.
"Terima kasih Ngger, terima kasih," jawab perempuan tua yang kemudian menjadi bertambah berani. Apalagi ketika ia melihat anak yang ditakuti itu justru memberikan timang dan ikat pinggang kepada suaminya. Suatu hal yang tak disangkanya, setelah suaminya tidak habisnya mengumpat dan mengutuk anak itu di hadapan tamu mereka.
Pasik itu pun kemudian membuka pintu, dan satu kakinya melangkahi tlundak. Tetapi tiba-tiba ia berhenti di tengah-tengah pintu. Sambil berpaling ia berkata, "Besok aku harap Kiai datang juga ke rumah mengantarkan anak muda itu. Salam buat gadis kiai. Tolong ajak juga ia serta. Jangan lupa, Kiai. Dan masih ada permintaanku kepada Kiai. Aku juga ingin mendapat tanda mata barang sedikit. Apapun asal dapat memberi aku kesan, bahwa Kiai pernah memberi aku kesenangan di masa kecilku."
Orang tua itu menjadi berdebar-debar. Besok ia harus datang ke rumah anak itu dengan gadisnya. Ah, bukankah ia sudah bukan gadis lagi" Namun sebelum ia sempat menjelaskan, Pasik itu sudah berkata pula, "Kiai, barangkali Kiai tidak usah berpikir terlalu repot tentang tanda mata itu. Apapun jadilah. Misalnya ikat pinggang Kiai yang terbuat dari kulit kerbau itu bersama timangnya sekali."
Kini orang tua itu benar-benar merasa seakan-akan disambar petir. Timangnya itu yang dimintanya. Timang emas bersalut permata. Satu-satunya kekayaan yang ada padanya, yang dikumpulkannya sejak mudanya."
Karena itu, maka kembali tubuh suami istri itu menggigil. Bahkan lebih keras dari semula, sehingga timang perak murni itu terjatuh dari tangannya.
"Oh, oh," berkata Pasik yang dengan tergopoh-gopoh melangkah mengambil timang itu, "Jangan dibuang Kiai. Simpanlah meskipun tak bernilai. Tetapi ingat, besok aku menunggu Kiai di rumahku. Dan Kiai akan datang membawa tanda mata yang aku minta itu, selain gadis kiai yang cantik dan anak muda tamu kiai itu."
Pasik tidak menunggu orang tua itu menjawab. Dikalungkannya ikat pinggangnya di leher orang tua itu. Dan dengan langkah yang tegap tenang ia berjalan keluar dari rumah yang pernah menjadi tempatnya bermain pada masa kanak-kanaknya.
Sepeninggal Pasik, sesaat orang tua itu masih berdiri saja seperti patung. Baru kemudian ketika ia menyadari keadaannya, diambilnya ikat pinggang yang tersangkut di lehernya itu. Kemudian dibantingnya ikat pinggang itu sambil mengumpat, "Anak setan! Sampai hati juga ia minta timang itu."
Istrinya ternyata sudah tidak dapat memberi sambutan apapun atas kejadian itu. Agaknya kepalanya menjadi pening, dan tanpa berkata apapun juga, perempuan itu berjalan bergegas masuk ke dalam biliknya.
Orang tua itu masih saja gelisah. Bahkan kemudian ia berjalan mondar-mandir sambil mengumpat tak habis-habisnya. Namun kata-kata Pasik itu merupakan perintah baginya selama ia masih sayang akan dirinya. Dipertimbangkannya keadaannya sebaik-baiknya. Berulang-ulang. Namun tak dilihatnya jalan apapun selain menyerahkan kekayaannya itu. Tetapi apabila diingatnya, Pasik minta ia datang bersama anaknya yang ternyata bukan gadis lagi, maka otaknya menjadi semakin pening, dan detak jantungnya seakan-akan memecahkan dadanya yang sudah menjadi semakin tipis.
Mahisa Agni menjadi kasihan juga melihat orang tua itu menjadi bingung. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Meskipun demikian dicobanya juga untuk mengurangi penderitaan perasaan itu. Katanya bertanya, "Kiai, apakah setiap perintah itu harus dipenuhi?"
Orang tua itu mengerutkan keningnya. "Hem," desahnya, "kalau tidak, maka aku tidak akan menjadi gila seperti ini."
"Bagaimanakah kalau sekali-kali permintaan itu ditolak?" bertanya Mahisa Agni pula.
"Belum pernah seseorang berbuat demikian sejak Carub terbunuh."
Dada Mahisa Agni berdesir mendengar jawaban itu. Kalau demikian maka Pasik itu sudah melangkah terlalu jauh sehingga telah jatuh korban karena tangannya.
"Jadi Pasik itu pernah membunuh orang?" bertanya Agni
Orang tua itu mengangguk. Jawabnya, "Tidak sendiri. Bertiga dengan saudara-saudara seperguruannya."
"Dikerubut?" desak Agni
Orang tua itu menggeleng. Jawabnya, "Salah seorang dari mereka telah cukup untuk membunuh Carub. Namun mereka melakukannya bertiga. Beramai-ramai seperti membunuh tupai. Mula-mula Pasik itu tidak akan melakukannya. Carub adalah kawannya bermain sejak kecil. Ketika orang itu menolak memberikan seluruh simpanannya sepuluh keping emas, maka Carub itu dipukul oleh Pasik. Namun kawan-kawannya tidak puas melihatnya. Karena itu, maka mereka pun ikut serta. Dan tubuh Carub itu kemudian seperti pisang busuk."
Mahisa Agni mengangkat wajahnya. Sekali ia menarik nafas dalam-dalam. Katanya di dalam hati, "Apakah Pasik itu termasuk salah seorang tokoh sakti. Namun aku belum pernah mendengar namanya. Waraha pun belum pernah didengarnya. Mungkin nama gurunya."
Karena itu maka Agni pun bertanya, "Siapakah gurunya itu?"
"Tak seorang pun yang mengetahuinya. Ia datang dari jauh. Dan disebutnya namanya seperti nama daerah asalnya. Menurut Pasik nama gurunya itu adalah Bahu Rekso Kali Elo."
Sekali lagi dada Mahisa Agni berdesir. Nama itu belum pernah didengarnya, tetapi gurunya pernah menyebut-nyebut bahwa di sekitar Tumapel ada seorang guru yang datang dari daerah pusat Pulau Jawa. Namun sayang, tabiatnya kurang menyenangkan, sehingga orang itu tak begitu dikenal, dan bahkan agak terpencil dari pergaulan para sakti. Murid-muridnya tidak hanya dua tiga orang. Hampir semuanya adalah para penjudi dan penjahat. Apakah orang ini yang dimaksudkan, atau orang lain. Apabila benar orang itu, alangkah jauh daerah pengaruhnya, sehingga orang di kaki Gunung Semeru pun berguru pula kepadanya.
Dan ternyata orang itu kini ikut serta dengan muridnya yang bernama Pasik itu berkunjung ke padukuhan kecil ini. Dengan demikian kedatangan orang itu pasti akan mempunyai pengaruh yang sangat jelek terhadap penduduk Kajar.
Namun betapapun juga, Mahisa Agni terpaksa menilai diri dan orang-orang yang belum dikenalnya itu. Apalagi gurunya, sedangkan muridnya pun belum diketahui tingkat ilmunya. Seandainya, ya seandainya, Pasik memaksa untuk memiliki keris peninggalan ayahnya itu, apakah ia harus tetap berdiam diri"
Malam itu, hampir tidak ada di antara mereka bertiga,orang tua itu, istrinya dan Mahisa Agni yang sempat memejamkan matanya. Orang tua suami istri itu selalu diganggu oleh ketakutan dan kebingungan menghadapi permintaan Pasik. Sedang Mahisa Agni tak dapat melepaskan perasaan ibanya kepada orang tua itu. Ingin ia menjanjikan sesuatu kepada mereka namun apakah ia akan dapat memenuhinya, belumlah pasti. Sebab kalau benar, Bahu Reksa Kali Elo itu adalah orang yang dikatakan gurunya, maka ia tidak tahu apakah ia akan dapat meninggalkan padukuhan ini dengan selamat apabila ia ingin mempertahankan kerisnya.
Tetapi malam berjalan terus tanpa menghiraukan kegelisahan, ketakutan, kecemasan yang mencengkam Padukuhan Kajar. Tidak hanya orang tua itu saja yang ternyata tidak dapat tidur semalaman. Namun banyak yang lain. Banyak di antara mereka yang tidak dapat tidur karena harus menyerahkan cincin mereka, kalung mereka atau apa saja yang diinginkan oleh Pasik itu, yang sebagian besar adalah benda-benda berharga. Emas, permata dan sebagainya.
Dan malam itu pun berjalan menurut iramanya sendiri. Sekejap demi sekejap dilampauinya dengan ajeg menuju kepada akhirnya,
Ketika ayam jantan berkokok menjelang fajar, orang tua yang malang itu telah tidak dapat bertahan lagi berbaring di pembaringannya. Perlahan-lahan ia berjalan keluar dan duduk di tlundak pintu. Sedang Mahisa Agni yang tidur di lantai, di atas alas selembar tikar itu pun kemudian bangkit pula. Sekali ia menggeliat, kemudian kedua belah tangannya ia menutupi mulutnya yang sedang menguap.
Orang tua itu berpaling kepada Agni. Perlahan-lahan ia berkata, "Aku sudah hampir menjadi gila. Apakah Ki Sanak tidak sayang kepada keris itu?"
"Tentu, Bapa, tentu," sahut Mahisa Agni terbata-bata.
"Pagi ini keris itu sudah harus Angger serahkan kepada si Pasik gila itu," sambung orang tua itu.
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian tiba-tiba ia berkata, "Bagaimanakah kalau aku melarikan diri sekarang, Bapa?"
Orang tua itu mengerutkan keningnya. Jawabnya, "Hampir tak ada gunanya Ngger. Pasik itu pasti segera akan mengejarmu. Ke mana saja kau pergi, maka pasti akan dapat ditemukannya. Kalau Angger lari, itu hanyalah seakan-akan menunda mala petaka untuk sesaat. Namun Pasik pasti akan menebus susah payahnya itu dengan kegembiraan-kegembiraan yang gila. Ia mungkin juga untuk menyiksa seseorang demi kesenangannya, atau karena kejengkelannya."
"Tetapi aku masih mempunyai cukup waktu sampai ia yakin aku tidak datang ke rumahnya."
Orang tua itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian jawabnya, "Mungkin juga. Angger juga seorang perantau, sehingga Angger dapat berjalan lebih cepat dan mencari jalan-jalan yang sulit."
Orang itu berhenti sejenak, nampaklah ia berpikir. Sesaat kemudian ia meneruskan, "Mungkin bagi Angger. Tetapi?"." Orang tua itu berhenti.
"Tetapi".?" ulang Mahisa Agni.
Orang tua itu menggeleng, "Tidak apa-apa Ngger. Namun kalau Angger ingin mencoba, cobalah, Biarlah aku tinggal di sini. Aku sudah tua."
Mahisa Agni menjadi berdebar-debar mendengar kata-kata itu. Tetapi segera ia menangkap maksud kata-kata itu, meskipun orang tua itu berusaha untuk menyimpannya di dalam hati. Orang tua itu ternyata sedang membayangkan, apakah akibat yang akan terjadi, kalau tamunya itu melarikan diri. Maka segala persoalan pasti akan ditimpakan kepadanya. Dan sebenarnyalah Agni tidak ingin melarikan diri. Bahkan ia ingin melihat, apa saja yang akan terjadi di rumah Pasik itu.
Sementara itu pun, langit menjadi semakin lama semakin terang. Warna yang kelam seakan-akan sedikit demi sedikit larut dihanyutkan oleh angin pagi. Bintang-bintang yang masih gemerlapan, semua tenggelam dalam cahaya yang semakin terang. Dan bintang pagi pun kemudian sinarnya menjadi pudar dan lenyap ditelan cerahnya sinar matahari pagi.
Demikian akhirnya malam itu pun lenyaplah. Padukuhan Kajar itu kini kembali ditimpa oleh sinar matahari. Namun padukuhan itu tidak segera terbangun. Seakan-akan seseorang yang sedang sakit parah, yang tetap tinggal di pembaringannya meskipun matahari telah mencapai tinggi sepenggalah.
Tetapi akhirnya, beberapa orang Kajar itu harus ke luar juga dari rumah-rumah mereka. Mereka adalah orang-orang yang telah dikunjungi oleh Pasik serta diminta untuk datang ke rumahnya mengantarkan barang-barang yang dikehendakinya.
(Bersambung ke Jilid 6) Pelangi Di Langit Singasari
Karya : SH. Mintarja Jilid : 06 - 10 ________________________________________
Jilid 6 MAHISA AGNI PUN KEMUDIAN membenahi diri. Mencuci muka di sumur di belakang rumah. Memperbaiki letak pakaiannya dan kemudian bersama-sama dengan orang tua yang ramah itu, duduk di atas tikar anyaman menghadapi air jahe hangat dan sebongkah gula kelapa.
"Minumlah Ngger," orang tua itu mempersilakan, namun ia sendiri tidak mau minum. Lehernya yang telah berkeriput itu seakan-akan telah tersumbat. Meskipun demikian, Mahisa Agni minum juga beberapa teguk. Alangkah segarnya.
"Sebentar lagi kita harus pergi memenuhi permintaan anak setan itu. Istriku sedang menjemput gadisnya di rumah sebelah. Mudah-mudahan kita dijauhkan dari malapetaka yang lebih besar. Biarlah aku serahkan timang itu, asal anakku itu tidak diganggunya."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Alangkah sedihnya orang tua itu.
Sesaat kemudian istrinya yang telah tua pula itu pun datang bersama anak perempuan beserta suaminya. Sekilas Agni segera dapat melihat air mata yang membasahi mata yang jernih bulat itu. Sedang suaminya, tidak lebih seorang petani biasa. Bertubuh kecil dan berhati kecil. Sehingga dengan gemetar ia bertanya, "Apakah yang akan dilakukan oleh Pasik, Kiai."
Orang tua itu menggeleng. Jawabnya, "Aku tidak tahu. Mudah-mudahan tak akan dilakukan sesuatu."
"Aku telah membawa semua perhiasan dan kekayaan yang aku miliki. Mudah-mudahan istriku tidak diganggunya."
Orang tua itu tidak menyahut. Namun istrinya menangis terisak-isak, sehingga anaknya menangis pula. Katanya, "Biarlah aku tinggal di rumah. "
Ayahnya menarik nafas. Tak sepatah kata pun dapat diucapkan, sehingga anaknya itu berkata pula, "Ayah, aku lebih baik mati daripada disentuhnya.
Ayahnya masih terbungkam. Dan bahkan matanya pun menjadi basah pula.
Mahisa Agni benar-benar tak dapat menahan perasaan harunya. Karena itu tiba-tiba ia berkata, "Biarlah anak bapa tinggal di rumah bersama suaminya."
Yang mendengar kata-kata Mahisa Agni itu terkejut. Orang tua itu berpaling kepadanya sambil berkata, "Aku tidak dapat membayangkan akibatnya."
"Mudah-mudahan Pasik melupakannya setelah ia melihat timang bapa dan kerisku ini," jawab Agni.
Orang tua itu berpikir sejenak. Tetapi kemudian ia menjawab, "Hampir tak ada gunanya, Ngger. Ia tidak dapat melihat keinginannya sepotong-sepotong terpenuhi. Ia ingin semuanya."
"Tetapi apakah anak bapa itu juga terpaksa dikorbankan seandainya nanti dikehendaki oleh Pasik itu?"
Orang tua itu terdiam. Istrinya pun terdiam. Namun anak perempuannyalah yang menangis. Dan bahkan suaminya pun menangis.
"Jangan menangis," minta Mahisa Agni kepada laki-laki itu, "seharusnya laki-laki tidak menangis."
Tetapi laki-laki itu menangis terus. Katanya di sela-sela tangisnya, "Ki Sanak tidak merasakan apa yang aku rasakan. Itulah Ki Sanak dapat berkata demikian."
Mahisa Agnilah kini yang terdiam. Ia tidak tahu bagaimana mencoba menghibur mereka. Namun ia menjadi semakin kasihan juga melihat keadaan keluarga yang sedang berduka itu.
Tiba-tiba perempuan tua itu berkata, "Kiai biarlah suaminya saja pergi bersama-sama Kiai. Biarlah anak ini tinggal bersama aku di rumah. Bawalah semua kekayaan yang ada sebagai tebusannya."
Laki tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Akhirnya ia pun berkata, "Biarlah ia tinggal di rumah. Marilah kita pergi apa pun yang terjadi."
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya sambil menjawab, "Marilah. Kita tebus putri bapa itu dengan kekayaan. Mungkin Pasik akan bergembira karenanya."
Orang tua itu tidak menjawab. Ditatapnya wajah anaknya dan istrinya berganti-ganti. Kemudian kepada menantunya ia berkata, "Marilah supaya Pasik tidak menjadi kesal menunggu kedatangan kita."
Maka pergilah mereka bertiga ke rumah Pasik. Dengan wajah tunduk menantu orang tua itu berjalan di sampingnya, sedang Mahisa Agni berjalan di belakang mereka.
Sekali orang tua itu berpaling sambil bertanya kepada Mahisa Agni, "Apakah Angger sudah ikhlas akan keris itu?"
Mahisa Agni menarik nafas. Jawabnya, "Keris ini keris peninggalan Bapa."
"Jadi?" "Entahlah," sahut Agni.
Kembali mereka berdiam diri. Mereka berjalan menyusur jalan-jalan padukuhan yang sempit, menuju ke rumah Pasik.
Akhirnya sampai jugalah mereka ke rumah itu. Rumah yang tidak begitu besar, namun berhalaman luas. Di halaman itu Mahisa Agni melibat beberapa orang telah berkumpul dengan berbagai bungkusan di tangan mereka. Namun tampaklah wajah mereka yang suram dan bersedih. Mereka harus menyerahkan beberapa macam benda bagian dari kekayaan mereka.
Ketika orang tua itu sampai di halaman rumah Pasik, maka semua orang yang sudah berada ditempai itu, menjadi heran dan saling berpandangan. Sebagian dari mereka menjadi heran, kenapa orang tua itu pula telah dijadikan korban o"eh Pasik " Dan sebagian lagi heran melihat kehadiran orang yang belum pernah mereka kenal sebelumnya.
Seseorang yang telah setengah umur segera mendekati orang tua itu sambil berbisik, "Kenapa Kakang datang kemari?"
"Seperti juga kau datang kemari," jawab orang tua itu.
"Oh, apakah Pasik itu sampai hati juga berbuat demikian kepada Kakang?"
"Ternyata demikianlah."
Kemudian mereka itu terdiam ketika mereka melihat Pasik keluar dan rumahnya. Dengan wajah yang cerah anak muda itu tersenyum. Kemudian mengangguk kepada semua orang yang telah berada di halaman. Namun seleret ia, memandang ke seberang halamannya. Dan ternyata di kejauhan, beberapa orang dengan diam-diam ingin melihat apa yang terjadi di halaman rumah Pasik itu. Namun Pasik itu masih saja tersenyum. Kemudian dengan ramah ia berkata, "Alangkah senangnya aku, bahwa kalian masih juga suka berkunjung ke rumah ini. Meskipun belum kalian nyatakan, tetapi aku sudah tahu bahwa kalian telah bersusah payah datang untuk memberikan bekal perjalananku lusa. Sebenarnyalah aku memang hendak bepergian. Jauh, ke Tumapel mengikuti guruku yang hari ini datang juga ke padukuhan ini."
Pasik itu diam sesaat, namun orang yang datang di halamannya mengumpat di dalam hati mereka. Sesaat kemudian Pasik itu berkata, " Sayang, guruku pagi ini tidak dapat menerima kalian. Mungkin sebentar lagi setelah guru datang dari melihat-lihat daerah terpencil ini."
Kembali Pasik itu berdiam diri. Ditebarkannya pandangan matanya sekali lagi. Ketika ia melihat Mahisa Agni, maka anak muda itu tersenyum, "Selamat datang Ki Sanak. Ternyata Ki Sanak sudi juga berkunjung ke rumah ini."
Mahisa Agni pun menganggukkan kepalanya. Jawabnya,
"Tentu. Bukankah Ki Sanak yang minta kepadaku untuk datang pagi ini?"
Pasik mengerutkan keningnya, dan orang-orang yang mendengar jawaban itu pun menjadi terkejut. Alangkah beraninya orang itu menjawab pertanyaan Pasik. Namun kemudian mereka menyadari bahwa orang itu belum mengenal siapakah Pasik itu.


01 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pasik pun kemudian tersenyum pula, "Memang, aku kemarin telah mempersilakan kau datang. Bukankah lebih baik apabila kita memperbanyak sahabat?"
Mahisa Agni tidak menjawab. Dan dibiarkannya Pasik tersenyum puas. Ia ingin melihat apa saja yang akan terjadi seterusnya di halaman itu. Ternyata Pasik itu pun tidak memperpanjang perkataannya. Dengan singkat kemudian ia berkata, "Nah, aku akan sangat berterima kasih atas pemberian kalian. Karena itu, marilah berikanlah apa yang ingin saudara-saudara berikan itu."
Suasana kemudian menjadi hening sepi. Tampaklah beberapa orang menjadi ragu-ragu. Sehingga Pasik itu pun berkata, "Marilah. Satu demi satu, supaya aku dapat melihat barang-barang yang kalian berikan itu. Marilah!"
Maka, sesaat kemudian mulailah orang yang pertama berdiri. Melangkah maju dan menyerahkan bungkusannya kepada Pasik. Dengan tersenyum puas, Pasik membuka bungkusan itu. Sepotong cula berukir berbentuk sebuah golek yang sangat manis. Namun wajah Pasik itu tiba-tiba menjadi gelap. Katanya, "Apakah benda ini sama sekali tidak bersalut emas?"
Orang yang membawa cula berukir itu terkejut. Dan dengan ketakutan ia menjawab, "Tidak, tidak Pasik."
"He?" potong Pasik, "Sebutlah namaku!"
"Oh," orang itu semakin ketakutan, "maksudku Angger Waraha."
Pasik menarik napas. Tetapi tiba-tiba ia membentak "Bohong! Benda-benda serupa ini biasanya bersalut emas."
"Tetapi yang ini tidak Ngger," jawab orang itu, "ini adalah peninggalan Bapakku. Dibuatnya benda ini dengan tangannya sebagai kenang-kenangan pada masa mudanya, ketika Bapak itu berhasil menangkap seekor badak yang jarang terdapat di daerah ini dalam perburuannya. Sehingga sudah tentu kami tidak dapat memberinya emas. Sebab sebenarnya kami tidak pernah melihat, apalagi memiliki emas. Maka ?"
"Cukup!" bentak Waraha, orang itu sedemikian terkejutnya sehingga tubuhnya tiba-tiba menjadi gemetar, "Aku tidak perlu sesorah itu."
Orang itu ternyata masih ingin memberi beberapa penjelasan, namun mulutnya sajalah yang bergeletar, tetapi tak sepatah kata pun yang dapat lolos dari tenggorokannya. Apalagi ketika kemudian ia mendengar Waraha membentaknya sekali lagi, "Pulang! Jangan menghina aku! Ambil yang lain!"
"Itu, itu"," sahut orang itu terbata-bata, "itu adalah milikku yang paling berharga Ngger."
"Pulang, dan ambil yang lain! Dengar?"
"Aku, aku sudah tidak punya apa-apa lagi."
Waraha itu kemudian menjadi marah. Dengan serta-merta golek cula yang amat manis itu dibantingnya pada sebuah batu.
"Pasik!" teriak orang itu. Tetapi ia hanya dapat melihat golek itu pecah berserakan. Bahkan Pasik itu masih bertambah marah lagi, karena orang itu menyebut nama aslinya. Karena itu, dengan kakinya yang kokoh kuat Pasik mendorong orang itu sehingga terpental beberapa langkah dan jatuh berguling di tanah.
Halaman itu menjadi tegang dan sepi. Sesepi perkuburan
Tak seorang pun yang berani memandang wajah Pasik. Namun tiba-tiba mereka yang berada di halaman itu terkejut ketika mereka mendengar Pasik itu tertawa. Kemudian ia berkata lemah, "Ah. Maafkan aku. Aku tidak biasa berlaku kasar. Namun aku sebenarnya tidak mau dihina. Aku tidak mau dihina. Aku tidak akan sakit hati seandainya kalian tidak ingin memberi aku bekal apa pun. Namun aku tidak mau dihina dengan benda-benda serupa itu."
"Hem," orang tua di samping Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tiba-tiba ia terkejut ketika Pasik itu tiba-tiba memandangnya sambil tersenyum. Kemudian dengan hormatnya ia berkata, "Ah, Kiai. Agaknya Kiai datang juga ke tempat yang kotor ini."
Orang tua itu menjadi berdebar-debar. Apalagi kemudian Pasik itu berkata, "Sebenarnya aku akan sangat gembira apabila Kiai datang bersama gadis Kiai itu."
Orang tua itu tidak menjawab. Namun debar di dadanya menjadi semakin cepat. Karena ia tidak menjawab,maka Pasik itu berkata pula, "Kiai, tidakkah Kiai datang dengan gadis Kiai itu?"
Orang tua itu menjadi bertambah gelisah. Keringat dinginnya telah mulai membasahi bajunya. Dengan tergagap ia menjawab, "Tidak Ngger. Aku datang bersama suaminya."
"Suaminya?" tiba-tiba mata Pasik itu terbelalak. Apakah yang Kiai katakan?"
Orang tua itu telah benar-benar menjadi gemetar. Sehingga kembali mulutnya terbungkam. yang menjawab kemudian adalah Mahisa Agni.
"Ya Ki Sanak. Kiai ini datang bersama menantunya."
Mata Pasik itu kemudian menjadi merah. Dengan liar ia menatap Mahisa Agni dan laki-laki tua itu berganti-ganti. Kemudian katanya lantang "Kiai, buat apa menantumu itu bagiku?"
Mahisa Agni menjadi ragu-ragu. Karena itu ia pun kemudian berdiam diri. Dibiarkannya Pasik menggeram dan kemudian berkata, "Aku sudah mengatakan, seharusnya Kiai datang dengan anakmu, bukan menantumu. Buat apa aku minta menantumu datang?"
Pasik berhenti sejenak. Kemudian pandangan matanya jatuh kepada menantu orang tua itu. "Ha, kau agaknya menantunya bukan" Jangan ingkar! Gadis itu memang cantik. Bukankah gadis itu kawan kita bermain sejak anak-anak?"
Tiba-tiba Pasik itu tertawa. Suaranya menggelegar memenuhi halaman. Karena itu setiap orang yang mendengar menjadi ngeri karenanya. Kemudian katanya meneruskan, "Aku kenal kau sejak kecil dan kau kenal aku sejak kecil pula. Karena itu, marilah kita berbaik hati sesama kita. Tolonglah aku, panggillah istrimu itu!"
Kata-kata itu benar-benar tak dapat dimengerti oleh Mahisa Agni. Dan ia menjadi semakin tidak mengerti, ketika menantu orang tua itu menangis, "Bagaimana Kiai" Apakah aku harus memanggilnya?"
Orang tua itu pun terdiam. Dan suasana di halaman itu menjadi beku. yang terdengar kemudian adalah suara Pasik tertawa sambil berkata lembut. "Bukankah kita bersahabat?" katanya, "Nah, tolonglah aku."
Tetapi tiba-tiba Pasik itu terkejut ketika seorang perempuan menggamitnya. Ketika ia menoleh, maka katanya "Oh, Ibu. Apakah ada sesuatu?"
"Pasik," berkata ibunya.
Namun segera Pasik memutus, "Sebut namaku!"
"Oh," desah ibunya "Waraha. Apa pun yang akan kaulakukan, namun jangan diganggu tetua padukuhan kami itu."
Pasik mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berpaling kepada menantu orang tua yang disebut sebagai tetua padukuhan itu. Katanya "Lekas, tolonglah aku."
"Waraha," panggil ibunya.
Namun Pasik itu seakan-akan tidak mendengar, bahkan ia berteriak lebih keras "Cepat! Panggil istrimu itu sekarang!"
"Angger," berkata orang tua itu dengan gemetar, "aku telah membawa timang yang Angger kehendaki, dan menantuku telah membawa perhiasan yang dimilikinya. Sedang tamuku pun telah merelakan kerisnya untuk Angger. Apakah Angger masih memerlukan anakku itu?"
Pasik sama sekali tidak mau mendengar kata-kata itu. Ia kemudian berteriak tinggi, "Lekas, panggil ia sekarang!"
Menantu tetua Padukuhan Kajar itu masih terpaku di tempatnya dengan tubuh gemetar. Sedang mata Pasik itu telah menjadi semakin merah. Namun ketika ia akan berteriak kembali, sekali lagi ibunya menggamitnya dan berkata, "Jangan Waraha, jangan ganggu anak itu."
Tetapi Waraha itu masih saja tidak mau mendengar kata-kata ibunya itu, sehingga kemudian ibunya itu menarik tangannya, "Orang tua itu kami hormati seperti orang tua kami sendiri. Dan bukankah orang tua itu terlalu baik kepadamu pada masa kecilmu. Kini seharusnya "."
"Diam!" tiba-tiba Waraha itu membentak. Ibunya menjadi sangat terkejut dan bahkan semua orang menjadi terkejut pula. Meskipun demikian ibunya itu meneruskan, "Waraha, aku minta sekali lagi, jangan."
Waraha menarik tangannya, dan bahkan tangan ibunya itu didorongnya. Kini ia menunjuk kepada orang tua beserta menantunya itu, "Cepat! Panggil perempuan itu! Aku menghendaki timang, keris, dan perempuan itu. Jangan dikurangi!"
Kini ibunya tidak lagi hanya menarik tangannya, tetapi anaknya itu dipeluknya sambil meminta, "Ingatlah, Waraha. Orang itu terlalu baik buat kita. Jangan nodai dengan kekasaran dan nafsu."
Waraha itu kini menjadi benar-benar marah. Tiba-tiba digetarkannya tubuhnya keras-keras, dan perempuan yang memeluknya itu, ibunya, terpelanting beberapa langkah. Kemudian jatuh terbanting di tanah. Terdengar ia memekik kecil. Namun pekiknya sama sekali tidak mempengaruhi kekerasan hati anaknya. Waraha itu hanya berpaling sesaat, kemudian dengan tanpa memandang ibunya yang masih terbaring itu berkata, "Aku tak mau dihalangi oleh siapa pun juga. Semua kehendakku harus terjadi!"
Kini kesan keramahan, kesopanan dan kelembutan benar-benar telah lenyap dari Pasik. Matanya semakin lama bahkan menjadi semakin liar. Sekali lagi ia berpaling ketika seorang laki-laki dengan gemetar menolong perempuan yang terbanting itu. Dengan lantang ia berkata, "Ayah, bawalah perempuan celaka itu pergi. Kalau tidak maka tidak ada keberatan apa pun bagiku untuk memaksa kalian pergi. Jangan campuri urusanku. Uruslah sendiri kepentingan Ayah dan Ibu!"
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Alangkah buasnya anak muda itu. Menilik wajahnya, keluarganya dan keadaan di sekitarnya maka mustahillah bahwa lingkungan itu dapat membentuk orang sekasar Waraha itu. Tetapi kemudian Mahisa Agni pun memperhitungkan pula kepergian Waraha itu beserta pamannya, kemudian berguru kepada gurunya itu selama ia di rantau. Dengan demikian, menurut kesimpulan Mahisa Agni, pasti lingkungan perguruannya yang telah merusak hidup anak muda itu.
Kini kembali Pasik itu memandangi orang tua beserta menantunya. Sekali lagi ia berteriak, "Aku ingin memberi kalian kesempatan sekali lagi. Panggil perempuan itu. Aku menghendaki semuanya. Tidak sebagian-sebagian dari permintaanku itu."
Orang tua itu menjadi semakin gemetar, dan menantunya menangis lebih deras lagi sambil bertanya, "Kiai, bagaimana Kiai?"
"Jangan bertanya lagi! Berdiri dan pergi!" bentak Pasik.
Laki-laki itu menjadi seperti orang kehilangan kesadaran. Dengan demikian ia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Diguncang-guncangnya tangan mertuanya. Namun mertuanya itu pun telah menjadi sangat bingung pula.
Dalam keadaan yang demikian, maka halaman itu benar-benar dicengkam oleh suasana yang mengerikan. Semua dada seakan-akan berdentingan. Mereka yang melihat tetua mereka itu menjadi sangat kasihan. Namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Nasib mereka masing-masing pun masih belum mereka ketahui. Dengan diam-diam mereka mencoba menilai apa-apa yang sudah dibawanya. Jangan-jangan benda-benda itu tidak menyenangkan hati Pasik, kecuali mereka yang sudah mendapat pesan untuk membawa benda-benda tertentu. Memang kali ini Pasik berbuat lebih jauh dari masa-masa yang lampau. Kali ini Pasik ingin memperlihatkan kepada gurunya, apa yang dapat dilakukannya di kampung halamannya. Karena itu, maka apa yang dilakukannya kali ini benar-benar mengejutkan dan sangat menakutkan bagi penduduk Kajar.
Pasik itu pernah datang bersama-sama beberapa orang saudara seperguruan. Pernah diambilnya seorang gadis untuk saudara seperguruan itu. Pernah dibunuhnya seorang anak muda kawannya bermain semasa kanak-kanak. Pernah juga dilakukan hal-hal yang mengerikan. Namun belum pernah Pasik mengundang orang sebanyak ini untuk datang di halaman rumahnya. Apabila termasuk tetua padukuhan mereka. Bahkan anak perempuannya pula dikehendakinya. Kali ini Pasik benar-benar ingin memperlihatkan kekuasaannya di antara penduduk tempat ia dilahirkan.
Ketika Pasik itu masih melihat menantu tetua padukuhan itu masih belum beranjak dari tempatnya, maka ia pun menjadi semakin marah. Dengan nada yang tinggi ia berteriak, "He, apakah yang kau tunggu" Apakah kau ingin kepalamu bengkak dahulu?"
Laki-laki itu benar-benar menjadi ketakutan. Karena itu dengan gemetar ia berdiri untuk pergi memanggil istrinya.
Tetapi laki-laki itu terkejut, ketika Mahisa Agni menggamitnya. Dengan isyarat ia mencegah laki-laki itu. Namun laki-laki itu tidak segera dapat menangkap isyaratnya, sehingga perlahan-lahan Mahisa Agni berbisik, "Jangan pergi! Lindungilah istrimu itu."
Laki-laki itu menjadi bertambah bingung. Ia sependapat dengan Mahisa Agni. Namun ia tidak berani menentang kehendak Waraha.
Ketika Waraha melihat orang itu berhenti, maka sekali lagi ia berteriak, "Apakah kau benar-benar bosan hidup?"
Dengan gemetar orang itu melangkah kembali. Namun sekali lagi Mahisa Agni mencegahnya. Bahkan kali ini ia menahan tangannya.
"Jangan!" katanya.
Kali ini Pasik melihat tangan Mahisa Agni menarik tangan laki-laki itu. Karena itu betapa ia menjadi sangat marah. Dengan serta-merta ia mengumpat sambil berkata, "Setan!Apakah yang kau lakukan itu?"
"Tidak apa-apa," jawab Mahisa Agni, "aku hanya ingin memperingatkannya, biarlah istrinya berada di rumah."
Wajah Pasik itu seakan-akan menjadi menyala mendengar jawaban Mahisa Agni, sehingga agaknya ia perlu meyakinkan pendengarannya.
"He, apa katamu?" Ia bertanya.
Sekali lagi Mahisa Agni menjawab, "Aku hanya ingin memperingatkannya, sebaiknya istrinya tetap berada di rumah."
Tubuh Pasik itu kemudian menjadi gemetar. Kini ia mendengar dengan jelas, apa yang dikatakan oleh orang yang baru saja dikenalnya itu. Katanya, "Ki Sanak, jangan membuat keributan di sini. Apakah kau belum pernah mendengar nama Waraha, setidak-tidaknya dari orang tua tempat kau menginap itu?"
"Sudah," jawab Mahisa Agni singkat.
"Setan!" Waraha itu mengumpat, "sekarang berikan kerismu itu."
Mahisa Agni masih tetap berada di tempatnya. Ia sama sekali tidak bergerak, apalagi memberikan kerisnya, sehingga sekali lagi Pasik berteriak, "Berikan kerismu perantau, atau kau akan berkubur di padukuhan yang asing bagimu ini?"
"Kedua-duanya tidak menyenangkan Pasik," jawab Mahisa Agni.
"He?" teriak Pasik, "Sebut namaku!"
"Ya. Bukankah namamu Pasik?"
"Diam! Sebut namaku sepuluh kali!"
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Pasik itu benar-benar telah memuakkan. Karena itu ia justru berdiam diri. Bahkan dengan acuh tak acuh ia menarik tangan menantu tetua Padukuhan Kajar sambil berkata, "Marilah! Duduklah di sini."
Semua yang melihat, apa yang telah dilakukan Mahisa Agni itu pun menjadi semakin tegang. Kini mereka melihat Waraha menggertakkan giginya. Seseorang yang duduk di samping Mahisa Agni itu menggamitnya sambil berbisik, "Angger. Jangan membuat Angger Waraha itu marah."
Tetapi sebelum Mahisa Agni sempat menjawab, terdengar kata-kata Pasik, "He, perantau yang malang. Sebentar lagi guruku pasti datang. Karena itu cepat berikan keris itu, lalu kau boleh meninggalkan tempat ini. Tetapi kalau kau mengganggu pertemuan ini, maka terpaksa aku membunuhmu, meskipun Guru ada di sini. Sebenarnya bukanlah suatu suguhan yang baik. Mayat seorang perantau. Tetapi apa boleh buat."
Mahisa Agni mengambil kerisnya yang terselip diikat pinggangnya. Kemudian dengan tenangnya keris itu diamat-amatinya. Dan dengan tenang pula ia berkata, "Ki Sanak. Kerisku adalah keris peninggalan ayahku. Karena itu, alangkah sayangnya kalau keris ini aku berikan kepada seseorang. Apalagi seseorang yang tak memerlukannya lagi seperti Ki Sanak. Tanpa senjata pun Ki Sanak adalah seorang yang sakti. Tetapi bagiku, keris ini akan sangat berguna. Sebab?"
"Cukup!" bentak Pasik, "Berikan sekarang. Dan biarlah laki-laki cengeng itu menjemput istrinya."
"Jangan!" sahut Agni, "keris ini tak akan aku berikan kepada siapa pun, dan laki-laki ini tak akan menjemput istrinya."
"Angger," desis laki-laki tetua padukuhan itu. Tubuhnya yang kurus itu semakin berkerut, "jangan membuat Angger Waraha menjadi semakin marah. Maka akibatnya, seluruh penduduk Kajar akan mengalami bencana."
Kini Mahisa Agni sudah tidak melihat kesempatan lain. Ia tidak dapat membiarkan kelaliman itu berjalan terus. Ia sudah cukup melihat kenyataan yang berlaku di hadapan hidungnya. Dan ini harus dihentikan. Apakah ia akan berhasil atau tidak, bukanlah menjadi soal. Tetapi ia mengharap,bahwa usahanya akan berhasil. Karena itu, maka Mahisa Agni itu pun kemudian berdiri. Ditariknya kerisnya dari wrangkanja. Kemudian diangkatnya di atas kepalanya. Katanya "Pasik. Bagi seorang laki-laki, keris atau curiga adalah lambang dari kelaki-lakiannya. Karena itu, betapa aku menilai kerisku ini seperti aku sendiri."
Semua hati yang tersimpan di dalam dada setiap orang di halaman itu tergetar karenanya. Orang yang masih asing bagi mereka itu, agaknya benar-benar belum mengenal Waraha. Karena itu, mereka pun menjadi berdebar-debar. Apabila ada kesempatan bagi mereka, mereka pasti akan memperingatkannya. Tetapi kini hal itu telah terjadi. Dan wajah Waraha itu telah menjadi semerah darah.
"Hem," Waraha menggeram. Tetapi tiba-tiba ia tertawa. Di antara suara tertawanya itu ia berkata "He, para tetangga yang baik. Sediakanlah sebuah lubang untuk mengubur orang gila ini. Aku ingin mematahkan tulang belakangnya. Kemudian sebelum ia mati, biarlah ia menikmati sejuknya tanah perkuburan."
Mahisa Agni mendengar kata-kata itu dengan kerut-kerut di keningnya. Agaknya Pasik itu benar-benar dapat berbuat sebuas itu. Karena itu maka kemudian jawabnya "Jangan marah Pasik."
Suara Mahisa Agni itu terputus karena Pasik berteriak, "Sebut namaku, orang gila!"
"Ya. Pasik. Pasik. Sebenarnyalah nama itu baik sekali. Tidak sebuas nama Waraha."
Pasik itu kini benar-benar telah menjadi gemetar menahan kemarahannya. Matanya yang liar menjadi semakin liar. Dan tiba-tiba ia meloncat, melanggar satu dua orang sehingga jatuh berguling-guling, mendekati Mahisa Agni. Dengan gemetar pula ia menggeram, "Setan! Bersiaplah untuk mati!"
Mahisa Agni itu pun kemudian bergeser selangkah surut. Kerisnya itu pun kemudian disarungkannya. Dan dengan tenang ia berkata "Pasik. Aku tidak akan memberikan kerisku ini. Apakah kau akan memaksa?"
Pasik itu menggeram seperti seekor harimau. Orang-orang yang berada di halaman itu pun kemudian berloncatan menepi. Mereka kini melihat Pasik dan Mahisa Agni telah berdiri berhadap-hadapan.
Pasik memandang mata Mahisa Agni dengan buasnya. Kini Pasik itu dapat melihat, bahwa sikap Mahisa Agni bukanlah sikap dari seorang yang ingin membunuh diri. Namun sikap Mahisa Agni adalah sikap seekor banteng yang siap melawan seekor harimau yang betapa pun garangnya dengan tanduk-tanduknya yang runcing tajam.
Kini Pasik tidak mau berbicara lagi. Dengan garangnya ia meloncat maju menerkam wajah Mahisa Agni yang masih saja tetap tenang dan teguh.
Orang tua, tetua Padukuhan Kajar, ketika ia melihat Pasik meloncat menyerang Mahisa Agni, terdengar mengeluh pendek, sedang menantunya benar-benar telah menjadi seakan-akan membeku. Bukan saja mereka berdua, tetapi seluruh penduduk Kajar yang menyaksikan peristiwa itu menahan nafasnya.
Tetapi Mahisa Agni tidak membiarkan wajahnya disobek oleh Pasik. Selangkah ia mundur sambil berkata, "Pasik. Apakah kau benar-benar ingin memaksa aku untuk berkelahi?"
Gerak Pasik itu terhenti juga oleh kata-kata Mahisa Agni. Sekali lagi ia memandang wajah Mahisa Agni yang masih tetap tenang. Sehingga karena itu maka Pasik mulai menyadari, dengan siapa ia berhadapan. Maka katanya kemudian,"Sejak semula aku sudah menyangka, bahwa kau bukan sekedar seorang perantau dungu. Kerismu telah mengatakan kepadaku, bahwa kau sebenarnya seorang yang menyimpan ilmu di dalam dirimu. Tetapi meskipun demikian, kau sekarang berhadapan dengan Waraha, andel-andel Padukuhan Kajar. Karena itu jangan menyangka bahwa kau akan dapat meninggalkan padukuhan ini dengan selamat."
Mahisa Agni seakan-akan tidak mendengar kata-kata Pasik itu. Bahkan ia berkata, "Pasik. Apakah kau tidak menyadari,bahwa perbuatanmu itu telah menimbulkan bencana, justru di tanah kelahiranmu sendiri?"
Pasik mengerutkan keningnya. Jawabnya, "Apa pedulimu?"
"Kalau kau seorang yang sakti, Pasik, maka sudah wajar bahwa kau akan menjadi andel-andel padukuhan tempat kelahiranmu. Tetapi apakah benar kau andel-andel Padukuhan Kajar?"
Tampak Pasik itu mengerutkan keningnya. Dan pertanyaan Agni itu sekali lagi terngiang di telinganya, "Apakah benar kau andel-andel Padukuhan Kajar?"
Pertanyaan itu benar-benar mengetuk hati Pasik. Namun tiba-tiba kembali nafsunya melonjak sampai ke ubun-ubunnya. Karena itu ia berteriak, "Tutup mulutmu perantau yang malang. Ternyata umurmu akan segera berakhir di padukuhan ini."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Desisnya, "Pasik, aku bukan seorang yang biasa mencari pertentangan. Tetapi kalau kau hendak memaksakan kehendakmu, maka aku terpaksa akan menghadapimu dengan berperisai dada."
"Tataplah langit dan ciumlah bumi untuk kesempatan yang terakhir sebelum kau kehilangan setiap kesempatan untuk melakukannya."
Mahisa Agni tidak mendapat kesempatan untuk menjawabnya. Sekali lagi Pasik meloncat dan menyerang segarang harimau lapar. Namun sekali lagi Mahisa Agni mundur selangkah untuk menghindarinya. Tetapi Pasik itu kini tidak membiarkan lawannya mempunyai kesempatan lebih banyak lagi. Dengan cepatnya ia meloncat maju untuk dengan berturut-turut melontarkan serangan berganda dengan kedua kakinya berganti-ganti. Tetapi Mahisa Agni pun telah bersiap sepenuhnya. Karena itu, serangan yang datang bertubi-tubi itu sama sekali tidak mengejutkan Mahisa Agni. Dengan tangkasnya pula ia menghindari setiap bahaya yang akan menyentuhnya.
Untuk beberapa saat sengaja Mahisa Agni tidak segera membalas setiap serangan dengan setangan. Ia ingin meyakinkan dirinya dalam penilaiannya terhadap lawannya itu.
Orang-orang Kajar menyaksikan perkelahian itu dengan tubuh gemetar. Mereka belum pernah melihat seseorang berani melawan kehendak Pasik, sejak Caruk terbunuh. Kini datang orang yang belum mereka kenal dan melakukan perlawanan terhadap Pasik. Dahulu Pasik berhasil dengan sekali pukul melumpuhkan anak muda yang bernama Caruk, yang mencoba melawan kehendaknya. Apalagi pada waktu itu dua saudara seperguruan Pasik ikut campur, sehingga Caruk itu terbunuh. Kini Pasik itu tidak datang bersama saudara-saudara seperguruannya. Tetapi ia dalang tersama gurunya. Karena itu, maka setiap dada orang-orang Kajar itu diliputi oleh kecemasan dan ketegangan. Mereka cemas akan nasib orang yang belum mereka kenal itu, dan mereka cemas juga akan nasib mereka sendiri. Kemarahan Pasik pasti akan menimpa mereka pula. Apalagi kemarahan gurunya.
Tetapi mereka tidak dapat terbuat apa pun juga. Perkelahian itu telah berlangsung. Kini mereka melihat Mahisa Agni itu beberapa kali melangkah mundur. Meskipun demikian, di sudut hati mereka sebenarnya tersiratlah keinginan mereka, bahwa sekali-sekali biarlah Pasik itu mendapat pelajaran tentang cara-cara yang baik bagi hidup berkeluarga dalam lingkungan yang kecil itu. Karena itu sebenarnya mereka pun berdoa, semoga orang yang belum mereka kenal itu dapat menolong mereka, membebaskan dari ketamakan Pasik. Tetapi yang mereka lihat sekarang, orang itu selalu terdesak surut.
Dalam pada itu, Mahisa Agni semakin lama semakin melihat nilai dari lawannya. Sebenarnya Pasik bukanlah seorang sakti yang perlu dicemaskan. Mahisa Agni meyakini dirinya, bahwa ia akan dapat melakukan pekerjaannya dengan baik. Namun, kalau Pasik telah mampu berbuat demikian,maka gurunyalah yang perlu mendapat perhatiannya. Tetapi sampai saat itu, ia belum melihat kehadiran guru Pasik. Karena itu, ia harus berhati-hati. Setiap tindakan perlu diperhatikannya dengan seksama.
Pasik itu masih menyerang terus-menerus dengan buasnya. Tangannya, kakinya dan bahkan seluruh tubuhnya bergerak-gerak dengan kasarnya, sehingga tampaklah betapa garangnya. Namun gerakan-gerakan itu adalah gerakan-gerakan yang masih mentah. gerakan-gerakan yang sebenarnya sangat sederhana.
Meskipun demikian, Mahisa Agni melihat, bahwa nilai-nilai dari inti gerak itu adalah sangat berbahaya. Apabila guru Pasik yang melakukannya dengan unsur-unsur yang sama, maka akibatnya pasti akan sangat berlainan. Dan sebenarnyalah dalam penilaian Mahisa Agni, bukanlah Pasik itu yang perlu diperhitungkan, tetapi gurunya.
Karena itu, setelah Mahisa Agni menemukan nilai-nilai yang diperlukan, serta kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapi atas guru Pasik itu, maka sampailah ia pada kesimpulan, bahwa ia harus menyelesaikan perkelahian yang pertama ini secepat-cepatnya. Apabila guru Pasik benar-benar belum ada di sekitar tempat itu, maka ia akan mempunyai waktu untuk mempersiapkan dirinya lebih dahulu.
Demikianlah maka Mahisa Agni kemudian tidak membiarkan Pasik itu menyerangnya terus menerus. Kini Mahisa Agni telah siap untuk segera menyelesaikan permainan Pasik yang kasar itu.
Namun Pasik yang kurang menyadari keadaan lawannya itu, menyerangnya dengan garangnya. Bertubi," tubi, karena ia pun segera ingin menyelesaikan perkelahian itu secepatnya. Ia ingin segera mengambil barang-barang berharga dari orang-orang yang sudah berkumpul di halaman itu. Perlawanan seorang tolol ini akan dijadikannya contoh, bahwa tak seorang pun boleh melawan kehendaknya.
Tetapi Pasik itu menjadi semakin marah, ketika serangan-serangannya seolah-olah tak pernah menyentuh sasarannya. Meskipun lawannya itu selalu terdesak surut.
Namun tiba-tiba pertempuran itu pun segera berubah. Mahisa Agni tiba-tiba tidak menghindari lagi serangan Pasik. Dengan hati-hati Mahisa Agni mencoba untuk menangkis serangan lawannya, sehingga terjadilah suatu benturan di antara mereka. Namun, alangkah terkejutnya Pasik itu. Serangannya kali ini serasa menghantam batu karang. Dan bahkan batu karang itu telah mendorongnya dengan satu kekuatan raksasa .Pasik yang kurang dapat menilai diri dan lawannya itu terlempar beberapa langkah surut, kemudian jatuh terbanting di tanah.
Bukan saja Pasik, tetapi semua yang melihat peristiwa itu terkejut bukan buatan. Dan bahkan bukan saja mereka, tetapi Mahisa Agni itu pun terkejut sekali melihat akibat dari dorongan tenaganya. Sejak ia menekuni ilmunya di kaki Gunung Semeru, agaknya ia telah terlepas dari setiap kemungkinan yang tersimpan di dalam dirinya sendiri, sehingga karena itu,Mahisa Agni belum dapat mengukur kekuatan-kekuatan yang dilontarkannya dengan baik. Kali ini Mahisa Agni hanya ingin sekedar memunahkan serangan Pasik yang melanda dirinya, namun akibatnya betapa dahsyatnya. Pasik itu terlempar surut dan terguling di tanah. Apalagi ketika Mahisa Agni itu melihat akibatnya kemudian. Dengan tertatih-tatih Pasik itu mencoba berdiri, namun sekali lagi ia terjerembab jatuh dan sesaat kemudian ia tidak sadarkan dirinya.
Halaman rumah Pasik itu kemudian seakan-akan diterkam oleh kesenyapan yang tegang. Mahisa Agni masih berdiri tegak di tempatnya. Sedang orang-orang Kajar melihat peristiwa itu seperti melihat kisaran kejadian di dalam mimpi. Mereka tidak akan menyangka bahwa Waraha yang ganas itu dapat dengan mudahnya dilumpuhkan oleh seorang yang sama sekali belum mereka kenal.
Tetapi sesaat kemudian kesepian itu dipecahkan oleh jerit seorang perempuan. Dengan berlari-lari ia melintasi halaman untuk kemudian menjatuhkan dirinya memeluk tubuh Pasik yang masih terbaring diam di halaman itu.
"Pasik. Pasik," panggil perempuan itu.
Sekali lagi semua orang di halaman itu terkejut. Juga Mahisa Agni terkejut. Perempuan itu adalah ibu Pasik. Seorang ibu yang menangis karena melihat anaknya cedera.
"Pasik. Pasik," perempuan ini masih memanggil-manggil. Diguncang guncangnya tubuh anaknya yang masih pingsan itu dan disiram wajahnya dengan air mata. Namun Pasik itu masih berdiam diri. Seorang laki-laki, ayah Pasik itu pun kemudian berjalan mendekati istrinya dan berjongkok di sampingnya. Dengan wajah sedih ia memandangi wajah anaknya. Kemudian diangkatnya kepala anaknya itu sambil bergumam, "Pasik. Sadarlah Anakku."
Orang-orang yang berada di halaman itu masih tetap tak beranjak dari tempat mereka. Hanya Mahisa Agnilah kemudian yang melangkah setapak maju. Betapa pun juga, ia terharu melihat seorang ibu yang sedang menangisi anaknya. Satu-satunya anaknya.
Sesaat kemudian, Pasik itu pun membuka matanya. Perlahan-lahan ia mulai bergerak-gerak dan mencoba menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia membuka matanya, yang pertama-tama dilihatnya adalah wajah ayah dan ibunya.
Pasik itu mengerutkan keningnya. Ia ingin melepaskan diri dari tangan ayahnya. Namun ketika ia mencoba bergerak,terdengar ia mengaduh perlahan.
"Jangan bergerak anakku," desis ibunya.
Pasik mencoba mengangguk. Punggungnya, tangannya dan hampir segenap sendi-sendi tulangnya terasa sakit bukan buatan. Sehingga nafas Pasik itu pun menjadi terengah-engah.
"Sakit," desisnya.
"Jangan bergerak dahulu Pasik," gumam ayahnya.
Terdengar Pasik itu mengerang. Dan kemudian dengan susah payah Pasik itu berkata, "Air, Air, aku haus sekali."
"Air," ayahnya mengulangi sambil memandang ke sekeliling, seakan-akan ia minta kepada seseorang untuk mengambil air. Tetapi orang-orang yang sedang terpukau oleh peristiwa yang tak mereka duga-duga sebelumnya itu sama sekali tak ada yang beranjak dari tempatnya, sehingga ayah Patik itu terpaksa mengulangi, "Air."
Pasik yang kurang dapat menilai diri dan lawannya, Mahisa Agni. itu, terlempar beberapa langkah surut, kemudian jatuh terbanting di tanah.
Sementara belum seorang pun yang menyadari keadaannya, maka yang mula-mula bergerak adalah Mahisa Agni. Dengan tergesa-gesa ia pergi ke belakang rumah Pasik, dan setelah ia berputar-putar beberapa saat, ditemukannya sebuah kendi di atas grobogan. Ketika ia menyerahkan kendi itu kepada ibu Pasik,dilihatnya setetes darah mengalir dari mulut Pasik.
Sekali lagi ibu Pasik itu menjerit. "Darah!" katanya.
Tetapi ayah Pasik ternyata lebih tenang dari istrinya. Diilingnya air dari dalam kendi itu setetes demi setetes. Dan karena itulah maka nampaknya nafas Pasik menjadi lebih teratur.
"Sakit," terdengar sekali lagi Pasik itu mengeluh.
"Jangan bergerak-gerak dahulu, Pasik," minta ayahnya.
Perlahan-lahan Pasik mengangguk. Namun darah dari mulutnya masih mengalir terus. Betapa ibunya menjadi bertambah cemas melibat keadaan anaknya. Dan bahkan kemudian dengan nanar ditatapnya wajah Mahisa Agni. tiba-tiba dengan serta-merta, tanpa diduga-duga ibu Pasik itu berdiri sambil menunjuk wajah Mahisa Agni dengan jarinya. Katanya dengan suara gemetar, "Kau, Kau yang telah membunuh Anakku. Lihat, betapa aku melahirkan dan memeliharanya sejak kecil. Melahirkan dengan menahan sakit dan menantang maut. Membesarkannya. Kini kau datang membunuhnya."
Mahisa Agni berdiri tegak seperti patung. Ditatapnya wajah perempuan itu dan wajah Pasik berganti-ganti. Dalam pada itu tampaklah Pasik bergerak-gerak. Tetapi ia masih sedemikian lemahnya.
"Kalau kau mau membunuh," berkata ibu Pasik itu, "bunuhlah aku!"
"Aku sama sekali tidak ingin membunuhnya, Bibi," jawab Mahisa Agni.
"Bohong!" teriak perempuan itu, "Kau lihat, akibat dari kejahatanmu itu?"
"Aku tidak sengaja," sahut Agni, "bukankah Bibi melihat apa yang telah terjadi?"
"Ya. Aku lihat. Kau mencoba menghinanya. Dan karena itu aku pun merasa terhina pula."
Mahisa Agni kini tidak menjawab lagi. Seharusnya ia berdiam diri menghadapi perempuan yang sedang marah. Dalam keadaan demikian maka perempuan itu tidak akan dapat mempergunakan pikirannya, namun perasaannya sajalah yang berbicara.
Tetapi perempuan itu berhenti berbicara ketika ia mendengar Pasik bergumam. cepat-cepat ia berjongkok dan bertanya "Apa Pasik" Apakah yang kau minta?"
Pasik itu memandang wajah ayah dan ibunya dengan pandangan mata yang aneh. Tiba-tiba ia berdesah "Bukankah ayah akan menyembelih tiga ekor kambing kalau aku mati?"
"Tidak. Tidak Pasik," sahut ayahnya cepat-cepat, "aku akan menyembelih tiga ekor kambing kalau kau sembuh."
Pasik itu menarik nafas. Baru saja ia mendorong ibunya sampai terbanting di tanah. Beberapa saat yang lampau ayahnya itu hampir dibunuhnya dan ibunya itu telah dicekiknya pula. Tetapi kini, ketika seseorang melukainya, maka ia mendengar ibunya itu berkata, Betapa aku melahirkan dan memeliharanya sejak kecil. Melahirkan dengan menahan sakit menentang maut. Memeliharanya dan membesarkannya. Kini kau datang membunuhnya. Kemudian ibunya itu berkata pula, "Kalau kau mau membunuh, bunuhlah aku".
Dalam penderitaan karena luka-luka di dalam dadanya, karena pantulan tenaganya sendiri serta dorongan tenaga Agni itu, Pasik sempat memperbandingkan kasih ibu serta ayahnya kepadanya dengan apa yang pernah dilakukannya. Alangkah jauh perbedaannya. Seandainya, ya seandainya ayah atau ibunya yang mengalami bencana itu, maka Pasik itu tak akan bersedih. Tetapi kini ayah serta ibunya itu meratap untuknya.
Tiba-tiba terasa sesuatu bergetar di dalam dadanya. Sesuatu yang tumbuh karena keadaan yang sedang dialaminya. Dan tiba-tiba terasa bahwa kasih sayang ibu serta ayahnya telah memberinya ketenteraman. Ketika Pasik itu menggeser kepalanya, dilihatnya Mahisa Agni tegak seperti batu karang. Tetapi orang itu tidak menyerangnya terus, dan benar-benar tidak berusaha membunuhnya. Dengan demikian, maka berbagai perasaan bergolak di dalam dadanya. Beberapa keanehan kini sedang bergolak di dalam dirinya. Ibunya, ayahnya yang telah pernah hampir dibunuhnya dan orang yang belum dikenalnya itu.
Beberapa orang yang menyaksikan peristiwa itu pun menjadi berdiam diri seperti patung. Mereka kini melihat orang yang mereka takuti terbaring dalam pelukan ayahnya. Betapa pun mereka membenci Pasik, namun Pasik adalah anak yang dilahirkan di padukuhan mereka, yang sejak kecilnya mereka lihat bermain-main di sepanjang jalan padukuhan, di sawah bersama anak-anak mereka.
"Mudah-mudahan anak itu menyadari keadaannya," gumam tetua Padukuhan Kajar.
Namun tiba-tiba halaman itu dikejutkan oleh kehadiran seorang yang bertubuh pendek kekar dan hampir di seluruh kulit wajahnya dijalari oleh otot-ototnya yang kukuh kuat.
Orang itu terkejut ketika ia melihat Pasik terbaring diam di tangan ayahnya. Cepat-cepat ia meloncat seperti seekor kijang, dan dengan tangkasnya ia segera berjongkok di samping Pasik.
"Apa yang terjadi Waraha?" suaranya kecil melengking-lengking.
Halaman itu menjadi tegang. Tiba-tiba pula seluruhnya yang berada di halaman itu menjadi cemas. Orang ini adalah guru Pasik. Apakah ia akan berdiam diri melihat muridnya terlukai"
Mahisa Agni pun melihat orang itu pula. Segera ia mengetahuinya bahwa pasti orang ini guru Pasik. Namun ia pun menjadi heran, guru Pasik itu masih sangat muda. Kalau demikian, pasti orang ini bukan yang dikatakan oleh gurunya. Menurut gurunya orang itu sudah agak lanjut umurnya,meskipun lebih tua dari Agni, namun tidak terpaut banyak.
Ketika Pasik melihat gurunya datang, sesaat wajahnya menjadi cerah, namun sesaat kemudian wajah itu menjadi suram kembali. Yang terdengar kemudian adalah suara guru Pasik, "Waraha, apakah yang terjadi atas dirimu?"
Kembali halaman itu menjadi sunyi. Orang-orang yang ada di halaman itu seakan-akan tinggal menunggu nasib mereka. Kalau Pasik itu mengatakan sebab-sebabnya, maka gurunya itu pasti akan marah. Dan kemarahannya pasti akan menimpa mereka.
Pasik menarik nafas dalam-dalam. Dan tiba-tiba terdengarlah jawabnya yang sama sekali tak disangka-sangka, "Aku tidak apa-apa, Guru."
Guru Pasik itu menjadi heran. Wajahnya yang keras itu terangkat. Kemudian diedarkannya pandangan matanya berkeliling. Ketika ia memandang Mahisa Agni yang masih berdiri tegak, maka tampaklah keningnya berkerut.
"Waraha," katanya kemudian "katakan apa sebabnya kau terluka?"
Sekali lagi Waraha menggeleng. Kemudian katanya "Seseorang menyerangku guru. Tetapi itu bukan salahnya."
"He?" guru Pasik itu terkejut, "kenapa bukan salahnya?"
"Aku menyerangnya lebih dahulu," jawab Pasik.
Sekali lagi guru Pasik itu mengerutkan keningnya. Betapa anehnya kelakuan muridnya ini. Selama ini belum pernah terjadi, salah seorang muridnya merasa bersalah dalam suatu perkelahian. Di samping itu, timbul juga herannya, bahwa di padukuhan kecil itu ada juga orang yang dapat mengalahkan muridnya. Karena itu tiba-tiba sekali lagi ia memandang Mahisa Agni. Dan dengan serta-merta ia berkata, "Kau, kaukah itu?"
Mahisa Agni tidak menjawab pertanyaan Bahu Reksa Kali Elo itu. Ia sudah bersedia untuk menerima tuduhan itu. Sebab di antara sekian banyak orang-orang yang berada di halaman itu, maka sikap Mahisa Agni tampaknya agak berbeda dengan orang-orang yang lain.
Guru Pasik itu pun kemudian berdiri. Dengan wajah yang merah membara ia bertanya pula, " He, anak muda. Apakah kau yang telah berani melukai muridku?"
Mahisa Agni masih belum menjawab. Namun terdengar Pasik itu berkata perlahan-lahan, "Biarkan anak itu, Guru."
Tetapi guru Pasik itu sudah tidak mau mendengar kata-kata muridnya. Karena itu, tiba-tiba ia menyambar lengan salah seorang yang berjongkok paling dekat. Dengan satu tangannya orang itu ditariknya, sehingga kedua kakinya terangkat.
"Ampun," teriak orang itu.
Guru Pasik itu memandangnya dengan bengis. Namun kemudian ia tertawa terbahak-bahak. Katanya, "Jangan takut tikus kecil. Aku hanya ingin bertanya kepadamu. Siapakah yang telah melukai Waraha?"
Orang itu menjadi ragu-ragu, sesaat ia memandang wajah Mahisa Agni, dan sesaat pula ia memandang wajah guru Pasik.
Tiba-tiba orang itu terkejut ketika guru Pasik itu membentak," jawab!"
"Bukan aku. Bukan aku," jawabnya tergagap,
Mata guru Pasik itu menjadi semakin menyala. Bentaknya, "Aku sudah tahu, pasti bukan kau tikus yang malang. Tetapi siapa" Kalau kau yang melakukan itu, maka aku akan menyembahmu sepuluh kali."
Kembali orang itu terdiam. Tetapi kembali guru Pasik itu membentak-bentaknya. Bahkan kemudian dipegangnya leher orang itu sambil menggeram, "Katakan! Siapa yang melukai Waraha?"
Mahisa Agni akhirnya tidak sampai hati melihat orang itu hampir mati ketakutan. Karena itu, maka segera ia melangkah maju sambil berkata, "Lepaskan orang itu. Ia sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan luka Pasik."
"Apa?" teriak guru Pasik, "Kau memerintah aku" Dan coba sekali lagi, sebutlah nama muridku itu!"
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Agaknya ia benar-benar berhadapan dengan seorang yang keras kepala. Meskipun demikian Mahisa Agni menjawab, "Aku sama sekali tidak ingin memerintah seseorang. Tetapi aku ingin kau berlaku bijaksana. Orang itu sama sekali tidak tahu menahu tentang luka muridmu yang bernama Pasik itu."
"Diam!" bentak Bahu Reksa Kali Elo.
"Kau bertanya, dan aku menjawab," sahut Mahisa Agni.
Guru Pasik itu pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Terdengar ia tertawa parau. Katanya, "Hem, ternyata kau benar-benar menyadari apa yang kau lakukan. Agaknya kau menepuk dada setelah kau berhasil melukai muridku. Lihat, aku adalah gurunya. Aku tidak akan dapat membiarkan kau melukai muridku."
Sebelum Mahisa Agni menjawab, terdengarlah lamat-lamat suara Pasik, "Guru, biarkan anak itu."
"Hem," guru Pasik itu menarik nafas, tetapi seakan-akan kata-kata itu tak didengarnya. Bahkan kini ia melangkah mendekati Mahisa Agni sambil menarik orang yang masih digenggam lengannya itu. Katanya, "He, anak muda. Siapa namamu?"
"Mahisa Agni," jawab Mahisa Agni pendek.
Guru Pasik itu mengerutkan keningnya. Gumamnya, "Nama yang bagus. Tetapi kenapa kau berlaku kasar?"
"Bertanyalah kepada muridmu," sahut Mahisa Agni.
Guru Pasik itu menggeram. Ditariknya orang yang masih dipegangnya itu dekat-dekat ke dadanya, "Ayo bilang. Siapa yang bersalah di antara mereka?"
Orang itu menjadi gemetar. Dengan tergagap ia menjawab, "Pasik. Pasik yang bersalah."
"Apa" Apa?" guru Pasik itu membentak-bentak sambil mengguncang-guncang tubuh orang yang sama sekali tidak berdaya itu. Bahkan demikian takutnya, sehingga semua tulang-tulangnya seakan-akan telah terlepas dari segenap persendiannya. Apalagi ketika ia mendengar guru Pasik membentaknya kembali, "Ayo jawab, siapakah yang bersalah di antara mereka?"
Kembali orang itu tergagap. Dan seperti orang kehilangan akal ia menjawab, "Oh, anak itu. Anak itulah yang bersalah. Mahisa Agni."
"Ha," guru Pasik itu tiba-tiba tertawa. "Dengar," katanya, "dengar. Kau dengar kesaksian orang ini. Orang-orang Kajar adalah orang yang jujur. Mereka tak pernah berbohong seperti kau. Bukankah kau bukan orang Kajar" Nah, apa katamu sekarang?"
Mahisa Agni menggeretakkan giginya. Ia melihat suatu permainan yang benar-benar memuakkan. Apalagi ketika guru Pasik itu berkata, "He, Mahisa Agni, Apakah kau perlu saksi yang lain?"
"Tidak!" jawab Mahisa Agni, "Apapun yang dikatakan tentang diriku, aku tidak peduli. Tetapi apakah maksudmu sebenarnya?"
Mata guru Pasik itu pun menjadi redup. Katanya, "Aku tidak biasa menghukum orang yang tak bersalah. Kini bukti-bukti akan mengatakan bahwa kau bersalah. Karena itu jangan menyangkal dan jangan mencoba membela diri. Setiap kesalahan harus mendapat hukuman tanpa kecuali. Meskipun kau tamu di padukuhan ini, namun kau telah melakukan kesalahan."
"Cukup!" potong Mahisa Agni. Ia telah benar-benar menjadi muak mendengar kata orang yang menamakan dirinya Bahu Reksa Kali Elo itu.
Guru Pasik itu terkejut sehingga dengan demikian kata-katanya pun terhenti. Ditatapnya wajah Mahisa Agni dengan tajamnya, kemudian katanya, "Kau berani membentak aku, he?"
Mahisa Agni tidak menjawab pertanyaan itu, tetapi ia berkata, "He, Ki Sanak. Jangan berbuat aneh-aneh di padukuhan ini. Pergilah dan biarlah Pasik menerima ketenteraman hidup di antara keluarga dan sanak kadangnya. Jangan meracuni hidupnya dengan perbuatan-perbuatan aneh seperti perbuatan-perbuatan orang-orang yang kehilangan akal budi."
Guru Pasik itu terkejut mendengar kata-kata Mahisa Agni sehingga matanya terbelalak karenanya. Kemudian dengan geramnya ia berkata, "Sekarang aku yakin bahwa ternyata kau benar-benar anak yang sombong anak yang tak tahu diri. Maka bagiku tak ada pilihan lain daripada mengajarimu sedikit sopan santun supaya kau dapat sedikit menghargai orang lain."
"Aku pun sedang berpikir demikian juga atasmu," sahut Mahisa Agni.
Guru Pasik itu menjadi semakin marah. Ia terasa terhina karenanya. Karena itu beberapa langkah ia maju. Diamatinya seluruh tubuh Mahisa Agni. Kemudian katanya
"Hem, muridku telah berkata kepadaku semalam, bahwa seorang perantau telah membawa sebilah keris yang sangat bagus."
Mahisa Agni tidak menjawab. Ia melihat guru Pasik itu berkisar pada jari-jari kakinya. Karena itu cepat Mahisa Agni bersiaga.
"He, Agni," berkata orang itu pula, "Kini kakinya yang sebelah telah beringsut ke belakang, manakah kerismu itu?"
Mahisa Agni masih tetap berdiam diri, tetapi ia melihat kaki itu bergerak Dan apa yang disangkanya benar-benar terjadi. Guru Pasik itu tiba-tiba saja meloncat dengan garangnya menyerang Mahisa Agni. Tetapi Mahisa Agni telah bersiaga sepenuhnya, sehingga dengan tangkasnya ia meloncat menghindari.
"Setan!" guru Pasik itu mengumpat ketika ia melihat bahwa korbannya berhasil menghindar diri. Dan wajahnya pun menjadi seakan-akan menyala ketika Mahisa Agni berkata, "Apakah kau ingin aku menjawab pertanyaanmu yang kauajukan tetap pada saat kau bersiap untuk menyerang."
Orang yang menamakan diri Bahu Reksa Kali Elo itu menggeram. Cepat ia memutar tubuhnya. Ia ingin menebus kegagalannya. Karena itu sekali lagi ia menyerangnya dengan kecepatan yang luar biasa.
Orang-orang yang berada di halaman itu pun menjadi cemas hati. Mereka menyadari bahwa perkelahian itu tak akan dapat dihindarkan. Namun, apakah yang dapat dilakukan oleh perantau itu melawan guru Waraha" Mungkin ia masih dapat mengalahkan Pasik. Tetapi melawan gurunya?"
Dan ternyata serangan guru Pasik itu pun datang seperti badai. Dengan penuh kemarahan yang meluap-luap ia ingin segera membinasakan perantau yang bodoh dan sombong itu. Ia ingin menebus kekalahan muridnya dengan satu pertunjukkan yang pasti akan menyenangkan dirinya. Ia ingin berkata kepada muridnya, bahwa ia harus tetap di tempatnya, dalam barisan yang berderap di jalan-jalan yang telah dipilihnya selama ini. Kalau tiba-tiba muridnya bersikap aneh, itu karena kekecewaan yang dialaminya. Kekalahan yang tak disangka-sangka itu pasti telah melemahkan keteguhan hatinya. Dan kini kekalahan itu harus ditebusnya. Hati muridnya itu harus dibesarkannya dengan melumpuhkan Mahisa Agni secepat-cepatnya, mematahkan tangannya dan membiarkan Pasik untuk menyelesaikannya. Dengan demikian, maka keteguhan hatinya akan dapat dipulihkan kembali.
Tetapi guru Pasik itu benar-benar menjadi seolah-olah menyala karena panas hatinya. Serangannya yang kemudian itu pun ternyata tak dapat menyentuh lawannya.
Tetapi meskipun demikian, serangannya itu benar-benar telah mengejutkan Mahisa Agni. Serangan guru Pasik itu datang seperti tatit. Untunglah bahwa ia masih mempunyai kesempatan untuk menghindar. Kalau tidak, maka dadanya pasti sudah akan pecah.
Dengan demikian, maka dugaannya atas guru Pasik itu ternyata benar. Dengan unsur-unsur gerak yang sama, guru Pasik itu melibat Mahisa Agni dalam perkelahian yang ribut. Namun unsur-unsur gerak itu kini dilepaskan oleh guru Pasik, bukan oleh Pasik yang mentah itu. Karena itu, terasa oleh Mahisa Agni, betapa berbahayanya.
Dan karena itu pula, Mahisa Agni segera memusatkan,segenap perhatiannya pada perkelahian itu. Dicobanya untuk melihat setiap gerak lawannya. setiap kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi dengan gerak-gerak itu.
Namun guru Pasik itu pun segera menyadarinya pula, dengan siapa ia berhadapan.
"Pantaslah Waraha dijatuhnya dengan mudah," katanya di dalam hati. Dan sejalan dengan itu, maka serangan-serangannya pun semakin membadai. Geraknya semakin lama menjadi semakin cepat dan keras. Tubuhnya yang kokoh kuat itu melontar-lontar dengan kecepatan yang mengagumkan, dan bahkan kadang-kadang orang itu berhasil membingungkan Mahisa Agni.
Tetapi Mahisa Agni yang baru saja menekuni inti dari ilmunya itu, segera dapat menyesuaikan diri. Bahkan kadang-kadang ia pun menjadi heran sendiri. Tidak saja kekuatannya yang bertambah, namun kecepatannya bergerak pun terasa menjadi bertambah pula. Bahkan kadang-kadang geraknya melampaui kecepatan perasaannya dalam suatu tujuan tertentu.
"Ah," katanya di dalam hati, "kalau aku tidak segera menguasai diri, maka akan berbahaya bagiku sendiri."
Dengan demikian maka Mahisa Agni itu pun kemudian mencoba melakukan pengamatan atas dirinya lebih saksama. Perkelahiannya kali ini adalah penggunaan yang pertama segala macam kekuatan dan ilmu yang tersimpan di dalam dirinya setelah ia menempa diri.Karena itu, maka sekaligus Mahisa Agni dapat menilai apa pun yang pernah dicapainya selama ini.
Dengan demikian, maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin seru. Serang menyerang dan desak mendesak. Keduanya memiliki bekal yang cukup, serta keduanya berusaha untuk segera mengalahkan lawannya.
Orang-orang yang menyaksikan perkelahian itu, kemudian berlari berpencaran. Mahisa Agni dan guru Pasik itu kadang-kadang melontar jauh ke samping, kemudian melontar kembali dalam serangan-serangan yang berbahaya. Karena itu, maka mereka yang menyaksikannya menjadi gemetar dan ketakutan
Waraha yang masih dalam kesakitan itu, menyaksikan perkelahian antara gurunya dan perantau yang bernama Mahisa Agni itu dengan seksama. Ia mencoba menilai apa saja yang sudah terjadi. Namun kemudian kembali ia merasakan sesuatu yang aneh di dalam dirinya. Seakan-akan terasa sesuatu yang selama ini tak pernah dirasakannya. Namun tiba-tiba dikenangnya, bapak ibunya yang mengasihinya, kampung halaman yang memberinya kenangan yang menyenangkan.
Mata Pasik itu melihat perkelahian yang terjadi antara gurunya dan Mahisa Agni, namun hatinya tiba-tiba saja terbang ke masa-masa lampaunya. Seakan-akan ia menatap wajah gurunya yang kasar bengis, dan kemudian ditatapnya wajah ibunya yang lembut, dan wajah bapanya yang sedang berduka.
Sehingga tiba-tiba pula melontarlah suatu pertanyaan di dalam hatinya, "Apakah yang telah terjadi dengan dirinya selama ini?" Kata-kata Mahisa Agni berkali-kali berputar di dalam dadanya. Kata-kata yang selalu terngiang di telinganya, Pergilah, dan biarlah Pasik menikmati ketenteraman hidup di antara keluarganya dan sanak kadangnya. Jangan ganggu dia lagi, dan jangan meracuni hidupnya dengan perbuatan-perbuatan aneh seperti perbuatan-perbuatan orang yang kehilangan akal budi.
Pasik itu kemudian memejamkan matanya. Seolah-olah telah ditemukannya apa yang hilang selama ini. Ketenteraman hidup di antara keluarga dan anak kadang.
Ketika sekali lagi ia membuka matanya, dan ditatapnya wajah ibunya yang lembut, hatinya menjadi meronta-ronta. Disadarinya kini apa yang telah dilakukannya selama ini. Bahkan hampir saja ia membunuh ayah dan ibunya, namun ayah dan ibunya itu sama sekali tak mendendamnya. Cinta kasihnya tak runtuh seujung rambut pun.
Dalam pada itu, di halaman rumah Pasik itu masih berlangsung pertempuran yang semakin lama semakin dahsyat. Mereka masing-masing benar-benar telah berjuang mati-matian. Guru Pasik sekali-kali terdengar berteriak mengerikan sejalan dengan serangan-serangannya yang keras dan cepat. Seperti seekor serigala kelaparan, orang yang bertubuh kokoh kuat itu melonjak-lonjak menyergap dari segenap arah. Namun Mahisa Agni benar-benar dapat menguasai dirinya dengan sebaik-baiknya. Betapa pun lawannya menjadi bertambah ganas, tetapi Mahisa Agni itu pun menjadi bertambah mapan juga. Setelah dikenalnya dengan baik setiap unsur gerak lawannya, serta setelah dikenalnya pula dengan baik segenap kemampuan yang dapat dipergunakannya yang tersimpan di dalam tubuhnya, maka perlawanannya pun menjadi semakin kuat dan tangguh.
Karena itu maka guru Pasik itu pun menjadi semakin heran. Ternyata ia berhadapan dengan seorang anak muda yang luar biasa. Bahkan kemudian ternyata bahwa Mahisa Agni itu akan benar-benar dapat menguasai keadaan.
Orang yang menamakan Bahu Reksa Kali Elo itu pun kemudian menyadari sepenuhnya, siapakah yang sedang dihadapinya kini. Karena itu, maka sampailah ia kemudian pada tetapan hatinya, untuk membinasakan Mahisa Agni dalam puncak ilmunya.
Demikianlah maka guru Pasik itu pun kemudian meloncat beberapa langkah surut menjauhi Mahisa Agni. Dengan berteriak nyaring ia merentangkan kedua tangannya, kemudian dengan ganasnya sekali ia meloncat ke udara, dan dengan kedua kakinya yang kokoh itu ia tegak kembali di atas tanah dalam kesiagaan penuh untuk melontarkan ilmu tertinggi yang dimilikinya.
Pasik yang melihat perkelahian itu tiba-tiba saja menjadi sangat terkejut. Ia melihat betapa gurunya merentangkan tangannya, kemudian seperti seekor singgat melenting ke udara untuk kemudian bersiap dalam sikap yang teguh kuat seperti gunung yang siap untuk meledak.
Dan tiba-tiba pula, tanpa sesadarnya Pasik itu merasa, bahwa Mahisa Agni berada dalam bahaya. Ia tidak tahu, kenapa ia merasa wajib untuk menyelamatkannya. Karena itu tiba-tiba ia berteriak "Guru, jangan dengan ilmu itu!"
Tetapi gurunya sama sekali tidak mendengar. Bahkan terdengar ia tertawa nyaring. Kini ia sama sekali tidak bergerak, seolah-olah ia menunggu Mahisa Agni menyerangnya, untuk kemudian dengan satu pukulan, anak itu akan dibinasakannya.
Mahisa Agni melihat sikap itu. Ia melihat tubuh orang yang menamakan diri Bahu Reksa Kali Elo itu bergetar. Sebagai seorang yang telah menekuni olah kanuragan, maka segera Mahisa Agni pun mengetahuinya, bahwa lawannya sedang mengerahkan setiap kekuatan lahir dan batinnya dalam puncak ilmu yang dimilikinya.
Karena itu, maka Mahisa Agni pun tidak mau dirinya dibinasakan oleh Orang yang bengis itu. Ia menjadi heran ketika lamat-lamat ia mendengar Pasik itu mencoba mencegah gurunya dan bahkan kemudian Pasik itu berkata, "Mahisa Agni, jangan mendekat!"
Terasa sesuatu berdesir di dalam dada Mahisa Agni. Dalam kesibukannya menghadapi lawannya, maka perasaannya dapat menangkap suatu ungkapan yang jujur yang dilontarkan oleh Pasik yang sedang terluka itu, tetapi ia tidak mempunyai waktu terlalu lama memperhatikan anak muda yang agaknya dalam perkembangan keadaan yang dialaminya di dalam jiwanya. Yang segera harus dilakukan adalah menyelamatkan diri dari kemungkinan yang sangat mengerikan. Karena itu, maka dengan rasa syukur yang sedalam-dalamnya, maka Mahisa Agni kini sama sekali tidak menyerang lawannya. Bahwa ia pun meloncat atau langkah surat. Disilangkannya kedua tangannya di dadanya, dan dipanjatkannya hasrat di dalam hatinya, pemusatan kekuatan lahir dan batin.
Ketika Mahisa Agni melihat kaki lawannya bergeser, maka segera Mahisa Agni pun menarik kakinya kanannya setengah langkah ke belakang, sedang pada kedua lututnya kemudian Mahisa Agni merendahkan dirinya, siap dalam kekuatan aji yang baru saja ditekuninya, Gundala Sasra.
Dalam waktu sekejap, Mahisa Agni sudah merasakan, seolah-olah ada getaran-getaran yang mengalir di dalam dirinya. Getaran-getaran kekuatan yang tersimpan di dalam tubuhnya. Yang karena ketekunannya, maka ia telah berhasil mengungkap segenap kekuatan-kekuatan yang tersimpan itu. Meskipun ilmu yang dimilikinya itu belum sempurna benar, namun aji Gundala Sasra adalah aji yang nggerisi.
Kini Mahisa Agni masih berdiri pada sikapnya. Meskipun sikap itu bukanlah sikap yang mutlak harus dilakukan, sebagaimana gurunya berkata, bahwa sikap itu adalah suatu cara untuk mengungkapkan ilmu itu, tetapi pengungkapan itu dapat dilakukannya dalam sikap yang paling tepat pada saat-saat tertentu dalam unsur-unsur gerak pokok yang tak dapat disingkirkan.
Pendekar Pedang Sakti 9 Munculnya Jit Cu Kiong ( Istana Mustika Matahari) Seri Pengelana Tangan Sakti Karya Lovelydear Kidung Senja Di Mataram 6

Cari Blog Ini