Ceritasilat Novel Online

Kidung Senja Di Mataram 6

Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo Bagian 6


*** Perahu yang membawa Nurseta, Ki Sinduwening dan Mawarsih itu meluncur cepat sekali. Beberapa kali Ki Sinduwening bertanya ke mana mereka menuju dan selalu Nurseta menjawab bahwa tempatnya sudah dekat.
"Masih jauhkah, kakangmas Nurseta?" Mawarsih juga bertanya tak sabar lagi, "hatiku merasa tidak enak, jangan-jangan Sang Prabu benar-benar terancam bahaya...."
Mereka tiba di sebuah tikungan dan Nurseta berkata, "Kita sudah sampai.
Paman, harap tahan perahunya, aku ingin mendarat dan melihat lebih dulu!"
Nurseta tidak menanti jawaban dan setelah perahu itu minggir, diapun melompat ke darat. Ki Sinduwening menggunakan dayung untuk menahan perahu, akan tetapi pada saat itu, Mawarsih berseru.
Awas, bapa! Di sana itu......!" Ia menuding dan Ki Sinduwening menoleh.
Ternyata "ada lima buah perahu dari depan dan tiga buah perahu di belakang, delapan buah perahu ini masing-masing ditumpangi tiga orang dan mereka semua mendayung perahu ke arah mereka dan mengurung perahu mereka!
Dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya hati Ki Sinduwening dan Koleksi Kang Zusi
puterinya ketika dia melihat beberapa orang yang mereka kenal di antara dua puluh empat orang itu. Mereka adalah Ki Danusengoro, Brantoko, dan Ki Wirobandot!
Dengan heran dan penasaran, Ki Sinduwening menoleh ke darat dan bukan main marahnya ketika dia melihat Nurseta berdiri tenang, bahkan tersenyum-senyum dan kedua lengan disilangkan depan dada! Seketika mengertilah Ki Sinduwening apa yang telah terjadi. Nurseta telah mengkhianati Mataram! Pantas saja semua rencana Mataram gagal dan pasukannya bahkan dikepung dan diserbu musuh.
"Nurseta, kamu pengkhianat busuk!!" bentak Ki Sinduwening. Akan tetapi, pada saat itu, para penumpang delapan perahu yang mengepung sudah menggerakkan tombak-tombak panjang untuk menyerangnya.
"Hati-hati, jangan lukai diajeng Mawarsih!" terdengar teriakan Nurseta dan teriakan ini membuat Ki Sinduwening dan Mawarsih menjadi semakin marah. Kini mereka mengertilah akan niat Nurseta, yaitu membunuh Ki Sinduwening dan menawan Mawarsih, tentu dengan niat yang tidak senonoh.
"Jahanam busuk Nuseta, aku akan mengadu nyawa denganmu!" bentak Mawarsih, akan tetapi ia tidak mungkin meloncat ke darat karena perahu itu terkepung dan mereka sudah dihujani senjata tombak dari segala jurusan Ki Sinduwening sudah mencabut pecutnya yang melilit pinggang, memutar pecut itu untuk melindungi diri dari sambaran tombak-tombak musuh. Mawarsih juga meloloskan kemben merahnya dan iapun memutar-mutar kemben untuk membantu melindungi ayahnya karena semua serangan ditujukan kepada ayahnya.
Akan tetapi, bagaimana mungkin ayah dan anak itu dapat membela diri Koleksi Kang Zusi
dengan baik" Andaikata mereka berada di daratan sekalipun, dikepung dan dikeroyok dua empat orang itu mereka tentu repot sekali mengingat bahwa di antara mereka terdapat orang-orang tangguh seperti Ki Danusengoro, Brantoko, Ki Wirobandot, bahkan Nurseta sendiri. Apa lagi kini mereka berada di sebuah perahu kecil dan dikepung dari semua jurusan. Ketika mereka bergerak untuk membela diri, perahu kecil itu terguncang dan beberapa kali hampir terguling. Kalau sampai mereka terpelanting ke dalama sungai deras karena banjir itu, tentu mereka akan celaka.
Andaikata tidak dicelakakan para pengeroyokpun, bagaimana mereka akan mampu melawan dan bertahan terhadap arus sungai yang akan menyeret dan menenggelamkan mereka"
Keadaan mereka amat gawat. Ki Sinduwening sudah terluka di pundak kanan dan pangkal lengan kiri, membuat gerakan pecutnya mengendur. Dan biarpun Mawarsih tidak dilukai, namun gadis inipun lelah bukan main memutar kembennya untuk melindungi ayahnya. Sebentar lagi, tentu mereka akan tidak mampu bertahan lagi. Ki Sinduwening tentu akan terbunuh dan Mawarsih tertawan!
Tiba-tiba nampak sebuah perahu kecil meluncur datang dengan kecepatan luar biasa dan begitu dekat, terdengar suara mengaung-angung dan beberapa orang pengeroyok terjungkal keluar dari perahu mereka.
Mawarsih hampir saja bersorak ketika melihat bahwa yang datang itu adalah Si Kedok Hitam! Dengan sebatang ranting panjang di tangan kanan dan suling di tangan kiri, Si Kedok Hitam mengamuk. Rantingnya bergerak berciutan, sulingnya mengaung-angung. Dia melemparkan baja kaitan di ujung tali perahu ke sebuah perahu pengeroyok sehingga perahunya tergandeng dengan perahu itu, lalu diapun berloncatan dari satu ke lain perahu, mengamuk dengan kecepatan bagaikan seekor burung garuda menyambar-nyambar.
"Andika berdua pergilah! Cepat mendarat dan lari?" Si Kedok Hitam berseru kepada ayah dan anak itu. Tentu saja Ki Sinduwening dan puterinya bukan orang-orang penakut. Apa lagi melihat Si Kedok Hitam harus menghadapi dua puluh lima seorang diri, bagaimana mereka tega untuk meninggalkannya seorang diri" Mereka telah ditolong, mana mungkin mereka sekarang melarikan diri meninggalkan penolong mereka" Ki Koleksi Kang Zusi
Sinduwening mempergunakan pecutnya, dan Mawarsih mempergunakan kembennya, menyerang perahu terdekat.
"Cepat andika berdua pergi sebelum terlambat, agar tidak sia-sia usahaku!" kata pula Si Kedok Hitam dan kembali rantingnya membuat seorang pengeroyok terjungkal keluar dari dalam perahu.
Ki Sinduwening maklum bahwa kalau orang seperti Si Kedok Hitam yang demikian saktinya sampai minta kepada mereka untuk melarikan diri, tentu ada sebabnya. Mungkin akan datang musuh lebih banyak lagi sehingga kalau sampai terjadi demikian, maka akan terlambat dan semua usaha Si Kedok Hitam untuk menolong merekapun sia-sia, bahkan akan membahayakan Si Kedok Hitam sendiri.
"Mari kita pergi!" katanya sambil menyambar dayung dan mendayung perahu itu.
"Tapi,bapa......" Mawarsih membantah karena ia tidak tega meninggalkan Si Kedok Hitam yang kini dikepung dan dikeroyok oleh banyak orang.
"Ini permintaannya jangan bantah. Pula, kita harus melihat keadaan pasukan kita!" kata Ki Sinduwening dan perahu mereka yang kini tidak terkepung lagi karena semua orang sibuk mengeroyok Si Kedok Hitam, meluncur cepat ke tepi dan mereka berdua berloncatan ke darat.
Akan tetapi ketika Mawarsih menoleh untuk melihat keadaan Si Kedok Hitam ia menjerit. Ki Sinduwening cepat menengok dan diapun melihat betapa perahu di mana Si Kedok Hitam berdiri dikeroyok banyak orang, tiba-tiba terguncang dan miring sehingga Si Kedok Hitam terpelanting ke Koleksi Kang Zusi
dalam air! Tubuhnya disambar arus sungai yang deras dan hanyut, lalu tenggelam. Kembali Mawarsih menjerit dan hendak berlari ke tepi lagi, ke arah menghilangnya tubuh Si Kedok Hitam. Akan tetapi pada saat itu, terdengar teriakan Nurseta, "Kejar mereka!!"
Ki Sinduwening menyambar tangan puterinya dan menariknya, mengajaknya melarikan diri, mereka. Mereka mempergunakan Aji Tunggang Maruta (Menunggang Angin) sehingga tubuh mereka meluncur cepat sekali.
Biarpun Nurseta dan kawan-kawannya berusaha mengejar, namun mereka tertinggal jauh dan akhirnya bayangan ayah dan anak itupun lenyap.
Nurseta tentu saja merasa kecewa sekali, akan tetapi dia agak terhibur karena dapat membunuh Si Kedok Hitam yang tidak nampak muncul kembali. Tentu orang rahasia itu telah tenggelam dan mayatnya menjadi makan ikan, pikirnya. Diapun mengajak kawan-kawannya kembali untuk membantu pasukan Ponorogo yang sedang menghimpit dan mendesak pasukan Mataram.
Pasukan Mataram benar-benar terhimpit dan disergap di luar sangkaan mereka sehingga berantakan. Apa lagi setelah Ki Sinduwening dan Mawarsih tidak terdapat di antara mereka, semangat para perwira juga mengendur dan akhirnya, pasukan itu terpaksa mundur dan keluar dari daerah Ponorogo dengan menderita kekalahan besar. Banyak di antara mereka yang terluka atau tewas.
Mataram menderita kekalahan dari Ponorogo dalam pertempuran pertama!
Sukar untuk dipercaya! Dan gegerlah Mataram ketika pasukannya pulang menderita kekalahan.
Sang Prabu Hanyokrowati segera mengumpulkan seluruh senopati dan menteri untuk mengadakan perundingan. Dalam pertemuan inilah Sang Prabu Hanyokrowati dan para senopati mendengar keterangan Ki Sinduwening tentang pengkhianatan yang dilakukan Nurseta.
Koleksi Kang Zusi "Jahanam! Kalau begitu, suara yang kita dengar malam itu benar adanya!
Si keparat Nurseta!" Sang Prabu dengan muka murka lalu memerintahkan kepada seorang senopati. "Bawa pasukan dan gempur kademangan Praban.
Tangkap Ki Demang Padangsuta dan seluruh keluarganya!"
Akan tetapi Ki Sinduwening cepat menyembah dan berkata, "Ampun, Sribaginda. Hamba sudah mengirim penyelidik ke sana, dan ternyata bahwa Ki Demang Padansuta beserta seluruh pengikutnya juga sudah meninggalkan kademangan dan membantu Ponorogo."
Sang Prabu Hanyokrowati mengepal tangan kanannya. Wajahnya kemarahan karena dia benar-benar merasa terhina dan tertipu. Melihat Sribaginda marah-marah, para senopati tidak ada yang berani mengeluarkan suara. Pada saat itu, seorang di antara para pangeran yang ikut hadir dalam rapat penting itu berkata, "Kanjeng Rama, perkenankan hamba sekarang juga membawa pasukan besar menyerbu Ponorogo membalas atas kekalahan pasukan kita."
Semua orang memandang kepada pembicara. Dia adalah Raden Mas Menang, pangeran ke dua yang memang berwatak keras. Sang Prabu Hanyokrowati atau Raden Mas Jolang mempunyai lima orang anak, empat pengaran dan seorang puteri. Empat pangeran itu adalah Raden Mas Rangsang, Radn Mas Menang, Raden Mas Martapura, dan Raden Mas Cakra.
Adapun puterinya bernama Ratu Pandan. Yang diangkat menjadi pangeran mahkota adalah puteranya yang ketiga, yaitu Raden Mas Martapura sesuai dengan janji yang pernah diucapkan Sang Prabu, disaksikan oleh semua keluarganya.
Sang Prabu menggeleng kepala. "Tidak usah engkau yang maju menaklukan Ponorogo, puteraku. Masih banyak senopati tangguh di Mataram. Kalau kita dikalahkan dalam penyerbuan pertama, hal itu hanya dapat terjadi karena kita dikhianati si Jahanam Nurseta. Aku sudah mengambil keputusan untuk Koleksi Kang Zusi
memimpin sendiri pasukan besar, menundukkan bukan hanya Ponorogo, melainkan seluruh Jawa Timur, Kediri, Ketasana, Wirasaba, Surabaya, Gresik, Pendeknya, sebelum seluruh Jawa Timur kembali mengakui kedaulatan Mataram, aku tidak akan kembali!"
Mendengar pernyataan penuh semangat dari Sang Prabu Hanyokrowati, para senopati menunduk. Para pangeran diam-diam tidak menyetujui tekad ayah mereka yang sudah berusia lanjut itu, akan tetapi merekapun tidak berani membantah karena maklum bahwa Sang Prabu Hanyokrowati sedang marah karena kekalahan dalam pertempuran pertama melawan Ponorogo itu.
Sang Prabu Hanyokrowati lalu memerintah kepada Ki Sinduwening untuk menyusun bala tentara baru yang lengkap dan gemblengan. Dia tidak mau gagal lagi, maka hanya para senopati tua yang sudah dia ketahui kesetiaannya saja yang diserahi tugas menyusun pasukan, membantu Ki Sinduwening. Pasukan itu harus siap dalam waktu tiga bulan,karena panyusunan kekuatan pasukan itu bukan hanya untuk menyerbu Ponorogo, melainkan untuk terus melakukan perjalanan atau gerakan menaklukan daerah-daerah yang memberontak.
Setelah pertemuan dibubarkan, Ki Sinduwening mengajak semua senopati untuk berunding dan membicarakan pembagian tugas dan pelaksanaan perintah Sang Prabu. Kemudian, matahari telah condong ke barat ketika akhirnya Ki Sinduwening pulang ke rumahnya. Dia menjadi pejuang sukarela, tidak menerima kedudukan senopati, dan menyerahkan penyusunan pasukan kepada para senopati yang dia percaya benar.
Setibanya di rumah, puterinya sudah menanti. Melihat betapa Mawarsih semanjak pulang ke Mataram nampak selalu murung dan berduka, hanya bersemangat kalau mendengar rencana penyerbuan kembali ke Ponorogo, diam-diam Ki Sinduwening merasa khawatir juga. Teringat dia betapa Mawarsih hampir tidak mau lari meninggalkan Si Kedok Hitam yang terpelanting ke dalam sungai dan hanyut, bahkan tidak nampak lagi. Dia yang memaksa puterinya itu untuk berlari terus, mempergunkana Aji Koleksi Kang Zusi
Tunggang Maruta sehingga mereka terlepas dari pengejaran Nurseta dan kawan-kawannya. Mawarsih melarikan diri sambil membiarkan tangannya digandeng ayahnya, dan ia pun menangis sepanjang jalan.
"Bagaimana keputusan yang diambil dalam rapat tadi, bapa" Apakah kita akan segera menyerang Ponorogo lagi untuk membalas kekalahan kita?"
tanya Mawarsih, dan tiba-tiba wajah yang muram itu berseri dan pandang matanya penuh gairah.
Ki Sinduwening tersenyum. Biasanya, sikap puterinya tidak begitu. Kalau dia pulang, dalam keadaan bagaimanapun juga, Mawarsih akan lebih dahulu melayaninya, mengambilkan minum, mengambilkan baju pengganti dan sebagainya. Akan tetapi sekarang, begitu datang sudah dihujani pertanyaan yang dilakukan penuh semangat,
"Tentu saja Sang Prabu akan memimpin lagi pasukan untuk menyerbu Ponorogo yang memberontak."
"Bagus! Kapan, bapa" Besok pagi" Kita harus bersiap-siap!" kata Mawarsih bersemangat dan wajahnya kini berseri.
"Kenapa begitu tergesa-gesa, cahayu" Sang Prabu berkehendak agar dipersiapan pasukan besar, bukan hanya untuk menundukkan Ponorogo, juga daerah lainnya di Jawa Timur. Karena itu, pasukan besar dan lengkap harus disusun dan para senopati diberi waktu tiga bulan.?"
Sepasang mata yang indah itu bersinar tajam itu terbelalak. "Tiga bulan?"
Kenapa begitu lama, bapa" Kalau begitu, sebaiknya kalau aku pergi lebih dulu ke sana, melakukan penyelidikan dan mempelajari kekuatan musuh."
Koleksi Kang Zusi "Jangan. Nini! Jangan kau pergi. Semua orang sudah mengenalmu, mengenal kita. Biar engkau menyemar sekalipun, karena engkau pernah membikin geger Ponorogo ketika menolongku dari tahanan, maka begitu engkau muncul, mereka tentu akan mengenalmu dan menangkapmu. Jangan memancing-mancing bahaya, tunggu saja sampai ada perintah Sribaginda dan kita akan melakukan penyerangan ke dua yang harus dan pasti berhasil.
Akan tetapi, kuharap dalam penyerangan nanti, biar aku saja yang maju, Mawar. Engkau tinggallah di rumah, engkau seorang gadis, seorang wanita.
Bahkan engkau sudah remaja puteri. Hatiku akan merasa tenteram melaksanakan tugas mengikuti Sang Prabu andaikata engkau telah mempunyai sisihan, telah mempunyai sandaran, yaitu seorang suami."
"Ah, bapa.....!!" Mawarsih berseru, kedua pipinya kemerahan.
"Kenapa, Mawar" Engkau sudah dewasa, sudah sepantasnya kalau engkau menikah, dan terus terang saja, bapamu ini sudah ingin sekali engkau menikah, sudah ingin sekali mempunyai mantu."
"Kenapa bapa tidak juga jera" Bapa pernah berniat menjodohkan aku dengan Nurseta dan apa jadinya" Untung sekali hal itu belum terjadi, kalau sudah, bukankah hidupku akan menderita sekali, mempunyai seorang suami yang menjadi pengkhianat" Harap bapa tidak tergesa-gesa, kalau salah pilih, berarti menjerumuskan aku ke dalam lembah kesengsaraan."
Ki Sinduwening menghela napas panjang dan nampak menyesal sekali.
"Aihhh siapa kira dia akan tersesat seperti itu" Aku sendiri sampai sekarang masih bingung dan tidak mengerti mengapa dia dapat menjadi pengkhianat! Padahal, dia seorang pemuda yang baik dan pandai. Aihhh, memang kita harus berhati-hati dalam menentukan pilihan seorang calon suami bagimu, nini. Aku tidak tergesa-gesa, akan tetapi akan berbahagialah hatiku kalau sebelum aku berangkat mengikuti Sribaginda, engkau sudah mempunyai suami atau setidak-tidaknya, seorang calon Koleksi Kang Zusi
suami. Aku akan membuka mata melihat-lihat......"
"Bapa, apakah bapa sudah lupa akan syarat yang kita ajkan kepada Paman Danusengoro dahulu" Calon suamiku harus mampu mengalahkan aku dan walinya dapat mengalahkan bapa."
"Hemm, memang sebaiknya begitu. Akan tetapi bagaimana kalau tidak ada yang mampu" Apakah engkau selamanya tidak akan menikah" Tidak, nini, kita harus mengubah syarat itu. Kalau ada seorang perjaka yang berbudi baik, sehat rohani, jasmaninya, pandai dan bijaksana, dan......"
"Sudahlah, bapa. Aku tidak mau menikah dengan orang lain!"
Ki Sinduwening tertegun. Terasa benar olehnya tekanan pada kata "orang lain" Itu. "Mawar, anakku cahayu, jelaskan siapakah pilihan hatimu itu.
Siapakah dia yang menjadi kekecualian dari orang-orang lain itu?"
Mawarsih baru menyadari bahwa rasa penasaran tadi membuat ia tanpa disadarinya telah membuka rahasia hatinya. Ia tidak mau menikah dengan orang lain, berarti ia mau menikah dengan seseorang! Karena ucapan itu sudah keluar tanpa disengaja, ia tidak mungkin menyangkal dan bersembunyi dari ayahnya, kedua pipinya menjadi semakin merah, akan tetapi sekali ini bukan hanya karena malu, melainkan juga karena kesedihannya tiba-tiba menyusupi hatinya dan kedua matanya menjadi basah. Orang yang dipilihnya itu telah mati!
"Dia...... dia..... Si Kedok Hitam......" katanya lirih sambil menundukkan mukanya dan menghapus beberapa butir air mata yang menetes turun ke pipinya.
Koleksi Kang Zusi "Dia......" Si Kedok Hitam" Akan tetapi dia sudah mati, terus tenggelam di air banjir itu!"
Mawarsih mengangkat mukanya yang kini agak pucat, kedua matanya yang basah menatap wajah ayahnya dan ia menggeleng kepala. "Aku tidak yakin, bapa. Aku baru yakin kalau sudah melihat jenazahnya......"
Sinduwening mengerutkan alisnya, bangkit berdiri dan berjalan mondar-mandir, kedua tangannya ke belakang pinggul, kepala digeleng-gelengkan dan berulang kali menghela napas panjang.
"Si Kedok Hitam......?" Berulang-ulang dia menyebut nama ini. "Aku tidak heran kalau engkau kagum dan suka kepadanya, mungkin jatuh cinta padanya. Akan tetapi siapa dia" Pernah engkau melihat mukanya?" Dia berhenti dan menoleh kepada puterinya. Mawarsih menunduk dan menggeleng kepalanya.
"Belum pernah, bapa."
Sinduwening kembali mondar-mandir dan mulutnya mengomel panjang pendek, bersungut-sungut. "Belum pernah melihat mukanya akan tetapi sudah menentukan menjadi calon suami! Bagaimana pula ini" Aneh.....
aneh..... anakku aneh sekali........"
Mawarsih kini mengangkat muka memandang ayahnya yang mondar-mandir sambil berulang kali menyatakan aneh. "Bapa, cinta bukan hanya timbul karena ketampanan muka. Sudah berkali-kali dia menyelamatkan aku dari melapetaka yang lebih mengerikan dari pada maut, dan dia membela kita, Koleksi Kang Zusi
dia memiliki kesaktian yang jauh melebihi kita. Tidak cukupkah itu untuk membuat aku jatuh cinta?"
Ayahnya tersenyum, lalu menghampiri dan duduk di atas kursi didepan puterinya, dan dengan sikap tenang dia menyentuh kedua pundak puterinya dengan kedua tangan, mendorongnya sedikit ke belakang sehingga Mawarsih duduk tegak dan mengangkat muka memandang. Mereka saling pandang, Ki Sinduwening tersenyum, "Wah anakku telah menjadi wanita dewasa sekarang!"
"Ah, bapa........" Mawarsih tersipu.
"Karena engkau sudah dewasa, anakku, tidak rikuh lagi bapa mengajakmu bicara tentang cinta yang kausebut-sebut tadi. Aku tidak dapat membantah bahwa cinta dapat tumbuh karena kepribadian seseorang, karena tingkah lakunya yang baik, karena sikapnya yang sopan, karena berbudi dan bijaksana, apa lagi karena orang sudah melimpahkan budi kepada kita. Justeru keadaan batin seseorang yang menjadi pendorong utama bagi timbulnya cinta. Akan tetapi, betapapun tidak enak kedengarannnya, ada sutau kenyataan bahwa di dalam cinta antara pria dan wanita yang mendatangkan perjodohan, hidup bersama selama hidupnya, di situ terdapat syarat lain yang mutlak penting. Yaitu keadaan jasmaninya.
Dapatkah seorang pria mencintai seorang wanita atau sebaliknya, kalau yang dicintai itu, betapapun baik batinnya, memiliki jasmani yang cacat parah, memiliki wajah yang cacat dan buruk sehingga dapat mendatangkan rasa takut dan jijik" Dapatkan kita mencinta seseorang untuk menjadi suami atau isteri, kalau kemudian ternyata bahwa orang itu tidak sempurna keadaan tubuhnya sehingga tidak dapat melakukan hubungan suami isteri"
Dapatkah cinta itu dipertahankan kalau kedua pihak tidak memiliki daya tarik jasmaniah masing-masing. Mungkin cinta antara sahabat, cinta antara orang tua dan anak, pendeknya cinta yang bukan antara pria dan wanita yang akan menjadi suami isteri, dapat menghadapi dan mengatasi semua itu. Akan tetapi, coba bayangkan dan kemudian jawab sejujurnya. Engkau mengatakan bahwa engkau mencinta Si Kedok Hitam karena dia gagah perkasa, karena dia berbudi luhur dan bijaksana, karena dia telah Koleksi Kang Zusi
melimpahkan budi kepadamu, membuatmu jatuh cinta walaupun tidak tahu atau belum melihat wajahnya. Akan tetapi coba bayangkan kalau pada suatu hari, engkau mendapat kesempatan untuk membuka kedoknya dan melihat bahwa dia adalah seorang pria yang buruk sekali mukanya karena cacat, misalnya hidungnya gruwung (tanpa bukit hidung), mulutnya perot, pendeknya wajahnya menjijikkan dan menakutkan seperti wajah iblis?"
"Ihhhh, bapa......!" Gadis itu bergidik, ngeri membayangkan semua itu.
"Anakku, engkau sudah dewasa, hadapilah semua kenyataan ini dan mari kita lanjutkan. Soal wajah saja sudah memegang peran penting dalam syarat tumbuhnya cinta antara pria dan wanita. Sekarang, katakanlah bahwa Si Kedok Hitam itu tidak cacat wajahnya, cukup tampan dan gagah, makin banyaklah senjata yang dia miliki untuk menjatuhkan hatimu. Dia tampan, gagah Sakti, berbudi luhur, telah melimpahkan budi kepadamu.
Nah, sudah sewajarnya kalau engkau jatuh cinta padanya. Akan tetapi, tunggu dulu, dan bersiaplah untuk menerima kenyataan ini. Bagaimana kalau di balik semua itu, dia mempunyai suatu ketidak sempurnaan sehingga dia tidak dapat melakukan hubungan suami isteri, tidak mungkin dapat menjadi bapak anak-anakmu?"
"Bapa......!" Mawarsih tersipu.
Ki Sinduwening menghela napas panjang. "Hidup ini memang ruwet, anakku.
Kita ini manusia yang tidak mungkin dapat dipisahkan dari nafsu! Kita mutlak membutuhkan nafsu dalam kehidupan di dunia ini. Karena itulah, nafsu memegang peran penting dalam semua segi kehidupan kita! Hati dan akal pikiran kita dapat bekerja baik dan menghasilkan kalau disertai nafsu.
Makanan tidak akan terasa lezat kalau tidak ada nafsu dalam mulut, tidak ada suara merdu tanpa nafsu dalam pendengaran kita, tidak ada penglihatan indah tanpa nafsu dalam mata kita, tidak ada keharuman tanpa nafsu dalam hidung kita, dan selanjutnya. Demikian pula, di dalam apa yang kita namakan cinta asmara, di antara pria dan wanita, tak mungkin terjadi tanpa adanya bumbu berupa nafsu itu. Nafsu menimbulkan daya tarik lawan jenis, nafsu menimbulkan gairah, nafsu menimbulkan kenikmatan dalam Koleksi Kang Zusi
hubungan. Tanpa nafsu, tidak akan terjadi hubungan antara pria dan wanita, dan bagaimana jadinya dengan perkembangbiakan manusia"
Memang kedengarannya tak enak, akan tetapi begitulah kenyataannya, angger. Karena itu, jangan anggap remeh tentang keadaan jasmani seseorang sebelum engkau menjatuhkan hati dan menyatakan cinta."
Mawarsih tertegun, bingung. Gadis berusia delapan belas tahun ini tercenggang-cengang mendengar kata-kata ayahnya. Ia demikian terbuai oleh khayal tentang cinta sehingga ia seperti buta melihat kenyataan yang ada. Tak dapat disangkal pula kenyataan yang dipaparkan ayahnya tadi.
"Bapa," katanya dan merasa ngeri terhadap perasaannya sendiri, "Apakah kalau begitu.....aku hanya kagum saja kepada Si Kedok Hitam" Tapi.......
ketika aku melihat dia jatuh ke sungai dan hanyut, dunia seperti kiamat bagiku, aku ingin mencarinya, ingin menolongnya, ingin......."
"Aku tahu anakku. Engkau kagum dan merasa berhutang budi yang tentu saja membuat engkau merasa suka kepadanya, dan hutang budi membuat engkau ingin membelanya, ingin menolongnya. Akan tetapi cinta" Kurasa masih terlalu pagi untuk mengatakan bahwa engkau cinta padanya, Mawar.
Ingat, ada lagi satu hal yang yang mutlak perlu bagi cinta kasih antara calon suami isteri, yang tidak kalah pentingnya dari pada nafsu."
"Apa lagi, bapa?" Gadis itu semakin tertegun karena tidak pernah mengira demikian rumit dan banyak liku-likunya tentang cinta.
"Cinta tidak mungkin sama sekali kalau hanya sepihak. Tidak mungkin bertepuk sebelah tangan. Cinta asmara baru lengkap kalau dirasakan kedua pihak, yaitu saling mencinta. Sedangkan engkau dan Si Kedok Hitam itu, kurasa hanya engkau yang mencintanya karena kagum tadi. Aku tidak tahu apakah dia juga mencintamu, Mawar. Bagaimana kalau kemudian ternyata bahwa dia tidak mencintamu, tidak ingin menjadi suamimu bahkan menolak usul perjodohan antara kalian" Hal itu bukan tidak mungkin terjadi, Koleksi Kang Zusi
misalnya, bagaimana kalau pendekar itu sudah beristeri, atau kalau dia sudah mempunyai kekasih lain?"
Mawarsih terbelalak. Sungguh merupakan kemungkinan yang sama sekali tak pernah ia bayangkan! Ngeri ia membayangkan bahwa Si Kedok Hitam sudah beristeri, bahwa dia tidak mencintanya dan mencinta gadis lain!
"Tapi...... tapi aku yakin dia mencintaku, bapa."
"Ehh?" Bagaimana engkau dapat yakin" Apakah dia pernah mengaku cinta padamu?"
Mawarsih menggelang kepala dan tersenyum. Terbayang kecupan pada dahinya itu. Kecupa yang hangat dan mesra. Akan tetapi dia merasa malu untuk menceritakan hal itu, biar kepada bapanya sekalipun. "Aku..... yakin karena aku dapat merasakannya, bapa."
"Begitukah" Jadi, bagaimana dengan perasaan cintamu terhadap Si Kedok Hitam setelah percakapan kita ini?" Ki Sinduwening memancing sambil memandang wajah puterinya dengan perasaan cinta dan bangga. Puterinya begini cantik menarik! Tentu para pemuda akan berlomba memperebutkan hatinya.
"Bagaimana, ya?" Mawarsih termenung. "Setelah mendengar kata-kata bapa, aku menjadi bimbang dan harus mengakui bahwa cintaku memang bersyarat, bapa. Semua kebakan yang ada pada Si Kedok Hitam harus pula ditambah dengan syarat lain, yaitu bahwa dia harus tidak cacat jasmani seperti bapa bayangkan tadi, tidak buruk menjijikkan, dan dia.... dia harus masih perjaka dan hanya mencintaku seorang."
Koleksi Kang Zusi "Ha-ha-ha, berarti engkau belum dapat menyatakan bahwa engkau sudah sepenuh- nya mencintanya, bukankah begitu?"
"Bapa, semua ini membuat aku merasa bingung dan bimbang."
"Tidak perlu bimbang, tidak perlu cemas, angger. Memang semua cinta manusia mengandung nafsu, karenanya pasti mengandung pamrih demi kesenangan diri pribadi. Hanya Cinta Tuhan yang sajalah yang suci dan tanpa pamrih. Tidak pilih kasih, tidak ada satupun yang diabaikan. Cinta manusia selalu berpamrih."
"Kukira cinta orang tua kepada anaknya tidak berpamrih, bapa. Betapapun buruknya si anak, biar cacat sekalipun, orang tua akan tetap mencintanya."
Ki Sinduwening tersenyum. "Mungkin lebih sedikit kadar nafsunya dibandingkan cinta asmara, anakku, akan tetapi, tidak ada cinta manusia, baik orang tua kepada anak sekalipun yang tanpa syarat dan tanpa pamrih."
"Wahh" Kalau begitu, apakah cinta bapa terhadap diriku juga bersyarat dan berpamrih?" Gadis itu manatap wajah ayahnya dengan sinar mata menantang. Ia yakin benar akan besarnya kasih sayang ayahnya kepada dirinya, apa lagi semenjak ibunya tiada.
Ki Sinduwening mengangguk-angguk dan tersenyum, lalu mengelus kepala puterinya, "Karena engkau anak baik, menyenangkan, maka cinta kasihku kepadamu juga tumpuk-undung! Akan tetapi andaikata engkau tidak seperti Koleksi Kang Zusi
sekarang ini, andaikata engkau menjadi anak yang binal, jahat, murtad dan tidak mentaatiku, hemm, aku sangsi apakah cinta kasih itu dapat kupertahankan. Ketahuilah anakku. Kita semua, baik selaku orang tua selaku anak, selaku kekasih, selaku suami atau isteri, selaku sahabat dan selanjutnya, kita semua ini mencinta dengan pamrih disenangkan. Seorang ayah atau ibu mencinta anaknya dengan syarat agar anaknya itu menjadi anak baik, penurut, taat, berbakti dan menyayang orang tua. Demikian pula seorang anak terhadap orang tuanya. Dapatkah seorang anak mencinta orang tuanya yang tidak mengurusinya, bahkan menekannya terlalu keras, menyiksanya" Dapatkah seorang suami atau isteri mencinta pasanganya itu kalau pasangannya membencinya, tidak mau melayaninya dan tidak menyenangkan hatinya" Dapatkah seseorang mencinta sahabatnya kalau sahabat itu merugikannya atau mencelakakannya" Nah, semua cinta manusia berpamrih, betapapun murni cinta itu diakuinya. Hanya kasih sayang Allah Yang Maha Kasih sajalah yang yang suci murni. Setiap makhluk, dari yang terkecil sampai yang terbesar, bahkan dari orang yang paling baik sampai yang paling jahat, semua mendapatkan berkahNya.
Tanpa adanya berkah Tuhan, tidak satupun makhluk dapat hidup dan menikmati hidupnya."
"Ah, kalau begitu cinta manusia itu palsu, alangkah rendahnya!"
"Bukan palsu, anakku. Memang demikianlah sifat segala sesuatu yang didorong nafsu. Akan tetapi hal itu wajar saja karena memang manusia hidup tidak mungkin dipisahkan dari nafsu. Hanya bedanya,kita memperalat nafsu ataukah sebaliknya kita diperalat nafsu. Kalau kita yang memperalat nafsu, maka nafsu menjadi pendorong kehidupan yang amat penting dan bermanfaat, kalau sebaliknya kita yang diperalat nafsu, kita terseret ke dalam kesesatan dan kesengsaraan menanti kita di ujung sana."
"Wah, percakapan kita tentang cinta ini membuat aku jadi takut untuk mencinta seseorang, bapa."
"Hushh, jangan begitu, nini. Yang kita bicarakan tadi hanya dipandang dari Koleksi Kang Zusi
segi nafsu saja, segi buruknya. Akan tetapi di dalam cinta kasih atau lebih tepat kita sebut cinta asmara, yaitu antara pria dan wanita, terdapat sesuatu yang lebih halus, lebih indah, walaupun hanya sekelumit namun merupakan berkah dari keagungan Allah. Perasaan suci dalam cinta asmara ini membuat kita merasa iba, membuat kita ingin selalu menyenangkan hatinya, ingin membahagiakannya, ingin membelanya."
"Sebetulnya aku sendiri sedang bingung menghadapi dua orang pria yang selalu mengusik hatiku, Bapa. Yang pertama adalah Si Kedok Hitam yang biarpun belum pernah kulihat wajahnya, akan tetapi telah membuat hatiku tertarik sekali kepadanya. Dan yang ke dua adalah......." Gadis itu tidak melanjutkan, tiba-tiba merasa malu kepada dirinya sendiri, kenapa sebagai seorang dara ia mengaku kepada ayahnya bahwa ia mencinta dua orang pria! Sungguh tidak pantas dan memalukan sekali rasanya, maka ia tidak dapat melanjutkan.
"Hemm, agaknya aku dapat menduganya, Mawar."
Mawarsih mengangkat muka menatap wajah ayahnya. "Ehh" Benarkah bapa dapat menduganya?"
Ki Sinduwening tersenyum dan mengangguk. "Pemuda yang menjadi tukang kuda di Ponorogo, bernama Banuaji itu, bukan?"
Kedua pipi itu menjadi merah kembali. "Ihh, bapa serba tahu saja!"
"Mawar, aku adalah ayahmu yang melihat engkau bertumbuh sejak kecil menjadi dewasa. Tentu saja aku mengenal semua keadaan hatimu. Ketika engkau nekat keluar dari tempat persembunyian ketika melihat pemuda Koleksi Kang Zusi
itu, dihajar oleh Brantoko, aku sudah tahu bahwa engkau tentu mencinta pemuda itu. Tidak mengherankan kalau engkau tertarik kepada dua orang muda itu karena mereka keduanya pernah menolongmu. Akan tetapi, terus terang saja, pilihanmu itu, kedua-duanya, membuat aku kurang puas, Mawar."
"Bapa......!" "Si Kedok Hitam memang seorang pemuda pendekar perkasa yang agaknya memiliki aji kesaktian yang bahkan jauh melampui tingkatku dan aku akan merasa bangga dan tenang kalau engkau bersuamikan seorang pria yang demikian saktinya. Akan tetapi sayang, kita belum melihat wajahnya dan tidak tahu siapa dia! Adapun pemuda kedua, Banuaji itu. Memang kulihat dia itu tampan dan tabah, pemberani dan setia sehingga biar disiksapun tidak mau mengkhianatimu. Akan tetapi, aku kecewa karena dia hanyalah seorang pemuda biasa, yang hanya memiliki keberanian saja, seorang pemuda yang lemah dan tidak memiliki kedigdayaan. Bagaimana seorang suami seperti dia itu akan mampu melindungimu?"
"Agaknya tidak ada seorangpun di dunia ini yang tanpa kekurangan, bapa.
Setiap manusia tentu ada kelebihan atau kekurangan masing-masing.
Bagaimana mungkin kita mengharapkan dapat bertemu seseorang yang sempurna?"
"Aku mengerti, dan bukan itu maksudku. Akupun tidak gila untuk menuntut seorang calon mantu yang sempurna. Akan tetapi, kita harus bisa mendapatkan yang sebaiknya untukmu. Kita belum yakin siapa di antara kedua pamuda itu yang mencintamu, kalau kita boleh katakan Si Kedok Hitam seorang pemuda. Karena itu, kalau engkau setuju, bapamu ini akan mengadakan sayembara, yaitu menurut syarat kita semula. Kita mengadakan sayembara bahwa siapa yang mampu mengalahkan engkau dan aku, dialah yang pantas menjadi suamimu. Nah, kalau sayembara itu kita siarkan, tentu akan terdengar pula oleh Si Kedok Hitam dan Banuaji, dan kalau mereka berdua benar mencintamu, tentu mereka akan datang mengikuti sayembara. Bagaimana pendapatmu?"
Koleksi Kang Zusi Mawarsih merasa setuju. Kiranya itu hanya merupakan satu cara terbaik untuk menarik perhatian dua orang pria yang dirindukannya itu. Kalau yang muncul pria lain, ia dan ayahnya akan mampu menolak mereka dan mengalahkan mereka. "Terserah kepada bapa saja." katanya dan iapun lari meninggalkan ayahnya, memasuki kamarnya, dikejar suara tawa ayahnya.
Karena keberangkatan pasukan Mataram menyerang Ponorogo masih tiga bulan lagi, mananti kalau musim hujan reda dan menanti penyusunan barisan yang tangguh. Ki Sinduwening lalu menyiarkan pengumuman sayembaranya.
*** Senja yang indah. Matahari sudah tenggelam di balik bukit di barat, akan tetapi sinarnya masih mengakibatkan kebakaran di langit barat. Semua nampak merah kekuningan seolah terpulas warna warna emas. Burung-burung beterbangan kembali ke sarang mereka. Para penggembala ternak menggiring kerbau dan sapi mereka kembali ke kandang. Para petani memanggul pacul beriringan melangkah santai pulang ke dusun. Pohon-pohon nampak tenang, agaknya sudah siap untuk menyambut datangnya malam, di mana mereka tenggelam dalam kegelapan.
Azan magrib terdengar mengemandang dari sebuah langgar di dusun itu, dan mereka yang biasa melakukan sholat sudah memasuki ruangan sembahyang di rumah masing-masing untuk melakukan kewajiban berbakti kepada Yang Maha Kuasa dengan sembahyang.
Maghrib telah lewat dan sinar kemerahan yang ditinggalkan matahari mulai memudar. Suasana sunyi karena orang-orang telah memasuki rumah masing-masing, kerbau dan sapi pulang ke kandang, burung-burung pulang ke sarang. Semua menyambut datangnya malam. Dian-dian mulai dinyalakan.
Koleksi Kang Zusi Akan tetapi, di dalam kesunyian yang syahdu itu, tiba-tiba terdengar suara merdu seorang wanita yang menembangkan sebuah kidung Sekar Pangkur. Suaranya lembut dan merdu sekali, dan dari alunan suaranya, dari lekuk dan lengkung suaranya di antara nada-nada yang indah, dapat diduga bahwa penembang tentu seorang yang ahli dalan kesenian itu. Kata-katanya jelas walaupun suara itu tidak dikeluarkan sepunuhnya, cengkoknya, kembangannya, naik turunnya nada dengan lengkungnya yang khas, demikian serasi dan seolah mengelus sanubari.
"Nging sisiping tapa-brata
tyang tapa ingkang tansah anduluri
hardaning hawa nafsu katarik ing rubeda sasawangan kang anuntun lampah dudu
sayekti dadya angkara pamurunging capta sening."
Kidung itu sedemikian indah dan mengelus sanubari sehingga setelah tembang itu selesai, suasana terasa hening dan syahdu, dan banyak orang dusun Ngampil dekat Sumoroto diam-diam mengharapkan agar penembangnya melanjutkan kidung itu. Mereka semua tahu siapa yang menembang itu dan setiap orang mengaguminya. Akan tetapi, agaknya kidung itu hanya terhenti sampai di situ.
Dan di belakang sebuah pondok sederhana, menghadap ke kebun jagung, Suminten duduk di bangku bambu, berhadapan dengan Bargowo yang duduk di atas sebuh batu besar.
Koleksi Kang Zusi "Alangkah indahnya dan merdunya suaramu, Suminten," kata pria itu, sambil memandang penuh kagum. Cuaca di luar sudah remeng, akan tetapi di atas mereka tergantung sebuah lampu dan sinar lampu yang lemah tepat menerangi wajah gadis itu.
"Kakang Bargowo, harap jangan terlalu sering memujiku, nanti membuat aku ketagihan dan kalau sekali waktu tidak dipuji, akan mendatangkan perasaan kecewa dan duka." kata Suminten sambil tersenyum. Manis sekali dara bekas ledek Pacitan ini kalau tersenyum.
"Apa salahnya" Biar aku akan memujimu terus sampai kiamat! Memang suaramu indah, Suminten dan kidung tadi, lagunya Sekar Pangkur, bukan"
Kata-katanya demikian indahnya. Dari mana engkau mempelajarinya?"
"Kidung itu hanya hafalan, kakangmas, sebagai seorang penyanyi, aku harus hafal banyak macam kidung. Yang tadi adalah kidung Sekar Pangkur Arjuna Wiwaha."
"Arjuna Wiwaha" Aku pernah mendengar kisah itu, yang kadang disebut kisah Arjuna Mintaraga. Nimas, apakah andika mengerti arti dari kidung yang indah tadi?"
Suminten menundukkan mukannya, agak tersipu dan menggeleng kepalanya. "Aku hanya hafal akan kata-katanya saja, kakangmas. Siapa yang akan mengajakku memahami arti kata-kata yang amat mendalam itu?"
Bargowo menghela napas panjang dan tersenyum, "Arti kidung itu memang mendalam, tidak mengherankan kalau andika tidak mengerti artinya, Suminten. Nah, aku akan mencoba menjelaskan artinya kepadamu. Arti Koleksi Kang Zusi
kidung itu seperti ini kurang lebih."
Bargowo lalu mengartikan kidung Sekar Pangkur tadi.
"Tetepi Keliru tapa-brata adalah
Jika orang bertapa yang selalu membiarkan
hawa nafsu merajalela tertarik oleh godaan penglihatan yang membimbing ke jalan sesat
jelas menjadikan angkara murka
membatalkan kejernihan batin"
"Nah, begitulah kira-kira kidung yang kautembangkan tadi, Suminten."
Gadis ayu itu memandang kagum. "Wah, kiranya demikian mendalam, kakangmas. Aku hanyalah seorang ledek dusun yang bodoh, bagaimana mungkin dapat mengerti hal yang muluk-muluk itu?""Suminten, engkau selalu merendahkan dirimu. Bagiku engkau bagaikan seorang dewi khayangan. Engkau cantik jelita lahir batin. Engkau cantik, kalau menari seperti Dewi Supraba, dan suaramu merdu. Dan di samping keindahan lahiriah itu, aku tahu bahwa engkau berwatak lembut, bersusila, baik budi dan........"
Koleksi Kang Zusi "Ahhh...... Cukuplah, kakangmas. Kalau andika lanjutkan, bisa aku melambung ke awan-awan dan meletus di sana....." Gadis itu tertawa menutupi mulutnya dan Bargowo juga tertawa.
"Suminten, agaknya saat ini merupakan saat yang paling tepat bagiku untuk menyatakan perasaan hatiku padamu."
Melihat keseriusan pada suara dan tatapan mata pria itu, Suminten agak gemetar. "Apa..... apa maksudmu, kakangmas Bargowo?"
"Maksudku, aku melamarmu, Suminten. Aku ingin engkau menjadi isteriku, hidup bersamaku sebagai suami isteri sampai selamanya."
Suminten terbelalak. Ia telah ditolong oleh kakak beradik, yaitu Santiko dan Bargowo dan keduanya amat baik kepadanya. Bukan saja mereka telah menyelamatkan dari tangan Ganjur yang kemudian tewas di tangan mereka.
Bukan hanya sampai di situ kakak beradik itu menolongnya, akan tetapi karena khawatir akan gangguan kawan-kawan Ganjur, kakak beradik itu mengajaknya untuk ikut dengan mereka yang memimpin perkumpulan Dayatirta. Dan kini mereka tinggal di dusun Ngampil. Ia dan bibinya, yaitu bibi Warsinah, diberi tempat tinggal di pondok sederhana itu. Sikap kakak beradik itu terhadap dirinya baik, ramah dan sopan dan mereka sudah bergaul akrab. Dan seperti sering dilakukan oleh kakak beradik itu, senja hari itu Bargowo datang berkunjung dan mereka bercakap-cakap di belakang pondok. Tak disangkanya sama sekali bahwa Bargowo malam itu akan meminangnya! Dan hal ini memang selalu menjadi harapan hatinya!
Diam-diam Suminten telah jatuh hati kepada Bargowo yang lembut, tampan dan menjadi penolong utamanya itu.
Koleksi Kang Zusi "Kakangmas Bargowo," katanya lirih sambil menundukkan mukanya. "Aku....
aku bukan merendahkan diri, akan tetapi kenyataannya, aku hanyalah seorang ledek......"
"Sekarang tidak lagi, nimas!"
"........ yaah, bekas ledek dusun saja yang bodoh. Andika seorang ksatria yang akan mudah memperoleh jodoh seorang puteri bangsawan, kenapa andika meminangku......."
"Nimas Suminten, kau bertanya kenapa aku meminangmu" Karena aku cinta padamu, Suminten. Aku cinta padamu!"
Kepala itu semakin menunduk dan kedua pundak itu terguncang sediki, terdengar isak tertahan.
"Ehh" Kenapa, Suminten" Engkau...... engkau menangis?" tanya Bargowo khawatir kalau-kalau dia menyinggung hati gadis itu, lebih khawatir lagi kalau-kalau Suminten akan menolak cintanya.
"..............sudah....... sudah lama aku......... menanti ucapanmu itu......."
Bargowo terbelalak, lalu bangkit dan melangkah menghampiri. "Apa........"
Jadi kau........ kau menerima pinanganku, Suminten?" Dia duduk di dekat gadis itu, di atas bangku bambu.
Koleksi Kang Zusi Suminten menyusut air matanya dan mengangguk, lalu memberanikan diri mengangkat muka memandang, bibirnya tersenyum akan tetapi matanya mengandung air mata, lalu mengangguk. "Aku..... akan berbahagia sekali kakangmas......"
"Suminten...... pujaan hatiku, dewiku........!" Bargowo mendekap kepala gadis itu ke dadanya.
Dua orang muda yang sedang asyik-masyuk itu sama sekali tidak tahu bahwa tak jauh dari situ terdapat sepasang mata yang mencorong, mengintai dari kegelapan. Sinar mata itu semakin berapi-api, akan tetapi kemudian lenyap di balik semak-semak itu.
Pada keesokan harinya, Suminten agak kesingan bangun dari tidurnya sehingga bibinya sampai menggugahnya. "Minten........ Minten, bangun!
Matahari telah sejak tadi muncul dan engkau masih juga belum bangun!"
Bibi Warsinah sengaja membuka jendela kamar itu dan sinar matahari pagi menyorot masuk, membuat Suminten menggeliat seperti seekor kucing dan ia menggosok-gosok mata dengan punggung tangan karena silau.
"Wah, sudah sesiang ini" Maaf, bibi, tidurku nyenyak sekali. Belum pernah aku tertidur seperti tadi!" kata gadis itu dengan senyum bahagia karena teringat akan peristiwa semalam dan peristiwa itulah yang membuatnya begitu enak tidur. Bibinya tersenyum simpul. Kau kira aku tidak tahu, katanya dalam hati.
"Hemm, agaknya engkau dibuai mimpi indah. Sudahlah, cepat cuci muka dan berganti pakaian, itu di luar sudah ada anakmas Santiko menantimu."
Sepasang mata itu terbelalak. "Kakangmas Santiko" Sepagi ini dia sudah Koleksi Kang Zusi
datang berkunjung?" Hatinya kecewa karena bukan Santiko yang diharapkan berkunjung sepagi itu, melainkan kekasih hatinya, Bargowo.
"Cepatlah, jangan biarkan dia terlalu dia terlalu lama menanti. Dia agaknya membawa keperluan penting sekali pagi ini, wajahnya nampak begitu sungguh-sungguh, dan aku merasa takut menghadapinya."
Suminten turun dari pembaringan dan tersenyum lebar. Santiko memang beda dengan Bargowo. Kalau Bargowo lembut dan tampan, Santiko kasar dan keras, jujur dan brewokan, tinggi besar seperti Werkudoro. Namun, hatinya sama baiknya dengan Bargowo, ini ia tahu benar, maka ia merasa geli mengapa bibinya takut menghadapi Santiko yang demikian baik hati. Ia setengah berlari menuju ke kamar mandi, membersihkan badan lalu bertukar pakaian dan cepat membereskan rambutnya yang awut-awutan.
Suminten tidak seperti dahulu kalau hendak menari, selalu merias diri dengan cermat. Sekarang ia sederhana sekali, sama sekali tidak pesolek dan mengutamakan kebersihan. Namun hal ini tidak mengurangi daya tariknya, bahkan ia nampak selalu segar dan asli, bagaikan setangkai bunga yang mekar di waktu pagi, masih dihias butir-butir embun seperti mutiara.
Santiko terpesona ketika melihat Suminten keluar dari pintu dalam, diikuti Bibi Warsinah. Sejak pertama kali bertemu, hati perjaka yang kokoh dan keras ini sudah bertekuk lutut dan Santiko sudah tergila-gila kapada Suminten. Namun, perasaannya sebagai seorang pendekar selalu mengekangnya untuk menyatakan isi hatinya. Dia khawatir kalau-kalau pernyataan cintanya disalahartikan oleh Suminten, takut disangka dia menolong gadis itu karena mempunyai niat lain! Itulah sebabnya, sampai sekarang dia mengekang perasaannya dan pagi ini, setelah semalam menyaksikan adegan yang membuat hatinya panas terbakar antara Suminten dan Bargowo, dia mengambil keputusan untuk bertindak!
"Kakangmas Santiko, maafkan kalau aku terlambat menyambut kedatanganmu. Ada keperluan apakah yang membuat kakangmas sepagi ini Koleksi Kang Zusi
datang berkunjung?" tanya Suminten dengan sikap wajar dan lembut, ramah seperti biasa.
Akan tetapi, benar seperti dikatakan bibinya, Santiko bersikap berbeda dari biasanya. Tidak ada senyum di balik jenggotnya yang lebat dan sikapnya kaku, suaranya juga agak ketus.
"Duduklah, Suminten, dan andika juga, Bibi Warsinah. Aku datang untuk membicarakan urusan penting sekali dengan kalian." Sungguh tidak biasa ini, pikir Suminten. Biasanya, Santiko hanya ingin bicara berdua saja dengannya, dan Bibi Warsinah tidak pernah berani mengganggunya atau mencampuri percakapan mereka. Ada peristiwa apakah" Apakah perang telah bernyala lagi seperti yang pernah ia dengar dari kakak beradik itu bahwa perang belum selesai dengan kekalahan pasukan Mataram, bahkan pasti terjadi perang yang lebih besar lagi"
Suminten dan bibinya duduk dan gadis itu menatap wajah Santiko. Jelas nampak bahwa wajah itu risau, kedua mata yang lebar dan bersinar tajam itu agak kemerahan seperti mata orang yang kurang tidur. "Kakangmas, ada terjadi apakah" Engkau kelihatan risau......" kata Suminten penuh perhatian dan suara ini menyentuh hati Santiko. Seorang gadis yang baik, baik sekali, pikirnya.
Santiko adalaha seorang laki-laki yang jantan, yang tidak pernah mengenal rasa takut, tabah menghadapi bahaya apapun. Akan tetapi sekarang, berhadapan dengan Suminten, gadis berusia delapan belas tahun yang mungil dan lembut itu, jantungnya berdebar tegang, tangannya gemetar, dan lidahnya terasa kelu.
"Begini......... diajeng Suminten....." dia tergagap lagi, baru sekarang dia menyebut gadis itu diajeng, sebutan yang amat mesra sehingga Suminten juga mengangkat alis dan memandang heran. "Sebaiknya kutujukan saja kepada Bibi Warsinah. Bibi, karena andika merupakan pengganti orang tua Koleksi Kang Zusi
dan wali dari Suminten, maka kepada bibilah kusampaikan maksud hatiku ini. Aku....... aku melamar Suminten untuk menjadi isteriku!"
"ibi Warsinah tersenyum, dan Suminten terbelalak. Mereka tidak mampu menjawab. Bibi Warsinah tentu saja tidak berani mengambil keputusan dan menyerahkan keputusannya kepada Suminten, sedangkan Suminten tidak mampu menjawab karena baru semalam ia menyerahkan cintanya kepada Bargowo!
"Bagaimana, Bibi" Diterimakah lamaranku, atau ditolak?" Timbul ketegasannya kembali setelah Santiko dapat menenangkan hatinya dan sesuai dengan wataknya, dia tidak bertele-tele.
"Anakmas Santiko, bagaimana aku dapat menjawab" Sebaiknya, hal itu ditanyakan kepada Suminten sendiri karena ialah yang berhak menentukan jawabannya," kata Bibi Warsinah mengelak.
Santiko memandang kepada gadis itu. Sejenak pandang mata bertemu dan ia bertaut, akan tetapi Suminten lalu menundukkan mukanya. "Bagaimana, diajeng Suminten" Apakah aku cukup berharga untuk menjadi suamimu"
Ataukah engkau tidak mau menerima cintaku?"
Bukan main pemuda ini, pikir Suminten. Biarpun Bargowo juga menyatakan cintanya dengan jujur, namun tidak sekeras Santiko yang menghendaki kepastian seketika. Diterima atau ditolak!
"Kakangmas Santiko, aku menerima budi yang berlimpah darimu. Engkau seorang ksatria perkasa yang berbudi mulia, sedangkan aku hanya seorang ledek dusun yang miskin dan bapa, bahkan yatim piatu. Bagaimana aku Koleksi Kang Zusi
berani menganggap bahwa kakangmas tidak cukup berharga untuk menjadi suamiku. Akulah yang terlampau rendah bagimu, dan......"
"Jadi engkau tidak menolak" Engkau menerima pinanganku?" Santiko memotong tegas.
Suminten menggeleng kepala dan menghela napas panjang, hatinya risau sekali, dipenuhi kegelisahan. "Sungguh sayang sekali, kakangmas Santiko.
Baru saja malam tadi aku telah menerima pinangan kakangmas Bargowo....."
Santiko tidak terkejut, akan tetapi marah. "Hemm, apakah Bargowo sudah mengaju- kan lamaran secara resmi kepada Bibi Warsinah" Bibi, apakah adikku itu sudah meminang Suminten kepadamu?"
Bibi Warsinah menggelang kepala.nya "Belum, anakmas."
"Kalau begitu, pinangannya itu belum sah" Kalau begitu, berarti aku yang lebih dulu meminangmu, diajeng Suminten!"
"Tapi....tapi..... kakangmas Santiko......"
"Tapi apa lagi, diajeng Suminten" Aku lebih berhak karena aku yang lebih dahulu meminangmu. Juga aku lebih tua, aku sebagai kakaknya yang pantas untuk menikah lebih dulu. Kecuali, tentu saja, kalau engkau tidak suka menjadi isteriku, aku tidak akan dapat memaksamu."
Suminten tidak mampu menjawab dan tiba-tiba ia menangis, sesenggukan.
Koleksi Kang Zusi Bibinya mendekati dan merangkul, menyuruhnya tenang.
"Hemm, kenapa menangis diajeng Suminten" Dengarlah baik-baik. Kalau engkau tidak menolak cintaku, kalau engkau suka menjadi isteri maka akulah yang berhak menikahimu, karena aku yang lebih dahulu meninangmu, dan di antara kami berdua, aku yang lebih tua sehingga aku yang lebih pantas untuk menikah lebih dulu. Kalau engkau tidak menolak, engkau akan menjadi isteriku. Akan tetapi kalau sebaliknya engkau menolak pinanganku, kaalu engkau tidak suka menjadi isteriku, maka aku akan pergi dan tidak akan memaksamu."
Tentu saja amat sukar bagi Suminten untuk menjawab. Kalau ia mengatakan menolak, hal itu selain tidak sesuai dengan suara hatinya yang tentu saja ingin membalas budi, ia tidak ingin menyinggung hati ksatria ini yang tentu akan merasa terhina oleh penolakannya. Kalau ia menyatakan menerima, lalu bagaimana dengan Bargowo yang dicintanya" Aneh sekali, dalam keadaan seperti itu, ia teringat akan pengalaman-pengalamannya yang lalu ketika ia masih menjadi ledek. Betapa seringnya ia dihadapkan dengan keadaan semacam ini, menjadi rebutan dan persaingan diantara dua atau bahkan lebih pria-pria yang ingin berjoget dengannya. Akan tetapi sekali ini, yang memperebutkan dirinya adalah dua orang ksatria yang dipujanya, dan mereka bukan sekedar ingin berjoget, hal yang dapat dilakukan secara bergantian, melainkan memilikinya untuk diri sendiri, tidak boleh berbagi dengan orang lain, sebagai isteri.
"Suminten jawablah, aku menghendaki keputusan sekarang juga!" kata Santiko, mendesak, setelah melihat gadis itu diam dan nampak ragu dan bimbang.
"Kakangmas Santiko, betapa sukarnya mengambil keputusan. Sungguh mati, bukan aku menolak pinanganmu, kakangmas, akan tetapi bagaimana aku dapat menerimanya kalau malam tadi aku sudah menerima pinangan kakangmas Bargowo" Biarpun dia belum melamar kepada bibi, akan tetapi Koleksi Kang Zusi
dia sudah melamar langsung kepadaku dan aku sudah menerimanya. Aku tidak mungkin mengingkari janji dan menyangkal kata-kata sendiri.
Maafkan aku, kakangmas."


Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jadi engkau menolak lamaranku?" Ucapan itu dikeluarkan dengan suara yang galak sehingga Suminten dan Bibi Warsinah merasa takut. Wajah Santiko menjadi merah dan sinar matanya jelas menunjukkan kemarahan.
Pada saat itu, terdengar orang berkata dari luar, "Kakang Santiko, cinta tidak dapat dipaksakan, dan diajeng Suminten mencintaku. Kami saling mencinta dan telah berjanji akan manjadi suami isteri."
Bargowo muncul dan Santiko memandang kepada adiknya itu dengan mata berang. Dia bukan hanya merasa kecewa dan iri hati, akan tetapi juga merasa malu karena di depan Suminten dan Bibi Warsinah, dia merasa dikalahkan oleh adiknya sendiri. Dia akan menjadi buah tertawaan mereka, pikirnya dengan hati menjadi semakin panas.
"Bargowo!" teriaknya sanbil menudingkan telunjuknya ke arah muka adiknya itu. "Engkau memang berwatak pengkhianat! Di dalam hatimu engkau condong membela Mataram dan mengkhianati Ponorogo. Dan sekarang biarpun engkau tentu dapat mengetahui bahwa aku mencinta diajeng Suminten, engkau telah mendahuluiku, berarti telah mengkhianati kakakmu sendiri! Mulai sekarang engkau bukan adikku lagi!" Setelah berkata demikian, Santiko keluar dari pondok itu dengan langkah lebar.
"Kakang Santiko........!" Bargowo memanggil, akan tetapi Santiko tidak menoleh dan tahulah Bargowo bahwa dalam keadaan marah seperti itu, kakaknya sukar diajak bicara baik-baik maka dia akan membiarkan sampai kemarahan kakaknya mereda. Dia hanya menghela napas ketika Suminten menghampirinya sambil menangis.
Koleksi Kang Zusi "Kakangmas, bagaimana ini sebaiknya?" katanya di antara isak tangisnya.
"Anakmas Bargowo, saya takut melihat anakmas Santiko. Di marah sekali."
kata Bibi Warsinah. "Kakangmas, aku khawatir sekali. Dia kelihatan amat marah kepadamu."
kata pula Suminten. "Jangan khawatir, biarkan aku yang akan menghadapi kakang Santiko.
Kalau hatinya sudah dingin, aku akan bicara dengan dia, tentu dia mau mengerti. Sekarang yang penting kita bicarakan kepastian hari pernikahan kita. Setelah timbul urusan dengan kakang Santiko, memang sebaiknya kalau kita cepat menikah, diajeng Suminten."
Gadis itu menarik napas panjang, merasa agak tenang melihat sikap kekasihnya yang tenang. "Terserah kepadamu, kakangmas. Kuharap saja tidak terjadi hal-hal yang buruk sebagai akibat peristiwa dengan kakangmas Santiko tadi."
Akan tetapi ternyata Santiko tetap marah, bahkan tidak menanggapi kalau Bargowo mengajaknya bicara, dan selalu menjauhkan diri. Melihat ini, Bargowo juga mendiamkan saja dan mengurus pernikahannya dengan Suminten yang dirayakan secara sederhana, hanya dihadiri para anggota Dayatirta dan para penghuni dusun Ngampil.
Dan pada hari pernikahan itu, sepekan semenjak Santiko melamar Koleksi Kang Zusi
Suminten, Santiko tidak hadir, juga belasan orang anggota Dayatirta.
Ternyata Santiko bersama belasan orang kawannya pergi meninggalkan dusun Ngampil tanpa pamit.
Mendengar ini Suminten merasa khawatir, akan tetapi suaminya menghiburnya. "Biarlah, agaknya memang bagitu yang terbaik. Sejak kecil memang watak kakang Santiko keras dan selalu berlawanan dengan aku.
Kami saling menyayang, akan tetapi juga saling bertentangan karena perbedaan pendapat dalam hidup. Tidak perlu kaususahkan dan risaukan, diajeng."
Dan semenjak hari itu, mereka menjadi suami isteri yang saling mencinta.
Bargowo dan kawan-kawannya yang berjumlah kurang lebih tiga puluh orang masih tetap melakukan tugas sebagai pendekar yang menentang kejahatan dan melindungi rakyat dari ganguan para penjahat. Nama Dayatirta menjadi terkenal di kalangan rakyat semenjak terjadi parang dengan Mataram itu, karena sudah banyak rakyat yang mereka tolong. Para penjahatpun merasa jerih berurusan dengan perkumpulan Dayatirta yang memiliki anggota-anggota yang tangguh.
*** Dengan restu Sang Prabu Hanyokrowati, Ki Sinduwening membuka sayembara pemilihan calon suami untuk puterinya. Mawarsih. Karena sayembara ini diadakan secara terbuka dan resmi, apa lagi mendapat restu dari Sribaginda sendiri, maka orangpun berbondong-bondong datang pada hari yang telah ditentukan, memasuki pekarangan yang luas dari rumah Ki Sinduwening. Di pekarangan itu telah dibangun sebuah panggung yang kokoh kuat, dan di bawah panggung, di pakarangan itu disediakan bangku-bangku yang banyak jumlahnya. Terutama sekali para pria muda berdatangan, kalaupun tidak hendak memasuki sayembara, tentu untuk menonton karena semua orang dapat menduga bahwa dalam sayembara memilih calon suami yang syaratnya mengadu kedigdayaan itu, tentu akan terjadi pertandingan yang ramai dan seru.
Kiranya Ki Sinduwening tidak akan berani lancang mohon restu Sribaginda untuk urusan memilih mantu kalau saja di balik pemilihan calon mantu itu Koleksi Kang Zusi
tidak ada maksud lain yang berkenan di hati Sribaginda. Dalam sayembara itu tentu akan berdatangan orang-orang muda yang digdaya, mengingat bahwa sayembara itu diadakan dengan mengadu aji kesaktian. Dan pada waktu itu, Mataram sedang menyusun kekuatan untuk melakukan penyerbuan ke timur, maka tentu saja tenaga para muda yang digdaya amat dibutuhkan. Maka, sayembara memilih jodoh ini mempunyai maksud lain, ialah mengumpulkan orang-orang yang berkepandaian untuk ditarik dan dibujuk membantu dan memperkuat pasukan Mataram.
Setelah matahari naik agak tinggi, pekarangan itu telah dipenuhi pendatang, dan beberapa orang perajurit keamanan yang berjaga di situ oleh Ki Sinduwening ditugaskan untuk menerima pendaftaran mereka yang ingin memasuki sayembara. Sebetulnya, semua orang sudah tahu belaka siapa Mawarsih, tahu bahwa gadis yang mengadakan sayembara memilih jodoh itu adalah seorang gadis berusia delapan belas tahun yang cantik jelita, memiliki kegidayaan, puteri Ki Sinduwening yang menjadi pembantu Sribaginda yang dipercaya. Siapa yang berhasil memenangkan sayembara itu, berarti akan memperoleh seorang isteri yang cantik dan perkasa, juga menjadi mantu seorang yang memiliki kedudukan tinggi dan nama besar!
Banyak sekali pemuda yang tentu saja ingin sekali memperisteri Mawarsih, akan tetapi mereka ragu dan jerih untuk dapat memenangkan gadis itu, apa lagi harus mencari wali yang akan mampu menandingi Ki Siduwening. Banyak yang mundur teratur menghadapi syarat yang bagi mereka dianggap terlalu berat itu. Biarpun demikian, banyak pula yang ingin coba-coba, andaikata akan kalahpun, setidaknya mereka sudah memperlihatkan diri untuk menarik perhatian sang dara. Maka, ketika akhirnya orang yang dinanti-nanti, yaitu Mawarsih bersama Ki Sinduwening keluar dan naik ke panggung, disambut sorak sorai para penonton, yang ikut mendaftarkan terdapat dua belas calon!
Para penonton, terutama para calon menujukan pandang mata mereka semua kepada Mawarsih. Banyak di antara mereka yang menelan ludah,dan mereka yang ragu-ragu dan jerih, yang tidak berani mengajukan diri sebagai calon walaupun hati mereka tertarik, kini merasa menyesal sekali mengapa mereka tidak berani mendaftarkan diri. Mawarsih nampak cantik jelita dan anggun sekali pagi itu. Rambutnya yang hitam lebat dan panjang itu halus mengkilap, digelung ke belakang dengan sederhana dan karena ia menghadapi sayembara di mana ia akan bertanding pencak silat, gelung rambutnya diperkuat tusuk sanggul dan diikat agar gelung itu tidak sampai Koleksi Kang Zusi
terlepas nanti. Sinom atau anak rambut di dahinya masih melingkar lingkar tipis. Alis di matanya juga hitam kecil dan panjang melengkung seperti di lukis. Sepasang matanya bersinar-sinar tajam seperti bintang kejora.
Hidungnya kecil mancung dan bibirnya merah basah dipermanis lekuk di pipi kanan dan tahi lalat kecil di pipi kiri. Kedua pipinya, di bawah tepi mata, kemerahan tanpa pemerah. Tubuhnya sintal dan kenyal, padat, tubuh seorang dara yang sedang mekar, kulitnya kuning mulus. Pakaiannya serba hitam dan ringkas, kedua lengan baju tergulung sampai ke siku, dan kainnya juga tersingkap sampai ke betis agar membuat gerakannya mudah dan leluasa. Betis dan lengan yang nampak putih kuning mulus itu menambah daya tariknya.
Semua yang hadir bangkit berdiri tanpa diperintah ketika ayah dan puterinya ini muncul, Ki Sinduwening membungkuk ke semua penjuru, lalu mengangkat kedua tangan memberi salam kepada para tamunya dan mempersilakan mereka semua duduk kembali. Dia dan puterinya juga duduk di bangku yang sudah disediakan di atas panggung.
Kemudian, Ki Sinduwening berdiri kembali dan mengangkat kedua tangan memberi isarat kepada semua orang agar menaruh perhatian dan tidak gaduh karena suasana seperti dalam pasar saja ketika semua orang berbisik dan saling bicara memuji kecantika Mawarsih. Semua orang berdiam dan Ki Sinduwening lalu bicara dengan suaranya yang mantap dan tenang. Dia mengamati sehelai catatan yang tadi diterimanya dari penjaga yang mencatat nama dua belas orang calon.
Saudara sekalian! Sambutan ini kami tujukan kepada dua belas orang pemuda yang sudah mendaftarkan diri sebagai calon, juga kepada para penonton yang menjadi saksi sayembara ini." Ki Sinduwening lalu menjelaskan tentang peraturan sayembara. Karena yang mencalon ada dua belas orang, maka akan diadakan undian pertama untuk menentu- kan siapa yang lawan siapa. Enam orang pemenangnya akan melakukan pertandingan ke dua, dan kembali diadakan undian untuk menentukan lawan. Pemenang dari pertandingan babak ke dua ini, tinggal tiga orang, akan ditambah dengan Mawarsih, menjadi empat orang dan diundi untuk menentukan Koleksi Kang Zusi
lawan. Pemenangnya, tinggal dua orang, akan dipertandingkan dan pemenangnya merupakan calon terkuat untuk dapat diterima sebagai jodoh Mawarsih. Yang akan menentukan adalah wali dari pemenang itu, yang harus mampu menandingi dan mengalahkan Ki Sinduwening.
"Saudara sekalian, sayembara ini diadakan dengan niat yang baik, bukan untuk mencari permusuhan, oleh karena itu, pertandingan ini dilakukan dengan tangan kosong, tanpa senjata, dan akan diiringi gamelan agar para peserta tidak lupa bahwa pertandingan ini merupakan perkenalan persahabatan, bukan permusuhan. Diharapkan agar tidak ada yang sampai terluka parah, apa lagi sampai tewas. Akan tetapi kalau ada yang terluka atau bahkan tewas karena tidak di sengaja, tidak boleh ada yang mendendam. Kalau ada calon yang tidak setuju dengan peraturan ini, sebaiknya mundur sebelum memulai."
Tepuk tangan yang menyambut ucapan itu menandakan bahwa tidak ada yang tidak setuju karena peraturan itu dianggap sudah cukup adil. Ki Sinduwening kembali memberi isarat agar semua orang tenang, kemudian dia berkata lagi.
"Sayembara ini juga dimaksudkan untuk berkenalan dan mencari saudara-saudara yang berilmu dan tangguh. Sribaginda Raja sendiri yang mengharapkan agar para saudara yang gagal dalam sayembara ini, suka menyumbang tenaga dan kepandaian mereka untuk memperkuat pasukan Mataram, membantu kerajaan untuk menundukkan daerah-daerah yang memberontak demi keutuhan dan persatuan seluruh wilayah Mataram.
Dengan demikian, kita semua akan tetap menjadi saudara, saudara seperjuangan! Sekarang, kami akan memanggil nama para calon dan diharapkan agar nama yang dipanggil suka naik ke panggung."
Dengan suara lantang, Ki Sinduwening lalu memanggil nama-nama para pengikut sayembara, didengarkan dengan penuh perhatian oleh semua orang, terutama sekali oleh Mawarsih. Dapat dibayangkan betapa kecewa rasa hati Mawarsih ketika nama-nama itu disebut, tidak terdapat nama Banuaji, walaupun di dalam hati dia sudah tahu bahwa andaikata Banuaji Koleksi Kang Zusi
hadir pula di antara penonton, pemuda itu pasti tidak akan berani mencalonkan diri karena dia hanya memiliki keberanian luar biasa dan kecedikan saja, tidak memiliki kedigdayaan. Mawarsih masih mengharapkan kalau-kalau di antara nama-nama para calon itu terdapat nama asli Si Kedok Hitam. Akan tetapi begaimana ia bisa tahu siapa di antara mereka itu yang menjadi Si Kedok Hitam" Ia masih berharap-harap cemas ketika ia mengamati seorang demi seorang dua belas orang calon yang berdiri di tepi panggung, berderet menghadap kepadanya. Mereka itu semua adalah pria-pria muda yang nampak gagah perkasa. Mudah diduga bahwa mereka tentulah orang-orang muda yang memiliki kedigdayaan, karena kalau tidak demikian, siapa berani memasuki sayembara yang syarat bertanding mengadu kedigdayaan itu" Ketika pandang mata Mawarsih bertemu dengan pandang mata seorang di antara mereka, gadis itu merasa ngeri dan jantungnya berdegup kencang, bukan karena kagum atau girang, melainkan kerena gentar. Dia seorang laki-laki yang tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, usianya sekitar tiga puluh tahunan. Tubuhnya yang tinggi besar itu nampak kekar dan kokoh seperti batu karang, bajunya terbuka di bagian dada, memperlihatkan dada yang bidang dan berotot juga ditumbuhi rambut. Wajahnya membuat Mawarsih merasa serem, karena kulit mukanya bopeng, penuh luka bekas cacar. Matanya lebar berotot, hidungnya bengol dan mulutnya besar dengan bibir tebal. Orang ini memang segala-galanya nampak tebal dan kuat, kedua lenganya itu sebesar kaki Mawarsih! Ngeri gadis itu membayangkan dirinya menjadi isteri laki-laki seperti ini.
Sesuai dengan peraturan yang telah ditentukan, Mawarsih sendiri yang melakukan undian pertama. Laki-laki yang mengerikan tadi bernama Malangkoro dan dalam undian itu, dia bertemu di antara dua belas calon yang benama Danur, seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun yang brewok dan gagah. Danur ini seorang pemuda yang berasal dari Gunung Kidul. Gamelan segera ditabuh dan suasana menjadi tegang karena semua orang sudah siap untuk menonton pertandingan sayembara itu, yaitu babak pertama di mana dua belas orang itu diadu dan pemenangnya akan tinggal enam orang.
Sesuai dengan nomor urut yang sudah ditentukan sebelumnya, pertendingan pertama dimulai. Dua orang peserta maju dan setelah diberi Koleksi Kang Zusi
tanda oleh Ki Sinduwening yang bertindak sendiri sebagai wasit, kedua orang muda itu mulai saling serang dengan seru. Akan tetapi pertandingan ini tidak berlangsung lama. Baru kurang lebih lima belas jurus saja, seorang di antara mereka terkena pukulan pada rahangnya dan diapun roboh pingsan. Dia segera digotong turun dari panggung dan pemenangnya memberi hormat kepada Ki Sinduwening dan dipersilakan turun pula dari atas panggung dan menantikan babak kedua. Demikianlah, sepasang demi sepasang diadu dan para pemenangnya duduk berkumpul di bawah panggung. Setiap kali ada yang menang, penonton menyambutnya dengan sorak-sirai. Suasana menjadi meriah ketika para penonton mulai bertaruhan. Gamelan dipukul semakin gencar. Pertandingan terakhir, sesuai dengan nomor urut, adalah antara Malangkoro melawan seorang pemuda jangkung yang mukanya penuh brewok. Birapun pemuda jangkung itu nampak cukup kuat, namun dia agak gentar juga ketika berhadapan dengan raksasa itu di atas panggung. Gamelan dipukul gencar dan Malangkoro tertawa bergelak menghadapi lawannya.
"Hua-ha-ha-ha! Lebih baik andika mundur saja dan mengaku kalah, kawan, dari pada kesakitan." kata Malangkoro.
"Hemm, jangan sombong dulu, kawan!" kata si jangkung brewok.
"Siapa sombong" Kalau aku, Malangkoro, tidak mampu merobohkanmu dalam waktu sepuluh jurus, anggap saja aku kalah!" Raksasa itu berkata lantang. Semua orang terkejut. Raksasa yang tidak mereka kenal itu sungguh sombong. Danur, pemuda brewok itu, adalah seorang perajurit yang sudah terkenal kekuatannya. Mungkin saja Malangkoro dapat memangkan pertandingan itu, akan tetapi kurang dari sepuluh jurus"Gila!
Orang-orang mulai ramai bertaruh dan kebanyakan condong menjagoi Danur bahwa pemuda itu akan mampu bertahan sampai sepuluh jurus dan dianggap menang!
Danur yang merasa dipandang rendah, segera memasang kuda-kuda dengan sikap gagah sekali. Dia membuka pasangan, mula-mula kedua kakinya merapat, kedua tangan digerakkan berputar, yang kiri dari atas, Koleksi Kang Zusi
yang kanan dari bawah, bertemu di depan dada merupakan sembah, kemudian kedua kakinya terpentang miring menghadapi lawan, tangan kiri menyilang depan perut, tangan kanan diangkat tinggi di atas kepala, bentuk kedua lengan itu melengkung dan jari-jari tangannya terbuka, mukanya yang brewok menunduk akan tetapi kedua matanya mengerling ke depan, ke arah lawan. Dia nampak gagah sekali dan penuh semangat ketika membuka pasangan kuda-kuda ini, membesarkan hati mereka yang menjagoinya dan dia disambut tepuk tangan.
Malangkoro hanya mengeluarkan suara ha-he-he, sama sekali tidak memasang kuda-kuda seperti lawannya, akan tetapi kedua tangannya tiba-tiba meluncur ke depan, dan jari-jari tangan yang panjang besar itu dibuka seperti hendak menangkap.
"Plakk! Plakk!" Danur menangkis dari samping ke arah kedua lengan Malangkoro, akan tetapi betapa kagetnya ketika dia merasa kedua lengannya yang menangkis itu terpental dan terasa nyeri, seolah yang ditangkisnya adalah panggada baja. Dia maklum bahwa raksasa itu kuat sekali, maka dia harus mengandalkan kecepatannya.
"Hyaaaattt.......!!" Dia mengeluarkan seruan nyaring dan kakinya sudah mencuat ke arah muka Malangkoro. Tendangan menyilang itu cepat dan kuat sekali, akan tetapi Malangkoro yang gerakannya lamban itu tidak mengelak, melainkan miringkan mukanya dan menerima tendangan itu dengan pundaknya.
"Dukkk.......!!" Bukan yang kena tendangan yang roboh, melainkan yang menendang terdorong ke belakang dan tentu akan terjengkang kalau saja Danur tidak cepat membuang diri ke samping dan bergulingan.
"Ha-ha-ha-ha!" Malangkoro tertawa dan bertolak pinggang, membuka Koleksi Kang Zusi
bajunya bagian depan sehingga dada dan perutnya telanjang penuh rambut.
Mawarsih yang sejak tadi menonton penuh perhatian, merasa gentar juga.
Raksasa itu sungguh merupakan lawan yang tangguh, pikirnya.
Danur meloncat bangun kembali, wajahnya agak merah karena dalam dua gebrakan atau dua jurus itu tadi, jelas bahwa raksasa itu berada di pihak unggul. Akan tetapi masih ada delapan jurusa lagi, pikirnya. Kalau aku terus menyerang, tidak memberi kesempatan kepadanya membalas, tentu aku akan mampu bertahan sampai delapan jurus lagi dan menang. Setelah berpikir demikian, dia mempergunakan kesempatan selagi raksasa itu bertolak pinggang dan tertawa-tawa, cepat dia menerjang ke depan dan mengirim pukulan dengan kedua tangan bertubi-tubi ke arah dada dan perut Malangkoro.
Sungguh menakjupkan. Malangkoro sama sekali tidak mengelak atau menangkis, melainkan membiarkan dada dan perutnya menjadi bulan-bulan pukulan kedua tangan Danur. Terdengar suara bak-bik-buk, akan tetapi setiap kali tangannya mengenai dada atau perut raksasa itu, Danur merasa seperti memukul benda dari karet saja, pukulannya membalik dan tangannya terpental sedangkan yang dipukul, jangankan roboh, berkedippun tidak.
"Ha-ha-ha, boleh kau pilih, kawan. Sesukamu hedak memukul yang mana.
Depan atau belakang?" Malangkoro lalu membalikkan tubuh membelakangi lawan dengan kedua tangan masih di pinggang.
Tentu saja mereka yang menjagoi Malangkoro dalam taruhan, sudah tertawa-tawa gembira. Melihat lagak lawan, wajah Danur menjadi merah sekali dan diapun kini mengerahkan seluruh tenaganya ke dalam tangan kanannya dan sambil mengeluarkan bentakan nyaring, tangan itu menghantam ke arah punggung yang lebar itu.
"Desss......!!" Hebat sekali hantaman itu dan terdengar suara krek-krek Koleksi Kang Zusi
disusul terhuyungnya tubuh Danur yang memegangi tangan kanan dengan tangan kirinya. Agaknya tulang-tulang kecil dari tangannya patah-patah ketika bertemu dengan punggung yang oleh pemiliknya dibuat menjadi sekeras baja itu. Sambil tertawa, Malangkoro menggerakkan kakinya menendang dan tubuh Danur melayang ke bawah panggung. Dia kalah sebelum sepuluh jurus.
Sorak sorai menggegap gempita menyambut kemenangan Malangkoro yang memang amat mengagumkan itu. Mawarsih menyembunyikan kegelisahan hatinya ketika ia mewakili ayahnya membuat undian lagi untuk pertandingan babak ke dua, antara enam orang pemenang itu. Dan diam-diam, lima orang pemenang yang lain mengharap agar mereka tidak bertemu dengan Malangkoro dalam babak ke dua ini. Semua orang juga ngeri menyaksikan sepak terjang Malangkoro.
Akan tetapi undian telah dilakukan dan yang menjadi lawan Malangkoro dalam babak ke dua ini adalah seorang pemuda dari Pegunungan Dieng yang bernama Panjalu. Pemuda ini bertubuh sedang dan wajahnya cukup tampan walaupun hidungnya agak pesek. Panjalu ini dalam babak pertama tadi juga dapat memenangkan pertandingan dengan mudah sehingga dia termasuk seorang pemuda gemblengan yang cukup digdaya. Akan tetapi, wajahnya menjadi agak pucat dan pandang matanya liar ketika undian menyatakan bahwa lawannya dalam babak ke dua adalah raksasa burik itu. Akan tetapi, urutan pertandingan baginya dalam babak ke dua itu adalah yang terakhir, setelah dua pertandingan mendahuluinya.
Pertandingan babak ke dua memang lebih gayeng. Hal ini adalah karena yang bertanding adalah para pemenang babak pertama. Yaitu pemuda-pemuda yang memiliki kedigdayaan. Pertandingan pertama dan ke dua berjalan seimbang dan ramai sekali sehingga setelah melalui pertandingan yang seru, muncullah kedua orang pemenangnya. Setelah itu barulah Malangkoro maju, dihadapi Panjalu dan seperti juga tadi, banyak orang condong menjagoi Malangkoro.
Koleksi Kang Zusi Ki Sinduwening yang memimpin pertandingan sebagai wasit sejak tadi juga mengamati dengan penuh perhatian seperti puterinya, karena peristiwa itu merupakan peristiwa teramat penting baginya, yaitu memilihkan calon suami untuk anak tunggalnya. Kalau sampai salah pilih! Ngeri dia membayangkan kemungkinan ini. Kini, melihat sepak terjang Malangkoro, hatinya juga diliputi kekhawatiran. Apa lagi dia tahu benar isi hati puterinya. Puterinya relah jatuh cinta kepada pemuda pemberani bernama Banuaji itu. Akan tetapi, dalam sayembara seperti ini, bagaimana mungkin Banuaji akan mampu mengikuti" Dan puterinya juga jatuh cinta atau kagum sekali kepada Si Kedok Hitam, ksatria yang selalu menyembunyikan mukanya itu, akan tetapi yang jelas memiliki kedigdayaan hebat. Tentu puterinya mengharapkan kemunculan Si Kedok Hitam, seperti harapannya pula. Akan tetapi, yang manakah di antara mereka ini Si Kedok Hitam, kalau memang orang berahasia itu muncul" Yang jelas, Si Kedok Hitam itu bukan Malangkoro, karena bentuk tubuh Si Kedok Hitam tidaklah sebesar Malangkoro dan hal ini setidaknya melegakan hatinya.
Kini Malangkoro berhadapan dengan Panjalu. Panjalu tadi telah melihat betapa lawannya ini memiliki tubuh yang kebal. Oleh karena itu, diapun tidak mau membuang tenaga dengan menyerang tubuh yang kebal itu. Dia memiliki gerakan yang gesit dan bagaikan seekor burung sikatan tubuhnya menyambar-nyambar di sekitar tubuh Malangkoro dan dia melancarkan serangan yang ditujukan ke bagian anggota tubuh yang lemah dari lawannya. Yang menjadi sasaran seranganya adalah bawah pusar, tenggorokan, telinga dan mata, juga tengkuk. Dan ternyata seperti yang diduganya. Malangkoro tidak membiarkan bagian-bagian tubuh ini terkena serangan lawan, dan mulailah dia menangkis dan membalas serangan lawan dengan dahsyat. Memang hebat sekali gerakan raksasa ini. Setiap kali tangannya menyambar, terdengar angin bersiutan dan lawan sudah merasakan serangan angin lebih dahulu sebelum tangan yang besar itu datang. Panjalu tidak berani menyambut dan dia hanya mempergunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak. Dan dia gencar menyerang bagian tubuh berbahaya dari lawan.
Pertandingan ini memang seru sekali sehingga para penonton bersorak-sorai. Panjalu memiliki gerakan lincah, akan tetapi jelas dia kalah jauh dalam hal tenaga, maka dia selalu menjaga agar jangan sampai dia terkena pukulan. Sampai dua puluh lima jurus terlewat dan masih belum ada yang Koleksi Kang Zusi
menang. Malangkoro menjadi marah sekali. Lawannya terlampau gesit, seperti kera, sukar disentuh. Tiba-tiba, dia mengeluarkan bentakan yang amat dahsyat sambil membanting kaki. Seluruh panggung tergetar oleh bantingan kaki ini dan bentakan dahsyat itu membuat banyak orang yang hampir terpelanting! Panjalu juga terkejut dan terpengaruh bentakan itu sehingga untuk beberapa detik lamanya, dia tertegun. Yang beberapa detik ini cukuplah bagi Malangkoro. Panjalu sendiri tidak tahu bagaimana terjadinya, tahu-tahu dia telah terangkat ke atas dan tubuhnya yang dipegang kedua tangan raksasa itu diputar-putar. Kemudian, dengan bentakan hebat, Malangkoro melemparkan tubuh Panjalu ke bawah panggung. Tubuh itu terlempar seperti terbang dan menimpa penonton yang berada agak jauh. Penonton bersorak dan tentu saja Panjalu yang tidak mampu melanjutkan pertandingan, dianggap kalah mutlak.
Kini jumlah pemenang tinggal tiga orang. Pertama adalah Malangkoro, kedua seorang pemuda berusia dua puluh tiga tahun bernama Senggono, seorang perwira pasukan Mataram yang bentuk tubuhnya seperti Gatutkaca, gagah perkasa, sedangkan pemenang ke tiga bernama Jayanto, seorang pemuda berusia dua puluh satu tahun yang berwajah tampan dan lembut gerak-geriknya, namun matanya bersinar tajam.
Ktika dengan jantung berdebar tegang Mawarsih hendak mengundi, siapa yang akan saling berhadapan dalam babak ke tiga ini dan siapa pula yang akan menandingnya karena dia sendiri harus terjun di babak ke tiga itu untuk melangkapi jumlah yang ganjil, Malangkoro dengan suara yang lantang berkata kepada Ki Sinduwening.
"Paman Sinduwening, untuk mempersingkat waktu dan menjaga agar diajeng Mawarsih tidak usah bertanding dua kali, maka saya bersedia untuk sekaligus menghadapi dua orang pemenang ini. Biar mereka maju berdua melawan saya!"
Tentu saja semua orang tertegun mendengar ucapan lantang ini. Betapa Koleksi Kang Zusi
sombong- nya Malangkoro! Menantang agar dikeroyok dua! Mendengar ucapan ini, Ki Sinduwening mengerutkan alisnya dan menjawab dengan lantang pula.
"Peraturan sayembara telah ditentukan sebelumnya dan telah diumumkan, kalau hendak diadakan perubahan, maka hal itu harus disetujui oleh semua orang, yaitu pertama oleh yang mengadakan sayembara, dalam hal ini Mawarsih, ke dua oleh para peserta, yaitu ke dua orang anakmas ini, dan ke tiga harus disetujui oleh penonton!" Biarpun di dalam hatinya Ki Sinduwening tentu saja setuju dengan permintaan Malangkoro, namun sebagai seorang senopati yang tangguh perkasa dan adil, dia mengajukan syarat itu.
"Ha,ha, itu tidak adil sekali, paman. Biar saya tanyakan sekarang juga kepada mereka yang brsangkutan. Diajeng Mawarsih, setujukah andika dengan permintaan saya tadi untuk sekaligus menghadapi dan mengalahkan dua orang peserta pemenang babak ke dua" Setelah saya menang, barulah diajeng maju menandingi saya."
Mawarsih jug bukan seorang bodoh. Sejak tadi ia merasa ngeri kalau-kalau Malangkoro yang akan keluar sebagai pemenang dalam pertandingan sayembara ini. Kalau Mayangkoro menandingi pengeroyokan dua orang muda itu, lebih banyak harapan raksasa itu akan kalah. Mendengar pertanyaan itu, tanpa ragu lagi iapun mengangguk, "Aku setuju."
"Ha-ha-ha!" Malangkoro tertawa gembira lalu menghadapi dua orang pemuda itu. "Bagaimana dengan kalian berdua" Berani dan setujukah kalian berdua maju bersama dan mengeroyok aku?"
Baik Senggono maupun Jayanto memang diam-diam merasa ngeri juga melawan Malangkoro satu lawan satu, kini mendapat kesempatan untuk maju berbareng menghadapi raksasa itu, tentu saja merasa lega.
Koleksi Kang Zusi "Aku setuju!" kata Senggono.
Aku juga setuju!" kata pula Jayanto.
Sambil tersenyum lebar malangkoro menghadap Ki Sinduwening. "Paman Sinduwening, diajeng Mawarsih telah setuju dan dua orang peserta itupun telah setuju."
"Hemm, masih belum ditanyakan kepada para penonton yang menjadi saksi pertandingan sayembara ini." kata Ki Sinduwening yang kini berdiri di panggung lalu bertanya kepada penonton, "Kami minta pendapat para penonton yang menjadi saksi sayembara ini. Setujukah kalian dengan usul Malangkoro itu?"
Para penonton agaknya juga tidak rela kalau Mawarsih yang demikian cantik jelita akan terjatuh ke tangan seorang raksasa buruk dan kasar seperti Malangkoro. Juga mereka ingin menyaksikan pertandingan yang lebih seru, maka serentak mereka menyatakan persetujuan mereka sambil bersorak-sorai. Ki Sinduwening mengangguk-angguk.
"Baiklah," katanya dengan lantang dan hatinya merasa lega. "Karena semua pihak setuju, maka diadakan sedikit perubahan dalam babak ke tiga ini.
Malangkoro akan menghadapi du orang lawan sekaligus, yaitu anakmas Senggono dan Jayanto. Pemenang pertandingan ini barulah akan menghadapi kami ayah dan anak, satu lawan satu." Para penonton bersorak gembira dan Ki Sinduwening membari isarat kepada tiga orang yang hendak bertanding itu untuk maju ke panggung.
Koleksi Kang Zusi Sambil tersenyum menyeringai sombong, Malangkoro kini berdiri menghadapi dua orang pemuda itu. Bagaikan seorang raksasa pemuda gagah itu. Bagaikan seorang raksasa berhadapan dengan Sang Gatutkaca dan saudara sepupunya, Sang Abimayu. Gamelan segera ditabuh dengan irama keras dan panas, karena para penabuh juga merasa gembira dan penuh semangat menghadapi pertandingan yang tentu akan seru sekali itu.
Malangkoro dengan sikap yang congkak sekali, berdiri bertolak pinggang dan membusungkan dadanya yang lebar menghadapi dua orang pemuda yang juga sudah siap dan memasang kuda-kuda masing-masing. Senggono yang seperti Gatutkaca itu membuka gerakan silatnya dengan pasangan yang tegap dan gagah, kedua lengannya dikembangkan, tubuh agak membungkuk seperti seekor burung garuda yang hendak terbang dan mengembangkan sayapnya. Sedangkan Jayanto yang seperti Abimayu itu membuka pasangan kuda-kuda dengan kedua lengan bersilang, yang kiri di depan dada, yang kanan di depan pusar, jari-jari tangannya terbuka.
"Heh-heh-heh, majulah, seranglah. Apakah kalian takut?" Malangkoro mengejek. Ternyata raksasa itu bukan hanya digdaya dan kuat, akan tetapi di juga cedik. Menghadapi pengeroyokan dua orang lawan, sebaiknya kalau mereka itu bergerak lebih dulu karena dalam keadaan tidak menyerang, dia akan dapat melindungi dirinya lebih baik. Setelah nanti melihat dia akan dapat membuat serangan sesuai dengan perkembangan gerakan kedua orang lawan itu. Mendengar tantangan Malangkoro yang nadanya mengejek itu, senggono mulai menyerang. "Haiiiiit...........!!" Bagaikan Gatutkaca, diapun menerjang dengan pukulan yang disusul sebuah tendangan kilat yang menggunakan tumit kaki menghentam ke arah rahang itu tentu saja merupakan tendangan melompat yang dahsyat.
"Hissss.......,!!" Jayanto juga menyerang dari samping, nampaknya tangannya meluncur lemah ke arah lambung lawan, akan tetapi sebenarnya, jari-jari tangan pemuda yang lemah lembut ini dapat berubah sekuat baja kalau dipergunakan untuk menusuk seperti itu.
Koleksi Kang Zusi "Plakk! Plakkk......!!" Malangkoro menggerakan kedua lengannya menangkis dan dua orang lawannya terdorong ke belakang. Dengan sigap mereka meloncat dan dapat hinggap di atas papan panggung dalam keadaan berdiri tegak. Dalam gebrakan pertama itu, Malangkoro sengaja menangkis untuk mengukur tenaga kedua orang lawannya dan diapun mendapat kenyataan bahwa kalau Senggono mengandalkan kekuatan otot yang cukup besar, Jayanto lebih mengandalkan kekuatan dari tenaga sakti dalam tubuh.
Baginya, Jayanto yang merupakan lawan lebih tangguh.
Dua orang itu kembali menyerang, kini Jayanto yang menggunakan kedua tangan dengan jari terbuka, mencengkeram ke arah muka Malangkoro disusul jari tangan kiri menusuk ke arah ulu hati. Serangan ini nampak lembut namun menyembunyikan kekuatan yang cukup dahsyat. Malangkoro lebih berhati-hati menghadapi serangan Jayanto ini, maka diapun meloncat ke kiri menghindarkan diri dari serangan itu. Gerakan mengelak ke kiri di sambut oleh Senggono yang menghantam ke arah dadanya sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Telapak tangan kanannya, dengan tenaga otot sepenuhnya, menghantam dada yang bidang itu dan malangkoro sengaja tidak menangkis atau mengelak, melainkan menyambut hantaman itu dengan dadanya yang sudah dilindungi kekebalan.
Desss.....!!" Pertemuan antara telapak tangan dengan dada itu membuat tubuh Malangkoro agak bergoyang sedikit, akan tetapi sebaliknya, Senggono terdorong ke belakang sampai terhuyung dan dia menyeringai, merasa betapa lengan kanannya seperti lumpuh ketika tenaga pukulannya membalik dan menghantam dirinya sendiri.
Pada saat itu, Jayanto sudah menyerang lagi dari samping, tangannya mencengkeram ke arah leher Mlangkoro. Malangkoro miringkan tubuh mengelak, akan tetapi karena hantaman tangan Senggono tadi membuat tubuhnya bergoyang, gerakannya kurang cepat dan cengkeraman tangan Jayanto masih mengenai pundaknya.
Koleksi Kang Zusi "Brettt.......!!" Baju di bagian pundak itu robek, berikut sedikit kulitnya sehingga berdarah. Kekebalan Malangkoro dapat ditembus jari-jari tangan Jayanto yang mengandung kekuatan sakti!
Malangkoro terbelalak, mukanya berubah kemerahan, matanya seperti mengeluarkan api dan dan diapun menggereng seperti harimau terluka.
Kemudian, seperti seekor gajah mengamuk, dia menerjang ke arah kedua orang lawannya. Kedua lengan dan kedua kakinya yang panjang dan besar lagi kuat itu menyambar-nyambar. Dia mengamuk dan segera nampak bahwa dua orang lawannya itu masih belum mampu mengimbangi kehebatan Malangkoro. Mereka berdua berusaha untuk mengelak dan menangkis, akan tetapi setiap kali tangkisan mengena tubuh mereka yang terdorong sampai hampir jatuh.
Luka di pundaknya tidak membuat Malangkoro menjadi lemah. Luka itu terlalu kecil dan tidak ada artinya baginya, hanya luka kulit dan bahkan membuat dia marah sekali. Dua orang pengeroyok itu berusaha mempergunakan kegesitan mereka untuk menghindarkan diri, namun karena memang mereka sudah terdesak hebat, akhirnya Senggono yang lebih dahulu terkena tendangan kaki Malangkoro sehingga tubuhnya terlempar ke bawah panggung, menimpa para penonton!
Melihat Senggono sudah kalah, Jayanto menjadi nekat. Dia menggunakan kecepatan gerakan tubuhnya melakukan penyerangan bertubi-tubi, yakin bahwa jari-jari tanganya akan mampu menembus kekebalan kulit Malangkoro. Akan tetapi, setelah kini tidak dikeroyok lagi, tentu saja Jayanto bukan merupakan lawan yang terlalu berat bagi Malangkoro.
Semua serangan Jayanto dapat ditangkisnya, bahkan ketika Jayanto agak lengah karena lengannya terasa ngilu beradu dengan lengan Malangkoro, tiba-tiba saja tamparan tangan kiri Malangkoro yang besar dan berat mengenai pundaknya. Keras bukan main tamparan itu, membuat Jayanto terpelanting dan sebelum dia mampu bangkit, sebuah tendangan mengenai punggungnya dan tubuh pemuda inipun terlempar ke bawah panggung.
Kembali tepuk sorak penonton menyambut kemenangan Malangkoro.
Koleksi Kang Zusi Semua orang merasa kagum dan jerih terhadap raksasa yang ternyata memang hebat itu. Ki Sinduwening diam-diam merasa khawatir sekali terhadap puterinya, akan tetapi dia juga girang mendapatkan seorang yang memiliki kedigdayaan seperti Malangkoro. Kalau dijadikan seorang senopati, tentu Malangkoro akan berguna sekali bagi Mataram.
Sambil tersenyum, Malangkoro yang kini melepaskan bajunya yang robek sehingga nampak tubuh bagian atas yang kokoh dan penuh dengan otot benjol-benjol melingkar pada pundak, punggung, dada dan lengannya, menghadap Ki Sinduwening.
"Bagaimana, paman. Apakah sekarang saya diperbolehkan memasuki babak selanjutnya, yaitu bertanding melawan Diajeng Mawarsih atau paman sendiri?" Ucapan itu tidak bernada mengejek atau menantang, walaupun ada sikap memandang ringan.
"Anakmas Malangkoro. Tidak adil kalau kami mengharuskan andika melawan kami sekarang. Andika sudah bertanding sebanyak tiga babak, maka biarlah sekarang andika beristirahat dulu. Matahari telah naik tinggi dan kita semua perlu makan siang. Sayembara ini dilanjutkan dengan babak penentuan, yaitu pemenang babak ke tiga harus dapat mengalahkan Mawarsih dan aku sendiri. Besok, setelah matahari naik sampai ke atas atap rumah itu, kita lanjutkan sayembara ini di sini."
Malangkoro tersenyum dan pertandingan itupun dihentikan sampai di situ.
Para penonton pulang dan para peserta juga meninggalkan tempat itu setelah mereka berjanji kepada Ki Sinduwening bahwa besok mereka akan datang, bukan hanya untuk mengetahui kelanjutan mendaftarkan diri sebagai perajurit seperti yang dilanjurkan Ki Sinduwening pada pembukaan sayembara itu.
Koleksi Kang Zusi *** Dengan wajah muram Ki Sinduwening mendekati puterinya yang rebah menelungkup di atas pembaringan sambil menahan isak tangisnya. Sejak sayembara ditunda sampai besok, gadis itu memasuki kamarnya, tidak mau keluar lagi dan tidak mau makan. Ki Sinduwening duduk di tepi pembaringan, mengelus rambut yang terurai lepas dari sanggulnya itu.
"Anakku Mawarsih, hentikan tangismu. Tidak ada gunanya menangis dan kiraku, saat ini bukan waktunya untuk berduka. Besok engkau menghadapi ujian berat, menghadapi pertandingan berat, haruslah menghimpun tenaga dan engkau harus makan. Tidak semestinya seorang gadis seperti engkau menjadi cengeng dan putus asa."
Mendengar ucapan ayahnya itu, Mawarsih mengusap air matanya, lalu bangkit duduk. Kedua matanya agak membengkak kemerahan dan kedua pipinnya agak pucat, matanya redup dan muram. Namun ia telah berhasil menghentikan tangisnya.
"Aku memang bersikap bodoh, bapa. Akan tetapi betapa hati ini tidak akan hancur, betapa pikiran ini tidak akan kacau kalau kita melihat hasil dari sayembara kita" Kedua orang yang kuharap-harapkan tidak muncul, bahkan yang muncul dan menjagoi pertandingan adalah Malangkoro. Aih, bapa,anakmu ini lebih baik memilih mati dari pada harus berjodoh dengan raksasa yang buruk rupa dan buruk sikap itu. Baru melihatnya saja, rasanya kedua kakiku sudah menggigil....." Gadis itu bergidik ngeri membayangkan ia harus bersanding sebagai isteri raksasa itu.
"Mawar, di mana ketawakalanu kepada Gusti Allah" Dia Maha Kuasa, Mawar. Kalau kita menyerah kepada kekuasaan Gusti dengan penuh kepasrahan, apa lagi yang patut ditakuti" Kita akan berdaya semampu kita, dan dengan dasar penyerahan kepada Gusti Allah, maka kita akan memenuhi tugas dalam kehidupan ini. Jangan putus asa, anakku, karena Koleksi Kang Zusi
keputusasaan hanya merupakan tanda bahwa iman kepercayaan kita kepada Gusti mulai menipis. Semua kehendak Allah terjadilah! Dan hanya Dia yang Maha Mengetahui, tahu apa yang terbaik untuk kita. Jangan lepaskan ikhtiar, dan jangan lepaskan penyerahan kita angger."
Mawarsih sadar dan ia merangkul bapanya. "Bapa, terima kasih dan maafkan kelemahanku tadi. Aku hanya merasa penasaran mengapa kedua orang itu tidak datang. Apakah....... apakah...... mereka itu sama sekali tidak menaruh perhatian kepadaku?"
"Inilah sebabnya mengapa aku mengumumkan agar sayembara diundurkan sampai besok pagi," kata Ki Sinduwening. "Berita tentang pertandingan hari ini tentu akan disebarluaskan para penonton dan tentu akan terdengar oleh seorang di antara mereka. Aku khawatir bahwa mereka tidak ada yang muncul karena tidak mendengar tentang adanya sayembara ini."
"Begitukah, bapa" Mudah-mudahan begitu," sambungnya cepat dan dalam suaranya terkandung harapan. "Akan tetapi, bagaimana andaikata besok Mawarsih juga melihat ini dan ia menyentuh lengan ayahnya lalu memberi isyarat dengan pandang matanya ke arah kakek itu. Ki Sinduwening juga menengok dan ia melihat apa yang dilakukan Danyang Gurita, diapun segera bersila dan bersedekap, memejamkan matanya dan tanpa diketahui orang lain kecuali Mawarsih, terjadilah pertandingan kedua yang tidak nampak mata antara Ki Sinduwening dan Danyang Gurita. Ki Sinduwening, dengan kekuatan batinnya yang bersandar kepada kekuasaan Tuhan, sedang menentang dan menangkis serangan Danyang Gurita berupa angin keras yang membantu muridnya menyerang Kedok Hitam.
Pertandingan antara Si Kedok Hitam dan Malangkoro memang hebat bukan main. Kini keduanya sudah benar-benar bertanding, mempergunakan kegesitan, ketrampilan dan terutama kekuatan. Pukulan demi pukulan ditangkis dan terdengar suara berdetak nyaring kalau kedua lengan Koleksi Kang Zusi
bertemu. Keduanya memang kuat dan kebal, namun sekali ini, Malangkoro tidask berani mengandalkan kekebalan tubuhnya untuk menerima pukulan lawan. Dia selalu menangkis dan kadang mengelak dan membalas dengan dahsyat. Namun, semua serangannya dapat dipunahkan oleh Si Kedok Hitam yang bergerak dengan tenang sekali. Mereka itu saling serang, saling pukul, saling tendang dan kadang tubuh mereka berputar-putar.
Namun, setelah beberapa kali berseru heran melihat jurus yang dikeluarkan Malangkoro, jurus yang amat dikenalnya, akhirnya Si Kedok Hitam yang memiliki tenaga sakti lebih kuat, mulai mendesak lawannya.
Kedua lengan Malangkoro yang besar panjang dan kuat itu sudah nampak membiru dan membengkak seperti berulang kali diadu dengan baja. Kedua lengannya terasa nyeri, demikian pula tulang kering keduanya kakinya yang berkali-kali bertemu dengan tangkisan lengan Si Kedok Hitam.
Tiba-tiba Malangkoro mengeluarkan bentakan nyaring dan tangan kanannya dengan dikepal, menjadi kepalan besar, meluncur kearah dada Si Kedok Hitam dan orang berkedok itu agaknya tidak keburu menangkis atau mengelak sehingga kepalan yang besar itu melanda dadanya! Mawarsih menahan jeritnya melihat Si Kedok Hitam terkena pukulan yang amat dahsyat itu. Akan tetapi pada saat semua orang yang sebagian besar berpihak kepada Si Kedok Hitam menahan napas karena tegang melihat jagoan mereka agaknya tak dapat lolos dari hantaman yang dahsyat itu, terjadi sesuatu yang tak mereka sangka-sangka.
"Desss......!!" Pukulan itu memang dengan hebatnya melanda dada Si Kedok Hitam, akan tetapi Malangkoro mengeluarkan teriakan kaget karena merasa seolah kepalan tangannya masuk kedalam benda yang lunak sehingga tenaganya lenyap dan sebelum dia tahu apa yang terjadi, lengan kanannya sudah ditangkap pada pergelangan tangannya dan sekali Si Kedok Hitam membentak, lengan itu sudah ditekuk ke belakang punggungnya. Dia terperosok berlutut, namun sebuah tendangan mengenai punggungnya membuat dia roboh menelungkup. Si Kedok Hitam menggunakan kaki kanan menginjak pinggang Malangkoro sedangkan lengan raksasa itu ditelikungnya ke belakang, ke punggung. Malangkoro tidak mampu berkutik lagi! Kalau dia mencoba untuk meronta, maka lengan kanannya yang ditelikung itu dapat terlepas sambungan tulang pada pundaknya, dan tulang punggungnya dapat patah terinjak. Tangan kirinya juga tidak mampu dipergunakan karena Koleksi Kang Zusi
tertindih tubuhnya sendiri. Beberapa kali dia meronta, hanya untuk mengaduh dan menyeringai. Suasana menjadi hening dan semua orang menahan napas melihat kesudahan pertandingan yang menegangkan urat syaraf itu.
"Malangkoro, apakah engkau belum mau mengaku kalah?" terdengar Si Kedok Hitam bertanya, suaranya lantang.
Malangkoro mengangguk-angguk. "Kisanak, aku mengaku kalah. Andika sakti mandraguna, aku menyerah kalah!"
"Kalau begitu, engkau harus menepati janjimu, mendaftarkan diri menjadi prajurit!"
"Baik, aku malangkoro tidak biasa melanggar janji. Aku laki-laki sejati!"
jawab Malangkoro, bukan karena takut melainkan karena tersinggung bahwa dia dikhawatirkan tidak akan memegang janjinya. Si Kedok Hitam melepaskan tangan dan kakinya, kemudian menghadap Ki Siduwening dan berkata dengan suara yang penuh hormat namun juga mengandung teguran.
"Maafkan saya, paman. Sebaiknya kalau perjodohan dilakukan atas dasar saling cinta dan saling mengerti, bukan berdasarkan sayembara pertandingan yang hanya akan mendatangkan banyak permusuhan dan persaingan." Setelah berkata demikian, Si Kedok Hitam melompat turun dari panggung.
"Anak-mas, tunggu......!" Ki Sinduwening berseru, akan tetapi Kedok Hitam telah menghilang entah ke mana. Juga ketika dia mencari-cari, Bayu tidak dapat ditemukan di antara para penonton. Mawarsihmengerutkan alisnya dan nampak terpukul sekali batinnya. Bagaimana ia tidak merasa kecewa"
Dua orang yang diharapkan hadir dan mengikuti sayembara memang benar Koleksi Kang Zusi
telah muncul, akan tetapi yang seorang melarikan diri dari Malangkoro, sedangkan yang kedua, biarpun sudah berhasil mengalahkan Malangkoro, ternyata pergi begitu saja dan tidak bermaksud memenangkan sayembara itu dan menjadi jodohnya! Bahkan Banuaji juga tadi tidak menyatakan bahwa dia ikut sayembara untuk memperebutkan dirinya. Kalau saja tidak dilihat banyak orang, mau rasanya ia menangis dan menjerit-jerit!
Dengan suara lantang Ki Sinduwening lalu menyatakan bahwa sayembara ditutup tanpa ada seorangpun yang dinyatakan menjadi calon suami Mawarsih, dan pada saat itu, terdengar derap kuda dan semua orang yang belum pergi segera berlutut menyembah. Ketika Ki Sinduwening dan Mawarsih mengangkat muka memandang, mereka terkejut karena yang datang adalah Raden Mas Martapura, yaitu pangeran mahkota, putera dari Sang Prabu Hanyokrowati. Sebetulnya, Raden Mas Martapura merupakan putera yang ke tiga, namun karena Sribaginda amat sayang kepadanya, maka diapun dipilih dan diangkat menjadi putera mahkota yang kelak akan menggantikan kedudukan sang ayah menjadi raja.
Sang Prabu Hanyokrowati mempunyai lima orang anak, yaitu empat orang putera yang bernama Raden Mas Rangsang, Raden Mas Menang, Raden Mas Martapura dan Raden Mas Cakra. Adapun putrinya seorang bernama Dyah Ayu ratu Pandan. Pada waktu itu, Pangeran Mahkota Raden Mas Martapura telah berusia dua puluh tiga tahun, berwajah tampan dan merasa bahwa dia kekasih ayahnya, dia menjadi manja dan agak tinggi hati.
Melihat Sang Pangeran yang dikawal selosin prajurit berkuda itu datang dan berhenti di situ, Ki Sinduwening tergopoh-gopoh menyambut, diikuti pula oleh Mawarsih.
Pangeran itu tersenyum dan melompat turun dari atas punggug kudanya ketika melihat Mawarsih dan Ki Sinduwening. Tentu saja dia mengenal senopati yang telah banyak berjasa itu, dan sudah beberapa kali pernah melihat Mawarsih puteri senopati itu yang disohorkan sebagai seorang Koleksi Kang Zusi
gadis yang sakti mandraguna pula.
Setelah memberi hormat, Ki Sinduwening mempersilahkan pangeran itu untuk berkunjung ke rumahnya. Akan tetapi, Raden Mas Martapura menolak dan hanya naik ke panggung sehingga terpaksa Ki Sinduwening dan Mawarsih melayaninya. Para penonton tidak jadi bubaran melihat pangeran itu kini berada di panggung. Mereka semua mengenal putera mahkota ini yang suka membuat ulah sehingga mereka semua ingin sekali mengetahui apa yang akan dilakukan pangeran itu mengenai sayembara yang telah dibubarkan itu.
"Kami mendengar paman mengadakan sayembara untuk memilihkan jodoh Mawarsih, benarkah itu ?" tanya sang pangeran dan matanya dengan bebasnya menggerayangi seluruh tubuh Mawarsih yang terpaksa menundukkan muka dengan hati tak senang. Dalam pertemuan beberapa kali dengan pangeran ini, ia merasa tidak suka, berbeda dengan pangeran lainnya. Pandang mata pangeran ini demikian genit dan penuh gairah.
"Benar sekali, pangeran, akan tetapi sekarang telah selesai dan bubar,"
jawab Ki Sinduwening cepat.
"Hemm, lalu siapa yang menang" Siapa yang begitu beruntung untuk mendapatkan hadiah Mawarsih yang cantik jelita ini?" Kembali matanya liar menggerayangi tubuh dara itu.
"Tidak ada yang memenangkan sayembara, Pangeran. Pemenangnya adalah Si Kedok Hitam, akan tetapi dia bertanding bukan untuk memperebutkan puteri hamba Mawarsih. Karena itu, sayembara ini dibubarkan dan tidak ada yang akan menjadi calon jodoh puteri hamba."
Bentrok Rimba Persilatan 17 Tokoh Besar Karya Khu Lung Naga Kemala Putih 4

Cari Blog Ini