Ceritasilat Novel Online

Misteri Bisikan Mumi 1

Trio Detektif 03 Misteri Bisikan Mumi Bagian 1


MISTERI BISIKAN MUMI Text by Robert Arthur Alihbahasa: Agus Setiadi Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Cetakan kedelapan:
Juli 1998 Download Ebook Jar Lainnya Di
http://mobiku.tk http://inzomnia.wapka.mobi
Pengantar singkat khusus untuk kawan-kawan baru
KATA pengantar ini khusus ditujukan pada teman-teman yang baru sekarang akan berkenalan dengan Trio Detektif. Sedang yang sudah kenal, dipersilakan langsung menikmati kisah petualangan mereka. Untung tidak perlu pergi jauh-jauh. Cukup dengan membalik ke halaman berikut. Dan kalau sudah mulai membaca, tanggung nanti segan berhenti sebelum buku ini selesai. Menyimak kembali kejadian yang mendului: Trio Detektif ini nama biro atau perusahaan penyelidik. Pendirinya tiga remaja yang berjiwa petualang. Perkenalkan: Jupiter Jones, Pete Crenshaw dan Bob Andrews.
Jupiter, menurut pengakuannya sendiri, merupakan otak dari usaha tiga serangkai itu. Bob, pencatat kasus dan petugas riset. Atau dengan perkataan lain, dialah yang diserahi tugas untuk melakukan penelitian. Sedang Pete, remaja tangkas bertubuh kekar, merupakan tangan yang selalu diandalkan Jupiter untuk melakukan tugas-tugas yang mengandung bahaya.
Ketiga remaja ini bertempat tinggal di Rocky Beach. Sebuah kota kecil di pesisir Samudera Pasifik, cuma beberapa mil saja dari kota pusat perfilman Hollywood. Jarak dari satu tempat ke tempat lain di California besar sekali. Jadi mobil merupakan kebutuhan hidup, bukan kemewahan. Ketiga remaja itu belum ada yang memiliki SIM, karena umur mereka masih terlalu muda. Tapi problem ini teratasi, ketika Jupiter memenangkan suatu sayembara. Hadiahnya berupa pemakaian sebuah mobil mewah - sebuah Rolls-Royce yang pegangan pintu, dashboard dan beberapa bagiannya lagi dilapisi emas. Ia diperbolehkan memakai mobil itu untuk waktu tertentu, lengkap dengan supir.
Markas Trio Detektif sebuah trailer tua yang ditaruh di kompleks penimbunan barang bekas, suatu perusahaan jual beli barang rombengan yang dikelola paman dan bibi Jupiter-Titus dan Mathilda Jones. Markas trailer itu biar tua, tapi isi di dalamnya serba lengkap. Kalau mau ke situ, harus lewat jalan rahasia.
Nah - itulah mereka Trio Detektif! Selanjutnya, nikmati saja sendiri.
ALFRED HITCHCOCK Bab 1 SURAT MENARIK "TOLONG! Selamatkan aku!" Terdengar jeritan ngeri. Suara itu aneh, melengking tinggi. "Toloong!"
Trio Detektif mendengar jeritan itu. Tapi mereka bekerja terus, tanpa mengacuhkannya. Mereka tahu, yang menjerit-jerit itu burung beo piaraan mereka. Namanya Blackbeard. Burung itu diperoleh dalam rangka menangani kasus yang belum lama lewat. Blackbeard benar-benar luar biasa. Cepat sekali menangkap kata-kata baru. Dan sangat suka meniru-nirukannya.
"Jupiter!" tukas Mrs. Mathilda Jones, bibi Jupiter. Ia melayangkan pandangan ke arah sangkar Blackbeard, yang tergantung di bawah selembar papan. "Burungmu itu terlalu banyak nonton televisi rupanya. Senangnya berteriak-teriak, seperti dalam film serial detektif."
"Ya. Bibi Mathilda," kata Jupiter. Ia mengangkat selembar daun pintu sambil mendengus-dengus. "Harus ditaruh di mana ini""
"Di tempat pintu-pintu lainnya." jawab bibinya. "He -jangan enak-enakan terus," kata Bibi Mathilda lagi pada kedua teman Jupiter. "Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan, sedang waktu berlalu dengan cepat."
Trio Detektif tidak sependapat dengan dia. Menurut mereka, waktu rasanya seperti merayap! Di bawah petunjuk Mrs. Mathilda Jones, saat itu mereka sedang melakukan penyelidikan tertentu. Penyelidikan yang kalau mungkin, lebih baik tidak usah saja mereka kenakan. Soalnya, mereka - atau tepatnya Bibi Jones - hendak menyelidiki, berapa banyak pekerjaan yang bisa dilakukan tiga remaja pria apabila hari sedang panas sekali. Mrs. Jones yang sebetulnya mengelola perusahaan jual beli barang rombengan. Paman Titus, suaminya, cuma bertugas berbelanja, mencari barang-barang bekas yang hendak dijual. Untuk itu, ia sering sekali bepergian. Sedang Bibi Mathilda, ada hari-hari di mana ia merasa perlu melakukan pemberesan barang-barang. Dan hari itu termasuk salah satu di antaranya. Dan kalau Bibi Mathil
da ingin membersihkan dan mengatur barang-barang bekas yang bertumpuk-tumpuk di pekarangan perusahaannya, selalu Jupiter dan siapa pun dari teman-teman remaja itu yang kebetulan ada di situ, langsung dikerahkan untuk bekerja.
Ketiga remaja itu bekerja keras. Dalam hati, mereka sudah kepingin sekali kembali ke Markas. Mereka ingin mulai bekerja, menyelidiki kejadian misterius yang mungkin akan datang. Keberhasilan mereka belum lama berselang, menimbulkan kepercayaan pada diri mereka tentang kemampuan selaku penyelidik. Bahkan ada kemungkinan, kepercayaan pada diri sendiri itu terlalu besar.
Tapi mereka tidak bisa menghindarkan diri dari tugas-tugas yang ditimpakan Bibi Mathilda pada mereka. Sampai saat tukang pos datang. Ia memasukkan setumpuk surat ke dalam kotak pos antik terbuat dari besi, yang terpasang di depan kantor perusahaan. Kemudian tukang pos itu pergi lagi.
"Astaga!" seru Bibi Mathilda. "Aku lupa mengeposkan surat tercatat yang dititipkan pamanmu tadi, Jupiter!"
Sambil bicara wanita gemuk itu merogoh rogoh kantong yang berukuran besar. Ia mengeluarkan sampul surat yang agak kusut kelihatannya. Bibi meratakannya dengan tangan, lalu menyodorkannya pada Jupiter.
"Kau pergi sekarang juga ke kantor pos untuk mengirimkannya sebagai surat tercatat," kata Bibi. "Ini uangnya. Usahakan agar bisa dikirim dengan pos pagi."
"Baiklah, Bibi Mathilda," kata remaja bertubuh gempal itu. "Sementara aku pergi, Pete dan Bob bisa menggantikan aku. Mereka selama ini mengeluh, katanya mereka kurang latihan jasmani."
Sementara Bob dan Pete cuma bisa menggerutu, Jupiter bergegas menaiki sepedanya lalu meluncur menuju ke kota. Mrs. Jones tertawa geli.
"Kalian boleh istirahat sekarang," katanya pada Bob dan Pete. "Untuk sisa pagi ini tidak perlu bekerja lagi. Kalian bisa mengadakan rapat, membuat sesuatu atau entah apa yang hendak kalian kerjakan di balik tumpukan barang rombengan itu."
Mrs. Jones melambaikan tangan ke arah tumpukan berbagai jenis barang tua yang menutupi bengkel luar Trio Detektif. Tapi wanita itu sama sekali tidak menduga bahwa di bawah tumpukan itu terletak Markas mereka yang tersembunyi.
"Kuperiksa saja surat-surat sekarang," kata Mrs. Jones sambil melangkah ke kantor perusahaan. "Barangkali saja ada untuk Jupiter. Akhir-akhir ini ia sering sekali menerima kiriman contoh-contoh barang yang aneh-aneh."
Kedua remaja itu merasa lega, karena tidak usah lagi bekerja berat. Mereka ikut dengan Mrs. Jones ke depan. Wanita itu mengambil surat-surat, lalu meneliti satu per satu.
"Kartu pos dari suatu perusahaan pelelangan," katanya. "Surat tagihan. Cek pembayaran ketel uap yang waktu itu. Hmm." Diselipkannya sepucuk surat ke bawah ketiak, lalu meneruskan pemeriksaannya. "Surat tagihan lagi. Kartu pos dari saudaraku, Susan. Surat reklame, mengajak tinggal di Florida." Ia terkekeh-kekeh karena surat itu. Lalu menggumam, "Hmmm," lagi sambil mengamat-amati sepucuk surat lagi, yang langsung dikepit di bawah ketiak.
Beberapa pucuk surat dialamatkan pada Titus Jones. Mungkin isinya pertanyaan tentang barang-barang tertentu. Perusahaan jual-beli barang bekas yang dikelola suami-isteri Jones tersohor namanya di mana-mana sebagai tempat yang tepat untuk memperoleh barang-barang aneh, atau yang sulit didapat. Misalnya saja, di situ dijual organ kuno yang masih utuh pipa-pipanya. Kadang-kadang Paman Titus malam-malam datang ke tempat alat musik itu disimpan, lalu memainkan lagu sendu Asleep in the Deep. Dan kalau Paman sudah asyik bermain, Hans dan Konrad pasti datang menggabung lalu melagukan kata-katanya. Melankolis sekali kedengarannya. Kedua orang itu abang-adik pemuda asal Jerman pembantu Paman Titus. Tugas mereka menyupiri kedua truk milik perusahaan, dan menyelesaikan pekerjaan yang berat-berat.
Mrs. Jones selesai menyortir surat-surat. Ia menggelengkan kepala.
"Tidak," katanya, "tidak ada untuk Jupiter."
Ia berbalik, hendak masuk ke kantor. Tapi langsung berpaling lagi. Dari sinar matanya yang berkilat-kilat lucu, Bob dan Pete langsung tahu bahwa Mrs. Jones cuma hendak mengganggu mereka saja.
"Tapi ini ada dua surat," katanya, "
dialamatkan pada Trio Detektif. Kalau tidak salah, itu kan klub kalian yang baru""
Beberapa waktu yang lalu, ketika remaja itu sedang gemar-gemarnya memecahkan segala macam teka-teki, mereka lantas mendirikan klub teka-teki. Bukan klub itu yang merupakan teka-teki, tapi mereka bergabung di dalamnya untuk bersama-sama memecahkan teka-teki apa pun juga. Dan karena minat itulah Jupiter mengikuti suatu sayembara. Sayembara itu disponsori "Rent-'n-Ride Auto Rental Company", sebuah perusahaan setempat yang usahanya menyewakan mobil. Dan hasil sayembara itu, Jupiter memenangkan sebuah mobil Rolls-Royce antik yang boleh dipakainya selama waktu tertentu. Lengkap dengan supir!
Begitu mobil sudah tersedia, ketiga remaja itu lantas mendirikan perusahaan Trio Detektif. Maksud mereka, hendak menyelidiki setiap teka-teki aneh yang mereka temukan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi bukan teka-teki dalam majalah lagi!
Tapi dasar Mrs. Jones agak linglung mengenai hal-hal yang tidak berhubungan dengan usahanya, ia masih selalu mengira, perusahaan ketiga remaja itu suatu klub. Sudah dicoba untuk menjelaskan kekeliruan itu beberapa kali. Tapi sia-sia saja! Jadi sekarang mereka membiarkan saja Bibi Mathilda keliru sangka.
Pete menerima kedua pucuk surat yang disodorkan sambil menahan rasa ingin tahunya. Sementara Mrs. Jones masuk ke kantor perusahaan, kedua remaja itu langsung menuju ke Markas mereka.
"Kita tunggu dulu sampai sudah berada di Markas, baru kita lihat dari siapa surat-surat ini," kata Pete. "Mungkin juga urusan bisnis."
"Betul," kata Bob setuju. "Mulai sekarang aku bisa mengatur arsip surat-menyurat kita. Selama ini sudah siap, cuma surat-surat yang belum datang."
Keduanya melangkah di sela-sela tumpukan barang bekas, sampai di bengkel yang dibangun sendiri oleh Jupiter. Di situ ada mesin bor, mesin bubut, gergaji listrik, mesin cetak dan berbagai alat lain yang berguna. Barang-barang itu mulanya sudah merupakan barang rongsokan, tapi dipulihkan oleh Jupiter serta kedua rekannya itu, sehingga kini bisa dipakai lagi.
Kompleks itu dikelilingi pagar papan yang tinggi. Di sisi sebelah dalam terpasang atap yang lebarnya hampir dua meter. Gunanya untuk menaungi barang-barang yang masih bermutu. Bengkel Trio Detektif juga dilindungi dengan atap itu. Kecuali itu ada pula tudung dari plastik, yang dipakai untuk menutupi apabila kebetulan hujan. Tapi di California Selatan tidak sering hujan.
Kedua remaja itu menggeserkan sesuatu, lalu menyusup ke dalam sebuah pipa dan merangkak-rangkak di dalamnya sejauh belasan meter. Akhirnya sampai di kolong trailer tersembunyi, yang merupakan Markas Besar. Trailer itu dihadiahkan oleh Paman Titus pada mereka, setelah beberapa waktu barang itu tidak laku-laku juga dijual.
Di dasar trailer ada tingkap, yang membuka ke atas. Bob dan Pete menyusup lewat tingkap itu. Mereka sampai di sebuah ruang kantor sempit. Di situ ada meja kantor yang agak hangus karena terbakar. Lalu lemari arsip. Dan sebuah pesawat telepon! Di atas meja terletak pesawat radio model kuno. Jupiter menyambungkan sebuah mikrofon ke alat pengeras suara radio. Dengan begitu mereka bisa serempak mengikuti pembicaraan telepon. Sedang ruang trailer yang masih tersisa dijadikan kamar gelap untuk mencuci film, merangkap ruang laboratorium kecil-kecilan, serta kamar mandi.
Ruangan itu gelap. Soalnya, trailer itu tertimbun di bawah tumpukan barang di luar. Pete menyalakan lampu yang tergantung di atas meja, lalu mereka duduk. Kedua surat yang diserahkan oleh Mrs. Jones tadi, kini mendapat giliran untuk diperhatikan.
"He!" pekik Pete bersemangat. "Yang ini dari kantor Alfred Hitchcock! Ini saja yang paling dulu kita buka!"
Bob langsung tertarik. Alfred Hitchcock menulis surat pada mereka" Pasti menyangkut urusan bisnis! Karena Mr. Hitchcock pernah berjanji, kalau ia mendengar ada kasus yang misterius dan rasanya perlu mereka selidiki, ia akan memberi kabar.
"Jangan - nanti saja," katanya, "karena mungkin itu yang paling menarik. Lagipula, apakah tidak sebaiknya kita tunggu Jupiter pulang dulu, sebelum kita membuka surat-surat ini""
"Apa" Setelah di
a tadi mencoba menjerumuskan kita"" tukas Pete. "Dia kan hendak memanaskan Mrs. Jones, supaya kita disuruh bekerja sampai ambruk" Lagipula, kan kau yang berwenang mengurus catatan dan penelitian" Surat-surat kan termasuk urusan itu!"
Dengan cepat Bob bisa diyakinkan. Ia pun mulai membuka sampul surat yang dinilai kurang penting. Tapi saat itu dilihatnya beberapa hal tertentu mengenai sampul itu. Timbul gagasan lagi pada dirinya.
"Sebelum surat ini kita baca," katanya, "kita coba dulu apakah kita sanggup menarik kesimpulan mengenainya. Istilah kerennya, deduksi! Kata Jupe, kita perlu melatih diri melakukan deduksi, setiap kali ada kesempatan."
"Apa yang bisa disimpulkan dari surat yang belum dibaca"" kata Pete sangsi. Tapi Bob sudah sibuk menelaah sampul yang ada di tangannya. Dibolak-baliknya beberapa kali. Warnanya ungu muda, seperti bunga lembayung. Baunya juga seperti bunga lembayung. Kini Bob melirik kertas terlipat yang ada di dalam sampul. Kertas itu warna dan baunya juga seperti bunga lembayung. Di sisi atas kertas terukir gambar dua ekor anak kucing sedang bercanda.
"Hmmm," kata Bob menggumam. Diletakkannya jari telunjuk ke kening. Aksinya seperti sedang sibuk berpikir. "Ya - aku mulai bisa membayangkannya. Penulis surat ini seorang wanita tua, berumur - yah, begitulah, sekitar lima puluhan. Tubuhnya pendek dan agak gemuk. Dia mengecat rambutnya, dan kelihatannya suka ngomong. Masih ada lagi - dia sangat sayang pada kucing. Wanita ini baik hati, tapi kadang-kadang ceroboh. Biasanya periang, tapi sewaktu menulis surat ini hatinya sedang risau sekali karena sesuatu."
Mata Pete membundar, diikuti mulutnya yang membentuk huruf "O".
"Duilah," katanya kemudian, "yang kaukatakan itu, semuanya kauketahui hanya dengan melihat sampul serta kertas surat itu saja" Tanpa membaca isinya""
"Terang dong." Bob bersikap, seolah-olah itu soal biasa. "O ya - aku lupa menambahkan, wanita ini sangat kaya. Kemungkinannya aktif dalam berbagai kegiatan sosial."
Pete merebut sampul yang masih berisi surat, lalu mengamat-amati dengan kening berkerut. Tapi kemudian nampak tumbuh pengertian.
"Gambar kedua kucing sebagai kepala surat menunjukkan kemungkinan dia suka pada kucing," kata Pete. "Perangko robek sedikit pinggirnya karena diambil dengan terburu-buru. Juga ditempelkan agak miring. Ini indikasi, dia agak ceroboh. Tulisan pada suratnya mengarah ke atas. Ini sering merupakan tanda penulisnya periang. Tapi pada ujung surat, garis tulisannya menurun. Pertanda ia gelisah, atau sedih mengenai sesuatu."
"Itu dia jawabannya," kata Bob. "Deduksi sebetulnya pekerjaan gampang, asal kita mau sungguh-sungguh melakukannya."
"Apalagi jika punya guru kayak Jupe," tambah Pete. "Tapi aku ingin tahu, dari mana kau bisa menebak umur dan bentuk tubuhnya" Begitu pula bahwa ia suka ngomong, aktif dalam kegiatan sosial! Apalagi mengatakan wanita penulis surat ini mengecat rambutnya. Untuk membuat deduksi kayak begitu, orang harus jadi detektif ulung. Sherlock Holmes!"
"Yah," kata Bob sambil nyengir, "alamat yang tertera di belakang sampul itu satu daerah di Santa Monica, di mana terdapat rumah-rumah mewah. Wanita yang tinggalnya di situ biasanya kaya. Dan aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial, karena di rumah sendiri tidak banyak kerja. Ibuku yang bilang begitu."
"Oke, baiklah," kata Pete. Ia masih penasaran. "Lalu bagaimana tentang umur dan bentuk badan" Begitu pula soal banyak omong serta rambut yang dicat""
"Lihatlah," kata Bob, "ia mempergunakan kertas ungu muda, warna bunga lembayung yang diberi wangi-wangian bunga lembayung. Tintanya hijau. Yang suka berbuat begitu, biasanya wanita yang sudah agak tua. Tapi terus-terang saja, aku punya bibi. Bibi Hilda. Ia kalau menulis surat, warnanya persis yang ini. Umurnya lima puluh. Orangnya kecil, cerewet dan mengecat rambutnya. Karena itu aku mengambil kesimpulan -" Bob meneliti surat di tangannya untuk membaca tanda tangan yang tertera di sebelah bawah - "Mrs. Banfry ini mungkin kayak dia juga."
Pete tertawa. "Hebat, walau bagian yang terakhir kau cuma main tebak saja," katanya. "Sekarang kita lihat saja, apa
isi surat ini." Lalu ia mulai membaca.
"Trio Detektif yang budiman," simaknya, "Kawan baik saya, Miss Waggoner yang tinggal di Hollywood bercerita bahwa kalian berhasil menemukan kembali Bo-Peep, burung nurinya yang hilang -"
Surat yang sedang dipegang Pete direbut oleh Bob. Rupanya Mrs. Banfry telah mendengar tentang petualangan mereka yang menarik, ketika sibuk menyelidiki misteri burung nuri gagap.
"Aku yang berwenang mengurus surat-menyurat," kata Bob mengingatkan. Sewaktu masih kecil, ia pernah jatuh dari bukit. Karena itu kakinya memerlukan penopang. Untuk melakukan tugas aktif, geraknya kurang cekatan. Jadi ia diserahi tugas mengurus data, melakukan penelitian ilmiah, serta mencatat perkembangan penyelidikan mereka.
"Surat-surat merupakan urusanku," tambahnya, "setidak-tidaknya kalau Jupe tidak ada. Jadi aku yang harus membaca surat ini."
Pete mengalah, walau sambil menggerutu. Sedang Bob langsung membaca dengan cepat. Ternyata persoalannya sederhana saja. Mrs. Banfry memelihara seekor kucing yang sangat disayangi olehnya. Seekor kucing Abesinia, namanya Sphinx. Dan kini Sphinx sudah satu minggu tidak pulang. Polisi tidak berhasil menemukannya kembali. Mrs. Banfry sudah memasang iklan dalam koran-koran setempat. Tapi hasilnya tetap nihil. Karena itu ia kini ingin minta tolong pada Trio Detektif, yang telah berjasa mengembalikan burung nuri Miss Waggoner yang hilang. Ia akan sangat berterima kasih apabila Trio Detektif mau menolong. Surat itu ditutup dengan ucapan, 'Disertai salam akrab, Mrs. Mildred Banfry'.
"Kucing hilang," kata Pete merenung. "Yah, setidak-tidaknya, ini kan juga tugas. Enteng dan tenang, tidak menegangkan syaraf. Kutelepon saja dia sekarang, untuk mengatakan bahwa kita menerima penugasannya."
"Nanti dulu." Bob cepat-cepat memegang tangan Pete yang sudah meraih gagang telepon. "Kita lihat dulu apa isi surat Mr. Hitchcock."
"Ya, betul juga," kata Pete menyetujui. Sementara itu Bob sudah membuka sampul surat yang berbentuk persegi panjang. Dikeluarkannya selembar kertas surat yang nampak mahal. Di sebelah atasnya nampak terukir nama Alfred Hitchcock. Bob membacakan isi surat itu keras-keras.
Tapi cuma kalimat yang pertama saja. Kemudian matanya saja yang melaju, menyusur baris demi baris. Ketika selesai membaca dalam hati, dipandangnya Pete dengan mata terbuka lebar.
"Wow!" ucap Bob. "Nih - baca saja sendiri! Kalau aku yang cerita, kau toh takkan mau percaya dan mengatakan aku cuma mengada-ada."
Rasa ingin tahu Pete semakin terangsang. Dibacanya isi surat itu cepat-cepat. Begitu selesai, dia yang berganti memandang Bob dengan mata terbelalak.
"Astaga!" bisiknya kagum. Kemudian terlontar pertanyaan, yang pasti dianggap aneh oleh siapa pun juga, yang tidak ikut membaca surat dari Alfred Hitchcock itu.
"Mumi yang sudah 3.000 tahun umurnya, mana mungkin bisa berbisik"" tanya Pete bingung.
Bab 2 MUMI YANG BERBISIK SURAT dari Alfred Hitchcock didasari kejadian-kejadian tertentu, yang aneh dan mengerikan.
Sekitar dua puluh kilometer dari Rocky Beach, di tengah daerah perbukitan di luar Hollywood ada sebuah ngarai sempit. Di kedua sisinya yang terjal bertengger beberapa rumah besar dan mewah, dikelilingi pepohonan dan semak belukar. Satu di antaranya, sebuah gedung tua bergaya arsitektur Spanyol. Pemilik gedung itu Profesor Robert Yarborough, ahli sejarah Mesir Purba yang kenamaan. Olehnya, salah satu sisi gedung kediamannya itu dijadikan ruang museum pribadi.
Sederetan pintu angin yang tinggi dan menyentuh lantai, menghadap ke teras berlapis batu ubin. Tapi kesemua pintu itu tertutup, menyebabkan ruangan museum di baliknya sore itu terasa panas dan pengap. Dekat pintu yang berjejer-jejer itu diletakkan beberapa patung, yang berasal dari makam-makam kuno Mesir. Satu di antaranya terbuat dari kayu dan menggambarkan Anubis, salah satu dewa dalam kepercayaan Mesir Purba. Anubis bertubuh manusia, tapi berkepala ajak. Sinar matahari sore yang masuk ke dalam melemparkan bayangan kepala ajak itu ke lantai. Bayangan gelap dan menyeramkan!
Ruangan itu penuh-sesak dengan benda-benda kuno, yang semua berasal dari m
akam-makam kuno Mesir. Topeng-topeng logam terpasang di dinding, seolah-olah tersenyum penuh rahasia. Keping-keping tanah liat penuh dengan tulisan baji, benda-benda perhiasan dari emas, serta kumbang-kumbang suci dari batu giok hasil ukiran para empu yang sudah lama meninggal dunia, semua terkurung dalam kotak-kotak kaca.
Dekat jendela ada tempat yang agak lapang. Di situ ditegakkan sebuah peti mumi. Pada tutupnya terukir wajah mumi, yaitu mayat yang diawetkan, yang terdapat dalam peti itu. Peti mumi sangat sederhana, tanpa lapisan emas atau polesan warna supaya kelihatan mewah. Tapi peti itu menyimpan misteri tertentu. Profesor Robert Yarborough, yang bertubuh pendek agak gemuk dengan janggut yang anggun menghias dagu dan kaca mata berbingkai emas, bangga sekali memiliki peti mumi itu.
Ketika ia belum setua sekarang, Profesor Yarborough sering memimpin ekspedisi ilmiah ke Mesir. Ketika sedang mengadakan salah satu ekspedisi ini ia menemukan sejumlah makam tersembunyi. Makam-makam itu berupa liang-liang di lereng bukit berbatu. Isinya mumi beberapa Firaun atau raja Mesir Purba. Mumi-mumi itu tidak sendirian dimakamkan di situ, tapi disertai para permaisuri dan pelayan, lengkap dengan emas permata serta benda-benda lainnya lagi. Temuan-temuan itu disimpannya dalam museum pribadi di rumahnya, di mana ia menulis buku mengenai hasil-hasil ekspedisinya.
Peti mumi beserta isinya itu baru saja tiba seminggu yang lalu. Tapi Profesor Yarborough menemukannya di Mesir, sudah dua puluh lima tahun berselang. Namun karena waktu itu ia sibuk sekali menangani suatu tugas sulit dan memakan waktu lama, mumi itu dititipkannya di suatu museum di Kairo. Kemudian ketika ia sudah memasuki masa pensiun, ia meminta pada pemerintah Mesir agar mumi itu dikirimkan padanya guna penelitian lebih lanjut. Kini Profesor Yarborough sudah punya waktu. Ia ingin mencoba kemampuannya, membeberkan misteri yang menyelubungi mumi itu.
Pada hari itu - dua hari sebelum Trio Detektif menerima surat dari Alfred Hitchcock - Profesor Yarborough sedang berdiri dalam ruang museum pribadinya. Tangannya bergerak-gerak dengan gelisah, mengetuk-ngetuk tutup peti mumi dengan sebatang pinsil. Tutup itu bisa dibuka ke samping, seperti tutup peti biasa. Peti mayat kuno itu memang sebuah peti kayu biasa. Tapi keistimewaannya, peti itu berisi mumi!
Profesor Yarborough ditemani oleh Wilkins, pelayan pribadinya. Istilah sananya, butler. Seorang laki-laki bertubuh kurus tinggi. Wilkins sudah bertahun-tahun bekerja pada Profesor Yarborough.
"Anda sudah betul-betul yakin hendak melakukannya, Sir" Maksud saya, setelah kejutan kemarin"" tanya Wilkins.
"Aku harus tahu apakah kejadian itu berulang lagi atau tidak, Wilkins," kata Profesor dengan mantap. "Tapi tolong bukakan pintu-pintu angin itu dulu. Aku paling tidak suka ruang yang pengap."
"Baik, Sir." Dan Wilkins cepat-cepat membukakan beberapa pintu angin yang menghadap ke teras. Bertahun-tahun yang silam, Profesor Yarborough pernah terkurung selama dua hari dalam sebuah makam kuno. Dan sejak saat itu ia paling tidak tahan kalau berada dalam ruangan tertutup.
Setelah pintu-pintu angin dibuka, Wilkins lantas mengangkat tutup peti mumi ke samping. Kedua laki-laki setengah umur itu menjengukkan kepala ke dalam.
Mungkin saja ada orang yang tidak suka melihat mumi. Padahal sebetulnya kelihatan biasa saja. Mayat raja-raja dan kaum bangsawan Mesir Purba biasa diawetkan dengan bahan-bahan pengawet tertentu. Lalu dibungkus dengan kain, sampai tertutup seluruh tubuh. Ini merupakan kepercayaan jaman itu di sana. Mayat perlu diawetkan, supaya bisa pindah ke alam baka dalam wujud utuh. Karena itu pula keberangkatan mereka disertai dengan bekal pakaian, benda-benda perhiasan, peralatan. Bahkan segala emas permata yang merupakan milik mereka semasa hidup juga ikut dikuburkan - supaya bisa dipakai dalam kehidupan yang berikut.
Mumi dalam peti yang sedang dihadapi Profesor, bernama Ra-Orkon. Kain pembalutnya terbuka sedikit, sehingga sarjana itu bisa menatap wajah mumi itu. Wajah seorang tua yang halus rautnya. Berwarna coklat tua, seperti pahatan k
ayu berwarna gelap. Bibir mumi itu agak renggang, seolah-olah hendak bicara. Tapi kelopak matanya terpejam.
"Kelihatannya tenang sekali, Sir," ujar Wilkins kemudian. "Saya rasa hari ini ia tidak mau bicara."
"Mudah-mudahan saja," kata Profesor. Garis bibirnya menegang. "Mumi seseorang yang meninggal tiga ribu tahun yang lalu, tapi bisa bicara, bukan merupakan sesuatu yang wajar, Wilkins. Bahkan berbisik pun sudah tidak wajar!"
"Sangat tidak wajar, Sir," ucap Wilkins sependapat.
"Tapi walau begitu, kemarin mumi ini berbisik padaku," kata Profesor lagi. "Ketika aku sedang sendirian di sini, ia berbisik dalam bahasa yang tak kukenal. Tapi nadanya sangat mendesak. Seolah-olah minta padaku untuk berbuat sesuatu."
Profesor Yarborough mencondongkan tubuhnya lagi ke depan, lalu menyapa mumi itu.
"Ra-Orkon," katanya, "jika kau ingin bicara padaku, aku siap untuk mendengarkan. Aku akan berusaha memahami kata-katamu."
Setelah itu Profesor menunggu. Semenit. Dua menit. Tapi yang terdengar cuma bunyi dengung seekor lalat yang terbang di situ.
"Mungkin juga kejadian kemarin itu cuma khayalanku belaka," kata Profesor kemudian. "Ya - kurasa pasti aku saja yang mimpi dalam keadaan bangun, menyangka mumi ini berbisik padaku. Tolong ambilkan gergaji kecil dari bengkel, Wilkins. Aku hendak mengambil contoh kayu sedikit dari sudut peti ini. Kawanku Jennings dari Universitas California ingin mencoba menetapkan saat pemakaman Ra-Orkon, dengan jalan melakukan pengukuran karbon radioaktif terhadap kayu peti."
"Baik, Sir." Pelayan pribadinya keluar.
Profesor Yarborough mengitari peti sambil mengetuk-ngetuk ke sana-sini. Ia sedang memilih-milih, bagian mana yang sebaiknya dipotong untuk dijadikan bahan percobaan. Pada satu tempat yang diketuk, ia merasa seperti mendengar bunyi kosong. Dan di tempat lain, kelapukan.
Sementara ia sedang sibuk mengetuk-ngetuk. Profesor Yarborough seperti menangkap bunyi gumaman pelan. Datangnya dari dalam peti. Ia terkesiap sesaat. Tapi kemudian buru-buru menempelkan telinga ke bibir mumi.
Astaga! Mumi itu berbicara padanya! Terdengar suara bisikan pelan, keluar dari celah bibir yang renggang. Kata-kata. Diucapkan mayat bangsawan Mesir yang sudah meninggal dunia tiga ribu tahun yang lalu.
Profesor Yarborough tidak memahami kata-katanya. Mumi itu mendesiskan suku kata demi suku kata, dengan suara begitu lirih sehingga nyaris tak terdengar. Tapi nadanya naik-turun, makin lama semakin mendesak. Seolah-olah mumi itu berusaha agar sarjana yang merapatkan telinga ke bibirnya itu bisa mengerti.
Profesor Yarborough haru-biru perasaannya. Kemungkinannya, mumi itu bicara dalam bahasa Arab Kuno. Kadang-kadang ia merasa seperti nyaris bisa menangkap makna satu dua patah kata.
"Teruskan, Ra-Orkon!" desak Profesor. "Aku berusaha mengerti."
"Bagaimana, Sir""
Profesor berpaling, ketika terdengar suara orang di balik punggungnya. Sementara itu Ra-Orkon membisu lagi. Profesor melihat Wilkins berdiri di belakangnya, memegang gergaji berukuran kecil tapi tajam.
"Wilkins!" seru Profesor Yarborough. "Mumi baru saja bicara lagi padaku! Ia mulai berbisik begitu kau tadi keluar, tapi membungkam lagi ketika Anda masuk kembali."
Kening Wilkins berkerut. "Rupanya dia hanya mau bicara jika Anda sedang sendirian, Sir," katanya. "Anda tadi mengerti apa yang dikatakannya""
"Tidak," keluh Profesor. "Aku tidak mengerti! Aku bukan ahli bahasa. Mungkin Ra-Orkon bicara dalam bahasa Arab Kuno, atau salah satu bahasa Hethit atau bahasa Kaldu."
Wilkins memandang ke luar. Ia menatap rumah yang terletak di seberang ngarai. Sebuah bangunan baru diplester putih, yang nampak seperti menempel di pinggir jurang.
"Teman Anda, Profesor Freeman, Sir, " katanya sambil menuding rumah di seberang. "Dia kan ahli kita yang paling hebat mengenai bahasa-bahasa Timur Tengah. Dalam waktu lima menit ia sudah bisa ada di sini. Jika Ra-Orkon juga mau bicara padanya, mungkin saja dia nanti bisa mengatakan apa yang diucapkan mumi ini."
"Ya - tentu saja!" seru Profesor Yarborough. "Kenapa tidak dari tadi aku berpikir ke situ. Ayahnya kan ada bersamaku, ketika aku menemukan Ra-Ork
on! Tapi kasihan - seminggu kemudian ia tewas terbunuh di daerah pasar di sana. Ya, tolong teleponkan Freeman, Wilkins! Minta dia datang dengan segera."
"Yes, Sir." Tapi baru saja pelayan itu meninggalkan ruangan, terdengar lagi suara bisik-bisik aneh itu.
Profesor Yarborough memaksa diri memahami kata-katanya, tapi sia-sia belaka. Akhirnya ia menyerah. Ia melayangkan pandangan lewat pintu angin yang terbuka, memandang rumah Profesor Freeman yang nampak di seberang ngarai.
Dilihatnya rekan yang umurnya lebih muda itu keluar dari rumahnya lewat pintu samping. Mendaki tangga menuju garasi. Dan beberapa saat kemudian nampak mobil meluncur ke luar, mulai menyusur jalan sempit yang menyusur tepi jurang. Sementara mata Profesor Yarborough mengikuti keberangkatan temannya itu dengan gelisah, telinga terus terpasang untuk menangkap suara bisikan yang mungkin akan terdengar lagi.
Tapi mumi itu tetap membungkam. Sarjana itu mulai bingung. Jangan-jangan kini mumi itu tidak mau bicara lagi, padahal sebentar lagi ada kemungkinan bantuan untuk menafsirkan kata-katanya!
"Teruslah bicara. Ra-Orkon!" desak Profesor Yarborough. "Jangan berhenti. Aku masih mendengarkan. Aku berusaha memahami kata-katamu!"
Sejenak kemudian bisikan terdengar lagi. Lalu menyusul bunyi mobil berhenti di luar rumah. Tak lama kemudian pintu ruangan terbuka.
"Andakah itu, Freeman"" tanya Profesor Yarborough tanpa berpaling.
"Ya! Ada apa, Yarborough"" Terdengar suara lembut dan ramah menjawab.
"Kemarilah dengan hati-hati. Aku ingin Anda ikut mendengarkan sesuatu." Profesor Yarborough merasa orang yang baru datang itu berlutut di sisinya.
"Ra-Orkon!" seru Yarborough. "Terus! Jangan berhenti bicara."
Tapi mumi sudah bungkam lagi, sebungkam masa tiga ribu tahun sebelum ia dibawa ke ruangan itu.
"Aku kurang mengerti," kata Profesor Freeman, sementara rekannya yang lebih tua berpaling untuk menatapnya. Sarjana yang baru masuk itu tingginya biasa saja. Berpotongan langsing, raut muka ramah, sedang rambutnya sudah mulai beruban di sana-sini.
"Aku mendapat kesan, seolah-olah Anda baru saja mendengarkan mumi ini bicara," sambungnya.
"Memang begitu," kata Yarborough. "Dia berbisik padaku dalam bahasa yang tak kukenal! Aku tadi berharap Anda akan bisa menafsirkannya untukku. Tapi begitu Anda muncul, dia langsung berhenti. Atau -" Profesor Yarborough tertegun, karena menyadari rekannya itu memandangnya dengan aneh. "Anda tidak percaya, kan"" kata Yarborough. "Anda tidak percaya Ra-Orkon tadi berbisik padaku"" Profesor Freeman mengusap-usap dagunya.
"Memang sukar dipercaya," katanya setelah beberapa saat. "Tapi tentu saja, jika aku bisa mendengarnya sendiri
"Kita coba saja," kata Yarborough. "Ra-Orkon! Bicaralah lagi. Kami akan berusaha memahami." Kedua sarjana itu menunggu. Tapi mumi tetap membisu.
"Ah - percuma saja," desah Profesor Yarborough. "Tapi sungguh, dia tadi berbisik-bisik. Rupanya dia hanya mau bicara jika aku seorang diri di sini. Aduh - padahal aku tadi sudah berharap-harap, semoga Anda bisa mendengarnya lalu menafsirkan kata-katanya."
Profesor Freeman berusaha mengambil sikap seolah-olah percaya. Tapi nampak jelas, ia sulit sekali bisa menerima cerita itu sebagai hal yang masuk akal.
"Tentu saja aku bersedia membantu, jika aku bisa," katanya. Kemudian baru dilihatnya gergaji kecil yang ada dalam pegangan Profesor Yarborough. "Untuk apa gergaji itu"" tanyanya. "Anda kan tidak bermaksud hendak menggergaji mumi ini!"
"Bukan," jawab Yarborough. "Aku cuma hendak menggergaji kayu sedikit dari sudut peti. Untuk pemeriksaan radioaktivitas karbon, guna menentukan saat Ra-Orkon dimakamkan."
"Nanti rusak peninggalan kuno yang teramat berharga ini!" seru Freeman. "Mudah-mudahan saja itu tidak perlu dilakukan."
"Aku sangsi, apakah Ra-Orkon serta peti ini memang berharga," kata Profesor Yarborough. "Kurasa cuma misterius saja! Pokoknya, pemeriksaan umur dengan sistem pengukuran radio aktivitas karbon itu perlu dilakukan. Tapi akan kutangguhkan dulu untuk sementara, sampai berhasil kuketahui teka-teki bisikan aneh tadi. Terus-terang saja, saat ini aku bingung, Freeman! Mumi
mustahil bisa berbisik. Tapi kenyataannya aku sendiri mendengar mumi yang ini berbisik-bisik padaku. Dan cuma padaku saja."
"Hmmm." Kening Profesor Freeman berkerut. Ia berusaha menyembunyikan rasa kasihan pada laki-laki yang lebih tua itu. "Yah - bagaimana jika Ra-Orkon dititipkan saja di tempatku untuk beberapa hari" Kalau nanti tinggal sendiri bersama aku, mungkin saja ia mau berkata-kata lagi. Saat itu ada kemungkinan aku bisa memahami kata-katanya, lalu meneruskannya pada Anda."
Profesor Yarborough menatap rekannya yang lebih muda.
"Terima kasih, Freeman," katanya dengan sikap tahu harga. "Aku merasa, Anda cuma hendak menyenangkan perasaanku saja. Padahal Anda beranggapan, kesemuanya ini cuma khayalanku belaka. Yah - mungkin saja memang begitu kenyataannya. Ra-Orkon akan kutahan di sini, sampai aku sendiri berhasil memastikan apakah kesemuanya benar-benar kualami. Atau cuma hasil khayalanku saja!"
Profesor Freeman mengangguk.
"Jika Anda ternyata berhasil menyuruh Ra-Orkon berbicara lagi, harap panggil aku dengan segera," katanya. "Aku akan langsung kemari. Tapi sekarang aku harus pergi lagi, karena ada rapat di universitas."
Setelah rekan yang lebih muda itu pergi, Profesor Yarborough mengalihkan perhatiannya kembali pada Ra-Orkon. Ia menunggu. Tapi mumi itu tetap membisu. Tak lama kemudian Wilkins masuk.
"Anda sudah mau makan sekarang, Sir""
"Ya, baiklah," jawab Profesor Yarborough. "Dan harap ingat, Wilkins -jangan cerita pada siapa-siapa tentang kejadian ini."
"Saya mengerti, Sir. "
"Melihat sikap Freeman tadi, aku tahu apa yang akan dikatakan rekan-rekanku yang sarjana jika mereka mendengar bahwa aku mengatakan ada mumi berbisik-bisik padaku. Bayangkan, jika berita itu sampai masuk surat kabar! Bisa buyar nama baikku selaku ilmuwan!"
"Memang betul, Sir, " kata Wilkins sependapat.
"Tapi walau begitu, soal ini perlu kurundingkan dengan orang lain," kata Yarborough dengan bibir diruncingkan. "Seseorang yang bukan ilmuwan, tapi tahu di dunia kita ini banyak terdapat hal-hal yang misterius. Ya - aku tahu sekarang siapa! Malam ini juga aku akan menelepon kawan lamaku, Alfred Hitchcock! Akan kuceritakan segala-galanya pada dia. Setidak-tidaknya, dia takkan mencemoohkan!"
Ternyata Alfred Hitchcock memang tidak mencemoohkan. Sutradara kenamaan itu menulis surat pada Trio Detektif.
Bab 3 JUPITER MEMBACA PIKIRAN "MANA mungkin mumi bisa berbisik"" kata Pete, mengulangi pertanyaannya. Sedang Bob cuma bisa menggeleng saja. Mereka membaca surat Alfred Hitchcock sampai dua kali. Kalau datangnya bukan dari sutradara terkenal itu, mereka pasti sudah menganggapnya lelucon belaka. Tapi Mr. Hitchcock menegaskan, kawannya yang bernama Profesor Yarborough benar-benar bingung menghadapi teka-teki mumi yang bisa berbisik itu. Lalu Mr. Hitchcock menanyakan, bersediakah Trio Detektif menangani kasus itu"
"Mumi mana bisa bicara," sambung Pete sambil mengerutkan kening. "Maksudku, mumi kan mumi - bukan manusia. Maksudku, dulunya memang manusia, tapi tidak - tidak..."
"Sudah tidak bernyawa lagi," sela Bob, menyelesaikan kalimat Pete. "Kau merasa tidak enak membayangkan mumi yang sudah mati, ternyata ada yang bisa bicara."
"Terang saja aku merasa tidak enak!" tukas Pete. Dipungutnya surat tadi, lalu dibacanya sekali lagi. "Profesor Yarborough," bacanya. "Seorang tokoh Egyp - Egypto -"
"Egyptolog!" "Ya, betul- Egyptolog. Apa itu""
"Ahli sejarah Mesir Purba," kata Bob menjelaskan.
"O, begitu," kata Pete. "Tinggalnya di pinggir ngarai Hunter Canyon, dekat Hollywood. Punya museum pribadi di rumahnya. Di situ ada mumi yang suka berbisik-bisik padanya, dalam bahasa yang tidak dipahami olehnya. Profesor menjadi gugup karenanya. Yah - tidak heran! Aku yang cuma membaca kabar itu saja sudah ikut-ikut gugup. Aku tidak mau terlibat urusan mumi yang bisa bicara. Sekarang saja sudah sering kita menghadapi perkara yang aneh-aneh. Kita perlu menenangkan syaraf sedikit. Lebih baik ke Santa Monica, dan membantu nyonya tua yang minta tolong dicarikan kucingnya yang hilang."
Bob Andrews mengambil surat yang satu lagi, yang datang dari Mrs. Banfry.
"Kau tentun ya bisa menebak, perkara mana yang akan dipilih Jupe," kata Bob.
"Ya, tentu saja," jawab Pete sambil cemberut. "Begitu ia membaca surat Mr. Hitchcock, pasti ia akan meminta Worthington datang dengan Rolls-Royce untuk mengantar kita ke tempat Profesor Yarborough. Tapi suara kita berdua lebih banyak dari dia sendiri. Jadi lebih baik kita serempak mengusulkan agar lebih dulu menangani kasus kucing Abesinia yang hilang."
"Jupe sulit dikalahkan suaranya," kata Bob.
"Ya, memang," jawab Pete dengan nada lesu.
"Ke mana saja sih, anak itu"" tanya Bob. "Mestinya sekarang kan sudah kembali!" "Coba kita lihat saja," usul Pete. "Angkat periskop!"
Pete pergi ke pojok ruangan sempit itu, menghampiri sebuah tabung yang terdapat di situ. Kelihatannya seperti pipa pembuangan asap yang biasa. Ukuran garis-tengahnya tidak seberapa besar. Pipa itu berdiri tegak lurus ke atas, menembus atap trailer. Ujung bawahnya menyiku. Di kiri-kanannya mencuat ujung-ujung sebatang pipa kecil. Kelihatannya seperti tempat berpegang. Kesemuanya itu jika diperhatikan lebih teliti, mirip sekali dengan bagian bawah periskop kapal selam. Dugaan begitu tidak meleset, karena benda itu memang periskop. Jupiter yang membuatnya sendiri, minggu lalu.
Markas besar Trio Detektif masih tetap merupakan tempat rahasia. Letaknya tersembunyi di bawah tumpukan berbagai jenis barang rombengan. Tapi letak tersembunyi itu ternyata ada ruginya. Orang lain tidak bisa melihat trailer itu. Memang betul! Tapi begitu ketiga remaja itu sudah masuk ke dalam, mereka pun tidak bisa memandang ke luar.
Problem ini diselesaikan Jupiter. Dibuatnya sebuah periskop, seperti yang ada dalam kapal selam. Ia membuatnya dari pipa-pipa pembuang asap tungku pasak (EN: di buku tertulis pasak, bukan rusak, atau masak). Diperlengkapinya dengan cermin-cermin yang dipasang miring di sebelah dalamnya. Pipa itu menembus atap trailer, dekat lubang angin. Orang lain yang kebetulan melihatnya menonjol di luar, pasti mengira itu cuma pipa tungku biasa saja.
Pete menjunjung periskop itu pelan-pelan ke atas, sampai ujung atasnya mencuat dari tumpukan barang rombengan. Kemudian ia mulai menggerakkan gagang, sehingga pipa itu terputar. Ia memutar terus, sambil mengamat-amati pemandangan di luar.
"Mrs. Jones sedang menjual beberapa batang pipa pada seorang tukang," katanya melaporkan. "Hans menumpukkan kayu bekas di pojok. Nah - itu dia Jupe." Kini periskop tidak digerakkannya memutar lagi. "Ia datang dari arah kota, sambil menuntun sepeda. Rupanya tadi mengalami kesulitan - ya, betul, bannya kempis."
"Mungkin bocor kena paku," tebak Bob. "Karena itu baru sekarang ia kembali. Bagaimana tampangnya" Masam atau tidak""
"Tidak. Ia tersenyum-senyum, sambil menempelkan radio transistor ke kuping," kata Pete sambil memperhatikan terus. "Aneh! Maksudku, Jupe kan paling benci kalau ada sesuatu yang tidak beres. Bahkan ban kempis saja sudah bisa membikin dia jengkel. Ia menilai kejadian begitu sebagai penghinaan terhadap kerapian kerjanya. Jupe senang sekali merencanakan dengan cermat, supaya kemudian segala-galanya bisa berjalan lancar."
"Jupe kalau disuruh merancang memang paling jago," kata Bob. "Cuma satu keinginanku - alangkah baiknya kalau dia bisa ngomong tanpa memakai kata yang panjang-panjang. Kadang-kadang aku sampai kerepotan, hanya untuk mengerti saja!"
"Siapa yang tidak kerepotan"" tukas Pete. Kini periskop digerakkannya sedikit, mengikuti pemandangan yang sedang diamati di luar. "Sekarang Jupe masuk, lewat gerbang besar. Ia menyerahkan sesuatu pada bibinya. Mrs. Jones menuding kemari sambil mengangguk. Rupanya bilang pada Jupe, kita ada di bengkel."
"Nah - sekarang dia masuk ke kantor," sambung Pete lagi. Ia menunggu beberapa saat. "Kenapa begitu lama di situ" Ah - itu dia muncul lagi."
"Yuk, kita mempermainkan Jupe," ajak Bob. "Surat dari Mr. Hitchcock ini kusembunyikan dalam kantong. Sedang yang dari Mrs. Banfry kita tunjukkan padanya. Biar timbul dulu semangatnya ingin menangani kasus itu. Kemudian baru kita tunjukkan surat mengenai Profesor Yarborough yang pusing menghadapi mumi berbisik."
"Lalu kita bilang, kasus itu tidak bisa kita tangani sebelum kucing Abesinia kita temukan!" Pete nyengir. "Aku dapat akal lain. Kau tinggal ikut saja nanti. Kini giliranku mengadakan deduksi."
Setelah itu mereka menunggu. Terdengar bunyi terali besi tergeser ke samping. Rupanya Jupiter masuk lewat Lorong Dua, yaitu pipa besi besar yang merupakan jalan masuk utama ke Markas Besar.
Dengan cepat Pete menurunkan periskop, lalu duduk menghadapi meja. Sementara itu terdengar bunyi orang merangkak-rangkak menyusur Lorong Dua, disusul ketukan tangan pada tingkap yang di lantai. Setelah itu tingkap terangkat ke atas, dan Jupiter tersembul masuk ke Markas Besar.
Jupiter Jones bertubuh gempal, agak pendek. Rambutnya hitam pekat, sedang matanya berwarna coklat tua. Mukanya bundar kemerah-merahan, nampak lebih muda daripada umur sebenarnya. Tapi kalau ia sudah mengambil sikap tegak dan dagunya ditegapkan, dia juga bisa kelihatan lebih tua. Jupiter juga bisa membiarkan sikap tubuhnya merosot. Kalau sudah begitu, tampangnya konyol sekali. Kelihatan gendut dan goblok! Kemampuannya ini sudah sering mengecoh orang lain, yang langsung meremehkan.
"Aduh," katanya sambil menghembuskan napas. "Panas sekali di luar!"
"Bukan saat yang baik untuk mengalami ban kempis," kata Pete.
Jupiter menatap temannya itu.
"Dari mana kau tahu ban sepedaku kempis"" tanyanya.
"Pakai deduksi, dong," jawab Pete. "Kami berdua tadi sibuk latihan deduksi, seperti yang kaukatakan. Ya kan, Bob""
Bob terangguk-angguk. "Betul," kata teman itu. "Jauh juga kau tadi menyorong sepeda, ya Jupe"" Jupiter memandang mereka silih-berganti dengan perasaan curiga.
"Ya, memang," jawabnya kemudian. "Sekarang aku kepingin mendengar penjelasan, bagaimana kalian sampai pada kesimpulan itu. Supaya aku bisa menilai perkembangan kemampuan benak masing-masing." "Apa kami yang kaunilai"" tanya Pete bingung.
"Dia mau menilai jalan pikiran kita," sela Bob. "Kau saja yang memberi penjelasan." "Boleh saja," kata Pete. "Perlihatkan tanganmu."
Jupiter menyodorkan kedua belah tangannya ke depan. Nampak kotor. Pada satu telapak nampak kotoran, kelihatannya seperti bekas memegang ban sepeda. "Baiklah! Lalu"" tanya Jupiter.
"Lututmu yang sebelah kanan berdebu," sambung Pete. "Rupanya kau tadi berlutut, untuk memeriksa sesuatu. Tanganmu kotor, dan pada satu telapaknya nampak bekas ban sepeda. Kesimpulanku, kau tadi berlutut untuk memeriksa ban sepeda. Itu berarti banmu kempis. Sepatumu juga berdebu. Jadi kau agak jauh juga berjalan kaki. Gampang saja, Jupe."
Deduksinya itu memang baik sekali - kalau sebelumnya ia tidak tahu bahwa Jupiter ban sepedanya bocor. Jupiter nampak kagum.
"Bagus sekali," katanya. "Kemampuan menarik kesimpulan yang begitu tidak boleh disia-siakan, hanya untuk mencari seekor kucing hilang."
"Apa katamu"" seru Pete dan Bob serempak.
"Kukatakan tadi, perkembangan yang sudah begitu maju dalam penalaran deduktif serta ilmu pertimbangan, sayang jika disia-siakan untuk menyelidiki jejak seekor kucing Abesinia yang menghilang dari tempat pemukimannya yang lazim," kata Jupiter. Ia sengaja memakai kata yang panjang-panjang, karena tahu Pete paling benci jika ia sudah begitu.
"Pada hakekatnya, penyelidik yang berkemampuan seperti kalian seharusnya menyelami perkara-perkara yang lebih besar, seperti -" Jupiter diam sejenak, seperti sedang berpikir, "- seperti misteri mumi berumur 3.000 tahun yang membisikkan pesan-pesan aneh dalam bahasa tak dikenal pada pemiliknya."
"Dari mana kau tahu tentang mumi yang bisa berbisik"" tanya Pete tercengang. Nyaris saja ia berteriak.
"Sementara kalian tadi melatih diri dalam ilmu deduksi," kata Jupiter, "aku berlatih membaca pikiran orang. Bob, dalam kantongmu ada surat di mana tertera alamat Profesor Yarborough. Aku tadi sudah menelepon, memesan pada Worthington supaya datang ke sini dengan mobil kita. Sepuluh menit lagi kita sudah bisa berangkat ke tempat profesor itu, dan menawarkan bantuan kita untuk memecahkan teka-teki mumi yang katanya bisa berbisik itu."
Pete dan Bob tidak sanggup mengatakan apa-apa lagi. Keduanya cuma bisa memandang Jupiter sambil melongo.
Bab 4 KUTUKAN MUMI "BAGAIMANA kau bisa tahu ada surat dari Mr. Hitchcock, yang isinya mengenai Profesor Yarborough serta mumi yang berbisik"" tanya Pete setengah jam kemudian. Sudah kelima kalinya dengan itu ia mengajukan pertanyaan yang sama.
Jupiter Jones mendesah. "Kalau kau tetap tidak mau percaya juga bahwa aku ini bisa membaca pikiran orang, yah - cari saja jawabannya sendiri," katanya. "Pakai kemampuanmu menarik kesimpulan. Ketika aku datang tadi, kau sudah memamerkan kehebatan mengadakan deduksi tentang ban sepedaku yang kempis. Sekarang teruskan usaha yang baik itu."
Pete terdiam. Dalam hati, ia jengkel. Sedang Bob Andrews nyengir, geli sendiri. Sekali lagi mereka dikalahkan oleh Jupe, si gendut. Nanti dia pasti akan bercerita sendiri, bagaimana caranya sampai ia bisa tahu. Untuk saat ini, Bob sudah merasa cukup puas. Trio Detektif sudah menginjakkan kaki ke ambang misteri baru, yang aneh dan menyeramkan.
Ketiga remaja itu duduk di jok belakang mobil Rolls-Royce antik yang besar. Dengan kendaraan itu mereka bisa mendatangi tempat-tempat lain. Di California Selatan, jarak dari satu tempat ke tempat lain tidak bisa dibilang dekat. Dan kini kendaraan itu meluncur dengan tenang, melintasi perbukitan yang memisahkan Rocky Beach dari kota Hollywood bagian utara.
"Jupe," kata Bob sambil menggeliat nikmat, "aku tidak tahu apa yang akan kita lakukan nanti, jika hak pemakaian mobil ini sudah habis. Kita sudah empat belas hari memakainya."
"Sudah lima belas hari, Master Andrews," kata Worthington yang menyetir mobil di depan, dengan gaya bicaranya yang khas Inggris. Sopan, tapi penuh wibawa. Sementara itu antara dirinya dengan ketiga remaja yang menjadi majikannya untuk sementara waktu, sudah terjalin tali persahabatan yang hangat. "Itu kalau hari ini ikut dihitung! Kalau saya nanti sudah tidak lagi menyupiri kalian, pasti saya akan merasa kehilangan, karena tidak bisa lagi ikut mengalami petualangan kalian."
"Jadi tinggal lima belas hari lagi," desah Pete.
"Dua tambah dua, tidak selalu menghasilkan empat," kata Jupiter. Lagi-lagi ia berlagak misterius. "Dan lima belas tambah lima belas, belum tentu tiga puluh jumlahnya. Ya - berhenti di sini, Worthington."
Mobil mewah itu berhenti beberapa meter di bawah puncak punggung salah satu bukit yang bertaburan mengelilingi kota Hollywood. Di pinggir jalan nampak jalan masuk ke pekarangan sebuah rumah. Di kiri-kanan jalan masuk itu terdapat dua tonggak batu berukuran besar. Pada satu di antaranya terpasang sebuah pelat nama. Di situ tertulis: " Yarborough".
Jalan masuk itu menuruni lereng tebing, menuju pekarangan luas yang rimbun ditumbuhi pepohonan. Di sela-sela dedaunan tersembul atap genting berwarna merah, menaungi sebuah gedung tua bergaya Spanyol. Di belakang gedung, tebing menurun semakin terjal, sampai di dasar ngarai. Lalu menanjak terjal lagi ke atas, membentuk sisi seberang ngarai. Dan di seberang nampak sejumlah rumah, dibangun pada ketinggian yang berbeda-beda.
"Mestinya inilah tempat tinggal Profesor Yarborough," kata Jupiter pada kedua rekannya. "Aku sudah menelepon dia. Jadi antarkan kami ke rumahnya, Worthington, supaya kami bisa memperkenalkan diri. Aku sudah kepingin sekali melihat mumi itu. Barangkali dia mau bicara dengan kita!"
"Mudah-mudahan tidak," gumam Pete. "Aku tak mau berada dalam satu ruangan dengan mumi yang bisa bicara. Terus-terang saja, profesor itu tidak bisa kusalahkan kalau dia merasa gelisah sekarang!"
Dan saat itu Profesor Yarborough memang sedang gelisah sekali. Sarjana itu sudah duduk di teras, sambil menghirup sup encer yang baru saja dihidangkan panas-panas oleh Wilkins.
"Wilkins," sapa Profesor dengan gugup, "Anda tadi malam masih mendengarkan, seperti yang sudah kupesankan""
"Ya, Sir, "jawab pelayan itu. "Saya berada dalam ruangan tempat Ra-Orkon, sampai hari sudah betul-betul gelap. Sekali saya merasa seperti mendengar sesuatu-"
"Ya - terus""
"Tapi akhirnya saya terpaksa menarik kesimpulan, bunyi itu cuma ada dalam sangkaan saya belaka." Wilkins mengambil cangkir yang sudah kosong, lalu menyodorkan serbet pada majikannya. Profesor Yarboro
ugh mengusap bibir. "Ada sesuatu yang terjadi dengan diriku, Wilkins," keluhnya. "Malam-malam aku terbangun, dengan jantung berdebar keras. Misteri ini - mengganggu ketenangan syarafku." "Saya sendiri jadi ikut gugup, Sir, " balas Wilkins. "Mungkinkah -" "Mungkin apa, Wilkins" Ayo, katakan saja!"
"Saya cuma ingin mengatakan, Sir - mungkin Anda sudah berpikir-pikir, lebih baik Ra-Orkon dipulangkan saja ke Mesir. Dengan begitu, Sir - Anda akan bebas dari -"
"Tidak!" Bibir Profesor Yarborough merapat, menandakan kekerasan hatinya. "Di sini ada berbagai hal yang tidak kumengerti. Dan aku tidak mau menyerah, sebelum berhasil mengetahui apa yang ada di balik berbagai teka-teki itu. Kurasa tak lama lagi kita akan memperoleh bantuan."
"Bantuan detektif, Sir"" tanya Wilkins. "Tapi - saya kira Anda tidak mau urusan ini sampai terdengar polisi."
"Memang bukan polisi, tapi beberapa penyelidik yang dianjurkan sahabatku, Alfred Hitchcock."
Saat itu terdengar nada-nada merdu menggema dalam rumah. Bunyi bel pintu depan.
"Nah, mungkin itu mereka," kata Profesor. "Cepat, Wilkins - persilakan mereka langsung kemari."


Trio Detektif 03 Misteri Bisikan Mumi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pelayan itu masuk ke dalam rumah. Tak lama berselang, kembali bersama tiga remaja. Seorang bertubuh gempal dan berambut hitam. Satu lagi jangkung dan kekar. Sedang remaja yang ketiga berbadan kecil, memakai kaca mata.
Jalannya agak timpang, dan tungkainya ditunjang dengan penopang. Profesor Yarborough memandang ketiga remaja yang melangkah ke teras itu sambil mengerutkan kening.
Jupiter langsung mengerti. Profesor Yarborough pasti mengira detektif yang akan membantunya sudah dewasa. Jupe menegakkan sikap. Dagunya ditegapkan. Seketika itu juga ia nampak lebih tua. Ia mengambil kartu nama dari dalam kantong, lalu menyodorkannya pada sarjana itu yang secara otomatis menerimanya. Pada kartu itu tertera:
TRIO DETEKTIF "Kami Menyelidiki Apa Saja"
""" Penyelidik Satu: Jupiter Jones
Penyelidik Dua: Peter Crenshaw
Data dan Riset: Bob Andrews
Profesor Yarborough lantas menanyakan hal yang diajukan oleh hampir setiap orang yang melihat kartu nama itu. "Ketiga tanda tanya ini, apa artinya"" tanya sarjana itu. "Kelihatannya seolah-olah kalian menyangsikan kemampuan diri sendiri."
Pete dan Bob saling memandang sambil nyengir. Pembubuhan tanda tanya merupakan ide dari Jupiter. Tanda tanya yang tiga buah itu lambang rahasia mereka. Jika salah satu dari mereka hendak memberi tahu rekan-rekannya bahwa ia pernah berada di suatu tempat tertentu, maka ia membuat tanda tanya dengan kapur di situ. Masing-masing memakai warna tersendiri. Jupiter memakai kapur putih, Bob hijau, sedang Pete memakai yang berwarna biru. Dengan begitu langsung bisa diketahui, siapa yang membubuhkan tanda tanya.
"Tanda tanya," kata Jupiter dengan gaya dewasa, "merupakan tanda yang dikenal di mana-mana untuk pertanyaan yang belum terjawab, teka-teki yang belum terpecahkan, atau misteri yang belum menemukan penjelasan. Karena itulah kami memilih tanda tanya sebagai lambang perusahaan kami. Kami bersedia menyelidiki misteri apa pun yang Anda ajukan pada kami. Kami tidak bisa menjanjikan akan berhasil, tapi kami pasti akan berusaha keras!"
"Hmmm." Sarjana itu mempermainkan kartu nama yang ada di tangannya sambil berpikir-pikir. "Kalau kau tadi tidak mengucapkan kalimat yang paling akhir, saat ini pun sudah kuminta pada Wilkins agar kalian diantarkan ke luar. Aku juga tahu, tidak ada yang bisa menjanjikan keberhasilan dalam usaha yang mana juga. Tapi keberhasilan, biasanya merupakan buah usaha yang bersungguh-sungguh."
Ia berhenti sebentar, sambil meneliti ketiga remaja yang ada di depannya. Akhirnya ia mengangguk.
"Alfred Hitchcock yang menyuruh kalian datang padaku," kata sarjana itu. "Dan aku percaya pada kebijaksanaannya. Aku tidak bisa minta tolong pada polisi, karena alasan yang sudah jelas. Detektif swasta juga tidak bisa kuhubungi, karena pasti akan mengira aku ini sudah sinting! Rekan sesama sarjana, secara diam-diam hanya akan merasa kasihan padaku, lalu menyebarluaskan desas-desus bahwa aku sudah tua dan mulai pikun. Tapi tiga remaja yang cekatan, yang tidak d
ibebani prasangka apa-apa - Ya, kurasa jika ada yang bisa menolong aku dalam menyelidiki persoalan ini sampai tuntas, kalianlah orangnya!"
Profesor Yarborough bangkit dari kursinya, lalu berjalan menuju sayap kiri gedung kediamannya.
"Ayo ikut," ajaknya. "Kuperkenalkan kalian pada Ra-Orkon! Setelah itu kita bisa langsung mulai."
Jupiter langsung mengikuti. Pete dan Bob beranjak hendak menyusul. Tapi Wilkins mengangkat tangannya, menahan mereka. Tangan pelayan itu nampak gemetar. Wajahnya tegang. Cemas!
"Nanti dulu," katanya, "sebelum kalian terlibat dalam urusan Ra-Orkon, mumi itu, ada sesuatu yang perlu kalian ketahui terlebih dulu."
"Apa itu"" tanya Pete sambil mengerutkan kening.
"Ada kutukan yang menyelubunginya," kata Wilkins, sambil memelankan suara. "Kutukan yang menimpa setiap orang yang memasuki makam, atau mengganggu ketenangan Ra-Orkon. Sejak mumi itu ditemukan, kutukan itu sudah mencabut nyawa hampir seluruh anggota ekspedisi waktu itu. Semua tewas secara tiba-tiba, dan dengan menderita."
Wilkins menatap mereka dengan tatapan mata meminta, lalu melanjutkan kata-katanya, "Profesor tidak pernah mau menerima kenyataan itu. Semua yang tidak ilmiah, tidak mau diterimanya sebagai kenyataan. Dan ia juga tidak terpengaruh karenanya - sampai sekarang. Tapi kini mumi itu ada di sini - dan aku - aku takut. Takut mengingat
keselamatan Profesor. Tapi juga keselamatanku sendiri. Serta kalian pula, jika kalian sampai terlibat dalam urusan ini."
Bob dan Pete hanya bisa memandang orang itu dengan mata terbuka lebar. Mereka melihat wajah seseorang yang merot-merot karena menahan perasaan. Nampak jelas bahwa ia tidak membikin-bikin rasa takutnya. Saat itu Jupiter berpaling dan melihat keduanya masih berdiri di teras.
"Ayo - masih tunggu apa lagi di situ"" panggilnya.
Keduanya bergegas menyusul. Mereka masuk ke dalam ruang museum, lewat pintu angin yang terbuka. Profesor langsung menuju peti mumi yang terbuat dari kayu. Dibukanya tutup peti, lalu menuding ke dalam.
"Itu dia Ra-Orkon," katanya. "Mudah-mudahan - sungguh, aku berharap kalian bisa membantu aku dalam menyelidiki apa sebetulnya yang hendak dikatakannya padaku."
Mumi Ra-Orkon yang warna kulitnya coklat tua, nampak seperti sedang istirahat dengan tenang dalam petinya. Matanya masih tetap terpejam. Tapi kelihatannya seolah-olah setiap saat akan terbuka.
Jupiter memeriksa mumi itu dengan penuh perhatian. Rasa ingin tahunya selaku detektif terangsang. Tapi Bob dan Pete, merasa agak sulit menarik napas. Soalnya bukan karena tampang mumi itu menyeramkan. Tidak, mereka merasa agak ngeri karena membayangkan kata-kata Wilkins tadi. Mumi yang berbisik saja, sudah cukup seram. Apalagi mumi yang berbisik, dan juga mengandung kutukan Pandangan Bob dan Pete saling bertemu. Tampang Pete nampak seperti menderita.
"Aduh," gumamnya pelan, "sekali ini Jupe benar-benar akan menjerumuskan kita semua ke dalam bencana!"
Bab 5 BAHAYA MENDADAK JUPITER mengamat-amati mumi Ra-Orkon dengan cermat, sementara Profesor Yarborough menotol-notol keningnya yang berkeringat dengan sapu tangan. Keningnya sendiri - bukan kening Jupiter!
"Wilkins," katanya pada pelayannya, "tolong bukakan semua pintu angin. Anda kan tahu, aku tak tahan berada dalam ruangan tertutup."
"Yes, Sir. " Wilkins membentangkan semua pintu angin lebar-lebar. Angin langsung menghembus ke dalam kamar, menyebabkan topeng-topeng di dinding bergerak-gerak. Terdengar bunyi mengelenting. Jupiter mengangkat kepala.
"Bukan itu bunyi yang Anda dengar, Profesor"" tanyanya. "Bunyi yang disebabkan oleh tiupan angin""
"Bukan, bukan," jawab yang ditanya, "aku tahu beda antara bunyi begitu, dengan suara orang yang bicara! Mumi ini jelas kudengar berbisik-bisik."
"Kalau begitu kita coret kemungkinan bahwa Anda salah dengar," kata Jupiter lagi. "Kita lanjutkan penyelidikan dengan anggapan bahwa Anda benar-benar mendengar suara berbicara. Mungkin dalam bahasa Arab Kuno, tapi mungkin juga tidak."
"Masih ada lagi yang perlu saya lakukan, Sir"" tanya Wilkins. "Kalau tidak, saya ingin menyelesaikan pekerjaan yang lain."
Keempat orang yang ada dalam r
uangan itu memandang Wilkins. Karena itu, semua melihat mata orang itu dengan tiba-tiba membelalak seperti kaget dan ketakutan. Saat itu juga Wilkins menerpa Profesor Yarborough. "Awas, Sir! " pekik Wilkins.
Keduanya terbanting ke lantai. Detik berikutnya, patung Anubis, dewa berkepala ajak yang terbuat dari kayu roboh ke depan. Tepat di tempat Profesor Yarborough berdiri satu detik sebelumnya. Kemudian patung itu terguling ke samping. Tampang ajak menghadap Profesor, seakan-akan menyeringai.
Profesor Yarborough bangkit, diikuti oleh Wilkins. Gemetar sekujur tubuh mereka. Keduanya menatap patung yang tergolek di lantai.
"Saya tadi melihatnya tergoyang-goyang, Sir," kata Wilkins dengan suara menggigil, "dan saya tahu, pasti detik berikut akan roboh. Kalau tadi sampai menimpa Anda, pasti akan mengakibatkan cedera berat." Wilkins menelan ludah. "Itu kutukan Ra-Orkon, Sir- yang menyusul muminya kemari."
"Omong kosong!" tukas sang profesor sambil mengibas-ngibaskan debu yang menempel ke pakaian. "Kutukan itu cuma isapan jempol wartawan surat kabar saja. Makna prasasti pada makamnya, sama sekali bukan seperti perkiraan Lord Carter semula. Tadi cuma kebetulan saja patung Anubis ini roboh terjungkal."
"Selama tiga ribu tahun patung ini tegak tanpa terjungkir," bisik Wilkins dengan suara parau. "Kenapa sekarang harus tiba-tiba jatuh" Anda tadi bisa mengalami cedera berat, Sir. Atau tewas seperti Lord Carter, ketika -"
"Lord Carter tewas dalam kecelakaan mobil!" tukas sang profesor. "Anda bisa pergi sekarang, Wilkins."
"Baik, Sir." Pelayan itu berbalik hendak pergi, tapi ditahan oleh Jupiter. Remaja itu tadinya membungkuk memperhatikan patung Anubis. Kini ia mendongak.
"Wilkins, Anda mengatakan tadi bahwa Anda melihat ketika patung ini hendak roboh," katanya. "Coba tolong ceritakan, bagaimana bergeraknya tadi."
"Mula-mulanya condong ke depan, Master Jones," kata Wilkins. "Ketika saya melihatnya, sudah condong sekali - tinggal roboh saja. Seolah-olah - seolah-olah sengaja hendak menimpa Profesor."
"Wilkins!" tukas majikannya dengan tajam.
"Memang sungguh-sungguh begitu terjadinya, Sir. Anubis condong ke depan, lalu - lalu jatuh. Saya bertindak secepat mungkin, Sir. Untung saja tepat pada waktunya."
"Ya, terima kasih untuk itu," tukas Profesor Yarborough. "Tapi sekarang aku tidak mau dengar apa-apa lagi tentang kutukan serta omong kosong lainnya."
Saat itu juga semua terlonjak karena kaget. Sebuah topeng emas yang tadinya tergantung di dinding, jatuh berdentang ke lantai.
"Tapi - tapi itu, Sir"" tanya Wilkins, sementara air mukanya semakin memucat.
"Angin," kata Profesor. Tapi nada bicaranya sudah tidak seyakin tadi lagi. "Angin yang merobohkan patung Anubis, dan meniup topeng sehingga jatuh."
Jupiter yang masih jongkok di sisi patung kayu yang tergeletak di lantai, meraba-raba dasar persegi empat tempat patung itu berdiri.
"Patung ini berat, Sir, " katanya. "Dan dasarnya juga tidak meliuk, atau rusak. Untuk merobohkan patung seberat ini, perlu ada angin ribut!"
"Anak muda," kata Profesor Yarborough pada Jupiter dengan nada berwibawa, "aku ini sarjana. Aku sama sekali tidak percaya pada omongan tentang kutukan, atau pada roh-roh jahat. Jika kalian bermaksud hendak membantu aku, hal itu perlu dicamkan benar-benar!"
Jupiter tegak kembali. Wajahnya serius.
"Saya juga tidak percaya pada hal-hal begitu, Sir, " katanya. "Tapi masih tetap merupakan fakta, dalam waktu lima menit terjadi dua peristiwa aneh, yang kelihatannya tanpa penyebab sedikit pun."
"Ah - itu kan cuma kebetulan saja," balas sang profesor. "Sekarang, Anak muda - katamu kau percaya mumi itu berbisik padaku, seperti yang kukatakan. Mungkin kau punya teori, kenapa mumi yang sudah lama mati bisa berbisik""
Jupiter mencubit-cubit bibir bawahnya. Bob dan Pete sudah hafal gerakan itu. Tandanya, Jupiter sedang memeras otak!
"Saya punya teori mengenainya, Sir," katanya setelah berpikir beberapa saat.
"Teori dengan dasar ilmiah"" tanya Profesor Yarborough. Janggut kambingnya bergerak-gerak, karena sang profesor mengucapkan kata-katanya dengan nada mengentak-entak. "Bukan sihir""
" Tidak, Sir. Teori yang benar-benar ilmiah." Jupe berpaling pada kedua rekannya. "Pete, coba kau dan Bob pergi ke mobil. Minta pada Worthington, agar diambilkan tas kulit yang ada dalam ruang bagasi. Di dalam tas itu ada peralatan yang ingin kucoba di sini."
"Beres, Jupe!" Pete setuju saja, karena dengan begitu ada peluang baginya untuk meninggalkan ruangan. "Yuk, Bob."
"Saya antarkan kalian ke luar," kata Wilkins.
Bob dan Pete meninggalkan Jupiter dalam ruang museum, bersama Profesor Yarborough. Mereka mengikuti Wilkins, menyusur gang panjang yang menuju pintu depan rumah. Mobil Rolls-Royce diparkir di depan pintu. Worthington sedang melakukan kesibukannya yang biasa, apabila tidak sedang menyetir. Ia mengelap bagian luar mobil antik itu, yang sebetulnya sudah berkilau-kilauan.
"Anak-anak," bisik Wilkins sementara ia membukakan pintu untuk Bob dan Pete, "Profesor orangnya keras kepala. Dia tidak mau mengakui bahwa kutukan itu memang ada. Tapi kalian sendiri tadi melihat apa yang terjadi. Lain kali, nyawanya bisa melayang. Atau mungkin juga seorang di antara kita. Tolonglah, bujuk Profesor agar dia mau mengembalikan Ra-Orkon ke Mesir!"
Setelah itu ia masuk lagi, meninggalkan kedua remaja itu termenung-menung.
"Mungkin Jupe memang tidak percaya pada kutukan," kata Pete. "Aku juga tidak mengatakan aku percaya! Tapi aku punya firasat, jika kita masih ingin selamat - kita harus cepat-cepat pergi dari sini!"
Bob Andrews tidak mampu memberi jawaban dengan segera. Ia pun tidak percaya pada kutukan kuno, sebetulnya. Tapi di pihak lain - kalau itu ternyata benar"
Worthington mendongak ketika kedua remaja itu menghampiri.
"Nah - sudah selesai"" sapanya.
"Baru saja mulai," kata Pete dengan nada murung. "Sekali ini kami tersangkut dalam kutukan Mesir Kuno. Jadi tidak bisa dibilang apa yang akan terjadi selanjutnya. Sekarang kami memerlukan tas kulit yang ditaruh oleh Jupe dalam tempat bagasi."
"Kalau menghadapi kutukan dari Mesir, setiap waktu aku siap mendukung Master Jones," kata Worthington, sambil berjalan mendului ke belakang mobil. Dibukanya tutup tempat bagasi, dan dikeluarkannya sebuah tas kulit yang pipih bentuknya.
"Mestinya ini yang diminta Master Jones," katanya. "Ia tadi meminta padaku agar menaruhnya di sini tanpa bilang pada siapa-siapa."
Pete menerima tas itu. Bersama Bob ia lantas kembali ke ruang museum.
"Apa isinya, ya"" katanya menebak-nebak, sambil menjunjung tas itu. "Rasanya berat juga! Pasti ada sesuatu yang direncanakan Jupe. Sesuatu yang sama sekali tidak kita duga."
"Rupanya ia membalas keisengan kita tadi, pura-pura melakukan deduksi tentang ban sepedanya yang bocor," kata Bob.
Mereka memasuki kembali ruang museum. Ternyata Jupe dan Profesor Yarborough sudah mengembalikan patung dewa berkepala ajak ke tempat semula. Jupiter menggeleng-geleng.
"Sungguh - kalau ada angin ribut baru patung ini mungkin roboh, Sir, " katanya, pada saat Bob dan Pete masuk. "Kalau angin sepoi-sepoi saja, mustahil!"
Kening Profesor berkerut, menyebabkan kedua alisnya yang tebal bertemu di tengah-tengah.
"Maksudmu, hal itu terjadi karena ada kekuatan gaib""
"Saya tidak tahu apa yang menyebabkan patung ini tadi jatuh, Profesor," kata Jupiter dengan sopan. "Tapi akan saya tunjukkan, bagaimana caranya membuat mumi bisa berbisik-bisik."
Diambilnya tas yang disodorkan Pete, lalu dibukanya. Ternyata dalam tas itu ada tiga alat mirip radio transistor, tapi berukuran besar.
Jupiter memang tidak suka bicara panjang-lebar, jika ada kemungkinan menunjukkan maksudnya secara kongkret. Salah satu dari radio itu diserahkannya pada Pete. Lalu diambilnya ikat pinggang kulit dengan kawat tembaga terikat di situ. Ikat pinggang itu dibelitkannya ke pinggang Pete. Ujung kawat ditusukkannya ke sebuah lubang di radio. Kemudian pesawat itu diserahkannya pada Pete.
"Buka pintu angin, lalu pergi ke kebun lewat teras," kata Jupiter. "Dekatkan radio ke telingamu, dan bersikaplah pura-pura sedang mengikuti siaran tertentu. Tapi tekan kenop yang ada di sisi sini kalau mau bicara. Untuk mendengar, lepaskan kenop."
"Barang apa ini"" tanya Pete. Rasa-rasanya ia su
dah pernah melihat alat seperti itu.
"Itu walkie-talkie," kata Jupiter. "Kawat tembaga yang melilit pinggangmu itu antenanya. Alat ini mampu menangkap dan memancarkan percakapan sampai sejauh setengah mil dengan menggunakan CB. Aku berpendapat kita perlu semacam alat untuk bisa saling berhubungan kalau kebetulan harus bekerja terpisah-pisah. Karenanya aku mulai membuat pesawat-pesawat ini, minggu lalu."
"Aku harus berjalan di kebun, sambil bicara," kata Pete mengingat-ingat. "Lalu apa yang harus kukatakan""
"Apa saja, pokoknya bicara," jawab Jupiter. "Sekarang buka pintu angin, lalu berjalan lurus ke depan."
"Ya deh," kata Pete. Lalu ia melirik Jupiter. "Rupanya dengan cara begini kau bisa membaca pikiran!" tebaknya.
"Nanti saja kita bicarakan soal itu," jawab Jupiter sambil nyengir. "Sekarang aku ingin mengadakan peragaan untuk Pak Profesor. Kau nanti mulai bicara, kalau sudah sampai di -" Jupiter membuka pintu angin, lalu memandang ke luar. "Yah, kalau sudah mencapai tembok itu. Itu, di sana - yang ada bola besar dari batu, di atas tiang gerbang."
"Oke." Pete mulai menyeberangi teras, sambil melekatkan radio ke telinga.
"Nah - sekarang, jika Anda tidak keberatan saya menyentuh mumi -" kata Jupiter. "Silakan, Nak," kata Profesor Yarborough. "Asal jangan kasar."
Jupiter membungkuk di atas peti mumi. Sesaat kemudian sudah tegak kembali. Di tangannya tinggal satu walkie-talkie. Pesawat yang ketiga lenyap - entah ke mana.
"Beres," ucapnya sambil mendekatkan mulut ke pesawat yang ada di tangannya, "kau bisa mulai bicara sekarang, Pete. Profesor, harap dengarkan baik-baik. Kau juga, Bob."
Semuanya memasang telinga. Terdengar suara menggumam lirih, memecah kesunyian dalam ruangan itu.
"Sekarang bungkukkan badan di atas peti mumi," kata Jupiter. Ia sendiri masih tetap melekatkan pesawat walkie-talkienya ke telinga.
Profesor Yarborough mengerutkan kening. Tapi diturutinya permintaan Jupiter. Ia membungkukkan badan ke dekat peti mumi. Bob ikut membungkuk.
Saat itu juga terdengar mumi berbisik-bisik!
Tapi dengan segera mereka mengenali suara itu. Mumi Ra-Orkon memang berbisik, tapi dengan suara Pete. "Aku sekarang sudah melewati tembok," kata Pete. "Aku berjalan terus menuruni lereng, menuju serumpun semak yang lebat."
"Jalan terus, Pete," kata Jupiter ke pesawatnya. Pada Bob dan Profesor ia menambahkan, "Kan gampang saja menyuruh mumi berbisik-bisik. Lihatlah!"
Disingkapkannya kain penutup muka mumi yang sebelumnya sudah dibuka oleh Profesor Yarborough. Ternyata di balik kain itu tersembunyi walkie-talkie yang satu lagi. Dari situlah datang suara Pete. Tapi tadi terdapat kesan yang sangat meyakinkan, bahwa mumi itu sendiri yang berbisik-bisik. Tentu saja - apabila mereka tidak mengetahui bahwa yang terdengar itu suara Pete!
"Ini kan penjelasan secara ilmiah, Sir, " kata Jupiter pada sang profesor. "Pesawat radio ukuran mini disembunyikan dalam peti mumi, lalu seseorang yang berbicara dengan walkie-talkie di luar rumah, dengan mudah menimbulkan kesan -"
Ia tidak melanjutkan kalimatnya, karena saat itu terdengar lagi suara Pete. Kedengarannya seperti kaget. "Wah!" katanya. "Ada orang bersembunyi dalam semak, di depanku. Kelihatannya anak laki-laki. Ia tidak tahu bahwa aku sudah melihatnya. Aku akan menyergap anak itu." "Tunggu dulu!" seru Jupiter. "Kami akan membantu."
"Kalau menunggu kalian datang dulu, pasti dia akan sudah lari," jawab Pete lewat pesawat radio. "Aku pura-pura keluyuran saja di sini. Lalu dengan tiba-tiba dia kusergap. Begitu terdengar aku nanti berteriak, kalian cepat-cepat datang."
"Oke, Pete," kata Jupiter. "Kautangkap dia - nanti kami akan datang membantu." Ia berpaling pada Profesor Yarborough. "Ada seorang mengintip-intip di luar," katanya. "Mungkin teka-teki ini akan segera bisa dijelaskan jika kami berhasil menangkap orang itu."
"Apa sebetulnya yang sedang terjadi di luar"" Bob sudah gelisah saja. "Pete tidak kedengaran lagi suaranya. Aku kepingin bisa melihat ke tempatnya."
Mereka menunggu lagi. Tapi keadaan tetap sunyi.
Sementara itu Pete berkeliaran dalam kebun yang sangat miring di bawah rumah Profeso
r Yarborough. Radio ditekankan terus ke telinga, seolah-olah sedang mengikuti siaran yang menarik. Ia pura-pura tidak melihat sosok tubuh yang bersembunyi dalam semak. Dengan sikap tak menyolok, ia bergerak ke arah situ. Kemudian, ketika menurut taksirannya anak laki-laki yang bersembunyi itu pasti tidak bisa melarikan diri lagi, ia memburu ke tempat itu. Seorang anak laki-laki bertubuh langsing, tingginya kira-kira sepantar dengan Bob, kaget melihat kedatangannya secara tiba-tiba itu, lalu meloncat hendak melarikan diri. Tapi Pete lebih cepat. Diterpanya anak yang warna kulitnya sawo matang dan bermata hitam legam itu, sehingga keduanya jatuh berguling-guling.
"Kena!" seru Pete ke pesawat walkie-talkie, sekejap sebelum ia meloncat. Anak laki-laki yang ditubruknya meneriakkan serentetan kata-kata, tapi dalam bahasa asing. Pesawat walkie-talkie terpental dari tangan Pete dan rusak tertindih kedua remaja itu, ketika mereka terguling-guling ke bawah. Anak asing itu berusaha sekuat tenaga supaya bisa membebaskan diri.
Anak itu bertubuh langsing. Tapi ulet dan licin seperti belut. Begitu Pete mencengkeram, anak itu sudah berhasil melepaskan diri lagi. Nyaris saja ia berhasil lari! Tapi Pete menerpa kembali, dan keduanya terguling-guling lagi ke bawah, akhirnya terhenyak ke sebuah tembok batu.
Sekali lagi anak asing itu meneriakkan serentetan kata dalam bahasa yang tak dikenal oleh Pete. Sedang Pete sendiri tidak mau berteriak, takut membuang-buang napas. Mudah-mudahan saja Jupe dan Bob cepat datang menyusul!
Dan kedua rekannya itu memang datang, bersama Profesor Yarborough. Begitu terdengar teriakan Pete lewat walkie-talkie, dengan segera Bob lari ke pintu. Biar kakinya timpang, tapi ia paling dulu tiba di sana, disusul oleh Jupe dan Profesor.
Jauh di bawah nampak dua sosok tubuh bergulat. Tapi sebelum mereka sempat melintasi teras, sudah muncul lagi orang lain. Orang itu kelihatannya pekerja, karena mengenakan pakaian kerja berwarna biru. Ia berlari-lari menghampiri kedua sosok tubuh yang sedang bergulat. Sekop yang sedang dipegang, dicampakkannya begitu saja ke tanah.
"Itu salah satu dari keluarga Magasay, yang merawat kebunku," kata Profesor menjelaskan dengan buru-buru. "Mereka orang Filipina. Ada tujuh bersaudara! Aku tidak bisa membeda-bedakan satu dari lainnya. Tapi semua jago judo. Tubuh mereka kecil - tapi ulet. Dia lebih bisa memberikan bantuan, daripada kita."
Mereka memperlambat lari. Sementara itu laki-laki yang muncul kemudian sudah sampai di tembok, lalu membungkuk. Dipitingnya leher anak laki-laki asing yang tak dikenal itu, lalu diangkatnya. Anak itu meronta-ronta.
"Orang tak dikenal sudah kupegang," seru tukang kebun itu dengan logat asingnya yang kentara sekali.
Pete bangkit lambat-lambat. Tubuh tukang kebun terputar membelakanginya, karena kerepotan mengendalikan anak asing yang masih meronta-ronta terus hendak membebaskan diri. "Awas - dia galak sekali!" seru Pete memperingatkan.
Anak yang berada dalam pitingan mendengus-dengus, mengucapkan sesuatu dalam bahasanya sendiri.
"Jangan melawan. Nanti kau sendiri yang cedera," teriak tukang kebun, yang menurut Profesor bernama keluarga Magasay. Saking sibuknya, orang Filipina itu lantas melontarkan serentetan kata dalam bahasa asing. Tiba-tiba ia berteriak. Anak yang dipitingnya terlepas, lalu langsung lari, melompati tembok yang tidak seberapa tinggi, terus menuruni lereng dan hilang di balik semak-belukar. Segalanya terjadi sebelum Pete sempat bergerak maju.
Saat itu pula Jupiter sudah tiba di situ bersama Profesor Yarborough, sementara Bob agak ketinggalan sedikit.
"Apa yang terjadi"" seru Profesor kaget. "Kenapa dia sampai bisa melarikan diri""
Tukang kebun itu berpaling, menghadap mereka.
"Saya tadi tolol," katanya. "Menggigit tidak ada dalam kamus judo. Jadi tak terpikir ke situ."
Ditunjukkannya punggung tangan kanannya. Nampak bekas gigitan berdarah di situ. Ternyata tidak setengah-setengah anak tadi menggigit, dalam usahanya untuk membebaskan diri.
"Anda sudah berusaha sebisa-bisa Anda," kata Profesor Yarborough. "Sekarang pergi saja ke dokter, supaya
tangan Anda dirawat. Jangan sampai terjadi infeksi."
"Maaf tadi tolol," kata tukang kebun. Ia mundur, lalu pergi ke balik rumah di mana mobil truknya diparkir. Seperti sekian banyak tukang kebun di daerah California Selatan, ia beserta keenam saudaranya merupakan tenaga kerja lepas yang sekaligus mengurus kebun beberapa rumah. Mereka biasa mondar-mandir naik mobil dari rumah yang satu ke rumah lainnya.
Sementara itu Pete masih sibuk mengatur napasnya yang tersengal-sengal. "Aduh," keluhnya kecewa, "kusangka dia sudah berhasil kubekuk tadi." "Siapa anak itu"" tanya Bob. "Cari apa dia di sini""
"Kelihatannya sedang mengintip ke arah rumah," kata Pete. "Kulihat dia bergerak-gerak dalam semak. Ketika aku sedang bicara dengan kalian tadi."
"Kalau berhasil diringkus, pasti akan banyak yang bisa diceritakannya pada kita," kata Jupiter, sambil menjepit bibir bawahnya dengan telunjuk dan jempol tangannya.
"Anak-anak," kata Profesor Yarborough, yang selama itu berdiri di belakang mereka, "aku tidak tahu apa hubungannya dengan urusan kita -"
Trio Detektif menatapnya dengan penuh minat.
"- tapi tadi, sesaat setelah Pete menerpa, terdengar lewat radio anak asing itu menyerukan sesuatu. Kedengaran jelas sekali, sebelum pesawat radio rusak terbanting." "Ya - dalam bahasa asing," kata Pete.
"Bahasa Arab modern," kata Profesor Yarborough menjelaskan. "Anak itu berteriak, 'Kuserukan pada roh Ra-Orkon yang agung untuk datang menolongku'!"
Jupiter hendak mengatakan sesuatu, tapi didului teriakan Pete.
"Awas!" teriaknya sambil menuding. Semuanya berpaling dengan cepat ke arah sebelah atas lereng. Mata mereka terbelalak karena kaget dan ngeri.
Sebuah bola besar terbuat dari batu granit yang beratnya paling sedikit satu ton, yang semula terletak di atas salah satu tiang gerbang yang ada dua, sudah tidak ada lagi di tempat semula.
Bola itu menggelinding ke arah mereka. Makin lama makin cepat!
Bab 6 TAMU TAK TERDUGA BOB dan Pete sudah bersiap-siap hendak lari, sementara bola batu besar itu menggelinding terus ke arah mereka. Tapi saat itu juga terdengar Profesor Yarborough berseru dengan nada tajam. "Tetap di tempat!" serunya. "Jangan bergerak sedikit pun!"
Respek Jupiter terhadap sang profesor semakin bertambah. Ternyata sarjana itu sudah lebih dulu melihat bahwa batu itu takkan mengenai mereka di tempat itu, karena bentuk lereng.
Dan ternyata benar! Batu itu kemudian melenceng ke samping menggelinding terbanting-banting sekitar tiga meter dari tempat mereka. Lalu membentur sekelompok pohon ekaliptus, agak jauh di sebelah bawah lereng.
"Aduh!" kata Bob kaget, sambil mengusap keningnya yang basah berkeringat. "Padahal aku tadi sudah hampir mengelak ke arah situ."
"Aku sih tidak," kata Pete, "aku sudah siap minggat dari sini. Beratnya pasti ada satu ton."
"Lebih berat lagi," kata Profesor Yarborough. "Bola batu granit sebesar itu, dengan volume sekitar - nanti dulu...."
"Profesor!" Semua memandang ke atas lereng. Nampak Wilkins datang bergegas-gegas dari arah rumah.
"Saya tadi melihat kejadiannya dari jendela dapur," katanya dengan napas tersengal-sengal. "Anda tidak apa-apa""
"Ya, ya," kata sang profesor dengan sikap kurang sabar. "Kan bisa Anda lihat sendiri! Dan aku juga tahu, apa yang hendak Anda katakan. Tapi kularang Anda mengatakannya!"
"Saya harus mengatakannya, Sir," jawab Wilkins nekat. "Itu tadi akibat kutukan Ra-Orkon, Sir. Karena kutukannya, kecelakaan itu terjadi. Ra-Orkon hendak mencabut nyawa Anda, Sir. Mungkin akhirnya kita semua tewas!"
"Kutukan Ra-Orkon"" Mata Jupiter mulai berkilat-kilat. "Mumi itu dibayangi kutukan, Profesor""
"Tentu saja tidak," jawab Profesor Yarborough. "Kau masih muda, jadi tidak mungkin ingat - tapi ketika aku menemukan makamnya di Lembah Raja-Raja di Mesir, surat kabar ramai memuat dongeng-dongeng konyol mengenai prasasti tertentu...."
"Pada prasasti itu tertulis, 'Malanglah semua insan yang mengganggu ketenangan Ra-Orkon yang adil, yang bersemayam di dalam'," sela Wilkins dengan suara bergetar. "Dan satu demi satu, hampir seluruh anggota ekspedisi waktu itu meninggal dunia atau mengalami cedera berat
, sebab...." "Wilkins!" bentak sang profesor dengan suara keras. "Jangan lancang mulut!"
"Ya, Sir, " kata pelayan itu buru-buru. "Maaf, Sir. "
"Bunyi prasasti itu sebetulnya begini," sambung Profesor. "Ra-Orkon yang adil disemayamkan di dalam. Akan malanglah apabila tidurnya terganggu. Di sini yang dimaksudkan akan mengalami kemalangan, ialah Ra-Orkon sendiri. Memang, aku dan Lord Carter berbeda pendapat tentang makna yang tepat dari tulisan pada prasasti itu. Tapi aku tahu, akulah yang benar."
Profesor Yarborough berhenti sebentar, lalu menambahkan, "Juga benar, mumi Ra-Orkon diselubungi teka-teki. Aku secara kebetulan saja menemukan makamnya, bersama Lord Carter. Makam itu letaknya tersembunyi dalam liang pada sebuah tebing batu. Di situ tidak ada benda-benda yang biasanya ditemukan dalam makam raja-raja jaman purba. Yang ada cuma peti mati berisi mumi Ra-Orkon, didampingi kucing kesayangannya yang juga dibalsem. Tak ada tulisan sama sekali yang menerangkan siapa dia, atau apa yang dilakukannya semasa hidup, seperti kebiasaan jaman dulu. Seolah-olah dia dimakamkan dengan cara begitu supaya jangan sampai menarik perhatian. Atau mungkin juga kerabatnya waktu itu berniat memakamkannya lagi di kemudian hari dengan cara yang lebih megah. Jika para perampok makam masa itu menemukan makam Ra-Orkon, mereka pasti akan keluar lagi dengan tangan hampa!
"Pokoknya, dilihat dari kecermatan pekerjaan pembalseman, yaitu pengolahan mayat supaya bisa awet, jelaslah bahwa dia bukan rakyat biasa saja. Tapi kami tak berhasil menyelidiki kapan dia mati. Namanya pun membingungkan! Kata Ra, menghubungkannya dengan nama-nama raja wangsa Firaun yang pertama-tama. Tapi Orkon menunjukkan adanya pengaruh Libia. Bangsa Libia, kira-kira tiga ribu tahun yang lalu mulai memasuki wilayah Mesir, dan kemudian menguasai negeri itu. Aku ingin mengetahui dengan tepat saat pemakamannya. Setelah itu aku juga ingin mengadakan penelitian cermat, untuk mengetahui apa sebabnya dia dimakamkan secara begitu sederhana dan tersembunyi tempatnya.
"Mengenai kata Wilkins tadi, yaitu para anggota ekspedisi kami kemudian mengalami kemalangan - yah, kalian jangan sampai terpengaruh oleh Wilkins. Lord Carter, ia meninggal karena kecelakaan mobil. Aleph Freeman, sekretarisku yang cerdas sekali walau bukan sarjana, ayah rekanku Profesor Freeman yang tinggalnya di sana -" Profesor Yarborough menuding ke seberang ngarai, "dia tewas terbunuh dalam pasar lama di Kairo. Juru potret dan sekretaris pribadi Lord Carter mengalami cedera dalam kecelakaan yang menewaskan Lord Carter. Tapi umurnya masih cukup panjang sesudah peristiwa itu. Mandor kami, orang Mesir, mati kena gigitan ular berbisa.
"Sudah sewajarnya jika dalam waktu seperempat abad sekelompok manusia yang mana pun akan mengalami beberapa peristiwa kecelakaan. Dan beberapa di antaranya meninggal dunia. Percayalah - kutukan itu sebetulnya sama sekali tidak ada!"
Pete dan Bob saling berpandangan. Keduanya ingin sekali meyakini ucapan Profesor Yarborough yang terakhir. Tapi rasanya agak sulit. Mereka masih merasa ngeri.
"O ya, masih ada satu hal lagi," sambung sang profesor. "Sebetulnya tak mungkin ada sangkut-pautnya dengan bisik-bisik itu - tapi minggu lalu, pada hari mumi Ra-Orkon tiba di sini, seorang pedagang permadani asal Libia bernama Ahmed dan entah apa lagi di belakangnya datang kemari. Ia berusaha membujuk-bujuk, agar aku mau menyerahkan Ra-Orkon padanya. Katanya, dia mewakili Keluarga Hamid di Libia. Dan Ra-Orkon adalah nenek moyang majikannya. Katanya lagi, hal itu diketahui lewat wangsit yang datang pada seorang dukun. Semuanya omong kosong belaka! Orang itu cepat-cepat kusuruh pergi lagi dari sini. Tapi sebelum pergi, pedagang itu masih sempat memperingatkan diriku. Katanya roh Ra-Orkon akan terus mengganggu ketenteraman hidupku, selama aku tidak mau mengijinkan pedagang itu membawa pulang Ra-Orkon, supaya mumi itu bisa dimakamkan secara sepatutnya oleh kaum kerabatnya."
Sekali lagi Pete dan Bob berpandang-pandangan. Keduanya merasa kasus itu menjadi semakin menyeramkan saja. Jupiter kelihatannya santai-santai s
aja menghadapi misteri menyeramkan itu. Anak gendut itu bahkan bersemangat nampaknya!
"Nah," kata Profesor Yarborough, "sekarang kita lupakan saja takhayul konyol itu, dan memeriksa apa sebabnya bola granit penghias gerbang itu sampai bisa terguling dari tempatnya."
Profesor mendului berjalan mendaki lereng, menuju tiang gerbang di mana bola batu itu semula berada. Sesampai di situ langsung kelihatan bahwa letak bola itu diperkokoh oleh gelang semen yang dibubuhkan mengelilinginya pada bagian atas tiang. Tapi rupanya semen itu sudah rapuh karena pengaruh cuaca. Pada satu sisi semennya rontok. Kecuali itu tiang gerbangnya sendiri agak condong ke arah tebing, disebabkan tanah di sebelah bawahnya agak merosot sedikit.
"Jelas bisa dilihat apa yang sebetulnya terjadi," kata Profesor Yarborough mengomentari. "Gelang semen ini sudah rapuh dimakan cuaca. Sedang kecondongan tiang, menyebabkan bola tadi dengan mudah terguling apabila bergerak sedikit saja. Dan kemungkinan besar, tadi ada gempa ringan yang menggetarkan tiang. Di daerah California sini kan setiap tahun terjadi gempa ringan sampai belasan kali. Karena kita berada di atas retakan besar pada kerak bumi."
Wilkins pergi meninggalkan mereka, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Rupanya masih belum bisa diyakinkan, kejadian itu bukan karena kutukan Ra-Orkon. Sementara itu yang lain-lain kembali ke teras, langsung masuk ke ruang museum. Di situ mereka berkerumun, mengelilingi peti mumi Ra-Orkon.
"Akalmu tadi hebat sekali, dalam membuat mumi ini berbisik-bisik," kata sang Profesor pada Jupiter. "Tapi sayang penjelasanmu itu tidak mungkin benar. Soalnya, dalam peti mumi ini tidak ada radio yang disembunyikan."
"Anda sudah memeriksa sendiri, Sir"" tanya Jupiter dengan sopan. Profesor Yarborough terkejap-kejap matanya sesaat.
"Tidak," katanya. "Sebetulnya memang harus kulakukan."
Diambilnya pesawat walkie-talkie yang diselipkan Jupiter di balik kain pembalut wajah Ra-Orkon. Lalu ia meraba-raba, kalau-kalau ada benda lain tersembunyi di situ. Tapi ia tidak menemukan apa-apa. Kemudian diangkatnya mumi dengan hati-hati. Tidak - di bawah mayat kering itu juga tidak nampak ada apa-apa.
Sekarang giliran Jupiter yang bingung. Diperiksanya sendiri peti mumi. Mula-mula tutupnya. Lalu peti itu sendiri. Ia bahkan menjunjungnya sedikit, untuk memeriksa sebelah bawahnya.
"Tidak ada kawat di sini," katanya. "Tidak ada pesawat radio. Tidak ada apa-apa. Maaf, Profesor, ternyata teori saya yang pertama keliru."
"Memang begitu biasanya teori awal," jawab Profesor. "Tapi moga-moga kau punya teori berikut, yang bisa dipakai untuk menjelaskan kenapa mumi ini berbisik-bisik."
"Saat ini saya sama sekali belum punya teori baru, Sir, "jawab Jupiter. "Kata Anda, mumi hanya berbisik apabila Anda sedang sendirian di sini""
"Betul," kata Profesor sambil mengangguk. "Dan selama ini, hanya pada waktu sore."
Jupiter memijit bibir bawahnya.
"Ada orang lain tinggal di rumah ini bersama Anda"" tanyanya.
"Cuma Wilkins saja," jawab Profesor Yarborough. "Dia sudah sepuluh tahun bekerja padaku. Dulunya dia itu artis. Kalau tidak salah, dalam salah-satu rombongan teater keliling. Lalu ada pula seorang wanita, yang datang kemari tiga kali seminggu untuk membersihkan rumah. Tapi pembantuku cuma Wilkins saja. Di sini tugasnya macam-macam. Tukang masak, supir - dan juga pelayan pribadi."
"Lalu bagaimana dengan tukang kebun tadi"" tanya Jupiter. "Dia itu belum lama bekerja di sini""
"Wah, tidak!" Profesor Yarborough menggeleng. "Ketujuh saudara Magasay sudah delapan tahun bekerja untukku. Yang datang silih berganti. Tapi belum ada yang pernah masuk ke rumah."
"Hmmm," gumam Jupiter dengan kening berkerut. Kemudian ia mengangguk. "Ya," katanya, "aku harus mendengar sendiri mumi ini berbisik."
"Tapi kelihatannya dia hanya mau berbisik padaku seorang diri saja," bantah sang profesor. "Pada Wilkins atau Profesor Freeman, tidak mau!"
"Ya," sela Bob, "kenapa dia harus mau berbisik padamu, Jupe" Bagi dia, kau kan sama sekali asing!"
"He - tunggu dulu! Tunggu dulu," kata Pete cepat-cepat. "Aku tak suka omongan begini. Seolah-ola
h mumi ini - yah, seolah-olah dia tahu apa yang terjadi di sekelilingnya."
"Itu memang tidak ilmiah," kata Profesor Yarborough mengakui. "Tapi walau begitu, entah bagaimana kelihatannya dia memang tahu."
Jupiter menunjukkan sikap yakin.
"Saya rasa mumi ini pasti mau berbisik padaku," katanya. "Lalu kalau dia sudah berbisik, kita akan mendapat tambahan informasi guna penyelidikan selanjutnya. Kami akan kembali petang ini, Profesor. Saat itu kita akan mencobanya."
* * * "Ke mana sih Jupe tadi"" tanya Pete. Untuk kesekian kalinya ia memandang jam listrik yang terpasang di dinding Markas Besar. "Sekarang sudah pukul enam lewat seperempat. Padahal dia tadi menyuruh kita datang pukul enam tepat."
"Dia tidak bilang pada bibinya ke mana dia pergi"" tanya Bob. Ia berhenti menulis. Bob sedang sibuk mencatat perincian kejadian tadi pagi. Siangnya ia bekerja terus di perpustakaan. Bob bekerja pada waktu luangnya di situ. Baru petang itu ia sempat menangani tugasnya selaku anggota Trio Detektif.
"Tidak, ia tidak bilang apa-apa," jawab Pete. "Tapi ia pergi naik mobil, dengan Worthington. Kita periksa saja, mungkin mobil kita sudah kelihatan lagi."
Sambil bicara ia pergi ke periskop di sudut ruangan, lalu menjunjung alat pengintip itu ke atas.
"Nah - itu dia!" serunya sambil memicingkan mata menatap ke dalam pipa pelihat. "Datang dari arah kota. Jupe kelihatan menjulurkan badan dari jendela mobil. Mungkin hendak menghubungi kita dengan walkie-talkie."
Pete dan Bob bergegas menghampiri meja. Di situ terletak kotak pengeras suara berukuran kecil yang biasanya dipakai supaya mereka bisa bersama-sama mengikuti pembicaraan telepon. Tapi tanpa diketahui oleh Pete maupun Bob, minggu lalu pesawat itu dirombak oleh Jupiter. Sekarang kecuali alat pengeras suara, pesawat itu kini juga sudah menjelma menjadi alat walkie-talkie. Semua pembicaraan yang terjadi dalam ruangan itu bisa diikuti dari tempat lain, jika pesawat itu tidak dimatikan.
"Jupe - sok bisa membaca pikiran orang!" gerutu Pete sambil duduk di kursinya. "Padahal pagi ini ketika ia jalan kaki pulang sambil menuntun sepeda, ia asyik mendengarkan pembicaraan kita tentang surat-surat dari Mr. Hitchcock dan Mrs. Banfry."
Raja Naga 7 Bintang 3 Pendekar Mabuk 058 Gadis Buronan Kisah Pengelana Di Kota Perbatasan 6

Cari Blog Ini