Trio Detektif 39 Misteri Kejaran Teror Bagian 1
MISTERI KEJARAN TEROR Alfred Hitchcock Download Ebook Jar Lainnya Di
http://mobiku.tk http://inzomnia.wapka.mobi
Kata Pembuka dari Hector Sebastian
"AKU mendapat kehormatan untuk memperkenalkan Trio Detektif pada pembaca yang belum tahu siapa mereka. Tapi jika Anda sudah mengenal ketiga remaja itu, kupersilakan langsung mulai dengan Bab 1.
Kita mulai saja dengan Jupiter Jones, pemimpin mereka. Anak. itu lebih cerdas dari rata-rata remaja, dan dibandingkan dengan kebanyakan orang yang kukenal, ia lebih sering membaca dan ingatannya juga lebih hebat. Ia juga mampu menarik kesimpulan yang mengagumkan dari sejumlah kecil fakta saja.
Dari ketiga anggota Trio Detektif itu, Pete Crenshaw yang paling atletis tubuhnya; ia juga periang, bisa" diandalkan" dan berwatak santai. Menurut pendapatnya, Jupe kadang-kadang seperti suka mencari-cari kesulitan, dan mungkin bukan dia sendiri yang berpendapat begitu.
Bob Andrews berwatak tenang dan agak pendiam. Dalam kelompok detektif remaja itu ia yang menangani tugas riset dan data. Tapi ini tidak berarti ia enak-enakan saja sementara kedua temannya melakukan berbagai tindakan yang menyerempet-nyerempet bahaya. Bob sama beraninya seperti kedua temannya.
Aku sendiri mantan detektif yang kini menjadi penulis novel misteri. Aku berkenalan dengan Trio Detektif lewat kasus seorang pengemis bermuka rusak. Tapi itu cerita lain-di sini cukuplah jika kukatakan bahwa kalau aku mendengar ada misteri yang mengasyikkan, mereka pasti kuberi tahu. Selain itu aku juga menuliskan kata pendahuluan untuk kasus-kasus mereka yang terbaru.
Kasus sekali ini ditemukan sendiri oleh Trio Detektif. Di dalamnya, ketiga remaja itu meninggalkan Rocky Beach, kota tempat tinggal mereka, untuk mengadakan perjalanan berlibur melintasi benua Amerika ke arah timur. Namun perjalanan yang semula dimaksudkan untuk bersenang-senang itu menjelma menjadi pelarian dari teror yang mengejar-ngejar, yaitu sewaktu mereka dibuntuti terus oleh marabahaya yang tidak mereka ketahui dengan jelas wujudnya.
Kalian ingin tahu bagaimana selanjutnya" Nah, mulai saja. dengan Bab 1, di mana petualangan mereka berawal!
HECTOR SEBASTIAN Bab 1 GARA-GARA KAKEK PINTU dapur dibuka dengan cepat, lalu dibanting hingga tertutup lagi. Mrs. Crenshaw masuk ke dapur dengan wajah marah. Mukanya merah padam, sementara mulutnya dikatupkan rapat-rapat.
"Bisa sakit jantung aku karena si Tua itu!" tukasnya sengit. "Ada-ada saja perbuatannya! Kalau aku mati karenanya, baru tahu rasa dia!"
Ia melotot ke arah Pete, lalu pada kedua teman anaknya itu, Jupiter Jones dan Bob Andrews.
"Basah kuyup!" tukas Mrs. Crenshaw lagi. "Para anggota Persatuan Wanita-semuanya basah kuuyup! Mrs. Harrison yang menceritakannya padaku tadi, sewaktu berjumpa di pasar."
"Wah, wah," kata Pete, "lagi-lagi Kakek!"
"Siapa lagi kalau bukan dia"" sergah ibunya. Mau tahu apa yang diperbuatnya sekali ini" Karena kebaikan hatinya, ia menyumbangkan peralatan penyembur air yang baru guna memadamkan api kepada gereja. Tentu saja hasil ciptaannya sendiri, dengan perlengkapan pengaktif yang sangat peka. Begitu ada asap sedikit saja, alat itu langsung bekerja Semuanya Kakek sendiri yang memasangkan, di ruang serambi gereja. Nah, kemarin kaum ibu mengadakan acara peragaan busana di situ. Sedang asyik-asyiknya acara itu berlangsung, Pendeta masuk. Tanpa mengira akan terjadi apa-apa, ia menyalakan rokok - "
Pete berusaha menahan gerak bibirnya agar jangan tersenyum, tapi tidak berhasil.
"Jangan tertawa, karena ini tidak lucu!" tukas Mrs. Crenshaw. Tapi detik berikut ujung-ujung bibirnya bergerak, naik ke atas membentuk senyuman. Pete dan kedua temannya cekikikan; sesaat kemudian semuanya sudah terpingkal-pingkal - termasuk pula Mrs. Crenshaw.
"Di pihak lain, Kakek berjasa juga mengkampanyekan pentingnya udara segar," katanya sambil mengusap mata yang basah karena tertawa lalu duduk dekat meja dapur. Anak-anak tetap berdiri menyandar pada tempat meracik sambil mengunyah kue.
"Ayahku memang lain dari yang lain, juga ketika ia belum pensiun," kata Mrs. Crenshaw lagi. "Pernah ia membangun rum
ah yang atapnya bisa dilipat ke samping. Benar-benar gagasan edan! Tidak ada yang mau tinggal di situ, karena kalau hujan selalu bocor!"
"Gagasan Mr. Peck, kadang-kadang memang orisinal," kata Jupe mengomentari.
"Di wajah Mrs. Crenshaw nampak seolah-olah ada buah yang sangat kecut dalam mulutnya. "Acara peragaan busana di gereja kemarin pagi itu, keorisinalannya pasti luar biasa."
"Sudahlah, Bu, segala-galanya pasti akan dibereskan oleh Kakek, kan"" kata Pete menenangkan. "Itu selalu dilakukan olehnya."
"Ya, dan itu .sebabnya kami dulu tidak pernah bisa kaya," kata Mrs. Crenshaw. "Lihat saja, suatu kali ia harus masuk penjara karena ide-ide sintingnya. Tidak semuanya bisa dibereskan dengan uang."
Itu memang benar. Beberapa waktu sebelum itu, suatu regu petugas dari Dinas Pertamanan kota Rocky Beach hendak menebang pohon elm yang ada di depan pekarangan rumah Mr. Peck, kakek Pete, karena pohon yang tinggi dan bagus itu terserang penyakit. Tahu-tahu pria yang sudah berumur itu menghambur ke luar dengan membawa pentungan baseball, sehingga ketiga petugas yang sudah siap untuk menebang lari pontang-panting kembali ke truk mereka. Kemudian dua orang bawahan Chief Reynolds datang dan berusaha membujuk Mr. Peck. Tapi kakek Pete tetap berkeras mempertahankan keutuhan pohon miliknya. Akhirnya polisi terpaksa menggiringnya ke penjara, dengan tangan diborgol. Mrs. Crenshaw terpaksa membayar uang jaminan untuk membebaskannya kembali, dan harus berkeras mendesak ayahnya agar ia menyewa pengacara hukum untuk membela perkaranya. Untung saja dakwaan terhadap dirinya yang semula berbunyi tindak penyerangan dengan senjata yang bisa menyebabkan kematian kemudian diperlunak menjadi perbuatan melanggar ketertiban umum; karenanya Mr. Peck hanya harus membayar denda saja, di samping mendapat teguran. Para petugas Dinas Pertamanan tidak berani datang lagi, dan pohon elm yang sakit tetap tegak di depan pekarangan rumahnya, sebagai monumen dari watak kakek Pete yang keras kepala dan lekas marah.
"Dan sekarang ia ingin ke New York," kata Mrs. Crenshaw.
Pete terkejut. Tinggal di sana"" katanya dengan nada bertanya. Kakek mau pindah""
"Bukan, bukan untuk pindah. Ia menciptakan sesuatu yang menurutnya begitu penting sampai membicarakannya saja ia tidak mau; ia hendak menawarkannya kepada orang-orang yang berwenang mengenainya. Nampaknya orang-orang itu tempatnya di New York. Menurut Kakek urusan itu tidak bisa dibicarakan lewat telepon. Dengan pos juga tidak. Ia harus pergi sendiri ke sana."
"Lalu, apa salahnya jika Kakek ke sana"" tanya Pete.
"Bagaimana jika orang-orang yang hendak ditemuinya itu tidak mau didatangi" Bagaimana jika mereka menyuruh dia pulang dari menyampaikan apa yang hendak dikatakannya lewat surat saja" Kakek pasti akan terus mendesak hendak bertemu, kalau perlu secara paksa!"
"Ah, Ibu suka melebih-lebihkan!"
"Tidak! Aku kan kenal watak ayahku. Mana mau dia ditolak. Dan jika orang-orang yang hendak dijumpainya kemudian ternyata tidak tertarik pada gagasannya, ia pasti marah dan mengatakan bahwa mereka manusia-manusia dungu, berotak udang!"
"Ah, Bu - " "Percayalah, aku kan kenal ayahku!" kata Mrs. Crenshaw berkeras. "Ia pasti akan mengancam sambil marah-marah, sampai akhirnya polisi terpaksa dipanggil untuk mengatasi keadaan. Kejadiannya nanti pasti akan seperti ketika ia berhasil begitu baik menyempurnakan cara kerja alat pemanas air dengan sinar matahari sampai-sampai air di dalamnya mendidih. Atau seperti ketika alat barunya untuk melembabkan udara dalam ruangan - "
"Alat itu benar-benar bisa berfungsi," kata Pete mengingatkan.
"Ya, memang -cuma sayangnya sudah ada yang. menciptakannya lebih dulu dari Kakek, lalu Kakek bersumpah sambil marah-marah bahwa penciptanya mencuri gagasannya. Coba tolong jelaskan, bagaimana mungkin seseorang yang bertempat tinggal di Dubuque, Iowa, bisa mencuri ciptaan kakekmu yang tinggal di Rocky Beach, California. Jarak dari sini ke Dubuque kan ribuan kilometer!"
"Pete tidak mengatakan apa-apa lagi.
Jupe dan Bob berpandang-pandangan dengan sikap bingung.
"Kecuali adanya Kakek di
New York, yang pasti akan menyebabkan timbulnya keributan di sana, masih ada pula masalah perjalanannya," sambung Mrs. Crenshaw.
"Kakek kan bukan baru sekali ini naik pesawat terbang, Bu. Kita antarkan dia ke bandar udara lalu- "
"Ia hendak naik mobil," kata Mrs. Crenshaw memotong. Melintas benua sampai ke New York. Ia akan mengambil jalan lewat Montana. Katanya, ia belum pernah melihat Montana; ia juga belum pernah ke Oregon atau Washington, dan ia tidak ingin ada yang terlewat. Katanya, kemampuannya berpikir secara kreatif paling baik jika ia sedang mengemudikan mobil. Mungkin itu penjelasannya, kenapa ia begitu sering ditilang karena ngebut."
Pete tertawa nyengir. "Kalau Ibu begitu cemas, kenapa tidak ikut saja dengan Kakek" Jangan Ibu khawatirkan Ayah dan aku di sini, sementara perjalanan itu mungkin akan menyenangkan - "
"Perjalanan itu takkan menyenangkan," kata Mrs. Crenshaw dengan nada yakin. "Bagiku, pasti tidak. Itu tidak mungkin, jika bersama Kakek. Kau tahu kan, kalau kami berdua berkumpul, dalam waktu sepuluh detik saja pasti sudah bertengkar. Jika menurutmu naik mobil melintasi benua bersama dia itu menyenangkan, kau sajalah yang ikut."
"Mata Pete langsung membesar. "Sungguh, Bu" Wah, pasti mengasyikkan.
"O ya"' kata ibunya menantang. "Kau sanggup menjaga Kakek, agar ia jangan terlibat dalam kesulitan" Tidak ditahan polisi dan tidak melabrak orang lain"
Beres, Bu! Maksudku, aku akan berusaha sebaik-baiknya. tapi - "
Tapi kaurasa kau mungkin takkan mampu, ya"" kata ibunya memotong. "Sudahlah. Kakekmu itu memang selalu - "
Tiba-tiba Mrs. Crenshaw tertegun. Matanya menatap Jupiter. Anak bertubuh gempal itu sedang mengunyah kue coklat dengan penuh minat. Tapi sementara mulutnya bergerak-gerak terus, sinar matanya menampakkan kesan seakan-akan ia sedang melamun. Walau demikian, Mrs. Crenshaw tidak terkecoh karenanya. Jupe, begitu Jupiter dipanggil oleh teman-temannya, adalah pemimpin Trio Detektif. Mrs. Crenshaw tahu bahwa sementara Jupe kelihatan seperti sedang melamun atau mengantuk, ia sebenarnya bisa saja dengan cermat memperhatikan hal-hal yang terjadi di sekelilingnya. Mrs. Crenshaw juga tahu bahwa daya ingat Jupe nyaris sempurna. Jika ditanya, kemungkinannya ia sanggup mengulangi seluruh percakapan yang baru saja terjadi. Kata demi kata.
Kadang-kadang Mrs. Crenshaw merasa kikuk jika menghadapi Jupe. Sikapnya begitu yakin. Rasanya tidak wajar, ada anak semuda dia bersikap demikian. Tapi sekali ini menurut perasaan Mrs. Crenshaw, Jupe merupakan jawaban yang tepat untuk menanggulangi masalah yang dihadapi.
"Aku ingin mengontrak Trio Detektif," katanya dengan tiba-tiba.
Trio Detektif itu nama biro detektif remaja yang didirikan oleh ketiga remaja itu. Para orang tua mereka menyangka bahwa anak-anak hanya iseng saja main detektif-detektifan. Padahal Trio Detektif sebenarnya sudah cukup sering berhasil menyelesaikan kasus misteri yang rumit -rumit.
"Ini ada kasus untuk biro detektif amatir kalian," kata Mrs. Crenshaw lagi. "Antarkan ayahku sampai ke New York dengan selamat, nanti kalian akan kuberi imbalan yang pasti memuaskan."
Jupiter meringis. "Itu bukan kasus yang biasanya kami tangani," katanya. "Kami ini detektif, bukan pengawal."
"Anggap saja ini pengalaman berharga," kata Mrs. Crenshaw. "Kalian kan tidak ingin selalu melakukan hal yang sama terus" Nanti bisa bosan."
Jupe. memandang ke arah Bob. Dilihatnya mata temannya itu bersinar. Sinar yang mengandung harapan.
"Aku mau," kata Bob.
"Yah - kurasa tugas itu cukup menantang," kata Jupe.
"Cukup, katamu" Itu tantangan yang tidak setengah-setengah," kata Pete. "Kalau Kakek sudah mengamuk, wah - benar-benar luar biasa!"
"Dan ia pasti mengamuk nanti," kata Ibu Pete meramalkan. "Ia yakin bahwa orang-orang yang kreatif semacam dia sering diperlakukan secara tidak adil, dan itu sangat tidak disukainya. Jadi aku akan sangat berterima kasih apabila kalian bisa menjaga jangan sampai Kakek mengamuk terhadap entah siapa nanti."
Saat itu telepon berdering. .
"Aduh, aku segan menerimanya saat ini," kata Mrs. Crenshaw, yang mengira bahwa itu p
asti salah seorang anggota Persatuan Wanita yang sehari sebelumnya basah kuyup karena perbuatan Kakek.
"Biar aku saja yang menjawab, Bu," kata Pete sambil menghampiri pesawat itu.
"Halo," katanya. Setelah mendengarkan sebentar, ia berkata, "Anda tahu pasti" Ia mendengarkan lagi, lalu mengatakan, "Sebentar, ya" Akan saya sampaikan padanya."
Ia menoleh ke arah ibunya. "Ini Mr. Castro, Bu - teman Kakek yang tinggal di seberang jalan. Katanya, ia sudah berjanji dengan Kakek untuk main catur dengan dia hari ini, tapi ketika tadi datang ke rumah Kakek, ternyata tidak ada siapa-siapa di sana. Katanya pintu belakang terbuka dan air mengucur dari keran dapur. Menurut Mr. Castro, mungkin ada baiknya jika kita menelepon polisi. "
"Polisi"" kata Mrs. Crenshaw. "Kurasa itu tidak "perlu. Kakek paling-paling cuma pergi berbelanja. Sebentar lagi juga pulang.
Bu, mobilnya diparkir di pekarangan, tapi Kakek tidak ada di situ. Lagi pula, mana pernah Kakek pergi tanpa menutup pintu" Dan air dibiarkan mengucur begitu saja""
"Ya, ampun - tapi baiklah. Aku akan ke sana."
Saat itu Jupiter membuka mulut.
"Biar kami saja," katanya. Anda tadi mengatakan, ingin mengontrak Trio Detektif. Nah, sekarang ada yang perlu kami selidiki. Anda tunggu saja di sini. Nanti kami menelepon, dari rumah Mr. Peck."
Ketiga remaja itu bergegas keluar. Mereka bertanya-tanya dalam hati, kesulitan apa lagi yang dihadapi kakek Pete kali ini.
"Bab 2 BERJUMPA DENGAN SEORANG MUSUH
"MR. CASTRO nampak mondar-mandir di depan rumah Mr. Peck ketika Trio Detektif tiba di sana dengan naik sepeda. Orangnya kurus dan kelihatanya penggugup, dengan rambut beruban yang hanya tumbuh di pelipis dan di belakang kepala. Kulitnya coklat dan penuh kerut. Ia nampak gugup sekali, padahal hari saat musim semi itu sangat cerah.
Ini bukan kebiasaan kakekmu," katanya pada Pete. "Kami sudah berjanji akan main catur, dan dalam keadaan normal takkan mungkin ia melepaskan kesempatan ini untuk mengalahkan aku, sebab terakhir kalinya kami main, dia yang kalah. Kakekmu itu paling tidak suka kalau kalah."
"Ya, memang," kata Pete sependapat.
Anak-anak masuk lewat pintu depan, yang tidak dikunci. Mr. Castro ikut masuk. Matanya terkedip-kedip karena gelisah. "Aku tahu, pasti ada sesuatu yang terjadi dengan kakekmu," katanya pada Pete. "Tidak mungkin ia pergi begitu saja, tanpa mematikan keran dulu dan menutup pintu belakang."
Anak-anak langsung menuju dapur. Sesampainya di sana mereka menatap bak tempat cuci piring, seolah-olah dari situ mereka bisa memperoleh petunjuk.
"Ia tadi bermaksud hendak memasak air," kata Jupiter. "Lihat saja, di tempat racik ada ketel dengan tutup terbuka. Lalu ketika ia hendak mengisi ketel dengan air, ia memandang ke luar lewat jendela itu, dan ia melihat... sesuatu," Jupe memandang ke luar lewat jendela yang terdapat di sebelah atas tempat cuci piring, sambil mereka-reka apa kemungkinannya yang dilihat Mr. Peck tadi. Ia sendiri bisa melihat sebagian dari pekarangan di samping rumah, serta pagar semak rendah dipangkas rapi yang memisahkan pekarangan Mr. Peck dari rumah sebelah. Di batik pagar itu nampak pekarangan yang kelihatannya tidak terurus. Rumah sebelah kelihatannya terbengkalai dengan jendela-jendela yang sudah terkelupas catnya di sana-sini dan beberapa helai atap sirapnya melengkung karena sudah tua dan kering ditimpa sinar matahari.
"Siapa yang tinggal di rumah sebelah"" tanya Jupe pada Mr. Castro.
Pete yang menjawabnya. "Seorang laki-laki bernama Snabel. Tapi tidak mungkin Kakek ada di situ. Kakek dan Snabel saling membenci. Setiap kali bertemu, mereka pasti perang."
"Biar begitu, kelihatannya. baru-baru ini ada orang pergi ke sebelah dengan cara menerobos pagar," kata Jupiter. "Kalian lihat ranting-ranting yang patah itu" Kayu pada bagian yang patah masih kelihatan putih, dan itu berarti patahnya baru saja terjadi."
Setelah itu anak-anak pergi ke luar dan menghampiri pagar.
"Pagar serendah ini bisa dilangkahi dengan mudah oleh Mr. Peck," kata Jupiter. "Ranting-ranting ini patah, mungkin secara tak disengaja tersangkut kakinya."
Mr. Castro m engeluh. "Terakhir kalinya Ben Peck masuk ke pekarangan Ed Snabel, orang itu mengancamnya dengan senjata api. Mrs. Milford yang tinggal di seberang sana melihat kejadian itu lalu menelepon polisi, dan baik Ben maupun Snabel lantas mengajukan pengaduan. Ben mengatakan, Snabel mencuri mesin pemotong rumput miliknya. Sedang Snabel menuduh Ben hendak masuk ke garasinya tanpa minta izin terlebih dulu. Kemudian kedua-duanya mencabut kembali pengaduan mereka, tapi selama beberapa waktu keadaannya benar-benar rawan di antara mereka berdua."
"Kalau begitu kita perlu cepat-cepat menemukan Mr. Peck dan membujuknya untuk pergi dari pekarangan Mr. Snabel," kata Jupe. "Tentunya, itu jika ia memang ada di situ. Tapi kurasa aku tidak mungkin keliru."
Beberapa ranting pagar semak patah lagi ketika Jupe melangkahinya untuk masuk ke pekarangan sebelah. Ia diikuti oleh Pete dan Bob. Mr. Castro ragu-ragu sejenak, tapi akhirnya ia ikut juga. Lalu mereka mulai mencari, mengelilingi rumah yang tak terawat itu.
Mereka tidak perlu jauh-jauh mencari. Di belakang rumah ada garasi, dan di belakang garasi itu ada sebuah bangunan kecil berdinding kaca dan berkerangka kayu. Bangunan seperti itu gunanya sebagai tempat menanam bunga dan sayur-mayur yang gampang rusak jika terjadi perubahan cuaca. Keadaannya tidak dibiarkan terbengkalai seperti rumah tempat tinggal yang di depan. Kerangka kayunya yang bercat putih nampak masih baru, dan kaca dinding dan atapnya kelihatan bersih, meski buram karena berlapis kabut.
Tiba-tiba, dari balik rumah kaca itu terdengar suara orang bernyanyi-nyanyi dengan nada mengejek
"Cobalah lari kalau bisa, kau ketahuan sekarang, Snabel busuk!"
"Astaga!" kata Pete setengah berseru. "Kakek""
"Apa"" Kepala Mr. Bennington Peck tersembul dari balik bangunan kaca itu. Orangnya bertubuh kurus tapi ulet. Kelihatannya masih gesit, meski sudah berumur lanjut. Matanya yang biru bersinar-sinar, sementara wajahnya semu merah karena senang.
"He, Pete! Dan Jupiter, Bob! Coba kemari lihat apa yang kutemukan ini: Ah, Castro! Aku tidak "melihatmu tadi. Kita sebenarnya ada janji, ya" Maaf, kau mestinya sudah menunggu-nunggu."
"Ya, cukup lama juga,'. kata Mr. Castro. "Aku sudah mau menelepon polisi saja, tapi keluargamu mengatakan jangan buru-buru. Apa yang kaulakukan di situ, Peck""
"Aku mencoba membuka pintu rumah kaca ini," kata Mr.. Peck. Ditunjukkannya caranya, mengorek-ngorek lubang kunci dengan pisau lipat.
"Awas, nanti diadukan Snabel lagi kepada polisi," kata Mr. Castro memperingatkan.
"Kakek ini membuat kami cemas saja!" kata Pete.
Itu bukan maksudku, kata Mr. Peck dengan wajah yang menampakkan rasa menyesal. "Tapi kemarilah dan coba kaupandang ke dalam. Lihat saja yang ada di situ!"
"Aduh, Kakek, "anti diadukan Snabel karena masuk ke sini tanpa seizinnya!"
"Omong kosong! Aku kan tidak berbuat apa-apa saja. Aku cuma hendak membuka pintu ini, supaya bisa mengambil barang yang memang milikku. Kau lihat kaleng itu" Isinya Malathion, alat pembasmi serangga. Aku membelinya minggu lalu, di Toko Harper, untuk membasmi hama yang merusak pohon elm-ku. Tapi tahu-tahu kaleng itu lenyap! Dan itu sendok pengaduk tanah milikku yang hilang. Aku tahu pasti, karena gagangnya kuberi takikan sebagai tanda. Jadi Snabel ternyata bukan cuma mencuri mesin pemotong rumput saja, tapi juga menyikat sendok tanah dan obat pembasmi serangga. Dan ia suka mengintip-intip. Aku tidak mengerti untuk apa ia memerlukan mesin pemotong rumput, karena lihat saja keadaan pekarangannya. Mungkin cuma untuk membuat aku sebal saja. Kurasa apabila ia menggotong-gotong anggreknya ke perkumpulan-perkumpulan penggemar anggrek dan di sana menyombongkan kehebatannya di depan orang-orang yang sama keranjingan anggrek seperti dia ia tidak mengatakan bahwa segala keperluan untuk itu tidak dibeli sendiri olehnya, tapi disambar dari rumah tetangga!"
Sambil berkata begitu Mr. Peck menusukkan ujung pisau lipatnya ke dalam lubang kunci pintu rumah kaca.
"Belum tentu barang-barang itu memang milik Kakek yang hilang," kata Pete.
"Aku kenai betul, itu pasti sendok tanahku, ka
ta Mr. Peck berkeras. "Aku mencari-carinya selama ini. Begitu pula halnya dengan obat pembasmi serangga itu. Dan aku melihat pada pagar semakku ada beberapa ranting patah. Aku belum setua itu, sehingga tidak mampu lagi menarik kesimpulan yang benar."
Saat itu terdengar bunyi mobil masuk ke pekarangan rumah Snabel. Tidak lama kemudian seorang pria berambut hitam dan bertubuh gemuk pendek muncul dari dalam garasi. Matanya cekung di bawah alis tebal. Ia memandang dengan wajah marah.
""Lagi-lagi kau menggeratak di gudang peralatanku, Ed Snabel!" tuduh Mr. Peck. "Ayo, buka pintu rumah kaca ini dan kembalikan obat pembasmi serangga dan sendok tanahku!"
Sudah tua, konyol, suka campur urusan orang lagi!" tukas Snabel. "Sebaiknya kau dikurung saja! Tinggalkan pekaranganku, cepat! Kalau tidak, kupanggil polisi, dan sekali ini takkan kucabut lagi pengaduanku!"
Mr. Peck menutup pisau lipatnya, lalu mengacung-acungkannya di depan hidung Snabel. "Sekali ini kau takkan kuapa-apakan," katanya, "tapi jika sekali lagi kau ketahuan masuk ke pekaranganku, aku sendiri yang akan bertindak, dan persetan dengan polisi!"
"Sudahlah, Kakek!" kata Pete dengan cemas.
"Jangan ganggu aku!" tukas Mr. Peck. "Aku ini tak suka diganggu -juga tidak oleh darah dagingku sendiri!"'
Mr. Peck meninggalkan rumah kaca dengan maar"h. Anak-anak mengikutinya, begitu pula Mr. Castro yang kelihatan lega sekali.
"Kadang-kadang aku benar-benar tidak suka datang ke sini," keluhnya. "Rasanya seperti memasuki medan perang."
"Dasar brengsek!" kata Mr. Peck sambit melangkahi pagar semak lalu menuju rumahnya dengan langkah bergegas. "Kita di sini perlu punya rukun tetangga, seperti yang dibentuk oleh para penghuni gedung apartemen. Dengan begitu kita bisa menentukan siapa yang boleh membeli rumah di sini dan siapa tidak."
Kurasa itu bertentangan dengan undang-undang dasar," kata Mr. Castro. "Selain itu, ada kemungkinan para penghuni yang lain berbeda pendapat denganmu, lalu kau kalah dalam pemungutan suara!"
"Jangan suka omong kosong!" sergah Mr Peck. Dan jangan kausia-siakan waktuku, Castro. Mau main catur atau tidak""
Mr. Castro mendengus. Tapi diikutinya juga Mr. Peck masuk ke rumah. Kakek Pete mengisi ketel dengan air lalu ditaruhnya di atas api. Setelah itu ia masuk ke ruang duduk bersama Mr. Castro. di situ sudah disiapkan papan catur.
Di dapur ada pesawat telepon. Pete mengangkat gagang pesawat itu lalu menekan nomor sambungan rumahnya. Ia hendak memberi kabar kepada ibunya bahwa semuanya beres di rumah Kakek, setidak-tidaknya untuk saat itu.
"Bagaimana pendapatmu, bisakah kita menghindarkan kakekku dari kesulitan jika kita ikut dengan dia"" tanya Pete pada Jupe dengan suara pelan.
Jupe kelihatan agak sangsi. Tapi kemudian ia meringis. "Kalau gampang, itu sudah pasti tidak, katanya, "tapi juga takkan membosankan."
Jupiter tidak tahu bahwa Trio Detektif akan mengalami salah satu petualangan mereka yang paling ramai.
"Bab 3 PETUALANGAN DIMULAI
DI MINGGU setelah keributan yang terjadi mengenai alat-alat berkebun, Mrs. Crenshaw mengundang ayahnya makan malam di rumahnya. Disajikannya semua hidangan yang disukai Mr. Peck, termasuk kue tart coklat yang banyak sekali menggunakan mentega dan dengan lapisan krim.
Ketika Mr. Peck - begitu pula Pete beserta ayah dan ibunya - sudah selesai makan, sambil menghidangkan kopi Mrs. Crenshaw dengan gaya sambil lalu mengatakan bahwa bagi Pete dan kedua temannya perjalanan melintasi Benua Amerika pasti akan sangat bermanfaat, karena bisa menambah pengetahuan. Mrs. Crenshaw mengatakan pula bahwa ia merasa pasti akan berhasil meminta izin agar ketiga remaja itu diperbolehkan libur sebelum waktunya, apabila Mr. Peck mau mengajak mereka jika ia nanti berangkat ke New York.
Mr. Peck kelihatan kaget mendengarnya.
"Ayolah, kata Mrs. Crenshaw membujuk ayah"nya. "Ingat tidak, perjalanan yang kita lakukan sewaktu aku berumur sepuluh tahun" Kita sekeluarga berwisata mengunjungi Gua Carlsbad. Asyik sekali waktu itu! Sampai sekarang pun aku masih tetap ingat. Dan kenangan seperti itu akan bisa didapat oleh Pete, jika ia ikut
dengan Ayah. Dan ia takkan merepotkan, apabila Jupe dan Bob juga ikut. Ayah tidak perlu memikirkan mereka, karena mereka sudah benar-benar mengenal tanggung jawab."
Mr. Peck mengaduk-aduk kopinya sambil memandang anaknya dengan sikap menyelidik. Mrs. Crenshaw tahu sekali makna pandangan ayahnya yang begitu. Itu berarti Mr. Peck memahami apa sebenarnya yang dikehendaki anaknya. Mrs. Crenshaw merasa kikuk. Untuk menutupi kegugupannya, ia melipat-lipat serbetnya.
"Kau menganggap aku ini perlu dijaga," kata Mr. Peck. "Betul, anak-anak itu tahu tanggung jawab. Mereka akan baik sekali jika dijadikan penjaga. "
"Bukan begitu soalnya, tapi karena Ayah akan menempuh jarak sejauh itu dengan mobil, dan... dan tidak sering ada kesempatan bagi anak-anak itu untuk." yah, sayang rasanya...."
"Membuang-buang bensin, jika aku pergi seorang diri"" kata Mr. Peck. Ia menoleh pada menantunya, yang selama itu sengaja tidak mencampuri pembicaraan. Mr. Crenshaw enggan berdebat dengan mertuanya. Bukan karena selalu kalah, tapi karena nampaknya tidak seorang pun dari mereka pernah bisa menang. Kedua-duanya tidak mau mundur.
Tapi sekali ini ayah Pete tidak bisa mengelak.
"Kau juga berpendapat, aku ini perlu penjaga"" tanya Mr. Peck padanya.
Mr. Crenshaw menarik napas dalam-dalam. Ia memutuskan, lebih baik berterus terang saja terhadap mertuanya itu.
"Umumnya, tidak," katanya. "Tapi jika ada kemungkinan aku nanti secara tiba-tiba harus dengan segera meninggalkan segala kesibukanku di sini dan terbang ke Indiana atau Idaho, yah... "
"Siapa bilang kau harus terbang ke Indiana atau Idaho"" seru Mr. Peck. "Untuk keperluan apa" Untuk mengeluarkan aku dari tahanan, ya! Kalau mendengar kalian berdua bicara, aku ini setiap akhir pekan. bisanya cuma keluar-masuk tahanan saja selama empat puluh tahun belakangan. Mungkin kalian perlu kuingatkan, aku ini ditahan - benar-benar ditahan - baru sekali saja, dan itu pun karena -aku tidak mau membiarkan orang-orang goblok dari Dinas Pertamanan itu membuang pohonku. Sejak itu kalian bersikap seolah-olah aku ini sinting, atau penjahat, atau lebih gawat lagi. Nah, kukatakan saja sekarang bagaimana pendapatku..."
Ia berhenti dan memelototkan matanya ke arah Pete, yang selama itu duduk berdiam diri dengan perasaan kecut.
"Menurut pendapatku, gagasan menyuruh anak-anak ikut itu bagus sekali!" kata Mr. Peck meneruskan. "Perjalanan itu memang jauh, dan aku perlu orang yang bisa diajak mengobrol. Dan itu lebih baik anak-anak daripada kakek-kakek seperti Castro atau Harry Jacobson. Castro, jika bepergian tidak pernah lupa membawa koper khusus untuk segala macam obatnya. Sedang Jacobson minta pensiun karena ingin meninggalkan bisnis asuransi, tapi sekarang omongannya selalu saja tentang asuransi. Huhh, payah! Jadi jika Pete dan kedua temannya bisa memperoleh izin dari orang tua dan sekolah mereka, aku tidak keberatan jika mereka ikut. Liburan sekolah kan beberapa minggu lagi. Akan kuundurkan perjalananku sampai saat itu. Jika berangkatnya awal Juni, daerah gurun gersang akan kami lintasi sebelum hawa di sana panas sekali, lalu pulangnya kami bisa mengambil jalan lewat Kanada. Bagaimana kalau begitu, Pete""
Pete terlonjak. "Wow!" serunya dengan gembira. "Tentu saja aku mau!"
Ia bergegas menelepon Bob dan Jupe untuk memberi tahu.
Bob tidak mengalami kesukaran dalam meminta izin "ada orang tuanya agar ia diperbolehkan ikut. Mr. dan Mrs. Andrews sangat yakin bahwa ketiga remaja itu takkan berbuat sembrono-terutama Jupiter-dan selain itu mereka juga berpendapat bahwa itu merupakan kesempatan yang sangat baik bagi Bob untuk mengenal Amerika dengan mata sendiri. Setelah itu Bob yang bekerja sebagai tenaga sambilan di Perpustakaan Kota Rocky Beach mengurus izin cuti.
Ayah dan ibu Jupe sudah meninggal dunia. Ia ditampung oleh paman dan bibinya, Paman Titus dan Bibi Mathilda, pemilik Jones Salvage Yard, sebuah pangkalan tempat berjual-beli barang bekas Bibi Mathilda dan Paman Titus hanya sebentar saja kelihatan ragu, sebelum mengizinkan Jupe ikut. Jupiter mengetengahkan bahwa melintasi Benua Amerika Utara, tidak cuma seka
li tapi bolak-balik, merupakan pengalaman yang mungkin cuma sekali saja terjadi seumur hidup.
Pengalaman hebat bisa membentuk watak," kata Jupe dengan gaya orang dewasa, "dan perjalanan itu pasti merupakan pengalaman hebat."
"Sekarang saja pun watakmu sudah cukup aneh," kata Bibi Mathilda. Meski begitu ia langsung pergi ke loteng rumah untuk mengambil kantung tidur yang kemudian dihamparkannya di atas rumput di pekarangan untuk menghilangkan bau apak.
Jupiter terus saja membuntutinya.
"Jadi aku boleh .ikut, Bibi"" katanya.
"Aku ingin tahu bagaimana cuaca bulan Juni di Minnesota," kata Bibi Mathilda.
"Sangat indah!" kata Paman Titus bersemangat.
Wajah Jupe langsung berseri-seri. Aku berjanji akan membereskan. pencatatan barang-barang yang ada di pangkalan sebelum berangkat nanti, katanya.
""Kepingin juga rasanya ikut dengan kalian," kata Paman Titus dengan nada menyesali diri.
Semasa mudanya, ia pernah ikut rombongan sirkus sebagai pemain orgel. Kadang-kadang timbul kerinduannya pada kehidupan sirkus, melanglang ke berbagai penjuru.
"Kan harus ada yang tinggal di sini untuk menangani usaha kita," kata Bibi Mathilda sambil tersenyum.
Selama hari-hari selanjutnya, setiap sore Jupiter sibuk bekerja, memanfaatkan hari yang semakin panjang untuk membereskan urusan pencatatan barang-barang yang ada di pangkalan. Bulan Juni tiba dan akhirnya datanglah hari terakhir bersekolah. Pete dan kedua temannya mulai sibuk berkemas-kemas dan berpamitan. Lalu pada suatu pagi berkabut Mr. Crenshaw mengantar mereka beserta barang-barang bawaan ke rumah mertuanya. Anak-anak tidak membawa kantung tidur, karena Mr. Peck dengan tandas menolak gagasan untuk berkemah. "Aku ini sudah terlalu tua, sudah tidak pantas lagi main pramuka-pramukaan," katanya. "Mungkin ini petualangan besarku yang penghabisan dalam umurku yang sudah uzur ini, dan aku berniat melakukannya dengan bergaya. Kita akan bepergian dengan nyaman, dan di tengah jalan menginap di hotel."
Ketika anak-anak beserta bawaan mereka semua sudah masuk ke mobil Buick. Kakek yang sudah tua tapi kokoh, mereka pun berangkat.
"Sebelum mobil membelok di sudut jalan, Pete sempat berpaling ke belakang untuk melambai-lambaikan tangan ke arah ayahnya. Ia, dan juga Jupiter yang ikut berpaling, melihat seseorang bertubuh gemuk pendek muncul dengan diam-diam dari balik rumah Kakek dan berdiri seakan-akan menyembunyikan diri dalam semak, memperhatikan mobil yang pergi.
Orang itu Edgar Snabel. "Ia tidak membuang-buang waktu, langsung saja mengintip-intip di rumah Kakek," gumam Pete pada Jupe.
"Apa katamu, Pete"" seru kakeknya dari depan.
"Tidak apa-apa, Kakek," jawab Pete dengan cepat. "Aku cuma ingin tahu, bisakah kita nanti mampir sebentar .di Santa Barbara, untuk makan di restoran yang asyik itu. Kakek tahu kan, yang ada meja-mejanya di halaman""
"Beres," kata Mr. Peck. "Sekarang saja pun aku sudah merasa lapar. Aneh, kalau sarapan terlalu pagi perut cepat sekali terasa kosong kembali. Atau aku tadi tidak sarapan" Entahlah, aku tidak ingat lagi."
Mr. Peck mengarahkan mobilnya ke jalan raya bebas hambatan yang menyusur pesisir. Ia menyetir Buick itu dengan gembira. Jupe nyengir sendiri. Tantangan pertama sudah dilewati dengan mulus. Nampaknya perjalanan itu akan berlangsung dengan tenang dan tenteram.
Tapi dalam hati kecilnya, dugaan itu dibantah sendiri olehnya. Mr. Peck, kakek Pete yang keras kepala dan cepat terangsang emosinya itu dikenal baik olehnya. Apa pun juga bisa saja terjadi, dengan dia di belakang setir.
"Bab 4 KERIBUTAN DALAM KABUT
SARAPAN siang di Santa Barbara sangat mengasyikkan. Anak-anak dan Mr. Peck makan di halaman sebuah bangunan tua yang berasal dari masa California masih merupakan daerah jajahan Spanyol. Matahari sudah muncul dari balik kabut yang menghilang ditiup angin. Langit cerah dan hawa pun segar.
"Hebat," seru Mt. Peck. "Dan lihat sajalah, nanti masih akan bertambah bagus lagi."
Mereka meneruskan perjalanan ke arah utara, kadang-kadang menyusur pantai dan kadang-kadang melaju di atas tebing, sehingga mereka bisa melihat laut yang terbentang di ba
wah. Beberapa mil setelah Gaviota mobil masuk ke dalam sebuah terowongan. Pemandangan yang nampak sesudah lintasan menembus gunung itu dilewati ternyata lain dari sebelumnya. Yang kelihatan tidak lagi deburan ombak melainkan sapi ternak. Padang rumput yang terbentang masih berwarna hijau setelah diguyur hujan selama musim dingin, dan kembang berwarna kuning dari sejenis tanaman kol nampak seperti ditaburkan di atas hamparan hijau itu. Di sana-sini ada anak-anak sapi yang bermain-main di lereng- lereng, dan anak-anak kuda berlari-larian di atas rumput.
Menjelang sore laut kelihatan lagi.
"Pismo Beach!" kata Mr. Peck. "Sewaktu aku masih muda, Pete, ketika ibumu belum lahir, aku biasa mengajak mendiang nenekmu ke Pismo pada akhir pekan untuk mencari kijing. Sejak itu sudah lama sekali aku tidak pernah melakukannya lagi. Aku sudah tidak berminat lagi makan kijing, tapi kurasa masih mengasyikkan jika mengendarai mobil di pantai."
"Maksud Anda, naik mobil di atas pasir"" tanya Bob. "Bisakah itu""
"Bisa saja, kalau di Pismo," kata Mr. Peck. "Kita lihat saja, apakah aku masih ingat di mana tempat itu."
Ia membelokkan mobilnya meninggalkan jalan raya, menyusur jalan-jalan kecil dan tersesat masuk ke jalan buntu; akhirnya mereka sampai ke sebuah landasan yang menyambungkan jalan dengan pasir padat yang membatasi laut.
Apakah kita nanti tidak terperosok dalam pasir" tanya Pete, yang cenderung tidak percaya pada gagasan-gagasan kakeknya. Kakek tahu pasti"
Tentu saja, kata Mr. Peck yakin. Coba lihat saja itu.
Ia .menunjuk sebuah mobil Volskwagen yang melaju menyusur pantai, sedikit di atas batas air. Sekali-sekali ada ombak memecah di dekatnya. Mobil itu terus saja melaju, meninggalkan jejak berupa dinding air yang menghambur miring ke atas.
"Asyik!" kata Pete. "Tapi Volkswagen kan katanya tahan kena air. Bagaimana jika mesin Buick ini nanti mogok""
"Kau ini, macam-macam saja yang kaukhawatirkan," tukas kakeknya.
Pete mendesah. Ucapan kakeknya memang benar, tapi bagaimana mungkin ia bisa lain karena kakek seperti kakeknya itu"
Mobil Buick melewati landasan, lalu meluncur dengan mulus di atas pasir pantai. Kabut sudah nampak lagi, sedikit ke tengah laut
"Karena salah satu sebab, di sini sering berkabut, kata Mr. Peck. Ia menghentikan mobilnya, menarik rem tangan, lalu menoleh pada anak-anak. Aku perlu berolahraga sedikit untuk melemaskan otot:otot kaki," katanya. "Ada yang mau ikut jalan-jalan sebentar""
"Pasti," kata Pete.
Keempat pintu mobil besar itu terbuka serentak. Anak-anak melangkah ke luar, Mr. Peck mengunci mobil, lalu mereka mulai berjalan-jalan. Beberapa menit kemudian mereka sudah melewati kota kecil yang bernama Pismo Beach. Kota itu terdiri dari sejumlah rumah yang dibangun bergerombol saling berdekatan ke arah sebuah tanggul penahan ombak. Di balik tanggul itu terdapat tebing-tebing dengan hotel-hotel dari berbagai ukuran di atasnya.
Sementara itu kabut sudah semakin dekat ke pantai, dengan lambat mulai menyelubungi Mr. Peck dan anak-anak, mengaburkan pandangan ke arah pantai yang terbentang di depan. Suasana langsung berubah. Kabut yang datang membawa kesunyian yang aneh. Anak-anak tahu bahwa jalan raya yang ramai ada di belakang hotel-hotel yang berjejer di atas tebing, tapi mereka tidak bisa mendengar suara kendaraan yang lalu-lalang di situ.
Hampir tidak ada orang di pantai yang terbentang di depan. Hanya satu orang saja yang nampak berjalan dengan langkah cepat menuju ke arah mereka. Tiba-tiba kabut bertambah tebal dan pejalan kaki itu lenyap dari pandangan. Dunia di sekeliling seolah-olah berubah dengan seketika, menjelma menjadi dinding dingin berwarna kelabu.
Saat itu Jupiter merasa mendapat firasat bahwa ada sesuatu yang berbahaya sedang mengintai tengah kabut - sesuatu yang bisa menyergap dan melarikan mereka, yang bisa meredam teriakan minta tolong.
Jupe menggeleng-gelengkan kepala untuk menghilangkan pikiran itu. Ia sadar, tidak ada bahaya mengintai di situ; yang ada hanya kabut yang menelan sinar matahari dan menyebabkan pantai terasa gelap dan tidak ramah.
" Sudah cukup jauh k
an, kita berjalan-jalan ini, Mr. Peck"" kata Bob. Ia berjalan mendului Jupe, tergegas sedikit agar bisa mengikuti Pete yang lebih jangkung dan juga lebih atletis. Bob memandang ke kanan, ke tempat Mr. Peck tadi berjalan. Tapi ia tidak melihatnya di situ. Mr. Peck lenyap!
Pete berhenti berjalan. '.Kakek"" serunya memanggil. "Kakek di mana""
Tidak terdengar suara Mr. Peck menjawab.
"Mr. Peck!" seru Jupe. .
Anak-anak menunggu sesaat, lalu Jupe mengatakan bahwa mereka jangan cemas. Itu dikatakannya dengan nada yang sangat yakin. Tapi dalam hati dirasakannya timbul kegelisahan. Di manakah Mr. Peck" Tidak mungkin ia menghilang dengan begitu saja dalam kabut! Atau - "
"He, sebaiknya kita jangan memencar," kata Pete yang hanya. nampak samar-samar, meski berdirinya di samping Bob. Disentuhnya bahu temannya yang lebih kecil itu, seolah-olah hendak mencegah Bob ikut menghilang dalam kegelapan kabut
"Mr. Peck!" seru Bob.
Kakek di mana"" Suara Pete kini terdengar cemas.
"Diam!" Anak-anak mengenal suara bernada galak itu.
Embusan angin .yang datang dengan tiba-tiba menyebabkan kabut tersibak sesaat. Anak-anak melihat Mr Peck berdiri dengan sikap membungkuk di samping sebuah batu besar di kaki sebuah tebing. Ia kelihatan tegang dan waspada.
"Ada apa, Kakek"" bisik Pete.
Mr. Peck menggerakkan tangannya, menyuruh diam.
"Aha! Benar juga dugaanku!" katanya kemudian dengan marah.
Orang yang tadi nampak berjalan kaki di pantai sudah lebih dekat sekarang - bahkan sangat dekat. Orang itu berjalan dengan berhati-hati di tengah kabut, sambil menggapai-gapaikan tangan. dan tersandung-sandung sedikit.
"Bandit!" teriak Mr. Peck, lalu melompat dan balik batu dan menyergap orang tak dikenal yang hanya nampak samar itu.
Orang yang disergap terhuyung ke belakang. Terdengar suaranya berteriak kaget.
"Berani-beraninya kau!" teriak Mr. Peck. Di cengkeramnya kemeja orang itu. "Berani-beraninya membuntuti aku ke sini!"
"He, jangan seenaknya saja!" teriak orang itu
"Astaga!" kata Pete kaget.
"Lepaskan aku, Peck!" teriak orang itu lagi. "Dasar sinting! Kalau tidak kaulepaskan juga kupuntir nanti lehermu yang ceking itu!
Anak-anak terkejut, karena mengenal suaranya Orang itu ternyata Ed Snabel tetangga Mr. Peck yang dibencinya.
Mr. Peck tidak melepaskan musuhnya itu, tapi malah mengguncang-guncangnya. "Manusia licik!" serunya dengan marah. "Aku tahu apa maumu. Kau kan tahu tentang penemuanku yang terbaru, karena suka mengintip-intip sewaktu orang yang baik-baik sudah tidur! Mencuri peralatanku rupanya belum cukup bagimu. Kau juga hendak mencuri hasil ciptaanku. Karena otakmu seperti kacang kering - "
Ed Snabel berhasil membebaskan diri dan terhuyung mundur menjauhi Mr. Peck. "Kau gila!" serunya, lalu berteriak keras-keras, "Polisi! Tolong! Pembunuhan!"
"Sudahlah, Mr. Snabel!" Pete mendesak di antara kakeknya dan Snabel, lalu memegang lengan orang itu. "Bukan begitu maksud kakekku. Ia hanya - "
"Jangan minta maaf untukku!" seru Ben Peck. "Aku sungguh-sungguh tadi. Aku tahu apa yang dilakukan si pengecut ini, dan itu takkan kubiarkan. Akan kuserahkan dia kepada polisi!"
Mr. Peck berusaha menyambar kemeja Snabel lagi. Sekali ini orang itu tidak berteriak. Ia menegakkan tubuhnya untuk menghindar, sementara matanya terus menatap wajah Mr. Peck.
"Mata-mata!" seru Mr. Peck sambil mencibir. Pengecut! Penipu! Ini kan hari Kamis, kenapa tau tidak berada di tempat kerjamu seperti seharusnya, hah" Karena menurutmu lebih menguntungkan berada di tempat lain, ya""
Snabel berpaling lalu pergi dengan langkah goyah.
"Tidak enak ya, ketahuan"" teriak Mr. Peck.
Tapi Ed Snabel sudah tidak kelihatan lagi, menghilang dalam kabut, terbebas dari laki-laki tua galak yang semakin marah.
"Keterlaluan!" dengus Ben Peck. "Kalau berani berbuat begitu sekali lagi, akan benar-benar kuhajar dia!"
Pete merasa bahwa ia gemetar. Ia merasa seperti sedang bermimpi buruk. Rupanya Kakek sudah gila. Ia berbahaya. Bisa gagal perjalanan itu sebelum mereka sampai di San Francisco. Kakek akan berakhir di penjara salah satu kota di pesisir. Atau mungkin juga Jupiter dan B
ob akhirnya memutuskan tidak sanggup memikul tugas, lalu pulang ke Rocky Beach dengan bis.
"Kakek," kata Pete kemudian, "kenapa Kakek beranggapan bahwa Mr. Snabel sengaja membuntuti kemari" Maksudku, itu kan aneh. Ia juga berhak pergi pesiar" Mungkin ia punya teman di Pismo Beach sini, dan ia kemari untuk mengunjungi mereka." .
"Omong kosong!" bentak Mr. Peck. "Snabel itu mana mungkin punya teman. Ia takkan tahu jika ada orang mau berteman dengan dia. Tapi takkan bisa memperoleh apa yang diingininya. Aku akan mempertahankannya mati-matian!"
"Apakah yang diingininya itu, Mr. Peck"" tanya Jupiter. Ia mengatakannya dengan sikap seperti benar-benar ingin tahu. Dan itu menenangkan M Peck. .
"Ia hendak mencuri hasil ciptaanku," kata kakek Pete
"Penemuan itu"" Kata Pete. Yang hendak kakek perlihatkan pada orang-orang di New York itu""
"Ya, tentu saja! Dan jangan kau mengatakannya seolah-olah tidak berarti karena penemuanku itu merupakan terobosan penting, yang bisa menyebabkan dirombaknya seluruh..."
Kakek tidak melanjutkan kalimatnya. "Tidak," katanya. Aku tidak mau menjelaskannya lebih lanjut, demi keselamatan kalian sendiri. Mungkin saja bukan hanya Snabel yang ingin merampasnya. Dan sebaiknya kita teruskan saja perjalanan, jika ingin tiba di Monterey sebelum gelap."
Ia berjalan kembali ke arah mobil dengan langkah santai. Sikapnya tenang, seakan-akan tidak terjadi apa-apa beberapa saat sebelumnya. Anak-anak mengikutinya lambat-lambat. Masing-masing sibuk dengan pikiran sendiri, memikirkan laki-laki tua itu. Mereka akan mengadakan perjalanan jauh yang paling sedikit akan makan waktu satu bulan, mungkin bahkan lebih lama. Kakek Pete itu, apakah ia cuma manusia eksentrik yang suka berbuat seenaknya sendiri - atau mungkinkah mereka mengadakan perjalanan melintas benua Amerika Utara itu dengan seseorang yang benar-benar sudah gila"
"Bab 5 KEJADIAN MENC(]RIGAKAN
Dalam perjalanan ini, kata Mr. Peck, aku tidak ingin tidur sekamar dengan siapa pun juga. anak-anak suka minta yang aneh-aneh di tengah malam, seperti ingin minum atau bahkan makan roti kering dengan keju pukul tiga pagi. Aku ini sudah terlalu tua, tidak suka jika dibangunkan tengah malam untuk omong kosong seperti itu.
Setelah itu Mr. Peck memesan dua kamar di sebuah hotel kecil yang letaknya di daerah pelabuhan nelayan di Monterey, hanya beberapa blok saja dari dermaga terkenal, Fisherman s Whalf. Setelah itu diajaknya anak-anak makan ikan yang enak di salah satu restoran di jalan yang bernama Cannery Row. Sambil makan, ia bercerita dengan riang tentang sejarah kota Monterey dan California masa lampau, ketika kawasan itu masih dijajah Spanyol. Pertengkarannya dengan Sabel di Pismo Beach rasanya sudah lama sekali berlalu, dan juga seperti urusan sepele saja. Rupanya Mr. Peck sudah melupakannya.
Malam itu anak-anak cepat masuk ke tempat tidur. Dan dengan segera mereka menyadari bahwa keputusan Mr. Peck untuk tidak tidur kamar dengan anak-anak memang tepat. Tapi penilaian mereka disebabkan karena alasan lain. Jika Mr. Peck memilih tidur sekamar dengan Anak-anak, mereka pasti takkan bisa tidur sepanjang malam. Kakek Pete begitu keras dengkurannya sehingga dinding pembatas antara kedua kamar sampai bergetar!
"Rupanya ia punya gangguan pada hidung," kata Bob.
Kata ibuku, tidak, balas Pete. Kata Ibu, kakek ingin terus diperhatikan, juga pada saat ia sedang tidur.
Tapi akhirnya anak-anak bisa juga terlelap. Mereka baru bangun ketika sinar matahari pagi sudah menyusup masuk ke dalam kamar lewat celah-celah di antara tirai yang tertutup.
Mr. Peck sudah lebih dulu bangun. Anak-anak mendengar bunyi air mengucur dari pancuran mandi. Kakek menyanyi-nyanyi sambil mandi. Setelah selesai mandi dan berpakaian, ia mengguncang-guncang pegangan pintu kamar anak-anak, menyuruh mereka bergegas.
Sarapan pagi terdiri dari sosis dan bapel serta jeruk, di sebuah restoran dekat dermaga. Jupiter tidak banyak bicara. Ia mengunyah hidangan sarapan sambil memandang lewat jendela ke arah teluk. Tiba-tiba dilihatnya seseorang sedang menyeberang jalan di depan restoran. Jupe aga
k terkejut, tapi lalu mengarahkan pandangannya ke piring dan mengambil sepotong bapel untuk menyerap sirop kental yang masih tersisa.
Pete duduk di sebelah kakeknya, berhadapan dengan Jupe. Ia melihat kekagetan Jupe dan air mukanya yang tiba-tiba berubah, lalu hendak bertanya. Jupe yang melihat gelagat itu mengerutkan kening sambil menggeleng sedikit. Karenanya Pete tidak jadi bertanya.
"Sudah kenyang, Jupiter"" tanya Mr. Peck.
Trio Detektif 39 Misteri Kejaran Teror di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, terima kasih, Mr. Peck. Enak sekali!"
"Betul, sedap!" kata Bob menimpali.
Mr. Peck mendorong kursinya ke belakang lalu pergi ke kasir untuk membayar.
"Ada apa, Jupe"" tanya Pete sambil agak memajukan tubuhnya. "Kau tadi kelihatan aneh."
"Snabel ada di sini," kata Jupe.
Pete menoleh ke arah jendela. "Di mana" Kau yakin""
"Ia lewat tadi, dan menuju ke Cannery Row, kata Jupe.
Saat itu Mr. Peck kembali, dan meletakkan uang persen untuk pelayan di atas meja.
"Mau berkeliling sebentar, melihat-lihat di dermaga"" tanyanya pada anak-anak. "Sesudah itu kita harus berangkat lagi. Aku ingin sudah melewati San Francisco malam ini - kalau bisa sampai di Santa Rosa. Dengan begitu besok kita bisa pesiar di kawasan cagar alam tempat tumbuh pohon-pohon redwood."
"Anak-anak mengikuti Mr Peck keluar, lalu menyeberang jalan. Bob membawa kamera fotonya. Dan ia ingin membuat beberapa foto teluk di situ. Ia berjalan mendului ke suatu tempat dekat ujung dermaga, dari mana nampak jelas perahu-perahu yang berlabuh terangguk-angguk digerakkan ombak, dan perahu-perahu pesiar meluncur laju melintas teluk dan mengarah ke laut lepas.
Hari masih pagi, tapi suasana di dermaga para nelayan itu sudah ramai. para wisatawan keluar-masuk toko-toko yang menjual cangkang kerang dan beraneka ragam benda hiasan buatan luar negeri. Pete memperhatikan burung-burung camar yang terbang berputar-putar di atas, sementara Bob asyik memotret. Mr. Peck melihat-lihat barang yang dipajang dalam etalase sebuah toko yang menjual cangkang kerang.
Kemudian ia memandang selintas ke arah jalan di ujung sebelah darat dermaga. Tahu-tahu sikapnya berubah.
"Dasar bandit!" sergahnya.
Tanpa melihat pun Jupiter langsung bisa menebak, Mr. Peck pasti melihat Snabel. Orang itu muncul lagi, dan menyebabkan sikap Mr. Peck yang semula riang berubah menjadi marah.
"Sudahlah, Kakek," kata Pete menyabarkan. Ini kan negeri yang merdeka. Orang itu berhak ada di sini jika itu kemauannya."
Mr. Peck mendengus dengan marah. "Baiklah. Tapi aku tidak sudi lagi ada di sini"
Ia cepat-cepat masuk ke toko dan bersembunyi di belakang sebuah cangkang tiram besar yang dipajang di etalase. Anak-anak yang tetap berdiri di luar hanya bisa melihat ubun-ubunnya.
Snabel berjalan menyusur dermaga ke arah mereka. Rupanya ia tidak sadar bahwa ada yang mengamat-amati. Ia memegang kamera foto sementara tas kameranya disandang. Kameranya Canon II, serupa dengan milik Bob. Seperti Bob pula, Snabel rupanya mencari-cari obyek yang menarik untuk difoto. Penampilannya pagi itu seperti wisatawan pada umumnya, dengan kemeja yang kancing sebelah atasnya dibiarkan terbuka serta celana jeans yang masih kaku karena baru. Ia memakai sepatu model santai yang juga masih baru, sementara kepalanya ditudungi topi jerami bertepi lebar. Kelihatannya topi itu dibelinya tadi di jalan.
Pete sangsi. Perlukah ia memberi tahu Snabel bahwa kakeknya sudah bersiap-siap di dalam toko untuk menyergapnya" Jika itu dilakukan, Kakek pasti akan menganggapnya pengkhianatan. Pete tidak ingin melihat terjadinya lagi pertengkaran antara Kakek dan Snabel, tapi ia juga tidak kepingin diamuk kakek.
Akhirnya Pete berpaling dan mengarahkan tatapan matanya ke seberang teluk. Jupe melaku kan hal yang sama, sementara Bob mendatangi sebuah bangku yang ada di dekat mereka lalu duduk di situ, menghadap teluk. Ia berlagak tidak melihat Snabel.
Orang itu datang dengan menenteng kamera lalu berhenti dekat Pete. Begitu dekat, sehingga bahu mereka nyaris bersentuhan. Tapi Snabel tidak melihat Pete, karena setiap kali ia menoleh ke arah dari mana ia datang, lalu melirik arlojinya, seakan-akan sedang menunggu seseorang.
S etelah beberapa menit, ada orang datang menghampiri.
"Nah, Snabel"" kata orang itu menyapa. Nadanya geli bercampur agak meremehkan. Jupe menoleh dan memandang orang itu sekilas. Ia melihat seorang pria berumur empat puluhan berambut hitam lurus. Wajahnya bersih. Ia memakai celana panjang sutera dan kemeja bagus dari bahan lembut yang nampak mahal. Mukanya tertutup kacamata gelap berukuran besar, tapi tampak oleh Jupe bahwa hidungnya mancung, sementara bibirnya yang tipis tersenyum mengejek. Telinganya yang kecil rapat letaknya ke kepala. Kesan keseluruhan orang itu ialah bahwa ia tergolong manusia yang berhasil dalam hidupnya. Di samping orang berpenampilan mengesankan itu, Snabel yang gemuk pendek nampak kaku dan kikuk dengan celana jeans-nya yang baru serta sepatu model santainya yang putih mulus.
"Aku membawa barang itu," kata Snabel.
Orang yang baru datang melirik ke arah Jupiter.
Jupiter berlagak tidak tahu apa-apa. Ia mengalihkan pandangannya ke teluk.
Kita ke sana," kata orang itu kepada Snabel, "lalu berjalan beberapa langkah menyusur dermaga, diikuti oleh Snabel yang bergegas-gegas d sampingnya.
Sekali lagi Jupe mencuri pandang ke arah kedua orang itu. Kini mereka berada dekat sekali dengan bangku tempat Bob duduk. Nampak jelas bahwa Snabel berusaha bersikap santai. Ia meletakkan kakinya di ujung bangku, sementara kameranya dibiarkan tergelantung pada talinya.
Tahu-tahu matanya terpaku pada Bob, yang berusaha bersikap biasa-biasa saja.
"Astaga!" kata Snabel. Ia membungkuk, mengamat-amati wajah Bob dari dekat sekali. Jupe bisa membayangkan bahwa air muka Snabel pasti pucat sekali saat itu.
Kini Snabel tegak kembali lalu memandang berkeliling. Ia melihat Pete dan Jupe. Ia juga melihat ubun-ubun yang ditumbuhi rambut putih tersembul di balik cangkang tiram di dalam toko.
Saat itu Mr. Peck muncul dengan wajah marah Snabel langsung pucat lagi.
"Gawat!" kata Pete, lalu bergerak menghampir Snabel. Maksudnya hendak menghalang-halang serbuan kakeknya. Tapi ia terlambat, karena Mr Peck .sudah memburu ke luar dengan wajah merah padam. Kedua tangannya terkepal, seakan-akan siap untuk menghajar Snabel.
Snabel buru-buru meletakkan kameranya kebangku lalu mengangkat kedua belah tangannya Mulanya anak-anak menyangka ia akan memukul Tapi ternyata tidak. Ia mundur satu atau dua langkah, sementara kedua tangannya tetap terangkat dengan sikap bertahan.
Pria berpenampilan anggun dengan celana panjang sutera tadi tahu-tahu sudah menghilang.
"Hahh!" sergah Mr. Peck. Ia kembali mencengkeram kemeja Snabel. "Tak kausangka kau melihatku lagi sebegini cepat, ya" Aku tahu apa yang hendak .kaulakukan, Snabel, dan takkan kubiarkan itu terjadi. Pakailah otakmu! Batalkan niatmu itu, selama masih. bisa."
Snabel membasahi bibirnya. Ia berusaha mengatakan sesuatu, tapi yang terdengar cuma bunyi yang tidak jelas. Setelah itu ia terbatuk. Anehnya, ia tidak berusaha mendorong tubuh Mr. Peck. Ia tidak berusaha mundur atau memukul, atau mencoba lari. Ia cuma menatap Mr. Peck dengan mulut ternganga. Air mukanya seperti mayat.
Mr. Peck melepaskan kemeja Snabel yang dicengkeramnya, tapi setelah itu diketuk-ketuknya dada orang itu, seperti mengetuk pintu. "Dengar nasihatku! Mundur saja sekarang, kalau tidak ingin menyesal seumur hidup."
Mr. Peck rupanya merasa puas melihat reaksi Snabel, karena ia lantas berpaling pada anak-anak. "Yuk kita teruskan perjalanan," katanya dengan riang. "Dalam beberapa menit terakhir ini lingkungan di sini menjadi tidak menyenangkan lagi. "
Pete menghembuskan napas keras-keras, karena selama itu ia rupanya menahan napas terus.
"Bob buru-buru mengambil kameranya yang terletak di atas bangku, lalu bersama kedua temannya mengikuti Mr Peck yang sudah menuju pelataran parkir, ke mobilnya. Sambil terkekeh kekeh Mr. Peck membuka pintu mobil lalu duduk di belakang setir. Tertawanya semakin keras sementara Buick itu dikemudikannya meninggalkan pelataran dan diarahkan ke jalan bebas hambatan.
Terdengar suara orang berteriak-teriak di belakang mereka. Orang itu Snabel. Ia berlari-lari mengejar, sambil mengacung-acung
kan topi jerami dan kameranya. "Tunggu!" teriaknya. "Peck, tunggu dulu!"
Mobil Buick bertambah laju larinya, karena Mr. Peck menekan pedal gas dengan kakinya.
"Tadi itu kenapa sih, Kek"" tanya Pete.
"Mau tahu kenapa"" jawab kakeknya. "Manusia brengsek itu, yang selama ini dengan diam-diam berusaha masuk ke rumahku, sekarang membuntuti kita karena mengira bahwa aku membawa catatan-catatan tentang penemuanku serta model prototipenya. Ia ingin merampas penemuanku itu untuk kemudian mengatakan bahwa itu hasil ciptaannya. Tapi ia takkan bisa berhasil! Kalau ia masih terus saja mencoba, bisa-bisa ia masuk penjara nanti."
"Bisa-bisa ia masuk rumah sakit karena serangan jantung, jika Kakek berbuat lagi seperti tadi terhadapnya," kata Pete. "Ia setengah mati ketakutan tadi. Kalau Kakek terus bertindak seperti tadi, kurasa malah Kakek yang akhirnya akan masuk penjara. Dan kalau itu terjadi, bisa habis aku diamuk Ibu!"
"Bab 6 PETE MERASA CEMAS
"KAKEK kalau sudah baik, benar-benar baik!" kata Pete. "Maksudku, mana ada orang lain mau naik mobil melintas benua bersama segerombolan anak-anak" Dan dia kelihatannya senang kita ikut. Tapi kalau mulai mengamuk... menakutkan!"
Jupiter mengangguk. Ia sudah sejak lama sekali kenal dengan Mr. Peck, tapi baru sekali itu ia sebegitu lama bersama-sama dengan kakek Pete itu. Jupe kaget dan bingung melihat beberapa tingkah lakunya. Jarang sekali Jupe merasa kewalahan menghadapi orang dewasa, tapi Mr. Peck berbeda dengan orang dewasa lainnya. Kini Jupe merasa yakin bahwa masih akan timbul berbagai kesulitan lagi dalam perjalanan itu - kesulitan besar!
Saat itu pukul setengah dua siang. Jupiter dan Pete bersandar pada spatbor mobil Buick sambil memperhatikan Mr. Peck yang bersama Bob mendaki lereng berumput di tepi jalan. Sementara Bob asyik memotret, Mr. Peck memandang
dengan wajah gembira ke arah Teluk San Francisco dan Jembatan Golden Gate yang termasyhur itu. Semoga Kakek terus segembira Saat itu, kata Pete dalam hati.
Kemarahan Mr. Peck hanya sebentar saja hari ini. Ia mengomel hanya selama menuju Highway 101. Begitu sampai di jalan raya bebas hambatan itu ia mulai bersiul-siul dengan gembira. Rupanya keributan dengan Snabel sudah lenyap dari ingatannya. Dikemudikannya mobil besarnya menuju utara, ke arah San Francisco. Di sana mereka berhenti sebentar untuk makan siang dan membeli cenderamata. Sambil makan Mr. Peck bercerita tentang gempa bumi dahsyat yang melanda San Francisco pada tahun 1906.
"San Francisco nyaris punah seluruhnya dimakan api waktu itu, kan"" kata Jupiter.
Mr. Peck mengangguk. "Saluran-saluran air ledeng dan pipa-pipa gas berantakan karena gempa, dan ketika gas yang mengalir ke luar meledak disambar api, tidak ada air untuk memadamkan kobaran api."
Ia memandang arlojinya lalu mengatakan bahwa sudah waktunya perjalanan dilanjutkan.
Jembatan Golden Gate mereka seberangi pukul dua lewat sedikit. Mereka keluar dari Highway 101 di Sausalito, mengambil jalan yang menuju daerah perbukitan Sesampai di sana Mr. Peck menghentikan mobilnya sebentar, untuk memberi kesempatan memotret pada Bob. Pukul setengah tiga mereka masih ada di tempat yang sama ketika Bob menyadari bahwa filmnya habis.
"Aneh," katanya. "Padahal aku rasanya belum begitu banyak memotret." Ia bergegas menuruni bukit dan mengambil tas kameranya yang ditaruh di bagian belakang mobil, lalu mengganti film dengan yang baru. Setelah itu ia naik kembali dan membuat beberapa foto lagi.
Setelah itu mereka kembali lagi ke Highway 101, lalu mengarah ke utara lewat daerah yang menyenangkan pemandangannya. Sementara itu matahari sudah condong ke barat.
Mereka tiba di Santa Rosa menjelang waktu makan malam dan berhenti di kota itu. Mr. Peck memasuki pekarangan sebuah hotel kecil dan minta dua kamar di situ untuk menginap satu malam. Kedua kamar itu bersebelahan letaknya dan dihubungkan dengan sebuah pintu. Itu perlu karena ia bisa mengawasi anak-anak, kata Mr. Peck bercanda.
"Kurasa kita semua perlu saling mengawasi dalam perjalanan ini," kata Pete. Tapi perasaannya yang murung itu hanya sebentar saja meng
hinggapi dirinya. Ia langsung gembira lagi begitu kakeknya mengajak mereka semua berenang di kolam renang hotel itu. Hidangan makan malam di ruang makan menyebabkan kemurungannya semakin hilang, dan hanya rasa mengantuk yang nikmat saja yang masih dirasakannya sewaktu duduk bersama Bob dan Jupe di kamar mereka sambil menonton televisi sehabis makan.
"Kemudian timbul keinginannya minum limun. Ia teringat, tadi melihat di dekat kolam renang ada mesin otomatis. Dengan segera ia bangun untuk mengambil sebotol limun di situ. Ketika menuju pintu dan lewat dekat jendela, ia menoleh sambil lalu ke luar. Saat berikutnya ia sudah tidak ingat lagi pada niatnya hendak membeli limun.
Kamar yang ditempati Trio Detektif terletak di lantai dua dan menghadap ke pelataran parkir hotel itu. Pete melihat mobil perderet-deret diparkir di situ. Buick kakeknya juga kelihatan, nyaris tepat di bawah balkon di depan kamar mereka. Dan di sebelah Buick itu ada sebuah mobil Lincoln yang kelihatan masih mulus karena barunya.
Dan dari mobil itu muncul Edgar Snabel!
Pete tersentak. Sesaat ia berdiri seperti terpaku dekat jendela. Kemudian ia berpaling dengan cepat dan berkata, "Jupe, Bob, kemarilah sebentar! Coba lihat itu!"
Kedua temannya itu buru-buru menghampirinya. Dari balik jendela mereka bisa melihat Snabel yang dengan langkah menyelinap mengelilingi mobil Mr. Peck sambil membungkuk dan mengintip ke dalam kendaraan itu. Kemudian ia pergi ke bagian belakang dan mencoba membuka tutup tempat bagasi. Tiba-tiba ia memandang ke arah kantor hotel lalu ke jendela kamar-kamar yang ada di atasnya.
Ketiga anak yang. memperhatikan dirinya dari balik jendela kamar di lantai dua buru-buru merunduk.
"Snabel mengerutkan kening, lalu masuk kembali ke mobilnya dan pergi dari situ.
Anak-anak yang ada di atas sama-sama menbisu sesaat.
"Mungkin kecurigaan kakekmu benar, Pete, kata Jupe kemudian. "Mungkin Snabel ingin mencuri hasil ciptaannya."
Pete menggeleng. "Aku... entahlah, aku tidak tahu. Semula kuanggap bahwa yang dikatakannya penemuan itu cuma salah satu gagasan konyolnya lagi. Tapi mungkin ia memang berhasil menciptakan sesuatu yang penting. Atau barang kali kakekku itu tidak waras pikirannya, sementara Snabel sama saja. Tapi... sebaiknya jangan kita ceritakan pada Kakek bahwa kita melihat Snabel di sini, karena ia pasti akan langsung bergegas kantor polisi setempat untuk mendesak agar Snabel ditangkap. Nanti tahu-tahu malah Kakek yang dijebloskan ke dalam tahanan oleh polisi. Siapa tahu, kan""
"Ya, memang," kata Jupiter sependapat. "Dengan Mr. Peck, kemungkinan itu bisa saja terjadi.
"Ada kemungkinan itu tadi cuma kebetulan saja," kata Bob menimpali. "Bisa saja kan, Snabel juga sedang berlibur, dan secara kebetulan mampir di sini. Lalu ia melihat mobil Mr. Peck, dan memutuskan lebih baik menginap di tempat lain saja.
"He, aku jadinya ingat lagi," kata Pete. "Kenapa tahu-tahu Snabel naik mobil Lincoln yang masih baru sekali" Selama ini kita lihat dia memakai mobil Chevrolet yang. sudah tua."
"Mungkin ia menyewanya," kata Jupiter. Mungkin saja menurut dia mobil tuanya itu takkan tahan jika dipakai menempuh jarak jauh."
Setelah itu mereka kembali ke kesibukan semula, menonton televisi. Mr. Peck masuk dan ikut menonton sebentar bersama mereka. Pukul setengah sebelas pesawat televisi dimatikan, karena semua sudah ingin tidur.
Mr. Peck langsung terlelap. Tidak lama kemudian sudah terdengar dengkurannya yang nyaring di kamar sebelah. Bob mengeluh, sementara Jupe terkekeh geli. Pete berdiri lagi untuk menutup pintu penghubung kedua kamar, lalu kembali ke ranjangnya. Akhirnya ia pun terlelap pula.
Dalam tidurnya ia bermimpi. Mimpinya aneh, tapi dalam perasaannya waktu itu tidak aneh. Ia mengikuti kakeknya yang sedang berjalan di dalam lobi sebuah hotel. Ruang itu besar dan penuh dengan orang-orang berpakaian serba bagus dan bergaya. Mereka memandang ke arah Kakek dan dirinya sambil tertawa dan menuding-nuding. Saat itu barulah Pete menyadari bahwa Kakeknya hanya memakai kaus dalam berwarna merah serta cela
na dalam putih yang dihiasi dengan sulaman gambar hati berwarna merah. Sedang Pete sendiri, ia tidak memakai apa-apa!
Pete terbangun sambil bergidik. Kamar gelap gulita. Ia tidak mendengar apa-apa. Suasana sunyi senyap. Malam pasti sudah sangat larut, kata Pete dalam hati. Ia turun dengan pelan dari tempat tidurnya dan menuju ke kamar mandi karena ingin minum. Ia lewat lagi dekat jendela yang menghadap ke pelataran parkir.
Dan kembali dilihatnya seseorang berjalan mengendap-endap di belakang deretan mobil yang diparkir. Pete memperhatikannya dengan kening berkerut. Orang yang hanya nampak seperti bayangan hitam itu berjongkok di samping mobil Buick kakeknya.
Dengan segera Pete lari ke ranjang yang ditempati Jupe dan mengguncang-guncangkannya supaya bangun. "Jupe!" bisik Pete. "Bangun! Snabel muncul lagi. Ia ada di pelataran parkir mengutik-utik mobil kita!"
"Bab 7 TEROR LAWAN TEROR
"TANPA sempat memakai sepatu lagi, Trio Detektif bergegas menuruni tangga di luar yang menuju ke lantai bawah. Jupiter tersaruk-saruk langkahnya, menimbulkan bunyi berdebam-debam di tangga. Ia cepat-cepat berpegangan pada sandaran supaya tidak terjerembab.
Orang yang berjongkok di samping Buick menegakkan tubuhnya, memandang dengan cepat ke arah tangga, lalu lari menyusur deretan mobil menuju ke jalan besar.
Anak-anak mengejar dengan terpincang-pincang karena tidak memakai sepatu. Ketika mereka sampai di jalan, orang tadi sudah tidak kelihatan lagi.
"Sialan! Ia lolos!" seru Bob.
"Dan itu karena larimu tidak bisa pelan tadi, Jupe," kata Pete dengan sebal.
"Kau yakin orang itu Snabel"" tanya Jupe.
"Pasti," kata Pete yakin. "Aku sempat melihat tampangnya sekilas ketika ia lewat di bawah salah satu lampu beranda. "
Anak-anak kembali ke mobil Buick lalu mengitarinya sambil memeriksa pintu-pintu. Semuanya masih terkunci, begitu pula tutup tempat bagasi Jupe mengintip ke kolong mobil, tapi tidak bisa melihat apa-apa.
"Aku perlu senter," katanya.
Saat itu terdengar bunyi pintu terbuka di atas mereka. Mr. Peck muncul di balkon kamarnya
"Ada apa"" tanyanya. "Sekarang ini sudah hampir pukul empat pagi!"
Ia mengatakannya dengan suara yang menurut pendapatnya . sudah berbisik-bisik. Tapi bisikannya, orang yang setengah mil dari situ pun masih bisa mendengarnya. Lampu-lampu dinyalakan nampak beberapa tamu memandang ke luar.
"Tadi ada orang berkeliaran di sini," kata Pete.
"Pasti itu Snabel lagi," kata Mr. Peck Pete tidak menanggapinya. Mr. Peck menyuruh anak-anak kembali ke atas, dan ketika mereka sudah berada lagi dalam kamar mereka, kakek Pete mengomel-ngomel tentang Snabel. "Ia ingin mengetahui apa yang kubawa," katanya. "Tapi pokoknya, ia takkan bisa memperolehnya!"
"Kakek membawa apa"" tanya Pete.
"Kau tidak perlu tahu," tukas kakeknya. "Semakin sedikit yang kalian ketahui, semakin baik bagi kalian sendiri. Sekarang masuk lagi ke ranjang masing-masing dan teruskan tidur kalian. Tidur perlu berjaga-jaga karena si Kunyuk itu, selama ia belum berbuat apa-apa. Ia belum melakukan apa-apa, kan""
Rasanya belum, Mr. Peck," kata Jupe.
Dia memang begitu," kata Mr. Peck sambil mengangguk. "Menyelinap dan mengintip-intip, tapi tidak berani berbuat apa-apa!"
Mr. Peck kembali ke kamarnya, dan dalam waktu singkat sudah terdengar lagi dengkurannya.
Mudah-mudahan saja kata Kakek tadi benar," kata Pete gelisah. "Tapi bagaimana jika Snabel lak cuma mengintip-intip saja" Bagaimana jika berniat merusak mobil kita" Sebaiknya aku tidur saja di dalamnya, untuk berjaga-jaga jika ia datang lagi.
Pete mengambil selimut dari tempat tidurnya, lalu berjingkat-jingkat memasuki kamar kakeknya. Tanpa menyebabkan dengkuran Kakek terganggu diambilnya kunci-kunci mobil yang terletak di meja. Setelah itu ia pergi ke bawah, ditemani oleh Jupe. Sesampai di mobil, mereka mengeluarkan senter dari laci depan. Tapi ketika hendak dinyalakan, ternyata tidak bisa.
Sialan," kata Pete. "Baterainya sudah habis. Tapi aku tidak mengerti, mau apa sebetulnya Snabel tadi""
Apa pun yang hendak dilakukannya," kata Jupe, "yang jelas ia tidak berhasil! Seka
rang, jika ia muncul lagi, kau berteriak keras-keras."
Baik," kata Pete. Setelah itu Jupe pergi lagi ke atas, sementara Pete merebahkan diri di jok belakang. Ia merasa pasti takkan mungkin bisa tidur lagi.
Tapi kenyataannya ia terlelap juga. Hanya tidurnya tidak tenang. Lagi-lagi ia bermimpi aneh. Ketika ia bangun, matahari baru saja terbit. Burung-burung berkicau di pepohonan, dan seorang wanita bertubuh gemuk dan memakai pakaian senam berwarna ungu mengetuk-ngetuk jendela mobil.
"Kau baik-baik saja"" seru wanita itu.
Pete kaget lalu duduk - tapi langsung jatuh ke lantai -mobil.
Wanita itu terkejut melihat ia jatuh. Ia berusaha membuka pintu. Tapi tidak bisa, karena dikunci oleh Pete sebelum ia tidur tadi.
"Saya tidak apa-apa!" seru Pete dari dalam. "Terima kasih, saya tidak apa-apa!"
Ditariknya selimut untuk menyelubungi tubuhnya, lalu ia membuka pintu dan keluar.
"Bagaimana sih, orang tuamu"" kata wanita itu mengomel. "Kan tidak aman, tidur di luar begini!
"Ya, Ma'am," kata Pete. Ia bergegas kembali " atas lalu mengguncang-guncang gagang pintu agar dibukakan oleh Bob atau Jupe.
"Keterlaluan!" gumam wanita tadi seorang diri di pelataran parkir. "Apa saja yang dilakukan sementara orang supaya tidak perlu menyewa satu kamar lagi!"
Bob membukakan pintu dan Pete bergegas masuk.
"Jangan cerita pada Kakek tentang ini," kata Pete. "Ia pasti marah jika tadi mendengar omelan wanita itu."
"Itu sudah pasti," kata Bob sambil tertawa.
Hari itu mereka melanjutkan perjalanan ke arah Utara, lewat jalan raya Redwood Highway. Mr. Peck menyetir mobilnya dengan riang. Pohon-pohon raksasa yang berjajar di kiri-kanan jalan mengingatkannya pada masa lampau - ketika ia masih suka pesiar ke daerah itu bersama istrinya yang waktu itu masih hidup.
"Kau tentunya tidak begitu ingat pada nenekmu ya, Pete," katanya.
"Ingat sih ingat, tapi cuma samar-samar saja" kata Pete. "Ia suka membuat kue apel yang enak sekali rasanya."
"Ya, memang," kata Mr. Peck. "Kalau makan kue bikinannya, badan rasanya langsung menjadi bertambah sehat.
Diam-diam Jupe memperhatikan pria yang "udah berumur lanjut itu. Mr. Peck seolah-olah berdiri dari dua kepribadian yang sama sekali berlainan, katanya dalam hati. Yang satu adalah kakek yang ceria dan penuh kasih sayang, yang mau mengajak cucunya serta teman-teman cucun"ya mengadakan perjalanan yang mengasyikkan. Sementara kepribadian yang satu lagi berwujud pria tua pemarah yang terlalu curiga terhadap "orang tetangganya. Meski pada awalnya terdapat kesan bahwa .Mr. Peck benar-benar tidak waras pikirannya, tapi kini Jupe harus mengakui bahwa tuduhan-tuduhannya mengandung kebenaran. Edgar Snabel memang menyelinap-nyelinap sambil mengintip-intip dekat mobil Buick. Apakah itu dilakukannya karena berharap akan bisa menguasai salah satu penemuan Mr. Peck Atau mungkinkah ada alasan lain yang menyebabkan ia bertindak begitu"
Mungkin untuk keseratus kalinya Jupe berusaha menebak-nebak, apakah kemungkinannya penemuan Mr. Peck. Tapi ia tidak menanyakannya secara langsung, karena tahu bahwa Mr. Peck takkan mau mengatakan. Tapi kalau tentang Snabel, tanpa perlu ditanya pun ia pasti mau bicara. Jupe memutuskan untuk memancingnya karena siapa tahu - mungkin nanti di antara kata katanya ada sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk.
"Sebetulnya aneh juga, anggrek-anggrek itu, kata Jupe dengan tiba-tiba.
"Anggrek"" Bob menoleh ke arah Jupe dengan heran. "Anggrek yang mana"" "
"Bukankah Mr. Snabel memelihara anggrek, kata Jupe.
Betul," jawab Mr. Peck singkat.
"Padahal ia kelihatannya bukan orang yang cukup memiliki kesabaran untuk berkebun," kata Jupitar lagi. "Bahkan rumput yang tumbuh di pekarangan saja tidak dipotong olehnya.
"Itu karena memotong rumput tidak menghasilkan uang," kata Mr. Peck. "Hanya tukang kebun saja yang bisa, mendapat penghasilan dengan memotong rumput. Snabel tidak berminat pada tanaman - ia cuma tertarik pada uang. Kalau untuk mengurus anggrek-anggreknya, ia banyak waktu, karena uang yang bisa diperoleh dari penjualannya juga banyak. Toko-toko bunga berlangganan padanya. Snabel anggota
sebuah perkumpulan anggrek, dan sekali sebulan orang-orang yang keranjingan anggrek berkumpul untuk memperagakan tanaman anggrek peliharaan mereka. Aku berani bertaruh, Snabel pasti juga mencuri macam-macam perlengkapan dari mereka."
"Lalu siapa yang mengurus anggrek-anggrek Mr. Snabel sekarang"" tanya Jupiter.
"Mungkin salah seorang anggota perkumpulannya," kata Mr. Peck. "Terus terang saja, aku tidak peduli tentang itu. Tahu tidak kalian, waktu ia baru saja pindah ke rumahnya yang sekarang, aku pernah mengalami saluran air ledengku dimatikan selama beberapa waktu. Dinas Air Minum dan Listrik menemukan kebocoran pada pipa yang menghubungkan saluran utama di jalan dengan rumahku. Selama kebocoran itu dibetulkan aku tidak kebagian air. Aku lantas pergi ke rumah Snabel dengan membawa cerek untuk minta air sedikit dari keran yang ada di luar rumah. Kalian mau tahu, apa yang terjadi kemudian""
"Ia memanggil polisi"" kata Bob menebak.
"Ia mengancam akan memanggil polisi," kata Mr. Peck. "Ia juga menuduh aku menyambungkan selang airku ke kerannya sewaktu ia sedang tidak ada di rumah, untuk menyiram pekaranganku! Seolah-olah watakku selicik itu!"
"Tengkuk Mr. Peck nampak merah ""padam sekarang, dan untuk pertama kalinya hari itu ia tidak lagi memperhatikan pohon-pohon redwood yang mengapit jalan yang dilewati."
"Snabel itu rupanya mengidap paranoia, katanya dengan nada pasti.. "Itu sebabnya ia mengira aku mencuri airnya. Kalian tahu apa itu, paranoia. Itu semacam penyakit jiwa, dan orang yang mengidapnya dihantui pikiran bahwa semua orang memusuhinya. Dan begitulah Snabel itu!
Jupiter agak gentar juga melihat Mr. Peck marah-marah, lalu memutuskan bahwa untuk sementara mereka sudah cukup banyak mendengar tentang Snabel. Ia tidak mengatakan apa-apa lagi yang bisa memancing komentar Mr. Peck tentang tetangga yang dibencinya itu. Selama beberapa waktu semuanya membisu.
Tapi hari itu terlalu menyenangkan, dan pohon-pohon redwood terlalu mengagumkan. Mr. Peck melupakan kemarahannya dan kembali mulai bercerita tentang masa lampau. Ia terus begitu sepanjang perjalanan, sampai akhirnya mereka tiba di Crescent City.
Matahari sudah rendah di barat ketika mobil mereka memasuki kota kecil di tepi pantai itu. Karenanya mereka lantas masuk ke sebuah hotel Sesudah mandi mereka pergi berjalan-jalan untuk melihat-lihat pelabuhan perahu yang ada di dekat situ.
Dermaga di tempat itu lebih kecil dari Fisherman's Wharf di Monterey. Tapi mobil bisa parkir di atasnya, dan selain itu ada pula beberapa restoran dan satu atau dua toko di situ. Berseberangan dengan restoran-restoran terdapat tempat-tempat menambatkan perahu layar. Suasana cukup ramai di situ. Nampak sejumlah pemilik perahu sibuk dengan perahu mereka, membetulkan, membersihkan, atau merapikan. Beberapa pasangan nampak berjalan-jalan dengan santai di trotoar, menikmati pemandangan matahari terbenam dan burung-burung "amar yang beterbangan di angkasa.
Kelihatannya kita sudah bebas dari gangguan Snabel," kata Mr. Peck dengan tiba-tiba.
Perasaan tidak enak timbul lagi dalam hati Pete. Sudah beberapa jam lamanya Kakek tidak menyebut-nyebut manusia menyebalkan penggemar anggrek itu, dan karenanya Pete mengira bahwa Kakek sudah melupakannya. Tapi ternyata dugaannya keliru.
"Aku tadi terus memperhatikan jalan di belakang kita lewat kaca spion," kata Mr. Peck pada anak-anak. "Tapi kelihatannya tidak ada yang membuntuti kita. Rupanya si Kunyuk itu ketakutan kemarin malam, sewaktu kalian memergokinya dekat mobil kita."
"Mudah-mudahan saja," kata Pete.
Kemudian ia berpaling dan memandang ke arah jalan besar, karena terdengar bunyi mesin menderu-deru, bercampur suara berteriak-teriak.
Tujuh sepeda motor datang dengan laju dan masuk ke dermaga. Para pengendaranya pemuda-pemuda bertubuh tegap dan memakai jaket kulit berwarna hitam.
"Hmm!" kata Mr. Peck. "Tampang mereka galak-galak."
Ketujuh pemuda itu memang bertampang seram. Selain berjaket kulit hitam, kebanyakan dari mereka berjenggot. Ada yang membiarkan tumbuh gondrong sehingga nyaris menutupi seluruh muka, dan ada lagi yang me
motongnya sedemikian rupa sehingga aneh-aneh bentuknya. Mereka juga mengenakan pending dan gelang lengan dari kulit yang dipasangi paku payung, sementara pada sarung tangan mereka nampak berderet paku-paku runcing. .
"He, Kakek!" teriak salah seorang pemuda itu. Diarahkannya sepeda motornya seakan-akan hendak menabrak Mr. Peck, dan pada saat terakhir baru membelokkannya.
Pete dan kedua temannya mengira, Mr. Peck pasti mengamuk. Tapi dugaan mereka keliru. Mr Peck memandang ketujuh pemuda yang lewat dengan sepeda motor menderu-deru itu, lalu tertawa nyengir. "Aku tahu pasti, ada orang baik-baik yang juga suka naik sepeda motor," katanya, "tapi hari ini kita tidak berjumpa dengan mereka.
"Kita pergi saja dari sini, ya"" kata Pete berusaha membujuk kakeknya.
Sementara itu ketujuh pengendara sepeda motor itu sudah sampai di ujung dermaga. Mereka berkerumun di situ mengelilingi pengendara yang tadi mencoba menakut-nakuti Mr Peck. Mereka memandang ke arah Mr. Peck dan anak-anak. dengan sikap mengira-ngira.
"Ayolah!" Pete menarik-narik lengan kakeknya. Kita pergi saja!"
"Iiii-yahuuu!" teriak salah seorang pengendara sepeda motor itu, dan orang yang tadi kembali memacu kendaraannya, lurus menuju ke tempat Mr. Peck dan .anak-anak!
Jangan lari!" seru Mr. Peck, lalu melangkah maju menyongsong sepeda motor. yang menyerbu ke arahnya.
Jupe merasa perutnya melilit karena ngeri. Sementara itu keenam sepeda motor yang lain sudah dipacu pula menyusul kendaraan yang pertama. Ketujuh pengendaranya menyeringai. Terdengar jelas suara mereka tertawa mengejek. Satu dari mereka mengayun-ayunkan sesuatu. Rupanya pendingnya yang dipasangi paku-paku besar.
Para pelancong dan orang-orang yang sedang makan angin di dekat anak-anak buru-buru lari memencar.
"Panggil polisi!" teriak seorang dari mereka.
Ketujuh sepeda motor tadi lewat dekat Mr. Peck dengan mesin menderu-deru, lalu semuanya berbalik dan kembali menuju ke arahnya. Suara mereka tertawa bertambah keras dan galak.
Mereka berkeliling dengan sepeda motor mereka, mengepung Mr. Peck dan anak-anak. Kepungan mereka makin lama makin menyempit, semakin dekat ke sasaran mereka yang terjepit di "tengah-tengah. Bagi mereka itu merupakan permainan-permainan yang ganas!
"Hajar mereka!" seru salah satu dari para pengendara sepeda motor itu. Ia meninggalkan lingkaran kepungan dan memacu kendaraannya lurus ke arah Mr. Peck. Ketika kelihatannya benturan sudah pasti terjadi, barulah sepeda motornya direm.
Anak-anak melihat sepasang mata kecil berkilat-kilat di atas jenggot kasar, dan gigi-gigi putih di tengah wajah dekil. Mereka mendengar suara tertawanya, mengalahkan deru keenam sepeda motor lainnya.
Saat itu Mr. Peck bergerak. Hanya sedikit saja, sehingga anak-anak nyaris tidak melihatnya. Mr Peck melemparkan sesuatu.
Terdengar bunyi tembakan dan kepulan asap Asap hitam tebal mengepul, menyelubungi kawanan penyerang.
Mata kecil tadi terbelalak. Mulut yang semula menyeringai terbuka lebar. Orang itu berteriak kaget, lalu membelokkan kemudinya dengan keras sehingga sepeda motornya terbalik
Sekali lagi Mr. Peck menggerakkan lengannya dengan cepat, dan sekali lagi terdengar bunyi letusan serta nampak kepulan asap hitam tebal.
Ketujuh pengendara sepeda motor itu celingukan dengan sikap bingung, mencari-cari orang yang terdengar dua kali melepaskan tembakan itu.
Saat itu terdengar bunyi sirene di jalan besar. Dua mobil patroli polisi memasuki dermaga dengan lampu merah menyala berputar-putar di atap.
Kita makan sekarang, yuk"" kata Mr. Peck, lalu berjalan dengan cepat ke sebuah restoran yang terdapat di dermaga itu. Anak-anak bergegas mengikutinya.
Di ambang pintu rumah makan itu berkerumun orang-orang yang menonton kejadian tadi. Mereka cepat-cepat menepi, memberi jalan pada Mr. Peck
"Anda tidak apa-apa"" kata seseorang sambil menjamah bahu Mr. Peck.
"Jangan main-main dengan orang-orang seperti mereka itu," kata seseorang lagi. "Mereka itu jahat -jahat!"
"Aku tadi tidak main-main, Anak muda," kata Mr. Peck. "Jika polisi tidak datang tadi, berandal-berandal itu akan tahu bagaimana ak
u jika sudah sungguh-sungguh!"
Bab 8 HARI-HARI YANG BERBAHAYA
"MR. PECK memandang ke luar lewat jendela restoran. Ia melihat petugas-petugas polisi mendatangi para pengendara sepeda motor yang masih tertegun di dermaga. Ketujuh pemuda berandal itu dengan sikap enggan mengambil kartu tanda pengemudi mereka dan menunjukkannya pada polisi.
"Kalau aku tidak ingin buru-buru meneruskan perjalanan, akan kuadukan kunyuk-kunyuk itu, kata Mr. Peck. "Biar mereka mendekam dalam penjara, sehingga selama beberapa waktu tidak bisa menakut-nakuti orang," Setelah itu diambilnya kartu daftar makanan dan ditelitinya
Sementara itu ketujuh berandal tadi sudah menghidupkan mesin sepeda motor mereka kembali. Mereka berputar-putar berkelompok lalu menyusur dermaga lambat-lambat ke arah jalan besar. Para petugas polisi masuk lagi ke mobil-mobil mereka dan mengikuti kelompok pemuda berandal itu dari belakang.
""Apakah mereka itu digiring ke penjara"" kata Bob.
"Rasanya tidak," kata Mr. Peck. "Kurasa mereka sekarang digiring polisi ke luar kota. Baguslah, daripada mengacau di sini."
Kakek, apa yang menimbulkan bunyi keras tadi"" tanya Pete.
"Bunyi keras"" kata Mr. Peck. "Bunyi yang mana" Ia mengatakannya sambil meneliti daftar makanan. Nampaknya keributan dengan para pengendara sepeda motor tadi sudah dilupakannya.
Kakek melemparkan sesuatu ke arah orang yang hendak menubruk Kakek, dan benda itu meletus. Apa itu" Mercon""
"Tentu saja bukan!" kata Mr. Peck sengit. Mercon merupakan barang terlarang di banyak tempat. Itu tadi salah satu hasil ciptaanku sendiri. Aku akan memasarkannya, dan mudah-mudahan saja bisa laris. Barangnya sederhana saja dan sama sekali tidak berbahaya. Hanya menimbulkan bunyi nyaring disertai kepulan asap tebal. Pemasarannya nanti bisa sebagai alat untuk menakut-nakuti penjambret dan perampok"
Pete tertawa lebar. Tapi bagaimana jika nanti sesudah populer, para penjambret dan perampok tahu bahwa barang itu sebenarnya tidak berbahaya""
"Kalau begitu aku akan menjualnya pada para petugas pos," kata. Mr. Peck dengan santai. Mereka itu sangat kewalahan menghadapi anjing-anjing galak."
"Setelah itu Mr. Peck kembali mengarahkan perhatiannya pada daftar makanan, lalu memesan tiga ekor ikan merah untuknya sendiri.
"*** "Pete melihat papan penunjuk di tepi jalan. Saat itu pukul satu siang keesokan harinya. Mereka sudah memasuki negara bagian Oregon, dan kota Portland sudah dilewati.
"Itu tadi penunjuk jalan ke tempat dari mana Gunung St. Helens bisa dilihat, Kakek. Bisakah kita mampir sebentar di sana""
"Tentu saja bisa," kata Mr. Peck. "Berapa banyak gunung berapi yang masih aktif yang mungkin bisa kita lihat seumur hidup kita" Jangan sia-siakan kesempatan, begitulah pedomanku."
Dibelokkannya mobil meninggalkan jalan raya Interstate. Buick itu mulai mendaki daerah berbukit -bukit, makin lama makin tinggi melalui jalan berkelok-kelok. Langit yang memang mendung menjadi semakin kelabu kelihatannya, dan tahu-tahu nampak awan tipis seperti menyelimuti permukaan jalan.
Akhirnya mereka sampai di tempat yang dituju. Kini mereka berada pada posisi yang lebih tinggi daripada hamparan awan rendah, dan ketika pandangan dilayangkan ke timur, di mana gunung yang hendak dilihat seharusnya nampak ternyata yang kelihatan hanya tumpukan awan kelabu saja.
""Sialan!" umpat Pete.
"Apa boleh buat,'. kata Mr. Peck sambil nyengir. Tapi sudahlah, perjalanan kita masih jauh, dan masih banyak lagi pemandangan lain yang juga mengasyikkan. "
Ia memutar mobilnya, dan kendaraan itu mulai lagi menuruni jalan berkelok-kelok menuju jalan raya Interstate. Sebelum mereka sampai di sana, percikkan air hujan sudah membasahi kaca jendela.
Ketika memasuki Highway 5 nampak beberapa mobil sudah menyalakan lampu besar. Dengan segera Mr. Peck memutuskan bahwa malam itu mereka lebih baik menginap saja di Longview, di negara bagian Washington. Ia begitu sibuk mengatur rencana sehingga tidak melihat mobil Lincoln yang berhenti di pinggir jalan pada arah sama dengan yang sedang mereka tempuh. Lampu mobil itu tidak dinyalakan, tapi penghapus kacanya b
ergerak-gerak dan asap knalpotnya nampak mengepul.
Jupe terkejut ketika melihat mobil itu. Ia memutar tubuh untuk terus mengamatinya, sementara Buick yang disetir oleh Mr. Peck menyusup di tengah lalu-lintas kendaraan yang menuju ke utara.
Jupe melihat seseorang duduk membungkuk di belakang setir. Snabel-kah itu" Mobil itu kelihatannya seperti yang dipakai orang itu di Santa Rosa. Tapi Jupe tidak tahu pasti apakah itu memang mobil Snabel. Ia tahu, saat itu pasti ada ratusan mobil Lincoln berwarna kelabu yang lalu-"lalang. Hampir secara otomatis dicatatnya nomor kendaraan itu dalam ingatannya: 920-XT J.
"Snabel!" desis Mr. Peck dengan tiba-tiba, lalu langsung menginjak rem. Pengendara mobil yang ada di belakang Buick itu membunyikan tuter.
"Awas, Kakek!" seru Pete.
Mr. Peck memacu mobilnya lagi, sementara kendaraan yang ada di belakang meliuk ke samping karena direm dengan cepat. Untung saja tidak sampai terjadi tabrakan. Tapi anak-anak sangat. terkejut.
"Sori," kata Mr. Peck dengan nada menyesal "Mobil yang baru kita lewati tadi, yang berhenti di pinggir jalan... aku tidak begitu memperhatikan, tapi rasanya pasti bahwa itu Snabel."
Anak-anak menoleh ke belakang. Mobil Lincoln itu masih ada di pinggir jalan. Warnanya yang kelabu menyebabkan wujudnya nyaris tidak nampak di tengah hujan sore itu.
"Ia tetap berhenti," kata Jupe. "Kelihatannya seperti sedang meneliti peta, atau mungkin juga mogok'" .
"Bisa saja Snabel masih terus membuntuti kita," kata Mr. Peck. "Kalau dia bisa sedikit saja menggunakan otaknya, ia pasti bisa menduga bahwa kita akan terus mengambil jalan ini, paling tidak sampai di Seattle. Bisa saja ia sengaja tetap berhenti selama beberapa saat, supaya aku tidak curiga. "
Setelah itu semuanya sama-sama membisu. Jalan raya bebas hambatan cepat mereka tinggalkan hari itu. Mr. Peck mengemudikan Buick-nya menelusuri jalan-jalan di kota Longview sampai akhirnya mereka menemukan sebuah hotel kecil yang terletak di sebuah jalan kecil. Mr. Peck memilihnya karena jaraknya cukup jauh dari jalan raya. Snabel takkan bisa menemukan jejak mereka sampai di situ.
"Ini bukan karena aku takut," kata Mr. Peck, "tapi yang penting sekarang adalah sampai di New York dengan selamat - dan kalau bisa juga bersenang-senang selama dalam perjalanan."
Seperti Mr. Peck, Trio Detektif juga tidak biasanya menghindari persoalan. Tapi sekali ini rasanya tindakan itulah yang sebaiknya diambil. Jika Snabel ternyata memang mengejar-ngejar mereka tidak bisa apa-apa sebelum orang itu berbuat sesuatu. Tapi jika ternyata bahwa Snabel mengejar itu cuma sangkaan Mr. Peck saja, maka itu paling baik ditangani anak-anak dengan cara terus menyertainya.
Malam itu, beberapa waktu setelah tengah malam, Jupe terbangun. Didengarnya dengkuran keras Mr. Peck di kamar sebelah. Tapi bukan bunyi itu yang menyebabkan Jupe terbangun; ia udah terbiasa dengannya. Tidak, ia terbangun karena ada sinar terang dari lampu sebuah mobil yang dengan lambat-lambat memasuki pekarangan hotel lalu berhenti.
Terdengar bunyi pintu mobil terbuka, meskipun mesinnya tidak dimatikan. Seseorang berjalan bergegas-gegas, berhenti, lalu bergegas-gegas lagi. Jupe buru-buru berdiri dan menghampiri jendela kamar, sementara dari arah luar terdengar bunyi pintu mobil ditutup. Ia mengintip ke luar Dilihatnya sebuah mobil besar bergerak meninggalkan pekarangan hotel.
Mobil Lincoln yang tadikah itu" Jupe tidak bisa memastikannya.
Ia masuk lagi ke tempat tidur. Ia mengumpat dirinya sendiri, karena mulai aneh seperti Mr Peck. Bisa-bisa nanti ia merasa melihat Snabel bersembunyi di balik setiap semak atau membuntuti di setiap jalan raya yang dilalui. Itu kan konyol! Dan andaikan Snabel memang membuntuti terus, lalu apa gunanya bagi dia" Selama itu ia tidak pernah mengutik-utik mobil Mr. Peck atau menggeledah kamar-kamar mereka.
Lalu tentang penemuan yang hendak diserah kan oleh Mr. Peck pada entah siapa di New York - di manakah barang itu" Menurut perasaan Jupe tidak mungkin disembunyikan dalam mobil kecuali jika ukurannya memungkinkan disimpan dalam koper.
Akhirnya Jupe tertidur. Ketika bangun lagi dilihatnya Bob dan Pete sudah selesai berpakaian.
Hari itu mereka melintasi negara bagian Washington menuju ke timur, mendaki untuk melewati daerah Pegunungan Cascade Mountain, lalu turun dan sampai di sebuah dataran luas yang agak gersang.
"Gurun!" kata Pete. Kedengarannya ia sangat kecewa. "Kusangka seluruh negara bagian Washington ini merupakan daerah hutan pinus."
Tapi sesudah kota Spokane dilewati mereka kembali memasuki pegunungan. Kadang-kadang mereka melewati jalan raya yang di sisinya ada sungai pegunungan berair deras, sementara hutan lebat merapat di kiri-kanan.
Malam itu juga mereka sudah memasuki negara bagian Idaho. Mereka menginap di Coeur d'Aiene. Mr. Peck kembali berkeras memilih hotel kecil yang lokasinya seperti di Longview. Anak-anak langsung teringat lagi pada Snabel. Tapi Mr. Peck mengatakan dengan riang, "Mungkin kita berhasil meloloskan diri dari Snabel. Selama dalam perjalanan tadi aku terus melirik ke belakang lewat kaca spion, tapi tidak nampak sesuatu yang mencurigakan. Mungkin ia mengira kita bermalam di Spokane, atau terus sampai di Missoula. Walau begitu kita perlu terus waspada."
Selama makan malam Mr. Peck tidak lagi menyebut-nyebut nama Snabel. begitu pula ketika mereka main minigolf sesudah itu.
Malam itu, ketika mereka semua sudah tidur, tiba-tiba terdengar bunyi nyaring yang melengking tinggi.
"Ada apa lagi sekarang"" kata Pete sambil menegakkan tubuh di pembaringannya. Ia mengendus-endus, lalu berteriak,
"Jupe.! Bob! Bangun, cepat!"
Digedor-gedomya dinding kamar untuk membangunkan Mr Peck. "Ada kebakaran!"
"Bab 9 TIRAI ASAP "LENGKINGAN sirene tanda kebakaran memecah kesunyian malam.
Terdengar bunyi langkah orang ramai berlari-lari dan berteriak-teriak. Pintu-pintu mobil ditutup bergegas-gegas. Udara penuh asap.
Jupiter melompat ke pesawat telepon lalu menghubungi Dinas Pemadam Kebakaran.
Pete lari keluar dengan piamanya lalu menggedor-gedor pintu kamar Mr. Peck. "Kakek! Kakek! Bangun! Ada kebakaran di hotel!" .
Mr. Peck membuka pintu sambil batuk-batuk karena asap.
Sementara itu Bob sudah memakai celana jeansnya dan bergegas keluar. Ia menggedor-gedor pintu kamar-kamar, membangunkan tamu-tamu hotel.
Seorang wanita dengan daster berwarna merah jambu membuka pintu kamarnya, sambil mengusap-usap matanya yang pedih kena asap.
"Ada apa"" gumamnya tak jelas karena belum benar-benar bangun.
""Ada kebakaran di hotel," kata Bob memberi tahu.
Wanita itu tersentak. "Norman, bangun!'" serunya sambil menoleh ke dalam kamar. "Apa kataku, kenapa kita menginap di tempat brengsek begini!"
Sementara itu anak-anak dan juga Mr. Peck terus menggedor-gedor pintu kamar-kamar dari bangunan hotel yang berbentuk U itu. Asap tebal menyelubungi mereka. Nampaknya datang dari ujung salah satu sayap bangunan itu.
Terdengar bunyi keras dan gemerincing kaca pecah. Di pelataran parkir, sebuah mobil dengan nomor negara bagian Indiana yang rupanya hendak mundur, menabrak mobil lain yang berasal dari Oregon. Pengemudi mobil Oregon berteriak sambil menjulurkan kepala keluar dari jendela. "Hati-hati sedikit, Goblok!"
Tamu-tamu hotel keluar dari kamar-kamar mereka, sambil batuk-batuk dan merapatkan mantel kamar untuk menahan dingin. Ada yang lari ke mobil mereka lalu cepat-cepat meninggalkan hotel, sementara yang selebihnya berkerumun di pekarangan untuk menonton apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Dinas Pemadam Kebakaran sudah dihuungi"" tanya seorang wanita.
"Sudah saya telepon tadi," kata Jupe. "Mereka dalam perjalanan kemari."
Trio Detektif 39 Misteri Kejaran Teror di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lihat itu, Jupe," kata Pete.
Pada satu ujung bangunan berbentuk U itu ada sebuah pintu dengan tulisan HANY A UNTUK KARYAWAN. Asap mengepul ke luar lewat celah-celah pintu itu.
"Ya, memang dari situ asalnya," kata Jupe dengan cepat. "Semua mundur!"
Pete dan Bob sibuk kian kemari, meminta agar orang-orang menjauhi pintu itu.
Saat itu terdengar bunyi sirene mobil-mobil pemadam kebakaran yang datang.
"Ada apa ini"" kata seorang pria botak bertubuh kecil yang memakai mantel mandi yang sudah usang. "Saya manajer hotel." Tangannya yang satu menenteng a
lat pemadam api, sedang di tangannya yang lain ada seberkas anak kunci.
"Nampaknya kebakarannya dalam ruangan di balik pintu itu," kata Jupe, lalu berteriak melihat manajer hotel hendak membuka pintu ruangan itu, "Tunggu! Jangan dibuka!"
Terlambat! Sementara itu anak kunci sudah diputar, dan pintu terbuka. Api langsung menyambar ke luar. Manajer hotel itu terhuyung mundur. Alat pemadam api terlepas dari pegangannya. Ia mengangkat kedua lengannya untuk melindungi muka. Anak-anak merasakan pukulan hawa yang panasnya luar biasa.
Pete lari untuk menolong manajer hotel, sementara Bob menyambar alat pemadam api. Alat itu dijungkirkannya, lalu disemprotkannya cairan berbusa ke kobaran api di dalam ruangan sempit itu.
Dua mobil pemadam kebakaran tiba di depan hotel. Para petugas lari menghampiri sambil berseru-seru. Bob didorong ke samping. Seorang petugas pemadam kebakaran mengarahkan selang yang dibawanya dari mobil ke arah api. Semprotan air yang sangat kuat menyembur ke api yang langsung padam. Lengkingan sirene tanda kebakaran berhenti. Yang nampak dalam ruang gudang yang sempit hanya sejumlah sapu dan alat untuk mengepel yang hangus, sebuah ember plastik yang sudah tidak tentu lagi bentuknya, serta setumpuk kain bekas yang hangus dan basah di lantai.
Seorang petugas pemadam kebakaran masuk ke dalam ruang itu. Ia memperhatikan tumpukan yang basah di lantai dengan kening berkerut, lalu menendangnya. Diambilnya selembar kain dari tumpukan itu dan dibauinya.
"Sejenis minyak," katanya. "Baunya seperti terpentin. Anda habis mengecat""
Pertanyaan itu ditujukannya kepada manajer hotel, yang alisnya terbakar sebelah.
"Tidak!" kata manajer itu sambil mendekapkan kedua tangannya seperti hendak berdoa. "Tidak ada cat di sini sejak berminggu-minggu - bahkan beberapa bulan belakangan!"
Petugas pemadam kebakaran itu mengendus lagi. "Minyak untuk menggosok mebel""
"Tidak mungkin!" kata manajer hotel. "Maksudku, takkan kubiarkan saja jika ada pegawai membiarkan kain lap berminyak tergeletak sembarangan."
" Tapi baunya ini," kata petugas pemadam kebakaran Dijatuhkannya lap yang hitam karena hangus itu ke lantai.
Mr. Peck, yang berdiri tidak jauh dari situ mendengus.
"Masalah begini takkan timbul jika Anda memakai Furglow," katanya dengan nada menyalahkan.
"Furglow"" kata Bob tidak mengerti.
"Itu salah satu produk hasil penemuan Kakek," kata Pete menjelaskan. "Lap khusus yang sudah diberi bahan pengilap. Sesudah dipakai sekali langsung dibuang."
"Aku menjual ide itu kepada salah satu perusahaan sabun, tapi mereka menaruhnya dalam salah satu lemari besi mereka lalu melupakannya!" kata Mr. Peck dengan sebal, lalu kembali ke kamarnya. Tapi begitu masuk, langsung terdengar suaranya berteriak seperti ada yang menggigit.
"Maling! Bajingan!" teriaknya. "Pete! Jupiter! Bob! Cepat kemari!"
Ketiga anak itu datang. "Periksa kamar kalian, cepat!" seru Mr. Peck. Ia berdiri di ambang pintu kamarnya sambil menatap ranjangnya dengan marah. Ranjang itu berantakan. Kasurnya dilipat dengan paksa, dan selimut-selimut dicampakkan ke lantai. Pakaian Mr. Peck berserakan. Sisir, alat cukur, sabun, dan lain-lainnya yang disimpan dalam tas kecil ditumpahkan di atas meja dekat tempat tidur.
"Jupe tertegun sesaat. Ia hanya bisa melongo. Tapi kemudian ia pergi memeriksa ke kamar mandi. Di atas bak mandi, pada dinding belakang bangunan itu, ada jendela yang tinggi letaknya. Jendela itu terbuka. Di pinggir bak nampak jejak sepatu.
Jupe naik ke pinggir bak itu lalu memperhatikan kancing jendela. Kelihatan catnya terkelupas sedikit.
"Ada orang membuka kancing jendela itu lalu masuk lewat sini," katanya kepada Mr. Peck. "Mungkin keluarnya lewat sini pula, atau bisa juga lewat pintu. Gampang baginya untuk meloloskan diri tanpa ketahuan, di tengah-tengah keributan dan kepulan asap kebakaran tadi."
Bob datang berlari-lari dari kamar sebelah. "He, teman-teman, kalian tahu apa yang terjadi""
"Ya," kata Pete. "Ada orang masuk ke kamar kita dan mengobrak-abrik di situ."
Bob mengangguk. "Betul. Tapi kelihatannya tidak ada yang hilang."
"Itu pasti Snabel!" s
eru Mr. Peck. "Ia berhasil melacak jejak kita sampai ke sini!"
"Mana mungkin, Kakek"" kata Pete. "Katakanlah Lincoln yang kita lihat berhenti di pinggir jalan kemarin itu mobilnya, tapi sejak itu kita kan tidak melihatnya lagi. Bagaimana mungkin ia bisa tahu bahwa kita ada di sini""
"Mungkin saja ia. terus membuntuti, tapi kita saja yang tidak menyadarinya," kata Mr. Peck berkeras. "Bisa saja Lincoln itu mobil sewaan yang sementara itu sudah dikembalikan olehnya, dan ia sekarang memakai mobil lain"
Jupe teringat bahwa malam sebelumnya ia melihat ada mobil besar keluar dari pekarangan hotel tempat mereka menginap di Longview. Tapi ia diam saja, karena dirasakannya bahwa itu hanya menyebabkan Mr. Peck semakin marah saja.
Pete memperhatikan keadaan kamar yang porak-poranda. "Apakah Kakek tidak perlu meriksa apakah ia berhasil mengambil hasil penemuan Kakek""
"Tidak," kata Mr. Peck. "Ia takkan mungkin bisa mengambilnya."
Mr. Peck keluar lagi dari kamarnya, diikuti oleh anak-anak.
Sejumlah tamu hotel masih berdiri di pekarangan, memperhatikan manajer hotel yang sibuk sendiri. Kedua mobil pemadam kebakaran menunggu di jalan dengan mesin menyala, sementara sebuah mobil patroli polisi diparkir di jalan masuk ke pekarangan. Lampu tandanya yang dipasang di atap menyala berputar-putar, menyebabkan sinar berwarna merah bergerak menyapu bagian depan bangunan hotel.
Mr. Peck melangkah dengan sikap pasti, menghampiri polisi yang berdiri di ambang pintu ruang gudang sambil berembuk dengan salah seorang petugas pemadam kebakaran.
"Anda tidak perlu menduga-duga lebih jauh," kata Mr. Peck pada kedua petugas itu. ''kebakaran tadi disengaja." "
"Kedua petugas itu memandang Mr Peck dengan sikap heran bercampur curiga.
"Anda tahu sesuatu mengenainya"" tanya petugas pemadam kebakaran.
"Itu sudah jelas!" jawab Mr. Peck mantap.
Pete mengeluh. Nah, mulai lagi kita sekarang," katanya pada Jupe.
"Ini perbuatan Ed Snabel," kata Mr Peck. "Ia melakukannya supaya bisa masuk ke kamarku dia menggeledahnya. Aku baru saja melihat bahwa kamarku itu dan juga kamar yang ditempati anak-anak morat-marit karena digeledah habis-habisan. Orang itu benar-benar nekat. Ia tidak segan-segan membahayakan keselamatan orang banyak, asal tujuannya tercapai. Biar hotel ini terbakar habis, ia takkan bergeming sedikit pun!"
Manajer hotel menatap Mr. Peck dengan wajah berseri-seri, seolah-olah pria tua itu malaikat yang baru turun dari langit dengan menunggang awan putih. "Apa kubilang tadi!" serunya. "Sudah kukatakan, kami di sini tidak membiarkan ada lap berminyak tergeletak sembarangan. Kami punya peraturan ketat yang wajib ditaati para pegawai bagian kebersihan. Jadi kebakaran tadi bukan karena kecerobohan, melainkan disengaja!"
Polisi yang tadi bercakap-cakap dengan petugas pemadam kebakaran masuk ke dalam gudang lalu memandang dengan mata terpicing ke arah jendela yang terdapat di dinding belakang. Jendela itu serupa bentuknya dengan yang ada di "kamar mandi Mr. Peck. Keadaannya terbuka separuh, menggantung ke bawah. Kancingnya rusak, nampaknya karena dibuka secara paksa.
"Sudah berapa lama keadaannya seperti itu" tanya polisi itu.
"Baru sekarang saya melihat terbuka "seperti itu," kata manajer hotel dengan pasti. "Semua selalu saya tutup rapi, dan apa pun yang rusak langsung saya suruh betulkan. Saya takkan membiarkan ada kancing jendela rusak. Satu sampai dua hari kemudian pasti sudah dibetulkan lagi!
Polisi tadi berpaling pada Mr. Peck. "Sekarang saya ingin melihat kamar Anda," katanya.
Mr. Peck bergegas mengantarnya ke sana. Setelah itu anak-anak mendapat giliran memperhatikan keadaan kamar mereka.
Polisi itu sibuk mencatat. Rekannya yang selama itu menunggu di mobil patroli mendatangi kamar-kamar yang lain dan menanyai tamu-tamu yang sudah kembali ke kamar masing-masing. Setelah itu ia mendatangi rekannya untuk memberi tahu bahwa ternyata yang dimasuki orang dan digeledah hanya kedua kamar yang ditempati Mr. PecK dan anak-anak.
"Bisa- saja pelakunya hendak mencuri," kata polisi yang pertama, "tapi maling hotel, biasanya bukan begini cara ker
janya, dan - " "Ed Snabel yang melakukannya, kataku!"' tukas Mr. Peck. "Ia membuntuti kami sejak dari Rocky Beach - "
"Rocky Beach"" kata polisi tadi.
" Itu di California. Snabel itu sudah menunggu kami di Pismo Beach, dan setelah itu di Monterey. Besar kemungkinannya dia pula yang mengerahkan berandal-berandal bersepeda motor yang menyerang kami. Aku minta agar dia ditangkap. Orang itu berbahaya!"
"Yes, Sir," kata polisi itu untuk menenangkan Mr. Peck. Kemudian ia menyambung, "Tapi apa sebabnya ia membuntuti Anda" Kenapa kamar anda diobrak-abriknya" Apa yang dicarinya""
"Hasil penemuanku," kata Mr. Peck.
Oh"" kata polisi itu. "Penemuan apa""
Air muka Mr. Peck langsung berubah, menjadi lega. Itu - itu tidak bisa kukatakan pada Anda," katanya. "Sekarang ini belum bisa kuceritakan pada siapa pun juga."
"Begitu," kata polisi itu. ''Yah, kalau begitu jika anda bisa mengatakan bagaimana rupa orang itu serta mobilnya, kami akan bisa - "
"Ia selama ini memakai mobil Lincoln, tapi besar kemungkinannya kini sudah berganti kendaraan," kata Mr. Peck. "Kenapa Anda masih mengoceh terus di sini" Nanti ia lolos!"
Polisi itu mengangguk sambil tersenyum menenangkan. Dicatatnya nama dan alamat rumah Mr. Peck serta anak-anak. Ia juga mencatat nomor mobil Lincoln yang diberikan Jupe padanya. Setelah itu ia dan rekannya kembali ke mobil patroli mereka.
"Dasar goblok!" tukas Mr. Peck dengan geram, sambil memandang mobil polisi yang meninggalkan pekarangan hotel. "Aku berani bertaruh, ia takkan berbuat apa-apa."
"Ia mengira kita ini gila," kata Pete. "Apa boleh buat, jika Snabel memang benar membuntuti, kita terpaksa menghadapinya sendiri!"
"Bab 10 PANIK DI TAMAN
"DUA hari kemudian. Mr. Peck dan anak-anak sudah melintasi negara bagian Idaho menuju Livingston di Montana, lalu dari situ ke Yellow-stone National Park, cagar alam di negara bagian Wyoming. Saat itu baru awal musim pariwisata, jadi lalu-lintas di jalan masih jarang. Di Yellow-Stone mereka melihat uap mengepul keluar dari retak-retak di tanah, dan mereka menonton air mendidih menyembur ke atas sampai berpuluh meter tingginya. Itulah yang dinamakan geiser. Mereka tercengang melihat kolam-kolam berisi lumpur menggelegak. Entah berapa banyak telaga dan air terjun yang indah-indah mereka lihat di itu. Begitu kagum mereka menyaksikan pesona alam di kawasan yang dulunya vulkanis itu, sampai lupa pada rongrongan yang mengganggu dalam perjalanan sebelumnya.
Tapi itu hanya untuk sementara. Ketika Pete berpaling ke belakang untuk memperhatikan jalan dalam taman itu, Bob mendesah karena tahu "bahwa Pete sudah siaga lagi, melihat-lihat tanda adanya musuh yang membuntuti.
"Sejak di Highway 5 setelah gagal melihat Gunung St. Helens kita tidak melihat apa-apa lagi yang mencurigakan," kata Bob.
Saat itulah Jupe memutuskan untuk berterus terang. Diceritakannya tentang mobil besar yang dilihatnya keluar dari pekarangan hotel di Longview.
"Tapi tentu saja aku sama sekali tidak bisa memastikan bahwa pengendaranya Mr. Snabel, katanya. .
"Mungkin saat ini dia sudah kembali berada di Rocky Beach, asyik menyirami bunga-bunga anggreknya," kata Bob. "Mungkin kebakaran di hotel itu perbuatan orang lain. Kita saja yang kebetulan menginap di situ saat seorang pencuri mendapat akal untuk sengaja menimbulkan kebakaran supaya ia bisa dengan leluasa merampok kamar-kamar dan -"
"Omong kosong!" tukas Mr. Peck. "Orang yang menggeledah kamarku dan kamar kalian bukan pencuri biasa. Tidak ada sesuatu yang diambil olehnya. Dompetku tetap ada di atas meja sebelan tempat tidur. Orang yang masuk itu tidak menyentuhnya. Kameramu juga tidak diambil olehnya."
"Itu memang tidak mungkin," kata Bob, "karena tertinggal dalam mobil. Saya lupa membawanya ke kamar malam itu." "
"Tapi uangku"" kata kakek Pete berkeras. Aku sudah sering membaca tentang para pencuri yang biasa beraksi di hotel-hotel. Mereka cepat sekali bisa mengetahui di mana uang disimpan. Dan mereka tidak biasa sengaja menyebabkan kebakaran untuk menimbulkan kekacauan. Bukan begitu cara kerja mereka."
Anak-anak kembali dirundung perasaan suram
. Kegembiraan mereka setelah menyaksikan geiser menyembur langsung lenyap.
"Kita teruskan saja perjalanan kita," kata Mr. Peck. Ia sudah tegang lagi. "T empat ini terlalu sepi. Aku jadi gelisah karenanya."
Biasanya Pete akan mengomentari, "Ah, sudahlah, Kakek!" Tapi hari itu ia tidak begitu pasti jangan-jangan kakeknya benar.
Sorenya mereka singgah di sebuah kota kecil yang terletak di perbatasan antara Montana dan Wyoming. Setelah memasukkan koper-koper ke dua kamar di hotel yang didatangi, Mr. Peck pergi memarkir Buick-nya ke salah satu jalan samping di dekat situ. Setelah itu ia sebentar-sebentar pergi dari hotel ke tempat itu untuk melihat apakah mobilnya tidak diutik-utik orang.
Dengan begitu tidak ada gunanya mobil kita di parkir di tempat lain, Kakek," kata Pete setelah kakeknya untuk kelima kalinya pergi melihat. Jika Snabel benar-benar membuntuti kita, ada kemungkinan ia melihat Kakek mondar-mandir di sana. Lalu ia tinggal mengikuti Kakek kemari dan-brakk-kamar-kamar kita akan diobrak-abrik lagi."
"Komentar cucunya itu menyebabkan Mr. Peck dengan segera masuk ke kamarnya, dan tidak lama kemudian sudah terdengar dengkurannya di dalam. Sementara itu anak-anak masih bercakap-cakap sambil berbaring. Mereka membicarakan kebakaran yang terjadi Coeur d'Alene.
"Tidak mungkin Snabel yang melakukannya, kata Pete berkeras, "kecuali jika ia punya indra keenam. Kalau ada mobil membuntuti kita, tidak peduli mobil macam apa, kita pasti tahu!" .
"Mungkin ia membuntuti lewat udara, naik helikopter," kata Bob.
"Dari mana ia bisa mendapat helikopter"" kata Pete sambil mendengus. "Lagi pula, helikopter kan berisik bunyinya! Masa kita tidak mendengar!"
Tiba-tiba Jupe menegakkan tubuhnya di tempat tidur. "Kita telepon dia!" katanya. "Kenapa selama ini tidak terpikir olehku ide ini" Kita menelepon ke rumahnya di Rocky Beach, dan jika ia menjawab kita akan tahu bahwa segala kejadian selama ini ternyata kebetulan saja, dan kita tidak perlu khawatir lagi tentang apa pun."
"Kau tahu nomor teleponnya"" tanya Bob.
"Tentu saja tidak, tapi kan bisa kutanyakan kepada bagian informasi - kecuali jika nomornya dirahasiakan. "
Jupe meraih pesawat telepon yang terletak di atas meja di sebelah ranjangnya. Semenit kemudian sudah terdengar dering pesawat telepon di rumah Edgar Snabel.
""Ia pasti marah karena dibangunkan malam-malam begini," kata Bob.
"Waktu di Rocky Beach satu jam lebih lambat," kata Jupe mengingatkan. "Kita sekarang berada di wilayah waktu Rocky Mountain." Bob dan Pete mengangguk, karena baru ingat bahwa Amerika Serikat terbagi dalam lima wilayah waktu, di luar Alaska dan Hawaii.
Setelah pesawat itu berdering tiga kali terdengar bunyi seperti gagang diangkat. Jupe tidak mendengar apa-apa sesaat, lalu terdengar .lagi bunyi ketikan pelan.
"Di sini Ed Snabel," terdengar suara yang kentara merupakan rekaman. "Maaf, saya tidak bisa menjawab sekarang. Jika Anda menyebutkan nama Anda serta nomor telepon di mana Anda bisa dihubungi, begitu sempat saya akan segera menelepon Anda. Tunggu bunyi isyarat dulu, lalu sampaikan pesan Anda." Setelah itu terdengar bunyi "bip" yang sangat keras.
"Sialan, kata Jupe sambil meletakkan gagang telepon ke tempatnya. "Yang menjawab alat penjawab otomatis."
"Jadi kita sama saja tidak tahu pasti seperti sebelumnya," kata Pete.
"Kita bisa mencoba meneleponnya lagi besok pagi," kata Jupe. "Mungkin saat itu ia sendiri yang kan menjawab."
Tapi ketika dicobanya menelepon Snabel pukul delapan keesokan paginya, alat penjawab otomatis lagi yang terdengar. Karenanya anak-anak tidak mencoba lagi.
Ketika perjalanan dilanjutkan, mereka merasa capek dan lesu. Cuaca hari itu sangat cerah. Langit biru mulus, dengan gumpalan awan putih di sana-sini. Mereka melintasi negara bagian Wyoming, lewat daerah peternakan yang luas di mana nampak sapi-sapi yang sedang merumput.
Ketika sudah hampir sampai di kota Rapid City yang terletak di negara bagian North Dakota, tiba-tiba Mr. Peck mengatakan bahwa ia tidak mau suasana perjalanan pesiar itu dirusak oleh Sabel.
"Masa bodoh si Brengsek gendut itu, kita akan
tetap bersenang-senang, katanya. "Kita datangi semua yang ingin kita lihat."
Anak-anak bersemangat kembali mendengarnya dan ketika sedang makan siang di Rapid City mereka sudah asyik tertawa-tawa lagi. Setelah itu, dalam perjalanan ke selatan menuju obyek pariwisata Mount Rushmore, tidak sekali pun mereka menoleh ke belakang. Tapi Jupe melihat bahwa Mr. Peck masih saja melakukannya, lebih sering dari yang memang perlu demi keamanan lalu-lintas.
Jalan menuju tempat pengamatan pemandangan. di Mount Rushmore menanjak berkelok-kelok sejauh beberapa mil, lalu mendatar di tempat parkir di mana mobil mereka tinggalkan Mr. Peck dan anak-anak selanjutnya berjalan kaki jalan khusus yang lebar, di mana bendera-bendera dari kelima puluh negara bagian Amerika Serikat berkibar kena angin. Jalan khusus itu "landai, mendaki kira-kira seperempat mil dari tempat parkir sampai ke pelataran dari mana pandangan bisa dilayangkan ke seberang, ke arah wajah empat presiden Amerika Serikat yang ternama yang dipahatkan pada tebing gunung.
"Luar biasa!" kata Pete.
Jupe membaca dari buku panduan yang dibawanya. .
"Patung-patung kepala dari Washington. Jefferson, Lincoln, dan Theodore Roosevelt dibuat dengan pengarahan oleh mendiang Gutzon Borglum," katanya. "Masing-masing patung kepala itu tingginya enam puluh kaki, jadi hampir dua puluh meter.
Tiba-tiba Pete tertawa sendiri. "Mungkin sewaktu masih kecil ibunya mengatakan padanya agar cepat besar dan melakukan sesuatu yang benar-benar hebat supaya ibunya bisa merasa bangga terhadapnya."
"Aduh, pintarnya," kata seseorang di belakang anak-anak. Pete dan juga Mr. Peck menoleh ke arah suara itu.
Cucu-cucu Anda"" tanya seorang wanita gemuk bercelana jeans yang terlalu ketat untuknya. Ia memandang Mr. Peck dengan wajah berseri-seri.
''Ya, satu dari mereka," jawab Mr. Peck.
"Anak-anak memang sangat menyenangkan, kata wanita itu lagi dengan suara manis. "Ada-ada saja pikiran mereka yang orisinal dan segar!"
Mr. Peck memandang anak-anak, seakan mencari-cari tanda keorisinalan dan kesegaran pada mereka. Pete langsung merengut, sementara air muka Bob menjadi merah.
Jupiter yang paling tidak suka disebut anak-anak, menatap wanita gemuk itu dengan tajam. Menurut taksirannya, wanita itu umurnya pasti hampir enam puluh tahun. Ia memakai kemeja dengan bunga-bunga mawar berwarna merah jambu disulamkan pada bagian bahu. Ia juga memakai anting-anting merah jambu. Bahkan bibirnya pun dipoles dengan lipstik yang sewarna dengan bunga-bunga mawar sulaman itu. Sambil memamerkan senyuman yang olehnya sendiri pasti dianggap menawan, wanita itu mendekati Mr. Peck.
Satu-satunya yang saya sesali, katanya dengan nada kecewa, adalah bahwa saya tidak punya anak. Semua orang mengatakan, saya harus punya anak. Bessie, kata mereka, kau itu pantas sekali menjadi Ibu. Tapi biar begitu saya sudah cukup senang melihat anak-anak orang lain.
Mr. Peck berusaha mundur, karena melihat bahwa jarak antara dirinya dengan wanita itu baginya sudah terlalu dekat. Saat itu baru disadarinya bahwa lengannya dipegang oleh wanita itu. Ia - wanita itu, bukan Mr. Peck - memoles kuku-kukunya dengan warna merah jambu, serupa dengan lipstik yang dipoleskan ke bibirnya.
Pete melihat ke arlojinya lalu mendeham mengatakan, "Kita harus berangkat lagi, Kakek. Nenek menunggu kita di hotel."
Kebohongan itu ternyata manjur. Keriangan wanita itu langsung pupus. Dilepaskannya lengan Mr. Peck, sementara ia sendiri agak menjauh.
Wah, saya tidak boleh menahan Anda," katanya. "Senang juga rasanya mengobrol sebentar."
Ya, memang," kata Mr. Peck sambil tersenyum sopan, lalu beranjak ke arah tempat parkir. Anak-anak berjalan mengelilingi seperti pasukan pengawal.
Sesampai di tempat parkir mereka buru-buru masuk ke mobil, Mr. Peck menghidupkan mesin. Kendaraan itu menuruni lereng, lalu membelok di jalan yang menuju ke sebuah taman nasional lain yang tidak jauh dari situ letaknya, yaitu Custer State Park
Bison-bison yang hidup di situ termasuk salah satu kumpulan yang paling besar di dunia, kata Jupe. Aku sudah pernah melihat banteng-banten
g Amerika itu, tapi di kebun binatang. Kalau di alam liar, belum pernah.
Kalian akan bisa melihat mereka dalam lingkungan hidup yang asli, kata Mr. Peck. He, Jupe, kau ini menelan buku panduan, ya, sebelum berangkat" Atau malam-malam menghafal isi halaman-halaman tertentu"
Jupe ini, otaknya seperti perangkap, kata Bob. Kalau pernah mendengar atau membaca sesuatu, pasti takkan dilupakannya lagi.
Aku kepingin bisa begitu juga, kata Mr. Peck. Ada hari-hari saat mana namaku sendiri saja tak kuingat, apabila tidak tertera dalam SIM-ku.
"Itu mungkin karena Kakek selalu bergaul dengan kami, dan sibuk menyerap pikiran kami yang orisinal dan segar," kata Pete, "seperti dikatakan wanita tadi."
"Betul," kata Mr. Peck. "Dan jika kau masih mengoceh terus, nanti kuturunkan di pinggir jalan dan silakan berjalan kaki ke Custer."
Sementara mereka asyik berkelakar, mobil menuruni sebuah bukit lalu diperlambat jalannya ketika memasuki gerbang Custer State Park.
"Astaga," kata Mr. Peck, "apa lagi itu"" Ia menghentikan mobilnya.
Sekawanan keledai liar nampak menggerombol di pinggir jalan. Terdengar bunyi kuku mereka berketik-ketik di aspal ketika mereka menghampiri jendela-jendela Buick itu.
"Kurasa mereka ingin diberi makanan," kata Pete.
"Hebat!" kata Mr. Peck. "Kemungkinannya mereka sudah kecanduan makan jajanan yang tidak bergizi. Mudah-mudahan saja kawanan bison nanti juga tidak mengemis-ngemis."
Kekhawatirannya tidak menjadi kenyataan. Binatang-binatang bertubuh dan berkepala besar serta berbulu lebat itu merumput di tempat yang agak jauh dalam taman. Mereka tidak mengarahkan mobil yang dihentikan Mr. Peck di jalan.
"Dulu binatang ini begitu banyak jumlahnya sehingga dataran-dataran kelihatan hitam karenanya," kata Jupiter. "Perjalanan kereta api kadang-kadang terhambat sampai berjam-jam apabila ada kawanan yang menyeberangi rel."
"Dan kini kawanan itu boleh dibilang tinggal satu-satunya yang masih ada," kata Mr. Peck. "Itu bukti apa yang bisa terjadi jika manusia melampiaskan nafsu berburunya. "
Bob sibuk memotret. "Kalau bisa, aku ingin lebih dekat," katanya. "Dari jarak sejauh ini mereka kelihatannya seperti bongkah-bongkah batu besar di tengah rumput tinggi."
"Jangan macam-macam, kata Pete. "Mereka terlalu berbahaya!"
"Betul," kata Mr. Peck. "Setiap tahun ada saja orang yang cedera kena tanduk, karena mencoba berpose dekat seekor bison. Mereka itu satwa liar, dan satwa liar selalu berbahaya jika didekati."
Mr. Peck menjalankan mobilnya lagi, lalu memarkir mobilnya di suatu tempat di pinggir jalan.
"Sudah cukup lama aku duduk terus di belakang setir," katanya. "Jadi perlu berjalan-jalan sedikit untuk melemaskan otot. Ia menuding ke arah jalan setapak yang mengarah ke lereng bukit yang ditumbuhi pohon pinus. "Ada yang merasa sanggup ikut untuk melihat ada apa di ujung jalan kecil itu""
"Asal ujungnya tidak terlalu jauh," kata Bob.
Mr. Peck mengambil kunci starter. "Kau ikut"" tanyanya pada Jupiter.
Tidak," jawab Jupiter. Saya di sini saja, karena ada yang perlu saya. pikirkan:'
"Terserah," kata Mr. Peck sambil mengangkat bahu.
"Diikuti oleh Pete dan Bob, pria yang sudah berumur lanjut itu mulai menelusuri jalan setapak dan dalam beberapa menit sudah lenyap ke dalam hutan pinus yang lebat. Jupe turun dari mobil, lalu memasang telinga.
Didengarnya bunyi mobil datang. Jupe menunggu. Ia takkan terlalu heran jika yang datang itu mobil Lincoln berwarna kelabu. Tapi dugaannya ternyata keliru, karena yang muncul mobil kemping yang dikemudikan pria yang sudah agak berumur. Ketika lewat, orang itu melambai ke arah Jupe.
Jupe tersenyum, karena sadar bahwa ia terlalu dibayangi pikirannya sendiri. Tidak ada yang membuntuti. Jika Snabel membuntuti, mestinya ia harus menjaga jarak agar bisa melihat mereka walau tidak harus terus-menerus. Dan selama perjalanan mereka cukup waspada, namun selama beratus-ratus mil tidak melihat barang sesuatu yang mencurigakan.
Seekor burung berkicau sambil bertengger di pohon di atas Jupe, lalu terbang menjauh. Jupe mulai merasa bosan menunggu di tepi jalan. Tapi ia merasa p
erlu tinggal di situ untuk menjaga mobil, tapi kini disadarinya bahwa itu gagasan yang konyol. Ia harus bergegas, apabila masih hendak menyusul yang lain-lain.
Ia mulai melangkah di jalan setapak.
Tidak lama kemudian ia sudah sampai di tepi hutan pinus. Ketika ia menoleh ke belakan sewaktu sampai di belokan pertama dalam hutan itu, ternyata jalan tidak. kelihatan lagi. Tapi ia mendengar bunyi mesin mobil. Mobil itu berhenti lalu menyusul bunyi pintu dibuka dan ditutup lagi. Rupanya ada. orang memarkir mobilnya di pinggir jalan, dekat Buick mereka.
Jupe merasa bahwa napasnya bertambah cepat. Bulu tengkuknya meremang. Ia melangkah ke samping lalu memandang berkeliling. Didengarnya langkah orang yang menghentikan mobilnya dekat Buick itu memasuki jalan setapak. Rasa panik melanda Jupiter. Ia harus menyembunyikan diri!
Lereng bukit itu cukup gelap, karena rapatnya pohon-pohon pinus yang tumbuh di situ. Tapi tanah di situ lega, hanya sedikit belukarnya. Namun beberapa meter di samping kanan jalan setapak ada semak lebat yang tumbuh rendah. Jupe bergegas menghampiri semak itu lalu bersembunyi di dalamnya. Ia mengintip ke arah jalan setapak. .
Ia tidak bisa melihat muka orang yang datang itu, karena penglihatannya ke arah atas terhalang dedaunan. Tapi masih nampak sepasang kaki yang berjalan dengan langkah lamban. Didengarnya bunyi napas berat terengah-engah. Orang itu berhenti sambil menghadap ke arah depan. Jupe melihat bahwa ia memakai celana jeans dan sepatu santai berwarna coklat. Jupe menduga bahwa orang itu tidak biasa bergerak di alam terbuka. Sepatunya nampak baru, dan celana jeans-nya kelihatan masih kaku. Agak lama juga orang itu berhenti.
"Kenapa ia menunggu begitu lama di situ" Mungkin karena melihat sesuatu" Timbul kecemasan dalam hati Jupe, jangan-jangan ia tadi meninggalkan jejak ketika meninggalkan jalan setapak.
Jupe merasa pasti akan ketahuan. Jika orang itu berpaling ke kanan, pasti akan melihat Jupe dalam tempat persembunyiannya.
Tiba-tiba terdengar suara gemerisik ketika ada sesuatu lari dari suatu tempat di sebelah kiri jalan setapak. Orang itu berpaling ke arah itu, rupanya untuk melihat apa yang menimbulkan bunyi itu.
Saat itu juga Jupe yang semula menelungkup cepat -cepat mengangkat badannya lalu memandang lewat sisi atas semak.
Napasnya tersentak, melihat bahwa orang yang berdiri itu menggenggam pistol.
Terdengar suara orang berseru memanggil.
"Yuhuuu!"' Orang yang berdiri di jalan setapak Itu memandang ke arah jalan tempat kedua mobil diparkir. Kini Jupe bisa melihat mukanya, yang ditudungi topi jerami bertepi lebar. Ternyata orang itu Snabel.
Jupe buru-buru merebahkan diri lagi. Keringat dinginnya mengucur. Ia menimbang-nimbang, bagaimana jika ia mencoba lari" Lebih baik jangan, katanya memutuskan dalam hati, karena Snabel pasti akan melihatnya jika ia meninggalkan tempatnya.
Masih ingat saya" kata orang yang datang "dari arah jalan. Jupe meringis, karena mengenal suara itu. Itu Bessie, wanita yang mengajak Mr. Peck mengobrol ketika mereka sedang melihat-lihat pemandangan di pelataran yang menghadap ke Mount Rushmore.
"Saya sangka saya takkan bertemu lagi dengan Anda," kata wanita itu. "Sehabis makan tadi Anda tahu-tahu menghilang!"'
Tanpa melihat pun, Jupe merasa yakin bahwa Snabel tentu sudah buru-buru memasukkan pistolnya ke dalam kantung. Didengarnya Snabel mengatakan dengan suara bergumam bahwa ia tadi harus membeli bensin. Wanita itu menyatakan kegembiraannya bisa berjumpa lagi dengan Snabel, lalu menawarkan diri untuk menemaninya berjalan-jalan jika itu yang hendak dilakukan olehnya. Snabel menolak dengan ketus. Dikatakannya untuk hari itu ia sudah cukup banyak menghirup udara segar. Setelah itu ia berjalan kembali ke mobilnya, diikuti oleh wanita itu yang terus saja mengoceh.
Jupe mengangkat kepalanya dan memandang ke arah kedua orang yang pergi itu.
Wanita itu memegang lengan Snabel yang berjalan dengan sikap kaku seperti robot. Jupe menebak bahwa dalam hati Snabel pasti marah sekali karena tersusul wanita itu, yang kini kelihatannya akan terus membuntutinya.
Kedua oran g itu lenyap dari penglihatan Jupe. Satu atau dua menit kemudian didengarnya bunyi mesin sebuah mobil dihidupkan, disusul oleh satu mobil lagi. Kedua kendaraan itu berangkat, meninggalkan tempat parkir.
Jupe duduk di atas sebuah batu, karena merasa lututnya lemas sekali. Tidak sabar rasanya menunggu Mr. Peck dan kedua temannya kembali karena ingin cepat-cepat memberi tahu apa yang baru saja dialaminya.
"Bab 11 GERAKAN YANG BERANI
"MR. PECK dan kedua anak yang menemaninya menemukan Jupe yang masih tetap duduk di tepi jalan setapak ketika mereka kembali setengah jam kemudian.
"Kau rugi, tidak ikut jalan-jalan tadi," kata Pete.
Kening Bob berkerut. "Tampangmu... aneh," katanya pada Jupe. "Pasti ada apa-apa tadi."
"Sama sekali tak kusangka ia akan mengejar kita dengan pistol," kata Jupe. Ia menggeleng-geleng. "Aku kaget sekali karenanya. Dan Mr. Peck, kami bertiga harus minta maaf pada Anda."
"O ya"" kata Mr. Peck dengan heran. "Untuk apa"
"Snabel muncul di sini tadi," kata Jupiter, "dan ia membawa pistol. Selama ini, terus-terang saja saya tidak yakin tentang kecurigaan Anda. Tapi ternyata Anda benar. Ia memang membuntuti kita, dan jika bisa ia pasti tidak akan segan-segan mencelakakan kita. "
Ia lantas menceritakan pengalamannya melihat Snabel muncul di jalan setapak itu.
"Ketika ia selesai menuturkannya, Ben Peck terkekeh geli.
"Wah, rupanya wanita itu memang suka bergaul dengan orang-orang yang tak dikenalnya. Snabel pasti selama beberapa waktu disibukkan olehnya."
Samurai Pengembara 4 2 Wiro Sableng 039 Kelelawar Hantu Pedang Hati Suci 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama