Trio Detektif 37 Misteri Merpati Berjari Dua Bagian 2
dan Trio Detektif berkumpul di dapur rumahnya yang terletak di bukit, dekat Malibu.
Rumah itu dulunya dipakai sebagai restoran bernama Charlie's Place. Sebastian membeli restoran itu, setelah
novelnya yang berjudul Warisan Laknat diangkat ke layar putih. Secara bertahap ia mengubah restoran itu menjadi
rumah yang nyaman. Ia sendiri menyebutnya rumah yang megah.
Dapurnya tidak perlu diubah lagi. Dapur itu besar, terang benderang, dan dilengkapi dengan peralatan modern.
Tungku dan kompor gas, dua buah lemari es, kipas penyedot asap, serta berbagai macam peralatan memasak tersedia
di sana. Semua itu cukup untuk membuat makanan bagi lima atau enam puluh orang.
Dapur itu boleh dikatakan dapur idaman setiap juru masak. Seorang juru masak yang ahli akan betah memasak di
sana, bahkan akan dengan senang hati memasak lima kali sehari.
Namun pembantu rumah tangga Hector Sebastian, Hoang Van Don, lain dari yang lain. Ia hanya menyukai
masakan yang sehat dan bergizi, kadang-kadang tanpa memperhatikan rasanya. Padahal Hector Sebastian suka juga
pada makanan-makanan yang enak, meskipun kurang bergizi. Dalam hal ini Hoang Van Don akan memprotesnya,
sambil mengingatkan betapa buruknya makanan tidak bergizi bagi kesehatan tubuh kita.
Saat ini Don sedang ke luar rumah. Ia diminta anak-anak untuk membantu mereka mencarikan sesuatu.
"Ini baru makanan," kata Hector Sebastian seraya mengeluarkan empat buah hamburger dan sebungkus besar
french fries. Ia membelinya di sebuah kedai, tanpa sepengetahuan Don.
Menitik air liur Pete melihatnya. Ia sendiri tidak keberatan dengan masakan Don. Dan memang hampir semua
makanan bisa dilahapnya, termasuk masakan Don. Tetapi hamburger adalah makanan favorit Pete.
"Apa yang dimasak Don hari ini"" tanya Pete. "Ia masih suka memasak ikan mentah, Mr. Sebastian""
"Kadang-kadang." Hector Sebastian sibuk melahap french fries yang diolesi saus tomat. "Semalam ia masak
ganggang laut." "Hmm, aku ingin tahu seperti apa rasanya," komentar Pete. Setelah berkata begitu ia melahap hamburgernya.
Mr. Sebastian dulu bekerja sebagai detektif swasta di New York. Ia mulai menulis novel-novel misteri sejak ia
dirawat karena kakinya terluka parah. Sampai sekarang ia masih bertelekan tongkat untuk berjalan.
"Untung ya, rumah teman Don itu jauh dari sini," katanya setengah bersyukur. "Kita bisa makan tanpa diprotes
olehnya." Don sedang menemui temannya yang berkebangsaan Jepang. Ia kenal dengan temannya itu dari klub karate di
Malibu. Don dengan senang hati membantu anak-anak untuk menanyakan arti pesan berhuruf Jepang yang mereka
temukan tadi malam. "Don paling-paling baru akan kembali satu jam lagi," Mr. Sebastian melanjutkan. "Kita masih punya cukup waktu
untuk membersihkan semua ini sebelum dia pulang." Ia tersenyum pada Penyelidik Satu di seberang mejanya. "Kau
tidak menghabiskan hamburgermu, Jupe""
Jupiter menggeleng dengan sopan. Ia merasa bangga dengan dirinya sendiri karena dapat menahan diri untuk tidak
makan terlalu banyak. Setengah hamburger tidak akan membuatnya tambah gemuk.
"Sekarang kalian ceritakan bagaimana kalian mendapatkan pesan berhuruf Jepang itu"" Hector Sebastian bertanya
pada Jupe. "Boleh kan, kalau aku tahu sekarang."
Penyelidik Satu bimbang sejenak. Ia mengerti bahwa penulis kisah misteri selalu tertarik pada kejadian yang anehaneh. Dan ia juga sering mendapatkan bantuan dari Hector Sebastian sebelumnya. Kini, bukannya ia tidak mau
menceritakan apa yang sedan
g terjadi, tetapi ia sendiri belum yakin bagaimana duduk persoalan dalam kasus
pembunuhan burung-burung ini.
Tapi akhirnya diceritakannya juga apa yang telah mereka alami sehari sebelumnya. Dijelaskannya bagaimana
mereka menemukan pesan yang terbungkus dalam pita aluminium di kaki burung merpati yang telah mati. Dikatakan
pula bahwa Bob menduga itu tulisan Jepang. Dan setelah dicocokkan dengan buku-buku di perpustakaan, ternyata
dugaan Bob benar. "Aku senang kalian berkunjung kemari membawa pesan itu," kata Mr. Sebastian. "Meskipun sebenarnya Don yang
membantu kalian kali ini, bukan aku. Tapi kedatangan kalian memberiku kesempatan untuk menikmati hamburger
ini." Ia meraih tongkat yang tergantung di belakang kursinya. Sambil bertelekan pada tongkat itu, ia berdiri.
"Sekarang kita mesti cepat-cepat melenyapkan sisa-sisa makanan ini sebelum Don kembali," ujarnya. "Aku tidak
ingin mendengar omelan Don."
Anak-anak membersihkan piring dan membuang sisa makanan ke dalam tempat sampah di dapur. Sehabis
menyusun piring di rak, mereka mendengar suara mobil Don datang.
"Cepat. Pindah ke ruang tamu," Hector Sebastian mengingatkan mereka. Ia berjalan terpincang-pincang masuk ke
ruang tamu yang luas dengan sederetan jendela yang memperlihatkan pemandangan ke laut lepas. Ia duduk di meja
besar di salah satu sisi ruang tamu itu. Trio Detektif mengambil tempat di kursi-kursi di sekeliling meja itu.
Jupe mendengar suara pintu belakang dibuka. Pintu belakang langsung menuju dapur. Ia berdiri dari kursinya.
Tidak sabar ia menanti berita yang dibawa Don dari temannya itu. Sebentar lagi akan ada petunjuk tentang apa isi
pesan yang diperolehnya dari merpati di kediaman Miss Melody kemarin. Ia akan lebih mengerti persoalan yang
terjadi. Dan dari situ ia berharap dapat memecahkan misteri pembunuhan burung-burung itu.
Ia menunggu. Lehernya bergerak-gerak karena tidak sabar menunggu berita yang dibawa Don.
Langkah-langkah Don terdengar melintasi dapur. Kemudian sunyi. Don berhenti di dapur. Jupe mendengar suara
seperti orang membaui sesuatu.
Baru semenit kemudian Don muncul. Ia menghampiri mereka melewati rak buku yang memisahkan ruang kerja Mr.
Sebastian dengan ruang tamu.
"Bagaimana"" tanya Jupe begitu melihat Don. "Apa bunyi pesan itu""
Don berhenti beberapa meter dari meja. Ia berdiri tegak sambil berkacak-pinggang.
"Pertama aku ingin bertanya dulu," katanya. "Pertanyaan tentang apa yang..."
"Ayolah," pinta Jupe padanya. "Ceritakan dulu isi pesan itu. Apa arti tulisan itu""
Don bimbang. Alisnya berkerut-kerut. Ia menimbang-nimbang apa yang akan dilakukannya.
"Oke," akhirnya ia berkata. "Aku jawab pertanyaanmu dulu. Setelah itu giliran kalian menjawab pertanyaanku."
Ia mengambil sehelai kertas kecil dari kantungnya. Dilihatnya tulisan di sana.
"Pesan itu berarti, Tidak ada mutiara hari ini. "
"Tidak ada mutiara hari ini," Jupe mengulangi sambil tepekur. Pikirannya berpindah-pindah dengan cepat dari satu
peristiwa ke peristiwa lain. Mutiara. Merpati. Rajawali yang mati. Burung murai. Parker Frisbee.
"Dan sekarang jawab pertanyaanku," kata Don dengan tegas. "Apa yang menyebabkan dapur berbau seperti itu""
Bab 7 BENTROKAN SETELAH meninggalkan rumah Hector Sebastian, Trio Detektif langsung menuju kantor mereka.
Banyak pertanyaan berkecamuk di kepala Jupe. Ini membuatnya ingin cepat-cepat duduk di kursi goyang di
belakang meja sambil berdiskusi dengan Pete dan Bob. Ia tahu apa yang ia perlukan sekarang. Sediakan waktu untuk
duduk tenang dan berpikir tentang masalah ini, kata Jupe dalam hatinya.
Anak-anak mengayuh sepeda mereka memasuki pangkalan barang bekas. Mereka langsung menuju sebuah
timbunan barang rongsokan. Di balik timbunan itu terdapat karavan tua yang mereka jadikan kantor Trio Detektif.
"Ah, kalian sudah pulang." Bibi Mathilda muncul di pangkalan. Ia mendatangi anak-anak yang baru sampai di
sana. Bibi Mathilda seorang yang baik hati. Ia mengasuh Jupiter seperti mengasuh anaknya sendiri. Ini sudah
dilakukannya sejak orang tua Jupiter meninggal dunia. Bibi Mathilda mempunyai sifat yang khas. Ia senang melihat
anak-anak bekerja. Kali ini ia punya suatu pekerjaan buat anak-anak. Paman Titus baru saja membeli segerobak besi siku-siku. Anakanak diminta untuk memisahkannya sesuai dengan ukuran besi itu.
Jupe mendesah. Dengan termangu dipandangnya tumpukan besi itu. Sebenarnya ia suka sekali bekerja, apalagi
untuk membantu paman dan bibinya. Tetapi kali ini ia sendiri punya suatu kepentingan. Namun ia tahu bahwa ia tidak
bisa mengelak kalau Bibi Mathilda sudah mengambil keputusan. Pekerjaan ini akan memakan waktu satu jam, ia
mengira-ngira. Ternyata pekerjaan itu memakan waktu lebih dari satu jam. Bibi Mathilda meminta mereka untuk memeriksa sekali
lagi setiap kotak yang dipakai untuk memisahkan besi-besi itu. Setelah itu baru ia membebaskan anak-anak.
"Baik," akhirnya ia berkata. "Kalian sudah bekerja dengan baik sekali. Sekarang kalian boleh kembali bermainmain dengan teka-teki kalian."
Jupiter tidak pernah menerangkan pada Bibi Mathilda bahwa mereka adalah detektif sungguhan. Bibi Mathilda
menyangka mereka cuma anggota suatu perkumpulan penggemar teka-teki yang banyak dijumpai di koran-koran dan
majalah. Jupe menunggu sampai bibinya masuk ke dalam kantor pangkalan itu. Kemudian ia menyingkirkan sebuah kisi besi
yang sekilas tampak seperti tidak sengaja terletak di situ.
Di baliknya terdapat pipa rahasia untuk masuk ke dalam kantor. Pipa itu cukup besar untuk dilalui orang, dan
mereka menamakannya Lorong Dua. Ketiga anak itu merayap memasuki pipa. Pete masuk terakhir, sehingga dialah
yang menutup kisi besi kembali agar menutupi Lorong Dua.
Sewaktu mencapai ujung lorong itu, Jupe mengangkat tingkap di atas kepalanya. Tingkap itu langsung menuju
kantor Trio Detektif. Ia melihat pada alat penjawab telepon otomatis. Lampu tidak menyala. Berarti tidak ada yang menelepon tadi. Ia
duduk di belakang mejanya. Pete duduk santai di sebuah kursi. Kakinya diistirahatkan di atas sebuah laci tempat
menyimpan berkas. Bob duduk di sebuah bangku tanpa sandaran. Digesernya bangku itu supaya ia dapat bersandar ke
dinding. Ia mengeluarkan catatannya.
Seperti biasanya, Jupe-lah yang membuka pembicaraan.
"Mutiara," katanya. "Selalu mutiara yang muncul di mana-mana."
"Juga merpati," tambah Pete seraya menengok pada Caesar yang sedang bertengger di sebuah kawat dalam
sangkarnya yang besar. "Berjari tiga. Berjari dua. Yang hidup. Yang mati. Di mana-mana merpati."
"Mutiara," ulang Jupe lagi. "Pesan itu berbunyi, Tidak ada mutiara hari ini. Maureen Melody sangat gemar pada
mutiara. Bahkan ia punya seekor burung murai yang sering membawakan mutiara baginya."
"Edgar Allan Poe." Bob mengangguk, lalu melihat catatannya. "Edgar Allan Poe membawa mutiara waktu kita
berkunjung ke sana. Dan Miss Melody berkata, 'Ini mutiara ketiga yang dibawanya dalam bulan ini.'"
"Kemudian seseorang membunuh Edgar Allan Poe," Jupe melanjutkan. "Mungkin Parker Frisbee. Dan Frisbee
adalah seorang pedagang perhiasan. Ia juga menjual dan membeli mutiara. Jadi jika mutiara adalah kunci dari misteri
ini..." Jupe terdiam sejenak. "Jika mutiara adalah penyebab utamanya, pertanyaannya sekarang ialah apa peran merpati
di sini" Apa hubungannya merpati dengan mutiara""
Ia terdiam lagi. Kali ini karena telepon berdering. Jupe memindahkan sakelar sehingga telepon terhubungkan
dengan pengeras suara. Dengan demikian kedua kawannya dapat turut mendengarkan apa yang dipercakapkan.
Kemudian ia mengangkat telepon itu.
"Halo. Trio Detektif di sini," katanya.
"Halo. Bisa bicara dengan Jupiter Jones"" Terdengar suara yang pernah dikenal anak-anak. "Aku ingin bicara
dengan Jupiter Jones."
"Aku sendiri Jupiter Jones," kata Jupe meyakinkan orang itu.
"Oh." Sunyi sesaat. "Kuharap kau masih ingat aku. Kita pernah bertemu di Kedai Kuda Laut beberapa hari yang
lalu. Aku meninggalkan sebuah kotak di sana. Maksudku, kotak itu tertinggal, aku kelupaan. Sewaktu aku kembali,
pelayan kedai itu mengatakan mungkin kotak itu kalian bawa."
Jupe menutup tempat bicara telepon dengan tangannya.
"Blinky," bisiknya dengan penuh kegirangan kepada kedua kawannya.
"Halo"" Orang itu menjadi gelisah. "Halo" Halo" Kau dengar aku tidak""
"Ya, aku dengar," sah
ut Jupe. "Dan tentu saja aku masih ingat pertemuan kita di sana."
Kini sepi kembali, tidak ada yang berbicara.
"Kau membawanya"" akhirnya orang itu bertanya. "Kau masih menyimpan kotakku""
"Ya, tentu saja," jawab Jupe. "Kotak bertutupkan kain katun tipis. Benda itu ada di tempatku, tersimpan dengan
aman. Kami memang menjaganya baik-baik, takut kalau-kalau kau menelepon untuk menanyakannya."
"Oh." Orang itu nampak lega. "Kalian baik sekali. Maksudku, kalian patut diberi hadiah. Kalau kalian
mengembalikan kotak itu utuh kepadaku, akan kuberi dua puluh dolar. Hitung-hitung mengganti waktu dan kebaikan
kalian." "Terima kasih," kata Jupe. "Ke mana kami harus antarkan kotak ini""
"Well, aku tahu tempat tinggalmu... maksudku, aku tahu kau tinggal di Rocky Beach. Bagaimana kalau kita
berjumpa di suatu tempat di sekitar sana" Mmmm, bagaimana kalau di pelataran parkir Bank Amco""
"Oke," Jupe menyetujui. "Jam berapa""
"Jam sembilan malam ini""
Jupe juga setuju dengan usul itu.
"Jam sembilan, ya," orang itu mengulangi. Kekhawatiran tampak dari caranya berbicara.
"Wah," seru Pete ketika Jupe meletakkan gagang telepon. "Dua puluh dolar!"
Penyelidik Satu seperti tidak menghiraukan seruan Pete. Ia menarik-narik bibir bawahnya. Otaknya bekerja keras.
"Aku masih menyimpan kain katun itu." Bob menarik sebuah laci. "Kau mau mengembalikan Caesar ke
sangkarnya yang lebih kecil lalu menutupnya dengan kain seperti semula""
Jupe tidak menjawab. Baru semenit kemudian ia menjawab dengan gelengan.
"Pertama-tama, kita harus meneliti apa yang dikatakan Blinky." Jupiter berpikir keras kembali. "Ia bilang, Aku
tahu di mana kau tinggal.' Lalu ia mengoreksi dirinya dan mengatakan, 'Maksudku, aku tahu kau tinggal di Rocky
Beach.' Itu dapat diketahuinya dari nomor telepon di kartu kita. Tapi kupikir ia mengatakan yang sebenarnya mulamula. Ia tahu benar di mana aku tinggal."
"Jadi menurutmu Blinky yang menukar merpati berjari dua dengan yang berjari tiga," sela Bob.
"Tepat," sahut Jupe. "Itu firasatku. Jadi Blinky tahu bahwa aku tadi mencoba menutup-nutupi bahwa kita telah
membuka kotak itu. Ia tahu aku cuma berpura-pura. Tapi ia tidak menuduh apa-apa terhadapku. Sekarang, kalau kita
kembalikan kotak ini seperti semula, ia akan mengatakan, terima kasih banyak..."
"Dan memberi kita dua puluh dolar," Pete menyela.
"Ia akan menghilang bersama Caesar, sambil berlagak tidak tahu bahwa merpati ini sudah ditukar. Lalu, kita tidak
akan mendengar berita apa-apa lagi darinya. Hilanglah satu petunjuk yang paling berharga yang kita miliki saat ini."
"Jadi apa yang akan kaulakukan"" tanya Bob.
"Kita bikin bentrokan," ujar Jupe. "Katakan saja terus terang bahwa ini Caesar, bukan merpati berjari dua yang
ditinggalkannya di Kedai Kuda Laut waktu itu. Mungkin kita bisa memaksa Blinky menjawab beberapa pertanyaan.
Bagaimana menurutmu, Pete""
Pete mengangkat bahunya. "Oke," katanya dengan hati-hati. "Aku tidak ingin kehilangan dua puluh dolar. Tapi
kurasa kau benar. Kalau kita mau menyelesaikan kasus ini, kita harus mendapatkan beberapa keterangan dari Blinky."
Bob dan Pete harus kembali ke rumahnya untuk makan malam. Sebelum berpisah, Trio Detektif berjanji untuk
berkumpul di pelataran parkir Bank Amco sepuluh menit menjelang jam sembilan malam itu.
Jam delapan tiga puluh Jupe menaruh Caesar dalam sangkar yang lebih kecil. Sangkar itu diikatnya pada
boncengan sepedanya. Kemudian ia mulai mengayuh sepedanya menuju kota.
Bank itu terletak di Main Street, tidak jauh dari toko perhiasan Frisbee. Jupe menjalankan sepedanya ke dalam
pelataran di balik sebuah gedung tinggi berwarna putih. Tinggal beberapa mobil yang masih diparkir di sana. Bank
telah tutup. Pelataran itu diapit dua buah gedung perkantoran di kanan-kirinya. Kantor-kantor juga sudah tutup.
Pelataran parkir hampir seluruhnya gelap gulita.
Jupe menyandarkan sepedanya pada dinding gedung bank. Dibukanya ikatan sangkar Caesar.
Ia melihat ke sekelilingnya. Tidak lebih dari lima mobil yang masih diparkir di pelataran yang luas itu. Tidak
nampak orang di dalam mobil-mobil itu.
Jupe melirik arlojinya. Jam sembilan kurang sep
erempat. Lima belas menit sebelum waktu yang disepakati untuk
bertemu dengan Blinky. Dan lima menit sebelum Bob dan Pete datang. Jupe memutuskan untuk menunggu di pintu
masuk pelataran parkir. Di sana lebih terang. Ia mulai berjalan.
"Berhenti di situ! Jangan bergerak!"
Suara itu datang dari kegelapan di belakangnya.
Jupe melakukan apa yang diperintahkan. Ia berhenti. Sangkar Caesar didekapnya erat-erat.
"Sekarang berputar menghadap ke sini. Pelan-pelan!"
Jupiter berbalik. Perlahan-lahan sebisanya.
Sesosok laki-laki mendatanginya dari balik kegelapan. Tangan laki-laki itu agak terangkat. Ia memegang sesuatu.
Sesuatu yang agak berkilau, meskipun dalam kegelapan.
Bagi Jupe benda itu terlihat sangat menakutkan. Pistol berlapiskan nikel. Matanya tak lepas dari pistol itu.
"Sekarang letakkan sangkar itu di depanmu!"
Jupe membungkuk. Ditaruhnya sangkar itu di depan kakinya. Laki-laki itu mendekat. Pistol masih diarahkan ke
Jupe. Ia membungkuk dan memeriksa sangkar itu.
"Bagus." Laki-laki itu berdiri tegak kembali. Sekilas Jupe dapat melihat wajahnya dengan jelas. Ia melihat jas hujan hitam
yang dipakai orang itu. Juga kaca mata gelap, dan jenggot hitam yang menutupi hampir seluruh wajahnya. Parker
Frisbee! "Sekarang berbalik dan telungkup di tanah!"
Untuk pertama kalinya Jupe sadar bahwa suara laki-laki itu rendah dan dibuat-buat. Seakan-akan ia berbicara
dengan susah-payah. Ia juga ketakutan, seperti aku, dan dia berusaha menyembunyikannya, pikir Jupe.
Laki-laki itu membuat gerakan mengancam dengan pistol di tangannya. Jupe berbalik. Ia telungkup di tanah.
"Letakkan tanganmu ke belakang!"
Jupe menuruti. Lalu didengarnya suara cabikan. Seperti seseorang merobek sehelai kain, pikirnya. Atau... atau
menarik pita perekat yang tebal. Ia menyadari bahwa dugaannya yang terakhir yang benar, karena kini pergelangan
tangannya direkatkan dengan keras di belakang punggungnya.
Jupe tidak mencoba melawan. Ia sadar bahwa tidak ada gunanya melawan orang yang bersenjatakan pistol.
Sekarang pergelangan kakinya diikat dengan pita perekat, sama eratnya dengan ikatan pada tangannya.
Ia tertelungkup tidak bergerak-gerak sampai akhirnya terdengar suara langkah laki-laki itu menjauh darinya. Sinar
lampu sebuah mobil menyorot di suatu tempat di belakangnya. Dengan kaki dan tangan terikat, ia sulit mengangkat
kepalanya. Apalagi karena tubuhnya gemuk. Tapi dipaksakannya untuk berguling sedikit. Dengan demikian ia dapat
melihat dengan lebih bebas. Ia mengintip ke arah datangnya sinar itu.
Mobil itu sudah bergerak. Gelapnya pelataran itu menyulitkan untuk mengenalinya. Mobil itu meluncur sekitar dua
puluh meter dari tempat Jupe terbaring. Dalam sekejap mobil tadi sudah sampai di luar dan menghilang dari
pandangan. Jupe terbaring tak berdaya sambil menyesali diri. Seharusnya ia menunggu Pete dan Bob, pikirnya. Tidak bijaksana
untuk berjalan seorang diri di pelataran parkir yang gelap di malam hari. Dan mestinya sepedanya ditinggal di...
Ia mendengar suara sepeda dari pintu pelataran parkir. Lalu ada sorot lampu sepeda.
"Pete," panggilnya. "Bob."
Sesaat kemudian kedua kawannya sudah berlutut di sampingnya, membuka pita perekat yang mengikat pergelangan
tangan dan kakinya. Jupe berguling lalu duduk. Kedua tangannya terasa kesemutan karena darah tidak mengalir
dengan lancar akibat ikatan pita perekat itu. Ia memijat-mijat tangannya seraya bercerita pada kedua kawannya tentang
apa yang baru dialaminya.
Pete berdesis perlahan, "Ia punya pistol""
"Sepanjang pengetahuanku, itulah yang tergenggam di tangannya," kata Jupe seraya berdiri. "Tentu saja, aku tidak
meminta dia untuk membuktikan bahwa pistol itu terisi peluru. Jadi aku tidak yakin apakah pistol itu berpeluru atau
tidak. Tapi aku tidak mau mengambil risiko sebesar itu." Ia membersihkan debu yang melekat di celana dan bajunya.
"Kalian melihat sesuatu"" tanyanya.
"Sebuah mobil," sahut Bob. "Mobil hitam." Dahinya berkerut. Ia melepas kaca matanya, dan membersihkannya
dengan sapu tangannya. "Lucu, tadinya kukira itu mobil Blinky. Aku sempat melihat nomor mobilnya, yaitu MOK.
Seperti..." "Seperti mobil hitam
yang dikendarai Blinky di Kedai Kuda Laut waktu itu," potong Jupe menyelesaikan kalimat
Bob. "Dan seperti..."
Ia tidak menyelesaikan kalimatnya karena tidak yakin benar. Samar-samar ia ingat bahwa ada sebuah mobil hitam
yang lewat di depan mereka ketika mereka keluar dari toko perhiasan Parker Frisbee. Waktu itu ia cuma
memperhatikannya sekilas. Nomor polisi mobil itu tidak diperhatikannya benar. Tapi ia yakin bahwa salah satunya
ialah M. "Jadi apa yang kita lakukan sekarang"" tanya Pete. "Frisbee sudah merampas Caesar dan..."
"Dan kalau Blinky muncul, apa yang harus kita bilang"" tanya Bob dengan perasaan kuatir.
Jupe melirik arlojinya. Dua menit menjelang pukul sembilan. Ia masih merasa sedikit terguncang karena ditodong
dengan pistol tadi. "Kita tidak akan bilang apa-apa padanya," putus Jupe dengan ragu-ragu. "Karena kita tidak menunggunya.
Sekarang sebaiknya kita kembali ke rumah masing-masing. Esok pagi kita berkumpul lagi di kantor."
Trio Detektif 37 Misteri Merpati Berjari Dua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Anak-anak melompat menaiki sepeda. Mereka menggenjot pedal sepeda, pulang ke rumah masing-masing.
Jupe susah tidur malam itu. Terlalu banyak persoalan memenuhi kepalanya. Seperti yang telah dikatakan Pete,
Caesar telah dirampas dari mereka. Dan rencana untuk mengorek keterangan dari Blinky gagal. Tidak ada kemajuan
yang dapat dilaporkan pada Maureen Melody. Mereka belum dapat mengatakan pada Miss Melody bahwa pelaku
perbuatan itu ialah Parker Frisbee. Belum terbukti bahwa memang Parker Frisbee yang melakukannya. Dan, yang
lebih parah lagi, Jupe tidak menemukan alasan yang masuk akal mengapa Frisbee membunuh Edgar Allan Poe. Kalau
memang dia yang membunuhnya.
Kasus ini sepertinya lebih buruk dari yang diperkirakan semula. Harapan satu-satunya hanyalah Blinky akan
menelepon lagi. Ia akan menanyakan mengapa mereka tidak menepati janji malam itu.
Percakapan seperti itu memang akan tidak menyenangkan. Tetapi, paling tidak mereka masih punya kesempatan
untuk berbicara dengan Blinky. Kalau Blinky mendengar bahwa Caesar telah diculik, mungkin ada sesuatu yang bisa
ia katakan. Dan mudah-mudahan itu bisa dijadikan petunjuk.
Jupe kini menyesali keputusan yang diambilnya tadi. Mungkin lebih baik mereka menunggu sampai Blinky datang
ke pelataran parkir. Akhirnya Jupe tertidur kelelahan.
Sejak awal liburan musim panas, Jupiter cuma sarapan sedikit saja. Roti kering dan susu. Bibi Mathilda menjadi
risau melihat keadaannya. Tidak biasanya Jupiter seperti ini, tidak punya nafsu makan. Karena itu Bibi Mathilda
menghidangkan seporsi besar daging ham dan telur. Penyelidik Pertama Trio Detektif itu tidak tahan melihat makanan
yang begitu menggiurkan di hadapannya. Kebetulan semalam pikirannya sedang kusut. Tanpa menghiraukan janjinya
pada diri sendiri, ia menyikat habis hidangan yang disediakan Bibi Mathilda. Setelah itu ia pergi ke pangkalan untuk
menunggu kawan-kawannya. Baru saja ia hendak membuka kisi besi penutup Lorong Dua, ia melihat sesuatu. Sesuatu itu juga melihat Jupiter.
Seekor merpati! Jupiter membungkuk. Merpati itu membiarkan Jupe mengangkatnya. Jupe memperhatikan si merpati baik-baik.
Setiap bulu di badan dan sayapnya diteliti dengan cermat. Ia memperhatikan juga kepalanya yang ramping dan
berwarna abu-abu, serta matanya yang jeli.
Tidak salah lagi. Jupe segera mengenali merpati di tangannya itu. Ia tidak mungkin keliru. Merpati itu Caesar!
Bab 8 TAMU DARI TIMUR "INI Caesar, pasti," seru Pete. "Aku berani jamin. Lihat tanda-tanda pada bulu ekornya. Selain itu, hanya Caesar
merpati yang mengenali kita. Ya kan, Caesar""
Trio Detektif telah berkumpul di kantor mereka. Caesar kini sudah berada dalam sangkarnya yang besar. Dengan
riang Caesar melompat-lompat dalam sangkar itu, sambil sesekali mematuk jagung.
"Parker Frisbee merampasnya dari tanganku dengan menodongku semalam." Penyelidik Satu menarik-narik bibir
bawahnya. "Dan beberapa jam kemudian ia mengembalikan dan melepasnya di pangkalan ini. Mengapa" Mengapa""
Bagi Jupe, seakan-akan kali ini banyak sekali hal-hal yang tidak dimengerti. Lebih banyak dari yang pernah
dialaminya. "Mungkin ia tidak mengembalikannya." Kaca mata Bob turun di h
idungnya. Ia mendorong untuk membetulkan
letak kaca matanya itu. "Apa maksudmu"" tanya Pete pada Bob. "Caesar kan ada di sini sekarang""
"Buku tentang merpati," Bob menjelaskan. "Selama Perang Dunia II mereka memakai merpati untuk membawa
pesan. Kalau tentara berpindah tempat, mereka harus menjaga agar merpati yang dipergunakan juga mengenal tempat
baru itu. Dan mereka menemukan bahwa merpati yang terlatih dapat menyesuaikan diri dengan tempat barunya dalam
dua atau tiga hari..."
"Jadi merpati itu akan kembali ke tempatnya yang baru, bukan ke tempatnya yang lama." Jupe menyimpulkan.
"Kupikir kau benar, Bob. Mungkin Caesar bukanlah milik Parker Frisbee. Barangkali Frisbee ingin mengembalikan
Caesar ke pemilik yang sebenarnya." Ia mengernyit. "Jangan tanya sebabnya! Namun kalau itu yang diinginkannya,
cara yang paling mudah ialah dengan melepasnya dan berharap agar Caesar pulang sendiri ke tangan pemiliknya."
"Ini bukan rumahmu kan, Caesar"" Pete mengelus-elus merpati itu dengan jari-jarinya yang dimasukkan melalui
sela-sela kawat. "Tapi kau kembali ke sini. Aku senang sekali." Ia berbicara dengan Caesar seolah-olah berbicara
dengan manusia. "Jupiter! Jupiter!"
Suara Bibi Mathilda terdengar melalui pengeras suara. Jupiter sengaja memasang mikrofon di luar agar dapat
mendengar suara orang di luar pada saat mereka berada dalam kantor yang tersembunyi di balik tumpukan barang
rongsokan. Khususnya agar dapat mendengar panggilan bibinya.
"Jupiter. Bob. Pete. Di mana kalian""
Jupiter menghela napas. Panggilan Bibi Mathilda cuma berarti satu-bekerja. Ia selalu punya pekerjaan untuk
anak-anak. Jupe berharap kali ini bukan menyeleksi potongan-potongan besi lagi. Mudah-mudahan Bibi Mathilda
hanya minta tolong untuk membantu melayani pengunjung pangkalan pada hari Sabtu.
Trio Detektif keluar dari kantor mereka yang tersembunyi melalui sebuah jalan yang mereka namakan Pintu Empat.
Jalan ini akan membawa mereka ke bagian belakang pangkalan. Sambil berjingkat-jingkat mengelilingi tumpukan
barang bekas, anak-anak mendekati Bibi Mathilda dari belakang.
Bibi Mathilda terlompat kaget ketika Jupiter menyapanya dari belakang.
"Ke mana saja kau"" katanya. "Aku tak pernah tahu di mana kalian berada kalau sudah dalam pangkalan ini."
Jupe memasang muka siap untuk menerima pekerjaan.
"Apa pekerjaan kami kali ini"" tanyanya.
Namun kali ini Bibi Mathilda tidak memberikan pekerjaan buat anak-anak.
"Ada dua orang pria," katanya memberi tahu. "Mereka menunggu di depan gerbang."
Kedua orang itu berdiri di depan sebuah mobil boks hijau yang diparkir di pinggir jalan. Mereka berumur sekitar
tiga puluhan. Tubuh mereka pendek dan kurus, tetapi kelihatan kuat. Mereka memakai celana jeans lusuh serta T-shirt.
Keduanya orang Jepang. "Kau Jupe, Pete, dan Bob"" salah seorang dari mereka bertanya seraya maju selangkah.
Jupe mengiakan. "Kalian kenal Hoang Van Don""
"Ya, kami kenal dia," jawab Jupe.
Orang itu menoleh pada temannya. Ia mengatakan sesuatu dalam bahasa Jepang. Temannya mengangguk dan
menjawab dengan bahasa Jepang pula.
"Temanku ini namanya Kyoto. Ia akan senang kalau boleh bertanya sesuatu padamu," orang yang pertama
menjelaskan. "Tetapi sayangnya Kyoto tidak bisa bahasa Inggris. Jadi aku akan jadi penerjemahnya. Oke""
Jupe memenuhi permintaan itu.
"Pertanyaan pertama. Kalian memberi Hoang Van Don sebuah pesan yang ditulis dalam bahasa Jepang. Kalian lalu
minta pada Don untuk menanyakan artinya pada teman Don yang berkebangsaan Jepang. Teman Don itu lalu memberi
tahu Kyoto karena ia mengenali tulisan tangan Kyoto."
Itu belum merupakan pertanyaan bagi Jupe. Ia diam saja-menunggu.
"Di mana kalian mendapatkan pesan itu""
Jupe berpikir cepat. Ia tidak harus menjawab pertanyaan itu. Tetapi kalau ia menjawab, mungkin Kyoto mau
memberikan beberapa keterangan yang ia butuhkan. Tidak ada ruginya untuk bertukar keterangan.
"Pada seekor merpati yang telah mati," kata Jupe. "Pesan itu diikatkan pada satu kakinya."
Si penerjemah tersenyum sopan. Ia berpaling pada Kyoto. Digamitnya lengan Kyoto. Lalu mereka berdua berjalan
ke depan mobil boks. Bob mengamati kedua o rang Jepang itu berbicara dalam bahasa mereka. Ia terhenyak ketika menyadari bahwa
kedua orang itu mirip sekali. Rambutnya sama-sama lurus dan hitam. Tulang-tulang pipinya mirip sekali. Begitu pula
kulitnya yang berwarna coklat muda. Kalau berjumpa dengan salah seorang dari mereka di tengah jalan, pikir Bob,
dapatkah aku mengenali apakah itu Kyoto atau temannya.
Mungkin itu karena mereka sama-sama orang Jepang, pikir Bob lagi. Boleh jadi bagi orang Jepang sendiri mereka
mudah dibedakan. Dan sebaliknya, bagi mereka mungkin saja Pete dan Jupiter tampak mirip sekali-meskipun itu
aneh rasanya bagi Bob. "Mobil boks hijau," tiba-tiba Jupe berbisik pada Bob. "Ingat mobil yang dikejar Blinky dari Kedai Kuda Laut"
Kalau kita bisa membuntutinya..."
Jupe melirik pada kedua orang Jepang itu. Mereka masih sibuk berbincang-bincang.
"Pembangkit sinyal," cepat-cepat Jupe berbisik pada Bob lagi. "Kau dapat mengambilnya""
"Akan kucoba," sahut Bob dengan berbisik pula. Ia bergeser dari tempatnya. "Jupe, aku dipanggil Bibi Mathilda,"
katanya dengan suara yang cukup keras agar terdengar oleh kedua orang Jepang itu. "Sebentar ya, aku lihat dulu ke
dalam." Ia berbalik dan berjalan ke balik gerbang. Setelah terhalang gerbang, ia bergegas lari ke kantor.
"Pertanyaan kedua." Si penerjemah dan Kyoto telah kembali pada Jupe. "Di mana kautemukan merpati mati itu""
Penyelidik Satu berpikir sesaat. Meskipun pada dasarnya Jupe anak yang jujur, kadang-kadang perlu juga bagi
seorang detektif untuk bersilat lidah. Terutama di saat-saat ia harus melindungi kliennya. Dan dalam kasus
pembunuhan burung ini klien mereka adalah Maureen Melody. Jupe merasa harus melindungi Maureen Melody.
"Kami menemukannya dijalan," jawab Jupe.
"Jalan apa""
"Di bagian kota sebelah sana." Jupe menganggap ia tidak terlalu berdusta, karena kediaman Miss Melody memang
di arah yang ditunjuknya.
Si penerjemah kembali tersenyum sopan. "Pertanyaan ketiga," katanya. "Menurutmu, kenapa burung merpati itu
mati"" "Aku tidak tahu." Itu jawaban yang jujur. Jupe sendiri ingin tahu apa yang menyebabkan kematian merpati itu.
"Bagaimana penampilannya" Apakah ada luka tembakan di tubuhnya""
"Tidak." Jupe menggeleng. "Tidak terlihat seperti ditembak." Ia mendengar Bob datang, melintasi pangkalan
barang bekas di belakangnya. "Kukira, mungkin ditabrak mobil," kata Jupe sekenanya.
"Bagus. Terima kasih." Kyoto dan penerjemahnya beranjak dari tempatnya menuju pintu depan mobil boks. Bob
muncul di gerbang. Jupe menyusul dan menyentuh lengan si penerjemah.
"Maaf," katanya. "Apakah Anda keberatan kalau aku mengajukan beberapa pertanyaan""
Kini si penerjemah yang berpikir sesaat. "Oke," ia menyetujui.
"Pesan itu berbunyi, Tidak ada mutiara hari ini. Begitulah menurut kawan Don itu."
"Ya." Bob kini berdiri di samping Jupe. Melirik ke bawah, Jupe dapat melihat sebuah alat logam kecil digenggam Bob.
Alat pembangkit sinyal. "Apa artinya pesan itu"" tanya Jupe. "Tidak ada mutiara hari ini." Ia dapat menjadi seorang aktor yang jempolan
kalau lagi mau. Dulu, salah satu peran favoritnya adalah menjadi anak yang dungu. "Aku sama sekali tidak mengerti
apa yang dimaksud," lanjut Jupe lagi. Mulutnya dibiarkan melompong. Dan matanya dibiarkan sayu. "Mutiara apa"
Lalu mengapa tidak ada mutiara" Setiap hari kan selalu ada mutiara. Paling tidak di toko perhiasan."
Si penerjemah memasang senyumnya yang sopan.
"Sangat sederhana penjelasannya," ujarnya. "Temanku Kyoto seorang tukang kebun. Ia punya kebun tidak jauh dari
kota ini. Dan ia menjual hasil kebunnya pada sebuah toko Jepang. Orang toko ingin tahu tanaman apa yang dimiliki
Kyoto..." Jupe mendengarkan dengan memasang tampang yang dibuatnya dungu. Namun dengan sudut matanya ia bisa
melihat Bob menyelinap ke belakang mobil boks.
Bob berlutut. Ditempelkannya alat pembangkit sinyal di bagian belakang bawah mobil.
"Jadi Kyoto mengirim pesan pada orang di toko melalui merpatinya," penerjemah itu melanjutkan. "Biasanya
pesan-pesan itu berbunyi, Banyak wortel hari ini. Atau, Banyak daun seledri. Dengan demikian orang di toko tahu apa
yang harus dijualnya hari itu."
Bob telah kembali dari belakang mobil. Jupe melihat tangannya tidak lagi menggenggam alat pembangkit sinyal.
"Oh, begitu," kata Penyelidik Satu. Suaranya diusahakan sepolos mungkin. "Jadi Kyoto menanam mutiara juga""
Si penerjemah terbahak-bahak.
"Mutiara yang dimaksud adalah bawang mutiara. Dinamakan begitu karena bentuknya bulat dan mungil serta putih
seperti mutiara," ia menjelaskan. "Tidak ada mutiara hari ini berarti tidak ada bawang mutiara hari ini."
"Oh, begitu. Terima kasih."
Jupe tetap memasang tampang dungunya sampai Kyoto dan penerjemahnya pergi dengan kendaraannya. Ia tetap
berdiri di sana sampai mobil boks hijau itu membelok ke sebuah tikungan.
"Cepat, Bob!" serunya. "Alat penjejak!"
Bob telah meletakkannya tepat di balik gerbang. Ia memberikannya pada Jupe. Alat itu berbentuk kotak dengan
sebuah kenop dan antena. Sekilas alat itu serupa dengan radio tua. Dan memang dulunya radio. Jupe mengubahnya
menjadi alat penjejak. Dihidupkannya alat itu.
Tut-tut-tut. Alat penjejak itu bersuara. Sinyal elektronis yang dikeluarkan pembangkit sinyal berhasil ditangkap alat itu.
Dengan alat itu anak-anak dapat menjejaki ke mana mobil boks hijau itu pergi.
Jupe mengarahkan antena ke selatan.
Tut-tut-tut. Suara itu semakin keras.
"Mereka berjalan ke arah pantai," kata Jupe. "Cepat, kejar mereka."
Pete sudah menyiapkan tiga sepeda di gerbang pangkalan. Jupe dengan cekatan mengikatkan alat penjejak pada
kemudi sepedanya. Mereka segera berangkat.
Jupe mengendarai sepedanya dengan satu tangan. Tangannya yang satu lagi digunakan untuk mengarahkan antena.
Dengan mendengarkan keras lembutnya sinyal yang dihasilkan, ia dapat mengira-ngira ke mana mobil itu pergi.
Sinyal itu dapat ditangkap selama masih berada dalam jarak kurang dari satu mil. Mereka dapat membayangbayangi mobil boks tanpa risiko ketahuan.
Sambil mendayung pedal sepedanya, Penyelidik Satu itu berharap agar mobil boks tidak pergi terlalu jauh dan tidak
terlalu cepat. Ia tidak keberatan untuk bersepeda. Malahan ia senang, karena itu akan membakar sarapan yang dilahapnya tadi
pagi. Namun ia benar-benar berharap supaya mobil boks yang sedang mereka ikuti tidak pergi ke San Francisco atau
kota-kota jauh lainnya. Bawang putih, pikirnya. Kyoto dan si penerjemah tentu mengira ia benar-benar dungu dengan mempercayai
keterangan penerjemah itu tadi. Tetapi, mengapa mereka datang ke Pangkalan Jones" Apa sebenarnya yang diinginkan
orang Jepang itu" Bab 9 MR. FRISBEE YANG MISTERIUS
SETELAH beberapa menit mereka mengayuh sepeda sekuat tenaga, Jupe yakin bahwa mobil boks itu tidak pergi
jauh-jauh. Tidak mungkin mobil itu pergi ke San Francisco, bahkan juga tidak ke Santa Monica yang lebih dekat.
Ia dapat mengatakan dari kerasnya suara alat penjejak dan arah antena bahwa mobil boks itu sedang meluncur di
Main Street di Rocky Beach. Ia memberi isyarat pada Pete dan Bob untuk bersepeda di belakangnya dengan perlahan.
Jupe tidak ingin menyusul mobil boks yang dibuntutinya, kalau mobil boks itu berhenti pada lampu merah, atau
berhenti untuk mengisi bensin.
Trio Detektif melewati toko perhiasan milik Frisbee dan Bank Amco. Tut-tut- Tiba-tiba sinyal itu berhenti. Jupe
mengangkat tangannya. Trio Detektif berhenti. Jupe mengarahkan antena ke kiri. Tidak ada suara. Digerakkannya
antena ke kanan. Tut-tut-tut. Suara itu terdengar jelas dan keras sekarang.
Jupe memberi isyarat untuk membelok ke kanan. Jalan itu menuju daerah berbukit yang terletak di luar kota.
Sekarang lebih sulit mengikuti mobil boks itu karena jalan mulai naik-turun. Sering kali sinyal menghilang ketika
mereka berbelok, atau ketika jalan menurun. Namun hal itu tidak membuat Jupe khawatir, sekalipun tidak terdengar
sinyal sama sekali untuk beberapa saat. Ia sudah memperoleh gambaran ke mana mobil boks hijau itu menuju.
Pada daerah berbukit di sebelah barat laut Rocky Beach terdapat suatu area yang dihuni rumah-rumah kayu dengan
halaman yang bersih dan rapi. Area itu dikenal dengan nama Little Tokyo, karena hampir semua rumah di situ dimiliki
atau disewa oleh orang Jepang.
Jupe mengangkat tangannya ketika anak-anak memasuki Little Tok
yo. Trio Detektif berhenti. Beberapa ratus meter
di hadapan mereka diparkir sebuah mobil di muka sebuah rumah kayu. Mobil boks hijau.
Jupe meminggirkan sepedanya ke trotoar. Bob dan Pete mengikutinya. Mereka berlindung di balik pohon-pohon
yang berderet rapi di sepanjang jalan. Dari sana mereka dapat mengamati mobil boks itu tanpa terlihat dari rumah.
"Oke," kata Pete. "Mungkin itu rumah tempat tinggal Kyoto, tapi mungkin juga bukan. Lalu bagaimana sekarang""
Jupe diam saja. Ia mengawasi mobil boks hijau itu. Seorang laki-laki berjalan melewati mobil boks. Ia pasti keluar
dari rumah itu, tebak Jupe. Laki-laki tadi menyeberangi jalan. Ada sebuah mobil kecil merah di sana. Dibukanya mobil
itu. Lalu ia mengendarainya.
"Itu tadi Kyoto"" Bob tidak yakin. Kedua orang Jepang itu tampak sama saja bagi Bob.
"Bukan," sahut Jupe dengan pasti. "Itu penerjemahnya."
Bob memandang dengan heran pada Jupe. Ia tidak dapat menahan diri untuk bertanya, "Bagaimana kau tahu""
"Bagaimana tidak"" balas Jupe. "Segalanya berbeda. Lihat cara jalannya, postur tubuhnya. Di samping itu, tidakkah
kau perhatikan ikat pinggang dan sepatu mengkilat yang dipakainya""
Bob memang tidak memperhatikan sebelumnya. Meski sudah lama kenal baik dengan Jupe, masih sering saja ia
kagum dengan kejelian pengamatan Jupe.
"Jadi sekarang kita hampir merasa pasti bahwa itu rumah Kyoto," Jupe melanjutkan. "Tapi kita harus yakin benar.
'Hampir pasti' saja tidak cukup. Mestinya ada nama tertulis pada kotak pos di muka rumahnya. Seseorang dari kita
harus pergi ke sana untuk mengeceknya."
Kalau memang nama itu ada, pasti tertulis pada sisi di balik kotak. Mereka harus melewati rumah itu untuk bisa
mengetahui apa yang tertera pada kotak pos.
"Sebaiknya kau yang pergi, Bob," putus Jupe. "Pete terlalu tinggi, dan aku terlalu..." Ia ragu-ragu, berusaha
mencari kata-kata yang cocok baginya. "Aku terlalu gempal. Kalau kebetulan Kyoto melihat ke luar jendela, mungkin
dia mengenali Pete atau aku. Tapi kalau kau copot kaca matamu dan jaketmu, kau akan terlihat seperti anak Amerika
biasa. Ia tidak akan ingat bahwa pernah berjumpa dengan kau sebelumnya."
"Baik kalau begitu." Dalam hatinya Bob merasa kesal karena dianggap anak Amerika biasa. Tapi harus ada orang
yang mengecek tulisan di kotak pos itu. Jadi dilepasnya jaketnya. Kaca matanya dimasukkan ke kantungnya. Ia mulai
melenggang ke arah rumah dengan mobil boks hijau yang diparkir di depannya. Ketika sudah melewati rumah itu, ia
berpura-pura menarik kaus kakinya. Sembari berjongkok, diliriknya kotak pos di belakangnya:
J. KYOTO Nama itu tertulis dengan cat hitam pada kotak pos putih. Bob hendak kembali bergabung dengan kawan-kawannya.
Tetapi, ia melihat sesuatu yang lain. Tanpa kaca mata, ia tidak begitu jelas melihatnya. Diambilnya kaca mata dari
kantungnya. Tanpa ragu-ragu ia memakai kembali kaca matanya.
Ternyata ia benar. Ada sebuah nama lain yang tertimpa cat putih. Nama itu sudah tidak bisa terbaca lagi. Bob hanya
mengenali beberapa huruf saja. Sejak kapan nama itu diganti" Dengan gerakan cepat, Bob mendekati kotak pos. Ia
menyentuhnya dengan ujung jarinya. Cat hitam pada nama baru masih basah. Kyoto baru saja pindah ke rumah itu.
Bob merasa bangga pada dirinya sendiri, ia telah menemukan sesuatu. Dan ia dapat menyimpulkannya sendiri.
Belum tentu Jupe dapat menemukan hal ini, pikirnya. Bob sudah tidak sabar ingin melaporkan penemuannya ini pada
kedua kawannya. Baru berjalan dua langkah, tahu-tahu ada seorang laki-laki datang mendekatinya. Bob terdiam kaku. Melihat orang
itu, Bob serasa tidak dapat bergerak. Jantungnya berdegup kencang. Tidak mungkin ia salah mengenali orang itu.
Jenggot selebat itu tidak dimiliki orang lain.
"He! He, kau!" Parker Frisbee mengenalinya. Bob ingin berlari. Tapi ia tidak bisa menggerakkan kakinya. Rasanya seperti
mendapat mimpi buruk. Ia kehilangan kontrol atas segala anggota tubuhnya. Ia berdiri mematung di sana. Parker
Frisbee makin dekat. Tamatlah riwayatku, pikir Bob. Frisbee memang tidak membawa tongkat kayu. Tapi ia mungkin menyimpan
senjata di balik jasnya. "Aku senang ketemu kau secara keb
etulan." Frisbee berhenti semeter dari Bob. "Sudah lama aku ingin berbincangbincang lagi dengan kalian."
Sukar untuk dilukiskan apakah pedagang permata itu tersenyum atau tidak. Jenggotnya yang tebal
menyembunyikan mulutnya sama sekali. Namun saat itu Parker Frisbee tidak memakai kaca mata hitam. Bob dapat
melihat sinar matanya yang-anehnya-hangat dan ramah.
"Mana kawan-kawanmu yang lain"" tanya Parker Frisbee.
Bob masih sukar untuk berbicara. Ia hanya menunjuk ke arah kedua kawannya. Akhirnya Bob dapat juga
menggerakkan kedua kakinya. Ia mulai berjalan mendatangi kedua kawannya. Parker Frisbee berjalan di sampingnya.
Bob menyadari bahwa Jupe telah meletakkan jaket Bob pada setang sepedanya sehingga menutupi alat penjejak
mereka. Ia berdiri dengan perasaan tidak enak ketika Parker Frisbee berhadapan dengan kedua kawannya.
Trio Detektif 37 Misteri Merpati Berjari Dua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalian sering ya, main ke Little Tokyo"" tanya Parker Frisbee dengan bersahabat.
"Ada restoran Jepang yang menjadi kesukaan kami," sahut Jupe dengan cepat. "Pete suka sekali makanan Jepang."
"Oh, ya. Sukiyaki. Gurih sekali rasanya. Aku sendiri sering pergi ke restoran itu. Well... " Sekali lagi Bob tidak
dapat memastikan apakah Frisbee tersenyum atau tidak. "Bagaimana kalau kalian kutraktir makan siang di sana""
Untuk beberapa saat Jupe tidak tahu mau bilang apa.
Terakhir kali ia melihatnya, Frisbee menodongnya dengan sebuah pistol. Kejadian di Bank Amco masih diingatnya
dengan jelas. Dan sebelumnya malah ia dipukul keras dengan tongkat kayu di kediaman Miss Melody. Sekarang orang
yang sama menawarkan diri untuk mentraktir makan siang. Tawaran itu hampir tidak bisa dipercayainya.
"Oh... terima kasih sekali," gumam Penyelidik Satu akhirnya. "Terima kasih, Mr. Frisbee."
"Tunggu apa lagi" Mari." Frisbee langsung menyeberangi jalan. Trio Detektif saling bertukar pandang. Lalu
mereka mengikutinya dengan menuntun sepeda.
Bob merapat pada Jupe. Ia berbisik-bisik menjelaskan apa yang ditemukannya pada kotak pos Kyoto. Jupe
mendengarkan tanpa berkomentar apa-apa.
Anak-anak mengunci sepeda mereka di luar restoran. Parker Frisbee mengajak mereka duduk pada sebuah meja
besar di pojok ruangan. Seorang pelayan restoran menyapanya dalam bahasa Jepang. Frisbee balas menyapa dengan
bahasa Jepang pula. Ia lalu memesan makanan.
"Aku pernah tinggal di Jepang selama beberapa tahun," ia menjelaskan sambil lalu. "Aku juga berdagang perhiasan
di sana. Jadi mau tak mau aku harus belajar bahasa Jepang."
Pelayan restoran membawakan sebuah teko berisi teh. Frisbee menuangkan buat anak-anak, pada cangkir-cangkir
kecil. "Nah, sekarang aku baru mengerti," katanya sambil bersandar santai, "bahwa kalian sedang melakukan
penyelidikan kecil-kecilan."
Kali ini Bob dapat melihat bahwa pedagang permata itu tersenyum. Trio Detektif tidak berkata apa-apa.
"Untuk Miss Maureen Melody," Frisbee melanjutkan. "Mencari siapa pelaku pembunuhan terhadap burungburungnya."
Jupe mengangguk. "Dan barusan aku dapat laporan dari Kyoto, pengurus kebunku. Ia bilang kalian menemukan merpati mati yang
membawa pesan tertulis dalam bahasa Jepang."
Jupe mengangguk lagi. "Pesan tentang hasil kebun yang dikirimnya ke sebuah toko Jepang."
"Tentang bawang putih," Jupe mengiakan.
Percakapan terhenti sampai di situ. Si pelayan restoran datang membawa selusin piring kecil lalu menyiapkan
makanan. Mereka mulai menyantap makan siang itu.
"Apakah kalian menemukan merpati itu di kebun Miss Melody"" akhirnya Frisbee bertanya.
"Tidak." Mulut Jupe masih penuh dengan nasi, ikan salmon, dan bumbu yang sedap. Ia menelannya dulu supaya
dapat bicara dengan jelas. "Kami menemukannya dijalan," jelasnya. Ia memutuskan untuk menceritakan hal yang
sama dengan yang diceritakannya pada Kyoto.
Frisbee mengambil sumpitnya. Mereka melanjutkan makan tanpa bertukar kata-kata.
"Well. " Pedagang perhiasan itu sudah selesai makan. Ia membersihkan mulutnya dengan sehelai lap, lalu merogoh
kantungnya. Pete merasa tegang. Garpu di tangannya bergetar. Apakah Frisbee hendak mengambil pistolnya" pikirnya dengan
putus asa. Frisbee mengeluarkan dompetnya.
"Seperti yang kalian tahu, Miss Melody itu kawan
baikku," ujarnya, "dan juga langganan yang penting." Matanya
bersinar-sinar sesaat. "Aku tahu betapa gusarnya ia karena beberapa burungnya mati. Aku ingin berbuat apa saja
sebisaku untuk menolongnya." Ia membuka dompetnya dan mengambil sesuatu dari dalamnya.
Uang lima puluh dolar. Frisbee memberikannya pada Jupe.
"Ini sedikit bekal buat kalian," katanya. "Supaya kalian tetap dapat menyelidik buat menolong Miss Melody. Dan
kalau kalian berhasil menemukan siapa pelaku perbuatan biadab itu" - ia menyelipkan dompetnya ke dalam
kantungnya - "dengan senang hati akan kuberi kalian lima puluh dolar lagi."
"Terima kasih." Jupe menyimpan uang itu dalam kantungnya. "Kami akan melakukan yang terbaik, Mr. Frisbee,"
janjinya. "Yang terbaik," ulangnya di luar restoran ketika Trio Detektif membuka kunci sepeda mereka. Ia mengamati Parker
Frisbee berjalan dengan gesit meninggalkan mereka.
"Yang paling baik," Pete mengikuti. "Demi lima puluh dolar..." Ia menoleh pada Jupe.
Penyelidik Satu itu seperti orang kehilangan akal.
"Waktu itu kita membawa Caesar ke tokonya," gumamnya. Ia masih terheran-heran pada apa yang baru
dialaminya. "Kalau ia menginginkan burung itu, kan gampang saja ia memperolehnya. Bilang saja ya, dia memang
mengenal Caesar, dia tahu siapa pemiliknya, dan dia akan mengembalikannya sendiri."
Ia menggeleng-geleng seakan tidak percaya pada kata-katanya sendiri. "Anehnya, waktu itu ia mengatakan tidak,
dia tidak pernah melihat Caesar sebelumnya. Dan dia membiarkan kita membawa Caesar pergi lagi. Lalu esok
malamnya dia merampas Caesar dengan menodongku." Ia terdiam sejenak. Kepalanya masih menggeleng-geleng.
"Dia memergokiku di kebun Miss Melody. Dia menyerangku dengan sebatang kayu," lanjutnya. "Sekarang... dia
mentraktir kita makan siang..."
Dahinya berkerut-kerut sewaktu memikirkan hal ini. Paginya ia menyikat seporsi besar sarapan. Siangnya ia makan
besar lagi di restoran Jepang. Oh, sekarang bukan saatnya memikirkan berat badan. Masa bodoh dengan itu semua.
Masih banyak hal lain yang perlu dipikirkan.
"Ia mentraktir kita makan siang," Jupe mengulangi. "Bahkan ia memberi kita lima puluh dolar, dan berjanji akan
memberi lagi kalau kita bisa menemukan pelaku pembunuhan burung-burung milik Maureen Melody. Semua itu tidak
masuk akal-maksudku tidak mungkin orang yang sama melakukan hal-hal yang bertentangan seperti itu. Tapi... ada
sesuatu yang misterius pada Parker Frisbee..."
Suaranya menghilang. "Apa"" tanya Pete. "Ayo dong, teruskan. Apa yang misterius pada orang itu, Jupe""
"Ia cuma memakai kaca mata gelap pada malam hari!"
Bab 10 PEMBUNUHAN MERPATI TERSINGKAP
"APA"" seru Pete.
Jupe menggeleng kecil. "Tidak apa-apa."
Ia tahu bahwa percuma berbicara saat itu. Suara mereka akan tertelan oleh bisingnya jeritan, kicauan, dan gaok
burung-burung yang memenuhi hutan kecil di kanan-kiri mereka.
Trio Detektif dalam perjalanan menuju rumah Maureen Melody. Mereka mengendarai sepeda melewati jalan yang
diapit pohon-pohon tempat burung-burung Miss Melody bersarang. Sore itu adalah keesokan harinya setelah anakanak berkunjung ke Little Tokyo.
Sepulang dari Little Tokyo kemarin, Jupe menelepon Miss Melody. Ia mengatakan akan berkunjung ke rumahnya
esok paginya. Tetapi ketika anak-anak mau berangkat dari Pangkalan Jones, Bibi Mathilda memberi pekerjaan.
Semalam turun hujan lebat. Bibi Mathilda ingin agar pangkalan dibersihkan. Kemudian semua lemari es tua dan
tungku yang dibeli Paman Titus harus dikeringkan. Pekerjaan itu menunda kepergian mereka ke kediaman Miss
Melody, yang berarti pula tertundanya pemecahan misteri pembunuhan burung milik Miss Melody.
Jupe bergidik ketika memasuki halaman rumah Miss Melody yang luas itu. Ia teringat pada pengalaman buruk yang
pernah dialaminya di antara pepohonan itu. Masih terekam dalam pikirannya bagaimana bahunya berdenyut-denyut
sakit karena pukulan tongkat kayu. Ia berharap mereka dapat pulang lebih awal sebelum hari menjadi gelap.
Miss Melody membukakan pintu segera setelah Jupe membunyikan bel. Ia mengenakan gaun beludru hitam
berlengan panjang. Seraya mempersilakan anak-anak masuk ke dalam r
uangan kedap suara, ia sebentar-sebentar
menyeka matanya dengan sapu tangan kecil.
"Lihat," katanya sambil menunjuk meja dengan tangan gemetar. Trio Detektif melihat ke meja. Terbaring seekor
burung pada sehelai kain putih di meja. Bangkai seekor rajawali lagi.
Pete mendekat ke meja. Burung beo terbang dari tenggerannya. Ia hinggap di bahu Pete.
"Ini kejam sekali." Miss Melody mulai terisak-isak sekarang.
"Kejam," si beo menirukan. "Kejam. Kejam."
Jupe meneliti bangkai rajawali itu. Di tubuhnya tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan. Seperti rajawali yang
terdahulu, kemungkinan besar rajawali itu diracuni, pikir Jupe.
"Kapan Anda menemukannya, Miss Melody"" tanya Jupe.
Maureen Melody berusaha menghentikan isak tangisnya. Kembali ia menyeka air matanya.
"Baru saja," desahnya perlahan.
"Di mana""
"Di tempat..." Ia terceguk sambil memegangi kalung mutiaranya. "Di tempat yang sama seperti dulu."
"Di tempat Anda memberi makan rajawali Anda""
Miss Melody mengangguk lemah. Nampak sekali ia sangat terpukul akibat terjadinya peristiwa itu.
Jupe memandangnya dengan penuh simpati.
"Aku mengerti perasaan Anda," katanya. "Namun aku ingin mengajukan beberapa pertanyaan. Anda tidak
keberatan, kan""
Miss Melody cuma mengangguk saja. Ia masih bermain-main dengan kalung mutiaranya. Dengan memegangi
kalungnya ia merasa lebih tenang.
"Teruskan," katanya. Ia mulai dapat menguasai dirinya kembali.
"Waktu kami ke sini sebelumnya," Jupe mengingatkannya. "Edgar Allan Poe, burung murai Anda..."
Jupe menunggu. Ia khawatir kalau-kalau perkataannya membuat Miss Melody terisak lagi. Tetapi ternyata Miss
Melody hanya diam saja. Ia memandang Jupe, mengharapkan Jupe untuk melanjutkan perkataannya.
"Anda bilang murai itu sangat pandai. Edgar Allan Poe selalu membawakan sesuatu untuk Anda."
"Mutiara." Maureen Melody tersenyum tertahan ketika menyebut benda yang sangat disukainya itu. "Poe sudah
membawakan tiga mutiara yang indah-indah."
"Anda juga mengatakan bahwa ada dua burung murai."
"Ya. Ralph Waldo Emerson yang satu lagi."
"Ralph Waldo Emerson," Jupe mengulangi. "Yang satu ini juga suka membawakan sesuatu untuk Anda""
"Kadang-kadang." Ia menyelipkan sapu tangannya dalam kantungnya, seakan ingin mengatakan bahwa air matanya
tidak akan mengalir lagi. "Tapi Ralph Waldo Emerson tidak secerdik Edgar Allan Poe. Emerson hanya membawakan
benda-benda yang tidak berharga. Sampah maksudku."
Dahi Jupe berkerut-kerut. Ia memperhatikan bangkai rajawali yang tergeletak di atas kain putih.
"Pernahkah Emerson membawakan suatu pesan untuk Anda"" tanyanya.
"Pesan"" "Secarik kertas yang bertuliskan sesuatu."
"Seingatku tidak. Tidak, tidak. Aku selalu ingat bagaimana kelakuan burungku. Emerson tidak pernah
membawakan pesan seperti itu. Tapi kenapa ya, tadi pagi Emerson membawa-kau mau lihat apa yang dibawanya
tadi"" Jupe tentu saja mau. Miss Melody berjalan ke sebuah meja di pinggir ruangan. Ia kembali dengan sebuah asbak
gelas. Ditunjukkannya asbak itu pada Jupe.
Di dalam asbak terdapat segulung rambut. Jupe mengambil rambut itu. Ditelitinya baik-baik gulungan rambut itu.
Tebal, hitam, dan agak keriting. Tentu Emerson, si burung murai, yang menggulung dan membawa dengan paruhnya.
Dengan hati-hati dimasukkannya gulungan rambut tadi ke dalam saku bajunya.
"Di mana kira-kira Ralph Waldo Emerson menemukan rambut ini"" tanya Jupe.
"Tidak tahu, ya." Miss Melody mengembalikan asbak tadi. "Aku juga tidak tahu di mana Edgar Allan Poe
menemukan mutiara-mutiara itu."
Jupe melihat ke luar jendela. Masih ada beberapa jam sebelum matahari tenggelam.
"Ayo," ajaknya pada Bob dan Pete. "Lebih baik kita menyelidiki hutan kecil sekali lagi, mumpung masih terang."
Ia menoleh pada Miss Melody. "Kalau Anda tidak keberatan tentu."
"Tentu tidak. Aku justru sangat berterima kasih pada kalian dan Mr. Frisbee. Tapi jangan kecewa ya, aku tidak bisa
menemani kalian. Tepatnya, aku masih merasa tidak enak untuk melihat kebunku." Maureen Melody mengambil lagi
sapu tangannya. "Aku takut... jangan-jangan kutemukan lagi burung..." Ia tidak meneruskan kalimatnya.
Ia hanya mengawasi saja anak-anak keluar ru
mah. Si burung beo masih bertengger di bahu Pete. Seakan-akan beo
itu ingin ikut menyelidiki bersama Trio Detektif. Pete tidak keberatan. Malahan ia mulai menyukai si beo, seperti ia
menyukai Caesar. Mereka berhenti pada tempat ditemukannya dua bangkai rajawali. Lagi-lagi tempat itu bersih. Tidak ada sisa-sisa
daging. Tidak ada jejak. "Oke, " Jupe berkata dengan suara tinggi, seperti bernyanyi. "Kali ini kita tetap berkumpul. "
"Nah, begitu dong, " sahut Pete, juga dengan suara tinggi. Ia merasa canggung bernyanyi seperti itu. "Begini kan
aman. Kalau Frisbee tiba-tiba muncul dan ngadat lagi, kita bisa bersatu melawannya. "
Namun mereka tidak menjumpai siapa-siapa. Sejam lamanya Trio Detektif mengaduk-aduk semak belukar. Tidak
dijumpai sesuatu yang menarik.
Mereka sampai di suatu tempat terbuka yang ditumbuhi rumput di tengah-tengah hutan kecil itu. Anehnya, tempat
itu sepi. Seolah-olah setiap burung menghindar dari situ. Jupe duduk di sebuah tempat yang kering. Ia capek. Dan
kakinya penuh lumpur. Pete berbaring di sebelahnya. Bob bersandar pada sebuah pohon.
Mereka beristirahat di sana kira-kira lima menit. Pete melamun sambil memandang seekor burung robin yang
mematuk-matuk tanah, mencari cacing. Jupe mulai merasa jenuh duduk tanpa berbuat apa-apa di sana.
Tahu-tahu tiga peristiwa terjadi. Ketiganya terjadi begitu cepat, sehingga seakan-akan terjadi pada saat yang
bersamaan. Si burung beo terbang dari bahu Pete sambil menjerit-jerit. Beo itu menghilang di balik pohon-pohon.
Si burung robin melihat ke atas. Burung itu mulai mengepakkan sayapnya hendak terbang.
Terlambat. Sesosok hitam muncul dari atas, menukik tajam, lalu mendarat di punggung burung robin tadi.
Setelah itu, semuanya selesai secepat kilat. Si burung robin menjadi korban keterlambatannya. Seekor rajawali
hitam mencengkeramnya dengan cakarnya yang kuat, dan mencabik-cabik si burung robin dengan paruhnya yang
tajam. Dalam beberapa detik saja rajawali itu telah selesai menyantap daging si burung robin. Detik berikutnya, rajawali
itu melesat seperti roket mengangkasa. Serpihan-serpihan daging masih menempel pada cakarnya. Yang tersisa dari
burung robin yang malang hanyalah kepala, kaki, dan beberapa helai bulu yang penuh darah.
Tidak satu pun dari Trio Detektif itu mengeluarkan suara selama beberapa saat. Si beo muncul lagi dari kerimbunan
pohon, lalu hinggap di bahu Pete.
"Kejam," kata burung beo dengan nada tinggi. "Kejam. Kejam."
"Benar," kata Jupe menyetujui. "Tapi paling tidak kita tahu, siapa, atau apa, yang membunuh si merpati berjari
dua." "Dan apa yang menyebabkan seseorang meracuni rajawali," tambah Bob. "Maksudku, mungkin agar rajawali itu
tidak memangsa burung-burung lainnya, terutama merpati pos."
"Benar." Jupe mengambil gulungan rambut dari saku bajunya. Diamat-amatinya gulungan rambut itu. "Tapi kita
masih belum dapat menemukan siapa yang meracuni si rajawali. Atau siapa yang memukul Edgar Allan Poe dengan
sebuah tongkat." Ia bangkit dari duduknya.
"Jejak kaki," katanya dengan penuh keseriusan. "Tadi malam hujan lebat. Mesti ada jejak kaki di suatu tempat. Kita
saja yang belum berhasil menemukannya."
Ia melihat ke langit. "Cepat," serunya. "Masih ada sejam lagi sebelum gelap. Sekarang kita berpisah lagi. Cari di
setiap jengkal tanah yang lunak."
"Kalau kita menemukan sesuatu," tanya Bob, "bagaimana kita memberikan kode pada yang lain""
"Nyanyikan lagu God Bless America sekeras-kerasnya," Jupe memberi tahu.
Pete berlatih menyanyikan sebagian lagu itu supaya tidak lupa. Setelah puas mendengar suaranya sendiri, ia
menyeringai lebar. Kemudian Trio Detektif berpencar ke dalam hutan kecil, sekali lagi, untuk mencari jejak.
Pete yang berhasil menemukan jejak yang dicari-cari seperempat jam kemudian. Dua jejak kaki yang masih jelas
tercetak pada jalan setapak yang lunak.
Ia berhenti. Diamat-amatinya kedua jejak itu.
Hari mulai gelap. Kicauan burung semakin sepi. Pete gelisah. Ia baru sadar bahwa kini ia cuma seorang diri di
tengah-tengah hutan kecil.
Dicobanya untuk bernyanyi.
Ia tidak dapat mengingat nada-nada lagu itu. Tadi ia sudah melatih bagian dep
annya di depan kawan-kawannya.
Tapi sekarang, dalam kesendirian, mendadak ia lupa.
"Godbless... " ia mencoba. Tidak, bukan begitu seharusnya. "God bless... "
"God bless America," burung beo di bahunya tahu-tahu bernyanyi. Beo itu menyanyikannya dengan tepat.
"Trims." Pete mengelus-elus si burung beo.
"God bless America, " Pete menyanyi dengan sekuat-kuatnya dan dengan nada setinggi-tingginya.
Rupanya Jupe dan Bob berada tidak jauh darinya. Kurang dari semenit mereka sudah berkumpul di tempat Pete.
Jupe memperhatikan jejak kaki yang panjang dengan ujung runcing. Diambilnya lagi gulungan rambut dari saku
bajunya. "Bagus, Pete," katanya. "Jelas itu bukan jejak Frisbee. Tadi pagi aku perhatikan benar bagaimana bentuk sepatu
yang dipakainya. Kakinya kecil, dan sepatunya berujung agak lebar. Jadi..." Diangkatnya gulungan rambut itu.
"Mungkin bukan Frisbee yang rambutnya tersangkut semak, lalu ditemukan Ralph Waldo Emerson, si burung murai."
Ia berjalan di muka, ke luar hutan kecil, menuju tempat mereka memarkir sepeda. Anak-anak berhenti di dekat
sepeda mereka. Lampu masih menyala di kamar atas rumah Maureen Melody. Jupe menebak Miss Melody sedang
beristirahat di kamarnya dan tidak ingin diganggu.
"Kita langsung pulang saja," putusnya. "Saat ini kita kan belum punya berita yang jelas. Kita masih mengira-ngira
saja sampai sejauh ini."
"Kau pikir itu jejak Blinky"" tanya Bob. Ia ingat Jupe pernah menyebut-nyebut tentang sepatu lancip yang
dikenakan Blinky di Kedai Kuda Laut.
"Itu yang pertama kali muncul di pikiranku," Jupe menyetujui. "Kecurigaanku yang kedua ialah bahwa seluruh
kasus ini berkaitan erat dengan misteri dalam diri Kyoto."
"Kenapa"" tanya Pete.
"Karena Kyoto-lah yang menulis pesan, Tidak ada mutiara hari ini." Jupe mengangkat telunjuknya yang gemuk,
lalu mengangkat jari tengahnya. "Juga Kyoto-lah yang dikunjungi Parker Frisbee di Little Tokyo kemarin." Ia
mengangkat jari manisnya, menunjukkan jumlah tiga. "Dan lagi Kyoto-lah yang ditunggu-tunggu Blinky di Kedai
Kuda Laut." "Hmm, masuk akal," kata Pete sambil manggut-manggut.
"Dan terima kasih pada Bob," Jupe melanjutkan, "karena kita bisa tahu mengapa Blinky menunggu Kyoto.
Mengapa Blinky mengikutinya."
"Terima kasih kenapa"" Bob tidak mengerti apa yang dimaksud Jupe.
"Karena pengamatanmu yang cermat pada kotak pos Kyoto. Kau menyimpulkan bahwa Kyoto baru saja pindah ke
situ karena cat kotak posnya masih baru. Jadi Blinky ingin tahu ke mana ia pindah, dan di mana sekarang Kyoto
tinggal." "Kenapa"" tanya Bob.
"Itulah yang akan kita temukan," kata Jupe. "Apa kaitan antara Blinky dan Kyoto" Dan apa hubungan Kyoto
dengan mutiara""
Ia termenung sejenak. "Kita harus membuntuti mobil boks hijau itu lagi," putusnya. "Cuma itu petunjuk yang
bermanfaat yang kita punyai saat ini."
"Hidupkan saja alat penjejak kita," usul Pete.
Jupe menggeleng. "Baterenya pasti sudah habis sekarang. Kita bisa menggantinya dengan baterai baru, tapi
risikonya terlalu besar, karena kita harus pergi ke rumah Kyoto lagi."
Ia menatap Penyelidik Dua.
"Kurasa ini tugasmu, Pete," kata Jupe.
Pete menghela napas. Setiap kali ada tugas yang berisiko tinggi, pasti dialah yang kebagian.
"Oke," katanya dengan perasaan ogah. "Katakan saja apa yang kautugaskan padaku, Jupe."
Bab 11 RAHASIA KYOTO PETE bangun sebelum matahari terbit keesokan harinya. Dikenakannya celana jeans, kaus hangat, dan sepatu
karetnya. Lalu ia langsung ke dapur untuk sarapan.
Ada kaca mata gelap di meja dapur. Ayahnya tentu kelupaan menaruh benda itu di situ. Timbul ide dalam benak
Trio Detektif 37 Misteri Merpati Berjari Dua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pete. Barangkali kaca mata ini akan ada gunanya nanti, dalam hati ia berkata. Ia menimbang-nimbang untuk
menggunakan kaca mata itu sambil makan beberapa kue donat dan minum segelas susu.
Akankah ia lebih sukar dikenali dengan memakai kaca mata itu" Kalau Kyoto kebetulan melihatnya, akankah dia
ingat serta mengenalinya"
Akhirnya Pete memutuskan untuk membawa kaca mata gelap itu. Dengan begitu ia dapat memakainya pada saat
dibutuhkan untuk mengubah penampilannya. Ia memasukkan kaca mata ke dalam tempatnya, lalu menaruhnya dalam
kantung baju hangatnya. Kemudia
n ia bergegas ke gudang tempat menyimpan sepeda istimewanya.
Sepedanya sepeda balap buatan Inggris dengan sepuluh persneling. Ayahnya membelikan sebagai hadiah ulang
tahunnya yang terakhir. Pete merawatnya dengan sangat teliti. Untuk keperluan sehari-hari yang tidak begitu
mendesak, ia menggunakan sepeda lamanya. Sepeda istimewanya hanya digunakan sekali-sekali saja, terutama untuk
keperluan penting. Dengan sepeda itu ia dapat mencapai kecepatan rata-rata tiga puluh mil per jam, dan maksimal
empat puluh mil per jam. Ditepuk-tepuknya sepeda itu dengan mesra, seperti orang menepuk-nepuk seekor kuda pacuan.
Sepuluh menit kemudian ia sudah tiba di pinggiran Little Tokyo. Diparkirnya sepeda balapnya di pinggir jalan di
antara pohon-pohon. Lalu ia mengawasi rumah Kyoto dari kejauhan.
Segalanya berjalan lancar. Ia tiba tepat pada waktunya. Mobil boks hijau masih nampak diparkir. Lampu taman
rumah Kyoto masih menyala.
Matahari mulai terbit. Sebuah sedan biru meluncur dijalan dan berhenti tepat di muka rumah Kyoto. Seorang lakilaki keluar dari sedan. Ia berjalan ke arah mobil boks. Pete memicingkan matanya untuk melihat laki-laki itu lebih
Tjeng Hong Kie Su 2 Pendekar Rajawali Sakti 126 Mawar Berbisa Ki Anjeng Laknat 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama