Ceritasilat Novel Online

Pendekar Seratus Hari 4

Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong Bagian 4


tak bernyawa. Melihat itu Bok-yong Kang menghela napas, "Ah, pertempuran telah berlangsung begitu cepat. Tadi di
halaman penuh dengan jago-jago silat, mengapa dalam waktu beberapa kejap saja sudah sunyi lagi."
Segera ia kembali masuk kedalam. Tampak Siau Mo duduk bersila pejamkan mata. Wajahnya tegang dan
membesi. Bok-yong Kang tahu bahwa toakonya itu tentu tengah menyalurkan tenaga murni untuk
mengenyahkan racun yang bersarang dalam tubuhnya. Segera ia menjaga di sisi Siau Mo.
Sepeminum teh lamanya tiba-tiba Siau Mo berseru: "Bokyong-te, mari kita lekas kejar Mo-seng-li!"
Dari sudut ruang, tiba-tiba pula terdengar lengking suara seorang nona: "Tak perlu engkau kejar, aku sudah
berada di sini." Dan seiring dengan kata-kata itu dari sudut ruang yang gelap, muncullah seorang nona berpakaian baju
hitam. Ah, siapa lagi kalau bukan si jelita yang menggunakan nama seram sebagai Mo-seng-li atau Wanita
Suara Iblis! Kejut Bok-yong Kang bukan alang kepalang. Mengapa Mo-seng-li masih berada di situ" Mengapa dia tak
ikut lari dengan suci dan sumoaynya" Apakah dia tak takut Siau Mo akan menangkapnya"
Saat itu Siau Mo pun sudah berbangkit dan mendengus dingin: "Bagus, dengan begitu dapat menghemat
waktu dan tenagaku."
Mo-seng-li tertawa pelahan: "Ah, belum tentu."
Sekonyong-konyong Siau Mo ayunkan tubuh dan lepaskan sebuah pukulan. Mo-seng-li cepat berputar
tubuh menyingkir lima langkah lalu membentak: "Siau Mo, berhenti dulu!"
Siau Mo segera hentikan gerakannya dan tertawa dingin.
"Di nirwana yang pintunya terbuka engkau tak mau masuk. Tetapi malah mencari Neraka yang tak ada
pintunya. Hm, hm...... Mo-seng-li, lebih dulu kuperingatkan kepadamu, janganlah engkau unjuk tingkah
dihadapanku!" dunia-kangouw.blogspot.com
Berhenti sejenak, Siau Mo melanjutkan pula: "Bukankah engkau sudah mengetahui bahwa Siau Mo takkan
mudah-mudah melepaskan engkau?"
Nona itu tertawa hambar. "Sudah tentu tahu. Karena aku mengetahui rahasia dari penyakit jantungmu. Siau
Mo, jika aku sungguh-sungguh hendak membunuhmu, masakan engkau dapat hidup sam?pai saat ini."
Siau Mo tertegun. "Engkau berani masuk ke dalam jaring. Nyalimu sungguh terpuji. Lalu apa yang hendak eng?kau katakan
sekarang?" Mo-seng-li tengadahkan kepala tertawa melengking: "Benar, memang aku mempunyai sebuah hal yang
hendak kurundingkan dengan engkau."
Siau Mo kerutkan alis. "Apakah yang hendak engkau rundingkan dengan aku" Lekas katakan!" serunya.
"Soal rahasia besar yang menyangkut kehidupan dunia persilatan. Lebih dahulu kuminta engkau suka ikut
menemui seseorang." Siau Mo tertawa dingin. "Bukankah engkau hendak membawa aku menemui Pah-cu" Lebih dahulu engkau harus mengatakan,
bagaimana sebenarnya Jin Kian Pah-cu itu?"
Mo-seng-li menyahut hambar: "Jin Kian Pah-cu, seorang manusia yang mempunyai muka dan mulut,
wataknya dingin dan kejam, tetapi hatinya amat lapang sekali. Seorang wanita yang hendak mendirikan
usaha besar dalam dunia persilatan. Tetapi aku bukan hendak mengajakmu menghadap beliau, melainkan
hendak menemui Pena Penunjuk Langit Nyo Jong-ho!"
Mendengar kata-kata itu terbeliaklah seketika Siau Mo dan Bok-yong Kang. Pikirnya: "Untuk apa dia hendak
mengajak aku menemui Nyo Jong-ho" Bukankah tadi Mo-seng-li sudah mengatakan kalau Nyo Jong-ho
sudah dikirim ke Lembah Kumandang?"
"Dimana dia sekarang?" seru Siau Mo.
"Dia tinggal di rumah seorang yang sepi sekali tempatnya dan terpisah kira-kira tujuh lie dari sini. Sudahlah,
jangan berayal agar jangan sampai timbul perobahan lagi. Lekaslah engkau ikut aku ke sana!"
"Hm, baik, engkau tunjukkan jalannya," Siau Mo tertawa dingin.
Mo-seng-li mengangguk lalu berputar tubuh, lalu keluar dari ruang besar dan lari menuju ke barat. Siau Mo
dan Bok-yong Kang pun mengikutinya dari belakang.
Mereka bertiga menggunakan ilmu lari cepat sehingga tampaknya seperti kuda lari.
Pada waktu lari, Siau Mo membisiki Bok-yong Kang: "Bokyong-te, perempuan ini penuh dengan rahasia
sehingga orang sukar menduga isi hatinya. Kita harus hati-hati. Sekarang aku hendak menyusul di sisinya."
Habis berkata Siau Mo terus kencangkan larinya dan cepat sudah menyusul di sisi kiri Mo-seng-li.
Tiba-tiba nona itu berkata: "Sekarang aku hendak mengatakan sebuah hal kepadamu. Mungkin engkau tak
percaya. Dewasa ini dunia persilatan sudah mengandung suatu bahaya terpendam yang hebat sekali.
Bahaya itu mengancam keselamatan beribu jiwa kaum persilatan."
"Bahaya itu hanya engkau seorang yang menciptakan," kata Siau Mo dingin, "agar seluruh dunia persilatan
menganggap pihak Lembah Kumandang itu memiliki suatu kekuatan gaib."
Mo-seng-li gelengkan kepala.
"Bukan," sahutnya, "bahaya itu timbul dari adanya Tiga Pusaka dunia persilatan."
Dalam pada mereka berlari, saat itu dari arah barat terdengar sebuah suara aneh berseru: "Mo-seng-li, Moseng-li......."
Suara itu memiliki suatu pengaruh hebat dalam hati orang. Mendengar itu Mo-seng-li menjerit dan terus
rubuh ke tanah?" dunia-kangouw.blogspot.com
Siau Mo terkejut sekali. Cepat ia berputar dan berhenti di samping nona itu.
Tampak wajah Mo-seng-li pucat lesi dan berseru dengan gelisah: "Toa-suciku telah menggunakan ilmu sihir
Kiu-im-sip-sim-mo-hwat memanggil aku. Engkau...... engkau lekas menutuk jalan darahku di bagian Sin-kihiat......."
Saat itu kembali terdengar suara orang aneh itu memanggil-manggil "Mo-seng-li, Mo-seng-li......."
Siau Mo cepat lakukan perintah si nona. Dia gunakan dua buah jari untuk menutuk jalan darah di bagian
Sin-ki-hiat tubuh si nona.
Heran! Begitu jalan darah itu ditutuk, maka wajah yang takut dan tangan dari Mo-seng-li itupun segera lenyap.
Tetapi ia tetap duduk di tanah. Sepasang matanya yang indah berkilau-kilau menatap Siau Mo.
Tetapi Siau Mo tak mau menyambut dan palingkan muka memandang ke arah lain.
Dalam pada itu Bok-yong Kang heran sekali mengapa Mo-seng-li begitu ketakutan mendengar suara itu.
Setelah terdengar beberapa saat, suara itu, lenyap dari udara.
Siau Mo pun segera pelahan-lahan menutuk jalan darah si nona agar terbuka lagi.
Mo-seng-li menghela napas.
"Meskipun baru dua bagian dapat mempelajari ilmu Kiu-im-sip-sim-mo-hwat tetapi toa-suci sudah dapat
menguasai semangatku," katanya.
Siau Mo terkejut. "Siapakah sesungguhnya Jin Kian Pah-cu itu?" tanyanya, "siapa namanya" Apakah engkau dapat
memberitahu kepadaku?"
Mo-seng-li gelengkan kepala.
"Walaupun sudah tujuh-delapan tahun bersama-sama melayani beliau, tetapi kami bertiga saudara
seperguruan ini tetap tak dapat mengetahui nama beliau. Bahkan bagaimana wajahnya yang
sesungguhnya, kamipun tak jelas," sahut Mo-seng-li.
Tiba-tiba Siau Mo tengadahkan kepala dan menghela napas panjang,
"Ah, sungguh aneh sekali. Seperti engkau sendiri, dalam beberapa hari ini memang agak aneh bicara, sikap
dan tingkah lakumu......."
Siau Mo berhenti sejenak lalu melanjutkan lagi: "Kalau begitu, tulisan pada saputangan yang kudapati di
dalam hotel Long-hun-gek-can itu, tentu engkau yang menulisnya."
Mo-seng-li terbeliak kaget. Setitikpun ia tak mengira kalau Siau Mo masih mengingat peristiwa di hotel
Liong-hun-gek-can. Diam-diam ia memuji ingatan Siau Mo yang luar biasa kuatnya.
Mo-seng-li tersenyum, serunya: "Ingatanmu yang luar biasa tajamnya, sungguh mengagumkan sekali.
Apalagi yang harus kukatakan."
Mendengar ucapan nona itu diam-diam Bok-yong Kang bergirang hati: "Ah, kalau begitu jelas Mo-seng-li itu
seorang nona dari aliran Putih?""
Teringatlah Bok-yong Kang pula bahwa tulisan pada saputangan yang ditinggalkan Mo-seng-li di hotel itu
berbunyi, "semula aku curiga terhadap anda, tetapi saat ini kecurigaanku sudah lenyap....... saat ini musuh
kuat sedang mengepung, harap anda waspada?""
Ah, jika benar-benar tulisan itu Mo-seng-li yang menulis, jelas nona itu tak mempunyai rasa permusuhan
terhadap Siau Mo. Tampak Siau Mo merenung diam. Beberapa saat kemudian ia kedengaran menghela napas pelahan.
"Jika dugaanku tak salah, engkau tentulah si Baju Biru yang misterius itu atau sama dengan ketua Naga
Hijau." dunia-kangouw.blogspot.com
05.22. Saling Membuka Jati Diri
Bok-yong Kang seperti dipagut ular kejutnya. Ia menganggap kata-kata Siau Mo itu tak mungkin terjadi, ya,
mustahil apabila Mo-seng-li itu ketua Naga Hijau!
Masih Bok-yong Kang melanjutkan pengupasannya: "Mengapa Siau toako mengatakan Mo-seng-li itu si
orang Baju Biru" Bukankah tadi ketua Naga Hijau muncul di dalam kuil dan berhadapan dengan Mo-sengli" Sejauh ini, toako selalu dapat menduga setiap peristiwa dengan tepat tetapi kali ini tentu salah?""
Bok-yong Kang cepat berpaling ke arah Mo-seng-li. Dilihatnya Wajah nona itu mengulum senyum yang
misterius, serunya: "Pendekar Ular Emas Siau Mo, memang tak kecewa sebagai seorang yang berbakat
luar biasa. Mengapa heran?"
Mendengar kata-kata nona itu, kejut Bok-yong Kang makin menjadi-jadi.
"Engkau,....... engkau benar ketua Naga Hijau" Lalu siapakah ketua Naga Hijau yang muncul dalam kuil
itu?"?" serunya tersekat-sekat.
Mo-seng-li tertawa datar.
"Nyo Cu-ing?"" sahutnya dengan enak, sambil mengemasi rambutnya yang terurai kemudian nona itu
berdiri dan berkata pula: "Baiklah, menggunakan kesempatan saat ini, akan kuceritakan kepada kalian
semua peristiwa yang membingungkan kalian ini?""
Mo-seng-li terus ayunkan langkah menuju ke lereng gunung yang berada di sebelah kanan.
Rupanya Bok-yong Kang masih tak percaya pada pendengarannya. Ia benar-benar tak percaya sedikitpun
bahwa Mo-seng-li itu adalah si orang si Baju Biru atau ketua Naga Hijau.
Bok-yong Kang segera berpaling memandang Siau Mo, tanyanya: "Toako, mungkinkah hal itu?"
Siau Mo mengangguk. "Dia adalah Mo-seng-li, juga si Baju Biru dan ketua Naga Hijau pula. Apa sebabnya aku sendiripun tak
dapat mengetahui jelas. Tetapi di dunia ini memang banyak hal yang sering tak dapat dimengerti orang,"
katanya. Saat itu Mo-seng-li pun sudah menuju ke sebuah tanah rumput yang bersih dan segera melambaikan
tangannya. "Siau sauhiap, silahkan kalian kemari beromong-omong."
Bok-yong Kang berkata pelahan: "Kalau dia benar ketua Naga Hijau, mengapa ada kalanya
kepandaiannya......."
Tetapi ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena saat itu Siau Mo pun sudah menarik tangannya diajak
berjalan pelahan-lahan. Tiba-tiba telinga Bok-yong Kang mendengar suara macam nyamuk mengiang.
Ternyata suara itu berasal dari Siau Mo yang menggunakan ilmu Menyusup suara.
"Mengapa ada kalanya kepandaian nona itu sakti tetapi ada kalanya lemah, akupun tak mengerti. Mungkin
hanya pura-pura saja. Agar orang jangan sampai mengetahui kalau dirinya ketua Naga Hijau yang sakti.
Semoga kesemuanya itu benar dan semoga pula kuharap ia jangan sampai memimpin anak buah Naga
Hijau ke jalan yang sesat," kata Siau Mo.
Melihat kedatangan kedua pemuda itu, Mo-seng-li segera menunjuk pada dua gunduk batu: "Di gunung
belantara, tak ada tempat yang bagus. Silahkan kalian duduk di batu itu untuk mendengarkan ceritaku."
Setelah Siau Mo dan Bok-yong Kang duduk maka Mo-seng-li segera membuka pembicaraan,
"Lebih dulu ijinkanlah aku memperkenalkan diri. Aku orang she Ui, namaku Hun-ing......."
Siau Mo batuk-batuk kecil, pikirnya: "Ui Hun-ing, si burung Kenari Kuning. Wahai...... betapa indah namamu
itu. Orangnya pun secantik namanya. Dia muncul dan lenyap bagai burung Kenari di atas mega yang
kuning......." Hun-ing menghela napas. "Tetapi.......," katanya, "aku sendiri juga belum pasti apakah Ui Hun-ing itu namaku yang aseli. Karena sejak
kecil aku sudah sebatang kara dan sejak kecil pula telah dipelihara oleh suhuku Jin Kian Pah-cu......."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Nona Ui," tiba-tiba Siau Mo menukas kata-kata si nona, "mengapa engkau hendak menghianati orang yang
telah melepas budi besar kepadamu yalah Jin Kian Pah-cu itu?"
Hun-ing tersenyum. "Siau sauhiap," katanya. "tak perlu engkau berprasangka jelek. Sebenarnya aku memang tak sampai hati
untuk melupakan budi suhu yang sebesar lautan itu. Tetapi suhu seorang yang berhati kejam dan ganas
sekali. Aku tak sampai hati melihat kaum persilatan menjadi tumpukan bangkai akibat nafsu pembunuhan
suhuku. Tiga tahun yang lalu, aku telah membawa perintah gi-bo (ibu angkat) untuk mencari Tiga Pusaka
dunia persilatan......."
Belum si nona selesai bercerita. Tiba-tiba Bok-yong Kang sudah menukas: "Nona Ui, selain jarum Ular
Emas, pena Keng-hun-pit, masih ada pusaka apa lagi yang disebut Tiga Pusaka itu?"
"Ciang-li-hiat-cian......" sahut Hun-ing.
Ciang-li-hiat-cian artinya Panah darah seribu lie. Panah pencari darah orang yang dapat melayang sampai
seribu lie jauhnya. "Apakah maksud Jin Kian Pah-cu menyuruh nona mencari Tiga Pusaka dunia persilatan itu?" tanya Siau Mo
"Gi-bo mencari Tiga Pusaka itu tak lain tujuannya yalah hendak mengalahkan tiga orang sakti dalam dunia
persilatan," kata Hun-ing.
Siau Mo meregang alis, serunya: "Siapakah ketiga orang sakti yang dimaksudkan suhu nona itu?"
Sahut Hun-ing: "Siapa ketiga orang sakti itu, aku sendiripun juga tak tahu. Karena Gi-bo pun tak
mengatakan kepadaku. Tetapi kutahu bahwa gi-bo memang mendendam kepada ketiga orang sakti itu,
tetapi beliau takut kepada mereka?""
Berhenti sejenak, Hun-ing melanjutkan pula: "Maka akan kubawa kalian kepada Nyo Jong-ho tak lain yalah
hendak meminta keterangan kepadanya, siapakah sesungguhnya ketiga orang sakti itu. Dan lain-lain
peristiwa dunia persilatan yang selama ini merupakan rahasia, mungkin juga bisa diketahui dari dia."
Siau Mo menghela napas. "Nona Ui, maafkan kalau aku bicara dengan blak-blakan. Terus terang, sampat saat ini, aku tetap
mencurigai dirimu." Hun-ing tertawa mengikik,
"Hal itu akupun tak mempersalahkan engkau," katanya, "engkau tak percaya kepadaku sudah tentu karena
engkau mempunyai pandangan tersendiri. Memang baru beberapa saat tadi aku seorang Wanita Suara Iblis
yang ganas, kemudian tiba-tiba saat ini berobah menjadi seorang baik. Sikapku memang mengherankan
engkau. Mengapa sejak kecil dipelihara orang, tahu-tahu setelah besar akan menghianatinya. Tindakanku
yang bolak-balik tak menentu itu, memang mudah menimbulkan kecurigaan orang. Tetapi ketahuilah Siau
Mo, ada kalanya engkau sendiripun terpaksa harus berbuat begitu."
Nona itu berhenti lagi, lalu melanjutkan.
"Terus terang, suhulah pada tiga tahun yang lalu Gi-bo memberi Ciang-li Hiat-cian kepadaku, yalah pusaka
dari ketua perkumpulan Naga Hijau, "Tujuannya tak lain untuk mengacau perkumpulan itu. Tetapi entah,
aku mempunyai perasaan sendiri......"
Siau Mo berkata hambar: "Engkau tentu timbul pikiran untuk menjagoi dunia persilatan dan akan bertanding
dengan suhumu untuk menentukan siapa yang lebih sakti?"
Hun-ing tersenyum. "Benar," sahutnya, "karena sejak kecil diasuh oleh suhu, akupun mewariskan juga sifat-sifatnya yang kejam
dan licin, ganas dah licik. Pada masa itu aku merasa bahwa kepandaianku tak di bawah suhu. Lalu timbul
pertanyaan dalam hatiku. Mengapa aku harus menerima perintahnya" Bukankah dengan begitu berarti aku
memendam diriku sendiri......"
Bok-yong Kang dan Siau Mo diam-diam terkejut mendengar pengakuan nona itn. Pikirnya: "Pikirannya,
sungguh jahat sekali. Tak kira kalau terhadap seorang ibu angkat yang telah melepas budi sedemikian
besar, dia tetap mengandung pikiran sejahat itu...... "
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat kedua pemuda itu diam saja, Hun-ing pun melanjutkan ceritanya.
"Tetapi, orang mengatakan dekat dengan gincu tentu merah, dekat tinta tentu hitam. Pepatah itu memang
benar. Pada waktu aku tinggalkan suhu dan berkelana di dunia persilatan, boleh dikata aku banyak
berhubungan dengan orang-orang persilatan golongan Hiap-gi (kesatria). Mereka pendekar-pendekar yang
luhur budi dan perwira. Lambat laun sifat-sifat jahat yang kuwarisi dari gi-bo, makin luntur. Dan mulailah aku
menyesal atas perjalanan hidupku yang lalu...... Lewat perenungan dan penilaian yang lama, akhirnya
kuputuskan untuk memasuki sebuah perkumpulan yang beraliran Putih. Dan perkumpulan inilah yang akan
kupersiapkan untuk menghadapi markas gerombolan Lembah Kumandang yang jahat itu......"
Berhenti sejenak untuk merenung, nona itupun melanjutkan pula.
"Dua tahun sudah aku menjabat sebagai ketua Naga Hijau. Banyak rencana dan tindakan yang telah
kulakukan. Walaupun aku tak berani mengatakan bahwa seluruhnya baik dan berhasil, tetapi sekurangkurangnya Naga Hijau telah berhasil merebut nama harum."
Siau Mo menghela napas dan memuji.
"Kesadaran dan keberanian nona untuk meninggalkan kejahatan dan kembali ke jalan yang terang, benarbenar aku Siau Mo harus memberi hormat. Sungguh mengagumkan sekali dan tak perlu harus disesalkan."
Mendengar pernyataan Siau Mo itu, dapatlah Bok-yong Kang menyadari bahwa kata-kata toakonya itu
memang mengandung arti tersendiri. Karena selama ini sepak terjang Siau Mo itu memang masih belum
mempunyai warna yang jelas, Hitam atau Putih.
Tiba-tiba sepasang mata Hun-ing memancar kilat tajam.
"Tentang sepak terjang Siau sauhiap selama berkecimpung dalam dunia persilatan," kata nona, "pernah
kuperintahkan orangku untuk diam-diam menyelidiki. Bahkan sekali pernah kuperintahkan anak buahku
untuk mengejar dan membunuh sauhiap. Tetapi karena jejakmu sukar diduga, muncul dan lenyap tanpa
diketahui, maka tiga-empat kali mengejar, orang-orang Naga Hijau yang terdiri dari jago-jago sakti itu tak
berhasil menemukan dirimu. Maka pada tahun yang lalu, aku terpaksa keluar sendiri. Dan kala itulah aku
baru mengetahui bahwa engkau memiliki salah sebuah dari Tiga Pusaka dunia persilatan yalah jarum Ular
Emas. Dan sejak itulah maka aku selalu membayangimu dari dekat?""
Si nona itu berhenti sejenak lalu melanjutkan pula:
"Kudapati sepak terjangmu, tidaklah sejahat seperti yang tersiar di dunia persilatan. Sejak itu berobahlah
pandanganku. Kuanggap engkau seorang tunas yang memiliki bakat amat luar biasa. Apa yang engkau
lakukan selama ini adalah karena engkau menderita penyakit. Bukan karena suara hatimu sendiri.
Melainkan lebih banyak dipengaruhi oleh rasa putus asa dan kebencian. Tetapi apa yang engkau ucapkan
ketika berada di hutan lembah kemarin, bahwa engkau akan berusaha untuk menyelamatkan dunia
persilatan dari kehancuran, benar-benar mengharukan dan menggembirakan sekali. Akupun makin
mengagumimu." Bok-yong Kang seperti orang yang tersadar dari kegelapan. Ia mengangguk-angguk kepala dan berpikir:
"Ah, itulah sebabnya mengapa Mo-seng-li selalu membayangi jejak toako saja."
Siau Mo tertawa gelak-gelak.
"Mendengar ucapan Ui Pangcu yang begitu memuji setinggi langit, sungguh menyebabkan Siau Mo
gelisah!" Kata Hun-ing: "Ah, engkau terlalu merendah diri. Pada hal apa yang engkau lakukan selama ini, kecuali
hanya dipengaruhi oleh nafsu-nafsu kemarahan, lain-lain hal rasanya tak ada yang harus dibuat malu."
Wajah Siau Mo berobah serius.
"Memang akupun sudah tahu apa yang kulakukan dahulu adalah semata-mata karena keadaan tubuhku
sehingga sering hatiku timbul walaupun ada kalanya tak menurut garis kebenaran dan bahkan setempo
memang ganas, tetapi hal itu disebabkan karena keadaan yang terpaksa. Keadaan yang sebenarnya di luar
dari kehendakku......"
"Siau sauhiap," kata Hun-ing, "sekarang sudah menumpah isi diri kita. Segala kesalahan paham saat inipun


Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah cair. Sekarang kita bakal menghadapi suatu bahaya besar yang harus segera kita atasi. Aku hanya
seorang anak perempuan, tak mungkin akan terus berkecimpung dalam pergolakan dunia persilatan. Pula
dunia-kangouw.blogspot.com
tak mampu untuk menghadapi peristiwa besar itu. Oleh karena itu maka aku bermaksud hendak
menyerahkan kedudukan ketua Naga Hijau itu kepada orang......"
Si nona hentikan kata-katanya dan memandang kepada Siau Mo.
Bahwa nona itu telah menjelaskan keadaan diri dengan terus terang, diam-diam Bok-yong Kang gembira
sekali. Tetapi setitikpun ia tak menyangka kalau nona itu begitu mengindahkan sekali kepada Siau Mo
sehingga rela menyerahkan kedudukan sepenting itu. Apabila toakonya itu mau menerima jabatan tersebut,
ah, benar-benar suatu hal yang amat menguntungkan bagi dunia persilatan.
Tetapi di luar dugaan, Siau Mo hanya tertawa rawan.
"Nona Ui, engkau sesungguhnya seorang dewi yang menjelma di dunia. Baik kecerdasan maupun ilmu
kesaktianmu, jarang terdapat keduanya di dunia persilatan," kata Siau Mo, "kalau seorang seperti engkau
tak berani menjabat kedudukan ketua Naga Hijau, lalu siapa lagi orang yang berani menjabatnya?"
Dengan pandang mata yang penuh arti, Hun-ing menatap Siau Mo.
"Kutahu dalam dunia ini hanya seorang yang dapat mengalahkan aku dalam kecerdasan dan ilmu
kesaktian. Kalau dia mau menerima jabatan sebagai ketua Naga Hijau dan akupun membantunya dari
belakang, kuberani memastikan bahwa Naga Hijau tentu mampu mengatasi aliran-aliran hitam yang
manapun juga......."
Hun-ing berhenti untuk menghela napas.
"Gi-bo seorang yang berhati tinggi dan angkuh," katanya pula, "dan mempunyai anak buah jago-jago silat
yang lihay. Kalau hanya aku seorang diri, jelas tentu sukar menghadapi mereka. Seperti apa yang terjadi
hari ini, toa-suciku Hiat Sat Mo-li telah muncul di Lok-yang. Jelas dia tentu dikirim oleh suhu kemari untuk
menghadapi aku. Dengan demikian jelas pula kalau beliau tentu sudah mendengar tentang gerak gerikku
yang hendak menentang Lembah Kumandang."
"Ui Pangcu memiliki kepandaian yang amat sakti," kata Bok-yong Kang, "kurasa toa-sucimu tentu tak dapat
berbuat apa-apa kepadamu."
Hun-ing geleng-geleng kepala dan menghela napas,
"Diantara kami bertiga saudara seperguruan walaupun belum tentu aku kalah dengan toa-suci, tetapi karena
sudah tiga tahun aku pergi dari Lembah Kumandang maka tak dapatlah kuketahui sampai dimana tingkat
pelajaran yang telah dicapai toa-suci dan sam-sumoay sekarang. Misalnya seperti ilmu Kiu-im-sip-sim-mo
yang dilantangkan toa-suci tadi, itulah suatu ilmu yang khusus untuk menggempur kelemahanku. Dengan
bukti itu jelas kalau gi-bo tentu sudah mengajarkan kepada toa-suci ilmu istimewa yang khusus untuk
menghancurkan ilmu kepandaianku."
Bok-yong Kang terkejut, pikirnya: "apakah di dunia ini benar-benar terdapat ilmu suara yang begitu sakti
sehingga dapat menghancurkan ilmu kepandaian orang?"
Dengan mata yang memancar kecemasan nona itu berkata lagi: "Telah kukatakan bahwa gi-bo itu seorang
wanita yang luar biasa kejamnya. Karena beliau tahu aku hendak berkhianat maka beliau tentu takkan
memberi ampun lagi. Begitu aku berada dalam genggamannya. Naga Hijau tentu akan menjadi ular tanpa
kepala. Oleh karena itu maka sejak beberapa waktu aku sudah memikir untuk mencari penggantiku sebagai
ketua Naga Hijau. Apabila Siau sauhiap benar-benar memiliki jiwa kesatrya, mau menyelamatkan dunia
persilatan dari bencana kehancuran, tentulah sauhiap mau menerima jabatan itu. Dengan mempunyai
seorang ketua seperti Siau sauhiap, Naga Hijau pasti akan dapat memenuhi harapan seluruh kaum
persilatan." Mendengar itu tergerak juga hati Siau Mo.
"Walaupun aku mempunyai cita-cita hendak menyelamatkan dunia persilatan tetapi siapakah yang tahu
akan keadaan diriku" Ah, karena bingung mengatasi penyakit dalam diriku maka aku telah minum racun.
Sekarang jiwaku hanya tinggal seratus hari. Apabila harus dipersingkat lagi...... ah, dalam waktu yang begitu
singkat, apakah yang dapat kukerjakan untuk kepentingan dunia persilatan?" pikirnya.
Hun-ing menghela napas rawan.
"Siau sauhiap," katanya, "kutahu apa yang engkau pikirkan. Memang hidup manusia itu amat pendek, tetapi
apabila dalam hidupnya yang pendek itu kita dapat berusaha keras, kemungkinan tentu akan memperoleh
apa yang kita cita-citakan."
dunia-kangouw.blogspot.com
Siau Mo merenung diam. Wajahnya berobah-robah tak menentu.
Hun-ing dan Bok-yong Kang memandang lekat-lekat ke arah wajah Siau Mo. Mereka tahu bahwa Siau Mo
tentu sedang mempertimbangkan suatu soal penting.
Tiba-tiba mata Siau Mo memancarkan kilat yang tajam dan berkatalah ia dengan nada lepas: "Baiklah! Akan
kugunakan umurku yang pendek itu guna melakukau suatu pekerjaan besar. Demi untuk menegakkan
Kebajikan, akan kuhapuskan semua pikiran dan sepak terjangku yang buruk."
Kata-kata itu seperti diucapkan kepada dirinya sendiri. Ia membeliakkan mata memandang si nona dan Bokyong Kang lalu tertawa datar.
"Yang lalu biarlah lalu," katanya, "nama Pendekar Ular Emas Siau Mo biarlah ikut lenyap dibawa masa lalu.
Sekarang aku hendak mengembalikan wajahku yang sebenarnya"..."
Tiba-tiba Siau Mo meraba belakang daun telinganya dan segera menyingkap kulit mukanya.
Amboi?" Hun-ing tercengang. Bahkan Bok-yong Kang yang sudah dua tahun bergaul dengan Siau Mo, saat itupun
terkejut bukan kepalang. Ternyata yang disingkap oleh Siau Mo itu selembar kulit manusia tetapi bukan kulit muka Siau Mo sendiri
melainkan sebuah kedok muka terbuat dari kulit manusia. Sedemikian halus dan sempurna kedok kulit itu
sehingga orang tentu menyangka kalau Siau Mo memang begitu raut wajahnya.
Saat itu yang duduk dihadapan Hun-ing dan Bok-yong Kang bukanlah Siau Mo si Pendekar Ular Emas yang
berwajah pucat seperti orang sakit. Tetapi seorang pemuda yang gagah dan tampan. Sepasang alis yang
tebal menaungi sepasang bola matanya yang bening tajam. Wajahnyapun merah segar?"
Siau Mo tertawa ringan. "Inilah tampang mukaku yang sebenarnya. Sejak sekarang, nama Siau Mo pun akan kutanggalkan bersama
dengan kedok muka ini. Aku hendak menggunakan namaku yang aseli Siau Lo-seng untuk berkecimpung
dalam dunia persilatan!"
Pada saat mengucapkan kata-kata itu, tampak wajah Siau Lo-seng berkabut kedukaan. Sejenak
memandang ke arah Hun-ing dan Bok-yong Kang ia menghela napas pula.
"Ui Pangcu dan Bokyong-te," katanya, "mungkin kalian tentu menaruh kecurigaan atas pergan?tian nama
yang kulakukan ini, bukan?"
Hun-ing tertawa. "Menilik Siau sauhiap seorang muda yang gagah dan perwira, memang rasanya aneh mengapa sauhiap
mengambil nama Mo (Iblis). Bahwa sekarang sauhiap telah menggantinya dengan nama Lo-seng, itu
memang lebih baik. Adakah engkau mempunyai suatu rahasia dalam menggunakan nama Mo itu?"
Tiba-tiba tubuh Siau Lo-seng gemetar.
"Siau Mo, nama itu adalah nama pamanku. Mengapa kugunakan nama itu untuk mengganas di dunia
persilatan, memang panjang ceritanya," kata pemuda itu. Berkata sampai di situ, ia mendesah seperti
membayangkan sesuatu yang menyedihkan.
"Menurut yang kuketahui, terbunuhnya seratusan jiwa keluarga Siau itu, adalah pamanku Siau Mo yang
menjadi biang keladinya....... itulah sebabnya maka aku menggunakan nama untuk memancing agar paman
mau keluar dari tempat persembunyiannya. Selama dua tahun aku melakukan perbuatan ganas, tak lain
hanya menggali liang kebencian dunia persilatan kepada paman. Apabila merenungkan peristiwa itu, aku
Siau Lo-seng memang seorang manusia yang tak berharga. Aku telah mengecewakan arwah kedua orang
tuaku di alam baka"..."
"Ah, manusia itu bukan dewa. Tentu tak lepas dari kesalahan," Hun-ing menghiburinya, "tahu kesalahan dan
dapat merobahnya, barulah seorang yang berjiwa besar. Apalagi Siau sauhiap mempunyai kewajiban untuk
menuntut balas. Kesalahan-kesalahan yang sauhiap lakukan itu, memang sukar dielakkan. Harap sauhiap
jangan kecewa." dunia-kangouw.blogspot.com
05.23. Mahluk Aneh Di Tanah Kuburan
"Hm, memang menjengkelkan sekali pamanku yang licin bagai belut dan buas seperti harimau itu. Sampai
detik-detik ini-dia belum juga mau mengunjuk diri dan tetap membiarkan aku mengganas dan
membunuh......." "Apakah tak mungkin pamanmu Siau Mo itu sudah meninggal dunia?" tanya Hun-ing.
Siau Lo-seng menghela napas.
"Mungkin," katanya, "mungkin pamanku memang sudah mati. Kalau masih hidup dia tentu sudah unjuk diri.
Tetapi umurku terbatas, kalau hal itu barlarut lebih lama lagi, bagaimana aku dapat menuntut balas
kematian orang tua dan saudara-saudaraku" Maka, sia-sia dan celakalah aku yang telah menggunakan
nama Siau Mo itu untuk melakukan perbuatan ganas selama ini......."
"Ah," Siau Lo-seng mendesah, "maka sekarang kuputuskan untuk menampakkan wajahku yang
sebenarnya. Dengan umurku yang terbatas itu, aku hendak berbuat sesuatu untuk menebus dosaku yang
lalu. Agar aku tak mengecewakan arwah kedua orang tuaku di alam baka!"
Mendengar penuturan itu terbukalah kini pikiran Bok-yong Kang akan sikap dan tingkah laku yang aneh dari
Siau Mo selama ini. Diam-diam ia bersyukur sekali bahwa Siau Lo-seng telah sadar dan akan kembali ke
jalan yang benar. Bok-yong Kang ulurkan tangan menjabat tangan Siau Lo-seng, katanya: "Toako, engkau tak bersalah.
Sekalipun taruh kata salah, dunia pun akan memaafkan kesalahanmu itu."
Darah di dada Siau Lo-seng bergolak keras. Dan berkatalah dia dengan tegang: "Bokyong-te, engkau
adalah satu-satunya sahabatku yang tahu diriku. Saat ini baru aku menyadari betapa aku telah banyak
membikin susah kepadamu. Selama setahun ini, aku selalu memendam kesedihan dalam hatiku sendiri dan
tak membagikan kepadamu. Pun tak mau menceritakannya."
"Tidak, toako," sahut Bok-yong Kang, "engkau adalah penolongku yang melepas budi besar. Apapun
kesalahan yang toako lakukan, bagiku tetap benar. Engkau tak menyalahi aku. Karena kutahu bahwa hati
nuranimu itu sebenarnya amat berbudi."
Hun-ing memandang cakrawala lalu berseru: "Hari segera akan terang tanah, marilah kita lanjutkan
perjalanan lagi!" Tiba-tiba Siau Lo-seng melepaskan Pedang Ular Emas yang tersanggul di bahunya dan membuat sebuah
liang di tanah. Pedang dan kedok muka dari kulit orang itu dikubur bersama-sama di tanah dalam liang itu.
"Siau Mo sudah mati. Kedok muka Pendekar Ular Emas dan pedang Ular Emas pun harus ikut dikubur.
Sejak saat ini, aku Siau Lo-seng, akan menempuh hidup baru!"
"Tepat," seru si nona, "sejak saat ini dunia persilatan takkan terdapat Siau Mo lagi. Bila muncul orang yang
menyebut dirinya Siau Mo, dialah musuh besar kita!"
Mereka bertiga segera menimbuni liang dengan tanah. Kemudian mereka lalu tinggalkan lereng gunung itu.
Tetapi tepat pada saat ketiga orang itu pergi, dari atas lereng gunung terdengar sebuah tertawa dingin.
Sesosok tubuh tiba-tiba muncul dan lari menghampiri ke tempat liang itu.
Cepat sekali orang aneh itu segera membongkar liang dan mengambil Pedang Ular Emas. Karena hari
masih belum terang tanah maka cuacapun masih gelap sehingga tak dapat diketahui bagaimana wajah
orang yang mengambil pedang Ular Emas itu.
Siapakah orang misterius itu".."
******************** Pada saat itu Siau Lo-seng Bok-yong Kang dan Hun-ing bertiga tengah berlari melintasi sebuah belantara
sunyi. Tiba-tiba terdengar suara suitan seram memecah angkasa.
Ketiga anak muda itu terkejut dan hentikan larinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Apakah toa-suci nona mengeluarkan suitan lagi?" tanya Siau Lo-seng kepada Hun-ing.
Hun-ing gelengkan kepala.
"Suitan aneh itu terang bukan ilmu Suitan Iblis dari Lembah Kumandang. Suitan itu luar biasanya tajamnya
sehingga menegakkan bulu roma orang. Tak beda seperti jeritan iblis yang sesungguhnya."
Tetapi setelah melengking di udara, suara suitan itupun segera lenyap. Karena ditunggu sampai sekian
jenak tak ada suatu perobahan apa-apa, merekapun segera lanjutkan perjalanan lagi.
Di balik karang yang menggunduk di sebelah muka itu, terdapat sebidang tanah kuburan yang sudah
hampir menjadi belantara hutan kecil.
"Setelah melintasi hutan kecil ini, akan terdapat sebuah pondok. Nyo Jong-ho berada di situ. Mari kita lekas
menemuinya," kata Hun-ing.
Tetapi pada saat itu pula, suitan seram tadipun melengking lagi. Dan dari tengah tanah kuburan tua itu
berhamburan muncul beberapa belas sosok bayangan setan. Tubuh mereka yang bergemerlapan dan
angin pun menderu-deru ketika mereka serempak lari menghampiri kepada rombongan Siau Lo-seng.
Dalam saat dan tempat seperti itu, betapa besar nyali seseorang, tentu tak urung akan terbang juga
semangatnya. "Ai.......," Hun-ing menjerit kaget terus menubruk dada Siau Lo-seng.
Bok-yong Kang pun terkejut dan menyurut mundur tiga langkah.
Melihat kawanan setan itu menyerbu dengan cepat, Siau Lo-seng cepat membentaknya: "Kawanan setan
berhenti!" Bentakan Siau Lo-seng itu bagaikan halilintar dahsyatnya. Dan kawanan mahluk aneh itupun serempak
berhenti. Pun Hun-ing terkejut karena suara Siau Lo-seng yang begitu menggeledek. Pikirnya: "Dengan berada di
samping seorang pemuda yang tak takut segala apa ini, mengapa aku begitu ketakutan?"
Tiba-tiba Siau Lo-seng menepuk pelahan bahunya: "Ui Pangcu, mereka bukan setan tetapi manusia biasa.
Tak perlu takut." Dengan pipi bersemu merah, nona itu berkisar dari dada Siau Lo-seng.
"Biarpun setan, kalau berada di sampingmu, akupun tak takut," serunya.
Kawanan mahluk itu berhenti pada jarak tujuh tombak jauhnya. Tiba-tiba tiga dari mereka bersama maju.
Siau Lo-seng tertawa dingin.
"Hai, kalian ini dari golongan mana" Mengapa berani menyaru jadi setan. Itu kan bukan laku seorang
gagah!" serunya. Tetapi ketiga mahluk aneh itu seperti tak mendengar. Mereka tetap menghampiri maju.
Siau Lo-seng kerutkan alis lalu berpaling kepada Bok-yong Kang: "Bokyong-te, jagalah Ui Pangcu."
Habis berkata ia terus loncat ke atas batu nisan sebuah makam. Seorang diri ia hendak menghadapi
kawanan mahluk aneh itu. "Wut......" kawanan mahluk aneh itupun serempak melayang ke atas sebuah makam juga.
Siau Lo-seng kerutkan dahi. Kawanan mahluk aneh itu berjumlah tigabelas orang. Mengenakan pakaian
hitam, kepala dan mukanyapun ditutup dengan kerudung hitam hanya bagian mata diberi lubang.
Tiba-tiba Hun-ing memekik kaget, serunya: "Hai mustahil dalam saat begini kawanan setan mau unjuk diri.
Apakah tak mungkin mereka datang untuk menyergap Nyo Jong-ho......"
Tetapi segera pikiran nona itu membantah pendapatnya sendiri: "Ah, tetapi Nyo Jong-ho jarang unjuk diri di
dunia persilatan. Mengapa kawanan mahluk aneh itu......"
dunia-kangouw.blogspot.com
Tepat pada saat itu seorang mahluk aneh loncat melayang ke tempat Siau Lo-seng. Diam-diam pemuda itu
memperhatikan bahwa gerak loncatan mahluk aneh itu hebat sekali. Cepat iapun segera lepaskan sebuah
hantaman. Belum mahluk aneh itu menginjakkan kaki pada batu nisan yang terpisah tiga tombak dari tempat Siau Loseng, angin pukulan pemuda itupun sudah tiba melandanya.
Siau Lo-seng memang sengaja hendak menghancurkan nyali orang. Maka pukulannya itupun dilambari
dengan enam bagian tenaga.
"Krek, krek......" mahluk aneh itu menangkis tetapi segera ia menjerit ngeri dan terlempar ke udara lalu jatuh
di atas gunduk makam. Namun secepat itu pula, ia dapat melenting bangun lagi.
Siau Lo-seng terkejut, pikirnya: "Apakah kawanan mahluk aneh itu memang bangsa setan yang
sesungguhnya" Mengapa pukulanku tak mampu merubuhkannya......"
Tiba-tiba ia teringat akan bunyi `krek, krek` tadi. Bunyi itu mirip dengan suara setan. Seketika ujung kaki
Siau Lo-seng dirayapi oleh serangkum hawa dingin.
Pada saat itu pula, tiga mahluk aneh berhamburan loncat maju. Mereka berpencaran di tiga arah.
Siau Lo-seng segera melambung ke udara dan menghantam mahluk aneh yang berada di tengah.
Rupanya mahluk aneh itu tak menduga kalau lawan memiliki gerakan sedemikian gesitnya. Mereka terkejut
dan tak sempat menangkis. Belum sempat mereka mencari pikiran untuk menghindar, angin pukulan Siau
Lo-seng pun sudah melanda dadanya.
Uh?" orang itu mengerang tertahan. Tubuhnya jungkir balik sampai dua kali lalu melayang rubuh di tanah.
Mendengar suara erang tadi, tahulah kini Siau Lo-seng bahwa itu suara manusia biasa, bukan bangsa
setan. Seketika menggeloralah nyalinya. Setelah berhasil merubuhkan seorang, Siau Lo-seng terus
berputar tubuh dan menerjang lawan yang berada di sebelah kiri.
Baru mahluk aneh itu menginjakkan kaki ke atas sebuah makam, Siau Lo-seng pun sudah tiba dengan
pukulan Ngo-ting-biat-ciok yang mengarah kepala.
Melihat Siau Lo-seng menyerang kawannya, mahluk aneh yang berada di sebelah kanan cepat maju
menyerang, memukul punggung lawan.
Mahluk aneh di sebelah kiri nekad mengangkat untuk menangkis pukulan Siau Lo-seng. Tetapi dia segera
terpental mundur dan terhuyung-huyung. Untung tak sampai rubuh.
Mahluk aneh yang menyerang punggung Siau Lo-seng itu hampir bersorak girang karena pukulannya
hampir mengenai sasaran. Tetapi betapa kejutnya ketika tahu-tahu tubuh pemuda itu telah merebah ke
samping. Karena mahluk aneh itu menggunakan seluruh tenaganya untuk memukul maka tubuhnyapun ikut
menjorok ke muka. "Plak," enak saja Siau Lo-seng menampar punggung mahluk aneh itu. Serentak terdengar jeritan ngeri dan
mulut mahluk aneh itupun menyembur darah segar dan rubuhlah ia ke muka.
Lebih sial pula, ketika orang itu menjorok ke muka, tepat dia bertubrukan dengan kawannya yang hendak
menyerang Siau Lo-seng dari sebelah kiri. Keduanyapun berhamburan jatuh.
Menyaksikan sendiri betapa dalam waktu beberapa kejap saja Siau Lo-seng dapat merubuhkan tiga orang
aneh yang berkepandaian tinggi, terkejutlah Hun-ing. Nona itu diam-diam bertanya dalam hati: "Begitu sakti
kepandaiannya, entah dari siapakah dia mendapat ilmu kepandaiannya itu?"
Tetapi beda dengan penilaian Hun-ing, kawanan orang aneh itu tak gentar karena tiga orang kawannya
telah dirubuhkan Siau Lo-seng. Mereka tetap maju hendak menyerbu pemuda itu.
Tiba-tiba terdengarlah teriakan aneh macam burung hantu melantang dari ujung kuburan. Mendengar itu
kawanan orang aneh pun segera berhenti berputar tubuh lari kembali ke arah bagian sebelah dalam dari
tanah kuburan itu. Siau Lo-seng terkejut ketika melihat ke empat orang yang dipukulnya rubuh itupun dapat bangun kembali
dan menyusul kawan-kawannya.
"Uh, orang golongan apakah mereka itu" Mengapa mereka sedemikian anehnya?"" pikirnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Seketika timbul keinginannya untuk mengetahui kawanan orang aneh itu. Karena tegangnya ia sampai lupa
untuk memberi isyarat kepada Hun-ing dan Bok-yong Kang.
Dengan gunakan gerak loncatan yang hebat, dalam tiga-empat kali loncatan saja ia sudah dapat menyusul
orang aneh yang lari paling belakang sendiri.
Siau Lo-seng enjot tubuhnya melambung sampai tiga tombak ke udara lalu lepaskan sebuah hantaman ke
arah orang aneh itu. Tiba-tiba terdengar suara tertawa aneh dan dari balik sebuah makam besar, muncullah seorang aneh.
Melihat dandanannya yang luar biasa aneh dan gerakannya yang hebat, Siau Lo-seng dapat menduga yang
muncul itu tentu pemimpin kawanan orang aneh.
Siau Lo-seng tahu hahwa pemimpin orang aneh itu tentu jauh lebih lihay dari anak buahnya. Maka diamdiam ia salurkan tenaga dalam ke arah tangan kanan. Kemudian ia melompat ke udara dan melayang ke
arah pemimpin itu sambil lepaskan sebuah hantaman dahsyat yang disebut jurus Halilintar menyambar ke
bawah. Orang aneh itupun tak gentar. Iapun loncat menyongsong dengan dahsyat. "Krak......," terdengar letupan
keras dari dua kerat tulang yang saling beradu.
Pemimpin orang aneh itu terpelanting jatuh ke tanah tetapi Siau Lo-seng pun terlempar sampai tiga tombak


Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jauhnya dan jatuh di atas sebuah makam.
Diam-diam Siau Lo-seng terkejut sekali. Sejak turun ke dunia persilatan baru pertama kali itu ia bertemu
dengan seorang lawan yang dapat menandingi kepandaiannya. Ia mengangkat muka memandang orang
itu. Ternyata orang itu seorang bungkuk yang mengenakan baju hitam. Mukanya penuh dengan gurat-gurat
bekas luka yang menyeramkan.
Begitu jatuh di tanah si Bungkuk pun cepat melenting bangun lalu lepaskan hantaman ke arah Siau Lo-seng
lagi. Pikirnya, selagi pemuda itu belum sempat bangun, ia hendak mendahului meremukkannya.
Tetapi ternyata Siau Lo-seng sudah bersiap. Begitu melihat si Bungkuk gerakkan tangan, iapun segera enjot
tubuhnya melambung ke udara, menghindari pukulan orang lalu balas menyerangnya.
Si Bungkuk mendengus. Ia menyongsong maju dua langkah. Tangan kanan lurus ke muka memukul dada
lawan sedang tangan kiri menabas lambung.
Tetapi Siau Lo-seng tak gugup menghadapi dua serangan maut itu. Segera ia mengatupkan kedua tangan
dan lancarkan jurus Hun-he-ki-gwat atau Membelah kabut mengambil rembulan.
Si Bungkuk terkejut melihat kepandaian pemuda itu. Dengan gerakan yang indah, pemuda itu bukan saja
dapat menghindari pukulannya, pun malah sekalian menyerangnya. Menghindar sambil menyerang, benarbenar jurus yang hebat. Dan menyadari kalau berhadapan dengan seorang pemuda sakti, si Bungkuk pun
terpaksa mundur dua langkah dan bergeliatan untuk menghindari serangan balasan dari Siau Lo-seng.
Karena sampai beberapa jurus tak juga memperoleh hasil, marahlah orang bungkuk itu. Hawa pembunuhan
meluap-luap. Dengan jurus Harimau lapar menerkam kambing, ia menyerang Siau Lo-seng dengan buas
sekali. Tangan kiri melakukan gerak ilmu Kin-na-jiu untuk menyambar pergelangan tangan lawan. Tangan
kanan khusus untuk melancarkan pukulan dahsyat.
Dengan demikian sekali gus orang bungkuk itu telah melancarkan dua macam gaya serangan. Dan kedua
jurus itu merupakan jurus-jurus yang hebat. Sekalipun seorang ketua partai persilatan tentu akan sibuk dan
terluka apabila menghadapi dua serangan istimewa itu.
Siau Lo-seng juga terkejut. Ia tak menyangka sama sekali bahwa seorang bungkuk yang berwajah begitu
buruk ternyata memiliki ilmu kepandaian yang begitu sakti.
Siau Lo-seng tak berani lengah. Setelah dapat menghindari kedua serangan itu, segera ia lancarkan
serangan balasan yang dahsyat. Pukulan dan tendangan bertubi-tubi dilancarkannya.
Dalam sekejap saja, pemuda itu sudah melakukan lima buah pukulan dan tiga tendangan.
Si Bungkuk dapat didesak mundur dua langkah tetapi setiap kali mundur, ia terus maju lagi untuk
menyerang. dunia-kangouw.blogspot.com
Demikianlah di tanah kuburan yang sunyi di lereng pelantara gunung, berlangsunglah pertempuran dahsyat.
Pertempuran antara dua jago silat sakti yang jarang terdapat di dunia persilatan.
Angin menderu-deru mengantar pertempuran itu. Mautpun telah mcngintai untuk mengangkut nyawa orang
yang kalah. Rupanya si Bungkuk itu amat penasaran sekali. Masakan orang yang memiliki kepandaian begitu sakti
seperti dirinya, ternyata tak mampu untuk merubuhkan seorang pemuda yang tak terkenal. Penasaran itu
segera ditumpahkannya dalam serangan yang sederas hujan mencurah.
Tetapi Siau Lo-seng saat itupun seperti orang yang kerangsokan setan. Tampaknya tenaga pemuda itu tak
habis-habisnya dan jurus-jurus yang dilancarkan makin luar biasa anehnya. Betapa si Bungkuk menyerang
dengan tenaga dahsyat dan jurus yang hebat, tetapi Siau Lo-seng selalu dapat melayani, menghindar lalu
balas menyerang. Saat itu tampaknya hanya kedua orang itu saja yang berada di tanah kuburan. Kawanan orang aneh tadi
sudah tak tampak bayangannya.
Sambil bertempur, diam-diam Siau Lo-seng mencemaskan Hun-ing dan Bok-yong Kang. Mengapa kedua
orang itu tak datang menyusulnya.
Karena pikirannya melayang, gerakannya pun agak lambat sehingga si Bungkuk berhasil mendesaknya
mundur dua langkah. Tiba-tiba si Bungkuk mengangkat tangan kanannya ke atas. Siau Lo-seng terkejut ketika melihat telapak
tangan si Bungkuk itu berwarna merah darah.
"Apakah itu bukan pukulan Cu-sat-ciang yang sukar dipelajari?" diam-diam ia menimang.
Siau Lo-seng memiliki pengetahuan ilmu silat yang luas. Ia tahu bahwa Cu-sat-ciang atau pukulan Pasir
merah itu sebuah pukulan yang amat beracun. Maka iapun segera mencurahkan seluruh perhatiannya
kepada gerak si bungkuk. 05.24. Saudara Angkat Sang Ayah
Tiba-tiba tangan kanan si Bungkuk pun pelahan-lahan didorongkan ke muka. Melihat itu Siau Lo-seng pun
tak berani berayal lagi. Ia mengatupkan kedua tangan ke dada, tangan kanan menjulur ke muka, dua buah
jari tengah dan jari telunjuk segera menutuk ke muka.
Terdengar suara mendesis pelahan ketika pukulan beradu dengan jari.
Seketika berobahlah wajah si Bungkuk. Cepat-cepat ia loncat muncur. Sedang Siau Lo-seng tetap tegak
berdiri ditempatnya. Beberapa saat kemudian, kedengaran orang bungkuk itu berseru: "Engkau murid perguruan mana?"
Siau Lo-seng tertawa dingin.
"Menilik kepandaian anda begitu hebat, tentulah anda ini bukan tokoh yang tak ternama," sahut Siau Loseng.
"Hm," dengus si Bungkuk, "walaupun engkau tak mau mengatakan tetapi akupun tahu bahwa ilmu jari yang
engkau gunakan tadi berpuluh-puluh tahun dari dunia persilatan, disebut ilmu jari Han-sim-ci......"
Han-sim-ci artinya Jari hati dingin.
Siau Lo-seng tersenyum. "Kalau sudah tahu hebatnya ilmu jari itu, apakah engkau hendak mencobanya?" serunya.
Si Bungkuk meraung keras: "Apakah engkau kira lo-siu takut walaupun engkau mempunyai ilmu jari yang
hebat itu?" Karena orang bungkuk itu menyebut dirinya sebagai lo-siu maka Siau Lo-seng menduga kalau orang itu
tentu seorang tua. dunia-kangouw.blogspot.com
Sekonyong-konyong dari arah belakang tanah kuburan, terdengar sebuah jeritan nyaring bernada
ketakutan: "Engkoh Lo-seng?""
Seruan itu amat nyaring sekali dan terdengar jelas oleh Siau Lo-seng. Ia terkejut karena tahu bahwa suara
itu adalah suara nona Hun-ing. Siau Lo-seng terkejut. Ia dapat menduga tentu Hun-ing dan Bok-yang Kang
telah ditawan oleh kawanan manusia setan.
"Nona Ui?"," cepat ia berseru. Aneh, setelah berteriak satu kali tadi, Hun-ing tak kedengaran lagi.
Saat itu hari sudah terang tanah tetapi tanah kuburan masih remang-remang tertutup kabut.
Dengan dua tiga kali loncatan, Siau Lo-seng pun sudah menuju ke tempat ketigabelas orang aneh tadi
berkerumun, tetapi ternyata mereka sudah tak tampak bayangannya. Yang tampak hanyalah gundukgunduk makam.
Siau Lo-seng terkejut. "Nona Ui....... Bokyong-te....... ," ia berteriak sekeras-kerasnya. Namun sampai diulang beberapa kali tetap
tiada penyahutan kecuali angin pagi yang bertebaran menyiak rumput di sepanjang tanah kuburan.
Siau Lo-seng seorang pemuda yang cerdas tangkas. Tetapi menghadapi keadaan yang begitu
mengherankan iapun terlongong-longong seperti kehilangan paham.
Aneh, benar-benar aneh. Baru sekejap mata teriakan Hun-ing melengking mengapa tahu-tahu sudah lenyap
tak berbekas. Apakah musuh dapat bergerak sedemikian cepatnya untuk membawa lari kedua orang itu.
Siau Lo-seng benar-benar seperti tenggelam dalam kabut teka teki aneh.
Segera ia gunakan ilmu lari cepat untuk menjelajah seluruh penjuru tanah kuburan itu, Dan hampir lima lie
jauhnya ia menyusur tanah kuburan itu namun tetap tak melihat apa-apa.
Dari nada teriakannya tadi, Siau Lo-seng dapat menduga tentulah Hun-ing menderita kegoncangan hati
yang hebat sehingga ia sampai berteriak minta pertolongan. Tetapi kemanakah gerangan nona itu"
Adakah nona itu ditawan oleh anak buah si Bungkuk"
Tiba-tiba ia teringat akan si Bungkuk. Cepat ia berputar tubuh dan lari ke tempat orang itu. Tetapi, ah,
ternyata orang bungkuk itupun sudah lenyap.
Siau Lo-seng makin bingung. Ia tegak terlongong-longong seperti orang kehilangan semangat.
Entah berselang berapa lama, tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara orang menyebut doa,
"Omitohud." Suaranya mengandung kekuatan gaib seperti genta pagi yang bertalu-talu membangkitkan hati insan untuk
menunaikan ibadahnya. Dan Siau Lo-seng pun terkejut. Ia berpaling ke belakang.
Tiga tombak di sebelah belakang, entah kapan munculnya, tiba-tiba tampak seorang paderi tua yang
mengenakan jubah putih. "Siapa engkau?" tegur Siau Lo-seng.
Sambil rangkapkan kedua tangan, paderi tua itu menjawab: "Lo-ni, Pek Wan dari gereja Siau-lim-si di
gunung Ko-san." "Apa maksudmu datang kemari?" seru Siau Lo-seng pula.
Mendengar pertanyaan itu Pek Wan agak menyalangkan mata dan memandang pemuda itu dengan tajam.
"Lo-ni melihat sicu tegak mematung, tentulah karena sicu telah menderita sesuatu yang menggoncangkan
hati. Orang yang berlatih silat, pantang untuk terlongong-longong kehilangan semangat. Maka Lo-ni
memberanikan diri untuk menjagakan sicu," kata paderi tua itu.
Siau Lo-seng mendesah: "Hai, kalau begitu lo-siansu hanya kebetulan lewat di sini."
Mendengar ucapan Siau Lo-seng yang tak keruan arahnya itu, Pek Wan Taysu pun heran.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Omitohud," serunya pelahan, "kalau Lo-ni tak salah lihat, sicu ini tentu seorang tokoh silat yang sakti.
Maukah sicu memberitahukan nama sicu yang mulia?"
Siau Lo-seng menghela napas kecil, sahutnya: "Harap taysu jangan menanyakan hal itu."
Habis berkata Siau Lo-seng terus ayunkan kaki melangkah pergi.
"Sicu, harap tunggu sebentar.......," teriak Pek Wan Taysu, "apakah sicu hendak mencari orang?"
Mendengar kata-kata itu, Siau Lo-seng cepat berputar tubuh dan melesat kehadapan paderi tua itu.
"Bagaimana taysu tahu kalau aku sedang cari orang?"
Paderi tua itu terkejut melihat gerakan Siau Lo-seng yang sedemikian gesitnya, hanya dengan sekali loncat,
pada jarak tiga tombak jauhnya, pemuda itu sudah berdiri dihadapannya.
Tetapi Pek Wan Taysu adalah seorang paderi tua yang berilmu. Walaupun terkejut namun ia tetap dapat
berlaku tenang. "Tadi di tengah jalan Lo-ni melihat seorang nona telah dibawa oleh orang. Maka Lo-ni duga tentulah sicu
hendak mencari nona itu," katanya.
"Taysu," teriak Siau Lo-seng gopoh, "apakah engkau dapat melihat jelas wajah nona itu" Dan ke arah
manakah mereka pergi?"
"Omitohud," seru paderi tua itu, "kawanan durjana itu memiliki ilmu ginkang (meringankan tubuh) yang hebat
sekali. Dan lagi kabut pagi amat tebal sekali sehingga Lo-ni hanya dapat mendengar teriakan nona itu.
Ketika Lo-ni hendak memburu, merekapun sudah lenyap."
Pek Wan Taysu memandang Siau Lo-seng lalu mengajukan pertanyaan:
"Siapakah sicu ini dan siapakah nona yang dilarikan orang itu?"
Siau Lo-seng menghela napas.
"Ah, kali ini celaka sekali. Aku orang she Siau nama Lo-seng. Nona yang dilarikan penjahat itu adalah ketua
Naga Hijau dan masih ada seorang lagi, saudara angkatku."
Mendengar itu berobahlah wajah Pek Wan Taysu: "Siau sicu, engkau mengatakan gadis yang ditawan itu
ketua Naga Hijau, bagaimana mungkin hal itu terjadi?"
Memang beralasan juga kata-kata paderi Siau-lim-si itu. Naga Hijau memang sangat terkenal di dunia
persilatan, bahkan namanya tersiar sampai ke empat penjuru lautan. Seorang ketua perkumpulan yang
begitu termasyhur masakan semudah itu dapat ditawan orang?"
Memang Siau Lo-seng sendiri juga terkejut masakan anak muda yang memiliki kepandaian tinggi seperti
Hun-ing dan Bok-yong Kang dapat ditawan orang. Dia hampir tak percaya hal itu.
Siau Lo-seng menghela napas.
"Jika taysu tak percaya, memang sukar untuk meyakinkan. Aku sendiri merasa telah kelepasan mengatakan
suatu hal yang merugikan nama baik ketua Naga Hijau. Maaf, aku tak dapat memberi keterangan lagi
kepada taysu dan silahkan taysu melanjutkan perjalanan."
Habis berkata Siau Lo-seng berputar diri hendak pergi tetapi paderi Siau lim-si itu memburunya.
"Siau sauhiap, harap berhenti dulu. Aku turun gunung kali ini adalah karena mendapat perintah dari ciangbun-jin (ketua) untuk menanyakan beberapa hal kepada Naga Hijau. Karena ketuanya telah ditawan orang,
akupun tak dapat kembali ke Siau-lim-si memberi keterangan. Kalau sauhiap tak memandang rendah
kepada Lo-ni, Lo-ni ingin menyertai sauhiap untuk mengejar jejak mereka."
Siau Lo-seng tahu bahwa kecuali ada urusan penting, memang kaum paderi Siau-lim-si itu jarang sekali
turun ke dunia persilatan. Mungkin karena pergolakan suasana dunia persilatan dewasa inilah yang
menyebabkan pihak Siau-lim-si juga menaruh perhatian.
Siau-lim-pay termasuk salah sebuah partai persilatan besar dalam dunia persilatan Tiong-goan. Bahkan
gereja itu dianggap sebagai pemimpin kaum persilatan. Pengaruhnya besar sekali. Apabila dapat menerima
bantuan dari pihak Siau-lim-si tentu akan lebih berhasil untuk menghadapi pergolakan masa itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sejenak merenung Siau Lo-seng pun tersenyum katanya: "Atas kesediaan taysu itu, sudah tentu aku
menyambut dengan amat gembira."
Sejenak berhenti maka pemuda itu bertanya pula: "Taysu mengatakan hendak menanyakan suatu hal
kepada Naga Hijau, entah hal apakah itu" Dapatkah taysu memberitahu kepadaku?"
Sepasang mata Pek Wan yang selalu setengah mengatup itu, tiba-tiba direntangkan lebar-lebar untuk
menatap Siau Lo-seng. "Apakah Siau sicu ini juga anggauta Naga Hijau?"
Siau Lo-seng gelengkan kepala: "Bukan, tetapi ketua Naga Hijau itu adalah sahabatku."
Pek Wan Taysu menghela napas.
"Lo-ni diperintahkan turun gunung untuk menyelidiki tentang sebuah rahasia yang menyangkut kepentingan
dunia persilatan. Dan rahasia itu kuncinya terletak pada ketua Naga Hijau. Tolong tanya Siau sicu, apakah
benar saat ini Naga Hijau sudah mempunyai kepala?"
Siau Lo-ceng kerutkan alis.
"Menurut kabar di dunia persilatan tentang peraturan yang berlaku pada perkumpulan Naga Hijau itu.
Barang siapa yang memperoleh Cian-li-hiat-cian, dapat menjabat sebagai ketua perkumpulan itu. Seluruh
anak buah Naga Hijau akan tunduk perintahnya."
"Tetapi pusaka Cian-li-hiat-cian yang menjadi kekuasaan sebagai ketua Naga Hijau, tak mungkin orang luar
dapat memperolehnya. Yang dapat merebut pusaka itu hanya ketuanya yang dulu. Setelah ketua itu
dibunuh orang, pusaka Cian-li-hiat-cian pun ikut lenyap sampai sekarang," kata paderi Pek Wan.
Mendengar itu diam-diam Siau Lo-seng terkejut.
"Apakah taysu memastikan bahwa yang membunuh ketua Naga Hijau yang dulu, adalah si pencuri pusaka
itu atau sama dengan ketuanya yang sekarang ini?" seru Siau Lo-seng.
"Lo-ni tak berani mengatakan bahwa sahabat sicu atau ketua yang sekarang itulah pembunuhnya," kata Pek
Wan Taysu, "tetapi hanya dengan melalui jejak itulah baru dapat dilakukan penyelidikan...?"
Paderi tua itu menghela napas pelahan lalu melanjutkan pula: "Ketua Naga Hijau yang terdahulu, adalah
sahabat baik Lo-ni. Semasa hidupnya ia banyak melakukan tindakan-tindakan yang terpuji. Melerai setiap
perselisihan kaum persilatan, menegakkan keadilan, membela kebenaran dan membasmi kaum durjana
dunia persilatan. Sungguh tak terkira sebelum jasa-jasanya itu terbalas, dia telah dibunuh orang secara
mengenaskan......." Rupanya paderi tua itu tampak berduka ketika menuturkan tentang kisah hidup sahabatnya atau ketua Naga
Hijau yang dulu. Tergerak hati Siau Lo-seng, tanyanya: "Taysu siapakah namanya ketua Naga Hijau yang terdahulu itu?"
Dengan wajah menampil kerut kesedihan, paderi tua itu menjawab: "Dia adalah tokoh yang oleh dunia
persilatan digelari sebagai Naga sakti tanpa bayangan namanya Siau Han-kwan......."
Mendengar itu Siau Lo-seng seperti mendengar halilintar meletus di siang hari.
"Hai, ternyata ayah itu ketua Naga Hijau lalu, ah! Sungguh tak kira, ke segenap penjuru dunia kucari jejak
musuhku, ternyata tentang diri ayah aku sama sekali tak tahu?""
Sebenarnya hampir saja Siau Lo-seng hendak mengatakan bahwa Siau Han-kwan itu adalah ayahnya.
Tetapi tiba-tiba ia mendapat lain pikiran. Lebih baik untuk sementara ia merahasiakan dulu siapa dirinya.
Adalah karena bersedih mengenangkan nasib sahabatnya itu maka Pek Wan Taysu tak sempat
memperhatikan perobahan wajah Siau Lo-seng. Bahkan kemudian paderi Siau-lim-si itupun melanjutkan
pula penuturannya. "Naga sakti tanpa bayangan Siau Han-kwan, luar biasa dalam ilmu kepandaian dan kecerdasan. Dalam
melakukan setiap pekerjaan dan tindakan, ia selalu tak memikirkan soal cari nama atau memburu
keuntungan. Tetapi walaupun seluruh kaum persilatan mendengar akan nama Siau Han-kwan yang begitu
cemerlang tetapi hanya sedikit sekali orang yaag tahu tentang riwayatnya. Kematiannya itu sungguh
dunia-kangouw.blogspot.com
mengherankan Lo-ni. Lo-ni mempunyai dugaan pembunuhnya itu tentulah salah seorang sahabatnya karib
atau orang yang paling tahu keadaan dirinya......."
Mendengar keterangan paderi Siau-lim-si itu diam-diam Siau Lo-seng menimang dalam hati: "Menilik
ucapan paderi ini, pembunuh ayah tentulah paman Siau Mo sendiri. Ya, tentu dia?""
"Locianpwe," tiba-tiba Siau Lo-seng berseru, "tahukah lo-cianpwe tentang diri Siau Mo?"
Mendengar itu serentak paderi Siau-lim itu membelalakkan mata dan menatap Siau Lo-seng, "Siau sicu,
kenalkah engkau pada orang itu?"
Siau Lo-seng gelengkan kepala dan menghela napas: "Pernah kubertemu dengan dia satu kali tetapi di
sudah meninggal." "Sicu ketemu padanya waktu dia masih muda atau setelah tua?" tanya Pek Wan Taysu gopoh.
Dengan kata-kata itu Siau Lo-seng dapat menduga bahwa paderi tua itu tentu kenal pada Siau Mo.
"Mengapa ada yang muda dan yang tua" Apakah di dunia ini terdapat dua orang Pendekar Ular Emas Siau
Mo?" tanyanya. Pek Wan Taysu menengadah memandang ke langit biru dan menghela napas panjang lalu berkata seorang
diri. "Pendekar Ular Emas Siau Mo, ah, mengapa terdapat nama yang begitu tepat sekali?". ah, Siau sicu,
benarkah Pendekar Ular Emas Siau Mo itu sudah meninggal?"
"Benar," sahut Siau Lo-seng, "dia memang sudah meninggal."
Kembali Pek Wan Taysu mengingau seorang diri
"Bermula kukira dia adalah keturunannya...... tetapi itu tak mungkin...... Mayat yang berserakan di desa Hayhong-cung, darah yang membasahi tanah, tua muda besar kecil semua telah dijagal habis-habisan tak ada
yang disisakan...... "
Mendengar itu merahlah mata Siau Lo-seng. Seolah-olah terbayanglah peristiwa seperti yang dilukiskan
Pek Wan Taysu. Tubuhnyapun menggigil keras.
Tiba-tiba Pek Wan Taysu berpaling: "Hai, Siau sicu, mengapa engkau ini?"
Siau Lo-seng gelagapan dan buru-buru tenangkan ketegangan hatinya: "Ah, tak apa-apa taysu. Aku hanya
teringat sebuah hal yang mengerikan. Mari taysu, kita lanjutkan perjalanan lagi."
Habis berkata ia terus berputar tubuh. Pek Wan Taysu terpaksa mengikutinya.
"Siau sicu, kemanakah kita hendak pergi?" tanya paderi tua itu.
"Kita menemui seseorang yalah Pena Penunjuk Langit Nyo Jong-ho!" sahut Siau Lo-seng.
Ternyata Siau Lo-seng teringat akan kata-kata nona Hun-ing yang hendak mengajaknya menemui Nyo
Jong-ho. Karena nona itu dan Bok-yong Kang telah diculik orang dan tak dapat diketahui jejaknya maka
Siau Lo-seng memutuskan untuk mencari Nyo Jong-ho. Ia duga jago tua she Nyo itu tentu mempunyai
hubungan dengan peristiwa itu.
"Dia dimana" Lo-ni memang hendak mencarinya?" seru Pek Wan Taysu.
Menunjuk pada sebuah hutan di ujung tanah kuburan, Siau Lo-seng berkata: "Dia berada di sana. Kalau
terlambat, mungkin terjadi perobahan lagi."
Sambil bicara keduanya berlari dengan ilmu lari cepat.
Waktu mengikuti di belakang Siau Lo-seng, diam-diam Pek Wan Taysu memperhatikan bahwa pemuda itu
memiliki ilmu ginkang yang hebat sekali. Terkejutlah hati paderi tua itu, pikirnya: "Bilakah di dunia persilatan
muncul seorang pemuda yang begini sakti kepandaiannya" Melihat ilmu ginkangnya, dia tak di bawah Loni......."


Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pek Wan Taysu kerahkan tenaga untuk mempercepat larinya agar dapat menyusul di samping pemuda itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
05.25. Siapa Pembunuh Nyo Jong-ho"
Dalam beberapa kejap saja, hutan itupun sudah tampak tak jauh di sebelah depan. Tetapi sekonyongkonyong terdengar suara kuda meringkik keras sekali.
Cepat kedua orang itu loncat berpencaran ke samping kanan dan kiri dan hentikan larinya.
Dari arah hutan keluarlah seekor kuda yang lari sekencang angin. Sedemikian pesatnya sehingga pada saat
kedua orang itu menyiak ke samping, kuda itupun lari melintas di tengah mereka.
Siau Lo-seng menggembor keras lalu secepat kilat menyambar kendali kuda dan menghentikannya. Kuda
terkejut, meringkik keras dan melonjak ke atas lalu tiba-tiba rubuh ke tanah.
Ternyata pada saat menyambar tali kendali, Siau Lo-seng pun menyerempaki dengan sebuah hantaman.
Sesosok tubuh loncat melayang dari punggung kuda dan melayang setombak jauhnya ke tanah.
Melihat cara Siau Lo-seng menghantam rubuh kuda dan penunggang kuda itu dapat loncat menghindar dari
kudany, Pek Wan Taysu terkejut.
"Tring......" secepat menginjak tanah, penunggang kuda itupun sudah mencabut pedang.
Ketika memandang dangan seksama siapa penunggang kuda itu, kejut Siau Lo-seng bukan kepalang.
"Li Giok hou......"serunya dalam hati.
Penunggang kuda itu seorang pemuda yang berwajah putih, alis tebal bibir merah. Siapa lagi kalau bukan Li
Giok-hou, murid pertama dari Pena Penunjuk Langit Nyo Jong-ho
Juga Giok-hou tak kurang kagetnya demi melihat seorang pemuda cakap bersama Pek Wan Taysu.
Dipandangnya pemuda itu lekat-lekat.
Memang saat itu Siau Lo-seng sudah bukan lagi Siau Mo si Pendekar Ular Emas. Ia sudah menanggalkan
kedok kulit muka dari wajah Siau Mo. Tetapi samar-samar Giok-hou seperti pernah melihat wajah pemuda
itu, tetapi ia lupa entah dimana.
Tiba-tiba Siau Lo-seng memberi hormat.
"Maaf, mengapa saudara tampaknya begitu tergopoh-gopoh sekali" Maaf pula karena aku telah kesalahan
menghantam kuda saudara," serunya.
Giok-hou terkesiap. Sambil menuding Siau Lo-seng dengan ujung pedang, ia membentak: "Siapa engkau"
Mengapa engkau berani bertindak begitu liar?"
Pada waktu menuding, Giok-hou kerahkan tenaga dalam sehingga pedang itu bergetar dan mendesis-desis
suaranya. Pek Wan Taysu terkejut atas kesaktian tenaga dalam anak muda itu. Pikirnya: "Mengapa dewasa ini di
dunia persilatan telah muncul dua jago muda yang begitu sakti"
Pemuda penunggang kuda yang berbaju kuning, Li Giok-hou telah mengunjukkan kesaktiannya
menggetarkan batang pedangnya. Jelas yang dipertunjukkan anak muda itu tentu ilmu pedang tataran
tinggi. Itulah yang disebut dasar-dasar ilmu pedang Ning-kiam-jut-gi atau menyalurkan hawa murni dalam
tubuh ke arah pedang. Siau Lo-seng juga terkejut melihat kelihayan Li Giok-hou, pikirnya: "Dengan dapat menggetarkan batang
pedang sehingga mengeluarkan suara mendesis-desis itu, jelas dia telah memiliki tenaga dalam yang tinggi
dan lebih meningkat dari beberapa waktu yang lalu. Apakah dahulu dia memang hendak menyembunyikan
kepandaiannya?""
Seketika berobahlah wajah Siau Lo-seng. Ia berpaling memandang Pek Wan Taysu, serunya: "Taysu,
silahkan meninjau ke dalam."
Rupanya Pek Wan Taysu dapat menangkap arti kata-kata Siau Lo-seng, iapun menyahut: "Baiklah, Lo-ni
akan ke sana dan cepat kembali."
Paderi Siau-lim-si itu terus hendak melewati sisi Gok-hou. Tetapi pemuda itu tertawa dingin dan
membentak: "Berhenti!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Pedang berkiblat dan ujungnya pun mengarah ke dada Pek Wan.
Pek Wan Taysu merupakan paderi Siau-lim-si yang tinggi tingkatnya. Sudah tentu tak begitu mudah untuk
melukainya. Ia kebutkan lengan jubahnya dan melesat ke samping setengah meter.
"Harap jangan menyerang dulu," seru Siau Lo-seng seraya maju menamparkan tangannya untuk
menggagalkan serangan kedua yang hendak dilancarkan Giok-hou.
Giok-hou terkejut. Ringan saja tampaknya pemuda itu menamparkan tangannya tetapi ternyata tenaga yang
dihamburkan amatlah dahsyatnya. Dia terpaksa menyurut mundur setengah langkah. Lintangkan pedang
dan berdiri tegak. Lalu tertawa dingin.
"Ho, karena mengandalkan kepandaian sakti maka saudara berani bertindak liar. Siapa engkau" Rasanya
kita pernah bertemu!" serunya.
Siau Lo-seng tertawa. "Ah, saudara salah lihat," sahutnya, "kita belum pernah bertemu dan tak kenal mengenal!"
"Katamu tak kenal mengapa engkau berani memukul kudaku dan menghadang jalanku!" Giok-hou makin
marah. Siau Lo-seng tertawa meloroh.
"Gerak gerik saudara mencurigakan dan tampak gopoh sekali. Entah apakah yang hendak saudara
kerjakan?" tanyanya.
Dalam pada bertanya itu diam-diam Siau Lo-seng teringat akan keterangan Hui-ing bahwa Nyo Jong-ho
berada dalam rumah pondok di tengah hutan. Tetapi mengapa dalam pondok itu tak kedengaran suara apaapa"
Saat itu Li Giok-hou berdiri di tengah jalan kecil yang membelah ke dalam hutan. Apabila Pek Wan Taysu
hendak melangkah ke sana tentu harus melalui hadangan Giok-hou.
Mendengar ucapan Siau Lo-seng yang dianggap kurang ajar, meluaplah hawa pembunuhan pada dahi Li
Giok-hou. "Kata-katamu itu terlalu keliwat batas hendak memaksa orang. Hm, jangan keliwat menghina aku......" habis
berkata Giok-hou terus taburkan pedangnya dan menyerang Siau Lo-seng sampai tiga jurus.
Siau Lo-seng hanya tertawa meloroh sambil berlincahan menghindar.
Penasaran sekali Giok-hou karena ketiga jurus serangannya yang dahsyat dan cepat itu tak mampu melukai
orang. "Apabila tak mampu melukainya, paling tidak dia harus dapat kuhalau mundur. Kalau tidak, ah......"
Tetapi Siau Lo-seng tidak mundur, kebalikannya malah maju setengah langkah untuk menyambar siku
lengan kanan Giok-hou. Giok-hou terkejut sekali dan terpaksa menarik pulang pedang untuk mundur selangkah.
"Siapa engkau ini" Apa perlumu datang kemari?" bentaknya.
Siau Lo-seng tetap tersenyum. "Kami hendak mencari Pena Penunjuk Langit Njo Jong-ho atau Nyo
bengcu." Giok-hou berobah wajahnya lalu tertawa dingin: "Kalau begitu kalian ini orang Lembah Kumandang."
Pek Wan Taysu tertawa, menyebut doa Omitohud: "Lo-ni adalah Pek Wan dari ruang Tat-mo-tong gereja
Siau-lim-si. Mendengar keterangan itu terkejutlah Giok-hou, pikirnya: "Ah, tak kira kalau paderi tua ini salah seorang dari
empat paderi sakti Siau-lim-si......"
Serentak berobahlah wajah Giok-hou menjadi ramah. Ia tertawa: "Ah, sudah lama kudengar nama taysu
yang termasyhur. Kiranya taysu ini salah seorang dan Empat Paderi Sakti Siau-lim-si. Maaf, Pedang berbisa
Pembasmi Iblis Li Giok-hou tak mempunyai mata."
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar nama Giok-hou, Pek Wan Taysu pun terkesiap, pikirnya: "Ah, tak kira kalau pemuda ini jago
muda yang harum namanya dalam dunia persilatan. Ya, putera angkat dari Nyo Jong-ho.
Tiba-tiba pula Giok-hou menghela napas.
"Pek Wan Taysu," katanya, "kalian telah datang terlambat. Gi-hu Nyo Jong-ho telah dibunuh orang dan
jenazahnya diletakkan di dalam rumah pondok itu?" beliau...... beliau mati secara mengenaskan
sekali......." Beberapa butir airmata menitik dari pelupuk anak muda itu.
"Apa?" teriak Pek Wan Taysu terkejut, "Nyo lo-enghiong sudah binasa?"
Dengan berlinang-linang Li Giok-hou menyahut: "Kalau tak percaya silahkan taysu masuk ke dalam hutan."
Mendengar itu Siau Lo-seng kerutkan sepasang alis. Dia memang menguatirkan hal ini akan terjadi. Dan
ternyata memang benar, Nyo Jong-ho telah dibunuh orang.
Tanpa bicara apa-apa, paderi Siau-lim-si itu teruskan masuk ke dalam hutan.
Siau Lo-seng menatap wajah Giok-hou, serunya: "Li Giok-hou, harap engkau tunggu di sini sebentar."
"Siapa engkau," bentak Giok-hou, "apakah engkau hendak menuduh aku sebagai pembunuh ayah angkatku
sendiri?" Siau Lo-seng menyahut dingin: "Engkau adalah putera angkatnya, Nyo bengcu dibunuh orang, seharusnya
engkau berdaya untuk membalas sakit hati?""
"Untuk mencari jejak si pembunuh, harus melakukan pemeriksaan dan mencari bukti. Itulah sebabnya
kutahan saudara Li agar dapat memberi keterangan yang jelas. Sama sekali aku tak menuduh saudara
yang membunuhnya," sambung Siau Lo-seng.
Dalam pada berkata itu tampak Pek Wan Taysu keluar dari dalam hutan dengan langkah gopoh.
"Locianpwe, benarkah Nyo Jong-ho sudah meninggal?" seru Siau Lo-seng.
Pek Wan Taysu gelengkan kepala.
"Dalam pondok terdapat tiga sosok mayat. Dua orang tua dan seorang lelaki gagah. Sedang di luar pondok
banyak terdapat kepala manusia. Tetapi Lo-ni tak kenal Nyo lo-enghiong, harap sicu ke sana menelitinya."
Siau Lo-seng segera menuju ke dalam hutan. Lebih kurang sepuluhan tombak, di tengah hutan itu terdapat
sebuah tanah lapang seluas belasan tombak dan tiga buah rumah pondok.
Di halaman rumput muka rumah pondok itu penuh berceceran darah dan tujuh-delapan sosok mayat yang
sudah tak keruan keadaannya. Ada yang putus lengannya, kutung kakinya dan hilang kepalanya.
Siau Lo-seng cepat dapat mengenali mayat-mayat itu sebagai anak buah Naga Hijau.
Segera ia menuju ke rumah pondok yang di tengah. Di ambang pintu rebah mayat seorang lelaki yang dari
corak pakaiannya jelas bukan anak buah Naga Hijau.
Pada dinding pondok di kanan kiri mayat orang itu tegak dua orang tua yang dadanya masing-masing
terpaku oleh pedang Ular Emas. Kedua orang tua itu sudah tak bernyawa.
Seketika berobahlah wajah Siau Lo-seng. Ia segera mengenali kedua orang tua itu, yang satu yalah ketua
Thay-kek-bun Han Ceng-jiang dan yang satu bukan lain....... Nyo Jong-ho sendiri!
Cepat Siau Lo-seng mencabut Pedang Ular Emas yang menancap pada dada Nyo Jong-ho terus bergegas
keluar dan melintas hutan.
Pek Wan Taysu dan Li Giok-hou masih berada di situ.
"Saudara Li," kata Siau Lo-seng, "Pembunuhan dilakukan dengan Pedang Ular Emas ini?"
Dengan kurang senang Giok-hou menyahut: "Pedang Ular Emas telah membunuh Tiga Jago Kang-lam dan
membunuh ayah angkatku. Pembunuhnya Siau Mo, adalah musuhku besar. Aku tak mau hidup bersama
dia dalam satu kolong langit!"
"Apa?" Pek Wan Taysu terkejut, "apakah pedang itu milik Pendekar Ular Emas Siau Mo?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Habis berkata paderi Siau-lim-si itu berpaling dan memandang lekat pada Siau Lo-seng. Bukankah tadi Siau
Lo-seng mengatakan bahwa Siau Mo itu sudah meninggal. Lalu dari manakah Pedang Ular Emas itu"
Siau Lo-seng menengadah memandang ke langit. Pikirannya melayang-layang: "Mengapa pedang Ular
Emas ini sama dengan pedang Ular Emas yang kupakai dahulu" Aku bersumpah kepada Thian bahwa
pembunuhan ini bukan aku yang melakukan. Tetapi siapakah pembunuhnya itu" Mengapa menggunakan
Pedang Ular Emas ini untuk memfitnah aku sebagai pembunuh?"
Ia menghela napas panjang.
"Saudara Li," katanya, "pembunuhnya jelas bukan Siau Mo. Pendekar Ular Emas Siau Mo itu sudah mati."
Tiba-tiba sepasang mata Giok-hou membelalak lebar dan dengan penuh dendam kemarahan ia berseru:
"Bagaimana Siau Mo itu mati" Hm, siapakah engkau?"
"Saudara Li," kata Siau Lo-seng, "untuk sementara ini janganlah engkau menanyakan tentang diriku. Aku
masih ingin bertanya sebuah hal kepadamu. Kapankah saudara datang kemari" Dan bagaimana saudara
tahu kalau ayah angkat saudara itu berada di sini?"
Giok-hou deliki mata: "Engkau ini memang mencurigakan. Kalau engkau tak mau mengatakan siapa dirimu,
terang engkau ini......."
"Tutup mulutmu!" bentak Siau Lo-seng dengan geram.
Namun Giok-hou tetap tertawa nyaring, serunya: "Kalau engkau tak mau menyebut namamu, pedangku ini
takkan melepaskan engkau pergi!"
Siau Lo-seng kerutkan kedua alis dan menjawab dingin: "Kalau engkau percaya pedangmu itu dapat
membunuh aku, silahkan saja!"
Melihat itu buru-buru Pek Wan Taysu melerai. "Harap sicu berdua jangan bertengkar. Kalau ada persoalan
silahkan bicara dengan tenang. Li sauhiap sicu ini adalah......
Belum paderi tua itu hendak menyebutkan nama Siau Lo-seng, tiba-tiba telinganya terngiang kata yang
disusupkan dengan ilmu Menyusup suara oleh Siau Lo-seng: "Locianpwe, harap jangan mengatakan
namaku kepadanya." Memang Pek Wan Taysu sudah menduga bahwa Siau Lo-seng itu tentu seorang anak muda yang berdarah
panas dan suka menurutkan tabiat anak muda. Dia tentu tak mau unjuk kelemahan kepada Giok-hou
dengan berkeras tak mau menyebut namanya. Terpaksa paderi Siau-lim-si itupun hentikan kata-katanya.
Giok-hou memperhatikan bahwa bibir Siau Lo-seng telah bergerak-gerak tetapi tak mengeluarkan suara
apa. Tahulah ia bahwa pemuda itu tentu menggunakan ilmu Menyusup suara kepada Pek Wan Taysu.
Giok-hou tertawa dingin, serunya: "Taysu, apabila tak mau menyingkir, maaf, aku hendak menyerang."
Saat itu Giok-hou sudah julurkan pedang ke muka dada dan siap hendak menyerang.
Tiba-tiba Siau Lo-seng melangkah maju ke hadapan Giok-hou.
"Li Giok-hou, silahkan menyerang!" serunya.
Li Giok-hou getarkan pedang, terus membabat. Tetapi Siau Lo-seng tenang-tenang saja. Setelah pedang
hampir mengenai tubuh, tiba-tiba ia menggeliat ke samping dan menendang siku lengan Giok-hou.
Giok-hou pun endapkan lengannya ke bawah menghindari tendangan dan menarik pedang lalu serentak
ditusukkan ketiga buah jalan darah maut di tubuh Siau Lo-seng.
Siau Lo-seng terkejut. Cepat ia menggunakan jurus Menengadah memandang wajah, menyerempaki sinar
pedang untuk meliukkan tubuh rebah ke belakang.
Tetapi Giok-hou tak mau memberi kesempatan lagi. Tiba-tiba ia merobah pedangnya dalam jurus Kim-ciamting-hay atau Jarum emas menyusup laut. Ujung pedang secepat kilat ditusukkan ke bawah.
Dalam pada rebah ke tanah tadi, dengan cepat Siau Lo-seng sudah bergelindingan memutar ke belakang
Gok-hou, melenting bangun dan menampar belakang pemuda itu.
"Giok-hou, dari mana engkau mempelajari jurus permainan pedang itu?" bentak Siau Lo-seng dengan
keras, sehingga suaranya hampir memecahkan anak telinga Giok-hou.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Dari mana aku belajar, apa pedulimu" "sahut Giok-hou dengan tertawa mengejek.
Pedang ditaburkan dan bagai hujan mencurah berhamburan ke tubuh Siau Lo-seng. Sekali gus Giok-hou
telah menaburkan tiga jurus serangan.
Sepintas pandang pedang Giok-hou itu mirip dengan sinar bianglala yang mencurah di angkasa.
Melihat permainan pedang yang sehebat itu terkejutlah Pek Wan Taysu, serunya gopoh: "Li sauhiap, harap
berlaku murah"..."
Belum habis paderi Siau-lim itu berkata tiba-tiba terdengarlah suara orang mengerang tertahan?"
06.26. Pengakuan Sang Keponakan
Serentak dengan suara orang yang tertahan, taburan sinar pedangpun lenyap seketika.
Tangan kanan Giok-hou melentuk ke bawah. Sambil masih menjinjing pedang, ia terus berputar tubuh dan
lari tinggalkan lawan. Lengan baju sebelah kiri dari Siau Lo-seng pecah. Ia terlongong-longong memandang bayangan Giok-hou
yang melarikan diri itu kemudian menghela napas pelahan.
"Orang itu menyembunyikan ilmu kepandaiannya yang tinggi. Dia lebih unggul dari Tiga jago Go-bi. Benarbenar menimbulkan kecurigaan......." katanya seorang diri,
Makin tenanglah hati Pek Wan Taysu demi melihat Siau Lo-seng tak kurang suatu apa.
"Siau sauhiap," kata paderi itu, "kini terbukalah mataku bahwa ombak sungai Tiang-kang itu yang di
belakang tentu mendorong yang di muka. Yang muda tentu mengganti yang tua."
Memang paderi tua itu kesima menyaksikan pertempuran yang bermutu tinggi dari kedua anak muda itu.
Keduanya telah mencurahkan ilmu kepandaian yang luar biasa hebatnya.
"Taysu, mari kita kejar," tiba-tiba Siau Lo-seng menarik lengan jubah paderi itu, "jangan sampai dia dapat
lolos!" "Siapa?" Pek Wan Taysu terkesiap.
"Li Giok-hou, dialah pembunuhnya!" seru Siau Lo-seng.
Pek Wan Taysu gelengkan kepala: "Bagaimana mungkin hal itu?"
Tiba-tiba terdengar sebuah suara parau dari seorang tua: "Ya, Jong-ho dan Han Ceng- jiang?""
Serentak Siau Lo-seng dan Pek Wan Taysu berpaling ke belakang. Tampak seorang kakek baju putih
melangkah keluar dari hutan. Walaupun rambut dan jenggotnya sudah putih dan menjulai panjang sampai
ke dada, tetapi tubuh dan sikap kakek itu masih gagah sekali.
Wajah kakek itu menampilkan kewibawaan besar tetapi saat itu tampak membeku seperti es.
"Rasanya locianpwe tentu mengetahui peristiwa kejam itu, mengapa locianpwe tak berusaha mencegah?"
seru Siau Lo-seng. Kakek baju putih itu mendengus dingin.
"Aku tak suka campur urusan manusia. Sekalipun manusia di seluruh dunia itu mati semua, akupun tak
peduli," sahutnya. Mendengar itu Pek Wan Taysu kerutkan alis.
"Locianpwe," seru Siau Lo-seng pula, "ketahuilah bahwa pembunuhan itu mempunyai hubungan besar
dengan keamanan dunia persilatan."
Kembali kakek baju putih itu mendengus.
"Budak, hak apa engkau hendak memberi nasehat kepadaku?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Siau Lo-seng menyahut: "Ah, masakan aku berani memberi nasehat kepada locianpwe. Aku hanya merasa
bahwa locianpwe ini berhati kejam sekali......"
Habis berkata Siau Lo-seng terus berpaling dan mengajak Pek Wan Taysu: "Taysu, mari kita lanjutkan
mengejar Li Giok-hou!"
"Tunggu!" tiba-tiba kakek baju putih membentak keras seraya berputar tubuh menghadang di hadapan Siau
Lo-seng. "Sian-cay," seru Pek Wan Taysu, "harap sicu suka memberi jalan agar kami dapat mengejar pembunuh itu."
Tetapi Siau Lo-seng hanya memandang lekat pada kakek baju putih itu dan bertanya: "Apakah locianpwe
hendak memberi petunjuk?"
Kakek baju putih itu berkilat-kilat menatap wajah Siau Lo-seng, serunya dingin:
"Ada sebuah hal yang hendak kutanyakan kepadamu."
"Soal apa?" kata Siau Lo-seng.
"Aku ingin menanyakan tentang diri seseorang."
"Siapa?" Siau Lo-seng terkesiap.
"Gan-li-tui-cong Ban Li-hong!"
Mendengar nama itu, terkejutlah Pek Wan Taysu. Pikirnya: "Ban Li-hong itu seorang begal tunggal yang
pernah menggegerkan dunia persilatan pada limapuluhan tahun yang lalu. Kabarnya, dia memiliki ilmu
kepandaian yang tiada tandingnya. Sepak terjangnya serba misterius. Dia pun mahir sekali dalam ilmu
mencuri." Berhenti sejenak, paderi itu melanjutkan renungannya lagi.
"Dahulu partai-partai persilatan pernah kecurian kitab pusakanya yang mengandung ilmu pelajaran sakti.
Kitab-kitab itu Ban Li-hong yang mencurinya. Oleh karena itu segenap partai persilatan lalu berunding untuk
mengadakan gerakan serempak mengejar jejak orang itu. Tetapi hampir lebih dari empatpuluh tahun, dia
tak muncul lagi sehingga sampai sekarang. Tak terduga-duga orang tua baju putih ini menanyakan soal Ban
Li-hong lagi?" ah, apakah dia mempunyai hubungan dengan Ban Li-hong......"
Habis berpikir, Pek Wan berpaling ke arah Siau Lo-seng, Tampak pemuda itu berobah seri wajahnya dan
merenung. Beberapa saat kemudian baru dia berkata: "Apakah keperluan locianpwe menanyakan orang itu?"


Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bukankah engkau ini murid dari Ban Li-hong itu?" tiba-tiba kakek baju putih itu berseru dengan suara keras.
"Kalau ya, bagaimana?" Siau Lo-seng tertawa dingin.
"Dimana dia sekarang!" bentak kakek baju putih.
Siau Lo-seng kerutkan alis dan menyahut dengan nada dingin: "Atas dasar apa aku diharuskan menjawab
pertanyaanmu itu?" Kakek baju putih mendengus dingin.
"Bagus, budak, kalau tak kuberimu sedikit ajaran, engkau tentu tak takut kepadaku," serunya. Habis berkata
tiba-tiba ia mengangkat tangan dan lepaskan sebuah pukulan.
Gerakan tangan kakek baju putih itu menimbulkan desir angin yang keras, melanda ke arah Siau Lo-seng.
Saat itu barulah Pek Wan Taysu menyadari bahwa Siau Lo-seng adalah anak murid dari seorang tokoh
sakti yang luar biasa anehnya. Diam-diam paderi itu terkejut sekali.
Siau Lo-seng gerakkan tangan kiri untuk menangkis. Tetapi seketika itu juga Siau Lo-seng rasakan
lengannya kesemutan, tenaganya lunglai seolah-olah telah dilalap hilang oleh tenaga kakek baju putih itu.
Siau Lo-seng terhuyung-huyung mundur empat-lima langkah ke belakang baru dia dapat berdiri tegak.
Melihat itu, terkejutlah Pek Wan Taysu, pikirnya: "Siapakah orang tua baju putih ini" Mengapa tenaga
dalamnya sedemikian hebat?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Siau Lo-seng menggerung marah. Laksana harimau terluka, ia loncat menerjang kakek baju putih itu.
"Hm, budak, engkau cari mati!" dengus kakek baju putih seraya menghantam dengan tangan kanan.
Siau Lo-seng pun cepat dorongkan kedua tangannya untuk menangkis. Tetapi ketika kedua tenaga pukulan
mereka beradu. Siau Lo-seng berjumpalitan jungkir balik sampai beberapa kali baru ia melayang turun
empat-lima tombak jauhnya.
Secepat itu kakek baju putihpun terus melesat ke muka Siau Lo-seng dan menyusuli dengan sebuah
hantaman lagi. Tetapi pemuda itu memang luar biasa beraninya. Begitu menggeliatkan tubuh, ia gunakan ke dua
tangannya untuk menyerang dua buah jalan darah di tubuh si kakek.
Melihat pemuda itu dapat menerima pukulan yang dilambari dengan tujuh bagian tenaganya bahkan dengan
nekad masih balas menyerang, kakek itu terkejut. Kali ini dia tak mau adu pukulan melainkan menghindar
ke samping. Tetapi serempak dengan itu, Pek Wan Taysu pun segera loncat melayang ke hadapan kakek baju putih dan
berseru nyaring, "Leng-bin-sin-kun!"
Mendengar seruan paderi Siau-lim itu, wajah si kakek baju putih yang membeku seperti es, tampak
mengerenyut. "Mengapa" Tak kira kalau di dunia persilatan dewasa ini, masih ada orang yang kenal kepadaku," serunya.
Mendengar nama itu, pucatlah wajah Siau Lo-seng. Diam-diam ia mengeluh: "Celaka, kali ini mungkin aku
tak dapat lepas dari libatannya......"
Kakek baju putih yalah Leng-bin-sin-kun atau Kesatria wajah dingin Leng Tiong-siang. Empatpuluhan tahun
berselang, dia sama masyhurnya dengan rahib Tay Hui Sin-ni,
Dan Siau Lo-seng rupanya mengetahui tentang dendam pertikaian antara Leng-bin-sin-kun Leng Tiongsiang dengan Cian-li-tui-cong atau Pemburu jejak seribu lie Ban Li-hong.
"Hari ini Lo-ni dapat bertemu dengan Leng sicu, sungguh suatu keberuntungan," kata Pek Wan Taysu.
Wajah dingin Leng Tiong-siang tertawa hambar,
"Sejak dahulu aku tak suka ribut-ribut dengan paderi Siau-lim-si. Baiklah engkau jangan mencampuri urusan
itu." Baru berkata sampai di situ, tiba-tiba kakek itu berteriak: "Budak, hendak lari kemana engkau?"
Memang menggunakan kesempatan kedua orang itu bicara, diam-diam Siau Lo-seng telah melarikan diri.
Ketika Kesatria wajah dingin Leng Tiong-siang hendak mengejar, tiba-tiba Pek Wan Taysu menyambar baju
kakek itu dan berseru: "Leng sicu, harap suka mendengar perkataanku."
Kakek wajah dingin balikkan tangannya untuk menyiak cengkeraman paderi Siau-lim itu, diserempaki lagi
dengan sebuah tendangan ke arah perut.
"Keledai gundul, kalau budak itu sampai lolos, engkaulah yang harus bertanggung jawab!" bentak kakek
baju putih dengan marah. Karena tendangan itu Pek Wan Taysu terpaksa menyurut mundur. Dan seketika itu juga Kakek wajah dingin
Leng Tiong-siang pun sudah melesat sepesat angin.
Tetapi bayangan Siau Lo-seng sudah tak kelihatan lagi.
Pek Wan Taysu cepat berputar tubuh menuju ke dalam hutan. Begitu masuk ke dalam hutan dan
memandang ke muka ternyata Siau Lo-seng sudah tegak berdiri di depan pondok.
Pek Wan Taysu tertegun, serunya: "Siau sauhiap, larimu sungguh menakjubkan sekali."
Ternyata sebelum lari, Siau Lo-seng sudah gunakan ilmu Menyusup suara suruh paderi Siau-lim-si itu
menunggunya di dalam hutan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sekalipun begitu tak pernah disangka Pek Wan Taysu, bahwa Siau Lo-seng sudah tiba lebih dahulu di
depan pondok itu. Maka kalau dia terkejut, memang dapat dimengerti.
Sambil tertawa Siau Lo-seng berkata: "Taysu, marilah kita kejar jejak Li Giok-hou!"
Pek Wan Taysu kerutkan dahi.
"Siau sauhiap, baru saja Lo-ni tiba di kota Lok-yang ini tetapi mengapa banyak sekali terjadi peristiwa yang
aneh?" "Memang dewasa ini, dunia persilatan akan dilanda kekacauan besar. Durjana-durjana yang sudah lama
menyembunyikan diri, kini sama berbondong-bondong muncul lagi. Sudah tentu suasana menjadi keruh tak
menentu." Pek Wan Taysu menghela napas.
"Siau sauhiap," serunya, "walaupun Lo-ni tak ada hubungan dengan engkau, tetapi entah bagaimana
rasanya Lo-ni sudah merasa erat dengan sicu. Maka apapun yang engkau utarakan tadi, aku tak ragu-ragu
dan curiga. Tetapi hanya soal pernyataan sicu bahwa Li Giok-hou lah yang membunuh Nyo Jong-ho, benarbenar membuat Lo-ni bingung memikirkan. Pedang Beracun Pembasmi Iblis Li Giok-hou itu sesungguhnya
adalah bengcu pemimpin baru dari golongan Hitam?""
Mendengar itu serangkum hawa panas meluap ke dada Siau Lo-seng dan dengan suara tergetar ia berseru:
"Paman, aku harus menerima hukuman mati?""
Tiba-tiba Siau Lo-seng maju menghampiri lalu berlutut memberi hormat kepada Pek Wan Taysu.
Sudah tentu paderi tua itu terkejut sekali. Ia segera memeluk pemuda itu. Ketika melihat Siau Lo-seng
bercucuran air mata, seketika tergeraklah hati Pek Wan Taysu.
"Engkau?" engkau adalah Siau toako......," serunya dengan kegirangan yang meluap-luap.
"Paman," seru Siau Lo-seng dengan terharu, "aku memang anak yang telah lolos dari penjagalan manusia
di desa Hay-hong-cung. Aku Siau Lo-seng pun juga si Pendekar Ular Emas Siau Mo itu. Karena?""
Siau Lo-seng lalu menuturkan apa yang telah terjadi dan dilakukannya selama ini kepada Pek Wan Taysu.
Paderi itu tegang sekali. Sambil membelai-belai kepala Siau Lo-seng ia berkata: "Anak Seng engkau tak
salah. Walaupun pada waktu yang lalu engkau telah menggunakan nama Siau Mo untuk melakukan
pembunuhan-pembunuhan, tetapi orang tentu dapat memaafkan keadaanmu, ah?" Lo-ni benar-benar
gembira sekali karena Siau toako masih mempunyai seorang putera engkau."
Siau Lo-seng mengusap airmatanya.
"Siok-siok," katanya, "tempo dahulu aku dilempar oleh paman Siau Mo ke dalam jurang?" ketika
membuka mata kulihat seorang tua baju biru sedang merawat aku dengan penuh kesayangan. Dialah
guruku yang berbudi, Cian-li-tui-cong Ban Li-hong."
Pek Wan Taysu menghela napas.
"Mungkin itu sudah menjadi garis hidupmu dapat bertemu dengan seorang sakti yang berwatak aneh seperti
dia?". ah, walaupun dia telah melepas budi besar kepadamu dengan begitupun juga penolongmu. Tetapi
entah dimanakah dia sekarang?"
"Tiga bulan setelah menolong aku, beliau meninggal dunia," kata Siau Lo-seng.
Pek Wan Taysu terkejut: "Apa" Lalu siapakah yang mengajarkan ilmu kepandaian itu kepadamu?"
"Aku belajar sendiri......." kata Siau Lo-seng. Pemuda itu segera terkenang akan peristiwa hidupnya pada
belasan tahun yang lampau.
"Pada saat menutup mata, Ban Li-hong telah memberi pesan kepadanya: ?"" nak, aku ini sebenarnya
seorang penyamun besar. Namaku Cian-li-tui-cong Ban Li-hong. Semasa hidupku, aku telah menggarong
kitab-kitab pusaka dari partai-partai persilatan termasuk kitab-kitab pelajaran ilmu sakti dari partai-partai
persilatan itu"... Sebenarnya dapat kuajarkan engkau menjadi seorang sakti yang tiada lawannya. Tetapi
sayang, aku tak dapat hidup lebih lama di dunia lagi......."
Berhenti sejenak tokoh itu berkata pula:
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ah, anak yang bernasib malang, akan kuberitahu kepadamu sebuah hal. Selama tiga bulan ini aku telah
memeriksa tulang dan urat-urat nadimu. Kudapati engkau menderita suatu penyakit yang berbahaya?"
penyakitmu itu penyakit warisan orang tuamu, pula karena sejak kecil engkau kurang perawatan sehingga
tubuhmu lemah dan tak boleh belajar ilmu silat......."
Siau Lo-seng teringat lagi. Setelah gurunya Ban Li-hiong meninggal dunia, dia tak menghiraukan pesannya
lagi dan dengan giat ia mulai mempelajari ilmu kesaktian yang terdapat dalam kitab-kitab pusaka itu. Tujuh
tahun kemudian baru ia mendapatkan tubuhnya memang terdapat gejala-gejala yang berlainan dengan
orang lain. Setiap ia kerahkan tenaga, jantungnya terasa sakit, hawa murni dalam tubuhnyapun terpecah
belah tak keruan?". Teringat akan hal itu, Siau Lo-seng pun menghela napas.
"Dalam sepanjang hidupnya, Ban Li-hong berhasil mencuri pusaka milik berbagai partai persilatan," kata
Pek Wan Taysu, "bahwa engkau dapat mempelajari sendiri kitab-kitab pusaka itu dan dapat menggembleng
dirimu menjadi orang sakti, memang itu sudah digariskan engkau berjodoh?""
Mendengar itu Siau Lo-seng menitikkan air mata, serunya haru: "Paman, tetapi aku menyesal karena tak
menurut pesan suhu?""
Tiba-tiba ia hentikan kata-katanya. Ia teringat bahwa soal penyakitnya itu tak layak diceritakan kepada
seorang paman yang baru saja dijumpainya.
"Apa saja kata Ban Li-hong kepadamu?" tanya Pek Wan Taysu.
Siau Lo-seng berusaha untuk menindas kedukaan hatinya. Ia gelengkan kepala: "Tidak bilang apa-apa."
06.27. Engkau?". Pembunuh Ayahku!
Melihat kerut wajah pemuda berobah-robah tak menentu, tahulah Pek Wan Taysu bahwa Siau Lo-seng
tentu masih menyembunyikan sesuatu. Tetapi pemuda itu tak mau mengatakannya. Pek Wan Taysu pun
tak mau mendesak dan beralih pada lain pembicaraan.
"Anak seng," katanya, "pembunuhan terhadap Nyo Jong-ho dan Han Ceng-jiang itu tentu mempunyai latar
belakang mengenai suatu rahasia dalam dunia persilatan."
"Dengan tindakannya membunuh seorang guru yang menjadi juga ayah angkatnya, jelas Li Giok-hou itu
menyalahi perikemanusiaan dan keluhuran budi. Kurasa tentu ada suatu liku-liku dendam di dalam peristiwa
itu, Maka baiklah kita lekas-lekas mengejar anak itu agar dapat kita ketahui kejadian yang sebenarnya."
Pek Wan Taysu merenung. "Nyo Jong-ho dan Han Ceng-jiang adalah orang yang mengetahui tentang rahasia pembunuhan ayahmu.
Apabila kedua orang itu dibunuh, mungkin?""
Mendengar itu diam-diam Siau Lo-seng pun berpikir, "Ya, mengapa aku tak memikirkan hal itu?" apakah
orang yang selalu membayangi aku dan selalu mendahului membunuh orang yang hendak kuselidiki dan
kucurigai sebagai pembunuh ayahku itu Li Giok-hou sendiri......."
Dulu ia menganggap yang melakukan hal itu yalah Mo-seng-li. Tetapi setelah nona itu dengan terus terang
memberitahukan tentang asal usul dirinya, sudah tentu kecurigaan Siau Lo-seng pun lenyap.
Berpikir sampai di situ, tiba-tiba Siau Lo-seng berteriak: "He, bagus budak, ternyata engkau......"
Tetapi ketika ia merenung lagi, timbullah kesangsian dan pertanyaan dalam hatinya. Apa tujuan Li Giok-hou
membunuh guru dan ayah angkatnya sendiri itu" Apakah Giok- hou mempunyai hubungan deugan
pembunuhan atas keluarga Siau Lo-seng yang lalu.
Ah, tidak, tidak mungkin! Dia tentu masih kecil.
Apabila Li Giok-hou melakukan perbuatan terkutuk membunuh ayah angkatnya sendiri, tentu karena dia
hendak merebut pusaka Keng-hun-pit, senjata dari Nyo Jong-ho yang menjadi salah sebuah dari Tiga
Pusaka dunia persilatan. Tengah Siau Lo-seng merenungkan hal itu, tiba-tiba dari jauh terdengar jeritan ngeri dan teriakan keras.
Siau Lo-seng dan Pek Wan Taysu terkejut. Suara itu hilang-hilang terdengar, terbawa angin.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Anak Seng," tiba-tiba Pek Wan Taysu berseru, "dapatkah engkau mcngenali suara jeritan dan teriakan itu?"
Setelah beberapa saat berdiam diri, tampak wajah Siau Lo-seng berobah gelap, serunya: "Rupanya dari
orang-orang Lembah Kumandang. Mari kita tinjau!"
Baru dia hendak bergerak tiba-tiba terdengar sebuah suitan nyaring membelah angkasa. Siau Lo-seng dan
Pek Wan Taysu cepat loncat melayang ke arah sebatang pohon siong.
Tepat pada saat kedua orang itu bersembunyi di pohon itu, sesosok bayangan melayang turun dari udara
dan muncullah seorang lelaki yang aneh. Tubuhnya luar biasa besarnya dan wajahnyapun juga besar.
Sepasang matanya yang sebesar kelinting berkeliaran memandang sekeliling tempat itu lalu ayunkan
langkah menuju ke rumah pondok.
Siau Lo-seng dan Pek Wan Taysu terkejut melihat orang aneh itu. Jelas dia itu seorang tokoh silat yang
berilmu tinggi. Tiba-tiba di pintu pondok, ia melongok ke dalam. Setelah melihat mayat Nyo Jong-ho dan Han Ceng-jiang,
dia berputar tubuh hendak tinggalkan tempat itu.
"Tunggu dulu," tiba-tiba terdengar suara tertawa "anak buah Naga Hijau sudah mengepung saudara!"
Dari dalam hutan muncullah seorang sasterawan pertengahan umur dengan mengenakan baju warna biru,
diiring oleh belasan orang yang juga memakai pakaian warna biru.
Melihat munculnya rombongan orang baju biru itu, segera Siau Lo-seng gunakan ilmu Menyusup suara
berkata kepada Pek Wan Taysu: "Sasterawan baju biru itu adalah si Roda emas rembulan matahari Tan
Gun-ki, salah seorang than-cu dari Naga Hijau."
"Kalau begitu teriakan nyaring tadi tentu berasal dari dia yang hendak mengejar langkah orang aneh itu,"
kata Pek Wan Taysu juga dengan ilmu Menyusup suara.
Melihat beberapa sosok mayat di halaman pondok itu seketika berobahlah wajah Tan Gun-ki. Dia tahu
bahwa dalam pondok itu terdapat Nyo Jong-ho dan Han Ceng-jiang. Tentulah telah terjadi suatu peristiwa.
Memandang sejenak ke arah Tan Gun-ki, tiba-tiba lelaki aneh itu tertawa menggeledek, serunya: "Naga
Hijau sungguh tak beruntung. Di mana-mana tempat terdapat mayat anak buah Naga Hijau. Ha, ha, aku
sungguh merasa sedih atas nasib yang mengerikan dari anak buah Naga Hijau itu."
Tan Gun-ki tak menyahut melainkan berpaling ke belakang dan berkata kepada dua orang pengiringnya:
"Cobalah periksa di dalam pondok apakah Nyo loenghiong masih berada di dalam atau tidak!"
Ternyata ketua Naga Hijau yakni Ui Hun-ing atau yang dikenal sebagai Mo-seng-li telah mengeluarkan
perintah agar segenap jago-jago sakti dari Naga Hijau pada siang itu berkumpul di rumah pondok itu guna
merundingkan suatu masalah penting.
Itulah sebabnya mengapa Tan Gun-ki lebih dahulu telah memimpin orang-orangnya untuk mengadakan
penjagaan di sekeliling pondok itu.
Tetapi dia tak tahu bahwa semalam di dalam rumah pondok itu telah terjadi suatu perobahan besar.
Setelah menerima perintah dari pemimpinnya, kedua anak buah Naga Hijau itupun segera menuju ke
pondok itu. Tetapi ketika kedua anak buah Naga Hijau tiba kira-kira tiga tombak dari tempat si orang aneh,
sekonyong-konyong kedua orang itu menjerit ngeri dan rubuh ke tanah.
Sau Lo-seng terkejut dan cepat gunakan ilmu Menyusup suara kepada Pek Wan Taysu: "Paman, orang
aneh itu sakti sekali. Gerakan tangannya pun sangat aneh. Rupanya seperti orang Lembah Kumandang!"
Terkejut dan marahlah Roda emas rembulan matahari Tan Gun-ki melihat kedua anak buahnya dibunuh
orang aneh itu. Ia cepat melesat maju.
"Sudah tujuh atau delapan anakbuahku yang engkau lukai. Siapakah engkau!" bentaknya.
Orang aneh itu tertawa gelak-gelak.
"Jangan tanya aku ini siapa," sahutnya, "karena jangan harap kalian semua ini dapat pergi dari sini."
"Wut?"" ia menutup kata-katanya dengan menghantam Tan Gun-ki.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba terdengar lengking teriakan yang gopoh: "Tan Than-cu. jangan menangkis pukulannya dan lekas
menghindarinya!" Seiring dengan teriakan itu, sesosok tubuh melayang di udara dan segulung sinar pedang bercahaya merah
segera menimpah orang aneh itu.
"Tring?"" Sinar pedang lenyap dan sebagai gantinya muncullah seorang gadis baju hijau, memegang sebatang
pedang panjang dan tegak berdiri dengan wajah terkejut.
Sedang Tan Gun-ki pucat wajahnya, terhuyung mundur sampai tiga-empat langkah.
"Anak Seng," tiba-tiba Pek Wan Taysu gunakan ilmu menyusup suara bertanya kepada Siau Lo-seng,"
agaknya Tan Gun-ki telah menderita luka karena pukulan aneh dari orang aneh itu. Ilmu pedang yang
dimainkan gadis baju hijau itu seperti jurus pembukaan dari ilmu Pedang terbang. Siapakah dia?"
Sahut Siau Lo-seng: "Memang hebat sekali kepandaian orang aneh itu. Pukulannya tentu mengandung
tenaga sakti beracun. Gadis itu puteri dari Nyo Jong-ho, namanya Nyo Cu-ing."
Tampaknya orang aneh itupun tak kurang kejutnya ketika diserang oleh Cu-ing. Ia menyurut mundur
selangkah, wajahnya meregang rasa kejut yang besar lalu tertawa keras.
"Menilik umurnya masih muda tetapi engkau mampu menguasai ilmu Pedang terbang. Apakah engkau
orang Naga Hijau?" serunya.
Nyo Cu-ing tak menyahut. Ketika melihat mayat-mayat berserakan di halaman pondok itu, seketika
berobahlah wajahnya. Ia terus ayunkan langkah ke arah pondok.
Orang aneh itu tertawa dingin. Tiba-tiba ia menghantam.
Cu-ing meleking, orang dan pedang bergulung menjadi satu sehingga merupakan sebuah bianglala yang
menumpah ke arah orang aneh itu.
Orang aneh itu membentak keras seraya menghantam dengan kedua tangannya. Dua buah gelombang
angin yang bertenaga dahsyat segera melanda si nona.
Cu-ing tak berani menangkis. Cepat ia enjot tubuh melambung ke udara.
Hantamannya luput, orang aneh itupun juga mengejar loncat ke udara dan menghantam.
Tiba-tiba terdengar lengking dingin dan tubuh Cu-ing pun berjumpalitan di udara. Orang aneh itu telah
merebut pedang si nona terus dilontarkan ke arah pohon siong tempat persembunyian Siau Lo-seng.
"Hai, siapakah yang bersembunyi di atas pohon itu?" seru orang aneh itu.
Kiranya orang aneh itu cepat dapat mengetahui bahwa pedang yang dilontarkan ke arah daun pohon siong
yang lebat, bagai batu yang masuk ke dalam laut, sama sekali tak bersuara. Dia duga di dalam gerumbul
daun pohon itu tentu bersembunyi orang yang tak diketahui.
Pun Cu-ing juga segera dapat mengetabui bahwa dalam gerumbul daun pohon siong itu memang terdapat
seorang tokoh persilatan.
Kira mereka memang benar. Dari balik gerumbul daun yang lebat, segera menyembul dua buah kepala
orang. Dengan gunakan gerak Burung ho mencabik air, dari ketinggian tujuh-delapan tombak, meluncurlah
dua sosok tubuh. Seorang paderi tua yang berwajah terang dan seorang pemuda cakap yang mencekal
sebatang pedang. Walaupun dari jarak yang sedemikian tinggi, tetapi kedua orang itu telah tiba di tanah tanpa mengeluarkan
suara sedikitpun juga. Benar-benar laksana dua lembar daun kering yang berguguran ke tanah.
Sekalian orang terkejut menyaksikan kesaktian kedua orang itu. Terlebih lagi Cu-ing. Demi melihat Siau Loseng, seketika Cu-ing pun segera berteriak: "Siau?""
Tetapi ketika melihat bahwa pemuda yang melayang turun itu bukan Pendekar Ular Emas Siau Mo, nona
itupun hentikan teriakannya.
Siau Lo-seng juga tergetar hatinya mendengar teriakan nona itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ternyata pedang Cu-ing telah dibawa oleh Siau Lo-seng dan pemuda itupun segera menghampiri ke tempat
si nona. "Nona Nyo, silahkan nona masuk ke dalam pondok untuk menjenguk ayah nona. Di sini serahkan padaku
yang mengurusnya. Habis berkata Siau Lo-seng pun serahkan pedang kepada si nona lagi.
"Ayahku bagaimana?" teriak Cu-ing terkejut.


Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Serentak nona itu terus loncat memburu ke dalam pondok. Anehnya orang aneh itupun tak mau merintangi
lagi. Siau Lo-seng tenang-tenang berkisar tubuh dan menegur orang itu: "Saudara tadi telah memperdengarkan
suitan yang aneh. Apakah saudara ini orang Lembah Kumandang?"
Dengan wajahnya yang dingin, orang aneh itu hanya mendengus: "Engkau orang she Siau, tentulah si
Pendekar Ular Emas Siau Mo itu?"
Baru dia berkata begitu, Cu-ing pun sudah menerobos keluar dari pondok. Dengan airmata bercucuran
deras, ia terus menuding dengan pedangnya kepada Siau Lo-seng dan menghardiknya: "Siapakah engkau"
Lekas bilang!" Tergetarlah hati Siau Lo-seng, karena tahu bahwa Cu-ing telah mencurigainya. Walaupun saat itu dia sudah
berganti wajah tetapi karena sudah lama bergaul dengan Cu-ing, nona itu tentu dapat mengenali suaranya
sebagai si guru Siau Lo-seng atau Siau Mo si Pendekar Ular Emas.
"Engkau?" engkau seorang pembunuh kejam! Engkau telah membunuh ayahku?"!" teriak Cu-ing lalu
dengan kalap terus menusuk dada Siau Lo-seng.
Siau Lo-seng hanya terlongong-longong seperti patung, cepat-cepat Pek Wan Taysu meneriakinya: "Anak
Seng?"" Sebenarnya tanpa diperingatkan Pek Wan Taysu, Siau Lo-seng sudah menggeliat ke samping untuk
menghindari pedang. Kiranya sewaktu masuk ke dalam pondok dan melihat ayahnya serta Han Ceng-jiang sudah menjadi mayat,
Cu-ing hampir pingsan. Dan ketika melihat dada Han Ceng-jiang tertusuk dengan pedang Ular Emas segera
ia memastikan bahwa Siau Mo si Pendekar Ular Emas itu yang menjadi pembunuhnya.
Seorang yang hatinya sedang sedih dan gelisah tentu pikirannya pun gelap. Demikian dengan Cu-ing. Nona
itu segera memastikan siapa pembunuhnya. Pada hal apabila ia mau memperhatikan dan menyelidiki
dengan teliti, tentulah ia akan menemukan sesuatu yang mencurigakan.
Tetapi Cu-ing sudah kalap. Begitu tusukannya luput segera ia susul lagi dengan tiga buah serangan pedang
yang dahsyat. Sedemikian dahsyat dan ganas serangan itu sehingga Siau Lo-seng hampir saja celaka.
"Nona Nyo, jangan salah mengenal orang!" bentak Siau Lo-seng.
Cu-ing kerutkan sepasang alis dan dengan marah ia membentak: "jahanam, sekalipun engkau menjadi
tumpukan abu, akupun tetap akan mengenalimu?""
Cu-ing menutup kata-katanya dengan gerakkan pedangnya pula dalam tiga buah serangan yang aneh.
Seperti menusuk tetapi pun seperti menabas. Beberapa belas jalan darah di tubuh Siau Lo-seng terancam
oleh ujung pedang. Sekalian tokoh yang menyaksikan ilmu pedang nona itu, terkejut heran. Sedang Siau Lo-seng sendiripun
memang sudah mengetahui bahwa nona itu adalah murid dari rahib sakti Tay Hui Sin-ni. Nona itu tentu
sudah mendapat ilmu pedang yang diwariskan oleh rahib sakti itu.
Siau Lo-seng tak berani berayal. Tangan kanan menjulur maju untuk menjemput punggung pedang.
Gerakan tangan itu menimbulkan tenaga kuat yang menyiak pedang ke samping. Sedang tangan kiri segera
menyusup ke muka untuk mencekal siku lengan sebelah kanan dari si nona.
Gerakan yang istimewa anehnya itu memaksa Cu-ing harus cepat-cepat menyurut mundur tiga langkah.
"Jahanam, aku akan mengadu jiwa kepadamu!" tariak nona itu seraya maju pula.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kini pedang Cu-ing berhamburan laksana berpuluh kilat menyambar di udara. Dan gerakan pedang itupun
menimbulkan deru angin prahara yang dahsyat.
Diam-diam Siau Lo-seng mengeluh dalam hati. Ia tak mengira bakal terlibat dalam kesulitan semacam itu.
Apabila tak diberi penjelasan nona itu tentu akan kalap dan akan sungguh-sungguh mati-matian mengadu
jiwa. Tetapi ia bingung juga mencari akal bagaimana cara untuk memberi penjelasan kepada nona itu.
Karena pikirannya menuju ke hal itu maka saat itu ia telah terkurung dalam sinar pedang Cu-ing.
Melihat keselamatan jiwa Siau Lo-seng terancam, Pek Wan Taysu mulai cemas. Demikian pula dengan si
orang aneh itu. Rupanya iapun tertarik juga akan pertempuran yang dilakukan kedua muda mudi itu.
Setelah duapuluh jurus menerima serangan pedang, Siau Lo-seng pun segera berkata, "Nona Nyo, kalau
hendak membalas dendam, harus menyelidiki dulu siapa pembunuh ayahmu. Setelah jelas barulah engkau
turun tangan membunuhnya."
Habis berkata Siau Lo-seng terus maju merapat ke muka.
Cu-ing menjerit kaget dan cepat-cepat katupkan pedang untuk melindungi diri. Tetapi serempak dengan
gerakan si nona itu. Siau Lo-seng pun ternyata sudah menggelincir ke samping.
Cu-ing terlongong-longong, ia heran sekali menyaksikan gerakan Siau Lo-seng yang begitu aneh dan
istimewa. Belum pernah ia menyaksikan dan mendengar nama dari ilmu sedemikian itu. Cepat-cepat ia
menyurut mundur dua langkah dan dua kali tabaskan pedangnya.
Tetapi dengan gerakan berputar-putar yang aneh dan mengagumkan, pemuda itu tetap menyusup maju dan
pada lain saat, tangan kanannya pun sudah mencekal siku lengan kanan dari si nona.
"Wut?"" dalam gugup, Cu-ing hantamkan tangan kirinya ke dada Siau Lo-seng. Tetapi pemuda itupun
sudah miringkan tubuh. Selekas pukulan si nona lewat, secepat kilat tangan kiri Siau Lo-seng pun terus
menyambar siku lengan sebelah kiri dari si nona. Dengan demikian maka kedua siku lengan Cu-ing telah
dikuasai Siau Lo-seng. Tetapi ternyata pemuda itu tak mau mencelakai si nona. Setelah menarik pelahan, ia segera lepaskan
tangannya pula dan mundur sampai lima-enam langkah.
Adegan itu berlangsung dalam sekejap mata. Bukan hanya Cu-ing yang termangu-mangu heran, pun si
orang aneh tadi serta Pek Wan Taysu juga terkejut.
"Nona Nyo," seru Siau Lo-seng dengan pelahan dan tenang, "dewasa ini seluruh kaum persilatan sedang
mengarahkan perhatiannya kepada Tiga Pusaka dunia persilatan. Mereka saling berebut dan bunuh
membunuh untuk mendapatkau pusaka itu. Peristiwa itulah yang menimbulkan pergolakan dunia persilatan
waktu ini?"" "Kematian ayahmu dan beberapa tokoh perPage 29-30 are missing?"?"
Pek Wan Taysu amat tegang. Sepasang matanya berkilat-kilat. Belum pernah rasanya paderi dari Siau-limsi itu semarah saat itu.
06.28. Kabut hitam. Tetapi orang itu tetap acuh tak acuh. Wajahnya tenang-tenang saja. Pada hal sesungguhnya dia sedang
salurkan tenaga dalam untuk menyembuhkan luka dalam tubuhnya.
Sementara itu, Cu-ing ayunkan langkah menghampiri ke tempat Siau Lo-seng.
Pek Wan Taysu kuatir kalau nona itu hendak menyerang, buru-buru memberi penjelasan.
"Nona Nyo, Lo-ni paderi Pek Wan dari Siau-lim-si. Sejak semalam bersama keponakanku berada di sini. Loni berani bersumpah, Nyo loenghiong dan beberapa tokoh itu, bukan keponakanku yang membunuh."
dunia-kangouw.blogspot.com
Empat serangkai paderi sakti dari Siau-lim-si, termayhur sekali. Terkejutlah Cu-ing mendengar Pek Wan
Taysu memperkenalkan diri. Diam-diam nona itu menimang: "Ah, ternyata dugaanku memang benar. Paderi
ini salah seorang tokoh Siau-lim yang termasyhur."
"Locianpwe," kata Cu-ing dengan nada haru, "Mohon locianpwe suka memberi keterangan siapakah
pembunuh ayahku itu. Budi locianpwe takkan kulupakan seumur hidup."
Berkata Pek Wan Taysu dengan serius: "Lo-ni, juga belum dapat memastikan siapa pembunuhnya. Tetapi
kita akan berusaha untuk menyelidiki."
Kemudian paderi itu menunduk dan bertanya pelahan kepada Siau Lo-seng, "Lo-seng, apakah engkau
terluka?" Belum pemuda itu menjawab, si orang aneh sudah menyelutuk dengan suara sinis: "Dia memang terluka
karena pukulan Pek-kut-im-hong-ciang yang kulancarkan. Hawa beracun dari pukulan itu telah menyusup
ke dalam urat nadinya. Walaupun dia memiliki tenaga dalam yang tinggi, tetap tak dapat hidup lebih lama
Prahara Dendam Leluhur 2 The Chronicles Of Narnia 2 Sang Singa Sang Penyihir Dan Lemari The Lion The Witch And The Wardrob Pendekar Muka Buruk 8

Cari Blog Ini