Ceritasilat Novel Online

Senja Jatuh Di Pajajaran 14

Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka Bagian 14


perlahan namun pihak Pasukan Pakuan akan bisa
mengatasi pemberontakan ini. Tapi mengapa Ki Rangga
Guna tetap memaksakan diri turun tangan, barangkali
karena dia ingin mengurangi korban tewas. Kalau pihak
Pakuan sendiri yang melakukan penyelesaian, maka mereka
akan membantai habis pasukan penyerbu. Tapi bila Ki
Rangga Guna yang bergerak, musuh hanya akan lumpuh
tanpa tewas. Berpikir sampai di situ, Ginggi pun segera terjun ke arena
pertempuran. Dia bertempur di dekat seorang perwira yang
begitu ganasnya membabati musuh. Ginggi mencoba
mengurangi korban tewas dengan cara mendahului. Setiap
musuh yang dekat, sebelum disabet pedang perwira, Ginggi
dahului dengan sodokan kepalan atau tusukan jari ke urat
syaraf lawan, yang penting lawan roboh tak berkutik, tapi
nyawanya masih utuh. Pada mulanya perwira itu mengerutkan dahi dan sedikit
kaget karena secara tiba-tiba pemuda itu sudah ada di
sampingnya. Dia kaget karena mungkin sudah kenal Ginggi
sebagai pemberontak. Namun karena pemuda itu nampak
ada di pihaknya, perwira itu malah seperti senang hatinya.
"Hahaha! Engkau orang aneh anak muda!" kata perwira
itu di tengah kesibukannya menggerak-gerakkan pedang.
Perwira itu seperti terbawa arus sikap Ginggi,
melumpuhkan lawan tanpa bermaksud menewaskannya.
Hanya gerakannya saja yang tetap ganas sehingga musuh
putus nyalinya. "Mereka hanya terbawa-bawa sikap pemimpinnya saja,
jadi tak perlu kita bunuh," kata Ginggi pada perwira itu.
"Benar juga. Yang penting, kita harus bisa membekuk
biang keladinya!" sahut si perwira sambil menangkis sebuah
serbuan ujung tombak. Batang tombak kutung karena
sabetan mata pedang yang demikian runcingnya. Pemilik
tombak meringis kecut dan akhirnya lari tunggang-langgang
karena takut lehernya kena tebas.
Medan pertempuran sudah benar-benar dikuasai pasukan
pemerintah. Sebagian tentara musuh melarikan diri,
serabutan ke berbagai arah. Tapi sebagian besar telah
terkepung di tengah-tengah karena mereka terperangkap
oleh taktik pertempuran yng disusun oleh para perwira
kerajaan. Bila Ginggi ingat akan keterangan Ki Darma
tempo hari, maka inilah siasat perang yang bernama cakrabihwa, Siasat ini digunakan terbalik. Cakra-bihwa biasanya
dilakukan bila pasukan terperangkap dalam kepungan
musuh. Caranya, di dalam kepungan musuh mereka
membentuk lingkaran. Dari lingkaran itu setiap selang dua
orang, keluar satu perwira. Tugas mereka adalah berusaha
membobol kepungan. Sekarang kedudukan pasukan perwira terbalik. Posisi
mereka bertindak sebagai pihak pengepung, yaitu
melingkari lawan dan membiarkan mereka ada di tengah.
Dari setiap dua orang yang ada dalam lingkaran itu, keluar
satu perwira dan mencoba melakukan gempuran. Namun
setiap lawan hendak balik menggempur perwira itu segera
melompat ke belakang dan ganti formasi. Dengan
demikian, secara bergantian mereka melakukan
penyerangan dan ganti pula melakukan pengawalan, begitu
seterusnya, membuat musuh yang dikepung merasa
kebingungan. Ginggi menghitung lebih dua ratus orang yang
terperangkap siasat perang cakra-bihwa ini. Kedudukan
mereka semakin terhimpit sebab jumlah pihak pengepung
bahkan lebih dari enam ratus orang. Ketika lingkaran
semakin kecil, maka semakin ketat pula lingkaran
pengepungan. Ginggi menghitung lagi, kini ada tiga lapis
lingkaran, ketiganya berputar-putar dengan arah
berlawanan dan membuat lawan yang terkepung menjadi
bingung. Pasukan yang terjepit di tengah kepungan, menjadi
semakin kacau formasinya setelah belasan perwira secara
berani melakukan salto-salto di udara dan masuk ke tengah
kepungan. Untuk sementara belasan perwira harus matimatian melakukan gempuran atau bahkan menahan
gempuran lawan. Namun hebatnya, sambil berusaha
melakukan sepak-terjang penyerangan atau sebaliknya
belasan perwira itu menyusun formasi lingkaran baru.
Dengan demikian, kini terbentuk satu formasi lingkaran lagi
namun berada di tengah kepungan. Benar-benar hebat
formasi ini, sebab musuh kini seolah digempur dari luar dan
dalam. Jerit-jerit kesakitan mulai terdengar di sana-sini dan
semua keluar dari mulut-mulut pasukan musuh. Formasi
mereka sudah demikian kacau dan hancur. Mereka bingung
sebab serangan datang dari depan dan belakang. Kian lama
lingkaran di tengah kian melebar pula sebab kian banyak
perwira yang melakukan salto dan menerobos masuk ke
tengah kepungan. Lawan yang ada dalam kepungan hanya menunggu
waktu saja untuk segera dibantai habis oleh teknik
pertempuran cakra-bihwa ini.
Ginggi berteriak-teriak agar pasukan pemerintah tidak
begitu ganas membantai mereka. Ginggi berteriak
mengabarkan bahwa biang keladi kerusuhan sudah bisa
dilumpuhkan dan Raja pun selamat. Namun teriakan
Ginggi tenggelam ke dalam gemuruh pertempuran. Jerit
kesakitan terdengar membahana dan membuat bulu kuduk
merinding saking ngerinya mendengar teriak-teriakan itu.
Apalagi di seputar tegalan, tubuh-tubuh bertumpuk dan
bergeletakan dan darah membanjir di mana-mana.
Pertempuran sekarang hanya terpusat pada lingkaran itu
saja, sebab di tempat lain, perkelahian sudah usai. Ginggi
hanya berdiri termangu sebab dia tak tahu harus berbuat
bagaimana lagi. Melihat ketatnya pengepungan ini, Ginggi
tak mungkin ikut masuk lingkaran, sebab kalau pun terjun
ke arena yang demikian ketatnya dia akan masuk dalam
putaran pembantaian itu sendiri.
Ini adalah pertempuran dengan mengunakan taktik
barisan dan bukan pertempuran perseorangan seperti tadi.
Berbagai gerak dan jurus, dikendalikan oleh satu komando
dan tidak berjalan sendiri-sendiri.
Ki Rangga Guna pun nampak mulai bingung untuk
dapat melibatkan diri dalam pertempuran ini. Dia tak bisa
lagi turun tangan untuk mengurangi korban. Ki Rangga
Guna bahkan meloncat mendekati tempat di mana Ginggi
berdiri termangu. "Ini korban yang sia-sia"Benar-benar sia-sia?" gumam
Ki Rangga Guna, "Astaghfirullah" Astagfirullah"
Astaghfirullah!" gumam Ki Rangga Guna mengusap
wajahnya. Ginggi melirik dan menatap orang tua itu dengan heran
dan menduga-duga. "Paman, bagimana kita mencegah pembantaian ini?"
tanya Ginggi bingung. "Kita sudah berusaha sekuatnya. Tapi barangkali ini
kehendak Allah" Allaahu Akbar! Allaahu Akbar!" gumam
Ki Rangga Guna lagi. Ginggi menatap ke arah pertempuran dengan pandangn
kosong. Sudah tak terlihat lagi mayat-mayat
bergelimpangan. Sudah tak terdengar lagi jerit-jerit
kesakitan. Yang ada hanyalah hati pemuda itu yang kosong
dan perasaannya yang hampa.
Dengan tubuh seperti kehilangan berat badan, Ginggi
membalikkan arah dan berjalan meninggalkan arena
pertempuran begitu saja. "Ginggi"!" teriak Ki Rangga Guna memanggil. Tapi
Ginggi terus saja berlalu.
"Ginggi! Ada panah tertancap di bahumu. Mari aku
cabut!" teriak Ki Rangga Guna menyusul pemuda itu. tapi
Ginggi seperti tidak mendengar panggilan orang tua itu.
(O-ani-kz-O) Di sebuah tempat sunyi, jauh di benteng luar, Ginggi
mendapatkan pengobatan sederhana dari Ki Rangga Guna.
Panah sudah tercabut dari bahunya namun luka itu akan
melebar sebab kulit dan sedikit daging pada bagian bahu
harus sedikit disayat. "Terima kasih engkau selamat, Paman?" gumam
Ginggi sambil berdiri dan mulai hendak melangkah.
"Aku terlalu sembrono memasuki wilayah Sagaraherang,
sehingga akhirnya ditangkap Ki Banaspati karena tak mau
diajaknya kerja sama. Tapi di saat persiapan mereka hampir
matang, aku bisa kabur bahkan aku akhirnya bisa
menyadarkan beberapa wilayah Kandagalante lainnya
untuk mengurungkan rencana dan tak ikut memberontak,
sehingga kekuatan yang datang ke Pakuan sedikit
berkurang," kata Ki Rangga Guna menerangkan sambil
melangkah mengikuti Ginggi.
"Setelah itu aku berkelana ke wilayah Cirebon dan
bergabung dengan mereka," sambung lagi Ki Rangga Guna.
Mendengar ini Ginggi merandeg dan menatap Ki
Rangga Guna. "Engkau telah memasuki kehidupan agama baru,
Paman?" tanya Ginggi
Ki Rangga Guna mengangguk.
"Aku menyadari, pada saatnya zaman akan segera
berubah, meninggalkan hal-hal lama dan memasuki hal-hal
baru," tutur Ki Rangga Guna.
"Engkau mencintai agama baru, Paman?"
"Pada dasarnya, tak ada agama baru atau agama lama,
sebab setiap agama yang baik akan membawa kedamaian
hidup. Namun Allah Maha Penyayang. Dia selalu
menginginkan manusia punya nilai kesempurnaan. Itulah
sebabnya, setiap agama pada waktu kurun tertentu akan
disempurnakan dan makin disempurnakan. Ini adalah
kurun waktu di mana Allah mempercayai akan kemampuan
umat manusia untuk mencapai tingkat kesempurnaan.
Itulah sebabnya Allah menurunkan agama paling sempurna
dan terakhir, sebab sesudah ini tak akan ada agama baru
lagi. Inilah agama akhir zaman di mana semua manusia di
bumi ini wajib mengikutinya," ujar Ki Rangga Guna
menjelaskan. Ginggi termenung, berdiri mematung sambil berpangku
tangan. "Mari anakku, masuklah engkau pada agamaku," ajak Ki
Rangga Guna dengan lemah-lembut.
Ginggi menatap dengan dalam-dalam.
"Kalau saya menolak, apakah saya akan diperangi,
Paman?" tanya Ginggi.
"Mengapa engkau berpikiran begitu?"
"Pajajaran pun digempur karena tidak mau memasuki
agama baru?" gumam Ginggi.
"Masya Allah! Jangan campurkan agama dan politik.
Agamaku hanya menganjurkan orang mengikutinya karena
inilah agama yang paling sempurna dalam membawa umat
manusia menuju jalan keselamatan. Tapi kalau sudah
diajak mereka tetap menolak juga, itu adalah hak mereka
dengan risiko-risiko tertentu kelak di pengadilan Tuhan.
Sementara peperangan yang selama ini berlangsung antara
Pajajaran dengan negara-negara agama baru, pendapatku
itu hanyalah pertentangan politik semata," ujar Ki Rangga
Guna. "Saya dibiarkan kosong oleh Ki Darma selama berada di
Puncak Cakrabuana. Barangkali ini kebijaksanaan beliau
agar di saat kosong begini saya disuruhnya memilih sesuatu
yang terbaik buat diri saya sendiri," gumam Ginggi. "Saya
pun ingin memiliki kedamaian. Dan akan saya cari agama
yang bisa membawa kedamaian hati namun bukan hasil
pengaruh dan gagasan orang lain," kata pemuda itu mulai
hendak berlalu. "Semoga Allah membukakan hatimu untuk segera
memilih agama yang bisa menghantarmu ke kedamaian
hakiki, anakku. Tapi hati-hatilah, waktu terus berlalu juga
dan Allah akan selalu mencatatnya, sejauh mana kita
mempergunakan dan memanfaatkan waktu yang sedikit
itu?" kata Ki Rangga Guna.
Ginggi mengangguk mengiyakan. Dia hendak segera
berlalu pergi, ketika tiba-tiba ingat sesuatu.
"Paman"Raden Purbajaya telah tewas. Barangkali,
sayalah pembunuhnya?" kata Ginggi tapi masih menatap
tajam Ki Rangga Guna. Sedangkan yang ditatap hanya
tersenyum pahit. "Aku sudah mendengar semuanya. Dia diutus oleh
Cirebon agar mengajak penghuni istana Pakuan untuk
memasuki agama baru. Namun pemuda itu hatinya
dipenuhi urusan pribadi sehingga akhirnya mencelakakan
dirinya sendiri. Anakku ketahuilah, agamaku melarang
orang memiliki kebencian. Aku sebagai warga Pajajaran,
sebetulnya tetap berkeinginan Pajajaran tetap hidup dan
besar. Tatanan pemerintahan sudah baik, tinggal
membentuk sikap yang baik dari orang-orangnya. Alangkah
baiknya bila kebesaran Pajajaran dijalankan melalui tatacara agama baru," kata Ki Rangga Guna.
Ginggi tersenyum tipis mendengarnya.
"Kita lihat saja perkembangan zaman, Paman?" gumam
Ginggi. Dan akhirnya mereka berpisah di sana. Ki Rangga Guna
berdiri mematung memperhatikan Ginggi yang melangkah
lesu menuju ke timur. Senja sudah mulai jatuh. Sebagian menimpa pintu
gerbang timur, sebagian menimpa punggung pemuda itu.
Dan di atas tanah di mana Ginggi melangkah, bayangan
besar matahari senja yang terhalang kokohnya temboktembok gerbang telah menutupi bayangan tubuh pemuda
itu, gelap dan suram. (O-ani-kz-O) Ginggi terus menuju ke timur dia akan kembali ke
Puncak Cakrabuana sebab hatinya tak yakin Ki Darma
telah tiada. Dia pun akan berusaha mencari kampung kecil
bernama Caringin di wilayah Cirebon, sebab Ki Darma
pernah bilang, bila dia ingin tahu siapa dia sebenarnya,
maka harus menuju Kampung Caringin.


Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bila Ginggi masuk ke sebuah wilayah Kandagalante,
maka sesekali akan tersimak juga lantunan dan tembangtembang ki juru pantun yang cepat sekali membawa berita
baru dari Pakuan. Melalui berita-berita pantun, Ginggi mendapatkan
khabar bahwa beberapa bulan sesudah peristiwa besar itu,
Sang Prabu Ratu Sakti akhirnya turun tahta juga karena
tetap dianggap melakukan pelanggaran moral. Raja yang
penuh ambisi ini memerintah sejak tahun 1543 dan berakhir
tahun 1551. Penggantinya adalah Sang Lumahing Majaya
dikenal juga sebagai Sang Prabu Nilakendra.
Untuk mengurangi kemelut di istana, Sang Prabu yang
masih belia ini segera menangkap Bangsawan Soka dan Ki
Bagus Seta namun kemudian meninggal karena sakit dan
kecewa. Sang Prabu juga mengumumkan bahwa Ki
Banaspati dicap pemberontak dan harus diburu sampai
diketemukan kendati sembunyi di ujung dunia. Sedangkan
Pangeran Yogascitra sekeluarga, begitu pun Ginggi,
disebut-sebut Ki Juru Pantun sebagai para pahlawan
Pajajaran yang berjuang mempertahankan Pakuan tanpa
pamrih. Namun yang paling melegakan Ginggi adalah
ketika lantunan juru pantun menembangkan kisah-kisah
kedigjayaan seorang perwira setia bernama Ki Darma
Tunggara. Ini hanya memberi tanda bahwa Ki Darma telah
dibersihkan namanya. Sebelum tiba di Puncak Cakrabuana Ginggi melakukan
pengembaraan kesana-kemari termasuk pula memasuki
wilayah-wilayah Kandagalante yang pernah dia kunjungi
ketika berangkat dulu. Dengan senyum tipis dia melihat
gadis Asih dari Kandagalante Tanjungpura telah
bersuamikan pemuda di sana. Dan senyum pahitnya
membayang manakala tiba di Desa Cae ketika mendengar
khabar bahwa Nyi Santimi akhirnya menjadi istri muda
Kuwu Suntara, yaitu ayah kandung Suji Angkara.
Semua serba terjadi dan semua membawa arti.
Sambil berjalan sendirian di bawah bayang-bayang senja,
Ginggi bersenandung melantunkan tembang yang pernah
didendangkan Ki Darma dulu :
Hidup banyak menawarkan sesuatu namun bila tak
sanggup memilihya maka kita orang-orang yang kalah!
Tamat Bandung, Februari 1992 Catatan Hati Seorang Istri 2 Rahasia Istana Terlarang Karya Wo Lung Shen Peri Angsa Putih 2

Cari Blog Ini