Ceritasilat Novel Online

Senja Jatuh Di Pajajaran 6

Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka Bagian 6


bawah bukit. Pedataran itu amat luas. Beberapa terdiri dari
rawa-rawa, beberapa bagian lagi hanya berupa semak dan
tumbuhan perdu. Ada sekelompok burung bangau terbang
di atas rawa. Sesekali mereka menukik menusuk permukaan
air rawa dan terbang lagi sesudah paruhnya mengapit ikan
kecil. (O-anikz-O) Senja Jatuh Di Pajajaran "Sebelum aku dilepas, Ki Guru memang memberikan
amanat serupa. Tapi kau lihatlah, bagaimana kesanmu
melihat adikku Ki Rangga Wisesa" Membuatku malu saja,"
gumamnya sedih. Dia pandang lagi bongkahan-bongkahan
reruntuhan gua kapur. Ki Rangga Wisesa ada di sana,
mungkin terkubur untuk selama-lamanya.
"Aku juga amat menyesalkan kejadian ini, Paman. Tapi,
mengapa hal ini bisa sampai terjadi?" tanya Ginggi.
"Adik kembarku tersiksa oleh perasaan iri dan sakit hati.
Kami berdua dulu adalah rakyat Kerajaan Talaga. Ketika
telaga diperangi Cirebon, keluargaku termasuk orang
Talaga yang menolak masuk keyakinan baru. Maka terjadi
peperangan dan kami ada di pihak yang kalah. Kami dua
saudara kembar melarikan diri dan akhirnya diambil murid
oleh Ki Guru Darma. Namun selama Ki Guru memberi
pelajaran, dia mendapatkan perbedaan sikap pada kami
berdua. Entah perangai apa yang terdapat pada adikku.
Yang jelas, Ki Guru nampaknya lebih mempercayaiku
ketimbang adikku. Bila ada sesuatu yang harus
dirundingkan, maka Ki Guru merundingkannya denganku.
Bila Ki Guru memerintahkan sesuatu yang dianggap
penting, maka hanya akulah yang ditugaskan. Dan secara
diam-diam, Ki Guru memberikan ilmu yang tak diberikan
kepada adikku. Aku heran dan tak enak dengan perlakuan
ini. Maka aku tanyakan kepada Ki Guru, tapi dia hanya
berkata bahwa kelak pun aku akan tahu. Secara diam-diam,
ilmu yang didapat dari Ki Guru aku sampaikan dan
latihkan kepadaa adikku. Tapi adikku bukannya berterima
kasih, tapi malah memendam kemarahan. Sampai pada
suatu saat kami berpisah, rasa sakit adikku tak terobati
lagi," kata Ki Rangga Guna.
"Dan rasa sakit hati ini dia lampiaskan dengan
melakukan serangkaian kejahatan. Mencuri mayat bayi dan
memperkosa wanita," kata Ginggi.
Ki Rangga Guna menundukkan muka.
"Barangkali mencuri mayat bayi dan memperkosa gadis
bukan maksudnya berbuat kejahatan," kata Ki Rangga
Guna. Ginggi mengerutkan dahi.
"Ya, itu pengakuan adikku. Dia melakukan itu karena
keperluan tertentu. Kerapkali dia memperkosa gadis, bukan
karena dia gila perempuan, tapi karena ingin
menyempurnakan ilmu sihir yang tengah dia pelajari.
Begitu pun halnya dengan pencurian mayat bayi. Semua
dilakukan bagi penyempurnaan ilmu sesatnya itu," kata Ki
Rangga Guna. "Kesalahannya memang terletak padaku dan
Ki Guru. Kami telah membuat dia sakit hati. Dan agar dia
memiliki kepandaian yang sekiranya bisa mengalahkan aku,
dia kerjakan cara apa saja, termasuk mempelajari ilmu
sesat," ungkapnya. "Ya, Ki Rangga Wisesa ingin membalas dendam
padamu, Paman. Terbukti, selama ini dia pergunakan
namamu dalam melakukan kejahatannya sehingga semua
orang mengejarmu," kata Ginggi.
Ki Rangga Guna mengangguk-angguk mengiyakan.
"Tapi kalau benar engkau tak bersalah, mengapa setiap
kau dikejar dan dikeroyok kau tak pernah menerangkan hal
yang sebenarnya?" "Percuma, sebab persamaan wajah kami menyulitkan
sanggahanku. Semua orang tak mau percaya bila aku
memungkirinya. Maka tak ada jalan lain selain aku
menangkap adikku sendiri. Sekarang adikku sudah mati
dan tak akan berbuat kejahatan lagi. Tapi kedudukanku
tetap tak berubah, namaku tetap jelek. Dengan kematian
adikku, aku semakin tak mungkin membuktikan bahwa
diriku tak bersalah," kata Ki Rangga Guna.
"Aku menyesal dengan kematian adikku. Seharusnya dia
tak perlu mati. Orang berlaku jahat bukan karena badannya,
tapi karena pikirannya yang sedang sakit. Jadi untuk
memberantas kejahatan, sebetulnya bukan membunuh
orangnya tapi mengobati jiwanya itu," kata Ki Rangga
Guna mengeluh. "Engkau tidak membunuh saudaramu, Paman!" kata
Ginggi menghibur. Tapi Ki Rangga Guna tetap sedih
dengan peristiwa ini. Menjelang siang hari perut Ginggi terasa lapar. Meniru
burung bangau, kedua orang itu mencoba mencari ikan di
rawa-rawa. Tidak begitu sulit, sebab dengan kepandaian
mereka, ikan-ikan di rawa serasa begitu mudahnya
ditangkap. Di tepi bukit mereka membakar ikan gabus atau bogo.
Makan tanpa banyak bicara karena Ki Rangga Guna
nampaknya masih diliputi kesedihan oleh kematian saudara
kembarnya. Sesudah rasa lapar di perutnya menghilang, Ginggi
kembali bertanya perihal rencana selanjutnya. Terutama
yang erat kaitannya dengan tugas yang dibebankan Ki
Darma. Namun untuk yang kesekian kalinya Ki Rangga
Guna hanya mengeluh. "Berpayah-payah aku mencari murid-murid Ki Darma,
sudah tiga orang aku temukan. Tapi nyatanya tak seorang
pun yang membuatku percaya," kata Ginggi pada akhirnya.
Ki Rangga Guna menatap Ginggi dengan penuh perhatian.
"Siapa yang kau temukan selain kami bedua, anak
muda?" tanya Ki Rangga Guna penuh minat.
"Aku temukan juga Ki Banaspati ?"
"Ki Banaspati" Itulah murid pertama ki Guru. Tolong
pertemukan aku, sebab selama ini aku belum pernah
bersua!" kata Ki Rangga Guna.
Giliran pemuda ini yang kini menunduk lesu.
"Kau seperti tak berselera memperbincangkan Ki
Banaspati, anak muda," kata Ki Rangga Guna penuh
selidik. "Ya, kau akan mudah menemukan Ki Banaspati, Paman.
Dia orang berpengaruh. Paling tidak di wilayah
Kandagalante Sagaraherang," kata Ginggi sambil termangumangu. Ki Rangga Guna terus mengamatinya.
"Dia jadi orang berpengaruh?" tanya Ki Rangga Guna
penuh perhatian. "Betul," ujar Ginggi. "Tapi aku heran, mengapa Paman
belum pernah bertemu, atau pun mendengar perihalnya"
Kalau aku pernah tak tahu, itu wajar, sebab sejak kecil aku
hanya bersama Ki Darma di puncak gunung yang sunyi.
Tapi kau lain lagi. Kau tak pernah hidup menyepi dan
pekerjaanmu tentu berkelana," kata Ginggi.
Ki Rangga Guna menangguk-angguk. "Benar, selama ini
aku berkelana, tapi aku pergi jauh dari Pajajaran. Biar nanti
aku ceritakan perihalku. Sekarang lebih baik kau terangkan
Ki Banaspati," kata Ki Rangga Guna mendesak.
(O-anikz-O) Hampir Putus Asa Dengan perasaan enggan, terpaksa pemuda itu
menerangkan perihal Ki Banaspati, termasuk penilaian
dirinya terhadap orang itu. Dengan panjang-lebar Ginggi
menerangkan betapa Ki Banaspati telah jadi orang
terpandang. Di Pakuan sebagai pembantu utama muhara
(petugas penarik pajak negara). Juga di wilayah
Kandagalante Sagaraherang, menjadi semacam penasihat
Kandagalante itu. Dikatakannya pula, betapa sebetulnya
dia merasa curiga akan tindak-tanduk Ki Banaspati sebab
seperti menyembunyikan suatu misteri.
"Ki Banaspati mengatakan bahwa selama ini dia tetap
setia kepada amanat Ki Darma dalam perjuangan membela
rakyat. Tapi aku pikir, cita-citanya terlalu jauh. Yang
dimaksud perjuangan demi kepentingan rakyat olehnya
adalah berupaya membentuk satu kekuatan untuk
menjatuhkan raja dan kemudian kelak akan digantikan
olehnya!" kata Ginggi.
Mendengar penjelasan ini, Ki Rangga Guna termenung.
Beberapa kali alisnya nampak berkerut. Beberapa kali pula
nampak matanya kian menyipit. Dan sambil berpangku
tangan, sesekali dia berjalan ke kiri, sesekali berjalan juga ke
kanan. "Ini pemberontakan namanya!" gumamnya agak keras.
"Pemberontakan?"
"Ya, melawan pemerintahan yang sah adalah
pemberontakan namanya. Orang yang memberontak selalu
mempunyai nama buruk," kata Ki Rangga Guna.
"Sekali pun bertujuan membela rakyat, Paman?" tanya
Ginggi. Ditanya demikian, Ki Rangga Guna termenung.
"Entahlah, mungkin benar ia berjuang demi rakyat," kata
Ki Rangga Guna. "Tapi tak kurang yang berdalih demi
kepentingan rakyat, padahal rakyat sebenarnya hanya
dianggap modal untuk melicinkan cita-cita pribadinya,"
kata Ki Rangga Guna lagi.
"Aku mengkhawatirkan, itu yang menjadi tujuan
sebenarnya dari Ki Banaspati. Dia bermain api. Mencoba
membujuk dan mempengaruhi Kandagalante Sunda
Sembawa agar berambisi merebut tahta, tapi yang
sebenarnya Ki Sunda Sembawa dikendalikan untuk
kepentingan Ki Banaspati itu sendiri," kata Ginggi
memperkirakan siasat Ki Banaspati.
"Benar-benar berbahaya bila begitu!" Ki Rangga Guna
berseru saking terkejutnya mendengar penjelasan itu.
"Ya, dan ini mengecewakan. Semuanya, semuanya ?"
gumam Ginggi dengan nada keluhan.
Mereka terdiam sejenak, sepertinya tengah asyik dengan
lamunannya masing-masing.
Namun kemudian, terdengar kekeh Ki Rangga Guna.
Suara tawa penuh kepahitan.
Mendengar tawa ini, Ginggi berjingkat dan berdiri.
"Aku mau pulang ke Puncak Cakrabuana " " kata
pemuda itu pendek. Ki Rangga Guna menatap pemuda itu dengan
pandangan kosong. "Bagaimana dengan amanat Ki Guru?" tanyanya.
"Ya, aku ingat betul. Jangan kembali sebelum tugas
selesai," jawab Ginggi teringat kembali pesan Ki Darma.
"Ya, itu juga yang dikatakan Ki Guru padaku. Sekarang
aku tak mau pulang ?"
"Ya, mungkin tak bisa pulang karena engkau tak mau
melaksanakan perintah gurumu!" kata Ginggi ketus dan
akan segera beranjak pergi.
"Lantas kau sendiri pulang untuk apa, anak muda?"
tanya Ki Rangga Guna. "Sekarang ada yang lebih kupikirkan ketimbang urusan
besar yang aku sendiri tak sanggup mengerjakannya. Berita
yang disampaikan Ki Rangga Wisesa amat merisaukan
diriku. Malam kedua belas perjalanan bulan keenam "
Aku ingat kembali. Sehari sebelumnya Ki Darma
memerintahkan aku supaya pergi. Kalau benar malam
kedua belas itu hari penyerbuan Cirebon dan Pakuan ke
Puncak Cakrabuana, aku berdosa kepada Ki Darma. Dia
kubiarkan menghadapi marabahaya sendirian, sedang aku
" sedang aku ?" pemuda itu tak melanjutkan
omongannya. "Kau tak berdosa. Bahkan Ki Darma sendiri yang akan
merasa berdosa bila membiarkan kau terlibat bentrokan di
puncak. Dia mengorbankan engkau yang belum tahu
permasalahan sebenarnya," kata Ki Rangga Guna dengan
nada sedih. "Bukan itu yang kupikirkan!" teriak Ginggi benci kepada
jalan pikirannya sendiri. Ya, dia membenci dirinya sendiri.
Ketika Ki Darma tengah menghadapi marabahaya,
bukankah dia sedang asyik masyuk bersama Nyi Santimi di
bukit kecil Desa Cae" Terbayang ketika itu, Ki Darma di
Puncak Cakrabuana tengah bergumul mempertahankan
nyawa, sedangkan dia bergumul mempermainkan berahi.
Aku berdosa, kutuknya dalam hati sambil menggetok ubunubunnya sendiri. "Ki Guru tahu, mana kepentingan yang harus dia jaga.
Membiarkan engkau terlibat urusan di puncak, berarti
memutuskan perjuangan dan cita-citanya membela
Pajajaran. Sebab kalau kau ikut menjadi korban di Puncak
Cakrabuana bersamanya, putus pulalah cita-citanya!" kata
Ki Rangga Guna meyakinkan, tapi tetap saja dengan suara
yang terdengar pilu. "Apa bedanya dengan sekarang. Tokh biar pun aku
selamat, tetap saja tak bisa melaksanakan amanatnya.
Orang-orang yang sengaja aku hubungi seperti apa kata
perintah Ki Darma, tidak satu pun yang membuatku lega.
Barangkali Ki Darma pun akan kecewa bila dia masih
hidup!" teriak Ginggi kesal.
"Plak!" Ki Rangga Guna melayangkan telapak
tangannya menempeleng Ginggi. Pemuda itu langsung
terjajar dan menimpa bongahan-bongkahan batu kapur.
Tidak menderita luka, tapi Ginggi terkejut setengah mati
sebab dia tak menyangka sama sekali bahwa Ki Rangga
Guna akan menyerang secara tiba-tiba.
"Ayo, bunuhlah aku Paman! Kepandaianmu jauh lebih
tinggi ketimbang aku. Tapi aku tak malu mati kendati
belum menunaikan tugas. Beda sekali dengan kau Paman,
hidup dengan memiliki kepandaian tapi tak pernah
memanfaatkan kepandaian itu sendiri untuk membalas
kebaikan gurumu!" teriak Ginggi marah dan kesal.
"Kau manusia tolol tapi sombong!" kini Ki Rangga Guna
balas membentak. Dia menghambur ke arah Ginggi dan
pemuda itu meramkan mata, sepertinya pasrah untuk mati
hari itu. Tapi Ki Rangga Guna tak melancarkan pukulan, kecuali
meraih pakaian pemuda itu di bagian dada dan


Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengangkatnya tinggi-tinggi.
"Ocehan-ocehanmu serasa menghina dan merendahkan
aku, anak dungu! Sangkamu, kau ini apa" Apa saja yang
kau lakukan sejak turun gunung selain mencari-cari kami"
Dan apakah kau tahu, apa sebenarnya yang aku lakukan
selama belasan tahun mengembara" Dengarlah anak picik!
Belasan tahun aku melaksanakan perintah Ki Guru.
Belasan tahun aku dikejar dan diburu oleh siapa saja karena
aku murid Ki Darma. Aku juga dituding pengkhianat!
Semua yang ada hubungan dengan Ki Darma sama
diperlakukan sebagai pengkhianat! Kau dengar itu, hai
manusia tak punya guna!" teriak Ki Rangga Guna
menunjuk-nunjuk hidung pemuda itu dengan tangan kanan,
dan tangan kirinya masih mencengkram pakaian Ginggi.
"Pekerjaan yang engkau laksanakan tak seberapa,
demikian juga penderitaanmu. Tapi kau berani mengeluh
bahkan menyesali tindakan orang lain, seolah-olah
tindakanmu bagus dan berarti bagi Ki Guru. Kau sesali pula
tindakan Ki Banaspati. Padahal sejelek apa pun dia bekerja,
tokh dia sudah melakukan sesuatu untuk berupaya
mengubah keadaan di Pajajaran. Huh, dasar bocah
cengeng!" teriak Ki Rangga Guna geram.
Tubuh pemuda itu dia lontarkan dan untuk yang kedua
kalinya menimpa bongkahan batu kapur.
Ginggi menjerit dan melolong-lolong. Bukan rasa sakit di
punggung karena dua kali menimpa bongkahan batu kapur.
Tapi rasa sakit yang ada di hatinya. Benarkah dia manusia
tak ada guna dan kerjanya menuding keburukan orang lain
saja" Ginggi menjambak-jambak rambutnya untuk
mengimbangi rasa sakit di hatinya.
"Ya, betul Paman. Aku manusia tiada guna. Aku tak
punya harga diri! Aku tak punya rasa malu! Oh, aku harus
mati karena ini!" teriaknya sambil mengangkat sebongkah
batu untuk kemudian ditimpakan ke kepalanya.
Ki Rangga Guna sudah menggerakkan sepasang
tangannya dan mendorong benda berat itu jauh-jauh.
"Hm, enak saja bunuh diri. Bila kau bunuh diri, kau
adalah orang licik dan pengecut. Merasa diri tak ada
harganya tapi bukan berusaha mendapatkan harga diri itu,
melainkan akan lari dari tanggung jawab!" omel Ki Rangga
Guna kesal. "Aku bodoh! Aku tak punya kemampuan. Bagaimana
mungkin bisa melakukan sesuatu yang berarti?" tanya
Ginggi mengeluh. "Kalau kau sudah punya pertanyaan seperti itu, maka
sebetulnya sudah didapat jawabannya. Agar kau mampu
melakukan sesuatu, maka belajarlah untuk mampu
melakukan sesuatu. Banyak cara untuk meraihnya yaitu
dengan memiliki kemauan untuk belajar. Ingin pandai
berenang, belajarlah pada itik. Ingin pandai terbang,
belajarlah pada burung. Asal kau sanggup memilih guru
yang tepat dan sanggup belajar dengan keras, tak ada
sesuatu yang tak bisa kau kerjakan, termasuk melaksanakan
amanat dan perintah Ki Guru Darma!" kata Ki Rangga
Guna. Ginggi menunduk lesu mendengar perkataan Ki Rangga
Guna ini. Dan Ki Rangga Guna terus berkata-kata sambil
berdiri membelakangi dan berpangku tangan.
"Jangan menganggap aku juga tak sedih dengan berbagai
peristiwa yang terjadi di sekeliling ini. Kau lihat adikku, dia
begitu jahatnya, begitu memalukannya. Dia orang putus
asa. Ada rasa sakit hati terhadpa perlakuan di sekelilingnya.
Dia sakit hati terhadap guru. Dia pun sakit hati terhadap
situasi negara. Akhirnya frustrasi dan mengacuhkan etika
hidup. Kalau kita ikut tenggelam terbawa hanyut pengaruhpengaruh yang mengungkungi hidup, maka kita pun tak ada
beda dengan yang lain. Sama tak ada guna dan sama
memalukan. Padahal Ki Guru Darma sudah memberikan
amanatnya yang kesemuanya harus kita junjung tinggi,"
kata Ki Rangga Guna. Ginggi menunduk lama sekali. Namun pada akhirnya
dia mengangguk-angguk tanda mengerti akan ucapan Ki
Rangga Guna. "Mafkan kedunguanku, Paman ?" kata Ginggi pada
akhirnya. "Nah, bagus bila begitu. Meminta maaf berarti akan
berusaha memperbaiki sesuatu yang keliru. Aku senang
mendengarnya anak muda," kata Ki Rangga Guna pada
pemuda itu. "Sekarang, apa yang harus aku lakukan dalam
memenuhi amanat Ki Darma?" tanya Ginggi membenahi
pakaian yang awut-awutan dan mulai duduk dengan benar.
Kembali Ki Rangga Guna menghela nafas, sesuatu yang
sebetulnya Ginggi tak senang dan yang telah membuatnya
tadi uring-uringan. Dan perasaan pemuda ini sebetulnya terasa benar oleh
Ki Rangga Guna. "Setiap kau tanya itu aku mengeluh. Tapi bukan berarti
aku ingin menghindar dari pertanyaan itu, anak muda,"
kata Ki Rangga Guna. Ginggi mengarahkan matanya ke tempat lain setelah
merasa isi hatinya teraba oleh Ki Rangga Guna.
"Begitu beratnya amanat Ki Guru itu," kata Ki Rangga
Guna. Dikatakannya, dulu tugas yang diberikan Ki Darma
terhadapnya, juga terhadap ketiga muridnya lebih terarah
dan jelas. Semuanya harus memperhatikan nasib rakyat dari
tekanan Sang Prabu Ratu Sakti. Sang Prabu Ratu Sakti ini
selalu bertindak keras. Mudah menghukum siapa saja yang
dianggapnya bersalah. Dan karena negara butuh biaya besar
untuk mengembalikan kekuatannya seperti masa-masa
silam, Sang Prabu terpaksa menarik pajak tinggi kepada
rakyat. Akibatnya hidup rakyat cukup menderita. Kendati
hasil ladang melimpah, hasil sungai pun tak pernah surut,
tapi rakyat tak pernah kaya sebab hasil pekerjaannya
banyak disedot untuk kepentingan negara. Celakanya, tak
semua harta rakyat masuk ke lumbung negara dan
digunakan untuk kepentingan negara. Tapi akibat
kebijaksaan raja dalam menarik pajak, banyak pejabat
berbuat serong, mendompleng kepada kebiasaan raja.
"Semakin jauh dari pusat kekuasaan, penyelewengan
semakin tak terkontrol. Bila di wilayah-wulayah yang dekat
ke pusat pemerintahan, rakyat disedot untuk membantu
menegakkan kembali kebesaran negara, maka di wilayah
yang jauh dari pusat, rakyat disedot untuk kepentingan
pejabat yang memperkaya diri sendiri," kata Ki Rangga
Guna. Bersama adik kembarnya, Ki Rangga Wisesa, tahuntahun pertama dilepas Ki Guru Darma, langsung terjun
melaksanakan amanat guru. Kedua orng itu selalu berusaha
mengacaukan petugas seba. Mereka sering merebut barangbarang yang sudah dikumpulkan petugas, untuk kemudian
di berikan kepada rakyat lagi. Malah kedua orang kembar
itu tak segan-segan melakukan pencurian kepada harta
milik pejabat yang diduga kekayaan pribadinya diambil dari
kerja tak benar. Kesemuanya dikembalikan kepada rakyat.
Tapi tindakan ini terlalu kasar dan terlalu berani. Ini
adalah pekerjaan yang penuh risiko, sebab bila terpergok,
mereka diburu dan dikejar.
"Kami akhirnya menyesal sendiri berbuat seperti itu.
Sesudah kami diketahui bahwa kami berdua murid-murid
Ki Darma, Pasukan Pakuan memburu kami sebagai
pemberontak dan penjahat. Ki Darma juga semakin populer
di Pakuan sebagai penjahat dan perampok yang
memerintahkan murid-muridnya berbuat kejahatan kepada
negara," kata Ki Rangga Guna.
Menurutnya, sesudah dikejar dan diburu serta dituduh
pemberontak dan penjahat, hidup keduanya menjadi tak
tenang lagi, sebab akhirnya rakyat pun ikut membenci dan
memusuhinya juga. Situasi semakin menghimpit mereka. Dan di saat itulah
hubungan saudara kembar menjadi pecah.
"Adikku mulai lelah dengan pekerjaannya sebab katanya
tak pernah menguntungkan dirinya. Yang lebih parah dari
itu, adikku menjadi benci terhadap Ki Guru. Hanya karena
keinginan Ki Guru katanya yang menyebabkan hidupnya
terombang-ambing dan selalu menghindar dari perburuan
Pasukan Pakuan," kata Ki Rangga Guna. "Akhirnya kami
bertengkar. Satu menyalahkan Ki Guru, satunya membela
Ki Guru. Kataku, perintah Ki Guru tak salah. Yang salah,
kitalah sebagai pelaksana, mengapa memilih siasat kasar
dan terlalu berani seperti itu. Adikku marah besar padaku.
Katanya, aku membela guru, wajar karena disayang. Tapi
dia menyalahkan guru juga wajar karena tak diperhatikan.
Akhirnya kami pilih jalan sendiri-sendiri," kata Ki Rangga
Guna. "Tapi benar kebijaksanaan Ki Guru," ujarnya,"Mengapa
dia tak memberikan perhatian yang sama kepada saudara
kembarku, karena Ki Rangga Wisesa memiliki kelemahan
batin. Iri, benci dan selalu menyalahkan tindakan orang
lain, merupakan sisi lain dari kelemahan adikku. Tapi sisi
lainnya, kelemahan itu adalah sesuatu yang amat
berbahaya. Dia punya sikap tak acuh akan penilaian orang
lain terhadap dirinya. Asalkan dia senang melakukannya,
kendati orang lain menganggapnya salah, maka dia lakukan
seenak perutnya sendiri. Kau sudah tahu bukan, betapa
selama ini dia melakukan kejahatan dan menimpakan
kelakuannya padaku, sehingga akhirnya akulah yang
dikejar-kejar," kata Ki Rangga Guna.
Ginggi terkesiap sendiri mendengar kalimat-kalimat
akhir dari Ki Rangga Guna ini. Katanya adik kembarnya
punya kelemahan yang amat membahayakan, bahwa selalu
bersikap tak acuh terhadap penilaian umum. Kendati orang
lain menganggapnya salah, bila dia senang melakukannya,
maka dia lakukannya pula. Ini mengingatkan kepada sikap
hidupnya tempo hari. Bukankah dia pun pernah berprinsip
seperti itu, tak acuh terhadap penilain orang lain" Ginggi
bergidik kalau berkhayal, bagaimana kalau dia melakukan
tindakan berbahaya dan merugikan orang lain hanya karena
tak menggubris penilaian umum"
"Sesudah aku berpisah dengan saudara kembarku, maka
segala sesuatu yang akan aku lakukan mengandalkan jalan
pikiran dan gagasan sendiri saja," kata Ki Rangga Guna
melanjutkan perkataannya.
Menurutnya, pemerintah Pakuan membuat
kebijaksanaan menghimpun kekayaan rakyat untuk
mengembalikan kejayaan negara karena negara ada dalam
keadaan genting. Dulu kekayaan negara lebih
dititikberatkan kepada hasil perdagangan antar bangsa
melalui Pelabuhan Kalapa dan wilayah pantai-pantai
lainnya. Tapi sekarang sesudah wilayah utara dikuasai
Banten dan Cirebon, Pakuan sudah tak bisa melakukan
hubungan dagang lagi dengan negri seberang.
"Maka aku pikir, penyebab dari kesemuanya adalah
negara-negara yang telah menggempur dan merebut
wilayah-wilayah penting tersebut. Merekalah yang aku
anggap salah. Maka kesanalah perhatianku sekarang," kata
Ki Rangga Guna lagi. Dan karena tinggal di wilayah Pajajaran dia selalu
dikejar dan diburu, maka Ki Rangga Guna segera pergi ke
wilayah utara. Kerap kali dia menyusup ke wilayah musuh.
Dengan mengambil risiko tinggi Ki Rangga Guna
menyerang pusat-pusat pertahanan Banten dan Cirebon.
Para perwira Pajajaran adalah orang-orang tangguh
dalam perkelahian. Ilmu mereka tinggi-tinggi. Tapi bila
harus menyerbu ke utara, mereka tak sanggup. Pasukan
Banten dan Cirebon di wilayah itu berhasil merebut
berbagai senjata api yang dulu dikuasai teman dagang
Pakuan, yaitu bangsa- bangsa sebrang lautan. Ada beberapa
senjata api bernama meriam, dan orang Pakuan takut
menghadapinya," kata Ki Rangga Guna.
"Meriam?" Ginggi bergumam, heran mendengar benda
tersebut. Ki Rangga Guna menyebutnya sebagai senjata api.
Tapi bagaimana rupanya dan sejauh mana kedahsyatannya,
Ginggi tak bisa membayangkan.
"Meriam benar-benar dahsyat. Dia terbuat dari besi baja,
bermoncong serta bulat hampir sebesar batang kelapa.
Kalau disulut api, moncong meriam yang sudah diisi peluru
akan melontarkan peluru tersebut yang kelak berubah
menjadi bola api amat besar. Para perwira Pakuan sepandai
apa pun berkelahi, tidak akan sanggup mempergunakan
kepandaiannya sebab keburu dihadang lontaran peluru.
Peluru bola api itu terlontar ratusan bahkan ribuan depa
jauhnya. Bisa kau bayangkan anak muda, sebelum para
perwira dan prajurut Pakuan berhadapan dengan musuh,
mereka sudah dihantam bola-bola api. Banyak yang mati
atau luka-luka berat karena bola api sanggup meledak dan
mengoyak-ngoyak tubuh orang yang diserang. Satu
terjangan bola api sanggup membunuh puluhan bahkan
ratusan penyerang. Orang Pakuan kewalahan
menghadapinya, anak muda," kata Ki Rangga Guna.
Ginggi melongo dan terkadang meleletkan lidah saking
herannya mendengar kisah kehebatan senjata terbuat dari
gelondongan besi baja itu.
"Benda aneh itu benar-benar sakti sekaligus mengerikan
dan kejam, Paman ?" kata Ginggi masih diliputi
keheranan. "Tapi aku berusaha melumpuhkan senjata-senjata itu,"
kata Ki Rangga Guna, "Dan aku bertekad begitu. Secara
diam-diam aku menyelundup ke Pelabuhan Kalapa. Aku
mencoba naik ke kapal milik Pasukan Banten atau Cirebon.
Aku coba jatuhkan benda jahat itu ke laut. Kalau senjata itu
berada di benteng pelabuhan, maka aku coba rusakkan
dengan cara lain," kata Ki Rangga Guna.
Ginggi puas mendegarnya. Seolah-olah benar musuh
akan segera lemah karena sejumlah meriam dilumpuhkan
Ki Rangga Guna. "Aku berhasil melumpuhkan senjata berat itu. Tapi
ternyata masih lebih banyak lagi benda yang sama dikawal
dan dilindungi keamanannya. Bila aku harus merusak


Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

benda itu, maka sebelumnya aku harus melakukan
perkelahian terbuka dengan fihak musuh. Dan sesudah satu
dua senjata ganas itu aku lumpuhkan, mereka menjadi tahu
bahwa aku mengarahkan penyerbuan untuk melumpuhkan
meriam. Akibatnya, penjagaan mereka terhadap benda
berbahaya itu semakin ditingkatkan, sehingga aku tak
mungkin lagi mengganggunya. Sampai pada suatu saat, aku
masuk ke dalam perangkap mereka. Aku dikepung untuk
ditangkap hidup-hidup atau dibunuh sekalian. Beruntung
aku bisa lolos dari kepungan dengan jalan menerjunkan diri
ke tengah laut. Selama bertahun-tahun aku hanya
bersembunyi di pulau-pulau kosong jauh di seberang
Pelabuhan Kalapa. Aku bahkan terputus dari dunia luar
dan tak tahu perkembangan Pajajaran selanjutnya. Sampai
pada suatu saat aku bisa mendarat kembali ke pulau besar
ini. Aku tadinya akan berusaha mencari dua murid Ki Guru
Darma yaitu Ki Banaspati dan Ki Bagus Seta yang tak
pernah aku kenali baik wajah atau pun pekerjaanya. Baru
hari ini saja melalui kau aku bisa tahu Ki Banaspati. Selama
ini terpaksa aku harus main sembunyi karena aku tetap
dikejar dan diburu, apalagi ketika aku diributkan tukang
perkosa gadis," kata Ki Rangga Guna setengah mengeluh.
Ginggi menarik nafas berat mendengar kisah Ki Rangga
Guna. Pantas saja dia marah besar ketika Ginggi merasa
kecewa terhadapnya, sebab menurut hematnya, Ki Rangga
Guna sudah benar-benar melaksanakan tugas yang
dibebankan Ki Darma dengan berat dan penuh penderitaan.
"Maafkan aku kalau begitu, Paman ?" kata Ginggi
menunduk malu. "Sudahlah, sebab hanya karena kita menyadari berbuat
salahlah kita jadi tahu mana yang benar," kata Ki Rangga
Guna sambil mengajak pemuda itu meninggalkan
perbukitan kapur. Kedua orang itu turun berkelok-kelok menuruni bukit.
Sebelumnya Ki Rangga Guna lama menatap ke arah
bongkahan-bongkahan batu kapur yang menimbun
menutup lubang gua. "Kasihan saudara kembarku " Semoga Hyang
mengampuni dosamu," gumam Ki Rangga Guna. Dia
mengucapkan doa sebelum benar-benar pergi meninggalkan
tempat itu. "Aku akan kembali ke Puncak Cakrabuana untuk
melihat nasib Ki Darma. Engkau akan ke mana, Paman?"
kata Ginggi ketika sudah sampai di sebuah dataran rendah.
"Engkau jangan mudah digoncang kesedihan anak
muda. Kesedihan berlebihan hanya akan membuat tumpul
pikiran saja," kata Ki Rangga Guna.
"Tapi aku selalu ingat Ki Darma, aku khawatir akan
nasibnya," kata Ginggi.
"Aku muridnya, aku juga sama khawatir akan nasib Ki
Guru. Tapi bila kita pulang ke Cakrabuana, hanya akan
mengulur-ngulur perintah guru saja, dan dia akan marah
sekali," kata Ki Rangga Guna. "Peristiwa penyerbuan ke
Puncak Cakrabuana bila benar dilakukan, itu terjadi hampir
lima bulan lalu. Kita tak akan bisa mengubah atau
mempengaruhi kejadian yang sudah berlangsung. Bila Ki
Guru tewas dalam penyerbuan itu, kita tak bisa
menolongnya. Ki Guru orang yang tak senang diperhatikan
secara berlebih. Mati untuk sesuatu kepentingan yang lebih
besar, buatnya bukan soal. Itulah sebabnya Ki Guru
memaksamu meninggalkan puncak. Ki Guru merasa lebih
penting menyuruhmu pergi bergabung dengan kami
ketimbang menahanmu tinggal di puncak hanya sekadar
membantunya menyelamatkan diri dari serbuan musuh.
Engkau harus selamat sebab diharapkan bisa melanjutkan
perjuangannya, anak muda," kata Ki Rangga Guna
menyeka keringat yang membasahi seluruh wajahnya.
Ginggi menunduk dan mengatupkan kedua matanya.
Hatinya pedih sekali bila ternyata benar Ki Darma tewas
dalam peristiwa penyerbuan ke puncak.
"Aku berdosa " aku berdosa ?" keluhnya, sebab setiap
kali teringat kematian Ki Darma, selalu juga terbayang
perbuatan mesumnya dengan Nyi Santimi. Peristiwa
mesum itu mungkin hampir bersamaan waktunya dengan
hari-hari penyerbuan orang-orang Pakuan atau juga orangorang Cirebon ke Puncak Cakrabuana.
"Sudahlah!" teriak Ki Rangga Guna kesal melihat
kecengengan Ginggi. "Ki Guru menyuruhmu turun untuk
menemui kami dan minta petunjuk perihal tugas-tugas
selanjutnya. Sekarang kau sudah bisa bertemu denganku.
Mari kita atur dan bagi tugas dalam melaksanakan perintah
Ki Guru," lanjutnya.
Ginggi segera menepis pikiran-pikiran sedihnya. Dia
mengangguk keras berdiri menghadap ke arah Ki Rangga
Guna. "Aku siap menerima perintahmu, Paman!" katanya.
"Bagus!" kata Ki Rangga Guna gembira. Dan lelaki
setengah baya itu mulai mengatur-atur tugas.
"Engkau harus melanjutkan perjalanan menuju Pakuan,"
kata Ki Rangga Guna. "Dan aku akan menuju
Sagaraherang," lanjutnya lagi.
Ki Rangga Guna mengatakan, ke Pakuan amat penting,
sebab harus meneliti pusat perkembangan pemerintahan ini.
"Aku akan sulit menembus Pakuan, sebab semua perwira
kerajaan sudah diperintahkan menangkapku hidup atau pun
mati. Hanya engkau seorang murid Ki Guru Darma yang
belum mereka kenal. Tapi hati-hati, di sana kau jangan
sekali-kali membuka diri. Jangan sampai dirimu diketahui
orang lain punya hubungan dengan Ki Guru Darma," kata
Ki Rangga Guna. Ginggi mengangguk-angguk.
"Aku sendiri akan menyelidiki kegiatan Ki Banaspati.
Aku juga harus tahu, apa yang sebenarnya dia lakukan.
Apakah benar kegiatannya untuk kepentingan rakyat
ataukah hanya sekadar memenuhi ambisi pribadinya belaka
?" kata Ki Rangga Guna.
"Bagaimana cara mengetahuinya, Paman?" tanya
Ginggi. Dan Ki Rangga Guna merenung dalam.
"Sulit menebak isi hati orang, sesulit mencari ujung
langit," kata Ki Rangga Guna tersenyum dengan bibir
terkatup rapat. "Yang berjuang ingin merebut kekuasaan dia
mengusung alasan demi rakyat. Begitu pun yang tengah
berkuasa, dia memimpin negara demi rakyat. Sang Prabu
Sakti bersikap keras terhadap rakyat tetap dengan alasan
demi rakyat jua. Dia inginkan rakyat yang taat kepada raja.
Mentaati keinginan raja berarti mentaati keinginan negara.
Bila semua rakyat setia terhadap negara, maka negara itu
akan menjadi besar dan kuat. Kebesaran sebuah negara dan
kekuatan sebuah negara akhirnya akan sanggup melindungi
kepentingan rakyat. Jadi semuanya akan terpulang kepada
rakyat jua?" kata Ki Rangga Guna.
"Bila begitu pentingkah ada pemberontakan?" tanya
Ginggi. "Aku tidak bicara soal pemberontakan, anak muda.
Tidak juga Ki Guru Darma. Ki Darma pergi dari istana
karena dia tak setuju dengan kebijakan Raja. Ki Darma
menganggap Raja keliru dalam memimpin. Tapi tidak
berarti Ki Darma menginginkan ada pergantian raja.Hyang
sudah mengatur segalanya, termasuk memilih seorang raja
untuk memimpin negara. KalauHyang sudah memilih
begitu, ada bahaya apa pun mengancam raja tapi karena
sudah dipilihnya, raja akan tetap selamat. HanyaHyang
yang tahu, saat kapan raja akan turun tahta dan bagaimana
caranya raja akan tergantikan dengan yang baru," kata Ki
Rangga Guna lagi. "Oleh sebab itu Ki Guru Darma tak
bicara tentang pemberontakan. Dia tak pernah melawan
raja dan negara. Setiap titah raja dia laksanakan dengan
sebaiknya, negara pun selalu dia bela dengan taruhan
nyawa. Tapi Ki Guru Darma tahu, raja sedang sakit. Dan
orang sakit bukan untuk dienyahkan tapi harus diobati.
Itulah sebabnya Ki Guru Darma selalu melontarkan kritik.
Yang namanya obat memang tidak enak, tapi
menyehatkan. Seharusnya kritik itu diibaratkan air bersih
untuk mandi di saat kita sedang dekil. Kritik itu harus
diibaratkan kita sedang lapar diberi nasi. Kritik sebenarnya
ibaratgalah cedek tinugelan teka (galah sodok dipotong
runcing). Galah sodok adalah semacam seligi atau bambu
runcing. Makin pendek makin baik, karena kemungkinan
patah makin berkurang. Artinya, kritik dapat
memperkokoh, mempertajam kemandirian seseorang.
Begitu orang tua zaman Pajajaran dulu berbicara tentang
pentingnya kritik. Tapi, ya barangkali orang zaman
sekarang tak gemar menelan kritik, atau bisa juga karena
orang zaman sekarang tak luwes melontarkan kritik
sehingga datangnya amat menyakitkan. Kritik Ki Guru
Darma, daripada diterima, malah orang yang melontarkan
kritik itu sendiri dianggap melawan raja dan dianggap
pemberontak," kata Ki Rangga Guna menghela nafas.
Ginggi juga ikut menghela nafas dalam-dalam. Dia
prihatin oleh nasib buruk yang menimpa Ki Darma.
Menurutnya, Ki Darma orang yang begitu cinta terhadap
negara dan pengabdi setia terhadap Raja. Namun rasa cinta
dan pengabdian Ki Darma kurang diterima dengan baik
oleh pemerintah. (O-anikz-O) Berbagi Tugas Ginggi dan Ki Rangga Guna akhirnya membagi tugas.
Ginggi harus pergi menuju Pakuan sebab akan banyak yang
harus diselidiki di sana. Sedangkan Ki Rangga Guna akan
menyelidiki tindak-tanduk Ki Banaspati di Sagaraherang.
"Untuk sementara, lupakanlah nasib Ki Guru Darma.
Kita harus berdoa untuk keselamatannya. Tapi bila Ki Guru
ternyata sudah tiada, kita pun harus berdoa agar dirinya
diterima di sisiNya," kata Ki Rangga Guna.
Ginggi mengangguk, kendati dia tak tahu bagaimana
caranya melakukan doa. Ketika disampaikannya bahwa dia tak bisa berdoa
dengan cara apa pun, Ki Rangga Guna hanya tersenyum
pahit. "Dahulu Ki Guru Darma seorang pengikut agama lama
yang setia. Tapi hidupnya goncang dengan kehadiran
agama baru, yang oleh fihak-fihak tertentu kehadiran agama
baru tersebut dilibatkan dalam urusan politik. Entahlah,
mengapa akhirnya dia tak memberi pengajaran agama
padamu, anak muda," kata Ki Rangga Guna.
"Perlu benarkah seseorang memeluk sebuah agama?"
tanya Ginggi. "Manusia itu mahkluk lemah. Kalau dia merasa
sombong hanya karena dirinya lebih pandai dari makhluk
lainnya, sebetulnya masih ada yang jauh lebih pintar
darinya. Manusia hanya bisa membunuh sesamanya dan
tak mampu berbuat kebalikannya, yaitu menghidupkan
yang mati. Manusia hanya pandai merusak alam tapi tak
sanggup menciptakan alam. Padahal alam terbentuk karena
ada yang mencipta. Manusia bisa hidup pun karena ada
yang menghidupkan. Dan manusia harus sadar, di atas
dirinya ada sesuatu kekuatan yang menguasai hidupnya.
Dialah yang harus kita sembah. Agama yang ada di dunia
selain menyuruh kita berbuat kebajikan terhadap alam dan
seisinya, juga harus berbuat hormat kepada Sang Pencipta.
Itulah pentingnya kita beragama, anak muda!" kata Ki
Rangga Guna menerangkan panjang lebar.
"Agama apa yang terbaik buatku?" tanya Ginggi
penasaran. Kembali Ki Rangga Guna tersenyum pahit.
Namun kemudian dia menoleh dan memandang pemuda
itu. "Barangkali tidak keliru Ki Guru Darma tidak
memberikan ajaran agama padamu," ujar Ki Rangga Guna.
"Bila Ki Guru mengajarkan agama padamu, berarti dia
akan mengajari agama yang diyakininya. Artinya, Ki Guru
memaksakan kehendak agar kau memilih keyakinan yang
telah diyakininya selama ini. Barangkali Ki Guru Darma
tidak mau begitu. Dia akan membiarkan kau melakukan
pencarian terhadap satu keyakinan. Tidak diberi oleh orang
lain, tidak pula dipaksa oleh kehendak orang lain. Kalau
pun sekarang kau membutuhkan agama, tentu Ki Guru
Darma hanya mengharapkan agama yang kau dapatkan
adalah agama yang benar-benar kau yakini sendiri
kebenarannya. Barusan kau tanya padaku, agama apa yang
kau anggap baik buatmu. Jawabannya bukan harus keluar
dari mulut orang lain, namun dari keyakinan hatimu
sendiri. Sekarang ada banyak agama terdapat di bumi
Pajajaran ini. Alangkah bijaksananya bila semua orang
memberi kebebasan kepada semua orang dalam memilih
keyakinan beragama seperti yang diucapkan Sang Prabu Sri
Baduga Maharaja semasa memimpin Pajajaran mencapai
puncak keemasannya," kata Ki Rangga Guna.
Ginggi menatap tajam Ki Rangga Guna.
"Sri Baduga Maharaja dulu tetap setia dengan keyakinan
lama. Sebab menurutnya, tidak mudah orang berpindah
agama dan keyakinan. Namun kendati begitu, beliau tak
memaksakan kehendak agar semua rakyat ikut-ikutan
bertahan dengan keyakinan yang dimiliki Raja. Sri Baduga
Maharaja tidak melarang rakyat memilih agama. Yang
beliau tidak suka adalah orang yang suka memilih-milih
agama. Dari agama yang satu ke agama yang lain, begitu
seterusnya. Dan semua Raja Pajajaran, dari mulai Sri
Baduga Maharaja, sampai yang tengah memerintah
sekarang, tetap setia terhadap kebijakan kebebasan
berkeyakinan. Kendati negara berpegang kepada keyakinan
lama, tapi Raja memberikan kemerdekaan kepada seluruh
rakyatnya untuk memilih keyakinannya masing-masing,"
kata Ki Rangga Guna. "Aku hingga kini setia kepada
keyakinan lama tanpa ada orang yang memaksanya.
Sekarang, aku pun tak berkehendak memaksakan
keyakinanku pada orang lain. Aku bersyukur kau merasa
perlunya kehadiran agama di hatimu. Soal keyakinan apa
yang akan engkau pegang, jangan minta pendapat orang
lain, tapi carilah olehmu sendiri. Pilihlah sebuah agama
yang kau yakini bisa membawa keselamatan bagi dirimu
sendiri tapi sambil tidak merugikan keyakinan orang lain.


Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pilihlah sebuah agama yang membawa kebenaran pada
dirimu sendiri tapi sambil tidak menjelek-jelekan
keberadaan keyakinan agama lain. Kau harus bisa memilih
agama yang secara sempurna bisa menjaga martabatmu,
dan bisa menyelamatkan dirimu baik di dunia mau pun
keselamatan kelak di alam lain. Jangan tergesa-gesa
memilihnya tapi juga jangan berlarut-larut mengulur
waktu," kata Ki Rangga Guna lagi dengan panjang lebar.
"Aku tidak akan mengajarkan agama yang aku anut.
Tapi sedikit kepandaian yang bersifat lahiriah, akan aku
berikan seluruhnya padamu," kata Ki Rangga Guna.
"Maksud Paman, aku akan kau ajari ilmu berkelahi?"
tanya Ginggi. Ki Rangga Guna menganggukkan kepalanya.
"Aku " sebetulnya tak gemar berkelahi, Paman," kata
Ginggi menundukkan kepala.
"Menguasai ilmu berkelahi bukan maksudnya harus
gemar berkelahi. Bahkan aku sebetulnya benci kepada
orang yang senang memamerkan kepandaiannya," tukas Ki
Rangga Guna. "Ilmu berkelahi hanyalah sebagai alat
perlindungan. Seperti sebuah topi, kau pakai bila hari panas
atau hujan. Atau seperti sejumput makanan bila kau lapar,"
kata Ki Rangga Guna. "Tapi ilmu berkelahi kebanyakan menampilkan gerakan
yang tujuannya untuk membunuh saja, Paman," tukas
Ginggi. Ki Rangga Guna tersenyum. "Semuanya terpulang
kepada kita sebagai pemakainya, anak muda. Bila kau
punya pisau, apakah akan dipergunakan untuk mengupas
buah-buahan ataukah akan kau pergunakan untuk melukai
dan membunuh orang" Ada orang yang tega membunuh
sesamanya dengan sebuah beliung (kapak), padahal benda
itu dibuat untuk mengambil kayu bakar di hutan. Seekor
ular memiliki bisa yang amat mematikan. Tapi tidak setiap
hari dia membunuh. Kalau dia tak diganggu, tak pernah
ular mengganggu. Bahkan kadang-kadang, ular hanya pergi
meloloskan diri setiap diganggu, kendati kalau mau, ular
bisa menyerang dan membunuh," kata Ki Rangga Guna.
Ginggi merenung mendengar penjelasan ini. Namun
akhirnya dia mengangguk-angguk penuh pengertian.
"Baiklah, aku terima pemberianmu, Paman ?" kata
Ginggi akhirnya. Ki Rangga Guna terkekeh-kekeh
mendengar ucapan Ginggi sehingga membuat pemuda itu
heran sendiri. "Mengapa Paman tertawa mendengar kesanggupanku?"
tanyanya. Kembali Ki Rangga Guna tertawa, bahkan
sedikit terbahak-bahak, membuat pemuda itu semakin tak
mengerti. "Kau ini orang jujur, sekaligus juga kurang ajar!" kata Ki
Rangga Guna."Orang lain menyembah-nyembah minta aku
menjadi gurunya, di sini, malah kau jual mahal sehingga
kau yang mengajukan syarat apakah boleh atau tidaknya
aku melatihmu!" kata Ki Rangga Guna lagi.
Ginggi tersipu-sipu mendengarnya. Benar sekali, aku
kurang ajar, katanya dalam hatinya.
Dan sambil melakukan perjalanan bersama, Ginggi
mendapatan tambahan ilmu yang sangat berarti.
Ginggi kini mulai sadar akan kekeliruan dirinya. Hanya
karena dia tak gemar berkelahi maka dia menolak latihanlatihan keras seperti apa perintah Ki Darma. Kalau Ki
Darma turun gunung, Ginggi sering bohong seolah-olah
berlatih dengan keras selama Ki Darma tidak ada. Sekarang
ulah bohongnya terbukti hanya merugikan dirinya sendiri
saja. Ketika melawan Ki Rangga Wisesa hampir-hampir
saja nyawanya melayang. Kepandaiannya tak berarti apaapa dalam menghadapi ilmu-ilmu Ki Rangga Wisesa yang
ganas dan aneh itu. Dan kepandaiannya semakin tak berarti
saja bila dibandingkan dengan Ki Rangga Guna.
Menghadapi Ki Rangga Guna, ternyata Ki Rangga Wisesa
bukan tandingannya. Walau pun ketika itu Ki Rangga
Guna tidak membalas serangan saudara kembarnya, tapi
nampak nyata Ki Rangga Wisesa kewalahan dan putus asa
karena setiap usahanya dalam menyerang Ki Rangga Guna,
tak pernah berhasil. Bila begitu, ternyata murid-murid Ki Darma rata-rata
berkepandaian amat tinggi.
"Semua sebetulnya diberi sama, kecuali beberapa yang
beda. Itu karena disesuaikan dengan sifat dan jiwa masingmasing murid. Saudara kembarku merasa iri sebab ada satudua jurus yang Ki Guru berikan padaku tidak diberikan
padanya. Ada ilmu-ilmu ganas dari Ki Guru hanya
diberikan padaku, itu karena Ki Guru kenal betul sifatku.
Kata Guru, ilmu ganas jangan diberikan kepada orang yang
memiliki jiwa pemarah. Adikku tak diberi sebab dia
memang kurang pandai mengendalikan perasaan jiwanya.
Mungkin aku yang dianggap cocok menerima ilmu-ilmu
yang sebetulnya amat berbahaya itu. Aku pun sudah lihat
gerakanmu. Kau dipercaya memegang ilmu ganas sebab
barangkali Ki Guru percaya kau bisa membawanya," kata
Ki Rangga Guna. "Tapi aku tak sepandai kau, Paman?" potong Ginggi.
"Tak ada murid yang diberi satu ilmu bisa memilikinya
dengan kesempurnaan yang sama satu sama lainnya. Itu
semua terpulang kepada kepandaian si murid itu sendiri.
Kau kan pernah bilang, tak begitu kerasan dengan segala
macam ilmu kekerasan. Jiwamu sudah menolaknya dari
dalam. Tentu mempengaruhi kesempurnaan. Sebaliknya
aku begitu mengharapkan memiliki ilmu-ilmu tinggi, sebab
aku terkenang masa silam di Talaga. Kalau orang tuaku
memiliki ilmu bela diri, tak nanti dia tewas dalam
penyerbuan tentara Cirebon. Orang yang memiliki
kepandaian sedikitnya bisa melawan sebelum kalah. Aku
selalu bersemangat dalam latihan. Ketika berpisah dengan
Ki Guru, aku tetap mencari dan menambah ilmu. Orangorang lain di negri sebrang lautan, seperti dari Negri
Tulangbawang, Palembang, Malangkebo (Minangkabau)
atau Parayaman (Pariaman), atau bahkan orang Cina,
Campa, Keling, Parasi, dan Siem, semuanya memiliki ilmu
kepandaian dengan ciri kekuatan masing-masing yang
berbeda. Aku banyak berhubungan dengan mereka dan
saling tukar-menukar ilmu. Ilmu-ilmu gabungan itu, aku
gabungkan dan aku latih bertahun-tahun, keras dan penuh
godaan. Namun hasilnya membanggakan. Puluhan
mungkin ratusan kali aku dihadang dan menyerbu musuh,
sampai saat ini aku masih diberi usia panjang. Itu di
antaranya karena ilmu berkelahi yang aku miliki," kata Ki
Rangga Guna. Karena selama di perjalanan harus berlatih, akibatnya
sebelum melaksanakan tugas masing-masing, maka dua
atau tiga bulan mereka habiskan waktu untuk urusan latihmelatih. Dan sampai pada suatu saat, mereka harus berpisah
karena sama-sama teringat kembali kepada tugas yang
harus mereka kerjakan. "Kita sebenarnya telah kembali ke selatan, padahal
Pakuan letaknya di sebelah barat, agak ke utara," kata Ki
Rangga Guna ketika memberi tahu arah mana jalan yang
harus ditempuh untuk menuju Pakuan.
"Untuk kembali ke arah jalan pedati, seharusnya kau
mesti kembali ke utara, yaitu memasuki lagi wilayah
Tanjungpura. Itu perjalanan amat jauh. ada jalan terdekat
menuju Warunggede," kata Ki Rangga Guna.
"Warunggede?" "Warunggede juga merupakan wilayah yang dipimpin
oleh seorang Kandagalante. Mengapa harus menuju ke
sana, sebab jalan pedati melewati wilayah tersebut."
Kata Ki Rangga Guna, dari Talaga di arah timur sampai
Pakuan jauh di barat sebetulnya dihubungkan oleh sebuah
jalan utama dan bisa dilalui kereta atau roda pedati, melalui
Wado, Sumedanglarang, Sagaraherang, Purwakarta, Cikao,
Karawang, Tanjungpura, Warunggede, Cibarusa, Cileungsi
dan berakhir di Pakuan. Dari Kerajaan Talaga jalan pedati
berlanjut ke selatan, yaitu menuju Kawali dan berakhir di
pusat Kerajaan Pajajaran Lama yaitu Galuh. Kata Ki
Rangga Guna. "Bila kau sudah tiba di Warunggede, kau
bisa menuju Pakuan menyusuri jalan pedati yang enak
dilalui. Tapi di beberapa wilayah harus berhati-hati. Antara
Karawang-Tanjungpura-Warunggede, jalan pedati
bersinggungan dengan wilayah utara yang sudah dikuasai
Pasukan Cirebon. Asalkan engkau tidak terlalu banyak
bicara soal Pakuan, tidak terjadi bentrokan dengan pasukan
musuh," ungkap Ki Rangga Guna. Ginggi menganggukangguk tanda mengerti. "Nah, sudah kubekali kau berbagai pengetahuan.
Sekarang tiba saatnya kita melaksanakan tugas masingmasing," kata Ki Rangga Guna.
"Kita akan segera berpisah, Paman?" tanya Ginggi. Ki
Rangga Guna hanya mengangguk kecil.
"Kalau ada umur ada jodoh, kita pasti bertemu lagi. Tapi
kalau Hyang tak mempertemukan kita lagi, tak perlu
disesalkan benar. Kita sebelumnya pun tak pernah kenal
dan tak pernah bertemu, bukan?" kata Ki Rangga Guna.
Ginggi hanya menghela nafas mendengar ucapan Ki
Rangga Guna ini. "Baiklah kita berpisah di sini, Paman. Semoga nasib kita
baik dan di suatu waktu kita bisa bertemu lagi," kata Ginggi
mengeraskan perasaan. Dia harus belajar berani melakukan
sesuatu. Di antaranya harus berani melakukan perpisahan.
Beberapa kali terjadi, pemuda itu susah menepis
perpisahan. Berpisah dengan Ki Darma, berpisah dengan
Nyi Santimi, berpisah dengan gadis anak pemilik warung di
Tanjungpura, dan kini berpisah dengan Ki Rangga Guna.
Semua terasa berat bila Ginggi tak berani mengeraskan
hati dan perasaan. Pemuda itu berdiri mematung ketika Ki Rangga Guna
duluan meninggalkannya. Matahari sudah condong ke barat. Dan karena Ki
Rangga Guna berjalan menuju timur, maka punggungnya
tersorot sinar lembayung. Bayangan tubuhnya jatuh
menimpa tanah di hadapannya dan langkah Ki Rangga
Guna seperti bermain dengan bayangannya sendiri.
Sampai hilang di kelokan jalan setapak, sampai keadan
benar-benar sepi, baru kemudian pemuda itu berani
melangkah. Pelan tak bergairah.
(O-anikz-O) Menuju Kota Pakuan Untuk kembali ke jalan pedati, Ginggi tak perlu kembali
ke utara menuju Tanjungpura, tapi memotong jalan agak ke
barat, untuk kemudian belok ke kanan agak ke utara lagi.
Benar seperti apa kata Ki Rangga Guna, jalan memotong
menuju Warunggede tidak begitu jauh tapi harus lewat
jalan setapak membelah hutan jati. Sehari penuh dia
menerobos hutan tanpa bertemu manusia seorang jua pun.
Ginggi di tengah perjalanan hanya bertemu binatang hutan
yang tak begitu membahayakan.
Sampai tiba di wilayah Kandagalante Warunggede,
pemuda itu tidak mendapatkan rintangan berarti. Begitu
pun ketika perjalanan dilanjutkan menyusuri jalan pedati ke
arah barat. Ginggi sering bertemu lewat dengan para
pejalan kaki, atau pun rombongan pedati dengan isi penuh
hasil bumi, tapi satu sama lain tidak saling mengganggu.
Ginggi harus menyebrangi sebuah sungai yang amat lebar
tapi berair tenang, jauh sebelum tiba di Kandagalante
Warunggede, kata seorang kakek pemilik rakit
penyebrangan, sungai besar itu bernama Citarum.
Ginggi teringat ucapan Ki Rangga Guna, bahwa Pakuan
mutlak hanya berkuasa di batas sungai ini sampai ke barat.
Namun kendati begitu, wilayah utara tetap dikuasai
pasukan Banten atau Cirebon. Dengan kata lain, kekuasaan
mutlak yang dipegang Pakuan sebenarnya wilayah tengah
dan selatan mulai batas Sungai Citarum ke arah barat.
Wilayah-wilayah yang ada di sebelah timur Citarum
merupakan wilayah-wilayah "transisi" karena pertentangan
politik dengan Cirebon. Beberapa wilayah timur ada
beberapa yang bertahan dan setia kepada Pakuan tapi
kebanyakan sudah mulai bimbang. Dan semakin jauh
menuju timur, semakin jauh dari pusat pemerintahan, rasa
setia terhadap Pakuan pun semakin menipis. Beberapa
kerajaan kecil yang dulu ada di bawah kekuasaan Pakuan
seperti Sumedanglarang, Sindangkasih, Talaga, atau bahkan
Cirebon Girang, semenjak masuk pengaruh Cirebon, praktis
berkiblat ke Cirebon, kendati secara militer, negara-negara
tersebut tak pernah memusuhi Pakuan dan apalagi
membantu Cirebon ikut menyerbu ke barat. Hal ini bisa
terjadi barangkali karena apa pun yang terjadi, Pakuan
beserta Pajajaran masih tetap disegani. Bahwa dulu puluhan
atau ratusan silam Pakuan Pajajaran berupa sebuah negara
besar dengan segala macam kewibawaannya, sampai hari
itu pun masih dihormati para penghuni negara-negara kecil
itu. Apalagi bila diingatkan dengan hubungan silsilah,
bahwa yang menjadi pucuk pimpinan di negara-negara kecil
itu hampir semua punya pertalian kerabat dengan raja-raja
Pajajaran. Kalaupun seolah-olah terjadai "putus" hubungan,
semuanya terjadi karena politik juga.
Cirebon yang dibantu kerajaan besar di wilayah timur
bernama Demak melebarkan sayap kekuasaan dengan cara
menyebarkan keyakinan baru. Cirebon yang kuat karena
bantuan Demak lebih leluasa menyebarkan pengaruh ke
pusat kerajaan kecil di wilayah timur, sebab mereka lebih
dekat. Sebaliknya pengaruh Pakuan terasa lebih kecil
karena letaknya yang jauh di barat. Maka bagi negaranegara kecil di timur, siapa yang lebih kuat memberikan
pengaruh, dialah yang akan berkuasa.
Tentu saja ini kerugian buat Pakuan. Kalau ingin
mengembalikan kebesaran Pajajaran seperti masa-masa
lalu, maka raja yang sekarang harus berupaya "mengambil"
lagi semua negara kecil di timur yang ratusan atau puluhan
tahun lalu masih berada di bawah pengaruhnya.
Oleh sebab itu Ginggi di lain fihak merasa kagum
terhadap peranan Ki Banaspati. Entah secara bagaimana
awalnya, yang jelas orang ini telah menjadi kepercayaan


Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari muhara (pejabat penarik pajak negara) untuk
menjangkau pajak-pajak di wilayah timur Sungai Citarum.
Mencoba mengumpulkan seba dari wilayah timur artinya
harus berupaya mengembalikan pengaruh Pajajaran ke
negri-negri kecil yang kini sudah berada di bawah pengaruh
Cirebon. Kalau Ki Banaspati mampu melakukannya, maka
orang ini benar-benar hebat. Dia akan menjadi orang yang
benar-benar dihargai dan diperlukan di Pakuan. Diperlukan
di Pakuan" Kalau benar demikian, tepatkah kini dia
menghimpun kekuatan untuk merebut kekuasaan di
Pakuan" Apakah memang begitu seharusnya, orang yang
diperlukan Pakuan harus menjadi pengendali utama di
Pakuan itu sendiri" Ginggi teringat kembali ucapan Ki Darma yang
disampaikan melalui Ki Rangga Guna. Bahwa Ki Darma
memang tak puas dengan cara Raja sekarang memerintah.
Tapi Ki Darma tak pernah bermaksud mengenyahkan Raja
dengan menggantinya. Yang Ki Darma katakan, Raja
sedang sakit dengan berbuat keliru. Orang sakit harus
diobati dan bukan dienyahkan.
Dengan lebih jelasnya harus disebutkan, bahwa Ki
Darma sebetulnya tidak memerintahkan para muridnya
untuk melakukan pemberontakan dan apalagi merebut
kekuasaan. Sedangkan Ki Banaspati diketahui Ginggi
tengah berupaya menyusun kekuatan militer yang kelak
akan digunakan menyerang Pakuan. Tidakkah ini
berlebihan dan melenceng dari keinginan Ki Darma"
Beruntung sekali Ginggi bertemu dengan salah seorang
murid Ki Darma dan yang kebetulan tidak mengecewakan
dirinya. Melihat sikap dan pendirian Ki Rangga Guna,
Ginggi yakin, jalan pikiran orang itu masih wajar dan
berjalan tepat di atas perintah Ki Darma.
Sekarang Ginggi tidak sendirian dalam mengemban
perintah gurunya. Dan masih ada satu harapan lagi. Satu
orang lagi murid Ki Darma belum diketemukan. Ginggi
berharap, murid kedua Ki Darma ini masih hidup dan tetap
ingat amanat gurunya. Bila benar demikian, perasaan
pemuda itu semakin lega. Sekarang, walau pun kembali sunyi karena harus
berjalan sendirian lagi, tapi dada pemuda itu terasa lapang.
Dia memang harus menuju barat. Banyak tugas yang harus
diselesaikannya di sana. Pertama ingin menyelidiki sejauh
mana peranan Ki Banaspati di Pakuan. Kedua, Ginggi
harus melacak Suji Angkara yang misterius dan yang
dipastikan juga menuju Pakuan, bahkan mungkin sudah
berada di sana. Ginggi harus sanggup membongkar
kemisteriusan pemuda itu. Siapaa dia sebenarnya. Dan
benarkah kecurigaan dirinya terhadap pemuda itu
beralasan" Ginggi bercuriga, setiap Suji Angkara memasuki satu
wilayah, hampir selalu ada gadis bunuh diri karena
pemerkosaan. Ki Rangga Wisesa memang melakukan hal
yang sama. Tapi korban-korban yang lain, jelas perbuatan
orang lain di luar Ki Rangga Wisesa. Dan Ginggi
mencurigai Suji Angkara. Bila tudingan ini tidak benar,
Ginggi akan merasa berdosa. Tapi bila ternyata benar,
maka Ginggi akan mengeraskan tekad untuk membuat
perhitungan. Dan ingat akan masalah ini, Ginggi menjadi
bimbang. Ginggi amat heran bila harus memikirkan Suji Angkara
bisa melakukan tindakan tercela macam ini. Pemuda itu
nampaknya kaya raya, ditampilkan melalui caranya
memilih pakaian mahal dan mewah. Suji Angkara juga
dikenal di Desa Cae sebagai anak seorang kuwu, gemar
berniaga dengan bangsa asing dan berwajah tampan.
Kesemua bukti ini sebetulnya sudah bisa dijadikan
sebagai modal untuk memikat gadis-gadis cantik. Mengapa
pula pemuda pesolek itu harus melakukan tindakan kasar,
memperkosa wanita" Ginggi bingung memikirkannya.
Biarlah, akan aku kuak tabir ini dengan penyelidikan
seksama. Kalau Suji Angkara gemar berbuat jahat, tidak
ada bangkai busuk yang tak tercium kendati disembunyikan
di tempat tertutup, pikirnya.
(O-anikz-O) Jilid 12 Setelah tiba di wilayah Cibarusa, Ginggi tak mendapat
kesulitan berarti untuk mencari tahu ke mana arah menuju
Pakuan. Jalan pedati antara Cibarusa dan Pakuan cukup
ramai sebab setiap hari banyak orang datang dan pergi ke
Pakuan. Kebanyakan dari mereka terdiri dari kaum
pedagang, baik berdagang hasil bumi seperti padi huma,
kacang-kacangan dari ladang, atau pun buah-buahan,
sampai kepada hasil ternak seperti kerbau, sapi, kambing
dan ayam. Para saudagar yang berdagang macam-macam
kain, dari mulai kain kasar sampai kain halus. Kain kasar
dibawa orang dari wilayah-wilayah seputar Pakuan untuk
diperdagangkan di sana, sebaliknya kain halus dibawa dari
Pakuan untuk diperdagangkan di wilayah-wilayah seputar
Pakuan. Ginggi masih cukup memiliki uang logam perak hasil
pemberian Kuwu Wado. Ketika dari Cibarusa mohon ikut
menumpang sebuah pedati dengan imbalan beberapa
keping uang logam perak, pemilik kendaraan bertenaga sapi
itu amat bersenang hati menolongnya.
"Ayo naiklah. Tapi kau harus duduk di tumpukan kain
belacu ini, anak muda," kata pemilik pedati.
Ginggi duduk menclok di atas tumpukan kain. Kain
belacu itu semua berwarna putih, digulung di sebuah kayu
bulat hampir menyerupai tongkat tapi dengan ukuran besar.
"Ramai sekali lalu-lintas di sini, Paman ?" kata Ginggi
sambil menoleh kiri-kanan.
Bagi pemuda itu, ini pemandangan pertama, melihat
orang di jalan besar berlalu-lalang dengan berbagai
kesibukan dan keperluannya masing-masing.
"Tidak seramai puluhan tahun silam, anak muda," kata
pemilik pedati. Seorang tua bertopicotom (topi anyaman
bambu bulat melengkung seperti wajan) dan berbaju
kampret hitam dengan dada dibiarkan terbuka.
Ginggi tersenyum pahit. Sementara orang suka
mengatakan bahwa zaman cenderung bergerak maju. Tapi
Pajajaran sepertinya tak terikat oleh kecenderungan ini.
Buktinya, pemilik pedati ini menyebutkan, lalu-lintas ke
Pakuan malah lebih ramai puluhan tahun silam dibanding
sekarang. "Dulu ketika Pajajaran di bawah pimpinan Sang Prabu
Sri Baduga Maharaja, Pakuan begitu makmur sebab
perdagangan amat maju," katanya pelan dan sesekali
menengok kiri-kanan sepertinya ucapannya ini tak boleh
didengar banyak orang. "Sekarang mengapa tidak semaju dulu?" tanya Ginggi
mencoba menguji keberanian orang ini berbicara.
Pemilik pedati hanya tersenyum tipis.
"Zaman memang telah berubah, anak muda, dan
semuanya membawa perubahan juga. Perubahan itu bisa
berupa kemajuan, tapi bisa juga berupa kemunduran. Dan
barangkali bagi Pajajaran roda kehidupan sedang ada di
bawah. Pajajaran sedang ada dalam kemunduran. Sebab
roda kemajuan telah berada di tangan kekuasaan yang
baru," kata pemilik pedati berkata serius.
Ginggi menoleh untuk menatap pemilik pedati ini.
Orang tua ini ternyata tahu juga masalah perkembangan
negara. "Ya, bagaimana tidak tahu, aku kan sejak muda berniaga
kecil-kecilan. Dari wilayah seputar Pakuan aku kirimkan
kain kasar, sebab bangsa-bangsa lain memborong kain kasar
buatan Pajajaran. Sebaliknya bangsa-bangsa asing seperti
Cina, Keling, Campa dan Maladewa datang ke Pajajaran
menjual kain halus atau berbagai barang keperluan yang di
Pakuan belum dibuat. Pedagang dan pembeli, semua
berkumpul di pelabuhan-pelabuhan milik Pakuan, seperti di
Cirebon, Banten, atau di Muara Cimanuk. Perdagangan
dengan bangsa asing paling banyak dilakukan di Pelabuhan
Kalapa. Dalam setahun, Pakuan butuh seribu ekor kuda
dan dibelinya dari Pulau Sumba atau Sumbawa. Tapi
sebaliknya orang-orang Pakuan dalam satu tahun sanggup
menjual merica, lada, dan buah asam masing-masing seribu
buah kapal. Begitu majunya perdagangan ketika itu," kata
pemilik pedati sambil mengatur langkah penghela sapi agar
bisa memilih jalan yang agak rata.
"Sekarang perdagangan hanya dilakukan sebatas di
dalam negri saja, sebab semua pelabuhan milik Pakuan
sudah jatuh ke tangan Banten atau Cirebon. Banten yang
dulu termasuk pelabuhan penting milik Pakuan dalam
hubungan dagang dengan negri-negri di Andalas, sekarang
malah jadi musuh Pakuan yang setiap saat bisa melakukan
penyerbuan," kata pemilik pedati. "Zaman telah berubah,
anak muda. Ada yang maju ada yang mundur. Giliran
Pajajaran yang mundur, sebab kemajuan sekarang ada di
tangan orang lain, Banten, Cirebon dan Demak. Merekalah
kini yang melakukan perdagangan antar pulau," katanya
lagi. "Sang Rumuhun memang sudah mengaturNya. Ada
yang datang ada yang pergi. Ada yang lama ada yang baru
dan yang usang digantikan dengan yang bagus. Tak ada
sesuatu yang tetap di dunia ini," ucapnya lagi.
"Engkau darimana berasal, anak muda, dan mau apa
datang ke Pakuan?" tanya pemilik pedati sambil lalu.
"Aku dari wilayah Kandagalante Tanjungpura dan
berniat mengunjungi sanak saudara. Kalau Paman
kerapkali datang kedayo (ibukota), barangkali pernah kenal
pemuda yang bernama Purbajaya?" tanya Ginggi setengah
berbohong, setengahnya lagi berkata benar. Mencari
pemuda bernama Purbajaya memang sudah termasuk
bagian dari rencananya. Untuk menyelidiki misteri yang menyelimuti Suji
Angkara, sekarang bisa ditelusuri lewat diri Purbajaya, anak
bangsawan wilayah Tanjungpura Utara itu.
Ginggi ingat, menurut cerita pelayan Juragan Ilun Rosa,
secara diam-diam Purbajaya menjalin hubungan cinta
dengan anak gadis Juragan Ilun Rosa. Anak gadis itu tibatiba mati bunuh diri, dan dianggapnya karena putus asa
membaca surat yang ditulis Purbajaya yang mengabarkan
dirinya akan kawin dengan putri bangsawan di Pakuan.
Keterangan ini bertolak belakang dengan cerita ayahanda
Purbajaya yang hanya mengatakan bahwa anak muda itu
pergi ke Pakuan karena akan melamar kerja sebagai
puhawang atau ahli kelautan. Bahkan diceritakannya pula,
bahwa Purbajaya pernah berkata, bila sudah berhasil
mencapai cita-citanya, dia meminta ayahnya agar sudi
meminang gadis pujaannya yang ada di Tanjungpura.
Mana yang benar dari kedua bukti ini, Ginggi belum bisa
mengambil kesimpulan. Tapi urusan ini sepertinya ikut
melibatkan perilaku Suji Angkara. Pemuda pesolek ini
berjanji akan ikut menangani kasus ini. Bagaimana cara
membantu menanganinya" Pemuda yang bertutur-sapa
selalu sopan tapi terkadang bertindak kejam ini mengatakan
bahwa dia akan menindak Purbajaya. Mengapa Suji
Angkara ingin menyelesaikan perkara ini seperti itu"
Ginggi ingat, pelayan Juragan Ilun Rosa menceritakan
pula bahwa secara diam-diam Suji Angkara menggoda
gadis anak Juragan Ilun Rosa di taman belakang rumah,
tapi gadis itu selalu menolaknya dengan mengatakan bahwa
dirinya sudah ada yang punya.
Antara pertemuan Suji Angkara dengan peristiwa
terjadinya bunuh diri gadis itu hanya berselang satu hari
saja. Kapan surat nipah yang berisi "pengkhianatan"
Purbajaya diterima gadis itu" Kalau mengingat cerita
pelayan, ketika ditemui Suji Angkara di taman belakang
rumah, gadis itu masih demikian setia terhadap Purbajaya.
Bila begitu, maka surat dari pemuda itu pasti diterima
dalam sehari saja. Tapi pelayan tak pernah mengatakan
melihat orang mengirimkan surat kepada gadis itu. Dari
mana surat itu didapat"
Satu hal penting lagi yang perlu disimak Ginggi. Ibunda
gadis itu secara naluri menangkap suatu bukti, anaknya
mati bukan sekadar kecewa atas "pengkhianatan"
kekasihnya, melainkan karena sebab lain juga. Istri Juragan
Ilun Rosa mendapatkan anak gadisnya bunuh diri dengan
menusukkan patrem ke lehernya sambil dandanan tak
karuan, kusut-masai tak beraturan, bahkan seperti ada bekas
cakaran kuku di beberapa bagian tubuhnya.
Sayang sekali Juragan Ilun Rosa perhatiannya telah
terpusat kepada surat daun nipah itu. Dia lebih percaya
anaknya mati karena kecewa merasa dikhianati. Juragan
Ilun Rosa bahkan langsung setuju ketika Suji Angkara
berjanji akan menindak bahkan membunuh Purbajaya bila
ditemukan di Pakuan. "Saya tak kenal dengan pemuda bernama Purbajaya,
anak muda," kata pemilik pedati sambil mengingat-ingat.
"Dia bekerja sebagai apa didayo ?" pemilik pedati balik
bertanya. "Sekitar enam bulan lalu, Purbajaya pergi dari
Tanjungpura ke Pakuan karena ingin melamar bekerja
sebagai puhawang," kata Ginggi mengubah duduknya
karena sejak tadi menclok terus di atas timbunan gulungan
kain. "Maksudmu petugas akhli dalam bidang penelusuran
laut dan teluk?" "Ya, ya begitulah!"
"Di Pakuan ada pejabat yang pernah berurusan dengan
itu. Dia Pangeran Yogascitra, masih kerabat Sang Prabu
walau kerabat jauh. Kalau kau bisa mengunjunginya,
barangkali punya celah-celah untuk mencarinya," kata
pemilik pedati. Ginggi tersenyum cerah mendengarnya. Berarti ada
harapan mencari di mana pemuda Purbajaya berada.
"Bagaimana, apa mudahkah aku mengunjungi Pangeran
Yogascitra, Paman?" tanya Ginggi.
"Semua bangsawan di Pakuan pandai menjaga
kehormatan dirinya. Tapi, ada banyak cara untuk


Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjaganya. Ada yang tidak sembarangan berhubungan
dengan siapa saja, ada juga yang begitu ramah menerima
kehadiran siapa saja. Namun yang penting, kau datanglah
ke sana secara baik-baik dan dengan tindak-tanduk sopan.
Etika hidup bagi mereka berada di atas segalanya. Kalau
kau pandai menggunakan etika dan menyenangkan mereka,
kau pasti tidak akan sulit bertamu ke kediaman Pangeran
itu, anak muda," kata pemilik pedati memberikan petuah.
Senja mulai jatuh ketika roda pedati menggelinding
pelan memasuki pintu gerbang dayo (kota) Pakuan.
Berdebar hati Ginggi ketika melihat pintu gerbang kota
yang demikian besar dan berwibawa.
Pintu gerbang ini tidak dibuat oleh kayu-kayu jati
sepertilawang kori di wilayah kandagalante atau apalagi
bila dibandingkan denganlawang kori sebuah wilayah desa.
Pintu gerbangdayo Pakuan menjulang tinggi dan terbuat
dari batu-batu dengan ukiran halus. Di kiri kanannya,
membelakangi gapura, berdiri kokoh patungrotadenawa
(raseksa) sambil memanggul sebuah penggada besar, seolaholah tengah menjaga keamanan Pakuan dari gangguan
musuh. Pedati berhenti sejenak sebab akan menghadapi
pemeriksaan para jagabaya. Ini pemeriksaan kedua, sebab
ketika tadi siang pedati menyebrangi jembatan besar Sungai
Cihaliwung (Ciliwung), pedati bermuatan gulungan kain
katun dan belacu ini pun diperiksa petugas sebelum
melakukan penyebrangan. Namun karena tak ada sesuatu yang mencurigakan,
pedati berjalan kembali dan diperbolehkan memasukidayo,
Sekarang pedati berjalan melewati sebuah alun-alun yang
amat luas. Jauh di sebrang alun-alun nampak lagi sebuah
gerbang. Lebih mewah dan lebih berwibawa lagi bentuknya.
Terbuat dari batu hitam halus yang terdapat ukiran-ukiran
yang bernilai seni tinggi. Gerbang itu seperti pintu masuk ke
sebuah kompleks besar yang dikelilingi benteng kokoh.
Remang-remang di dalam benteng terlihat bangunanbangunan baik terbuat dari batu mau pun dari kayu-kayu
jati, menjulang melampaui tingginya benteng.
"Itulah pintu gerbang untuk memasuki pusat dayo, anak
muda. Raja dan para bangsawan tinggal di sana," kata
pemilik pedati. "Apakah Paman akan masuk ke sana?" tanya Ginggi.
"Aku ini hanya pedagang biasa. Keperluanku ke sini
untuk mengirim barang-barang dagangan ke pasar. Tidak
sembarangan orang masuk ke sana, apalagi malam hari.
Jadi, sebaiknya malam ini kau cari penginapan di luar
benteng. Esok hari baru minta izin jagabaya untuk bertamu
ke kediaman Pangeran Yogascitra," kata pemilik pedati.
Ginggi turun dari tumpukan kain dan mengucapkan
terima kasih karena dirinya diperkenankan menumpang
pedati. (O-anikz-O) Keramaian di Pakuan Ginggi berdiri sendirian di tepi alun-alun yang dikelilingi
pohon-pohon besar. Di sudut alun-alun dekat gerbang ada
tiga pohon amat besar. Daunnya rimbun dan rantingnya
bergayut ke permukaan tanah hampir-hampir menyerupai
jenggot raksasa. Di Puncak Cakrabuana pun pohon besar
seperti ini ada terdapat dan Ki Darma menyebutnya sebagai
pohon beringin. Hanya bedanya, beringin yang terdapat di
sudut alun-alun benteng luar ini nampak lebih terawat.
Batangnya tak memiliki lumut, sepertinya setiap hari ada
petugas yang khusus bekerja membersihkan lumut pohon
yang usianya pasti sudah amat tua ini.
Di depan pohon itu pun ada semacam tempat pemujaan.
Ada asap dupa mengelun dari sudut tempat pemujaan itu.
Bunga dan macam-macam sesaji juga nampak bertebaran di
sana. Ketika hari sudah hampir gelap benar, ada seorang
membawa pelita dan ditaruhnya di tempat pemujaan.
Ginggi melangkah menyusuri tepi alun-alun. Kata Ki
Banaspati, Pakuan inidayo (ibukota) yang amat ramai.
Penduduknya lebih dari limapuluh ribu orang dan jumlah
pasukan keamanan di seluruh negri berjumlah lebih dari
seratus ribu prajurit ditambah seribu orang perwira
pengawal raja. Berbicara soal pengawal raja, Ginggi jadi
teringat Ki Darma. Bukankah dulu orang tua ini bekerja
sebagai pengawal raja" Betapa besar sebetulnya jasa Ki
Darma. Dia mengabdi puluhan tahun kepada tiga orang
Raja Pajajaran yang berturut-turut memerintah di Pakuan.
Namun hanya karena Ki Darma selalu berani melontarkan
kritik terhadap raja, maka jasanya seperti tertimbun oleh
kesalahan ini. Tak ada orang yang berani memuja dan
memperlihatkan perasaan bangga terhadap Ki Darma,
sebab kata Ki Rangga Guna, siapa yang menyebut Ki
Darma akan dianggap punya hubungan tertentu dengan
orang tua itu. Dan yang memiliki pertalian dengan Ki
Darma akan ditangkap petugas karena akan mendapat
perlakuan yang sama, yaitu dituduh pemberontak.
"Hati-hati bila memasuki Pakuan, jangan sekali-kali
mengaku sebagai murid Ki Darma!" perkataan ini
dikeluarkan oleh Ki Banaspati dan Ki Rangga Guna dalam
tempat dan waktu yang terpisah.
Ginggi kembali melangkah menyusuri tepian alun-alun
yang sebagian ditumbuhi rumput hijau, sebagian lagi hanya
berupa tanah merah sedikit berdebu.
Ginggi membayangkan tempat ini sebagai wahana untuk
latihan perang-perangan para prajurut Pakuan. Mungkin
juga digunakan sebagai tempat berlangsungnya upacara
kebesaran raja dan berbagai demontrasi ketangkasan
berkuda atau permainan senjata. Tapi yang pasti terbayang
di pelupuk matanya adalah pertempuran besar di alun-alun
ini ketika pasukan misterius yang diduga dari Banten
diperintah oleh Sultan Hasanudin secara rahasia menyerang
Pakuan. Ki Rangga Guna mengabarkan, dalam
pertempuran besar ini seribu pengawal raja mati-matian
menahan serangan prajurit tanpa identitas ini. Dan sekali
pun berhasil menghalau pasukan penyerbu tapi Pakuan
banyak kehilangan perwira tangguh. Dua Senopati
Pajajaran yang amat tangguh yaitu Tohaan Ratu Sangiang
dan Tohaan Sarendet tewas di medan laga. Kepahlawanan
kedua senapati ini kata Ki Rangga Guna banyak disebut
dan dibanggakan oleh prepantun (juru pantun, pembawa
cerita yang diambil dari kisah nyata) tapi sambil
meremehkan dan menyesalkan perbuatan Ki Darma yang
dianggapnya membuat gara-gara terjadinya serangan.
Hanya beberapa bulan setelah penyerbuan ini, khabarnya
Ki Darma mengundurkan diri dan langsung dituding
mengkhianati raja. Begitulah yang terjadi belasan tahun
silam di saat Pakuan diperintah Sang Prabu Ratu Dewata.
Ginggi melangkah sunyi menyisir tepian alun-alun. Di
hatinya tetap ada kebanggaan terhadap Ki Darma, kendati
perasaan ini tetap disembunyikannya di lubuk hati paling
dalam. Sekarang Ginggi tiba di sebuah perempatan jalan.
Perempatan ini merupakan akhir dari alun-alun. Bila
Ginggi menengok ke kiri, di sepanjang jalan tepi benteng
istana nampak beberapa bangunan, terang benderang oleh
cahaya lampu gantung. Di sana terlihat banyak orang, ada
yang duduk-duduk di bangku panjang, ada juga yang
sekadar berjalan-jalan sambil melihat ke sana ke mari.
Ginggi menuju ke sana, kalau-kalau ada kedai nasi di
tempat itu. Dan benar perkiraan pemuda itu. Di sana terdapat juga
kedai makanan. Sudah terlihat banyak orang yang makanmakan di sana. Nampaknya para pedagang atau para
pengirim barang yang baru datang kedayo ini.
Ginggi menyelip duduk di antara dua pembeli yang
tengah makan nasi dengan lahapnya. Ketika Ginggi ikut
duduk, kedua orang itu menggeser duduknya untuk
memberi kaleluasaan kepada Ginggi. Yang seorang malah
mengangguk sambil menawari pemuda itu makan. Ginggi
hanya balas mengangguk sebagai tanda ucapan terima
kasih. Ginggi memesan nasi dan lauk-pauknya apa saja
menurut pilihan pemilik kedai.
Sementara menunggu penganan disodorkan, Ginggi
melirik ke kiri dan kanan. Di petak-petak lain terdapat juga
sekumpulan orang. Mereka tengah memperhatikan
sekelompok lainnya yang duduk saling berhadapan dan
sibuk melakukan permainan judi. Macam-macam tingkah
lakunya. Ada yang cemberut, ada yang tegang, tapi
kebanyakan hanya berteriak-teriak memberi semangat.
Ginggi tersenyum tipis. Bila menyaksikan tingkah laku
mereka, di bumi Pajajaran ini sepertinya tak terjadi apa-apa.
Ada orang yang berjudi, tertawa dan bersenda gurau, hanya
menandakan kehidupan mereka damai dan tak kurang
suatu apa. Barangkali benar di dayo (ibukota) pusat
pemerintahan, orang tak merasakan berbagai kesulitan
berarti sebab segala keperluan hidup tersedia di sini. Tapi
barangkali juga tawa dan senda gurau di sini hanya bersifat
semu belaka. Ginggi pernah menyaksikan ada orang
tertawa padahal hatinya tengah dirundung duka. Ginggi
juga pernah melihat orang yang memiliki banyak masalah
tapi dia tak acuh dengan masalahnya karena sudah pasrah
terhadap kemelut hidup yang dideritanya.
Ketika makanan sudah disodorkan, Ginggi mulai makan
dengan lahapnya. Makanan yang disodorkan pemilik kedai
ini terasa enak dan nikmat. Barangkali karena memang
pandai mengatur bumbu masak. Tapi barangkali juga
karena pemuda itu sudah lama tak mendapatkan makanan
enak. Makanan enak yang dimakan terakhir kalinya yaitu di
kedai wilayah Tanjungpura. Sesudah itu, dia hanya makan
makanan yaang ada di hutan saja. Baru kali ini dia kembali
menemukan makanan yang begitu mengundang selera
makannya. Begitu asyiknya dia makan, sampai-sampai Ginggi tak
tahu bahwa yang duduk di samping kirinya sudah
tergantikan oleh orang yang baru datang. Ginggi tak akan
memperhatikan kalau saja orang itu tidak menepuk
bahunya dengan cukup keras.
"Hei!" kata orang di samping kirinya. Ginggi hampir saja
tersedak saking terkejutnya melihat siapa yang menepuknya
ini. "Eh " engkau Madi?" pekik Ginggi heran. Ya, Madi,
pemuda jangkung berkulit hitam bergigi tonghor sahabat
Seta, calon suami Nyi Santimi, secara tiba-tiba sudah ada di
sampingnya. Ginggi menatap pemuda tonghor ini. Bukan karena
heran mengapa Madi ada di Pakuan, sebab sejak dari
Sagaraherang pun Ginggi sudah mendengarnya ada
rombongan Suji Angkara yang "melarikan" diri menuju
Pakuan. yang diherankan Ginggi, penampilan Madi kini
lain. Dia tak lagi berkampret hitam dengan ikat kepala
hitam. Malam ini pemuda yang diketahui Ginggi sebagai
pemuda yang gampang marah tapi sedikit bodoh ini
dadanya lebih lebar dengan terbuka lebar karena
menggunakan pakaian rompi tanpa lengan dan baju
kancing. Bajunya dari kain tebal, ada ornamen warna perak
di sepanjang sisi-sisi bajunya. Kepala Madi pun tak
mengenakan ikat kepala. Sekarang rambutnya yang panjang
digelung ke atas dan disisir cukup rapih. Ada gelang
menghias terbuat dari tanduk kerbau yang sudah diperhalus
dan diberi ukiran walau sedikit kasar buatannya. Gelanggelang itu satu pasang dikenakan sebagai penghias
pergelangan tangan dan satu pasang lagi dikenakan di
tangan bagian atas sikut.
Ginggi melirik ke bawah, pinggang Madi dibelit angkin
(sabuk kain) batik hihinggulan dan digunakan sebagai
pengikat kain warna ungu yang menutupi celanasontog
(celana panjang sebatas betis) warna hitam.
"Hei " kau ada di sini rupanya?" kata Ginggi menunjuk
hidung pemuda tonghor itu. Madi menepiskan telunjuk
Ginggi dengan gemas, namun Ginggi sudah lebih dahulu
menarik mundur telunjuknya.
"Sialan kau anak setan! Jangan sembarangan menyapa
orang. Kau tahu, siapa aku ini?" kata Madi melotot marah.
"Ya, siapa lagi" Bukankah namamu Madi" Ataukah
sekarang sudah kau ubah namamu" Apa namamu
sekarang?" tanya Ginggi cengar-cengir.
"Tengik kau! Namaku sejak dulu tak pernah kuubah!"
kata Madi masih gemas. Ginggi menggaruk-garuk kepalanya sebagai tanda
bingung. "Heran, namamu tetap Madi, tapi kau tak mau ku sapa
?" gumam Ginggi. "Namaku tetap Madi. Tapi cobalah kau sedikit sopan
padaku. Sekarang di sini aku bukan sebagai rakyat biasa
seperti tempo hari!" kata Madi sombong.
"Kau bukan rakyat lagi sekarang" Anak bangsawankah
engkau?" Ginggi tetap berpura-pura bodoh. Tuk! Ubunubun kepalanya digetok Madi."Jangan kau hina aku. Aku
memang bukan anak bangsawan. Tapi di Pakuan sini siapa
tak kenal Madi prajurit keraton?" kata Madi tersenyum
lebar. "Wah, kau jadi pegawai istana rupanya! Aku bangga
padamu!" Ginggi hahah-heheh ketawa. Madi pun ikut
ketawa senang mendengar Ginggi bangga dan kagum
padanya. "Yang lainnya bagaimana" Apakah semua sama bernasib
baik sepertimu, Madi?"
"Ya, semua bernasib lumayan. Seta, Ki Ogel dan Ki
Banen, semuanya menjadi abdi dalem istana,"
"Hebat!" "Segalanya berkat Raden Suji Angkara," kata Madi.
Ginggi mulutnya menganga. "Aku memang sudah
menduga sejak dulu. Raden Suji Angkara memang bukan
orang sembarangan. Dia sebetulnya putra Juragan Bagus
Seta!" "Bagus Seta?"

Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sssst!!!" Madi membekap mulut Ginggi yang bicara
terlalu keas. Dan Ginggi meronta-ronta karena tangan Madi
terlalu lama membekapnya "Mengapa kau bekap mulutku?" tanya Ginggi tak
senang. "Mengapa kau berteriak tak sopan" Kau harus tahu diri
di sini, tolol! Juragan Bagus Seta kau sebut begitu saja. Itu
tak sopan namanya!" kata Madi berdesis marah. Ginggi
memang tadi secara tak sadar berseru menyebut nama
Bagus Seta seenaknya saja. Itu karena saking kagetnya.
Tidakkah yang di maksudnya adalah Ki Bagus Seta murid
kedua Ki Darma" Betulkah sekarang di Pakuan sudah jadi
bangsawan" Hebat sekali. Ginggi tak boleh terlihat oleh
Madi bahwa dirinya memperhatikan Ki Bagus Seta secara
khusus. Untuk itulah kini dia mengalihkan pembicaraan.
"Prajurit Madi, kau katakan tadi Raden Suji Angkara
putra Bangsawan Bagus Seta. Bukankah di Desa Cae
pemuda tampan itu anak Ki Suntara Kuwu Cae?" tanya
Ginggi. "Ya, aku juga dulu menduga demikian. Barangkali
semua penduduk Cae pun berpikiran begitu. Tapi selama di
perjalanan mengikutinya, terkesan bahwa dia bukan
pemuda sembarangan. Tindak-tanduknya seperti
bangsawan. Kekayaannya pun jauh lebih besar ketimbang
yang dipunyai seorang kuwu. Raden Suji Angkara bukan
anak seorang kuwu, melainkan memang putra bangsawan
asli yang di dayo ini sudah cukup terkenal," kata Madi.
Akhirnya pemuda itu pun menerangkannya panjanglebar. Bahwa sebetulnya Suji Angkara ini benar-benar putra
Ki Bagus Seta. Akan halnya hubungannya dengan Kuwu
Suntara, karena ibunda Suji Angkara dulu merupakan istri
Kuwu Suntara. Bagaimana caranya istri Kuwu Suntara
"berpindah" menjadi istri Ki Bagus Seta, Madi tidak
mengetahuinya. "Biarlah itu urusan orang-orang besar dan tak ada
pertaliannya dengan urusanku. Aku tak perlu tahu," kata
Madi. Ginggi pun mengangguk tanda menyetujui. Padahal
di lubuk hatinya berkata lain. Ini masalah tambahan yang
cukup menarik buat dirinya. Dari Sagaraherang Ginggi
disuruh Ki Banaspati untuk membuntuti Suji Angkara
untuk kemudian harus dibunuhnya. Tapi di lain fihak
pemuda pesolek ini terbukti putra Ki Bagus Seta. Mustahil
Ki Banaspati yang sering tinggal di Pakuan dan merupakan
tangan kanan muhara (petugas penarik pajak negara) tidak
tahu bahwa Ki Bagus Seta juga ada di Pakuan dan menjadi
bangsawan istana. Mustahil Ki Banaspati tak tahu bahwa
Suji Angkara putra Ki Bagus Seta. Sampai di sini, jalan
pikiran Ginggi terhenti. Sepasang alisnya yang tebal
membentuk golok melengkung karena benaknya berpikir
keras. Ini memang aneh dan penuh misteri. Kalau Ki
Banaspati harus mengetahui bahwa Suji Angkara putra Ki
Bagus Seta, mengapa pemuda itu sendiri seperti tidak kenal
siapa sebenarnya Ki Banaspati"
Menurut penelitian Ginggi, hubungan Suji Angkara
dengan Ki Banaspati ketika itu hanya sebatas hubungan
kerja semata. Suji Angkara dikenal sebagai pembantu
utama Ki Banaspati dalam mengurusi seba ke wilayah
timur. Lain dari hubungan itu, sepertinya Suji Angkara tak
tahu apa-apa. Ginggi pun teringat kembali, betapa dalam
percakapan dirinya dengan Ki Banaspati di Sagaraherang,
Ki Banaspati tak pernah mengungkit-ungkit bahwa Ki
Bagus Seta ada di Pakuan. Ki Banaspati dalam
percakapannya dengan Ginggi tempo hari seolah-olah
menampakkan kesan bahwa dia tak pernah tahu di mana
para saudara seperguruannya berada. Sekarang baru
ketahuan, bahwa ada dugaan Ki Banaspati sudah tahu
saudara seperguruannya ada di Pakuan dan sama-sama
mengabdi di istana, tapi ada kesan "diatur" bahwa satu
sama lain tak saling kenal. Mungkinkah keduanya menjalin
kerjasama rahasia sehingga hubungan mereka perlu
disembunyikan dari pengetahuan orang lain"
Ginggi punya dugaan keras ke arah itu. Apalagi semua
murid Ki Darma harus merahasiakan identitas masingmasing, terutama karena pertaliannya dengan Ki Darma.
Baik Ki Bagus Seta mau pun Ki Banaspati dipastikan
Ginggi bisa memasuki istana karena mengubur identitas diri
mereka terhadap hubungannya dengan Ki Darma.
Betulkah kedua orang itu menjalin kerjasama untuk
mengejar satu tujuan" Bila begitu halnya, mengapa Ki
Banaspati harus membunuh Suji Angkara hanya karena
pemuda itu menyibak rahasia kegiatannya dalam
"merampok" dan menggelapkan hasil kekayaan seba" Bila
Suji Angkara harus dibunuh, berarti rahasia kegiatannya
tidak boleh diketahui Ki Bagus Seta. Atau, bisa juga Ki
Bagus Seta juga sama-sama berkomplot mempermainkan
seba untuk Pakuan. Hanya saja Ki Banaspati benar-benar
tak tahu bahwa Suji Angkara orang Pakuan dan putra
saudara seperguruannya. Ginggi memijit-mijit dahinya. Semua yang dia uraikan di
dalam hatinya hanyalah perkiraan-perkiraan semata. Untuk
meneliti kebenarannya dia harus langsung terjun
menyelidikinya. "Prajurit Madi, tolong bawalah aku pada Raden Suji
Angkara," pinta Ginggi tiba-tiba.
"Ya, aku akan bawa kau ke hadapan Raden Suji
Angkara. Mudah-mudahan kau dihukum berat!" kata Madi
dengan mulut tersenyum penuh ejekan.
"Lho, mengapa aku harus dihukum?" tanya Ginggi
heran. "Akan aku katakan kau pengkhianaat, sebab kau malah
tinggal di Sagaraherang ketika kami pergi!" kata Madi.
"Malah kalian yang aku tuduh pengkhianat!" teriak
Ginggi balas menudingkan telunjuk.
Giliran Madi yang heran. "Mengapa malah kami yang kau anggap pengkhianat,
anak tolol?" sergah Madi.
"Habis, kalian secara tiba-tiba meninggalkan diriku di
Sagaraherang. Kalian tinggalkan pula beberapa orang
pemikul dongdang. Bukankah kau pun tahu aku ikut
rombongan kalian dan Raden Suji Angkara pun sudah
setuju aku ikut kerja padanya?" tanya Ginggi. Madi
mengedip-ngedipkan kedua matanya sambil tertunduk ke
bawah bangku. "Ayo, coba siapa yang mengkhianati" Aku tersaruk-saruk
di hutan, kabur dari Sagaraherang, sebab ketika kalian
pergi, orang Sagaraherang menjadi beringas dan seperti
mau membunuhku. Aku akhirnya lari, ke mana saja, sebab
aku tak tahu ke mana aku harus pergi. Berbulan-bulan
kemudian, baru aku tiba di sini. Eh, aneh sekali, kau ada di
sini. Hanya bedanya, engkau demikian maju di sini,
sedangkan aku penuh derita ?" Ginggi bicara sedikit
ngibul. Madi terkekeh-kekeh mentertawakan nasib "buruk"
yang menimpa Ginggi. Tapi serentak tawanya hilang ketika
Madi meneliti keadaan tubuh Ginggi.
"Kau membual anak tolol. Kalau kau katakan kau
berkelana penuh derita, mengapa kau mampu masuk ke
kedai ini dan mengambil makanan-makanan enak"
Pakaianmu juga mencurigakan. Itu pakaian golongan
santana (masyarakat golongan menengah) kendati terlihat
dekil," kata Madi. "Nah, dekil, kan?" Ginggi tak kehilangan akal untuk
terus ngibul. "Selama mengembara kesana-kemari aku kerja
apa saja. Sekarang aku sedikit punya uang dan juga punya
pakaian santana kumal karena ketika aku berhenti kerja,
majikan memberiku bekal-bekal seperti ini," kata Ginggi.
"Hm, begitu, ya ?" Madi mengangguk-angguk.
"Nah, sekarang coba aku bawa pada Raden Suji Angkara
agar aku tak tersaruk-saruk mencari pekerjaan!" kata Ginggi
lagi. "Enak saja mau cari kerja di istana!" dengus Madi.
"Hanya orang-orang cakap dan pandai berkelahi saja yang
bisa diterima bekerja di Pakuan. Sedangkan kau bisa apa?"
"Tempo hari Ki Banen sudah bersedia mengajariku ilmu
berkelahi padaku, agar lain kali aku bisa mengalahkanmu!"
kata Ginggi. Madi terkekeh-kekeh mendengar ucapan Ginggi ini.
"Boleh kau minta latih sama Ki Banen. Limapuluh tahun
baru kau bisa menandingiku, anak tolol!" kata Madi.
"Baik, akan kubuktikan limapuluh tahun lagi!" kata
Ginggi tak kepalang ngaco.
Madi hanya tertawa-tawa saja.
"Boleh, besok aku bawa kau kepada Raden Suji
Angkara!" kata Madi. Ginggi bersyukur dalam hatinya
bahwa pada akhirnya dia sanggup menundukkan pemuda
bodoh ini kendati harus perang mulut gila-gilan.
"Nah, kalau begitu malam ini aku ikut numpang tidur di
rumahmu!" kata Ginggi.
"Enak saja! Kau cari tempat tidur sendiri. Di tepi-tepi
tembok benteng dalam, banyak emperan. Tidurlah di emper
sana!" kata Madi berjingkat dan berlalu.
"Hei, dimana aku bisa menemuimu besok?"
"Ya, kau tunggulah di kedai ini!" kata Madi sambil
negeloyor pergi. "Atau di alun-alun sebab akan ada
keramaian," lanjutnya.
Pemuda bodoh, pikir Ginggi. Tapi dia pun tetap memuji
Madi sebagai orang jujur dan cukup punya perasaan.
Buktinya, pemuda itu mau juga meluluskan dia ikut kerja
dengan Suji Angkara. Ginggi tak begitu sulit mencari tempat untuk menginap.
Banyak kedai makanan yang juga menyediakan tempat
untuk menginap. Esok paginya Ginggi sudah berjalan-jalan di seputar
dayo. Pada siang hari. Kesibukan nampak lebih meningkat.
Dari wilayah seputarnya kaum pedagang memasuki pusatpusat keramaian dan mereka menggelar dagangan di sana,
seperti sayur-sayuran, umbi-umbian, buah-buahan, atau
barang keperluan sehari-hari. Ada juga orang mencari
penghasilan dengan berdagang bermacam obat-obatan
untuk menanggulangi berbagai penyakit. Di satu sudut
bahkan ada orang memamerkan kepandaian aneh semacam
permainan sulap. Penonton bertepuk tangan gembira bila
pesulap itu berhasil memamerkan satu kepandaian yang
mencengangkan. Atau penonton terkekeh-kekeh bila
pesulap memperlihatkan tindak-tanduk lucu. Anak-anak
terbahak-bahak dan para gadis menahan tawa dengan jalan
menutup mulutnya. Semakin siang jumlah yang datang semakin banyak juga.
Tua-muda, besar-kecil, lelaki dan wanita seperti beriringan
seperti hendak menuju satu tempat. Pakaian mereka bagusbagus. Beruntung Ginggi sempat mengganti pakaiannya,
sehingga dia pun nampak sebagai pejalan kaki dari
kalangan kaum berada. Pakaian yang dikenakannya, baju
kurung dari kain halus warna merah darah dengan ikat
kepala warna yang sama. Celananya jenis komprang dan
diikat dengan ikat pinggang kain. Semuanya hasil
pemberian Kuwu Wado. Mengenai jenis kain halus yang
dipakainya, baru akhir-akhir ini saja Ginggi tahu bahwa
kain seperti ini dibeli dari pedagang asing, kalau tidak dari
Parasi (Parsi) mungkin dari Cina. Termasuk barang langka,
apalagi di saat- saat sekarang ini hubungan dagang di pantai
utara sudah tak mungkin dilakukan. Kalau pun masih
terdapat, khabarnya harganya cukup mahal sebab barangbarang itu bisa masuk ke Pakuan melalui beberapa tangan.
Bila dulu sebelum pelabuhan-pelabuhan utama direbut
Cirebon dan Demak, hubungan dagang antara Pakuan
dengan negri-negri sebrang bisa langsung dilakukan,
sekarang harus menggunakan perantara. Salah satu
perantara di antaranya adalah para pedagang yang sudah
berpihak kepada kekuatan agama baru di pesisir. Merekalah
yang melakukan transaksi langsung dengan saudagar negri
sebrang. Barang-barang itu, sedianya hanya boleh
diperdagangkan di wilayah-wilayah kekuasaan agama baru
saja. Dan orang-orang Pajajaran merupakan santapan
empuk, sebab mereka yang sudah sejak dulu terbiasa
menggunakan barang-barang indah, terutama dari kalangan
santana sampai bangsawan, selalu tetap memerlukannya.
Ginggi sebetulnya tak senang menggunakan pakaianpakaian mewah ini. Tapi apa daya, di buntalan pakaiannya
hanya terdapat tiga pasang pakaian mewah hasil pemberian
Kuwu Wado dan juga dari Ki Sunda Sembawa. Ada
kampret halus warna kuning emas dan satunya warna biru
tua terbuat dari kain agak tebal namun tetap halus. Warna
merah darah yang dikenakannya sebetulnya hanya pantas
digunakan oleh pemuda pesolek saja. Dan melihat
potongan tubuh Ginggi yang semampai, berdada bidang,
serta kulit wajah putih dengan hidung agak mancung
bermata bundar dan sepasang alis tebal seperti golok
melengkung, segalanya pas menggambarkan dia pemuda
pesolek dari kalangan santana (kaum menengah). Banyak
gadis terpaksa melirik atau menyapu dengan kerlingan
ketika berpapasan dengannya. Bahkan para pemuda
sebayanya menatap bagaikan penuh rasa iri karena
menganggap Ginggi seperti memamerkan wajah tampan
yang dibalut pakaian mewah.
Ginggi ikut ke mana orang menuju. Sekarang baru ingat,
tadi malam pemuda Madi berkata di alun-alun akan ada
keramaian. Keramaian apa, Madi tak menjelaskan. Hanya
saja tadi malam pemuda itu akan menunggunya di alunalun. Ginggi bergegas menuju alun-alun. Di lain fihak ingin
segera bertemu Madi, di lain fihak lagi ingin segera melihat
bentuk keramaian itu. Alun-alun tidak terlalu jauh. dan sebentar kemudian dia
sudah berada di tempat itu. Di sana sudah banyak orang
berkerumun dan bergerombol, atau berderet di sepanjang
sisi alun-alun. Seputar alun-alun sudah dikelilingi penonton.
Ginggi melihat berkeliling. Ternyata di sisi bagian alunalun, ada sebuah panggung berhias diapit dua bangunan
bertenda memanjang di kiri kanannya. Semuanya dihiasi
kain warna-warni. Di setiap ujungnya tertancap umbul

Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

umbul. Demikian pun di depan, umbul-umbul bahkan
berderet lebih banyak lagi. Ginggi heran, kapan panggung
ini dibuat, bukankah kemarin senja suasana di alun-alun
masih sepi" Melihat kenyataan ini, hanya menampilkan
bahwa orang-orang Pakuan terampil dalam bekerja.
"Paman, akan ada keramaian apakah ini?" tanya Ginggi
pada seorang lelaki setengah baya yang ada di sampingnya.
"Hari ini akan diadakan uji ketrampilan. Sang
Susuhunan Prabu Ratu Sakti Sang Mangabatan
memerlukan prajurit-prajurit pilihan untuk kelak dididik
dan dipersiapkan menjadi perwira pengawal Raja. Sekarang
seribu pengawal Raja sudah banyak yang berusia lanjut dan
perlu penggantinya," kata lelaki setengah baya itu
menjelaskan. Kata orang itu Susuhunan Pakuan, Prabu Ratu Sakti
Sang Mangabatan berkenan menyaksikan uji ketrampilan
ini bersama para pejabat lainnya. Ketika mendengar
keterangan ini, hati Ginggi bergetar. Nama Prabu Ratu
Sakti Sang Mangabatan sudah sejak lama dia dengar
melalui mulut Ki Darma. Tiga tahun sebelum Sang
Susuhunan ini memerintah, Ki Darma sudah
mengundurkan diri dari kegiatan di istana. Namun kendati
begitu, kata Ki Darma, raja ini mengenalnya sejak menjadi
putra mahkota. Namun jauh sebelum putra mahkota
inidiwastu (dinobatkan), hubungannya dengan Ki Darma
sudah kurang baik. Itulah sebabnya, jauh hari sebelum
putra mahkota dinobatkan, Ki Darma mengundurkan diri,
yang belakangan dituduhnya sebagai pengkhianat dan
pemberontak. Sekarang Ginggi akan melihat dengan mata kepala
sendiri, Raja Pajajaran yang berkedudukan di Pakuan ini.
(O-anikz-O) Keramaian di Alun-alun Ketikacahaya matahari menyorot hangat lewat celah
dedaunan pohon beringin, terdengar bunyi suara gong yang
dipukul tiga kali. Serentak dengan itu terdengar pula suara
gamelan yang ditabuh dari pinggir balandongan.Lawang
saketeng (pintu gerbang) benteng dalam terkuak lebar,
dibuka oleh delapan prajurit berpakaian lengkap. Penonton
yang tepat berada di depanlawang saketeng yang tadinya
bergerombol menutupi pinggir alun-alun segera menguak
sambil membalikkan badan menghadap lawang saketeng.
Suara gamelan ditabuh demikian bersemangat dan
ambarahayat yang ada di seputar alun-alun mendadak
duduk berlutut, tangan menyembah takzim dan kepala
tertunduk ketika dari dalam benteng keluar iring-iringan.
Ginggi menoleh ke kiri dan kanan. Namun ketika
dilihatnya ada prajurit melihat dirinya dengan mata
melotot, dia segera ikut berlutut dan kedua tangan
menyembah takzim. Ginggi sebenarnya ingin menunduk juga. Tapi hati dan
perasaannya tak kuasa membendung keinginannya untuk
menyaksikan iring-iringan yang keluar dari pintu benteng
itu. Dan kendati dengan wajah tertunduk, tapi mata Ginggi
memaksakan diri untuk mengerling guna melihat iringiringan. Itu nampaknya sebuah iring-iringan besar. Mula-mula
ada barisan pengawal berjumlah duabelas prajurit.
Semuanya berambut panjang digelung ke atas dan disisir
rapi. Kepalanya masih diikat oleh semacam pengikat kepala
terbuat dari ornamen logam. Duabelas prajurit pengawal ini
hanya bertelanjang dada, namun leher dan sepasang
tangannya dihiasi pinggel (gelang) logam warna perak.
Semuanya bercelanasontog terbuat dari beludru kasar tapi
diberi ornamen kerlap-kerlip warna perak. Duabelas orang
prajurit pengawal ini semua memakai kain batik kebat tapi
dilipat dua, kecuali satu ujungnya dibiarkan terbuka hampir
menjuntai ke bawah. Duabelas prajurit pengawal ini memegang senjata di
tangan kanan dan perisai logam di tangan kiri. Enam orang
bersenjatakan tombak, enam orang lainnya memegang
pedang terhunus. Mereka berbaris raph dengan irama
langkah yang sama. Rombongan kuda keluar dari lawang seketeng.
Jumlahnya ada duabelas prajurit juga. Mereka pembawa
bendera dan umbul-umbul. Sesudah itu, rombongan ketiga
keluar pula. Mereka bukan prajurit dengan langkah gagah
dan wajah tegang, melainkan rombongan gadis-gadis
dengan lemah gemulai membuat orang terpesona
memandangnya. Melalui sudut matanya Ginggi menghitung ada sekitar
empatpuluh orang gadis yang wajahnya molek-molek.
Rombongan gadis itu semua menggunakan kain warna
hijau muda dan ke atas memakai pakaian kebaya warna
kuning. Ada selendang tipis warna hijau tua melintang di
leher masing-masing, menutupi sebagian leher dan dada
bagian atas yang putih mulus, membuat kaum lelaki greget
melihatnya. Rombongan empatpuluh gadis cantik ini semuanya
membawa tempayan perak dengan setumpuk bunga warnawarni di atasnya. Kini suara gamelan mengalun pelan ketika rombongan
ketiga keluar dari lawang saketeng, Rombongan ini diawali
oleh barisan pengawal dengan senjata trisula lengkap
dengan perisai di tangan kiri. Mereka gagah-gagah,
jumlahnya sekitar duabelas orang pula.
Serasa bergetar dada Ginggi ketika lirikan matanya
menyaksikan siapa yang keluar dari lawang saketeng ini.
Enam orang prajurit memanggul jampana (alat angkut yang
diusung) dengan posisi dua orang-dua orang mengusung
tangan-tangan jampana di bagian depan, serta dua orangdua orang lagi mengusung tangan-tangan jampana di
bagian belakang. Siap yang duduk menumpang jampana
kayu halus berukir indah dengan motif ukir burung garuda
ini membuat dada Ginggi kembali bergetar hebat.
Barangkali, ya, barangkali inilah Sang Susuhunan Pakuan,
raja keempat Kerajaan Pajajaran, atau raja urutan
ketigapuluh delapan dari susunan raja-raja dari Kerajaan
Sunda yang didirikan Sri Maharaja Tarusbawa, hampir 900
tahun lampau (9670 M) bila dihitung sampai pengangkatan
raja hari ini yaitu Ratu Sakti Sang Mangabatan (1543-1551
M). Menyaksikan iring-iringan besar yang menuju alun-alun
ini, di telinga Ginggi terngiang kembali tembang-tembang
prepantun yang pernah dia simak di Desa Cae beberapa
bulan silam Singasari keri-kanan payung wilis lilingga gading
dipuncakan manik molah payung getas dililinggaan dipuncakan ku omas deung
payung saberilen beunang ngagaler ku lungsir tapok terong
emas keloh gelewer paranjang papan kikiceup deungeun
lilieuk deg semut sama sadulur petana tataman indah Bur
kadi kuta manglayang Lumenggang di awang-awang Juru
kendi tipandeuri Juru kandaga tiheula Deung sawung galing
kiwa tengen Di tengah kidang kancana Saha nu di singa
barong Bur tiheula ler pandeuri Satangganan lain deui
Itulah tembang-tembang prepantun dalam memberitahukan
kepindahan iring-iringan rombongan Sri Baduga Maharaja bersama para istri dari
dayo (kota) lama Galuh (Ciamis)
ke dayo baru Pakuan (Bogor) pada tahun 1482 Masehi,
atau 30 tahun silam sebelum hari ini. Barangkali iringiringan perjalanan Sri Baduga Maharaja dari galuh ke
Pakuan yang terbesar, tapi iring-iringan Prabu Ratu Sakti
Sang Mangabatan yang juga disebut Sang Prabu Dewata
Buana adalah yang termegah kendati hanya melakukan
iring-iringan dari istana menuju alun-alun benteng luar di
tepi Sungai Cisadane ini.
Semua ambarahayat diperintahkan untuk berdiri kembali
oleh teriakan dan aba-aba seorang prajurit yang berdiri di
tepi balandongan atau panggung. Dan mendengar aba-aba
ini, serentak semua orang berdiri. Ginggi pun berdiri dan
tatapannya langsung ke arah balandongan, Empatpuluh
gadis cantik nampak berjejer di depan balandongan, dan
menaburkan bunga warna-warni kepada seseorang yang
duduknya terpisah di sebuah singgasana kayu mengkilap.
Ginggi berdiri tidak terlalu depan, tapi juga tidak terlalu
jauh, sehingga sanggup menyaksikan orang yang duduk di
singgasana itu. Ginggi hampir-hampir tak sanggup menatap
lama kepada orang itu. Barangkali karena Ginggi sadar
bahwa yang ditatapnya adalah seorang raja dari kerajaan
yang pernah mengalami zaman keemasan puluhan tahun
Hijaunya Lembah Hijaunya 8 Trio Detektif 26 Misteri Kuda Tanpa Kepala Rahasia Bwana 1

Cari Blog Ini