Ceritasilat Novel Online

Panasnya Bunga Mekar 10

Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja Bagian 10


kering, sehingga menjadi lunak. Di sebelahnya teraba juga
tangkai tombak pendek Mahisa Bungalan.
Tetapi Ki Wastu merasa agak tenang, bahwa ia tidak
perlu menjual barangnya yang tersisa dan melekat di
tubuhnya untuk membeli sebuah pedati, karena pedati itu
telah didapatkannya dari Ki Buyut. Dengan demikian
barang-barang itu akan menjadi bekal yang setiap saat dapat
saja dijual untuk hidup mereka.
Demikianlah perjalanan itu telah dimulai. Di malam
yang kelam, mereka melihat bintang gemerlapan di langit.
Ketika malam menjadi semakin larut, maka anak
perempuan Ki Wastu itupun membaringkan dirinya di
bagian belakang dari pedati itu, sementara Ki Wastupun
berbaring pula di bagian depan menyilang. Meskipun
mereka harus berbaring melingkar, namun pada suatu saat,
mata merekapun terpejam juga, sementara cucu Ki Wastu
telah tertidur nyenyak. Mahisa Bungalanlah yang kemudian memegang kendali
dua ekor lembu yang berjalan lamban sekali. Sekilas
dipandanginya jalan yang tidak nampak ujungnya, yang
seolah-olah menghunjam ke dalam gelap tidak berbatas.
Jika ia mengangkat kapalanya, maka dilihatnya bintangbintang
berhamburan di langit. Rasa-rasanya menjadi
ngelangut dan sepi. Tetapi pengalaman- pengalaman semacam itulah yang
memang diinginkannya dalam perantauannya. Ia melihat
kehidupan dari berbagai segi. Ia melihat warna-warna jiwa
beberapa orang yang berbeda, bahkan saling bertentangan.
Mahisa Bungalan duduk sambil berselimut kain
panjangnya. Kakinya yang sebelah tergantung di belakang
lembunya, sedang yang lainnya ditekuknya pada lututnya di
atas pedati yang berguncang-guncang itu.
"Mudah-mudahan orang-orang itu tidak segera
menyusul" tiba-tiba saja ia berdesis ketika ia mulai
membayangan niat buruk terhadap anak perempuan dan
cucu Ki Wastu itu. Dalam pada itu, berita tentang kematian empat orang
berada di halaman rumah Ki Wastu itu sudah tersebar. Dari
mulut ke mulut berita itu menjalar sampai ke tempat yang
jauh. Akhirnya, seperti yang diperhitungkan oleh Mahisa
Bungalan dan Ki Wastu, berita kematian empat orang
itupun sampai ke telinga kawan-kawan mereka yang
terbunuh itu. "Tetapi apakah benar mereka berempat" desis salah
seorang dari kawannya yang ragu-ragu atas berita itu.
"Mungkin sekali. Seorang laki-laki muda berhasil
membunuh enam orang di hutan itu. Apalagi menurut
pendengaranku, mereka bartempur berdua. Yang seorang
sudah tua. Tetapi ternyata bahwa masing-masing dari
mereka mampu membunuh empat orang, meskipun salah
seorang dari keempat orang itu berhasil membakar
rumahnya. Namun seorang perempuan dan seorang anak
laki-laki telah diselamatkan"
"Gila" yang lain menggeram "dimana mereka sekarang
tinggal setelah rumah itu terbakar"
Mereka tentu tinggal di salah seorang keluarga, atau
mungkin di rumah Ki Buyut atau banjar padukuhan"
Ternyata berita kematian keempat arang itu telah embuat
kawan-kawan mereka menjadi sangat marah. Bukan saja
karena usaha keempat orang itu untuk membunuh
perempuan dan anak laki-lakinya itu gagal, tetapi kematian
itu benar-benar telah menyinggung harga diri mereka.
Karena itu, maka salah seorang diantara mereka yang
tidak sabar lagi berkata "Aku akan pergi ke padukuhan itu.
Aku akan mencarinya sampai aku mendapatkan mereka,
Aku akan membunuh mereka di halaman banjar, atau di
rumah Ki Buyut, agar setiap orang mengetahui bahwa kita
tidak akan dapat dihalangi oleh siapapun juga"
"Apa yang akan kau lakukan?" bertanya kawan-kawan.
"Aku akan pergi mencari mereka, kau dengar?"
"Dan menyerahkan lehermu?" sahut seorang kawannya
yang lain. "Gila. Kau telah menghina aku" jawabnya.
"Kau memang tidak mempunyai otak. Kau dengar,
empat orang telah mati. Mereka adalah orang-orang terbaik
diantara kita. Nah, apakah kita masih meragukan bahwa
perempuan itu mempunyai pengawal yang kuat, yang telah
membunuh enam orang pula di hutan itu?"
"Pengecut. Kau takut?"
"Bukan takut. Tetapi otakku masih waras. Masih dapat
membuat pertimbangan-pertimbangan dengan jernih"
Kawannya yang marah itupun menarik nafas dalamdalam.
Iapun mengerti, bahwa tentu ada orang yang
memiliki kemampuan luar biasa. Menurut pendengaran
mereka keempat orang itu terbunuh oleh dua orang
keluarga perempuan itu. Seorang anak muda dan seorang
yang sudah tua itu masih memiliki kemampuan yang luar
biasa. Dalam kebimbangan itu, salah seorang dari mereki
berkata "Kita akan menyampaikannya kepada Ki Wangut
yang sedang berada di Kediri, la akan mengambil sikap.
Dan kita akan menjalankan perintahnya. Persoalannya
memang sudah berkembang. Bukan saja karena kita akan
mendapatkan upah yang besar. Tetapi harga diri kita tidak
boleh dikorbankan. Kematian demi kematian. Jika hal ini
tidak diakhiri, maka kita semuanya akan tumpas sampai
habis" Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Agaknya
mereka sependapat. Karena pimpinan mereka adalah Ki
Wangut yang berada di Kediri, mengamati istana Pangeran
Kuda Padmadata, maka salah seorang dari mereka akan
mencarinya untuk menyampaikan laporan itu.
Akhirnya merekapun memutuskan, mengirimkan dua
orang pergi ke Kediri. Dua orang yang sudah mengenal
berapa segi dari istana Pangeran Kuda Padmadata.
Berita kematian empat orang itu, membuat darah Ki
Wangut bagaikan mendidih, ia sama sekali tidak menduga,
bahwa keempat orangnya yang terbaik itu akan terbunuh.
Apalagi justru saat mereka sudah menemukan perempuan
dan anaknya itu. "Iblis itu benar-benar harus dimusnahkan" geram Ki
Wangut "aku sendiri akan mencarinya"
Dengan demikian, maka Ki Wangutpun kemudian
meninggalkan Kediri. Pengamatannya terhadap istana
Pangeran Kuda Padmadata telah diserahkan kepada salah
seorang pengikutnya yang berada di Kediri, didampingi
oleh dua orang lain yang tinggal di rumahnya pula. Mereka
harus mengawasi, jika ada orang yang tidak dikenal
menghadap Pangeran Kuda Padmadata. Salah seorang abdi
di dalam istana itu telah dihubungi, dan akan dapat menjadi
penunjuk apa yang telah terjadi di istana itu.
Sementara itu Ki Wangutpun segera kembali ke
padukuhannya. Dengan tergesa-gesa ia mengumpulkan
pengikut-pengikutnya untuk menentukan apakah yang
sebaiknya dilakukan. "Aku sendiri akan mencarinya" berkata Ki Wangut
"tetapi aku tidak akan menjadi dungu dan kehilangan akal.
Aku akan membawa beberapa orang terbaik diantara kita.
Kita sudah dapat menjajagi kemampuan para
pelindungnya, empat orang kita telah terbunuh. Karena itu,
kita harus membawa kekuatan yang menyakinkan"
"Sepuluh orang" desis salah seorang dari mereka.
"Gila" sahut Ki Wangut "aku akan berangkat dengan
empat orang saja" "Apakah Ki Wangut tidak akan mengalami nasib
serupa?" "Kau sangka aku tidak lebih dari kelinci-kelinci yang
terbunuh itu?" Tidak seorangpun yang menjawab. Mereka percaya,
ahwa Ki Wangut memiliki kemampuan yang sulit dijajagi.
Bahkan ia memiliki beberapa jenis ilmu melampaui
kemampuan seorang perwira prajurit Kediri.
"Meskipun demikian" berkata Ki Wangut "aku akan
mengajak kakak seperguruanku, la memiliki kemampu ilmu
melampaui kemampuanku. Bahkan dengan demikian,
kekuatan kami sudah meyakinkan. Aku, kakak
seperguruanku dan dua orang lagi diantara kalian yang
terbaik" "Meyakinkan sekali" desis salah seorang dan mereka aku
akan ikut serta. Aku ingin melihat pembalasan itu terjadi.
Alangkah senangnya, jika akupun mendapat kesempatan
menusukkan senjataku ke lambung orang itu"
"Gila" geram Ki Wangut "kau akan mengambil
keuntungan saja dari peristiwa ini. Aku akan pergi bersama
kakak seperguruanku. Yang lain akan aku tentukan
kemudian. Yang harus aku lakukan segera adalah pergi ke
padepokan kakak seperguruanku. Aku tidak mau
ketinggalan lerlalu jauh. jika perempuan serta para
pelindungnya itu menyingkir, aku akan sempat menemukan
jejaknya" Ternyata Ki Wangut tidak membuang waktu lagi.
Setelah ia mempersiapkan segala sesuatunya, maka iapun
segera meninggalkan padepokannya. Ia tidak mau
mengalami kesulitan lagi dengan buruannya. Karena itu, ia
telah berusaha menghubungi orang terbaik yang pernah
dikenalnya dan yang mungkin akan dapat diajaknya kerja
bersama. Dengan tergesa-gesa. dan seolah-olah hampir tidak
beristirahat sama sekali, Ki Wangut telah berpacu sebuah
padukuhan yang terpencil, di kaki sebuah bukit kecil yang
tidak banyak diketahui orang.
Sehari penuh Ki Wangut berada di perjalanan. Bahkan ia
masih meneruskan perjulanannya ketika gelap malam
turun. Sekali-kali ia memberi kesempatan kudanya untuk
beristirahat. Namun sejenak kemudian ia telah berjalan lagi,
diikuti oleh seorang pengiringnya.
Kedatangannya di padepokan terpencil yang disebut
padepokan Wara Amba itu telah mengejutkan para
penghuninya. Seorang yang sudah mulai menginjak
setengah baya mendapat laporan dari seorang cantriknya,
bahwa seseorang telah mencarinya.
"Siapa?" bertanya orang itu.
"Namanya Ki Wangut" jawab cantrik itu.
"Anak setan" geramnya "suruh ia kemari"
Diantar oleh cantrik itu, maka Ki Wangut telah
menghadap kakak seperguruannya, kedatangannya ternyata
telah mendapat sambutan yang menggembirakan. Karena
mereka sudah lama tidak bertemu, maka pertemuan itu
mampaknya merupakan pertemuan yang akrab sekali.
"Mari, masuklah anak setan" berkata orang yang sudah
separo baya itu "kau masih awet muda. Atau akulah yang
cepat menjadi tua" "Kakang Tunda Warapun nampaknya awet muda" sahut
Ki Wangut. Saudara seperguruannya itu tertawa. Katanya "Marilah.
Matamu masih tetap liar"
Ki Wangutpun segera masuk ke ruang dalam rumah
Tunda Wara. Sejenak mereka saling mempertanyakan
keselamatan masing-masing selama mereka tidak bertemu.
Sekarang kau mandi. Kemudian kau akan kami jamu
makan. meskipun sudah dingin. Kau tentu mempunyai
keperluan khusus. Biarlah besok pagi saja kau berbicara"
Ki Wangut tidak membantah. Iapun kemudian pergi ke
pakiwan. Setelah makan, meskipun nasi telah dingin,
namun memberikan kesegaran di tubuhnya, maka iapun
dipersilahkan beristirahat di dalam bilik di gandok. Tetapi
Ki Wangut tidak segera dapat tidur, ia telah digelisahkan
oleg tugasnya yang ternyata dapat dicerai-beraikan oleh
seorang yang tidak dikenalnya, tetapi ia tidak dapat
memaksa kakak seperguruannya untuk mendengarkan
keadaannya itu. Karena itu, betapapun gelisahnya, ia harus
menunggu sampai hari berikutnya.
Oleh kelelahan, maka akhirnya Ki Wangutpun tertidur
pula. Namun, Ki Wangut ternyata terbangun selagi langit
masih buram. Meskipun udara terasa dingin, namun ia
telah pergi ke pakiwan dan membenahi pakainnya, seolaholah
ia tidak sabar lagi untuk bertemu dan berbicara dengan
kakak seperguruannya tentang kewajiban yang baru
embannya, tetapi sebagian terbesar dari yang sudah
dilakukannya adalah kegagalan.
Betapa gelisahnya menunggu. Namun akhirnya, ia telah
mendapat kesempatan untuk duduk bersama kakak
perguruannya di pendapa padepokan terpencil itu.
"Jika tidak ada keperluan penting, kau sudah melupakan
aku" berkata Ki Tunda Wara.
"Tentu tidak kakang. Tetapi sebagaimana kau ketahui,
aku adalah seorang yang sibuk dengan kerja-kerja yang
tidak berarti, sehingga karena itu, aku telah kehabisan
waktu" "Dan sekarang, katakan, apakah keperluanmu" Apakah
kau kehabisan pengikut" Karena itu, maka kau hanya
membawa seorang saja dalam perjalanan yang jauh ini"
"Tidak kakang. Aku masih mempunyai cukup pengaruh
terhadap orang-orangku. Aku sengaja hanya membawa satu
orang bersamaku sekarang agar tidak menarik perhatian
orang" "Baiklah. Katakan apa keperluanmu datang kemari"
Ki Wangutpun menjadi ragu-ragu. la sengaja tidak
mengajak pengikutnya dalam pembicaraan itu, meskipun
pengikutnya itu sudah mengetahui segala-galanya.
"Kakang" berkata Ki Wangut "aku mengalami kesulitan
dengan tugas yang sekarang dibebankan kepadaku"
"Kau selalu mengalami kesulitan dengan pekerjaanmu.
He, apakah kau masih juga menjual tenaga dan nyawa
orang untuk mendapatkan makan dan minum?"
"Ah" desah Ki Wangut sambil beringsut "tentu bukan
sekedar untuk makan dan minum kakang. Aku cukup
mempunyai sawah dan ladang di sekitar padepokan"


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, aku tahu. Tetapi bukankah kau masih saja
mengandalkan kemampuanmu" Tidak jauh bedanya
dengan merampok dan menyamun"
Ki Wangut menjadi berdebar-debar. Tetapi iapun
kemudian mengatakan apa yang telah terjadi atasnya. Telah
sepuluh orang pengikutnya terbunuh. Katanya kemudian
"Aku tidak ingin orang-orangku benar-benar akan habis
kakang. Karena itu, aku datang untuk mohon
pertolonganmu" Ki Tunda Warapun tertawa. Katanya "Kau akan
mengajak aku memburu perempuan dan anaknya itu?"
Ki Wangut termangu-mangu sejenak. Ia menjadi raguragu
melihat sikap kakak seperguruannya itu.
Namun akhirnya dikatakannya juga akal yang sudah
lama tersimpan di dalam dadanya. Bahkan sejak ia
berangkat dari padepokannya, ia sudah berniat untuk
membujuk kakak seperguruannya dengan cara yang khusus,
yang sesuai dengan sifat-sifat orang itu seperti yang
dikenalnya dahulu. "Kakang" berkata Ki Wangut kemudian "mungkin
kakang tidak tertarik kepada hadiah yang akan kami terima,
meskipun jumlahnya adalah sebanyak bilangan yang belum
pernah aku kenal sebelumnya. Tetapi barangkali yang lebih
menarik bagi kakang adalah, bahwa perempuan itu cantik
sekali. Jika tidak, ia tidak akan diambil menjadi isteri
Pangeran Kuda Padmadata, dan menguasainya untuk
beberapa lama" "He?" Ki Tunda mengerutkan keningnya. Namun
kemudian iapun tertawa sambil berkata "Anak iblis. Kau
membujukku dengan cara licik itu he" Kau tahu bahwa aku
mempunyai kumpulan perempuan-perempuan cantik dari
seluruh sudut negeri ini. Sekarang kau menawarkan untuk
menambah dengan seorang lagi ya?"
Ki Wangut tertawa. Katanya "Mungkin kakang akan
tertarik Tetapi upah itu sendiri benar-benar telah
menumbuhkan seleraku untuk melakukan pekerjaan itu,
meskipun harus mengorbankan beberapa orang-orangku.
Tetapi aku kira, sepuluh orang itu sudah terlalu banyak,
sehingga jika kakang bersedia, maka tentu tidak akan ada
lagi di antara kita yang terbunuh, sementara kakang akan
mendapat tambahan seorang perempuan cantik, tetapi anak
laki-lakinya harus kita musnahkan"
"Ah, aku sudah menjadi semakin tua Wangut. Apakah
masih pantas aku lakukan, memburu perempuanperempuan
cantik seperti itu?"
"Tentu masih kakang. Pantas atau tidak pantas,
bukannya satu hal yang pantas dipertimbangkan. Satusatunya
yang harus kakang perhitungkan adalah, apakah
kakang masih memerlukan atau tidak"
Ki Tunda Wara tertawa. Katanya "Sayang, bahwa untuk
mendapatkan perempuan-perempuan cantik, masih banyak
jalan yang dapat ditempuh. Jauh lebih mudah dari jalan
yang kau tawarkan itu"
Ki Wangut mengerutkan keningnya. Ia mulai gelisah
Tetapi ia berkata "Ada dua keuntungan kakang. Perempuan
cantik dan sekaligus harta benda yang tidak terniiai
harganya. Pangeran Kuda Padmadata adalah seorang
Pangeran yang kaya raya. Yang memiliki keping-keping
emas tak terbilang jumlahnya. Yang memiliki permata
sebanyak bintang yang bertaburan di langit"
Ki Tunda Wara tertawa semakin keras. Katanya "Kau
masih suka berbohong sejak mudamu. Tetapi kebohongan
yang tidak tanggung-tanggung kadang-kadang
menyebabkan orang lain semakin tertarik juga. Dan
kebohonganmu kali ini memang sangat menarik"
"Aku tidak berbohong kakang. Aku mengatakan yang
sebenarnya. Perempuan itu sangat cantik, dan uang itu
sangat banyak. Mungkin aku tidak akan mampu
menyimpannya sendiri meskipun sudah aku bagi-bagikan
dengan orang-orangku. Apalagi untuk menyimpan
perempuan itu. Jika aku-sendiri yang mendapatkannya,
maka selain anak laki-laki itu, maka perempuan itupun
tentu akan aku bunuh"
"Kenapa tidak kau lakukan saja" Jika kau menemukan
perempuan itu dan anaknya, Kepung mereka dengan
duapuluh lima orang. Meskipun tanpa aku, maka dengan
duapuluh lima orang, kau tentu akan berhasil"
"Membunuh perempuan itu?" bertanya Ki Wangut.
"Ya" jawab Ki Tunda Wara.
Ki Wangut menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Jadi
kakang sudah menghentikan kegamaran kakang?"
"Lihatlah di bagian belakang dari padepokan ini. Aku
mempunyai tiga buah barak yang penuh dengan perempuan
cantik. Ada yang bagi kepentinganku sendiri, ada pula yang
aku berikan kepada pengikut-pengikutku yang paling setia"
"Dan mereka kerasan tinggal disini?"
Suara tertawa Ki Tunda Wara meledak. Katanya "Anak
setan yang dungu. Kenapa kau bertanya, kerasan atau
tidak" Jika seorang dari mereka berani melarikan diri. maka
ia tentu akan tertangkap, sebelum ia berhasil melampaui
dinding luar padepokan ini. Dan setiap orang di padepokan
ini mengetahui akibat dari perbuatan yang demikian"
"Apa akibatnya?"
Ki Tunda Wara tertawa berkepanjangan.
"Jadi kakang sudah tidak tertarik lagi kepada seorang
perempuan muda yang cantik, meskipun ia sudah
mempunyai seorang anak" Jika tidak, aku akan
mempergunakan saran kakang. Aku akan membawa
duapuluh lima pengikut dan mengepung perempuan itu.
aku akan memberikan perintah kepada orang-orangku
untuk membunuh perempuan cantik itu bersama anaknya"
Ki Wangut berhenti sejenak, lalu "tetapi bagaimana jika
sekali lagi aku mohon pertolongan kakang. Pengawal
perempuan itu benar-benar seorang yang luar biasa. Aku
akan melawan salah seorang dari mereka, dan kakang yang
seorang, sementara aku akan membawa dua orang
kepercayaanku, sekedar untuk menyakinkan. bahwa
perempuan dan anak laki-lakinya harus mati"
Ki Tunda Wara menarik nafas dalam-dalam. Akhirnya
ia berkata Ketahuilah anak iblis. Jika aku pergi bukannya
karena aku memerlukan uang atau perempuan. Tetapi
karena kau merengek minta aku membantumu"
Ki Wangut termangu-mangu sejenak, ia mulai berharapharap
cemas. Untuk beberapa saat Ki Wangut menunggu. Sekilas ia
memandang wajah saudara seperguruan itu. Hatinya
menjadi berdebar-debar ketika Ki Tunda Wara berkata
"Aku akan membantumu. Tetapi aku yakin, bahwa rencana
ini tidak boleh gagal. Karena itu, aku akan membawa yang
palingbaik. Selebihnya, kaupun harus membawa orangorangmu
yang terbaik agar kegagalan itu tidak terulang
lagi" "Terima kasih kakang" sahut Ki Wangut dengan serta
merta "aku akan membawa pengikutku. Tidak hanya satu
atau dua orang. Tetapi berapa saja kau butuhkan.
"Orang-orang yang terbaik. Yang penting bukan
jumlahnya, tetapi apakah mereka mampu bertempur atau
tidak" jawab Ki Tunda Wara.
"Semula aku ingin membawa dua orang saja. Berempat
dengan aku dan kakang. Tetapi jika kakang mempunyai
pertimbangan lain, maka akupun akan menuruti nasehat
itu" "Kau memang sombong. Kau anggap dirimu mumpuni.
Karena itu kau hanya akan pergi berempat saja" jawab Ki
Tunda Wara "tetapi menurut partimbanganku, itu tidak
cukup. Kedua orang pengawal itu mampu membunuh
empat orang-orangmu yang terbaik. Karena itu, maka kita
harus datang lebih empat orang. Bukan berarti bahwa
kemampuanmu dan kemampuanku tidak lebih baik dari
keempat orang-orangmu itu, tetapi kemungkinan lain dapat
saja terjadi. Setelah kegagalan itu, maka mereka
mengundang beberapa orang lain untuk bersama-sama
menjadi pelindung perempuan itu dengan janji bahwa
mereka akan mendapat upah yang banyak jika parempuan
itu berhasil bertemu dengan Pangeran Kuda Padmadata"
Ki Wangut mengangguk-angguk. Katanya "Aku
sependapat kakang. Jika kakang membawa dua orang
terbaik dari padepokan ini. aku akan mambawa lebih dari
dua orang" Ki Tunda Wara merenung sejenak. Lalu katanya "Kapan
menurut pertimbanganmu, sebaiknya kita berangkat"
"Secapatnya kakang. Mungkin orang-orang yang kita
buru itu sudah meninggalkan padukuhannya. Kita harus
mencarinya ke mana mereka pergi"
"Besok pagi-pagi kita akan berangkat. Aku akan
menyiapkan segalanya yang perlu. Hari ini aku akan
mengumpulkan orang-orang terpenting dari padepokan ini,
agar mereka tinggal di rumah dan menjaganya dengan baik
selama aku pergi mengikutimu tanpa batas waklu. Mungkin
sepekan, mungkin sebulan. Tetapi mungkin kita tdak akan
pernah ketemu dengan orang yang kau cari itu, sampai
saatnya mereka menghadap Pangeran Kuda Padmadata.
Justru Pangeran itulah yang memerintahkan pengawalpengawalnya
untuk memburu kita karena kita sudah
berusaha membunuh isteri dan anaknya. Sehingga dengan
demikian, maka yang terjadi kemudian adalah sebaliknya
dari yang terjadi sekarang. Kitalah yang akan menjadi
buruan" "Ah, mustahil" jawab Ki Wangut "apakah kita tidak
akan berhasil mencari perempuan dan anaknya itu?"
"Mungkin sakali terjadi demikian. Kita bukan Tuhan
yang dapat melihat seluruh isi dunia ini sehingga kita dapat
melakukan apa saja" Ki Wangut mengangguk-angguk. Tetapi katanya
kemudian "Kita akan berusaha kakang. Kita akan
mencarinya sampai ketemu"
"Tentu kau akan berkata begitu. Tetapi tidak dengan
aku. Jika aku sudah jemu berburu, maka aku akan kembali
ke padepokan ini kapan saja aku ingin"
Ki Wangut menarik nafas panjang. Namun ia harus
menjawab "Baiklah kakang. Tetapi biarlah kita
mencobanya" "Sudah aku katakan, besok kita akan berangkat. Hari ini
aku akun mengemasi padepokanku sebelum aku pergi"
Ki Wangut tidak dapat memaksa. Iapun harus
menunggu sehari dan semalam lagi. Namun demikian, ia
mulai berpengharapan bahwa ia akan dapat memenuhi
tugasnya, membunuh perempuan dan anaknya itu.
Sehari itu dihabiskannya waktunya dengan berbincangbincang.
Diajaknya seorang pengikutnya untuk
membicarakan banyak kemungkinan yang dapat terjadi.
"Mungkin kita benar-benar akan kehilangan mereka"
berkata pengiringnya. "Memang mungkin, tetapi aku tidak dapat memaksa
kakang Tunda Wara untuk berangkat hari ini. Jika aku
mencoba memaksanya, maka mungkin justru ia akan
mengurungkan kesediaannya"
Sebenarnyalah, betapapun gelisahnya Ki Wangut
memang harus menunggu. Sehari semalam itu rasa-rasanya
bagaikan bertahun-tahun. Namun akhirnya saat yang ditunggu itupun datang.
Menjelang dini hari, Ki Tunda Wara telah bersiap.
Demikian juga Ki Wangut dan pengiringnya "Kita akan
berangkat, mumpung masih belum pagi" berkata Ki Tunda
Wara "jalan-jalan masih belum dijamah oleh sinar
matahari. Meskipun akhirnya kita akan kepanasan di jalan,
namun sebagian dari perjalanan sudah kita tempuh"
Demikianlah maka sebelum langit menjadi cerah, Ki
Tunda Wara serta dua orang kepercayaannya berpacu
meninggalkan padepokannya bersama Ki Wangut dan
seorang pengiringnya. Seperti saat Ki Wangut berangkat ke
padepokan Wara Amba, maka ketika mereka menampuh
perjalanan yang sebaliknya, merekapun seakan-akan
hampir tidak pernah beristirahat, kecuali mengingat kudakuda
mereka yang lelah dan haus. Namun setelah
beristirahat sejenak, merekapun segera melanjutkan
perjalanan mereka. Tidak banyak yang mereka perbincangkan di sepanjang
perjalanan. Ki Tunda Wara seolah-olah sedang diliputi oleh
sebuah angan-angan tentang pekerjaan yang akan
dilakukannya atas permintaan saudara seperguruannya. Ia
sadar sepenuhnya bahwa Ki Wangut telah benar-benar
tersinggung. Bukan sekedar upah yang besar, tetapi
kematian demi kematian yang dialami oleh orang-orangnya
membual Ki Wangut semakin mendendam kepada
perempuan dan anak laki-lakinya itu.
"la tentu bersumpah kepada dirinya sendiri, bahwa ia
akan berusaha dengan cara apapun juga, agar perempuan
dan anaknya itu terbunuh" berkata Ki Tunda Wara di
dalam hatinya, lalu "Bahkan seandainya orang yang
mengupahnya itu mencabut niatnya, Wangut lentu akan
masih tetap, berusaha atas kehendaknya sendiri. Ada atau
tidak ada upah buat melakukannya"
Sebenarnyalah bahwa Ki Wangut memang sudah
dibakar oleh dendam, meskipun baginya upah masih
merupakan harapan tersendiri. Tetapi seperti yang diduga
oleh Ki Tunda Wara, seandainya upah itupun tidak lagi
dijanjikan, maka ia tentu akan tetap berusaha
membunuhnya. Bahkan kedua-duanya. Yang berjanji untuk
mengupahnya itupun akan menjadi sasaran kemarahannya,
karena ia sudah terlanjur mengorbankan orang-orangnya
yang terbaik. Kedatangan Ki Wangut kembali ke padepokannya
menjelang tengah malam telah disambut olah pengikutnya
dengan berbagai macam tanggapan. Ada yang
menyambutnya dengan gembira, karena kehadiran Ki
Tunda Wara akan mempercepat penyelesaian tugas yang
dibebankan kepada padepokan itu. Tetapi ada juga yang
menyesali ketergesa-gesaan Ki Wangut yang telah
memanggil saudara seperguruannya itu. Dengan demikian


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berarti bahwa upah yang harus mereka terima akan susut
hampir separo. Tetapi ketika hal itu dikatakannya kepada kawannya,
kawannya menjawab "Aku lebih senang menerima separo,
bahkan seperempat dari yang seharusnya aku terima dari
pada aku harus mati terbunuh seperti kesepuluh orang yang
terdahulu" Orang yang menganggap tindakan Ki Wangut itu
tergesa-gesa menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun
kemudian mengangguk-angguk sambil berdesis "Ya, kau
benar" Demikianlah, Ki Wangut tidak mau bekerja lamban.
Malam itu juga ia menentukan dua orang yang terpercaya.
Seorang yang mengikutinya ke padepokan Ki Tunda Wara,
seorang lagi yang baru datang dari pesisir Utara
mengunjungi pertemuan lingkungan perguruannya sebelum
ie berada di padepokan Ki Wangut.
"Sepuluh orang saudara-saudaramu di sini sudah
terbunuh" berkata Ki Wangut kepada orang itu.
"Siapakah yang bersalah" Kesepuluh orang itu terlalu
bodoh ataukah lawannya memiliki kelebihan, bahkan mung
kin membunuh mereka dengan licik?"
"Apapun caranya, dan betapapun dungunya yang
terbunuh, tetapi itulah yang terjadi"
"Tentu ada sebabnya yang khusus, bahwa keenam orang
pertama itu telah mati hanya melawan seorang saja"
Sementara keempat saudaraku yang terbaik itu mati oleh
dua orang yang bukan orang-orang yang mempunyai
nama" "Kau jangan mencari-cari" jawab Ki Wangut "kita akan
pergi dengan penuh kewaspadaan. Bahkan mungkin niat
kita akan kita tunda jika ternyata bahwa perempuan itu
berada di dalam lingkungan yang dapat membahayakan
kita" "Dan kita sudah menjadi pengecut" jawab orang yang
baru datang dari pesisir Utara itu.
"He" potong Ki Wangut "kau kira kau sudah dapat
melampaui kemampuanku" Aku masih merasa harus
berhati-hati. Dan kesombonganmu itulah termasuk salah
satu sebab yang dapat membunuhmu seperti keenam orang
yang mati melawan seorang saja yang mereka anggap tidak
berarti, tetapi yang ternyata telah menyapu mereka tanpa
ampun. Sedang keempat orang itu mati karena merekamenganggap
orang tua yang sudah tidak mempunyai tenaga
same sekali nampaknya, namun ternyata bahwa ia masih
sanggup membunuh dua diantara mereka"
Orang itu menggeretakkan giginya. Nampaknya ia tidak
percaya bahwa ada orang yang mampu berbuat demikian
dengan wajar. Tentu ada sesuatu yang menyebabkan hal itu
terjadi. Tetapi ia tidak membantah lagi. Sementara Ki
Tunda Waralah yang berkata selanjutnya "Aku bukan anak
kecil lagi dalam dunia pengembaraan, kakerasan dan
bahkan dalam dunia yang dipenuhi oleh kabul kematian.
Tetapi aku tidak ingin berbuat tergesa-gesa. Aku
Sependapat dengan Wangut Hanya anak-anak yang baru
turun dari perguruan dan merasa tulangnya sekeras baja
sajalah yang akan dengan sombong menganggap dirinya
tidak terkalahkan. Justru kesombongan semacam itulah
yang telah membunuh sebagian besar dari mereka"
Yang mendengarkan keterangan itupun terdiam. Mereka
mengerti, siapakah Ki Tunda Wara, yang mempunyai
kelebihan dari saudara seperguruannya. Ki Wangut.
Karena itu, maka orang-orang yang mendengarkan
pembicaraan itupun kemudian menyadari pula, bahwa
kadang-kadang mereka menganggap diri mereka tidak
terkalahkan. Kelengahan itu, sebagian dari sebab kematian
mereka. Menghadapi pengawal-pengawal perempuan dan
anak laki-lakinya itu, maka sudah sewajarnya, bahwa Ki
Tunda Wara dan Ki Wangut harus berhati-hati Karana
mareka cukup mempunyai pengalaman, sehingga mereka
tidak akan terjebak dalam sikap yang tidak teramamti.
Demikianlah, maka malam itu, Ki Wangut dan Ki
Tunda Wara telah menyusun rencana yang akan mereka
lakukan kemudian. Ternyata Ki Tunda Wara cukup berhati-hati dan tidak
tergesa-gesa seperti yang dikatakannya. Karena ia sudah
mendengar seluruhnya apa yang telah terjadi, maka iapun
kemudian berkata kepada Ki Wangut "Jika demikian, apa
perlunya kita dengan serta merta pergi mencari mereka"
Biarlah dua orang dari padepokanku kau perintahkan untuk
pergi ke padukuhan itu dengan laku sandi. Biarlah mereka
mencari keterangan tentang perempuan dan anak-anaknya
itu" Ki Wangut mengangguk-angguk. Iapun ternyata
sependapat. Karena itu, maka iapun telah menunjuk dua
dari orang-orangnya untuk pergi mencari keterangan
tentang perempuan dan anak laki-lakinya yang rumahnya
telah terbakar habis. Di keesokan harinya, maka kedua orang itupun lelat
berangkat. Meskipun dengan hati yang berdebar-debar Jika
mereka terjebak ke dalam pengamalan pengawalpengawalnya,
maka tidak ada harapan lagi baginya unluk
keluar. Tetapi perintah Ki Wangut sudah tegas "Kau harus
kembali selambat-lambatnya lewat dua malam. Jika kau
tidak kembali, kalian telah aku anggap mati di perjalanan"
Kedua orang itupun dengan hati-hati telah melakukan
tugasnya. Mereka telah pergi ke padukuhan sesuai dengan
berita yang sampai ke telinga mereka.
Ternyata yang mereka dengar itu benar. Keduanya
masih melihat bekas rumah yang terbakar. Dan
keduanyapun mendengar langsung dari beberapa orang
yang bertemu di dalam warung, apa yang telah terjadi.
"Kasihan" berkata salah seorang dari kedua orang yang
dikirim oleh Ki Wangut itu "lalu, apakah mereka telah
berusaha membangun rumah mereka kembali?"
Tetapi orang-orang yang berada di warung itu
menggeleng. Salah seorang dari mereka berkata "Tidak ada
bekal apapun dapat mereka pergunakan untuk membangun
kembali rumah mereka"
"Lalu, dimanakah mereka sekarang tinggal?"
"Untuk beberapa saat lamanya, mereka barada di banjar"
jawab yang lain. "Sekarang, apakah mereka sekarang masin tinggal di
banjar?" "Tidak. Mereka telah meninggalkan padukuhan ini"
"He, mereka telah pergi?" kedua orang itu terkejut,
tepapi mereka berusaha untuk menyembunyikan perasaan
mereka. Sementara salah seorang dari keduanya bertanya
"Kemana mereka pergi?"
"Kami tidak tahu" jawab orang di warung itu "mungkin
ke tempat saudaranya yang jauh sekali"
"Kenapa jauh sekali?"
"Mereka berusaha untuk mendapatkan sebuah pedati,
membawa perempuan dan anak laki-lakinya dengan pedati"
"Darimana mereka mendapat pedati?"
"Dari orang-orang padukuhan itu. Ki Buyut memberi
pedati bersama orang-orang se padukuhan"
Kedua orang itu menjadi gelisah. Namun mereka tidak
mengatakannya kepada siapapun juga. Bahkan dari orangorang
mereka mendengar bahwa Ki Buyutpun tidak tahu,
kemana perempuan dan anak-anak laki-laki itu pergi
bersama orang pelindungnya.
"Tentu sulit untuk melacaknya" berkata salah seorang
dari mereka. "Kita tidak bertugas untuk melacak. Kita hanya berusaha
untuk mendapat keterangan tentang mereka di padukuhan
ini" sahut yang lain. Lalu "Kita harus kembali, agar mereka
tidak menganggap bahwa kita telah mati terbunuh pula
seperti kawan-kawan kita itu"
Yang lain mengangguk-angguk. Namun katanya "Tetapi
kita masih mempunyai waktu. Kita akan bertanya arah
perjalanan mereka. Dan kita akan mencoba menelusuri
perjalanan mereka pada satu dua padukuhan saja"
Kawannya tidak berkeberatan. Karena itu, maka
keduanyapun telah bartanya arah perjalanan perempuan
dan anak laki-lakinya dengan sangat berhati-hati, sehingga
tidak banyak menarik perhatian, seolah-olah yang mereka
lakukan itu sama sekali tidak mengandung maksud tertentu.
Ketika mereka mengetahui arah perjalanan perempuan
itu, maka keduanyapun telah pergi ke padukuhan
berikutnya. Tetapi karena mereka yakin, tidak ada jalan
simpang yang dapat ditempuh oleh pedati itu, maka mereka
tidak bertanya kepada siapapun juga tentang usaha mereka.
Baru di padukuhan berikutnya, mereka harus berhenti di
simpang jalan. Kedua arah jalan yang bercabang itu dapat
dilalui sebuah pedati, sehingga karena itu, maka merekapun
harus bertanya kepada orang-orang yang dijumpainya,
apakah mereka melihat sebuah pedati yang membawa
seorang perempuan dan anak-anak. Yang beberapa hari
yang lalu meninggalkan padukuhan sebelah, padukuhan
yang nampak dari itu. "O" orang itu mengangguk-angguk "maksud Ki Sanak,
orang-orang yang rumahnya terbakar itu?"
"Ya. Jadi kalian mengetahuinya" Mereka adalah
saudara-saudaraku" sahut salah seorang dari kedua orang
yang mencarinya itu. "Tentu saja kami mengetahuinya" jawab orang yang
ditanya itu "mereka memang meninggalkan padukuhan
mereka. Tetapi tidak seorangpun yang mengetahui kemana
mereka pergi, mereka pergi ke tempat yang mereka tidak
ketahui. asal saja mereka meningglkan padukuhan, yang
membuat kesan yang pahit dalam hidupnya"
"Kasihan mereka. Apakah kau tidak tahu ke arah mana
mereka pergi?" Orang itu sama sekali tidak berprasangka. Maka iapun
kemudian menjawab "Aku tidak melihat pedati mereka
lewat jalan ini. Tetapi beberapa orang mengatakan. bahwa
ia mengambil jalen ke arah Barat"
"Ke arah Barat?" ulang salah seorang dari kedua orang
itu "apakah kau sama sekali tidak dapat menduga, tlatah
manakah yang akan mereka datangi"
"Tentu tidak. Jalan itu akan dapat mencapai banyak
padukuhan, banyak kota dan padepokan"
"Ya, ya. Kau benar. Baiklah, terima kasih. Biarlah aku
mengajak saudara-saudaraku untuk mencarinya. Kami
sangat mengasihi sebagai seorang saudara. Mereka memang
jatuh miskin. Tetapi mereka mempunyai harga diri yang
berlebih-lebihan, sahingga mereka tidak mau minta bantuan
kepada saudara-saudaranya yang tentu dengan senang hati
akan membantunya" Demikianlah, maka kedua orang itupun segera minta
diri. Mereka tidak melanjutkan perjalanan mereka, karena
mareka memang tidak bertugas untuk melacak perempuan
dan anak laki-lakinya itu.
Yang harus mereka laporkan adalah apa yang mereka
dengar dari orang-orang di sepanjang jalan. Apa yang
mereka katakan tentang perempuan dan anak laki-lakinya.
Karena itu, maka kedua orang itupun segera kambali ke
padepokan untuk melaporkan, apa yang telah dilakukan
oleh perempuan dan anak laki-lakinya itu menurut
pendengaran mereka. "Jadi mereka telah pergi" geram Ki Wangut.
"Ya. Mereka telah meninggalkan padepokan itu" jawab
para pengikutnya yang telah menjelidiki keadaan mareka.
Ki Wangut mengangguk-angguk. Kemudian katanya
"Sudah saatnya kita menyusul kakang"
Ki Tunda Wara merenung sejenak. Ia mencari segala
macam kemungkinan yang paling baik dilakukan. Namun
katanya kemudian "Kau benar Wangut. Tidak ada gunanya
menunggu lebih lama lagi. Dengan demikian maka jarak
kita akan menjadi semakin jauh"
"Jadi, menurut pendapat kakang, kita harus segera
berangkat" "Ya. Besok pagi-pagi kita akan berangkat. Aku sudah
membawa dua orang kepercayaanku. Apakah kau juga
akan membawanya?" "Dua orang terbaik dari padepokan ini" jawab Ki
Wangut Demikianlah, maka merekapun segera mengemasi diri.
Mereka sudah memutuskan untuk berangkat mencari
perempuan dan anak laki-lakinya itu.
Menjelang pagi, keenam orang itupun telah bersiap.
Sejenak Ki Wangut masih memberikan beberapa pesan.
Baru sejenak kemudian, iapun bersama dengan lima orang
telah berangkat meninggalkan padepokan mereka.
Tetapi mereka tidak bergabung menjadi satu kelompok
yang akan mengejutkan orang-orang yang berjumpa dengan
mereka di tengah jalan. Tetapi mereka membagi kelompok
itu menjadi dua kelompok kecil. Masing-masing dengan
tiga orang. Mereka tidak perlu berpacu dengan kecepatan penuh.
Meskipun mereka sudah tertinggal beberapa hari, namun
mereka yakin, akan dapat menemukan tempat
persembunyian perempuan dan anak laki-lakinya itu.
Seperti yang dikatakan oleh dua orang petugas yang
melihat keadaan padukuhan yang ditinggalkan oleh
perempuan dan anak laki-lakinya itu, maka keterangan
yang diterima oleh Ki Wangut di sepanjang jalan tidak ada
bedanya. Merekapun segera menemukan jalan simpang
yang dikatakan oleh kedua orang itu. Dan merakapun telah
memilih jalan ke jurusan Barat.
Meskipun mereka tidak lagi dapat melihat bekas pedati
itu, karena telah terhapus oleh jejak-jejak kaki dan pedatipedati
yang lain, namun mereka menganggap, bahwa
mereka masih memiliki beberapa cara untuk
menemukannya. "Tentu mereka memerlukan singgah di Warung atau
kedai yang manapun juga di sepanjang jalan yang mereka
lalui" berkata Ki Wangut dan pengikutnya yang berkuda di


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

depan "mungkin mereka membeli makanan. Telapi
mungkin mereka membeli bahan mentah"
Ternyata Ki Wangut cukup telaten. Meskipun perjalanan
mereka tidak laju seperti orang-orang yang pergi
bertamasya, namun mereka masih tetap yakin akan dapat
menemukan buruannya. Di malam hari mereka bermalam di tempat-tempat yang
mereka anggap terasing. Namun pernah juga mareka
bermalam di sebuah banjar padukuhan.
Dengan para peronda Ki Wangut sempat berbincang
ketika ia sengaja ikut duduk di dalam gardu, sementara
kawan-kawannya telah tertidur lelap di dalam banjar.
Dengan sangaja Ki Wangut menggiring pembicaraan
mereka kepada kemungkinan, apakah ada seorang diantara
mereka yang melihat sebuah pedati dalam perjalanan jauh,
membawa seorang perempuan, seorang anak laki-laki dan
dua orang yang lain. Tiba-tiba saja salah seorang berkata "Aku melihatnya.
Mereka lewat jalan di sebelah padukuhan"
Dada Ki Wangut menjadi berdebar-debar. Ia sudah
berkuda cukup lama. Ia sudah bermalam beberapa malam.
Karana kecakapan mereka, maka Ki Wangut dan Ki Tunda
Wara berhasil mengikuti jejak pedati yang dicarinya itu.
Dan kini, sekali lagi ia akan mendapat petunjuk tentang
pedati itu. Seperti kedua orang yang memberi keterangan tentang
pedati itu sebelumnya, maka iapun pura-pura mencari
saudaranya yang karena sesuatu hal telah pergi
meninggalkan keluarga yang lain. Ia mendapat tugas dari
keluarga besar dan hampir seisi padukuhannya untuk
mancari sampai mereka diketemukan.
Tidak seorangpun yang mencurigainya. Para peronda itu
percaya bahwa Ki Wangut dan kawan-kawannya, benarbenar
sedang mencari sekelompok keluarganya yang sedang
berselisih dan meninggalkan lingkungannya "
Kenapa mereka pergi meninggalkan padukuhan?"
bertanya salah seorang dari para peronda itu.
"Sebenarnya persoalannya tidak terlalu besar. Telapi
adalah menjadi tabiat perempuan itu. Ia keras hati" jawab
Ki Wangut. Para peronda itu mengangguk-angguk. Namun salah
seorang mendesaknya "Persoalan yang tidak terlalu besar
itu apakah cukup kuat untuk mandorongnya pergi?"
"Suaminya kawin lagi. Iapun kemudian pergi bersama
anak dan kakaknya, membawa anak laki-lakinya yang
masih kecil meninggalkan kami. Sanak kadangnya. Kami
yang ditinggalkan, berusaha mencarinya dan
meyakinkannya, bahwa bagaimanapun juga sebaiknya ia
kembali pulang. Segalanya dapat kami bicarakan dan
mancari jalan yang lebih baik dari memutuskan
persaudaraan" Para peronda itu mengangguk-angguk, salah seorang dari
mereka berkata "ternyata itu bukan persoalan yang tidak
terlalu besar bagi seorang perempuan. Jika suaminya kawin
lagi, maka seolah-olah dunia ini tidak akan berarti lagi
baginya" "Ada yang kami takutkan" berkata Ki Wangut "jika ia
tidak dapat menguasai perasaannya lagi, maka mungkin
sekali perempuan itu akan menempuh jalan sesat. Karena
itu, kami tergesa-gesa memburunya, kemanapun mereka
pergi" "Kenapa baru sekarang kalian menyusulnya" Bukankah
kecepatan kuda kalian berlipat ganda dari kecepatan pedati
itu?" bertanya salah seorang peronda.
"Kami melakukannya segera setelah hal itu kami
ketahui. Tetapi kami tidak dapat menemukan jalan yang
mereka tempuh dengan segera, sehingga untuk beberapa
lama kami harus mencari. Kadang kadang kami menempuh
jalan yang salah, sehingga kami harus berpacu kembali.
Akhirnya kami sampai ke tempat ini"
Para peronda itu mendengarkan ceritera Ki Wangut itu
dengan bersungguh-sungguh. Sambil mengangguk-angguk
salah seorang dari mereka berkata "Mudah-mudahan kalian
segera akan dapat menyusul mereka. Agaknya dalam waktu
dua tiga hari lagi, kalian akan dapat menemukannya. asal
kalian tidak menempuh jalan yang salah.
"Dua tiga hari?" bertanya Ki Wangut.
"Ya. Sudah satu hari satu malam yang lewat, pedati itu
melalui jalan di sebelah padukuhan" jawab peronda itu
"karena itu, maka secepatnya dalam dua hari lagi, kalian
baru akan dapat menyusulnya. Mungkin malam ini pedati
itu berjalan terus meskipun perlahan-lahan" jawab peronda
itu. Namun kemudian iapun bertanya "Tetapi apakah
kalian tidak mengetahui, bahwa mungkin ada sanak kadang
yang akan dikunjunginya"
Ki Wangut menggelengkan kepalanya. Katanya "Se
pengetahuanku, tidak ada seorangpun saudaranya di tempat
yang begini jauh. Tetapi mungkin diluar pengetahuan kami,
ada orang yang akan mereka datangi" Ki Wangut berhenti
sejenak, lalu "Yang kami sesalkan. Ialah sikap ayah dan
kakaknya. Mereka sama sekali tidak berusaha
mencegahnya. Tetapi mereka justru membantu usaha
pelarian ini" "Itu dapat dimengerti" jawab salah seorang peronda itu,
"ayahnyapun tentu merasa tersinggung, bahwa anaknya
telah dihinakan dan disakiti perasaannya"
Ki Wangut mengangguk-angguk. Tetapi ia merasa
gembira bahwa jalan yang ditempuh agaknya menjadi
semakin dekat. Jika benar pedati itu lewat, sehari semalam sebelum ia
sampai ke padukuhan itu, maka tidak sampai dua hari lagi,
ia akan dapat menyusulnya.
Pagi-pagi benar, Ki Wangut telah bersiap-siap. Ketika
para peronda meninggalkan gardu itu, Ki Wangut masih
sempat mengucapkan terima kasih, karena ia tidak
meninggalkan gardu sampai saat para peronda pulang, ia
dapat tidur mendengkur di sudul gardu itu, sementara anakanak
muda memandanginya sambil tersenyum.
Salah seorang dari mereka berkata "la tentu telah sekali
setelah menempuh perjalanan yang_sangat panjang.
Kawan-kawannya sama sekali tidak mampu lagi bertahan
sampai tengah malam. Mereka tertidur nyenyak di banjar"
sahut yang lain. "Biarlah. Ia masih akan berjalan jauh"
Namun pagi-pagi benar, ketika para peronda
meninggalkan gardu, Ki Wangutpun telah terbangun dan
berkemas untuk melanjutkan perjalanannya yang panjang.
Kawan-kawannya segara dibangunkannya pula.
Merekapun segera bersiap dan meninggalkan banjar itu,
setelah minta diri kepada seorang tua yang ditugaskan
memelihara banjar itu. Sejenak kamudian Ki Wangut. Ki Tunda Wara dan para
pengikutnyapun segera berpacu menurut arah yang
diberitahukan oleh para peronda. Jalan yang mereka lalui
ternyata tidak terlalu banyak simpangan yang dapat
membingungkan. Jalur jalan pedati itu agaknya menyusur
jalan lurus yang banyak dikenal oleh banyak orang,
termasuk Ki Wangut dan Ki Tunda Wara. Jalan itu menuju
ke Singasari. "Gila" geram Ki Wangut "perempuan itu akan
menyembunyikan dirinya ke dalam kota"
"Tidak ada bedanya" berkata Ki Tunda Wara.
"Bagaimana jika mareka menyampaikan persoalannya
kepada prajurit di Singasari" bertanya Ki Wangut.
"Apakah para prajurit itu begitu mudahnya percaya?"
sahut Ki Tunda Wara "meskipun demikian, kita akan
mencapai pedati itu sebelum mereka memasuki kota
Singasari" Ki Wangut mengangguk-angguk. Tetapi ia mempunyai
gambaran tentang kemungkinan yang buram. Jika
perempuan itu benar-benar menyampaikan persoalannya
kepada prajurit Singasari, sehingga terdengar oleh para
perwira dan kesatria, mungkin persoalannya akan dapat
mengalir ke Kediri. Mungkin Pangeran Kuda Padmadata
akan mendengar berita tentang keadaan isteri dan anak lakilakinya,
sehingga dengan demikian, ia dapat mengambil
langkah-langkah tertentu untuk menyelamatkan mereka.
"Banyak hal yang dapat ditempuh" berkata-Ki Wangut
di dalam hatinya, lalu "Pangeran itu seolah-olah sudah
melupakan tentang isteri dan anaknya itu"
Ternyata bahwa Ki Tunda Warapun berpendapat
demikian. Pangeran Kuda Padmadata tidak akan
mempedulikan lagi keadaan isterinya. Seandainya isteri dan
anaknya yang berasal dari padukuhan itu akan mati, ia
tidak akan merasa kehilangan.
"Bahkan mungkin rencana ini sudah diketahui pula oleh
Pangeran Kuda Padmadata itu sandiri dengan diam-diam"
berkata Ki Tunda Wara di dalam hatinya.
Dalam pada itu, maka perjalanan merekapun tidak
menemui kesulitan apapun juga. Mereka masih saja
membagi diri dalam dua kelompok. Ki Wangut dengan dua
orang pengiringnya dan Ki Tunda Wara dengan dua orang
pengiringnya pula. Namun ternyata ada juga sekelompok perampok yang
malang, yang tidak mengetahui siapakah orang-orang
berkuda di tengah-tengah bulak di gelapnya malam.
Ketika Ki Wangut dan pengiringnya yang berkuda di
depan, dihentikan oleh empat orang perampok, maka iapun
menjadi sangat marah. "Kami tergesa-gesa" bentak Ki Wangut "jika tidak, kami
tidak akan melanjutkan perjalanan di malam hari"
Tetapi perampok-perampok itupun membentak dengan
kasar "Turun, dan serahkan semua barang dan perhiasan
yang kau bawa. Senjata, barang-barang dagangan dan
barangkali timang dan wrangka keris"
Ki Wangut meloncat turun dari kudanya. Diserahkannya
kendali kudanya kepada pengiringnya sambil berkata
"Duduk saja di situ. Aku akan mengusir orang-orang itu"
Sikap itu sudah mendebarkan keempat perampok yang
malang itu. Namun mereka memaksa diri untuk menjajagi
kemampuan orang yang dianggap dapat menjadi
korbannya. Namun ternyata bahwa dalam loncatanloncatan
pertama, Ki Wangut sudah membunuh dua orang
di antara mereka. Sedangkan yang dua orang lagi lari
tunggang langgang. "Gila" geram Ki Wangut. Sementara itu Ki Tunda kuda
di belakang telah menyusulnya.
"Kenapa?" bertanya Ki Tunda Wara.
Sambil menunjuk dua sosok mayat yang tarkapar di
jalan, ia menggeram "Tikus-tikus itu mencoba mangganggu
perjalanan kita. Dua orang terbunuh, yang dua melarikan
diri" Ki Tunda Wara mengangguk-angguk. Katanya "Jangan
hiraukan mereka, tidak mengenal kita. Tetapi jika di daerah
ini banyak penyamun dan perampok, apakah pedati yang
berjalan terdahulu itu tidak dirampok orang-orang itu?"
Ki Wangut tidak menjawab. Tetapi iapun segera
meloncat ke punggung kudanya dan sejenak kemudian,
iring-iringan itupun meneruskan perjalanan.
Dalam pada itu, dua orang penyamun yang lari tunggang
langgang, ketika sudah yakin tidak dikejar lagj oleh orang
yang dengan gerak yang tiba-tiba berhasil membunuh dua
orang kawannya, sempat juga berhenti dengan nafas
terengah-engah dan berbicara di antara mereka "Setan alas.
Hari-hari yang sangat sial"
"Dua orang kawan kita telah terbunuh" gumam yang
lain. "Kemarin, baru saja kita hampir mati oleh dua orang
penunggang pedati itu. Aku kira mereka adalah orangorang
yang akan menjual hasil tanahnya, atau keperluan
lain dengan membawa harta benda. Ternyata yang turun
dari pedati itu adalah dua orang yang menghajar kita
berempat habis-habisan. Untunglah kita tidak dibunuhnya
saat itu. Tetapi kematian bagi dua orang kawan kita itupun
datang juga malam ini"
"Agaknya dua orang penunggang pedati kemarin,
hatinya lebih baik dari penunggang kuda itu. Kemarin kita
sama sekali tidak berdaya. Untuk laripun kita tidak dapat
lagi. Tetapi mereka tidak membunuh kita. Mereka justru
berpesan agar kita menghentikan tingkah laku yang dibenci
orang ini Tetapi kita tidak menghiraukan. Dan malam ini
dua orang diantara kita sudah-mati. Mungkin besok kita
berdua" "Nasihat itu baik juga kita kalau kita perhatikan" gumam
yang lain. Kawannya tidak menjawab. Tetapi agaknya iapun sadar,
pada suatu saat, di jalan yang sepi itu lewat juga orang yang
tidak dapat dikalahkannya.
"Kita mengambil mayat kawan-kawan kita" desis yang
seorang. "Apakah orang-orang berkuda itu sudah pergi?" yang
lain masih gemetar. "Mungkin. Marilah kita lihat dengan hati-hati"
Kedua orang itupun kemudian dengan sangat hati-hati
merayap kembali untuk melihat, apakah orang-orang
berkuda itu sudah meninggalkan kedua sosok mayat
kawannya yang sudah terbunuh.
Ketika ternyata bahwa orang-orang berkuda itu sudah
pergi, maka keduanya telah meloncat ke jalan untuk
mengambil kedua orang kawannya yang terbunuh untuk
diserahkan kepada sanak kadangnya.
"Kematian yang demikian pada suatu saat akan
menerkam kita juga, jika kita masih saja melakukan
pekerjaan seperti ini" gumam salah seorang dari keduanya.
Kawannya sama sekali tidak menjawab.
Sementara itu, Ki Wangut dan pengiringnya telah
meluncur semakin jauh menuju ke arah Singasari.
Dalam pada itu, perjalanan pedati yang membawa Ki
Wastu, anak dan cucunya berserta Mahisa Bungalan
menjadi semakin mendekati Singasari. Namun ternyata


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa pedati itu tidak langsung memasuki kota, karena
Mahisa Bungalan ingin membawa mereka ke rumahnya.
"Tetapi meskipun kita sampai ke rumah ayahku,
persoalannya masih belum selesai" berkata Mahisa
Bungalan "karena kita masih akan berbicara dangan
Pangeran Padmadata" Ki Wastu menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Berkalikali
aku memikirkannya. Tetapi aku masih tetap ragu-ragu.
Apakah ada perlunya kita menyampaikan persoalan ini
kepada Pangeran Kuda Padmadata. Kami sama sekali tidak
pernah mengharapkan apapun dari warisan Pangeran itu.
Yang kami harapkan hanyalah hidup yang tenang tanpa
diganggu oleh siapapun"
"Kakek" berkata Mahisa Bungalan "persoalan tidak akan
berakhir, jika kita masih belum bertemu dengan Pangeran
Kuda Padmadata. Orang-orang yang memburu anak dan
cucumu tentu masih akan mencari di manapun kalian
bersembunyi. Tetapi jika Pangeran Kuda Padmadata
mengetahui persoalan ini dan mengambil sikap tertentu,
maka tidak akan ada persoalan lagi. Apapun yang akan
diputuskan oleh Pangeran Kuda Padmadata tentu akan
mengikat segaia pihak"
"Tentu masih ada persoalan" jawab Ki Wastu tetapi jika
kemudian Pangeran itu menyatakan tidak ada sangkut
pautnya lagi dengan anak dan cucuku, kukira barulah
persoalannya selesai. Mereka tidak akan mengejar anak dan
cucuku lagi seperti sedang berburu binatang di hutan yang
lebat" "Tetapi kakek" berkata Mahisa Bungalan "apapun yang
akan kita hadapi kemudian, biarlah segera kita ketahui
kemungkinannya. Baik atau buruk"
Ki Wastu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak
menjawab lagi. Demikianlah pedati itu masih maju perlahan-lahan.
Kadang-kadang mereka memerlukan beristirahat untuk
waktu, yang cukup lama. Mereka harus memberikan
kesempatan sepasang lembu itu untuk beristirahat dan
makan rumput yang dapat mereka sabit di pinggir-pinggir
jalan. Bahkan di hari-hari terakhir, di malam hari, pedati itu
kadang-kadang berhenti lebih dari separo malam. Anak
perempuan Ki Wastu dan cucunya ternyata menjadi sangat
letih, meskipun mereka berdua sebagian besar waktunya
dipergunakannya untuk duduk. Tetapi mereka selalu
digoncang oleh roda pedati yang kadang-kadang menggilas
batu-batu yang berserakan.
Kadang-kadang justru anak perempuan Ki Wastu itu
turun dari pedati dan berjalan mengiringinya untuk
mengurangi penat-penat kakinya. Baru beberapa tonggak
kemudian, ia naik lagi ke atas pedatinya.
Di saat-saat tertentu pedati itupun harus berhenti pula.
Memberi kesempatan anak perempuan Ki Wastu untuk
merebus air dan menanak nasi. Sementara Mahisa
Bungalan dan Ki Wastu menyediakan makan sepasang
lembu penarik pedati itu.
Karena itulah, akan jarak mereka dengan orang-orang
yang memburunya menjadi cepat sekali berkurang. Bahkan
akhirnya, di saat mereka mendekati Singasari, orang-orang
yang memburunya sudah berada dekat di belakang mereka.
Ki Wangut dan para pengiringnya yakin, bahwa mereka
akan dapat menyusul pedati itu sebelum pedati itu
memasuki kota Singasari. Mereka yakin, bahwa mereka
akan berkesempatan untuk menyelesaikan tugas mereka.
Siang atau malam, jika mereka bertemu dengan orangorang
yang ada di dalam pedati itu maka mereka harus
dibinasakan. Apalagi menurut keterangan yang mereka dapatkan di
sepanjang jalan, bahwa isi pedati itu hanyalah empat orang.
"Dua laki-laki, seorang perempuan dan seorang anakanak"
berkata salah seorang penunggu kedai" pedati itu
berhenti sebentar. Perempuan itu memerlukan beberapa
macam rempah-rempah yang akan dibawanya"
Keterangan ini memberikan gambaran yang cerah. Dua
orang itu memang berhasil membunuh empat orang
pengikut Ki Wangut. Tetapi yang akan menyusulnya
adalah Ki Wangut sendiri bersama dua orang
kepercayaannya, diikuti oleh orang yang jarang ada
bandingnya, Ki Tunda Wara dengan dua orang
pengikutnya pula. "Keduanya tentu akan segera dapat kami selesaikan"
berkata Ki Wangut di dalam hatinya.
Dalam pada itu, pedati yang membawa Mahisa
Bungalan itupun ternyata langsung menuju ke
padukuhannya. Pedati itu mengambil jalan simpang,
melepaskan diri dari jalur jalan ke Singasari, memasuki
sebuah padukuhan di sebelah simpang tiga. Di sebelah
padukuhan itu terdapat sebuah bulak pendek. Seberang
bulak pendek itulah letak padukuhan tempat tinggal
Mahendra yang dikenal sebagai seorang saudagar permata
dan wesi aji. Namun dalam apda itu, Ki Wangut yang hampir berhasil
memburu pedati itu, sempat terlihat bahwa pedati telah
berbelok, tidak langsung menuju Singasari, tetapi
mengambil jalan simpang, memasuki sebuah padukuhan
kecil. "Sebentar lagi kita akan mendapatkan mereka" ia
menggeram. Para pengikutnyapun sudah melihat pedati yang berbelok
itu. Karena itu, maka Salah seorang dari mereka berkata
"Marilah. Kita akan segera mendapatkannya"
"Kita tidak terlalu tergesa-gesa" berkata Ki Wangut.
"justru karena pedati itu tidak langsung memasuki kota
Singasari" "Jadi?" bertanya pengikutnya.
"Kita akan mengikutinya sampai pedati itu berhenti di
halaman sebuah rumah. Kecuali jika pada suatu saat, pedati
itu mengambil jalan lain yang menuju ke gerbang kota
Singasari" jawab Ki Wangut.
Pari pengikutnya mengetahui, bahwa Ki Wangut akan
mengakhiri pekerjaan itu dengan sebaik-baiknya.
Dengan demikian, maka Ki Wangutpun tidak dengan
tergesa-gesa menyusul pedati itu dan menghentikannya di
tengah bulak. Tetapi ia ingin melihat, dimana pedati itu
akan berhenti dan kepada siapa isteri Pangeran Kuda
Padmadata itu akan menyembunyikan diri.
"Menyenangkan sekali" berkata Ki Wangut "kita akan
mengetuk pintunya dan dan memasuki rumah itu sebagai
tamu yang sopan. Kemudian kita minta dipertemukan
kepada perempuan itu untuk memenggal kepalanya
bersama anak laki-lakinya"
"Tidak semudah Ki Wangut" desis pengikutnya.
Ki Wangut tertawa, katanya "dan aku sudah
memperhitungkan dengan cermat, seorang akan melawan
aku dan kau berdua, sedang yang lain akan melawan
kakang Tunda Wara dan dua orang pengikutnya"
Salah seorang kawannya berkata "Sejak semula aku
sudah ingin membantainya"
Ki Wangut tertawa. Katanya "Jika kau pergi tanpa aku
dan kakang Tunda Wara, maka kaulah yang akan
dibantainya" Orang itu menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak
menyahut. Dalam pada itu, pedati itupun berjalan terus. Jaraknya
dangan beberapa orang yang memburunya memang
menjadi semakin pendek. Namun ternyata bahwa Ki
Wangut tidak ingin menyusulnya.
Ketika pedati itu berjalan di bulak yang pendek, maka Ki
Wangut yang menjadi semakin dekatpun yakin, bahwa
pedati itulah yang disusulnya. Ia melihat seorang
perempuan duduk di bagian belakang pedati itu. Seorang
laki-laki yang berjalan di sisi lembu yang menarik pedati itu,
sementara seorang anak laki-laki berlari-lari
mendahuluinya. Namun kemudian berhenti dan menunggu.
Ketika pedati itu lawat di depannya, maka anak laki-laki
itupun meloncat dan memanjat lewat bagian belakang"
"Anak laki-laki yang lincah" berkata Ki Wangut
"sayang. Sebentar lagi, ia harus mati bersama ibunya. Dan
bahkan kedua laki-laki itupun harus mati. Jika ada orang
lain yang ikut campur, maka merekapun harus mati pula.
Demikianlah, Ki Wangut telah memperlambat jalan
kudanya. Ia mengambil jarak tertentu di belakang pedati
itu. Kemudian mengikutinya memasuki padukuhan di
seberang bulak pendek itu.
Dengan berdebar-debar Ki Wangut memperhatikan
pedati itu yang kemudian berbelok ke sebuah halaman
rumah yang berhalaman cukup luas. Rumah yang cukup
baik bagi padukuhan yang tidak terlalu besar dan ramai itu.
Ki Wangut berhenti beberapa puluh langkah dari regol
rumah itu. Bahkan kemudian ia menunggu Ki Tunda Wara
yang sebentar kemudian telah menyusulnya, tetapi dengan
meninggalkan kedua pengiringnya di mulut lorong.
"Apa yang kau lihat?" bertanya Ki Tunda Wara.
"Pedati itu" jawab Ki Wangut.
" Ya. Aku sudah melihatnya pula. Lalu apakah kau
bermaksud menyusunya sekarang?"
Ki Wangut termangu-mangu. Kemudian katanya "
Bagaimana pertimbangan kakang?"
"Kita sudah memberi kesempatan kepadanya sampai ke
tujuan" "Ya. Tetapi bukankah, kita memang baru saja
menyusulnya" Aku melihat pedati pertama kali simpang
tiga. Dan tiba-tiba saja, timbul keinginanku untuk melihat
di mana pedati itu berhenti. Sekarang kita sudah
mengetahui, bahwa pedati itu berhenti di rumah yang
berhalaman luas itu"
"Kita belum tahu, rumah siapakah yang disinggahi itu"
Mungkin sanak kadangnya. Tetapi mungkin juga tempat
yang dapat memberikan perlindungan kepadanya"
"Jadi, apakah sebaiknya kita berusaha untuk
mengetahui, siapakah yang berada di dalam rumah itu"
bertanya Ki Wangut. Ki Tunda Wara termangu-mangu sejenak. Namun inpun
kemudian mengangguk sambil berkata "Kita harus berhatihati.
Dua orang yang berada di dalam pedati itu sudah
cukup membuatmu pening. Apalagi jika di dalam rumah itu
ada orang lain yang akan dapat membantu mereka berdua"
Ki Wangut mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba
seorang pengikutnya berkata "Jadi kita masih harus
menunggu lagi?" 05_SHM_Panasnya_Bunga_Mekar
Ki Wangut mengangguk. Jawabnya "Kita harus
memperhitungkan segenap kemungkinan"
"Ki Wangut masih juga bersabar" Bagaimana jika kita
kehilangan mereka lagi?"
"Hanya ada dua regol di padukuhan ini. Jika kita
mengawasi keduanya, maka tidak akan ada seorangpun
yang dapat lepas dari tangan kita"
"Tetapi pekerjaan yang demikian akan memakan waktu
yang lama. Mungkin hari ini kita belum dapat
menyelesaikan pekerjaan itu"
"Lebih baik kita tunda satu hari, daripada kita semuanya
tidak akan dapat berhasil melakukannya"
Pengikut Ki Wangut itu mengatupkan mulutnya rapatrapat,
namun ia mengumpat di dalam hatinya.
"Tunggulah di luar regol padukuhan di ujung lorong itu"
berkata Ki Wangut kepada kedua pengiringnya "Jangan
menarik perhatian. Sedang di ujung yang lain akan diawasi
oleh para pengikut kakang Tunda Wara. Kami berdua akan
singgah sebentar di kedai kecil itu untuk mendapat beberapa
keterangan tentang rumah itu"
Kedua pengikut Ki Wangut nampak ragu-ragu. Tetapi
tatapan mata Ki Wangut telah memaksa mereka
mengangguk dan memenuhi perintah itu.
Demikian kedua orang itu menuju ke ujung lorong,
maka Ki Tunda Warapun kembali kepada para pengikutnya
untuk memberikan pesan serupa. Baru kemudian, bersama
Ki Wangut keduanya telah singgah di sebuah kedai kecil
yang terletak di pinggir jalan itu, berdekatan dengan
beberapa tempat yang berserakan untuk menjajakan
beberapa jenis dagangan. Agaknya tempat itu baru tumbuh
menjadi sebuah pasar. Tanpa menarik perhatian, maka Ki Wangutpun
kemudian berbicara tentang padukuhan itu dan sebuah
rumah yang agak besar di pinggir jalan itu pula.
"O" berkata penjual di kedai itu "rumah itu adalah
rumah seorang saudagar permata barang-barang berharga
dan wesi aji" Ki Wangut dan Ki Tunda Wara saling berpandangan
sejenak. Sesuai dengan pekerjaannya yang menjelajahi
beberapa daerah dan padukuhan, maka seorang saudagar
biasanya memiliki kemampuan untuk membela diri, atau
mempunyai satu dua orang pengawal yang dapat dipercaya.
Karena itu, maka merekapun mulai terlarik kepada
keterangan penjual di kedai itu.
"Siapakah namanya?" bertanya Ki Tunda Wara.
"Ki Mahendra" jawab penjual itu.
"Apakah ia masih muda?" bertanya Ki Wangut.
Penjual itu menggeleng. Jawabnya "Tidak. Orang itu
sudah tidak dapat disebut muda lagi. Ia sudah melampaui
masa mudanya dan mulai dengan pertengahan umurnya
yang kemudian. Tetapi ia masih menjalankan
pekerjaannya. Ia masih pergi ke beberapa tempat yang
dapat menjadi daerah pasarannya.
Ki Tunda Wara dan Ki Wangut masih bertanya tempat
sekelompok pengawal yang akan dapat mengganggu
pekerjaan mereka. "Ada beberapa orang anaknya" berkata penjual itu "dua
orang anak muda yang kini ada di rumah. Aku tidak tahu
pasti, apakah saudagar itu sekarang ada. Kadang-kadang ia
tiba-tiba saja kami lihat duduk di pendapa atau menyiangi


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanaman bunganya, atau berjalan-jalan di depan ini. Tetapi
sesaat kemudian, ia sudah berpacu dengan kudanya ke
tempat yang jauh untuk menawarkan barang-barang yang
dibawanya" "Apakah kau melihat sebuah pedati yang lewat di depan
kedai ini?" tiba-tiba saja Ki Wangut bertanya.
"Ya, ya. Aku melihatnya" jawab penjual itu.
"Apakah kau mengenal siapa yang ada di dalamnya?"
Penjual itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
ia menggeleng sambil menjawab "Sayang. Aku tidak
memperhatikannya" Ki Wangut dan Ki Tunda Wara menjadi kecewa. Ia
ingin bertanya, apakah penjual di warung itu mengenal
salah seorang dari mereka.
Namun dalam percakapan itu, Ki Tunda Wara dan Ki
Wangut tidak mendapat gambaran, bahwa rumah itu
adalah rumah yang berperisai tebal. Di rumah itu, tidak
terdapat pengawal-pengawal yang akan dapat mengganggu
usahanya untuk menyelesaikan tugasnya. Seandainya ada,
maka di rumah itu terdapat tiga orang laki-laki. Saudagar
itu sendiri dan dua orang anak laki-lakinya yang masih
sangat muda, sedang anak yang sulung sudah tidak ada di
rumah. "Siapakah anaknya yang sulung itu?" bertanya Ki
Wangut kemudian. "Mahisa Bungalan. Ia sudah lama meninggalkan
rumahnya. Mungkin ia pergi merantau karena titisan darah
ayahnya" "Ayahnya seorang pengembara?" bertanya Ki Wangut.
"Maksudku ia soerang saudagar yang sering pergi jauh
membawa barang dagangannya"
Ki Wangut mengangguk-angguk, nama itu pernah di
dengarnya, anak muda yang berada di rumah orang tua,
anak perempuan serta cucu laki-lakinya adalah Mahisa
Bungalan. Orang-orang Ki Wangut yang mencari
keterangan keluarga perempuan dan anak laki-lakinya
memang pernah menyebutnya. Anak muda yang bersama
perempuan yang di rumah kakek itu bernama Mahisa
Bungalan. "Kita harus melakukan sebelum mereka memasuki
rumah rumah itu. Kita harus memperhitungkan tiga orang
lagi diantara mereka" berkata Ki Tunda Wara.
"Tetapi mereka mereka tidak memiliki kemampuan
seperti Mahisa Bungalan dan kakek tua itu" sahut Ki
Wangut. Ki Tunda Wara tidak dapat mempersoalkannya lagi,
karena hal itu sudah terjadi. Tetapi ia mempunyai pendapat
yang sama seperti yang dikatakan oleh Ki Wangut.
Di rumah itu tentu Mahisa Bungalanlah yang paling
disegani. Namun saudagar dan kedua anak muda yang lain
itupun harus diperhitungkann baik-baik.
"Kita masih harus menunggu" berkata KiTunda Wara.
"Ya. Kita masih harus menunggu sampai malam.
Mungkin kita akan bergerak dan memasuki rumah itu.
Menghancurkan semuanya tanpa ampun, dan aku kira di
dalam rumah itu ada juga beberapa jenis perhiasan dan
permata di samping beberapa jenis wesi aji. Bukankah itu
patut diperhitungkan juga"
Ki Tunda Wara mengerutkan keningnya, kemudian
dengan bersungut-sungut ia berkata "Kau masih anak iblis.
Ternyata kau tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh
harta benda itu" "Bukankah sudah aku katakan bahwa yang aku lakukan
ini adalah karena aku akan mendapat upah yang banyak
sekali, sementara perempuan yang kita buru adalah
perempuan yang sangat cantik, tetapi aku sama sekali tidak
tertarik kepada perempuan yang manapun juga"
"Persetan dengan perempuan itu" potong Ki Tunda
Wara "aku berbaut karena kau merengek-rengek, aku tidak
memikirkan apapun juga dalam kerja ini "
"Juga tidak memikirkan perempuan yang sangat cantik
itu" "Tidak. Aku belum pernah melihatnya. Karena itu ia
tidak dapat menggerakkan minatku. Sekali lagi aku katakan
bahwa aku melakukan semuanya ini karena kau. Sadari hal
itu. Jika ada persoalan lain, itu tentu tumbuh kemudian.
Tetapi aku sama sekali tidak berminat untuk memiliki harta
benda ataupun perempuan itu"
Ki Wangut mengangguk-angguk, tetapi ia tersenyum di
dalam hati, ia mengenal saudara perguruannya dengan
baik. Dan iapun mengetahui di padepokannya tersimpan
beberapa orang perempuan yang tidak akan dapat
meninggalkannya. Kecuali mereka yang memang sudah
waktunya dicampakkan pergi. Agar padepokannya tidak
menjadi penuh karenanya. Dengan demikian, maka Ki Tunda Wara dan Ki Wangut
sudah memutuskan untuk memasuki rumah itu dengan
pertimbangan yang lebih masak. Mereka masih juga
memikirkan orang-orang di sebelah menyebelah. Jika
mereka memiliki keberanian dan bahkan ada di antara
mereka yang memiliki kemampuan, maka usaha itu akan
mengalami kesulitan. "Kita tidak mengetahui keadaan padukuhan ini sebaikbaiknya"
berkata Ki Tunda Wara "kita jangan terjebak oleh
ketergesa-gesaan sehingga kita akan mengalami kegagalan
lagi" Ki Wangut mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa orangorangnya
tentu akan mengeluh dan tidak menyetujuinya.
Tetapi iapun tidak mau mau gagal lagi. Sehingga karena itu,
iapun harus memperhitungkan keadaan sebaik-baiknya.
Seperti yang pernah dilakukan, maka merekapun
menyingkir di siang hari, meskipun mereka masih juga
mengawasi jalan keluar dari padukuhan itu. Kemudian di
malam hari, mereka berusaha untuk dapat menginap di
banjar padukuhan, sementara empat orang diantara
mereka, masih tetap mengawasi jalan keluar. Di banjar
itulah mereka dapat berbicara dengan beberapa orang anak
muda yang berada di gardu di depan banjar itu. Dari
mereka, Ki Wangut dan Ki Tunda Wara mendengar serba
sedikit tentang keadaan padukuhan itu dan keadaan
Mahendra yang di padukuhannya dikenal sebagai seorang
saudagar. Kedua anaknya itu juga sering berada di banjar ini"
berkata anak-anak muda itu.
Keduanya mengangguk-angguk. Dan anak-anak muda
itupun berceritera beberapa hal tentang kedua adik Mahisa
Bungalan dan tentang Mahisa Bungalan sendiri.
Tetapi sebenarnyalah bahwa Mahendra anak-anaknya
bukanlah orang-orang yang sombong di padukuhannya.
Mereka tidak dengan sengaja menunjukkan bahwa mereka
adalah orang-orang yang memiliki kemampuan tidak ada
taranya. Bahkan kadang-kadang Mahendra berusaha untuk
menyatakan dirinya, tidak lebih dari orang-orang di
sekitarnya. Meskipun di masa mudanya, Mahendra adalah seorang
anak muda yang lain dari kawan-kawannya, karena
mempunyai banyak kelebihan. Namun di hari tuanya,
seolah-olah apa yang pernah dilakukannya di masa
mudanya itu sudah dilupakan orang. Apalagi anak-anak
yang kemudian tumbuh dewasa sebaya dengan anak
Mahendra, tidak mengetahui apa yang pernah dilakukan
oleh Mahendra di masa mudanya, selagi ia masih selalu
berada diantara saudara-saudara seperguruannya.
Karena itulah, maka ceritera tentang Mahendra dan
kedua anak laki-lakinya yang muda, sama sekali tidak
menggetarkan jantung Ki Wangut dan Ki Tunda Wara.
"Yang harus diperhitungkan hanyalah Mahisa Bungalan
dan orang tua itu" berkata Ki Wangut ketika mereka sudah
berada di serambi belakang banjar padukuhan.
Sementara itu, di rumah Mahendra, Mahisa Bungalan
duduk berdua saja dengan ayahnya di pendapa. Ki Wastu,
anak perempuan dan cucunya telah di persilahkan
beristirahat di gandok sebelah kiri.
-oo0dw0oo- Jilid 09 KEDATANGAN Mahisa Bungalan memang telah
mengejutkan orang tuanya. Apalagi ia datang bersama
seorang kakek dan seorang perempuan dan anaknya. Tetapi
Mahendra tidak menunjukkan sikap yang masam, ketika ia
menyambut tamu-tamunya. "Mahisa Bungalan" bertanya Mahendra "aku balum
jelas, bagaimanakah kedudukan kakek tua itu beserta anak
perempuannya. Keteranganmu yang singkat itu
menumbuhkan teka-teki padaku"
"Seperti yang aku katakan ayah. Perempuan itu adalah
isteri dari Pangeran Kuda Padmadata di Kediri" sahut
Mahisa Bungalan. "Apakah kau mempunyai hubungan khusus dengan
perempuan itu?" bertanya ayahnya.
"Tidak ayah. Sebenarnya tidak. Aku hanya ingin
menolongnya, karena seolah-olah di dunia ini tidak ada lagi
tempat baginya. Ia selalu diburu oleh bayangan maut"
jawab Mahisa Bungalan. Dan iapun menceriterakan
bagaimana ia membebaskan perempuan itu dari sebuah
gubug di hutan tertutup. Bahkan karena itu, ia sudah
terpaksa membunuh beberapa orang yang mengawasinya.
"Jadi sekian banyak orang yang digerakkan untuk
membunuhnya bersama anaknya" Apakah nilai warisan
Pangeran Kuda Padmadata itu sedemikian banyaknya,
sehingga sebagian kecil daripadanya cukup untuk
mengupah sekian banyak orang"
Mahisa Bungalnn menarik nafas dalam-dalam. Pertanyaan
ayahnya itu memang dapat dimengertinya. Sehingga iapun
bertanya kepada diri sendiri. Berapa banyak warisan yang
mungkin akan ditinggalkan Pangeran itu kelak.
Karena Mahisa Bungalan tidak segera menajwab, maka
Mahendrapun kemudian berkata "Agaknya kaupun tidak
mengerti Mahisa Bungalan. Tetapi baiklah kita anggap
bahwa ada pihak yang ingin membunuh perempuan dan
anak itu, agar keduanya tidak dapat lagi berbicara tentang
warisan" Mahendra berhenti sejenak, lalu "Adalah satu
kenyataan, bahwa perempuan dan anaknya itu kini berada
di rumah ini. Katakan Mahisa Bungalan, apakah
rencanamu kemudian" Selama ini aku menanti-nanti kapan
kau pulang setelah kau puas bertualang. Bukankah kita
sudah ditunggu pula untuk datang kepada kakang Mahisa
Agni dan kakang Witantra, menyerahkan tekad
pengabdianmu dalam lingkungan keprajuritan"
"Ayah" berkata Mahisa Bungalan kemudian "aku ingin
menghadap Pangeran Kuda Padmadata. Aku ingin
mendapat penjelasan, apakah yang sebenarnya telah terladi.
Apakah benar bahwa perempuan itu memang isterinya. Jika
demikian, maka ia mempunyai seorang anak laki-laki"
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Sambil
mengangguk-angguk ia berkata "Mungkin Pangeran Kuda
Padmadata memang seorang yang kaya raya. Yang
memiliki berpuluh-puluh keping emas, intan, berlian dan
jenis-jenis permata yang lain. Aku yang mengenal nilai
permata memang dapat membayangkan, betapa banyak
harta benda itu. Namun apakah mungkin, bahwa rencana
itu juga dilakukan karena harga diri. Keluarga Pangeran
Padmadata tidak mau melihat keturunan Pangeran Kuda
Padmadata dikotori oleh darah keturunan tataran
padukuhan" Mahisa Bungalan meng-angguk-angguk. Iapun tidak
membantah kemungkinan itu. Sementara itu ayahnya
berkata selanjutnya "Namun bagaimanapun juga usaha
pembunuhan itu tidak berbeda. Karena itu, memang
sebaiknya Pangeran Kuda Padmadata memberikan
penjelasan tentang hal ini. Kecuali jika rencana ini memang
sudah diketahuinya pula"
"Ah" desah Mahisa Bungalan "aku kira ia bukan orang
yang demikian bengisnya terhadap anak laki-lakinya.
Mungkin ia dapat berbuat demikian terhadap isterinya
tetapi terhadap darah dagingnya sendiri?"
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kemudian "Jadi kau masih akan melakukan perjalanan ki
Kediri?" "Ya ayah" jawab Mahesa Bungalan.
"Perjalanan yang berbahaya. Siapa tahu, bahwa d Kediri
telah menunggu beberapa orang yang sudah
memperhitungkan, bahwa kemungkinan seperti yang akan
kau lakukan itu akan terjadi"
"Memang mungkin" jawab Mahisa Bungalan "tetapi
apakah dengan demikian kita tidak mengambil satu sikap
apapun?" "Maksudku bukan begitu. Tetapi kau harus berhati hati
menghadapi setiap kemungkinan yang dapat terjadi"
Mahendra berhenti sejenak, lalu "jika kau benar-benar ingin
ke Kediri, datanglah kepada pamanmu Mahisa Agn atau
pamanmu Witantra. Mereka pernah berada di Kediri untuk
satu jabatan tertinggi. Karena itu, mungkin keduanya akan
dapat banyak memberikan petunjuk kepadamu, apa yang
sebaiknya kau lakukan. Karena tidak mustahil bahwa justru
di Kediri terdapat orang-orang yang benar-benar tidak dapat
terkalahkan yang melingkari Pangeran Kuda Padmadata.
Mungkin orang-orang yang sedang mengejar perempuan itu
sama sekali tidak mengenal jalur induk dari rencana ini.
Dan mereka bukanlah orang yang sebenarnya patut
diperhitungkan, karena mereka dipilih sekedar untuk
membunuh seorang perempuan dan anak-anak"
"Tetapi mereka kini menyadari, bahwa mereka tidak
dapat berbuat tanpa perhitungan. Beberapa orang diantara
mareka sudah terbunuh" jawab Mahisa Bungalan.
"Ya. Karena itulah maka baik kau yang akan pergi ke
Kediri, maupun yang ditinggalkan disini harus berjaga-jaga
menghadapi segala kemungkinan" berkata Mahendra.
"Ya ayah. Aku akan menghubungi paman Mahisa Agni
dan paman Witantra sebelum aku pergi ke Kediri" sahut
Mahisa Bungalan "tetapi apakah tidak sebaiknya kita


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbicara dengan kakek itu"
"Tidak ada salahnya. Panggillah" berkata Mahendra.
Mahisa Bungalan pun kemudian memanggil Ki Wastu
untuk ikut berbicara tentang rencana kepergian Mahisa
Bungalan ke Kediri. "Kau tinggal disini saja kek. Mudah-mudahan kalian
aman tinggal di rumah ini" berkata Mahisa Bungalan.
Ki Wastu membungkuk dalam-dalam. Katanya "Aku
mengucapkan beribu terima kasih. Tetapi apakah dengan
demikian, kami tidak akan terlalu banyak mengganggu.
Angger Mahisa Bungalan sudah mempertaruhkan
nyawanya menyelamatkan anak dan cucuku tanpa pamrih.
Dan sekarang, tidak mustahil bahwa persoalannya akan
merambat sampai kerumah ini, justru karena kami berada
disini" "Kemungkinan-kemungkinan itu memang dapat terjadi
Ki Wastu" berkata Mahendra "tetapi ini adalah
kemungkinan yang paling baik yang dapat kita tempuh
bersama. Karena itu, tenangkan hati kalian disini, meskipun
kita semuanya memang harus berhati-hati. Biarlah Mahisa
Bungalan pergi ke Kediri"
"Ada semacam kecemasan di hati" berkata Ki Wastu
"bukan saja karena kami akan ditinggalkan oleh angger
Mahisa Bungalan, tetapi juga perjalanan angger Mahisa
Bungalan itu sendiri"
"Mudah-mudahan tidak banyak hambatan di
perjalanan" berkata Mahisa Bungalan "demikian juga,
mudah mudahan tidak akan ada sesuatu yang dapat
mengancam keselamatan kalian disini. Selama aku pergi,
kalian tinggal bersama ayah dan adik-adikku"
Ki Wastu tidak dapat menolak rencana yang akan
dilakukan oleh Mahesa Bungalan, meskipun dengan
demikian ia merasa, bahwa Mahisa Bungalan telah terlalu
banyak berbuat bagi keluarganya. Selebihnya, ia memang
benar-benar merasa cemas, seandainya orang-orang yang
tentu masih saja memburu anak dan cucunya itu sampai
pula ke rumah yang akan ditinggalkan oleh Mahisa
Bungalan itu. Ia tidak terlalu mencemaskan dirinya sendiri,
seandainya ia akan menjadi korban, karena itu memang
sudah men jadi beban kewajibannya, bahkan tanggung
jawabnya. Tetapi jika isi rumah itu harus mengalami akibat yang
buruk, maka ia tidak akan sampai hati membiarkannya
terjadi. Namun agaknya Mahisa Bungalan sudah bertekad
bulat. Dihari berikutnya, Mahisa Bungalan sudah akan siap
untuk berangkat. Tetapi Mahisa Bungalan akan singgah di
Singansari, menjumpai Mahisa Agni dan Witantra untuk
mendapat keterangan apakah yang sebaiknya dilakukan di
Kediri. Demikianlah, ketika matahari terbit, Mahisa Bungalan
meninggalkan rumahnya menuju ke Kediri. Ketika ia keluar
dari padukuhannya, maka ia tidak terlepas dari pengamatan
orang-orang Ki Wangut yang dengan tergesa-gesa
melaporkannya. "Anak muda itu" berkata pengikut Ki Wangut itu "ia
tentu yang berada di pedati yang kita ikuti. Ialah yang
kemudian turun dan berjalan di sisi lembunya untuk
beberapa tonggak menjelang akhir dari perjalanan mereka.
"Kemana anak itu?" desis Ki Wangut.
Pengiringnya menggelengkan kepalanya. Namun Ki
Tunda Warapun kemudian tersenyum sambil berkata
"Adalah kebetulan sekali. Dengan demikian, maka
kekuatan yang ada di rumah itu telah berkurang. Menilik
perlengkapannya, maka anak itu akan menempuh
perjalanan jauh atau sekedar pergi ke padukuhan sebelah?"
bertanya Ki Tunda Wara kemudian kepada pengikut Ki
Wangut yang melihat Mahisa Bungalan meninggalkan
padukuhan. "Ia Berkuda, menilik perlengkapannya, ia tentu
menempuh perjalanan yang panjang"
Ki Tunda Wara memandang Ki Wangut dengan tajam.
Kemudian dengan bersungguh-sungguh ia berkata "Saatnya
telah tiba" "Kita ber-siap-siap sekarang" berkata Ki Wangut "kita
tidak akan menunggu lagi. Biarlah kita bertindak disiang
hari. Kita tidak ingin menunggu anak muda itu kembali.
Yang penting perempuan dan anak itu mati. Kita membawa
bukti kematiannya berupa apapun juga kepada orang yang
dapat kita percaya. Kecuali jika perempuan itu akan
dibiarkan hidup oleh kakang Tunda Wara"
"Anak iblis" berkata Ki Tunda Wara "itu akan aku
tentukan kemudian" Ki Wangut hanya tersenyum saja. Namun iapun
kemudian telah memerintahkan orang-orangnya bersiap
dan sekaligus memanggil kedua pengiring Ki Tunda Wara.
Mereka telah menentukan tempat untuk berkumpul, tidak
di halaman banjar tempat Ki Wangut dan Ki Tunda Wara
bermalam. Meskipun demikian, sikap mereka sempat menarik
perhatian orang-orang padukuhan itu. Tetapi agaknya Ki
Wangut dan Ki Tunda Wara tidak banyak
menghiraukannya Jagi. Mereka menganggap bahwa mereka
tidak akan banyak mengganggu seandainya mereka
mengetahui apa yang akan dilakukannya di halaman rumah
Mahisa Bungalan yang sedang pergi itu.
Dari anak-anak muda yang dijumpainya di banjar, Ki
Wangut dan Ki Tunda Wara mengetahui, bahwa di
padukuhan itu tidak ada orang yang pantas disegani,
kecuali Mahisa Bungalan dan keluarganya. Tetapi Mahisa
Bungalan saat itu sedang tidak ada di rumahnya.
"Kita akan menyelesaikan tugas kita dengan cepat"
berkata Ki Tunda Wara "kemudian kitapun dapat
meninggalkan padukuhan ini dengan cepat pula setelah
tugas kita selesai" Demikianlah, maka keenam orang itupun segera
mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.
Bersama-sama mereka telah mendekati regol halaman
rumah Mahendra yang menuju ke Singasari sebelum ia akan
langsung ke Kediri. Dalam pada itu, di rumah itu, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat sedang merajuk karena mereka tidak diperkenankan
mengikuti perjalanan kakaknya ke Kediri. Dengan wajah
yang gelap Mahisa Pukat berkata "Baru kemarin kakang
Mahisa Bungalan datang, sekarang kakang Mahisa
Bungalan sudah diperkenankan pergi lagi ke Kediri. Tetapi
kami berdua masih saja dianggap kanak-kanak yang hanya
boleh bermain di halaman"
Mahendra terpaksa tersenyum sambil berkata "Hanya
kanak-kanak sajalah yang merajuk seperti itu"
"Tetapi ayah tidak adil" potong Mahisa Murti "berilah
kesempatan kami untuk mengenal daerah yang akan dapat
memberikan pengalaman bagi kami"
"Bukankah kalian sudah sering ikut bersama ayah pergi
ke tempat-tempat yang jauh?"
"Tetapi sekedar menjajakan permata dan perhiasan"
jawab Mahisa Murti. Mahendra terpaksa tertawa. Katanya "Jangan gelisah.
Pada saatnya kalian akan melakukan perjalanan seperti
kakakmu. Tetapi kali ini kakakmu sedang mengemban
tugas kemanusiaan. Karena itu kalian jangan
mengganggunya" "Kami dapat membantunya, bukan mengganggu" sahut
Mahisa Pukat. Mahendra mengangguk-angguk. Jawabnya "Benar.
Kamu benar. Tetapi biarlah lain kali. Kesempatan masih
panjang. Kalian masih terlalu muda untuk ikut melakukan
tugas kemanusiaan kali ini"
Mahisa Pukat dan Mahisa Murti tidak membantah lagi,
meskipun mereka belum puas mendengar jawaban ayahnya.
Sebenarnya bahwa mereka ingin ikut pergi, meskipun
hanya sebagai pengiring yang tidak ikut menentukan
apapun juga. Ketika keduanya kemudian keluar ke halaman, Mahisa
Pukat berkata "Kita pergi saja ke kota"
"Untuk apa?" bertanya Mahisa Murti.
"Kita menghadap paman Mahisa Agni"
"Ya. Untuk apa" Seandainya kita bertemu dengan
kakang Mahisa Bungalan, tentu kita akan disuruhnya
pulang juga" Mahisa Pukat termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja ia
menjawab "Asal saja kita pergi untuk melepaskan kecewa.
Kita berputar-putar sebentar, kemudian kembali sebelum
sore" Mahisa Murti berpikir sejenak. Lalu katanya "Kita
berjalan kaki saja. He, bukankah kita berjanji untuk
menghadap paman Mahisa Agni sambil membawa seekor
berkisar" Nah, kita bawa bekisar yang sudah kita siapkan
itu" "Kenapa berjalan kaki?"
"Lebih menyenangkan. Kita memintas lewat jalan-jalan
sempit. Singasari tidak jauh. Setelah kita melampaui
sendang Gupit, kita segera memasuki gerbang"
"Aku tahu. Kau akan merendam di sendang Gupit"
Mahisa Murti tertawa. Katanya "Kita akan minta ijin ayah.
Tentu tidak berkeberatan asal kita berjanji tidak akan
mengganggu dan memaksa untuk mengikuti kakang Mahisa
Bungalan jika kita bertemu di tempat paman Mahisa Agni"
Tetapi ternyata kedua anak muda itu tidak sempat
melakukannya. Ketika mereka akan masuk kembali, untuk
menemuhi ayahnya, mereka melihat beberapa orang
mendekati regol rumahnya.
"Ada tamu" berkata Mahisa Pukat.
"O, tamunya cukup banyak" sahut Mahisa Murti "tentu
orang-orang yang ingin membeli pusaka. Aneh, kadangkadang
orang-orang menjadi bingung untuk memiliki
pusaka yang dianggapnya bertuah. Jika pusaka-pusaka ayah
itu semuanya bertuah, sebaiknya tidak usah dijual saja"
"Untuk apa?" bertanya Mahisa Pukat.
"Disimpan sendiri. Tuahnya akan malimpah kepada
ayah," "Tidak selalu sesuai. Karena itu, maka untuk memiliki
sebuah pusaka, perlu ditayuh tiga hari atau sepekan"
Mahisa Murti tidak sempat menjawab. Mereka melihat
orang-orang berkuda itu memasuki regol halaman
rumahnya tanpa turun dari punggung kuda mereka.
Kedua anak muda itu menjadi curiga ketika mereka melihat
orang-orang berkuda itu memencar.
"He, apakah yang akan mereka lakukan" Apakah
kedatangan mereka ada hubungan dengan kedatangan
orang orang yang berpedati bersama kakang Mahisa
Bungalan" desis Mahisa Pukat.
"Mungkin sekali" jawab Mahisa Murti "panggil ayah.
Aku akan menemuinya"
"Jangan sendiri. Biarlah aku bersamamu. Jika sudah
pasti barulah kita menentukan langkah" jawab Mahisa
Pukat. Dengan demikian maka kedua anak muda itu tidak
beringsut dari tempatnya. Dengan tengadah mereka
menatap orang-orang yang berada di halaman rumahnya
dengan sikap yang tidak sewajarnya itu.
Ki Wangut dan Ki Tunda Wara memandang kedua anak
muda itu dengan hati yang berdebar-debar. Nampaknya
kedua anak muda itu memang memiliki beberapa kelebihan
seperti yang pernah didengarnya dari anak-anak yang
berada dibanjar. "Tentu kedua anak muda inilah yang disebut Mahisa
Pukat dan Mahisa Murti" berkata Ki Wangut dan Ki Tunda
Wara di dalam hatinya. Sementara itu, Mahisa Pukat yang melangkat maju
bertanya. "He, siapakah Ki Sanak yang belum pernah kami
kenal, namun yang telah memasuki halaman rumah kami
dengan cara yang tidak kami sukai ini?"
Ki Wangut tertawa. Jawabnya "Anak muda yang berani.
Sayang bahwa kau belum mengenal kami. Jika kalian telah
mengenal kami, maka kalian tidak akan bersikap demikian"
"Bagaimana sikap kami menurut pendapatmu" tiba-tiba
saja Mahisa Murti bertanya.
Pertanyaan itu agak mengejutkan Ki Wangut. Namun
iapun kemudian menjawab "Kalian tentu bersikap lebih
baik dan hormat" "Siapa kalian?" desak Mahisa Pukat.
"Siapapun kami, tidak banyak bedanya bagi kalian,
karena kalian memang belum mengenal kami. Tetapi
ketahuilah bahwa kami datang dari tempat yang jauh. Kami
datang untuk menyusul saudara perempuan kami bersama
anak laki-lakinya" Wajah kedua anak muda itu menegang. Mereka sudah
mengetahui serba sedikit tentang perempuan yang datang
bersama kakaknya itu. Sehingga karena itu, maka dengan
tanpa ragu-ragu Mahisa Pukat berkata "O, jadi kalianlah
yang telah memburunya dan akan membunuhnya"
Wajah orang-orang berkuda itu menegang. Mereka tidak
mengira bahwa anak-anak muda itu akan dengan langsung
menyebutnya. Tetapi karena mereka tidak akan dapat
ingkar lagi, maka Ki Wangutpun berkata "Ya. Tidak
mungkin kami sembunyikan lagi maksud kedatangan kami.
tujukkan dimana mereka. Dengan demikian kalian dan
penghuni rumah ini yang lain tidak akan mengalami
kesulitan apapun juga"
Diluar dugaan orang-orang yang berada di halaman lu,
Mahisa Murti menjawab "Mereka berada di rumah kami.
Mereka adalah tamu-tamu kami. Karena itu. mereka berada
dibawah perlindungan kami"
Ki Wangut menggeram. Namun kemudian ia memaksa
bibirnya untuk tersenyum "Kalian adalah anak-anak muda
yang luar biasa. Tetapi jangan melibatkan diri dalam
persoalan ini. Lebih baik kalian minggir dan memberi jalan
kepadaku, masuk ke dalam rumahmu untuk mengambil
perempuan dan anak laki-lakinya itu.


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wajah Mahisa Pukat dan Mahisa Murti menjadi merah
padam. Dengan suara bergetar Mahisa Murti berkata
"Kalian menganggap kami tikus-tikus kecil yang takut
melihat seekor kucing. Kembalilah dan jangan menginjak
halaman rumahku sekali lagi"
"Anak iblis. Anak setan" geram Ki Tunda Wara "kalian
jangan terlalu bodoh untuk bersikap demikian terhadap
kami berenam. Kami adalah orang-orang liar yang tidak
pernah membuat pertimbangan berulang kali. Jika kami
masih memberi kesempatan kepada kalian, itu berarti
bahwa kami masih belum sampai puncak sikap kami.
Karena itu, pergilah. Biarlah kami mengurus perempuan
itu" "Tidak" Mahisa Pukat hampir berteriak "pergi, sebelum
aku bertindak. Rumah ini adalah rumahku. Halaman ini
adalah halaman ayahku"
"Setan teriak Tunda Wara "aku bunuh kau"
Namun dalam pada itu, semua orang yang berada di
halaman itu terkejut ketika mereka mendengar seseorang
berkata di pintu seketeng "Anakmas Mahisa Pukat dan
Mahisa Murti. Biarlah aku menemuinya. Agaknya orangorang
itu mencari aku. Sebaiknya aku tidak terlalu
mengganggu kalian dan ayah kalian"
Tetapi belum lagi suara itu lenyap getarannya, terdengar
jawaban dari pintu pringgitan "Biarlah anak-anak itu belajar
menerima tamu Ki Wastu. Kita yang tua-tua ini sebaiknya
menunggu, apakah tamu kita cukup sopan, atau tidak"
Ki Wangut dan Ki Tunda Wara menggeretakkan
giginya. Bahkan salah seorang dari pengiringnya nampak
tidak sabar lagi, sehingga berteriak "Kita bunuh semuanya"
Ki Wangutpun kemudian berkata "Kalian adalah orangorang
yang tidak tahu diri. Aku tahu. Orang itu adalah
orang tua yang mengikuti perempuan dan anak laki-lakinya
yang harus aku bunuh. Sedangkan orang tua yang berdiri di
pintu pringgitan itu adalah ayah kedua anak muda ini yang
bernama Mahendra, juga. ayah Mahisa Bungalan"
"Tepat" jawab Mahendra yang kemudian melangkah
menyeberangi pendapa "aku adalah ayah kadua anak-anak
itu, sedangkan orang tua di seketeng itu adalah Ki Wastu.
Ayah dari perempuan yang kalian buru. Sedangkan anakku
Mahisa Bungalan saat ini sedang pergi"
"Tidak ada jalan lain" geram Ki Tunda Wara "kita harus
memakai kekerasan. Agaknya orang-orang yang tidak tahu
diri ini mencoba untuk memamerkan kemampuannya"
"Sama sekali tidak Ki Sanak" berkata Mahendra "tidak
ada gunanya untuk menyombongkan diri. Jika aku harus
bertempur adalah semata-mata karena aku ingin
mempertahankan diri, dan berbuat sebaik-baiknya sebagai
tuan rumah yang mendapat tamu"
"Persetan" jawab Ki Wangut "jangan berbicara seperti
sedang sesorah. Kita akan bertempur dan saling
membunuh" "Kalian benar-benar ingin membunuh?" bertanya
Mahendra kemudian. "Sudah aku katakan"
"Jika demikian, apa boleh buat. Mungkin kalian akan
berhasil, tetapi seisi padukuhan ini tidak akan melepaskan
kalian meninggalkan halaman rumah ini" berkata
Mahendra. "Kami akan membunuh seisi padukuhan ini jika mereka
mencoba menghalangi kami"
"Jumlah kalian tidak lebih dari enam orang. Sedangkan
anak muda di padukuhan ini jumlahnya puluhan"
"Persetan anak iblis" teriak Ki Tunda Wara sambil
meloncat turun. Kita bunuh semuanya"
Ki Wangut dan para pengiringnyapun segera turun dari
punggung kudanya. Mereka mengikat kuda mereka pada
pohon-pohon perdu seperti mereka hendak bertamu.
Mereka sama sekali tidak memperhitungkan kemungkinankemungkinan
buruk yang dapat timbul atas diri mereka.
Demikian yakin mereka akan kemampuan mereka masingmasing,
apalagi di antara mereka terdapat Ki Wangut
sendiri dan Ki Tunda Wara.
"Meskipun orang tua. yang disebut ayah itu mampu
membunuh dua orang sekaligus, namun yang dihadapinya
adalah kelinci-kelinci dungu yang tidak mampu berbuat
sesuatu yang berarti dengan senjata mereka" berkata salah
saorang pengiring itu di dalam hatinya.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun
hampir tidak dapat menahan diri lagi. Tetapi ketika mereka
hampir meloncat maju, ayahnya berkata "Anak-anak
ambillah senjata panjang kalian. Jangan tergesa-gesa.
Nampaknya orang-orang itu bukan orang-orang yang dapat
berpikir panjang" "Gila" teriak salah seorang pengiring Ki Wangut.
Namun Mahendrapun kemudian berkata "Beri
kesempatan kedua anak-anakku mengambil senjata
panjangnya. Kalian akan dihadapkan pada kemampuan
mereka sepenuhnya" "Beri anak-anak itu kesempatan" teriak Ki Tunda Wara.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu
sejenak. Namun kemudian merekapun meloncat naik ke
pendapa dan berlari masuk ke ruang dalam. Mereka yang
semula sudah bersiap untuk bertempur dengan keris, atas
nasahat ayahnya, maka merekapun telah mengambil
pedang mereka. "Kau bawa pedang rangkap?" bertanya Mahisa Murti.
"Ya. Aku ingin menunjukkan kepada ayah, bahwa aku
sudah menguasai permainan pedang rangkap"
"Aku akan membawa canggah" desis Mahisa Murti.
"Jangan mencoba-coba. Nampaknya mereka adalah
orang-orang yang garang. Pergunakan yang paling baik
menurut pendapatmu" Mahisa Murti barpikir sejenak. Kemudian disambarnya
sepasang pedangnya sambil berkata "Akupun
mempercayakan diri pada ilmu pedang rangkap"
Ketika mereka menghambur kembali ke halaman,
mereka melihat orang-orang yang memasuki halaman
mereka, telah berdiri dalam dua lingkaran. Yang
sekelompok mendekati Ki Wastu yang telah keluar dari
seketeng, sementara yang sekelompok lagi berada di sekitar
Mahendra. Sejenak Mahendra menjadi ragu-ragu. la kurang
memahami kemampuan orang tua yang berdiri di luar
seketeng itu. Jika ia memerintahkan salah seorang anaknya
bertempur bersamanya, tetapi keadaannya akan sangat
menyulitkan anaknya, maka ia tentu tidak akan dapat
membiarkannya. Namun demikian, tidak ada jalan lain kecuali
mencobanya. Karena itu, maka katanya "Salah seorang dari
kalian, bertempurlah bersama Ki Wastu. Dengan demikian,
dia tidak harus menghadapi tiga orang sekaligus"
Sejanak kedua anak muda itu ragu-ragu. Namun Mahisa
Pukatlah yang meloncat mendekati Ki Wastu sambil
berteriak "Aku berada di sini Ki Wastu"
Ki Wastulah yang menjadi berdebar-debar. Ia yakin anak
itu tentu belum memiliki kemampuan seperti Mahisa
Bunalan. Karena itu, maka iapun justru memikirkan
kemungkinan yang paling buruk yang dapat terjadi dengan
anak itu. "Jangan banyak bicara lagi" geram Ki Wangut yang
langsung menghadapi Ki Wastu "aku sudah siap
membunuhmu jika kau berkeras untuk melindungi anak
perempuan dan cucumu"
KI Wastu tidak menjawab lagi. Ia sudah siap dengan
pedang dan perisainya. Pedangnya yang khusus memang
memberikan kesan tersendiri pula kepada lawannya.
Namun Ki Wangut benar-benar ingin menyelesaikan
persoalan itu dengan segera. Karena itu, maka iapun segera
melangkah mendekati lawannya, sementara kedua
pengiringnya bersiap-siap menghadapi Mahisa Pukat.
Dalam pada itu. Ki Tunda Wara telah bersiap pula.
Namun m masih mencoba memperingatkan Mahendra.
Katanya "Apakah kau benar-benar berkeras untuk
membantunya?" "Ya" jawab Mahendra.
"Jangan menyesal. Aku adalah pembantai yang paling
buruk yang pernah ada. Aku membunuh tanpa seujung
rambutpun yang tergetar. Aku terbiasa melakukan apa saja
yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain. Tetapi aku
kadang-kadang mengurungkan niatku sebelum aku mulai,
jika korbanku mendengarkan nasehatku"
"Apa nasehatmu bagiku sekarang?" bertanya Mahendra.
"Pergilah dan bawa anak-anakmu menyingkir"
Mahendra mengangguk-angguk. Tetapi jawabnya
membuat Ki Tunda Wara semakin marah. Katanya
"Sayang Ki sanak. Aku tidak dapat menerima nasehat itu.
Malahan sebaiknya, kau saja mengurungkan niatmu.
Biarlah perempuan dan anaknya itu kembali kepada
suaminya dengan damai. Kenapa kalian harus berjuang
untuk membunuhnya hanya karana kalian akan menerima
upah. Apakah harga jiwa seseorang dapat dinilai dengan
keping-keping uang" He, Ki Sanak. Menurut
pendengaranku, sudah sekian banyak kawan-kawanmu
yang mati. Apakah harga nyawa kawan-kawanmu itu
sesuai dengan upah yang dijanjikan"
"Persetan" geram Ki Tunda Wara "persoalannya tidak
lagi jumlah upah dan banyaknya kematian. Ada atau tidak
ada, dendam sudah membara. Persoalannya kini justru
karena kami ingin menuntut balas atas kematian kawankawanku,
dengan tidak mengabaikan upah yang bakal kami
terima. Tetapi bagiku, pembunuhan yang telah dilakukan
oleh Mahisa Bungalan benar-benar sangat menyakitkan
hati" "Dan sekarang kau datang karena Mahisa Bungalan
tidak ada di rumah" desis Mahendra.
"Diamlah anak iblis" teriak Ki Tunda Wara "kita akan
mulai bertempur" Mahendra kemudian mempersiapkan diri. Ia juga
membawa sebilah pedang. Dengan hati-hati ia
memperhatikan setiap gerak dan sikap. Sebagai seorang
yang memiliki ilmu yang tinggi, iapun segera dapat
mengetahui, bahwa lawannya memang bukan orang
kebanyakan. Demikian pula Ki Tunda Wara. Ia segera
mengetahui, bahwa Mahendra adalah seorang yang pilih
tanding. "Gila" geramnya di dalam hati "orang ini agaknya tidak
kalah dari anaknya yang dikatakan memiliki kemampuan
yang luar biasa itu. Kita memang bodoh. Sebaiknya, pedati
itu kita hentikan di jalan saat kita dapat menyusulnya"
Tetapi Ki Tunda Warapun menyadari, bahwa mereka
baru dapat menyusul pedati itu dekat padukuhan Mahisa
Bungalan, sehingga jika ia bertempur saat itu, kemungkinan
hadirnya ayah dan adik-adik Mahisa Bungalanpun sangat
besar pula. Sejenak kemudian, maka Ki Tunda Warapun mulai
menggerakkan senjatanya. Sementara kedua pengiringnya
telah memencar. Namun dalam pada itu, ternyata Mahisa
Murti yang bertempur bersama ayahnya tidak memisahkan
dirinya. Di bagian lain, Mahisa Pukat benar-benar harus
melawan dua orang yang diperintahkan oleh Ki Wangut
untuk secepatnya membunuh anak muda itu. Ia sendiri
akan menghadapi Ki Wastu yang sudah bersiap pula
menghadapinya. Namun dalam pada itu, berbeda dengan Ki Wastu yang
cemas dan gelisah karena Mahisa Pukat yang harus
berhadapan dengan dua orang lawan, maka anak muda itu
sendiri menjadi gembira. Darahnya yang panas seolah-olah
telah merambat di seluruh tubuhnya, sehingga iapun justru
mulai menggelarkan sepasang pedang rangkapnya.
Sejenak kemudian, maka pertempuranpun segera
menyala di halaman rumah itu. Beberapa orang yang
melihat ketegangan itupun telah berlari-lari menyingkir.
Namun ada beberapa orang anak-anak muda yang
memberanikan diri untuk menyaksikannya.
Meskipun mula-mula mereka melihat pertempuran itu
sambil bersembunyi, namun akhirnya satu dua diantara
mereka telah berusaha menjadi semakin dekat. Ada
diantara mereka yang memanjat sebatang pohon di luar
dinding halaman, dan ada pula yang menjenguk di regol
halaman. Ki Wangut yang melihat mereka pula telah berteriak
lantang "Siapa yang berani memasuki halaman, mereka
akan dibantai pula disini bersama seisi rumah ini"
Karena itu, maka tidak seorangpun yang segera berani
memasuki halaman rumah itu. Bagaimanapun juga, mereka
merasa tidak memiliki bekal kemampuan yang cukup untuk
memasuki arena perkelahian yang membingungkan itu.
"Dua orang itu adalah orang-orang yang tidur di banjar
semalam" desis salah seorang dari anak-anak muda itu.
"Ya. Itulah agaknya mereka berbicara melingkari
keluarga Mahisa Bungalan" sahut yang lain "agaknya
mereka mempunyai maksud yang kurang baik"
Kawannya mengangguk-angguk. Namun mereka tidak
dapat berbuat sesuatu. Yang terjadi di halaman itu adalah pertempuran yang
semakin sengit. Ternyata Mahendra hertempur dengan
sangat berhati-hati. Ia sama sekali tidak menunjukkan
puncak kemampuannya. Ia mulai dengan tataran yang
paling kecil untuk menjajagi ilmu lawannya, meskipun
untuk beberapa saat ia harus terdesak bersama Mahisa
Murti yang bertempur berpasangan bersamanya.
Yang terjadi itu telah membuat Ki Wastu menjadi
semakin gelisah, la merasa bersalah, jika keluarga
Mahendra itu mengalami kesulitan karena kehadirannya.
Sekilas terpercik penyesalan di hatinya, bahwa ia bersedia
mengikuti Mahisa Bungalan ke Singasari, yang ternyata
rumah itu terletak beberapa ratus tonggak dari kota yang
sebenarnya. Meskipun tidak jauh, tetapi masih tetap ada


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jarak antara padukuhan itu dengan Kota Raja.
Apalagi ketika ia melihat Mahendra agak terdesak,
sementara Mahisa Pukat yang lincah itu hampir terkurung
oleh kedua lawannya. "Aku harus segera mengakhiri pertempuran ini agar aku
dapat berbuat sesuatu bagi mereka" berkata Ki Wastu di
dalam hatinya. Tetapi yang dihadapinya kemudian adalah Ki Wangut.
Ia adalah orang yang memiliki kemampuan melampaui
setiap pengikutnya. Juga para pengikutnya yang telah
terbunuh. Karena itu, maka Ki Wastu tidak segera dapat
menguasainya. Bahkan kadang-kadang Ki Wastu sendiri
harus meloncat surut, apabila serangan lawannya datang
bagaikan badai di musim ke sembilan.
Dalam pada itu. Mahisa Pukat bertempur dengan
lincahnya. Ia merasa mendapat kesempatan untuk
mengetahui takaran kemampuannya. Namun semakin
lama, wajahnya yang cerah menjadi semakin tegang.
Ternyata kedua lawannya adalah lawan yang sangat
berbahaya. Serangan-serangan mereka benar-benar
serangan yang dapat menyobek tubuhnya dan bahkan
memungut nyawanya. "Gila" geram Mahisa Pukat "aku kira mereka adalah
bahan permainan yang mengasikkan"
Namun ternyata bahwa peluh mulai mengalir di seluruh
tubuhnya. Dalam keadaan yang demikian, terngiang
peringatan ayahnya yang berulang kali didengarnya
"Jangan menganggap lawan-lawanmu lebih rendah dari
kemampuanmu" Mahisa Pukat menggeretakkan giginya. Ia telah salah
hitung terhadap kedua lawannya. Ternyata keduanya
adalah orang-orang yang pilih tanding.
Dengan demikian, maka Mahisa Pukatlah orang yang
pertama-tama telah terdesak. Hanya karena kecepatannya
bergerak, maka ia masih mampu membebaskan curinya dari
serangan-serangan lawannya. Pedang rangkapnya dapat
menjadi perisai yang rapat, selain kakinya yang lincah
berloncatan seperti burung sikatan.
Tetapi ia tidak akan dapat berbuat demikian seterusnya.
Semakin lama tenaganya tentu menjadi semakin susut. Jika
ia sudah kehabisan tenaga, maka ia akan kehilangan
kesempatan untuk melepaskan diri dari kedua orang yang
menjadi buas dan liar itu.
Ki Wastu yang melihat kelemahan Mahisa Pukat
menjadi semakin cemas. Iapun kemudian telah
mengerahkan segenap kemampuannya agar ia dapat segera
melumpuhkan lawannya. Ternyata Ki Wastu benar-benar seorang yang memiliki
ilmu yang mapan. Perlahan-lahan ternyata buliwa Ki
Wangut telah salah pula menilai lawan Ia menganggap
bawa ia akan dapat mengimbangi kemampuan orang tua
itu. Kemudian membunuh anak dan cucunya. Meskipun
demikian ia telah membunuh dua orang pengikut pula
untuk meyakinkan bahwa usahanya tidak akan gagal lagi.
Namun ternyata ia telah memasuki sebuah rumah yang
dihuni oleh seorang tua dan dua orang anak muda yang
berani. "Tetapi mereka akan segera diselesaikan" gumam Ki
Wangut yang merasa terdesak oleh lawannya.
Meskipun demikian, kesempatan bagi kedua orang yang
bertempur itu masih belum berselisih banyak. Ki Wangut
kadang-kadang masih juga mampu mengejutkan lawannya
dan mendesaknya. Bahkan serangan-serangannya masih
merupakan serangan-serangan yang gawat bagi lawannya.
Sementara dua Orang pengikutnya benar-benar telah
berhasil mendesak Mahisa Pukat yang bersenjata pedang
rangkap. Dalam pada itu, Mahendra yang bertempur melawan Ki
Tunda Wara mengerutkan keningnya ketika ia melihat
keadaan Mahisa Pukat. Sejenak ia memperlihatkan
keadaannya sambil melayani lawannya bersama Mahisa
Murti. "Berbahaya baginya" berkata Mahendra di dalam
hatinya. Namun demikian, ia berdua berhadapan dengan
tiga orang yang bertempur bersama-sama dengan
garangnya. Namun dengan demikian, Mahendra telah didorong
untuk secepatnya menyelesaikan pertempuran itu. Ia tidak
akan dapat membiarkan anaknya menjadi Korban dalam
persoalan yang sebenarnya tidak bersangkut paut langsung
dengannya. Karena itu, maka Mahendrapun mulai memperhitung
kan benar-benar medan yang dihadapinya. Perlahan-lahan
tetapi pasti, ia meningkatkan ilmunya untuk menghadapi
lawannya. Ki Wastupun ternyata menjadi semakin gelisah pula
melihat keadaan Mahisa Pukat. Agaknya anak itu benarbenar
berada dalam bahaya. Dua orang yang bertempur
melawannya, telah bertempur dengan kasar dan liar.
Mereka tidak menghiraukan apapun lagi, selain membunuh
lawannya yang masih sangat muda itu dengan segera.
Dengan sepenuh kemampuannya, maka Ki Wastupun
berusaha menguasai lawannya. Ia telah bertempur dengan
garangnya pula. Senjatanya berputar seperti baling-baling,
sementara perisainya dengan rapatnya telah melindungi
dirinya dari setiap serangan lawannya.
Namun demikian, ia tidak segera dapat mengalahkan
lawannya. Ki Wastupun telah bertempur dengan sepenuh
kamampuan dan tenaga. Meskipun ia merasa, bahwa
lawannya memiliki sedikit kelebihan, tetapi ia masih
mempunyai harapan untuk dapat bertahan lebih lama lagi.
Jika sekiranya ia tidak mungkin mengalahkan lawannya,
namun ia akan dapat memperpanjang waktu sehingga
Mahisa Pukat dapat dikalahkan oleh kedua orang
lawannya. "Jika seorang saja dari mereka terbunuh, maka mereka
tentu akan merasa ngeri" berkata Ki Wangut di dalam
hatinya. Sebenarnyalah keadaan Mahisa Pukat telah benar-benar
berbahaya. Sementara Mahendra masih harus berjuang
untuk mengalahkan lawannya. Namun yang karena
hadirnya Mahisa Murti di arena itu, maka iapun sebagian
justru merasa harus melindunginya, sehingga ia tidak dapat
bertempur sesuai dengan perhitungannya sendiri. Karena
itu, mengingat keadaan Mahisa Pukat, maka tiba-tiba saja
Mahendra telah berteriak "Mahisa Murti, kawanilah
Mahisa Pukat agar ia tidak bertempur sendiri"
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba
saja ia melenting dari arena, untuk memenuhi perintah
ayahnya. Dalam pada itu, Ki Tunda Wara yang mengetahui
perhitungan Mahendra berusaha untuk mencegahnya.
Tetapi ternyata Mahendra telah menyerangnya dengan
dahsyatnya, sehingga ia tidak dapat berbuat lain, kecuali
melepaskan Mahisa Murti meninggalkan arena
pertempuran itu, untuk menyatukan diri dengan Mahisa
Pukat "Aku ikut bermain bersamamu" teriak Mahisa Murti.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa
bahwa ia mengalami banyak kesulitan untuk melawan
kedua orang itu. Agaknya ayahnya dapat melihatnya,
sehingga diperintahkannya Mahisa Murti untuk
membantunya. Dengan demikian, maka Mahisa Pukatpun merasa,
bahwa ia akan mendapat kesempatan lebih banyak dalam
pertempuran seorang melawan seorang.
Sepeninggal Mahisa Murti, maka Ki Tunda Warapun
berteriak "Orang dungu. Agaknya kaulah yang ingin mati
lebih dahulu. Tidak ada bedanya, siapapun yang akan mati
paling cepat. Yang berada di halaman ini, dan perempuan
serta anak laki-lakinya yang bersembunyi di dalam"
Mahendra tidak menghiraukannya. Dengan hati-hati ia
memperhatikan ketiga lawannya yang kemudian
mengepungnya. "Yang seorang ini memiliki ilmu yang paling tinggi dari
antara kedua orang kawannya" berkata Mahendra di dalam
hatinya. Ki Wastupun melihat perubahan tata perkelahian yang
terjadi di halaman itu. Mahisa Pukat telah berdiri
berhadapan hanya dengan seorang lawan, sedangkan yang
seorang kemudian terpaksa melawan Mahisa Murti yang
telah memasuki arena itu pula.
Namun dalam pada itu, Ki Wastu mulai mencemaskan
nasib Mahendra. Ia harus melawan tiga orang bersamasama.
Apalagi seorang dari antara mereka, agaknya
memiliki kemampuan yang tinggi.
"Seandainya ayah Mahisa Bungalan ini memiliki
kemampuan seperti anaknya, ia akan mengalami kesulitan
untuk menghadapi tiga orang itu sekaligus. Apalagi jika
kemampuannya tidak setingkat dengan anaknya"
Seperti setiap orang pendatang yang terlibat di dalam
pertempuran itu, maka Ki Tunda Warapun tidak
mengetahui kemampuan lawannya yang sebenarnya. Ia
sama sekali tidak mengerti, bahwa Mahendra adalah
seorang yang memiliki kemampuan setingkat dengan orang
yang paling disegani di istana Singasari, Mahisa Agni dan
Witantra. Meskipun ada kekurangan-keurangan kecil
padanya dibanding dengan keduanya, namun Mahendra
adalah orang yang memiliki ilmu yang mumpuni.
Karena ia harus berhadapan dengan tiga orang sekaligus,
maka akhirnya Mahendra tidak dapat lagi sekedar
mengimbangi lawannya dengan mengendalikan ilmunya
selapis demi selapis. Bagaimanapun juga Ki Tunda Wara
adalah seorang yang pilih tanding. Bersama dengan dua
Pendekar Pemetik Harpa 19 Jaka Sembung 5 Air Mata Kasih Tertumpah Di Kandang Haur Llano Estacado 6

Cari Blog Ini