Ceritasilat Novel Online

Panasnya Bunga Mekar 11

Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja Bagian 11


orang kepercayaannya, maka mereka merupakan kekuatan
yang luar biasa. Dengan demikian, maka akhirnya Mahendra tidak dapat
berbuat lain. Ia harus bertempur sebaik-baiknya untuk
mempertahankan diri dari ketiga orang yang garang dan
buas itu. Sehingga karena itulah, maka akhirnya Mahendra
tidak dapat terlalu banyak mengendalikan dirinya. Ketika ia
justru merasa terdesak, maka Mahendra pun segera sampai
ke puncak ilmunya yang ngedap-ngedap.
Perlahan-lahan kemampuan Mahendra semakin
meningkat, sehingga bagaikan badai yang bertiup dari
lautan. Semakin lama semakin dahsyat, mendorong
gelombang yang semakin garang menghantam pantai.
Dengan demikian, maka Ki Tunda Warapun menjadi
semakin heran menghadapi lawanya. Meskipun anaknya
yang seorang telah meninggalkan arena itu. namun ternyata
bahwa Mahendra mampu mengimbangi ketiga orang
lawannya. "Anak iblis" geram Ki Tunda Wara di dalam hatinya
"apakah dengan demikian, aku sudah terjebak" Jika orang
ini adalah langsung menjadi guru anaknya yang bernama
Mahisa Bungalan, yang telah membunuh sekian banyak
orang, maka aku akan mengalami kesulitan"
Sebenarnyalah, bahwa akhirnya Ki Tunda Warapun
yakin, seperti yang pernah dilakukan oleh orang-orang Ki
Wangut, maka iapun telah melakukan kesalahan. Ternyata
bahwa ia telah terjebak ke dalam rumah Mahendra yang
memiliki kemampuan tiada bandingnya.
"Anak-anak di banjar itupun gila" geramnya "ia tidak
memberitahukan dengan lengkap keadaan rumah ini. Atau
memang mereka tidak mengetahui keadaan yang
sebenarnya dari orang tua gila ini"
Sementara itu, maka orang-orang yang mengerumuni
halaman itupun menjadi semakin banyak. Anak-anak muda
yang bersenjata di tangan telah mengepung halaman itu.
Namun mereka menjadi ragu-ragu untuk memasukinya.
Apalagi ketika mereka melihat pertempuran yang bagi
mereka sangat membingunkan.
Dulam pada itu, Ki Wastu yang bertempur melawan Ki
Wangut semakin lama menjadi semakin sengit. Meskipun
Ki Wastu memiliki kelebihan, namun kekasran Ki Wangut
seakan-akan telah mengimbangi kelebihan itu. Bahkan
kadang-kadang Ki Wastu harus melangkah surut. Sekalisekali
ia mengerutkan keningnya, karena Ki Wangut yang
memekakkan telinga. Kemudian dengan garang, buas dan
liar Ki Wangut menyerangnya
Tetapi Ki Wastu cukup tangkas. Senjatanya yang garang
dan perisai kecilnya, membuat lawannya kadang-kadang
kehilangan kesempatan. Bahkan dengan kecepatan yang
mengagumkan, Ki Wastu kadang-kadang dapat mendesak
lawannya beberapa langkah surut. Namun dengan loncatanloncatan
panjang, Ki Wangut masih selalu sempat
menghindarkan diri. "Orang tua ini memang gila" katanya di dalam hati.
Namun ketika sekali-sekali ia sempat berpaling kearah Ki
Tunda Wara yang bertempur bertiga melawan Mahendra,
maka ia mengumpat tidak habis-habisnya. Tentu mahendra
bukan orang yang sekedar memiliki kemampuan setingkat
Mahisa Bungalan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak banyak
mengalami kesulitan. Ia perlahan-lahan tetapi pasti dapat
menguasai lawan masing-masing. Namun merekapun
sadar, bahwa ayah mereka harus bertempur melawan tiga
orang sekaligus, sehingga kadang-kadang terbersit pula
kecemasan di hati tentang nasib ayahnya.
Karena itulah, maka kedua anak muda itu telah bertempur
dengan segenap kemampuan. Mereka berusaha untuk
semakin cepat mengakhiri pertempuran itu, agar dengan
demikian, mereka dapat segera membantu ayahnya.
Karena itulah, maka kedua lawannyapun segera menjadi
semakin terdesak. Meskipun demikian, karena kegarangan
mereka serta pengalaman yang pernah mereka dapat dari
kehidupan mereka yang gelap, maka kadang-kadang
merekapun masih mampu membalas serangan lawan-lawan
mereka dengan serangan yang berbahaya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang selalu berada
dibawah bimbingan dan pengawasan ayahnya, ternyata
tetap manyadari keadaan mereka. Betapapun juga. Mereka,
tidak boleh mengabaikan kemampuan lawan. Karena
demikian, ia sudah membuat kesalahan yang pertama
sebelum akan segera disusul oleh kesalahan-kesalahan lain.
Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
itupun telah bertempur dengan sungguh-sungguh. Dengan
hati-hati, dan penuh kewaspadaan. Namun di dalam lubuk
hati mereka, terbesit pula kegembiraan bahwa mereka
mendapat kesempatan untuk menilai kemampuan mereka
tidak hanya dalam latihan-latihan saja.
Dalam pada itu, kawan-kawan Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat menyaksikan pertempuran itu dengan hati
yang berdebar-debar. Ternyata kedua kawan mereka kakak
beradik itu adalah anak-anak muda yang memiliki
kemampuan yang mengagumkan.
Sebenarnya bahwa kedua anak muda itu dengan tekun
dan sungguh-sungguh telah melatih dirinya di bawah
bimbingan ayah mereka sendiri. Seperti juga Mahisa
Bungalan maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
menguasai sebagian besar dari dasar-dasar ilmu yang
diturunkan oleh ayahnya. Karena itulah, maka ketika
mereka dihadapkan kepada dua orang pengikut Ki Wangut,
maka mereka segera mampu menyesuaikan diri.
Hanya karena mereka masih belum cukup berpengalaman,
maka berhadapan dengan lawan mereka yang garang, maka
harus mengerahkan segenap kemampuan serta ilmu yang
ada pada mereka untuk mengimbanginya.
Sementara kedua anak muda itu bertempur dengan
kedua lawannya, yang semakin lama menjadi semakin
sengit, maka Mahendrapun bertempur semakin dashayat
pula. Sebenarnyalah bahwa Ki Tunda Wara bersama kedua
orang pengiringnya, merupakan lawan yang harus
diperhitungkan dengan mungsuh-mungsuh. Diantara
kegarangan dan keganasan Ki Tunda Wara, maka kedua
pengiringnya telah menyerang mereka dengan buas dan liar.
Tidak ada sesuatu yang mengekang mereka untuk
melakukan apa saja, dan dengan cara yan bagaimanapun
juga. Tetapi Mahendra adalah seorang yang bukan saja me
miliki ilmu yang tinggi, tetapi iapun memiliki pengalaman
yang seolah-olah tidak ada batasnya. Ia pernah bertempur
melawan berjenis-jenis ilmu. Yang garang, yang kasar dan
yang liar sekalipun seperti yang dihadapinya saat itu.
Namun Ki Tunda Wara agaknya bukan seseorang yang
sekedar menakut-nakutinya. Ia adalah seorang yang jarang
melepaskan lawannya untuk tetap hidup.
Namun yang kemudian tumbuh di hati Ki Tunda Wara
adalah sebuah umpatan yang menyakiti jantungnya sendiri.
Ia merasa kurang cermat menilai keadaan. Betapapun juga
ia berhati-hati, tetapi ia telah terjerumus seperti orang-orang
yang melakukan kewajiban serupa sebelumnya
"Ternyata aku tidak lebih baik dari orang-orang Wangut
yang telah terbunuh" geramnya di dalam hati.
Namun dengan demikian, kemarahannya menjadi
semakin bergejolak di dalam hati. Selagi masih terbuka
kesempatan, maka ia harus mengatasi kesulitan itu. Ia
masih bertempur dengan dua orang kepercayaannya,
melawan seorang tua yang seolah-olah telah mewakili
anaknya yang bernama Mahisa Bungalan itu.
"Dua anak muda itu juga telah sangat mengganggu"
geram Ki Tunda Wara di dalam hatinya.
Dengan penuh dendam dan kebencian, maka Ki Tunda
Warapun telah bertempur semakin garang. Dengan
hentakkan-hentakkan yang keras dan umpatan-umpatan
kasar, ia memerintahkan kepada dua orang pengikutnya
untuk bertempur semakin keras.
Mahendra menyadari kedudukannya Karena itu, maka
iapun telah meningkatkan ilmunya pula. Bahkan kemudian,
Mahendrapun menjadi marah ketika orang-orang yang
bertempur melawannya itu menjadi semakin buas
Ketika kedua orang pengikut Ki Tunda Wara itu
menyerangnya bersama-sama, maka Mahendra sempat
melompat menghindar. Namun sekejab kemudian, Ki
Tunda Warapun dengan garangnya telah melontarkan
senjatanya yang tersembunyi. Orang itu membawa sejenis
senjata beracun yang sangat berbahaya bagi lawanlawannya.
Tetapi Mahendra segera mengenal senjata semacan itu.
Ia pernah mengalami serangan-serangan serupa dan orangorang
lain yang pernah bertempur melawannya.
Sebenarnya bahwa senjata itu memang sangat
berbahaya. Karena itu, maka Mahendra telah benar-benar
dihadapkan kepada perlawanan yang telah mengancam
jiwanya. karena itulah, maka Mahendrapun harus bertempur
dengan segenap kemampuannya uniuk segera
melumpuhkan inwannya. Dengan demikian maka
perlawanan Mahendra meningkat semakin garang. Bukan
saja ia bergerak semakin cepat, tetapi, kekuatannyapun
bagaikan menjadi berlipat "Anak setan" geram Ki Tunda
Wara "kekuatan dan ilmu apakah yang telab merasuki
orang ini" Sementara itu, Ki Wastupun telah berhasil mendesak Ki
Wangut yang bertempur seorang melawan seorang.
Tidak hanyak yang dapat dilakukan oleh Ki Wangut
kemudian melawan kecepatan bergerak Ki Wastu.
Perlahan-lahan Ki Wastu telah mendorong Ki Wangut
semakin surut. Dengan garangnya, pedang Ki Wastu berputaran ujungnya
seperti seekor lalat yang setiap saat dapat hinggap di bagian
ubuh Ki Wangut yang manapun yang dikehendaki.
Sementara perisainya yang kecil itu rasa-rasanya dapat
mekar melindungi seluruh tubuhnya. Tidak ada seujung
duripun yang dapat disusupi senjata lawan yang ber usaha
dengan segenap kemampuannya.
Sejenak kemudian Ki Wangutpun telah menjadi semakin
gelisah iapun merasa terjebak karena kebodohan dan
keangkuhannya. Meskipun Mahisa Bungalan tidak ada di
rumahnya, ternyata di rumah itu ada tiga orang yang dapat
menggantikannya. Bahkan ayah Mahisa Bungalan itu
ternyata memiliki kemampuan jauh lebih besar dari yang
diduganya. Tetapi Ki Wangut tidak ingin menyerah begitu saja.
Dengan segenap kemampuannya ia telah menghentakkan
senjatanya. Selangkah ia mendesak maju. Namun dalam
padu itu, ia terkejut ketika terdengar teriakan ngeri di
bagian lain dari pertempuran itu.
Kelika ia sempat berpaling maka dilihatnya seorany
lawan Mahendra telah terluka. Sejenak ia terhuyunghuyung.
Namun kemudian ia telah terjatuh bersandar
sebatang pohon perdu. Tetapi hanya sesaat, karena sesaat
kemudian, tubuhnya telah roboh di tanah.
Mahendra termangu-mangu sejenak. Dengan suara serak
ia berkata "Bukan maksudku untuk membunuhnya. Tetapi
kau yang memaksa aku untuk membela diri. Jika kalian
menghentikan serangan kalian, Maka kita masih sempat
berbicara. "Persetan" teriak Ki Tunda Wara yang telah kehilangan
seorang pengiringnya yang terbaik "Kau harus mati anak
iblis. Aku sama sekali tidak terpengaruh oleh kematiannya.
la justru telah mengganggu pemusatan kemampuanku"
"Jangan membohongi diri sendiri" jawab Mahendra
sambil bertempur "pertimbangkan baik-baik"
Ki Tunda Wara tidak menyahut tetapi justru ia
menyerang semakin garang.
"Ki Sanak" berkata Mahendra "kau telah memaksa aku
untuk membunuh lagi. Kawanmu, dan jika kau tetap keras
kepala, maka kau sendiripun akan mati. kecuali siapa yang
tersedia dengan suka rela meninggalkan arena"
Tidak ada jawaban. Justru Ki Tunda Wara telah
berteriak nyaring sambil menyerang Mahendra.
Tetapi Mahendra telah bersiap menghadapi segala
kemungkinan. Ia telah berhasil mengurangi seorang
lawannya, sehingga kedudukannya telah menjadi semkain
baik. Orang-orang yang menyaksikan diluar dinding halaman
menjadi semakin tegang. Tetapi bahwa Mahendra telah
berhasil mengurangi lawannya, telah membuat mereka
menjadi sedikit tenang. Apalagi ketika mereka kemudian
melihat, Mahendra menjadi semakin mendesak lawannya.
Yang tidak kalah menarik bagi anak-anak muda, adalah
Mahisa Pukat dan Mahisa Murti. Kawan mereka bermain
sehari-hari. Namun anak-anak muda itu menjadi heran
melihat kemampuan kakak beradik itu.
Ternyata bahwa pertempuran itu tidak akan berlangsung
terlalu lama lagi. Ki Wastu telah benar-benar menguasai
lawannya. Ki Wangut yang bertempur dengan garangnya,
perlahan-lahan tenaganya menjadi susut. Sementara Ki
Wastu yang tua itu. seolah-olah tidak terpengaruh sama
sekali oleh pertempuran yang sudah berlangsung beberapa
saat itu. Ki Wastu ternyata memiliki ketahanan yang sangat
mengagumkan, sedangkan Ki Wangut yang seakan-akan,
telah memeras segenap kemampuannya itu, mulai diganggu
oleh nafasnya yang bagaikan saling memburu. Tetapi Ki
Wangut tidak dapat berbuat lain. Meskipun ia menyadari,
bahwa ia harus mengatur kekuatannya agar ia tidak
kehabisan tenaga. Tetapi melawan Ki Wastu tidak ada yang
dapat dilakukannya, kecuali mengerahkan segenap
kemampuan dan kekuatannya. Jika ia tidak berbuat
demikian, maka kematiannya tentu akan datang semakin
cepat. Namun ternyata bahwa kematian itu lambat laun
semakin terbayang pula di rongga matanya. Ia merasa


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan orang tua itu.
Orang yang telah mampu membunuh dua orang
pengikutnya sekaligus. "Anak-anak setan itulah yang telah mengganggu
garangnya. Kehadiran Mahisa Pukat dan Mahisa Murti
benar benar telah menggagalkan usahanya. Tanpa
keduanya, maka ia akan bertempur bertiga bersama dua
orang pengiringnya melawan orang tua itu, yang ternyata ia
tidak mampu menghadapinya sendiri.
Terlintas maksudnya untuk melarikan diri. Namun
itupun akan sia-sia, Di seputar halaman rumah itu telah
penuh dengan anak-anak muda.
Namun sejenak komudian, Ki Wangut itupun telah
dikejutkan lagi oleh suara orang teriakan. Ternyata seorang
lagi lawan Mahendra telah terlempar jatuh. Bahkan
demikian kerasnya, sehingga ia telah terbanting membentur
dinding. Agaknya Mahendra telah mempergunakan kakinya
untuk menghatam lawannya. Ia masih berharap bahwa ia
akan dapat menangkap mereka hidup-hidup untuk
mendengar keterangannya. Karena itu, maka ia telah
menyerang orang itu dengan hentakkan kaki tepat pada
lambungnya. Tetapi ia tidak tahu pasti, apakah orang itu masih dapat
bertahan untuk hidup justru karena kepalanya membentur
dinding halaman, sehingga memungkinkannya menjadi
cidera karenanya, atau justru telah terbunuh.
Namun dengan demikian, maka lawan Mahendra telah
berkurang sehingga tinggal seorang saja. Seorang yang
memiliki kemampuan paling tinggi diantara ketiga orang
lawannya. Tetapi, ternyata bahwa orang itu tidak akan
mampu mengimbangi kemampuan Mahendra.
Seperti Ki Wangut, maka Ki Tunda Wara seolah-olah
telah dapat melihat akhir dari pertempuran itu. Seolah-olah
ia telah dapat melihat dirinya sendiri, mati terkapar di
halaman itu dengan luka yang menganga di dadanya.
Tetapi ia tidak akan dapat melepaskan diri dari akibat
seperti yang sudah terbayang itu. Ia tidak akan dapat
mengingkari kenyataan, bahwa ia telah terjerat olah nafsu
yang menyala pada adik seperguruannya untuk
mendapatkan harta benda yang melimpah. Namun yang
akhirnya telah menyeretnya ke dalam bayangan yang
sangat kelam. Dalam saat-saat terakhir itu, maka Ki Tunda Wara justru
telah bertekad untuk bertempur dengan segenap
kemampuan yang ada padanya. Karena itu. maka Ki Tunda
Wara itu telah mengerahkan segenap kemampuannya. Ia
telah membangunkan ilmu puncaknya untuk
menghancurkan kekuatan Mahendra.
Namun ia menjadi sangat kecewa. Mahendra sama
sekali tidak dapat dilawannya. Apapun yang dilakukannya,
seolah-olah tidak berarti apa-apa buat lawannya. Bahkan,
darahnya bagaikan mendidih ketika ia mendengar
Mahendra berkata "Menyerahlah Ki Sanak. Apakah kita
masih dapat berbicara"
"Anak iblis" geram Ki Tunda Wara. Dengan loncatan
yang garang ia telah menghentakkan segenap ilmunya
menghantam Mahendra. Tetapi usahanya itu sama sekali tidak berarti. Mahendra
yang masih belum sampai ke ilmu puncaknya, ternyata
masih mampu bertahan, meskipun ia harus bergeser
beberapa langkah surut. Tetapi Ki Tunda Warapun menyadari, bahwa lawannya
masih belum bersungguh-sungguh ingin membunuhnya.
Mahendra masih lebih banyak menghindar, menangkis dan
sekali-kali membenturkan senjatanya. Tetapi masih juga
terdengar Mahendra berkata "Apakah kau benar-benar
telah kehilangan akal?"
Ki Tunda Wara tidak menyahut. Ia benar-benar tidak
ingin menyerah. Apapun yang terjadi atas dirinya.
Namun dalam pada itu, Ki Tunda Wara harus melihat
kenyataan yang sangat pahit. Sejenak kemudian, ia melihat
Ki Wangut terdesak tanpa dapat berbuat sesuatu lagi. Ki
Tunda Wara melihat, betapa senjata Ki Wastu menghujam
di dada adik seperguruannya.
Namun tidak terdapat jerit dan sesambal. Yang terdengar
justru umpatan kasar. Tetapi umpatan itu segera terputus,
ketika orang itu terjatuh di tanah. Ki Wangut masih sempat
menggeliat. Namun sejenak kemudian maka nafasnyapun
telah lenyap dari rongga dadanya.
Dalam pada itu, Ki Tunda Wara tidak dapat melihat arti
dari perjuangannya selanjutnya. Adik seperguruannya yang
dibakar oleh nafsunya untuk memburu harta benda,
ternyata telah mengorbankan nyawanya. Karena itu, ketika
Ki Wangut benar-benar telah tidak dapat bernafas lagi,
maka Ki Tunda Warapun melompat mengambil jarak dari
lawannya sambil berkata "Aku tidak akan melawan lagi"
Ki Tunda Wara menjadi berdebar-debar ketika ia melihat
Mahendra menahan senjatanya. Bahkan kemudian ia tidak
memburunya dengan senjata teracu.
"Kau menyerah?" bertanya Mahendra.
"Bukan menyerah. Tetapi aku urungkan niatku untuk
bertempur lebih lama lagi, karena adik seperguruanku telah
terbunuh. Yang aku lakukan adalah membela Wangut
dalam perjuangannya. Tetapi ia sudah mati"
"Pengecut" tiba-tiba saja terdengar dua orang yang
masih bertempur melawan Mahisa Pukat dan Mahisa Murti
mengumpat hampir bersamaan.
"Tutup mulutmu" teriak Ki Tunda Wara "lurahmu
sudah mati. Apa lagi yang dapat kalian lakukan?"
"Kami akan berjuang sampai mati" sahut yang seorang.
"Tidak ada kata-kata menyerah di dalam jalur darahku"
teriak yang seorang. Ki Tunda Wara menjadi merah menyala. Tetapi sebelum
ia berbuat sesuatu, Mahendra talah berkata "Jangan
hiraukan. Tetapi aku ingin arti dari sikapmu. Letakkan
senjatamu" "Aku tidak menyerah. Tetapi aku mengurungkan
niatku" katanya mengulang.
"Sebelum kedua orang kawanmu menjadi korban?"
bertanya Mahendra. "Itu adalah karena kebodohannya sendiri, aku tidak
memerlukan mereka. Aku juga tidak memerlukan kedua
orang pengikut Wangut itu"
"Persetan Pengecut" teriak salah seorang dari keduanya
"aku kira kau benar-benar malampaui kejantanan Ki Lurah.
Tetapi ternyata Ki Wangut jauh iebih berharga dari
padamu. Jika ia melihat kelicikanmu, tentu adik
seperguruanmu itu tidak mau lagi mengakumu sebagai
saudara seperguruannya"
"Tutup mulutmu" teriak Ki Tunda Wara "atau aku akan
membunuhmu sama sekali"
"Jangan berbuat kesalahan untuk yang kedua kalinya"
Mahisa Pukatlah yang menjawab "yang pertama kau
adalah seorang pengecut. Dan yang kedua, kau akan
berkhianat terhadap kawan-kawanmu. Kau sangka, aku
tidak dapat membunuhnya jika ia benar-benar tidak mau
menyerah" "Anak iblis" teriak Ki Tunda Wara, sementara lawan
Mahisa Pukat itupun berteriak pula "jangan sombong anak
muda. Aku belum kau kalahkan"
"Sebentar lagi" jawab Mahisa Pukat. Lawannya tidak
sempat menjawab. Dengan garangnya Mahisa Pukat
menyerang lawannya seperti badai menghantam gunung.
Dalam pada itu, Mahendra yang berdiri berhadapan dengan
Ki Tunda Wara pada jarak beberapa langkah, berkata
"Marilah kita berbicara tentang keadaan kita"
Ki Tunda Wara menjadi tegang. Ia melihat lawan adik
seperguruannya yang telah kehilangan lawannya itu
melangkah perlahan-lahan mendekatinya.
"Menyerahlah. Jangan terlalu mengingat harga diri
jerkata Mahendra kemudian"
"Gila" teriak Ki Tunda Wara "sudah aku katakan, aku
tidak menyerah" "Jika demikian, kita akan bertempur terus. Aku masih
mempunyai waktu beberapa saat sambil menunggu kedua
anak-anakku itu menyelesaikan lawan-lawannya"
"Kau gila Mahendra. Kau terlalu sombong seperti anakanakmu.
Kau seolah-olah dapat menebak apa yang terjadi.
Tetapi aku masih belum merasa kau kalahkan"
"Baiklah" berkata Mahendra "kita akan bertempur terus.
Sementara Ki Wastu yang sudah tidak mempunyai lawan
lagi, akan menyaksikan, siapakah yang kalah dan siapakah
yang menang diantara kita"
Ki Tunda Wara menjadi ragu-ragu. Ia tahu pasti, bahwa
ia tidak akan dapat melawan Mahendra dengan cara
apapun juga. Iapun tidak akan dapat melarikan diri, karena
diseputar halaman itu telah penuh anak-anak muda
bersenjata telanjang. Meskipun mereka tidak berani terjun
kearena pertempuran, namun mereka akan dapat
menghalangi langkahnya, sehingga Mahendra akan dapat
menghujamkan senjatanya pada punggungnya.
"Semuanya akan sia-sia" katanya di dalam hati. Dan
penyesalan itupun bergejolak semakin keras di dalam
hatinya. Tetapi semuanya sudah terjadi. Kedua pengiringnya
sudah terbunuh. Adik seperguruannya yang telah
menyeretnya ke dalam persoalan inipun telah mati. Karena
itu. maka akhirnya ia berkata "Aku menyerah" Ki Tunda
Wara telah meletakkan senjatanya. Kemudian atas perintah
Mahendra ia melangkah surut.
"Serahkan tanganmu" berkata Mahendra "aku akan
mengikatnya dengan lulup kayu so"
Ki Tunda Wara mengerutkan keningnya. Dengan suara
bergetar ia berkata "Itu sesuatu penghinaan"
"Itu bukti bahwa kau benar-benar menyerah" sahut
Mahendra "aku akan membawamu ke Singasari. Tidak ada
tempat disini untuk menyimpanmu"
Wajah Ki Tunda Wara menjadi merah padam. Tetapi ia
benar-benar dihadapkan pada suatu kenyataan yang sangat
pahit. Adik seperguruannya yang menyeretnya ke dalam
keadaan itu ternyata sudah terbunuh.
Sementara itu ia masih mendengar salah seorang
pengikut Ki Wangut berterirak "Pengecut. Biarlah
tanganmu dan kakimu diikat bukan saja dengan kayu so.
Tetapi biarlah diikat dengan tampar ijuk yang paling kasar
Jangan mengharap bahwa kau akan diikat dengan cinde
berwarna Jingga" Ki Tunda Waia menggeram. Tetapi sebelum ia
menjawab maka yang terdengar adalah pekik melengking.
Orang yang baru saja berteriak itupun ternyata terdorong
beberapa langkah. Kemudian iapun terjatuh dengan darah
yang mengalir dari dadanya, ternyata satu dari sepasang
pedang Mahisa Pukat telah menyambarnya.
Orang itu tidak dapat mengeluh lagi. Iapun tidak dapat
mengumpat. Demikian ia terbanting, maka nafasnyapun
telah putus pula karenanya.
Lawan Mahisa Murti yang pantang menyerah itu
menjadi seperti seekor harimau gila. la menyerang sambil
berteriak-teriak bagaikan memecah langit. Namun Mahisa
Murti dengan hati-hati melawannya, sehingga ia sama
sekali tidak terpengaruh oleh keadaan lawannya.
Dalam pada itu, Mahendra, Ki Wastu, Mahisa Pukat
dan bahwa Ki Tunda Wara sendiri telah memperhatikan
tingkah laku orang itu dengan hati yang berdebar-debar,
seolah orang itu telah kehilangan nalarnya sama sekali.
Demikianlah, maka sesaat kemudian terdengar
Mahendra berkata "Ki Sanak. Apakah kau masih
mendengar Suaraku?" Ternyata orang itu tidak menghiraukannya. Ia masih
bertempur seperti orang yang kehilangan kemampuan untuk
mengendalikan dirinya. Sebenarnyalah orang itu telah putus asa. Pemimpinnya
telah mati terbunuh. Seorang kawannyapun telah terbunuh
pula, sementara orang yang dianggapnya memiliki
kelebihan melampui pemimpinnya, justru pengecut dan
bahkan telah menyerahkan tangannya untuk diikat.
Karena itulah, maka tidak ada yang dapat dilakukan
kecuali membunuh diri. Jika ia masih mampu, maka biarlah
ia mati bersama dengan lawannya.
Namun Mahisa Murti cukup berhati-hati. Ia tidak
terseret dalam irama pertempuran yang buas dan liar. Ia
masih mampu melihat keadaan dengan hati yang bening,
justru karena ia yakin, bahwa ia akan mampu mengatasi
keadaan yang bagaimanapun juga liarnya.
Sementara itu, memang tidak ada penyelesaian yang lain
dari pada menghentikan perlawanan itu dengan
kemungkinan yang paling pahit. Itulah agaknya yang telah
membayang di hati Mahisa Murti.
Dengan kemampuannya mempermainkan pedang
rangkapnya, ia berusaha untuk melukai lawannya. Ia
memang ingin mencoba untuk dapat menangkapnya hiduphidup.
Dengan sapuan mendatar ia telah mendorong lawannya
untuk meloncat mundur. Namun dengan teriakkan nyaring,
lawannya telah meloncat menyerang dengan garangnya.
Mahisa Murti sempat mengelak kesamping, sementara
itu pedang di tangan kanannya telah terjulur mematuk
pundak. Orang itu menyeringai menahan sakit. Namun ternyata
luka itu sama sekali tidak mempengaruhi. Orang itu masih
meloncat menyerang sambil menggeram.
Sekali lagi Mahisa Murti mengelak. Dan sekali lagi
pedangnya terjulur. Yang terdengar adalah sebuah teriakan
nyaring. Pedang Mahisa Murti telah menyentuh lambung.
Betapun darah telah membasahi tubuhnya, tetapi sama
sekali tidak mengurangi keliarannya. Ia justru bagaikan
benar-benar gila. Darah yang memerah itu membuatnya
menjadi semakin garang. Matanyapun bagaikan menjadi
merah seperti darahnya. Mahisa Murti melihat keadaan lawaknya yang telah


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kehilangan akal itu. Tiba-tiba saja hatinya dijalari oleh
perasaan ngeri yang luar biasa. Darah, luka dan tatapan
mata yang memancarkan kebencian dan dendam itu,
seolah-olah membuat lawannya bagaikan hantu yang
melihat bangkai tergolek di padang yang dikerumuni oleh
anjing- anjing liar, sementara di udara burung-burung gagak
terbang melingkar-lingkar sambil memekik tinggi.
Dengan penuh nafsu orang itu menyerang tanpa
pertimbangan nalar lagi. seolah-olah ia sedang berebut
dengan anjing-anjing liar dan burung pemakan bangkai
yang satu-satu menukik dari udara.
Perasaan ngeri yang sangat telah mencengkam jantung
Mahisa Murti. Justru karena itulah, maka tiba-tiba saja ia
telah berloncatan dengan tangkasnya. Menyerang lawannya
dengan tusukan langsung kearang jantung. Tetapi ketika
lawannya berusaha mengelak, maka serangan mendatar
telah menebasnya, langsung menyobek perutnya.
"Gila" Justru Mahisa Murtilah yang berteriak. Ia tidak
sempat melihat lawannya terhuyung-huyung dan jatuh di
tanah, karena iapun kemudian berlari meninggalkannya
dan seolah-olah ia berlindung di punggung ayahnya.
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Memang sangat
mengerikan. Tetapi ia tidak dapat menyalahkan anaknya.
Mahisa Murti memang sangat kurang pengalaman,
sehingga menghadapi peristiwa yang mengerikan itu,
hatinya menjadi kecut. "Sudahlah" berkata Mahendra "cobalah mengusai
perasaan kalian masing-masing. Yang terjadi di halaman
rumah ini, bukannya yang kita maksudkan. Kita telah
dihadapkan pada suatu keadaan tanpa dapat mengelak lagi"
Mahisa Pukatpun berdiri membeku. Ia telah
memalingkan wajahnya dari pandangan yang mengerikan
itu. Dalam pada itu, maka pertempuran di halaman itupun
telah terhenti. Orang-orang yang datang menyerang isi
halaman itu telah terbunuh kecuali Ki Tunda Wara yang
menyerah. Namun dalam pada itu, Mahendrapun berkata kepada
Ki Wastu, yang berdiri termangu-mangu "Ki Wastu,
apakah kedua orang pengikut orang ini telah mati pula?"
Ki Wastu segera menghampiri kedua orang pengikut Ki
Tunda Wara. Tetapi ternyata keduanyapun telah terbunuh.
Yang terlempar oleh kakak Mahendra ternyata telah
membentur dinding sedemikian kerasnya, sehingga tulang
kepalanya menjadi retak karenanya.
"Ki Sanak" berkata Mahendra kepada Ki Tunda Wara
"kau adalah satu-satunya orang yang masih hidup dari
antara kawan-kawanmu. Karena itu, kita akan pergi
bersama-sama ke Singasari. Aku akan membawamu
menyusul anakku Mahisa Bungalan. Entah, apakah yang
akan terjadi atasmu di Singasari. Tetapi orang-orang di
Singasari bukannya binatang buas yang selalu rakus untuk
minum darah korbannya"
Ki Tunda Wara yang merasa tidak mampu berbuat apaapa
lagi itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Lalu
katanya "Yang terjadi atasku nilalah satu kekeliruan besar.
Aku adalah orang yang cukup berhati-hati. Tetapi aku
masih juga terjerumus ke dalam keadaan yang pahit ini
karena aku tidak dapat mengelakkan diri dari sesambat adik
seperguruanku" "Kau harus menjelaskan semuanya kepada Mahisa
Bungalan dan mungkin orang-orang yang dihubunginya"
"Aku tidak banyak mengetahui persoalannya.
Keteranganku tidak akan ada artinya" berkata Tunda Wara.
"Biarlah orang-orang Singasari mengambil kesimpulan.
Aku akan mengantarkanmu. Jaraknya sudah dekat"
Ki Tunda Wara tidak dapat membantah lagi. Sementara
orang-orang padukuhan itu. membantu menyelenggara kan
mayat-mayat yang terkapar di halaman, maka Mahendra
pun bersiap-siap untuk pergi ke Singasari. Sementara itu,
Mahendra benar-benar telah mengikat tangan dan kaki Ki
Tunda Wara di dalam sebuah bilik yang tertutup rapat.
Tetapi ia tidak benar-benar mengikatnya dengan lulup kayu
so, tetapi dengan janget rangkap ganda.
"Maaf Ki Sanak" berkata Mahendra "meskipun aku
tahu, bahwa kau akan dapat memutuskan tali ini dengan
hentakan ilmumu, dan kemudian memecahkan dinding
kayu dari bilik ini, namun kau tentu memerlukan waktu.
Sementara aku akan dapat datang mencegahnya. Kau akan
berada di bawah pengawasan kedua anak-anakku, namun
mereka akan berada diluar dinding"
Baru setelah semuanya selesai, maka Mahendrapun
minta kepada Ki Wastu untuk berhati-hati bersama kedua
anak-anaknya menunggui perempuan anak Ki Wastu dan
cucunya yang sedang diburu itu.
"Aku akan pergi ke Singasari mengantarkan orang itu"
berkata Mahendra. Ki Wastu menundukkan kepalanya. Dengan suara yang
dalam ia berkata "Betapa besar pertolongan yang telah kami
terima. Sejak anakku itu di simpan di hutan tertutup,
melepaskannya dan membawanya kembali kepadaku.
Angger Mahisa Bungalan telah menyelamatkan kami dari
sergapan empat orang pengikut orang yang terbunuh itu.
Dan kemudian aku sudah membuat seisi rumah ini menjadi
sangat sibuk dan bahkan mempertahankan nyawanya pula"
Mahendra tertawa. Katanya "Aku tidak berbuat apa-apa
selain menetapi kewajibanku bagi sesama. Sudah
sewajarnya bahwa kita akan saling menolong.
Sebenarnyalah bahwa Ki Wastu memiliki kemampuan
menyelamatkan diri sendiri"
"Tetapi aku tidak dapat berbuat apa-apa" jawab Ki
Wastu. "Sudahlah" berkata Mahendra "marilah kita berdoa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, agar kita selalu
mendapatkan perlindungannya. Mudah-mudahan di
Singasari aku mendapat petunjuk lebih jelas tentang
keadaan Pangeran Kuda Padmadata"
Ki Wastu menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Aku
dan anak cucuku telah membuat bukan saja seisi rumah ini
menjadi sibuk dan bahkan mempertaruhkan nyawa, tetapi
ternyata aku sudah membuat seisi padukuhan ini terlibat
dalam persoalan yang sebenarnya sangat bersifat pribadi"
Mahendra tersenyum. Katanya "Sudahlah, tenangkanlah
hati anak cucumu" Ki Wastu mengangguk dalam-dalam. la benar-benar
mereka berhutang budi kepada keluarga itu. Bukan saja itu.
Bukan saja ia telah mendapat lompat, tetapi ternyata ia
telah mendapatkan perlindungan mereka pula. Tanpa
perlindungan keluarga Mahendra, maka anak dan cucunya
itu tentu telah dicincang menjadi berkeping-keping.
Sejenak kemudian, maka Mahendrapun telah
memberikan pesan-pesan kepada Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat, agar mereka berhati-hati.
Menurut perhitungan Mahendra, untuk beberapa saat
lamanya, tidak akan ada lagi bencana yang mengejar
perempuan dan anaknya itu. Mereka tentu memerlukan
waktu untuk mempersiapkan tindakan yang akan mereka
ambil selanjutnya, jika mereka mengetahui apa yang telah
terjadi. Dan itu akan memerlukan waktu yang cukup.
"Aku segera pulang" berkata Mahendra, lalu aku titipkan
kalian kepada Ki Wastu"
"Ah" desis Ki Wastu "kamilah yang menitipkan diri
kami disini" Mahendra tertawa. Katanya "Sebenarnya aku
menitipkan anak-anakku. Mereka masih terlalu hijau,
sehingga mereka harus selalu mendapat pengawasan. Lalu
katanya kepada kedua anak-anaknya "ikutilah petunjukpetunjuknya"
Mahisa Pukat dan Mahisa Murti mengangguk.
Merekapun mengerti bahwa orang tua yang datang bersama
kakaknya Mahisa Bungalan itu adalah seorang yang
memiliki ilmu yang tinggi, meskipun belum setingkat
dengan ayahnya "Kami akan melakukan semua pesan ayah" berkata
Mahisa Pukat kemudian. Mahendra mengangguk-angguk. Namun iapun yakin,
bahwa keadaan akan tidak bertambah buruk, la tidak akan
terlalu lama beradadi Singasari.
Demikianlah, maka Mahendra pun kemudian
meninggalkan rumahnya membawa Ki Tunda Wara ke
Singasari. Ia melepaskan segala ikatan dan membiarkan Ki
Tunda Wara berkuda bersamanya seperti dua orang dalam
perjalanan. Ternyata Ki Tunda Wara telah menerima keadaannya
dengan ikhlas. Sekilas iapun teringat kepada padepokannya.
Kepada beberapa orang perempuan yang disimpannya
dengan kekerasan. Dan kepada para pengikutnya yang
patuh dan takut kepadanya.
"Dalam keadaan ini mereka tidak berarti lagi bagiku"
berkata Ki Tunda Wara di dalam hatinya. Lalu katanya
"Ternyata bahwa aku telah bertemu seorang perkasa yang
meskipun baik hati, tetapi agak sombong juga. Ia yakin
bahwa aku tidak akan dapat berbuat apa-apa. Aku tidak
akan dapat melawannya, hingga aku dibiarkannya berkuda
seperti seorang sahabatnya"
Sebenarnyalah bahwa Ki Tunda Wara merasa tidak akan
dapat berbuat apa-apa lagi. Ketika ia memasuki gerbang
Singasari dan berkuda diantar orang-orang yang semakin
ramai, ada juga niatnya untuk melarikan diri. Namun justru
karena sikap Mahendra, ia menjari ragu-ragu dan bahkan
membatalkannya sama sekali.
"Gila" geramnya "jika anak iblis ini mengancamku dan
menakut-nakutiku, aku memang bernafsu untuk menyusup
di antara orang banyak. Ada kemungkinan, aku dapat
melenyapkan diri diantara mereka. Orang ini pada suatu
saat tentu lengah" Tetapi sikap Mahendra benar-benar telah mengikatnya
untuk tetap tunduk dan menurut perintahnya.
Ki Tunda Wara kadang-kadang mengumpat di dalam
hatinya jika ia memperhatikan sikap Mahendra. Kadangkadang
Mahendra yang bertemu dengan satu dua orang
yang dikenalnya, berbicara dan bahkan bergurau tanpa
memperhatikan Ki Tunda Wara. Tetapi Ki Tunda Wara itu
sudah kehilangan segala nafsunya untuk melepaskan diri
dari tangan Mahendra. "Aku akan menjadi buruan. Meskipun mereka tidak
mengetahui tempat tinggalku, tetapi jika mareka mencari
dengan sungguh-sungguh, tentu akan dapat mereka
ketemukan juga. Padepokan itu akan mereka hancurkan
menjadi karang abang. Dan pengikut-pengikutku yang tidak
bersalah akan menjadi korban juga. Biarlah hal itu
dilakukan atas padepokan Wangut yang tamak itu" katanya
di dalam hatinya. Karena itu, maka perjalanan Mahendra dan Ki Tunda
Wara tidak terhambat sama sekali. Mereka langsung
menuju ke istana Singasari untuk menemui Mahisa Agni,
karena Mehendra menganggap bahwa Mahisa Bungalan
tentu berada di sana pula.
Sebenarnyalah bahwa ketika Mahendra memasuki tempat
tinggal Mahisa Agni, maka dijumpainya Mahisa Bungalan
sedang di terima oleh Mahisa Agni di ruang belakang.
Kedatangan Mahendra dengan seseorang telah
mengejutkan mereka. Apalagi Mahisa Bungalan. Kepergian
ayahnya berarti kekosongan di rumahnya. Dengan
demikian, akan dapat membahayakan bukan saja Ki Wastu
dan anak cucunya, tetapi tentu juga Mahisa Pukat dan
Mahisa Murti. Mehendra yang kemudian duduk, di hadapan Mahisa
Agni itupun nampaknya melihat kegelisahan di hati
anaknya. Karena itu, ketika Mahisa Agni telah
menanyakan keselamatannya di perjalanan, maka iapun
segera berkata "Mahisa Bungalan. aku terpaksa
meninggalkan rumah kita untuk mengantarkan tamu yang
akan menyusulmu" "Siapakah orang itu ayah?" bertanya Mahisa Bungalan.
"Aku belum mengenalnya"
Wajah Mahisa Bungalan menjadi merah. Katanya
"Tetapi itu sangat mendebarkan. Apakah orang ini benarbenar
ingin mencari aku seperti yang dikatakannya, karena
akupun belum mengenalnya pula"
Mahendrapun segera menyahut "Atau sekedar
memancing agar aku pergi meninggalkan rumah sehingga
orang yang bermaksud jahat akan dapat dengan mudah
melakukannya?" Wajah Mahisa Bungalan menegang. Sementara Ki
Tunda Wara hanya menundukkan kepalanya saja.
"Mahisa Bungalan, sebenarnyalah yang kau cemaskan
itu sudah terjadi" Mahisa Bungalan dan Mahisa Agni terkeiut mendengar
keterangan itu. Dengan gelisah Bungalan bertanya "Jadi
apakah maksud ayah datang dengan orang ini" Apakah
yang telah terjadi di rumah kita?"
"Salah seorang dari mereka yang dalang adalah orang
ini" berkata Mahendra.
Wajah Mahisa Bungalan menjadi semakin tegang.
Sementara itu Mahendrapun segera menceriteakan apa
yang telah terjadi. Dan iapun mengatakan, siapakah orang
yang telah dibawanya itu.
Mahisa Agni dan Mahisa Bungalan termangu-mangu
sejenak. Namun keduanya menarik nafas dalam-dalam.
Dengan nada dalam Mahisa Agni bertaka "Jadi, telah
terjadi kematian di halaman rumahmu Mahendra?"
"Apa boleh buat" jawab Mahendra "kami tidak dapat
menghindarnya. Yang seorang ini yang menurut
keterangannya bernama Tunda Wara, dan akan aku
serahkan kepada yang berwajib di Singasari"
Mahisa Agni dan Mahisa Bungalan menganggukangguk.
Semuanya menjadi jelas bagi mereka. Orang yang
datang bersama Mahendra. yang nampaknya seperti
seorang sahabat yang bepergian bersama itu, ternyata
adalah orang yang ingin melakukan pembunuhan yang


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sangat keji. "Mengerikan sekali Ki Sanak berkata Mahisa Agni" jika
yang kau rencanakan itu benar-benar terjadi, maka seorang
perempuan dan seorang anak laki-lakinya akan mati
terkapar di halaman. Mungkin kalian akan memotong
bagian dari badannya untuk bukti bahwa kalian telah
melakukannya" Ki Tunda Wara menarik nalas dalam-dalam. Katanya
"Bukan akulah yang sebenarnya ingin melakukannya tuan
tetapi aku sekedar menuruti tangis adik seperguruanku. la
mendapat upah dari seseorang untuk melakukan perbuatan
yang terkutuk itu" "Dan kau membantunya pula" potong Mahisa Bungalan.
Ki Tunda Wara menunduk semakin dalam. Tetapi
kemudian sambil mengangguk ia menjawab "Kau benar
anak muda. Aku telah membantunya"
Mahisa Agni beringsut sejenak. Dengan sareh ia
mencoba menanyakan segala sesuatu yang diketahui oleh
Ki Tunda Wara tentang rencana adik seperguruannya.
Tetapi Ki Tunda Wara tidak banyak mengetahuinya. Iapun
tidak mengetahui siapakah orang yang telah mengupah
adiknya itu. "Saudara laki-laki Pangeran Kuda Padmadata atau orang
lain" Atau barangkali ada nama perempuan lain sebagai
sisihan Pangeran Kuda Padmadata?"
"Semuanya tidak jelas bagiku" jawab Ki Tunda Wara
"aku tidak banyak mempersoalkan mula-mula. Namun itu
adalah satu kesalahan bagiku sehingga aku sekarang
terjerumus ke dalam kesulitan yang parah. Aku adalah
seorang tawanan, yang mungkin akan mengalami perlakuan
yang tidak menyenangkan jika aku tidak dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan mereka yang akan memeriksa aku"
"Kenapa?" bertanya Mahisa Bungalan.
"Aku akan diperas untuk memberikan keterangan yang
memang tidak aku ketahui" desis Ki Tunda Wara.
"Tidak" sahut Mahisa Agni "kau tidak akan
diperlakukan kasar. Aku percaya akan segala keterangan
mu. Kau memang tidak banyak mengetahui persoalan ini.
Kau terlibat ke dalam satu keadaan yang tidak kau pahami"
"Aku menyesal" jawab Ki Tunda Wara.
"Meskipun demikian" berkata Mahisa Agni kemudian
"kau akan tetap menjadi seorang tawanan. Aku akan
menempatkan kau dalam pengawasan yang kuat, karena
aku tahu bahwa kau adalah seorang yang memiliki
kemampuan yang sangat tinggi"
"Jika demikian, aku tidak akan tertangkap" desis Ki Tunda
Wara. Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Namun
katanya kemudian "Tetapi meskipun demikian, tidak ada
dinding kayu yang dapat menahanmu Ki Sanak. Karena
itu, kau memerlukan pengawasan yang kuat"
Ki Tunda Wara mengangguk sambil menjawab "Aku
seorang tawanan. Aku menyerahkan diriku kepada
kebijaksanaan tuan. Namun aku berjanji, jika masih ada
sedikit kepercayaan kepadaku, bahwa aku tidak akan lari"
Mahisa Agni memandang Ki Tunda Wara sejenak. Lalu
katanya "Aku percaya. Tetapi itu bukan berarti bahwa aku
melepaskan niatku untuk memberikan pengawasan"
Ki Tunda Wara tidak menyahut, meskipun kepalanya
terangguk-angguk kecil. Demikianlah, maka Ki Tunda Warapun diserahkan
kepada seorang Senopati muda untuk menempatkannya
dalam sebuah bilik yang dijaga kuat. Sementara Mahisa
Agni, Mahisa Bungalan dan Mahendra masih berbincang
dengan sungguh-sungguh. "Perjalanan ke Kediri bukan perjalanan yang ringan"
berkata Mahisa Agni. "Aku mengerti paman" jawab Mahisa Bungalan.
"Sementara persoalan yang kau hadapipun merupakan
persoalan yang rumit. Kau tidak pasti latar belakang dari
peristiwa itu. Kita hanya mendasarkan tindakan kita pada
keterangan sebelah. Maksudku dari pihak Ki Wastu itu saja.
Tetapi kita belum pernah mendengar keterangan dari pihak
Pangeran Kuda Padmadata" berkata Mahisa Agni.
"Ya paman. Tetapi menilik sikap dan tindakan orangorang
yang memburu anak dan cucu Ki Wastu itu, maka
aku dapat mengambil kesimpulan, bahwa ada pihak yang
ingin melenyapkan ibu dan anak itu dengan kasar dan
buas" jawab Mahisa Bungalan.
Mahisa Agni memandang Mahendra sejenak. Kemudian
iapun bertanya "Bagaimana pendapatmu Mahendra?"
"Aku sependapat dengan Mahisa Bungalan. Tetapi aku
ingin memberikan pesan, bahwa di Kediri tentu ada pihak
yang dapat menjadi sangat berbahaya bagi Mahisa
Bungalan. Apalagi jika mereka mengerti maksud
kedatangannya. Karena itu, perjalanan ke Kediri akan
merupakan perjalanan yang gawat"
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Sementara
Mahendra berkata selanjutnya "Tindakan yang tidak
tanggung-tanggung dari orang-orang yang memburu
perempuan dan anak laki-lakinya itu merupakan sebagian
kecil dari kesulitan yang akan kau hadapi di Kediri"
"Ya ayah" desis Mahisa Bungalan "tetapi niat itu tentu
bukannya harus dibatalkan"
"Ya" tiba-tiba saja Mahisa Agni menjawab "kau
memang harus pergi ke Kediri. Kau harus menghadapi
persoalan ini betapapun berat. Tetapi kau tidak akan pergi
seorang diri" Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya, sementara
Mahisa Agni melanjutkan "Aku akan pergi bersamamu"
Mahisa Bungalan terkejut mendengar kesediaan Mahisa
Agni untuk pergi bersamanya. Ia menjadi sangat gembira
karenanya. Tetapi dengan demikian iapun menyadari,
betapa tugas itu sangat berat jika harus dilakukannya
sendiri. Dalam pada itu, Mahendralah yang justru menyahut
"Terima kasih kakang. Tetapi apakah dengan demikian, hal
ini tidak akan membuatmu menjadi sibuk. Saat-saat kau
harus beristirahat, maka kau dihadapkan pada Suatu
pekerjaan yang menuntut kesungguhan karena yang akan
dihadapi mungkin adalah kekerasan"
Mahisa Agni tersenyum sambil berkata "Umur kita tidak
terpaut banyak. Dan kau masih juga menjelajahi sudut
negeri ini" "Itu adalah caraku mencari nafkah. Jika aku berhenti
bertualang, maka keluargaku akan menghadapi kesulitan"
jawab Mahendra. Mahisa Agnipun tertawa. Katanya pula "Tidak ada
bedanya. Akupun masih ingin menjelajahi segala sudut
negeri ini. Termasuk Kediri. Sudah lama aku tidak melihat
kota itu. Kau tentu ingat, bahwa aku pernah berada di
Kediri, sehingga kadang-kadang aku memang merindukan
kota yang bersih itu"
Mahendrapun tertawa pula. Katanya "Apa boleh buat
jika kau menganggap bahwa perjalanan itu adalah
perjalanan tamasya untuk mengenang satu masa yang
pernah kau hayati. Tetapi masa itu telah silam dan tidak
akan kembali lagi" "Kadang-kadang memang ada satu kerinduan pada masa
lampau" jawab Mahisa Agni. Lalu tiba-tiba "Mungkin
Witantra yang pernah tinggal di Kediri pula, tidak akan
berkeberatan pergi bersama kami"
"Kakang Witantra?" desis Mehendra.
"Ya" Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya
kemudian "Sayang. Aku mempunyai tanggungan di rumah.
Aku tidak berani meninggalkan mereka terlalu lama. Jika
tidak ada perempuan dan anak laki-lakinya yang sedang
diburu oleh maut itu, akupun sebenarnya ingin ikut pula
bersama kalian" Mahisa Agni tertawa. Katanya "Kau seperti kanak-kanak
yang melihat ibunya pergi ke pasar"
"Sayang sekali" jawab Mahendra, lalu "bahkan aku tidak
sampai hati meninggalkan mereka terlalu lama. Aku sudah
mendapat jaminan bahwa perjalanan Mahisa Bungalan
akan mendapat perlindungan, sehingga karena itu, maka
sebaiknya aku kembali pulang"
"Mudah-mudahan perjalanan kami selamat. Kami tidak
tahu, siapakah yang ternyata harus kami hadapi di Kediri"
berkata Mahisa Agni. "kakang tidak akan kekurangan cara untuk mengurai
persoalan itu" jawab Mahendra "kita akan saling berdoa,
mudah-mudahan kita masing-masing akan dapat berbuat
sebaik-baiknya menghadapi persoalan yang tiba-tiba saja
sudah dihadapkan ke dada kita"
"Ya" jawab Mahisa Agni "kita tidak akan dapat ingkar
lagi Mahisa Bungalan agaknya dengan tiba-tiba dihadapkan
pada persoalan ini di perjalanannya, sehingga akhirnya ia
memang memerlukan kita yang tua-tua"
Mahendrapun kemudian minta diri untuk segera kembali
kerumahnya. Ia tidak dapat terlalu lama membiarkan kedua
anak-anaknya tidak dalam pengawasannya justru karena
ada orang lain di rumahnya yang setiap saat dapat
mengundang bahaya. Tetapi iapun tidak dapat melepaskan
diri dari tanggung jawabnya atas sesama, karena orangorang
itu memang memerlukan pertolongan. Meskipun
ayah dari perempuan yang sedang diburu itu adalah seorang
tua yang memiliki ilmu yang tinggi, tetapi ia tidak akan
dapat berdiri sendiri menghadapi kekuatan yang tidak
seimbang, sehingga iapun memerlukan pertolongan orang
lain. Demikian maka Mahendrapun meninggalkan kota
sebelum hari menjadi gelap. Sementara Mahisa Agni dan
Mahisa Bungalan telah siap untuk mengunjungi Witantra.
Mereka akan merencanakan sebuah perjalanan. Baru
kemudian mereka akan menghadapi Maharaja Singasari
untuk menyampaikan maksudnya.
Kedatangan Mahisa Agni dan Mahisa Bungalan
dirumah Witantra ternyata telah mengejutkannya. Dengan
serta merta Witantrapun menanyakan kapan Mahisa
Bungalan kembali dari perjalanannya.
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Sementara Mahisa
Bungalan meneruskan keterangan dan rencananya untuk
pergi ke Kediri bersama Mahisa Agni.
"Jadi kau akan pergi juga Mahisa Agni" Witantra
mengerutkan keningnya. "Kemarin pagi paman" sahut Mahisa Bungalan.
"Kau sudah puas dengan pertanyaanmu?" bertanya
Witantra pula. Mahisa Bungalan menjadi ragu-ragu. Akhirnya ia
menjawab "Aku terpaksa pulang, paman"
"Kenapa terpaksa?" bertanya Witantra. Mahisa
Bungalan kemudian menceritakan pengalamannya sehingga
ia harus kembali pulang dengan membawa seorang kakek
serta anak dan cucunya. "Ya. Dan kami tidak hanya akan pergi berdua" jawab
Mahisa Agni. "Siapa lagi?" bertanya Witantra.
"Jika kakang Witantra pergi juga. maka perjalanan kami
akan menjadi sangat menyenangkan"
Witantra termangu-mangu sejenak. Namun iapun
tersenyum sambil berkata "Aku sudah terlalu tua. Tetapi
agaknya menarik juga untuk pergi ke Kediri. Aku sudah
lama tidak melihat kota itu"
"Nah bukankah kita yang tua-tua ini mempunyai
kepentingan yang serupa" Berusaha mengenang kembali
masa-masa lampau" sahut Mahisa Agni.
Witantra tersenyum. Memang menarik untuk melihatlihat
daerah yang sudah lama tidak dilihatnya. Namun yang
lebih menarik lagi adalah persoalan yang dibawa oleh
Mahisa Bungalan. Di Kediri mereka harus berusaha bertemu dengan
Pangeran Kuda Padmadata. Meskipun tidak dikenalnya
secara pribadi dengan rapat, namun mereka telah
mendengar siapakah Pangeran Kuda Padmadata. Seorang
yang masih sangat muda ketika mereka berada di Kediri.
Tetapi adalah Suatu hal yang sangat wajar, jika Pangeran
Kuda Padmadata itulah yang pernah mengenal Mahisa
Agni atau Witantra yang pernah bertugas di Kediri.
"Bagaimana pendapatmu Witantra?" bertanya Mahisa
Agni. Witantra menarik natas dalam-dalam. Katanya
kemudian "Baiklah. Aku akan menyertai kalian pergi ke
Kediri. Mungkin kita akan menjumpai beberapa hal yang
menarik" "Tetapi mungkin juga menegangkan" sahut Mahisa
Agni. "Memang mungkin sekali. Kita tidak tahu, siapakah
sebenarnya yang bermain dibelakang segala peristiwa itu.
Mungkin orang lain. Mungkin keluarga terdekat dari
Pangeran Kuda Padmadata. bahkan mungkin Pangeran
Kuda Padmadata sendiri"
"Kenapa Pangeran itu sendiri paman?" bertanya Mahisa
Bungalan. "Ia tidak ingin dibayangi oleh darah padukuhan yang
lahir sebagai anak laki-lakinya. la tidak ingin melihat lagi
langkahnya yang dianggapnya sesat, setelah ia berada
kembali di dalam lingkungan para bangsawan. Mungkin
pula isterinya yang lain, yang diambilnya dari katangan
bangsawan tidak mengetahui apa yang pernah dilakukan
oleh Pangeran Padmadata. Tetapi masih ada kemungkinan
kemungkinan yang lain lagi. Kita tidak dapat menebak saja.
Tetapi kita harus melakukan pengamatan dengan seksama"
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Sebagian
keterangan yang pernah didengarnya dari peristiwa itu,
memang belum merupakan pegangan yang dapat diyakini.
Pendapat, dan mungkin pendengaran dari Ki Wastu.
bahkan dari anak perempuannya itu sendiri, masih
mungkin pula bukannya kebenaran.
"Yang kita ketahui, barulah kenyataan-kenyataan yang


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terjadi" berkata Witantra kemudian "bahwa perempuan itu
telah diambil dari rumahnya dan disimpan di hutan
tutupan. Bahwa seorang hamba yang setia telah
mengorbankan dirinya untuk melindurgi anak laki-laki itu,
sementara kemudian kau berhasil membebaskan perempuan
itu dari tangan mereka yang menyimpannya. Latar
belakang dari segala yang terjadi itu masih belum jelas"
"Itulah yang akan kita cari di Kediri" desis Mahisa Agni.
"Baiklah kita bersiap-siap. Kita akan segera berangkat.
Persoalannya tidak boleh berlarut-larut, karena bahaya
maut selalu mengejar perempuan dan anak laki-lakinya.
Bahkan bahaya yang gawat akan mungkin sekali mengintai
keluarga Mahisa Bungalan yang ditinggalkan di rumah"
Demikianlah, maka Witantrapun segera mempersiapkan
diri. Mahisa Agni dan Mahisa Bungalan bermalam satu
malam di rumah Witantra. Di hari berikutnya, maka
merekapun menghadap Maharaja Singasari untuk mohon
diri. Mereka tidak mengatakan alasan mereka yang
sebenarnya, selain karena keinginan mereka untuk melihat
kota yang sudah lama tidak mereka lihat itu.
Ranggawuni yang memegang tahta Kediri, tidak
menahannya. Namun ia bertanya kepada Mahisa Bungalan
"Apakah kau masih memerlukan waktu yang panjang
untuk memuaskan darah petualanganmu sebelum kau
memasuki satu lingkungan yang mapan?"
Mahisa Bungalan menundukkan kepalanya dalamdalam.
Dengan suara dalam ia menjawab "Ampun tuanku.
Sebenarnyalah bahwa perjalanan hamba ini adalah
perjalanan yang terakhir. Hamba memang ingin mengikuti
kedua paman hamba ini untuk melihat-lihat Kediri saat ini"
Ranggawuni tersenyum. Katanya "Baiklah. Tetapi
cepatlah kembali" Mahisa Bungalan menunduk semakin dalam. Sementara
Ranggawuni yang bergelar Sri Jaya Wisnuwardhana itu
berkata selanjutnya. "Sudah masanya kau menempatkan
dirimu pada tempat yang sesuai dengan pilihanmu"
"Hamba akan menjunjung titah tuanku" jawab Mahisa
Bungalan. Dengan dimikian, maka ketiga orang itupun segera
meninggalkan Singasari. Namun Mahisa Agni tidak sampai
hati untuk melepaskan keluarga Mahendra begitu saja.
Karena itu, agar Mehendra tidak terlalu terikat kepada
kewajibannya untuk melindungi orang-orang yang sedang
diburu itu, maka iapun telah mengirimkan dua orang
petugas sandi untuk membantu setiap saat diperlukan.
"Kau berada disana sampai Mahisa Bungalan kembali"
berkata Mahisa Agni "katakan kepada Mahendra bahwa
akulah yang memberimu perintah. Aku memilih kalian
berdua, karena Mahendra telah mengenal kalian. Jika orang
lain yang datang, maka ia akan segera mencurigainya
karena justru ia berada dalam keadaan yang gawat"
Hampir berbareng dengan saat keberangkatan Mahisa
Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan, maka kedua orang
itupun pergi kerumah Mahendra. Mereka harus ikut
mengamati keadaan rumah itu. Tanpa mereka, maka
Mahendra tidak akan dapat berbuat apa-apa sama sekali
diluar rumahnya, sehingga ia tidak akan dapat bekerja
untuk mencapai nafkah, atau kepentingan-kepentingan lain
diluar padukuhannya. Dalam pada itu, maka tiga ekor kuda telah berderap
meninggalkan gerbang kota Singasari menuju ke Kediri.
Perjalanan yang membawa kewajiban yang berat, meskipun
sebenarnya masalah itu adalah masalah orang lain. Namun
diluar kesadaran Mahisa Bungalan, iapun telah terlibat
terlalu jauh sehingga ia tidak mungkin lagi melepaskannya,
karena masalahnya akan menyangkut jiwa seorang
perempuan dan anak laki-lakinya.
Perjalanan ketiga orang itu ternyata mengandung
kegembiraan tersendiri, disamping ketegangan karena
kewajiban mereka. Di perjalanan mereka melihat sesuatu
yang sudah lama tidak mereka lihat. Perubahan-bahan yang
terjadi membuat hati mereka menjadi cerah. Dengan
demikian, maka Singasari benar-benar telah berkembang.
Namun ada juga daerah yang mereka jumpai masih
seperti beberapa saat yang lampau. Tanpa perubahan
apapun juga. Jalan-jalan, parit-parit dan dinding padukuhan
dengan cepat dapat mereka kenali sebagaimana mereka
lihat beberapa waktu yang lewat.
"Daerah ini perlu mendapat perhatian" berkata Mahisa
Bungalan "seolah-olah daerah ini adalah daerah yang mati.
Meskipun tanahnya subur dan air yang mengalir diparit itu
tidak pernah kering, namun jika penghuni daerah ini sudah
menjadi puas dengan keadaannya, maka daerah ini akan
segera ketinggalan" "Ya" Witantra mengangguk-angguk "daerah lain telah
berkembang semakin pesat dengan perluasan daerah
persawahan dan kerja yang lain atas dasar peningkatan
ketrampilan, maka daerah ini sama sekali tidak bergerak"
"Kita akan singgah di padukuhan ini kelak jika kita
kembali" berkata Mahisa Agni "kita akan melihat apakah
sebabnya maka daerah ini merupakan daerah yang terhenti
perkembangannya. Mungkin justru karena daerah ini
adalah daerah yang subur, sehinggu tanpa kesulitan apapun
juga, segala kebutuhan penghuninya telah terpenuhi"
Namun bagaimanapun juga, padukuhan itu terasa sangat
sepi, meskipun suasananya sangat tenang. Di padukuhan
lain terdengar suara pandai besi yang sedang menempa
beberapa jenis alat pertanian, sementara mereka kadangkadang
bertemu dengan seiring itik yang digembalakan.
Tetapi mereka tidak menemukan apa-apa di padukuhan
itu selain parit yang mengalirkan air yang bening, serta
sawah yang nampak hijau segar. Pohon nyiur yang
bergoyang disentuh angin yang lembut di sepanjang dinding
padukuhan, melingkar dari ujung sampai keujung.
Namun bagaimana juga perjalanan itu memang sangat
menarik. "Kita akan singgah di rumah seseorang, atau kita akan
langsung pergi ke istana Pangeran Kuda Padmadata?" tibatiba
saja Mahisa Bungalan bertanya.
"Pangeran Kuda Padmadata akan segera mengetahuinya
pula. Jika ia pernah mendengar namamu, maka orang yang
ada di sekitarnya, yang berhubungan dengan peristiwa Ki
Wastu serta anak cucunya itu, akan segera bersiap-siap"
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Lalu "Jadi,
apakah yang sebaiknya kita lakukan?"
"Apakah kita akan singgah lebih dahulu di istana Panji
Kudasuwana, yang kini bertugas di Kediri sebagai wakil
kekuasaan Singasari?" bertanya Mahisa Bungalan.
"Jangan Mahisa Bungalan" sahut Mahisa Agni "dengan
demikian kedatangan kita akan cepat diketahui. Apalagi
aku dan pamanmu Witantra pernah pula berada di Kediri
dalam kedudukan yang serupa"
"Apa salahnya paman?" bertanya Mahisa Bungalan.
Dengan ragu-ragu ia memandang wajah Mahisa Agni
yang sudab berubah pula, Namun akhirnya ia mulai
mengenalinya. Mahisa Agni termangu-mangu sejenak. Namun iapun
kemudian berkata "Kita tentu tidak akan dapat langsung
menuju ke istana Pangeran Kuda Padmadata. Kita harus
berusaha mendapat keterangan serba sedikit tentang
keadaannya. Keluarganya dan mungkin sesuatu yang dapat
memberikan gambaran tentang dirinya"
Witantra mengangguk-angguk sambil menyahut " Ya
Kita akan mencari beberapa keterangan tentang dirinya.
"Kita akan singgah di rumah kakang Daredu. Ia adalah
seorang pekatik yang pernah aku kenal ketika aku berada di
Kediri. Aku pernah melihat rumahnya dan akupun
mengenal keluarganya" sahut Mahisa Agni.
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Agaknya yang
dikatakan oleh Mahisa Agni itu memang paling baik bagi
mereka. Demikianlah, setelah mereka menempuh perjalanan
yang panjang, mereka semakin mendekati Kediri. Tetapi
karena perjalanan mereka bukannya perjalanan yang
tergesa-gesa maka mereka bertiga telah bermalam satu
malam di perjalanan. Mereka memasuki Kediri menjelang sore dihari berikutnya.
Mahisa Agni ternyata masih tetap mengenal jalan-jalan di
dalam kota Kediri yang memang tidak terlalu banyak
berubah. Sehingga dengan demikian, maka Mahisa Agni
akan dapat langsung menamukan jalan ke rumah Daredu,
seorang pekatik yang pernah dikenalnya ketika ia berada di
Kediri. Kedatangannya benar-benar telah mengejutkan seisi
rumah yang tidak begitu besar itu. Daredu yang umurnya
sebaya dengan Mahisa Agni, telah nampak menjadi
semakin tua. Agak lebih tua dari Mahisa Agni.
"Aku Mahisa Agni Ki Daredu "
"O, Tuanku" tiba-tiba saja Ki Daredu menjatuhkan diri
berlutut di hadapan Mahisa Agni. Namun cepat Mahisa
Agni menarik pundaknya sambil berkata "Berdiri sajalah.
Aku minta kepadamu" "Ampun tuanku" Daredu masih gemetar karena terkejut.
"Berdirilah, untuk kepentinganku"
Dengan ragu-ragu Daredu berdiri meskipun sambil
terbungkuk-bungkuk. "Aku datang untuk mengunjungimu" berkata Mahisa
Agni yang muda ini adalah kemanakanku, sedang yang
setua aku ini adalah kakang Witantra. Bukankah kau juga
pernah mengenal namanya?"
Pekatik yang nampak sudah lebih tua dari umur yang
sebenarnya itu menjadi semakin heran. Dengan suara
tertahan ia berkata "Tentu. Aku sudah mengenal tuanku
berdua. Tuanku berdua pernah menjadi wakil kekuasaan
Singasari di Kediri. Dan hamba adalah pakatik yang
rendah. Kedatangan tuanku membuat aku menjadi
bingung" Mahisa Agni tertawa. Katanya "Ki Daredu. Jangan
bingung. Aku datang untuk satu kepentingan yang tidak
berarti. Aku ingin melihat kota yang bersih dan segar.
Sebenarnyalah aku rindu untuk berkunjung ke kota ini.
Tetapi jika aku datang dengan resmi mengunjungi Panji
Kudasuwara, maka aku akan kehilangan banyak
kesempatan untuk melihat-lihat, karena upacara resmi akan
mengikatku" "Tetapi tuanku bertiga akan mendapat tempat, yang
baik, sesuai dengan kedudukan tuanku bertiga" berkata
Daredu. "Aku justru ingin menyusuri jalan kota Kediri dengan
bebas. Aku ingin menyusup ke lorong-lorong kecil dan
pasar-pasar yang terselip di sudut-sudut kota" jawab Mahisa
Agni. Ki Daredu masih termangu-mangu. Nemun kemudian
Mahisa Agni berkata "Ki Daredu, apakah kami tidak kau
persilahkan masuk ke dalam rumahmu?"
"Tentu tuanku" jawab Ki Daredu tergopoh-gopoh.
Namun kemudian "tetapi, rumah ini adalah rumah yang
kecil,, buruk dan tidak mempunyai perabot sama sekali"
"Kami adalah orang-orang yang pernah menjadi prajurit.
Bahkan sebelumnya kami adalah petualang-petualang yang
dapat tinggal di sembarang tempat dan keadaan. Prajurit
tidak memilih medan. Di manapun ia berada, ia harus
dapat menyesuaikan dirinya" jawab Mahisa Agni.
Ki Daredu tidak dapat berbuat lain kecuali mempersilah
kan tamu-tamunya masuk ke dalam rumahnya yang tidak
begitu besar. Di ruang depan yang disekat dengan dinding
bambu dengan bilik-bilik berjajar tiga, dan berpintu rendah,
terhampar sebuah amben bambu yang besar. Tidak ada
pendapa yang luas dan tidak ada gandok di sebelah
menyebelah. Tetapi amben itu cukup luas untuk duduk dan
mungkin juga untuk tidur bertiga.
Betapa enggannya Ki Daredu menerima tamu yang
baginya terlalu agung itu. Namun ia harus menerimanya
dan mampersilahkan mereka duduk.
"Ampun tuanku. Kami sekeluarga tidak tahu, apakah
yang harus kami perbuat bagi tuanku bertiga"
Witantra tersenyum. Katanya "Perlakukan kami seperti
orang lain yang datang berkunjung kepadamu. Kau lihat,
bahwa kami tidak mengenakan pakaian kebesaran sama
sekali, sehingga kami tidak datang dalam kedudukan kami.
Kami datang atas keinginan pribadi dalam kepentingan
yang bersifat sangat pribadi pula"
Ki Daredu bergeser setapak dengan gelisahnya.
Jawabnya "Betapapun juga aku mengerti, siapakah tuanku
ini" Tetapi sambil tertawa Witantra menjawab "Anggaplah
kami orang lain dari yang pernah kau kenal itu"
Ki Daredu menundukkan kepalanya dalam-dalam sambil
berkata "Aku sekaluarga akan mencobanya tuanku"
"Jangan segan. Dan jangan kau katakan kepada i apapun
juga siapakah kami sebenarnya. Katakanlah, bahwa kami
adalah saudara-saudaramu yang datang dari jauh, sedang
anak muda ini adalah kemanakanmu"
"Ah mana mungkin tuanku. Ujud lahiriahku sama sekali
tidak pantas untuk manyebut tuanku demikian" jawab Ki
Daredu. Mahisa Agnipun tertawa. Katanya "Tetapi kau tentu
tidak berkeberatan memenuhi permintaanku. Panggillah
kami sebagai mana kalian memanggil saudara-saudaramu"
Ki Daredu masih saja dicengkam oleh keragu-raguan.
Namun katanya kemudian "Biarlah aku menyebut seperti
seharusnya. Hanya jika tuanku berbaksud demikian, biarlah
aku mencoba melakukan di hadapan orang lain"
"Baiklah" jawab Mahisa Agni "dan sekali lagi aku
berpesan, bahwa kau dan keluargamu jangan sekali-kali
mengatakan siapakah aku sebenarnya"
"Bagaimana aku akan menyebut sebuah nama jika ada
orang yang bertanya kepadaku tuanku" bertanya Ki
Daredu. Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Lalu katanya


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sebut saja dengan nama apapun juga"
"Ya, tetapi nama apakah yang paling pantas aku
ucapkan?" "Sebut aku dengan Damar dan kakang Witantra dengan
Gantar. Sedang anak muda ini sebut saja namanya
Bungalan. Ia memang bernama demikian"
Ki Daredu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu
Mahisa Agni berkata seterusnya "Jika kau tidak
berkeberatan aku akan tinggal di rumahmu barang tiga
empat hari. Kau tidak usah memikirkan apapun juga. Kami
dapat tidur di amben ini, dan kamipun dapat makan apa
yang selalu kau makan sehari-hari"
"Ah" desah Ki Daredu. Namun Witantra segera berdesis
"Jangan ragu-ragu. Kami sangat mengharap kesediaanmu
menerima kami dalam keadaan yang wejar saja seperti kau
menerima orang lain. Kecuali kami tidak membuat kalian
terlalu sibuk dengan berbagai macam ketentuan unggahungguh,
tamipun akan mendapatkan kesempatan untuk
berbuat dengan kepentingan kami sekarang ini"
Ki Daredu memandang Witantra dengan ragu. Semen
tara Mahisa Agni menjelaskan "Kami memang mempunyai
kepentingan khusus Ki Daredu. Nanti kau akan kami
beritahu. Aku tahu, bahwa kau adalah seorang pekatik yang
baik pada saat aku masih berada di Kediri, Aku tahu,
apakah kau juga masih seorang yang baik terhadapku
sekarang ini" Betapapun enggannya, namun Ki Daredu harus
menuruti permintaan tamu-tamunya yang aneh. Bahkan
kepada keluarganya, ia memperkenalkan bahwa ketiganya
adalah saudara-saudaranya yang datang dari jauh.
"Nampaknya aku belum pernah mendengar namanya
dan ujud mereka tidak ada kemiripan dengan kau" desis
isterinya. "Mereka bekerja di kota. Mereka sudah dipengaruhi oleh
tata cara orang-orang yang berpangkat, meskipun tidak
terlalu tinggi. Sedang kita" Meskipun kita tinggal di kota,
tetapi aku hanya seorang pekatik"
"Di kota mana?" bertanya isterinya.
"Kota raja Singasari. Bukan di Kediri"
"O. Jauh sekali"
"Ya, jauh sekali. Mereka sudah rindu bertemu dengan
kadangnya yang hanya menjedi seorang pekatik"
Nyi Daredu mengangguk-angguk. Ketika ia
berkesempatan menemui ketiga tamunya, maka katanya
"Kami mengucapkan terima kasih yang besar sekali, bahwa
kalian telah bersedia mengunjungi kami yang kecil ini"
"Apakah bedanya?" bertanya Mahisa Agni "kami juga
abdi-abdi yang kecil di Singasari"
"Tetapi kalian bukannya seorang pekatik seperti
suamiku" Mahisa Agni dan Witantra tertawa. Sementara Mahisa
Bungalan mengangguk-angguk kecil.
"Nyai" berkata Witantra "hampir seumur kami, kami
tidak berkesempatan mengunjungi kakang Daredu. Karena
itu, maka kami telah memerlukan untuk datang ke Kediri,
selagi kami masih mampu berkuda pada jarak yang cukup
jauh" "Terima kasih. Terima kasih" desis Nyi Daredu.
Sebagaimana seseorang yang menerima kunjungan saudarasaudaranya
yang jauh dan jarang bertemu, maka Nyi
Daredu berusaha untuk menjamu tamunya sebaik-baiknya.
Meskipun demikian ketika ia menghidangkannya, iapun
berkata "Hanya inilah yang dapat kami hidangkan"
"Luar biasa" berkata Mahisa Agni "kami telah
menerima kehormatan yang besar sekali"
Ternyata bahwa Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa
Bungalan telah menerima suguhan itu dengan senang hati.
Mereka telah memperlakukan hidangan itu benar-benar
seperti hidangan yang sangat menyenangkan.
Demikianlah, maka untuk beberapa saat Mahisa Agni.
Witantra dan Mahisa Bungalan akan berada di Kediri.
Mereka telah menyusun rencana untuk melakukan tugas
mereka, dalam hubungannya dengan Pangeran Kuda
Padmadata. Setelah mereka beristirahat semalam di rumah Ki
Daredu, dan tidur bertiga di amben besar di ruang depan,
maka di pagi harinya mereka bertiga telah minta diri untuk
melihat-lihat Kota yang telah beberapa lama tidak mereka
kunjungi. Meskipun ada juga perubahan yang nampak pada kota
itu, tetapi perubahan itu tidak terlalu besar, sehingga
ketiganya dengan cepat dapat mengenali seluruh kota.
Seperti yang mereka rencanakan, maka yang mereka
lakukan di hari pertama itu barulah lewat di depan istana
Pangeran Kuda Padmadata tanpa berbuat apapun juga.
Istana itu adalah istana yang cukup menarik. Pangeran
Kuda Padmadata memang seorang yang kaya, yang
memiliki tanah kelenggahan yang luas, beberapa tonggak
hutan tutupan yang menghasilkan getah yang sangat mahal.
Memiliki bermacam-macam kekayaan yang tidak banyak
dimiliki oleh para bangsawan yang lain.
"Kita harus mengenalnya lebih banyak" berkata Mahisa
Agni. "Nampaknya istana itu tenang-tenang saja" desis Mahisa
Bungalan. "Ya" sahut Witantra "tetapi siapa tahu bahwa di dalam
dinding halaman terdapat beberapa orang yang dengan
mata setajam mata elang, memandangi setiap orang yang
masuk regol. Meskipun nampaknya mereka sebagai juru
taman, namun mereka adalah orang-orang yang memang
dipasang oleh pihak tertentu"
"Kita harus mengetahui lingkungan hidupnya" berkata
Mahisa Agni "mungkin Ki Daredu mengenal satu dua
orang abdi dari istana itu. Mungkin pekatiknya, mungkin
juru taman atau juru pengangsunya"
"Sementara kita dapat mencari sumber yang lain"
berkata Mahisa Bungalan "mungkin di kedai-kedai kita
akan dapat mendengar serba sedikit tentang orang yang
kaya raya itu" "Tetapi kita harus berhati-hati" desis Witantra "jika yang
kita lakukan di kedai-kedai itu sempat mencurigakan orang
lain, maka kita akan mengalami kesulitan.
"Kita berusaha untuk tidak meninggalkan kesan yang
dapat menarik perhatian orang lain" jawab mahisa
Bungalan. Witantra dan Mahisa Agni mengangguk-angguk. Mereka
masih saja berjalan menyusuri jalan-jalan di kota. Tetapi
mereka berusaha untuk tidak menarik perhatian orang lain.
Sebenarnyalah Kediri adalah kota yang bersih dan
teratur. Beberapa orang bangsawan di Kediri adalah orangorang
yang kaya raya, termasuk Pangeran Kuda
Padmadata. Namun agaknya dibalik kekayaan itu,
tersembunyi api yang dapat membakar nafsu ketamakan
dan kedengkian. Tetapi masih belum nampak, siapakah
yang telah menyalakan api itu.
Adalah kewajiban ketiga orang yang datang dari
Singasari itu untuk mencari keterangan dan kemudian
memecahkan persoalannya. Tetapi Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan
tidak tergesa-gesa. Ia harus melakukan dengan cermat.
Yang terjadi atas Ki Tunda Wara dan Ki Wangut adalah
cermin dari ketergesa-gesaan itu, sehingga mereka telah
mengali kegagalan mutlak, sehingga mereka bukan saja
tidak berhasil melakukan tugas mereka, namun mereka
justru telah menjadi korban.
Namun ternyata, bahwa kegagalan Ki Wangut dan Ki
Tunda Wara telah tercium oleh para pengikutnya. Hari-hari
yang telah dilalui ternyata terlalu lama. Tanpa ada
keterangan dan berita. Dalam kegelisahan, maka para pengikut Ki Wangut
telah mencari hubungan dengan orang-orang yang
dikenalnya merupakan jalur dengan orang-orang di Kediri.
Tetapi hubungan itupun agaknya terlalu sulit untuk
sampai kepada orang yang pertama.
Meskipun demikian, agaknya orang-orang yang menjadi
jalur hubungan dengan Kediri itu memiliki kemampuan
berpikir yang lebih baik dari sisa-sisa pengikut Ki Wangut
yang gelisah. Sehingga dengan demikian, maka berita
tentang kemungkinan kegagalan usaha untuk membunuh
perempuan dan anaknya itu telah terdengar oleh orangorang
yang bermain dengan rencana itu di Kediri.
"Mereka ternyata adalah orang-orang dungu" desis
seorang yeng berjambang lebat
"Aku sudah mengira. Jika ia berhasil, maka ia tentu
sudah, menuntut upah yang kita janjikan itu, setelah
mereka dapat menyerahkan bukti-bukti kematian
perempuan dan anak laki-laki itu" sahut seorang yang
bertubuh tinggi. "Agaknya pinak yang semula berdiri diluar persoalan ini
telah menjadi sebab gagalnya rencana Ki Wangut. Aku
semula menganggap bahwa ia memiliki kelebihan dari
orang-orang lain yang pernah aku kenal. Tetapi ternyata ia
tidak lebih dari seorang yang hanya pandai membual.
Menurut pendengaranku, ia telah mengorbankan terlalu
banyak pengikutnya. Sedangkan akhirnya ia tidak berhasil
sama sekali" "Itu adalah akibat dari kebodohannya" berkata orang ber
jambang pula. Sementara orang bertubuh tinggi itu berkata "Tetapi kita
tidak boleh terpancang pada sikap itu. Bahkan yang terjadi
adalah akibat kebodohan Ki Wangut Jika masalahnya
menjadi semakin buruk, maka kita harus mengambil sikap
lain" "Maksudmu?" bertanya orang berjambang.
"Mungkin ada pihak-pihak yang ingin menelusuri
masalah ini sampai ke Kediri" sahut orang bertubuh tinggi.
"Memang mungkin sekali. Karena itu, maka kita harus
memperketat pengawasan di sekitar istana Pangeran Kuda
Padmadata. Mungkin ada orang yang ingin langsung
menghadapnya untuk menyampaikan masalah ini. Atau
mungkin justru perempuan dan anak itu langsung
dibawanya menghadap"
"Kita akan berhubungan dangan jaring-jaring yang sudah
kita susun. Kita harus bekerja bersungguh-sungguh.
Taruhannya adalah segala kekayaan dan warisan yang
Pangeran yang kaya-kaya itu. Sebeb tidak seharusnya
warisan itu jatuh ke tangan darahi padesan meskipun ia
adalah anak Pangeran Kuda Padmadata"
Kawanya yang berjambang itu tertawa. Katanya
"Apakah itu yang terpenting?"
"Lalu apa?" bertanya yang bertubuh tinggi.
"Yang terpenting adalah nasib kita sendiri. Jika kita
dengan keras hati berniat menggagalkan saluran warisan itu
kepada daerah padesan, maka yang terpenting adalah,
bahwa kita akan menerima sebagian dari padanya"
"Ah, kau memang terlalu tamak" desis orang ber tubuh
tinggi itu. "Apakah kau kira, kau tidak akan berbuat demikian?"
bertanya orang berjambang "seandainya, anak padesan itu
berjanji kepada kita untuk memberikan lebih banyak dari
bagian yang akan kita terima jika warisan itu tidak jatuh
kepadanya, maka apakah kita tidak akan berpihak kepada
anak padesan itu, meskipun kita sendiri mampunyai tetesan
darah bangsawan" "Kau memang gila" desis orang bertubuh tinggi "tetapi
itu adalah pengakuan yang jujur. Aku kita akupun
berpendirian serupa. Namun demikian, aku masih memikir
kan harga diriku sebagai seorang bangsawan dari tingkat
yang paling rendah sekalipun"
Orang berjambang itu tertawa semakin keras. Tetapi
akhirnya ia berkata "Baiklah Semuanya dapat saja kita
lakukan. Tetapi yang penting, kita harus selalu mengawasi
segala kemungkinan yang dapat terjadi di istana Pangeran
Kuda Padmadata" Dengan demikian, maka kegelisahan para pengikut Ki
Wangut itu telah menggerakkan orang-orang yang terlibat
dalam persoalan yang sedang bergejolak di dalam keluarga
Pangeran Kuda Padmadata. Mereka memang sudah
memperhitungkan, berdasarkan atas laporan-laporan dari
perkembangan keadaan, maka Ki Wangut akan mengalami
kegagalan. Meskipun mereka belum menerima keterangan
selengkapnya tentang kegagalan Ki Wangut. namun bahwa
orang itu tidak lagi nampak untuk waktu yang lama, maka
mereka menduga, bahwa Ki Wangut tidak berhasil
menemukan tempat persembunyian perempuan dan
anaklaki-lakinya atau bahkan Ki Wangut telah mengalami
kegagalan yang paling pahit seperti yang pernah terjadi atas
beberapa orang pengikutnya.
Dengan persiapan yang baik, maka istana Pangeran
Kuda Padmadata telah dikelilingi oleh beberapa orang yang
bertugas untuk mengawasi jika ada orang yang
mencurigakan tersangkut dalam persoalan yang gawat itu
mulai merambah jalan masuk untuk menghadap Pangeran
Kuda Padmadata, atau bahkan langsung menghadapkan
perenipuan dan anak laki-lakinya, yang seharusnya sudah
dimusnahkan itu. Bukan saja satu dua orang pengawal, tetapi orang-orang
dalam di istana itupun telah mendapat tugas-tugas khusus
yang berhubungan dengan kemungkinan yang tidak
diinginkan itu. Ternyata bahwa Pangeran Kuda Padmadata adalah
seorang bangsawan yang senang sekali memelihara berbagai
macam binatang. Dari burung yang berkicau, sampai pada
binatang buas yang dibuatnya kandang yang khusus di
halaman. Di halaman samping dari istana itu terdapat kandang
seekor harimau loreng yang besar dan garang. Beberapa
langkah lagi terdapat kandang harimau hitam legam yang
sangat berbahaya, karena harimau itu pandai memanjat
seperti seekor kucing. Meskipun harimau hitam itu tidak


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebesar dan sekuat harimau loreng, tetapi bagi lawanlawannya,
harimau hitam justru lebih berbahaya, karena
kelicikannya. Tetapi berbeda dengan kandang yang kuat dan garang
itu, di bagian lain terdapat sangkar burung berkicau
bergantungan di serambi. Namun kadang-kadang para tamu
terkejut ketika mereka memasuki pintu samping kerena
mereka akan melihat kulit seekor ular yang utuh membelit
pada sebatang kayu. Kepalanya yang besar dengan mulut
menganga tergantung tepat diatas pintu.
Istana Pangeran Kuda Padmadata menunjukkan, bahwa
pemiliknya adalah seorang pemburu yang baik.
Di hari-hari berikutnya. Mahisa Agni, Mahisa Bungalan
dan Witantra berhasil mendengar serba sedikit tentang
Pangeran itu. Tetapi yang mereka dengar dari beberapa
orang di kedai-kedai adalah, bahwa Pangeran Kuda
Padmadata adalah seorang pemburu. Selebihnya mereka
tidak mengetahui. "Kita sudah mengetahui beberapa hal" berkata Mahisa
Agni "Pangeran itu adalah seorang yang kaya raya dan ia
seorang pemburu yang baik"
"Baru itu" potong Mahisa Bungalan.
Witantra tertawa. Katanya "Jangan tergesa-gesa. Kita
sudah melalui jalan di depan rumah itu beberapa kali. Kita
melihat beberapa orang sibuk di halaman, membersihkan
taman dan kadang-kadang melakukan pekerjaan yang tidak
berarti. Betapapun kayanya seseorang, tetapi ia tidak
mempunya juru taman yang berlebih-lebihan jumlahnya. Di
hari kedua aku melihat ada tiga orang yang sibuk di
halaman rumah itu. Meskipun hari ini aku hanya melihat
seorang" "Mungkin mereka adalah pekatik atau juru pengangsu
atau gamel yang sedang tidak mempunyai pekerjaan.
Karena mereka senang pula akan berjenis-jenis tanaman,
maka mereka telah membantu juru taman untuk
memelihara tanaman bunga yang tumbuh di halaman"
desis Mahisa Bungalan. "Memang mungkin. Tetapi mungkin pula, mereka
memang dipasang untuk mengawasi orang-orang yang tidak
mereka kehendaki memasuki halaman istana itu" jawab
Witantra. Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya "Ya.
Itupun dapat terjadi. Tetapi sudah barang tentu kita tidak
akan dapat terus menerus mondar mandir tanpa berbuat
sesuatu" Mahisa Agnipun tertawa. Katanya "Kau ternyata masih
terlalu dikuasai oleh kemudaanmu. Kita harus berhati-hati.
Jangan membiarkan gejolak perasaanmu mendorongmu
untuk berbuat sesuatu diluar pertimbangan"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Tetapi kita tidak boleh terlambat paman"
"Ya, ya" sahut Witantra "kita memang harus berbuat
sesuatu secepatnya" Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Tetapi iapun
terdiam. Sementara itu, maka ketika mereka berada di rumah Ki
Daredu, maka Mahisa Agnipun bertanya kepada pekatik itu
"Ki Daredu, apakah kau mengetahui serba sedikit tentang
Pangeran Kuda Padmadata dengan kesenangannya
berburu?" Ki Daredu termangu-mangu sejenak. Kemudian
jawabnya "Hamba tidak banyak mengetahui tentang
Pangeran yang kaya raya itu tuanku. Yang hamba ketahui,
di dalam istananya terdapat banyak sekali jenis binatang
hidup atau mati" "Apakah kau mempunyai seorang kenalan atau sanak
kadang yang mengabdi pada Pangeran itu?"
Ki Daredu termenung sejenak. Namun kemudian
katanya "Jika sekedar mengenal, hamba mengenal seorang
diantara mereka. Hamba mengenal seorang pemelihara
kuda yang baik di istana itu. Mula-mula ia tidak lebih dari
seorang pekatik yang harus mencari rumput seperti hamba
untuk memberi makan beberapa ekor kuda yang baik di
istana itu. Tetapi kemudian ia berhasil mempelajari sifat
dan tabiat kuda yang dikenalnya di dalam istana itu.
Akhirnya, ia menggantikan pemelihara kuda yang
terdahulu, yang sudah terlalu tua dan tidak dapat bekerja
lagi" Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Ki
Daredu. Apakah di istana itu tidak memerlukan pekatik
lagi" Jika pekatik itu kini bertugas sebagai pemelihara kuda,
maka apakah sudah ada pekatik yang lain yang
menyediakan rumput bagi kuda-kuda yang berada di istana
itu" "Sudah tuahku. Sudah ada. Akupun mengenalnya,
karena kami sering bersama-sama berada di padang
rumput" Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya "Aku akan
ikut bersamamu ke padang rumput. Akan membantumu
menjadi seorang pekatik"
"Tuanku. Hamba tidak mengerti" wajah Ki Daredu
menjadi tegang. "Kau berjanji untuk tidak bersikap demikian dihadapan
orang lain. Bahkan di hadapan isterimu" desis Mahisa Agni
"Kau akan menganggap aku sebagai saudaramu yang
datang dari jauh. Kau ingat"
Ki Daredu mengeleng-gelengkan kepalanya sambil
bergumam "Hamba tidak mengerti. Apa saja yang sedang
tuanku lakukan sekarang di Kediri"
Mahisa Agni tertawa. Katanya "Aku tidak sedang
berbuat apa-apa selain mengenal Kediri pada masa ini,
setelah beberapa lama aku tinggalkan. Ketika aku berada di
Kediri, Pangeran Kuda Padmadata belum menjadi seorang
yang mendireng seperti sakarang. Ia masih terlalu muda
dan mungkin tidak termasuk ke dalam perhatianku pada
masa itu" "Kenapa sebanarnya dengan Pangeran itu?" bertanya Ki
Daredu. "Tidak apa-apa. Dan kaupun tidak perlu mengatakan
dan menanyakan kepada siapapun juga. Aku hanya ingin
ikut bersamamu ke padang rumput untuk menyabat
rumput" Ki Daredu menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Hamba tidak mengerti. Tetapi jika demikian yang tuan
kehendaki, maka apa boleh buat"
Demikianlah ketika Ki Daredu pergi ke padang rumput,
untuk menyabit rumput yang hijau segar, maka Manlsa
Agni telah pergi bersamanya dalam pakaian seorang
pekatik. "Namaku Damar" desis Mahisa Agni ketika mereka
barada di padang. Ki Daredu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun
kemudian mengangguk sambil menjawab "Aku, hamba, eh,
aku menurut saja yang tuanku, maksudku, yang kehendaki"
Mahisa Agni tersenyum. Tetapi ia tidak menyahut.
Sejenak kemudian Mahisa Agnipun telah ikut menyabit
rumput bersama Ki daredu. Di padang itu terdapat
beberapa orang yang juga sedang menyabit rumput untuk
memberi makan kuda-kuda peliharaan yang banyak
jumlahnya di Kediri. "Tuanku, maksudku, kami dapat juga menyabit rumput
he?" bertanya Ki Daredu.
"Di masa kecilku aku tinggal di sebuah padepokan kecil.
Aku juga sering menyabit rumput dan menggembala
kerbau" jawab Mahisa Agni.
"Tuanku senang berkelekar" Ki Daredu tertawa.
"Namaku Damar" Mahisa Agni memperingatkan.
"O, ya. Maksudku, kau sedang berkelekar, Damar"
Mahisa Agnipun tertawa tertahan.
Namun dalam pada itu, yang dilakukannya itu telah
membawa Mahisa Agni ke dalam sebuah kenangan.
Kenangan di masa yang telah jauh lampau. Samar-samar
mulai terbayang, sebuah padepokan kecil yang bernama
Panawijen. Seorang anak muda yang sederhana, tinggal di
padepokan. Sehari-hari dilakukannya pekerjaan sebagimana
anak-anak padesan. Namun di malam hari anak
muda itu belajar bukan saja oleh kanuragan, tetapi juga
kejiwan dan kesusastraan serba sedikit dari seorang mPu
yang bernama mPu Purwa. Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kenangan itu
manis sekali, tetapi juga pahit seperti empedu. Perlahanlahan
Mahisa Agni menggeleng, seolah-olah ia ingin
mengusir kenangan yang semakin lama menjadi semakin
mengabur dan akhirnya hilang sama sekali, ketika Mahisa
Agni berhasil memusatkan perhatiannya kepada beberapa
orang menyabit rumput di padang itu.
"Ki Daredu, yang manakah pekatik Pangeran Kuda
Padmadata yang sekarang?" bertanya Mahisa Agni.
"Itulah. Yang masih muda. Semuda kemanakan tuanku"
"Namaku Damar" "Ya, ya. Semuda kemanakanmu yang bernama
Bungalan itu" Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya "Bawa aku
kepadanya. Aku ingin memperkenalkan diri"
Ki Daredu termangu-mangu. Namun tiba-tiba ia berkata
"Ia datang dengan pekatik yang lama, sekarang menjadi
juru pemelihara kuda"
"O, jadi orang itu ada disini pula?"
"Ya. Agaknya pekatik itu menyabit rumput yang tidak
begitu baik, sehingga pemelihara kuda itu memerlukan
datang untuk memberinya petunjuk"
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia
mengerutkan keningnya. Kepada Ki Daredu ia bertanya
"Pekatik baru itu memang terlalu bodoh. Ia sama sekali
tidak dapat menyabit rumput. Jika sekiranya ia mempunyai
sedikit pengalaman menyabit rumput sebelumnya, ia tidak
akan berbuat seperti itu. Aku sudah lama sekali tidak
menyabit. Tetapi aku agaknya masih lebih pandai
daripadanya" Ki Daredu mengangguk-angguk. Katanya "Ya. Sejenak
semula aku sudah menyangka, bahwa ia sama sekali belum
pernah melakukan pekerjaan itu. Meskipun demikian, ia
adalah anak yang rajin, sehingga setiap hari iapun dapat
membawa rumput yang cukup untuk memberi makan
beberapa ekor kuda di rumah Pangeran Kuda Padmadata
itu. Tetapi agaknya pemelihara kuda itu menganggap perlu
untuk memberinya beberape petujuk"
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Lalu katanya "Cari
kesempatan untuk berbicara dengan mereka. Aku ingin
memperkenalkan diri"
Ki Daredupun kemudian menjinjing keranjang
rumputnya mendekati mereka. Sambil melemparkan
keranjangnya ia bertanya "He kau turun lagi ke padang
rumput ini?" Yang diajak berbicara itupun tersenyum sambil
menjawab "Anak itu bodoh sekali. Sudah beberapa kali aku
memberinya petunjuk. Tetapi ia belum berhasil
mendapatkan rumput seperti yang aku kehendaki. Bahkan
masih belum mencukupi kebutuhan, apa lagi Pangeran
Kuda Padmadata mempunyai dua ekor kuda yang baru dan
tegar" "Apakah aku dapat membantu" tiba-tiba saja Mahisa
Agni bertanya. Ki Daredu terkejut. Tetapi ia menahan diri untuk tidak
memberikan kesan apapun, juga, karena ia sudah muiai
curiga, bahwa kedatangan Mahisa Agni ke Kediri,
bukannya tanpa maksud tertentu.
Pemelihara kuda Pangeran Kuda Padmadata itu
memandang Mahisa Agni sejenak. Dengan ragu-ragu ia
bertanya "Siapakah orang ini Ki Daredu?"
Ki Daredu menjadi bimbang. Tetapi iapun kemudian
menjawab "Ia saudaraku yang datang dari jauh"
"Siapakah namanya?"
"Damar" sahut Ki Daredu dengan memaksa diri, Mahisa
Agni menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki
Daredupun berkata "ia datang dari padesan. Agaknya
sawah dan ladangnya menjadi kering olah musin kemarau
yang panjang. Karena itu, ia datang ke kota"
Pemelihara kuda itu mengangguk-angguk. Katanya "Ya.
Padang inipun sudah mulai terpengaruh pula oleh musim,
meskipun ada parit khusus yang sengaja dialirkan lewat
padang ini justru agar rumput di padang ini tidak menjadi
kering sama sekali" "Ya. Padang ini adalah padang yang diperuntukkan bagi
kuda-kuda peliharaan di daerah belahan Selatan kota
Kediri. Padang serupa hanya ada tiga hamparan di seluruh
kota ini" jawab pemelihara kuda itu" Jika padang ini
menjadi kering, maka kita harus mencari rumput ke sawahsawah
dan pategalan" Ki Daredu mengangguk-angguk. Sementara
MahisaAgnipun bertanya sekali lagi "Apakah aku dapat
menghambakan diri kepada Pangeran yang mempunyai
kuda yang tegar itu. Maksudku. Pangeran Kuda"."
"Kuda Padmadata" pemelihara kuda itu melengkapi.
"Ya. Pangeran Kuda Padmadata. Aku tidak dapat segera
kembali ke padukuhanku yang kering. Disini aku akan
mendapat sekedar makan dan tempat untuk menumpang
badan sepata" sambung Mahisa Agni.
"Kau tidak mempunyai keluarga?" bertanya pemelihara
kuda itu. "Tidak Ki Sanak. Isteriku telah meninggal. Anakku yang
seorang tidak lagi aku ketahui dimana tinggalnya,
sementara anakku yang seorang lagi, perempuan, telah
meninggal ketika ia melahirkan anak"
Pemelihara kuda itu termangu-mangu. Katanya
kemudian "Aku memang memerlukan kawan. He, apakah
ia sekarang membantumu Ki Daredu?"
"Membantu menyabit disini. Tetapi ia belum
menghambakan diri kepada siapapun" Ki Daredu mencoba
menyesuaikan diri, bahkan katanya kemudian "jika ia


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendapat tempat untuk menghamba, aku akan sangat
terterima kasih, karena aku yang miskin ini tidak perlu
menanggung hidupnya meskipun ia hanya sebatang kara"
"Aku akan membicarakannya dengan Ki Jurasanta.
lurah para abdi di istana Pangeran Kuda Padmadata kata
pemelihara kuda itu. "Terima kasih Ki Sanak, terima kasih. Aku tak sampai
hati terlalu lama menjadi beban kakang Daredu yang sudah
merasa kesulitan menanggung keluarganya sendiri" berkata
Mahisa Agni. "Bukankah namamu Damar?" bertanya pemelihara kuda
itu. "Ya, namaku Damar" sahut Mahisa Agni.
"Baiklah. Aku akan menyampaikannya" desis
pemelihara kuda di istana Pangeran Kuda Padmadata itu.
Namun dalam pada itu, Mahisa kadang-kadang
memperhatikan pekatik baru yang masih muda, yang
ternyata masih kurang pandai menyabit rumput itu. Pada
sorot matanya, Mahisa Agni menangkap isyarat, bahwa ia
harus berhati-hati terhadapnya.
"Ia hadir di istana itu dengan tugas khusus" desis Mahisa
Agni di dalam hatinya "meskipun ia tidak pandai menyabit
rumput, tetapi ia mencoba untuk melakukan tugasnya
sebaik-baiknya. Namun ada sesuatu yang perlu
diperhatikan pada anak itu"
Ternyata bahwa pandangan Mahisa Agni yang tajam,
berhasil menangkap sesuatu pada anak itu. Meskipun
demikian, Mahisa Agni masih tetap pada sikapnya"
"Datanglah besok" berkata pemelihara kuda itu "aku
tentu sudah berkesempatan bertemu dengan Ki Jurasanta"
"Terima kasih" desis Mahisa Agni terima kasih "Dan
Mahisa Agnipun kemudian meneruskan membantu Ki
Daredu menyabit rumput. Ia berbuat seperu yang dilakukan
oleh kebanyakan pekatik. Untunglah bahwa di masa
kecilnya, Mahisa Agni pernah juga melakukannya, sebagai
anak padepokan kecil. Sehingga dengan demikian, nampak
bahwa ia memiliki ketrampilan melampaui anak muda yang
telah bekerja pada Pangeran Kuda Padmadata itu.
Ketika kemudian mereka kembali pulang sebelum Ki
Daredu membawa rumputnya ke istana Panji Kudasuwana,
yang bertugas atas nama kekuasaan Singasari di Kediri,
tidak habisnya ia bertanya di dalam hati, apakah yang
sebenarnya dilakukan olen Mahisa Agni, tetapi ada
keseganan untuk menanyakannya.
Mahisa Agnilah yang kemudian sambil menjinjing
keranjang dikepalanya berkata "Kau tidak usah menjadi
pening karena sikapku Ki Daredu. Biarlah aku mencari cara
tersendiri untuk menemukan kesegaran kenangan atas kota
ini" "Tetapi tuanku telah berbuat sesuatu yang tidak
sepantasnya. Apakah yang akan dikatakan orang jika
akhirnya mereka mengetahui, bahwa tuankulah yang
menjadi penyabit rumput di istana Pangeran Kuda
Padmadata. "Itu sudah wajar. Aku anak padepokan kecil yang
kemudian menjadi penyabit rumput"
"Tuanku adalah penguasa tertinggi di Kediri atas nama
kerajaan Singasari yang kini memerintah Kediri" berkata Ki
Daredu. Mahisa Agni tertawa. Katanya "Itu adalah Panji
Kudasuwana. Bukan aku. Pada waktunya memang aku.
Tetapi itu sudah lampau seperti juga Panji Pati-pati kini
tidak berkuasa lagi"
Ki Daredu berdesis "Aku sudah pikun" lalu suaranya
merendah "Ampun tuanku. Hamba tidak tahu apakah yang
sebaiknya harus hamba lakukan. Mudah-mudahan hamba
dapat membantu tuanku dengan rencana yang
membingungkan ini" Mahisa Agni masih tertawa. Keranjang rumput itupun
masih berada dikepalanya. Katanya "Aku pantas menjadi
seorang pekatik. Ki Daredu menarik nafas dalam-dalam. Ia
benar-benar menjadi bingung menghadapi sikap Mahisa
Agni. Ia sadar, bahwa ada sesuatu yang akan dilakukan oleh orang yang
pernah memegang kekuasaan di Kediri atas nama pimpinan
tertinggi di Singasari itu. Tetapi bagaimana mungkin ia
sampai merendahkan dirinya dan menjadi seorang pekatik.
Tetapi Ki Daredu kemudiani tidak berani bertanya. Ia
tidak ingin dianggap orang tua yang banyak ingin
mengetahui persoalan yang bukan persoalannya.
Ketika Mahisa Agni sampai di rumah Ki Daredu, maka
iapun segera menceriterakan apa yang telah dilakukannya.
Mahisa Agni sempat juga menceriterakan, bagaimana Ki
Daredu menjadi bingung karenanya.
Sementara itu, kening Mahisa Bungalan menjadi
berkerut-merut. Ia tahu, bahwa yang dilakukan olah Mahisa
Agni itu tentu berbahaya. Jika orang-orang yang berada di
seputar Pangeran Kuda Padmadata mengetahuinya, maka
ia akan berhadapan dengan kekuatan yang mungkin sangat
besar. Mahisa Agni seolah-olah mengetahui kecemasan Mahisa
Bungalan itu. Maka katanya kemudian "Jika aku
mengalami kesulitan, bukankah kau dan kakang Witantra
ada disini?" -oo0dw0oo- Jilid 10 "YA", MAHISA BUNGALAN mengangguk-angguk,,
"tetapi apakah ada kesempatan paman untuk
memberitahukan hal itu kepada kami?"
"Aku tentu tidak akan membiarkan segalanya terjadi
tanpa dapat terbuat sesuatu. Aku akan melihat gelagat dan
perkembangan keadaan" jawab Mahisa Agni.
Witantra dan Mahisa Bungalan kemudian tidak dapat
berbuat lain kecuali menyetujui rencana Mahisa Agni untuk
menghambakan diri kepada Pangeran Kuda Padmadata,
apabila permohonannya dapat dikabulkan.
Di hari berikutnya, Mahisa Agni kembali mengkuti Ki
Daredu ke padang rumput untuk menyabit, sekaligus untuk
menemui pemelihara kuda Pangeran Kuda Padmadata.
"Ha, kau Ki Daredu" sapa pemelihara kuda itu.
Ki Daredu pun mendekatinya sambil bertanya,,
"Bagaimana" Apakah kau sudah ketemu dengan Ki
Jurasanta?" "Aku sudah menemuinya, ia tidak berkeberatan" jawab
pemelihara kuda itu. Lalu, "Pekatik itulah yang merasa
keberatan. Ia mempunyai seorang kawan yang dapat
membantunya. Tetapi karena Ki Jurasanta sudah
menyetujuinya, maka pekatik itu tidak dapat menolaknya
lagi" "Apakah ia berkeberatan?" bertanya Mahisa Bungalan,
"jika kehadiranku dapat menggangu, maka aku tidak dapat
melakukannya lebih jauh meskipun aku sangat memerlukan
pekerjaan itu" "Tidak" jawab pemelihara kuda itu, "aku sudah
mengatakan kepadanya bahwa ada dua ekor kuda dan
kemudian akan datang lagi seekor kuda yang lebih baik lagi
ke dalam kandang kuda Pangeran Kuda Padmadata,
sehingga ia memang memerlukan kawan. Daripada
memanggil kawannya yang belum pasti bersedia, maka
lebih baik menerima saudaramu yang sudah menyatakan
dirinya untuk mengabdikan diri"
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, "Tetapi
apakah dengan demikian tidak akan menimbulkan
persoalalan di kemudian hari?"
"Tidak. Anak itu sudah dapat mengerti setelah aku
jelaskan kepadanya" jawab pemelihara kura itu.
"Syukurlah" desis Mahisa Agni, "jika demikian
keluargaku akan merasa sangat senang"
"Kau dapat bekerja sejak besok" berkata pemelihara
kuda itu, "jika kau tidak berkeberatan, ikutilah aku sekarang
menemui Ki Jurasanta. Kau akan mendapat penjelasan.
Apakah kau akan tinggal di dalam atau kau akan tinggal
pada Ki Daredu" "O" Mahisa Agni mengangguk-angguk, "jika aku
memang harus menghadap, aku akan datang"
Ki Daredu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam,
ketia ia melihat Mahisa Agni kemudian mengikuti
pemelihara kuda itu pergi ke istana Pangeran Kuda
Padmadata. "Aku tidak mengeti, apakah yang sebenarnya yang
dilakukannya" desis Ki Daredu.
Dalam pada itu, maka Mahisa Agni pun mengikuti
pemelihara kuda itu memasuki regol istana yang besar dari
seorang Pangeran yang kaya raya bersama pemelihara kuda
itu. Demikian kaki Mahisa Agni menginjak halaman dalam
regol ia sudah merasa beberapa pasang mata mengikutinya.
Di antaranya adalah pekatik muda yang masih belum
trampil menyabit rumput itu.
"Aku memang harus berhati-hati" berkata Mahisa Agni
di dalam hatinya. Ketika ia kemudian dihadapkan kepada Ki Jurasanta.
maka Mahisa Agni pun telah merubah dirinya, benar-benar
seperti seorang petani miskin. Sikapnya, kata- katanya dan
kedunguannya. "Jadi kau benar-benar ingin bekerja disini?" bertanya Ki
Jurasanta. "Ya Ki Jurasanta. Aku memang memerlukan pekerjaan.
Aku senang sekali apabila aku dapat bekerja di sini"
Ki Jurasanta mengangguk-angguk. Sementara Mahisa
Agni meneruskan keterangannya, "Aku berada di rumah
kakang Daredu. Jika aku diperkenankan aku akan tetap
berada di rumahnya, sementara siang hari aku berada di
sini. Menyabit dan membantu apa saja dalam hubungannya
dengan kuda-kuda itu"
"Apakah kau dapat naik kuda?" bertanya Ki Jurasanta.
"Aku pernah melakukannya ketika aku tinggal bersama
pamanku dahulu. Tetapi ketika pamanku meninggal, aku
tidak lagi pernah mencobanya"
"O, jadi kau pernah juga memelihara kuda di rumah
pamanmu?" bertanya Ki Jurasanta.
"Aku membantunya memandikan kuda, menyabit
rumput dan menyisir surinya. Bahkan aku pernah digigit
lenganku oleh kuda pamanku" Mahisa Agni menjelaskan.
Ki Jurasanta tersenyum. Nampaknya ia senang melihat
sikap dan kata-kata Mahisa Agni yang nampaknya sangat
terbuka dan tanpa ulasan apapun juga.
Katanya kemudian, "Baiklah. Kau dapat segera bekerja
di sini. Siapa namamu?"
"Damar" jawab Mahisa Agni.
Ki jurasanta mengangguk-angguk. Katanya kemudian,
"Sekarang kau boleh pulang. Besok pagi-pagi kau datang
kemari. Kau akan mendapat keranjang dan sebuah sabit
yang baik. Kau akan menyabit rumput bersama pekatik
muda itu. Tetapi agaknya ia belum begitu pandai, namun ia
rajin dan berkemauan untuk belajar. Karena itu, ajari saja
anak itu agar ia segera dapat mengurangi pekerjaanmu"
"Baiklah Ki Jurasanta" jawab Mahisa Agni, "aku akan
mencobanya jika ia bersedia. Tetapi jika ia tidak bersedia,
aku tidak akan memaksanya"
"Ia adalah anak yang baik. Tentu ia tidak akan
berkeberatan. Cobalah besok membantunya. Selama ini
pemelihara kuda itu sendirilah yang turun ke padang
rumput dan mengajarinya. Tetapi jika ada orang lain, maka
ia akan tetap berada di dekat kandang saja tanpa
meninggalkan binatang peliharaannya"
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja
ia bertanya, "Tetapi, apakah kehadiranku di sini tidak akan
membuat Pangeran Kuda Padmadata menjadi murka,
karena Pangeran itu belum pernah mengenal aku"
"Pangeran itu tidak banyak mengenal hamba-hambanya
secara langsung. Tetapi Pangeran mempunyai beberapa
orang kepercayaan. Tentang binatang peliharaan, Pangeran
telah mempercayakan kepadaku. Sejak seekor burung
peranjak di kandang yang berwarna merah dan kuning
keemasan itu, sampai kepada kuda-kudanya yang tegar.
Bahkan jika ada seekor harimau yang belum mendapat
makannya, maka Pangeran akan menegurku" jawab Ki
Jurusanta Mahisa Agni mengangguk-angguk. Namun ia masih
bertanya lagi, "Apakah Ki Jurasanta sudah lama mengabdi
kepada Pangeran Kuda Padmadata?"
Ki Jurasanta tertawa. Katanya, "Aku mengabdi di sini
sejak ayahanda Pangeran Kuda Padmadata masih tinggal di
sini" Mahisa Agni masih mengangguk-angguk. Katanya,
"Sudah lama sekali. Dengan demikian, Pangeran sudah
mengenalmu sebaik-baiknya"
"Ya. Karena itu aku mendapat kepercayaan pada salah
satu segi kegemaran Pangeran"
"Dengan demikian ada beberapa orang yang
berkedudukan seperti Ki Jurasanta dalam bidang-bidang
yang lain di sini?" bertanya Mahisa Agni kemudian.
"Sudah tentu. Ada orang yang menjadi manggala pada
pasukan pengawal. Di istana ini ada sekelompok pengawal.
Ada pula yang memimpin sekelompok hamba dalam yang
mengatur segala sesuatu dalam istana itu, sampai kepada
makan dan minum Pangeran"
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Ia tidak bertanya
lebih banyak lagi agar tidak menumbuhkan kecurigaan peda
Ki Jurusanta yang baru saja mengenalnya. Tetapi bahwa ia
sudah diperkenankan bekerja di tempat itu, maka sebagian
dari tugasnya sudah dapat dilakukan dengan baik.
Sejenak kemudian, maka Mahisa Agni pun minta diri
untuk kembali ke rumah Ki Daredu. Di keesokan harinya ia
akan kembali untuk mulai dengan pekerjaannya. Dengan
langkah ringan Mahisa Agni meninggalkan istana Pangeran
Kuda Padmadata. Ia tidak akan menjadi bingung untuk
menemukan kembali jalan menuju ke rumah Ki Daredu,
karena ia sudah mengenal jalan di Kediri sebaik-baiknya.
Namun, ketika terasa sesuatu menyentuh firasatnya,


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maka iapun berpaling. Dilihatnya dua orang berjalan
mengikutinya pada jarak yang tidak terlalu jauh. Salah
seorang dari keduanya adalah pekatik muda yang akan
dibantunya belajar menyabit rumput.
Dada Mahisa Agni berdesir. Tetapi ia tidak berbuat
sesuatu. Ia berjalan saja seperti tidak ada prasangka apapun
juga, meskipun ia menjadi berhati-hati. Ketika ia sampai di
tempat yang terbuka, maka tiba-tiba saja pekatik muda itu
memanggilnya, "Ki Sanak. Berhenti lan sebentar"
Mahisa Agni menjadi berdebar. Tetapi iapun berhenti
pula. Bahkan sambil tersenyum-senyum ia menyapa,
"Kaukah pekatik muda itu" Aku mendapat tugas untuk
mengajarimu besok" Pekatik itu sudah berada selangkah di hadapannya.
Sambil berdiri bertolak pinggang ia bertanya, "Kenapa kau
bekerja pada Pangeran Kuda Padmadata?"
"Kenapa?" Mahisa Agni mengulang. Tetapi iapun
tertawa sambil berkata. "Kau bergurau. Aku sudah mencari
pekerjaan di mana-mana. Sejak aku meninggalkan
kampung halamanku. Tetapi baru kali ini aku mendapat
pekerjaan setelah sekian lama aku membebani kakang
Daredu" "Kau sudah tua" berkata pekatik muda itu, "tetapi
nampaknya tubuhnya masih kuat"
"O tentu anak muda. Aku masih kuat. Aku masih
mampu menjinjing keranjang penuh dengan rumput yang
hijau basah. Kau tidak percaya?"
Pekatik muda itu tertawa. Namun suara Mahisa Agni
terputus ketika tiba-tiba saja anak muda itu memegang
rambutnya dan kemudian merengutnya, "kau keras kepala"
Mahisa Agni terkejut Iapun kemudian bergeser surut.
Dengan wajah ketakutan ia berkata, "Apa salahku anak
muda" "Kau tidak bersalah. Tetapi kau harus mengetahui,
bahwa kau adalah hamba yang paling hina di istana
Pangeran Kuda Padmadata. Kau tidak boleh berbuat
sesuatu yang dapat menyakiti hatiku dan apalagi membuat
aku marah" "Ya, ya. Aku tidak akan berbuat apa-apa kecuali
menyabit rumput. Aku akan membantumu, mengajarimu
dan bekerja sebaik-baiknya agar aku mendapat upah yang
cukup untuk makan sehari-hari"
Anak muda itu menyentuh dahi Mahisa Agni dengan
jari-jarinya sambil berkata, "Hati-hatilah bekerja di Istana
itu. Kau harus tunduk kepada perintahku"
Mahisa Agni memandang anak muda itu dengan wajah
yang tegang dan ketakutan. Selangkah lagi ia mundur.
Dengan suara gemetar ia berkata, "Aku tentu akan menurut
segala perintahmu. He, tetapi bukankah ada Ki Jurasanta"
Tiba-tiba anak muda itu sekali lagi meremas rambut
Mahisa Agni sambil berkata, "Katakan sekali lagi. Aku
akun mengupas wajahmu dengan batu"
"Tidak. Tidak" Mahisa Agni menjadi semakin
ketakutan, "kau harus tunduk kepadaku. Jika kau berani
mengatakan hal ini kepada Ki jurasanta, maka kau tidak
akan melihat matahari di keesokan harinya. Mengerti?"
"Ya, ya. Aku mengerti" jawab Mahisa Agni.
"Semua orang harus tunduk kepadaku" berkata anak
muda itu, "pada suatu saat Ki Jurasanta pun akan tunduk
kepadaku" Mahisa Agni mengangguk-ungguk. Ia tidak berani ber
kata sesuatu lagi. "Pergilah" bentak anak muda itu, "tetapi ingatlah. Ki
Jurasanta hanya berkuasa dalam lingkungan istana itu saja.
Tegapi aku berkuasa atas orang-orang yang aku kehendaki
dimanapun juga ia berada, dan aku kuasa untuk mencabut
jiwanya, siapapun yang tidak aku sukai"
"Jangan, jangan minta Mahisa Agni.
"Ingat-lngatlah" berkata anak muda itu sambil
mendorong Mahisa Agni sehingga Mahisa Agni itu terjatuh
karenanya. Dengan tergesa-gesa Mahisa Agni pun meninggalkan
anak muda itu dengan ketakutan. Namun beberapa langkah
kemudian, ketika ia sudah membelakanginya, maka iapun
menarik nafas dalam-dalam.
"Aku sudah mengira" berkata Mahisa Agni kepada diri
sendiri" anak itu tentu bukan pekatik seperti kebanyakan
pekatik. Ia di tempatkan oleh seseorang yang dengan
ketatnya mengawasi isi istana itu. Hamba-hambanya dan
orang-orang yang berhubungan dengan para hamba di sini.
Ia menakut-nakuti orang-orang yang berhubungan dengan
isi istana itu, agar tidak seorang pun yang berani berbuat
sesuatu diluar pengetahuan mereka"
Dengan demikian, maka Mahisa Agni mengetahui
sebagian dari keadaan istana itu. Orang yang
berkepentingan dengan warisan Pangeran Kuda Padmadata
agaknya sudah memasang jaring-jaring yang kuat dan rapat.
Namun Mahisa Agni pun menjadi cemas, bahwa orang
orang yang demikian benar-benar tidak akan mempunyai
belas kasihan kepada siapapun juga. Usaha pembunuhan
atas perempuan yang pernah menjadi isteri Pangeran Kuda
Padmadata dan anak laki-lakinya itu tentu tidak akan
dihentikan, sebelum perempuan dan anak laki-lakinya itu
benar-benar mati. "Tetapi apakah Pangeran Kuda Padmadata benar-benar
tidak mengetahui akan rencana itu, atau justru ia telah
menyetujuinya karena suatu penyesalan bahwa ia sudah
kawin dengan seorang perempuan padesan dan mempunyai
seorang anak laki-laki. Atau mungkin atas permintaan
isterinya yang cantik dari katangan tataran yang sederajad
atau mungkin, mungkin dan seribu macam kemungkinan.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia
mempercepat langkahnya. Ia ingin segera sampai ke rumah
Ki Daredu dan menceriterakan hal itu kepada Witantra dan
Mahisa Bungalan. "Kita sudah melihat satu jalur" berkatara Witantra ketika
Mahisia Agni menceriterakannya tentang pekatik muda itu.
Lalu, "Ia tentu salah satu dari tangan orang yang ingin
membunuh perempuan dan anak laki-lakinya itu"
"Kemungkinan terbesar adalah demikianlah" berkata
Mahisa Agni, "meskipun mungkin hal itu dilakukan karena
ia menjadi sakit hati, bahwa aku telah diterima bekerja
bersamanya" "Ya, tetapi kemungkinan yang pertamalah yang
terbesar" berkatalah Mahisa Bungalan.
"Aku sependapat" sahut Mahisa Agni, "tetapi aku pun
harus memperhitungkan dan menilai semuanya sebaikbaiknya
tanpa didorong oleh sekedar prasangka dan
ketergesa-gesaan" "Pamanmu harus berhati-hati" berkata Witantra ambil
tersenyum, "jangan sampai ia menunjuk sasaran yang
salah" Mahisa Agni pun tersenyum pula sambil berkata,
"Apakah anak-anak muda tidak telaten lagi bekerja seperti
kita yang tua-tua ini"
Mahisa Bungalan pun tersenyum pula. Katanya, "Tetapi
itu tidak berarti bahwa aku tidak berhati-hati dan
memperhitungkan segala kemungkinan paman"
Mahisa Agni dan Witantra tertawa. Namun dalam pada
itu Mahisa Agnipun berkata, "Kakang Witantra, apakah
tidak Sebaiknya kita berterus terang kepada Ki Daredu,
sehingga jika terjadi sesuatu, ia tidak menjadi sangat
terkejut. Mungkin orang-orang itu akan mengambil sikap
lebih keras lagi pada suatu saat"
Witantra mengangguk-angguk. Iapun sebenarnya sudah
memikirkan apakah yang sebaiknya dilakukan atas Ki
Daredu. Jika ia tidak mengetahui sama sekali, apa yang
dikerjakan oleh Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa
Bungalan, maka pada suatu saat ia akan manjadi terkejut
sekali, dan bahkan mungkin akan dapat mengganggunya
ketenangan hidupnya sekeluarga.
"Tetapi kitapun harus berhati-hati" berkata Witantra,
"mungkin terasa terlalu lamban. Tetapi kita harus
menyakinkan Ki Daredu bahwa yang kita lakukan akan
bermanfaat bagi Pangeran Kuda Padmadata sekeluarga.
Dan bahkan mungkin akan mencakup lingkungan yang
lebih luas dari satu jaringan kejahatan yang akan menjalar
di seluruh Kediri" "Tetapi masalah ini lebih banyak berkisar pada masalah
keluarga ini saja paman" sahut Mahisa Bungalan.
"Ya" jawab Witantra, "namun mereka telah
berhubungan dengan banyak pihak. Karena itu, mudahmudahan
Ki Daredu dapat mengerti dan tidak
berkeberatan, justru akan membantu kita sejauh dapat
dilakukan" Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ia memang
melihat kemungkinan bahwa jaring-jaring kejahatan ini
benar-benar sudah masuk ke dalam satu lingkungan yang
mempunyai pengaruh yang kuat. Bahkan tidak mustahil,
bahwa sebenarnyalah yang terjadi di dalam lingkungan
keluarga Pangeran Kuda Padmadata itu sekedar bayangan
dari kekuasaan kejahatan.
Karena itu, maka mereka pun telah bersepakat untuk
mengatakannya kepada Ki Daredu, meskipun Ki Daredu
untuk seterusnya diharap agar berpura-pura tidak
mengetahuinya. Ketika Ki Daredu mendengar keterangan itu, maka
wajahnya pun menegang. Sejenak ia termangu-mangu.
Namun kemudian iapun mengangguk sambil berkata,
"Itulah agaknya, aku melihat beberapa perubahan telah
terjadi d! dalam istana Pangeran Kuda Padmadata,
Hamukti Palapa 11 Dewa Arak 05 Banjir Darah Di Bojong Gading Pusaran Energi Kabah 1

Cari Blog Ini