Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja Bagian 21
"demikian kita kehilangan mereka, maka mereka datang
lagi dengan kekuatan yang lebih besar"
Para Pengawalnya mengangguk-angguk. Yang tidak
melihat orang-orang berilmu hitam itu pada serangan
pertama, mencoba membayangkan, apa yang teriah" terjadi.
Sementara mereka yang mengetahui serangan sebelumnya,
memang dapat melihat, bahwa jumlah lawan nampaknya
semakin kuat. Karena itulah, maka merekapun menjadi semakin
berhati-hati. Namun dalam pada itu, ternyata Pangeran Kuda
Padmadata yang berada di pusat lingkaran itupun
mempunyai perhitungan seperti Witantra. Karena itu, maka
iapun segera meneriakkan perintah kepada para
pengawalnya "Jangan sampai mereka terlepas. Yang
menyerah kalian tangkap, yang melawan terpaksa kalian
selesaikan" Perintah itu telah memberikan kemantapan kepada para
pengawal. Mereka mengerti sepenunya, apa yang harus
mereka lakukan menghadapi orang-orang berilmu hitam
itu. Sejenak kemudian maka para pengawal Kediri itupun
maju menyongsong orang-orang berilmu hitam itu. Pada
benturan pertama, ternyata kedua pasukan itu merasakan
bahwa mereka tidak dapat mengabaikan kekuatan lawan.
Pertempuran yang sengitpun segera terjadi. Ki Benda
yang kebetulan harus bertemu dengan Witantra berteriak
"He, dimana pedagang besi karatan yang mengaku
bernama Mahendra itu he" Yang terkenal di Kediri sebagai
pedagang barang berharga, tetapi sama sekali tidak berharga
itu?" Witantra menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Kenapa
kau mencari Mahendra" Kau di sini bertemu dengan aku"
"Aku tidak peduli. Panggil Mahendra" bentak Ki Benda.
Tetapi Witantra tidak menghiraukannya. Iapun
bertempur semakin cepat, agar lawannya tidak terpancang
kepada orang lain, meskipun dengan demikian ia akan
lengah. Namun Witantra tidak ingin berbuat licik.
Karena Witantra bertempur semakin cepat itulah, maka
Ki Benda terpaksa memperhatikan lawannya. Ternyata
iapun kemudian mulai meyakini bahwa lawannya yang
inipun memiliki kemampuan yang tinggi.
"Ki Sanak" berkata Witantra "mungkin Mahendra
terlalu baik hati sehingga ia telah melepaskan para benturan
yang pertama jika kau sudah ikut pula. Tetapi sekarang aku
akan berbuat lain. Aku tidak akan melapaskanmu, karena
perintah yang aku terima adalah, menangkap kalian
semuanya, karena kalian telah berbuat kesalahan sampai
dua kali" "Persetan" geram Ki Benda "aku akan membunuhmu,
kemudian aku akan mencincang pedagang besi tua itu
sampai lumat dengan kerisku ini"
Witantra sama sekali tidak menjawab, karena ia
mengerti bahwa jawabannya itu tidak akan ada gunanya
sama sekali. Namun dalam pada itu. iapun segera
meningkatkan ilmunya sehingga Ki Benda mulai terdesak
karenanya. "Anak iblis" berkata Ki Benda di dalam hatinya "aku
kehilangan Mahendra, justru mendapat lawan yang
semakin gila" Sebenarnyalah bahwa Witantra memang ingin untuk
tidak melepaskan lawannya seperti yang dimaksud oleh
Pangeran Kuda Padmadata. Karena jika mereka terlepas,
ada kemungkinan bahwa mereka akan datang lagi dengan
kekuatan yang lebih besar.
Demikianlah pertempuran itupun semakin lama menjadi
semakin seru. Macan Wahan tiba-tiba saja telah
berhadapan dengan Mahisa Agni, dan Ki Gampar
Wungkullah yang berada di arena melawan Mahendra.
Sementara Ki Walikat bertempur mempertaruhkan
nyawanya melawan Ki Wastu.
Mahisa Bungalan hanya dapat menggeram ketika ia
menyaksikan pertempuran berlangsung dengan sengitnya.
Ia tidak dapat meninggalkan Pangeran Kuda Padmadata
hanya dengan adik-adiknya saja. Setiap saat, orang yang
tidak terduga kemampuannya dapat saja menyusup untuk
sengaja membunuh isteri Pangeran Kuda Padmadata dan
anak laki-lakinya itu. Namun dalam pada itu, ternyata tidak ada seorangpun
yang menyusup pertahanan para pengawal. Pertempuran
masih tetap berlangsung dalam lingkaran yang menjadi
bulat, karena mereka yang datang dan mereka yang
bertahan telah menebar. Sementara itu, Macan Wahan bertempur dengan
garangnya. Ia mencoba untuk memaksa lawannya terdesak
pada benturan-benturan pertama. Namun ketika
pertempuran itu berlangsung beberapa saat, maka mulailah
Macan Wahan merasa, bahwa yang dihadapi itu tentu salah
seorang dari sais yang pernah ditatokan oleh ketiga orang
kawannya yang terdahulu. Karena itu, maka iapun menjadi semakin berhati-hati. Ia
meningkatkan kemampuannya selapis demi selapis.
Namun ternyata bahwa ia tidak mempunyai kesempatan
untuk mendesaknya. Meskipun ia sudah sampai kepada
tataran tertinggi dari ilmunya, namun lawannya masih tetap
bertahan. "Gila" geram Macan Wahan "namun jika setitik
darahnya sempat membasahi senjataku dan kuku ibu jariku,
maka akan berarti sekali bagi peningkatan tuah senjata dan
kemampuanku" Karena itu, maka Macan Wahanpun mulai berusaha
untuk dapat melukai Mahisa Agni dan kemudian
menggoreskan darah orang itu pada jari-jarinya, sesuai
dengan kepercayaan hitamnya.
Sementara itu Gampar Wungkulpun telah bertemu
dengan Ki Wastu yang menyongsongnya. Ternyata bahwa
keduanya segera terlibat kedalam satu pertempuran yang
seru. Masing-masing langsung mengerahkan kemampuan
mereka, karena masing-masing ingin segera menyelesaikan
pertempuran itu. Tetapi ternyata bahwa keduanya harus
mengakui, bahwa mereka telah membentur kekuatan yang
seimbang. Dalam hiruk pikuknya pertempuran itu. ternyata Ki
Dukut masih lagi ikut bersama-sama orang hitam itu
menyerang. Keragu-raguannya benar-benar telah
mencengkam jantung. Bahkan menurut perhitungannya,
orang-orang dari lingkungan hitam itu tidak akan dapat
memenangkan pertempuran. Sejenak Ki Dukut itu memandangi pertempuran yang
menjadi semakin dahsyat. Ditengah-tengah lingkaran
pertempuran itu masih terdapat perapian yang menyala,
sehingga di depan api yang menyala itu seakan-akan ia
melihat bayangan-bayangan hitam yang sedang menarikan
tarian maut dengan sangat mengerikan.
Untuk beberapa saat Ki Dukut benar-benar dicengkam
oleh keragu-raguan. Kadang-kadang iapun menanggap
bahwa orang-orang berilmu hitam itu tentu akan menang.
Pemimpin-pemimpinnya akan segera dapat mengalahkan
lawan-lawannya. Jika seorang melawan seorang, mereka
ternyata tidak mampu berbuat apa-apa seperti yang sudah
terjadi, maka bersama-sama dengan satu dua orang
pengikutnya, mereka akan segera dapat membunuh
lawannya. "Jika aku ikut pula tampil diarena, maka pekerjaan itu
akan dipercepat. Apa artinya pengawal-pengawal yang lain,
jika salah seorang diantara kami sudah berhasil melepaskan
diri dari lawan yang memiliki kemampuan seimbang"
berkata Ki Dukut di dalam hatinya.
Namun demikian ia tidak bergerak. Ia tidak berlari
nenyusul orang berilmu hitam itu dan langsung menusuk
sampai kepusat lingkaran pertempuran.
Sebenarnyalah bahwa perhitungan Ki Dukut itu memang
memiliki kebenaran. Ketika benturan itu berlangsung
semakin lama, maka semakin jelas, bahwa para pengawal
dari Kediri yang jumlahnya lebih sedikit itu telah berhasil
mendesak lawannya. Para perwira dari para pengawal
ternyata dengan cepat telah menyapu lawan-lawannya.
Meskipun mereka bukannya pembunuh-pembunuh yang
tidak berjantung, namun di dalam hiruk pikuknya
pertempuran, akan segera terjadi benturan kekerasan yang
mungkin akan memaksa seseorang untuk menjadi
pembunuh. Ki Dukut yang mencoba mendekati pertempuran itupun
kemudian melihat, sebenarnyalah bahwa orang-orang
berilmu hitam itu tidak cukup kuat untuk melawan orangorang
Kediri. Bahkan kemudian iapun mendapatkan satu
kesimpulan, seandainya ia sendiri ikut pula di dalam
pertempuran itu, maka akibatnya tidak akan jauh berbeda,
karena orang Kediri itupun memiliki pemimpin-pemimpin
yang dapat dibanggakan. Karena itu, maka Ki Dukutpun akhir memutuskan,
bahwa ia lebih baik menghindar saja dari pertempuran itu.
la masih merasa segan untuk menyerahkan lehernya kepada
orang-orang Kediri. Khususnya kepada Pangeran Kuda
Padmadata, bekas muridnya yang pernah menjadi Y
sasaran ketamakan dan nafsunya.
Dengan demikian, maka yang dilakukannya kemudian
malah justru sekedar melihat pertempuran itu. Kadangkadang
ia berhasil melihat satu dua orang berilmu hitam
jatuh terbanting di tanah. Nampaknya hanya orang-orang
berilmu hitam sajalah yang terluka dan terbunuh. Seolaholah
orang-orang Kediri itu sama sekali tidak berkurang
satupun meskipun ada diantara mereka yang telah tergores
senjata. Dalam pada itu, pertempuran itupun semakin lama
menjadi semakin seru. Tidak seorangpun dari antara orangorang
berilmu hitam itu yang sempat bertanya meski
kepada diri sendiri, apakah Ki Dukut telah melibatkan riri
ke dalam pertempuran itu.
Sementara itu, para pengawal dari Kediri termasuk
Mahisa Agni, Witantra, Mahendra dan Ki Wastu, telah
mendapat perintah untuk melakukan segala usaha, agar
orang-orang berilmu hitam itu tidak sempat melarikan diri
seperti yang pernah terjadi. Jika terjadi demikian, maka
mereka akan menjadi semakin berbahaya, karena mereka
mendapat pengalaman yang lebih banyak dalam
menghadapi orang-orang Kediri. Mereka akan datang
dalam jumlah yang berlipat ganda untuk menjamin bahwa
mereka tidak akan mengalami kegagalan lagi.
Dengan demikian, maka para pengawal yang sedang
bertempur itupun telah mengambil langkah-langkah agar
mereka dapat menguasai seluruh medan, sehingga bukan
saja melumpuhkan perlawanan lawan, namun juga agar
lawan mereka tidak sempat melarikan diri.
Beberapa orang pengawal justru telah menyusup diantara
lawan mereka dan berusaha mencapai lingkaran diluar
lingkar pertempuran itu. Dengan demikian, maka orangorang
berilmu hitam itu telah bertempur menghadap dua
arah. Di dalam lingkaran dan diluar lingkaran.
Kebingungan mulai membayang di wajah orang-orang
berilmu hitam. Meskipun jumlah mereka lebih banyak,
namun mereka sama sekali tidak mampu berbuat banyak
menghadapi para pengawal. Apalagi para pengawal itu
telah mengambil langkah-langkah untuk berusaha menahan
mereka melepaskan diri dari arena.
Sementara itu, Ki Benda, Ki Walikat, Ki Gampar Wung
kul dan Macan Wahanpun segera merasa, betapa beratnya
tekanan para pengawal. "Gila" berkata Macan Wahan di dalam hatinya
"ternyata perhitungan Ki Dukut mendekati kebenaran. Kita
tidak akan dapat mengalahkan para pengawal dari Kediri
itu, meskipun jumlah kita jauh lebih besar"
Sementara itu. setiap orang di lingkungan ilmu hitam itu
menduga, bahwa Ki Dukut telah terlibat pertempuran
melawan bekas muridnya. Tidak seorangpun yang mengetahui, banwa sebenarnya
Ki Dukut masih saja berada di tempatnya sambil
mengamati pertempuran. Ia telah mengambil keputusan
untuk tidak menampakkan dirinya sama sekali.
Karena itulah, maka Ki Dukut Pakering itupun telah
melepaskan orang-orang berilmu hitam itu. Mereka tidak
mendengarkan nasehat yang telah diberikan. Dan hal itu
harus mereka tebus dengan harga yang sangat mahal.
Ki Benda yang mendendam Mahendra sampai keujung
rambut, tetap tidak mendapat kesempatan untuk bertemu
dengan orang yang dikenalnya sebagai pedagang besi-besi
bertuah itu. Dalam pada itu, diantara orang-orang yang berada
didalam iring-iringan orang-orang Kediri itupun sebenarnya
telah mengamati keadaan dengan saksama. Mereka
sebenarnya menunggu, apakah diantara lawan-lawannya
terdapat seorang yang bernama Ki Dukut Pakering.
Ki Wastu yang mempunyai persoalan yang mendalam
dengan Ki Dukut itu justru telah mencarinya diantara
pertempuran itu. Bahkan ia telah meninggalkan lawannya
dan menyongsong lawannya yang lain. Ia percaya bahwa
dua tiga orang prajurit dipimpin oleh seorang perwira
Kediri akan berhasil membatasi gerak lawannya. Ia telah
mendekati lingkaran pertempuran yang lain, sementara ia
mengambil seorang dari antara orang berilmu hitam itu dari
lawannya. Ketika ia mengambil Gampar Wungkul dari lawannya
setelah ia menyerahkan Ki Walikat kepada sekelompok
pengawal, maka iapun berusaha untuk mendapat keterang
an dari lawannya itu tentang Ki Dukut. Sementara
Mahendra harus berganti lawan.
"Kenapa tidak aku temukan seorang berkeris itu lagi"
berkata Mahendra di dalam hatinya.
Namun yang dijumpainya kemudian adalah Ki Walikat.
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dalam pada itu, maka ki Wastupun mencoba untuk
mendengar, apakah dalam keadaan yang demikian Gampar
Wungkul bersedia menyebut Ki Dukut Pakering.
Namun ternyata Gampar Wungkulpun tidak
mengatakan apa-apa Bahkan sambil tertawa ia berkata
"Bersiap-siaplah untuk mati. Jangan bertanya tentang
sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan perkelahian
ini" Ki Wastu menggeram. Tetapi ia tidak puas dengan
lawannya. Meskipun untuk beberapa saat ia harus
bertampur dengan segenap ilmunya, namun iapun mulai
diusik lagi oleh keinginannya untuk bertemu dengan Ki
Dukut Pakering. menurut perhitungannya, orang itu adalah
sumber dari setiap usaha untuk memusnakan anak
perempuannya yang telah menjadi isteri Pangeran Kuda
Padmadata itu. Sejenak kemudian, maka Ki Wastupun telah
meninggalkan lawannya pula dan menyerahkannya kepada
sekelompok prajurit yang telah kehilangan lawannya,
karena orang-orang berilmu hitam itupun semakin lama
menjadi semakin berkurang.
Betapapun juga, maka akhir dari pertempuran itu sudah
membayang. Para pengawal Kediri benar-benar berusaha,
agar tidak seorangpun dari orang-orang berilmu hitam itu
yang dapat terlepas dari kepungan mereka.
Sementara itu, Ki Wastu telah bergeser ke tempat lain.
Ketika ia melihat benturan yang seru melampaui para
pengawal yang lain, iapun mendekatinya. Ternyata Ki Was
tu telah menjumpai Macan Wahan yang sedang bertempur
melawan Mahisa Agni. "Lepaskan orang ini" berkata Ki Wastu "aku ingin
bertanya kepadanya menjelang saat matinya, apakah ia
tahu serba sedikit tentang Ki Dukut Pakering"
Mahisa Agni ragu-ragu sejenak. Namun iapun kemudian
memberikan kesempatan kepada Ki Wastu sambil berkata
"Berhati-hatilah orang ini sangat berbahaya"
"Kenapa tidak kalian berdua sajalah yang menghadapi
aku" teriak Macan Wahan.
Tetapi Mahisa Agni tidak menghiraukannya. Iapun
kemudian meninggalkan Macan Wahan yang kemudian
berhadapan dengan Ki Wastu.
"Dimana Ki Dukut Pakering?" tiba-tiba saja Ki Wastu
bertanya. "Kenapa kau cari orang itu" bertanya Macan Wahan.
"Aku mempunyai persoalan pribadi. Ialah tentu
orangnya yang menggerakkan kalian menyerang iringiringan
ini. Berapa kalian diupah untuk membunuh
Pangeran Kuda Padmadata bersama anak isterinya"
"Gila" teriak Macan Wahan semakin keras.
"Sebut jika kau tahu, dimana Ki Dukut" bertanya Ki
Wastu. Macan Wahan menjadi heran mendengar pertanyaan itu.
Karena itu iapun menjawab "Ia berada di pertempuran ini.
Mungkin kini ia sedang membantai Pangeran Kuda
Padmadata, isteri dan anaknya itu"
"jangan mengigau. Bersama Pangeran Kuda Padmadata
adalah seorang anak muda yang tidak terkalahkan, di
samping kedua orang adiknya dan seorang pengawal
pilihan" jawab Ki Wastu "cepat, sebut dimana Ki Dukut"
Macan Wahan menjadi termangu-mangu. Ia mulai
curiga, bahwa Ki Dukut memang tidak ada di pertempuran
itu. Namun untuk sesaat ia mencoba menghapus kesan
kecurigaannya itu. Sementara itu, Mahisa Agnipun telah berganti lawan.
Lingkaran pertempuran itu menjadi semakin sempit. Bukan
karena orang berilmu hitam itulah yang mendesak. Tetapi
justru para pengawal berusaha untuk mempersempit gerak
mereka. Dalam pada itu, Mahisa Agni yang kehilangan lawan
telah menemukan Gampar Wungkul yang bertempur
melawan tiga orang pengawal terpilih
Demikian Mahisa Agni hadir dan menghadapi Gampar
Wungkul, mjjca keadaan orang-orang berilmu hitam di
sekitarnya menjadi semakin sulit.
Dalam pada itu, pertahanan para pengawal ternyata
cukup rapat. Tidak ada orang yang dapat manyusup seperti
yang pernah terjadi. Karena itu, orang-orang yang berada di
pusat lingkaran itupun masih saja berdiri menunggu dengan
kesiagaan sepenuhnya. Isteri dan anak laki-laki Pangeran Kuda Padmadata
benar-benar menjadi ketakutan. Mereka tidak habis berpikir
kenapa peristiwa seperti itu harus terulang dan seselalu
terulang kembali. Ki Wastu yang menganggap bahwa sumber dari peris-"
tiwa itu adalah Ki Dukut, masih belum puas jika ia masih
belum berhasil menemukannya dan membuat perhitungan.
Betapa tinggi ilmu Ki Dukut, namun dengan jantan akan
dihadapinya, justru karena sikap Ki Dukut terhadap anak
perempuannya. Pertempuran yang menjadi semakin sempit itu semakin
tidak menguntungkan bagi orang-orang berilmu hitam.
Sementara itu, Ki Wastu masih saja mengitari pertempuran
itu. Ketika ia meninggalkan Macan Wahan, maka ia
memberi isyarat kepada beberapa orang pengawal untuk
membatasi geraknya sebelum orang lain yang dapat
mengimbanginya datang kepadanya.
Sepeninggal Ki Wastu, Macan Wahan mulai berpikir
tentang Ki Dukut. Agaknya Ki Wastu tidak bermain-main
atau sekedar mempengaruhi perasaannya. Karena itu, maka
tiba-tiba saja Macan Wahan itupun berteriak "Temukan Ki
Dukut" Perintah itupun segera mengumandang. Ki Benda, Ki
Walikat dan Ki Gampar Wungkulpun akhirnya mendengar
pula pertanyaan yang dilontarkan oleh Macan Wahan itu.
Namun tidak seorangpun diantara mereka yang dapat
menemukan Ki Dukut dipertempuran itu. Bahkan hampir
setiap orang dari antara mereka yang berilmu hitam itupun
saling bertanya "Dimanakah Ki Dukut?"
Ternyata Ki Dukut memang tidak ada dipertempuran
itu. Orang-orang berilmu hitam itu mengumpat-umpat, te
tapi mereka sudah terlambat. Betapapun kemarahan mereka
mencengkam jantung, namun mereka sudah terlanjur
berada di dalam kepungan yang ketat, bahkan seolah-olah
berada di dalam satu lapisan kulit lingkaran yang dibatasi
diluar dan di dalam. Ki Wastu yang kemudian tidak menemukan Ki
Dukutpun menjadi sangat kecewa. Ia tidak ingin merampas
lagi lawan dari siapapun juga. Dengan tergesa-gesa,
menyusup diantara pertempuran, ia kembali kepada Macan
Wahan. Namun ternyata Macan Wahan sudah tidak berada di
tempatnya. Macan Wahan yang dibakar oleh kemarahannya karena
ia tidak melihat Ki Dukut, maka iapun telah menyusup pula
diantara orang-orangnya mencari diseluruh arena untuk
meyakinkan apakah Ki Dukut ada di pertempuran itu atau
tidak. Ketika ia yakin bahwa Ki Dukut memang tidak ada,
maka darahnya bagaikan mendidih. Meskipun ia sadar,
bahwa sejak semula Ki Dukut sudah mencegahnya, tetapi
tingkah lakunya itu benar-benar merupakan suatu
pengkhianatan, karena sampai saat terakhir ia tidak
mengatakan, bahwa ia menolak untuk ikut serta memasuki
arena pertempuran. Karena itu, maka kemarahan itu telah mempengaruhi
nalar Macan Wahan. Ia tidak lagi berusaha kembali ke
tempatnya. Ketika ia melihat bahwa Gampar Wungkul
sedang bertempur melawan seseorang, maka tiba-tiba saja
telah timbul niatnya untuk bertempur bersamanya. Jika
mereka berdua dengan cepat dapat membunuh orang itu,
maka Gampar Wungkul dan dirinya sendiri akan
melakukan hal yang serupa lagi terhadap orang yang lain.
Dengan demikian, maka orang-orang yang dianggap
pemimpin didalam lingkungan pengawal dari Kediri itu
akan segera dihabisinya. Karena itulah, maka sejenak kemudian Macan Wahan
telah bertempur berpasangan bersama Gampar Wungkul.
Dalam pada itu, yang dihadapinya ternyata adalah
Mahisa Agni. Mendapat dua orang, lawan yang berilmu
tinggi dalam jenis ilmu hitam itu, Mahisa Agnipun segera
merasakan tekanan yang berat. Namun dalam pada itu,
Mahisa Agni tidak lagi berusaha mengekang dirinya dalam
batas-batas tertentu dari ilmunya. Sebenarnyalah Mahisa
Agni masih selalu membatasi diri untuk tidak menjadi
pembunuh yang kejam dipeperangah. Ia masih selalu
membuat pertimbangan-pertimbangan tertentu.
Namun ketika ia harus melawan dua orang sekaligus,
maka Mahisa Agnipun mulai mempertimbangkan segala
keadaan. Namun dalam pada itu, sebelum Mahisa Agni
sampai kepada ilmu Pamungkasnya, maka tiba-tiba saja Ki
Wastu telah mendekatinya. Demikian ia melihat Mahisa
Agni bertempur melawan dua orang pada tataran tertinggi
dari golongan hitam itu, iapun segera mendekatinya.
Tetapi yang kemudian menyongsong Ki Wastu bukan
Macan Wahan namun Ki Gampar Wungkullah yang telah
meninggalkan Mahisa Agni langsung menghadapi Ki
Wastu. Dalam pada tu, ternyata pertempuran itu sudah
mendekati akhirnya. Para pengawal orang-orang berilmu
hitam Seperti yang diperintahkan Pangeran Kuda
Padmadata, maka para pengawalnya itupun berusaha agar
tidak seorangpun diantara mereka yang dapat melarikan
diri. "Semua harus ditangkap" terdengar peringatan ulang.
Lalu "jika tidak dapat ditangkap hidup, tangkap mati"
Perintah itu sudah tegas. Dan para pengawalpun akan
melakukan perintah itu sebaik-baiknya. Karena jika mereka
terlepas, malapetaka masih akan selalu mengikutinya.
Namun dalam pada itu, orang-orang berilmu hitam yang
tersisa itupun telah mengerahkan segenap kemampuan
mereka. Mereka berusaha untuk memecahkan kepungan.
Namun, jika hal itu tidak mungkin, maka mereka
menganggap bahwa lebih baik mereka hancur sama sekali.
Karena itulah, maka para pemimpin dari orang-orang
berilmu hitam itupun segera telah mengerahkan
kemampuannya pula. Kekecewaan dan kemarahan yang
menggelegak dihatinya telah terungkap dalam tingkah
mereka di saat-saat terakhir dari perlawanan mereka itu.
Ternyata tidak seorangpun diantara orang-orang berilmu
hitam itu yang sempat meninggalkan arena. Para pengawal
telah mengepung mereka dengan rapat. Jika seseorang ber
usaha menembus kepungan itu, maka akhirnya ia harus
terkapar tidak bernyawa lagi.
Demikian pula bagi para pemimpin mereka. Masingmasing
tidak akan dapat terlepas dari tangan lawannya.
Macan Wahan yang dibakar oleh kemarahannya kepada
orang-orang Kediri dan terutama kepada Ki Dukut itu telah
mengamuk seperti seekor harimau lapar. Tangannya yang
sebelah menggenggam senjatanya erat-erat. sementara yang
lain jari-jarinya telahmengembangdan siap menerkam
lawannya. Mahisa Agni yang melawannya, melihat betapa
kemarahan menghentak jantung lawannya. Kemarahan,
namun juga putus asa membayang pada wajahnya. Sekalikali
terdengar Macan Wahan menggeram. Namun
kemudian iapun mengumpat dengan kasalnya.
Dalam keadaan yang demikian, maka Mahisa Bungalan
yang seolah-olah tidak berbuat apa-apa, merasa tidak terikat
lagi dengan tugasnya, la sadar, bahwa sisa orang-orang
berilmu hitam itu tidak akan mampu lagi menyusup dan
berbuat sesuatu atas Pangeran Kuda Padmadata serta isteri
dan anaknya. Seandainya ada juga satu dua yang berbuat
demikian, maka mereka sama sekali tidak akan berbahaya
lagi bagi Pangeran itu. Karena itu, maka Mahisa Bungalanpun kemudian
bergeser ke arena pertempuran. Ternyata ia mempercepat
panyelesaian pertempuran itu.
Orang-orang berilmu hitam yang tersisa itu, ternyata
tidak bersedia untuk menyerah. Mahisa Agni yang
bertempur melawan Macan Wahan berkata sambil
menahan serangan-serangan lawannya itu "Kau tidak
mempunyai kesempatan lagi. Kenapa kau tidak menyerah
saja?" Macan Wahan menggeram. Katanya "Persetan dengan
kalian" "Nampaknya kau sudah dijerumuskan dengan licik oleh
orang yang bernama Ki Dukut" berkata Mahisa Agni
kemudian " menyerahlah. Kita akan berbicara tentang
orang yang bernama Ki Dukut Pakering agar kau tidak
mendapat gambaran yang salah dari keadaannya yang
sebenarnya" "Persetan" geram Macan Wahan "apapun yang terjadi,
tetapi kami, tidak sudi menyerah kepada siapapun juga.
Apalagi kepada orang-orang Kediri yang telah kehilangan
harga dirinya" Mahisa Agni terkejut mendengar jawaban itu. Apalagi
ketika Macan Wahan melanjutkan "Orang-orang Kediri
yang sudah terbius oleh kepentingan dirinya sendiri untuk
mendapatkan kemurahan dan belas kasihan dari orangorang
Singasari. He, orang-orang Kediri, kenapa kau telah
merendahkan dirimu, menjilat telapak kaki orang-orang
Singasari yang telah merampas kebesaran martabat nenek
moyangmu" Terasa jantung Mahisa Agni berdebaran mendengarnya.
Dengan nada datar ia bertanya "Siapakah yang
mengajarimu berkata demikian?"
"Aku adalah orang Kediri yang tahu akan harga diriku"
berkata Macan Wahan sambil menyerang.
Mahisa Agni mengelak. Ternyata kata-kata itu sangat
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menarik perhatiannya. Namun dalam pada itu, dibagian lain lagi pertempuran
itu. beberapa orang pemimpin dari orang-orang berilmu
hitam itu sudah tidak mampu bertahan lagi. Namun
ternyata merekapun telah menjadi berputus asa. Mereka
menganggap bahwa menyerah kepada orang-orang Kediri
itu adalah satu penderitaan yang akan berkepanjangan
seolah-olah tanpa akhir. Meskipun demikian akhirnya
merekapun akan mati juga dalam keadaan yang paling
menyedihkan. Karena itulah, maka mati dipeperangan dengan pedang
di tangan adalah cara untuk mati yang paling terhormat
yang dapat mereka jangkau pada saat-saat yang demikian.
Karena itulah, meskipun mereka merasa diperlakukan tidak
sewajarnya oleh orang yang bernama Ki Dukut, na-mun
mereka pantang untuk menyerah.
Ki Wastu yang juga dibakar oleh kekecewaan karena ia
tidak berhasil menemukan Ki Dukut diantara lawannya,
telah berusaha mendesak lawannya. Ternyata bahwa
lawannya tidak sempat berbuat banyak. Ketika ia surut
beberapa langkah, maka ia telah melampaui garis kepungan
para pengawal. Seolah-olah tanpa sengaja, pengawal yang
terdekat, telah menahannya dengan senjatanya. Meskipun
senjata pengawal yang mematuk pemimpin dari orangorang
berilmu hitam itu dapat dihindari, namun
perhatiannya yang sesaat tertuju kepada pengawal itu, telah
membuatnya lengah. Dalam pertempuran yang riuh itu, agaknya telah
membuat masing-masing tidak lagi menghiraukan, apakah
sebenarnya mereka sedang bertempur seorang melawan
seorang atau terlibat kedalam perang brubuh. Demikian
pula yang terjadi atas Ki Wastu yang tidak sempat lagi
menghiraukan apakah lawannya sedang terganggu oleh
serangan seorang pengawal.
Karena itulah, maka tiba-tiba saja telah terdengar salah
seorang pemimpin dari orang-orang berilmu hitam itu
mengaduh. Ternyata Ki Wastu yang marah itu tidak lagi
mengendalikan dirinya. Sesaat Ki Wastu melihat lawannya menggeliat. Namun
kemudian orang berilmu hitam itupun telah
menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Kematian itu benar-benar telah menggunakan kawankawannya.
Mereka menjadi semakin berputus asa dan
bertempur tidak menentu. Meskipun demikian, para
pemimpin orang-orang berilmu hitam itu tidak menyerah.
Mereka bertempur sampai kemampuan mereka terkuras
habis. Satu-satu mereka tidak dapat lagi mempertahankan
dirinya. Ki Gampar Wungkul yang telah mati itu segera
disusul oleh Ki Benda yang mengamuk seperti orang gila.
Ki Walikat dan yang kemudian adalah Macan Wahan.
Untuk beberapa saat ia masih bertahan. Namun akhirnya ia
tidak lagi dapat menghindarkan dirinya. Sementara itu, ia
benar-benar tidak mau menyerah. Ia memilih mati dengan
pedang ditangan daripada hidup untuk melepaskan
senjatanya. Karena itulah, maka pertempuran itupun perlahan-lahan
telah terhenti. Orang-orang berilmu hitam itu sama sekali
tidak berdaya ketika mereka sudah kehilangan para
pemimpinnya. Namun dalam pada itu, betapapun rapatnya kepungan
para pengawal dari Kediri, namun ternyata ada juga dua
orang dari antara orang-orang berilmu hitam itu yang
berhasil lolos. Dengan sekuat tenaga mereka melarikan diri
menjauhi pertempuran yang baginya seperti neraka itu.
Kawannya telah terbunuh. Bahkan para pemimpinya telah
terbunuh pula. Namun demikian kedua orang itu berlari melingkari
segerumbul perdu, keduanya terkejut. Tiba-tiba saja mereka
sudah berhadapan dengan seseorang.
Tetapi keduanyapun kemudian menarik nafas dalamdalam.
Yang ada dihadapannya saat itu adalah Ki Dukut
Pakering. "Ki Dukut" berkata salah seorang dari kedua orang itu
"semua kawan-kawan mencari Ki Dukut"
Ki Dukut mengangguk-angguk. Katanya "Ya. Akupun
mengerti. Kenapa Ki Dukut tidak hadir di dalam
pertempuran itu?" bertanya salah seorang dari mereka.
"Aku tidak mau membunuh diri" jawab Ki Dukut Aku
sudah memperingatkan kepada kawan-kawanmu, bahwa
sangat berbahaya untuk menyerang orang-orang Kediri itu.
Aku susah melihat bahwa mereka terlalu kuat. macan
Wahanpun telah melihatnya pula. Namun kawankawanmu
yang gila itu sama sekali tidak menghiraukan
peringatanku" Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Sekali mereka
berpaling. Namun nampaknya para pengawal dari Kediri
itu tidak sempat mengejarnya, karena mereka harus
mengawasi dan mungkin menangkapi orang-orang yang
tersisa. Dalam pada itu, salah seorang dari kedua orang yang
berhasil melarikan diri itupun bertanya "Tetapi bukankah
dalam keadaan yang gawat itu Ki Dukut dapat membantu
kami?" "Buat apa?" bertanya Ki Dukut "semuanya sudah tidak
ada artinya. Pemimpin-pemimpinmu ternyata orang-orang
dungu yang tidak berotak. Mereka didorong saja oleh
perasaan. Tetapi nalar mereka membeku seperti batu
padas" Kedua orang berilmu hitam itu termangu-mangu.
"Aku akan kembali ke padepokan" desis Ki Dukut.
"Dan meninggalkan kawan-kawan kita mati dan
tertangkap?" bertanya salah seorang dari kedua orang itu.
"Lalu apa yang harus aku kerjakan?" bertanya Ki Dukut.
"Itu tidak semestinya" yang lain menyahut "apakah kita
masih mungkin mencari kawan untuk membebaskan
mereka yang tertangkap?"
"Itu pikiran lebih gila lagi. Kau akan semakin banyak
menyeret kawan-kawanmu kedalam tangkapan maut"
jawab Ki Dukut. "Namun kematian yang demikian akan lebih baik"
jawab salah seorang dari keduanya.
"Jika demikian, kenapa kalian lari" Kenapa kalian tidak
membunuh diri saja bersama kawan-kawanmu" bertanya Ki
Dukut. "Aku mendapat kesempatan hidup. Aku akan mencari
kesempatan untuk berbuat sesuatu atas kawan-kawan kami
itu" jawab orang itu.
"Itu adalah pikiran gila yang sangat kerdil" geram Ki
Dukut "bagaimana mungkin kau dapat melepaskan kawankawanmu
ditangan orang-orang terbaik dari Kediri. Bahkan
hidup kalian berduapun sama sekali sudah tidak berarti lagi
" Kedua orang itu terkejut. Salah seorang dari mereka
bertanya dengan serta merta "apa maksudmu"
"Kenapa kalian berdua tidak mati saja?" bertanya Ki
Dukut "Kami mendapat kesempatan untuk melepaskan diri.
Kesempatan itu aku pergunakan sebaik-baiknya" jawab
yang seorang "mungkin dengan demikian kami akan
mendapat kesempatan berbuat sesuatu. Kami akan segera
kembali ke tempat tinggal kami. Selain keempat orang
pemimpin kami dari empat padepokan itu terbunuh, kami
masih akan dapat menghubungi beberapa orang lagi yang
mungkin mempunyai kekuatan yang seimbang"
Bukan kau yang harus melakukannya" sahut Ki Dukut.
"Maksudmu?" bertanya orang yang berhasil
membebaskan dirinya itu. "Akulah yang akan datang kepada mereka untuk
kepentingan itu" geram Ki Dukut.
Kedua orang itu termangu-mangu. Sekilas mereka saling
berpandangan. Namun kemudian salah seorang berkata
"Apa maksud Ki Dukut?"
Ki Dukut memandang, kedua orang berilmu hitam
dengan sorot mata yang membara. Sejenak ia tidak berkata
sesuatu. Namun wajah Ki Dukut itu menjadi aneh bagi
kedua orang berilmu hitam itu.
Orang-orang yang menyadap ilmu hitam itu adalah
orang-orang yang kasar. Orang-orang yang sama sekali
tidak mengindahkan lagi martabat kemanusiaan mereka.
Bahkan kadang-kadang mereka tidak mengerti lagi arti
tentang diri mereka sendiri bagi sesamanya. Karena justru
dari sesamanya mereka mencari landasan bagi ilmunya,
dalam arti yang sangat buruk. Mereka telah mengorbankan
orang lain bagi kepentingan keyakinan meraka untuk
menyadap ilmu mereka. Namun demikian, berhadapan dengan Ki Dukut yang
memandang kedua orang itu dengan tatapan mata yang
bagaikan menyala itu terasa kedua orang itu menjadi
berdebar-debar. "Orang-orang dungu" geram Ki Dukut "kalian memang
seharusnya mati bersama-sama dengan kawan-kawanmu.
Kalian ternyata tidak mempunyai setia kawan sama sekali.
Jika kawan-kawanmu mati dan tertangkap, kenapa kau
justru melarikan diri?"
Kedua orang itu termangu-mangu. Namun salah seorang
kemudian berusaha menjawab "Sudah aku katakan. Aku
akan berusaha melepaskan kawan-kawanku itu, atau
setidak-tidaknya membalas dendam akan kematian mereka"
"Aku yang akan melakukannya semua itu" geram Ki
Dukut "kalian berdua sudah tidak ada artinya lagi"
"Aku tidak mengerti" desis salah seorang dari keduanya.
"Kalian memang terlalu bodoh" geram Ki Dukut
"dengarlah. Kalian harus mati. Jika kalian tidak mati di
medan pertempuran itu, maka akulah yang akan
membunuh kalian berdua"
Kedua orang itu terkejut. Selangkah mereka surut.
Seorang diantara meraka bertanya "Apakah kau sudah gila"
Apakah artinya kematian yang demikian. Jika aku tetap
hidup, maka aku masih akan mempunyai arti. Mungkin aku
masih akan dapat membalas dendam"
"Sudah aku katakan, akulah yang akan melakukannya"
geram Ki Dukut. "Kau dapat melakukan, dan aku dapat pula
melakukannya" sahut salah seorang dari kedua orang itu.
"Itu tidak perlu" jawab Ki Dukut "satu orang saja
diantara kalian tetap hidup, maka kalian akan dapat
memfitnah aku dihadapan kawan-kawan Macan Wahan,
atau Ki Benda, Ki Walikat dan Ki Gampar Wungkul,
bahwa aku telah mengkhianatinya. Padahal aku berusaha
untuk mencegah mereka dari kemusnahan"
Wajah kedua orang itu menegang. Salah seorang
kemudian berkata "Jangan bodoh Ki Dukut. Aku tahu kau
adalah orang yang luar biasa. Tetapi kau bagiku tidak lebih
dari manusia biasa. Karena itu jangan berbuat sesuatu yang
dapat merugikan dirimu sendiri"
"Persetan" geram Ki Dukut "bersiaplah untuk mati, agar
tidak seorangpun yang akan dapat memfitnah aku"
Kedua orang berilmu hitam itu nampaknya memang
sudah tidak mempunyai pilihan lain. Karena itu, maka
keduanyapun segera bersiap menghadapi segala
kemungkinan. Salah seorang dari keduanyapun kemudian
berkata "Aku sekarang mengerti Ki Dukut. Ternyata kau
sengaja menjerumuskan kami, pemimpin-pemimpin kami
kedalam kematian. Kemudian kau akan dapat membuat
ceritera tentang apa saja yang akan dapat mengangkat
namamu diantara kawan-kawan kami yang masih hidup"
Ki Dukut tertawa. Katanya "Setan alas. Apapun yang
kau igaukan tidak berarti apa-apa. Katakan yang ingin kau
katakan sebelum kalian akan mati"
Kedua orang itu tidak menjawab. Namun kemudian
keduanya telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Nampaknya Ki Dukut benar-benar akan membunuh
keduanya. Sejenak kemudian iapun bergeser selangkah siap
untuk menyerang. Tetapi salah seorang dari kedua lawannya telah meloncat
dengan senjata terjulur, sehingga Ki Dukut harus
monghindnrinyn. Namun demikian ia menghindar yang
seorang teluh menyorungnya sambil berteriak nyaring.
"Gila " bentak Ki Dukut "kau akan memanggil orangorang
Kediri itu" "Apa pedulimu" yang lain justru berteriak pula "aku
memang sudah siap untuk mati. Mati ditanganmu atau mati
ditangan orang-orang Kediri"
Ki Dukut mengumpat. Katanya "Licik. Kau sengaja
memancing agar orang-orang Kediri itu datang kemari"
"Aku tidak takut terhadap orang-orang Kediri" salah
seorang dari kedua lawan Ki Dukut itu berteriak "salah
seorang dari kedua lawan Ki Dukut itu berteriak semakin
keras "apa artinya mati bagiku. Kawan-kawanku sudah
mati semuanya. Dan kami berduapun tidak akan takut lagi
untuk mati" Ki Dukut menjadi semakin marah. Iapun kemudian ber
usaha membunuh keduanya semakin cepat.
Tetapi kedua orang itu telah dengan sengaja menarik diri
keluar dari gerumbul-gerumbul perdu, justru mendekati
lingkaran pertahanan orang-orang Kediri. Apalagi mereka
masih saja berteriak-berteriak tidak menentu"
Ki Dukut menjadi berdebar-debar. Ia gelisah bukan
karena kemampuan lawannya. Tetapi jika orang-orang.
Kediri itu mendengar, maka mereka akan berdatangan.
Sebenarnyalah teriakan-teriakan itu lamat-lamat
terdengar oleh orang Kediri. Meskipun mereka tidak segera
menyadari keadaan, namun mereka segera tertarik kepada
suara yang bagi mereka terdengar sangat aneh itu. Apalagi
ketika teriakan-teriakan itu rasa-rasanya saling susul
menyusul dibarengi dengan umpatan-umpatan kasar.
"Suara apakah sebenarnya itu" seorang pengawal yang
sedang bertugas berdesis kepada kawannya.
"Kita wajib mengetahuinya. Tetapi kita harus berhatihati.
Siapa tahu, sekelompok lawan sedang memancing
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kita" jawab yang lain.
Belum lagi pengawal-pengawal itu mengambil sikap,
Mahisa Agni dan Witantra mendekati mereka sambil
bertanya "Apakah yang kalian dengar?"
"Teriakan-teriakan dan umpatan-umpatan kasar. Tetapi
lamat-lamat" jawabpengawal itu.
"Aku juga mendengar" jawab Mahisa Agni "biarlah
kami berdua melihatnya, hati-hati. Biarlah para pengawal
menyelesaikan tugas mereka disini"
"Apakah kami berdua perlu ikut serta?" bertanya
pengawal itu. Tetapi Mahisa Agni menggeleng "Tidak. Biarlah kami
berdua saja menengoknya. Lakukanlah tugas kalian disini
sebaik-baiknya. Aku sudah minta diri kepada Pangeran
yang sedang sibuk" Dengan tergesa-gesa Mahisa Agni dan Witantrapun
kemudian pergi kearah suara itu. Para pengawal hanya
dapat memandanginya dengan hati yang berdebar-debar.
Namun merekapun tahu, siapakah kedua orang itu.
Meskipun para pengawal itu tidak tahu latar belakang dari
kehidupan Mahisa Agni dan Witantra yang sebenarnya,
namun mereka mengetahui bahwa keduanya adalah 6rang
yang pilih tanding. Sementara itu Mahisa Agni dan Witantrapun menjadi
semakin dekat dengan sumber suara itu. Karena itu, maka
merekapun mendengar semakin jelas. Seperti yang mereka
duga, maka telah terjadi pertempuran yang sengit, dibalik
gerumbul-gerumbul perdu. Namun demikian, kedua nya
tidak segera mengetahui, siapakah yang telah bertempur itu.
Tetapi dengan umpatan-umpatan kasar, 'Mahisa Agni
dan Witantrapun segera mengetahui, bahwa salah satu
pihak dari mereka yang bertempur itu adalah Ki Dukut.
Ki Dukutpun bertempur dengan marahnya. Semakin
keras lawannya berteriak, jantung Ki Dukutpun semakin
cepat berdentang. Namun dengan demikian, maka iapun
bertempur semakin garang.
Dua orang berilmu hitam itu ternyata bukan lawannya.
Keduanya segera terdesak. Karena itu, maka kedua orang
itupun berusaha untuk memperpanjang umur mereka
dengan berloncat-loncatan dan bahkan memancing KiDu
kut untuk keluar semakin jauh dari gerumbul-gerumbul
perdu itu. Untuk bertahan, agar mereka tidak terlempar terlalu jauh
keluar lindungan batang-batang perdu itulah yang
menyebabkan Ki Dukut tidak segera dapat membunuh
lawannya. Ia berusaha agar tidak terpancing terlalu jauh.
Namun dengan demikian, maka geraknyapun menjadi
semakin terbatas. Mahisa Agni dan Witantra menjadi semakin dekat
dengan arena perkelahian itu. Namun demikian keduanya
melihat bayangan yang berputar-putar dalam arena
perkelahian, maka Ki Dukutpun sempat melihatnya pula.
Secara naluriah, jantung Ki Dukut menjadi berdebaran.
Kedua orang yang datang itu menurut tanggapan perasaan
Ki Dukut. tentu bukan orang kebanyakan. Langkah mereka
ringan seperti kapas, sementara dengan yakin keduanya
mendekati pertempuran, yang kasar itu.
Pada saat terakhir itu, yang dapat dilakukan Ki Dukut
adalah mempercepat penyelesaian. Ia berusaha untuk saat
yang terakhir kalinya, menyelesaikan kedua orang
lawannya, sehingga dengan demikian kedua orang itu tidak
akan dapat memberikan kesaksian kepada siapapun, apa
yang telah dilakukannya di arena pertempuran itu.
Tetapi kedua orang itupun tidak menyerah begitu saja
kepadanya. Keduanya masih tetap bertahan dengan
gigihnya. Meskipun demikian, ternyata kecepatan bergerak Ki
Dukut telah berhasil mendesak keduanya. Terdengar salah
seorang dari kedua orang itu mengeluh. Nampak dalam
kegelapan, orang itu terhuyung-huyung. Namun sejenak
kemudian ia telah berdiri tegang. Senjatanya masih berada
ditangannya meskipun ternyata ia telah terluka
dipundaknya. Ki Dukut masih ingin meloncat menyerang dan segera
membunuh yang lain pula. Namun bayangan yang datang
itu sudah terlalu dekat, sehingga Ki Dukut itupun
mengumpat "Pengecut. Orang-orang itu tentu orang-orang
Kediri yang mendengar teriakan-teriakan pengecut itu.
Dengan sengaja kalian telah mengundang mereka. Ternyata
kalian lebih senang ditangkap, diikat di belakang punggung
kuda dan diseret sampai ke Kota Raja Kediri"
Kedua orang itu tidak menjawab. Namun Ki Dukut ti
dak sempat lagi berbuat sesuatu.
Agaknya Ki Dukut itu telah mempunyai perhitungan
tersendiri melihat kehadiran kedua orang Kediri itu.
Siapapun keduanya, namun itu berarti bahwa Ki Dukut
harus bertempur melawan empat orang, Namun jika benarbenar
tertangkap oleh orang-orang Kediri, maka ia akan
menjadi bertambah malu, sementara dendamnya masih
belum dapat diselesaikan. Dendamnya kepada Pangeran
Kuda Padmadata dengan keluarganya, dan dengan orangorang
yang telih berpihak kepada Pangeran itu.
Dengan demikian, maka Ki Dukutpun harus cepat
mengambil keputusan pula. Demikian kedua orang itu
mendekat maka Ki Dukut yang belum berhasil membunuh
lawannya itupun segera meloncat meninggalkan kedua
lawannya yang seorang diantaranya mereka telah terluka"
Mahisa Agni dan Witantra termangu-mangu. Mereka
tidak mengetahui medan yang mereka hadapi. Karena itu
mereka tidak mengejar seseorang yang telah melarikan diri
itu. Yang mereka jumpai kemudian adalah dua orang
berilmu hitam, sementara yang seorang telah terluka
karenanya. Ternyata kedua orang itupun tidak lagi mempunyai niat
untuk melawan. Karena itu, maka merekapun segera
menyatakan menyerahkan diri mereka kepada kedua orang
yang mereka duga juga orang Kediri pula.
Mahisa Agni dan Witantrapun kemudian mengambil
senjata kedua orang itu, yang telah dilemparkannya.
Sejenak mereka saling memandang, namun kemudian
Mahisa Agni bertanya "Siapakah kalian berdua?"
"Aku adalah pengikut pemimpin-pemimpin kami yang
telah kalian bunuh di medan" jawab salah seorang dari
keduanya "kami berdua berhasil melarikan diri. Tetapi
kami telah bertemu dengan orang yang akan membunuh
kami" "Siapakah orang itu?" bertanya Witantra.
"Ki Dukut Pakering" jawab orang yang terluka.
"Mahisa Agni dan Witantra terkejut mendengar jawaban
itu. Ternyata orang itu adalah Ki Dukut Pakering.
"Namun orang itu tentu sudah jauh. kesempatan yang
cukup itu tentu akan berhasil menyelamatkannya. "Sayang"
desis Mahisa Agni "aku tidak tahu sebelumnya. Jika saja
aku tahu bahwa orang itu adalah Ki Dukut Pakering, maka
aku berkepentingan" "Kamipun berkepentingan. Tetapi ternyata kemampuan
kami berdua dibawah kemampuannya. Jika saja kalian
tidak datang kemari, mungkin kami sudah mati. Bahkan
jika saja Ki Dukut bertahan melawan kita berempat, maka
kitapun akan mati pula" jawab salah seorang dari kedua
orang itu. Mahisa Agni menarik natas dalam-dalam. Ia sadar,
bahwa Ki Dukut mempunyai kemampuan yang tinggi.
Tetapi Mahisa Agnipun mengerti, bahwa ki Dukut bukan
orang yang tidak terlawan.
Namun ia tidak mengatakannya kepada kedua orang
yang sudah menyerah itu. Bahkan kemudian iapun berkata
"Marilah. Kalian akan aku serahkan kepada para
pengawal" Kedua orang itu tidak membantah. Keduanyapun
kemudian berjalan di depan, menuju ke tempat orang-orang
Kediri sibuk dengan bermacam-macam kewajiban.
Mengurusi orang-orang yang terbunuh, yang menyerah dan
meng urusi mereka yang terluka.
Namun dalam pada itu, para pengawal yang bertugas
berjaga-jagapun tidak lengah mengamati keadaan. Apalagi
mereka masih memperhitungkan kemungkinankemungkinan
lain yang akan dapat terjadi.
Kedatangan Mahisa Agni dan Witantra membawa dua
orang tawanan itu sangat menarik. Apalagi ketika
kemudian Mahisa Agni mengatakan bahwa mereka telah
melihat Ki Dukut Pajcering Tetapi karena mereka tidak
menyadarinya, maka orang itu dibiarkannya melarikan diri.
"Sayang" desis Ki Wastu "kenapa orang itu tidak dapat
kita tangkap. Ia akan tetap merupakan ancaman bagi kita
samuanya dimasa mendatang"
"Perburuan itu harus dilanjutkan" Mahisa Bungalanlah
yang menyahut. Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Meskipun iapun
sadar, bahaya yang akan dapat ditimbulkan oleh Ki Dukut
Pakering, namun tidak akan dapat diambil keputusan
dengan tergesa-gesa. Dalam pada itu, Pangeran Kuda Padmadata yang masih
muda seperti juga Mahisa Bungalan, apalagi ia merasa
mempunyai kepentingan langsung, maka dengan suara
yang bergetar oleh kemarahan berkata "Apapun caranya,
orang itu harus tertangkap. Aku berterima kasih, bahwa Ki
Dukut telah memberikan ilmu kepadaku. Namun apa yang
dilakukan pada saat-saat terakhir benar-benar sudahmelampaui
batas-batas kemanusiaan. Karena itu, maka
apapun caranya, orang itu harus tertangkap. Hidup atau
mati" Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Baiklah. Kita akan memikirkan caranya. Sementara ini,
kita bersiap-siap untuk kembali ke Kediri esok pagi-pagi"
Pangeran Kuda Padmadatapun tidak menjawab lagi.
Betapapun jantungnya bergejolak, namun iapun menyadari
apa yang sedang dihadapinya. Apalagi saat itu ia bersama
dangan isteri dan anaknya laki-laki, yang termasuk menjadi
sasaran dendam Ki Dukut yang nampaknya tidak akan
kunjung padam. Dalam pada itu, maka Pangeran Kuda Padmadatapun
kembali sibuk dengan keadaan yang dihadapinya waktu itu.
Ia memerintahkan mengubur orang-orang yang terbunuh di
peperangan, yang semuanya adalah orang-orang berilmu
hitam. Para pengawal Kediri seperti yang sudah terjadi,
tidaklah berkurang. Ada beberapa orang terluka parah.
Sementara ada pula yang luka-luka ringan, namun masih
dapat melakukan tugasnya. Sementara diantara orang-orang
berilmu hitam yang terluka, tetapi masih dapat ditolong
jiwanyapun telah mendapat perawatan seperlunya.
"Untunglah, Kediri tidak terlalu jauh lagi" desis
Mahendra kepada kedua anak-anaknya, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. "Ya" jawab Mahisa Murti "nampaknya tugas para
pengawal manjadi semakin berat. Kecuali kekuatan mereka
berkurang karena diantara mereka telah terluka, agaknya
mereka mendapat tugas yang terlalu berat"
"Besok kita akan mencapai Kediri" berkata Mahisa
Pukat "aku kira benar kakang Mahisa Bungalan yang
menganggap bahwa perburuan harus segera dilakukan
selagi Ki Dukut masih berada disekitar tempat ini"
"Malam ini Ki Dukut sudah berada ditempat yang sama
sekali tidak kita kanal, dan tidak kita duga" berkata
Mahendra "memang agak berbeda dengan berburu
harimau" Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun kemudi
an katanya "Tentu samakin cepat semakin baik"
"Nampaknya kau sudah terpengaruh sikap kakakmu.
Sudah aku katakan, kita harus berhati-hati manghadapi
orang seperti Ki Dukut. Ternyata ia licin seperti belut.
Meskipun tidak merupakan wataknya sejak semula, namun
ia sekarang menjadi sangat licik. Agaknya keadaan telah
memaksanya, dan ia tidak dapat mengelak lagi" berkata
Mahendra kemudian. Kedua anak-anaknya tidak membantah lagi. Merekapun
mengerti, bahwa orang itu adalah orang yang sangat
berbahaya. Sebenarnyalah, bahwa Ki Dukut yang berhasil
melepaskan diri itu, benar-benar telah meniadi seorang yang
kehilangan dirinya sendiri. Semakin lama ia telah
terperosok semakin dalam ke lubang yang digalinya sendiri,
sehingga ia tidak akan mungkin keluar lagi. Semakin lama
dan pasti, maka Ki Dukut telah berubah menjadi orang lain,
yang tidak kurang kasar, buas dan liar dari orang-orang
berilmu hitam itu sendiri. Nalar dan pertimbangan
perasaannya bagaikan telah menjadi kelam, seperti
kelamnya malam di musim basah, di saat langit disaput
oleh mendung yang tebal. Dalam pada itu, Ki Dukut itupun kemudian seorang diri
berusaha untuk kembali ke padepokannya. Meskipun ia
tidak dapat membunuh kedua orang pengikut ilmu hitam
itu, namun ia yakin bahwa kedua orang itu tentu akan
ditangkap oleh para pengawal dari Kediri.
"Akulah yang akan menjadi pemimpin mereka" berkata
Ki Dukut "aku akan memerintah mereka. Aku tidak akan
bertindak dungu seperti Macan Wahan. Jika saja ia
mendengarkan nasehafku, maka orang-orangnya tidak akan
hancur menjadi debu"
Ki Dukut menggeretakkan giginya dan menghentakkan
tangannya. Tetapi semuanya itu telah terjadi. Betapapun ia
menyesali, namun orang-orang terbaik dari padepokan
Macan Wahan dan tiga orang kawannya telah mati dan
tertangkap. Tetapi Ki Dukut telah mengenal beberapa orang lain di
lingkungan orang-orang berilmu hitam. Ia akan
menghubungi mereka dengan modal padepokan Macan
Wahan yang telah menjadi lumpuhitu.
"Aku harus berbuat dengan cepat, sebelum orang-orang
Kediri melacak aku sampai ke padepokan itu" berkata Ki
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dukut di dalam hatinya. Sementara Ki Dukut berjalan seorang diri di dalam
keremangan cahaya ujung malam menjelang pagi, maka
para pengawal Kediripun masih sibuk mengemasi
pasukannya. Orang-orang yang meninggal untuk sementara
telah dikuburkan. Sedangkan yang terluka parah, telah
dibaringkan ke dalam pedati meskipun harus saling
berdesakan. Sejenak para pengawal memeriksa segala sesuatu tentang
bekal dan keadaan mereka, sementara dua orang pengawal
sempat menyiapkan air panas dan menanak nasi bagi
kawan-kawan mereka. Sebelum mereka berangkat
menyelesaikan perjalanan mereka, maka mereka akan
makan pagi lebih dahulu. Setelah semalam suntuk mereka
hampir tidak sempat memejamkan mata, maka rasa-rasanya
di dini hari, perut mereka memang menjadi lapar.
Demikianlah ketika langit menjadi terang, serta segala
nya telah siap, maka iring-iringan itupun telah
meninggalkan tempat pemberhentian yang tidak akan
pernah dilupakan oleh isteri dan anak Pangeran Kuda
Padmadata itu. Betapa mereka diguncang oleh peristiwa yang sangat
mengerikan. Di bawah cahaya bulan yang bulat di langit,
mereka menyaksikan senjata beradu, dan bahkan darah
mengalir. Namun setelah malam itu, mereka tidak akan bermalam
lagi di perjalanan. Mereka
berharap untuk dapat mencapai tujuan sebelum matahari
tenggelam. Sementara itu, ternyata di Kediri telah terdengar berita,
bahwa Pangeran Kuda Padmadata akan datang mambawa
isteri dan anaknya laki-laki. Berita itu telah merambat dari
mulut ke mulut. Meskipun Pangeran Kuda Padmadata
bukan seorang Pangeran yang paling dikenal di Kediri,
namun banyak pula orang yang mengetahuinya. Apalagi
setelah adiknya terbunuh di istananya, yang menurut berita
yang tersiar saat itu, karena terjadi perampok an yang
paling mengejutkan di Kediri pada sebuah istana seorang
Pangeran. Apalagi seorang Pangeran yang kaya raya seperti
Pangeran Kuda Padmadata, yang memiliki berbagai sumber
bagi kekayaannya itu. Meskipun tidak terlalu banyak, tetapi ada juga bebe rapa
kelompok manusia yang ingin melihat iring-iringan yang
akan datang dari Kediri itu.
Namun dalam pada itu, beberapa orang di istana
Pangeran Kuda Padmadata. telah menjadi sibuk karenanya.
Di istana itu pernah tinggal seorang puteri yang disebut
isteri Pangeran Kuda Padmadata, namun yang kamudian
telah diantarkan kembali kepada orang tuanya. Beberapa
orang terdekat memang mempunyai dugaan yang kurang
mapan terhadap puteri itu, karena ia lebih banyak berada
bersama adik Pangeran Kuda Padmadata yang terbunuh itu
daripada bersama Pangeran Kuda Padmadata sendiri yang
agaknya acuh tidak acuh saja terhadap puteri itu.
"Bagaimana hubungan isteri Pangeran yang datang dari
Kediri ini dangan puteri itu?" bertanya seseorang kepada
kawannya. "Seperti kau, akupun tidak tahu" jawab kawannya.
"Puteri yang pernah tinggal di istana ini" sambung
kawannya yang pertama. "Ya. Aku mengerti. Tetapi aku tidak mengerti" jawab
yang lain itu. Kawannya mengerutkan keningnya. Seolah-olah kepada
diri sendiri ia berkata "Aku mengerti. Tetapi aku tidak
mengerti" Yang lain itu segera menyahut "Maksudku, aku mengerti
maksudmu. Tetapi aku tidak mengerti jawabnya"
Kawannya mengangguk-angguk. Sekali lagi ia berdesis
seolah-olah kepada diri sendiri "Kita akan menghadapi
masalah baru yang cukup rumit. Menurut pendengaranku,
yang akan datang dari Kediri itu bukan seorang puteri.
Tetapi ia adalah seorang perempuan pedesaan yang tidak
pernah mengenal istana seperti ini. Apakah dengan
demikian bukan berarti, bahwa sikapnyapun akan terasa
aneh dan hambar oleh kita"
Para abdi di Istana itupun kemudian terdiam. Mereka
seolah-olah sedang merenungkan, apa yang akan mereka
lihat nanti. Seorang perempuan pedesaan yang dengan
canggung memasuki istana Pangeran yang kaya raya itu.
Namun demikian, para abdi itu tentu tidak akan dapat
berbuat apa-apa. Jika hal itu memang dikehendaki oleh
Pangeran Kuda Padmadata, maka hal itu tentu akan terjadi.
Dan apakah hak mereka untuk menggugat kehadiran
perempuan pedesaan itu di dalam istana Pangeran Kuda
Padmadata, jika kehadiran itu memang diinginkan oleh
Pangeran itu. Meskipun demikian, orang-orang di istana itupun mulai
membayangkan, apa yang akan dilakukan oleh perempuan
pedesaan itu. Apakah ia akan memasuki gerbang dengan
wajah tengadah dan mata terpejam tanpa menghiraukan
para abdi yang tentu akan menyongsongnya, atau ia justru
menjadi sangat kecil memandang pendapa yang megah itu.
"Kenapa kita harus berteka-teki" desis seorang abdi yang
sudah agak tua "kita akan menerima apa adanya. Itulah hak
yang ada pada kita" "Ya" sahut kawannya "kita akan menerima apa adanya"
Dengan demikian, maka kesibukan di istana itupun
menjadi semakin meningkat. Para abdi telah menyediakan
apa saja yang mungkin diperlukan.
Dalam pada itu, bilik yang pernah dipergunakan oleh
puteri yang pernah disebut isteri Pangeran Kuda Padma
data itupun telah dipersiapkan, seperti di saat-saat bilik itu
masih dipergunakan oleh puteri yang disebut isteri
Pangeran Kuda Padmadata itu.
Dalam pada itu, iring-iringan Pangeran Kuda Padmadata
itupun semakin mendekati Kota Raja. Pengeran Kuda
Padmadata telah memerintahkan dua orang pengawal
untuk mendahului dan melaporkan bahwa mereka telah
membawa tawanan. Juga mereka yang terluka parah.
Karena itulah, maka sepasukan pengawal dengan segala
macam perlengkapan yang jauh lebih memadai telah
diperintahkan untuk menyongsong iring-iringan Pangeran
Kuda Padmadata, yang sedang membawa isterinya dari
Singasari ke Kediri itu. Pasukan pengawal yang membawa beberapa buah pedati
dan tandu itu telah bersiap dan menunggu di gerbang kota
sampai saatnya iringan Pangeran Kuda Padmadata itu
datang. Namun yang demikian itu agaknya telan mengundang
perhatian orang-orang Kediri semakin banyak. Jika semula
hanya beberapa orang saja yang menggerombol di beberapa
tempat maka dengan kehadiran pasukan pengawal yang
menyongsong iring-iringan yang datang itu, maka perhatian
orangpun menjadi semakin besar. Dipintu gerbang kota,
nampak orang-orang Kediri berkerumun menunggu
Pangeran Kuda Padmadata lewat.
Karena itu, maka ketika dari kejauhan iring-iringan itu
mulai nampak, maka orang-orang yang berkerumun itupun
mulai bergerak mendekat jalan diluar pintu gerbang.
Nampaknya mereka ingin melihat iring-iringan itu berhenti
dan menyerahkan beberapa orang tawanan kepada para
pengawal yang menjemput, sementara isteri Pangeran itu
akan diterima dengan sebuah tandu.
Ketika iring-iringan itu menjadi semakin dekat, maka
para pangawal yang menjemput mereka diluar pintu
gerbang Kota Raia itupun mulai mengatur diri. Mereka
menyiapkan segala sesuatunya yang mungkin akan
dipergunakan oleh Pangeran Kuda Padmadata itu.
Sebenarnya, ketika iring-iringan itu sampai kedepan
pintu gerbang, merekapun telah berhenti. Pangeran Kuda
Padmadata yang memimpin langsung iring-iringan itupun
segera melangkah maju menemui perwira yang memimpin
para pengawal yang siap menyongsong kedatangan mereka
itu. "Ampun Pangeran" berkata perwira itu "hamba yang
mendapat tugas untuk menyongsong kehadiran Pangeran
disini" Pangeran Kuda Padmadata mengangguk-angguk.
Jawabnya "Terima kasih. Aku senang sekali dapat bertemu
dengan kalian setelah kami .mengalami bencana sampai
dua Kali disepanjang jalan oleh pihak yang sama"
Perwira itu mengangguk-angguk. Katanya "Utusan
Pangeran sudah menceriterakan, apa yang telah terjadi
dangan iring-iringan tuan. Karena itulah, maka kami telah
menyiapkan segala sesuatu yang barangkali tuan perlukan"
"Aku menyerahkan para tawanan. Yang terluka dan
yang tidak terluka" berkata'Pangeran Kuda Padmadata.
"Akan hamba terima dengan senang hati" berkata
perwira itu "memang itu adalah kewajiban kami"
"Selebihnya, para pengawal sendiri yang terluka. Kalian
akan menerima mereka, dan mempertanggung-jawabkan
mereka, agar mereka tidak mengalami sesuatu yang justru
dapat mempersulit keadaan mereka"
"Hamba tuan. Semuanya akan hamba lakukan sebaikbaiknya"
berkata perwira itu, lalu "selebihnya, karena
hamba tahu bahwa Pangeran sedang menyongsong seorang
puteri, maka akupun telah menyiapkan sebuah tandu"
"Tandu" Pangeran Kuda Padmadata mengulangi.
"Ya. Tandu, Bukankah sudah semestinya jika seorang
puteri menempuh perjalanan, biasanya memang
mempergunakan tandu. Bukan pedati"
Pangeran Kuda Padmadata menarik nafas dalam-dalam.
Iapun segera merasa satu kelainan dari saudara-saudaranya,
para Pangeran di Kediri. Mungkin mereka akan dengan
garangnya minta agar isteri-iseri mereka yang pada
umumnya juga puteri-puteri Kediri itu dapat disediakan
sebuah tandu yang cantik.
Meskipun demikian Pangeran Kuda Padmadata tidak
menolak. Para pengawal itu telah membawa tandu untuk
menjemput isterinya. Siapapun perempuan itu.
Namun, Pangeran Kuda Padmadata tidak segera
menyuruh isterinya naik ke atas tandu itu. Yang pertamatama
diselesaikan adalah masalah tawanan dan para
pengawal yang terluka. "Bawalah mereka" perintah Pangeran Kuda Padmadata.
"Baiklah Pangeran. Silahkan Pangeran berjalan dahulu"
jawab perwira yang menjemputnya.
"Tidak" jawab Pangeran Kuda Padmadata "bawalah
mereka lebih dahulu. Aku akan berjalan kemudian langsung
kembali ke istanaku"
Perwira itu tidak mengerti, kenapa Pangeran Kuda
Padmadata memerintahkannya berjalan lebih dahulu.
Namun ia tidak dapat menolak. Iapun kamudian
menyiapkan para pengawal untuk membawa para tawanan
dan para pengawal yang terluka. Para tawanan dan para
pengawal yang terluka telah dipindahkan dari pedati yang
dibawa dari Kediri ke pedati para pengawal.
Baru setelah para pengawal yang menjemput mereka
meninggalkan pintu gerbang, maka Pangeran Kuda Padma
data telah bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan.
Namun iapun mengerutkan keningnya ketika dilihatnya
sebuah tandu yang cukup baik dengan dua belas orang yang
siap untuk membawanya berganti-ganti.
"Tandu itu" ia berdesis.
Mahisa Agni yang kemudian mendekatinya berkata
"sebaiknya tandu itu dipergunakan agar tidak menimbulkan
pertanyaan yang sangat menarik bagi orang-orang yang
sedang menyaksikan" Diluar sadarnya Pangeran Kuda Padmadata berpaling
kepada isterinya. Namun kemudian iapun mendekatinya
sambil berkata "Tandu itu diperuntukkan bagimu"
"Ah" desah isterinya "lebih baik hamba berada di dalam
pedati Pangeran" "Jangan" Pangeran Kuda Padmadata menggeleng "kau
harus menyesuaikan dirimu. Apalagi dihadapan orangorang
yang sengaja ingin melihat tingkah laku kita"
Isteri Pangeran Kuda Padmadata itu tidak dapat
membantah. Namun ia masih juga memandangi ayahnya
untuk mendapatkan pertimbangan.
Ki Wastu mengangguk kecil. Memang tidak ada pilihan
lain, kecuali melakukan apa yang seharusnya dilakukan
sebagai seorang isteri Pangeran"
Karena itu, maka dibimbing oleh suaminya, maka isteri
Pangeran itupun kemudian naik ke atas tandu. Delapan
orang sudah siap untuk mengangkatnya, sementara empat
orang lainnya akan secara bergantian mengangkat tandu itu
pula. Rasa-rasanya memang canggung sekali. Duduk di atas
sebuah tandu yang diangkat oleh delapan orang, sementara
empat orang lainnya mengiring di sebelah menyebelah.
Sejenak kemudian iring-iringan itupun mulai bergerak.
Pangeran Kuda Padmadata berada di atas punggung kuda,
sementara isterinya berada di dalam tandu. Anak laki-laki
Pangeran itu berada di dalam pedati bersama Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat yang sengaja mengawaninya. Kuda
mereka telah mereka ikatkan pada pedati itu pula yang
saisnya adalah Mahendra sendiri.
Bagaimanapun juga, maka orang-orang yang
menyaksikan iring-iringan itu harus berbisik di antara
mereka "Perempuan itu memang cantik sekali. Sayang,
agak kurus dan pucat"
"Justru ia pucat, maka wajahnya nampak semakin
cantik" sahut yang lain.
Dalam pada itu, isteri Pangeran Kuda Padmadata itu
hanya dapat menundukkan kepalanya. Rasa-rasanya
berpuluh-puluh pasang mata sedang mengamatinya.
Melihat cacat celanya, justru karena ia adalah seorang
perempuan dari padepokan kecil.
Karena itulah, maka isteri Pangeran Kuda Padmadata itu
rasa-rasanya tidak berani bergerak sama sekali. Apalagi
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengangkat wajahnya. Bahkan ketika ujung jarinya terasa
gatal, maka ia sama sekali tidak berani menggerakkannya.
Meskipun tidak terlalu banyak, tetapi ada juga orangorang
yang menunggu iring-iringan itu di sepanjang jalan
menuju ke istana Pangeran Kuda Padmadata. Pada
umumnya, merekapun berbisik "Perempuan itu memang
cantik sekali" Sebenarnya perempuan itu memang cantik sekali.
Wajahnya yang nampak pucat dan tubuhnya yang kekuruskurusan,
justru membuatnya lebih manis. Sementara
Pengeran Kuda Padmadata sendiri, seorang Pangeran yang
kaya raya, duduk diatas punggung kudanya, Seperti seorang
Senopati yang pulang dari medan, membawa boyongan
puteri dari negeri yang ditaklukkannya
Perjalanan menyusur jalan kota itu rasa-rasanya terlalu
panjang bagi isteri Pangeran Kuda Padmadata. Ia memang
lebih senang berada di dalam pedati yang agak tertutup
daripada diatas tandu yang terbuka.
Ketika tandu itu memasuki pintu gerbang istana
Pangeran Kuda Padmadata, maka isterinya itupun menarik
nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya ia telah terlepas dari satu
beban yang sangat berat. Wajahnya yang terasa menjadi
sangat panas itu, mulai terasa sejuk. Di dalam istana itu.
tentu tidak akan banyak orang yang memperhatikannya.
Tetapi perempuan itu menjadi berdebar-debar kembali.
Ternyata di depan pendapa, dilihatnya beberapa orang
pelayan telah siap menyambutnya. Mereka telah menunggu
beberapa saat dengan hati yang berdebar-debar pula.
Mereka segera ingin melihat, bagaimanakah ujud
perempuan yang disebut isteri Pangeran Kuda Padmadata
itu. Sementara mereka pernah mengenal seorang puteri
yang disebut isteri Pangeran Kuda Padmadata itu pula.
Demikian tandu itu mendekati, maka perempuanperempuan
dan para abdi yang menyambut itupun berbisik
"Betapa cantiknya perempuan itu"
Semua orang diantara para abdi itu mengakui, betapa
cantiknya perempuan itu. Selagi ia mengenakan pakaian
yang tidak berlebih-lebihan. Jika ia mengenakan pakaian
kebesaran seorang puteri, maka ia benar-benar akan
melampaui kecantikan setiap puteri Kediri yang terkenal.
Namun justru karena itu, maka setiap mata telah melekat
kepada perempuan itu. Karena itulah, rasa-rasanya, jantung
isteri Pangeran Kuda Padmadata itu menjadi semakin cepat
berdentang. Perempuan itu menjadi semakin canggung, ketika para
pelayan itupun segera berjongkok ketika tandu itu
diletakkan di bawah tangga pendapa. Karena itu, maka
untuk sejenak, ia bagaikan membeku ditempatnya.
Pangeran Kuda Padmadatalah yang kemudian meloncat
turun. Setelah menyerahkan kudanya kepada orang lain,
maka iapun segera mendekati isterinya.
"Marilah" berkata Pangeran itu kemudian sambil
membimbing isterinya turun dari tandu yang sudah
diletakkan. Sebenarnyalah bahwa hati isteri Pangeran Kuda
Padmadata itu menjadi semakin bergetar. Ia menyangka
bahwa jika ia sampai di istana maka iapun akan segera
diluar pengamatan banyak orang. Namun ternyata bahwa
dugaan itu keliru. Masih berpasang-pasang mata yang
mengawasinya. Bahkan ada diantara sorot mata itu
menunjukkan kecurigaan, penghinaan dan yang lain ingin
menjajagi ketabahan hatinya.
Tiba-tiba saja terasa kakinya menjadi gemetar. Namun
ketika ia sadar, bahwa ia telah dibimbing oleh suaminya,
maka hatinyapun telah menjadi agak kembang. Bagaimana
pun juga ia merasa bahwa ia benar-benar telah mendapat
pegangan. Bukan saja pegangan wadag karena suaminya
telah membimbingnya, namun ia merasa bahwa suaminya
itu benar-benar akan melindungi dan membimbingnya
untuk selanjutnya. Dengan langkah-langkah ragu iapun kemudian
mengikuti kemana suaminya membawanya. Ketika mereka
naik ke pendapa, maka Pangeran Kuda Padmadata telah
memanggil anak laki-lakinya untuk mengikutinya pula.
Anak laki-laki itupun ragu-ragu seperti ibunya. Namun
Ma hisa Murti dan Mahisa Pukat mendorongnya sambil
berkata "Pergilah. Ayahandamu memanggilmu"
"Marilah" anak itu mengajak Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat untuk mengikutinya.
Tetapi Mahisa Murti menjawab "Aku menunggu di sini"
Meskipun ragu-ragu, tetapi akhirnya anak itu naik pula
ke pendapa mengikuti ibu dan ayahnya.
Demikian mereka masuk ke ruang dalam, dua orang
pelayan telah menunggu. Mereka berjongkok di sebelah
menyebelah sambil menunggu perintah.
Tetapi Pangeran dan isterinya yang diikuti oleh
puteranya itu tidak memberikan perintah sesuatu. Mereka
berjalan terus menuju ke sebuah bilik yang memang sudah
dipersiapkan. Bilik yang pernah dihuni oleh seorang puteri
yang disebut isteri Pangeran Kuda Padmadata.
Demikian perempuan itu memasuki bilik yang sudah
diatur sebaik-baiknya itu, debar jantungnya serasa menjadi
bertambah cepat. Perabotnya yang serba indah membuat
nya menjadi silau. Kantil yang terukir halus. Geledeg kayu
dan selintru yang juga terukir dan disungging dengan
warna-warna cerah. "Ini adalah bilikmu bersama anak kita" berkata Raden
Kuda Padmadata. Perempuan itu tidak menjawab. Namun dipipinya telah
meleleh setitik air. Anak laki-lakinyapun Bagaikan kebingungan berada di
dalam bilik itu. Namun iapun kemudian duduk disisi
ibunya di atas bibir pembaringan yang berukir.
"Aku mengerti perasaanmu" berkata Pangeran Kuda
Padmadata "tetapi berusahalah menyesuaikan diri. Aku
akan membimbingmu sejak hari ini untuk seterusnya,
sehingga akhirnya kau akan menguasi segala-galanya"
Rasa-rasanya ada seberkas kata-kata yang akan
dikatakannya. Tetapi mulut perempuan itu bagaikan
membeku, sehingga kata-kata itu hanya berputaran
didadanya" Aku adalah anak padepokan kecil yang tidak
pernah mengenal segalanya ini"
Sementara itu. Pangeran Kuda Padmadatapun kemudian
berkata "Tinggallah disini. Aku akan mempersilahkan
tamu-tamuku untuk naik ke serambi samping"
Perempuan itu hanya dapat mengangguk. Sementara itu
Pangeran Kuda Padmadatapun telah meninggalkan
mereka. Ketika diluar pintu ia melihat emban yang duduk
bersimpuh, maka iapun berpesan "Biarlah kau menunggu.
Jika tidak ada perintah, kau tidak usah menghadap. Puteri
masih sangat lelah" "Hamba Pangeran" jawab emban itu.
Sementara itu Pangeran Kuda Padmadatapun telah
keluar lagi ke pendapa. Dilihatnya para pengawal dan
tamu-tamunya yang mengikutinya dari Singasari masih
berada di halaman sambil mengemasi kuda dan pedati yang
mereka bawa dari Singasari.
"Sudahlah" berkata Pangeran Kuda Padmadata
"marilah. Silahkan naik ke serambi samping. Biarlah pedati
dan kuda-kuda itu diurusi oleh para pengawal"
Dengan demikian, maka Mahisa Agni, Witantra,
Mahendra dan ketiga anak-anaknya serta Ki Wastu
bersama perwira pasukan pengawal itupun segera naik ke
serambi samping, sementara beberapa oreng pengawal telah
membenahi kuda dan pedati serta lembu penariknya.
Sementara itu, di belakang, para pelayan menjadi sibuk
menyiapkan jamuan bagi para tamu dan para pengawal.
Meskipun mereka sudah sedia, tetapi mereka nampaknya
menjadi tergesa-gesa pula.
Demikianlah, maka akhirnya para pengawal dan mereka
yang ikut mengantarkan Pangeran Kuda Padmadata serta
isteri dan anaknya telah dijamu di serambi samping.
Mereka ikut dalam bujana, setelah mereka berhasil
membawa isteri Pangeran itu ke istananya di Kediri.
Namun sementara itu, Pangeran Kuda Padmadatalah
yang mengatur, bagaimana para pelayan harus melayani
isterinya, agar isterinya tidak justru menjadi bingung
menghadapi makanan dan minuman yang akan
dihidangkan bagi isteri dan putera Pangeran Kuda
Padmadata itu. Setelah semuanya selesai, maka Pangeran Kuda
Padmadata memerintahkan agar para pengawal kembali
kepada kesatuan induknya dan melaporkan apa yang terjadi
dalam perjalanan. "Sampaikan terima kasihku kepada Senopati yang telah
memberikan sepasukan pengawal kepadaku" pesan
Pangeran Kuda Padmadata "besok aku akan menemui
mereka" Dengan dipimpin oleh perwira yang berada di dalam
pasukan pengawal itu, maka para pengawalpun kemudian
minta diri, kembali ke pasukan induknya untuk melaporkan
apa yang terjadi dalam tugas mereka.
Dalam pada itu, Mahisa Agni, Witantra, Mehendra dan
anak-anaknya serta Ki Wastu masih tetap berada di istana
itu. Mereka masih diminta oleh Pangeran Kuda Pudmadala
untuk bermalam. "Aku mohon kalian tinggal barang satu dua malam"
berkata Pangeran Kuda Padmadata "selama dua malam
kalian berada di perjalanan yang cukup berat. Dan di dua
malam itu pula kalian mengalami peristiwa yang
mendebarkan. Karena itu, aku ingin mempersilahkan kalian
tidur dengan tenang, sedikitnya untuk dua malam pula di
rumah ini" Mahisa Agni dan yang lain tidak menolak. Merekapun
masih merasa perlu untuk berbicara tentang Ki Dukut
Pakering yang masih sempat melepaskan diri dari tangan
para pengawal, sehingga dengan demikian, maka orang itu
masih tetap merupakan orang yang berbahaya, bukan saja
bagi Pangeran Kuda Padmadata serta isteri dan anaknya,
tetapi juga bagi lingkungan yang lebih luas.
Karena itu, ketika mereka berkumpul setelah mereka
beristirahat semalam suntuk dengan tenang, maka mulailah
mereka berbicara tentang Ki Dukut Pakering.
"Perburuan itu harus dilanjutkan" berkata Mahisa
Bungalan. "Tetapi kalian tidak akan dapat membawa Pangeran
Kuda Padmadata lagi" berkata Mahendra sambil
tersenyum. "Kenapa tidak" jawab Pangeran itu "aku masih selalu
siap melakukan tugas itu"
"Tetapi bagaimana jadinya, jika justru pada saat
Pangeran pergi, Ki Dukut itulah yang datang ke istana ini"
berkata Witantra. Pangeran Kuda Padmadata mengerutkan keningnya.
Kemungkinan itu memang dapat terjadi. Namun iapun
kemudian menjawab "Aku dapat menyerahkan
pengamanan rumah ini kepada para pengawal di Kediri.
Aku dapat mengundang satu dua orang Senapati yang
memiliki kemampuan cukup untuk menghadapi Ki Dukut,
meskipun tidak harus seorang melawan seorang. Namun
agaknya jumlah pengawal di Kediri cukup memadai"
Tetapi Mahisa Agni menyahut "Mungkin yang akan
datang bukan hanya Ki Dukut Pakering seorang diri seperti
yang dilakukannya atas iring-iringan kita dari Singasari"
"Para pengawal di rumah ini akan dapat membunyi kan
isyarat untuk memanggil para pengawal yang sedang
bertugas dimanapun yang dapat mendengarnya" jawab
Pangeran Kuda Padmadata. "Namun hal itu akan memerlukan waktu" sahut
Mahendra "sehingga karena itu, maka aku kira lebih baik
Pangeran berada di istana ini untuk beberapa saat. Mungkin
pada satu kesempatan yang tepat. Pangeran akan ikut pula
bersama kami" Pangeran Kuda Padmadata mengerutkan keningnya.
Katanya "Sumber masalah ini adalah aku. Bagaimanakah
perasaanku, jika justru aku tinggal di rumah dengan tenang,
sementara orang lain yang semula tidak berkepentingan,
harus bertaruh nyawa untuk menemukan orang yang
bernama Ki Dukut Pakering itu"
"Kita semua berkewajiban" sahut Mahisa Bungalan
"apapun sumbernya, kita tidak akan dapat membiarkan
kejahatan berlangsung dimanapun dan apapun alasannya.
Karena itu, maka setiap orang merasa bertanggung jawab,
bahwa Ki Dukut Pakering itu harus tertangkap"
Pangeran Kuda Padmadata menarik nafas dalam-dalam.
Katanya kemudian "Tidak ada kata-kata yang dapat aku
pergunakan untuk menyatakan terima kasihku yang tiada
terhingga" "Itu tidak perlu" berkata Witantra "sudah seharusnya
kita melakukannya seperti yang dikatakan Mahisa
Bungalan. Akupun berpendirian, bahwa biarlah Pangeran
dan Ki Wastu tinggal di istana Ini. Aku kira, aku dapat
mengusulkan agar rencana perburuan itu dikembangkan.
Bukan saja kita yang akan menanganinya, tetapi akan
menjadi kewajiban para prajurit di Singasari dan para
pengawal di Kediri. Namun demikian, kita harus
menemukan cara yang tepat untuk melakukannya. Kita
tentu tidak akan mengulangi cara yang sudah kita lakukan,
namun tidak berhasil. Kita tidak akan dapat menjelajahi
daerah yang luas karena justru sarang orang yang bernama
Ki Dukut itu menjadi makin kabur. Sehingga karena itu,
kita harus menemukan cara lain yang lebih baik"
Pangeran Kuda Padmadata menarik nafas dalam-dalam.
Ia sudah mendengar seluruh ceritera tentang orang-orang
yang pemula tidak dikenalnya, namun yang kemudian
tanpa menghiraukan kemungkinan yang paling pahit bagi
diri mereka sendiri, telah membebaskan isteri dan anak lakilakinya.
Terutama, Mahisa Bungalan. Isterinya yang sudah
terkurung di hutan peliharaan itu akhirnya dapat
dibebaskannya.
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Justru karena itu, untuk beberapa saat, Pangeran Kuda
Padmadata tunduk terdiam. Diluar sadarnya, ia mulai
membayangkan apa saja yang telah terjadi dengan isterinya,
dan apa pula yang telah dilakukan oleh Mahisa Bungalan
untuk membebaskan isterinya.
"Ia sudah mempertaruhkan nyawanya" berkata
Pangeran Kuda Padmadata di dalam hatinya.
Namun dalam pada itu, ia tidak dapat menolak keputusan
orang-orang Singasari itu, bahwa untuk menemukan
Ki Dukut, diperlukan cara yang masih harus dipelajarinya,
sementara Pangeran Kuda Padmadata dan Ki Wastu
dipersilahkan untuk tetap berada di istananya untuk
menjaga segala kemungkinan yang dapat terjadi.
"Baiklah" berkata Pangeran Kuda Padmadata kemudian
"tetapi aku tidak akan mencuci tangan. Segalanya akan
dapat dikembalikan kepadaku. Karena itu, jika ada sesuatu
yang menuntut. agar aku ikut serta melaku kannya, jangan
segan-segan. Panggillah aku, dan aku akan segera datang
kemanapun juga" "Terima kasih Pangeran" jawab Mahisa Agni "kami
mengerti bahwa Pangeran akan tetap bertanggung jawab.
Dan itu akan sangat membesarkan hati kami, sehingga
kami tidak akan ragu-ragu untuk melakukan apa saja"
"Mudah-mudahan usaha kita akan berhasil" desis
Pangeran Kuda Padmadata "meskipun Ki Dukut adalah
guruku, namun ia telah menyimpang dari sifat seorang
guru. Bahkan ia telah terjerumus kedalam tindakan yang
dapat disebut satu kejahatan"
Namun demikian, Pangeran Kuda Padmadata masih
minta tamu-tamunya dari Singasari untuk tinggal. Rasarasanya
ia masih belum puas mengucapkan terima kasih
dengan cara apapun juga yang dapat dilakukan.
Dalam pada itu, kehadiran isteri Pangeran itupun telah
menumbuhkan persoalan bagi para pelayan. Emban yang
akan melayaninyapun menjadi bingung. Kadang-kadang
puteri itu tidak dapat dimengerti kehendaknya. Bahkan
kadang-kadang ia lebih senang berada dibalik pintu tertutup
tanpa memberikan perintah apapun juga. Bahkan kadangkadang
ia telah mengerjakan sesuatu yang tidak pantas
dikerjakannya, sehingga para emban menjadi bingung. Dan
bahkan ada diantara mereka yang menangis di belakang
dengan tubuh gemetar, karena ia mengira bahwa puteri itu
telah marah, karena ia salah melakukan salah satu
perintahnya. Tetapi satu hal yang telah dikagumi oleh setiap orang.
Apalagi ketika puteri itu mulai mengenakan pakaian yang
lebih pantas bagi seseorang isteri Pangeran. Maka mereka
telah sependapat, bahwa puteri itu memang sangat cantik,
jauh lebih cantik dari puteri yang pernah tinggal di istana
itu, dan yang pernah disebut isteri Pangeran Kuda
Padmadata, tetapi yang dalam kehidupannya sehari-hari
lebih dekat dengan adik Pangeran Kuda Padmadata itu.
Ternyata bukan saja para pelayan, emban dan dayangdayang
yang mengagumi kecantikan puteri itu. Diluar
sadarnya, ketika sepintas Mahisa Bungalan yang masih
berada di istana itu melihat puteri itu dalam pakaian dan
riasnya sebagai isteri seorang Pangeran, maka jantungnya
telah berdenyut. Ia telah berbuat terlalu banyak bagi
purempuan itu. Ia telah membebaskannya dari sarang para
penculiknya dan perbuatan lain yang dapat mengancam
keselamatannya. Namun anak muda itu cepat menyadari. Perempuan itu
adalah isteri Pangeran Kuda Padmadata. Yang
dilakukannya itu adalah semata-mata karena sentuhan peri
kemanusiaan yang menjadi kewajiban setiap orang.
Tetapi ia tidak dapat begitu saja menghapus kesan
kecantikan yang dilihatnya. Di luar sadarnya, maka tibatiba
saja Mahisa Bungalan itupun teringat kepada seorang
gadis padepokan yang menurut penglihatannya juga sangat
cantik, justru dalam keadaan wajarnya. Ken Padmi.
Bagaimanapun juga, bayangan wajah itu kadang-kadang
masih saja kembali di angan-angannya. Ia mengerti, bahwa
hubungannya dengan gadis itu pada saat terakhir menjadi
baur. Tetapi ia tidak yakin bahwa sebenarnya hati gadis itu
telah benar-benar tertutup terhadapnya. Dalam saat-saat
tertentu, ketika ia melihat Pangeran Kuda Padmadata
berdua dengan isterinya dan kemudian datang anak lakilakinya,
maka hatinyapun telah bergejolak. Kenangannya
terhadap gadis padepokan kecil itu justru semakin
membayang. Tetapi Mahisa Bungalan berusaha menekan perasaan itu
di dalam dadanya. Ia tidak mengatakannya kepada
siapapun juga. Ia tidak mengatakannya kepada ayahnya,
dan kepada adik-adiknya. Yang justru diharapkan
kemudian, segera meninggalkan istana itu. Ia akan kembali
ke Singasari. Dan iapun masih menunggu keputusan, cara
yang manakah yang dapat ditempuhnya untuk mencari
orang yang bernama Ki Dukut Pakering.
"Aku akan mempergunakan kesempatan itu untuk
melihat satu kemungkinan tentang gadis padepokan itu"
berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya. Meskipun
iapun selalu dibayangi oleh satu kecemasan, bahwa gadis
itu telah menentukan jalan hidupnya, setelah ia tidak dapat
berharap untuk bertemu dengan Mahisa Bungalan kembali.
-ooo0dw0ooo- Jilid 18 Tetapi keinginan Mahisa Bungalan untuk pergi ke
padepokan kecil itu rasa-rasanya menjadi sangat mendesak.
Karena itu, ketika kemudian Mahisa Agni memutuskan
untuk kembali ke Singasari, sepercik kegembiraan telah
menyentuh hatinya. Dengan demikian, ia tidak akan
melihat lagi puteri yang cantik itu setiap saat, dan iapun
akan mendapat kesempatan untuk mencari jalan agar dapat
bertemu dengan seorang gadis padepokan yang bernama
Ken Padmi itu dengan dalih yang lain, mencari orang yang
bernama Ki Dukut Pakering.
Namun Mahisa Bungalanpun harus menyadari, bahwa
Ki Dukut Pakering adalah seorang yang pilih tanding.
Seorang yang memiliki kelebihan dari kebanyakan orang.
Sementara iapun harus mengakui, bahwa ilmunya masih
belum setingkat dengan orang yang bernama Ki Dukut
Pakering itu, meskipun ilmunya sendiri sudah maju dengan
pesat. Tatapi kemudaannyalah yang kemudian mendorongnya.
Katanya di dalam hati "Seandainya harus terjadi, maka
akupun memiliki bekal untuk melawannya. Mungkin ia
memiliki kelebihan, tetapi aku harap, bahwa kemudaanku
akan dapat bertahan atas waktu jika aku harus
bertempurmelawannya"
Demikianlah, maka ketika mereka merasa telah berada
di Kediri untuk waktu yang cukup, maka merkapun segera
minta diri untuk kembali ke Singasari.
Sebenarnya Pangeran Kuda Padmadata merasa berat
untuk melepaskan mereka yang telah berbuat terlalu banyak
bagi dirinya dan bagi isteri dan anaknya. Namun iapun
merasa, bahwa ia tidak akan dapat menahan mereka terusmenerus.
Ketika saat itu tiba, maka dengan berat hati Pangeran
Kuda Padmadata telah melepaskan tamu-tamunya kembali
ke Singasari. Bukan tamu seperti kebanyakan tamu, tetapi
mereka adalah justru orang-orang yang telah
menyelamatkannya. Di perjalanan kembali ke Singasari, Mahisa Agni,
Witantra, Mahendra dan anak-anaknya tidak lagi
membawa pedatinya. Tetapi mereka telah mendapat kuda
yang tegar yang akan dapat mambawa mereka kembali ke
Singasari. Berkali-kali Pangeran Kuda Padmadata, isteri dan
anaknya mengucapkan terima kasih yang tiada taranya
kepada Mahisa Bungalan. Ialah yang mula-mula telah
melibatkan diri ke dalam persoalannya, dan tidak akan
dapat diingkari, tanpa langkah-langkah cepat dan berani
dari Mahisa Bungalan, maka akhir dari peristiwa itu tentu
akan menjadi sangat berlainan.
"Kami sangat mengharap, kalian datang lagi ke rumah
ini" minta Pangeran Kuda Padmadata.
"Tentu" jawab Mahisa Agni "kami akan selalu teringat
kepada istana ini dan akan mengunjunginya sekali-sekali"
Ketika iring-iringan itu sudah siap meninggalkan regol,
ternyata Ki Wastu yang tua itu tidak dapat menahan getar
di dalam jantungnya. Meskipun tidak banyak orang yang
memperhatikannya, namun ia telah mengusap matanya
beberapa kali. Terasa mata itu menjadi basah dim panas.
Apalagi jika ia mengenang, apa yang telah dilakukan oleh
Mahisa Bungalan. "Aku harus membalas budinya" berkata Ki Wastu
kepada diri sendiri "karena yang aku miliki hanyalah ilmu
yang tidak banyak berarti, namun aku ingin menuangkan
seluruhnya kepada angger Mahisa Bungalan. Mudahmudahan
akan berarti baginya, setidak-tidaknya untuk
melengkapi apa yang sudah dimilikinya"
Karena itu, ketika Mahisa Bungalan sudah berada di
punggung kudanya, ia sempat berbisik "Datanglah
secepatnya. Ada sesuatu yang dapat aku berikan
kepadamu" "Apa maksud Ki Wastu?" bertanya Mahisa Bungalan.
"Ilmu. Aku dapat memberikan kepadamu sementara aku
tidak akan kehilangan apapun juga. Karena hanya itulah
yang aku punya" desisnya.
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya
"Terima kasih. Aku akan segera datang"
Namun Ki Wastu itupun kemudian berdesis "Tetapi aku
sadar sepenuhnya, bahwa angger telah memiliki ilmu dasar
yang melampaui ilmu dasar yang aku miliki. Jika aku
mengharap angger datang, mudah-mudahan aku akan dapat
memberikan kelangkapan sehingga ilmu dasar yang lebih
baik dari yang ada padaku itu akan dapat berkembang
sempurna. Karena sebenarnyalah, bahwa angger Mahisa
Bungalan memiliki sumber ilmu yang tidak ada taranya,
dan yang jauh melampaui kemampuanku sandiri"
"Ki Wastu selalu merendahkan diri" desis Mahisa
Bungalan. "Tidak. Aku berkata sebenarnya" jawab Ki Wastu.
Namun mereka tidak sempat berbicara lebih panjang.
Iring-iringan itupun kemudian mulai bergerak
meninggalkan istana Pangeran Kuda Padmadata, menuju
ke Singasari. Beberapa orang berpaling juga memperhatikan iringiringan
itu. Namun mereka tidak heran atau terkejut
karenanya. Mereka mengetahui, bahwa beberapa orang
Singasari sedang berada di istana Pangeran Kudu
Padmadata. Karena itu. maka merekapun tahu bahwa
orang-orang Singasari itu akan segera kambali ke kota Raja.
Dengan demikian, maka perjalanan itupun tidak
mendapat hambatan apapun juga ketika mereka
meninggalkan kota. Para pengawal yang sedang
merondapun mengetahuinya, sehingga mereka tidak merasa
perlu untuk menegurnya. Bahkan diam-diam mereka
berusaha untuk memperhatikan, orang-orang yang terdapat
di dalam iring-iringan itu, karena dari para pengawal yang
ikut bersama Pangeran Kuda Padmadata telah
menceriterakan serba sedikit tentang orang-orang Singasari
yang pilih tanding. Damikianlah, iring-iringan itu kaluar dari gerbang, maka
kuda-kuda itupun berderap semakin cepat. Perjalanan
kembali ke Singasari itu ternyata jauh lebih cepat dari
perjalanan mereka dari Singasari ke Kediri.
Tidak seperti saat mereka berangkat, maka saat iringiringan
itu kembali ke Singasari, tidak ada seorangpun yang
datang mengganggu. Ki Dukut Pakering sama sekali tidak
berbuat sesuatu. Namun dengan demikian, orang-orang
yang berada di dalam iring-iringan itu masih saja bertanyatanya
di dalam hati "Apakah Pangeran Kuda Padmadata
juga tidak akan diganggu oleh Ki Dukut Pakering itu?"
Namun di istana itu sudah ada Ki Wastu. Bagaimanapun
juga, maka orang tua itu akan dapat menghalang-halangi
jika Ki Dukut masih ingin melepaskan dendamnya kepada
Pangeran Kuda Padmadata bersama anak istermya. Apalagi
Pangeran Kuda Padmadata talah menempatkan beberapa
orang pangawal terpilih di istananya, sehingga isteri dan
anaknya akan dapat merasa aman berada di dalam istana
itu. Meskipun demikian, Pangeran Kuda Padmadata masih
selalu bertindak hati-hati. Anak dan isterinya tidak
diperbolehkannya langsung borhubungan dengan siapapun
juga di luar anggauta keluarga istana itu. Jika ada orang lain
yang berniat untuk hiirliubungan dengan anak dan isteri
Pangeran itu, harus dilakukan melalui Pangeran Kuda
Padmadata sendiri atau Ki Wastu. Karena masih mungkin
sekali ada orang-orang yang dipinjam tangannya oleh Ki
Dukut untuk mencelakai keluarganya.
Dalam pada itu, ketika iring-iringan Mahisa Agni telah
sampai ke Singasari, maka mereka tidak segera berpisah.
Mereka masih memerlukan untuk berkumpul dan
membicarakan kemungkinan yang masih mereka hadapi.
Ki Dukut Pakering. "Sebenarnya kita tidak perlu tergesa-gesa lagi" berkata
Mahisa Agni "nampaknya Ki Dukut tidak lagi berusaha
melepaskan dendamnya kepada siapapun juga yang
dianggapnya pernah bersalah kepadanya. Mungkin ia lebih
memusatkan perhatiannya kepada Pangeran Kuda
Padmadata anak dan isteri"
"Tetapi kegagalan demi kegagalan itu akan dapat
mengungkit kembali kemarahan dan kebenciannya kepada
orang-orang yang tidak bersalah" desis Mahisa Bungalan.
"Memang mungkin" desis Mahisa Agni. Iapun
kemudian menceriterakan apa yang dilihatnya atas dua
orang berilmu hitam yang sebenarnya telah berhasil
melarikan diri. Namun malang bagi mereka, karena mereka
telah bertemu dengan Ki Dukut yang sedang mendendam.
Hampir saja mereka telah menjadi korban api dendam yang
menyala di hati Ki Dukut dan tidak mendapat penyaluran
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seperti yang dikehendakinya.
"Jika demikian, bukankah kemungkinan-kemungkinan
yang buruk itu akan dapat terjadi di padepokan-padepokan
kecil yang terpencar itu?" bertanya Mahisa Bungalan. Lalu
katanya salanjutnya " Mungkin Ki Dukut juga tidak ingin
atau tidak sengaja mendatangi padepokan itu. Tetapi jika
tiba-tiba saja ia dibakar oleh dendamnya yang kambuh
selagi ia berada di dekat padepokan-padepokan kecil itu,
maka akan dapat dibayangkan, akibat apakah yang akan
dapat timbul" "Aku mengerti" jawab Witantra "tetapi menurut
pengalaman, berburu di padang perburuan yang terlalu luas
itu ternyata terlalu mahal"
"Maksud paman?" bertanya Mahisa Bungalan.
"Berpikirlah jernih "potong ayahnya, pamanmu tentu
sedang memperhitungkan segala kemungkinan yang-dapat
ditempuh" Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.
"Atau, barangkali kau mempunyai satu pikiran yang
berguna bagi usaha ini?" bertanya Mahisa Agni.
"Paman" berkata Mahisa Bungalan "aku mengerti
bahwa berburu seperti yang pernah kita lakukan, hampirlah
sia-sia. Tetapi kita juga tidak boleh tinggal diam. Menurut
pikiranku, biarlah aku mengulangi pengembaraanku"
"Ada samacam untung-untungan" sahut ayahnya
"mungkin bertemu dengan Ki Dukut, mungkin pula tidak"
Mahisa Bungalan menundukkan kepalanya. Yang
dikatakan oleh ayahnya itu memang tepat. Namun
sebenarnyalah ada sepercik keinginannya yang lain.
Pengembaraannya tentu akan sampai ke sebuah padepokan
kecil yang menyimpan seorang gadis yang bernama Ken
Padmi. Namun dalam pada itu, Mahisa Agni telah
memperingatkan Mahisa Bungalan atas kesanggupan yang
pernah dikatakannya kepada Maharaja di Singasari,
Ranggawuni. yang bergelar Sri Jaya Wisnuwardhana dan
Ratu Angabhaya yang bergelar Narasingamurti, bahwa
Mahisa Bungalan akan bersedia untuk memasuki dunia
Keprajuritan di Singasari.
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Ia
memang pernah berjanji. Dan janji itu tidak pernah
dilupakannya. Namun jika ingatannya menyentuh seorang
gadis padepok an yang bernama Ken Padmi, maka hatinya
menjadi berdebar-debar. Bahwa Pangeran Kuda Padmadata telah menemukan
kembali kebahagiaan hidup berkeluarga. benar-benar telah
menyentuh perasaan anak muda itu. Rasa-rasanya iapun
ingin memasuki satu dunia yang lain dari dunianya yang
sedang dijalaninya. Bahkan rasa-rasanya ia akan segera
berhenti bertualang, jika ada seorang sisihan di rumah yang
akan dapat memberikan ketenteraman hidup.
Dalam pada itu, Witantra yang mendengar peringatan
Mahisa Agni itupun kemudian berkata "Mahisa Bungalan
Apakah waktunya masih belum tiba" Jika kau masih selalu
dibayangi oleh jiwa pangembaraanmu, maka aku kira kau
tidak akan berhenti mengembara dengan alasan apapun
juga. Karena itu, biarlah kami yang tua-tau sajalah yang
akan mencari jejak Ki Dukut Pakering, meskipun juga tidak
dongan menyelenggarakan waktu yang khusus, sementara
itu, kau dapat mempergunakan waktumu untuk merintis
jalan kemasa depanmu yang lebih baik"
Mahisa Bungalan menundukkan kepalanya. Ia mengerti
petunjuk-petunjuk itu akan sangat bermanfaat baginya.
Tetapi ia tidak dapat melupakan padepokan kecil itu,
Padepokan Kenanga. Ketika Mahisa Bungalan kemudian terdesak, dan tidak
dapat mengelak lagi, maka iapun kemudian berterus terang,
bahwa ia ingin pergi ke padepokan kecil itu. Dan bahkan
ketika Ketika orang-orang tua itu masih mendesaknya lagi,
maka iapun kemudian telah mengatakan serba sedikit
tentang padepokan Kenanga yang dihuni oleh Ki Selabajra
dan anak gadisnya Ken Padmi.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia
mengerti, bagaimana perasaan seorang anak muda yang
sedang diguncang oleh angan-angan tentang seorang gadis.
Karena itulah, maka Mahisa Agnipun berkata" Baiklah
Mahisa Bungalan. Biarlah aku menghadap Sri Mahaprabu
Jaya Wisnuwardhana untuk menyempatkan perasaanmu
kepadanya. Aku kira, kau akan mendapat persetujuan
meskipun untuk waktu yang terbatas. Terutama bagi
kepentinganmu sendiri"
Mahisa Bungalan hanya dapat menundukkan kepalanya.
"Sementara itu" berkata Mahisa Agni, biarlah aku
mengawanimu dalam pengembaraan yang mendatang.
Pada saat gawat aku akan dapat menjadi kawan
menghadapi kesulitan, tetapi dalam kesulitan yang lain,
mungkin aku kau perlukan untuk mewakili ayahmu"
"Ah " Mahisa Bungalan hanya berdesah. Tetapi ia tidak
membantah. Mahendrapun ternyata tidak berkeberatan. Bahkan ia
berterima kasih kepada Mahisa Agni yang bersedia
mengikuti perjalanan Mahisa Bungalan.
"Aku tidak mempunyai tanggungan apa-apa" berkata
Mahisa Agni "aku kira ada baiknya pula untuk mengisi hari
tuaku. Sementara kau masih harus berbuat banyak bagi
keluargamu" Mahendra tertawa. Katanya "Anakkupun telah dewasa
semuanya. Tetapi aku memang masih mempunyai banyak
tanggungan. Karena itu, aku sangat berterima kasih"
Witantrapun tersenyum pula. Katanya "Sebenarnya
akupun tidak berkeberatan untuk mengikuti pengembaraan
itu. Aku kira akupun memerlukan kesibukan untuk mengisi
kekosonganku di hari tua agar aku tidak terlalu cepat
mendekati masa akhir"
"Ah" desis Mahendra "jangan berkata begitu"
"Sebenarnyalah" jawab Witantra "orang yang terlalu
banyak merenung tanpa kerja yang berarti, ia akan cepat
mengakhiri hidupnya sendiri. Karena itu, aku juga ingin
mengisi waktuku dengan kesibukan-kesibukan. Berjalanjalan
adalah kesibukan yang paling baik bagi orang tua-tau"
"Berjalan di setiap pagi memang baik" jawab Mahendra
"tetapi berjalan-jalan melintasi padang-padang yang luas
dan liar, menyusup hutan dan menghadapi kemungkin an
bertemu dengan Ki Dukut dengan pengikut-pengikutnya
yang baru, sebenarnyalah bukan merupakan perjalanan
seperti menghirup segarnya udara pagi"
Witantra tertawa. Katanya "Tentu tidak akan seberat itu.
Kami akan menempuh satu perjalanan yang
menyenangkan. Jika kita dapat bertemu dengan Ki Dukut,
itu berarti bahwa perjalanan ini akan mendapat hasil yang
menggembirakan di samping untuk mangisi kekosongan"
Mahendra dan Mahisa Agnipun tertawa. Tetapi Mahisa
Bungalan masih tetap menundukkan kepalanya.
Dalam pada itu, maka merekapun segera mengatur
waktu. Mereka tidak akan tergesa-gesa meninggalkan
Singasari. Mahisa Agni, Witantra, Mahendra dan Mahisa
Bungalan akan mohon mendapat kesempatan menghadap
untuk menyampaikan persoalan Mahisa Bungalan yang
masih akan mohon sekedar waktu.
Sebenarnyalah, bahwa Ranggawuni yang bergelar Sri
Jaya Wisnuwardhana itu merasa kecewa, bahwa Mahisa
Bungalan masih mohon waktu untuk pengembaraannya.
Namun Maharaja yang muda itupun mengerti perasaan
Mahisa Bungalan, sehingga iapun tidak merasa
berkeberaten untuk melepaskannya. Apalagi ketika
kepadanya diberitahukan serba sedikit tentang peristiwa
yang menimpa Pangeran Kuda Padmadata karena tingkah
laku gurunya. "Kalian akan mencarinya?" bertanya Sri Jaya
Wisnuwardhana. "Mudah-mudahan kami berhasil mendapatkan jejaknya"
jawab Mahisa Agni. "Tetapi kami mengharap, kalian akan segera kembali"
pesan Ranggawuni. "Hamba tuanku" jawab Mahisa Agni "hamba akan
melakukannya" Demikianlah, dengan ijin Maharaja di Singasari, maka
Mahisa Bungalan sekali lagi melakukan pengembaraan
sekaligus menunda lagi kesanggupannya untuk memasuki
lingkungan keprajuritan di Singasari. Bersama Mahjsa Agni
dan Witantra, Mahisa Bungalan telah bersiap-siap
meninggalkan Kota Raja untuk menempuh perjalanan yang
tidak dibatasi waktu. Namun merekapun sadar, bahwa
mereka tidak akan melakukan perjalanan terlalu lama,
seperti yang dipesankan oleh Ranggawuni sebagai
Maharaja di Singasari yang bergelar Sri Jaya
Wisnuwardhana. Ketika segala persiapan telah cukup, maka pada suatu
pagi yang cerah, tiga orang berkuda telah meninggalkan
gerbang Singasari. Mereka adalah Mahisa Agni, Witantra
dan Malijsa Bungalan. Seperti biasanya mereka
mengenakan pakaian orang kebanyakan dalam
pengembaraan mereka. "Pada suatu saat kuda-kuda ini akan kami tinggalkan berkata Mahisa Bungalan. Mahisa Agni berpaling kepadanya sambil bertanya -Dan
kita akan berjalan menjelajahi daerah yang sangat luas"
Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Sementara
Witantra bertanya "Atau yang kau maksudkan, kita akan
menuju kesuatu tempat, kemudian menitipkan kuda kita
ditempai itu sementara kita akan berjalan kesegenap
penjuru, uamun kita akan mempergunakan tempat itu
sebagai tempat pemberhentian"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Namun
katanya kemudian "Bukankah kita akan singgah ke Kediri
seperti yang pernah aku katakan" Ki Wastu minta aku
datang kepadanya. Ada sesuatu yang akan diberikan
kepadaku" Mahisa Agni tersenyum. Katanya "Bagiku tidak akan
ada bedanya. Apakah kita akan singgah ke Kediri atau
tidak. Tetapi jika kau ingin bertemu Ki Wastu sebelum
pengembaraan, aku sama sekali tidak berkeberatan. Apapun
yang akan kau terima, itu berarti akan memperkaya
perbendaharaan ilmumu"
Mahisa Bungalan hanya mengangguk-angguk.
Sementara Witantrapun sama sekali tidak berkeberatan
pula. Demikianlah, maka perjalanan yang mereka lakukan
seperti yang pernah mereka lakukan sebelumnya, adalak
perjalanan yang merupakan mula dari satu pengembaraan
Tiaru. Seperti yang dikehendaki oleh Mahisa Bungalan,
maka merekapun singgah ke Kediri memenuhi permintaan
Ki Wastu, yang ingin menyampaikan ucapan terima kasih
knpada Mahisa Bungalan Kedatangan mereka di istana Pangeran Kuda Padma
duta telah diterima oleh Pangeran itu dengan senang hati.
Demikian pula ternyata Ki Wastu menyambut mereka
dengan sangat gembira. Kepada Mahisa Agni dan Witantra, Ki Wastu berkata
"Aku ingin menumpang untuk ikut berbangga mempunyai
seorang murid seperti angger Mahisa Bungalan. Karena itu,
meskipun tidak berarti apa-apa, aku ingin disebut sebagai
salah seorang gurunya yang barangkali justru harus
menyadap ilmu dari muridnya"
Mahisa Agni tersenyum. Katanya "Ki Wastu selalu
merendahkan diri" Ki Wastu menjawab dengan bersungguh-sungguh
"Tidak. Aku berkata sebenarnya. Dan lebih dari itu, aku
ingin menempatkan Pangeran Kuda Padmadata yang
memerlukan bimbinganku selanjutnya untuk
menyempurnakun ilmunya sebagai saudara seperguruan
dengan angger Mahisa Bungalan"
Mahisa Agni dan Witantra mengangguk-angguk. Mereka
mengerti, bahwa yang sebenarnya dihendaki oleh Ki Wastu
adalah demikian. Dan sebenarnyalah bahwa Ki Wastu
merasa, bahwa ilmunya tidak akan dapat melampaui
tingkat ilmu Mahisa Agni, Witantra dan Mahendra, yang
pernah menjadi guru Mahisa Bungalan sebelumnya.
Karena itu, maka Witantrapun kemudian berkata "Kami
merasa sangat gembira Ki Wastu, bahwa Pangeran Kuda
Padmadata bersedia manganggap Mahisa Bungalan sebagai
saudara seperguruannya"
Demikianlah, maka untuk beberapa lamanya Mahisa
Agni dan Witantra berada di Kediri menunggui Mahisa
Bungalan yang menerima warisan ilmu dari Ki Wastu.
Memang dalam beberapa hal tingkat dan tataran ilmu Ki
Wastu tidak setinggi ilmu Mahisa Agni, Witantra dan
Mahendra. Namun beberapa kemungkinan baru telah
membuka hati Mahisa Bunglan. Dengan dasar ilmu yang
diberikan oleh Ki Wastu, seperti yang sebagian pernah
diterimanya sebelumnya, ternyata Mahisa Bungalan
mempunyai ruang gerak yang lebih luas bagi ilmu yang
memang pernah dimilikinya sebelumnya.
Demikian pula pada Pangeran Kuda Padmadata yang
sebelumnya telah menerima dasar-dasar ilmu dari Ki Dukut
Pakering. Seperti Mahisa Bungalan, maka ilmu yang
diterima dari Ki Wastu itupun telah membuka
kemungkinan-kemungkinan baru padanya untuk
mengembangkan dasar ilmu yang memang sudah
dimilikinya. Karena itu, maka apa yang diberikan oleh Ki Wastu itu
bukannya tidak berarti bagi keduanya, karena dengan
demikian dalam keseluruhan, ilmu merekapun telah
meningkat. Sementara mereka telah melihat jalan yang
terbuka untuk memperkembangkan selanjutnya sesuai
dengan pengalaman masing-masing.
Ketika Ki Wastu sudah merasa puas, serta ia sudah
merasa membalas kebaikan budi Mahisa Bungalan, maka
iapun berkata kepada anak muda itu "Segalanya telah aku
lakukan ngger. Terserah kepada angger kamudian, apakah
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
angger menganggap hal itu berguna atau tidak"
"Tentu Ki Wastu. Aku merasa sangat berterima kasih.
Seperti yang terdahulu, maka yang Ki Wastu berikan telah
mengangkat kemampuanku dalam keseluruhan dan
membuka kemungkinan-kemungkinan baru bagi
perkembangan selanjutnya"
Dengan demikian, maka waktu yang diperlukan Mahisa
Bungalan telah cukup. Karena itu, maka iapun segera minta
diri untuk melanjutkan perjalanan yang masih panjang.
Sementara ia sudah diangkat menjadi saudara seperguruan
oleh Pangeran Kuda Padmadata.
Dengan berat, hati Pangeran Kuda Padmadata dan Ki
Wastu melepaskan tamu-tamunya meninggalkan istananya.
Mereka mengerti, apa yang akan dilakukan oleh ketiga
orang itu. Mereka akan menempuh satu perjalanan yang
berat dan tidak berketentuan untuk mencari seseorang yang
telah berusaha berbuat jahat kepadanya. Kepada Pangeran
Kuda Padmadata beserta keluarganya. Sementara orang itu
adalah gurunya sendiri. Namun apa yang dilakukan oleh ketiga orang itu
memang sudah mereka kehendaki. Karena itu, maka baik
Pangeran Kuda Padmadata, maupun Ki Wastu tidak dapat
menahan mereka lagi. Demikianlah, maka pada hari yang sudah ditentukan,
ketiga orang itupun telah meninggalkan Kediri. Dengan
wajah tengadah Mahisa Bungalan yang berkuda di depan
memandang jalan yang terbujur panjang membelah tanab
persawahan. Meskipun ia tidak terbiasa melalui jalan itu,
tetapi ia masih dapat mengenalinya. Sebagai orang
pengembara, maka Mahisa Bungalan mempunyai ingatan
yang kuat terhadap tempat-tempat yang memiliki ciri-ciri
yang tersendiri meskipun tidak begitu jelas bagi orang lain.
Demikianlah, maka Mahisa Bungalan yang berkuda
dipaling depan telah membawa kedua orang yang tidak
bedanya dengan orang tua sendiri itu, menuju kedaerah
yang pernah dijelajahinya. Bukan pada saat-saat ia mencari
Ki Dukut, tetapi ia membawa Mahisa Agni dan Witantra
memintas jalan, menuju ke tempat-tempat yang per nah
dijelajahinya sebelumnya.
Jaraknya memang tidak terlalu dekat Tetapi akhirnya ia
membawa kedua orang pamannya itu menuju kejalur jalan
yang pernah dilaluinya membawa isteri Pangeran Kuda
Padmadata dan Ki Wastu ke rumahnya sendiri.
"Kita kembali pulang?" bertanya Witantra yang merasa
bahwa mereka menuju ke padukuhan tempat tinggal
Mahisa Bungalan. "Tidak paman" jawab Mahisa Bungalan "kita akan
melampauinya dan menuju ke tempat yang pernah aku
kenal sebagai jalur penjelajahan Ki Wastu selama ia
berusaha menyelamatkan anak dan curunya, selagi mereka
masih selalu dikejar-kejar oleh orang-orang yang ternyata
adalah para pengikut guru dan adik Pangeran
Kudapadmadata itu sendiri"
"Apakah kau manduga, bahwa Ki Dukutpun akan
menelusuri jalan itu?" bertanya Mahisa Agni.
"Aku tidak berpikir demikian paman. Tetapi memang
ada satu kemungkinan, bahwa Ki Dukut yang untuk
sementara kehilangan tujuan dan alas bagi langkahlangkahnya
berikutnya, ia berjalan diluar kehendaknya
melalui tempat tempat yang pernah dikenalnya. Meskipun
mungkin hanya berdasarkan atas laporan-laporan
pengikutnya saja" jawab Mahisa Bungalan.
Mahisa Agni dan Witantra tidak menyahut lagi. Tetapi
ia mengerti, bahwa Mahisa Bungalan sendiri nampaknya
telah dikendalikan oleh satu kenangan tersendiri pada saat
ia berusaha menolong isteri dan anak Pangeran Kuda
Padmadata itu. Karena itu, keduanya mengikuti saja, jalan manakah
yang dipilih oleh Mehisa Bungalan.
Sebenarnyalah bahwa Mahisa Bungalan telah
dipengaruhi oleh kenangannya atas masa yang tidak dapat
dilupakannya itu. Masa-masa yang tegang dan penuh
dengan bahaya. Namun, yang lewat jalur kenangan itu,
pada suatu saat ia akan sampai pada suatu tempat yang
dikenalnya dengan baik. Padepokan Kenanga.
Tetapi rasa-rasanya ada keseganan untuk langsung
menuju ke padepokan itu. Karena itu, maka iapun telah
memilih jalan seperti jalan yang pernah ditempuhnya,
dengan arah yang berlawanan. Melingkar-lingkar, tetapi
yang pada akhirnya akan sampai pula ke padepokan kecil
itu. Jalan yang sudah lama tidak pernah dilalui setelah ia
melintasinya pada saat ia menyelamatkan isteri dan anak
Pangeran Kuda Padmadata itu rasa-rasanya masih
dikenalnya dengan baik seperti baru kemarin ia lewat
dijalan itu pula. Jalan yang jika diikutinya dengan arah
yang seperti ditempuhnya pada saat itu justru akan
membawa-nya kembali kepadukuhannya di dekat Kota
Raja. Sebenar nyalah waktu itu Mahisa Bungalan sudah
tidak mempunyai gambaran yang lain untuk
menyelamatkan isteri dan anak Pangeran Kuda Padmadata
itu kecuali di rumahnya sendiri
Ketiga orang itu seolah-olah tidak merasa betapa
matahari menyengat kulit. Bagaimana mereka kemudian
mulai dibayangi oleh cahaya kemerah-merahan, ketika
mata hari menjadi semakin rendah.
Sekali mereka berhenti disebuah kedai di dekat sudut
padukuhan. Mereka melepaskan haus dan lapar. Tanpa
menarik perhatian orang-orang yang berada di dalam kedai
itu juga, maka merekapun sempat berbicara tentang
perjalanan Mahisa Bungalan pada masa yang lewat itu.
"Menegangkan sekali" desis Mahisa Bungalan tiba-tiba.
Mahisa Agni dan Witantra mengangguk-angguk.
Agaknya Mahisa Bungalan telah menempuh satu
perjalanan yang sangat berbahaya dan dengan
mempertaruhkan nyawanya pula.
Namun dalam pada itu, rasa-rasanya Mahisa Agnipun
telah terdorong untuk mengenang satu masa yang jauh
lewat di belakang jalan hidupnya. Iapun telah menempuh
pengembaraan hidup lahir dan batin yang penuh dengan
bahaya dan dengan mempertaruhkan nyawanya pula.
Meskipun dalam keadaan yang berbeda, tetapi ada pula
beberapa kesamaan pengalamannya dengan pengalaman
Mahisa Bungalan. "Tetapi anak itu tidak boleh menjadi putus asa seperti
aku dalam perjalanan hidupnya sebagai seorang laki-laki"
berkata Mahisa Agni kepada diri sendiri "Mahisa Bungalan
harus menemukan kesempurnaan hidup sebagai seorang
laki-laki yang wajar. Ia akan dapat menjadi seorang ayah
yang baik bagi anak-anaknya dan seorang suami yang baik
pula bagi isterinya. Tatapi Mahisa Agni tidak mengatakannya kepada
siapapun juga. Bahkan kemudian iapun telah berusaha
untuk melepaskan kenangan tentang masa lampaunya itu.
Ketika langit menjadi semakin buram, maka puinilik
kedai itupun segera bersiap-siap untuk menutup kuduinya
Dengan demikian maka Mahisa Agni, Witantra dan
Mahisa Bungalanpun harus segera meninggalkan kedai itu
pula. "Demikian matahari terbenam, demikian kedai ini
ditutup desis Mahisa Agni.
"Ya Ki Sanak" jawab pemilik kedai itu "tidak akan ada
seorangpun yang membelinya jika hari sudah gelap.
Agaknya memang agak berbeda dengan keadaan di kotakota
jika Ki Sanak sering pergi ke Kota Raja"
"Tidak banyak berbeda" jawab Mahisa Agni.
"Tetapi ada juga kedai yang tetap dibuka meskipun
sudah malam" sahut pemilik kedai itu "aku pernah tinggal
di Kota Raja hampir tiga pekan pada saudaraku yang
tinggal di Kota Raja"
Suling Emas 14 Pendekar Slebor 31 Iblis Penghela Kereta Hati Seorang Pemburu 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama