Ceritasilat Novel Online

Panasnya Bunga Mekar 25

Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja Bagian 25


dalam pada itu, Mahisa Agni dan Witantra tidak duduk saja
di punggung kudanya. Tetapi merekapun berloncatan turun
pula dan menambatkan kuda mereka masing-masing.
Dalam pada itu, Senapati yang memerintahkan ketiga
orang itu untuk mengikutinya menghadap Akuwu masih
tetap duduk di atas punggung kudanya. Ia merasa yakin,
bahwa kedua orang pengawalnya yang terpilih itu akan
dapat mengatasi keadaan, meskipun seandainya ketiga
orang itu bersama-sama akan bertempur melawan
pengawal-pengawalnya itu.
Sejenak kemudian, maka Mahisa Bungalan telah bersiap
menghadapi segala kemungkinan. Ia berdiri di pinggir jalan,
sementara kedua lawannya datang dari arah yang berbeda.
"Jangan hiraukan kedua orang pamannya" berkata
Senapati yang masih di punggung kudanya "jika mereka
berusaha melarikan diri, aku sendiri yang akan menangkap
mereka" "Gila" Mahisa Bungalan menggeram. Ia menjadi jengkel
karena kedua orang pamannya itu sama sekali tidak berbuat
apa-apa meskipun mereka mendengar betapa Senapati itu
telah merendahkan mereka.
Karena itu, maka Mahisa Bungalan telah menumpahkan
kejengkelannya kepada kedua orang pengawal itu. Ia
berniat untuk menunjukkan bahwa ia benar-benar seseorang
yang tidak dapat diperlakukan demikian menyakitkan hati.
Ketika kedua pengawal itu menjadi semakin dekat, maka
Mahisa Bungalanpun telah bergeser. Ia menjulurkan
tangannya menyerang seorang diantaranya. Hanya sekedar
untuk memancing agar lawannyapun mulai bergerak
menyerangnya. Lawannya bergeser. Namun seperti yang diharap,
dengan garangnya ia menyerang dengan kakinya yang
mendatar mengarah ke lambung.
Mahisa Bungalan yang jengkel itu tidak melepaskan
kesempatan itu. Pada langkah-langkah pertama ia ingin
membuktikan bahwa kedua pengawal itu tidak akan
mampu berbuat apa-apa sama sekali.
Karena itu, maka Mahisa Bungalan telah berbuat sesuatu
yang mengejutkan. Bukan saja bagi pengawal yang sedang
menyerang itu, tetapi juga kedua orang yang lain.
Sementara kaki pengawal itu terjulur, maka Mahisa
Bungalan telah bergeser setapak. Dengan kecepatan yang
tinggi, Mahisa Bungalan telah menangkap kaki pengawal
itu. Kemudian dengan kekuatan yang menghentak ia
melemparkan pengawal itu menghamtam kawannya.
Kedua pengawai itu sama sekati tidak menyangka,
bahwa hal itu dapat dilakukan oleh Mahisa Bungalan.
Karena itu, maka mereka tidak dapat mengelak sama sekali
ketika keduanya harus berbenturan satu sama lain.
Senapati yang masih duduk di punggung kudanya itupun
terkejut. Bahwa hal itu dapat dilakukan oleh Mahisa
Bungalan, telah menghentak jantungnya, sehingga
darahnyapun bagaikan berhenti mengalir. Apalagi ketika
kemudian ia melihat Mahisa Bungalan itu berdiri saja
sambil bertolak pinggang menunggui kudua orang pengawal
yang sedang berusaha untuk bangkit.
"Cepat" bentak Mahisa Bungalan "berdiri dan lawan aku
lagi" Kedua pengawal itupun kemudian meloncat berdiri.
Dengan wajah yang merah membara mereka memandangi
Mahisa Bungalan yang berdiri tegak.
"Kalian sudah mendapat bukit perlawanannya" berkata
Senapati yang masih berada dipunggung kuda itu "jangan
ragu-ragu lagi. Kesalahan kalian adalah, bahwa kalian
terlalu baik hati dan ragu-ragu. Mungkin kalian
menganggap anak itu terlalu lemah sehingga kalian menjadi
lengah, atau kalian masih mempunyai belas kasihan untuk
bertindak dengan sungguh-sungguh"
"Ya. Ternyata anak itu benar-benar anak gila yang harus
di selesaikan dengan cara yang keras" geram salah seorang
pengawal itu. "Kalian hanya dapat berbicara tanpa ujung pangkal"
berkata Mahisa Bungalan "sudah aku katakan, bahwa aku
akan melawan perintah kalian. Kami mengikuti kalian
sampai di bulak ini sekedar menolong agar kalian tidak
kehilangan wibawa dihadapan rakyat padukuhan yang
sedang berguncang itu. Setelah kita semuanya berada
ditempat yang cukup jauh, dan dibulak panjang yang tidak
banyak dilihat orang, maka kalian harus melihat satu
kenyataan, bahwa kalian bagi kami memang tidak berarti
apa-apa" Kata-kata Mahisa Bungalan itu benar-benar menyakitkan
hati. Karena itu kedua orang pengawal itupun segera
bersiap. Mereka maju selangkah demi selangkah mendekati
Mahisa Bungalan. Mahisa Bungalan bergeser. Ia sudah bersiap sepenuhnya
ketika kedua orang itu mengambil arah. Bahkan kemudian
Keduanya siap menyerang beruntun dari arah yang
berbeda. Namun sikap mereka terlalu lugu bagi Mahisa Bungalan.
Apa yang akan mereka lakukan dengan mudah dapat
dilihat pada langkah-langkah mereka. Meskipun mereka
nampak garang bagi orang lain, namun bagi Mahisa
Bungalan, mereka adalah orang-orang yang terlalu
sederhana. Mereka terlalu percaya kepada kemampuan mereka
bertempur sesuai dengan latihan-latihan yang mereka
lakukan di dalam lingkungan para pengawal Akuwu. Bagi
orang kebanyakan, bahkan bagi mereka yang baru mulai
mengenal ilmu kanuragan, para pengawal itu adalah orangorang
yang ditakuti. Tetapi tidak ada artinya bagi Mahisa
Bungalan. Karena itu, ketika orang-orang itu mulai menyerang,
maka niat Mahisa Bungalan untuk memperlakukan mereka
dengan garangpun menjadi susut. Bahkan kemudian
Mahisa Bungalan menganggap bahwa mereka adalah
orang-prang yang sama sekali tidak mengerti, apa yang
telah mereka lakukan. "Aku tidak yakin, bahwa seorang demi seorang
pengawal ini lebih baik dari pemimpin perampok yang
tertangkap itu" berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya.
Sebenarnyalah, bahwa kedua pengawal itu masih belum
memiliki kemampuan setingkat dengan pemimpin
perampok yang telah tertangkap kembali. Bahkan mungkin
kedua pengawal ini akan kehilangan kepribadian mereka
sendiri, jika mereka berhadapan dengan Ki Buyut yang
memiliki kemampuan mempengarui orang lain lewat sorot
matanya. "Apakah Akuwu itu memiliki kewibawaan yang cukup
dengan pengawal-pengawalnya yang terpilih seperti ini"
bertanya Mahisa Bungalan kepada diri sendiri.
Tanpa sesadarnya, ia memandang sekilas kepada
pamannya. Witantra. Pada mulanya Witantra itupun
seorang Senapati pada sebuah Pakuwon yang besar,
TumapeL Yang kemudian berkembang dan bahkan Ken
Arok telah menjadikan Pakuwon itu pusar dari sebuah
pusat pemerintahan yang baru.
"Tetapi bagaimana dengan Pakuwon ini" desis Mahisa
Bungalan. Sejenak kemudian, maka pertempuranpun segera terjadi
lagi. Kedua orang pengawal itu bertempur dengan
tangkasnya. Mereka menyerang sambil berloncatan dengan
senjata di dalam genggaman. Mereka mengacu-acukan
pedang mereka. Dengan sungguh-sungguh mereka berusaha
untuk mengenai lawannya. Bahkan nampaknya keduanya
tidak lagi berusaha untuk mengekang diri dengan pedang
mereka. Tetapi tidak seorangpun diantara mereka yang dapat
mengenai Mahisa Bungalan. Bahkan menyentuh
pakaiannyapun tidak. Keduanya tidak mampu
mengimbangi kecepatan gerak anak muda itu. Tanpa
senjata Mahisa Bungalan berhasil menghindari seranganserangan
kedua pengawal yang menurut mereka, adalah
serangan-serangan yang sangat berbahaya.
Senapati yang duduk dipunggung kuda itu akhirnya tidak
dapat tinggal diam. Kedua orang pengawalnya sama sekali
tidak dapat berbuat apa-apa terhadap seorang saja diantara
ketiga orang yang dianggapnya telah memberontak itu.
Karena itu, maka Senapati itupun menggeram sambil
meloncat turun dari kudanya. Sambil mengikat kudanya
pada sebatang pohon perdu. Senapati itu berkata "Kalian
memang tidak dapat dibelas kasihani. Bersiaplah untuk
mati, karena jika aku sendiri sudah turun tangan, maka
nasib kalian sulit untuk diramalkan"
"Benar Ki Sanak" jawab Mahisa Agni "seperti nasib
kami yang sulit diramalkan, nasib Ki Sanakpun sulit untuk
diramalkan. Karena itu, sebaliknya Ki Sanak tidak usah
mulai dengan kerja yang sia-sia. Dua orang pengawalmu
yang terpecaya sama sekali tidak dapat mengalahkan
seorang diantara kami, justru yang paling muda. Lalu,
apakah yang kira-kira dapat kau lakukan menghadapi kami
berdua?" "Persetan" geram Senapati itu "kau ternyata salah
sangka. Kedua pengawalku itu memang tidak dapat
mengalahkan seorang kawanmu. Tetapi jangan kau kira
bahwa kalian berdua akan dapat mengalahkan aku seorang
diri, karena sebenarnyalah kemampuanku berlipat sepuluh
dari kedua orang pengawal itu"
"O" Mahisa Agni mengangguk-angguk "benarkah
Senapati dari satu Pakuwon memiliki kemampuan lipat
sepuluh dari pengawalnya" Itukah agaknya maka Akuwu
dari Tumapel yang kecil itu berhasil mengalahkan Kediri
dan kemudian mengangkat dirinya menjadi seorang
Maharaja yang Perkasa, He, apakah Pakuwon Ki Sanak
yang memiliki Senapati yang tangguh akan berusaha juga
untuk melatah Singasari"
Witantra yang tertawa berkata "Jangan bermimpi Ki
Sanak. Sudahlah. Marilah kita akhiri persoalan kita sampai
disini. Biarlah kami meneruskan perjalanan kami. Jangan
ganggu kami, dan kamipun tidak akan mengganggu tugas
Ki Sanak. Bukankah tugas Ki Sanak sudah Ki Sanak
lakukan di Kabuyutan itu" Laporkan sajalah hasil tugas
klaian kepada Akuwu"
"Gila" geram Senapati itu "kenapa kau mengigau
tentang Kediri, Tumapel dan Singasari" ia berhenti sejenak,
lalu "yang penting sekarang, aku akan menangkap kalian
bertiga" "Dan karian akan dengan leluasa melakukan pekerjaan
kalian dengan menghasut dan menimbulkan benturan
benturan di Kabuyutan-Kabuyutan yang lain?" bertanya
Senapati itu "bukankah hanya kebetulan saja bahwa kau
berdiri dipihak yang benar di kabuyutan itu. Tetapi
mungkin di Kabuyutan yang lain kau tidak menghiraukan
lagi, siapakah yang benar dan yang salah. Bagimu, benturan
dan geseran yang terjadi, akan dapat memberikan
keuntungan bagi kalian"
Mahisa Agbi menarik nafas dalam-dalam.
Dipandangnya wajah Senapati yang tegang itu. Bahkan
Senapati telah melangkah maju dengan tangan di hulu
pedang. "Menyerahlah" geramnya. Namun dalam pada itu
Senapati itu terkejut karena ia melihat salah seorang
pengawalnya yang bertempur melawan Mahisa Bungalan
telah terpelanting jatuh meskipun senjatanya masih belum
terlepas dari tangannya. Mahisa Agni menarik nafas panjang, sementara Witantra
tersenyum sambil berkata "Ki Sanak. Apakah Ki Sanak
tidak dapat melihat kanyataan itu" Apakah Ki Sanak
sekedar berpegang kepada harga diri dan kewibawaan.
Dengarlah, kami sudah menolong mempertahankan
kewibawaan Ki Sanak dihadapan orang-orang Kabuyutan
itu. Bagaimanakah kira-kira yang akan dikatakan oleh
orang Kabuyutan itu jika mereka melihat seorang
pengawalmu terpelanting jatuh justru dua orang sekaligus
Bertempur melawan seorang diantara kami"
"Itu bukan ukuran" geram Senapati itu "karena aku
sendiri belum terlibat. Marilah, jangan banyak bicara.
Jangan salahkan aku jika kalian akan mati. Aku mulai
meskipun kalian tidak melawan"
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
dipandanginya wajah Witantra yang menegang. Bahkan
kemudian iapun berkata kepada Witantra "Marilah. Jika
Senapati ini memang ingin menyakinkan dirinya tentang
kita. Kita akan melayaninya dan menyakinkannya bahwa ia
tidak dapat berbuat sesuatu atas kami. Ia harus melihat
kenyataan, bahwa kami akan dapat melepaskan diri kapan
saja kami kehendaki"
Senapati itu benar-benar tidak berbicara lagi. Namun
nampaknya iapun masih belum mempergunakan
senjatanya. Dengan serta merta ia telah meloncat
menyerang Mahisa Agni dengan tangannya yang terjulur
lurus ke depan. Mahisa Agni bergeser kesamping, sementara serangan itu
tidak mengenai sasarannya. Namun ternyata Senapati itu
mampu bergerak cepat. Demikian kakinya menjejak tanah,
maka ia telah meloncat lagi menyerang.
Bukan Mahisa Agni, tetapi Senapati itu telah menyerang
Witantra. Witantra agak terkejut juga. Tetapi iapun sempat
mengelak pula, sehingga serangan Senapati itu tidak
mengenainya. Dalam pada itu, Mahisa Agni dan Witantra sama sekali
tidak mempunyai minat untuk bermain-main terlalu lama.
Karena itu, maka mereka seolah-olah telah bersepakat
untuk segera mengakhiri pertempuran itu.
Karena itu, ketika Senapati itu menyerang sekali lagi,
Mahisa Agnipun telah menghindarinya dan sekaligus
menyerangnya. Dengan cepat dan keras. Senapati itu telah
didorong kearah Witantra dengan telapak tangannya.


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Witantrapun mengerti, apa yang dimaksud oleh Mahisa
Agni. Iapun telah siap untuk menerima Senapati itu dengan
telapak tangannya pula. Namun ternyata Senapati itu
memiliki kecepatan bergerak pula. Ia sadar bahwa ia akan
dipermainkan kedua lawannya. Karena itu. maka iapun
menggeliat dan meloncat kesamping, sehingga ia tidak lagi
terdorong kearah Witantra.
Mahisa Agni menarik nalas dalam-dalam. Ternyata
Senapati itu tidak selemah yang diduganya. Bahkan
kemudian mereka melihat Senapati itu telah bersiap
menyerangnya kembali sambil berkata "Kau telah
menghina aku" Mahisa Agni dan Witantra saling berpandangan..
Nampaknya Senapati itu mengerti, bahwa Mahisa Agni dan
Witantra ingin menyelesaikan pertempuran itu dengan
cepat dan dengan cara yang sangat sederhana. Karena itu,
maka Senapati itupun menjadi sangat marah dan terhina.
Karena itulah, maka iapun segera mempersiapkan
dirinya. Betapapun juga ia merasa bahwa ia akan dapat
melawan kedua orang itu. Meskipun ia merasa betapa
kuatnya dorongan Mahisa Agni, namun ia masih belum
melihat kekuatan yang sesungguhnya yang ada di dalam
diri kedua orang lawannya yang sudah tua itu.
Sejenak kemudian dengan garangnya Senapati itu
menyerang pula. Tetapi Mahisa Agni dan Witantra benarbenar
menjadi jemu. Sementara Mahisa Agni bergeser
setapak, maka Mahisa Bungalan telah melemparkan kedua
lawannya, sehingga keduanya jatuh berguling di tanah.
Senapati itu tidak sempat berbuat sesuatu, karena Mahisa
Agni justru telah meloncat menyerangnya.
Demikian cepatnya, seningga Senapati itu tidak dapat
berbuat sesuatu. Yang dapat dilakukannya adalah mencoba
menangkis serangan Mahisa Agni itu. Sehingga dengan
demikian telah terjadi benturan diantara keduanya.
Barulah Senapati itu merasa, betapa dahsyatnya tenaga
lawan. Meskipun Mahisa Agni hanya mempergunakan
sebagian kecil saja dari tenaganya, namun Senapati itu tidak
mampu untuk mengimbanginya sehingga, ia telah
terdorong beberapa langkah surut, dan bahkan telah
kehilangan keseimbangannya.
Tetapi sebelum ia terjatuh, Witantra terah meloncat
menangkapnya dan membantunya untuk berdiri tegak.
"Setan alas" Senapati itu mengumpat. Sekaligus ia telah
menyerang Witantra yang dirasanya terlalu sombong itu.
Witantra tidak menghindar. Tetapi Witantra menangkis
serangan itu sehingga sekali lagi terjadi benturan.
Sekali lagi Senapati itu dihentakkan oleh kekuatan yang
tidak diduganya. Oleh kekuatannya sendiri yang seolaholah
telah membentur dinding baja, maka Senapati itu
terdorong surut. Tangannya menjadi sakit, bahkan terasa
tulang-tulangnya akan retak. Oleh dorongan kekuatan
Witantra yang tidak terlalu besar, maka sekali lagi Senapati
itu terhuyung-huyung. Namun Mahisa Agnilah yang telah
menangkapnya, sehingga Senapati itu tidak terbanting
jatuh. Sekali lagi Senapati itu menhentakkan diri meloncat
sambil mengumpat, Namun bagaimana juga, ia tidak dapat
mengingkari kenyataan. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia
menggeram sambil mencabut pedangnya "Apaboleh buat.
Kalian harus menebus kesombongan kalian dengan
kematian. Tidak ada pilihan lain kecuali dengan ujung
pedang" "Sudahlah Ki Sanak" berkata Mahisa Agni "kau harus
melihat kenyataan ini. Bukan maksudku untuk
menyombongkan diri, tetapi kau sama sekali tidak akan
dapat melawan kami, Permainan senjata hanya akan
berbahaya bagi Ki Sanak sendiri"
Senapati itu mengumpat semakin keras. Dengan senjata
teracung ia berkata "Jangan mencoba melawan. Mungkin
kau memiliki kelebihan. Tetapi aku adalah seorang yang
menguasai ilmu pedang sebaik-baiknya"
Witantra menjadi jengkel juga akhirnya. Tetapi ia masih
berusaha mengekang diri. Bahkan kemudian ia masih
mencoba berkata dengan nada rendah "Ki Sanak. Lihat.
Anak muda itu akan segera mengakhiri perkelahiannya.
Kedua lawannya benar-benar sudah tidak berdaya. Apa kah
kau akan melawan kami bertiga?"
Senapati itu menjadi ragu-ragu, sementara Witantra
melanjutkan "Jangan sekedar berpegang pada harga diri.
Kau harus melihat kenyataan ini"
Namun Senapati itu menggertakan giginya "Aku tidak
peduli. Aku akan membunuhmu"
Namun belum lagi ia berbuat sesuatu, ia melihat kedua
kedua senjata pengawalnya sudah terlempar ke tanah, dan
mereka telah terpelanting jatuh, sementara nafas mereka
bagaikan berdesakan di lubang hidungnya.
Meskipun demikian, sambil menghentakkan kakinya ia
berkata "Bersiaplah. Bersenjata atau tidak bersenjata, aku
akan tetap membunuh kalian. Bertempurlah bersama-sama.
Aku akan melawan kalian bertiga"
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Kau
bukan seorang prajurit lagi. Tetapi kau sekedar seorang
yang keras kepala tanpa dapat mempertimbangkan
peristiwa dengan nalar. Baiklah. Anak muda itu akan
melawanmu" Mahisa Agnipun kemudian berpaling kepada Mahisa
Bungalan sambil berkata "Kau dapat memungut sebuah
dari senjata lawan-lawanmu yang terlempar itu. Lawanlah
Senapati ini" Mahisa Bungalan menarik nafas panjang. Dengan segan
ia memungut sebilah pedang. Kemudian dengan langkah
berat ia mendekat sambil berkata "Kenapa harus aku?"
Mahisa Agni tersenyum. Cepat, aku dan pamanmu akan
bersiap di punggung kuda. Setelah kau selesaikan Senapati
ini, susul kami berdua. Biarlah mereka bertiga kembali
menghadap Akuwu dan berceritera tentang kita"
Senapati itu menjadi sangat marah. Sambil berteriak ia
menyerang Mahisa Bungalan. Tetapi Mahisa Bungalanpun
telah siap. Karena itu, maka ia mampu mengelakkan
serangan itu dan membalas dengan serangan pula.
Dalam waktu sesaat. Senapati itu sudah berada dalam
kesulitan, sementara Mahisa Agni dan Witantra benarbenar
telah meloncat ke punggung kudanya. Katanya
kepada Mahisa Bungalan "Aku mendahuluimu. Tetapi aku
tidak akan berpacu terlalu cepat"
Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi ia melihat
lawannya semakin cepat. Bahkan ia masih berkata "Tunggu
paman. Aku hanya sebentar"
Senanapati itu benar-benar merasa terhina. Tetapi ia
tidak dapat berbuat sesuatu selain mengumpat-umpat.
Sebenarnyalah bahwa Mahisa Bungalan tidak merasa
terlalu sulit untuk menyelesaikan pertempuran itu. Ketika ia
menghentakkan serangannya, maka Senapati itu telah
terdesak surut. Karena Mahisa Bungalan memang ingin menyelesaikan
pertempuran itu dengan segera, maka iapun segera
memburunya dan dengan kekuatan yang tidak terlawan
oleh Senapati itu, iapun telah berhasil merenggut senjata
lawannya sehingga terjatuh beberapa langkah dari padanya.
Sementara itu, iapun telah siap menyelesaikan pertempuran
itu, Karena itu, maka demikian lawannya kehilangan
senjatanya Mahisa Bungalan telah menyerangnya. Tidak
dengan pedangnya, tetapi dengan kakinya.
Dalam kebingungan Senapati itu benar-benar tidak
berdaya. Serangan Mahisa Bungalan yang cepat itu sama
sekali tidak dapat dihindarinya. Karana itu, maka ia telah
berusaha untuk menangkisnya.
Namun kekuatan Mahisa Bungalan ternyata jauh
melampaui kekuatannya. Dengan demikian, maka serangan
Mahisa Bungalan itu telah membenturnya dan
melontarkannya beberapa langkah. Kemudian tanpa dapat
mempertahan kan lagi keseimbangannya, Senapati itupun
jatuh terbanting. Demikian kerasnya dorongan kekuatan Mahisa
Bungalan, sehingga terasa seakan-akan tulang belakangnya
telah patah. Ketika ia berusaha untuk segera bangkit,
punggungnya terasa sakit sekali. Sehingga dengan
demikian, maka sambil menyeringai ia sekali lagi
mengumpat. Namun ia tidak berhasil untuk berdiri, seperti
kedua pengawalnya, maka ia tidak dapat berbuat apa-apa
ketika Mahisa Bungalan kemudian pergi ke kudanya sambil
berkata "jangan ganggu aku lagi. Aku akan menyusul kedua
pamanku itu" "Anak gila" geram Senapati itu "seluruh pengawal
Pakuwon akan mencari kalian bertiga. Kalian akan dibunuh
di alun-alun dan kepala kalian akan ditanjir dipintu gerbang
kota pakuwon di tiga penjuru"
Mahisa Bungalan memandang Senapati yang masih
menyeringai sambil duduk di tanah. Katanya kemudian
"Segeralah bangkit dan tinggalkan tempat ini. Jika ada satu
dua orang petani menyaksikan kalian duduk di pinggir parit
itu, mereka tentu akan bertanya"
"Anak setan" geram Senapati itu.
Mahisa Bungalan tidak menghiraukannya lagi. Namun
iapun segera meninggalkan tempat itu. Ketika sekali ia
berpaling, maka ia. masih melihat Senapati itu mencoba
untuk berdiri. Tetapi ia tidak mempedulikannya lagi.
Dipacu kudanya menyusul Mahisa Agni dan Witantra yang
masih belum terlalu jauh.
Sepeninggal ketiga orang itu. Senapati itupun masih
mengumpat-umpat. Dengan susah payah ia berusaha untuk
bangkit. Betapapun perasaan sakit mencengkam
punggungnya, namun akhirnya iapun berdiri juga
terbungkuk-bungkuk. Tetapi dalam pada itu, iapun dengan
serta merta mengumpati kedua orang pengawalnya
"Bangkit, cepat tikus-tikus dungu. Kedua pengawalnya
masih menyeringai kasakitan. Bahkan seorang diantara
keduanya rasa-rasanya tidak memiliki kesadaran
sepenuhnya, meskipun ia tidak pingsan. Baru kemudian
perlahan-lahan ia menyadari keadaannya. Namun perasaan
sakitpun bagaikan menggigit-gigit tulang.
Ketika sekali lagi Senapatinya yang marah itu mengumpat,
maka barulah ia sadar sepenuhnya, apakah yang sudah
terjadi. Karena itu, dengan menahan rasa sakit, kedua orang
pengawal itupun mencoba untuk bangkit pula. Mula-mula
mereka duduk diatas rerumputan dipinggir jalan bertelekan
tangannya. Baru kamudian mereka mencoba untuk berdiri
betapapun tubuhnya merasa sakit.
Akhirnya kedua pengawal itupun dapat berdiri tegak
seperti Senapati itu pula.
"Kita akan menghadap Akuwu" berkata Senapati itu
"kecuali melaporkan keadaan Kabuyutan itu, kita harus
melaporkan tentang ketiga orang yang tentu akan sangat
berbahaya bagi kita semuanya"
"Ya" sahut seorang pengawalnya "ketiga orang ini akan
lebih berbahaya dari sekalompok perampok"
"Para Senapati dan para pengawal akan mencari
diseluruh daerah Pakuwon. Aku akan mengusulkan untuk
meneari ketiga orang itu dan menangkapnya hidup-hidup"
berkata Senapati itu. "Ya. Orang itu harus ditangkap hidup-hidup" berkata
pengawal itu, namun kemudian "tetapi siapakah yang
sanggup menangkapnya. Para Senapati tentu tidak akan
dapat mengimbangi kemampuannya"
"Omong kosong" teriak Senapati itu. Namun kemudian
suaranya merendah "orang-orang itu memang memiliki
ilmu iblis. Mungkin Akuwu sendiri harus turun tangan. Jika
Akuwu sendiri bersedia untuk menangkapnya, maka ketiga
orang itu tidak akan mampu menghindar lagi"
"Tetapi apakah Akuwu bersedia melakukannya?"
bertanya salah seorang pengawalnya.
Senapati itu menggeleng. Katanya "Aku tidak tahu.
Tetapi adalah kewajiban kita untuk menyampaikannya.
Keputusan terakhir terserah kepada Akuwu"
"Ya, segalanya terserah kepada Akuwu" desis
pengawalnya. "Jangan terlalu lama. Jika mungkin, kita jangan
kehilangan waktu. Masih ada kesempatan untuk
mengejarnya" berkata Senapati itu "semua jalan keluar
Pakuwon akan ditutup"
"Akan diperdengarkan isyarat tanda?" bertanya
pengawalnya. "Aku akan mengusulkan" jawab Senapati itu. Kedua
pengawal itu tidak menjawab. Namun ketiga Senapati itu
pergi mengambil kudanya, keduanyapun segera
melakukannya pula. Sambil menyeringai kesakitan mereka
naik kepunggung kuda masing-masing. Dan sejenak
kemudian kuda merekapun telah berpacu, meskipun
perasaan sakit masih mencangkam. Ketiganya ingin segera
menghadap Akuwu dan melaporkan apa yang terjadi.
Dengan kemarahan yang masih menghentak-hentak di
dada, maka Senapati itupun melaporkan apa yang dilihat,
didengar dan dialaminya. Akuwu yang masih muda itupun mendengarkannya
dengan penuh perhatian. Namun semakin lama terasa
telinganyapun menjadi semakin panas. Senapati yang tidak
berdaya menghadapi Mahisa Bungalan itu telah
menceriterakan apa yang dialaminya dengan maksud
tertentu, sehingga ada beberapa hal yang sengaja atau tidak
sengaja tersisip di dalam ceriteranya.
Dengan marah Akuwu itupun kemudian berkata "Lepas
dari salah atau tidak bersalah, tetapi menolak perintahmu,
itu sudah merupakan satu tindak yang pantas mendapat
hukuman" "Ampun Sang Akuwu. Maksud hamba, bukan untuk
menghukum mereka. Tetapi sekedar membawa mereka
menghadap" berkata Senapati itu.
"Aku mengerti. Karena itu, maka aku menganggap
mereka bersalah. Meskipun aku merasa heran bahwa kalian


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertiga tidak mampu menangkap tiga orang yang meskipun
mereka disebut orang yang luar biasa karena mereka
berhasil menangkap pemimpin perampok yang melarikan
diri itu" geram Akuwu yang muda itu.
"Satu kelengahan Sang Akuwu" desis Senapati itu
"hamba memang tidak menyangka sama sekali bahwa
mereka akan melawan. Karena itu, maka mereka berhasil
mendahului menyerang hamba dan kawan-kawan hamba.
Kemudian merekapun sempat melarikan diri"
"Perintahkan. Tangkap mereka" perintah Akuwu "bawa
mereka menghadap kepadaku"
Senapati itu dengan serta merta menyahut "Apakah
hamba harus memerintahkan untuk membunyikan isyarat"
Bahkan isyarat tunda agar dengan cepat dapat diketahui
oleh para penjaga di semua jalur jalan keluar dari Pakuwon
ini" Akuwu itu berpikir sejenak. Kemudian katanya "Baiklah.
Isyarat itu tentu menjalar jauh lebih cepat dari derap kuda
yang manapun juga. Seluruh Pakuwon harus ikut serta
menangkap mereka" Senapati itupun kemudian mohon diri dari hadapan
Akuwu. Sejenak kemudian, maka kenthongan yang
menjadi pusat isyarat dari Pukuwon itu telah berbunyi.
Isyarat yang berbunyi dengan irama dua ganda, kemudian
disusul dengan tiga ganda. Setiap pengawal dan bahkan
setiap orang di Pakuwon itu mengetahui, bahwa Akuwu
menjatuhkan perintah untuk menutup semua perbatasan.
Tidak seorangpun yang boleh keluar dari Pakuwon.
Sehingga dengan demikian setiap orang mengetahui bahwa
ada buruan yang gawat yang harus ditangkap.
Orang-orang yang mendengar isyarat itu terkejut.
Namun setiap banjar padukuhan dan banjar kabuyutan
telah menyahut isyarat itu dan menyambungnya, sehingga
isyarat itu memang menjalar dengan cepat ke seluruh
daerah Pakuwon. Padukuhan yang baru saja dijamah oleh perampok
itupun mendengar pula isyarat itu. Ki Demung dan Ki
Perapat serta para pengikutnyapun mendengar pula, dan
bahkan mereka yang berada di banjar teluh memukul
isyarat itu pula. Para pengawal yang tersebar di jalur jalan yang keluar
dan masuk daerah Pakuwon itupun mendengar pula.
Merekapun segera bersiaga di pintu-pintu gerbang, untuk
menutup sehingga tidak seorangpun dapat keluar dari
Pakuwon. Sementara itu, jalan-jalan padukuhan yang paling
kecilpun terutama di perbatasan telah dijaga pula oleh anakanak
muda di padukuhan itu. Mereka justru lebih garang
dari para pengawal. Mereka tidak hanya mencegah orangorang
yang keluar dari daerah Pakuwon. Tetapi mereka
menangkap siapapun yang mereka curigai.
"Kami sekedar lewat" tangis seorang laki-laki tua.
"Jangan menangis seperti bayi. Tunggu sajalah di sini.
Jika keadaan sudah baik, dan ternyata bukan kau yang
diperlukan, maka kau akan kami lepaskan" jawab anakanak
muda. "Kapan keadaan akan menjadi baik?" bertanya orang tua
itu. "Jika orang yang dicari sudah tertangkap, maka akan
terdengar isyarat. Isyarat yang menyebutkan bahwa
keadaan sudah menjadi baik dan buruan itu sudah
tertangkap" jawab anak-anak muda.
Orang tua itu tidak berhasil melepaskan diri. Ia harus
tunduk kepada anak-anak muda yang menjadi lebih garang
dari para pengawal itu sendiri.
Dalam pada itu, selain para pangawal, anak-anak muda
dan orang-orang di perbatasan yang menutup semua jalan
keluar, maka beberapa kelompok pengawal terpilihpun
telah meninggalkan pusat pemerintahan Pakuwon
menjelajahi padukuhan. Setiap kelompok yang terdiri dari
lima orang terpilih itupun berusaha untuk menemukan tiga
orang berkuda dan menangkapnya untuk membawa mereka
menghadap Akuwu. "Betapapun tinggi ilmunya, mereka tidak akan dapat
menghadapi para pengawal terpilih" berkata Akuwu muda
itu. Namun Senapati yang melaporkan itu memperingatkan
"Mereka memiliki ilmu iblis"
"Bukankah mereka menyerangmu dengan tiba-tiba di
saat kalian lengah?" bertanya Akuwu itu "itu tidak berarti
apa-apa. Namun demikian jika perlu, maka para pengawal
itu akan dapat minta bantuan para pengawal di perbatasan
atau anak-anak muda di setiap padukuhan yang tentu telah
bersiap-siap pula" Senapati itu tidak membantah pula. Bahkan iapun
kemudian telah mendapat perintah-perintah pula untuk
berkeliling daerah Selatan dari Kabuyutan itu.
Sementara itu, Ki Demung dan Ki Perapat menjadi
gelisah. Ia mengetahui suasana yang kurang baik di saatsaat
Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan dibawa
oleh Senapati itu. Bahkan merekapun menduga jauh
melampaui peristiwa yang sebenarnya terjadi. Seolah-olah
telah terjadi satu peristiwa berdarah, sehingga ketiga orang
yang telah menolongnya itu menjadi buronan.
"Jika Akuwu sendiri bertindak, betapapun tinggi ilmu
orang-orang itu, namun mereka tidak akan berdaya" desis
Ki Demung. "Kita sudah berhutang budi" sahut Ki Perapat.
Ki Demung menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak
mengerti, apa yang sebaiknya dilakukan. Jika benar terjadi
perselisihan antara orang-orang yang telah menolongnya itu
dengan Akuwu, sudah barang tentu bahwa ia tidak akan
dapat berpihak. Jika ia berusaha untuk membalas budi
kepada ketiga orang yang tidak mereka kenal dengan pasti
itu, maka akibatnya akan sangat pahit bagi mereka. Bukan
saja mereka dan beberapa orang yang mengetahui dengan
pasti pertolongan yang telah diberikan oleh ketiga orang itu,
namun seluruh Kabuyutan itu akan mengalami perlakukan
yang kurang baik dari Akuwu.
Karena itu, maka tidak ada pilihan lain dari Ki Demung
dan Ki Perapat selain tidak ikut campur dalam persoalan
yang terjadi itu. "Mudah-mudahan isyarat ini tidak ada hubungannya
dengan ketiga orang itu" berkata Ki Demung.
"Mudah-mudahan" sahut Ki Perapat "namun
seandainya benar-benar ketiga orang itu harus ditangkap,
beruntunglah kita, bahwa Kabuyutan ini tidak terletak di
perbatasan. "Tetapi bagaimana sikap kita jika ketiga orang itu datang
kembali ke Kabuyutan ini dan minta perlindungan kepada
kita, sementara persoalan Ki Buyut dan para perampok itu
masih belum selesai. Bukankah Senapati yang datang
kemari melihat keadaan itu akan dapat mengkaitkan segala
peristiwa yang terjadi ini dengan ketiga orang yang
dicurigainya itu" Memang masuk akal, agaknya sulit
dimengerti bahwa seseorang telah mempertaruhkan
nyawanya tanpa pamrih sama sekali" bertanya Ki Demung,
seolah-olah ditujukan kepada diri sendiri.
Tidak seorangpun yang menjawab., Merekapun menjadi
bingung, apakah yang harus mereka lakukan.
Dalam pada itu, Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa
Bungalanpun terkejut mendengar isyarat itu. Meskipun
mereka tidak tahu pasti, arti dari suara kentongan yang
bersahutan dan merambat dengan cepatnya itu, namun
terasa bahwa mereka adalah sasaran dari suara isyarat itu.
"Senapati itu memang gila" geram Mahisa Bungalan
"jika aku membuatnya pingsan, maka isyarat itu tentu tidak
akan secepat ini menjalar keseluruh wilayah Pakuwon yang
luas ini" "Terlambat" desis Mahisa Agni "semua jalan tentu
sudah ditutup" "Tetapi jika maksud isyarat ini justru membuka semua
jalan kaluar?" bertanya Witantra.
Mahisa Agni tersenyum. Ia mengerti, bahwa
Witantrapun sebenarnya mempunyai dugaan yang sama.
Isyarat itu ditujukan kepada mereka bertiga yang tentu
dianggap telahi melawan kekuasaan Sang Akuwu"
"Apakah Akuwu ini juga memiliki jiwa yang bergejolak
seperti Ken Arok?" desis Mahisa Agni.
"Mungkin" sahut Witantra "kadang-kadang seorang
Akuwu memang memiliki kelebihan. Bahkan mungkin
Akuwu itu tidak berdiri sendiri. Ia mungkin memiliki
seorang guru yang akan dapat membantunya dalam
keadaan yang paling sulit"
"Mudah-mudahan kita akan berhadapan dengan orangorang
yang mengerti tentang kita, agar kita tidak terpaksa
membela diri" berkata Mahisa Agni "karena kitapun sadar,
bahwa kita tidak akan mungkin dapat melawan seisi
Pakuwon ini. Setidak-tidaknya pengawal diseluruh
Pakuwon ini. "Jika demikian" berkata Mahisa Bungalan "kita masih
mempunyai waktu. Kita dapat berpacu menuju
keperbatasan dimanapun juga, karena arah yang manapun
akan dapat kita tempuh. Dengan demikian, kita hanya akan
berhadapan dengan para pengawal diperbatasan yang
jumlahnya tentu terbatas"
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Mungkin kita dapat melakukannya. Tetapi mungkin
dengan demikian kita harus membunuh para pengawal
yang tidak tahu menahu persoalannya itu"
"Jadi bagaimana?" bertanya Mahisa Bungalan.
"Kita bertemu dengan Akuwu" desis Mahisa Agni "kita
akan menyelesaikan persoalan ini dengan Akuwu. Kita
berharap bahwa Akuwu adalah seorang laki-laki. Bahkan
seandainya ada seseorang di belakangnya, gurunya
misalnya. Atau orang lain sekalipun"
Mahisa Bungalan menarik nafas panjang. Ia mengerti,
bahwa kedua orang pamannya itu adalah orang-orang yang
jarang ada bandingnya. Mahisa Agni dan Witantra rasarasanya adalah dua orang yang mumpuni dalam ilmu
kanuragan. Bahkan mereka memiliki kekuatan diluar batas
jangkauan nalar manusia, seperti juga ayahnya, saudara
seperguruan Witantra. Karena itu, maka Mahisa Bungalanpun kemudian
menyambut "Aku sependapat paman. Kita menemui
Akuwu" "Baiklah" sahut Witantra "katakan kita akan menemui
Akuwu. Tetapi apakah kita akan mencari Akuwu, iitau kita
membiarkan diri kita ditangkap dan dibawa menghadap?"
"Sama saja" jawab Mahisa Agni "karena itu. Kita akan
menuju ke Pakuwon. Seandainya diperjalanan kita bertemu
dengan para pengawal yang mendapat tugas untuk
menangkap kita, maka kita akan menyerah"
"Kita akan menyerah, sehingga kita akan dibawa sebagai
tawanan?" bertanya Mahisa Bungalan.
"Untuk sementara demikian" jawab Mahisa Agni "apa
salahnya jika kita akan digiring dengan tangan terikat. He,
apakah ada tali pengikat yang tidak dapat diputuskan
dengan ilmu bahkan seandainya kau diikat dengan janget
sekalipun?" Mahisa Bungalan menarik nafas panjang. Bagaimanapun
juga, memang tidak menyenangkan jika ia akan digiring
sebagai tawanan. Tangannya akan diikat bahkan mungkin
ia akan diperlakukan dengan buruk sekali.
Tetapi ia tidak membantah. Ia sadar, bahwa kedua orang
tua itu nampaknya terlalu biasa mengalami perlakuan kasar
dari kadang-kadang lebih condong disebut membiarkan
dirinya tersiksa, bahkan justru menyiksa diri dengan
perlakukan yang sangat tidak menyenangkan.
Dalam pada itu, maka Mahisa Agni diikuti oleh
Witantra dan Mahisa Bungalan telah memutar haluan
perjalanan mereka. Mereka justru menuju ke istana Akuwu
yang menurut perhitungan mereka, justru sedang berusaha
menangkap mereka bertiga, yang tentu karena laporan
Senapati yang gagal membawa mereka menghadap itu.
Untuk beberapa lamanya, mereka menelusuri jalan
mendakati pusat pemerintahan Pakuwon yang sedang
dibayangi oleh isyarat yang mendebarkan itu. Namun
mereka sama sekali tidak bertemu dengan pengawal yang
sedang memburu mereka. Tetapi akhirnya yang mereka tunggu itupun datang.
Ketika Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan
sampai ditikungan, maka merekapun melihat debu yang
mengepul kelabu. "Itulah agaknya mereka. Satu diantara beberapa
kelompok pengawal yang sedang memburu kita" berkata
Mahisa Agni. "Sebenarnya aku segan menyerah begitu saja paman"
desis Mahisa Bungalan. Mahisa Agni tersenyum. Katanya "Apa salahnya"
"Kita masih belum mengetahui keadaan Pakuwon ini
sedalam-dalamnya. Kita baru mengetahui kemampuan
seorang saja dari Senapatinya yang tentu banyak
jumlahnya. Mungkin Senapati yang lebih tua, bukan
umurnya, tetapi jabatannya, memiliki kemampuan yang
jauh lebih tinggi, sehingga kita benar-benar tidak akan dapat
berbuat apa-apa" "Jika ada diantara mereka yang berilmu tinggi" sahut
Mahisa Agni "pada umumnya mereka akan dapat berpikir
bening. Meskipun ada juga perkecualiannya"
"Bukan sakedar perkecualian paman. Orang-orang
berilmu hitam adalah orang-orang berilmu tinggi.
Sementara itu Ki Dukutpun adalah orang yang berilmu
tinggi pula. Apakah mereka orang-orang yang dapat
berpikir bening?" Mahisa Agni mengangguk-angguk. Jawabnya "Kau
benar Mahisa Bungalan. Tetapi sebaiknya kita melihat, apa
yang akan terjadi. Bahkan kita akan dapat mengambil
Keuntungan. Jika mungkin Akuwu akan dapat membantu
kita dalam persoalan Ki Dukut yang sampai sekarang


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belum dapat kita ketemukan. Bukan saja Akuwu di sini,
tetapi atas pengaruhnya, mungkin Akuwu di daerah
tetangga pun akan dapat membantu pula"
Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi ia merasa
bahwa yang mereka lakukan itu sama sekali tidak
menyenangkan. Dalam pada itu, sekelompok pengawal di hadapan
mereka itupun telah melihat ketiga orang itu pula. Senapati
yang memimpin kelompok pengawal itu langsung menjadi
curiga, ketika ia melihat ketiga orang itu. Seperti ciri-ciri
yang didengarnya tentang tiga orang yang harus diburu dan
ditangkap. "Berhati-hatilah" berkata Senapati itu kepada para
pengawalnya "mereka adalah orang-orang yang berbahaya"
Para pengawal itupun segera bersiap-siap menghadapi
segala kemungkinan. Bahkan sebagian dari mereka telah
memegang hulu pedangnya dan bersiap untuk menyerang.
Tetapi Senapati yang memimpin para pengawal itu
menjadi heran. Ketiga orang itu sama sekali tidak
menunjukkan tanda-tanda yang mencurigakan. Bahkan
sampai beberapa langkah di hadapan Senapati yang
memimpin para pengawal itu, ketiganya masih tetap
bersikap wajar. Karena itu, maka Senapati yang memimpin para
pengawal itupun telah terpengaruh oleh sikap itu pula. Jika
semula ia mendapat gambaran yang garang tentang ketiga
orang itu, maka yang mereka jumpai ternyata agak berbeda.
Mahisa Agni yang berada di paling depan diantara ketiga
orang yang bersamanya mengangguk hormat sambil
bertanya "Apakah aku bertemu dengan pasukan pengawal
Pakuwon?" "Ya Ki Sanak" jawab Senapati itu. Meskipun ia
tersenyum tetapi sama sekali tidak melepaskan
kewaspadaan. Apabila perlu ia dapat bertindak dengan
cepat untuk mengatasi persoalan.
Namun Mahisa Agni ternyata bersikap wajar saja.
Dengan nada datar ia bertanya "Apakah kehadiran Ki
Sanak ini ada hubungannya dengan isyarat yang bergema di
seluruh padukuhan dan Kabuyutan?"
"Ya Ki Sanak" jawab Senapati itu yang kemudian iapun
bertanya "siapakah sebenarnya Ki Sanak bertiga ini?"
"Aku adalah perantau yang menjelajahi desa demi desa,
padukuhan demi padukuhan dan Kabuyutan demi
Kabuyutan sekedar untuk melihat, betapa luasnya bumi
ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa ini, dan betapa aneka
ragamnya isi dan warnanya"
"O" Senapati itu mangangguk-angguk "sungguh
menyenangkan jika mendapat kesempatan untuk
melakukannya. Tetapi siapakah kalian bertiga. Maksudku,
dari mana kalian datang, dan apakah kerja kalian seharihari"
Tentu kalian bukan perantau seumur hidup yang tidak
mempunyai lambaran penghidupan apapun juga"
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Kami adalah penghuni padepokan kecil di tempat
terpencil. Kami hidup dalam lingkungan sawah dan
pategalan. Namun juga dalam olah kajiwan sebagaimana
kebiasaan orang-orang padepokan. Betapa rindunya kami
mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Sehingga kamipun telah memutuskan untuk melihat isi dari
ciptaannya lebih banyak lagi"
Senapati itu mengangguk-angguk. Namun kemudian
iapun bertanya "Ki Sanak. Apakah dalam perjalanan
perantauan Ki Sanak yang dibayangi oleh kerinduan itu, Ki
Sanak benar-benar telah memuji nama Tuhan Yang Maha
Kuasa atau justru yang terjadi adalah sebaliknya, misalnya
benturan antara sesama titah Tuhan Yang Maha Kuasa
sehingga sama sekali tidak membayangkan kerinduan itu
sendiri" "Maaf Ki Sanak" sahut Mahisa Agni "itulah kelemahan
kami. Bahwa kami adalah manusia yang lemah hati. Betapa
kerdilnya jiwa ini. sehingga bayangan kecemasan akan
nasib buruk loluli memaksa kami untuk berusaha
melindungi diri pada setiap kesempatan, seperti kamipun
makan di setiap hari untuk mempertahankan hidup kami
dan tidak menyerah semata-mata kepada nasib"
Senapati yang memimpin sekelompok pengawal itupun
mengerutkan keningnya. Dengan wajah berkerut ia berkata
"Jadi maksud Ki Sanak, apa yang telah Ki Sanak lakukan
itu semata-mata karena Ki Sanak berusaha untuk
melindungi diri sendiri. Juga barangkali jika Ki Sanak
terpaksa melakukan kekerasan"
"Begitulah kira-kira Ki Sanak" jawab Mahisa Agni
"tetapi sepanjang masih dapat ditempuh cara lain, aku akan
selalu mempergunakan cara lain"
"Jadi kau hanya melakukan kekerasan jika terpaksa?"
bertanya Senapati itu pula.
"Benar Ki Sanak" jawab Mahisa Agni.
"Juga apa yang pernah kau lakukan terhadap utusan
Akuwu" Aku mendapat laporan bahwa kalian telah
melawan kehendak Akuwu lewat utusannya" berkata
Senapati itu. Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Aku
tidak akan mengingkarinya. Namun barangkali laporan
yang sampai kepada Akuwu itu. tidak seperti apa yang
terjadi" "Katakan apa yang telah terjadi" berkata Senapati itu.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam Namun
kemudian iapun mengatakan seperti apa yang pernah
dialami. Senapati itu mengangguk-angguk, Katanya "Jadi kau
memang dengan sengaja ingin menghindari kekuasaan
Akuwu?" "Kami hanya ingin menyatakan bahwa kami tidak
berbuat sesuatu yang pantas dipergunakan sebagai alasan
untuk membawa kami menghadap Akuwu" sahut Mahisa
Agni. "Ki Sanak" berkata Senapati itu "sekarang kami juga
mendapat tugas untuk menangkap Ki Sanak dan membawa
menghadap Akuwu. Apakah Ki Sanak juga akan
melawan?" Mahisa Agni menggeleng. Jawabnya "Tidak Ki Sanak.,
Aku sekarang tidak akan melawan. Aku akan bersedia
menghadap Akuwu dan memberikan penjelasan, sehingga
salah paham ini tidak akan berkepanjangan lagi"
Senapati itu mengangguk-angguk. Jawabnya "Terima
kasih Ki Sanak Ki Sanak telah memperingan tugasku
dengan kesediaan itu. Sehingga dengan demikian aku tidak
perlu mengambil satu tindakan apapun juga terhadap Ki
Sanak" "Mudah-mudahan niat kami untuk memberikan
penjelasan itu dapat dimengerti" berkata Mahisa Agni.
"Marilah. Jika Ki Sanak sudah berniat untuk mengikut
kami, marilah. Tetapi apa yang Ki Sanak lakukan ini,
jangan sekedar satu pancingan kelengahan kami sematamata"
berkata Senapati itu. -@oodwoo@- Jilid 21 "TIDAK KI SANAK" jawab Mahisa Agni "kami benarbenar
ingin menghadap Akuwu untuk memberikah
penjelasan seperti yang sudah aku katakan"
"Terima kasih. Marilah kita berangkat. Silahkan Ki
Sanak bertiga berada di depan" jawab Senapati itu.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
dengan isyarat ia mengajak Witantra dan Mahisa Bungalan
mengikutinya. Keduanyapun segera mengerti apa yang dimaksud oleh
Mahisa Agni sehingga keduanyapun segera mengikutinya.
Para pengawal itupun menyibak ketika Mahisa Agni,
Witantra dan Mahisa Bungalan melewati mereka menuju
ke istana Akuwu. "Aku belum pernah melihat istana Akuwu" berkata
Mahisa Agni. Senapati itu tersanyum. Katanya "Marilah. Aku akan
berada disamping kalian"
Demikianlah Senapati itu lelah mengambil tempat
disamping Mahisa Agni. Dibelakang mereka adalah
Witantra dan Mahisa Bungalan. Baru kemudian dibelakang
mereka, para pengawal yang selalu bersiaga. Namun
melihat sikap dan tingkah laku ketiga orang itu, maka
merekapun miulai ragu-tagu dengan laporan yang pernah
mereka dengar. Meskipun demikian, mereka tidak boleh lengah. Ketiga
orang itu dapat saja bersikap dan berlaku pura-pura. Namun
yang pada suatu saat akan berbuat sesuatu yang sangat
mengejutkan. Tetapi Mahisa Agni Witantra dan Mahisa Bungalan
sudah bertekad untuk tidak berbuat apa-apa dan
menghadap Akuwu. Karena itu maka merekapun sama
sekali tidak menumbuhkan kecurigaan apapun juga.
Mereka dengan tenang duduk diatas punggung kuda,
sementara kuda mereka berjalan dengan kecepatan sedang
diatas jalan yang menuju ke istana Akuwu.
Perjalanan itu tidak terlalu panjang. Sesat kemudian
mereka sudah melihat istana Akuwu yang cukup megah. Di
pintu gerbang terdapat dua orang pengawal yang berjagajaga
di sebelah menyebelah. Namun ketiga orang itu nampaknya dengan patuh
mengikuti perintah Senapati yang membawanya. Bukan
karena ketiganya diperlakukan dengan kasar. Nampaknya
Sanapati yang membawanya itu cukup berlaku baik
terhadap ketiga orang itu. Tidak ada kesan sama sekali
bahwa ketiganya telah melakukan perlawanan.
"Mungkin mereka tidak berani berbuat sesuatu melihat
sekelompok pengawal yang kuat. sehingga mereka terpaksa
bersikap seperti seekor tikus dihadapan seekor kucing yang
garang" desis beberapa orang.
Kedatangan Senapati yang membawa ketiga orang
itupun sempal membuat para pengawal di halaman istana
Akuwu itu bersiap-siap. Namun seperti pengawal yang
mengiringi ketiga orang itu, maka sama sekali tidak
terdapat kesan yang mencurigakan pada ketiga orang itu.
Ketiganya duduk diatas punggung kuda dengan kepala
tunduk. Wajah mereka tidak membayangkan kekasaran dan
apalagi keliaran. Tetapi juga seperti para pengawal yang mengiringi ketiga
orang itu, bahwa mereka tidak boleh lengah. Sesuatu yang
tidak mereka, duga sebelumnya akan dapat terjadi dan
akibatnya sangat menyakitkan hati.
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Merekapun
menduga, bahwa sikap itu adalah sekedar sikap pura-pura,
atau suatu cara untuk maksud tertentu.
Dalam pada itu, demikian iring-iringan itu memasuki
halaman, merekapun segera berloncatan turun. Bukan saja
ketiga orang yang dibawa untuk dihadapkan Akuwu, tetapi
juga para pengawal itu sendiri.
Para pengawal yang berada disebelah menyebalah pintu
gerbeng, maupun para pengamal yang berada di gardu
didalam lingkungan dinding halaman itupun telah bersiaga
sepenuhnya. Namun dalam pada itu, baik para pengawal yang
membawa ketiga orang itu, maupun para pengawal yang
berada di halaman, bahkan Mahisa Agni, Witantra dan
Mahisa Bungalah sendiripun terkejut pula. Ternyata Akuwu
yang berdiri di tangan depan istananya berkata lantang
"Biarkan mereka. Kenapa ketiga orang itu harus dikawal
dan dijaga seperti sekelompok perampok yang
menggemparkan Pakuwon?"
Tidak seorangpun yang mengetahui maksud Akuwu.
Apalagi ketika Akuwu itu berkata "Biarkan mereka bertiga
menghadap. Kalian para pengawal tidak perlu menganggap
ketiganya sebagai orang yang menakutkan. Mereka bagiku
adalah orang-orang kebanyakan. Jika mereka mempunyai
sekedar ilmu, bukan berarti bahwa kalian harus menjaganya
dengan pasukan segelar sepapan"
Para pengawal itupun termangu-mangu. Namun, justru
Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalanlah yang
mulai mengerti maksud Akuwu itu. Namun mereka masih
tetap menunggu, apakah yang akan dikatakan oleh Akuwu
itu selanjutnya. Dalam pada itu, Akuwupun berkata "Lakukanlah tugas
kalian sebagaimana seharusnya. Biarkan ketiga orang ini.
Mereka tidak akan berbuat apa-apa. Aku ada disini"
Dengan demikian, barulah para pengawal itu mengerti.
Akuwu sendiri telah mengawasi mereka bertiga, sehingga
mereka bertiga tidak akan sempat berbuat apa-apa di depan
Akuwu yang masih muda itu.
"Meskipun demikian, para pengawal itu tidak
meninggalkan halaman. Meskipun mereka menepi dan
diantara mereka masuk kembali kedalam gardu pengawal
yang bertugas di halaman, namun sebagian dari mereka
masih tetap mengawasi ketiga orang yang berdiri dihalaman
itu. "Terimalah kuda mereka" berkata Akuwu lantang.
Tiga orang pengawal telah mendekati Mahisa Agni,
Witantra dan Mahisa Bungalan. Mereka menerima kendali
kuda mereka dan menambatkan dipinggir halaman istana
Akuwu yang cukup luas itu.
"Ki Sanak" berkata Akuwu kepada ketiga orang yang
berdiri termangu-mangu di halaman "aku sudah mendengar
segala sesuatu mengenai Ki Sanak. Akupun telah menerima
laporan, bahwa Ki Sanak adalah orang-orang yang pilih
tanding" "Ketiga orang yang berdiri dihalaman itupun menjadi
semakin menyadari sikap Akuwu itu, sehingga dengan
demikian, maka merekapun mulai dapat menduga, apa
yang akan dilakukan oleh Akuwu yang masih muda itu.
Sejenak ketiga orang dihalaman itu menilai Akuwu yang
sedang berdiri tegak ditangga istananya. Mahisa Agni dan
Witantra mulai memperbandingkan Akuwu itu dengan
Akuwu Tumapel pada masa mudanya. Akuwu Tunggul


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ametung yang dianggap sebagai seorang yang tidak ada
duanya di Tumapel. Namun akhirnya ia terbunuh oleh Ken
Arok. Ken Arok yang disebut sebagai kekasih dewa-dewa.
Tetapi Ken Arokpun bukannya manusia yang tidak
terkalahkan. Pada suatu saat Ken Arokpun telah terbunuh.
"Memang mungkin sekali bahwa seorang Akuwu
memiliki kemampuan yang tidak ada bandingnya" berkata
Mahisa Agni didalam-hatinya.
Namun, Mahisa Agni, dan Witantra itupun meyakini,
bahwa Mahisa Bungalan yang masih semuda Akuwu itu,
juga memiliki kemampuan yang sulit dicari bandingnya"
"Ki Sanak" berkata Akuwu itu kemudian "menurut
laporan yang aku terima, kalian telah berhasil menangkap
sekelompok merampok yang merampok di sebelah
padukuhan" "Bukan begitu Sang Akuwu" jawab Mahisa Agni "yang
hamba ketahui, hamba sekedar membantu, apa yang telah
dilakukan oleh rakyat padukuhan itu sendiri. Sama sekali
hamba dan kedua kadang hamba ini tidak merasa
menangkap perampok-perampok itu"
Akuwu mengerutkan keningnya. Namun katanya
kemudian "Baiklah. Jika kalian merasa bahwa kalian tidak
menangkap para perampok itu, karena mereka telah
ditangkap oleh rakyat padukuhan itu sendiri, namun
bukankah kalian berhasil menangkap pemimpin perampok
yang telah melarikan diri?"
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Hamba Akuwu. Tetapi itupun satu kebetulan"
"Ternyata kalian adalah orang-orang yang suka
merendahkan diri. Aku tidak tahu, apakah kalian benarbenar
orang yang rendah hati, atau sekedar berusaha
mengurangi-kesalahan yang pernah kalian lakukan" berkata
Akuwu kemudian "He Ki Sanak. Kau ternyata telah
menghindarkan seorang Senapati yang sedang mengemban
tugas. Kau telah melawannya dan bahkan
mengalahkannya. Luar biasa. Bukankah itu satu pameran
kekuatan yang mengagumkan" Aku yang tidak melihat
bagaimana kau melekukannya menjadi kagum"
"Hamba mohon maaf, Sang Akuwu" jawab Mahisa
Agni "bukan maksud kami untuk menentang perintah Sang
Akuwu. Tetapi sebenarnyalah, bahwa kami merasa tidak
bersalah. Dengan demikian maka tidak sepantas nya kami
ditangkap dan dibawa menghadap Akuwu"
"Salah atau tidak salah, perintahku harus ditaati " bentak
Akuwu muda itu. Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia berhadapan
dengan Akuwu yang masih muda, yang baru seumur
Mahisa Bungalan. Karena itu, maka iapun berusaha untuk
menjaga, agar jawaban-jawabannya tidak menyinggung
perasaannya. Dalam pada itu, maka Mahisa Bungalan menjawab
"Sekarang hamba telah menghadap Akuwu".
"Sudah terlambat" jawab Akuwu "kau sudah dianggap
bersalah karena telah menolak perintahku yang pertama,
yang aku limpahkan lewat seorang Senapatiku"
Sementara itu, Mahisa Bungalan berdesis "Apa boleh
buat. " "Tunggulah" bisik Witantra.
Tetapi rasa-rasanya Mahisa Bungalan sudah tidak sabar
lagi. Meskipun seandainya ia harus bertempur melawan
pengawal di seluruh pakuwon, agaknya akan lebih baik
daripada menyerah begitu saja. Bahkan dengan akibat
apapun juga. Sementara itu, maka Mahisa Agnipun bertanya "Jadi,
apakah yang seharusnya kami lakukan Sang Akuwu" "
"Kalian harus dihukum sesuai dengan kesalahan kalian"
jawab Akuwu "kesalahan kalian adalah kesalahan yang
berat, karena kalian telah melawan perintahku."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Dengan dada
tengadah ia berkata "Hukuman apakah yang akan kami
terima?" "Seharusnya kalian menerima hukuman yang paling
berat yang dapat dibebankan kepada seseorang. Kalian
harus dihukum mati karena kalian telah memberontak."
Sekali lagi Witantra menggamit Mahisa Bungalan yang
bergerak setapak maju. Sementara Mahisa Agni berkata
"Hukuman mati adalah hukuman bagi seorang
pengkhianat. Tetapi kami bukan pengkhianat. Jika kami
menentang perintah Sang Akuwu, bukan berarti kami
berkhianat, karena kami memang bukan penghuni
Pakuwon ini." "Cukup" geram Akuwu muda itu "siapapun kalian,
ternyata kalian berada di daerahku sekarang ini. Yang kau
lakukan terjadi di daerah kekuasaanku."
"Tetapi Akuwu tidak memikirkan akibatnya" jawab
Mahisa Agni "bahwa kami bukan orang kabur kanginan.
Kami adalah orang yang memiliki tempat tinggal. Kami
adalah orang yang berada di bawah satu kekuasaan seperti
kekuasaan Akuwu di sini. Kami adalah orang-orang yang
berada di bawah satu sayap perlindungan. Jika kami mati di
sini, maka itu bukan satu penyelesaian yang baik bagi
Pakuwon ini. Aku yakin, bahwa aku tidak berdiri sendiri.
Aku yakin, bahwa akan timbul perselisihan yang menuntut
korban demi korban. Kematian demi kematian karena
peperangan." "Aku tidak peduli" teriak Akuwu itu.
"Kecuali jika kita bersikap jantan" berkata Mahisa Agni
kemudian. Akuwu itu mengerutkan keningnya. Dengan nada datar
ia bertanya "apa maksudmu?"
"Jika Akuwu menghukum mati kami bertiga, maka hal
itu akan memberikan kesan ketidak adilan. Terutama bagi
lingkungan kami. Bagi orang-orang yang merasa
mempunyai kewajiban untuk melindungi kami. Tetapi jika
kami mati dalam arena perang tanding, maka tidak
seorangpun yang akan merasa tersinggung karenanya.
Karena kami mati sebagai seorang laki-laki. "
"Gila. Kau menantang aku, he?" teriak Akuwu yang
masih muda itu "aku akan membuka arena perang tanding.
Siapa yang akan maju di antara kalian. Aku akan melawan
kalian seorang demi seorang. Membunuh orang yang
pertama sebagai pelaksanaan hukuman mati yang harus
kalian alami. Namun aku akan melakukannya dengan sikap
jantan. Kemudian orang yang kedua dan yang ketiga.
Jangan kalian sangka, bahwa karena kalian dapat
mengelabui seorang Senapatiku, maka kalian merasa bahwa
kalian memiliki ilmu yang linuwih dihadapanku."
"Bagus" Mahisa Bungalan sudah tidak dapat dicegah
lagi. Sambil melangkah maju ia berkata "Kita masih samasama
muda. Biarlah aku orang yang pertama melayani
perang tanding" "Persetan" geram Akuwu. Lalu katanya kepada para
pengawalnya "Aku akan melakukan perang tanding. Tidak
seorangpun diantara kalian yang aku perkenankan untuk
mencampurinya" Para Senapati yang berada di halaman itu saling
berpandangan. Namun merekapun mengerti, bahwa
Akuwu benar-benar akan melakukan perang tanding.
Sementara itu, maka para Senapati dan pengawalpun
menganggap bahwa ketiga orang itu telah melakukan
langkah yang salah. Jika mereka menanggapi jatuhnya
hukuman itu dengan cara yang lain, maka Akuwupun tentu
akan bersikap lain. Jika ketiga orang itu bersedia mohon
ampun, maka biasanya Akuwu akan mengampuninya.
Meskipun masih juga ada hukuman yang harus mereka
jalani, tetapi hukuman itu tentu akan jauh lebih ringan dari
hukuman mati. Namun ketiga orang itu ternyata justru telah menantang
Akuwu, sehingga Akuwu benar-benar menjadi marah.
Dalam perang tanding, Akuwu mungkin akan benar-benar
membunuh lawannya. Karena bagi mereka, Akuwu adalah
seorang yang tidak dapat dikalahkan. Apalagi pada saat itu,
guru Akuwu yang luar biasa itu, berada di istana itu juga.
Sebenarnyalah, seorang tua yang berambut putih, berdiri
di pintu seketheng sambil menahan nafasnya. Ia melihat
suasana yang panas di halaman. Namun iapun melihat,
bahwa ketiga orang yang berdiri di halaman itu memang
bukannya orang kebanyakan, sehingga perang tanding itu
telah mendebarkannya pula.
Tetapi ia. tidak dapat mancegahnya. Akuwu sudah
menjatuhkan keputusan untuk melakukan perang tanding.
Dan apa yang dikatakan olah Akuwu itu. tentu harus
dilaksanakan" Dalam pada itu, Para pengawalpun telah berada dalam
satu lingkaran yang luas di halaman. Di tengah-tengah
lingkaran itu, Akuwu akan melakukan perang tanding.
Yang pertama-tama akan memasuki arena dari ketiga orang
yang telah ditangkap itu adalah orang yang paling muda.
Sejenak kemudian Akuwu telah turun pula ke arena. Ia
sama sekali tidak memegang senjata apapun, namun ketika
Mahisa Bungalan memasuki arena itu pula, ia berkata
"Ambillah senjata apapun yang kau kehendaki"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. dengan,
demikian ia sadar, bahwa ia berhadapan dengan orang yang
memiliki ilmu yang tinggi dengan ilmu puncaknya yang
pantas di banggakan. Tetapi sebagai murid Mahisa Agni, dan sekaligus
Witantra dan ayahnya pula, maka Mahisa Bungalanpun
memiliki ilmu pamungkas. Ia akan dapat melepaskan ilmu
itu dalam saat yang paling gawat.
Sejenak kemudian, kedua orang-orang muda itu sudah
berhadapan. Akuwu yang dengan dada tengadah berdiri di
bawah tangga istananya berkata "Nah, kau masih
mempunyai kesempatan. Apakah kau akan terus, atau
mundur" Tetapi jawab Mahisa Bungalan "Kau kira aku lebih
senang berjongkok untuk menjalani hukuman mati
daripada aku harus berada di tengah-tengah arena ini" Jika
aku mati di arena, mana aku mati sebagai laki-laki. Bukan
sebagai seorang perampok yang dipenggal kepalanya.
Tetapi lebih parah dari itu. Pakuwon ini tentu akan dilanda
banjir bandang. Kematian demi kematian akan datang. Kau
sangka kekuatan pengawal di Pakuwonmu ini tidak terbatas
sehingga akan dapat melawan siapapun"
"Jangan mengigau" desis Akuwu itu "ambil senjata dan
lawan aku" "Aku bukan pengecut" jawab Mahisa Bungalan "jika kau
tidak bersenjata, akupun tidak akan bersenjata"
"Tanganku melampaui jenis senjata apapun" jawab
Akuwu. "Tetapi tidak akan mampu melukai kulitku" jawab
Mahisa Bungatan yang menjadi panas. Akuwu yang masih
muda itu menggeram. Katanya "Bersiaplah. Aku akan
mulai" Mahisa Bungalan tidak menjawab. Iapun kemudian
mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.
Ketika Akuwu itu bergeser, maka Mahisa Bungalanpun
bergeser. Mahisa Buugalan sadar sepenuhnya, bahwa
Akuwu itu bukan sekedar seperti Ki Buyut yang memiliki
kemampuan mempengaruhi orang lain yang tidak
berpribadi kuat. dengan sorot matanya. Bukan pula
Sanapati yang sombong. tetapi tidak mempunyai bekal
ilmu. Tetapi agaknya Akuwu benar-benar memiliki
kemampuan yang tinggi. Sejenak kemudian, Akuwu itupun mulai bergerak.
Tangannya mulai terjulur, sementara Mahisa Bungalan pun
telah bergeser setapak surut.
Demikianlah, maka sesaat kemudian, perang tanding di
antara keduanyapun telah mulai menyala di halaman itu.
Ternyata Akuwu itupun menyadari, bahwa lawannya
memiliki kekuatan yang cukup membekali keberaniannya.
Namun Akuwu tidak menduga, bahwa kemampuan
anak muda yang telah memasuki arena itu, benar-benar
ilmu pada tingkatan yang tinggi.
Sejenak kemudian, Akuwu mulai merasa betapa
langkah-langkah anak muda itu kadang-kadang
mengejutkannya. Kecepatannya bergerak melampaui
perhitungannya. Sehingga karena itulah, maka Akuwu
itupun telah meningkatkan kamampuannya pada tataran
tertinggi. Ia mulai menambah tenaga cadangannya untuk
berusaha menekan lawarnya. Namun ia menjadi berdebardebar,
bahwa ilmu yang telah sampai pada tataran tertinggi
itu sama sekali tidak menggetarkan lawannya. Bahkan
lawannya itu seolah-olah menjadi semakin gairah.
"Anak gila" geram Akuwu "apakah ia tidak menyadari
keadaannya. Atau akulah yang tidak menyadarinya"
Dalam pada itu, Akuwupun telah meningkatkan pula
tenaga cadangannya. Dengan demikian maka kecepatannya
bergerakpun menjadi semakin bertambah. Karena seolaholah
tidak lagi berjejak di atas tanah, sehingga para
pengawalnya menjadi semakin kagum.
Namun, yang dilakukan itu sama sekali tidak
membingungkan Mahisa Bungalan. Ia masih mampu
mengimbangi kecepatan gerak dan kekuatan lawannya.
Bahkan ketika Akuwu itu sempat menyerangnya dengan
ayunan tangan mendatar menyamping, Mahisa Bungalan
tidak mengelak. Bahkan dengan sengaja ia telah menangkis
serangan itu, sehingga telah terjadi benturan kekuatan
diantara keduanya. Namun Mahisa Bungalanpun terkejut karenanya.
Tangannya merasa sakit. Ternyata Akuwu itu telah
meningkatkan pula tenaga cadangannya, sehingga ia
hampir mengerahkan segenap kekuatannya.
Tetapi Akuwupun terkejut pula mengalami benturan itu.
Ternyata perasaan pedih yang sangat telah menggigit
tangannya yang membentur tangan Mahisa Bungalan.
Bahkan rasa-rasanya dagingnya menjadi lumat karenanya
dan tulangnya bagaikan menjadi retak.
"Luar biasa" geram Akuwu itu di dalam hatinya.
Dengan demikian Akuwupun semakin menyadari,


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa ia benar-benar berhadapan dengan seorang anak
muda yang berilmu tinggi. Namun demikian Akuwu masih
mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri.
Sejenak kemudian, perang tanding itupun menjadi
semakin sengit. Keduanya telah meningkatkan ilmu mereka
sampai pada tataran yang menentukan. Akuwu yang
ternyata terbentur pada lawan yang kuat itu, tidak lagi
mengekang dirinya. Bahkan ia telah bergumam kepada diri
sendiri "Orang ini memang pantas dihukum mati"
Oleh pikiran itu, maka Akuwu itupun telah sampai
kepada satu keputusan untuk menyelesaikan pertempuran
itu. Ia tidak lagi ragu-ragu untuk menghantam lawannya
dengan ilmu pemungkasnya meskipun dengan demikian
lawannya akan menjadi lumat. Apalagi ia memang sudah
mengatakan, bahwa orang itu harus dihukum mati.
Karena Akuwu yang masih muda itu tidak melihat
kesempatan lain, maka iapun menentukan sikap. Sesaat ia
menghentakkan tenaga cadangannya dan berusaha
mendesak lawannya. Namun sejenak kemudian, Akuwu itu
meloncat surut. Mahisa Bungalan terkejut melihat sikapnya. Bahkan
kemudian jantunya menjadi berguncang ketika ia melihat
Akuwu itu bersikap. Mahisa Bungalan sadar, bahwa Akuwu itu akan
melepaskan ilmu pamungkasnya. Ilmu yang tentu jarang
ada bandingnya. Sehingga karena itu maka Mahisa
Bungalan tidak akan membiarkan dirinya menjadi lumat. Ia
adalah seorang anak muda yang memiliki lambaran ilmu
dari orang-orang tua yang menuntunnya. Meskipun ilmu itu
belum sempurna, namun ilmu itu akan dapat melindungi
dari kehancuran mutlak. Mahisa Agni, Witantra dan orang-orang yang
menyaksikan pertempuran itu menjadi semakin tegang.
Mahisa Agni dan Witantra segera mengetahui, bahwa
Akuwu itu telah sampai kepuncak ilmunya. Sementara
orang-orang yang mengelilingi arena, para pengawal dan
Senapati, telah mengenal, bahwa tidak seorangpun yang
pernah berhasil menyelamatkan diri dari sentuhan ilmu
yang dahsyat itu. Hanya dalam keadaan yang tidak
terkendali saja Akuwu itu. mempergunakan ilmunya.
Karena itu, maka Akuwu jarang sekali
mempergunakannya. Jika ia mempergunakan untuk menghadapi Mahisa
Bungalan, adalah karena ia tidak mampu lagi untuk
mengalahkan dengan kemampuan ilmunya sewajarnya.
Dalam pada itu, orang tua yang menyaksikan
pertempuran itu di belakang para pengawal itupun menjadi
tegang. Tetapi ia tidak sempat berbuat apa-apa. Dalam
waktu yang singkat, Akuwu telah mangetrapkan ilmu
pamungkasnya, sementara Mahisa Bungalan yang tidak
mau menjadi lumat itupun telah melakukan hal yang
serupa. Sejenak kemudian, arena itu telah dicengkam oleh
ketegangan yang memuncak. Seperti petir meloncat di
langit. Akuwu itu menyambar lawannya dengan ilmu
puncaknya. Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalanpun
telah merendahkan dirinya pada lututnya, menyilangkan
tangannya didadanya. Ketika tangan Akuwu itu terayun,
maka Mahisa Bungalan mengangkat kedua tangannya yang
bersilang, menangkis-serangan Akuwu yang
mempergunakan segenap kekuatan ilmu puncaknya.
Yang terjadi adalah benturan yang dahsyat. Mahisa
Bungalan telah terlempar beberapa langkah surut. Bahkan
ia telah tidak berhasil mempertahankan keseimbangan.
Meskipun ia masih dapat menguasai dirinya, namun ia
telah terhuyung-huyung dan jatuh pada lututnya. Dengan
susah payah berusaha agar ia tetap menyadari keadaannya.
Ia tidak mau kehilangan pengamatan diri, sehingga ia
kehilangan kesempatan untuk mempertahankan diri. Yang
terjadi adalah benar-benar pertempuran antara hidup dan
mati. Jika ia kehilangan kesadarannya, maka lawannya
tentu akan dengan mudah membunuhnya. Namun jika ia
masih tetap berhasil menguasai dirinya, betapapun
lemahnya, ia masih akan mampu membela diri.
Karena itu, meskipun Mahisa Bungalan tidak tergesagesa
meloncat berdiri, namun ia tetap menyadari
keadaannya. Bahkan ia justru sempat beristirahat untuk
mengatur pernafasannya. Namun ketika ia mengangkat kepalanya, dilihatnya
lawannya tidak lagi berdiri diarena. Baru kemudian ia
mengerti, bahwa Akuwu yang membentur kekuatannya
itupun telah terlempar beberapa langkah surut. Bahkan
ternyata keadaannya lebih parah dari Mahisa Bungalan
yang masih sempat bertahan pada lututnya.
Dalam pada itu, Akuwu yang masih muda itu telah
terbaring di tanah. Pingsan.
Sementara itu, orang tua berambut putih yang
memperhatikan pertempuran itu dengan saksama, telah
menyibak beberapa orang pengawal. Dengan langkah yang
tenang, orang tua itu mendekati Akuwu yang terbaring
diam. Kemudian iapun berjongkok disisi Akuwu yang
sedang pingsan itu. Beberapa orang Senapati telah mengerumuninya dan
berjongkok pula diseputarnya. Sejenak mereka
memperhatikan, apa yang dilakukan oleh orang tua itu,
Dengan sebuah bubuk yang dicairkan dengan air yang
diambil oleh salah seorang pengawal, orang tua itu
mengusap kening dan dahi Akuwu, Kemudian setitik air
bersih telah diteteskan ke bibirnya pula.
"Ia akan segera sadar" desis orang tua itu.
Dalam pada itu, beberapa orang Senapatipun telah
berbisik yang satu dengan yang lain "Kita tangkap, orang
itu" "Ya. Kita tangkap orang itu" sahut yang lain. Dalam
pada itu, beberapa orang Senapatipun telah melangkah
maju kearena, sementara Mahisa Agni dan Witantra telah
membantu Mahisa Bungalan membenahi dirinya dan
mengatur pernafasannya. Agaknya anak muda itu tidak
mengalami kesulitan meskipun ia menjadi sangat letih.
"Kalian harus kami tangkap" desis seorang Senapati.
Namun sebelum Muhisa Agni menjawab, orang tua
berambut putih itu mencegah para Senapati. Katanya
"Jangan berlaku licik. Yang terjadi adalah perang tanding
sehingga akhir dari perang tanding ini harus kalian terima
sebagai satu kenyataan. "Dan orang-orang itu tidak menerima hukumannya?"
bertanya para Senapati. Orang tua itupun kemudian bangkit sambil berdesis
"Layani Akuwu yang pingsan itu. Ia akan segera sadar.
Biarlah aku menyelesaikan persoalan ini dengan orangorang
itu. Mereka bukannya tidak dihukum. Tetapi kjta
harus mempergunakan cara yang sudah disepakati untuk
menghukum mereka. Akupun akan melakukan perang
tanding" Mahisa Bungalan yang masih dalam keadaan letih
itupun sempat menjawab "Bagus. Beri kesempatan aku
mengatur pernafasanku. Aku akan memasuki arena perang
tanding" Tetapi Mahisa Agni tersenyum. Katanya
"Beristirahatlah. Biarlah Orang tua yang bermain-main
dengan orang tua pula"
Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Sementara
itu Mahisa Agni berkata "Biarlah aku melawannya"
"Kau atau aku?" bertanya Witantra. Percakapan itu
ternyata telah menyinggung perasaan orang berambut putih
yang menantang perang tanding itu Dengan suara lantang
ia berkata "Majulah berdua. Aku adalah guru Akuwu yang
dapat dikalahkan anak muda itu, meskipun ia sendiri sudah
tidak mampu lagi berbuat sesuatu"
Mahisa Bungalan akan menjawab. Tetapi Witantra
menggamitnya. Sementara Mahisa Agnilah yang kemudian
menjawab "Jangan begitu Ki Sanak. Jika kita setuju untuk
melakukan perang tanding, maka yang akan berlangsung
adalah perang tanding apapun akibatnya"
"Bagus" jawab orang berambut putih itu "kita akan
melakukan perang tanding. Tantanganmu itu adalah satu
kesalahan besar bagimu, sehingga menjerumuskan kalian
bertiga kedalam keadaan yang paling parah. Sebenarnya
Akuwu bukan orang yang sangat kejam untuk membunuh
orang-orang yang telah pasrah. Mungkin kau akan
mendapat pengampunan jika kau memohonnya. Tetapi
dengan sombong kau menantang perang tanding"
"Akuwu sudah aku kalahkan" geram Mahisa Bungalan.
"Belum" jawab orang itu.
"Sudah. Jika tidak ada batas dalam perang tanding ini,
aku sekarang dapat mendekatinya dan mencekiknya sampai
mati, apa bila perang tanding ini dinyatakan sampai mati.
Jika keadaan yang terjadi sebaliknya, mungkin Akuwu akan
membunuhnya. Tetapi yang terjadi sekarang aku tidak
membunuhnya. Tetapi aku menang atas Akuwu itu. Jika
kau jujur, kau akan mengakuinya"
Orang tua itu menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak
dapat ingkar, karena yang dikatakan oleh Mahisa Bungalan
itu memang sebenarnya demikian. Namun dalam pada itu,
dengan gigi gemeretak orang tua itu berkata "Aku akan
menebus kekalahan ini. Aku akan bertempur sampai mati"
"Jangan begitu Ki Sanak" sahut Mahisa Agni dengan
serta merta "kita akan bertempur dengan jantan. Kita akan
mengakui, kekalahan yang mungkin akan kita derita. Tetapi
bukan berarti bahwa kita akan membunuh diri"
"Terserah kepada kalian" jawab orang berambut putih
itu "tetapi aku adalah guru Akuwu yang telah menjatuhkan
hukuman mati atas kalian tanpa mendapat kesempatan
untuk memberikan pengampunan. Karena itu, maka dalam
perang tanding ini, aku sekaligus akan melaksanakan
hukuman mati itu, Aku akan membunuh lawan-lawanku
seperti yang dimaksud oleh Akuwu"
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Kau
terlalu terpengaruh oleh perasaanmu Ki Sanak. Seharusnya
orang-orang yang sudah setua kita, akan dapat berpikir
dengan lebih mengendap. Namun agaknya kau mempunyai
sedikit kelainan dengan orang-orang yang aku maksudkan"
"jangan banyak berbicara" potong orang berambut putih
itu "cepat, siapakah yang akan mati lebih dahulu. Tentu
bukan anak muda itu. Ia terlalu cepat mati. Karena itu, ia
akan mandapat giliran yang terakhir"
"Baiklah" jawab Mahisa Agni "jika kau berkeras untuk
melakukannya, aku tidak berkeberatan. Marilah aku layani
kau bermain-main" Orang berambut putih itupun kemudian maju beberapa
langkah. Namun dalam pada itu, ia sempat berpaling ketika
ia mendengar desah Akuwu yang mulai menyadari
keadaannya. "Minggirlah" berkata orang berambut putih itu "aku
akan melaksanakan hukuman yang sudah Akuwu jatuhkan
atas orang-orang ini. Aku akan mempergunakan cara yang
telah dipilihnya" "Terserahlah kepada guru" desis Akuwu. itu, yang
kemudian dibantu oleh beberapa orang pengawal menepi.
Sejenak kemudian orang berambut putih itu sudah
berhadapan dengan Mahisa Agni, sementara Witantra
berdiri disebelah Mahisa Bungalan yang masih letih.
Namun kekuatannya berangsur-angsur telah pulih kembali.
"Ki Sanak" berkata orang berambut putih "kita akan
segera mulai. Jangan menyesal, bahwa kalian telah menjadi
korban kesombongan kalian sendiri"
"Aku tidak akan menyesal" jawab Mahisa Agni "aku
sudah memasuki daerah ini dengan maksud baik, dan kami
bertiga sudah berusaha membantu orang-orangmu yang
mengalami kesulitan. Tetapi inilah hadiah yang aku terima.
Karena itu, maka biarlah kami bukan saja mempertahankan
diri. tetapi kami berhak mempertahankan sikap adil yang
telah kalian korbankan sekedar karena harga diri"
"Cukup" gerem orang berambut putih itu "apakah kau
akan mempergunakan senjata?"
"Sebagaimana yang kau lakukan. Jika kau yakin dengan
tanganmu, akupun akan mempergunakan tanganku. Aku
mengerti bahwa kau akan mempergunakan ilmu
pamungkasnya, seperti yang nampak pada Akuwu itu,
tetapi dalam tataran yang lebih tinggi"
Orang berambut putih itu menggeram. Tetapi iapun
mengerti bahwa orang yang menghadapinya diarena itu
dengan penuh kesadaran menghadapinya.
Sejenak kemudian, maka kedua orang tua itu sudah
barhadapan. Mahisa Agni yang tidak bermimpi untuk
berhadapan dengan seseorang dalam perang tanding,
merasa dirinya tidak mempunyai pilihan laia Karena ia
tidak akan menyerahkan lawannya kepada Witantra yang
tentu dalam keadaan yang serupa dengan dirinya.
Karena itu, maka betapapun rasa segan membayanginya,
ia harus menghadapi orang berambut putih itu dalam satu
perang tanding. Namun ternyata orang berambut putih itu masih merasa
perlu menjajagi kemampuan lawannya. Tidak seperti yang
diduga oleh Mahisa Agni, bahwa ia akan langsung
mempergunakan ilmu pamungkasnya. Namun orang
berrambut putih itu telah menyerang Mahisa Agni dengan
kemampuan wajarnya. . Keduanyapun kemudian mulai bertempur dengan
ketrampilan jasmaniah mereka. Ternyata kedua orang, tua
itu masih mampu bergerak cepat sehingga para pengawal
yang menyaksikannya menjadi heran dan kadang-kadang
bingung. Mereka kadang-kadang kehilangan pengamatan
atas kedua lawannya. Tiba-tiba saja pada saat-saat yang
tidak terduga, keduanya berada ditempat yang justru
berlawanan dari penglihatan orang-orang yang berdiri
dipinggir arena itu. Demikianlah pertempuran itii semakin lama menjadi
semakin seru. Keduanya bergerak semakin cepat. Namun
kemudian keduanya tidak saja mempergunakan tenaga


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wantah, tetapi keduanya mulai mempergunakan tenaga
cadangan masing-masing, sehingga pertempuran itu
menjadi semakin dahsyat. Benturan-benturan yang terjadi
menjadi semakin seru, sehingga orang-orang yang
menyaksikan itu mulai melihat benturan-benturan kekuatan
yang tidak mereka mengerti.
Meskipun keduanya tidak bersenjata, namun kedua
tangan mereka ternyata memiliki kemampuan melampaui
senjata yang betapapun kuatnya. Agaknya bindi sebesar
paha sekalipun tidak akan dapat mematahkan kekuatan
tangan mereka. Dalam pada itu, orang berembut putih itu telah
mengerahkan segenap tenaganya. Bahkan tenaga
cadangannya. Karena itu, maka iapun menjadi semakin
cepat bergerak dan semakin kuat. Tetapi ia tidak berhasil
mendesak Mahisa Agni, karena Mahisa Agnipun telah
meningkatkan kemampuannya pula. Bahkan akhirnya
Mahisa Agnipun sempat menilai kekuatan dan kemampuan
lawannya. Ketika orang berambut putih itu tidak lagi
meningkatkan serangan-serangannya pada kekuatan dan
kecepatan gerak, tahulah Mahisa Agni bahwa orang itu
sudah sampai dipuncak. "Jika ia akan meningkat lagi, ia akan mempergunakan
ilmu puncaknya" berkata Mahisa Agni didalafil hatinya.
Karena itulah, maka iapun harus berhati-hati. Setiap saat
orang itu akan dapat melontarkan ilmu puncaknya. Namun
dalam pada itu, yang semula tidak begitu jelas nampak
disaat Akuwu bertempur melawan Mahisa Bungalan, maka
pada tata gerak orang berambut putih itupun mulai nampak
semakin jelas. Menurut penilaian Mahisa Agni dan juga
penilaian Witantra yang berdiri di luar arena, Akuwu
adalah murid orang berambut putih itu yang telah
menerima segala macam ilmunya dengan tuntas. Meskipun
kematangan ilmu Akuwu itu masih harus dikembangkan,
tetapi menurut penglihatan Mahisa Agni dan Witantra.
Akuwu itu sudah mencerminkan kemampuan gurunya.
Namun demikian, Mahisa Agni masih belum sampai
hati melepaskan Mahisa Bungalan melawan orang itu,
seandainya sejak semula ilmu itu sudah dapat dijajaginya.
Dalam pada itu, yang nampak pada Mahisa Agni dan
Witantra adalah beberapa persamaan antara tata gerak
orang berambut putih itu dengan ilmu seseorang yang
pernah dikenalnya. "Ilmu ini tentu satu keturunan dengan ilmu Ki Dukut
Pakering" berkata Mahisa Agni didalam hatinya "meskipun
ada beberapa perkembangan yang agak lain"
Pada murid-murid Ki Dukut, tata gerak ini masih
nampak jelas. Tetapi agaknya tidak pada Akuwu yang
pingsan itu. Meskipun Mahisa Agni tidak tahu sebabnya,
namun pada Akuwu itu tata gerak itu mulai kabur,
meskipun setelah diamati dengan seksama, tata gerak itu
masih nampak juga pada jiwanya. Tetapi jika Mahisa Agni
tidak melihat tata gerak orang berambut putih itu, maka
sulit untuk mencari hubungan tata gerak Akuwu itu dengan
murid-murid Ki Dukut Pakering.
Justru karena itu, maka Mahisa Agnipun menjadi
semakin tertarik melihat kemampuan lawannya. Ketika
batas kemampuan orang berambut putih itu sudah tidak
meningkat lagi, sementara orang itu masih belum dapat
menguasai lawannya, seperti yang diduga oleh Mahisa
Agni, maka orang itupun segera mempersiapkan ilmu
pamungkasnya. Mahisa Agni tidak terkejut melihatnya. Iapun akan dapat
melawan ilmu itu dengan ilmunya, dan Mahisa Agnipun
yakin, bahwa ia akan dapat mengatasinya, setidak-tidaknya
mengimbanginya. Namun sebelum orang itu sampai kepada
ilmu puncaknya, Mahisa Agni berkata "Sudahlah Ki Sanak.
Yang akan terjadi telah tercermin pada muridmu. Jika kau
mempergunakan ilmu Puncakmu, dan akupun akan
melawan dengan ilmuku. Benturan akan terjadi. Kita
masing-masing akan terlempar dan menjadi-sangat letih.
Setelah itu, perlahan-lahan kita berusaha memulihkan
kekuatan kita masing-masing. Jika kita masih belum puas,
benturan yang serupa akan terjadi, meskipun lebih lemah"
"Kau tidak akan dapat menahan ilmu pamungkasku"
geram orang berambut putih.
"Muridku dapat melakukannya atas muridmu. Bahkan
kau dapat melihat keseimbangan diantara keduanya" jawab
Mahisa Agni. "Apakah kau takut melawan ilmuku?" bertanya orang
itu. Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Sebelumnya ia
menduga bahwa orang tua itu tidak akan sekeras Akuwu
yang masih muda. Namun ia masih harus
membuktikannya. Karena itu, maka Mahisa Agni masih
mencobanya lagi. Katanya "Ki Sanak. Kita adalah orangorang
tua" Apakah kita masih juga tidak mampu melihat
kenyataan, bahwa jika kita masing-masing harus
melepaskan ilmu pamungkas, semuanya itu tidak akan ada
artinya selain membuang-buang tenaga, waktu dan
barangkali kita akan mengalami luka-luka dan kesakitan.
Sementara persoalan kita tidak akan dapat diselesaikan
dengan cara itu, karena masalahnya adalah harga diri.
Kadang-kadang kita menilai harga diri kita satria dengan
nyawa kita" Ternyata orang berambut putih itu mulai merenung.
Karena itu Mahisa Agni mulai berharap bahwa orang itu
akan mendengarkannya. "Ki Sanak. Seumur kita ini sudah bukan waktunya lagi
untuk berlagak dihadapan banyak orang, apakah Ilmu kita
dikagumi orang lain atau tidak. Jika mereka sudah melihat,
kita melepaskan ilmunya, maka mereka tentu akan dapat
menduga, betapa kemampuan gurunya, meskipun bukan
mutlak bahwa jika muridnya mempunyai kemampuan
selapis lebih tinggi, maka gurunyapun demikian pula"
Orang berambut putih itu mulai mengangguk-angguk.
Kemudian katanya "Aku sependapat Ki Sanak. Tidak ada
gunanya kita melepaskan ilmu pamungkas kita masingmasing.
Kau benar, bahwa hal itu tidak akan ada gunanya"
berkata orang berambut putih itu.
Dalam pada itu, Akuwu terkejut mendengar keputusan
gurunya. Karena itu, maka dengan nada tinggi ia bertanya
"Guru akan membiarkan mereka?"
"Bukan maksudku. Tetapi apakah kita akan dapat
mengingkari kenyataan" Kita bertempur untuk
mempertahankan harga diri. Apakah kita akan
mengorbankan harga diri dengan memerintahkan semua
pengawal di Pakuwon ini untuk bergerak?" bertanya
gurunya. "Apakah guru tidak dapat membunuhnya saja?"
bertanya Akuwu. Ternyata gurunya menggeleng. Katanya "Aku tidak akan
dapat membunuhnya meskipun dengan ilmu puncak yang
ada padaku. Iapun memiliki kemampuan yang akan dapat
mengimbangi kemampuanku sehingga yang akan terjadi,
adalah satu benturan yang tidak ada artinya"
"Jadi bagaimana dengan mereka Guru?" bertanya
Akuwu. "Mereka tidak dapat kita kalahkan dalam perang
tanding" jawab gurunya "karena itu. maka kita tidak akari
dapat menghukumnya dengan cara lain apabila kita tetap
berpegang pada harga diri kita"
Akuwu menarik nafas dalam-dalam. Tubuhnya masih
terasa sakit. Namun selangkah ia maju mendekati gurunya
sambil bertanya "Jadi, persoalan ini sudah selesai sampai
disini?" "Ya" jawab gurunya "aku kira demikian"
"Tetapi aku Akuwu disini" berkata Akuwu itu.
"Justru karena itu, pakailah kebijaksanaan. Berikan
contoh sikap perwira kepada para pengawalmu" jawab
gurunya. Wajah Akuwu menjadi tegang. Ia merasa tersinggung
oleh keadaan itu. Namun ia tidak dapat menentang
gurunya. Bahkan hatinyapun mulai mengerti dan merasa
arti kata-kata gurunya. Namun kedudukannya sebagai
Akuwu telah mempersulit keadaannya dihadapan para
pengawalnya, seolah-olah ia tidak mampu menjatuhkah
hukuman terhadap orang yang bersalah.
Agaknya Mahisa Agni dapat melihat gejolak perasaan
Akuwu itu. Karena itu, maka berusaha untuk
membantunya mengatasi perasaannya.
"Akuwu" berkata Mahisa Agni kemudian "mungkin
yang terjadi ini tidak sesuai dengan tuntunan keadilan bagi
Akuwu yang menganggap kami bersalah. Tetapi Akuwupun
tidak akan dapat ingkar akan kesediaan Akuwu untuk
berperang tanding. Mungkin Akuwu dapat mengambil
keputusan lain, tetapi itupun akan kurang bijaksana.
"Kebijaksanaan Akuwu tidak dapat digugat" geram
Akuwu. "Jika demikian, baiklah Akuwu" jawab Mahisa Agni
"jika Akuwu masih merasa belum memenuhi kewajiban
keadilan Akuwu atas orang yang bersalah, sementara
Akuwu sudah terikat kepada kesediaan Akuwu untuk
berperang tanding, maka cobalah Akuwu menuntut pada
peradilan yang lebih tinggi"
"Apa maksudmu?" bertanya Akuwu.
"jika Akuwu mengakui kekuasaan Singasari, ajukan
masalah ini kepada peradilan di Singasari, karena aku
adalah orang yang pantas mendapat peradilan di Singasari"
jawab Mahisa Agni. Akuwu itu menjadi tegang sejenak. Tiba-tiba saja ia
berdesis "Siapa kau sebenarnya?"
"Aku adalah salah satu dari hamba istana Singasari.
Kami berdua yang tua-tau ini adalah wulu cumbu
Mahaprabu di Singasari" jawab Mahisa Agni.
Wajah Akuwti, menjadi semakin tegang. Terdengar
suaranya bergetar "Apakah kau berkata sebenarnya?"
"Bertanyalah kepada para tetua di Singasari" sahut
Mahisa Agni. Namun tiba-tiba "Tetapi Akuwu, apakah
Akuwu tidak pernah datang menghadap ke Singasari?"
"Ia belum lama menjabat Akuwu" jawab gurunya
"ayahandanya baru saja meninggal. Kemudian iapun
diangkat menjadi penggantinya sambil menunggu
pengesahan dari Singasari"
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya "Pada suatu
saat, di hari pasowanan, kau dapat mencari aku di
Singasari. Aku yang sudah tua, jarang sekali, hadir
dipaseban. Tetapi di waktu-waktu khusus Maha Prabu di
Singasari memanggil kami berdua"
Orang tua berambut putih itu menjadi berdebar-debar.
Jika kedua orang itu adalah benar-benar orang-orang yang
dekat dengan Maha Prabu di Singasari, maka persoalan
akan dapat berkembang jika keduanya merasa terhina
dengan perlakukan Akuwu terhadap mereka.
Namun dalam pada itu, Mahisa Agni berkata "Lupakan
ap yang telah terjadi, jika kalian mengakui apa yang aku
katakan" Tetapi nampaknya Akuwu yang muda itu tidak segera
dapat mempercayainya. Masih nampak keragu-raguan
memancar pada sorot matanya.
Namun orang berambut putih itu kemudian berkata
"Jika demikian, kami mengucapkan terima kasih. Karena
itulah agaknya maka agaknya tuan-tuan dapat berlaku
bijaksana. Kami mohon maaf atas segala tingkah laku kami.
Beruntunglah bahwa aku masih mendengar peringatan
tuan. Jika tidak, dan aku memaksa diri untuk
membenturkan ilmuku, maka aku kira aku tidak akan dapat
bangkit lagi selama-lamanya"
"Mungkin yang terjadi sebaliknya" jawab Mahisa Agni
"karena itu, aku aku kira perbuatan yang demikian akan
menyia-nyiakan segalanya"'
"Tentu akulah yang akan menjadi debu" desis orang
berambut putih itu. Lalu katanya "Jika demikian.
perkenankanlah kami mempersilahkan tuan naik ke
pendapa" Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Dipandanginya para pengawal yang berdiri termangumangu.
Senapati yang pernah dikalahkan oleh Mahisa
Bungalan, yang juga berada dihalaman itu, berusaha untuk
bersembunyi dibalik punggung kawannya.
"Pantas aku dianggapnya sebagai permainan saja"
berkata Senapati itu didalam hatinya "ternyata mereka
adalah orang-orang dalam istana Singasari"
Akuwu yang muda itupun tidak dapat berbuat lain.
Gurunya telah menentukan satu sikap terhadap ketiga
orang itu. Karena itu, maka iapun tidak dapat mengelak
lagi. Sejenak kemudian ketiga orang itu telah berada di
pendapa Agung istana Akuwu yang tidak siap untuk
menerima mereka. Suasana yang canggung dan kaku
mewarnai pertemuan itu. Namun orang berambut putih itu agaknya berusaha
untuk mengisi kekosongan dengan pertanyaan-pertanyaan
yang mengarah. "Apakah tuan-tuan telah lama berada di istana
Singasari?" bertanya orang berambut putih itu pula.
Mahisa Agni tersenyum. Katanya "Saudaraku ini
mengabdi bukan saja setelah Singasari berdiri, Tetapi sejak
Akuwu Tunggul Ametung memerintah Pakuwon Tumapel"
"Sejak Akuwu Tunggul Ametung?" orang berambut
putih itu merasa heran "sudah lama sekali"
"Kamipun sudah terlalu tua sekarang" jawab Witantra
"sudah tentu waktu aku menghamba di Tumapel aku masih
sangat muda" Orang berambut putih itu mengangguk-angguk.
Sementara Witantrapun kemudian berkata "Karena itu. Ki
Saiiak, jangan terlalu berprihatin atas keadaan ini. Aku
percaya. Bahwa Akuwu yang masih muda itu, masih belum
dapat mengendalikan dirinya sebagaimana orang-orang tua.
Tetapi jangan merasa direndahkan dengan sikap kami.


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bukan maksud kami menyombongkan diri, tetapi jika kami
mengaku bahwa kami orang-orang dalam istana Singasari
semata-mata untuk memberitahukan kepada Ki Sanak,
terutama kepada Akuwu yang masih muda itu, bahwa yang
kalian alami bukannya satu penghinaan"
Akuwu yang masih muda itu menarik nafas dalamdalam.
Sebenarnyalah, bahwa setelah ia sempat merenungi
apa yang telah terjadi, dan orang-orang sedang
dihadapinya, maka mulailah ia menyadari keadaannya.
Sementara itu orang berambut putih itu berkata
"Demikianlah memang yang terjadi di dalam hati kami.
Setelah kami mengetahui siapakah tuan-tuan ini, maka
kamipun justru telah menyesali perbuatan kami. Kami sama
sekali merasa terhina, sementara kewibawaan Akuwupun
tidak tersinggung karenanya. Justru karena yang hadir
disini adalah orang-orang dalam istana Singasari" Orang itu
berhenti sejenak, lalu "tuan-tuan, jika tuan yang seorang ini
telah berada di istana sejak masa pemerintahan Tumapel,
bagaimana dengan tuan yang seorang lagi?"
"Akupun berada di istana sejak masa pemerintahan
Akuwu Tunggul Ametung" jawab Mahisa Agni.
Namun Witantra telah menambah "Sama sekali aku
beritahukan agar kalian mendapat gambaran yang benar
tentang kami bertiga, sehingga tidak akan menyesal bahwa
kalian telah melepaskan kami dan tidak menjatuhkan
hukuman. Orang ini adalah saudara tua puteri yang
menurunkan Maha Prabu di Singasari sekarang ini"
"Jadi?" orang berambut putih itu terkejut. Demikian jhga
Akuwu yang masih muda itu.
Meskipun Mahisa Agni menggamitnya, namun Witantra
berkata selanjutnya "Ia adalah saudara tua puteri Ken
Dedes" "Puteri Ken Dedes, isteri Akuwu Tunggul Ametung,
yang kemudian menjadi permaisuri di Singasari pada masa
pemerintahan Sri Rangga Rajasa Sang Amurwabhumi?"
bertanya orang berambut putih itu.
Witantra mengangguk sambil tersenyum. Jawabnya "Ya
Ki Sanak. Tetapi sudahlah, Jangan kau hiraukan. Mungkin
ada masalah lagi yang dapat kita bicarakan"
Wajah-wajah nampak menjadi tegang. Orang berambut
putih itupun menjadi tegang, seperti juga Akuwu yang
masih muda itu. Beberapa orang Senapati terpenting yang
ikut duduk bersama merekapun menjadi tegang pula
dengan jantung yang berdebar-debar.
Hampir setiap orang pernah mendengar tentang Akuwu
Tumapel yang terbunuh oleh hambanya yang bernama
Kebo Ijo, yang kemudian digantikan oleh seorang anak
muda yang disebut sebagai keturunan Dewa Brahma. Yang
kemudian berhasil mengalahkan Kediri dan mendirikan
Singasari sebagai pusat pemerintahan. Dalam urutan
peristiwa itu, tersebut juga seorang puteri yang berpama
Ken Dedes. Dalam pada itu, ternyata kecuali keheranan dan
ketegangan yang mencengkam, maka Akuwu, gurunya.dan
para Senapati itupun merasa, adalah satu tindakan yang
tergesa-gesa bahwa mereka telah menangkap dan bankah
mengadili orang-orang itu sebelum mereka dengan
sungguh-sungguh menelusuri segala peristiwa yang terjadi
dan yang telah mereka lakukan.
Tetapi dengan demikian usaha Mahisa Agni teiah
berhasil. Bahwa orang-orang yang mengadilinya itu
memang harus mencabut keputusannya tanpa
mengorbankan wibawanya, karena sebagaimana menjadi
satu sikap, bahwa sabda pendita ratu, sekali sudah
diucapkan maka tidak akan dapat dicabut lagi.
Namun menghadapi ketiga orang yang ternyata bukan
orang kebanyakan itu, mereka tidak dapat berbuat lain,
karena mereka tidak ingin berurusan dengan Singasari.
Sementara orang-orang yang keheran-heranan itu masih,
termangu-mangu, maka Witantrapun berkata "Sudahlah.
Jangan hiraukan lagi, Kecuali jika masih ada keragu-raguan
antara kalian" "Tidak. Tidak tuan" berkata orang berambut putih itu
"aku percaya bahwa tuan-tuan adalah para pemimpin
tertinggi di Singasari. Hal itu ternyata nampak pada
Kebijaksanaan tuan. Tuan berusaha menghindari benturan
kekerasan, karena tuan-tuan tidak ingin membunuh aku.
meskipun akan dapat tuan lakukan jika tuan menghendaki.
Itu adalah cermin dari satu sikap seorang pemimpin sejati.
Justru bukan dengan kekuasan yang ada pada tuan, tetapi
dengan sikap yang bijaksana"
"Jangan memuji" jawab Mahisa Agni "jika kalian
mempercayai kami, kami harap bahwa kalian melupakan
saja peristiwa yang baru saja terjadi"
"Terima kasih tuan. Jika tuan berkenan memaafkan
segala kelancangan kami" jawab orang berambut putih itu.
"Sudahlah" berkata Mahisa Agni "mungkin ada sesuatu
yang lebih penting dibicarakan sekarang ini. Tetapi aku
kira, persoalannya terlalu khusus, sehingga aku hanya ingin
berbicara dengan Akuwu dan Gurunya"
Akuwu yang masih muda itu menjadi berdebar-debar.
Langkahnya yang salah itu memang dapat menggoyahkan
kedudukannya. Sementara itu permintaan Mahisa Agni
untuk berbicara hanya dengan Akuwu dan gurunya,
membuatnya semakin gelisah.
Dalam pada itu, orang berambut putih itupun minta
kepada orang-orang lain yang hadir untuk sementara
meninggalkan pertemuan itu, agar mereka dapat berbicara
dengan leluasa. Ketika yang tinggal hanya Akuwu dan orang berambut
putih itu, maka Mahisa Agnipun kemudian bertanya "Ki
Sanak. Aku minta maaf. bahwa mungkin sekali
pengamatanku keliru. Atau mungkin ada persoalan khusus
yang tidak aku ketahui"
Ketika Mahisa Agni berhenti sajenak, Akuwu dan
gurunya itu menjadi semakin berdebar-debar.
"Apakah Ki Sanak mengenal atau mengetahui seseorang
yang bernama Ki Dukut Pakering?" bertanya Mahisa Agni
kemudian. Orang berambut putih itu menjadi tegang sejenak.
Namun kemudian katanya "Tuan. Agaknya aku memang
tidak pantas untuk berbohong kepada tuan. Karena itu, aku
tidak akan ingkar, bahwa aku masih mempunyai hubungan
dengan orang yang bernama Ki Dukut Pakering. Bukan
maksud kami untuk mengaku justru karena Ki Dukut
mempunyai kedudukan yang baik di Kediri, karena
kebetulan ia menjadi seorang yang mendapat kepercayaan
untuk mengasuh dua orang Pangeran kakak beradik"
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Terima kasih Ki Sanak. Dengan demikian, maka ternyata
bahwa Ki Sanak sudah cukup lama tidak bertemu dengan
Ki Dukut Pakering dan bahkan tidak mendengar kabar
beritanya" "Kenapa?" orang berambut putih itu menjadi heran.
"Tetapi apakah Ki Sanak dapat mengatakan hubungan
antara Ki Sanak dan orang yang bernama Ki Dukut itu?"
bertanya Mahisa Agni. Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian.
katanya "Pertanyaan tuan membuat aku menjadi semakin
berdehar-debar. Tetapi baiklah. Aku harus memberi
penjelasan seperti yang sebenarnya aku mengerti"
"Terima kasih" desis Mahisa Agni.
"Aku memang masih mempunyai sangkut paut dengan
Ki Dukut Pakering. Seperti yang aku katakan, bukan karena
aku mengaku-aku karena kedudukannya. Tetapi ia memang
seorang yang memiliki saluran ilmu seperti yang aku miliki.
Ketajaman penglihatan tuan, semakin meyakini aku, bahwa
tuan adalah orang yang luar biasa"
"Sudahlah. Jangan memuji. Tetapi bagaimana dengan Ki
Dukut itu?" potong Mahisa Agni.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Tuan.
Ki Dukut adalah murid yang terpercaya dari seorang guru
yang pilih tanding. Tetapi yang sudah beberapa lama
meninggal. Sementara aku adalah murid dari saudara
seperguruan dari guru Ki Dukut itu. Karena itu, mungkin
tuan melihat beberapa persamaan antara unsur gerak Ki
Dukut, karena kami memang bersumber dari perguruan
yang sama, Namun dalam perkembangannya, pengaruh
pengalaman dan pengamatan setiap murid, maka nampak
ada kelainan yang juga semakin berkembang. Sejauh makin
jauh hubungan diantara kami maka semakin jauh pula
perbedaan-perbedaan yang ada diantara kami"
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Ia mengerti
sepenuhnya apa yang dikatakan oleh orang berambut putih
itu. Namun dalam pada itu, Mahisa Agnipun semakin
yakin bahwa orang itu tentu sudah lama tidak pernah
berhubungan lagi dengan Ki Dukut, sehingga ia tidak
mengerti, apa yang telah terjadi atasnya.
Namun dalam pada itu, Mahisa Agni menganggap perlu
untuk memberitahukan hal itu kepada Akuwu dan gurunya
segala sesuatu mangenai Ki Dukut Pakering, agar keduanya
tidak dapat dibujuknya untuk membantunya melakukan
kejahatan lebih jauh lagi.
Ketika Mahisa Agni berbisik ditelinga Witantra, maka
Witantrapun mengangguk menyetujuinya.
"Memang ada baiknya" desis Witantra.
Akuwu dan gurunya termangu-mangu sejenak. Mereka
melihat Mahisa Agni dan Witantra berbicara.. Justru
karena itu mereka tidak mendengar apa yang mereka
bicarakan, maka keduanya menjadi semakin berdebardebar.
"KI Sanak" berkata Mahisa Agni kemudian "aku minta
maaf, bahwa aku akan memberikan beberapa keterangan
tentang Ki Dukut. Aku tidak akan mengatakan apa-apa jika
aku tidak mengetahui bahwa kaliah masih mempunyai
sangkut paut dengan Ki Dukut. Namun agaknya
keteranganku akan sedikit mengecewakan bagi kalian"
"Kami menjadi berdebar-debar" berkata orang berambut
putih itu. Sejenak kemudian maka Mahisa Agnipun mulai
berceritera tentang Ki Dukut. Tentang tingkah lakunya dan
tentang ketamakannya. sehingga ia berhasil mangadu kedua
Pangeran kakak beradik yang menjadi muridnya itu.
Ternyata berita itu telah mengejutkan. Apalagi ketika
Mahisa Agni mengatakan, bahwa Ki Dukut telah
menghubungi beberapa pihak, Mula-mula perampokperampok
yang bertebaran didaerah yang jauh dari tangantangan
para prajurit Singa Sari dan para pengawal di Kediri.
Namun usahanya sama sekali tidak berhasil. Kemudian ia
telah menghubungi orang-orang dari lingkungan mereka
yang berilmu hitam. "Ki Dukut ternyata telah mempergunakan gelar Rajawali
Penakluk" berkata Mahisa Agni kemudian "agaknya ia
ingin menakut-nakuti perampok-perampok yang bertebaran.
Namun ternyata ia memang berhasil menghimpunnya"
"Bukan main" desis orang berambut putih itu "kami
sudah pernah mendengar seorang pemimpin perampok
yang sangat disegani yang mempergunakan gelar Rajawali
Penakluk" "Itulah Ki Dukut Pakering" desis Mahisa Agni.
"Kami hampir tidak percaya atas berita ini" desis Akuwu
"tetapi seperti yang sudah kami katakan, kami percaya
kepada tuan-tuan" "Karena itu Akuwu" berkata Mahisa Agni "mungkin
Akuwu pernah mendengar kejahatan yang merambah
daerah kekuasaan Akuwu yang tidak langsung mempunyai
sangkut paut dengan Ki Dukut Pakering"
"Memang mungkin tuan" jawab Akuwu itu.
"Mungkin ia hadir dalam ujud yang berbeda" berkata
Mahisa Agni, Lalu "Akuwu, sebenarnyalah bahwa
perampok yang baru saja ditangkap beramai-ramai itupun
mempunyai hubungan dengan Ki Dukut pada mulanya.
Ketika Ki Dukut mencari pendukung dari para perampokperampok
yang tersebar. Namun yang ternyata tidak
memenuhi keinginannya"
"Dari mana tuan tahu?" bertanya orang berambut putih
itu. "Mereka menyebut-nyebut Rajawali Penakluk, meskipun
sudah lama orang yang menamakan dirinya Rajawali itu
tidak kunjung datang" jawab Mahisa Agni.
Akuwu mengangguk-angguk. Kemudian katanya "Kami
sekarang menjadi semakin gamblang. Kami masih harus
mohon maaf berulang-kali"
"Sudahlah, jangan diulang lagi. Yang penting, Akuwu
aku monon berhati-hati. Mungkin pada suatu saat Ki Dukut
akan datang kemari jika ia sadar, bahwa guru Akuwu masih
mempunyai hubungan perguruan" berkata Mahisa Agni
kemudian. "Terima kasih" desis Akuwu itu "kami sangat berterima
kasih atas segala keterangan yang sudah tuan berikan. Kami
akan berhati-hati menghadapi segala kemungkinan"
"Ya. Mudah-mudahan orang itu tidak datang lagi
kemari" berkata Mahisa Agni. Tetapi kemudian katanya
"Namun Akuwu, pada suatu masa Ki Dukut pernah juga
mohon bantuan beberapa orang pemimpin padepokan.
Mungkin satu dua diantara mereka berada didalam wilayah
kekuasaan Akuwu. Karena itu, maka agaknya masih perlu
bagi Akuwu untuk mengumpulkan keterangan tentang
kemungkinan yang tidak diharapkan, mungkin kemarahan
Ki Dukut terhadap para pemimpin padepokan yang tidak,
bersedia membantunya dengan-sepenuh hati"
Akuwu menarik nafas dalam-dalam. Sambil
mengangguk-angguk kecil ia berkata "Kami akan
melakukannya" "Terima kasih" berkata Mahisa Agni. Lalu "agaknya
keterangan yang aku harapkan tentang Ki Dukut masih
belum dapat terpenuhi, karena sebenarnyalah aku. ingin
mencarinya dan berbicara dengan orang itu dengan cara
apapun juga. Karena itu, maka agaknya masalah-masalah
yang timbul pada kami bertiga telah tidak akan
berkepanjangan"

Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, ya tuan" jawab Akuwu yang masih muda itu
"segalanya sudah jelas, Kami mohon maaf"
"Kamipun mohon maaf" jawab Mahisa Agni. Lalu
"kami akan mohon diri. Kami harap masalah Ki Buyut dan
para perampok itu dapat diselesaikan sebaik-baiknya. Salam
kami kepada para penghuni Kabuyutan itu"
Orang berambut putih itu menarik nafas dalam-dalam.
Sambil mengangguk-angguk ia berkata "Kami akan
menemui para pemimpin Kabuyutan itu menjelaskan apa
yang telah terjadi, dan siapakah tuan-tuan itu sebenarnya"
"Itu tidak perlu" jawab Mahisa Agni.
"Tetapi jika tuan tidak berkeberatan, biarlah merekapun
mengetahui, kenapa kami tidak bertindak lebih jauh atas
tuan-tuan, karena sebenarnyalah bahwa kami tidak
mempunyai wewenang untuk melakukannya, "jawab terang
berambut putih itu. Mahisa Agni tersenyum. Karena itu, maka ia tidak
menslaknya lagi. Katanya "Silahkan Ki Sanak. Nampaknya
ada juga baiknya bagi Akuwu"
Kemudian sekali lagi Mahisa Agni mohon diri sambil
berpesan, bahwa Ki Dukut itu harus dihadapi jika ia
memang berada didaerah kekuasaan Akuwu "Untunglah
disini ada seseorang yang mampu mengimbanginya
sehingga karena, itu, maka jika terjadi sesuatu, daerah ini
tidak akan terlalu mengalami kecemasan" berkata Mahisa
Agni. "Setidak-tidaknya, kami mempunyai sepasukan
pengawal. Betapapun tinggi ilmunya, jika kami serentak
menghadapinya, maka ia akan kehilangan kesempatan"
jawab orang berambut putih itu.
"Demikianlah, maka Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa
Bungalan itupun telah meninggalkan Pakuwon itu.
Meskipun ada juga kejengkelan dihati Mahisa Bungalan,
namun ia harus menerima segalanya yang telah terjadi.
"Sebenarnya aku ingin melihat orang tua itu membentur
ilmu paman Mahisa Agni" berkata Mahisa Bungalan
didalam hati "dengan demikian ia akan yakin, tanpa
memberi penjelasan panjang lebar. Dan dengan demikian,
orang-orang Pakuwon itu tidak akan dapat menghindari
satu penyesalan atas kesombongan mereka"
Tetapi Mahisa Agni ternyata mengambil sikap lain. Ia
telah berusaha mencegah benturan yang terjadi, sehingga
orang-orang yang berada diseputar arena tidak dapat
melihat satu bukti bahwa guru Akuwu muda itu sama sekali
tidak berarti bagi Mahisa Agni.
Namun Mahisa Bungalanpun kemudian berdesis di
dalam hati "Mungkin paman Mahisa Agni menjadi cemas,
jika orang itu mati"
Meskipun perasaan itu masih saja bergejolak, namun
Mahisa Bungalan tidak mengatakannya kepada Mahisa
Agni maupun kepada Witantra.
Dalam pada itu, sepeninggal Mahesa Agni, Witantra dan
Mahisa Bungalan, maka Akuwupun menjadi gelisah.
Ia menjadi cemas bahwa sikapnya itu akan dapat
mempengaruhi kedudukannya yang masih ha&us mendapat
pengesahan dari Singasari.
"Tetapi nampaknya mereka bukan pendendam" berkata
gurunya "karena itu, mereka tidak akan mempergunakan
peristiwa ini sebagai alasan untuk menggagalkan
kedudukanmu" Akuwu yang masih muda itu mengangguk-angguk.
Katanya. Mudah-mudahan. Tetapi yang termuda diantara
mereka itu nampaknya mempunyai sikap tersendiri"
"Itu hanya karena kemudaannya saja" jawab gurunya
"tetapi iapun orang baik seperti juga kedua orang yang lain"
gurunya berhenti sejenak, lalu "sebaiknya kau tidak
memikirkannya. Lebih baik kita menyelesaikan masalah
Kabuyutan yang telah menjadi ribut itu"
"Aku akan pergi sendiri ke Kabuyutan itu" berkata
Akuwu yang masih muda itu.
"Pergilah. Tetapi jangan tergesa-gesa mengambil satu
sikap jika kau belum yakin akan sikap itu. Kau akan
melihat bukan saja sekelompok perampok yang tertangkap,
tetapi kau akan mengalami persoalan lain. Beberapa-orang
yang kebetulan memegang jabatan di Kabuyutan itu,
termasuk KI Buyut sendiri, justru adalah orang-orang yang
telah mengacaukan Kabuyulun itu"
"Ya guru" jawab Akuwu "aku akan melihat segalanya"
Demikianlah, maka Akuwu itupun segera berkemas.
Tubuhnya masih terasa nyeri dibeberapa bagian. Tetapi ia
merasa bahwa ia telah pulih kembali.
Beberapa orang Senapati dan pengawal telah
diperintahkannya untuk mengikutinya, karena mereka akan
membawa para perampok itu untuk mendapatkan
pengadilan. Tetapi juga para pemimpin Kabuyutan yang
telah melakukan kecurangan itu harus mendapatkan
hukumannya. Sejenak kemudian, maka kudapun telah
berderap meninggalkan istana Akuwu yang masih muda
itu. Diiringi oleh para pengawal lengkap dengan tandatanda
kebesaran seorang Akuwu, mereka telah menyusuri
jalan-jalan menuju Kabuyutan yang sedang diselubungi
oleh kabut yang suram itu.
Kedatangan, Akuwu telah mengejutkan beberapa orang
di padukuhan itu. Sementara itu mereka baru saja
dikejutkan oleh isyarat yang mendebarkan. Justru setelah
tiga orang yang telah menolong mereka dibawa oleh
seorang Senapati yang mendapat limpahan kekuasaan dari
Sang Akuwu. Dengan hati yang berdebar-debar, maka Ki Demung dan
Ki Perapat telah menyambut kedatangan Akuwu yang
masih muda itu di rumah Ki Buyut yang justru sedang
berada didalam tahanan itu.
Namun mereka menjadi semakin gelisah ketika mereka
melihat wajah Akuwu muda itu nampak gelap. Meskipun
demikian, Ki Demung telah memberanikan diri untuk
mengucapkan selamat datang kepada Akuwu itu.
Tetapi jawaban Akuwu memang mendebarkan. Katanya
tanpa menanggapi kata-kata Ki Demung "Bawa Ki Buyut
kemari, aku ingin berbicara"
Ki Demungpun kemudian telah mengambil Ki Buyut
dari biliknya dan membawanya menghadap Akuwu yang
masih muda itu. Dengan hati berdebar-debar, maka Ki
Demungpun kemudian berkata "Sang Akuwu, inilah Ki
Buyut yang tuanku kehendaki menghadap"
Akuwu yang masih muda itu mengangguk-angguk.
Kegelisahannya karena sikapnya yang terlanjur atas Mahisa
Agni, membuatnya berwajah muram dan bersikap keras
terhadap siapapun. "Kaukah yang telah membuat Kabuyutanmu sendiri
menjadi kisruh?" bertanya Akuwu dengan nada keras pula.
Ki Buyut mengangkat wajahnya. Untuk beberapa saat ia
memandang wajah Sang Akuwu yang masih muda itu.
Baru kemudian ia menjawab "Ampun Akuwu. Hambalah
Buyut dipadukuhan ini"
Ki Demung dan Ki Perapatpun menjadi gelisah.
Beberapa orang lainpun menjadi gelisah pula. Apalagi
ketika, pertanyaan Akuwu menurun "Apakah benar kau
telah melakukan suatu perbuatan tercela, seperti yang
dilaporkan oleh seorang Senapati yang aku utus datang
kemari?" "Sebenarnyalah, bahwa hamba tidak ingin merusakkan
kesejahteraan yang sudah hamba rintis diatas-tanah
Kabuyutan ini tuanku" jawab Ki Buyut.
Orang-orang yang ikut hadir itupun menjadi semakin
berdebar ketika mereka mendengar Akuwu bertanya "Jadi,
bagaimana menurut pendapatmu, bahwa beberapa pihak di
Kabuyutan ini menganggap bahwa kau telah melakukan
kesalahan. Bahkan kau telah bekerja bersama dengan,
sekelompok perampok justru untuk merampok orang-orang
yang berada di Kabuyutanmu sendiri"
Sekali lagi Ki Buyut menatap mata Akuwu yang masih
muda itu. Kemudian sambil tersenyum Ki Buyut berkata
"Sebagaimana penilaian tuanku"
Akuwu itupun kemudian memandang Ki Demung, Ki
Perapat dan beberapa orang lain yang berada di tempat itu.
Dengan suara lantang ia bertanya "He, apakah benar
tuduhan kalian tentang Ki Buyut ini he?"
Ki Demung menjadi sangat gelisah. Dengan suara
bergetar ia mencoba menjelaskan "Seorang Senapati tuanku
telah datang untuk memeriksa keadaan di Kabuyutan ini.
Senapati itu akan dapat menjadi saksi, apa yang telah
terjadi" "Kau sendiri yakin?" tiba-tiba saja Akuwu itu justru
Pembalasan Ratu Laut Utara 2 Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen Pedang Tanpa Perasaan 8

Cari Blog Ini