Ceritasilat Novel Online

Panasnya Bunga Mekar 26

Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja Bagian 26


membentak. Ki Demung menjadi semakin gelisah. Ia mengerti,
tatapan mata Ki Buyut itu dapat memberikan pengaruh
Kepada orang lain yang tidak menyadari keadaannya,
seperti ia sendiri pernah mengalami"
"Jika saja ketiga orang itu masih berada disini" berkata
Ki Demung didalam hatinya. Namun iapun kemudian
menjadi berdebar, karena ketiga orang itu telah dibawa oleh
Senapati menehadap Akuwu.
Dalam keragu-raguan itu, tiba-tiba saja Akuwu
mendesak dengan nada keras "Apakah kau yakin"
Ki Demung telah terdesak. Tidak ada kesampatan lagi
untuk barpikir. Karena itu, iapun kemudian menjawab
"Ampun Akuwu, hamba yakin bahwa Ki Buyut telah
dengan sengaja ingin mengambil keuntungan lagi dirinya
sendiri dari Kabuyutan ini, yang bahkan telah sampai hati
melakukan tindakan yang paling keji, dengan memberikan
kesempatan perampokan di daerah kekuasaannya"
Akuwu mengerutkan keningnya. Sekilas ia memancang
wajah Ki Buyut yang memandanginya pula. Lalu tiba-tiba
ia bertanya kepada Ki Demung "Apakah yang kau lakukan
itu bukan sekedar karena pengaruh tiga orang yang baru
saja berada di Kabuyutan ini?"
Jantung Ki Buyut menjadi semakin berdebar-debar.
Namun iapun menjawab "Tidak Sang Akuwu. Tetapi
mereka memang, telah membantu kami menangkap orangorang
yang kami anggap bersalah"
"Apakah kau berkata sabenarnya?" desak Akuwu pula.
"Ya. Hamba yakin" akhirnya suara Ki Demung justru
menjadi semakin tegas, justru pada saat kecurigaannya atas
pengaruh tatapan mata Ki Buyut terhadap Akuwu yang
menjadi semakin kuat. Bahkan Ki Perapatpun akhirnya tidak dapat tinggal
diam. Dengan mantap iapun berkata "Hambapun
berpendirian demikian tuanku, sebagaimana sikap orangorang
padukuhan ini pada umumnya"
Akuwu menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia
memandang Ki Buyut maka Ki Buyutpun memandanginya
pula dengan tajamnya. Sejenak suasana menjadi tegang. Ki Damung, Ki-Perapat
dan orang-orang yang berada ditempat itu banar-banar talah
dicengkam oleh kegelisahan. Jika Ki Buyut berhasil
mempengaruhi Akuwu dengan tatapan matanya, maka
segalanya akan pecah berserakkan.
"Akuwu masih sangat muda" berkata Ki Demung di
dalam hatinya "mungkin sekali ia belum menemukan
kepribadiannya dengan mantap, meskipun ia memiliki ilmu
yang tinggi" Namun kemudian Akuwu itupun mengangguk-angukan
kepalanya sambil berkata "Sekarang aku telah melihat
sendiri apa' yang terjadi. Aku mengerti, dan aku percaya,
bahwa Ki Buyut telah melakukan satu kasalahan yang tidak
ada taranya, justru bagi satu daerah kekuasaannya sendiri"
"Tuanku" Akuwu itu terkejut. Dengan tajamnya, ia
masih saja menatap mata Akuwu yang memandanginya.
Namun tiba-tiba saja Akuwu berkata "Jangan mencoba
berbuat deksura seperti itu. Jangan kau sangka, aku tidak
tahu, apa yang kau lakukan selama ini. Kau kira aku adalah
anak-anak yang tidak kuasa mencari keseimbangan. Di
dalam diriku sendiri dengan tatapan matamu itu" Aku
memang ingin mencoba, apakah kau berlaku jujur atau
tidak" "Ampun tuanku" desis Ki Buyut yang kemudian telah
menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Akuwu yang masih muda itu memandang Ki Buyut yang
tertunduk. Dengan suara lantang ia berkata "Ki Buyut. Aku
sudah berusaha menahan diri. Hampir saja aku meloncat
mencekikmu, ketika aku merasa yakin kau mencoba
mempengaruhi aku. Tetapi aku bertahan untuk mengetahui
betapa beraninya kau menghina aku dihadapan sekian
banyak orang" Ki Buyut semakin manunduk sehingga kepalanya hampir
menyentuh lantai. Dangan suara gemetar ia barkata
"Ampun tuanku. Betapa bodohnya Kamba yang berani
berbuat demikian di hadapan Akuwu"
"Nah, sebaiknya kau katakan, apa yang sudah kau
lakukan di sini" berkata Akuwu kemudian.
Ki Buyut menjadi ragu-ragu.
"Katakan dihadapan orang banyak, sebagaimana kau
mencoba merendahkan martabatku dihadapan sekian
banyak orang dengan usahamu mempengaruhi aku dengan
tatapan matamu" tiba-tiba saja Akuwu yang masih muda
itu membentak. 'Ki Buyut bergesar setapak surut. Ketakutan yang sangat
telah mencengkam jantungnya, sehingga iapun kemudian
mengatakan apa yang sebanarnya telah dilakukannya
dihadapan Akuwu dan dihadapan beberapa orang bebahu
yang hadir di tempat itu.
Akuwu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya
"Pengakuanmu sudah cukup. Kau tidak akan terlepas dari
hukuman yang berat. Aku sendirilah yang akan
mengetrapkan hukuman itu"
"Ampun tuanku, hamba mohon ampun "suara Ki Buyut
itu menjadi semakin gemetar.
Akuwu tidak menghiraukannya, seolah-olah ia tidak
mendengarnya. Kemudian diperintahkannya mamanggil
pamimpin perampok yang sudah tertawan pula.
"Bawa mereka bersama para perampok yang lain"
perintah-Akuwu "aku sendiri akan mengadili mereka esok
pagi. Tetapi berhati-hatilah. Ki Buyut yang sempat
mengacaukan daerah pamerintahannya sendiri itu senang
bermain-main dengan ilmu sihir. Ia dapat mempengaruhi
dengan tatapan matanya. Asal itu kalian sadari, kalian tidak
akan terpengaruh sama sekali"
Ki Buyut tidak dapat ingkar lagi. Maka para Senopati
dan pengawal yang mengikuti Akuwu telah melakukan
tugas mereka. Mereka telah mempersiapkan pemimpin
perampok dan Ki Buyut untuk dibawa ke Pakuwon,
sementara beberapa orang pangawal telah mengambil para
perampok yang tartawan pula.
Sementara itu, Ki Demung dan Ki merapat telah di
panggil menghadap sacara khusus untuk didengar
keterangannya tentang Kabuyutan itu dan terutama tentang
tiga orang yang baru saja berada di daerah Kabuyutan itu
dan telah membantu meraka mengatasi perampokan yang
justru mendapat perlindungan dari Ki Buyut.
"Aku telah melakukan satu kesalahan" berkata Akuwu
berterus terang. Lalu "Aku telah terpengaruh oleh sikap
Senapti dan jiara pengawal"
Ki Demung dan Ki Perapat mengangguk-angguk. Katika
Akuwu itu menceriterakan apa yang telah terjadi, maka Ki
Demung dan Ki Perapat itu menarik nafas dalam!.
"Sokurlah jika sagalanya telah dapat diselesaikan dengan
baik" berkata Ki Demung "hambapun yakin sajek semula,
bahwa ketiganya adalah orang-orang yang memang barbuat
kebaikan tanpa pamrih"
"Ya. Dan sekarang segalanya terserah kepada-kalian"
berkata Akuwu "Ki Buyut tidak akan mendapat kan
kedudukannya kembali, karana aku tidak yakin, hukuman
yang betapapun beratnya akan dapat menyembuhkannya.
Karana itu, maka kalianlah yang wajib melakukan sagala
usaha untuk memperbaiki keadaan padukuhan-padukuhan
yang termasuk dalam daerah Kabuyutan ini"
Perintah Akuwu itu sudah tegas. Karana itu, maka Ki
Demung dan Ki Perapat merasa mendapat beban tanggung
jawab bagi padukuhan-padukuhan yang tergabung dalam
satu Kabuyutan. Setelah memberikan beberapa penjalasan, maka Akuwu
yang telah melihat sendiri keadaan di Kabuyutan itupun
sagera minta diri untuk kembali. Perintahnyapun telah
dipertegas pula, menyerahkan sagala sesuatunya kepada Ki
Demung dan Ki Perapat. "Siapa yang menentang kebijaksanaan ini. berarti
menantang keputusanku" berkata Akuwu yang masih muda
itu. Sapeninggal Akuwu itu, maka Ki Demung dan Ki
Perapat telah mengumpulkan orang-orang terpenting untuk
mem bicarakan kemungkinan menentukan sikap mengulasi
kekosongan karena Ki Buyut yang lorpnksa dibawa oltili
para pengawal Sang Akuwu.
Adalah diluar dugaan mareka, bahwa tiba-tiba saja
Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan telah singgah
di Kabuyutan mereka. Kedatangan ketiga orang itu ternyata
telah disambut dengan sikap yang jauh berbeda dengan
sikap mereka sebelumnya, meskipun sebelumnya mereka
juga menunjukkan sikap yang baik.
"Kami mohon maaf tuanku" berkata Ki Demung "kami
yang bodoh sama sekali tidak mengetahui siapakah tuanku
sabenarnya" Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan justru
menjadi enggan untuk tinggal di Kabuyutan itu karena
sikap mereka. Karena itulah, maka merekapun hanya
sekedar memberikan beberapa petunjuk saja, kemudian
mereka minta diri untuk melanjutkan perjalanan.
"Agaknya Akuwu telah datang kemari dan berceritera
tentang kami" berkata Mahisa Agni.
"Ya tuanku" jawab Ki Demung.
"Baiklah. Lakukanlah pesan Akuwu sebaik-baiknya.
Karni akan melanjutkan perjalanan. Mudah-mudahan lain
kali kami akan dapat singgah lagi" berkata Mahisa Agni.
Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan tidak
dapat mereka tahan lagi untuk bermalam barang satu
malam. Ketiganya kemudian meninggalkan bukan saja
Kabuyutan itu, tetapi mereka telah melintasi batas dari
Kabuyutan yang terbentang di dalam daerah Pakuwon.
Mereka tidak lagi diganggu di perjalanan setelah ada isyarat
bahwa keadaan tatah dapat dikuasai.
Meskipun masih ada bekas-bekas kesiagaan, tetapi tidak
ada lagi yang menegur mereka dan apalagi berusaha
menahan mereka meski sebagian besar orang-orang di
sepanjang jalan tidak mengenal mereka.
Sejak hari itu, maka mareka telah mulai lagi dengan satu
pengembaraan. Meskipun mereka telah bartemu dengan
orang-orang yang pernah mengenal nama Rajawali
Penakluk dan orang yang memiliki sumber ilmu yang sama
dengan Ki Dukut, namun mereka sama sekali tidak
mendapat keterangan tentang Ki Dukut itu sendiri.
Dalam pada itu, maka mulailah Mahisa Bungalan
teringat lagi kepada sebuah padukuhan kecil yang pernah
dikunjunginya dalam pengembaraannya seorang diri.
Teringatlah ia kepada padepokan Kenanga dan seorang
yang bernama Ki Selabajra. Iapun teringat pula pada
seorang gadis yang mempunyai arti tersendiri di dalam
hatinya, Ken Padmi. Namun kemudian Mahisa Bungalan
itupun mengerutkan keningnya. Di padepokan itu, atau
setidak-tidaknya dekat dari padepokan itu terdapat
seseorang yang bernama Marwantaka.
Mahisa Bungalan sama sekali tidak menjadi gentar.
karena nama itu. Tetapi jika kehadirannya di padepokan itu
telah menumbuhkan persoalan baru, sebagaimana telah
pernah terjadi, maka hal itu sama sekali tidak
dikehendakinya. Meskipun demikian, diluar kehendaknya maka mereka
telah menelusuri jalan menuju ke padepokan kecil itu. Jalan
itu memang panjang, namun rasa-rasanya tidak akan
menjadi hambatan. Apalagi Mahisa Agni dan Witantra
sama sekali tidak berbicara tentang arah. Mereka
menelusuri jalan yang manapun juga sambil mendengarkan
orang berbicara tentang keadaan mereka. Barangkali
mereka mendengar seseorang menyebut nama Ki Dukut
Pakering. Tetapi rasa-rasanya Mahisa Bungalan seprti orang yang
terbangun dari mimpinya ketika tiba-tiba saja ia berada di
ujung bulak panjang menghadap ke sebuah padepokan di
kejauhan. Seolah-olah ia telah terlempar begitu saja ke
sebuah padepokan yang pernah dihuninya meskipun hanya
sangat singkat. Watu Kendeng.
Di luar sadarnya pula Mahisa Bungalan telah menarik
kandali kudanya, sehingga dengan demikian maka Mahisa
Agni dan Witantrapun telah berbuat serupa pula dan
berhenti di belakang Mahisa Bungalan.
"Apa yang kau lihat?" bertanya Mahisa Agni "apakah
kau melihat Ki Dukut berlari-lari di pategalan?"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian iapun menjawab "Di depan kita adalah
padepokan Watu Kendeng"
"Kau mengenal padepokan itu?" bertanya Mahisa Agni.
"Aku pernah tinggal di padepokan itu dalam satu
pengembaraan" jawab Mahisa Bungalan.
"Apakah kita akan singgah?" bertanya Mahisa Agni.
Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Baru sejenak
kemudian ia menjawab "Apakah ada keuntungannya kita
singgah?" Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Terasa pertanyaan
itu agak janggal. Meskipun demikian Mahisa Agni
menjawabjuga "Kita telah singgah di banyak padukuhan.
Di kedai-kedai atau bahkan kadang-kadang kita berbicara
dengan orang-orang yang tidak kita kenal dan justru
mencurigai kita. "Tetapi jika kita sudah kenal isi padepokan
itu, bukankah kita akan dapat berbicara dengan mereka.
Sokur jika mereka pernah mendengar sesuatu tentang Ki
Dukut. Tetapi jika tidak, kita dapat mempererat hubungan
yang sudah lama kau mulai"
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya kemudian
"Beberapa padepokan di sekitar daerah ini pernah
dikunjungi oleh Ki Dukut. Beberapa diantara mereka kita
temui di padepokan Ki Kasang Jati, saat mereka dikelabui
oleh keterangan palsu Ki Dukut Pakering"
"Dan kita pernah mencemaskan, bahwa dendam Ki


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dukut akan membakar daerah ini" desis Witantra.
"Ya" jawab Mahisa Bungalan.
"Jika demikian, alangkah baiknya jika kita singgah"
berkata Wjlantra kemudian.
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam
Padepokan itu memberikan satu kenangan tersendiri. Ki
Watu Kendeng pernah menganggapnya sebagai anak
sendiri. "Baiklah" berkata Mahisa Bungalan kemudian "kita
akaa singgah di padepokan kecil itu. Mudah-mudahan
segalanya belum berubah. Aku sudah lama tidak
mengunjunginya" Demikianlan maka ketiga orang itupun kemudian
berkuda perlahan-lahan melintasi bulak panjang. Sabuah
padukuhan yang besar yang terletak beberapa puluh
tonggak dari bulak itu nampak sepi. Namun demikian, ada
juga satu dua orang yang masih nampak berada di sawah
mereka" "Padepokan itu berada di luar Kabuyutan yang meliputi
padukuhan yang cukup besar itu" berkata Mahisa
Bungalan. "Ya. seperti pada umumnya padepokan" desis Witantra
"namun demikian, bukankah selalu ada hubungan timbal
balik antara padepokan itu dengan Kabuyutan ini?"
"Ya" jawab Mahisa Bungalan yang menjadi semakin
berdebar ketika mereka menjadi samakin mendekati
padepokan itu. Padepokan yang dilingkari dengan dinding
batu yang cukup tinggi. Sejenak kemudian, maka katiga orang itupun telah
berada di pintu gerbang padepokan yang tertutup meskipun
tidak terlalu rapat. Dengan demikian, maka Mahisa
Bungalan kemudian meloncat turun dari kudanya dan
perlahah-lahan mendorong pintu gerbang itu.
Tetapi Mahisa Bungalan terkejut ketika ia melihat
beberapa orang cantrik yang telah siap dengan senjata, di
tangan. Demikian pintu itu terbuka, maka senjata-senjata
itupun telah teracu kepada Mahisa Bungalan.
Mahisa Bungalan mundur selangkah. Tetapi ia sama
sekali tidak menanggapi hulu senjatanya. Apalagi ketika ia
melihat seorang diantara para cantrik itu pernah
dikenalnya. Namun agaknya cantrik itupun telah mengenalnya pula.
Karena itu, maka iapun melangkah ke depan.
Senjatanyapun tertunduk ketika ia bertanya "Apakah aku
berhadapan dengan Mahisa Bungalan"
"Ya" jawab Mahisa Bungalan "kau masih mengenal
aku?" "Tentu, tentu" jawab orang itu. Lalu "Marilah,
masuklah. Dengan siapa kau datang" Dangan ayahmu?"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian iupun menggeleng sambil menjawab "Bukan,
bukan ayahku. Tatapi keduanya adalah pamanku"
Dengan gembira Ki Watu Kendeng menerima ketiga
tamunya. "Marilah. Kami persilahkan kalian masuk" cantrik itu
mempersilahkan. Dalam pada itu, cantrik itupun segera menghadap Ki
Watu Kendeng dan melaporkan, siapakah ketiga orang
yang telah memasuki regol halaman.
"Mahisa Bungalan. Jadi Mahisa Bungalan benar" telah
datang ke padepokan ini" bertanya Ki Watu Kendeng.
"Ya. Bersama kedua orang pamannya" jawab cantrik itu.
Ki Watu Kendengpun dengan tergesaj-gesa telah
menyongsong ketiga orang tamunya. Setelah menyerahkan
kuda mereka kepada cantrik yang berada di halaman, maka
ketiganyapun telah dipersilahkan naik ke pendapa.
Dengan gembira Ki Watu Kendeng menerima ketiga
tamunya. Setelah mengucapkan salamat datang dan saling
bertanya tentang keselamatan masing-masing, maka Ki
Watu Kendeng itupun berkata "Aku tidak menyangka,
bahwa suara perenjak di halaman samping rumah itu telah
menuntun Ki Sanak berdua serta angger Mahisa Bungalah
datang ke padepokan yang sangat jauh ini"
"Bukanlah aku pernah barjanji untuk datang" sahut
Mahisa Bungalan. "Ya. Dan sekarang kau telah memanuhi janji" desis Ki
Watu Kendeng. Sesaat pembicaraan berkisar tentang keadaan padepokan
itu selama saat-saat terakhir. Sawah yang semakin subur
dan hasil panenan yang terlimpah. Namun dala, pada itu,
Mahisa Bungalanpun berkata "Selain kesuburan yang
meningkat, nampaknya pengawalanpun telah meningkat
pula" Ki Watu Kendeng mengerutkan keningnya. Katanya
"Ah, agaknya hal itu bukannya satu kebanggaan bagi kami.
"Apa yang telah tarjadi?" bertanya Mahisa Agni. Ki
Watu Kendeng termangu-mangu sejenak. Namum katanya
kamudian "Ah, kalian baru saja datang. Biarlah
Kalian beristirahat barang satu dua hari. Nanti kalian
akan mendengar sendiri, apa telah terjadi didaerah ini"
"Tetapi, alangkah gelisahnya kami selama satu dua hari
itu" sahut Mahisa Bungalan "aku kira lebih baik bagi kami
untuk mendengarkannya sakarang. Baik atau buruk, tetapi
kami tidak lagi gelisah dan dicengkam oleh perasaan ingin
tahu" Ki Watu kendeng menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian katanya "Baiklah. Tetapi sebaiknya setelah
kalian sempat meneguk minuman yang akan dihidangkan.
Ketiga orang tamu itupun tidak memaksa. Mereka harus
bersabar menunggu minuman dan makanan dihidangkan.
Baru kemudian Ki Watu Kendeng berkata "Adalah
diluar keinginan kita semuanya, para penghuni padepokan
yang berada disekitar daerah, ini bahwa harus terjadi
perpecahan yang gawat diantara kami"
"Perpecahan yang bagaimana?" bertanya Witantra.
"Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian katanya "Bunga itu sedang mekar. Namun rasarasanya
makarnya bunga itu telah memanasi udara
sekitarnya" Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar. Sementara
itu, Ki Watu Kendeng dengan serta merta berkata "Tetapi
bukan salahnya bunga itu sendiri"
Tiba-tiba saja diluar sadarnya Mahisa Bungalan berdesis
"Apakah yang Ki Watu Kendeng maksudkan adalah Ken
Padmi?" "Ki Watu Kendeng mengangguk-angguk. Katanya "Ya.
Kita yang berada di padepokan inipun telah merasakan
panasnya bunga yang sedang mekar itu"
"Apa yang talah terjadi?" Mahisa Bungalan mendesak.
"Akupun tidak ingin menyalahkan ngger. Tetapi jika
semuanya telah diselesaikan saat itu, aku kira tidak akan
terjadi kesibukan seperti sekarang ini, sehingga padepokan
yang sudah tidak bersangkut paut inipun selalu bersiaga
menghadapi segala kemungkinan"
"Ya. Tetapi apa yang telah terjadi?" desak Mahisa
Bungalan yang tidak sabar lagi.
Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam.
Dipandanginya wajah Mahisa Bungalan yang tegang.
Kemudian wajah kedua orang yang disebut sebagai
pamannya itu. Mahisa Agni dan Witantrapun menunggu keterangan Ki
Watu Kendeng itu dengan berdebar-debar. Serba sedikit
keduanya pernah juga mendengar pengakuan Mahissa
Bungalan tentang seorang gadis Padepokan yang-bernama
Ken Padmi. Keduanyapun mengetahui bahwa
pengembaraan Mahisa Bungalan itu ada hubungan dengan
sentuhan perasaannya atas gadis itu"
Karena itu, maka seperti Mahisa Bungalan,
keduanyapun segera ingin tahu, apa yang telah terjadi.
"Angger Mahisa Bungalan" berkata Ki Watu Kendeng
"sepeninggalmu, ada beberapa orang telah mencoba
merebut hati gadis padepokan Kenaga itu. Gemak Werdi
tidak dapat bertahan terlalu lama. Kemudian hadir seorang
anak muda yang kaya raya, yang tinggal tidak terlalu jauh
dari padepokan itu, Seorang anak muda yang gagah dan
tampan dihiasai dengan kekayaan yang melimpah. Tetapi
anak muda itu nampaknya terlalu kasar sikap dan tingkah
lakunya. Dianggapnya gadis padepokan itu dapat
diperlakukan dengan sekahendak hatinya dengan uangnya
yang melimpah" "Marwantaka?" potong Mahisa Bungalan.
"Bukan. Bukan ngger" jawab Ki Watu Kendeng
"Marwantaka datang kemudian. Ia sempat tinggal di
padepokan Kenaga. Bahkan masih ada nama-nama lain
yang dapat disebut. Tetapi pertentangan yang paling tajam
justru terjadi pada Marwantaka dan anak orang kaya raya
itu" "Siapakah namanya?" bertanya Mahisa Bungalan.
"Wiranata" jawab Ki Watu Kendeng. Lalu persaingan
antara kedua anak muda itu telah pemuncak. Marwantaka
memang mempunyai kekuatan dengan padepokannya,
gurunya dan orang-orang lain yang mempunyai hubungan
langsung atau tidak langsung. Sementara Wiranata yang
merasa dirinya pernah berguru kepada seseorang yang pilih
tanding itupun telah menghimpun kekuatan pula. Dengan
uangnya ia tidak sulit mendapatkan kawan untuk
memusuhi Marwantaka"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian dengan ragu-ragu ia bertanya "Lalu apakah
hubungannya dengan padepokan ini?"
Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Ki Selabajra menjadi kebingunan. Kedua belah pihak yang
sudah menghimpun kekuatan itu telah mengancam
padepokan Kenaga. Jika padepokan Kenaga menolak,
maka yang akan terjadi adalah pertumpahan darah. Karena
kegelisahannya dan pemecahan yang sampai saat ini belum
ditemukan, maka Ki Selabajra minta, agar aku dapat
membantunya. Setidak-tidaknya untuk ikut serta
melindungi padepokan Kenaga dari kemusnahan"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya
dengan nada rendah "Dengan demikian Watu Kendeng
terpaksa berhadapan pula dengan kedua belah pihak yang
sedang bermusuhan itu"
Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Aku tidak dapat ingkar. Meskipun hubungan antara Watu
Kendeng. dengan Padepokan Kanaga pernah diwarnai
dengan sikap keluargaku yang buram, namun aku tidak
dapat menolak permintaannya. Aku berusaha untuk
membantunya" "Apa yang akan dilakukan oleh padepokan ini?"
bertanya Mahisa Bungalan.
"Keadaan padepokan Kenaga memang sudah parah.
Ada orang-orang lain yang sebenarnya terlibat. Tetapi
mereka yang tidak dapat dengan terang-terangan
melontarkan kekuasannya karena gadis Padepokan itu
menolaknya, telah menyiramkan minyak ke dalam api.
Mereka seolah-olah ingin melihat, padepokan Kenanga itu
mengalami bencana justru karena gadis itu" berkata Ki
Watu Kendeng. Lalu "Dengan demikian ada dua
kemungkinan yang dapat dilakukan. Apakah kami dari
Watu Kendeng untuk sementara berada di padepokan
Kenanga, atau para penghuni padepokan Kenanga untuk
sementara berada di Watu Kendeng"
"Apakah itu satu penyelesaian?" bertanya Mahisa
Bungalan. "Penyelesaian sementara. Jika pertentangan antara.
Marwantaka dan Wiranata mereda, atau salah satu diantara
mereka telah menarik niatnya, maka aku kira keadaan akan
menjadi tenang kembali" jawab Ki Watu Kendeng.
"Dan Ken Padmi akan menerima salah seorang dari
keduanya?" Mahisa Bungalan bertanya dengan serta merta.
"Aku tidak tahu" jawab Ki watu Kendeng "tetapi gadis
itu sudah waktunya mengakhiri masa gadisnya. Ia. tidak
dapat terus menerus mendekap diri daiam kerinduannya
atas satu masa yang tidak akan kunjung datang"
"Apakah maksud Ki Watu Kendeng?" bertanya Mahisa
Bungalan. Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Aku tidak dapat mengatakan apa-apa ngger. Tetapi
demikianlah keadaan kami sekarang. Kami memang sedang
menunggu keputusan terakhir dari Ki Selabajra. Dan
kamipun telah bersedia untuk memenuhinya, seandainya Ki
Selabajra minta kami datang kepadepokannya untuk
melindungi Ken Padmi dan tindakan kekerasan. Dan kami
disinipun telah siap menerima mereka, seandainya mereka
merasa lebih tenang berada disini"
Wajah Mahisa Bungalan menjadi tegang. Diluar
sadarnya ia berpaling kepada kedua pamannya, seolah-olah
minta pertimbangan mereka.
Ki Watu Kendengpun nampaknya berpengharapan,
bahwa kehadiran mereka akan mambantu mengatasi
keadaan. Namun la merasa kecewa, bahwa Mahisa
Bungalah tidak datang bersama ayahnya.
"Ki Watu Kendeng" berkata Mahisa Agni kemudian
"apakah keadaan yang gawat itu memang sudah
mendesak?" "Aku kira memang demikian" jawab Ki Watu Kendeng
"tetapi aku masih menunggu hubungan dengan Ki
Selabajra" Mahisa Bungalan manjadi berdebar-debar. Ternyata ia
hadir pada waktu padepokan itu memerlukannya. Tetapi la
tidak tahu, bagaimanakah tanggapan yang bernama Ken
Padmi itu sendiri. Apakah gadis itu merasa bahwa
kehadirannya akan dapat menjernihkan suasana, atau justru
sebaliknya. Dalam pada itu, maka Ki Watu Kendeng itupun berkata
"Angger Mahisa Bungalan. Jika angger masih mempunyai
sisa-sia kenangan masa-masa yang pernah angger alami di
daerah ini. Aku ingin mohon agar angger dan kedua paman
angger ini untuk tinggal di Watu Kendeng barang satu dua


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hari. Mungkin dalam waktu satu dua hari itu, akan datang
kabar dari padepokan Kenanga yang sudah dibayangi bleh
keadaan yang gawat itu"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Sekali
lagi ia memandangi kedua pamannya yang duduk
termangu-mangu. Witantra yang melihat kegelisahan di wajah Mahisa
Bungalan itupun berkata "Ki Watu Kendeng. Agaknya
"kami tidak berkeberatan untuk memenuhi permintaan itu.
Mudah-mudahan segalanya justru akan menjadi baik, dan
tidak sebaliknya" "Ya, ya Ki Sanak" desis Ki Watu Kendeng "namun
nampaknya kedua orang anak muda itu bagaikan telah
kehilangan akal dan pertimbangan. Nama-nama lainpun
segera menghindar ketika keduanya tidak lagi bersikap
wajar. Kedua belah pihak telah berhubungan dengan orangorang
terkuat pada masa sekarang. Yang satu lewat
hubungan perguruan, sedangkan yang lain karena-uangnya
yang melimpah, sehingga dengan uang itu, ia akan
berusaha untuk berbuat apa saja"
"Baiklah" sahut Mahisa Agni pula "kami akan tinggal
satu atau dua malam disini. Agaknya memang lebih baik
kami berada disini, daripada kami langsung berada di
Padepokan Kenanga" "Ya, ya Ki Sanak" jawab Ki Watu Kendeng dengan serta
merta "padepokan ini memang pernah juga mempunyai
hubungan khusus dengan padepokan Kenanga. Aku tidak
tahu, bahwa justru padepokan inilah yang akan
menemukan jalan pemecahan"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia
hanya menundukkan kepalanya saja.
"Jika demikian Ki Sanak" berkata Ki Watu Kendeng
kemudian "aku ingin mampersilahkan Ki Sanak untuk
berada di padepokan ini sebagaimana Ki Sanak berada di
rumah sendiri. Kami akan menyediakan bilik Ki Sanak
bertiga, karena agaknya Ki Sanak juga memerlukan waktu
untuk beristirahat" Dengan demikian, maka Mahisa Agni Witantra dan
Mahisa Bungalan telah singgah di padepokan Watu
Kendeng itu untuk beberapa hari. Dengan gelisah Mahisa
Bungalan menunggu berita terakhir dari padepokan
Kenanga. Jika keadaan menjadi semakin buruk, maka ia
harus cepat bertindak. Ia tidak menghiraukan lagi,
bagaimanakah tanggapan Ken Padmi kemudian. Namun
gadis itu harus diselamatkan dari keserakahan kadua orang
anak muda yang tidak tahu diri itu.
Dalam pada itu, dihari berikutnya, padepokan itu telah
dikejutkan oleh kehadiran beberapa orang berkuda.
Seperti saat-saat Mahisa Bungalan dan kedua pamannya
datang, maka para penjaga diregol padepokan telah
menghentikan orang-orang berkuda itu sambil mengacukan
senjata mereka. "Jangan gila" bentak pemimpin orang-orang berkuda itu
"aku akan bertemu dengan Ki Watu Kandeng"
"Siapakan kalian?" bertanya cantrik yang menjaga
gerbang itu. "Minggir. Aku akan bertemu dengan Ki Watu Kendeng"
sekali lagi orang itu membentak.
"Tetapi sebut, siapakah kalian dan apakah kepentingan
kalian" cantrik itu masih bertanya.
"Jangan banyak bicara" orang itu semakin marah "kami
dapat memenggal leher kalian dalam satu ayunan pedang.
Aku akan bertemu dengan Ki Watu Kendeng. Kau dengar"
Para cantrik itu termangu-mangu. Namun dalam pada
itu, Ki Watu Kendeng yang duduk dipendapa bersama
Mahisa Aghi. Witantra dan Mahisa Bungalanpun telah
berdiri pula. Sementara itu Mahisa Agni berdesis "Terima
sajalah. Mungkin ada persoalan yang dapat melengkapi
gambaran kita tentang persoalan yang sadang dihadapi oleh
padepokan Kananga" Ki Watu Kandengpun mengangguk. Kemudian iapun
bertepuk tiga Kali. Para cantrik diregol itu sudah terbiasa. Ki Watu Kendeng
telah memberikan isyarat agar mereka dibiarkan masuk.
Karena itu, maka para cantrik itupun segera menyibak.
Tanpa turun dari kudanya, orang-orang itupun memasuki
halaman. Dengan nada kasar orang yang memimpin iringiringan
itu bertanya lantang "Siapakah diantara kalian yang
bernama Ki Watu Kendeng"
Ki Watu Kandengpun melangkah maju. Dengan nada
datar ia berkata "Marilah Ki Sanak. Aku ingin
mempersilahkan Ki Sanak untuk duduk barang sebentar.
Kita akan dapat berbicara dengan baik dan tidak tergesagesa"
"Aku memang tergesa-gesa" jawab orang berkuda itu
"kaukah yang bernama Ki Watu Kendeng?"
"Ya Ki Sanak" jawab Ki Watu Kendeng.
"Baiklah. Aku tidak perlu duduk. Aku hanya ingin
menyampaikan pesan angger Wiranata" berkata orang
berkuda itu. "Angger Wiranata?" Ki Watu Kendeng mengulangi.
"Ya" sahut orang berkuda itu "dalam persoalan yang
timbul antara angger Wiranata, Marwantaka dan Ki
Selabajra, padepokan ini jangan turut campur. Aku
mendengar, bahwa Ki Selabajra telah menghubungi kalian
untuk membantu melindungi Ken Padmi. Itu tidak perlu
sama sekali, karena angger Wiranata sanggup melakukan
sendiri" Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam.
Kamudian katanya "jadi Ki Sanak ini utusan angger
Wiranata?" Wajah orang-orang itu menegang. Nampaknya Ki Watu
Kendeng masih tetap tenang. Karena itu, maka pemimpin
mereka itupun sekali lagi mambentak "Sudah aku katakan.
Kami adalah utusan angger Wiranata. Kami adalah utusanutusan
yang memiliki kekuasaan atas namanya. Kami
mendapat wewenang untuk berbuat apa saja bagi
kepentingan angger Wiranata"
Tetapi Ki Watu Kendeng masih tetap tenang. Apalagi di
padepokan itu ada Mahisa Bungalan dan kedua pamannya,
yang agaknya juga memiliki kemampuan seperti Mahisa
Bungalan. Bahkan katanya kemudian "Jangan mengancam Ki
Sanak. Jika Ki Sanak memang utusan dari angger
Wiranata, maka pesannya yang disampaikan lewat Ki
Sanak sudah kami terima. Itu saja"
"Jangan sombong" berkata orang itu "kau tidak hanya
menarima pesannya. Tetapi kau harus mamatuhinya. Jika
kau melanggar pesan itu, berarti bahwa kau telah
menentang angger Wiranata. Dangan demikian maka
angger Wiranata akan dapat melakukan apa saja yang
dianggapnya baik" "Terserahlah" berkata Ki Watu Kendeng "Kami akan
manentukan sikap sasuai dengan kapentingan kami.
Mungkin sekali nanti, atau besok atau kapanpun. angger
Marwantakapun akan mengirimkan utusan pula kemari,
Mengancam dan menakut-nakuti seperti yang Ki Sanak
lakukan. Justru karena itu, kami akan menentukan sikap
menurut kepentingan kami sendiri"
"Persetan" geram orang itu "kau jangan sombong Ki
Watu Kendeng. Apakah arti padepokan kecilmu ini.
Dengan sekali renggut, maka padepokan ini tidak akan
dapat kalian kenali lagi. Kami dapat membuatnya menjadi
karang abang" Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Memang mudah untuk melakukannya. Merusak memang
jauh lebih mudah dari saat-saat membuatnya. Tetapi ingat,
bahwa kami akan mempertahankan milik kami dengan
segenap kekuatan yang ada pada kami. Jika padepokan ini
lumat menjadi debu, maka seisinyapun akan hancur pula
menjadi debu" "persetan" orang itu hampir berteriak "jadi kalian tidak
mau mendengar pesan ini?"
"Kami sudah mendengarnya" jawab Ki Watu Kendeng
"tetapi selanjutnya tergantung kepada kami"
"Kalian akan menyesal. Sayang, aku sekarang tidak
diperkenankan untuk menghancurkan padepokan ini.
Angger Wiranata masih mempertimbangkan banyak hal
atas kemuliaan hatinya" berkata orang itu dengan lantang.
Namun Ki Watu Kendeng menjawab "Bukankah kau
utusan angger Wiranata dengan membuat kuasa atas
namanya untuk berbuat apa saja?"
"Tetapi masih dalam batas-batas belas kasihannya"
bentak orang itu. Namun kemudian "Tetapi kalian terlalu
sombong. Kalian akan menyesal pada saatnya"
Ki Watu Kendeng tidak sempat menjawab. Orang
itupun. kemudian memberi isyarat kepada kawankawannya
untuk meninggalkan padepokan itu. Namun
orang itu masih sempat berkata dan mengancam "Kami
akan datang lagi dengan kuasa yang lebih lengkap.
Padepokan ini akan meniadi abu"
Ki Watu Kendeng tidak menjawab. Dipandanginya saja
orang itu meninggalkan halaman padepokannya.
Demikian orang-orang itu hilang dibalik regol, maka
seorang cantrik telah menutup regol itu meskipun tidak
menyelaraknya. Sementara Ki Watu Kendeng menarik
nafas. sambil berkata "Nah, angger Mahisa Bungalan. Kau
sudah melihat sendiri, betapa panasnya bunga yang sedang
mekar di padepokan Kenanga itu"
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya
"Nampaknya suasana akan menjadi samakin panas"
"Ya. Dan Ki Selabajra akan menjadi Semakin cemas
menghadapi ancaman dari kedua belah pihak" jawab Ki
Watu Kendeng "sebagaimana kau lihat, padepokan ini yang
tidak tersangkut langsung telah mendapat ancamanancaman
yang mendebarkan. Apalagi padepokan Kenanga
yang langsung menyimpan bunga yang sedang mekar itu
sendiri" "Jika perlu, kami akan malihatnya" berkata Witantra
"mungkin padepokan itu memang memerlukan, bantuan
betapapun kecilnya" "Ya Ki Sanak. Tetapi aku masih akan menunggu sampai
besok. Jika Ki Selabajra tidak mengirimkan utusan, karena
mungkin setiap orang yang keluar dari padepokan itu telah
dihalangi, maka kamilah yang akan mengirimkan isyarat"
berkata Ki Watu Kendeng. Karena itu, maka Mahisa Agni. Witantra dan Mahis
Bungalan merasa perlu untuk tetap tinggal di padepokan ifu
sambil menunggu perkembangan keadaan.
Demikianlah, ternyata seperti yang diperhitungkan oleh
Ki Watu Kendeng. Dihari berikutnya, telah datang dua
orang cantrik dari padepokan Kenanga. Mereka membawa
pesan dari Ki Selabajra tentang keadaan padepokan
Kenanga. Namun seperti yang dikehendaki oleh Mahisa Bunga
Bungalan sendiri, maka Ki Waltu Kendeng sama sekali
tidak mengatakan kepada utusan padepokan Kenanga itu,
bahwa Mahisa Bungalan dan kedua orang pamannya
berada di Watu Kendeng. "Keadaan memang sudah gawat sekali Ki Watu
Kendeng" berkata utusan itu "bahkan dari kedua belah
pihak telah timbul ancaman, jika Ki Selabajra menyerahkan
Ken Padmi kepada pihak yang lain, maka padepokan
Kenanga akan menjadi debu. Bahkan disaat-saat terakhir,
agaknya kedua belah pihak sudah bersiap untuk mengambil
Ken Padmi dengan kekerasan"
"Jadi, apakah Ki Selabajra minta agar kami datang ke
padepokan kecil itu?" bertanya Ki Watu Kendeng.
Utusan Ki Selabajra itu menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian katanya dengan nada rendah "Ki Selabajra
menjadi bimbang menghadapi keadaan. Sebenarnyalah
bahwa kehadiran Ki Watu Kendeng akan sedikit
memberikan ketenangan. Tetapi jika demikian, Ki Watu
Kendeng akan terlibat langsung dalam persoalan ini,
sehingga KiWatu Kendeng akan dimusuhi oleh kedua belah
pihak itu. Akibatnya akan dapat merugikan padepokan ini"
"Tetapi bukankah sudah sewajarnya jika kami Saling
menolong. Akibat itu adalah wajar sekali. Namun sudah
barang tentu kami tidak akan dapat tinggal diam jika kami
mengetahui, bahwa keadaan Ki Selabajra menjadi sangat
gawat" berkata Ki Watu Kendeng.
"Demikianlah Ki Watu Kendeng. Ki Selabajrapun
berpesan, bahkan segala sesuatupun terserah kepada Ki
Watu Kendeng. Kami memang menyampaikan keluhan
kepada Ki Watu Kendeng, namun segalanya memang harus
dipertimbangkan dengan kemungkinan yang akan dapat
terjadi atas padepokan ini sendiri"
Ki Watu Kendeng mengangguk-angguk. Katanya
"Sudahlah. Aku mengerti maksud Ki Selabajra. Ia memang
tidak ingin merugikan orang lain. Namun sudah barang
tentu bahwa kami akan membuat pertimbanganpertimbangan
tersendiri" "Segalanya terserah kepada Ki Watu Kendeng.
Selanjutnya kami mendapat pesan untuk segera kembali,
karena setiap orang diperlukan di padepokan Kenanga pada
saat ini" berkata utusan itu.
Ki Watu Kendeng tidak menahannya. Namun ia
berpesan, bahwa ia akan mengatur padepokannya sebaikbaiknya.
Mungkin ia akan mengambil keputusan untuk
datang kepadepokan Kenanga. Namun ia memang harus
membuat perhitungan tentang padepokannya sendiri.
Demikianlah maka utusan itupun segera minta diri.
Seperti pesan Ki Selabajra bahwa ia harus segera berada di
padepokan Kenanga kembali, karena keadaan yang menjadi
semakin gawat. Sepeninggal utusan itu, maka Ki Watu Kendengpun
segera berbicara dengan Mahisa Bungalan, Witantra dan
Mahisa Agni. Apakah yang sebaiknya dilakukan.
"Persoalan ini memang berat bagi Ki Watu Kendeng.
Jika Ki Watu Kendeng pergi, maka padepokan ini akan
dapat menjadi sasaran kemarahan mereka justru pada


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saat-saat Ki Watu Kendeng tidak berada di padepoka"
berkata Mahisa Agni. "Tetapi aku juga tidak sampai hati untuk membiarkan
padepokan Kenanga menjadi karang abang. Aku mengerti
bahwa kekuatan padepokan Kenanga sendiri atau Watu
Kendeng sendiri, tidak akan mampu membendung
kekuatan salah satu pihak yang sedang bermusuhan itu"
jawab Ki Watu Kendeng Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Mahisa Bungalan.
bertanya "Ki Watu Kendeng, apakah salah orang dari
kedua anak-anak muda itu memiliki kelebihan" Aku pernah
bertemu dengan anak muda-yang bernama Marwantaka.
Tetapi aku belum pernah mengenal Wiranata"
Ki Watu Kendeng mengerutkan keningnya. Kemudian
katanya "Keduanya sebenarnya bukan anak muda yang
dapat dibanggakan dalam olah kanuragan. Mereka memang
memiliki ilmu, tetapi tidak terlalu tinggi, sebagaimana anakanak
padepokan yang lain"
"Apakah kedua anak-anak muda itu memiliki ilmu yang
seimbang?" bertanya Mahisa Bungalan.
"Kira-kira memang demikian. Tetapi aku kira
Marwantaka mempunyai pengalaman yang lebih luas"
jawab Ki Watu Kendeng. "Dan bagaimana dengan Ken Padmi sendiri?" bertanya
Mahisa Bungalan pula "meskipun ia seorang gadis, tetapi
bukankah ia juga mempelajari ilmu kanuragan dari ayahnya
sendiri?" "Ya. Tetapi apa artinya Ken Padmi sendiri. Pada saatsaat
terakhir, justru ketika perasaan kecewa menggigit
jantungnya semakin pedih, ia telah menenggelamkan diri ke
dalam sanggarnya. Kadang-kadang justru diluar
pengamatan ayahnya. Menurut pendengaranku, ilmunya
meningkat dengan pesat, karena ia menumpahkan segenap
kekesalan, kekecewaan dan harapan kepada ilmunya"
berkata Ki Watu Kendeng. "Bagus " desis Mahisa Bungalan tiba-tiba.
"Kenapa?" bertanya Ki Watu Kendeng "betapa tinggi
ilmu Ken Padmi itu sendiri, ia tidak akan mampu, melawan
kekuatan yang akan melanda padepokannya. Baik
Marwantaka maupun Wiranata akan datang dengan
kekuatan yang tidak akan dapat diimbangi oleh padepokan
Kenanga sendiri. Jumlah orang yang lebih banyak akan ikut
menentukan. Apalagi diantara mereka tentu terdapat orangorang
yang lebih kuat dari kedua anak muda itu sendiri,
sehingga kemampuan Ken Padmi bahkan Ki Selabajra
sendiri, tidak akan memadai"
"Maksudku bukan demikian" berkata Mahisa Bungalan
"Ki Watu Kendeng dapat memberikan saran kepada Ken
Padmi untuk mengambil jalan tersendiri. Jalan yang
barangkali akan dapat menyelamatkan padepokan Kenanga
dan juga padepokan Watu Kendeng, karena untuk
selanjutnya tidak akan terjadi pertentangan yang akan dapat
menimbulkan peperangan"
"Apakah yang kau maksud?" justru Mahisa Agnilah
yang bertanya. "Paman" berkata Mahisa Bungalan "Ken Padmi dapat
menempuh satu cara. Sayembara tanding. Siapa yang dapat
mengalahkan gadis itu, maka ialah yang akan menjadi
suaminya" "Ah" itu berbahaya sekali" jawab Ki Watu Kedeng
dengan serta merta. "Maksudku, hanya diantara keduanya. Marwantaka dan.
Wiranata" jawab Mahisa Bungalan "aku pernah mengukur
kemampuan Marwantaka. Ia, tidak terlalu berbahaya
meskipun ia keras kepala"
"Namun nampaknya. Ki Watu Kendeng masih belum
dapat mengerti maksud yang sebenarnya dari Mahisa
Bungalan. Sehingga karena itu maka Mahisa Bungalanpun
berkata" Ki Watu Kendeng. Aku pernah menjajagi
kemampuan Marwantaka. Aku mencoba untuk
menundukkannya tanpa menyakitinya saat itu. Aku
berusaha memeras tenaganya sehingga ia kelelahan. Tetapi
ia memang teras kepala. Namun demikian, aku kira Ken
Padmi akan dapat mengimbangi kemampuannya. Apalagi
jika Wiranata itu tidak lebih baik dari Marwantaka"
Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Tetapi itu mengandung kemungkinan yang sangat
berbahaya ngger. Jika Ken Padmi kalah?"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian ia bertanya "Baiklah Ki Watu Kendeng berusaha
mencari keterangan, apakah selama ini Marwantaka
meningkatkan ilmunya. Jika tidak ada usaha itu, maka aku
yakin, Ken Padmi akan dapat menang. Tetapi masih, ada
satu syarat, sayembara tanding itu di selenggarakan barang
satu bulan lagi" "Satu bulan lagi" Jika terjadi sesuatu sebelum satu bulan"
Satu bulan adalah waktu yang lama bagi Marwantaka dan
Wiranata" jawab Ki Watu Kendeng.
Mahisa Agni dan Witantra yang juga kurang mengetahui
maksud Mahisa Bungalan hanya dapat mendengarkannya
saja. Sementara Mahisa Bungalan meneruskan "Mereka
akan menunggu, asal ada kepastian waktu. Satu bulan lagi,
akan diadakan sayembara tanding, khusus bagi
Marwantaka dan Wiranata. Siapa yang dapat mengalahkan
Ken Padmi, akan dapat di terima menjadi suaminya. Tetapi
sudah barang tentu, hal itu tidak perlu diberitahukan
kepada keduanya, kecuali kepastian waktunya saja"
"Aku kurang mengerti" desis Ki Watu Kendeng.
"Jika keduanya mengetahui bahwa akan diadakan
sayembara tanding, maka keduanyapun akan meningkatkan
ilmunya" berkata Mahisa Bungalan "yang diberitahukan
kepadanya, adalah, bahwa satu bulan lagi, Ken Padmi akan
menentukan sikapnya terhadap keduanya"
Ki Watu Kendeng termangu-mangu. Namun kemudiania.
berkata "Aku akan pergi kepadepokan Kenanga Aku
akan menyampaikannya kepada Ki Selabajra. Jika ia
sependapat, dan kemudian kedua anak muda itu dapat
bersabar menunggu, mungkin hal itu akan dapat ditrapkan.
Tetapi sudah tentu bahwa akan timbul kecurigaan, hiuag
kin kedua anak muda itu menganggap, bahwa selama satu
bulan itu, Ki Selabajra akan mencari perlindungan kepada
pihak yang lain" Ki Watu Kencleng dapat mencobanya" sahut Mahisa
Bungalan aku kira, kedua pamanku tidak akan berkeberatan
untuk ikut bersama Ki Watu Kendeng kepadepokan
Kenanga, sementara aku akan menjaga padepokan Watu
Kendeng" "Rencanamu rumit Mahisa Bungalan" desis Mahisa
Agni. "Tidak paman. Rencanaku sederhana sekali" jawab
Mahisa Bungalan "tegasnya, Ki Selabajra minta waktu
berpikir sebulan lagi agar Ken Padmi dapat menentukan
pilihan. Kemudian setelah satu bulan diumumkan
sayembara tanding. Dan kenapa aku mohon paman berdua
untuk pergi ke padepokan Kenanga tanpa aku" paman
berdua seolah-olah tidak mengenal aku sebelumnya. Dan
paman berdua akan membentuk gadis itu, agar gadis itu
benar-benar tidak akan dapat dikalahkan oleh Marwantaka
maupun Wiranata. Satu bulan adalah waktu yang sangat
sempit. Tetapi ia sudah memiliki dasar, sehingga aku yakin
ia akan dapat mangatasi keduanya. Dan selama itu, maka
biarlah, tidak seorangpun yang memberitahukan bahwa aku
berada disini" Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam, sementara
Witantra mengangguk-angguk sambil berguman "Aku
mengerti maksudmu Mahisa Bungalan. Namun yang harus
kami lakukan berdua adalah satu tugas yang berat. Jika
pada saatnya Ken Padmi tidak dapat mengalahkan
keduanya, atau karena sesuatu hal ia telah dengan sengaja
mengalah kepada salah seorang dari keduanya, karena ia
memang berniat demikian, maka kau tentu akan
menyalahkan kami" "Tidak, tentu tidak" jawab Mahisa Bungalan dengan
serta merta "aku yakin paman aku dapat membentuknya
menjadi seorang gadis yang pilih tanding. Tetapi jika ia
memang sengaja mengalah, itu adalah persoalannya. Aku
tidak akan mempedulikannya lagi, apa yang akan terjadi
dengan gadis itu dan dengan seisi padepokan Kenanga"
Namun Witantra dan Mahisa Agni justru tersenyum.
Dengan nada datar Mahisa Agni berkata "Jangan cepat
marah anak muda. Segala usaha akan kami lakukan"
Mahisa Bungalan memandang pamannya sekilas.
Namun Kemudian ia menundukkan kepalanya. Rasarasanya
wajahnya menjadi panas. Ia sudah terlanjur
disengat oleh perasaannya, sehingga pamannya tentu dapat
membaca apa yang sebenarnya bergejolak di dalam hatinya.
Bahkan kemudian ternyata Ki Watu Kendeng yang
akhirnya dapat mengerti juga persoalannya, telah tertawa
pula, meskipun ia tidak mengatakan sesuatu. Ia takut, jika
yang dikatakannya justru akan menyinggung perasaan,
anak muda itu. Demikianlah, maka merekapun memutuskan untuk
segera berbuat sesuatu seperti yang di direncanakan oleh
Mahisa Bungalan. Bahkan mereka tidak akan
memperpanjang waktu. Di keesokan harinya, Ki Watu
Kendeng akan pergi ke padepokan Kenanga bersama
Mahisa Agni dan Witantra, yang mengemban tugas yang
cukup berat. Dalam pada itu, Ki Watu Kendengpun telah mangatur
padepokannya menjelang keberangkatannya.
Diserahkannya segalanya kepada Mahisa Bungalan. Ki
Watu Kendeng. Ia tahu benar, bahwa Mahisa Bungalan
adalah seseorang yang memiliki kemampuan yang tinggi,
melampaui kemampuannya. Pada saatnya, maka Ki Watu Kendeng bersama Mahisa
Agni dan Witantra telah pergi ke padepokan Kenanga.
Mereka ingin mencoba memenuhi permintaan Mahisa
Bungalan, kecuali jika kedua anak muda itu tidak sabar lagi
dan mengambil sikap tersendiri.
Namun ternyata perjalanan mereka terganggu Ketika
mereka mendekati padepokan Kenanga, maka beberapa
orang berkuda telah mencegat mereka.
"Ki Watu Kendeng" berkata salah seorang dari mereka
"apakah Ki Watu Kendeng akan pergi ke padepokan
Kenanga?" Ki Watu Kendeng mengerutkan keningnya Ia mencoba
mengenali orang itu. Tetapi rasa-rasanya ia memang belum
mengenalnya meskipun agaknya orang itu mengenalnya
dengan baik. Namun dalam pada itu, Ki Watu Kendeng itupun
menjawab "Ya Ki Sanak. Aku memang akan pergi ke
padepokaan Kenanga" "Untuk apa?" bertanya orang itu "apakah Ki Watu
Kendeng akan melibatkan diri ke dalam persoalan yang kini
sedang kemelut di padepokan Kenanga itu?"
Ki Watu Kendeng menggeleng. Jawabnya "Aku hanya
bertiga. Tentu aku dan kedua orang cantrik tua ini tidak
akan dapat berbuat apa-apa. Yang ingin aku lakukan hanya
sekedar memberikan sedikit pertimbangan jika diperlukan
oleh Ki Selabajra. Kami adalah dua orang sahabat yang
baik. Karena itu, ketika, aku mendengar, bahwa padepokan
Kenanga sedang mengalami kebingungan, aku memerlukan
untuk sekedar menengoknya"
Orang-orang berkuda itu memandang Mahisa Agni dan
Witantra yang disebutnya sebagai dua orang cantrik tua.
Karena keduanya tidak berbuat apa-apa maka mereka fidak
memperhatikannya lagi. Namun sementara itu, Ki Watu Kendeng sempat
bertanya "Tetapi siapakah Ki Sanak ini?"
"Kami adalah kawan-kawan Marwantaka" jawab orang
itu "kami merasa wajib untuk berbuat sebagai seorang
kawan yang baik dalam persoalannya menghadapi anak gila
yang menganggap bahwa ia, dengan kekayaannya akan
dapat membeli segalanya yang diinginkannya. Termasuk
gadis yang sudah mengikat janji dengan Marwantaka itu.
Tetapi kami ingin membuktikan, bahwa kesetia-kawanan
kami nilainya lebih tinggi dari uang yang betapapun
banyaknya yang telah dikeluarkan oleh Wiranata untuk
mengupah penjahat-penjahat kecil yang tidak berarti anaapa
itu" Ki Watu Kendeng hanya dapat mengangguk-angguk
saja. Namun kemudian iapun segera minta diri untuk
melanjutkan perjalanannya. Katanya "Sebagaimana yang
aku katakan, aku hanya akan berusaha untuk meringankan
beban perasaannya" "Katakan kepadanya" berkata orang itu "jika dengan
cepat ia menentukan sikap, segalanya akan selesai,
Marwantaka akan sanggup melindungi anak gadisnya,
karena kami sudah berjanji dalam kesetia-kawanan kami
terhadapnya. Bahkan kami telah bersedia untuk melakukan
apa saja sampai batas hidup kami"
Ki Watu Kendeng mengangguk-angguk. Jawabnya
"Baiklah. Aku dapat menyampaikannya. Tetapi segala
keputusan terakhir ada padanya"
Ki Watu Kendeng, Mahisa Agni dan Witantra segera
melanjutkan perjalanan menuju ke padepokan Kenanga.
Kedatangan mereka ke padepokan itu, ternyata telah
dlsambut dengan kegembiraan. Bahkan rasa-rasanya seisi
padepokan telah mendapat angin yang segar setelah untuk
beberapa lamanya mereka tercekik dalam kegelisahan.
"Marilah, silahkah" berkata Ki Selabajra dengan gegap
oleh getar perasaannya. Demikianlah maka kedatangan Ki Watu Kendeng telah
membawa udara baru di padepokan itu. Ken Padmi yang
kemudian menyuguhkan hidangan nampak agak pucat dan
kurus. Namun sekilas Mahisa Agni dan Witantra melihat
gadis itu. merekapun berkata di dalam hatinya "Tidak
mustahil bahwa Mahisa Bungalan telah tertarik kepadanya.
Gadis itu memang cantik sekali. Seperti yang dikatakan
oleh Ki Watu Kendeng, ibarat bunga, maka bunga itu


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedang mekar. Dan agaknya justru telah membakar udara di
sekitarnya" Untuk beberapa saat lamanya mereka saling berbicara
tentang keselamatan mereka. Sebagaimana pesan Mahisa
Bungalan, maka Ki Watu Kendeng tidak memperkenalkan
kedua orang yang menyertainya itu sebagai paman Mahisa
Bungalan. Tetapi mereka adalah cantrik-cantrik tertua di
padepokan Watu Kendeng. Namun ketika pembicaraan mereka sampai kepada
masalah terpenting bagi padepokan Kenanga, maka Ki
Watu Kendengpun minta waktu untuk dapat berbicara
khusus dengan Ki Selabajra.
"Tidak perlu sekarang" desis Ki Watu Kendeng
"mungkin nanti sore atau malam hari"
Demikianlah, ketika tiba saatnya, maka Ki Watu
Kendengpun telah berbicara langsung khusus dengan Ki
Selabajra di ruang dalam menjelang tehgah malam. Di saat
padepokan itu telah tertidur nyenyak, "Ki Watu Kendeng
telah menyampaikan rencana yang dibuat oleh Mahisa
Bungalan. Tetapi ternyata bahwa atas persetujuan Mahisa
Agni dan Witantra, Ki Watu Kendeng telah merubah
sedikit pesan Mahisa Bungalan. Kepada Ki Selabajra Ki
Watu Kendeng mengatakan apa yang sebenarnya telah
terjadi. Ia tidak merahasiakan bahwa Mahisa Bungalan,
sudah berada di padepokan Watu Kendeng, sementara
kedua orang yang menyertainya itu adalah pamannya.
Namun Ki Watu Kendeng mohon agar Ken Padmi tidak
mengetahui akan hal itu, agar gadis itu tidak dengan
tergesa-gesa mengambil sikap, justru karena harga dirinya.
Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam. Katanya
dengan nada dalam "Terima kasih. Nampaknya pada saat
yang paling gelap, aku telah mendapatkan sepercik,
sinar yang dapat menuntun aku mencari jalan keluar"
Ternyata Ki Selabajra sama sekali tidak berkeberatan
dengan usul Mahisa Bungalan itu. Meskipun ia belum yakin
apakah kedua orang anak muda itu bersedia menunggu
keputusan Ken Padmi yang masih akan diberikan sebulan
lagi. "Tetapi jika aku memberikan batasan waktu, aku klra
mereka akan menunggu" berkata Ki Selabajra. "selama ini
mereka condong untuk mengambil sikap sendiri-sendiri,
karena masih belum ada kepastian apapun juga yang dapat
aku berikan kepada mereka"
"Kecuali jika mereka menolak" berkata Ki Watu.
Kendeng. "Itu soal lain berkata Ki Selabajra "jika demikian, kita
tentu akan mempertahankan apa saja"
"Kita wajib mencobanya" berkata Mahisa Agni.
"Besok aku akan menghubungi keduanya setelah aku
mendapat kepastian kesanggupan Ken Padmi" berkata Ki
Selabajra. Demikianlah. Maka pagi-pagi benar, Ki Selabajra sudah
memanggil Ken Padmi untuk berbicara langsung dengan Ki
Watu kendeng. Mahisa Agni dan Witantra yang hadir juga,
telah disebut oleh Ki Watu Kendeng sebagai cantriknya
yang tertua. "Ken Padmi" berkata Ki Watu Kendeng "kau bagiku
sudah tidak ubahnya seperti anakku sendiri. Aku memang
pernah termimpi, bahwa kau akan menjadi anakku. Namun
aku mohon, bahwa kaupun tidak berkeberatan "jika aku
tetap menganggapmu sebagai anak sendiri" Ki Watu
Kendeng berhenti sejenak, sementara Ken Padmi
bagaimana dihadapkan kepada satu teka-teki. Kemudian Ki
Watu Kendeng melanjutkannya "Karena itu, kegelisahan
yang sekarang ini sedang menyelimuti padepokan Kenanga
adalah sama dengan kegelisahanku sendiri. Karena itu,
maka jika kau tidak berkeberatan Ken Padmi, aku ingin
memberikan beberapa pendapat, mudah-mudahan akan
dapat membantu menjernihkan keadaan"
Ken Padmi hanya menundukkan wajahnya saja.
Ki Watu Kendengpun kemudian menyampaikan rencana
yang dipesankan oleh Mahisa Bungalan, agar dalam waktu
satu bulan lagi ia bersedia menyelenggarakan sayembara
tanding. Ken Padmi mengerutkan keningnya. Sekilas
dipandanginya wajah ayahnya. Rasa-rasanya ada sesuatu
yang ingin dikatakannya, namun ia tidak dapat
mengucapkannya. "Ken Padmi" berkata Ki Selabajra "apakah kau
berkeberatan" Apakah kau memang sudah memilih salah
seorang diantara keduanya" Atau satu keputusan yang lain"
"Tidak ayah" jawabnya dengan serta merta "aku tidak
dapat menerima keduanya. Karena itu, apakah kau. dapat
meyakini diriku sendiri, bahwa aku akan dapat
mengalahkan keduanya?"
Ki Watu Kendengpun menjelaskan, kenapa Ken Padmi
memerlukan waktu satu bulan lagi. Sementara itu ia akan
dapat mematangkan ilmunya, sedangkan kedua anak muda
itu tidak mengetahui rencana itu, sehingga mereka tidak
mempersiapkan diri mereka.
"Tetapi mereka sudah memiliki ilmu Itu" jawab Ken
Padmi "Ilmunya sekarang tidak lebih baik dari ilmu yang kau
miliki" jawab Ki Watu Kendeng "bukankah selama ini, kau
mengisi waktumu untuk melupakan kegelisahanmu dengan
menempa diri di dalam sanggar"
"Tetapi apakah itu dapat dijadikan pegangan, bahwa aku
akan dapat melawan Keduanya?" bertanya Ken Padmi
ragu-ragu. "Ken Padmi" berkata Ki Watu Kendeng "aku memang
ingin membantumu. Aku telah mengajak kedua orang
cantrikku yang tertua. Mereka akan dapat membantumu
dalam sebulan ini, sehingga kau akan dapat meyakinkan,
dirimu" Ken Padmi mengerutkan keningnya Dipandanginya
kedua orang tua itu berganti-ganti. Mereka hanyalah
seorang cantrik. Apa artinya bagi perkembangan ilmunya".
Sedangkan Ken Padmi tahu, bahwa Ki Watu Kendeng
adalah seorang yang tidak lebih baik dari ayahnya sendiri.
Ki Selabajra. Namun untuk menanyakannya, ia segan bahwa hal itu
akan dapat menyinggung perasaan kedua orang cantrik itu.
Tetapi sementara ia termangu-mangu, maka Ki
Selabajralah yang berbicara "Cobalah Ken Padmi. Cobalah
barang satu dua hari. Baru kemudian kau memutuskannya"
Ken Padmi menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kemudian "Baiklah ayah. Aku akan mencoba satu dua hari.
Baru kemudian aku akan memberikan jawaban"
Demikian, maka untuk satu dua hari Ki Watu Kendeng
akan berada di padepokan Kenanga, sementara Mahisa
Agni dan Witantra akan berusaha untuk meningkatkan
ilmu gadis yang sedang dibayangi oleh kegelisahan itu.
Sehingga tubuhnya menjadi kian kurus dan wajahnya kian
menjadi pucat. Di hari pertama Ken Padmi berada di sanggar bersamadengan
Mahisa Agni dan Witantra, ia telah dikejutkan
melihat kemampuan kedua, orang itu. Dengan sengaja
Mahisa Agni dan Witantra menunjukkan sesuatu yang
dapat mengejutkan gadis itu, agar ia percaya bahwa kedua
orang itu akan dapat membentuknya menjadi seorang gadis
yang akan mampu menghadapi kedua orang anak muda
yang membuatnya selalu gelisah dan cemas.
Meskipun yang ditunjukkan oleh Mahisa Agni dan
Witantra itu hanya sebagian kecil saja dari seluruh
kemampuannnya, namun jantung Ken Padmi telah benarbenar
tergetar. Karena itulah, maka iapun telah bertekad untuk
melakukan rencana seperti yang disampaikan oleh Ki Watu
Kendeng. Ia akan menempa diri dalam waktu sebulan,
kemudian menantang kedua ajak muda itu dalam
sayembara tanding. Sejak hari yang pertama, maka Ken Padmi telah
menenggelamkan diri ke dalam latihan-latihan yang lebih
berat. Ketika di hari ketiga Mahisa Agni dan Witantra
mengantar Ki Watu Kendeng kembali ke padepokannya,
rasa-rasanya ia tidak sabar lagi menunggu.
Tetapi Mahisa Agni dan Witantra telah berjanji kembali,
ke padepokan Kenanga meskipun sampai jauh malam.
Mereka tidak sampai hati melepaskan Ki Watu Kendeng
kembali seorang sendiri. Segala kemungkinan dapat terjadi
disepanjang jalan. Namun ternyata bahwa mereka tidak mengalami sesuatu
di perjalanan. Pada saat mereka kembali ki Watu Kendeng,
dan pada saat Mahisa Agni dan Witantra kembali lagi ke
Padepokan Kenanga. Sementara itu, Ken Padmi sama sekali tidak membuang
waktunya sama sekali. Demikian kedua orang cantrik tua
itu datang, maka iapun telah siap beralih di sanggarnya.
"Marilah paman" ajak Ken Padmi "waktuku sudah
terbuang sehari penuh selama paman berdua mengantar
paman Watu Kendeng" Mahisa Agni tersenyum ketika Ki Selabajra menyahut
"Biarlah kedua pamanmu itu beristirahat. Kau masih
mempunyai banyak waktu"
Ken Padmi masih akan membantah, tetapi ayahnya
berkata "Kedua pamanmu akan makan lebih dahulu.
Kemudian beristirahat sebentar. Baru, kau akan mulai
dengan latihan-latihanmu"
Demikianlah setelah beristirahat sebenar setelah makan,
maka Mahisa Agni dan Witantra telah mengajak Ken
Padmi masuk ke dalam sanggar.
Ki Selabajra yang ingin melihat kemajuan anak gadisnya
itupun lelah mengikutinya pula.
Tetapi nampaknya Mahisa Agni mulai dengan cara yang
agak berbeda dari cara yang sudah dilakukannya sejak tiga
hari yang lalu. Ketika Ken Padmi sudah siap, maka Mahisa
Agnipun berkata "Ken Padmi. Untuk berlatih kanuragan,
kita sebenarnya tidak harus selalu memeras tenaga, Kita
dapat berlatih dengan cara yang sedikit berbeda. Kali ini
kita akan mulai dengan latihan ketrampilan dan kecepatan
bergerak" Ken Padmi mengerutkan keningnya, ia tidak mengerti
maksud Mahisa Agni yang kemudian berkata kepada Ki
Selabajra "Apakah ada sebuah amben bambu yang dapat
kami pinjam?" "Untuk apa?" bertanya Ki Selabajra.
"Untuk Ken Padmi" jawab Mahisa Agni.
"O" Selabairapun mengangguk-angguk. Iapun kemudian
menyuruh dua orang cantrik untuk membawa sebuah
amben bambu ke dalam sanggar, tanpa mengetahui
gunanya sama sekali. Malam itu. Ken Padmi berlatih diatas sebuah amben
bambu. Mula-mula ia ragu-ragu. Dengan hati-hati ia berdiri
di atas amben itu. Kemudian dengan hati-hati pula ia mulai
bergerak. Ketika amben itu berderit maka Ken Padmi
manghentikan geraknya. Ternyata latihan yang dilakukan itu membuatnya lebih
cepat letih meskipun ia bergerak jauh lebih lamban dari
letihan-latihan sebelumnya. Dengan tuntunan Mahisa Agni
dan Witantra, Ken Padmi mulai berusaha untuk mengatur
langkah dan tata geraknya, sehingga seolah-olah ia menjadi
lebih ringan karenanya. Dalam pada itu, sepeninggal Ki Watu Kendeng, maka Ki
Selabajra benar-benar telah mengubungi kedua anak muda
yang ingin mengambil Ken Padmi. Dengan hati-hati, ia
mencoba menjelaskan permintaan Ken Padmi untuk
menunggu sampai sebulan lagi.
Ketika ia berada di padepokan anak muda yang bernama
Marwantaka, maka Ki Selabajra hampir saja tidak dapat
menguasai diri. Di Padepokan itu ternyata terdapat
beberapa orang bukan saja anak-anak muda dari
padepokan-padepokan lain, tetapi juga orang-orang tua
yang merasa memiliki ilmu yang cukup.
"Jangan mempermainkan aku" geram Marwantaka
apakah Ki Selabajra masih bermimpi untuk mendapat
menantu anak gila yang merasa dirinya mempunyai
ketrampilan yang tiada terlawan itu?"
"Jangan begitu ngger" jawab Ki Selabajra "marilah kita
berbicara menurut keadaan yang kita hadapi sekarang"
Apakah dalam waktu sebulan ini Ki Watu Kendeng
berniat untuk pergi ke padepokan Ki Kasang Jati?" bertanya
anak muda itu. "Tidak. Aku tidak akan pergi kemana-mana" jawab Ki
Watu Kendeng "aku ingin menunggui anak gadisku.
Mudah-mudahan dalam waktu satu bulan ini, keheningan
budinya dapat menuntunnya kepada pilihan yang benar"
"Sebenarnya tidak ada gunanya" jawab Marwantaka,
aku tidak ingin menunggu Ken Padmi memilih agar aku
tidak perlu berbuat sesuatu dengan kasar?"
"jadi maksudmu?" bertanya Ki Selabajra.
"Tidak ada pilihan lain" jawab Marwantaka.
"Ketahuilah" berkata Ki Selabajra "Wiranata juga
bersikap seperti itu"
Aku tidak peduli. Tetapi jika Ki Selabajra merasa tidak
mampu melawannya, serahkan kepadaku. Jika Ken Padmi
telah berada ditanganku. maka aku akan sanggup
melindunginya" Jantungnya Ki Selabajra rasa-rasanya berdetak semakin
cepat. Tetapi ia masih menahan dirinya, katanya
"Sudahlah. Aku hanya akan menyampaikan pesan itu saja.
Ken Padmi berharap kau menunggu satu bulan saja. Ia
akan memberikan kepastian" "Jika aku kemudian menunggu, semata-mata karena aku
menghormatinya. Tetapi aku tidak akan mengorbankan
kepentingan" berkata Marwantaka.
Betapa jantung Ki Selabajra bergejolaki, tetapi ia harus
menelan kepahitan itu, karena ia yakin, bahwa rencana
anaknya dengan satu bulan lagi akan segera terjadi.
Dalam pada itu, Wiranata hampir bersikap serupa.


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi nampaknya anak muda ini lebih yakin akan berhasil.
Sementara itu, Ken Padmi dengan gelisah menunggu
Mahisa Agni dan Witantra yang rasa-rasanya telah
meninggalkannya hampir satu bulan. Dicobanya untuk
mengisi waktunya dengan berlatih sendiri, tetapi iapun
segera. menjadi jemu oleh kegelisahan.
Dalam pada itu, semakin lama Ken Padmi menjadi
semakin mapan, la mulai merasa, bahwa loncatanloncatannya
menjadi semakin cepat sementara tubuhnya
rasa-rasanya menjadi semakin ringan.
"Jangan ragu-ragu" desis Witantra "gerak kakimu
bertumpu pada pergelangan kaki dan lutut. Amben itu
sudah tidak berderik lagi"
Ken Padmi menjadi semakin mantap. Karena itu maka
iapun bergerak semakin cepat.
Ia mempergunakan beberapa malam untuk melakukan
latihan-latihan yang demikian. Disiang hari ia berlatih
dengan cara yang lain. Mahisa Agni dan Witantra
memberikan tuntunan untuk memperkaya unsur gerak yang
dimilikinya tanpa merusak pegangannya atas ilmu
dasarnya. Ilmu yang dipelajarinya dari ayahnya sendiri.
Setelah mengamati beberapa saat, kemampuan dasar
Ken Padmi, maka Mahisa Agni dan Witantra telah
berusaha mengembangkannya, sehingga gadis itu menjadi
semakin kaya akan unsur-unsur garak dan tanggapan atas
sikap lawan. Disamping kecepatan geraknya yang menjadi
semakin meningkat karena dengan latihan-latihan yang.
berat, maka tubuhnya rasa-rasanya memang menjadi
semakin ringan apabila ia sudah mulai berloncatan.
Di pekan berikutnya, ternyata Mahisa Agni dan Witantra
telah mempergunakan cara yang berbeda pula. Di dalam
sanggar itu telah ditanam beberapa batang tonggak bambu
petung yang dipotong tepat pada ruas-ruasnya setinggi
tubuh Ken Padmi sendiri. Ken Padmi sudah menduga, apa yang harus
dilakukannya kemudian. Dengan dasar kemampuan yang
ada, maka ia haras berlatih diatas tonggak-tonggak bambu
itu. Seperti saat-saat ia latihan untuk pertama kali diatas
amben, maka geraknyapun menjadi sangat lamban. Tetapi
semakin lama langkahnyapun menjadi semakin mantap.
Setelah tiga hari ia melakukannya, maka pada hari
berikutnya, ia harus berlatih bertempur melawan Mahisa
Agni. Kemudian melawan dua orang sekaligus.
Latihan-latihan yang berat dan tidak mengenal letih, itu
benar-benar telah menempa Ken Padmi menjadi seorang
gadis yang memiliki ilmu yang semakin matang. Dengan
dasar ilmu yang ada padanya, maka kemampuannya telah
berkembang sangat pesat. Karena waktu yang sempit, maka
Mahisa Agni dan Witantra tidak menitik beratkan latihanlatihan
Ken Padmi pada peningkatan kekuatannya, tetapi
pada kecepatan gerak dan ketrampilan, serta kekayaan
unsur-unsur gerak. Kecerdasan gadis itu ternyata sangat
membantu. Sehingga dalam latihan-latihannya kemudian,
Ken Padmi telah berhasil mengatasi kesulitan-kesulitan dari
serangan yang tiba-tiba dan tidak terduga-duga.
Pada pekan ketiga, maka Ken Padmi tenggelam dalam
latihan-latihan yang semakin berat, la harus berlatih dalam
perkelahian yang seolah-olah bersungguh-sungguh.
Bahkan pada saat-saat terakhir ia harus bertempur
melawan Mahisa Agni dan Witantra sekaligus.
Latihan-latihan yang demikian memberi kesempatan
kepada Ken Padmi untuk menyesuaikan ilmunya dengan
kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapinya jika
benar-benar harus berkelahi melawan kedua orang anak
muda yang ingin mengambilnya itu. Bahkan Mahisa Agni
dan Witantra telah mengembangkan pula kemampuan. Ken
Padmi mempergunakan tenaga cadangannya, sehingga
meskipun tidak secara khusus, karena kesempitan waktu,
Mahisa Agni dan Witantra telah berhasil meningkatkan
kemampuan gadis itu membangunkan tenaga cadangannya
yang dengan sendirinya seolah-olah kekuatan Ken
Padmipun menjadi semakin berkembang pula.
Untuk melatih daya tahan gadis itu, maka pada saat-saat
tertentu, baik Mahisa Agni maupun Witantra telah benarbenar
menyentuh tubuh gadis itu dalam serangan-serangan
yang cepat dan tidak terelakkan. Meskipun sekali-sekali
Ken Padmi harus menyeringai menahan sakit, namun ia
sadar sepenuhnya, bahwa di dalam perkelahian yang
sesungguhnya iapun akan mungkin sekali dikenai oleh
lawannya. Demikianlah, kemampuan Ken Padmi telah benar-benar
berkembang. Ki Selabajra merasa, bahwa cara yang telah
dipergunakan telah jauh ketinggalan dari cara-cara yang
dipergunakan oleh Mahisa Agni dan Witantra, yang hanya
dalam waktu yang singkat telah mampu meningkatkan ilmu
anak gadisnya berlipat panda.
Ken Padmi menjadi semakin kaya akan unsur-unsur
gerak. Iapun menjadi lebih cepat menanggapi keadaan.
Nalurinyapun menjadi bertambah tajam. Dan
kekuatannyapun seakan-akan menjadi berlipat karena
kesanggupannya mempergunakan tenaga cadangannya.
Sementara daya tahannyapun menjadi semakin kuat.
Pada pekan terakhir, rasa-rasanya Ken Padmi sudah
menjadi seorang yang lain dari saat-saat ia mulai berlatih di
bawah bimbingan kedua orang yang disebutnya sebagai
cantrik-cantrik tua itu. Atas persetujuan Ki Selabajra, maka
di saat-saat padepokan itu telah menjadi sepi, maka Ken
Padmi berlatih di halaman belakang padepokannya.
Sanggar itu rasa-rasanya menjadi sempit Sehingga ia
memerlukan tempat yang lain.
Mahisa Agni dan Witantra. sengaja menuntun Ken
Padmi di arena yang luas. Dengan demikian, maka Ken
Padmi akan dengan mudah ditunjukkan, bagaimana ia
harus mengembalikan tenaga dan pernafasannya. Karena
arena yang luas akan lebih banyak memerlukan tenaga dan
kekuatannya. "Meskipun tidak akan dipergunakan" berkata Mahisa
Agni pada suatu malam "ada baiknya kau berlatih
mempergunakan senjata pada sebagian waktumu"
Sudah barang tentu Ken Padmi tidak menolak. Iapun
sudah mempunyai dasar ilmu pedang dan jenis-jenis senjata
yang lain, sehingga Mahisa Agni dan Witantrapun tinggal
mengembangkannya. Menjelang akhir dari pekan keempat, Mahisa Agni dan
Witantra masih sempat menyempurnakan semua yang
pernah diberikan kepada Ken Padmi. Kecepatan dan
ketrampilan bergerak, mengenali kembali sifat dan watak
unsur-unsur gerak, mengembangkan tenaga cadangan dan
ketahanan tubuhnya. Juga ketrampilan mempergunakan
senjata dan kemampuan menanggapi keadaan serta
mengambil keputusan yang cepat dan tepat dalam keadaan
yang tidak terduga. -oo0dw0oo- Jilid 22 Sementara itu, mendekati saat-saat yang dijanjikan oleh
Ki Selabajra, maka rasa-rasanya Marwantaka dan Wiranata
tidak sabar lagi menunggu. Mereka mengisi kegelisahan
yang mencengkam dengan persiapan-persiapan menghadapi
segala kemungkinan. "Ki Selabajra hanya menunda kehancuran
padepokannya saja" geram salah seorang kawan
Marwantaka. "Apakah ia mencari bantuan?" bertanya yang lain.
"Kita selalu mengawasinya. Wiranata juga.
melakukannya" jawab Marwantaka "nampaknya ia tidak
pergi kemanapun juga. Seandainya ada hubungan, maka
padepokan yang dihubunginya itu hanyalah padepokan
Watu Kendeng yang tidak mempunyai kekuatan sama
sekali" "Mungkin Ki Watu Kendeng yang mencari hubungan
dengan pihak lain lagi" berkata yang lain.
"Aku tidak melihat, tetapi padepokan itu juga diawasi"
jawab Marwantaka. Dalam pada itu, Wiranata justru menjadi curiga. Tetapi
kesadarannya baru datang kemudian. Kepada seorang yang
telah diupahnya untuk bekerja padanya ia berkata
"Mungkin Ki Selabajra akan menentukan satu cara yang
licik. Mungkin ia akan mempergunakan cara yang dapat
menolongnya menentukan pilihan"
"Cara apa?" bertanya orang itu.
"Mungkin ia akan minta aku dan Marwantaka untuk
bertanding diarena" jawab Wiranata.
Orang yang diupahnya itu tertawa. Katanya "Jika
demikian kau akan menang"
"Aku belum yakin" jawab Wiranata.
"Aku akan membantumu. Sisa waktu yang pendek ini
akan dapat kita pergunakan sebaik-baiknya" jawab orang
upahan itu. Hari-hari terakhir itupun telah dipergunakan oleh
Wiranata untuk meningkatkan ilmunya. Tetapi
kesadarannya untuk melakukannya terlalu sempit.
Meskipun demikian, ia merasa sudah siap menghadapi
Marwantaka jika benar-benar itu dikehendaki oleh Ki
Selabajra. "Mungkin cara itu lebih baik daripada kita harus
bertempur dalam jumlah banyak, sehingga korbanpun akan
berjatuhan semakin banyak. Sayembara tanding akan dapat
menentukan pilihan dengan cara yang baik dan sikap
Jantan bagi pelamarnya. Aku berharap Ki Selabajra
menentukan demikian" berkata Wiranata di dalam hatinya,
justru setelah ia berusaha meningkatkan ilmunya meskipun
hanya di pekan terakhir. Tetapi ia merasa sudah siap
berhadapan dengan Marwantaka.
Namun sebelum akhir dari waktu yang diminta oleh Ki
Selabajra habis, Marwantaka telah datang Jce padepokan
Kenanga. Ia minta agar Ki Selabajra segera menjawab
pertanyaannya. "Masih ada waktu tiga hari lagi ngger" jawab Ki
Selabajra "tiga hari lagi, aku akan memberikan jawaban"
"Kau hanya membuang-buang waktu saja. Tetapi
baiklah. Aku akan menunggu tiga hari lagi. Tetapi jika kau
licik dan mengabaikan aku, maka padepokan ini akan lebur
menjadi debu" geram Marwantaka.
"Kau hanya dapat mengancam" jawab Ki Selabajra
"kenapa kau tidak berbicara sebagaimana sebaiknya
berbicara" "AKU tahu" jawab Marwantaka "kau menunggu anak
muda yang kau bangga-banggakan itu. Ha, apakah ia sudah
datang" Seandainya ia datang" maka ia tidak akan-mampu
menghadapi kekuatanku. Tentu saja dalam keseluruhan.
Kecuali jika ia membawa pasukan segelar sepapan"
"Tidak, tidak sama sekali" jawab Ki Selabajra "aku tidak
menunggu siapapun" Marwantaka hampir tidak sabar lagi. Kecurigaannyapun
menjadi semakin tajam. Meskipun ia mengawasi
padepokan itu dengan ketat, namun kemungkinankemungkinan
lain memang dapat terjadi.
Menjelang hari terakhir dari saat yang dijanjikan, maka
Ki Selabajra telah memanggil Ken Padmi serta kedua orang
cantrik tua itu untuk menghadap. Betapapun juga, ada
semacam kecemasan dihatinya, bahwa yang akan terjadi,
justru akan membuat Ken Padmi menjadi kecewa dan
menyesal. Tetapi dengan mantap Ken Padmi itu menjawab, "Aku
sudah siap ayah" "Baiklah" berkata Ki Selabajra "jika demikian, maka
segalanya akan berjalan seperti yang kita rencanakan"
Demikianlah, di hari berikutnya, baru saja matahari
mulai naik, telah datang utusan dari kedua belah pihak.
Mereka nampaknya sudah siap menghadapi segala
kemungkinan. Bahkan seandainya mereka harus melakukan
kekerasan sekalipun. "Kami tidak mempunyai banyak waktu" berkata utusan
Marwantaka. "Aku mengerti" jawab Ki Selabajra "tetapi biarlah aku
memberikan keterangan dengan terperinci"
"Cepat, katakan" desak utusan Wiranata.
Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Sikap kalian berdua sama sekali tidak menguntungkan
anak gadisku. Ia tidak mempunyai kesempatan untuk
melihat kemungkinan lain dari salah satu di antara kedua
anak muda yang memiliki kemampuan bertindak dengan
kekerasan" "Cepati sebut keputusanmu" utusan Marwantaka mulai
membentak. Utusan dari kedua belah pihak itu rasa-rasanya tidak
sabar lagi menunggu, ketika kepada mereka dihidangkan
minuman dan makanan. Seolah-olah Ki Selabajra dengan
sengaja telah memperpanjang waktu untuk satu tujuan
tertentu. Dalam kegelisahan itu, mereka yang berada di pendapa
itu telah dikejutkan oleh kehadiran sebuah iring-iringan
kecil yang terdiri dari lima orang. Diantaranya adalah Ki
Watu Kendeng. "Nah, agaknya orang itulah yang kau tunggu" berkata
utusan yang sudah berada di pendapa.
"Tentu tidak. Apakah artinya lima orang itu jika aku
sengaja menghendaki benturan kekerasan" jawab Ki
Selabajra yang kemudian mempersilahkan Ki Watu
Kendeng naik ke pendapa. "Aku dihentikan oleh sekelompok orang yang mengaku
sebadai kawan-kawan anakmas Marwantaka" berkata Ki
Watu Kendeng setelah mereka duduk "tetapi karena kami
hanya berlima, maka kami telah diperkenankan terus.
Agaknya menurut perhitungan mereka, kami berlima tidak
akan berpengaruh apa-apa"
"Apakah kau sudah memberikan isyarat kepada
sepasukan yang kuat untuk menyusulmu hari ini Ki Watu
Kendeng?" bertanya utusan Wiranata.
"Tidak. Aku tidak akan berbuat apa-apa. Aku tidak ingin


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terlibat terlalu jauh dalam persoalan ini. Jika hari ini aku
datang, sebenarnya aku terdorong oleh satu keinginan
untuk mendengar, keputusan apakah yang akan diambil
oleh Ki Selabajra. Aku pernah mendengar bahwa Ki
Selabajra telah menunda keputusarinya tentang anak
gadisnya sepanjang satu bulan penuh" berkata Ki Watu
Kendeng. Utusan dari kedua belah pihak itupun kemudian
mendesak, agar Ki Selabajra segera memberikan
keputusannya. "Ki Sanak" berkata Ki Selabajra sesudah satu bulan aku
berpikir, ternyata aku masih belum dapat menemukan jalan
yang paling baik yang dapat aku tempuh"
"Jangan mempermainkan kami" geram utusan Wiranata
"kami sudah bersabar satu bulan. Kau tahu, apakah artinya
satu bulan bagi kami dan bagi Wiranata"
"Ya. Aku tahu" desis Ki Selabajra "itulah sebabnya aku
ingin menentukan satu cara yang paling baik"
"Cepat. Kenapa kau sengaja memperlambat persoalan"
Kau menunggu sepasukan prajurit dari Sirigasari?" utusan
Marwantaka hampir berteriak.
"Ki Sanak" berkata Ki Selabajra kemudian "akhirnya
aku memang memilih satu jalan yang paling" baik.
Meskipun agak deksura, seolah-olah aku menganggap
anakku terlalu penting, tetapi cara itulah yang aku kira,
paling jujur" "Sayembara tanding" utusan Wiranata berteriak.
"Ya. Sayembara tanding" jawab Ki Selabajra.
"Gila" geram utusan Marwantaka "permainan apalagi
yang sedang kau lalukan" He, apakah kau kira Wiranata
pernah berlatih ilmu kanuragan?"
Tetapi utusan Wiranata yang sudah mengetahui
persiapan Wiranatapun menyahut "Jangan kau sangka,
bahwa karena Wiranata bukan anak padepokan, maka ia
tidak memiliki kemampuan olah kanuragan. Tetapi bukan
karena kami merasa cemas untuk mempertahankan tekad
Wiranata untuk mengambil Ken Padmi, namun cara
sayembara tanding adalah cara yang jantan. Namun jika
dikehendaki, maka kamipun tidak segan melakukan perang
terbuka berhadapan dengan siapapun. Dengan padepokan
Marwantaka atau dengan padepokan Kenanga sekaligus"
"Tunggu" potong Ki Selabajra "jika aku mengatakan
sayembara tanding bukan maksudku bahwa angger
Marwantaka harus bertanding melawan angger Wiranata di
arena" "Jadi bagaimana" desak utusan Marwantaka "kedua
belah pihak harus memilih seseorang untuk mewakilinya?"
"Juga tidak" jawab Ki Selabajra "karena itu dengarlah
baik-baik. Aku tidak akan pernah sampai kepada penjelasan
yang terinci. Bukan salahku jika waktunya selalu tertundatunda.
"Katakan, cepat" utusan Wiranata membentak.
"Baiklah. Dengarlah. Yang aku maksudkan dengan
Sayembara tanding adalah siapa yang dapat mengalahkan
Ken Padmi di arena, maka ia akan menjadi suaminya"
"Gila" hampir berbareng orang-orang yang berada di
pendapa itu berdesis. Sementara itu utusan Marwantaka
menyahut "Jadi waktu yang sebulan ini dipergunakan oleh
Ken Padmi untuk memperdalam ilmunya?"
Ki Selabajra termangu-mangu sejenak. Ternyata ada juga
orang yang dapat langsung meraba kenyataan itu. Namun
orang itu berkata selanjutnya "Tetapi kau keliru Ki
Selabajra. Apakah artinya waktu satu bulan bagi seorang
gadis seperti Ken Padmi. Meskipun ia memang memiliki
dasar olah kanuragan, tetapi yang satu bulan itu tentu tidak
akan berarti apa-apa. Sebaiknya bukan Ken Padmi yang
harus masuk arena, tetapi Ke Selabajra sendiri. Siapa yang
dapat mengalahkan Ki Selabajra, ialah yang dapat
mengambil anak gadisnya, karena jika Ki Selabajra saja
tidak mampu mempertahankan diri, apakah artinya Ken
Padmi bagi anak-anak muda yang sudah siap melakukan
apa saja" "Tetapi karena Ken Padmi yang akan menjalani, biarlah
ia yang memasuki arena" jawab Ki Selabajra.
"Pengecut" desis utusan Marwantaka "kenapa tidak Ki
Selabajra saja mengumumkan sayembara tanding sampai
mati. Siapa yang dapat membunuh Ki Selabajra, ia adalah
orang yang berhak mengambil Ken Padmi"
"Ah, kenapa kau sebut-sebut sampai mati. Soalnya
bukan karena dendam atau berhutang pati. Soalnya adalah
justru menjelang satu masa yang berbahagia dalam
kehidupan seseorang" jawab Ki Selabajra.
"Tetapi permainan ini adalah permainan yang gila"
geram utusan Wiranata "kenapa tidak perang tanding
antara kedua orang yang sedang berebut gadis itu saja.
Perang tanding sampai mati"
Dalam pada itu, utusan Marwantakapun telah
tersinggung pula, sehingga hampir berteriak ia berkata
"Bagus. Kedua orang anak muda itu dapat bertanding
sampai salah seorang diantara mereka mati diarena"
Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kemudian "Jangan menyebut-nyebut kematian. Justru kita
sedang memilih seseorang bagi tujuan yang mangandung
kegembiraan dan seperti yang sudah aku katakan menjelang
satu masa yang berbahagia bagi seseorang.
"Tetapi usaha ini sia-sia" berkata utusan Marwantaka
"bagaimana jika orang yang pertama memasuki arena dapat
mengalahkannya" Apakah dengan demikian hak orang
kedua hilang begitu saja, sehingga orang yang pertama saja
yang berhak?" "Tidak. Keduanya harus mendapat kesempatan yang
sama" jawab Ki Selabajra.
"Jadi kalau orang pertama itu menang?" desak utusan
Marwantaka. "Ya kedua tetap dilangsungkan. Jika menang pula, maka
akan diambil kebijaksanaan menurut Ken Padmi sendiri"
jawab Ki Selabajra. "Padepokan ini memang pantas dihancurkan menjadi
debu. Tetapi biarlah Ki Selabajra mencoba permainan
gilanya ini" geram utusan Wiranata.
"Jika sudah jelas tagi kalian" berkata Ki Selabajra tanpa
menanggapi kata-kata utusan Wiranata itu "hari ini lewat
tengah hari sayembara itu dapat diselenggarakan. Kalian
dapat kembali dan menyampaikan keputusan ini kepadakedua
anak muda itu. Sementara aku dan para cantrik akan
menyiapkan arena" Para utusan itu tidak perlu mendengar keterangan
ulangan. Merekapun segera meninggalkan padepokan itu.
kembali untuk menyampaikan keputusan Ki Selabajra.
Dalam para itu, Ki Selabajrapun telah menyiapkan arena
untuk perang tani|ng. Waktunya masih cukup pancang
sampai lewat tengah hari, sementara para utusan itu
berpacu kembali ke rumah masing-masing.
"Tetapi Ki Selabajra harus bersiap menghadapi segala
kemungkinan" berkata Ki Watu Kendeng "nampaknya
persiapannya tidak terlalu sederhana. Soalnya tidak akan
terhenti sampai salah seorang atau keduanya dapat
dikalahkan oleh Ken Padmi"
Ki Selabajra mengangguk-angguk. Katanya dengan nada
berat "Perang tanding itu nampaknya memang tidak akan
menyelesaikan persoalannya. Tetapi dengan demikian. Ken
Padmi akan dapat membuat kejutan bagi keduanya.
Nampaknya keduanya harus berpikir ulang jika mereka
akan melakukan kekerasan. Jika Ken Padmi dapat memiliki
ilmu yang cukup tinggi, bukankah padepokan ini akan
dapat mereka anggap sebuah padepokan yang kuat?"
Ki Watu Kendeng mengangguk-angguk.
12_SHM_Panasnya_Bunga_Mekar
Desisnya "Disini ada-dua orang cantrik tua dari Watu Kendeng"
Mahisa Agni dan Witantra tersenyum. Meskipun
demikian, merekapun menjadi berdebar-debar. Bukan
karena mereka cemas menghadapi kemarahan orang-orang
yang kecewa, tetapi justru sebaliknya. Apakah keduanya
harus berbuat sesuatu terhadap mereka itu.
Sementara itu, arenapun telah siap dihalaman depan
padepokan Kenanga. Sebuah gawar serat nanas sudah
dipasang mengitarinya. Sayembara tanding akan dilakukan
di dalam gawar serat. Menjelang tengah hari, iring-iringan pertama telah
memasuki padepokan. Mereka adalah Wiranata dengan
para pengikutnya, lengkap dengan segala macam senjata
yang ada pada mereka. Ki Selabajra menjadi berdebar-debar. Ia mengerti bahwa
orang-orang itu adalah orang-orang upahan. Jika mereka
mendapat upah yang cukup, maka tingkah laku mereka
akan sangat berbahaya. Karena itulah, maka Ki
Selabajrapun diam-diam telah menyiapkan kekuatan yang
ada di padepokan Kenanga Meskipun tidak semata-mata,
tetapi para cantrik telah menyiapkan senjata mereka
dijumpai yang mudah mereka cepat. Sementara itu, mereka
harus menjadi tuan rumah yang ramah dan tidak
menimbulkan prasangka buruk"
Beberapa saat kemudian, maka iring-iringan keduapun
memasuki padepokan itu pula. Ternyata iring-iringan kedua
inipun tidak kalah garangnya dengan iring-iringan pertama.
Marwantaka telah datang dengan beberapa, orang
kawannya dan kawan-kawan lain yang sekedar ingin
melibatkan diri ke dalam keributan justru karena mereka
merasa berilmu. Mereka adalah anak-anak padepokan yang
berbeda, tetapi mereka merasa bahwa ilmu yang mereka
miliki perlu sekali-sekali diasah agar menjadi semakin tajam
tanpa menghiraukan taruhannya, karena dalam hal yang
demikian, mungkin satu dua diantara mereka terpaksa
menanggalkan nyawa dari tubuhnya.
Dalam pada itu, Ken Padmi yang berada di ruang dalam,
tiba-tiba saja menjadi gelisah. Ketika saat perang tanding itu
tiba, maka rasa-rasanya hatinya berdebaran, dan
jantungnya berdegup semakin cepat.
"Tenanglah" berkata Mahisa Agni "kau sudah memiliki
bekal yang cukup. Kau jangan menghiraukan apa yang
bakal terjadi sesudah itu. Ayahmu sudah mempersiapkan
segala-galanya. Mudah-mudahan mereka bersikap jantan,
dan tidak berbuat sesuatu yang akan dapat menimbulkan
persoalan-persoalan yang gawat"
Ken Padmi mengangguk. Namun diluar sadarnya,
terbayang seorang anak muda yang lain, yang pernah
berada di padepokan itu, meskipun hanya sekedar singgah.
Namun yang ternyata telah meninggalkan kesan yang tidak
dapat disisihkannya dari sudut hatinya.
"Aku tidak peduli lagi" tiba-tiba saja Ken Padmi
menggeram. Dalam pada itu. maka semua persiapanpun telah selesai.
Marwantaka sendiri tampil sambil berkata lantang "Apakah
kita menunggu matahari tenggelam. Ayo, siapa yang akan
memasuki arena. Aku tidak sabar lagi"
Tetapi ternyata kedua anak muda itu masing-masing
ingin memasuki arena lebih dahulu. Baik Marwantaka
maupun Wiranata ingin tampil diarena untuk yang
pertama. Namun justru karena itu, maka Ki Selabajra telah
mengambil suatu kebijaksanaan. Sambil melemparkan
sehelai daun ke udara ia berkata "Jika daun itu jatuh
tertelungkup, maka angger Marwantakalah yang akan
tampil lebih dahulu. Jika sebaliknya, maka angger Wiranata
akan turun lebih dahulu ke arena"
Ternyata selembar daun itu jatuh menelentang, setangga
karena itu, maka Wiranatalah yang akan tampil lebih
dahulu diarena. Sambil tertawa Wiranata berkata "Terima kasih
kesempatan ini. Sebenarnya aku ingin bentuk sayembara
tanding yang lain, yang barangkali lebih menarik. Tetapi
jika hal inilah yang dikehendaki, maka. aku tidak
berkeberatan. "Baiklah" sahut Ki Selabajra "aku minta dari masingmasing
pihak satu orang yang akan menjadi saksi di arena
ini. Sementara dari padepokan ini akan turun tiga orang
saksi bersama aku sendiri"
"Baik. Tetapi jangan terlalu banyak bicara. Aku akan
mulai dengan sayembara tanding ini" geram Wiranata.
"Kita akan menentukan aturan dari permainan ini"
berkata Ki Selabajra "yang dimaksudkan dengan kekalahan
adalah apabila salah satu pihak sudah berada dalam
keadaan tidak dapat melawan. Mungkin karena kelelahan.
Mungkin karena tangkapan tangan lawan"
"Kalau Ken Padmi sudah kehabisan tenaga dan
dikalahkan pada putaran sayembara pertama, apa yang
dapat aku lakukan?" bertanya Marwantaka.
"Ia akan tetap tampil pada putaran sayembara kedua.
Jika ia juga dikalahkan, maka akan diambil satu
kebijaksanaan" jawab Ki Selabajra.
"Permainan gila" geram Marwantaka "agaknya Ki
Selabajra memang ingin mempermainkan kita.. Tetapi jika
terjadi satu sikap yang berakibat lain dari yang aku
inginkan, aku tidak peduli"
Ki Selabajra mengerutkan keningnya, sementara para
pengikut Wiranata memandanginya dengan tatapan mata
kemarahan. Tetapi bagaimanapun juga, sayembara tanding itu akan
dilaksanakan juga. Sesaat kemudian, maka lima orang saksi telah berada di
arena. Dua orang dari kedua pihak yang mengikuti
sayembara itu, sementara tiga orang lainnya adalah-para.
penghuni padepokan Kenanga. Dua diantara mereka ada
lah cantrik-cantrik tua yang telah menempa Ken Padmi.
menjadi seorang gadis yang pilih tanding, sementara yang
seorang adalah Ki Selabajra sendiri.
Namun dalam pada itu, Ki Selabajra telah minta kepada
Ki Watu Kendeng yang ada di sekitar arena itu mengamati
keadaan. Jika nampak gejala-gejala yang gawat, makan ia
harus segera memberikan isyarat kepada para cantrik untuk


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersap-siap menghadapi segala kemungkinan.
"Jika benar Ken Padmi dapat mengalahkan mereka,
mudah-mudahan mereka mengerti, bahwa tingkat
kemampuan mereka masih belum memadai sehingga tidak
akan terjadi persoalan-persoalan berikutnya" berkata Ki
Selabajra di dalam hatinya. Namun kemudian "Atau
mereka akan menjadi gila dan kehilangan akal"
Demikianlah, maka sejenak kemudian segala persiapan
sudah siap. Lima orang saksi sudah berada ditengah-tengah
arena. Wiranatayang mendapat kesempatan pertamapun
telah berdiri bertolak pinggang sambil tersenyum. Bahkan
katanya kemudian "Apakah gadis itu sedang berhias?"
Suara Wiranata yang keras itu terdengar oleh Ken Padmi
yang masih berada di dalam. Hampir saja ia meloncat
keluar, jikasaja ia tidak teringat oleh pesan ayahnya, bahwa
ia harus menunggu sehingga seseorang memanggilnya.
Dalam pada itu, ketika Ki Selabajra menganggap bahwa
keadaan sudah memungkinkan, Mahisa Agni dan Witantra
sudah berada di arena, sementara Ki Watu Kendeng telah
siap mengawasi keadaan, maka iapun menyuruh searang
cantrik untuk memanggil Ken Padmi.
Ken Padmi memang agak gemetar. Bagaimanapun juga,
ia akan bertanding di arena, sedangkan taruhannya adalah
dirinya sendiri. Namun setiap kali ia sadar, justru
taruhannya adalah dirinya sendiri, ia harus berbuat sebaikbaiknya.
Ketika gadis itu turun dari pendapa dan kemudian
melangkah mendekati arenanya, suasana jadi tercengkam
oleh ketegangan. Semua orang memandanginya. Dengan
pakaian seorang laki-laki Ken Padmi mendekati arena,
sehingga orang-orang yang sudah berdiri melingkar itupun
menyibak. Wiranata. membeku untuk beberapa saat ketika ia
melihat gadis itu. Seorang gadis yang cantik. Namun dalam
pakaiannya itu, ia memang nampak seorang gadis yang
garang. Namun sejenak kemudian, terdengar suara tertawanya
meledak. Katanya "Kau semakin cantik Ken Padmi"
Ken Padmi mengerutkan keningnya. Ketika ia lewat di
hadapan Ki Watu Kendeng yang beringsut setapak, ia
mendengar Ki Watu Kendeng berdesis "jangan hiraukan. Ia
sekedar berteriak untuk mengatasi kegelisahannya"
Ken Padmi memandang Ki Watu Kendeng sejenak.
Namun iapun mengangguk kecil. Iapun sependapat, bahwa
bagaimanapun juga seperti dirinya sendiri, Wiranata tentu
juga menjadi berdebar-debar.
Sejenak kemudian, dua orang sudah berada di arena.
Wiranata dan Ken Padmi. Dua orang yang sudah dap
untuk berkelahi dengan taruhan diri mereka.
Sejenak kemudian Ki Selabajra berkata "Semua
ketentuan sudah diumumkan. Kita akan segera mulai.
Kami para saksi berharap semuanya dapat berlangsung
dengan jujur" Wiranata bergeser setapak. Ia memandang Ken Padmi
dengan tatapan mata yang tajam. Seolah-olah ia tidak
yakin, bahwa ia memang harus berhadapan dengan-gadis
itu dalam sayembara tanding. Namun, ia tidak dapat
mengelakkan kenyataan, bahwa Ken Padmi benar-benar
sudah siap menghadapinya.
"Aku akan menyelesaikannya dengan cepat" berkata
Wiranata di dalam hatinya "jika aku dapat
mengalahkannya, kemudian Ken Padmi masih harus
berkelahi melawan Marwantaka dan dapat dikalahkannya
pula" agaknya soal wakln akan diperhatikan pula"
Demikianlah, maka kedua orang yang sudah berada di
arena itupun segera mempersiapkan diri. Lima orang saksi
berdiri melingkar di dalam gawar serat yang dibuat sebagaibatas
arena. Sejenak keduanya bergeser selangkah demi selangkah.
Namun kemudian Wiranatapun mulai mengayunkan
tangannya sambil berkata "Kita akan mulai bermain-main
Ken Padmi. Kita akan berlatih, bagaimana kita akan
mengajari anak kita kelak"
Karena itu, maka Ken Padmipun sama sekali tidak
menghiraukannya. Tetapi ia bergeser surut ketika tangan
Wiranata berusaha menyentuhnya.
Ken Padmi menjadi berdebar-debar mendengar kata-kata
Wiranata itu. Namun iapun segera teringat pesan Ki Watu
Kendeng, pada saat ia memasuki arena, bahwa
Wiranatapun berusaha untuk menenangkan hatinya.
Ternyata Wiranata tidak mau menunda-nunda lagi.
Ketika Ken Padmi bergeser, iapun segera melangkah
memburunya. Sekali lagi tangannya terayun. Cepat, tetapi
tidak terlalu keras. Ia memang tidak ingin memukul Ken
Padmi. Tetapi ia hanya ingin menyentuhnya.
Tetapi sekali lagi ia tidak berhasil. Bahkan nampaknya
Ken Padmi menjadi acuh tidak acuh. Ia hanya menggeliat
saja untuk menghindarinya.
Sebenarnyalah Ken Padmipun tidak sabar lagi. Karena
itu sengaja ia memancing, agar Wiranata mulai dengan
bersungguh-sungguh. Sikap Ken Padrni itu memang membuat dahi Wiranata
berkerut. Gadis itu bergerak seenaknya saja. Namun
tangannya benar-benar tidak dapat menyentuhnya.
Karena itu, maka Wiranatapun mulai tertarik untuk
bergerak lebih cepat. Sekali lagi ia berusaha menyentuh
lengan Ken Padmi. Bukan saia tangannya yang terjulur
kedepan, kemudian disusul tangannya yang lain terayun.
Namun ia sudah mulai melangkah panjang dan cepat.
Namun sekali lagi. Ken Padmi berkisar dengan sikap
yang menjengkelkan. "Gadis ini benar-benar harus mendapat pelajaran
menghormati orang lain" berkata Wiranata di dalam
hatinya "meskipun agak sayang jika kulitnya kesakitan,
tetapi seolah-olah ia dengan sengaja mengejekku"
Dengan demikian, maka Wiranata mulai bersungguhsungguh.
Ia mulai bergerak dengan cepat untuk memotong
langkah Ken Padmi. Tetapi ternyata Ken Padmipun
bergerak semakin cepat pula. Tangan Wiranata yang
terayun-ayun sama sekali tidak berhasil menyentuhnya,
meskipun Wiranata kemudian berusaha untuk benar-benar
mengenainya. "Bukan main" desis Wiranata di dalam hatinya "apakah
ia memaksa aku untuk bersungguh-sungguh sebagaimana
aku berkelahi sebenarnya?"
Tetapi lambat laun, memang tidak ada pilihan lain bagi
Wiranata. Ketika tangannya terayun kepundak Ken Padmi,
gadis itu sempat mengelak. Bahkan dengan sisi telapak
tangannya Ken Padmi telah memukul tangan Wiranata
yang tidak menyentuhnya.itu.
Wiranata terkejut. Kecepatan gerak Ken Padmi tidak
terlalu mengherankannya. Gadis itu dapat saja dengan tibatiba
memukul tangannya yang sedang terjulur. Apalagi
Wiranata sendiri kurang berhati-hati dengan tangannya itu.
Tetapi yang mengejutkannya adalah kekuatan tangan Ken
Padmi. Nampaknya gadis itu hanya sekedar
menyentuhnya. Namun terasa sakit telah menyengat
sampai ke tulang. "Aneh" guman Wiranata di dalam hatinya. Namun
kemudian ia berkata kepada dirinya sendiri"
"Nampaknya gadis ini benar-benar gadis liar yang perlu
dibuat jera" Dengan demikian, langkah-langkah Wiranata
selanjutnya menjadi semakin cepat. Tangannya menjadi
semakin garang pula. Namun dengan demikian jantungnya
menjadi semakin berdebar-debar juga. Ia sama sekali tidak
dapat menyentuh gadis itu. Bahkan beberapa kali Ken
Padmi lelah mengenainya sehingga beberapa kali ia harus
menyeringai menahan sakit.
"Bukankah aku tidak bermimpi" geram Wiranata
"betapapun juga gadis ini bukan anak iblis. Ia adalah anak
Selabajra. Bahkan melawan Selabajrapun aku tidak gentar"
Namun pada perkelahian berikutnya, bukan tangannya
yang mengenai gadis itu. tetapi justru tangan Ken Padmi
menjadi semakin sering mengenainya. Dan bahkan
menyakitinya. Akhirnya Wiranata itu menggeram. Ia tidak mau
bermain-main lagi. Sentuhan ujung jari-jari Ken Padmi
yang merapat telah membuat dadanya menjadi sesak.
Bahkan kemudian sisi telapak tangan gadis itu telah
membuat lengannya bagaikan membengkak.
Perkelahian diarena itu, semakin lama menjadi semakin
cepat Pancingan-pancingan Ken Padmi, akhirnya berhasil
membuat Wiranata marah dan bertempur dengan
bersungguh-sungguh. Langkahnya menjadi cepat dan
mantap, sementara tangannyapun justru menjadi semakin
jarang bergerak. Tetapi setiap gerakan, langsung mengarah
ke tempat yang berbahaya di tubuh Ken Padmi.
Tetapi ternyata Ken Padmi benar-benar lincah. Latihanlatihan
yang dilakukannya diatas amben bambu dan diatas
batang-batang bambu petung yang ditanam setinggi
tubuhnya, membuat kakinya menjadi sangat ringan,
bagaikan tidak menyentuh tanah.
"Anak iblis" geram Wiranata. Ia merasa bahwa ia sudah
bersungguh-sungguh. Ken Padmi sudah berhasil membuat
Wiranata menghadapinya sebagaimana mereka berhadapan
di arena. Agaknya Wiranata benar-benar sudah menjadi
marah. Namun dengan demikian. Ken Padmipun menjadi lebih
leluasa menghadapinya. Ia tidak sekedar berhadapan
dengan seseorang yang nampaknya seperti sedang bermainmain
saja. Seolah-olah dengan jiwa yang besar dan penuh
maaf Wiranata tidak melawannya dengan sungguhsungguh.
Tetapi yang terjadi kemudian, kedua orang itu lelah
bertempur dengan sungguh-sungguh. Wiranatapun telah
mengerahkan segenap kemampuannya. Untuk beberapa
hari terakhir ia sempat meningkatkan ilmunya. Bahkan
seandainya untuk menghadapi Marwantaka atau Ki
Selabajra sendiri. Namun dalam pada itu, ia harus
berhadapan dengan Ken Padmi. Dan iapun sudah memeras
segenap kemampuannya, namun ia belum berhasil.
Karena itu, maka kegelisahan mulai merayapi
jantungnya. Dengan sepenuh kemampuannyaia berusaha.
Bahkan akhirnya ia tidak lagi mengingat siapakah yang
dilawannya. Yang terbersit di hatinya adalah niatnya untuk
mengalahkannya. Yang melihat pertempuran itu mula-mula merasa
kecewa. Perkelahian itu nampaknya hanya sekedar
permainan yang tidak berarti Wiranata hanya sekedar
mengayunkan tangannya. Kemudian malangkah maju dan
mundur. Namun semakin lama perkelahian itu menjadi semakin
seru. Masing-masing malai meningkatkan ilmunya,
sehingga akhirnya Wiranata telah mengerahkan segenap
kemampuannya. Marwantaka mula-mula tersenyum melihat tingkah laku
Wiranata. Seolah-olah Wiranata tidak menyadari apa yang
sedang terjadi. Namun semakin lama kening
Marwantakapun berkerut semakin dalam. Ia melihat
Wiranata semakin bersungguh-sungguh. Namun Wiranata
itu sama sekadi tidak capal mengatasi, kemampuan Ken
Padmi. Dengan sungguh-sungguh ia memperhatikan apa yang
telah terjadi. Ia mulai menilai setiap gerak dan perlawanan
Ken Padmi. Ia pernah berada di padepokan itu. Iapun
pernah justru menggurui gadis itu. Namuu tiba-tiba gadis
itu menjadi seorang gadis yang garang.
Wiranata ternyata tidak mampu mengimbangi kecepatan
gerak Ken Padmi. Beberapa kali justru ia menjadi bingung.
Geraknyalah yang telah dipotong oleh langkah-langkah
Ken Padmi yang ringan dan cepat.
"Gila" geram Wiranata di dalam arena. Dan
Marwantaka diluar arena mengumpat pula.
"iblis manakah yang telah meningkatkan ilmu gadis itu"
bertanya Marwantaka di dalam hatinya. Namun dalam
pengamatannya, ia melihat dengan jelas, ciri-ciri perguruan
Kenanga, sehingga menurut dugaannya, dalam waktu
sebulan itu Ki Selabajra telah menempa anaknya sehingga
ilmunya telah maju dengan pesat.
"Tetapi apakah Ki Selabajra sendiri mampu berbuat
seperti itu?" bertanya Marwantaka di dalam hatinya.
Namun Marwantaka terkejut ketika ia melihat Wiranata
menghentakkan tenaganya. Ia meloncat dengan kecepatan
yang luar biasa, melampaui kecepatan yang pernah dilihat
sebelumnya. Namun sekali lagi Marwantaka menarik nafas dalamdalam.
Serangan Wiranata itu meluncur setapak dihadapan
Ken Padmi yang memiringkan tubuhnya sambil bergeser
kesamping. Bahkan kemudian dengan kecepatan yang lebih
tinggi. Ken Padmi itu telah memukul pundak lawannya
dengan sisi telapak tangannya.
Terdengar Wiranata mengeluh tertahan. Pundaknya
terasa betapa sakitnya. Dengan tangkasnya ia segera
meloncat surut sambil bersiap menghadapi segala
kemungkinan. Tetapi Ken Padmi tidak memburunya. Ia justru
menunggu Wiranata mempersiapkan diri. Baru kemudian
ia malangkah maju dengan tangan Bersilang di dada.
Wiranata yang merah itu bertambah marah. Dengan
hati-hati iapun bergeser maju, Kamudian ia mulai
menggerakkan tangan mengarah kekening. Namun, ketika
Ken Padmi mengelak, tiba-tiba saja ia telah meloncat
meluncur dengan cepatnya. Dengan kakinya yang mendatar
ia menyerang dada gadis padepokan Kenanga itu.
Ken Padmi ternyata tidak saja ingin menunjukkan
kecepatannya bergerak. Meskipun tidak secepat
peningkatan ketrampilnnnya. namun ia yakin akan dapat
mengimbangi kekuatan lawannya.
Karena itu, dengan mengerahkan tenaga cadangannya,
"Ken Padmi justru tetap menyilangkan tangannya
didadanya. Ia tidak berusaha menghindari serangan, kaki


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wiranata yang diluncurkan dengari segenap kekuatannya.
Yang terjadi kemudian adalah sebuah benturan yang
dahsyai. Ken Padmi terdorong beberapa langkah surut.
Bahkan iapun telah jatuh terduduk. Namun demikian
tangannya bertelekan tanah, maka iapun segera meloncat
berdiri dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Tetapi ternyata Wiranata masih terbaring ditanah.
Ketika serangannya membentur tangan Ken Padmi yang
bersilang, rasa-rasanya ia justru telah membentur tebing
batu. Kekuatan yang dihentakkan telah memukul dirinya
sendiri, sehingga ia telah terlempar beberapa langkah dan
jatuh di tanah. Terdengar ia mengeluh. Perlahan-lahan ia mencoba
bangkit. Dengan tangannya yang bertelekan ia berusaha
untuk berdiri pada lututnya. Namun Wiranata telah
menjadi semangat lemah. Tulang-tulangnya bagaikan
berpatahan. "Gila" ia mengumpat. Dipandanginya wajah Ken Padmi
yang kemerah-merahan oleh keringat. Namun nampaknya
nafasnya masih mengalir teratur, dan tenaganya masih
nampak segar seperti saat perkeiaian itu dimulai.
"Kau akan menyesal" geram Wiranata.
Ken Padmi tidak menjawab sama sekali. Ia berdiri tegak
sambil rnemandang Wiranata yang tertatih-tatih berdiri
dibantu oleh seorang pengikutnya yang menjadi saksi di
arena. Sementara itu Ki Selabajra melangkah maju sambil
berkata "Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, bahwa
salah seorang dinyatakan kalah apabila ia sudah tidak dapat
melawan lagi" "Aku belum kalah" teriak Wiranata.
"Apakah perkelahian masih dapat diteruskan" bertanya
Ki Selabajra kepada Wiranata.
Wiranata menjadi ragu-ragu. Tetapi ia tidak dapat ingkar
dari kenyataan itu. bahwa ia memang sudah tidak berdaya.
Oleh pengikutnya Wiranata dipapah keluar arena dan
diserahkan kepada kawan-kawannya. Kemudian,
pengikutnya, yang menjadi saksi itu kembali memasuki
arena untuk menunggui perkelahian yang masih akan
berlangsung antara Ken Padmi melawan Marwantaka.
Dalam pada itu, Marwantaka yang telah menyaksikan
apa yang terjadi di arena menjadi berdebar-debar. Jika
semula ia menganggap bahwa sayembara itu adalah
permainan gila semata-mata, maka ia harus melihat satu
kenyataan pula. Wiranata telah dikalahkan. Benar-benar
dikalahkan. Bukan sekedar permainan dan bukan karena
kelengahan Wiranata, karena pada saat-saat terakhir
Wiranata telah benar-benar mengerahkan kemampuannya.
Tetapi Marwantaka masih mempunyai kepercayaan
kepada diri sendiri, la merasa bahwa ia memiliki kelebihan
dari Wiranata, meskipun ia tidak begitu yakin, kelebihan
apakah sebenarnya yang ada padanya itu.
Sejenak kemudian, maka Ki Selabajrapun telah
memanggil orang kedua yang akan memasuki arena.
"Silahkan" berkata Ki Selabajra "masih ada seorang lagi
yang akan memasuki arena perkelahian"
Marwantaka melangkah maju. Meskipun jantungnya
menjadi berdebar-debar, tetapi ia berusaha untuk bersikap
tenang. Katanya kemudian ketika ia sudah berdiri di pinggir
arena "Beri kesempatan gadis itu beristirahat"
"Tidak perlu" tiba-tiba saja Ken Padmi menjawab.
Marwantaka memandanginya sejenak. Kemudian iapun
tersenyum sambil berkata "Aku pernah tinggal di
padepokan ini. Aku tahu kemampuanmu, dan kaupun
mengetahui kemampuanku. Apakah kita masih akan
bertempur di arena?"
"Mungkin waktu itu kita saling mengetahui. Tetapi
waktu itu sudah berlalu. Dan aku sudah melupakannya.
Akupun sudah lupa, betapa tingkat kemampuanmu" jawab
Ken Padmi. Wajah Marwantaka menjadi merah. Nampaknya Ken
Padmi sudah yakin benar akan dirinya. Sehingga karena itu,
maka Marwantakapun telah merasa tersinggung karenanya.
Tetapi ia masih tetap menyadari keadaannya. Bahkan ia
masih menjawab sambil tertawa "Kau membuat aku marah
anak manis. Kemarahan memang dapat membaurkan
perhitungan. Dan kau berusaha berbuat demikian, sehingga
aku tidak akan dapat melawanmu dengan perhitungan yang
bening" Tetapi tanggapan Ken Padmipun cukup mendebarkan.
Seolah-olah ia tidak menghiraukan jawaban Marwantaka.
Katanya "Aku sudah letih menunggu. Silahkan jika niat itu
masih dilanjutkan" Rasa-rasanya telinga Marwantaka tersentuh bara.
Namun ia masih tetap tersenyum sambil berkata "Baiklah.
Seorang gadis yang manis kadang-kadang tidak dapat
ditunda lagi jika sudah timbul niatnya untuk berbuat
sesuatu. Marilah. Aku sudah siap"
Wajah Ken Padmilah yang kemudian menjadi merah
Tetapi ia berusaha untuk tetap tenang. Ia selalu teringat
kepada pesan Ki Walu Kendeng saat ia memasuki arena,
bahwa lawan-lawannya itupun tentu berusaha untuk meng
atasi gejolak perasaannya.
Sejenak kemudian, keduanya lelah bersiap di arena.
Marwantaka tidak mau mengulangi kesalahan Wiranata,
bahwa ia menganggap gadis itu tidak memiliki kemampuan
untuk mengimbangi ilmunya.
Karena itu, sejak langkahnya yang pertama, Marwantaka
elah berhati-hati. Ia berusaha untuk mempergunakan
pengamatannya sebagai bahan untuk mempersiapkan
perlawanannya. Karena itu, maka iapun merasa beruntung
bahwa ia memasuki arena pada giliran yang kemudian.
Sejenak kemudian, Ken Padmi sudah bergeser. Setapak
ia mendekat. Namun tangannya sudah bersiaga untuk
mengiiadapi setiap kemungkinan.
Nampaknya Marwantaka tidak sabar lagi. Ia mulai
dengan serangannya meskipun belum menentukan. Namun
dengan demikian ia sudah memancing gerakan-gerakan
selanjutnya, sehingga perkelahian itupun segera meningkat
menjadi semakin seru. Keduanya tidak banyak membuang waktu untuk
menjajagi kemampuan lawannya. Sebenarnyalah Ken
Padmi sudah dapat mengetahui tingkat ilmu lawannya
ketika anak muda itu berada di padepokan Kenanga. Waktu
itu, kekosongan hatinya membuatnya agak dekat dengan
Marwantaka. Ia tidak menolak ketika Marwantaka
menawarkan diri untuk memberikan tuntunan kepadanya
untuk meningkatkan ilmunya.
Namun akhirnya Ken Padmi sadar, bahwa anak muda
itu tidak sesuai di hatinya. Apalagi setelah Marwantaka dan
ayahnya, Ki Selabajra bersentuhan dengan orang yang
bernama Ki Dukut Pakering. Demikian ayahnya kembali ke
padepokan, setelah Ki Dukut gagal mempergunakan tenaga
para pemimpin beberapa padepokan, maka ia mendapat
lebih banyak penjelasan tentang sikap anak muda yang
bernama Marwantaka itu. Dalam pada itu, Marwantakapun benar-benar menjadi
heran, bahwa tingkat kemampuan Ken Padmi benar sudah
menjadi jauh lebih tinggi. Gadis itu mampu bergerak cepat
sekali, seolah-olah ia sudah berhasil mengatasi berat
tubuhnya Sendiri. Bahkan dalam pertempuran yang cepat,
gadis itu nampaknya bagaikan melayang-layang tanpa
menyentuh tanah. Pertempuran itupun semaian lama menjadi semakin
sengit. Namun ternyata bahwa Mawantaka harus
menghadapi kenyataan, bahwa kemampuan Ken Padmi
sudah jauh di atas kemampuannya. Kecepatan geraknya,
kekuatannya, ketahanan tubuhnya, tidak lagi dapat
diimbanginya. Meskipun sekali-sekali tangannya berhasil mengenai
tubuh gadis itu, tetapi seolah-olah Ken Padmi sama sekali
tidak merasanya. Tetapi jika tangan gadis itu yang
mengenainya, maka ia harus menyeringai menahan sakit.
"Gadis ini sudah kerasukan iblis" geram Marwanata di
dalam hatinya. Namun betapapun ia mengerahkan
kemampuannya, namun ia sama sekali tidak mampu
menahan serangan-serangan Ken Padmi.
Tetapi Marwantaka tidak dapat dengan serta merta
mengaku kalah di hadapan sekian banyak pengikutnya dan
penonton lain-lainnya. Bagaimanapun juga ia masih
mempunyai harga diri. Sehingga karena itu, maka ia telah
mengerahkan kemampuan yang tersisa.
Namun dengan demikian, maka kekuatannya bagaikan
terkuras habis. Serangan-serangannya sudah tidak
mengarah lagi, dan setiap benturan telah mendorongnya
sehingga beberapa kali ia telah jatuh berguling di tanah.
Meskipun demikian Marwantaka tidak mau mengakui
kemenangan lawannya. Ia berpegang, bahwa kekalahan
ditandai oleh kenyataan bahwa salah satu pihak sudah tidak
mampu melawan lagi. Karena itu, maka selama ia masih sempat dan mampu
bergerak, ia masih berusaha untuk menunjukkan sikap
bahwa ia masih dapat melawan. Tetapi, kemarnpuannya
akhirnya sampai kepada batasnya. Ken Padmi yang
menjadi jemu itu akhirnya memutuskan untuk
menghentikan perlawanan Marwantaka. Sebagaimana juga
Wiranata, maka akhirnya, Ken Padmipun terpaksa
Pendekar Setia 5 Pendekar Elang Salju Karya Gilang Pemuas Nafsu Iblis 2

Cari Blog Ini