Ceritasilat Novel Online

Leukimia Kemping 3

Olga 04 Leukimia Kemping Bagian 3


Tapi baru di pintu studio, ia ketemu Sandra yang ngasih pesan kalau Olga dicari Mbak Vera.
"Mbak Vera" Katanya cuti"" tanya Olga heran.
""Hari ini dia terpaksa masuk dulu. Soalnya ada urusan penting. Dan kamu diminta menghadap ke ruang rapat."
Dengan bingung Olga bergegas ke ruang rapat, yang letaknya di paviIiun samping studio.
Olga mengetuk. Dan masuk ke ruang itu. Di situ ada Mas Ray, direktur radio, bersama Mbak Vera dan orang-orang berdasi yang tak Olga kenal.
"Nah, ini orangnya, Pak. Olga namanya," ujar Mas Ray sambil tersenyum dan menyilakan Olga duduk.
"Ada apa nih, Mbak"" Olga berbisik bingung pada Mbak Vera.
"Begini, Ol. Kita kan mulai minggu depan bikin program acara yang bekerja sama dengan LIPI, yang tujuannya memotret karya-karya ilmiah peneliti muda. Nah, kita ingin kamu yang memandu acaranya, karena kan kamu sekarang mulai tertarik sama yang berbau ilmiah. Oya, perkenalkan, mereka ini orang-orang dari LIPI..," jelas Mbak Vera.
Olga bengong. Orang-orang LIPI itu tersenyum.
Mas Ray juga tersenyum. "Ta-tapi, Mbak. S-saya kan udah pegang acara..."
"O, jangan khawatir," ujar Mbak Vera lagi. "Acara Manyun Sejenak sementara ini kita vakumkan dulu. Nah, dengan begitu kan jadwal siaran kamu gak terlalu padat."
Olga gak tau, gimana perasaannya saat itu.
"8. Gondo Rukem "PERNAH gak kamu ngebayangin masa kanak-kanak yang indah" Masa saat kamu bermain di bawah hujan yang lebat, berlarian di muka rumah dengan tubuh basah kuyup, sementara ortu kamu memandang dengan cemas di teras tanpa bisa berbuat apa-apa" Mereka cemas, karena mungkin aja setelah mandi hujan itu kamu akan demam. Atau mungkin sakit yang lebih parah lagi sehingga ortu kamu terpaksa membawamu ke rumah sakit dengan biaya yang mahal. Tetapi ortu kamu juga nggak bisa begitu saja melarangmu berhujan-hujan, karena dengan mandi hujan itu, kamu nampak bahagia sekali. Kamu akan menjerit-jerit jika dipaksa harus mengurung diri di rumah.
Pernah gak kamu ngebayangin tentang masa kanak-kanak, saat kamu menangis meraung-raung, karena nggak diizinkan makan es mambo, padahal kamu begitu ingin makan es mambo" Tentang masa kanak-kanak saat kamu menjerit-jerit di tengah malam tanpa sebab yang jelas, sehingga seisi rumah dibuat gaduh, dan ortu kamu panik karena keabisan akal untuk mendiamkanmu, tapi kamu nggak juga mau diam.
Pernah gak kamu ngebayangin masa kanak-kanakmu pipis di baju ibu kamu, padahal saat itu ibumu baru aja berganti pakaian yang bagus dan rapi karena ingin berangkat kondangan.
Atau pernah gak kamu ngebayangin masa kanak-kanakmu, saat kamu terpingkal-pingkal karena diajak ke kebun binatang oleh papa-mamamu, dan di situ kamu melihat monyet berjumpalitan atau kadang-kadang berayun-ayun dan berebutan pisang yang dilemparkan pengunjung ke kandangnya. Pernahkah kamu membayangkan saat kamu tersenyum geli karena papamu berusaha melucu memonyong-monyongkan mulutnya, dan saat itu kamu langsung teringat kera yang berjumpalitan di kandang kebun binatang"
Tentu masih banyak lagi hal-hal lucu yang bisa kamu alami di masa kanak-kanak, saat kamu kini mulai menjelang remaja. Dan saat itu kamu baru merasa betapa masa kanak-kanak adalah masa yang indah, bahkan mungkin nggak ada masa yang melebihi indahnya masa kanak-kanak, karena saat itu kamu bisa mengekspresikan kebandelanmu tanpa seorang pun kuasa melarangnya. Ya, pada masa kanak-kanak, seolah kamu bisa berbuat apa saja tanpa ortu kamu bisa memarahinya, karena toh kamu gak ngerti, apa kesalahanmu.
Akhirnya kamu akan merasa betapa masa kanak-kanak memang berbeda dengan masa menjelang remaja. Di masa ini rasanya segala gerak-gerikmu selalu
diawasi ortu kamu. Dan celakanya segala apa yang kamu lakukan rasanya nggak ada yang betul. Begini salah, begitu salah. Ortu kayaknya bisa dengan mudahnya menyalahkanmu, mengomelimu.
"Aduh, Dewi," atau "Aduh, Lola, kamu kan bukan anak kecil lagi, KTP-mu aja udah lima kali ganti, masa ngiket tali sepatu aja masih minta bantuan Mami, sih!"
Ah, emang indah banget mengenang masa kanak-kanak. Seolah kita gak pengen ngelepasin masa-masa bahagia itu, meski sekarang udah merasa gede. Seandainya kita bisa kembali ke masa kanak-kanak...
Dan agaknya inilah yang sedang dipikirkan temanmu, Olga, yang konon masa kanak-kanaknya begitu bandel sehingga selalu bikin
repot mami-papinya. Saat itu Olga lagi melamun di muka jendela kamarnya. Biasa, ia baru aja kena kemarahan rutin dari si Mami lantaran si Mami dapat laporan dari tetangganya yang mengaku genting rumahnya bocor. Setelah diselidiki dengan bantuan detektif lewat sidik jari, ternyata Olga-lah yang dengan sukses bikin bocor genting rumah si tetangga itu gara-gara Olga ngejar-ngejar layangan kemarin sore. Begitu semangatnya Olga ngejar layang-layang putus itu, sampe Olga nggak sadar kalo yang diinjek-injek bukan lagi tanah di halaman rumahnya, tapi genting rumah si tetangga itu. Jelas Olga kena marah.
"Dan saat ini Olga asyik termenung di muka jendela dengan membayangkan masa kanak-kanak nya yang indah. Sementara di luar hujan turun lebat. Beberapa ekor bebek berenang-renang di got yang airnya meluap-luap. Ah, betapa bahagianya bebek-bebek itu. Ingin rasanya Olga mandi ujan dan ikut-ikutan berenang di got bersama bebek-bebek itu. Tapi, mana mungkin" Mana mungkin Olga melakukan semua itu di usia menjelang remaja dengan Mami yang begitu hobi ngomel.
Makanya Olga lebih suka membayangkan masa kanak-kanaknya ke hal-hal lain. Ada satu kisah lucu ketika Olga masih berusia 5 taon. Saat itu Olga diajak jalan-jalan oleh papi-mami ke desa tempat kakeknya tinggal. Olga terpesona sekali begitu ngeliat kakeknya, terutama oleh rambut palsu dan gigi palsunya. Waktu si Kakek mencopot rambut dan gigi palsunya, Olga mengamati dengan penuh perhatian.
"Lagi, dong, Kek. Lepasin lagi!" pinta Olga penuh minat.
Si Kakek yang ingin menyenangkan hati Olga kecil, mencopot gigi palsunya, dan memasangnya kembali. Begitu juga dengan rambutnya.
"Nah, sekarang Olga ingin Kakek melakukan apa"" tanya si Kakek bangga karena berhasil menyenangkan Olga.
Olga merenung sejenak. Lalu dengan penuh semangat, Olga berkata, "Sekarang Olga ingin Kakek mencopot kepala Kakek!"
"Si Kakek tersenyum getir, lalu menjitak kepala Olga.
Si Nenek juga pernah dibikin kecewa, ketika saking girangnya melihat Olga, lalu berniat memberikan uang kertas seratus perak yang masih baru. "Wah, manisnya cucu Nenek. Nih, Nenek kasih uang baru seratus rupiah!"
Olga memandang uang yang diberikan Nenek, lalu menatap lekat-lekat neneknya. "Nek, kalo Nenek gak keberatan, Olga lebih suka Nenek memberi uang kertas yang lecek, tapi seribu rupiah!"
Si Nenek urung mencium cucunya.
Guru kelas 1 SD si Olga juga pernah kecele, ketika bertanya apakah Olga anak yang rajin di rumah"
"Tentu saja, Bu, Olga rajin," jawab Olga mantap.
"Lantas, apa saja yang kamu lakukan di rumah""
"Antara lain membantu Papi ngerjain PR Olga, Bu Guru."
Ya, masa kanak-kanak memang indah. Dan Olga masih akan selalu mengenang masa-masa yang indah itu, kalo saja tak terdengar suara cempreng maminya yang bengak-bengok dari arah pintu kamar.
"Olgaaaa... kamu ini bego apa gendeng, sih" Ngapain kamu duduk termenung di depan jendela terbuka, sementara ujan turun deras" Kamu bisa masuk angin, tau!"
Olga tersentak. Dan saat itu juga Olga sadar "kalo tetes-tetes ujan membasahi rambutnya. Saking asyiknya melamun, sampe gak sadar kalo sejak tadi ia keujanan.
Olga buru-buru menutup jendela dan melompat ke ranjang sebelum Mami ngomel. Lalu pura-pura tertidur, sambH meneruskan lamunannya.
Dan Olga udah setengah terlelap, waktu Mami mengguncang-guncang pundaknya.
"Tuh, ada telepon dari Radio Cha Cha!" ujar Mami.
Olga mengucek-ucek matanya, lalu berlari ke arah telepon. Saat itu
hujan di luar mulai reda. Hanya suara guntur yang masih terdengar sekali-sekali.
"Halo, siapa, nih""
"Ini Mbak Vera, Ol," suara lembut dari seberang bikin sejuk di ati. Ekspresi wajah Olga jadi berubah manis.
"Halo, udah lama gak ketemu, Mbak. Gimana cutinya""
"Baik, Ol. Eh, ini, Mbak Ver ada perlu."
"Oya" Perlu apa" Ada siaran mendadak lagi""
"Enggak. Kamu bisa dateng ke rumah, gak""
"Kalo enggak gimana""
"Berarti spageti yang baru Mbak Ver masak gak ada yang ngabisin."
"Oke, I'll be right there!" Olga memutuskan.
"Cepet, ya"" pinta Mbak Vera.
"Tapi Mbak Ver tunggu, ya""
"Nggak. Kebetulan abis nelepon ini Mbak Ver mo ke Blok M Plaza."
""Yaaa, kok""
"Abis kamu juga aneh. Mbak Ver nyuruh kamu ke sini, ya tentu Mbak Ver tunggu kedatanganmu. Masa ditinggalin, sih""
"Oke." Olga menutup telepon. Lalu memencet nomor telepon Wina. Kebiasaan kalo lagi butuh bantuan.
Dan siang itu Wina terlonjak dari tidur pulasnya. Mimpi indahnya ten tang pangeran ganteng berkuda putih yang siap membelanya dari para penyamun, buyar seketika. Wina mengucek-ucek matanya, dan langsung misuh-misuh.
"Aduh, Mama, kalo orang lagi enak-enak tidur, jangan dibangunan, dong," sungut Wina.
Mama Wina tersenyum. "Tapi itu ada telepon buat kamu, Win," cetus mamanya kemudian.
"Dari siapa" Iwan" Rico" Andi" Ahmad"" Mata Wina kontan berbinar-binar. Siapa tau salah satu cowok impiannya itu nelepon.
Mama Wina tersenyum lagi. Lalu menjawab singkat.
"Dari Olga." "Olga" Aduh, Mamaaaa. Dari Olga aja kok segitu repotnya ngebangunin orang. Bilang kek Wina lagi tidur, atau apa kek...." Wina kecewa dan bersiap-siap melanjutkan bobok siangnya.
Mama Wina menggeleng-gelengkan kepalanya. Diguncang-guncangnya pundak Wina yang udah dalam posisi meringkuk kayak pestol.
"Aduh, Wina. Jangan begitu, dong. Ayo terima. Olga kan teman baik kamu. Lagian kayaknya dia perlu penting banget sama kamu," bujuk mamanya sambil terus mengguncang-guncang pundak Wina, hingga buat terpejam pun Wina tak ada waktu.
"Mama ini, kalo Olga nelepon Wina, pasti urusan penting. Kalo gak penting, mana mungkin dia telepon kemari!"
"Tuh, kan, penting," timpal mama Wina bersemangat.
"Iya, penting. Mau tau pentingnya" Win, anterin gue ke sini, dong. Win, anterin gue ke situ, dong. Gitu, Ma," beber Wina penuh semangat.
"Iya, tapi tadi Mama udah telanjur bilang kamu ada. Ayo cepet sana diterima. Kasian kan Olga nunggu kelamaan." .
"Memangnya Mama gak kasian sama Wina" Wina kan ngantuk, Ma"" Wina masih berusaha protes. Tapi mamanya udah menarik-narik tangan Wina supaya bangun, dan mendorong tubuhnya ke arah telepon.
Dengan malas Wina mengangkat gagang telepon, sementara Mama membereskan majalah-majalah yang berserakan di ruang belakang.
"Halo"" "Ngapain dulu sih, Win, lama be'eng. Mindahin sumur""
"Ada apa, Ol"" Wina menjawab males.
"Eh, Win, lo bisa kan nganterin gue ke..."
"Tuuuuh, kan, Ma. Apa Wina bilang! Minta anterin, kan"" teriak Wina sewot ke arah mamanya.
"Olga terlonjak kaget di ujung telepon.
"Hei, kamu ngomong apa, Win" Kok teriak-teriak gitu"" tanya Olga bego.
"Ah, enggak. Cuma pembuktian ke Mama," jawab Wina kalem.
"Pembuktian apa, Win""
"Pembuktian kalo lo nelepon gue cuma kalo ada perlunya doang."
"Aduh, jangan begitu dong, Win. Lo kan sohib gue."
"Ya, udah. Sekarang lo minta gue nganter ke mana ""
"Tadi Mbak Vera nelepon gue. Kita disuruh dateng. Tau tuh, mau diapain. Tapi katanya sih disuruh ngabisin..."
"Apaan"" "Semur jengkol!"
"*** "Hujan udah betul-betul reda ketika Olga dan Wina nongol di pintu rumah Mbak Vera. Mbak Vera menyambut dengan senyum tipisnya. Saking tipisnya, Olga dan Wina gak sadar kalo Mbak Vera sebetulnya lagi tersenyum sama mereka.
"Ada apa sih, Mbak Ver" Kok kayaknya penting amat"" tanya Olga begitu meletakkan pantatnya di sofa depan.
Sedang Wina langsung asyik dengan kegiatannya sendiri. Mencari-cari di mana semur jengkol itu disembunyikan. Siapa tau Olga gak bo'ong, dan semur jengkol itu betul-betul ada.
Sementara Mbak Vera juga gak langsung ngejawab pertanyaan Olga. Malah tersipu-sipu malu.
"Kenapa dong, Mbak Ver"" tanya
Olga lagi penasaran. Mbak Vera baru akan membuka mulut, ketika Wina menjerit histeris.
"Naaaa, ini dia semur jengkolnya. Bagi Wina dikit ya, Mbak Vera," pinta Wina tanpa menunggu izin, langsung tancap gas melahap makanan kesukaannya yang ada di balik meja. Mbak Vera kaget. Lebih-lebih Olga.
"Ha" Sejak kapan Mbak Vera suka semur jengkol kayak si Wina""
Mbak Vera tersenyum tipis.
"Itulah, Ol. Belakangan ini Mbak Vera kok suka makan yang aneh-aneh. Makan rujak campur soto mi, makan sate kelinci, sop landak, abon kadal, dan yang aneh-aneh lainnya. Akhir-akhir ini Mbak Vera juga sering merasa mual, dan pengen banget makan buah gondo rukem. Tau kan gondo rukem" Itu lho, buah yang bentuknya bulet mungil, warnanya merah keitem-iteman, dan rasanya asem-manis. Itu makanya Mbak Vera mo nyuruh kamu nyariin buah gondo rukem itu. Soalnya buah itu emang rada sulit dicari, Ol."
"Naaa, ketauan, ya" Mbak Vera lagi ngidam, ya"" kata Olga paham kondisi Mbak Vera.
Mbak Vera tertawa malu. ""Wah, selamat ya, Mbak. Selamat ngidam!"
Dan Olga dan Wina pun rela mencarikan.
Tapi di mana buah gondo rukem" Denger namanya aja baru sekali, pikir Olga sambil menggaruk-garuk kepalanya.
"Eh, Mbak Ver, mana spagetinya"" tanya Olga tiba-tiba.
"Ada di dalam. Yuk, kita makan dulu."
"Ada spageti"" Wina memekik lagi.
"Lo apa-apaan, sih" Kan udah makan semur jengkol. Mana, sisanya"" bentak Olga.
"Abis, Ol," ujar Wina menyesal.
"Serakah!" "*** "Dua hari itu Olga dan Wina sibuk nyari buah gondo rukem permintaan Mbak Vera. Dan sulitnya minta ampun. Olga dan Wina udah keluar-masuk kampung, tapi belum menemukan buah yang dimaksud. Tiap orang pasti bilang gak tau. Dan celakanya Olga malah belum pernah ngeliat bentuknya, jadi sulit kalo disuruh menggambarkan ciri-cirinya.
"Oh, yang bentuknya bulet, Neng" Yang warnanya item" Yang bijinya banyak, dan rasanya asem-manis" Yang pohonnya tinggi, dan daunnya ijo" Yang kayak lobi-lobi" Yang tumbuh kalo musim kemarau"" jawab seorang abang-abang antuasias.
Olga yang mengira orang itu paham, langsung bersemangat. "Iya, iya itu kali!"
""Wah, enggak tau, Neng. Setau Abang, gak ada buah yang seperti itu."
Olga langsung mangkel. Baru dari seorang bapak berjenggot, Olga menemukan jawaban yang memuaskan.
"Dulu Bapak pernah punya, Neng, pohon gondo rukem. Tapi sekarang udah ditebang. Nebangnya pake golok. Dan ditebang oleh tukang tebang, Neng," jelas bapak berjenggot lebat itu.
"Terserah deh, Pak, mau ditebang pake golok kek, pake gergaji kek, mau ditebang sama tukang tebang kek, tukang pangsit kek, yang penting BUAHNYA MANA!!!" jerit Olga kesal, hingga bikin tu bapak step by step.
Tapi setidaknya dari bapak tua itu Olga jadi punya sedikit harapan, kalo pohon itu emang pernah tumbuh, bukan pohon dari abad Sebelum Masehi.
Tapi sampe menjelang senja, saat matahari pelan-pelan beringsung ke barat, dan membiaskan warna merah yang menyala, Olga dan Wina belum bisa menemukan apa yang dicari. Padahal itu udah kampung kesepuluh yang ia obrak-abrik. Rupanya buah gondo rukem memang sulit dicari. Tadi juga Olga nanya ke pasar buah, tapi si abang bilang gak jual buah itu. Emang sih, buah itu pernah ada. Tapi biasanya gak dijual, karena merupakan buah hutan yang gak lazim buat dijual. Barangkali kalo Olga dan Wina nyari buah itu di hutan, masih ada. Tapi nyari di Jakarta ini" Yang hutannya udah berubah jadi rimba batu beton" Mana ada" Dan orang-orang kata, mana ada yang niat nanem pohon gondo rukem buat hiasan" Ah, Mbak Vera ada-ada aja keinginannya, batin Olga.
"Kayaknya kita gagal deh ngedapetin tu buah," ujar Olga lesu. Tubuhnya bersandar pasrah pada jok. Tapi Wina yang diajak bicara cuma membisu. Tatapannya kosong ke jalan. Wina kayaknya udah males banget buat ngomong.
Wina mengurangi kecepatan mobilnya, karena ada kambing mo nyebrang.
"Win, lo masih denger omongan gue, kan"" ujar Olga setelah sadar kalo Wina tak menanggapi ocehannya.
Wina masih membisu. Suasana lesu. Hanya mobil Wina yang berlari dengan kecepatan tinggi. Wina kayaknya pengen buru-buru sampe rumah. Mandi seger, dan istirahat sepuasnya. Cuma itu yan
g ada di benak Wina. Dan gak lama, Olga pun udah cuek tertidur di jok samping. Olga bukan cuma capek, tapi juga ada beban rasa malu sama Mbak Vera. Malu karena Olga gak berhasil menemukan buah gondo rukem. Dan orang biasanya gak akan mo pusing memikirkan apakah Olga itu udah berusaha mati-matian atau enggak. Yang orang sering lihat adalah: hasil akhir. Bahwa Olga gagal, Perjuangan jadi gak ada artinya. Olga takut Mbak Vera seperti itu.
Ah, kegagalan memang pahit, ya" Kegagalan membuat kita jadi sangat kecil. Maka, tidurlah kamu, Ol. Tidurlah untuk melupakan kegetiran ini...
Tapi belum lagi Wina menarik napas lega karena perjalanan ke rumahnya nyaris sampai, tiba-tiba Olga tersentak dari tidurnya, dan menjerit-jerit histeris sambil mengguncang-guncang pundak Wina.
"Wina, belok, Win! Belok!" pinta Olga memaksa Wina memindahkan haluan setirnya.
"Apa-apaan sih, kamu" Rumah gue kan lurus!" Wina kelabakan sambil berusaha menepis tangan Olga.
"Win, please, sekali ini tolong gue. Demi Mbak Vera. Kita ke arah kampung Ceger."
"Ceger" Ngapain" Itu kan kampungnya si Somad. La kangen sama dia""
"Itulah, Win. Waktu tidur gue seolah dapet bisikan kalo buah itu ada di kampungnya si Somad. Karena setau gue, dia sering banget bawa buah yang aneh-aneh. Ah, kenapa gue lupa sama tu orang, ya" Mungkin ia bisa ngebantu!"
"Apa gak bisa besok aja, Ol, ke Ceger-nya" Gue capek, nih."
"Tanggung, Win. Sekarang aja. Gue gak enak sama Mbak Vera."
Wina sebetulnya masih ragu. Tapi sejenak kemudian Wina mulai memutar setir ke arah kampung Ceger. Ia gak tega ngeliat Olga senewen. Olga yang ngunjukin jalan, karena ia pernah ke sana waktu kawinan adiknya Somad.
Suara azan magrib selesai berkumandang, "dan Somad baru aja memasukkan bebek-bebeknya ke kandang, ketika Wina mengerem kuat-kuat Wonder kuningnya di pekarangan rumah Somad. Somad yang lagi ngegendong bebek, sampe terjingkat saking kagetnya. Emaknya yang siap-siap mo sembahyang, sampe jatuh ngedepok di lantai.
"Eh, Neng Olga!" pekik Somad histeris sambil dalam posisi angkat kaki satu.
"Halo, Bang Somad." Olga tersenyum manis sambil melompat turun dari bo'il. Sedang Wina cuma tersenyum hambar.
"Ada apa nih kemari" Tumben. Kangen ya, sama Abang" Kok gak bilang-bilang mo kemari" Aye pan bisa potong ayam dulu, Neng." Somad dengan cueknya ngelempar tu bebek sampe niban kepala emaknya. Dan menghampiri Olga dan Wina tanpa menghiraukan emaknya yang jejeritan.
Tak lama Olga langsung mengutarakan maksudnya.
"Ah, buah gondo rukem""
"Iya. Situ punya""
"Aduh, aye gak nyangka situ doyan buah gondo rukem. Di kebun belakang sih banyak. Mari ke belakang." Somad ngakrab menarik lengan Olga dan mengajak ke arah kebun belakang.
Olga tersentak kaget, tapi menatap girang ke arah Wina.
Wina tersenyum. Dan mengikuti Somad ke kebun belakang.
""Nah, ini yang namanya pu'un gondo rukem. Banyak, kan" Ini atu, noh di sono ada atu lagi. Yah, namanya kampung, masih banyak pu'unan. Neng Olga pan nantinya bakal tinggal di sini juga."
Olga tersenyum kecut. Lalu terkesima memandangi pohon yang berbuah lebat itu. Buahnya kecil-kecil, tapi berwarna merah menyala. Tak lama ia sudah mengumpulkan seplastik lebih buah gondo rukem.
"Kayaknya udah cukup, Bang," seru Olga pada Somad yang masih asyik nangkring di ujung pohon gondo rukem. Somad dengan sok jagoan, langsung melompat turun. Bruk! Berdebam persis nangka jatuh. Palanya benjol. Tapi Somad gak peduli, karena pas nyampe bawah, Olga langsung memberikan senyumnya yang termanis. "Udah ya, Bang. Makasih buat buahnya. Sekarang saya mau cabut dulu. Nanti kalo ada perlu, eh, ada waktu, main lagi deh. Daaaag!" tukas Olga.
Somad terpana. Dan belum sempat Somad berkata sepatah pun, dua anak itu udah ngilang dengan Wonder kuningnya.
Merasa tanggung, mereka langsung ke rumah Mbak Vera. Mbak Vera bahagia setengah mati ngeliat dua sobat kecilnya dateng dengan buah idamannya. Langsung aja ia lahap menikmati buah gondo rukem. Sampe gak "ngeh" kalo Olga sama Wina udah pergi lagi, sambil mencomot empat batang Toblerone putih di meja, yang emang udah disediain buat mereka.
"Di da lam Wonder kuning yang melaju pelan, Olga dan Wina asyik menikmati Toblerone itu.
"Gue sih kalo ngidam nanti, ngidam coklat aja. Enak, dan gampang dicari."
Tapi Olga tak bereaksi. Ia asyik dengan perasaannya. Perasaan puas udah bisa menyenangkan Mbak Vera, dan Somad yang ternyata bisa jadi malaikat penolong. Somad yang gak pernah ia perhitungkan itu, sekali waktu bisa berguna juga. Ya, dalam hidup ini memang ada sesuatu yang luput dari perhatian kita, yang kita anggap angin lalu atau sampah yang tak berguna, tapi justru memberi sesuatu yang berarti buat kita....
"*** "Besok sorenya ketika Olga lagi asyik tidur, tiba-tiba ia dibangunkan dengan kejam oleh maminya.
"Ayo, bangun! Cepat pake baju! Kita ke dokter kandungan!" hardik Mami panik.
Olga yang masih ngantuk, gelagepan. "Mami ini apa-apaan, sih""
"Mami curiga, pasti kamu hamil! Ayo, ikut! Jangan bikin malu kamu, ya""
"Hei!!" Olga berteriak. "Siapa yang hamil" Mami tau dari mana" Baca di Pos Film""
Maminya berkacak pinggang. "Itu liat sana di depan. Teman kamu si Kumat, eh, si Tomat tadi ngirim buah gondo rukem sekarung penuh! Katanya spesial buat kamu. Kamu lagi ngidam, ya! Ayo, terus terang sama Mami!"
Olga melongo. "9. Gino Ojek "WAKTU Olga liburan sekolah beberapa hari di rumah Vivi, sodara sepupunya yang di Bogor, Vivi sempet nyeritain ke Olga soal Gino Ojek.
"Namanya Gino Ojek"" ujar Olga sambil telungkup di beranda Bogor yang dingin, dan memeluk guling besar. Sementara di bawah sana terlihat pemandangan sawah nan hijau.
"Emang gitu dia dipanggil temen-temennya," ujar Vivi. "Gino Ojek. Dan Gino sama sekali gak marah. Abis kerjaan dia tiap hari ya ngojek itu. Di mulut jalan daerah Ciwaringin situ, Ol."
"Anaknya keren"" Vivi gak langsung ngejawab. Tapi malah mulai bercerita.
Gino, lulusan SMA taon kemaren yang berambut lebat, beralis tebal, dan berkulit kecoklatan karena tiap had kejemur matahari, udah 8 bulan ini jadi tukang ojek. Yang dia ojekin adalah motor peninggalan bokapnya. Mesinnya masih bagus, karena Gino dari dulu rajin merawat.
Dan pagi ini Gino udah mo berangkat lagi, ketika ibunya lagi sibuk membuka warung kelontong di samping rumah.
"Sudah sarapan, Gi"" ibunya menegur anak "semata wayangnya itu sambil asyik membenahi warung.
"Udah, kok." "Udah, kapan" Wong nasinya baru Ibu masak, kok""
"Udah, tadi. Ngemil beras."
"Hah"" "B'rangkat dulu, ya""
"Hei, Gino!" Gino udah keburu melompat ke motornya yang udah dipanasin dari tadi. Lalu ia pun melesat di jalan-jalan desa, melewati sawah dan kebun-kebun milik penduduk situ. Udara pagi Bogor terasa sejuk, dan angin dingin mengibas-ngibas rambut Gino yang agak gondrong. Burung-burung pun masih riang beterbangan sambil bernyanyi.
"Hai, Gi, gak mampir dulu, nih"" Sapaan ramah Teti yang lagi ngejemur pakahin dalamnya di sisi jalan, cuma dibalas ucapan terima kasih dari Gino. Ya, Gino mana mau kehilangan kesempatan menikmati hiburan pagi. Yaitu mangkal di mulut Jalan Ciwaringin, untuk ngeliatin Vivi, anak manis yang tiap ari lewat situ bersama teman-temannya.
Ya, yang membuat Gino rajin bangun pagi-pagi cuma itu. Pengen ngeliat Vivi berangkat sekolah. Kadang sampe dibela-belain gak sarapan. Tapi sampe sekarang, Gino belum berhasil kenalan sama tu cewek. Abis Vivi kalo berangkat selalu sama temen-temennya. Pas pulang sekolahnya juga, pasti sama temen-temennya. Gino jadi gak enak. Bukannya takut atau minder. Tapi Gino gak tega bikin Vivi malu di depan teman-temannya, cuma gara-gara ditaksir tukang ojek.
Beberapa meter lagi Gino udah nyampe di tikungan jalan. Tinggal menunggu sekitar 5 menit lagi, Vivi pasti muncul. Ya, Gino udah apal banget jadwal keberangkatan dan kepulangan Vivi dari sekolah. Tiap hari Vivi pulang jam satu siang. Hanya hari Selasa dan Jumat aja dia pulang agak sore. Mungkin karena ada praktek di sekolahnya.
Dari badge-nya, Gino bisa tau kalo Vivi itu anak SMA Satu, Bogor.
"Tuh, Gi, inceran lo muncul," goda Ahmad yang juga jadi tukang ojek.
"Mana"" Gino langsung bersemangat. Ya, dari kejauhan dia ngeliat Vivi dan teman-temannya berjalan ke mulut jalan, untuk menanti angk
utan kota yang membawanya ke sekolah.
"Udah sana, coba lagi. Cuek aja. Masa takut"" hasut Ahmad. .
"Gue bukannya takut, Mad. Tapi gak enak sama temen-temennya."
"Alaaah, gak enak kenapa" Justru lo yang bakal menaikkan derajat para tukang ojek kalo berhasil ngegaet dia."
"Iya, Gi. Tukang ojek kan bukan pekerjaan hina! Ceuk Dodo bari heuai," Asep ikut manasin.
Gino tersenyum. Vivi sendiri emang diem-diem suka tersenyum tipis kalo digoda Gino.
"Ya, meski tukang ojek, Gino cukup keren. Badannya atletis, karena tiap sore dia terpaksa olahraga ngisi bak mandi di sumur belakang.
Gino pun menjalankan sepeda motornya pelan-pelan. Menjajari langkah-langkah Vivi, yang berjalan dengan dua temannya.
"Halo, Vivi, met pagi," sapa Gino sambil senyum manis.
Vivi cuma tertunduk dengan muka merah. Temen-temennya yang dua orang mulai tau diri. Berjalan agak menjauh dari Vivi.
"Makasih, ya, atas kesadarannya," ujar Gino riang kepada dua temen Vivi.
"Eh, Sari, Dewi, tungguin dong," Vivi nampak panik, berusaha menghampiri teman-temannya.
Gino tergelak. "Kenapa, Vi" Takut""
Vivi tak mengacuhkan. "Yuk, saya antar ke sekolah. SMA. Satu, kan" Saya tau, kok. Deket lampu merah. Enak lho, pake motor. Bisa cepet sampe."
Vivi malah marah-marah sama temen-temennya. "Kamu apa-apaan, sih, ninggalin saya."
"Udah, kamu diboncengi dia aja," ujar Dewi menggoda.
"Iya, kan bisa berpelukan di pinggangnya."
"Apa-apaan, sih!" Vivi mengentakkan kakinya kesal.
Gino menghela napas. "Vi, saya gak punya niat jahat, kok. Emang kenapa" Kamu malu temenan sama tukang ojek"" ujar Gino sedih.
Vivi agak kaget. Menoleh ke arah Gino. Lalu buru-buru bergabung sama temen-temennya lagi.
Ya, paling hanya segitu yang bisa dilakukan Gino. Tapi Gino cukup tau diri, kok. Dia emang gak bisa berharap terlalu ban yak. Wajar aja orang kayak Vivi gak mau sama Gino. Gino kan cuma tukang ojek. Gak bisa ngelanju tin sekolah, setelah lulus SMA taon kemaren. Mungkin orang kayak Vivi pengennya punya cowok anak kuliahan, yang punya masa depan cerah.
Gino pun santai aja meneruskan tugasnya nyari duit. Uang dari hasil ngojek, cukup lumayan menopang hidup Gino dan ibunya. Gino malah sempat nabung dikit-dikit.
Tapi cerita tentunya gak berakhir di situ. Keajaiban terjadi ketika Gino lagi istirahat di kedai Mpok Wati sambil menikmati pisang goreng dan es jeruk. Tiba-tiba aja Vivi melintas menyeberang jalan sendirian. Sendirian" Ya, sendirian. Gak ada dua temannya yang selalu menguntit.
Gino langsung berdiri. Seolah gak percaya apa yang ia lihat. Ya, inilah kesempatan yang harus dimanfaatkan. Mumpung sendiri, Gino bisa kenalan sama gadis yang selalu hadir dalam angannya setiap kali ia ngebom di kali.
Tapi, gimana kalo ternyata Vivi nolak" Gimana kalo tu anak ternyata emang bener-bener gak suka, bukan karena malu sama temen-temennya"
Ah, itu soal nanti. Yang penting kenalan dulu.
""Visi!" Gino memanggil sambil berlarian keluar kedai.
"Hei, Ginooo, mo ke mana" Bayar dulu, dong!" teriak Mpok Wati panik ngeliat pembelinya kabur begitu aja tanpa pamit.
Gino tersentak kaget. Langsung stop-motion, dan buru-buru ia balik ke warung, membungkam mulut Mpok Wati. Malu kan kalo ketauan gak bayar. Soalnya suara Mpok Wati nyaring banget.
"Ribut aja, Mpok. Gue kan lupa. Nih, duitnya." Gino menyerahkan uang lima ratus lecek.
"Dikira situ mau nembak." Mpok Wati nyengir sambil mengangsurkan uang kembalian.
"Sori, Mpok. Gue lagi ngejar gadis geulis. Doain berhasil, ya, Mpok""
"Iya, asal makannya bayar, pasti Mpok doain!"
Gino pun buru-buru berlarian keluar lagi.
"Viviiii..." Gadis putih mulus beridung lancip itu menoleh. Lalu tersenyum tipis sambil menyapa, "Hai!"
Hati Gino langsung berbunga. Ia gak nyangka Vivi mau balas menyapa.
"Tumben sendirian." Gino menjajari langkah Vivi.
Vivi cuma tersenyum menunduk. Ya, Gino toh gak terlalu perlu repot-repot mencari sebabnya. Mungkin aja ini emang udah diatur sama Vivi.
"Mereka ngobrol sambil berjalan kaki. Motor Gino dititipkan di warung Mpok Wati.
"Gi, saya gak suka omongan kamu tempo hari," ujar Vivi setelah melewati tikungan jalan.
Gin o tersentak kaget. "Omongan saya yang mana""
"Kamu nuduh saya malu temenan sama tukang ojek."
"Oh." "Kamu jangan ngomong gitu lagi, ya" Vivi sedih."
"Iya, Vi. Maaf, ya""
"Saya bukannya gak mau kamu boncengi. Tapi saya gak enak aja sama temen-temen. Di samping itu, saya malu. Bukan malu temenan sama kamu, tapi malu digodain anak-anak."
Dan sejak saat itu hubungan Gino dan Vivi jadi akrab. Sesekali Gino suka main ke rumah Vivi. Dan Vivi juga mulai gak merasa malu dijemput dan dibonceng Gino sepulang sekolah. Malah dengan tertawa renyah, ia membalas godaan teman-temannya, kalau kebetulan ketemu di lampu merah. Ya, semuanya kan butuh proses. Proses untuk berubah.
Dan suatu Minggu sore Vivi main ke rumah Gino. Dikenalin sama ibunya Gino. Lantas mereka ngobrol sambil memandangi matahari di ujung sana yang nyaris tenggelam, hingga memburatkan cahaya emas kemilauan.
"Jadi kamu emang gak niat nerusin sekolah, sejak lulus SMA taon lalu"" Vivi berujar sambil menyender pada batang pohon mangga.
"Gino gak langsung menjawab.
"Lembaga sekolah itu kan mahal, Vi. Gak cocok buat orang seperti saya. Setelah gagal masuk IPB, saya gak punya niat di swasta. Gak kuat bayar. Kasian Ibu."


Olga 04 Leukimia Kemping di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi kamu kan bisa coba lagi tahun ajaran baru ini."
"Percuma, Vi. Otak saya gak mampu ke negri. Lagian prinsip saya tetap sama seperti dulu."
"Itu prinsip yang salah, Gi."
"Enggak, itu benar," nada bicara Gino jadi tegas. "Di negara ini banyak lulusan sarjana yang gak bisa cari kerja. Jadi buat apa buang uang banyak-banyak, kalo toh masa depan belum jelas. Mending seperti sekarang ini. Meski sama-sama gak jelas, tapi gak keluar uang banyak. Gak terlalu kecewa."
"Tapi melanjutkan sekolah tetap penting."
"Vivi, sarjana ekonomi itu udah banyak, sarjana hukum bejibun, dokter-dokter menumpuk. Jadi buat apa saya menambah timbunan yang tak berguna itu""
"Hei, kamu gak boleh ngomong begitu. Kamu gak boleh ngomong, mentang-mentang sarjana ekonomi banyak, lantas kamu gak mau jadi sarjana ekonomi. Menurut saya, biar aja kamu kuliah dulu. Belajar yang rajin. Masalah kalau nantinya toh kamu akan tetap jadi tukang ojek, paling tidak kamu jadi tukang ojek yang berpendidikan. Kamu punya nilai lebih. Memang banyak, lulusan ekonomi yang akhirnya bertani. Banyak sarjana hukum yang malah jadi nelayan. Karena keadaan memaksa begitu. Tapi itu gak apa-apa menurut saya. Ilmu kan universal. Bisa diterapkan di segala bidang.
"Karena, Gi, kalo kamu ngerasa gak punya bakat apa-apa, misalnya jadi penyanyi, jadi bintang film, seperti yang pernah kamu bilang ke saya, kamu gak boleh putus asa. Satu-satunya yang bisa kamu lakukan adalah belajar ilmu di sekolah. Karena itu satu-satunya kepandaian yang bisa diasah. Yang gak butuh bakat."
Gino berdiri, "Sudahlah. Vi. Saya gak mau berdebat soal ini lagi."
"Tapi, Gi..." "Sudah!" suara Gino meninggi. "Saya tau, kamu pada dasarnya kan cuma mau cowok kamu anak kuliahan, kan" Apa ini atas desakan orangtua kamu" Kalo iya, masih banyak cowok kuliahan yang bisa kamu gaet. Gak usah maksa saya!"
Vivi tercekat. Gino berlari ke dalam, dan mengeluarkan motornya.
"Ayo, saya antar pulang. Udah malam."
Dan sejak itu, Vivi gak pernah ketemu Gino lagi di tikungan jalan. Gino seolah menghindar.
Vivi jadi serba salah. Ia sedih. Tapi keinginannya untuk bertemu ditahan-tahannya terus.
Hingga satu jerawatnya numbuh di ujung idung. Hingga temen-temennya meledek.
Kadang Vivi sengaja berlama-lama di tikungan jalan, menunggu-nunggu kalo saja ia bisa ngeliat wajah Gino-nya. Tapi tu anak gak pernah keliatan. Vivi hanya bisa memejamkan mata dengan sedih. Ya, padahal waktu itu ia sama sekali gak berniat nyakitin hati Gino. Orangtua Vivi juga gak pernah maksa agak Gino kuliah. Itu hanya anjuran Vivi aja.
Vivi jadi suka menangis malam hari. Karena rasa sayangnya sama Gino baru tumbuh. Dan ia selalu tak sabar menanti esok pagi, untuk bisa ketemu Gino di ujung jalan. Sebulan terakhir ini, hari-harinya terasa begitu indah.
"Dia udah seminggu ini gak pernah narik ojek, Neng. Gak tau ke mana. Mungkin motornya rusak"" kata Ahmad ketika Vivi gak bisa mena
han diri untuk tidak bertanya.
"O, gitu. Makasih, Bang."
"Ke rumahnya aja, Neng. Kita-kita juga merasa keilangan, Iho."
Vivi tersenyum pahit. Dua hari kemudian, ia baru ke rumah Gino, menuruti saran Bang Ahmad. Di rumah Gino, Vivi hanya menemui ibunya.
"Gino kan ke Jakarta, Neng Vivi. Masa dia tak memberi tau"" ujar ibu Gino, setelah menyilakan Vivi duduk di ruang tamu.
"Saya gak tau, Bu. Udah lama perginya""
"Ya, sekitar seminggu yang lalu."
"Gino gak ngojek motor lagi""
Ibunya tak langsung menjawab. Ia mengatur napasnya, seolah ingin menguasai emosi yang mau meledak-ledak.
"Itulah, Neng Vi. lbu tadinya tak setuju sama keputusan Gino. Dia mau melanjutkan sekolah di Jakarta...."
"Melanjutkan sekolah"" Vivi terperanjat. "Dan motornya""
"Ya, motornya ia jual, untuk biaya menambah kuliah. Katanya ia mau masuk program diploma UI."
"Motornya dijual""
"Itulah, lbu juga sedih. Motor itu kan peninggalan Bapak. Juga untuk menopang hidup kami, di samping warung kelontong di sebelah. Tadinya lbu tak setuju, Ibu pikir tak usahlah Gino ikut-ikutan orang lain yang kuliah. Pendidikan tinggi kan bukan untuk kami-kami yang miskin. Tapi kemauan anak itu keras. Ibu tak bisa melarang. Ia seperti bapaknya...."
Vivi tak bisa berkata apa-apa. Hatinya terasa pedih. Ia sama sekali gak nyangka Gino akan menuruti kata-katanya.
Tiba-tiba ia merasa amat bersalah. Bersalah pada wanita tua yang duduk sedih di hadapannya.
Oh, Tuhan, semoga apa yang telah saya katakan pad a Gino itu gak salah....
"10. Cover Girl "WINA berteriak keras sekali. Dan Olga terlonjak kaget dari duduknya di kusen jendela, sampe lompat beberapa senti. Sore itu pukul lima kurang beberapa menit, minus beberapa detik. Burung-burung walet yang lucu masih berkejar-kejaran di langit menangkapi serangga. Olga sebetulnya tadi lagi asyik ngebet-ngebet buku kimia, sambil menjilati sebatang es krim lapis. "Tapi apa boleh buat, sore itu keseriusannya terpaksa terganggu akibat teriakan Wina yang meluncur secara mendadak.
"Olgaaaa..!" pekik Wina .
Olga mengelus-elus dadanya, setelah meletakkan es krim di mulutnya sampe bibirnya monyong-monyong.
Tapi ia udah mafhum banget sama tabiat sobatnya yang gila sensasi itu. Maka ia cuek aja. Dan itu yang bikin Wina keki, hingga ia menyambit Olga pake kotak bekas makanan dari bo'ilnya.
Tuk! Kena jidat Olga. Olga jadi sebel, dan dengan refleks menimpukkan es krimnya ke arah Wina. Wina buru-buru menekan power-window-nya, hingga es itu nempel di kaca. "Hihihi, gak kena, jreng!"
Olga jelas makin keki. Maka ketika Wina turun dari mobilnya, Olga buru-buru mencopot sendal jepitnya, dan langsung menimpukkan ke arah Wina. Wina tentu aja kaget, gak nyangka Olga bakal ambil tindakan senekat itu. Apalagi sendal jepit Olga lalu tepat mengenai pundak Wina.
"Aduuuh, kira-kira lo, Ol!" pekik Wina.
"Masih mending kan, daripada gue timpuk pake bufet"" Olga merespon sekenanya.
Dan sore itu perang sodara betul-betul meletus di rumah Olga. Wina dengan sigap mengumpulkan daun-daunan buat nimpukin Olga, sedang Olga siap dengan kapuk-kapuk bantal buat ngebales serangan. Walhasil, meski mereka berdua saling menimpuk dengan sekuat tenaga, yang ada cuma hujan kapuk dan tebaran daun-daun di halaman. Gak ada yang berhasil menyentuh lawan.
Mami yang lagi asyik ngisi TTS, rada terkejut juga ngeliat dari jendela, seperti ada hujan salju di halaman sana. Ia mengernyitkan alis, menurunkan kacamatanya. "Is it a dream" What happened"" batinnya. Lalu mencubit tangannya, ih, kok sakit"
"PAPIIII!!!" Mami pun langsung menjerit nyaring. Itu TTS langsung dilempar ke samping.
Si Papi yang lagi jogging mengelilingi meja makan, terpaksa stop-motion.
"Ada apa, Mi"" ujar Papi sambil menoleh.
""Impossible, Pi, liat itu. Ada hujan salju di halaman!" ujar Mami sambil menunjuk ke arah jendela, di mana banyak bertebaran kapuk-kapuk.
"Ah, masa sih, Mi"" Papi melihat ke arah yang ditunjuk Mami.
Mami diem-diem menuju ke jendela. Tapi pas Mami melongok ke luar jendela, ia melihat Olga dan Wina lagi timpuk-timpukan kapuk dalam jarak satu meter, dan masing-masing kini sudah m
emegang bantal yang dobol.
"Aduuuh, apa-apaan itu"" pekik Mami.
Olga kaget. Wina kaget. Keduanya jadi kecut, dan menghentikan perang. Mami begitu sadar apa yang terjadi, serta-merta lompat dari jendela dan memburu ke arah Olga. "Jadi ini gara-gara perbuatan kamu, ya""
"Aduh, Mi, bukan saya, Mi. Itu si Wina!" Olga berusaha mengelak, sambil mengambil langkah seribu. Muter-muter sebentar di halaman, melompati beberapa pot. Kapuk betebaran ke mana-mana, mengenai Mami yang semangat mengejar Olga. Di rambut dan di rok mereka bertiga kini penuh kapuk. Kayak ayam kalkun. Olga lalu melesat ke luar sambil tak lupa menyeret tangan Wina.
"Cepet, Win. Cabut. Kiamat kita!"
Mereka berdua pun tunggang-langgang menuju Wonder kuning yang terparkir deket-deket situ. Dan, brrrrmmm! Wonder melesat ke jalanan. .
"Aduh, ke mana nih, kita" Padahal tadinya gue mo ngajak lo main halma, sekalian ngegosipin si Rachel, cowok metal indo yang kita ketemu kemaren di Grand Wijaya Center," desis Wina sambil melaju dengan posisi persneling lima.
"Ya udah, kita ke sono aja lagi nemuin Rachel, trus ngegosipin si Rachel bareng Rachel. Yang penting sekarang kita lepas dari cengkraman Mami!" jawab Olga sambil mencabuti kapuk-kapuk yang menempel.
Wina manggut-manggut. Mikir, apa enak ngegosipin orang sementara orang itu ada di depannya" Ah, kali-kali aja enak...
"*** "Wonder kuning terus melaju, melintasi Melawai yang padat. Dan stop di perempatan lampu merah. Olga lagi terbuai Without You-nya Air Supply, ketika terdengar gedoran di dekat kupingnya.
Tok! Tok! Tok! Olga menoleh. Seorang anak kecil berkepala botak nyengir ke arah Olga. Olga kaget.
Astaga! Ngapain" "Majalah, Tante. Masih baru-baru. Baru dapet dari tukang loak, he he he. Beli, ya, Tante" Lumayan nih buat nambah-nambahin saya beli "bo'il," tawar anak botak yang ternyata tukang jual majalah.
Olga merengut. Tok! Tok! Tok! Anak itu kembali mengetuk kaca mobil. Khawatir Olga gak tau apa maksudnya. Abis tampang Olga keliatan bego banget waktu itu di mata si botak.
"Beli ya, Tante""
"Beli apaan"" tanya Olga ketus sambil menurunkan kaca pintu dengan power-window.
"Majalahnya! Saya kan jual majalah, bukan manisan!"
Olga tersenyum kecut. Saat itu Wina ikut-ikutan noleh ke anak botak yang pake topi ala vokalisnya EMF itu. Si botak kembali nyengir, memperlihatkan gigi-giginya yang putih.
"Ol, ambil deh atu, MODE-nya!" anjur Wina. "Lumayan buat ngeganjel pantat yang pegeL.."
Olga lalu mengambil satu MODE, dan membayar dengan uang pas. Si botak berteriak kegirangan. Setelah menerima duit dari Olga, ia pun buru-buru melesat mencari calon pembeli lain. Tapi lampu ijo keburu menyala hijau. Mobil-mobil mulai bergerak maju.
Wina langsung menancap gas, belok kanan.
Sampai di Empire, dua anak itu celingukan nyari Rachel. Tapi di antara kerumunan cowok yang balapan pake mobil Tamiya, tak ada sebatang Rachel pun.
Akhirnya daripada kecewa, mereka ikutan nonton kerumunan sirkuit balap plastik mini di Toys City.
"Beberapa saat kemudian. "Ol, laper. Makan, yuk di bawah"" Kemudian mereka makan di California yang ada di lantai dasar Empire. Olga lalu kembali membolak-balik MODE yang sejak tadi dibawanya. Saat itu Wina ikutan ngerumpi. Abis daripada suntuk mikirin Rachel yang nggak ada.
Halaman demi halaman dikebet, tiba-tiba Wina terpekik.
"Olga, kenapa nggak bilang dari tadi kalo ada formulir pemilihan Cover Girl lagi"" teriak Wina sambil merebut MODE dari tangan Olga.
Olga terperanjat. "Iya, Ol, kenapa lo nggak bilang-bilang" Gue kan mo ikutan," Wina masih ngocol.
Olga melongo. Wina lalu meneliti halaman formulir pemilihan Cover Girl yang ada di majalah MODE.
Olga masih melongo. Nggak nyangka Wina bakal senafsu itu ikutan pemilihan Cover Girl.
"Lo betul-betul pengen ikutan pemilihan Cover Girl ini, Win"" tanya Olga setengah nggak percaya.
"Iya, kenapa emangnya. Apa gue nggak kece""
"Bukan gitu, Win, lo kece, kok. Siapa yang berani bilang lo nggak kece""
"Nah, kalo gitu gak ada masalah, kan""
"Ya nggak ada masalah sih, tapi..."
"Ah, jangan sirik deh lo, Ol."
"Nggak gue nggak sirik, gu
e cuma takjub aja." ""Nah, kalo gitu lo mau bantu gue kan nyiapin segalanya!" tukas Wina bernada menuntut.
"Oke!" jawab Olga singkat. Olga lalu ikut-ikutan membaca formulir pemilihan Cover Girl.
Dari situ Olga tau, setelah Wina mengisi formulir wajib dan minta persetujuan orangtua dan tetangga kanan-kiri, yang paling penting harus Wina lakukan sebagai calon peserta adalah bikin foto. Foto ukuran postcard seluruh badan dan klos-ap.
"*** "Olga dan Wina baru aja keluar dari studio foto dengan membawa satu album penuh foto-foto berukuran jumbo. Tentu aja itu adalah foto Wina dalam berbagai gaya, dan dalam berbagai busana serta aksesoris. Ada foto Wina lagi mesem, tertawa lebar, lompat, dan nungging. Sebetulnya foto-foto itu udah keliatan bagus, tapi nampak Wina belon menunjukkan wajah puas.
Olga pun berusaha membujuk Wina bahwa foto itu udah layak dikirim ke MODE. Tapi Wina nggak menggubris. Bukannya apa, Olga cuma udah capek aja nganter Wina motret ke sana kemari, bak fotomodel profesional. Tapi Wina-nya belon puas-puas juga dengan hasil fotonya.
"La pengen foto yang kayak apa lagi sih, Win"" gerutu Olga akhirnya.
"Gue pengen foto yang betul-betul perfect, dengan gaya yang sophisticated. Gue pengen menampilkan gaya yang betul-betul up to date, kontroversial. Pokoknya nggak sama ama model yang udah-udah."
"Aduh, Win, lo kan belon jadi model-model amat. Lo jangan terlalu macem-macem, dong. Wajar aja, deh. Ikuti aja apa yang diminta MODE. Nanti kalo lo udah menang, kalo udah jadi model betulan, baru deh lo bisa nampilin lo punya mau. Sekarang nurut aja dulu, deh!"
"Wah, itu prinsip kuno, Ol. Lo harus tau, kalo orang pengen bikin gebrakan tuh harus dimulai dari awal!"
"Iya deh, iya deh!" Olga akhirnya menurut.
Walhasil, Olga diminta lagi buat nganterin Wina nyari studio foto yang tercanggih.
Memang, belakangan ini, sejak pengen ikutan Cover Girl, Wina dan Olga jadi sibuk keluar-masuk studio foto. Banyak kerjaan Olga yang telantar gara-gara harus ngebantuin Wina. Tapi Olga berpikir, inilah saatnya dia berbakti pada Wina. Soalnya selama ini kan Wina terus yang banyak ngebantu Olga. Sekali-sekali ngebantu Wina kan nggak ada salahnya. Walaupun sebetulnya Olga udah rada sebel sama sikap Wina yang nggak ngerti-ngertinya dibilangin itu. Akibatnya hingga batas waktu penyerahan formulir ampir abis, Wina belon juga mendapatkan hasil foto yang betul-betul cocok. Padahal nggak tau deh, berapa banyak biaya yang udah dikeluarkan untuk keperluan foto itu.
"Gimana, Win, udah foto-fotonya"" sindir "Olga begitu mereka keluar dari studio berikutnya.
"Belon, Ol, masih belon cocok. Kepilih atau nggaknya gue jadi Cover Girl, kan tergantung dari foto itu, Ol. Jadi gue harus betul-betul menghasilkan foto yang tercanggih, kan""
"Tapi batas waktu pengiriman formulir tinggal seminggu lagi, Win. Lo harus ingat itu!"
"Iya, tapi gimana, dong. Kan percuma aja gue kirim kalo akhirnya bakal kalah!"
Olga pun memandangi hasil foto yang bikin Wina gak puas. Mikir beberapa jenak.
"Gue sekarang tau. Mungkin sekali-sekali lo kudu foto outdoor, selama ini lo kan foto di studio melulu. Siapa tau di luar hasilnya lebih bagus," saran Olga kemudian.
Wina tersenyum girang. "Boleh juga saran lo, Ol. Gitu dong jadi temen. Tapi.... siapa, dong, yang motret""
"Ya nyewa fotografer prof aja. Misalnya Darwis, gitu!"
"Aduh, Ol, keuangan gue udah menipis. Lagi pula Darwis kan salah satu juri pemilihan Cover Girl itu. Mana mau dia motretin gue""
"Kalo gitu cari temen yang bisa motret aja."
"Ya, tapi siapa""
Olga mikir lagi. "Gimana kalo Rachel"" saran Olga.
"Rachel" Ah, emangnya tu anak bisa motret""
"Pasti bisa, potongan rambutnya aja model metal gitu!"
"Ih, apa hubungannya""
""Nggak ada, tapi kan minimal gue jadi ada alasan buat deket-deketin dia terus."
"Sial!" "Tapi, tunggu dulu. Lo masa gak inget waktu pertama ketemu, dia cerita pernah kursus fotografi di Jerman dulu" Dia kan pernah cerita-cerita kalo dia hobi banget fotografi"" tutur Olga bersemangat.
Wina menepak jidatnya. "Wah, ingetan lo tajem juga ya, Ol."
"Iya, dong!" Olga tersenyum man is dapet pujian dari Wina.
"Kalo gitu buruan deh kita cari Rachel, mudah-mudahan aja tu anak ada di Empire."
Hari itu Olga dan Wina untung nggak susah-susah nyari Rachel. Karena tu anak kebetulan lagi nongkrong di tempat biasanya, di balapan mobil Tamiya.
Wina dan Olga begitu ngeliat Rachel langsung menjerit histeris.
"Rachel!" teriak Olga dan Wina berbarengan.
Rachel kaget. Orang-orang yang lagi nongkrong di sekitar sirkuit mini itu jelas pada nengok semua. Heran, kok ada cewek sampe segitu histerisnya ngeliat cowok metal.
Olga dan Wina tentu aja histeris ngeliat Rachel. Soalnya selain mereka punya maksud pengen minta difotoin, dua anak itu juga udah kangen berat pengen ketemu Rachel yang penampilannya rada-rada mirip Sebastian Bach, kalo diliat pake sedotan limun dari atas Monas.
"Sedang Rachel begitu ngeliat Olga dan Wina nyaris setengah cuek bebek. Sebab Rachel rada-rada lupa sama kedua cewek itu.
"Wah, siapa, ya"" tanya Rachel bego.
Olga dan Wina jelas keki.
"Aduh, Rachel, masa lupa sama kita. Dua cewek paten berpenampilan keren," protes Olga.
"Iya, jangan lupain kita, dong, Rachel. Dosa, lho!" timpal Wina.
Keduanya lalu berusaha untuk mendongkrak ingetan Rachel, kalo mereka dulu udah pernah ketemu dan sempet makan di kedai ayam California.
"Malah waktu itu lo sempet minta bayarin sama kita!" cetus Olga tanpa basa-basi.
Rachel akhirnya inget juga.
"Oh iya, lo kan yang dulu bawa kabur geretan Dupont gue"" tanya Rachel begitu inget.
Olga dan Wina kontan nyengir.
"Sekarang mana geretannya!" tagih Rachel.
"Sori, deh, Ra, udah kita jual. Yah, maklum aja sekarang alat-alat kosmetik harganya udah pada naik. Jadi kebutuhan kita-kita sebagai cewek juga meningkat," jawab Olga sekenanya.
Rachel manggut-manggut. Selagi manggut-mangut itu, Wina buru-buru menyambar dengan mengutarakan maksud dan tujuannya ketemu Rachel.
"Gitu deh, Rachel, gue mau minta bantuan lo motretin gue. Bisa, kan"" tukas Wina bernada memaksa.
Rachel begitu denger soal foto-memoto, mata"nya langsung berbinar-binar. Soalnya Rachel emang hobi banget fotografi.
"Bisa ya, Ra"" tiba-tiba Olga nyeletuk selagi
Rachel belon sempet ngejawab.
"Bisa. Bisa. Kapan kita foto-fotonya"" tanya Rachel semangat.
"Besok!" Wina menjawab mantap.
Besoknya yang kebetulan hari Minggu, Olga dan Wina langsung menculik Rachel yang udah siap dengan peralatan fotografinya di Empire. Mereka lalu menuju Pizza-Ria, dan foto abis-abisan di situ. Segala gaya dicoba, termasuk gaya gadis India, yang memegang tiang listrik.
Merasa belon puas, Wina lalu ngajak Rachel ke Monas. Di situ lagi-lagi Wina bergaya abis-abisan di bawah terik mentari, dan Rachel juga memotret dengan penuh minat.
Pukul dua siang acara foto-foto di Monas selesai. Olga menarik napas lega, karena mengira acara foto-fotoan udah selesai. Rachel pun udah keliatan capek. Tapi tau-tau Wina nyeletuk.
"Masih ada beberapa jam nih, Ra, gimana kalo kita ke Puncak" Kita foto-foto di sana. Ganti suasana," tawar Wina kejam.
Rachel melongo. Olga berusaha protes. Tapi Wina kalo udah maunya ternyata nggak bisa diganggu gugat sedikit pun. Apalagi dia janji mo ntraktir di Rindu Alam. Dengan setengah hati, Olga dan Rachel akhirnya mengikuti Wina yang melarikan mobilnya ke arah tol.
"Di dalam Wonder kuning Olga cuma bisa ngutuk. Aduh, Win, semangat amat sih, lo" Olga bukannya nggak tau kalo Wina dari dulu paling nafsu ama jenisnya cover girl-cover girl-an. Tapi ya nggak gitu-gitu amat, dong.
Untungnya gak lama kemudian mereka sampe di Puncak. Di situ Wina bergaya abis-abisan. Kayak gak ada capek-capeknya. Rachel aja yang motretin udah keliatan capek. Dan Olga yang cuma nonton, udah suntuk berat. Tapi Wina sama sekali gak menampakkan wajah letih. Malah terus-terusan senyum.
Dan senyum itu belum juga ilang sampe acara pemotretan selesai dan makan-makan di Puncak. Tapi hari mulai gelap. Dan tenaga Rachel udah terkuras abis. Mereka lalu pulang.
Dalam perjalanan pulang, Rachel dan Olga tertidur nyenyak.
"*** "Hasil foto Rachel ternyata bagus-bagus juga. Dan Wina keliatan oke banget. Foto itulah yang akhirnya diki
rim ke MODE, dengan dikombinasi beberapa foto yang dibuat di studio. Wina maksa minta dianterin Olga langsung ke kantor MODE yang di Cikini. Tak kurang dari lima album, dikirim semua. Padahal MODE cuma minta satu foto wajah dan satu foto seluruh badan aja.
"Aduh, Win. Apa gak kebanyakan, nih"" protes Olga sambil membuka-buka album.
""Ah, lebih banyak kan lebih baik. Biar para juri itu puas menilai wajah dan gaya gue yang sophisticated," balas Wina cuek. "Gimana, Ol, boleh, kan""
Olga cuma mengangkat bahu. "Kalo emang begitu yang lo anggap baik, ya do it aja."
"Aduh, kok lo sinis amat, Ol"" ujar Wina sambil belok di tikungan Menteng.
"Siapa yang sinis" Gue cuma gak tau harus ngomong apa."
"Ya, udah kalo gitu!" Wina merebut album-albumnya, dan melemparnya ke jok belakang.
Sampe di MODE, Mbak Yanti yang dikirimi 5 album itu cuma bisa geleng-geleng kepala.
"*** "Setelah semua itu selesai, Olga berpikir penderitaannya bakal ikut-ikutan selesai. Apalagi pengumuman semi finalis masih agak lama. Tapi ternyata dugaan Olga meleset. Sebab selama menanti hasil pengumuman semi finalis, Wina terus-terusan gelisah. Kadang pesimis, kadang malah datang rasa optimismenya yang begitu gede. Sampe Olga capek ngedengernya.
Aduh, Wina, kamu kok jadi berubah gitu sih, batin Olga. Dan udah sejak beberapa waktu ini Olga merasa jadi kehilangan Wina. Wina yang berubah. Wina yang nggak seperti biasa-biasanya. Olga nggak bisa ngajak Wina ngocol-ngocol lagi. Karena setiap omongan Wina maunya mengarah ke urusan pemilihan cover girl itu.
""Aduh, Win, apa nggak ada omongan yang laen lagi"" suatu hari Olga sempat mengeluh. Tapi reaksi Wina sungguh di luar dugaan. Marah-marah.
"Ya udah kalo lo nggak mau denger omongan gue, kita musuhan aja," tukas Wina ketus.
Olga akhirnya cuma bisa mengalah.
Sampai akhirnya tiba pengumuman semi finalis pemilihan cover girl. Saat itu Olga dan Wina juga lagi terjebak lampu merah di persimpangan Jalan Melawai. Dan Olga lagi setengah tertidur, ketika kaca sampingnya diketuk.
Tok! Tok! Tok! Olga menoleh. Olga kaget. Seorang anak kecil berkepala botak, pake topi miring kembali meringis ke arahnya.
"Majalah MODE, Tante. Baru terbit. Beli lagi ya kayak dulu"" pinta si anak kecil betkepala botak itu.
Olga masih melongo. "Ada pengumuman semi finalis cover girl-nya lho!" tukas anak kecil itu lagi.
Wina yang sejak tadi asyik mengamati lampu merah jadi terlonjak kaget. "Apa" Pengumuman semi finalis cover girl" Olga, lo denger kan itu" Beli Ol, beli. Nih, duitnya!" pinta Wina histeris sambil melemparkan duit lima ribuan ke pangkuan Olga.
Olga terlonjak dari joknya. Si anak EMF itu kegirangan, lalu secara beruntun terus-terusan menggedor kaca di samping Olga.
Olga buru-buru membuka jendela, dan menyodorkan lima ribuan ke anak itu. Si anak kecil langsung nyodorin MODE terbaru.
"Wah, gak ada kembalinya, Tante."
"Ambil aja!" sambar Wina kepada anak itu.
Olga cuma bengong memandang Wina. Tapi lampu merah keburu berganti hijau.
"Biar, Ol. Itung-itung amal," tukas Wina, dan segera menyuruh Olga mencari halaman pengumuman semi finalis cover girl. Pas ketemu, Olga cepat-cepat meneliti kalo-kalo tampang Wina ada di situ sebagai salah satu peserta yang berhak menjadi semi finalis. Tapi sampe berkali-kali dikebet, nggak sedikit pun tampang Wina nempil di situ. Misalnya idungnya aja, atau kupingnya aja kek.
Wina tentu aja kecewa setengah mati. Dan mengutuk sejadi-jadinya. Yang jadi sasaran siapa lagi kalo bukan para juri, da" para semi finalis yang dianggapnya nggak ada yang lebih kece dari dia. Tapi buntut-buntutnya Wina malah merasa nervous, merasa dirinya jadi orang paling jelek di dunia. Ya, buktinya dia nggak kepilih dalam pemilihan cover girl itu.
"Gue jelek ya, Ol" Cua nggak cakep, kan"" tanya Wina pada Olga yang sejak tadi cuma bisa membisu ngedenger umpatan-umpatan Wina.
Olga nggak segera menjawab, tapi malah memandang Wina beberapa jenak.
"Gue jelek kan, Ol"" tanya Wina lagi.
"Iya." Olga tersenyum manis.
Wina ngambek lagi. ""Win, lo temen gue udah lama. Hari ini gue bersakSi, lo temen gue yang paling cakep
. Lo cakep, Win. Sungguh. Nggak ada orang yang bisa bilang lo jelek," jawab Olga bijaksana.
"Tapi kenapa gue nggak kepilih, Ol, bahkan untuk masuk semi finalis pun nggak."
Olga lagi-lagi tersenyum.
"Di situlah soalnya, Win. Lo cakep banget sebagai temen gue, sebagai pelajar sekolah, sebagai penjaga pintu kereta. Pokoknya sebagai orang biasa. Tapi mungkin lo emang nggak cakep, kalo dijejerin sama model-model. Kecantikan lo, keistimewaan lo, mungkin akan jadi biasa-biasa aja kalo lo masuk dunia yang mungkin memang bukan bidang lo itu."
"Maksud lo, Ol, gue nggak pantes jadi model""
"Mungkin lo lebih cocok di bidang lain. Tukang parkir misalnya""
"Ah, sialan lo, Ol. Gue serius, nih!" Wina bersungut.
Olga cekikikan. "Gue juga serius. Sekarang nih banyak yang kurang sadar ama potensi dirinya. Gue lebih suka lo menjaga keistimewaan lo sebagai orang biasa-biasa aja. Karena dengan fisik lo yang seperti ini, lo akan jadi istimewa di situ. Tapi percaya deh, sekali lo masuk ke dunia yang bukan dunia lo, keistimewaan lo langsung akan memudar. Anggap saja keputusan juri sebagai pertanda bahwa lo emang nggak cocok jadi model. Jadi jangan kecewa ya, Win. Gak menang di lomba cover girl kan bukan berarti gak bisa menang kalo lo ikut lomba yang lainnya..."
"Jadi gue harus ikut lomba apa, Ol""
"Balap karung, misalnya""
Wina nyengir lagi. Sore hening. Wonder kuning Wina terus meluncur menuju entah ke mana.
Barangkali memang harus ada sesuatu yang betul-betul tepat buat kemampuan kita, biar kita jadi istimewa, ya, Win"
TAMAT tamat Titisan Alam Kegelapan 2 Pendekar Slebor 61 Samurai Berdarah Beruang Salju 18

Cari Blog Ini