Ceritasilat Novel Online

Olga Dan Tv Swasta 1

Olga 07 Olga Dan Tv Swasta Bagian 1


OLGA & TV SWASTA Ebook by Lheeyaa - OCR by Raynold
1. GA GA GA GO GO GOYANG!
KALO ada berita seru soal goyangnya Radio Ga Ga, percayalah! Ini bukan gara-gara antena pemancar Radio Ga Ga yang tinggi menusuk langit,_ dan kadang-kadang jadi tempat nongkrong capung pacaran itu kesambar petir. Juga bukan lantaran Radio Ga Ga udah dikuasai lagu dangdut seperti album minggu TV, yang bikin para pendengarnya pada goyang-goyang. Bukan. Bukan karena itu. Yang betul, Radio Ga Ga, radio yang punya penyiar bernama Olga, ditinggalkan para penyiar andalannya. Mereka rame-rame pada ngungsi ke televisi swasta! Inilah yang bikin Radio Ga Ga goyang luar-dalam. Guncang lahir dan batin.
Televisi swasta memang lagi marak. Bukan cuma marak siarannya, tapi juga marak oleh (ehm!) dampak-dampak sosial ekonomi yang ditimbulkannya. (Idih, kayak omongan pejabat aja, ya") Tapi buktinya ya itu tadi, para penyiar Radio Ga Ga yang semula sangat "loyal, akhirnya rela minggat dari Radio Ga Ga karena ngiler sama TV swasta! Umumnya mereka pindah karena alasan pengen tambah ngetop, dan dapet penghasilan yang lebih gede.
Bermula dari Eja Sasmita. Salah satu penyiar andalan Radio Ga Ga itu, tanpa ada angin dan -ujan, mendadak minta berenti.
Usut punya usut, ternyata Eja ditawarin untuk bergabung dengan salah satu stasiun TV swasta. Mulanya Eja, yang pula ngerangkap jadi Redaktur Musik Ga Ga itu, cuek aja. Tapi setelah dibujuk dengan berbagai iming-iming, toh akhirnya Eja nyerah juga. Eja sebetulnya kadung cinta sama Ga Ga. Apalagi selama ini Eja gak niat nyari duit. Selama ini doski kerja cuma buat hepi aja. Sebab di Ga Ga, Eja cukup banyak punya fans cewek-cewek cantik, yang kalo nasib lagi mujur, bisa dilaba. Tapi setelah dipikir-pikir, ngelaba cewek-cewek itu nggak ada artinya dibanding kerja di TV swasta. Apalagi di TV swasta kemungkinan besar Eja bisa dapat fans cewek lebih banyak lagi. Ini yang bikin benteng pertahanan Eja ambrol.
"Gila, gue harus gimana, nih"" desah Eja pada Aswin, sang operator baru Ga Ga, di studionya.
"Kenapa, Ja"" tanya Aswin heran.
"Itu TV swasta nawarin gue kerja dengan gaji di atas sejuta sebulan dan sebuah Vitara warna ijo cincau buat kendaraan pribadi gue! Oh, hati gue deg-degan, tapi gimana, gue udah telanjur cinta ama Ga Ga"" desah Eja.
Keandalan Eja Sasmita sebagai penyiar memang sangat dikenal. Cowok keren yang suka jajan siomai 6 biji tapi selalu ngaku 4 biji kalo bayar ini, jago memprogram acara-acara musik. Salah satu acara yang diasuh Eja adalah Top Action. Lagu yang dapat tangga di situ emang yang bener-bener lagi hit. Maka Eja dianggap pas menebak selera remaja. Makanya anak-anak muda. yang doyan musik di Jakarta pasti kenal siapa Eja. Orang-orang penyalur kaset di Glodok juga tau siapa Eja. Apalagi orang-orang radio. Bahkan bukan sekali dua Eja dibujuk dengan segepok uang oleh para produser kaset, asal salah satu lagunya bisa masuk Top Action, tapi Eja nggak bergeming. Yah, Eja memang nggak ada duanya. Bapaknya cuma bikin satu.
"Menurut gue lo terima aja tawaran itu. Kerja di TV prospeknya bagus. Masa depannya cerah. Tuanya indah. Daripada di sini" Apa yang lo harap di sini" Cewek" Ah, masak iya dalam hidup cuma cewek aja yang lo pikirin"" bujuk Aswin.
Eja memijit-mijit ujung jidatnya dengan jari telunjuk dan jempol tangan kanannya. Udara dingin di studio tak mampu membuat Eja tenang.
"Ah, gue bingung! Gue betul-betul bingung. Gue seperti dihadapkan pada buah lobi-lobi. Dimakan asem, kagak dimakan bikin iler gue netes!" tukas Eja.
"Ja, sekarang ini eranya TV. Ini masa depannya TV. Siapa yang bisa menguasai TV, maka dia yang akan memimpin dunia. Paling nggak kalo lo kerja di TV lo bisa kenal para penguasa dunia, sebab acara Dunia Dalam Berita setiap malam selalu diisi oleh para penguasa dunia. Hehehe...."
"Gue tau itu. Tapi gue amat sangat bingung! Gimana juga, Radio Ga Ga udah ikut ngebesarin gue. Gue belajar mulai dari nol, sampe akhirnya gue jadi programmer jempolan."
"Ja; nggak ada gunanya lo inget-inget masa lalu. Sekarang ya sekarang. TV swasta lagi nge-trend, itu yang perlu lo inget. Nah, daripad
a bingung, terima aja tawaran itu. Buat masa depan lo juga," bujuk Aswin lagi.
"Iya deh, gue nyerah. Selamat tinggal Radio Ga Ga, selamat tinggal, sayang...! Oh!" Air mata Eja menetes. Tes... tes....
Eja lalu menciumi semua kaset yang ada di ruang studio. Semua plat, semua CD (bukan celana dalam, lho!), semua cat, semua mikser, semua pembersih head, pokoknya semua yang ada di studio, semua yang pernah setia menemaninya selama bertugas sebagai penyiar Radio Ga Ga. Bahkan bukan cuma sekali nyiumnya. Tapi berkali-kali. Sampe bibir Eja jontor. Aswin bingung. Hampir saja ia ikut dicium Eja kalo tak cepat lari keluar studio.
"Oh, good-bye!" ucap Eja mengucapkan salam terakhir buat Radio Ga Ga. Yah, akhirnya seorang Eja pergi meninggalkan Radio Ga Ga.
So pasti keluarnya Eja dari Radio Ga Ga menyentak kalbu semua orang Ga Ga. Dan diam-diam para penyiar lain berharap dapat tawaran dari TV swasta seperti halnya Eja. Akibatnya Radio Ga Ga makin goyang, begitu besoknya Mbak Santi, asisten Mbak Vera, yang jagoan nyari iklan ikutan pindah ke TV swasta. Kayaknya mereka kompakan. Padahal enggak. Ini cuma kebetulan saja. Nggak ada yang merekayasa kepindahan mereka, kecuali mereka sendiri yang memang tergiur dengan TV swasta.
"Aduh, masa, sih, Mbak Santi mau pindah"" tanya Olga begitu dengar kabar Mbak Santi mau cabut.
"Ya, abis gimana, Ol. Mbak Santi juga sebetulnya berat meninggalkan Ga Ga, tapi apa boleh buat, Ol, di sana Mbak ditawari kerjaan yang lebih menantang."
"Kerjaannya apa gajinya yang menantang"" canda Olga.
""Ya dua-duanya, Ol," kata Mbak Santi sambil tersenyum.
Mbak Santi ditarik TV swasta khusus mempromosikan acara sinetron kepada para pengiklan agar mau pasang iklan. Tentu kerjaan ini lebih menantang. Apalagi ada komisinya segala. So pasti Mbak Santi suka hati. ..
"O ya, Ol, besok datang, ya, Mbak Santi mau bikin acara perpisahan di Manari. Kebetulan pacar Mbak mau berbaik hati membiayai acara itu," kata Mbak Santi, janda beranak tiga yang masih tetap cantik itu, pada Olga.
"Ya, insya Allah, Mbak," jawab Olga pelan.
"Eh, Ol, kalau bisa," bisik Mbak Santi pada Olga, "kamu jangan ikut-ikutan keluar dari Ga Ga. Kasihan Ga Ga. Apalagi kamu sekarang sudah jadi penyiar utama."
"Curang, ih. Mau pergi tapi nyuruh orang jangan pergi!"
"Ah, kamu kan masih muda, Ol. Belum punya tanggungan. Kebutuhan masih sedikit. Nggak seperti Mbak. Iya, kan""
Olga tanpa sadar mengangguk. Tapi selanjutnya bengong. Dalam hati Olga memikirkan nasib Ga Ga kelak. Akankah kejayaan Ga Ga sirna, tanya isi hati Olga. Soalnya seperti halnya Eja, Mbak Santi termasuk orang bertangan dingin di bidangnya. Berkat kepintarannya berdiplomasi, rasanya belon pernah Mbak Santi gagal mendapatkan tender iklan. Padahal iklan satu-satunya sumber penghidupan Radio Ga Ga. Artinya, tanpa iklan sebuah radio swasta macam Ga Ga bisa mati. Sebab dari mana dia dapat penghasilan"
Yah, walaupun dalam kerjanya Mbak Santi banyak dibantu Mbak Vera yang lebih jago, tapi peranan Mbak Santi nggak bisa diabaikan. Dalam bekerja Mbak Santi juga tak kenal pamrih. Dia memiliki loyalitas yang tinggi pada Ga Ga. Dan kini Mbak Santi keluar. Siapa yang nggak sedih"
Saat farewell party di Manari yang diadakan tiga hari kemudian, Mbak Vera mengucapkan salam perpisahan dengan penuh keharuan. Semua kru Radio Ga Ga hadir di situ, tak terkecuali Mbak Vera dan Mas Ray. Walaupun makanan yang disuguhkan malam itu sangat enak, nggak urung Mas Ray dan Mbak Vera sedih juga. Hampir aja mereka nangis sesenggrukan. Untung sebelum semua pada nangis, Salim Grup, grup lawak yang lagi ngetop di Nusantara, yang memang sengaja diundang ke situ buat memeriahkan acara, keburu muncul dan mengocok-ngocok perut pengunjung. Mbak Vera dan Mas Ray diangkat, lalu perutnya dikocok-kocok, gitcu. Jadi bukan dikocok-kocok karena Salim Grup itu lucu.
Mbak Vera dan Mas Ray urung nangis. Tapi akibatnya Mas Ray dan Mbak Vera jadi kayak orang bingung. Terutama Mas Ray.
"Setelah orang-orang pulang Mas Ray permisi ke kamar mandi, dan di sana ia tak bisa lagi menyembunyikan rasa bingungnya.
"Oh, bagaimana dengan nasi
b Ga Ga kelak" Huuu... huuu..," Mas Ray tersedan-sedan bak bos hidung belang gagal merayu gadis ingusan berseragam SMA.
"Bapak kehilangan dompet, ya"" tanya pelayan restoran yang kebetulan memergoki. Ray di toilet.
"Bego lot Bukan dompet! Tapi orang! Orang-orang saya hilang! Mereka semua pada pergi meninggalkan saya. Huuuu...," Ray terus meraung-raung.
"Alaah, gitu aja nangis. Kalo cuma keilangan orang, coba, deh, 'Bapak cari di stasiun, siapa tau Bapak bisa dapat gantinya!"
Ketepok! Saking keselnya Mas Ray menggaplok pelayan restoran itu, lalu lari jauh-jauh sebelon si pelayan restoran sempat membalas.
Hari berikutnya suasana di Radio Ga Ga makin runyam. Sebab Vivi Noviana, penyiar andal Ga Ga yang suka nge-DJ dan punya suara khas dan terkesan mahal itu, ikut eksodus juga. Orang-orang, lagi-lagi, kaget-kaget.
"Vivi, kamu mau keluar juga dari Radio Ga Ga"" tanya Olga nyaris nggak percaya.
"Iya, Ol, abis mau gimana lagi" Ini kesempatan buat gue mengembangkan karier, kan"" jawab Vivi.
""Ya, semoga sukses, deh, Vi," salam Olga lemes.
"Ol, sori, bukan maksud gue meninggalkan Ga Ga, apalagi elo, tapi ya, mungkin karena memang ini harus terjadi. Sudah diatur dari sononya," kilah Vivi lagi.
"Berarti tugas gue makin berat untuk menjaga Ga Ga supaya tetap oke!" keluh Olga lirih.
"Abis, Mas Ray, kadang-kadang gak mau memperhatikan permintaan kita juga, sih! Mentang-mentang Ga Ga udah naik daun, dianya jadi belagu. Minta usulan supaya transpor kita naik aja dia udah mencak-mencak. Lama-lama kan empet juga, Ol. Tapi terus terang gue gak bakal lupa sama Ga Ga. Swear!"
"Iya, dower," balas Olga.
Yah, seperti sudah diatur, setelah berdoa baik siang maupun malam, akhirnya Vivi dapat tawaran dari sebuah TV swasta untuk membawakan acara musik anak muda. Walaupun cuma tenaga kontrak, tapi Vivi nggak boleh lagi siaran di Ga Ga. Ternyata Vivi "No problem!" dengan syarat itu. Maka pergilah Vivi.
Dan geger lagilah Ga Ga! Ray di ruang kerjanya kelojotan seperti anak balita nginjek puntung lisong. Kalau berpapasan dengan karyawannya Ray tetap melemparkan senyum wibawanya, hanya ketika karya wan itu lewat, wajah Ray kembali meringis seperti Cuplis nahan pipis.
"Aduh, Viviii, kenapa kamu tega meninggalkan Ga Ga"" raung Ray di ruang kerjanya.
Pintu kerjanya kemudian diketuk, dan Retno, karyawan yang ngurusin administrasi keuangan Radio Ga Ga masuk. "Eh, kenapa Pak Ray" Kok nangis""
"Eh, siapa yang nangis" Enak aja! Ini saya sedang menghapal teks iklan obat tetes mata. Harus dihayati dulu! Sudah sana keluar! Saya sibuk! Eh, jangan lupa bilangin Olga, nanti sore dia harus take voice iklan obat tetes mata ini!"
"Tapi saya belum dapat ordernya dari Mbak Ver, Pak." Retno heran.
"Ini orderannya langsung lewat saya, tahu!"
"I-iya, Pak," kata Retno gugup.
Besoknya Ray melangkah dengan lemas menuju ruang kerjanya. Pagi itu di Ga Ga sudah banyak orang. Tapi semuanya lagi asyik ngerumpiin soal TV swasta. Kayaknya mereka berminat juga pindah. Cuma aja belon ada tawaran. Ray tentu aja jadi sebal setengah hidup.
"Eheem!" Ray pura-pura batuk untuk menyindir karyawannya yang asyik ngerumpi itu. Tapi karyawan Ga Ga cuek dan terus saja ngomong seolah nggak ada Mas Ray di situ.
"Eheem! Eheeem!" Ray pura-pura batuk lagi. Tapi mereka tetap gak peduli.
""Eheeem! Eheeem! Eheeem!" teriak Ray lewat batuknya lagi.
Seorang karyawan peduli dan menghampiri Ray. "Bapak terserang si ehem, ya""
Ray, karena kesal dan nggak tau harus ngapain, akhirnya mengangguk.
"Oh, minum aja Vicks pengusir si ehem!" tembak si karyawan itu lagi.
Ray keki setelah sadar ia dikerjain karyawannya. Mas Ray pun memaki-maki.
Mas Ray masih memaki-maki ketika kamar kerjanya diketuk oleh Rieta Bule, penyiar andalan pagi hari Ga Ga. Pagi itu Rieta Bule menghadap Mas Ray cuma buat ngomong kalau mulai besok dia nggak bisa siaran di Ga Ga lagi.
"Lho, kenapa"" Ray bagai kesengat tawon sekandang. "Orang kan banyak pasang iklan di acara kamu, Riet""
''Hm, tenang, Pak," jelas Rieta manja. "Saya punya dua kabar. Yang satu good news, sedang satunya lagi bad news. Nah, Bapak mau denger
yang mana dulu""
"Ya, yang good news, dong!" teriak Ray.
"Sungguh"" tanya Rieta lagi. "Baiklah kalo begitu. Kabarnya begini, lamaran saya untuk jadi penyiar telah diterima oleh TV swasta...."
"Ya, ampun! Itu bukan kabar baik namanya, itu kabar buruk!"
"Oh, yang buruknya ada lagi,Pak," jelas Rieta. "Mulai hari ini saya minta berhenti dari Ga Ga dengan amat hormat!"
"Oh!" Ray pun terjungkal dari kursinya.
Sore hari Ray baru sadar dari pingsan panjangnya. Kepalanya seperti berputar-putar. Pikirannya melayang-layang.
Yang menjadi pikiran "Ray sekarang adalah, bagaimana mencari pengganti mereka" Ini bukan pekerjaan enteng. Apalagi orang-orang yang cabut itu sudah cukup punya nama serta penggemar.
"Kenapa saya sampai lupa bikin regenerasi. Oh!" Kening Ray berdenyut-denyut.
*** "Kini suasana Radio Ga Ga makin genting! Seminggu setelah orang-orang andal Ga Ga keluar, muncul banyak tanggapan dari para pendengar setia Radio Ga Ga. Mereka menelepon dan bertanya, "Hei, pada ke mana, nih, orang-orang jagoannya Ga Ga" Kok, nggak pernah kedengaran lagi suaranya""
"A-anu," jawab Ray berkeringat dingin, "mereka lagi pada cuti...."
"Cuti, kok, rame-rame, sih"" protes si pendengar lagi. "Apa mereka udah nggak butuh kita-kita lagi, ya""
"Oh, t-tidak, tidak. Ga Ga masih butuh kamu semua. Mereka kita kasih cuti massal. Biar asyik gitu, lho."
"Taunya perhatian bukan cuma datang dari pendengar, tapi juga dari seorang wartawan tabloid yang mendesak Ray untuk wawancara, walau Mas Ray sudah ngumpet selama tiga hari tiga malam di WC kantor. Mas Ray tau, pasti wartawan itu bakal nanyain para penyiar Radio Ga Ga yang pada keluar.
Akhirnya setelah berjuang dengan keras, wawancara terlaksana juga dengan Mas Ray yang masih tetap di dalam WC.
"Ngemeng-ngemeng pade ke mane, nih, tukang cuap-cuap andelan ente"" tanya si wartawan tabloid yang rupanya berasal dari Betawi itu dari luar WC.
Mas Ray dengan cara yang kurang sistematis dan ruwet, bilang ke wartawan itu kalau para penyiarnya pada keluar karena memang udah dipersiapkan oleh Radio Ga Ga. Karena Radio Ga Ga mau tampil lebih keren nantinya. Jawaban itu keluar dari dalam WC.
"Jadi konkretnyeaje, deh, gimane"" kejar si wartawan tabloid.
"Ya begitu, jadi yang tua-tua itu kita singkirkan dulu buat digantiin same yang muda-muda. Ini kan perlu, supaya kita nggak menyiksa para orang tua itu dengan menyuruhnya terus-menerus menduduki jabatan," Ray asal jawab.
"Tapi mereka belum terlalu tua, kan"" tanya wartawan.
""Ya, ya, dari usia memang belum terlalu tua, tapi kita kepengen lebih fresh lagi. Anda tau Olga, kan" Nah, kita pengen semua penyiar di sini sepantaran dialah...."
"Mereka sudah dipersiapkan sejak kapan""
"Ya, setahun yang lalu."
"Bisa saya bertemu dengan mereka""
"Oh, nanti! Nanti saja. Mereka sedang dikarantina. "
"Tapi apa mereka dijamin bisa menjaga reputasi Ga Ga""
"Saya jamin! Flexi Save... oh sori, itu mah iklan bank!"
Wawancara antara si wartawan dan Mas Ray berlangsung selama tiga hari tiga malam. Tapi nampaknya si wartawan merasa belum puas untuk segera menuliskan laporannya. Karena menurut si wartawan masih terlalu banyak fakta yang dipalsukan. Karena itu si wartawan menyempatkan diri untuk bertemu Eja Sasmita, Santi Tulatulit, Vivi Noviana, dan Rieta Bule. Yah, ternyata ulet juga wartawan tabloid dari Betawi itu, karena biasanya wartawan kita sudah cukup puas dengan segala fakta yang dipalsukan. Akhirnya jerih payah si wartawan Betawi membawa hasil. Karena dari Eja cs dia mendapat fakta berharga, yang berlawanan dengan apa yang telah didapat dari Ray.
"Hih, enak aja dia bilang kita ditendang!" bantah Eja. "Asal tau aja, kita keluar dari radio Ga Ga bukan karena ditendang, tapi karena pindah ke TV swasta. Bahkan waktu saya bilang mau keluar, dia seperti ingin menangis! Tadinya saya nggak tega. Tapi sekarang, setelah saya tau dia ngomong begitu ke Mas, saya jadi nyesel, kenapa nggak dari dulu aja saya tinggalkan Ga Ga! Brengsek si Ray itu!" sam bung Eja penuh emosi.
"Yah, Ray memang brengsek. Dulu waktu saya mau keluar dia bilang sambil nangis-nangis kalau Radi
o Ga Ga masih sangat membutuhkan saya. Dia juga berani naikin gaji saya asal saya mau tetap kerja di Radio Ga Ga. Kok sekarang dia ngomong begitu" Memutar balik fakta itu namanya. Walau di sini soal memutar balik fakta sudah jadi budaya, saya tetap nggak terima omongan Ray!" timpal Rieta Bule tak kalah emosinya.
Mbak Santi Tulatulit yang biasanya klemar-klemer, kali ini juga ngasih reaksi yang sangat keras. Walau ngomelnya cuma dengan beberapa kalimat, dan kalimatnya cuma itu-itu aja.
"Ray brengsek, brengsek Ray!"
"Ray dari dulu memang brengsek! Omongannya suka bolak-balik kayak setrikaan!" sambut Rieta Bule.
Si wartawan yang merasa dapat berita menarik, sesampainya di kantor mengetik semua pernyataan itu dengan penuh semangat. Tentu aja dengan ditambahin sedikit bumbu-bumbu khas tabloid biar dagangannya laris.
Seminggu kemudian tabloid itu terbit.
Retno mengantarkannya pada Mas Ray.
"Mas Ray, Mas Ray..." Retno mengetuk-ngetuk pintu kamar kerjanya. "Liat, ada tabloid yang dengan baik hati memuat foto Mas Ray!"
"Hah" Mana" Mana"" tanya Mas Ray antusias. "Ganteng nggak, fotonya""
Mas Ray membuka pintu dan mengambil tabloid itu. "Makasih, Ret!" lalu dengan cepat menutup pintunya lagi.
"Hehehe, dia tidak tahu isinya! Dia belum membaca isinya!" teriak Retno pada teman-temannya. Mereka memang ingin sekali tahu reaksi Mas Ray setelah membaca berita tabloid itu.
Para karyawan Ga Ga bergerombol di depan pintu kerja Mas Ray. Sedetik, dua detik, belum ada reaksi. Tapi lewat setengah menit kemudian, mereka mendengar auman yang amat dahsyat!
"Huaaaaa! Huaaaa! Huuuu, huuuu, huuuuaaaa!"
"Betul, kan, kata saya!" teriak Retno.
"Yes!" teriak. semua karyawan sambil mengepalkan tangan kayak orang menang lotre!
"*** "Sore itu di rumah Olga. Tabloid itu sudah lecek. Tapi diambil dan dibaca lagi oleh Olga.
"E-m-p-a-t P-e-n-y-i-a-r R-a-d-i-o G-a-G-a H-e-n-g-k-a-n-g...," desis Olga, entah untuk yang keberapa kalinya.
Dan Olga sedih. Dia tak tega radionya goyang seperti itu.
Tapi yang membuatnya lebih goyang lagi adalah ketika kemaren sore, ada salah seorang direksi TV swasta menelepon Olga. Dia berminat memakai Olga untuk memandu salah satu acara kuis di TV- nya. Olga tentu aja jadi pusing. Dia sebetulnya ingin mengikuti jejak keempat kawannya. Tapi Olga nggak enak sama Mbak Vera. S"lama ini Mbak Vera sangat baik sama Olga. Olga nggak tega menyakiti hati Mbak Vera. Apalagi Mbak Vera wanti-wanti berpesan supaya Olga nggak usah ikut-ikutan jejak temannya.
"Ol Makan dulu!" teriak Mami dari luar.
Olga tersentak. Tabloid di tangannya jatuh. Tapi Olga memungutnya lagi.
"Bentar, Mi!" jawab Olga.
"Kalau gitu temani Mami nonton tipi, dong! Ceritanya seru, nih! Kalau nonton sendirian nggak enak, Ol!" teriak Mami lagi.
Olga keluar dan menemui maminya.
"Hei, kenapa kamu"" tanya Mami heran.
"Sakit, ya" Kok, murung begitu""
"Enggak ada apa-apa, Mi."
""Eh, pasti ini ada apa-apa. Sepatu roda kamu rusak, ya" Atau kamu ingin sepatu roda yang pake ban serep""
"Enggak! Enggak!" teriak Olga. Ia melemparkan tabloid lecek itu pada maminya.
" Apa, nih""
"Banyak penyiar Radio Ga Ga yang pindah ke TV swasta, Mi."
"Wah, bagus itu. Kamu ikutan pindah juga, dong" Asyik, lho, Ol, kalau pindah ke TV swasta." .
"Nggak mungkin, Mi. Kasihan Ga Ga. Dia sekarang jadi sepi."
"Tapi, kan pindah ke TV swasta itu kemajuan namanya. Mami lebih senang kalo kamu jadi penyiar TV. Biar orang tau anak Mami nggak cuma cakep suaranya, tapi juga tampangnya." .
"Sebetulnya Olga juga ditawari untuk Siaran di TV swasta, tapi..."
"Tapi apa" Bego kalo kamu menyia-nyiakan kesempatan itu, Ol! Rebut kesempatan itu. Cepat, dah, kamu pindah dari Radio Ga Ga. Kapan lagi kamu punya kesempatan emas begitu. O ya, kalo bisa Mami diajak main sinetron, ya" Biar ikut ngetop!"
"Mami bisa aja ngomong begitu, tapi Olga kan nggak enak sama Mbak Vera. Olga inget waktu pertama kali masuk Radio Ga Ga, Mbak Ver banyak menolong."
""Alaaa, cuek aja, Mami yakin Mbak Ver pasti bisa ngertiin kamu!"
"Mbak Vera memang nggak pernah marah, dia memang selalu bisa ngertiin Olga. Tapi justru ka
rena itu Olga jadi bingung, Mi."
"Yah terserah kamu, deh. Kalo menurut Mami, sih, kamu jangan melepas kesempatan itu. Nggak baik menolak rezeki.... Tul, kan""
Olga bimbang. Kepalanya pusing. Olga lalu masuk kamar. Dia mau tidur. Biasanya setelah bangun tidur pikirannya jadi lebih segar, dan enak ngambil keputusan.
"*** "Makin lama suasana lesu di Radio Ga Ga terasa betul. Banyak acara yang tadinya meriah oleh kocolan penyiar, kini cuma diisi lagu-lagu saja. Telepon dari penggemar pun jarang berdering. Kalaupun ada, pasti telepon kritikan.
Mas Ray makin terpuruk di kamar kerjanya. Ia jadi berubah pendiam.
Orang-orang. Ga Ga yang masih bertahan, karena belum dapat tawaran, seolah tersedot energinya. Tak bergairah.
Tapi siang itu suasana lesu mendadak jadi meriah, begitu Olga muncul di Radio Ga Ga dengan sepatu rodanya.
"Hei, tumben, Ol, siang-siang main ke sini"" sambut Yoyok Suryo, penyiar bangkotan yang kalo siaran dijamin nggak ada pendengarnya.
""Iya, ada perlu, nih!" jawab Olga pendek.
"Boleh tau, dong, urusan apa""
"Ada, deh...," jawab Olga sambil terus nyelonong ke kamar kerjanya Mas Ray.
"Ha, tumben Olga masuk ke kamar kerjanya Mas Ray," celetuk Saiman, penyiar yang khusus sound effect suara kentut di Radio Ga Ga.
"Wah, pasti ada bisnis penting," timpal Kardjono, operator yang udah sepuluh taon kerja di Radio Ga Ga tapi belon pernah dapat kesempatan mengoperatori seorang penyiar pun. Hehehe....
Olga masuk dengan mulus ke ruang kerja Mas Ray. Tak lama kemudian kantor Radio Ga Ga seperti mau runtuh demi mendengar suara raungan yang mahadahsyat!
"Huaaaa! Huaaaaaaaaaa! Huaaaaaaaaaaaaa!"
Orang-orang di Radio Ga Ga pada sempoyongan. Mbak Ver yang lagi pusing mikirin laporan keuangan kantor yang terus menunjukkan grafik menurun, segera menghambur ke ruangan Mas Ray....
"Ada apa, Mas Ray"" tanya Mbak Vera cemas.
"Olga mau pindah ke TV swastaaa...!" jerit Mas Ray, lalu pingsan.
Mbak Vera pun buru-buru nyari tempat yang empuk, dan pingsan di situ menyusul Mas Ray.
" 2. DI MANA KAU, OLGA"
"SOMAD jadi kacau beliau!
Seharian kerjanya di kamar melulu. Gak mau ngapa-ngapain. Cuma gelotekan. Kalo ditanya sama emaknya, kenapa atau ada apa" Jawabnya cuma sepatah kata, "Sebodo, sebodo, sebodo!"
Sudah hampir seminggu Somad begitu. Tingkahnya kadang-kadang adem ayem kayak ager-ager kecemplung sumur. Makannya juga susah. Biasanya makan siang nambah tiga sampai empat piring, tapi sekarang cuma setengah piring. Itu juga gak abis.
Emaknya berusaha menggairahkan Somad dengan memasak makanan kesukaannya, tapi Somad tetap aja tak berubah. "Sebodo, sebodo, sebodo!"
"Eh, Mad, lo jangan ngomong sebodo, sebodo, sebodo aje, dong! Emangnya lo robot! Kan bukan" Kalo robot mending! Bisa Emak kiloin ke tukang besi bekas! Ngomong kek, ape kek. Biasanya juga pan lo kalo ada ape-ape ngomong!"
""Sebodo, sebodo, sebodo!" cerocos Somad.
"Ah, brengsek lo!"
Emak Somad membanting pintu kamar Somad dengan keras. Kamar bergoyang. Hati Somd juga bergoyang. Dia gak enak juga karena emaknya yang jadi uring-uringan gara-gara tingkah lakunya. Tapi mau ape lagi, ini persoalan pribadi. Emak pasti gak ngerti.
"Ah..." Somad membanting tubuhnya ke kasur. Kasurnya kagak membal. Soalnya udah tipis banget, setepos pantat Somad. Tapi Somad berimajinasi, dengan menggoyang-goyangkan badannya. "Soalnya kalo kagak membal kurang seru rasanye."
Somad terus bergoyang-goyang.
Sambil terus memandangi radio butut kesayangannya yang ngejogrok di atas meja warisan. Lama sekali. Nyaris tanpa kedip. Sampai akhirnya di ujung kedua matanya menetes dua butir air mata.
"Ah... Olga, di manakah elo"" Lalu perjaka buluk itu tersedu-sedu.
"Mad, makan dulu!" teriak emaknya lagi.
Somad yang sosoknya sebetulnya kurang pantas jadi tokoh dalam cerpen-cerpen percintaan ini cepat-cepat melap air matanya dengan ujung sarung bantalnya yang kumel.
"Sebodo, sebodo... eh, i... iye, Mak. Ntar aje. Mak aje duluan!".
"Eh, lo dari pagi belon makan. Ntar kalo "sampe masuk angin, lo juga yang repot. Ayo, deh, makan dulu. Barang sebakul dua bakul, kek!"
Somad lama-lama tak enak sama emaknya. Ia bangkit dari tempat tidur. Lalu keluar kamar dengan lunglai. "Mad, ada ape, sih" Lo cerita, deh, kali aja Mak bisa nolong," ujar Emak lembut.
"Sebodo, sebodo... eh, nggak ada ape-ape, Mak," saut Somad lemes.
"Kalo gak ada ape-ape, ya, udah. Makan, deh lo! Jangan sebodo-sebodoan mlulu!"
"Aye belon lapar, Mak!" Somad sok manja. Emak makin gedek. Itu bulu ketek udah menyemburat kayak tembako dari sela-sela pangkal lengan, masih sok manja. Jijai, batin si Emak.
"Perut aye masih pul teng." Somad mengelus-elus perutnya.
"Gile lot Lo ngegadoin sarung bantal ape, udah gini ari masih belon lapar juga"" sembur Emak kalap.
"Iye, iye, aye makan," kata Somad kemudian. Tapi dalam hatinya, "Sebodo, sebodo....."
Somad makan dengan tidak selera. Tapi nasi setengah bakul sempet ludes.
"Naa, gitu, dong. Sedih boleh aje, tapi makan kudu jalan terus!" tuah Emak.
Setelah makan Somad masuk kamar lagi dan mengurung diri lagi. Dan kembali bicara, "Sebodo, sebodo, sebodo!"
"Aduh!" keluh Emak sebel.
"*** "Somad jadi agak gokil. Gara-garanya sebetulnya sepele. Ia udah seminggu lebih kagak pernah dengar suara lembut Olga. Ooo, jadi Olga"
"Iye, aye begini gara-gara Olga," desah Somad di depan cermin segitiganya, "Oh, mirror mirror on the wall, di mana, sih, Olga sekarang""
"Mad, udah siang! Makan dulu!" Untuk yang kesekian kalinya emaknya memanggil mengajak Somad makan siang together!
"Ntar aje, Mak. Aye masih kenyang!" Somad ngasih alasan yang sama.
"Eh, dua hari lalu lo bisa makan banyak, kok, sekarang jadi males makan lagi, sih!"
"Aye bener masih kenyang, Nyak," gerutu Somad dan lagi-lagi berdengung, "Sebodo, sebodo, sebodo...."
Emak Somad dengan paksa membuka pintu kamar Somad. Dia mendapati anak semata wayangnya sedang tengkurep di tempat tidur.
"Mad, Emak udah nggak sabar!"
"Sebodo, sebodo, sebodo!"
"Brengsek! Emak nggak mau dengar ocehan kayak gitu lagi! Emak bosen! Kalo emang lo "ada masalah gak boleh ngendon begitu di kamar. Lo harus usahe. Ape lo pikir masalahnye bisa kelar dengan cara bergelotekan di kamar aje" Lo nunggu mukjizat, ye" Zaman sekarang ude kagak ada mukjizat, nyang ade muke tebel. Soalnye orang-orang udah pade rusak semua!" Emak Somad bener-bener hilang kesabaran.
"Sebodo, sebodo, sebodo!" teriak Somad ndableg.
"Lo ngomong sobodo, sebodo, sebodo lagi gue gampar lo!" Emak menggulung kedua lengan bajunya. Siap-siap menghajar anaknya.
"Oh!" Somad kaget diancam begitu. "Ampun, Mak. Ini masalah pribadi. Jadi aye nggak bisa nyeritainnye. "
"Emak tahu. Emak ngehargai masalah lo itu. Emak ngormatin pripasi lo! Tapi Emak kagak demen lo gelotekan di kamar melulu. Lo kudu usahe kalo masalah lo mau beres! Udah, sekarang makan dulu!"
Emak Somad pergi meninggalkan Somad. Somad bangun dan merenungkan kata-kata emaknya.
"Pripasi" Ape ye, maksudnye"" Somad keluar dan memburu emaknya. "Ape sih arti pripasi, Mak""
"Emak juga kagak tau. Cuma kayaknya lapalnya enak aje buat diomongin!" sembur Emak Somad masih menahan emosi.
"Somad kemudian makan sambil memikirkan usaha-usaha yang sekiranya dilakukan agar masalahnya bisa selesai.
"Perasaan dia udah seminggu lebih kagak siaran di Radio Ga Ga. Atau jangan-jangan sakit" Atau lagi sibuk ulangan"" Somad berpikir-pikir.
"Nambah lagi, Mad"" tawar emaknya.
"Eh, Mak, di kampung kite yang telepon umumnya kagak rusak di sebelah mane lagi, ye"" tanya Somad tiba-tiba. Riang.
"Naa, gitu, dong! .Udah lama banget Emak kagak ngeliat senyum riangnya lo. Telepon umum yang belum rusak adanya di perempatan jalan deket kelurahan!"
"Sip!" Somad meletakkan piringnya dan segera menukar bajunya dengan baju yang paling bagus. Dan tak lupa meminyaki rambutnya.
"Gue mau telepon ke Radio Ga Ga. Untung gue inget nomornye di luar kepale. Ah, syukur-syukur yang ngangkat langsung si Olga. Hm, gue harus pake minyak wangi dulu, nih!"
Somad keluar kamar dengan kegantengan tersendiri.
"Ck, ck, ck...." Emaknya kagum. "Lo, mau ke mana siang-siang begini tampil menor""
"Mau nelepon!" jawab Somad mantap.
"Ya, ampun. Cuma mau nelepon aja dan sebegitu rupe""
""Mak, masih nyimpen minya
k wangi, gak"" tanya Somad gak peduli dengan celetukan emaknya.
"Kayaknya ade dikit di kamar," saut Emak Somad sambil terus memandang takjub ke anaknya. "Alhamdulillah, die udah b"robe."
Setelah memakai minyak wangi, Somad pergi menuju perempatan jalan dekat kelurahan. Jaraknya cukup jauh dari rumah Somad. Tapi bagi Somad tak masalah. .
Di jalan ia berpapasan dengan dua Ibu yang lagi nyuapin anaknya makan.
"Wah, wah, keren amat si Somad. Mau ke mana, nih"" tegur ibu pertama.
"Biasa, Mpok," jawab Somad ramah.
"Wah, wangi banget, sih, badan lo, Mad"" tegur ibu yang satunya lagi.
"Biasalah, Mpok, namanya juga anak muda," jawab Somad yakin.
"T... tapi kewangian, Mad," kata si ibu itu lagi.
"Emang kenape"" tanya Somad kurang paham. ,
"A... anak aye jadi langsung mual-mual, nih. Liat dia jadi kagak napsu makan lagi, Mad!"
"Ya, sori, deh, Mpok!" kata Somad. "Mungkin selera anak Mpok nggak lepel ama aye kali. "
Somad cepat ngacir dari situ.
"Sementara dua anak yang sedang disuapi itu makin parah, kini mulai muntah-muntah!
"Ah, brengsek juga tuh si Somad," maki si ibu.
"Nyesel tadi gue negor," tukas ibu yang pertama.
"*** "Begitu sampe perempatan dan ketemu telepon umum, Somad kebingungan. Soalnya udah berkali-kali diputer-puter teleponnya kagak bunyi-bunyi juga.
"Eh, kenapa, sih, ni telepon"" Somad ngegerondel. "Ntar minyak wangi aye keburu luntur, nih! Sayang kan kalo minyak wangi sewangi ini kagak disedot Olga."
Seorang petugas kelurahan lewat di situ.
"Eh, Tong, teleponnya rusak. Pake yang di deket wartel aje, tapi di sono kudu pake kartu," kata orang itu.
"Oh, makasih, Pak." Somad menuju kantor wartel. "Eh, ape tadi kata tu bapak" Kudu pake kartu""
Somad menghampiri sebuah warung dan membeli dua gepok kartu gapleh.
"Biar nelepon Olga-nya bisa lamaan dikit!" tukas Somad bego.
Alhasil begitu sampe di tempat telepon kartu, Somad jadi bahan cekakakan orang-orang sewartel.
""Eh, Tong, bukan pake kartu gituan!" jelas seorang ibu setelah puas ngakak. "Lo kudu beli kartu telepon di wartel. Ah, dasar bego, lo!"
Somad malu.

Olga 07 Olga Dan Tv Swasta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Makasih, Mpok, atas pemberitahuannya." Somad berjalan masuk ke dalam wartel. Selang beberapa waktu, Somad berhasil menghubungi Radio Ga Ga. Begitu telepon di sana diangkat, Somad cepat-cepat merapikan sisiran rambutnya.
"Halo, Radio Ga Ga, selamat siang!" tegas suara di seberang sana.
"Bismillah...," Somad berdoa dulu. "Eh, i... iya selamat siang."
"Mau bicara dengan siapa"" tanya suara di Ga Ga itu lagi.
"Apa aye bisa bicara dengan Neng Olga"" tanya Somad amat sopan.
"Dari siapa, nih"" tanya suara itu lagi.
"Dari teman deketnye, S-O-M-A-D."
"Sompret""
"Somad. Somad bin Indun. Anak cakep dari Kampung Ceger!"
"Olga gak ada!" jawab suara itu ketus.
Klik! Nut, nut, nut! "Yah, kok dimatiin, sih!" Somad sebel.
Lalu dicobanya sekali lagi.
Begitu telepon di ujung sana diangkat, Somad langsung nyerocos, "Halo, aye Somad bin Indun mau bicara sama Neng Olga. Bolehkah""
"Olga-nya gak ada!" teriak suara di sana.
'Tapi boleh kan aye bicara sebentar aje same" die. Aye kangen. Udah lama aye kagak denger suaranya di radio. Tolong, dong!"
'Tapi Olga-nya gak ada!" teriak suara di sana lagi.
"Biarin, nggak ada nggak ape-ape, soalnye aye cuma mau ngomong sebentar aje. Boleh, dong!"
"Huh, brengsek!"
Telepon dibanting lagi. Mas Ray tampak bersungut.
"Retno!" panggil Mas Ray kemudian. "Kalo ada telepon lagi, dari siapa aja, bilang gak ada! Apalagi kalo dari si Sompret!"
"Baik, Pak," jawab Retno.
T ak lama telepon di Ga Ga berdering lagi.
Retno mengangkatnya. Mas Ray mengintip dari balik pintu kamar kerjanya.
"Halo Ga Ga, selamat siang," sapa Retno ramah.
"Kami dari Inka Advertising ingin bicara dengan Pak Ray...."
"Wah, maaf, Pak Ray-nya tidak ada."
"Lho, kami sudah janji. Kami mau pasang beberapa iklan di Radio Ga Ga, dan tadi kami disuruh telepon ke sini."
"Tapi Pak Ray sedang tidak ada."
""Wah, ini berabe. Kalau Ga Ga tidak cepat-cepat mengambil kesempatan ini bisa diserobot radio lain, karena Prambors dan DMC sudah pada nunggu."
"Ya, terserahlah. Yang jelas Pak Ray tidak ada."
"Ya, kalau memang begitu apa boleh buat. Tolong saja sampaikan pada Pak Ray bahwa kami sudah menelepon."
Retno meletakkan gagang telepon. Mas Ray agak curiga.
"Dari siapa, Ret"" tanya Mas Ray.
"Jangan kuatir, Pak. Semua pesan Bapak sudah saya laksanakan. Dia ingin ketemu Bapak tapi saya bilang tidak ada."
"Iya, tapi barusan dari siapa""
"Dari Inka Advertising."
"Huuuaaaaa!" Mas Ray terkapar.
Sementara itu, di Kampung Ceger, seorang pemudanya berjalan pulang dengan lunglai. Ya, dialah Somad. Dia lunglai karena merasa usahanya sia-sia.
Di perjalanan pulang, Somad berpapasan-lagi dengan dua ibu yang tadi. Kini para ibu itu sedang mengajak anaknya bermain. Kedua ibu ini tidak sempat menghindar lagi dari Somad.
"Jangan kuatir, Mpok," kata Somad seperti tahu akan kegelisahan kedua ibu itu. "Minyak wangi aye udah luntur. Anak-anak Mpok nggak bakal keganggu lagi."
"Kedua ibu itu tenang.
"Emangnya abis dari mana, sih, Mad"" tegur si ibu pertama setelah merasa lega.
"Dari nelepon."
"Nelepon" Nelepon siape""
"Nelepon sukaan."
"Oh, sukaan elo punya telepon juga""
Somad mengangguk lemah. "Eh, anak-anak kita pada kenapa, tuh"" tanya ibu yang kedua, cemas begitu melihat anak-anaknya megap-megap. "Kayaknye ada bau... bau ape, nih, ye""
Si ibu mengendus-endus sampai akhirnya sampe ke badan Somad.
"Wah, Mad, minyak wangi lo emang udah luntur tapi sekarang tinggal bau badan lo yang mengganggu anak-anak kite! Dan ternyate lebih parah. Lihat, akibatnye anak-anak kite jadi pada mejan!"
Somad cepat-cepat ngacir lagi.
"Brengsek!" tukas si ibu pertama. "Kenapa gue harus melakukan kesalahan sampe dua kali pada makhluk yang sama, ye""
"*** "Besoknya Somad berdandan rapi jali lagi.
"Mau ke mana, nih, Mad"" tanya Emak.
"Mau nelepon lagi""
"Usahe itu gagal, Mak. Sekarang aye mau datang langsung ke sumbernye," kata Somad.
""Ya, bagus, deh, kalo gitu. Daripada lo sakit terus," jelas Emak. "Tapi minyak wanginya udah abis, Mad." .
"Nggak usah, Nyak," tukas Somad. "Aye coba percaya diri tanpa minyak wangi!"
"Nah, bagus kalo begitu," kata emaknya.
"Lagian yang lo pake kemaren itu pan bukan minyak wangi, tapi minyak jelantah!"
Somad cengo. Tapi kemudian dia langsung pergi menuju Radio Ga Ga. Somad ingin tahu iebih jelas lagi soal raibnya Olga. Dia ingin dapat informasi dari sumber-sumber yang bisa dipercaya.
Ternyata begitu sampai di Radio Ga Ga, persoalannya nggak segampang yang diduga Somad. Sekarang tamu nggak bisa sembarangan masuk ke Ga Ga. Barangkali ini sejak Radio Ga Ga diberitakan oleh tabloid itu, hingga Mas Ray perlu mengambil kebijakan seperti ini.
Baru sampe di depan gerbang Ga Ga aja, Somad udah ditanya seorang satpam berpakaian preman yang tatoan.
"Hei, mau ke mana"!" teriak si satpam.
"Oh, eh, anu, Bang, aye mau nyari informasi tentang Olga," jawab Somad.
"Mane kartu persnya"" .
"Kartu pers" Oh, udah aye pake buat nelepon kemaren, Bang."
""Situ wartawan bukan""
"Oh, bukan. Teman aye emang ada yang namanye Iwan, tapi aye Somad. Somad bin Indun."
"KTP ada"" .
"KTP belon bikin, Bang."
"Yang lainnya""
"Oh, ade, ini, Bang. Kartu bayaran ngaji aye."
Somad menyerahkan kartu itu, kemudian namanya dicatat, dan dia diberi sebuah ID yang bercap Radio Ga Ga. Di ID itu tertulis, "Tamu .yang Patut Dicurigai"!
"Eh, sebelum masuk lo kudu lapor ke kantor satpam dulu!" teriak si satpam preman itu sambil menunjuk kantor satpam di sisi halaman parkir depan.
"Baik, Bang!" Somad lalu menuju kantor satpam. Tapi begitu ia mau masuk, di depan pintu kantor keamanan itu dia menemukan pengumuman bertuliskan "SELAIN PETUGAS DILARANG MASUK".
"Wah, pegimane aye bisa lapor, kalo aye kagak boleh masuk"" Somad bingung. "Oh, mungkin lapornya dari sini kali."
"Assalamualaikuuum!" Somad berteriak. Lalu keluarlah kepala satpam. Dia langsung menginterogasi Somad habis-habisan. Apakah Somad bersih lingkungan." Suka demonstrasi" Keluarganya ada yang turunan PKI" Pernah ikutan mogok bareng buruh" Pokoknya semua ditanyain. Dan alhamdulillah, meskipun makan waktu lama, Somad bisa lolos juga dari interogasi tersebut.
"Sekarang saya bo leh masuk, Pak"" tanya Somad.
"Silakan!" Somad masuk ke dalam Radio Ga Ga. Suasananya sepi. Tidak seperti dulu lagi. Di ruang tamu Ga Ga, Somad berjumpa dengan seorang resepsionis manis. Namanya Mita.
"Permisi, Mpok, aye mau numpang tanya"" sapa Somad.
"Ssst," desis 'Mita. "Apa nggak lihat tulisan itu""
Somad lalu memalingkan wajahnya dan terlihatlah sebuah pengumuman lagi. "JANGAN BERISIK!"
Somad terpaksa memelankan volume suaranya. Terus terang ini pekerjaan susye. Orang Betawi rata-rata ngomongnya cablak. Kalo disuruh ngomong pelan sama aja nyeksa.
"Begini, Mpok, aye mau nanya tentang Olga," bisik Somad ke kuping Mita.
"Wah, maaf, ya" Saya harus pake masker dulu," tukas Mita.
"Aye mau tanye tentang Olga."
"Sebentar. Situ tunggu di sini dulu. Nanti saya panggilkan Mbak Retno, dia yang berwenang menjawab pertanyaan Saudara. Eh, Saudara namanya siapa""
"Somad." "Somai"" "Somad. Es, 0, Em, A, De! SOMAD!"
Mita memencet telepon antarruang.
"Ret, ada yang mau ketemu, namanya Tomat!" kata Mita.
"Suruh masuk," kata Retno.
"Anda disuruh masuk," kata Mita.
Somad lalu masuk ke ruang kerja Mbak Retno.
"Permisi, Bu," sapa Somad ramah.
"Duduk," tukas Mbak Retno.
"Sekarang Radio Ga Ga laen, ye" Kagak rame kayak dulu lagi. Sepi banget," Somad sok akrab.
Retno menunjuk ke sebuah tulisan. Maksudnya agar Somad melihat tulisan itu. Dan Somad kembali menemukan sebuah pengumuman. "BICARALAH SEPERLUNYA!"
Somad tercekat. "Maksudnye"" tanya Somad nggak paham.
"Maksudnya, langsung saja."
"Aye mau tanya soal Olga. Udah lama aye kagak pernah denger suaranya lagi. Ke mana sih, die""
"Kurang singkat. Coba dipersingkat lagi. Usahakan bicara yang perlu-perlu aja."
"Aye mau tanya ttg Ol, udh 1m kgk pnh dgr. Kmn, sih, die""
""Hah, ngomong apaan, tuh""
"Katanye disuruh disingkat""
"Tapi bukan begitu! Kamu kira ini kantor telegram""
"Jadi pegimane, dong"" Somad bingung.
"To the point!"
"Oh, aye catet pake bolpoin""
"Bego! Langsung, langsung, langsung! Nggak usah berbelat-belit! Ngarti, nggak, sih!"
Somad manggut-manggut. "Begini, aye pengen tau Olga!"
"Maaf sekarang sudah jam lima! Jam kantor sudah habis. Saya harus pulang!" tukas Mbak Retno seraya mengemasi kertas kerjanya dan pergi meninggalkan ruangannya.
Somad ditinggal sendirian.
"*** "Di rumah Somad kembali gendeng. Seharian nongkrong di kamarnya.
"Mad, keluar bentar!" teriak emaknya. "Nyak ada perlu!"
"Sebodo, sebodo, sebodo!"
"Ya ampun! Kumat lagi!"
"Sebodo, sebodo, sebodo!"
Emak Somad kagak sabaran. Dia bener-bener ngambil ulekan di dapur.
"Mad, keluar gak lo! Kalo kagak Emak getok pala lo!"
Somad pun keluar. ""Kenapa, sih, lo" Cerita, dong, kalo ada ape-ape! Jangan dipendem sendiri aje!"
"Ini masalah pribadi, Nyak."
"Katanya kemaren lo udah berusaha memecahkan masalah lo itu" Kok sekarang lo nyerah, sih" Lo kagak boleh nyerah sebelum beres. Tau gak"" .
"I... iye,Nyak." Somad dredek hatinya.
"Udah sekarang tolong beliin Nyak cabe ama tomat di warungnya Mpok Darwi! Lebih baik kerja, daripada bengong melulu!"
Somad pergi ke warung Mpok Darwi membeli pesanan Emak.
Pucuk dicinta ulam tiba. Cabe dan tomat yang dibeli Somad dibungkus pake sobekan kertas tabloid yang ngeberitain soal keluarnya orang-orang Ga Ga. Pertama-tama secara nggak sengaja, Somad ngeliat ada foto Olga lagi nyengir kuda. Somad kaget. Tu kertas langsung dibuka, hingga cabe dan tomat jatuh berantakan di tanah. Somad nggak peduli.
Dengan dieja, dia membaca berita tentang hijrahnya Olga ke TV Swasta. Somad histeris. Lalu berlari pulang.
"Nyak, Nyak, Nyak! Aye udah tahu apa sebabnye!" teriak Somad girang. "Jawabannye ada di koran ini, Nyak!"
"Eh, ngomong-ngomong, mane cabe ama tomat pesanan Nyak""
"Ya ampun! Kebuang, Nyak! Abisan aye penasaran banget waktu ngeliat berita di koran ini, Nyak. Tadi tomat ama cabenya dibungkus pake koran ini, Nyak!"
"Mad, Mad!" Emak Somad mengelus dada.
Di tabloid itu emang ada berita kecil tentang Olga yang cao ke TV swasta. Menyusul penyiar Ga Ga lainnya. Somad girang setengah mati.
Malam harinya, setelah makan dan mandi, ia berdandan abis-abis
an. "Mau ke mana lagi, Mad"" tanya emaknya heran.
"Mau ngeliat sukaan aye."
"Di mana""
"Di kelurahan."
"Di kelurahan" Emang ada ape di kelurahan" Ada dangdutan""
"Sukaan aye si Olga sekarang udah pindah ke TV. Aye mau lihat dia di TV kelurahan, Nyak."
"Ha"" Emak Somad kaget.
"*** "Di kelurahan, orang-orang kampung udah banyak yang ngejogrok, mau nonton film seri Dan sejak kedatangan Somad, di situ terjadi hiruk-pikuk. Somad dikeroyok orang sekampungo Gara-garanya, dengan cueknya Somad mengganti-ganti saluran TV, untuk mencari Olga yang lagi siaran. Jelas aja orang sekampung yang lagi nonton Si Doel, sewot berat. Kenikmatannya terganggu. Dan jelas aja Olga nggak ada di TV, wong TV swasta baru tempat Olga kerja belum siaran.
Antenanya aja belum dipasang!
" 3. AMBURADUL "TANPA penyiar andalan, Radio Ga Ga jelas ibarat garem tanpa sayur. Yang ada cuma asiiin... melulu. Yah, semua orang juga tau, bahwa bagian terbesar bagi denyut kehidupan Radio Ga Ga ada di bibir para penyiar andalan itu. Maka begitu mereka pada hengkang satu per satu, suasana di Radio Ga Ga pun jadi serba nggak menentu. Suram dan buram seperti kertas merang. Lesu dan beku seperti kuburan di tengah hari bolong, saat para roh gentayangan yang ada di situ lagi pada tidur nyenyak. Akibatnya para pendengar yang dulu, nggak peduli siang maupun malam, terus menempelkan kupingnya di Radio Ga Ga, kini turun drastis. Mungkin cuma tinggal dua orang aja yang masih jadi pendengar setia Radio Ga Ga, yaitu Mbak Vera dan Mas Ray.
Bisa ditebak, Mbak Vera dan Mas Ray jugalah orang yang paling pusing melihat kondisi Radio Ga Ga yang mengenaskan itu. Liat aja Mbak Vera, dia sampe nggak nafsu makan selama beberapa hari ini. Walaupun Mbak Vera cuma nggak nafsu makan sama makanan yang abis diacak-acak anak kecil tapi kalau diamati selama dua jam nonstop: dengan mata yang terus mendelik, nampak tubuh Mbak Vera banyak mengalami penyusutan. Mungkin bobot Mbak Vera berkurang sekitar dua sampai tiga kilo. Sehingga badan Mbak Vera yang dulu sintal, padat, dan berisi, kini jadi kurus dan kering seperti ikan dan asin yang dijemur di bawah terik dan matahari. Hihihi....
Lalu apa kabarnya Mas Ray" Nggak lebih buruk dari Mbak Vera. Maksudnya badan Mas Ray nggak ikut-ikutan kurus kayak Mbak Vera. Cuma selama beberapa hari ini, demi menunjukkan rasa pusingnya, Mas Ray jadi punya kerjaan baru. Yaitu sibuk jalan kaki mengelilingi meja kerjanya yang berbentuk setengah lingkaran, sambil mulutnya terus-menerus ngomong, "Matilah saya.... Matilah saya...." dalam nada rap. Inilah keluhan khas pengusaha yang usahanya sedang diancam bangkrut. Lain tempo para karyawan yang masih bertahan di Radio Ga Ga, sempat memergoki Mas Ray dan Mbak Vera sama-sama merendam kepalanya di bak mandi. Dan air di bak mandi sampai mendidih terkena panas yang berasal dari kepala Mas Ray dan Mbak Vera itu. Lalu para karyawan rame-rame nyemplungin telor asin ke dalam bak mandi itu, dan telor asin pun mateng. Walhasil, daripada ikut pusing mikirin nasib Radio Ga Ga yang lagi amburadul, para karyawan akhirnya pada pesta telor asin rebus.
"Gawat! Kalau kondisinya begini terus-terusan, matilah kita, Ver!" tukas Mas Ray yang sedang dilanda bingung berat sambil menenggak sebotol air dingin. Sementara itu beberapa botol bekas air dingin yang habis diminum Mas Ray, berserakan di bawah meja.
"Sejak seminggu yang lalu Mas Ray cuma ngomong mati, mati, melulu, kenapa nggak mati sekalian aja, biar semuanya beres!" sambut Mbak Vera yang nggak kalah bingungnya. Saat itu Mbak Vera berada dalam posisi ngeringkuk di dalam kulkas. Persis iklan permen Frozz. Yah, ba" Mas Ray maupun Mbak Ver saat itu kepalanya lagi pada anget saking bingungnya, dan mereka berusaha mendinginkannya.
"Kamu jangan begitu dong, Ver. Ini serius." Mas Ray melempar botol bekas air dingin keluar jendela, dan tepat parkir di kepala cleaning service yang lagi asyik ngepel sambil dangdutan.
"Sabar... Sabar...," desis si cleaning service sambil mengusir si Sabar, tukang somay yang biasa mangkal di depan, karena mengira namanya dipanggil.
"Coba kamu pikir,"
sambung Mas Ray, kalo radio ini sampe bangkrut, alamat nasib kita sebagai manusia bakal bangkrut juga," cerocos Mas Ray lagi. .
"Sebentar ya, saya pikir dulu." Mbak Ver bergegas mencolot dari dalam kulkas. Dan menanggapi omongan Mas Ray dengan gaya cuek. Mas Ray yang cuma punya-satu-satunya-keahlian marah-marah, jelas aja marah-marah.
"Aduh, Veeer, kamu jangan becanda terus, dong!" omel Mas Ray. Mbak Ver sadar, dan kaget, lalu buru-buru meralat.
"Mas Ray, jangan salah paham. Saya sama sekali nggak ada maksud becanda, saya cuma linglung. Saya kan takut juga kalo radio ini sampe bangkrut. Saya udah bisa ngebayangin akibatnya...."
"Yah, kamu pasti bisa ngebayangin akibatnya. Saya percaya itu. Sebab kamu bukan orang lain, Ver. Kamu masih termasuk kerabat saya. Mama kamu dan papa saya bukan temannya... ups sori, maksud saya mama kamu dan papa saya abang-adik. Jadi kita sepupu. Kamu tau kan, waktu Papa memasrahkan radio ini ke saya, saya ditantang untuk menghasilkan keuntungan yang besar. Bukan rugi. Apalagi bangkrut! "
"Ya, saya tau!" jawab Mbak Vera pendek.
"Yah, saya yakin, kamu pasti tau. Dan kamu pasti juga tau kalo ini adalah kesempatan terakhir saya dikasih megang perusahaan oleh Papa. Kalo sampe bangkrut, saya nggak akan dapet kesempatan lagi megang perusahaan, tapi langsung dikirim ke penjara anak-anak nakal. Sebab sudah sepuluh kali saya dikasih kesempatan megang perusahaan oleh Papa, dan kesepuluh-sepuluhnya bangkrut. Oh, saya takut sekali, Ver, saya takut radio ini bangkrut. Saya takut masuk penjara anak-anak nakal," ucap Mas Ray dengan mimik sedih.
"Takut aja nggak menyelesaikan masalah, Mas. Kita harus melakukan sesuatu," usul Mbak Vera.
"Melakukan sesuatu" Oh, mana mungkin. Selama ini saya paling nggak bisa melakukan sesuatu. Kamu kan tau, Ver, saya SD aja nggak tamat. Saya jadi direktur karena kebetulan papa saya kaya."
"Ya, saya tau. Tapi kali ini Mas harus bisa, kalau Mas nggak ingin radio ini bangkrut dan Mas masuk penjara anak-anak nakal."
"Oh, jangan sebut-sebut itu lagi, Ver. Saya betul-betul takut, Ver. Hm... tapi baiklah, saya akan melakukan sesuatu, tapi apa""
"Gimana kalau kita bujuk Olga supaya kerja lagi di sini, dengan gaji yang lebih gede"" usul Mbak Vera.
Mata Mas Ray berpijar. "Betul, itu usul yang bagus. Saya kira lebih baik mengeluarkan sedikit lebih banyak uang buat gaji Olga, daripada radio ini bangkrut. Olga memang satu-satunya kunci supaya radio ini terhindar dari kebangkrutan. Saya jadi ingat, dulu sebelon Olga dateng radio ini juga hampir bangkrut. Tapi begitu Olga masuk, radio ini mulai menampakkan kemajuan. Olga bukan cuma bisa siaran dengan baik, tapi juga bisa memotivasi teman-temannya agar bekerja lebih giat, dan membuat masyarakat kecanduan mendengarkan radio ini. Cepat kamu hubungi Olga, Ver. Bujuk dia supaya mau bergabung lagi ke sini!" tukas Mas Ray dengan nada setengah memaksa.
Mbak Vera tersenyum. "Kalo begitu caranya, sama aja saya yang melakukan sesuatu, dong!"
"Nggak apa-apa, deh, biasanya. juga begitu. Lagian kamu saya suruh kerja di sini memang untuk melakukan sesuatu. Saya kan direktur, jadi saya nggak perlu melakukan sesuatu!"
"O, jadi kalo direktur nggak perlu melakukan sesuatu ya, Mas"" tanya Mbak Ver lugu.
"Nggak, saya kan punya bawahan. Buat apa saya punya bawahan kalau saya masih harus melakukan sesuatu"" jawab Mas Ray tangkas.
"Baik kalau begitu, tapi ada satu hal yang harus Mas tau, saya sudah berkali-kali membujuk Olga, tapi anak itu tetap pada pendiriannya. Dia nggak mau balik ke sini. Dia mau belajar banyak tentang televisi," jelas Mbak Ver.
Mas Ray menepak jidatnya.
"Aduh, ruwetnya, masak dia ngomong begitu""
"Betul, Mas Ray."
"Coba, deh, kamu bujuk dia sekali lagi, usahakan supaya dia mau. Bilang, kita berani ngasih gaji yang lebih gede dari yang dia dapat di televisi swasta itu."
"Saya usahakan, Mas, tapi saya nggak janji, ya. Soalnya saya tau bener siapa Olga. Anak itu keras. Kalau udah punya keinginan, dia nggak bisa diganggu gugat!"
Mas Ray sebetulnya masih mau ngomong, tapi Mbak Vera buru-buru masuk ke kulkas, dan ngeringkuk di
situ. Mas Ray daripada bingung, akhirnya menenggak sebotol air dingin lagi, dan mendesah, "Matilah saya...."
*** "Kondisi Radio Ga Ga makin amburadul.
Sementara itu usaha Mbak Vera membujuk Olga untuk balik lagi ke Radio Ga Ga menemui jalan buntu. Tadi Mbak Ver menelepon Olga, dan reaksi Olga tetap pada. pendiriannya semula.
"Tolonglah, Ol, radio ini bisa bangkrut tanpa kamu," bujuk Mbak Vera.
"Ah, Mbak Ver jangan terlalu membesar-besarkan saya," jawab Olga diplomatis. "Selama ini saya malah merasa nggak pernah berbuat apa-apa buat Radio Ga Ga. Radio Ga Ga sudah besar sejak belum ada saya," sambung Olga lagi.
"Kamu bisa aja merasa begitu, Ol. Tapi yang Mbak Ver tau, kamu adalah aset terbesar yang dimiliki Radio Ga Ga. Buktinya, tanpa kamu Radio Ga Ga banyak mengalami kemunduran. ..
"Mbak Ver bisa aja. Setau saya, selain saya masih banyak penyiar lain yang keluar dari Radio Ga Ga. Mereka kan patut diperhitungkan juga."
"Ya, tapi pengaruh terbesar itu ketika kamu keluar...."
"Wah, saya ikut sedih kalo gitu."
"Makanya, saya harap kamu mau balik ke sini, Ol. Bantu saya membangun Radio Ga Ga. Kamu jangan takut, Ol. Saya udah bilang ke Mas Ray, dan Mas Ray udah setuju untuk menaikkan honor kamu begitu kamu balik ke sini."
Olga merenung sebentar. Mbak Vera menunggu dengan harap-harap cemas. Tapi dari gagang telepon yang nempel di kupingnya, Mbak Vera mendengar sesuatu. yang membuat dengkulnya lemes.
"Percayalah, Mbak Ver, saya melakukan ini motivasinya bukan karena uang. Saya pindah ke televisi swasta bukan karena ingin dapet penghasilan yang lebih gede. Saya cuma ingin belajar, dan cari pengalaman, Mbak Ver. Betul, Mbak Ver. Saya pikir, mumpung saya masih muda, saya harus banyak belajar dan cari pengalaman. Dan perlu Mbak Ver tau, saya nggak merasa kekurangan atas yang diberikan Radio Ga Ga pada saya. Saya udah merasa cukup. Apalagi masih ditambah dengan perhatian dan kebaikan Mbak Ver pada saya selama ini."
"Kalo memang begitu alasan kamu, Ol, Mbak Ver nggak berani memaksa kamu lagi. Malah Mbak Ver respek sama keputusan kamu. Kamu memang beda sama penyiar lain, yang keluar dari Radio Ga Ga cuma lantaran pengen dapet penghasilan yang lebih gede."
"Maafin saya ya, Mbak Ver!"
"Nggak apa-apa, Ol. Mbak Ver maklum."
"Tolong sampein juga permintaan maaf saya sama Mas Ray, ya, Mbak Ver!"
"So pasti, dong! Udah ya, Ol, masih ada yang mesti Mbak kerjain, nih!"
"Daaag.... Mbak Ver, kapan-kapan saya telepon balik, deh!"
Mbak Ver meletakkan gagang telepon dengan perasaan sedih. Matanya basah, tapi karena kelilipan. Belum lagi Mbak Ver sempat menghela napas panjang, tiba-tiba pintu terbuka. Mas Ray masuk ke ruang kerjanya.
""Gimana, Ver, gagal"" tanya Mas Ray tanpa basa-basi lagi. Wajahnya cemas.
Mbak Ver diam aja. "Gagal, Ver"" tanya Mas Ray lagi.
Mbak Ver masih bingung seperti nenek-nenek abis naik jet coaster.
Akhirnya Mas Ray nggak tahan lagi, dan bertanya sekeras-kerasnya bak komandan upacara memberi komando.
"Veraaa... kamuuuu gagaaal, nggaaak, grak"!"
Mbak Vera bangkit dari bangkunya. Tetap dengan gaya kalem, bak Putri Solo lagi ngantuk.
"Ini nggak bisa dibilang gagal, Mas Ray," jawab Mbak Ver kemudian.
Mata Mas Ray sedikit berbinar.
"Asyiiik... jadi maksudnya kamu berhasil membujuk Olga untuk bergabung lagi dengan kita ""
"Nggak juga...."
"Aduh, Vera, itu namanya gagal."
"Nggak juga. Saya memang nggak berhasil membujuk Olga, tapi saya menolak kalo dibilang gagal."
"Aduh, kok, berbelit-belit amat, sih! Itu sama aja menyiksa saya, Ver. Yang lurus-lurus aja saya masih susah mikir, apalagi yang berbelit-belit kayak mi kusut. Coba deh kamu jelasin tanpa harus muter-muter gitu, Ver."
""Tadi saya udah bujuk Olga. Ternyata dia punya alasan yang jelas, kenapa nggak mau balik lagi ke sini. Kemauan Olga ternyata sangat wajar. Sudah seharusnya kita ngasih kesempatan Olga untuk berkembang. Anak itu punya kemampuan. Kita nggak berhak mengurung dia di sini terus-menerus. Biarkan Olga maju sesuai kapasitasnya. Selama ini mungkin kita cuma asyik mikirin diri sendiri."
"Aduh, Vera, kenapa kamu jadi berubah 180 dera
jat. Sekarang kamu malah memihak Olga. Kamu mau radio ini hancur, ya" Kamu senang ya liat saya masuk penjara anak-anak nakal""
"Saya nggak berubah, Mas Ray. Saya cuma ingin mengajak Mas Ray melihat kenyataan."
"Melihat kenyataan pahit ini" Oh, Vera, alangkah kejamnya kamu. Apa kamu nggak berpikir tanpa Olga radio ini bisa hancur""
"Justru itu, mulai sekarang kita harus berpikir, tanpa Olga radio ini nggak akan hancur."
"Aduh, Vera, kamu mulai berbelit-belit lagi. Maksud kamu apa, sih""
"Mulai sekarang kita harus belajar dewasa. Kita harus belajar tidak bergantung pada siapa pun. Kita harus bisa mengerem radio ini dari ambang kehancuran."
"Aduh, Vera, kamu tau itu terlalu sulit buat saya""
""Jelas sulit, karena selama ini Mas Ray nggak pernah mau belajar. Selama ini segala sesuatunya sangat mudah bagi Mas Ray, karena Mas Ray- selalu mengandalkan fasilitas orangtua. Itu makanya Mas Ray jadi males belajar. Karena Mas Ray pikir, semua ini Mas Ray peroleh tanpa harus memeras keringat. Akibatnya mental Mas Ray bukan mental pengusaha yang baik. Nggak tahan banting. Dan gampang stres," tukas Mbak Ver bak saluran got di kampung yang mau dikunjungi Pak Lurah, lancar tanpa hambatan karena buru-buru dibersihin.
Mas Ray terperangah. Nggak nyangka Mbak Ver bakal ngomong begitu. Maka Mas Ray pun berkata, "Lho, kok kamu jadi ngeritik saya""
"Apa boleh buat. Soalnya kritik itu perlu supaya Mas Ray maju."
"Ya, tapi kenapa mendadak kamu bisa ngomong begitu""
"Karena saya pikir di sinilah titik masalahnya. Mas Ray harus dibangkitkan. Mas Ray nggak boleh terus melempem kayak krupuk kurang jemur. Selama ini nggak ada yang pernah berani ngeritik Mas Ray. Orangtua Mas Ray juga terlalu memanjakan Mas Ray. Ini kemandulan kreativitas namanya."
"Baiklah, Vera, saya sadar sekarang juga."
"Nggak perlu secepat itu. Ini bukan fragmen TV. Buat apa cepet-cepet sadar. Mending Mas Ray berpikir dulu selama beberapa hari ini. Kalaupun akhirnya Mas Ray nggak sadar-sadar, juga nggak apa-apa," tukas Mbak Vera dengan napas ngos-ngosan.
Mas Ray mulai menjewer-jewer kupingnya sendiri, karena begitulah kebiasaan Mas Ray kalau bingung harus berbuat apa.
"*** "Selama beberapa hari ini Mas Ray cuma bengong di kamar kerjanya, sambil sesekali menjewer-jewer kupingnya hingga kuping itu mirip cabe. Yah, Mas Ray masih bingung harus melakukan langkah apa supaya Radio Ga Ga selamat dari jurang kehancuran. Memang Mas Ray udah sadar, tapi Mas Ray kan nggak bisa pinter secepat itu. Apalagi selama ini Mas Ray udah telanjur malas mikir. Sementara itu Mbak Ver sibuk negosiasi ke sana kemari membujuk-bujuk beberapa gelintir pemasang iklan, supaya nggak membatalkan kontraknya.
Sementara itu, selama Mas Ray masih bingung, keadaan Radio Ga Ga juga makin parah. Menurut rating dari tim riset yang perlu dicurigai keabsahannya, jumlah pendengar Radio Ga Ga cuma tinggal beberapa gelintir. Paling cuma mereka yang betul-betul setia, yang masih mau nyetel Radio Ga Ga. Sedang untuk iklan, berkat kegigihan dan keluwesan Mbak Ver, masih ada yang mau pasang. Dalam kondisi amburadul begini, Ucup yang udah lama nafsu pengen jadi manajer produksi, merasa dapat peluang. Maka Ucup pun berusaha menangguk di air keruh. Sebab biasanya air keruh banyak ikan lelenya.
Selagi Mas Ray menjewer-jewer kupingnya, tiba-tiba pintu diketuk.
"Nggak dikunci!" sambut Mas Ray acuh tak acuh.
Ucup masuk lengkap dengan cengir bajingnya, dan selembar map lusuh yang terkempit di keteknya. Sebetulnya map itu tadi masih baru, tapi karena terus-terusan dikempit di ketek, akhirnya lusuh juga terkena keringat ketek Ucup.
"Siang, Mas Ray," tukas Ucup ramah.
Mas Ray memicingkan matanya, seperti sudah bisa menduga apa maksud Ucup.


Olga 07 Olga Dan Tv Swasta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau kamu mau keluar kayak yang lain itu, cepat bilang. Ambil pesangon di kasir, dan cepat minggat dari sini sebelum kamu saya usir," Mas Ray berkata ketus. Tapi Ucup sama sekali nggak terpengaruh. Dia masih nyengir yang dianggapnya manis, walau hasilnya malah bener-bener mirip bajing.
"Mas Ray jangan salah kira. Saya sama sekali nggak ada niat cabut dari sini. Saya justru mengkr
itik keras teman-teman saya yang pada keluar itu."
"Mas Ray membuang cemberutnya mendengar omongan Ucup yang rada simpatik itu.
"Hm... lantas mau apa"" gumam Mas Ray.
"Saya tau keadaan Radio Ga Ga lagi kritis. Jadi alangkah kurang etis ninggalin Radio Ga Ga dalam kondisi begitu. Pada saat ini yang dibutuhkan adalah loyalitas. Tapi, loyalitas aja nggak cukup. Kita juga harus melakukan langkah inovasi demi kemajuan Radio Ga Ga."
"Wah, omongan kamu udah mulai berbelit-belit kayak Mbak Ver, Cup. Langsung aja, deh."
"Begini, kalau soal loyalitas rasanya saya nggak perlu diragukan lagi. Di saat orang pada keluar, saya malah tetap bertahan di sini," ucap Ucup bangga.
"Tapi menurut Mbak Ver, kamu nggak keluar karena nggak ada yang mau nampung kamu!" serobot Mas Ray.
Ucup nyengir kering. "Mungkin Mbak Ver salah informasi. Lagian, apa itu penting" Ada atau nggak ada yang mau nampung saya, buktinya saya tetap di sini. Itu artinya saya lebih setia dari yang lain."
"Iyalah. Sekarang apa rencana kamu""
Ucup menarik napas kuat-kuat. Saking kuatnya, berkas-berkas kerja Mas Ray yang ada di meja sampai ketarik dan nempel di lubang idung Ucup. Dan ketika Ucup mengembuskan napas, berkas-berkas itu pun berhamburan ke mana-mana. Ketika suasana udah mulai tenang, Ucup baru mulai ngomong.
"Berhari-hari lamanya saya tirakat, dan puasa nggak makan dan nggak minum makanan dan minuman tetangga saya yang sudah dimakan dan diminum, akhirnya saya sampai pada keputusan, bahwa saya bukan cuma bisa menyelamatkan Radio Ga Ga dari lembah kehancuran, tapi saya juga bisa membuat Radio Ga Ga lebih maju dari keadaan semula."
Mas Ray mendelik. Kaget dan girang bercampur di hatinya. Yah, pada saat bingung begitu, siapa sih yang nggak girang ngeliat ada orang yang bisa menolong"
"Yang betul kamu, Cup"" tanya Mas Ray penuh semangat.
"Kenapa nggak, saya punya konsep yang bagus demi kemajuan Radio Ga Ga. Saya rasa konsep Radio Ga Ga yang lama udah nggak bisa dipakai lagi. Saya akan ubah sasaran Radio Ga Ga yang semula buat para ABG, jadi buat para janda."
Mas Ray menelan ludah yang menyekat di tenggorokannya.
"Kok begitu""
"Yah, karena sebetulnya cuma para jandalah yang punya banyak waktu buat ngedengerin radio. Di saat para janda itu kesepian di rumah, radiolah alternatif mereka buat membunuh kesepiannya. Apalagi kalo yang kita puter lagu dangdut, yang kebanyakan menyuarakan penderitaan dan suara hati para janda-ditanggung para janda itu nggak akan lepas dari Radio Ga Ga. Selain itu, perlu juga Mas Ray tau, para janda adalah pasar potensial bagi setiap produk. Karena mereka begitu konsumtifnya membeli segala alat-alat kecantikan demi mendapatkan pasangan baru. Maka saya berani jamin, pasti radio kita bakal banjir iklan. Itu artinya, dalam tempo kurang dari setengah tahun, Mas Ray bakal kaya! Untuk lebih jelasnya, Mas Ray bisa baca di proposal saya ini," tukas Ucup seraya menyerahkan proposal kumelnya.
Mas Ray yang tadinya mau marah, akhirnya jadi berbalik kagum pada Ucup yang ngomongnya sangat meyakinkan itu.
"Alaaah, nggak usah pake proposal segala. Ide kamu itu tadi bagus dan bisa dipertanggungjawabkan. Saya terkesan."
"Jadi Mas Ray tertarik untuk menjalankan konsep saya"" .
"Nggak perlu sangsi lagi, saya tertarik."
"Tapi ada syaratnya, Mas Ray. Saya minta gaji saya ditambah 4 kali lipat, dan posisi manajer produksi untuk konsep saya ini. Selain itu kita harus mengadakan restrukturisasi habis-habisan. Para penyiar yang masih ada kita pecat, karena mereka udah terlalu biasa membawakan acara buat anak muda. Pasti mereka kaku kalau harus ngebawain acara buat para janda. Kita cari aja penyiar baru yang usianya di atas tiga puluh tahun. Setuju, kan ""
"Alaaah, itu masalah kecil. Kapan kamu bisa mulai kerja"" tanya Mas Ray berapi-api.
"Asal besok meja untuk manajer produksi sudah bisa disiapkan, besok saya mulai kerja!"
"Beres!" Mas Ray tersenyum selebar tampah. Ucup menjabat tangan Mas Ray. Keduanya keliatan sangat gembira.
"Selamat bekerja, ya, manajer produksi baru," ucap Mas Ray akrab ketika Ucup meninggalkan ruangannya. Tak lama kemudian
Mbak Vera pulang dari salah seorang klien, dan masuk ke ruangan Mas Ray untuk laporan. Tapi sebelum Mbak Vera sempat laporan, Mas Ray udah keburu laporan perihal Ucup.
Mbak Vera terbelalak. "Gawat, Ray... gawat, ini sama aja bunuh diri di saat kita lagi sekarat," tukas Mbak Vera penuh rasa khawatir.
*** "Kekhawatiran Mbak Vera ternyata cukup beralasan. Sebab Mbak Vera cukup kenal siapa Ucup. Dia nggak lebih dari anak muda yang cuma doyan ngomong. Pengalamannya di rajio juga masih seupil. Ambisinya terlalu meleak-ledak. Sementara kemampuannya nol kecil.
Mbak Vera ngotot, "Belatung nangka itu cuma bisa omong bisa, doang. Tapi dia nggak pernah tau bagaimana dia jalankan konsep itu. Apa dia pernah mempelajari pasar" Apa dia udah survei" Dasar apa yang dipakai dia untuk menjalankan konsep itu" Pengalaman apa yang ia miliki" Kamu harusnya sebagai bos mempertanyakan dulu semua itu, sebelum memutuskan! Saya tak suka berjudi dengan nasib seperti ini. Bisa-bisa uang kamu dikeruk abis!"
Tapi dasar Mas Ray udah tergiur ide Ucup, dia nampak tak peduli nasihat Mbak Vera.
"Tapi saya yang berhak memutuskankan, bukan kamu, Ver!"
"Terserah kalau begitu. Tapi kalau terjadi apa-apa, jangan bilang bahwa saya tidak pernah mencegah kamu!" Dan-brak! Pintu dibanting. Mbak Vera ngambek.
Dan ramalan Mbak Vera terbukti. Baru be"rapa hari Ucup menjalankan konsepnya dengan mengubah total semua konsep Radio Ga Ga lama, banyak telepon berdering yang datangnya dari para pendengar Radio Ga Ga yang masih setia. Umumnya mereka memprotes" pola acara yang berubah total itu.
""Hai, apa-apaan, nih" Kok Radio Ga Ga jadi begini" Kita kan belon jadi janda. Kita masih perawan ting-ting!" protes salah seorang penggemar.
"Waktu ditinggal Olga, mutu acara Radio Ga Ga udah mulai amburadul, sekarang lebih amburadullagi!" protes penggemar lainnya.
Dan yang cukup menyakitkan adalah telepon berikutnya, yang datang dari pendengar Radio Ga Ga yang tinggal di Palmerah.
"Mending Radio Ga Ga ditutup aja deh, daripada secara nggak langsung nyumpahin kita supaya jadi janda semua."
Sementara itu belum ada satu pun laporan dari para janda yang bernada simpatik. Mungkin para janda itu lebih suka ngedengerin siaran radio lain yang udah lama ada, daripada coba-coba dengerin ramuan acara ala Ucup.
Yah, apalagi kebanyakan penyiar Radio Ga Ga versi baru ini masih belom pengalaman. Rupanya waktu Ucup mengusulkan restrukturisasi, Ucup memasukkan semua sodaranya. Nggak peduli apakah sodaranya itu berbakat jadi penyiar atau nggak. Malah banyak sodaranya yang baru sekali itu liat mikropon, tapi udah disuruh jadi penyiar. Begonya, Ucup yang dasar kurang peka, nggak ngebaca gelagat sedikit pun. Dia malah makin asyik menikmati kedudukannya. Gayanya udah kayak bos kelas satu.
Mas Ray mulai uring-uringan. Dan Mas "Ray hampir pingsan waktu siang itu Mbak Vera ngasih laporan.
"Saya nggak sanggup lagi, Mas Ray. Rasanya udah semua kemampuan saya kerahkan untuk membujuk-bujuk, tapi para pemasang iklan itu nggak bergeming sedikit pun. Mereka nggak ingin citra produknya rusak cuma gara-gara masang iklan di radio kita. Jangankan buat nyari klien baru, klien lama aja yang dulu masih mau nolong kita dengan nggak membatalkan kontraknya, sekarang tanpa bisa ditawar lagi dengan tegas membatalkan kontrak yang masih tersisa beberapa bulan. Kita masih berhak atas uang kontrak, tapi mereka minta dengan sangat agar spot iklannya jangan sampai kita siarin lagi."
Mas Ray mendelik. "Ucup keparaaat...!" teriak Mas Ray melengling, lalu pingsan dengan sukses.
Sementara itu Ucup baru aja memesan sepiring penuh somay di ruangannya dari Pak Sabar.
Mbak Vera cepat-cepat menyembunyikan dirinya di kulkas.
" 4. KADO KEJUT AN "PAGI itu Papi dan Olga sama-sama kecelenya ketika buru-buru ke meja makan abis selesai pakaian.
"Lho, kok nggak ada apa-apa, Ol"" tanya Papi heran. Ia udah rapi mau ke kantor, dan Olga yang kebetulan masuk pagi, mau nebeng bapaknya ke sekolah.
"Iya, nekat juga Mami nggak bikin sarapan!" balas Olga.
"Mana udah jam setengah delapan! Ke mana Mami" Mamiiii..." panggil Papi.
Tak ad a sahutan. Terpaksa Olga dan Papi berpencar mencari Mami. Mau minta pertanggungjawaban Mami karena nggak bikin sarapan. Papi mencari di kamar, Olga mencari di gudang.
Ternyata Mami ada di teras belakang. Rambutnya dirol, sambil baca majalah wanita. Di kupingnya nyantol headphone walkman milik Olga. Asyik sendiri. Kepala Mami bergoyang-goyang ke kiri dan ke kanan. Papi tentu kaget melihat Mami sesantai itu di pagi yang sesibuk ini.
""Mamiii!!!" pekik Papi.
Mami cuek, malah Olga yang kaget. Soalnya Olga lagi nyari Mami di tempat sepatu. Tuk! Sebuah sepatu jatuh menimpa kepala Olga. Olga buru-buru lari ke arah jeritan Papi.
""Mami apa-apaan, sih" Enak-enakan sementara Papi kayak kebakaran bulu ketek. Mana sar"apan" Udah jam setengah delapan!" semprot Papi.
Mami melepas headphone; "Sarapan""
"Iya, sarapan! Itu rambut pake dibandrol segala! Bukannya ngurusin sarapan!"
"Kenapa harus ngurus sarapan"" ujar Mami enteng.
"Ya, harus! Itu kan kewajiban Mami tiap pagi!"
"'Sori, untuk pagi ini Mami ogah."
"Ogah kenapa""
"Pikir aja sendiri!"
Papi bengong. Menatap Olga. Olga mengangkat bahu. .
"Perempuan...," gumam Papi. Lalu mengajak Olga pergi. "Udah, Ol. Papi traktir donat di luar. Yuk, pergi. Udah telat, nih. Nggak waktu untuk berdebat. Tau sendiri mamimu, nggak mau kalah sepatah kata pun!"
Olga cuma nurut. "*** "Di kedai donat, Olga inelahap sandwich dengan lahap. Segelas coklat panas menemani. Sedang Papi makan donat sambil terus mikir.
"Ol, kira-kira apa, ya, yang bikin Mami ngambek nggak mau bikin sarapan"" tanya Papi.
Olga nampak nggak begitu peduli. "Ah, nggak usah dipikirin. Enakan begini tiap pagi, bisa sarapan enak!"
"Enak buat kamu, tapi nggak enak buat kantong Papi!" dengus Papi. "Kamu bantu mikir, dong. Kan nggak biasa-biasanya Mami ngambek begitu. Bisa jebol kantong Papi kalo kebiasaan ngambek Mami dipelihara terus!"
"Ah, besok juga Mami baek."
Tiba-tiba beberapa anak remaja yang duduk bergerombol nggak jauh dari tempat duduk Olga dan Papi, berteriak riuh sambil menyuruh salah seorang temannya men,iup lilin. "Horeee... ayo, Santi, tiup lilin ulang tahunnya!"
Papi menatap mereka. Tiba-tiba Papi terpekik sambil menepuk pundak Olga dengan keras, sampai Olga yang lagi mengolesi sandwich dengan saus, keselek botol saus. "Ya ampun, Olga!!!. Kenapa Papi jadi lupa""""
"Glek!" Olga keselek. "L-lupa apa, Pi""
"Mami hari ini ulang tahun! Dan tak seorang pun dari kita yang ingat! Pantas Mami ngambek!"
"Olga menepuk jidatnya. "Iya, kenapa sampai lupa, ya""
"Aduh, Papi jadi merasa bersalah! Papi harus" bagaimana, nih""
"Masih ada waktu untuk nebus dosa, Pi. Pulang kantor nanti Papi harus ngebeliin Mami hadiah!"
"Betul!" Papi setuju.
"*** "Siang, sepulang sekolah, Olga dan Wina nongkrong di fastfood PI Mall. Olga sibuk membaca formulir pendaftaran jadi penyiar di TV Swasta. Sedang Wina menemani sambil matanya jelalatan ngeceng cowok-cowok lewat. Suasana PI Mall siang itu cukup ramai. Ya, pusat pertokoan memang selalu ramai. Ramai oleh remaja. Yang kerjanya cuma window-shopping. Ngeliat-liat barang mewah tanpa punya duit buat beli. Mungkin mereka emang udah keabisan hiburan yang kreatif. Ya, abis mau ngapain lagi" Ada tanah kosong sedikit, langsung dibikin plaza. Kayaknya rakyat Indonesia ini makmur banget. Seneng buang-buang duit. Buktinya pusat belanja ada di mana-mana. Sampai ke daerah terpencil. Padahal kalo diliat-liat, yang bisa beli barang orangnya yang itu-itu juga. Anak remaja lainnya sih cuma numpang ngase (ngase lho, bukan ngaso! Maksudnya numpang ngadem di-AC).
"Dipikir-pikir, jadi kurang kreatif juga tu anak-anak Cuma bisa mengagumi tanpa berdaya berbuat apa-apa. Kalo dulu kan ada trend remaja nongkrong di gelanggang remaja. Olahraga kek, ikut sanggar kek, ngapain kek Pokoknya bikin-bikin sesuatu. Sekarang kok udah nggak nge-trend.
"Mungkin gara-gara TV swasta!" celetuk Wina tiba-tiba.
"Apa"" Olga yang lagi asyik membaca formulir kaget tiba-tiba Wina ngomong begitu. "Kamu ngomong apa, Win""
"Ah, enggak" Wina langsung sadar. "Itu, ngeliat anak-anak pada ngecengin barang-barang mewah, mungki
n gara-gara kebanyakan ngeliatin iklan di TV swasta kali, ya""
Olga mengikuti arah telunjuk Wina yang menunjuk
"Gimana nggak kepengen coba, tiap hari santapan kita iklan melulu di TV. Yang tadinya puas makan masakan rumah bikinan Mami, sekarang pengen nyobain nongkrong di fastfood macam inil" ujar Wina lagi.
Olga kembali menekuni formulirnya. "Baguslah kalo begitu. Gue dukung nongolnya TV Swasta baru ini..."
"Kok malah mendukung"" Wina protes.
"Iya, dong." Wajah Olga mendekat ke Wina. "Sini gue jelasin teori gue, sekarang kan ada remote-control. Orang gampang aja memindahmindah saluran TV. Nah, makin banyak TV, makin banyak pilihan. Berarti pas iklan muncul, buru-buru aja ganti ke saluran lain yang kebetulan nggak ada iklannya. Kalo TV swastanya cuma satu, kita kan jadi terpaksa melototin TV yang itu-itu aja. Berikut iklan-iklannya...."
"Atau matiin aja TV-nya, susah-susah amat," sambung Wina.
"Iya, iya. Kamu tuh jangan kayak orang lain. Suka nyari-nyari kambing hitam. Orang doyan belanja, katanya kebanyakan nonton iklan. Orang pada berantem, katanya kebanyakan nonton film action di TV. Ah, padahal siapa sih yang maksa kita nonton TV" Nggak ada, kan" Kalo nggak suka, ya matiin aja. Kita kan bebas aja, nggak ada yang maksain. Emangnya kita bangsa bego apa, gara-gara TV aja jadi rusak" Orang udah niat baik mau menghibur kita dengan bikin TV, malah kita tuduh mau merusak...."
"Iya, ya...." Wina manggut.
"Kalo gue, sih, nggak pengaruh. Gue nonton TV kalo lagi pengen aja. Kalo bosen, matiin. Baca buku, kek, baca majalah, kek"
"Tapi, Ol, ada yang bilang TV masih merupakan barang yang banyak bahayanya ketimbang gunanya. Ada yang berusaha membanding-bandingkan dampak negatif TV dengan buku," pancing Wina.
""Emangnya TV bisa "eledak sendiri apa pake dibilang bahaya segala" Kamu jadi orang bego amat! Kan kita yang menguasai TV, bukan TV menguasai kita. Kita yang nentuin mau nonton apa nggak. Tinggal pencet tombol, kita bisa bikin mampus si Renegade itu. Nah, hebat kan kita" Kalo gue pikir, sih, Win, justru siaran TV itu bisa kita jadiin ujian buat kita sendiri dalam mengendalikan diri."
"Maksud lo""
"Ya, di saat ada film bagus, sementara besok kita mau ulangan, tega nggak kita mematikan TV, dan mulai membuka buku. Kalo gue, sih, seimbang. Artinya, kalo gue lagi asyik baca buku, gue ogah diganggu TV. Dan kalo lagi asyik nonton TV, gue emoh baca buku. Adil, kan" Hidup kita lebih bebas. Bebas memilih. Makin banyak pilihan, makin bagus-lah. Soalnya baca buku dan nonton TV, punya keasyikan sendiri-sendiri. Kalo baca buku, gue bisa ngatur suasana hati sendiri. Mau baca endingnya dulu, kek, mau ngulang ke bab yang sebelumnya lagi, kek. Sedang nonton TV, kita sudah diatur. Dan nggak bisa diulang-ulang."
Wina masih semangat ngedengerin omongan Olga.
"Tanggung, nih, Win. Lagi semangat. Lo kenal Lucia Binder""
Wina langsung menggeleng.
""Sudah gue duga. Oke, deh. Gue waktu itu iseng ngobrol sama dia di acara buku anak-anak. Waktu itu gue lagi disuruh Radio Ga Ga datang ke undangan. Karena ada makan gratis, ya gue oke. Di sana gue ketemu Lucia Binder. Dia orang Austria. Dia pencinta buku anak-anak, dan jadi direktur di International Book Comittee. Orangnya udah cukup tua, tapi baik. Ngomongnya halus. Ah, tapi nggak penting, deh, gue jelasin ciri-ciri orangnya, yang penting apa yang pernah dia bilang ke gue. Bahwa di negerinya ada acara anak-anak di TV yang judulnya... wah, gue lupa. Ng... Continuous Does Not Follow atau apa gitu. Pokoknya, artinya cerita yang nggak ada sambungannya. Nah, setiap ada buku bagus ditayangkan di TV. Pas lagi seru-serunya, cerita dipotong. Terus di TV ditulis, kalo mau tau lanjutannya, baca di buku anu... gitu. Hasilnya" Buku-buku itu jadi laku!"
"Wah, ide bagus!" seru Wina.
"Makanya, kan sebetulnya bisa saling melengkapi yang penting kita kuasai tuh TV, jangan kita nggak berdaya karena TV! Oke, ceramah soal TV selesai. Dan kayaknya gue positif, nih, daftar jadi penyiar di TV...."
"Bagus, deh. Asal jangan lupa traktir. Peningkatan, dong, jangan nasi goreng melulu."
"Oke, sekarang toge goreng!"
"Wuuu!" "Olga ngeberesin kertas-kertas formulirnya, lalu memasukkannya ke tas. Wina juga siap-siap mau pergi.
"Eh, tunggu, Win. Lo kan maniak sama kaos-kaos" Gue lagi perlu, nih. Pilihin, dong""
"Kaos"" Mata Wina terbelalak. Ya, tiap kali diajak ngecengin kaos, Wina paling semangat. Kadang Olga suka sebel kalo lagi nebeng Wina pulang, tiba-tiba Wina berenti mendadak hanya karena mau ngecengin kaos-kaos yang dipajang di tepi jalan. Padahal koleksi kaos Wina udah selemari. Kaos yang bergambar grup metal, gambar Lakers, kaos rugby, de el el. Lucu-lucu, sih. Dan Wina ngoleksi sejak dia kecil. Entah kenapa tu makhluk begitu tergila-gilanya sama kaos.
Dan tanpa ajakan kedua, Olga dan Wina udah berada di toko yang jual aneka kaos unik-unik.
"Ini lucu, Ol," ujar Wina sambil menarik kaos bergambar Marilyn Monroe.
Olga mengintip harganya, "Ah, masih kemurahan, Win. Yang kerenan dikit, dong! Kan buat gue tampil di TV!"
"Sok tau!" desis Wina. "Oke, kalo lo nantangin. Kita ke London Boy. Kaosnya canggih-canggih!"
"Siapa takut"" tantang Olga.
Wina menyeret Olga ke tempat kaos yang lebih keren.
""Gimana kalo yang ini"" Semenit kemudian Wina sudah menemukan kaosnya. Warna hitam, dengan tulisan yang keren.
"Itu bagus"" tanya Olga ngetes.
''Jangan bloon. Semua orang juga tau ini keren. Ayo, pasti takut harganya mahal!"
"Nggak!" Olga menggeleng. "Cuma ragu aja. Apa bener itu yang paling bagus""
"Jangan macem-macem, Ol. Lo kan tau gue paling maniak kaos."
"Jangan-jangan mirip kaos elo, Win""
"Nggak. Dari dulu emang gue pengen punya kaos ini, cuma lagi bokek terus. Daripada dibeli orang, mending lo beli, Ol. Soalnya sayang, tinggal satu-satunya. Minimal kalo lo beli kan gue bisa ikut ngeliat...."
"Ya, udah. Gue ambil!" Dengan cepat Olga merampas kaos yang di tangan Wina, dan membawanya ke kasir.
Wina melongo. Pas di eskalator, Olga ngajak Wina mampir ke toko buku. "Gue mau cari kartu. Temen gue di Radio Ga Ga ada yang ultah besok. Kamu pilihin, ya""
Wina mengangguk. Lalu terdiam. Ya, diamnya Wina ada sebabnya. Pas Olga bilang temennya di Radio Ga Ga ada yang ultah, diem-diem Wina sebel juga. Tiga hari yang lalu Wina juga ultah. Tapi Olga kayaknya lupa. Boro-boro ngasih kado, ngasih selamet aja nggak. Wina, sih, tadinya ngertiin, soalnya belakangan ini Olga sibuk mondar-mandir ngurus lamarannya ke TV swasta. Sampe lupa waktu, lupa temen. Tapi Wina agak ngiri waktu Olga inget temennya ulang tahun.
Ah, Olga. Di toko buku, Olga lagi-lagi minta Wina milihin kartu.
"Win, kursus Prancis lo udah sampai mana"" tanya Olga waktu membayar kartu di kasir Gramedia.
"Emang kenapa"" Wina balik nanya.
"Bisa nggak ngomong: Semoga Tuhan memberkahimu. Ini kado kecil dari teman kamu."
"Buat apa""
"Buat ditulis di kartu.".
"O, temen kamu itu orang Prancis"" tanya Wina makin iri.
"Iya." "Cowok"" Olga ngangguk. "Pantes." "Ayo, dong. Gimana, Win"" Olga siap-siap nulis di kartu.
"Tulis aja: Ie pris toujours que Dieu est avec vous dans toute la vie. Voila, un petit souvenir de votre ami."
Olga langsung nulis di kartu.
Lalu menutupnya dengan puas.
""Yuk, balik!"
"*** "Papi ternyata duluan sampai di rumah dibanding Olga. Waktu Olga berjalan ke kamarnya, Papi mengendap-endap mengikuti Olga.
"Olga, pssst!" panggil Papi.
Olga menoleh. "Ada apa, Pi""
"Kamu udah beli kado buat Mami""
"Belum!" "Belum" Nekat kamu!"
"Nekat apa" Nenek-nenek angkatan darat""
"Mami bisia ngambek!" Papi lalu buru-buru menarik lengan Olga masuk ke dalam kamar Olga. "Psst! Mami masih ngambek. Tadi siang Mami bikin pesta sendiri sama temen-temennya. Pantes rambutnya dirol. Semua makanan di kulkas ludes. Bahkan sosis Papi yang udah Papi sayang-sayang untuk makan malem, ludes juga. Jatah makanan seminggu di dapur abis. Kornet, mi goreng, telur, terigu, daging, semua abis. Gawat! Abis bulan ini kita bisa kelaparan. Makan malem aja nggak ada!"
Olga bengong sejenak. Lalu buka mulut, Mami sekarang mana""
"Tidur di kamar. Kecapekan kali abis karaoke sama temen-temennya! Keadaan dapur kacau-balau sekali!"
Olga manggut-manggut. "Trus, Papi udah beli kado""
"" Udah. Makanya Papi minta pendapat kamu, Ol. Tunggu, ya." Papi lalu pergi secepat kilat. Nggak .sampai sepuluh detik, udah muncul lagi dengan sesuatu yang dibungkus. Bendanya panjang.
"Apaan tuh, Pi" Pacul"" tebak Olga sekenanya.
"Sembarangan. Ini buat obat ngambek Mami. Moga-moga setelah menerima ini, ngambek Mami ilang, dan mau bikin sarapan lagi.... Ini Papi beli dengan susah payah."
"Apa isinya"" tanya Olga sambil memegang benda panjang itu. .
"Stik golf mini dengan bolanya."
"STIK GOLF""""" pekik Olga.
"Sssst!!!!" Papi membungkam mulut Olga.
''Jangan buka rahasia! Nanti nggak surprise lagi!"
Olga gondok. "Terang aja nggak surprise! Nggak pernah surprise! Terang aja Mami ngambek! Papi kurang perhatian sama Mami! Buat apa stik golf mini buat Mami" Papi kan selalu begitu. Egois. Kalo ngasih apa-apa ke Mami, pasti bukan benda yang Mami suka. Tapi yang Papi suka. Supaya Papi yang bisa menikmati! Payah!"
"Eh, kok kamu yang sewot, Ol"" protes Papi.
"Gimana nggak sewot coba. Papi nggak kapok-kapok. Pantes Mami ngambek terus. "Tahun lalu, pas Mami ultah, Papi kasih apa, coba""
Papi mikir sejenak. "Ng... kasih pancingan!"
"Tuh, kan. Pancingan. Mami mana hobi mancing" Mami ngomel-ngomel, soalnya Papi juga yang akhirnya pake itu pancing sampai patah!"
"Tapi kan ikannya buat Mami. Buat dimasak. Itu kan lebih bagus, daripada ngasih ikan" Ingat pepatah bijak, berilah pancing, jangan beri ikan. Kalau memberi ikan, sekali makan sudah habis, kalau memberi pancing, tiap saat selalu bisa dapat ikan," ujar Papi.
"Papi bisa ngomong begitu, tapi yang Mami tau, dan semua orang sedunia tau, yang hobi mancing itu Papi, bukan Mami. Dan sekarang Papi beli stik golf mini. Olga sangat tau belakangan ini Papi pengen banget bisa main golf...."
Papi bengong mendengar omelan Olga.
"Tapi kan, siapa tau Mami nggak mau ketinggalan ibu pejabat. Pengen bisa main golf juga...."
"Itu kan akal bulus Papi."
Papi jadi sebel. Ia langsung mengambil kadonya dan pergi meninggalkan Olga sambil menggerutu, "Idih! Mau dimintai pendapat malah ngomel-ngomel...."
Olga hanya geleng-geleng.
"Lalu sibuk membungkus kadonya yang tadi dia beli. Kaos keren plus kartu cantik....
"*** "Malam itu, ketika Olga nyari sepatu kets di rak, terdengar ada benda dilempar dari kamar Mami. Olga buru-buru menunduk supaya nggak kena lemparan. Benda itu adalah stik golf mini plus bolanya. Melayangnya benda itu diiringi teriakan marah campur kecewa dari mulut Mami, "DASAR PAPI EGOIS!!!"
Menyusul Papi didorong keluar dari kamar, dan terdengar bantingan pintu di belakangnya. Olga memandang Papi dengan masygul.
Papi berdiri tak berdaya di depan pintu.
"Tolonglah, Ol...," rintih Papi.
Olga tertawa garing. "Jangan bilang Olga nggak nasihatin Papi. Sekarang Olga mau pergi dulu. Silakan Papi merenungi nasib."
"Ol! Tunggu!" "Olga mau ke rumah temen dulu," ujar Olga sambil menyambar bungkusan kado di bufet.
"Itu kado siapa"" tanya Papi.
"Punya temen. Emang kenapa""
"Kok nggak beliin Mami" Siapa tau dengan kado kamu dia bisa reda ngambeknya...."
"Nggak bisa. Duit Olga abis. Buat Mami nanti aja. Dadaaah!" Olga pun pergi.
Dengan taksi, Olga sampai di rumah Wina setengah jam kemudian. Langsung ngeloyor "ke kamar Wina. Kebetulan Wina lagi nggak ada kerjaan. Dia lagi iseng ngeguntingin kuku kakinya.
Olga melempar bungkusan kado ke kasur. "Tuh, buat kamu, Win!"
Wina kaget. "Buat gue" Apaan""
"Buka aja sendiri."
"Kok"" Wina mengambil kado di kasur, dan menimang-nimang. "Dalam rangka apa, Ol""
"Sori, tiga hari yang lalu gue sibuk. Baru sempet ngasih sekarang. Buka aja."
Wina membuka, dan... "KAOS LONDON BOY!!!" Wina terpekik histeris. Dari dalam lipatan kaos, jatuh kartu ulang tahun yang tadi Wina pilih sendiri. Wina memungut, dan membaca:
"Pour Wina, Je pris toujours que Dieu est avec vous dans toute la vie, Voila, un petit souvenir de votre ami, Olga en be: Pasti suka, kan"
"Wina terharu. Air matanya menggenang. "jadi kaos tadi yang gue pilih..." Wina tak dapat melanjutkan kata-katanya. Emosinya tak terbendung. Lalu ia berlari memeluk Olga. Selanjutnya hanya bisa berk
ata, "Thanks, Olga. That's very sweet!"
"Olga tersenyum bahagia.
Sementara malam kian larut. Di rumah Olga, pas di kamar Papi, Papi yang lagi rebahan di ranjang tak kunjung bisa tidur dengan nikmat. Gimana mau nikmat" Mami terus berdiri di atas ranjang sambil main golf dengan stik golf mini dan bola pemberian Papi.
"Sudahlah, Mi, jangan kekanakan begitu...."
"Papi membelikan ini supaya Mami mainkan, kan" Ini Mami mainkan! Mami kan harus menghargai pemberian Papi!" ujar Mami sambil memukul bola. Tuk! Bola kena kepala Papi. Papi nyungsep ke lantai.
Hihihi.... " 5. SALAH SASARAN. "OLGA boleh ngocol selama 24 jam nonstop, gelantungan di pohon jambu dengan satu kaki sambil baca Kungfu Boy, makan sehari lima piring, menjerit sampai daun-daun berguguran, tidur dengan sepatu roda masih melekat di kaki, atau main sepatu roda di atas genteng. Semua itu nggak bakal bikin Mami kaget. Tapi pagi ini Mami kaget sekali pas ngeliat Olga bangun pagi dan langsung mandi. Jelas ini peristiwa langka. Sebab nggak biasa-biasanya Olga bisa bangun pagi. Apalagi langsung mandi. Biasanya ngulet-ngulet aja udah satu jam sendiri. Belum ngaca untuk mengagumi wajahnya sendiri yang katanya mirip-mirip Julia Roberts di meja rias (kata dia sendiri, lho, gue sih nggak tanggung jawab kalo ada surat protes keras!). Belum ngitungin jerawat yang kadang muncul kecil-kecil di jidat, gara-gara poninya yang mulai ia pelihara biar mirip Shannen Doherty.
Menurut Mami, Olga nggak pernah bangun sebelum jalanan di jalan tol macet total saban pagi. Itu pun setelah idungnya dikilik-kilik pakai ijuk. Hjhihi.... .
Sebetulnya Mami juga suka bangun siang. Bahkan lebih siang dari Olga. Tapi dini hari itu Mami mendadak bangun akibat idungnya kesepak jempol kaki Papi. Tiba-tiba Mami denger ada orang pipis di kamar mandi. Ditilik dari suara kericikannya yang mirip peluit kereta api, Mami langsung bisa nebak yang di kamar mandi pasti Olga. Mami pikir, paling-paling Olga mendusin terus pipis. Eh, nggak taunya semenit kemudian terdengar suara cibang-cibung. Mami jadi penasaran. Mami mengucek-ucek matanya, dan keluar.
"Olga, is that you"" tanya Mami di pintu kamar mandi.
"Irya, mremrang krenrapa, Mri"" jawab Olga yang mulutnya ketutup guyuran air.
"Tumben kamu bangun pagi""
"Emangnya nggak boleh" Kalo nggak boleh Olga bobok lagi, nih!"
"Bukan gitu. Mami heran aja. Biasanya kamu" paling anti bangun pagi. Ada apa, sih""
"Daripada Mami nanya-nanya terus, mending Mami nyiapin sarapan. Olga buru-buru nih, Mi," pinta Olga diselingi suara plang...plung... tanda Olga mulai nangkring di kloset.
"Eh, udah berani nyuruh-nyuruh, ya"" protes Mami. Tapi nggak urung Mami menyiapkan sarapan juga buat Olga.
Selesai mandi dan berganti rapi, Olga langsung menyantap nasi goreng yang disediain Mami.
"Doain Olga sukses ya, Mi. Pokoknya kalo sampe jebol, Mami Olga traktir naek ayunan di Taman Ria sampe puas, deh," tukas Olga serapi makan. Dan tanpa. nunggu reaksi Mami, Olga udah duluan mencelat keluar.
Mami melongo. Papi yang sejak tadi mengintai dari balik gorden kamar, datang menemui Mami.
''Mau ke mana anak itu, Mi" Kok pagi-pagi gini udah rapi jali"" tanya Papi sambil meletakkan dagunya di bahu Mami. Mami jelas kegelian, karena dagu Papi banyak ditumbuhi jenggot kasar. Bak sikat kamar mandi.
Sambil menggeser dagu Papi dari pundaknya, Mami menjawab, "Seandainya Mami tau anak itu mau ke mana, nggak perlu Papi tanya-tanya... "
"Jadi Mami juga nggak tau ke mana anak itu minggatnya"" tanya Papi sambil berusaha "naruh dagunya lagi ke bahu Mami. Mami mengangguk, sambil dengan sigap menghindar, sehingga dagu Papi mendarat mulus di tembok.
"Ah, seharusnya Mami tau semua sepak terjang Olga. langan sampe kehilangan kontrol. Dia anak kita satu-satunya. Papi nggak mau Olga sampai jadi tumbal buat film Indonesia yang lagi jatuh ini, Mi. Pokoknya Papi nggak mau Olga jadi bintang film yang cuma bisa jual dada dan paha," keluh Papi sambil mengusap-usap pipinya.
"Papi ngomong apa, sih"" dengus Mami, lalu menghela napasnya yang bergerak seperti kuda pacu.
Sementara Olga sudah jauh meninggalkan
pintu halaman. "*** "Jelas aja Papi sama Mami nggak tau ke mana Olga pergi. Tapi Papi nggak usah khawatir Olga bakal jadi tumbal perfilman Indonesia yang lagi lesu parah, dengan jadi bintang film seks. Percaya, deh, Olga masih cewek baik-baik, kok. Walau kadang centilnya kelewat-lewat.
Saat ini Olga memang lagi punya misi rahasia. Ceritanya Olga mau bikin kejutan. Makanya Olga nggak pernah bilang soal rencana besarnya. ke Papi atau Mami. Seperti waktu Olga mau jadi penyiar di Radio Ga Ga dulu. Papi dan Mami juga nggak tau prosesnya, tau-tau Olga udah jadi penyiar. Juga waktu Olga ke Bali. Papi dan Mami nggak mencium gelagatnya. Tau-tau Papi dan Mami dapet kartu pos Olga dari Bali. Anak itu "memang kayak setrum. Penuh kejutan. Makanya jangan heran kalo Olga nggak pernah ngomongin semua rencananya ke Mami dan Papi. Juga soal adanya tawaran jadi penyiar di sebuah stasiun televisi swasta, seperti kali ini.
"Jadi situ yang namanya daripada Olga" Nggak nyangka masih daripada kecil gini. Tapi lumayan daripada juga, sih," sambut seorang cowok, berbadan tinggi gede bak seorang atlet binaraga-tapi berkacamata tebal bak pantat botol Anker Bir, dan suka make kata "daripada"" yang tidak pada tempatnya begitu Olga sampai di kantor televisi Swasta tersebut. Sambutan sehangat knalpot bajaj itu jelas bikin Olga gelagapan. Untung saat itu Olga nggak sendirian, karena ada beberapa cewek lagi yang punya tujuan serupa.
"Kenalin, nama saya daripada Chandra, saya koordinator daripada screentest penerimaan calon daripada penyiar. Tapi kadang-kadang saya juga perfungsi sebagai asisten daripada sutradara, dan penyusun daripada program siaran. Pokoknya fungsi daripada saya banyak, deh, di sini." Si Chandra yang rambut panjangnya disisir ke belakang, dan diiket pake karet gelang itu ngenalin diri sambil coba-coba ngegombal.
"O ya"" sambut Olga dingin, sedingin pantat kulkas.
"Sementara itu beberapa cewek calon penyiar mulai kasih perhatian istimewa ke Chandra. Chandra jelas jadi makin overacting. Ngatur sana, ngatur sini kayak di kantor televisi itu cuma dia aja yang punya kerjaan.
Olga sebetulnya mau terus bersikap dingin, tapi nggak urung Olga ketawa juga begitu inget nama Chandra. "Kenapa, ada yang daripada lucu, ya"" Chandra agak tersinggung.
"Ah, nggak," jawab Olga kalem. "Cuma heran aja. Chandra itu kan artinya rembulan. Nama itu kudunya pas buat cewek. Cewek juga nggak sembarang cewek, tapi cewek yang ayu kayak putri Solo."
"O, jadi maksud daripada kamu saya jelek, ya"" sungut Chandra lagi.


Olga 07 Olga Dan Tv Swasta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalo Mas merasa begitu, itu hak Mas, kan"" sambut Olga cuek.
Chandra uring-uringan. Untung sebelum Chandra berbuat lebih jauh, dari sebuah ruangan besar muncul seorang lelaki tinggi gemuk yang mukanya bak nanas belon dikupas, dan langsung membagi-bagikan nomor undian.
Chandra keliatan takut betul sama si muka nanas ini. Pasti dia atasannya daripada Chandra. Eh, kok jadi ikut-ikutan"
Olga lalu menerima nomor undian dari si muka nanas. Setelah nomor undian itu disematkan di dada, Olga lalu disuruh masuk ke ruang rias.
""Yang udah lapi dilias, masup ke situ, ya"" tukas si muka nanas dengan suara cadelnya yang khas, sambil menunjuk sebuah ruangan cukup besar. Sedang Chandra udah dari tadi disuruh masuk ke situ. Waktu masuk, Olga mergokin Chandra lagi ngegotong-gotong kamera dan ngeberesin kabel-kabel. Di ruangan itu memang ada sebuah kamera, beberapa lampu strobo, dan kabel-kabel yang berserakan.
"O, jadi ini ya tugasnya koordinator daripada screentest"" sindir Olga.
"Diem daripada kamu!" bentak Chandra kesel.
Olga diem tapi bibimya tetap mesem. Waktu itu beberapa cewek yang baru selesai dirias, ikut masuk ke ruangan. Mereka langsung akrab sama Chandra. Atau lebih tepat, mengakrabkan diri.
"Mas Chandra udah lama kerja di sini"" Sinta, salah seorang peserta screentest, berbasa-basi.
"Lumayan juga, sih. Ada kali daripada tiga tahun," Chandra menjawab sok. "Saya mulai karier daripada nol," seru Chandra lagi.
"Dari mulai tukang sapu, sampe tukang gotong-gotong kamera...," samber Olga cuek.
Chandra sewo". Mencoba melotot. Tapi pelototannya
terhalang kacamatanya yang tebal jadi nggak gitu serem.
Sementara Sinta terus ngoceh.
""Tadi Mas bilang udah kerja tiga tahun. Kok bisa" Kan teve ini nongolnya belum juga ada setahun."
"Yah, soalnya saya kan salah satu perancang daripada teve ini. Jadi saya udah kerja jauh sebelon teve ini nongol."
"Wah, hebat dong, Kak," serobot Sandra, salah seorang peserta screen test juga.
"Yah, daripada tidak hebat, kan lebih baik hebat."
"Lha, kalo Bapak yang mukanya kayak nanas itu tadi siapa, Kang"" tegur Sri Heruni, peserta screentest berikutnya. Sebetulnya Chandra rada uring-uringan. Pertama dipanggil Kang. Kedua, Sri ini sebetulnya lebih cocok dagang jamu daripada ikutan screentest jadi penyiar. Tapi karena Sri nanyanya penuh rasa simpatik dan menggelitik, akhirnya Chandra tergerak kasih tanggapan.
"O, dia daripada Pak Sanjaya."
"Lha, Pak Sanjaya itu jabatannya apa, Kang"" kejar Sri lagi.
"O, Pak Sanjaya itu adalah asisten daripada saya," bual Chandra sekenanya. Begonya, Sri percaya.
"Wah, hebat dong, Kang!" timpal Sri dengan mata berbinar-binar. Sri lalu nyoba nempel terus ke Chandra, seperti halnya Sinta dan Sandra. Sebab mereka ngira Chandra bisa ngasih rekomendasi jadi penyiar.
""Sebelon session tanya-jawab ditutup, saya mo tanya. Kenapa sih Mas kalo ngomong selalu pake kata daripada" Terus kalo emang betul Pak Sanjaya bawahan Mas, kenapa Mas mau aja disuruh-suruh sama dia"" Olga bertanya usil.
"Itu bukan urusan daripada kamu, buat apa ditanyain"" sungut Chandra.
Olga mesam-mesem. *** "Yang namanya screentest itu ternyata biangnya nyebelin. Setengah harian Olga dibiarin menunggu, dan nyaknun kayak orang bego. Mana udara gerahnya minta ampun. Akibatnya keringat segede-gede kacang ijo menghiasi leher Olga. Maklum, lampu strobo di ruangan dipasang pol. Tambahan kantor televisi itu sebetulnya rumah tinggal yang disulap jadi kantor. Jadi keadaannya masih darurat. AC window yang dipasang terkesan asal ada aja.
Akibat keringat yang datang tanpa diundang itu, Olga merasa sekujur badannya pada gatel. Tapi mau dilap juga nggak mungkin. Olga nggak mau make-up-nya jadi berantakan kayak ondel-ondel. Terpaksa Olga tahan, walau rasa gatel. makin lama mak" menggigit kulitnya. Olga betul-betul tersiksa.
Sementara itu Chandra makin overacting aja. "Ini yang bikin Olga tambah muak. Olga seb"tulnya pengen cuek aja. Tidur atau ngilik-ngilik kupingnya pake bulu ayam. Tapi susah di tempat seramai ini. Apalagi mata beberapa kru selalu mengarah ke Olga. Maklum kebetulan Olga memang yang paling keren di antara mereka yang ikut screen test yang rata-rata merasa dirinya paling keren itu.
Olga lalu mengamati Sri Heruni yang sebetulan lagi dapat giliran dites. Saat itu Sri Heruni disuruh nyanyi sama tim penilai. Tapi dasar Sri Heruni nggak bakat nyanyi, akibatnya suaranya lebih mirip bedug kedinginan daripada orang nyanyi. Kemudian Sri Heruni disuruh marah-marah, sedih, ketawa, dan berakting seperti pedagang jamu. Tes terakhir Sri Heruni terkesan begitu pas menghayati peranannya. Sedang di tes yang lain Sri Heruni terkesan asal ikut-ikutan.
Akibatnya banyak yang curiga Sri Heruni sebetulnya memang pedagang jamu asli yang nekat ikut screentest, biar bisa jadi penyiar teve. Ini kasus biasa. Dalam sejarah screen test, nggak jarang ada peserta yang sebetulnya cuma ikut-ikutan doang. Modalnya asal nekat, dan wajah yang mereka anggap cantik. Padahal intelektualitas dan kemampuan lain yang dibutuhkan untuk jadi penyiar, sama se"ali nggak punya. Tujuan mereka juga sederhana tapi sekaligus berat, yaitu kepengen ngetop.
"Bahkan kadang mereka rela melakukan apa saja asal bisa ngetop. Beda banget sama Olga waktu pengen. jadi penyiar di Radio Ga Ga. Waktu itu motivasi Olga cuma pengen beli sepatu roda pake duit sendiri. Yah, anak-anak sekarang memang lebih suka menjual bungkusan daripada isi. Atau jangan-jangan anak-anak sekarang memang cuma punya bungkusan, daripada isi"
Olga tersentak waktu nomor dadanya dipanggil. Lamunan Olga buyar. Jatuh dan berceceran di lantai. Olga maju dengan perasaan tenang. Sebetulnya Olga memang nggak gitu ambisi ja
di penyiar teve. Olga ke sini bukan atas kemauannya sendiri, tapi atas undangan orang teve swasta ini yang datang ke Radio Ga Ga. Dasar Olga, apa-apa pengen nyoba, akhirnya Olga ikut. Tapi seperti yang udah-udah, Olga ikut dengan tanpa beban. Makanya waktu Olga disuruh nyanyi, atau disuruh berakting ini-itu, Olga menjalaninya dengan tanpa beban. Anehnya, para tim penilai malah pada manggu"-manggut tanda puas. Ya, barangkali juga karena Olga udah biasa siaran di Radio Ga Ga. Jadi waktu dites membawakan sebuah pengantar siaran, Olga terkesan luwes dan memikat. Olga juga keliatan nggak begitu grogi berada di depan kamera. Yang ini mungkin karena Olga udah biasa beraksi di depan kamera pocket Wina dengan gayanya yang centil. Idiiih... apa hubungannya" Apalagi waktu disuruh nyanyi, nggak berentr-berenti meski si sutradara udah teriak "Cut!" puluhan kali. Habis para manajer yang lagi khusyuk rapat di ruang sebelah, protes keras karena terganggu.
Olga memang bukan peserta terakhir. Tapi menjelang pukul setengah empat, acara screentest pun selesai. Para kru dengan sigap membenahi lampu-lampu dan kamera. Pak Sanjaya buru-buru menemui para peserta screentest.
"Kalian jangan pada pulang dulu, ya," katanya. "Kalena hasil. sclintes mau diumumin sekalang juga!"
Waktu Pak Sanjaya pergi ke ruangannya, Chandra kembali mempertegas sesuatu yang sebetulnya sudah sangat jelas dan tegas. Ya, sebetulnya Chandra ngomong begitu cuma biar keliatan penting di mata anak-anak.
"Kalian jangan daripada pulang dulu, ya, karena hasil daripada screen test mau diumumin sekarang daripada juga," cerocos Chandra.
Olga yang udah siap-siap mau pulang, jadi mengurungkan niatnya.
"Lho, katanya hasilnya baru diumumin tiga hari kemudian""
"Rencananya, sih, daripada gitu, tapi karena kebutuhan kita akan akan penyiar daripada sangat mendesak, terpaksa dipercepat," jawab Chandra.
"Olga nurut. Sementara itu Chandra masih nyerocos terus, menyuruh anak-anak nunggu di Taman Buaya, atau kalau laper makan di warung terdekat. Jangan pergi jauh-jauh dari kantor, biar gampang dicarinya. Rapi Chandra nyerocos, Sri Heruni, Sinta, dan Sandra langsung nyamperin.
"Kang Chandra udah makan belon"" tanya Sri Heruni.
"Kita makan bareng, yuk, Mas!" ajak Sinta sebelon Chandra sempat menjawab.
"Biar, deh, kita yang bayarin!" tawar Sandra.
Ternyata Chandra menolak ajakan ketiga cewek itu. Sebetulnya Chandra cuma pura-pura. Karena tau pasarannya lagi naik, jadi ia sedikit tahan harga, biar nggak ditawar terlalu murah. Sebab, selain ketiga cewek itu, Chandra masih dirubung para peserta screentest lain. Cuma Olga aja yang rada males jual simpati ke Chandra.
Ya, para cewek-cewek itu memang lagi jualan simpati ke Chandra. Mungkin mereka sadar kalo kemampuannya buat jadi penyiar teve masih minim, makanya mereka pada berlomba-lomba menarik simpati Chandra. Mereka yakin kalo Chandra termasuk orang yang menentukan bisa nggaknya mereka jadi penyiar. Karena itulah yang diomongin Chandra ke mereka. Makanya anak-anak itu berprinsip, kalo bisa merebut simpati Chandra, bisa dipastiin jalan jadi penyiar bakal lebih mulus.
"*** "Saat-saat menunggu hasil pengumuman adalah saat-saat paling menegangkan. Olga sendiri yang sebetulnya nggak gitu ambisi, jadi ikut-ikutan tegang. Olga tegang sebab kalau sampe nggak lulus kan malu juga. Artinya kemampuan Olga masih terlalu jauh buat jadi penyiar teve. Padahal di Radio Ga Ga Olga sudah terhitung penyiar andalan yang banyak fansnya. Olga juga malu sama Ucup, atau anak-anak Radio Ga Ga lainnya. Mereka pasti bakal ngeledek Olga abis-abisan. Karena rencana Olga mau hijrah ke teve swasta udah diketahui orang sekantor. Sementara itu suasana tegang lama-kelamaan berubah jadi suasana kacau. Pasalnya para peserta lain makin lama makin rese aja. Sebab kebanyakan mereka sangat ambisi jadi penyiar. Mereka berharap tampangnya bisa nongol di teve, dan kemudian ngetop. Tapi mereka sendiri kayaknya yakin kalo kemampuannya nggak menunjang. Akibatnya mereka jadi gelisah tanpa juntrungan. Dan yang bikin kesel, mereka makin aktif mengejar-ngejar Chandra, karena memang
cuma Chandra yang menyiapkan dirinya untuk dikejar-kejar. Sementara Pak Sanjaya, dan tim penilai lainnya lebih suka mengurung diri di ruang kerjanya.
"Akang udah punya pasangan belon, terus terang saya lagi kosong nih, Kang"" Sri Heruni makin aktif menyerang simpati Chandra. Bahkan tanpa malu sedikit juga, Sri Heruni mulai berani tawar-tawar diri segala.
"Kalo soal kosong, sih, Mas, saya juga lagi kosong!" tawar Sinta nggak mau kalah, sambil berusaha duduk lebih deket dengan Chandra.
Sedang Chandra cuma mesam-mesem penuh kemenangan. Serasa Pangeran Abu yang dikelilingi para selirnya.
Sedang Sandra punya taktik lain. "Terus terang, ya, Mas, saya emang udah punya pacar. Tapi pacar saya lagi sekolah di Amerika. Pulangnya jarang. Lagian saya udah mulai bosen sama dia. Sejak di Amerika kelakuannya jadi makin norak dan kampungan. Kalo ada kesempatan, sih, saya mau geser posisi dia, nyari gantinya. Gimana kalo Mas Chandra""
Chandra cuma mesem, dan pindah dari satu cewek ke cewek lain. Belakangan tanpa sungkan lagi Chandra langsung nyamperin Olga yang lagi asyik duduk sendiri di bawah pohon palem sambil baca-baca koran berbahasa Jawa. Para cewek itu begitu tau Chandra nyamperin Olga jadi pada nginyem. Mereka pun mulai ngegosip yang nggak jelas.
"Yah, Chandra memang ngebet banget sama Olga. Sejak tadi mata Chandra memang selalu mengarah ke Olga. Ternyata Chandra agak kurang tertarik sama cewek-cewek yang mengerumuninya. Sebetulnya mereka lumayan cantik. Tapi ka"ena dijual kelewat murah, Chandra jadi kurang selera.
"Sendiri daripada aja, Non"" sapa ramah Chandra.
"Yo-a!" jawab Olga tanpa menoleh sedikit pun dari koran yang dibacanya.
"Saya liat daripada tadi kamu belon makan. Apa nggak daripada raper" Kita makan daripada bareng, yuk, sambil ngomongin daripada kemungkinan kamu jadi penyiar di sini."
"Males, ah!" jawab Olga pendek.
"Lho, apa kamu nggak tertarik jadi daripada penyiar""
"Ya tertarik, sih, makanya saya ke sini."
"Kalo tertarik, saya bisa usahain keinginan daripada kamu itu."
"Nggak, ah!" "Lho kenapa nggak" Saya punya daripada hubungan yang sangat luas di sini. Saya bisa bilang ke Pak Sanjaya, kalo kamu daripada berbakat. Saya jamin daripada kamu pasti masuk! Tapi tentu ada syaratnya."
"Syarat apa"" tanya Olga sedikit tertarik.
"Kamu masih kosong, kan""
"Kalo masih kosong, emangnya kenapa""
""Saya juga masih kosong, nih!"
Olga pasang mimik kaget. "Astaga sebangkotan ini Mas masih kosong juga" Saya bisa bantu Mas pasang iklan ke biro jodoh, kalo mau""
Chandra cemberut. Sebetulnya Chandra mau ngomong sesuatu, tapi tiba-tiba sepotong tangan yang kukunya panjang-panjang menarik Chandra.
"Sebentar, ya, kita pinjem dulu," tukas Sandra yang udah nggak bisa menguasai diri lagi.
Olga mengangguk semangat, seolah terlepas dari bencana. Sebentar kemudian Chandra pun sudah dikepung oleh para cewek yang memujanya. Ke cewek-cewek itu Chandra ngomong persis seperti yang dia omongin ke Olga. Jelas cewek-cewek itu jadi makin salut sama Chandra. Cewek-cewek yang lagi dimabuk popularitas itu, betul-betul lupa kalo yang Chandra omongin bisa aja sebetulnya cuma gombal doang. Olga cekikikan. Yah, bukannya Olga sok, tapi Olga udah kelewat sering nemuin cowok model Chandra. Jadi Olga udah pengalaman, dan nggak mungkin Olga terjebak lagi.
"*** "Kira-kira pukul setengah lima Chandra nampak tak berani beredar lagi. Ia mengunci diri rapat-rapat di kakus. Sementara para cewek terus melontarkan makian, sambil sesekali ada yang nekat menendang-nendang pintu WC pake ujung sepatunya yang lancip.
"Dasar gombal, lo! Ngomong doang sebakul, tapi hasilnya nggak ada!" maki Sri Heruni.
"Selokan mampet!" semprot Sandra. "Tukang obral janji!"
Sedang Sinta hampir menangis karena kesal. Ternyata para cewek yang tadi manis-manis dan penuh rayuan itu, bisa berubah jadi drakula begitu hasil screen test diumumin. Yah, mereka pantes marah, sebab setelah mentraktir dan merayu Chandra abis-abisan, toh nama mereka nggak tercantum di papan pengumuman sebagai peserta yang lulus.
Di pojokan yang agak sepi, sambil membenahi tasnya Olga terus cekik
ikan. Olga senang, karen" dialah satu-satunya peserta yang lulus. Olga juga senang karena berhasil membuktikan bahwa omongan Chandra sebetulnya cuma gombal biasa.
Waktu Olga melangkahkan kakinya ke luar, Olga melihat cewek-cewek yang centil tadi mencegat taksi sambil ngomel-ngomel. Olga bergumam, "Saatnya mikirin isi daripada bungkusnya...." .
" 6. ADUH, RUWETNYA! SEPULANG sekolah Olga gak langsung pulang, atau mampir ke Radio Ga Ga kayak biasa-biasanya, tapi langsung ke kantor teve swasta yang kantor daruratnya berdempetan dengan pasar swalayan. Ya, ini hari pertama Olga kerja di teve swasta yang namanya masih ragu-ragu antara SMTM TV dan SSGSM TV itu. SMTM TV adalah kependekan dari Sekali Mengudara Tetap Mengudara lah ya.... Sedang SSGSM TV adalah Seneng Setel Gak Seneng Matiin.
Asmara Janda Liar 2 Pendekar Rajawali Sakti 141 Dendam Gadis Pertapa Tiga Dara Pendekar 30

Cari Blog Ini