Ceritasilat Novel Online

Sepasang Ular Naga 10

Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja Bagian 10


Pranaraja tidak mau justru terjerumus ke dalam kesulitan. Jika
masalahnya diketahui oleh Mahisa Agni, maka tentu ialah yang akan
lebih dahulu terbunuh. 560 "Tentu usaha untuk membunuh Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka itu telati diketahui lebih dahulu oleh orang-orang yang
kemudian melindunginya," berkata Pranaraja di dalam hati. Dan ia
pun tidak mempunyai sasaran lain kecuali Mahisa Agni. Apa lagi
kemudian Lembu Ampal pun telah hilang pula dari istana.
"Lembu Ampal tentu sudah berkhianat dan berhubungan dengan
Mahisa Agni untuk menyelamatkan kedua anak-anak itu."
Tetapi ternyata ia tidak lagi dapat berbicara dengan Tohjaya.
Tohjaya semakin lama nampak menjadi semakin murung. Dan
semakin lama sifat pemarahnya semakin menjadi-jadi.
Setiap kali Tohjaya tentu berteriak-teriak dan membentakbentak.
Orang-orang yang sebelumnya sangat dekat dengannya dan
yang selalu diajaknya berbicara mengenai bidang masing-masing
pun tidak luput dari sifatnya yang aneh itu.
Hampir setiap orang selalu nampak bersalah di matanya. Para
panglima pun menjadi bingung, bagaimana melayani Tohjaya yang
semakin aneh. Paseban tidak lagi menarik baginya. Bahkan seolaholah
Tohjaya tidak mau berbicara di dalam sidang. Apalagi sidang
yang besar. "Kenapa Tuanku Tohjaya seakan-akan berubah mengasingkan
dirinya," berkata panglima pelayan dalam kepada kawannya, para
panglima yang lain. Kawan-kawannya hanya dapat menggelengkan kepalanya.
"Ada perubahan sifat yang jelas padanya," desis yang lain pula.
Namun dalam pada itu Pranaraja berkata pula di antara mereka,
"Mungkin ada sesuatu yang sedang mengganggu ketenangan
pikirannya. Pada saatnya ia tentu akan segera pulih kembali, dan
semuanya akan berjalan seperti biasa. Ia masih terlalu muda untuk
menghadapi Singasari yang besar."
"Tetapi arah perkembangannya agaknya berlawanan dengan
sifat-sifatnya terdahulu. Kami pernah mencemaskan bahwa ia akan
menjadi seorang raja yang terlalu membanggakan diri pada
561 kekuasaannya. Bahkan mungkin agak sewenang-wenang. Tetapi
ternyata sebaliknya. Kini ia lebih senang mengurung diri meskipun
sifat pemarahnya justru berkembang dengan cepatnya."
"Ia sangat mudah tersinggung dan seolah-olah kehilangan
kepercayaan kepada diri sendiri," desis seorang senapati.
"Kalian keliru," sahut Pranaraja, "semuanya itu akan segera
berakhir. Kalian tidak usah cemas."
Para panglima dan senapati itu mempercayainya. Karena itu
mereka dengan sabar menunggu, pada saatnya Tohjaya akan
sembuh dari s ifat-sifat anehnya.
Tetapi ternyata perhitungan mereka itu keliru. Tohjaya justru
semakin lama semakin murung. Semakin dicengkam oleh sifat-sifat
pemarahnya. Dan para pemimpin Singasari itu pun menjadi semakin heran
karena Tohjaya pun semakin lama nampak semakin jauh dari
ibundanya. Ibundanya yang sebelumnya adalah orang yang sangat
dekat dengannya. Ibundanya yang seolah-olah memegang kendali
atasnya. Dengan demikian orang-orang di dalam pemerintahan mulai
memperbandingkan Tohjaya yang pemarah itu dengan Anusapati
yang telah terbunuh. Meskipun pada umumnya mereka yang kini
berkuasa adalah orang-orang yang telah bersepakat untuk
menyingkirkan Anusapati, namun sifat-sifat Tohjaya yang semakin
aneh itu telah membingungkan mereka. Bahkan seorang dua orang
pemimpin yang berkuasa mulai dijalari oleh perasaan kecewa. Dan
terlebih-lebih dari itu mereka mulai menyesal, bahwa dengan
demikian Singasari tidak berkembang justru menjadi semakin suram
dan susut. Dalam pada itu Ken Umang pun menjadi seperti orang yang
kebingungan. Setiap hari ia selalu gelisah. Ia tidak lagi
menghiraukan anak-anaknya yang lain. Setiap kali ia mencoba untuk
bertemu dengan Tohjaya. Tetapi setiap kali Tohjaya telah
menghindar dan bahkan membentak-bentak dan berteriak-teriak.
562 Dengan demikian, maka Ken Umang pun lalu menjadi terasing
karena tingkahnya sendiri. Bahkan ia seolah-olah selalu diserang
oleh perasaan malu. Jika Ken Umang bertemu dengan Pranaraja, maka ia pun selalu
bertanya, "Kenapa kau belum berhasil membinasakan Mahisa Agni"
Apakah kau menunggu kau sendiri terbunuh?"
"Tuan Putri," jawab Pranaraja, "keadaan ini lambat laun telah
berubah. Hamba tidak mengerti, apakah sebabnya Tuanku Tohjaya
kini bertabiat aneh."
"Omong kosong! Anakku tidak apa-apa."
"Apakah Tuan Putri tidak merasakan perubahan itu" Tuan Putri,
tuan adalah ibundanya. Barangkali Tuan Putri dapat berbuat jauh
lebih banyak dari kami semuanya. Barangkali Tuan Putri dapat
mengetahui sebabnya, sehingga kami bersama-sama akan dapat
berusaha memulihkan kegembiraannya, gairah hidupnya dan
terlebih lagi bagi kepentingan Singasari."
Ibunda Tohjaya tidak segera menyahut.
"Tuan Putri, Tolonglah kami. Tolonglah rakyat Singasari yang
menjadi bingung dan tidak menentu."
Ken Umang masih saja termenung.
"Tentu Tuan Putri dapat melakukannya, karena Tuan Putri adalah
ibundanya. Tentang Mahisa Agni, serahkanlah kepada kami. Kami
akan selalu berusaha. Jika Tuanku Tohjaya mendapatkan gairah
hidupnya kembali, maka kami akan segera melakukannya.
"Bohong!" bentak Ken Umang, "Kalian akan menipu aku. Jika
kalian memang dapat membunuh Mahisa Agni, bunuhlah. Tentu
Tohjaya akan menjadi gembira, karena musuhnya yang paling
berbahaya telah lenyap, seperti lenyapnya dua anak yang sampai
saat ini tidak terdengar kabar beritanya itu lagi."
"Tetapi Tuanku Tohjaya tidak pernah menyetujui pembunuhan
atas Mahisa Agni itu."
563 "Bohong, bohong. Lakukanlah, dan aku akan membujuk Tohjaya
agar ia meninggalkan sifatnya yang baru tumbuh itu. Dan hal itu
tentu bukan karena sifat-sifatnya dan pembawaannya. Tentu hanya
karena ada sesuatu sebab. Dan sebab itu adalah Mahisa Agni."
Dalam pada itu Pranaraja semakin terdorong ke dalam kesulitan.
Tohjaya sama sekali tidak lagi dapat diketahui kehendaknya dengan
pasti. Sedang usaha untuk membunuh Mahisa Agni seperti yang
diperintahkan oleh Ken Umang, kadang-kadang membayanginya
seperti hantu yang siap mencekik lehernya. Melakukan atau tidak
melakukan, Pranaraja merasa dirinya terancam oleh Mahisa Agni
yang meskipun nampaknya tidak ingin berbuat apa-apa. Tetapi
justru karena ia masih saja nampak tenang-tenang di istana
Singasari bersama pengawalnya itulah, maka Pranaraja merasa
dirinya dikejar oleh kegelisahan yang sangat.
"Apakah Mahisa Agni mengetahui, bahwa akulah yang mula-mula
mendorong Tuanku Tohjaya untuk membunuh Ranggawuni dan
Mahisa Cempaka?" ia selalu dikejar oleh pertanyaan itu. Dan setiap
kali Pranaraja merasa bahwa tangan-tangan Mahisa Agni seolaholah
telah mencengkamnya. Namun kadang-kadang ketakutannya itulah yang telah
memaksanya untuk berteriak di dalam hatinya sendiri, "Aku harus
membunuhnya. Harus!"
Selagi Pranaraja dicengkam oleh kegelisahan dan ketakutan itu,
maka di padukuhan terpencil Lembu Ampal berusaha
menyembunyikan dirinya. Setelah beberapa saat ia terpisah dari
kehidupan di istana, maka ia pun mulai jemu dengan kehidupannya
yang terpencil itu. Namun Lembu Ampal masih juga selalu dibayangi
oleh ketakutan dan kecemasan.
Di dalam angan-angan Lembu Ampal selalu nampak prajuritprajurit
Singasari mencarinya dari pintu ke pintu. Bukan saja di
dalam kota, tetapi juga di pedesaan dan padukuhan-padukuhan
terpencil. 564 Lembu Ampal sama sekali tidak mengetahui bahwa Tohjaya
seakan-akan sudah tidak mengacuhkannya lagi. Lembu Ampal sama
sekali tidak membayangkan bahwa Tohjaya telah berubah menjadi
seorang yang hidupnya dipenuhi oleh kekecewaan, malu dan rendah
diri karena sifat-sifat ibunya. Namun untuk menutupi perasaan itu,
ia justru menjadi seorang pemarah yang tidak tahu apa yang
sebaiknya dilakukan. Perintahnya meledak-ledak tanpa arah, dan
hubungannya dengan para pembantunya, para panglima yang
pernah mendukungnya menjadi semakin tidak teratur lagi.
Untunglah bahwa para panglima yang sudah terlanjur
melangkahkan kaki mereka di belakang Tohjaya, masih bersabar.
Mereka menganggap bahwa Tohjaya sedang dihinggapi oleh
perasaan bersalah atas kematian Anusapati. Namun pada saatnya ia
akan menjadi tenang dan akan memerintah Singasari dengan
sebaik-baiknya. Dalam kegelisahan dan kejemuan itulah maka Lembu Ampal
menilai keadaan dirinya. Ia tidak dapat mengabaikan Mahisa Agni.
Hilangnya kedua anak-anak yang harus dibunuhnya itu, tentu atas
usaha Mahisa Agni pula. "Tidak ada orang yang mampu melakukannya selain Mahisa Agni.
Adalah mustahil bahwa seseorang dapat melemparkan kedua anakanak
itu keluar halaman istana tanpa diketahui oleh penjaga. Baru
setelah mereka berada di luar, kebetulan seorang penjaga melihat.
Seseorang melintasi jalan," katanya di dalam hati.
Dengan demikian Lembu Ampal merasa dirinya bukan saja
dikejar oleh prajurit-prajurit istana karena ia lari dari tugasnya,
tetapi ia merasa ngeri juga setiap ia mengenangkan nama Mahisa
Agni. "Jika Mahisa Agni mengetahui bahwa Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka ada di dalam bahaya, maka ia pun tentu tahu bahwa
akulah yang akan melakukannya. Pendeta itu tentu mengatakan
selengkapnya." 565 Karena itulah maka Lembu Ampal tidak pernah merasa tenang
tinggal di satu tempat dalam waktu yang cukup lama. Ia selalu
berpindah-pindah dari padukuhan yang satu ke padukuhan yang
lain. Kadang-kadang ia berganti nama dan kadang-kadang ia
berusaha mengubah wajahnya dengan membiarkan kumis dan
janggutnya tumbuh tidak teratur. Namun kemudian memotongnya
dan memeliharanya dengan rapi.
Dalam kegelisahan itulah maka kemudian Lembu Ampal menjadi
seorang pengembara. Ia pergi tanpa tujuan. Ia mempergunakan
nama yang berbeda-beda dan bentuk yang berubah-ubah. Ia
menyusuri jalan-jalan pedesaan yang sepi dan bahkan sampai ke
pinggir hutan. Menjelajahi padepokan-padepokan yang tidak dikenal
namanya dan kadang-kadang bermalam di tempat-tempat yang
tidak diketahuinya sendiri.
"Aku telah diburu oleh dosa-dosaku sendiri," keluhnya di dalam
hati, "meskipun aku belum melakukannya, tetapi kesediaanku
menerima tugas itu telah membuat aku terlempar dari kehidupan
yang wajar ini." Karena itu maka Lembu Ampal berusaha untuk menebus dosanya
dengan berbuat kebaikan. Di perjalanan ia melakukan tapa ngrame.
Ia menolong setiap orang yang memerlukan pertolongannya,
apapun juga. Sementara itu, ia pun telah berusaha di setiap perjumpaannya
dengan kejahatan, untuk membasminya. Sebagai seorang prajurit
Lembu Ampal mempunyai bekal yang cukup. Ia adalah seorang
yang berilmu tinggi, karena ia adalah seorang senapati terpilih di
Singasari. Dalam pada itu. di dalam pengembaraannya, tidak disadarinya,
Lembu Ampal semakin lama justru semakin mendekati padepokan
Witantra. Tempat kedua anak-anak muda yang dilarikan dari istana
Singasari itu bersembunyi. Sebagai seorang perantau maka Lembu
Ampal telah berubah sama sekali. Tidak seorang pun yang
mengenalnya, bahwa ia adalah seorang senapati pilihan dari
Singasari. 566 Setiap padukuhan yang terpencil memang sangat menarik
perhatian Lembu Ampal. Kadang-kadang ia menemukan sesuatu
yang baru di dalam hidupnya. Di padukuhan atau padepokan kecil
dan terpencil ia menemukan manusia yang mendambakan suara
nurani kemanusiaannya. Manusia yang hidup dalam jalinan yang
erat. Mendatar dan meninggi. Antara sesama manusia dan
hubungan dengan Penciptanya.
Lembu Ampal berjalan terus.
Namun sekali-kali Lembu Ampal masih juga harus
mempergunakan kekerasan. Jika ia menemukan perampokperampok
yang tanpa belas kasihan mengganggu penduduk yang
memang sudah hidup dalam kesederhanaan, maka ia pun telah
berbuat sesuatu, meskipun seandainya harus menimbulkan
kematian. Karena dengan demikian Lembu Ampal merasa bahwa
dirinya telah ikut serta membantu berkurangnya kejahatan.
Tetapi pada suatu saat, Rasa-rasanya dada Lembu Ampal
terguncang. Ketika ia berjalan menyusuri pinggir hutan yang tidak
terlampau lebat, ia melihat tiga orang berjalan beriringan. Seorang
yang sudah setengah umur, sedang kedua yang lain justru masih
terlampau muda. Sekilas orang yang setengah umur itu memandang kepadanya.
Namun perhatiannya pun kemudian terlempar ke arah yang lain.
Agaknya orang itu menganggapnya seorang yang sedang bepergian
jauh, atau seorang perantau yang berjalan tanpa tujuan.
Tetapi dalam pada itu, kehadirannya di tempat itu telah
membuatnya jadi sangat gelisah. Kedua anak-anak itu ternyata
adalah Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
"Gila!" desis Lembu Ampal, "Ternyata kedua anak-anak itu
bersembunyi di tempat ini."
Namun kemudian timbul persoalan di dalam dirinya, "Apakah
yang seharusnya aku lakukan?"
567 Lembu Ampal menjadi bimbang. Dari kejauhan ia mengikuti
ketiga orang itu melintasi pematang. Kemudian menuju ke sebuah
padepokan kecil tidak jauh dari hutan rindang itu.
"Aku dapat membunuhnya," Lembu Ampal menggeram.
Namun ia pun kemudian terlempar dalam pertentangan di dalam
dirinya sendiri. Sudah beberapa lama ia merantau dan berusaha
berbuat kebajikan karena ia merasa dikejar oleh dosa-dosanya.
Namun ketika ia melihat kedua anak-anak itu di sebuah padepokan
kecil, maka ia telah diguncang lagi oleh nafsu manusiawi yang
memang sudah ada di dalam dirinya.
"Jika aku dapat membunuhnya dan membawa bukti
kematiannya, aku akan dapat kembali ke Singasari. Aku akan
menunjukkan kesetiaanku kepada Tuanku Tohjaya," berkata Lembu


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ampal di dalam hatinya. Namun yang kemudian dibantahnya
sendiri, "Sudah sekian lama aku berbuat kebajikan. Apa salahnya
jika aku pura-pura saja tidak tahu. bahwa keduanya ada di tempat
yang terpencil ini."
Lembu Ampal justru menjadi bingung. Karena itu, maka ia pun
kemudian justru masuk ke dalam hutan dan duduk bersandar
sebatang pohon. Ia ingin menemukan keputusan yang mantap.
Apakah yang sebaiknya dilakukannya.
Sejenak Lembu Ampal mencoba merenungi dirinya sendiri.
Kehidupan selama ini. Berjalan dari satu tempat ke tempat yang
lain. Bersembunyi dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain
menghindari pengamatan petugas-petugas sandi dari Singasari dan
mungkin juga Mahisa Agni.
"Sudah cukup lama aku menderita," katanya kepada diri sendiri,
"dan sudah cukup banyak aku berbuat kebaikan. Apa salahnya jika
aku sekarang memikirkan diriku sendiri. Jika aku berhasil
membunuh keduanya, maka aku akan dapat kembali ke Singasari.
Bahkan mungkin aku akan menerima hadiah. Aku akan hidup
sebagai seorang senapati yang terhormat. Aku tidak perlu lagi
568 ketakutan dikejar oleh petugas-petugas sandi atau oleh Mahisa
Agni, karena ia berada di lingkungan keprajuritan."
Lembu Ampal menggeretakkan giginya. Dihentakkannya
tangannya sambil menggeram, "Aku harus membunuhnya."
Tetapi tiba-tiba ia teringat kepada Mahisa Agni. Katanya
kemudian, "Apakah Mahisa Agni ada di padepokan ini pula?"
Sejenak Lembu Ampal termangu-mangu. Namun kemudian ia
berdesis, "Tentu Mahisa Agni tidak berada di padepokan ini. Tempat
ini tentu sekedar menjadi tempat persembunyian saja."
Tetapi Lembu Ampal tidak segera dapat mengambil sikap.
Persoalan yang lain segera menyusul berurutan. Bukan persoalan
duniawi semata-mata, tetapi sudah sekian lamanya ia merasa
berjalan semakin dekat dengan Yang Maha Agung.
"Apakah aku harus menjauhinya lagi."
Namun demikian, rasanya ada sesuatu yang mengikatnya di
tempat itu. Ternyata bahwa Lembu Ampal tidak berhasrat untuk
segera meninggalkan tempat itu. Rasa-rasanya ia masih ingin
mengetahui, apakah Mahisa Agni ada di padukuhan itu atau tidak.
"Persetan!" ia menggeram, "Aku sudah jemu hidup seperti
serigala liar. Aku ingin kembali ke Singasari sebagai seorang
senapati besar. Aku ingin hidup di lingkungan istana kembali,
dikelilingi oleh serba kebendaan yang menyenangkan. Di daerah
perantauan aku hidup seperti seekor burung di udara. Kadangkadang
hinggap sehari dua hari, kemudian terbang lagi mencari
sesuap makanan." Lembu Ampal tiba-tiba mengepalkan tinjunya. Dipukulnya
sebongkah batu padas dengan sepenuh kekuatannya, sehingga batu
padas itu menjadi pecah berserakan.
"Tanganku masih cukup kuat. Ilmuku masih cukup mapan untuk
membunuh kedua kelinci itu. Tanpa Mahisa Agni keduanya adalah
kelinci-kelinci yang malang."
569 Tiba-tiba Lembu Ampal telah dicengkam oleh nafsu duniawinya
kembali. Jika selama ini ia sudah melakukan tapa ngrame, menolong
setiap insan yang memerlukan pertolongannya, bukan saja
seseorang, tetapi juga menolong seekor katak yang akan disergap
oleh seekor ular, kini ialah yang telah siap untuk menyergap
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Dengan membawa bukti
kematian kedua anak-anak itu, maka ia akan dapat kembali ke
istana dengan sebutan kebesarannya.
Satu dua hari Lembu Ampal mempergunakannya untuk
menyelidiki apakah Mahisa Agni ada di pedesaan itu.
Ternyata ia tidak pernah melihat Mahisa Agni ada di antara
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Setiap kali Ranggawuni dan
Mahisa Cempaka hanya ditemani oleh seseorang yang belum
dikenalnya dengan baik. Ketika Lembu Ampal melihat Ranggawuni dan Mahisa Cempaka
berjalan menuju ke bagian dalam dari hutan yang rindang itu, ia
menjadi heran. Apakah yang akan dikerjakannya" Kedua anak-anak
itu hanyalah ditemani oleh seorang yang setengah umur dan
nampaknya hanyalah seorang penghuni padepokan terpencil itu.
Kesempatan itu akan dipergunakan oleh Lembu Ampal
melakukan maksudnya. Tetapi tiba-tiba ia mengurungkan niatnya.
Ia ingin melihat, apa saja yang dilakukan oleh kedua anak itu.
Di tengah hutan rindang itu Ranggawuni dan Mahisa Cempaka
sudah siap untuk melakukan latihan seperti biasanya. Namun tibatiba
saja orang yang menemaninya itu berkata, "Hari ini kita tidak
akan berbuat apa-apa."
"Kenapa Paman?"
"Kita beristirahat. Kita melihat saja keadaan di hutan ini.
Meskipun kalian telah cukup lama ada di sini, tetapi kalian tentu
belum pernah melihat isinya sampai ke ujung."
"Hutan ini amat luas."
570 "Tidak. Hutan ini adalah hutan kecil. Tetapi jika kalian tidak ingin
menelusuri sampai ke ujung, baiklah kita kembali saja ke
padepokan." Ranggawuni dan Mahisa Cempaka sama sekali tidak mengerti.
Kenapa mereka tidak berbuat apa-apa sama sekali. Adalah di luar
kebiasaan, bahwa mereka tanpa sebab tidak melakukan latihan
apapun juga. Tetapi keduanya tidak membantah. Mereka mengikuti saja
kembali ke padepokan tanpa melakukan apa-apa.
Lembu Ampal termangu-mangu melihat ketiga orang itu pergi.
Sejenak ia berpikir. Tetapi ia tidak mengetahui apa yang sebenarnya
telah dilakukan oleh ketiganya.
"Aku terlampau bodoh," berkata Lembu Ampal agak menyesal,
"jika aku tidak dipengaruhi oleh keinginanku untuk mengetahui apa
saja yang mereka lakukan, maka aku sudah berhasil membunuh
mereka dan membawa bukti kematian mereka menghadap Tuanku
Tohjaya. Dan besok aku sudah diperkenankan memakai pakaian
kebesaranku dengan segenap kehormatan."
Namun demikian Lembu Ampal tidak kehabisan akal. Ia yakin,
bahwa anak-anak itu akan datang kembali. Atau setidak-tidaknya ia
akan mendapat kesempatan yang lain.
Dengan demikian, maka Lembu Ampal pun masih tetap
menunggu. Jika sekali lagi anak-anak itu pergi ke hutan, maka
mereka tentu akan segera disergapnya.
Di hari berikutnya, Lembu Ampal sudah mengawasi padepokan
itu dari kejauhan. Hatinya menjadi berdebar-debar ketika ia melihat
beberapa orang keluar dari padepokan itu pergi ke sawah. Ia
mengharap bahwa kedua anak-anak itu akan ada pula di antara
mereka. Tetapi ia menjadi kecewa. Ranggawuni dan Mahisa Cempaka
tidak beserta dengan orang-orang yang akan pergi ke sawah itu.
"Apakah anak-anak itu akan pergi ke hutan lagi?"
571 Dengan sabar Lembu Ampal menunggu. Ia selalu mengawasi
mulut padepokan itu. Sekejap pun ia tidak melewatkannya. Setiap
orang yang keluar dari padepokan tidak terlepas dari
pengawasannya. Tetapi kedua anak-anak itu masih belum dilihatnya.
"Apakah aku harus menyerbu masuk ke padepokan itu dan
langsung membunuhnya di sana?" ia bertanya kepada diri sendiri.
"Biarlah. Aku akan menunggu sampai lewat tengah hari. Jika
sampai lewat tengah hari kedua anak-anak itu belum juga keluar,
maka aku akan memasuki padepokan itu. Aku tidak peduli, bahwa
penduduknya akan menjadi ketakutan."
Namun ternyata Lembu Ampal tidak perlu menunggu sampai
lewat tengah hari. Tiba-tiba saja ia melihat kedua anak muda itu
berlari-lari. Di belakangnya orang yang dilihatnya kemarin menyertai
anak-anak muda itu ke hutan, berjalan pula di belakangnya.
"Jangan berlari-lari," berkata orang yang mengikutinya itu, "kita
pergi ke hutan. Jika aku tidak meleset, aku akan mencari seseorang
untuk menjadi kawan kita berlatih hari ini."
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka menjadi heran. Sehingga
Ranggawuni pun bertanya, "Siapa Paman?"
"Nanti aku akan memberitahukan."
Keduanya tidak mendesaknya lagi meskipun mereka masih tetap
ingin tahu. Pamannya itu tentu tidak akan mau memberitahukan
sampai saat yang dikehendakinya.
Dalam pada itu Lembu Ampal menjadi semakin berdebar-debar.
Kedua anak-anak itu benar-benar pergi ke hutan seperti dilihatnya
kemarin. "Aku tidak peduli apa saja yang dilakukannya Aku ingin
membunuhnya sekarang."
Dengan demikian maka Lembu Ampal pun merayap mengikuti
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Ia berlindung dan balik sebatang
572 pohon ke sebatang pohon yang lain, sehingga akhirnya ia melihat
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka berhenti di sebuah tempat
terbuka yang agak luas. "Apakah yang akan mereka lakukan?" bertanya Lembu Ampal
kepada diri sendiri. Sejenak Lembu Ampal menunggu sambil berlindung di sebuah
gerumbul yang agak lebat. Dari tempatnya ia dapat melihat tiga
orang yang berada di tempat yang terbuka itu.
Tetapi Lembu Ampal tidak melihat mereka berbuat sesuatu.
Mereka bertiga pun kemudian duduk berhadapan sambil berbicara.
Tetapi Lembu Ampal tidak dapat mendengar pembicaraan mereka
dari tempatnya bersembunyi.
"Gila!" desis Lembu Ampal, "Aku tidak peduli. Sudah saatnya aku
bertindak. Besok aku tentu akan disambut dengan penuh
kehormatan di Singasari."
Lembu Ampal telah benar-benar melupakan penyesalan yang
pernah mencengkam hatinya, seakan-akan ia merasa telah dikejar
oleh perasaan berdosa, sehingga tidak ada lagi tempat untuk
bersembunyi baginya. Namun ketika kedua orang anak-anak muda
itu telah berada di depan hidungnya, maka semuanya itu tidak lagi
membekas di dadanya. Sejenak Lembu Ampal menunggu. Tetapi karena ketiganya masih
saja duduk sambil berbicara perlahan-lahan, maka ia menjadi tidak
bersabar lagi. Karena itu, maka ia pun segera bersiap untuk
menerkam Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
Sementara itu, Ranggawuni dan Mahisa Cempaka masih saja
duduk tanpa mengetahui bahaya yang mengancamnya. Bahkan
Ranggawuni pun kemudian bertanya, "Paman, apakah kita hanya
akan duduk diam saja?"
"Tunggulah sejenak. Aku sudah mendengar sesuatu."
Ranggawuni menjadi heran. Dan Mahisa Cempaka pun bertanya,
"Paman mendengar apa?"
573 "Seperti yang aku dengar kemarin. Desah nafas yang selalu
mengikuti kita," sejenak ia berhenti, lalu, "nah bersiaplah. Orang
yang akan menemani kita latihan sudah siap untuk menjerang."
Sekali lagi ia berhenti dan terdengarlah kemudian aba-aba dari
mulutnya, "Cepat berdiri! Menghadap ke timur. Berpencaran dua
langkah." Ranggawuni dan Mahisa Cempaka sudah beberapa lama
mengikuti latihan-latihan yang berat. Aba-aba semacam itu sudah
sering didengarnya dan dilakukannya dengan baik. Demikian ketika
mereka mendengar aba-aba itu, maka mereka pun dapat
melakukannya dengan baik. Keduanya serentak meloncat berdiri,
menghadap ke timur dan meloncat pula masing-masing dua langkah
saling menjauhi. Pada saat itulah Lembu Ampal meloncat dari persembunyiannya
untuk menerkam anak-anak itu. Tetapi melihat sikap Ranggawuni
dan Mahisa Cempaka, Lembu Ampal terkejut bukan buatan,
sehingga untuk beberapa saat ia berdiri termangu-mangu.
Dalam pada itu, Ranggawuni dan Mahisa Cempaka pun terkejut
melihat seseorang yang meloncat dengan senjata telanjang di
tangannya. Namun sesaat kemudian terdengar suara Ranggawuni,
"Paman Lembu Ampal."
Lembu Ampal tidak menjawab. Dipandanginya Ranggawuni
dengan tajamnya. Ranggawuni dan Mahisa Cempaka yang sama sekali tidak tahu
menahu tentang maksud Lembu Ampal itu pun kemudian
melangkah mendekatinya. Mahisa Cempakalah yang kemudian
bertanya, "Paman, kenapa Paman berada di sini" Hampir aku tidak
dapat mengenal Paman lagi. Keadaan Paman rasa-rasanya sudah
sangat berubah. Wajah Paman ditumbuhi janggut dan kumis. Tetapi
aku tidak lupa pada tatapan mata Paman yang tajam. Dan, yang
membuat aku segera teringat akan Paman, adalah bentuk hidung
Paman yang agak lain dari hidung kebanyakan orang. Mancung, dan
sedikit melengkung."
574 Mahisa Cempaka tertawa. Ranggawuni pun tertawa pula.
"Apakah Paman memang mendapat perintah untuk mencariku"
Kasihan. Paman tentu sudah berjalan sangat jauh, sehingga pakaian
Paman sudah menjadi kumal. Bahkan sudah bukan pakaian seorang
prajurit lagi," berkata Ranggawuni kemudian.
Lembu Ampal tidak segera dapat menjawab. Dipandanginya
kedua anak-anak muda yang nampaknya masih terlampau bening
hatinya. Keduanya sama sekali tidak berprasangka apapun
kepadanya. Namun demikian yang sangat mengherankan bagi
Lembu Ampal, kenapa keduanya dengan cepat dapat mengenalinya.
Meskipun hidungnya agak lain dari hidung kebanyakan orang,
namun orang lain akan memerlukan waktu untuk dapat
mengenalnya kembali. "Ternyata keduanya memiliki kecerdasan ingatan yang luar
biasa," berkata Lembu Ampal di dalam hatinya.
"Paman," desak Mahisa Cempaka, "kenapa Paman justru menjadi
patung. Kami adalah Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Apakah
Paman lupa?" "Tidak, tidak. Tuanku adalah Ranggawuni dan Mahisa Cempaka."
"Nah, sekarang, aku ingin tahu, kenapa Paman ada di sini
sekarang?" Lembu Ampal tidak segera menjawab. Di dalam dadanya telah
terjadi pergulatan yang sengit. Namun tiba-tiba ia menggeretakkan
giginya sambil berkata di dalam hatinya, "Persetan! Bahwa aku
bertemu dengan keduanya di sini adalah karunia. Agaknya waktu
prihatin memang telah lampau, dan aku akan mendapat
kesempatan untuk menikmati kebesaranku kembali."
Karena Lembu Ampal tidak segera menjawab, maka Ranggawuni
pun berkata pula, "Paman, siapakah yang memerintahkan Paman
datang ke tempat ini" Barangkali mencari aku?"
Lembu Ampal menghentakkan tangannya. Ia tidak mau
terpengaruh lagi. Ia harus membunuh keduanya.
575 "Tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Sebenarnyalah


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa hamba harus mencari Tuanku."
"Oh," desis Mahisa Cempaka, "Siapakah memerintahkan Paman
kemari dan dari mana Paman tahu bahwa aku ada di sini?"
Lembu Ampal termangu-mangu sejenak, lalu, "Semua orang
mencari Tuanku berdua. Terutama ibunda Tuanku. Hamba telah
mendapat perintah dari ibunda Tuanku untuk mencari. Tidak
seorang pun yang tahu bahwa Tuanku ada di sini. Karena itu,
sebaiknya Tuanku segera kembali. Biarlah hamba
mengantarkannya." Ranggawuni dan Mahisa Cempaka termangu-mangu sejenak.
Kemudian dipandanginya seorang yang berdiri sambil menyilangkan
tangannya di dada. "Paman, apakah benar Paman Lembu Ampal mendapat perintah
dari Ibunda?" Orang itu tersenyum. Katanya, "Ki Sanak. Baiklah aku
memperkenalkan diri. Aku adalah penghuni padepokan ini. Dan dari
kedua anak-anak muda ini aku mengenal namamu. Lembu Ampal."
"Ya. Namaku Lembu Ampal," sahut Lembu Ampal, "aku adalah
seorang senapati. Kedua anak-anak muda ini tentu mengetahuinya."
"Ya, keduanya sudah menyebut namamu dan jabatanmu. Mereka
mengatakan bahwa Ki Sanak adalah seorang prajurit."
"Karena itu, biarlah aku membawa keduanya."
"Nanti dahulu. Jangan tergesa-gesa. Aku akan mempersilakan Ki
Sanak singgah sebentar di padepokan. Biarlah aku
membicarakannya dengan Kakang tentang kedua anak-anak muda
ini. Aku kira, jika benar-benar kau mendapat perintah untuk
mengambilnya, Kakang tidak akan berkeberatan."
Lembu Ampal termangu-mangu sejenak. Namun rasa-rasanya ia
selalu dikejar oleh waktu. Ia ingin cepat selesai dan kemudian cepat
kembali ke Singasari. 576 Karena itu maka ia pun menjawab, "Aku kira tidak perlu Ki Sanak.
Aku tidak perlu singgah di padepokanmu. Aku minta diri untuk
membawa kedua anak-anak ini."
"Ah, kau aneh. Keduanya harus minta diri dahulu. Keduanya
harus mempersiapkan diri dan pakaian mereka. Mereka tentu tidak
akan dapat pergi begitu saja tanpa bekal apapun. Mungkin kita
orang-orang tua tidak banyak terganggu perasaan lapar dan haus di
perjalanan. Tetapi kanak-kanak?"
"Banyak minuman dan makanan di sepanjang jalan. Seperti saat
ia pergi, maka keduanya pun tidak membawa bekal apa-apa sama
sekali." "Oh. Tetapi, kenapa mereka harus kembali setelah mereka pergi
dengan tergesa-gesa dan tanpa membawa apapun juga?"
"Itu bukan persoalanmu," Lembu Ampal berhenti sejenak lalu,
"sebaiknya kau tidak mempersoalkannya lagi. Aku akan membawa
keduanya." "Aku tidak dapat melepaskan Ki Sanak. Aku adalah
pemomongnya di sini."
"Aku pemomongnya di istana."
Tetapi tiba-tiba saja Ranggawuni berkata, "Ah. Paman bergurau.
Bukankah Paman seorang senapati" Tentu bukan seorang
pemomong di istana. Paman adalah pemomong sepasukan prajurit
di medan perang." Wajah Lembu Ampal menegang. Namun jantungnya berdesir
ketika ia melihat wajah Ranggawuni yang bersih bening. Kata-kata
itu diucapkan tanpa prasangka apapun juga.
Namun Lembu Ampal menghentakkan tangannya sambil berkata,
"Aku tidak mempunyai banyak waktu. Minggirlah!"
Lalu katanya kepada Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, "Marilah
Tuanku berdua. Hamba akan membawa Tuanku kembali ke istana."
577 Ranggawuni dan Mahisa Cempaka menjadi termangu-mangu.
Sementara itu orang setengah umur yang menyertainya berkata,
"Kedua anak-anak itu sudah mengerti, apa yang akan terjadi atas
dirinya jika mereka kembali ke istana. Itulah sebabnya keduanya
melarikan diri. Bahkan sampai saat ini pun keduanya masih selalu
dikejar-kejar." Ia berhenti sejenak, lalu, "Ki Sanak, kenapa kau mencari
keduanya sampai ke tempat terpencil itu" Kenapa kau tidak
membiarkannya hidup tenang di sini" Keduanya tidak mempunyai
kesalahan apapun juga."
Wajah Lembu Ampal menjadi tegang. Sejenak ia termangumangu.
Namun kemudian katanya, "Jadi kau sudah mengetahui
tentang kedua anak-anak itu, Ki Sanak" Kau mengetahui bahwa
keduanya harus dibunuh?"
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka terkejut mendengar
pengakuan Lembu Ampal yang tiba-tiba. Meskipun mereka
menyadari bahaya yang mengancam, tetapi mereka semula tidak
menyangka bahwa Lembu Ampal yang datang dalam pakaian yang
kumal dan wajah yang kehitam-hitaman dibakar oleh sinar matahari
dan ditumbuhi oleh janggut dan kumis dengan tidak teratur itu
adalah dalam rangkaian usaha pembunuhan itu pula.
"Baiklah aku tidak akan berbelit-belit lagi," berkata Lembu Ampal,
"aku minta kedua anak itu. Aku akan membunuhnya dan membawa
bukti kematiannya kepada Tuanku Tohjaya."
Orang yang mengawani kedua anak-anak muda itu justru
tersenyum sambil berkata, "Sebaiknya kau berkata berterus terang.
Tetapi aku kira kedua anak-anak muda itu tidak akan membiarkan
dirinya terbunuh. Adalah haknya untuk membela diri mereka
sendiri." Lembu Ampal menjadi tegang. Tetapi juga Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka menjadi tegang. "Ki Sanak," berkata orang yang bersama kedua anak-anak muda
itu, "setiap makhluk hidup akan mempertahankan hidupnya secara
578 naluriah. Seekor kelinci akan mencoba melarikan dirinya dari kukukuku
anjing liar. Apalagi kedua anak-anak muda itu."
"Aku tidak peduli!" teriak Lembu Ampal, "Membela diri atau tidak,
keduanya akan aku bunuh."
"Kami bertiga Ki Sanak. Kau hanya seorang diri."
Lembu Ampal mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun
tertawa berkepanjangan. Katanya, "Apakah artinya kalian bertiga.
Apa artinya Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Mungkin kau
mempunyai sedikit kemampuan untuk mempertahankan diri
beberapa saat. Namun keduanya tidak akan dapat membantumu."
"Betapapun juga, kami akan bertahan. Jika perlu, aku akan
berkelahi, sementara kedua anak-anak muda itu sempat melarikan
dirinya." Sekali lagi Lembu Ampal tertawa. Katanya, "Setiap perlawanan
akan membuat kalian bertiga semakin menderita menjelang harihari
kematianmu." "Paman Lembu Ampal," tiba-tiba saja Ranggawuni memotong,
"aku tidak menyangka bahwa Paman adalah salah seorang dari
mereka yang akan mencelakai aku. Tetapi sebenarnyalah bahwa
kami tidak akan menyerah tanpa berbuat apa-apa."
Dan tiba-tiba saja Mahisa Cempaka menyela sambil memandang
kepada orang yang menyertainya, "Jadi orang inikah yang Paman
maksudkan sebagai kawan berlatih?"
Orang itu tersenyum. Katanya, "Ya, inilah yang aku maksud."
"Dari mana Paman tahu, bahwa ia berada di hutan ini?"
"Bukankah ia sendiri datang kepada kita?"
"Tetapi Paman tentu sudah tahu lebih dahulu. Sejak kita
memasuki hutan ini, Paman sudah mengatakan bahwa Paman akan
memberikan seorang kawan untuk berlatih."
579 Lembu Ampal terkejut mendengar pembicaraan itu. Ternyata
kedatangannya sudah diketahui terlebih dahulu. Dan itu sama sekali
tidak diduganya. Karena itu ia menjadi ragu-ragu. Siapakah yang sudah
melihatnya berkeliaran di padepokan ini" Tentu orang-orang dari
istana pula. Tidak ada orang lain yang dengan mudah mengenalnya
jika orang itu tidak mengenalnya sehari-hari
Namun dalam pada itu, sebelum ia sempat bertanya,
Ranggawuni telah berkata, "Paman Lembu Ampal. Sebenarnyalah
bahwa kedatangan Paman benar-benar membuat aku gembira.
Kehadiran salah seorang yang aku kenal dari lingkungan istana
memberikan sedikit obat kerinduan terhadap keluargaku. Tetapi
ternyata kedatangan Paman justru sebaliknya."
Ranggawuni berhenti sejenak, lalu, "Tetapi kami adalah anakanak
yang masih ingin hidup lebih lama lagi. Sudah tentu kami tidak
akan menyerahkan leher kami, meskipun kepada Paman Lembu
Ampal." Wajah Lembu Ampal menjadi merah. Anak-anak itu sudah berani
menantangnya berkelahi. Mereka dengan berani menengadahkan
wajah mereka memandang matanya. Mereka sama sekali tidak
menjadi gemetar ketakutan.
Harga diri Lembu Ampal sebagai seorang senapati telah
tersinggung. Ia berkeinginan, bahwa kedua anak-anak itu merengek
dan minta ampun. Jika demikian, barangkali hatinya akan menjadi
luluh dan mengurungkan niatnya. Tetapi anak-anak itu sudah
menantangnya dengan berani.
Karena itu, untuk menguatkan sikapnya, Lembu Ampal pun
menggeram, "Kalian akan mati karena kesombongan kalian.
Sebenarnya aku tidak sampai hati melakukannya. Tetapi karena
kalian menjadi sombong, aku akan membunuhmu segera."
Tiba-tiba saja Ranggawuni dan Mahisa Cempaka itu bergeser
saling menjauhi. Bahkan Mahisa Cempaka yang nampaknya selalu
tidak bersungguh-sungguh itu tertawa, "Kita benar-benar mendapat
580 kawan berlatih yang baik sekali. Aku tahu, Paman Lembu Ampal
adalah seorang senapati. Jika kami dapat, setidak-tidaknya bertahan
untuk beberapa saat lamanya, maka kami sudah memiliki
kebanggaan." Ranggawuni memandang adik sepupunya sejenak. Tetapi ia
menyadari bahwa itu adalah kebiasaannya.
Dalam pada itu kemarahan Lembu Ampal telah sampai ke
puncaknya. Karena itu, ia sama sekali tidak mempunyai
pertimbangan-pertimbangan lain lagi kecuali membunuh kedua
anak-anak itu, dan kemudian orang yang menyaksikan pembunuhan
itu. Dengan demikian Lembu Ampal tidak berbicara terlalu banyak.
Senjatanya masih berada di tangannya. Sementara itu Mahisa
Cempaka masih juga berkata, "Sekarang aku tahu, kenapa Paman
membawa senjata telanjang. Aku sangka bahwa perjalanan Paman
yang berat, atau barangkali keragu-raguan Paman terhadap kamilah
yang memaksa Paman untuk bersiaga dengan senjata itu. Ternyata
bahwa sebenarnya senjata itu akan disarungkan di dalam tubuh
kami berdua." Lembu Ampal tidak menjawab lagi. Dihentakkannya kakinya
untuk menghindarkan segala macam pertimbangan yang lain.
Kemudian ia pun segera meloncat menyerang Mahisa Cempaka.
Tetapi Mahisa Cempaka bukan anak-anak yang masih merengek
dalam ketakutan melihat perang. Ia pun segera mengelak. Bahkan
sekejap kemudian ia sudah menggenggam senjatanya pula. Senjata
yang akan dipergunakannya untuk berlatih. Tetapi seperti yang
diharapkannya, ia mendapat kawan berlatih yang lain dari biasanya.
Sementara itu, Ranggawuni pun telah siap pula dengan
senjatanya pula. Sebuah pedang tipis seperti yang berada di dalam
genggaman tangan Mahisa Cempaka.
Sikap dan tandang kedua anak muda itu mengejutkan Lembu
Ampal. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa keduanya sudah
memiliki dasar-dasar olah kanuragan. Bahkan ternyata keduanya
581 adalah anak yang lincah dan cekatan. Kemudian ia pun segera
meloncat menyerang Mahisa Cempaka.
Sejenak kemudian maka Lembu Ampal sudah harus bertempur
melayani kedua anak muda itu. Keduanya bertempur berpasangan.
Dengan kemampuan yang sudah mereka miliki, maka mereka
berusaha untuk mengurung Lembu Ampal dengan seranganserangan
yang tiada hentinya, agar Lembu Ampal tidak mempunyai
banyak kesempatan. Untuk beberapa saat Lembu Ampal hanya dapat menangkis dan
menghindari serangan kedua anak-anak muda itu. Ia masih saja
terheran-heran, bahwa dalam waktu yang singkat keduanya berhasil
memiliki dasar-dasar olah kanuragan yang cukup.
Tetapi sesaat kemudian Lembu Ampal segera dapat mengatur
dirinya. Ia adalah seorang senapati besar di Singasari. Sehingga
karena itu, maka ia pun akan dengan segera dapat mengatasi kedua
lawannya. Perlahan Lembu Ampal kemudian menemukan sikap yang
mapan. Ia sudah berhasil menyingkirkan pengaruh perasaannya
yang heran melihat kemampuan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
Dengan demikian maka Lembu Ampal pun kemudian mulai
mengatur serangan-serangannya terhadap kedua anak-anak muda
yang berkelahi berpasangan itu.
Dengan segera nampak, bahwa Lembu Ampal memang bukan
lawan kedua anak muda itu meskipun keduanya berkelahi bersamasama.
Dalam beberapa saat kemudian keduanya segera terdesak.
Sekali-kali keduanya harus menghindari serangan ganda Lembu
Ampal yang berbahaya. Bahkan kadang-kadang mereka harus
berloncatan menjauh. Ketika kemungkinan untuk bertahan kedua anak itu semakin
pudar, terdengar suara Lembu Ampal, "Tidak ada gunanya lagi
perlawanan Tuan. Sebentar lagi Tuan berdua akan mati terkapar di
tanah. Sebaiknya Tuan berdua mengetahui, bahwa aku akan
membawa bukti kematian Tuan berdua. Bukti yang paling dapat
582 dipercaya adalah membawa kepala Tuan berdua menghadap
Tuanku Tohjaya. Sebenarnyalah Tuanku Tohjaya menghendaki
kematian Tuan berdua, karena Tuan berdua dapat membahayakan
kedudukannya yang didapatkannya, dengan kekerasan, karena
Tuanku Tohjaya telah membunuh Anusapati."
Terasa bulu tengkuk Ranggawuni dan Mahisa Cempaka
meremang. Rasa-rasanya leher mereka sudah mulai terasa dingin,
seolah-olah mata pedang Lembu Ampal telah mulai menyentuhnya.
"Berhentilah berkelahi," teriak Lembu Ampal, "berjongkoklah,
agar aku dapat memenggal kepala Tuan dengan mudah. Jika Tuan
berdua masih saja melawan, mungkin aku akan mengambil sikap
lain, dan membunuh Tuan berdua dengan cara yang tentu tidak
akan Tuan sukai." Ranggawuni dan Mahisa Cempaka tidak segera menjawab.
Mereka masih sibuk membebaskan diri dari serangan Lembu Ampal
yang bagaikan arus banjir bandang.
"Cepat, lemparkan senjata Tuan," teriak Lembu Ampal. Tetapi
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka tidak melepaskan senjatanya.
Mereka masih berusaha melawan dengan gigihnya.
Lembu Ampal menjadi semakin marah, sehingga serangannya
menjadi semakin berat. Katanya, "Tuan berdua memang sedang
sekarat, tuan berdua memilih jalan yang pahit."


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau akan dikutuk oleh rakyat Singasari," teriak Ranggawuni
kemudian, "kau pengkhianat seperti Pamanda Tohjaya. Kematian
bukan lagi sesuatu yang menakutkan bagi kami."
"Persetan!" bentak Lembu Ampal, "aku akan menyumpal
mulutmu dengan ujung pedang."
"K i Sanak," tiba-tiba orang yang selama itu menyaksikan
perkelahian yang sengit itu berkata, "kau tidak akan dapat
membunuhnya di hadapan seorang saksi. Aku adalah saksi yang
dapat menceritakan apa yang telah terjadi di sini."
"Kau pun harus mati."
583 "Tidak. Aku tidak mau mati."
Jawaban itu mengejutkan Lembu Ampal. Namun kemudian ia
menggeram, "Aku akan membunuhmu."
Tetapi orang itu tertawa. Katanya, "Tentu Ranggawuni dan
Mahisa Cempaka masih senang melakukan latihan yang agak berat
itu. Namun dengan demikian mereka dapat mengukur sampai di
manakah sebenarnya kemampuan mereka."
Kemarahan Lembu Ampal telah mendesak kedua anak muda itu
sehingga keduanya seolah-olah hanya dapat berloncat-loncatan
bergantian. Untuk mengurangi tekanan pada yang seorang, yang
lain mencoba menyerang. Namun semua pasti, bahwa mereka tidak
akan mampu menyelamatkan diri berdasarkan atas kemampuan
mereka itu sendiri. Karena itulah, maka orang yang menyertainya itu pun maju
beberapa langkah sambil berkata, "Agaknya latihan untuk hari ini
sudah cukup. Kawanmu berlatih masih terlampau berat bagimu
berdua." Kata-kata itu benar-benar tidak dapat dimengerti oleh Lembu
Ampal. Yang terasa olehnya adalah suatu penghinaan yang tidak
dapat dimaafkannya lagi. Sementara itu, Ranggawuni dan Mahisa Cempaka pun berusaha
untuk melepaskan diri dari lawannya. Tetapi Lembu Ampal yang
dibakar oleh kemarahan yang menyala di dadanya itu tidak mau
melepaskan kedua anak-anak itu sama sekali.
"Baiklah," berkata orang yang menyertai Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka, "jika kau tidak mau memberi kesempatan kedua anakanak
itu berhenti, aku akan memaksanya berhenti."
Kata-kata itu memang mendebarkan jantung. Tetapi Lembu
Ampal tidak segera percaya bahwa orang itu mampu melakukannya.
Karena itu, ia masih memusatkan serangannya kepada
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Keduanya harus mati. Dan bukti
584 kematian keduanya akan membawanya kepada kedudukannya yang
semula. Tetapi betapa ia terkejut ketika tiba-tiba saja ia bagaikan
terbentur pada kekuatan yang tidak diduganya sama sekali. Ketika
pedangnya sedang memburu dan bahkan hampir saja mematuk
tubuh Ranggawuni, terasa kekuatan yang luar biasa telah
mendorong serangannya, sehingga serangannya itu pun terpotong
karenanya. Bukan saja ia harus menarik senjatanya, namun terasa
tangan dan lengannya menjadi sakit dan nyeri.
Sesaat Lembu Ampal mematung. Dengan wajah tegang
dipandanginya orang yang telah berdiri di hadapannya. Dan yang
lebih menegangkan adalah kenyataan bahwa orang itu sama sekali
tidak memegang senjata apapun.
"Dengan apa ia memotong serangan pedangku," bertanya Lembu
Ampal di dalam hatinya. Orang yang berdiri di hadapan Lembu Ampal itu memandanginya
dengan tajamnya. Namun kemudian sambil tersenyum ia berkata,
"Maaf Ki Sanak. Aku sudah mengatakan, jika kau tidak mau
memberi kesempatan kedua anak muda itu berhenti, maka aku
terpaksa menghentikanmu."
Lembu Ampal masih berdiri tegak. Ia masih mencoba mencari
senjata apakah yang telah membentur senjatanya. Namun Lembu
Ampal tidak menemukannya.
"Nah, sekarang terserah kepadamu," berkata orang itu, "apakah
kau masih ingin melanjutkan latihan ini. Tetapi karena kedua anak
muda itu sudah lelah, maka biarlah aku yang mengawanimu
bermain pedang." "Persetan!" Lembu Ampal menggeram, "Kau mencoba untuk
menunjukkan kelebihanmu. Tetapi jangan sangka bahwa kau dapat
menakut-nakuti aku dengan caramu itu."
"Oh," orang itu tersenyum, "kenapa aku menakut-nakutimu" Aku
tidak berbuat apa-apa."
585 "Siapakah kau sebenarnya" bertanya Lembu Ampal.
"Aku salah seorang cantrik dari padepokan ini. Padepokan ini
adakah padepokan Panji Pati-pati. Seorang prajurit Singasari yang
berada di Kediri." "Bohong! Aku mengenal semua prajurit Singasari yang ada di
Kediri." "Kecuali yang satu itu. Ia adalah seorang prajurit baru yang
diangkat oleh Tuanku Mahisa Agni sebelum ia dipanggil menghadap
ke Singasari. Sebelumnya ia adalah seorang yang sudah
mengasingkan diri di padepokan ini. Kini pun ia seakan-akan berada
di dua tempat. Kadang-kadang di padepokan ini, kadang-kadang ia
pergi ke Kediri untuk melakukan kewajibannya di sana. Jika
demikian, maka akulah yang diserahi untuk mengawani kedua anakanak
muda ini." "Siapa kau sebenarnya" Kau belum menjawab pertanyaanku."
"Aku seorang cantrik dari padepokan ini. Aku adalah cantrik yang
paling dungu, sehingga aku tidak dibebani pekerjaan lain kecuali
bermain-main dengan keduanya."
"Cukup! Kau jangan mengigau. Apakah kau tidak berani
menyebut namamu sendiri sehingga kau tidak menjawab
pertanyaanku. Aku bukan anak-anak yang dapat kau tipu. Kau sebut
bahwa kau adalah cantrik yang paling dungu, agar aku
membayangkan bahwa ada orang yang lebih baik dari kau. Apalagi
gurunya itu adalah cara yang licik dan tidak masuk akalku."
Orang itu menarik nafas dalam. Lalu, "Kau memang cerdas.
Pantas kau mendapat tugas untuk membunuh kedua anak muda itu.
Baiklah. Aku memang bukan cantrik yang paling dungu. Tetapi
bahwa Panji Pati-pati sekarang tidak ada di padepokan itu benar. Ia
memang sedang pergi ke Kediri seperti yang dilakukannya setiap
kali. Tetapi karena ia sudah beberapa hari pergi, menurut
rencananya, hari ini ia akan kembali."
"Aku bertanya namamu."
586 "Oh. Baiklah. Namaku Mahendra."
"Mahendra. Apa hubunganmu dengan kedua anak muda itu?"
"Kita adalah sesama. Kita sama-sama dilahirkan oleh kuasa Yang
Maha Pencipta. Seperti juga kau."
"Jadi?" "Kita wajib tolong menolong. Itulah hubungannya."
Lembu Ampal menggeretakkan giginya. Kemudian dengan
marahnya ia berkata, "Mahendra. Jika kau keras untuk melindungi
kedua anak muda itu. maka aku akan membunuhmu. Aku sudah
bertekad melakukan tugasku sebaik-baiknya.
"Kau memang akan membunuh aku. Jika aku tidak berbuat apaapa
pun kau sudah berniat membunuhku juga, karena aku akan
dapat menjadi saksi di dalam pembunuhan ini. Karena itu, daripada
aku bersalah terhadap kewajibanku bagi sesama, maka sebaiknya
aku mencoba untuk mengurungkan niatmu."
Lembu Ampal menjadi tidak sabar lagi. Sambil beringsut setapak
mendekat ia berkata, "Jika demikian, kau yang harus aku bunuh
lebih dahulu. Kemudian membunuh kedua kelinci itu tidak akan ada
sulitnya." "Jika aku tidak mampu melawan kau seorang diri, kami akan
bertempur bertiga. Agaknya kedua anak muda itu akan berpengaruh
juga atas perkelahian kita, setelah ternyata mereka
mempertahankan diri mereka untuk beberapa saat lamanya."
Lembu Ampal tidak menjawab lagi. Ia pun kemudian
mempersiapkan dirinya. Selangkah ia maju lagi. Pedangnya pun
kemudian mulai merunduk. Tetapi hatinya menjadi berdebar-debar melihat orang yang
menyebut dirinya bernama Mahendra itu masih tetap berdiri di
tempatnya tanpa memegang senjata apapun. Dengan demikian
Lembu Ampal menduga, bahwa orang itu memang merasa dirinya
memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi daripadanya.
587 Namun Lembu Ampal tidak yakin. Ia adalah seorang senapati
kepercayaan Tohjaya. Hanya Mahisa Agnilah orang yang pantas
disegani di Singasari sepeninggal Anusapati dan Sri Rajasa.
Tetapi orang itu agaknya terlampau yakin akan dirinya sendiri.
Meskipun demikian. Lembu Ampal masih juga menggeram,
"Cepat, ambil senjatamu!"
Mahendra tertawa. Katanya, "Aku tidak membawa senjata
apapun, karena aku memang tidak berniat untuk berkelahi."
"Ambil senjata anak-anak itu."
"Biarlah mereka memegang senjata masing-masing. Mereka
harus tetap waspada karena merekalah yang sebenarnya menjadi
sasaranmu saat ini."
Lembu Ampal menggeretakkan giginya. Sejenak ia memandang
wajah Mahendra yang masih tetap tenang. Katanya dengan nada
yang dalam, "Jika kau mati, itu adalah akibat dari kesombonganmu."
Mahendra tidak menjawab. Tetapi ia sudah siap menghadapi
setiap kemungkinan, meskipun nampaknya ia masih berdiri saja di
tempatnya. Lembu Ampal yang sudah tidak dapat menahan kemarahannya
lagi itu pun mulai menjulurkan pedangnya. Sambil menggerakkan
ujung pedang itu, ia pun mulai bergeser.
Mahendra merendahkan tubuhnya sedikit. Ia menghadap ke
mana saja Lembu Ampal bergerak.
Namun tiba-tiba saja Lembu Ampal yang marah itu meloncat
menyerang. Pedangnya tidak saja mematuk lawannya, tetapi
pedang itu kemudian telah terayun mendatar menyambar leher
Mahendra. Mahendra yang sudah siap menghadapi kemungkinan itu,
meloncat surut sambil merendahkan tubuhnya sehingga pedang itu
terbang hanya sejengkal di atas kepalanya. Namun dalam pada itu.
selagi tangan Lembu Ampal masih terayun. Mahendra dengan
588 cepatnya memiringkan tubuhnya. Diangkatnya sebelah kakinya
menyambar lambung lawannya.
Lembu Ampal masih sempat melihat serangan itu. Ia tidak
menahan tangannya. Tetapi ia justru berputar setengah lingkaran
dan kemudian berdiri tegak di atas kedua kakinya yang renggang
sambil menyilangkan pedang di dadanya.
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Lembu Ampal cukup
cekatan. Tetapi yang dilakukan oleh Mahendra adalah sekedar
peringatan bagi lawannya, bahwa serangan yang tergesa-gesa itu
sama sekali tidak akan dapat mengenai sasarannya.
Namun bagi Lembu Ampal, peringatan itu terasa mendebarkan
jantungnya. Sejak semula ia sudah tergetar melihat sikap Mahendra.
Dan ternyata Mahendra itu mampu bergerak lebih cepat dari ayunan
pedangnya. Meskipun demikian, Lembu Ampal tidak segera terpengaruh.
Sekali lagi bersiap. Pedangnya kini bergerak lebih cepat. Seolah-olah
pedang itu akan mematuk dari segala arah.
Mahendra bergerak selangkah. Dengan tajamnya ia memandang
lawannya. Tidak pada ujung pedangnya, tetapi pada matanya.
Dalam pada itu, Ranggawuni dan Mahisa Cempaka
memperhatikan perkelahian itu dengan seksama. Kadang-kadang
mereka menjadi cemas. Namun kadang-kadang mereka tersenyum.
Ketika perkelahian itu kemudian berlangsung pula dan menjadi
semakin sengit, keduanya benar-benar terpukau. Seranganserangan
Lembu Ampal dengan pedangnya meluncur bagaikan
angin pusaran. Ujung pedangnya mematuk dari segala arah dan
kemudian menyambar dengan dahsyatnya. Namun lawannya
mampu mengimbangi kecepatan bergerak Lembu Ampal. Bahkan
kadang-kadang Mahendra berhasil mendahuluinya. Selagi Lembu
Ampal mengangkat pedangnya, tiba-tiba saja terasa lambungnya
terdorong dengan kuatnya, sehingga hampir saja ia kehilangan
keseimbangan. Ternyata Mahendra mempergunakan saat itu
589 dengan tepat, dan kakinya meluncur dengan derasnya menyambar
tubuh lawannya. Pada saat-saat berikutnya, agaknya Mahendra sudah mulai
menekan lawannya. Perkelahian itu mulai nampak berat sebelah.
Meskipun Mahendra tidak bersenjata, tetapi ia mampu menguasai
Lembu Ampal yang bagaikan kehilangan akal. Pedangnya
menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Namun semakin lama
justru semakin kehilangan arah.
"Gila!" Lembu Ampal mengumpat di dalam hati, "Setan manakah
yang menyusup pada orang ini, sehingga ia mampu bergerak
secepat burung sikatan."
Tetapi Lembu Ampal tidak sempat berangan-angan terlalu lama.
Setiap kali tangan dan kaki lawannya telah menyentuh tubuhnya.
Semakin lama semakin keras, sehingga tubuhnya terasa semakin
sakit dan nyeri. Namun Lembu Ampal, adalah seorang senapati. Ia tidak mau
menyerah pada keadaan yang sedang dihadapinya. Ia masih
melawan dengan gigihnya. Segala ilmu yang ada pada dirinya
diperasnya sampai tuntas.
Namun Lembu Ampal tidak berhasil mempertahankan dirinya
lebih lama lagi. Ia menjadi semakin terdesak. Tubuhnya menjadi
semakin lemah. Ketika ia sempat melihat kedua anak muda yang berada di luar
lingkaran perkelahian, hatinya menjadi berdebar-debar. Keduanya
melonjak-lonjak kegirangan seperti sedang melihat ayam aduannya
menang di arena. Bahkan Mahisa Cempaka mengacu-acukan senjatanya sambil
berteriak, "Ayo Paman. Tangkap saja. Nanti aku akan mencabuti
kumis dan janggutnya."
Lembu Ampal menjadi semakin marah. Tetapi ia pun menyadari
bahwa tubuhnya menjadi semakin lemah. Perlawanannya menjadi
590 semakin tidak berarti. Apalagi ketika ia sadar pula, bahwa lawannya
masih tetap segar meskipun ia tidak bersenjata.
Bagaimanapun juga, sebagai seorang yang berpengalaman
Lembu Ampal harus melihat kenyataan itu, bahwa lawannya benarbenar
seorang yang mumpuni di dalam olah kanuragan.
"Aku tidak menyangka, bahwa di padepokan kecil ini masih ada
orang yang mempunyai kemampuan bertempur demikian tinggi.
Hampir seperti Mahisa Agni," gumam Lembu Ampal di dalam
hatinya. Meskipun Lembu Ampal benar-benar pantang menyerah, tetapi
perlawanannya sudah tidak berarti sama sekali. Pedangnya hampir
tidak lagi dapat diayunkannya, karena tangannya menjadi sangat


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lemah, seolah-olah telah kehilangan tulang-tulangnya sama sekali.
Karena itu, ketika Mahendra menyerangnya mendatar dengan
kakinya, Lembu Ampal yang sudah lemah itu tidak berhasil
menghindarkan diri. Ia mencoba melindungi dirinya dengan
menjulurkan pedangnya. Tetapi serangan mendatar itu tiba-tiba saja
diurungkannya, ketika Mahendra melihat pedang itu masih mampu
bergerak. Namun dengan sebuah loncatan, Mahendra tiba-tiba saja
sudah berdiri di sebelah lawannya. Dengan tangannya, Mahendra
memukul tengkuk Lembu Ampal.
Lembu Ampal yang memang sudah kehilangan tenaga itu
terdorong beberapa langkah. Rasa-rasanya tengkuknya bagaikan
menjadi patah. Sejenak ia kehilangan keseimbangan, dan matanya
menjadi berkunang-kunang.
Lembu Ampal tidak dapat bertahan untuk berdiri. Tiba-tiba ia
sudah terhuyung-huyung dan jatuh tertelungkup. Untunglah bahwa
ia masih sadar, bahwa pedangnya akan dapat melukai tubuhnya
sendiri, sehingga ia dapat menjulurkan pedangnya ke samping
Meskipun demikian Lembu Ampal tidak menyerah dan pasrah. Ia
masih mencoba untuk bangkit berdiri. Tetapi tenaganya benarbenar
telah sampai pada batas kemungkinannya. Sehingga
meskipun ia berhasil bangkit dan berjongkok pada lututnya, namun
591 Lembu Ampal sudah tidak dapat berdiri lagi meskipun ia bertelekan
pada pedangnya. Dengan nafas terengah-engah ia melihat Mahendra berdiri tegak
di hadapannya. Dengan sorot mata yang bagaikan menusuk
langsung ke pusat jantungnya. Mahendra memandang tubuh Lembu
Ampal yang sudah tidak bertenaga lagi itu.
"Nah, apakah kau masih akan melawan?" bertanya Mahendra.
Lembu Ampal memandang Mahendra sekilas. Kemudian
ditatapnya wajah kedua anak-anak yang sudah berada di belakang
Mahendra. Tetapi wajah anak-anak muda itu sudah berubah. Meskipun
mereka masih menggenggam senjata, tetapi mereka tidak lagi
bersorak-sorak dan berloncat-loncatan. Wajah mereka kini menjadi
bersungguh-sungguh. Lembu Ampal yang belum berhasil berdiri itu kemudian
menggeram, "Aku akan membunuh mereka."
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kau sudah
tidak mampu berbuat apa-apa lagi. Jika kau seorang jantan, kau
tentu mengakui bahwa kau tidak dapat memenangkan perkelahian
ini. Apalagi sekarang kau sudah kehilangan segenap kekuatanmu.
Berdiri pun kau sudah tidak mampu lagi. Jika aku berniat
membunuhmu, maka aku akan dapat melakukannya dengan
mudah." "Bunuhlah jika kau memang mampu melakukannya. Mati adalah
kemungkinan yang sudah disadari akan terjadi atas seorang prajurit
yang menjalankan tugasnya."
"Jadi kau benar-benar tidak mau menyadari kekalahanmu dan
kesalahanmu?" "Aku tidak bersalah. Aku menjalankan tugas."
"Kau yakin bahwa tugas yang dibebankan kepadamu itu benar?"
"Itu bukan urusanku."
592 "Itulah kebodohanmu. Dan kebodohan seperti itulah yang dapat
menjerumuskan Singasari ke dalam bencana."
"Persetan! Kau bukan pemimpinku. Kau tidak dapat memberikan
perintah kepadaku," nafas Lembu Ampal bagaikan terputus, lalu,
"cepat, kalau kau akan membunuhku lakukanlah."
Mahendra berdiri termangu-mangu. Tetapi ia tidak segera
berbuat sesuatu. "Cepat!" Lembu Ampal berteriak, "Apakah kau ingin berbangga
menikmati kemenanganmu berlama-lama?"
Mahendra mengerutkan keningnya. Namun sebelum ia berbuat
sesuatu, terdengar suara Ranggawuni, "Paman. Apakah Paman akan
membunuh Paman Lembu Ampal?"
Mahendra berpaling. Tetapi ia tidak segera menjawab.
"Apakah Paman dapat membiarkannya hidup?" desak
Ranggawuni. Mahendra masih berdiam diri. Tetapi kerut-merut di keningnya
menjadi semakin dalam. "Jika kau membiarkan aku hidup, pada suatu saat aku akan
membunuh anak-anak itu," teriak Lembu Ampal yang merasa
terhina. Tetapi Mahisa Cempaka seolah-olah tidak mendengarnya dan
berkata, "Jangan dibunuh, Paman. Paman Lembu Ampal sehari-hari
adalah orang yang baik. Ia hanya sekedar menjalankan tugas
seperti yang dikatakannya."
Mahendra masih berdiri termangu-mangu. Sebenarnya bahwa ia
memang tidak ingin segera mengambil keputusan untuk membunuh
Lembu Ampal. Karena itu ia masih saja berdiri termangu-mangu.
Namun demikian sikap kedua anak-anak itu telah membuatnya
menjadi heran. Anak-anak yang melonjak-lonjak melihat perkelahian
yang terjadi itu karena mereka melihat kemenangan Mahendra,
593 tiba-tiba dapat berpikir dengan sungguh-sungguh, dan bahkan
menyatakan keberatannya apabila Lembu Ampal dibunuhnya.
Ternyata bukan saja Mahendra, tetapi Lembu Ampal sendiri
menjadi bingung menanggapi sikap kedua anak-anak itu. Dorongan
apakah yang telah membuat kedua anak-anak itu menjadi demikian
sabar dan bahkan terasa agung.
"Apakah memang sudah ada sifat-sifat itu di dalam diri mereka
berdua?" bertanya Lembu Ampal kepada diri sendiri, "sehingga
mereka benar-benar akan menjadi orang yang berjiwa besar dan
pengampun." Pertanyaan itulah yang kemudian membuat Lembu Ampal
menjadi ragu-ragu untuk meneriakkan harga dirinya. Mulutnya yang
sudah hampir terbuka dan mengumpat, tiba-tiba telah terkatup lagi.
"Ranggawuni dan Mahisa Cempaka," Mahendralah yang
kemudian berbicara, "kau sudah melihat sendiri apa yang terjadi.
Kau sudah menyaksikan sikap dan tekad Lembu Ampal. Meskipun
demikian, aku tidak akan mengambil keputusan. Kalian berdualah
yang pantas menentukan, apakah yang sebaiknya diperbuat atas
orang ini." Ranggawuni dan Mahisa Cempaka menjadi termangu-mangu.
Sesaat mereka menatap wajah Lembu Ampal. Namun wajah itu
telah berubah. Wajah itu tidak lagi memancarkan kebencian dan
dendam. Sebenarnyalah di dalam diri Lembu Ampal telah terjadi
pergolakan. Sekilas ia teringat kepada sikap pendeta istana yang
bersedia mengalami apapun untuk keselamatan kedua anak-anak
muda itu. Bahkan ia sendiri telah dicengkam deh keraguan sehingga
keduanya mendapat kesempatan untuk melarikan diri sampai ke
padepokan ini. Apalagi selama pengembaraannya, Lembu Ampal
seakan-akan menemukan jalan yang lurus mendekati Yang Maha
Agung. Tetapi ternyata ketika ia melihat kedua anak-anak itu
nafsunya telah melonjak kembali untuk mendapatkan kamukten.
Tetapi sekedar kamukten duniawi.
594 Meskipun demikian, sepercik harga diri masih terloncat dari
bibirnya meskipun dengan nada yang datar dan dalam, "Kenapa
Tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka tidak mengambil
keputusan untuk membunuhku" Bukankah aku sudah berniat untuk
membunuh Tuanku berdua?"
Namun terasa bahwa nada kata-kata Lembu Ampal telah
berubah. Apalagi bagi Mahendra. Ketajaman inderanya segera
menangkap geseran perasaan Lembu Ampal yang masih berdiri
pada lututnya dan bertelekan pedangnya.
Sejenak orang-orang yang masih belum beranjak dari tempatnya
itu saling berdiam diri. Tetapi Lembu Ampal sudah tidak lagi
menengadahkan dadanya. Perlahan-lahan kepalanya menjadi
tunduk. Lembu Ampal sama sekali tidak menjadi cemas atas
keselamatannya. Ia sama sekali tidak takut ujung pedang lawannya.
Tetapi justru kebesaran jiwa kedua anak muda itu telah membuat
hatinya menjadi luluh. Kedua anak muda yang sadar bahwa mereka
akan dibunuh olehnya karena perintah Tohjaya yang tidak mau
melihat keduanya menjadi dewasa penuh dan berpengaruh atas
rakyat Singasari karena nama-nama orang tua mereka.
"Kenapa mereka tidak berniat untuk membunuhku saja," ia
mengeluh di dalam hatinya, "sikap itu sangat menyiksaku. Apalagi
jika Lembu Ampal mengenang perkembangan sikapnya sendiri.
Penyesalan yang mendalam mulai merayapi hatinya. Ia sudah
hampir menemukan jalan yang benar. Tetapi kenapa ia tiba-tiba
telah terjerumus kembali ke dalam ketamakan dan nafsu kebendaan
semata-mata. Dalam kebimbangan itu kemudian terdengar Mahendra berkata,
"Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Ambil suatu sikap. Aku akan
mematuhinya." Ranggawuni memandang Mahendra sejenak, lalu dipandanginya
Lembu Ampal yang tunduk. Katanya kemudian, "Paman. Apakah
Paman dapat memaafkannya" Barangkali Paman Lembu Ampal
595 dapat melepaskan diri dari tugasnya. Aku kira Paman Lembu Ampal
sendiri tidak mempunyai kepentingan apapun untuk membunuhku."
Mahendra menarik nafas. Katanya, "Jika itu keputusanmu aku
tidak berkeberatan. Terserah kepada Lembu Ampal sendiri. Apakah
ia dapat berbuat demikian?"
Ranggawuni memandang Lembu Ampal yang masih tunduk.
Namun sebelum ia berkata sesuatu, Mahisa Cempaka sudah
mendahuluinya hampir di luar sadarnya, "Selama Paman Lembu
Ampal masih terikat kepada pengabdiannya kepada Pamanda
Tohjaya, maka Paman Lembu Ampal tentu akan tetap melakukan
tugasnya. Karena itu, bagaimana jika Paman Lembu Ampal tidak
usah kembali ke istana Singasari" Kita bertiga akan menjadi orangorang
buruan yang dengan aman bersembunyi di padepokan ini.
Paman pun harus tetap bersembunyi jika Paman tidak berhasil
melakukan tugas Paman sebaik-baiknya. Tetapi menurut
pendapatku, hidup di padepokan yang tenang dan tenteram ini jauh
lebih baik dari mati atau harus dikejar oleh dosa sendiri karena telah
melakukan pembunuhan tanpa arti."
Lembu Ampal menjadi semakin tunduk. Sama sekali tidak
terlintas di dalam pikirannya, bahwa anak muda itu mampu berpikir
sedemikian jauh dan jernih.
Tetapi Lembu Ampal tidak dapat segera menjawab. Terasa
sesuatu berbenturan di dalam dadanya. Harga diri, penyesalan,
kecurigaan dan campur baurnya kecemasan dan ketakutan atas
dosa. yang akan mengejarnya.
Dalam pada itu, Mahendra pun kemudian berkata, "Ki Sanak, kau
sudah mendengar pendapat kedua anak-anak muda itu. Cobalah
meyakini bahwa kata-katanya bukan sekedar tata krama. Tetapi
menurut anggapanku, yang dikatakan oleh Ranggawuni itu adalah
kata hati nuraninya. Apakah kau merasakannya Ki Sanak?"
Lembu Ampal tidak segera menjawab.
"Kenapa kau masih tetap diam saja" Apakah kau masih dibayangi
oleh kecurigaan?" 596 Lembu Ampal mengangkat wajahnya. Sekali lagi ia mencoba
berdiri bertelekan pedangnya. Dan kali ini ia berhasil.
Mahendra memandang Lembu Ampal dengan ragu. Tetapi
nampak bahwa ia telah mempersiapkan dirinya pula.
Sesaat mereka diam dalam ketegangan. Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka pun menjadi tegang pula. Mereka memandang Mahendra
dan Lembu Ampal berganti-ganti.
Namun tiba-tiba mereka melihat Lembu Ampal menarik nafas
dalam-dalam. Dengan dada yang berdebar-debar mereka melihat
pula Lembu Ampal mengangkat pedangnya di hadapan wajahnya.
Namun kemudian nafas mereka pun bagaikan terhenti ketika
mereka melihat Lembu Ampal justru melemparkan senjatanya
sambil berkata, "Tuanku berdua. Betapa besar jiwa Tuanku berdua.
Adalah pertanda kasih Yang Maha Agung, bahwa di dalam usia
Tuanku yang masih semuda itu, Tuanku telah mempertimbangkan
untuk memberikan maaf terhadap orang yang sudah bertekad untuk
membunuh Tuanku." Mahendra memandang Lembu Ampal sejenak. Seakan-akan ia
ingin meyakinkan sikap orang itu. Namun kemudian ia melangkah
maju sambil berkata, "Terpujilah kebesaran jiwamu Ki Sanak.
Ternyata kau benar-benar seorang senapati yang memiliki sikap
sebenarnya jantan. Sikap jantan bukan berarti membunuh dirinya
sendiri di peperangan karena putus asa. Tetapi berani melihat
kenyataan dan mengakui kebenaran. Dan Ki Sanak sudah
melakukannya." "Sebutan itu tidak sepantasnya bagiku. Aku memang seorang
pengecut yang tidak berani mempertanggungjawabkan sikap dan
perbuatanku. Itulah sebabnya maka aku mohon maaf kepadamu Ki
Sanak. Dan kepada kedua anak muda yang mulia itu."
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka pun kemudian melangkah
maju. Dengan wajah yang bening keduanya memandang Lembu
Ampal yang tiba-tiba saja bersujud di hadapan mereka.
597 "Kau kenapa Paman?" bertanya Ranggawuni, "Berdirilah! Tidak
pantas kau berlutut di hadapanku."
"Tuanku. Ternyata selama ini aku telah tersesat. Aku adalah
salah seorang yang telah mendukung usaha Tuanku Tohjaya untuk
menduduki tahta. Dan setiap orang sebenarnya tahu apa yang
sudah dilakukannya atas Tuanku Anusapati, ayahanda Tuanku
Ranggawuni. Namun demikian, karena kebohongannya yang cukup
besar, dan seolah-olah tanpa malu-malu memaksakan kenyataan
yang palsu, Tuanku Tohjaya berhasil mempertahankan
kedudukannya di atas tahta Singasari. Dan aku adalah salah
seorang yang telah melibatkan diri di dalamnya."
"Sudahlah," potong Mahendra, "penyesalanmu adalah sebagian
dari kebenaran yang sudah kau akui."
Lembu Ampal memandang Mahendra sejenak, lalu sambil
menundukkan kepalanya ia berkata, "Aku sudah tidak berhak lagi
mengatakan tentang kebenaran."
"Ah, tentu kau tetap berhak. Justru kau sudah menemukan
kebenaran itu. Karena itu tangkaplah, dan peganglah dengan teguh,
agar kebenaran itu tidak terlepas lagi dari tanganmu."
Lembu Ampal termenung sejenak. Tetapi seakan-akan nampak di
rongga matanya, bahwa sebenarnyalah ia telah berhasil menangkap
kebenaran itu meskipun tidak seutuhnya. Tetapi seperti yang
dikatakan oleh Mahendra, kebenaran itu memang sudah lepas lagi
dari tangannya, justru ketika ia bertemu dengan kedua anak muda
itu. Nafsunya telah membakar jantungnya. Ia masih disilaukan oleh
kedudukan yang memberikan banyak keuntungan jasmaniah,
sehingga ia telah terperosok kembali ke dalam niat jahatnya.
"Aku harus mengucapkan syukur, bahwa Ki Sanak berada di sini,"
tiba-tiba saja suara Lembu Ampal bagaikan melingkar di dalam
dadanya saja.

Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenapa?" bertanya Mahendra.
598 "Ki Sanak telah melepaskan aku dari kejaran dosa dan
penyesalan. Jika Ki Sanak tidak ada di sini, sehingga aku mendapat
kesempatan untuk membunuh Tuanku berdua, maka hidupku untuk
selamanya tidak akan mengalami ketenteraman dan kedamaian."
"Bersukurlah kepada Penciptamu."
"Ya, Ki Sanak. Aku bersukur kepada Yang Maha Agung."
Lembu Ampal berhenti sejenak, lalu, "Tetapi kemudian apakah
yang patut aku lakukan?"
"Tidak ada yang harus kau lakukan selain selalu ingat akan
penyesalan ini." "Mungkin aku harus menebus kesalahanku sekarang ini?"
"Aku tidak mengerti," sahut Ranggawuni.
"Hutang harus dibayar. Hutang pati harus dibayar dengan
jiwanya pula." "Maksudmu?" "Tuanku Tohjaya telah berhutang jiwa."
Ranggawuni mengerutkan keningnya. Tanpa sesadarnya ia
berpaling memandang Mahisa Cempaka yang termangu-mangu.
Dan Lembu Ampal pun berkata pula, "Tuanku, berilah aku
perintah. Aku akan melakukan apa saja. Seandainya Tuanku
memerintahkan aku untuk membunuh Tuanku Tohjaya, maka aku
akan melakukannya juga."
"Ah," Ranggawuni berdesah.
Mahendra menjadi berdebar-debar. Tetapi ia tidak menyahut, ia
ingin mendengar jawaban yang meloncat dari mulut Ranggawuni
sendiri. Agaknya pertanyaan Lembu Ampal itu di luar sadarnya telah
menjajaki watak dan sifat Ranggawuni.
Sejenak kemudian Ranggawuni pun menjawab, "Paman Lembu
Ampal. Jika hutang jiwa harus dibayar dengan jiwa maka kematian
599 akan disusul dengan kematian. Setiap dendam akan menuntut. Dan
dendam itu sendiri akan berkembang sejalan dengan perkembangan
manusia. Tetapi akhirnya manusia akan lenyap ditelan oleh dendam
mereka sendiri." Lembu Ampal bergeser selangkah, lalu, "Jadi maksud Tuanku?"
"Biarlah yang sudah terjadi. Aku merasa mendapat kedamaian
hati di padepokan ini."
Lembu Ampal yang berlutut itu pun kemudian menundukkan
kepalanya dalam-dalam hampir menyentuh tanah. Katanya, "Tuanku
memang berbudi luhur. Namun Tuanku harus mempertimbangkan.
Bahkan Tuanku mempunyai kewajiban seorang kesatria. Tuanku
tidak akan dapat membiarkan kebatilan terjadi dan berkembang."
"Paman Lembu Ampal. Aku belum berbicara tentang Singasari.
Tetapi aku tidak sependapat, bahwa dendam harus dipelihara di
dalam hati. Jika kelak aku berbuat sesuatu untuk Singasari, sama
sekali bukan berdasarkan atas dendamku karena aku telah
kehilangan bapaku." (bersambung ke jilid 9). Koleksi: Ki Ismoyo Scanning: Ki Arema Retype: Ki Sunda Proofing: Ki Sunda Rechecking/Editing: -oo0dw0ooTiraikasih Website http://kangzusi.com/
600 Karya SH MINTARDJA Sepasang Ular Naga di Satu Sarang
Sumber djvu : Koleksi Ismoyo dan Arema di
http://kangzusi.com/ atau http://dewi-kz.info/
Jilid 09 LEMBU AMPAL menarik nafas
dalam-dalam Katanya, "Kemuliaan di
hati tuanku adalah perlambang kasih
Yang Maha Agung yang ada di
dalam diri tuanku. Aku merasa
menjadi terlampau kecil di hadapan
tuanku sekarang ini. Meskipun
umurku jauh lebih tua dari tuanku,
namun ternyata bahwa sifat asli
tuanku jauh lebih dewasa dari aku."
"Jangan berpikir terlampau jauh.
Jika paman Mahendra dan paman
Witantra dan bergelar Panji Pati-pati
tidak berkeberatan, biarlah paman
Lembu Ampal ada di s ini. Kita samasama
orang buruan. Dan marilah
kita menikmati kedamaian di tempat terpencil ini."
"Tetapi tuanku, seperti kedatanganku ke tempat ini, yang
seakan-akan hanyut saja dibawa angin, maka tidak mustahil bahwa
pada suatu saat, seorang petugas sandi akan menemukan tempat
ini." "Tempat ini terlampau jauh paman. Jika paman sampai di sini,
sama sekali bukan karena paman mencari aku berdua."
"Darimana tuanku mengetahuinya?"
601 "Tidak, aku hanya menduga. Aku tidak tahu, apakah dugaanku
itu benar." "Tuanku memang bijaksana. Dugaan tuanku benar. Sebenarnyalah
bahwa aku tidak mencari tuanku berdua."
"Aku mendengar paman mengatakan, bahwa kedatangan paman
seakan-akan hanyut saja dibawa angin. Karena itu kedatangan
paman di sini adalah karena pengembaraan paman."
"Ya tuanku." "Kenapa paman pergi mengembara" Apakah memang sambil
menyelam minum air?"
Lembu Ampal termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
diceriterakannya semua yang terjadi atas dirinya. Kegelisahan dan
kesetiaan berbenturan di dalam diri, sehingga akhirnya ia lari
kepada pendeta istana. Pendeta istana itulah yang sebenarnya telah
membebaskan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka dengan
mempergunakan tangan-tangan Mahisa Agni, Witantra dan
Mahendra. "Yang pertama-tama adalah karena keragu-raguan itulah."
berkata Mahendra kemudian.
Lembu Ampal tidak menjawab. Tetapi rasa-rasanya ia telah
terlepas dari bencana yang dahsyat yang siap menerkamnya.
"Baiklah Ki Sanak." berkata Mahendra kemudian, "Ternyata
bahwa yang terjadi itu adalah angin prahara yang bertiup di atas
Singasari, jika angin itu telah lampau maka keadaan akan menjadi
tenang kembali, meskipun kadang-kadang sempat meninggalkan
bekas-bekas dan kerusakan. Tetapi yang kemudian harus
memperbaikinya dan membangun kembali." Mahendra berhenti
sejenak lalu, "Sekarang, baiklah aku mempersilahkan Ki Sanak
singgah di padepokan kami. Padepokan yang tenang dan damai.
Padepokan yang jauh dari sikap dan tingkah laku yang kasar dan
kekerasan. Itulah sebabnya kami harus bersembunyi di tengah
602 hutan apabila kami berlatih diri, mendalami ilmu kekerasan yang
sebenarnya sangat kasar bagi sifat kasih Yang Maha Agung."
Lembu Ampal hanya dapat menundukkan kepalanya.
"Namun agaknya kami pun seorang yang lemah hati di antara isi
dunia yang memang kotor ini. Itulah agaknya yang masih saja
mempengaruhi hati kami untuk mempelajari olah kanuragan."
Lembu Ampal masih tetap berdiam diri. Tetapi kepalanya nampak
terangguk-angguk kecil. "Nah marilah Ki Sanak." ajak Mahendra kemudian, "Jangan
berprasangka pula terhadapmu."
Lembu Ampal merasakan sesuatu yang menyangkut di
kerongkonganya. Perlahan-lahan kepalanya terangguk lemah, "Aku
sangat berterima kasih."
Demikianlah, maka mereka pun segera meninggalkan tempat itu.
Beriringan mereka pergi ke padepokan. Namun di jalan sempit di
luar hutan itu, Mahendra sempat memperingatkan Lembu Ampal.
"Taruhlah senjatamu di bawah kain panjangmu. Atau bawalah
pedang itu seperti para orang-orang padepokan kami membawa
parang pembelah kayu."
Lembu Ampal termangu-mangu sejenak, namun kemudian ia
sadar bahwa kesan senjata yang ada pada pedangnya harus
disembunyikan di hadapan rakyat padepokan yang damai itu.
Ketika sekilas ia melihat senjata yang tergantung di lambung
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, maka tahulah Lembu Ampal,
karena hal itulah maka sarung senjata kedua anak muda itu mirip
dengan sarung parang pembelah kayu seperti yang terselip di
lambung para pekerja di padepokan terpencil itu, karena itulah
maka Lembu Ampal pun kemudian menyembunyikan senjatanya di
balik kain panjangnya. Ketika mereka memasuki padepokan itu, terasa oleh Lembu
Ampal, bahwa padepokan itu memang padepokan yang damai.
Meskipun orang-orang di padepokan itu pernah juga mengalami dan
603 menyaksikan kekerasan, tetapi mereka kini lebih senang hidup
damai dan tenang. Agaknya cara hidup itulah yang paling sesuai
dengan mereka. Kekerasan dan kekasaran membuat hati seseorang
selalu dibayangi oleh kekawatiran dan bahkan ketakutan. Tetapi
hidup tanpa kekerasan benar-benar telah memberikan kedamaian
hati. Di padepokan Lembu Ampal mendapat sambutan yang sewajarnya.
Tidak ada kesan kecurigaan dan prasangka dari setiap orang
yang dijumpainya. Sekilas mereka memperhatikan kedatangannya.
Mengangguk sambil tersenyum, kemudian membiarkannya berlalu
menuju ke rumah Witantra.
"Sebuah padepokan yang tenang sekali." desisnya.
"Ya, karena itu maka kami tidak sampai hati mengganggunya."
"Bagaimana tanggapan mereka pada saat tuanku Ranggawuni
dan Mahisa Cempaka datang?"
"Biasa saja. Tidak ada persoalan apa-apa."
"Para pengawal" Apakah senjata di tangan para pengawal itu
tidak mengejutkan orang-orang padepokan ini?"
"Sebagian dari mereka tidak memasuki padepokan ini. Hanya
dalam jumlah yang sangat kecil mereka mengantar keduanya
sampai ke rumah ini bersama aku dan kakang Witantra. Tetapi para
pengawal itu sudah meninggalkan senjata mereka pada kawannya
yang mengawasi keadaan di luar padepokan."
Lembu Ampal mengangguk-angguk kecil.
"Meskipun demikian, di sini ada beberapa orang cantrik yang
memiliki ilmu kanuragan. Mereka dahulu juga berlatih dengan tekun.
Tetapi kehidupan yang damai itu akhirnya telah menjadi pilihan
mereka." "Tentu bukan dengan tiba-tiba saja." sahut Lembu Ampal.
Mahendra tersenyum. Katanya, "Kakang Witantra mencoba
mengarahkannya. Tetapi jusru kakang Witantra lah orang yang
604 jiwanya paling lemah, sehingga sampai saat ini ia masih saja
mempergunakan kekerasan untuk melaksanakan sikap batinnya."
"Tetapi itu masih diperlukan dalam keadaan seperti sekarang."
"Tentu bagi kita."
"Tanpa kekerasan tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa
Cempaka mungkin sudah tidak dapat melihat padepokan ini lagi."
"Itu adalah salah satu cara untuk membela diri, kenapa kita
harus mempergunakan kekerasan. Aku juga berpendirian demikian.
Tetapi itu adalah pertanda kelemahan jiwa. Kita masih kurang
percaya akan perlindungan Yang Maha Agung."
"Manusia wajib berusaha. Tanpa usaha, kita akan ditelan oleh
keadaan. Tanpa kekerasan aku tidak dapat dipaksa untuk
mengurungkan niatku membunuh tuanku Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka." "Itu adalah pendirian kesatria, bukan pendirian seorang yang
benar-benar telah pasrah diri kepada Yang Maha Agung dalam
pengabdiannya yang hakiki. Dalam sengsara dan derita itulah
seseorang akan merasa dirinya semakin dekat dengan penciptanya."
Lembu Ampal tidak menyahut. Ia mengerti, bahwa s ikap seorang
pendeta dan mereka yang pasrah diri dalam pengabdian kasih akan
berbeda dengan sikap seorang kesatria yang masih harus
melindungi dunia ini dari angkara murka, yang bagi seorang kesatria
kadang-kadang masih harus mempergunakan kekerasan untuk
melawan kekerasan yang sewenang-wenang. Tetapi Lembu Ampal
pun menyadari, bahwa setiap kekerasan akan sangat sulit untuk
membatasi dengan pasti, daerah pengabdian dan pamrih.
Sejak saat itu, Lembu Ampal mulai dengan kehidupan barunya di
padepokan terpencil itu. Ia pun kemudian mengetahui bahwa para
pengawal Ranggawuni dan Mahisa Cempaka sebagian kecil berada
agak jauh dari padepokan itu dan hidup sebagai petani. Sedang
yang lain telah kembali ke Kediri bergabung dengan induk pasukan
masing-masing. Mereka tidak perlu cemas bahwa Tohjaya atau para
605 panglimanya akan mengusut dan mengambil tindakan terhadap
mereka, karena keadaan yang agaknya masih belum mapan sama
sekali. Di padepokan itu, Lembu Ampal berusaha menyesuaikan dirinya.
Ia hidup seperti Mahendra dan kedua anak-anak muda yang sedang
bersembunyi. Lembu Ampal mulai belajar bertani dan melakukan
pekerjaan-pekerjaan lain di padepokan.
Bahkan kemudian oleh Mahendra, Lembu Ampal dibawa
menemui para pengawal yang sedang menyamar dan mengawasi
keselamatan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka dari kejauhan.
Ternyata bahwa satu dua orang dari mereka sudah dikenal oleh
Lembu Ampal sebagai prajurit Singasari pilihan yang berada di
Kediri. "Kalian tidak usah mencurigainya." berkata Mahendra kepada
para pangawal yang bertani itu. "Lembu Ampal sudah merubah
keputusannya untuk tidak mengganggu Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka." Para pengawal itu mengangguk-anggukkan kepala. Tetapi masih
nampak kecurigaan di sorot mata mereka.
"Ki Sanak." berkata Lembu Ampal kemudian, "Bukan saja aku
sudah merubah keputusan, tetapi bahwa aku gagal membunuh
keduanya itu ternyata merupakan kurnia yang tidak terhingga
bagiku. Aku tidak perlu lagi menyesali perbuatanku, dan aku sudah
terhindar dari penyesalan yang berkepanjangan. Sekarang aku
merasa bahwa tanganku tidak dicemari oleh noda darah anak-anak
muda yang tidak bersalah sama sekali." Lembu Ampal berhenti
sejenak, lalu, "Terlebih dari pada itu aku merasa berhutang budi
tiada taranya. Jika kedua anak-anak muda yang ingin aku bunuh itu
mendendam di dalam hati maka aku pun sudah terbunuh, bukan
membunuh. Tetapi ternyata kesalahanku itu sudah dimaafkan, dan
aku boleh tetap hidup di padepokan ini."
606

Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Para pengawal mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya
mereka mulai percaya bahwa Lembu Ampal memang tidak akan
berbahaya lagi bagi Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
Di hari-hari kemudian, Lembu Ampal menjadi semakin dekat
dengan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Semula Mahendra masih
selalu mengawasinya. Namun kemudian Mahendra tidak lagi
terlampau banyak memperhatikannya lagi, karena ia yakin bahwa
Lembu Ampal benar sudah menyesal. Bukan sekedar karena kalah
di dalam perkelahian, tetapi benar-benar menyadari bahwa yang
akan dilakukannya itu sesat.
Apalagi ketika Witantra datang pula dari Kediri seperti yang
sering dilakukan. Maka Lembu Ampal menjadi semakin mantap
untuk tetap berada di padepokan itu.
"Apakah kau tidak merindukan jabatanmu Lembu Ampal?"
bertanya Witantra. Lembu Ampal menggelengkan kepalanya. Katanya, "Ternyata aku
menemukan yang nilainya jauh lebih tinggi dari pangkat dan
kedudukan di sini. Dan aku mendapat kepuasan karenanya."
"Itu hanya sekedar pemupus. Karena kau tidak dapat
mengharapkan pangkat dan kedudukanmu kembali, maka kau
berkata seperti itu."
"Witantra." jawab Lembu Ampal, "Kukira setiap insan
menginginkan semua hasrat, cita-cita dan gegayuhannya tercapai.
Dengan demikian maka mereka akan mendapatkan kepuasan. Yang
penting ternyata bukan sekedar pencapaian itu, tetapi bila kemudian
menimbulkan kepuasan. Kepuasan itulah yang mahal harganya." ia
berhenti sejenak, lalu, "Dan aku sudah mendapatkan kepuasan itu
di s ini." Witantra tidak menjawab. Kepalanya sajalah yang teranggukangguk
kecil. Dengan demikian maka Lembu Ampal tidak lagi berhasrat untuk
meninggalkan tempat itu. Ia tidak ingin kembali kepada pangkat
607 dan jabatannya, tetapi juga tidak ingin meneruskan
pengembaraannya yang tanpa arti. Di padepokan itu ia merasa
dapat hidup tenang di dekat kedua anak muda itu yang seharusnya
dibunuhnya. "Aku harus ikut mengawasi keselamatan mereka." berkata Lembu
Ampal di dalam hati, "Jika terjadi sesuatu atas keduanya, maka
akulah yang pertama-tama harus mempertanggung jawabkannya,
karena akulah yang pernah mengancam hidup mereka."
Untuk beberapa lamanya mereka hidup damai dan tenang. Tidak
banyak persoalan yang timbul di daerah terpencil. Mereka hanya
memerlukan air untuk bertani. Alat-alat dapat mereka buat sendiri
betapapun sederhananya. Binatang-binatang peliharaan dapat
membantu mereka untuk menggarap sawah.
Meskipun demikian, dalam waktu-waktu tertentu setiap hari
mereka pergi ketengah-tengah hutan yang tidak begitu lebat untuk
menyempurnakan ilmu mereka. Ilmu yang sebenarnya bertentangan
dengan sifat-sifat damai dari padukuhan itu.
Tetapi mereka sadar, kekerdilan jiwa merekalah yang mendorong
mereka untuk tetap mempelajari ilmu kekerasan.
Dalam pada itu, Witantra dan Mahendra bergantian menunggui
dan menggurui Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Jika Witantra
pergi ke Kediri, maka Mahendra menetap di padepokan itu beberapa
lama. Jika kemudian Witantra datang, untuk beberapa hari
Mahendra pulang ke rumahnya sendiri. Untunglah keluarga
Mahendra sudah mengenal dengan baik sifat dan tabiatnya,
sehingga kepergiannya yang kadang-kadang sampai berpekanpekan
tidak menimbulkan banyak persoalan. Apalagi Mahendra
sendiri adalah seorang pedagang keliling yang memerlukan banyak
waktu meninggalkan kampung halamannya. Namun kehidupan
keluarganya bukannya tergantung atas usahanya itu. Mahendra
memiliki sawah dan ternak yang cukup. Sedang perdagangan yang
dilakukan, yang kadang-kadang memang dapat memberikan
penghasilan yang baik juga didorong oleh jiwa pengembaraannya,
meskipun dengan agak terselubung oleh kerja itu.
608 Dari hari kehari Ranggawuni dan Mahisa Cempaka menjadi
semakin maju. Bahkan Lembu Ampal pun kemudian telah pasrah diri
untuk ikut menyadap beberapa bagian dari ilmu yang tidak ada
taranya itu, selain ilmu di dalam diri Mahisa Agni.
Demikianlah maka Lembu Ampal benar-benar telah menyatukan
diri dengan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Semakin banyak ia
mendapatkan ilmu dari padepokan terpencil itu, maka ia pun merasa
semakin dekat dengan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
Bahkan hatinya pun menjadi semakin terbuka atas segala
peristiwa yang pernah terjadi di istana Singasari. Dari Mahendra dan
Witantra ia mendengar urut-urutan ceritera tentang pimpinan
pemerintahan sejak jaman Akuwu Tunggung Ametung. Kematian
Akuwu Tunggul Ametung, dan siapakah sebenarnya Anusapati dan
Tohjaya. Dengan demikian maka Lembu Ampal tahu pasti, bahwa
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka yang hampir saja dibunuhnya itu
benar-benar memiliki hak atas tahta di Singasari. Ranggawuni dan
Mahisa Cempaka adalah keturunan dari seorang ibu tetapi berlainan
ayah, namun rasa-rasanya keduanya adalah orang yang paling
pantas untuk memegang pimpinan di Singasari.
"Tohjaya adalah jalur yang lain dari tahta Singasari." berkata
Witantra kepada Lembu Ampal. "Meskipun Ken Umang sebenarnya
lebih dekat dengan keluargaku daripada Ken Dedes tetapi aku tidak
dapat membenarkan keinginan yang telah membakar hati anaknya
untuk menguasai tahta. Pembunuhan yang dilakukan bukan
semakin memantapkan pemerintahan, tetapi justru sebaliknya. Jika
berhasil membunuh Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, maka adikadik
Anusapati yang lain tentu akan menjadi hantu yang
menakutkan juga bagi Tohjaya. Mereka pun tentu akan dibunuhnya
seorang demi seorang sehingga ia merasa aman. Tetapi Tohjaya
untuk sepanjang hidupnya tidak akan pernah merasa tenang dan
damai." Lembu Ampal mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menjadi
semakin jelas menanggapi peristiwa yang hampir saja membuatnya
tidak dapat tidur sepanjang umurnya.
609 "Jika demikian." bahkan Lembu Ampal pun kemudian berkata,
"Apakah yang sebaiknya kita lakukan" Tentu kita tidak akan dapat
membiarkan Tohjaya menguasai tahta seterusnya."
"Kita akan menunggu sampai saatnya kita akan bertindak." jawab
Witantra, "Kita harus menunggu isyarat. Sampai saat ini Mahisa Agni
masih tetap berada di lingkungan istana Singasari."
"Apakah ia mengetahui bahwa Ranggawuni dan Mahisa Cempaka
masih tetap hidup?" "Setiap saat aku dapat menemuinya tanpa kesulitan. Ia
mengetahui semuanya yang telah terjadi. Ia mengetahui bahwa kau
berada di sini sekarang ini."
"O" "Lembu Ampal." berkata Witantra kemudian, "Pada suatu saat
kau harus mengenal jalan untuk menemui Mahisa Agni itu. Dengan
demikian maka kau pun akan dapat berbuat banyak bagi tegaknya
kebenaran di Singasari."
Lembu Ampal sama sekali tidak berkeberatan. Apalagi ia pun
merasa mendapat kepercayaan dari Witantra dan Mahendra. Karena
ia mengikuti petunjuk-petunjuk keduanya dengan baik dan latihanlatihan
yang teratur, maka ilmu Lembu Ampal itu pun dengan
cepatnya meningkat, karena ia pun memiliki bekal yang kuat
sebelumnya. Pada saatnya, ketika ilmu Lembu Ampal sudah meningkat cukup
banyak, sehingga Witantra menganggap bahwa ia sudah dapat
dipercaya untuk ikut bersamanya, maka dibawanya Lembu Ampal
memasuki halaman istana Singasari untuk menemui Mahisa Agni di
bangsalnya. "Jadi kau sering melakukan hal itu?" bertanya Lembu Ampal.
Witantra tersenyum. "Kenapa?" ia bertanya.
"Kau memang luar biasa." berkata Lembu Ampal pula.
610 "Kau pun akan dapat melakukannya. Tidak ada kesulitan apaapa."
"Mudah-mudahan aku tidak mengganggumu, jika aku memiliki
ilmu setinggi ilmumu, aku tidak akan menjadi berdebar-debar."
"Ilmumu sudah meningkat cukup jauh. Dan kau sekarang sudah
meninggalkan Senapati-Senapati kawan-kawanmu dahulu. Mungkin
para Panglima yang sekarang, harus berlatih dua tiga tahun lagi
untuk dapat dengan mudah menangkapmu."
"Ah." desah Lembu Ampal sambil tersenyum pula.
Demikianlah dengan hati-hati keduanya meloncati dinding
halaman. Tidak seorang prajurit pun yang dapat melihat mereka.
Karena itu, maka mereka pun dapat memasuki halaman tanpa
gangguan apapun juga. Lembu Ampal menjadi heran terhadap dirinya sendiri. Dinding
yang dahulu disangkanya kokoh kuat dan rapat itu, ternyata tidak
begitu sulit ditembus. "Dinding halaman itu cukup panjang." berkata Witantra,
"Sehingga sudah barang tentu ada bagian-bagian yang tidak
terawasi sepanjang malam. Bahkan jika tidak ada peristiwa yang
penting seperti hilangnya Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, para
prajurit menjadi semakin lengah. Disiang hari punkita akan dapat
memasuki halaman ini dengan aman."
Lembu Ampal kini tidak dapat membantah lagi. Ia sendiri sudah
berhasil memasuki halaman istana dengan mudah. Bahkan tanpa
Witantra punia merasa, bahwa ia akan dapat melakukan tugas
sebaik-baiknya jika ia harus menjumpai Mahisa Agni.
Ternyata Mahisa Agni punkemudian menerima Lembu Ampal
tanpa berprasangka apapun. Sambil tersenyum Mahisa Agoi
berkata, "Aku sudah mendengar semuanya tentang kau."
Lembu Ampal menundukkan kepalanya.
611 "Aku punbersyukur, bahwa kau tidak terjemurus ke dalam
kesalahan yang tidak termaafkan itu. Jika kau berhasil membunuh
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, maka kau akan segera
berhadapan dengan kami. Aku, Witantra dan Mahendra. Tetapi lebih
dari itu, kau akan berhadapan dengan kebenaran."
Lembu Ampal masih tetap berdiam diri. Namun kata-kata Mahisa
Agni itu rasa-rasanya menusuk langsung kepusat jantungnya.
Bahkan terasa tengkuknya meremang karenanya. Betapa ia akan
hidup dalam ketegangan dan ketakutan jika pembunuhan itu dapat
dilaksanakan. Untunglah bahwa kini ia justru dapat hidup dalam ketenangan
dan kedamaian. Namun sebagai seorang kesatria, maka ia tidak akan dapat
tinggal diam di padepokan, seperti juga Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka. Itulah bedanya kesatria dan orang-orang yang hidup utuh
dalam pendekatan diri dengan Yang Maha Agung.
Hubungannya dengan Mahisa Agni, telah membuka persoalan
baru di dalam hati Lembu Ampal. Darah kesatria yang ada di dalam
dirinya telah mendidih kembali. Dalam persembunyiannya di
halaman istana setiap kali ia masuk, ia selalu melihat prajuritprajurit
Singasari yang resah dan nampaknya kehilangan pegangan.
Mereka berjaga-jaga dengan senjata telanjang. Namun mereka tidak
lagi menyadari, apakah yang sebenarnya sedang mereka lakukan
itu. Dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa istana Singasari menjadi
semakin suram. Tohjaya yang kecewa tidak dapat menemukan
ketenangan lagi di dalam hidupnya. Bahkan rasanya ia dapat
melihat semakin jelas tentang dirinya sendiri. Tentang noda-noda
yang melekat di dalam dirinya terpercik oleh noda-noda yang
mengotori ibunya. Sedangkan Ken Umang rasa-rasanya menjadi hampir gila karena
orang-orang yang telah dihubunginya masih belum berhasil
membunuh Mahisa Agni. Bahkan sama sekali belum didengar usaha
612 yang telah dilakukan untuk membunuhnya dan dengan demikian
maka rahasianya tidak akan tersebar luas.
Tetapi Ken Umang yang dicengkam oleh kebingungan yang
sangat menghadapi sikap Tohjaya itu, tidak pernah dapat berpikir
bening lagi. Seandainya Mahisa Agni dengan sengaja menyebarkan
lukisan tentang dirinya di antara para pemimpin Singasari, maka
kabar itu tentu sudah merambat keseluruh isi istana, bahkan seluruh
Singasari. "Orang gila itu harus mati, harus, harus." kadang-kadang ia
menggeram. Tetapi tidak seorang punyang dapat melakukannya.
Apalagi Tohjaya sama sekali kehilangan segala gairah dan minat di
dalam pemerintahan. Dalam keadaan yang demikian itulah, maka Lembu Ampul
dengan bulat telah mengabdikan dirinya kepada Ranggawuni dan
Mahisa Cempaka. Ia sadar, bahwa Tohjaya tidak akan dapat
bertahan lebih lama lagi duduk di atas tahta. Jika tidak segera ada
perubahan terjadi di pemerintahan Singasari, maka Singasari akan
benar-benar menjadi beku, atau sebaliknya akan koyak sama sekali.
Beberapa orang pemimpin pemerintahan, para Panglima atau
Akuwu yang merasa dirinya kuat dapa saja menghimpun kekuatan
untuk mendukungnya mengangkat diri menjadi Maharaja di
Singasari, seperti Ken Arok yang saat itu menggantikan kedudukan
Akuwu Tunggul Ametung di Tumapel, yang memisahkan diri dari
Kediri. "Semua peristiwa itu tidak boleh terulang kembali." berkata
Lembu Ampal di dalam hatinya.
Karena itu, maka Lembu Ampal punmulai mengambil sikap. Ia
memberanikan diri mengatakannya kepada Mahisa Agni niatnya
untuk mengembalikan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka ke istana
Singasari dengan aman. "Aku dapat membunuh Tohjaya dengan cara apapun juga."
berkata Lembu Ampal. 613 "Tohjaya dikelilingi oleh para Panglima dan Senapati." jawab
Mahisa Agni, "Sekarang dalam keadaan yang buram ini, Tohjaya
rasa-rasanya sudah tidak berbuat apa-apa lagi kecuali menyesali
dirinya sendiri. Beberapa orang Panglima dan pemimpin
pemerintahan mencoba untuk menyelamatkan Singasari dari
kehancuran. Mereka mencoba melakukan tugas Tohjaya sebaikbaiknya.
Mereka merasa wajib karena merekalah yang pernah
mendukung Tohjaya sehingga Tohjaya berani mengambil tindakan
untuk membunuh Anusapati."
"Tetapi aku akan dapat menembus mereka." sahut Lembu Ampal.
Namun Mahisa Agni menggelengkan kepalanya. Katanya,
"Jangan kau keruhkan lagi Singasari dengan pembunuhan."
"Jadi?" "Kau boleh berusaha mengembalikan Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka. Aku akan membantunya. Tetapi mereka harus kembali
sebagai kesatria, tidak seperti pencuri yang memasuki rumah orang
lain diwaktu malam. Tidak dengan bersembunyi-sembunyi dan
dengan licik membunuh lawannya. Jika Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka masih melakukannya seperti yang pernah dilakukan oleh


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa, oleh Anusapati dan kemudian
oleh Tohjaya, maka akan terjadi yang serupa pula atas mereka."
Lembu Ampal mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian,
"Aku mengerti. Tetapi aku belum menemukan jalan yang
paling baik untuk melakukannya."
"Kau tidak sendiri. Ada Witantra ada Mahendra dan ada aku di
sini. Kita akan dapat berbicara untuk menentukan sikap. Namun
sementara itu, kita tidak boleh melupakan Ken Umang yang tentu
tidak akan tinggal diam. Ia tentu tidak akan mau kehilangan anak
lakinya, meskipun ia tidak mati,
karena anak lakinya itu tidak lagi berbuat sesuatu. Dan ia tentu
tidak akan mau kehilangan kedudukannya sebagai ibunda Maharaja
di Singasari, sebagai perempuan yang paling terhormat. Dan karena
itupula ia tidak pernah memikirkan apakah anak lakinya akan
614 mengawini seorang permaisuri. Sebab ia akan segera terdesak oleh
kedudukan menantunya itu."
Lembu Ampal mengangguk-anggukkan kepalanya, la memang
sudah mendapat gambaran tentang keluarga Tohjaya. Ibundanya
yang tamak dan dicengkam oleh nafsu yang berlebihan. Tohjaya
yang manja dan perajuk. Yang mula-mula merasa dirinya adalah
orang yang paling kuat dimuka bumi. Namun yang kemudian
bagaikan terlempar ke dalam lembah kehinaan setelah ia
mengetahui tentang dirinya sendiri.
Dengan demikian maka ia punmenjadi seorang yang rendah diri
dan merasa tidak berharga. Namun untuk menyembunyikan
perasaan itu, maka Tohjaya adalah seorang yang hampir gila. Ia
adalah pemarah tiada taranya, yang dengan berlebihan minta
dihormati dan dijunjung tinggi sebagai seorang Maharaja Singasari.
Namun dalam pada itu, ia sudah tidak dapat berbuat apapun lagi
dalam pemerintahannya. Karena itulah maka seisi istana dan para Panglima serta
pemimpin pemerintahan menjadi kebingungan. Mereka sebagian
telah menyesal bahwa mereka mendukung Tohjaya menduduki
pemerintahan dan jabatan tertinggi di Singasari. Meskipun Tohjaya
tidak ingkar dan memberikan kedudukan, pangkat dan harta benda
seperti yang pernah ia janjikan apabila ia berhasil menduduki tahta
Singasari, namun Tohjaya sendiri kemudian sama sekali telah
kehilangan dirinya sendiri.
"Ia terpukul oleh kenyataan tentang dirinya sendiri." para
pemimpin itu punsaling berbisik. Yang disembunyikan itu justru
bagaikan terungkapkan karena sikap Tohjaya sendiri, sehingga
memancing orang tua-tua untuk mulai berbicara berbisik tentang
dirinya. Dalam keadaan yang kalut itulah Lembu Ampal mulai mencoba
berbuat sesuatu untuk mengembalikan hak atas tahta Singasari
kepada Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Kenyataan yang
dihadapinya adalah bagaikan hitam dan putih jika ia
memperbandingkan sifat dan watak Tohjaya dengan Ranggawuni
615 dan Mahisa Cempaka. Tohjaya yang dicengkam oleh nafsu dan
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka yang bijaksana.
Atas petunjuk Mahisa Agni, maka Lembu Ampal punmulai
mempersiapkan segala sesuatunya tidak di halaman istana, tetapi di
padukuhan terpencil di luar kota, dan justru di garis yang
menghubungkan Singasari dengan Kediri.
"Pasukan Singasari di Kediri akan dapat dipergunakan sebaikbaiknya."
berkata Mahisa Agni. "Tetapi apakah tuan akan keluar dari halaman istana dan
langsung berada di tengah-tengah kami?"
"Tidak. Aku akan tetap berada di halaman istana. Aku sudah
memperkuat kedudukanku. Pengawal-pengawal cukup kuat untuk
melindungi aku, keluarga Anusapati terdekat dan orang tua
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Beberapa orang prajurit
Singasari telah aku hubungi dan mereka adalah kawan-kawan yang
setia." "Apakah kedudukan mereka mirip dengan kedudukanku?"
"Maksudmu?" "Mula-mula berpihak kepada tuanku Tohjaya, namun kemudian
menyadari kekeliruan diri?"
Mahisa Agni tersenyum. Katanya, "Mungkin. Tetapi ada
diantaranya yang sejak semula tidak berpihak kepadanya. Hanya
karena kedudukannya sebagai prajurit sajalah yang membuat
mereka untuk sementara berdiam diri."
Lembu Ampal merenung sejenak. Kemudian sambil menganggukangguk
kecil ia berkata, "Barangkali aku akan dapat segera
memulainya. Aku akan keluar dari kota ini dan mencoba membuat
kedudukan yang mantap bagi tuanku Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka dijalur lurus antara kota Singasari dan Kediri."
"Biarlah Ranggawuni dan Mahisa Cempaka untuk sementara
tetap di padepokan tersembunyi itu."
616 "O, baiklah. Semuanya akan aku coba sebaik-baiknya."
"Mudah-mudahan kau akan berhasil. di s ini aku tidak akan dapat
melepaskan tanggung jawabku atas Ken Dedes yang semakin tua
dan sakitan, ibu Ranggawuni dan kedua orang tua Mahisa Cempaka.
Kemudian adik-adik Anusapati yang lain, yang lahir dari Ken Dedes
dan Sri Rajasa." Demikianlah mereka telah membagi pekerjaan. Tugas Mahisa
Agni bukanlah tugas yang ringan. Tetapi Mahisa Wonga Teleng dan
adik-adiknya tidak tinggal diam. Betapapun kecilnya mereka masih
juga mempunyai pengaruh. Bahkan pengikut Ken Arok yang
bergelar Sri Rajasa, ada yang menganggap bahwa Mahisa Wonga
Teleng mempunyai hak yang lebih banyak dari Tohjaya yang hanya
karena dukungan yang kuat tiba-tiba saja telah merampas hak atas
tahta Singasari. Sementara itu Ken Umang masih tetap bernafsu untuk
membunuh Mahisa Agni. Beberapa orang yang setia kepadanya
telah memberikan keterangan, bahwa berbahaya sekali untuk
bertindak dalam keadaan seperti itu. Tetapi agaknya Ken Umang
yang telah kehilangan pikiran beningnya itu tidak mau mengerti. Ia
tetap bertekad, untuk membinasakan Mahis Agni secepat-cepatnya.
"Sukar untuk melaksanakan saat ini." berkata Pranaraja.
"Aku tidak peduli. Tetapi jika kau tidak berhasil, aku justru
berkata kepada Mahisa Agni, bahwa kaulah yang mula berpendapat
bahwa Ranggawuni dan Mahisa Cempaka harus dibunuh. Kau akan
ingkar Tohjaya adalah anakku. Ia mengatakan apa saja yang
diketahuinya dan dihayatinya selama ia memegang pemerintahan
dengan bijaksana seperti ini."
Ancaman itu memang membuat Pranaraja menjadi bingung. Jika
demikian maka nyawanya tentu terancam. Keadaan di istana
Singasari agaknya lambat laun sudah berubah. Kesetiaan kepada
Tohjaya sudah mulai goyah. Bukan karena Tohjaya tidak memenuhi
janjinya kepada orang-orang yang membantunya, tetapi ternyata
hati Tohjaya sangat lemah.
617 Disaat terakhir yang dapat dilakukan tidak ada lain kecuali hanya
marah-marah saja. Ia sama sekali tidak lagi menghiraukan
perkembangan Singasari, apalagi meningkatkan hidup rakyatnya.
Usaha beberapa orang perwira yang merasi sudah terlanjur
mendukung Tohjaya, agaknya tidak begitu banyak membawa hasil.
Bahkan, kadang-kadang Tohjaya sendiri menolak setiap pendapat
yang diajukan oleh para Panglima dan Senapati untuk mengatasi
keadaan. Perlahan-lahan para prajurit mulai berpaling kepada Mahisa Agni.
Ia adalah saudara tua Ken Dedes. Meskipun umurnya sudah
menjadi semakin tua, tetapi ia masih tetap seorang yang tidak ada
duanya di dalam istana Singasari.
Arah pandangan yang lain adalah Mahisa Wonga Teleng, yang
masih tetap berada di halaman istana itu pula. Ia sama sekali tidak
gentar jika pada suatu saat Tohjaya akan mengambil tindakan
apapun terhadapnya seperti yang telah direncanakan untuk
dilakukan atas anak lakinya. Mahisa Cempaka.
Namun demikian belum ada seorang punyang berani menyatakannya
dengan berterus terang. Mereka pada umumnya masih
diliputi oleh keraguan yang satu dengan yang lain, karena ternyata
bahwa Tohjaya masih tetap seorang Maharaja.
Dalam pada itu, Ken Umang yang tidak sabar lagi masih saja
selalu mendesak. Ia dihantui oleh tingkah lakunya sendiri yang
diketahui dengan pasti oleh Mahisa Agni. Bagi ken Umang, Mahisa
Agni adalah ular yang sangat berbisa. Dalam keadaannya, Ken
Umang masih mengharap Tohjaya melupakan apa yang sudah
didengarnya. Tetapi jika Mahisa Agni masih hidup, maka ia justru
dapat menambah lagi kecemaran tingkah laku dimasa mudanya,
bahkan sampai ia sudah berada di istana Singasari itu pula.
Tetapi tidak mudah untuk mendapatkan cara bagaimana
menyingkirkan Mahisa Agni.
Sementara itu, di padepokan terpencil, Mahendra dan Lembu
Ampal masih saja selalu menemani Ranggawuni dan Mahisa
618 Cempaka melatih diri. Dengan pesatnya keduanya maju dibidang
kanuragan. Bahkan Lembu Ampal kadang-kadang bertanya kepada
diri sendiri, cara yang manakah yang dipergunakan oleh Witantra
dan Mahendra, sehingga mereka dengan mudah sekali dapat
membentuk Ranggawuni dan Mahisa Cempaka menjadi dua orang
anak muda yang luar biasa.
Atas pembicaraan antara Mahisa Agni, Witantra, Mahendra dan
Lembu Ampal, maka mereka punmulai menyusun rencana untuk
memulihkan kembali kekuasaan Singasari yang sebenarnya. Usaha
untuk memerintah Singasari sebaik-baiknya sesuai dengan
kepentingan rakyatnya. Bukan semata-mata kekuasaan yang ada
ditangan Tohjaya tanpa arti apa-apa bagi Singasari sendiri.
Untuk memulihkannya, maka Mahisa Agni telah menyerahkan
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka kepada Witantra yang
mempunyai pengalaman yang cukup di dalam pemerintahan pada
masa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung di Tumapel.
"Pada suatu saat, aku akan berada diamara mereka pula."
berkata Mahisa Agni kemudian, "Aku juga merasa perlu untuk
memberikan sedikit tuntunan bagi mereka apabila mereka berhasil
mendapatkan haknya kembali di Singasari."
Demikianlah maka atas usaha Lembu Ampal, maka ia
mendapatkan tempat yang tersembunyi di pinggir kota. Dengan
menanggung kemungkiran yang berat, sehingga dengan demikian
setiap saat Mahisa Agni dapat dengan diam-diam meninggalkan
halaman istana dan berada diantara kedua anak-anak muda itu
untuk memberikan banyak petunjuk-petunjuk tentang pemerintahan
Singasari. Sementara itu, bukan saja kedua anak-anak muda itulah yang
dipersiapkan. Tetapi pada suatu saat, apabila diperlukan akan dapat
timbul pertempuran antara para pengikut Tohjaya dengan mereka
yang setia kepada hak yang sebenarnya atas tahta Singasari.
Dengan demikian tidak mustahil bahwa perang yang besar akan
pecah di Singasari. 619 "Mudah-mudahan jika terpaksa timbul perang, Singasari tidak
terkoyak karenanya. Jika terpaksa Singasari terbakar ujungnya,
adalah korban yang harus diberikan untuk kelak membangun
Singasari yang jauh lebih besar dari Singasari yang sekarang."
berkata Mahisa Agni. Meskipun tidak nampak sama sekali, tetapi sebenarnyalah bahwa
persiapan-persiapan yang matang telah disusun. Ranggawuni dan
Mahisa Cempaka telah diberitahu apa yang akan dilakukan bagi
kepentingan mereka. Dengan demikian maka mereka punharus
berusaha menyesuaikan diri.
"Tetapi bagaimana kemudian dengan pamanda Tohjaya."
bertanya Ranggawuni. "Sudah barang tentu pamanda Tohjaya harus meninggalkan
tahta." jawab Mahisa Agni.
"Apakah tidak ada jalan lain" Aku tidak sampai hati melihat
pamanda Tohjaya terusir dari kedudukannya."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
"Aku tahu bahwa pamanda Tohjaya telah berbuat curang atas
ayahanda. Tetapi pamanda Tohjaya belum cukup lama menikmati
basil perjuangannya."
Mahisa Agni memandang kedua anak-anak muda itu dengan
saksama. Ia melihat perasaan Mahisa Cempaka yang tidak banyak
bedanya dengan perasaan Ranggawuni atas pamandanya Tohjaya.
"Ranggawuni dan Mahisa Cempaka." berkata Mahisa Agni,
"Perjuangan yang pantas dinikmati hasilnya, meskipun bukan oleh
dirinya sendiri, tetapi oleh mereka yang diperjuangkan, adalah
perjuangan yang dilandasi atas hak dan kebenaran. Sedang
perjuangan yang pernah dilakukan oleh pamandamu Tohjaya adalah
perjuangan yang semata-mata dilandasi oleh nafsu dan ketamakan.
Karena itu, maka sekarang yang telah dicapainya sama sekali tidak
bermanfaat bagi Singasari. Bahkan akhirnya tidak bermanfaat bagi
dirinya sendiri." 620 "Tetapi paman." Ranggawuni masih menjawab, "Pamanda
Tohjaya tentu tidak akan begitu saja melepaskan tahta Singasari,
sehingga apakah dengan demikian tidak akan berarti peperangan
yang sukar dikendalikan lagi?"
"Memang mungkin peperangan itu dapat terjadi Ranggawuni.
Tetapi pengorbanan itu harus diberikan untuk kepentingan Singasari
sekarang. Karena jika kita membiarkannya lebih lama lagi, maka
keadaan akan menjadi semakin parah bagi Singasari."
"Apakah tidak ada harapan pamanda Tohjaya memperbaik
keadaan ini?" Mahisa Agni menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "Tidak. Tidak
akan ada kesempatan lagi bagi Tohjaya selain memanjakan nafsu.
Apalagi dibelakang Tohjaya berdiri Ken Umang. Seorang yang
benar-benar dikendalikan oleh ketamakannya. Karena itu, kau
berdua harus segera mulai. Jika kau berdua terlambat, mungkin
keadaannya akan menjadi jauh berbeda. Rakyat dan prajurit yang
Dendam Darah Tua 1 Senja Merindu Karya Suffynurcahyati Kubur Berkubah 4

Cari Blog Ini