Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja Bagian 19
bekas pengawalnya yang telah mempergunakan puncak ilmu
hitamnya. Sedangkan Tapak Lamba dengan ketiga kawannya, yang
memiliki pengalaman lebih luas dari para pengawal Ki Buyut di
dalam olah senjata, masih mempunyai kesempatan untuk
mempertahankan diri, meskipun mereka harus memeras tenaganya.
Namun dalam pada itu, anak muda yang menghadapi salah
seorang pengawal berilmu hitam itu, segera dapat mengatasinya.
Anak muda itu pun masih tetap berada dalam ilmu puncaknya.
Bahkan kemudian ia merasa wajib untuk melenyapkan orang-orang
berilmu hitam itu, sebelum ilmu yang sebenarnya sudah dianggap
lenyap itu tumbuh dan berkembang lagi.
"Sebenarnya aku tidak ingin membunuh seseorang." ia berkata
kepada dirinya sendiri, "Tetapi aku merasa wajib untuk
menghentikan menjalarnya ilmu iblis ini."
Karena itulah maka akhirnya ia berkedapan hati untuk berbuat
sesuai dengan darmanya sebagai seorang yang sedang berkelana
cengan niat yang putih. Apalagi ketika ia melihat, bahwa Ki Buyut dan pengawalnya,
ternyata tidak akan mampu bertahan Iebih lama lagi. Ia sudah
mendengar keluh tertahan ketika salah seorang pengawalnya telah
tetluka pula. Anak muda itu pun kemudian menghentakan kakinya. Dengan
wajah yang tegang ia memandangi lawannya yang tiba-tiba saja
telah meloncat surut selangkah.
1117 Terdengar lawannya itu mengeram. Diputarnya senjatanya tiga
kali di atas kepalanya. Kemudian terdengar gemeretak gigi dan
bunyi yang asing di telinga anak muda itu.
Anak muda itu pun segera bersikap pula menghadapi segala
kemungkinan. Meskipun tidak ada lagi yang sempat memperhatikan,
tetapi tiba-tiba asap kuning kebiru-biruan yang seolah-olah
memencar dari ubun-ubunnya itu menjadi bertambah terang.
Dalam pada itu, seolah-olah kedua orang yang sedang bertempur
itu sudah siap untuk menentukan, siapakah yang masih akan dapat
tetap hidup. Masing-masing sudah berada dipuncak
kemampuannya. Jika salah satu pihak berhasil, maka hasilnya akan
segera nampak, sedangkan yang gagal, akan segera terkapar di
tanah. Sejenak mereka masih berdiri dengan tegang. Dari tatapan mata
mereka, seolah-olah telah memancar api kebencian yang tidak
dapat diucapkan lewat kata-kata.
Tetapi ketegangan yang diam itu hanya terjadi sesaat, karena
sesaat kemudian, pengawal yang telah melawan Ki Buyut dan
kemudian bertempur dengan anak muda itu, berteriak nyaring
sambil meloncat dengan kecepatan yang hampir tidak dapat dilihat
dengan mata wadag. Namun dalam pada itu, anak muda itu pun segera meloncat
selangkah dan berdiri miring. Kakinya ditekuknya sedikit pada
lututnya. Sesaat kemudian terjadi benturan yang dahsyat. Benturan
senjata yang terayun dilambari oleh puncak kekuatan. Sepercik
bunga api memancar keudara, seperti percikan api kemarahan yang
tiada tertahan. Namun ternyata bahwa kekuatan mereka melampaui kekuatan
baja senjata-senjata mereka. Karena itulah, maka kedua senjata di
tangan kedua orang yang sedang bertempur itu pun patah menjadi
dua. 1118 Ketika keduanya menyadarinya, maka keduanya pun segera
meloncat surut. Sekali lagi keduanya memusatkan segenap
kekuatan yang ada pada diri masing-masing dalam lambaran ilmu
tertinggi. Semuanya terjadi dengan cepat sekali. Bagian dari senjata yang
patah itu pun telah mereka lemparkan ke tanah. Namun agaknya
mereka masih akan membenturkan kekuatan mereka melampaui
benturan senjata. Sesaat kemudian, maka keduanya pun seakan-akan telah mendapatkan
isyarat untuk melepaskan ilmunya. Hampir berbareng
keduanya meloncat dan saling berbenturan di udara.
Akibatnya ternyata dahsyat sekali. Keduanya terdorong surut.
Tetapi nampak betapa kekuatan anak muda itu jauh melampaui
kekuatan ilmu lawannya. Anak muda itu terloncat dua langkah mundur. Tetapi ia tetap
tegak berdiri di atas kedua kakinya yang renggang dan agak
merendah. Kedua tangannya bersilang di depan dadanya, sedang
matanya menatap ke arah tubuh lawannya yang terlempar beberapa
langkah dan terbanting jauh.
Sejenak perkelahian di halaman itu seolah-olah terhenti. Semua
mata memandang kearah pengawal yang terbanting jatuh itu.
Sesaat ia masih menggeliat dan mengumpat. Namun sesaat
kemudian, maka ia pun telah menghembuskan nafas yang
penghabisan. Sejenak orang-orang yang menyaksikan itu terpaku diam. Mereka
memandang dengan mata yang tiada berkedip. Seolah-olah mereka
tidak yakin, bahwa orang itu pun pada akhirnya dapat juga
terbunuh oleh kekuatan yang lebih dahsyat dari kekuatannya yang
mengerikan. Namun dalam pada itu, meskipun ia seolah-olah tidak beranjak
dari tempatnya sambil memandangi lawannya yang sudah tidak
bernyawa lagi, anak muda yang telah membunuhnya itu pun
menjadi berdebar-debar. Orang yang terbunuh itu masih
1119 mempunyai dua orang kawan yang agaknya memiliki ilmu setingkat.
Karena itu, jika keduanya bersama-sama memusatkan segenap
kemampuan ilmunya, maka ia akan mengalami kesulitan. Agaknya
ia tidak akan dapat melawan kedua kekuatan ilmu itu bersamasama.
Sedangkan apabila ia harus melawan salah seorang dari
mereka, sedangkan yang lain berusaha mempergunakan ilmunya
terhadap orang-orang lain, maka akibatnya akan sangat parah.
Tidak akan ada diantara mereka yang akan mampu melawan ilmu
tersebut. Baik Ki Buyut maupun orang yang nampaknya mempunyai
ilmu yang cukup mapan, Tapak Lamba. Namun keduanya belum
mempunyai kemampuan untuk melawan puncak ilmu kedua orang
itu. Dalam keragu-raguan itu, anak muda itu pun melihat kedua
orang yang telah kehilangan seorang kawannya itu menggeram.
Agaknya keduanya telah mendapatkan suatu pengalaman bahwa
ilmu mereka masih belum berimbang dengan ilmu anak muda itu.
Tetapi anak muda itu pun bertindak cepat. Yang dihadapi adalah
iblis yang paling ganas dengan ilmu hitamnya. Karena itu, maka ia
tidak akan dapat lagi mempergunakan pertimbangan kejantanan
untuk melawan mereka. Ia tidak akan dapat berdiri sambil berteriak
menantang, siapakah diantara keduanya yang akan mencoba
melawannya setelah seorang kawanya terbunuh.
Dalam pada itu, anak muda itu pun segera mempergunakan saatsaat
yang masih belum mantap setelah salah seorang lawannya
terbunuh itu. Ia pun segera memusatkan segenap kemampuannya
sekali lagi. Koleksi: Ismoyo Scanning: Arema Convert/Proofing: Mahesa Editing: Arema OoodwooO 1120 1121 Karya SH MINTARDJA Sepasang Ular Naga di Satu Sarang
Sumber djvu : Koleksi Ismoyo dan Arema di
http://kangzusi.com/ atau http://dewi-kz.info/
Jilid 16 ANAK muda itu tidak menunggu. Tiba-tiba saja ia pun
sudah siap untuk melepaskan
ilmunya. Karena itu, maka ia pun
segera meloncat selangkah
kedepan mendekati salah seorang pengawal yang agaknya
sedang mempersiapkan diri.
Agaknya seperti yang diperhitungkan, kedua orang
lawan yang tinggal itu tidak mau
bertempur seorang demi seorang
melawan anak muda itu. Jika
salah seorang dari mereka harus
menghadapinya, maka yang lain
akan mempergunakan ilmunya
untuk membinasakan siapa saja yang akan tersentuh tangannya.
Namun tanpa berjanji agaknya mereka telah mempersiapkan diri
untuk bersama-sama menghadapi anak muda itu.
Tetapi anak muda itu bergerak lebih cepat. Dengan segenap
kemampuan yang ada padanya, ia telah meloncat menyerang
seorang dari kedua orang pengawal yang tersisa itu.
Lawannya tidak menduga, bahwa anak muda itu akan bergerak
demikian cepatnya. Karena itulah maka mereka menjadi agak
bingung sekejap. Namun kemudian mereka sadar, bahwa mereka
1122 harus melindungi diri mereka dengan ilmu puncak yang ada pada
mereka. Tetapi ternyata jarak mereka dengan anak muda itu tidak sama
panjang. Yang seorang berdiri lebih jauh dari yang lain. Meskipun
perbedaan jarak itu tidak terlampau berpengaruh, namun bahwa
dengan demikian mereka tidak akan dapat membenturkan ilmu
mereka berbareng dalam sekejap. Tetapi dengan demikian, maka
benturan yang kemudian akan menjadi sangat berbahaya bagi anak
muda itu karena sebagaian besar kekuatannya telah terhempas
pada benturan yang pertama dengan puncak ilmu hitam salah
seorang dari kedua iblis yang tinggal itu.
Anak muda itu tidak sempat berbuat lain. Karena itu, maka ia
pun akan menanggung akibat itu seandainya harus terjadi.
Tetapi dalam pada itu, ternyata Tapak Lamba dan Ki Buyut
beserta orang-orang yang ada di sekitar arena itu pun tidak tinggal
diam. Terutama Tapak Lamba dan ketiga kawannya serta Ki Buyut
sendiri. Mereka pun mengerti, bahwa sangat berbahaya bagi anak
muda itu untuk membentur dua kekuatan dalam waktu yang hampir
bersamaan. Karena itulah, maka dengan kemampuan yang ada
pada mereka, maka mereka pun mencoba untuk membantunya.
Pada saat, salah seorang dari kedua iblis itu siap menghadapi
lawannya, maka Tapak Lamba dan kawan-kawannya serta Ki Buyut
telah dengan serentak menyerang iblis yang lain dari segenap arah.
Mereka melepaskan segenap kemampuan yang ada dalam diri
mereka. Bahkan untuk mengikat mereka dalam waktu yang lebih
panjang, maka kawan-kawan Tapak Lamba bukan saja menyerang,
tetapi mereka telah melempar lawannya itu dengan senjata-senjata
mereka. Meskipun pengawal itu berada dalam puncak ilmunya, tetapi ia
tidak menjadi kebal karenanya. Karena itu, maka ia harus
menghindari lontaran-lontaran senjata yang mengarah ke tubuhnya.
1123 Agaknya saat-saat menghindarkan diri itu memerlukan waktu
yang meskipun sangat pendek, tetapi cukup berpengaruh atas
keseluruhan dari perkelahian itu.
Pada saat iblis yang seorang sibuk menghindari lemparan senjata
itulah, telah terjadi benturan yang sangat dahsyat, Anak muda yang
menyerang itu masih sempat menghindar sambaran senjata iblis
yang berilmu hitam, karena hal itu memang sudah diperhitungkan.
Dengan sisi telapak tangannya yang dilambari ilmu puncaknya ia
berhasil mematahkan senjata iblis itu, dan kemudian ilmu mereka
pun telah saling berbenturan.
Akibat yang terjadi memang sudah dapat diperhitungkan.
Pengawal yang telah mengkhianati Ki Buyut itu terlempar jatuh di
tanah untuk tidak bangun lagi selama-lamanya.
Ternyata bahwa usaha Tapak Lamba dan Ki Buyut membawa
pengaruh juga atas pertempuran itu. Kawannya yang seorang itu
pun tiba-tiba mengumpat. Ia melihat kawannya telah meloncat,
membentur lawannya, dan terlempar jatuh.
Karena itu, ia sama sekali tidak menghiraukan lagi serangan Ki
Buyut dan Tapak Lamba serta kawan-kawannya. Selagi anak muda
itu masih belum dapat menghimpun kekuatannya kembali, maka ia
pun segera meloncat menyerang dengan garangnya.
Waktunya memang terlampau pendek bagi anak muda itu. Tetapi
ia tidak sekedar dibakar oleh kemarahan dan nafsu semata-mata. Ia
masih sempat mempergunakan pikirannya.
Karena itulah, ia sama sekali tidak membenturkan dirinya pada
serangan itu. Dengan serta merta, ia pun segera meloncat
menghindar, dan bahkan meloncat jauh-jauh dari lawannya.
Agaknya lawannya pun mengetahui bahwa anak muda itu
berusaha mendapatkan waktu untuk membangunkan kembali
kekuatan puncaknya. Karena itu, maka ia pun cepat memburunya
dengan serangan yang dahsyat. Senjatanya terayun deras segera
dilambari oleh ilmu puncaknya.
1124 Namun anak muda itu menyadari, bahwa peranan senjata itu
tidak begitu penting di dalam puncak ilmunya. Karena itu, maka ia
pun sekedar menghindar pula dan sekali lagi meloncat menjauh.
Lawannya tidak melepaskannya. Ia pun memburu dengan
senjata terjulur, hampir menembus perut anak muda itu. Namun
tiba-tiba terasa tangannya menjadi nyeri oleh pukulan telapak
tangan lawannya pada pergelangannya.
Ketika senjatanya kemudian terlepas, maka ia tidak mau
memberi kesempatan lagi. Dengan dahsyatnya ia memburu
kemanapun anak muda itu menghindar.
Akhirnya, anak muda itu memang tidak dapat menghindar lagi.
Meskipun ia belum berhasil membangunkan ilmunya sampat
kepuncak, maka benturan tidak dapat dihindarkan lagi.
Sekali lagi telah terjadi benturan ilmu yang dahsyat. Setali lagi
orang-orang yang ada di halaman itu melihat, betapa orang terakhir
dari ketiga pengawal berilmu hitam itu jatuh di tanah.
Namun agaknya kali ini ia tidak langsung terbunuh seperti kedua
kawannya yang lain. Sambil memegangi dadanya ia berusaha untuk
bangkit betapapun sulitnya.
Sementara itu, anak muda yang tidak dikenal namanya, baik oleh
Ki Buyut maupun oleh Tapak Lamba itu terlempar beberapa
langkah. Keletihan yang sangat, apalagi saat benturan itu terjadi, ia
masih belum sampai kepada puncak kekuatannya, telah
membuatnya tertatih-tatih. Bahkan kemudian ia pun jatuh terduduk,
tepat pada saat lawannya berhasil berdiri dengan kesulitan.
Dengan wajah yang merah kebiru-biruan, orang itu melangkah
satu-satu mendekati anak muda yang terduduk dengan lemahnya.
Anak muda yang telah membenturkan ilmunya tiga kali berturutturut,
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bahkan benturan ketiga terjadi terlampau cepat setelah
benturan yang kedua, sehingga kekuatannya seolah-olah masih
belum terungkat seluruhnya, setelah dilepaskannya sampai tuntas
pada benturan sebelumnya.
1125 Semua orang yang menyaksikan keadaan itu menjadi berdebardebar.
Mereka melihat pengawal yang seorang itu tertatih-tatih
mendekati dengan sorot mata penuh dendam dan kebencian.
Anak muda yang terduduk di tanah itu masih tetap berada di
tempatnya. Ia melihat lawannya datang mendekatinya. Namun
agaknya tubuhnya menjadi sangat lemah, sehingga ia tidak dapat
beringsut pergi. Yang dapat dilakukan kemudian adalah justru duduk dengan
tenangnya. Kedua kakinya disilangkan seperti kedua tangannya
yang bersilang pula, di dadanya.
Matanya yang redup membayangkan hatinya yang pasrah
menghadapi semua kemungkinan. Namun dengan sepenuh hati
memanjatkan permohonan kepada Yang Maha Agung agar di
diselamatkan dari tangan iblis yang hitam lekam itu.
Anak muda itu masih belum dapat beringsut ketika orang yang
mendekatinya setapak-setapak itu menjadi semakin dekat. Bahkan
yang kemudian menjulurkan tangannya sambil menggeram, "Aku
akan mencekikmu sampai mati."
Tetapi ketika orang itu setapak lagi maju, ia menjadi terhuyunghuyung.
Tangannya yang terjulur bagaikan telah merusak
keseimbangan tubuhnya yang memang belum menjadi mantap.
Karena itulah, maka tiba-tiba saja ia bagaikan batang ilalang
kering yang didorong oleh sentuhan angin yang kuat sehingga
ketika kakinya selangkah lagi bergeser, maka ia pun telah jatuh
terjerembab, tepat di hadapan anak muda yang masih duduk
bersila, mengheningkan hati untuk memohon agar kekuatannya
dipulihkan kembali. Anak muda itu melihat lawannya terjatuh beberapa jengkal saja
di hadapannya. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Juga
seandainya lawannya itu bangkit lagi dan mencekiknya.
Tetapi ternyata lawannya itu tidak bangun lagi. Ia masih
menggeliat dan mencoba menggapai dengan tangannya yang
1126 kehitam-hitaman, dan jari-jarinya yang mengembang bagaikan
hendak menerkam dan meremasnya. Tetapi tangan itu pun
kemudian melemah dan kehilangan kekuatan setelah hampir
menyentuh kulitnya. Iblis yang terakhir itu pun kemudian mati di hadapan anak muda
yang duduk diam sambil mencoba memulihkan kekuatannya.
Sejenak halaman itu dicengkam oleh ketegangan. Semua orang
berdiri tegak bagaikan patung. Nyai Buyut yang duduk di pendapa
pun seolah-olah telah membeku di tempatnya.
Ia telah pernah menyaksikan berpuluh-puluh kali kematian
bahkan dengan cara yang paling mengerikan. Namun baru saat itu
ia menyadari, betapa kematian itu dapat menumbuhkan ketakutan
dan kengerian. Setiap kali ia membunuh di bagian belakang
rumahnya, dan yang sebenarnya dilakukan oleh ketiga iblis itu pula,
ia tidak mengerti, betapa perasaan yang paling menyiksa telah
menghinggapi korban-korbannya. Ia baru menyadari, setelah ia
sendiri mengalaminya. Betapa ia disiksa kecemasan dan bahkan
ketakutan ketika ia melihat satu demi satu pengawalnya terkelupas
oleh lingkaran iblis di halaman rumahnya itu. Betapa ia
membayangkan saat kematian yang menjadi semakin dekat.
Terasa sesuatu telah menyumbat dadanya disaat terakhir. Disaat
kematian itu rasa-rasanya sudah mulai meraba ujung rambutnya.
Namun kini ia telah terlepas dari jari-jari maut itu. Ketiga
pengawalnya yang berkhianat itu telah terbunuh oleh seorang anak
muda yang tidak dikenalnya.
"Jika anak muda itu mengetahui siapakah kami, apakah ia mau
menolongnya pula?" pertanyaan itu telah membersit di hati Nyi
Buyut. Tetapi ternyata bukan saja di hati Nyi Buyut, tetapi juga di hati Ki
Buyut. Namun rasa-rasanya yang mendatang adalah suatu
kesempatan baginya untuk melakukan cara hidup yang lain, yang
barangkali lebih baik dari cara yang pernah ditempuhnya.
1127 Sejenak kemudian orang-orang di halaman itu bagaikan
terbangun dari sebuah mimpi yang dahsyat ketika mereka melihat
anak muda itu terbatuk. Mereka melihat setitik darah di bibirnya.
Namun kemudian anak muda itu mengusapnya dan sejenak
kemudian ia menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali, seolah-olah
udara di seluruh padukuhan itu akan dihisapnya.
Perlahan-lahan anak muda itu pun berdiri. Diangkatnya kedua
tangannya tinggi-tinggi, seperti orang yang menggeliat dipagi hari
demikian ia bangun dari pembaringan.
Tidak seorang pun yang bertanya sesuatu kepadanya. Mereka
hanya menyaksikan anak muda itu mengambil sesuatu dari sebuah
bumbung kecil di kantong ikat pinggang kulit yang besar yang melilit
di lambungnya. Namun setiap orang menduga, bahwa anak muda itu sedang
berusaha mengobati dirinya sendiri dengan obat yang dibawanya.
Ternyata dugaan mereka tidak salah.
Sejenak kemudian nampak anak muda itu menjadi semakin
segar. Wajahnya yang pucat, perlahan-lahan menjadi kemerahan.
Sejenak kemudian anak muda itu menarik nafas dalam-dalam.
Dikembangkannya tangannya seolah-olah ia ingin meyakinkan
dirinya sendiri, bahwa kekuatannya telah tumbuh kembali meskipun
belum pulih sama sekali. Ki Buyut dan Tapak Lamba menyaksikan sikap anak muda itu
dengan berharap-harap cemas. Seolah-olah mereka pun menjadi
bagian dari keadaan anak muda itu dalam keseluruhan. Jika anak
muda itu menjadi bertambah baik, rasa-rasanya mereka pun akan
menjadi bertambah baik pula.
Sejenak kemudian barulah anak muda itu melangkah mendekati
mereka. Sambil memandang berkeliling ia berkata, "Apakah yang
sebenarnya telah terjadi disini?"
1128 Ki Buyut menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia
menjawab, "Ketiga orang itu adalah pengawal-pengawalku anak
muda. Tetapi pada suatu saat, mereka telah melawanku."
"Mereka adalah orang yang sangat berbahaya dengan ilmu
hitamnya." "Kami mengucapkan terima kasih, bahwa Ki Sanak telah
menyelamatkan jiwa kami."
"Kalian pun telah menyelamatkan aku. Jika kalian tidak berusaha
menahan orang terakhir dari ketiga orang itu dengan
mengganggunya saat ia memusatkan kekuatannya, maka aku kira
aku pun telah mati pula. Setidak-tidaknya aku akan menjadi terluka
parah." "Tetapi kedatangan anak muda di padukuhan ini telah
menyebabkan beberapa jiwa terselamatkan. Jika Ki Sanak tidak
datang ke padukuhan terpencil ini, maka kami semuanya akan
menjadi bahan permainan ketiga iblis itu dengan cara yang sangat
mengerikan." Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia
pun bertanya, "Apakah ia pernah berbuat sesuatu di padukuhan ini
sebelum ia berkhianat kepada ki Buyut?"
Ki Buyut menjadi bingung. Apakah ia harus berterus terang atas
apa yang pernah dilakukannya selama ini bersama ketiga orang itu"
Dalam kebimbangan ia memandang Tapak Lamba seolah-olah
ingin mendapat petunjuk apakah yang sebaiknya dikatakan kepada
anak muda yang telah menyelamatkan jiwa mereka itu.
Tapak Lamba pun ragu-ragu sejenak Namun kemudian ia berkata
kepada Ki Buyut, "Ki Buyut. Bukankah anak muda ini pernah
bertanya atau menyebut-nyebut daerah bayangan hantu. Dengan
demikian, maka cara yang kalian tempuh selama ini untuk
bersembunyi tidak berhasil seluruhnya, karena masih ada juga
kecurigaan terhadap daerah ini. Ternyata ada segolongan orang
1129 yang telah memberikan nama yang tepat kepada padukuhan ini,
daerah bayangan hantu."
Ki Buyut termangu-mangu. Namun kemudian ia bertanya kepada
anak muda itu, "Darimanakah Ki Sanak mendapatkan nama itu?"
"Tetapi bukankah Ki Buyut telah membenarkan pada saat aku
mendekati perkelahian yang sedang berlangsung bahwa daerah
inilah yang disebut daerah bayangan hantu?"
"Anak muda, saat itu aku hanya bermaksud untuk menakutimu
agar kau pergi dari tempat ini dan tidak terlibat perkelahian dengan
ketiga iblis itu. Tetapi justru kaulah yang telah berhasil
membinasakannya." "Terima kasih atas usahamu menyelamatkan aku Ki Buyut.
Tetapi kenapa daerah ini merupakan daerah yang tidak dapat
dimengerti oleh orang-orang di sekitar hutan di seberang." anak
muda itu berhenti sejenak, lalu, "Tetapi menilik kehadiran ketiga
iblis itu, daerah ini memang sepantasnya disebut daerah bayangan
hantu." Ki Buyut tidak segera menjawab. Ia menjadi bingung, apakah
yang sebaiknya dikatakannya.
"Ki Buyut." berkata anak muda itu, "Aku ingin mendapat
keterangan yang sebenarnya. Ketiga orang itu sudah mati. Mereka
tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi. Coba, katakanlah, apakah
mereka sering melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak dapat
dimengerti oleh kita pada umumnya, yang tidak menganut ilmu
hitamnya yang mengerikan itu?"
"Maksud anak muda?"
"Ilmu hitam itu dibayangi oleh kebiasaan yang buruk sekali.
Membunuh dengan cara yang tidak masuk akal."
"O." Ki Buyut menundukkan kepalanya. Tetapi ia tidak segera
menyahut. 1130 Dalam keheningan itu, tiba-tiba saja mereka dikejutkan oleh isak
tangis Nyai Buyut di pendapa. Ia tidak dapat beringsut dari
tempatnya. Tetapi ia mendengar semua percakapan itu, sehingga
akhirnya ia berkata, "Ya anak muda. Kau benar. Kami semuanya di
sini telah dijangkiti oleh penyakit yang gila itu. Aku pun telah dijalari
oleh kebiasaan membunuh dengan cara yang tidak masuk akal."
"Jadi kalian juga pernah melakukannya."
"Anak muda." potong Ki Buyut. Tetapi Nyi Buyut mendahului,
"Ya. Tetapi sama sekali bukan maksud kami. Kami tiba-tiba saja
telah terjerumus kedalam kebiasaan itu di luar kesadaran kami,
karena kebiasaan itu rasa-rasanya memang sangat menyenangkan."
Anak muda itu menjadi tegang. Lalu, "Jadi kalian juga memiliki
ilmu iblis itu?" Nyi Buyut termangu-mangu sejenak. Dipandanginya suaminya
yang ragu-ragu. Namun kemudian Ki Buyut pun berkata, "Tidak Ki
Sanak. Kami tidak memiliki ilmu itu. Kami hanya sekedar terseret
oleh kebiasaannya membunuh dengan cara-cara yang mengerikan."
"Kenapa kalian melakukannya?"
Ki Buyut tidak segera menyakut. Ia ragu-ragu untuk mengatakan
alasan yang sebenarnya, bahwa mula-mula ia hanya didorong oleh
keinginannya untuk menghilangkan jejak persembunyiannya. Agar
tidak seorang pun yang dapat menceriterakan tentang dirinya, maka
semua orang yang pernah menemukannya bersembunyi
dipadukuhan itu harus dilenyapkan, dibumbui oleh kebiasaan
pengawalnya, maka jadilah padukuhan itu daerah bayangan hantu.
Namun yang kemudian dikatakannya adalah, "Ki Sanak. Kami
tidak tahu, kenapa kami pun terseret kepada kebiasaan itu. Mulamula
bukan maksud kami. Tetapi lambat laun, kami pun terbiasa
membunuh." Tapak Lamba menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, bahwa
mula-mula Ki Buyut hanya sekedar ingin menyembunyikan diri.
1131 Namun ia pun tidak dapat mengatakannya kepada anak muda yang
belum dikenalnya itu. "Ki Buyut." berkata anak muda itu kemudian, "Apakah Ki Buyut
kini menyadari bahwa yang pernah Ki Buyut lakukan adalah
perbuatan yang salah?"
"Tentu Ki Sanak. Karena itu pulalah agaknya maka telah terjadi
perkelahian di antara kami. Kedatangan kawanku itu agaknya telah
membuka mataku, bahwa seharusnya aku tidak melakukan
pembunuhan-pembunuhan serupa itu. Tetapi ketiga pengawalku itu
memaksaku untuk berbuat demikian seterusnya."
"Tentu Ki Buyut. Ketiga iblis itu harus melakukannya terus.
Adalah menjadi salah satu ketentuan bagi mereka, bahwa mereka
harus membunuh dan membunuh. Mereka harus membiasakan diri
melihat darah menitik dari tubuh korbannya, dan kadang-kadang
dilakukannya dengan cara yang paling terkutuk. Untuk memperkuat
ilmunya, maka seakan-akan mereka harus memberikan korban
darah bagi kepercayaannya itu."
"Gila." desis Nyi Buyut, "Ternyata kami telah menjadi alat yang
paling baik bagi mereka untuk mendapatkan korban-korban
baginya." "Agaknya memang demikian meskipun aku pun menjadi heran
bahwa Ki Buyut dan para bebahu padukuhan ini dapat terseret ke
dalam tingkah lakunya itu. Dan yang akhirnya Ki Buyut dan bebahu
padukuhan ini tidak dapat lagi keluar dari dalamnya."
"Ya. Itulah yang sangat aku sesali." sahut Ki Buyut, "Namun
demikian, aku tidak pernah memberikan korban orang-orang ku
sendiri." "Itulah sebabnya bagi orang diluar daerah ini menyebut daerah
ini sebagai daerah yang dibayangi oleh hantu-hantu. Ternyata
daerah ini memang tinggal tiga orang iblis yang berhasil membujuk
Ki Buyut dan bebahu daerah ini untuk berbuat keji seperti tingkah
laku hantu yang sebenarnya."
1132 "Ya. Kami menyesal sekali." Ki Buyut menundukkan kepalanya.
"Ki Buyut." berkata anak muda itu, "Apakah Ki Buyut dapat
membawa aku ketempat pembantaian yang sering dilakukan oleh
ketiga iblis itu?" "O. jangan anak muda. Tempat itu mengerikan sekali. Aku yang
sekarang menyadari betapa tingkah lakuku benar-benar bagaikan
iblis itu, tidak berani lagi membayangkan apa yang ada di dalam
ruang pembantaian itu."
"Tetapi aku ingin melihatnya."
Tapak Lamba pun tiba-tiba saja menyela, "Aku pun ingin
melihatnya Ki Buyut."
Anak muda itu memandang Tapak Lamba dengan heran. Bahkan
kemudian ia pun bertanya, "Jadi kau bukan bebahu pedukuhan ini?"
"Aku bukan." jawab Tapak Lamba, "Aku datang berempat.
Tetapi yang lain adalah bebahu padukuhan ini."
"Justru ia nyaris menjadi korban terakhir anak muda." berkata Ki
Buyut, "Ia adalah sahabatku yang sudah lama sekali tidak bertemu.
Orang itulah yang memberikan kesadaran padaku, bahwa cara
hidup ini tidak dapat berlangsung lebih lama lagi. Aku pun menjadi
sadar, bahwa hal ini memang harus dihentikan."
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Anak muda itu mengangguk-angguk, dan sekali lagi meminta
kepada Ki Buyut, "Aku benar-benar ingin melihat alat-alat yang
tentu sudah diciptakan oleh iblis-iblis itu Ki Buyut."
Ki Buyut tidak dapat ingkar lagi. Meskipun ketika mereka mulai
melangkah, Nyi Buyut di pendapa telah memekik kecil.
Ki Buyut tertegun sejenak. Lalu katanya, "Ki Sanak. Isteriku telah
lumpuh. Maaf, aku akan membawanya masuk lebih dahulu."
Anak muda itu tidak berkeberatan. Dibiarkannya Ki Buyut
membawa isterinya masuk lebih dahulu ke rumahnya.
1133 "Kenapa kau bawa mereka." berkata Nyi Buyut kepada
suaminya, "Tempat terkutuk itu harus dimusnakan. Semuanya. Aku
muak melihatnya. Bahkan jika benda-benda itu masih ada, mungkin
aku akan mempergunakannya untuk membunuh diri."
"Aku akan memusnakannya Nyai." berkata Ki Buyut, yang
kemudian meninggalkannya isterinya di dalam biliknya dan
membawa tamu-tamunya kebagian belakang rumah. Tempat yang
selama itu menjadi tempat yang sangat rahasia bagi orang lain.
Anak muda yang telah menolong Ki Buyut itu mengikutinya
dengan hati yang berdebar-debar. Di belakangnya berjalan Tapak
Lamba dan ketiga kawannya. Meskipun mereka adalah orang-orang
yang tidak gentar melihat darah, namun hati mereka pun menjadi
serasa menyempit. Ketika mereka semuanya memasuki sebuah bilik yang besar, di
bagian belakang halaman rumah Ki Buyut, mereka hampir tidak
percaya akan penglihatan mereka. Rasa-rasanya mereka benarbenar
telah berada di dalam neraka yang paling jahanam.
Anak muda itu tidak dapat tinggal beberapa kejap saja di dalam
bilik itu. Demikian ia masuk, maka ia pun dengan tergesa-gesa telah
melangkah keluar. Demikian juga Tapak Lamba dan ketiga kawankawannya.
Bahkan Ki Buyut sendiri, tiba-tiba menjadi pening
melihat segala macam benda yang ada di dalam bilik itu. Benda
yang tidak pantas dibuat oleh tangan-tangan manusia yang
mempunyai akal tetapi juga budi.
"Mengerikan sekali." desis anak muda itu.
"Ya anak muda." sahut Ki Buyut, "Tanpa tiga orang iblis itu,
maka bilik yang besar itu akan segera musna."
"Jadi benar iblis itu yang menciptakannya?"
"Ya. Dibumbui oleh keadaan yang kalut dari keluarga kami. Ayah
tiri isteriku yang serakah, dendam keluarga dan keadaanku sendiri
yang gelap, merupakan tempat yang subur bagi ketiga iblis itu
untuk menciptakan neraka yang mengerikan itu."
1134 Anak muda itu mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Sudahlah Ki
Buyut. Apa yang aku lihat telah mengatakan kepadaku, apa saja
yang pernah terjadi disini. Padukuhan ini benar-benar menjadi
daerah yang dapat disebut daerah bayangan hantu. Agaknya ada
juga orang-orang yang berhasil mencium peristiwa yang telah
terjadi disini. Mungkin tidak ada orang yang dapat keluar lagi dari
padukuhan ini apabila ia telah memasukinya. Tetapi justru orangorang
padukuhan ini sendirilah yang telah menceriterakan kepada
orang lain, apabila mereka memerlukan sesuatu di luar daerah ini."
"Orang-orang dipadukuhan ini pun tidak banyak yang
mengetahui apakah yang sebenarnya telah terjadi."
"Agaknya memang satu dua orang saja. Tetapi mereka adalah
orang-orang biasa yang dapat saja menjadi khilaf sehingga sepatah
dua patah kata, terloncat dari bibir mereka, apakah yang telah
terjadi di daerah ini, sehingga di balik hutan sebelah itu, diberitakan
orang ada sebuah daerah yang disebut daerah bayangan hantu.
Jalma mara, jalma mati, sato mara sato mati.
Ki Buyut mengangguk-angguk.
"Sudahlah Ki Buyut. Aku harap bahwa daerah ini tidak lagi
menjadi daerah yang mengerikan itu. Biarlah padukuhan ini menjadi
padukuhan yang sewajarnya. Dengan demikian maka padukuhan ini
tentu akan dapat berkembang. Hutan di sebelah adalah hutan yang
rindang. Bukan hutan lebat yang dapat membatasi perkembangan
daerah terpencil ini."
Ki Buyut mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak juga dapat
mengatakan bahwa ia adalah seseorang yang memang sengaja
menyembunyikan diri dari pergaulan hidup.
Namun akhirnya Ki Buyut itu pun bercermin pada Tapak Lamba.
Meskipun ia justru tinggal di kota, namun ia berhasil menyingkirkan
dirinya dari pengamatan prajurit-prajurit Singasari.
Karena itu, maka Ki Buyut itu pun kemudian berkata, "Terima
kasih anak muda. Aku akan mencoba untuk melakukannya. Mudahmudahan
padukuhan ini akan segera menjadi padukuhan yang
1135 sewajarnya seperti padukuhan-padukuhan lain. Namun demikian
kami sadar, bahwa padukuhan ini tentu akan kehilangan
ketenangannya." "Ya. Aku pun berpendapat demikian. Padukuhan ini akan
kehilangan ketenangan dan kedamaiannya. Tetapi ketahuilah Ki
Buyut, bahwa ketenangan dan kedamaian yang nampak pada wajah
padukuhan ini adalah ketenangan dan kedamaian yang kelam,
karena dibalik ketenangan dan kedamaian itu, telah terjadi
peristiwa-peristiwa yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang
berhati iblis." Ki Buyut mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ki Buyut. Biarlah orang-orang Ki Buyut menguburkan korbankorban
yang masih berserakan. Bilik itu memang harus dimusnakan
bersama segala isinya. Alat-alat yang telah diciptakan oleh ketiga
orang itu tidak boleh dilihat oleh orang lain, sehingga tidak
menimbulkan dorongan bagi mereka yang memiliki hati yang lemah
untuk melakukan perbuatan serupa dalam pengaruh ilmu hitam.
Karena ilmu itu memang memerlukan darah pada saat-saat
tertentu." Kulit tubuh Ki Buyut meremang. Jika biasanya ia berada didalam
bilik itu dengan kesenangan yang rasa-rasanya melonjak didasar
hatinya, maka kini ia merasa bahwa saat-saat yang demikian adalah
saat iblis berkuasa di dalam dirinya.
"Aku akan membakar bilik itu." berkata Ki Buyut. "Sekarang juga
aku akan melakukannya."
"Itu akan menimbulkan kegelisahan dan kebingungan banyak
orang jika Ki Buyut melakukannya dengan tiba-tiba. Jika Ki Buyut
memang akan membakarnya, Ki Buyut harus memberitahukannya
kepada penduduk padukuhan ini."
"Tetap: mereka tidak tahu, bahwa di belakang rumah ini ada
sebuah bilik seperti isi nereka ini."
1136 "Ki Buyut tidak perlu memberitahukannya. Ki Buyut. dapat
mengatakan, bahwa Ki Buyut merasa perlu membakar rumah yang
berada di halaman belakang karena sesuatu sebab."
Ki Buyut mengangguk-angguk. Ia memang dapat mencari alasan
apa saja yang dapat diterima oleh penduduk padukuhan itu.
"Baiklah anak muda." katanya, "Aku akan mengatakan kepada
penduduk di padukuhan ini, bahwa aku perlu membakar lumbungku
yang sudah kosong, sebagai korban yang akan dapat membuat
padukuhan ini menjadi lebih subur seperti perintah Dewa-Dewa
yang aku dengar di dalam mimpi."
Anak muda itu tersenyum. Katanya, "Kau memang terbiasa
memperbodoh rakyatmu. Tetapi mudah-mudahan kali ini adalah kali
yang terakhir Sebab jika kau terlampau sering melakukannya, maka
nilai perintah Yang Maha Agung akan menjadi turun dimata mereka,
karena setiap kali mereka mendengar ucapan semacam itu. padahal,
sama sekali bukannya yang sebenarnya demikian."
"Baiklah anak muda. Aku mengerti."
"Lakukanlah. Aku akan minta diri meninggalkan daerah ini. Tetapi
sepeninggalku, hati-hatilah Mungkin ada orang yang mencari ketiga
iblis yang terbunuh itu. Katakanlah kepada mereka, bahwa akulah
yang telah membunuhnya, agar mereka mencurahkan dendamnya
kepadaku." Ki Buyut termangu-mangu sejenak. Lalu ia pun kemudian
bertanya, "Siapakah anak muda ini sebenarnya" Anak muda sudah
menolong kami. melepaskan kami dari kesulitan yang akan dapat
membawa jiwa kami. Tetapi kami belum tahu si apakah Ki Sanak
ini." Anak muda itu tersenyum. Katanya, "Sebenarnya namaku tidak
penting bagi kalian. Jika bukan karena kemungkinan datang
pembalasan dari keluarga atau saudara-saudara seperguruan ketiga
iblis itu, aku tidak perlu menyebut namaku."
1137 "Nama Ki Sanak sangat penting bagi kami, agar kami setiap kati
dapat menyebut nama Ki Sanak dihadapan anak cucu kami."
Anak muda itu tertawa. Katanya kemudian, "Baiklah."
"Orang tuaku memberi nama kepadaku, Mahisa Bungalan."
"Mahisa Bungalan, putera Mahendra." tiba-tiba saja Tapak Lamba
menyebutnya dengan lantang di luar sadarnya.
Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Dipandanginya Tapak
Lamba sejenak. Lalu ia pun bertanya, "Darimanakah kau pernah
mendengar namaku dan nama ayahku?"
Barulah Tapak Lamba sadar akan keterlanjurannya. Karena itu
untuk beberapa saat ia bingung. Dipandanginya Ki Buyut dan anak
muda itu berganti-ganti. Namun mereka tidak memberikan kesan
apapun yang dapat membuka jawaban bagi pertanyaan yang sulit
itu. Namun akhirnya ia pun menjawab. "Anak muda, aku memang
pernah mendengar nama Mahisa Bungalan putera Mahendra. Aku
telah pernah mendengar pula nama orang-orang yang memiliki ilmu
setingkat dengan Mahendra, Witantra dan Mahisa Agni."
"Bukan setingkat dengan ayah Mahendra, tetapi keduanya
adalah orang-orang yang memiliki ilmu puncak di Singasan
sekarang. Sedang ayah tentu bukan apa-apa bagi mereka."
"Itu adalah ciri dari orang-orang mumpuni." berkata Tapak
Lamba kemudian, "Anak muda adalah orang yang sangat rendah
hati." "Ah. Sudahlah. Nama seseorang memang dapat saja didengar
oleh orang lain. Nama ayah. nama pamanda Witantra yang juga
bergelar Panji Pati-pati. Nama pamanda Mahisa Agni yang tidak ada
duanya, nama pamanda Lembu Ampal dan mungkin masih banyak
nama lagi." ia berhenti sejenak lalu, "Yang penting, katakan saja
nama-nama itu kepada setiap orang yang akan membalas dendam
kematian ketiga iblis berilmu hitam itu. Aku tidak berkeberatan.
Setiap saat aku akan bersedia membuat perhitungan dengan
1138 perguruan mereka yang masih belum aku ketahui. Ilmu mereka
adalah ilmu yang menurut pengamatanku sudah lama hilang dari
Singasari, namun yang kini tiba-tiba saja telah muncul di daerah
terpencil yang kemudian disebut daerah bayangan hantu."
"Baiklah anak muda. Aku akan mencoba menyebut nama-nama
itu. Terutama nama Mahisa Bungalan."
"Pamanda Witantra dan pamanda Mahisa Agni tentu akan
membantuku jika pada suatu saat aku menemui kesulitan dengan
ilmu hitam itu. Ilmu yang sudah lama sekali hilang."
Ki Buyut mengangguk-angguk. Tetapi Tapak Lamba nampak
gelisah. Meskipun demikian ia berusaha untuk melenyapkan segala
macam kesan dari wajahnya.
Sejenak kemudian anak muda itu benar-benar meninggalkan!
rumah Ki Buyut. Meskipun Ki Buyut mencoba menahannya untuk
sekedar memberikan semangkuk air untuk obat haus, namun anak
muda itu menggelengkan kepalanya sambil berkata, "Aku akan
minta sebutir kelapa muda nanti diperjalanan. Sekarang aku tidak
haus meskipun aku baru saja bertempur melawan iblis-iblis itu."
"O." Ki Buyut dengan tergopoh-gopoh memanggil seorang
pembantunya. "Ia akan memanjat sekarang juga anak muda."
Sekali lagi Mahisa Bungalan menggelengkan kepalanya sambil
tersenyum. "Tidak sekarang Ki Buyut. Nanti di perjalanan."
"Sekarang Ki Sanak akan pergi kemana?" bertanya Ki Buyut.
"Aku adalah seorang pengembara. Tetapi agaknya aku akan
kembali menyeberangi hutan itu karena aku sudah melihat daerah
yang disebut daerah bayangan hantu."
Ki Buyut mengangguk-angguk. Lalu, "Aku berharap bahwa setiap
kali anak muda dapat singgah kepadukuhan ini."
Anak muda yang bernama Mahisa Bungalan itu termangu-mangu
sejenak. Kemudian ia pun bertanya dengan nada datar, "Apakah
gunanya setiap kali aku harus datang kemari?"
1139 "Tidak apa-apa anak muda. Tetapi kau sudah pernah
menyelamatkan kami dari terkaman iblis itu. Dengan demikian maka
kau adalah orang yang mempunyai arti tersendiri bagi padukuhan
ini." jawab Ki Buyut, lalu, "Selebihnya, mungkin kau dapat
membantu melindungi kami jika tumbuh persoalan yang
berkepanjangan dengan keluarga atau perguruan iblis yang
mengerikan itu." Mahisa Bungalan tersenyum. Katanya, "Sudah aku katakan. Jika
mencari orang yang membunuh ketiga iblis itu. sebutlah namaku.
Mahisa Bungalan, anak Mahendra."
"Baiklah anak muda. Mudah-mudahan pengembaraanmu tidak
mengalami kesulitan apapun di perjalanan. Demikian juga
hendaknya kami yang kau tinggalkan."
Mahisa Bungalan pun kemudian minta diri kepada setiap orang
dihalaman itu. Kepada Ki Buyut ia berpesan agar disampaikan pula
kepada Nyi Buyut salamnya dan bahwa ia terpaksa segera
meninggalkan padukuhan itu.
Sepeninggal Mahisa Bungalan, maka Ki Buyut pun segera
memerintahkan orang-orangnya untuk membersihkan halaman.
Menyingkirkan mayat-mayat yang berserakan dan kemudian
mempersiapkan pembakaran bilik yang telah dibuatnya menjadi
neraka yang paling mengerikan.
Sementara itu, Tapak Lamba yang duduk di serambi belakang
rumah Ki Buyut itu pun berbisik, "Anak yang aneh. Ia datang
dengan tiba-tiba, namun kemudian pergi pula dengan tergesa . Ia
sama sekali tidak mau singgah barang sebentar. Bahkan minum pun
tidak sempat." "Ya." sahut Ki Buyut, "Agaknya demikianlah wataknya. Ia datang
untuk bertempur melawan kejahatan. Kemudian menghilang seperti
asap yang ditiup angin."
Tapak Lamba menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Aku
kini berada dalam keadaan yang sulit."
1140 Ki Buyut mengerutkan keningnya. Kemudian ia pun bertanya,
"Kenapa?" Tapak Lamba tidak segera menjawab. Agaknya Ki Buyut pun
harus berdiri pula dari tempatnya karena orang-orang yang
menyiapkan pembakaran bilik itu, sudah siap.
"Baiklah." berkata Ki Buyut, "Kita tidak akan menyulutnya
sekarang. Kalian memberitahukan kepada penduduk padukuhan ini,
bahwa Ki Buyut akan melakukan upacara korban, membakar sebuah
lumbung kosong agar tanah di sekitar padukuhan ini menjadi
semakin subur seperti perintah yang didengarnya dalam mimpi.
Karena, itu, mereka tidak usah menjadi gelisah dan ketakutan."
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jadi kapan kita akan membakarnya?"
Setelah hampir setiap orang mengetahuinya. Beritahukan
beberapa orang yang terpencar. Dan pesan kepada tetanggatetangga
mereka terdekat, sambung bersambung.
Beberapa orang pun kemudian pergi untuk memberitahukan,
bahwa Ki Buyut telah bermimpi, agar sebuah dari lumbungnya yang
telah kosong dibakar, sebagai korban untuk kesuburan sawah
mereka. Baru setelah orang-orang itu pergi berpencar, maka Ki Buyut
bertanya kepada Tapak Lamba, "Kenapa kau kini justru berada
dalam kesulitan?" "Ki Buyut." berkata Tapak Lamba, "Aku bukanlah orang yang
bersih sama sekali dari tindak kejahatan. Seperti yang aku katakan,
aku pun seorang pembunuh yang tidak tanggung-tanggung. Tetapi
aku tidak mempergunakan cara seperti yang kau lakukan disini, dan
tujuan yang tidak menentu, sekedar untuk melepaskan nafsu
kekejian. Jika kau mempunyai alasan untuk melenyapkan jejak
pelarianmu dan sekedar dendam yang tersimpan di dalam hati,
maka alasan itu kemudian menjadi kabur dengan sekedar sebuah
kesenangan. Kesenangan melihat darah mengucur dan wajah yang
ketakutan menjelang maut. Bahkan kemudian jerit dan sesambat
1141 kau anggap bagaikan dendang yang merdu mengiringi lepasnya
nyawa dari badannya."
"Sudahlah. Apakah yang sebenarnya ingin kau katakan?"
"Ki Buyut. Di Singasari aku pernah berusaha membunuh dua
orang anak muda. Tetapi gagal karena Linggadadi telah
menghalangi aku. Namun demikian, sama sekali bukan karena
Linggadadi menentang tindak kejahatan serupa itu. Ia mencegah
aku melakukan pembunuhan karena ia tidak mau mengusik prajurit
Singasari. Ia mengharap agar Singasari untuk waktu yang lama
tetap tenang dan tenteram, sehingga para Senapatinya menjadi
lengah." Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, "Suatu cara yang baik."
"Ya. Dan aku memang gagal membunuh kedua anak muda itu.
Bahkan aku menerima sebuah tawaran yang sangat menarik,
Bekerja bersama dengan saudara tua Linggadadi, Linggapati dari
Mahibit." "Sudah pernah kau singgung."
"Ya. Tetapi sekarang tiba-tiba Mahisa Bungalan telah
menyelamatkan nyawaku." ia berhenti sejenak, lalu, "Sedangkan
kedua anak muda yang hampir saja menjadi korban dendamku
adalah kedua adiknya."
"He?" "Ya. Kedua anak muda itu adalah anak-anak Mahendra pula.
Adik Mahisa Bungalan itu."
Ki Buyut dan orang-orang yang mendengar keterangan Tapak
Lamba itu termangu-mangu. Mereka tidak dapat merasakan
langsung kebimbangan yang membelit hati Tapak Lamba. Namun
mereka dapat membayangkan, bahwa Tapak Lamba seolah-olah
berdiri ditengah-tengah simpang jalan yang sulit untuk menentukan,
jalan manakah yang harus dipilih.
1142 "Siapakah kedua adik Mahisa Bungalan itu?" bertanya Ki Buyut
kemudian. "Mahisa Murti dan Mahisa Pukat." jawab Tapak Lamba.
Ki Buyut mengangguk-angguk. Sementara Tapak Lamba
menceriterakan apa yang sudah dilakukan oleh ketiga orang
kawannya dan dirinya sendiri. Dan yang kemudian muncul seorang
yang bernama Linggadadi. "Aku tidak tahu, siapakah yang lebih tinggi ilmunya. Linggadadi
dan Linggapati atau Mahisa Bungalan." berkata Tapak Lamba
kemudian, "Bagiku kedua belah pihak adalah orang-orang yang
memiliki kelebihan yang sukar dinilai. Apalagi keduanya
menunjukkan kemampuannya dalam suasana yang sangat
berbeda." Ki Buyut mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian
katanya, "Tetapi bagaimanapun juga, Linggapati dari Mahibit tidak
akan dapat banyak berbuat. Yang kita lihat adalah kemampuan
yang ditunjukkan oleh Mahisa Bungalan. Apalagi jika kemudian
Mahendra sendiri ikut campur. Sedangkan Mahendra biasanya tidak
berdiri sendiri. Tetapi di sampingnya ada Mahisa Agni, Panji Pati-pati
dan beberapa orang kuat lainnya yang sekarang berada di Singasari
mengelilingi dan menjadi perisai kekuasaan Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka." Tapak Lamba menarik nafas dalam-dalam. Sambil berdesah ia
berkata, "Aku memang menjadi bingung."
"Kau berhutang budi kepada Mahisa Bungalan. Tetapi kau
mempunyai cita-cita yang sudah kau jalin sebelum kau datang
kemari. Bukankah kedatanganmu itu ada hubungannya dengan
rencanamu untuk bekerja bersama dengan orang-orang dari
Mahabit itu?" "Ya. Tetapi benar-benar membingungkan sekarang."
1143 "Sudahlah. Kita akan memikirkannya kelak. Sekarang, kita
tunggu, apakah orang-orang yang memberitahukan pembakaran
bilik itu sudah merata."
Tapak Lamba mengangguk-angguk. Sekilas terbayang, isi dari
bilik yang mengerikan itu. Benar-benar seperti isi neraka yang paling
seram. Di dalamnya terdapat berbagai macam alat untuk menyakiti
dan menyiksa orang. Kemudian cara-cara membunuh yang paling
biadap dan terkutuk. Selebihnya adalah korban-korban yang dengan
tanpa perasaan disimpan dalam bentuk yang beraneka macam.
Sejenak kemudian, maka beberapa orang yang berpencar
mengelilingi padukuhan itu pun sudah berkumpul kembali. Mereka
sudah memberitahukan rencana itu kepada hampir setiap orang
sehingga jika pembakaran itu dilakukan, maka isi padukuhan itu
tidak akan terkejut lagi.
"Beberapa orang mengucapkan terima kasih, bahwa Ki Buyut
telah mengorbankan sebuah lumbung bagi kemakmuran mereka."
berkata orang-orang kepercayaan Ki Buyut itu.
"Lalu apa katamu?" bertanya Ki Buyut.
"Aku katakan kepada mereka, bahwa semua milik Ki Buyut pun
dapat dikorbankan untuk kepentingan padukuhan ini."
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya semuanya itu
sebagai suatu gurau yang segar. Tetapi rasa-rasanya jantung Ki
Buyut bagaikan ditusuk dengan duri.
Selama ini, ia adalah yang paling terkutuk di padukuhannya.
Jangankan mengorbankan semua miliknya. Yang dilakukan adalah
pelanggaran atas asas-asas kemanusiannya.
Namun dalam pada itu, maka ia pun sadar, bahwa bilik di
belakang rumahnya itu memang harus dimusnakan. Ia harus
melenyapkan semua kenangan dan bekas-bekas yang dapat
menumbuhkan kenangan buruk tentang tingkah lakunya itu.
"Baiklah." berkata Ki Buyut kemudian, "Marilah kita bakar tempat
terkutuk itu. Yang paling dekat dengan rumah ini harus dirobohkan
1144 lebih dahulu, agar api tidak terlampau dekat dan bahkan dapat
menjilat rumah ini."
Orang-orangnya pun kemudian mulai melakukan perintahnya.
Bagian yang paling dekat dengan rumah Ki Buyut, mulai dirobohkan
dan dilemparkan menjauh, agar jika bagian itu terbakar, api tidak
menjilat rumah Ki Buyut. Sejenak kemudian, maka Ki Buyut pun mulai menyalakan obor
minyak jarak. Perlahan-lahan ia melangkah masuk kedalam biliknya
yang sebagian sudah dirobohkannya itu. Disiramnya seonggok kayu
dengan minyak jarak dan kemudian dinyalakannya.
Api mulai menyala pada bagian dinding yang sudah berserakan
itu. Perlahan-lahan api itu pun menjalar ke sekitarnya. Beberapa
potong kayu yang menjadi tulang-tulang dinding bambu itu pun
telah terbakar pula. Semakin lama semakin besar, semakin besar.
Akhirnya, rumah hantu itu pun merupakan segumpal api raksasa
yang bagaikan menari-nari menjilat langit. Warna merah yang
menyeramkan telah menelan bilik yang bagaikan neraka. Dan kini
bilik itu telah dilengkapi dengan nyala api yang dahsyat. Tetapi api
itu bukan bagian dari neraka yang jahanam itu. Namun api itulah
justru yang akan menelan dan memusnakannya hingga menjadi
debu lembut dengan segenap isinya.
Dan di antara yang terbakar dari isi bilik itu adalah mayat ketiga
iblis yang telah menciptakan bilik itu dengan segala
kelengkapannya. Ketika api mulai surut, Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam.
Rasa-rasanya ada sesuatu beban yang hilang dari bahunya,
sehingga sepercik ketenangan telah menyentuh hatinya.
"Mudah-mudahan lenyaplah bilik itu dapat menumbuhkan
kedamaian di hatiku." desis Ki Buyut.
"Tetapi kita akan segera terjerumus kedalam persoalanpersoalan
lain." desis Tapak Lamba.
1145 "Persoalannya tentu berbeda. Jika kita berjuang untuk suatu
cita-cita, maka kita bukannya sejenis orang-orang yang telah
terbunuh itu. Kita melakukannya dengan sadar dan mempunyai
tujuan tertentu." Tapak Lamba menarik nafas dalam-dalam. Di dalam hatinya,
tumbuh semacam keragu-raguan. Apakah ada bedanya,
pembunuhan-pembunuhan yang bakal dilakukan dengan
pembunuhan yang pernah dilakukan oleh Ki Buyut dengan ketiga
iblis itu. "Peperangan pasti akan menimbulkan kekejaman-kekejaman
yang barangkali tidak terlampau banyak terpaut dengan yang
dilakukan oleh iblis-iblis itu." berkata Tapak Lamba didalam hatinya,
"Bilik itu adalah gambaran dari watak peperangan. Pembunuhan
tanpa pertimbangan akal, siksaan dan tindak kekejaman yang lain,
yang kadang-kadang diluar jangkauan nalar sehat bahwa hal itu
dapat terjadi." Tetapi seperti Ki Buyut yang kemudian mengajak Tapak Lamba
masuk ke dalam rumahnya setelah membersihkan diri Tapak Lamba
dan kawan-kawannnya mencoba untuk mengesampingkan semua
persoalannnya. "Beristirahatlah disini dengan tenang." berkata Ki Buyut, "Untuk
sementara kita tidak usah memikirkan, apakah kita akan berpihak
kepada orang-orang Mahibit atau berdiam diri saja disini."
Tapak Lamba mengangguk sambil tersenyum. Jawabnya,
"Baiklah Aku akan tinggal disini untuk beberapa lamanya."
"Mudah-mudahan aku akan menemukan jalan keluar yang paling
baik dari lingkaran kekalutan ini."
Sementara Tapak Lamba dan kawan-kawannya tinggal di
padukuhan itu, Mahisa Bungalan telah jauh meninggalkannya. Ia
telah berhasil menemukan daerah yang disebut daerah bayangan
hantu, dan bahkan telah menghapusnya sama sekali.
1146 "Mudah-mudahan orang-orang di padukuhan itu tidak kambuh
lagi setelah ketiga iblis itu terbunuh." berkata Mahisa Bungalan di
dalam hatinya. Sementara itu dalam perjalanan menjauh, ia masih sempat
melihat api yang mengepul tinggi. Dan ia pun tahu, bahwa Ki Buyut
dari daerah bayangan hantu, telah membakar alat-alat yang selama
beberapa saat yang lalu dipergunakannya untuk memberikan
kepuasan kepada salah satu bentuk nafsu yang tidak terkendali di
dalam dirinya, didorong oleh kehadiran tiga orang iblis berilmu
hitam yang memang setiap kali memerlukan darah untuk
menyegarkan ilmunya itu. Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Namun ia,
meneruskan perjalanannya. Kudanya berlari tidak terlampau
kencang tetapi juga tidak lambat sekali.
Ternyata bahwa untuk beberapa hari kemudian, Mahisa Bungalan
masih saja di perjalanan petualangannya. Ia mengembara dari satu
tempat ke tempat yang lain. Kepada orang-orang yang pernah
menyebut daerah bayangan hantu, Mahisa Bungalan mengatakan,
bahwa daerah itu sebenarnya tidak ada.
Baru beberapa hari kemudian ia sampai di rumahnya. Ayahnya
dan kedua adik-adiknya yang pergi ke Singasari rintuk menghadiri
upacara wafatnya seorang permaisuri dari seorang Raja yang besar
telah kembali pula. Ketika saat senggang di sore hari, Mahisa Bungalan yang duduk
bersama ayahnya mulai menceriterakan perjalanannya. Perjalanan
yang sudah sering dilakukannya tentu tidak mempunyai persoalan
yang dapat menarik hati ayahnya, jika ia tidak menyebut tiga orang
iblis yang berilmu hitam itu.
Mahendra mengerutkan keningnya. Lalu dengan nada ragu-ragu
ia bertanya, "Apakah kau benar-benar yakin, bahwa yang kau lihat
adalah ilmu hitam yang pernah disebarkan oleh Empu Paguh kirakira
seratus tahun yang lalu."
1147 "Ayah. Aku belum pernah melihat keturunan atau murid orang
yang bernama Empu Paguh. Tetapi ayah pernah menceriterakan
kepadaku, ciri-ciri dari ilmu hitam semacam itu. Dan yang aku lihat
adalah ciri-ciri seperti yang ayah ceriterakan kepadaku. Dan seperti
yang ayah ajarkan kepadaku pula, aku mencoba untuk memecahkan
ilmu itu." Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, "Ya, aku pernah
mengalami pula. Tetapi sudah berpuluh tahun yang lalu, ketika aku
masih muda. Seperti ajaran yang aku terima pula, bagaimana
melawan ilmu itu, maka aku pun memberikan kepadamu karena
sebenarnya aku pun kadang-kadang masih menyangsikan, bahwa
ilmu itu benar-benar telah punah. Ternyata seperti saat aku
menjumpai ilmu semacam itu, kau pun telah menjumpainya pula.
Untunglah bahwa yang kau temui bukannya puncak dari ilmu itu.
Jika kau temui puncak dari ilmu itu, maka aku kira kau tidak akan
mampu memecahkannya begitu mudah."
"Apakah dengan demikian berarti, bahwa masih ada orang yang
memiliki ilmu hitam yang lebih tinggi dari ketiga orang itu?"
Mahendra termenung sejenak. Ia mencoba mengingat-ingat, apa
yang pernah dilakukannya saat itu, selagi ia masih muda. Pada saat
ia merasa bahwa ia sudah berada di antara jajaran orang-orang
yang memiliki ilmu sempurna, namun yang sebenarnya barulah
sekedar impian saja. "Ketika aku tiba-tiba saja terlempar ke Panawijen dan bertemu
dengan seorang anak muda yang mengaku bernama Wiraprana,
tetapi yang ternyata adalah Mahisa Agni, barulah aku merasa bahwa
aku bukan orang terkuat di dunia." katanya di dalam hati. Karena
saat itu, Mahendra sama sekali tidak dapat memenangkan
perkelahian seorang lawan seorang melawan Mahisa Agni.
Masih terbayang, bagaimana adik seperguruannya, Kebo Ijo
mencoba untuk menolongnnya, tetapi justru oleh saudara
seperguruannya yang tertua, Witantra, usaha itu telah dicegahnya.
1148 Mahisa, Bungalan termangu-mangu sejenak melihat ayahnya
termenung. Namun kemudian ia mendengar ayahnya itu berkata,
"Mahisa Bungalan, aku kira masih ada orang yang lebih dalam
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menguasai ilmu semacam itu. Pada saat aku masih muda, aku
sudah menjumpainya. Tentu orang itu pulalah yang kemudian
berusaha menurunkan ilmunya kepada murid-muridnya. Aku tidak
tahu apakah orang yang pernah aku jumpai itu masih hidup atau
sudah mati. Tetapi untuk sementara kau harus tetap beranggapan
bahwa masih ada orang yang lebih tinggi ilmurnya dari ketiga orang
itu." Mahisa Bungalan mengangguk-angguk.
"Karena itu, tidak mustahil bahwa orang itu pada suatu saat
akan mencarimu. Bukan saja kau, tetapi juga adik-adikmu dan aku.
Bukankah kau menyebut-nyebut namaku."
"Ya, ayah." "Bagiku, sama sekali tidak berkeberatan jika pada suatu saat
dihari tua ini, aku masih harus menghadapi iblis-iblis dari neraka itu.
Tetapi yang penting adalah persiapanmu sendiri dan barangkali
kedua adik-adikmu yang tidak tahu menahu itu pun akan mengalami
akibatnya." "Mereka masih terlampau muda."
Mahendra menggelengkan kepalanya. Katanya, "Di Singasari
adikmu hampir saja mengalami kesulitan."
"Ya." sahut Mahendra, "Mereka sudah menceriterakan kepadaku,
bahwa mereka berdua telah dicegat oleh tiga orang yang tidak
dikenal." "Nah, jika demikian, maka kau dan adik-adikmu harus
mempersiapkan dirimu baik-baik. Mungkin masih ada sedikit
kesempatan dihari tua ini untuk membimbingmu memperdalam ilmu
yang telah kau miliki."
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya
sambil menundukkan kepalanya "Maaf ayah. Bahwa sampai saat aku
1149 dewasa, aku masih selalu mengganggu ketenangan ayah.
Seharusnya aku dapat mengolah bakal yang sudah ayah berikan
tanpa menyulitkan ayah lagi, karena memang sudah saatnya ayah
beristirahat. " Mahendra tersenyum. Katanya, "Aku memang tidak akan berbuat
apa-apa. Aku hanya akan memberikan beberapa petunjuk. Kau
sendirilah yang harus menyempurnakan ilmumu." ia berhenti
sejenak, lalu, "Dan sebuah peringatan bagimu, bahwa kau masih
harus merasa, dan selalu merasa, bahwa yang kau miliki itu sama
sekali belum sempurna. Kau masih harus berusaha untuk
meningkatkannya setiap saat. Karena aku pernah mengalami suatu
masa dimasa mudaku, merasa bahwa seakan-akan aku adalah orang
yang tidak terkalahkan. Tetapi ternyata bahwa ilmuku masih
terlampau rendah dibandingkan dengan orang-orang lain yang lebih
tekun daripadaku." Mahisa Bungalan mengangguk-angguk.
"Untuk melengkapi diri." berkata Mahendra kemudian, "Kau pun
harus menjumpai pamanmu Mahisa Agni. Ia memiliki dasar ilmu
yang berbeda dengan dasar ilmu kita dan pamanmu Witantra.
Selama ini kau sudah menyadapnya serba sedikit dan telah berhasil
kau luluhkan dengan ilmumu. Namun kau wajib berterus terang
bahwa kau telah menjumpai sedikit kesulitan dengan ilmu hitam
yang kau jumpai itu."
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk.
"Mudah-mudahan ilmu iblis tidak cepat menjalar karena
kematian ketiga orang itu."
"Maksud ayah?" "Untuk mencari pengikut, mereka mengumpulkan orang
sebanyak-banyaknya dan sadar atau tidak sadar, mereka akan
mengajari orang-orangnya dengan ilmu semacam itu untuk
membantu mereka menghadapi lawan-lawannya. Dan lawan yang
dianggap bebuyutan sudah barang tentu kau, aku dan adik-adikmu."
1150 Mahisa Bungalan mengangguk-angguk pula.
"Nah, pada suatu saat yang pendek, kau harus memberi lakukan
kepada paman-pamanmu agar mereka bersiap-siap menghadapi
setiap kemungkinan karena nama mereka telah kau sebut-sebut
pula." "Baiklah, ayah." jawab Mahisa Bungalan, "Aku akan segera pergi
ke Singasari." "Kau jangan membawa adik-adikmu agar tidak timbul persoalan
yang lain lagi. Aku menduga, bahwa ketiga orang yang menyerang
adik-adikmu itu sama sekali bukan ketiga orang yang kau maksud
memiliki ilmu hitam itu." Mahendra berhenti sejenak, lalu, "Dengan
demikian tidak akan membuatmu bermusuhan dengan banyak pihak
yang mungkin tidak dapat kau duga kekuatannya."
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud
ayahnya. Jika ia pergi bersama adiknya, maka ia pun akan terlibat
dalam permusuhan dengan ketiga orang yang pernah menyerang
adiknya tanpa sebab. Dan itu berarti bahwa musuhnya telak
bertambah. Mahisa Bungalan sama sekali tidak mengetahui, bahwa tiga
orang yang menyerang adiknya itu adalah orang-orang yang justru
pernah ditolongnya di daerah yang disebut daerah bayang-bayang
hantu, yang hampir saja ikut terkelupas oleh ilmu hitam iblis yang
tidak dikenalnya sebelumnya itu.
Demikianlah, maka Mahisa Bungalan pun bersiap-siap untuk
pergi ke Singasari menghadap Mahisa Agni. Namun sementara ia
masih berada di rumahnya, maka ayahnya telah membawanya
setiap malam ke dalam sanggarnya untuk memperdalam ilmu yang
pada dasarnya seluruhnya telah diberikan kepada anaknya. Tetapi
masa pematangan dan sentuhan pengalaman yang masih jauh dari
mencukupi, maka masih banyak yang harus dipelajari oleh Mahisa
Bungalan. 1151 "Kau dapat mengambil makna dari keadaan di sekitarmu."
berkata ayahnya, "Dan kemudian kau terapkan di dalam
perkembangan ilmumu."
"Aku akan mencoba ayah."
"Kehidupan yang luas dari segenap mahluk yang ada dapat kau
pelajari dan kau sadap bagi ilmumu. Pada dasarnya setiap yang
hidup akan mempertahankan hidupnya dengan cara apapun. Setiap
jenis mempunyai caranya sendiri-sendiri."
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk.
"Kau dapat melihat binatang kecil yang berusaha melepaskan
dirinya dari binatang-binatang yang jauh lebih besar daripadanya
untuk tetap hidup. Dan kau melihat bahkan kadang mereka pun
dapat berhasil." Mahisa Bungalan masih saja mengangguk-angguk. Terbayang
sekilas betapa seekor cacing menggeliat jika ujung ekornya terinjak
kaki. Dan betapa lemahnya seekor tikus menghadapi seekor kucing.
Namun kadang-kadang seekor kucing tidak juga berhasil
menangkapnya. Dengan tekun Mahisa Bungalan melatih diri, menyempurnakan
ilmu yang dasarnya sudah dikuasainya. Beberapa petunjuk telah
diberikan oleh ayahnya khusus menghadapi ilmu iblis yang ganas
itu. Bahkan untuk menyempurnakan ilmunya, Mahisa Bungalan harus
melawan ayahnya yang bertempur dengan cara yang dipergunakan
oleh ketiga orang iblis seperti yang diceriterakan oleh Mahisa
Bungalan dan yang memang pernah dilihatnya dan dilawannya pada
saat Mahendra masih muda.
"Ayah mampu menirukan ilmu itu." desis Mahisa Bungalan.
Mahendra tersenyum. Jawabnya, "Tentu hanya gerak lahiriahnya
saja. Tetapi barangkali dapat kau pergunakan sebagai bahan untuk
menyusun perlawananmu." ia berhenti sejenak, lalu, "Tetapi seperti
yang pernah kau alami sendiri, ilmu hitam itu mempunyai ciri watak
1152 tersendiri. Kau sudah berhasil memecahkan tata gerak dari tiga
orang iblis itu. Tetapi menurut perhitunganku, mereka bukannya
orang-orang yang memiliki ilmu tertinggi, sehingga kau masih harus
menyusun cara-cara yang lebih rumit untuk memecahkannya."
Mahisa Bungalan menyadari kata-kata ayahnya. Karena itu maka
ia pun menjadi semakin tekun berlatih di bawah petunjuk-petunjuk
ayahnya yang serba sedikit dapat menirukan gerak-gerak lahiriah
ilmu hitam itu. Namun yang sedikit itu sudah cukup bagi Mahendra
dan Mahisa Bungalan untuk memantapkan ilmu perlawanan mereka,
jika pada suatu saat mereka harus bertempur melawan orang-orang
yang memiliki ilmu hitam yang lebih tinggi tingkatnya.
Setelah Mahisa Bungalan menjadi semakin masak, khususnya
menghadapi ilmu hitam itu, maka Mahendra pun menganjurkan
untuk pergi menemui Mahisa Agni. Selain memberitahukan
kemungkinan munculnya orang-orang lain lagi dengan ilmu itu,
maka Mahisa Bungalan harus memperdalam pula ilmunya dengan
gerak dasar yang pernah diperolehnya dari Mahisa Agni.
"Pamanmu tentu tidak akan berkeberatan." berkata Mahendra
kemudian. Mahisa Bungalan pun kemudian mempersiapkan dirinya untuk
segera berangkat. Kedua adiknya semula ingin mengikutinya. Tetapi
ayahnya menahannya agar mereka tidak justru mengganggu
kakaknya diperjalanan. "Kakakmu tidak pergi bertamasya ke Singasari." berkata
ayahnya, "Tetapi kepergian kakakmu kali ini seperti juga
kepergiannya di saat-saat yang lalu, adalah untuk memperbanyak
pengalamannya, agar ia dapat mengetrapkan ilmu di dalam
kenyataan hidup yang akan dihadapinya di hari-hari mendatang."
"Bukankah hal itu perlu juga bagi kami?" bertanya Mahisa Murti.
"Tentu. Tetapi tidak sekarang. Kau harus mempersiapkan diri
sebaik-baiknya. Lebih-lebih lagi dengan munculnya ilmu hitam yang
sudah lama hilang itu."
1153 "Bukankah kami sudah cukup dewasa?" bertanya Mahisa Pukat.
Ayahnya tersenyum. Katanya, "Kalian harus tinggal di rumah
bersama ayah. Pada saatnya kalian pun akan mengalami masa
seperti kakakmu. Tetapi kalian masih harus tekun belajar, sehingga
bekalmu mencukupi, sebanyak bekal yang dimiliki kakakmu
sekarang." Kedua anak muda itu pun menjadi sangat kecewa. Tetapi mereka
tidak dapat memaksa agar ayahnya mengijinkannya. Karena itu,
maka sambil bersungut-sungut Mahisa Murti bertanya, "Kapankah
bekalku menjadi cukup seperti bekal kakang Mahisa Bungalan?"
"Sebentar lagi. Tidak lama. Kau sudah memiliki separoh lebih."
Mahisa Murti tidak membantah lagi, meskipun ia tidak dapat
menyembunyikan perasaan kecewanya.
Dengan beberapa pesan, maka Mahisa Bungalan pun kemudian
berangkat ke Singasari menemui Mahisa Agni. Tetapi seperti
perintah ayahnya, ia akan singgah di rumah Witantra, untuk
memberitahukan pula kepadanya, bahwa ternyata ilmu hitam itu
masih belum lenyap sama sekali. Bahkan dengan tiba-tiba telah
menjumpainya meskipun belum pada tataran yang tinggi.
Sepeninggal Mahisa Bungalan, maka kedua adiknya pun segera
merengek minta agar ayahnya mempercepat waktu penurunan
ilmunya kepada mereka. "Aku sudah cukup dewasa, dan aku masih belum mampu
berbuat apa-apa." desah Mahisa Pukat.
Mahendra tertawa. Katanya, "Itu pertanda bahwa jiwamu masih
belum masak. Jika kau benar-benar sudah dewasa, kau tidak akan
dapat minta agar aku mempercepat penurunan ilmu itu kepadamu.
Kau bukan pelembungan getah jarak yang dapat ditiup dan
melembung menjadi besar. Bahkan pelembuan getah jarak itu pun
akan pecah jika kita tidak berhati-hati meniup. Apalagi kau."
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia mengerti
maksud ayahnya. 1154 Namun karena keinginan yang melonjak-lonjak di dalam dada
kedua anak-anak muda itu, maka mereka pun kemudian berlatih
semakin tekun. Kapan saja mereka mempunyai kesempatan, maka
mereka pun mempergunakannya sebaik-baiknya.
Tetapi ayahnya selalu memperingatkan, "Jangan kalian
memaksakan diri untuk mempercepat meningkatkan ilmu kalian
dengan cara yang berlebih-lebihan. Dengan demikian, maka kau
akan melampaui kemampuan jasmaniahmu, sehingga justru kau
akan kehilangan pengamatan atas beberapa segi pemeliharaan
tubuh dan kematangan ilmu menurut lapis yang sewajarnya."
Karena itulah, maka akhirnya betapa pun mereka ingin, namun
mereka harus berlatih sesuai dengan petunjuk dan tuntunan
ayahnya, setingkat demi setingkat. Namun karena desakan hasrat
dan gairah yang mantap, maka semuanya dapat berjalan dengan
lancar, secepat rencana ayahnya bagi kedua anak-anak nya yang
muda itu. "Kalian pun harus dapat menjaga diri sehingga pada suatu saat
kalian bertemu dengan iblis semacam yang pernah dijumpai oleh
kakakmu, kalian akan dapat menyelamatkan diri sendiri, selebihnya
dapat menolong orang lain jika mereka memerlukannya." berkata
Mahendra kepada kedua anaknya yang muda itu.
Ternyata bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tidak
mengecewakannya. Mereka bukan saja berlatih dengan tekun,
namun pada diri mereka memang mengalir darah Mahendra yang
memiliki kemampuan ilmu kanuragan yang mengagumkan.
Sementara itu, Mahisa Bungalan telah berada di rumah
pamannya. Dengan singkat ia menceriterakan pertemuannya
dengan orang-orang berilmu hitam itu.
Witantra mengangguk-angguk. Katanya, "Memang sebaiknya
pamanmu Mahisa Agni kau beritahu tentang orang-orang itu.
Bahkan sampaikan pesanku, bahwa tuanku Ranggawuni dan tuanku
Mahisa Cempaka pun harus mengetahui pula, bahwa di Singasari
masih hidup ilmu semacam itu."
1155 Setelah bermalam beberapa malam di rumah Witantra, dan serba
sedikit mendapatkan petunjuk-petunjuk yang berguna baginya
bukan saja menghadapi orang-orang berilmu hitam, tetapi juga
kekuatan-kekuatan yang mungkin akan mengganggunya selama ia
mengembara mencari pengalaman yang bermanfaat bagi masa:
mendatang, maka Mahisa Bungalan pun segera minta diri.
"Ilmumu sudah meyakinkan." berkata Witantra, "Kau tinggal
mematangkannya. Jika kau ingin serba sedikit mendapat bahan dari
pamanmu Mahisa Agni, maka kau harus berhasil memadukannya
sehingga tidak justru saling mengganggu. Sebelumnya kau memang
pernah mempelajari beberapa tata gerak dasar yang pernah
diberikan oleh pamanmu Mahisa Agni dalam warna yang lain dari
ilmu yang kita miliki, namun jika kau ingin memperdalam, maka kau
memerlukan waktu untuk menyesuaikan ilmu kita dan ilmu
perguruan Panawijen itu dengan wataknya masing-masing. Perlu
kau ketahui bahwa sebenarnya Mahisa Agni pun pernah mendalami
beberapa jenis ilmu dari cabang perguruan yang berbeda-beda. Ia
pernah menekuni ilmu sudah barang tentu dari gurunya, Empu
Purwa dari Panawijen, kemudian juga ilmu dari Empu Sada dan
bahkan dari cabang perguruan kita. Maka, agaknya pamanmu
Mahisa Agni akan dengan senang hati memberikan beberapa
petunjuk dan bahkan arah yang harus kau tempuh untuk
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
meluluhkan ilmu itu, agar kau menjadi orang yang memiliki
kemampuan yang cukup untuk menghadapi kenyataan yang
kadang-kadang tidak kita kehendaki di atas dunia yang penuh
dengan rahasia ini."
"Aku mohon doa paman, agar aku dapat memenuhi harapan
paman dan ayah." "Dan harapan banyak orang yang lemah. Karena mereka
memang memerlukanmu. Kau mengerti?"
Mahisa Bungalan mengangguk, "Aku mengerti paman."
Witantra mengangguk. Ia berbangga atas anak muda itu. Anak
adik seperguruannya itu agaknya akan dapat menjadi seorang yang
memiliki bukan saja kelebihan jasmaniah, tetapi juga rohaniah. Jika
1156 ia kemudian menjadi masak lahir dan batinnya, maka ia akan
menjadi seorang yang mumpuni dalam olah kanuragan, tetapi juga
seorang yang memiliki pengabdian yang tinggi bagi sesamanya.
Ketika kemudian Mahisa Bungalan berangkat meninggalkannya
menuju ke Kota Raja, maka rasa-rasanya Witantra melihat
bayangan dari masa lampau. Seorang anak muda yang dengan
sepenuh hati mengabdikan dirinya kepada sesama, Mahisa Agni.
Ia berbuat apa saja tanpa pamrih bagi dirinya sendiri. Bahkan
kadang-kadang dengan mempertaruhkan nyawanya.
Tetapi ada sesuatu yang tidak dimengerti oleh Witantra. Bahwa,
Mahisa Agni pernah terlempar dari gapaian cita-citanya untuk
memetik bunga di lereng Gunung Kawi. Untunglah bahwa ia mampu
mengendapkan kekecewaannya, dan menyalurkannya pada garis
perjuangan hidup yang bermanfaat bagi sesamanya. Seandainya ia
gagal dengan penguasaan diri dan kehilangan arah, maka ia adalah
orang yang paling berbahaya di dunia pada waktu itu, melampaui
Kuda Sempana yang menjadi seolah-olah gila setelah ia kehilangan
kemungkinan untuk memiliki Ken Dedes. Namun untung pulalah,
bahwa pada saat terakhir Kuda Sempana pun menemukan arah
hidupnya yang benar dan berbuat bagi kebenaran, meskipun ia
harus mengorbankan hidupnya.
Kenangan jang demikian itulah yang kadang-kadang
menimbulkan kebanggaan tetapi juga kerisauan di hati Witantra. Ia
pernah mengalami pahit getirnya perkembangan Singasari sejak
jaman pemerintahan Akuwu di Tumapel. Ia pernah terlempar dari
percaturan pemerintahan setelah ia dikalahkan oleh Mahisa Agni,
karena ia membela nama baik adik seperguruannya yang dituduh
telah membunuh Akuwu Tunggul Ametung dan dihukum mati, serta
namanya telah dihinakan orang.
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Kenangan itu berjalan
seperti peristiwa-peristiwa yang sebenarnya pernah terjadi, hingga
pada suatu saat Mahisa Agni datang kepadanya untuk minta maaf
atas segala kekhilafannya.
1157 Namun bagaimanapun juga, Mahisa Agni telah berbuat untuk
suatu pengabdian apapun alasannya. Karena ia masih seorang
manusia biasa, maka ia pun dapat juga berbuat kesalahan. Dan
memang Mahisa Agni pernah berbuat kesalahan. Terapi dalam
perbandingan keseluruhan hidupnya, Mahisa Agni adalah seorang
manusia yang baik. "Mudah-mudahan Mahisa Bungalan akan mewarisi sifat-sifat itu
jika ia berada dibawah bimbingan Mahisa Agni untuk waktu yang
agak lama." berkata Witantra di dalam hatinya.
Dalam pada itu, dengan hati yang mantap, Mahisa Bungalan
menuju ke Singasari. Ia akan menghadap Mahisa Agni, dan seperti
pesan ayahnya dan pamannya Witantra, ia harus bersedia untuk
melakukan apa saja yang diperintahkan oleh Mahisa Agni.
Seperti yang diduga sebelumnya, bahwa Mahisa Agni telah
menerimanya dengan senang hati. Kehadiran Mahisa Bungalan di
Singasari, telah memberikan kegembiraan kepadanya.
Disaat-saat terakhir hidupnya terasa menjadi semakin sepi.
Setelah Ranggawuni dan Mahisa Cempaka dinobatkan menjadi
Maharaja dan Ratu Angabhaya, maka ia tidak lagi dapat bermainmain
dan bercanda lagi dengan keduanya seperti masa-masa
sebelumnya. Keduanya telah dikenakan ketentuan-ketentuan yang
harus mereka taati. Meskipun pada saat-saat tertentu keduanya
masih juga berlatih dibawah bimbingan Mahisa Agni, namun
waktunya menjadi semakin terbatas. Semakin tinggi ilmu yang telah
dituangkan kepada kedua pimpinan pemerintahan di Singasari itu,
maka semakin jarang pula ia bertemu. Bahkan kadang-kadang
pertemuannya menjadi bersifat terlampau resmi.
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka sendiri sebenarnya tidak ingin
membatasi diri pada ketentuan-ketentuan yang demikian. Sejauh
mungkin mereka berdua telah melepaskan diri dari segala macam
peraturan dan membiarkan Mahisa Agni selalu dekat pada mereka.
Namun waktu itu pun rasa-rasanya menjadi sangat terbatas.
1158 Kehadiran Mahisa Bungalan, rasa-rasanya dapat menjadi isi bagi
kekosongan yang kadang-kadang terasa di hati Mahisa Agni.
Meninggalnya Ken Dedes, terasa membekas juga di hatinya.
Meskipun menilik hubungan lahiriah, Mahisa Agni adalah saudara
angkat puteri itu, namun sebenarnya ada sesuatu yang lebih dalam
daripada itu, yang tersimpan saja di hati Mahisa Agni sejak masa
mudanya. "Kau sebaiknya tinggal di Singasari saja Bungalan." minta Mahisa
Agni, "Disini kau akan banyak mendapat pengalaman dan sudah
barang tentu kemajuan."
"Terima kasih paman. Memang menyenangkan sekali tinggal
bersama paman disini." jawab Mahisa Bungalan.
"Kalian akan segera, berkenalan dengan tuanku Ranggawuni dan
tuanku Mahisa Cempaka."
"Aku pernah menghadap paman."
"Tetapi untuk selanjutnya kau dapat mengabdikan diri disini."
Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi sebenarnyalah ia
senang sekali jika ia dapat mengabdikan dirinya di Singasari.
Namun sementara itu, ia pun tidak lupa menyampaikan pesan
ayahnya dan pamannya tentang orang-orang yang memiliki ilmu
hitam yang ternyata masih tetap berkeliaran.
Mahisa Agni agaknya memang sudah menduga, bahwa ilmu itu
tentu masih belum punah sama sekali. Seperti Mahendra, Mahisa
Agni pun pernah pada suatu kali melihat dan mengalami benturan
dengan ilmu semacam itu, meskipun pada tataran yang tidak
terlampau tinggi. Namun itu bukan berarti bahwa tidak ada tataran ilmu hitam
yang lebih tinggi dari yang dijumpainya. Jika didaerah terpencil dan
yang disebut daerah bayangan hantu itu ada tiga orang yang
memiliki ilmu itu, dan yang karenanya mereka seolah-olah iblis yang
tidak dapat dicegah segala kehendaknya, maka di belakang ketiga
orang itu tentu masih ada orang-orang lain lagi yang memiliki ilmu
1159 semacam itu dan yang bahkan lebih tinggi daripada mereka bertiga,
karena tidak mustahil bahwa orang itu adalah gurunya.
"Memang mungkin sekali kematian ketiga orang itu bukan
merupakan akhir dari perbuatan-perbuatan serupa." berkata Mahisa
Agni, "Karena itu, adalah benar pesan ayahmu dan pamanmu
Witantra bahwa kita wajib bersiaga. Jika kau memang meninggalkan
nama dan hubungan keluargamu di daerah yang semula disebut
daerah bayangan hantu itu, maka kita semuanya memang harus
bersiap-siap menghadapi setiap kemungkinan yang akan dapat
terjadi." "Aku memang meninggalkan nama paman. Tetapi bukan sekalisekali
niatku untuk menyombongkan diri. Aku mempunyai
perhitungan bahwa dengan demikian orang-orang yang mendendam
atas kematian ketiga orang yang berilmu iblis itu tidak akan
mencelakai orang-orang yang ada di padukuhan itu. Karena
menurut pengamatanku, meskipun semula Ki Buyut pun terlibat
dalam perbuatan yang terkutuk, namun ia bersama bebahu yang
lain masih belum terhisap dalam ilmu hitam itu, sehingga mereka
menurut penglihatanku, akan melepaskan diri dari pengaruh ilmu
itu." "Bagaimana jika ada beberapa orang yang kemudian menetap di
padukuhan itu?" "Maksud paman, orang-orang yang berilmu hitam itu?"
"Ya." "Tentu akan merupakan persoalan paman. Tetapi apa salahnya
jika sekali-sekali kita pergi ke tempat itu?"
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, "Ada juga baiknya.
Tetapi sebelum kita akan pergi juga kesana, kau harus menempa
dirimu lebih dahulu, sehingga kau akan menjadi seorang anak muda
yang benar-benar dapat dilepaskan untuk suatu pengabdian."
"Agaknya memang untuk itulah aku telah dikirim ayah kemari."
1160 "Sebenarnya kau sudah memiliki segala-galanya. Aku hanya
dapat memberikan beberapa kelengkapan dan sudah barang tentu
petunjuk-petunjuk yang sebenarnya tidak lebih baik dari yang dapat
diberikan oleh ayahmu. Bedanya, bahwa yang dapat aku berikan
mempunyai beberapa kelainan ujud dan watak dari yang sudah kau
miliki dari ayahmu. Itulah yang menarik, sehingga dengan demikian
kau akan mempunyai ilmu yang lebih baik dari yang lain."
"Itulah yang aku inginkan paman. Seperti paman Mahisa Agni
yang memiliki ilmu bukan saja dari perguruan Panawijen tetapi juga
dari perguruan yang lain, yang kemudian luluh manunggal menjadi
satu di dalam diri paman."
Mahisa Agni tersenyum. Katanya, "Tetapi puncak-puncak ilmu
masing-masing agaknya tidak berada di bawah ilmu yang
bercampur baur itu."
"Tentu ada bedanya paman. Dan perbedaan itulah agaknya yang
membuat paman Mahisa Agni mempunyai kelainan pula dari ayah
dan paman Wtiantra."
"Kau benar. Aku memiliki kelainan. Tetapi yang lain itu seperti
sudah aku katakan, belum tentu lebih baik dari yang sudah kau
miliki." Mahisa Bungalan pun tersenyum pula. Katanya, "Paman selalu
merendahkan diri. Ayah dan paman Witantra pun berkata
demikian." "Satu pujian yang terlampau tinggi bagiku, Bungalan."
"Ayah menceriterakan segala-galanya. Bahkan menurut penilaian
ayah, paman memiliki beberapa kelebihan dari Maharaja yang besar
di Singasari, Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa Batara Sang
Amurwabhumi." Mahisa Agni tertawa. Lalu katanya, "Sudahlah. Kau ternyata
mendapat beberapa keterangan yang berlebih-lebihan tentang aku
dari ayah dan pamanmu. Baiklah. Kau akan membuktikan sendiri,
bahwa yang kau hadapi tidak lebih dari aku yang tidak banyak dapat
1161 membantumu. Sebaiknya kau beristirahatlah beberapa saat disini,
sebelum kau mulai dengan segalanya. Mungkin besok atau lusa, aku
dapat membawamu menghadap Maharaja tuanku Ranggawuni yang
bergelar Wisnuwardhana dan Ratu Angabhaya, tuanku Mahisa
Cempaka yang bergelar Narasimha."
"Menyenangkan sekali." desis Mahisa Bungalan. Terbayang di
angan-angannya bahwa pada suatu saat ia akan dapat
mengabdikan dirinya di Singasari. Bukan lagi sekedar bertualang
tanpa tujuan. Tetapi pengabdiannya akan menjadi terarah.
Karena itulah maka kehadirannya di Singasari membawa banyak
harapan dan angan-angan. Bukan karena dengan demikian ia akan
mendapat pangkat yang tinggi dan kedudukan yang baik. Namun
dengan demikian ia adalah salah satu dari mereka yang sempat
mengabdi kepada Singasari.
Demikianlah maka selama dua hari ia berada di Singasari, Mahisa
Bungalan benar-benar beristirahat dari segala macam kegiatan. Ia
mempergunakan waktunya untuk mengenal kota itu bersama
pamannya Mahisa Agni. Namun dari pamannya itu pulalah Mahisa
Bungalan mengetahui lebih jelas bahwa pernah terjadi kedua
adiknya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat diserang oleh tiga orang
yang tidak dikenal disuatu tempat dalam kota itu.
"Persoalan dan alasan penyerangan itu pun masih merupakan
teka-teki sampai sekarang." berkata Mahisa Agni kemudian,
"Mungkin karena orang itu mendendam kepada ayahmu, mungkin
kepadaku atau pamanmu Witantra. Tetapi mungkin pula karena
salah paham." Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Tetapi ia pun menyadari,
bahwa pusat pemerintahan yang nampaknya tenang dan damai itu,
merupakan tempat yang cukup menegangkan.
Didalam ketenangan dan kedamaian itu justru tersimpan seribu
macam kemungkinan, seperti tenangnya sebuah kedung, maka
sulitlah untuk dijajagi betapa dalamnya.
1162 "Kau pun harus berhati-hati." berkata Mahisa Agni, "Di dalam
kota ini bercampur baur sikap dan sifat manusia. Keluhuran budi,
pengabdian, tetapi juga ketamakan dan pura-pura. Untuk sesaat
sikap dan s ifat itu dapat menyesuaikan diri dengan serasi, sehingga
kota ini nampaknya menjadi tenang dan damai. Tetapi jika terdapat
sedikit perubahan pada keseimbangan itu, maka akan dengan
mudahnya timbul keributan yang kadang-kadang sulit dikendalikan."
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Menilik ceritera
pamannya, ternyata kota ini tidak ubahnya dengan daerah yang
disebut daerah bayangan hantu. Daerah yang menilik wajannya
sepintas merupakan daerah yang tenang dan damai, tetapi isinya
adalah kengerian yang tiada taranya.
Tanpa disadarinya Mahisa Bungalan memandang rumah-rumah
yang megah yang berdiri di pinggir-pinggir jalan raya. Rumah yang
berhalaman luas dan beregol tinggi, dilingkungi oleh dinding batu
yang rapat. Tetapi seperti yang dikatakan pamannya, dibalik dinding batu
dan daun pintu regol itu, terdapat rahasia yang seolah-olah tidak
dapat dipecahkannya. "Nampaknya mereka menerima kehadiran tuanku Ranggawuni
dan Mahisa Cempaka dengan senang hati. Tetapi kita tidak tahu isi
hati seseorang. Mudah-mudahan aku adalah orang tua yang banyak
dipengaruhi oleh ketuaanku yang hampir pikun, sehingga
kecurigaanku pun sekedar akibat dari gejala-gejala kepikunanku
itu." "Agaknya kecurigaan paman cukup beralasan." sahut Mahisa
Bungalan, "Tetapi sudah barang tentu, masih harus dinilai dengan
saksama. Apakah yang sebenarnya ada di dalam pusaran Kota Raja
yang ramai, sibuk dan gelisah ini, di bawah wajahnya yang tenang
dan damai." "Itu sudah lebih dari cukup bagimu Mahisa Bungalan." sahut
Mahisa Agni, "Ternyata tanggapan perasaanmu atas Kota Raja ini
cukup tajam. Kota yang berisi seribu satu macam persoalan, yang
1163 masih menunggu urutan pemecahannya. Namun sementara itu akan
timbul persoalan-persoalan baru yang tidak kalah rumitnya. Namun
demikian, kami masih beruntung bahwa kota besar ini nampaknya
tetap tenang dan damai."
Dengan demikian maka pada waktu yang pendek itu, Mahisa
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bungalan sudah melihat kota itu sepenuhnya. Dari pintu gerbang
kota yang satu sampai kepintu gerbang kota yang lain. Ditelusurinya
setiap lorong dan jalan yang simpang siur di dalam Kota Raja itu,
seolah-olah ia ingin mengetahui segala-gala nya tanpa terlampaui.
Baru pada hari berikutnya, Mahisa Agni sempat mengajak Mahisa
Bungalan menghadap Maharaja Singasari dan Ratu Angabhaya,
tuanku Ranggawuni dan bergelar Wisnuwardhana dan tuanku
Mahisa Cempaka yang bergelar Narasimka.
Ternyata kehadiran Mahisa Bungalan membuat kedua pemimpin
pemerintahan yang masih muda itu bergembira.
Apalagi ketika mereka mengetahui bahwa yang datang itu adalah
putera Mahendra. "Ayahmu telah banyak memberikan sumbangsih bagi Singasari."
berkata Ranggawuni, "Kami mengharap bahwa kau pun akan dapat
berbuat serupa." "Hamba akan mencoba, tuanku. Tetapi sudah tentu hanya
sejauh dapat dilakukan oleh kemampuan hamba yang kerdil."
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka tersenyum. Di antara
senyumnya Mahisa Cempaka berkata, "Seperti ayahmu, kau adalah
seorang anak muda yang rendah hati. Tetapi justru karena itulah
maka kami mempunyai harapan besar padamu dikemudian hari."
Mahisa Bungalan hanya menundukkan kepalanya saja, sementara
Mahisa Agni berkata, "Tuanku berdua. Mahisa Bungalan ternyata
telah dititipkan kepada hamba. Ia membawa pemberitahuan tentang
orang-orang yang berilmu hitam yang perlu juga tuanku ketahui.
Namun selebihnya, sebagai anak-anak muda, maka tuanku berdua
akan mendapat kawan dalam mesu diri dan olah kanuragan, karena
1164 Mahisa Bungalan memiliki ilmu yang hampir sempurna dari ayahnya,
namun yang masih memerlukan penyesuaian pengetrapan dengan
persoalan-persoalan yang akan dihadapinya."
Mahisa Cempaka mengangguk-angguk. Katanya, "Banyak kemungkinan
yang akan kau hadapi Bungalan. Ceriterakan tentang
orang-orang berilmu hitam itu."
Dengan singkat Mahisa Bungalan pun segera menceriterakannya
penglihatannya atas orang-orang berilmu hitam itu.
"Singasari memang wajib memperhatikan paman." berkata
Ranggawuni kemudian. Mahisa Agni mengangguk-angguk. Sebenarnyalah bahwa, orang
berilmu hitam itu harus mendapat perhatian khusus. Untuk
beberapa lamanya, mereka tentu akan bergerak di bawah bayangan
yang gelap. Tetapi pada suatu saat, jika mereka merasa sudah kuat,
maka mereka tentu akan muncul dan melakukan kegiatan yang
membahayakan ketenangan Singasari.
"Namun demikian." berkata Mahisa Agni kemudian kepada
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, "Kita tidak perlu cemas. Masih
ada waktu untuk mempersiapkan diri, karena mereka pun tentu
tidak akan dengan tiba-tiba saja muncul dan mengganggu tlatah
Singasari. Namun demikian, sudah barang tentu bahwa kita harus
tetap waspada menghadapi setiap kemungkinan."
Demikianlah maka kehadiran Mahisa Bungalan di Singasari telah
memberikan kesibukan baru bagi Mahisa Agni, tetapi juga bagi
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka didalam olah kanuragan. Kadangkadang
mereka mencari kesempatan di antara kesibukan mereka di
dalam pemerintahan, untuk berlatih bersama-sama. Dengan
demikian mereka mendapatkan pengalaman baru yang dapat saling
menguntungkan. Dengan langsung kedua belah pihak mendapat sentuhan baru
pada ilmu masing-masing. Sedangkan Mahisa Agni mencoba untuk
mengemukakan unsur baru dari luluhnya kedua ilmu yang
bersumber dari perguruan yang berbeda.
1165 Namun ternyata kemudian bahwa Mahisa Agni tidak saja
menuntun mereka pada landasan yang sempit. Seperti Mahisa Agni
sendiri, maka mereka pun mendapatkan beberapa unsur dasar dari
beberapa cabang perguruan yang berbeda, sehingga dengan
demikian, kehadiran Mahisa Bungalan di Singasari bukannya tanpa
arti bagi Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
Para pemimpin pemerintahan yang membantu Ranggawuni dan
Mahisa Cempaka kadang-kadang menjadi bingung karena keduanya
telah meninggalkan bangsalnya tanpa diketahui oleh siapa pun juga,
selain satu dua orang kepercayaannya. Tidak seorang pun yang
mengetahui, bahwa keduanya telah pergi bersama Mahisa Agni dan
Mahisa Bungalan, mencari tempat yang sepi untuk memperdalam
ilmu mereka masing-masing.
Dalam pada itu, selagi Mahisa Agni mencoba untuk meningkatkan
ilmu ketiga anak-anak muda itu, maka di ujung hutan di kaki
Gunung Lawu, berkumpul beberapa orang yang nampaknya
memang sedang mengasingkan diri.
Seorang yang berambut putih, bertongkat sepotong besi baja,
dekerumuni oleh beberapa orang muridnya yang sedang
mendengarkan penjelasannya.
"Siapakah yang membawa kabar itu?" orang berambut putih itu
bertanya. "Empu Baladatu." sahut seseorang di antara mereka yang
berkerumun itu, "Aku sengaja mencari mereka bertiga seperti yang
Empu perintahkan. Gejala-gejala kehadirannya dapat aku cium di
suatu padukuhan yang disebut daerah bayangan hantu. Daerah
yang tidak dapat dikenal oleh siapa pun juga. Siapa yang tersesat
masuk ke daerah itu, maka ia tidak akan dapat keluar lagi."
"Hem." Empu Baladatu mengangguk-angguk.
"Yang nampak hanyalah sudut lorong kecil di tengah- tengah
hutan. Jika kita memasukinya, maka kita akan sampai ke seberang
hutan, ke sebuah padukuhan. Padukuhan yang berada di daerah
bayangan hantu." 1166 "Hem." orang berambut putih itu berdesis lagi.
"Daerah yang disebut daerah bayangan hantu itulah yang
memberikan pertanda kehadiran ketiga orang saudara kami yang
hilang itu." "Dan kau berhasil menemukan mereka?"
Orang itu menggeleng. Jawabnya, "Tidak Empu. Kami tidak
menemukun mereka. Beberapa hari kami berempat bersembunyi di
hutan itu untuk melihat kebenaran dugaan kami. Tetapi yang kami
ketemukan adalah asap pembakaran sebuah bangsal pemujaan
yang telah dibakar oleh Ki Buyut padukuhan itu, bersama dengan
hilangnya ketiga saudara kami itu untuk selama-lamanya."
"Gila." Empu Baladatu menggeram, "Dan kau tidak berbuat apaapa."
"Aku menunggu perkembangan keadaan. Aku datang
kepadukuhan itu sebagai orang-orang yang lembut. Namun dengan
demikian kami dapat menyadap rahasia padukuhan itu. Ketiga
saudara kami memang ada di sana. Mereka berhasil mempengaruhi
Ki Buyut yang sedang diamuk oleh dendam dan kecewa. Demikian
juga isterinya yang menjadi hampir gila karena selalu diburu oleh
ayah tirinya. Dengan memanfaatkan keadaan itulah, maka Ki Buyut
telah membuat sebuah bangsal pemujaan lengkap dengan
peralatannya." "Agaknya ketiga saudaramu ini ingin menyaingi aku."
"Itulah dosa dan kesalahan mereka, sehingga tidak terampuni
lagi. Mereka mati terbunuh oleh seorang anak muda yang tiba-tiba
saja hadir di daerah bayangan hantu itu."
Empu Baladatu mengangguk-angguk.
"Bangsal itu telah lengkap, sebelum menjadi abu." berkata salah
seorang murid Baladatu itu, "Berbagai alat untuk memeras darah
dari tubuh seseorang yang masih tetap hidup dapat diketemukan di
dalam bangsal itu." 1167 "Hem. Aku memerlukan bangsal semacam itu."
"Yang tinggal adalah abunya."
"Siapakah yang membunuh ketiga orang yang memang sudah
sepantasnya mati itu?"
"Namanya Mahisa Bungalan."
"Orang yang tidak banyak dikenal namanya. Memalukan sekali.
Tiga orang murid-muridku, meskipun mereka lari dari perguruannya,
dapat dikalahkan oleh seseorang yang tidak berarti sama sekali."
Murid-murid Empu Baladatu tidak menyahut. Mereka pun
menjadi panas karena kematian ketiga saudara seperguruannya.
Meskipun ketiga orang itu lari dari perguruannya, dan beberapa
orang diantara mereka mendapat perintah untuk menangkapnya
hidup atau mati, namun kekalahan yang dialaminya dari orang yang
tidak banyak disebut namanya, membuat mereka menjadi merasa
terhina. Namun dalam pada itu, salah serang dari mereka yang mencari
ketiga saudara seperguruan yang lari itu berkata, "Guru menurut
pendengaran kami kemudian, orang yang telah membunuh ketiga
saudara kami itu adalah anak seorang yang dekat dengan istana
Singasari. Namanya Mahendra."
"Mahendra." desis Empu Baladatu, "Aku memang pernah
mendengar nama itu. Tetapi nama itu pun sama sekali tidak penting
bagiku." "Mahendra tentu mempunyai hubungan dengan beberapa orang
Singasari lainnya." sahut muridnya yang lain. "Orang-orang dari
padukuhan yang ditinggalkan itu mengatakan bahwa Mahendra
mempunyai saudara seperguruan yang bernama Witantra dan
bergelar Panji Pati-pati. Sedangkan nama-nama lain yang
disebutnya adalah Mahisa Agni, Lembu Ampal dan aku tidak ingat
lagi yang lain." Empu Baladatu mengangguk-angguk. Katanya, "Aku pernah
mendengar nama Mahisa Agni dan Panji Pati-pati. Mereka adalah
1168 orang yang memiliki ilmu yang tinggi." ia berhenti sejenak, lalu,
"Tetapi kemampuan mereka adalah kemampuan manusia
sewajarnya. Sedangkan kita memiliki kemampuan yang lain dari
bekal kemampuan kita sendiri. Ada masalah gaib yang membuat
kita menjadi orang-orang yang sempurna. Jika ilmu kalian sudah
mencapai tingkat yang lebih tinggi maka kalian akan dapat berbuat
seperti yang aku lakukan. Tangan kalian akan dapat menyemburkan
api, dan dari mulut kalian akan dapat memancar bisa setajam bisa
ular. Pada saatnya kita akan menguasai Singasari dan bahkan
seluruh muka bumi. Tidak ada lagi orang yang dapat mempelajari
ilmu seperti yang sedang kita pelajari sekarang, meskipun dengan
taruhan yang agak mahal. Dengan mengorbankan beberapa nyawa
setiap waktu tertentu. Tetapi tidak ada usaha yang tanpa
mempertaruhkan korban."
Murid-muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kita tidak berkecil hati bahwa tiga orang murid perguruan ini
terbunuh, meskipun kita tersinggung karenanya. Mereka belum
memiliki ilmu yang cukup untuk menyombongkan diri seperti yang
mereka lakukan. Akibatnya harus mereka tanggungkan sendiri. Mati
tanpa arti apapun juga bagi dirinya sendiri, dan bagi kita semuanya.
Jika mereka tertangkap hidup oleh kalian, maka mereka adalah
korban yang paling baik bagi kita karena dalam diri mereka pun
telah tersimpan ilmu seperti yang sedang kalian sadap."
Murid-muridnya masih saja mengangguk-angguk.
"Karena itu." berkata gurunya pula, "Kalian harus bekerja lebih
keras. Ada tanda-tanda bahwa ilmu kita telah tercium oleh orangorang
yang bernama Mahendra, Panji Pati-pati, Mahisa Agni Lembu
Ampal dan lain-lainnya. Tetapi pada suatu saat mereka harus
mengakui, bahwa mereka akan mati karena kesombongan mereka,
seolah-olah tidak ada orang lain yang pada suatu kesempatan akan
membunuh mereka dengan cara yang paling baik." ia berhenti
sejenak, lalu, "Sejak saat ini kita akan berlatih semakin tekun
dengan korban yang semakin teratur. Kita memerlukan darah yang
menitik dari luka." sekali lagi ia berhenti sambil menarik nafas,
1169 "Namun kita tidak dapat menahan diri dengan tidak berbuat apaapa
atas kematian tiga orang murid-muridku yang gila itu. Meskipun
aku akan membunuhnya juga, tetapi aku tetap akan menuntut balas
atas kematian mereka. Setidak-tidaknya Mahisa Bungalan itulah
yang harus dibunuh, sebelum Mahendra, Witantra, Mahisa Agni dan
yang lain-lain." "Mahisa Bungalan adalah korban yang sangat baik buat kita,
guru." "Itulah yang sedang aku pikirkan. Jika kita dapat menangkapnya
hidup, maka ia akan menitikkan darah yang sangat berharga bagi
kalian." "Jadi, apakah maksud guru ada beberapa orang di antara kami
yang harus mencari anak muda yang bernama Mahisa Bungalan
itu?" "Tetapi kalian harus mengukur diri. Yang akan berangkat adalah
dua orang yang memiliki bekal cukup. Ingat, Mahisa Bungalan dapat
membunuh tiga orang saudara seperguruanmu. Sehingga dengan
demikian, yang pergi mencarinya harus murid-muridku yang lebih
tinggi tingkatnya dari ketiga orang yang telah terbunuh itu."
Dari antara beberapa orang murid itu, seseorang yang bertubuh
pendek, namun berdada bidang dan hampir diseluruh tubuhnya
dijalari oleh otot-otot yang kuat, berkumis lebat dan melintang
hampir sampai ketelinganya, mengacungkan tangannya sambil
berkata, "Apakah guru akan mempercayakan tugas ini kepadaku?"
Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Orang itu adalah
muridnya yang terpercaya. Namun demikian ia menjawab, "Jika kau
akan pergi, janganlah pergi seorang diri. Jika kau tidak berhasil
menyingkirkan dirimu dari Mahisa Agni, Witantra dan Mahendra,
maka kau harus bertempur. Karena itu, kau harus membawa
seorang atau dua orang kawan. Kawan yang dapat kau percaya."
Orang berkumis lebat itu mengerutkan keningnya. Hampir diluar
sadarnya ia berpaling kepada saudara seperguruannya yang hampir
1170 setingkat dengan dirinya. Seorang yang bertubuh sedang, meskipun
agak kekurus-kurusan sedikit.
Orang yang agak kekurus-kurusan itu sadar, bahwa agaknya
saudara seperguruannya itu telah memilihnya untuk mengawani
perjalanannya. Karena itu, maka ia pun mengangkat wajahnya
sambil bertanya, "Apakah aku mendapat kehormatan untuk pergi
bersamamu kakang Wangkir?"
Orang bertubuh pendek yang disebut Wangkir itu pun
mengangguk. Tetapi kemudian ia berpaling kepada gurunya sambil
berkata, "Semuanya terserah kepada guru."
Empu Baladatu memandang orang yang kekurus-kurusan itu
sejenak. Lalu ia pun bertanya, "Geneng, kau sudah tahu, jika kaulah
yang akan pergi, siapa dan apa saja yang akan kau hadapi."
"Empu. Aku adalah murid yang tidak pernah ingkar akan
kuwajiban apapun yang akan aku hadapi. Selama ini aku memang
pernah mendengar nama Mahisa Agni, Witantra dan yang lain-lain.
Tetapi aku belum pernah menyaksikan sendiri, berapa tinggi ilmu
yang ada pada mereka itu. Karena itu sudah barang tentu bahwa
aku tidak akan ingkar, jika sekiranya guru memerintahkan aku untuk
pergi bersama kakang Wangkir."
Empu Baladatu mengangguk-angguk, dan Geneng berkata
seterusnya, "Jangankah orang-orang yang sudah guru kenal
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sehingga guru dapat menjajagi kemampuannya. Siapa pun juga
yang harus aku hadapi, jika guru memerintahkan, aku akan
melakukannya dengan senang hati. Terlebih-lebih lagi aku akan
berusaha untuk menangkap mereka hidup-hidup, agar darahnya
dapat menambah kemampuan kita bersama di perguruan ini."
"Kaki Gunung Lawu akan menjadi saksi, bahwa kami akan
membawa orang-orang yang ditakuti di Singasari itu hidup hidup."
berkata Wangkir. Tetapi Empu Baladatu tertawa. Katanya, "Kita memang
terlampau yakin akan kemampuan kita. Memang ilmu yang sedang
kalian pelajari mempunyai beberapa kelebihan. Kalian tidak pernah
1171 ragu-ragu mempergunakan senjata dan mempergunakan cara
apapun untuk memenangkan setiap perkelahian. Namun ingat, yang
membunuh ketiga orang saudara-saudaramu itu adalah anak
Mahendra. Sedang orang yang mungkin kalian hadapi di samping
anak itu adalah Mahendra sendiri dan Mahisa Agni serta beberapa
orang lain yang memiliki ilmu sudah barang tentu jauh lebih baik
dari Mahisa Bungalan itu sendiri."
Tetapi Wangkir pun kemudian berkata, "Tetapi bukankah guru
mengetahuinya, sampai berapa jauh tiga orang anak yang terbunuh
itu menyadap ilmu guru disini" Mereka terlampau dungu untuk
mengetahui tentang diri mereka sendiri. Mereka yang baru mulai itu
merasa bahwa ilmu mereka sudah cukup sempurna, sehingga pada
suatu saat mereka terbentur pada kenyataan, bahwa di luar diri
mereka, masih terdapat ilmu yang lebih tinggi, meskipun belum
memadai dibanding dengan ilmu perguruan Empu Baladatu."
"Aku berharap bahwa kau berdua tidak terjerumus dalam
anggapan yang demikian itu pula. Jika kalian menganggap bahwa
ilmu kalian telah sempurna, maka yang akan terjadi tidak jauh
berbeda dengan ketiga anak-anak dungu itu."
"Tidak Empu. Kami merasa bahwa kemampuan kami masih jauh
di bawah sempurna itu. Karena itu kami akan selalu ingat peristiwa
yang telah menimpa ketiga saudara-saudara kami yang telah sesat
jalan, dan memilih cara hidupnya sendiri meskipun masih selalu
berusaha mempergunakan cara dari perguruan ini."
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Baiklah. Aku
percaya kepada kalian berdua. Meskipun demikian aku masih selalu
berpesan agar kalian tetap hati-hati. Aku sebenarnya tidak tahu
pasti, betapa tingginya ilmu orang-orang itu. Tetapi sebagai ukuran
dapat aku ceriterakan, bahwa pada masa pemerintahan Sri Rajasa,
Mahisa Agni sudah merupakan orang penting di istana Singasari.
Nah, kalian wajib mengetahui, bahwa Sri Rajasa memiliki ilmu yang
tidak ada taranya." Kedua orang muridnya itu mengangguk-angguk. "Dengan bekal
yang ada padamu, pergilah. Kalian harus terap berada di atas jalan
1172 yang sudah kalian pilih. Tidak ada manusia yang pantas kalian
kasihani selain keluarga kita sendiri, karena pada dasarnya, setiap
kelompok manusia adalah binatang yang paling buas bagi manusia
lainnya. Ternyata bahwa ketiga orang saudaramu yang terbunuh itu
tidak berhasil membunuh lawannya lebih dahulu. Dan orang yang
bernama Mahisa Bungalan itu pun sama sekali tidak menaruh belas
kasihan dan pengampunan bagi saudara-saudaramu yang sesat
jalan itu. Apakah kalian mengerti?"
"Mengerti guru."
"Mungkin kita tidak menghiraukan sekelompok manusia lainnya,
karena kami belum bersentuhan kepentingan. Tetapi pada dasarnya,
kita adalah pusat dari sikap hidup kita. Kepentingan kita bersama
harus berada di atas kepentingan s iapa pun dan apapun juga tanpa
ragu-ragu. Kau mengerti?"
"Mengerti guru."
"Itu dasar dari sikap hidup kita. Dengan demikian barulah kita
dapat menguasai orang lain jika kita masih memerlukannya. Tetapi
jika tidak, pada suatu saat mereka pun akan kita perlukan darahnya
bagi kesegaran ilmu kita."
"Kami akan melakukannya. Kami akan selalu ingat, bahwa hanya
ada satu pusat kehidupan. Di kaki Gunung Lawu ini."
"Ya. Ketiga orang saudaramu yang menganggap ada pusat
kehidupan yang lain, dan mencoba menyempurnakan ilmunya tanpa
aku telah mendapat hukuman, lantaran tangan Mahisa Bungalan.
Kau ingat." "Baik guru. Aku akan selalu ingat semuanya."
"Pergilah ke Singasari. Tetapi sekali lagi kau harus menyadari,
Singasari bukan pusat dari kehidupan. Jika ada kelebihan yang
nampak pada wajah kota itu, itu adalah ujud lahiriahnya saja. Dan
itu bukan tujuan kita. Kita akan menguasai seisi bumi dan
memilikinya." 1173 Dengan beberapa pesan yang lain, yang berisi sanjungan atas
kemampuan kedua orang muridnya itu, tetapi juga ancaman jika
mereka lupa diri dan apalagi mempunyai niat untuk memisahkan diri
dari induknya, maka kedua orang dari perguruan ilmu hitam itu
meninggalkan padepokannya. Mereka menyusuri jalan setapak,
menuruni jurang mendaki perbukitan, menyusup diantara hutan
yang lebat, menuju kepusat pemerintahan, Kota Raja.
Meskipun tugas yang dibebankan kepada mereka adalah tugas
yang berat, namun agaknya tidak terlampau mengikat. Jika mereka
merasa terlampau sulit untuk membawa orang-orang yang terlibat
dalam dendam atas kematian tiga orang saudara seperguruan
mereka, terutama Mahisa Bungalan, dalam keadaan hidup, mereka
diberi wewenang untuk membunuhnya dengan cara apapun juga.
Kasar atau dengan diam-diam dan bersembunyi. Semua cara dapat
ditempuh dan dibenarkan oleh gurunya, Empu Baladatu.
Namun yang sebenarnya tidak kalah pentingnya bagi Empu
Baladatu adalah penjajagan tentang kekuatan Singasari. Karena
itulah, maka kegagalan yang mutlak pun dari kedua muridnya itu,
masih juga ada gunanya. Jika keduanya tidak berhasil menangkap
hidup, dan juga tidak berhasil membunuh seorang pun diantara
nama-nama yang disebut, maka itu pun tidak mengapa, asal dengan
demikian kedua muridnya itu dapat mengetahui, betapa jauh jalan
yang harus dilaluinya untuk sampai kepada kekuasaan mutlak atas
bumi seisinya. Karena Empu Baladatu yakin, bahwa pada suatu saat
usaha itu pasti akan berhasil. Bukan saja membunuh orang-orang
yang namanya pernah disebut oleh orang-orang yang berhasil
menemukan daerah bayangan hantu, dan mengetahui bahwa ketiga
saudara seperguruannya yang lari itu mati terbunuh, tetapi juga
pasti akan berhasil menguasai Maharaja dan Ratu Angabhaya
Singasari. Kemudian menebarkan kekuasaannya ke Barat sampai ke
ujung Kulon, dan dengan kekuatan yang tidak terlawan
menyeberang lautan kesegala penjuru bumi.
Empu Baladatu memang mempunyai satu kelebihan yang di
ajarkan kepada murid-muridnya. Tidak ragu-ragu mempergunakan
1174 segala cara. Yang licik, yang jantan, yang kejam dan segala macam
cara yang lain. Demikianlah maka kedua orang murid Empu Baladatu itu berjalan
tanpa mengenal lelah. Mereka tidak merasa perlu untuk singgah di
daerah bayangan hantu. Bagi mereka, yang ada dipadukuhan itu
tinggallah cucurut-cucurut yang tidak berarti. Tetapi orang-orang
yang penting menurut perhitungan mereka tentu berada di
Singasari. Terutama Mahisa Agni. Seandainya Mahisa Bungalan dan
Mahendra tidak berada di Singasari maka mereka tentu akan
mendapat petunjuk, dimanakah mereka itu berada.
Sementara kedua orang itu menuju Singasari, maka telah terjadi
beberapa perubahan didaerah yang semula disebut daerah
bayangan hantu. Ki Buyut didaerah itu, yang menyebut dirinya
Kidang Pengasih, benar-benar telah berubah. Ia berhasil membuat
dirinya menjadi manusia wajar. Seperti yang disangka oleh
penghuni padukuhannya, yang tidak tahu sama sekali cara hidupnya
disaat lampau, Ki Buyut berada di antara mereka dengan penuh
perhatian dan pengarahan bagi tata kehidupan di padukuhan kecil
itu. Sementara itu, Tapak Lamba dan ketiga kawan-kawannya masih
tetap pula berada bersama mereka. Keempat orang itu pun
membantu dengan sepenuh hati, membuat padukuhan kecil itu
menjadi semakin berkembang.
"Kita harus mempunyai nama yang serasi bagi pedukuhan ini."
berkata Ki Buyut. "Berilah nama." berkata Tapak Lamba, "Bukan lagi daerah
bayangan hantu." "Aku sebut daerah ini seperti namamu. Padukuhan Tapak
Lamba." Tapak Lamba menggeleng. Katanya, "Itu tidak baik. Kenapa tidak
kau sebut saja dengan nama yang lebih baik bagi suatu pedukuhan"
Namamu sendiri misalnya."
1175 "Tidak. Namaku bukan nama yang baik buat padukuhan. Kidang
Pengasih." "Pengasih. Padukuhan Pengasih."
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun kemudian
mengangguk. Katanya, "Ya. padukuhan ini bernama padukuhan
Pengasih. Aku tidak berkeberatan mempergunakannya."
Tapak Lamba tersenyum. Katanya, "Nah, sekarang setiap orang
akan menyebut padukuhan ini bernama Pengasih. Tidak lagi dengan
nama yang mendirikan bulu roma. Daerah bayangan hantu."
Penghuni padukuhan itu tidak banyak menghiraukannya. Mereka
merasa bahwa hidup mereka menjadi semakin baik. Bahwa mereka
merasa lebih lapang untuk bernafas.
Meskipun mereka tidak mengetahui, namun terasa bahwa dimasa
lampau, mereka dihadapkan pada suatu teka-teki yang tidak
terpecahkan. Halaman rumah Ki Buyut yang nampaknya selalu
terbuka itu, namun rasa-rasanya memang tertutup bagi mereka.
Tetapi kini halaman itu rasa-rasanya benar-benar telah terbuka.
Namun demikian, selagi ketenangan yang sebenarnya mulai
tumbuh didaerah yang disebut Pengasih itu, mulailah para
pemimpinnya berbicara tentang hidup dan cita-cita. Tapak Lamba
mulai menyinggung lagi pembicaraannya dengan orang-orang yang
menyebut dirinya Linggapati dan Linggadadi.
"Orang-orang Mahibit itu selalu mempengaruhi angan-anganku."
berkata Tapak Lamba, "Meskipun aku belum pasti, tetapi agaknya
ada sesuatu yang menarik."
"Apakah mereka tidak termasuk orang-orang berilmu hitam itu?"
Tapak Lamba menggeleng, "Menilik cara dan sikapnya, aku
berpendapat bahwa mereka bukan dari golongan ilmu hitam."
Ki Buyut termangu-mangu sejenak. Tiba-tiba saja ia menjadi
ragu-ragu untuk berbuat sesuatu setelah ia mengalami peristiwa
1176 yang untuk mengenang pun rasa-rasanya seluruh rambutnya
meremang. "Tapak Lamba." berkata Ki Buyut, "Sebenarnya aku ingin
membuat perhitungan dengan diriku sendiri. Aku memang seorang
prajurit yang setia kepada tuanku Tohjaya. Aku pernah bersumpah,
bahwa apapun yang akan terjadi, aku akan tetap berpihak
kepadanya. Juga sampai tuanku Tohjaya itu terbunuh. Seperti yang
kau lihat, aku lebih baik menyingkir dan tinggal jauh terpisah
dengan menyimpan dendam di dalam hati. Setiap kali aku bermimpi
bagaimana aku membalas dendam atas kematian tuanku Tohjaya
yang telah banyak memberikan kurnia kepadaku." Ki Buyut berhenti
Pedang Golok Yang Menggetarkan 15 Bulan Jatuh Di Lereng Gunung Karya Herman Pratikno Suramnya Bayang Bayang 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama