Ceritasilat Novel Online

Sepasang Ular Naga 2

Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja Bagian 2


ada di bawah kekuasaan kami."
"Maksudmu?" "Kami menangkap kalian berdua. Kami akan membawa kalian
menghadap Tuanku Anusapati. Jika kau menolak perintahku, maka
kalian berdua akan mati di sini."
"Itu adalah suatu perbuatan gila. Kami berdua adalah utusan
Maharaja Singasari. Jika kau bertindak atas utusan maharaja maka
kau akan mengalami nasib yang malang."
"Aku tidak peduli terhadap alasanmu. Tetapi aku tidak mau
melihat kekuasaan Tuanku Anusapati dinodai oleh perwira-perwira
palsu seperti kalian berdua."
"Tegasnya?" geram kedua perwira berkuda itu.
"Turun dari kudamu, dan serahkan kedua pergelangan
tanganmu. Kau berdua akan aku seret di belakang kuda sampai ke
istana Tuanku Anusapati."
"Dan menyerahkan lehermu di tiang gantungan."
"Seandainya demikian, maka hukuman gantung itu tidak akan
dapat diulang dua tiga kali betapapun besar kesalahanku. Meskipun
aku membunuh sepuluh atau lima belas orang perwira sekaligus,
maka hukuman gantung itu hanya dapat dilakukan satu kali."
64 "Jadi kau akui bahwa kau telah memberontak dan sadar bahwa
kau akan menerima hukuman gantung."
"Gila! Aku tidak berkata begitu. Tetapi aku akan menangkapmu.
Cepat, turun dari kudamu dan menyerahkan kedua lenganmu. Kamu
akan mengikat pergelangan tanganmu."
Kedua perwira di atas punggung kuda itu termangu-mangu
sejenak. Ketika mereka menengadahkan kepalanya, maka mereka
melihat langit yang semakin merah.
Dalam pada itu tiba-tiba saja salah seorang dari kedua perwira
itu berkata, "Kau memang bernasib buruk sekali. Tentu tidak
seorang pun dari anak buahmu yang bersedia melakukan
perintahmu untuk menangkap kami berdua. Siapa yang ikut
melakukannya, maka mereka pun akan mengalami hukuman yang
luar biasa beratnya. Bahkan mungkin bukan sekedar hukuman
gantung, hukum picis."
"Omong kosong!" perwira ku membentak. Lalu dengan lantang ia
berkata "Dengar, aku akan memerintahkan anak buahku untuk
menangkap kalian." "Dan perintahmu akan lenyap seperti teriakan seorang kelana di
tengah-tengah padang pasir yang luas dan kering."
"Aku akan membuktikan."
"Dan menyeret mereka ke dalam hukuman yang paling parah"
Kau memang terlampau kejam. Kenapa kau tidak berani
bertanggung jawab atas kesalahanmu" Dan kau akan membawa
anak buahmu ke dalam kesulitan" Mereka adalah orang-orang yang
sebenarnya tidak banyak mengetahui tentang usahamu itu. Dan
mereka adalah prajurit-prajurit yang baik. Baik sebagai prajurit, dan
baik sebagai seorang laki-laki. Anak-anak mereka akan terkejut
apabila mendengar berita bahwa ayahnya dihukum gantung, apalagi
dihukum picis karena memberontak terhadap rajanya. Suatu
perbuatan yang tidak pernah terpikir oleh anak-anak mereka dan
istri-istri mereka yang menunggu mereka dengan setia di rumah."
65 "Diam! Diam! Kau mencoba mempengaruhi kejantanan seorang
prajurit." "Kejantanan bukan kebodohan. Bukan berarti pula
pemberontakan." "Diam! Diam! Diam!"
"Aku tidak akan diam. Dengar perintahku. Menyerahlah! "
Senapati itu menjadi kehilangan akal. Perintah itu bagaikan
berdesing terus-menerus di dalam telinganya, sehingga akhirnya ia
berteriak untuk mengatasi suara yang seakan-akan selalu
didengarnya itu, "Tangkap kedua orang yang mengaku dirinya
utusan Tuanku Anusapati ini. Tangkap mereka karena mereka
melakukan jabatan perwira Singasari."
"Perintahmu tidak meyakinkan," sahut salah seorang dari kedua
perwira berkuda itu. "Jangan dengarkan. Cepat, tangkap orang itu!"
Perintahnya menggelegar di seluruh halaman. Namun ternyata
prajuritnya menjadi ragu-ragu. Pembicaraan senapati dengan kedua
perwira berkuda itu telah membuat mereka menjadi ragu-ragu,
bahkan menjadi bingung. "Tangkap keduanya!" perintah itu terdengar lagi menggema di
seluruh halaman. Tetapi prajurit-prajurit itu masih tetap termangumangu.
Bahkan di antara mereka ada yang benar-benar telah
terkenang kepada keluarganya di rumah. Jika ia tidak kembali dan
istrinya serta anak-anaknya mendengar bahwa ia tertangkap apalagi
terbunuh karena memberontak, maka istrinya akan menangis
sepanjang malam. Bahkan sepekan. Dan istrinya serta anaknya itu
akan tersisih dari pergaulan, karena suaminya memberontak. Tetapi
jika ia mati di peperangan untuk menegakkan Singasari, maka
istrinya akan dihormati oleh kawan-kawannya dan tetanggatetangganya.
Dalam keragu-raguan itu, para prajurit yang berada di halaman
barak itu melihat kedua perwira berkuda itu menggerakkan kudanya
66 sambil berkata, "Baiklah. Jika kau tidak mau menyerah, aku akan
menyampaikannya kepada Tuanku Anusapati. Siapa yang menyesal
harap meninggalkan barak yang akan segera dihancurkan ini."
Para prajurit masih tetap ragu-ragu. Dan senapati yang
memimpin mereka itu pun berteriak lebih keras lagi, "Tangkap
keduanya." Tetapi tidak seorang pun yang bergerak. Mereka hanya
memandang saja kedua ekor kuda itu berjalan menyusup regol
halaman. Bahkan prajurit yang bertugas di regol itu pun dengan
termangu-mangu memandang saja dua orang perwira yang lewat
dengan duduk di atas punggung kuda.
"Gila! Tangkap keduanya! Keduanya akan berkhianat terhadap
kalian. Yang hitam dikatakan putih dan yang putih dikatakan hitam.
Apalagi kita bersama-sama telah membuat kesalahan. Maka
melawan atau tidak melawan kita akan digantung. Kita adalah
prajurit-prajurit jantan, yang lebih baik mati dengan pedang di
tangan apapun alasannya daripada mati di tiang gantungan."
Kata-kata itu pun ternyata berpengaruh juga terhadap prajuritprajuritnya.
Mereka menjadi semakin bimbang. Dan agaknya
mereka pun kemudian sependapat, bahwa lebih baik mati dengan
pedang di tangan apapun alasannya dari para mati di tiang
gantungan. Tetapi kesadaran itu datang terlambat. Mereka melihat
senapatinya berlari-lari mengejar kedua perwira itu. Tetapi kuda itu
sudah berderap semakin jauh, melesat seperti anak panah yang
meloncat dari busurnya. "Gila! Gila! Kalian sudah gila!" teriak pemimpin prajurit itu, "kita
sudah kehilangan mereka. Kita tidak tahu siapakah mereka berdua
itu. Mungkin mereka berdua benar-benar perwira pasukan pengawal
yang selama ini bertugas di Kediri yang sudah mendengar beberapa
masalah tentang kita di sini. Tetapi mungkin justru mereka adalah
orang yang sedang kita pancing, dan kini sedang memancing kita.
Namun yang hampir dapat kita pastikan adalah usaha kita tentu
67 gagal. Dan tidak ada cara lain daripada mempertahankan hidup ini
dengan pedang." Beberapa orang prajurit menjadi ragu-ragu.
"Aku tahu bahwa kalian ragu-ragu. Memang kita tidak akan dapat
melawan segenap prajurit Singasari. Tetapi Singasari tidak sesempit
daun kelor. Kita dapat melarikan diri hidup di tempat yang tidak
akan terjangkau oleh prajurit-prajurit Singasari dan bahkan prajurit
sandi sekalipun." Prajurit-prajurit tidak menjawab. Tetapi hampir bersamaan timbul
pertanyaan di dalam hati, "Lalu bagaimana dengan keluarga kita?"
Meskipun pertanyaan itu tidak diucapkan namun senapati itu
agaknya dapat menangkap maksud mereka. Maka katanya, "Kalian
tentu mempersoalkan keluarga kalian. Biarlah mereka hidup dengan
usaha mereka sendiri untuk beberapa lamanya. Prajurit Singasari
tentu tidak akan mengganggu mereka. Pada saatnya, jika persoalan
kita sudah dilupakan orang, kita akan datang menjemput mereka
dan membawa ke tempat yang baru. Tetapi jika ada di antara
mereka yang berkhianat dan kawin dengan orang lain, maka kita
akan melupakan mereka."
Prajurit-prajurit itu menjadi termangu-mangu. Dan pemimpinnya
berkata selanjutnya, "Kita masih ada waktu. Aku akan pergi
sekarang sebelum pasukan Singasari benar-benar datang. Jika tidak
datang pun aku tidak akan kembali ke dalam lingkungan
kesatuanku." Pemimpin prajurit itu segera melangkah memasuki baraknya dan
mengambil beberapa benda yang terpenting saja. Sebilah keris,
selain pedangnya yang sudah tergantung di lambung.
Namun prajuritnya masih saja termangu-mangu di tempatnya.
Ketika senapati itu keluar dari baraknya maka ia pun berteriak,
"Jangan berbuat bodoh! Kita adalah prajurit dan kita adalah lakilaki."
68 Beberapa orang prajurit seakan-akan menyadari kejantanan dan
harga dirinya. Memang mereka tidak ingin di giring ke alun-alun dan
digantung berderet-deret. Karena itu, maka beberapa orang di
antara mereka pun segera mulai bergerak diikuti oleh kawankawannya.
Sekelompok prajurit itu telah mengambil barang-barang yang
paling berharga. Sebagian terbesar adalah pusaka-pusaka mereka.
Kemudian mereka pun siap untuk meninggalkan barak itu.
Tetapi di samping mereka, ada juga prajurit-prajurit yang tidak
beranjak dari tempatnya. Mereka lebih baik pasrah diri daripada
menjadi manusia buruan yang terpisah dari sanak keluarga. Mereka
yakin bahwa pimpinan pemerintahan di Singasari bukannya orangorang
yang haus darah dan mendambakan dendam di dalam hati.
Sehingga karena itu, mereka tetap tidak mau pergi.
"Jangan pedulikan prajurit-prajurit itu!" teriak senapati itu,
"Sekarang kita pergi. Semakin cepat semakin baik. Jika kita harus
bertemu dengan pasukan Singasari, maka kita akan bertempur.
Tujuan kita jelas, meloloskan diri dari tangan mereka. Kita tidak
mau menjadi tontonan di alun-alun dan mungkin diperas untuk
mengatakan siapakah orang yang ada di belakang kita. Mungkin
perut kita akan dijepit atau tulang jari-jari kita diremukkan sekedar
untuk mengaku, untuk mengatakan yang kita tidak mengetahui."
Dengan demikian maka sebagian dari pasukan itu pun
meninggalkan barak. Sebuah iring-iringan yang dengan tergesagesa
menghindarkan diri dari kemungkinan yang mengerikan,
tertangkap oleh pasukan Singasari selagi mereka melakukan
pengkhianatan. Sepeninggal pasukan yang menyingkirkan diri itu, para prajurit
yang akan menyerah itu pun berkumpul di halaman. Seorang
perwira rendahan segera maju ke depan sambil berkata, "Kita akan
mengumpulkan senjata kita. Kita menyerah. Agaknya kita selama ini
telah terseret oleh arus yang tidak kita ke-tahui arahnya."
69 Prajurit-prajurit itu menganggukkan kepalanya. Seorang demi
seorang telah melemparkan senjata mereka di dalam sebuah
timbunan di tengah-tengah halaman.
Belum lagi mereka selesai, maka terdengar derap beberapa ekor
kuda berlari-lari menuju ke barak itu. Bukan hanya satu dua ekor,
tetapi pasukan berkuda meskipun tidak terlampau banyak.
Prajurit berkuda itu langsung memasuki halaman. Mereka
melingkar di halaman dan sebagian yang lain di luar. Seorang
perwira maju sambil berkata, "Kalian telah memilih sikap yang
bijaksana. Agaknya kalian menyadari bahwa selama ini kalian telah
salah jalan." Salah seorang dari para prajurit yang menyerah itu pun
menjawab "Ya, kami telah menyerah."
"Di mana senapatimu?"
"Meninggalkan barak ini bersama sekelompok prajurit. Mereka
tidak ingin menyerahkan diri. Mereka ingin meninggalkan Singasari."
Perwira prajurit berkuda itu tertawa. Katanya, "Tempat ini sudah
terkepung rapat. Tidak seorang pun akan dapat lolos. Ke mana
mereka pergi?" Prajurit itu menunjukkan arah ke mana senapatinya pergi dengan
sekelompok prajurit. "Mereka akan terjebak. Tetapi biarlah mereka menjadi urusan
kelompok yang lain. Sekarang, marilah, kalian yang menyerahkan
diri memasuki barak ini dan tinggal di dalam untuk beberapa
lamanya, sehingga kami akan memberikan perintah lain. Bagi kalian
tentu akan ada perhitungan lain dengan mereka yang melarikan diri
dan keras hati untuk melawan kekuasaan Tuanku Anusapati."
Prajurit-prajurit yang menyerah itu pun kemudian masuk ke
dalam barak mereka dengan meninggalkan senjata mereka di
halaman. 70 Beberapa orang prajurit berkuda mengawasi mereka di seputar
halaman depan dan belakang, sedang yang lain pun segera
menyusul ke arah senapati itu melarikan diri.
Dalam pada itu, senapati yang melarikan diri bersama
sekelompok prajuritnya itu, ternyata tidak mengambil jalan raya.
Mereka turun ke sawah dan melintasi pematang menjauhi barak
mereka. Senapati itu berharap bahwa mereka dapat melepaskan diri
dari pengawasan para prajurit.
Tetapi para prajurit berkuda itu segera menemukan jejak
mereka, ketika seorang petani yang tidak tahu menahu
persoalannya menunjukkannya kepada prajurit berkuda itu, bahwa
sekelompok prajurit yang lain telah melintasi bulak lewat jalan
melintas, melalui pematang.
Namun sebenarnyalah bahwa barak itu sudah terkepung. Di
setiap padukuhan di sekeliling barak itu telah di tempatkan
sepasukan kecil prajurit. Sedang sepasukan berkuda akan selalu
mondar-mandir di antara padukuhan-padukuhan itu untuk
membantu prajurit-prajurit yang harus bertempur melawan pasukan
yang melarikan diri itu. Dalam pada itu, pasukan yang berada di sebuah padukuhan yang
langsung menjadi arah senapati dan pasukannya itu pun telah
melihat pasukan itu mendatangi lewat pematang. Karena itu, maka
mereka pun segera mempersiapkan diri. Seorang penghubung
berkuda segera menghubungi padukuhan di sekitarnya untuk
menarik prajurit yang ada di padukuhan itu meskipun masih ada
beberapa orang yang harus tinggal untuk selalu mengawasi
keadaan. Semakin lama prajurit yang melintasi pematang itu menjadi
semakin dekat dengan sebuah padukuhan di depan mereka.
Prajurit-prajurit itu sama sekali tidak menduga, bahwa di padukuhan
di hadapan mereka telah menunggu sekelompok prajurit untuk
menangkap mereka. 71 Namun, ternyata bahwa prajurit-prajurit itu sudah hampir
kehilangan akal sama sekali. Oleh putus asa dan merasa bersalah,


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maka mereka adalah orang-orang yang sangat berbahaya, karena
mereka tidak lagi mempunyai tujuan dari perjuangan mereka, selain
menyelamatkan diri atau hancur bersama-sama dengan lawan.
Prajurit-prajurit itu maju dalam tiga iringan di tiga deret
pematang. Seakan-akan mereka telah menyiapkan diri untuk
menyerang dalam gelar perang yang khusus. Seakan-akan deretan
yang di tengah itu akan segera berubah menjadi paruh dan tubuh
gelar perang, sedang sebelah menyebelah akan menjadi sayap kiri
dan sayap kanan. Dalam pada itu, dengan tergesa-gesa beberapa orang prajurit
yang mendapat pemberitahuan tentang pasukan itu pun segera
pergi ke padukuhan yang dituju oleh prajurit-prajurit yang melarikan
diri itu. Namun sebelum mereka sampai, maka beberapa orang
berkuda telah pergi lebih dahulu untuk menambah sekedar
kekuatan selama beberapa saat mereka menunggu kedatangan
prajurit-prajurit yang lebih kuat.
"Ternyata jumlah mereka cukup banyak," desis seorang perwira
yang memimpin para prajurit Singasari di padukuhan itu.
"Mereka lebih banyak dari prajurit yang ada di sini."
"Sebentar lagi pasukan dari padukuhan sebelah itu akan datang,
sementara kita bertahan di batas dinding padukuhan ini."
"Bagaimana jika mereka melarikan diri, kembali ke bulak?"
bertanya salah seorang prajurit.
"Kita akan mengejar mereka dan menangkap mereka. Tidak
seorang pun dari mereka boleh lolos."
"Dengan jumlah yang ada, tugas itu terlampau sulit."
"Sudah aku katakan. Akan segera datang pasukan dari
padukuhan sebelah menyebelah. Jika telah terjadi pertempuran,
maka akan segera naik beberapa buah panah sendaren yang akan
memberikan kabar kepada padukuhan-padukuhan yang agak jauh.
72 Sementara itu kita dapat menahan mereka dalam pertempuran.
Pasukan dari padukuhan yang agak jauh itu akan maju dan akan
menjadi gelang yang rapat."
Prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia agaknya
kurang yakin akan ketepatan waktu meskipun sudah diperhitungkan
baik-baik. Namun demikian, perintah itu memang berbunyi, "Jangan
ada seorang pun yang lolos!".
Tetapi setiap prajurit kini seakan-akan mengakui di dalam hati,
bahwa kesatuan yang diikutsertakan di dalam tugas ini terlampau
sedikit. Mereka menyadari, bahwa Anusapati yang memimpin
langsung penangkapan prajurit-prajurit yang telah memberontak ini
tidak ingin mengganggu keamanan Singasari dengan kegelisahan,
jika ia menggerakkan pasukan yang besar. Tetapi ternyata bahwa
ketika mereka berada di medan, pasukan yang ada telah terbagi
menjadi kelompok-kelompok yang terlalu kecil untuk menahan
gerakan pasukan yang cukup besar, meskipun menurut perhitungan
mereka, pasukan-pasukan yang kecil itu akan dapat dengan cepat
dihimpun jika arah gerak lawan sudah mereka ketahui dengan pasti.
Dan kini, arah gerak itu bukan saja sudah diketahui, tetapi
pasukan itu sudah berada di depan hidung mereka.
Pasukan di dalam padukuhan itu pun telah bersiap menghadapi
segala kemungkinan. Senjata mereka telah menjadi telanjang, dan
bahkan seakan-akan para prajurit itu pun telah menahan nafas
menyongsong kedatangan kawan-kawan mereka yang telah sesat
jalan. Dalam pada itu, dari balik dinding padukuhan, seorang perwira
meloncat ke atas dinding batu padukuhan itu sambil berteriak,
"Berhenti di situ!"
Kehadiran perwira yang tiba-tiba saja itu telah mengejutkan para
prajurit yang sedang berusaha melarikan diri itu, sehingga dengan
serta-merta mereka pun berhenti.
73 "Nah, dengarlah. Kalian telah terkepung. Kami mengerti bahwa
kalian sedang dalam usaha untuk melarikan diri. Tetapi itu tidak ada
gunanya." Sapa itu benar-benar telah mendebarkan jantung. Senapati
pasukan yang berusaha melarikan diri itu tercengang sejenak.
Namun ia tidak berhasil mengetahui berapa prajurit yang
bersembunyi di balik dinding batu padukuhan di hadapannya itu.
"Lebih baik kalian menyerah," perintah perwira di atas dinding
batu itu. "Persetan!" geram senapati itu, "kau hanya seorang diri.
Bagaimana mungkin kau memerintahkan kami untuk menyerah?"
"Aku tidak gila. Karena itu aku tidak berada di sini seorang diri
menghadang perjalananmu. Menyerahlah!"
"Jangan halangi kami. Kami mempunyai tugas tertentu.
Minggirlah agar kalian tidak menyesal. Kami sedang mengejar
perampok yang baru saja mengacaukan padukuhan-padukuhan di
sekitar daerah tanggung jawabku."
"Jangan mimpi. Kami sudah mengetahui yang kalian lakukan."
"Kami akan lewat. Jangan ganggu kami!" teriak senapati yang
marah itu. Perwira yang ada di atas dinding batu itu terdiam sejenak.
Dipandanginya prajurit-prajurit yang akan melarikan diri itu. Dari
sikap mereka, tampaknya betapa mereka dicengkam oleh perasaan
putus asa. Dan sikap yang demikian itu akan menjadi sangat
berbahaya. Mereka akan menjadi buas dan liar. Bagi sekelompok
prajurit yang kehilangan nilai-nilai perjuangannya dan kehilangan
harapan untuk dapat hidup terus, maka mereka akan berbuat apa
saja untuk melepaskan diri, atau untuk mati bersama-sama dengan
korban yang sebanyak-banyaknya.
Karena itu, maka perwira yang berdiri di dinding batu itu
kemudian berkata "Menyerahlah! Kami akan memperlakukan kalian
dengan baik. Kami bukannya prajurit-prajurit yang tidak mempunyai
74 ketentuan hukum sehingga bertindak atas kehendak kami masingmasing.
Kalian adalah prajurit-prajurit seperti kami, sehingga kalian
pun tentu mengerti, apa yang akan kami lakukan terhadap prajuritprajurit
yang sudah menyerah. Terhadap lawan pun kami tidak akan
memperlakukan sewenang-wenang. Apalagi terhadap kawan-kawan
sendiri yang kami anggap sedang disaput oleh kegelapan dan lupa
diri. Pada saatnya kalian akan menjadi sadar kembali."
"Ya, kami akan menjadi sadar kembali setelah berdiri di bawah
riang gantungan," teriak senapati, "Tidak! Kami tidak mau. Kami
akan tetap mempertahankan kemerdekaan."
"Jangan bodoh!"
Senapati itu mengerutkan keningnya. Lalu, "Mari kawan-kawan
kita menerobos pasukan yang tipis ini. Jika mereka merintangi
bukan salah kita jika kita telah membunuh mereka."
"Tunggu!" perwira itu masih berusaha untuk memperpanjang
waktu agar pasukan dari padukuhan sebelah menyebelah yang akan
datang sudah berada di tempat, "Aku masih akan berbicara sebagai
kawan di dalam lingkungan keprajuritan. Kami memang bukan dari
pasukan pengawal. Kami adalah prajurit dari kesatuan tempur di
Singasari. Memang sebagian kecil di antara kami adalah perwira dari
pasukan pengawal. Tetapi kami mengerti apa yang harus kami
lakukan terhadap kawan-kawan kami. Adalah salah jika kalian
menganggap bahwa karena kami dari pasukan tempur kami akan
melakukan kasar terhadap kalian."
"Persetan! Bagi kami, kalian tidak ada bedanya. Pasukan
pengawal, pasukan tempur, pasukan pengaman dan pasukan apa
saja. Kami adalah prajurit-prajurit yang terlatih di dalam medan
yang betapapun berat. Itulah sebabnya kami memperingatkan sekali
lagi, minggir atau kami akan menggilas kalian."
Perwira yang berdiri di dinding batu itu tidak sempat menyambut
lagi ketika senapati itu mengangkat pedangnya di tangan kanan dan
kerisnya di tangan kiri sambil meneriakkan aba-aba.
75 "Kita ingin tetap mempertahankan kebebasan kita. Cepat,
sebelum mereka memanggil pasukan bantuan."
Senapati itu segera meloncat berlari diikuti oleh prajuritprajuritnya
yang sudah tidak dapat berpikir lagi. Mereka pun segera
mengacu-acukan senjata mereka sambil berteriak tidak menentu.
"Hati-hatilah!" desis seorang pemimpin kelompok kepada anak
buahnya, "kita berhadapan dengan orang-orang gila."
Demikianlah maka serangan itu datang seperti banjir. Bahkan
mereka tidak lagi berlari-lari di pematang, tetapi sebagian mereka
telah terjun ke dalam sawah berlumpur.
Dengan demikian maka yang datang itu seolah-olah adalah
sebuah gelar perang yang telah disusun. Senapati itu memimpin
induk pasukan yang ada di tengah, seakan-akan sebuah tubuh dari
gelar yang mantap, sedang sebelah menyebelah adalah sayap-sayap
yang dengan derasnya melanda dinding pasukan itu.
Dalam pada itu, prajurit-prajurit yang ada di dalam padukuhan
itu pun telah bersiaga sepenuhnya. Meskipun jumlah mereka lebih
sedikit karena pasukan bantuan itu belum juga datang, namun
mereka dapat mempergunakan dinding batu itu sebagai penahan
arus banjir bandang yang melanda mereka.
Prajurit-prajurit yang telah memberontak itu seakan-akan telah
kehilangan perhitungan. Mereka berloncatan ke atas dinding batu
padukuhan itu, dan tanpa perhitungan terjun ke dalam. Namun
sebagian dari mereka ternyata tidak pernah mengalami
pertempuran berikutnya, karena demikian mereka meloncat turun,
maka ujung tombak lawannya telah menembus lambung. Namun
sebagian dari mereka berhasil menghalaukan senjata-senjata lawan
dan dengan garangnya menyerang membabi buta"
Pertempuran yang terjadi kemudian adalah perang yang
bercampur baur. Hanya ciri yang khusus sajalah dapat membedakan
mereka. 76 Seandainya pertempuran itu terjadi selagi matahari masih belum
mulai menampakkan dirinya di ufuk timur, maka prajurit-prajurit itu
akan mengalami kesulitan untuk membedakan kawan dan lawan.
Namun agaknya kini mereka sempat memperhatikan ciri-ciri khusus
dari kesatuan masing-masing.
Ternyata bahwa prajurit-prajurit yang kehilangan pegangan itu
bertempur tanpa menghiraukan nilai-nilai keprajuritan lagi. Mereka
bertempur dengan hati dan mata yang gelap, sehingga tingkah laku
dan sikap mereka menjadi liar.
Namun dengan demikian untuk beberapa saat kemudian mereka
justru berhasil mendesak lawannya yang bertahan di bagian dalam
dinding batu itu. Agaknya mereka masih harus berpikir berulang kali
untuk melawan prajurit-prajurit yang bagaikan menjadi liar itu
dengan cara yang sama, karena mereka ternyata masih cukup
menyadari nilai-nilai keprajuritan mereka
Tetapi ketika mereka terdesak semakin jauh, dan bahkan senjata
lawannya yang liar itu menjadi semakin berbahaya, maka mereka
mulai berubah. Lambat laun, mereka pun telah terdorong pula untuk
bertempur dengan kasar, karena hanya dengan demikian mereka
akan berhasil mempertahankan garis pertempuran itu dan bahkan
mempertahankan nyawa mereka.
Meskipun demikian, bagaimanapun juga pengaruh keadaan
mereka sangat berbeda. Karena itulah maka mereka pun tidak akan
sampai hati untuk berbuat sekasar pasukan yang menyerang
mereka itu. Dalam pada itu, ternyata prajurit yang berada di padukuhan itu
semakin lama semakin mengalami kesulitan. Lawannya semakin
mendesak tanpa menghiraukan apapun juga, sehingga perkelahian
itu menjadi semakin dalam masuk ke dalam padukuhan. Dengan
demikian maka rakyat padukuhan itu pun menjadi kacau. Meskipun
sejak semula perempuan dan anak-anak telah disingkirkan menjauh,
namun karena perkelahian itu masuk semakin dalam, maka
kegelisahan pun menjalar sampai ke ujung padukuhan.
77 Beberapa orang laki-laki yang semula masih tetap tinggal di
rumah masing-masing pun terpaksa menyingkir. Mereka tidak berani
ikut terjun di dalam perkelahian yang kisruh itu.
Dalam kesulitan itulah maka telah terdengar derap kaki kuda
meskipun tidak begitu banyak. Ternyata penghubung berkuda yang
memberitahukan kedatangan pasukan lawan itu telah kembali
bersama penghubung-penghubung berkuda yang segera dapat
memberikan sedikit bantuan.
Mereka pun segera berloncatan turun dari kuda masing-masing.
Dengan tergesa-gesa mereka pun segera menerjunkan diri ke dalam
pertempuran itu, setelah mereka melepaskan panah-panah
sendaren untuk memberikan isyarat bahwa pertempuran telah
menjadi semakin sengit, sehingga perlu dikirimkan bantuan lebih
cepat lagi. (bersambung ke jilid 2). Koleksi: Ki Ismoyo Scanning: Ki Arema Retype: Ki Sunda Proofing: Ki Sunda Rechecking/Editing: Ki Arema
-oo0dw0ooTiraikasih Website http://kangzusi.com/
78 Jilid 2 MESKIPUN jumlah mereka tidak
begitu banyak, namun terasa juga
pengaruhnya. Prajurit yang
memberontak itu tidak dapat
mendesak lebih laju lagi. Usaha
mereka menembus prajurit-prajurit
yang menahan mereka terpaksa
terhenti untuk beberapa lamanya.
Namun demikian perwira yang
memimpin mereka itu pun segera
berteriak, "Pecahkan pertahanan ini. Di
seberang padukuhan ini kita akan
menemukan kebebasan. Semakin
cepat semakin baik."
Tetapi perwira yang memimpin pasukan lawannya berteriak pula,
"Tidak! Kepungan ini berlapis-lapis. Kalian tidak akan berhasil."
"Persetan!" teriak pemimpin prajurit yang memberontak itu,
"marilah kita buktikan bahwa kita pun prajurit."
Prajurit-prajurit yang ingin melarikan diri itu bertempur semakin
kasar. Yang ada di dalam angan-angan mereka adalah hanya satu
tujuan, lari. Lepas dari tangkapan prajurit Singasari dan dengan
demikian lepas dari tiang gantungan.
Pertempuran menjadi semakin lama semakin sengit. Prajuritprajurit
Singasari yang harus bertahan terus-menerus itu pun telah
menjadi semakin garang pula.
Ternyata bahwa panah-panah sendaren yang berloncatan di
udara telah mendapat tanggapan dari setiap prajurit yang
mendengarnya. Sambung menyambung, maka isyarat itu terdengar
ke seluruhan daerah pengepungan, bahwa prajurit yang terkepung
itu telah berusaha memecahkan kepungan dan melarikan diri.
Dalam pada itu, prajurit berkuda Singasari yang sedang


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyusul prajurit yang lolos dari baraknya itu pun telah melihat
79 panah sendaren pula. Dan jarak padukuhan itu telah menjadi
semakin dekat pula. Panah itu ternyata telah mempercepat laju kuda mereka. Dengan
cepatnya pasukan itu meluncur menuju ke padukuhan yang sedang
dibakar oleh api pertempuran itu.
Ternyata yang kemudian memasuki padukuhan itu bukan saja
pasukan berkuda itu. Tetapi juga pasukan dari padukuhan sebelah
menyebelah. Meskipun jumlah mereka tidak begitu banyak, tetapi
karena kedatangan mereka yang hampir bersamaan dari beberapa
jurusan, maka mereka pun menjadi semakin kuat pula.
Prajurit-prajurit Singasari itu pun segera menempatkan diri
mereka. Mereka tidak semuanya berada di satu pihak. Tetapi karena
perintah Anusapati bagi prajuritnya adalah menangkap pemimpin
prajurit yang memberontak itu, maka mereka pun telah mengepung
prajurit-prajurit yang memberontak itu dari segala arah.
Pasukan yang berdatangan semakin banyak, dan menempatkan
diri dalam satu lingkaran, telah membuat prajurit-prajurit yang
memberontak itu menjadi semakin berdebar-debar. Mereka yang
hampir kehilangan akal itu menjadi semakin bingung. Dengan
demikian maka tandang mereka pun menjadi semakin liar dan buas
sehingga mereka benar-benar telah menjadi sepasukan prajurit
yang mendebarkan jantung oleh keputusasaan.
Pertempuran di antara mereka pun berkobar semakin dahsyat.
Pasukan Singasari berjumlah semakin banyak, sedang prajurit yang
memberontak itu bertempur semakin liar dan tanpa pegangan.
Perwira dari pasukan berkuda, yang ternyata merupakan senapati
tertua di antara setiap kelompok pasukan yang ada di arena itu pun
kemudian berteriak mengatasi dentang senjata beradu, "Pasukan
yang memberontak. Menyerahlah. Kalian sudah terkepung. Jangan
mempersulit diri sendiri dengan perlawanan yang tiada berarti apaapa
ini selain korban yang akan berjatuhan."
80 Tidak ada jawaban. Tetapi pertempuran berkobar semakin seru.
Kedua belah pihak memeras tenaga semakin banyak sehingga suara
senjata beradu semakin memekakkan telinga.
"Cepat menyerah!" teriak Senapati itu, "kami masih akan
mempertimbangkan pengampunan seperti kawan-kawanmu yang
telah menyerah lebih dahulu di barak. Jika kalian tidak menyerah,
dan kalian tertangkap di dalam pertempuran, maka persoalan kalian
akan menjadi lain." Namun yang didengar adalah jawaban senapati yang telah
memberontak itu, "Jangan bujuk kami seperti membujuk anak-anak
dengan gula kelapa. Kami adalah prajurit yang menyadari tindakan
kami. Dan kami tahu hukuman apa yang akan kalian timpakan
kepada kami. Karena itu, kami akan menebus kebebasan kami
dengan darah dan nyawa kami."
"Kalian telah dibayangi oleh perasaan putus asa. Dengarlah
suaraku. Aku adalah pemegang perintah Tuanku Anusapati."
"Jangan sebut-sebut lagi. Minggirlah, kami akan melalui
padukuhan ini. Atau kalian ingin kami melangkahi mayat kalian?"
Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Agaknya prajuritprajurit
yang memberontak itu benar-benar telah kehilangan akal,
sehingga mereka melakukan perlawanan itu semata-mata sebagai
suatu tindakan untung-untungan antara dua pilihan. Mati atau lepas
dari tangan prajurit-prajurit Singasari.
Dengan demikian maka prajurit-prajurit Singasari itu pun tidak
mempunyai pilihan lain. Mereka mengepung semakin rapat dalam
jumlah yang semakin banyak.
Demikianlah selagi pertempuran itu berkobar semakin dahsyat,
maka datanglah di padukuhan itu sepasukan berkuda yang lain.
Bahkan di dalam pasukan ini terdapat beberapa tanda kebesaran
Maharaja Singasari, karena Anusapati sendiri ada di dalam pasukan
itu. 81 Dan daerah persawahan Anusapati melihat padukuhan yang
dilanda oleh peperangan itu. Sejenak pasukan itu termangu-mangu.
Namun kemudian Anusapati pun memerintah, "Kita masuk ke
dalamnya. Kita melihat pertempuran yang telah terjadi itu."
Dengan menyusuri jalan padukuhan, maka pasukan itu berhasil
mendekati arena pertempuran yang menjadi semakin sempit karena
kepungan yang semakin rapat.
Ternyata bahwa tanda kebesaran Maharaja Singasari itu
mempengaruhi pertempuran yang sedang berkobar. Prajurit-prajurit
yang melihat tanda-tanda kebesaran itu menjadi berdebar-debar.
Yang berada di pihak Maharaja Anusapati menjadi semakin mantap,
karena rasa-rasanya mereka bertempur di bawah lambaian panjipanji
kebesaran. Sedang yang melawan Singasari menjadi semakin
gelisah dan kecil hati. Namun akibatnya menjadi semakin parah. Mereka menjadi
semakin putus asa. Tidak ada lagi harapan untuk tetap hidup. Jika
mereka tertangkap maka mereka akan digantung berderet-deret di
alun-alun. Dengan demikian maka mereka pun justru menjadi semakin liar
dan garang. Anusapati mengetahui apa yang sedang berkecamuk di dalam
hati mereka. Jika pertempuran itu berkobar terus, maka korban
akan semakin banyak berjatuhan di kedua belah pihak. Karena itu,
maka ia pun maju beberapa langkah. Sambil duduk di atas kudanya
ia berteriak, "Apakah kalian bersedia menghentikan perlawanan"
Jika kalian bersedia, maka kami mempertimbangkan hukuman yang
lebih ringan. Meskipun kami tetap akan menghukum yang bersalah,
tetapi hukuman itu akan terbatas. Dan mereka yang sekedar
terseret oleh arus tanpa menyadari dirinya akan dipertimbangkan
pula." Suara Anusapati itu bagaikan bergema di seluruh daerah
pertempuran. Meskipun senjata masih juga berdentingan, namun
setiap telinga dapat mendengar apa yang dikatakan oleh Anusapati.
82 Ternyata bahwa suara itu seolah-olah langsung meresap di dalam
setiap hati. Beberapa orang prajurit yang semula tidak lagi dapat
berpikir selain mati dan mati, mulai mempertimbangkan kata-kata
Anusapati itu. Dengan demikian maka pertempuran itu pun menjadi semakin
kendur. Beberapa orang prajurit yang melakukan perlawanan itu
mulai melepaskan perlawanannya selain berloncatan surut.
"Hentikan pertempuran!" tiba-tiba terdengar suara Anusapati
bergema kembali, "Aku akan berbicara dengan mereka."
Setiap prajurit yang mendengar perintah itu pun segera
mematuhinya. Baik prajurit yang melakukan perlawanan, maupun
yang akan menangkap mereka.
"Aku tahu bahwa kalian bukan berbuat karena kehendak kalian
sendiri. Nah, jika demikian apakah kalian tidak mulai menyadari,
bahwa perlawanan kalian tidak akan berarti" Janji yang tentu kalian
terima sebagai imbalan tingkah laku kalian tidak akan pernah dapat
terjadi jika kalian berdiri di bawah tiang gantungan. Karena itu
sebaiknya kalian berpikir, bahwa sebaiknya kalian menyerah."
Prajurit yang memberontak itu mengerutkan keningnya. Mereka
benar-benar mulai berpikir.
"Nah, siapa yang menyerah, letakkanlah senjata. Sekali lagi aku
memberikan jaminan, bahwa hukuman bagi kalian akan diperingan.
Kalian tidak akan digantung dan dihukum mati dengan cara
apapun." Sejenak prajurit-prajurit itu menjadi tegang. Namun tiba-tiba saja
pemimpin mereka, yang merasa bahwa baginya tentu tidak akan
ada pengampunan itu pun berteriak, "Licik! Kalian telah membujuk
kami." "Tetapi kami bukan membujuk kalian untuk melakukan perbuatan
yang salah dengan menjanjikan upah atau derajat yang tinggi,
namun kemudian menjerumuskan kalian ke dalam neraka ini. Kami
membujuk kalian untuk menyadari kenyataan yang kalian hadapi."
83 "Omong kosong! Kami sudah menentukan sikap."
"Apakah kau sadar dengan siapa kau berbicara?" bertanya
Anusapati. Senapati itu terdiam sejenak. Namun agaknya hatinya telah
benar-benar dilapisi oleh keputusasaan, sehingga ia menjawab, "
Ya. Aku kenal. Kau adalah penguasa tertinggi di Singasari. Nah
apakah akan memaksakan kekuasaanmu untuk berbuat sewenangwenang
di sini?" Jawaban itu benar-benar telah mengejutkan setiap orang yang
mendengarnya, termasuk Anusapati sendiri.
Tetapi Maharaja Singasari itu cukup bijaksana. Karena itu ia tidak
segera terbakar hatinya dan menjatuhkan perintah yang berat bagi
senapati yang dengan terus terang telah melawannya.
"Senapati," berkata Anusapati, "jika aku menghentikan
perlawananmu dan memberi kesempatan kau dan orang-orangmu
menyerah dengan janji keringanan hukuman atas kesalahan kalian,
apakah itu namanya sewenang-wenang?"
"Cukup!" potong Senapati itu, "kau mencoba mempengaruhi
prajurit-prajuritku yang setia, yang telah menyatakan diri sehidup
semati meskipun kami akan berhadapan dengan Maharaja Singasari
sendiri. Karena kami sadar, bahwa Maharaja Singasari sekarang ini
sebenarnya sama sekali tidak berhak atas tahta."
Anusapati mengerutkan keningnya. Tetapi dibiarkannya saja
orang itu berbicara, agar ia mendapat bahan yang diperlukan.
Adalah lebih baik orang itu berbicara atas kehendaknya sendiri
daripada ia harus memaksanya.
"Kau telah membunuh Tuanku Sri Rajasa, agar kau mendapat
kesempatan untuk menjadi raja."
"Apakah begitu?" bertanya Anusapati, meskipun terasa dadanya
berdesir juga, "setiap orang mengetahui bahwa aku adalah
Pangeran Pati, yang berhak menggantikan kedudukan Ayahanda Sri
84 Rajasa. Tetapi siapakah yang mengatakan hal itu kepadamu,
Senapati?" Senapati itu termangu-mangu. Lalu, "Aku mengerti karena aku
dapat membuat perhitungan sebagai seorang prajurit. Kau
memerintahkan Pengalasan dari Batil itu membunuh Sri Rajasa, lalu
kau bunuh Pengalasan itu."
"Tutup mulutmu!" geram panglima pasukan tempur Singasari
yang menyertai Anusapati.
Tetapi Anusapati berdesis, "Biarlah ia mengatakan apa saja yang
dikehendakinya. Kau tahu bahwa Ayahanda Sri Rajasa adalah
seorang maharaja yang memiliki kemampuan tempur yang tidak ada
duanya di muka bumi. Apakah Pengalasan dari Batil itu akan mampu
membunuhnya seorang diri. Meskipun kita berpendapat demikian
tetapi mungkin Pengalasan itu datang bersama satu dua orang sakti
yang lain. Kesalahannya adalah karena ia datang seorang diri saja
padaku, sehingga aku berhasil membunuhnya. Apabila senapati ini
mempunyai cerita yang lain, tentu ia mempunyai sumber yang
sengaja memutar balikkan kenyataan untuk tujuan tertentu."
"Aku tidak mengerti bicaramu," potong Senapati itu, "tetapi aku
tidak akan menyerah kepadamu, kepada pembunuh Sri Rajasa
meskipun kau meminjam tangan orang lain."
"Jadi, kau tetap pada pendirianmu?" bertanya Anusapati.
"Aku tetap pada pendirianku."
"Baiklah. Tetapi kau akan berdiri seorang diri. Lihat, prajuritprajurit
Singasari yang telah menyadari kesalahan akan meletakkan
senjatanya. Bagaimana dengan kau?"
Senapati itu masih berdiri termangu-mangu. Namun kemudian
sekali lagi ia menggeram, "Aku tetap pada pendirianku. Dan prajuritprajuritku
pun akan tetap pada pendiriannya."
Sejenak Senapati itu berpaling, namun kemudian ia berteriak,
"Marilah, kita sempurnakan tugas kita. Kita sudah berhadapan
dengan pembunuh itu. Kita harus segera bertindak."
85 Tidak seorang pun yang bergerak. Beberapa orang prajurit yang
semula mengikuti jejaknya, kini berdiri saja termangu-mangu.
Yang terdengar kemudian adalah suara Anusapati, "Siapa yang
mendengar suaraku, suara Maharaja Singasari yang memegang
segala macam kekuasaan atas negeri ini, letakkan senjata kalian!"
Para prajurit itu masih termangu-mangu. Dan yang terdengar
kemudian adalah senapati itu berteriak, "Jangan hiraukan! Cepat,
angkat senjatamu. Hancurkan pembunuh itu!"
"Aku memberi kesempatan beberapa kejap mata lagi. Selebihnya,
pasukanku akan bergerak. Siapa yang menyerah akan mendapat
keringanan. Nah, siapakah yang meletakkan senjata?"
Prajurit-prajurit yang bingung itu bagaikan berdiri pada bibir
sebuah lingkaran yang berputar. Semakin lama semakin cepat,
semakin cepat, sehingga mereka bagaikan kehilangan kepribadian
mereka sendiri. Namun dalam pada itu, yang terdengar kemudian seakan-akan
hanyalah suara Anusapati. Semakin lama semakin keras, semakin
keras berdesing di telinganya. Sehingga dengan demikian, hampir di
luar sadar, mereka pun segera melemparkan senjata mereka
masing-masing. Melihat sikap yang seolah-olah dalam mimpi itu, senapati yang
memberontak itu berteriak keras-keras, "Gila! Kalian sudah gila!
Kalian telah berkhianat. Berkhianat dua kali. Kita sudah bersepakat
untuk mengkhianati pembunuh itu, namun sekarang kalian
mengkhianati aku." Tidak ada jawaban. Orang-orang itu berdiri bagaikan patung dan
seolah-olah telah kehilangan diri sendiri.
"Senapati," berkata Anusapati kemudian, "kau sudah kehilangan
semua kesempatan. Nah, sekarang lepaskan senjatamu."
Tetapi senapati ini pun bagaikan sudah kehilangan akalnya pula.
Sambil mengacu-acukan pedang dan kerisnya ia berkata, "Aku
adalah seorang prajurit. Seorang prajurit jantan. Karena itu maka
86 aku hanya berhenti bertempur jika nyawaku telah lepas dari
tubuhku. Ayo, kerubut aku. Aku tidak gentar menghadapi pasukan
Singasari yang manapun juga meskipun ia dipimpin oleh
maharajanya, maharaja pembunuh itu."
Wajah Anusapati menjadi merah, dan telinganya serasa panas.
Lalu katanya, "Baiklah jika kau tidak mau menyerah. Kau benarbenar
seorang prajurit jantan. Karena itu, maka kau pun akan
mendapat kehormatan pula. Karena kau tinggal seorang diri, maka
kami pun akan melawanmu dengan seorang diri. Nah, kau
mendapat kesempatan memilih. Siapakah yang akan melawanmu
seorang lawan seorang di antara para senapati yang datang
menyertaiku." Senapati itu mengerutkan keningnya. Kemudian ia pun
menggeram menahan kemarahan yang menghentak-hentak
dadanya. "Pilihlah lawanmu. Mungkin yang kau anggap paling lemah di
antara kami." "Persetan!" teriak senapati itu, "aku memilih lawan pembunuh Sri
Rajasa."

Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh," sahut Anusapati, "pembunuh Sri Rajasa sudah mati. Pilihlah
yang ada di hadapanmu sekarang."
"Kau, kau. Maharaja Singasari. Aku tidak yakin bahwa
sebenarnya kau cukup sakti untuk menggantikan Sri Rajasa yang
sudah berhasil menaklukkan Kediri dan membinasakan Maharaja
Kediri waktu itu." "Aku?" Anusapati menjadi heran.
"Ya. Aku tidak yakin kemampuanmu yang sering menyebut
dirinya Kesatria Putih itu benar-benar mampu mengimbangi senapati
yang setia kepada Sri Rajasa ini."
Anusapati tiba-tiba saja tersenyum. Katanya, "Kau dapat
menyebut dirimu setia kepada Sri Rajasa. Tetapi kau telah
memerintahkan dua kelompok prajurit yang kau samarkan untuk
87 menimbulkan benturan dari golongan yang menyebut dirinya setia
kepada Sri Rajasa dan golongan yang menyatakan diri sebagai
pencinta Akuwu Tunggul Ametung yang terbunuh lebih dahulu. Nah,
kenapa kau tidak menuduh pimpinan sekarang sebagai keturunan
orang yang telah mengambil alih kekuasaan Akuwu Tunggul
Ametung sepeninggalnya" Atau apa saja yang dapat menimbulkan
kesan seakan-akan bahwa kau bercita-cita tentang suatu susunan
pemerintahan yang paling baik bagi Singasari?"
"Aku tidak peduli. Jika kau benar-benar memberi kesempatan aku
memilih, aku memilih Maharaja Singasari sebagai lawanku."
Anusapati termangu-mangu sejenak. Namun panglima prajurit
Singasari yang menyertainya berkata, "Ampun Tuanku. Permintaan
itu adalah tidak pantas sama sekali. Di sini ada beberapa orang
senapati dan panglima. Jika Tuanku berkenan, biarlah hamba
sajalah yang akan melayani orang yang sudah menjadi gila itu."
"Persetan!" teriak Senapati itu, "Aku tidak gila. Aku masih sadar
sepenuhnya. Aku masih dapat mengenal kau sebagai penjilat. Nah,
apa katamu?" Panglima prajurit Singasari itu menggeretakkan giginya. Katanya,
"Beri hamba kesempatan Tuanku. Hamba akan memaksa Senapati
itu untuk menyadari dirinya."
"Kau tidak pantas melawan aku. Hanya Maharaja Singasari
sajalah yang pantas melawan aku, karena aku adalah jelmaan dari
tuntutan keadilan. Nah, apakah orang yang bernama Anusapati
berani melakukan perang tanding ini."
Anusapati tidak segera menjawab. Ia benar-benar menjadi
bimbang, apakah yang sebaiknya dilakukan.
Karena Anusapati tidak segera menjawab, maka senapati yang
seakan-akan sudah kehilangan nalarnya itu berteriak lagi, "Jangan
menjadi ketakutan. Kau sekarang adalah seorang maharaja apapun
caranya. Karena itu, sabdanya hanya satu kali. Dan kau memberi
aku kesempatan memilih, dan aku sekarang sudah memilih. Jika kau
tidak berani melakukan perang tanding, maka baiklah, aku akan
88 melawan siapa saja yang akan kau tunjuk. Namun dengan
pengertian, bahwa Maharaja Singasari sekarang adalah seorang
pengecut. Tidak seperti Sri Rajasa yang agung, dan tidak seperti
Akuwu Tunggul Ametung yang pernah memerintah Tumapel yang
kecil, tetapi berjiwa sebesar seorang maharaja sejati."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Aku
tahu, bahwa kau menyebut Sri Rajasa yang agung dan Akuwu
Tunggul Ametung untuk memaksa aku memenuhi tantangan."
"Jangan hiraukan," potong panglima prajurit Singasari itu,
"perintahkanlah kepada hamba, agar hamba menyumbat mulutnya
yang kasar itu." Tetapi Anusapati tersenyum. Katanya, "Bukan karena ejekannya
aku memenuhi pilihannya. Tetapi aku sendiri memang sudah
mengatakan, bahwa ia dapat memilih di antara kita. Dan ia benar
sudah menjatuhkan pilihan."
"Tetapi Tuanku adalah seorang maharaja."
"Biarlah. Justru aku seorang maharaja maka aku akan memegang
janji kata-kataku." Panglima itu tidak dapat berbuat lain. Dengan hati yang
berdebar-debar ia memandang Anusapati yang melangkah
mendekati senapati yang menggenggam dua pucuk senjata. Sebilah
pedang dan sebilah keris.
"Beri aku senjata!" berkata Anusapati.
Seorang senapati dengan hati yang berdebar-debar maju
mendekati sambil membawa pedang Maharaja Anusapati yang
dibawanya. "Nah Senapati," berkata Anusapati, "aku sudah siap. Kau benarbenar
mendapat kehormatan untuk bertempur melawan seorang
Maharaja Singasari."
"Jangan banyak bicara. Cepat!"
"Aku sudah siap."
89 Senapati itu tidak menunggu lagi. Ia benar-benar sudah tidak
dapat mengendalikan dirinya. Dengan cepat ia meloncat, seakanakan
hendak menerkam Anusapati yang berdiri menghadapinya.
Serangannya benar-benar berbahaya. Senapati itu memang
memiliki kemampuan yang tinggi. Serangan itu bagaikan angin yang
menyambar, dan bahkan sentuhannya seolah-olah terasa mengusap
tubuh Anusapati. Anusapati agak terkejut juga mengalami serangan itu. Demikian
pula para senapati yang menyaksikannya. Panglima prajurit
Singasari yang ada di pinggir arena itu pun terkejut pula sehingga ia
bergeser melangkah maju. Namun Anusapati pun segera berhasil menyesuaikan diri. Ketika
senapati yang kehilangan nalar itu menyerangnya sekali lagi,
Anusapati sudah berhasil menempatkan dirinya sebaik-baiknya.
Tetapi senapati itu bagaikan seekor harimau yang kelaparan.
Bahkan mirip dengan harimau yang terluka. Tandangnya menjadi
semakin liar dan kasar. Anusapati harus mengimbanginya. Bagaimanapun juga ia harus
berkelahi dengan keras pula. Benturan-benturan yang terjadi kemudian
adalah benturan-benturan yang keras. Bukan sekedar usaha
melontarkan bunga-bunga api.
Demikian perkelahian itu merupakan perkelahian yang
mendebarkan hati. Senapati yang telah dicengkam oleh
keputusasaan itu berkelahi dengan garangnya. Kedua senjata di
kedua tangannya bergerak-gerak dengan cepatnya bagaikan dua
buah baling-baling yang berputar saling susul-menyusul.
Namun, ternyata Anusapati cukup tangkas menghadapinya. Ia
mampu berloncatan seperti kijang. Bahkan kadang-kadang
lawannya yang putus asa itu menjadi bingung.
Beberapa saat kemudian, Anusapati merasa bahwa ia akan dapat
menguasai lawannya. Jika saja lawannya bertempur dalam keadaan
yang wajar, sehingga ia dapat mempergunakan nalar dan
90 pertimbangan akalnya, maka senapati itu memang cukup tangguh.
Tetapi karena hatinya yang gelap pekat, maka ia bertempur sekedar
mempergunakan gerakan-gerakan naluri meskipun dilandasi oleh
ilmu yang dimilikinya. Namun sama sekali tidak terarah. Namun
demikian, gerakan-gerakan yang dilandasi oleh perasaan putus asa
itu, kadang-kadang berbahaya juga bagi Anusapati.
Dalam pada itu, maka Anusapati kemudian sempat membuat
pertimbangan. Ia ingin menangkap senapati itu hidup-hidup agar ia
dapat menyadap keterangan darinya, siapakah sebenarnya yang
berdiri di belakangnya. Meskipun para prajuritnya telah menyerah,
namun agaknya mereka tidak banyak mengetahui, siapakah yang
berdiri di balik keributan ini.
Karena itulah, maka Anusapati kemudian tidak lagi melayaninya
mati-matian. Ia ingin memaksa lawannya menyerah, atau kehabisan
nafas sehingga ia akan dapat ditangkap dengan mudah.
Karena itu untuk beberapa saat, Anusapati seakan-akan justru
terdesak oleh lawannya. Beberapa orang senapati terkejut melihat
hal itu. Namun sejenak kemudian mereka pun menarik nafas dalamdalam.
Para senapati pun segera melihat bahwa sebenarnya Anusapati
telah meyakini keadaannya. Dan mereka pun menyadari, bahwa
tentu Anusapati ingin menangkap pemimpin prajurit yang telah
memberontak itu hidup-hidup.
Tetapi senapati itu sendiri, yang melakukan perang tanding
melawan Anusapati, tidak segera merasa bahwa sebenarnya
Anusapati sedang berusaha menangkapnya hidup-hidup. Ketika ia
merasa bahwa Anusapati mulai terdesak olehnya, maka ia pun
berkata, "Nah, Anusapati. Jangan menyesal. Jika kau mati terbunuh
di arena perang tanding ini, maka Singasari akan jatuh ke tangan
yang berhak." "Siapakah yang berhak?" bertanya Anusapati.
Hampir saja mulut Senapati itu mengucapkan sebuah nama.
Tetapi untunglah bahwa ia segera menyadari kekeliruannya. Maka
91 jawabnya, "Sayang, bahwa kau tidak pantas mendengar namanya.
Jangan menyesal." Anusapati tidak bertanya lagi. Ia masih saja sekedar bertahan
dan menghindarkan diri dari serangan-serangan lawannya. Dan
senapati yang sudah putus asa itu merasa dirinya mendapat
kemenangan yang akan dapat menyelamatkannya, dan bahkan akan
mengangkat derajatnya. Namun semakin lama, terasa nafasnya menjadi semakin
terengah-engah. Meskipun rasa-rasanya ia masih saja menekan
lawannya yang sama sekali tidak mendapat kesempatan menyerang,
namun tekanannya sama sekali tidak menimbulkan gangguan
apapun terhadap Anusapati.
Demikianlah maka semakin lama, nafas senapati itu pun menjadi
semakin dalam. Bahkan kemudian terasa nafas itu semakin
mengganggunya. Namun demikian, ia masih saja tidak berhasil
melakukan serangan yang berbahaya dan apalagi melumpuhkan
lawannya. Akhirnya senapati itu mulai curiga terhadap perkelahian itu.
Sedikit demi sedikit ia merasa, bahwa keadaan perkelahian itu agak
aneh baginya. Meskipun ia selalu berhasil mendesak dan tidak
memberi kesempatan kepada Anusapati, namun Anusapati rasarasanya
masih saja tetap segar dan melakukan perlawanan dengan
tangkasnya. Senapati yang hampir kehabisan nafas itu pun akhirnya merasa
sepenuhnya, bahwa perlawanannya sebenarnya adalah sia-sia saja.
Ia kemudian menyadari, bahwa Anusapati memang tidak bertempur
sepenuh kemampuannya dan dengan segera berusaha
mengalahkannya. Ia sadar, bahwa selama itu agaknya Anusapati
membiarkannya berloncatan, berputar dan bertempur seorang diri.
Itulah sebenarnya, akhirnya nafasnya bagaikan terputus di
kerongkongan. Meskipun demikian, rasa-rasanya tidak mungkin lagi baginya
untuk menyerah. Karena itu, maka ia pun berusaha untuk tetap
92 bertempur terus, apapun yang akan terjadi. Bahkan sampai
nafasnya putus sama sekali.
Tetapi ternyata bahwa kemampuannya memang terbatas.
Sampai pada saatnya, tenaganya rasa-rasanya telah terkuras habis.
Bahkan apabila ia mengayunkan pedangnya, maka ia akan terseret
sendiri oleh ayunan pedang itu, sehingga terhuyung-huyung. Setiap
langkah membuatnya kehilangan keseimbangan dan sekali-sekali
senapati perang yang telah melawan kekuasaan Anusapati itu
terseret oleh tenaganya sendiri dan terjatuh di tanah.
Anusapati sama sekali tidak berusaha menyerangnya.
Dibiarkannya senapati itu dengan tertatih-tatih berusaha bangkit
dengan kedua senjata di tangannya. Pedangnya masih tergenggam
erat di tangan kanan, sedang di tangan kirinya dipegang kerisnya
dengan eratnya. "Apakah kita bertempur terus?" tiba-tiba Anusapati bertanya.
"Persetan!" senapati itu menggeram. Tetapi suaranya sudah tidak
terdengar jelas lagi. Anusapati tersenyum, katanya, "Kau memang berjiwa prajurit.
Kau memiliki kejantanan yang cukup. Pantang menyerah. Tetapi
sayang, bahwa kau dungu dan agak keras kepala sehingga kau tidak
mau melihat kenyataan yang kau hadapi. Apakah kau masih belum
mau mengerti keadaan yang sebenarnya dari pertempuran ini" Dan
kemudian dari perang tanding ini?"
Senapati itu tidak menjawab. Tetapi ia justru menyerang dengan
menusukkan pedangnya ke arah dada Anusapati.
Dengan menarik sebelah kakinya Anusapati menghindar sehingga
orang itu terdorong oleh tenaganya sendiri. Sejenak ia terhuyunghuyung.
Namun ia pun kemudian jatuh terjerembab mencium tanah.
"Kau masih keras kepala?"
Orang itu mencoba bangkit sambil bertelekan pedangnya. Namun
karena ia sudah demikian lelahnya, sehingga ia seakan-akan tidak
lagi mempunyai kekuatan untuk mengangkat lututnya.
93 Perlahan-lahan Anusapati mendekatinya. Kemudian ditolongnya
orang itu berdiri. Namun demikian ia tegak, sekali lagi ia mengayunkan pedangnya
langsung ke lambung Anusapati. Dan kali ini Anusapati tidak
menghindar. Tetapi ditangkisnya pedang itu dengan senjatanya.
Terdengar suara kedua senjata itu beradu. Namun ternyata
benturan senjata itu telah melemparkan senapati itu beberapa
langkah dan kini ia jatuh terbanting.
Sejenak ia menelentang sambil menyeringai. Wajahnya jadi pucat
seperti kapas. Namun ia masih belum menyerah. Ternyata ia masih
berusaha bangkit meskipun ia tidak berhasil.
"Menyerahlah," berkata Anusapati sambil mengacukan
senjatanya di dada orang itu.
Tetapi senapati itu tidak menghiraukannya. Ia mencoba memukul
senjata Anusapati dengan senjatanya.
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Orang itu benar-benar
sudah tidak berdaya. Bahkan ketika Anusapati kemudian
membiarkannya, ia sudah tidak dapat segera berdiri lagi.
Meskipun demikian Anusapati belum memberikan perintah untuk
menangkap orang itu. Jika demikian agaknya orang itu tidak akan
segera membunuh dirinya. Karena itu, maka dibiarkannya saja
orang itu dengan susah payah berusaha untuk berdiri lagi.
Akhirnya sambil bertelekan senjatanya, ia berhasil tertatih-tatih
berdiri. Namun demikian ia berusaha untuk tegak, maka datanglah
serangan Anusapati tanpa diduganya. Tetapi Anusapati sama sekali
tidak menyerang tubuhnya, namun dengan senjatanya ia memukul
senjata senapati itu sehingga kedua-duanya terlepas dari
tangannya. "Licik, licik," suaranya seakan-akan tersangkut di kerongkongan,
"kau melepaskan senjataku."
94 Anusapati tidak menanggapinya. Namun kemudian keluarlah
perintah untuk menangkap orang itu hidup-hidup.
Hampir tidak ada perlawanan sama sekali. Ketika dua orang
senapati kemudian menangkapnya, maka ia tidak dapat berbuat lain
kecuali mengumpat-umpat dan meronta beberapa saat. Namun
kemudian tenaganya pun seolah-olah telah terserap habis sama


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekali. Meskipun demikian, orang itu terpaksa diikat tangannya. Bukan
karena ia akan mendapat kesempatan menyerang tetapi yang paling
dicemaskan adalah apabila ia membunuh dirinya, jika
berkesempatan. Demikianlah maka orang itu pun kemudian dengan susah payah
dibawa ke Singasari. Orang itu sendiri sama sekali sudah tidak mau
berbuat apapun juga. Ia sama sekali tidak lagi berusaha
menyelamatkan dirinya dengan cara apapun juga.
Selain senapati itu, maka para prajurit yang telah
dipengaruhinya, dibawa pula bersamanya ke Singasari. Namun bagi
yang menyerah, prajurit-prajurit Singasari telah mengambil sikap
yang lain. Apalagi mereka yang menyerah sejak mereka masih
berada di barak. Demikianlah usaha penangkapan prajurit-prajurit yang
memberontak itu dapat dikatakan selesai. Bahkan satu dua yang
sebenarnya masih mendapat kesempatan untuk lari pun telah
menyerahkan diri pula, karena mereka sadar, bahwa mereka tidak
akan dapat hidup tenteram sebagai orang buruan.
Atas perintah Anusapati, maka senapati itu telah mendapat
tempat di dalam halaman istana untuk menahannya. Di hari
pertama ia sama sekali tidak mau mengatakan apapun juga. Dan
para petugas pun menyadari, bahwa darahnya tentu masih terasa
mendidih. Karena itu, dibiarkannya saja senapati itu duduk diam di
dalam ruang yang menyekapnya.
Dengan tertangkapnya sekelompok prajurit yang telah berusaha
mengeruhkan pemerintahan Singasari itu, Anusapati ingin mendapat
95 bukti dan saksi, siapakah yang sebenarnya telah mengganggu
ketenteraman, sehingga apabila ia harus bertindak, maka
tindakannya itu bukannya tidak beralasan.
"Kita akan mendapatkan bukti hidup, Paman," berkata Anusapati
kepada Mahisa Agni yang berada di Singasari.
"Ya. Tetapi kesaksiannya tidak dapat dijadikan bahan satusatunya
untuk bertindak terhadap seseorang. Meskipun demikian
kesaksiannya akan sangat besar pengaruhnya bagi kukuhnya
kedudukan Tuanku." "Aku akan berusaha mendengar pengakuannya meskipun aku
tidak boleh segera mempercayainya. Mungkin ia sengaja membuat
kesaksian palsu yang justru dapat mengacaukan pemerintahanku."
"Tuanku benar. Dan apabila tidak berkeberatan dan
diperkenankan, biarlah hamba ikut mendengarkan pengakuan itu."
"Tentu tidak Paman. Aku mengharap Paman mendengarkan
kesaksiannya. Dan aku pun mengharap Paman Witantra, Mahendra
dan Kuda Sempana akan ikut mempertimbangkan pengakuannya.
Paman dapat memberitahukan pengakuan itu kepada mereka, dan
mendengarkan apakah yang mereka katakan tentang pengakuan
itu." "Hamba akan menghadap di dalam pemeriksaan itu kelak."
"Biarlah orang itu mendapat kesempatan merenungi dirinya
sendiri lebih dahulu. Mudah-mudahan ia menyesal."
"Mudah-mudahan," ulang Mahisa Agni.
Demikianlah maka hari itu, senapati yang telah memberontak itu
dibiarkannya saja di dalam ruang tahanannya. Di sebelah senapati
itu, dipisahkan oleh sekat yang tebal, adalah tempat untuk menahan
para perwira di dalam kelompok itu yang barangkali juga
mengetahui serba sedikit tentang usaha pengkhianatan yang
mereka lakukan. Sedangkan para prajurit, yang dianggap tidak
berbuat banyak kesalahan itu, ditahan di luar halaman istana, dan
mereka akan segera mendapat keputusan keringanan hukuman atas
96 kesalahan mereka. Bahkan ada di antara mereka yang sama sekali
tidak mengerti, apakah sebenarnya yang telah dilakukan itu.
"Besok siang aku akan bertemu dengan senapati itu," berkata
Anusapati kepada seorang perwira yang bertugas menjaga senapati
yang memberontak itu. "Hamba Tuanku. Mudah-mudahan besok siang, senapati itu
sudah dapat mengendapkan perasaannya dan menemukan dirinya
sebagai seorang prajurit Singasari."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia memang
mengharap bahwa segera ada kesaksian yang dapat dipakainya
sebagai landasan untuk bertindak lebih jauh, meskipun ia masih
harus selalu berhati-hati.
Ketika malam kemudian menyelimuti Singasari, rasa-rasanya hati
Anusapati masih saja selalu terganggu. Ia ingin segera mendengar
keterangan dari mulut senapati itu. Seakan-akan ia tidak dapat
bersabar menunggu sampai besok.
Tetapi Anusapati harus mengekang dirinya. Ia harus menunggu
sampai besok seperti yang sudah dikatakannya sendiri.
Namun dengan demikian hampir semalam suntuk ia tidak dapat
tertidur. Jika sekilas ia terlena, maka ia pun segera diganggu oleh
mimpi yang mengejutkan. "Rasa-rasanya aku meninggalkan seorang bayi di tepi telaga,"
berkata Anusapati di dalam hatinya.
Ketika ia mendengar suara burung hantu di kejauhan, hatinya
menjadi berdebar-debar. Seolah-olah ia mendengar keluh yang
memelas dari beberapa orang yang tidak dikenalnya.
"Ah, aku telah dipengaruhi oleh perasaan yang terlepas dari
ikatan nalar," berkata Anusapati, "seharusnya aku dapat tidur
nyenyak malam ini, setelah sekelompok prajurit itu berhasil
ditangkap. Malam ini tidak akan ada lagi tindakan-tindakan tercela
yang dengan sengaja memancing kekeruhan di dalam
pemerintahanku." 97 Meskipun demikian, ia tidak berhasil mengusir kegelisahannya
seakan-akan memang ada sesuatu yang terjadi.
Itulah sebabnya Anusapati keluar dari peraduannya dan hampir
di luar sadarnya ia pun pergi ke tempat senapati itu ditahan.
Tiga orang pengawalnya menjadi heran. Ketika Anusapati turun
dari bangsalnya, maka para pengawal itu pun menganggukkan
kepalanya sambil berkata, "Ampun Tuanku. Sebaiknya Tuanku
memerintahkan hamba untuk melakukan yang Tuanku kehendaki."
Anusapati memandang para pengawal itu sejenak. Namun
katanya kemudian, "Aku akan berjalan-jalan di halaman. Rasarasanya
malam panas sekali."
Para pengawal itu saling berpandangan sejenak. Salah seorang
kemudian berkata, "Apakah ada perintah bagi hamba?"
Anusapati memandang pengawal itu sejenak, lalu, "Ikut aku!"
Ketika pengawal itu pun kemudian mengikutinya. Anusapati pun
sadar, bahwa ia tidak dapat menolak pengawalnya. Ketika ia masih
menjadi seorang Pangeran Pati, ia tidak pernah memerlukan
pengawal. Memang agak berbeda dengan Tohjaya.
Tetapi sekarang ia tidak dapat berbuat demikian. Anusapati
sadar, bahwa ia kini adalah seorang maharaja. Itulah sebabnya ia
selalu membiarkan dirinya diikuti oleh pengawalnya. Tetapi ia kenal
benar kepada pengawal-pengawal itu, karena ia sendirilah yang
memilikinya. Tanpa tujuan Anusapati melangkahkan kakinya di sepanjang
halaman bangsalnya. Beberapa orang prajurit yang sedang bertugas
menjadi heran melihatnya. Tetapi mereka menyadari bahwa
Anusapati tentu sedang digelisahkan oleh peristiwa yang baru saja
terjadi. Meskipun ia berhasil menangkap prajurit-prajurit itu, tetapi
peristiwa itu agaknya sempat mengguncangkan hatinya.
Ketika Anusapati sampai di depan regol taman, terasa hatinya
berdebar. Taman itu kini rasa-rasanya menjadi sangat sepi. Dahulu
ia selalu pergi ke taman dan bercakap-cakap dengan seorang juru
98 taman yang sangat baik. Tetapi orang yang dikenal sebagai
pengalasan dari Batil itu sudah tidak ada lagi. Ia telah
mengorbankan jiwanya, dan bahkan kemudian namanya untuk
kepentingannya. Ia telah mati dengan sadar, bahwa ia telah
berusaha menyelamatkan kedudukannya. Berbeda dengan
pengorbanan yang pernah diberikan Kebo Ijo. Nyawanya dan
namanya. Tetapi ia sama sekali tidak menyadari apa yang dilakukan
dan apa yang terjadi atasnya.
"Paman Sumekar yang baik itu," berdesis Anusapati.
Pengawalnya mendengar desis itu. Tetapi tidak begitu jelas.
Namun tidak seorang pun yang berani bertanya, apa yang dikatakan
oleh Anusapati itu. Dan tiba-tiba saja Anusapati yang sedang menahan gejolak
perasaannya itu menggeram, "Aku akan melihat orang-orang yang
sedang ditawan itu."
Pengawalnya saling berpandangan. Namun mereka tidak dapat
berbuat lain daripada mengikuti Anusapati pergi ke ruang
tawanannya disimpan. Prajurit yang bertugas menjaga para tawanan itu menjadi
terkejut sekali melihat kehadiran Anusapati justru di malam hari.
Dengan tergesa-gesa mereka menyambut kedatangannya dengan
dada yang gelisah. "Aku tidak mempunyai keperluan yang khusus," katanya kepada
para penjaga ketika ia melihat kegelisahan mereka.
"Hamba Tuanku," sahut prajurit yang dengan gemetar berdiri
memegang tombak panjang. "Di manakah tawanan itu?"
"Di bilik itu Tuanku."
Anusapati mengerutkan keningnya. Kemudian perlahan-lahan ia
mendekati bilik berdinding kayu yang tebal. Perlahan-lahan
99 Anusapati mengangkat selarak pintu itu dan mendorong daun
pintunya ke samping. Para penjaga menjadi heran. Ketiga pengawalnya segera
berloncatan di samping. Mereka bersiap menghadapi setiap kemungkinan
apabila tawanan yang sudah berputus asa itu
mengamuk. Ternyata dugaan para pengawal itu benar. Ketika senapati yang
berada di dalam ruangan itu melihat dalam cahaya lampu, siapakah
yang berdiri di muka pintu, tiba-tiba saja ia meloncat meraih lampu
minyak di dalam bilik itu. Dengan sekuat tenaga ia melemparkan
lampu itu ke wajah Anusapati.
Tetapi Anusapati pun sebenarnya sudah menduga bahwa sesuatu
dapat terjadi atas dirinya. Karena itu, maka ia pun segera bergeser
ke samping sambil memiringkan kepalanya.
Lampu minyak itu terbang setebal jari dari wajah Anusapati,
sehingga panasnya masih terasa. Tetapi sejenak kemudian halaman
bangsal tempat senapati itu ditawan segera menjadi terang
benderang, karena lampu yang dilemparkan itu jatuh pada
seonggok rumput yang mulai kering di musim kemarau. Minyaknya
berhamburan dan api pun segera menyambarnya.
Tetapi Anusapati tidak menjadi bingung. Ia pun segera
melangkah masuk ke dalam ruangan yang gelap. Tetapi karena ia
memiliki kelebihan dari orang-orang kebanyakan, maka ia pun dapat
melihat senapati yang siap untuk menyerangnya.
Namun bukan saja Anusapati yang kemudian berada di dalam
bilik itu, tetapi ketiga pengawalnya pun segera berloncatan masuk
dengan senjata telanjang, sehingga senapati itu terpaksa
mengurungkan niatnya. "Kau benar-benar berjiwa prajurit," desis Anusapati, "tetapi
sayang, bahwa kau tidak dapat menempatkan dirimu pada tempat
yang sebenarnya bagi seorang prajurit."
100 Senapati itu tidak menjawab. Tetapi ia menggeram menahan
kemarahan yang bergolak di dalam dadanya.
"Beristirahatlah," berkata Anusapati kemudian, "baru besok kita
akan berbicara. Tetapi agaknya sulit berbicara dengan seorang
senapati yang dicengkam oleh perasaan putus asa dan bahkan
berusaha untuk membunuh dirinya sendiri."
"Persetan!" senapati itu menggeram. Tetapi ia tidak dapat
berbuat apa-apa karena ujung senjata yang mengarah ke dadanya.
"Baiklah. Renungkanlah dirimu sendiri menjelang fajar
menyingsing. Mudah-mudahan kau menemukan jalan yang jernih."
Senapati itu tidak menjawab. Tetapi cahaya matanya bagaikan
membara. Ketika Anusapati kemudian keluar dari bilik itu, dilihatnya
beberapa orang prajurit sedang berusaha memadamkan api yang
membakar rerumputan. Dengan tanah dan pasir, maka sejenak
kemudian api itu pun menjadi semakin surut, dan akhirnya padam
sama sekali. "Hati-hatilah dengan tawananmu," berkata Anusapati kepada
penjaga tawanan itu. "Hamba Tuanku. Hamba akan menjaganya baik-baik."
"Selarak pintu itu."
"Hamba Tuanku."
"Di manakah perwira-perwira yang lain?"
"Ada di bilik sebelah."
"Mereka tidak akan seliar senapati yang sedang berputus asa ini.
Biarlah mereka tidur. Jangan diganggu. Aku besok akan menemui
mereka seorang demi seorang, termasuk senapati itu."
Anusapati pun kemudian meninggalkan bilik tawanan itu dan
berjalan menyusuri halaman dengan kepala tunduk.
101 Malam yang gelap rasa-rasanya menjadi semakin gelap. Ketika
Anusapati menengadahkan kepalanya, dilihatnya bintang gemintang
gemerlapan di langit yang biru hitam.
Sambil menarik nafas dalam-dalam Anusapati bergumam,
"Bintang Gubuk Penceng telah menjadi semakin condong."
"Hamba Tuanku. Bintang Gubuk Penceng sudah condong ke
barat." "Sebentar lagi fajar akan menyingsing."
"Hamba Tuanku."
Anusapati tidak berbicara lagi. Ia pun kemudian memasuki
bangsalnya kembali. Kepada para pengawalnya ia berkata, "Kalian
dapat beristirahat. Biarlah para penjaga bangsal itu menggantikan
tugasmu." "Hamba Tuanku," jawab mereka hampir berbareng sambil
menganggukkan kepalanya. Ketika Anusapati sudah di balik pintu, maka ketiga pengawal itu
pun menarik nafas dalam-dalam.
"Aku rasa, jarang sekali seorang raja yang bertingkah laku seperti
Tuanku Anusapati," desis salah seorang dari mereka.
"Kenapa?" bertanya yang lain.
"Tuanku Anusapati yang pernah menyebut dirinya, atau
katakanlah disebut orang sebagai Kesatria Putih itu masih saja ingin
menangani berbagai masalah langsung dengan tangannya sendiri."
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Sebenarnya itu sangat berbahaya bagi seorang maharaja. Mungkin
hal itu tidak terlampau terasa selagi Tuanku Anusapati masih
seorang Pangeran Pati. Tetapi seharusnya ia dapat mengendalikan
dirinya sedikit, selagi ia sudah menjadi seorang maharaja, karena
jika terjadi sesuatu, maka akibatnya akan terasa di seluruh negeri."
102

Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Salah
seorang dari mereka berkata, "Kita akan beristirahat di gardu.
Biarlah para pengawal bangsal ini bertugas sampai fajar."
Kawan-kawannya pun menganggukkan kepalanya. Dan mereka
pun kemudian berbaring di gardu di depan regol. Sejenak mereka
terlena. Namun rasa-rasanya mata mereka baru terpejam mereka
sudah dibangunkan dengan tergesa-gesa
"Sesuatu telah terjadi dengan tawanan itu," desis seorang
prajurit dengan wajah yang tegang.
Para pengawal itu terbangun dengan dada yang berdebaran.
Seakan-akan denyut jantung mereka menjadi semakin cepat. Ketika
dilihatnya seorang prajurit penjaga berdiri di depan gardu salah
seorang dari mereka bertanya, "Apa yang terjadi?"
"Bertanyalah kepadanya," jawab prajurit penjaga bangsal itu.
Hampir berbareng ketiganya turun dari gardu. Dengan gerak
naluriah mereka telah menggenggam senjata masing-masing.
"Ada apa?" bertanya salah seorang dari mereka.
Seorang prajurit berdiri dengan tubuh gemetar dan wajah yang
tegang. Kegelisahan yang amat sangat tampak membayang disorot
matanya. "Ada apa?" "Aku harus menghadap Tuanku Anusapati," katanya dengan
nafas terengah-engah. "Ada apa?" "Aku harus menyampaikan kabar yang mengejutkan meskipun
kepalaku harus dipenggal."
"Ya, tetapi ada apa?"
"Senapati yang kami tawan itu kedapatan mati di dalam biliknya."
"He, mati?" para pengawal itu hampir berbareng mengulang.
103 Prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya dengan
suara bergetar, "Aku harus menghadap Tuanku Anusapati."
Berita itu benar-benar telah mengejutkan. Anusapati yang belum
sempat tertidur itu terkejut mendengar seorang pelayan dalam
menghadap di depan pintu bilik di bangsalnya.
"Ada apa?" bertanya Anusapati.
"Para pengawal akan menghadap Tuanku. Ada sesuatu yang
sangat penting akan disampaikan kepada Tuanku," jawab pelayan
dalam dari luar pintu. Ketika Anusapati kemudian keluar dari biliknya dan
didapatkannya ketiga pengawalnya, maka mereka pun segera
menyampaikan maksud seorang prajurit yang akan menghadap.
"Bawa kemari!" Di hadapan Anusapati prajurit itu pun mengulang keterangannya,
bahwa tawanan itu telah mati di dalam biliknya.
Anusapati pun terkejut bukan buatan, sehingga suaranya menjadi
bernada tinggi, "Kenapa ia mati" Kenapa?"
"Itulah yang sedang hamba cari bersama dengan para penjaga
Tuanku. Hamba masih belum menemukan sebab-sebab yang pasti
atas kematiannya. Tetapi yang pasti adalah, bahwa senapati itu mati
terbunuh. Bukan karena bunuh diri atau dicengkam oleh penyakit
yang aneh." "Dibunuh" Bagaimana mungkin?".
"Kami mendengar suara sesuatu terjatuh di dalam bilik itu
Tuanku. Ketika kami membuka pintu, kami menemukan senapati itu
sudah mati, sedang atap bilik itu terbuka sedikit."
Terasa sesuatu menghentak dada Anusapati. Dengan serta-merta
ia berkata sambil berdiri, "Aku akan berkemas. Kita pergi sebentar
melihat tempat itu."
104 Anusapati pun kemudian masuk ke dalam biliknya. Sejenak ia
membenahi pakaiannya dan menyambar sebilah keris yang
tergantung di atas pembaringannya. Bersama para pengawal ia pun
kemudian pergi ke bilik tawanannya.
Seperti yang dikatakan oleh prajurit penjaga itu, tawanan itu
memang sudah mati terbunuh. Tubuhnya masih terbaring di
tempatnya, sedang atap di atasnya masih juga tetap terbuka.
Perlahan-lahan Anusapati mendekati mayat yang masih tetap
berada di tempatnya itu. "Belum ada perubahan sama sekali Tuanku," berkata perwira
penjaga bangsal tawanan itu, "hamba hanya meraba tubuhnya yang
dingin membeku untuk meyakinkan, apakah ia memang sudah
meninggal." Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Tawanan ini memang sudah mati. Bawa lampu itu kemari."
Seseorang pun kemudian membawa sebuah lampu minyak
mendekat. Dengan demikian, maka mayat itu menjadi semakin
tampak jelas. "Darah di kepalanya Tuanku," desis seorang perwira.
Anusapati pun melihat darah yang sudah membeku di kepala
senapati itu. Ketika lampu minyak itu semakin dekat dengan titiktitik
darah yang sudah menjadi ke-hitam-hitaman itu, maka
Anusapati pun berdesis, "Paser beracun."
"Ya," desis beberapa orang hampir bersamaan.
Mengerikan sekali. Sebuah paser beracun telah menancap di
ubun-ubun senapati itu, sehingga ia hampir tidak mendapat
kesempatan untuk berbuat sesuatu. Ia hanya dapat menggeliat,
kemudian terdiam untuk selama-lamanya.
"Ampun Tuanku," berkata perwira yang bertanggung jawab atas
penjagaan bilik itu, "hamba agaknya telah lengah, sehingga
pembunuh itu sempat memanjat atap tanpa kami ketahui."
105 Anusapati tidak menyahut. Sekilas dipandanginya wajah perwira
itu. Namun kemudian katanya, "Apa yang kau ketahui sebelum kau
memasuki bilik ini?"
"Kami mendengar suara seseorang terjatuh. Ketika kami masuk,
kami melihat mayat itu sudah terbaring di tempat itu, Tuanku."
Anusapati menengadahkan kepalanya. Dilihatnya lubang di atas
kepalanya. Agaknya seseorang telah membunuh tawanan itu dari
lubang itu. Tetapi bahwa terdengar suara seseorang terjatuh itu
telah menimbulkan dugaan, bahwa orang yang berada di dalam bilik
itu sedang berusaha untuk memanjat ke atas.
Dengan demikian maka Anusapati mempunyai dugaan bahwa
orang itu telah dipancing untuk memanjat. Sementara itu, kepalanya
segera dibidik dengan sebuah paser beracun.
Sejenak kemudian maka Mahisa Agni dan para panglima pun
telah berdatangan. Ternyata sebagian besar dari mereka telah
mengambil kesimpulan yang sama.
"Baiklah salah seorang melihat ke atas atap itu," berkata Mahisa
Agni, "mungkin masih dapat dijumpai sesuatu yang akan dapat
menjadi bahan mengurai masalah ini."
Demikianlah salah seorang dari para senapati yang ada di depan
bilik itu pun segera meloncat memanjat dinding. Ketika ia sampai di
atas atap, maka dilihatnya seutas tali yang besar masih terkapar di
atas atap itu. "Benar juga dugaan itu," berkata senapati itu di dalam hatinya,
"ternyata orang itu telah dipancing untuk memanjat dan mencoba
lari dari tahanan. Tetapi ketika ia sudah hampir mencapai atas
rumah ini, maka kepalanya pun telah dikenai dengan sebuah paser
beracun sehingga ia mati seketika."
Perlahan-lahan dan hati-hati ia merayap di dalam kegelapan
memungut tali itu. Namun tiba-tiba ia pun terkejut bukan buatan ketika ia melihat
lubang yang justru lebih besar di sebelah lubang di atas bilik itu.
106 Dengan serta-merta ia mencoba menjenguk ke dalam. Dilihatnya
dalam cahaya lampu, beberapa orang terbaring diam di dalam bilik
sebelah dari bilik senapati yang tertawan itu.
Karena itu, maka ia pun dengan tergesa-gesa pergi ke lubang
yang sebelah sambil berkata, "Ampun Tuanku. Hamba menemukan
seutas tali yang besar. Namun lebih daripada itu, hamba melihat
lubang yang besar di atas bilik sebelah."
"He?" Anusapati menyahut dengan dada yang berdebaran, "kau
lihat lubang di bilik sebelah?"
"Hamba Tuanku. Karena hamba tergesa-gesa ingin
menyampaikan kepada Tuanku, hamba telah berteriak dari tempat
ini. Hamba mohon ampun Tuanku."
Terasa dada Anusapati bergetar. Sejenak kemudian ia
bergumam, "Kita lihat bilik sebelah."
Mereka yang ada di dalam bilik itu pun segera menyibak ketika
Anusapati melangkah keluar dan pergi ke bilik sebelah. Seorang
prajurit telah berlari-lari mendahuluinya dan membuka pintu bilik
itu. Demikian Anusapati melangkahkan kakinya memasuk bilik itu,
dilihatnya beberapa sosok mayat terbaring membeku di atas lantai.
Dengan tergesa-gesa Anusapati mendekati salah seorang dari
mereka, dan langsung ditemukannya sebatang paser di kepalanya.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, "Sebuah
paser. Tetapi tidak tepat di-ubun-ubun."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Tentu
orang ini tidak sempat dipancingnya. Paser itu dilontarkan pada saat
orang itu sedang tidur nyenyak."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ia tentu hanya sempat menggeliat. Tetapi tidak sempat
berteriak." 107 "Ya, Paman," berkata Anusapati kemudian, "mereka masih tetap
berbaring di lantai meskipun barangkali mereka masih juga
menggeliat sebelum direnggut oleh maut. Ternyata letak mereka
yang terbujur silang. Tetapi jika tidak demikian mereka pasti sempat
berteriak atau salah seorang dari mereka terbangun oleh keributan
yang dapat timbul. Namun agaknya hal itu tidak sempat terjadi."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Yang terjadi itu
adalah pertanda bahwa yang mereka cari berkeliaran di dalam
istana. Setidak-tidaknya kaki tangannya ada di dalam halaman
istana. Dengan demikian, maka bahaya akan selalu mengancam
hidup Anusapati selanjutnya. Kali ini mereka hanya berusaha
menghilangkan jejak. Tetapi lain kali mereka akan berusaha
langsung membunuh Anusapati dan orang-orang yang dekat dengan
maharaja itu. Anusapati yang menyaksikan para tawanan yang sudah
meninggal itu dengan hati yang bergejolak, berdesis kepada Mahisa
Agni, "Kita telah kehilangan sumber keterangan, Paman."
"Ya. Agaknya terlampau sulit untuk mendapatkan gantinya."
"Semula, ketika aku melihat mayat senapati itu, aku masih
mempunyai harapan, bahwa salah seorang perwiranya akan dapat
memberikan keterangan. Tetapi mereka pun telah terbunuh
semuanya. Sedang kita tidak akan dapat mengharapkan apapun dari
prajurit dan perwira rendahan."
"Ya, Tuanku. Persoalan ini akan merupakan persoalan yang akan
tetap gelap untuk sementara. Mudah-mudahan kita menemukan
cara lain untuk mengungkapkannya,."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Aku
berharap demikian Paman. Dan aku harap Paman sekarang juga
pergi ke bangsal. Aku ingin berbicara."
Demikianlah maka Mahisa Agni pun mengikuti Anusapati
memasuki bangsalnya. Ketika mereka duduk di ruang depan, maka
Anusapati pun segera bertanya, "Apakah Pamanda menaruh
kecurigaan kepada para penjaga?"
108 "Aku belum dapat menyebutkan Tuanku. Tetapi kita harus
menyelidikinya. Namun yang pasti, mereka harus mendapat
hukuman, setidak-tidaknya peringatan keras atas kelengahan
mereka sehingga tawanan itu semuanya mati terbunuh."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Kematian para
tawanan itu adalah kehilangan yang besar baginya untuk mencari
kesaksian atas rencana kekacauan yang sengaja, ditimbulkan di
Singasari. "Namun," berkata Mahisa Agni selanjutnya, "untuk membeberkan
kesalahan itu seluruhnya kepada para penjaga, tentu saja kita tidak
akan sampai hati." "Baiklah Paman. Untuk sementara aku tidak akan menjatuhkan
hukuman kepada mereka. Aku hanya akan memberikan peringatan
keras dan pembatasan atas tugas mereka. Tetapi sudah barang
tentu kita akan mencari siapakah sebenarnya pembunuh dari para
tawanan itu. Jika kita menemukannya, maka kita akan mendapat
ganti yang telah mati di dalam tahanan."
"Adalah demikian Tuanku, meskipun pekerjaan itu adalah
pekerjaan yang sangat berat. Menemukan pembunuhnya itu adalah
usaha yang memerlukan waktu dan ketekunan, kemudian
menyimpan orang itu agar tidak mati terbunuh merupakan
pekerjaan lain yang cukup berat dan sulit. Sedang kemudian
memaksanya untuk berbicara itu pun akan memerlukan suatu cara
tersendiri." "Aku menyadari Paman. Tetapi aku harus melakukannya."
"Hamba Tuanku. Tuanku memang harus melakukannya," Mahisa
Agni berhenti sejenak, lalu, "sudah pernah terjadi hal yang serupa
pada masa kekuasaan Sri Rajasa. Ketika Tuanku harus berkelahi dan
membinasakan Kiai Kisi, maka beberapa orang tawanan pun telah
terbunuh pula di halaman ini."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Aku kira
sumber perbuatan itu tidak berbeda. Tetapi kita memang
109 memerlukan kesaksian yang meyakinkan untuk melontarkan
tuduhan." "Agaknya memang demikian Tuanku."
"Baiklah Paman. Aku akan segera melakukan tindakan-tindakan
yang perlu. Agaknya kekuatan itu tidak hanya akan terhenti sampai
sekian. Mungkin, di saat mendatang mereka akan memilih sasaran
yang lain. Bukan saja pemerintahan Singasari yang akan mereka
kacaukan dengan tujuan yang lebih luas, tetapi mungkin sekali
mereka akan langsung memotong pokok dari kekuasaan Singasari."
"Maksud Tuanku, akan ditujukan langsung terhadap Tuanku?"
"Ya Paman. Dan ada firasat padaku, bahwa demikianlah agaknya
yang akan terjadi." "Tuanku, jika demikian, Tuanku memang harus berhati-hati.
Tetapi bukan karena firasat itu Tuanku kehilangan gairah di dalam
pemerintahan. Tuanku pernah disebut sebagai Kesatria Putih,
sehingga Tuanku akan tetap memiliki jiwa Kesatria Putih itu untuk
selanjutnya." Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Sudahlah Tuanku," berkata Mahisa Agni kemudian, "hamba
mohon diri. Jika Tuanku memerlukan hamba, hamba akan segera
menghadap. Karena peristiwa ini, jika berkenan di hati Tuanku,
hamba akan tinggal untuk sementara di Istana Singasari. Mungkin
hamba dapat berbuat sesuatu untuk membantu menjernihkan
kegelapan ini." "Tentu paman. Aku tidak pernah berkeberatan jika Paman
memang ingin tinggal di Singasari. Agaknya Kediri sudah jadi
semakin baik, dan tidak perlu terlampau langsung mendapat


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengawasan." "Terima kasih Tuanku."
"Mungkin pada masa pemerintahan Ayahanda Sri Rajasa,
Pamanda memang sengaja disingkirkan. Tetapi kini Pamanda justru
110 aku perlukan. Bahkan menurut pertimbanganku, jika ada orang lain
yang pantas menggantikan kedudukan Pamanda di Kediri, sebaiknya
Pamanda tetap berada di istana Singasari."
"Terima kasih Tuanku. Tetapi biarlah untuk sementara hamba
berada di Kediri. Hamba harus menahan pertumbuhan Kediri yang
pesat. Bukan dari segi kemakmuran rakyatnya, tetapi untuk
menahan agar tidak dinyalakan kembali dendam yang masih saja
ada di antara para bangsawan. Hamba masih harus meyakinkan
bahwa kesatuan yang sudah ada sekarang, yang telah dibangunkan
oleh Sri Rajasa harus dipertahankan."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Terserahlah menurut pertimbangan Paman. Namun sementara ini
memang sebaiknya Paman tetap berada di Singasari."
Demikiankah maka Mahisa Agni pun kemudian mohon diri dan
kembali ke bangsalnya. Di sepanjang halaman, dilihatnya para
prajurit sedang sibuk berbincang tentang kematian yang aneh itu.
Ketika kemudian matahari terbit, berita tentang kematian itu
tidak dapat dibatasi lagi. Dari mulut ke mulut, maka berita itu pun
segera tersebar. Seluruh kota segera mendengar, bahwa tawanan
yang tertangkap oleh Maharaja Singasari itu sendiri, ternyata mati di
dalam biliknya, hanya beberapa saat saja setelah Anusapati sendiri
menengoknya ke dalam bilik itu.
"Kami tidak akan dapat ingkar lagi, bahwa kami pun akan
tersentuh oleh kesalahan yang telah terjadi," berkata seorang
prajurit yang sedang bertugas di regol bangsal Mahisa Agni.
Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Inilah yang
sering disebut terantuk di tanah datar, terbentur di kekosongan."
"Apa maksudmu?"
"Tidak ada hujan, tidak ada mendung di langit, tiba-tiba saja
petir menyambar. Kita sama sekali tidak bermimpi akan
mengalaminya. Tentu seluruh malam ini di seluruh halaman akan
mengalami pemeriksaan yang keras."
111 Yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka pun
menjadi cemas, jika mereka harus ikut bertanggung jawab, karena
halaman istana ternyata telah dimasuki oleh orang-orang yang
sengaja akan membuat kekisruhan. Bahkan kekisruhan itu sudah
terjadi, dan kekisruhan yang sangat merugikan.
Berbeda dengan para prajurit yang menjadi cemas akan nasib
masing-masing, karena mereka tidak akan dapat ingkar dari
kesalahan, karena halaman istana telah dimasuki oleh orang yang
ternyata telah membunuh para tawanan, maka Anusapati pun
mencemaskan dirinya sendiri bukan karena kesalahan yang
dilakukan, tetapi justru karena ancaman orang lain atas dirinya.
Kematian para tawanan itu memberikan kesadaran kepada
Anusapati bahwa masih ada juga orang yang memiliki kemampuan
yang tinggi yang tidak menyukainya, terbukti dengan pembunuhan
itu. "Pada suatu saat, selagi aku tidur dengan nyenyaknya, maka
atap bilikkulah yang akan dilubanginya dan kepalakulah yang akan
di lubangi pula dengan paser beracun," berkata Anusapati di dalam
hatinya. Sebenarnya Anusapati bukan seorang pengecut. Bahkan ia telah
melakukan tindakan yang berdasarkan keberanian tiada taranya,
yaitu menjadi salah seorang dari mereka yang disebut Kesatria Putih
di antara beberapa orang yang lain. Yang dilakukannya sebagai
Kesatria Putih adalah tindakan yang berani dan kadang-kadang
sangat berbahaya. Namun, tiba-tiba ia kini merasa dirinya selalu dibayangi oleh
maut. Anusapati tidak dapat ingkar, bahwa di dalam dirinya bergolak
suatu perasaan bersalah atas kematian Sri Rajasa. Ia tidak dapat lari
dari kenyataan bahwa tangannya yang memegang keris Empu
Gandringl ah yang telah membinasakan Ken Arok yang bergelar Sri
Rajasa. Sengaja atau tidak sengaja. Dan seolah-olah ia mendengar
112 keris itu selalu berkidung tentang kematian. Seolah-olah keris yang
pernah minum darah seseorang itu setiap kali menjadi haus.
"Oh," Anusapati yang duduk seorang diri di dalam biliknya
menjadi ngeri mengenangkan semua itu. Kematian Tunggul
Ametung, Empu Gandring sendiri, dan kemudian Sri Rajasa dan
selalu terbayang tentang dirinya sendiri.
"Apakah namaku juga akan dipasang berderet dengan namanama
yang lain itu" Termasuk Paman Sumekar dan Kebo Ijo?"
pertanyaan itu selalu melonjak di dalam hatinya.
Sebenarnyalah bahwa Anusapati lebih banyak dibayangi oleh
perasaan bersalah daripada ketakutan itu sendiri. Dan kematian
para tawanan itu seolah-olah merupakan peringatan kepadanya,
bahwa sebenarnyalah masih ada kekuatan yang akan dapat
membinasakannya, seperti ia menyingkirkan Sri Rajasa.
"Persetan!" Anusapati itu menggeram, "Aku bukan penakut. Aku
tidak akan takut terhadap siapa pun. Di sini aku adalah seorang
maharaja yang memiliki kekuasaan tertinggi. Di sini ada Pamanda
Mahisa Agni. Bahkan Pamanda Witantra, Mahendra dan Kuda
Sempana akan dapat melindungi aku dari segala tindakan pengecut.
Di luar dan di dalam istana aku mempunyai kekuatan, yang berujud
prajurit-prajurit Singasari dan yang tidak nampak adalah orangorang
tua yang memiliki kelebihan itu."
Namun demikian, jika Anusapati sempat memandang ke dirinya
sendiri, sebenarnyalah ia selalu dicengkam oleh kecemasan itu.
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat
terlalu lama merenung di dalam biliknya. Hari itu ia menghadapi
persoalan yang rumit. Yaitu kematian para tawanan itu.
Dengan resmi Anusapati membicarakan masalah itu dengan para
pembantunya. Para pemimpin Singasari di dalam olah
pemerintahan, panglima dan senapati prajurit.
Tidak seorang pun dari mereka yang dapat menyatakan sikapnya
dengan pasti menghadapi persoalan itu. Yang dapat mereka
113 bicarakan di dalam paseban adalah sekedar sikap terhadap pada
penjaga yang langsung mengawasi para tawanan itu, dan bagi
mereka yang malam itu bertugas di halaman.
"Aku tidak dapat menghukum mereka," berkata Anusapati, "yang
akan aku lakukan lewat panglima dari pasukan masing-masing yang
sedang bertugas adalah peringatan yang keras. Jika hal yang serupa
terjadi dalam bentuk apapun, maka barulah aku akan menjatuhkan
hukuman yang berat terhadap mereka."
Para panglima, senapati dan para pemimpin Singasari
menundukkan kepalanya. Terasa betapa besar kemurahan hati
Anusapati terhadap rakyatnya.
Namun demikian, Anusapati tidak dapat menyembunyikan rasa
cemasnya sehingga ia berkata, "Tetapi, pengampunan ini harus
diartikan sebagai cambuk bagi mereka, agar mereka lebih baik lagi
berbuat bagi ketenangan halaman istana Singasari yang mulai
diraba oleh tangan yang hitam. Sekarang yang menjadi korban
adalah tawanan-tawanan yang bagi kita sangat penting artinya itu,
namun lain kali adalah para panglima, para pemimpin Singasari dan
bahkan aku sendiri seperti pada saat meninggalnya Ayahanda Sri
Rajasa." Dan Anusapati pun tidak dapat menyembunyikan suatu tuduhan,
"Tidak mustahil bahwa pembunuh dari para tawanan itu bukan
seseorang yang memasuki halaman istana ini di malam hari dan
berhasil mengelakkan diri dari pengawasan para penjaga. Tetapi
orang itu adalah penghuni halaman ini sendiri. Hal yang serupa
pernah terjadi beberapa saat yang lampau, ketika para prajurit yang
mengemban tugas ke timur bersama aku membawa beberapa orang
tawanan pula." Para pemimpin dan Panglima mengangguk-anggukkan
kepalanya. Hal itu memang dapat saja terjadi. Betapa para
pemimpin Singasari dan para panglima itu menunaikan tugasnya
sebaik-baiknya, namun bahwa mereka tidak akan dapat dengan
cermat mengetahui hati seorang yang ada di dalam halaman istana
114 itu. Namun sebenarnyalah bahwa sebagian besar di antara mereka
mempunyai arah pandangan yang serupa di dalam hal itu.
Namun demikian Anusapati masih dapat menahan hatinya,
sehingga ia tidak menjatuhkan tuduhan kepada seseorang.
Tetapi ketika paseban itu selesai, dan para panglima melakukan
tugasnya masing-masing terhadap setiap orang di dalam
pasukannya yang langsung atau tidak langsung terlibat di dalam
kelengahan malam itu. Anusapati masih berbincang dengan Mahisa
Agni di ruang dalam. "Apa kata Pamanda tentang Tohjaya?" bertanya Anusapati.
"Tuanku memang harus berhati-hati terhadapnya."
"Tampaknya ia pasrah diri dan menyesuaikan dengan keadaan.
Tampaknya ia tidak lagi mempunyai banyak pamrih dan tingkah."
"Apakah Tuanku menghubungkan namanya dengan peristiwa
yang baru saja terjadi?"
"Aku mencoba untuk tidak berbuat demikian. Tetapi di luar
kehendakku sendiri, nama itu selalu hadir setiap kali aku
membayangkan persoalan yang sedang aku hadapi sekarang."
"Dan kesimpulan yang akan Tuanku ambil?"
"Paman. Bagaimanapun juga aku mencurigainya. Aku tidak yakin
bahwa tidak ada seorang pengikutnya yang dapat dibawanya
berbuat sesuatu untuk kepentingan mereka."
"Ampun Tuanku. Sebenarnya hamba pun berpendapat demikian.
Karena itulah maka hamba katakan bahwa Tuanku harus berhatihati
terhadap Tuanku Tohjaya. Meskipun nampaknya ia patuh
terhadap semua perintah dan peraturan yang Tuanku jatuhkan,
namun agaknya ia bukan seorang yang berhati lemah dan cepat
luluh, apalagi ibundanya."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya,
"Baiklah Pamanda, Karena itu aku mengharap Pamanda tinggal
beberapa lama di halaman istana ini, sehingga dengan demikian
115 Pamanda akan lebih mengenal apakah yang sebenarnya sedang
bergejolak di Istana Singasari sekarang ini."
Dalam pada itu, tindakan yang paling lunak telah dikenakan
terhadap para petugas yang malam itu berada di halaman. Mereka
yang tidak langsung terlibat hanya sekedar mendapat peringatan.
Sedang mereka yang saat itu bertugas menjaga para tawanan yang
terbunuh itu pun mendapat peringatan yang keras. Jika mereka
mengulangi kesalahan yang serupa, maka mereka akan mendapat
hukuman yang cukup berat.
Sejak peristiwa itu, Anusapati merasa selalu dibayangi oleh
bahaya. Ia selalu merasa seakan-akan Sri Rajasa memandanginya
dengan sikap yang tidak dimengerti. Kadang-kadang Sri Rajasa itu
mengangguk-anggukkan kepalanya kepadanya, namun kadangkadang
rasa-rasanya Sri Rajasa itu akan menerkamnya dengan
penuh kemarahan. Dan dengan demikian setiap kali Tohjaya datang
menghadapnya, hatinya pun menjadi berdebar-debar.
Namun Tohjaya tidak pernah menunjukkan sikap yang
mencurigakan. Ia pun terkejut mendengar bahwa para tawanan
yang berhasil ditangkap langsung oleh Anusapati itu terbunuh di
bilik tawannya. "Sayang sekali," desahnya, "jika mereka tetap hidup, maka tidak
akan ada orang yang berprasangka terhadap orang lain yang tidak
disukainya. Dengan kesaksiannya, maka akan dapat ditunjuk
dengan tegas, siapakah yang bersalah. Kini sepeninggal para
tawanan itu, maka setiap orang dapat dicurigai. Perbuatan mereka
akan dapat menjadi sumber fitnah yang tidak ada habis-habisnya."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kakanda Anusapati," berkata Tohjaya, "apakah para prajurit
yang tertawan itu tidak dapat memberikan kesaksian apa-apa?"
"Tidak Adinda Tohjaya. Mereka hanya sekedar menjalankan
perintah para perwira dengan janji yang menyenangkan. Tetapi
mereka tidak mengetahui, siapakah yang berdiri di belakang para
perwira yang memberikan janji kepada mereka itu."
116 Tohjaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Ampun
Kakanda. Sebenarnyalah aku merasa ngeri mendengar hal itu
terjadi. Di masa lampau, aku adalah saudara muda Kakanda yang
paling bengal. Aku adalah anak yang sangat dimanjakan oleh
Ibunda, sehingga kadang-kadang aku berbuat sesuatu yang aneh
dan tidak dapat dimengerti nalar. Aku pernah menantang Kakanda
berkelahi. Bahkan pernah terjadi kita berkelahi di arena, meskipun
mula-mula aku tidak mengetahui bahwa Kesatria Putih itu adalah
Kakanda. Karena itu, kenakalanku di masa lampau memberikan
kesan yang sangat tidak baik kepadaku. Apalagi di dalam keadaan
serupa ini." "Sudahlah Tohjaya," berkata Anusapati, "kita tidak akan saling
menyalahkan, atau mencari sasaran kesalahan dari peristiwa ini.
Tetapi kita akan berusaha untuk menemukan bukti, siapakah yang
sebenarnya bersalah. Selebihnya kita tidak akan dapat berbuat apa."
"Terima kasih Kakanda. Ternyata Kakanda adalah seorang
maharaja yang berjiwa besar. Yang sebelumnya tidak aku
bayangkan. Aku mengucapkan terima kasih, bahwa tidak ada
kecurigaan atasku dan saudaraku seibu."
Tohjaya berhenti sejenak, lalu, "Aku pun mohon, agar perbedaan
darah keturunan yang mengalir pada diri kita masing-masing,
karena kita berbeda ibu tidak menjadikan Kakanda memandang aku
orang lain." "Tidak Adinda. Aku telah berusaha menyingkirkan perasaan itu
sejak lama. Sejak Ayahanda Sri Rajasa masih memerintah. Kau tidak
ada bedanya dengan adik-adikku yang lain. Yang seibu, maupun
yang bukan seibu." Tohjaya menganggukkan kepalanya dalam-dalam. Bahkan
Anusapati terkejut ketika ia kemudian melihat air yang membasahi
pipi Tohjaya. "Tohjaya," desis Anusapati, "kenapa kau menangis?"
117 "Ampun Kakanda. Aku merasa sangat terharu akan kemurahan
hati Kakanda. Justru karena itu, aku akan mengabdikan diriku
sepanjang umurku kepada Kakanda."
"Baiklah Adinda. Tetapi Adinda adalah seorang laki-laki. Dan tidak
sepantasnya seorang laki-laki menitikkan air mata."
"Aku tidak akan dapat menitikkan air mata meskipun seandainya
aku dihukum picis di alun-alun. Tetapi justru karena Kakanda
terlampau baik terhadap diriku yang sebenarnya pantas diusir dari
halaman istana inilah, aku tidak dapat menahan air mataku lagi."
"Kau sangat perasa. Sudahlah. Lupakanlah semuanya."
Tohjaya pun kemudian mohon diri meninggalkan Kakandanya
duduk termangu-mangu. Sepeninggal Tohjaya, maka Mahisa Wonga Teleng lah yang
kemudian menghadap. Dengan ragu-ragu ia bertanya, "Apakah


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kakanda Tohjaya baru saja menghadap Kakanda?"
"Ya. Adinda Tohjaya baru saja menghadap. Betapa lembut
hatinya. Ketika ia mendengar aku melupakan semua kesalahan yang
pernah dilakukannya, ia menjadi terharu dan menitikkan air mata."
Mahisa Wonga Teleng mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun
kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kakanda Tohjaya menangis?"
"Ya." "Aneh," desisnya.
"Memang terasa aneh. Tohjaya adalah seseorang yang keras dan
bahkan agak kasar. Tetapi ternyata hatinya sangat mudah
tersentuh." "Bukan itu Kakanda. Bukan kelembutan hati Kakanda Tohjaya
yang kasar," Mahisa Wonga Teleng berhenti sejenak, lalu, "aku
tanpa sengaja bertemu dengan Kakanda Tohjaya di luar regol.
Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan suatu perasaan yang
118 kalut, atau bahkan suatu persoalan yang dalam di hatinya.
Wajahnya justru tampak segar dan bahkan aku mendengar ia
tertawa di antara pengawalnya. Baru ketika ia melihatku, wajahnya
tiba-tiba berubah menjadi buram."
Anusapati mengerutkan keningnya.
"Di regol ia bertanya kepadaku apakah aku akan menghadap
Kakanda." "Apa saja yang dikatakannya?"
"Ia hanya bertanya apakah aku akan menghadap. Selebihnya
tidak ada. Meskipun wajahnya menjadi buram, namun ia tetap
seperti biasa. Angkuh."
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Sebaiknya
kita berusaha menyingkirkan segala macam prasangka. Kita
agaknya masih dibayangi oleh hubungan yang kurang baik dengan
Adinda Tohjaya di masa lampau."
"Mungkin aku masih saja dibayangi oleh prasangka. Tetapi
sebaiknya Kakanda berhati-hati terhadap Kakanda Tohjaya. Mudahmudahan
prasangka yang tidak berhasil aku singkirkan ini sekedar
bayangan kecemasan yang tidak berarti apa lagi kita."
Mahisa Wonga Teleng berhenti sejenak, lalu, "Tetapi ampun,
Kakanda. Apakah Kakanda tidak pernah menghubungkan kematian
para tawanan itu dengan Kakanda Tohjaya?"
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Terngiang juga kata
Mahisa Agni bahwa ia harus berhati-hati terhadap Tohjaya. Namun
baru saja ia melihat sikap yang meyakinkan dari adiknya itu.
"Apakah Tohjaya mengerti bahwa ia sebenarnya tidak ada
hubungan darah sama sekali dengan aku?" pertanyaan itu selalu
mengganggu hatinya. Namun melihat titik air mata di pipi Tohjaya,
rasa-rasanya ia melihat betapa penyesalan yang dalam telah
mencengkam hati adiknya itu. Meskipun demikian peringatan yang
didengarnya dari Mahisa Wonga Teleng itu sama sekali tidak dapat
119 diabaikan. Bahkan setiap kali peringatan itu selalu bergema bersama
sikap Pamandanya, Mahisa Agni.
"Kakanda," berkata Mahisa Wonga Teleng kemudian,
"kedatanganku menghadap Kakanda sebenarnya adalah justru
untuk mohon kepada Kakanda agar Kakanda lebih banyak
memperhatikan Ibunda Ken Umang. Nampaknya Ibunda Ken Umang
terlampau sering berada di luar bangsalnya dan berhubungan
dengan para abdinya. Tanpa aku sadari, aku sering mengawasinya
dari sela-sela regol yang memisahkan bagian istana itu dengan
istana ini. Ternyata bahwa bagian yang terpisah itu terlampau
memberinya keleluasaan berbuat jika mereka menghendaki."
"Adinda, ibunda Ken Umang pun telah pernah menyatakan
kesetiaannya kepadaku."
"Kakanda terlampau jujur menanggapi persoalan yang rumit ini.
Menurut pengalaman, Kakanda, kita tidak akan dapat
mempercayainya lagi. Jika suatu saat Kakanda melihat air mata di
pelupuknya, maka Kakanda harus berhati-hati. Ada beberapa
kemungkinan, apakah Kakanda Tohjaya benar-benar menyesal atau
sekedar menyatakan dirinya seolah-olah menyesal. Mungkin akulah
orang yang paling buruk hati. Tetapi rasa-rasanya jika Kakanda
Tohjaya benar-benar menyesal di hadapan Kakanda Anusapati
sekalipun, maka ia akan segera melupakannya dan melakukan
perbuatan tercela itu lagi di hari mendatang."
Anusapati menarik nafas. Katanya, "Aku akan berhati-hati
Adinda. Aku akan mencoba melihat persoalan ini dengan hati yang
bersih." Mahisa Wonga Teleng menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya,
"Baiklah Kakanda. Memang sebagai seorang maharaja, Kakanda
harus melihat segala sesuatu dengan adil. Namun demikian kadangkadang
kita kehilangan pegangan untuk menyebut manakah yang
adil dan manakah yang sekedar karena kebaikan hati sehingga
kesalahan dapat dilupakan."
120 "Baiklah Adinda. Aku memang harus memperhatikan setiap segi.
Tetapi peringatan Adinda merupakan bahan pertimbangan yang
penting, karena apa yang kau katakan, sebenarnyalah aku juga
melihatnya." Mahisa Wonga Teleng memandang Anusapati dengan berbagai
macam perasaan yang agaknya tertahan di dalam dadanya. Namun
kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, "Kakanda,
aku mohon diri. Setiap saat Kakanda dapat memanggil aku. Dan aku
akan berbuat apa saja untuk kepentingan Kakanda dan tahta
Singasari." Sepeninggal Mahisa Wonga Teleng, maka Anusapati pun mulai
merenungi lagi keadaannya dan keadaan Singasari dalam ke
seluruhan. Memang banyak persoalan yang harus dipertimbangkan,
terutama sikap yang sebenarnya dari Tohjaya.
"Siapa lagi yang melakukannya jika bukan Tohjaya," berkata
Anusapati di dalam hati ketika terkilas bayangan kematian para
tawanannya dan usaha mereka untuk mengacaukan pemerintahan
di Singasari. Namun jika terbayang wajah Tohjaya yang buram dan
bahkan kemudian air mata yang menitik di pelupuknya, rasarasanya
hatinya menjadi luluh. Namun setiap kali terngiang kata-kata Mahisa Wonga Teleng,
"Namun demikian kita kadang-kadang kehilangan pegangan untuk
menyebut, manakah yang adil dan manakah yang sekedar karena
kebaikan hati sehingga kesalahan dapat dilupakan".
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia berkata kepada
diri sendiri, "Aku harus berbuat sebaik-baiknya, justru untuk
keutuhan Singasari."
Meskipun demikian, Anusapati tidak dapat ingkar bahwa hatinya
memang terlalu lemah untuk bersikap. Keadaan di masa kanakkanaknya
ternyata masih tetap mempengaruhi jalan hidupnya dan
sikapnya di dalam mengambil keputusan. Keragu-raguan dan
kadang-kadang hampir tidak berani menentukan apakah yang harus
dilakukan. 121 Tetapi lebih dari itu, ternyata Anusapati mulai dijalari oleh
perasaan bersalah. Bagaimanapun juga, sebelum Ayahanda Sri
Rajasa terbunuh oleh keris Empu Gandring di tangannya, memang
ada sepercik harapan, bahwa Sri Rajasa itu akan mengalami
kematian seperti yang sudah terjadi. Dan ia tidak dapat
bersembunyi dari dirinya sendiri, sebenarnyalah ia melihat suatu
keinginan di dalam hatinya untuk melakukannya seperti yang
terjadi. Dengan demikian, maka dalam hidupnya sehari-hari, Anusapati
tidak dapat melepaskan dirinya lagi dari perasaan itu.
Dalam pada itu, ternyata Tohjaya masih selalu menunjukkan
sikap yang rendah hati. Ia tidak pernah berbuat sesuatu yang dapat
menumbuhkan kecurigaan. Bahkan Tohjaya ternyata tenggelam ke dalam suatu kegemaran
baru. Untuk melupakan persoalan yang dapat memberati hatinya
sepeninggal ayahandanya, maka ia mulai tertarik dengan sabung
ayam. Hampir setiap hari Tohjaya selalu menghabiskan waktunya di
gelanggang sabung ayam. Bahkan kadang-kadang ia memanggil
beberapa orang di sudut halaman belakang untuk menyabung
ayam. Kegemaran menyabung ayam itu ternyata semakin menjauhkan
Anusapati dari berbagai macam prasangka. Agaknya, menurut
dugaan Mahisa Agni, Tohjaya benar-benar sudah melupakan apa
yang telah terjadi. Tetapi jika ia terlena dalam angan-angannya, Mahisa Agni yang
terlalu sering berada di Singasari selalu memperingatkan, agar ia
tetap berhati-hati menghadapi keadaan yang nampaknya sudah
mereda. Apabila demikian, seakan-akan hati Anusapati menjadi tergugah
kembali oleh perasaan yang sebenarnya tidak dikehendakinya
sendiri. Yaitu perasaan bersalah.
"Paman," berkata Anusapati ketika Mahisa Agni berada di
Singasari, "sebaiknya aku tidak selalu diganggu oleh perasaan yang
122 tidak menentu. Seandainya ada juga dendam di hati Adinda
Tohjaya, bagaimanakah caranya agar aku tidak selalu harus dikejar
oleh kecemasan. Agar aku dapat tidur nyenyak."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ada semacam
isyarat di dalam hatinya, bahwa Anusapati memang perlu merasa
dirinya tidak lagi dikejar-kejar oleh kecemasan tanpa meninggalkan
kewaspadaan. Selama ini Anusapati yang merasa tidak
memperhatikan lagi persoalan yang menyangkut pemerintahan,
namun dengan demikian ia justru meninggalkan kewaspadaan.
Tetapi jika Mahisa Agni atau Mahisa Wonga Teleng, memberinya
peringatan, maka ia pun segera jatuh kedalam kecemasan yang
dalam. "Tuanku" berkata Mahisa Agni kemudian, "baiklah tuanku
memikirkan sebuah benteng yang paling baik tanpa menumbuhkan
kecurigaan apapun bagi orang lain. Dengan demikian tuanku dapat
tidur nyenyak tanpa berprasangka, tetapi Tuanku pun akan
dijauhkan dari kemungkinan yang paling pahit yang dapat terjadi."
"Penjagaan yang kuat maksud paman?"
"Semacam itu, tetapi yang tidak semata-mata"
Mahisa Agni memandang wajah Anusapati yang berkerut-merut
seakan-akan ingin melihat tanggapan dari kata-katanya itu langsung
ke dalam nurani. Tetapi untuk beberapa saat Anusapati justru terdiam dengan
kepala yang tunduk. "Paman" katanya sejenak kemudian, "apakah aku merasa perlu
untuk berlindung" Sebenarnyalah bahwa aku telah pasrah. Jika yang
pernah terjadi itu suatu tindakan yang dibenarkan sebagai lantaran
datangnya hasil perbuatan Ayahanda Sri Rajasa, maka aku akan
terbebas dari segala macam usaha pembalasan dendam. Namun
apabila perbuatanku ini adalah perbuatan tidak dapat dibenarkan,
maka tentu akan datang saatnya bahwa akupun harus memetik
hasil perbuatanku itu. Pembalasan itu tidak dapat terhindar
dimanapun aku bersembunyi."
123 "Tuanku benar" sahut Mahisa Agni, "tetapi manusia dibenarkan
untuk melakukan usaha. Usaha melindungi diri sendiri seperti usaha
untuk mendapatkan sesuap nasi di ladang bagi para petani.
Meskipun makan dan minum kita seakan-akan telah disediakan,
namun jika kita diam menunggu, maka tidak akan ada sebutir padi
pun yang akan jatuh kepangkuan kite."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Aku
mengerti paman. jadi bagaimanakah sebaiknya menurut paman?"
"Tuanku. Sebagaimana kita ketahui, tawanan itu terbunuh di
hadapan hidung para penjaganya. Kita dapat mengetahui apa
sebabnya. Seperti kita dapat memasuki longkangan belakang
bangsal yang dipergunakan oleh Ayahanda Sri Rajasa pada waktu
itu." Anusapati masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Karena itu tuanku" berkata Mahisa Agni seterusnya, "kita harus
berusaha, agar hal yang serupa itu tidak akan dapat terjadi atas
Tuanku." "Apakah yang harus kita lakukan paman" Apakah di sekitar
Empat Iblis Kali Progo 2 Strawberry Shortcake Karya Ifa Avianty Budha Pedang Penyamun Terbang 9

Cari Blog Ini