Ceritasilat Novel Online

Sepasang Ular Naga 20

Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja Bagian 20


sejenak, lalu, "Namun pada suatu saat datang orang lain yang telah
menyelamatkan jiwaku. Seorang anak muda yang dengan tidak aku
duga, telah berhasil membunuh tiga orang iblis berilmu hitam itu."
Tapak Lamba menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Memang
kita berada dalam kedudukan yang sulit. Tetapi apakah kita tidak
dapat memisahkan dendam dan hutang budi itu?"
"Bagaimana kita akan memisahkannya" Yang telah
menyelamatkan kita adalah Mahisa Bungalan, anak Mahendra.
Sedangkan jika kita turutkan hati yang mendendam ini, kita akan
berhadapan dengan Singasari. Sedangkan di Singasari kita akan
bertemu lagi dengan Mahendra dan sudah barang tentu Mahisa
Bungalan." Tapak Lamba mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian,
"Ki Buyut. Yang pernah menolong kita adalah Mahisa Bungalan. Aku
pun merasa diriku telah diselamatkan. Jika anak nuda itu tidak
datang kemari, maka barangkali aku pun sudah terkapar di halaman
rumahmu ini dengan kulit terkelupas. Tetapi hutang budi ini tidak
akan aku lupakan. Jiki pada suatu saat, Linggapati dan orangorangnya
berhasil menguasai Singasari, maka kita dapat
mempergunakan hak dan wewenang yang ada pada kita untuk
menyelamatkan Mahisa Bungalan, apabila ternyata ia benar-benar
berada dan berpihak kepada Ranggawuni dan Mahisa Cempaka."
Ki Buyut mengerutkan keningnya.
1177 "Cobalah kau pikirkan." desis Tapak Lamba kemudian,
"Seandainya kita tidak berada diantara Linggapati dan Linggadadi,
apakah kira-kira mereka akan mengurungkan niatnya?"
Ki Buyut menggeleng. Katanya, "Aku kira tidak. Mereka tentu
akan melanjutkan rencana mereka untuk menguasai Singasari. Jika
usaha itu berhasil, atau setidak-tidaknya mereka berhasil memasuki
Kota Raja, maka Mahisa Bungalan itu pun akan dibunuhnya pula.
Tetapi jika kita ada diantara pasukan Linggapati, mungkin kita akan
dapat membayar hutang budi kepadanya."
"Tapak Lamba." desis Ki Buyut, "Apakah kau dapat mengatakan,
siapakah yang lebih tinggi ilmunya, Linggadadi dan Linggapati atau
Mahisa Bungalan?" Tapak Lamba menarik nafas dalam-dalam. Setelah merenung
sejenak maka ia pun berkata sambil menggeleng, "Aku tidak tahu.
Adalah sangat sulit untuk memperbandingkan dua orang yang
dalam keadaan yang jauh berbeda."
"Tetapi kau pernah melihat bagaimana keduanya bertempur."
"Aku pernah dikalahkan oleh Linggadadi dengan mudah. Bahkan
aku tidak seorang diri. Dan ternyata bahwa Mahisa Bungalan pun
dengan perjuangan yang sengit dapat membunuh tiga orang iblis
itu. Nah, apakah dengan demikian akan dapat memperbandingkan
keduanya?" "Mahisa Bungalan dapat mengalahkan ketiga iblis itu. Sedangkan
kau sama sekali bukan lawan ketiga iblis itu. Bukankah itu berarti
bahwa Mahisa Bungalan memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi dari
kita?" "Memang mungkin dapat diambil kesimpulan yang demikian."
jawab Tapak Lamba, "Sehingga keduanya berada di atas
kemampuan kita masing-masing."
"Nah, jika demikian kau dapat membayangkan. Bahwa jika
benar-benar orang Mahibit itu akan melawan Singasari mereka tidak
akan berarti apa-apa bagi ayah Mahisa Bungalan. Karena
1178 bagaimanapun juga aku masih mempunyai perhitungan, bahwa
Mahendra masih jauh lebih kuat dari anaknya. Apalagi Witantra dan
Mahisa Agni." "Kau menganggap bahwa Linggapati adalah puncak kekuatan
orang-orang Mahibit" Aku tidak yakin. Tentu mereka masih
mempunyai seorang guru atau bahkan lebih yang dengan pasti
dapat mengimbangi kemampuan Witantra, Mahendra dan Mahisa
Agni." Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya kemudian
setelah ia menimbang-nimbang sejenak, "Maaf Tapak Lamba. Aku
masih belum memutuskan untuk pergi kepada Linggapati."
"Ki Buyut Kidang Pengasih." berkata Tapak Lamba, "Kau sudah
sekian lama bersembunyi. Sudah barang tentu kau mempunyai niat
yang kuat untuk kembali ke Singasari dengan kedudukanmu sebagai
Senapati itu kembali lagi padamu. Karena itu jangan sia-siakan
kesempatan ini meskipun kita masih harus menjajagi lebih jauh,
karena kita tidak akan menyediakan diri buat umpan kail, sedang
hasilnya akan dinikmati oleh orang lain setelah kita dikorbankan."
"Karena itu Tapak Lamba, sebaiknya aku meyakini dahulu,
apakah yang sebenarnya akan kita dapatkan jika kita benar-benar
berada dipihaknya." Tapak Lamba termangu sejenak, namun kemudian, "Baiklah.
Memang sebaiknya kita tidak tergesa-gesa. Karena itu, biarlah aku
dan ketiga kawanku mencoba menjajaginya. Apakah sebenarnya
yang akan dilakukan oleh Linggapati itu."
Ki Buyut mengangguk-angguk. Namun ada perasaan yang di
dalam hatinya. Ia tidak dapat melupakan pertolongan yang telah
diberikan oleh Mahisa Bungalan kepadanya. Sedang ia tahu bahwa
Mahisa Bungalan adalah anak Mahendra dan sudah pasti akan
berpihak kepada Singasari jika terjadi pertentangan antara Singasari
dan Mahibit. 1179 "Tapak Lamba." berkata Ki Buyut, "Aku minta maaf bahwa aku
tidak dapat ikut dalam penjajaganmu. Aku masih ingin menikmati
kedamaian dipadukuhan ini. Kedamaian yang sebenarnya."
Tapak Lamba mengangguk. Katanya, "Baiklah. Aku tahu, bahwa
perubahan ini telah menumbuhkan perubahan pula di dalam sikap
dan caramu menghadapi persoalan Singasari. Tetapi agaknya pada
suatu saat, kau akan menemukan kembali sikapmu yang
sebenarnya terhadap kekuasaan Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka." "Aku menyadari Tapak Lamba, bahwa jika kita berbuat sesuatu,
maka kita akan dapat mengumpulkan beberapa puluh orang bekas
prajurit yang agaknya masih tetap setia kepada Tohjaya karena
limpahan kekuasaan yang pernah diberikan kepada mereka
disamping pemberian yang mengalir hampir setiap saat, sehingga
memang akan dapat membangun suatu kekuatan yang dapat
diperhitungkan didalam gerakan Linggapati. Tetapi apakah itu bukan
sekedar pemanfaatan yang dilakukan oleh Linggapati kepada orangorang
yang pernah mengalami kekecewaan dan tidak mau
menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang baru" Aku
menyadari, bahwa orang-orang berilmu hitam itu dengan mudah
dapat menguasai sikap dan perbuatanku, sehingga dengan tidak
sadar aku telah menjadi budak mereka, meskipun nampaknya
mereka adalah pengawal-pengawalku yang setia dan tunduk atas
segala perintahku, karena perasaan dendam dan kebencianku
kepada pimpinan pemerintahan Singasari yang kini dipegang oleh
dua orang anak-anak muda itu." ia berhenti sejenak, lalu, "Apalah
hal itu tidak akan terulang kembali jika kita mengadakan hubungan
dengan orang-orang yang berada dibawah pengaruh Linggapati"
Mereka akan memanfaatkan kita dan kawan-kawan kita yang
merasa kecewa dan dendam karena kematian tuanku Tohjaya.
Tetapi apakah hasil terbesar nanti tidak ada pada mereka jika
mereka berhasil mengalahkan tuanku Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka" Dan tidak akan banyak memberikan apa-apa kepada
kita?" 1180 "Kita memang masih berteka-teki Ki Buyut." berkata Tapak
Lamba, "Tetapi pengalamanmu membuat kau menjadi terlampau
berhati-hati. Namun hal itu memang dapat dimengerti. Karena itu
biarlah aku dan ketiga kawan-kawanku sajalah yang akan menjajagi
keadaan. Pada saatnya aku akan datang lagi kemari."
"Mudah-mudahan kau mendapatkan gambaran yang jelas dan
wajar tentang kekuatan, niat dan cara yang akan ditempuh oleh
Linggapati dan orang-orangnya."
Tapak Lamba dan ketiga kawannya pun kemudian
mempersiapkan diri mereka, untuk segera mulai dengan perjalanan
baru menemui Linggapati dan Linggadadi untuk menjajagi
kemungkinan yang dapat dilakukannya bersama mereka. Ia ingin
meyakinkan diri, apakah benar-benar ada kekuatan yang
mendukung kedua orang itu, jika saatnya tiba untuk menggulingkan
Singasari. "Tetapi Linggapati pun harus mengetahui bahwa ada. kekuatan
hitam yang masih tersisa. Kekuatan itu agaknya mempunyai
pertimbangan tujuan tersendiri yang akan dapat menghambat usaha
Linggapati dan Linggadadi." berkata Tapak Lamba di dalam hati.
Demikianlah maka pada saatnya, setelah beristirahat beberapa
lamanya di padukuhan yang kemudian disebut Pengasih, maka
keempat orang itu pun minta diri untuk meneruskan perjalanan.
Mereka berjanji untuk pada suatu saat kembali lagi untuk
memberikan gambaran, apakah yang sebaiknya mereka lakukan.
"Kita tidak boleh tenggelam dalam ketenangan yang diam
seperti yang kau bayangkan." berkata Tapak Lamba, "Jika demikian,
maka kau akan tetap berada dalam keadaanmu sekarang. Seorang
Buyut padukuhan kecil terpencil yang tenang dan damai, tetapi
sama sekali tidak berkembang. Sebenarnya kau lebih tepat berdiri
dimuka sebuah pasukan segelar sepapan dengan pedang terhunus
sambil meneriakkan aba-aba menghadapi lawan. Kau adalah
Senapati yang memiliki keberanian dan kemampuan di medan
perang." 1181 "Tetapi ternyata keberanian dan kemampuan itu tidak
memberikan arti apa-apa bagiku. Aku tidak berani menghadapi
kenyataan dan bersembunyi di padukuhan ini. Sedangkan
kemampuanku tidak berarti apa-apa, dibandingkan dengan tiga
orang iblis berilmu hitam itu, dan terlebih-lebih lagi dibandingkan
dengan Mahisa Bungalan."
"Tidak semua orang seperti Mahisa Bungalan dan ayahnya
Mahendra. Senapati Singasari yang sekarang pun tentu tidak ada
bedanya dengan kita pada masa kekuasaan tuanku Tohjaya. Hanya
satu dua orang sajalah yang memiliki kelebihan. Dan itu dapat
dihitung dengan jari sebelah tangan. Mahisa Agni, Witantra,
Mahendra dan barangkali Lembu Ampal, Mahisa Bungalan. Sedang
yang lain belum melampaui kekuatan Senapati biasa."
"Mungkin. Tetapi jumlah mereka terlalu besar untuk dilawan."
"Karena itu pulalah kita memerlukan kawan-kawan seperti
Linggapati. Baiklah. Aku minta diri. Mudah-mudahan perjalananku
berhasil." Keempat orang itu pun kemudian minta diri dan meninggalkan
padukuhan yang tenang dan damai itu. Mereka menuju ke tempat
yang bergejolak untuk menemukan gerak yang barangkali sesuai
dengan jiwa mereka. Terlebih-lebih lagi gejolak kenangan mereka
atas masa lampau dan harapan mereka atas masa datang.
Sepeninggal Tapak Lamba, rasa-rasanya padukuhan Pengasih
memang menjadi sepi. Tidak ada orang yang dapat diajak
memperbincangkan masalah yang menyangkut persoalan-persoalan
di luar padukuhan itu. Para bebahu agaknya memang sangat picik
pengetahuannya. Mereka sekedar mengerti serba sedikit tentang
lingkungan hidup disekitarnya.
Namun, mereka adalah orang-orang yang taat dan patuh.
Sepeninggal Tapak Lamba dan ketiga orang kawannya, Ki Buyut
mengajak bebahunya untuk mencoba membuat kekuatan yang
dapat sekedar melindungi padukuhan kecil itu dari kekuatan yang
terbatas. 1182 "Jika saudara-saudara seperguruan iblis itu benar-benar datang,
dan mereka tidak menghiraukan nama Mahisa Bungalan dan
keluarganya, maka kita akan menjadi debu bersama-sama. Tetapi
kita memang wajib untuk mencoba melindungi padukuhan ini.
Sejauh kemampuan yang dapat kita himpun." Ki Buyut selalu
mencoba membesarkan hati bebahu-bebahunya. Lalu, "Karena itu,
kita harus mencoba menyusun kekuatan yang ada pada kita.
Ketenangan dan kedamaian yang telah kita capai ini, harus kita isi
dengan usaha untuk mempertahankannya."
Bebahu padukuhan Pengasih itu pun mematuhinya. Terutama
mereka yang mengetahui, apa yang sebenarnya pernah terjadi di
rumah Ki Buyut. Kematian tiga orang iblis dan bahkan hasil kerja
selama mereka berhasil menguasai hati dan perasaan Ki Buyut.
Tetapi seperti pesan Ki Buyut, pada umumnya mereka masih
tetap mempertahankan rahasia itu. Jika ada satu dua masalah yang
merembes keluar lewat mulut mereka, adalah persoalan-persoalan
yang sudah disaring selembutnya.
Demikianlah, setiap hari bebahu padukuhan Pengasih selalu
melatih diri dibawah pimpinan Ki Buyut sendiri. Mereka yang serba
sedikit sudah mengenal olah kanuragan dengan tekun
memperdalam pengetahuan mereka yang terbatas itu. Sedang yang
lain, yang sama sekali belum mengenalnya, telah mulai
mempelajarinya serba sedikit.
Anak-anak mudanya pun rasa-rasanya mulai bangun. Beberapa
orang di antara mereka, dengan sepenuh hati mempelajari ilmu
kanuragan, yang ditangani oleh Ki Buyut sendiri pula.
Dengan demikian, maka rasa-rasanya padukuhan Pengasih itu
masih saja tetap tenang dan tenteram, namun terasa hidup. Mereka
tidak lagi menunggu masa-masa panen dengan duduk-duduk saja di
simpang tiga. Tetapi mereka mempunyai kesibukan.
Karena Ki Buyut adalah bekas seorang Senapati prajurit, maka
olah kanuragan diberikan kepada anak-anak muda dan bebahu
padukuhan Pengasih sebenarnya adalah ilmu keprajuritan. Ilmu
1183 kanuragan bagi seorang seorang, dan juga bagi kelompok-kelompok
kecil dan besar. Mereka mendapat tuntunan untuk berkelahi dalam
lingkungan kecil, tetapi juga bersama-sama dalam lingkungan yang
besar. Namun agaknya usaha Ki Buyut tidak terbatas pada tuntunan
olah kanuragan itu saja. Untuk mengamankan padukuhan barunya
yang sedang berkembang itu, Ki Buyut berhasrat untuk
menghubungi beberapa orang yang pernah dikenalnya pada masa
kekuasaan Tohjaya. Para prajurit dan Senapati yang menyingkir dan
bersembunyi karena mereka takut kepada balas dendam yang
mungkin akan dilakukan oleh prajurit-prajurit dan Senapati-Senapati
yang setia kepada Ranggawuni dan Mahisa Campaka.
Namun ternyata bahwa Ranggawuni dan Mahisa Campaka
agaknya tidak menganjurkan dan bahkan mencegah dendam yang
berkepanjangan di antara keluarga sendiri.
Karena itulah, maka ketika beberapa orang bebahu dan anakanak
muda padukuhan Pengasih sudah mulai berhasil menguasai
serba sedikit ilmu kanuragan itu, maka Ki Buyut pun berniat untuk
meninggalkan padukuhan itu beberapa lama.
"Tunggulah padukuhan ini baik-baik. Mudah-mudahan aku
berhasil menemui beberapa orang kawan, dan membujuknya untuk
tinggal bersama kita. Di sini tanah subur dan luas. Tidak ada lagi
kecemasan tentang masa lampau yang buram."


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Isterinya tidak mencegahnya. Ia menyadari sepenuhnya bahwa
kepergian suaminya adalah semata-mata karena keinginannya untuk
melindungi padukuhan itu dari kemungkinan-kemungkinan yang
buruk. Pada saat yang ditentukan, maka Ki Buyut dan dua orang
pengawalnya pun meninggalkan padukuhannya menuju ke Kota
Raja. Dengan pakaian petani-petani biasa, mereka berniat untuk
menemui beberapa orang yang mungkin masih berada di tempat
yang pernah mereka ketahui besama. Selagi mereka masing-masing
1184 berusaha menyembunyikan diri, mereka telah menentukan tempat
masing-masing untuk dapat saling bertemu.
"Mungkin sudah ada perubahan." desis Ki Buyut, "Perubahan
tempat, dan barangkali perubahan sikap sehingga usahaku tidak
akan berhasil. Tetapi aku akan tetap berusaha."
Karena itulah, maka Ki Buyut pun dengan tekad yang bulat pergi
ke daerah yang baginya menyimpan harapan untuk dapat
menjadikan padukuhannya semakin tentram.
Tidak ada persoalan apapun di perjalanan. Rasa-rasanya daerah
Singasari memang sudah menjadi aman dan damai. Tidak ada
gangguan di sepanjang jalan, dan dengan aman mereka memasuki
Kota Raja setelah merena menempuh perjalanan yang cukup jauh,
sehingga mereka harus bermalam di luar kota.
Namun pada saat yang bersamaan, dua orang berjalan semakin
mendekati kota itu juga. Mereka adalah murid-murid Empu Baladatu
yang ingin melihat-lihat, apakah yang ada di dalam kota Singasari.
Kekuatan apakah yang sebenarnya tersimpan dipusat pemerintahan
itu. Seperti Ki Buyut di Pengasih, kedua orang itu pun tidak
menjumpai kesulitan apapun untuk memasuki kota. Demikian
mereka menginjakkan kakinya melangkahi gerbang terasa seolaholah
udara memang menjadi sangat sejuk.
Namun yang berbeda adalah apa yang akan mereka lakukan
kemudian. Kedua orang murid Empu Baladatu tidak mempunyai
tujuan sama sekali di dalam kota yang besar itu. Mereka tidak
mempunyai tempat yang langsung dapat mereka tuju untuk sekedar
melepaskan lelah, apalagi menumpang tidur.
Karena itu, ketika mereka sudah berada di dalam Kota Raja,
maka mereka pun terpaksa mencari tempat berteduh di bawah
pohon yang rindang, dan berpikir bagaimanakah dengan malam
yang bakal datang. Apakah mereka akan tidur di tempat-tempat
yang sepi dan tidak dilalui orang"
1185 Mungkin sehari dua hari dapat mereka lakukan tanpa
menumbuhkan kecurigaan. Tetapi jika mereka berada di kota untuk
waktu yang agak lama, maka mungkin sekali pada suatu ketika
kehadiran mereka itu menumbuhkan kecurigaan pada satu dua
orang, sehingga akhirnya menjalar kepada sebagian isi kota itu.
"Kita harus mendapatkan tempat beristirahat yang baik." berkata
Wangkir. "Kita belum mengenal seorang pun di tempat ini." sahut
Geneng. "Kita akan mendatangi rumah di ujung jalan. Rumah yang
agaknya dihuni oleh sekeluarga yang miskin. Kita datang kepada
mereka, dan minta tempat untuk menumpang."
"Kenapa kita memilih ditempat keluarga yang miskin?"
"Ada beberapa pertimbangan. Di antaranya, bahwa di tempat itu
kita tidak akan banyak mendapat perhatian, karena biasanya orang
miskin tidak dihiraukan oleh orang di sekitarnya. Kemudian, dengan
sedikit memberikan uang atau imbalan apapun kita akan dapat
mereka terima, asal sikap kita tidak mencurigakan. Kita harus purapura
bersikap baik dan berhasil membuat mereka percaya kepada
kita." Geneng mengerutkan keningnya. Ia mencoba membayangkan
bagaimana ia harus bersikap. Namun kemudian ia pun
mengangguk-angguk. Katanya, "Aku menurut apa saja yang baik
menurut kakang Wangkir. Tetapi untuk bersikap lembut agaknya
memang agak sulit. Meskipun demikian aku akan mencobanya."
"Kita harus dapat manjing ajur-ajer. Jangankan sekedar bersikap
lembut. Jika perlu kita harus dapat bersikap seperti seorang pendeta
yang paling suci." "Ya, aku mengerti."
"Nah, jika demikian, marilah kita coba. Selain sikap yang baik
dan meyakinkan, kita akan memberikan sekedar imbalan kepada
keluarga itu." 1186 "Apa yang akan kita berikan?" bertanya Geneng, "Kita tidak
mempunyai apapun juga. Uang, perhiasan atau barang-barang
berharga lainnya apalagi."
Wangkir mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya,
"Malam nanti kita akan berusaha sesuatu yang dapat kita berikan
kepada keluarga itu."
Geneng memandang Wangkir dengan heran. Ia tidak mengerti,
bagaimana mereka harus berusaha mendapatkan sesuatu nanti
malam. Tetapi sebelum ia bertanya, agaknya Wangkir mengetahui
perasaannya itu. Sambil tertawa Wangkir berkata, "Geneng. Dikota
ini tersebar kekayaan yang melimpah. Jika kita hanya sekedar
menginginkan perhiasan atau uang yang tidak begitu banyak, maka
aku kira kita tidak akan mengalami kesulitan."
"Maksudmu?" "Kita, masuk saja kerumah seseorang yang kita anggap berada.
Sudah tentu yang tinggal agak jauh dari rumah di ujung jalan,
sehingga kehadiran kita yang tiba-tiba ditempat itu tidak di curigai
dan dihubung-hubungkan dengan peristiwa yang mungkin
mengejutkan bagi kota ini?"
"Merampok?" "Sekedar mengambil uang dalam jumlah yang terbatas. Kita
memerlukan uang itu. Karena menurut pendapatku, uang adalah
barang yang paling aman kita berikan kepada keluarga miskin itu.
Jika kita ambil perhiasan atau benda apapun juga, mungkin akan
dapat dikenal oleh pemiliknya jika pada suatu saat barang itu dijual
oleh keluarga miskin itu. Jika kita masih nanti malam ada di rumah
itu, maka kita pun akan segera tertangkap pula sebelum kita
mendapat keterangan apapun juga mengenai Mahisa Bungalan."
Geneng mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Kemana kita akan
merampok?" 1187 "Sudah barang tentu di ujung kota yang lain." berkata Wangkir,
"Meskipun banyak orang yang memiliki ilmu yang tinggi di kota ini,
tetapi kita akan menemukan rumah yang tidak akan dapat melawan
kita. Sehari dua hari, dapat kita pergunakan untuk melihat-lihat,
rumah yang manakah yang paling baik kita singgahi untuk
mengambil uangnya sebagian saja."
"Selama sehari dua hari, dimanakah kita akan tinggal?"
"Kita dapat berada di segala tempat. Dimana saja. Bukankah kita
dapat berada di tempat yang bagaimanapun juga?"
Geneng mengangguk. "Apa kau kira bahwa karena kita berada di dalam kota, maka
tidak ada sejemput tempat pun yang sepi dan tidak banyak disentuh
kaki manusia?" "Ya. Ya. Aku mengerti. Baiklah. Kita akan mencari dua tempat."
"Kenapa dua?" justru Wangkirlah yang bertanya.
"Yang satu tempat untuk tinggal. Yang lain tempat yang akan
kita rampok. Bukankah begitu?"
Wangkir mengerutkan keningnya. Namun ia pun tersenyum. "Ya.
Begitulah." jawabnya, "Namun kita harus berhati-hati agar tidak
terjebak pada langkah pertama. Sebab yang akan kita lakukan
merupakan tugas yang panjang. Kau mengerti?"
Demikianlah maka kedua orang itu pun segera mengelilingi kota.
Mereka mengamat-amati rumah yang pantas dimasukinya untuk
mendapatkan uang. Pada hari yang pertama mereka hanya sekedar melihat-lihat saja.
Mereka memilih beberapa rumah yang masih akan mereka amatamati
dua tiga hari lagi, sehingga mereka yakin bahwa rumah itu
cukup baik mereka jadikan sasaran perampokan.
Karena mereka masih belum mempunyai apa-apa, maka dalam
dua malam mereka masih tidur di tempat yang sepi, yang tidak
dilihat oleh seorangpun, sehingga tidak menumbuhkan kecurigaan.
1188 Namun yang dua malam itu telah mereka pergunakan sebaiknya
untuk mengamati rumah yang telah mereka pilih menjadi sasaran
itu. "Rumah yang berada di sudut tikungan itu sajalah." berkata
Wangkir. "Kenapa kau pilih itu?" bertanya Geneng.
"Rumah itu agaknya mempunyai banyak hal yang
menguntungkan. Rumah itu tidak terlampau banyak penghuninya.
Tempatnya agak jauh dari rumah-rumah yang lain, dan lebih-lebih
lagi, agaknya rumah itu memang banyak tersimpan uang dan
perhiasan. Tetapi seperti yang sudah kita rencanakan, kita hanya
akan mengambil uang. Tidak perhiasan atau barang-barang apapun
yang akan dapat dijadikan petunjuk untuk menjerat kita."
Geneng mengangguk-angguk. Katanya, "Aku sependapat.
Penghuni rumah itu tidak berbahaya sama sekali nampaknya."
Demikianlah maka pada malam ketiga, dua orang itu menunggu
malam menjadi sepi. Mereka duduk di tempat yang gelap di balik
pagar batu. Untuk beberapa saat lamanya mereka duduk diam. Dikejauhan
nampak lampu-lampu minyak menyala di regol-regol halaman. Dan
beberapa buah obor terpancang di tepi jalan.
Malam yang semakin lama menjadi semakin sepi, rasa-rasanya
juga menjadi semakin dingin. Di langit bintang-bintang gemerlapan
memenuhi cakrawala. "Agaknya malam sudah menjadi sepi." desis Geneng.
"Ya. Tetapi masih terlampau sore. Mungkin di rumah sebelah
menyebelah, tetangga-tetangga masih belum tidur."
Geneng menarik nafas dalam Namun kemudian ia pun
mengumpat ketika justru terdengar suara tembang dari rumah
sebelah. Agaknya salah seorang penghuninya sedang membaca
kidung yang menarik. 1189 "Apa kita menunggu sampai mulutnya diam." desis Geneng yang
hampir kehilangan kesabaran.
Tetapi Wangkir menggeleng. Jawabnya, "Itu tidak perlu. Kita
dapat melakukannya sekarang. Biarlah yang membaca kidung itu
membaca terus. Kita akan mengambil uang secukupnya saja."
"Semua yang ada di rumah itu."
"Tidak perlu. Kecuali jika yang ada itu tidak terlalu banyak."
Keduanya berdiam diri sejenak. Lalu, Wangkir pun bangkit sambil
berdesis, "Marilah. Sekarang kita memasuki halaman rumah itu."
Kedua orang itu pun kemudian dengan sangat berhati-hati
meninggalkan halaman tempat mereka bersembunyi. Setelah yakin
tidak ada seorang pun yang melihatnya, maka mereka pun segera
berlari menyeberang jalan dan dengan cepat meloncat pula masuk
ke halaman. Beberapa saat lamanya mereka termangu-mangu. Baru kemudian
mereka merayap mendekati dinding rumah itu.
Agaknya rumah itu pun telah menjadi sepi. Tidak ada lagi orang
yang masih terbangun. Dengan telinga yang tajam, kedua orang itu
mendengar tarikan nafas yang teratur di beberapa tempat di dalam
rumah itu. "Mereka tidur ditempat yang berpencar." desis Wangkir.
"Ya. Di sudut-sudut rumah itu terdapat sentong-sentong kecil."
"Kita akan mengetuk pintu."
"Itu akan membangunkan seisi rumah."
"Itu lebih baik. Kita dapat minta agar mereka tidak membuat
gaduh. Kita minta mereka dengan tenang mengambil uang
sebanyak-banyaknya, dan dengan tenang pula kita akan pergi."
Geneng mengangguk-angguk. Perlahan-lahan ia berdesis, "Kita
memang tidak dapat mengambilnya sendiri, karena kita tidak tahu
dimana mereka menyimpan."
1190 "Yang paling mudah bagi kita, mempersilahkan pemiliknya
mengambil untuk kita."
Geneng mengangguk-angguk pula. Lalu, "Marilah kita mengetuk
pintu rumah itu." Keduanya kemudian melangkah mendekati pintu. Namun
Wangkir masih berkata, "Aku akan menutupi kumisku dahulu agar
besok atau lusa aku tidak mudah dikenal oleh pemilik rumah ini."
Geneng termangu-mangu sejenak. Dipandanginya saja ketika
Wangkir melepas ikat kepalanya dan menutup sebagian wajahnya,
terutama kumisnya. "Aku juga." berkata Geneng kemudian, "Mungkin memang lebih
aman demikian." Sambil menutup wajah-wajah mereka dengan ikat kepala, maka
kedua orang itu pun kemudian mengetuk pintu perlahan-lahan.
Ternyata ketukan itu telah membangunkan pemilik rumah itu.
Terdengar langkah ragu-ragu di dalam, dan sebuah sapa yang lirih,
"Siapa diluar?"
"Aku, aku Kiai." terdengar jawaban tersendat-sendat.
"Siapa?" "Aku. Aku membawa kabar buruk buat Kiai." suara Wangkir
terdengar bergetar dalam nada yang tinggi.
Kabar buruk memang cepat menimbulkan keinginan untuk segera
mengetahui. Demikian pula penghuni rumah itu.
Dengan tergesa-gesa ia melangkah kepintu. Tetapi ketika ia
sudah berada dimuka pintu itu, ia menjadi ragu-ragu pula.
"Kiai." berkata Wangkir, "Mungkin berita ini penting buat Kiai."
Pemilik rumah itu masih ragu-ragu. Karena itu maka ia pun
kemudian bertanya, "Siapakah kau?"
"Aku Kiai." 1191 "Ya, siapa?" "Dari rumah sebelah."
"Namamu?" Wangkir menjadi bingung. Karena itu untuk beberapa saat ia
terdiam. "Sebut namamu." pemilik rumah itu mendesak. Tetapi Wangkir
tidak dapat segera menyebut sebuah nama.
Bahkan sejenak ia saling memandang saja dengan Geneng yang
termangu-mangu. Wangkir dan Geneng menjadi berdebar-debar ketika ia mendengar
langkah menjauh. Dengan cemas Geneng berbisik, "He,
apakah yang akan dilakukannya?"
Wangkir menggelengkan kepalanya. Dan sekali lagi ia berdesis,
"Kiai, bukalah pintunya. Aku akan mengatakan sesuatu."
Tidak ada jawaban. Namun mereka pun kemudian mendengar
langkah itu kembali mendekati pintu.
Wangkir dan Geneng lah yang kemudian menjadi curiga. Karena


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu, maka mereka pun segera mundur selangkah.
Tetapi pintu itu masih belum terbuka.
"Bukalah pintunya." Wangkir menjadi tidak sabar.
"Kau belum menyebut namamu."
Wangkir menarik nafas dalam-dalam. Seolah-olah ia ingin
mengendapkan perasaannya yang mulai bergejolak.
Tetapi dalam pada itu Geneng lah yang sudah tidak dapat
menahan hati lagi. Tiba-tiba saja tangannya terjulur dan sebuah
hentakan yang menghantam pintu itu pun segera mengejutkan seisi
rumah. 1192 Sejenak kemudian maka pintu itu pun telah terbuka dengan
paksa. Dengan garangnya maka kedua orang yang berada di luar
rumah itu pun segera berloncatan masuk.
"Siapa kau." orang itu bertanya dengan ragu-ragu.
Wangkir dan Geneng tidak mempunyai waktu lagi. Ia tidak ingin
membuat keributan yang dapat membangunkan tetangga-tetangga
penghuni rumah itu. Karena itu dengan suara berat dan datar
Wangkir berkata, "Aku memerlukan uang. Hanya itu. Aku tidak akan
merampas milikmu selain uang."
Penghuni rumah itu termangu-mangu sejenak. Dengan tajamnya
ia memandang kedua orang yang telah memecah pintunya dengan
paksa. Tetapi sejenak ia bagaikan diam mematung saja.
"He, Kiai." bentak Wangkir sambil mengamat-amati orang itu.
Penghuni rumah itu adalah seorang laki-laki separo baya yang
bertubuh tinggi tegap dan kekar. Bahkan dilambungnya terselip
sehelai pedang yang panjang. "Sekali lagi aku mengharap agar Kiai
dapat mengerti. Aku memerlukan uang. Sekehendak Kiai, berapa
Kiai akan memberi." Penghuni rumah itu tiba-tiba menggeram. Katanya, "Ki Sanak.
Kau telah mengejutkan aku dan keluargaku. Kau merusak pintu
rumahku yang memang ringkih. Tetapi hal ini adalah suatu hal yang
tidak tersangka-sangka. Aku kira tidak seorang pun di dalam Kota
Raja ini yang pada saat seperti ini bermimpi bahwa ada orang yang
mencoba merampok seperti Ki Sanak berdua. Selama ini kami
sedang menyusun tata kehidupan yang tenang, damai dan dengan
sungguh-sungguh kita berusaha untuk membuat kehidupan kita,
sejahtera betsama-sama. Tiba-tiba Ki Sanak berdua datang untuk
merampok." "Tutup mulutmu." Genenglah yang membentak, "Berikan
uangmu. Gepat, sebelum aku memaksa."
Orahg itu beringsut setapak. Katanya, "Ki Sanak. Aku bukan
orang yang cukup kaya untuk memberikan sejumlah uang kepada
orang yang tidak aku kenal."
1193 "Kau jangan asal membuka mulutmu Kiai." bentak Geneng, "Aku
sudah berbaik hati untuk tidak minta apapun selain uang. Dan
sekarang kau agaknya ingin membuat kami marah."
"Sama sekali tidak Ki Sanak. Tetapi adalah aneh sekali, bahwa
seseorang dengan rela hati memberikan uang kepada orang seperti
Ki Sanak berdua." "Cepat. Tegasnya, berikan uang itu sekarang, atau kami akan
memaksa dengan kekerasan."
Orang itu mundur setapak. Sekali ia berpaling untuk melihat
keluarganya yang masih berkumpul di dalam bilik dengan tubuh
gemetar. Isterinya dan dua orang anaknya yang sudah menjelang
usia remaja. "Ki Sanak." berkata orang itu, "Aku berusaha mengumpulkan
uang sedikit demi sedikit. Sekarang aku mempunyai simpanan yang
tidak seberapa. Karena itu, sudah tentu aku tidak akan dapat
memberikan kepadamu."
Geneng menggeram. Wajahnya menjadi merah. Katanya, "Tidak
ada pilihan lain kakang."
Tetapi Wangkir masih mencoba untuk bersabar. Katanya,
"Jangan membuat aku marah. Aku masih dapat berbuat baik. Tetapi
jika kau berkeras, maka aku akan bertindak kasar."
"Jangan memaksa Ki Sanak Meskipun aku bukan orang yang
berilmu, tetapi adalah hakku untuk mempertahankan milikku."
"Gila." Geneng membentak, "Kau berani melawan kami berdua?"
"Sebenarnya tidak. Tetapi apa boleh buat. Jika kalian memaksa,
aku tidak mempunyai cara lain."
"Gila. Kau akan mati terkelupas seperti pisang." Namun kata-kata
Geneng itu terputus ketika Wangkir menggamitnya. Katanya,
"Jangan terlampau kasar. Kami datang dengan maksud baik."
Geneng memandang Wangkir dengan heran. Tetapi Wangkir
justru tersenyum sambil berkata kepada penghuni rumah itu. "Kau
1194 memang seorang yang berani. Tetapi itu tidak mustahil. Semua
orang Singasari adalah orang yang berani. Tetapi kau harus
mengerti bahwa perlawananmu akan sia-sia."
"Seandainya perlawananku s ia-sia Ki Sanak, aku dapat berteriak.
Istri dan anak-anakku pun dapat berteriak pula."
"Tetapi itu hanya akan mempercepat kematianmu." sahut
Wangkir, "Sebaiknya kita memilih jalan yang paling singkat dan
aman Kiai. Berikan uang berapa saja kau ingin memberi."
Tetapi penghuni rumah itu mengeleng sambil melangkah surut,
"Tidak. Aku tidak akan memberi."
"Kau memang harus dibunuh." desis Geneng.
Tetapi sekali lagi Wangkir menggeleng. "Aku tidak ingin
membunuh siapapun. Membunuh tidak akan memberikan manfaat
apapun juga. Justru akan menjauhkan kita dari tujuan kita yang
hanya sekedar memerlukan uang."
Penghuni rumah itu termangu-mangu sejenak. Namun agaknya
ia pun bukan seorang pengecut sehingga karena itu ia sama sekali
tidak gentar karenanya. Bahkan katanya, "Ki Sanak Sekarang aku
minta Ki Sanak meninggalkan rumah ini. Mumpung aku masih
mempunyai kesempatan untuk berpikir. Jika aku sudah menjadi
bingung, maka yang dapat aku lakukan hanyalah berteriak dan
memanggil tetangga-tetanggaku."
"Kau jangan memperpanjang pembicaraan." berkata Wangkir
yang agaknya sudah mulai gelisah "Cepatlah sedikit Kiai."
"Maaf. Aku tidak dapat berbuat lebih baik dari mengusir kalian."
Geneng benar-benar sudah tidak dapat menahan diri. Jika saja
Wangkir tidak selalu menahannya, maka ia pasti sudah menerkam
orang itu. Tetapi ternyata bahwa orang itu telah mendahuluinya. Dengan
serta merta menarik pedang yang terselip di lambungnya sambil
berkata, "Milikku akan aku pertahankan dengan sekuat tenagaku.
1195 Jika kau datang dengan cara yang lebih baik dari merusak pintu di
malam hari, mungkin aku dapat mempertimbangkannya."
"Persetan." tiba-tiba Geneng meloncat maju. Dengan garangnya
ia berdiri dengan sebelah kakinya ditarik setengah langkah surut.
Sambil sedikit merendah pada lututnya ia mengangkat kedua
tangannya dengan jari-jari mengembang.
Wangkir menjadi cemas karenanya, sehingga karena itu ia pun
segera mendesaknya pinggir sambil berkata, "Aku sajalah yang
memaksanya untuk menyerahkan uang itu."
"Kenapa harus kau kakang".." kata-katanya terpotong karena
Wangkir segera membentaknya, "Minggir."
Geneng tidak dapat berbuat lain. Kakak seperguruan baginya
tidak banyak berbeda dengan gurunya sendiri. Tetapi ia menjadi
sangat kecewa karenanya. Yang kemudian menghadapi pemilik rumah itu kemudian adalah
Wangkir. Tetapi ia sama sekali tidak mempergunakan senjata
apapun. Agaknya ia terlampau percaya akan kekuatan dan ilmunya.
Sejenak kemudian, di dalam.rumah itu telah terjadi perkelahian
antara pemilik rumah itu dengan Wangkir. Tetapi perkelahian itu
tidak berlangsung lama. Dengan tangkasnya Wangkir segera
berhasil menguasai lawannya dan memukul pergelangan tangannya
sehingga senjatanya terlepas.
"Kiai." berkata Wangkir kemudian, "Aku dapat membunuhmu.
Tetapi itu bukan kebiasaanku. Hanya karena terpaksa sekali aku
datang minta uang kepadamu. Itu saja. Sekarang, aku minta kau
mengambil uang itu."
Pemilik rumah itu menjadi gemetar. Ia tidak menyangka, bahwa
lawannya yang seorang itu dengan cepat berhasil mengalahkannya
tanpa menyakitinya. Geraknya yang cepat, tetapi sama sekali tidak
menunjukkan kesan yang kasar seperti yang seorang lagi,
membuatnya menjadi kagum dan segan.
1196 "Cepatlah sedikit Kiai." berkata Wangkir sambil mendorong
pemilik rumah itu. Koleksi: Ismoyo Scanning: Arema Convert/proofing: Mahesa Editing: Arema OoodwooO 1197 Karya SH MINTARDJA Sepasang Ular Naga di Satu Sarang
Sumber djvu : Koleksi Ismoyo dan Arema di
http://kangzusi.com/ atau http://dewi-kz.info/
Jilid 17 "BAIK, baiklah Ki Sanak"
katanya ketakutan. "Sebelum aku mengambil
sikap yang lain terhadapmu dan
keluargamu." Pemilik rumah itu sama sekali tidak berani berbuat apaapa
lagi. Ia merasa bahwa ilmu
orang itu jauh berada di atas
kemampuannya yang tidak seberapa itu. Dengan kaki gemetar ia melangkah ke dalam biliknya
diikuti oleh Wangkir. Diambilnya
sebuah peti dari bawah amben
bambunya yang diikat dengan
tali yang kuat dengan kaki
amben itu. "Kau sangat berhati-hati." berkata Wangkir. Orang itu tidak
menjawab. "Bukalah petimu."
Orang itu ragu-ragu. Tetapi kemudian ia pun membuka peti itu.
Peti yang berisi bukan saja uang, tetapi juga perhiasan. Pendok
1198 emas, timang dan sepasang perhiasan isterinya yang dibuat dari
permata bersalut emas. Wangkir menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian
berkata, "Minggirlah. Aku akan mengambil sendiri keperluanku."
Pemilik rumah itu ragu- sejenak. Tetapi ia pun kemudian
bergeser selangkah. Wangkir masih berdiri termangu-mangu. Wajahnya menjadi
tegang memandang barang-barang yang berada di dalam peti itu.
Bukan hanya uang. Tetapi perhiasan yang harganya cukup mahal.
Diluar sadarnya, terasa nafasnya menjadi terengah-engah. Ada
sesuatu yang terasa bergejolak di dalam dadanya. Jarang sekali ia
melihat perhiasan-perhiasan seperti yang sekarang dilihatnya di
dalam peti itu. Selagi Wangkir berdiri termangu-mangu, tiba-tiba saja Geneng
telah berada di belakangnya. Wajahnya tiba-tiba menjadi tegang,
dan biji matanya seolah-olah akan meloncat keluar.
"Apa salahnya." bisiknya ditelinga Wangkir.
Wangkir berpaling. Sejenak ia termangu-mangu.
"He, apakah yang harus dipikirkan lagi." desak Geneng.
Wangkir menarik nafas dalam-dalam. Katanya perlahan-lahan,
"Kita memerlukan beaya selama kita berada di Kota Raja."
"Ya. Dan perhiasan itu adalah cukup berharga."
Wangkir termenung untuk beberapa saat. Namun kemudian ia
menggeleng sambil berkata, "Kita hanya memerlukan uang. Hanya
itu." Geneng berdesis, "Gila. Kau semakin lama menjadi semakin
bodoh. Buat apa kau berpura-pura menjadi seorang yang bersih dari
kejahatan." "Aku tidak berpura-pura. Tetapi kita sedang menjalankan tugas
yang dibebankan oleh guru kita, Empu Baladatu. Kau ingat, bahwa
1199 jika kita gagal, maka kita akan menghadapi hari depan yang gelap"
Kita harus dapat merintis jalan itu, betapapun kecil hasilnya."
Geneng menarik nafas dalam-dalam. Seolah-olah ia sedang
berusaha mengendapkan gelora di dalam dadanya. Namun ia tidak
berani membantah lagi. Kakak seperguruannya telah mengambil
keputusan yang berbeda dengan pendiriannya.
Karena itu, maka ia pun melangkah surut, dan tidak lagi
berusaha untuk mengetahui isi peti itu lebih lama lagi. Geneng tidak
yakin akan dirinya sendiri, bahwa ia dapat mengekang gejolak
perasaannya seandainya ia memandangi isi peti itu lebih lama lagi.
Sejenak kemudian, maka Wangkir pun berjongkok di samping
peti yang penuh dengan perhiasan dan uang. Sekilas dipandanginya
pemilik peti yang duduk di sudut bilik itu dengan ketakutan.
"Kiai." berkata Wangkir, "Seperti yang sudah aku katakan, aku
hanya akan mengambil uang menurut kebutuhanku. Aku tidak akan
mengambil semuanya, apalagi perhiasan-perhiasanmu itu. Jika
ternyata ada sebutir permata saja yang hilang karena tanganku,
maka terkutuklah aku dan sanak kadangku."
Pemiliknya sama sekali tidak berani menyahut. Ia hanya
memandangi saja tangan Wangkir yang mengambil beberapa
genggam keping uang dari petinya.
"Nah, terima kasih Kiai. Mudah-mudahan di hari mendatang, kau
akan menjadi semakin kaya raya. Mudah-mudahan kau tidak akan
pernah diganggu oleh penjahat-penjahat yang manapun juga."
Pemilik rumah itu tercengang. Tetapi ia tidak dapat menjawab
sepatah katapun juga. Orang itu masih kebingungan.
"Aku minta diri Kiai."
Wangkir tertawa. Kemudian ia pun melangkah meninggalkan bilik
itu diikuti Geneng. Sekali mereka berpaling, namun kemudian
1200 mereka pun meninggalkan rumah itu lewat pintu yang telah mereka
rusakkan. Demikian mereka meninggalkan halaman rumah itu, Geneng
tidak dapat menahan perasaannya lagi. Seperti banjir ia
melontarkan berbagai macam pertanyaan yang terasa menyumbat
jantungnya. "Kakang, kenapa kakang bersikap begitu baiknya terhadap
pemilik rumah itu" Kenapa kakang menjadi sabar dengan tiba-tiba
dan bahkan kakang telah mencegah aku bertindak" Kemudian aku
sama sekali tidak mengerti, kenapa kakang tidak mengambil sebutir


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

permata pun dari peti yang sudah dihadapkan di bawah hidung
kakang itu?" Wangkir tertawa. Katanya, "Geneng. Kau memang terlampau
bodoh untuk menjalankan tugas seperti ini. Kita akan tinggal di Kota
Raja ini untuk beberapa waktu lamanya. Untuk melihat
perkembangan keadaan. Untuk melihat-lihat apakah kita akan dapat
bertemu dengan anak muda yang bernama Mahisa Bungalan, dan
apabila mungkin menjajagi, betapa tinggi ilmu Mahisa Agni yang
termashur itu." "Ya, apa hubungannya dengan sikap kita yang banci ini?"
"Geneng. Jika kita bersikap kasar, dan apabila kau
mempergunakan cara yang khusus dipergunakan oleh perguruan
kita dalam puncak perlawanan, membunuh lawan dengan luka
arang kranjang dan kulit terkelupas, maka hal itu tentu akan dapat
segera dikenal. Apalagi jika mayat itu kemudian dilihat oleh orangorang
penting di Singasari, terutama jika kebetulan Mahisa Bungalan
sempat melihatnya, maka ia pun akan segera mengambil
kesimpulan, bahwa kita berada di kota ini."
"Mereka tidak mengenal kita."
"Tetapi bahwa di kota ini ada murid Empu Baladatu, akan
membuat kota ini menjadi semakin sibuk dengan penjagaan dan
kesiagaan." 1201 Geneng menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kau memang
cerdik. Aku mengerti." ia berhenti sejenak, lalu, "Tetapi bagaimana
dengan perhiasan itu" Jika kita membawanya, apakah ada
kesulitannya?" "Buat apa kita membawanya" Kita tidak akan segera dapat
memanfaatkannya. Daripada kita harus menyimpannya untuk waktu
yang lama, biarlah pemiliknya itu menyimpannya untuk kita."
"He?" "Mereka percaya bahwa kita bersikap baik. Agaknya ia akan
tetap menyimpan kekayaannya. Pada suatu saat, jika kita akan
kembali kepadepokan, maka kita akan singgah sebentar untuk
mengambil titipan kita itu."
"Apakah barang-barang itu tidak akan disingkirkannya?"
"Justru karena sikap kita meyakinkan, mereka akan tetap
menyimpannya." Geneng mengangguk-angguk. Ternyata kawannya memang
cerdik sehingga ia dapat menyembunyikan segala ujud dan
wataknya yang sebenarnya, sehingga dengan demikian, maka
pemilik rumah itu tidak menjadi dendam kepadanya.
Seperti yang diperhitungkan oleh Wangkir, penghuni rumah yang
meskipun pintu rumahnya dirusak itu, menjadi heran melihat
tingkah laku dua orang yang menyembunyikan wajahnya di balik
ikat kepalanya. Meskipun di hadapannya telah tersedia uang dan
barang-barang perhiasan yang nilainya jauh lebih banyak dari uang
yang tersedia, namun kedua orang itu sama sekali tidak
mengambilnya. Bahkan uang yang ada itupun tidak diambil
seluruhnya. "Tentu karena keadaan yang memaksa sekali, maka kedua
orang itu masuk ke dalam rumah ini dan mencari uang. Tetapi
ternyata mereka adalah orang-orang yang baik dan tidak serakah.
Meskipun semula mereka hanya memerlukan uang, tetapi jika pada
dasarnya mereka adalah orang-orang yang serakah, maka perhiasan
1202 itu pun akan diambilnya." berkata pemilik rumah itu kepada isteri
dan anak- anaknya. "Memang mengherankan sekali Kiai." sahut isterinya, "Perhiasanperhiasan
itu tetap utuh." "Aku tidak mengerti." gumam suaminya, "Tetapi itu merupakan
kenyataan bagi kita."
"Tetapi besok kita harus memperbaiki pintu itu."
"Ah itu tidak seberapa. Jika saja aku tahu tingkah lakunya, maka
pintu itu tidak akan rusak. Dan aku tidak perlu mencoba
melawannya, karena sama sekali tidak berarti apa-apa. Jika mereka
berdua membunuh aku dan merampas semua milik kita, maka tidak
seorang pun yang dapat menghalanginya."
Dengan demikian maka kedua orang suami isteri itu justru
mengucap sukur bahwa mereka masih tetap hidup dan milik mereka
yang berharga, yang mereka tabung sedikit demi sedikit itu masih
tetap ada di tangan mereka.
Berbeda dengan kedua orang tua itu, yang pada pagi harinya
seolah-olah telah melupakan peristiwa itu, maka kedua anaknya
telah bercerita kepada kawan-kawannya, tentang kedua orang yang
semalam masuk ke dalam rumahnya.
"Ah, kau bermimpi." berkata salah seorang kawannya.
"Kami tidak akan dapat bermimpi berdua bersamaan waktu dan
kejadiannya." jawab yang tua dari kedua saudara itu.
Kawan-kawannya mengerutkan keningnya. Lalu, "Tetapi itu
mustahil. Satu di antara seribu orang yang berbuat demikian."
"Nah, jika demikian ternyata dua di antara yang dua ribu orang
adalah orang-orang yang masuk ke rumahku semalam."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Memang hal itu adalah
suatu hal yang jarang sekali terjadi.
1203 Dalam pada itu. Wangkir dan Geneng, telah membuat diri
mereka menjadi dua orang perantau. Menjelang tengah hari mereka
berdua datang memasuki halaman rumah yang memang sudah
mereka pilih sebelumnya. Dengan wajah yang letih dan kata-kata
yang melas asih, keduanya minta agar diperkenankan untuk tinggal
beristirahat barang satu dua hari di rumah itu.
"Jika paman tidak berkeberatan, tolonglah kami." berkata
Wangkir. "Aku adalah orang melarat Ki Sanak." sahut pemilik rumah itu,
"Rumahku kecil dan sederhana."
"Paman, jika kami berdua diperkenankan tinggal di atas kandang
sekalipun, kami akan mengucapkan beribu terima kasih."
"Seandainya demikian, sekedar tempat untuk tidur, tetapi apakah
aku dapat memberi makan kepada Ki Sanak selama Ki Sanak berada
di rumah ini." "Paman." jawab Wangkir, "Aku masih mempunyai beberapa
keping uang, yang barangkali dapat membantu paman selama aku
berada di rumah ini. Tetapi juga sekedar membantu saja karena
uang kami juga tidak banyak."
"Jika demikian." berkata orang itu, "Kami tidak berkeberatan.
Pakailah uangmu untuk makanmu sehari-hari. Aku. dapat
memberimu tempat untuk tidur di bekas lumbung, karena tidak ada
lagi yang dapat aku simpan di lumbung kedua. Di lumbung yang
satu pun agaknya padiku tidak memenuhi seperempatnya lagi,
sebelum panen mendatang, sedang keluargaku termasuk keluarga
yang agak besar." Wangkir dan Geneng mengangguk-angguk. Mereka tidak tahu
bahwa di rumah itu ada tujuh orang anak, sepasang suami isteri
yang sudah tua, ayah dan ibu pemilik rumah itu, dan dua orang adik
isterinya. "Nampaknya rumah ini sepi." berkata Wangkir, "Ternyata paman
mempunyai keluarga yang cukup banyak."
1204 "Ya. Keluargaku cukup banyak. Aku harus memberi makan dua
keluarga sekaligus. Sebagian memang tidak tinggal disini, karena
mereka masih mempunyai rumahnya sendiri, meskipun hanya
berbatasan dinding batu di sebelah."
"O." Wangkir mengangguk-angguk, "Jadi keluarga yang paman
sebut itu tinggal di dua rumah sebelah menyebelah ini."
"Ya. Karena itu aku masih ada tempat bagimu berdua untuk
tidur. Hanya untuk tidur."
"Paman." berkata Wangkir, "Aku akan menyerahkan uangku
kepada paman dan bibi disini. Aku akan ikut makan bersama
keluarga di s ini, apapun ujudnya."
Pemilik rumah itu termangu-mangu sejenak. "Inilah uangku
paman." berkata. Wangkir kemudian sambil menyerahkan sekampil
uang. Pemilik rumah itu terkejut melihat uang sebanyak itu. Hampir ia
tidak dapat mempercayai penglihatannya. Uang sebanyak itu jarang
sekali dilihatnya dan merupakan kekayaan yang tidak terduga-duga
sebelumnya menurut ukurannya.
Karena itu ia justru termenung beberapat saat bagaikan
membeku. Uang sebanyak itu benar-benar telah memukaunya
sehingga ia kehilangan nalar.
Wangkir yg mengetahui perasaan pemilik rumah itu tersenyum.
Uang yang diberikan itu masih belum seluruhnya yang diambilnya
dari peti yang bercampur baur dengan perhiasan. Tetapi karena
tingkat hidup kedua keluarga yang didatanginya itu memang jauh
berbeda, maka uang yang hanya sebagian itu benar-benar telah
mengejutkannya. "Apakah pendapat paman?" bertanya Wangkir.
"Ki Sanak." berkata pemilik rumah itu, "Apakah aku tidak sekedar
bermimpi melihat uang sehanyak itu?"
"Tidak paman. Aku memang membawa uang yang cukup."
1205 "Aku menjadi bingung Ki Sanak. Uang itu terlalu banyak buatku.
Mungkin dalam waktu beberapa bulan aku bekerja, aku tidak akan
mendapatkan uang sebanyak itu."
"Tetapi uang ini sekarang ada disini. Jika paman mengijinkan
aku tinggal disini, di kandang pun aku tidak berkeberatan, maka
uang itu aku serahkan kepada paman, sebagai imbalan kebaikan
hati paman, dan makan kami sehari-hari untuk beberapa saat
selama aku tinggal di s ini."
Pemilik rumah itu mengangguk-angguk. Katanya, "Aku tidak
dapat menyatakan keberatan apapun Ki Sanak. Pada dasarnya, aku
dapat memberikan tempat untuk sekedar tidur di lumbung. Sedang
untuk makan Ki Sanak, ternyata Ki Sanak sudah membawa uang
sendiri, dalam jumlah yang cukup banyak."
Dengan demikian maka Wangkir dan Geneng pun telah dengan
senang hati diterima menjadi keluarga dalam rumah yang
sederhana itu. Sebuah dari lumbung yang kosong itupun
dibersihkannya, dan diberi sebuah amben yang cukup besar.
Di hari-hari pertama, Geneng dan Wangkir menunjukkan sikap
dan tindak tanduk yang baik dan menyenangkan. Pagi-pagi benar
mereka telah bangun dan mengisi jambangan di pakiwan sampai
penuh. Kemudian mereka pun ikut membersihkan halaman dan
menyapu daun-daun kuning yang berguguran di longkangan.
Dalam hubungan sehari-hari Wangkir dan Geneng sama sekali
tidak menyembunyikan namanya. Setiap orang didalam keluarga itu
memanggil mereka dengan namanya. Sedang Wangkir dan Geneng
pun kemudian memanggil pemilik rumah itu dengan kependekan
namanya, paman Suri. Hubungan di antara mereka pun segera menjadi akrab. Geneng
yang kasar, harus mengekang segala tingkah lakunya sesuai dengan
petunjuk Wangkir yang ternyata lebih mampu mengendalikan
dirinya. Bahkan Geneng tidak lagi dapat bermalas-malas seperti
yang biasa dilakukannya. Setiap saat Wangkir telah mendesaknya
1206 untuk berbuat sesuatu bagi Suri. Memotong kayu, mengambil air
dan kerja yang lain. Dalam pada itu, ketika hidup Wangkir dan Geneng sudah menjadi
semakin luluh di dalam keluarga itu, berita tentang perampokan
yang telah dilakukannya sampai juga ketelinga petugas sandi
Singasari. Meskipun pemilik uang yang diambil oleh Wangkir dan
Geneng itu tidak merasa perlu untuk melaporkan kehilangan yang
baginya tidak begitu banyak itu, namun ceritera dari mulut kemulut,
baik yang dikatakan oleh anak-anaknya, maupun dalam suatu saat
pemilik itu sendiri terlupa dan terloncat ceritera tentang kedua
orang yang mendatanginya itu, maka akhirnya ceritera itu pun
banyak menarik perhatian petugas-petugas sandi yang
mendengarnya. Tetapi petugas-petugas sandi itu tidak segera mengambil sikap.
Mereka masih berpura-pura tidak mengerti, bahwa hal itu telah
terjadi. Namun laporan tentang hal itu, telah mereka sampaikan
kepada atasan mereka. "Peristiwa itu memang sangat menarik perhatian." berkata
Senapati yang mendapat laporan langsung dari petugas-petugas
sandi. Dalam persoalan yang aneh itu, beberapa orang Senapati
akhirnya mengambil keputusan untuk mengadakan beberapa
penyelidikan. Mereka masih membatasi diri pada lingkungan
petugas-petugas sandi. Hanya satu dua orang Senapati di luar
lingkungan mereka yang mendengar peristiwa yang aneh itu.
Lembu Ampal yang kebetulan mendengar dari seorang Senapati
bawahannya, ternyata tertarik juga akan peristiwa yang jarang
sekali terjadi itu. "Aku tidak mengerti, apakah tujuan perampokan itu." berkata
Lembu Ampal pada suatu saat, ketika ia bertemu dengan Mahisa
Agni. 1207 "Mungkin kedua orang itu benar dua orang yang tidak berniat
buruk. Mungkin mereka adalah perantau yang kehabisan bekal di
jalan." "Seandainya keduanya adalah perantau, maka mereka adalah
perantau yang pilih tanding. Pemilik rumah itu sama sekali tidak
dapat berbuat apa-apa. Kedua orang itu memiliki ilmu yang tinggi."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Apalagi ketika Lembu
Ampal menceriterakan bagaimana salah seorang dari mereka
bersikap kasar dan mengancam dengan tata gerak yang
mengerikan. "Yang seorang." berkata Lembu Ampal, "Telah mengancam akan
membunuh penghuni rumah itu dengan kulit terkelupas seperti
pisang." Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Keterangan itu sangat
menarik hatinya. Tetapi untuk mesentara ia tidak memberikan
tanggapan apapun. Namun demikian ia bergumam, "Aku ingin
bertemu dengan pemilik rumah itu."
"Kita akan kesana." berkata Lembu Ampal.
"Kita memberitahukannya kepada pimpinan petugas sandi agar
tidak terjadi kesimpang siuran."
"Baiklah. Aku akan segera menghubunginya."
Demikianlah Lembu Ampal pun kemudian atas persetujuan
pimpinan petugas sandi, telah pergi bersama Mahisa Agni ke rumah
orang yang telah didatangi oleh Wangkir dan Geneng. Pimpinan
petugas sandi itu sama sekali tidak dapat menolak meskipun ia
masih ingin membatasi penyelidikan persoalan itu, karena Mahisa
Agni adalah orang yang sangat di segani oleh siapapun di Singasari.
Kedatangan Mahisa Agni sama sekali tidak menarik perhatian
siapapun juga, karena ia datang hanya berdua saja dengan Lembu
Ampal dan seorang pengawal sebagai penunjuk jalan.
1208 Tidak seorang pun yang mengira bahwa seorang yang memiliki
pengaruh dan wibawa sebesar Mahisa Agni itulah yang datang ke
rumah orang kaya itu, sehingga, karena itu tidak seorang pun yang


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghiraukannya. Tetapi bagi pemilik rumah itu, kedatangan ketiga orang tamunya
benar-benar telah mengejutkannya. Ia pun sama sekali tidak
menduga, bahwa tiba-tiba saja tiga orang tamu dari lingkungan
istana Singasari telah datang kepadanya.
Dengan tergopoh-gopoh ia mempersilahkan tamu-tamunya naik
ke pendapa. Meskipun semula ia tidak begitu mengenal mereka,
tetapi lambat laun ia dapat mengetahui bahwa yang datang adalah
orang yang pernah dilihatnya sebagai salah seorang dari pimpinan
tertinggi prajurit Singasari.
"Kedatangan tuan-tuan sangat mengejutkan hati." berkata
pemilik rumah itu. Mahisa Agni tersenyum. Katanya, "Memang mungkin aku sangat
mengejutkan, karena aku tidak memberitahukan kedatanganku lebih
dahulu. Tetapi sebenarnya aku tidak mempunyai kepentingan apaapa.
Aku hanya ingin melihat apakah yang pernah aku dengar
tentang peristiwa yang terjadi di rumah ini benar seperti ceritera
itu." Orang itu termangu-mangu sejenak. Lalu iapun bertanya dengan
berdebar-debar, "Darimanakah tuan mengetahui bahwa baru saja
terjadi sesuatu di rumah ini?"
Mahisa Agni memandang orang itu sambil tertawa kecil. Katanya,
"Mungkin aku mendengar ceritera yang salah. Karena itu, sebaiknya
kau menceriterakan apa yang sebenarnya telah terjadi."
Penghuni rumah itu menjadi semakin bimbang. Tetapi Mahisa
Agni mendesaknya, "Katakan, apa yang kau alami pada malam itu
selengkapnya. Ketika dua orang telah datang kepadamu dan
merampas uangmu. Aku ingin mendengar langsung dari mulutmu."
1209 Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun
segera berceritera tentang peristiwa yang telah dialaminya itu
selengkap-lengkapnya seperti yang diminta oleh Mahisa Agni. Tidak
ada yang dilampauinya dan tidak ada yang ditambahkannya.
Mahisa Agni, Lembu Ampal dan pengawal yang menunjukkan
tempat itu pun mendengarkannya dengan penuh perhatian.
Agaknya peristiwa itu memang peristiwa yang aneh bagi Singasari.
Dalam suasana yang tenang dan damai, tiba-tiba saja telah terjadi
perampokan yang mengandung rahasia.
"Beberapa saat yang lalu, kedua anak Mahendra diserang oleh
tiga orang tanpa sebab." berkata Mahisa Agni di dalam hatinya, "Kini
terjadi perampokan yang aneh. Apalagi menilik sifat-sifat kedua
orang perampok yang sangat berbeda itu.
Tetapi Mahisa Agni tidak mengucapkannya. Ia masih akan
memikirkannya dan mengurai kemungkinan-kemungkinan yang
telah terjadi itu. Yang diperlukannya sekarang adalah keterangan
selengkap-lengkapnya mengenai kedua orang yang telah datang ke
rumah itu. "Apakah kau tidak melihat ciri-ciri yang lain?" bertanya Mahisa
Agni. "Tidak tuan. Kedua orang itu menutup wajahnya dengan ikat
kepalanya." "Maksudku tentang tingkah laku mereka."
Pemilik rumah itu termangu-mangu sejenak. Namun katanya
kemudian, "Tuan. Agaknya kedua orang yang datang itu memang
berbeda sikap dan pandangannya. Ketika mereka melihat peti
simpananku, agaknya yang seorang berpendapat lain."
"Maksudmu?" "Aku tidak mendengar, jelas pembicaraan mereka, karena
mereka hanya sekedar saling berbisik. Tetapi agaknya yang seorang
mengharap lebih dari yang diambil oleh kawannya."
1210 "Siapakah di antara keduanya yang nampaknya lebih berkuasa?"
"Yang baik tuan. Orang yang baik dan lebih sabar itulah agaknya
yang lebih berkuasa di antara mereka berdua."
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Ia masih belum sempat
membuat gambaran tentang kedua orang itu. Tetapi ia sudah
mengumpulkan bahannya. "Kenapa kau tidak segera melaporkan peristiwa itu?" tiba-tiba
saja Mahisa Agni bertanya.
Pemilik rumah itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian
agak ragu, "Tuan. Aku tidak ingin hal ini menjadi berkepanjangan.
Aku sudah berterimakasih bahwa tidak semua kekayaanku
dibawanya, dan bahkan badanku disakiti. Karena itu aku
menganggap bahwa persoalannya sudah selesai. Aku hanya
kehilangan sebagian kecil dari simpananku, sedang aku sama sekali
tidak mengalami apapun juga bersama seluruh keluargaku."
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Lalu, "Dan kau tidak berniat
untuk menyingkirkan kekayaanmu itu?"
"Kenapa tuan" Jika mereka ingin mengambilnya, maka tentu
sudah dilakukannya."
Mahisa Agni masih mengangguk-angguk. Agaknya pendapat
orang itu benar. Jika mereka ingin mengambilnya, maka barangbarang
berharga itu tentu sudah dibawanya.
Namun Mahisa Agni tidak membatasi tanggapannya pada
pendapat yang demikian. Ia masih berusaha untuk mencari
kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi dibalik peristiwa yang
nampaknya tidak menarik perhatian itu. Apalagi s ikap pemilik rumah
itu agaknya wajar sekali, sebagai seseorang yang tidak ingin
menimbulkan keributan. Tetapi Mahisa Agni sama sekali tidak mengatakannya kepada
siapapun juga. Ia masih memikirkannya dan mencoba
memecahkannya. 1211 Dari pemilik rumah itu ia mendapatkan semua keterangan yang
diperlukannya. Sifat dan tingkah laku kedua orang itu, ciri-ciri yang
nampak, dan tanggapan pemilik rumah itu sendiri terhadap
keduanya. Setelah semuanya cukup, maka Mahisa Agni, Lembu Ampal dan
pengawalnya pun segera meninggalkan rumah itu. Di sepanjang
jalan, mereka hampir tidak berbicara sama sekali. Mereka ingin
mendapatkan jawaban atas teka teki yang baru saja disaksikannya
dan didengarnya itu. Demikianlah, ketika Mahisa Agni sudah berada di bangsalnya,
maka ia masih saja tetap dicengkam oleh keadaan yang baru saja
diamatinya. Nampaknya memang wajar sekali. Tidak ada yang
pantas diragukan. Tetapi kenapa kedua orang itu tidak membawa perhiasan yang
cukup mahal harganya" Apakah benar, bahwa mereka sebenarnya
adalah orang yang baik, yang sebenarnya tidak akan pernah
melakukan kejahatan serupa itu jika bukan karena terpaksa sekali.
Meskipun demikian, mereka masih tetap pada pendirianya, sehingga
yang diambilnya hanyalah sekedar yang diperlukan saja.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ada sesuatu yang tidak
dapat dimengertinya. Seseorang telah memasuki rumah dengan
paksa, dengan sikap tenang dan bahkan sama sekali tidak
menunjukkan kecemasan telah merampas sejumlah uang.
"Jika mereka orang baik dan melakukannya dengan terpaksa
maka mereka tidak akan dapat berbuat setenang yang dikatakan
oleh pemilik rumah itu." berkata Mahisa Agni di dalam hatinya.
Kemudian, "Dan jika keduanya berbuat dengan jujur, maka sikap
dan perbuatan mereka yang satu dengan yang lain tidak akan
berbeda terlampau jauh seperti yang dikatakan oleh pemilik uang
yang dirampasnya itu."
Mahisa Agni menjadi ragu-ragu. Salah seorang dari kedua orang
itu atau kedua-duanya tentu telah bertingkah laku tidak seperti
watak dan sifatnya yang sebenarnya. Atau seandainya keduanya
1212 memang berbeda watak, maka dalam keadaan yang gawat, antara
keinginan untuk merampas semua milik orang itu, dan yang lain
tidak, tentu akan timbul persoalan yang tidak mudah diselesaikan,
dalam waktu yang singkat, karena persoalannya tentu menyangkut
watak sifat. Tetapi Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam ketika ia
menyadari bahwa memang mungkin sekali hal itu disebabkan
karena keduanya berbeda pendirian tetapi terikat pada satu
perguruan. Mahisa Agni menggelengkan kepalanya. Bahkan kemudian ia
melangkah hilir mudik didalam biliknya.
Tiba-tiba saja teringat olehnya ceritera Mahisa Bungalan tentang
iblis di padukuhan yang disebutnya daerah bayangan hantu. Di
daerah bayangan hantu itupun pernah terjadi, seseorang bertempur
melawan iblis yang mengerikan. Ketika ia terbunuh maka kulitnya
terkelupas seperti kulit pisang.
"Malahan, Mahisa Bungalan telah terlibat pula dalam perkelahian
itu." desis Mahisa Agni.
Ingatan itu membuat Mahisa Agni menjadi berdebar-debar.
Apakah memang ada hubungannya antara keduanya. Orang yang
merampok dengan cara yang aneh itu, dengan iblis yang ada di
daerah bayangan hantu itu.
Untuk menyesuaikan pendapatnya, maka Mahisa Agni pun segera
memanggil Mahisa Bungalan. Dengan cermat Mahisa Agni
menceriterakan apa yang baru saja disaksikan dan didengarnya
tentang dua orang perampok yang aneh. Kemudian di suruhnya
Mahisa Bungalan mengingat kembali apa yang pernah disaksikannya
tentang ilmu hitam yang mengerikan itu.
"Korban mereka nampaknya memang bagaikan terkelupas.
Demikian banyaknya luka di tubuh mereka, sehingga mereka
seolah-olah telah tidak berkulit lagi."
1213 "Mengerikan sekali." sahut Mahisa Agni, "Dan orang yang datang
ke rumah seseorang untuk merampok uang itu juga menyebutnyebut
tentang pembunuhan dengan akibat yang sangat keji itu.
Orang yang meskipun tidak jelas, namun nampaknya ingin
merampas bukan saja uang, tetapi juga semua perhiasan. Namun
telah dicegah oleh kawannya."
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Apakah
mungkin memang hubungan itu ada. Mungkin satu dua orang dari
perguruan itu memang mencari aku, karena aku mengatakan
kepada orang-orang di daerah bayangan hantu, jika ada orang yang
mencari pembunuh-pembunuh iblis itu, maka pembunuhnya adalah
Mahisa Bungalan, anak Mahendra."
Mahisa Agni menarik nafas. Namun dengan tergesa-gesa Mahisa
Bungalan menyambung, "Bukan maksudku untuk menyombongkan
diri. Tetapi aku sekedar ingin menarik perhatian agar dendam
saudara-saudara seperguruan ketiga orang yang terbunuh itu tidak
tertuju kepada para bebahu pedukuhan kecil itu."
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Lalu, "Jadi memang ada
kemungkinan bahwa satu dua orang dari antara mereka ada di kota
ini. Dan adalah tidak mustahil bahwa mereka memang memerlukan
uang untuk membeayai hidup mereka di dalam kota yang asing bagi
mereka ini." Mahisa Bungalan termenung. Ia mencoba membayangkan apa
yang sudah terjadi di padukuhan kecil yang semula disebut daerah
bayangan hantu itu. "Orang yang terbunuh itu memang seperti sebuah pisang yang
terkelupas." katanya di dalam hati, sehingga dengan demikian,
maka dugaannya pun menjadi semakin keras, bahwa kedua
perampok itu memang saudara seperguruan dari ketiga iblis yang
telah terbunuh itu. "Paman." berkata Mahisa Bungalan kemudian, "Seandainya
kedua orang itu benar-benar saudara seperguruan dari ketiga orang
1214 yang terbunuh itu, apakah kira-kira yang akan mereka lakukan
disini?" "Pertama-tama mencari seorang anak muda yang bernama
Mahisa Bungalan." berkata Mahisa Agni.
Mahisa Bungalan tersenyum. Ia pun menyadari bahwa dendam
saudara-saudara seperguruan iblis-iblis itu tentu tertuju kepadanya.
Namun kemudian ia masih bertanya, "Jika mereka pertama-tama
mencari aku, lalu apakah yang akan mereka lakukan kemudian?"
"Mencari Mahendra dan nama-nama lain yang kau sebutkan."
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Lalu, "Apakah hanya itu
paman?" "Apa lagi menurut dugaanmu?"
Mahisa Bungalan tidak segera menjawab. Sejenak ia merenung.
Terasa sesuatu menggelepar di hatinya. Seolah-olah ia memang
suatu kepastian telah diyakininya, bahwa kedatangan mereka tentu
bukan sekedar untuk mencarinya.
"Mahisa Bungalan." berkata Mahisa Agni kemudian, "Agaknya
kau mempunyai dugaan lain. Menilik sikapmu, aku dapat meraba
bahwa dugaanmu sejalan dengan dugaanku. Aku menganggap
bahwa persoalannya tidak berhenti pada Mahisa Bungalan. Tetapi
perguruan yang kini menghidupkan kembali ilmu hitam itu tentu
mempunyai tujuan yang lain selain melepaskan dendam sematamata."
"Ya paman. Ada dugaan yang membersit di sudut hati yang
paling dalam. Tetapi itu hanyalah sekedar firasat yang tidak aku
ketahui alasannya." "Kau benar." sahut Mahisa Agni, "Tetapi mungkin ada persoalan
yang sedikit banyak dapat kita telusuri kemudian."
"Apa yang dapat kita lakukan?"
"Mahisa Bungalan." berkata Mahisa Agni, "Kita kini dihadapkan
pada suatu teka-teki yang sulit untuk ditebak. Tetapi kau harus
1215 tetap berhati-hati. Jika benar ada dua pasang mata yang selalu
mengintaimu, maka kau tidak akan terjebak karenanya."
"Ya paman. Aku akan berhati-hati." sahut Mahisa Bungalan, "Aku
masih tetap ingat, bagaimana Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
tiba-tiba saja diserang oleh orang yang tidak dikenal."
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Sebaiknya kau
pun melihat-lihat perkembangan keadaan di dalam kota. Meskipun
seorang dari kedua orang aneh itu ternyata dapat menahan dirinya
dalam tingkah laku dan sikapnya, namun pada suatu saat ia akan
kehilangan pengamatan diri. Karena itu, jika terjadi sesuatu yang
agak lain dari kebiasaan di kota ini, kau wajib mencurigainya."
Mahisa Bungalan mengangguk.
"Untuk itu Mahisa Bungalan, kau dapat melakukannya dengan
cara lain." "Maksud paman?"
"Kau dapat setiap hari mengelilingi kota tanpa diketahui oleh
banyak orang, karena kau memang belum banyak dikenal oleh
orang-orang di kota ini. Hanya beberapa orang prajurit, Senapati
dan kawan-kawan terdekatmu sajalah yang mengenalmu."
"Apakah yang harus aku lakukan?"
"Tidak banyak. Hanya berjalan-jalan setiap hari dan melihat-lihat
jika ada orang yang berkelakukan aneh. Mungkin dapat dilihat dari
hubungan antara dua orang yang berjalan atau berbuat sesuatu
ber-sama-sama. Yang seorang agaknya sulit untuk mengendalikan
diri, sedang yang lain nampaknya terlampau sabar dan dapat
mengendalikan bukan saja dirinya, tetapi juga kawannya yang
seorang."

Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahisa Bungalan mengerti maksud Mahisa Agni. Lalu katanya,
"Aku mengerti paman. Aku harus membuat diriku agak berbeda
dengan diriku sekarang ini supaya tidak seorang pun yang
memperhatikan aku jika aku berjalan-jalan mengelilingi kota setiap
hari." 1216 "Ya." "Apakah aku harus menjadi pedagang atau bahkan pengemis?"
Mahisa Agni tertawa. Katanya, "Itu tidak perlu sama sekali. Kau
tetap seperti itu. Tetapi kau harus berpakaian seperti kebanyakan
anak-anak muda yang tidak berketentuan. Berjalan sajalah kesana
kemari. Melihat-lihat, dan terutama mengawasi kemungkinan
tentang kedua orang itu. Tidak banyak orang yang tahu, siapakah
kau sebenarnya." "Ya, ya. Aku mengerti paman. Besok aku akan mulai. Aku akan
mengunjungi tempat-tempat yang ramai. Mengamat-amati setiap
orang yang mempunyai sifat dan tabiat yang aneh."
"Kau akan dapat menjadi petugas sandi." Mahisa Agni berhenti
sejenak, lalu, "Tetapi tidak mustahil bahwa kau justru diawasi oleh
petugas-petugas sandi."
"Apakah kita tidak bekerja bersama dengan mereka?"
"Belum waktunya. Nanti pada saatnya kita akan
memberitahukan kepada mereka, dan bahkan mungkin memerlukan
pertolongan mereka."
"Tetapi jika aku setiap hari keluar dan kembali ke istana, apakah
itu tidak akan menarik perhatian?"
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Pertanyaan itu memang perlu
dipertimbangkan. Sejenak Mahisa Agni menimbang-nimbang. Baru kemudian ia
berkata, "Mahisa Bungalan. Sebaiknya kau memang tidak tinggal
bersamaku di bangsal ini. Untuk kepentingan yang tidak kalah
pentingnya ini, kau akan tinggal di luar istana."
"Tetapi bagaimana dengan latihan-latihanku bersama tuanku
Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka yang setiap malam kita
lakukan?" "Sebenarnya latihan-latihan itu sudah cukup memadai. Kalian
sudah sampai pada tingkatan puncak dari ilmu dasar yang kalian
1217 miliki. Jika kalian masih harus berlatih terus, maka itu berarti kalian
harus memperkaya pengalaman dan mematangkan ilmu itu sendiri,
karena di dalam latihan-latihan yang tidak dilakukan seorang diri,
akan dapat diketemukan persoalan-persoalan yang tiba-tiba saja
kalian hadapi di dalam latihan-latihan itu." Mahisa Agni berhenti
sejenak, lalu, "Karena itu, maka jumlah latihan-latihan itu memang
dapat dikurangi. Aku akan menyampaikan persoalan yang
sebenarnya kepada tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa
Cempaka, bahwa ada persoalan yang cukup penting yang harus kau
tangani." "Baiklah paman. Jika demikian aku akan melakukannya. Tetapi
dimana aku harus tinggal di luar halaman istana ini?"
"Jangan cemas. Akulah yang akan mencarikan tempat buatmu."
"Mungkin dengan demikian, aku akan benar-benar dapat
mendekati persoalan yang sebenarnya."
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Ia memang sudah menaruh
kepercayaan kepada Mahisa Bungalan, bahwa anak muda ini akan
dapat melakukan tugasnya sebaik-baiknya menghadapi iblis-iblis itu,
jika dugaanya benar. Demikianlah, maka Mahisa Agni pun kemudian menyampaikan
persoalan itu kepada tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka,
tanpa ada orang lain yang mengetahuinya.
"Tuanku, hamba masih menganggap persoalan ini belum
saatnya dibicarakan dengan terbuka." berkata Mahisa Agni.
"Kenapa paman" Bukankah persoalan ini akan menyangkut
banyak segi dalam pemerintahan Singasari?"
"Tuanku. Semuanya masih belum jelas dan pasti. Jika dugaan
kami tidak benar, maka kegelisahan yang tentu akan timbul adalah
sia-sia. Sedangkan jika dugaan itu benar, maka orang yang sedang
kami cari tentu sudah menyingkir dari tempatnya bersembunyi."
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka mengangguk-angguk. Dengan
nada yang datar Ranggawuni berkata, "Kau benar paman. Baiklah.
1218 Aku tidak berkeberatan jika Mahisa Bungalan berada di luar halaman
istana. Tetapi setiap kali ia masih tetap aku perlukan. Mungkin
sepekan dua kali atau saat-saat tertentu yang lebih baik menurut
pertimbangan paman."
"Hamba akan selalu berada di antara tuanku dan anak muda itu,
karena hamba tidak akan dapat melepaskannya bekerja sendiri.
Apalagi jika ternyata bahwa yang dihadapinya adalah benar-benar
orang-orang dari perguruan hitam itu tuanku."
"Mahisa Bungalan memang harus selalu dilindungi. Jika benar
orang-orang berilmu hitam itu mendendamnya, maka ia adalah
sasaran utama. Dan barangkali paman lebih mengetahuinya,
bagaimanakah kemampuannya dibandingkan dengan orang-orang
berilmu hitam yang tentu tidak hanya seorang diri itu. Bahkan
mungkin lebih dari dua orang itu. Apalagi apabila kita
memperhitungkan langsung kemungkinan yang ada di sarang
mereka, yang barangkali seperti sarang semut ngangrang."
"Jika tuanku mengijinkan, biarlah anak muda itu pada saatnya
mohon diri kepada tuanku, untuk tinggal di luar halaman istana ini.
Sudah barang tentu ia akan mempergunakan sebutan dan nama
yang lain bagi pengamanannya. Karena Mahisa Bungalan lah
sasaran yang paling utama bagi orang-orang berilmu hitam itu."
Demikianlah akhirnya Mahisa Agni meninggalkan tuanku
Ranggawuni dan tuanku Mahisa Campaka untuk memanggil Mahisa
Bungalan. Meskipun agak berat, maka Ranggawuni dan Mahisa
Campaka pun kemudian melepaskannya, seperti seorang yang
melepaskan kawan bermain yang paling akrab.
Tetapi tugas itu memang memerlukan perpisahan itu justru bagi
keselamatan Mahisa Bungalan dan berhasilnya tugas yang akan
dilakukannya. Mahisa Agni tidak terlampau sulit mencari tempat tinggal bagi
anak muda itu. Meskipun demikian, kepada pemilik rumah itu.
Mahisa Agni tidak menyebutnya bernama Mahisa Bungalan.
1219 "Ia kemanakanku." berkata Mahisa Agni kepada sahabatnya,
seorang saudagar ternak yang berpengaruh di Singasari, "Namanya
Pegatmega. Ia ingin tinggal dikota ini untuk satu dua pekan, atau
mungkin lebih. Tetapi ia tidak pantas tinggal bersamaku di istana,
karena ia masih belum paham mengenai tata kehidupan istana.
Kelak, jika ia sudah mengenal unggah-ungguh dengan baik, dan ia
masih belum ingin kembali kepadukuhannya, biarlah ia bersamaku
tinggal di istana." Sahabat Mahisa Agni sama sekali tidak berkeberatan. Dengan
senang hati ia menerima Pegatmega tinggal di rumahnya. Apalagi
nampaknya anak muda itu adalah anak muda yang baik dan tidak
banyak tingkah. "Biarlah ia disini." berkata saudagar ternak itu, "Aku akan
memeliharanya seperti anakku sendiri, karena anakku sudah
berumah tangga sendiri dan meninggalkan aku berdua saja dengan
isteri dan pembantu-pembantu di rumah ini."
"Terima kasih. Jika anak itu nakal, tariklah kupingnya, la masih
perlu banyak diajari unggah-ungguh dan sopan santun."
Juga kepada beberapa orang Senapati yang mengenal Mahisa
Bungalan, Mahisa Agni memberitahukan, bahwa ia dengan sengaja
menempatkan Mahisa Bungalan di rumah seseorang agar ia belajar
hidup sebagai seorang anak dewasa yang bertanggung jawab atas
dirinya sendiri. Meskipun Mahisa Agni tidak berterus terang, apakah sebenarnya
yang sedang dilakukan oleh Mahisa Bungalan, namun ia
memberitahukan kepada mereka, bahwa nama anak itu telah
digantinya menjadi Pegatmega.
Untuk beberapa lama Pegatmega berada di rumah sahabat
Mahisa Agni, seorang saudagar yang kaya. Ternyata bahwa
kehadiran Mahisa Bungalan dapat memberikan kesegaran baru di
rumah itu, karena saudagar yang tinggal berdua itu serasa
menemukan anaknya yang paling bungsu. Apalagi Mahisa Bungalan
yang kemudian bernama Pegatmega itu segera dapat menyesuaikan
1220 diri. Dengan rajinnya ia mengerjakan pekerjaan apapun yang pantas
dikerjakannya di rumah itu. Manimba air untuk mengisi jembangan
di pakiwan, mengisi gentong di dapur dan bahkan ikut
membersihkan halaman rumah itu yang cukup luas.
"O, anak ini." berkata isteri saudagar ternak itu, "Apakah ia tidak
merasa lelah dengan kerjanya yang keras itu sehari-hari?"
"Memang anak yang baik." berkata suaminya, "Adalah
kebiasaannya di padesan melakukan pekerjaan itu semua."
"Tetapi tidak seperti yang dikatakan oleh kakang Mahisa Agni.
Ternyata anak itu sudah mengenal unggah ungguli dengan baik.
Bahasanya utuh dan sikapnya sopan. Apalagi sebenarnya yang
kurang padanya." "Biar sajalah. Biar anak itu tetap tinggal disini."
Demikianlah Mahisa Bungalan benar-benar dianggap seperti anak
saudagar itu sendiri. Bahkan kadang-kadang saudagar itu merasa
iri, kenapa anaknya sendiri, pada waktu masih muda seperti
Pegatmega itu, sama sekali tidak mau bekerja seperti itu. Karena
itulah maka ketika berumah tangga sendiri, pada mulanya banyak
menjumpai kesulitan, sehingga ibunya harus berbulan-bulan tinggal
bersama untuk mengajarinya.
Namun sementara itu, Mahisa Bungalan tidak melupakan tugas.
Setiap hari ia menyisihkan waktu untuk berjalan-jalan. Menyelusuri
tempat-tempat yang ramai. Mengamati orang yang nampaknya agak
asing. Tetapi Mahisa Bungalan sama sekali tidak menemukan tandatanda
tentang orang yang dicarinya itu. Dan iapun menyadari
bahwa tentu sangat sulit untuk menemukan dua orang yang belum
dikenalnya di antara penduduk kota sebesar Singasari.
Meskipun demikian Mahisa Bungalan sama sekali tidak berputus
asa. Ia melakukan tugasnya setiap hari. Betapapun perasaan jemu
mulai menggelitik hatinya. Namun ia masih belum mau menyerah.
1221 Tetapi ternyata pada suatu hari ia sudah dikejutkan oleh sebuah
berita yang dibawa oleh saudagar ternak itu. Dengan gelisah,
saudagar itu memanggilnya sambil menahan gejolak dadanya.
"Pegatmega." Desisnya, "Kemarilah. Kau adalah anak muda
yang sudah aku anggap sebagai anakku sendiri."
Mahisa Bungalan menjadi bimbang.
"Kemarilah. Ada berita penting yang ingin aku beritahukan
kepadamu. Tetapi berita ini sama sekali tidak aku beritahukan
kepada bibimu. Biarlah bibimu tidak mengetahuinya, karena akan
dapat membuatnya selalu gelisah dan ketakutan."
"Berita apakah itu paman?"
"Pegatmega." Bisiknya, "Mendekatlah, agar tidak ada orang lain
yang mendengarnya." Mahisa Bungalan bergeser mendekat.
"Dengarlah." berkata saudagar itu, "Baru saja aku bertemu
dengan seorang kawanku, juga seorang saudagar ternak. Ia
menceriterakan bahwa rumahnya telah didatangi oleh dua orang
yang tidak dikenal."
"Dua orang." Mahisa Bungalan menjadi semakin berdebar-debar.
"Ya, dua orang. Mereka minta kepada sahabatku, itu sejumlah
uang. Namun ternyata bahwa keduanya bersikap aneh. Ketika
dengan ketakutan sahabatku menunjukkan peti uang, maka tidak
semua uangnya diambil oleh kedua orang itu. Bahkan mereka sama
sekali tidak menanyakan kekayaan sahabatku itu yang lain meskipun
sahabatku itu mempunyai perhiasan seperti yang terdiri dari intan
berlian." Mahisa Bungalan menjadi tegang sejenak. Tetapi iapun segera
berusaha menghapus semua kesan dari wajahnya.
"Pegatmega." berkata saudagar itu. "Peristiwa seperti ini pernah
pula terjadi beberapa waktu yang lalu. Sampai sekarang tidak
seorang pun yang dapat memecahkan persoalan itu. Agaknya orang
1222 yang kehilangan itu tidak melaporkannya kepada yang berwajib,
sehingga dengan demikian tidak pernah dilakukan pengusutan
apapun juga. Sahabatku itu pun agaknya condong untuk tidak
melaporkan peristiwa itu, dan menganggapnya sudah selesai."
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk.
"Yang aku cemaskan Pegatmega, bahwa pada suatu saat kedua
orang itu akan sampai ke rumah ini. Mungkin aku memang
menyimpan sejumlah uang dan perhiasan. Kedua orang yang
pernah mengalami masih beruntung bahwa kedua orang itu tidak
mengambil perhiasan dan apalagi nyawa seseorang. Tetapi kita
tidak tahu apa yang dapat dilakukannya kemudian."
Mahisa Bungalan mencoba menahan gejolak di dalam dadanya.
Ia langsung menduga, bahwa kedua orang itu tentu kedua orang
yang sedang dicarinya. Tetapi ia masih tetap menahan diri untuk tidak mengatakan apa
yang sebenarnya diketahuinya. Bahkan kemudian ia bertanya,
"Apakah paman mengetahui berita itu langsung dari yang
mengalaminya?" "Ya, ya. Sahabatku sendiri. Seperti yang sudah aku katakan, ia
juga seorang saudagar ternak."
"Apakah orang itu dapat mengatakan paman, bagaimanakah
ujud dan ciri-ciri kedua orang itu. Jika sekiranya sahabat paman itu
dapat mengenalnya, maka ada kemungkinan prajurit Singasari
dapat menemukan mereka."
Tetapi saudagar itu menggeleng. Jawabnya, "Tidak. Kedua orang
itu menutup wajah mereka dengan ikat kepala." ia berhenti sejenak,
lalu, "Tetapi yang pernah terjadi sebelumnya pun serupa pula. Dua
orang yang mengambil sebagian uang itu pun menutup wajah
mereka dengan ikat kepala."
"Jika demikian, ada persamaannya bukan paman?"
"Aku menduga, bahwa dua orang yang melakukannya lebih
dahulu adalah sama orangnya. Jika tidak, maka mereka tentu terdiri
1223 dari satu kelompok yang mempunyai perhitungan dan pertimbangan
yang serupa, karena hal seperti itu jarang sekali, dan hampir tidak
mungkin terjadi. Pada umumnya, mereka akan menyapu bersih
semua kekayaan yang dapat mereka bawa, Termasuk perhiasan.
Sedangkan yang telah terjadi, uang pun tidak mereka bawa
semuanya." "Memang aneh paman."
"Tetapi mungkin yang terjadi kelak akan berbeda. Itulah
sebabnya aku menjadi gelisah."
"Jadi, apakah rencana paman" Apakah akan menyembunyikan
semua uang dan perhiasan?"
"O, itu justru berbahaya. Mereka tentu tidak percaya bahwa aku
tidak memilikinya apabila pada suatu saat mereka akan datang
kemari. Dengan demikian akibatnya akan menjadi parah."
Pegatmega mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak mengemukakan


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pendapatnya. Ia berharap bahwa saudagar itu tidak akan berusaha
mencegah kemungkinan hadirnya kedua orang itu langsung ke
rumahnya, karena dengan demikian ia akan dapat berhadapan
dengan dua orang itu tanpa mencarinya kemana-mana.
Namun agaknya saudagar itu masih saja kebingungan dan tidak
melihat jalan keluar dari kesulitan itu.
"Pegatmega." katanya kemudian, "Aku tidak mengerti,
bagaimana sebaiknya yang harus aku lakukan. Apakah aku harus
membayar dua tiga orang yang dapat dipercaya untuk menjaga
rumah ini atau kau mempunyai pikiran yang lain" Tidak ada orang
yang dapat aku ajak berbicara kecuali kau sekarang ini. Aku tidak
mungkin membicarakannya dengan bibimu."
Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
iapun berkata, "Paman, sebaiknya paman membicarakannya saja
dengan paman Mahisa Agni. Mungkin paman Mahisa Agni dapat
memberikan petunjuk apakah yang sebaiknya paman lakukan."
1224 Saudagar itu mengerutkan keningnya. Lalu katanya, "Kau benar
Pegatmega. Hampir saja aku melupakannya. Pamanmu Mahisa Agni
adalah orang yang tidak ada duanya di Singasari. Kenapa baru
sekarang aku teringat kepadanya?"
"Paman Mahisa Agni tentu akan bersedia membantu."
"Tentu, tentu. Aku percaya bahwa pamanmu Mahisa Agni akan
dengan senang hati membantuku. Apalagi aku yang sudah
dikenalnya dengan baik, sedang orang yang sama sekali tidak
pernah dikenalnya pun akan dibantunya jika diperlukan."
"Jadi apakah paman akan menemui paman Mahisa Agni?"
"Ya. Aku akan pergi menemuinya."
Saudagar itu menjadi sangat berlega hati setelah ia menemukan
jalan yang paling baik untuk mengatasi kesulitannya. Karena itu,
maka ia pun segera bersiap untuk pergi ke istana menemui Mahisa
Agni. "Pamanmu orang baik. Ia tidak pernah menolak sahabatsahabatnya
yang datang kepadanya, saat apapun juga, asal ia tidak
sedang bertugas. Mudah-mudahan saat ini pamanmu baru tidak
sedang sibuk." berkata saudagar itu kemudian, namun, "Tetapi
jangan kau katakan kepada bibimu, apa yang kau ketahui."
"Baik paman. Dan aku juga tidak akan mengatakan bahwa
paman sedang pergi ke istana."
Saudagar itu pun kemudian dengan tergesa-gesa minta diri
kepada isterinya. Tetapi ia tidak berterus terang tentang apa yang
sedang membuatnya gelisah, agar isterinya tidak menjadi gelisah
pula. Dengan senang hati Mahisa Agnipun kemudian menerimanya
meskipun agak ragu-ragu dan berdebar-debar. Ia menyangka
bahwa sahabatnya itu akan membicarakan Mahisa Bungalan yang
ada di rumahnya. 1225 Tetapi ternyata pembicaraan saudagar itu tidak menyinggung
anak muda yang dititipkannya. Yang dikatakannya adalah ceritera
yang didengar oleh saudagar itu dari sahabatnya.
Mahisa Agni mendengarkan ceritera itu dengan saksama. Sejenak
terasa jantungnya berdebaran. Seperti saat Mahisa Bungalan
mendengar ceritera itu, maka Mahisa Agni pun segera
menghubungkannya dengan peristiwa yang sedang diamati oleh
Mahisa Bungalan itu. Apalagi ketika saudagar itu telah memberikan
ciri-ciri yang serupa pada dua orang yang telah merampok uang
dengan cara yang aneh itu.
"Aku sudah memberitahukannya pula kepada Pegatmega."
berkata saudagar itu kemudian, "Karena aku menjadi kebingungan,
maka anak itu menganjurkan aku untuk datang kemari."
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Baiklah. Aku
akan memikirkannya. Mungkin aku mempunyai cara yang baik untuk
mengatasinya." Saudagar itu mengangguk-angguk. Hatinya sudah mulai tenang
ketika Mahisa Agni menyatakan kesanggupannya untuk mencari
jalan keluar dari ketegangan yang dialaminya.
"Aku akan bertemu dengan Pegatmega." berkata Mahisa Agni.
"Silahkan. Tetapi aku harap, jangan memberitahukan kepada
isteriku. Aku sengaja tidak memberitahukan kepadanya agar ia tidak
menjadi tegang dan bingung." berkata saudagar itu.
"Baiklah. Aku harap bahwa aku masih sempat mengambil
tindakan sebelum kedua orang itu datang."
"Tetapi, tetapi jika nanti malam ia datang?"
"Tentu tidak nanti malam. Uang yang diambilnya dari sahabatmu
itu tentu belum habis."
Saudagar itu mengangguk-angguk. Tetapi katanya, "Siapa tahu
bahwa nasibku sangat buruk." ia berhenti sejenak, lalu, "Apakah
tidak ada tindakan sementara yang dapat diambil?"
1226 "Maksudmu?" "Pengamatan kota yang lebih mantap dari biasanya?"
"Prajurit Singasari tidak pernah mendengar dan mendapat
laporan apapun, sehingga mereka tidak merasa perlu untuk
mengambil tindakan serupa itu."
"Tetapi hal itu telah terjadi."
"Karena itu, sebaiknya mereka yang mengalaminya
melaporkannya, sehingga prajurit Singasari mengetahui apakah
yang telah terjadi sebenarnya. Dengan demikian maka mereka akan
dapat mengambil tindakan pengamanan yang tepat."
"Bukan aku yang pernah mengalami."
"Sudahlah. Jangan bingung. Aku yakin bahwa nanti malam
belum akan terjadi apapun juga. Bukan saja rumahmu, tetapi di
rumah yang lainpun tidak. Jarak waktu yang diambilnya tentu agak
panjang, jika mereka tidak ingin cepat terjebak."
"Tetapi jangan terlalu lama mengambil tindakan." minta
saudagar itu. "Aku berjanji." jawab Mahisa Agni, "Nanti aku akan menemui
Pegatmega menjelang senja, agar tidak banyak orang yang
mengetahuinya. Jika banyak orang yang melihat aku datang, tentu
akan sangat menarik perhatian."
"Tentu ada yang melihatnya."
"Mudahan tidak seorang pun yang menghiraukannya sehingga
tidak menimbulkan persoalan apapun juga, karena berita tentang
dua orang perampok itu tentu sudah didengar oleh beberapa orang
lain pula, yang akan mencari buhungan dengan kehadiranku di
rumahmu." Saudagar itu mengangguk-angguk. Desisnya, "Mudah-mudahan.
Apa lagi jika terdengar oleh kedua orang itu, mungkin justru
rumahku menjadi sasaran." lalu tiba-tiba saja ia berkata, "Kenapa
1227 bukan Pegatmega saja yang kau panggil datang kemari" Atau aku
akan mengantarkannya menghadapmu?"
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Jika Mahisa Bungalan di
bawanya masuk halaman, maka akan ada satu dua orang prajurit
atau Senapati akan lupa menyebut namanya, sehingga saudagar itu
akan mengetahui bahwa anak muda yang ada di rumahnya adalah
anak muda yang justru menjadi sasaran utama dari sekelompok
orang yang memiliki kekuatan hitam. Dengan demikian, maka ia
akan menjadi semakin ketakutan dan bahkan mungkin akan
mengusir Mahisa Bungalan dari rumahnya.
Karena itu, maka Mahisa Agnipnu berkata, "Biarlah aku saja yang
datang ke rumahmu. Pegatmega adalah anak yang tidak tahu
unggah-ungguh, sehingga jika ia masih ke istana mungkin akan
dapat menimbulkan persoalan baru baginya."
Saudagar itu tidak menjawab. Dan sebenarnyalah bahwa iapun
sama sekali tidak berkeberatan mendapat kunjungan Mahisa Agni.
Orang yang penting bagi Singasari.
Karena itulah maka saudagar itupun kemudian minta diri dan
menyiapkan kunjungan Mahisa Agni ke rumahnya.
Menjelang senja, seperti yang disanggupkan Mahisa Agni benarbenar
berkunjung ke rumahnya. Tidak lebih dari Mahisa Agni sendiri
dan hanya diiringi oleh seorang Senapati tanpa mempergunakan
tanda keprajuritan sama sekali.
"Benar-benar tidak ada seorang pun yang menghiraukan
kehadiran di rumah ini." berkata Mahisa Agni.
"Tentu." jawab saudagar itu, "Tidak seorang pun akan
menyangka bahwa Mahisa Agni, salah seorang pemimpin tertinggi
Singasari akan datang ke rumahku hanya berdua saja."
Mahisa Agni tersenyum Katanya, "Dimanakah Pegatmega?"
Saudagar itu pun kemudian memanggil Mahisa Bungalan untuk
menghadap pamannya yang telah datang ke rumah itu.
1228 Mahisa Agni tidak banyak berpesan. Ia hanya mengharap agar
Pegatmega tidak menjadi gelisah. Ia akan segera mencari jalan
keluar dari kesulitan yang mungkin timbul.
"Kau adalah anak laki-laki. Apapun yang akan terjadi, jangan
membuatmu menjadi mati membeku." bekata Mahisa Agni.
Tetapi ketika mereka bertiga saja dengan Senapati yang datang
bersama Mahisa Agni, selagi saudagar itu pergi kebelakang maka
Mahisa Agni berkata, "Aku akan minta pamanmu Witantra untuk
berada di tempat ini."
"Kenapa bukan ayah Mahendra saja paman?"
"Aku tidak sampai hati memisahkannya dengan Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat dalam keadaan seperti ini. Jika ada sekelompok orang
yang mencarimu di rumahmu karena petunjuk s iapapun juga, tanpa
ayahmu, maka adik-adikmu akan dapat menjadi korban."
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk.
"Aku memang mengharap bahwa kedua orang itu akan datang
kemari pada suatu saat."
"Dan paman Witantra akan tinggal disini?"
"Mudah-mudahan ia masih suka bermain-main. Ia akan menjadi
seorang upahan untuk berjaga-jaga di rumah ini."
Mahisa Bungalan tiba-tiba tersenyum. Ia membayangkan,
bagaimana mungkin Witantra akan berada di rumah itu pula sebagai
seorang upahan. Dan tiba-tiba saja ia bertanya, "Apakah tidak akan ada seorang
pun yang mengetahui, bahwa orang itu adalah Witantra yang
bergelar Panji Pati-Pati?"
Mahisa Agni menggeleng. Katanya, "Banyak orang yg pernah
mengenal Witantra. Tetapi dalam pakaian yang lain dengan seorang
yang menjual tenaganya untuk menjaga rumah ini."
Mahisa Bungalan justru tertawa, "Lucu sekali."
1229 "Dalam pakaian seorang yang diupah untuk bermain-main
dengan senjata, seperti layaknya orang-orang kasar yang
memamerkan kemampuannya dalam olah kanuragan, maka tidak
akan ada orang yang mengenalnya."
"Aku senang sekali paman. Aku mendapat kawan yang dapat
melindungi diriku." "Kau harus melindungi dirimu sendiri" Kau sudah berhasil
membunuh tiga di antara mereka, meskipun barangkali bukan
mereka yang sudah matang."
"Baiklah paman. Aku akan menempa diri semakin tekun agar
aku tidak mengecewakan lagi."
"Baiklah. Aku akan segera memanggil pamanmu Witantra."
Pembicaraan merekapun terputus ketika saudagar ternak itu
memasuki ruangan. Sejenak kemudian, ketika mereka mengulangi pembicaraan
mengenai kemungkinan yang dapat terjadi pada rumah itu, maka
Mahisa Agnipun berkata, "Aku mempunyai cara yang barangkali
dapat memberikan sedikit ketenangan kepadamu."
"Apakah yang harus aku lakukan?"
"Aku mempunyai seorang pengawal yang dapat dipercaya.
Tetapi karena umurnya ia sudah mengundurkan diri dari lingkungan
keprajuritan. Jika kau tidak berkeberatan, apakah kau bersedia
mengupah orang itu untuk menjagamu di sini?"
Saudagar itu mengerutkan keningnya. Katanya, "Apakah orang
itu mungkin akan bermanfaat bagi kami" Apalagi orang itu sudah
tua." "Ia mempunyai kelebihan dari prajurit-prajurit yang lain.
Barangkali aku dapat menghubunginya."
"Apakah kau percaya jika benar-benar terjadi, bahwa ada dua
orang datang ke rumah ini dan memaksa aku memberikan semua
milikku, ia akan dapat mengatasi kesulitan itu?"
1230 "Aku percaya. Aku mengenal kemampuan pengawalpengawalku."
"Baiklah. Ia akan melakukan tugasnya jika dua orang itu
memaksa aku menyerahkan semua milikku atau nyawaku. Jika ia
hanya minta sebagian dari uangku, aku akan memberikannya
dengan senang hati."
"Kau akan memberinya?"
"Ya. Tanpa banyak persoalan. Bukankah itu lebih baik dan aman
bagiku?" Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Terserahlah
kepadamu. Tetapi aku mempunyai pendirian lain. Orang itu
sebaiknya ditangkap."
"Kenapa?" "Ia akan melakukan hal yan serupa terus menerus."
"Terserahlah. Tetapi jangan pada saat orang-orang itu datang ke
rumahku." Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Baiklah.
Semuanya itu terserah kepada pembicaraanmu dengan orang
upahan yang akan ditempatkan di rumah ini."
Saudagar itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Kapan ia
akan datang?" "Besok atau lusa."
"Jangan terlalu lama. Mungkin nanti malam, mungkin besok
malam, orang itu dapat saja datang ke rumah ini."
Mahisa Agni menggeleng. Katanya, "Tidak dalam dua tiga hari ini.
Ia akan datang jika uang yang diambilnya dari kawanmu itu sudah
habis." Saudagar itu akhirnya menurut semua petunjuk Mahisa Agni.
Iapun dengan senang hati akan menerima seorang upahan di
rumahnya. Namun ia masih tetap menghendaki agar orang itu baru
1231 berbuat sesuatu jika orang-orang yang datang itu tidak hanya
sekedar minta sebagian uangnya saja.
Demikianlah, maka Mahisa Agni pun segera menghubungi
Witantra. Seorang penghubung telah datang ke rumah Witantra dan
mengharapnya datang ke istana.
"Apakah adi Mahisa Agni tidak berpesan apapun juga?"
"Tidak." jawab penghubung itu, "Aku hanya disuruh
menyerahkan rontal itu."
"Baiklah." jawab Witantra, "Aku akan segera datang."
Di hari berikutnya, Witantra telah benar-benar datang ke istana.
Dengan singkat Mahisa Agni menceriterakan apa yang sudah terjadi
di Kota Raja, dan sekaligus ia minta agar Witantra masih bersedia
untuk bermain-main seperti beberapa saat lampau.
"Tetapi lawan yang mungkin aku hadapi kali ini benar-benar


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbahaya." berkata Witantra, "Untunglah di rumah itu ada Mahisa
Bungalan." "Tentu tidak akan berbahaya bagimu." berkata Mahisa Agni.
Witantra tertawa. Katanya, "Jangan menganggap lawanmu
ringan. Itu adalah permulaan dari kelengahan."
"Ya, ya. Aku mengerti." jawab Mahisa Agni sambil tersenyum.
Namun tiba-tiba saja Witantra bertanya, "Berapa saudagar itu
akan membayar aku sehari semalam?"
Mahisa Agni tertawa. Jawabnya, "Berapa saja kau minta. Ia
adalah saudagar yang kaya raya."
Witantrapun tertawa pula.
Namun dalam pada itu, ternyata tawaran Mahisa Agni itupun
sangat menarik perhatiannya. Jika benar, orang-orang yang mereka
curigai itu datang dan berhasil ditangkapnya, maka mungkin akan
tersibak suatu kabut yang menyembunyikan sekelompok orangorang
yang sangat berbahaya bagi Singasari.
1232 Karena itulah maka dengan senang hati Witantra menerima tugas
yang ditawarkan kepadanya oleh Mahisa Agni untuk tinggal
beberapa lamanya pada keluarga saudagar yang kaya itu.
"Nanti menjelang senja kita datang ke rumahnya." berkata
Mahisa Agni. "Lalu, apakah yang harus aku lakukan" Apakah aku harus
menyebut diriku dengan nama yang lain?" bertanya Witantra.
"Tentu. Kau harus mempergunakan nama yang lain. Bukan
Witantra dan sudah tentu bukan Panji Pati-Pati."
"Nah, siapakah yang baik?"
Mahisa Agni merenung sejenak, lalu, "Sempulur. Namamu
Sempulur." "Baiklah. Aku akan menyebut diriku Sempulur."
"Jangan lupa. Mahisa Bungalan mempunyai namanya yang lain
pula. Pegatmega." "Ya. Pegatmega. Aku akan segera mengingatnya."
Demikianlah maka ketika langit menjadi suram, Mahisa Agni
bersama seorang pengawalnya telah membawa Witantra ke rumah
saudagar itu, seolah-olah ia membawa seorang bekas prajurit
pengawalnya yang dipercayanya untuk membantu menjaga
ketenteraman rumah saudagar itu.
"Siapakah namanya?" bertanya saudagar itu.
"Sempulur." jawab Mahisa Agni, "Ia adalah prajurit yang
mumpuni meskipun seolah tingkahnya agak kasar. Tetapi ia adalah
orang yang baik." Saudagar itu termangu-mangu sejenak.
"Jangan cemas tentang orang yang bernama Sempulur itu. Aku
mempertanggung jawabkannya. Jika ia melakukan sesuatu yang
menurutmu tidak sewajarnya, kau dapat mengatakan kepadaku.
Akulah yang akan mengambil tindakan atasnya."
1233 Saudagar itu mengangguk-angguk.
"Kau dengar Sempulur?" beranya Mahisa Agni.
"Ya tuan. Aku mendengar. Dan aku akan mencoba untuk
berbuat sebaik-baiknya."
"Meskipun kau bukan seorang prajurit lagi, tetapi kau tetap
orangku. Akulah yang menempatkan kau disini."
"Ya tuan. Aku akan menjunjung kepercayaan ini sejauh-sejauh
dapat aku lakukan." "Terima kasih. Jika ada sesuatu yang kurang, lebih baik kau
berkata terus terang."
"Ya tuan. Tetapi aku sebenarnya sudah sangat berterima kasih
bahwa tuan masih percaya kepadaku untuk melakukan tugas yang
mirip dengan tugas keprajuritan ini."
"Sama sekali tidak." jawab Mahisa Agni, "Kau tidak harus
berjaga-jaga di muka regol siang dan malam. Kau justru harus
melebur dirimu sehingga tidak seorang pun yang mengetahui
kehadiran seorang bekas prajurit di rumah ini. Kau harus melakukan
pekerjaan sehari-hari seperti keluarga sendiri Mengambil air,
menyapu halaman, dan mungkin membelah kayu."
"Aku mengerti tuan. Dan aku akan menjalankannya."
"Terima kasih. Mudah-mudahan kau dapat melakukan semua
tugas itu sebaik-baiknya. Jika terjadi sesuatu, maka kau harus dapat
mengatasinya. Kau adalah bekas seorang prajurit Singasari."
"Ya tuan." "Baiklah. Jika kau sudah bersetuju, tinggallah disini. Disini ada
seorang anak muda bernama Pegatmega," Mahisa Agni berhenti
sejenak, lalu bertanya kepada saudagar itu, "Dimana Pegatmega?"
"Ia sedang turun ke sungai."
"Apa yang dilakukan?"
1234 "Mandi. Ia lebih senang mandi di sungai daripada di pakiwan."
"Menjelang malam?"
"Sudah kebiasaannya. Ia pulang setelah malam menjadi gelap.
Setiap hari." Mahisa Agni mengangguk-angguk. Ia mengerti bahwa Mahisa
Bungalan mempergunakan kesempatan itu untuk melatih diri di
tempat yang sepi. Di bawah tebing sungai di dalam gelapnya ujung
malam. "Ia tentu akan senang mendapat seorang kawan." berkata
Mahisa Agni, "Pegatmega pandai bermain macanan. Sedang
Sempulur juga mempunyai kesenangan yang serupa."
"Mudah-mudahan keduanya senang tinggal di rumah ini."
Pembicaraan mereka masih berlangsung beberapa saat. Akhirnya
Mahisa Agnipun minta diri dan meninggalkan Witantra di rumah
saudagar yang kaya itu. Kepada isterinya saudagar itu mengatakan, bahwa ia telah
menerima seseorang yang dititipkan oleh Mahisa Agni. Seorang
yang barangkali dapat membantunya melakukan pekerjaannya.
Dengan hadirnya Witantra, saudagar itu merasa agak tenang.
Menilik sikap dan kata-katanya, agaknya Witantra memang bekas
seorang prajurit. "Sayang, ia sudah agak tua." katanya di dalam hati, "Tetapi
mudah-mudahan ia benar-benar dapat melindungi bukan saja hak
milikku, tetapi juga nyawaku."
Dengan demikian, maka Witantra pun kemudian tinggal bersama
saudagar itu dan Mahisa Bungalan yang dikenal pula dengan nama
Pegatmega. Agar ia benar-benar dapat melindungi saudagar itu dari
marabahaya, maka iapun telah ditempatkan di ruang dalam
bersama dengan Pegatmega.
1235 "Kenapa orang itu tidak kau suruh tidur di belakang, bersama
para pembantu?" bertanya isteri saudagar itu.
"Ia bekas seorang prajurit. Ia bukan pembantu di rumah ini.
Oleh Mahisa Agni, ia telah dititipkan kepadaku, karena ia
memerlukan pekerjaan."
"Bukankah itu berarti bahwa ia bekerja pada kita."
"Tetapi soalnya adalah berbeda. Ia bekerja bukan karena ia
tidak dapat mencari sesuap nasi" Ia bekerja karena ia tidak mau
duduk termenung di rumahnya setelah ia menyelesaikan masa
baktinya sebagai seorang prajurit."
"Bukankah sudah sewajarnya" Ia pantas beristirahat pada
usianya yang telah tua setelah ia bekerja bertahun-tahun sebagai
seorang prajurit. Apakah dengan demikian ia masih harus bekerja
lebih lama lagi?" "Ia tidak mau cepat mati. Katanya, mereka yang sudah tidak lagi
mempunyai kewajiban dan tanggung jawab apapun akan lekas
mati." Isterinya tidak membantah lagi. la tidak tahu pasti, apakah yang
dikatakan oleh suaminya itu benar.
Namun dengan demikian maka penghuni rumahnya telah
bertambah dengan seorang lagi.
Tetapi ternyata, Witantra yang dikenal bernama Sempulur itu
tidak hanya sekedar duduk menunggu dua orang yang dicemaskan
akan datang ke rumah sauadgar itu. Ternyata seperti Pegatmega ia,
adalah seorang yang rajin. Ia bekerja sejak ia terbangun menjelang
dini hari, sampai saatnya matahari terbenam. Apa saja dipegangnya
sebagai pekerjaan yang dikerjakannya dengan senang hati. Bahkan
kadang-kadang berdua dengan Pegatmega mereka duduk di bawah
sebatang pohon yang rindang sambil membelah ranting-ranting kecil
supaya cepat kering sebelum dibawa kedapur. Tetapi kadangkadang
mereka berdua duduk dengan tegang sambil bermain
macanan. Agaknya keduanya memang mempunyai kegemaran yang
1236 sama, bermain macanan. Kadang-kadang mereka lupa waktu,
sehingga halaman di depan pendapa, hampir penuh dengan daundaun
kering yang berguguran. Namun jika mereka menyadarinya,
segera mereka berlari-lari mengambil sapu lidi, dan
membersihkannya. Seorang di depan dan seorang di belakang.
Pelayan-pelayan yang semula mempunyai pekerjaan itu, justru
dengan sengaja bersembunyi di dapur atau di kandang kuda. Baru
setelah keduanya mulai mengayunkan sapu, ia datang sambil
berkata agak menyesal, "Ah, biarlah aku saja yang menyapunya.
Bukankah itu kewajibanku?"
Tetapi baik Sempulur, maupun Pegatmega selalu menjawab,
"Sudahlah. Kerjakan pekerjaanmu yang lain."
Dengan demikian maka para pembantunya menjadi semakin
senang karena kehadiran kedua orang itu di rumah saudagar ternak
yang kaya itu. Namun mereka sama sekali tidak mengetahui, bahwa
setiap saat hari saudagar itu selalu dicengkam oleh kegelisahan dan
ketakutan. Beberapa hari setelah Sempulur berada di rumah itu, maka
keragu-raguan mulai tumbuh di hati saudagar itu. Mungkin ia terlalu
dibayangi oleh ketakutan. Ternyata akhirnya tidak ada sesuatu yang
terjadi. Tetapi tiba-tiba terasa kehadiran Sempulur dan Pegatmega
seolah-olah telah menjadi keharusan. Ia merasa segan ditinggalkan
oleh keduanya. Karena keduanya dapat diajak duduk berbicara
tentang banyak hal. Apalagi Sempulur.
Orang tua itu mengenal berbagai macam bentuk pusaka dan besi
aji. Tetapi ia juga pandai mengupas arti sebuah kidung yang rumit.
Bahkan di malam hari, sering terdengar suara Sempulur yang
meskipun sudah menjadi agak parau, namun masih juga
memberikan suasana yang ngelangut.
"Kau juga harus belajar membaca kidung." berkata saudagar itu
kepada Pegatmega, "Sempulur menjadi semakin tua. Suaranya akan
1237 menjadi serak, dan pada suatu ketika ia akan menjadi pikun dan
gemetar. Belajarlah selagi ia berada disini."
Pegatmega hanya tersenyum saja. Sambil mengangguk-angguk
ia merenungi kitab yang tertutup di hadapannya.
Sementara itu, saudagar itu sudah hampir melupakan bahwa di
kota raja itu sedang berkeliaran dua orang yang dapat mengganggu
ketenangannya. Yang setiap hari diperbincangkan dengan Sempulur
dan Pegatmega adalah justru persoalan-persoalan yang lain.
Persoalan-persoalan yang sama sekali tidak menyangkut tentang
kemungkinan yang mendebarkan itu.
Tetapi ketenangan dan ketenteraman hati saudagar itupun
kemudian telah diguncang pula oleh peristiwa yang serupa dengan
yang pernah terjadi. Tidak ada bedanya. Dua orang datang sambil
menyembunyikan wajahnya dibalik ikat kepalanya.
Mereka berkelahi hanya sebentar sekali, karena pemilik rumah
yang didatanginya sama sekali tidak berdaya melawan keduanya.
Tetapi keduanya tidak berbuat apa-apa selain mengambil sebagian
saja dari uangnya. Hanya uangnya. Tidak lebih. Perhiasan yang ada
di dalam peti sama sekali tidak disentuhnya seperti yang terjadi
sebelumnya. Agaknya peristiwa itu segera didengar oleh saudagar ternak yang
kaya itu. Ketakutan yang sangat mulai merambati hatinya kembali
setelah ia hampir menemukan ketenangan.
Saudagar itu seolah-olah sudah dapat mengambil kesimpulan
bahwa saat berikutnya yang akan didatangi oleh kedua orang yang
tidak dikenal itu adalah rumahnya.
"Mereka tentu akan segera datang." Desisnya, "Aku seakan-akan
sudah pasti. Tidak ada orang lain yang lebih pantas didatangi selain
aku." "Apakah tidak ada orang lain yang lebih kaya dari paman?"
bertanya Pegatmega. 1238 "Ada. Tetapi mereka benar-benar orang yang kaya. Mereka
memiliki sepasukan pengawal di rumahnya. Mereka seolah-olah
adalah prajuritnya yang dapat melindungi kekayaannya. Tetapi aku
tidak. Aku tidak mempunyai sepasukan pengawal. Dan yang pernah
didatangi oleh kedua orang itu sampai saat ini bukanlah orangorang
kaya yang sebenarnya itu. Yang didatangi adalah orang-orang
yang memiliki sekedar kekayaan, tetapi tidak cukup banyak untuk
memelihara sepasukan pengawal-pengawal."
"Di sini adalah paman Sempulur." berkata Pegatmega.
"Ya, ya." jawab saudagar itu. Namun kemudian, "Tetapi aku
masih cemas." "Kenapa paman?"
"Ia hanya seorang diri."
"Tetapi paman Sempulur adalah seorang bekas prajurit."
Saudagar itu memandang Sempulur dengan gelisah. Lalu
katanya, "Sempulur. Kau adalah orang yang baik. Kehadiranmu di
rumah ini, bagaikan kehadiran saudaraku sendiri. Karena itu, jika
kedua orang itu datang kemari, sudahlah, kau tidak usah berbuat
apa-apa. Karena itu akan dapat membahayakanmu."
"Jika mereka tidak berbuat apa-apa, seperti pesan Ki Saudagar
akupun tidak akan berbuat apa-apa. Tetapi bagaimana jika
keduanya melakukan lebih dari hanya mengambil sebagian dari
uang yang ada?" "Tidak. Ia tidak akan berbuat lebih dari itu. Beberapa kali sudah
terjadi, bahwa hanya uang sajalah yang dimbilnya. Tidak lebih."
"Syukurlah jika demikian." Sempulur mengangguk-angguk,
"Tetapi bagaimanapun juga setiap kemungkinan akan dapat terjadi."
"Sudahlah. Jangan mengorbankan dirimu buat kepentinganku.
Yang kau dapatkan di sini sama sekali tidak seimbang, jika kau
harus mengorbankan dirimu. Aku kira kedua orang yang berbuat
1239 demikian itu justru orang yang memiliki kelebihan dari orang
kebanyakan." Sempulur tidak menjawab lagi selain mengangguk-anggukkan
kepalanya. Demikianlah kehidupan saudagar ternak itu nampaknya masih
tetap tenang. Isterinya sama sekali tidak tahu, bahwa pernah terjadi
sesuatu yang dapat membuat suaminya gelisah dan bingung. Jika ia
melihat suaminya duduk merenung, ia selalu menyangka bahwa ada
sesuatu yang kurang baik pada perhitungan dagangnya, sehingga ia
mengalami sedikit kerugian.
"Sudahlah kakang." ia selalu mencoba menghiburnya, "Jika kau
mengalami kerugian serba sedikit, janganlah dirisaukan. Kita tidak


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan menjadi miskin karenanya. Kita sudah cukup kaya. Anak
kitakan sudah memiliki kekayaannya tersendiri, sehingga apa yang
kita punya seolah-olah hanyalah bagi sisa hidup kita yang semakin
pendek." Suaminya tetap tidak mau mengatakan apa yang sebenarnya
terjadi. Karena itu ia selalu menjawab, "Baiklah Nyai. Aku akan
melupakannya kekeliruanku yang kecil itu."
Namun sebenarnyalah jantungnya bagaikan dicengkam oleh
Pedang Dan Kitab Suci 9 Pendekar Rajawali Sakti 6 Prahara Gadis Tumbal Rahasia Mo-kau Kaucu 1

Cari Blog Ini