Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja Bagian 22
tentu tidak akan dapat disembunyikannya lagi kepada pemilik
halaman itu sendiri. "Marilah." berkata Witantra, "Kita menemui saudagar ternak itu."
Mahisa Bungalan pun kemudian menyimpan bumbung obatnya
kembali di dalam kantong ikat pinggangnya. Bersama Witantra
1302 maka iapun segera menemui saudagar ternak yang ketakutan di
dalam rumahnya. Demikian saudagar itu melihat Witantra dan Mahisa Bungalan
masuk, maka iapun dengan tergopoh-tergopoh mendapatkannya
sambil bertanya dengan serta merta. "Apa yang telah terjadi?"
Namun kemudian wajahnya menjadi pucat ketika ia melihat darah
pada pakaian Mahisa Bungalan. "He anak muda, kau terluka?"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian
iapun menjawab, "Tidak seberapa paman."
"Tetapi kenapa luka itu" Apakah kau terlibat dalam perkelahian
atau orang-orang itu telah menyakitimu?"
Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Namun dalam pada
itu Witantra lah yang berkata, "Ki Saudagar. Ternyata bahwa
Pegatmega bukan seorang pengecut. Bagaimanapun juga ia telah
mempertahankan dirinya terhadap orang-orang yang bermaksud
jahat dan saling bertempur itu."
"Paman Sempulur telah menyelamatkan aku." desis Mahisa
Bungalan kemudian. "Kemarilah, kemarilah." desis saudagar itu dengan suara yang
bergetar. Witantra dan Mahisa Bungalan pun kemudian duduk di ruang
dalam. Ternyata saudagar itu benar menjadi ketakutan dan tidak
tahu apa yang sebaiknya dilakukan.
"Ki Saudagar." berkata Witantra kemudian, "Ketahuilah bahwa di
halaman rumah Ki Saudagar ini terdapat beberapa sosok mayat dari
orang-orang yang sedang bertempur itu. Mereka saling membunuh
di antara mereka." "O." "Mereka berempat telah terbunuh."
"Semuanya?" bertanya saudagar itu, "Malang sekali nasibku ini."
1303 "Kenapa justru Ki Saudagar yang merasa bernasib malang, bukan
orang-orang yang terbunuh itu?"
"Mereka saling berbunuhan di halaman rumahku. Jika kawankawan
mereka saling mendendam maka aku tentu akan menjadi
sasaran. Setidak-tidaknya sasaran pertanyaan mereka, siapakah
yang telah membunuh kawan-kawan mereka."
"Mereka semuanya terbunuh. Tidak ada yang dapat memberi
keterangan tentang paman." berkata Mahisa Bungalan, meskipun
terbayang juga di dalam pikirannya, bahwa Linggadadi akan dapat
berbuat demikian. Tetapi tentu Linggadadi pun mempunyai
pertimbangan bahwa saudagar itu tidak terlibat sama sekali di
dalamnya. "Tetapi ternyata mereka yang berilmu hitam dan Linggadadi
tidak banyak berbeda tabiat dan wataknya." Mahisa Bungalan
berkata kepada diri sendiri, "Ternyata bahwa Linggadadi sampai hati
membunuh kawannya sendiri untuk mengamankan
Iingkunngannya." Dalam pada itu Saudagar itupun kemudian bertanya, "Jadi
bagaimana menurut pertimbanganmu Ki Sempulur" Apakah aku
harus melaporkannya kepada prajurit-prajurit Singasari?"
"Sebaiknya demikian Ki Saudagar. Dengan demikian maka
prajurit Singasari telah mengambil tanggung jawab pula atas
kemungkinan yang dapat terjadi kemudian."
Saudagar itu termangu-mangu.
"Paman." desak Mahisa Bungalan, "Aku sependapat dengan
paman dan paman Sempulur. Tak ada yang lebih baik dari
menyerahkan semua persoalan kepada yang berkewajiban
menanganinya. Prajurit Singasari adalah kekuatan yang akan dapat
melindungi kita semuanya."
"Tetapi apakah aku tidak akan terlibat dalam banyak kesulitan"
Apakah prajurit Singasari tidak akan justru menuduh aku terlibat
dalam lingkungan kejahatan" Jika yang terjadi adalah perselisihan di
1304 antara kelompok-kelompok penjahat, dan justru ajang perselisihan
itu adalah halaman rumahku, maka prajurit Singasari dapat
mengaitkan pertentangan itu dengan aku sendiri."
"Tidak Ki Saudagar. Aku dan Pegatmega adalah saksi yang dapat
memberikan banyak penjelasan, justru karena aku melihat apa yang
sudah terjadi. Mudah-mudahan keteranganku dapat dimengerti oleh
prajurit-prajurit Singasari, justru aku sendiri adalah bekas seorang
prajurit. Dan barangkali Ki Mahisa Agni akan dapat dihubungi untuk
melepaskan Ki Saudagar dari kemungkinan yang buruk itu."
Sardagar itu mengangguk-angguk. Kemudian, "Jadi apa yang
dapat aku kerjakan sekarang?"
"Melaporkan peristiwa ini kepada prajurit Singasari di gardu
penjagaan terdekat." tetapi Witantra pun kemudian berkata kepada
Mahisa Bungalan, "Bersihkan dirimu dan berganti pakaian. Kita akan
memberikan keterangan kepada para prajurit itu bahwa kita tidak
terlibat. Kau juga tidak. Yang terjadi adalah pertempuran di antara
penjahat-penjahat itu sendiri. Mereka telah sampyuh."
"Tetapi letak mayat itu?" desis Mahisa Bungalan.
"Yang seorang berusaha untuk melarikan diri dalam ke adaan
luka. Tetapi ia gagal meloncati dinding batu, karena lukanya yang
parah. Kita tidak usah merubah letak mayat itu sampai prajuritprajurit
itu datang." Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Ada sesuatu yang
akan dikatakannya, tetapi agaknya ia harus berhati-hati, agar tidak
didengar oleh Ki Saudagar.
"Baiklah paman." berkata Mahisa Bungalan kemudian, "Aku akan
membersihkan diri. "Namun kemudian ia berbisik sambil melangkah,
"Apakah paman Mahisa Agni tidak diberi tahukan lebih dahulu?"
Witantra mengangguk-angguk. Namun jawabnya, "Cepatlah
sedikit agar semuanya segera dapat diselesaikan."
1305 Mahisa Bungalan pun kemudian meninggalkan ruang itu. Tetapi
Witantra segera menyusulnya sambil berkata kepada saudagar
ternak itu, "Tunggu sebentar Ki Saudagar."
Saudagar ku hanya tercenung ditempatnya. Ia sudah tidak
mampu memikirkan, apa yang harus segera dilakukannya.
Di ruang belakang Mahisa Bungalan dan Witantra sejenak
berbincang. Apakah Mahisa Agni sebaiknya segera diberitahu atau
tidak. "Laporan hal ini akan sampai juga padanya." berkata Witantra.
"Tetapi sementara itu, mungkin Senapati yang bertanggung
jawab sudah menentukan kebijaksanaan lain."
"Apakah pemberitahuan kepadanya tidak melibatkan pamanmu
Mahisa Agni secara langsung?"
"Hanya sekedar diberitahu paman. Mungkin ada gunanya."
Witantra mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Aku akan pergi
bersama Ki Saudagar. Kami akan melaporkan kepada prajurit
Singasari digardu terdekat. Tetapi sementara itu aku akan pergi
menemui pamanmu Mahisa Agni."
Mahisa Bungalan hanya mengangguk-angguk saja. Memang tidak
ada cara lain yang lebih baik Jika mereka langsung
menyampaikannya kepada Mahisa Agni tanpa memberitahukan
kepada prajurit yang bertugas, tentu akan menumbuhkan
pertanyaan pula, kenapa persoalannya langsung ditangani oleh
Mahisa Agni. Karena itu, maka Witantra mencoba menempuh cara yang paling
baik, dengan memberitahukan kedua-duanya. Mungkin Mahisa Agni
dapat menemukan jalan yang baik untuk memecahkan
persoalannya. Demikianlah setelah Mahisa Bungalan selesai membersihkan diri,
maka Witantra pun segera pergi bersama saudagar ternak itu.
1306 Tetapi ternyata mereka tidak dapat dengan begitu saja memasuki
halaman istana di malam hari tanpa alasan yang kuat.
"Aku akan memanjat dinding." berkata Witantra di dalam hatinya.
Karena itu, maka iapun mengajak saudagar itu singgah sejenak
di belakang dinding istana, ditempat yang sepi.
"Tunggulah disini."
"Aku tidak mengerti. Kita tidak langsung ke gardu terdekat."
"Aku akan singgah kerumah kawanku sebentar untuk
mendapatkan nasehatnya."
"Dimana rumah kawanmu?"
"Di sebelah." "Kenapa aku harus menunggu disini. Apakah aku tidak boleh
ikut?" "Aku hanya sebentar."
Witantra tidak menunggu lagi. ia langsung meloncat melintasi
jalan, justru keseberang dinding istana. Tetapi ditempat lain ia
menyeberang kembali dan langsung meloncat dinding.
Ternyata penjagaan istana Singasari tidak sekuat masa-masa
lampau. Rasa-rasanya keamanan sudah berangsur baik, sehingga
prajurit-prajurit tdak perlu mengawasi setiap jengkal dinding yang
melingkari halaman. Witantra tidak menemui kesulitan untuk mencapai bangsal
Mahisa Agni. Dengan isyarat yang sudah biasa diberikan, maka
iapun segera dapat menemui Mahisa, Agni dan mengatakan
peristiwa yang sudah terjadi.
"Aku sependapat dengan kau." berkata Mahisa Agni, "Prajurit di
gardu terdekat harus diberitahu. Katakan apa yang kau lihat dan
apa yang telah terjadi."
"Bagaimanakah jika Senapati prajurit itu mengenal aku?"
1307 Mahisa Agni tersenyum. Katanya, "Tidak apa-apa. Persoalan itu
sudah menjadi persoalan prajurit Singasari, sehingga kau tidak usah
bersembunyi lagi. Tetapi sebaiknya untuk sementara nama Mahisa
Bungalan masih harus disembunyikan, agar orang orang berilmu
hitam itu tidak semakin mendendamnya. Jika pada. suatu saat,
mereka mencium kabar kematian kawan-kawanyna di rumah
saudagar itu melawan orang-orang yang tidak dikenal, tetapi bahwa
di rumah itu ada Mahisa Bungalan, maka sasaran kemarahan
mereka tentu pada anak muda itu."
Witantra mengangguk-angguk, lalu katanya, "Jadi biarlah kita
sebar kabar, bahwa orang berilmu hitam itu telah mati dibunuh oleh
sorang yang bernama Linggadadi."
"Mungkin ada keuntungan yang kita peroleh, meskipun
Linggadadi tentu akan menyebarkan ceritera lain."
"Baiklah." berkata Witantra kemudian, "Saudagar itu menunggu
aku di luar dinding ini."
Witantra pun kemudian segera minta diri, kembali kepada
saudagar yang menunggunya dengan gelisah.
Demikianlah maka mereka berdua pun segera pergi ke gardu
prajurit Singasari yang terdekat dengan peristiwa yang meng
gemparkan itu. Ternyata bahwa berita tentang empat orang
penjahat dari dua kelompok yang saling bermusuhan itu segera
tersebar di seluruh kota.
Namun seperti yang dikehendaki oleh Witantra, bahwa kematian
orang-orang berilmu hitam itu adalah sampyuh dengan anak buah
Linggadadi, sedang Linggadadi sendiri berhasil melarikan diri.
Dalam waktu yang singkat, maka beberapa orang prajurit
dibawah pimpinan seorang perwira yang sedang bertugas malam itu
telah datang ke halaman rumah saudagar ternak itu. Dengan
saksama mereka memperhatikan keadaan di sekitar arena
pertempuran yang berlangsung dengan sengitnya itu.
1308 Untunglah bahwa perwira yang masih muda itu tidak mengenal
Witantra, apalagi dalam pakaian orang kebanyakan. Apalagi Mahisa
Bungalan yang memang belum lama berada di kota Singasari.
Beberapa hal telah menumbuhkan keheranan di hati perwira itu.
Namun ia tidak mendapatkan petunjuk-petunjuk lain kecuali empat
sosok mayat dengan lukanya masing-masing. Seorang di antaranya
telah terluka oleh senjata yang mengandung racun.
"Kami tidak menemukan senjata beracun itu." berkata perwira
itu kepada prajuritnya. "Mungkin senjata itu adalah senjata seorang yang bernama
Linggadadi dan sempat melarikan dirinya." gumam salah seorang
prajuritnya. Perwira itu mengangguk-angguk. Tetapi ia masih memerlukan
keterangan tentang peristiwa itu dari penghuni rumah itu.
"Aku tidak melihat apapun juga." berkata saudagar itu.
"Siapakah yang telah melihatnya."
"Sempulur." jawab saudagar itu, "Ia adalah?"
Witantra yang berdiri di dekatnya menggamitnya. Dan ialah yang
kemudian mengatakan, "Aku adalah saudara tua Ki Saudagar
meskipun dalam hubungan yang jauh. Tua dalam hitungan umur
dan tua menurut garis keturunan yang jauh itu."
"Kau melihat perkelahian ku?"
"Ya tuan. Aku melihat pertempuran itu, karena aku berada di
dalam kegelapan, di bawah pohon di sudut halaman."
"Ceriterakan apa yang kau lihat."
Witantra pun kemudian menceriterakan apa yang telah dilihatnya
meskipun ia berusaha untuk tidak melibatkan dirinya dan Mahisa
Bungalan. "Apakah kau mengetahuinya, barangkali dari pembicaraan
mereka selama mereka bertempur, siapakah mereka itu?"
1309 "Aku hanya mendengar salah seorang dari mereka bernama
Linggadadi. Justru ialah yang berhasil keluar dari perkelahian itu."
"Yang lain?" Witantra menggeleng. Namun kemudian katanya, "Tetapi aku
mendengar pula Linggadadi menyebut lawannya sebagai iblis
berilmu hitam." "Berilmu hitam?"
"Demikianlah. Aku tidak tahu kebenarannya." Perwira itu
termangu-mangu sejenak. Kemudian iapun bertanya, "Yang
manakah yang berilmu hitam?"
"Lawan Linggadadi."
"Ya, yang mana?"
Witantra pun kemudian menunjukkan dua orang berilmu hitam
yang terbunuh. Perwira itu merenung sejenak. Lalu tiba-tiba saja ia bertanya,
"Dengan demikian maka orang yang mati karena racun itu adalah
kawan Linggadadi." Witantra mengerutkan keningnya. Tetapi cepat ia menjawab,
"Tetapi aku tidak tahu pasti, apakah yang aku sebutkan itu benar
seluruhnya. Bagiku pertempuran itu sangat membingungkan."
Perwira ku mengangguk-angguk.
Sementara itu Saudagar ternak itupun menjadi bingung. Menurut
Mahisa Agni yang dikenalnya dengan baik. Witantra yang disebutnya
bernama Sempulur itu adalah seorang bekas prajurit. Tetapi
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sikapnya sangat mengherankannya. Iapun tidak mau mengatakan
seluruhnya yang diketahuinya. Juga agaknya ia merahasiakan anak
muda yang bernama Pegatmega yang telah terluka di dalam
perkelahian itu. Bahkan agaknya iapun telah merahasiakan dirinya
sendiri. 1310 Tiba-tiba saja di hati saudagar itu telah menyelinap
kecurigaannya kepada Witantra dan Mahisa Bungalan meskipun
bukan prasangka yang buruk. Ia percaya kepada Mahisa Agni yang
sudah tentu tidak akan mencelakainya. Tetapi justru kedua orang
itu mampu mengatasi jika keluarganya akan ditimpa oleh
malapetaka. "Siapakah sebenarnya kedua orang itu." bertanya saudagar itu di
dalam hatinya. Tetapi ia akan tetap menyimpannya sehingga pada
suatu saat ia dapat bertemu dengan Mahisa Agni.
Demikianlah, setelah perwira bersama beberapa orang prajurit itu
mendapat keterangan yang cukup tentang empat orang yang
terbunuh di halaman itu, maka mereka pun segera memerintahkan
tetangga-tetangga saudagar yang terbangun dan berkemurun di
luar halaman itu untuk membantu menyelenggarakan penguburan
mayat itu. Di pagi harinya, hampir setiap mulut telah memperkatakan
peristiwa yang mengerikan itu. Bahkan kemudian berita tentang dua
orang yang sering datang ke beberapa rumah dan mengambil uang
itupun telah membubui ceritera tentang kematian empat orang itu.
Dalam pada itu, saudagar ternak yang masih diselimuti oleh
kecemasan dan kebingungan itu sempat bertanya kepada Witantra.
"Aku tidak mengerti apa yang kau lakukan selama ini di rumahku.
Kau dan anak muda yang bernama Pegatmega itu membuatku
bertanya-tanya. Ada rahasia yang menyelimuti dirimu. Dan apakah
sudah waktunya aku mengerti?"
Witantra tersenyum. Katanya, "Tidak ada rahasia apa-apa. Jika
ada yang aku sembunyikan kepada prajurit-prajurit itu, adalah
karena kita harus berhati-hati. Orang-orang yang mati itu tentu
masih mempunyai kawan yang dapat membalas dendam. Jika
mereka disebut sampyuh, maka biarlah golongan-golongan penjahat
itu saling mendendam, tampa melibatkan kita disini."
Saudagar itu mengangguk-angguk. Tetapi ia sama sekali tidak
puas oleh jawaban itu, sehingga ia masih tetap berhasrat untuk
1311 bertemu dengan Mahisa Agni dan bertanya tentang dua orang yang
diserahkannya kepadanya itu dengan alasan yang berbeda.
Sementara itu Witantra dan Mahisa Bungalan pun mencoba untuk
mengurai keadaan yang mereka hadapi. Justru karena Linggadadi
sempat meninggalkan arena, maka persoalannya tentu masih akan
berkepanjangan. "Paman." berkata Mahisa Bungalan, "Apakah pada suatu saat
Linggadadi tidak akan datang kemari?"
Witantra mengangguk-angguk. Katanya, "Itulah yang aku
cemaskan. Jika yang tetap hidup itu orang lain. maka mereka telah
mendengar jawaban kita selagi kita masih ada di dalam bilik, bahwa
kita adalah tamu di rumah ini. Tetapi Linggadadi tentu menganggap
bahwa kita, penghuni rumah ini telah terlibat langsung. Dan ini
berarti bahaya bagi saudagar ternak itu."
"Dan sudah barang tentu bahwa kita tidak akan dapat tetap
tinggal disini untuk seterusnya. Jika saja kita tahu kapan Linggadadi
akan datang. Tetapi ia pasti akan datang seperti pencuri di malam
hari. Diam-diam. Namun, tiba-tiba saja ia sudah mencengkam
dengan sengitnya. Meskipun Linggadadi tidak berilmu hitam, tetapi
tingkah lakunya tidak ada ubahnya. Ia sampai hati membunuh
kawannya sendiri untuk menghindarkan diri dan kelompoknya dari
pengamatan prajurit Singasari." sahut Mahisa Bungalan.
"Kita akan bertemu dengan Mahisa Agni."
"Segera paman." gumam Mahisa Bungalan, "Tetapi bagaimana
jika Ki Saudagar itu diminta untuk pindah saja?"
"Tidak banyak artinya. Linggadadi akan dengan mudah mencari
tempat tinggalnya yang baru."
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Memang
sebaiknya kita bertemu dengan paman Mahisa Agni."
Demikianlah ternyata bahwa Witantra dan Mahisa Bungalan telah
mendahului saudagar ternak itu untuk bertemu dengan Mahisa Agni.
Meskipun mereka tidak berterus terang dengan Saudagar yang kecil
1312 hati itu, namun mereka sempat meninggalkan rumah itu bersamasama.
"Apakah kau juga akan pergi Pegatmega?" bertanya Ki Saudagar
ketika Mahisa Bungalan minta diri untuk mengikuti Sempulur keluar
sebentar. "Hanya sebentar paman. Aku akan segera kembali."
"Kenapa kalian pergi bersama-sama. Sebaiknya kalian bergantian
tinggal di rumah." "Di siang hari tidak akan ada seorang pun yang berani
mengganggu paman." Demikianlah maka Witantra dan Mahisa Bungalan pun pergi ke
istana, menghadap Mahisa Agni.
Mahisa Agni mengangguk-angguk mendengar semua laporan itu.
Katanya, "Aku sudah memikirkannya. Sejak kau datang malam itu,
maka aku sudah mempertimbangkan kemungkinan seperti yang kau
katakan." "Jadi apakah dapat diusahakan perlindungan bagi Saudagar
ternak itu?" Mahisa Agni merenung sejenak. Lalu, "Sebenarnya aku
menganggap bahwa kakang Witantra tidak perlu lagi
menyembunyikan diri. Jika akhirnya diketahui bahwa orang yang
bertempur melawan Linggadadi itu adalah Witantra yang bergelar
Panji Pati-Pati, maka tentu Linggadadi akan berpikir lagi untuk
membalas dendam." Witantra mengangguk-angguk.
"Tetapi aku masih ingin melindungi nama Mahisa Bungalan. Jika
namanya disebut satu kali lagi, maka orang-orang berilmu hitam
akan semakin mendendamnya. Bahkan mungkin juga Linggadadi,
sehingga tidak mustahil, bahwa untuk melepaskan sakit hati, kedua
pihak itu dapat bekerja bersama, meskipun hanya untuk
sementara." 1313 "Aku tidak berkeberatan." jawab Witantra, "Jika hal itu dapat
melindungi nama Saudagar ternak itu."
"Aku kira tidak ada cara yang lebih baik."
"Jadi, untuk itu, apakah yang harus aku lakukan?"
"Tentu para prajurit masih akan mendengar keteranganmu.
Untuk itu kau dapat menjawab tentang dirimu sendiri sesuai dengan
maksudmu untuk melindungi nama Saudagar itu."
"Apakah para prajurit akan percaya" Menurut penglihatanku
mereka adalah Senapati-senapati dan perwira-perwira muda yang
masih belum mengenal aku."
"Sebutlah namamu. Mereka akan segera mengenalmu."
Witantra mengangguk-angguk. Katanya kepada Mahisa
Bungalan, "Nah, kau dengar. Perananku sudah selesai. Tetapi kau
masih harus tetap bermain dengan nama Pegatmega."
Mahisa Bungalan tersenyum. Namun ia masih bertanya kepada
Mahisa Agni, "Paman, apakah salahnya jika orang-orang berilmu
hitam itu mengetahui tentang diriku?"
"Mahisa Bungalan, sebenarnyalah kita belum tahu pasti, bahkan
gambaran yang samar-samar pun belum, tentang kekuatan yang
sebenarnya dari orang-orang berilmu hitam itu dan juga kelompok
Linggadadi. Karena itu tidak ada salahnya jika untuk sementara kau
tetap bersembunyi." Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah paman.
Tetapi pada suatu saat, mereka juga akan tahu."
"Sementara itu kita mencoba mengetahui serba sedikit tentang
ilmu hitam itu. Aku akan mencoba mencari jejak mereka di tempattempat
yang pernah aku dengar menjadi sarang orang-orang
berilmu hitam." Witantra dan Mahisa Bungalan dapat mengerti pendapat Mahisa
Agni. Karena itu maka mereka masih saja mengangguk. Agaknya
1314 untuk melindungi Saudagar itu, tidak ada nama lain yang lebih
berwibawa dari nama Witantra.
Karena itulah maka kemudian ketika para prajurit masih
memerlukan keterangan lagi mengenai empat sosok mayat di
halaman rumah Saudagar ternak itu, maka mereka bertemu dengan
seseorang yang tidak lagi merasa perlu untuk menyembunyikan
namanya. "Apakah keterangan yang pernah aku berikan masih belum
cukup?" bertanya Witantra kepada perwira yang menemuinya.
"Jika sudah cukup, aku tidak perlu memanggilmu lagi." Jawab
perwira muda itu. Witantra memandang Mahisa Bungalan dan Saudagar ternak
yang juga hadir bersamanya. Mahisa Bungalan tersenyum sedikit,
sedang Saudagar ternak itu nampak bersungguh-sungguh
mendengarkan pertanyaan-pertanyaan perwira muda itu.
"Ki Sempulur." berkata perwira itu, "Sulit untuk mengerti bahwa
keempat mayat itu telah sampyuh. Keteranganmu mengenai salah
seorang dari mereka yang mati karena racun memberikan banyak
arti yang bersimpang siur. Senjata beracun itu tidak kami
ketemukan di halaman itu. Sudah tentu senjataku harus berada di
tangan orang berilmu hitam karena yang mati itu adalah kawan
Linggadadi." Witantra menarik nafas dalam-dalam.
Dalam pada ku, Saudagar ternak itupun justru ingin mengetahui,
peran apakah yang sebenarnya dilakukan oleh Sempulur. Karena itu
tiba-tiba saja ia berkata, "Sempulur, bukankah kau dapat
memberikan keterangan yang lebih jelas" Kau tentu mengetahui
apa yang telah terjadi di peperangan itu karena kau adalah bekas
seoarng prajurit." Witantra mengerutkan keningnya. Dan perwira itu agaknya
tertarik pada keterangan saudagar itu.
"Siapakah yang bekas seorang prajurit?"
1315 "Sempulur." desis Saudagar itu.
"Benar kau bekas seorang prajurit?"
"Jika tidak." potong Saudagar ternak itu. "Ia tidak akan berani
keluar halaman dalam perkelahian yang mengerikan itu."
Prajurit itu mengangguk-angguk. Dipandanginya Witantra
sejenak, lalu iapun bertanya lagi, "Kau memang pantas untuk
menjadi seorang prajurit. Tetapi sayang, aku belum pernah
mengenalmu. Bahkan namamu pun belum pernah aku dengar."
"Ada berapa ribu prajurit di seluruh daerah Singasari yang luas
ini." desis Witantra, "Adalah wajar, bahwa ada di antara mereka
yang tidak saling mengenal."
"Kau benar. Tetapi katakanlah, apakah benar kau bekas seorang
prajurit?" Witantra mengangguk. Jawabnya, "Ya, aku memang bekas
seorang prajurit." "Jika demikian keteranganmu memang perkelahian di halaman
itu tentu tidak lengkap. Ada bagian yang kau sembunyikan."
"Ya." "Apakah kau seorang pengecut yang takut bertanggung jawab
atas peristiwa yang kau saksikan itu" Dan barangkali telah
melibatkan kau dalam perkelahian di halaman itu?"
"Demikianlah. Semula aku mencoba menghindarkan diri dari
keterlibatan yang lebih jauh. Mungkin kawan-kawan dari mereka
yang terbunuh itu akan menuntut balas. Tetapi ternyata aku tidak
akan dapat melepaskan diri untuk seterusnya."
"Kau mempersulit kami. Kau harus memberikan keterangan yang
jelas. Nah, katakan, apalagi yang harus kau lengkapi pada
keteranganmu yang samar-samar itu."
"Agaknya ada beberapa hal yang tidak tepat seperti yang aku
katakan. Sebenarnyalah bahwa orang yang mati karena racun itu
1316 memang kawan Linggadadi. dan ia memang mati oleh Linggadadi
sendiri." "Bagaimana mungkin demikian?"
"Tentu Linggadadi ingin menghilangkan jejak, karena orang itu
tidak sempat melarikan diri lagi."
"Kenapa tidak sempat" Tidak ada luka yang lain kecuali luka
beracun itu." "Ya. Tetapi aku dapat menguasainya. Bahkan berdua dengan
Linggadadi, sehingga terpaksa ia dibunuh agar ia tidak dapat
tertangkap hidup-hidup."
"Kau bertempur melawan keduanya?"
"Ya. Setelah dua orang terbunuh. Benar-benar sampyuh."
"Kau berpihak kepada orang-orang berilmu hitam?"
"Tidak. Aku ingin menangkap siapapun diantara mereka untuk
mendapatkan keterangan."
Perwira itu mengerutkan keningnya. Lalu katanya, "Kau
terlampau yakin akan dirimu. He, apakah kau sangka bahwa orangorang
itu dapat kau kalahkan" Ceriteramu menjadi mirip sebuah
dongeng. Dan tokoh dari dongeng itu adalah dirimu sendiri."
Witantra menarik keningnya. Lalu katanya, "Ceriteraku kali ini
benar. Aku tidak membual karena aku terpaksa memberikan
keterangan yang sebenarnya."
Perwira itu termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian ia bertanya, "Apakah kau mempunyai gelar di
dalam tugas keprajuritan sehingga barangkali aku dapat
mengenalmu?" Witantra merenung sejenak. Kemudian iapun menganggukkan
kepalanya sambil menjawab, "Ya. Aku memang mempunyai gelar
keprajuritan." 1317 Senapati yang bertanya kepadanya menjadi termangu-mangu.
Keterangan Witantra agak berbelit-belit menurut penilaiannya.
Baginya terasa memang ada sesuatu yang tersembunyi.
Dan kini orang itu mengaku bahwa ia mempunyai gelar ke
prajuritan. Sejenak Senapati itu memandang Witantra dengan tajamnya.
Kemudian iapuun medesaknya, "Coba, sebutkan gelar
keprajuritanmu agar aku dapat bersikap sewajarnya. Bagiku
keteranganmu masih membingungkan."
Witantra masih agak ragu-ragu. Namun dalam pada itu Saudagar
ternak itupun mendesaknya pula. "Kenapa kau tidak mau segera
menyebut gelarmu?" Witantra masih mengangguk-angguk. Sekilas dipandanginya
wajah Mahisa Bungalan. Anak muda itu nampak tersenyum. Teta pi
ia tidak mengatakan sesuatu.
"Baiklah. Jika kau pernah mendengar gelarku, sukurlah. Tetapi
ada beribu-ribu prajurit di Singasari, sehingga mungkin sekali kau
tidak mengenal gelarku pula seperti kau tidak mengenal namaku."
"Sebutlah." Senapati itu menjadi jengkel. "Apakah kau Pengawal
Istana, atau Pelayan Dalam atau yang lain?"
"Aku pernah ditempatkan di Kediri untuk beberapa saat yang
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak terlalu lama."
"Ya sebutlah." "Gelarku Panji Pati-Pati."
"Panji Pati-Pati?" Senapati muda dan Saudagar ternak itu
mengulang bersama-sama. "Ya, aku adalah Panji Pati-Pati. Kenapa" Apakah kau pernah
mendengar?" 1318 Senapati muda itu termangu-mangu sejenak. Diamatinya
Witantra dengan saksama. Dan Witantra pun menjelaskan. "Namaku
adalah Witantra." "Tetapi".." prajurit muda itu termangu-mangu.
"O." desis Saudagar ternak, "Bukan main. Ternyata kakang
Mahisa Agni senang bergurau. Tetapi kali ini benar-benar membuat
aku bingung." "Kau menyebut nama Ki Mahisa Agni?" bertanya Senapati itu.
"Ya. Ki Mahisa Agni lah yang menempatkan Ki Witantra yang
bergelar Panji Pati-Pati di rumahku. Tetapi katanya namanya
Sempulur." ia berhenti sejenak, lalu, "Sebenarnya aku sudah curiga,
bahwa tentu ada sesuatu yang tersembunyi padanya. Dan siapakah
anak muda yang disebut Pegatmega itu?"
"Pegatmega. Ia adalah Pegatmega. Anak muda itu sebenarnya
bernama Pegatmega." Witantra melihat wajah Saudagar ternak yang ragu-ragu. Tetapi
sambil tersenyum ia berkata, "Ia adalah kemanakanku. Juga
kemanakan Mahisa Agni. Sebenarnyalah bahwa anak itu harus
mendapat asuhan tentang unggah-ungguh."
Saudagar ternak itu termangu-mangu, sementara Senapati muda
yang kebingungan itu masih juga berdesis di luar sadarnya, "Jadi
apakah benar aku berhadapan dengan Panji Pati-Pati?"
"Aku yakin sekarang." berkata Saudagar itu, "Yang membawa Ki
Sempulur dan ternyata adalah Ki Witantra yang bergelar Panji PatiPati adalah Ki Mahisa Agni."
Senapati itu mengangguk dalam-dalam. Katanya, "Jika demikian
benarlah tuan Panji Pati-Pati. Aku mohon maaf bahwa aku sudah
bertindak deksura." "Kau tidak bersalah." berkata Witantra, "Kau sedang menjalankan
tugasmu." 1319 "Sekarang aku justru menjadi jelas. Ki Mahisa Agni sudah
mengetahui bahwa rumah ini akan mengalami gangguan. Bukan
oleh penjahat biasa yang dapat ditangani oleh prajurit yang
bertugas. Tetapi yang datang adalah orang-orang berilmu Hitam
dan anak buah Linggadadi yang masih gelap bagi Singasari."
"Begitulah kira-kira persoalannya." jawab Witantra, "Orangorang
berilmu hitam itu memang sulit untuk dilawan. Karena itu
memang harus ada orang-orang khusus yang mendapat tugas untuk
melawannya. Tetapi sampai saat ini semuanya masih gelap. Aku
mengharap untuk dapat menangkap hidup-hidup salah seorang dari
mereka, atau salah seorang anak buah Linggadadi yang hampir
tidak ada bedanya dengan orang-orang berilmu hitam itu."
Senapati muda itu mengangguk-angguk.
"Tetapi aku gagal. Aku harus membunuh orang-orang berilmu
hitam itu." Saudagar ternak itu mengangguk-angguk. Namun diluar
sadarnya ia berkata, "Tetapi kenapa angger Pegatmega terluka?"
Witantra mengerutkan keningnya. Lalu, "Anak nakal. Aku sudah
menyuruhnya menyingkir. Tetapi ia terlampau dekat dari arena
sehingga senjata orang berilmu hitam itu sempat menyentuhnya."
Prajurit itu menggangguku Kini semuanya menjadi agak terang
baginya. Justru setelah ia mengenal bahwa orang yang bernama
Sempulur itu adalah Witantra yang bergelar Panji Pati-Pati. Namun
dengan demikian prajurit itupun sadar, bahwa yang mereka hadapi
bukanlah lawan yang ringan. Tetapi Mahisa Agni menganggap perlu
bahwa orang-orang itu harus langsung dihadapi oleh seorang
Senapati yang bergelar Panji Pati-Pati.
"Singasari harus bersiaga." desis Senapati muda itu di dalam
hatinya, "Ada dua golongan yang mengancam kedamaian negeri
ini." Namun Senapati itu yakin bahwa Singasari masih tetap memiliki
kemampuan untuk mengatasi setiap kesulitan. Maharaja dan Ratu
1320 Angabaya semakin lama menjadi semakin masak dalam pimpinan
pemerintahan, sementara orang-orang terpenting sejak masa
pemerintahan Sri Rajasa, kini masih ada. Meskipun umur mereka
menjadi semakin tua. Demikianlah, maka seperti yang diharapkan, maka tersebarlah
berita baru tentang kematian kedua orang berilmu hitam yang
dikabarkan sampyuh dengan dua orang golongan penjahat yang
lain. Setiap orangpun kemudian memperbincangkan berita yang
kemudian tersebar di seluruh Singasari.
"Bukan sampyuh." desis seseorang yang merasa dirinya paling
mengetahui, "Tetapi Ki Witantra yang bergelar Panji Pati-Pati lah
yang telah membunuh mereka."
"Keempatnya?" bertanya kawannya.
Orang itu menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "Aku tidak tahu,
tetapi orang terakhir mati karena Panji Pati-Pati."
Berita itulah yang kemudian tersebar luas, sehingga akhirnya
telinga Linggadadi pun mendengarnya pula.
"Gila " geramnya "Suatu tantangan bagi orang-orang berilmu
hitam itu." "Kenapa?" bertanya Linggapati.
"Semula orang-orang Singasari ingin membenturkan kita dengan
orang-orang berilmu hitam itu. Mereka menyebarkan berita bahwa
kedua orang berilmu hitam itu mati sampyuh dengan anak buah
Linggadadi, tetapi Linggadadi berhasil melarikan diri. Kini mereka
memperbaiki berita itu, dan dengan tegas mereka menyebut nama
Witantra yang bergetar Panji Pati-Pati."
"Tetapi siapakah sebenarnya yang telah membunuhnya?"
"Bukan aku." Linggadadi menarik nafas dalam-dalam, "Mungkin
benar Witantra." 1321 "Yang seorang dari orang berilmu hitam itu" Bukankah yang
membunuh adalah anak muda yang kau katakan" Bukan orang tua
yang mungkin benar bernama Witantra dan bergelar Panji Pati-Pati
itu?" "Menurut penglihatanku demikian. Orang tua itu bertempur
melawan kami berdua. Aku melihat anak muda itu berhasil
membunuh orang berilmu hitam itu setelah hampir saja ia terjerat
oleh kesombongannya sendiri karena ia mencoba-coba
mempergunakan berbagai cara untuk melawannya. Ketika ia terluka
barulah ia sadar akan kesalahannya, bahwa melawan orang berilmu
hitam itu tidak dapat dilakukannya dengan mencoba-coba."
"Gila." geram Linggapati. "Tentu ada maksud tersembunyi.
Apakah kau mendengar kabar tentang anak muda itu?"
"Namanya Pegatmega."
"Itu tentu bukan namanya. Kau tahu, bahwa Witantra itu tidak
mempergunakan namanya sendiri. Menurut pendengaran orangorang
kita, ia mempergunakan nama Sempulur untuk menjebak
orang berilmu hitam. Tetapi kedua orang kita pun terjebak pula dan
mati bersama kedua orang berilmu hitam itu."
Linggadadi mengangguk-angguk.
"Meskipun yang seorang sempat kau dahului, karena betapapun
juga ia akan mati. Mati dalam segala arti."
Linggadadi masih mengangguk-angguk.
"Tetapi bukankah pernyataan orang-orang Singasari itu agaknya
dapat sedikit mengurangi tanggung jawab kita?"
"Kita tidak tahu, apakah orang-orang berilmu hitam itu percaya.
Kehadiran kita di halaman itu tentu menimbulkan kecurigaan
mereka meskipun tidak ada seorang pun yang dapat mengatakan,
apa yang sudah kita lakukan. Tetapi bahwa dua orang dari mereka
terbunuh, meskipun Witantra menyatakan dirinya bertanggung
jawab, namun orang-orang berilmu hitam itu akan tetap
mendendam kita." 1322 Linggadadi mengangguk-angguk. Katanya, "Kita tidak usah
cemas. Orang-orang berilmu iblis itu bukannya iblis itu sendiri. Kita
mempunyai kekuatan cukup untuk melawan mereka. Bahkan aku
berniat untuk mencari mereka di pusat sarangnya."
"Maksudmu?" "Kita pernah mendengar ceritera tentang orang-orang berilmu
hitam dari beberapa daerah. Tentu yang masih tinggal sekarang dan
mulai berkembang adalah peninggalan dari salah satu daerah itu."
"Kita akan menjelajahi tempat-tempat yang pernah disebut di
dalam dongeng-dongeng tentang jin. peri, perayangan itu?"
"Bukan kita yang harus pergi. Tetapi satu dua orang yang dapat
kita percaya. Namun demikian, mumpung kita masih belum
mempunyai kesibukan apapun menjelang rencana kita dalam jangka
waktu yang panjang itu, sebaiknya kita sekali-kali juga menempuh
perjalanan yang panjang."
Linggadadi mengangguk-angguk. Katanya, "Mungkin
menyenangkan juga menjelajahi daerah dongeng tentang orangorang
berilmu hitam. Tetapi nyatanya ilmu itu tidak terlampau
mengerikan. Ternyata seorang anak muda dapat melawannya.
Akupun sudah mencoba bertempur melawan orang berilmu hitam
itu sebelum anak muda itu mengambil alih, karena aku harus
bertempur melawan Witantra."
"Dan kau tidak terdesak oleh ilmu itu." desis Linggadadi.
"Ya. Aku berhasil memotong gerakannya yang membingungkan.
Dengan demikian maka orang berilmu hitam itupun kehilangan
kesempatan untuk bertempur menurut cara-canya."
"Dan anak muda itu berbuat demikian pula."
"Ya. Sesudah ia mencoba-coba dengan cara yang lain, yang
sekedar didorong oleh perasaan ingin tahu saja. Ia mencoba ikut
berputaran, bahkan dengan gila ia mencoba mengitari lawannya
yang kelelahan. Tetapi hampir saja ia. harus menebus kegilaan yang
kekanak-anakan itu dengan nyawanya."
1323 "Anak yang luar biasa. Ia akan dapat menjadi orang yang
ditakuti oleh kawan dan lawan. Ia akan menguasai berbagai macam
ilmu. Bahkan ilmu hitam itu pun tentu akan dikuasainya. Percayalah,
bahwa Witantra dan anak muda itupun tentu akan mencari tempat
yang tersebut dalam dongeng tentang orang berilmu hitam itu."
Linggadadi mengangguk-angguk. Ia pun mengira bahwa
Witantra, dan bahkan mungkin atas perintah Maharaja Singasari,
beberapa orang akan mencari sarang orang-orang berilmu hitam
sesuai dengan ceritera tentang mereka pada masa lampau.
"Tetapi dongeng itu sudah hampir lenyap. Tidak banyak lagi
yang diketahui tentang orang-orang berilmu hitam itu." desis
Linggapati. "Tetapi ilmu itu sekarang telah tumbuh dan berkembang. Yang
datang ke Singasari itu tentu bukan orang terpenting diantara
mereka. Ada dua orang yang terbunuh di Singasari." sahut
Linggadadi. "Tetapi cobalah, kau ingat lagi ceritera Tapak Lamba tentang
anak muda yang berada dipadukuhan yang disebutnya daerah
bayangan hantu. Apakah mungkin anak muda yang berada di
Singasari itu juga anak muda yang telah membunuh tiga orang
berilmu hitam di daerah bayangan hantu itu?"
"Memang mungkin. Tetapi namanya berbeda. Orang yang
menurut Tapak Lamba berbasil membunuh tiga orang berilmu hitam
itu bernama Mahisa Bungalan. Ia menyebut dirinya anak Mahendra."
"Siapakah Mahendra itu menurut pendengaranmu. Tentu kau
pernah mendengar hubungan antara Mahendra dan Witantra."
"Tetapi menurut pendengaranku, anak muda yang berada di
Singasari itu bernama Pegatmega."
"Dan orang yang bernama Witantra itu pernah disebut
Sempulur." Keduanya mengangguk-angguk. Ternyata bahwa mereka telah
hampir menemukan persamaan uraian tentang anak muda yang
1324 bernama Pegatmega itu. Beberapa orang yang mereka kirimkan
untuk mengetahui kabar yang tersebar, berhasil mengumpulkan
beberapa keterangan tentang Pegatmega dan Sempulur, sehingga
akhirnya Linggapati mengambil kesimpulan. "Aku condong kepada
dugaan bahwa Pegatmega adalah Mahisa Bungalan."
"Apakah ia anak muda yang licik?" sahut Linggadadi, "Kenapa ia
harus bersembunyi dibalik nama lain" Apakah ia tidak berani
mempertanggung jawabkan perbuatannya?"
"Aku kira bukan atas kehendaknya sendiri. Jika ia menyebut
namanya, maka ia akan menjadi pusat perhatian orang-orang
berilmu hitam yang kehilangan kawan-kawannya di daerah
bayangan hantu itu."
"Apakah orang-orang berilmu hitam tidak akan sampai pada
dugaan seperti kita bahwa orang yang dekat dengan Witantra itu
adalah orang yang telah membunuh tiga kawannya?"
"Kita akan meyakinkan." berkata Linggapati kemudian, "Dan kita
akan memalingkan perhatian orang-orang berilmu hitam itu dengan
sebuah ceritera yang lain."
"Tentang Mahisa Bungalan?" bertanya Linggadadi.
"Ya. Seperti orang-orang Singasari yang dengan sengaja
melindungi nama Mahisa Bungalan, maka kita dapat menyebar
berita bahwa Mahisa Bungalan lah yang telah membunuh orangorang
berilmu hitam, sedang Witantra membunuh salah seorang
pembantu kita." Linggadadi mengangguk-angguk. Desisnya, "Pendapat yang baik.
Setidak-tidaknya kita dapat mengurangi ketegangan disaat yang
pendek, sementara kita akan mengelilingi daerah di sekitar
Singasari." "Mungkin ke daerah yang agak jauh."
"Menyenangkan sekali. Kita dapat menikmati kemelutnya asap
Gunung berapi, melihat hijaunya lembah-lembah dan mengenal
1325 berbagai macam ilmu yang mungkin kita jumpai di sepanjang
perjalanan." "Tetapi masih ada kemungkinan lain."
"Maksudmu?" "Kita tidak akan dapat kembali lagi."
Linggadadi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Itupun akibat
yang wajar yang dapat terjadi. Aku akan menerimanya jika memang
harus demikian yang terjadi."
"Bagus. Kita akan segera menentukan saat kita berangkat
menyusuri daerah dongeng tentang orang berilmu hitam. Mungkin
kita akan menyusuri pantai Selatan, sampai kepusar pulau ini.
Mungkin kita akan berjalan lebih jauh."
"Kita akan pergi berdua atau kita memerlukan satu dua orang
kawan?" "Kita akan pergi bertiga."
"Siapakah yang seorang" Tapak Lamba?"
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Linggapati mengerutkan keningnya. Katanya, "Selama ini ia rajin
sekali melatih diri. Tetapi ia masih jauh dari sempurna, sehingga aku
kurang mempercayainya bahwa ia justru tidak menghambat
perjalanan." "Jadi s iapa?" "Paman Daranambang."
"Orang tua itu?"
"Justru ia orang tua. Tetapi kau tahu bahwa ia masih tetap
memiliki kemampuan masa mudanya. Dan ia adalah seorang
pengembara yang tidak ada duanya."
Linggadadi mengangguk-angguk. Gumamnya, "Baiklah. Ia dapat
menjadi penunjuk jalan."
1326 "Tetapi ia juga dapat setidak-tidaknya menjaga dirinya sendiri
meskipun seandainya kita bertemu dengan anak muda yang
menurut pendengaranku bernama Pegatmega. Bahkan seandainya
benar dugaan kita bahwa Pegatmega, kemanakan Witantra yang
mengaku bernama Sempulur itu adalah anak Mahendra itu."
"Lebih dari itu. Karena mungkin diperjalanan kita akan bertemu
dengan Witantra dan Mahendra itu sendiri."
Linggapati tersenyum. Katanya, "Aku justru ingin mengetahui
kemampuan orang-orang yang merupakan orang terpenting di
Singasari itu. Termasuk Mahisa Agni."
Linggapati pun tersenyum pula. Ia mengenal betul sifat adiknya.
Karena itu maka katanya kemudian, "Kau harus mencoba untuk
mengendalikan dirimu Linggadadi. Bermain-main dengan Mahisa
Agni dapat menumbuhkan akibat yang tidak kita kehendaki."
"Tetapi kita belum pernah membuktikannya."
"Adalah sulit untuk membuktikan dan kemudian mengakuinya,
karena dapat terjadi bahwa kita akan kehilangan kesempatan untuk
mengetahui akhir dari pembuktian kita."
Linggadadi tertawa berkepanjangan. Gumamnya di antara derai
tertawanya. "Kau masih harus dipengaruhi oleh perasaan bahwa aku
adalah seorang adik yang masih terlampau kanak-kanakan. Kakang
Linggapati, lihatlah. Aku sudah terlalu tua untuk disebut sudah
dewasa." "Benar Linggadadi. Tetapi kau harus selalu ingat, bahwa Mahisa
Agni adalah rangkapan dari Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi.
Aku kira, tidak ada orang yang dapat mengimbangi kemampuan Sri
Rajasa selain Mahisa Agni. Bahkan Witantra dan Mahendra pun
tidak." "Sayang, bahwa Sri Rajasa itu pun sudah tidak ada lagi. Anaknya
yang bernama Anusapati yang dianggap memiliki kemampuan
mendekati Sri Rajasa pun tidak ada pula."
1327 "Jangan mengigau. Persiapkan dirimu untuk suatu perjalanan
yang panjang. Dalam waktu yang agak lama kita tidak akan dapat
berbuat apa-apa atas Singasari. Prajurit Singasari kini tentu telah
bangun dan berjaga-jaga karena peristiwa yang bodoh, yang
dilakukan oleh orang-orang berilmu hitam itu."
"Baiklah kakang." jawab Linggadadi, "Aku akan berkemas.
Agaknya perjalanan itu akan sangat menyenangkan. Aku ingin kita
singgah di Kota Raja barang satu dua hari untuk melihat apa saja
yang dilakukan oleh prajurit-prajurit Singasari setelah mereka
mengetahui peristiwa itu."
Linggapati termenung sejenak. Kemudian iapun mengangguk
kecil, "Baiklah Linggadadi. Tetapi kau jangan berbuat gila di Kota
Raja agar perjalanan kita yang menyenangkan itu tidak terganggu
sama sekali." "Baiklah kakang."
"Kau harus berjanji."
"Aku berjanji."
Linggapati mengangguk-angguk. Meskipun ia agak ragu-ragu
bahwa adiknya akan dapat mengekang diri selama perjalanan dan
selama mereka singgah di Kota Raja.
"Tetapi ingat Linggadadi." berkata Linggapati kemudian,
"Namamu sudah dikenal di Kota Raja, karena justru Witantra
mendengar namamu disebut."
"Aku tidak akan memasang selembar rontal bertuliskan nama di
dadaku kakang. Tetapi kau pun harus menjaga agar kau tidak
menyebut namaku di hadapan orang lain dan sebaliknya. Karena
namamu pun mirip sekali dengan namaku."
"Pokoknya kita harus berhati-hati selama kita berada di Kota
Raja." potong Linggapati.
1328 Demikianlah maka keduanya pun segera mempersiapkan diri.
Seorang yang akan ikut bersama merekapun telah diberitahukannya
pula. "Akhirnya aku masih harus mengembara." desis Daranambang.
"Sebagai seorang pengembara maka pengembaraan ini pun akan
dapat menyegarkan tubuhmu paman." berkata Linggapati.
"Mungkin Linggapati. Tetapi aku tentu sudah tidak setangkas
beberapa puluh tahun yang lalu, ketika aku masih muda dan kuat."
"Tetapi paman sekarang menjadi semakin masak. Ilmu yang
paman miliki sekarang memang berbeda di dalam pengetrapannya
dengan saat paman masih muda. Tetapi tentu tidak kalah
berbahayanya." Daranambang tersenyum. Katanya, "Baiklah. Aku akan pergi
mengembara. Aku memang pernah mendengar dongeng tentang
orang berilmu hitam yang mengerikan itu. Tetapi mereka bukan
hantu atau dewa dari langit. Mereka terdiri dari kulit daging seperti
kita. Bahkan menurut pendengaran kita. beberapa di antara mereka
telah terbunuh." "Ya. Linggadadi pun telah melihatnya."
"Baiklah. Baiklah. Menyenangkan sekali bertemu dengan mereka
pada suatu saat. Tetapi jika mereka bersedia, apakah tidak
sebaiknya mereka di bawa serta dalam lingkungan kita?"
"Mereka akan menelan kita."
"Kita harus cekatan. Setelah kita tidak memerlukan mereka lagi,
secepatnya harus kita hancurkan. Bukankah demikian pula yang
akan kau lakukan atas Tapak Limba?"
"O, tidak paman. Tikus itu sama sekali tidak berbahaya. Aku
hanya memerlukannnya untuk mempengaruhi bekas kawannya pada
masa pemerintahan Tohjaya, agar mereka dapat kita hubungi dan
setidak-tidaknya tidak mengganggu rencana kita kelak. Tetapi,
Tapak Lamba sendiri akan berterima kasih dan tidak akan berbuat
1329 apa-apa, jika kepadanya aku berikan sekedar jabatan yang tidak
penting." Daranambang mengangguk-angguk. Memang Tapak lamba tidak
berbahaya bagi Linggapati. Apalagi pada saat-saat ia berada di
dalam lingkungannya. Demikianlah maka ketika semuanya sudah siap, ketiga orang
itupun meninggalkan tempat tinggalnya, dan berusaha menempuh
perjalanan yang tidak terbatas. Mereka ingin mengetahui keadaan
yang masih samar-samar dari orang-orang berilmu hitam. Dengan
demikian maka mereka akan dapat menentukan sikap. Apa kah
golongan itu harus dibinasakan, atau dimanfaatkan. Atau jika
mungkin dengan sengaja membenturkan mereka dengan kekuatan
Singasari sebelum Linggapati sendiri akan tampil setelah Singasari
menjadi semakin lemah karena benturan itu.
Sedangkan Linggadadi yang akan ikut dalam perjalanan itu
menganggap bahwa perjalanan itu adalah perjalanan yang penuh
dengan kegembiraan. Selain ia akan, dapat mengenal daerah yang
lebih luas, maka pengalaman dan penglihatannyapun akan semakin
bertambah. "Sementara ini kita tidak mempunyai pekerjaan apapun di
rumah." berkata Linggadadi, "Sudah tentu merupakan suatu masa
yang menjemukan sekali. Kita tidak tahu sampai kapan kita harus
menunggu prajurit Singasari tertidur kembali. Sementara itu orangorang
berilmu hitam akan selalu membangunnya setiap kali."
"Tetapi perjalanan ini bukan perjalanan tamasya." berkata
Daranambang, "Perjalanan kita adalah perjalanan yang dibayangi
oleh bahaya." "Itulah yang menarik." sahut Linggadadi, "Perjalanan yang tidak
ada gejolak antara manis dan pahit adalah perjalanan yang mati."
Daranambang tidak menjawab lagi. Ia mengerti bahwa
Linggadadi adalah seorang yang memiliki gejolak hidup yang
bergelora di dalam dadanya. Sedangkan Linggapati yang lebih
masak agak lebih tenang menanggapi keadaan.
1330 Dengan demikian maka perjalanan mereka bertiga agaknya akan
merupakan perjalanan yang diwarnai oleh ketiga sifat dari ketiga
orang itu. Linggadadi yang bergejolak, Linggapati tenang tetapi
cerdik, dan Daranambang yang tidak lagi banyak mempunyai
rencana apapun selama perjalanan, selain mengikuti kedua orang
kemanakannya. Dalam pada itu, selagi ketiga orang itu mulai dengan
perjalanannya, yang mula-mula akan singgah di Kota Raja, Mahisa
Agni telah menyampaikan persoalan itu kepada Maharaja di
Singasari. Ranggawununi dan Mahisa Campaka yang memerintah Singasari
tanpa dapat saling berpisah dalam banyak hal, mendengarkan
keterangan Mahisa Agni dengan saksama.
"Nampaknya hanya persoalan kecil tuanku." berkata Mahisa Agni
kemudian, "Seolah-olah hanyalah beberapa orang penjahat kecil
yang saling bersaing memperebutkan sumber penghidupan. Tetapi
jika ditelusur lebih jauh lagi, nampaknya akan menjadi persoalan
yang cukup gawat." Ranggawuni mengangguk-angguk. Kemudian dengan nada yang
datar ia bertanya, "Apakah paman sudah mendapatkan gambaran
yang agak jelas tentang keduanya?"
Mahisa Agni menggeleng. Katanya, "Belum tuanku. Hamba masih
belum dapat mengatakan, siapakah sebenarnya mereka itu. Dan
siapakah sebenarnya orang yang berdiri di belakang mereka. Salah
seorang dari orang-orang yang mungkin termasuk penting diantara
mereka bernama Linggadadi. Selebihnya hamba tidak mengetahui
apapun juga. Bahkan kakang Witantra yang terlibat langsung dalam
pertempuran itupun tidak banyak dapat memberikan keterangan."
Ranggawuni dan Mahisa Campaka yang bergelar Wisnuwardhana
dan Narasinga, ternyata sangat tertarik kepada laporan itu. Bahkan
seperti pendapat Mahisa Agni, bahwa persoalannya bukanlah
sekedar persoalan kecil. 1331 "Tuanku." berkata Mahisa Agni kemudian, "Rahasia yang sampat
saat terakhir tidak dapat kami ketahui, kenapa orang-orang berilmu
hitam itu setiap kali memasuki rumah seseorang, tidak mengambil
lebih dari beberapa keping uang yang diperlukan, meskipun di
dalam rumah itu ada berkampil-kampil uang dan perhiasan. Tentu
hal itu mempunyai maksud tertentu, yang sampai saat terakhir
masih belum dapat kita ketahui. Sayang bahwa kami tidak berhasil
menangkap salah seorang dari mereka hidup-hidup."
"Paman." berkata Ranggawuni, "Tentu kita harus meningkatkan
kewaspadaan. Aku akan memerintahkan kepada para Senapati
untuk bersiaga. Menilik tingkah laku mereka, maka akibatnya tentu
akan berkepanjangan. Setidaknya antara kedua golongan itu akan
timbul permusuhan yang dapat mengganggu ketenangan Singasari
yang sedikit demi sedikit sudah dapat kita pulihkan."
"Tentu tuanku. Sebenarnyalah bahwa setiap prajurit harus
bersiaga. Namun selebihnya, hamba akan mohon diri,
perkenankanlah hamba mengenang masa muda hamba dengan
sebuah pengembaraan. Agaknya orang berilmu hitam itu sangat
menarik perhatian." "Maksud paman?"
"Kami akan mencari sarang dari orang-orang yang disebut
berilmu hitam." "Apakah paman dapat mengatakan, dimanakah kira-kira
letaknya?" "Ampun tuanku, hamba sama sekali tidak dapat
menyebutkannya. Tetapi hamba akan mencoba mencari
berdasarkan ceritera-ceritera lama yang pernah hamba dengar,
daerah yang pernah menjadi sarang orang-orang berilmu hitam,
meskipun kadang-kadang sumber itu bersimpang siur. Namun
pengembaraan hamba mungkin akan sampai pada tujuannya jika
hamba menyusuri segala tempat yang pernah hamba dengar itu,
karena pada saat ini, kita tidak dapat mengingkari kenyataan,
bahwa orang-orang berilmu hitam itu masih ada, dan bahkan
1332 berkembang. Mahisa Bungalan pernah menjumpai orang-orang
berilmu hitam itu di dua tempat. Di daerah yang disebut daerah
bayangan hantu, dan di dalam Kota Raja ini."
Ranggawuni termangu-mangu sejenak Dipandanginya wajah
Mahisa Cempaka, seolah-olah minta pertimbangannya.
Mahisa Cempaka menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Tetapi
bukan pencaharian yang mutlak paman. Maksudku, jika sekiranya
paman harus segera kembali."
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Mahisa
Cempaka yang bergelar Narasimha, sebagai Ratu Angabaya di
Singasari. "Tuanku." berkata Mahisa Agni, "Hamba tidak akan menempuh
perjalanan tanpa batas. Seandainya hamba masih mempunyai
harapan untuk menemukan daerah hitam itu sekalipun, pada saatsaat
tertentu hamba akan kembali. Tentu hamba akan sangat rindu
kepada tuanku berdua."
Ranggawuni yang bergelar Wisnuwardhana tersenyum. Katanya,
"Terima kasih paman. Paman adalah orang tua kami. Istana ini akan
menjadi sepi tanpa paman."
"Tentu tidak tuanku. Pamanda tuanku masih ada di istana.
Beberapa orang Senapati yang akan menjaga ketenangan Singasari.
Dan masih banyak yang tuanku dapatkan di istana ini sebagai
kawan berbincang dan barangkali juga berdebat."
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka mengangguk-angguk. Namun
bagi mereka Mahisa Agni adalah guru dalam olah kanuragan, Tetapi
juga guru yang banyak memberikan bimbingan jiwani kepada
mereka berdua. "Paman." berkata Ranggawuni kemudian, "Kapankah menurut
pertimbangan paman, paman akan berangkat?"
"Hamba akan mengadakan persiapan secukupnya tuanku.
Hamba akan menghubungi beberapa orang sahabat. Dan pada
saatnya paman akan mohon diri kepada tuanku."
1333 "Baiklah paman. Selama ini paman harus mengadakan persiapan
yang saksama. Bukankah keadaan pada saat terakhir nampak agak
buram, justru karena perbuatan orang-orang berilmu hitam itu
pula?" "Ya, dan orang yang berada di dalam lingkungan gerombolan
Linggadadi. Itupun harus diketahui sumbernya dan lingkungan
luasnya." "Semuanya harus sudah dapat diatur mapan sebelum paman
berangkat."
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Demikianlah maka di hari berikutnya Mahisa Agni dan beberapa
Senapati telah mengatur penjagaan dan pengamanan Singasari
dalam keseluruhan. Jika pada saat-saat tertentu orang-orang
berilmu hitam itu datang ke Kota Raja, maka kesiagaan prajurit
Singasari telah cukup mantap untuk menghadapi mereka. Juga
kesulitan yang dapat timbul dari pihak manapun juga.
Gardu-gardu peronda menjadi semakin banyak dan perajuritperajurit
yang bertugaspun menjadi semakin banyak pula.
Gelombang perondan di padukuhan-padukuhan yang dilakukan oleh
anak-anak muda yang dibantu para prajuritpun berjalan semakin
tertib. Baru ketika Kota Raja dan sekitarnya sudah meyakinkan, maka
Mahisa Agni mulai dengan sungguh-sungguh persiapan untuk
menempuh perjalanan yang panjang.
Namun belum lagi ia berangkat, maka ia telah dikejutkan oleh
desas-desus yang tersebar di Kota Raja, bahwa sebenarnya yang
telah membunuh orang-orang berilmu hitam di rumah saudagar
ternak itu adalah Witantra dan seorang anak muda yang sebenarnya
bernama Mahisa Bungalan, seorang anak muda yang
mempergunakan nama samaran Pegatmega.
Desas-desus itu telah mendebarkan jantung Mahisa Agni. Nama
Witantra memang sudah tidak perlu disembunyikannya lagi. Para
prajurit pun kemudian mengetahui bahwa orang itu adalah Witantra
yang bergelar Panji Pati-Pati. Tetapi tidak seorang pun yang pernah
1334 mengatakan, bahwa Pegatmega itu sebenarnya adalah Mahisa
Bungalan yang belum banyak dikenal di Kota Raja.
Dengan heran Witantra pun kemudian menemui Mahisa Agni
untuk membicarakan desas desus yang mulai tersebar luas itu.
"Mungkin ada orang yang pernah mengenal Mahisa Bungalan
dan melihatnya di rumah saudagar ternak itu." berkata Witantra,
"Karena Mahisa Bungalan pun tidak dapat di katakan, tidak dikenal
sama sekali di Singasari, Ia tentu mempunyai kawan yang tidak
akan dapat dikelabuinya lagi dengan nama Pegatmega, kecuali
mereka yang dengan sengaja sudah diberitahukan lebih dahulu,
seperti di kalangan beberapa orang prajurit pengawal istana."
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, "Jika demikian, maka
persoalannya akan menjadi sangat sederhana. Meskipun akibatnya
dapat merugikan Mahisa Bungalan. Tetapi jika ada pihak lain yang
dengan sengaja menyebarkan ceritera itu, maka kita harus
menemukan latar belakang dari ceritera itu."
Witantra meng-angguk. "Mahisa Bungalan memang pernah membunuh orang-orang
berilmu hitam di padukuhan terpencil yang disebutnya daerah
bayangan hantu Mungkin orang-orang berilmu hitam itu
menganggap, bahwa pembunuhnya di Kota Raja ini adalah Mahisa
Bungalan pula, karena di daerah Bayangan hantu itu ia sama sekali
tidak merahasiakan dirinya." sambung Mahisa Agni.
"Jadi, apakah orang-orang berilmu hitam itu yang sengaja
menyebarkan desas-desus tersebut." bertanya Witantra.
"Mungkin sekali. Tetapi kami tidak tahu, apakah orang-orang
Linggadadi yang terlibat pula dalam perkelahian itu telah
menyebarkan ceritera tersebut agar mereka terhindar dari
kemungkian pembalasan dendam orang-orang berilmu hitam itu
Dengan demikian mereka sudah berusaha untuk melawan ceritera
yang tersebar sebelumnya, bahwa dua gerombolan telah saling
berbenturan. Yang segolongan adalah mereka yang berilmu hitam,
sedang yang lain adalah gerombolan Linggadadi."
1335 "Tetapi bagaimana mereka dapat menyebut nama Mahisa
Bungalan." desis Witantra.
"Mahisa Bungalan sendiri masih terlampau muda untuk
menyelebungi diri sebaik-baiknya."
Witantra mengangguk-angguk. Ia pun menyadari bahwa Mahisa
Bungalan yang memiliki ilmu yang sudah masak itu sebenarnya
adalah anak muda yang kadang-kadang masih kekanak-kanakan.
Bahkan di dalam arena yang gawat, ia masih juga mencoba-coba
menjajagi ilmu lawannya yang hampir saja merenggut nyawanya.
"Jika memang sudah diketahui oleh semua pihak, maka aku kira
memang tidak ada lagi gunanya untuk bersembunyi, selain harus
berhati-hati." berkata Witantra.
"Ya." jawab Mahisa Agni, "Tetapi sebentar lagi, Mahisa Bungalan
akan berada di dalam perjalanan pengembaraan."
"Mungkin didalam pengembaraan itu ia akan terhindar dari
kemungkinan yang berbahaya baginya."
"Atau justru sebaliknya."
Witantra mengangguk-angguk. Lalu katanya "Memang semua
kemungkinan dapat terjadi. Aku memang kurang berpengalaman
didalam pengambaraan seperti itu, karena pada masa mudaku aku
terjerat pada jabatan keprajuritan di Tumapel, dan dimasa tuaku
aku terbuang kealam keasingan di sebuah padepokan."
"Ah." desis Mahisa Agni, "Pengalaman itu kau dapatkan dari segi
yang lain. Tetapi jika kita akan pergi saat ini, mungkin sekali
pengalamanku tidak akan dapat ditrapkan lagi, karena telah banyak
sekali perubahan yang terjadi selama ini, sejak aku menjelajahi
daerah Tumapel lama dan yang kemudian disatukan dalam daerah
yang lebih luas yang bernama Singasari."
Witantra mengangguk-angguk. Lalu, "Baiklah kita mencari
pengalaman baru Mahisa Agni. Kita akan menempuh pengembaraan
yang akan sangat menarik"
1336 Ternyata Mahisa Agni tidak merubah rencananya meskipun nama
Mahisa Bungalan justru sedang menjadi pembicaraan. Bahkan
dengan sengaja ceritera itu mempertentangkan Mahisa Bungalan
dengan orang-orang yang berilmu hitam, dengan memberikan gelar
tersendiri bagi anak muda itu. Mahisa Bungalan pembunuh ilmu
hitam. Mahisa Bungalan sendiri agaknya tidak berkeberatan. Tetapi
ketika ia bertemu dengan Mahisa Agni, maka ia mulai menyadari
bahaya yang mengancamnya.
"Mungkin kau dapat berbangga dengan sebutan itu, Mahisa
Bungalan." berkata Mahisa Agni, "Tetapi akibatnya, setiap saat kau
harus memeluk senjatamu. Siang dan malam. Jaga atau tidur
sekalipun." Mahisa Bungalan mengangguk-angguk.
"Karena itu, kau memang harus bersiaga setiap saat
menghadapi kemungkinan, karena gelar tidak resmi itu mempunyai
akibat yang sangat luas. Dengan sengaja orang yang menyebarkan
sebutan itu berusaha membenturkan kau dengan orang-orang
berilmu hitam untuk menarik keuntungan bagi pihak itu sendiri.
Ingat, bukankah ada tiga pihak yang bertempur di halaman itu?"
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk.
"Nah, baiklah." berkata Mahisa Agni kemudian, "Kita akan
meneruskan rencana kita menempuh perjalanan yang panjang.
Pamanmu Witantra akan serta bersama kita."
"Baiklah paman." berkata Mahisa Bungalan.
"Kita harus segera mempersiapkan diri. lahir dan batin. Kita akan
segera berangkat dan berusaha bukan saja mencari lingkunugan
orang-orang berilmu hitam, tetapi juga untuk mengetahui siapakah
Linggadadi itu." Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Lalu katanya, "Kita
akan pergi bertiga untuk mencari yang belum dapat kami katakan
dimana letaknya." tetapi anak muda itu kemudian tersenyum,
1337 "Menyenangkan sekali. Apakah kita akan singgah sebentar ke rumah
untuk bertemu dengan ayah?"
"Tidak ada keberatan apapun juga Bungalan. Bahkan aku akan
minta ayahmu untuk berada di Kota Raja pada saat-saat tertentu.
Kadang-kadang tuanku Maharaja dan Ratu Angabaya memerlukan
kawan berbincang selain para Senapati dan pimpinan pemerintahan
yang lain." Namun Mahisa Agni tidak dapat begitu saja meninggalkan Kota
Raja dalam bayangan ceritera yang beraneka ragam. Sebelum
berangkat ia telah memberikan banyak gambaran tentang masalah
yang dihadapi oleh Ranggawuni dan Mahisa Campaka.
"Para Senapati akan selalu menjalankan tugasnya dengan baik
tuanku." berkata Mahisa Agni pada saat ia minta diri, "Semuanya
sudah aku atur. Petugas-petugas sandi sudah tahu apa yang harus
dilakukan. Mereka akan selalu menyampaikan bahan-bahan penting
bagi tuanku." "Terima kasih paman."
"Mahendra akan berada di Kota Raja setiap kali. Ia akan dapat
tuanku panggil menghadap dan berbincang tentang beberapa hal
jika diperlukan. Sebagai seorang pedagang ia mempunyai hubungan
yang luas di daerah-daerah yang jauh. Mungkin ceriteranya akan
menarik perhatian." "Baiklah paman. Tetapi aku harap bahwa seperti yang paman
katakan, setiap kali paman harus kembali ke kota Raja."
"Hamba tuanku. Hamba akan selalu kembali pada saat-saat
tertentu." Demikianlah setelah Witantra dan Mahisa Bungalan menghadap
pula, maka ketiganya pun meninggalkan Kota Raja untuk
menempuh suatu perjalanan. Justru pada saat-saat Linggadadi ada
di Kota Raja bersama Linggapati dan pamannya Daranambang.
Namun para petugas sandi dan para prajurit Singasari telah
bersiaga sepenuhnya menghadapi setiap kemungkinan, sehingga
1338 Linggapati tidak banyak mendapat kesempatan untuk berbuat
apapun juga di Kota Raja.
"Rumah itu selalu diawasi." desis Linggadadi pada saat-saat ia
lewat di rumah saudagar ternak itu.
Linggapati mengangguk-angguk. Ia pun menyadari bahwa rumah
yang ditunjukkan oleh Linggadadi sebagai ajang perkelahian itu
memang mendapat pengawasan yang khusus. Sebuah gardu telah
didirikan tepat di muka rumah itu. Bukan hanya dua tiga orang
prajurit yang bertugas. Tetapi menurut penglihatan Linggapati, ada
lima orang prajurit yang berada di luar gardu yang cukup besar itu.
Bahkan mungkin masih ada satu dua yang ada di dalaminya.
"Kita tidak akan membuat keributan." berkata Linggapati,
"Meskipun barangkali kita bertiga dapat melenyapkan lima orang
prajurit itu. Tetapi dengan demikian mungkin akan dapat
menimbulkan kesulitan jika Senapati-senapati Singasari ikut
mencampurinya." "Ternyata saudagar ternak itu sama sekali bukan orang yang
dapat dijadikan sumber penjelasan mengenai yang telah terjadi di
rumahnya. Semuanya tentu telah diatur oleh Witantra untuk
menjebak orang berilmu hitam itu. Tetapi kami yang tidak
mengetahui persoalan itu telah terlibat, justru karena kami tidak
menghendaki terjadinya kerusuhan di Singasari."
"Sudahlah. Biarlah yang telah terjadi. Beberapa saat kemudian,
prajurit-prajurit Singasari akan terlupa. Mereka akan tertidur lagi.
Asal orang-orang berilmu hitam itu tidak membuat keonaran baru."
"Kita akan dapat menentukan sikap kemudian."
Yang lain mengangguk-angguk. Ternyata perjalanan mereka
sekedar melihat-lihat keadaan kota yang telah bersiaga Nampaknya
prajurit Singasari siap bertindak apapun juga terhadap siapa pun
juga. 1339 Namun ketiga orang itu sama sekali tidak mengetahui bahwa
pada saat itu Mahisa Agni dan Witantra bersama Mahisa Bungalan
telah meninggalkan kota. "Tidak ada yang menarik di Kota Raja." berkata Linggapati,
"Marilah kita mulai menempuh perjalanan kita yang agaknya akan
sangat menyenangkan itu."
"Baiklah." jawab Linggadadi, "Tetapi dengan demikian kau sudah
melihat sendiri keadaan di Kota Raja."
Demikianlah mereka bertiga pun meninggalkan Kota Raja setelah
mereka bermalam satu malam. Mereka bermalam di sudut kota
yang sepi yang hampir tidak pernah dijamah oleh penghuni kota itu.
Pagi-pagi mereka telah meninggalkan gerbang kota tanpa
menimbulkan kecurigaan, karena mereka nampaknya seperti orang
kebanyakan yang hilir mudik keluar masuk kota untuk menjual hasil
tanah dan membeli keperluan mereka sehari-hari.
Sementara itu Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan telah
berada di rumah Mahendra. Dengan jelas mereka menguraikan
maksud mereka untuk mengembara bersama Mahisa Bungalan,
mencari daerah yang pernah mereka dengar dari ceritera-ceritera
yang tersebar tentang orang berilmu hitam.
Mahendra mengangguk-angguk. Namun kemudian ia berkata,
"Aku tidak berkeberatan melepaskan Mahisa Bungalan pergi. Apalagi
bersama kakang Witantra dan Mahisa Agni. Tetapi aku ingin
berpesan kepada Mahisa Bungalan untuk sedikit mengekang diri."
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk.
"Agaknya kau masih terlampau dikuasai oleh kemudaanmu.
Memang tidak terlalu buruk untuk berbangga diri. Tetapi jika
kemudian menjadi bentuk kesombongan, itu akan berbahaya
bagimu." Mahisa Bungalan masih mengangguk-angguk.
1340 "Nah jika demikian, kau tidak sewajarnya memperguna gelar
pembunuh orang-orang berilmu hitam."
Mahisa Bungalan terkejut Bahkan Witantra dan Mahisa Agnipun
terkejut pula. "Bukan maksudku memakai gelar itu ayah." jawab Ma hisa
Bungalan. "Jadi siapakah yang mengenakan gelar itu di belakang
namamu?" "Tentu bukan aku."
Mahendra mengerutkan keningnya. Namun Mahisa Agni lah yang
kemudian bertanya, "Darimana kau dengar gelar itu Mahendra?"
"Hampir setiap orang sudah membicarakannya. Mahisa
Bungalan, pembunuh orang-orang berilmu hitam."
"Jadi desas desus itu sudah kau dengar pula di padukuhan yang
agak jauh dari Kota Raja ini?"
"Ya." "Itu bukan salah Mahisa Bungalan. Justru ada golongan tertentu
yang akan membenturkan Mahisa Bungalan dengan mereka yang
berilmu hitam itu." Mahendra mengerutkan keningnya.
Sementara itu Mahisa Agni pun berusaha menjelaskan kepada
Mahendra tentang desas desus yang berkembang di Kota Raja.
Mahendra kemudian menarik nafas dalam-dalam. Bahkan
kemudian ia berkata, "Jika demikian keadaan Mahisa Bungalan, kau
memang harus benar-benar berhati-hati, sebab kau akan dapat
menjadi sasaran dari kedua belah pihak."
"Ya ayah." jawab Mahisa Bungalan.
"Tetapi aku percaya kepada kedua pamanmu, bahwa kau akan
selalu mendapat perlindungannya, asal kau selalu menurut perintah
1341 dan nasehatnya. Kau jangan menuruti kesenanganmu sendiri dan
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mencoba-coba sesuatu yang dapat membahayakan jiwamu."
"Baik ayah " jawab Mahisa Bungalan dengan kepala tunduk.
Yang kemudian merengek-rengek agar diperbolehkan ikut dalam
pengembaraan itu adalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mereka
yang merasa dirinya telah dewasa pula, ingin ikut dalam
pengembaraan untuk mendapatkan pengalaman.
Tetapi Mahisa Agni berkata, "Jika kau berdua juga ikut pergi,
siapakah yang akan membantu ayah di rumah. Mungkin ayah
menghadapi pekerjaan yang banyak. Tetapi juga mungkin ayah
menghadapi ancaman dari orang-orang yang tidak kalian kenal,
karena orang-orang berilmu hitam itu mengetahui, bahwa Mahendra
adalah ayah Mahisa Bungalan yang telah membunuh orang-orang
berilmu hitam di daerah bayangan hantu dan di Kota Raja.
Kemudian datang sepuluh orang berilmu hitam. Nah, kalian berdua
yang telah menjadi dewasa, wajib membantu ayah."
Mahisa Murti mengerutkan keningnya, lalu, "Tentu bukan begitu.
Paman tentu masih segan membawa kami berdua, karena kami
masih akan menjadi beban paman."
"Dan paman masih membayangkan masa kanak-anak kami.
Merengek dan bahkan menangis karena lapar." sambung Mahisa
Pukat. Mahisa Agni tersenyum. Katanya, "Mungkin kedua-duanya.
Karena kalian masih belum sepenuhnya dewasa, tetapi juga karena
ayah memerlukan kalian di rumah."
Wajah kedua anak-anak muda itu menjadi buram. Sementara
Witantra pun berkata, "Pada suatu saat kalian akan pergi bersama
kami. Seperti pesan Maharaja Wisnuwardhana dan Ratu Angabaya,
bahwa kami harus kembali ke Kota Raja setiap kali. Dengan
demikian maka perjalanan kami bukannya perjalanan
pengembaraan yang panjang, tetapi terputus-putus."
1342 Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang kecewa tidak menyahut.
Sekali-sekali ditatapnya wajah ayahnya yang kadang-kadang
tegang, namun kadang-kadang membayangkan sebuah senyuman.
"Sudahlah Murti dan Pukat." berkata Mahendra kemudian,
"Tinggallah di rumah untuk menyempurnakan ilmu kalian yang
sebenarnya masih belum cukup kalian pergunakan sebagai bekal
perjalanan. Aku tahu bahwa kedua pamanmu tidak mau menyakiti
hatimu dengan mengatakan, bahwa kalian masih harus banyak
belajar." "Ah sebenarnya bukan itu." potong Witantra, "Keduanya telah
memiliki ilmu yang baik. Tetapi dibanding dengan medan yang akan
ditempuh, maka sebaiknya kalian tinggal di rumah membantu ayah."
Mahendra tertawa. Katanya, "Hanya nadanya saja yang
berbeda." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat memaksakan
kehendaknya. Tetapi di dalam hati mereka berjanji kepada diri
sendiri, bahwa mereka harus menjadi anak muda yang memiliki
bekal cukup untuk melakukan pengembaraan serupa dengan
kakaknya Mahisa Bungalan.
Ketika keduanya kemudian pergi ke ruang dalam, mereka saling
berbincang, "Tetapi pada saat kami dianggap cukup memiliki bekal
ilmu, mereka tidak pergi kemanapun juga. Semuanya sudah tenang,
dan tidak ada persoalan apapun lagi." desis Mahisa Pukat.
"Kita dapat mengembara berdua. Setiap jaman kita tentu masih
akan tetap memerangi kejahatan." sahut Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk, seolah telah terbayang
keduanya mengembara di sepanjang lembah dan ngarai, melawan
setiap kejahatan, melindungi mereka yang lemah dan mengalami
perlakuan yang tidak adil.
Sementara itu Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan pun
segera mempersiapkan diri. Setelah mereka bermalam di rumah
1343 Mahendra, maka merekapun akan segera melanjutkan perjalanan
mereka. "Setiap kali, datanglah menghadap tuanku Ranggawuni dan
Mahisa Campaka." berkata Mahisa Agni kepada Mahendra.
"Baiklah. Aku akan selalu datang menghadap."
"Bawalah kedua anak-anakmu. Mungkin berbahaya bagi mereka
di rumah tanpa kau, justru karena orang-orang berilmu hitam itu
mengetahui bahwa Mahisa Bungalan adalah anak Mahendra."
Demikianlah maka dengan kecewa Mahisa Murti dan Ma hisa
Pukat melepaskan kakaknya pergi bersama Mahisa Agni dan
Witantra. Namun untuk mengurangi perasaan kecewa itu, maka
ayahnya berjanji untuk dalam waktu yang singkat memberikan
kelengkapan ilmu kanuragan yang sudah dipelajarinya.
"Tinggal beberapa unsur gerak yang harus kau pelajari.
Kemudian lengkaplah ilmu yang kalian terima. Soalnya kemudian
adalah mematangkan ilmu itu dengan pengalaman."
"Tentu sebuah perjalanan." sahut Mahisa Murti.
"Tidak selalu." jawab ayahnya, "Namun sebaiknya kalian dengan
sungguh-sungguh memperdalam ilmu kalian."
Seperti yang dijanjikan, maka dihari-hari kemudian, Mahendra
lelah menempa kedua anaknya semakin tekun. Setiap saat ia berada
di daerah yang terpisah dari tetangga-tetangganya untuk
memberikan berbagai macam unsur gerak dari ilmunya yang masih
harus dipelajari oleh kedua anaknya sebagai pelengkap ilmu yang
sudah dimilikinya. Ternyata bahwa kedua anaknya tidak mengecewakan. Mahendra
yang pernah ikut membina Ranggawuni dan Mahisa Cempaka di
masa mereka masih terlampau muda. telah melakukan yang serupa
bagi anak-anaknya sendiri.
1344 "Anak-anak itu pun harus menyerahkan pengabdian bagi sesama
dan bagi Singasari sejauh dapat mereka lakukan." gumam
Mahendra di dalam hatinya.
Karena itulah maka ia pun dengan sungguh-sungguh berusaha
membuat anak-anaknya menjadi manusia yang berguna, lewat
tempaan olah kanuragan yang tidak mengenal jemu. Apalagi kedua
anaknya memang merupakan tempat penuangan ilmu yang sangat
baik, sehingga seolah-olah apa yang diajarkannya, tidak pernah
mengecewakannya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang memiliki tetesan darah
ayahnya didalam olah kanuragan. Betapapun beratnya latihanlatihan
yang harus mereka lakukan, namun mereka sama sekali
tidak mengeluh. Bahkan mereka merasa bahwa kemajuan mereka
masih terlalu lamban. Mereka ingin meloncat maju sehingga mereka
mendapat kesempatan seperti kakaknya, Mahisa Bungalan.
"Mahisa Murti dan Mahisa Pukat." berkata Mahendra ketika
mereka sedang berlatih di pinggir hutan yang terlindung, "Agaknya
ilmu yang aku wariskan kepadamu sudah hampir tuntas. Namun aku
masih ingin memperkenalkan kepadamu, berbagai macam ilmu
dengan ciri-cirinya yang khusus. Mungkin pada suatu ketika kau
akan menjumpainya. Jika kau berdua sudah mengenal cirinya, maka
kau dapat membuat pertimbangan-pertimbangan untuk
menghadapinya." Mahendra berhenti sejenak, lalu, "Selain itu, kau
dapat memanfaatkan unsur-unsur gerak dari perguruan lain itu
sebagai pelengkap dari unsur gerakmu sendiri, asalkan kau dapat
menyusunnya sehingga luluh tanpa meninggalkan ciri-ciri perguruan
kita." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Apapun
yang baik dan bermanfaat bagi mereka berdua, akan mereka terima
dengan senang hati. Mahendrapun tidak lagi menunda-nunda ilmunya. Kedua anaknya
yang muda itu agaknya sudah cukup mapan untuk menerima semua
ilmu yang ada, meskipun tidak akan dengan sekaligus menjadi
masak dan sempurna. Untuk menjadi matang, masih diperlukan
1345 jarak yang agak panjang, meskipun dengan berbagai usaha dapat
dipercepat. Tetapi juga tidak terlalu tergesa-gesa.
Dengan demikian, maka disaat-saat berikutnya, di hari-hari dan
dipekan-pekan mendatang, Mahendra telah memperkenalkan
berbagai macam ilmu yang diketahuinya. Baik sebagai pengenalan
sewajarnya maupun dalam rangka menjajagi penggunaan unsurunsur
gerak yang serasi dengan ilmunya sendiri.
"Kelak, jika pamanmu Mahisa Agni datang, ia akan dapat
memberikan lebih banyak ciri-ciri perguruan Panawijen kepada
kalian seperti yang diberikan kepada kakakmu Mahisa Bungalan.
Bahkan pamanmu Mahisa Agni mengenal pula berbagai macam
unsur gerak yang diperolehnya dari Empu Sada, dan bahkan dari
ilmu yang paling kasar yang dimiliki oleh orang yang bersama Kebo
Sindet. Di sebuah gundukan tanah terpencil di tengah-tengah rawa
pamanmu Mahisa Agni pernah mempelajari dan mengetrapkan
kemungkinan-kemungkinan dari luluhnya berbagai macam ilmu,
sehingga akhirnya ia dapat mengalahkan penjahat yang paling
ditakuti." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kadang-kadang merasa iri, bahwa
seseorang mendapatkan kesempatan untuk mempelajari berbagai
macam cabang ilmu kanuragan seperti Mahisa Agni. Namun setiap
kali ayahnya berkata, "Kaupun akan mendapatkan kesempatan
seperti pamanmu Mahisa Agni dan kakakmu Mahisa Bungalan.
Pamanmu Mahisa Agni akan membimbingmu."
Meskipun belum terjadi, namun rasa-rasanya Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat sudah menjadi bangga atas kesempatan yang akan
didapatinya itu. Namun di samping olah kanuragan, Mahendra juga tidak
hentinya memberikan bimbingan dalam olah kajiwan. Mahendra
menginginkan anaknya memiliki jiwa pengabdian dan selebihnya
adalah manusia yang baik dalam sikap dan tingkah laku.
"Kau harus mengabdi dengan penuh cinta kasih kepada dua
sasaran utama." berkata Mahendra kepada anak-anaknya juga
1346 selalu dikatakannya kepada Mahisa Bungalan, "Yang pertama,
kepada Yang Maha Agung, sumber dari segalanya. Kemudian, kau
harus mengabdi dengan penuh cinta kasih pula kepada sesama."
Kedua anak-anaknya yang muda itu selalu memperhatikan
nasehat itu dengan saksama seperti kakaknya.
"Tetapi ingat." berkata Mahendra kepada kedua anak-anaknya
itu, "Jangan menganggap bahwa olah kanuragan adalah akhir dari
semuanya Di dunia ini, kadang-kadang olah kanuragan memang
merupakan perisai yang baik bagi seseorang. Tetapi bahwa sikap
yang lemah lembut dan budi yang luhur adalah sikap yang paling
utama. Dengan kekerasan tidak semua persoalan dapat dipecahkan.
Ada orang yang bersedia mati sebagai akibat ilmu yang
dipelajarinya, sehingga dengan hati yang keras ia tidak mau tunduk
kepada ilmu yang lain. meskipun ia harus mengingkari kenyataan.
Tetapi dengan sikap yang lemah lembut dan budi yang luhur,
kadang-kadang seseorang yang sama sekali tidak memiliki ilmu
kekerasan dan kekasaran itu dapat menundukkan hati seorang yang
lebih buas dari serigala lapar."
Kedua anaknya mengangguk-angguk. Nasehat serupa itu
merupakan bekal yang sangat berguna baginya dikemudian hari,
karena betapapun juga, mereka akan dilontarkan oleh keadaan ke
dalam lautan pergaulan yang luas. Sentuhan yang mungkin
mempunyai banyak akibat diantara sesama dengan sifat, sikap dan
watak yang berbeda-beda. Dalam pada itu, keduanya pun dengan cepat menjadi semakin
dewasa lahir dan batin. Sehingga pada suatu saat, ayahnya
menganggap bahwa pelajaran yang dapat diberikannya sudah
cukup lengkap. "Tidak ada lagi yang dapat aku berikan kepada kalian berdua.
Selebihnya kalian harus mencari sendiri. Di luasnya dunia ini, dan di
dalam dirimu sendiri. Karena hubungan dunia yang luas ini dengan
dunia di dalam dirimu adalah tali-temali dan tidak dapat diurai tanpa
pendalaman yang tekun, dalam kedudukannya masing-masing."
1347 Koleksi: Ki Ismoyo Scanning: KiArema Convert/Proofing: Ki Mahesa
Editing/Rechecking: Ki Area
-oo0dw0ooTiraikasih Website http://kangzusi.com/
1348 Karya SH MINTARDJA Sepasang Ular Naga di Satu Sarang
Sumber djvu : Koleksi Ismoyo & Arema
http://kangzusi.com/ atau http://dewi-kz.info/
Jilid 19 KEDUA anak-anak muda itu rasa-rasanya merasakan sentuhan yang sejuk. Rasarasanya
kuwajiban yang terberat telah lampau. Meskipun demikian keduanya
mengerti bahwa kuwajiban itu
sebenarnya tidak akan berkurang beratnya. Selagi
masih ada persoalan yang tumbuh di dalam lingkungannya, maka selama itu
kuwajibannya justru masih akan
berkembang. "Hubungan yang tali temali
itulah." berkata anak-anak
muda itu di dalam dirinya.
Namun mereka pun mengerti, bahwa pada Suatu saat, mereka
harus berhasil melihat jarak antara dunia di dalam dirinya, dunia
kecil dari keseluruhan pribadinya, dengan dunia yang luas, sehingga
mereka masing-masing akan dapat menempatkan diri pada tempat
yang benar. Pada waktu dan tempat yang tepat dan seimbang.
Dan ayahnya pun pernah berkata, "Dengan demikian, meskipun
kalian tidak akan dapat memecah diri dari kesatuan lingkungan
1349 dunia yang luas. karena kalian memang merupakan bagian mutlak
daripadanya, namun kalian bukan sekedar permainan putaran dunia
yang luas. Jika kalian berhasil, maka kalian justru akan menjadi
penggerak dari putaran dunia yang luas di sekelilingmu menurut
irama dan nada yang kau kehendaki. Dengan demikian maka kalian
akan disebut menjadi orang besar."
Kedua anak-anak muda itu menjadi tegang. Namun ayahnya
berkata, "Tetapi mungkin hanya ada satu orang di setiap jaman,
seseorang disebut orang besar yang karena pengaruh pribadinya
justru menjadi penggerak dari dunia luas. Karena itu kalian tidak
usah memaksa diri untuk mendapatkan gelar itu. Namun setidaktidaknya
kalian menyadari perjalanan hidup kalian dunia kecil di
dalam arus putaran dunia yang besar. Dengan tekun kalian harus
berusaha mengurai ikatan tali temali itu, sehingga kalian adalah
pribadi-pribadi yang sadar sepenuhnya akan kedudukan kalian, pada
waktu dan tempat disatu saat."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sadar, bahwa sulit bagi mereka
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
untuk dapat menguasai saluruhnya seperti yang dikatakan oleh
ayahnya. Tetapi semisal orang berjalan, maka ia telah mendapat
petunjuk arah yang harus mereka tempuh.
Namun dalam pada itu, Mahendra masih selalu menyisihkan
waktu bagi dirinya sendiri dan bagi kedua anaknya itu untuk
menyempurnakan ilmu mereka. Mahendra berusaha untuk
menumbuhkan pengalaman bagi anak-anaknya sehingga sifat dan
watak dari ilmunya akan segera luluh dalam sikap pribadinya
masing-masing. Dengan demikian maka dalam lingkungan kecil itu, Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat setiap saat telah tumbuh menjadi semakin
dewasa dan masak. Tetapi pada suatu saat, kedua anak-anak muda itu tidak dapat
lagi menahan keinginan mereka, sehingga Mahisa Murti telah
memberanikan diri bertanya kepada ayahnya. "Ayah, kapan kita
pergi menyusul kakang Mahisa Bungalan?"
1350 Ayahnya tersenyum mendengar pertanyaan itu. Jawabnya,
"Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, bukankah kalian mendengar sendiri
pesan pamanmu Mahisa Agni. Selama ini ayah harus sering
menghadap ke istana Singasari. Agaknya Singasari kini memang
sedang dibayangi oleh kemuraman. Meskipun Singasari masih ada
Senapati yang pilih tanding, tetapi pertimbangan orang lain, seperti
ayah yang tinggal di daerah terpencil dan kecil inilah yang tidak
dimiliki oleh mereka yang tinggal di Kota Raja. "
Kedua anak-anaknya menjadi kecewa, tetapi mereka tidak dapat
memaksa ayahnya untuk pergi menyusul Mahisa Bungalan ketempat
yang tidak diketahui, karena mereka memang mendengar pesan
Mahisa Agni itu kepada ayahnya.
"Baiklah pada waktu yang dekat kalian akan aku bawa saja ke
Kota Raja. Tetapi hati-hatilah. Kalian pernah mengalami perlakuan
yang berbahaya. Untunglah kalian masih dapat mempertahankan
diri karena orang itu terlampau bodoh. Tetapi peristiwa itu
merupakan pengalaman, bukan saja pengalaman bagimu, namun
juga pengalaman bagi orang yang sampai saat terakhir tidak
diketahui maksudnya dan dari pihak yang mana."
Kedua anak muda itu mengangguk-angguk.
Namun demikian Mahisa Pukat masih juga berdesis, "Aku sudah
pernah melihat Kota Raja. Sebenarnya perjalanan ke Kota Raja
adalah perjalanan kecil dan terlampau dekat."
Mahendra tertawa. Katanya, "Kau ingin berjalan jauh sekali"
Baiklah. Tetapi lain kali, pada kesempatan yang tepat."
Mahisa Murti yang kecewa tidak menyambung. Tetapi wajahnya
nampak suram, betapapun ia berusaha untuk menghapus kesan itu.
Pada saat yang direncanakan, maka Mahendra pun kemudian
bersiap-siap membawa kedua anaknya pergi ke Singasari. Tetapi
tidak ada yang menarik bagi keduanya. Kota Raja itu pernah di
lihatnya. Ramai dan banyak barang-barang yang tidak pernah
dilihatnya di daerah kecil itu. Tetapi sebagai pedagang, ayahnya
1351 sering membawa barang-barang itu bagi mereka, jika ayahnya
pulang dari perjalanan dagangnya.
"He, kenapa kita tidak minta saja kepada ayah untuk ikut
berdagang" Dengan demikian kita akan dapat melihat daerah yang
jauh dan sekaligus kita belajar membantu ayah." berkata Mahisa
Murti. "Tetapi ayah sekarang jarang-jarang pergi. Bahkan terikat
kepada pesan paman Mahisa Agni." jawab Mahisa Pukat.
"Tentu tidak, Ayah tentu masih akan selalu pergi mengurus
pekerjaannya, meskipun harus dilakukan sambil melakukan pesan
paman Mahisa Agni, karena keduanya dapat dilakukan bersamasama."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak segera
menyahut. Tetapi semuanya itu masih merupakan keinginan bagi kedua
anak muda itu. Keduanya masih belum dapat mengatakannya
kepada ayahnya, bahwa mereka ingin ikut dalam setiap perjalanan,
agar mereka dapat melihat tempat-tempat yang jauh.
Agaknya Mahendra dapat menangkap perasaan kedua anaknya,
bahwa ada sesuatu yang tersimpan di dalam hati. Menilik s ikap dan
kadang-kadang pembicaraan yang terputus, Mahendra menduga
bahwa anak-anaknya ingin mengatakan sesuatu kepadanya, tetapi
keduanya tidak berani menyatakannya.
"Tentu bukan keinginan mereka untuk menyusul Mahisa
Bungalan." berkata Mahendra di dalam hati, "Hal itu sudah
dikatakannya." Tetapi karena Mahendra telah menolak permintaan itu, maka
agaknya keduanya tidak berani menyatakan keinginannya yang lain,
yang barangkali serupa saja.
Meskipun demikian Mahendra berusaha untuk mengetahui
keinginan anaknya itu. Katanya, "Mahisa Murti dan Ma bisa Pukat.
Dengan menyesal ayah tidak dapat membawa kalian pergi jauh
1352 seperti yang kalian inginkan. Setiap kali ayah harus menghadap ke
Singasari sesuai dengan pesan pamanmu Mahisa Agni, dan di harihari
yang terluang, ayah harus mengurus pekerjaan ayah. Meskipun
pekerjaan itu tidak seberat pada saat-saat ayah merintis hubungan
dagang dengan orang-orang tertentu, tetapi ayah juga tidak akan
dapat mengabaikannya sama sekali, agar hubungan itu tetap
terjalin. Tetapi barangkali kalian berdua masih mempunyai
keinginan lain yang barangkali dapat aku penuhi."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak.
Kemudian dengan ragu-ragu Mahisa Murti berkata, "Ayah, memang
ada keinginan kami untuk memohon sesuatu kepada ayah. Tetapi
kami agak takut, karena persoalannya memang hampir serupa
dengan keinginan kami untuk pergi jauh sekaIi, tidak sekedar pergi
ke Kota Raja." Mahendra tersenyum. Katanya, "Katakan. Barangkali aku dapat
mempertimbangkan." "Ayah." berkata Mahisa Murti. Namun nampaknya ia masih saja
ragu-ragu. "Apakah ayah dapat mempertimbangkan, agar kami
pada suatu saat diperkenankan mengikuti ayah dalam perjalanan
dagang. Bukankah dengan demikian kami akan dapat mempelajari
seluk beluknya dan pada suatu saat dapat membantu ayah?"
Mahendra tertawa. Katanya, "Kalian memang cerdik. Tetapi
perjalanan ayah adalah jarang sekali ayah lakukan. Seperti kalian
mengetahui ayah hanyalah pedagang perantara yang membawa
barang-barang berharga dan batu-batu yang bernilai tinggi itu dari
mereka yang memperdagangkannya di satu tempat ke tempat yang
lain dengan sekedar mendapat pembagian keuntungan?"
"Tetapi itu adalah tugas yang berat ayah. Bukankah pada suatu
saat ayah datang lagi kepada orang itu untuk mengambiI sisa
barang yang tidak terjual dan uang hasil penjualan itu atau barangbarang
lain yang bernilai sama?" sahut Mahisa Pukat.
Mahendra masih tertawa. "Ternyata kau sudah mengetahui serba sedikit pekerjaan ayah."
1353 "Ya. Itu adalah tanggung jawab yang kadang-kadang harus
dilambari dengan kemampuan bertempur."
"Ah." potong Mahendra, "Itu tidak mutlak. Jika kita pandai
membawa diri, maka kemungkinan terjadi kekasaran itu kecil sekali.
Ayah berhubungan dengan orang-orang yang sudah ayah kenal
dengan baik dan dapat dipercaya, sehingga perselisihan mengenai
hal itu dapat dibatasi sampai sekecilnya, bahkan hampir dapat
dikatakan, bahwa ayah tidak pernah melakukan kekerasan dalam
persoalan ini. Bahkan pada saat-saat tertentu, jika ayah terlibat
dalam persoalan yang memerlukan waktu yang agak panjang,
bersama paman-pamanmu Mahisa Agni dan. Witantra, persoalan
barang-barang itu tidak pernah menimbulkan kesulitan apapun."
"Tetapi di perjalanan ayah dapat bertemu dengan penyamun."
potong Mhisa Murti. "Ya." Mahendra mengangguk-angguk.
"Karena itulah, maka jika ayah mengijinkan, kami ingin ikut
dalam perjalanan ayah itu. Barangkali kami pada suatu saat dapat
membantu ayah. Jika kami sudah dikenal oleh kawan-kawan ayah
itu, maka kami berdua dapat melakukan sebagian kecil dari tugas
ayah." "Kalian memang cerdik." berkata Mahendra, "Baiklah. Pada suatu
saat kalian akan aku bawa."
"Pada suatu saat." desis Mahisa Pukat.
Mahendra tertawa semakin keras. Katanya, "Jangan kecewa.
Pada suatu saat yang pendek. Setelah aku menghadap ke Singasari
aku akan pergi. He. apakah kalian jadi ikut ke Kota Raja?"
Kedua anak-anak muda itu menggeleng, seolah-olah mereka
telah bersepakat. Tetapi tiba-tiba saja terbersit kekhawatiran di hati Mahendra
meninggalkan kedua anak laki-lakinya. Orang-orang berilmu hitam
yang kehilangan orang-orangnya, dan tentu mereka telah
mendengar pula sebutan pembunuh orang berilmu hitam bagi
1354 Mahisa Bungalan, akan dapat membahayakan anak-anaknya.
Karena itu maka katanya kemudian, "Sebaiknya kalian ikut
bersamaku ke Kota Raja."
"Kami menunggu ayah di rumah." jawab Mahisa Murti.
"Bagaimana jika ayah langsung pergi mengurusi pekerjaan ayah
itu agar ayah dapat menghemat waktu dan perjalanan?"
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Desisnya, "Apaboleh
buat." Mahendra tidak dapat menahan tertawanya pula. Katanya, "Aku
tidak memaksa. Kalian dapat memilih."
Kedua anak-anaknya itu berpikir sejenak. Mahisa Murti lah yang
kemudian menyahut, "Baiklah ayah, kami akan ikut ke Kota Raja,
tetapi dengan harapan untuk terus pergi ke tempat yang jauh.
Adalah menyenangkan sekali jika kami akan menyusul kakang
Mahisa Bungalan." Mahendra pun mengangguk-angguk. Jawabnya, "Baiklah.
Baiklah. Aku tidak ingin terlalu banyak membuat kalian menjadi
kecewa." Demikianlah maka Mahendra pun segera mempersiapkan dirinya
untuk pergi ke Kota Raja. Meskipun sebenarnya ia tidak perlu
tergesa-gesa, namun ia tidak mau melihat anaknya menjadi jemu di
rumah dan berbuat sesuatu yang tidak dikehendakinya.
"Lebih baik aku membawa mereka pergi, daripada mereka pergi
tanpa minta ijin terlebih dahulu." pikir Mahendra.
Perjalanan berkuda yang kemudian mereka tempuh adalah
perjalanan yang sama sekali tidak menarik bagi kedua anak muda
itu. Seperti orang-orang lain yang bepergian untuk keperluan yang
wajar, mereka pergi ke Kota Raja. Bahkan rasa-rasanya perjalanan
itu hanya membuang-buang waktu saja.
Di sepanjang jalan, mereka memandang tanah persawahan
dengan hati yang kosong. Persawahan yang hampir setiap kali
1355 dilihatnya. Bahkan ketika mereka memasuki hutan pun , mereka
sama sekali tidak tertarik kepada kicau burung liar yang
berterbangan dari dahan ke dahan.
Mahendra dapat mengerti perasaan kedua anaknya. Karena itu ia
pun tidak banyak berbicara, karena setiap kali kedua anaknya hanya
menjawab dengan kalimat-kalimat yang pendek.
Pada saat Mahendra dan kedua anak-anaknya mendekati Kota
Raja maka di tempat yang agak tersembunyi, beberapa orang
sedang berkumpul. Agaknya mereka dengan sengaja mengadakan
sebuah pertemuan yang tidak boleh dihadiri oleh orang-orang lain
yang bukan lingkungan mereka.
"Jadi orang yang kemudian menyebut dirinya Tapak Lamba itu
sudah datang kepadamu?" bertanya seseorang yang agak kekuruskurusan.
"Ya." jawab Ki Buyut di Pengasih, "Aku.tidak dapat menahannya
lebih lama lagi, karena agaknya ia mempunyai pembicaraan
tersendiri dengan orang yang disebutnya bernama Linggapati dan
Linggadadi." Orang yang agak kekurus-kurusan itu mengangguk-angguk.
"Menurut orang yang kemudian menyebut dirinya Tapak Lamba
itu, Linggadadi adalah orang yang memiliki ilmu yang tiada taranya.
Bahkan ia menyebut-nyebut kemungkinan bahwa ilmu orang itu
sebanding dengan ilmu orang-orang terkemuka di Singasari."
Orang yang kekurus-kurusan itu tertawa. Katanya, "Itu sudah
berlebih-lebihan. Jika yang dimaksud adalah para Senapati dan
Panglima muda yang sekarang sedang berkembang di dalam
lingkungan keprajuritan Singasari aku percaya. Tetapi jika yang
dimaksud adalah para Senapati dan pimpinan keprajuritan yang tua,
seperti Mahisa Agni, Panji Pati-pati dan sebagainya, maka ceritera
itu adalah ceritera khayalan saja."
Ki Buyut mengerutkan keningnya. Kemudain katanya, "Aku
memang sedang mencoba memperbandingkan. Di padukuhanku
1356 pernah hadir orang-orang berilmu hitam. Menurut Tapak Lamba,
orang-orang berilmu hitam itu tentu tidak akan dapat mengalahkan
Linggadadi, sehingga dengan demikian aku mendapat gambaran
kemampuannya." "Kau percaya" Apakah orang-orang berilmu hitam itu memiliki
kemampuan jauh lebih tinggi dari kemampuanmu dan orang yang
kemudian mengganti namanya dengan Tapak Lamba itu?"
"Ya. Meskipun mungkin aku masih dapat mempertahan diri
melawan mereka seorang demi seorang. Tetapi setelah mereka
bergabung menjadi satu, maka mereka yang berjumlah tiga orang
itu benar-benar merupakan kekuatan yang mengerikan sekali."
"Bagaimana mungkin kau dapat menyelamatkan dirimu dari
mereka bertiga?" "Seorang anak muda bernama Mahisa Bungalan telah hadir
dengan kebetulan. Anak muda itulah yang membinasakan ketiga
orang berilmu hitam itu."
"Mahisa Bungalan anak Mahendra?"
"Ya." "Yang kemudian disebut Mahisa Bungalan pembunuh orang
berilmu hitam?" "Ya. Aku juga mendengar bahwa orang berilmu hitam yang
berada di dalam Kota Raja ini pun telah dibunuhnya."
"Dan kau tahu siapa Mahendra?"
"Pada masa kekuasaan tuanku Tohjaya surut, namanya memang
pernah disebut-sebut diantara nama Mahisa Agni dan Witantra yang
bergelar Panji Pati-Pati."
"Nah. ternyata ingatanmu baik sekali. Bukankah dengan demikian
kau dapat membuat perbandingan antara orang orang berilmu
hitam, Linggadadi menurut ceritera Tapak Lamba dan Mahendra
yang berada dalam satu jenjang dengan Mahisa Agni?"
1357 "Ya." Ki Buyut mengangguk-angguk, "Aku menjajarkan
Linggadadi dengan Mahisa Bungalan. Tidak dengan Mahisa Agni."
"Nah apa kataku. Tentu harus diperbandingkan dengan anakanak
muda yang sedang berkembang sekarang yang agaknya akan
dapat menggantikan kedudukan mereka yang menjadi semakin tua
seperti Mahisa Agni. Betapapun saktinya orang itu, dan bahkan
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dapat disejajarkan dengan tuanku Sri Rajasa, namun ia tidak akan
dapat melawan umurnya, sehingga pada suatu saat ia akan
menghadapi maut yang dipaksakan oleh ketuaannya, kapan pun
saat itu baru akan datang."
Ki Buyut mengangguk-angguk. Bahkan kemudian ia berdesis,
"Semuanya telah berkembang dan melimpah kepada yang muda.
Tetapi aku belum berbuat apa-apa sekarang ini."
Kawan-kawannya mengerutkan keningnya. Salah seorang dari
mereka pun bertanya, "Apakah yang akan kau lakukan?"
"Berbuat sesuatu untuk yang muda di padukuhan. Maksudku aku
belum mempunyai arti apapun bagi anak-anak kita karena selama
ini aku tidak mempunyai suatu kesempatan. Bukan karena aku
selalu sibuk, tetapi justru karena aku tenggelam dalam perbuatan
yang tidak berarti sama sekali bagi masa depan anak-anak kita."
"Lalu." "Jika saja aku dapat menebus kelambatan itu. Meskipun hanya
setitik kecil dari curahan hujan yang deras dari langit, agaknya aku
akan merasa berbahagia." berkata Ki Buyut di Pengasih, "Nah,
apakah kalian mengerti" Dan apakah kalian mempunyai perasaan
yang sama seperti aku?"
Kawan-kawannya mengangguk-angguk.
"Mungkin pada suatu saat Tapak Lamba akan datang kepada
kalian dan mengajak kalian ikut didalam gerakan Linggadadi seperti
yang pernah dikatakan kepadaku. Memang perbuatan itu
mengandung harapan. Bukan saja buat diri sendiri dan masa depan
anak-anak kita. Tetapi yang akan terjadi adalah justru pertentangan
1358 dan bahkan mungkin pertumpahan darah. Nah. apakah kita masih
haus melihat darah tertumpah" Di padukuhanku, saat aku masih
berada dibawah pengaruh orang-orang berilmu hitam hidupku
benar-benar dilumuri dengan darah sesama, sehingga aku menjadi
seperti orang yang tidak mempunyai kesadaran lagi. Lebih
berbahaya dari orang gila, karena aku masih sempat
mempergunakan akal untuk menjebak orang lain dan memeras
darahnya." "Kau tentu sudah muak melihat darah." desis salah seorang
kawannya. "Ya." "Tetapi kita adalah prajurit." berkata yang lain, "Pada masa
kekuasaan tuanku Tohjaya, aku adalah seorang Senapati."
"Tetapi masa itu sudah lampau, dan kita tidak akan dapat
kembali lagi dan merindukannya. Marilah kita melihat masa kini dan
masa depan. Apakah kita masih saja bersifat kekanak-kanakan
dengan segala macam tingkah. Kita bukan lagi anak-anak muda
yang bangga karena telah berani melanggar ketentuan dan
larangan-larangan. Kita bukan anak-anak muda yang dengan dada
tengadah melihat pertentangan yang tumbuh karena sikap kita yang
dungu." Kawannya mengyangguk-angguk. Salah seorang dari mereka
bertanya, "Jadi apakah yang kau harapkan dari kita?"
"Kawan-kawan." berkata orang itu, "Kita pertama-tama merasa
bersukur bahwa tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka
tidak dilambari dengan perasaan dendam di dalam hati, selagi
mereka memegang pimpinan pemerintahan sekarang ini. Karena itu,
kita tidak merasa diri kita selalu dikejar-kejar oleh kecemasan dan
ketakutan." "Ya. Tetapi kau belum mengatakan maksudmu yang sebenarnya.
Mungkin kami dapat mempertimbangkan dengan sebaiknya."
1359 "Baiklah." berkata Ki Buyut, "Aku sekarang adalah seorang Buyut
disebuah padukuhan terpencil. Semula aku memang bersembunyi di
padukuhan itu. Aku menutupi ketakutan itu dengan perbuatan yang
aneh-aneh. Yang barangkali sudah aku katakan, melampaui orang
gila." Ia berhenti sejenak, lalu, "Tetapi sekarang aku seolah-olah
sudah terbangun dari mimpi yang mengerikan itu. Dan aku
mempunyai keinginan, padukuhanku menjadi padukuhan yang baik.
Wajar dan tidak lagi digenangi dengan darah."
"Apa yang dapat kami lakukan?" bertanya salah seorang dari
mereka. "Aku mengharap kalian bersedia tinggal bersamaku. Katakanlah,
bersembunyi bersama aku. Tetapi aku percaya bahwa padukuhan
akan menjadi padukuhan yang tenang dan damai meskipun
sebagian dari penghuninya adalah prajurit-prajurit. Bahkan
Senapati-senapati seperti kalian." Ki Buyut berhenti sejenak, lalu,
"Tetapi kami akan kembali menjadi manusia-manusia yang kasar
dan barangkali liar, dalam sikap yang lain. Kami akan melakukan
kekerasan senjata jika ada orang lain yang mengusik padukuhan
yang kita bina dengan cita-cita damai dan tenang itu."
Beberapa orang mengangguk-angguk.
"Aku melihat bahwa kalian masih tetap merasa terasing dan
bahkan bersembunyi disini. Tempat yang kita tentukan sebagai
daerah pertemuan yang tersembunyi masih saja kalian pertahankan
sampai saat ini, setelah sekian lamanya wajah Singisari berubah.
Nah katakan, sampai kapan kita akan bertahan dengan keadaan
seperti ini?" Salah seorang dari pada Senapati itu berdesis, "Aku mengerti
arah pembicaraanmu. Kau mempunyai daerah baru yang dapat kita
jadikan tempat menumbuhkan harapan bagi masa depan kita dan
anak-anak kita. Memang kita tidak dapat hidup dalam
persembunyian semacam ini terus menerus."
"Nah. Terserah kepada kalian, apakah kalian dapat menerima
tawaranku. Tanah masih cukup luas, karena padukuhanku yang
1360 terpencil, yang pernah disebut daerah bayangan hantu itu masih
dikelilingi oleh hutan yang lebat dan luas, yang akan dapat dijadikan
lapangan penghidupan yang penuh harapan bagi masa depan. Jika
kalian bersedia, marilah kita jadikan padukuhan yang dipercayakan
kepadaku itu sebagai tanah yang akan kita jadikan Iandasan hidup
kita di masa depan. Yang akan kita bina bersama, tetapi juga akan
kita pertahankan bersama. Aku menjadi berbesar hati bahwa kita
adalah prajurit. Meskipun mungkin seorang-orang kami tidak
melampaui kemampuan orang kebanyakan, tetapi bersama-sama
kita akan merupakan kekuatan yang tidak terpatahkan. Dan aku
yakin bahwa kita tidak akan pernah berbenturan dengan prajurit
Singasari." Bekas prajurit Singasari pada masa pemerintahan Tohjaya itu
merenung sejenak. Agaknya mereka sedang mempertimbangkan
kemungkinan-kemungkinan yang dapat diharapkannya.
"Kapankah orang yang menyebut dirinya Tapak Lamba itu akan
datang kepada kami?" bertanya salah seorang dari mereka.
"Aku tidak tahu pasti." jawab Ki Buyut, "Tetapi sudah aku
katakan, harapan yang harus dibasahi dengan darah. Dan aku
memang sudah muak melihat darah. Kecuali jika terpaksa untuk
mempertahankan pedukuhan yang selama ini aku bangun itu."
Para bekas prajurit itu termangu-mangu.
"Jika kalian ragu-ragu, kalian dapat melihat daerah itu lebih
dahulu. Jika kalian ternyata bersikap lain. aku tidak berkeberatan."
"Ki Buyut." salah seorang dari mereka tiba-tiba saja bertanya,
"Apakah kau bukan sekedar sedang mencari korban untuk
menyempurnakan ilmu hitam itu."
"Apakah masih nampak pada wajahku kebuasan serupa itu" Jika
kalian tidak percaya, bahwa aku adalah calon korban dari ilmu itu,
yang berhasil diselamatkan oleh Mahisa Bungalan anak Mahendra,
bertanyalah kepadanya. Ia tentu masih mengenal aku."
Bekas prajurit yang mendengarkannya mengangguk-angguk.
1361 "Nah, siapakah yang akan bersedia pergi bersamaku untuk
melihat tanah yang akan dapat kalian jadikan tanah harapan itu"
Mungkin tiga atau empat orang atau bahkan kalian bersama-sama?"
"Tentu akan menimbulkan kecurigaan."
"Sudah tentu, seorang demi seorang, atau dua orang berjalan
bersama-sama keluar regol Kota Raja. Aku akan menunggu kalian di
tempat yang kita tentukan kemudian jika kalian setuju."
Para Senapati itu masih saja ragu-ragu. Namun kemudian salah
seorang dari mereka berkata, "Baiklah. Aku bersedia melihat
padukuhan itu lebih dahulu bersama beberapa orang kawan."
"Terima kasih. Aku adalah taruhannya. Jika ternyata kata-kataku
ini tidak benar, aku bersedia dipenggal leherku."
"Jangan berkata demikian. Sebab jika kata-katamu itu tidak
benar, kami tidak akan sempat memenggal lehermu, karena kulit
kamilah yang. sudah terkelupas lebih dahulu, dan darah kami akan
menjadi penyegar ilmu hitam itu."
Ki Buyut di Pengasih menarik nafas dalam-dalam. Namun sambil
mengangguk ia berkata, "Aku berterima, kasih atas kepercayaan
kalian. Baiklah besok kita akan berangkat. Kita tidak akan bersamasama
keluar dari regol Kota Raja agar kita tidak dicurigai."
Demikianlah di pagi hari berikutnya, Ki Buyut di Pengasih lelah
meninggalkan Kota Raja. Berurutan dengan beberapa orang bekas
prajurit yang mengenakan pakaian orang kebanyakan. Mereka telah
menentukan tempat untuk bertemu dan bersama-sama pergi
kepadukuhan Pengasih yang pernah disebut daerah bayangan
hantu. Sementara itu, Mahendra dengan kedua anak-anaknya telah
berada di Kota Raja. Mereka telah berkesempatan untuk
menghadap Maharaja dan Ratu Angabhaya. Tetapi karena tidak ada
peristiwa-peristiwa yang penting, sehingga tidak banyak yang
mereka perbincangkan selain pesan dari tuanku Ranggawuni dan
Mahisa Cempaka, agar Mahendra sering datang menghadap untuk
1362 kadang-kadang berbicara tentang perkembangan keadaan sebelum
Mahisa Agni dan Wirantra kembali. Pendapat Mahendra yang
kadang-kadang terasa dekat sekali dengan pikiran-pikiran Mahisa
Agni, masih diperlukan oleh Ranggawuni dan Mahisa Campaka di
samping pendapat dan pikiran-pikiran para Panglimanya, karena
Mahendra adalah orang yang langsung melihat segi-segi kehidupan
di luar lingkungan istana dan daerah yang agak jauh karena
pekerjaannya. Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak
tertarik hatinya untuk berjalan-jalan berkeliling kota seperti yang
pernah dilakukan. Ia tidak mau menjadi sebab timbulnya keributan
di dalam kota seperti yang pernah dialaminya. Sehingga dengan
demikian, maka mereka hanya mau keluar halaman istana bersama
dengan ayahnya. "Aku mempunyai beberapa keperluan di dalam kota ini." berkata
ayahnya. "Bukankah ayah sudah menghadap?"
"Tidak dengan Tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa
Cempaka." "Lalu." "Ayah akan membicarakan masalah pekerjaan ayah dengan
beberapa saudagar. Jika kalian ingin ikut, marilah."
Kedua anaknya mengikutinya saja meskipun mereka tidak begitu
berminat. Namun dengan demikian mereka pun telah mulai
mengenal beberapa orang langganan ayahnya dan pekerjaan yang
dilakukannya. "Lusa kita lanjutkan perjalanan ini." berkata ayahnya, "Aku akan
pergi ke tempat yang agak jauh. Ke Kediri."
"Kami ikut ayah?" bertanya Mahisa Pukat.
"Ya. Bukankah kalian akan mengetahui pekerjaan ayah dan pada
suatu saat akan menggantikannya?"
1363 Yang lebih menarik bagi kedua anak-anaknya adalah perjalanan
itu sendiri. Meskipun demikian mereka pun senang pula mengenal
beberapa orang yang selalu berhubungan dengan ayahnya didalam
masalah pekerjaan dagangnya.
"Tetapi tidak terlalu lama. Aku harus segera berada di Kota Raja
ini pula." berkata ayahnya.
Kedua anak Mahendra itu merasa gembira bahwa mereka akan
mendapat kesempatan untuk melihat-melihat daerah yang lebih
luas. Mereka merasa lebih senang jika ayahnya kemudian
mengambil keputusan untuk, menyusul Mahisa Bungalan.
Tetapi Mahendra sudah berkata kepada mereka, bahwa ia harus
segera berada di Kota Raja kembali menghadap Tuanku
Ranggawuni dan Tuanku Mahisa Campaka.
Namun demikian, perjalanan itu sudah cukup memberikan
kesegaran baru kepada mereka yang sudah menjadi jemu oleh
keadaan mereka sehari-hari yang seolah-olah tidak mengalami
perubahan apapun juga. Sementara Mahendra dan kedua anak-anaknya berkuda ke
Kediri, maka Ki Buyut di Pengasih bersama beberapa orang
kawannya telah berada kembali di padukuhannya. Dengan bangga
ia memperlihatkan sawah yang mulai menghijau meskipun belum
begitu luas. "Sawah ini akan segera berlipat ganda luasnya jika kalian berada
di padukuhan ini dan bersedia bekerja keras." berkata Ki Buyut.
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Katanya, "Barangkali itu
lebih baik daripada harus bersembunyi tanpa dapat berbuat apa pun
juga." "Sebenarnya kalian tidak perlu bersembunyi." berkata Ki Buyut,
"Tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Campaka tidak berbuat
apa-apa atas kita." Seorang kawannya menyahut, "Tetapi agaknya memang lebih
senang hidup disini."
1364 "Aku mengharapkan kesediaan kalian tinggal disini. Ada banyak
keuntungan. Bagi kalian dan bagi kami yang sudah lebih dahulu
tinggal di padukuhan kecil terpencil ini."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk.
"Padukuhan ini semula merupakan tempat tertutup. Karena aku
pun berpendapat seperti kalian. Bersembunyi. Apalagi ketika orangorang
berilmu hitam itu ada disini. Jika kelak kalian tinggal bersama
kami, maka padukuhan ini akan menjadi padukuhan yang terbuka
dan akan menjadi semakin lama semakin besar. Kami akan
mengembangkannya dan mempertahankannya dengan senjata jika
ada pihak yang manapun yang akan mengganggu kami."
"Baiklah." seorang bekas Senapati yang bertubuh tinggi kekar
berkata, "Aku menyatakan diri untuk tinggal bersamamu disini. Aku
akan menjemput keluargaku."
"Kita akan bekerja keras."
"Kami menyadari bahwa kami harus mulai dengan kerja keras
disini. Tetapi kami pun menyadari bahwa kerja keras itu pada
hakekatnya adalah untuk anak-anak kami."
Dengan demikian maka para bekas prajurit itu pun bersepakat
untuk menjemput keluarga masing-masing dan mengajak beberapa
orang kawan yang lain untuk tinggal di padukuhan terpencil yang
masih akan berkembang. "Jika kita tidak menutup diri. maka kemungkinan untuk menjadi
besar selalu terbuka, apabila mengingat kesadaran kalian untuk
bekerja keras dan berjuang bagi padukuhan ini." berkata Ki Buyut di
Pengasih.
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ternyata rencana mereka itu mendapat sambutan yang baik dari
beberapa orang kawan mereka yang masih saja bersembunyi dan
menyamar diri. Dua belas orang bekas prajurit Singasari di masa
pemerintahan Tohjaya, telah berpindah tempat dan linggal di
Drama Dari Krakatau 1 Gema Di Ufuk Timur Karya Putu Prana Darana Peri Angsa Putih 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama