Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja Bagian 25
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun
bertanya, "Apakah kau ingin melihat Panawijen sekarang ?"
"Ya paman. Dan aku pun ingin melihat taman yang pernah dibuat
oleh orang-orang Tumapel termasuk Ken Arok yang kemudian
bergelar Sri Rajasa itu. Taman yang telah dibuat atas perintah
Akuwu Tunggul Ametung untuk permaisurinya Ken Dedes, tetapi
yang kemudian justru menjadi permaisuri Sri Rajasa itu sendiri."
1489 Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Sekilas tebrayang
sesuatu yang menegangkan urat syarafnya di wajahnya. Namun
bayangan itupun segera disaput oleh senyumnya yang nampak
bermain di bibirnya. Namun betapa pahit senyum itu.
Mahisa Bungalan sama sekali tidak dapat membayangkan apa
yang pernah terjadi dan bermain di hati Mahisa Agni pada masa
mudanya. Pada masa kecilnya di saat-saat ia hidup di padepokan
Empu Purwa bersama dengan Ken Dedes itu sendiri.
Tetapi bukan saja Mahisa Agni yang kemudian dibayangi oleh
kenangan yang pahit dimasa lampaunya. Witantra pun agaknva
tersentuh pula oleh kenangan yang serupa, selagi ia menjadi
seorang Panglima yang disegani, tetapi yang dikalahkan dan
dihinakan diarena oleh Mahisa Agni.
"Tetapi ia saat itu tidak mengetahui bahwa ia sekedar merupakan
alat" desis Witantra di dalam hatinya, "namun yang kemudian telah
disesalinya." Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya ketika di luar sadarnya
ia memandang wajah kedua pamannya itu. Ia memang melihat
sesuatu. Dan meskipun hanya sekilas dan tidak tapis, ia pernah
mendengar dari ayahnya ceritera tentang kejayaan Tumapel
meskipun Tumapel hanyalah sebuah lingkungan yang jauh lebih
kecil dari Singasari dan diperintah oleh seorang Akuwu.
"Mahisa Bungalan" berkata Mahisa Agni kemudian, "apakah kau
memang ingin melihat bekas-bekas kebesaran Akuwu Tunggul
Ametung yang sekarang barangkali sudah tinggal kerangkanya saja
?" "Ya paman" jawab Mahisa Bungalan, "mungkin aku akan
menemukan pengalaman baru setelah aku melihat-lihat bekas
kebesaran itu. Tetapi yang penting, aku ingin melihat Panawijen
yang menurut pendengaranku telah dipindah dari tempatnya
semula." 1490 Mahisa Agni mengangguk-angguk. Sejenak ia tidak menjawab
Rasa-rasanya ada, sesuatu yang bergejolak didalam dadanya.
Bahkan kemudian terbayang, betapa Empu Purwa, gurunya dalam
olah kanuragan dan olah kajiwan, didera oleh kekecewaan hati
karena anak gadisnya yang bernama Ken Dedes telah hilang
dirampas oleh para prajurit dari Tumapel, yang dipimpin langsung
oleh Akuwu Tunggul Ametung.
"Permulaan dari perjalanan hidup yang buram" desisnya didalam
hati. Karena sepanjang pengamatannya atas jalan hidup Ken Dedes
yang pahit sampai saat terakhirnya.
Bahkan kemudian terbayang juga seorang emban tua yang
menjadi pemomong Ken Dedes sejak masa kanak-kanaknya. Emban
yang demikian baik dan setia. Yang ternyata adalah ibunya. Ibu
Mahisa Agni itu sendiri. Mahisa Bungalan melihat wajah Mahisa Agni seolah-olah di
bayangi oleh selapis kabut yang buram. Namun iapun menyadari
bahwa kenangan masa lampau Kadang-Kadang dapat
menumbuhkan kesan yang aneh. Mungkin kesan duka, tetapi
mungkin pula kesan suka. "Kita akan singgah sebentar Mahisa Bungalan" desis Mahisa Agni.
"Terima kasih paman" jawab Mahisa Bungalan.
"Tetapi kita masih akan bermalam dua malam lagi di perjalanan
sebelum kita sampai ke Panawijen."
"Masih begitu jauh ?"
"Kita tidak tergesa-tergesa bukan ?"
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Sekilas ditatapnya wajah
Witantra. Di wajah itu, iapun melihat pula bayangan yang suram
seperti di wajah Mahisa Agni.
Beberapa saat kemudian Mahisa Bungalan tidak berkata apapun
juga. Ia mencoba mengerti, kenangan apakah yang telah bermain di
dalam hati kedua pamannya itu.
1491 Mahisa, Agni dan Witantra pun Rasa-rasanya lebih senang
bermain dengan kenangannya daripada banyak berbicara. Sehingga
karena itulah maka mereka tidak banyak lagi berbincang di
sepanjang jalan. Hanya Kadang-Kadang saja mereka bercakapcakap
tentang jalur jalan yang mereka hadapi. Padukuhan yang sepi
dan bulak panjang yang berpagar hutan perdu diujung yang jauh.
Namun merekapun bukan saja melintasi bulak-bulak panjang,
padukuhan yang sepi dan kota-kota kecil yang sedang berkembang,
tetapi mereka juga melintasi hutan yang rindang dan pinggir hutan
yang lebat dan pepat. "Apakah kita tidak salah jalan ?" bertanya Mahisa Bungalan.
"Kita akan menemukan arah setelah kita lewati hutan ini" jawab
Mahisa Agni. "Paman belum pernah melalui jalan ini ?"
Mahisa Agni menggelengkan kepalanya"Dan paman Witantra ?"
Witantra mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya, "Juga
belum. Baru kali ini aku melihat jalan ini."
"Apakah kita akan dapat menemukan arah yang benar?"
Witantra tersenyum. Katanya, "Kau juga seorang perantau.
Apakah kira-kira kita akan sampat ke Panawijen?"
Mahisa Bungalan tertawa pendek. Sambil mengangguk-angguk ia
menjawab, "Ya paman."
Seperti yang dikatakan oleh Mahisa Agni, maka mereka pun
masih harus bermalam dua malam di perjalanan. Yang semalam
mereka bermalam di pinggir sebuah hutan yang lebat. Sedang pada
malam yang kedua mereka memasuki sebuah padukuhan kecil.
"Nah, apa katamu Mahisa Bungalan" berkata Witantra.
"Tentang perjalanan kita paman ?"
1492 "Ya." Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Lalu katanya, "Aku
mengerti paman. Kita akan segera dapat menemukan arah. Kita
sudah melihat puncak Gunung Kawi."
"Kemudian ?" "Panawijen terletak di lereng sebelah Timur Gunung Kawi."
Witantra dan Mahisa Agni tersenyum.
"Bukankah kita akan sampai juga meskipun kita belum pernah
melalui jalan ini ?" bertanya Witantra.
"Ya paman. Kita bermalam di padukuhan kecil itu. Besok kita
akan meneruskan perjalanan. Tidak sampai petang, kita tentu sudah
sampai ke Panawijen."
Menjelang matahari turun di senja hari, mereka memasuki
sebuah padukuhan kecil yang sepi. Meskipun nampaknya
padukuhan itu mempunyai banyak kesibukan sehari-hari, ternyata
dengan lingkungan sawah yang luas disekeliling padukuhan itu,
kandang yang nampak dibeberapa halaman. Namun hampir setiap
pintu rumah nampak tertutup meskipun hari masih terang.
"Apakah memang kebiasaan mereka demikian?" bertanya Mahisa
Bungalan seolah-olah tertuju kepada, diri sendiri.
Tetapi ternyata Mahisa Agni dan Witantra pun menjadi heran
pula melihat jalan yang lengang itu.
"Ada sesuatu yang kurang wajar" desis Mahisa Agni.
"Apakah kita akan bertanya kepada seseorang ?"
"Kita tidak bertemu dengan seorangpun."
"Kita akan mengetuk pintunya.:
Mahisa Agni dan Witantra ragu-ragu sejenak. Bahkan kemudian
Mahisa Agni berkata, "Mungkin justru kitalah yang telah menakutnakuti
mereka." 1493 "Jika demikian, tentu ada sesuatu yang pernah terjadi di
padukuhan ini" sahut Witantra.
Mahisa Agni Mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Kita akan
turun dan berjalan sepanjang jalan ini."
Ketiganya kemudian turun dari kuda mereka- Perlahan-lahan
mereka berjalan sambil menuntun kuda masing-masing. Dengan
saksama mereka memperhatikan halaman yang lengang dan rumah
yang tertutup. "Memang aneh sekali," desis Witantra, "apakah penghuni
padukuhan ini tidak mau berhubungan dengan orang yang mereka
anggap asing?" Mahisa Agni mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia
menjawab, "Agaknya bukan karena mereka tidak mau berhubungan
dengan orang-orang yang belum mereka kenal. Jalan ini adalah
jalan yang termasuk penting di daerah ini, ternyata dari
keadaannya. Bahkan jalan ini tentu pernah atau bahkan sering
dilalui oleh pedati."
"Jika demikian, tentu ada sebab yang membuat mereka
ketakutan" sahut Mahisa Bungalan.
Namun dalam pada itu, selagi mereka berjalan dengan penuh
pertanyaan didalam hati. tiba-tiba saja mereka melihat seorang
anak kecil yang berlari-lari sambil menangis. Agaknya ia sama sekali
tidak menghiraukan keadaan. Ia tidak mengerti apa yang sedang
dilakukan oleh orang tua mereka. Tetapi oleh kemarahan yang tidak
tertahankan, ia menangis menjerit-jerit dan lari kejalan.
"Berhenti, berhenti disitu" teriak ibunya yang mengejarnya.
Tetapi anak kecil itu tidak menghiraukannya Bahkan ia berlari
lebih cepat. Namun langkahnya tiba-tiba saja terhenti, ketika di luar
sadarnya ia berpapasan dengan Mahisa Bungalan. Sejenak anak itu
termangu-mangu. Namun dengan demikian tangisnya pun bagaikan
tertelan kembali di kerongkongan. Sejenak kemudian ibunya yang
mengejarnya pun terhenti beberapa langkah di belakang anaknya
1494 yang termangu-mangu. Mahisa Bungalan mendekati anak itu sambil
tersenyum. Bahkan kemudian ia berjongkok dihadapannya sambil
berkata, "Kenapa kau menangis anak manis ?"
Anak itu surut selangkah.
"O, aku mempunyai sebuah permainan yang baik." berkata
Mahisa Bungalan, "dengarlah. Jangan menangis."
Anak itu mundur lagi selangkah, sementara ibunya menjadi
bingung. "Aku tidak apa-apa, " desis Mahisa Bungalan, "he, kau pernah
naik kuda?" Anak itu mulai tertarik kepada kuda Mahisa Bungalan.
"Kau adalah anak yang berani. Marilah, naiklah." Anak itu masih
ragu-ragu, tetapi ibunyalah yang berteriak
"Kemarilah ngger. Kemari. Nanti ayahmu mencarimu jika ia
pulang dari sawah." (Bersambung ke jilid 21) Koleksi: Ismoyo Scanning: Arema Convert/proofing: Ayasdewe
Editing: Arema OoodwooO 1495 Karya SH MINTARDJA Sepasang Ular Naga di Satu Sarang
Sumber djvu : Koleksi Ismoyo & Arema
http://kangzusi.com/ atau http://dewi-kz.info/
Jilid 21 Mahisa Bungalan memandang perempuan itu sejenak, lalu ia pun berdir i
sambil berkata, "Nyai, apakah
anak ini anak Nyai?"
Perempuan itu justru menjadi ketakutan. "Kami tidak akan berbuat
apa-apa. Kami hanyalah sekedar lewat. Ternyata padukuhan ini terasa sepi
dan lengang meskipun hari
masih siang." Perempuan itu masih tetap berdiam diri. "Nyai, jika nyai keberatan memberikan keterangan apapun juga,
apakah nyai dapat menunjukkan dimana rumah Ki Buyut dari
padukuhan ini?" Perempuan itu tidak segera menyahut.
"Aku kira lebih baik nyai menunjukkan arahnya daripada aku
harus mengajak anak nyai bersama kami pergi ke rumah Ki Buyut."
"Jangan, jangan bawa anak itu."
1496 Mahisa Bungalan tersenyum. "Tentu tidak jika Nyai berkeberatan
Tetapi tolonglah Nyai. Tunjukkan saja di mana rumah Ki Buyut."
Perempuan itu nampak ragu-ragu. Kecemasan yang sangat telah
mencengkam wajahnya. Sekilas dipandanginya anaknya yang
kebingungan. Tetapi anak itu justru sudah tidak menangis lagi.
"Tetapi, tetapi............" perempuan itu tergagap.
"Nyai tidak usah berbuat apa-apa. Tunjukkan saja di mana
rumahnya. Aku tidak berniat buruk."
"Tetapi" perempuan itu masih ragu-ragu.
"Jika aku berniat buruk Nyai, aku akan melakukannya sekarang.
Bahkan meskipun setiap pintu tertutup, aku dapat saja
membukanya dengan paksa. Tetapi bukan itu niatku datang
kemari." Perempuan itu masih ragu-ragu. Sekilas dipandanginya anak nya
yang berdiri kebingungan. Lalu katanya, "Pergilah sepanjang jalan
ini. Di simpang tiga, dekat sebatang pohon nyamplung, berbeloklah
kekanan. Kalian akan sampai ke banjar. Di dekat banjar itu adalah
rumah Ki Buyut." "Terima kasih. Kami akan menemui Ki Buyut." Perempuan itu
tidak menjawab, Mahisa Bungalan pun kemudian berkata kepada anak kecil itu,
"Jangan nakal lagi ya. Aku mempunyai sekeping uang."
Anak itu ragu-ragu. Tetapi Mahisa Bungalan sambil tersenyum
menyelipkan sekeping uang ditangannya.
"Jangan menangis dan jangan berlari-lari di jalan" lalu kepada
perempuan itu ia berkata, "terima kasih nyai. Kami akan pergi."
Ketiganya pun kemudian meloncat ke atas punggung kudanya
dan melanjutkan perjalanan seperti yang ditunjukkan oleh
perempuan itu, menuju ke rumah Ki Buyut yang belum dikenalnya.
1497 Perempuan yang ditinggalkan itu termangu-mangu sejenak.
Dipandanginya tiga ekor kuda yang berlari di jalan padukuhan itu,
sehingga ketiganya menjadi semakin lama semakin jauh.
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Perempuan itu tersadar ketika ia mendengar anaknya itu
memanggilnya. Dengan ragu-ragu anak kecil itu menunjukkan
sekeping uangnya kepada ibunya.
Perempuan itu berjongkok di hadapan anaknya Sambil memeluk
anak itu ia berkata, "Kau tidak mengucapkan terima kasih Ngger."
Anak itu termangu-mangu. "Seharusnya kau mengatakannya. Terima kasih tuan." Anaknya
tidak menjawab. Dengan lengannya ia mengusap matanya yang
masih basah meskipun ia tak menangis lagi.
"Marilah, kita pulang" berkata ibunya sambil mengangkat anak itu
ke dalam dukungannya. Anak itu tidak meronta lagi. Dipermainkannya sekeping uang di
tangannya. Bahkan kemudian ia pun tersenyum.
Sementara itu, Mahisa Bungalan, Mahisa Agni dan Witantra telah
berbelok di simpang tiga di bawah sebatang pohon nyamplung.
Rupanya di bagian yang lebih dalam, padukuhan itu terasa juga
sangat lengang. Meskipun demikian, mereka masih melihat satu dua
orang lewat dengan tergesa-gesa. Apalagi jika mereka mendengar
ada derap kaki kuda, maka mereka pun segera berlari-lari masuk ke
dalam rumah. Seperti yang dikatakan oleh perempuan itu, ketiganya pun
kemudian sampai ke dekat sebuah banjar yang tidak begitu besar,
sesuai dengan padukuhannya. Di dekat banjar itu terdapat sebuah
rumah yang agak lebih besar dari rumah-rumah di padukuhan itu
pada umumnya. "Agaknya rumah itulah rumah Ki Buyut" berkata Mahisa
Bungalan. "Marilah kita lihat" desis Witantra.
1498 Ketiganya pun kemudian dengan ragu-ragu dan hati-hati
memasuki regal halaman rumah yang agak besar itu. Terasa juga,
betapa lengangnya. Tidak ada seorang pun yang nampak di
halaman. Tetapi pintu rumah itu tidak tertutup.
Dengan ragu-ragu Mahisa Bungalan pun kemudian berdiri di atas
tangga pendapa. Sejenak ia mencoba memandang ke dalam rumah
yang lengang itu lewat pintu pringgitan yang terbuka. Tetapi ia tidak
melihat seorang pun . Akhirnya Mahisa Bungalan pun memberanikan diri melintasi
pendapa dan mengetuk pintu yang terbuka itu.
Baru setelah ia mengetuk beberapa kali terdengar suara
seseorang dari dalam, "Siapa di luar?"
"Kami bertiga Kiai. Apakah benar rumah ini rumah Ki Buyut?"
Seorang yang sudah tua, sebaya dengan Witantra keluar dan
ruang dalam. Dengan ragu-ragu ia menjengukkan kepalanya lewat
lubang pintu yang terbuka. Dengan tegangnya ia memandang
Mahisa Bungalan yang berdiri di dekat pintu itu, kemudian dua
orang yang masih berada di tangga pendapa.
"Siapakah kalian Ki Sanak?"
"Kami adalah orang-orang Singasari Ki Buyut" jawab Mahisa
Bungalan. Ia sadar, bahwa jawabannya tidak boleh membuat orang
itu semakin ketakutan. "Singasari?" Orang itu mengerutkan keningnya, "Lalu apakah
keperluanmu?" "Apakah aku berhadapan dengan Ki Buyut?" Orang itu ragu-ragu.
Namun kemudian ia mengangguk. Katanya, "Ya, aku Buyut di
padukuhan ini." "Terima kasih Ki Buyut. Kami memang mempunyai beberapa
kepentingan dengan Ki Buyut."
1499 Ki Buyut masih tetap ragu-ragu. Ia masih saja berdiri di
tempatnya sambil sekali-kali memandang Mahisa Bungalan dan
kedua orang kawannya di ujung pendapa.
"Kami adalah hamba istana Singasari Ki Buyut" Mahisa Bungalan
menjelaskan. "Hamba istana" Dan kenapa kalian sampai di tempat ini?"
"Kami sedang dalam perjalanan menjalankan tugas." Ki Buyut
termangu-mangu sejenak. Namun menilik sikap dan kata-kata
Mahisa Bungalan ia mulai menduga, bahwa ketiga orang itu
bukannya orang-orang yang bermaksud jahat.
"Duduklah" ia pun kemudian mempersilahkan ketiganya duduk
di pendapa. Di atas sehelai tikar pandan yang memang sudah
terbentang. Mahisa Bungalan memberikan isyarat kepada kedua orang
pamannya agar mereka pun duduk di tikar itu bersamanya,
sementara Ki Buyut masuk ke dalam rumahnya, yang agaknya
sedang membenahi pakaiannya.
Sejenak kemudian Ki Buyut itu pun keluar dari ruang dalam.
Seperti yang diduga, ia memang membenahi pakaiannya. Bahkan
bukan saja pakaiannya, tetapi ia benar-benar menemui tamunya
dengan kelengkapan seorang Buyut. Dengan sebilah keris di
punggung. Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan sadar, bahwa
padukuhan itu memang sedang dibayangi oleh kecemasan,
sehingga nampaknya Ki Buyut pun sangat berhati
Apalagi sejenak kemudian tiga orang anak muda keluar dari
rumah itu pula dan duduk di belakang Ki Buyut. Seperti Ki Buyut,
maka ketiganya pun menyandang keris pula di punggungnya.
"Mereka adalah anak-anakku" Berkata Ki Buyut.
"O" Mahisa Bungalan mengangguk-angguk, "Ketiga-tiganya Ki
Buyut?" 1500 "Anakku enam orang. Seorang di antaranya perempuan. Dua
laki-laki yang lain masih berada di belakang."
Mahisa Bungalan, Mahisa Agni dan Witantra menganggukangguk.
Sejenak mereka memandangi anak-anak Ki Buyut yang
bertubuh kekar dan kuat. Nampaknya mereka adalah anak-anak
muda yang dapat dibanggakan.
Dalam pada itu Ki Buyut pun berkata selanjutnya, "Adalah
menjadi kebiasaanku untuk membawa anak-anakku yang aku
anggap sudah cukup dewasa untuk menerima tamu-tamuku
bersamaku." "O" Mahisa Bungalan mengangguk-angguk, "Itu adalah
kebiasaan yang baik. Ayahku juga banyak memberikan kesempatan
kepadaku seperti Ki Buyut. Bahkan ayahku dalam beberapa hal
menyerahkan persoalan kepadaku."
Ki Buyut memandang Mahisa Bungalan sejenak. Kemudian kedua
orang tua yang bersamanya.
"Yang manakah ayah Ki Sanak?" tiba-tiba saja Ki Buyut bertanya.
"Kedua-duanya bukan" Jawab Mahisa Bungalan, "Kami adalah
hamba istana. Meskipun demikian keduanya bukan saja kawan
dalam kerja, tetapi juga pamanku.
"O" Ki Buyut mengangguk-angguk.
Sementara itu, Mahisa Bungalan, Mahisa Agni dan Witantra
melihat beberapa orang yang memasuki regol halaman. Mereka
semuanya menyandang senjata masing .
"Ha" desis Ki Buyut, "mereka yang datang adalah bebahu
padukuhan ini. Mereka adalah pembantuku yang baik
"Apakah Ki Buyut memanggil mereka?" bertanya Mahisa
Bungalan. "Ya. Agaknya salah seorang anak laki-lakiku telah memanggil
mereka. Tetapi bukankah sepantasnya hamba-hamba istana
mendapat kehormatan di padukuhan kecil seperti ini."
1501 Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, "Terima kasih
atas kehormatan yang kami terima. Tetapi apakah hanya sekedar
kehormatan itu saja?"
Mahisa Agni menggamit lengan anak muda itu. Tetapi kata-kata
itu sudah terucapkan. Bahkan masih juga terlanjur terlontar
pertanyaannya, "Apakah ada hubungan lain dengan kehadiran kami
Ki Buyut?" Ki Buyut tidak segera menjawab. Tetapi ia kemudian bangkit dan
mempersilahkan beberapa orang bebahu yang berdatangan.
"Ternyata padukuhan ini tidak sekosong yang aku sangka" desah
Mahisa Bungalan di dalam hatinya.
Sejenak kemudian mereka pun telah duduk kembali. Kini mereka
duduk dalam lingkaran yang semakin luas, karena semakin banyak
orang yang ikut serta. Mahisa Bungalan yang merasa lengannya disentuh oleh Mahisa
Agni menjadi ragu-ragu. Tetapi agaknya bahwa Ki Buyut dapat
meraba maksud pertanyaan yang telah terlontar. Ternyata ia
kemudian bertanya, "Maaf Ki Sanak. Apakah Ki Sanak merasa
sesuatu yang lain dari sambutan kami?"
Pertanyaan itu memang membingungkan. Tetapi ternyata Mahisa
Bungalan tidak mau menyimpan persoalan sekedar di dalam hati.
Karena itu, maka ia pun menjawab, "Agaknya memang demikian Ki
Buyut. Sejak aku memasuki padukuhan ini, aku sudah merasa ada
suasana yang lain dengan padukuhan-padukuhan yang pernah aku
lalui sepanjang perjalananku. Dan kini. suasana penerimaan yang
terasa lain dari keramahan yang mantap. Kehadiran anak-anak Ki
Buyut dan sekarang para bebahu, tentu bukan sekedar cara untuk
menyambut kedatangan hamba istana di padukuhan terpencil dan
kecil seperti ini. Tetapi tentu ada hubungannya dengan kelengangan
yang nampak .pada padukuhan ini." Mahisa Bungalan berhenti
sejenak, lalu, "Ki Buyut, justru karena itulah, apakah kami dapat
bertanya, apakah sebenarnya yang telah terjadi di padukuhan ini?"
1502 Ki Buyut memandang Mahisa Bungalan sejenak. Kemudian ia pun
bertanya, "Apakah Ki Sanak masih perlu bertanya"
Mahisa Bungalan menjadi heran. Tetapi dengan demikian ia
menjadi semakin pasti. "Ki Buyut" katanya, "jawaban Ki Buyut itu semakin menjelaskan
kepada kami, bahwa Ki Buyut telah mencurigai kami. Tetapi seperti
yang telah aku katakan, kami adalah orang-orang yang lewat dan
ternyata, menjumpai peristiwa yang agak lain di padukuhan ini."
"Tiga orang berkuda merupakan sebuah teka-teki besar bagi
kami Dan apakah kalian dapat menjawab teka-teki itu sehingga
kami tidak mencurigai kalian."
"Teka-teki yang mana?" bertanya Mahisa Bungalan.
"Tiga orang berkuda. Seperti kalian juga berjumlah tiga orang."
Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar. Ia pun segera
teringat kepada tiga orang yang pernah menumbuhkan keributan
karena mereka telah membunuh orang-orang berilmu hitam. Yang
menurut dugaannya, mereka adalah Linggadadi dan pengiringnya
Atau tiga orang yang lain. Mahendra dan kedua anaknya. Tetapi
seandainya yang dimaksud adalah Mahendra dan kedua anak nya,
tentu mereka tidak akan menumbuhkan kecurigaan dan ketakutan
di padukuhan ini." Karena itu, maka Mahisa Bungalan pun segera bertanya, seperti
keterbukaan hatinya. "Ki Buyut, apakah di padukuhan ini telah
terjadi kerusuhan yang ditimbulkan oleh tiga orang berkuda" Karena
jumlah kami juga tiga, maka agaknya Ki Buyut telah mencurigai
kami. Tetapi seandainya pernah terjadi sesuatu yang ditimbulkan
oleh tiga orang berkuda, apakah Ki Buyut dapat menyebutkan ciriciri
mereka" Jika ciri-ciri mereka sesuai dengan ciri-ciri yang
terdapat pada kami. maka sewajarnyalah jika Ki Buyut mencurigai
kami dan mungkin akan melakukan tindakan lebih jauh."
Untuk beberapa saat lamanya Ki Buyut termangu-mangu. Namun
kemudian terdengar salah seorang anak Ki Buyut menggeram,
1503 "Tentu kami tidak akan dapat mengatakan ciri apapun juga.
Seandainya ada juga ciri-ciri itu, maka dalam waktu yang singkat,
ciri-ciri semacam itu akan segera dapat dihapuskan dan diganti
dengan ciri-ciri yang lain."
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya
kedua pamannya berganti-ganti, seolah-olah ia ingin mendapatkan
petunjuk, apakah yang sebaiknya dikatakan kepada Ki Buyut dan
orang-orangnya. Mahisa Agni termangu-mangu sejenak. Kemudian ia pun
bergeser maju setapak sambil berkata, "Ki Buyut. Memang sulit
untuk membuktikan, bahwa kami yang bertiga ini berbeda dengan
tiga orang berkuda yang telah datang lebih dahulu di padukuhan
ini." "Tidak di padukuhan ini" jawab Ki Buyut.
"Tidak di padukuhan ini?" Bertanya Mahisa Bungalan
"Ya. Memang tidak. Di padukuhan ini belum pernah didatangi
oleh tiga orang berkuda itu. Tetapi padukuhan di sebelah hutan
rindang itu pernah mengalaminya. Padukuhan yang tidak terlalu
jauh dari padukuhan ini."
"Apakah yang telah terjadi?" bertanya Mahisa Agni
"Kalianlah yang harus berceritera, apakah yang telah kalian
lakukan di sana." Mahisa Agni pun menarik nafas. Lalu, "Ki Sanak, sebenarnyalah
bahwa kami tidak mengetahui apa yang telah terjadi. Kami
menyadari, seandainya pernah terjadi bencana yang ditimbulkan
oleh tiga orang berkuda, dan kebetulan kami juga bertiga, maka
kecurigaan kalian terhadap kami adalah wajar. Tetapi karena kami
benar-benar tidak mengetahui apa yang telah terjadi, maka
perkenankanlah kami bertanya tentang peristiwa itu"
Seorang anak Ki Buyut menyahut, "Kalian ingin melepaskan
tanggung jawab dan berbuat seolah-olah tidak bersalah" Ki Sanak.
Kalian ternyata telah masuk perangkap. Padukuhan ini memang
1504 berbeda dengan padukuhan di sebelah hutan itu. Mereka sama
sekali tidak menduga, bahwa akan terjadi sesuatu di padukuhan
mereka, sehingga peristiwa itu dapat terjadi. Tetapi kalian tidak
dapat berbuat seperti itu di sini. Kecuali padukuhan ini telah siap,
maka anak-anak muda di padukuhan ini pun lebih banyak
jumlahnya dan lebih tangkas bermain dengan senjata. Di padukuhan
ini terdapat seorang bekas prajurit di masa kejayaan Tumapel.
Meskipun ia kini sudah terlalu tua, tetapi ternyata ia masih sempat
menurunkan ilmunya kepada kami. anak-anak muda. Terutama
kami bersaudara. "Itu bagus sekali" sahut Witantra, "dengan demikian padukuhan
ini akan menjadi aman. Namun justru karena itu, sudah barang
tentu, kami pun tidak akan berani mengganggu padukuhan ini,
siapa pun kami." Ia berhenti sejenak, lalu, "karena itu, apakah Ki
Buyut tidak berkeberatan mengatakan kepada kami, apakah yang
telah terjadi itu?" Ki Buyut mengerutkan keningnya. Lalu katanya. "Baiklah. Aku
akan mengatakannya. Mungkin kalian telah lupa apa yang telah
kalian lakukan itu."
Mahisa Bungalan menelan ludahnya. Tetapi ia tidak men jawab.
"Ki Sanak" Berkata Ki Buyut, "Tiga orang berkuda di padukuhan
itu telah merampok dan membunuh. Anak-anak muda yang tidak
siap mencoba untuk menangkapnya, tetapi justru karena itu, dua
orang telah terbunuh. Tiga orang terluka parah, dan lebih dari
sepuluh orang yang luka-luka."
"O, hanya tiga orang dapat berbuat seperti itu?"
"Memang luar biasa. Kematian yang terjadi sangat mengerikan
sekali. Kulitnya tersayat-sayat sehingga seolah-olah tidak selapis
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pun yang tersisa." "O" Ketiga orang itu terkejut. Segera mereka menyadari, bahwa
yang telah melakukan itu adalah orang-orang berilmu hitam.
1505 "Nah, apakah kalian sudah puas" berkata salah seorang anak Ki
Buyut yang lain, "Kalian sudah mendengar, bagaimana orang lain
menyebut kalian sebagai orang-orang yang tidak terkalahkan. Tiga
orang yang dengan mudah dapat mengalahkan lebih dari duapuluh
orang. Bahkan hampir semuanya telah terluka" Ia berhenti sejenak,
lalu, "Nah, apakah kalian akan melakukannya di s ini?"
Mahisa Bungalan. Mahisa Agni dan Witantra termangu-mangu
sejenak. Mereka mencoba membayangkan, apakah yang telah
terjadi itu. Namun Mahisa Agni dan Witantra mengambil kesimpulan, bahwa
ketiga orang itu tentu bukannya murid-murid perguruan ilmu hitam
yang baru merasa dirinya mekar, jika demikian, maka korban tentu
akan jatuh jauh lebih banyak lagi. Yang terbunuh tentu bukannya
hanya dua orang. Tetapi mungkin semuanya.
"Agaknya justru orang terpenting dari perguruan itulah yang
telah melakukannya, sehingga nafsunya untuk membunuh anakanak
tidak seganas murid-muridnya" Berkata Mahisa Agni dan
Witantra di dalam hatinya. Agaknya keduanya mempunyai dugaan
yang sama. Sedangkan Mahisa Bungalan yang masih muda tidak
mempertimbangkan lebih jauh. Baginya, siapa pun orangnya, tetapi
tentu orang berilmu hitam itulah yang melakukannya.
Namun dalam pada itu, seorang anak Ki Buyut yang lain berkata,
"Nah. apakah yang akan kalian lakukan disini sekarang" Kami sudah
siap menghadapi kalian. Meskipun kalian berhasil membunuh di
padukuhan di pinggir hutan itu, namun, kalian tidak akan dapat
melakukannya di sini. Dan barang kali juga di padukuhanpadukuhan
yang lain yang telah menjadi bersiaga pula"
Mahisa Bungalan, Mahisa Agni dan Witantra menjadi bingung,
bagaimana harus meyakinkan mereka. Rasa-rasanya mereka telah
memasuki padukuhan yang salah, yang melibatkan mereka ke
dalam kesulitan. Kedatangan mereka di padukuhan itu semata-mata karena
mereka ingin bermalam. Hanya itu.
1506 Sementara itu pun langit menjadi semakin buram. Warna merah
di langit menjadi semakin pudar pula. Beberapa orang nampak
mulai menyalakan obor di serambi pendapa. Tidak hanya dua atau
tiga. Tetapi seakan-akan halaman itu pun kemudian menjadi terang
benderang. "Apakah artinya ini?" Desis Mahisa Bungalan tertuju kepada
dirinya sendiri. Karena ketiga orang berkuda itu untuk beberapa saat lamanya
hanya termangu-mangu saja, maka seorang anak Ki Buyut pun
berkata pula, "Nah, apakah yang akan kalian lakukan?"
"Tentu kami tidak akan berbuat apa-apa. Sejak semula kami
memang tidak akan berbuat apa-apa" Jawab Mahisa Agni,
"Sebenarnyalah kami hanya ingin bermalam di s ini."
"O" hampir semua orang mengangguk-angguk. Salah seorang
bebahu yang bertubuh kekar dan berjambang berkata, "tepat
seperti yang dilakukan oleh ketiga orang itu. Mereka bermalam di
padukuhan kecil di pinggir hutan itu, Di malam hari mereka mulai
merampok milik orang yang telah memberikan tempat bermalam. O,
itukah yang akan kalian lakukan di sini" Di malam hari kalian
memaksa untuk mengambil pendok emas dan sebuah cincin
bermata akik Kuncara Bumi" Heh. kalian tidak akan melakukan
tipuan licik itu sampai dua kali."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ternyata usahanya
untuk meredakan ketegangan justru sebaliknya. Tiga orang itu pun
telah minta sekedar bermalam, tetapi kemudian mereka melakukan
kejahatan itu. Dengan demikian, maka seolah-olah semua jalan telah tertutup
bagi ketiga orang itu, sehingga mereka pun menjadi semakin
bingung. Jika orang-orang di padukuhan itu melakukan; kekerasan,
apakah mereka juga akan mengimbanginya atau mereka harus
melarikan diri" Dalam keragu-raguan itu, tiba-tiba saja seorang anak Ki Buyut
berkata, "Ki Sanak. Aku kira kalian tidak mempunyai kesempatan
1507 apapun juga sekarang. Kalian harus menyerah. Kami ingin
menangkap kalian, mengikat dan membawa kepada Ki Buyut di
padukuhan yang telah kau lukai dengan membunuh dua orang anak
mudanya yang paling baik, melukai beberapa orang yang lain.
Mahisa Agni menarik nafas. Tetapi Witantra sempat menggamit
Mahisa Bungalan yang bergeser setapak. Bahkan mendahuluinya
berkata, "Apakah menurut pertimbangan kalian, itu merupakan
penyelesaian yang paling baik?"
"Ya" Jawab anak Ki Buyut itu dengan tegas. Witantra
mengangguk-angguk. Katanya kemudian seolah-olah lebih banyak
tertuju kepada dirinya sendiri dan dua orang kawannya, "Baiklah.
Kami akan menurut segala perintah kalian. Tetapi dengan syarat."
Mahisa Bungalan terkejut mendengar kata-kata Witantra itu,
karena ia tidak menyangka sama sekali. Tetapi ia tidak sempat
memotong, karena Witantra berkata selanjutnya, "Jika kalian
bersedia memenuhi syarat itu, maka kami akan menurut."
"Apakah syarat itu?" bertanya Ki Buyut"Jika ternyata orang-orang di padukuhan itu tidak mengenal
kami, atau mereka tahu pasti, bahwa yang telah melakukan
kejahatan itu bukan kami, maka kami akan dibebaskan dari segala
tuduhan dan kami diperkenankan bermalam di sini."
"Kalian tidak perlu bermalam. Perjalanan ke padukuhan itu
memerlukan waktu yang panjang. Kemudian jika benar kalian
bersalah, maka kalian akan bermalam untuk waktu yang tidak
terbatas. "Maksudmu" Mahisa Bungalan tidak dapat menahan hati lagi.
"Kalian akan berkubur di padukuhan itu." Wajah Mahisa Bungalan
menjadi merah. Tetapi untunglah, bahwa cahaya obor yang
kemerah-merahan telah menyamun warna yang membara di
wajahnya itu. 1508 "Baiklah Ki Sanak" Mahisa Agni pun cepat mendahului Mahisa
Bungalan yang menggeram, "kami akan bersedia bersama kalian
pergi ke padukuhan itu. "Kami akan mengikat tangan dan kaki kalian" berkata bebahu
yang bertubuh kekar. Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Namun sebelum Mahisa
Bungalan menjawab, ia mendahului, "Itu tidak perlu Ki Sanak. Kami
sudah menyerah sesuai dengan keputusan kalian dan syarat yang
kami ajukan. Bawalah kami dengan kekuatan yang ada. Kami tidak
akan mengingkari perjanjian yang telah kami buat. Sebab, jika
demikian, maka kami akan mengalami nasib yang tidak baik di
sepanjang jalan, karena kami akan berhadapan dengan kekuatan
yang tidak terlawan dari padukuhan ini."
Beberapa saat lamanya Ki Buyut mempertimbangkan kata-kata
Mahisa Agni, sementara Mahisa Agni pun menjadi cemas. Adalah
tidak akan mungkin Mahisa Bungalan menyerahkan tangan dan
kakinya untuk diikat. Dan apakah agaknya ia sendiri dan Witantra
bersedia" Namun yang paling mencemaskan adalah Mahisa Bungalan yang
sudah menjadi gelisah dan seolah-olah tidak dapat bertahan lebih
lama lagi. Namun ternyata bahwa Ki Buyut dapat mengerti kata Mahisa
Agni. Karena itu, maka ia pun kemudian berkata, "Baiklah Ki Sanak.
Agaknya masih ada sisa kepercayaanku kepada kalian. Kalian dapat
berkuda tanpa diikat kaki dan tanganmu."
"Ayah" potong salah seorang anak Ki Buyut.
"Aku masih percaya kepadanya. Tetapi jika mereka ternyata
menyalahi janji, maka mereka akan kami cincang di bulak panjang
itu dan kulit dagingnya akan kami serakkan sepanjang tanggul
untuk menjadi makanan anjing-anjing liar.
1509 Mahisa Bungalan menggigit bibirnya, seolah-olah ia sedang
berusaha untuk menahan agar mulutnya tidak terbuka dan
meneriakkan kemarahan yang melonjak di dalam dadanya.
"Marilah" Berkata Ki Buyut, "Kita pergi ke padukuhan di dekat
hutan itu. Biarlah orang-orang di padukuhan itu menentukan,
apakah orang-orang inilah yang telah melakukan kejahatan di
padukuhan mereka, dan membunuh dua orang serta melukai
banyak orang yang lain. Nampaknya anak-anak Ki Buyut tidak puas dengan keputusan
ayahnya itu. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka
harus menurut seperti yang dikatakannya meskipun mereka tidak
sependapat. "Kita mengawal mereka dengan kuat" Berkata salah seorang dari
anak Ki Buyut itu. Yang lain tidak menjawab. Tetapi mereka bersiaga untuk
membawa ketiga orang itu dan bertindak dengan cepat apabila
ketiga orang itu mencoba berbuat sesuatu yang tidak mereka
kehendaki di sepanjang jalan.
Ternyata anak-anak Ki Buyut itu merasa bahwa mereka adalah
termasuk orang-orang berilmu. Di sekitar padukuban mereka, maka
mereka adalah orang-orang yang paling disegani, karena mereka
telah mempelajari ilmu kanuragan dari bekas seorang prajurit di
masa kejayaan Tumapel. Meskipun prajurit itu sudah cukup tua,
tetapi mereka masih sempat mendapat tuntunan yang memadai
bagi keselamatan padukuhannya.
Demikianlah, maka padukuhan itu rasa-rasanya telah berubah
menjadi riuh. jika semula padukuhan itu nampak lengang dan sepi,
justru semakin gelap, padukuhan itu rasa-rasanya telah terbangun
dari tidurnya yang lelap.
Sejenak kemudian, maka sebuah iringan telah meninggalkan
halaman rumah Ki Buyut. Tiga orang berkuda dikawal oleh beberapa
orang yang dianggap terkuat di padukuhan itu. Semua anak laki-laki
Ki Buyut ikut serta bersama Ki Buyut sendiri dan sepuluh orang lain
1510 yang pernah mempelajari olah kanuragan pula pada bekas prajurit
Tumapel itu. Dengan demikian maka, seolah-olah sepasukan berkuda telah
siap berangkat ke medan perang dengan mendambakan
kemenangan. Mahisa Bungalan menjadi sangat gelisah mengalami perlakuan
itu. Namun ketika ia berpaling memandangi wajah Mahisa Agni, di
dalam keremangan bayangan cahaya obor, nampak ia tersenyum.
"Paman tidak tersinggung mengalami perlakuan ini?" Mahisa Agni
menarik nafas. Katanya, "Tentu saja aku merasa tersinggung. Tetapi
terhadap orang-orang yang tidak mengerti seperti Ki Buyut dan
anaknya, apakah yang sebaiknya kita lakukan" "
Mahisa Bungalan beralih memandang Witantra. Tetapi kesan
wajah orang tua itu pun tidak berbeda dengan kesan yang
ditangkapnya di wajah Mahisa Agni.
Ketika mereka keluar dari jalan padukuhan, dua orang berkuda
telah mendahului mereka dan berkuda di paling depan. Sedangkan
di antara para pengiring, terdapat beberapa orang yang membawa
obor. Di sepanjang jalan yang mereka lalui, agaknya iring-iringan itu
benar-benar telah menarik perhatian- Ketika mereka mendekati
sebuah padukuhan, maka padukuhan itu menjadi gempar. Setiap
laki-laki segera mencari senjata, jenis apapun yang dapat mereka
ketemukan, karena mereka pun telah pernah mendengar berita
tentang tiga orang yang telah melakukan kejahatan di padukuhan di
dekat hutan kecil itu, sehingga mereka pun telah bertekad untuk
bersiaga setiap saat menghadapi segala kemungkinan.
Ketika memasuki padukuhan itu, maka dua orang yang sudah
dikenal mendahului iring-iringan itu dan memberitahukan siapakah
yang akan lewat. "Tiga orang penjahat itu dapat kalian tangkap tanpa
perlawanan?" Bertanya seorang anak muda.
1511 "Ya, Mereka semula ingin bermalam di rumah Ki Buyut. Tetapi
langsung Ki Buyut menangkap mereka dan membawa mereka ke
padukuhan di pinggir hutan itu untuk meyakinkan apakah benar
mereka yang bersalah. "O" Anak muda itu mengangguk-angguk, "Sudah sepantasnya
demikian. Putera-putera Ki Buyut itu adalah anak-anak muda yang
tidak ada imbangannya di daerah ini. Adalah nasib malang yang
telah membenturkan tiga orang penjahat itu dengan anak-anak Ki
Buyut." Ternyata Mahisa Bungalan dapat mendengar percakapan itu
meskipun tidak seluruhnya. Terasa darah mudanya bagaikan
menggelegak di dadanya. Namun setiap kali ia berpaling ke pada
kedua orang pamannya, nampaknya mereka masih tetap tenang
dan bahkan seakan-akan sama sekali tidak mengacuhkan atas apa
yang sedang terjadi. Dalam pada itu, maka iringkan itu berjalan terus, melalui bulakbulak
panjang dan jalan-jalan padukuhan yang suram
Namun dengan demikian iring-iringan itu rasa-rasanya semakin
lama menjadi semakin panjang. Beberapa anak muda yang
mempunyai seekor kuda di padukuhan-padukuhan yang dilewati,
yang sempat mengambil kuda-kuda mereka, segera
menggabungkan diri pada iringkan itu untuk melihat, apa yang akan
terjadi di padukuhan yang pernah mengalami bencana itu.
"Jika benar-benar ketiga orang itu yang telah melakukan
kejahatan, maka mereka pun akan mengalami nasib yang sama
seperti kedua orang yang terbunuh dengan tatu arang keranjang
itu" desis seorang anak muda.
"Lebih dari itu. Kemarahan orang-orang di padukuhan itu
agaknya tidak akan dapat terbendung lagi. Mungkin mereka bertiga
akan dicincang sampai lumat dengan perlahan-lahan" Sahut yang
lain. "Ah, tentu tidak" Berkata seorang anak muda yang sudah
nampak lebih matang, "Jika mereka harus dibunuh, mereka akan
1512 dibunuh. Tetapi tidak dengan cara yang biadab. Jika kita pun
melakukan hal yang serupa, lalu apakah bedanya antara mereka
dan kita?" "Mereka sudah mendahului. Mereka telah membangkitkan
kemarahan kami" sahut anak muda yang pertama, "Jika kami
melakukannya, itu adalah semacam hukuman yang setimpal bagi
mereka." "Tetapi kita memiliki perasaan yang seharusnya lebih dalam
tentang perikemanusiaan. Itulah yang agaknya tidak mereka miliki"
Yang lain tidak menyahut lagi. Tetapi dari sorot matanya nampak
dendam yang menyala meskipun ia tidak mengalami perlakuan yang
ganas dari ketiga orang penjahat itu.
Demikianlah iring-iringan berobor itu menjadi semakin lama
semakin dekat dengan padukuhan di pinggir hutan itu. Di tengahtengah
bulak nampaknya bagaikan seekor ular yang bersisikkan
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bara sedang merambat dengan cepat, meluncur seolah-olah sedang
menyergap mangsanya. "Kalian melihat obor-obor itu" tiba-tiba seorang peronda di
padukuhan di dekat hutan itu berdesis.
"Ya. Agaknya menuju kemari" Jawab yang lain.
"Apakah mereka kawan-kawan penjahat itu?"
"Jika demikian, kita akan celaka. Bukan hanya dua orang yang
akan terbunuh, tetapi semua laki-laki akan mati"
"Agaknya demikian jika kita dengan suka rela menyerahkan
kepala kita. Kita sekarang sudah bersiaga. Beberapa saat yang
lampau, peristiwa itu terjadi demikian mengejutkan sehingga kita
tidak sempat berbuat apa-apa."
Yang lain mengangguk-angguk. Namun kemudian wajahnya
menjadi tegang. "Ya. Mereka menuju kemari."
"Siapkan semua laki-laki.". Tiba-tiba terdengar perintah pemimpin
peronda itu" Seorang dari kalian, pergi ke rumah Ki Buyut dan
1513 melaporkan, bahwa iringan berkuda dan berobor sedang menuju
kemari." Seorang dari mereka pun kemudian dengan tergesa-gesa pergi
ke rumah Ki Buyut, sedang yang lain dengan tergesa-gesa pula
memanggil setiap orang laki-laki, dengan beruntun yang seorang
kepada yang lain Dengan demikian, maka dalam waktu yang singkat, setiap orang
telah mendengar, bahwa sebuah iring-iringan berobor sedang
meluncur dengan cepat menuju ke padukuhan mereka. Karena
itulah maka mereka pun segera mempersiapkan diri untuk
menghadapi segala kemungkinan. Mereka tidak mau membiarkan
diri mereka dibantai dengan semena-mena.
"Siapkan kentongan" Perintah Ki Buyut yang kemudian telah
berada di antara orang-orangnya, "Jika ternyata mereka penjahatpenjahat,
maka bunyikan tengara, agar orang-orang dari padukuhan
sebelah menyebelah mendengar dan datang membantu. Kami
sudah membuat perjanjian dengan mereka, bahwa dalam keadaan
yang gawat, kita akan saling membantu. Bagaimanapun juga
kemampuan para penjahat, jika jumlah kita berlipat ganda, maka
mereka tidak akan dapat berbuat banyak. Mungkin akan jatuh
banyak korban di antara kita. Tetapi mereka harus kita musnahkan."
Beberapa orang pun kemudian menyiapkan kentongan. Tidak
hanya di satu tempat, tetapi di beberapa tempat yang sudah
ditentukan. Padukuhan itu pun bagaikan telah diguncang oleh kegelisahan.
Berpuluh-puluh orang laki-laki termasuk anak-anak mudanya telah
bersiap menghadapi segala kemungkinan. Meskipun mereka tidak
memiliki kemampuan berkelahi, tetapi mereka telah dibakar oleh
dendam karena peristiwa yang pernah terjadi. Apalagi mereka telah
saling bersepakat dengan orang-orang di padukuhan sebelah
menyebelah, jika terjadi sesuatu, maka mereka akan menghadapi
bersama-sama. 1514 Sejenak orang-orang di padukuhan itu menunggu. Tetapi mereka
tidak berkumpul menjadi satu. Mereka membagi diri dalam
kelompok-kelompok yang terpencar.
Iring-iringan berkuda itu meluncur semakin dekat Namun
agaknya seperti yang selalu dilakukan, di antara mereka dua orang
telah mendahului yang lain untuk memberitahukan, agar tidak
terjadi salah paham. Namun agaknya dendam yang membara di hati setiap laki-laki di
padukuhan itu benar-benar telah siap untuk meledak. Itulah
sebabnya, maka setiap orang di antara mereka telah mencabut
senjata mereka masing-masing untuk menghadapi segala
kemungkinan. Namun demikian, mereka masih belum membunyikan
tengara untuk memanggil tetangga-tetangga di padukuhan sebelah
menyebelah. Dalam pada itu, ketegangan semakin mencengkam setiap orang
yang menunggu kedatangan iring-iringan berkuda itu. Bahkan ada
di antara mereka yang sudah tidak sabar lagi untuk menunggu lebih
lama di kegelapan. Ternyata kehadiran dua orang yang mendahului iring-iringan itu
telah sangat menarik perhatian. Beberapa orang segera berloncatan
ke tengah jalan untuk menghentikan kedua orang berkuda yang
mendahului iringkan berobor itu.
Kedua orang berkuda itu segera menarik kekang, sehingga kedua
ekor kuda itu pun berhenti dengan serta-merta.
Sementara itu, beberapa ujung tombak pun segera mengarah ke
lambung kedua penunggang kuda itu, sementara seorang yang
bertubuh pendek maju mendekat sambil bertanya, "Siapakah kalian
he?" "Kakang Kusung"
"Kau kenal aku?" bertanya Kusung.
"Lihatlah aku baik-baik" jawab orang berkuda itu, "kau pun tentu
mengenal aku. ." 1515 Kusung memperhatikan orang berkuda itu sejenak. Lalu katanya
dengan wajah yang tegang, "He. kau. Apa kerjamu di sini he"
Apakah kau yang membawa iringkan berkuda itu?"
"Ya." "Apa maksudmu?"
"Kami membawa tiga orang asing"
"Tiga orang?" Kusung menjadi semakin tegang, "Si apakah
mereka?" "Sebentar lagi kau akan melihat. Mereka adalah orang-orang
yang memang pantas dicurigai. Kami sudah mendengar apa yang
terjadi disini, sehingga karena itu, maka tiga orang itu telah kami
tangkap dan kami bawa kemari. Mungkin mereka adalah orangorang
yang pernah datang ke padukuhan ini dan membunuh
beberapa orang." "Mungkin, mungkin sekali. Dimanakah orang itu?"
"Sebentar lagi, mereka berada di dalam iring-iringan itu"
Orang yang disebut Kusung itu pun tertegun sejenak Namun
kemudian katanya, "Pergi kepada Ki Buyut. Katakan apa yang sudah
kau dengar." Dua orang anak muda yang ada di antara mereka segera berlarilari
mencari Ki Buyut di gardu induk. Mereka melaporkan apa yang
mereka dengar tentang tiga orang berkuda itu.
Ki Buyut termangu-mangu sejenak Namun kemudian katanya,
"Baiklah. Aku akan melihat, siapakah mereka itu. Jika mereka benarbenar
orang yang telah membunuh saudara-saudara kita disini,
maka terserah kepada kalian, apakah yang akan kalian lakukan atas
mereka." "Cincang saja mereka itu. Cincang sampai lumat seperti apa yang
pernah mereka lakukan terhadap saudara-saudara kita."
1516 Ki Buyut menarik nafas. Kemudian katanya, "Tetapi bagaimana
mungkin mereka dapat menangkap ketiga orang itu"
"Anak Ki Buyut dari padukuhan di ujung bukit itulah yang telah
menangkapnya." Desis seorang berambut putih"Darimana kau tahu?" bertanya Ki Buyut.
Orang berambut putih itu mengangkat wajahnya. Desisnya, "Aku
tahu benar kemampuan mereka. Bekas prajurit di padukuhan
mereka itulah yang telah mengajar mereka, sehingga mereka
memiliki kemampuan seperti seorang prajurit. Kemauan mereka
mempelajari ilmu itu, agaknya telah mendorong mereka sehingga
mereka justru memiliki kemampuan melebihi prajurit kebanyakan."
Ki Buyut mengangguk-angguk Ia pun pernah mendengar, bahwa
anak-anak muda di padukuhan di ujung bukit itu mempunyai
kelebihan dari anak-anak muda yang lain.
"Marilah" Katanya kemudian, "Kita menyongsong mereka di luar
padukuhan. Mungkin ada persoalan yang tiba-tiba saja terjadi.
Agaknya tidak terlampau mudah menangkap tiga orang yang pernah
membuat onar disini."
Dengan tergesa-gesa mereka pun kemudian pergi ke ujung
lorong menyongsong iring-iringan yang sudah menjadi semakin
dekat. Ki Buyut menjadi semakin ragu-ragu ketika ia mendengar dari
kedua orang yang mendahului itu, bahwa ketiga orang itu dapat
mereka tangkap tanpa perlawanan.
"Nampaknya mustahil" Berkata Ki Buyut, "Ketiga orang itu
nampaknya sangat garang. Apakah mereka dengan begitu
mudahnya menyerah" Seandainya putera-putera Ki Buyut itu
memiliki kemampuan yang tinggi, ketiga orang itu tentu tidak
mengetahuinya. Agaknya sulitlah untuk memaksa mereka menyerah
hidup-hidup. Kecuali itu hanya sekedar tipu muslihat"
"Kenapa tipu muslihat?"
1517 "Mereka berpura-pura menyerah. Tetapi pada suatu saat mereka
justru akan mengambil korban lebih banyak lagi."
Orang yang mendengar pertimbangan Ki Buyut itu menjadi raguragu.
Juga dua orang yang mendahului iring-iringan itu
"Apakah mungkin begitu Ki Buyut?" Bertanya salah seorang dari
kedua orang itu. "Hanya sekedar dugaan. Tetapi kita memang perlu berhati-hati.
Tetapi mungkin pula dugaan itu keliru. Mereka sebenarnya adalah
penakut yang mudah menyerah jika lawannya menunjukkan
keberanian untuk melawan."
"Tetapi bukankah di padukuhan ini juga telah terjadi
pertempuran saat itu?"
"Tetapi kami menunjukkan keragu-raguan sehingga ketiga orang
itu rasa-rasanya telah mendapat kepastian untuk menang."
Kedua orang itu mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak
sempat untuk bertanya lagi, karena iring=iringan itu pun telah
menjadi semakin dekat, meskipun tidak terlampau cepat.
Nyala obor yang kemerah-merahan nampak menyusuri bulak
panjang, berkelok-kelok di sepanjang jalan di tengah-tengah tanah
persawahan yang luas. Karena itulah, maka selagi jaraknya masih
panjang, orang-orang di padukuhan itu sudah melihatnya. Bahkan
sebelum iring-iringan itu menyusup ke padukuhan kecil yang
terakhir sebelum mencapai padukuhan itu.
Kini iring-iringan itu menjadi dekat sekali. Karena itulah maka Ki
Buyut pun kemudian melangkah maju menyongsong iring iringan
itu- Di paling depan dari iring-iringan itu adalah Ki Buyut yang
kemudian menempatkan diri di ujung bersama dua orang anak lakilakinya,
sedangkan anaknya yang lain. berada di sekitar ketiga
orang yang telah mereka tangkap tanpa perlawanan.
1518 Ki Buyut dari padukuhan di ujung Bukit itu pun menarik kekang
kudanya ketika ia melibat beberapa orang menyongsongnya.
Diantara mereka nampak kedua orangnya yang mendahului iringiringan
itu dan Ki Buyut dari padukuhan di sisi hutan rindang, yang
telah mengalami bencana itu.
"Selamat datang di padukuhan kami Ki Buyut." berkata Ki Buyut
padukuhan di sisi hutan. Ki Buyut dan padukuhan di ujung bukit pun segera turun dari
kudanya sambil menjawab, "Terima kasih. Kami datang membawa
beberapa orang yang barangkali penting bagi padukuhanmu."
Sejenak mereka pun kemudian berbincang, sementara iring
iringan itu terhenti Mahisa Bungalan yang merasa dirinya diperlakukan tidak adil,
hampir tidak dapat menahan hatinya lagi. Namun setiap kali kedua
pamannya selalu memberinya isyarat, agar ia tidak berbuat apa-apa.
Namun ketiga orang itu pun kemudian tertegun ketika mereka
melihat beberapa orang mendekatinya. Diantara mereka adalah Ki
Buyut dari padukuhan di pinggir hutan itu
Sejenak Ki Buyut termangu-mangu. Di bawah cahaya obor,
ketiganya diamat-amati seperti tertuduh yang akan mendapat
pengadilan. "Turunlah" terdengar suara Ki Buyut yang besar dan dalam
Mahisa Bungalan menggigit bibirnya. Namun ketika ke dua orang
pamannya telah meloncat turun pula. maka ia pun segera turun
betapapun segannya. Agaknya beberapa orang yang sedang mengamat-amatinya
masih belum puas melihat ketiganya yang berdiri diam betapapun
dada Mahisa Bungalan bergejolak
Betapapun juga, ternyata Mahisa Agni dan Witantra menjadi
berdebar-debar juga. Rasa-rasanya mereka memang sedang
1519 menunggu keputusan yang akan dijatuhkan atas mereka. Bersalah
atau tidak. Ketiga orang itu sempat melihat Ki Buyut yang kemudian
berbicara dengan beberapa orang pembantunya. Sekali-kali anak Ki
Buyut dari ujung bukit ikut pula berbicara di antara mereka. Namun
ketiga orang yang sedang menjadi pusat perhatian itu tidak
mendengar, apakah yang sedang mereka bicarakan itu.
Tetapi ketiga orang itu terkejut ketika mereka tiba-tiba saja
mendengar seseorang berbicara cukup keras, "Aku tidak peduli.
Mereka tentu kawan-kawan dari tiga orang berkuda yang terdahulu,
yang dengan semena-mena telah membunuh di padukuhan ini"
Mahisa Bungalan memandang kedua pamannya berganti-ganti.
Meskipun ia tidak mengatakan sesuatu, namun terdengar giginya
gemeretak menahan kemarahan yang hampir meledak.
"Tenanglah Bungalan" Bisik Witantra, "Kita menunggu keputusan
terakhir." "Jika keputusan itu menjerat leher kita. apakah yang akan kita
lakukan?" "Ssss" desis Witantra, "jangan terlalu keras. Jika mereka
mendengarnya, tentu akan mempengaruhi keputusan yang akan
mereka ambil. Mahisa Bungalan terdiam. Pembicaraan di antara orang-orang
padukuhan itu menjadi perlahan-lahan lagi, sehingga Mahisa
Bungalan. Mahisa Agni dan Witantra tidak dapat mendengarnya.
Tetapi mereka mengerti, bahwa agaknya pembicaraan di antara
mereka menjadi agak kusut karena nampaknya ada perbedaan
pendapat di antara mereka.
Tetapi sekali lagi terdengar suara agak keras, "Kita perlu
menelitinya lebih dalam lagi Ki Buyut. Tiga orang bukannya suatu
kebetulan saja. Mungkin telah menjadi kebiasaan mereka, untuk
selalu berkuda bertiga dalam pengembaraan mereka mencari
korban." 1520 "Tetapi sikap dan tutur katanya tentu akan memberikan ciri yang
lebih jelas" Terdengar suara lain.
"Marilah, kita bertanya kepada mereka."
"Tentu kalian akan terperdaya" Suara itu pernah dikenal oleh
ketiga orang yang sedang menjadi pusat pembicaraan itu, "Mereka
tentu akan menunjukkan sikap dan sifat yang baik."
"Anak Ki Buyut" Desis Mahisa Bungalan.
"Ya, anak Ki Buyut." Sahut Mahisa Agni perlahan-lahan Mahisa
Bungalan menjadi semakin geram. Dengan gelisah ia mencoba
menahan diri seperti yang dimaksud oleh kedua pamannya.
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sementara itu pembicaraan masih berlangsung. Dan masih
terdengar suara, "Ki Buyut, tiga orang yang terdahulu itu juga
menunjukkan sikap dan tingkah laku yang nampaknya meyakinkan.
Tetapi ternyata bahwa tidak ubahnya seperti iblis yang paling jahat"
"Ya" Sahut yang lain, "Tidak ada pembicaraan apapun yang
perlu dilakukan. Kita sudah siap untuk menghukum mereka. Mereka
harus menanggung akibal kejahatan yang pernah dilakukan oleh
kawan-kawannya." "Itu adalah keputusan yang paling baik", Teriak yang lain.
Suasana menjadi semakin dalam dicengkam oleh ketegangan.
Terlebih-lebih adalah Mahisa Bungalan. Adalah sangat pahit rasanya
untuk dibicarakan oleh sekelompok orang lain tanpa berbuat apaapaApalagi dalam prasangka yang sangat buruk.
Namun dalam pada itu, terdengar suara Ki Buyut justru yang
pernah mengalami bencana di padukuhannya, "Tetapi
bagaimanapun juga kita tidak boleh tergesa-gesa mengambil
kesimpulan" Ketegangan yang semakin memuncak itu pun kemudian
ditambah lagi dengan kata-kata Ki Buyut, "Aku akan bertanya
kepada mereka." "Tidak ada gunanya." Terdengar suara lain.
1521 "Berguna atau tidak berguna, tetapi aku wajib meyakinkan diri."
Sekelompok orang-orang itu pun kemudian menyibak Dua orang
Buyut dari kedua padukuhan itu pun kemudian melangkah
mendekati Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan.
Mahisa Bungalan ingin meloncat menerkam orang-orang yang
mengiringi dua orang buyut itu dan menunjukkan kepada mereka,
bahwa mereka tidak pantas membicarakannya dengan prasangka
yang buruk, dan apalagi seolah-olah mereka memiliki kekuasaan
untuk menentukan nasibnya.
Mahisa Agni dan Witantra menyadari sikap hati Mahisa Bungalan
itu. Karena itu, maka mereka berdualah yang kemudian melangkah
maju untuk menjawab setiap pertanyaan yang akan diucapkan oleh
setiap orang yang mengerumuninya, terutama kedua orang Buyut
itu. Ki Buyut dari padukuhan di ujung hutan itulah yang kemudian
mendekati ketiga orang itu lebih dekat dari yang lain. Sejenak ia
memandangi ketiga wajah itu di bawah cahaya obor.
"Kalian memang bukan orang-orang yang pernah membunuh
saudara-saudaraku sepadukuhan di sini" berkata Ki Buyut
"Baru kali ini aku melalui daerah ini Ki Buyut" Jawab Mahisa Agni
"Tetapi kawan-kawanmu tentu pernah berceritera kepadamu
tentang daerah ini" Terdengar seseorang mendahului Ki Buyut.
"Ki Sanak" Berkata Witantra, "Seandainya seorang atau lebih
dari kawan-kawanku berceritera tentang daerah ini, maka aku kira
justru aku tidak akan tersesat sampai ke daerah ini, karena aku
tentu tahu, bahwa daerah ini akan menjadi sangat mudah
tersinggung seperti yang sebenarnya terjadi."
"Jadi, apakah yang mendorong kalian sampai ke tempat ini?"
bertanya Ki BuyutTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
1522 "Aku pernah mengatakan kepada Ki Buyut dari padukuhan di
ujung bukit, bahwa kami adalah hamba-hamba istana yang sedang
nganglang untuk melihat kenyataan hidup rakyat Singasari""He?" Ki Buyut mengerutkan keningnya. Namun salah seorang di
belakangnja berkata, "Setiap orang dapat menyebut dirinya
demikian. Hamba istana, bahkan Senapati sekalipun Tetapi
dapatkah mereka bertiga menunjukkan pertanda itu?"
"Apakah pertanda yang kau kehendaki?" bertanya Witantra.
Tidak seorang pun yang menjawab. Mereka tidak dapat
menyebutkan pertanda apapun bagi hamba istana meskipun mereka
sedang bertugas selain pakaiannya apabila ia seorang prajurit dan
bagi hamba yang lain adalah ujud lahiriah yang pertama-tama juga
nampak pada pakaian yang lain dari orang-orang padesan. Dan
nampaknya ketiga orang itu juga berpakaian lebih baik dari orangorang
padukuhan itu. "Tetapi ketiga orang yang pernah merusak ketenteraman
padukuhan ini pun berpakaian lebih baik" kata orang itu di dalam
hatinya. Karena tidak ada yang menjawab, maka Witantra pun berkata
selanjutnya, "Ki Buyut. Katakanlah, apa yang harus kami lakukan
untuk membuktikan bahwa kami memang bukan orang-orang yang
kalian maksud sebagai orang-orang jahat."
"Ki Buyut menggelengkan kepalanya. Katanya, "Tidak ada yang
dapat aku katakan. Memang sulit sekali membedakan, siapakah
yang jahat, dan siapakah yang bukan sekarang ini."
"Tetapi apakah keterangan kami tidak meyakinkan?"
Bertanya Mahisa Agni, "Kami adalah hamba-hamba istana yang
seperti kami katakan, sedang mengalami kehidupan rakyat
Singasari. Terakhir kami akan pergi ke Panawijen dan kemudian
melihat taman di Padang Karautan, bekas taman yang dibuat pada
masa kejayaan Tumapel. Kami harus melaporkan hal itu kepada
Maharaja Singasari yang sekarang, karena Baginda mungkin sekali
1523 ingin membangun kembali taman yang pernah menjadi taman
impian setiap keluarga istana Tumapel itu."
"Kau mengenal Panawijen?"
"Tentu Ki Buyut."
"Penjahat-penjahat seperti mereka mengenal setiap padukuhan
dimanapun juga. Apalagi padukuhan-padukuhan yang dapat
memberikan kemungkinan untuk mendapatkan barang-barang
rampasan" Terdengar suara yang serak. Suara anak Ki Buyut di
ujung bukit Mahisa Bungalan menjadi gemetar. Bukan oleh ketakutan. Tetapi
darah mudanya yang menggelegak di dadanya, rasa-rasanya sudah
tidak tertahankan lagi. Dan jantungnya di dalam dada itu rasarasanya
memang akan meledak. "Ki Buyut" berkata Mahisa Agni kemudian, "jika persoalannya
menjadi sangat rumit dan ketiadaan keyakinan untuk mempercayai
kami, maka kami kira tidak ada jalan lain bagi kami untuk
meninggalkan padukuhan yang manapun juga di sekitar daerah ini.
Usaha kami untuk dengan jujur bahwa kami bukan penjahatpenjahat
itu, namun kami tetap tidak mendapat tempat. Karena itu,
baiklah kami mohon diri dan akan pergi sejauh-jauhnya. Karena
kami memang akan. pergi ke Panawijen."
Suasana yang tegang menjadi bertambah tegang. Beberapa
orang saling berpandangan. Namun tiba-tiba seorang anak muda
yang bertubuh kekar dan berkumis lebat menyibakkan beberapa
orang yang mengerumuni sambil berkata, "Kau begitu enaknya akan
pergi begitu saja. Adikku telah dibunuh oleh kawan-kawanmu
Pamanku terluka parah dan beberapa orang sahabatku terluka
pula." "Tetapi kami tidak tahu menahu akan hal itu Ki Sanak" Jawab
Mahisa Agni. "Omong kosong. Adikku itu pun tidak lahu menahu apapun
tentang kawan-kawanmu itu. Tetapi ia harus menjadi korban
1524 bersama beberapa orang lain" Orang itu menggeram, lalu, "Tidak.
Kalian tidak dapat pergi. Kalian akan kami ikat di depan banjar
untuk menerima hukum picis."
Mahisa Bungalan bergeser setapak, tetapi Witantra
menggamitnya. "Ki Sanak" berkata Mahisa Agni, "Kenapa kalian tidak dapat
berpikir bening. Jika kami adalah kawan-kawan dari orang-orang
yang telah membunuh saudara-saudaramu, maka kami tentu tidak
akan dapat kalian paksa untuk menyerah begitu saja, Seandainya
jumlah kami terlampau sedikit dibandingkan dengan jumlah kalian,
namun percayalah, bahwa jika kami berniat, seperti orang-orang
yang kalian sebut kawan-kawan kami itu, tentu akan dapat,
membunuh lebih banyak dari dua orang dan melukai lebih dari lima
belas" "Nah, kalian dengar" Teriak anak muda itu kepada kawan nya,
"Orang ini sudah mengaku."
"Kau salah paham" Bantah Mahisa Agni, "Maksud kami, jika kami
benar-benar kawan orang berkuda ini."
"Persetan, jangan ingkar. Kepung mereka rapat.. Jika mereka
melawan, lumpuhkan mereka. Aku tetap menghendaki pembalasan
yang setimpal atas kematian adikku dan saudara-saudaraku. Karena
itu, aku menghendaki mereka ditangkap hidup-dan mendapat
hukuman picis" Mahisa Bungalan benar tidak lagi dapat menahan hati Dengan
suara gemetar ia berbisik di telinga Mahisa Agni, "Dan paman masih
akan tetap bersabar?"
Mahisa Agni tidak menghiraukannya. Bahkan ia masih berkata
kepada anak muda itu, "Jangan memaksa kami untuk melakukan
kekerasan Ki Sanak. Sekali lagi aku minta, lepaskan kami pergi.
Kami tidak akan berbuat apa-apa."
"Setelah terbayang kegagalan dan hukuman yang paling pantas
bagi kalian, maka kalian mengambil sikap lain. Tidak. Kalian akan
1525 kami tangkap. Kami akan menunggu selama tiga hari. Jika dalam
tiga hari kawanmu yang membunuh itu tidak dapat kami tangkap
atau datang dengan suka rela untuk membebaskan kalian, maka
kalian benar-benar akan kami hukum picis."
Sebelum Mahisa Agni berkata sesuatu, Mahisa Bungalan sudah
berbisik pula, "Dan paman akan dengan sabar menunggu tiga hari"
Tidak paman. Aku akan bertindak sekarang."
Mahisa Agni menarik nafas. Ia sadar, bahwa Mahisa Bungalan
tentu tidak akan dapat dikendalikan lagi. Bahkan mungkin ia akan
melakukan kekerasan yang tidak terkendalikan karena darah
mudanya yang mendidih. "Ulurkan tangan dan kaki kalian" Teriak anak muda berkumis itu,
"Kalian adalah tawanan kami. Kebebasan kalian tergantung sekali
kepada ketiga kawan-kawanmu yang telah membunuh dengan
semena-mena disini."
Mahisa Bungalan menggeram. Namun yang terdengar, adalah
suara salah seorang anak Ki Buyut di ujung bukit, "Itu adalah
keputusan mereka yang mengalami perlakuan di luar peri
kemanusiaan. Kami hanya dapat mendukung keputusan itu dan
akan ikut melaksanakannya pula. Memang tidak ada pilihan lain bagi
kalian. Kesempatan yang tiga hari itu adalah ujud kebaikan hati
yang jarang sekali dapat dicari."
"Nah, sekarang menyerahlah" terdengar suara yang lain.
Ki Buyut dari padukuhan di pinggir hutan itu nampak termangumangu.
Tetapi ia tidak mengubah sikap anak muda yang bertubuh
kekar itu. Menurut pertimbangannya, waktu yang tiga hari itu sudah
seimbang dengan kemungkinan-kemungkinan yang manapun juga
bagi ketiga orang itu, sesuai dengan kejahatan yang dilakukan oleh
kawan-kawan mereka. "Tetapi bagaimanakah jika mereka benar-benar tidak mengenal
ketiga orang itu, dan bahkan mereka adalah benar-benar hamba
istana?" Pertanyaan itu kadang-kadang terselip juga di hati Ki Buyut.
1526 Tetapi ia tidak akan berdaya untuk mengubah keputusan anakanak
muda Beberapa saat suasana dicengkam oleh ketegangan yang
memuncak. Mahisa Bungalan benar-benar menjadi gelisah dan
gemetar. Rasa-rasanya ia sudah siap meloncat menghantam anak
muda bertubuh kekar itu. "Mereka bukan lawanmu Bungalan" bisik Witantra, "Jika kau
tidak mampu mengendalikan perasaanmu, kau akan menambah
sakit hati mereka karena kematian yang bertambah-tambah."
"Jadi lebih baik kita sajakah yang mati?"
"Tentu bukan begitu."
"Jadi bagaimana?"
Witantra menjadi bingung. Namun ia kemudian menjawab juga,
"Seharusnya kita menyelamatkan diri. Tetapi jangan menimbulkan
kematian lagi." "Itu sulit sekali. Apalagi mereka bersenjata. Mungkin aku tidak
sengaja. Tetapi senjataku menusuk di sela-sela rusuk mereka dan
menyentuh jantung." Witantra benar-benar menjadi bingung karena Mahisa Bungalan
pun agaknya telah kehilangan pengendalian diri.
Dalam pada itu, orang-orang yang sudah tidak sabar lagi itu pun
kemudian mendesak semakin maju mendekati Mahisa Agni, Mahisa
Bungalan dan Witantra. Rasa-rasanya tangan mereka sudah menjadi
gatal dan tidak terkendali lagi.
Mahisa Agni pun agaknya sudah tidak mampu lagi mencari dalih
untuk menghindarkan perkelahian. Tetapi sudah tentu ia tidak akan
melakukan seperti apa yang pernah dilakukan oleh ketiga orang
yang pernah datang lebih dahulu ke padukuhan itu. Karena itu,
maka ia merasa wajib untuk menemukan cara, bagaimana ia harus
menghadapi orang-orang yang telah kehilangan akal itu.
1527 Tiba-tiba saja, terbersit suatu pikiran yang mungkin dapat
dipergunakan untuk mengatasi kesulitan itu. Karena itu, maka ia
pun berkata, "Ki Sanak sekalian. Adalah aneh sekali jika kami
bertiga pun harus berkelahi melawan kalian seperti tiga orang yang
telah lebih dahulu merusak ketenangan padukuhan ini. Tetapi sudah
tentu bahwa kami pun tidak akan dengan suka rela menyerahkan
nyawa kami karena kesalahan orang-orang yang tidak kami kenal.
Apalagi kami adalah hamba-hamba istana yang membawa tugas
negara. Karena itu, jika kalian tidak percaya, baiklah kita akan
mengadakan sedikit permainan. Diantara kami terdapat seorang
anak muda yang sebaya dengan anak-anak muda padukuhan ini
yang sekarang dengan penuh dendam memandang kepada kami. Di
antara mereka adalah anak-anak Ki Buyut, justru dari padukuhan di
ujung bukit- Karena itu, apabila kalian menghendaki, sebaiknya kita
melihat, apakah yang dapat di lakukan oleh kalian atau anak-anak
muda yang kalian anggap paling berilmu di padukuhan ini. Dengan
demikian, kalian akan mendapat gambaran, apakah yang akan
terjadi jika kami terpaksa mempertahankan diri kami bertiga"
Ketegangan rasa-rasanya menjadi semakin memuncak. Namun
tiba-tiba seseorang maju sambil bertolak pinggang, "Apakah
maksudmu sebenarnya" Apakah kau akan menyombongkan diri,
bahwa kau memiliki ilmu yang pilih tanding."
"Tidak ada jalan lain kecuali dengan menyombongkan diri"
Jawab Mahisa Agni, "Sekarang kita buat sebuah arena. Kita akan
melihat, apakah kalian sebenarnya mampu menahan kemarahan
kami, jika kemarahan itu telah benar-benar mencengkam dada
kami." "Persetan" Geram salah seorang anak Ki Buyut di ujung bukit.
"Jangankan hanya seorang melawan seorang. Untuk
membuktikan bahwa kami adalah hamba-hamba istana dan
sekaligus adalah prajurit-prajurit, maka biarlah anak muda di antara
kami ini berkelahi melawan lebih dari satu orang. Mungkin, dua,
atau tiga 1528
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sejenak anak-anak muda itu menjadi ragu-ragu. Apakah itu
bukan sekedar cara untuk meloloskan diri. Atau cara-cara lain yang
licik" Namun seorang anak muda yang merasa terhina, tiba-tiba saja
berteriak, "Baik, kita akan membuat arena."
Mahisa Bungalan tiba-tiba bergeser maju. Bisiknya, "Apa yang
harus aku lakukan paman?"
"Tunjukkan kemampuanmu. Tetapi ingat, kau tidak boleh
kehilangan akal. Kau lihat batu padas di pinggir padukuhan itu?"
"Sebesar kerbau itu?"
"Ya. Batu itu adalah batu padas yang tentu tidak terlampau
keras. Berusahalah mendapat kesempatan. Pecahkan batu padas itu
dengan tanganmu, sehingga dengan demikian maka kita akan
menemukan perkembangan baru di arena itu."
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Ia harus
melakukan permainan yang aneh. Tetapi ia dapat mengerti, bahwa
dengan demikian ada kemungkinan bahwa persoalannya akan
bergeser. Demikianlah, maka beberapa orang anak muda yang marah,
telah berteriak-teriak, bagaikan memecahkan selaput telinga.
Marilah kita buat arena. Minggir, kita akan melihat, apakah benarbenar
mereka bukan manusia biasa."
Dan yang lain berteriak pula, "Kita pilih tempat yang paling baik."
"Tidak perlu di tempat yang jauh" Mahisa Agni lah yang
menjawab, "Kita buat arena di sini. Pinggir padukuhan itu cukup
luas untuk melakukan perkelahian antara anak muda di antara kami
dengan siapa pun dari kalian, dua atau tiga orang. Bahkan lebih
dari itu, supaya kalian mendapat gambaran kekuatan kami yang
sebenarnya." "Persetan." 1529 Anak-anak muda itu pun segera mendesak orang-orang yang
sedang berkerumun, seolah-olah mereka tanpa sadar telah
menyiapkan sebuah arena. Namun dalam pada itu Mahisa Bungalan berdesis, "Bagaimana
jika mereka memiliki kemampuan yang tinggi, sehingga aku harus
mengerahkan segenap kemampuan dan dengan demikian harus ada
korban, karena jika tidak demikian, aku sendirilah yang akan
menjadi korban?" "Kau akan dapat membuat perhitungan. Tetapi sejauh jauhnya
kau harus menghindari korban."
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa raguragu
juga untuk melakukannya. Tetapi itu agaknya adalah cara yang
paling baik. Dan dengan demikian ia akan dapat sekedar
melepaskan ketegangan. Sejenak kemudian, maka beberapa orang telah berdiri dalam
sebuah lingkaran. Tetapi adalah mendebarkan sekali, bahwa batu
padas itu justru dipergunakan oleh beberapa orang untuk berdiri
agar mereka dapat melihat, perkelahian itu dengan baik.
Sejenak Mahisa Bungalan justru tertegun diam. Ia mencoba
mencari jalan, bagaimanakah sebaiknya yang akan dilakukan.
Tetapi Mahisa Bungalan tidak banyak mendapat kesempatan.
Beberapa orang anak muda telah berteriak, "Kemarilah. Siapakah di
antara kalian bertiga yang akan memasuki arena."
Mahisa Agni dan Witantra berpandangan sejenak. Kemudian,
"biarlah yang termuda diantara kami memasuki arena. Ia adalah
orang yang terlemah diantara kami bertiga meskipun mungkin
tenaga jasmaniahnya masih utuh. Biarlah ia mendapat dua atau tiga
lawan dari anak-anak muda yang terkuat di padukuhan ini."
Kata-kata Mahisa Agni itu benar-benar telah membakar hati
setiap anak muda. Karena itu, seorang yang bertubuh kekar
meloncat ke arena, hampir bersamaan dengan salah seorang anak
Ki Buyut dari ujung bukit.
1530 "Biar aku sajalah yang membunuhnya di arena ini." Desis yang
bertubuh kekar "Lepaskan anak itu" berkaca anak Ki Buyut, "akulah yang akan
mengatakan kepadanya dengan perbuatan, bahwa ia telah
kehilangan kesempatan untuk meninggalkan padukuhan ini."
Ternyata anak Ki Buyut itu memiliki perbawa yang besar,
sehingga anak muda bertubuh kekar itu meninggalkan arena.
"Kemarilah" Geram anak Ki Buyut.
"Nah" Berkata Mahisa Agni kepada Mahisa Bungalan, "Majulah.
Dan berhati-hatilah. Kau tidak boleh bersenjata"
Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Tetapi ia pun
kemudian bertanya, "Senjata yang mana paman?"
Mahisa Bungalan memang membawa sebilah keris yang lebih
mirip dengan perhiasan, karena keris itu tetap di punggung
meskipun keadaan sudah demikian tegangnya. Beberapa orang
padukuhan yang membawa keris, lelah memutar kerisnya sehingga
hulunya berada di dada mereka.
Mahisa Agni mengulurkan tangannya tanpa menjawab
pertanyaan Mahisa Bungalan. Dan betapapun keragu-raguan
mencengkam dadanya, namun Mahisa Bungalan pun kemudian
menarik keris di punggungnya dan menyerahkannya kepada Mahisa
Agni Anak Ki Buyut yang melihat Mahisa Bungalan menyerahkan
kerisnya menjadi termangu-mangu. Ia membawa sebilah keris yang.
besar yang hulunya mencuat di atas pundaknya. Tetapi karena
Mahisa Bungalan telah meletakkan senjatanya, apakah ia pun
menjadi ragu-ragu. "Jika kau memerlukan senjatamu, janganlah kau letakkan"
berkata Mahisa Agni kepada anak Ki Buyut itu.
1531 Tetapi justru karena itu maka anak muda itu merasa tersinggung
dan dengan serta merta ia menarik kerisnya dan melemparkan
kepada adiknya, "Pegangilah."
Adiknya dengan tangkas menangkap keris itu. Namun rasanya ia
menjadi heran, bahwa kakaknya telah melepaskan senjata di
punggungnya justru pada saat ia menghadapi lawan yang
disangkanya sangat licik dan kejam.
Tetapi jika ia mencoba memperingatkan kakaknya, maka
kakaknya tentu akan merasa tersinggung karenanya.
"Apakah hanya seorang saja yang akan memasuki arena?"
Bertanya Mahisa Agni. Beberapa orang anak muda menggeram. Tetapi mereka tidak
menjawab Yang menjawab adalah anak Ki Buyut yang berada di arena, "Jika
anak ini dapat membunuhku, maka akan tampil dua orang di arena.
Dan jika yang dua itu terbunuh, akan tampil empat orang. Demikian
seterusnya." Tiba-tiba saja di luar sadarnya, bulu tengkuk Mahisa Bungalan
meremang. Bukan karena ia takut menghadapinya, tetapi apakah
jika benar-benar harus demikian, akan berarti kematian yang
berturut-turut akan memenuhi arena itu"
Justru karena itulah maka Mahisa Bungalan teringat pesan
pamannya, "Jangan menimbulkan korban."
Mahisa Bungalan menarik nafas. Dengan ragu-ragu ia melangkah
maju memasuki arena yang menjadi terang di bawah cahaya obor di
seputarnya. "Mulailah anak setan" geram anak Ki Buyut, "meskipun aku
bukan, orang dari padukuhan ini, tetapi aku merasa wajib untuk
membunuhmu, karena akulah yang telah menangkapmu dan
membawanya kemari." 1532 Mahisa Bungalan sama sekali tidak menjawab. Sekilas ditatapnya
batu padas yang masih saja menjadi alas beberapa orang yang
berdiri di pinggir arena itu
"He, kenapa kau tiba-tiba jadi bisu" geram anak Ki Buyut itu.
Mahisa Bungalan memandanginya sejenak, lalu, "Aku. berkelahi
dengan tubuhku, tidak dengan mulutku."
Jawaban itu sangat menyakitkan hati anak Ki Buyut itu. Karena
itu, maka langsung ia pun meloncat menyerang.
Mahisa Bungalan yang masih belum mengetahui kekuatan
lawannya sama sekali, tidak mau membentur serangan itu. Jika ia
salah hitung, maka serangan itu akan dapat berbahaya baginya,
atau langsung membahayakan lawan itu sendiri. Karena itulah maka
ia pun mengelakkan dengan sebuah langkah ke samping. Namun
dengan telapak tangannya ia mencoha menyentuh kaki lawannya
untuk sekedat mengetahui, apakah serangan itu cukup berbahaya.
Mahisa Bungalan adalah seorang anak muda yang memiliki
pengalaman yang cukup. Karena itu, maka sentuhan tangannya itu,
seolah-olah telah dapat menunjukkan kepadanya, bahwa
sebenarnyalah tingkat ilmu anak Ki Buyut itu barulah pada tingkat
tata gerak dasar dari olah kanuragan meskipun nampaknya cukup
garang, dengan kekuatan wantah tubuhnya.
Dengan demikian maka Mahisa Bungalan dapat menempatkan
dirinya dalam perlawanannya atas anak muda itu.
Di dalam cahaya obor yang kemerah-merahan, maka perkelahian
itu pun menjadi semakin cepat. Anak Ki Buyut yang marah itu
mengerahkan segenap kemampuan yang ada, sementara Mahisa
Bungalan hanyalah sekedar mengimbanginya. Namun untuk
memberikan kesan kelebihannya, maka ia ingin mengakhiri
perkelahian itu dengan cepat.
Namun sekilas teringatlah ia kepada pesan Mahisa Agni untuk
menghantam padas yang justru menjadi alas berdiri beberapa orang
di seputar arena itu. Karena itulah, maka ia pun berkelahi sambil
1533 mencari akal, agar orang-orang yang berdiri di atas dan sebelah
menyebelah batu padas itu menyingkir.
Tetapi sebelum ia menemuakn cara itu, maka ia pun masih saja
melayani anak Ki Buyut itu. Dengan mudahnya ia dapat menghindari
setiap serangan- Bahkan kadang-kadang seolah-olah ia tidak
beranjak sama sekali dari tempatnya.
Orang yang berkerumun di seputar arena itu, menjadi heran.
Perkelahian itu semakin lama tidak menjadi semakin sengit,
meskipun mereka mengerti, bahwa anak Ki Buyut itu menjadi
semakin garang. Tetapi lawannya dengan hampir tidak berbuat apaapa,
dengan mudahnya dapat mengimbanginya. Semua serangan
anak Ki Buyut itu seolah-olah tidak berarti sama sekali.
Anak Ki Buyut itu mula-mula kurang menyadari keadaannya. Ia
mula-mula menyangka, bahwa ia belum saja berhasil mengalahkan
lawannya, tetapi lawannya juga tidak berhasil mengalahkannya.
Bahkan menyentuhnya dengan serangan. Tetapi kemudian ia
menyadari, bahwa lawannya itu tampaknya tidak sedang
bersungguh-sungguh. Orang-orang yang berada di sekeliling arena itu pun menjadi
semakin heran. Anak muda di antara ketiga orang berkuda itu tidak
berusaha menimbulkan korban sama sekali, balikan setelah ia
dibiarkan turun dalam arena perang tanding tanpa senjata.
Dalam pada itu, ternyata Mahisa Bungalan telah mendapat cara
yang paling baik untuk menghantam batu padas itu. Dengan
demikian, maka tiba-tiba saja ia menjadi garang. Ia mendesak
lawannya ke arah batu padas itu. Namun kemudian dengan
serangan yang berputaran ia menyerang anak Ki Buyut itu dari arah
yang berbeda-beda, sehingga anak Ki Buyut itu benar-benar
menjadi bingung. Dengan demikian, maka orang-orang yang ada di sekitar batu
padas itu pun segera menyibak. Bahkan beberapa orang yang
berdiri di atas batu padas itu pun segera berloncatan dan berlarilari
menjauh. 1534 Ternyata Mahisa Bungalan dapat mempergunakan saat itu
sebaik-baiknya. Ketika orang-orang sudah menyibak, maka ia pun
segera mengambil keputusan untuk melakukan pesan Mahisa Agni
itu. Ketika ternyata kemudian anak Ki Buyut itu berdiri terlampau
dekat dengan batu padas itu, Mahisa Bungalan pun meloncat
dengan sigapnya mendorongnya beberapa langkah ke samping,
sehingga anak Ki Buyut itu kehilangan keseimbangan dan jatuh
bergulingan di tanah. Pada saat itulah, Mahisa Bungalan mempersiapkan diri dengan
segenap kemampuannya. Dengan garangnya ia berdiri pada kedua
kakinya yang sedikit merendah pada lututnya. Satu kakinya agak di
depan, sedang kedua tangannya bersilang di depan dadanya.
Yang dilakukan itu hanyalah berlangsung beberapa saat saja.
Sedang sekejap kemudian, maka Mahisa Bungalan pun telah
meloncat ke arah batu padas itu. Untuk memberikan tekanan dan
suasana yang lebih mencengkam, maka Mahisa Bungalan pun
berteriak dengan suara yang serasa memecahkan jantung.
Sesaat kemudian setiap orang di sekeliling arena itu benar-benar
telah dicengkam oleh peristiwa yang tidak pernah mereka
bayangkan dapat terjadi. Darah mereka rasa-rasanya telah
membeku di dalam dada. Dalam keremangan cahaya obor, mereka
melihat Mahisa Bungalan yang berteriak nyaring itu meloncat seperti
lidah api di langit. Sambil mengayunkan tangannya ia bagaikan
menerkam batu padas di hadapannya.
Yang terdengar adalah suara ledakan yang tidak begitu keras
akibat benturan. Dan yang mereka saksikan hampir tidak masuk di
akal mereka, bahkan beberapa orang seolah-olah tidak dapat
mempercayai penglihatannya.
Batu padas yang sudah terletak di tempat itu berpuluh-puluh
tahun itu pun telah pecah berserakan. Debu yang putih mengepul
ke udara, dan hanyut didera oleh angin malam yang dingin, sedingin
1535 darah orang-orang yang kebingungan melihat peristiwa yang
rasanya telah memecahkan jantung mereka masing-masing
Ketika mereka menyadari keadaan yang telah terjadi itu, dan
debu yang putih telah tersapu bersih, mereka melihat Mahisa
Bungalan itu berdiri tegak menghadap ke arah anak Ki Buyut yang
sudah berdiri pula. Tetapi tiba-tiba saja kakinya menjadi gemetar,
dan keberaniannya pun bagaikan larut seperti debu putih yang
terhapus oleh angin itu. Mahisa Bungalan memandang kepada orang-orang yang berdiri
di sekelilingnya. Tiba-tiba saja terdengar suaranya mengguruh,
"Nah, kalian lihat, apa yang dapat aku lakukan. Jika tanganku itu
sengaja aku arahkan ke tubuh kalian, maka kalian akan dapat
membayangkan apa yang telah terjadi."
Berpasang-pasang mata memandangnya tanpa berkedip. "Nah,
siapakah yang merasa dirinya cukup kuat untuk menangkis
pukulanku?" Suasana yang semula gemuruh oleh kemarahan orang-orang
padukuhan itu, tiba-tiba seperti dicengkam oleh kesenyapan yang
mati. Tidak seorang pun yang berani menyahut tantangan itu.
Bahkan untuk bernafas pun rasa-rasanya mereka sangat berhatihati
agar tidak didengar oleh Mahisa Bungalan.
Mahisa Agni dan Witantra saling berpandangan sejenak. Ternyata
cara itu berhasil menghindarkan korban, meskipun agaknya
merupakan kesombongan yang cukup besar.
Namun Mahisa Bungalan yang masih muda itu ternyata tidak
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dapat menahan hati lagi. Kejengkelan, kemarahan yang bercampur
baur di dalam dadanya, rasa-rasanya masih memerlukan penyaluran
lagi. Darah mudanya yang sudah terlanjur mendidih masih
menuntut peledakan yang mengejut untuk mengurangi ketegangan
jiwanya. Karena itu, Witantra dan Mahisa Agni terkejut ketika mereka
melihat Mahisa Bungalan sekali lagi memusatkan kekuatannya
ditangannya. Demikian cepatnya, sehingga sebelum Mahisa Agni
1536 dan Witantra berbuat sesuatu. Mahisa Bungalan telah meloncat
sekali lagi. Yang menjadi sasarannya kemudian bukanlah batu padas
yang sudah menjadi debu itu, tetapi dinding padukuhan itu sendiri
yang terbuat dari batu yang tersusun.
Sekali lagi orang-orang yang berada di sekitarnya terkejut dan
rasa-rasanya mereka menjadi sangat kecil di hadapan anak muda
itu. Sekali lagi terdengar benturan kekuatan Mahisa Bungalan
dengan dinding batu padukuhan itu. Yang kemudian disusul oleh
gemuruhnya dinding itu pecah dan berguguran. Bukan saja yang
disentuh tangan Mahisa Bungalan, tetapi getarannya telah
meruntuhkan dinding itu antara tiga atau empat langkah.
Mahisa Agni dan Witantra menarik nafas dalam-dalam. Mereka
menyadari, bahwa Mahisa Bungalan menjadi terlalu tegang karena
perlakuan yang agak berlebih-lebihan atasnya. Untunglah bahwa
Mahisa Bungalan masih .menyadari sepenuhnya dan berhasil
menyalurkan ketegangan itu tanpa menimbulkan korban jiwa.
Sesaat kemudian, selagi kecemasan dan ketakutan mencengkam
semua orang yang ada di sekitar tempat itu, Mahisa Bungalan
meloncat ke atas dinding yang masih berdiri tegak di sebelah
guguran karena pukulannya itu.
Dengan suara lantang ia berkata, "Ki Sanak semuanya dari
padukuhan yang manapun juga yang ada di tempat ini. Aku tidak
mempunyai cara lain untuk meyakinkan kalian, bahwa kami
bukanlah tiga orang pembunuh seperti yang pernah dilakukan oleh
tiga orang yang terlebih dahulu telah sampai di tempat ini. Jika kami
tidak melawan kalian dengan langsung itu adalah karena kami ingin
menunjukkan perbedaan antara kami dan orang-orang yang kalian
katakan, meskipun jika terpaksa, kalian masih saja ingin menangkap
dan membunuh kami, maka kami harus membela diri dengan
kemampuan yang ada pada kami. Jika ternyata kemudian kami
harus berkelahi, maka aku kira bahwa kami tentu akan membunuh
bukan saja hanya dua atau tiga, bahkan lima belas, tetapi puluhan.
Aku sendiri sanggup membunuh lebih dari sepuluh orang di antara
kalian. Dan kedua pamanku itu masing-masing akan dapat
1537 membunuh lima puluh orang. Nah, cobalah bayangkan, bencana
apakah yang akan menimpa padukuhan ini jika kalian tetap bersikap
bodoh" Ketakutan yang sangat ternyata telah mencengkam orang-orang
yang berada di tempat itu. Kedua orang Buyut dari padukuhan di
sisi hutan dan dari padukuhan di ujung Bukit itu pun serasa
menggigil segenap tubuhnya. Ketakutan, kecemasan dan
penyesalan saling berbenturan di dalam diri mereka. Demikian anakanak
Ki Buyut dari padukuhan di ujung bukit yang merasa diri
mereka tidak terkalahkan.
Selama ini mereka hanya melihat, betapa dahsyatnya bekas
prajurit Tumapel itu memainkan pedang. Namun mereka tidak
pernah melihat kekuatan yang lain, yang jauh lebih dahsyat dari
kemampuan prajurit itu, yang tersebar di luar padukuhan mereka.
Dan kini ternyata bahwa kemampuannya itu sama sekali tidak
berarti dibandingkan dengan kemampuan ketiga orang itu.
"Nah Ki Sanak" berkata Mahisa Bungalan, "Apakah yang
sekarang ingin kalian lakukan" Apakah kalian masih tetap akan
menangkap kami dan menjatuhkan hukuman picis?"
Tidak seorang pun yang menjawab.
"Cobalah perhatikan" Berkata Mahisa Bungalan, "Jika yang
datang kemudian bukannya kami bertiga, tetapi orang lain yang
juga kebetulan bertiga, tetapi sama sekali tidak mempunyai sangkut
paut dengan ketiga orang yang datang lebih dahulu, apakah kirakira
yang akan terjadi atas mereka" Jika mereka adalah petanipetani
yang dalam perjalanan menengok keluarganya yang sakit di
tempat yang jauh, atau dengan tergesa-gesa ingin pulang karena
anaknya sakit keras menurut berita yang didengarnya, sedangkan
mereka itu kalian tangkap di sini dan kalian jatuhi hukuman picis,
cobalah bayangkan. Anaknya menangis di rumah merindukan
ayahnya, sedang ayahnya tanpa bersalah tergantung di tiang kayu
yang tertanam di simpang empat mengalami hukuman picis."
Wajah-wajah di sekitar tempat itu pun menjadi tegang
1538 "Itukah yang kalian tuntut dari dendam yang membara di hati
kalian karena kalian merasa bahwa perikemanusiaan sudah diinjakinjak
oleh ketiga orang yang tidak kalian kenal itu" Dan apakah
perbuatan kalian itu juga dapat disebut perbuatan yang biadab
tanpa mengenal perikemanusiaan?"
Suasana yang sepi itu pun terasa, menjadi semakin sepi. Dan
sinar obor, rasa-rasanya mereka sedang melihat Wajah-wajah
sendiri Beberapa orang menundukkan wajahnya dalam-dalam. Mereka
tidak berani dengan tengadah menatap sorot mata. Mahisa
Bungalan yang meskipun tidak tertuju kepadanya. Rasa-rasanya
mata anak muda itu memantulkan cahaya obor dengan cahaya yang
berlipat ganda, menusuk langsung ke dalam lubuk hati.
"Nah, sekarang apa yang akan kalian lakukan" Apakah aku
harus memecah seluruh dinding batu yang melingkari padukuhan
ini, atau masih harus berperang tanding melawan siapa pun juga?"
Tidak ada jawaban sama sekali. Yang terdengar kemudian
hanyalah suara angin malam yang berdesah di dedaunan, seakanakan
tanpa menghiraukan apa yang sedang terjadi di ujung
padukuhan itu. Dalam kesenyapan itu, Ki Buyut dari padukuhan di pinggir hutan
itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian selangkah ia maju ke
arah Mahisa Bungalan. Dengan nada yang dalam ia pun kemudian
berkata, "Anak muda yang perkasa. Adalah terlampau sulit untuk
melihat kesalahan sendiri. Tetapi biarlah aku yang tua ini mencoba
untuk mengakui, betapa bodohnya kami semuanya. Rasa-rasanya
yang kau lakukan adalah semacam pengakuan di hati kami masingmasing.
bahwa kami tidak lebih dari orang-orang yang dungu dan
sombong. Dalam saat-saat yang demikian, kami baru menyadari,
alangkah gilanya angan-angan kami yang diwarnai oleh dendam
yang tiada taranya."
"Ketahuilah" Berkata Mahisa Bungalan kemudian, "Agaknya tiga
orang yang datang lebih dahulu dari kami adalah orang-orang dari
1539 perguruan ilmu hitam. Mereka telah melakukan perbuatan terkutuk
dimana-mana. Namun dendam yang membakar hati kalian akan
menumbuhkan akibat yang tidak kalah terkutuknya dengan
perbuatan orang-orang berilmu hitam itu"
Ki Buyut dari padukuhan di tepi hutan itu mengangguk-angguk.
Selangkah ia maju lagi dan berkata, "Sekarang kami menyerahkan
semua persoalan kami kepadamu anak muda. Apapun yang kau
anggap baik, kami akan menganggapnya baik pula, meskipun itu
akan berarti hukuman bagi kami sekalian."
"Aku tidak berhak menghukum siapa pun. Jika hukuman itu
dimaksudkan untuk melepaskan dendam dan kepuasan oleh nyala
api kebencian, maka hukuman itu tidak akan berarti apa-apa.
Hukuman seharusnya diberikan untuk menghapuskan kesalahan dari
diri seseorang. Maksudnya, agar orang itu jera melakukan kesalahan
dan kembali mencari jalan yang benar dengan sadar" Mahisa
Bungalan berhenti, "Tetapi hal serupa itu tidak harus kalian lakukan
dengan menjalani hukuman. Kesadaran akan kesalahan dan
penyesalan adalah hukuman yang paling baik. Kemudian bertaubat
dan tidak akan melakukannya sekali lagi. Nah, apakah kalian telah
bersiap untuk berbuat demikian?"
Ki Buyut termenung sejenak. Lalu, "Alangkah sulitnya untuk
menguasai perasaan sendiri. Tetapi biarlah kami mencobanya.
Melihat kesalahan diri, menyesali dan bertaubat. Kami tidak akan
lagi dengan tergesa-gesa menimpakan kesalahan kepada orang lain
yang tidak pasti demikian."
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya kemudian,
"Baiklah. Kita akan melihat bersama-sama. Meskipun mungkin di
hari mendatang kami tidak akan melalui daerah ini, tetapi daerah ini
akan tetap menjadi perhatian pimpinan pemerintahan di Singasari.
Seperti yang sudah kami katakan, kami bertiga adalah hamba istana
Singasari. Karena itu, jika kami melakukan tindakan apa saja atas
nama jabatan kami, maka kami tentu akan dibenarkan oleh
pimpinan pemerintahan di Singasari."
1540 Penjelasan itu membuat setiap orang semakin berdebar-debar.
Bahkan anak Ki Buyut dari ujung bukit, seolah-olah terbungkam dan
tidak mengetahui, apakah yang harus dilakukannya."
"Nah, jika kalian telah berhasil melihat diri sendiri, maka kami
akan segera meninggalkan tempat ini." berkata Mahisa Bungalan"
kembalilah ke rumah masing-masing dan cobalah mengerti apa
yang aku katakan. Sebenarnyalah bahwa aku pun seakan-akan
telah dicengkam oleh kesesatan nafas karena rasanya dada ini akan
retak oleh kemarahan dan gejolak perasaan. Perlakuan kalian atas
kami benar-benar membuat darahku mendidih. Untunglah bahwa
aku berjalan dengan orang-orang tua yang dapat menenangkan
gejolak perasaanku. Jika tidak, maka mungkin aku sudah berbuat
lain dari yang aku lakukan, karena aku pun masih cukup muda
untuk dikuasai oleh panasnya hati."
Dalam pada itu, Ki Buyut dari padukuhan di ujung bukit pun
tampil sambil berkata dengan suara gemetar, "Ampuni kami. Apalagi
setelah kami yakini bahwa anak muda adalah benar hamba istana.
Kami akan mempersilahkan anak muda dan kedua kawan anak
muda itu untuk bermalam di rumah kami seperti yang semula anak
muda kehendaki." Sepercik keseganan melonjak di hati Mahisa Bungalan. Seperti
anak-anak yang merajuk ia menjawab, "Malam sudah menjadi
semakin larut. Jika kami kembali ke rumah Ki Buyut, maka akan
segera datang fajar yang merah. Kapankah kami sempat beristirahat
malam ini" Istirahat itulah yang kami ingini sehingga kami singgah
di padukuhanmu, dan kemudian mengalami perlakukan yang sangat
buruk." "Kami minta maaf" Ulang Ki Buyut.
Mahisa Agni dan Witantra hanya menarik nafas saja melihat
kelakuan Mahisa Bungalan. Tetapi seperti yang dikatakan nya, maka
malam memang sudah menjadi semakin larut.
"jika demikian" sahut Ki Buyut dari padukuhan di pinggir hutan,
"apakah anak muda bertiga akan beristirahat saja di padukuhan ini"
1541 Meskipun padukuhan ini pun telah sangat mengecewakan anak
muda." Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Namun nampak
bahwa ia berusaha untuk menangkap kesan dari wajah Mahisa Agni
dan Witantra yang kemerahan kena sinar obor.
Namun dari wajah-wajah yang tidak begitu jelas itu, Mahisa
Bungalan tidak tahu pasti, apakah yang dikehendaki oleh Mahisa
Agni dan Witantra. Dalam keragu-raguan, maka Mahisa Bungalan pun kemudian
berkata, "Bagi kami tidak ada bedanya, tidur dan beristirahat
dimana pun juga. Bahkan kami dapat juga beristirahat di tengahtengah
bulak sekalipun." "Kami mempersilahkan anak muda bertiga untuk beristirahat di
rumah kami." Ki Buyut dari padukuhan di ujung hutan menegaskan.
Tetapi Mahisa Bungalan tetap saja menggeleng, "Tidak. Tetapi
jika kalian mempunyai banjar padukuhan, kami akan tidur di banjar,
meskipun sekejap lagi fajar akan menyingsing.
"Ah" jawab Ki Buyut, "kalian adalah tamu-tamu kami. Sebaiknya
kalian bermalam di rumah kami."
"Jika kita akan bertengkar terus, maka sampai malam berikutnya
aku tidak akan sempat beristirahat. Nah, jika kalian sependapat,
tunjukkanlah kepada kami banjar padukuhan kalian. Jika tidak, kami
akan melanjutkan perjalanan, dan tidur di pematang."
"Baiklah, baiklah anak muda" berkata Ki Buyut, "marilah. Aku
akan menunjukkan letak banjar padukuhan kami yang buruk itu."
Demikianlah maka Mahisa Bungalan, Mahisa Agni dan Witantra pun
segera mengikuti Ki Buyut dari padukuhan di sebelah hutan itu pergi
ke banjar. Banjar itu memang tidak besar dan terbuat dari bahan
yang sederhana. Dinding bambu wulung yang berwarna ungu
menyekat banjar itu. sehingga merupakan bilik-bilik kecil di bagian
belakang. "Inilah banjar padukuhan kami" berkata Ki Buyut.
1542 "Bagus sekali. Dan kami akan tidur di pendapa banjar.
"Kami akan membersihkan bilik-bilik itu."
"Kami akan tidur di pendapa." Ulang Mahisa Bungalan tegas.
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya,
"Baiklah anak muda. Biarlah seseorang membersihkan pendapa itu."
Sejenak kemudian, maka seorang anak muda membawa
beberapa helai tikar naik ke pendapa :dan dengan tergesa-gesa
membersihkan debu dengan sapu ijuk. Kemudian dibentangkannya
tikar pandan yang dibawanya masing- masing diberinya rangkap.
"Terima kasih" berkata Mahisa Bungalan yang kemudian
menambatkan kudanya pada sebatang pohon perdu di halaman
pendapa itu, "aku akan tidur."
"Kami sedang menjerang air dan menanak nasi." Desis anak
muda yang membentangkan tikar itu.
"Aku akan tidur" Ulang Mahisa Bungalan seolah-olah tidak
mendengarkan kata-kata anak muda itu, "jangan bangunkan aku
sebelum aku bangun dengan sendirinya."
"Bagaimana jika nasi masak?" bertanya anak muda itu
"Kau dengar" Jangan bangunkan kami."
Anak muda itu menjadi bingung, sedang Mahisa Agni dan
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ketika ada
kesempatan Witantra berbisik, "Bungalan, aku lapar. Kenapa kau
tidak mau dibangunkan?"
"Aku tidak percaya" jawab Mahisa Bungalan, "paman Witantra
dapat bertahan tiga hari tiga malam pati geni tanpa terisi oleh
secuwil makanan dan setetes air sekalipun."
Witantra tersenyum. Namun katanya Tetapi bagi sanak
padukuhan Mahisa Bungalan, jika kita menolak jamuan yang mereka
hidangkan, apalagi setelah mereka dengan tergesa-gesa
menyiapkan, maka hati mereka rasa-rasanya telah disakiti"
1543 "Tetapi apakah mereka tidak menyadari, bahwa mereka pun
telah menyakiti hatiku" Hati paman Wirantra dan paman Mahisa
Agni." Witantra mengangguk-angguk. Katanya, "Jadi kau membalas
sakit hatimu dengan menyakiti hati mereka pula?"
Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bertanya, "Jadi bagaimana maksud paman?"
"Jika mereka ingin membangunkan kami, biarlah mereka
melakukannya. Dengan demikian kita tidak membuat hati mereka
sakit. Apalagi jika mereka tahu, bahwa sikapmu itu adalah sikap
seseorang yang sedang merajuk."
"Ah" Mahisa Bungalan menjadi tegang. Tetapi Witantra dan
Mahisa Agni justru tertawa karenanya.
Mahisa Bungalan pun kemudian menarik nafas dalam-dalam
sambil berkata, "Terserahlah kepada paman. Tetapi aku sudah
terlanjur mengatakan kepada anak muda itu, bahwa aku tidak mau
mereka bangunkan." "Terserahlah kepada mereka" berkata Mahisa Agni kemudian,
"apakah mereka akan membangunkan kita atau tidak. Jika mereka
memang berhasrat membangunkan kita, kita akan bangun. Jika
tidak, tentu saja kita tidak dapat berbuat apa-apa, karena Mahisa
Bungalan memang sudah terlanjur mengatakannya.
Mahisa Bungalan hanya dapat mengangguk kecil. Namun
agaknya ia masih tetap menyimpan kejengkelan di dalam hatinya
Tanpa membersihkan diri, ia langsung membaringkan dirinya di atas
tikar itu. "Kau tidak mandi?" bertanya Mahisa Agni.
"Jika kau mandi, aku tidak akan beristirahat. Biarlah, nanti jika
fajar mulai mewarnai langit, aku akan bangun dan mandi dua kali
lipat." 1544 Mahisa Agni tertawa. Kejengkelan Mahisa Bungalan ternyata
membuatnya justru seperti sedang bergurau.
Namun Mahisa Bungalan benar-benar tidak bangkit lagi. Bahkan
ia meluruskan kakinya dan memejamkan matanya tanpa
menghiraukan apapun lagi.
Mahisa Agni dan Witantra ternyata tidak berbuat seperti Mahisa
Bungalan. Mereka berdua pergi juga ke sumur untuk mencuci
tubuhnya yang kotor oleh keringat dan debu. Bahkan kemudian
mereka pun tidak segera berbaring seperti Mahisa Bungalan. Untuk
beberapa saat lamanya mereka masih duduk dan bercakap-cakap.
Dalam pada itu, meskipun Mahisa Bungalan sudah berbaring
pula, tetapi sebenarnya ia belum tertidur pula. Bahkan rasa-rasanya
ia ingin memaksa agar kedua pamannya itu pun segera berbaring
dan tertidur. Tetapi Mahisa Agni dan Witantra justru masih saling berbicara
beberapa lamanya. Ternyata bahwa Mahisa Agni dan Witantra masih cukup lama
duduk berbicara di atas tikar pandan itu, sehingga kemudian
seorang anak muda mendekatinya untuk mempersilahkan mereka
makan. "Anak muda keparat itu lagi" desis Mahisa Bungalan, "Dan
agaknya kedua paman itu sengaja menunggu anak muda itu untuk
mempersilahkan. Tetapi aku tidak akan bangun dan pergi
kemanapun juga untuk makan."
Tetapi di luar dugaan Mahisa Bungalan, maka Mahisa Agni pun
menjawab, "Maaf Ki Sanak. Kami sudah sangat lelah, sehingga kami
tidak akan ingin berjalan lagi meskipun hanya selangkah. Sementara
itu, biarlah persediaan itu kami makan besok pagi saja. Bukannya
kami tidak bersedia menerima kemurahan hati Ki Buyut, tetapi
hanya sekedar menunda beberapa lama lagi, karena sebenarnyalah
malam pun akan segera digeser oleh kemerahan fajar."
1545 Anak muda itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian
katanya, "Apakah kami harus membawanya kemari Ki Sanak?"
"Itu pun tidak perlu. Biarlah kami yang akan datang. Tetapi
tidak sekarang. Nanti pagi-pagi benar kami akan datang ke rumah Ki
Buyut sebelum kami meneruskan perjalanan.
Orang itu ragu-ragu sejenak. Namun kemudian katanya, "Baiklah
Ki Sanak. Kami akan menyampaikannya kepada Ki Buyut.
Ketika anak muda itu pergi, maka Mahisa Bungalan berdesis,
"Apakah paman tidak menyakiti hatinya."
"Aku tidak menolak. Aku hanya minta ditunda saja sampai besok"
"jika demikian, sekarang tidurlah. Nanti sebentar lagi tentu Ki
Buyut sendirilah yang akan datang kemari untuk memaksa paman
berdua pergi kerumahnya. Tentu paman berdua tidak akan dapat
menolaknya." Mahisa Agni tersenyum. Jawabnya, "Mudahkan dugaanmu itu
tidak benar." Tetapi belum lagi Mahisa Agni mengatupkan mulutnya, Mahisa
Bungalan sudah menyahut, "Kita bertaruh."
Witantra lah yang menyahut, "Apakah taruhanmu?"
"Sisa malam ini. - "Maksudmu?" "Jika aku benar, maka aku akan tidur nyenyak, dan paman
berdua harus berjaga-jaga sampai pagi. Tetapi jika aku salah, maka
akulah yang akan bangun sampai kita meninggalkan padukuhan ini
besok." Mahisa Agni dan Witantra tertawa.
"Baiklah Mahisa Bungalan" berkata Mahisa Agni, "kita
mempertaruhkan sisa malam ini."
1546 Tetapi belum lagi Mahisa Agni mengakhiri kata-katanya, seperti
yang diduga oleh Mahisa Bungalan, maka Ki Buyut pun lelah naik ke
pendapa pula. "Kenapa kalian tidak mau menerima tanda terima kasih kami?"
Bertanya Ki Buyut. "Ha" bisik Mahisa Bungalan, "paman akan berjaga-jaga semalam
suntuk." Mahisa Agni memandanginya sejenak sambil tersenyum. Namun
jawabnya kemudian, "Bukan menolak Ki Buyut. Tetapi
sebenarnyalah bahwa aku sangat berterima kasih atas pemberian
itu. Namun, baiklah kiranya tanda terima kasih itu dapat kami terima
besok pagi." "Mumpung nasi masih panas."
"Terima kasih Ki Buyut. Anak muda itu sudah tertidur."
"Apakah Ki Sanak tidak dapat membangunkannya sejenak?"
"Anak itu jika sudah tidur seperti juga jika ia berkelahi. Tetapi
kami sama sekali tidak menolak. Besok di saat fajar mulai merah,
aku akan menerima semuanya dengan senang hati."
"Tetapi sudah dingin" Sahut Ki Buyut.
Mahisa Agni memandang Witantra sejenak. Namun kemudian
katanya, "Terima kasih Kiai. Besok pagi-pagi benar, aku akan
datang bersama kedua kawanku ini.."
"O, tentu Ki Sanak tidak usah pergi kemanapun juga. Kami akan
mengirimkannya kemari"
"Kami tidak ingin membuat Ki Buyut menjadi bertambah sibuk."
"Tentu tidak. Tentu tidak."
Mahisa Agni tidak dapat menolaknya lagi, jika besok pagi-pagi
benar ada beberapa orang membawa makan pagi.
1547 Sepeninggal orang itu, maka Mahisa Bungalan berkata perlahanlahan,
"Aku menang paman. Sisa-sisa malam ini adalah milikku
sepenuhnya dan paman berdua akan berjaga-jaga semalam suntuk
sebagai hasil kemenangan taruhan kami."
Mahisa Agni dan Witantra tersenyum. Sejenak mereka
memandang kegelapan. Kemudian Witantra pun berkata, "Ki Buyut
masih ada di halaman. Jika ia melihat bahwa kau tidak benar-benar
tidur, maka ia merasa dibohongi."
Ia sudah jauh. Ia tidak akan mendengar percakapan ini.
"Mungkin ia tidak mendengar. Tetapi dari kejauhan ia dapat
melihat, sedang kita tidak dapat melihatnya di dalam pekatnya
malam" Mahisa Bungalan pun mengerutkan keningnya. Namun kemudian
ia berkata, "Paman dapat mengatakan, bahwa aku ternyata telah
terbangun." Mahisa Agni hanya tersenyum saja mendengarkannya. Tetapi
kemudian ia pun memotong percakapan itu, "Nah, menurut taruhan
yang sudah kita setujui, sekarang tidurlah. Biarlah kami tetap duduk
dan bercakap-cakap saja di sini. Kami memang tidak mengantuk."
"Terima kasih paman" Sahut Mahisa Bungalan sambil
membetulkan letak kakinya.
Namun tiba-tiba ia pun bangkit sambil berkata, "Jadi paman
berdua akan tetap duduk saja?"
"Ya kenapa" Itu akan lebih baik daripada aku harus berbaring,
jika demikian, mungkin kami berdua pun akan tertidur pula."
"Ah, sebaiknya paman juga tidur. Jika paman duduk saja
semalam suntuk, maka orang-orang padukuhan ini tentu akan selalu
saja mengganggu dengan menawarkan segala macam makanan dan
minuman." 1548 Mahisa Agni dan Witantra tertawa. Bahkan Witantra berkata,
"Sebenarnyalah kami mengharapkannya. Apakah keberatanmu
sebenarnya?" "Harga diri paman."
"Bukan harga diri. Tetapi kau benar-benar sedang merajuk.
"Ah," "Jadi apakah kami harus tidur?" tiba-tiba saja Mahisa Agni
bertanya. Mahisa Bungalan tertawa. Jawabnya, "Ya Paman berdua harus
tidur seperti aku. Setidak-tidaknya berbaring."
Keduanya pun tertawa pula. Witantra lah yang menjawab,
"Baiklah. Kami akan berbaring dan tidur nyenyak di pendapa ini
Mudah-mudahan orang berilmu hitam yang pernah datang kemari
tidak mengganggu kami selagi kami masih tidur nyenyakMahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Namun katanya
kemudian, "Aku tidak akan dapat tidur. Baiklah. Aku akan berjagajaga
jika orang-orang berilmu hitam itu datang. Aku akan
membunuh mereka dua kali lipat. Mereka sudah mengganggu
padukuhan ini dan hampir saja menjerumuskan aku ke tiang
hukuman picis." "Tetapi menurut perhitunganku mereka tidak akan kembali lagi"
Berkata Mahisa Agni, "Setidak-tidaknya untuk waktu yang dekat ini."
Mahisa Bungalan memandang kedua pamannya berganti-ganti
seolah-olah ia ingin mendapat persamaan pendapat dari keduanya.
"Ya" Sahut Witantra kemudian, "Aku sependapat meskipun kita
masih harus tetap berhati-hati."
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun kemudian ia
berkata pula, "Silahkan tidur nyenyak paman. Aku tentu tidak akan
dapat tidur malam ini. Udara panas, dan hatiku pun masih tetap
hangat." 1549 Mahisa Agni dan Witantra berpandangan sejenak. Namun
keduanya pun segera membaringkan dirinya di sebelah Mahisa
Bungalan, Namun demikian, ternyata ketiga-tiganya tetap tidak
memejamkan matanya. Rasa-rasanya mereka tidak akan dapat
mengantuk lagi justru setelah mereka berbaring.
Di luar malam rasa-rasanya menjadi semakin dingin. Angin yang
lembab berhembus menyentuh tubuh-tubuh yang terbaring diam,
namun yang sama sekali tidak tertidur itu.
Dalam pada itu Mahisa Bungalan yang gelisah tiba-tiba berdesis,
"Ada dua tiga orang yang berkeliaran di halaman banjar ini paman?"
"Ya" jawab Witantra, "Tetapi mereka adalah peronda-peronda
yang dikirim oleh Ki Buyut."
"Dari mana paman mengetahuinya?"
"Sikapnya yang tenang dan langkahnya yang tetap. Jika mereka
orang-orang jahat, maka langkah kakinya tentu memberikan kesan
sikap yang berbeda."
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Pamannya pun tentu
hanya mendengar desir kaki dan tidak melihat orangnya karena
pamannya pun masih saja berbaring memandang atap banjar itu.
Tetapi dugaanya itu tentu tepat sekali, karena langkah yang
didengar memang tidak mencerminkan kegelisahan.
Tetapi belum lagi mereka merasa mapan berbaring di atas tikar
pandan itu, mereka telah mendengar suara ayam jantan yang
berkokok menjelang fajar. Langit yang menjadi kemerahan telah
menguakkan kegelapan yang pekat.
Lamat-lamat pepohonan mulai nampak semakin jelas. Regol
halaman banjar yang terbuka dan dua orang yang berdiri di muka
regol. Sedang seorang yang lain, duduk di atas sebuah batu di
ujung halaman. 1550 Perlahan-lahan mereka melangkah keluar pintu. Demikian pula
yang duduk itu pun berdiri dan melangkah pula keluar.
"Mereka meninggalkan halaman" desis Mahisa Bungalan.
"Kau memperhatikannya?" Bertanya Mahisa Agni, "Atau
barangkali kau curiga?"
"Merekalah yang curiga,"
"Tentu tidak. Apakah yang dapat mereka lakukan?" Mahisa
Bungalan termangu-mangu sejenak. Dipandanginya orang yang
melangkah semakin jauh dan kemudian hilang di balik pintu regol
itu. "Apakah kerja mereka sebenarnya?" Bertanya Mahisa Bungalan.
Mahisa Agni pun kemudian duduk di sebelah Witantra yang telah
duduk pula. Sejenak ia memandang ke pintu regol yang terbuka.
Lalu katanya , "mereka adalah peronda-peronda yang harus
menjaga banjar ini, ada atau tidak ada kita disini."
"O" Mahisa Bungalan mengangguk-angguk.
Sejenak kemudian maka cahaya langit pun menjadi semakin
cerah. Padukuhan itu pun menjadi terbangun pula dari tidur mereka
yang gelisah. Orang-orang laki-laki di padukuhan itu, hampir tidak sempat
pulang ke rumah masing-masing. Ada satu dua di antara mereka
yang sekedar memberitahukan kepada keluarga mereka, apa yang
telah terjadi, agar keluarga mereka tidak menjadi gelisah dan
ketakutan. "Jadi ada seorang yang dapat memecahkan batu padas itu
hanya dengan tangannya saja?"
"Ya" Dan kekaguman itu pun menjalar dari setiap mulut ke mulut yang
lain. 1551 Dalam pada itu, Mahisa Agni dan Witantra pun segera pergi ke
pakiwan untuk membersihkan dirinya, sementara Mahisa Bungalan
nampaknya masih agak malas untuk bangun. Tetapi karena cahaya
pagi yang semakin terang, maka ia pun kemudian bangkit pula dan
menyusul kedua pamannya yang sedang membersihkan dirinya
Ketika mereka bertiga kembali ke pendapa, mereka telah
dikejutkan oleh hadirnya beberapa orang yang membawa makanan
dan minuman bagi ketiga orang yang mengagumkan itu.
"Bukankah kami tidak memerlukannya" Desis Mahisa Bungalan.
"Perlu atau tidak perlu, marilah kita menerimanya dengan hati
terbuka. Kapankah sebenarnya kau mudah sekali dihinggapi
perasaan sakit hati seperti itu?"
"Tingkah laku mereka sudah keterlaluan."
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ternyata mereka kini telah menyesal" Desis Witantra.
Mahisa Bungalan memandang Witantra sejenak, lalu katanya,
"Baiklah paman. Tetapi perlakuan yang menyakitkan hatiku sekali
lagi, tidak akan dapat aku maafkan"
"Begitu?" Bertanya Mahisa Agni.
Mahisa Bungalan. hanya menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak
Sumpah Palapa 1 Pendekar Gagak Rimang 3 Menumpas Angkara Murka Topeng Kuning 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama