Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja Bagian 27
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Jawabnya"Baiklah. Mana
yang baik menurut pertimbanganmu,"
Mereka pun kemudian bersiap dan membenahi senjata mereka.
Empu Sanggadaru kemudian melangkah lebih dahulu sambil
berkata, "Marilah. Ikutilah aku?"
Empat orang di antara mereka segera meninggalkan lapangan
kecil itu menyusup ke dalam semak-semak dan melintasi daerah
yang rasa-rasanya menjadi semakin rimbun.
1615 "Semak-semak tumbuh amat subur disini. Semakin dekat dengan
mata air maka gerumbul-gerumbul menjadi semakin pepat, karena
akarnya selalu dibasahi oleh mata air di sebelah "
Empu Baladatu hanya mengangguk-angguk saja. Ia menduga
bahwa di balik gerumbul-gerumbul itulah terdapat mata air yang
mereka tuju. Tetapi ternyata mereka masih melintasi gerumbul-gerumbul yang
lain. Jika mereka melalui sebuah gerumbul, mereka masih harus
menyusup gerumbul berikutnya, sehingga akhirnya Empu Baladatu
bertanya, "Apakah mata air itu sudah dekat?"
"Ya. Beberapa langkah lagi kita akan sampai." Tetapi yang
beberapa langkah itu ternyata adalah langkah-langkah yang amat
panjang. Namun akhirnya Empu Sanggadaru pun berhenti. Sambil
menunjuk ke sebatang pohon raksasa ia berkata, "Di bawah pohon
itulah terletak mata air yang selalu basah di segala musim. Kita akan
mengambil tempat yang baik untuk menunggu seekor binatang
yang terlambat minum pada hari ini,"
Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Dengan saksama ia
memperhatikan daerah di sekitarnya. Bahkan kemudian tatapan
matanya merayap memanjat ke batang raksasa yang tumbuh di
atas mata air itu. Terasa kulitnya meremang ketika terlihat olehnya dahan-dahan
yang bersilang melintang. Sulur-sulur yang meskipun tidak terlalu
lebat, namun nampaknya bagaikan jari-jari yang siap untuk
menerkam. Empu Baladatu adalah seorang yang berhati batu. Ia tidak
tersentuh sama sekali perasaannya, meskipun ia melihat mayat
yang bagaikan lumat sekalipun. Bahkan dengan hati yang mantap ia
mengorbankan darah sesama untuk kepentingan ilmunya yang
hitam. Namun melihat pepohonan di hutan itu, rasanya ia menjadi
bertambah kecil. 1616 "He," desis Empu Sanggadaru, "Apakah yang kau perhatikan
itu?" Empu Baladatu menarik nafas. Desisnya, "Pohon itu. Terutama
yang satu itu. Aku belum pernah melihat sebatang pohon sebesar
dan setinggi itu." "Masih ada beberapa batang pohon yang bahkan lebih besar dari
pohon itu di bagian hutan yang lebih ketengah. Pada sebatang
pohon yang agak lebih besar dari pohon itulah aku menemukan ular
raksasa yang aku hawa kepadepokan itu."
"O" Desis Empu Baladatu.
Namun terbayang kemudian ular raksasa itu tergantung dengan
kepalanya dibawah dan ekornya yang membelit dahan yang
terbawah. "Tetapi darimana kakang mendapatkan belanga di tengah hutan
selebat ini?" Pertanyaan yang sederhana itu telah terbersit
dihatinya. Namun yang sebenarnya bukanlah masalah belanga itu
sendiri yang menjadi pokok pertanyaannya. Namun pada dasarnya
Empu Baladatu memang agak kurang percaya dengan ceritera
kakaknya, bagaimana ia menangkap ular raksasa itu.
Tetapi Empu Baladatu tidak menanyakan. Sambil menganggukanggukkan
kepalanya ia berkata, "Bukan main. Mudahkan kita akan
dapat bertemu ular sebesar itu lagi. Jika aku dapat membawa
pulang kepadepokanku, meskipun hanya kulitnya, maka tentu akan
menggemparkan sekali "
Kakaknya tertawa. Katanya" Hanya suatu kesempatan yang
datang satu diantara seribu. Mungkin aku tidak akan pernah
menjumpai ular yang tertidur seperti itu lagi sepanjang umurku."
Empu Baladatu tidak menyahut. Meskipun kepalanya teranggukangguk,
namun hatinya masih tetap ragu-ragu.
"Marilah kita mendekat" Berkata Empu Sanggadaru, "Kita akan
berada dibalik sebuah batu yang besar untuk menunggu. Kita kali ini
harus berada di sebelah selatan mata air itu, karena angin bertiup
1617 keselatan. Dengan demikian binatang yang mendekati mata air itu
tidak segera mencium bau manusia atau yang dianggapnya mahluk
asing yang dapat membahayakan keselamatan mereka."
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Diikutinya Empu
Sanggadaru berjalan menyusup gerumbul-gerumbul yang rimbun
dan bahkan berduri. Tetapi nampaknya Empu Sanggadaru sama
sekali tidak menghiraukannya.
"Pakaiannya cukup tebal" Desis Empu Baladatu di dalam hatinya.,
"Jika aku tidak berhati-hati seperti kakang Sanggadaru, maka
mungkin pakaianku akan segera menjadi compang-camping
meskipun duri tidak dapat melukai kulitku.
Demikianlah mereka pun kemudian duduk di balik sebongkah
batu padas yang besar. Namun nampaknya tempat itu memang
sudah sering dipergunakan untuk menunggu binatang buruan yang
kehausan dan mencari minum dimata air yang nampak di bawah
pohon raksasa itu. Empu Baladatu yang baru pertama kali itu sengaja duduk
menunggui binatang buruan, tidak dapat duduk dengan, tenang.
Sekali-kali ia bergeser dan memperhatikan mata air yang seolaholah
memancar dari bawah akar-akar batang raksasa yang
mendebarkan Itu, kemudian tergenang di dalam sebuah belumbang
kecil yang bening. "Kemanakah air itu mengalir?" Tiba-tiba saja ia bertanya.
"Melalui bawah tanah. Air itu menyusup ke dalam timbunan
sampah dedaunan yang sudah bertahun-tahun menumpuk di sekitar
pohon raksasa ini, dan mengalir menjadi sebuah parit di bawah
tanah. Di luar hutan ini air itu akan memancar pula sebagai mata air
seperti mata air di bawah pohon raksasa itu."
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Namun nampaknya ia
masih terpukau melihat akar-akar raksasa yang seolah-olah
menahan tegaknya batang pohon yang sangat besar dan. tinggi itu.
Ujung-ujungnya jauh mencengkam ke dalam tanah yang gembur,
1618 namun demikian ternyata cukup kuat, sehingga batang raksasa itu
tidak dapat roboh oleh angin yang kencang sekalipun.
"Duduklah" Desis Empu Sanggadaru kemudian, "Jika kita selalu
gelisah, mereka tidak akan ada binatang yg berani mendekat."
Empu Beladatu pun kemudian duduk di samping kakaknya
meskipun agaknya ia sudah mulai tidak telaten.
"Awasilah mata air itu" Desis Empu Sanggadaru kepada
cantriknya, Namun cantrik itu menjawab, "Empu, agaknya sudah ada
seseorang yang berhasil mendapatkan seekor binatang atau lebih di
sini." "He" Empu Sanggadaru terloncat dengan serta merta.
"Aku melihat darah."
"Dimana" Bertanya Empu Sanggadaru.
Cantrik itu pun kemudian menunjuk noda yang terdapat di tepi
belumbang itu, "Bukankah itu noda darah?"
Empu Sanggadaru menarik nafas. Jawabnya, "Ya. Itu adalah
noda darah. Tentu ada seseorang atau sekelompok pemburu yang
telah mendahului kita."
Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Ia juga melihat warna
yang lain pada tanah yang gembur di tepi belumbang itu. Tetapi ia
tidak segera dapat menyebut bahwa noda yang nampak itu adalah
noda-noda darah. "Marilah kita mendekat. Kita akan meyakinkan, apakah yang
nampak itu memang darah.".
"Kita jangan mendekati belumbang itu Empu" Berkata cantrik itu,
"Dengan demikian, maka bau yang kita tinggalkan akan membuat
binatang-binatang buruan itu segan untuk mendekat."
"Kita tidak akan mendekat sampai ke belumbang itu" Sahut Empu
Sanggadaru, "Tetapi kita akan melihat noda yang agaknya
1619 merupakan urutan dari noda yang terdapat di pinggir belumbang
itu." Cantrik itu mengangguk-angguk.
Sejenak kemudian mereka pun mendekati noda-noda yang
agaknya memang noda darah yang berceceran. Dengan kerut merut
di kening, Empu Sanggadaru berkata, "Pemburu itu tidak berhasil
membunuh korbannya. Binatang buruan itu sempat melarikan diri
dengan luka-luka di tubuhnya. Darahnya berceceran sepanjang jejak
pelariannya, " Empu Baladatu mengangguk-angguk. Setelah menjadi semakin
dekat, maka diapun segera mengenal warna-warna darah yang
telah mengering itu. "Darah ini akan mengundang jenis binatang buas yang akan
membunuhnya" Desis Empu Sanggadaru, "Jika pemburu yang gagal
membunuh binatang ini tidak menelusuri jejaknya dan kemudian
membunuhnya, maka seekor harimau atau sekelompok anjing liar
akan mencarinya dengan mengikuti ceceran darah itu."
"Jika binatang itu menjadi lemah, maka ia akan kehilangan
kekuatannya untuk melarikan diri dari cengkeraman maut, siapa pun
yang membawa mendekat. Apakah pemburu itu, ataupun binatang
buas yang lain." Empu Sanggadaru menjadi ragu-ragu. Namun kemudian ia pun
berkata, "Biarlah binatang itu menemui nasibnya. Kita akan
menunggu binatang yang lain."
Empu Baladatu hanya dapat mengangguk-angguk saja. Ia sama
sekali tidak dapat menentukan sikapnya sendiri, karena ia adalah
orang yang tidak mempunyai mengalaman yang cukup di medan
perburuan. Namun dalam pada itu, selagi mereka akan meninggalkan tempat
itu, kembali cantrik itu berkata, "Aku melihat sesuatu yang agak lain
pada gerumbul-gerumbul itu."
1620 "Apa yang kau lihat?" Bertanya Empu Sanggadaru, "Kau adalah
seorang pencari jejak yang baik. Barangkali kau melihat sesuatu."
"Empu" Berkata cantrik itu, "Ternyata selain jejak kijang yang
terluka itu, aku melihat jejak beberapa ekor kuda."
Empu Sanggadaru mendekati cantrik yang menyusup di belakang
gerumbul itu. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, "Pemburu itu
langsung membawa kudanya kemari."
"Aneh" Desis cantrik itu, "Tentu seorang pemburu yang benarbenar
mampu menguasai kudanya, sedang kudanya pun tentu kuda
yang sudah terbiasa. Ia mengejar buruannya dengan kudanya yang
semula ditaruh di belakang gerumbul-gerumbul itu."
"Apakah itu mungkin" Desis Empu Baladatu tiba-tiba.
"Bukankah sudah aku katakan, bahwa jika waktunya Telah tiba,
kita pun akan berburu dengan kuda-kuda kita" Mungkin kudamu
masih harus menyesuaikan diri. Tetapi kita akan mencoba. Kali ini
kita tidak perlu memaksa diri untuk mendapatkan binatang buruan
sebanyak-banyaknya. Kita akan menangkap binatang yang kita
perlukan untuk makan kita selama kita di hutan ini. Selebihnya, apa
saja yang kita dapatkan tanpa melakukan sesuatu yang sulit dan
berbahaya sekali karena bagimu kali ini adalah pengalaman yang
mungkin pertama kali."
Empu Baladatu mengangguk-angguk.
"Kita akah melakukannya sesuai dengan kemampuan kita" Empu
Sanggadaru melanjutkan. Empu Baladatu masih mengangguk-angguk.
Namun tiba-tiba cantrik yang banyak pengetahuannya tentang
jejak itu berkata, "Empu. Kita mengenal, siapakah yang berburu
dengan cara yang berani dan tidak mengenal babaya itu."
Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Lalu, "Siapa menurut
ingatanmu?" "Keluarga istana. Singasari."
1621 "He?" "Tentu Tuanku Ranggawuni dan Tuanku Mahisa Cempaka."
"Ah" Desis Empu Sanggadaru, "Jika yang ada di hutan ini Tuanku
Ranggawuni dan Tuanku Mahisa Campaka, tentu ada tanda-tanda
khusus, dan beberapa orang pengawal tentu ada di lapangan kecil
itu. Bagaimanapun juga mereka adalah Maharaja dan Ratu
Angabhaya. Betapapun berani dan mungkin agak kekanak-kanakan,
namun para penasehatnya tidak akan melepaskannya begitu saja.
Bukankah kau tidak melihat di mulut lorong itu janur kuning dan
lawe wenang sebagai pertanda kehadiraa kedua anak muda. yang
sedang memegang kekuasaan tertinggi itu?"
Cantrik itu mengangguk-angguk Katanya, "Ya. Aku memang tidak
melihatnya. Tetapi aku belum mengenal orang lain yang
melakukannya kecuali kedua anak muda itu, dan orang ketiga
adalah Empu Sanggadaru."
"Mungkin kita sajalah yang belum mengenalnya. Tetapi tentu ada
orang lain yang dapat melakukannya. -"
Cantrik itu mengangguk-angguk. Katanya, "Mungkin demikian.
Dan kali ini kita akan bertemu dengan, orang-orang itu. Orangorang
yang barangkali belum kita kenal."
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Dipandanginya hutan
yang lebat itu seolah-olah ingin memandang langsung kedalamnya.
Namun kemudian ia pun berdesis, "Siapakah mereka, aku tidak
peduli. Sekarang, marilah kita kembali bersembunyi. Kita akan
menunggu binatang yang mungkin masih akan pergi mencari air."
Mereka pun kemudian kembali bersembunyi di balik batu, sedang
cantrik itu pun dengan hati-hati mengintai jika pada suatu saat
seekor binatang turun untuk minum di belumbang kecil itu.
"Apakah belumbang itu tempat satu-satunya binatang buruan
mencari minum?" "Ya di daerah ini" Jawab Empu Sanggadaru, Lalu, "Tetapi di
tempat lain, terdapat pula sebuah mata air yang lebih besar. Bahkan
1622 terdapat sebuah parit yang mengalir dari sendang itu sampai keluar
hutan." Empu Baladatu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya
lagi. Sementara itu, cantrik yang mengintai binatang buruan yang
mungkin masih mencari air dibelumbang itu pun masih tetap di
tempatnya. Nampaknya ia sama sekali tidak beranjak dan bahkan
tidak berkedip. Tetapi dalam pada itu Empu Baladatu dan
pengawalnya telah mulai menjadi jemu. Mereka duduk dengan
gelisah, dan bahkan sekali-kali menggeliat
Empu Sanggadaru melihat kegelisahan itu. Namun ia tidak
menegur adiknya. Dibiarkannya adiknya sekali-kali bergeser, sekali
menarik nafas dan bahkan kadang-kadang mengeluh.
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi suasana tiba-tiba menjadi tegang ketika cantrik yang
sedang mengintai belumbang itu berdesis. Dengan isyarat ia
memberitahukan, bahwa ada seekor binatang yang mendekati
belumbang itu. Empu Baladatu hampir saja meloncat dari tempatnya. Untunglah
kakaknya sempat memberikan isyarat agar ia berhati-hati, sehingga
tidak mengejutkan binatang itu.
Empu Sanggadaru pun kemudian bergeser mendekati cantriknya.
Dari tempatnya mengintai, Empu Sanggadaru menjengukkan
kepalanya. Wajah Empu Sanggadaru menjadi tegang. Dengan isyarat pula ia
memanggil adiknya yang ikut mengintai pula. Tetapi Empu Baladatu
tidak sempat bertanya karena Empu Sanggadaru meletakkan jarijarinya
di muka mulutnya. Yang nampak oleh Empu Baladatu justru seekor harimau loreng
yang besar sekali. Agaknya hal itu tidak merupakan kebiasaan,
karena nampaknya Empu Sanggadaru pun menjadi heran melihat
hadirnya harimau itu. 1623 "Aneh" Bahkan Empu Sanggadaru pun berdesis, "Jarang sekali
dapat ditemui seekor harimau loreng sebesar itu."
Cantrik yang melihat pertama kali harimau itu pun nampak nya
menjadi sangat heran. Dengan hati-hati ia pun berbisik, "Agak nya
titik darah itulah yang telah mengundangnya kemari."
Empu Sanggadaru mengangguk. Dan memang ternyata bahwa
agaknya harimau loreng itu sedang asyik mencium bau darah
binatang yang agaknya sudah terluka, namun masih sempat
melarikan diri. "Tetapi binatang itu tentu sudah menjadi sangat lapar, sehingga
nampaknya ia berbuat sesuatu yang kurang lajim dilakukan sesuai
dengan naluri mereka"
Tiba-tiba cantrik yang agaknya memahami benar-benar tentang
medan perburuan itu pun berdesis, "Agaknya pemburu-pemburu
yang berani itu telah melakukan sesuatu yang dapat mempengaruhi
tata kehidupan binatang hutan."
"Maksudmu." "Berhari-hari ia sudah berada di daerah ini. Ketakutan dan
kecemasan telah menghinggapi hutan ini sehingga binatangbinatang
telah melakukan hal-hal yang tidak biasa dilakukan."
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Desisnya, "Aku tidak
peduli. Tetapi binatang itu adalah binatang yang manis sekali. Aku
ingin menangkapnya dan mendapatkan kulitnya. Aku akan
menangkap tanpa melukanya dengan senjata tajam, sehingga
belulangnya kelak akan utuh tanpa cacat "
"Maksud Empu" Desis cantrik itu.
Empu Sanggadaru tersenyum. Lalu, "Berikan sepotong galih
asem yang tergantung diikat pinggangmu itu, "Empu" Desis cantrik
itu dengan cemas ."Empu tidak boleh melakukannya atas seekor
harimau sebesar itu. Apalagi seekor harimau yang lapar."
1624 Empu Baladatu termangu-mangu. Dengan ragu-ragu ia bertanya,
"Apa yang akan kakang lakukan?"
"Aku akan menangkapnya. Cepat, sebelum binatang itu
mengetahui kehadiran kita dan lari masuk kedalam semak-semak."
"Empu. Ujung panah tidak akan merusakkan kulitnya, Jika Empu
tepat membidiknya, maka hanya ada sebuah lubang pada kulit
binatang itu." "Aku ingin kulitnya tetap utuh. Aku akan mematahkan tulang
belakangnya dengan alat pemukul ini, tanpa melukai kulitnya yang
manis itu." Cantrik itu nampaknya menjadi tegang. Namun ia sadar, bahwa
Empu Sanggadaru tidak akan dapat dicegahnya lagi.
"Empu" Desis cantrik itu, "Aku mohon ijin, jika perlu aku akan
melukainya. Hanya jika perlu?"
Empu Sanggadaru tersenyum. Katanya perlahan-lahan, "Aku
mengerti. Kau tidak ingin melihat aku mati dicengkeraman harimau
itu. Terserahlah kepadamu jika kau memandang perlu. Kau tahu,
bahwa aku ingin mendapatkan kulitnya yang utuh. Tetapi jika aku
tidak akan dapat menguasainya, maka terserahlah, apa yang akan
kau lakukan" Cantrik itu mengerutkan keningnya. Nampaknya kecemasan yang
membayang diwajahnya. Empu Saggadaru pun kemudian berkata, "Aku akan
melakukannya sekarang. Tunggulah aku disini."
Cantrik itu termangu-mangu sejenak. Sekali-kali dipandanginya
wajah Empu Baladatu, seolah-olah ia minta bantuannya untuk
mencegah kakaknya agar mengurungkan niatnya.
Tetapi Empu Baladatu sama sekali tidak berbuat apa-apa.
Meskipun ada ketegangan yang nampak diwajahnya, namun
sepercik keinginan untuk melihat kemampuan kakaknya telah
tersirat di hatinya. 1625 Karena itu maka ia seolah-olah telah berdiri diatas keragu-raguan
yang semakin dalam. Namun Empu Sanggadaru sendiri kemudian tersenyum sambil
menepuk bahu cantriknya, "Selagi harimau itu belum pergi.
Tunggulah, dan jika kau menganggap perlu berbuatlah sesuatu
untuk ketenanganmu." Cantrik itu mengangguk kecil.
Sejenak kemudian maka Empu Sanggadaru pun segera
mempersiapkan diri. Ia sama sekali tidak menarik pisau helatinya
karena ia tidak ingin melukai harimau itu. Karena itu, ia akan
mempergunakan sepotong galih asem yang berwarna kehitamhitaman.
Sejenak kemudian maka Empu Sanggadaru pun telah siap
melakukan rencananya. Tiba-tiba saja ia pun meloncat keatas
sebongkah batu padas, dan berteriak nyaring.
Harimau yang sedang termangu-mangu mencium bau darah itu
pun terkejut. Bahkan bukan harimau itu sajalah yang terkejut. Empu
Baladatu yang ada di sebelah batu itu pun terkejut pula sehingga ia
bergeser surut. Bahkan seorang pengawalnya yang ada di
belakangnya, telah menjadi gemetar karena suara itu banar-benar
tidak disangkanya. Sejenak kemudian, selagi gema suaranya telah lenyap, maka
Empu Sanggadaru pun segera meloncat berlari menuruni tanah
yang miring ke arah belumbang di bawah pohon raksasa itu.
Sejenak harimau loreng yang besar itu justru termangu-mangu.
la agaknya melihat sesosok mahluk yang aneh, yang mengenakan
kulit seperti kulit seekor barimau tetapi yang berjalan di atas kedua
kakinya. Namun sejenak kemudian terdengar harimau itu mengaum.
Keras sekali. Suaranya menggetarkan dedaunan di sekitarnya dan
bahkan menggetarkan isi dada orang-orang yang mendengarnya.
1626 Sejenak Empu Sanggadaru tertegun memandang harimau yang
mulai merundukkan kepalanya. Namun kemudian ia pun justru
melangkah dengan hati-hati mendekatinya.
Empu Baladatu memandang kakaknya dengan hati yang
berdebar-debar. Demikian pula pengawalnya. Sedangkan cantrik
padepokan kakaknya itu pun agaknya telah dicengkam oleh
ketegangan. Bahkan seolah-olah di luar sadarnya, ia telah
mempersiapkan busurnya dan memasang sebuah anak panah yang
siap untuk dilepaskan apabila diperlukan.
Tetapi agaknya ia tidak akan dapat membidik dari jarak yang
agak jauh itu jika terjadi pergulatan antara Empu Sanggadaru dan
harimau loreng yang sangat besar itu, agar tidak salah sasaran.
Karena itu, maka ia pun kemudian tanpa menghiraukan Empu
Baladatu dan pengawalnya, perlahan-lahan bergeser mendekat.
Empu Baladatu pun bergeser pula di luar sadarnya. Hatinya
menjadi semakin berdebar-debar ketika ia melihat harimau itu mulai
merunduk. Sejenak kemudian terdengarlah auman yang dahsyat sekali lagi.
Berbareng dengan itu, maka harimau itu pun telah meloncat
menerkam Empu Sanggadaru.
Tetapi Empu Sanggadaru telah bersiap. Ketika kedua kaki depan
harimau yang terjulur dengan kukuhnya yang runcing itu hampir
menyentuhnya, maka Empu Sanggadaru telah melenting dengan
kecepatan yang tidak dapat dilihat dengan tatapan mata biasa.
Seolah-olah ia telah hilang dari tempatnya dan tiba-tiba saja telah
muncul disisi harimau yang kehilangan lawannya.
Bahkan agaknya Empu Sanggadaru tidak hanya sekedar
membuat harimau itu kebingungan. Namun dengan tangkasnya ia
pun telah meloncat ke punggung harimau itu seperti ia meloncat ke
atas punggung kuda. Tangan kirinya pun kemudian dengan kerasnya telah memeluk
leher harimau itu sambil mencengkam pada bulu-bulunya. Kemudian
1627 dengan serta merta ia mengayunkan sepotong galih asem
ditangannya, memukul tengkuk harimau itu berulang-ulang.
Tetapi harimau itu tidak menyerah begitu saja. Sambil meraung
dengan dahsyatnya, binatang itu meronta-ronta. Sekali harimau itu
meloncat, kemudian menjatuhkan dirinya dan berguling-guling di
tanah. Tetapi Empu Sanggadaru berpegangan dengan eratnya. Seolaholah
ia telah melekat pada punggung harimau itu. Betapapun juga
harimau itu berusaha, namun ternyata bahwa Empu Sanggadaru
tidak dapat dilepaskannya.
Namun harimau yang bagaikan gila itu masih saja berusaha.
Bahkan kemudian harimau itu pun meloncat-loncat dan sekali-kali
membenturkan dirinya pada batang pepohonan.
Empu Sanggadaru yang berada di punggung harimau itu
berusaha untuk tetap berada di tempatnya. Bahkan kemudian, ia
tidak sempat lagi memukul dengan sepotong galih asemnya, karena
kedua tangannya harus berpegangan erat-erat agar ia tidak terlepas
dari punggung harimau itu.
Tetapi ternyata bahwa harimau itu pun memiliki kekuatan yang
tidak terkira. Setelah beberapa kali ia berusaha, maka pegangan
Empu Sanggadaru pun menjadi kendor. Ketika binatang itu
meloncat dan membenturkan tubuhnya pada sebatang pohon,
kemudian menjatuhkan dirinya dan berguling beberapa kali,
ternyata tangan Empu Sanggadaru telah terlepas. Dengan serta
merta, harimau itu mengibaskan dirinya sehingga Empu Sanggadaru
pun kemudian terlempar beberapa langkah.
Terdengar aum harimau itu menggema. Agaknya harimau itu pun
mengerti, bahwa yang melekat dipunggungnya telah terlepas dan
jatuh beberapa langkah daripadanya.
Namun demikian, harimau itu pun telah menjadi letih Apalagi
karena kemarahan dan kebingungan yang mencekamnya, beberapa
kali ia telah membenturkan tubuhnya dan bahkan kepalanya pada
1628 batang-batang pohon yang ada disekjtarnya tanpa dikehendakinya
sendiri. Meskipun demikian harimau itu masih tetap garang. Dengan gigigiginya
yang menyeringai tajam, ia siap untuk menyobek lawannya
yang untuk beberapa saat masih terbaring diam.
Agaknya Empu Sanggadaru pun merasa pening. Tetapi ia masih
mampu menguasai dirinya, sehingga dengan sadar ia
memperhatikan harimau yang siap untuk menerkamnya.
Bahkan sekilas ia masih melihat cantriknya menarik tali busurnya,
siap untuk melepaskan anak panahnya, justru pada saat ia sudah
terpisah dari harimau itu.
"Jangan" Empu Sanggadaru masih sempat berteriak sehingga
cantriknya menjadi tertegun diam.
Justru pada saat itu, harimau loreng itu sudah mulai bersiap-siap.
Kepalanya menjadi semakin rendah dan ekornya yang mengkibas itu
pun menjadi semakin cepat.
Namun pada saat itulah Empu Sanggadaru melenting berdiri Dan
tepat pada saat harimau itu meloncat menerkamnya, Empu
Sanggadaru meloncat menggapai dahan kayu yang menyilang
atasnya. Dengan tangan kirinya ia menggantung pada dahan itu.
Namun ketika harimau yang kehilangan lawannya itu menjejakkan
kakinya di tanah, maka Empu Sanggadaru sempat memutar diri dan
meloncat sekali lagi di atas punggung harimau yang ganas itu.
Harimau loreng itu pun kemudian menjadi seolah-olah gila.
Terdengar auman yang dahsyat dan sekali lagi binatang itu
berusaha melepaskan diri. Tetapi tangan Empu Sanggadaru telah
mencengkam kulit dan bulu-bulunya.
Berkali-kali Empu Sanggadaru sempat memukul kepala harimau
itu dengan galih asemnya, sehingga agaknya harimau itu pun
menjadi semakin pening. Dengan demikian maka geraknya pun
menjadi bertambah liar dan tidak terkendali.
1629 Dengan ganasnya harimau itu meloncat dan menjatuhkan dirinya
beryiilang kali. Berguling-guling dan mengaum tidak hentinya.
Sekali lagi Empu Sanggadaru kehilangan keseimbangannya.
Perlahan-lahan tangannya menjadi kendor. Justru pada saat ia
mencoba memperbaiki pegangannya, maka sekali lagi ia terlempar
dan jatuh tepat disamping harimau itu.
Harimau yang bagaikan gila itu menggeram. Ia tidak sempat
merunduk dan menerkam lawannya. Tetapi dengan serta merta ia
langsung menerkam lawannya yang hanya selangkah daripadanya.
Empu Sanggadaru tidak sempat meloncat bangkit. Yiang di
lakukan kemudian adalah berguling dengan cepatnya menghindari
kuku-kuku harimau yang tajam itu.
Empu Sanggadaru ternyata mampu bergerak secepat kilat, la
berhasil melepaskan diri dari cengkeraman harimau itu. Tetapi,
ternyata bahwa ia tidak terbebas seluruhnya. Ketika ia ke mudian
bangkit berdiri, ternyata bahwa lengan dan pahanya bagaikan
digores oleh beberapa bilah pisau berbareng. Darah yang merah
mengalir dari luka-lukanya itu.
Ternyata harimau itu sama sekali tidak memberinya kesempatan.
Begitu Empu Sanggadaru berdiri, maka harimau itu pun telah siap
pula. Dengan garangnya ia menerkam kearah kepala lawannya.
Kedua kaki depannya terangkat tinggi, seolah-olah harimau itu telah
berdiri tegak dengan kaki belakangnya.
Empu Sanggadaru bergeser sejauh dapat dilakukan. Tetapi
semuanya itu berlangsung cepat sekali. Yang dapar dilakukan
kemudian mengayunkan galih asem ditangannya sekeras-kerasnya
mengarah ke kening harimau itu, tepat di antara kedua matanya.
Sekali lagi terdengar aum yang dahsyat. Harimau itu agak nya
merasa kesakitan dan bergeser mundur.
Empu Baladatu berdiri ditempatnya seolah-olah membeku. Ia
telah melihat perkelahian yang dahsyat antara seekor harimau
loreng melawan kakaknya yang semula masih diragukan
kemampuannya. Namun yang kemudian ternyata, bahwa kakaknya
1630 memiliki kemampuan bergerak cepat sekali. Lebih cepat dari yang
diduganya. Namun demikian, Empu Baladatu masih belum dapat
menjajagi betapa besar kekuatan yang sebenarnya dan kakaknya
itu. Sejenak kemudian, maka perkelahian itu pun berlangsung
kembali. Empu Sanggadaru tidak lagi berusaha meloncat dan
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melekat ke punggung harimau itu. Tetapi ia kemudian
mempergunakan kecepatannya untuk membingungkan lawannya.
Sekali-kali ia meloncat dan berpegangan pada dahan yang
menyilang diatas kepalanya. Kemudian turun sambil menyerang
dengan galih asemnya. Ketika harimau itu berputar dan berusaha
mencengkam dengan kukunya, Empu Sanggadaru meloncat surut.
Dalam perkelahian yang demikian, Empu Baladatu mulai melihat
perbedaan sifat dan watak yang ada pada kakaknya. Jika semula ia
menjadi bimbang, bahwa kakaknya adalah seorang yang lembut dan
selalu tersenyum dan tertawa didalam gurau yang segar, maka
perlahan-lahan Empu Sanggadaru telah berubah menjadi seorang
yang garang dan bahkan kasar. Geraknya yang semula masih
terkendali, telah berubah, seperti tata gerak, harimau yang liar itu
sendiri. Namun demikian, Empu Sanggadaru masih belum melepaskan
keinginannya untuk menangkap harimau itu tanpa melukai kulitnya
meskipun ia dapat mematahkan tulangnya dengan sepotong galih
asem ditangan kanannya. Cantrik yang memegang busur dan anak panah itu pun menjadi
semakin tegang. Sekali-kali ia membidikkan anak panah nya, namun
kemudian sambil menarik nafas ia menurunkan busurnya. Sekali-kali
ia bergeser namun kemudian ia menjadi bingung pula karena
perkelahian yang semakin seru.
Luka dilengan goresan-goresan pada punggung dan bahkan
didadanya. Kuku harimau yang tajam itu, berkali-kali berhasil
menyentuh tubuh Empu Sanggadaru betapapun lincahnya ia
bergerak. 1631 Melihat darah yang mengalir semakin banyak, cantrik yang
memegang busur itu pun menjadi semakin tegang. Bahkan
kemudian ia melangkah semakin dekat sambil mengangkat busur
dan anak panahnya. Empu Baladatu pun ikut bergeser mendekat. Betapapun juga, ia
tidak akan sampai hati melihat kakaknya berkelahi melawan seekor
harimau loreng yang demikian besarnya. Meskipun agaknya Empu
Sanggadaru masih ingin menyelesaikan kerja itu seperti yang
dikehendaki, maka apabila pada suatu saat keadaan sangat
membahayakan, maka Empu Baladatu pun telah menyiapkan
tombak pendeknya. Tombak pendek yang dibawa dari padepokan
kakaknya pula sebagai kelengkapan untuk berburu.
Namun dalam pada itu, baik cantrik yang membawa busur itu.
maupun Empu Baladatu dan pengawalnya terkejut ketika mereka
melihat Empu Sanggadaru meloncat jauh-jauh dari harimau yang
semakin ganas, karena kepalanya benar-benar telah menjadi
pening, karena setiap kali terantuk dengan galih asem yang sekeras
batu hitam. Bahkan punggungnya serasa retak oleh pukulanpukulan
itu pula. Agaknya harimau itu tidak mau melepaskan mangsanya. Karena
itu, ketika Empu Sanggadaru menjauhinya, harimau itu pun
meloncat dengan kaki terjulur s iap menyobek dadanya.
Mereka yang menyaksikan menjadi berdebar-debar. Bahkan
cantrik yang membawa busur itu sudah mulai menarik busuf nya.
Sementara itu Empu Baladatu pun telah bergeser semakin dekat.
Jika terjadi sesuatu, maka ia pun akan segera meloncat dan
betapapun tidak dikehendaki oleh kakaknya, ia terpaksa akan
menghunjamkan ujung tombaknya ketubuh harimau itu meskipun
dengan demikian berarti, kulit harimau itu akan menjadi cacat.
Tetapi baginya jiwa Empu Sanggadaru tentu akan lebih berharga
dari selembar kulit harimau yang manapun juga. Apalagi Empu
Baladatu masih berharap, bahwa ia akan mendapatkan bantuan
kakaknya menghadapi kekuasaan Singasari yang tidak disukainya
itu. 1632 Namun dalam pada itu, Empu Baladatu pun tertegun. Juga
cantrik yang memegang busur Itu. Mereka melihat Empun
Sanggadaru yang sudah berhasil membuat jarak dari harimau loreng
itu pun telah berdiri tegang sambil merentangkan; tangannya.
"O" gumam cantrik yang membawa busur itu
"Kenapa?" Cantrik itu tidak menjawab. Namun tatapan matanya yang,
tegang terpukau pada tata gerak Empu Sanggadaru selanjutnya.
Ketika kuku-kuku harimau yang tajam itu hampir menyentuh
kulitnya, tiba-tiba saja Empu Sanggadaru bergeser. Dengan
tangkasnya ia menangkap kaki depan harimau itu sebelah.
Yang terjadi kemudian adalah diluar dugaan Empu Baladatu dan
pengawalnya. Bahkan mereka sama sekali tidak menduga, bahwa
mereka akan menyaksikan kekuatan yang luar biasa yang ada pada
Empu Sanggadaru. Dengan sebelah tangannya, Empu Sanggadaru memutar harimau
itu di atas kepalanya. Semakin lama semakin cepat, berbareng
dengan auman yang dahsyat dari harimau yang kehilangan
kesempatan untuk melawan, justru karena putaran yang semakin
cepat. Selagi mereka yang menyaksikan masih termangu-mangu,
mereka, telah dikejutkan oleh sebuah benturan yang dahsyar pada
sebatang pohon raksasa. Ternyata Empu Sanggadaru telah
melontarkan harimau itu dan membenturkannya pada pohon
raksasa itu dengan kekuatan yang tidak terduga besarnya.
"Aji Bayu Seketi" desis cantrik yang masih menggenggam busur
itu, "He" desis Empu Baladatu tanpa berpaling. Ia masih mengagumi
apa yang baru saja terjadi. Dilihatnya harimau itu hanya sempat
menggeliat dan mencoba berdiri. Tetapi kemudian binatang itu pun
terjatuh. Mati. Tanpa luka pada tubuhnya. Namun agaknya
tulanganya telah remuk didalam tubuhnya.
1633 "Apakah kau menyebut aji Bayu Seketi?" bertanya Empu Baladatu
kepada cantrik itu. "Ya Empu. Empu Sanggadaru menyebut kekuatan yang tidak
ternilai besarnya itu Aji Bayu Seketi."
Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Namun dengan
demikian ia menjadi semakin yakin, bahwa kedatangannya kepada
kakaknya itu agaknya akan sangat bermanfaat.
"Tetapi apakah kakang Empu Sanggadaru akan bersedia
membantuku?" bertanya Empu Baladatu didalam hatinya.
Sementara itu, Empu Sanggadaru yang hampir di seluruh
tubuhnya telah menjadi merah karena darahnya, melangkah
perlahan-lahan mendekati harimau yang tergolek mati itu.
Dalam pada itu, cantrik yang membawa busur, Empu Baladatu
dan pengawalnya pun dengan tergesa-gesa mendekatinya pula.
Tetapi sebelum mereka menyatakan sesuatu, mereka telah
dikejutkan oleh suara tertawa pendek di balik gerumbul yang lebat
di sebarang belumbang itu.
Empu Sanggadaru yang masih terengah-engah pun memandang
ke arah suara tertawa itu pula dengan kerut merut di keningniya.
Bahkan kemudinan dengan suara yang dalam ia bertanya, "Siapakah
yang berada di balik gerumbul itu?"
Tidak ada jawaban. Namun suara tertawa itu masih terdengar
berkepanjangan. Empu Sanggadaru yang masih dibasahi oleh keringat dan
darahnya itu menjadi tegang. Bahkan tiba-tiba ia telah meloncat
dengan loncatan yang panjang menuju kegerumbul itu.
Cantrik, Empu Baladatu dan pengawalnya tidak membiarkan
Empu Sanggadaru pergi seorang diri. Mereka pun kemudian dengan
tergesa-gesa berlari mengikutinya.
Tetapi langkah Empu Sanggadaru segera terhenti. Bahkan ia pun
kemudian melangkah surut sambil membungkuk dalam".
1634 Empu Baladatu dan pengawalnya menjadi heran. Tetapi cantrik
yang membawa busur itu pun segera mengetahui, siapakah yang
berada dibalik gerumbul itu.
"Ampun tuanku" desis Empu Sanggadaru sambil membungkuk
dalam-dalam ketika dilihatnya dua orang anak muda berdiri
memandanginya. "Siapa?" desis Empu Baladatu ditelinga cantrik.
"Tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka."
"He" Empu Baladatu terkejut bukan kepalang. Ternyata ia telah
bertemu muka dengan kedua anak muda yang selama ini menjadi
sasaran keinginannya untuk mendesak kedudukan mereka.
Namun dalam pada itu, Empu Baladatu pun mengangguk pula
dalam-dalam seperti Empu Sanggadaru dan cantrik yang membawa
busur itu, "Hamba sama sekali tidak menyangka bahwa tuanku berdua ada
didalam hutan ini." "Aku tidak hanya berdua" sahut Ranggawuni.
"Ya, maksud hamba bahwa tuanku sedang berburu dengan
beberapa orang pengawal."
"Aku berburu bersama paman Lembu Ampal."
Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Lalu, "Apakah tuanku
hanya bertiga saja?"
"Ya." Empu Sanggadaru menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya,
"Bukan main tuanku. Sebenarnya tentu berbahaya sekali jika
Tuanku hanya pergi bertiga ketengah-tengah hutan yang lebat ini."
"Kenapa berbahaya" Aku sudah sering pergi berburu."
"Tetapi kehadiran tuanku tentu diikuti oleh sekelompok pengawal
pilihan. Dan pemburu-pemburu yang lain sama sekali tidak akan
1635 berani memasuki hutan ini, karena di beberapa tempat terpancang
tanda, janur kuning atau lawe wenang. Tetapi kali ini hamba sama
sekali tidak melihat tanda apapun."
Ranggawuni tertawa. Jawabnya "Aku bosan dengan cara yang
sama sekali tidak menyenangkan itu. Aku lebih senang berburu
sebagai seorang pemburu. Namun ternyata bahwa kau adalah
pemburu yang jauh lebih baik daripada kami bertiga. Beberapa saat
yang lalu, aku masih memenangkan pertandingan berpacu
mendapatkan binatang buruan. Tetapi kali ini agaknya aku harus
mengaku kalah, karena kau sudah berhasil membunuh harimau itu
dengan cara yang dahsyat sekali."
"Ah, hanya suatu permainan kanak-kanak yang tidak berarti"
jawab Empu Sanggadaru. "Sudahlah. Rawatlah luka-lukamu. Aku tahu, bahwa luka-luka itu
tidak akan memberikan pengaruh apa-apa padamu. Tetapi
sebaiknya kau bersihkan dan kau obati. Bukankah kau mempunyai
obat yang dapat menyembuhkan luka-lukamu itu dengan segera?"
"Ampun Tuanku. Hamba memang membawa obat-obat yang
mungkin diperlukan, dalam perburuan seperti ini."
Ranggawuni mengangguk-angguk. Namun kemudian
dipandanginya Empu Baladatu yang termangu-mangu.
"Siapakah orang itu Empu. Agaknya aku belum pernah
melihatnya. Namun menillik wajahnya yang mirip dengan wajahmu,
tentu ia mempunyai hubungan keluarga dengan kau."
"Ia adalah adikku Tuanku. Ia datang kepadepokan hamba, dan
agaknya ia ingin berburu di tengah-hutan yang lebat ini, sehingga ia
hamba bawa bersama hamba sekarang ini."
Ranggawuni mengangguk-angguk. Lalu ia pun bertanya pula,
"Siapakah namanya?"
"Baladatu Tuanku. Empu Baladatu."
1636 Ranggawuni mengangguk-angguk. Sambil tersenyum ia bertanya
kepada Empu Baladatu, "Apakah kau tidak tinggal bersama
kakakmu?" "Ampun Tuanku, hamba tinggal ditempat yang jauh. Tetapi
karena kerinduan hamba kepada satu-satunya saudara laki, maka
hamba pun memerlukan menengoknya.
Ranggawuni tertawa. Katanya, "Dan sekarang kalian berdua telah
berburu di tengah-tengah hutan ini. Sungguh mengagumkan cara
kakakmu menangkap harimau itu. Aku tahu, kakakmu adalah
seorang yang suka sekali mengumpulkan kulit binatang buruan. Ia
tentu lebih senang mendapatkan kulit yang utuh daripada yang
telah cacat karena senjata. Itulah sebabnya, ia lebih senang
membunuh harimau itu dengan caranya, meskipun ia sendiri telah
terluka." "Hamba Tuanku."
"Dan apakah kan juga ingin mencobanya?"
"Ampun Tuanku. Hamba sama sekali tidak berkemampuan
apapun juga. Karena itu, hamba hanyalah sekedar mengikut di
belakang." Ranggawuni mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian
tersenyum, "Kau kakak beradik memang suka merendahkan diri.
Sikapmu tidak dapat mengelabui aku. Tatapi baiklah. Obatilah
lukamu lebih dahulu. Aku akan melihat harimau yang telah kau
bunuh itu." Empu Sanggadaru pun kemudian melangkah surut. Sementara
itu Ranggawuni dan Mahisa Campaka diiringi seseorang yang telah
melampaui separo baya, dan yang disebutnya Lembu Ampai itu
melangkah mendekati harimau yang tergolek mati.
"Tuanku tidak berkuda?" Bertanya Empu Sanggadaru tiba-tiba.
"Tidak" Jawab Ranggawuni.
1637 Empu Sanggadaru menjadi terheran-heran. Karena itu justru
sejenak ia termangu-mangu memandang Ranggawuni, Mahisa
Campaka dan Lembu Ampal berganti-ganti.
"Kenapa kau heran?" Bertanya Ranggawuni, "Tentu kau berpikir
bahwa jarak antara istanaku di Kota Raja sampai kehutan ini cukup
jauh." "Hamba Tuanku."
"Aku memang berkuda sampai ke hutan ini. Tetapi aku
perintahkan para pengawalku pergi. Aku minta mereka
menjemputku dua malam lagi, sehingga aku akan berada di tempat
ini tiga hari dua malam."
"O, jadi Tuanku baru hari ini juga mulai berburu."
"Agaknya kita tidak terpaut lama. Kau datang lebih dahulu."
"He" Empu Sanggadaru menjadi semakin bingung, "O, ampun
Tuanku. Hamba tidak mengerti."
Ranggawunilah yang kemudian menjadi heran. Namun kemudian
katanya, "Kau belum mengobati lukamu. Lakukanlah. Nanti kita
akan berbicara tentang saat kehadiran kita masing-masing.
Empu Sanggadaru mengangguk dalam-dalam. Katanya "Hamba
Tuanku. Hamba mohon maaf, bahwa hamba akan mengobati lukaluka
hamba." Ranggawuni dan Mahisa Campaka pun kemudian melangkah
mendekati harimau yg terkapar mati. Nampaknya harimau itu
benar-benar masih utuh. Hanya dari mulutnya mengalir darah dari
dalam tubuhnya yang agaknya telah remuk.
"Bukan main" Desis Ranggawuni, "Harimau loreng yang jarang
terdapat." "Terlampau besar bagi harimau biasa" Desis Mahisa Campaka.
"Suatu keuntungan bagi Empu Sanggadaru meskipun ia harus
mengalami luka-luka."
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
1638 Lembu Ampal berdiri dengan menyilangkan tangan didadanya.
Meskipun ia memperhatikan harimau itu pula, namun ia tidak
kehilangan kewaspadaan, karena yang dikawal itu adalah orang
yang sedang memerintah Singasari.
Memang kadang-kadang kedua anak muda itu berbuat aneh
Sekali-kali mereka ingin melepaskan diri dari kungkungan jabatan.
Oleh ketentuan-ketentuan yang menjemukan. Karena itu pulalah
maka mereka kemudian telah pergi berburu dengan caranya,
meskipun seperti yang dikatakan oleh Empu Sanggadaru adalah
berbahaya sekali. Dalam pada itu, Empu Sanggadaru dibantu oleh cantriknya telah
mengobati lukanya. Empu Baladatu yang menungguinya sempat
bertanya, "Apakah cara itu sering kali dilakukan oleh kedua anak
muda itu?" "Mereka memang sering berburu" Jawab Empu Sanggadaru,
"Tetapi tidak dengan cara ini. Cara yang sangat berbahaya dan
kurang dapat dipertanggung jawabkan. Semua orang akan
menyalahkannya jika terjadi sesuatu atas mereka."
Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Tanpa disangkasangka
ia telah bertemu dengan kedua orang anak muda yang
berada di puncak pemerintahan Singasari itu.
"Kesempatan seperti ini jarang sekali dapat aku temukan"
Berkata Empu Baladatu di dalam harinya.
Sepercik keinginan telah menyala di dalam hatinya, untuk
melakukan sesuatu atas kedua orang itu. Namun ia masih belum
sempat berkata apapun juga dengan kakaknya. Jika saja kakaknya
sependapat, maka kedua anak muda itu bersama seorang
pengawalnya akan dapat diselesaikannya tanpa ada orang yang
mengetahuinya. "Masih ada dua hari" Berkata Empu Baladatu di dalam hatinya.
Namun dalam pada itu, selagi perhatian Empu Baladatu terpusat
kepada kedua anak muda itu, tiba-tiba saja ia terkejut mendengar
1639 Empu Sanggadaru bertanya, "Jika Tuanku Ranggawuni dan Tuanku
Mahisa Campaka tidak mempergunakan kuda di dalam hutan
perburuan ini, jejak kuda siapakah yang baru saja kita ketemukan"
Dan jika keduanya datang sesudah kita, siapakah yang sudah
melukai binatang buruan di tepi belumbang itu?"
Empu Baladatu berpaling kepada cantrik yang membantu
mengobati luka-luka Empu Sanggadaru. Agaknya cantrik itu pun
juga berpikir tentang hal itu.
"Memang agak menarik perhatian Empu" berkata cantrik itu,
"Meskipun kedua anak-anak muda itu senang sekali bergurau, tetapi
agaknya mereka tidak bergurau tentang masa perburuan mereka
kali ini. Agaknya keduanya benar-benar tidak berkuda dan datang
setelah kita. Agaknya keduanya menemukan kawan-kawan kita
yang menjaga kuda-kuda kita, dan dari merekalah kedua anak muda
itu mengetahui hahwa Empu sudah berada di arena perburuan."
"Mungkin juga demikian. Tetapi bukankah dengan demikian
masih ada pertanyaan yang harus dijawab" Siapakah yang telah
datang lebih dahulu dan berburu dengan kuda seperti yang sering
dilakukan oleh Tuanku Ranggawuni dan Tuanku Mahisa Campaka?"
Cantriknya mengangguk-angguk. Desisnya, "Itulah yang menarik.
Bukankah selama ini kami belum pernah bertemu dengan orang lain
yang berburu dengan cara itu, atau cara yang serupa dengan itu."
Empu Sanggadaru termenung sejenak Namun kemudian ia pun
tertawa sambil berkata, "Baiklah. Kita akan mendapat kawan lagi
untuk berlomba dalam perburuan. Mungkin kita akan dapat
mengatur waktu bersama untuk menentukan masa perlombaan
yang menarik di daerah perburuan ini."
Cantrik itu pun menyahut, "Mungkin Tuanku Banggawuni dan
Tuanku Mahisa Campaka mengetahui, siapakah yang telah
mendahului kita. Atau bahkan para Senapati dari istana Singasari."
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Memang mungkin ada
orang lain yang berhuru seperti yang dilakukan oleh kedua anak
1640 muda itu. Mungkin Senapati yang pernah mengawalnya atau justru
mereka memang mendapat perintah untuk mendahuluinya.
"Nanti aku akan bertanya kepadanya" Gumam Empu Sanggadaru
kemudian. Setelah selesai mengobati lukanya, maka iapun kemudian
mengemasi dirinya. Dari tempatnya ia melihat kedua anak muda
yang sedang memperhatikan harimau yang telah dibunuhnya itu
dengan saksama. "Mereka menjadi heran" Berkata Empu Baladatu, "Tentu mereka
sama sekali tidak mengerti, bagaimana kau berhasil membunuh
harimau itu" "O" Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya, "Tentu tidak.
Keduanya memiliki kemampuan yang tidak dapat di gambarkan.
Karena itu, maka mereka pun tentu tidak menjadi heran melihat
harimau itu terbunuh. Yang justru mengherankan mereka adalah
bahwa di hutan ini terdapat harimau loreng sebesar itu."
Empu Baladatu lah yang menjadi heran. Dengan ragu-ragu ia
bertanya, "Apakah kedua anak muda itu memiliki kemampuan untuk
melakukannya?" Empu Sanggadaru termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
ia mengelakkan pertanyaan itu dan berkata, "Aku tidak tahu pasti.
Tetapi keduanya adalah anak-anak muda yang perkasa."
Empu Baladatu hanya mengangguk-angguk saja.
Sementara itu, tiba-tiba saja Empu Sanggadaru berkata" Masih
ada kemungkinan kita menemukan harimau loreng yang lain, "
"Darimana kakang mengetahuinya."
"Harimau yang terbunuh itu adalah harimau betina. Jika ada
harimau jantan yang mendampinginya, tentu harimau itu akan
mencarinya. Harimau itu tahu benar apa yang telah terjadi dengan
betinanya." "O" Empu Baladatu mengangguk-angguk.
1641 Namun tiba-tiba saja mereka melihat kedua anak muda yang
sedang mengamat-amati harimau yang terbunuh itu dengan
tergesa-gesa mendekati Empu Sanggadaru. Dengan lantang
Ranggawu ni berkata, "Empu Sanggadaru, kau sudah
mendapatkannya seekor. Jika masih ada seekor yang lain, aku
mengingininya" "Maksud Tuanku, jika harimau jantan itu mencarinya"
"Ya. Biarkan harimau itu di tempatnya sampai malam nanti. Aku
akan menungguinya di s ini."
"Tuanku akan menangkap harimau jantan itu?"
"Ya." Empu Baladatu menjadi berdebar-debar. Sekilas dipandanginya
wajah kakaknya yang ragu-ragu.
Sebenarnyalah Empu Sanggadaru menjadi ragu-ragu.
Sebenarnya ia ingin memperingatkan, bahwa harimau itu memang
berbahaya sekali, apalagi di malam hari. Tetapi jika ia berbuat
demikian, maka jika kedua anak muda itu menjadi salah paham,
mereka tentu menyangka, betapa sombongnya ia. Bahwa sesudah
ia berhasil membunuh harimau itu, maka ia menganggap orang lain
tidak akan dapat melakukannya.
Karena Empu Sanggadaru nampak ragu-ragu, maka Ranggawuni
mendesaknya, "Kenapa kau ragu-ragu" Aku inginkan harimau yang
seekor lagi." Empu Sanggadaru menjadi semakin bingung.
Namun dalam pada itu, Empu Baladatu berpikir lain. Kebetulan
sekali jika anak muda itu berniat untuk menangkap harimau itu
seperti yang dilakukan oleh Empu Sanggadaru.
Bahkan ia pun kemudian bertanya, "Apakah Tuanku akan
mempergunakan cara seperti yang dilakukan oleh kakang
Sanggadaru?" 1642 "Ya. Aku akan menangkap harimau jantan itu tanpa melukainya.
Aku juga harus mempunyai kulit harimau loreng sebesar kepunyaan
Empu Sanggadaru tanpa cacat. Dimasa perburuan yang lampau aku
telah memenangkan perlombaan. Saat kami berpacu menangkap
binatang buruan, akulah yang pertama. Sekarang aku pun harus
dapat menyamainya jika ada kesempatan. Kecuali jika harimau itu
tidak pernah ada lagi di hutan ini."
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Katanya, "Tuanku adalah
anak muda yang perkasa. Tentu rakyat Singasari akan berbangga
mempunyai seorang Maharaja yang memiliki kemampuan yang luar
biasa." "Lupakan. Aku sedang berusaha melupakan segala-galanya dari
kedudukanku. Aku kini adalah pemburu seperti kakakmu. Jika aku
masih dibebani kedudukan istana itu, maka aku tidak akan berani
berbuat apa-apa. Dan aku akan memanggil pengawal segelar
sepapan hanya untuk menangkap seekor harimau "
Lembu Ampal menarik nafas dalam-dalam. Kedua anak muda ini
memang mempunyai sifat yang agak aneh.
Namun dalam pada itu Empu Baladatu berkata, "Ampun Tuanku.
Hamba tidak mengerti maksud Tuanku. Tetapi agaknya Tuanku
ingin melupakan tugas sehari-hari yang menjemukan di istana."
"Ya." "Bukan main. Namun demikian, setidaknya hambalah yang akan
menjadi saksi atas kebanggaan rakyat Singasari jika hamba dapat,
melihat kemampuan Tuanku yang tidak ada taranya itu."
"Aku baru akan mencoba" Sahut Ranggawuni.
"Ampun Tuanku." Potong Lembu Ampal "Jika hamba boleh
mengajukan permohonan, janganlah Tuanku lakukan.
Sebenarnyalah sangat berbahaya untuk bertempur melawan seekor
binatang buas. Apalagi di malam hari."
1643 Ranggawuni memandang Lembu Ampal dengan kerut merut
dikeningnya. Lalu, "Tetapi kesempatan serupa itu tidak akan aku
temui lagi paman." Lembu Ampal menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar bahwa
Ranggawuni adalah orang yang keras bati, sehingga jika la
berkemauan, sulitlah kiranya untuk mengurungkannya.
Namun sekali ini, maksudnya benar berbahaya. Bertempur
dengan seekor harimau yang besar dimalam hari.
"Paman" Berkata Ranggawuni kemudian, "Paman jangan cepat
menjadi cemas. Harimau itu belum tentu ada."
"Tetapi jika ada?"
"Apa salahnya aku menjajagi kemampuanku."
"Tetapi tidak dengan seekor harimau loreng sebesar ini dan
tanpa senjata. Jika Tuanku berkenan membawa sebatang tombak
pendek atau pedang, atau bahkan hanya sebilah pisau aku tidak
akan cemas. Aku yakin Tuanku akan dapat membunuh harimau
sebesar apapun juga. Tetapi usaha membunuh harimau dengan
tanpa melukainya adalah suatu pekerjaan yang sangat berat."
Ranggawuni justru tertawa. Katanya, "Memang kebiasaan orangorang
tua adalah sangat berhati-hati. Tetapi juga sedikit tidak
mempercayai anak-anak muda. Cobalah paman mempercayai aku."
Lembu Ampal menjadi bimbang. Sekilas dipandanginya Mahisa
Campaka yang sedang berdiri termangu-mangu, seolah-olah ia ingin
berkata, "Kenapa tidak Tuanku berdua?"
Tetapi Mahisa Campaka yang merasa dipandang oleh Lembu
Ampal justru berkata, "Jika kakanda Ranggawuni memberikan
kesempatan itu kepadaku, aku akan menerima dengan senang hati."
Ranggawuni tersenyum. Katanya, "Aku lebih tua daripadamu
adinda. Sebaiknya aku sajalah yang melakukannya."
Lembu Ampal menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Empu
Sanggadaru menjadi semakin bingung.
1644 "Tuanku" Empu Baladatu lah yang kemudian berkata, "Kenapa
Tuanku ragu-ragu. Seluruh Singasari akan berbangga dengan
kemampuan Tuanku." "Ah. Jangan memuji seperti terhadap anak-anak yang segan
mandi begitu mPu. Aku memang tidak ragu-ragu. Tetapi bukan
karena aku mengharapkan pujian dari siapapun. Aku sekedar ingin
menjajagi kemampuanku. Tidak sebagai kebanggaan dan apalagi
untuk memperkuat kedudukanku."
Wajah Empu Baladatu menjadi kemerah-merahan. Ternyata anak
muda itu memiliki tanggapan yang tajam. Meskipun demikian ia
berkata, "Ampun Tuanku. Bukan maksud hamba memuji Tuanku
seperti memuji kanak-kanak. Setidaknya hamba sendiri benar-benar
telah mengagumi Tuanku, meskipun baru niat yang terbesit dihati
Tuanku. Dengan demikian hamba mengetahui, betapa kuatnya
kemauan yang tersimpan di dalam dada Tuanku seperti juga
kemauan untuk memerintah dengan sebaik-baiknya.".
Ranggawuni mengerutkan keningnya. Tetapi sebelum ia
menjawab, Lembu Ampal telah mendahului. "Empu. Agaknya kau
pun orang yang luar biasa seperti kakakmu, Empu Sanggadaru. Kau
selalu ingin menyaksikan peristiwa-peristiwa yang dahsyat. Setelah
kau menyaksikan pekelahian antara Empu Sanggadaru dengan
seekor harimau raksasa ini, maka kau masih menunggu peristiwa
yang serupa?" "Ah" Desis Empu Baladatu, "Bukan maksudku. Tetapi semuanya
itu terdorong oleh kekagumanku kepada Tuanku Ranggawuni dan
Tuanku Mahisa Campaka."
"Maaf Empu" Sahut Ranggawuni, "Aku melakukannya tidak atas
pengaruh perhatian orang lain. Aku melakukan karena keinginanku
sendiri. Jika keinginanku tidak mendesak, justru sikap Empu telah
mengendorkan niatku."
Empu Baladatu akhirnya menyadari, bahwa tanggapan yang
tajam itu pada suatu saat akan dapat mengungkap niatnya yang
1645 sebenarnya apabila ia masih saja berkeras ingin memuji dan
mendorong niat itu. Sebenarnyalah Lembu Ampal pun merasakan sesuatu yang
kurang wajar pada Empu Baladatu. Namun ia mencoba membatasi
dirinya dengan prasangka yang baik. Ia membatasi dirinya dengan
dugaan, bahwa Empu Baladatu memang hanya sekedar ingin
melihat perkelahian yang tentu akan dahsyat sekali.
(Bersambung ke jilid 23) Koleksi: Ismoyo Scanning: Arema Convert/proofing: Mahesa Editing: Arema -oo0dw0ooTiraikasih Website http://kangzusi.com/
1646 Karya SH MINTARDJA Sepasang Ular Naga di Satu Sarang
Sumber djvu : Koleksi Ismoyo & Arema
http://kangzusi.com/ atau http://dewi-kz.info/
Jilid 23 NAMUN dalam pada itu, Empu
Sanggadaru yang ragu-ragu, tidak
dapat menahan hatinya lagi.
Karena itu maka ia pun kemudian
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menganggukkan kepalanya dalamdalam
sambil berkata, "Ampun
Tuanku. Bukan maksud hamba
untuk mengurangi niat Tuanku.
Tetapi hamba hanya ingin menyarankan, agar Tuanku melakukannya di siang hari. Jika
harimau itu datang sebelum gelap,
hamba tidak akan bersikap lain
kecuali mempersilahkan Tuanku
melakukannya, karena hamba
yakin bahwa Tuanku akan dapat membunuh seekor harimau yang
betapapun juga besarnya. Hamba masih ingat, bahwa Tuanku
adalah seorang pemburu yang jauh lebih baik daripada hamba.
Namun barangkali ketuan hambalah yang menyebabkan
pengalaman hamba menjadi lebih banyak dari Tuanku." Ia berhenti
sejenak, lalu, "Tuanku. Hamba mohon, jangan Tuanku
melakukannya di malam hari."
Ranggawuni tertawa. Katanya, "Tentu kau membujukku agar aku
melakukannya di siang hari karena harimau itu tentu tidak akan
datang sebelum gelap."
1647 "Sungguh bukan maksud hamba Tuanku."
"Aku mengerti Empu. Kau ingin mencegah aku melakukannya.
Dan aku mengerti, bukan semata-mata karena kau merasa lebih
baik daripadaku. Tetapi benar-benar kau mencemaskan nasibku
setelah kau sendiri mengalaminya dan terluka hampir di seluruh
tubuhmu." Empu Sanggadaru menarik nafas dalam-dalam. Ia benar-benar
tidak dapat mengelak lagi, agar ia tidak benar-benar dituduh
merendahkan anak muda yang sedang berada di puncak
pemerintahan Singasari itu.
Bahkan Lembu Ampal pun rasa-rasanya menjadi bertambah
bingung. Nampaknya Ranggawuni benar-benar tidak dapat
dicegahnya lagi. Meskipun demikian ia masih mencobanya. Katanya, "Tuanku
sebaiknya memperhatikan setiap saran. Empu Sanggadaru bukan
seorang pemburu yang baru kemarin berada di antara binatang
buas. Ia mengenal sifat dan watak binatang, di siang hari dan di
malam hari. Tuanku. Ada beberapa perbedaan di antara kehidupan
seekor binatang dengan kehidupan kita. Apalagi kelengkapan
jasmaniah seekor harimau jauh berbeda dengan kelengkapan
jasmaniah manusia. Di malam hari mata soekor harimau seolah-olah
menjadi lebih tajam. Sedang penglihatan kita di malam hari menjadi
sangat terbatas." Ranggawuni masih saja tertawa. Katanya, "Terima kasih paman.
Aku tidak melihat kesempatan yang serupa dikesempatan lain.
Sekali lagi, yang paman cemaskan itu mungkin tidak akan terjadi,
karena tidak ada seekor harimau pun yang datang di tempat ini.
Tetapi jika seekor harimau itu datang, barulah paman dapat
memikirkan semua kemungkinan yang dapat terjadi."
"Hamba mengerti Tuanku. Tetapi Tuanku adalah pusar perhatian
seluruh rakyat Singasari. Mungkin di Singasari ada seribu atau lebih
pemburu yang tidak setangkas Tuanku. Tetapi hamba tidak akan
1648 membuang waktu untuk mencegahnya, karena mereka tidak
merupakan tumpuan harapan seluruh rakyat."
Ranggawuni berpikir sejenak. Namun kemudian jawabnya
"Apakah paman sudah memastikan bahwa aku akan dapat dibunuh
oleh harimau itu?" Pertanyaan itu benar-benar telah mengejutkan Lembu Ampal,
sehingga ia termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya
terbata-bata "Tentu tidak Tuanku. Tentu bukan itulah yang hamba
maksudkan. Tetapi?""
Rangguwuni tertawa lagi sambil berkata, "Teruskan paman. Atau
barangkali aku dapat meneruskannya" Bukankah paman.ingin
mengatakan bahwa kemungkinan itu ada?"
Lembu Ampal tidak menjawab, tetapi kepalanya sajalah yang
terangguk-angguk. "Paman" berkata Ranggawuni, "Tentu aku masih ingin tetap
hidup. Aku masih ingin mengabdikan diriku bagi Singasari. Karena
itulah, maka paman jangan cemas. Aku mengharap mudahmudahan
aku dapat menangkap harimau itu. dengan cara yang
sama, yang dilakukan oleh Empu Sanggadaru."
"O, anak keras kepala." geram Lembu Ampal di dalam hati.
Tetapi ia tidak dapat mengatakannya. Yang terloncat dari bibirnya
adalah, "Tetapi Tuanku, bukankah hamba dan adinda tuanku
diperkenankan menyaksikan perkelahian itu dari dekat?"
"Terserahlah kepada paman. Paman dapat melihat dari dekat,
jika hal itu terjadi. Jika setelah semalam suntuk kita menunggu, dan
tidak ada seekor tikus pun yang mendekat, maka paman sudah
tentu tidak akan dapat melihat perkelahian yang manapun juga."
Lembu Ampal mengangguk-angguk. Katanya, "Jika tuanku
memang sudah berniat bulat untuk melakukannya, maka kami tidak
akan dapat berbuat apa-apa, kecuali menyaksikan apa yang akan
terjadi." 1649 "Ya. Dan yang akan terjadi itu masih tergantung sekali dengan
hadir atau tidaknya harimau yang seekor lagi itu."
"Baiklah tuanku." berkata Empu Sanggadaru kemudian, "Namun
sebagai pengalaman dapatlah hamba katakan, bahwa harimau ini
sangat buas dan liar. Sehingga aku pun harus berkelahi dengan
buas dan liar pula."
"Aku mengerti paman. Aku sudah melihat bagaimana paman
membanting harimau itu pada sebatang pohon."
"Ya. Dan di siang hari semuanya itu dapat hamba lakukan
dengan mudah. Tetapi hamba tidak tahu, apakah hamba dapat
melakukannya di malam hari."
"Aku akan mencobanya. Sudahlah. Marilah kita beristirahat
sejenak. Malam nanti aku akan berada di tempat ini, atau di tempat
aku mengintai perkelahian Empu Sanggadaru itu."
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk.
"Marilah. Aku minta biarlah harimau itu berada di tempatnya.
Barangkali ada orang yang dapat kau perintahkan untuk
menungguinya agar tidak diganggu oleh binatang buas yang lain.
Tetapi apabila datang seekor harimau loreng yang lain, maka aku
minta orang yang menungguinya dapat memberikan isyarat. Aku
akan segera datang. Karena aku akan beristirahat di tempat yang
tidak terlalu jauh."
"Di lapangan rumput itu tuanku?" bertanya Empu Sanggadaru.
"Tidak. Itu terlampau jauh. Aku akan berada di sekitar tempat ini
bersama adinda Mahisa Campaka dan paman Lembu Ampal."
Empu Sanggadaru termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Hamba akan berada di lapangan kecil itu. Tetapi malam
nanti hamba akan berada di sini."
"Baiklah. Nah, siapakah yang akan menunggui harimau ini, dan
isyarat apakah yang akan diberikan?"
1650 "Kami membawa beberapa panah sendaren tuanku. Dan biarlah
cantrik hamba itulah yang menjaganya." jawab Empu Sanggadaru.
"Dan seorang kawan hamba." sahut Empu Baladatu.
"Terima kasih. Aku akan beristirahat sejenak sambil menunggu
harimau itu di siang hari atau di malam hari."
Empu Sanggadaru pun kemudian mohon diri bersama Empu
Baladatu sementara cantriknya yang seorang dan pengawal Empu
Baladatu menjaga tubuh harimau yang mati itu.
"Nanti aku akan menyuruh kawanmu itu menggantikanmu dan
pengawal Baladatu." berkata Empu Sanggadaru kepada cantriknya.
Cantrik itu mengangguk-angguk. Sebenarnya ia segan sekali
untuk duduk menunggui harimau mati itu. Tetapi jika itu yang
dikehendaki, apalagi atas perintah tuanku Ranggawuni, maka ia
tidak akan dapat ingkar. Dalam pada itu, ternyata Ranggawuni dan Mahisa Campaka
berada tidak jauh dari tempat itu bersama Lembu Ampal. Untuk
mengisi waktu maka mereka telah menangkap beberapa ekor
burung yang akan dapat mereka pergunakan untuk makan mereka
sehari itu. Demikian pula Empu Sanggadaru. Karena bekal yang dibawa
hanyalah untuk hari itu saja, maka iapun berusaha untuk
menangkap beberapa jenis binatang buruan kecil yang dapat
dipergunakannya untuk makan mereka selama mereka belum
mendapatkan binatang buruan yang cukup besar. Sasaran yang
paling mudah bagi mereka adalah burung-burung yang
berterbangan di pepohonan. Burung yang cukup besar dan banyak.
Baik Empu Sanggadaru maupun Ranggawuni dan Mahisa Campaka
adalah pembidik-pembidik yang baik sehingga setiap kali panah
mereka tentu mengenai sasarannya.
Dalam pada itu, perhatian Empu Baladatu ternyata tertuju
kepada Ranggawuni dan Mahisa Campaka, la sebenarnya menjadi
kagum terhadap kedua anak-anak muda itu. Agaknya mereka
1651 benar-benar dua orang anak muda yang memiliki kepercayaan pada
diri sendiri dan kemampuan yang dapat dibanggakan meskipun
nampaknya keduanya cukup rendah hati. Sedangkan pengawalnya
yang seorang itu pun agaknya seorang yang benar-benar telah
masak dalam olah kanuragan.
"Singasari memiliki kekuatan yang besar sekali." berkata Empu
Baladatu di dalam hatinya, "Tetapi jika puncak kekuasaannya dapat
dilenyapkan, maka tentu akan terjadi kelumpuhan pada pemimpinpemimpin
yang lain." Memang kadang terbersit keinginan Empu Baladatu untuk
menangkap dan menguasai kedua anak muda itu. Dengan demikian
ia akan dapat memaksakan beberapa kehendaknya terhadap
Singasari. Namun agaknya hal itu tidak akan mungkin dapat
dilakukannya. la bertiga dengan kedua pengawalnya tentu tidak
akan dapat berbuat banyak melawan kedua anak muda itu beserta
Lembu Ampal. Karena itu, ia mengharap agar sesuatu terjadi atas Ranggawuni
dengan harimau itu. Tanpa Ranggawuni hati Mahisa Campaka tentu
sudah menjadi hambar. Sementara itu, Empu Sanggadaru dan cantriknya yang seorang
telah mendapatkan beberapa ekor burung Dengan demikian maka
mereka pun kemudian menjadi sibuk. Empu Baladatu dan seorang
pengawalnya pun ikut pula membantu, mencabuti bulu burung itu
dan kemudian menyalakan api untuk memanggangnya.
Hal yang serupa dilakukan pula oleh Ranggawuni, Mahisa
Campaka dan Lembu Ampal sambil menunggu isyarat dari kedua
orang yang menunggui harimau itu.
Tetapi sampai matahari menjadi semakin rendah, tidak ada
seekor binatang pun yang mendekati harimau mati itu. Apalagi
seekor harimau. Menjelang senja, maka Empu Sanggadaru telah mengirimkan
cantriknya yang seorang dan pengawal Empu Baladatu yang lain
1652 untuk menggantikan kedua kawanya dengan pesan dan pengalaman
seperti yang harus dilakukan oleh kedua kawannya yang lain.
"Malam nanti aku akan berada di sana pula." berkata Empu
Sanggadaru. Sementara itu, Empu Sanggadaru dan Empu Baladatu sempat
beristirahat sejenak. Namun kemudian mereka pun segera
mempersiapkan diri pula. Nampaknya cahaya langit menjadi
semakin merah dan hutan itu pun menjadi semakin suram.
"Mudah-Mudahan harimau itu tidak sepasang." desis Empu
Sanggadaru meskipun ia tidak yakin pada kataknya.
Empu Baladatu sama sekali tidak menjawab. Apalagi ia justru
mengharap harimau itu sepasang dan yang seekor akan datang di
malam hari mendekati betinanya yang telah terbunuh.
Ketika gelap mulai turun, Empu Sanggadaru pun memberikan
berapa pesan kepada cantrik dan pengawal Empu Baladatu yang
harus menunggui kuda-kuda mereka. Meskipun tempat itu
merupakan tempat yang terbuka, sehingga jarang sekali didatangi
oleh binatang buas yang besar, namun mereka harus tetap berhatihati.
"Bukan saja terhadap binatang-binatang buas, tetapi berhati-hati
pulalah terhadap ular-ular berbisa." pesan Empu Sanggadaru.
Demikianlah maka Empu Sanggadaru dan Empu Baladatu segera
menuju ke daerah perburuan yang mendebarkan itu. Di tempat
yang ditentukan, mereka menunggu sejenak kedatangan
Ranggawuni dan Mahisa Campaka.
Ternyata keduanya bersama Lembu Ampal pun segera datang
pula. Agaknya Ranggawuni benar-benar akan melakukan niatnya
menangkap harimau jantan yang mungkin akan dalang itu tanpa
melukainya. "Tetapi tuanku." berkata Empu Sanggadaru kemudian, "Di
samping segala pertimbangan yang telah tuanku dengar, apakah
1653 tuanku tidak mempertimbangkan pula jejak kaki kuda yang kita lihat
di sekitar tempat ini?"
Ranggawuni mengerutkan keningnya. Seperti Empu Sanggadaru
dan kawan-kawannya, Ranggawuni pun sudah mengetahui jejak
kaki-kaki kuda itu, tetapi seperti Empu Sanggadaru pula, mereka
sama sekali tidak mengetahui, siapakah yang telah mendahului
mereka berburu di hutan itu.
"Kenapa kita harus memperhitungkan mereka?" bertanya
Ramggawuni. "Jika mereka mempunyai maksud-maksud tertentu?"
Ranggawuni tertawa. Katanya, "Hutan ini adalah hutan yang
terbuka. Tentu siapa pun boleh berburu di s ini. Dan orang-orang itu
tentu pemburu-pemburu seperti kita. Mungkin mereka baru pertama
kalinya berburu di hutan ini. Tetapi mungkin pula sudah beberapa
kali, tetapi kita tidak pernah berada dalam masa perburuan yang
sama." Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Agaknya Ranggawuni
benar-benar tidak dapat dicegah lagi dengan cara apapun juga.
Karena itulah maka harapan satu-satunya bagi Empu Sanggadaru
adalah, bahwa tidak ada seekor harimau pun yang akan datang ke
tempat itu. Dengan tegangnya, maka mereka pun kemudian mencari tempat
persembunyian masing-masing menunggui bangkai harimau yang
masih tetap di tempatnya. Mereka telah bersiap-siap mengusir
binatang-binatang lain yang mendekatinya, selain seekor harimau
loreng pula. Untuk beberapa lama mereka duduk diam sambil beranganangan.
Sementara itu, suara malam di dalam hutan yang lebat itu
menjadi semakin riuh. Suara belalang, cengkering dan burungburung
malam bersahut-sahutan tidak hentinya. Sekali terdengar
gonggong anjing hutan dan keluh burung hantu. Namun kemudian
lamat-lamat terdengar aum seekor harimau.
1654 Mereka yang duduk mengintai bangkai harimau itu menjadi
semakin tegang. Malam rasa-rasanya bertambah panjang dan
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kelam. Ketika mereka menengadahkan wajah mereka, tatapan mata
mereka sama sekali tidak menembus rimbunnya dedaunan,
sehingga hampir tidak sebuah binatang pun yang nampak.
"Malam yang kelam." desis Empu Sanggadaru di hatinya,
"Apakah dalam kegelapan semacam ini, tuanku Ranggawuni akan
bertempur melawan seekor harimau sebesar dan segarang harimau
yang terbunuh itu?" Ada semacam penyesalan yang melonjak di hatinya. Tetapi justru
karena Empu Sanggadaru sama sekali tidak mengira bahwa
Ranggawuni dan Mahisa Campaka hadir di tempat itu, maka ia telah
membunuh harimau itu dengan caranya.
Tetapi agaknya ia pun akan mempertimbangkan tiga empat kali
lagi untuk melakukannya di gelapnya malam seperti malam itu.
Sejenak mereka masih menunggu.
Di siang hari mereka kadang-kadang mendapatkan pertanda
bahwa seekor harimau berada di dekat mereka.
Jika di udara, tidak ada burung yang berterbangan dan tidak ada
seekor kera pun yang nampak di pepohonan, maka seseorang harus
berhati-hati. Jika tidak seekor harimau, maka yang ada di sekitar
tempat itu adalah seekor ular yang besar.
Tetapi di malam hari, mereka tidak melihat pertanda itu dimana
burung-burung dan kera sudah berada di sarang masing-masing.
Namun dalam pada itu, selagi mereka berangan-angan rasarasanya
angin bertiup semakin dingin. Sesuatu yang tidak mereka
ketahui sebabnya, serasa telah meraba bulu tengkuk.
Tetapi agaknya Ranggawuni cepat dapat menangkap firasat itu.
Bahkan ia telah mengambil suatu kepastian, bahwa seekor harimau
sedang mendekati bangkai harimau di pinggir belumbang itu.
1655 Sejenak kemudian, maka mereka yang berada di sekitar hutan itu
pun menjadi berdebar-debar. Seperti firasat yang telah menyentuh
perasaan Ranggawuni, sebenarnyalah seekor harimau dengan raguragu
sedang mendekati bangkai harimau yang sengaja dibiarkan di
tempatnya. Ranggawuni bergeser setapak, lapun kemudian bersiaga.
Masiada kemungkinan lain, kecuali pasangan harimau itulah yang
telah berusaha mencari betinanya yang tidak kembali ke sarangnya.
Empu Sanggadaru dan Lembu Ampal menahan nafas. Mereka
tidak mempunyai cara apapun untuk mencegah Ranggawuni.
Mereka sadar sepenuhnya, bahwa yang akan dilakukan oleh
Ranggawuni adalah sesuatu yang sangat berbahaya.
Tetapi gejolak darah muda yang mengalir di dalam dada telah
mendorongnya untuk melakukan sesuatu yang justru berbahaya itu.
Sesaat kemudian Ranggawuni telah menggamit Lembu Ampal,
seolah-olah ia memberikan isyarat bahwa saatnya untuk bertindak
telah tiba. "Hati-hatilah tuanku." desis Lembu Ampal karena ia merasa tidak
dapat berbual apa-apa lagi. Sekilas terbayang olehnya Mahisa Agni
yang tidak ada di tempatnya. Jika terjadi sesuatu atas Ranggawuni
maka Mahisa Agni tentu akan menyalahkannya pula. Tetapi ia sama
sekali tidak mempunyai pengaruh dan kekuasaan yang cukup untuk
mencegahnya. Sesaat kemudian Ranggawuni itupun bangkit berdiri. Dengan
hati-hati ia melangkah mendekati harimau yang agaknya sedang
merenungi betinanya yang sudah tidak bernyawa lagi.
Tetapi ternyata pendengaran harimau itu begitu tajamnya.
Meskipun Ranggawuni sudah memperhitungkan angin, namun desir
kakinya lelah mengejutkan harimau itu.
Terdengar harimau itu menggeram. Ketika harimau itu berpaling,
nampaknya sepasang matanya bagaikan menyala kebiru-biruan.
1656 Terasa dada Ranggawuni berdesir. Mata harimau itu bagaikan
memancar menyilaukannya. Demikian pula orang-orang lain yang
berada di sekitar tempat itu. Mereka bahkan merasa ngeri untuk
menyaksikan apa yang bakal terjadi.
Mahisa Campaka yang tidak mendapat kesempatan untuk
berbuat sesuatu atas harimau itu, menggamit kakandanya. Tetapi ia
sama sekali tidak mengucapkan sepatah katapun. Namun dari
sikapnya, Ranggawuni mengerti, bahwa adindanya itu minta agar ia
berhati-hati. Demikianlah, maka Ranggawuni pun bergeser semakin dekat
dengan hairmau yang termangu-mangu. Namun suaranya menjadi
semakin keras, bahkan kemudian terdengar harimau loreng yang
besar itu mengaum dengan dahsyatnya.
Bersamaan dengan gema yang memantul dari pekatnya hutan
itu, Ranggawuni meloncat semakin dekat. Tangannya yang cekatan
lelah bersilang di dadanya. Meskipun di lambungnya terselip sebilah
pisau belati, namun ia sama sekali tidak berniat untuk menariknya.
Sejenak kemudian Ranggawuni itupun telah berhadapan dengan
harimau loreng yang ragu-ragu itu. Namun ketika ia yakin bahwa
yang ada di hadapannya itu adalah mahluk yang lain, maka sekali
lagi harimau itu mengaum.
Ranggawuni pun telah bersiaga sepenuhnya, la mengerti betapa
garangnya harimau itu. Apalagi di malam hari.
Orang-orang yang menyaksikan kedua mahluk yang sudah siap
untuk bertempur itu menjadi berdebar-debar. Nenurut pengertian
mereka, seekor harimau mempunyai pandangan yang jauh lebih
tajam dari mata manusia di malam hari. Apalagi malam yang kelam
di tengah-tengah hutan yang pekat.
Orang-orang yang ada di sekitar tempat itu, tidak dapat
memperhatikan dengan jelas apa yang telah terjadi. Tetapi dalam
kegelapan itu mereka melihat bayangan harimau itu merunduk.
1657 Lembu Ampal menjadi gemetar. Bahkan rasa-rasanya ia sendiri
ingin segera meloncat mendahului menerkam harimau itu, sebelum
harimau itu meloncat menerkam Ranggawuni.
Tetapi Lembu Ampal tidak berani melakukannya. Jika ia berbuat
demikian, kemudian dengan pisau belati sepasang di kedua
tangannya ia membunuh harimau itu, maka ia tentu akan mendapat
hukuman. Jika bukan badaniah tentu hukuman batiniah yang tentu
akan terasa lebih berat, la bahkan mungkin akan diusir dari istana.
Itulah sebabnya, ia hanya dapat berdoa, mudah-mudahan yang
maha Agung melindungi Ranggawuni yang masih sangat muda itu.
Dalam kegelapan malam, mereka yang berada di sekitar tempat
itu melihat remang-remang harimau itu mulai bergerak. Tetapi yang
nampak hanya samar-samar sekali. Itupun hanya mereka yang
memiliki tatapan mata yang sangat tajam.
Tetapi Empu Sanggadaru dan Empu Baladatu sempat pula
melihat gerak harimau itu. Betapa perkasanya di antara geramnya
yang mendirikan bulu roma.
Namun dalam pada itu, sesuatu telah melonjak di dalam hati
Empu Baladatu. Seolah-olah harapannya akan segera dapat
terlaksana. Ranggawuni akan dikoyak-koyak oleh harimau yang
ganas itu. "Tentu Mahisa Campaka tidak akan bertahan lama. la akan
mengalami kejutan batin yang tidak akan dapat diatasinya." berkata
Empu Baladatu di dalam hatinya.
Tetapi ada satu yang tidak diketahui oleh orang-orang yang
mencemaskan nasib Ranggawuni. la memiliki ilmu yang seolah-olah
merupakan inderanya yang keenam. Dengan latihan-latihan yang
berat, sebenarnyalah ia seolah-olah melihat, meskipun tidak dengan
mata wadagnya, apa saja yang akan dilakukan oleh harimau yang
garang itu. Dalam pada itu, sejenak kemudian setiap hati menjadi tergetar
karenanya. Harimau itu mengaum sekali lagi sambil meloncat
1658 menerkam Ranggawuni. Tetapi Ranggawuni benar-benar telah
bersiaga. Dengan tangkasnya ia bergeser ke samping sehingga
harimau itu tidak berhasil menyentuhnya.
Seperti yang dilakukan oleh Empu Sanggadaru maka Ranggawuni
pun segera meloncat ke punggung harimau itu. Kedua tangannya
segera memeluk leher harimau itu dan jarinya dengan kuatnya
mencengkam bulu-bulunya. Harimau itu terkejut. Ketika benda yang terasa melekat di
punggungnya itu tidak segera hilang, maka harimau itupun menjadi
marah. Dengan garangnya ia mengibaskan dirinya, bahkan
kemudian sambil meloncat dan berguling-guling. Tetapi Ranggawuni
yang berpegangan kuat sekali itu sama sekali tidak terlepaskan.
Berbeda dengan Empu Sanggadaru yang sebelah tangannya
memegang sepotong galib asem, Ranggawuni sama sekali tidak
memegang apapun juga. Karena itulah maka ia dapat lebih erat
berpegangan pada leher harimau itu.
Betapapun juga harimau itu berusaha, namun ia tidak berhasil
melemparkan Ranggawuni dari punggungnya.
Dengan tegang Empu Sanggadaru, Empu Baladatu dan Lembu
Ampal memperhatikan perkelahian itu. Seorang cantrik dan
pengawal Empu Baladatu tidak dapat mengikutinya dalam
keseluruhan. Kadang-kadang mereka sama sekali tidak melihat apa
yang terjadi. Hanya kadang-kadang saja mereka dapat merasakan,
betapa dahsyatnya perkelahian itu.
Setiap kali terdengar harimau itu menggeram dan bahkan
mengaum. Suaranya bagaikan gemuruhnya banjir. Namun
Ranggawuni masih tetap melekat di punggung harimau itu.
Tetapi di gelapnya malam, harimau itu telah terbentur-bentur
pada batang-batang kayu yang besar dan kokoh.
Betapapun kuatnya tangan Ranggawuni, namun karena gerak
harimau yang marah itu bagaikan angin pusaran yang berputarTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
1659 putar tanpa menghiraukan keadaan di sekitarnya, maka lambat laun
telah menjadi kendor pula.
Tetapi Ranggawuni menyadarinya. Ia sudah melihat apa yang
terjadi pada Empu Sanggadaru ketika orang itu berkelahi
membunuh harimau loreng yang betina itu.
Karena itulah maka ia menjadi lebih berhati-hati, Ia tidak ingin
memukul harimau itu dengan apapun juga. Ia ingin membiarkan
harimau itu menjadi lelah sendiri dan kehilangan segenap
tenaganya. Tetapi ternyata bahwa kekuatan harimau itu jaub lebih besar dari
yang diduganya. Sehingga dengan demikian, iapun dapat mengukur
kekuatan jasmaniah Empu Sanggadaru. Apalagi selelah Empu
Sanggadaru mengetrapkan ilmunya, sehingga ia mampu
mengangkat harimau betina itu, memutarnya di atas kepala dan
membenturkannya pada sebatang pohon yang besar.
"Aku tidak akan berbuat seperti yang sudah dilakukan oleh Empu
Sanggadaru." berkata Ranggawuni.
Itulah sebabnya ia justru berusaha berpegangan semakin kuat.
Setiap kali ia membetulkan kedua tangannya yang menggenggam
bulu-bulu leher, bahkan kulit leher harimau itu.
Tetapi ternyata bahwa harimau itu tidak segera menjadi lelah. Ia
masih berguling-guling dan melonjak-lonjak dengan dahsyatnya,
untuk melemparkan mahluk yang melekat di punggungnya.
Tetapi harimau itu tidak segera berhasil. Betapapun ia berusaha,
namun yang melekat di punggungnya itu seolah-olah telah menyatu
pada kulit dagingnya. Meskipun demikian, benturan-benturan pada pepohonan, batubatu
dan semak-semak, seolah-olah telah menggoreskan luka-luka
di seluruh tubuh Ranggawuni. Justru bukan oleh kuku-kuku harimau
itu, tetapi oleh kulit-kulit kayu, ranting-ranting yang berpatahan dan
ujung-ujung batu yang runcing.
1660 Luka-luka itu semakin lama semakin terasa pedih, sedangkan
harimau itu masih juga belum berhenti. Apalagi kemudian harimau
itu berusaha untuk melontarkan mahluk di punggungnya itu. dengan
kaki belakangnya. Ranggawuni akhirnya menyadari, bahwa ia tidak akan dapat
bertahan dengan caranya. Harimau itu masih tetap kuat dan
tangkas, seakan-akan tenaganya sama sekali tidak berkurang. Jika
ia masih tetap pada caranya, maka mungkin sekali, ia akan menjadi
lelah lebih dahulu daripada harimau loreng itu.
Namun sama sekali tidak terbersit niat pada Ranggawuni untuk
melukai harimau itu dengan senjata. Karena itulah, akhirnya
Ranggawuni harus mengambil cara lain. Apalagi mengenai kulitnya
dan menggoreskan luka pada kulitnya.
Untuk beberapa saat Ranggawuni masih bertahan. Dan dalam
pada itu, mereka yang menyaksikan perkelahian itupun menjadi
semakin tegang. Meskipun mereka tidak melihat karena pekatnya malam di hutan
yang lebat itu, namun mereka dapat membayangkan, bahwa tubuh
Ranggawuni tentu sudah menjadi merah oleh darahnya.
Tetapi tidak seorang pun yang dapat berbuat apapun juga.
Mereka hanya dapat berdiri membeku. Sekali-sekali Lembu Ampal
meraba pisau berburunya yang terselip di lambung. Tetapi ia tidak
beranjak dari tempatnya. Mahisa Campaka yang tidak mendapat kesempatan untuk
berkelahi dengan harimau itu menjadi tegang. Bahkan lambat laun
menjadi khawatir juga melihat bayangan yang seolah-olah
berputaran dan melonjak-lonjak. Sementara dedaunan nampak
bagaikan ditiup angin prahara. Suara ranting-ranting yang
berpatahan dan batu yang terlontar, membuat hatinya semakin
kecut. Ranggawuni sedang berusaha, bagaimanakah cara yang
sebaiknya untuk menaklukkan harimau itu tanpa melukainya dengan
1661 senjata. Namun untuk tetap diam di atas punggung harimau itu, ia
yakin, bahwa ia tidak akan dapat berbuat apa-apa.
Karena itulah, maka Ranggawuni pun kemudian mempergunakan
tangannya untuk menyerang harimau itu. Tidak dengan sepotong
galih asem. Tetapi dengan sisa telapak tangannya.
Sekali-sekali jika ia mendapat kesempatan, maka tangan
kanannya pun melepaskan leher harimau itu, dan dengan
dahsyatnya menghantam kening.
Ternyata pukulan tangan Ranggawuni telah berpengaruh atas
harimau lawannya. Ketika sisi telapak tangan Ranggawuni mengenai
dahi harimau itu, di antara kedua matanya, maka harimau itu pun
menggeram dengan dahsyatnya sambil meloncat mengejut.
Ternyata loncatan itu benar-benar tidak diduga oleh Ranggawuni.
Apalagi ia telah melepaskan sebelah tangannya. Itulah sebabnya,
maka iapun telah terlempar pula dari punggung harimau yang
melonjak dengan dahsyatnya itu.
Ternyata Ranggawuni masih mampu menguasai dirinya, la jatuh
pada kedua kakinya yang merendah pada lututnya.
Sejenak Ranggawuni melihat harimau yang merasa telah
kehilangan beban itu. Agaknya harimau itu tidak mau membiarkan
lawannya mendapat kesempatan. Dengan serta merta ia sekali lagi
mengaum sambil menerkam dengan kedua kaki depannya.
Ranggawuni tidak sempat meloncat untuk mengelakkan diri.
Karena itu ia harus segera berbuat sesuatu.
Itulah sebabnya, maka iapun segera menjatuhkan dirinya
menelentang. Dengan demikian maka harimau itu seolah-olah telah
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membujur tepat di atasnya dengan kedua kaki depannya terjulur
lurus kedepan. Namun pada saat itu, ketika kaki-kaki harimau itu hampir saja
merobek wajah Ranggawuni yang menelentang di tanah, maka tibatiba
saja sebuah kekuatan yang tidak terkira besarnya telah
melemparkan harimau itu. 1662 Ternyata Ranggawuni masih sempat mempergunakan kedua
kakinya yang tepat menghantam perut harimau itu. Demikian
besarnya kekuatan kaki Ranggawuni sehingga harimau itu telah
terlempar ke udara. Sebuah benturan yang dahsyat telah terjadi.
Agaknya harimau itu telah membentur sebuah dahan yang besar di
atasnya. Terdengar sebuah auman yang maha dahsyat. Harimau itu
kemudian meluncur dengan derasnya. Dengan menggeliat, harimau
itu berusaha jatuh pada keempat kakinya.
Namun benturan yang telah terjadi agaknya telah menyakitinya.
Bahkan kesakitan yang amat sangat, sehingga karena itu pulalah,
maka harimau itu tidak lagi dapat menguasai tubuhnya sebaikbaiknya.
Dengan demikian, maka setelah benturan itu terjadi, dan
harimau itu terlempar kembali ke tanah, ia tidak berhasil berdiri
pada keempat kakinya. Yang terjadi adalah, harimau itu jatuh miring
pada pundaknya. Harimau yang kesakitan itu meronta. Tetapi tenaganya ternyata
telah jauh berkurang. Apalagi ketika kemudian sebuah pukulan sisi
telapak tangan mengenai tengkuknya. Tidak hanya satu kali. Tetapi
beberapa kali. Harimau itu menjadi semakin lemah. Bahkan seolah-olah telah
kehilangan keseimbangannya sehingga ketika harimau itu mencoba
berdiri, maka setelah terhuyung-huyung sejenak, maka harimau itu
pun kemudian terjatuh dengan lemahnya, meskipun masih saja
menggeram dan sekali-sekali mengaum dengan dahsyatnya. Namun
suaranya tidak lagi melambangkan kegarangannya. Bahkan seolaholah
yang terdengar adalah suatu rintihan kesakitan yang memelas.
Ranggawuni yang hampir di seluruh tubuhnya telah digores lukaluka
oleh kuku harimau dan batu-batu karang serta, ranting yang
berpatahan, kemudian berdiri tegak di sisi harimau yang sedang
merintih itu. Dengan berdiri di atas kedua kakinya yang renggang, ia
telah siap untuk mengakhiri perkelahian yang dahsyat dan
1663 mendebarkan jantung itu. Perlahan-lahan tangan kananya telah
terangkat. Dengan sebuah ayunan ilmunya yang dilontarkan dengan
kekuatan yang tidak sepenuhnya, ia akan dapat mematahkan tulang
belakang harimau itu dan mematikannya tanpa melukainya.
Sementara itu, orang-orang yang menyaksikan perkelahian itu
telah berdiri mematung. Bahkan nafas mereka seolah-olah telah,
berhenti mengalir. Mahisa Campaka, Lembu Ampal, Empu
Sanggadaru dan Empu Baladatu yang memiliki ketajaman
penglihatan melampaui manusia biasa, dapat melihat meskipun
hanya remang-remang apa yang telah terjadi. Sedangkan cantrik
dan pengawal Empu Baladatu, dengan susah payah mencoba pula
untuk mengerti, bagaimana akhir dari perkelahian itu.
Dengan tegang orang-orang yang berada di sekitar tempat itu
menunggu, apakah yang akan dilakukan oleh Ranggawuni. Lembu
Ampal yang mengerti sebaik-baiknya kemampuan tangan
Ranggawuni, apalagi dalam kekuatan ilmu puncaknya, agaknya
tidak akan perlu mengulangi lagi. Bahkan mungkin tulang-tulang
harimau itu akan remuk dan demikian juga, keutuhan kulitnya akan
menjadi cacat. Namun setelah beberapa saat lamanya mereka menunggu
Ranggawuni tidak juga mengayunkan tangannya. Bahkan tangan itu
perlahan-lahan telah mengendor, dan akhirnya terkulai di sisi
tubuhnya. Lembu Ampal menajdi cemas melihat sikap Ranggawuni itu
Dengan serta merta, hampir di luar sadarnya ia belari-lari
mendekatinya. Dengan suara yang tinggi ia bertanya, "Ampun
tuanku, apakah yang telah terjadi sebenarnya?"
Ranggawuni berpaling. Didalam kegelapan malam, ternyata
ketajaman penglihatan mata hati Ranggawuni dapat melihat
kecemasan yang sangat di wajah Lembu Ampal.
Meskipun tidak begitu jelas, namun Lembu Ampal melihal dan
mendengar Ranggaawuni tertawa perlahan. Namun suara
tertawanya itu telah membuat hati Lembu Ampal menjadi tenang.
1664 "Paman." berkata Ranggawuni, "Aku telah melumpuhkan harimau
itu tanpa melukai kulitnya."
"Ya, ya tuanku."
"Tetapi ternyata aku tidak dapat membunuhnya. Kau dengar
harimau itu merintih?"
Lembu Ampal menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, "Hamba
tuanku. Hamba mendengar."
"Aku ingin harimau itu tetap hidup. Aku akan membawanya
kembali ke istana dan jika kita berhasil mengobatinya, maka ia akan
tetap hidup meskipun di dalam kandang besi."
"O." Lembu Ampal menarik nafas, "Bagaimana jika harimau ini
segera pulih kembali?"
"Kita akan mencari tali janget yang kuat. He, bukankah kita
sudah membawa janget meskipun semula tidak kita sediakan untuk
mengikat harimau itu."
Lembu Ampal mengangguk-angguk.
"Mumpung harimau itu masih lemah sekali." berkata
Ranggawuni, "Marilah, berikan tali itu paman."
Lembu Ampal yang memang sudah membawa beberapa
perlengkapan berburu segera mengikat harimau itu dibantu: oleh
Ranggawuni dan orang- orang yang lain yang kemudian mendekat
pula. Harimau itu masih saja mengaum dengan dahsyatnya. Bahkan
sekali-sekali berusaha menggigit dengan giginya yang tajam.
Tetapi tubuhnya memang masih terlampau lemah, sehingga
akhirnya keempat kakinya pun telah terikat erat, dengan janget
rangkap tiga. Betapapun juga harimau itu mencoba untuk meronta, tetapi tali
janget itu memang terlampau kuat, sehingga harimau itu tidak akan
1665 mungkin dapat memutuskannya. Apalagi jangkau giginya tidak
sampai kepada tali yang mengikat keempat kaki harimau itu.
"Meskipun besok kekuatan harimau itu mungkin pulih, tetapi
harimau itu tentu tidak akan dapat memutuskan tali janget itu."
berkata Ranggawuni kemudian.
"Y a. Tuanku."Jawab Lembu Ampal, "Janget itu kuat sekali."
"Baiklah paman." berkata Ranggawuni kemudian, "Marilah
harimau itu kita bawa menyingkir." Lalu, katanya kepada Empu
Sanggadaru, "Empu bawa pulalah harimaumu. Kita sudah tidak akan
mengintai jenisnya lagi di sini."
"Hamba, tuanku." jawah Empu Sanggadaru. Namun kemundian
katanya, "Ampun tuanku. Ternyata kali ini, tuanku pulalah yang
menang. Aku berhasil menangkap harimau itu tampa melukainya,
tetapi setelah menjadi bangkai. Tetapi tuanku berhasil menangkap
tanpa melukainya, dan bahkan masih tetap hidup. Mungkin harimau
itu akan dapat sembuh dan pulih kembali setelah beberapa hari
berada dalam kandang. Jika di padepokan hamba terdapat seekor
harimau loreng raksasa yang sudah dikeringkan, maka di halaman
istana Singasari terdapat seekor harimau loreng raksasa yang
jantan, dalam keadaan yang masih hidup."
Ranggawuni tersenyum. Jawabnya, "Namun kau tetap orang
yang pertama yang berhasil menangkap harimau sebesar itu,
namun aku pun berbangga pula, bahwa aku adalah orang kedua."
"Tetapi hasil tangkapan yang tuanku lakukan adalah jauh lebih
bernilai dari yang aku dapatkan."
Ranggawuni tertawa. Katanya, "Terserahlah kepada setiap
penilaian. Tetapi marilah, kita akan beristirahat. Aku akan tidur."
"Tetapi, apakah tuanku tidak terluka?"
"O." Ranggawuni mulai meraba, tubuhnya. Terasa cairan yang
hangat membasahi beberapa bagian dari kulitnya. Meskipun dalam
kegelapan yang pekat, namun Ranggawuni segera mengetahui,
bahwa kulitnya telah dilumuri dengan darahnya sendiri.
1666 "Agaknya kulitku memang terluka." jawabnya.
"Marilah kakanda." berkata Mahisa Campaka, "Sebaiknya luka itu
kita obati." "Kita akan pergi ke lapangan kecil itu. Kita akan membuat
perapian yang besar, sehingga dengan demikian kita akan dapat
melihat keadaan luka-lukaku." berkata Ranggawuni.
Demikianlah maka kelompok kecil itupun kemudian Beriringan
pergi kelapangan kecil di hutan yang lebat itu. Dengan
memanggulnya dengan dahan kayu, mereka membawa dua ekor
harimau loreng. Yang seekor sudah menjadi bangkai sedangkan
yang seekor masih hidup. Namun ternyata bahwa membawa harimau yang masih hidup
itulah yang jauh lebih sulit, karena setiap kali harimau itu meronta
dan mengaum keras sekali.
Namun Mahisa Campaka, Lembu Ampal dan Ranggawuni
sendirilah yang memanggul harimau yang masih hidup itu. Mereka
menolak bantuan yang akan diberikan oleh cantrik Empu
Sanggadaru dan pengawal Empu Baladatu.
"Bawalah harimaumu." berkata Ranggawuni, "Aku akan
membawa harimauku." Empu Sanggadaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak
dapat memaksa. Ketika mereka sampai di lapangan rumput yang sempit di hutan
yang lebat itu, mereka melihat kedua orang yang mereka tinggalkan
masih tetap berjaga-jaga. Keduanya berdiri dengan tegak dengan
senjata di tangan, ketika mereka mendengar langkah-langkah
mendekat. Namun mereka pun kemudian bergembira setelah
mereka mengetahui, siapakah yang telah datang.
"Bukan main." desis kedua orang itu, "Tuanku Ranggawuni
berhasil menangkap harimau itu hidup-hidup."
1667 Sejenak kemudian, maka mereka pun segera mencari dahan
kering dan ranting-ranting yang bertebaran. Perapian yang memang
sudah ada, tetapi terlampau kecil, segera mereka tambah dengan
kekayuan dan rerumputan kering.
Nyala apipun segera menjilat tinggi. Dengan demikian maka
mereka pun segera dapat melihat dengan jelas luka-luka yang
terdapat di seluruh tubuh Ranggawuni.
"Tunku harus segera diobati." berkata Lembu Ampal.
Ranggawuni tidak menolak ketika kemudian Lembu Ampal
membersihkan luka-lukanya yang terdapat hampir di seluruh
tubuhnya. Namun yang sebagian besar justru bukan oleh kuku-kuku
macan yang garang itu, tetapi oleh batu-batu padas, dahan-dahan
yang patah dan benturan pada pepohonan.
Empu Sanggadaru yang mengalami luka-luka serupa, bahkan
lebih parah, membantu pula mengoleskan obat yang di bawa oleh
Lembu Ampal. Dalam pada itu, Empu Baladatu duduk di ujung perapian dengan
jantung yang bergejolak. Rasa-rasanya darahnya beredar semakin
cepat menghentak-hentak urat nadinya.
"Bukan main." desisnya di dalam hati, "Tuanku Ranggawuni
ternyata memang orang yang luar biasa. Tentu Tuanku Mahisa
Campaka juga memiliki kelebihan seperti itu la menarik nafas dalam.
"Lalu apa yang dapat dilakukan oleh Mahisa Agni tentu akan
membuatku pingsan." Karena itu, maka rasa-rasanya Empu Baladatu telah dihadapkan
pada suatu kenyataan yang pahit bagi cita-citanya. Ia menganggap
bahwa ilmu hitam yang disadapnya, pada puncaknya adalah ilmu
yang paling kuat di seluruh permukaan bumi. Ia telah
mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan dengan suatu keinginan
untuk menjadi orang yang paling kuat dan tidak terkalahkan.
Namun kini ia telah menghadapi kenyataan yang lain. Empu
Baladatu yang merasa dirinya telah cukup tua, baik umurnya,
1668 maupun saat-saat berguru dan mempelajari ilmu kanuragan,
ternyata tidak melampaui kemampuan anak-anak muda yang tentu
masih jauh lebih pendek saat-saat berguru dan berlatih daripada
dirinya. "Apakah aku mampu berkelahi melawan seekor harimau dengan
tangan tanpa senjata apapun juga, dan menangkapnya hidup-hidup
seperti yaang dilakukan oleh tuanku Ranggawuni " pertanyaan itu
telah mengganggunya setiap saat. Apalagi jika ia mulai
membayangkan. Mahisa Agni yang diketahuinya sebagai salah
seorang guru Ranggawuni dan Mahisa Campaka.
"Agaknya tidak berlebih-lebihan jika beberapa orang mengatakan
bahwa ilmu Gundala Sasra yang matang, dapat meluluhkan gunung
dan mengeringkan lautan." berkata Empu Baladatu di dalam hati.
Sejenak ia mencoba menimbang. Apakah ilmu hitamnya yang
matang dapat melakukan seperti yang mungkin dilakukan oleh ilmu
Mahisa Agni itu. Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Di dalam cahaya
perapian yang kemerah-merahan ia melihat Ranggawuni
merentangkan tangannya, dan membiarkan Lembu Ampal
mengobati luka-lukanya yang tergores di seluruh tubuhnya.
"Yang pasti, tuanku Ranggawuni tidak memiliki ilmu kebal."
berkata Empu Baladatu di dalam hatinya, "Sehingga sebenarnya
masih mungkin untuk melakukan sesuatu atasnya. Tetapi aku kira
racun tidak akan banyak manfaatnya, karena iapun tentu memiliki
obat penawarnya." Empu Baladatu termangu-mangu sejenak. Sekilas terbersit
niatnya untuk merunduknya jika pada suatu saat kedua anak muda
itu sedang tertidur. "Tetapi apakah Lembu Ampal itu juga akan tidur mendengkur di
sebelahnya tanpa kesiagaan sama sekali?" bertanya Empu Baladatu
kepada diri sendiri. 1669 Namun tidak ada jawaban yang didapatkannya dari dirinya
sendiri, selain keragu-raguan dan bahkan kemudian hampir sebuah
sikap putus asa. "Tidak." Ia mencoba membentakkan dirinya dari perasaan putus
asa itu, "Masih akan aku ketemukan jalan. Masih ada waktu. Aku
seharusnya memang tidak tergesa-gesa. Menurut orang yang dapat
aku yakini kebenaran katanya, ilmu hitam adalah ilmu yang paling
kuat di seluruh muka bumi meskipun harus mengorbankan
kemanusiaan seutuhnya. Tetapi barangkali aku memang masih
harus berjuang lebih lanjut untuk mencapai tingkatan yang
sempurna itu." Empu Baladatu tidak sempat merenungi dirinya dan ilmunya lebih
lama lagi. Ketika kemudian Lembu Ampal selesai mengobati
Ranggawuni, maka merekapun kemudian duduk dalam suatu
lingkaran mengelilingi api yang semakin besar menggapai-gapai ke
udara. "Tuanku." bertanya Lembu Ampal kemudian, "Jika tuanku tetap
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pada rencana, maka baru beberapa hari lagi para pengawal akan
menjemput tuanku." "Ya. Aku tetap pada rencana."
"Tetapi bagaimanakah dengan harimau itu" Harimau itu tentu
merasa haus, lapar dan mungkin juga rasa sakit karena janget yang
mengikat keempat kakinya dengan eratnya. Jika harimau itu
kemudian meronta-ronta, apalagi terus-menerus dalam waktu
beberapa hari, maka apakah tidak mungkin kaki kaki haramu itu
akan terluka. Jika demikian maka usaha tuanku untuk mendapatkan
seekor harimau yang kulitnya tidak cacat akan sia-sia."
Ranggawuni mengerutkan keningnya. Dipandanginya wajah
Mahisa Campaka sejenak. Lalu, "Kemungkinan itu memang ada.
Tetapi bagaimanakah sebaiknya" Jika aku memperpendek waktu
perburuan ini, bagaimana mungkin kita dapat kembali ke Singasari
dalam keadaan seperti ini" Membawa seekor harimau sebesar itu
tanpa orang lain?" 1670 "Tuanku juga tidak membawa tanda-tanda kebesaran sama
sekali." "O, itu tidak penting. Tetapi bagaimanakah harimau itu harus kita
bawa" Jika harimau itu kita sangkutkan pada punggung seekor
kuda, maka kuda itu tentu bagaikan menjadi gila. Bahkan mungkin
punggungnya akan terkelupas digigit oleh harimau itu. Tetapi jika
kita harus memanggulnya sepanjang jalan yang panjang ini, tentu
akan mengalami kesulitan pula."
"Mungkin kita dapat minta bantuan tuanku." berkata Lembu
Ampal. "He?" Wajah Ranggawuni menjadi cerah, "Apakah begitu Empu
Sanggadaru?" "Tentu tuanku. Hamba akan dengan senang hati membantu
tuanku, membawa harimau itu ke istana Singasari. Bahkan hamba
tidak akan berkeberatan untuk menyerahkan diri hamba dan
harimau yang telah barhasil hamba tangkap bagi hiasan pula di
istana Singasari." "O." Ranggawuni tertawa, "Kita sudah membaginya dengan adil.
Kau seekor dan aku seekor."
Empu Sanggadaru menarik nafas dalam-dalam. Ia menyadari
bahwa Ranggaawuni tentu akan menolak, karena sifat-sifatnya yang
keras tetapi luhur. Karena itu, Empu Sanggadaru tidak memaksanya. Katanya
kemudian, "Baiklah tuanku. Jika tuanku bermurah hati, mengijinkan
hamba memiliki harimau yang seekor itu."
"Kenapa tidak" Bukankah kau sendiri yang mendapatkannya."
"Tetapi hutan ini adalah tlatah Singasari. Jika tuanku
menghendaki, apapun yang ada di dalam wilayah Singasari adalah
milik tuanku." "Itu tidak benar." jawab Ranggawuni dengan wajah yang
bersungguh-sungguh, "Singasari bukan milik Ranggawuni dan
1671 Mahisa Campaka. Ranggawuni adalah milik seluruh rakyat Singasari,
meskipun pemilikan secara khusus diatur menurut adat, sehingga
dengan demikian rakyat tidak berebutan atas sesuatu barang."
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Katanya,
"Sebenarnyalah demikian tuanku. Taunku adalah seorang Maharaja
yang sangat bijaksana."
Ranggawuni tertawa. Katanya, "Bertanyalah kepada Mahisa
Campaka. Bukan akulah yang bijaksana. Agaknya memang demikian
yang seharusnya." "Tetapi ada yang berpendapat lain tuanku. Seolah-olah seisi
negara itu adalah milik seorang raja."
"Itu adalah perkecualian. Bukan ketentuannya yang merupakan
perkecualian yg harus diakui. Tetapi raja yang bersikap demikian
itulah yang merupakan seorang raja yang berbuat menyimpang dari
keharusan seorang Raja."
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Lalu katanya,
"Sebenarnyalah tidak salah yang hamba katakan. Tuanku memang
sangat bijaksana. Terapi baiklah jika tuanku tidak ingin mendengar
hamba mengucapkannya sekali lagi." Ia berhenti sejenak, lalu,
"Yang bamba tunggu adalah perintah tuanku tentang, harimau itu."
"Besok kita akan membawanya kembali ke Singasari. Kita akan
memanggulnya berganti-ganti melalui jalan-jalan sempit." berkata
Ranggawuni. "Tuanku." berkata Lembu Ampal kemudian, "Sebenarnya tuanku
dapat minta pertolongan Empu Saanggadaru dengan cara yang
lain." Ranggawuni mengerutkan keningnya.
"Tuanku dapat minta bantuan seorang cantriknya, pergi ke istana
dan menyampaikan perintah tuanku, agar beberapa orang pengawal
yang telah ditemukan sebelumnya menjemput tuanku."
1672 Ranggawuni memandang Mahisa Campaka sekilas. Namun ia pun
kemudian menyadari, bahwa usul Lembu Ampal itu adalah yang
paling baik. Seandainya ia minta Lembu Ampal sendiri pergi ke
istana, tentu Lembu Ampal tidak akan bersedia. Bukan karena ia
tidak bersedia menjalani perintahnya, namun tentu tidak mau
meninggalkannya dan Mahisa Campaka berdua saja bersama para
pemburu yang masih belum dikenalnya.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Empu Baladatu berkata,
"Tuanku adalah bijaksana sekali jika tuanku memberikan perintah
kepada para pengawal untuk menjemput tuanku dan harimau yang
masih hidup itu. Tetapi apakah dengan demikian para pengawal
mempercayai utusan yang belum dikenal itu."
Ranggawuni termangu sejenak.
"Apakah hal itu tidak akan dapat menimbulkan kesulitan para
cantrik yang tidak tahu menahu itu?" desak Empu Baladatu.
Selanjutnya, "Karena itu adalah yang paling baik untuk pergi ke
istana memanggil para pengawal adalah pamanda tuanku."
"Apakah aku yang kau maksud?" bertanya Lembu Ampal.
"Ya." Lembu Ampal memandang Ranggawuni dan Mahisa Campaka
berganti-ganti. Namun seperti yang diduga oleh Ranggawuni. Maka
Lembu Ampal pun berkata, "Hamba tidak akan meninggalkan
Tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Campaka."
"O." desis Empu Baladatu, "Aku tidak mengira bahwa pamanda
tuanku Ranggawuni adalah seorang yang sangat berhati-hati.
Tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Campaka adalah anak-anak
muda yang pilih tanding. Bahkan mungkin tidak ada seorangpun
yang dapat mengimbangi kekuatannya. Kakang Empu Sanggadaru
juga tidak. Apa yang perlu dicemaskan" Jika orang lain yang harus
pergi, maka itu akan berarti membuang waktu yang tidak berarti,
karena pada saatnya, harus ada orang lain yang sudah dikenal
untuk memanggil para pengawal."
1673 Lembu Ampal mengangguk-angguk sejenak. Namun kemudian ia
berkata, "Memang mungkin sekali terjadi bahwa cantrik itu tidak
akan dipercaya, dan bahkan mungkin dapat menimbulkan kesulitan
padanya. Namun ada cara lain yang lebih baik. Jika tuanku
Ranggawuni menyetujui maka sebaiknya kita bertiga kembali saja
ke istana besok pagi-pagi benar. Aku kemudian akan kembali
dengan para pengawal untuk mengambil harimau ini. Jadi
pertolongan yang kami perlukan dari Empu Sanggadaru adalah
sekedar menunggui harimau ini."
Empu Baladatu tidak menyangka bahwa cara itulah yang justru
diusulkan oleh Lembu Ampal. Namun sebelum ia menjawab
Ranggawuni justru bertanya, "Apakah kita akan berjalan kaki?"
"Jika Empu Sangadaru tidak berkeberatan, kita dapat meminjam
kuda-kuda mereka. Aku akan membawanya dan mengembalikannya
kemari." Sejenak Ranggawuni termenung. Pendapat Lembu Ampal itu
sangat menarik. Tetapi dengan demikian maka berarti bahwa
perburuan selanjutnya telah dihentikan.
Dalam pada itu Empu Baladatu pun menjadi berdebar-debar. Jika
demikian, maka ia akan kehilangan kesempatan untuk melakukan
sesuatu selama masa perburuan itu. Namun kemudian iapun
berkata kepada diri sendiri, "Apa yang dapat aku lakukan sekarang.
Agaknya sikap kakang Sanggadaru meragukan sekali. Mungkin aku
tidak akan dapat membujuknya dalam waktu yang dekat dan
pendek. Karena itu biar sajalah mereka kembali dan kami
meneruskan perburuan ini."
Dalam pada itu, Empu Sanggadaru pun mengangguk-angguk
sambil berkata, "Baiklah tuanku. Jika tuanku menghendaki. Biarlah
hamba bersama adik hamba menunggu harimau-harimau itu di sini
sampai saatnya para prajurit datang mengambilnya."
"Hanya harimau yang masih hidup itulah yang akan aku bawa ke
istana." "Hamba tuanku." jawah Empu Sanggadaru.
1674 Empu Baladatu tidak mempunyai rencana apapun lagi dalam
waktu yang dekat, karena ia masih belum menemukan tanda-tanda
yang meyakinkannya, bahwa kakaknya akan bersedia
membantunya. "Besok pagi-pagi benar kami akan meninggalkan hutan
perburuan ini." berkata Ranggawuni, "Dan aku sependapat dengan
paman Lembu Ampal." "Silahkan tuanku. Jika tuanku sudi mempergunakan kuda hamba,
maka hamba akan menyerahkannya dengan bangga."
"Terima kasih. Agaknya kali ini aku tidak akan dapat berhuru
sesuai dengan rencanaku. Justru karena aku kasihan melihat
harimau itu. Tentu ia akan kehausan dan lapar. Tetapi dalam
keadaan seperti itu, maka ia tidak akan dapat makan dan minum
secukupnya." Empu Baladatu hanyalah menganggukkan kepalanya saja.
"Nah." berkata Ranggawuni kemudian, "Aku akan beristirahat.
Mungkin Adinda Mahisa Campaka juga lelah dan akan beristirahat
pula, sampai saatnya kita akan kembali ke Singasari."
"Aku tidak berbuat apa-apa kakanda." jawab Mahisa Campaka.
"Tetapi menunggu adalah pekerjaan yang barangkali lebih
menjemukan dari melakukan sesuatu, sehingga kau pun
mememerlukan beristirahat pula."
Mahisa Campaka tertawa. Jawabnya, "Baiklah, aku akan
beristirahat. Masa perburuan kali ini bukan saja masa yang paling
pendek bagiku, tetapi juga yang paling sepi, karena aku ternyata
kali ini tidak berbuat apa-apa."
Namun dalam pada itu, selagi mereka. masih berbincang,
terdengar seekor burung menggelepak di atas dahan. Hampir
berbareng mereka menengadahkan kepala kelangit. Ternyata bahwa
langit telah menjadi merah oleh fajar yang bakal merekah.
1675 "Ternyata aku tidak sempat beristirahat." desis Ranggawuni, "Aku
harus segera mempersiapkan diri dan kembali ke Kotaraja, agar
para prajurit segera dapat mengambil harimau itu."
"Ya tuanku. Silahkan tuanku berkemas. Sebaiknya kita justru
segera berangkat, sehingga tuanku akan segera dapat beristirahat
di istana." Ranggawuni mengangguk-angguk, sementara Mahisa Campaka
dengan malasnya berkata, "Mamba akan mohon agar kakanda sudi
mengajak hamba untuk berburu pada waktu yang dekat."
"Tentu adinda. Aku akan segera merencanakan masa perburuan
yang baru." Demikianlah maka Ranggaawuni, Mahisa Campaka dan Lembu
Ampal pun segera mempersiapkan diri. Mereka akan segera kembali
ke Kotaraja, agar harimau yang terikat itu dapat diselamatkan, dan
dapat hidup di dalam kandang di halaman istana Singasari.
Namun dalam pada itu, ketika matahari telah naik, serta
Ranggawuni dan adindanya Mahisa Campaka beserta Lembu Ampal
telah siap, terdengar derap beberapa ekor kuda.
"Tuanku." desis Lembu Ampal, "Hamba mendengar derap
beberapa ekor kuda."
Ranggawuni mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Aku juga
mendengar." "Agaknya itu adalah kuda-kuda yang jejaknya kita lihat kemarin "
desis Empu Sanggadaru. Semuanya justru kemudian terdiam. Derap kuda itu agaknya
semakin lama menjadi semakin dekat.
"Jangan sebut aku Maharaja Singasari jika yang datang orang
yang tidak kita kenal." desis Ranggawuni.
Semua Orang memandang kepadanya. Namun kemudian
merekapun mengangguk-angguk kecil.
1676 Sejenak kemudian muncullah tiga orang berkuda mendekati
beberapa orang yang duduk di rerumputan menunggui dua ekor
harimau. Yang seekor telah menjadi bangkai, sedang yang seekor
masih hidup, tetapi terikat erat-erat dengan janget yang rangkap.
Ketika penunggang kuda itu melihat beberapa orang pemburu
yang telah berhasil mendapatkan dua ekor harimau, maka kudakuda
merekapun tiba-tiba saja menjadi lambat dan berhenti.
"He, siapakah kalian." tiba-tiba seorang yang masih muda di atas
punggung kuda yang paling depan itupun bertanya.
Sejenak orang-orang yang berada di lapangan rumput sempit itu
termangu-mangu. Baru kemudian Empu Sanggadaru menjawab,
"Kami adalah pemburu yang memang sering melakukan pemburuan
di hutan ini. Agaknya Ki Sanak orang-orang baru di s ini."
Ketiga orang itu berpandangan sejenak. Namun kemudian yang
paling depan dari mereka menyahut, "Ya. Kami orang orang baru
pertama kali berburu di daerah ini. Tetapi kami memang pemburu
yang menjelajahi hutan-hutan lebat bukan saja di sekitar Kotaraja."
"Siapakah kalian Ki Sanak?" bertanya Empu Sanggada.
Anak muda yang berada di tengah sudah membuka mulutnya
untuk menjawab. Tetapi yang dipaling depan cepat mendahului.
"Apakah kepentinganmu mengetahui tentang kami" Kami adalah
pengembara yang berburu di segala tempat dan medan. Namaku
tidak berarti apa-apa bagimu, karena aku yakin kau belum pernah
mendengarnya, seperti aku juga belum pernah mendengar
namamu, meskipun sikap dan terutama pakaianmu telah
meyakinkan aku, bahwa kau memang seorang pemburu."
"Aku tidak pernah menyembunyikan sesuatu tentang diriku Ki
Sanak, Aku adalah Empu Sanggadaru. Seorang yang tinggal di
padepokan yang tidak jauh dari hutan ini. Kerjaku sehari-hari
memang berburu sehingga aku harus membuat perlengkapan
berburu yang memadai."
1677 "Tetapi kenapa tidak semua orang-orangmu memakai pakaian,
buru seperti yang kau pakai?"
"Yang terpenting dari kesulitannya adalah terlalu sedikit belulang
yang bagus untuk dijadikan pakaian seperti yang aku pakai
sekarang. Alasan yang lain, mereka tidak tahan, karena memakai
Arca Ikan Biru 1 Wiro Sableng 039 Kelelawar Hantu Pendekar Pengejar Nyawa 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama