Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung Bagian 4
Perbuatan kotor dan hina dina di masa lalu yang dia lakukan dikorek dan dibeber dihadapan umum, bukan saja dia tidak merasa sedih dan marah, malah bersikap senang dan bangga. Jikalau manusia ini sudah terlalu bejat, masakah dia bertebal muka dan tidak tahu malu"
Coh Liu-hiang menghela nafas, ujarnya, "Biasanya Lamkiong Ling mengutamakan welas asih dan bajik serta bijaksana, namun apa yang dia lakukan untuk hal ini kukira kurang bijaksana dan kurang cermat!"
Belum lagi Pek-giok-mo buka suara, murid-murid Kaypang tujuh kantong itu sudah sama membentak bengis. "Putusan dan anugerah Pangcu kita, siapa yang berani sembarangan mengeritiknya dalam dunia ini?"
"Orang lain tidak berani, mungkin hanya aku yang berani."
"Kau terhitung barang apa?" damprat murid Kaypang yang lain.
Dimana-mana kenapa ada orang bertanya aku ini barang apa" Jelas, aku bukan barang, aku ini manusia, kukira tiada bedanya dengan kalian. Malah kalau dipandang mata mungkin rada tampan dan gagah, masakah hanya sedikit perbedaan ini kalian tidak tahu?"
Pek-giok-mo menyeringai dingin, jengeknya, "Kalau begitu aku ingin tahu siapakah orang ini, berani bicara begini congkak dihadapanku, memangnya sudah bosan hidup?"
Coh Liu-hiang bersikap kalem, ia anggap kata-kata orang sebagai kentut belaka, ujarnya tersenyum, "Siapa bilang aku bosan hidup" Justru aku sedang hidup senang dan bergairah, arak baik dalam dunia ini cukup kuminum seumur hidup, apalagi ada seorang teman seperti Lamkiong Ling yang sering mengundang aku makan minum."
Berubah murid-murid Kaypang kantong tujuh, tanyanya, "Kau kenal dengan Lamkiong Pangcu kita?"
"Walau aku ingin berkata tidak kenal, apa boleh buat, selama hidup ini aku paling pantang membual."
Mata sipit segitiga Pek-giok-mo kembali mengamat-amatinya dari atas ke bawah, seakan-akan ingin tahu apakah orang sedang mengagulkan diri belaka, sebaliknya seorang murid kantong tujuh menyelutuk dingin, "Bukan mustahil dia sedang mengulur waktu menunggu bantuan sehingga bocah keparat itu berkesempatan lari."
"Mampukah bocah keparat itu lolos, sebelumnya aku sudah pendam seorang pembunuh yang akan menggorok lehernya, jangan harap seorangpun dalam ruangan ini bisa hidup!" demikian Pek-giok-mo menyeringai seram.
Coh Liu-hiang tersenyum, ujarnya, "Kalau Lamkiong Ling melihat sikap bicaramu sekasar ini terhadapku, mungkin dia bisa marah-marah."
Pek-giok-mo terloroh-loroh. "Kalau demikian, biarlah aku membuatnya marah sekalian."
Kembali mulutnya mengeluarkan suitan bambu, dua puluh ular-ular itu kembali angkat kepala pentang mulut dan menjulurkan lidahnya serempak mereka menerjang ke arah Coh Liu-hiang.
Coh Liu-hiang tertawa besar, serunya, "Walau biasanya aku tidak suka membunuh orang, tapi membunuh ular-ular jahat seperti ini selamanya aku tidak pakai pantangan," di tengah gelak ketawanya, ular-ular itu sudah melesat terbang menerjang ke arah dirinya. It-tiam-ang yang berada di atas belandar memang ingin menonton permainannya, namun melihat kehebatan ular-ular itu, mau tidak mau ia merasa kuatir juga.
Baru sekarang Coh Liu-hiang turun tangan, cepat sekali kedua tangannya bekerja, sekali raih ia pencet tujuh dim bawah kepala ular, terus dibanting ke lantai, ular itu tak bisa bergerak lagi.
Begitulah seperti orang sedang bermain sulapan layaknya, kalau tangan kiri memencet tangan kanan melempar, begitulah kanan kiri berganti memencet dan melempar setiap pencet tujuh dim di bawah leher dan begitu dilempar melayanglah si ular itu. Dalam sekejap saja dua puluhan ular-ular besar kecil yang galak-galak itu sudah dia lempar semua, tiada satupun yang ketinggalan hidup.
Betapa telak cengkeraman dan persis tenaga pencetannya, serta kecepatan gerak tangannya sungguh amat menakjubkan. Sampaipun It-tiam-ang yang biasanya mengagulkan kecepatan gerak pedangnya mau tidak mau merasa takjub dan melongo.
Mengawasi mayat-mayat ular itu, Coh Liu-hiang malah menghela nafas, gumamnya, "Musim semi sudah mendatang, saat paling tepat untuk menikmati sop ular. Sayang Song Thian-jit tak berada di sini, kalau tidak dia bisa masakan hidangan lezat bagi aku."
Otot di atas mata Pek-giok-mo merongkol keluar, sorot matanya hampir menyemburkan bara berapi. Maklumlah, kawanan ular itu merupakan piaraannya selama puluhan tahun yang sudah menghabiskan jerih payahnya untuk mencari di lembah pegunungan dan di rawa-rawa lalu diberi makan berbagai macam obat-obatan serta dilatihnya pula dengan susah payah. Setelah berhasil ia pikir hendak malang melintang di kalangan Kangouw mengandal binatang berbisanya ini, siapa tahu orang cukup menggerakkan tangan pergi datang, semua ular piaraannya kena dibunuh semuanya, malah hendak dibuat sop ular segala. Saking murka sesaat Pek-giok-mo menjublek di tempatnya, seluruh tulang-tulang badannya mendadak berbunyi gemertak, dengan gigi berkeriut ia tatap Coh Liu-hiang setapak demi setapak ia mendesak maju.
"E, eh, aneh. Kenapa dalam perutmu seperti ada orang mengocok dadu" Tapi kulihat tampangmu yang buas menyebalkan ini, dadu yang kau lempar tentulah berjumlah satu dua tiga."
Mulut Coh Liu-hiang mengejek, tawa namun iapun tahu bahwa kepandaian Pek-giok-mo tidak boleh dipandang ringan apalagi sekarang orang sudah menghimpun seluruh kekuatannya, sekali turun tangan tentu bukan kepalang dahsyatnya.
Dengan waspada matanya mengawasi tangan Pek-giok-mo, tampak tapak tangan Pek-giok-mo yang putih halus itu kini samar-samar seperti mengepulkan hawa hijau.
Tiba-tiba It-tiam-ang berseru memperingati, "Tapak tangannya beracun, hati-hatilah kau!"
"Jangan kau kuatir," sahut Coh Liu-hiang, "Rasanya takkan bisa membinasakan aku."
Pek-giok-mo menyeringai, desisnya, "Siapa bilang tak bisa membinasakan kau?"
Disaat perang tanding bakal berlangsung itulah, sekonyong-konyong seorang berseru mencegah, "Tahan!" di tengah bergeraknya bayangan orang di tengah sinar redup, satu orang melangkah cepat ke dalam ruangan, tampak orang beralis lancip tegak, berbadan kekar tegak dengan dada lapang, pakaiannya seperangkat jubah hijau, namun terdapat dua tiga tambalan juga.
Walau raut mukanya tampan dan mengulum senyum, tapi tanpa marah sudah menunjukkan wibawanya, di tengah alisnya lapat-lapat menunjukkan perbawa yang menciutkan nyali orang yang dihadapinya, sikapnya tenang dan mantap, tidak patut dimiliki orang yang baru berusia dirinya ini.
Melihat kedatangan orang ini, murid-murid Kay-pang itu segera menyurut mundur dan berdiri tegak menundukkan kepala tanpa berani bersuara pula, sampaipun Pek-giok-mo pun mundur ke samping, kedua tangan diluruskan mundur.
Belum pernah It-tiam-ong melihat orang ini, namun ia bisa meraba pasti dia itulah Liong-thau Pangcu Lamkiong Ling, pejabat Pangcu Kaypang yang baru.
Coh Liu-hiang tertawa lebar, serunya, "Kebetulan kau datang Lamkiong-heng, kalau barusan aku keburu menjadi santapan ular-ular jahat itu, kelak tentu kau kehilangan niatan untuk minum arak."
Lamkiong Ling merangkap tangan menjura, katanya, "Untung siautee masih keburu datang, kalau tidak ketiga muridku yang buta melek ini, mungkin malah menjadi sop manusia bikinan Coh heng sendiri."
"Kau sudah menjadi Pangcu, kenapa omonganmu menjadi tidak genah begitu?"
"Bicara dengan orang seperti kau Coh-heng, kalau pakai urusan sopan santun segala, memangnya kelak Coh-heng sudi menjadi teman baikku" Tapi bagaimanapun perbuatan kasar murid-murid Pang kita, sukalah kalian memaafkan."
Mendadak ia menarik muka keren lalu berputar menghadapi ketiga murid Kaypang berkantong tujuh itu, dampratnya bengis. "Usia kalian tidak kecil lagi, kenapa bekerja begini ceroboh, tidak tanya dulu siapa yang kau hadapi lantas berani turun tangan, memangnya kalian sudah lupa tata tertib Pang kita.
Lagaknya kata-kata ini tidak ditujukan kepada Pek-giok-mo, namun jelas dampratan ini menyangkut diri Pek-giok-mo pula. Pek-giok-mo tertawa-tawa, ujarnya, "Pangcu tak usah menuding Hweesio memakinya kepala gundul, mereka sih belum turun tangan, akulah yang sudah bertindak."
Lamkiong Ling membalik menghadapinya, katanya dengan nada keras, "Kalau begitu ingin Pucoh bertanya kepada Pek-susiok, kenapa tidak tanya lebih dulu lantas sembarangan turun tangan, memangnya Pek-susiok ingin keluar lagi dari Pang kita?"
Meski ia hargai Pek-giok-mo sebagai "Susiok" tapi pengemis galak dari Sohciu ini seketika mengkeret dan tertunduk karena ditatap begitu rupa, senyum tawanya sirna, katanya meringis,
"Kita sedang mengejar bocah keparat itu, melihat... mereka berada di sini, tentulah kami sangka merekalah yang menyembunyikan bocah keparat itu!"
"Sudahkah tanya kepada mereka berdua?" desak Lamkiong Ling.
"Tidak... belum!"
Lamkiong Ling gusar, dampratnya, "Kalau belum kau tanya, darimana kau tahu kalau mereka menyembunyikan orang" Orang itu jahat dan amat berbahaya, siapapun takkan memberi ampun kepadanya, memangnya kedua orang ini sudi melindunginya?"
Tertunduk dalam kepala Pek-giok-mo, tak berani bercuit lagi.
Lamkiong Ling tertawa dingin, katanya lebih lanjut, "Apalagi ada Tionggoan It-tiam-ang dan Maling Kampiun Coh Liu-hiang berada di sini, siapakah manusia di kolong langit ini yang kemari, pastilah harus sopan santun dan kenal adat, mengandal apa pula kalian berani bertingkah dan begitu pongah di sini?"
Memang tidak malu Lamkiong Ling seusia itu sudah menjabat Pangcu dari suatu perserikatan pengemis terbesar seluruh kolong langit, beberapa patah kata-katanya yang sederhana, bukan saja memaki dan menyalahkan terhadap murid-murid Kaypang sendiri, sekaligus ia perkenalkan asal-usul Coh Liu-hiang dan It-tiam-ang, walau dia mendamprat anak buahnya sendiri, namun sedikitpun tidak menurunkan derajat dan amor pihak Kaypang mereka.
Lebih penting lagi mulutnya ia menggambar pemuda baju hitam itu sebagai durjana jahat yang berdosa besar, maksudnya supaya Coh Liu-hiang dan It-tiam-ang tidak melindunginya lagi.
Sebaliknya Coh Liu-hiang diam-diam sedang heran. "Pemuda itu dari gurun pasir nan jauh mana mungkin baru saja memasuki Tionggoan lantas melakukan sesuatu terhadap murid-murid Kaypang, malah naga-naganya perbuatan itu tidak kepalang tanggung."
Setelah tahu orang yang mereka hadapi adalah Maling Kampiun Coh Liu-hiang yang terkenal di seluruh jagad ini, seketika murid-murid Kaypang itu melongo kesima.
Pek-giok-mo tertawa lebar menengadah, "Kiranya tuan ini adalah Coh Liu-hiang. Aku Pek-giok-mo hari ini kecundang di tangan maling kampiun, tidak perlu dibuat malu. Kini Pangcu sudah berada di sini, tidak perlu aku banyak ribut lagi... selamat bertemu lain kesempatan!" dengan penuh kebencian ia pelototi Coh Liu-hiang, lalu tinggal pergi tanpa menoleh lagi.
Pelan-pelan Lamkiong Ling menghela nafas, ujarnya, "Walau belakangan ini sepak terjang orang ini sudah berubah, namun jiwa dan wataknya masih sempit dan kasar. Tindak tanduknya masih berangasan, maka harap Coh-heng tidak berkecil hati."
"Kalau orang lain tidak menyalahkan aku saja sudah puas hatiku, masakah aku harus salahkan orang lain."
"Tak nyana Coh-heng dan Ang-heng berdua bisa berada disini, biasanya memang Siaute tak pernah menetap lama di kota ini, namun sering datang kemari bolehlah terhitung sebagai tuan rumah juga sebentar kuharap kalian suka iringi aku minum sepuasnya," selanjutnya ia tidak singgung pula soal si pemuda baju hitam tadi.
Sudah tentu Coh Liu-hiang pun kebenaran, malah katanya tertawa besar, "Setahun penuh kalian selalu minta sedekah sesuap nasi, apakah juga sering minta arak kepada orang" Baik, peduli dari mana arak kalian dapatkan, ada orang traktir aku makan minum, selamanya aku tidak buang kesempatan baik ini, maklumlah arak yang tak usah keluar duit, rasanya memang jauh berlainan sekali."
It-tiam-ang tetap bercokol di atas belandar tidak mau turun, sahutnya dingin, "Selamanya aku tidak pernah minum arak."
"Wah, hidangan lezat yang menimbulkan selera masakah disia-siakan, memangnya kau tidak merasa lapar?"
"Arak bikin tangan gemetar, hati lemah, untuk membunuh orang jadi kurang cepat."
Coh Liu-hiang menghela nafas, "Kalau lantaran untuk membunuh orang lantas pantang minum arak, boleh dikata seperti kuatir mencret-mencret lantas tak mau makan nasi, bukan saja pikiran brutal malah boleh dikata tidak kenal kasihan terhadap mulut dan perut sendiri. Ang-heng, kau..."
Mendadak dilihatnya dua murid Kaypang muncul dari pintu belakang, terus menjura kepada Lamkiong Ling, kata seorang di sebelah kiri, "Rumah belakang sudah kami periksa dengan para Tianglo, namun tak terlihat jejak orang jahat itu."
Berputar biji mata Lamkiong Ling, katanya sambil soja kepada Coh Liu-hiang, "Kalau demikian harap Coh-heng suka menyerahkan orang itu kepada kami."
Coh Liu-hiang berkedip-kedip, tanyanya, "Siapakah orang yang kau katakan?"
"Terus terang siaute sendiri belum jelas asal-usulnya, cuma gerak-geriknya enteng dan gesit ilmu silatnya tinggi, dua hari yang lalu di Tio-koan-tin pernah melukai puluhan murid-murid Pang kami, mencuri beberapa benda penting kami pula, tadi Song-hu-hoat lagi, maka Pang kami sekali-kali tidak akan melepaskannya demikian saja."
"O... ada orang demikian" Kejadian begitu?"
"Apa benar Coh-heng tidak tahu akan orang ini?" tanya Lamkiong Ling kereng.
"Seumpama aku mengincar sesuatu milik orang lain, takkan bekerja di atas kepala orang orang Kaypang kalian."
"Begitu lebih baik..." ujar Lamkiong Ling tersenyum, membarengi kata-katanya sekonyong-konyong dari lengan bajunya melesat terbang dua batang pedang pendek. Kedua batang pedang pendek Lamkiong Ling ini sekaligus bisa digunakan sebagai pencocoh jalan darah. Boan koan-pit atau Hun-cui-cok dan delapan macam senjata tajam lainnya, 'Jit gi pat-bak, Ki long cap-sha cek'
memang boleh dibilang sebagai kepandaian tunggal yang tiada bandingannya di Bulim, sampaipun kepandaian silat itu Jip eks Pangcu terdahulu yang sudah ajalpun agaknya setingkat lebih rendah.
Dua batang pedang pendeknya melesat sebagai kilat menyambar, langsung menerjang kerai jendela dari kain beludru sebelah bawahnya, It-tiam-ang duduk di atas memandang ke bawah, jelas sekali pandangannya, dilihatnya di bawah kain kerai yang menjuntai turun itu terlihat ujung sepatu kulit hitam yang menonjol keluar.
"Blus, crap!" kedua batang pedang pendek itu tembus masuk ke dalam sepatu panjang berat itu, seolah-olah memantek kedua sepatu itu di atas lantai, senyumnya lebar Lamkiong Ling masih terkulum pada ujung mulutnya, katanya pelan-pelan, "Sampai pada detik ini, tuan masih tidak mau keluar?"
Kain gorden itu tetap tak bergerak dan tak terdengar reaksi apa-apa. Sekaligus Lamkiong Ling melirik ke arah Coh Liu-hiang, dilihatnya sikap Coh Liu-hiang tenang-tenang saja seperti apapun tak diketahui olehnya, akhirnya Lamkiong Ling menjengek tawa dingin, "Baiklah!" sedikit ia ulapkan tangan, kedua murid Kaypang yang barusan masuk segera melolos golok di pinggangnya, menerjang ke depan dengan langkah lebar, golok terayun membacok bersama ke arah kerai jendela.
Walau sifat It-tiam-ang kaku dingin dan tak berperasaan, tak urung berdetak juga jantungnya, seumpama pemuda baju hitam itu tidak ayal, paling tidak kedua kakinya pasti cacat atau terkutung.
Dimana golok-golok itu menyambar kerai jendela itu melayang berjatuhan, namun tak terlihat darah muncrat. Jendelanya terbuka, angin menghembus masuk, sehingga kerai bagian atas yang masih tergantung terhembus bergoyang-goyang, namun tak terlihat bayangan anusia, ternyata kedua sepatu hitam panjang di belakang kerai itu kosong melompong tanpa diketahui kemana si pemakainya.
Coh Liu-hiang tertawa besar, katanya, "Kerai sebagus ini dibacok kutung menjadi dua, sepasang sepatu kulit kerbau semahal ini dilobangi dua tusukan pedang, Lamkiong heng tidak merasa sayang?"
Sedikit berubah air muka Lamkiong Ling, katanya dingin, "Kerai putus bisa dijahit kembali, sepatu bolong bisa ditambal. Kalau orangnya merat, murid-murid Kaypang kami pun bisa mengejarnya."
Murid berkantong delapan itu berobah mukanya, selanya, "Memangnya bangsat itu lari dengan berkaki telanjang?"
"Siapa yang tugas jaga di luar jendela?" tanya Lamkiong Ling dengan kereng.
"Para saudara dari Thiam-kon-bio dari Kilan," sahut murid kantong delapan itu.
"Bawa mereka dan serahkan kepada Kongsun Huhoat," bentak Lamkiong Ling. "Jatuhi hukuman sesuai peraturan rumah tangga.
"Baik!" sahut murid kantong delapan sambil menjura, sebat sekali badannya menerobos keluar melalui jendela, lalu terdengar suara hardikan di luar jendela.
Lamkiong Ling putar badan sambil unjuk tawa dipaksa kepada Coh Liu-hiang, katanya bersoja,
"Siaute masih ada urusan, hari ini biarlah kami berpisah dulu."
"Baru saja kau menimbulkan selera minumku, memangnya kenapa tergesa-gesa mau pergi?"
Coh Liu-hiang coba menahannya.
"Ketagihan arak Coh Liu-hiang, dalam kolong langit ini siapa yang bisa selalu melunasinya"
Dalam dua hari mendatang Siaute pasti mengundangmu. Harap Ang-heng inipun jangan menolak undanganku."
Dimana tangannya terangkat dan sedikit sendat, kedua pedang pendek itu mencelat naik terus terbang kembali ke tangannya, ternyata pada gagang kedua pedang terikat seutas rantai lembut yang terbuat dari platina.
Dengan terburu-buru Lamkiong Ling mengundurkan diri, maka terdengar pula suara ribut-ribut di luar jendela, suara suitan saling bersahutan pula semakin lama menjauh dan akhirnya tak terdengar pula.
Berkata Coh Liu-hiang prihatin, "Lamkiong Ling memang seorang berbakat dan seorang pemimpin yang lihay, di bawah kekuasaannya Kaypang ternyata sehari demi sehari semakin kuat dan kokoh... mungkin memang rada terlalu kuat."
Baru sekarang It-tiam-ang melompat turun, biji matanya jelalatan, katanya, "Menurut kau, apakah pemuda tadi benar sudah pergi?"
Coh Liu-hiang tertawa, "Memangnya jendela di sini hanya satu?"
Terdengar seorang berkata dingin, "Cuma sayang Lamkiong Ling itu tidak berpandangan setajam Coh Liu-hiang," sembari bicara tahu-tahu pemuda baju hitam tadi sudah nongol keluar dari daun jendela yang lain, kaos kakinya yang putih bersih kelihatan berlepotan debu.
Baru sekarang It-tiam-ang sadar bahwa sepatu kulitnya memang ditonjolkan keluar sedikit, orang membuka sepatu dan lolos keluar jendela, lalu dari bawah emperan merayap ke jendela yang lain serta menyembunyikan diri di belakang kain gorden jendela yang lain. Semuda ini usia pemuda itu, namun kecerdikannya luar biasa, dapat dia gunakan titik lemah dari watak manusia untuk mengambil keuntungan, tepat sekali perhitungannya bahwa Lamkiong Ling pasti menyangka dirinya sudah melarikan diri, maka dia segan memeriksa tempat yang lain.
Tampak si pemuda baju hitam menghampiri ke depan Coh Liu-hiang, sesaat lamanya ia melotot kepadanya, mendadak berkata keras, "Lamkiong Ling adalah teman baikmu, aku sebaliknya belum pernah kenal atau bertemu dengan kau, kau tidak bantu dia malah membantu aku, sebenarnya apa maksudmu?"
Rasa curiga si pemuda ternyata sedemikian tebal, orang lain membantunya, bukan saja tidak terunjuk rasa terima kasihnya, malah dia curiga orang ada gejala-gejala yang tidak menguntungkan dirinya.
"Aku bantu kau dan tidak bantu dia seorang pengemis, rudin sekali, sebaliknya kau ini punya uang, maka perlu aku menjilat pantatmu."
Sesaat lamanya si pemuda masih melotot kepada Coh Liu-hiang, akhirnya ujung mulutnya mengulum senyum, namun ia tahan sehingga dirinya tidak tertawa, katanya tetap dingin,
"Meskipun kau sudah bantu aku, sekali-kali aku tak sudi menerima budi kebaikanmu ini."
Coh Liu-hiang juga menahan tawa, ujarnya, "Siapa yang bantu kau" Apa perlu orang lain membantu kau, apalagi orang-orang seperti murid-murid Kaypang itu masakah terpandang dalam matamu?"
"Kau kira aku takut kepada mereka?" damprat si pemuda gusar.
"Sudah tentu kau tidak takut, kalau kau sembunyi di belakang jendela, tak lebih hanya ingin mempermainkan mereka saja."
Saking marah merah padam muka si pemuda, kakinya melangkah mendekat seraya membentak bengis, "Jangan kau kira lantaran sudah bantu aku, lantas boleh sembarangan mengejek dan permainkan aku, aku..." belum habis kata-katanya, tiba-tiba ia mencelat setinggi-tingginya. Kiranya tanpa sadar kakinya yang telanjang itu menginjak bangkai ular, saking kaget dan jijik ia mencelat naik ke atas meja, hampir saja menubruk pangkuan Coh Liu-hiang.
Coh Liu-hiang tertawa besar, katanya, "Kita ini orang gagah yang tidak takut langit dan bumi, kiranya hanya takut kepada ular," baru sekarang pula ia sadari sikap gugup dan ketakutan si pemuda yang berlari kembali tadi lantaran takut dikejar ular, jadi bukan karena takut menghadapi kepandaian murid-murid Kaypang, pemuda kaku dingin ini takut ular, sungguh membuat orang sukar percaya.
Merah muka si pemuda, katanya dengan nafas memburu, "Bukan aku takut, aku hanya jijik...
sesuatu yang lunak dan licin berbau lagi, aku amat membencinya, memangnya kau kira hal ini menggelikan?"
"Tidak, tidak menggelikan!" ujar Coh Liu-hiang mengerutkan muka. "Kalau setiap perempuan takut ular, kenapa laki-laki tidak boleh takut" Kenapa laki-laki harus sedikit tidak takut terhadap barang-barang seperti itu?"
Mendengar kata-katanya ini, sorot mata It-tiam-ang yang dingin kaku itu mengunjuk rasa geli yang tertahan, sebaliknya selebar muka si pemuda merah jengah.
Pada saat itulah terdengar seseorang menjengek dingin, "Maling kampiun yang terkenal di seluruh dunia, ternyata bukan saja pandai berkelakar, diapun pintar membual."
Entah kapan seseorang berdiri menggelendot di depan pintu, dia bukan lain Pek-giok-mo adanya, tangannya menjinjing kantong kain abu-abu, entah apa yang terisi di dalamnya" Keruan berubahlah air muka si pemuda baju hitam, lahirnya Coh Liu-hiang bersikap tenang namun jantungnya berdebar keras, katanya tawar, "Adakah tadi kekuatan dia tak berada di sini?"
"Pangcu kami sudah memperhitungkan pasti dia masih berada di sini." Pek-giok-mo menyeringai dingin, "Cuma memberi muka kepada kau si Maling romantis ini, maka sementara dia menyingkir pergi, kini setelah dia undurkan diri, kau..."
Pemuda baju hitam tiba-tiba berkata lantang, "Tidak usah kalian pandang mukanya, aku tiada sangkut-paut dengan dia."
"Kalau demikian, kau mau keluar sendiri, atau tunggu kami yang meluruk masuk?"
Tanpa menunggu orang bicara habis, pemuda baju hitam sudah melompat terbang keluar jendela, disusul terdengar suara bentakan dan keluhan, lalu terdengar pula derap langkah ramai saling kejar dan tak terdengar pula, "Kalian punya pangcu seperti Lamkiong Ling, benar-benar mendapat rejeki setinggi gunung, pemuda itu berbuat salah terhadap Lamkiong Ling, memang sebal dan setimpal memperoleh ganjarannya!"
"Yang berbuat salah terhadap aku Pek-giok-mo ini, belum tentu dia bernasib baik." Mendadak Pek-giok-mo keluarkan senjata warna hitam legam dengan bentuk yang aneh dari dalam kantongnya, bentaknya, "Jembatan jangan disamakan jalan, meski kau kenal baik Lamkiong Ling, Pek-giok-mo sebaliknya tidak kenal siapa kau, kau berbuat salah terhadapku, terhitung hari kematianmu sudah tiba hari ini."
"Kenapa banyak orang ini aku mati, kalau aku mati apa sih manfaatnya bagi kalian?" kata Coh Liu-hiang angkat pundak.
"Banyak sekali manfaatnya!" Pek-giok-mo menyeringai sadis, tiba-tiba gaman aneh di tangannya teracung ke depan. It-tiam-ang mandah berpeluk tangan menonton saja dilihatnya senjata itu mirip ganco atau gantolan, seperti cakar bagian gagangnya diberi gelangan untuk melindungi jari-jari tangan sendiri dengan batangan berwarna hitam seperti Long-gan Pang penuh ditumbuhi duri-duri bengkok ke belakang sementara ujung paling depan adalah cakar-cakar setan yang dapat dikembang dan ditarik masuk, jari-jari cakarnya hitam mengkilap, terang sudah dilumuri racun jahat.
Selama It-tiam-ang malang melintang di Kangouw, sudah ratusan kali gebrak dengan berbagai musuh, namun belum pernah dilihatnya senjata seaneh ini, diapun tak mengerti apa manfaat atau kegunaan daripada senjata aneh macam ini.
Bagi setiap tokoh silat adalah jamak setiap kali macam senjata aneh yang baru seperti pula anak kecil melihat barang mainan baru ketarik dan merasa aneh pula. Demikian pula It-tiam-ang tidak ketinggalan mempunyai asa yang sama, diapun ingin melihat bahwasanya gumam seaneh ini punya permainan jurus-jurus yang aneh pula, ingin pula dia melihat cara bagaimana Coh Liu-hiang memunahkan kepandaian lawan.
Terdengar Coh Liu-hiang berkata, "Alat mainan untuk menangkap ularmu ini, juga hendak kau gunakan untuk menghadapi manusia?"
Pek-giok-mo terloroh-loroh serunya, "Jit hun-ji-jianko ini, bukan saja bisa menangkap ular, juga bisa mencengkeram sukmamu, biar hari ini kau jajal-jajal." Dalam berkata-kata ini beruntun ia sudah lancarkan tujuh delapan jurus serangan, memang jurus permainannya aneh dan lucu, lihat lagi, tiba menutul enteng mendadak menyerampang keras, adakalanya dimainkan lincah mengandung perubahan yang aneh-aneh, tapi mendadak menyerang dengan kekuatan besar untuk merobohkan musuh.
Pengemis buas dari Kosoh ini ternyata memang sudah tekun berlatih menggembleng ilmu permainan senjatanya yang luar biasa ini, tipu-tipu serangan yang lemas dan keras saling berganti dengan leluasa dan cepat ini, sungguh sukar dihadapi oleh siapapun. Tapi kalau dia sendiri belum bisa mengendalikan kekuatan dan permainannya sendiri, betapapun ia takkan mampu melancarkan tipu-tipu yang luar biasa seperti itu.
Gerak badan Coh Liu-hiang berubah dan berubah lagi, agaknya memang ingin melihat sampai dimana dan betapa pun hebat dan gerak perubahan serangan Jit gi jian lawan, dalam waktu dekat ia mandah berkelit saja tanpa balas menyerang.
Maklumlah hobbynya memang bermain silat, hobbynya ini boleh dikata jauh melebihi orang lain, melihat bentuk suatu senjata aneh, rasa ketariknya puluhan lipat melebihi It-tiam-ang. Di seluruh kolong langit ini, entah berapa banyak senjata aneh yang pernah dilihatnya, bukan saja pernah melihat diapun sudah bisa mematahkan cara-cara serangan lawan, kini mendadak ia kebentur Ji-gi-jian yang lain dari yang lain pula, sudah tentu ia tidak mau melepas kesempatan untuk menjajalnya, sebelum dia paham menyeluruh dari permainan Ji-gi-jian serta tipu-tipu perubahannya, boleh dikata dia segan turun tangan serta menghentikan serangan Pek-giok-mo.
Tapi karena keisengannya ini, beberapa kali ia menghadapi serangan-serangan berbahaya musuh yang hampir saja menamatkan jiwanya, namun ada kalanya sengaja ia tunjuk titik kelemahan diri sendiri memancing serangan lawan memperlihatkan jurus-jurus tunggalnya.
Cakar-cakar berbisa yang mengkilap itu, beberapa kali sudah menyerempet kain pakaiannya, sampaipun It-tiam-ang ikut kaget dan mengucurkan keringat dingin.
Karena dapat mendesak lawan dan berada di atas angin, lebih gairah semangat Pek-giok-mo, tipu demi tipu mematikan dari jurus-jurus tunggal ilmu Ji-gi-jiannya dia kembangkan tak habis-habis, Coh Liu-hiang didesak dan dirabanya sampai berulang-ulang.
Mendadak Coh Liu-hiang malah bergelak tertawa, "Kiranya permainan ilmu Ji-gi-jian mu ini paling hanya begini saja, untuk menangkap ular memang sedapat mungkin bisa kau gunakan, hendak menangkap orang masih jauh sekali!"
Pek-giok-mo membentak, "Jurus permainan Ji-gi-jian ku ini selama hidupmu jangan harap kau bisa melihatnya dengan sempurna." Pengemis buas yang licik dan licin ini, agaknya dapat meraba maksud tujuan Coh Liu-hiang. Dia tahu sebelum Coh Liu-hiang melihat keseluruhan jurus-jurus tipu permainan Ji-gi-jiannya ini takkan turun tangan balas menyerang. Kata-katanya ini memang hendak menyudutkan Coh Liu-hiang, kalau Coh Liu-hiang tidak balas menyerang, maka dengan lebih leluasa ia bisa lancarkan tipu-tipu keji ilmu Ji-gi-jiannya, apalagi Ji-gi-jian yang dia yakinkan ini masih mempunyai tipu-tipu keji yang dahsyat dan lihay masih belum sempat dia kembangkan, tujuannya adalah hendak menyudutkan Coh Liu hiang pada posisi yang kepepet dan tak mungkin bisa berbuat banyak, barulah saat itu sekali serang dia bikin Coh Liu hiang mampus oleh cengkraman cakar senjatanya yang beracun.
Jelas Coh Liu hiang tahu akan hal ini namun dia justru membakar hati orang dan memancingnya: "Sejak tadi kau sudah kehabisan akal dan hampir putus asa, aku tak percaya kau ini punya kemampuan lain apa lagi", sembari bicara kakinya menyurut mundur kesudut yang mematikan kepojok ruangan. Memang nyalinya teramat besar, tanpa ragu-ragu ia gunakan jiwanya sendiri sebagai pertaruhan hanya untuk melihat gerak perubahan dari ilmu Ji gi-jian keseluruhannya serta variasi perubahannya.
Sungguh pertaruhannya teramat besar It-tiam ang tidak habis pikir bahwa dalam dunia ini ada orang mempermainkan pertaruhan jiwa sebagai permainan bercanda belaka, ia tak tahu membedakan apakah ini perbuatan bodoh atau pintar"
Mancing ikan, memang permainan orang-orang pintar, tapi kalau diri sendiri dijadikan umpan untuk mengail ikan bolehlah diartikan terbalik bahwa ikanlah yang berbalik memancing dirinya.
Coh liu hiang sedang tunggu kesempatan supaya Pek-giok mo terpancing, demikian pula Pek-giok mo sedang menunggu Coh Liu hiang terkait begitu pula Coh Liu hiang sendiri mundur ke sudut yang mematikan, tiba-tiba Pek-giok mo menyeringai tawa, serunya: "Jurus-jurus hebat mematikan Lohu akan kau lihat setelah kau sudah ajal."
Dalam sekejap saja dia sudah menyerang lagi tujuh jurus, satu persatu bisa dihindari oleh Coh Liu hiang dengan mudah tampak Ji gi jian musuh mendadak meluncur lempang dari tengah, menyerang kemukanya. Coh Liu hiang mengkeretkan badan mundur satu kaki, dia sudah perhitungkan tepat posisi kedatangan Ji gi jiau jelas takan bisa mencapai dirinya, serunya tertawa besar: "Kalau kau tidak...", baru sampai disini kata-katanya, tiba-tiba didengarnya "Sret" cakar setan yang hitam legam terkembang itu tiba-tiba melenting copot dari badannya terus mencengkeram ke dadanya. Ternyata pada batang Ji-gi-jian ini di dalamnya ada dipasang pegas yang mempunyai daya pental yang amat keras, cukup asal Pek goik mo menekan tombol di gagang yang dipegangnya, jari-jari cakar setan itu lantas mencelat keluar mencengkeram ke arah sasarannya.
Jari-jari cakar setan ini disambung oleh seutas rantai lembut empat kaki panjangnya, maka Ji gi jian yang semula hanya panjang tiga kaki enam dim, mendadak berobah sepanjang tujuh kaki enam dim, jarak yang semula tak bisa dicapai kini dengan mudah dicapainya.
Kini Coh Liu hiang sudah tidak mungkin bisa mundur lagi, ia insyaf asal kulit badannya sedikit tergores atau lecet oleh jari-jari cakar setan lawan, maka jiwanya takkan hidup lebih dari satu jam.
Sebagai tokoh kosen yang berkepandaian silat tinggi, dengan seksama It-tiam-ang menonton pertempuran ini, sudah tentu ia jauh lebih terang dari orang yang sedang bertempur sendiri, begitu dia melihat serangan Pek giok mo terakhir ini, serta merta, ia menghela napas. Posisi Coh Liu hiang terang sudah kepepet dan tidak mungkin mundur pula, untuk berkelit lagipun tiada peluang pula. Kalau jari-jari cakar setan ini tidak dilumuri racun, mungkin dengan gerakan Hon-kong-coh-ing (menyibak cahaya menagkap bayangan) dia bisa menangkap cakar setan lawan, tapi jari-jari cakar setan ini amat beracun, boleh dikata disentuhpun cukup membahayakan jiwa orang.
Mau tidak mau Coh Liu hiang menjadi kaget pula, namun meski hati mencelos ia tidak menjadi gugup karenanya, disaat-saat menghadapi bahaya antara mati dan hidup, toh terpikir juga oleh otaknya yang cerdik cara untuk mematahkan serangan mematikan ini.
Tampak pundaknya sedikit bergerak, tahu-tahu tangannya sudah mencekal sesuatu, kebetulan cakar setan sudah menyelonong tiba di depan dadanya, secara reflek langsung ia angsurkan benda dalam cekalannya masuk ke tengah jari-jari cakar setan itu.
"Trap." jari-jari cakar setan segera mengatup kencang dan ditarik mundur pula, benda yang tercengkeram di dalam jari-jari cakarnya yang hitam legam itu dibantingpun takkan terlepas, setelah ditegasi kiranya hanyalah segulung gambar lukisan.
Maklumlah, sesuai dengan julukan Maling Kampiun, betapa cepat gerakan tangan Coh Liu-hiang tiada bandingannya di seluruh kolong langit, kalau dia ingin sesuatu dari kantong dalam baju orang segampang dia membalikkan tapak tangannya sendiri, apalagi merogoh keluar barang miliknya sendiri. Oleh karena itu maka dalam saat yang kritis di saat jiwanya terancam elmaut itulah ia merogoh keluar gulungan gambar itu serta disesapkan ke tengah jari-jari cakar setan.
Betapa cepat daya luncuran cengkeraman cakar setan itu, kalau orang lain yang menghadapi, belum lagi gulungan gambar dirogoh keluar mungkin dadanya sudah berlobang besar dan jantungnya tersedot keluar.
Meskipun gulungan gambar itu amat penting artinya, namun menghadapi saat saat penentuan mati hidup jiwanya sendiri, betapapun tingginya nilai sesuatu benda miliknya, bolehlah dibuang atau dikorbankan untuk menebus jiwanya.
Mimpipun Pek-giok-mo tidak pernah terpikir akan akal licik lawan, sekali serangannya luput seketika berubah air mukanya, sebat sekali ia sudah mundur tujuh kaki, agaknya jeri bila Coh Liu-hiang merangsek dan mencecar dirinya malah. Siapa tahu Coh Liu-hiang sedikitpun tak bergeming dari tempatnya berdiri, cuma katanya tersenyum lebar: "Walau kau ingin mencabut nyawaku, aku sebaliknya tidak ingin menamatkan jiwamu, kini kemampuan aslimu sudah kau tunjukkan, lebih baik kau serahkan saja barang yang tercengkeram dalam cakar setanmu itu, lalu lekaslah enyah dari sini!"
Memang Pek-giok-mo tidak tahu barang apa yang tercengkeram di dalam cakar setannya, tapi sesuatu benda yang tersimpan dan dikeluarkan dari kantong badannya tentulah sesuatu yang bernilai tinggi. Maka kata-kata Coh Liu-hiang menggerakkan hatinya, katanya dingin: "Maksudmu supaya aku mengembalikan gulungan kertasmu ini?"
Bersambung ke Jilid 7
Jilid 7 Coh Liu Hiang tertawa, oloknya, "Cakar setan yang peranti mencabut nyawa orang, kini hanya berhasil merenggut segulung kertas, memangnya kau tidak merasa malu ?"
Pek-giok-mo tertawa besar, ujarnya, "Kalau toh tanya segulung kertas bobrok, kenapa kau harus minta supaya aku mengembalikan kepada kau ?"
Mau tidak mau gugup juga hati Coh Liu-hiang, batinnya : "Keparat ini memang licik dan banyak akalnya," dimulut ia menyahut tawar, "Kalau kau ingin memilikinya, boleh kuberikan kepada kau untuk membesut air matamu, atau bolehkah untuk menyeka ingusmu saja."
Pek-giok-mo menyeringai tawa dingin, katanya: "Yang harus mengalirkan air mata sekarang mungkin malah kau sendiri." lalu ia mundur lagi beberapa langkah, pelan-pelan ia keluarkan gulungan gambar itu lalu dibentang setengah halaman, hanya sekilas pandang saja rona mukanya tiba-tiba mengunjuk perasaan yang aneh dan lucu, tiba-tiba pula ia bergelak tertawa.
Melihat aneh mimik tawa orang, bertanya Coh Liu-hiang heran: "Apa yang kau tertawakan?"
"Untuk apa kau menyimpan gambar lukisan bini Jin Jip di dalam kantongmu" Kulihat usiamu masih muda, memangnya kau sedang terserang penyakit rindu sepihak kepada bini Jin lothau?"
Sungguh girang dan kaget bukan kepalang hati Coh Liu-hiang mendengar kata-kata Pek-giok-mo setelah orang melihat gambar lukisan itu, jawaban teka-teki selama ini yang dicarinya ubek-ubekan tidak ketemu, dan kiranya sekarang didengarnya dengan tanpa mengeluarkan banyak tenaga. Saking kegirangan, tanpa sadar ia berteriak: "Jadi Chiu Ling-siok ternyata menikah dengan Kaypang Pangcu yang terdahulu, memangnya kedudukannya mulia dan diagung-agungkan, namanya jauh lebih suci dan terpandang, jauh lebih tinggi dibanding Sebun-jian dan lain-lain."
Melihat mimik muka serta tingkah lakunya, Pek-giok-mopun kelihatan heran dan tak mengerti, katanya: "Chiu Ling-siok".... siapa Chiu Ling-siok itu?"
"Bukankah kau tadi berkata bahwa dia istri Jin Jip Jio-lo pangcu dari Kaypang?"
"Istri Jin Jip itu she Yap, bernama Yap Siok-tin...."
Coh Liu-hiang melengak kaget pula, teriaknya: "Lalu lukisan gambar itu..."
"Yang dilukis di atas gambar ini adalah Yap Siok-tin, kau sendiri sudah menyimpan gambar lukisannya, memangnya belum tahu nama aslinya?"
Baru sekarang Coh Liu-hiang dibikin paham: "Tak heran tiada orang Kang-ouw yang tahu di mana jejak Chiu Ling-siok, ternyata dia sudah mengubah nama dan menikah dengan Kaypang pangcu, ai, betapa buruk dan tercela nama perempuan siluman ini dulu, kalau ingin menikah dengan tokoh kosen yang kenamaan di kalangan Kangouw, sudah tentu harus merubah she ganti nama, untuk hal ini seharusnya sejak mula sudah harus kupikirkan.
Tiba-tiba Pek-giok-mo berubah beringas, serunya bengis: "Jikalau kau maki Jin-lothau kau maki delapan belas keturunannyapun tak menjadi soal, tapi istrinya adalah seorang perempuan suci welas asih dan luhur budi serta bijaksana, sampaipun aku Pek-giok-mo harus tunduk dan kagum kepadanya, jikalau kau berani omong dengan perkataan kotor mengenai dirinya pula, murid-murid Kaypang sebanyak laksaan anggota pasti tak seorangpun yang sudi mengampuni jiwamu.
Coh Liu-hiang maklum, setelah Chiu Ling-siok menikah dengan orang tentu dia sudah cuci tangan membina diri, kembali menjadi manusia baik-baik, biasanya memang dia sendiri amat simpatik dan mengagumi orang seperti ini, sudah tentu diapun takkan membeber sepak terjangnya dulu yang memalukan, sorot matanya berputar, tiba-tiba ia berkata: "Entah di mana sekarang Ji-hujin berada?"
"Kulihat kau begitu kepincut sampai lupa daratan, memangnya kau sudah berkeputusan rela menikah dengan seorang janda" Tapi ketahuilah dia adalah seorang suci yang patuh akan adat istiadat, kau ini kodok buruk jangan harap bisa merasakan daging burung bangau"
Kembali berputar biji mata Coh Liu-hiang, katanya kalem: "Jin-jip mengusirmu dari perguruan Kaypang sehingga kau harus sembunyi ke barat mengempet ke timur, selama puluhan tahun belum pernah kau mengecap hidup kesenangan pula, memangnya kau tidak membencinya malah?"
"Dia orang sudah mampus, kalau membencinya memangnya bisa berbuat apa?" dengus Pek Giok-mo dengan penuh kebencian.
"Walau dia sudah mati, namun istrinya toh masih hidup?"
Dengan keki Pek-giok-mo pelototi Coh Liu-hiang, jari-jari tangannya mencabuti jenggot di bawah dagunya yang sudah hampir habis dicabuti olehnya sendiri, sorot matanya yang semula galak dan bengis lambat laun menunjuk senyuman tawa lebar, katanya pelan-pelan: "Walau kata-katamu ini keterlaluan, tapi justru mencocoki seleraku"
Coh Liu-hiang tersenyum, ujarnya: "Terhadap siapa bicara apa, pengertian ini cukup kupahami!"
Pek-giok-mo terkial-kial, serunya: "Tak heran orang lain suka bilang Coh Liu-hiang adalah bajul buntung yang jahat dan paling mungil, sampaipun aku kini lambat laun sudah mulai ketarik dan menyukai kau"
"Lalu di manakah istrinya sekarang berada?" desak Coh Liu-hiang lebih lanjut.
"Sayang, aku sendiripun tidak tahu"
Sebentar saja Coh Liu-hiang melenggong, lalu ia bersoja dan berkata: "Selamat bertemu lain kesempatan!" lalu ia berjalan keluar tinggal pergi.
Seru Pek-giok-mo keras: "Meski aku tidak tahu, namun ada orang lain yang tahu"
Seketika Coh Liu-hiang menghentikan langkahnya dan bertanya sambil membalik badan:
"Siapa?"
"Memangnya kau tidak bisa memikirkannya?"
"Mungkin Lamkiong Ling sebetulnya bisa memberitahu kepadaku, tapi sekarang belum tentu"
"Orang lain punya sebutir mutiara, kau hendak memintanya dengan mulut kosong, sudah tentu dia tidak sudi memberikan kepada kau, tapi kalau kau suka menukarnya dengan benda lain yang lebih mahal dari mutiara, masakan dia tidak sudi memberikan kepada kau?"
Coh Liu-hiang diam sebentar, tanyanya: "Dengan apa aku harus menukarnya?"
"Asal usul pemuda baju hitam itulah."
Coh Liu-Hiang mengikuti jejak Pek-giok-mo, sementara It-tiam-ang menguntit dibelakang Coh Liu-hiang, seolah-olah mereka pandang wuwungan rumah penduduk sebagai jalan raya yang lebar dan rata,mereka berlompatan terbang diatas rumah orang."
Waktu itu lama sudah larut, di seluruh pelosok kota sudah tak terlihat lagi adanya sinar api yang menyorot keluar dari dalam rumah.
Sembari jalan, berkata Pek-goik-mo dengan suara rendah berat: "Dengan kau Coh-liu-hiang kau sendiri yang mengikuti jejakku lho,bukan aku yang membawamu kemari.
"Aku tahu akan maksudmu" sahut Coh Liu hiang.
"Baiklah kalau kau tahu."
"It-tiam-amg" ganti Coh Liu-hiang berseru ke belakang. "Kau dengar, kau sendiri yang ikut di belakangku, bukan aku membawa kemari lho," tapi tiada jawaban di belakang.
Waktu Coh liu-hiang berpaling, entah kapan bayangan It-tiam-ang sudah pergi tanpa meninggalkan bekas. Tak tahan Coh Liu-hiang mengelus-ngelus hidungnya gumamnya tertawa getir: "Kalau kau tidak suka dia datang, dia malah tinggal pergi, siapa bila bersahabat dengan orang macam demikian, tentulah kepalanya sendiri dibikin pusing."
Terdengar Pek-giok-mo berkata: "Rumah di depan yang terlihat sinar lampu menyorot keluar itu, itulah Hiang-tong (Markas-cabang) penting dari Kaypang, sekarang aku mau pergi jangan kau mengikuti jejakku, kalau kau sendiri yang menemukan tempat itu, tiada sangkut pautnya dengan diriku."
"Bahwasannya aku tidak melihat dirimu kemana kau hendak pergi akupun tidak tahu !"
"Bagus" sekali mendekam terus menerjang turun, dari tempat gelap sana segera terdengar seseorang membentak dengan kereng: "Naik ke langit masuk ke bumi !"
"Si pengemis tidak mau datang." Pek-giok-mo segera menyambung. Disusul suara berbisik-bisik sekian lama, lalu terdengar pertanyaan pula : "Di mana bocah itu?"
"Ruang pendopo."
"Akhirnya pangcu berhasil membekuk dia?"
"Agaknya dia sendiri yang kemari, malah duduk dengan angkuh dan gagah-gagahan, entah kenapa pangcu malah bersikap sungkan dan ramah-tamah kepadanya."
Coh-liu-hiang mendekam di atas genteng rumah diseberang sana. Dilihatnya Pek-giok-mo mendorong pintu lalu menyelinap masuk dalam rumah ada lampu,namun jendelanya tertutup rapat yang terlihat hanya bayangan orang yang mondar mandir, bagaimana keadaan di dalam, tidak jelas.
Sekeliling rumah dijaga ketat dan masih banyak lagi penjaga-penjaga gelap yang tersembunyi, ada kalanya yang terlihat hanyalah sinar golok mereka yang mencorong mengkilap ditempat gelap, terdengar pula suara bisikan percakapan mereka.
Laksana asap entengnya Coh Liu-hiang menggerakakan badannya berputar satu lingkaran, kini ia tiba di belakang rumah, mendadak ia batuk-batuk kering dua kali, dari tempat gelap segera terdengar orang membentak dengan suara hilir : "Naik langit masuk bumi."
"Si pengemis tidak mau datang" sahut Coh liu-hiang meniru Pek-giok-mo tadi.
Orang itu lantas berdiri dan keluar dari tempat gelap, setelah jelas akan diri Coh liu Hiang ia bergerak tanya : "Siapa kau ?"
"Peminta beras" sahut Coh liu-hiang, tahu tahu tangan kanannya sudah menutuk Hiat-to orang itu, berbareng tangan kiri meraih badan orang terus dijinjing ke belakang dan direbahkan di atas pohon, katanya pelan-pelan: "Aku ini bukan manusia, aku ini siluman rase, kau tahu tidak ?"
Sorot mata orang itu menunjukkan rasa takut dan kaget, ingin mengangguk, badan tak bisa bergerak, terpaksa biji matanya berkedip-kedip.
Seenteng asap Coh Liu-hiang melayang turun lalu menuju ke sebuah jendela yang tersorot cahaya lampu dari dalam setelah membuat lobang kecil ia dekatkan matanya untuk mengintip ke dalam. Tampak tengah ruang besar, di dalam sana dijajar dua meja cendana, kedua sisi masing-masing diduduki dua pengemis ubanan, karung yang digendong tebal dan bertumpuk-tumpuk, tentunya semua berjumlah sembilan karung. Tentulah mereka adalah Tianglo dan Hu-hoat dari Kaypang.
Pek-giok-mo dengan congkaknya duduk jaga di tempat teratas, roman mukanya tetap mengunjuk sifat pongah dan kekerasan hatinya.
Di sebelah atasnya lagi adalah Lamkiong Ling Pangcu Kaypang yang baru. Pemuda baju hitam itu ternyata juga hadir dalam ruangan ini, dia duduk berhadapan dengan Lamkiong Ling.
Begitu banyak tokoh-tokoh Bulim yang mengelilingi dirinya, ternyata sedikitpun dia tak unjuk tasa takut, mata besarnya terpentang lebar mengawasi Lamkiong Ling, lagaknya selalu dia siap berdiri dan ajak berkelahi dengan siapapun.
Terdengar Lamkiong Ling tengah berkata dengan suara kereng: "Tuan melukai murid-murid Kaypang kami, melukai pula Tianglo Hu-hoat kita, mungkin hanya merupakan salah paham belaka, Puncoh tidak akan mengulur panjang persoalan ini, cuma ingin tanya keperluan apa tuan datang kemari dari tempat jauh?"
Pemuda baju hitam melotot kepadanya, sahutnya dingin: "Sudah berapa kali kau ajukan pertanyaan itu yang sama ini, kalau aku sudi menjawab, memangnya harus tunggu sampai sekarang?"
Lamkiong Ling ternyata kelewat sabar, katanya kalem: "Sebetulnya kau ada tujuan apa memusuhi Kaypang kami" Kalau kau mau jelaskan, mungkin Puncoh bisa wakili laksaan murid Kaypang kita memberikan segala fasilitas akan keperluanmu"
"Kalau aku ingin batok kepalamu, apa kau suka memberikan?"
Akhirnya Lamkiong Ling berkata bengis: "Jangan kau lupa, saat ini dan ditempat ini sembarangan waktu aku bisa mencabut jiwamu, tapi aku hanya ingin tanya maksud kedatanganmu, kau tidak mau jelaskan, bukankah kau tidak tahu diri?"
Tidak kalah ketusnya si pemuda baju hitam menjawab: "Sampai sekarang aku masih tetap duduk ditempat ini, memang aku tidak tahu diri, kalau kukatakan asal usulku, berarti maksudmu sudah tercapai, masakah aku bisa duduk ungkang-ungkang disini?"
Mendengar sampai disini, diam-diam Coh-Liu hiang tertawa geli: "Kelihatannya pemuda ini keras kepala dan angkuh lagi, seperti tidak tahu apa-apa, siapa tahu kiranya dai jauh lebih cerdik dan cekatan dari orang lain, agaknya Lomkiong Ling hari ini kebentur lawan tangguh."
Tampak raut muka Lamkiong Ling sudah membesi hijau, amarahnya sudah bergolak di rongga dadanya, namun akhirnya dapat dia kendalikan pula, katanya lembut dengan tertawa lebar: "Kalau Puncoh ingin membunuh kau, buat apa pula harus tanya asal-usulmu" Masakan kau sendiri belum paham akan pengertian secetek ini?"
"Sudah tentu aku cukup paham, malah terlalu paham, kalau toh kau tidak tahu siapa aku, dan tidak tahu berapa banyak pula orang-orang yang berada dibelakangku, lebih tidak tahu pula berapa banyak rahasia Kaypang kalian yang sudah kuketahui, hatimu sendiri yang main curiga dan suka meraba-raba masakah kau bisa berlega hati membunuhku demikian saja."
"Kalau demikian, bukankah aku harus menahanmu malah."
"Lebih baik kalau kau tahan diriku disini, makan minum disini, tidur disini, cuma aku kuatir kalian para pengemis ini apa mampu menyediakan segala keperluanku."
Pek Giok-mo tiba-tiba menyeringai tawa katanya: "Dengan cara halus tidak mau bicara boleh gunakan kekerasan, masakan dia tidak akan bicara?"
"Siapapun di antara kalian bila berani menyentuh seujung jariku saja mungkin jiwa beberapa orang akan menggeletak di hadapanku, kalau kalian tidak percaya, silahkan turun tangan saja".
Pemuda ini halus dan kasar serba bisa, pintar mungkir, pandai mengancam dan bisa menggertak lagi, hampir saja Coh Liu-hiang bersorak senang di luar jendela.
Pada saat itu, mendadak "Blang", jendela di depan sebrang Coh Liu-hiang mengintip ini tiba-tiba jebol berlobang besar, bagai anak panah sesosok bayangan orang menerjang masuk. Sinar pedang orang itu bagai kilat menyambar, kiranya It-tiam-ang.
Melihat It-tiam-ang mendadak muncul, sungguh kaget dan senang pula hati Coh Liu-hiang, batinnya: "Ternyata dia tetap menguntit aku, tapi tepat sekali kedatangannya."
Tampak begitu kaki It-tiam-ang menyentuh tanah, beruntun pedangnya sudah bergerak tujuh delapan belas kali tusukan ke arah Su-toa-Tianglo dan Pek-giok-mo dan lain-lain. Orang-orang ini merupakan tokoh-tokoh silat kelas tinggi dalam Bulim, namun serangan dilancarkan teramat mendadak, menghadapi tusukan secepat, ganas dan aneh ini mereka mencaci: "It-tiam-ang," seru Lamkiong Ling gusar. "Kuhormati kau sebagai Enghiong kenamaan, berani kau bertingkah di Hiang-oh Kaypang kami?"
"Biasanya aku tidak kenal sanak kadang, memangnya kau tidak tahu?" jengek It-tiam-ang. Lalu ia menerjang ke samping pemuda baju hitam dan membentak datar: "Tidak lekas kau pergi!"
Tak nyana si pemuda malah melotot kepadanya, tanyanya: "Kenapa aku harus pergi ikut kau?"
Sekilas It-tiam-ang melongo, jengeknya: "Kau tidak mau pergi, biar kubongkar asal usulmu di hadapan mereka."
Kini ganti si pemuda yang tertegun, katanya tertawa dingin: "Baik, terhitung kau menang, ayolah pergi!"
Tapi saat mana Ji-gi-jiau, Boan-koan-pit, tongkat bambu hijau, Siang-thi-koay dan tujuh delapan macam senjata lainnya sudah meluruk bersama ke arah mereka. Setiap hadirin dalam ruang pendopo ini adalah tokoh-tokoh silat nomor wahid, setiap gaman yang mereka gunakan rata-rata senjata berat yang ampuh dan hebat kekuatannya, ganas dan keji pula serangannya, lekas si pemuda baju hitam merogoh ke dalam bajunya dan mengeluarkan sebilah senjata, sekali ayun dan gentak ia bikin senjatanya lempang kaku, kiranya itulah sebatang Bian-to yang terbuat dari baja murni. "Cret, cret, cret" beruntun ia membacok beberapa kali, gerakan ilmu goloknya amat keras dan tidak kalah ganasnya, berkesiur angin goloknya amat tajam dan deras, ternyata cara tempurnya menempuh jalan kekerasan juga.
Begitulah dengan golok dan pedang mereka bertempur berdampingan, siapa pula yang harus mereka takuti" Namun kalau mereka ingin menerjang keluar dari kepungan, tentulah sesukar manjat langit. Beruntun It-tiam-ang tusukkan pedangnya puluhan kali, baru mendadak ia berseru keras: "Tidak segera kau turun tangan, biar aku berteriak saja."
Sudah tentu orang lain tidak tahu apa maksud kata-katanya dan kepada siapa ditujukan, sebaliknya Coh Liu-hiang yang mengintip di luar jendela tertawa getir, batinnya: "Akhirnya dia menarikku juga untuk berkecimpung dalam air basah ini", sejenak ia berpikir, lalu dari atas ia menjemput puluhan genteng, begitu jendela dia pukul hancur, beruntun ia timpukkan genteng seraya berteriak: "Awas, lihat Ngo-tok-thong paku ini!", walau hanya pecahan genteng biasa saja, namun ditimpukkan oleh seorang ahli tentulah jauh sekali faedahnya, ada yang terbang naik ke tengah udara langsung menerjang ke arah musuh, ada pula yang berpura-pura menderu menyerampang datar dari bawah, ada pula yang naik turun menari-nari.
Orang banyak tidak tahu senjata rahasia macam apakah ini, namun mendengar ngo-tok (lima racun), belum lagi senjata rahasia mengenai dirinya, beramai-ramai mereka sudah lompat menyingkir, jiwa sendiri lebih penting, tak sempat pula mereka melukai orang lain.
Maka dengan gampang It-tiam-ang dan pemuda baju hitam mendapat kesempatan untuk menerjang keluar. Sebat sekali Lamkiong Ling meluncur menyusuri ke dinding jendela di belakang sana, namun suasana sunyi dan keadaan di luar jendela gelap pekat, kurang jelas siapa penimpuk senjata rahasia ini, sebat sekali ia lembarkan sebuah kursi keluar, menyusul diapun menerjang keluar sambil membentak: "Sahabat tunggu sebentar!"
Masakah Coh Liu-hiang mau ayal-ayalan, belum lagi orang memburu keluar, bayangannya sudah menghilang di kejauhan sana. Begitu menerjang keluar bersama, It-tiam-ang dan pemuda baju hitam terus lari sekencang-kencangnya, ginkang kedua orang itu agaknya setanding, setelah berlari-lari sekian lamanya, entah berapa jauhnya sudah, pemuda baju hitam itu tiba-tiba berhenti, katanya melotot: "Siapa suruh kau menolong aku?", wataknya yang aneh, matipun ia tidak sudi terima kebaikan orang lain.
Kalau orang lain setelah menempuh bahaya menolong jiwanya lalu mendapat pertanyaan yang kurang ajar seperti ini aneh kalau orang itu tidak dibikin semaput saking gusarnya.
Tapi sedikitpun It-tiam-ang tidak menjadi gusar, katanya sambil tertawa meringis: "Siapa mau tolong kau" Kau mampus atau hidup peduli apa dan tiada sangkut paut dengan aku"
Membelalak besar mata pemuda baju hitam, katanya heran: "Kau bukan menolongku, memangnya untuk apa kau kemari?"
"Tadi aku ada merusak barang seorang teman dan kau harus kubawa kepadanya sebagai gantinya."
Sekilas si pemuda melongo, akhirnya dia berseru naik darah: "Kau ini sedang kentut apa aku tidak mengerti."
"Kau tidak mengerti, sebaliknya aku tahu" terdengar seorang menyela tawa yang kemalas-malasan serta gerakan tubuh laksana setan gentayangan, di kolong langit ini kecuali si maling kampiun Coh Liu-hiang kiranya takkan bisa dicari keduanya.
Memang kalau Coh Liu-hiang hendak menguntit seseorang, siapapun jangan harap bisa menyesatkan orang dan lolos dari pengawasannya. Melihat orang datang sedikitpun It-tiam-ang tidak mengunjuk rasa heran, katanya dingin: "Inilah suratmu itu, kini dia kuserahkan sebagai gantinya." bicara pada kata-katanya yang terakhir bayangannya sudah berkelebat di tempat kejauhan sana.
Mengawasi bayangan orang, si pemuda baju hitam geleng-geleng kepala, ujarnya: "Apakah otak orang itu rada sinting?"
"Cacat orang ini adalah suka ikut mencampuri urusan orang lain, dia anggap barusan sudah bantu kesulitanku, siapa tahu justru bikin runyam suatu persoalan besar yang sedang kuselidiki."
"Persoalan besar apa yang bikin kau uring-uringan kepadanya?" tanya si pemuda.
"Semula aku hendak gunakan jamrud untuk menukar mutiara, dia malah menggagalkan kontrak dagangku"
Dengan mendelong pemuda ini mengawasinya sekian lama seolah-olah pada mukanya mendadak tumbuh sekuntum bunga yang indah, sorot matanya memancarkan rasa heran dan aneh serta ketarik ingin tahu, katanya: "Kukira hanya dia itu yang sinting, siapa tahu kau ini malah sudah pikun."
"Itulah yang dinamakan sederita sepenanggungan, jenis yang cocok satu sama lain."
"Aku tiada cacat seperti yang kau katakan, ma'af aku ingin pergi." ujar si pemuda sambil putar badan hendak tinggal pergi.
Kata Coh Liu-hiang: "Pertanyaan yang ini kau ajukan kepadaku tidak kau tanyakan lagi?"
Kata-kata ini seumpama gantolan yang menjambretnya kembali, cepat ia putar badan dan unjuk seri tawa kegirangan, serunya, "Sekarang sudah sudi memberi tahu?"
Berkata Coh Liu-hiang tanpa pikir, "Sudah kulihat sulaman gambar unta terbang dalam balik mantelmu, maka aku tahu kau pasti sanak kadang Raja Gurun, aku pernah bertemu dia, maka kutahu bila dia sudah masuk ke Tionggoan."
Bersinar biji mata si pemuda, teriaknya tertahan, "Kau pernah bertemu dengan ayahku?"
Coh Liu-hiang menghela nafas, ujarnya, "Kalau kau sudi percaya kepadaku, kesulitan yang kami hadapi bersama saat ini, tidak sukar untuk dibereskan!"
Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Langsung si pemuda menatap kedua matanya, sepasang mata yang lebih cemerlang dari pancaran sinar bintang kejora, mendadak roman mukanya bercahaya dan tertawalah si pemuda riang, katanya, "Baik, aku mempercayaimu."
Coh Liu-hiang segera duduk berpunggung wuwungan rumah, disaat bisa duduk dia tak pernah berdiri, kaki tangan ia julurkan sebebas mungkin, katanya tertawa, "Kalau begitu aku hanya minta kepadamu menjelaskan apa maksud tulisan dalam surat yang diterima ayahmu itu?"
"Surat" Bukankah sudah kuserahkan kepada kau?"
"Mungkin sudah ditakdirkan, aku tidak boleh melihat langsung surat itu, tapi cukup puaslah hatiku asal bisa mendengar j uga."
"Bagaimana kalau aku tidak pernah membacanya?"
Coh Liu-hiang menjadi tegas, katanya, "Kalau kau katakan tidak pernah membaca surat itu, mungkin aku kontan jatuh semaput."
"Nah, bolehlah kau semaput saja."
"Jadi kau benar-benar tidak pernah membacanya?" teriak Coh Liu-hiang.
Pemuda baju hitam malah tertawa geli, sahutnya, "Aku tidak membaca, namun pernah kudengar ayah membacakan kepadaku."
Coh Liu-hiang menghembuskan nafas panjang gumamnya, "Bisa kau tersenyum semanis ini, umpama aku benar-benar jatuh semaput dan jiwa sampai melayangpun setimpal juga."
"Kau dengar beginilah isi tulisan surat itu."
"Nanti sebentar, biar kucuci dulu kupingku biar bersih."
Si pemuda tertawa lebar, katanya, "Tulisan itu berbunyi, 'Sejak berpisah beberapa tahun ini semangat dan kesehatan tuan tentu jauh lebih perkasa dari dulu, sebaliknya aku jauh lebih sayu dan kurus, apalagi sekarang tersekap di tengah mara bahaya, harap tuan suka mengingat hubungan baik kami dulu, lekaslah datang menolongku, kalau tuan tidak datang, terang jiwaku takkan tertolong lagi.' Tanda tangan surat itu adalah satu huruf, Siok saja."
Dengan susah payah, akhirnya terhitung Coh Liu-hiang sudah melihat surat itu secara tidak langsung, apa yang tertulis dalam surat itu memang sudah dalam terkaannya, tapi bisa membuktikan secara kenyataan betapapun dia akan lebih yakin dalam tugas penyelidikannya lebih lanjut.
Sayang dalam surat itu tidak menjelaskan kesukaran apa yang sedang dihadapinya" Mau tak mau Coh Liu-hiang merasa kecewa pula, dengan melongo ia menepekur sekian lamanya, gumamnya, "Bagaimanapun, kesulitan yang dihadapi Chin Ling-siok, pastilah punya sangkut paut dengan pihak Kaypang."
Tukas si pemuda baju hitam, "Ayahpun berpikir demikian, oleh karena itu aku beranggapan menghilangnya ayahku, pasti ada hubungan dengan Kaypang, kalau tidak buat apa aku mencari gara-gara kepada pihak Kaypang."
Kembali Coh Liu-hiang berpikir sebentar, tanyanya, "Kapan surat itu diterima" Siapa pula yang mengantarnya kesana?"
Tutur si pemuda itu dengan sikap sombong, "Ayahku sebagai pendekar besar di gurun pasir setiap tahun jejaknya tidak menentu, maka hubungan dengan berbagai anak buahnya yang tersebar luas di gurun pasir menggunakan burung dara pos. Meskipun dia dijuluki raja gurun pasir, namun kekuasaannya menjalar memasuki beberapa propinsi di pedalaman dalam sini. Satu bulan yang lalu surat itu diterima melalui burung pos di pangkalan Ling-shia."
"Lalu siapakah yang membawa surat ini dan diserahkan orang yang mengurus pangkalan dara pos di Ling-shia" Dari mana pula dia bisa tahu bahwa Raja gurun ada mendirikan pangkalan burung dara pos yang tersebar luas di gurun pasir, terutama yang berada di Ling-shia itu?"
"Mungkin tiada orang yang bisa menjawab pertanyaanmu ini."
"Kenapa?"
"Karena orang-orang yang mengutus pangkalan burung dara pos di Ling-shia itu sudah mampus seluruhnya."
Tersirap darah Coh Liu-hiang, sekian lama ia menepekur, katanya pula, "Baru satu bulan ayahmu keluar pintu, darimana kau bisa tahu kalau dia mendadak menghilang?"
"Sejak perjalanan dari rumah sampai memasuki Tionggoan, setiap hari ayah pasti ada kabar hubungan dengan setiap pangkalan burung dara pos yang pernah dia lalui. Tapi sepuluhan hari yang lalu, surat-surat yang dibawa burung pos mendadak terputus, jikalau tidak mengalami sesuatu perubahan besar, mana beliau bisa lupa untuk berkirim surat kepadaku."
"Maka kau segera berangkat menyusulnya kemari?"
"Sudah tentu aku segera berangkat menuju ke Tionggoan, sepanjang jalan aku mencari tahu pada setiap pangkalan-pangkalan burung dara, namun tidak kuperoleh kabar berita dari beliau.
Pengurus pangkalan burung dara pos di Ling-shia, semua menggeletak mampus secara mendadak, barulah aku mulai gelisah dan akhirnya aku meluruk ke pihak Kaypang."
"Apa yang pernah kau dengar di Kaypang?" tanya Coh Liu-hiang dengan tatapan mata berbahaya.
"Apapun aku tak berhasil mendapat tahu, semua orang-orang Kaypang bukan saja tidak tahu siapa ayahku, jejaknya pun tidak diketahui, malah belakangan ini katanya mereka tidak pernah menghadapi sesuatu kesulitan apapun, maka tidak mungkin mereka mengundang orang luar untuk membantu menyelesaikan sesuatu."
Dia tatap muka Coh Liu-hiang serta katanya pula, "Tapi hal-hal ini semakin bikin aku curiga, dapatlah kurasakan bila lahirnya mereka seperti aman sentosa, pasti di belakang tabir kesentosaan ini tersembunyi sesuatu rahasia besar apa" Jelas ayahku kemari karena menerima surat dari isteri Pangcu mereka, terang pasti ada ikatan dan hubungan dengan pihak mereka, mana bisa mereka mengatakan tidak tahu menahu?"
"Bukan mustahil kesulitan Jin-hujin adalah persoalan pribadinya, bahwasanya dia tidak ingin orang-orang Kaypang yang lain tahu, maka pertemuannya dengan ayahmu pastilah dilangsungkan secara rahasiap pula."
"Memang ada kemungkinan begitu, tapi pernah aku dihadapi dua persoalan aneh. Pertama: tiada seorangpun anggota Kaypang yang tahu dimana istri Pangcu mereka yang terdahulu berada.
Kedua, tidak boleh kau melupakannya, bahwa Lopangcu mereka Jin Jip baru saja menemui ajalnya dalam beberapa waktu belakangan ini, meski dikatakan beliau wafat karena terserang penyakit, tapi siapa yang pernah melihatnya sendiri?"
Mendadak Coh Liu-hiang berjingkrak bangun, katanya dengan nada berat, "Pergi datang ceritamu, hanya kata-kata inilah yang tepat menusuk ke sasarannya, tapi jangan sekali kali kau ucapkan kata-katamu ini kepada orang lain. Kalau tidak mungkin kalangan Kangouw bakal timbul suatu kegemparan besar. Jabatan Pangcu yang teragung bagi Kaypang yang terbesar kekuasaan dan anggotanya di seluruh kolong langit ini, siapapun ingin mendudukinya, peduli dia anggota Kaypang atau orang dari luar kalangan."
"Tujuanku hanya menemukan ayahku, persetan bakal timbul geger atau keonaran di kalangan Kangouw, toh tiada sangkut pautnya dengan aku?"
"Begitu besar hasratmu untuk mengetahui jejak ayahmu, kenapa mereka tiada seorangpun yang tahu asal-usulmu?"
"Gampang saja alasannya... setiap murid Kaypang yang pernah kukompes keterangannya, mereka takkan bisa membocorkan rahasia pribadiku sedikitpun juga."
"Agaknya kau sudah pengalaman dan cukup tenaga melakukan pembunuhan."
"Kalau aku tidak bunuh mereka, jiwakupun akan dibunuh. Memang membunuh orang bukan perbuatan yang patut dibuat senang, tapi toh lebih baik daripada jiwa sendiri dibunuh orang!"
"Darimana kau tahu bahwa Lamkiong Ling hendak bunuh kau" Kenapa tidak langsung kau tanyakan persoalanmu tadi kepadanya?"
"Sejak melihatnya aku mendapat firasat bahwa dia bukan orang baik-baik!"
"Itu hanya perasaanmu sendiri, alasan ini belum cukup kuat."
"Bagi aku, alasan ini sudah lebih dari cukup," mendadak matanya bersinar dan menatap Coh Liu-hiang nanar, katanya pula pelan-pelan, "Coba kau pikir, bila kau bertanya kepadanya, apa dia sudi memberitahu kepadamu?"
"Coba kau pikir... dengan alasan apa dia tidak mau memberi penjelasan kepadamu?"
"Jikalau dia melakukan sesuatu yang memalukan sudah tentu ia tak mau menjelaskan."
"Kalau begitu, jikalau tidak mau memberitahu kepadaku, bukankah malah membuktikan bahwa dia memang benar pernah melakukan sesuatu yang memalukan. Coba kau pikir, adakah orang pikun seperti itu dalam dunia ini?"
"Jikalau dia beritahu kepada kau, sudikah kau beritahu kepadaku?"
"Dengan alasan apa pula aku tidak mau beritahu kepada kau?"
"Maling kampiun Coh Liu-hiang, ternyata tidak menyebalkan seperti apa yang pernah kudengar," tersimpul senyum dikulum pada raut mukanya yang kaku dingin, bak umpama sungai salju mulai mencair, seperti hawa nan dingin terhembus angin musim semi yang sejuk membuat perasaan orang hangat dan sejuk.
Coh Liu-hiang menghela nafas, ujarnya, "Kalau kau mau sering-sering tertawa-tawa, akan kau dapatkan banyak orang di dunia ini, tidak menyebalkan seperti yang kau bayangkan."
Seketika si pemuda menarik muka, katanya dingin, "Banyak orang yang menyebalkan dalam dunia ini, tiada sangkut pautnya dengan diriku, aku hanya tanya kau sekarang kau pergi tanya kepada Lamkiong Ling, kapan kau akan memberitahukan kepadaku?"
"Besok pagi... asal bisa diketahui dimana aku bisa menemui kau..."
"Besok pagi, pergilah kau tamasya keliling Toa-hing-ouw, akan kau lihat seekor kuda hitam mulus, asal kau berkata 'Bawa aku menemui mutiara hitam' tiga kali, lalu menarik kupingnya tiga kali pula, pasti dia akan mengantar kau menemui aku. Ingat, tidak lebih tidak kurang, hanya boleh tiga kali, jangan terlalu ringan, ataupun teramat berat."
"Kalau tertarik empat kali dan rada berat bagaimana?"
"Mungkin dia akan antar kau terjun ke Toa-bing-ouw mencari mutiara di dalam danau,"
mendadak ia melirik kepada Coh Liu-hiang sambil tersenyum, dengan lincah ia putar badan terus berlari pergi seenteng asap mengembang.
Coh Liu-hiang awasi bayangan orang menghilang di balik pepohonan, katanya seorang diri,
"Mutiara hitam, mutiara hitam, orang sering bicara mutiara hitam adalah benda mustika yang membawa mala petaka bagi pemiliknya, namun semoga kau mutiara hitam ini membawa rejeki besar bagiku malah, sekarang aku benar-benar membutuhkan nasib baik."
Coh Liu-hiang menengadah mengawasi bintang-bintang di angkasa sesaat lamanya dia menerawang, sinar bintang yang kelap kelip selalu mendatangkan ketenteraman bagi relung hatinya, otak jernih, perasaan tentram, biasanya asal dia rebah telentang di atas dek kepalanya, persoalan rumit apapun, dengan mudah dapat dia bereskan.
Tapi sinar bintang malam ini agaknya tidak membawa banyak pengaruh untuk bantu dirinya, sudah sekian lamanya ia peras otak, benaknya masih kalut, tak urung ia tersenyum geli, batinnya,
"Memangnya sinar bintang-bintang disini jauh berbeda dengan sinar bintang di lautan?"
Akhirnya ia berkeputusan kembali ke Hiang-tong milik Kaypang itu.
Cahaya lampu dalam ruang pendopo masih terang benderang, waktu Coh Liu-hiang meluncur dan lompat turun, tiada orang menegurnya dari tempat gelap dengan kata-kata, "Naik ke langit masuk ke bumi lagi." Terpaksa Coh Liu-hiang batuk-batuk keras di luar pintu lalu bersuara lantang,
"Apakah Lam-heng ada di dalam?"
Dari ruang pendopo segera terdengar penyahuan, "Silahkan masuk."
Meja kursi yang terbalik sudah ditata rapi kembali, jendela yang dijebol rusakpun sudah diperbaiki, pecahan genteng di atas lantaipun sudah disapu bersih, ruang pendopo tetap dalam keadaan biasa seperti tidak pernah terjadi sesuatu disini. Sebesar ini ruang pendopo ini, yang hadir hanya Lamkiong Ling seorang yang duduk bertengger menghadap meja yang sudah tersedia mangkok sumpit dan beberapa guci arak.
Agaknya Lamkiong Ling memang sedang menunggu kedatangan Coh Liu-hiang, melihat Coh Liu-hiang beranjak masuk sedikitpun ia tidak heran, cuma lekas ia berdiri dan soja, sapanya, "Coh heng benar-benar menepati janji menagih undangan minum arakku ini. Untung siaute sudah menyiapkan beberapa guci arak bagus ini, kalau tidak kedatangan Coh-heng pasti akan kecewa."
"Kau tahu aku bisa menemukan tempatmu ini" Sedikitpun kau tidak merasa heran?"
"Bila Coh heng menagih undangan minum arak, tiada seorangpun di kolong langit ini yang bisa lari dari kewajiban ini" Seumpama Siaute sembunyi ke ujung langit, dapat diketemukan oleh Coh-heng, tentunya tidak perlu dibuat heran."
"Benar, hidungku ini biasanya memang punya penyakit dimana ada arak bagus sekali endus aku lantas bisa menemukannya, apalagi begini banyak Cu-yap-ceng yang kugemari," dengan tertawa besar ia menempati sebuah kursi pandangannya menyapu lantas berkata pula, "Cuma sayang ada arak tiada hidangan lainnya sehingga kurang selera, tahukah kau bagi aku si tukang gegares ini, boleh dikata sebagai suatu penyiksaan."
"Masakan memang sudah ada, Siaute sudah menyediakan beberapa ekor ayam panggang yang gemuk-gemuk, sebatang paha babi dan beberapa macam masakan bakso dan ikan."
"Memangnya semua masakanmu itu bisa menghilang" Kenapa tidak kulihat?"
"Tentu Coh-heng tidak melihatnya, karena tadi ada orang datang, semua masakan itu dibuang ke dalam selokan seluruhnya."
Coh Liu-hiang mengedipkan matanya, katanya, "Apakah orang itu punya permusuhan atau dendam kesumat sedalam lautan dengan aku?"
"Dia tahu tamu yang Siaute tunggu adalah Coh-heng, maka dia lantas caci maki diriku, katanya Siaute hanya menyediakan masakan murahan begini untuk menyambut kedatangan Coh-heng apakah tidak menyiksa lidah si maling kampiun."
"Coh Liu-hiang tidak makan daging ayam, memangnya cuma minum angin barat laut?".
Terdengar seorang berkata dengan tertawa: "Duniawi memang serba susah, sehingga jiwa prikemanusiaan tinggal sisanya saja, kalau setiap hari makan daging babi dan ayam, lalu berapa banyak binatang berjiwa itu bisa tetap bertahan hidup." Seseorang melayang ringan dari belakang pendopo sana, tidak tampak kotoran debu melekat di badannya, sampaipun senyuman yang menghina roman mukanya serasa bersih dan cemerlang, dia bukan lain adalah Biau-ceng Bu-Hoa.
Coh Liu-hiang tertawa besar, serunya: "Kiranya kau, Hwesio gundul seperti kau ini tidak kenal barang berjiwa, memangnya kau menghendaki aku jadi Hwesio seperti kau" Apalagi seumpama aku jadi Hwesio, tetap aku akan gegares anjing dan celeng, begitu melihat ikan dan dagin tentu menetes air liurku."
"Daging dan barang berjiwa adalah makanan orang-orang kotor, memangnya kau tidak ingin ganti selera?"
Coh Liu-hiang girang, katanya: "Masakah kau sudi turun ke dapur?"
"Main harpa harus ada orang yang tahu musik, demikian juga hidangan lezat harus disuguhkan kepada tukang makan yang tahu membedakan rasa, jika bukan demi kau yang sejak kecil sudah bisa membedakan baik buruk sesuatu rasa hidangan, buat apa Pinceng harus kena asap dan kotor oleh debu?"
Lamkiong Ling tertawa, ujarnya: "Ini memang aneh, darimanapun Bu Hoa Taysu keluar, kelihatannya sepuluh lipat lebih bersih dari aku, agaknya kau memang serba suci dan bersih!" lalu ia menuang tiga cangkir arak penuh, katanya sambil angkat cangkir: "Untung arak adalah minuman paling murni dan suci kalau sampai arakmu Taysu tidak mau minum buat apa pula arti arak suguhanmu ini?"
Kata Coh-Lin-hiang kepada Bu Hoa sambil tertawa: "Jikalau tiga orang minum arak bersama, cuma kau seorang yang tidak mabuk baru aku hetul-betul kagum kepada kau!"
Takaran minum ketiga orang ini memang sama mengejutkan, kalau ada orang keempat hadir diantara mereka, tentulah orang itu akan mengira guci besar itu berisi air jernih dan bukan arak.
Dua guci sebesar itu agaknya habis ditenggak bergantian oleh mereka bertiga namun sedikitpun tidak berubah rona muka mereka. Satu sama lain saling loloh dan seperti berlomba saja tanpa pakai juri.
Mendadak berkata Coh Liu hiang: "Konon dikalangan Kang-ouw ada seorang takaran minum araknya dikatakan tiada tandingan diseluruh jagat, minum ribuan cangkir tanpa mabuk pada suatu hari dia minum tiga ratus cawan Ji-wo-thay Kwan-gwa, ternyata masih mampu berdiri dan berjalan pulang."
"O, apa orang demikian" Siapa dia?" tanya Lamkiong Ling.
Lam-kiong Ling hanya tertawa besar katanya: "Dikatakan tiga ratus cawan, sebetulnya kalau bisa minum sampai jumlah ini, sudah cukup hebat. Setiap penggemar arak dikolong langit ini tiada seorangpun yang tidak suka mengagulkan takaran minumnya sendiri, menurut pandangan Siaute, belum tentu dia bisa lebih unggul minum lebih banyak dari kami bertiga."
"Pernahkan kau melihatnya" Pernahkah kau bersama dalam perjamuan?" tanya Coh Liu-hiang dengan tatapan tajam.
Lamkiong Ling tersenyum, ujarnya: "Sayang Siaute belum pernah melihatnya, kalau tidak ingin benar aku mengadu kekuatan minum sama dia."
Coh Liu-hiang mengelus hidungnya, katanya mengguman: "Kesempatan mana mungkin sudah tiada lagi."
"Asal dia belum mati, kelak pasti masih ada kesempatan."
Coh Liu-hiang meletakkan cangkir araknya, katanya sepatah demi sepatah, "Siapa bilang dia belum mati?"
"Hah, jadi dia sudah mati?" seru Lamkiong Ling terbelalak. "Kapan dia mati" Kenapa tiada orang-orang Kangouw yang tahu?"
"Darimana pula kau tahu bila orang-orang Kangouw tiada yang tahu berita kematiannya?"
Bu Hoa tersenyum, selanya, "Kaypang paling cepat dan gampang menyadap berita, kalau orang Kangouw ada yang tahu akan kabar ini, Pangcu dari Kaypang masakah tidak bisa tahu juga?"
"Benar, memang tiada orang lain yang tahu akan berita ini, karena aku sudah menyembunyikan jenazahnya, sengaja kurahasiakan supaya orang lain tidak tahu akan berita kematiannya."
"Kenapa?" tanya Lamkiong Ling dengan mata melotot.
Berkilap mata Coh Liu-hiang, katanya kalem, "Pembunuhnya sengaja mengatur rencana dan berusaha mengelabui orang, tujuannya hendak membuat orang-orang Kangouw sama menyangka mereka saling bunuh sendiri dan gugur bersama, jikalau tidak kusembunyikan jenazah mereka dan berita ini sampai bocor, mungkin si pembunuh lebih enak ongkang-ongkang kaki menggendong tangan, kenapa aku harus membiarkan dia hidup tenang dan tentram?"
Lamkiong Ling manggut-manggut, "Benar tindakan Coh-heng membuat sanak kadang atau orang-orang perguruan mereka tiada yang tahu bahwa mereka sudah mati, maka tetunya mereka berusaha mati-matian untuk menyelidiki jejak orang-orang itu, dengan sendirinya si pembunuh itupun jangan harap bisa melewatkan kehidupannya dengan tenang dan aman!"
Bu Hoa tersenyum, selanya pula, "Sudah sering Pinceng bilang, bila penjahat kebentur maling kampiun, tentulah semasa hidupnya dulu sudah kelewat takaran dosa-dosanya.
Kata Coh Liu-hiang menatap Lamkiong Ling, katanya, "Sudikah kau bantu aku mengejar si pembunuh itu?"
"Coh-heng jangan lupa," ujar Lamkiong Ling. "Murid-murid Kaypang kami sudah biasa turut campur urusan orang, memang tidak setenar maling kampiun dalam hal ini, kukira terpaut tidak banyak."
"Kalau demikian sukalah kau beri tahu kepadaku, dimana sekarang beradanya isteri Jin-le pangcu?"
Lamkiong Ling melengak heran, tanyanya, "Adapah Jin-hujin ada sangkut pautnya dengan persoalan ini?"
"Seluk beluk persoalan ini, kelak kau pasti akan tahu, sekarang cukup asal kau beritahu dimana Jin-hujin berada, berarti kau sudah bantu mengatasi kesulitanku." Matanya menatap tajam kepada Lamkiong Ling, lalu meneruskan sambil tertawa besar, "Kalau kau tidak sudi mmberitahu, mungkin aku akan menganggap kau menyembunyikan si pembunuh, jikalau sampai aku cerewet di luaran, kau Kaypang pangcu inipun mungkin akan ketiban kesulitan."
Kata Lamkiong Ling menghela nafas, "Sejak Jin-lopangcu wafat, Lin-hujin ingin mensucikan diri sebagai murid Kaypang, sebetulnya Siaute tidak bisa membawa orang luar bikin kaget dan mengganggu ketenangannya." Rada merandek ia pandang Coh Liu-hiang dengan tertawa, katanya pula, "Tapi terhadap orang lain Siaute tidak takut, berhadapan dengan Coh-heng, aku jadi kewalahan!"
"Jadi kau sudi menerangkan dan menunjukkan tempatnya?" Coh Liu-hiang menegas.
"Tuduhan menyembunyikan si pembunuh, mana Siaute berani memikulnya?"
"Dimana Jin-hujin sekarang?"
"Tempat tinggal Jin-hujin amat rahasia, orang lain takkan mudah menemukan, kalau Coh-heng mau menghabiskan sisa arak ini, biar Siaute membawamu ke sana bagaimana?"
"Kalau kau hendak mempersulit dia seharusnya mencari akal lain, suruh dia minum arak bukankah kebetulan malah bagi dirinya," sela Bu Hoa tertawa.
"Memang Bu Hoa lebih tahu akan kesenangan dirikku," seru Coh Liu-hiang tertawa besar lalu ia angkat guci serta di tangannya arak masuk ke dalam mulutnya sampai habis, sedikitpun air mukanya tidak berubah, katanya tertawa pula, "Sekarang boleh berangkat?"
Sedikit ragu-ragu berkata Lamkiong Ling, "Entah sukakah Coh-heng tunggu lagi kira-kira satu jam" Siaute masih ada urusan dalam Pang kita."
Coh Liu-hiang berpikir sebentar, tanyanya, "Tempat tujuan kita itu, bisakah ditempuh dua hari pulang pergi?"
"Dua hari jauh berkecukupan!"
Coh Liu-hiang memandang keluar jendela, melihat cuaca, lalu katanya, "Baiklah, satu jam kemudian, aku datang lagi," ia bersihkan mulutnya dengan lengan baju terus melangkah tinggal pergi, berbareng tangannya sambar cangkir arak di hadapan Bu Hoa, terdengar gelak tawanya kumandang di luar jendela, serunya, "Bu Hoa suka masakan, Lamkiong senang arak, datang gegares, pergi setelah kenyang. Begitulah kehidupan manusia, apa pula yang dikejarnya, tidak cukup nasi berkelebihan hidup senang berfoya-foya."
Sampai kata-katanya terakhir, Coh Liu-hiang sudah pergi jauh, cangkir arak tadi tiba-tiba melayang lambat dari luar dan tepat jatuh di depan Bu Hoa. Araknya sudah habis, namun di dalamnya terisi sebuah benda, itulah mainan patung Buddha yang tergantung di tali sutra di pinggang Bu Hoa.
"Coh Liu-hiang hebat sekali gerakan tangannya," seru Lamkiong Ling ternganga.
Bu Hoa sebaliknya menghela nafas, katanya pelan-pelan, "Jikalau bukan hanya benda yang tidak berarti ini, masakah pinceng biarkan dia sembarangan ambil, jikalau dia suka menghindari kekerasan jangan suka agulkan diri, mungkin hidupnya akan sampai hari tua!"
* * * Kabut tebal membuat pemandangan remang-remang di permukaan Toa-bing ouw.
Lama juga Coh Liu-hiang mondar-mandir di sekeliling Toa-bing ouw, tiba-tiba didengarnya suara ringkik kuda lalu didengarnya pula derap lari kuda mendatangi, kini jelas keadaan seekor kuda sedang lari mendatangi menyusuri pinggir danau. Meski kabut tebal dan remang, namun bulu kuda yang hitam mengkilap kelihatan nyata.
"Kuda oh kuda." Coh Liu-hiang memapak ke sana. "Sayang kau sudah milik orang lain, kalau tidak, sungguh aku merasa berat membiarkan orang lain naik di punggungmu."
Seperti mengerti maksud kata-katanya, kuda hitam manggut-manggut.
Lalu ia berbisik di pinggir telinganya, berkata, "Bawa aku menemui mutiara hitam," tiga kali, lalu menarik kuping kirinya tiga kali pula. Orang lain mungkin tak sabar lagi akan menariknya empat kali dengan keras, namun Coh Liu-hiang berpendapat bahwasanya seorang manusia tidak pantas berbuat kasar terhadap binatang, kecuali orang itu sendiri hampir sama dengan si binatang itu.
Betul juga segera kuda hitam itu berlari cepat ke depan membawa jalan. Coh Liu-hiang tidak naik ke punggungnya. Dari belakang ia mengawasi gerak-gerik si kuda, terasa jauh lebih menyenangkan daripada ia sendiri naik di punggungnya.
Di pinggir danau yang lebat ditumbuhi pohon itu dengan dahan-dahannya yang menjuntai turun itu, tersembunyi sebuah sampan. Pemuda baju hitam yang menamakan diri mutiara hitam itu berada di atas sampan, agaknya ia sedang melamun menghadapi permukaan danau yang sejuk dan permai.
Lahirnya kelihatan dia begitu kaku dingin, apapun yang terjadi dalam dunia ini seolah-olah tiada masuk perhatiannya, bahwasanya hatinya jauh lebih berat dibebani berbagai pikiran dan kesulitan.
Coh Liu-hiang batuk-batuk lalu menegur sambil tertawa, "Apa yang sedang kau pikirkan?"
"Aku sedang pikirkan kau," sahutnya tanpa berpaling. Mendadak ia berjingkrak bangkit berhadapan dengan Coh Liu-hiang, serunya keras, "Ingin aku tahu apa yang berhasil kau tanyakan?"
"Belum berhasil kutanyakan."
"Memang aku tahu dia pasti takkan menerangkan kepadamu."
"Walau tidak menerangkan, tapi dia hendak ajak aku menemuinya."
"Bagus, kalau kau berangkat, aku akan mengintil di kejauhan."
"Kalau kau ingin mengintil Lamkiong Ling tanpa jejakmu diketahui olehnya, ginkangmu masih jauh ketinggalan."
"Seumpama konangan, memangnya dia bisa berbuat apa terhadapmu?"
"Memang tidak apa-apa, cuma jangan harap kau bisa menemukan Jin-hujin pula."
Hek-tiu-ciu (mutiara hitam) berpikir sebentar, tanyanya, "Berapa lama kau pergi?"
"Dua hari."
"Baik, dua hari kemudian aku tetap menantimu di tempat ini."
"Dua hari kemudian, menjelang magrib, akan datang seorang gadis berpakaian warna luntur ke Toa bing ouw ini, bila saat itu aku belum tiba, harap kau beritahu kepadanya, suruh dia menunggu aku!"
"Ada janji dengan kekasih menjelang magrib, ternyata maling kampiun memang serba romantis, sayang aku tidak kenal siapa perempuan itu, cara bagaimana aku harus wakilkan kau memberitahu kepadanya?"
"Dia she Soh, sekali kau bertemu dengan dia pasti akan tahu. Memang tidak sedikit orang yang tamasya di Toa-bing-ouw, namun jarang ada anak perempuan seperti dia itu."
"Dia cantik sekali?"
"Hanya cantik saja masih kurang untuk melukiskan dirinya!"
"Siapa sih sebenarnya, pernah apamu?"
"Apa pertanyaanmu tidak keterlaluan?"
Memicing mata mutiara hitam, katanya dingin, "Baik, pergilah kau... tapi kalau dia tidak mau tunggu kau bagaimana?"
"Kalau dia tidak mau tunggu aku, biar aku mampus tenggelam di Toa-bing-ouw!"
"Agaknya kau amat yakin."
"Kalau tidak yakin yang masih dimiliki Coh Liu-hiang mungkin hanya mayat busuknya saja," dia melangkah beberapa tindak, tiba-tiba berpaling dan bertanya, "Apa kau tidak merasa nama Hek-tin-cu mu ini tidak seperti nama perempuan?"
"Kalau benar aku ini seorang perempuan, mungkin sudah kubunuh kau!"
"Kalau kau benar seorang perempuan, tentulah sikapmu tidak segalak ini terhadapku."
* * * Beberapa li di sebelah tenggara Ki-poh terdapat sebuah gunung bernama Ni-san. Gunung ini tidak begitu tinggi, namun pemandangan alamnya teramat permai dan indah, segar dipandang mata. Belum lama Coh Liu-hiang beranjak di atas gunung, ia rasa dirinya seolah-olah berada di awang-awang.
Mendadak Coh Liu-hiang berkata, "Berapa lama sudah kami meninggalkan Ki-lam?"
"Kan baru sehari, masakah kau sudah lupa?" sahut Lamkiong Ling.
"Walau baru saja aku tiba disini, kurasa segala tetek bengek di kota Kilam ini amat membosankan, jikalau bisa menetap disini selamanya, orang kasar seperti aku ini mungkin bakal jadi seorang budiman!"
Sesaat lamanya Lamkiong Ling berdiam diri, katanya menghela nafas, "Semasa hidup Jinlo pangcu, selalu dia ingin mengasingkan diri di tempat ini, sayang sekali beliau selalu terlibat oleh kesibukan dalam Pang kita, sehingga cita-citanya baru terlaksana setelah beliau wafat!"
"Kau amat kangen kepada beliau?"
"Beliau ada orang yang paling bajik, bijaksana dan penuh cinta kasih sesama manusia, aku...
aku adalah anak yatim piatu, tanpa beliau, takkan ada hari ini bagi aku!"
"Cukup lama aku kenal kau, baru pertama kali kudengar kata-katamu ini."
"Kehidupan di kalangan Kangouw, yang kuat hidup, yang lemah mampus. tak pernah berhenti perebutan antara menang dan kalah ini, ada kalanya tiada waktu aku memikirkan sesuatu, tak berani pula memikirkannya."
"Ya, kalau terlalu banyak memikirkan sesuatu, hati akan jadi lemah, dan orang yang berwatak lemah memang takkan hidup lama di Kangouw."
Lamkiong Ling hanya tertawa tawa tanpa bicara lagi. Tampak sebuah jalanan sempit berliku-liku merambat di samping gunung yang naik ke puncak, sebelah dinding gunung yang terjal tinggi, sebelahnya lagi adalah jurang ratusan tombak dalamnya, pemandangan disini tidak kalah indah elok, namun keadaan justru teramat berbahaya.
Apakah Jin-hujin tinggal di puncak gunung"
"Jin hujin cantik rupawan tiada bandingan dalam jagat ini, masakah dia sudi menetap di termpat yang lebih rendah dari orang-orang lain?"
"Selamanya aku jarang dibuat tegang setiap kali mendengar cerita romantis tentang Jin-hujin, terpikir pula segera aku sendiri bakal berhadapan dengan beliau, jantungku ini serasa hampir melompat keluar!"
Tiba-tiba terdengar suara aliran air dari kejauhan, disebelah depan menghadang sebuah jurang sempit, di bawah jurang adalah sebuah aliran sungai yang mengalir deras, bibir kedua jurang terpaut sepuluhan tombak, satu sama lain hanya dihubungkan oleh sebuah balok kayu yang tergandeng oleh alam.
Di atas balok kayu yang cuma dua kaki lebarnya, duduk bersila seorang, pakaiannya melambai-lambai tertiup angin, kalau terjatuh ke bawah pasti badan hancur lebur, namun orang ini memejamkan mata seolah-olah sedang tidur nyenyak.
Dengan duduk bersila dari bawah pakaiannya menonjol keluar ujung kakinya, namun sepasang bakiak justru dia jajar di hadapannya, di atas bakiak ini terletak pula sebatang pedang aneh yang bersarung warna hitam.
Setelah dekat baru Coh Liu-hiang jelas melihat raut mukanya yang kekuning-kuningan, beralis tebal berhidung elang, walau kedua matanya terpejam, namun terasa hawa membunuh yang tebal merasuk sanubari orang yang melihatnya. Deru angin yang keras menyingkap dan menarikan jubah besar kedodoran yang dipakainya, di depan dadanya tampak disulam dengan benang sutra emas delapan huruf yang berbunyi, 'Pedang peranti pembunuh, siapa melawan pasti dia mampus!'
Coh Liu-hiang mengkirik dibuatnya, katanya perlahan sambil mengawasi Lamkiong Ling,
"Siapa sih dia?"
Lamkiong Ling geleng-geleng kepala.
"Apa di seberang sana tempat tinggal Jin hujin?"
Lamkiong Ling manggut-manggut.
Coh Liu-hiang beranjak maju sambil menjura, katanya, "Sahabat ini sukalah memberi jalan sebentar?"
Orang itu tetap duduk tanpa bergeming, seolah-olah tidak mendengar suaranya.
Coh Liu-hiang tarik suara, katanya lebih keras, "Sahabat ini, bolehkah minta jalan, kami hendak ke seberang sana?" suaranya lantang bergema di alam pegunungan. Tapi orang itu tetap diam saja tanpa bergerak.
Coh Liu-hiang meringis kepada Lamkiong Ling, katanya, "Sayang saudara ini tidak mau buka mulut, seolah-olah dia mau bilang, 'Gunung ini aku yang membuka, pohon ini aku yang tanam, kalau ingin lewat jalan ini, tinggalkan uang sewamu'", sengaja ia ucapkan kata-katanya lebih keras untuk memancing reaksi orang itu.
Tiba-tiba kelopak mata orang itu bergerak, matanya sedikit terbuka seperti sebuah garis lembut saja, Coh Liu-hiang yang ditatap serasa seperti diiris oleh ujung pisau, sungguh hatinya amat terkejut.
Terdengar orang itu berkata pelan-pelan, "Betapa besar dunia ini, kemana saja boleh pergi, kenapa kalian harus lewat jalan sini?" kata-katanya amat kalem dan pelan, setiap patah katanya amat jelas, namun kedengarannya kaku dan menusuk kuping, seperti tajam pisau yang sedang menyisik bambu.
Tergerak hati Coh Liu-hiang, serunya bertanya, "Nama besar tuan ini?"
"Thian-hong-cap-si-long!"
"Apakah tuan bukan orang kelahiran dari Tionggoan?"
"Rumahku berada di Ih-ho-koh di Tang-bi!"
Berubah air muka Coh Liu-hiang saking kaget, tanyanya, "Jadi kaukah Jin hiap dari Ih-ho itu?"
Thain-hong-cap-si-long pejamkan mata, tak bersuara lagi. Dingin perasaan Coh Liu-hiang membayangkan musuh misterius yang menghilang di tengah kabut di pinggir danau tempo hari, batinnya, "Mungkinkah orang itu adalah dia ini?"
Dalam pada itu Lamkiong Ling pun tampil kemuka, seraya menjura, "Ih ho Jin hiap, bagai naga sakti tiada tandingan, dua puluhan tahun yang lalu, yang pernah muncul dan berkelana di daerah Bing-ciat itu, apakah bukan Cianpwe?"
"Tidak salah," sahut Thian-hong-cap-si-long.
"Untuk kedua kalinya Cianpwee putar balik pula, sehingga kami angkatan muda bisa saksikan kepandaian silat tunggal dari Ih-ho, sungguh Wanpwe amat sedang beruntung, entah sudah berapa lama Cianpwe menyeberang lautan datang kemari pula?"
Berkata Thian hong cap si long kalem, "Sepuluh hari yang lalu kutinggalkan perahu mendarat, lima hari yang lalu aku sudah tiba disini."
"Aneh," sela Coh Liu-hiang, "Agaknya Cayhe pernah melihat Cianpwe di Toa-bing-ouw?"
Thian hong cap-si-long menyeringai dingin jengeknya : "Tentulah matamu itu picak."
Coh Liu-hiang ingin bicara lagi, lekas Lamkiong Ling mengedipi padanya katanya tertawa,
"Sebetulnya Wanpwee ingin mohon petunjuk dan pengajaran Cianpwee, apa boleh buat kami sedang mengurus persoalan penting, semoga Cianpwe sudi memberi jalan sebentar, sekembalinya nanti pasti Wanpwee mohon pengajaran."
Bersambung JILID 8
Jilid 8 Tiba-tiba terbuka lebar kedua biji mata Thian Hong Cap Si Long, katanya bengis: "Kalian pasti hendak jalan lewat sini" Apakah hendak menemui Chiu Ling Siok?"
Melonjak jantung Coh Liu Hiang, orang asing ini kiranyapun tahu akan nama Chiu Ling Siok.
Dilihatnya Lamkiong Ling mengerutkan alis, katanya: "Chiu Ling Siok.." Apakah maksud Cianpwee adalah Jin Hujin?"
"Hm!" Thian Hong Cap Si Long menjawab dengan geraman.
"Cianpwee kenal sama dia?" tanya Lamkiong Ling pula.
Tiba-tiba Thian Hong Cap Si Long menengadah sambil terbahak-bahak keras, tawa yang mengiriskan bergema dan menggetarkan bumi sampai daun-daun pohon sama rontok berjatuhan.
Coh Liu Hiang dan Lamkiong Ling saling berpandangan, mereka tidak tahu apa yang menjadi buah tertawaan orang.
Terdengar Thian Hong Cap Si Long berkata sambil tetap tertawa: "Kau tanya aku kenal tidak padanya" Karena dia aku terima dihina dan dipermainkan oleh Jin Jip, dengan dendam dan penuh penyesalan aku kembali ke Tangni, aku bersumpah satu hari Jin Jip masih hidup, aku takkan menginjak kakiku di Tionggoan.................demi kebahagiannya, aku terima sekali pukulan Jin Jip, tanpa membalasnya! Karena dia sampai sekarang aku masih membujang! Dan sekarang, kau malah tanya aku apakah mengenalnya!"
Coh Liu Hiang melongo, sungguh tak pernah terpikir olehnya, pendekar dari Ih Ho di Jepang ini, ternyata ada sangkut pautnya dengan permainan asmara antara Jin Jip suami istri, lebih tak terkira pula bahwa laki-laki aneh yang berdarah dingin ini, kiranya juga mengenal asmara! Betapa mendalamnya cintanya terhadap Chiu Ling Siok, agaknya tidak kalah tebalnya dari Ca Bok Hap dan lain-lainnya.
Kecuali Ca Bok Hap Sebun Jian, Cou Yu Cin dan Ling Ciu Cu, orang ini adalah yang kelima.
Kelima orang sama-sama tergila-gila terhadap satu perempuan, rela hidup menderita selamanya dengan membujang. Cuma kalau Ca Bok Hap berempat sudah menemui ajalnya semua, ketinggalan orang ini saja yang masih hidup.
Akhirnya gelak tawanya yang menggila berhenti, kata Thian Hong Cap Si Long bengis: "Kini Jin Jip sudah mampus, maka Chiu Ling Siok akhirnya akan menjadi milikku, kecuali aku jangan harap siapapun dalam dunia ini bisa berhadapan dengan dia!"
"Tapi Jin Hujin........."
"Dia tidak sudi menemui orang lain lagi, pergilah kalian!"
"Cayhe sebagai murid Kaypang sudah sepantasnya menghargai pendapat Jin Hujin, cuma saudara Coh ini,........" sampai disini ia berhenti serta berpaling kepada Coh Liu Hiang.
"Apa benar dia tidak sudi menemui orang luar, aku perlu saksikan kata-kata dari mulutnya baru mau percaya!" kata Coh Liu Hiang tegas.
Lamkiong Ling berbisik: "Kalau dia tetap berjaga dibalok batu ini, cara bagaimana kita bisa menyebrang kesana?"
Balok batu ini melintang dipermukaan jurang yang puluhan tombak lebarnya dibawah aliran deras lagi, siapapun sukar terbang menyebrang kesana, jikalau hendak melesak lewat atas kepala Thian Hong Cap Si Long, hasilnya adalah seperseribu.
Berjelalatan biji mata Coh Liu Hiang, katanya kemudian sambil tersenyum: "Bagaimanapun juga, aku harus mencobanya!"
Belum habis kata-katanya, "Sreng" tiba-tiba selarik sinar kemilau melesat keluar dari lengan baju Thian Hong Cap Si Long yang lebar dan menyangkut diatas sebatang pohon sebesar lengan diseberang sana. Belum lagi Coh Liu Hiang sempat melihat barang apa yang melesat terbang itu,
"Peletak" terlempar pula dahan pohon itu yang sudah kutung dan terjatuh kedalam jurang, gelang perak berkilauan itu tahu-tahu sudah meluncur balik pula menghilang kedalam lengan bajunya pula.
Memang ada ratusan macam senjata rahasia yang dipakai oleh tokoh-tokoh Bulim di Tionggoan ini, diantara mereka tak terhitung banyaknya merupakan tokoh-tokoh yang termasuk ahli dalam permainan senjata rahasia tunggal sendiri, namun gerak gerik Thian Long Si Cap Long ini jauh berlainan dengan kepandaian orang lain, gelang terbang yang kemilau perak itu, kelihatannya jauh lebih hebat, aneh dan luar biasa, kelihatannya seperti hidup dan terkendali diwaktu terbang berputar :
"Kepandaian dari Ih Ho, memang jauh berlainan dari yang lain!" seru Coh Liu Hiang.
Thian Hong Cap Si Long menyeringai dingin, katanya bangga: "Inilah Si Kian Sut, salah satu rahasia dari kepandaian sembilan Jinsut. Kalau aku tidak kenal belas kasihan, bagaimana kalau batang pohon itu adalah lehermu" Tidak lekas kau enyah dari sini?"
"Si Kian Sut" Menakutkan benar namanya, cuma pohon itu barang mati, manusia tetap hidup, memangnya aku terima mengulurkan leher untuk kau jirat sampai mati?"
"Kau ingin mencoba?" damprat Thian Hong Cap Si Long. Ditengah bentakkannya, selarik sinar kemilau tahu-tahu sudah melesat kearah Coh Liu Hiang.
Terasa sinar kemilau ini menyilaukan mata, sebuah sinar membundar seperti paruh elang laksana kilat menerjang tiba, daya luncurannya jauh lebih cepat dari apa yang dia bayangkan semula. Tapi sebat sekali ia menggeser kedudukan tujuh kaki kesamping, tak nyana sinar perak itu ternyata seperti hidup, seperti bayangan mengikuti wujudnya, tahu-tahu mengejar tiba pula.
Beruntun Coh Liu Hiang bergerak bagai kilat tujuh kali berkelit, namun pandangannya serasa ditutupi bayangan perak yang berkelebat rapat dan kencang, sehingga ia kehabisan akal entah cara bagaimana untuk menyelamatkan diri.
Sekonyonh-konyong tiga bintik sinar hitam melesat terbang dari tapak tangan Coh Liu Hiang, dua bintik sinar bintang yang kehitam-hitaman terbang datar kesamping, namun setitik diantaranya telak sekali membentur sinar perak itu, hingga mengeluarkan suara nyaring, disusul suara "Creng"
yang lebih keras, cahaya perak yang memenuhi angkasa seketika sirna, paruh elang itu mematuk menjadi sebuah bundaran gelang dan jatuh ketanah, tapi mendadak mencelat naik dan terbang kembali.
Berubah gusar air muka Thian Hong Cap Si Long, bentaknya: "Bagero, berani kau pecahkan Si Kian Sut ku.......baik, coba kau lihat pula Tam Sim Sut Ki!" sekoyong-konyong sebuah tabir kabut tebal warna abu-abu laksana gelombang pasang menerpa datang, ditengah kabut tebal ini lapat-lapat seperti diselingi selarik sinar bintang yang gemerlapan. Lekas Coh Liu Hiang melompat mundur lalu menjejak tanah melambung tinggi ketengah udara.
"Blum" terdengar ledakan dahsyat, bagai pasir menyambar, kabut tebal itu seketika pecah berkembang keempat penjuru, sebuah pohon besar yang semula berada dibelakang Coh Liu Hiang, ternyata sudah keterjang hancur dan terbelah ditengah-tengahnya, kedua sisinya lantas tumbang kekanan kiri, poros pohon ternyata sudah hangus seperti disambar geledek, kebetulan hembusan angin berlalu, daun-daun pohon sama rontok menguning. Sepucuk pohon yang semula tumbuh subur menghijau, dalam sekejap saja sudah kuyu menguning dan layu hangus.
Mau tak mau tersirap darah Coh Liu Hing melihat kehebatan kepandaian orang, batinnya :
"Jingsut yang dia latih kiranya amat sesat dan ganas sekali." Sementara dengan ringan badannya meluncur turun tiga tombak jauhnya diatas jembatan batu, Thian Hong Cap Si Long yang sudah diliputi hawa membunuh dengan mata membara hanya beberapa kaki dihadapannya.
Lamkiong Ling berseru kaget dan kuatir: "Pendekar Ih Ho hebat dan lihay, Coh heng kau harus hati-hati!"
"Jinsut aku sudah menjajalnya," sahut Coh Liu Hiang tertawa, "Biar sekarang aku jajal pedang peranti pembunuhmu ini!"
Sepatah demi sepatah berkata Thian Hong Cap Si Long: "Kau ingin mencoba Ni Hun It To Jan?"
"Sekarang umpama kau beri aku kesempatan keseberang sana, akupun tidak sudi lagi, sekarang kau jauh lebih menarik dari pada Jin Hujin, setelah aku menjajal Ni Hun It To Janmu, masih ingin aku sedikit ngobrol dengan kau."
Thian Hong Cap Si Long menyeringai dingin, katanya: "Ni Hun It To Jan merupakan intisari dari segala ilmu pedang, setiap kali pedang di lolos harus menghirup darah dan menebus nyawa, tiada seorangpun yang kuasa melawannya, setelah kau mencobanya, maka jangan harap kau masih bisa bicara dengan orang lain, tanpa berkedip ia tatap Coh Liu Hiang, sorot matanya memancarkan cahaya aneh yang menyesatkan, demikian pula setiap nada suaranya seolah olah mengandung daya sedot yang bisa menyesatkan pikiran orang.
Roman muka Coh Liu Hiang tetap mengulum senyum manis, sekujur badannya dari kepala sampai kaki sudah diliputi kewaspadaan dan kesiapan, matanya justru menatap kebatang pedang atau golok itu.
Panjang golok ini kira-kira lima kaki, sempit panjang seperti pedang. Golok panjang yang aneh, tentu dimainkan pula dengan jurus dan tipu-tipu yang aneh pula. Sekonyong-konyong Thian Hong Cap Si long meraih goloknya seraya mencelat dan terloloslah goloknya! Sinar goloknya laksana kemilau permukaan air yang ditimpa cahaya rembulan, putih menghijau berhawa dingin, menusuk daging menyusup tulang.
Dengan tangan kiri memegang terbalik sarang golok, tangan kanan mengacungkan golok panjang kedepan setinggi alis, tajam golok mengarah keluar, sembarang waktu goloknya itu bisa bergerak menyapu dan membabat dengan dahsyat. Bagai patung batu, badannya berdiri tegak sekokoh gunung, sorot matanya yang aneh menatap kemuka Coh Liu Hiang. Sinar golok dan sinar matanya seolah-olah sudah membungkus dan mengurung sekujur badan Coh Liu Hiang.
Walau golok lawan belum bergerak, tapi Coh Liu Hiang sudah merasakan hawa membunuh yang merembes keluar dari ujung golok tajam ini, semakin lama semakin tebal, berdiri ditempatnya, ternyata sedikitpun tidak berani terlena dan sembarang bergerak! Ia tahu sedikit bergerak meski hanya ujung jarinya saja, maka besar kemungkinan titik kelemahannya akan merupakan sasaran empuk bagi lawannya, maka golok musuh yang hebat itu mungkin laksana kilat akan bergerak mengarah ketempat itu.
Teori ketenangan mengatasi gerakan merupakan intisari yang terutama dari ilmu pedang aliran Tang Ni. "Musuh tidak bergerak aku tak bergeming, musuh bergerak aku bertindak lebih dahulu, tidak bergerak tidak mengapa, sekali serang harus kena sasaran." Bahwasannya pertempuran tokoh silat kelas tinggi, memang cukup sejurus saja sudah bisa menentukan menang dan kalah.
Coh Liu Hiang merasa butiran keringat sudah mulai merembes membasahi ujung hidungnya, namun seraut muka Thian Hong Cap Si Long yang kuning seperti malam itu seolah-olah seperti mayat hidup yang kaku, tidak menunjukkan suatu perubahan.
Mendadak kedua bakiak kayu itu mencelat jatuh kedalam jurang, lama dan lama sekali baru terdengar suaranya yang membalik dari kedua bakiak yang kecemplung keair. Bakiak itu mencelat jatuh keair karena tertendang oleh kaki Thian Hong Cap Si Long yang menggeser maju sebelah kakinya. Selangkah demi selangkah Thian Hong Cap Si Long mendesak maju.
Mau tidak mau Coh Liu Hiang harus ikut bergerak, namun ia tidak tahu cara bagaimana dirinya harus bergerak. Telapak kaki Thian Hong Cap Si Long yang telanjang menggesek balok batu yang kasar selangkah demi selangkah menggeser maju, kulit tapak kakinya sampai tergesek pecah, dipermukaan balok batu ketinggalan noda darah yang merembes keluar. Tapi sedikitpun ia tidak merasakan sakit. Seluruh pikiran, semangat dan perhatiannya, ia tumplek diatas batang goloknya, sedikitpun ia tidak perduli atau tidak merasakan adanya sesuatu yang bergerak dikehidupan mayapada ini, kalau kakinya menggeser dan badannya bergerak maju, namun batang goloknya tetap teracung kedepan tanpa bergeming sedikitpun.
Pada saat itulah segulung angin kencang, tiba-tiba menerjang kepinggang Coh Liu Hiang.
Seluruh perhatian Coh Liu Hiang tertuju pada batang golok lawan, mimpipun ia tidak menduga orang akan menyerang lebih dulu menggunakan sarung pedangnya, saking kejutnya mau tidak mau secara reflek sebat sekali ia berkelit mundur. Tapi bertepatan dengan itu pula, Thian Hong Cap Si Long melolong keras dan lantang, golok ditangannya melebihi kilat cepatnya tahu-tahu sudah membabat dan membacok.
Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Agaknya dia sudah perhitungkan jalan mundur Coh Liu Hiang, sudah memperhitungkan bahwa Coh Liu Hiang terang takkan bisa mundur lagi, memang serasi benar sambaran senjatanya ini, kalau dinamakan pedang berantai pembunuh. Babatan goloknya kelihatan gerakan biasa dan sepele saja, tapi inti sari ilmu pedang, kecerdikan otak disaat menghadapi musuh tangguh, batas tertinggi dari manusia akan ilmu silat yang dipelajarinya, boleh dikata sudah termasuk dan terkandung didalam sejurus babatan golok panjang ini.
Sorot mata Thian Hong Cap Si long membara merah. Pakaian yang dikenakanpun tiba-tiba melembung dan melambai-lambai dipenuhi tenaga murni yang merembes keluar dari seluruh pori-pori kulit badannya. Babatan golok ini harus membunuh, betapapun ia tidak bisa memberikan kelonggaran. Apa benar Ni Hun It To Jan tiada tandingannya diseluruh kolong langit" Dimana sinar golok menyambar badan Coh Liu Hiang pun terjungkal roboh.... Untuk mundur tidak mungkin, berkelitpun tak bisa, terpaksa ia terjunkan diri kedalam jurang dari atas balok batu itu.
Jiwanya memang tidak mampus oleh babatan golok, namun apakah dia masih bisa bertahan hidup terjatuh kedalam jurang yang dalam serta aliran air yang demikian derasnya.
Lamkiong Ling terbelalak dan berseru kaget. Siapa sangka belum lagi suaranya hilang dan mulut sempat terkatup, bayangan Coh Liu Hiang tiba-tiba sudah melesat mumbul keatas pula.
Kiranya meski badannya terjungkal kebawah, namun ujung kakinya masih menyangkut dibibir batu, begitu sambaran golok lewat ia lekas kerahkan tenaga pada ujung kakinya dan dengan seenteng burung camar badannya mencelat naik empat tombak, kini badannya menukik menubruk langsung kepada Thian Hong Cap Si Long. Kalau dia sengaja berdiri diatas balok batu, kelihatannya sengaja menempuh bahaya, padahal siang-siang dia sudah memperhitungkan jalan mundurnya, jauh sebelum bergebrak, dia sudah memperhitungkan setiap macam kemungkinan yang bakal terjadi, maka begitu badannya terjungkal balik, ia serta merta mencelat naik keatas, bukan saja sudah mengerahkan segala tenaga, kecerdikan dan kehebatan gingkangnya, termasuk pula kepintaran dan pengalaman luasnya dalam menghadapi bahaya dan musuh-musuh tangguh, meski hanya satu jurus mereka bergerak, namun pertandingan ini sudah merupakan pertandingan ilmu silat dan kecerdikan otak yang tiada taranya.
Sepasang Pedang Iblis 14 Pertarungan Dikota Chang An Seri 2 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Kitab Pusaka 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama