Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja Bagian 3
bangsal ini harus dibangun benteng yang tinggi?"
Mahisa Agni memandang Anusapati sejenak, lalu sambil
menggeleng ia berkata, "Tidak tuanku. Tuanku tidak sepatutnya
membangun dinding yang tinggi di sekitar bangsal ini, sehingga
terdapat beberapa lapis dinding batu di halaman."
"Jadi, apakah yang harus kita lakukan?"
"Tuanku dapat membuat dinding serupa itu tanpa menumbuhkan
kecurigaan. Tuanku dapat membangun sebuah kolam di sekitar
bangsal ini, seakan-akan tuanku sengaja membuat bangsal tuanku
menjadi sebuah bangsal sang dikelilingi oleh air, bunga-bunga dan
binatang air di dalam kolam itu."
Sejenak Anusapati merenung. Lalu katanya, "Maksud paman,
bahwa aku sebaiknya membangun sebuah taman yang khusus di
124 sekitar bangsal ini. Katakanlah, taman yang dikelilingi oleh sebuah
kolam yang dalam?" Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Benar
Tuanku. Dengan kolam itu, maka bahaya yang dapat mendekati
Tuanku rasa-rasanya semakin berkurang. Tuanku akan dikelilingi
oleh pengaman yang sulit ditembus. Sementara itu, jika benar-benar
Tuanku berada di dalam bahaya, maka rasa-rasanya bahaya itu
telah jauh berkurang. Dengan kolam itu Tuanku tidak perlu
berprasangka lagi seperti yang selalu hamba sebut-sebut terhadap
Adinda Tuanku, Tuanku Tohjaya."
"Ia tidak lagi berbuat sesuatu yang pantas menimbulkan
prasangka. Aku rasa ia sudah menyesali semua tingkah lakunya."
"Mudah-mudahan. Tetapi seandainya dugaan itu keliru, maka
Tuanku tidak akan mudah diterkam oleh kelengahan."
Anusapati merenung sejenak. Ia masih ragu-ragu menerima
pendapat Mahisa Agni itu, akhirnya ia mengangguk kecil sambil
berkata, "Baiklah paman. Tetapi aku tidak akan membangunnya
sekaligus. Aku tidak mau menjadi seorang maharaja yang selalu
dibayangi oleh kecurigaan dan apalagi ketakutan. Ilmu yang
Pamanda berikan kepadaku merupakan salah satu benteng yang
paling dapat aku banggakan dari semua alat pengaman yang ada di
sekitarku. Para prajurit penjaga dan para pelayan dalam, rasarasanya
masih belum merupakan imbangan yang pantas bagi
kemurahan hati Pamanda."
"Ah," desis Mahisa Agni, "suatu ketika kita dapat lengah. Dan kita
harus menjaga diri di dalam keadaan lengah sebelumnya hal itu
terjadi." "Baiklah. Mulai besok aku akan melakukan pesan itu. Tetapi
perlahan-lahan." Seperti yang dikatakan, maka Anusapati pun mulai menaruh
perhatian terhadap taman-taman di sekitarnya. Pohon-pohon bunga
menjadi semakin rimbun. 125 "Alangkah baiknya jika ada kolam di dekat gerumbul pohon soka
itu," berkata Anusapati kepada seorang juru taman yang sedang
menyiangi tanamannya."
"Ampun Tuanku," juru taman itu mendekat sambil merunduk,
"apakah Tuanku menghendaki hamba membuat sebuah kolam kecil
di sebelah gerumbul pohon soka itu?"
"Buatlah. Jangan terlalu besar, tetapi jangan terlalu kecil. Kau
dapat mengupah beberapa orang yang akan kau pekerjakan. Aku
ingin kolam itu menyilang jalan samping bangsal ini. Dari sudut
yang satu sampai sudut yang lain."
"Oh, jadi kolam itu agak luas Tuanku."
"Ya. Aku ingin memelihara binatang air dan binatang darat di
taman ini. Aku ingin dapat melihat taman dari dalam bangsal,
sehingga aku tidak perlu pergi ke taman di sisi halaman itu."
"Hamba Tuanku. Jika memang itu yang Tuanku kehendaki."
Demikianlah maka di sisi bangsal Anusapati itu pun kemudian
digali sebuah kolam buatan. Karena Anusapati menghendaki kolam
itu dari sudut bangsal yang satu sampai ke sudut bangsal yang lain,
maka beberapa orang pekerja telah melakukan penggalian itu.
Beberapa orang senapati prajurit dan pimpinan pemerintahan
sama sekali tidak berprasangka terhadap kolam itu. Apalagi kolam
itu dibangun hanya sebelah dari bangsal itu, sehingga tidak
menumbuhkan kecurigaan apapun.
"Tuanku Anusapati memang penggemar taman sejak mudanya,"
berkata salah seorang senapati, "selagi ia masih seorang Pangeran
Pati, hampir segenap waktunya dihabiskan di taman. Sayang, bahwa
salah seorang sahabatnya, pengalasan dari Batil itu telah
berkhianat. Menurut kawan-kawannya, pengalasan itu termasuk
salah seorang yang sering kali mendapat pesan-pesan langsung jika
Tuanku Anusapati memerlukan perbaikan taman di halaman
bangsalnya, atau menghendaki sebatang pohon bunga yang baru."
126 Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya,
"Dan sekarang Tuanku Anusapati mendapat kesempatan untuk
memuaskan dirinya dengan taman yang akan dibangun di sebelah
bangsal itu. Tetapi itu lebih baik daripada kesenangan yang lain.
Lebih baik daripada Tuanku Anusapati mengambil istri muda seperti
Sri Rajasa, sehingga keturunannya akan merupakan ujung-ujung
yang sulit dipertemukan."
Demikianlah, maka para pekerja tidak saja menyiapkan sebuah
kolam yang luas dan dalam. Tetapi mereka harus menggali sebuah
parit untuk mengaliri kolam itu, karena tidak mungkin kolam seluas
itu diisi dengan daun upih dari sumur di taman. Agaknya sampai
sumur itu kering, kolam itu masih belum akan dapat penuh.
Meskipun tampaknya Anusapati hanya membangun sebuah
taman yang sederhana, namun ternyata memerlukan tenaga dan
biaya yang cukup banyak. Meskipun demikian Singasari yang besar
itu sama sekali tidak akan terganggu oleh sebuah kolam yang
seandainya mengelilingi seluruh halaman istana sekalipun.
Selain para pekerja yang menggali kolam, maka beberapa orang
juru taman telah menyiapkan sebuah taman yang baik. Agaknya
mereka mengerti bahwa Anusapati senang terhadap bunga soka
yang berwarna putih. Sebuah pohon kemuning telah ditanam di
ujung kolam yang sedang disiapkan itu, sedang bunga ceplok piring
susun yang berwarna kapas ditanam dekat di sudut bangsal.
Ketika kolam itu sudah cukup luas dan pohon-pohon bunga yang
ditanam di sekitarnya sudah mulai semi, maka air pun mulai
dialirkan ke dalam kolam itu. Sebuah parit yang panjang telah digali
dari luas halaman istana, menerobos di bawah dinding batu dengan
jeruji pengaman, agar tidak seorang pun yang dapat memasuki
halaman melalui parit di bawah dinding istana itu.
Sepekan kemudian, maka kolam dan taman itu sudah dapat
dilihat dalam keseluruhan. Tetapi beberapa batang pohon yang
meskipun sudah semi tetapi masih belum tampak segar. Meskipun
demikian taman itu sudah merupakan taman yang cantik.
127 Mahisa Agni melihat taman yang mulai kelihatan hijau itu dengan
hati yang berdebar-debar. Ia memuji kebijaksanaan Anusapati
sehingga kolam itu tidak semata-mata dibangun untuk melindungi
bangsalnya. Apalagi Anusapati membangun kolam itu sedikit demi
sedikit. Ketika taman itu benar-benar sudah menjadi segar dan air di
kolam itu sudah tampak jernih, maka mulailah Anusapati
mengumpulkan berjenis-jenis burung. Di waktu senggang, ia
berjalan-jalan di taman yang sempit di sebelah kolam itu dengan
anak dan permaisurinya. "Apakah hamba boleh mandi di kolam itu, Ayahanda?" bertanya
anak laki-lakinya. "Ah, tentu tidak," ibundanyalah yang menyahut, "meskipun
tampaknya jernih, tetapi air kolam itu kotor. Air itu mengalir dari
parit di luar halaman istana ini. Kita tidak tahu, apa saja yang sudah
masuk ke dalam air itu."
Anak laki-lakinya yang bernama Ranggawuni itu memandang
ayahandanya sejenak, seolah-olah ingin mendapat penjelasan dari
kata-kata ibundanya. Tetapi sambil tersenyum Anusapati
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dari hari ke hari taman itu menjadi semakin banyak dihuni
binatang kecil. Terutama burung berkicau. Sangkar yang bagus
berserakan di tepi kolam.
Apabila Anusapati berdiri di tepi kolam itu, maka ia pun mulai
membayangkan, apakah jika kolam ini kelak telah penuh
mengelilingi bangsalnya, benar-benar tidak mudah di seberangi.
Meskipun kolam ini dalam, tetapi hampir setiap orang dapat
berenang, sehingga dengan mudah akan dapat menyeberangi kolam
itu. "Tetapi para penjaga di empat sudut bangsal ini akan segera
dapat melihat gejolak air," berkata Anusapati kepada diri sendiri,
"jauh lebih mudah daripada melihat seseorang yang merunduk di
kegelapan, apabila di antara rumpun-rumpun bunga."
128 Ketika Mahisa Agni datang menghadap, maka Anusapati pun
bertanya, "Apakah menurut Paman, kolam itu sudah cukup luas?"
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya sambil
menjawab, "Hamba Tuanku. Agaknya kolam itu sudah cukup lebar
dan dalam. Apabila kolam itu sudah melingkari bangsal Tuanku."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun
sebenarnya ia sendiri tidak menganggap bahwa kolam itu terlalu
penting, namun ia tidak pernah mengabaikan pendapat Mahisa Agni
karena ternyata sampai saat terakhir Mahisa Agni telah memberikan
perlindungan yang tiada taranya. Apalagi kini Mahisa Agni sudah
menjadi semakin tua, sehingga menurut penilaian Anusapati,
pengalaman yang ada padanya, memang pantas untuk dihargai.
Untuk beberapa saat lamanya Anusapati membiarkan kolam yang
baru sebelah itu. Ternyata para penghuni istana yang lain pun
sangat senang berjalan-jalan di pinggir kolam yang dipagari pohonpohon
bunga. Bahkan para prajurit yang bertugas, selalu meronda
lewat sebelah kolam itu. Jika mereka kebetulan lewat, mereka pun
berhenti sejenak sambil memandangi ikan-ikan emas yang besar di
dalam kolam itu berenang di antara bunga teratai yang bertebaran.
Tetapi ternyata untuk beberapa saat lamanya, Anusapati tidak
melanjutkan pembuatan kolam itu. Agaknya ia telah melupakan
setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Karena sudah sekian
lamanya tidak pernah terjadi sesuatu, maka ia tidak berniat lagi
melanjutkan pembuatan kolam itu.
Namun, Mahisa Agnilah yang agaknya tidak melupakannya.
Bahkan ia pun telah memberanikan diri menyampaikan peringatan
bahwa sebaiknya pembuatan kolam itu dilanjutkan.
Anusapati memandang Mahisa Agni yang sudah tua itu dengan
senyum yang menghiasi bibirnya. Katanya, "Paman adalah orang
yang paling banyak berjasa kepadaku. Semua nasihat Paman
berguna bagiku, sehingga aku sampai pada kedudukanku yang
sekarang. Dengan demikian maka semua nasihat Paman tentu aku
hargai." 129 Anusapati berhenti sejenak, lalu, "Tetapi apakah Paman tidak
masih selalu dibayangi oleh pergolakan yang selalu terjadi di masa
muda Paman, sehingga Paman harus menjadi sangat berhati-hati."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia kini memang sudah
tua. Namun ia merasa bahwa firasatnya tidak menjadi susut.
Karena itu maka katanya, "Tuanku, mungkin hamba memang
terlampau berhati-hati. Namun hamba masih memohon agar
Tuanku mendengarkan permohonanku kali ini. Bukan saja mengenai
kolam yang mengelilingi bangsal Tuanku, tetapi setiap hubungan
dengan Adinda Tuanku Tohjaya."
Anusapati tidak mau menyakiti hati Mahisa Agni. Maka katanya,
"Baiklah Paman. Aku akan selalu berhati-hati."
Namun karena kesibukan yang lain, Anusapati tidak segera
sempat melanjutkan pembuatan kolam itu. Setiap ia melihat air
yang jernih dan bunga-bunga teratai, ia selalu teringat pesan
pamannya. Namun jika ia melihat kedamaian di wajah air itu,
seolah-olah ia tidak lagi ingin membuatnya lebih besar lagi.
Dalam pada itu, Tohjaya masih saja tenggelam di dalam
kesenangannya yang baru. Hampir setiap hari ia berada di lingkaran
sabung ayam. Namun agaknya sabung ayam itu telah menarik Mahisa Agni.
Ternyata kadang-kadang ia berada pula di lingkungan sabung ayam
itu. Bahkan beberapa kali Mahisa Agni membawa ayam sabungan
yang cukup baik ke arena.
Tetapi Mahisa Agni tidak seorang diri. Ia mempunyai seorang
kawan yang cakap memilih ayam aduan yang paling baik, yang
bahkan sekali-kali dapat memenangkan pertandingan melawan
ayam Tohjaya sekalipun. Namun agaknya Mahisa Agni tidak dapat memelihara hubungan
baik dengan orang yang memiliki kemampuan memelihara ayam itu
sehingga pada suatu saat Mahisa Agni menjadi sangat marah
kepadanya justru selagi mereka berada di arena pertarungan.
130 "Kau jangan mencoba menipu aku," bentak Mahisa Agni.
"Ampun tuan. Hamba tidak tahu maksud tuan," jawab orang itu.
"Ayam yang kau bawa kemarin kepadaku sama sekali bukan
ayam ini. Aku masih ingat jelas ketika aku menawarnya. Ayam itu
sama sekali tidak mempunyai sehelai bulu pun yang berwarna
kemerah-merahan. Apalagi ayam ini berdaun telinga putih dan
bermata hitam kelam."
"Tetapi hamba tidak bohong tuan. Sebaiknya tuan mencobanya
di arena. Jika ayam ini mengecewakan, biarlah hamba tidak
mendapat uang harga ayam hamba itu."
"Aku tidak peduli apakah ayam ini baik atau buruk. Tetapi bahwa
kau telah mencoba menipuku adalah perbuatan yang sangat
disesalkan. Jika persoalannya bukan sekedar persoalan ayam, aku
akan memilin kepalamu sampai lepas."
"Ampun, Tuan. Ampun."
Mahisa Agni yang marah itu tidak menjawab lagi. Dengan sertamerta
ia melangkah meninggalkan arena itu sambil berkata, "Maaf,
Tuanku Tohjaya. Aku telah dikecewakan oleh orang ini. Kali ini
hamba tidak akan ikut serta di dalam sabungan ini."
Sepeninggal Mahisa Agni, Tohjayalah yang kemudian mendekati
orang itu sambil berkata, "Lihat ayammu."
Sambil menyerahkan ayamnya orang itu berkata, "Tuanku Mahisa
Agni benar- tidak dapat aku mengerti tabiatnya. Sudah agak lama
hamba berhubungan tentang berbagai soal. Hamba adalah salah
seorang dari mereka yang membuat kolam itu. Namun tiba-tiba saja
Tuanku Mahisa Agni marah tanpa sebab."
"Jangan menyesal. Jika ayam itu memang baik, biarlah aku
membelinya." Demikianlah sejak saat itu, orang itu menjadi orang yang dekat
dengan Tohjaya di dalam sabungan ayam itu.
131 Ternyata bahwa orang itu memang memiliki kemampuan memilih
ayam aduan yang baik, sehingga setiap kali ia menjadi sangat dekat
dengan Tohjaya di arena. Meskipun sudah beberapa lama orang itu tidak lagi melayani
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mahisa Agni, namun setiap kali ia melihat Mahisa Agni, ia menjadi
ketakutan dan bersembunyi.
"Apakah orang itu masih datang kemari Tuanku," bertanya
Mahisa Agni. Tohjaya tertawa sambil menjawab, "Sudahlah Paman. Sebaiknya
Paman tidak mendendamnya lagi. Orang itu sudah merasa bersalah,
dan sekarang ia menjadi seorang kawan hamba di dalam arena
sabungan." "Oh," Mahisa Agni mengangguk-angguk, "tetapi jika melihat
wajahnya, rasa-rasanya tangan hamba menjadi gatal."
"Akulah yang minta maaf atas kesalahannya Paman."
Mahisa Agni tidak menyahut lagi. Disabarkannya hatinya. Dan
apabila ia melihat orang itu lagi, maka ia hanya menggeretakkan
giginya saja karena ternyata orang itu berada di bawah
perlindungan Tohjaya. Namun agaknya karena itu, Mahisa Agni menjadi semakin jarang
datang ke arena, sehingga pada suatu saat, hanya sekali-kali saja ia
menengoknya. Namun dalam pada itu, orang yang sering datang membawa
ayam kepadanya, yang kemudian melayani kebutuhan Tohjaya itu,
itulah yang hampir setiap kali ada di arena.
Sedikit demi sedikit kepercayaan Tohjaya tumbuh terhadap orang
itu. Jika orang itu tidak datang ke arena pada saat sabungan ayam,
Tohjaya selalu menunggunya dengan tidak sabar, karena setiap kali
orang itu selalu membawa ayam yang baik.
Tetapi dengan demikian, maka orang itu sering mendengar
persoalan-persoalan yang dianggapnya janggal di dalam arena itu.
132 Persoalan-persoalan yang tidak ada sangkut pautnya dengan
sabung ayam. Namun karena ia tidak berkepentingan, maka seolaholah
ia sama sekali tidak menghiraukan.
Seperti Anusapati yang tidak berprasangka, maka Tohjaya pun
sama sekali tidak berprasangka. Tohjaya bermimpi pun tidak bahwa
orang yang selalu datang kepadanya membawa ayam sabung
dengan pakaian yang kumal itu adalah bekas seorang pelayan
dalam yang mengenal beberapa hal mengenai istana Tumapel dan
kemudian Singasari. Orang itu adalah Kuda Sempana. Dan ternyata
bahwa prajurit-prajurit yang tua sekali pun, tidak dapat
mengenalnya lagi karena sudah terlalu lama Kuda Sempana tidak
memperlihatkan diri. Semula, ketika Mahisa Agni minta kepadanya untuk masuk ke
dalam istana, hatinya menjadi berdebar-debar. Tetapi ternyata ia
meyakinkan, bahwa tidak seorang pun lagi yang dapat
mengenalnya, apalagi dengan sengaja ia menyamarkan dirinya.
Karena itulah, maka ketika ia berhasil mendapatkan perlindungan
dari Tohjaya, ia menjadi semakin sering datang ke halaman istana,
bukan saja di saat-saat ada sabungan ayam, tetapi juga di saat-saat
lain. Dan karena kepercayaan Tohjaya menjadi semakin tebal
terhadap orang itu, meskipun sekedar di dalam persoalan ayam
aduan namun kadang-kadang Kuda Sempana sempat juga
mendengar persoalan-persoalan yang mencurigakan, karena
ternyata di antara mereka yang berkedok bersabung ayam itu
adalah orang-orang yang sebenarnya mempunyai rencana tertentu
terhadap pemerintahan Anusapati di Singasari.
Ketika pada suatu saat, Mahisa Agni menjumpainya di tempat
yang tersembunyi, maka Kuda Sempana menyampaikan apa yang
dapat disadap dari sabungan ayam itu.
"Memang ada hal-hal yang mencurigakan Agni," berkata Kuda
Sempana, "tetapi agaknya mereka memegang teguh rahasia
hubungan mereka. Sekali-kali aku juga mendengar istilah-istilah
133 yang aneh dan menumbuhkan prasangka, tetapi aku tidak tahu
pasti, apakah sebenarnya yang sudah mereka lakukan."
"Hati-hatilah," berkata Mahisa Agni, "sebaiknya kau tetap berada
di sana. Cobalah mengetahui, siapakah yang paling berpengaruh di
antara mereka, sehingga apabila mungkin salah seorang dari kita
akan menjajakinya." Kuda Sempana mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun
kerja itu adalah kerja yang berbahaya, tetapi ia ingin juga
melaksanakan. Sepintas teringat olehnya, adik seperguruannya yang
sudah mati terbunuh oleh Sri Rajasa. Bukan saja nyawanya
dikorbankan, tetapi juga namanya.
Kuda Sempana menarik nafas dalam-dalam. Pengorbanan bagi
keyakinan memang cukup mahal.
Demikianlah Kuda Sempana masih saja menjalankan
kewajibannya menjadi orang yang semakin dipercaya oleh Tohjaya
di dalam persoalan ayam sabungan. Namun kepercayaan Tohjaya
benar-benar sangat terbatas. Tetapi ia jauh lebih baik daripada
tanpa ada seorang pun yang berhasil mendekatinya.
"Mahisa Agni," berkata Kuda Sempana pada suatu ketika, "aku
melihat sesuatu yang aneh hari ini. Aku tidak tahu pasti, tetapi ada
firasat bahwa sesuatu akan terjadi di istana Singasari."
"Apa yang dapat aku lakukan?"
"Tuanku Anusapati adalah seseorang yang memiliki ilmu yang
cukup meskipun belum setingkat dengan Sri Rajasa. Kita berharap
bahwa apabila ia tekun, ia akan segera mencapainya. Karena itu,
berilah ia peringatan untuk malam ini dan beberapa hari
mendatang, agar ia sangat berhati-hati. Mungkin ada sesuatu akan
terjadi menilik keadaan yang aku anggap dapat menimbulkan
prasangka itu. Syukurlah jika tidak terjadi apa-apa. Tetapi sebaiknya
kita sangat berhati-hati menghadapi keadaan ini."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat
membiarkan sesuatu terjadi atas Anusapati, sehingga karena itu
134 maka katanya, "Aku akan berusaha meyakinkan Tuanku Anusapati
bahwa sesuatu akan dapat terjadi di malam-malam mendatang.
Agaknya Tuanku Anusapati menjadi semakin terlena oleh keadaan
yang hening selama ini."
Hari itu juga Mahisa Agni berusaha untuk menghadap Anusapati
di bangsalnya. Meskipun kedatangannya agak mengganggu, namun
Anusapati pun menerimanya juga, karena bagi Anusapati, Mahisa
Agni adalah keluarganya terdekat.
"Tuanku," berkata Mahisa Agni kemudian, "hamba tidak dapat
menyebutkan, apakah alasan hamba mohon kepada Tuanku, tetapi
hamba mengharap bahwa Tuanku sudi mendengarkannya."
"Hatiku menjadi berdebar-debar Paman," sahut Anusapati sambil
tersenyum. "Hamba mohon, agar Tuanku sudi memperhatikannya meskipun
barangkali hanya sekedar angan-angan seorang tua."
"Baik Paman. Tetapi katakanlah. Barangkali kolam yang belum
selesai itu" Atau soal yang lain?"
"Tidak Tuanku. Bukan persoalan kolam itu, meskipun hamba
mohon agar kolam itu pada saatnya diselesaikan juga."
"Baiklah. Katakanlah persoalan yang lain dari persoalan kolam
itu." "Ampun Tuanku. Sebenarnyalah hamba mendapat firasat, bahwa
di saat-saat terakhir ini Tuanku telah diancam bahaya. Seperti yang
hamba katakan hamba tidak dapat mengatakan alasannya. Karena
itu sebaiknya hamba menyebutnya sekedar firasat."
"Oh," Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Tuanku, yang hamba katakan kali ini agak lebih bersungguhsungguh
dari kecemasan hamba selama ini."
"Oh," Anusapati masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
135 Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Baginya Anusapati
hanya sekedar memberinya kepuasan saja. Tetapi pada wajahnya
sama sekali tidak nampak kesungguhan dan apalagi kecemasan.
"Tuanku," berkata Mahisa Agni, "sebenarnyalah hamba
menghargai sikap Tuanku, bahwa Tuanku tidak pernah
berprasangka buruk kepada siapa pun. Juga kepada lawan-lawan
Tuanku. Barangkali memang hambalah yang terlalu mengada-ada.
Tetapi bahwa kali ini sesungguhnyalah hamba memohon kepada
Tuanku untuk berhati-hati."
"Baik, baik Paman. Aku akan berhati-hati. Di malam hari, aku
akan menyediakan penjaga yang khusus di dalam ruang dalam. Dua
orang pelayan dalam yang aku percaya. Setidak-tidaknya ia akan
dapat membangunkan aku jika terjadi, sesuatu, bila aku baru
terlena di dalam tidurku."
"Baiklah Tuanku. Kedua orang yang Tuanku percaya itu akan
sangat berarti. Bukan saya dapat dipercaya karena kesetiaannya,
tetapi dapat dipercaya kemampuannya. Tentu tidak baik dilihat
orang, jika Tuanku menerima hamba di bangsal Tuanku, atau
orang-orang yang pernah bekerja bagi Tuanku atau atas nama
Tuanku, tetapi mereka bukannya prajurit-prajurit Singasari.
Kehadiran kami di bangsal Tuanku akan cepat menimbulkan
prasangka dan kecurigaan. Karena kedua orang pelayan dalam itu
adalah pilihan yang tepat bagi Tuanku. Sebenarnyalah jika terjadi
sesuatu selain kedua pelayan dalam itu, Tuanku sendirilah yang
akan dapat mengatasinya. "Baiklah Paman. Sejak malam nanti aku akan menempatkan
kedua pelayan dalam itu di ruang dalam meskipun aku harus
menemukan alasan, yang tidak dapat menimbulkan pertanyaan bagi
para prajurit yang bertugas di luar."
"Tentu Tuanku akan mendapatkan alasan itu."
"Tentu Paman." 136 "Dan hamba akan selalu menyediakan diri hamba untuk setiap
saat datang ke bangsal ini. Sebaiknya Tuanku memerintahkan
memberikan isyarat, jika Tuanku memerlukan hamba."
"Ya Paman." Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Namun ia menjadi
berdebar-debar melihat sikap Anusapati. Agaknya ia benar-benar
yakin bahwa Tohjaya sudah tidak akan berbuat apapun juga setelah
semakin lama ia berdiam diri.
Meskipun demikian, ternyata di malam hari berikutnya, Anusapati
benar-benar memanggil dua orang kepercayaannya, yang bukan
saja kesetiaannya, tetapi juga kemampuannya seperti yang
dikatakan oleh Mahisa Agni. Keduanya adalah orang-orang yang
khusus bagi Anusapati. Orang-orang yang akan bersedia
mempertaruhkan apa saja yang ada pada mereka untuk
kepentingan Singasari. Ketika keduanya dipanggil oleh Anusapati, maka keduanya pun
menjadi berdebar-debar. Tetapi ternyata keduanya hanya mendapat
perintah untuk berjaga-jaga di ruang dalam.
"Badanku terasa sakit sejak kemarin," berkata Anusapati kepada
para prajurit, "pelayan dalam itu aku perlukan setiap saat sakitku
tidak terkendali untuk memanggil tabib yang paling baik di
Singasari. Di siang hari badanku terasa biasa saja. Tetapi di malam
hari terasa betapa panasnya."
Para prajurit tidak pernah mempersoalkan kedua pelayan dalam
itu. Adalah kebiasaan seorang maharaja untuk menempatkan orangorang
yang khusus di dalam bangsalnya. Meskipun setiap saat
pelayan dalam yang bertugas selalu siap menerima perintah, tetapi
agaknya di dalam keadaan yang khusus, Anusapati memerlukan
orang yang khusus pula. Namun dalam pada itu, selagi keduanya ada di ruang dalam,
keduanya sempat menduga, apakah sebenarnya yang dimaksud
oleh Anusapati meskipun perintah tentang kesiagaan itu belum
dijatuhkan atas mereka. 137 "Agaknya Tuanku Anusapati mulai berhati-hati," berkata salah
seorang dari mereka. "Tuanku Anusapati terlampau baik. Tidak seorang pun yang
dicurigainya. Tetapi sikap itu sangat berbahaya bagi Tuanku
Anusapati itu sendiri."
Keduanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun rasarasanya
memang sesuatu akan terjadi.
"Mungkin justru karena perintah itu kita menjadi selalu merasa
gelisah," berkata salah seorang dari mereka pula.
"Mungkin. Tetapi orang yang sebersih Tuanku Anusapati itu, jika
terasa sesuatu mengganggunya, biasanya bukannya sekedar sebuah
kecemasan yang dibua-buat oleh bayangan sendiri."
"Kita memang harus selalu bersiap meskipun sebenarnya kita
tidak akan berarti apa-apa bagi Tuanku Anusapati selain untuk
membangunkan apabila perlu itu pun agaknya kitalah yang akan
dibangunkannya, indera Tuanku Anusapati yang melampaui
ketajaman indera kita."
Kawannya tersenyum, lalu, "Jadi apakah gunanya kita di s ini?"
"Seperti yang dikatakan, jika Tuanku merasa badannya tidak
enak di malam hari, kita akan memanggil tabib. itu saja. Selebihnya,
kitalah yang akan mendapat perlindungan dari Tuanku Anusapati
itu." Keduanya tersenyum. Dan keduanya memang merasa jauh lebih
kecil dari Anusapati. Meskipun demikian kehadiran mereka memang
terasa diperlukan. Selama mereka berada di ruang dalam di malam hari, maka
keduanya duduk di atas sebuah tikar di sudut ruangan. Bergantiganti
mereka berjaga-jaga sehingga semalam suntuk.
Namun justru karena ada dua orang yang bertugas itulah, maka
untuk beberapa malam tidak terjadi sesuatu, sehingga akhirnya
Anusapati menjadi jemu. Kehadiran kedua orang itu meskipun
138 bukan anggota keluarganya yang dekat, namun agak terasa
mengganggu. Kadang Ranggawuni tidak segera mau masuk ke
dalam biliknya. Bahkan pernah terjadi, anak itu memaksa kedua
pelayan dalam itu untuk pergi ke longkangan dan di malam hari itu
pula, ditantangnya kedua pelayan dalam itu untuk berlatih.
Sebenarnya kedua pelayan dalam itu senang sekali melayaninya.
Anak itu benar-benar seorang anak yang lucu dan lincah. Di dalam
umur yang masih sangat muda, sudah tampak tanda-tanda bahwa
ia akan menjadi seorang yang mumpuni. Seperti Anusapati, maka
Ranggawuni pun berlatih di bawah pengawasan Mahisa Agni, selain
beberapa orang pembantu yang tepercaya yang sekedar
melayaninya menjaga kemantapan badannya.
Tetapi bagi Anusapati, hal itu terasa sangat mengganggunya
sehingga baginya kedua pelayan dalam itu sebenarnya tidak
diperlukannya. "Paman," berkata Anusapati kepada Mahisa Agni pada suatu
saat, "sudah beberapa malam aku menempatkan penjaga itu di
ruang dalam. Tetapi selama itu tidak akan pernah terjadi sesuatu.
Apakah aku masih harus mempertahankan kedua orang itu di
bangsal" Rasa-rasanya aku selalu terganggu dengan kehadirannya."
"Tuanku," berkata Mahisa Agni, "bagi hamba kesiagaan itu masih
tetap diperlukan. Namun apabila kedua orang itu rasa-rasanya
mengganggu, terserahlah kepada Tuanku. Hamba hanya ingin
mengingatkan, bahwa hal serupa telah terjadi. Prajurit yang dengan
sengaja menimbulkan kericuhan untuk mengganggu pemerintahan
Tuanku. Dan sebenarnyalah bahwa kita sudah dapat menduga
siapakah yang melakukannya."
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tentu ia tidak akan membuat kesalahan serupa."
Mahisa Agni menari nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak akan
dapat memaksakan kehendaknya. Meskipun demikian ia masih
berkata, "Tuanku. Pembunuhan atas tawanan-tawanan itu
sebenarnya merupakan peringatan yang paling tajam."
"Ya, ya. Aku selalu ingat Paman."
139 Mahisa Agni terdiam. Ia hanya dapat menundukkan kepalanya.
Di malam hari berikutnya, Anusapati benar-benar telah
memerintahkan agar kedua pelayan dalam itu tidak lagi berada di
ruang. Anusapati sudah tidak memerlukannya lagi.
"Aku sudah sehat."
Namun agaknya kedua pelayan dalam itulah yang kemudian
menjadi berdebar-debar. Mereka sudah terlanjur dihinggapi
perasaan cemas oleh firasat yang buram.
Agaknya perasaan kedua pelayan dalam yang setia itu sesuai
dengan perasaan Mahisa Agni. Karena itulah, maka yang mereka
lakukan adalah pengawasan dengan diam-diam atas bangsal
Anusapati. "Tetapi tuan," berkata pelayan dalam itu kepada Mahisa Agni,
"tidak mustahil bahwa yang terjadi adalah benar-benar di luar
dugaan. Sebenarnyalah hamba kurang mempercayai beberapa
orang di dalam lingkungan hamba. Seperti yang terjadi, prajuritprajurit
itu pun dapat berbuat seperti yang pernah terjadi."
Mahisa Agni meng-angguk-angguk. Tetapi terlampau sulit untuk
melakukan pengawasan itu dari luar.
Sebenarnyalah, selagi kedua orang pelayan dalam itu tidak ada
lagi di dalam bangsal itu, rencana yang tertunda karena kehadiran
kedua pelayan dalam itu mulai disusun kembali. Tetapi mereka tidak
berbuat dengan tergesa-gesa. Mereka sadar bahwa kecurigaan
Anusapati perlahan-lahan telah lenyap. Dan mereka harus dapat
memanfaatkan sikap itu sebaik-baiknya untuk membinasakan
Anusapati sendiri. Yang pertama-tama memperingatkan Mahisa Agni adalah Kuda
Sempana yang berada di dalam lingkungan Tohjaya. Sikap yang
mencurigakan di antara mereka yang menyabung ayam itu benarbenar
sangat menarik perhatiannya meskipun ia tidak tahu dengan
pasti, apakah yang sebenarnya akan mereka lakukan.
140 "Tuanku Anusapati semakin tidak menghiraukan peringatanku
Kuda Sempana. Ia merasa dirinya semakin kuat dan aman. Ini
adalah kesalahannya yang terbesar."
Kuda Sempana mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia
tidak dapat berdiam diri saja melihat sesuatu yang mencurigakan di
arena itu, Bahkan menurut penilaian Kuda Sempana, sabung ayam
itu hanya sekedar alat untuk mempertemukan beberapa orang yang
dianggap penting bagi Tohjaya.
"Itulah sebabnya aku berusaha agar kau dapat masuk ke dalam
lingkungan mereka," berkata Mahisa Agni kemudian.
"Tetapi jika Tuanku Anusapati tidak mau mendengarkan
pendapatmu, aku kira adaku di antara mereka sama sekali tidak
akan berarti, meskipun tidak banyak yang dapat aku ketahui
tentang mereka, karena mereka sangat memegang teguh rahasia.
Dan aku adalah sekedar seorang yang melayani Tuanku Tohjaya jika
ia memerlukan seekor ayam yang baik."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, "Aku
akan berusaha terus. Jika terjadi sesuatu atas Tuanku Anusapati,
maka negara ini tidak akan segera tenang kembali."
Seperti yang dikatakannya, Mahisa Agni pun setiap saat yang
dianggapnya baik, selalu berusaha memperingatkan Anusapati
bahwa bahaya masih selalu mengancamnya.
Tetapi seperti yang dikatakan, Anusapati menganggap bahwa
Singasari telah aman. "Jika aku tidak dibayangi oleh dendam Paman, maka tentu orang
lain pun tidak akan mendendam," berkata Anusapati kepada Mahisa
Agni. Dan Mahisa Agni pun tahu, bahwa perasaan kuat dan tenteram
pada diri Anusapati, sama sekali bukan dilambari oleh perasaan
sombong dan tinggi hati, tetapi justru karena ia sama sekali tidak
berprasangka terhadap siapa pun.
141 Dan seperti yang dikatakan oleh Mahisa Agni, itulah
kesalahannya. Justru karena ia terlampau baik.
Selama itu, maka Mahisa Agnilah yang selalu dibayangi oleh
kecemasan. Bahkan kadang-kadang Mahisa Agni bertanya kepada
diri sendiri, "Apakah hatiku yang selalu dibayangi oleh angan-angan
buruk?" Namun, yang terjadi adalah seperti yang diduga oleh Mahisa
Agni. Ketika di bangsal Anusapati tidak ada lagi dua orang pelayan
dalam yang setia itu, justru pelayan dalam yang lainlah yang
mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya.
Seorang di antara beberapa orang pelayan dalam yang bertugas
adalah orang baru. Dan karena orang itu baru, maka kehadirannya
sudah menarik perhatian. Sejalan dengan peringatan Kuda
Sempana, maka kehadiran kedua orang baru itu menumbuhkan
pertanyaan pula pada kedua pelayan dalam yang pernah mendapat
tugas di dalam bangsal Anusapati.
"Orang baru itu terlampau cepat mendapat kepercayaan untuk
bertugas di dalam bangsal Tuanku Anusapati," berkata salah
seorang dari keduanya. "Apakah ada hubungannya dengan kecurigaan Tuanku Mahisa
Agni seperti yang sering dikatakan selama ini?"
"Mungkin sekali," jawab kawannya, "karena itu sebaiknya kita
menghubunginya." Kedua pelayan dalam itu pun kemudian menghubungi Mahisa
Agni dan melaporkan tentang seseorang yang masih sangat baru
yang bertugas di bangsal Anusapati.
"Apakah orang itu selalu berada di dalam."
"Ia berada di bagian belakang bangsal. Memang jarang-jarang ia
berada di luar." "Apakah tugasnya?"
142 "Menyiapkan keperluan Tuanku Anusapati. Menjalankan
perintahnya jika ada keperluan-keperluan kecil yang tidak
sepantasnya dilakukan oleh para emban. Baik keperluan Tuanku
Anusapati sendiri, maupun keperluan-keperluan Tuanku Permaisuri
dan Tuanku Ranggawuni."
"Ada berapa orang pelayan dalam di bangsal itu?"
"Lima orang yang bertugas di dalam, selain para prajurit yang
berada di luar." Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Tetapi ia harus mencari
akal, bahwa orang itu harus diawasi.
Dengan tergesa-gesa Mahisa Agni mencari hubungan dengan
Kuda Sempana. Kemudian setelah berjanji, Mahisa Agni pun masuk
ke dalam bangsal. "Hamba tidak mempunyai kepentingan yang harus mendapat
perhatian Tuanku," berkata Mahisa Agni, "hamba hanya sekedar
ingin bertemu dengan cucunda Ranggawuni."
"Oh," Anusapati mengerutkan keningnya. Memang hubungan
antara Mahisa Agni dan Ranggawuni agak berbeda dengan
hubungannya dengan Mahisa Agni di masa kanak-kanaknya. Ia
sendiri di masa kanak-kanaknya hampir tidak ada seorang pun yang
menghiraukan selain embannya yang kini melayani ibundanya yang
sudah tua pula. Dengan demikian justru ia menjadi erat dengan
Mahisa Agni dan berlatih olah kanuragan meskipun dengan rahasia.
Tetapi kini Ranggawuni tidak lagi dibiarkannya berkeliaran. Sehingga
dengan demikian, waktunya memang tidak terlampau banyak
berhubungan dengan Mahisa Agni. Meskipun dengan keadaannya
kini Ranggawuni tidak usah berlatih dengan diam-diam.
"Tuanku," berkata Mahisa Agni, "hamba ingin mengajak cucunda
Ranggawuni. Hamba mempunyai suatu permainan yang baik bagi
cucunda, sebagai kelengkapan olah kanuragannya."
"Oh, silakan Paman. Tetapi aku harap ia cepat kembali."
143 "Baiklah Tuanku. Tetapi hamba mohon seseorang untuk
mengantarkan cucunda, barangkali permainan itu dapat dibawanya
kembali ke bangsal ini."
"Oh," Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya, "biarlah
seseorang mengantarkannya."
Atas petunjuk Mahisa Agni, maka Ranggawuni pun mengajak
pelayan dalam yang baru itu untuk mengantarkannya.
"Apakah kau orang baru?" anak itu bertanya. Pelayan dalam yang
baru itu mengangguk dalam-dalam sambil menjawab, "Hamba
Tuanku. Hamba adalah orang baru di sini. Hamba mendapat tugas
bersama beberapa orang kawan-kawan hamba."
"Apakah kau senang berada di Singasari?"
"Tentu Tuanku. Dan hamba memang orang Singasari."
"Maksudku apakah kau senang menjadi seorang pelayan dalam?"
"Senang sekali Tuanku. Karena hamba memang ingin mengabdi
kepada ayahanda Tuanku. Tuanku Anusapati adalah seorang
maharaja yang adil dan bijaksana. Apalagi ternyata di sini ada
Tuanku. Tuanku adalah seorang anak yang kuat, yang akan tumbuh
menjadi seorang yang perkasa."
Ranggawuni tertawa. Katanya, "Kau memuji. Tetapi terima kasih.
Sekarang aku memerlukan kau. Antarkan aku ke rumah Pamanda
Mahisa Agni untuk mengambil permainan."
"Oh," pelayan dalam itu mengerutkan keningnya, "maksud
Tuanku, apakah hamba harus memanggil seorang prajurit
pengawal?" "Tidak perlu. Seperti Pamanda Mahisa Agni, seperti Ayahanda di
masa mudanya, mereka tidak memerlukan pengawal."
"Tetapi Tuanku Ranggawuni akan menjadi Pangeran Pati."
"Ayahanda sudah menjadi Pangeran Pati. Namun Ayahanda sama
sekali tidak memerlukan pengawal."
144 Mahisa Agni yang mendengar percakapan itu menarik nafas
dalam-dalam. Ternyata Ranggawuni yang masih terlampau muda
itu, telah menunjukkan kelebihannya sebagai seorang yang apabila
tidak ada rintangan, akan menggantikan kedudukan ayahanda
melalui jabatan seorang Pangeran Pati.
Pelayan dalam itu tidak dapat ingkar lagi. Ia pun kemudian
mengantarkan Ranggawuni yang pergi ke bangsal Mahisa Agni
untuk mengambil permainan yang dikatakannya.
Demikianlah, setelah permainan itu diberikan, maka Mahisa Agni
pun mempersilahkan Ranggawuni kembali ke bangsal ayahandanya.
Ternyata Ranggawuni senang sekali dengan permainan yang
diberikan oleh Mahisa Agni itu. Dua buah lingkaran yang berat,
terbuat dari kayu berlian, diikat pada ujung dan pangkal sebuah
rantai besi. "Besok hamba akan memberi tahu, bagaimana mempergunakan
permainan itu Tuanku," berkata Mahisa Agni kepada Ranggawuni
yang sebelum ia meninggalkan bangsalnya.
Tetapi agaknya Ranggawuni yang cerdas itu telah dapat
menduga, bagaimana mempergunakan permainan itu. Bahkan
baginya bukan sekedar sebuah permainan, tetapi bentuk itu adalah
bentuk yang lebih aman dari sebuah senjata.
Namun yang penting bagi Mahisa Agni, bukannya permainan
yang sudah diberikan kepada Ranggawuni itu. Tetapi ketika
Ranggawuni dan pengantarnya sudah kembali meninggalkan
bangsalnya, maka dari ruang belakang seseorang muncul sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Apakah benar orang itu termasuk salah seorang yang pernah
kau lihat?" Kuda Sempana masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Ya. Aku pernah melihatnya. Bahkan orang itu termasuk
orang yang pantas mendapat perhatian, karena ia terlampau dekat
dengan Tohjaya meskipun tidak dalam pakaian seorang prajurit."
145 Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan kerutmerut
di kening ia berkata, "Kuda Sempana. Tentu ada jalur yang
menghubungkan Tohjaya dengan pimpinan pelayan dalam,
sehingga orang itu tiba-tiba saja sudah terlempar ke dalam tugas di
bangsal Maharaja Singasari. Biasanya untuk menunjuk pelayan
dalam yang bertugas di dalam bangsal maharaja diperlukan
penelitian yang seksama, dan hanya mereka yang sudah terbukti
kesetiaannya. Tetapi orang itu adalah orang yang justru sangat
meragukan." "Ya. Dan itulah yang mendebarkan hati. Apalagi agaknya Tuanku
Anusapati sama sekali tidak menghiraukan masalah itu. Bahkan jika
seseorang memberitahukan atau memperingatkannya, jangankan
aku, sedangkan Adinda baginda, Tuanku Mahisa Wonga Teleng pun
seakan-akan tidak diperhatikannya."
"Jadi apa yang harus kita lakukan?"
"Apakah kau dapat memotongnya langsung di sabungan ayam
karena alasan yang dapat kau buat?"
"Tentu berbahaya sekali. Orang-orang lain yang tidak tahu
menahu persoalannya, akan menumpahkan semua kesalahan
padaku. Apalagi jika ada yang dapat mengenalku sebagai Kuda
Sempana." Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Kuda Sempana
akan dapat dihukum mati dengan cara yang mengerikan jika ia
membunuh seorang prajurit atau seorang pelayan dalam di dalam
arena sabung ayam dengan alasan yang kurang mapan.
"Atau mungkin di saat yang lain?"
"Mahisa Agni," berkata Kuda Sempana, "itu agaknya bukan cara
yang dapat meyakinkan Tuanku Anusapati. Jika bahaya itu tidak
tampak langsung pada Tuanku Anusapati, maka Tuanku Anusapati
akan tetap hidup di dalam dunia yang damai dan tenang seperti
sekarang tanpa melihat pergolakan di bawah permukaan air yang
diam itu." 146 "Aku mengerti. Jika orang itu hilang, maka yang paling
mengalami kejutan adalah justru orang yang memasangnya dan
mungkin Tohjaya. Tetapi ia akan dapat segera memasang orang
baru di bangsal Tuanku Anusapati. Dan bahaya bagi Tuanku
Anusapati masih tetap akan mengancam."
Keduanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi mereka
tidak segera menemukan cara yang sebaik-baiknya untuk mengatasi
kemungkinan yang paling buruk bagi Anusapati.
Namun demikian, Mahisa Agni tidak boleh berdiam diri. Apalagi ia
sudah melihat kemungkinan bahwa sesuatu bakal terjadi.
Karena Mahisa Agni tidak dapat menemukan cara yang dapat
ditempuh di luar pengetahuan Anusapati, maka diberanikannya
sekali lagi menghadap, meskipun yang mula-mula dicarinya adalah
Ranggawuni. "Apakah Cucunda dapat mempergunakan permainan yang hamba
berikan?" berkata Mahisa Agni.
"Aku sedang mencoba," sahut Ranggawuni.
"Tetapi apakah Ayahanda ada di ruang dalam?"
"Apakah kau akan menghadap?"
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hamba Cucunda."
"Kenapa tidak di paseban?"
"Tidak. Hamba tidak akan membicarakan masalah-masalah
penting bagi Singasari. Hamba hanya akan sekedar menghadap dan
membicarakan persoalan-persoalan kecil saja."
Ranggawuni kemudian memanggil seorang pelayan dalam yang
menyampaikan keinginan Mahisa Agni untuk menghadap.
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Ia tetap menghormati
Mahisa Agni. Tetapi bagi Anusapati, Mahisa Agni kadang-kadang
terlalu banyak membutuhkan perhatian.
147 "Mungkin demikianlah agaknya setiap orang," berkata Anusapati
kepada diri sendiri, "semakin tua kadang-kadang semakin
membosankan." Namun demikian dipanggilnya juga Mahisa Agni masuk.
"Ampun Tuanku. Agaknya sudah waktunya Tuanku beristirahat.
Tetapi perkenankanlah hamba menyampaikan sedikit persoalan
yang sepantasnya mendapat perhatian Tuanku."
Anusapati menarik nafas dalam-dalam.
"Tuanku. Perkenankanlah hamba berkata terus terang."
Anusapati mengangguk. "Di dalam bangsal ini ada seorang pelayan dalam yang masih
baru Tuanku." "Oh," Anusapati masih menganggukkan kepalanya, "apa
salahnya?" Mahisa Agni pun kemudian mencoba menjelaskan, apa yang
diketahui tentang pelayan dalam itu, dan kebiasaan yang berlaku
sampai saat terakhir tentang penugasan seseorang di bangsal
seorang maharaja. Anusapati tertawa pendek. Katanya, "Terima kasih Paman.
Paman memang terlampau berhati-hati. Paman sudah menjumpai
peristiwa yang agaknya membuat hati Paman agak cemas
menanggapi setiap perubahan. Paman, jika seorang pelayan dalam
sudah tidak dapat bekerja lagi, maka tentu akan datang saatnya
orang baru menggantikannya. Apakah hal itu bukannya hal yang
biasa saja?" "Memang Tuanku. Tetapi bahwa penggantian itu tidak melakukan
cara-cara yang selama ini ditempuh adalah sangat mencurigakan."
"Jika demikian," Anusapati kemudian memotong, "apakah yang
baik aku lakukan menurut Paman?"
148 "Tentu kita tidak dapat dengan serta-merta menuduhnya. Tetapi
kita harus mempunyai bukti yang cukup untuk menyatakan bahwa
orang itu memang pantas dicurigai."
"Caranya?" "Tuanku, apakah Tuanku sempat untuk berjaga-jaga dalam
waktu yang tidak tertentu?"
"Maksud Paman?"
"Sebenarnyalah bahwa Tuanku tentu akan sempat menolong diri
sendiri jika terjadi sesuatu. Tetapi pada suatu saat tentu Tuanku
akan lengah. Saat itulah yang ditunggunya."
"Aku mengerti Paman. Tetapi lalu bagaimana" Apakah aku harus
berjaga-jaga setiap hari sepanjang malam?"
"Seharusnya demikian. Tetapi karena hal itu tidak mungkin
Tuanku lakukan, maka perkenankanlah kita menempuh jalan lain."
"Sebutkan." "Biarlah hamba memasuki bangsal ini setiap malam Tuanku.
Hamba akan mengambil jalan yang tidak mencurigakan. Hamba
akan memasuki bangsal ini lewat atap."
"Ah, kenapa Paman mencari kesulitan" Paman dapat masuk ke
bangsal ini kapan saja Paman kehendaki."
(bersambung ke jilid 3). Koleksi: Ki Ismoyo Scanning: Ki Arema Retype: Ki Sunda Proofing: Ki Sunda Rechecking/Editing: Ki Arema
-oo0dw0ooTiraikasih Website http://kangzusi.com/
149 Jilid 3 "TUANKU, bukanlah kita akan
menjebak seseorang?"
Anusapati menarik nafas dalamdalam.
Sebenarnya bagi Anusapati
usaha mencelakakannya tidak
dapat dilakukan dengan mudah. Ia
memiliki kemampuan yang cukup
dan indera yang tajam. Jika ada
seorang pelayan dalam yang ingin
berkhianat, maka hal itu tidak akan
dapat mereka lakukan. Selain bagi
Anusapati, betapapun tinggi ilmu
orang itu, ia akan sempat
mengadakan perlawanan sementara untuk waktu yang
cukup. Jika ia benar-benar tidak dapat mengimbangi lawannya,
maka ia akan dapat memanggil para pengawal.
Tetapi Anusapati tidak mau menyakiti hati Mahisa Agni. Katanya
di dalam hati, "Biar saja Paman tidur di atap jika memang
dikehendakinya." Demikianlah karena Anusapati tidak menyatakan keberatannya,
maka Mahisa Agni dibantu oleh Kuda Sempana pun segera
mempersiapkan diri. Mereka tidak mau menunda lagi. Malam itu
juga mereka harus sudah mulai dengan tugas mereka.
Ternyata bahwa mereka berhasil bertengger di atas atap tanpa
seorang pun yang mengetahuinya. Dengan hati-hati mereka
berbaring pada lekukan atap yang kehitam-hitaman di bawah
bayangan sebatang pohon kemuning yang daunnya sedikit
merunduk di atas bangsal.
Dengan sabar mereka berdua duduk diam seperti seonggok
sampah. Namun indera mereka telah bekerja sebaik-baiknya untuk
menangkap setiap gerak dan desir di sekitar mereka.
150 Beberapa saat mereka tidak bergerak. Tetapi mereka juga tidak
melihat apapun juga. Namun mereka tidak segera menjadi jemu.
Bahkan setelah semalam suntuk mereka tidak menjumpai apapun.
"Apakah kita masuk saja lewat atap?" bisik Kuda Sempana.
"Kita di sini dahulu. Mungkin kita melihat pertanda sesuatu. Baru
jika perlu kita masuk."
Tetapi sampai saatnya fajar menyingsing mereka tidak melihat
tanda-tanda, bahwa sesuatu akan terjadi. Karena itulah maka
malam itu mereka menyelinap meninggalkan bangsal tanpa
memperoleh hasil apapun. Tetapi malam berikutnya mereka mengulangi usaha mereka
meskipun ketika Mahisa Agni menghadap Anusapati sambil
tersenyum maharaja itu bertanya, "Adakah Paman menemukan
sesuatu?" "Tidak Tuanku. Tetapi bahwa malam-malam masih akan
berlangsung panjang. Dari ujung hari sampai ke ujung hari."
Anusapati masih saja tersenyum sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya, katanya, "Paman memang seorang prajurit pinilih.
Silakan Paman. Tetapi jika pada suatu saat Paman yakin bahwa
tidak akan terjadi apa-apa, Paman dapat menghentikan usaha
penyelamatan itu." "Baiklah Tuanku."
Dan seperti yang direncanakan, maka pada malam hari itu
Mahisa Agni telah berada di atas atap di bawah bayangan pohon
kemuning itu lagi bersama Kuda Sempana tanpa seorang yang
mengetahui. Tetapi juga pada malam kedua mereka tidak menjumpai apapun
juga. Meskipun demikian pada malam ketiga, mereka telah
mengulanginya kembali. Dengan sabar mereka duduk di bawah
151 bayangan pohon kemuning yang menyuruk di atas atap bangsal
Anusapati. Seperti dua orang prajurit yang bertugas di daerah terpencil
maka berganti-ganti mereka berjaga-jaga. Jika yang seorang tidur
sambil memeluk lutut, maka yang lain mengawasi keadaan dengan
seksama. Dengan demikian maka mereka akan dapat bertahan
untuk waktu yang tidak menentu.
Tetapi pada malam ketika itu, lewat tengah malam, Mahisa Agni
melihat sesuatu yang bergerak-gerak di halaman belakang bangsal
itu. Hanya sekilas. Namun kemudian hilang di dalam kegelapan.
Mahisa Agni tidak sempat meyakinkan, apakah yang telah bergerakgerak
di tengah malam itu. Tetapi dengan demikian ia menjadi
semakin berhati-hati. Dengan dada yang berdebar-debar ia menunggu, mungkin
sesuatu benar-benar akan terjadi.
Ia menggamit Kuda Sempana yang tertidur sambil duduk
memeluk lutut. Ketika Kuda Sempana mengangkat wajahnya,Mahisa
Agni meletakkan jari telunjuknya di bibirnya.
kuda Sempana mengerti, bahwa Mahisa Agni telah melihat
sesuatu. Selagi mereka berdiam diri sambil menahan nafas, maka mereka
pun mendengar sesuatu berdesir. Dekat hampir di bawah tempat
duduk mereka. Tetapi suara itu pun kemudian hilang. Dengan demikian maka
Mahisa Agni dan Kuda Sempana itu menjadi semakin yakin, bahwa
sesuatu memang akan terjadi.
Tiba-tiba mereka membelalakkan mata ketika mereka mendengar
suara berbisik, "Bagaimana?"
"Tunggu," terdengar suara yang lain. Suara itu kemudian
terdiam. Untuk beberapa lamanya mereka tidak mendengar apapun
juga. Meskipun demikian, mereka tidak dapat tenang lagi. Agaknya
memang akan terjadi sesuatu malam itu juga.
152 Ketika malam kemudian menjadi semakin malam, Mahisa Agni
dan Kuda Sempana mendengar dinding yang diketuk perlahanlahan.
Agaknya ketukan itu merupakan isyarat bagi seorang yang
ada di luar dinding. Dan ternyata ketukan dinding itu diikuti oleh
suara yang lain, seakan-akan seseorang telah melemparkan sebutir
kerikil ke dalam semak-semak di belakang bangsal itu.
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Kuda
Sempana pun mengerti pula bahwa sesuatu telah mulai terjadi di
bangsal itu. Dari dalam gerumbul Mahisa Agni melihat dua orang mendekat.
Perlahan-lahan sekali. Mereka menghindarkan diri dari pengawasan
para prajurit yang bertugas mengawal bangsal itu.
Malam yang kelam itu rasa-rasanya akan menjadi malam yang
hiruk-pikuk. Jika terjadi sesuatu, maka para prajurit pun akan
segera mengepung bangsal itu dan setiap orang di dalam bangsal
itu pun tidak akan dapat melepaskan diri lagi. Juga Kuda Sempana.
"Kau akan disembunyikan di dalam bangsal oleh Tuanku
Anusapati," bisik Mahisa Agni ketika hal itu dikemukakan oleh Kuda
Sempana. Karena Kuda Sempana pun menjadi cemas, bahwa para
prajurit yang tidak mengenalnya akan menyangka bahwa ia adalah
salah seorang dan mereka yang memasuki bangsal itu dengan diamdiam
dengan maksud jahat. Mahisa Agni dan Kuda Sempana pun kemudian mendengar pintu
berderit, tentu seseorang telah membukanya dari dalam.
"Apakah semua orang di dalam bangsal ini telah berkhianat, atau
pelayan dalam yang baru itu telah melumpuhkan kawan-kawannya
yang lama?" Mahisa Agni dan Kuda Sempana bertanya kepada diri
sendiri. Sejenak mereka menunggu. Tetapi mereka tidak mendengar
suara apapun lagi. Karena itu, maka mereka berdua pun dengan
sangat hati-hati telah membuka atap bangsal itu dan masuk pula ke
dalamnya. 153 Tetapi keduanya memperhitungkan pula, bahwa betapapun
lambatnya, namun atap kayu itu tentu akan berdesir pula. Karena
itu, mereka mencari tempat yang tidak berada tepat di atas orangorang
yang agaknya telah berkumpul di bangsal itu pula.
Mahisa Agni telah mengenal bangsal itu dengan baik, sehingga ia
pun dapat memasuki sebuah ruangan yang jarang sekali dikunjungi
orang. Ruangan yang sering dipergunakan oleh Anusapati untuk
menyepikan diri jika ia sedang dicengkam oleh kegelisahan hati.
"Di sebelah adalah ruang yang dipergunakan oleh Tuanku
Anusapati," bisik Mahisa Agni.
Kuda Sempana mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kita membangunkannya," desis Mahisa Agni pula. Kuda
Sempana tidak menyahut. Ia hanya memperhatikan saja Mahisa
Agni menyentuh dinding dengan tangannya, sehingga menimbulkan
desir yang lemah. Namun ternyata bahwa indera Anusapati cukup tajam. Suara itu
telah membangunkannya, tetapi tidak mengejutkan. Perlahan-lahan
ia membuka matanya. Ia memang merasa mendengar sesuatu.
Tetapi suara itu telah lenyap.
Mahisa Agni yang mempunyai indera yang tidak kalah tajamnya
mendengar derit pembaringan Anusapati. Firasatnyalah yang
mengatakan kemudian, bahwa Anusapati tentu telah terbangun oleh
desir papan dinding yang memisahkan kedua ruangan itu.
Sejenak Anusapati masih mencoba mendengarkannya. Tetapi ia
benar-benar tidak mendengar apapun. Desah nafas Mahisa Agni dan
Kuda Sempana pun tidak dapat didengarnya, karena keduanya telah
menjaga pernafasannya baik-baik.
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Karena ia tidak
mendengar suara apapun lagi, maka ia pun telah memejamkan
matanya. Ia menganggap bahwa suara yang didengarnya adalah
suara yang terjadi di dalam mimpi atau sepotong ranting kering
yang terjatuh di atap. 154 Tetapi tiba-tiba matanya terbelalak. Ia memang mendengar
sesuatu. Karena itu, maka ia pun menahan nafasnya dan mencoba
memasang telinganya tajam-tajam.
Sebuah derit yang pendek telah menarik perhatian Maharaja
Singasari itu. Kemudian ia mendengar desir langkah kaki, betapapun
lambatnya. Tetapi tidak dari ruangan sebelah, ruangan yang
seakan-akan merupakan sanggar kecilnya di samping sanggar yang
sebenarnya. Dan suara itu memang bukan suara langkah Mahisa
Agni dan Kuda Sempana. Perlahan-lahan Anusapati bangkit dari pembaringannya. Ia
menjaga agar geraknya tidak menumbuhkan bunyi apapun. Bahkan
ketika ia berdiri, dan kemudian melangkah ke tengah biliknya.
Ketika suara itu terdengar lagi, maka Anusapati pun yakin bahwa
ada seseorang di dalam ruangan dalam bangsal itu. Sehingga
karena itu, maka sekilas ia teringat pesan Mahisa Agni, agar ia pun
berhati-hati.
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi Anusapati menarik nafas dalam-dalam ketika ia
mendengar langkah itu semakin jelas dan bahkan tanpa usaha
untuk menghilangkan desir suaranya sama sekali langsung menuju
ke pintu bilik Anusapati.
Sejenak tidak terdengar suara apapun. Namun kemudian
terdengar seseorang terbatuk-batuk.
"Hem," Anusapati berdesah, "aku terlampau berprasangka.
Agaknya seorang pelayan dalam yang mendekati bilik ini."
Meskipun demikian, Anusapati menjadi berdebar-debar juga.
Tentu ada sesuatu yang tidak wajar.
Yang pertama-tama terlintas di kepalanya adalah anak dan
istrinya yang tidur di bilik yang terpisah. Mungkin anaknya telah
diganggu oleh perasaan sakit dan badannya menjadi panas, seperti
yang memang pernah terjadi.
"Tetapi aku tidak mendengar ia mengeluh dan apalagi
mengaduh," katanya di dalam hati. Lalu, "Mungkin Ranggawuni
155 telah merasa dirinya menjadi semakin besar, sehingga, ia harus
dapat menahan perasaannya."
Meskipun demikian, Anusapati menjadi curiga juga. Ia tidak
mendengar langkah emban yang keluar dari bilik sebelah bilik
Ranggawuni dan bundanya, yang disediakan bagi para emban yang
sedang bertugas berjaga-jaga bergantian. Langkah yang
didengarnya adalah langkah kaki dari ruangan belakang dan batukbatuk
yang didengarnya betapapun ditahankannya adalah suara
seorang laki-laki. Tetapi yang digelisahkan kemudian bukanlah bahaya yang
mengancamnya lagi. Tetapi apakah yang sudah terjadi di luar
biliknya atau di luar bangsalnya.
Ketika suara batuk yang tertahan-tahan itu didengarnya lagi,
maka Anusapati itu pun bertanya, "Siapa itu?"
"Ampun Tuanku. Hamba memberanikan diri mendekat bilik
peraduan Tuanku." "Ada apa?" "Hamba adalah pelayan dalam yang bertugas di dalam bangsal
ini. Hamba dan kawan-kawan hamba melibat sesuatu yang
barangkali sangat ajaib bagi Tuanku dan hamba semuanya."
"Apa yang kau lihat?"
"Dari sela-sela dinding mula-mula kami melihat seakan-akan ada
perapian di luar bangsal. Karena hamba ingin tahu, maka hamba
pun telah membuka pintu belakang untuk meyakinkan apakah
penglihatan kami benar. Ternyata yang kami lihat adalah cahaya
dari dalam air di kolam sebelah, Tuanku."
"Ah. Apakah kau tidak bermimpi?"
"Semuanya dapat melihatnya Tuanku. Sampai saat ini cahaya itu
masih ada." Mahisa Agni dan Kuda Sempana mendengar kata-kata pelayan
dalam itu pula. Sejenak mereka saling memandang, seakan-akan
156 mereka ingin menyesuaikan pendapat mereka tentang kata-kata
pelayan dalam itu. Tanpa membicarakannya, mereka masing-masing dapat
menebak, bahwa pelayan dalam itu berusaha memancing Anusapati
ke luar dari biliknya. Tentu beberapa orang akan menyerangnya
bersama-sama di ruang belakang bilik itu.
Ternyata Anusapati tidak segera menjawab. Dan pelayan dalam
itu berkata seterusnya, "Tuanku. Sebenarnyalah hamba menjadi
ketakutan. Cahaya apakah yang berada di dalam air itu. Mungkin
hamba bukan seorang penakut, dan prajurit-prajurit yang bertugas
itu pun bukan penakut. Tetapi menghadapi sesuatu yang tidak
pernah hamba lihat, hamba menjadi berdebar-debar pula."
"Kau masih melihat sebelum kau mendekat bilik ini?"
"Hamba Tuanku."
"Kau mengharap aku melihatnya pula?"
"Ampun Tuanku. Terserahlah kepada Tuanku. Tetapi hamba ingin
mendapat ketenteraman hati apabila Tuanku dapat memberikan
penjelasan, apakah sebenarnya yang telah hamba lihat."
Sesuatu telah merayap di dalam dada Anusapati. Sebenarnya ia
sudah ingin membuka pintu dan melangkah keluar. Tetapi ia
teringat lagi peringatan Mahisa Agni dan bahkan adiknya Mahisa
Wonga Teleng, bahwa ia seharusnya selalu berhati-hati.
Sejenak Anusapati termangu-mangu. Dilihatnya pusakanya masih
tergantung di dinding di atas pembaringannya.
Perlahan-lahan ia mendekatinya. Sebilah keris yang ada di
dinding itu diambilnya. Bahkan kemudian dilihatnya geledek kayu di
dalam bilik itu. Di situlah keris Empu Gandring yang sakti
disimpannya. Namun agaknya Anusapati tidak mempergunakannya
untuk kepentingan yang kurang berarti.
Dengan hati yang bimbang Anusapati pun kemudian melangkah
ke pintu. Jika orang itu bermaksud jahat, kenapa ia
157 membangunkannya" Tetapi jika benar apa yang dikatakannya, maka
apakah sebenarnya cahaya yang dimaksudkan itu"
"Jika ia bermaksud jahat, tentu ia tidak akan melakukan di luar
bangsal ini, karena di luar ada prajurit yang sedang bertugas,"
berkata Anusapati di dalam hatinya. Namun tiba-tiba saja ia teringat
kepada permintaan Mahisa Agni untuk memasuki bilik ini lewat atap.
"Aku mendengar sesuatu sehingga aku terbangun sebelum aku
mendengar desir langkah orang yang terbatuk-batuk itu," katanya di
dalam hati. Dan suara itu dihubungkannya dengan kemungkinan
adanya Mahisa Agni di dalam bangsal itu.
Namun Anusapati adalah seorang prajurit. Ia ingin mengetahui,
apakah yang akan terjadi atasnya jika ia benar-benar keluar dari
dalam bilik itu. Sejenak kemudian Anusapati pun mendekati pintu dengan raguragu.
Perlahan-lahan tangannya mengangkat selarak dan dengan
hati-hati ia membuka pintu setelah ia yakin bahwa nafas yang
didengarnya tidak terlampau dekat dengan daun pintu itu.
Ketika pintu itu terbuka, Anusapati melihat seorang pelayan
dalam duduk sambil menundukkan kepalanya di muka pintu. Sama
sekali tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan.
"Kaukah yang melihat cahaya di dalam air itu?"
"Hamba Tuanku. Justru karena hamba pernah mendengar
cahaya Dewa Brama yang kemerah-merahan, maka hamba
menghadap Tuanku meskipun Tuanku sedang beradu."
"Di mana cahaya itu?"
"Di kolam Tuanku. Hamba melihatnya dari pintu belakang?"
"Kenapa pintu belakang?"
Pelayan dalam itu tergagap sejenak, lalu, "Cahaya itu ada di
ujung belakang." 158 Anusapati termangu-mangu sejenak. Sekali lagi ia mendapat
firasat, bahwa agaknya memang akan ada sesuatu yang terjadi.
"Mungkin aku hanya bercuriga karena Paman Mahisa Agni den
Mahisa Wonga Teleng sering memberi peringatan padaku," katanya
di dalam hati. Namun demikian ia pun kemudian berkata kepada pelayan dalam
itu, "Baiklah, aku akan melihatnya. Marilah."
Pelayan dalam itu mengangkat wajahnya. Tetapi ia masih duduk
saja di tempatnya. "Marilah." "Hamba Tuanku. Hamba akan menyertai Tuanku."
Anusapati termangu-mangu sejenak, ketika pelayan dalam itu
memberi isyarat kepadanya untuk berjalan lebih dahulu.
Setelah mempertimbangkan sejenak, maka Anusapati pun
kemudian berjalan diiringi pelayan dalam itu melintasi ruangan
dalam. Di bilik sebelah bilik permaisurinya ia melihat seorang emban
yang duduk terkantuk-kantuk di sini kawannya yang tertidur
nyenyak. "Pelayan dalam itu benar," berkata Anusapati di dalam hatinya,
"akukah yang harus berjalan di depan.
Namun langkah Anusapati pun rasa-rasanya selalu diberati oleh
kewaspadaannya. Ia menjadi semakin termangu-mangu ketika ia
melihat pintu yang sudah menganga. Pintu yang memisahkan ruang
dalam dan ruang belakang bilik itu.
Anusapati masih melangkah terus. Namun demikian, hatinya
menjadi semakin berdebar-debar. Rasa-rasanya ia melihat sesuatu
yang tidak wajar menunggu di balik pintu yang terbuka itu. Apalagi
cahaya lampu di ruang belakang itu agak redup. Jauh lebih redup
dari lampu di ruang dalam.
159 Tiba-tiba saja langkah Anusapati menjadi semakin lambat.
Bahkan kemudian seakan-akan ia telah berhenti.
"Silakan Tuanku," berkata pelayan dalam itu, "mumpung cahaya
itu masih dapat dilihat. Tentu cahaya semacam itu tidak akan
bertahan lama. Dewa Brahma tidak akan dapat berada di dunia
wadag ini lebih dari batas waktu yang sangat singkat."
Anusapati justru berhenti karenanya. Dan pelayan dalam itu
mendesaknya, "Silakan Tuanku. Jangan terlambat."
Anusapati melangkah maju. Tetapi tiba-tiba ia berbalik sambil
melekatkan telunjuknya di bibirnya. Tetapi lebih dari itu ia ternyata
telah mengacukan kerisnya hampir melekat di dada pelayan dalam
itu. Pelayan dalam itu terkejut bukan buatan. Tetapi karena isyarat
jari telunjuk Anusapati yang melekat di bibir itu, ia tidak berani
berkata sepatah kata pun. Demikian juga, ketika Anusapati
kemudian berputar dan mendorong orang itu untuk berjalan di
depan. Ternyata orang itu meronta. Dengan wajah yang pucat ia
menggelengkan kepalanya. Namun Anusapati menekankan kerisnya
di punggungnya sambil mendorongnya maju.
Betapa berat langkah kakinya. Apalagi ketika mereka
menghampiri pintu yang terbuka itu. Namun ia tidak sempat berbuat
apa-apa lagi, karena tiba-tiba saja Anusapati mendorongnya
sehingga orang itu terhuyung-huyung terdorong maju beberapa
langkah melintasi pintu. Tetapi begitu ia melampaui tlundak pintu, maka ia pun segera
berteriak, "Jangan, jangan! Ini aku ?"
Namun sudah terlambat. Suaranya itu terputus oleh tusukan dua
bilah keris di lambungnya kiri dan kanan.
Sejenak ia masih berdesah. Namun kemudian ia pun terjatuh
menelungkup dan mati seketika. Dua buah luka menganga di
160 lambung kiri dan kanannya, sedang darah mengalir membasahi
lantai yang mengkilap. Betapa terkejutnya kedua orang yang menusuk lambung kiri dan
kanan pelayan dalam itu. Ketika mereka sadar bahwa yang jatuh
menelungkup itu adalah kawan mereka sendiri, maka mereka pun
menggeram sambil berloncatan dari balik dinding. Ternyata tiga
orang telah menunggu Anusapati di balik dinding itu.
Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa Anusapati
perlahan-lahan. Katanya, "Ternyata kalian masih harus banyak
belajar. Kalian tidak dapat membedakan, siapakah yang harus kalian
bunuh di dalam bangsal ini, sehingga agaknya kawanmu sendiri,
bahkan justru pimpinanmu sendirilah yang harus mati lebih dahulu."
Orang-orang itu menggeram. Salah seorang dari mereka berkata,
"Pelayan dalam itu sama sekali tidak berarti bagi kami. Meskipun
kami keliru, namun kau pun akan mati di ujung keris kami. Kau
tidak akan mampu melawan kami bertiga, karena kami, yang datang
dari kaki Gunung Kendeng, adalah murid-murid terkasih dari Empu
Badara. Empu yang namanya dikenal sampai jauh ke seberang
lautan." Anusapati mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, "Aku
belum pernah mendengar nama itu. Tetapi seandainya benar ia
memiliki nama yang dikenal sampai ke seberang, apakah
kepentingannya dengan aku" Aku sama sekali tidak mempunyai
persoalan dengan orang yang menyebut dirinya Empu Badara."
"Kau memang tidak melihat ke dirimu sendiri. Setiap orang
mengetahui kecuranganmu dan bahkan tingkah lakumu yang
menodai Singasari. Kau sudah membunuh ayahmu sendiri karena
kau ingin menduduki tahtanya. Sekarang kau berpura-pura bertanya
apakah persoalanmu. Setiap orang sebenarnya membencimu karena
tingkah lakumu itu. Seorang anak yang telah membunuh ayahnya
sendiri, adalah seorang anak yang paling durhaka."
Wajah Anusapati menjadi panas dan kemerah-merahan. Tetapi ia
masih mencoba menahan hati dan berkata, "Sebenarnya kau keliru.
161 Jika benar kau murid orang yang menyebut dirinya Empu Badara,
hendaknya kau kembali kepada gurumu dan katakan kepadanya
bahwa tafsirannya itu keliru. Bukan aku yang membunuh Ayahanda
Sri Rajasa. Tetapi seperti yang telah diumumkan dengan resmi,
bahwa Pangalasan dari Batil itulah yang membunuhnya, dan aku
terpaksa membunuh orang dari Batil itu."
Salah seorang dari ketiga orang itu tertawa sambil melangkah
maju. Katanya, "Kau dapat membuat cerita apapun juga. Tetapi kau
tidak dapat mengelabui Empu Badara, karena Empu Badara dapat
melihat tanpa dibatasi oleh tempat dan waktu. Dan ia telah melihat
apa yang sebenarnya terjadi di istana Singasari itu."
"Terserahlah kepada kalian. Terserah kepada tanggapan orang
yang kau sebut bernama Badara itu. Tetapi sekarang kau terjebak di
dalam bangsal ini. Dan aku akan menangkap kalian."
"Kau?" orang itu tertawa, "Baiklah. Tetapi sayang, bahwa kami
sudah sepakat, bahwa kau harus mati."
Anusapati mengerutkan keningnya. Katanya, "Di sekitar bangsal
ini terdapat beberapa orang prajurit peronda. Apakah kau tidak
dapat memperhitungkan bahwa aku dapat berteriak memanggil
mereka." "Kau tidak akan sempat berteriak."
"Sekarang aku dapat berteriak."
Tetapi sebenarnyalah bahwa Anusapati tidak sempat
melakukannya. Tiba-tiba saja salah seorang dari mereka telah
menyerangnya dengan dahsyatnya, disusul oleh kedua orang yang
lain. Anusapati terkejut. Ternyata bahwa ketiga orang itu memiliki
kecepatan bergerak yang luar biasa, sehingga untuk menghindari
serangan itu, Anusapati harus mengerahkan segenap kemampuan
yang ada padanya. Namun serangan berikutnya adalah serangan yang dahsyat
sekali. 162 Hanya dengan mengerahkan tenaga dan kemampuan yang ada
padanya Anusapati dapat menghindar. Tetapi sampai kapan ia
berhasil memeras segenap ilmu yang ada padanya itu.
Dalam pada itu, emban yang berjaga-jaga di sebelah bilik
permaisuri itu pun terkejut. Mereka mendengar suara ribut di ruang
belakang. Bahkan bukan hanya emban itu yang menjadi berdebardebar,
tetapi sebenarnyalah bahwa permaisuri pun telah terbangun
pula. Tetapi sebelum ia sempat berteriak, dilihatnya Mahisa Agni
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berdiri di depan pintu sambil meletakkan jari telunjuknya di muka
bibirnya. Permaisuri itu percaya kepada Mahisa Agni, bahwa kehadirannya
tentu akan memberikan perlindungan jika terjadi sesuatu. Itulah
sebabnya, maka ia pun mengurungkan niatnya untuk berteriak
memanggil prajurit yang bertugas, atau siapa pun jika suara ribut
itu adalah merupakan bahaya bagi Anusapati.
Dalam pada itu Anusapati terpaksa meloncat jauh ke ruang
dalam. Ia benar-benar mengalami kesulitan melawan ketiga orang
itu, sehingga ia sudah memutuskan untuk memanggil para prajurit
yang bertugas, meskipun rasa-rasanya hatinya terlampau berat.
Apalagi kemampuan ketiga lawannya adalah jauh lebih tinggi dari
para prajurit yang berjaga-jaga. Jika di antara mereka terdapat
seorang atau dua orang perwira yang memiliki kemampuan cukup,
maka agaknya ia akan dapat mempertahankan dirinya, dan para
prajurit yang berjumlah cukup banyak itu pun akan dapat
membantunya menangkap ketiga orang itu.
Tetapi agaknya ia tidak akan sempat melakukannya. Ketika orang
yang semuanya bersenjata trisula itu sudah siap bersama-sama
menerkam mereka, Tetapi ketiganya terkejut ketika mereka mendengar seseorang
terbatuk-batuk di depan pintu bilik semadi Anusapati. Ketika mereka
berpaling dilihatnya seorang berdiri bersandar di bibir pintu.
"Paman Kuda Sempana," desis Anusapati.
163 "Hamba Tuanku. Hamba berani menampakkan diri karena
pelayan dalam yang baru itu sudah mati oleh kawan-kawannya
sendiri, karena hanya orang itulah yang pernah mengenal aku di
sabungan ayam." "Oh." "Dan karena itulah hamba selalu minta kepada Kakang Mahisa
Agni untuk setiap kali memperingatkan Tuanku, bahwa di dalam
istana ini tersembunyi bahaya yang setiap saat dapat meledak
seperti malam ini." "Siapa kau?" salah seorang dari ketiga orang bersenjata trisula
itu bertanya. "Aku sudah mendengar bahwa kalian adalah murid Empu Badara.
Aku tidak tahu, apakah kalian hanya sekedar berbohong dan
meminjam nama itu, atau sebenarnya kalian murid orang yang kau
sebut itu. Tetapi seperti Tuanku Anusapati aku pun belum pernah
mendengar nama yang kau sebut itu."
"Diam! Kau tidak usah turut campur, atau kau juga ingin mati?"
"Aku adalah murid Empu Sada. Mungkin kau juga belum pernah
mendengar. Seorang Empu yang menyusuri jalan yang kelam, yang
bersenjatakan tongkat panjang. Tetapi sekarang tinggal kenangan
saja. Adik seperguruanku yang mewarisi tongkat itu pun telah
meninggal, dan tongkat itu pun sekarang ada padaku. Apakah kau
pernah mendengar?" Ketiga orang itu menjadi tegang. Salah seorang berdesis, "Jadi
kau murid Empu Sada yang bersenjata tongkat panjang itu?"
"Ya. Dan barangkali kau juga pernah mendengar, yang berdiri di
sudut itu adalah murid seorang yang paling terkenal di telatah Kediri
dan Singasari. Ia adalah murid Empu Purwa dan sekaligus
kemenakan Empu Gandring, seorang empu keris yang terkenal."
Dada ketiga orang itu semakin terguncang. Ketika mereka
berpaling mereka melihat Mahisa Agni berdiri sambil menyilangkan
tangan di dadanya. 164 "Bukan saja murid Empu Purwa," berkata Kuda Sempana
seterusnya, "ia juga murid Empu Sada, dan bahkan memiliki
kemampuan dan kedahsyatan ilmu Wong Sarimpat dan Kebo Sindet
jika kalian pernah mendengarnya."
Wajah-wajah itu menjadi semakin tegang. Nama-nama itu
memang pernah mereka dengar, dan nama-nama itu membuat
kepala mereka menjadi pening.
Tiba-tiba salah seorang berteriak, "Bohong! Kau dapat menyebut
nama orang-orang yang memiliki kemampuan tinggi seperti Empu
Purwa, Empu Gandring, Empu Sada, Panji Bojong Santi dan siapa
saja. Tetapi aku tidak percaya."
"Terserahlah kepadamu. Tetapi yang kami katakan itu hanya
sekedar peringatan agar kalian berhati-hati menghadapi kami
bertiga. Nah, marilah kita saling memilih lawan. Tuanku Anusapati
yang dikenal sebagai Kesatria Putih, Mahisa Agni yang berkuasa
atas nama Maharaja Singasari di Kediri dan yang telah mengalahkan
Maha Senapati Kediri dan barangkali hanya akulah yang tidak
mempunyai kebanggaan apa-apa."
"Persetan!" geram yang seorang lagi.
"Jangan keras-keras," tiba-tiba Kuda Sempana tersenyum
menyakitkan hati, "jika para prajurit yang bertugas di luar
mendengar, mereka akan memasuki bangsal ini, dan umurmu akan
menjadi semakin pendek. Setiap perwira di Singasari akan bernilai
seperti kemampuan sepuluh orang biasa. Dan barangkali, kau
memiliki kemampuan dua belas kali orang biasa."
"Diam! Diam!" bentak yang lain. Tetapi Kuda Sempana justru
tertawa. Sejenak ia memandang Mahisa Agni yang berdiri di sudut,
dan sejenak kemudian Anusapati.
"Maaf," katanya kemudian, "barangkali caraku tidak disukai oleh
Kakang Mahisa Agni. Baiklah. Marilah kita tidak bergurau lagi. Tetapi
apakah kalian bertiga tidak mempertimbangkan kemungkinan untuk
menyerah saja?" 165 Ketiga orang itu menjadi tegang. Dan seolah-olah berjanji
mereka memilih lawan rnasing-masing. Karena mereka belum dapat
menjajaki kemampuan ketiga orang itu, maka mereka tidak dapat
membuat pertimbangan, siapa-siapa yang harus mereka hadapi
masing-masing. Sehingga dengan demikian, mereka akan
berhadapan dengan orang-orang yang berdiri di paling dekat.
Sejenak kemudian mereka bertiga sudah berhadapan dengan
ketiga orang yang memang sudah menunggu di bangsal itu. Namun
sebelum mereka terlibat dalam perkelahian. Mahisa Agni masih
bertanya, "Apakah kalian tahu, di manakah para pelayan dalam
yang bertugas di bangsal ini" Apakah pelayan dalam yang seorang
ini telah membunuh mereka dengan licik?"
"Aku tidak peduli!" geram salah seorang dari mereka, "Itu sama
sekali bukan urusanku. Aku hanya bertugas untuk membunuh
Maharaja Kediri." "Siapa yang menugaskan kalian?"
"Empu Badara." "Kau menyebut nama itu lagi," potong Kuda Sempana:
"Aku tidak peduli, apakah kau percaya atau tidak. Sekarang,
siapa yang akan mati lebih dahulu."
Anusapati pun kemudian mempersiapkan dirinya menghadapi
setiap kemungkinan. Demikian juga Kuda Sempana dan Mahisa
Agni. Bahkan Kuda Sempana masih sempat berkata, "Tuanku,
sebaiknya Tuanku tidak memanggil prajurit peronda. Dengan
demikian mereka akan membunyikan tengara, dan seisi istana akan
terbangun dan menjadi ribut. Sebaiknya orang-orang ini kita
tangkap sendiri dan kita ikat."
"Persetan!" salah seorang dari mereka ternyata tidak sabar lagi.
Ia segera meloncat menyerang Kuda Sempana dengan segenap
kemampuan yang ada padanya.
Serangan itu datang bagaikan lidah api yang meloncat di langit.
Cepat dan dahsyat sekali. Tetapi Kuda Sempana memang sudah
166 bersiap menghadapi kemungkinan itu, sehingga ia pun sempat
menghindarkan dirinya sehingga serangan itu sama sekali tidak
menyentuh tubuhnya. Ketika perkelahian itu sudah mulai, maka yang lain pun segera
menyerang lawan masing-masing. Yang seorang menyerang Mahisa
Agni yang lain menyerang Anusapati.
Tetapi kedua orang itu pun sudah siap menghadapinya. Bahkan
Mahisa Agni masih sempat menghindar sambil bergeser ke ruang
belakang, sehingga dengan demikian maka perkelahian itu pun
segera terjadi di tempat yang terpisah.
Keributan yang terjadi di dalam bangsal itu telah mencemaskan
Permaisuri. Bahkan kemudian Ranggawuni pun terbangun pula,
sehingga dengan susah payah permaisuri menahan agar
Ranggawuni tidak berlari keluar melihat apa yang sedang terjadi.
"Ibunda, kenapa hamba tidak boleh melihat?" bertanya
Ranggawuni. Lalu, "Apakah yang sedang terjadi?"
"Tidak apa-apa, Anakku."
"Jika tidak ada apa-apa, kenapa hamba tidak boleh pergi keluar?"
"Tidurlah. Hari masih terlampau malam."
Ranggawuni menjadi gelisah. Ia masih mendengar beberapa
orang yang agaknya sedang terlibat dalam perkelahian, karena
betapapun juga, ia pernah mengalami latihan-latihan di dalam olah
kanuragan meskipun masih terlalu sederhana.
"Ibunda, hamba akan pergi keluar."
"Jangan Ranggawuni. Ayahanda sedang berlatih bersama Paman
Mahisa Agni. Berlatih dalam ilmu kanuragan yang jauh di luar
kemampuan daya tangkapmu, sehingga karena itu, jika kau melihat
kau akan terganggu karenanya."
"Hamba akan melihat Ibunda," desak Ranggawuni.
167 "Jangan Ranggawuni. Jika kau memaksa, ibu akan bersedih,
karena putranya tidak mau mendengarkan nasihatnya."
Ranggawuni menarik nafas. Ia ingin sekali menyaksikan
perkelahian yang disebut oleh ibunya sebagai latihan itu. Tetapi ia
tidak berani memaksa, karena ibunya benar-benar tidak
mengizinkannya. Namun dalam pada itu, hati Ibundanya pun dicengkam oleh
kecemasan. Ia tidak tahu, apakah yang sebenarnya telah terjadi. Ia
tidak tahu, apakah Anusapati sedang di dalam bahaya yang
sebenarnya atau masih ada kemungkinan yang lain.
Tetapi kehadiran Mahisa Agni di bangsal itu membuat hati
permaisuri itu agak tenang, karena ia tahu bahwa Mahisa Agni
adalah pelindung Anusapati sejak kecilnya dan memiliki kemampuan
yang hampir tidak ada duanya.
Dalam pada itu, perkelahian itu pun terjadi semakin sengit.
Tetapi malanglah bagi mereka yang memilih Mahisa Agni dan Kuda
Sempana sebagai lawannya. Karena dalam waktu yang singkat,
mereka telah kehilangan setiap kesempatan untuk melakukan
perlawanan, dan bahkan untuk melarikan diri sekalipun.
Karena itu, maka betapapun mereka mengerahkan segenap
kemampuannya, namun sebenarnyalah bahwa mereka tidak
berdaya berbuat sesuatu. Meskipun Mahisa Agni dan Kuda Sempana bertempur tidak
dengan sepenuh tenaga, namun mereka segera berhasil mendesak
lawannya dan bahkan kemudian tidak memberi mereka kesempatan
berbuat sesuatu meskipun mereka sudah menggenggam senjata di
tangan. Dalam pada itu, Anusapati pun ternyata memiliki kelebihan dari
lawannya. Meskipun tidak secepat Mahisa Agni dan Kuda Sempana,
namun ia pun segera berhasil menguasai lawannya. Ketika lawannya
kemudian menarik trisula di lambungnya, maka Anusapati pun
menarik kerisnya, karena ternyata ia tidak dapat melawan trisula itu
168 dengan tangannya seperti yang dilakukan oleh Mahisa Agni dan
Kuda Sempana. Namun agaknya malang bagi lawannya. Justru karena lawannya
bersenjata dan bertempur memeras segenap tenaganya, maka
Anusapati pun harus mengimbanginya.
Ketika lawannya menyerang dengan dahsyatnya dengan
menjulurkan senjatanya, maka Anusapati pun menghindar. Ia
merendahkan dirinya sedikit dengan menjulurkan kerisnya pula.
Trisula lawannya itu menyambar papan dinding yang membatasi
ruangan itu dengan bilik Anusapati. Terdengar suara gemeretak.
Namun ujung trisula itu seakan-akan terhunjam pada dinding itu.
Sebelum orang itu sempat menarik trisulanya, maka keris Anusapati
yang terjulur itu sudah menghunjam di lambungnya.
Terdengar orang itu mengeluh pendek. Kemudian orang itu pun
perlahan-lahan jatuh tertelungkup hampir menimpa Anusapati yang
segera berkisar ke samping.
Dua orang temannya yang lain pun sama sekali tidak berdaya
melawan Mahisa Agni dan Kuda Sempana. Mereka yang juga
bersenjata trisula itu, sama sekali tidak berhasil mempergunakan
senjatanya. Setiap kali rasa-rasanya mereka kehilangan kesempatan
untuk berbuat sesuatu, karena lawannya yang selalu mendesaknya
ke sudut. Pada saatnya, maka senjata-senjata di tangan kedua orang itu
benar-benar tidak berdaya. Tanpa banyak dapat berbuat maka
senjata itu pun telah terlepas dari tangan masing-masing, sehingga
dalam sekejap, maka pukulan Mahisa Agni dan Kuda Sempana
benar-benar telah melumpuhkan mereka.
Namun dengan demikian, agaknya trisula yang menghantam
dinding itu telah menimbulkan suara yang keras. Dinding yang
berderak itu telah terdengar oleh orang-orang yang berada di luar.
Namun mereka tidak segera berani masuk, karena mereka tidak
mendengar Anusapati memanggilnya atau pelayan dalam yang
diutus. Namun demikian mereka telah mendekati pintu butulan,
169 yang setiap saat dengan mudah akan menerobos masuk jika terjadi
sesuatu. "Tidak ada apa-apa, "terdengar suara Anusapati dari dalam,
"Ranggawuni telah memukul dinding."
Kata-kata Anusapati itu telah menenangkan para prajurit di luar,
meskipun mereka masih tetap curiga. Sehingga dengan demikian
maka mereka pun masih tetap berkumpul di muka pintu.
Baru sejenak kemudian pintu pun terbuka. Anusapati sendirilah
yang berdiri di muka pintu sambil tersenyum.
Seorang perwira bertugas di regol depan menarik nafas dalamdalam.
Katanya, "Syukurlah Tuanku, bahwa tidak ada sesuatu di
bangsal ini. Hamba sudah cemas sekali mendengar suara yang
agaknya terlalu ribut di dalam."
"Kenapa?" "Hamba teringat saat-saat Tuanku Sri Rajasa yang telah
terbunuh dengan curang tanpa diketahui oleh para penjaga."
Anusapati tertawa. Katanya, "Masuklah."
Perwira itu termangu-mangu.
"Masuklah!" Perwira itu memandang kawannya yang berdiri di belakangnya.
"Marilah!" Perwira itu pun kemudian melangkah masuk diikuti oleh
beberapa orang prajurit yang lain.
Namun perwira itu terkejut ketika ia melihat seorang yang
tertelungkup dengan darah yang mengalir dari lambungnya
membasahi lantai. "Tuanku?" Anusapati tersenyum. 170
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Perwira itu menjadi gemetar. Ternyata bahwa hal yang
dicemaskan itu telah terjadi.
"Lihatlah ke ruang sebelah! Ruang belakang dari bangsal ini."
Perwira itu menjadi semakin berdebar-debar. Diikuti oleh para
prajurit, mereka pun masuk ke ruang belakang. Dilihatnya Mahisa
Agni berdiri di sudut ruangan itu. Di sebelahnya dua orang yang
telah diikat tangannya berdiri bersandar di dinding.
"Oh," perwira itu berdesis, "apakah yang telah terjadi Tuanku?"
"Seperti yang kau lihat. Tiga orang berhasil memasuki bangsal
ini. Dan jika kau lihat orang mati di sudut itu, ia adalah seorang
pelayan dalam. Kami sedang mencari pelayan dalam yang lain, yang
ternyata kami temukan dia pingsan di bilik pelayanan, dan tiga
orang yang tidak dikenal ini hampir saja merampas nyawaku, seperti
yang pernah terjadi atas Ayahanda Sri Rajasa."
Perwira itu menjadi semakin gemetar. Ia merasa bersalah bahwa
para prajurit yang berjaga-jaga sama sekali tidak melihat orangorang
itu menyusup masuk ke dalam bangsal. Mereka tidak melihat
apakah ketiganya merusak dinding, atap atau dengan cara lain.
Tetapi agaknya seorang pelayan dalam telah menjadi kaki tangan
mereka yang berhasil menyusup di bangsal ini.
"Sudahlah," berkata Anusapati, "jangan membuat seisi istana ini
menjadi kacau. Karena itulah maka aku tidak memberikan tanda
apapun agar tidak dibunyikan tanda bahaya. Kehadiran Pamanda
Mahisa Agni telah menyelamatkan aku."
Anusapati berhenti sejenak sambil memandang pintu bilik
penyepen yang tertutup. Di dalam bilik itu Kuda Sempana yang tidak banyak dikenal oleh
pada prajurit sedang memanjat naik. Kemudian dengan hati-hati ia
memperbaiki atap yang dibukanya saat ia masuk meskipun tidak
sempurna, namun atap itu sudah tampak tertutup kembali.
Justru pada saat perhatian semua prajurit terpusat pada
keributan di dalam bangsal, Kuda Sempana dengan hati-hati dapat
171 lolos dari pengawasan mereka dan hilang dibalik kegelapan. Sesaat
kemudian ia pun sudah meloncat dinding dan berada di luar
lingkungan halaman istana Singasari.
Di dalam bangsal, para prajurit masih berdebar-debar. Meski pun
Anusapati tidak terbunuh, tetapi mereka dapat dihukum, karena
mereka jelas bersalah. Bangsal Maharaja Singasari yang dijaga ketat
ternyata masih dapat disusupi oleh orang-orang tidak dikenal.
Tetapi ternyata bukan pasukan pengawal saja yang akan menjadi
sasaran kesalahan itu. Panglima pelayan dalam pun akan dituntut
oleh sebuah pertanggungjawaban, bahwa ada orangnya yang
berusaha berkhianat terhadap Maharaja Singasari.
"Sekarang," berkata Anusapati, "jangan berada semuanya di
dalam bangsal ini. Kalian akan kehilangan kewaspadaan lagi."
"Oh," perwira itu berdesis, "baiklah Tuanku. Hamba mohon
ampun bahwa hamba dan kawan-kawan hamba telah menjadi
lengah dan tidak mengetahui bahwa ada sekelompok orang yang
berhasil menyusup ke dalam bangsal ini."
"Sudahlah," jawab Anusapati, "sekarang, bersihkan bangsal ini.
Korban-korban itu harus diselenggarakan sebaik-baiknya besok.
Kalian dapat berhubungan dengan para pelayan di istana ini. Tetapi
yang penting, penjagaan harus tetap berjalan seperti biasa, dan
bangsal ini menjadi bersih. Agar jika Permaisuri keluar dari
peraduannya, tidak dikejutkan oleh pemandangan yang mengerikan
ini." Demikianlah maka para prajurit itu pun membagi tugas. Sebagian
dari mereka segera mengangkat mayat-mayat itu dan membawanya
keluar. Yang lain mengambil air dan membersihkan darah yang
berceceran di lantai. Sedang sebagian dari mereka tetap berada di
gardu penjagaan di regol bangsal itu.
Namun bagaimanapun juga, berita tentang usaha pembunuhan
itu tidak dapat dirahasiakan lagi. Pada malam itu juga, berita itu
sudah tersebar di seluruh halaman istana. Meskipun tidak
menimbulkan kekacauan bagi mereka yang tertidur nyenyak di
172 bangsal-bangsal, terutama Ibunda Tuanku Anusapati dan putraputranya
yang lain, Ibunda Ken Umang dan putranya, dan para
penghuni yang lain, namun para prajurit dan pengawal yang lain
pun bagaikan dipanggang di atas bara. Setiap petugas di halaman
istana merasa bersalah, seperti pada saat Sri Rajasa terbunuh.
"Dahulu Tuanku Anusapati masih bersabar dan memaafkan
kesalahan para petugas. Tetapi kini persoalannya menyangkut
dirinya, meskipun ia masih sempat mengelak dan bahkan
membunuh orang-orang yang berusaha membunuhnya," berkata
salah seorang prajurit. Yang lain mengerutkan keningnya. Lalu jawabnya, "Ya. Tentu
persoalannya akan berbeda. Justru Tuanku Anusapati masih tetap
selamat. Jika ia tidak menjatuhkan hukuman, terutama kepada yang
bertugas di bangsalnya itu, maka para penjaga berikutnya akan
menjadi lengah pula."
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya,
"Tentu orang-orang itu adalah orang-orang yang luar biasa,
sehingga mereka mampu menghindarkan diri dari pengawasan para
petugas di bangsal itu, dan para pelayan dalam di dalam bangsal."
"Tetapi Tuanku Anusapati memang orang luar biasa. Ia berhasil
mengalahkan ketiga orang itu."
"Dan yang paling mengherankan Tuanku Mahisa Agni sudah
berada di bangsal itu. Tentu Tuanku Mahisa Agni pulalah yang
membunuh orang-orang yang berusaha membinasakan Tuanku
Anusapati itu." "Memang aneh. Tetapi daya tangkap Tuanku Mahisa Agni atas
peristiwa-peristiwa yang sedang terjadi dan bakal terjadi memang
tajam sekali," ia berhenti sejenak, "dan tentu ada hubungannya
pula, mengapa dua orang kepercayaan Tuanku Anusapati beberapa
saat yang lampau berada di bangsal itu. Agaknya saat itu memang
sudah ada tanda-tanda pengkhianatan yang akan terjadi, meskipun
alasannya berbeda. Tetapi selama kedua pelayan dalam
kepercayaan itu ada di bangsal, tidak pernah terjadi sesuatu,
173 sehingga akhirnya keduanya tidak lagi diperintahkan untuk berada
di dalam bangsal setiap malam."
"Ya, tentu bukan karena Tuanku Anusapati sedang sakit saat itu."
Kedua prajurit itu pun kemudian terdiam. Mereka berusaha
membayangkan apa yang telah terjadi di dalam bangsal itu, dan
kenapa Mahisa Agni tiba-tiba saja sudah berada di sana.
Tetapi pada umumnya, pertanyaan yang demikian itu
menghinggapi setiap petugas. Tetapi hampir setiap orang di dalam
istana itu pun menjawabnya sendiri, "Mahisa Agni memang manusia
luar biasa. Agaknya ia dapat melihat dan mengerti apa yang terjadi
di dalam istana ini. Atau barangkali, ia memang setiap malam
nganglang mengelilingi istana dan terutama bangsal kemenakannya
yang sangat dikasihinya itu."
Demikianlah maka bangsal Anusapati itu pun menjadi bersih.
Bekas darah telah terhapus, dan para pelayan dalam yang pingsan
telah sadar. Namun dalam pada itu, betapa terkejut Mahisa Agni dan
Anusapati ketika mereka melihat kedua tawanannya yang
diharapkan dapat memberikan keterangan tentang usaha
pembunuhan itu telah mati di sudut bilik pelayanan, di mana
keduanya di tempatkan. Dengan wajah yang tegang Mahisa Agni mendekati keduanya
sambil berkata, "Tuanku, keduanya agaknya sudah meninggal."
"He," Anusapati terkejut. Dengan tergesa-gesa ia mendekati
keduanya yang sudah membeku di sudut bilik itu. Tetapi ketika
Anusapati akan meraba orang-orang itu, maka Mahisa Agni cepat
menggamitnya. "Ampun Tuanku. Kita masih belum tahu, apakah sebabnya
keduanya mati," berkata Mahisa Agni.
"Maksudmu?" 174 "Jika kematiannya disebabkan oleh sebangsa racun yang dapat
menjalar karena sentuhan, maka Tuanku pun akan keracunan."
"Oh," Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sadar,
bahwa ternyata ia kurang berhati-hati. Jika keduanya benar-benar
kena racun yang menyentuh dari luar tubuhnya, maka racun itu
memang menjalar kepada orang lain yang menyentuhnya pula.
Beberapa orang pelayan dalam yang sudah sadar akan dirinya itu
pun kemudian diperintahkan oleh Mahisa Agni untuk mengambil
beberapa buah lampu, sehingga bilik itu menjadi terang. Dengan
demikian Mahisa Agni dapat melihat dengan jelas, bahwa kedua
mayat itu memang keracunan. Tetapi menurut pengamatan Mahisa
Agni, racun itu sama sekali bukan membunuhnya dari luar, tetapi
justru dari dalam. "Mungkin sebangsa paser itu lagi," desis Mahisa Agni. Karena
Mahisa Agni kemudian yakin, bahwa racun itu tidak membunuhnya
dari luar, tetapi justru lewat saluran darah, maka ia pun kemudian
berani meraba mayat-mayat itu dan mencari luka yang barangkali
menjadi pintu masuk racun itu sehingga menyentuh darah.
Tetapi kali ini Mahisa Agni tidak menemukannya. Sehingga
dengan demikian ia mengambil kesimpulan, "Tuanku, menurut
pengamatan hamba, agaknya kedua orang ini telah membunuh
diri." "Bagaimana mungkin ia membunuh diri. Ketika kita menangkap
mereka, mereka langsung kita ikat tangan dan kemudian kakinya."
"Mereka tentu membawa semacam butiran racun. Agaknya
mereka telah menelan racun itu demikian mereka merasa tidak
dapat memenangkan perkelahian ini."
175 "Aku kurang yakin. Apakah demikian besar kesetiaan mereka
kepada orang yang memberikan perintah kepada mereka itu,
sehingga mereka bersedia dengan suka rela mengorbankan
nyawanya?" "Agaknya demikian yang harus mereka lakukan. Mungkin mereka
memang orang- yang setia. Tetapi mungkin juga karena di dalam
perjanjian jual beli, tercantum ketentuan, bahwa jika mereka gagal,
mereka harus mati." "Bagaimana jika mereka tidak usah membunuh diri dan
menempatkan diri di dalam perlindungan kami?"
"Jika mereka bertiga langsung mengikat perjanjian dengan orang
yang berkepentingan memang mungkin sekali Tuanku. Tetapi jika
yang mengadakan perjanjian itu justru guru mereka, dan perintah
bagi ketiganya benar-benar datang dari seorang yang disebutnya
gurunya dan bernama Empu Badara, maka keadaannya akan lain.
Tentu mereka tidak akan berani ingkar apapun yang harus mereka
lakukan, termasuk bunuh diri."
Anusapati menarik nafas dalam-dalam.
Dan Mahisa Agni berkata selanjutnya, "Sebab bagi seorang
murid, kata-kata gurunya adalah perintah yang tidak dapat dibantah
lagi. Termasuk mati. Karena jika perintah itu tidak dijalankan,
mungkin mereka akan mengalami bencana yang lebih dahsyat
daripada mati." 176 "Misalnya?" "Cacat seumur hidup. Atau siksaan badaniah yang tidak
tertanggungkan, dan masih banyak lagi yang akan dapat terjadi."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Mungkin sekali. Dan ketiga orang itu lebih takut kepada gurunya
daripada kepada mati. Dan karena itulah maka mereka telah
memilih mati." Dengan demikian, maka sekali lagi Singasari dihadapkan pada
suatu persoalan yang rumit. Beberapa kali Singasari kehilangan
orang-orang yang mereka anggap penting sebagai sumber
keterangan. Para perwira yang telah memberontak itu mati oleh
paser-paser beracun, kemudian kini orang-orang yang sudah
berhasil ditangkap itu telah membunuh diri dengan menelan racun
pula. Demikianlah, di pagi harinya, Singasari telah digemparkan oleh
peristiwa malam itu. Betapapun hal itu dirahasiakan, namun berita
itu pun tersebar di seluruh kota, bahkan kemudian di seluruh negeri.
Bahwa sekelompok orang yang tidak dikenal telah berusaha
membunuh langsung Tuanku Anusapati, setelah beberapa saat yang
lampau, sekelompok prajurit mencoba berkhianat pula terhadap
pemerintahannya. Dengan demikian, maka Anusapati mulai menjadi cemas, bahwa
dendam yang ada di antara keluarganya menjadi semakin besar.
Meskipun tidak ada bukti-bukti yang dapat disebutkannya, namun
dugaannya kuat bahwa yang telah menggerakkan semua kekacauan
itu adalah keluarga sendiri.
177 Namun demikian Anusapati masih menyimpannya saja di dalam
hati. Ia tahu pasti, bahwa Mahisa Agni, bahkan adiknya, Mahisa
Wonga Teleng juga berpendapat demikian. Namun ia ingin
menemukan bukti yang dapat dipakainya untuk menjadi alasan
setiap tindakan yang akan dilakukannya, sehingga orang lain tidak
akan dapat menuduhnya, sekedar karena dengki dan sakit hati,
justru karena orang yang dicurigainya itu adalah saudara seayah
tetapi lain ibu. Bahkan sama sekali tidak ada hubungan keluarga.
Anusapati setiap kali hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
Orang-orang tua di Singasari pasti mengetahui bahwa pada saat
Akuwu Tunggul Ametung terbunuh, Ibundanya, Ken Dedes sedang
mengandung, dan kemudian lahirlah dirinya, Anusapati. Dengan
demikian, pasti banyak orang yang sebenarnya tahu, bahwa ia sama
sekali bukan putra Sri Rajasa. Dan karena itu pulalah, maka agaknya
memang ada tuduhan, bahwa kematian Sri Rajasa, memang
dikehendakinya. Tetapi lebih daripada itu, ia tidak mau menerima akibat tuduhan
bahwa jika ia menyangkutkan Tohjaya di dalam persoalan ini tanpa
bukti yang nyata, maka apa yang dilakukan yaitu adalah fitnah
semata-mata justru karena Tohjaya adalah putra Sri Rajasa apalagi
lahir dari istrinya yang kedua, Ken Umang.
Namun sudah dua kali ia kehilangan kesempatan untuk
mendapatkan saksi, siapakah yang telah berbuat dibalik usaha
pengancaman dan pembunuhan atas dirinya itu.
Di dalam paseban Agung yang diadakan kemudian, maka
Anusapati sudah menunjukkan kemurahan hatinya lagi, bahwa ia
tidak menjatuhkan hukuman yang setimpal atas para prajurit dan
178 pelayan dalam yang bertugas di malam yang menggemparkan itu.
Tetapi ia tetap memberikan peringatan, bahwa jika terjadi sekali lagi
pada saat mereka itu bertugas, maka mereka akan disangkutkan
pada kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang yang berkhianat
itu. Dalam pada itu, Mahisa Agni yang masih selalu mencemaskan
nasib Baginda Anusapati itu pun tidak lagi melontarkan usulnya
dengan diam-diam, langsung kepadanya, tetapi pendapatnya itu
pun dinyatakannya di dalam paseban yang terbuka.
"Ampun Tuanku," berkata Mahisa Agni, "adalah demi
keselamatan Tuanku dan kelangsungan pemerintahan Singasari,
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perkenankanlah hamba mengusulkan, agar keselamatan Tuanku
terjaga, maka sebaiknya kolam yang kini merupakan hiasan yang
indah di sebelah bangsal itu diperbesar lagi. Selain akan menambah
keindahan pemandangan di seputar bangsal, maka hal itu akan
mencegah terulangnya usaha pembunuhan seperti yang pernah
terjadi." "Maksud Pamanda?"
"Kolam itu diperluas mengelilingi bangsal Tuanku."
"Ah, apakah justru akan menghilangkan keindahan kolam itu
sendiri?" "Tidak Tuanku, bangsal Tuanku akan menjadi seolah-olah sebuah
perahu yang berlayar di lautan. Tetapi lebih daripada itu, Tuanku
179 dan putranda Tuanku, akan bebas, setidak-tidaknya akan
memperkecil kemungkinan, terjadinya pengkhianatan."
Anusapati mengerutkan keningnya. Ketika ia memandang wajahwajah
di paseban itu, dilihatnya beberapa orang menganggukanggukkan
kepalanya. Bahkan kemudian seorang senapati tidak
saja mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi tanpa disadarinya
terdengar ia berdesis, "Benar, sesungguhnya itu benar."
"Apa yang benar?" bertanya Anusapati.
Senapati itu terkejut. Dengan gugup ia menjawab, "Ampun
Tuanku. Sebenarnyalah yang dikatakan Tuanku Mahisa Agni itu
benar." Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Dilihatnya bahwa
hampir semua orang sependapat, bahwa perlu diambil tindakan
pengamanan atas dirinya. "Tuanku," seorang senapati yang lain, yang sudah beruban
berkata, "apakah salahnya jika kita berhati-hati. Selebihnya bangsal
itu benar-benar akan menjadi suatu pemandangan yang sedap di
dalam halaman istana Singasari. Sebuah kolam yang mengelilingi
bangsal agung, dan ditaburi dengan pohon-pohon bunga. Tetapi
yang penting Tuanku, telah terbukti bahwa ada pihak yang memang
akan berkhianat terhadap Tuanku."
Anusapati pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya
sambil bersabda, "Baiklah Pamanda Mahisa Agni. Jika memang tidak
ada yang mengajukan keberatan, maka biarlah aku memerintahkan
180 agar kolam itu diperluas sehingga mengelilingi bangsal. Dan apabila
masih ada yang berkeberatan, maka aku masih akan mendengarkan
dan mempertimbangkan pendapatnya."
Sejenak paseban itu menjadi hening. Baru kemudian seorang
panglima bergeser setapak. Sambil membungkukkan kepalanya
dalam-dalam ia berkata, "Ampun Tuanku yang Maha Bijaksana.
Sebenarnyalah hamba menjadi sangat prihatin atas peristiwa yang
baru saja terjadi. Apalagi hamba adalah panglima pelayan dalam,
yang tidak dapat menghindarkan diri dari pertanggungjawaban atas
kelalaian yang tidak termaafkan dari beberapa orang pelayan dalam
yang malam itu bertugas di dalam bangsal. Namun demikian
Tuanku, bagi hamba kolam yang mengelilingi bangsal Tuanku itu
kurang hamba pandang perlu, kecuali jika hal itu memang akan
menyenangkan hati Tuanku. Semata-mata dari segi pengamanan,
maka yang lebih penting adalah kesiagaan prajurit dan pelayan
dalam yang lebih banyak. Dan itu adalah kewajiban para panglima.
Panglima pasukan pengawal, panglima pasukan pengamanan dan
panglima pelayan dalam yaitu hamba sendiri, dan pada senapati dan
segenap prajurit." Terasa dada Anusapati berdesir. Demikian juga Mahisa Agni, dan
terutama Mahisa Wonga Teleng yang masih lebih muda dari
Anusapati sendiri. Tetapi untunglah bahwa Mahisa Agni sempat
menggamitnya dan memberi isyarat, biarlah Anusapati sendiri yang
menjawab. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Anusapati pun
kemudian berkata, "Kau benar. Sebenarnyalah pengamanan semua
yang ada di dalam istana ini bergantung kepada para panglima dan
prajurit. Tetapi bagiku kolam itu tidak ada salahnya, seperti juga
dinding yang melingkari halaman istana ini."
181 Panglima pelayan dalam itu mengerutkan keningnya. Sejenak ia
berpikir, namun ia tidak segera dapat menyahut.
Dalam pada itu maka Anusapati pun melanjutkan kata-katanya,
"Bagiku, kolam itu memang mempunyai dua arti. Aku memang
senang melihat air di sekeliling bangsalku. Dan aku tidak dapat
mengabaikan nasihat Pamanda Mahisa Agni. Jika para panglima dan
prajurit tersinggung jika kolam itu dimaksudkan untuk
mengamankan bangsal, maka seharusnya para panglima dan
prajurit juga tersinggung melihat dinding batu halaman istana ini.
Jika kita mempercayakan diri kepada para prajurit, dinding batu itu
sama sekali tidak akan berarti."
"Ampun Tuanku," berkata panglima itu kemudian, "ternyata ada
bedanya antara dinding batu dan kolam di seputar bangsal itu
apabila kelak benar-benar akan dibuat. Dinding itu semata-mata
untuk mempermudah pengawasan dan untuk menahan arus
kekuatan lawan jika pada suatu saat kita terpaksa berperang. Dari
atas dinding kita mempunyai kesempatan untuk melawan musuh
dengan kesempatan yang lebih banyak daripada musuh yang
datang dan terhalang oleh dinding itu."
"Nah, bukankah tidak ada bedanya" Kolam itu pun bukan berarti,
tidak ada tanggung jawab lagi dari para prajurit yang bertugas.
Tetapi kolam itu sekedar mempermudah pengawasan dan
memperkecil kemungkinan penyusupan seperti yang pernah terjadi."
Panglima itu menundukkan kepalanya. Ia tidak dapat membantah
lagi. Sehingga karena itu, maka ia pun tidak mengucapkan sepatah
kata pun. 182 "Baiklah," berkata Anusapati, "yang harus kita lakukan kemudian
adalah membuat kolam itu dan menyiapkan kesiagaan yang lebih
besar. Pengawasan dan ketelitian. Bukan saja mereka yang
bertugas di seputar bangsal dan kolam itu, tetapi juga di seluruh
halaman, karena ternyata ada orang-orang di luar halaman istana
yang berhasil menyusup masuk dan bahkan sampai ke dalam
bangsal." Tidak seorang pun lagi yang mengajukan pendapatnya, sehingga
paseban itu pun kemudian dibubarkan.
Namun Mahisa Agni dan Mahisa Wonga Teleng masih tinggal
beberapa lamanya di ruang dalam bangsal paseban itu. Masih ada
yang mereka bicarakan secara khusus tentang setiap orang di dalam
lingkungan pemerintahan dan keprajuritan.
"Panglima pelayan dalam itu pantas mendapat pengawasan,"
berkata Mahisa Wonga Teleng yang tidak sadar lagi.
"Bagaimana pendapat Paman?" bertanya Anusapati.
"Ampun Tuanku. Sebenarnyalah bahwa orang itu memang harus
mendapat perhatian. Ia adalah salah seorang dari mereka yang
sering datang ke kalangan sabung ayam bersama Tuanku Tohjaya."
"Apakah kau menarik garis hubungan antara keduanya?"
bertanya Anusapati. 183 Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia
menjawab, "Hamba Tuanku. Sebenarnyalah hamba berpendapat
bahwa keduanya telah bekerja bersama untuk kepentingan ini."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan ketika ia
memandang adiknya, Mahisa Wonga Teleng, maka adiknya justru
telah mendahului, "Tentu ada hubungan. Aku sependapat dengan
Pamanda Mahisa Agni."
"Baiklah," berkata Anusapati, "kita harus mengawasinya. Dan
yang tidak kalah berbahayanya adalah usaha setiap pihak yang ingin
memecahkan hubungan baik antara golongan yang kini mendukung
pemerintahan Singasari dengan golongan yang setia kepada
Ayahanda Sri Rajasa, yang mengatakan bahwa akulah yang telah
menyingkirkan Ayahanda itu. Ternyata orang-orang yang memasuki
bangsal itu pun berpendapat demikian pula. Sehingga aku
mengambil kesimpulan, bahwa usaha untuk mengacaukan
dukungan terhadap pemerintahanku sekarang ini berjalan terus dan
bahkan berhasil sebagian dari rakyat Singasari dan Kediri."
"Hamba akan berusaha Tuanku," berkata Mahisa Agni, "namun
agaknya sumbernyalah tidak dapat bergeser dari sumber yang
sudah hamba sebutkan."
"Tetapi Paman," berkata Mahisa Wonga Teleng kemudian,
"bagaimanakah caranya kita dapat mengawasi orang-orang yang
ada di dalam kalangan sabung ayam itu."
"Memang sulit sekali. Tetapi ada seorang yang dapat dipercaya
berada di dalam lingkungan mereka, meskipun sekedar di saat-saat
184 sabung ayam. Tetapi kadang-kadang ia dapat melihat suasana. Dan
agaknya kehadirannya itu bermanfaat pula bagi kita."
Mahisa Wonga Teleng mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sedang Anusapati pun segera mengetahui bahwa yang
dimaksudkannya adalah Kuda Sempana.
Sekilas Anusapati mengenang orang-orang terpenting yang ada
di belakangnya. Tetapi mereka tidak akan dapat dengan terbuka
berada di istana. Witantra adalah orang yang memegang kendali
pada masa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung, sehingga
kehadirannya akan dapat menimbulkan pertanyaan pada mereka
yang setia kepada Sri Rajasa. Demikian juga Kuda Sempana.
Sehingga karena itu, maka mereka hanya selalu berada di belakang
selubung saja. Demikianlah, maka Anusapati pun segera memerintahkan untuk
memperluas kolam di sekitar bangsalnya. Kolam itu melingkar di
seputar bangsal. Di tepi kolam ditanaminya berbagai macam pohonpohon
bunga. Dua buah jembatan kecil menghubungkan bangsal itu
dengan halaman istana di sekelilingnya. Di depan jembatan terdapat
sebuah regol dan gardu penjaga, di samping gardu-gardu lain di
segala penjuru. Dengan demikian, bangsal istana yang dihuni oleh Maharaja
Singasari itu bagaikan sebuah perahu yang terapung di lautan yang
tenang, dihiasi berbagai macam pohon-pohon bunga. Pohon
kemungi, pacar berwarna kuning dan putih, bunga soka berwarna
putih dan jingga. Bunga ceplok piring dan bunga menur dan melati
sungsun. Di dalam kolam terdapat bunga apung berwarna kemerahmerahan
dan berdaun lebar. Bunga teratai dan jenis ikan berwarnawarni.
185 Dengan demikian, bukan saja kolam itu berarti bagi keamanan
Sri Maharaja, tetapi juga merupakan suatu hiasan yang sangat
indah. Tetapi dengan demikian, para abdi harus selalu waspada
terhadap putra Anusapati yang bernama Ranggawuni. Anak itu
ternyata nakal sekali. Kadang-kadang meskipun sudah diawasi
dengan ketat, namun ia sempat juga melepaskan pakaiannya dan
meloncat ke dalam kolam yang dihuni oleh berbagai jenis ikan itu.
Terutama ikan hias yang berwarna emas.
"Kau tidak boleh mandi di kolam itu," berkata Ibunda permaisuri
setiap kali. Dan setiap kali Ranggawuni hanya menundukkan kepalanya saja.
"Kau belum pandai berenang."
"Kolam itu dangkal di tepi bagian dalam Ibunda."
"Tetapi kau dapat tergelincir dan masuk ke bagian yang dalam."
"Tetapi hamba sekarang sudah pandai berenang."
"He?" 186 "Ya Ibunda. Jika Ibunda tidak percaya, cobalah hamba
menunjukkan bahwa hamba memang sudah berenang," berkata
Ranggawuni sambil mencoba melemparkan pakaiannya.
"Jangan, jangan," cegah Ibundanya, "kau tidak boleh mandi di
kolam itu meskipun kau sudah pandai berenang. Kolam itu airnya
tidak sebenarnya tidak sebersih yang nampak."
"Oh, airnya bening sekali. Ikan emas dan jenis-jenis ikan yang
lain itu tampak dari permukaan Ibunda."
"Tetapi bukankah jika kau masuk ke dalamnya, lumpur di bawah
kolam itu pun kemudian teraduk dan mengotori air itu" Selain
daripada itu, air itu mengalir parit-parit di luar halaman istana.
Orang dapat memasukkan apa saja ke dalam parit itu sebelum air
itu masuk ke dalam kolam."
"Maksud ibu?" "Sampah atau semacamnya. Tetapi ada yang lebih berbahaya
dari itu." "Tetapi ada semacam alat penyaring sebelum air itu masuk ke
dalam kolam." "Ya. Yang tersaring adalah sampahnya. Tetapi jika seseorang
menaburkan semacam racun ke dalam kolam itu?"
187 "Jika yang ditaburkan racun, maka ikan yang ada di kolam itu
akan mati semuanya Ibunda."
Permaisuri menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa sulit
menanggapi kemampuan berpikir putranya, sehingga kadangkadang
ia berdesis, "Anak-anak sekarang kadang-kadang sulit untuk
ditertibkan. Ada-ada saja alasannya dan caranya untuk
mempertahankan sikapnya."
Namun demikian, akhirnya permaisuri itu berkata, "Ranggawuni,
kau tidak boleh mandi di kolam yang kotor itu. Mungkin ada bibit
penyakit yang hanya dapat menyerang manusia. Misalnya gatalgatal,
dan bahkan yang lebih dari itu, sehingga dapat membuat
kulitmu luka." Ranggawuni menganggukkan kepalanya.
"Nah, baiklah. Kau boleh bermain-main di tepi kolam."
Tetapi Ranggawuni sekali lagi mengangguk.
"Jangan mandi!"
Tetapi di hari lain, Ranggawuni ditemukan mandi pula di kolam
itu bersama saudara sepupunya, putra Mahisa Wonga Teleng yang
sedikit lebih muda daripadanya, tetapi nakalnya bukan main. Jika ia
terlepas sedikit dari pengawasan pengasuhnya, maka ia pun segera
berlari mendapatkan Ranggawuni dan bersama-sama menceburkan
188 diri ke dalam kolam. Bahkan jika para pengasuhnya dengan tergesagesa
mencoba mencegah sebelum mereka sempat membuka
Rahasia Rumah Kosong 2 Pendekar Rajawali Sakti 100 Kemelut Hutan Dandaka Pembantai Cantik 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama